Dunia jang penuh tipu-tjedera: Menafsir nihilisme dalam tulisan Amal Hamzah SYAFIQAH A. JAAFFAR BA (Hons.), National University of Singapore Seringkali zaman perang Jepang dan Revolusi yang berlangsungan antara 1942 hingga 1949 diangkat sebagai antara batu tanda sejarah yang meninggalkan kesan psikolog mendalam ke atas masyarakat Indonesia. Radikalisasi semangat juang nasionalis para pemuda di satu pihak berlapik dengan tindihan jiwa yang ekstrim akibat keperitan hidup tatkala itu. Perbenturan ideologi antara angkatan lama dengan yang baru juga menggugat paradigma hidup yang telah membentuk pemahaman sosio-politik masyarakat semenjak akhir abad kesembilan belas. Penulis-penulis muda yang mula berkarya di tengah-tengah suasana yang kacau itu juga tidak terlepas daripada konsekwen pergolakan perang. Hasil pengalaman sendiri atau yang disaksikan di sekeliling mereka, timbullah semacam pengnihilan arti hidup dan harkat diri manusia, lalu pandangan ini kemudiannya ditumpahkan para penulis ke dalam karya.
41
Embed
Dunia jang penuh tipu tjedera: Penafsiran Nihilisme dalam Tulisan Amal Hamzah (2013)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Dunia jang penuh tipu-tjedera:Menafsir nihilisme dalam tulisan Amal HamzahSYAFIQAH A. JAAFFARBA (Hons.), National University of Singapore
Seringkali zaman perang Jepang dan Revolusi yang berlangsungan
antara 1942 hingga 1949 diangkat sebagai antara batu tanda
sejarah yang meninggalkan kesan psikolog mendalam ke atas
masyarakat Indonesia. Radikalisasi semangat juang nasionalis
para pemuda di satu pihak berlapik dengan tindihan jiwa yang
ekstrim akibat keperitan hidup tatkala itu. Perbenturan
ideologi antara angkatan lama dengan yang baru juga menggugat
paradigma hidup yang telah membentuk pemahaman sosio-politik
masyarakat semenjak akhir abad kesembilan belas.
Penulis-penulis muda yang mula berkarya di tengah-tengah
suasana yang kacau itu juga tidak terlepas daripada konsekwen
pergolakan perang. Hasil pengalaman sendiri atau yang
disaksikan di sekeliling mereka, timbullah semacam pengnihilan
arti hidup dan harkat diri manusia, lalu pandangan ini
kemudiannya ditumpahkan para penulis ke dalam karya.
Salah seorang penulis yang merupakan anak zaman perang dan
Revolusi (tetapi kurang diberi perhatian) adalah Amal Hamzah.1
Kertas ini akan memfokuskan pada karya orisinil beliau yang
hampir seluruhnya terhasil pada zaman tersebut untuk mencapai
dua objektif utama. Yang pertama, untuk merungkai sejauh mana
pesimisme zaman tersebut berhujung pada nihilisme yang
terpancar sebagai filsafat hidup yang mendasari karya-karya
beliau. Kedua, untuk melihat sejauh mana krisis makna diri
yang diketengahkan beliau dalam karya dikongsi oleh penulis-
penulis sezaman.
I. Amal Hamzah – penyair nihilis?
Secara am, studi mendalam terhadap sosok dan karya Amal Hamzah
agak terbatas. Namun, rata-rata para kritikus yang ada
menyebut tentang beliau dalam lintasan sejarah sastra
Indonesia cenderung mengandalkan beliau sebagai seorang
penyair nihilis. Paling tidak, sebagai penulis yang menjadi
kasar dan materialistis akibat kepahitan zaman perang. Walhal1 Dilahirkan di Langkat pada tahun 1927 dan merupakan adik penyair Amir Hamzah. Pada awalnya Amal amat terkesan dengan gaya romantis-idealis abang beliau serta penulis India yang dikagumi beliau, Rabrindanath Tagore. Tapi pengalaman zaman Jepang telah menjadikan gaya beliau kasardan sinis. Budaya pemikiran beliau bisa dilihat sebagai lebih modenis. Amal merupakan kontemporari bakal pelopor Angkatan 45 seperti Chairil Anwar dan Idrus. Tetapi berbanding mereka, ingatan terhadap Amal luput dalam lintasan sejarah sastra Indonesia, meskipun beberapa karya beliaupernah digunakan dalam buku teks bahasa Sekolah Dasar (SD).
pada pergaulan awal beliau dengan dunia sastera, beliau
sepertinya sama selesa seperti kakaknya dengan karya-karya
romantis-idealis hasil tulisan pujangga India, Rabrindanath
Tagore. Seperti didapati dalam pemerhatian kenalan beliau,
H.B. Jassin:
“Meskipun [Amal] banyak menterjemahkan
Rabrindanath Tagore, sajak-sajaknya sendiri
yang ditulisnya semasa Jepang penuh dengan
rasa benci, dendam dan berontak terhadap
masyarakat dan dunia sekeliling. Dan dalam
putus asanya ia menjadi materialis yang
sekasar-kasarnya.”2
Pandangan Jassin ini dipersetujui Jakob Sumardjo, yang
menambah bahawa antara kesan zaman Jepang yang mengecewakan
itu terhadap Amal Hamzah telah menyebabkan karya beliau
menjurus kepada naturalisme yang suka memperlihatkan realitas
kotor, busuk dan menjijikkan dalam masyarakat.3
2 HB Jassin, Keusasteraan Indonesia di Masa Jepang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), ms. 223 Jakob Sumardjo, Lintasan Sastra Indonesia Modern 1, (Bandung: PT Citra AdityaBakti, 1992), ms. 100
Memandangkan komentar-komentar tentang Amal Hamzah ini hanya
sorotan ringkas terhadap beliau, maka dalam bahagian pertama
kertas ini, maka dalam bahagian pertama kertas ini, saya ingin
bermula dengan sebuah tinjauan terhadap tendensi nihilis Amal
Hamzah dalam karya-karya beliau.
Ada baiknya diperturunkan di sini apa yang bisa dimengerti
sebagai nihilisme. Menurut pemikir ulung Jerman, Friedrich
Nietzsche, nihilisme adalah “anything which is detrimental to
life, anything which is a negation or a denial of life, or a
denial of a will to live.”4 Seringkali nihilisme berhujung pada
pandangan bahwa kehidupan ini tiada baik atau arti, dan bisa
ditandai dengan sentimen:
(a) Hidup ini tidak lain tidak adalah
appropriasi, kecederaan, penaklukan yang tidak
berdaya, penindasan, ketegaran dan
eksploitasi.
(b) Keruntuhan dasar-dasar nilai dan arti dalam
paradigma hidup lama karena didapati palsu dan
seterusnya harus dileburkan.
4 dikutip dalam Parejko, James E., Nietzsche’s Nihilism, Ph.D. dissertation, (Southern Illinois University, 1969)
(c) Kebencian dan kejengkelan terhadap
fisionomi tubuh, hingga menimbulkan dilema
apakah lebih baik untuk mati atau terus hidup
didiktat kebutuhan nafsu yang tidak bisa
ditentang.5
(i) Hidup dilihat sebagai pertentangan dan eksploitasi
Dalam menanggapi hakiki fitrah kehidupan, Amal Hamzah tanpa
berselindung berpandangan bahwa hidup ini sebetulnya adalah
pertentangan yang tiada reda, yang tidak lain tidak bukan
hanyalah pengganyangan yang lemah oleh mereka yang berkuasa.
Dalam hal ini juga terserlah apa yang diamati para kritikus
sebagai tendensi materialistis Amal, yakni dengan menyamakan
kekuasaan dengan pemilikan materi. Dalam pemerhatian beliau
terhadap keadaan masyarakat pada zaman tersebut, di mana
kekurangan beras dan kelaparan menjadi suatu kebiasaan, Amal
juga menyaksikan terjadinya pengnisbian moral dalam
masyarakat, hingga manusia sanggup berbuat dan dibuat apa
sahaja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perang Jepang dengan
segala keperitannya telah menjadikan pencatutan, pemerasan dan
penjualan maruah diri, keluarga dan atau bangsa sebagai suatu5 Ibid
budaya demi penakatan hidup. Kejengkelan Amal terhadap
pengdehumanisasian masyarakat lantas terpancul dalam cemuhan-
cemuhan berikut:
melaut bentjiku
melaut bentjiku terhadap manusia
melaut pula bentjiku terhadap ku
sendiri
karena dalam kelakuan mereka
terlihat olehku perangaiku asli
mendjilat!
menipu!
membohong!
memeras!
Kelakuan dibuat-buat supaja
perut kosong gendut seperti
tong!6
Kenyataan “dunia jang penuh tipu-tjedera” dilihat beliau
sebagai ditunjangi sebuah “vicieuse cirkel” eksploitasi dan
penindasan, yang menimbulkan “perdjuangan/antara si lemah/dan
6 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama: Kumpulan 1942-1948, (Jakarta: Balai Pustaka, 1949), ms. 32
si kuat/antara si miskin/dan si kaja”. Amal Hamzah melihat
kini kalau harkat manusia itu tidak lagi terletak pada
kemanusiaannya, melainkan pada kuasa materi, hinggakan:
tiada mengatasi
Kasih tiada
kasih bergantung pada kantung!
Semua segala dalam dunia
semua ada mempunjai harga.
Siapa kaya
teruntuk padanya segala-gala.
Dia dapat segala manusia!7
Bagi Amal, perang Jepang sepertinya menyentak beliau akan
hakikat kehidupan sebagai tiada lain kecuali “dunia neraka”.
Kehidupan ini ternyata bukanlah “dunia swarga tempat bermain,
tempat beria…segala pinta dapat selalu”8, melainkan pertempuran
terus-terusan antara manusia yang mencapai kekuasaan dengan
membenarkan penginjakan moral-etika dan kemandulan nurani
berleluasa, dan mereka yang benarkan diri mereka diinjak. Atas
7 Ibid, ms. 338 Ibid, ms. 9
kesadaran ini, Amal tidak mampu lagi berpegang terus pada
pandangan dunia romantis-idealis seperti dahulu. Hakikat
sosial perang telah menyebabkan persatuan antara cita-cita dan
kenyataan hidup beliau pecah, hingga Amal mendapati diri
beliau bergelut dengan persoalan realitas diri dalam kehidupan
yang tertiba gelap dan distopik.
(i) Peleburan sistem nilai dan paradigma hidup lama
(ii) Kebencian pada fisionomi tubuh yang menentukan makna
eksistensi diri
Pecahnya persatuan antara cita-cita dan kenyataan juga
menimbulkan keraguan dalam diri Amal Hamzah terhadap
kebertahanan tatanilai dan paradigma hidup lama. Dehumanisasi
yang disaksikan beliau berleluasa dalam masyarakat memaksa
beliau mempersoalkan hakikat diri manusia. Adakah ia, seperti
paradigma lama ajukan, benar-benar bertunjang pada sifat
manusiawi dan ketamadunan (civilization), atau sebenarnya
fitrah manusia itu lebih dekat pada kehewanan yang didiktat
hukum dan desakan fisionomi tubuh? Akhirnya Amal merumuskan
bahawa yang disebutkan nilai-nilai manusiawi serta ketamadunan
hanya omong kosong yang bertindak sebagai bendungan perilaku
sosial, karena pada dasarnya, manusia akan tetap tewas kepada
nafsu fisionomi tubuh mereka. Maka tercetus pernyataan-
pernyataan sedemikian dalam puisi beliau:
nafsu itu tuhan
Oh!
segala adat-istiadat dan didikan
sepuhan belaka,
tipu!
tiada kuasa menahan nafsu………..9
lereng tjuram
Kulepaskan kuda djalang
selama ini terkekang
rantai besi:
budipekerti.10
Malah, seperti yang dikatakan H.B. Jassin, dalam menanggapi
lingkungan beliau, “Pada Amal tidak ada kompromi. Dengan
manusia sekelilingnya tidak, dengan Tuhan pun tidak.”11 Bukan9 Ibid, ms. 3410 Ibid, ms. 4011 Jassin, Sastra Zaman Jepang, ms. 22
sahaja Amal tampaknya melecuti tatanilai ketamadunan ciptaan
manusia, beliau juga sepertinya melecuti dan mempersalahkan
Tuhan di atas absurditas kehidupan ini. Absurditas dalam
konteks ini adalah ketidaksepadanan antara cita-cita manusia
untuk menjadi golongan yang manusiawi dan bisa pegang utuh
pada nilai moral-etikanya, dengan hakikat dunia dan diri
manusia yang menghalangi mereka untuk menggapainya, yakni
fitrah kehewanan yang menjadikan suatu kebiasaan ekpsloitasi
sesama sendiri:
nafsu itu tuhan
Aduh engkau jang berkuasa
jang disebut orang beriman
tuhan.
Kehendakmukan ini
manusia itu
tak kuasa menahan nafsu?
Kami tiada lebih dari binatang.12
Meskipun begitu, dalam keraguan Amal, terkesan pada karya
beliau betapa beliau enggan menerima desakan fisionomi tubuh
sebagai panglima makna eksistensi diri. Membenarkan desakan
fisionomi bertakhta sama sahaja seperti mengaku bahwa manusia
tiada agensi dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, segalanya
ditentukan oleh apa yang didambakan dan dibutuhkan organ-organ
tubuh. Manusia berusaha mengekang desakan-desakan ini menerusi
nilai-nilai moral etika dan ketamadunan dalam paradigma hidup
yang memayungi mereka. Tapi seperti yang dirumuskan Amal,
semua ini sia-sia belaka dan sekadar mitos untuk
menyembunyikan hakikat diri manusia sebagai binatang yang
dikemudi nafsu.
Paradoks ini menimbulkan apa yang disebut Nietzsche sebagai
cita nihilis untuk mati.13 Jika eksistensi ternyata kontang
dari segi nilai manusiawi intrinsik, dan manusia tiada arah
tuju atau fungsi kewujudan yang lain kecuali memuaskan nafsu
tubuh, maka tiada gunanya untuk bertahan hidup. Sebaliknya
lebih mulia untuk mengambil keputusan penuh sadar untuk
12 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 3413 Disebut dalam Parejko, Nietzche’s Nihilism, ms. 48-49
memilih kematian: “One should die proudly when it is no longer
possible to live proudly.”14
Maka tidak hairan bahwa dalam keluhan Amal Hamzah tentang
ketidakberdayaan menentang nafsu yang merenggut arti
eksistensi diri dan hidup, disela-sela karya beliau Amal
berkontemplasi untuk membunuh diri:
(tidak berjudul)
Lama juga tofan mengamuk
membanting diri diatas perahu
semua ada habis remuk
tinggal aku tiada bertudju……15
PATAH
Nafsu menopan dalam diriku
Tiada tertahan oleh bitjara
Badanku malang masih terbelenggu
Kubawa berlari tiada reda.
…
14 Ibid, ms. 6015 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 42
Di malam tenang aku mengeluh
Batin tak kuat menahan nafsu………16
lingkaran gila
Konsekwensi ini pilihan
bunuh diri
bunuh diri
- kata S.T.A. -
tapi tjelaka
sampai sini
aku belum berani!17
Setakat di sini, sepertinya kegetiran hidup zaman perang yang
membongkarkan kepada Amal kebusukan manusia dan kedangkalan
prinsip-prinsip nilai kehidupan telah menabrak cara pandang
beliau terhadap kehidupan, hingga memaksa suatu penilaian
semula terhadap kepercayaan-kepercayaan beliau. Hasilnya, Amal
banyak menafikan tenet-tenet paradigma hidup lama sebagai
palsu, dan melahirkan karya-karya yang berujung pada corak
pandang nihilis ala Nietzsche. Namun, lecutan kata-kata
bertenor nihilis dalam sebahagian karya tidak semestinya
16 Ibid, ms. 2817 Ibid, ms. 53
representatif akan keseluruhan filsafat sang penulis, dan ini
yang bakal dikembangkan dalam bahagian kertas yang
selanjutnya.
II. Reinterpretasi terhadap nihilisme Amal Hamzah
Dalam bahagian kedua kertas ini, saya ingin menilai kembali
penafsiran nihilisme terhadap Amal Hamzah dalam puisi dengan
melihat pula kepada tulisan prosa beliau. Pemerhatian ini
lebih adil sebelum kita sewenang-wenangnya menjatuhkan hukuman
ke atas beliau sebagai nihilis dalam orientasi filsafat
beliau sebagai penulis secara keseluruhan.
Pada bacaan pertama, puisi Amal Hamzah bisa dikesan sebagai
menyuguhkan filsafat nihilisme pasif, yakni nihilisme yang
berhenti pada mengdekonstruktir realitas, sementara makna dan
nilai hidup sepenuhnya ditandai nada putus asa. Amal
sepertinya menganjurkan kita tewas kepada kehidupan, karena
sebagai “benih membusuk diri/[jang] tertjampak kedunia/sebagai
hasil nafsu kedua”18, kita hanya akan merosakkan dan dirosakkan
lingkungan kita. Lebih mulia (honourable) mendakap maut atas
kerelaan sendiri daripada menanti ajal tiba.
18 Ibid, ms. 32
Bagaimanapun, jika skop pemerhatian terhadap Amal Hamzah
diluaskan untuk merangkumi prosa, drama malah kritik roman
beliau, kita akan mendapat gambaran Amal Hamzah yang jauh
daripada seorang nihilis pasif yang ingin lari daripada
kesengsaraan kehidupan dengan membunuh diri. Sebaliknya beliau
mengkedepankan cita hidup yang ingin membebaskan diri daripada
belenggu pesimisme zaman perang-Revolusi. Mungkin bukan
proponen terang-terangan cita Vitalisme seperti Chairil Anwar,
tapi tetap terserlah filsafat keindividualitis yang berani
menentang kehidupan. Tiba-tiba kita berdepan dengan Amal yang
sangat teguh prinsip-prinsip kehidupan, yang prihatin akan
nasib bangsa. Kita juga berdepan dengan Amal yang bersikap
terjang kehidupan untuk menguasainya. Semangat individualisme
yang optimis sebagai kemudi filsafat Amal Hamzah inilah yang
jarang disentuh para kritikus, dan manifestasi semangat
tersebut selanjutnya bakal merangkumi sebahagian besar
bahagian kertas ini.
(i) Amal yang mencermati dengan kritis nasib bangsa
Dalam skop karya beliau yang lebih luas, terpancar
keprihatinan mendalam Amal Hamzah terhadap kegenjotan-
kegenjotan yang dihadapi bangsanya. Antara yang begitu ketara
pada zaman perang ialah nasib kaum wanita yang menjadi mangsa
sistem lacuran dalam institusi militer. Kita perhatikan apa
yang diketengahkan Amal dalam roman beliau Suwarsih:
“Penipuan-penipuan didesa-desa oleh
tengkulak-tengkulak rumah latjur itu
makin bertambah, karena persediaan di
kota-kota besar harus setiap minggu diisi
dengan jang masih baru……..
…Atas pertanjaan anak-anak gadis [orang
jang baik-baik] tentang hal itu, si orang
tua dan si guru mengelak-ngelak, dan
mengatakan bahwa hal jang serupa itu
sudah lazim pada musim peperangan.”19
Lihat juga apa yang ditulis Amal dalam kritik beliau terhadap
karya Surabaya oleh Idrus:
“Maka terdjadilah pengungsian dari kota
Surabaja, anak-anak dan perempuan-
perempuan. Terdjadilah kesedihan-
kesedihan jang tak dapat digambarkan
19 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms.150-151
ditengah djalan… Kemalangan belum habis
sampai di sini. Penindasan dan kekedjaman
barulah mulai setelah orang pengungsi itu
tiba ditempat jang aman. Tukang tjatut
dan tukang beli perempuan barulah
mendjalankan rolnja…
Tentu orang dapat mengatakan bahwa
semuanja ini tidak dapat disingkirkan
dalam zaman revolusi. Kita djuga tidak
mau memungkiri kebenaran itu, tetapi apa
jang dapat kita lakukan ialah
mengetjilkan kemungkinan-kemungkinan
kedjadian-kedjadian tersebut.”20
Selain isu perempuan menjadi mangsa institusi militer dalam
peperangan, Amal juga peka terhadap dan mempersoalkan
marginalisasi kaum buruh dan tani dalam wacana umum Indonesia.
Sekali lagi, ini tidak terjelma dalam puisi-puisi beliau,
tetapi dalam tulisan beliau yang dalam jenre lain. Paling
ketara komentar beliau dalam Buku dan Penulis:
20 Amal Hamzah, Buku dan Penulis: Kumpulan Uraian Beberapa Buku Roman Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1957, cetakan ketiga), ms. 102-103
“Dalam kesusastraan kita belum ada lagi
sebuah roman jang mentjeritakan kehidupan
pekerdja-pekerdja di perkebunan. Heran,
negeri ini penuh dengan kebun-kebun,
tetapi kita tidak tahu bagaimana
kehidupan pekerdja-pekerdja bangsa kita
di sana…
Telah mendjadi perkataan klise, kalau
kita mengemukakan kembali bahwa
kesusastraan Indonesia kerdil sekali.
Atjarannja hanja berputar pada kaum
intelek, ningrat dan tengah, belum lagi
meluas kepada rakjat jang banjak: kaum
buruh dipelabuhan, kuli haminte,
pengendjot betja, sopir taksi, pekerdja-
pekerdja kebun dll. Keadaan ini mesti
berubah. Penulis-penulis kita djanganlah
lekas senang dengan hasil-hasil jang
telah ditjapainja sekarang ini. Sudah
tjukup lama rasanja kita mengorek-ngorek
diri kita sendiri dan memandjangkannja
kepada chalayak ramai.”21
Marginalisasi ini juga disentuh Amal dalam roman Suwarsih dalam
bahagian prolog roman tersebut. Susunan ini bisa dilihat
sebagai sekadar teknis praktis mengemukakan latar cerita, atau
mungkin juga cara untuk Amal menonjolkan simpati beliau
terhadap kaum buruh dan tani:
“Baba-baba dan Said-said dan tuan-tuan
Eropah…mempunyai fen jang dapat
menghalaukan kepanasan. Pada terik jang
seperti ini mereka itu masing-masing
memasang tiga fen…Dengan demikian
tiadalah mereka mengetahui, betapa panas
jang ditanggungkan oleh bung Sentot dan
bung Dipo dipondok sangkar alam di gang-
gang itu. Untuk menjatakan kepuasan hati,
sekali-sekali mereka berseru: ‘Aijja’
atau ‘Lekker seg!’ ataupun ‘Tojjib,
tojjib…”22
21 Ibid, ms. 5122 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 105-106
Dengan memilih untuk mengejek keberlangsungan marginalisasi
ini, Amal menarik kepedulian kita terhadap kaum proleter dan
tani yang dilupakan dalam wacana masyarakat. Seolah mereka ini
tidak wujud dalam percaturan pembentukan masyarakat Indonesia,
walhal kalau diingat kembali kepada kekurangan makanan yang
mewarnai masyarakat Indonesia pada zaman perang, golongan
inilah yang paling merana.
Maka Amal yang ditemui kita di sini berbeda daripada Amal
reaksioner nihilis pasif dalam puisi yang sekadar mengeluh dan
mencemuh terjadinya kemerosotan susila pada masa perang. Di
sini kita mendengar suara nurani Amal Hamzah sebagai penulis
yang peka akan kepincangan bangsanya dan mempermasalahkannya,
bukan sekadar menyuguhkan lamentasi. Lantas memperkukuhkan
lagi kepentingan meninjau ke luar puisi-puisi Amal Hamzah
untuk mendapatkan gambaran yang lebih adil tentang orientasi
filsafat beliau.
(ii) Amal yang tinggi semangat keindividualitas untuk
berdepan dengan tantangan kehidupan
Penelitian terhadap korpus tulisan Amal Hamzah yang lebih luas
juga akan menonjolkan semangat keindividualitas cinta
kehidupan yang kental dalam diri beliau. Ini meskipun
kebanyakan puisi beliau merupakan keluhan akan hakikat
eksistensialis beliau.23
Sebaliknya, dalam pancaran tulisan-tulisan Amal di luar puisi,
Amal mengajukan filsafat baharu yang lebih humanistik, yakni
yang lebih percaya pada kemampuan manusia untuk mengubah dan
menakluk keadaan. Manusia bisa dan harus berani menerjang
kehidupan untuk menguasainya atas daya usaha mereka sendiri.
Manusia sebagai individu harus bisa memilih jalan hidupnya
sendiri untuk merebut kembali hak menilaikan dan mengartikan
kehidupan mereka. Di sini bisa kedengaran dengungan-dengungan
golongan eksistensialis yang mencanangkan agar manusia tidak
bertindak dalam apa yang disebut mereka sebagai “bad faith”,
menipu kehendak sebenar diri dan sebaliknya turut pada Das Man,
tuntutan massal dalam lingkungan.24 Dengan mengangkat kemestian
individu untuk berotonomi dalam pengartian hidupnya, Amal
menolak paradigma hidup lama yang kolektivis dan berpagarkan
kekangan-kekangan nilai dan adat lapuk yang dilihat beliau
sebagai meninabobokan, regresif dan didasari semangat
pengecut. Kepercayaan beliau ini terlahir dalam segenap
tulisan beliau, termasuk puisi:
kesombongan
Wah!
manusia sombong pernah berkata:
“badan kami ini dapat mati
tapi djiwa kami baka selama!”
Aku tiada perduli!
Satu padaku:
hari jang kuhadapi
akan kureguk sepuas-puasnja!25
“[M]anusia sombong” dalam konteks ini digunakan Amal untuk
mereferensi kepada angkatan lama berserta seluruh jurus
filsafat mereka. Dalam Buku dan Penulis, Amal mengambil
kesempatan untuk menolak filsafat mereka yang dianggap beliau
sebagai usang, dan mengajukan filsafat keindividualitas
humanis yang dipercayai beliau sejajar dan diperlukan dalam
kehidupan moden:
25 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 35
“Djuga filsafat jang menjuruh bangsa kita
sabar dan sekali lagi sabar itu dan bahwa
segala sesuatu semuanja datang dari Tuhan
jang tahu apa kehendak machluchnja, pada
rasa saja filsafat jang begini ini lebih
baik kita tjampak djauh-djauh dan kita
ambil filsafat jang segar dan djernih,
filsafat jang menjuruh orang
menggulungkan lengan badjunja dan berasa
menuju tjita2nja dan tidak berhenti
sebelum mallaekatmaut merentapkan
djiwanja. Filsafat jang mengatakan bahwa
kita diachirat nanti mendapat kebahagiaan
dan kesenangan jang berlipat ganda dari
si kafir jang sekarang naik mobil dan
naik kapal terbang, itu adalah filsafat
orang gila…Bersama atau kalau terpaksa
tidak dengan Tuhan, kita akan madju dan
mesti madju. Sudah terlalu lama kita
dininabobokan oleh filsafat jang
demikian, sekarang sudah lebih dari
waktunja filsafat jang demikian itu kita
tjabut sampai ke-akarnja…”26
Pertentangan antara angkatan lama/paradigma lama dan angkatan
baru/paradigma baru banyak diketengahkan Amal dalam tulisan
bukan puisi beliau. Misalnya, kecenderungan angkatan lama
untuk berpsikologi feudal menerusi penjulangan hierarki
disepuh Amal dalam naskhah drama Tuan Amin. Sepuhan diluahkan
menerusi sosok diri Amat, anak kantor yang tidak tahan lagi
dengan kebekuan hierarki angkatan lama yang dipersonilkan
dalam sosok watak Tuan Amin:
Amin: (Heran) Mengutjap sjukur kalau
boleh berhenti? (Si Amin tidak dapat
mengerti hal ini,
karena djiwanja telah dididik dari dulu
bahwa sep itu adalah Tuhan pegawainja,
dan apa jang dibilang oleh sep adalah
undang-undang jang tidak boleh
dilanggar.)
Ah, saja tidak mengerti pemuda-pemudi
26 Amal Hamzah, Buku dan Penulis, ms. 18-19
sekarang. Tidak ada sedikitpun rasa
tanggung-djawab.
Amat: Maaf, tuan Amin. Bolehkah saja
menjambut perkataan tuan itu dengan tidak
memakai saudara Aman sebagai pengatjara?…
Bukan pemuda sekarang tidak tahu akan
rasa tanggung-djawab. Itu salah. Tapi
kami bentji melihat laku angkatan jang
lebih tua dari kami. Seolah-olah mereka
pohon ru!27
Dalam roman Suwarsih pula, jukstaposisi ini dilahirkan menerusi
perbincangan antara ketua keluarga, Tuan Surya, dengan salah
seorang anaknya, Suleiman. Tuan Surya inginkan Suleiman
melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Hakim Tinggi, lebih-lebih
karena kursi hakim telah tersedia baginya. Tetapi Suleiman
yang sejak kecil bercita-cita untk ke Sekolah Tinggi
Kesusastraan menangkis pandangan ayahnya dengan mengatakan,
“bahwa baginja hidup itu adalah
perdjuangan, sedang hidup jang tak pernah
mengenal perdjuangan tiadalah mungkin
27 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 87
sempurna tumbuhnja dan mendapat kedalaman
jang sewadjarnja. Lebih lagi, tiap-tiap
orang itu hendaklah hidup menurutkan
bakat masing-masing. Djanganlah hendaknya
seseorang mengerdjakan pekerdjaan jang
tidak disukainja. Kalau dapat bekerdjalah
kita dalam lapangan kita masing-masing,
supaja boleh berkembang sedalam-
dalamnja.”28
Secara konsisten Amal menolak paradigma hidup lama dan
mencanangkan agar paradigma tersebut dirobohkan dan dibuang
jauh-jauh. Bagi zaman beliau, barangkali pandangan sedemikian
bisa dianggap nihilis.29 Tapi dalam meleburkan sistem nilai dan
paradigma lama, Amal mengkedepankan yang baru. Lantas di sini,
pandangan bahwa Amal Hamzah berorientasi filsafat nihilisme
pasif tidak bisa bertahan. Sebaliknya, nihilisme yang
diperlihatkan Amal Hamzah sebaiknya ditafsir sebagai nihilisme
aktif, yakni nihilisme yang mencitakan pembentukan sistem
nilai dan pengartian yang baru setelah meleburkan yang lama.
Pendek kata, nihilisme sebagai fasa transisi untuk menyedari28 Ibid, ms. 12529 Cf. Ivan Turgenev, terj. Richard Freeborn, Fathers and Sons, (Oxford University Press: 1998)
nilai eksistensialis dalam kehidupan. Tidak membenarkan diri
tewas kepada kehidupan atau terus dibendung filsafat paradigma
hidup lama. Tetapi Amal Hamzah mencanangkan filsafat yang
berpusat pada semangat keindividualitas yang memprioritaskan
elemen humanis, di mana manusia mencapai kesadaran untuk
merebut kembali posisi penentu dalam jalur kehidupan mereka.
Nilai, arti dan fungsi hidup ditentukan atas kesadaran
individu, bukan nafsu dan bukat adat; dan dalam proses ini
individu tidak dapat elak daripada berdepan dengan persoalan
eksistensinya yang lebih mendalam.
Meskipun tidak dinyatakan Amal dengan konkrit dalam tulisan-
tulisan beliau, tapi filsafat yang dianjurkan beliau
mengundang renungan kembali akan arti dan posisi sebenar
manusia dalam realitas kehidupan yang absurd. Ahli pemikir
Rusia abad kesembilan belas, Nikolai Berdyaev, mengungkapkan
hal ini dengan baik:
“We must not confuse integral man, whose
real nature is reflected in the intimacy
of his existence, with the psychological
or sociological man, who is a part if the
objective world. The natural world was
rediscovered and rehabilitated at the
time of the Renaissance, when man came to
regard himself as part of nature. He did
so in the belief that he would emancipate
himself.But the time has now come to
rediscover and rehabilitate man, no
longer envisaged as a fragment of nature
and the objective world, but as a being
in his own right, situated in the extra-
objective and extra-natural world, in the
very core of his existence.”30
Barangkali inilah jawapan yang ingin dicari Amal seperti yang
diluahkan beliau dalam dua bait terakhir puisi beliau berjudul
Malam: “apakah arti ketjil hidupku/dalam putaran dunia raja?”31
Maka dapatlah dirumuskan dalam bahagian ini bahwa Amal Hamzah
jauh sekali daripada seorang penulis yang berfilsafat
nihilisme pasif, melainkan menerusi hasil tulisan beliau yang
lebih luas dan komprehensif menampakkan diri beliau sebagai
seorang pengafirmasi kehidupan.
30 Berdyaev, Nikolai, Solitude and Society, diterjemahkan oleh George Reavey, (London: Geoffrey Bles, 1947), ms. 3131 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 29
III. Krisis makna diri Amal Hamzah dalam lingkungan
sastra zamannya
“Peperangan telah merenggut-renggutkan
dasar kehidupan normal dari dada
[generasi muda] dan djalan-pikiran
[mereka]sudah sama sadja dengan djalan-
pikiran orang dewasa, sehingga djika
orang hendak berkata pada [mereka], orang
tidak dapat lagi berkata sebagai guru
kterhadap manuridnja.”32
Kata-kata Idrus itu menggambarkan dengan tuntas kesan perang
Jepang-Revolusi ke atas para pemuda Indonesia. Seperti yang
telah diketengahkan dalam bahagian-bahagain sebelumnya,
peristiwa perang telah mengkucar-kacirkan persatuan cita dan
kenyataan dalam diri Amal Hamzah, hingga menjerumuskan beliau
ke dalam pengnihilan asas-asas paradigma lama dalam krisis
eksistensi beliau yang terpancar dalam karya. Jikalau benar
krisis makna diri Amal ini memperkukuhkan pemerhatian Idrus
terhadap angkatan beliau, yakni krisis makna diri adalah
simptomatik terhadap perenggutan norma kehidupan pada zaman32 Idrus, Gorda dan Pesawat Terbang, (Jakarta: W. Verslyus N.V, 1951), ms. 47
perang, persoalan yang timbul adalah: mengapa Amal Hamzah
dipinggirkan dalam rentetan sejarah kesusastraaan Indonesia
moden? Apa yang membuat kontemporari beliau seperti Chairil
Anwar dipacu ke barisan depan Angkatan 45 manakala Amal Hamzah
ditinggalkan dalam bayangannya? Persoalan inilah yang bakal
disentuh secara ringkas dalam bahagian ketiga kertas ini.
Terlebih dahulu kita coba meletakkan Amal Hamzah pada lanskap
sastra periode 1942-1949, zaman perang Jepang-Revolusi.
Periode ini bisa dilihat sebagai peringkat inkubator untuk
kemunculan sastra Angkatan 45 (A45), karena kebanyakan
sastrawan A45 mula menulis pada tahun-tahun tersebut. Para
penulis periode ini, termasuk Amal Hamzah dan Chairil Anwar,
dibendungi pengalaman zaman yang penuh krisis dan tantangan,
dan menyaksikan juga perubahan besar dalam aspek tatanilai
sosial, politik dan budaya. Maka tidak hairanlah jika tenor
karya-karya mereka mencerminkan “ketidakpastian menghadapi
maut yang dapat setiap kali datang dalam masa revolusi itu,
justru memaksa para sastrawan untuk memahami arti pengalaman
dan hidup [bertunjangkan] vitalitas, intensitas dan ekspresi
secara spontan sangat menandai karya-karya sastra mereka.”33
33 Jakob Sumardjo, Lintasan Sastra Indonesia, ms. 95-106
Perihal-perihal ini kebanyakannya terpancar juga dalam karya
Amal Hamzah. Tapi apa yang menyebabkan Amal Hamzah tersisih
daripada kontemporari beliau seperti Chairil Anwar daripada
digolongkan sebagai pelopor A45 adalah ketaksaan dalam
semangat hidup yang terpancar dalam karya beliau, khususnya
puisi. Sebaliknya, karya puisi Chairil Anwar tidak atau kurang
memaparkan sebarang ketaksaan semangat dan filsafat hidup,
maka menjiwai (dan bisa sahaja dikatakan mendiktat) karakter
sastra A45 sebagai sastra perjuangan membangun bangsa dan
kebudayaannya yang baru.
Harus diakui bahwa kedua-dua penyair Amal Hamzah dan Chairil
Anwar menanggapi pesimisme zaman perang dalam karya puisi
mereka, lebih-lebih lagi kesan tindihan jiwa yang dirasakan
daripada kegetiran dan kemuraman keadaan. Bagi diri Amal,
pengalaman zaman perang memeperlihatkan pada beliau realitas
“dunia jang penuh tipu-tjedera” yang berpusat pada “vicieuse
cirkel” pertentangan dan eksploitasi sesama manusia.
Absurditas keadaan tersebut sehinggakan pernah mendorong
beliau berkontemplasi bahwa “konsekwensi ini pilihan/bunuh
diri.” Kehimpitan jiwa ini juga dirasai dan diluahkan Chairi
Anwar dalam pemerhatian beliau terhadap keadaan sekeliling
pada zaman perang:
Suara Malam
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakarakan di
Hutan”
Jadi ke mana
Untuk daman dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
kekebalan terhadap debu dan nafsu.34
Dalam menangani pesimisme zaman pula, kedua-dua penyair ada
mengajukan filsafat untuk membebaskan diri daripada tatanilai
paradigma hidup lama. Chairil Anwar dalam dua bait puisi
beliau yang terkenal menggambarkan diri beliau: “aku ini
bintanag jalang/dari kumpulannya terbuang”. Beliau menolak
keharusan dibendung oleh sebarang sistem nilai yang dapat
34 Pamusuk Erneste (ed.), Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942-1949, (Jakarta: PT Gramedia: 2012, cetakan kedua puluh-empat), ms. 16
menyekat penyataan keindividualitis beliau untuk berdepan dan
melawan kehidupan:
Aku
Melangkahkan aku bukan tuak
menggelegak
Cumbu-buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing-
katanya.
Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, barah bernanah
Dan kadang satu senyum kukucup-minum
dalam dahaga.35
Chairil Anwar ingin merangkul kehidupan dalam setiap getir-
manisnya. Seperti beliau, Amal juga berusaha untuk
memperlihatkan daya membebaskan diri daripada tuntutan
tatanilai lama. Tapi sayangnya, Amal kurang berjaya dalam
usaha beliau melakukan sedemikian:
Semberono
35 Ibid, ms. 33
Bila terpeleset kakiku
tubuh ini tiada berguna lagi
rangka hidup menunggu mati…….
Tapi aku orang semberana
bermain bersenda dengan neraka!
Kurangkum neraka bermulut api
kuterdjang sekali segala ajaran
sutji!36
Dalam Amal coba menganjurkan semangat keindividualitis melawan
kehidupan, usaha beliau kelihatan agak lemah. Ekspresi beliau
tampak ragu-ragu, seperti yang coba diyakinkan Amal bukan
pembaca tetapi diri beliau sendiri. Dalam aspek ini, bisa
dikatakan Chairil lebih berjaya mengekspresikan semangat juang
individualistis optimis, sejajar dengan filsafat Vitalisme
yang dipeluk beliau, berbanding dengan Amal Hamzah yang masih
tercari-cari. Kejelasan filsafat Chairil ini antara lain bisa
memperjelaskan mengapa beliau dan bukan Amal yang dipacu ke
barisan depan A45, meskipun kedua-dua penyair berbicara
tentang tanggapan dan reaksi terhadap pesimisme zaman dari
lensa yang serupa.
36 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 36
Satu lagi hujah yang bisa dikedepankan untuk memperjelaskan
penyisihan Amal Hamzah daripada barisan pelopor A45 ialah
perbedaan antara beliau dan Chairil bersangkutan semangat
patriotisme. Rata-rata Amal memperlihatkan pendirian anti-
Jepang yang kuat tetapi ini dikecapi menerusi ejekan terhadap
seniman propaganda, yang dipandang Amal sebagai seniman
pengchianat. Dalam hal ini pendiririan politik Amal mirip
kepada M. Yamin, bahwa ‘pengchianat’ tidak dibenarkan masuk
kembali ke dalam perjuangan nasionalis, dan Amal sepertinya
mengaku terhadap hal ini dengan membuka naskhah drama ‘Seniman
Pengchianat’ dengan petikan kata daripada Yamin.37 Dalam puisi
pula, Amal tidak memberi peluang kepada para ‘seniman
pengchianat’ untuk kembali kepada pangkuan bangsa:
Bunga Bangsa
Sekarang engkau kembali.
Dimana mereka
jang menjandjung
membudjuk dikau,
masuklah menjadi
peradjurit eonomi?
37 Lihat dalam Jassin, Sastra Zaman Jepang, ms. 88
…
Waktu berangkat:
njanjian musik
serta pekikan:
hidup peradjurit
ekonomi!
Waktu kembali?
Dimana pekikan,
dimana musik?
dimana si pengchianat bangsa?38
Sedangkan Chairil tidak begitu peduli untuk marah-marah pada
seniman propaganda. Sebaliknya beliau lebih cenderung
melontarkan semangat revolusioner menyatukan angkatan beliau
dengan lebih jelas, lantang dan optimis. Tidak dibeda-bedakan
siapa yang dahulunya termakan janji Jepang dan siapa yang dari
awal anti-Jepang. Kita lihat puisi-puisi berikut:
Siap Sedia (kepada angkatanku)
Suaramu nanti diam ditekan,
namamu nanti terbang hilang,
38 Amal Hamzah, Pembebasan Pertama, ms. 50
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kamu sederap mengganti
Bersatu maju, ke Kemenangan.
…
Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mewncucuk menerjang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia
Terang!39
Diponegoro
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU.40
Semangat revolusioner yang dicanangkan Chairil Anwar dalam
konteks puisi-puisi ini tidak hanya tertakluk pada semangat
revoluioner nasionalis tetapi juga dalam arti kata yang lebih
39 Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, ms. 52-5340 Ibid, ms. 9
luas, yakni untuk membangunkan sebuah Indonesia yang baru
termasuk dari segi tatanilai dan kebudayaan. Soalan ini tidak
diangkat Amal Hamzah dalam mana-mana puisi beliau. Bisa
dikatakan kalau untuk Amal Hamzah, semangat juang itu bersifat
lebih personil; manakala Chairil berjaya memajmukkan semagat
revoluisoner tersebut kepada angkatan beliau. Maka jika sastra
A45 harus menjadi sastra perjuangan dan pembangunan, tidak
hairanlah jika Amal Hamzah terlaps daripada pandangan dan
disisihkan daripada kontemporari beliau yang lebih menjiwai
semangat angkatan tersebut.
Penutup
Secara keseluruhan, karya-karya Amal Hamzah memperlihatkan
beliau sebagai penulis yang terpaksa bergelumat dengan krisis
eksistensi pada zaman perang, bermula daripada fasa nihilisme
dan berhujung pada filsafat humanistik. Bagaimanapun,
kelemahan utama Amal– sayugia memencilkan beliau daripada
tergolong pelopor A45 – ialah kecenderungan individualistis
dalam kemelut filsafat beliau.
Tidak dapat dinafikan akan elemen individu pada sesebuah
krisis eksistensialis. Tapi kadangkala krisis eksistensialis
dalam diri penulis yang terlahir dalam karyanya bisa saja
dkiritik sebagai tidak membumi dan tidak peka kepada kebutuhan
masyarakat pada sesuatu masa. Lebih-lebih lagi dalam konteks
masyarakat Indonesia antara zaman perang Jepang dan pasca-
Revolusi yang begitu rentan baik dari segi ekonomi, politik
mahupun kebudayaan, sastrawan tidak dapat mengelak daripada
menjadi inteligensia peneraju utama untuk membawa pencerahan
dan perubahan pada masyarakat. Maka secara restrospek, sastra
yang mencerminkan krisis makna diri Amal Hamzah yang
memperlihatkan beliau seperti terlalu bermain filsafat bisa
dikritik sebagai pengucapan sastra yang coba memisahkan diri
daripada masyarakat.
Namun, barangkali cara terbaik untuk kita menanggapi krisis
eksistensialis yang mendasari karya-karya Amal Hamzah secara
komprehensif adalah untuk mengingat kembali pada dan
berempatis dengan ruang zaman waktu beliau berkarya, yakni
periode getir zaman perang Jepang-Revolusi. Dengan bergulirnya
susunan sosio-politik bangsa ketika itu, barangkali ramai yang
seperti Amal Hamzah yang mendapati diri mereka terumbang-
ambing setelah peperangan meranapkan seluruh idealisme mereka.
Maka di sini ada baiknya kita perhatikan kata-kata Subagio
Sastrowardoyo untuk mengakhiri kertas ini:
“Kecenderungan sajak untuk berfilsfat itu
tetap ada… Setidak-tidaknya puisi hendak
menyatakan nasib manusia yang terjepit,
suatu human predicament yang tidak dapat
dihindari, apakah masih buruk itu
diderita oleh penyairnya sendiri secara
peribadi atau oleh manusia pada umumnya.
Dalam hal terakhir ini derita sendiri
dibayangkan sebagai derita manusia, dan
sakitnya dirasa sebagai Weltschmerz,
nyeri dunia. Yang disebut ‘aku’ di dalam
sajak harus ditanggap sebagai ‘kita’.”41
41 Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), ms. 109
Rujukan
Amal Hamzah. Buku Dan Penulis: Kumpulan Uraian Beberapa Buku Roman Indonesia. 3rd ed. Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
———. Pembebasan Pertama: Kumpulan 1942-1948. Jakarta: Balai Pustaka, 1949.
Berdyaev, Nikolai A. Terjemahan George Reavey. Solitude and Society. London:: Geoffrey Bles, 1947.
Chairil Anwar. Pamusuk Erneste (ed.), Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942-1949. 24th ed. Jakarta: PT Gramedia, 2012.
HB Jassin. Keusasteraan Indonesia Di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka,1948.
Idrus. Gorda Dan Pesawat Terbang. Jakarta: W. Verslyus N.V, 1951.
Jakob Sumardjo. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.
Parejko, James E. “Nietzsche’s Nihilism”. Ph.D, Southern Illinois University, 1969.