1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Riwayat Hidup Syeikh Hamzah al-Fansuri dilahirkan di Barus atau Fansur pada pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17, tetapi tarikh lahir secara tepat belum dapat ditentukan. Fansur merupakan sebuah kampung yang terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Semasa zaman Kerajaan Aceh Darussalam, Kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Perbedaan pendapat menyatakan bahwa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus. Menurut Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri diperkirakan meninggal menjelang tahun 1607, sedangkan L.F Brakel menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri masih sempat hidup hingga tahun 1620. Kraemer (1921) mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri hidup hingga tahun 1636. Kemudian menurut Winstedt, Fansuri wafat 1630 M. Syed M. Naquib al-Attas dan Brakel mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri hidup setidak-tidaknya sampai awal abad ke-17. Pendapat ini agak dapat diterima akal jika dicocokkan dengan beberapa fakta : Muncul kitab al-Tuhfah pada awal abad-17 di Aceh dan cepatnya ajaran ‘martabat tujuh’ tersebar luas tidak berarti bahwa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Riwayat Hidup
Syeikh Hamzah al-Fansuri dilahirkan di Barus atau Fansur pada pertengahan abad ke-16
hingga awal abad ke-17, tetapi tarikh lahir secara tepat belum dapat ditentukan. Fansur
merupakan sebuah kampung yang terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh
Selatan). Semasa zaman Kerajaan Aceh Darussalam, Kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat
pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Perbedaan pendapat menyatakan bahwa beliau
dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus.
Menurut Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri diperkirakan meninggal
menjelang tahun 1607, sedangkan L.F Brakel menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri masih
sempat hidup hingga tahun 1620.
Kraemer (1921) mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri hidup hingga tahun 1636.
Kemudian menurut Winstedt, Fansuri wafat 1630 M. Syed M. Naquib al-Attas dan Brakel
mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri hidup setidak-tidaknya sampai awal abad ke-17.
Pendapat ini agak dapat diterima akal jika dicocokkan dengan beberapa fakta :
Muncul kitab al-Tuhfah pada awal abad-17 di Aceh dan cepatnya ajaran ‘martabat tujuh’
tersebar luas tidak berarti bahwa peranan Hamzah Fansuri dan pengaruh ajaran
tasawufnya berkurang, apalagi menambahkan dia sudah wafat.
Secara prinsipil tidak ada perbedaan yang berarti dan penting antara ajaran ‘martabat
tujuh’ dengan ‘martabat lima’. Dua ajaran tasawuf ini dalam banyak aspek tetap setia pada
sumber asalnya, yakni ajaran Ibn ‘Arabi, Sadr al-Din al-Qunawi, Fakh al-Din Iraqi, Abd Karim
al-JiIli, dan Abd al-Rahman Jami.
Pada zaman tersebar luasnya ajaran ‘martabat tujuh’ di Sumatera dan Jawa, setidaknya
pada akhir abad ke-17, ada dua karya Hamzah Fansuri, yaitu al-Muntahi dan Syarah al-
Asyiqin diterjemahkan ke dalam bahsa Jawa dan Banten (Drewes dan Brakel 1986,226-
77)
2
Hamzah Fansuri sering menyebut nama kota Barus yang mungkin merupakan tempat dia
paling banyak menghabiskan sebagian besar hidupnya dan menjalankan kegiatan
kesufiannya1
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh
Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil
Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar
Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H/1607-1636 M).
1.2 Latar Belakang Lingkungan (Internal)
Ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh pernah menjadi gabenor di
Kota Sri Banoi. Beliau menggantikan Gabenor Wan Ismail yang berasal dari Patani, yang telah
melepaskan jawatan kerana usianya yang lanjut. Syeikh Ismail Aceh meninggal dunia dalam
pertempuran melawan orang Yuwun (Annam) di Phanrang.
Ibu bapak Hamzah telah meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Suasana dan keadaan
ini mendorong beliau hidup terpencil dan berdagang atau mengembara dari sebuah negeri ke
sebuah negeri. Sewaktu mengembara dan berdagang itu, pelbagai sumber menyebut bahwa
Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai-bagai ilmu dalam masa yang lama.
Hamzah Fasuri berasal dari keluarga terpandang dan cinta akan Ilmu Pengetahuan
sebagaimana budaya yang berkembang di Barus.
1.3 Latar Belakang Lingkungan (Eksternal)
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan
terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17.
Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa
pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus,
sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel.
Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar
dan musafir dari negeri-negeri jauh. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Plotomeus
1 Abdul HAdi WM. 2001. Tasawuf yang tertindas; Kajian Hermeneutika terhdap karya-karya Hamzah FAnsuri. Paramadina. Jakarta. Hal 115-120
3
abad ke-2SM, menyatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abad-abad
terakhir sebelum tibanya tarikh masehi, begitu rombongan kapal Firaun dari Mesir telah berkali-
kali berabuh ke Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat
diperlukan untuk pembuatan mummi.
Dapat dipastikan bahwa di kota yang ramai dengan masyarakat kelas menengah seperti
Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah agama. Disana
orang dapat mempelajari berbagai bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Persia, dua bahasa
penting abad ke-16 yang sangat dikuasai oleh Syekh Hamzah Fansuri. Dikota kelahirannya inilah
syekh Hamzah Fansuri mula-mula mempelajari ilmu-ilmu agama, termasuk tasawuf dan
kesusastraan, dan pada saat itu pula telah berkembang kegiatan tarekat sufi yang sangat digemari
oleh lapisan luas masyarakat muslim timur, termasuk para saudagar dan keluarga raja-raja.
Barus mengalami perubahan yang menyedihkan pada permulaan abad ke-17. Pamor kota
ini mulai merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang ingin
menjadi penguasa mutlak diseluruh pesisir Sumatra. Dibawah pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) Aceh berhasil menaklukan kerajaan Barus dan memasukkannya ke dalam
wilayah kesultanan Aceh. Iskandar Muda memperkecil peranan Barus sebagai kota perniagaan
maupun kebudayaan. Pada awal abad ke-18 kota tersebut telah berubah menjadi sebuah pekan
kecil yang sunyi dan hanya pantas dihuni oleh para nelayan kecil.
1.4 Pendidikan
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai
ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke
berbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut
bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India,
Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu
fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa
pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa
itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
4
1.5 Guru, Sahabat dan Murid
Sebagai seorang ahli tasawuf Syekh Hamzah Fansuri tidak pernah memperlihatkan
didalam karya-karyanya bahwa syekh mempunyai hubungan dengan tasawuf berkembang di
India pada abad ke-16 dan 17. Syekh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan
ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16, terutama Bayazid Bisthami, Mansur Al-
Hallaj, Fariduddin ‘Attar, Syekh Junaid Al-Baghdadi, Ahmad Ghazali, Ibn ‘Arabi, Rumi,
Maghribi, Mahmud Shabistari, ‘Iraqi dan Jami. Sementara Bayazid dan Al-Hallaj merupakan
tokoh idola Syekh Hamzah Fansuri didalam cinta (‘isyq) dan makrifat, di pihak lain Syekh sering
mengutip pernyataan dan syair-syair ibn-Arabi serta ‘Iraqi untuk menopang pemikiran
kesufiannya. Dibagian lain lagi, khususnya didalam puisi-puisinya, syekh banyak mendapat
ilham dari karya ‘Attar Mantiq Al-Thayr (Musyawarah Burung), karya ‘Iraqi Lama’at dan karya
Jami’ Lawa’ih. Selain Ibn-Arabi pemikir sufi yang banyak member warna kepada pemikiran
wujudiyah Syekh ialah Fakhruddin Iraqi.
‘Iraqi (w.1289) adalah seorang sufi dari Kamajan, Persia yang pernah lama tinggal di
Multan (masuk wilayah Pekistan sekarang). Dia adalah murid Sadruddin Qunawi (w.1274),
seorang penafsir ulung ajaran Ibn-Arabi yang hidup sezaman dan satu kota dengan Jalaluddin
Rumi (w.1273) di Konya, Turki. Walaupun pemikir wujudiyah telah berakar lama didalam
pemikiran para sufi sebelum abad ke-13 seperti Hallaj, Imam Al-Ghazali dan Ibn-Arabi, namun
pemakaian istilah wardat al-wujud sebagaimana kita kenal sekarang ini bukan berasal dari Ibn-
Arabi. Istilah tersebut mula-mula dikemukakan oleh Qunawi setelah melakukan tafsir yang
mendalam atas karya-karya Ibn-Arabi.
Murid yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang selain menguasai
ilmu agama juga menulis tentang sastra, Diantara karya sastra Samsudin adalah ulasan terhadap
karya Fansuri.
1.6 Karya – Karya
Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam
kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
a. Syair burung pingai
5
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa
banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana
tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed
Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan
seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri
mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J.
Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri
secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan
Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya:
1. The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
2. Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
3. New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
4. The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968
Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong
dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan
(kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi)2