EFEK AN P D M NALGESIK INFUSA DAUN Macaranga tan PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) Program Studi Farmasi Oleh : Dina Wulandari NIM : 078114089 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 narius L. )
91
Embed
EFEK ANALGESIK INFUSA DAUN Macaranga tanarius L. PADA ...repository.usd.ac.id/17553/2/078114089_Full.pdfEFEK ANALGESIK INFUSA DAUN PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS Disusun untuk Memenuhi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
EFEK ANALGESIK INFUSA DAUN
PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu SMemperoleh G
EFEK ANALGESIK INFUSA DAUN Macaranga tanarius
PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Dina Wulandari
NIM : 078114089
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2010
Macaranga tanarius L.
PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
elar Sarjana Farmasi (S. Farm)
EFEK ANALGESIK INFUSA DAUN
PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu SMemperoleh G
i
EFEK ANALGESIK INFUSA DAUN Macaranga tanarius
PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Dina Wulandari
NIM : 078114089
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2010
Macaranga tanarius L.
PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
elar Sarjana Farmasi (S. Farm)
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
”Aku bisa karna aku percaya”
Kupersembahkan skripsi ini untuk
Allah SWT karena Engkau adalah sumber kekuatanku
Keluarga tercinta atas kasih sayang, dukungan, doa dan semangat
Sahabatku semua
Almamaterku
v
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Efek Analgesik Infusa Daun Macaranga tanarius L. pada Mencit Betina Galur
Swiss” ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi (S. Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu penulis hendak
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku pembimbing skripsi ini atas segala
kesabaran untuk selalu membimbing, memberi motivasi, dan memberi masukan
kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan
kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku penguji skripsi dan pembimbing akademik
penulis atas bantuan, masukkan, pendampingan dan dukungan kepada penulis
demi kemajuan skripsi ini.
viii
5. Mas Parjiman, Mas Heru dan Mas Kayat selaku laboran bagian farmakologi serta
Mas Wagiran, selaku laboran farmakognosi fitokimia, atas segala bantuan dan
dinamika selama di laboratorium.
6. Ibu dan Bapak, atas dukungan, kasih sayang dan perjuangan untuk terus
memberikan yang terbaik bagiku, baik secara materi maupun non-materi sehingga
aku tetap bersemangat dalam penyusunan skripsi ini.
7. Rekan-rekan penelitian tim macaranga, Aryanti Prima Andini, Elisa Eka, Ary
Widya Nugraha dan Andreas Arry Mahendra atas bantuan, kerjasama, perjuangan
dan suka duka yang telah kita alami bersama selama penelitian.
8. Ignatius Mariandrianto Saputra, semangatku ketika aku sedang merasa lengah,
atas kesabaran, dukungan, semangat dan doa sehingga penyusunan skripsi ini
Lampiran 8. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap asetosal dosis 91
mg/kgBB pada uji efek analgesik......................................................... 65
Lampiran 9. Perhitungan penetapan peringkat dosis infusa daun M. tanarius pada
kelompok perlakuan...............................................................……….... 68
Lampiran 10. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius..................................... 70
Lampiran 11. Surat keterangan hewan uji………………………………………..... 71
Lampiran 12. Surat pengesahan determinasi tanaman M. tanarius……………….. 72
xvi
INTISARI
Nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan biasanyamerupakan gejala suatu penyakit. Peran tanaman obat dalam penanganan nyerisemakin meningkat belakangan ini, terlebih dengan adanya issue back to nature.Macaranga tanarius L. merupakan tanaman yang jarang dimanfaatkan di Indonesia.Secara tradisional, dilaporkan khasiat M. tanarius sebagai obat diare, luka danpencegahan peradangan. Oleh karena itu dimungkinkan M. tanarius digunakansebagai pengobatan alternatif analgesik. Tujuan dari penelitian ini adalah untukmengetahui apakah infusa daun M. tanarius mempunyai efek analgesik; berapapersen proteksi geliat; berapa perubahan proteksi geliat dan berapa ED50 infusa daunM. tanarius.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancanganacak lengkap pola searah. Metode yang digunakan adalah metode rangsang kimiadengan asam asetat sebagai penginduksi nyeri. Mencit betina sehat, galur Swisssecara acak dibagi menjadi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 hewan uji.Kelompok I-III diberikan infusa dosis 666,68; 3333,4 dan 16667 mg/kgBB,kelompok IV diberikan aquadest dosis 16667 mg/kgBB dan kelompok V diberikanasetosal dosis 91 mg/kgBB. Asam asetat (1% v/v) diberikan secara intraperitonealuntuk semua kelompok, setelah 15 menit setelah pemberian senyawa uji. Geliatdiamati setiap 5 menit selama 1 jam. Data dievaluai dengan ANOVA satu arah,dilanjutkan dengan Uji Scheff euntuk membandingkan rata-rata dari setiap kelompokdosis dengan kelompok kontrol. P<0,05 menunjukkan tingkat signifikansi secarastatistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa infusa daun M. tanarius memiliki efekanalgesik. Persen proteksi geliat infusa daun M. tanarius pada dosis 666,68; 3333,4dan 16667 mg/kgBB berturut-turut adalah 57,6 %; 64,5% dan 73,7%. Sedangkanperubahan persen proteksi geliat infusa daun M. tanarius pada dosis 666,68; 3333,4,dan 16667 mg/kgBB berturut-turut adalah -9,7%; 1,2% dan 15,6% dan ED50 infusadaun M. Tanarius yaitu sebesar 154,88 mg/kgBB.
Kata kunci: analgesik, infusa daun M. tanarius
xvii
ABSTRACT
Pain was an upleasant feel and it usually a symptom of a disease. Recently therole of medicine plant increasingly important in pain treatment, in fact, it mainlypromoted by back to nature issue. Macaranga tanarius L. is a plant that rarelyexploited Indonesia people. Traditionally, reported that the efficacy as a curediarrhoea, injuries and prevention of inflammation. Therefore, it is possible M.tanarius used as alternative analgesic treatment. This study aimed at knowingwhether the aqueous extract of M. tanarius leaf has analgesic effect, the percentprotection, the change in percent protection and ED50 of the aqueous extract of M.tanarius leaf.
This was a experimental study with one way-complete-random design. Thestudy method used was acetic acid induced. Healthy female mice of Swiss strain wererandomly divided into 5 group of 5 animals in each. Group I, II and III receivedrespectively, aqueous extract of M. tanarius leaf at dose of 666.68; 3333.4 and 16667mg/kgBW. Group IV received distilled water at dose of 16667 mg/kgBW. Group Vreceived asetosal at dose of 91 mg/kgBW. Acetic acid (1% v/v) was administredintraperitoneally to all the group 15 min after administration of test compounds.Writhings were counted for a period of 5 min for 1 hour. Data were evaluated by one-way ANOVA, followed by Scheffe test to compare the mean of each dose group withthe control group. P<0.05 was the possibility level used to determine statisticalsignificance.
Result of the study suggesting that the aqueous extract of M. tanarius leafhaving analgesic effect. Percent protection of the aqueous extract of M. tanarius leafat doses of 666.68; 3333.4 and 16667 mg/kgBW were 57.6; 64.5 and 73.7 percent,respectively. The change in percent protection the aqueous extract of M. tanarius leafat doses of 666.68; 3333.4 and 16667 mg/kgBW were -9.7; 1.2 and 15.6 percent,respectively and the ED50 of the aqueous extract of M. tanarius leaf were 154.88mg/kgBW.
Keywords: analgesic effect, the aqueous extract of M. tanarius leaf
1
BAB IPENGANTAR
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan (Tjay dan Rahardja, 2007). Rasa
nyeri dalam kebanyakan hal merupakan suatu gejala yang menandakan adanya
gangguan pada jaringan. Nyeri merupakan gejala umum dan sering kali mengikuti
salah satu penyakit, salah satunya adalah inflamasi. Walaupun nyeri dapat digunakan
sebagai petunjuk adanya suatu penyakit, namun nyeri memerlukan penanganan
karena penderita merasakannya sebagai hal yang tidak menyenangkan.
Seiring dengan perkembangan jaman serta teknologi, peran tanaman obat
masih menjadi pilihan bagi masyarakat ketika menderita sakit terlebih dengan adanya
issue back to nature. Tanaman obat menjadi alternatif pengobatan karena semakin
tingginya biaya pengobatan. Selain itu tanaman obat diyakini mempunyai efek
samping yang relatif lebih kecil daripada menggunakan obat sintetik (Pramono,
2003).
Pengembangan obat bahan alam untuk mengatasi rasa nyeri semakin
ditingkatkan sebagai salah satu upaya pengobatan. Salah satu bahan alam yang
berpotensi sebagai alternatif untuk mengatasi rasa nyeri adalah M. tanarius. Hal ini
didasarkan pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa salah satu konstituen dari
ekstrak n-heksan dan kloroform dari daun M. tanarius berupa flavonoid mempunyai
aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH dan nymphaeol B sebagai agen
2
antiinflamasi pada uji siklooksigenase-2 (Phommart, Sutthivaiyakit, Chimnoi,
Ruchirawat, Sutthivaiyakit, 2005).
Matsunami, Takamori, Shinzato, Aramoto, Kondo, Otsuka et al. (2006) dan
Matsunami, Otsuka, Kondo, Shinzato, Kawahata, Yamaguchi et al. (2009)
melaporkan adanya senyawa glikosida yaitu macarangioside A-C dan mallophenol B
yang diisolasi dari ekstrak metanol M. tanarius menunjukkan aktivitas penangkapan
radikal terhadap DPPH.
Radikal bebas memegang peranan dalam timbulnya nyeri. Radikal bebas
lazimnya hanya bersifat perantara yang bisa dengan cepat diubah menjadi substansi
yang tidak lagi membahayakan bagi tubuh. Namun, apabila radikal bebas bertemu
dengan enzim atau asam lemak tak jenuh ganda, maka hal tersebut merupakan awal
dari kerusakan sel. Tjay dan Rahardja (2007) menyatakan bahwa ada kaitan antara
penangkapan radikal bebas dengan penghambatan mediator-mediator nyeri dan
peradangan. Bila radikal bebas tersebut dapat ditangkap maka kemungkinan proses
terjadinya nyeri dan peradangan juga dapat terhambat.
Robinson (1995) mengatakan bahwa senyawa glikosida merupakan senyawa
yang kurang larut dalam pelarut organik dan lebih mudah larut dalam air. Oleh karena
itu dalam penelitian ini akan dilakukan uji efek analgesik infusa daun M. tanarius
pada mencit betina galur Swiss. Pada penelitian ini digunakan bentuk sediaan infusa
yang menggunakan penyari berupa air sehingga diharapkan senyawa-senyawa
glikosida yang mempunyai aktivitas penangkapan radikal bebas yang terdapat pada
penelitian sebelumnya dapat tertarik lebih banyak ke dalam infusa sehingga
3
menimbulkan efek penangkapan radikal bebas yang semakin besar pula yang
akhirnya dapat menghambat terjadinya nyeri.
1. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti adalah :
a. Apakah infusa daun M. tanarius memiliki efek analgesik pada mencit betina
galur Swiss?
b. Berapa persen proteksi geliat infusa daun M. tanarius pada mencit betina galur
Swiss?
c. Berapa perubahan persen proteksi geliat infusa daun M. tanarius pada mencit
betina galur Swiss?
d. Berapa nilai ED50 infusa daun M. tanarius pada mencit betina galur Swiss?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang efek analgesik infusa daun
M. tanarius pada mencit betina galur Swiss belum pernah dilakukan.
Phommart et al. (2005) melaporkan kandungan senyawa baru yaitu
tanarifuranonol, tanariflavanon C dan tanariflavanon D bersama dengan 7 kandungan
yang telah diketahui yaitu nymphaeol A, nymphaeol B, nymphaeol C, tanariflavanon
B, blumenol A (vomifoliol), blumenol B (7,8 dihydrovomifoliol) dan annuionone
yang antara lain dapat digunakan sebagai antiinflamasi, antioksidan dan antitumor
yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dan kloroform dari daun
M. tanarius.
4
Selain itu penelitian mengenai M. tanarius juga dilakukan oleh Matsunami et
al. (2006; 2009). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kandungan pada daun
M. tanarius yang diisolasi dari esktrak metanol mempunyai aktivitas penangkapan
radikal terhadap DPPH. Puteri dan Kawabata (2010) melaporkan ekstrak metanol
daun M. tanarius mempunyai aktivitas penghambatan terhadap α-glukosidase.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai khasiat daun
M. tanarius yang dapat digunakan sebagai analgesik.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang
ada tidaknya efek analgesik dari infusa daun M. tanarius, persen proteksi geliat
infusa daun M. tanarius, perubahan persen proteksi geliat infusa daun M. tanarius
dan ED50 dari infusa daun M. tanarius.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah infusa daun M. tanarius memiliki efek analgesik pada
mencit betina galur Swiss.
2. Untuk mengetahui berapa persen proteksi geliat infusa daun M. tanarius pada mencit
betina galur Swiss.
3. Untuk mengetahui berapa perubahan persen proteksi geliat infusa daun
M. tanarius pada mencit betina galur Swiss.
5
4. Untuk mengetahui berapa nilai ED50 infusa daun M. tanarius pada mencit betina galur
Swiss?
6
BAB IIPENELAAHAN PUSTAKA
A. M. tanarius
1. Keterangan botani
Tanaman Macaranga tanarius termasuk dalam famili euphorbiaceae.
Tanaman ini dikenal di beberapa daerah dengan nama Tutup ancur (Jawa), Mapu
(Batak) dan Mara (Sunda) (Anonim, 2010a).
2. Morfologi
Tanaman M. tanarius merupakan pohon kecil sampai sedang dengan dahan
agak besar. Daun berseling, agak membundar dengan stipula besar yang luruh.
Perbungaan bermalai di ketiak, bunga ditutupi oleh daun gagang. Buah kapsul
berkokus 2, ada kelenjar kekuningan di luarnya. Biji membulat, menggelembur. Jenis
ini juga mengandung tanin yang cukup untuk menyamak jala dan kulit (Anonim,
2010a).
3. Kandungan Kimia
Kandungan kimia dari M. tanarius antara lain macarangioside A-D,
mallophenol B, lauroside E, methyl brevifolin carboxylate, hyperin dan isoquercitrin
(Matsunami et al., 2006). Phommart et al. (2005) melaporkan kandungan M. tanarius
yaitu tanarifuranonol, tanariflavanon C, dan tanariflavanon D bersama dengan 7
kandungan yang telah diketahui yaitu nymphaeol A, nymphaeol B, nymphaeol C,
tanariflavanon B, blumenol A (vomifoliol), blumenol B (7,8 dihydrovomifoliol, dan
annuionone). Matsunami et al. (2009) melaporkan adanya lignan glukosida, (+)-
7
pinoresinol 4-O-[600-O-galloyl]-b-D-glucopyranoside dan 2 megastigman glukosida,
yang dinamakan macarangioside E dan F. Berikut ini merupakan struktur senyawa
tanariflavanon C dan D, nymphaeol A, B dan C, macarangioside A-C dan
mallophenol B (gambar 1).
tanariflavanon C tanariflavanon D nymphaeol A
nymphaeol B nymphaeol C mallophenol B
macarangioside A macarangioside B macarangioside C
Gambar 1. Struktur senyawa dalam tanaman M. tanarius(Phommart et al., 2005) dan (Matsunami et al., 2006)
8
4. Khasiat dan kegunaan
Tanaman M. tanarius dimanfaatkan antara lain sebagai antipiretik dan
antitusif yaitu pada bagian akar tanaman dengan bentuk sediaan berupa dekokan.
Akar kering dari tanaman ini digunakan sebagai agen emetik, sementara daun
segarnya digunakan sebagai penutup luka pencegah terjadinya inflamasi (Phommart
et al., 2005). Secara tradisional daun M. tanarius digunakan sebagai fermentasi pada
tempe dan pakan hewan (Puteri dan Kawabata, 2010).
5. Ekologi penyebaran dan budidaya
M. tanarius tersebar luas, dari Kepulauan Andaman dan Nicobar, Indo-Cina,
Cina Selatan, Taiwan dan Kepulauan Ryukyu, seluruh Malesia, sampai ke Australia
Utara dan Timur dan Melanesia. Jenis ini umum dijumpai di daratan Asia Tenggara
(Thailand Selatan, Semenanjung Malaya) dan pada banyak pulau di Malesia
(Sumatra, Borneo, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Nugini, seluruh Kepulauan
Filipina) (Anonim, 2010a).
B. Infusa
1. Definisi
Infusa didefinisikan sebagai sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit (Depkes RI, 1995). Pada
umumnya infundasi digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam
air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak
9
stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang
diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI, 1986).
2. Pembuatan
Infusa dapat dibuat dengan cara mencampur simplisia dengan derajat halus
yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, dipanaskan di atas tangas air selama
15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90°C sambil sekali-kali diaduk. Kemudian
diserkai selagi panas melalui kain flannel, ditambahkan air panas secukupnya melalui
ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (Depkes RI, 1995).
C. Nyeri
1. Pengertian nyeri
Nyeri merupakan perasaan yang dipicu oleh sistem saraf. Nyeri dapat
menyakitkan atau membahayakan bagi penderitanya. Rasa nyeri mungkin dapat
datang dan pergi seketika atau juga mungkin konstan. Penderita mungkin merasa
nyeri di satu daerah tubuh, seperti punggung, perut atau dada atau mungkin merasa
sakit di sekujur tubuh. Nyeri dapat digunakan untuk membantu dalam mendiagnosis
suatu masalah kesehatan. Setelah penderita diterapi, rasa nyeri biasanya hilang.
Namun, terkadang rasa nyeri itu berlangsung selama minggu, bulan atau bahkan
tahunan. Kondisi ini disebut nyeri kronis. Nyeri kronis disebabkan oleh penyebab
yang berkelanjutan, seperti kanker atau arthritis atau terkadang penyebabnya tidak
diketahui. Ada banyak cara untuk mengobati rasa nyeri. Pengobatan bervariasi
10
tergantung pada penyebab rasa nyeri, seperti obat penghilang rasa nyeri, akupunktur
dan operasi (Dugdale, 2009).
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan
dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan yang
subyektif dan ambang toleransinya berbeda-beda bagi setiap orang. Rasa nyeri dalam
kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya
tentang adanya gangguan pada jaringan, seperti peradangan, infeksi atau kejang otot
(Tjay dan Rahardja, 2007).
2. Terjadinya nyeri
Nyeri timbul dari sejumlah kondisi. Cedera merupakan penyebab utama,
tetapi rasa nyeri mungkin juga merupakan hasil dari suatu penyakit. Nyeri dapat
menyertai kondisi psikologis seperti depresi atau mungkin terjadi bahkan tanpa
adanya pemicu yang dikenali (Anonim, 2010b). Menurut Tjay dan Rahardja (2007)
nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis (kalor listrik) yang
dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, antara lain histamin, bradikinin,
leukotrien dan prostaglandin. Semua mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri
(nociceptor) di ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan dengan
demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang. Nociceptor juga
terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh terkecuali SSP. Dari tempat ini
rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang kemudian diteruskan ke pusat
nyeri di otak dimana dirasakan sebagai nyeri.
11
3. Jenis nyeri
Menurut DiPiro, Tabert, Yee, Matzke, Wells, dan Posey (2008) nyeri
digolongkan menjadi :
a. Nyeri akut
Nyeri akut dapat menjadi proses peringatan fisiologis individu dari adanya
penyakit dan situasi berbahaya. Penyebab umum nyeri akut adalah pembedahan,
penyakit akut, trauma, akivitas dan prosedur medis.
b. Nyeri kronik
Dalam kondisi normal, nyeri akut menghilang cepat karena adanya proses
penyembuhan dengan mengurangi produksi rangsangan nyeri. Namun, dalam
beberapa kasus, nyeri tetap terjadi selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
yang mengarah ke keadaan nyeri kronis dengan karakteristik yang sangat berbeda
dengan nyeri akut.
4. Mekanisme nyeri
Menurut DiPiro et al. (2008) proses penghantaran nyeri terdiri atas 4 tahap
yaitu stimulasi, transmisi, persepsi nyeri dan modulasi.
a. Stimulasi
Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat adanya
rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxius stimuli)
akan menyebabkan lepasnya mediator-mediator seperti bradikinin, K+, prostaglandin,
histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi
12
potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang
belakang (DiPiro et al., 2008).
b. Transmisi
Transmisi rangsang nyeri terjadi pada serabut aferen A dan C. Serabut
saraf aferen tersebut merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s
dorsal horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi P,
dan kalsitonin (DiPiro et al., 2008).
c. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan
mengartikan sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan
tingkah laku akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi,
pengalihan, meditasi dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri. Sebaliknya,
perubahan biokimia saraf yang terjadi pada keadaan seperti depresi dan stres dapat
memperparah rasa nyeri (DiPiro et al., 2008).
d. Modulasi
Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui
bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti
enkhepalin, dinorfin, dan -endorfin dan reseptor-reseptor ( seperti μ, , dan ) yang
ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan reseptor
opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (DiPiro et al., 2008).
13
D. Analgesik
Analgesik adalah zat-zat yang pada dosis terapeutik menghilangkan atau
menekan rasa nyeri (senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau
menekan rasa nyeri (Schmitz, Lepper and Heidrich, 2009). Berdasarkan kerja
farmakologisnya, analgesik dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Analgesik non narkotik (perifer) yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgesik antiradang termasuk ke dalam
kelompok ini.
2. Analgesik narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat seperti
fractura dan kanker. Atas dasar cara kerjanya, obat ini dibagi dalam 3 kelompok
yaitu:
a. Agonis opiat, cara kerja obat ini sama dengan morfin hanya berlainan mengenai
potensi dan lama kerjanya, efek samping dan resiko akan ketergantungan fisik.
b. Antagonis opiat, bila digunakan sebagai analgesik, obat ini dapat menduduki
salah satu reseptor.
c. Campuran, obat ini dengan kerja campuran juga mengikat pada reseptor opioid,
tetapi tidak atau hanya sedikit mengaktivasi daya kerjanya (Tjay dan Rahardja,
2007).
14
E. Metode Pengujian Efek Analgesik
Metode-metode pengujian aktivitas analgetika secara in vivo dilakukan
dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri
yang diinduksi pada hewan uji (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara
mekanik, termik, elektrik dan secara kimia (Phytomedika, 1991).
Turner (1965) mengatakan bahwa metode rangsang kimia menggunakan zat
kimia yang diinjeksikan pada hewan uji secara intraperitoneal, sehingga akan
menimbulkan nyeri. Beberapa zat kimia yang biasanya digunakan antara lain asam
asetat dan fenil kuinon. Metode ini sederhana, reproducible (dapat diulang-ulang
hasilnya) dan cukup peka untuk menguji senyawa analgesik dengan daya analgesik
lemah, namun mempunyai kekurangan yaitu masalah kespesifikasinya. Oleh karena
itu metode ini sering digunakan untuk penapisan (screening). Efek analgesik dapat
dievaluasi menggunakan persen proteksi geliat.
% proteksi geliat = (100 – [(P/K) x 100])%
P : jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi perlakuanK: jumlah kumulatif geliat mencit kelompok kontrol
15
F. Asetosal
Gambar 2. Struktur asetosal (Helmenstine, 2010)
Asetosal (gambar 2) merupakan ester salisilat dari asam yang berbentuk
kristal putih seperti batang atau jarum, berbau, sedikit larut dalam air dan sangat larut
dalam alkohol. Asetosal termasuk dalam golongan analgesik non narkotik. Indikasi
dari asetosal adalah sebagai pereda nyeri, sakit kepala, nyeri-nyeri ringan lain yang
berhubungan dengan adanya inflamasi, nyeri ringan sampai sedang setelah operasi,
melahirkan, sakit gigi dan dismenore (Anonim, 2010c).
G. Landasan Teori
Nyeri merupakan suatu gejala yang umum dan seringkali mengikuti salah
satu penyakit atau lebih. Rasa nyeri menyebabkan perasaan yang tidak enak dan
keberadaannya sangat mengganggu bahkan kadang-kadang terasa menyiksa dan
biasanya menandakan adanya kerusakan jaringan oleh karena itu dibutuhkan suatu
penanganan.
16
Matsunami et al. (2006) melaporkan adanya senyawa glikosida, yaitu
macarangioside A-C dan mallophenol B yang diisolasi dari ekstrak metanol
M. tanarius menunjukkan aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH.
Pendekatan dari penelitian ini adalah dilaporkan adanya senyawa glikosida
yang memiliki aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH (Matsunami et al.,
2006) yang dapat diperoleh dari ektrak metanol. Glikosida merupakan senyawa yang
kurang larut dalam pelarut organik dan lebih mudah larut dalam air (Robinson, 1995).
Oleh karena itu, diharapkan dengan menggunakan air sebagai pelarut infusa, dapat
diperoleh lebih banyak senyawa yang memiliki aktivitas dalam menangkap radikal
bebas.
Radikal bebas memegang peranan dalam timbulnya nyeri. Radikal bebas
lazimnya hanya bersifat perantara yang bisa dengan cepat diubah menjadi substansi
yang tidak lagi membahayakan bagi tubuh. Namun, apabila radikal bebas bertemu
dengan enzim atau asam lemak tak jenuh ganda, maka hal tersebut merupakan awal
dari kerusakan sel. Tjay dan Rahardja (2007) menyatakan bahwa ada kaitan antara
penangkapan radikal bebas dengan penghambatan mediator-mediator nyeri dan
peradangan. Bila radikal bebas tersebut dapat ditangkap maka kemungkinan proses
pengubahan asam arakidonat menjadi endoperoksida dan asam hidroperoksida
melalui jalur siklooksigenase dan lipooksigenase juga akan terhambat sehingga
mediator-mediator nyeri dan peradangan tidak akan terbentuk dan tidak menimbulkan
nyeri ataupun peradangan.
17
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menguji efek analgesik namun
untuk skrining awal untuk penapisan farmakologi cukup menggunakan metode
rangsang kimia. Pada metode ini asam asetat merupakan iritan yang dapat merusak
jaringan secara lokal. Setelah pemberian secara intraperitoneal, asam asetat akan
menyebabkan perubahan pH di dalam rongga perut akibat pembebasan ion H+ dari
asam asetat dan menyebabkan luka pada membran sel. Fosfolipid dari membran sel
akan melepaskan asam arakhidonat yang pada akhirnya akan membentuk
prostaglandin dan menimbulkan nyeri (Wilmana,1995). Metode ini dipilih karena
cakupan untuk menguji efek analgesik cukup luas, sehingga sekalipun belum
diketahui secara spesifik bagaimana mekanisme namun efeknya tetap dapat terlihat.
H. Hipotesis
Infusa daun M. tanarius memiliki efek analgesik pada mencit betina galur Swiss.
18
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian efek analgesik infusa daun M. tanarius pada mencit betina galur
Swiss termasuk penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola
searah.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas
Variabel bebas dari penelitian ini adalah dosis infusa daun M. tanarius.
b. Variabel tergantung
Variabel tergantung dari penelitian ini adalah persen proteksi geliat yang
dihasilkan setelah perlakuan dengan infusa daun M. tanarius.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
1) Hewan uji adalah mencit dengan galur Swiss.
2) Jenis kelamin hewan uji adalah betina.
3) Umur hewan uji adalah dua sampai tiga bulan.
4) Berat badan hewan uji antara 20 sampai 30 gram.
5) Pemberian infusa dilakukan secara peroral.
6) Rangsang nyeri diberikan secara intraperitoneal.
19
7) Waktu pemanenan daun M. tanarius pada bulan Maret 2010.
8) Tempat pemanenan daun M. tanarius yaitu Kebun Obat Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
b. Variabel pengacau tak terkendali
1) Ketahanan mencit, yaitu kemampuan individu mencit dalam menahan rasa
sakit.
2) Kemampuan absorpsi, yaitu kemampuan absorpsi infusa daun M. tanarius
oleh individu mencit.
3. Definisi operasional
a. Infusa daun M. tanarius adalah infusa dengan konsentrasi 100% yang diperoleh
dengan cara mencampur serbuk kering daun M. tanarius dalam panci dengan
air, dipanaskan di atas heater selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai
90°C sambil sekali-kali diaduk dan diserkai selagi panas.
b. Dosis infusa daun M. tanarius adalah sejumlah berat infusa daun M. tanarius
tiap satuan berat badan hewan uji dengan satuan mg/kgBB.
c. Persen proteksi geliat adalah seratus dikurangi jumlah kumulatif geliat
kelompok perlakuan dibagi rata-rata jumlah kumulatif geliat kelompok kontrol
dikali 100 persen.
d. Metode induksi secara rangsang kimia adalah metode yang digunakan untuk
mengukur efek analgesik zat uji terhadap subyek uji dengan cara memberi
20
rangsang nyeri dengan pemberian asam asetat 1% yang diberikan secara
intraperitoneal.
e. Penetapan kriteria geliat mencit
Kriteria geliat mencit yang diamati dan dihitung adalah gerakan menggeliat
dengan menarik satu atau kedua kaki ke belakang serta menempelkan perut
pada alas tempat berpijak mencit tersebut (kotak kaca pengamatan geliat).
C. Bahan Penelitian
1. Bahan utama
a. Hewan uji : mencit betina galur Swiss dengan berat badan 20-30 gram dengan
umur 2-3 bulan yang diperoleh dari Lembaga Pusat Penelitian dan Teknologi
(LPPT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
b. Bahan senyawa uji, yaitu daun M. tanarius yang diperoleh dari Kebun Obat
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dipanen pada
bulan Maret 2010.
2. Bahan kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian antara lain:
a. Asetosal diproduksi oleh Merck dan diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-
Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
b. CMC-Na (Dai-Ichi Seiyaku., Ltd) diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-
Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
21
c. Asam asetat glasial diproduksi oleh Merck dan diperoleh dari Laboratorium
Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
d. Aquadest diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
D. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Oven
2. Mesin penyerbuk
3. Timbangan elektrik
4. Panci lapis alumunium
5. Heater
6. Termometer
7. Gelas ukur
8. Stopwatch (Olympic)
9. Kotak kaca tempat pengamatan geliat
10. Jarum yang digunakan untuk pemberian peroral (Terumo)
11. Spuit injeksi yang memiliki ujung runcing dan digunakan untuk pemberian secara
intraperitoneal (Terumo)
12. Neraca analitik (Mettler Toledo AB 204, Germany)
13. Moisture balance
22
E. Tata Cara Penelitian
1. Determinasi tanaman
Determinasi tanaman M. tanarius dilakukan di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Determinasi dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta sesuai dengan buku acuan (Koordes and Valeton, 1918).
2. Pengumpulan bahan
Daun M. tanarius yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
tanaman M. tanarius yang diperoleh dari Kebun Obat Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Daun yang dikumpulkan adalah daun
yang segar berwarna hijau dan dipanen pada bulan Maret 2010.
3. Pembuatan simplisia daun M. tanarius
Daun M. tanarius yang telah terkumpul kemudian dicuci dengan air
mengalir, ditiriskan kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu
45°-50°C selama 24 jam dan diserbuk dengan menggunakan mesin penyerbuk di
Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Serbuk simplisia kemudian diayak dengan menggunakan
ayakan nomor 40.
4. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius
Penetapan kadar air dilakukan dengan Metode Gravimetri dengan
menggunakan alat moisture balance. Sebanyak 5 gram serbuk daun M. tanarius
dimasukkan ke dalam alat dan diratakan kemudian bobot serbuk ditimbang
23
sebagai bobot sebelum pemanasan. Serbuk dipanaskan pada suhu 110° C selama
15 menit dan ditimbang bobot serbuk setelah pemanasan. Selisih bobot serbuk
sebelum dan setelah pemanasan merupakan kadar air dari serbuk yang diselidiki.
5. Penetapan dosis infusa daun M. tanarius
Dasar penetapan peringkat:
a. Bobot tertinggi mencit = 30 gram
b. Pemberian infusa menggunakan ½ dari volume maksimal pemberian secara
peroral
c. Konsentrasi infusa daun M. tanarius yang digunakan yaitu 100%
Penetapan dosis tertinggi infusa daun M. tanarius yaitu:
D x BB = C x V
D x 0,03 g = 1000 mg/ml x 0,5 ml
D = 16,667 mg/g
D = 16667 mg/kg
Dua dosis lainnya diperoleh dengan membagi 5 dosis 16667 mg/kg
kemudian dibagi 5 lagi sehingga diperoleh 3 peringkat dosis yaitu: 16667
mg/kg; 3333,4 mg/kg dan 666,68 mg/kg.
6. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina
galur Swiss, usia 2-3 bulan dan memiliki berat badan 20-30 gram. Mencit yang
digunakan sebanyak 25 ekor yang terbagi secara acak dalam 5 kelompok
perlakuan. Kelompok I-III adalah kelompok perlakuan infusa daun M. tanarius
24
yang diberikan secara peroral dengan peringkat dosis 666,68 mg/Kg BB; 3333,4
mg/kg BB dan 16667 mg/kg BB. Kelompok IV adalah kelompok kontrol negatif
aquadest dosis 16667 mg/kgBB. Kelompok V adalah kelompok kontrol positif
asetosal dosis 91 mg/kgBB. Sebelum digunakan, mencit dipuasakan terlebih
dahulu selama 24 jam dengan tetap diberi minum.
7. Pembuatan sediaan
a. Pembuatan larutan asam asetat 1% v/v sebanyak 25,0 ml
Larutan asam asetat 1% dibuat dari larutan asam asetat glasial 100%
v/v dengan menggunakan rumus V1C1 = V2C2. Dengan menggunakan rumus
tersebut, larutan asam asetat 1% dapat dibuat dengan mengambil asam asetat
glasial 100% sebanyak 0,250 ml dilarutkan dengan menggunakan aquadest
sampai diperoleh volume 25,0 ml dengan menggunakan labu ukur 25 ml.
b. Pembuatan larutan CMC Na 1% sebanyak 100,0 ml
Larutan CMC Na 1% dibuat dengan cara menimbang 1,0 gram serbuk
CMC Na kemudian ditaburkan di atas air panas sedikit demi sedikit hingga
mengembang sambil diaduk. Setelah terbentuk larutan kemudian dimasukkan
dalam labu ukur 100 ml dan ditambah aquadest hingga 100,0 ml lalu digojog.
c. Pembuatan suspensi asetosal 1%, 25,0 ml dalam CMC Na 1%
Suspensi asetosal 1% dibuat dengan mensuspensikan 250,0 mg
asetosal dalam CMC Na 1% sampai 25,0 ml.
25
d. Pembuatan infusa daun M. tanarius 100%, 10,0 ml
Infusa daun M. tanarius dengan konsentrasi 100% dibuat dengan
mencampur 10,0 gram serbuk kering daun M. tanarius dengan 40 ml air.
Campuran ini kemudian dipanaskan di atas heater pada suhu 90°C selama 15
menit. Waktu 15 menit dihitung ketika suhu pada campuran mencapai 90°C.
Campuran kemudian diserkai selagi panas.
8. Penetapan dosis asam asetat 1%
Penetapan dosis asam asetat dilakukan pada konsentrasi 1%, dimana
larutan ini dibuat dengan cara pengenceran asam asetat glasial. Larutan ini diuji
pada 3 peringkat dosis yaitu 25 mg/kgBB; 50 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB. Dari
ketiga dosis tersebut, dicari dosis optimal dalam menghasilkan geliat .
9. Penetapan selang waktu pemberian asam asetat
Sebanyak 9 ekor mencit digunakan dalam penetapan waktu pemberian
yang dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok yang terdiri dari 3
ekor mencit betina galur Swiss dengan berat antara 20-30 gram, umur 2-3 bulan
yang telah dipuasakan selama 24 jam, diinjeksi dengan asam asetat 1% secara
intraperitoneal menggunakan dosis efektif yang didapatkan dari penetapan dosis
asam asetat dengan selang waktu 5, 10 dan 15 menit setelah pemberian suspensi
asetosal dosis 91 mg/kgBB secara peroral.
10. Penetapan dosis asetosal
Asetosal digunakan sebagai kontrol positif sehingga harus memberikan
respon pengurangan geliat. Dosis asetosal yang digunakan dalam penelitian ini
26
adalah dosis lazim 500 mg. Jika dikonversikan pada manusia dengan berat badan
70 kg maka : (70/50) x 500 mg = 700 mg. Konversi dosis ke mencit dengan berat
badan 20 gram dengan faktor konversi manusia dengan berat badan 70 kg ke
mencit 20 gram adalah 0,0026 maka dosisnya dapat dihitung sebagai berikut:
Dosis = 700 mg x 0,0026
= 1,82 mg/20 gramBB
= 91 mg/kgBB
Dosis asetosal yang digunakan menurut Handara (2006); Riadiani (2006) dan
Tusthi (2007) adalah 91 mg/kgBB.
11. Perlakuan hewan uji
Dua puluh lima ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok secara acak dan
dipuasakan selama 24 jam dengan tetap diberi minum. Kelompok I-III merupakan
kelompok perlakuan dengan pemberian infusa daun M. tanarius yang diberikan
secara peroral dengan peringkat dosis 666,68 mg/kgBB; 3333,4 mg/kgBB dan
16667 mg/kgBB. Kelompok IV merupakan kelompok kontrol negatif aquadest
dosis 16667 mg/kgBB dan kelompok V diberi suspensi asetosal dalam CMC-Na
1% dosis 91 mg/kgBB sebagai kontrol positif. Kemudian seluruh kelompok pada
waktu sesuai orientasi setelah pemberian praperlakuan diberi rangsang kimia
asam asetat dengan dosis sesuai orientasi secara intraperitoneal kemudian respon
geliat diamati dengan selang waktu 5 menit selama 1 jam.
27
12. Perhitungan % proteksi geliat
Besarnya proteksi geliat dihitung dengan persamaan yaitu :
% proteksi geliat = (100 – [(P/K) x 100])%
Keterangan :P= jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian senyawa ujiK= jumlah rata-rata kumulatif geliat hewan uji kontrol negatif
Data persen proteksi geliat tersebut kemudian dianalisis menggunakan
analisa variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%.
Perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif dihitung
menggunakan rumus :
Perubahan % proteksi geliat = [(A-B)/B] x 100
Keterangan :A = % proteksi geliat pada tiap kelompok perlakuanB = rata-rata proteksi geliat pada kontrol positif
13. Analisis hasil
Setelah didapatkan hasil, data dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov
untuk melihat distribusi data. Analisis dilanjutkan dengan ANOVA satu arah
dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antar
kelompok. Selanjutnya dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan
tersebut bermakna atau tidak.
28
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penyiapan Bahan
1. Hasil determinasi tanaman
Tanaman yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah M. tanarius.
Determinasi tanaman dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa tanaman
maupun bagian tanaman yang akan digunakan memang benar sesuai dengan yang
diharapkan, sehingga tidak ada kesalahan mengenai bahan yang dipakai. Determinasi
tanaman dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Determinasi dilakukan hingga tingkat spesies pada bagian daun, bunga,
batang, biji dan buah dan terbukti bahwa tanaman yang dipakai merupakan tanaman
M. tanarius.
2. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius
Pada penelitian ini, penetapan kadar air dilakukan dengan metode
Gravimetri dengan menggunakan alat moisture balance. Pemanasan serbuk dilakukan
pada suhu 110° selama 15 menit. Digunakan suhu 110° dimaksudkan agar kandungan
air telah menguap dan waktu 15 menit dianggap bahwa kadar air telah memenuhi
persyaratan parameter standarisasi non spesifik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
serbuk daun M. tanarius memiliki kadar air sebesar 8,18%. Dari pengujian ini,
menunjukkan bahwa kadar air sebuk daun M. tanarius telah memenuhi persyaratan
kadar air yaitu kurang dari 10% (Anonim, 2010d). Penetapan kadar air ini dilakukan
29
sebagai jaminan kualitas dari serbuk daun M. tanarius yang akan dilakukan untuk
penelitian selanjutnya.
B. Uji Pendahuluan
1. Penetapan dosis asam asetat
Uji analgesik yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode
rangsang kimia. Dalam metode ini, senyawa penginduksi nyeri, dalam penelitian ini
adalah asam asetat diinjeksikan secara intraperitoneal pada mencit putih betina galur
Swiss dengan selang waktu tertentu.
Orientasi dosis asam asetat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
dosis optimal asam asetat dalam menimbulkan jumlah geliat sehingga dapat
memudahkan pengamatan. Asam asetat adalah suatu iritan yang merusak jaringan
secara lokal, yang menyebabkan nyeri pada rongga perut pada pemberian
intraperitoneal. Hal itu disebabkan oleh kenaikan ion H+
akibat turunnya pH di bawah
6 yang menyebabkan luka pada membran. Luka pada membran sel ini akan
mengaktifkan enzim fosfolipase pada fosfolipid membran sel sehingga menghasilkan
asam arakidonat yang akhirnya akan terbentuk prostaglandin. Terbentuknya
prostaglandin ini akan meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri sehingga mencit akan
memberikan respon dengan cara menggeliat untuk menyesuaikan keadaan yang
dirasakannya.
30
Konsentrasi yang digunakan didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, yaitu 1% (Putra, 2003). Dosis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah, 25; 50; dan 75 mg/kgBB. Hasil orientasi berupa geliat pada tiga peringkat
dosis dapat dilihat pada tabel I dan gambar 3.
Tabel I. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetatKelompok Perlakuan
(mg/kgBB)Rata-rata jumlah geliat
(X ± SE)25 28,0 ± 4,050 85,0 ± 6,275 87,7 ± 1,7
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
Dosis Asam Asetat
dosis 75 mg/kgBBdosis 50 mg/kgBBdosis 25 mg/kgBB
Ra
ta-r
ata
jum
lah
ge
lia
t
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Error Bars: +/- 1 SE
Orientasi Dosis Asam Asetat
Gambar 3. Diagram batang rata-rata jumlah geliatpada orientasi dosis asam asetat
Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,000 (< 0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa antara ketiga kelompok terdapat perbedaan. Untuk
31
mengetahui kebermaknaan perbedaan antar kelompok maka dilanjutkan dengan uji
Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat di tabel II.
Tabel II. Hasil uji Scheffe data geliat mencitpada uji pendahuluan penetapan dosis asam asetat
Kelompok Dosis(mg/kgBB)
25 50 75
25 - B B50 B - TB75 B TB -
Keterangan :B = Berbeda bermakna (p < 0,05)TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Dari tabel II, diketahui bahwa pemberian asam asetat pada dosis 25
mg/kgBB berbeda bermakna dengan dosis 50 dan 75 mg/kgBB. Dosis 50 mg/kgBB
berbeda bermakna dengan dosis 25 mg/kgBB dan berbeda tidak bermakna dengan
dosis 100 mg/kgBB. Hal ini berarti bahwa asam asetat dosis 50 mg/kgBB dan 100
mg/kgBB sudah dapat memberikan jumlah geliat yang cukup. Oleh karena itu, asam
asetat dosis 50 mg/kgBB dipilih sebagai penginduksi nyeri untuk percobaan
selanjutnya agar mempermudah pengamatan.
2. Penetapan selang waktu pemberian asam asetat
Selang waktu pemberian asam asetat merupakan jeda antara pemberian zat
uji secara peroral dengan pemberian injeksi asam asetat secara intraperitoneal. Pada
saat selang waktu tersebut, zat uji diharapkan telah diabsorbsi sehingga dapat
memberikan efek analgesik secara optimal.
32
Pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat ini digunakan asetosal
dosis 91 mg/kgBB. Selang waktu yang diujikan adalah 5 menit, 10 menit, dan 15
menit. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu dapat dilihat pada tabel III
dan gambar 4.
Tabel III. Rata-rata jumlah geliatpada berbagai selang waktu pemberian asam asetat dosis 50 mg/kgBB
Kelompok Jumlah Geliat (X ± SE)5 menit 67,7 ± 3,3
10 menit 45,0 ± 1,715 menit 37,3 ± 1,3
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
Dari tabel III, selang waktu 15 menit menghasilkan jumlah geliat yang lebih
sedikit dibandingkan dengan selang waktu 5 dan 10 menit. Untuk melihat perbedaan
antar kelompok maka dilakukan analisis variansi satu arah dan uji Scheffe. Hasil
analisis dapat dilihat pada tabel IV.
Gambar 4. Grafik rata-rata jumlah geliatpada orientasi selang waktu pemberian asam asetat dosis 50 mg/kgBB
33
Berdasarkan hasil analisis variansi satu arah diperoleh probabilitasnya
adalah 0,000 (˂0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga kelompok tersebut
terdapat perbedaan. Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan
tersebut bermakna atau tidak.
Tabel IV. Hasil uji Scheffe jumlah geliatpada penetapan selang waktu pemberian asam asetatKelompok
(menit)5 10 15
5 - B B10 B - TB15 B TB -
Keterangan :B = Berbeda bermakna (p < 0,05)TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Dari hasil uji Scheffe diketahui bahwa kelompok selang waktu pemberian 5
menit berbeda bermakna dengan selang waktu pemberian 10 menit dan 15 menit.
Kelompok selang waktu pemberian 10 menit berbeda bermakna dengan selang waktu
pemberian 5 menit dan berbeda tidak bermakna dengan selang waktu pemberian 15
menit. Kelompok selang waktu pemberian 15 menit berbeda bermakna dengan selang
waktu pemberian 5 menit dan berbeda tidak bermakna dengan selang waktu
pemberian 10 menit.
Dilihat dari grafik, jumlah geliat pada kelompok selang waktu pemberian 5
menit masih terlalu banyak. Hal ini mungkin disebabkan asetosal belum bekerja
secara optimal. Jumlah geliat pada kelompok selang waktu 15 menit menghasilkan
34
jumlah geliat yang paling sedikit. Pada selang waktu 10 menit dan 15 menit
menunjukkan perbedaan jumlah geliat yang tidak bermakna secara statistik. Hal ini
berarti bahwa selang waktu 10 menit dan selang waktu 15 menit memberikan hasil
yang sama. Namun untuk penelitian selanjutnya digunakan selang waktu pemberian
15 menit karena dilihat dari rata-rata jumlah geliat pada selang waktu 15 menit lebih
kecil daripada selang waktu 10 menit.
3. Penetapan dosis asetosal
Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah asetosal.
Asetosal telah terbukti memiliki efek analgesik sehingga digunakan sebagai
pembanding terhadap senyawa uji. Penentuan dosis asetosal dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan dosis yang optimal dalam menurunkan geliat.
Asetosal digunakan sebagai kontrol positif sehingga harus memberikan
respon pengurangan geliat. Dosis asetosal yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dosis lazim 500 mg. Jika dikonversikan pada manusia dengan berat badan 70 kg
maka : (70/50) x 500 mg = 700 mg. Konversi dosis ke mencit dengan berat badan 20
gram dengan faktor konversi manusia dengan berat badan 70 kg ke mencit 20 gram
adalah 0,0026 maka dosisnya dapat dihitung sebagai berikut:
Dosis = 700 mg x 0,0026
= 1,82 mg/20 gramBB
= 91 mg/kgBB
35
Selain itu, penetapan dosis asetosal ini didasarkan pada penelitian sebelumnya
yaitu menurut Handara (2006); Riadiani (2006) dan Tusthi (2007) adalah 91 mg/kg
BB.
C. Uji Analgesik Infusa Daun M. tanarius
Pengujian efek analgesik dilakukan setelah seluruh uji pendahuluan selesai
dilakukan. Dari uji pendahuluan yang telah dilakukan, diperoleh zat penginduksi
nyeri yang digunakan adalah asam asetat 1% dengan dosis 50 mg/kgBB. Kontrol
positif yang digunakan adalah asetosal dosis 91 mg/kgBB, yang diberikan 15 menit
sebelum pemberian asam asetat. Dengan menggunakan hasil orientasi, diperoleh rata-
rata kumulatif jumlah geliat pada kelompok perlakuan dengan infusa daun M.
tanarius beserta kelompok kontrol negatif dan kontrol positif. Hasilnya dapat dilihat
pada tabel V dan gambar 5.
Tabel V. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan infusa daunM. tanarius
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)IDM = Infusa Daun M. tanarius
Kelompok perlakuan
Asetosal dosis 91mg/kgBB
Aquadest dosis16667 mg/kgBB
IDM dosis 16667mg/kgBB
IDM dosis 3333,4mg/kgBB
IDM dosis 666,68mg/kgBB
Ra
ta-r
ata
%P
rote
ksi
Ge
liat
80.00000
60.00000
40.00000
20.00000
0.00000
-20.00000
Error Bars: +/- 1 SE
Gambar 6. Diagram batang persen proteksi geliat kelompok perlakuan infusadaun M. tanarius
Keterangan :IDM = Infusa Daun M. tanarius
38
Persen proteksi geliat pada masing-masing kelompok uji kemudian dianalisis
menggunakan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Dari analisis
variansi satu arah yang dilakukan, diperoleh nilai probabilitasnya 0,000 yang berarti
lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok uji terdapat
perbedaan. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar kelompok tersebut
bermakna atau tidak, pengujian dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisis uji
Scheffe dapat dilihat pada tabel VII.
Tabel VII. Hasil uji Scheffe persen proteksi geliat pada kelompok perlakuaninfusa daun M. tanarius
Kelompok IDM dosis666,68
mg/kgBB
IDM dosis3333,4
mg/kgBB
IDM dosis16667
mg/kgBB
Aquadestdosis16667
mg/kgBB
Asetosaldosis 91
mg/kgBB
IDM dosis 666,68mg/kgBB
- TB B B TB
IDM dosis 3333,4mg/kgBB
TB - TB B TB
IDM dosis 16667mg/kgBB
B TB - B TB
Aquadest dosis16667 mg/kgBB
B B B - B
Asetosal dosis 91mg/kgBB
TB TB TB B -
Keterangan :TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)B = Berbeda bermakna (p < 0,05)IDM = Infusa Daun M. tanarius
Berdasarkan tabel VI, persen proteksi geliat meningkat seiring dengan
kenaikan dosis infusa daun M. tanarius, mulai dosis 666,68 mg/kgBB sampai pada
dosis 16667 mg/kgBB. Persen proteksi geliat kelompok infusa daun M. tanarius
dengan peringkat dosis terendah sampai dosis tertinggi berturut-turut adalah 57,6%;
39
64,5% dan 73,7%. Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif
(aquadest) memiliki perbedaan persen proteksi geliat yang bermakna dengan kontrol
positif (asetosal) dan ketiga kelompok senyawa uji (infusa daun M. tanarius ). Hal ini
menunjukkan bahwa aquadest tidak mempunyai efek analgesik yang ditunjukkan
dengan rata-rata jumlah geliat yang paling besar dibandingkan dengan kelompok lain
(106,6 ± 5,4) dan persen proteksi geliat yang paling kecil (0,0 ± 5,0).
Pada kelompok kontrol positif asetosal dan ketiga kelompok perlakuan
infusa daun M. tanarius memiliki proteksi terhadap nyeri yang ditunjukkan dengan
berkurangnya respon geliat dari mencit.
Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol positif
asetosal dengan kelompok infusa dosis 666,68 mg/kgBB, dosis 3333,4 mg/kgBB, dan
dosis 16667 mg/kgBB terdapat perbedaan persen proteksi geliat yang tidak
bermakna. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketiga peringkat dosis infusa daun
M. tanarius memberikan efek yang sebanding dengan asetosal.
Suatu senyawa uji dikatakan memiliki efek analgesik jika mampu
mengurangi ≥ 50% dari jumlah geliat pada kelompok kontrol negatif (Phytomedika,
1991). Oleh karena itu, ketiga peringkat dosis infusa daun M. tanarius memenuhi
syarat untuk dapat dikatakan memiliki efek analgesik karena memiliki persen
analgesik lebih dari 50%.
Berdasarkan hasil perhitungan persen proteksi geliat kemudian dihitung
perubahan persen proteksi geliat infusa daun M. tanarius terhadap kontrol positif
(asetosal). Data rata-rata perubahan persen proteksi geliat kelompok kontrol negatif
40
dan kelompok infusa daun M. tanarius terhadap kontrol positif dapat dilihat pada
tabel VIII dan gambar 7.
Tabel VIII. Perubahan persen proteksi geliat terhadap asetosal dosis 91mg/kgBB pada kelompok perlakuan infusa daun M. tanariusKelompok Uji Jumlah subjek uji Perubahan % proteksi nyeri