Top Banner
Dokumentasi dan Informasi Hukum Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Tentang Pemerintah Daerah
512

Dokumentasi dan Informasi Hukum

Jan 12, 2017

Download

Documents

phungtruc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Dokumentasi dan Informasi Hukum

Dokumentasi dan Informasi HukumUndang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Menteri Tentang Pemerintah Daerah

Page 2: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 3: Dokumentasi dan Informasi Hukum

iii

DAFTAR ISI

UU Nomor 2 Tahun 2008 ..................................................................... 1

Penjelasan UU Nomor 2 Tahun 2008 .......................................................21

UU Nomor 10 Tahun 2008 ..................................................................31

Penjelasan UU Nomor 10 Tahun 2008 ................................................... 145

UU Nomor 35 Tahun 2008 ................................................................. 209

Penjelasan UU Nomor 35 Tahun 2008 ................................................... 213

UU Nomor 21 Tahun 2001 ................................................................ 215

Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2001 ................................................... 249

Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 20008 ......................... 273

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 ......................................... 279

Penjelasan PP Nomor 109 Tahun 2000 .................................................. 285

Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 ......................................... 289

Penjelasan PP Nomor 110 Tahun 2000 .................................................. 299

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 .......................................... 305

Penjelasan PP Nomor 54 Tahun 2004 .................................................... 337

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 .......................................... 345

Penjelasan PP Nomor 24 Tahun 2005 .................................................... 351

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 ........................................... 353

Penjelasan PP Nomor 41 Tahun 2007 ..................................................... 379

Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2004 .............................................. 397

Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 ................................................. 403

Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2008 ............................................... 409

Peraturan Menteri Nomor 15 Tahun 2008 ............................................... 413

Peraturan Menteri Nomor 53 Tahun 2007 ............................................... 455

Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2007 ............................................... 465

Page 4: Dokumentasi dan Informasi Hukum

iv

Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2006 ............................................... 487

Peraturan Menteri Nomor 16 Tahun 2006 ............................................... 501

Daftar Lampiran

Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2008 ..................................................... 195

Lampiran PP Nomor 41 Tahun 2007 ...................................................... 393

Lampiran Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2008 ................................... 195

Lampiran I Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2007 .................................. 431

Lampiran II Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2007 ................................. 449

Lampiran Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2007 ................................... 467

Lampiran I Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2006 .................................. 493

Lampiran II Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2006 ................................. 495

Page 5: Dokumentasi dan Informasi Hukum

1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2008

TENTANG

PARTAI POLITIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta menge­luarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum;

c. bahwa kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tang gung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum;

d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab;

e. bahwa Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang­Undang tentang Partai Politik.

Page 6: Dokumentasi dan Informasi Hukum

2

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAdan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG­UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang­Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita­cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik.

3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD.

4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehi dupan berbangsa dan bernegara.

5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik.

6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.

Page 7: Dokumentasi dan Informasi Hukum

3

7. Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.

BAB IIPEMBENTUKAN PARTAI POLITIK

Pasal 2

(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.

(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.

(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:

a. asas dan ciri Partai Politik;

b. visi dan misi Partai Politik;

c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;

d. tujuan dan fungsi Partai Politik;

e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;

f. kepengurusan Partai Politik;

g. peraturan dan keputusan Partai Politik;

h. pendidikan politik; dan

i. keuangan Partai Politik.

(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 3

(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum.

(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:

a. akta notaris pendirian Partai Politik;

b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda

Page 8: Dokumentasi dan Informasi Hukum

4

gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

c. kantor tetap;

d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabu kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabu paten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan

e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.

Pasal 4

(1) Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2).

(2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap.

(3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi.

(4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

BAB IIIPERUBAHAN ANGGARAN DASAR

DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK

Pasal 5

(1) Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut.

(2) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerta kan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART.

Pasal 6

Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris.

Page 9: Dokumentasi dan Informasi Hukum

5

Pasal 7

(1) Menteri mengesahkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap.

(2) Pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 8

Dalam hal terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tidak dapat dilakukan oleh Menteri.

BAB IVASAS DAN CIRI

Pasal 9

(1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita­cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Panca sila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana termaktub dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB VTUJUAN DAN FUNGSI

Pasal 10

(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. mewujudkan cita­cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan

Page 10: Dokumentasi dan Informasi Hukum

6

menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:

a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;

b. memperjuangkan cita­cita Partai Politik dalam kehidupan bermasya rakat, berbangsa, dan bernegara; dan

c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasya rakat, berbangsa, dan bernegara.

(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.

Pasal 11

(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:

a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di wujudkan secara konstitusional.

BAB VIHAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 12

Partai Politik berhak:

a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara;

b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;

c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

Page 11: Dokumentasi dan Informasi Hukum

7

d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

e. membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

f. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

h. mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

i. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

j. membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan

k. memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 13

Partai Politik berkewajiban:

a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang­undangan;

b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional;

d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia;

e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggota nya;

f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;

g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota;

h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sum bangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat;

Page 12: Dokumentasi dan Informasi Hukum

8

i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan penge luaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Peme rintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan

k. menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat.

BAB VIIKEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA

Pasal 14

(1) Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.

(2) Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskrimi natif bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART.

Pasal 15

(1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART.

(2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih.

(3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik.

Pasal 16

(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri secara tertulis;

c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau

d. melanggar AD dan ART.

(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana di maksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.

(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lem baga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Page 13: Dokumentasi dan Informasi Hukum

9

BAB VIIIORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN

Pasal 17

(1) Organisasi Partai Politik terdiri atas:

a. organisasi tingkat pusat;

b. organisasi tingkat provinsi; dan

c. organisasi tingkat kabupaten/kota.

(2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat ke lurahan/desa atau sebutan lain.

(3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis.

Pasal 18

(1) Organisasi Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.

(2) Organisasi Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi.

(3) Organisasi Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.

BAB IXKEPENGURUSAN

Pasal 19

(1) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.

(2) Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi.

(3) Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.

(4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat ke lurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.

Pasal 20

Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing­masing.

Page 14: Dokumentasi dan Informasi Hukum

10

Pasal 21

Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya.

Pasal 22

Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.

Pasal 23

(1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.

(2) susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Departemen paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan.

(3) susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan.

Pasal 24

Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan.

Pasal 25

Perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 terjadi apabila pergantian kepengurusan Partai Politik yang ber sangkutan ditolak oleh sekurang­kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik.

Pasal 26

(1) Anggota Partai Politik yang berhenti atau yang diberhentikan dari ke pengurusan dan/atau keanggotaan Partai Politiknya tidak dapat mem bentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama.

(2) Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya tidak diakui oleh Undang­Undang ini.

Page 15: Dokumentasi dan Informasi Hukum

11

Bab XPENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pasal 27

Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis.

Pasal 28

Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART Partai Politik.

BAB XIREKRUTMEN POLITIK

Pasal 29

(1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indo nesia untuk menjadi:

a. anggota Partai Politik;

b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan

d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demo kratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang­undangan.

(3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART.

BAB XIIPERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK

Pasal 30

Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang­undangan.

Page 16: Dokumentasi dan Informasi Hukum

12

BAB XIIIPENDIDIKAN POLITIK

Pasal 31

(1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain:

a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam ke hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam ke hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karak ter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

(2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.

BAB XIVPENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK

Pasal 32

(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.

(2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

(3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.

Pasal 33

(1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang­Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri.

(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh penga dilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

Page 17: Dokumentasi dan Informasi Hukum

13

BAB XVKEUANGAN

Pasal 34

(1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:

a. iuran anggota;

b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan

c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Angga­ran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2) sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa.

(3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rak yat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.

(4) Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

(1) sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari:

a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART;

b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan

c. perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.

(2) sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulat an dan kemandirian Partai Politik.

Page 18: Dokumentasi dan Informasi Hukum

14

Pasal 36

(1) sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 merupakan pendapatan yang dapat digunakan untuk pengeluaran dalam pe laksanaan program, mencakup pendidikan politik, dan operasional sekretariat Partai Politik.

(2) Penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik dikelola melalui rekening kas umum Partai Politik.

(3) Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik.

Pasal 37

Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir.

Pasal 38

Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat.

Pasal 39

Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART.

BAB XVILARANGAN

Pasal 40

(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:

a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;

b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;

c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan inter nasional;

d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;

e. nama atau gambar seseorang; atau

f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.

Page 19: Dokumentasi dan Informasi Hukum

15

(2) Partai Politik dilarang:

a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang­undangan; atau

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Partai Politik dilarang:

a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang­undangan;

b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;

c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusaha an/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang­undangan;

d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya;atau

e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Per wakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik.

(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

(5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme­Leninisme.

BAB XVIIPEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK

Pasal 41

Partai Politik bubar apabila:

a. membubarkan diri atas keputusan sendiri;

b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau

c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Page 20: Dokumentasi dan Informasi Hukum

16

Pasal 42

Pembubaran Partai Politik atas keputusan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilakukan berdasarkan AD dan ART.

Pasal 43

(1) Penggabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dapat dilakukan dengan cara:

a. menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru; atau

b. menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu Partai Politik.

(2) Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

(3) Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Pasal 44

(1) Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diberitahukan kepada Menteri.

(2) Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 45

Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Departemen.

BAB XVIIIPENGAWASAN

Pasal 46

Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang­Undang ini dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang­undang.

Page 21: Dokumentasi dan Informasi Hukum

17

BAB XIXSANKSI

Pasal 47

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi adminis tratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf ii dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Angga ran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum.

(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya.

Pasal 48

(1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan ke pengurusan oleh pengadilan negeri.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun.

(3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.

(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana di maksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik

Page 22: Dokumentasi dan Informasi Hukum

18

yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.

(6) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan ting katannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara.

(7) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 49

(1) setiap orang atau perusahaan dan/atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya.

(2) Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterima.

(3) sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c disita untuk negara.

Pasal 50

Pengurus Partai Politik yang menggunakan Partai Politiknya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang­Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang­Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya dapat dibubarkan.

BAB XXKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 51

(1) Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya.

Page 23: Dokumentasi dan Informasi Hukum

19

(2) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lambat pada fórum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada ke sempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang­Undang ini diundangkan.

(3) Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum Undang­Undang ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut Undang­Undang ini.

(4) Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pe meriksaan di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang­Undang ini diundangkan, penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

(5) Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum Undang­Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud diperiksa dan diputus berdasarkan Undang­Undang ini.

BAB XXIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 52

Pada saat berlakunya Undang­Undang ini, Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4251), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 53

Undang­Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang­Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 4 Januari 2008

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DR. H. sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 24: Dokumentasi dan Informasi Hukum

20

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 4 Januari 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK AsAsI MANUsIA

REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2008 NOMOR 2

Page 25: Dokumentasi dan Informasi Hukum

21

PENJELASANATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2008

TENTANG

PARTAI POLITIK

I. UMUM

Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.

Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita­cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern sehingga Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui.

Undang­Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan

Page 26: Dokumentasi dan Informasi Hukum

22

ke uangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara.

Dalam Undang­Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan ke mandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai­nilai ke bangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa.

Dalam Undang­Undang ini dinyatakan secara tegas larangan untuk menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme /Marxis me­Leninisme sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPRs Nomor XXV/MPRs/Tahun 1966. Ketetapan MPRs ini diberlakukan dengan memegang teguh prinsip berkeadilan dan menghormati hukum, demo krasi, dan hak asasi manusia.

seluruh pokok pikiran di atas dituangkan dalam Undang­Undang ini dengan sistematika sebagai berikut: (1) Ketentuan Umum; (2) Pem bentukan Partai Politik; (3) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; (4) Asas dan ciri; (5) Tujuan dan Fungsi; (6) Hak dan Ke wa jiban; (7) Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; (8) Organisasi dan Tempat Kedudukan; (9) Kepengurusan; (10) Pengambilan Keputusan; (11) Rekrutmen Politik; (12) Peraturan dan Keputusan Partai Politik; (13) Pendidikan Politik; (14) Penyelesaian Perselisihan Partai Politik; (15) Keuangan; (16) Larangan; (17) Pembubaran dan Penggabungan Partai Politik; (18) Pengawasan; (19) sanksi; (20) Ketentuan Peralihan; dan (21) Ketentuan Penutup.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.

Page 27: Dokumentasi dan Informasi Hukum

23

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain” adalah memiliki kemiripan yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan maupun kombinasi antara unsur­unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain.

Huruf c

Kantor tetap ialah kantor yang layak, milik sendiri, sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap.

Huruf d

Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/ka bupaten di provinsi lain.

Huruf e

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara administratif dan periodik oleh Departemen bekerja sama dengan instansi terkait.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Page 28: Dokumentasi dan Informasi Hukum

24

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh

Page 29: Dokumentasi dan Informasi Hukum

25

dan/atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik sesuai dengan AD dan ART masing­masing Partai Politik.

Huruf k

Yang memperoleh bantuan keuangan adalah Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota

Pasal 13

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Laporan penggunaan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan disampai kan oleh Partai Politik kepada Departemen Dalam Negeri.

Huruf j

Rekening khusus dana kampanye pemilihan umum hanya di berlakukan bagi Partai Politik peserta pemilihan umum.

Huruf k

Cukup jelas.

Page 30: Dokumentasi dan Informasi Hukum

26

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Yang dimaksud dengan “forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik” adalah musyawarah nasional, kongres, muktamar, atau sebutan lainnya yang sejenis.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Page 31: Dokumentasi dan Informasi Hukum

27

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan ke pengu rusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Poli tik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan ke wenangan; (5) pertanggung jawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Page 32: Dokumentasi dan Informasi Hukum

28

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pihak asing” dalam ketentuan ini adalah warga negara asing, pemerintahan asing, atau organisasi kemasyarakatan asing.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “identitas yang jelas” dalam ketentuan ini adalah nama dan alamat lengkap perseorangan atau perusahaan dan/atau badan usaha.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Larangan dalam ketentuan ini tidak termasuk sumbangan dari anggota fraksi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Page 33: Dokumentasi dan Informasi Hukum

29

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Penggabungan Partai Politik dalam ketentuan ini bukan meru pakan gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwa kilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun 2004 tidak hilang bagi Partai Politik yang bergabung.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Yang dimaksud dengan “sesuai dengan undang­undang” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan undang­undang organik yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan pengawasan.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Page 34: Dokumentasi dan Informasi Hukum

30

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4801

Page 35: Dokumentasi dan Informasi Hukum

31

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANG

PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diselenggarakan pemilihan umum;

b. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat me rupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna meng hasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasar kan Pancasila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa dengan adanya Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang­Undang dan Undang­Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan dina mika masyarakat, maka Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang­Undang

Page 36: Dokumentasi dan Informasi Hukum

32

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang­Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penye leng gara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indo nesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721);

3. Undang­Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG­UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang­Undang ini yang dimaksud dengan:

Page 37: Dokumentasi dan Informasi Hukum

33

1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksana an kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

7. Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabu paten/Kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.

8. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat kecamatan atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut kecamatan.

9. Panitia Pemungutan suara, selanjutnya disebut PPs, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat desa atau sebutan lain/kelurahan, yang selanjutnya disebut desa/kelurahan.

10. Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya disebut PPLN, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan Pemilu di luar negeri.

11. Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara, selanjutnya disebut KPPs, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPs untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara.

Page 38: Dokumentasi dan Informasi Hukum

34

12. Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara Luar Negeri, selanjutnya disebut KPPsLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar negeri.

13. Tempat Pemungutan suara, selanjutnya disebut TPs, adalah tempat di­laksanakannya pemungutan suara.

14. Tempat Pemungutan suara Luar Negeri, selanjutnya disebut TPsLN, adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri.

15. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

16. Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabu paten/kota.

17. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupa ten/kota untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah ke camatan.

18. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/ke lurahan.

19. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.

20. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar negeri.

21. Warga Negara Indonesia adalah orang­orang bangsa Indonesia asli dan orang­orang bangsa lain yang disahkan dengan undang­undang sebagai warga negara.

22. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.

23. Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD.

24. Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu.

25. Perseorangan Peserta Pemilu adalah perseorangan yang telah memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu.

26. Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.

Page 39: Dokumentasi dan Informasi Hukum

35

27. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.

28. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

BAB IIASAS, PELAKSANAAN, DAN

LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU

Pasal 2

Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas lang sung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 3

Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provin si, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 4(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.

(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;b. pendaftaran Peserta Pemilu;c. penetapan Peserta Pemilu;d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabu paten/

kota;f. masa kampanye;g. masa tenang;h. pemungutan dan penghitungan suara;i. penetapan hasil Pemilu; dan j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota.

Page 40: Dokumentasi dan Informasi Hukum

36

(3) Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan.

Pasal 5

(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD ka bupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.

Pasal 6

(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.

(2) Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh Bawaslu.

BAB IIIPESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PEMILU

Bagian KesatuPeserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD

Pasal 7

Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik.

Pasal 8

(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi per syaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang­Undang tentang Partai

Politik;b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di

provinsi yang bersangkutan;d. menyertakan sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keter wakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;e. memiliki anggota sekurang­kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap ke pengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan

Page 41: Dokumentasi dan Informasi Hukum

37

g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

(3) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.

Pasal 9

(1) KPU melaksanakan penelitian dan penetapan keabsahan syarat­syarat se­bagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dan penetapan keabsahan syarat­syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU.

Pasal 10

Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g dilarang sama dengan:a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah;c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;e. nama atau gambar seseorang; atauf. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,

lambang, atau tanda gambar partai politik lain.

Bagian KeduaPeserta Pemilu Anggota DPD

Pasal 11

(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.

(2) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan.

Pasal 12

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau

lebih;b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah Menengah Atas (sMA), Madrasah

Page 42: Dokumentasi dan Informasi Hukum

38

Aliyah (MA), sekolah Menengah Kejuruan (sMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita­cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

h. sehat jasmani dan rohani;i. terdaftar sebagai pemilih;j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional

Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advo kat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang­undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat­negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; danp. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang

bersangkutan.

Pasal 13

(1) Persyaratan dukungan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf p meliputi:a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang

harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan

5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih;

c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan

Page 43: Dokumentasi dan Informasi Hukum

39

10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;

d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; dan

e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.

(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.

(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung.

(4) seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.

(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.

(6) Jadwal waktu pendaftaran Peserta Pemilu anggota DPD ditetapkan oleh KPU.

Bagian KetigaPendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu

Pasal 14

(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon Peserta Pemilu kepada KPU.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan surat yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain pada kepengurusan pusat partai politik.

(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen persyaratan.

(4) Jadwal waktu pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.

Pasal 15

Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi:

a. Berita Negara Republik Indonesia yang memuat tanda terdaftar bahwa partai politik tersebut menjadi badan hukum;

Page 44: Dokumentasi dan Informasi Hukum

40

b. keputusan pengurus pusat partai politik tentang pengurus tingkat provinsi dan pengurus tingkat kabupaten/kota;

c. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang kantor dan alamat tetap pengurus tingkat pusat, pengurus tingkat provinsi, dan pengurus tingkat kabupaten/kota;

d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

e. surat keterangan tentang pendaftaran nama, lambang, dan tanda gambar partai politik dari departemen; dan

f. surat keterangan mengenai perolehan kursi partai politik di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU.

Bagian KeempatVerifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu

Pasal 16

(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan waktu verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.

Bagian KelimaPenetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu

Pasal 17

(1) Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.

(2) Penetapan partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan dalam sidang pleno KPU.

(3) Penetapan nomor urut partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU terbuka dan dihadiri oleh wakil seluruh Partai Politik Peserta Pemilu.

(4) Hasil penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diumumkan oleh KPU.

Page 45: Dokumentasi dan Informasi Hukum

41

Bagian KeenamPengawasan atas Pelaksanaan Verifikasi Partai Politik

Calon Peserta Pemilu

Pasal 18

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan penga­wasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabu paten/kota.

(2) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi sehingga merugikan dan/atau menguntungkan partai politik calon Peserta Pemilu, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

BAB IVHAK MEMILIH

Pasal 19

(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.

(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.

Pasal 20

Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.

BAB VJUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN

Bagian KesatuJumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPR

Page 46: Dokumentasi dan Informasi Hukum

42

Pasal 21

Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh).banyak

Pasal 22

(1) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi.

(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.

(3) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu 2004 berdasarkan ketentuan pada ayat (2).

(4) Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang­Undang ini.

Bagian Kedua Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi

Pasal 23

(1) Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus).

(2) Jumlah kursi DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan:a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta)

jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai

dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi;

c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh lima) kursi;

d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh lima) kursi;

e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh puluh lima) kursi;

f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85 (delapan puluh lima) kursi; dan

Page 47: Dokumentasi dan Informasi Hukum

43

g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.

Pasal 24

(1) Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.

(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya.

Pasal 25

(1) Jumlah kursi anggota DPRD provinsi yang dibentuk setelah Pemilu ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang­Undang ini.

(2) Alokasi kursi pada daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi.

(3) Dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di provinsi induk sesuai dengan jumlah Penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Penataan daerah pemilihan di provinsi induk dan pembentukan daerah pemilihan di provinsi baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan dalam peraturan KPU.

Bagian KetigaJumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 26

(1) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 (dua puluh) dan paling banyak 50 (lima puluh).

(2) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah Penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;

b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25 (dua puluh lima) kursi;

Page 48: Dokumentasi dan Informasi Hukum

44

c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 30 (tiga puluh) kursi;

d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa mem peroleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;

e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa mem peroleh alokasi 40 (empat puluh) kursi;

f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi; dan

g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.

Pasal 27

(1) Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan.

(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya.

(3) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa berlaku ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf g.

(4) Penambahan jumlah kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf g diberikan kepada daerah pemilihan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak secara berurutan.

Pasal 28

(1) Dalam hal terjadi bencana yang mengakibatkan hilangnya daerah pemilihan, daerah pemilihan tersebut dihapuskan.

(2) Alokasi kursi akibat hilangnya daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan kembali sesuai dengan jumlah Penduduk.

Pasal 29

(1) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang­Undang ini.

(2) Alokasi kursi pada daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana

Page 49: Dokumentasi dan Informasi Hukum

45

dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi.

(3) Dalam hal terjadi pembentukan kabupaten/kota baru setelah Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk sesuai dengan jumlah penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan pembentukan daerah pemilihan di kabupaten/kota baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dalam peraturan KPU.

Bagian KeempatJumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPD

Pasal 30

Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat).

Pasal 31

Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.

BAB VIPENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH

Bagian KesatuData Kependudukan

Pasal 32

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan.

(2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

Bagian KeduaDaftar Pemilih

Pasal 33

(1) KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih.

Page 50: Dokumentasi dan Informasi Hukum

46

(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang­kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.

(3) Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPs.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur dalam peraturan KPU.

Bagian KetigaPemutakhiran Data Pemilih

Pasal 34

(1) KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.

(2) Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data kependudukan.

(3) Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPs dan PPK.

(4) Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara.

Pasal 35

(1) Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), PPs dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan warga masyarakat.

(2) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh PPs.

Bagian KeempatPenyusunan Daftar Pemilih Sementara

Pasal 36

(1) Daftar pemilih sementara disusun oleh PPs berbasis rukun tetangga atau sebutan lain.

(2) Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.

Page 51: Dokumentasi dan Informasi Hukum

47

(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPs untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), salinannya harus diberikan oleh PPs kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan.

(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagai mana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPs paling lama 14 (empat belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara di umumkan.

(6) PPs wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.

Pasal 37

(1) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPs selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.

(2) PPs wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman.

(3) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh PPs kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK untuk menyusun daftar pemilih tetap.

(4) PPs harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan.

Bagian KelimaPenyusunan Daftar Pemilih Tetap

Pasal 38

(1) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPs.

(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan basis TPs.

(3) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPs.

Page 52: Dokumentasi dan Informasi Hukum

48

(4) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPs.

(5) KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kabupaten/kota.

Pasal 39

(1) PPs mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU kabupaten/kota sampai hari/tanggal pemungutan suara.

(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPs dalam melaksanakan pemungutan suara.

Pasal 40

(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPs, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPs tempat yang bersangkutan terdaftar.

(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPs asal.

Bagian KeenamPenyusunan Daftar Pemilih bagi Pemilih di Luar Negeri

Pasal 41

(1) setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia menyediakan data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di negara akreditasinya.

(2) PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk menyusun daftar pemilih di luar negeri.

Pasal 42

(1) PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu.

Page 53: Dokumentasi dan Informasi Hukum

49

(2) Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas pemutakhiran data pemilih.

(3) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pegawai Perwakilan Republik Indonesia dan warga masyarakat Indonesia di negara yang bersangkutan.

(4) Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan diberhentikan oleh PPLN.

Pasal 43

(1) PPLN menyusun daftar pemilih sementara.

(2) Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.

(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPLN untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima PPLN paling lama 7 (tujuh) hari sejak diumumkan.

(5) PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(6) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan PPLN untuk bahan penyusunan daftar pemilih tetap.

Pasal 44

(1) PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) menjadi daftar pemilih tetap.

(2) PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPU dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia.

Pasal 45

(1) PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPsLN berdasarkan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).

(2) Daftar pemilih tetap dengan basis TPsLN digunakan KPPsLN dalam melaksanakan pemungutan suara.

Pasal 46

(1) Daftar pemilih tetap dengan basis TPsLN sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan sampai hari/tanggal pemungutan suara.

Page 54: Dokumentasi dan Informasi Hukum

50

(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPsLN, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPsLN tempat yang bersangkutan terdaftar.

Bagian KetujuhRekapitulasi Daftar Pemilih Tetap

Pasal 47

(1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di kabupaten/kota.

(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di provinsi.

(3) KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional.

Bagian Kedelapan Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan

dalam Pemutakhiran Data dan Penetapan Daftar Pemilih

Pasal 48

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPs.

(2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih se mentara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN.

Pasal 49

(1) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 me nemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPs, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki

Page 55: Dokumentasi dan Informasi Hukum

51

hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPs, dan PPLN.

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPs, dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabu paten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB VIIPENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI

DAN DPRD KABUPATEN/KOTA

Bagian KesatuPersyaratan Bakal Calon Anggota

DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 50

(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan:a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun

atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah Menengah Atas (sMA), Madrasah

Aliyah (MA), sekolah Menengah Kejuruan (sMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita­cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan peng adilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena me lakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

h. sehat jasmani dan rohani;i. terdaftar sebagai pemilih;j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional

Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada

Page 56: Dokumentasi dan Informasi Hukum

52

badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advo kat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang ber hubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang­undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat­negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; danp. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia;b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau

surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;

c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;

d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang

ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,

advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, we wenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/

Page 57: Dokumentasi dan Informasi Hukum

53

atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;j. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai

politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

k. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan pada 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.

Bagian KeduaTata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota

DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 51

(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(2) seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.

Pasal 52

(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik masing­masing.

(2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat.

(3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi.

(4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota.

Pasal 53

Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 54

Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.

Page 58: Dokumentasi dan Informasi Hukum

54

Pasal 55

(1) Nama­nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.

(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang­kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri terbaru.

Pasal 56

Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diajukan kepada:a. KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua

umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain. b. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi yang ditandatangani

oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain. c. KPU kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD ka bupaten/kota

yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain.

Bagian KetigaVerifikasi Kelengkapan Administrasi

Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 57

(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran do kumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

(2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

(3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Page 59: Dokumentasi dan Informasi Hukum

55

Pasal 58

(1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU pro vinsi, dan KPU kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Partai Politik Peserta Pemilu.

(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU.

Pasal 59

(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta kepada partai politik untuk mengajukan bakal calon baru anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai pengganti bakal calon yang terbukti memalsukan atau menggunakan dokumen palsu.

(2) Partai politik mengajukan nama bakal calon baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permintaan dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.

(3) Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan tidak dapat menga jukan bakal calon pengganti apabila putusan pengadilan telah mem punyai kekuatan hukum tetap membuktikan terjadinya pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu tersebut dikeluarkan setelah ditetapkannya daftar calon tetap oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(4) KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Bagian KeempatPengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi

Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 60

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR,

Page 60: Dokumentasi dan Informasi Hukum

56

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) me nemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Bagian KelimaPenyusunan Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPRD Provinsi,

dan DPR Kabupaten/Kota

Pasal 61

(1) Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 disusun dalam daftar calon sementara oleh:a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR.b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi.c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD

kabupaten/kota.

(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di tandatangani oleh ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.

(4) Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sekurang­kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya selama 5 (lima) hari.

(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon sementara diumumkan.

Page 61: Dokumentasi dan Informasi Hukum

57

(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masing­masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.

Pasal 62

(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta klarifikasi kepada partai politik atas masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(2) Pimpinan partai politik harus memberikan kesempatan kepada calon yang bersangkutan untuk mengklarifikasi masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(3) Pimpinan partai politik menyampaikan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara tertulis kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(4) Dalam hal hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyatakan bahwa calon sementara tersebut tidak memenuhi syarat, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberitahukan dan memberikan kesempatan kepada partai politik untuk mengajukan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan.

(5) Pengajuan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat pemberitahuan dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.

(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi pengganti calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(7) Dalam hal partai politik tidak mengajukan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), urutan nama dalam daftar calon sementara diubah oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sesuai dengan urutan berikutnya.

Pasal 63

Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.

Page 62: Dokumentasi dan Informasi Hukum

58

Pasal 64

Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dibacakan setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, putusan tersebut tidak memengaruhi daftar calon tetap.

Bagian Keenam Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap

Anggota DPR dan DPRD

Pasal 65

(1) KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR.

(2) KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi.

(3) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD kabupaten/kota.

(4) Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.

Pasal 66

(1) Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabu paten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing­masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU.

Bagian KetujuhTata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD

Pasal 67

(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.

Page 63: Dokumentasi dan Informasi Hukum

59

(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:

a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;

b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;

c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;

d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;

e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;

f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan

i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.

Bagian KedelapanVerifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPD

Pasal 68

(1) KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan bakal calon anggota DPD.

(2) KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Page 64: Dokumentasi dan Informasi Hukum

60

Pasal 69

(1) Persyaratan dukungan minimal pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda Penduduk setiap pendukung.

(2) seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) orang bakal calon anggota DPD.

(3) Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu atau data yang sengaja digandakan oleh bakal calon anggota DPD terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon anggota DPD dikenai pengurangan jumlah dukungan minimal pemilih sebanyak 50 (lima puluh) kali temuan bukti data palsu atau data yang digandakan.

Bagian KesembilanPengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi

Calon Anggota DPD

Pasal 70

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan persyaratan administrasi bakal calon anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPD, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Bagian KesepuluhPenetapan Daftar Calon Sementara Anggota DPD

Pasal 71

(1) KPU menetapkan daftar calon sementara anggota DPD.

(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanda tangani oleh ketua dan anggota KPU.

Page 65: Dokumentasi dan Informasi Hukum

61

(3) Daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU sekurang­kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada KPU paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon sementara diumumkan.

Pasal 72

(1) Masukan dan tanggapan dari masyarakat untuk perbaikan daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) disampaikan secara tertulis kepada KPU dengan disertai bukti identitas diri.

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meminta klarifikasi kepada bakal calon anggota DPD atas masukan dan tanggapan dari masyarakat.

Pasal 73

Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPD, maka KPU dan KPU provinsi berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.

Pasal 74

Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dibacakan setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPD, putusan tersebut tidak memengaruhi daftar calon tetap.

Bagian KesebelasPenetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD

Pasal 75

(1) Daftar calon tetap anggota DPD ditetapkan oleh KPU.

(2) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan abjad dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.

Page 66: Dokumentasi dan Informasi Hukum

62

(3) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh KPU.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPD ditetapkan oleh KPU.

BAB VIIIKAMPANYE

Bagian KesatuKampanye Pemilu

Pasal 76

Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat.

Pasal 77

(1) Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye.

(2) Kampanye Pemilu diikuti oleh peserta kampanye.

(3) Kampanye Pemilu didukung oleh petugas kampanye.

Pasal 78

(1) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru kampanye, orang­seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(2) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang­seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD.

(3) Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat.

(4) Petugas kampanye terdiri atas seluruh petugas yang memfasilitasi pelaksanaan kampanye.

Pasal 79

(1) Pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 harus didaftarkan pada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Pendaftaran pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu ka bupaten/kota.

Page 67: Dokumentasi dan Informasi Hukum

63

Bagian KeduaMateri Kampanye

Pasal 80

(1) Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD ka bupaten/kota meliputi visi, misi, dan program partai politik.

(2) Materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD meliputi visi, misi, dan program yang bersangkutan.

Bagian KetigaMetode Kampanye

Pasal 81

Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat dilakukan melalui:

a. pertemuan terbatas;

b. pertemuan tatap muka;

c. media massa cetak dan media massa elektronik;

d. penyebaran bahan kampanye kepada umum;

e. pemasangan alat peraga di tempat umum;

f. rapat umum; dan

g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang­undangan.

Pasal 82

(1) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a sampai dengan huruf e dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah calon Peserta Pemilu ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang.

(2) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf f dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang.

(3) Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

Pasal 83

(1) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye Pemilu secara nasional diatur dengan peraturan KPU.

Page 68: Dokumentasi dan Informasi Hukum

64

(2) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR dan DPD ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.

(3) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan keputusan KPU provinsi setelah KPU provinsi berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.

(4) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan KPU kabu paten/kota setelah KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.

Bagian KeempatLarangan dalam Kampanye

Pasal 84

(1) Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang:a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang­Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta Pemilu yang lain;

d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;e. mengganggu ketertiban umum;f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan

kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;

g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat

pendidikan; i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain

dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan

j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikut sertakan:

a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan

Page 69: Dokumentasi dan Informasi Hukum

65

hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;c. Gubernur, Deputi Gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;d. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;e. pegawai negeri sipil;f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik

Indonesia;g. kepala desa;h. perangkat desa;i. anggota badan permusyaratan desa; danj. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.

(3) setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye.

(4) sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut partai atau atribut pegawai negeri sipil.

(5) sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara.

(6) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, ayat (2), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.

Pasal 85

(1) Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:

a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­undangan; dan

b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.

(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penye lenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.

Page 70: Dokumentasi dan Informasi Hukum

66

Bagian KelimaSanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye

Pasal 86

Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup atas adanya pe langgaran larangan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) oleh pelaksana dan peserta kampanye, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

Pasal 87

Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar:a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu

sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu;

atau e. memilih calon anggota DPD tertentu, dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam

Undang­Undang ini.

Pasal 88

Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 yang dikenai kepada pelaksana kampanye yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD digunakan sebagai dasar KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk mengambil tindakan berupa:

a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau

b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih.

Bagian KeenamPemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye

Paragraf 1Umum

Page 71: Dokumentasi dan Informasi Hukum

67

Pasal 89

(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan kampanye Pemilu oleh Peserta Pemilu kepada masyarakat.

(3) Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.

(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam memberitakan, menyiarkan, dan mengiklankan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.

(5) Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu.

Pasal 90

(1) Lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia (TVRI), lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia (RRI), lembaga penyiaran publik lokal, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang Peserta Pemilu untuk menyampaikan materi kampanye.

(2) Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye bagi Peserta Pemilu.

(3) Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia menetapkan standar biaya dan persyaratan iklan kampanye yang sama kepada Peserta Pemilu.

Paragraf 2Pemberitaan Kampanye

Pasal 91

(1) Pemberitaan kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan cara siaran langsung atau siaran tunda dan oleh media massa cetak.

Page 72: Dokumentasi dan Informasi Hukum

68

(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh Peserta Pemilu.

Paragraf 3Penyiaran Kampanye

Pasal 92

(1) Penyiaran kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran monolog, dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa atau suara pendengar, debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat.

(2) Pemilihan narasumber, tema dan moderator, serta tata cara penye lenggaraan siaran monolog, dialog, dan debat diatur oleh lembaga penyiaran.

(3) Narasumber penyiaran monolog, dialog, dan debat harus mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.

(4) siaran monolog, dialog, dan debat yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan singkat, surat elektronik (e-mail), dan/atau faksimile.

Paragraf 4Iklan Kampanye

Pasal 93

(1) Iklan kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh Peserta Pemilu pada media massa cetak dan/atau lembaga penyiaran dalam bentuk iklan komersial dan/atau iklan layanan masyarakat.

(2) Iklan kampanye Pemilu dilarang berisikan hal yang dapat mengganggu kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.

(3) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan ke sempatan yang sama kepada Peserta Pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.

(4) Pengaturan dan penjadwalan pemuatan dan penayangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran.

Page 73: Dokumentasi dan Informasi Hukum

69

Pasal 94

(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking segment dan/atau blocking time untuk kampanye Pemilu.

(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye Pemilu.

(3) Media massa cetak, lembaga penyiaran, dan Peserta Pemilu dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu Peserta Pemilu kepada Peserta Pemilu yang lain.

Pasal 95

(1) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye.

(2) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa kampanye.

(3) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah untuk semua jenis iklan.

(4) Pengaturan dan penjadwalan pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk setiap Peserta Pemilu diatur sepenuhnya oleh lembaga penyiaran dengan kewajiban memberikan kesempatan yang sama kepada setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3).

Pasal 96

(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran melakukan iklan kampanye Pemilu dalam bentuk iklan kampanye Pemilu komersial atau iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat dengan mematuhi kode etik periklanan dan ketentuan peraturan perundang­undangan.

(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menentukan standar tarif iklan kampanye Pemilu komersial yang berlaku sama untuk setiap Peserta Pemilu.

(3) Tarif iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat harus lebih rendah daripada tarif iklan kampanye Pemilu komersial.

(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menyiarkan iklan kampanye

Page 74: Dokumentasi dan Informasi Hukum

70

Pemilu layanan masyarakat non­partisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan durasi 60 (enam puluh) detik.

(5) Iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran atau dibuat oleh pihak lain.

(6) Penetapan dan penyiaran iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat yang diproduksi oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran.

(7) Jumlah waktu tayang iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk jumlah kumulatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Pasal 97

Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi Peserta Pemilu.

Pasal 98

(1) Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak.

(2) Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada KPU dan KPU provinsi.

(4) Dalam hal Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers tidak menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye.

Pasal 99

(1) sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dapat berupa:

a. teguran tertulis;

b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan

kampanye Pemilu;

Page 75: Dokumentasi dan Informasi Hukum

71

d. denda; e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu

untuk waktu tertentu; atauf. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin

penerbitan media massa cetak.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers bersama KPU.

Pasal 100

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU.

Bagian Ketujuh Pemasangan Alat Peraga Kampanye

Pasal 101

(1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPs, dan PPLN berkoor­dinasi dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah ka bupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan kantor perwakilan Republik Indonesia untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye Pemilu.

(2) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu oleh pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memper timbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(3) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus dengan izin pemilik tempat tersebut.

(4) Alat peraga kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan oleh Peserta Pemilu paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasangan dan pembersihan alat peraga kampanye diatur dalam peraturan KPU.

Bagian KedelapanPeranan Pemerintah, Tentara Nasional Indonesia,

Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Kampanye

Page 76: Dokumentasi dan Informasi Hukum

72

Pasal 102

(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan memberikan kesempatan yang sama kepada pelaksana kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk penyampaian materi kampanye.

(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, keca matan, desa/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang meng untungkan atau merugikan salah satu pelaksana kampanye.

Bagian Kesembilan Pengawasan atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu

Pasal 103

Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu keca matan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye Pemilu.

Pasal 104

(1) Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan.

(2) Pengawas Pemilu Lapangan menerima laporan dugaan adanya pelanggaran pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan yang dilakukan oleh PPs, pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.

Pasal 105

(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPs dengan sengaja melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan, Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kecamatan.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau petugas kampanye dengan sengaja melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan, Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada PPs.

Page 77: Dokumentasi dan Informasi Hukum

73

Pasal 106

(1) PPs wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dengan melakukan:a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang ber sangkutan

yang terjadwal pada hari itu;b. pelaporan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang

cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan kampanye;

c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye berikutnya; dan

d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye berikutnya.

(2) PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

Pasal 107

Dalam hal ditemukan dugaan bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye dengan sengaja atau lalai yang meng akibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/ kelurahan dikenai tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

Pasal 108

(1) Panwaslu kecamatan wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) dengan melaporkan kepada PPK.

(2) PPK wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan meneruskan kepada KPU kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPs.

Pasal 109

(1) Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kam panye di tingkat kecamatan.

(2) Panwaslu kecamatan menerima laporan dugaan pelanggaran pe laksanaan kampanye di tingkat kecamatan yang dilakukan oleh PPK, pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.

Page 78: Dokumentasi dan Informasi Hukum

74

Pasal 110

(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPK melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang meng akibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kabupaten/kota.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye atau petugas kampanye melakukan ke sengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang meng akibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kabupaten/kota dan menyampaikan temuan kepada PPK.

Pasal 111

(1) PPK wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dengan melakukan:a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan

yang terjadwal pada hari itu;b. pelaporan kepada KPU kabupaten/kota dalam hal ditemukan bukti

permulaan yang cukup adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan kampanye;

c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye berikutnya; dan/atau

d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye berikutnya.

(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

Pasal 112

(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dengan melaporkan kepada KPU kabupaten/kota.

(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPK.

Pasal 113

(1) Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan pelaksanaan kam panye di tingkat kabupaten/kota, terhadap:

Page 79: Dokumentasi dan Informasi Hukum

75

a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabu paten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung; atau

b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kam panye, peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu kabupaten/kota:a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksa naan

kampanye Pemilu; b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang

tidak mengandung unsur pidana; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota tentang

pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana Pemilu

kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; e. menyampaikan laporan dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan

terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabu paten/kota kepada Bawaslu; dan/atau

f. mengawasi pelaksanaan rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang ber langsung.

Pasal 114

(1) Panwaslu kabupaten/kota menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu se bagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a, pada hari yang sama dengan diterimanya laporan.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat kabu paten/kota, Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari di terimanya laporan.

Page 80: Dokumentasi dan Informasi Hukum

76

(4) Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan pe langgaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota meneruskan laporan tersebut kepada Bawaslu.

Pasal 115

(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) selain yang diatur dalam Undang­Undang ini.

(2) sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang­Undang ini, ditetapkan dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 116

Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan adanya tindak pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Panwaslu kabupaten/kota melakukan:a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada

Kepolisian Negara Republik Indonesia; ataub. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan reko mendasi

Bawaslu tentang sanksi.

Pasal 117

Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116.

Pasal 118

(1) Panwaslu provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye di tingkat provinsi, terhadap:

a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang meng akibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung; atau

Page 81: Dokumentasi dan Informasi Hukum

77

b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kam panye, peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu provinsi:a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksa naan

kampanye Pemilu; b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang

tidak mengandung unsur pidana; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU provinsi tentang

pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana Pemilu

kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; e. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk menge luarkan

rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan dugaan adanya tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang meng akibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi; dan/atau

f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.

Pasal 119

(1) Panwaslu provinsi menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran adminis tratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a pada hari yang sama dengan diterimanya laporan.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat provinsi, Panwaslu provinsi menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU provinsi.

(3) KPU provinsi menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran admi nistratif oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.

(4) Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi,

Page 82: Dokumentasi dan Informasi Hukum

78

sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi, Panwaslu provinsi meneruskan laporan tersebut kepada Bawaslu.

Pasal 120

(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) selain yang diatur dalam Undang­Undang ini.

(2) sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang­Undang ini di tetapkan dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 121

Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan adanya tindak pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119, Panwaslu provinsi melakukan:

a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau

b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan reko mendasi Bawaslu tentang sanksi.

Pasal 122

Panwaslu provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120.

Pasal 123

(1) Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan kampanye secara nasional, terhadap:

a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, sekretaris Jenderal KPU, pegawai seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekre tariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan ter ganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung; atau

Page 83: Dokumentasi dan Informasi Hukum

79

b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kam panye, peserta kampanye, dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang ber langsung.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bawaslu:a. menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan

pelaksanaan kampanye Pemilu;b. menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye Pemilu

yang tidak mengandung unsur pidana; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya

pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana

Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;e. memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan adanya tindakan

yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, sekretaris Jenderal KPU, pegawai sekretariat Jenderal KPU, sekre taris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabu paten/ kota; dan/atau

f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, sekretaris Jenderal KPU, pegawai sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU ka bupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung.

Pasal 124

(1) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu se bagai mana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) huruf a, Bawaslu menetapkan penyelesaian pada hari yang sama diterimanya laporan.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di ting kat pusat, Bawaslu menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU.

(3) Dalam hal KPU menerima laporan dan temuan yang mengandung bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya pelanggaran admi nistratif oleh pelaksana

Page 84: Dokumentasi dan Informasi Hukum

80

dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU langsung menetapkan penyelesaian pada hari yang sama dengan hari diterimanya laporan.

(4) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, sekretaris Jenderal KPU, pegawai sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, maka Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU untuk memberikan sanksi.

Pasal 125

(1) sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) selain yang diatur dalam Undang­Undang ini di tetapkan oleh KPU bersama Bawaslu.

(2) sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang­Undang ini di tetapkan dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 126

Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak pidana Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, sekretaris Jenderal KPU, pegawai sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dalam pelaksanaan kampanye Pemilu, Bawaslu melakukan:a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada

Kepolisian Negara Republik Indonesia; ataub. pemberian rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan sanksi.

Pasal 127

Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi penonaktifan sementara dan/atau sanksi administratif kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, sekretaris Jenderal, pegawai sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau

Page 85: Dokumentasi dan Informasi Hukum

81

pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye yang sedang berlangsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.

Pasal 128

Pengawasan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu ka bupaten/kota serta tindak lanjut KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota terhadap temuan atau laporan yang diterima tidak memengaruhi jadwal pelaksanaan kampanye sebagaimana yang telah ditetapkan.

Bagian KesepuluhDana Kampanye Pemilu

Pasal 129

(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didanai dan menjadi tanggung jawab Partai Politik Peserta Pemilu masing­masing.

(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:

a. partai politik;

b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik yang bersangkutan; dan

c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang, barang dan/atau jasa.

(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu pada bank.

(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.

(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik.

(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.

Page 86: Dokumentasi dan Informasi Hukum

82

Pasal 130

Dana kampanye Pemilu yang bersumber dari sumbangan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.

Pasal 131

(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagai mana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.

Pasal 132

(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPD didanai dan menjadi tanggung jawab calon anggota DPD masing­masing.

(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:

a. calon anggota DPD yang bersangkutan; dan

b. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

(3) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang, barang dan/atau jasa.

(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang bersangkutan pada bank.

(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.

(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan pribadi calon anggota DPD yang bersangkutan.

(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah calon anggota DPD ditetapkan sebagai Peserta Pemilu

Page 87: Dokumentasi dan Informasi Hukum

83

dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pemilu kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.

Pasal 133

(1) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh melebihi Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(2) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.

Pasal 134

(1) Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.

(2) Calon anggota DPD Peserta Pemilu memberikan laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.

Pasal 135

(1) Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara.

(2) Laporan dana kampanye calon anggota DPD yang meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara.

(3) Kantor akuntan publik menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberitahukan hasil audit dana kampanye Peserta Pemilu masing­masing kepada Peserta Pemilu paling lama

Page 88: Dokumentasi dan Informasi Hukum

84

7 (tujuh) hari setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menerima hasil audit dari kantor akuntan publik.

(5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan hasil pemeriksaan dana kampanye kepada publik paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan.

Pasal 136

(1) KPU menetapkan kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi persyaratan di setiap provinsi.

(2) Kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan

yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung dengan partai politik dan calon anggota DPD Peserta Pemilu;

b. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye bukan merupakan anggota atau pengurus partai politik.

(3) Biaya jasa akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 137

(1) Dalam hal kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dalam proses pelaksanaan audit diketahui tidak memberikan informasi yang benar mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), KPU membatalkan penunjukan kantor akuntan publik yang bersangkutan.

(2) Kantor akuntan publik yang dibatalkan pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhak mendapatkan pembayaran jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (3).

(3) KPU menunjuk kantor akuntan publik pengganti untuk melanjutkan pelaksanaan audit atas laporan dana kampanye partai yang ber sangkutan.

Pasal 138

(1) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal dana

Page 89: Dokumentasi dan Informasi Hukum

85

kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu pada wilayah yang bersangkutan.

(2) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2), calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu.

(3) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menjadi calon terpilih.

(4) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2), calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkan menjadi calon terpilih.

Pasal 139

(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang berasal dari: a. pihak asing;b. penyumbang yang tidak jelas identitasnya; c. Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan

usaha milik daerah; ataud. pemerintah desa dan badan usaha milik desa.

(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir.

(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

Pasal 140

Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye Peserta Pemilu melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, KPU,

Page 90: Dokumentasi dan Informasi Hukum

86

KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

BAB IXPERLENGKAPAN PEMUNGUTAN SUARA

Pasal 141

(1) KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pe mungutan suara.

(2) sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, dan sekretaris KPU kabupaten/kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 142

(1) Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas:a. kotak suara;b. surat suara;c. tinta;d. bilik pemungutan suara;e. segel;f. alat untuk memberi tanda pilihan; dang. tempat pemungutan suara.

(2) selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya.

(3) Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan suara di-tetapkan dengan peraturan KPU.

(4) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e di laksanakan oleh sekretariat Jenderal KPU dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang­undangan.

(5) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf d, huruf f, dan ayat (2), sekretaris Jenderal KPU dapat melimpahkan kewenangannya kepada sekretaris KPU provinsi.

(6) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilaksanakan oleh KPPs bekerja sama dengan masyarakat.

Page 91: Dokumentasi dan Informasi Hukum

87

(7) Perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, huruf f, dan ayat (2) harus sudah diterima KPPs paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(8) Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara dilakukan oleh se kretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota.

(9) Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara, KPU dapat bekerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 143

(1) surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.

(2) surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPD berisi pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam peraturan KPU.

Pasal 144

(1) Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain surat suara ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Nomor urut tanda gambar partai politik dan calon anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan dengan keputusan KPU.

Pasal 145

(1) Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan kapasitas cetak yang sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak yang berkualitas baik.

(2) Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU.

(3) selain menetapkan pencetakan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pe laksanaan pemungutan suara ulang.

(4) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh KPU untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 1.000 (seribu) surat suara pemungutan

Page 92: Dokumentasi dan Informasi Hukum

88

suara ulang yang diberi tanda khusus, masing­masing surat suara untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD ka bupaten/kota.

Pasal 146

(1) Perusahaan pencetak surat suara dilarang mencetak surat suara lebih dari jumlah yang ditetapkan oleh KPU dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, serta keutuhan surat suara.

(2) KPU meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengamankan surat suara selama proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat tujuan.

(3) KPU memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak, jumlah yang sudah dikirim dan/atau jumlah yang masih tersimpan dengan membuat berita acara yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.

(4) KPU mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang digunakan untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah digunakan serta menyegel dan menyimpannya.

(5) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, peng hitungan, penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan ditetapkan dengan peraturan KPU.

Pasal 147

Pengawasan atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota serta sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota mengenai pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dilaksanakan oleh Bawaslu dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

BAB XPEMUNGUTAN SUARA

Pasal 148

(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak.

(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan ditetapkan dengan keputusan KPU.

Page 93: Dokumentasi dan Informasi Hukum

89

Pasal 149

(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPs meliputi:

a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPs yang bersangkutan; dan

b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.

(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meng gunakan haknya untuk memilih di TPs lain/TPsLN dengan menunjukkan surat pemberitahuan dari PPs untuk memberikan suara di TPs lain/TPsLN.

(3) Dalam hal pada suatu TPs terdapat pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, KPPs pada TPs tersebut mencatat dan melaporkan kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK.

Pasal 150

(1) Pemilih untuk setiap TPs paling banyak 500 (lima ratus) orang.

(2) Jumlah surat suara di setiap TPs sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan.

(3) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.

(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan KPU.

Pasal 151

(1) Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh KPPs.

(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.

(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.

(4) Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPs dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPs.

(5) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Lapangan.

(6) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU ka bupaten/kota.

(7) saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu atau dari calon anggota DPD.

Page 94: Dokumentasi dan Informasi Hukum

90

Pasal 152

(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPs melakukan kegiatan yang meliputi:a. penyiapan TPs; b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih

tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPs; dan

c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tam bahan kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Lapangan.

(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPs melakukan kegiatan yang meliputi:a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;b. rapat pemungutan suara;c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPs dan petugas ke tenteraman,

ketertiban, dan keamanan TPs;d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dane. pelaksanaan pemberian suara.

Pasal 153

(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara.

(2) Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memberikan tanda diatur dengan peraturan KPU.

Pasal 154

(1) sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPs: a. membuka kotak suara;b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; danf. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.

(2) saksi Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPs sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Page 95: Dokumentasi dan Informasi Hukum

91

(3) Ketua KPPs wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPs dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

Pasal 155

(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPs berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.

(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPs dan KPPs wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara.

(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPs dan KPPs hanya memberikan surat suara pengganti 1 (satu) kali.

Pasal 156

(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPs dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.

(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagai mana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.

Pasal 157

(1) Pemungutan suara bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri hanya memilih calon anggota DPR.

(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di setiap Perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang sama atau waktu yang disesuaikan dengan waktu pemungutan suara di Indonesia.

(3) Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPsLN yang telah ditentukan, pemilih dapat memberikan suara melalui pos yang di sampaikan kepada PPLN di Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 158

(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPsLN meliputi:

Page 96: Dokumentasi dan Informasi Hukum

92

a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPsLN yang bersangkutan; dan

b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.

(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meng gunakan haknya untuk memilih di TPsLN lain/TPs dengan menunjukkan surat pemberitahuan dari PPLN untuk memberikan suara di TPsLN lain/TPs.

(3) KPPsLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat dan melaporkan kepada PPLN.

Pasal 159

Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.

Pasal 160

(1) Pelaksanaan pemungutan suara di TPsLN dipimpin oleh KPPsLN.

(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.

(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Partai Politik Peserta Pemilu.

(4) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.

(5) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh KPU.

(6) saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu.

Pasal 161

(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPsLN melakukan kegiatan yang meliputi:a. penyiapan TPsLN; b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih

tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR di TPsLN; danc. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan

kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.

(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPsLN melakukan kegiatan yang meliputi:a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;b. rapat pemungutan suara;

Page 97: Dokumentasi dan Informasi Hukum

93

c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPsLN dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPsLN;

d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dane. pelaksanaan pemberian suara.

Pasal 162

(1) sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPsLN: a. membuka kotak suara;b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; danf. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.

(2) saksi Partai Politik Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPsLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketua KPPsLN wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPsLN dan saksi Partai Politik Peserta Pemilu yang hadir.

Pasal 163

(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPsLN berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.

(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPsLN dan KPPsLN wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara.

(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPsLN dan KPPsLN hanya memberikan surat suara pengganti 1 (satu) kali.

Pasal 164

(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPsLN dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.

(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagai mana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.

Page 98: Dokumentasi dan Informasi Hukum

94

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.

Pasal 165

(1) Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan/atau catatan lain pada surat suara.

(2) surat suara yang terdapat tulisan dan/atau catatan lain dinyatakan tidak sah.

Pasal 166

(1) Pemilih yang telah memberikan suara, diberi tanda khusus oleh KPPs/KPPsLN.

(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan KPU.

Pasal 167

(1) KPPs/KPPsLN dilarang mengadakan penghitungan suara sebelum pemungutan suara berakhir.

(2) Ketentuan mengenai waktu berakhirnya pemungutan suara ditetapkan dalam peraturan KPU.

Pasal 168

(1) KPPs/KPPsLN bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara secara tertib dan lancar.

(2) Pemilih melakukan pemberian suara dengan tertib dan bertanggung jawab.

(3) saksi melakukan tugasnya dengan tertib dan bertanggung jawab.

(4) Petugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan wajib menjaga ketertiban, ketenteraman dan keamanan di lingkungan TPs/TPsLN.

(5) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan suara dengan tertib dan bertanggung jawab.

Pasal 169

(1) Warga masyarakat yang tidak memiliki hak pilih atau yang tidak sedang melaksanakan pemberian suara dilarang berada di dalam TPs/TPsLN.

(2) Pemantau Pemilu dilarang berada di dalam TPs/TPsLN.

(3) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memelihara ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara.

Page 99: Dokumentasi dan Informasi Hukum

95

Pasal 170

(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan pemungutan suara oleh KPPs/KPPsLN, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri memberikan saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPs/TPsLN.

(2) KPPs/KPPsLN seketika itu juga menindaklanjuti saran perbaikan yang disampaikan oleh pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 171

(1) Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban, dan ke amanan pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat dan/atau oleh pemantau Pemilu, petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan melakukan penanganan secara memadai.

(2) Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau Pemilu tidak mematuhi penanganan oleh petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan, yang bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB XIPENGHITUNGAN SUARA

Bagian KesatuPenghitungan Suara di TPS/TPSLN

Pasal 172

(1) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPs dilaksanakan oleh KPPs.

(2) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPsLN dilaksanakan oleh KPPsLN.

(3) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPs disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.

(4) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPsLN disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.

(5) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPs diawasi oleh Pengawas Pemilu Lapangan.

Page 100: Dokumentasi dan Informasi Hukum

96

(6) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPsLN diawasi oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.

(7) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPs dipantau oleh pemantau Pemilu dan masyarakat.

(8) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPsLN dipantau oleh pemantau Pemilu dan masyarakat.

(9) saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) yang belum menyerahkan mandat tertulis pada saat pemungutan suara harus menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu kepada ketua KPPs/KPPsLN.

Pasal 173

(1) Penghitungan suara di TPs/TPsLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara berakhir.

(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPs/TPsLN yang bersangkutan pada hari/tanggal pemungutan suara.

Pasal 174

(1) KPPs melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD ka bupaten/kota di dalam TPs.

(2) KPPsLN melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPsLN.

(3) saksi menyaksikan dan mencatat pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPs/TPsLN.

(4) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPs.

(5) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPsLN.

(6) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di luar TPs.

(7) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPsLN.

Page 101: Dokumentasi dan Informasi Hukum

97

(8) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di luar TPs.

(9) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPsLN.

Pasal 175

(1) sebelum melaksanakan penghitungan suara, KPPs/KPPsLN menghitung:a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar pemilih

tetap;b. jumlah pemilih yang berasal dari TPs/TPsLN lain;c. jumlah surat suara yang tidak terpakai;d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau salah

dalam cara memberikan suara; dane. sisa surat suara cadangan.

(2) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh ketua KPPs/ KPPsLN dan oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPs/KPPsLN yang hadir.

Pasal 176

(1) suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabu paten/kota dinyatakan sah apabila:a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPs; danb. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon

atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(2) suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila:a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPs; danb. pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD.

(3) Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan KPU.

Pasal 177

(1) Ketua KPPs/KPPsLN melakukan penghitungan suara dengan suara yang jelas dan terdengar dengan memperlihatkan surat suara yang dihitung.

(2) Penghitungan suara dilakukan secara terbuka dan di tempat yang terang atau yang mendapat penerangan cahaya cukup.

Page 102: Dokumentasi dan Informasi Hukum

98

(3) Penghitungan suara dicatat pada lembar/papan/layar penghitungan dengan tulisan yang jelas dan terbaca.

(4) Format penulisan penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam peraturan KPU.

Pasal 178

(1) Peserta Pemilu, saksi, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri dan masyarakat dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pe laksanaan penghitungan suara kepada KPPs/KPPsLN.

(2) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/ Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPs/KPPsLN apabila ternyata terdapat hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(3) Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterima, KPPs/KPPsLN seketika itu juga mengadakan pembetulan.

Pasal 179

(1) Hasil penghitungan suara di TPs/TPsLN dituangkan ke dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPPs/KPPsLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota KPPs/KPPsLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara ditandatangani oleh anggota KPPs/KPPsLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.

Pasal 180

(1) KPPs/KPPsLN mengumumkan hasil penghitungan suara di TPs/TPsLN.

(2) KPPs wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi

Page 103: Dokumentasi dan Informasi Hukum

99

Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPs, dan PPK melalui PPs pada hari yang sama.

(3) KPPsLN wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri dan PPLN pada hari yang sama.

(4) KPPs/KPPsLN wajib menyegel, menjaga, dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara.

(5) KPPs/KPPsLN wajib menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara serta sertifikat hasil peng hitungan suara kepada PPK melalui PPs atau kepada PPLN bagi KPPsLN pada hari yang sama.

(6) Penyerahan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diawasi oleh Pengawas Pemilu Lapangan dan Panwaslu kecamatan serta wajib dilaporkan kepada Panwaslu kabupaten/kota.

Pasal 181

PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dari seluruh TPs di wilayah kerjanya dengan cara menempelkan salinan tersebut di tempat umum.

Bagian KeduaRekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kecamatan

Pasal 182

(1) PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPs melalui PPs.

(2) PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kecamatan.

(3) Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel untuk mengambil sampul yang berisi berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel kembali.

Page 104: Dokumentasi dan Informasi Hukum

100

(4) PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.

(5) PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di tempat umum.

(6) PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kecamatan, dan KPU kabupaten/kota.

Pasal 183

(1) Panwaslu kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.

(2) saksi dapat menyampaikan laporan dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.

(3) PPK wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 184

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan

Page 105: Dokumentasi dan Informasi Hukum

101

perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.

Pasal 185

PPK wajib menyerahkan kepada KPU kabupaten/kota surat suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPs dalam kotak suara tersegel serta berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat PPK yang dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari TPs.

Pasal 186

(1) PPLN melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR dari seluruh KPPsLN di wilayah kerjanya serta melakukan penghitungan perolehan suara yang diterima melalui pos dengan disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.

(2) PPLN wajib membuat dan menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil peng hitungan perolehan suara dari seluruh KPPsLN di wilayah kerjanya kepada KPU.

Bagian KetigaRekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kabupaten/Kota

Pasal 187

(1) KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari PPK.

(2) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil penghitungan per olehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

Page 106: Dokumentasi dan Informasi Hukum

102

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota membuat berita acara rekapitulasi hasil peng hitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(4) KPU kabupaten/kota mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai mana dimaksud pada ayat (3).

(5) KPU kabupaten/kota menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD kabupaten/kota.

(6) KPU kabupaten/kota menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil peng hitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabu paten/kota kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kabupaten/kota, dan KPU provinsi.

Pasal 188

(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelak sanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.

(2) saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan per olehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 189

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU kabupa ten/kota dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil peng hitungan perolehan

Page 107: Dokumentasi dan Informasi Hukum

103

suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.

Pasal 190

KPU kabupaten/kota menyimpan, menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Bagian KeempatRekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Provinsi

Pasal 191

(1) KPU provinsi membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU kabupaten/kota.

(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu.

(3) KPU provinsi membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik

Page 108: Dokumentasi dan Informasi Hukum

104

Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(4) KPU provinsi mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) KPU provinsi menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD provinsi.

(6) KPU provinsi menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu provinsi, dan KPU.

Pasal 192

(1) Panwaslu provinsi wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU provinsi.

(2) saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU provinsi.

(3) KPU provinsi wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 193

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU provinsi dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan meng gunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan

Page 109: Dokumentasi dan Informasi Hukum

105

perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.

Bagian KelimaRekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Secara Nasional

Pasal 194

(1) KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU provinsi.

(2) KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.

(3) KPU membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(4) KPU mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) KPU menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD.

(6) KPU menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.

Page 110: Dokumentasi dan Informasi Hukum

106

Pasal 195

(1) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU.

(2) saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU.

(3) KPU wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 196

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.

Pasal 197

saksi Peserta Pemilu dalam rekapitulasi suara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

Page 111: Dokumentasi dan Informasi Hukum

107

dan DPRD kabupaten/kota di PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU harus menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu.

Bagian KeenamPengawasan dan Sanksi dalam Penghitungan Suara dan Rekapitulasi

Penghitungan Perolehan Suara

Pasal 198

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas rekapitulasi penghitungan perolehan suara yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPs/PPsLN.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPs, dan KPPs/KPPsLN dalam melakukan rekapitulasi penghitungan per olehan suara.

(3) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam rekapitulasi penghitungan perolehan suara, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/ kota, Panwaslu kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri melaporkan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPs, dan KPPs/KPPsLN yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dikenai tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang­Undang ini.

BAB XIIPENETAPAN HASIL PEMILU

Bagian KesatuHasil Pemilu

Pasal 199

(1) Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD ka bupaten/kota terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(2) KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Page 112: Dokumentasi dan Informasi Hukum

108

Bagian KeduaPenetapan Perolehan Suara

Pasal 200

(1) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.

(2) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu provinsi.

(3) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabu paten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.

Pasal 201

(1) KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara.

(2) KPU provinsi menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi paling lambat 15 (lima belas) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara.

(3) KPU kabupaten/kota menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota paling lambat 12 (dua belas) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara.

Pasal 202

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang­kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 203

(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing­masing daerah pemilihan.

Page 113: Dokumentasi dan Informasi Hukum

109

(2) suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1).

(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.

BAB XIIIPENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH

Bagian KesatuPenetapan Perolehan Kursi

Pasal 204

(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan oleh KPU.

(2) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.

(3) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.

Pasal 205

(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan yang bersangkutan.

(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR.

(3) setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.

(4) Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang­kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.

Page 114: Dokumentasi dan Informasi Hukum

110

(5) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu di kumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.

(6) BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi.

(7) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.

Pasal 206

Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut­turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.

Pasal 207

Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 dan sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut­turut di provinsi yang bersangkutan.

Pasal 208

Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (7) dan Pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi.

Pasal 209

Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara dilakukan habis di daerah pemilihan tersebut.

Pasal 210

Ketentuan lebih lanjut penetapan perolehan kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 diatur dalam peraturan KPU.

Page 115: Dokumentasi dan Informasi Hukum

111

Pasal 211

(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing­masing.

(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di daerah pemilihan masing­masing.

(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.

Pasal 212

1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing­masing.

(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota dengan jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan masing­masing.

(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.

Bagian KeduaPenetapan Calon Terpilih

Pasal 213

(1) Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan oleh KPU.

(2) Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.

(3) Calon terpilih anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.

Page 116: Dokumentasi dan Informasi Hukum

112

Pasal 214

Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:

a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;

b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;

c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;

d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;

e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.

Pasal 215

(1) Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan.

(2) Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih.

(3) KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di provinsi yang bersangkutan.

Page 117: Dokumentasi dan Informasi Hukum

113

BAB XIVPEMBERITAHUAN CALON TERPILIH

Pasal 216

(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan setelah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya dengan tembusan kepada calon terpilih yang bersangkutan.

Pasal 217

(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPD dilakukan setelah ditetapkan oleh KPU.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada calon terpilih anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada gubernur dan KPU provinsi yang bersangkutan.

BAB XVPENGGANTIAN CALON TERPILIH

Pasal 218

(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri;

c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota; atau

d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d telah ditetapkan dengan keputusan KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum.

Page 118: Dokumentasi dan Informasi Hukum

114

(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(4) Calon terpilih anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.

(5) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan keputusan KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.

BAB XVIPEMUNGUTAN SUARA ULANG, PENGHITUNGAN SUARA ULANG, DAN

REKAPITULASI SUARA ULANG

Bagian Kesatu Pemungutan Suara Ulang

Pasal 219

(1) Pemungutan suara di TPs dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

(2) Pemungutan suara di TPs wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu Lapangan terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:

a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang­undangan;

b. petugas KPPs meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; dan/atau

c. petugas KPPs merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.

Pasal 220

(1) Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPs dengan menyebutkan keadaan yang menyebabkan diadakannya pemungutan suara ulang.

Page 119: Dokumentasi dan Informasi Hukum

115

(2) Usul KPPs diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya diajukan kepada KPU kabupaten/kota untuk pengambilan keputusan diadakannya pemungutan suara ulang.

(3) Pemungutan suara ulang di TPs dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.

Bagian KeduaPenghitungan Suara Ulang dan Rekapitulasi Suara Ulang

Pasal 221

(1) Penghitungan suara ulang berupa penghitungan ulang surat suara di TPs, penghitungan suara ulang di PPK, dan rekapitulasi suara ulang di PPK, di KPU kabupaten/kota, dan di KPU provinsi.

(2) Penghitungan suara di TPs dapat diulang apabila terjadi hal sebagai berikut:

a. kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan;

b. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;

c. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang kurang mendapat penerangan cahaya;

d. penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;

e. penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;

f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;

g. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau

h. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.

Pasal 222

(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2), saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan dapat mengusulkan penghitungan ulang surat suara di TPs yang bersangkutan.

(2) Penghitungan ulang surat suara di TPs harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal yang sama dengan hari/tanggal pemungutan suara.

Page 120: Dokumentasi dan Informasi Hukum

116

Pasal 223

Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi dapat diulang apabila terjadi keadaan sebagai berikut:

a. kerusuhan yang mengakibatkan rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan;

b. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan secara tertutup;

c. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau kurang mendapatkan penerangan cahaya;

d. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;

e. rekapitulasi hasil penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;

f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara secara jelas; dan/atau

g. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan.

Pasal 224

(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223, saksi Peserta Pemilu atau Panwaslu kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, dan Panwaslu provinsi dapat mengusulkan untuk dilaksanakan rekapi tulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi yang bersangkutan.

(2) Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan rekapitulasi.

Pasal 225

(1) Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara pada sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS dengan sertifikat hasil penghitungan suara yang diterima PPK melalui PPs, saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan dan saksi Peserta Pemilu di TPs, Panwaslu kecamatan, atau Pengawas Pemilu Lapangan, maka PPK melakukan penghitungan suara ulang untuk TPs yang bersangkutan.

(2) Penghitungan suara ulang di TPs dan rekapitulasi hasil penghitungan suara ulang di PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2) dan Pasal 223 dilaksanakan paling lama 5 (lima) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.

Page 121: Dokumentasi dan Informasi Hukum

117

Pasal 226

Penghitungan suara ulang untuk TPs sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1) dilakukan dengan cara membuka kotak suara hanya dilakukan di PPK.

Pasal 227

(1) Dalam hal terjadi perbedaan jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dari PPK dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara yang diterima oleh KPU kabupaten/kota, saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, atau Panwaslu kecamatan, maka KPU kabupaten/kota melakukan pem betulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk PPK yang bersangkutan.

(2) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU provinsi, saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi dan saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota, panitia pengawas Pemilu provinsi, atau panitia pengawas Pemilu kabupaten/kota, maka KPU provinsi melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU kabupaten/kota yang bersangkutan.

(3) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU, saksi Peserta Pemilu tingkat pusat dan saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi, Badan Pengawas Pemilu, atau panitia pengawas Pemilu provinsi, maka KPU melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU provinsi yang bersangkutan.

BAB XVIIPEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN

Pasal 228

(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.

Page 122: Dokumentasi dan Informasi Hukum

118

(2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.

Pasal 229

(1) Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.

(2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penye lengaraan Pemilu.

Pasal 230

(1) Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu.

(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh: a. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu

meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan;b. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu

meliputi satu atau beberapa kecamatan;c. KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila penundaan pelaksanaan

Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota;d. KPU atas usul KPU provinsi apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi

satu atau beberapa provinsi.

(3) Dalam hal Pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh perseratus) jumlah provinsi atau 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan diatur dalam peraturan KPU.

BAB XVIIIPEMANTAUAN PEMILU

Bagian KesatuPemantau Pemilu

Pasal 231

(1) Pelaksanaan Pemilu dapat dipantau oleh pemantau Pemilu.

Page 123: Dokumentasi dan Informasi Hukum

119

(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri;b. badan hukum dalam negeri;c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri;d. lembaga pemilihan luar negeri; dane. perwakilan negara sahabat di Indonesia.

Bagian KeduaPersyaratan dan Tata Cara Menjadi Pemantau Pemilu

Pasal 232

(1) Pemantau Pemilu harus memenuhi persyaratan:

a. bersifat independen;

b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan

c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pe mantauannya.

(2) selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemantau dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e harus memenuhi persyaratan khusus:

a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di negara lain, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan;

b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilu dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri;

c. memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang diatur dalam peraturan perundang­undangan.

Pasal 233

(1) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan Pemilu dengan mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.

(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembalikan formulir pendaftaran kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabu paten/kota dengan menyerahkan kelengkapan administrasi yang meliputi:

Page 124: Dokumentasi dan Informasi Hukum

120

a. profil organisasi/lembaga;

b. nama dan jumlah anggota pemantau;

c. alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah;

d. rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang ingin dipantau; dan

e. nama, alamat, dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang dilampiri pas foto diri terbaru.

(3) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota meneliti kelengkapan administrasi pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Pemantau Pemilu yang memenuhi persyaratan diberi tanda terdaftar sebagai pemantau Pemilu serta mendapatkan sertifikat akreditasi.

(5) Dalam hal pemantau Pemilu tidak memenuhi kelengkapan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemantau Pemilu yang bersangkutan dilarang melakukan pemantauan Pemilu.

(6) Khusus pemantau yang berasal dari perwakilan negara sahabat di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf e, yang bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.

(7) Tata cara akreditasi pemantau Pemilu diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU.

Bagian Ketiga Wilayah Kerja Pemantau Pemilu

Pasal 234

(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada satu daerah pemantauan sesuai dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.

(2) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU dan wajib melapor ke KPU provinsi masing­masing.

(3) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu kabupaten/kota pada satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU provinsi dan wajib melapor ke KPU kabupaten/kota masing­masing.

(4) Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri dikeluarkan oleh KPU.

Page 125: Dokumentasi dan Informasi Hukum

121

Bagian KeempatTanda Pengenal Pemantau Pemilu

Pasal 235

(1) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf a dan huruf b dikeluarkan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja yang ber sangkutan.

(2) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dikeluarkan oleh KPU.

(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. tanda pengenal pemantau asing biasa; dan

b. tanda pengenal pemantau asing diplomat.

(4) Pada tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimuat informasi tentang:

a. nama dan alamat pemantau Pemilu yang memberi tugas;

b. nama anggota pemantau yang bersangkutan;

c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan;

d. wilayah kerja pemantauan; dan

e. nomor dan tanggal akreditasi.

(5) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam setiap kegiatan pemantauan Pemilu.

(6) Bentuk dan format tanda pengenal pemantau Pemilu diatur dalam peraturan KPU.

Bagian KelimaHak dan Kewajiban Pemantau Pemilu

Pasal 236

(1) Pemantau Pemilu mempunyai hak:

a. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari Pemerintah Indonesia;

b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan Pemilu;

c. memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPs;

d. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota; dan

Page 126: Dokumentasi dan Informasi Hukum

122

e. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pe­mantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu.

(2) Pemantau asing yang berasal dari perwakilan negara asing yang berstatus diplomat berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan tugas sebagai pemantau Pemilu.

Pasal 237

Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban:a. mematuhi peraturan perundang­undangan dan menghormati kedaulatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia;b. mematuhi kode etik pemantau Pemilu yang diterbitkan oleh KPU;c. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke KPU, KPU

provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan;e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan;f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau Pemilu serta tenaga

pendukung administratif kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah pemantauan;

g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilu;h. menghormati adat istiadat dan budaya setempat;i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan;j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan

mengklarifikasikan kepada KPU, KPU provinsi atau KPU ka bupaten/kota; dank. melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada KPU, KPU

provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

Bagian KeenamLarangan bagi Pemantau Pemilu

Pasal 238

Pemantau Pemilu dilarang:a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilu; b. memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih;c. mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu;d. memihak kepada Peserta Pemilu tertentu; e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan

mendukung Peserta Pemilu;

Page 127: Dokumentasi dan Informasi Hukum

123

f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apa pun dari atau kepada Peserta Pemilu;

g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam negeri Indonesia;

h. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya selama melakukan tugas pemantauan;

i. masuk ke dalam TPs; dan/atauj. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau

Pemilu.

Bagian KetujuhSanksi bagi Pemantau Pemilu

Pasal 239

Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.

Pasal 240

(1) Pelanggaran oleh pemantau Pemilu atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilaporkan kepada KPU kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti.

(2) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan terbukti kebenarannya, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.

(3) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau asing dan terbukti kebenarannya, maka KPU mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.

(4) Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana dan/atau perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilu, pemantau Pemilu yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang­undangan.

Pasal 241

Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia menindaklanjuti penetapan pencabutan status dan hak pemantau asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Page 128: Dokumentasi dan Informasi Hukum

124

Bagian KedelapanPelaksanaan Pemantauan

Pasal 242

sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilu melapor kepada KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah.

Pasal 243

Petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur dalam peraturan KPU dengan memperhatikan pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB XIXPARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU

Pasal 244

(1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.

(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan ketentuan:

a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu.

b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu.

c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.

d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Pasal 245

(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.

(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang.

(3) Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.

Page 129: Dokumentasi dan Informasi Hukum

125

(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu.

(5) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu.

Pasal 246

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu diatur dalam peraturan KPU.

BAB XXPENYELESAIAN PELANGGARAN PEMILU

DAN PERSELISIHAN HASIL PEMILU

Bagian KesatuPenyelesaian Pelanggaran Pemilu

Paragraf 1Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu

Pasal 247

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh:

a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;

b. pemantau Pemilu; atau

c. Peserta Pemilu.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat:

a. nama dan alamat pelapor;

b. pihak terlapor;

c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan

d. uraian kejadian.

Page 130: Dokumentasi dan Informasi Hukum

126

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.

(5) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.

(6) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima.

(7) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima.

(8) Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(9) Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilu diatur dalam peraturan Bawaslu.

Paragraf 2Pelanggaran Administrasi Pemilu

Pasal 248

Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang­Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.

Pasal 249

Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 250

KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.

Page 131: Dokumentasi dan Informasi Hukum

127

Pasal 251

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu diatur dalam peraturan KPU.

Paragraf 3Pelanggaran Pidana Pemilu

Pasal 252

Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang­Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Pasal 253

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.

(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.

(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas perkara.

Pasal 254

(1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang­Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang­Undang ini.

(2) sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh hakim khusus.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.

Page 132: Dokumentasi dan Informasi Hukum

128

Pasal 255

(1) Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara.

(2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.

(3) Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada pengadilan tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.

(4) Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima.

(5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.

Pasal 256

(1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1) dan ayat (4) harus sudah disampaikan kepada penuntut umum paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.

(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 harus dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh jaksa.

Pasal 257

(1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang menurut Undang­Undang ini dapat memengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional.

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dan Peserta Pemilu pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.

Bagian KeduaPerselisihan Hasil Pemilu

Page 133: Dokumentasi dan Informasi Hukum

129

Pasal 258

(1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

Pasal 259

(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.

(2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

BAB XXIKETENTUAN PIDANA

Pasal 260

setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 261

setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 262

setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih

Page 134: Dokumentasi dan Informasi Hukum

130

menghalang­halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu menurut Undang­Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 263

Petugas PPs/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Pasal 264

setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPs, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 265

setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 266

setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau

Page 135: Dokumentasi dan Informasi Hukum

131

memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 267

setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 268

setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 269

setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan dalam Pasal 70 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 270

setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk masing­

Page 136: Dokumentasi dan Informasi Hukum

132

masing Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) atau paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 271

setiap orang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 272

setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2), dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 273

setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim Konstitusi, hakim­hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia serta Pejabat badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dikenai pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 274

setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dan ayat (5) dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Page 137: Dokumentasi dan Informasi Hukum

133

Pasal 275

Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 276

Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, sekretaris Jenderal KPU, pegawai sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 277

setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 278

Peserta Pemilu yang terbukti menerima sumbangan dan/atau bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 279

setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)

Page 138: Dokumentasi dan Informasi Hukum

134

bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 280

(1) Pelaksana kampanye yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 281

setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 282

setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 283

setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Page 139: Dokumentasi dan Informasi Hukum

135

Pasal 284

Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Pasal 285

setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 286

setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 287

setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 288

setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling

Page 140: Dokumentasi dan Informasi Hukum

136

sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 289

setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 290

setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 291

setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPs, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 292

setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 293

seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Page 141: Dokumentasi dan Informasi Hukum

137

Pasal 294

setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 295

Ketua dan anggota KPPs/KPPsLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 296

setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 297

(1) Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPs sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2) sementara persyaratan dalam Undang­Undang ini telah terpenuhi, anggota KPU kabupaten/kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(2) Ketua dan anggota KPPs yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPs dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 298

setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara

Page 142: Dokumentasi dan Informasi Hukum

138

yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 299

setiap orang yang dengan sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 300

(1) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (duabelas juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 301

setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 302

Ketua dan anggota KPPs/KPPsLN yang dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Page 143: Dokumentasi dan Informasi Hukum

139

Pasal 303

setiap KPPs/KPPsLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPs, dan PPK melalui PPs sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 304

setiap KPPs/KPPsLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPsLN pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (4) dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 305

setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (6), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 306

setiap PPs yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPs di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 307

Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud

Page 144: Dokumentasi dan Informasi Hukum

140

dalam Pasal 199 ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 308

setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat dan mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 309

setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 310

Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 311

Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPs/PPLN, dan/atau KPPs/KPPsLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Page 145: Dokumentasi dan Informasi Hukum

141

Pasal 312

Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal­pasal tersebut.

BAB XXIIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 313

Ketentuan mengenai keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang­Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berlaku ketentuan Undang­Undang ini.

Pasal 314

Hasil perolehan suara dari pemilih di luar negeri dimasukkan sebagai perolehan suara untuk daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta II.

Pasal 315

(1) Dalam hal terdapat daerah pemilihan anggota DPRD provinsi yang sama dengan daerah pemilihan anggota DPR pada Pemilu 2004, maka daerah pemilihan DPRD provinsi tersebut disesuaikan dengan perubahan daerah pemilihan anggota DPR.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang penyesuaian perubahan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan KPU.

BAB XXIIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 316

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang­kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang­kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang­kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang­kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar

Page 146: Dokumentasi dan Informasi Hukum

142

sekurang­kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Pasal 317

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 dengan ketentuan:

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau

e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang­Undang ini.

Pasal 318

Untuk Pemilu tahun 2009 KPU melakukan penataan ulang daerah pemilihan bagi provinsi dan kabupaten/kota induk serta provinsi dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu tahun 2004.

Pasal 319

Dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.

BAB XXIVKETENTUAN PENUTUP

Pasal 320

Dengan berlakunya Undang­Undang ini, Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan

Page 147: Dokumentasi dan Informasi Hukum

143

Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4631), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 321

Undang­Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang­Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 31 Maret 2008

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DR. H. sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakartapada tanggal 31 Maret 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK AsAsI MANUsIA

REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2008 NOMOR 51

Page 148: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 149: Dokumentasi dan Informasi Hukum

145

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANG

PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

I. UMUM

Pasal 2 ayat (1) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang­Undang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil­wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil­wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang­undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing­masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi­fungsi tersebut.

sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.

Page 150: Dokumentasi dan Informasi Hukum

146

Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang­undangan. setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin baik untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara. Oleh karena itu, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota­anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Dalam pemilihan umum, keberadaan partai politik sebagai peserta ditandai dengan tanda gambar dan nama­nama calon anggota lembaga perwakilan dari partai yang bersangkutan. Untuk memudahkan rakyat dalam menentukan pilihannya, tanda gambar partai politik peserta pemilihan umum tentu harus berbeda antara satu partai politik dengan partai politik lainnya dan tidak boleh menggunakan simbol­simbol/tanda identitas kelembagaan yang digunakan oleh gerakan separatis atau organisasi terlarang. Bagi calon anggota DPD, keberadaan sebagai peserta pemilihan umum ditandai dengan pasfoto diri dan nama­nama calon anggota DPD yang bersangkutan. Pengaturan lebih lanjut mengenai keikutsertaan partai politik dan perseorangan dalam pemilihan umum dituangkan dalam pasal­pasal Undang­Undang ini.

Page 151: Dokumentasi dan Informasi Hukum

147

Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengganti landasan hukum penyelenggaraan pemilihan umum yang tertuang dalam Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang­undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang­Undang, dengan undang­undang baru yang lebih komprehensif dan sesuai untuk menjawab tantangan permasalahan baru dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Di dalam undang­undang ini diatur beberapa perubahan pokok tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya yang berkaitan dengan penguatan persyaratan peserta pemilu, kriteria penyusunan daerah pemilihan, sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka terbatas, dan penetapan calon terpilih, serta penyelesaian sengketa pemilu. Perubahan­perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan pula sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Page 152: Dokumentasi dan Informasi Hukum

148

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “masa kampanye” adalah tenggang waktu berlakunya kampanye yang ditetapkan Undang­Undang ini.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Page 153: Dokumentasi dan Informasi Hukum

149

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

“kantor tetap” adalah kantor yang layak, milik sendiri, sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “Pemilu sebelumnya” adalah mulai Pemilu tahun 2009 dan selanjutnya.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan

Page 154: Dokumentasi dan Informasi Hukum

150

Republik Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk Warga Negara Indonesia yang karena alasan tertentu pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara Republik Indonesia setempat.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajat” antara lain sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Pondok Pesantren Salafiah, Sekolah Menengah Theologia Kristen, dan sekolah seminari.

Kesederajatan pendidikan dengan sMA ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang­undangan.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah sehat yang dibuktikan dengan surat kesehatan dari rumah sakit Pemerintah termasuk puskesmas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Yang dimaksud dengan “bersedia bekerja penuh waktu” adalah bersedia untuk tidak menekuni pekerjaan lain apa pun yang dapat menggangu tugas dan kewajibannya sebagai anggota DPD.

Huruf k

surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali dibuktikan dengan surat keterangan telah diterima dan diteruskan oleh instansi terkait.

Yang dimaksud dengan “keuangan negara” termasuk APBN/APBD.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Page 155: Dokumentasi dan Informasi Hukum

151

Huruf n

Cukup jelas.

Huruf o

Cukup jelas.

Huruf p

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dinyatakan batal dalam ketentuan ini adalah dukungan kepada semua calon yang didukung.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Proses pembentukan pengurus partai politik berdasarkan mekanisme partai politik masing­masing.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang­

Page 156: Dokumentasi dan Informasi Hukum

152

undangan” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2) Undang­Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Huruf e

Yang dimaksud dengan ”departemen” adalah departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “surat keterangan mengenai perolehan kursi” adalah surat keputusan KPU mengenai perolehan kursi partai politik yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.p jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Page 157: Dokumentasi dan Informasi Hukum

153

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan data kependudukan adalah data penduduk dan data penduduk potensial Pemilih Pemilu (DP4).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Page 158: Dokumentasi dan Informasi Hukum

154

Ayat (3)

Pengumuman daftar pemilih sementara dilakukan dengan cara menempelkannya pada sarana pengumuman desa/kelurahan dan/atau sarana umum yang mudah dijangkau dan dilihat masyarakat.

Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari berdasarkan kalender.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu tentang daftar pemilih sementara” adalah untuk menambah data pemilih yang memenuhi persyaratan tetapi belum terdaftar dan/atau mengurangi data pemilih karena tidak memenuhi persyaratan.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “salinan daftar pemilih tetap” adalah salinan yang dalam bentuk kopi peranti lunak (softcopy), cakram padat (compact disk), atau fotokopi. salinan atau fotokopi Daftar Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud dapat diperoleh di Kantor KPU kabupaten/kota bersangkutan.

Pasal 39

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “mengumumkan daftar pemilih tetap” adalah

Page 159: Dokumentasi dan Informasi Hukum

155

menempelkan salinan daftar pemilih tetap di papan pengumuman dan/atau tempat yang mudah dijangkau dan dilihat oleh masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” meliputi keadaan karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara atau karena kondisi tidak terduga di luar kemauan dan kemampuan yang bersangkutan, misalnya karena sakit, menjadi tahanan, tertimpa bencana alam sehingga tidak dapat menggunakan hak suaranya di TPs yang bersangkutan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Page 160: Dokumentasi dan Informasi Hukum

156

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk Warga Negara Indonesia yang karena alasan tertentu pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara Republik Indonesia setempat.

Huruf d

Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajat” antara lain sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Pondok Pesantren Salafiah, Sekolah Menengah Teologia Kristen, dan sekolah seminari.

Kesederajatan pendidikan dengan sMA ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang­undangan.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini.

Page 161: Dokumentasi dan Informasi Hukum

157

Huruf h

Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah sehat yang dibuktikan dengan surat kesehatan dari rumah sakit Pemerintah termasuk puskesmas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

yang dimaksud dengan “bersedia bekerja penuh waktu” adalah bersedia untuk tidak menekuni pekerjaan lain apa pun yang dapat menggangu tugas dan kewajibannya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Huruf k

surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali dibuktikan dengan surat keterangan telah diterima dan diteruskan oleh instansi terkait.

Yang dimaksud dengan “keuangan negara” termasuk APBN/APBD.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Cukup jelas.

Huruf o

Cukup jelas.

Huruf p

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

1) Bukti kelulusan dalam bentuk fotokopi yang dilegalisasi atas ijazah, sTTB, syahadah dari satuan pendidikan yang terakreditasi, atau ijazah, syahadah, STTB, sertifikat, dan surat keterangan lain yang menerangkan kelulusan dari satuan pendidikan atau program pendidikan yang diakui sama dengan kelulusan satuan pendidikan jenjang pendidikan

Page 162: Dokumentasi dan Informasi Hukum

158

menengah. Termasuk dalam kategori ini adalah surat keterangan lain yang menerangkan bahwa seseorang diangkat sebagai guru atau dosen berdasarkan keahliannya sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

2) KPU dalam menyusun peraturan KPU dalam kaitan ini berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama.

3) Legalisasi oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan, kantor wilayah/kantor Departemen Agama sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Bagi pegawai negeri sipil yang sudah mengundurkan diri dapat memperoleh kartu tanda anggota partai politik.

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Cukup jelas.

Pasal 51 Cukup jelas.

Page 163: Dokumentasi dan Informasi Hukum

159

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan Pengurus Pusat Partai Politik adalah Ketua Dewan Pimpinan Pusat partai politik atau nama lainnya.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat provinsi adalah Ketua Dewan Pimpinan daerah partai politik tingkat provinsi atau nama lainnya.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat kabupaten/kota adalah Ketua Dewan Pimpinan daerah partai politik tingkat kabupaten/kota atau nama lainnya.

Pasal 53 Cukup jelas.

Pasal 54 Cukup jelas.

Pasal 55 Cukup jelas.

Pasal 56 Cukup jelas.

Pasal 57 Cukup jelas.

Pasal 58

Ayat (1)

Pengembalian dapat berupa penolakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagai bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, atau berupa permintaan untuk melengkapi, memperbaiki atau mengganti kelengkapan dokumen.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Page 164: Dokumentasi dan Informasi Hukum

160

Ayat (3)

Dalam menyusun peraturan KPU, KPU berkoordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 59 Cukup jelas.

Pasal 60 Cukup jelas.

Pasal 61 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari masyarakat” adalah yang berkaitan dengan persyaratan administrasi calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang disertai identitas diri pemberi masukan dan tanggapan.

Ayat (6)

Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurang­kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama satu hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama satu hari.

Pasal 62 Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64 Cukup jelas.

Page 165: Dokumentasi dan Informasi Hukum

161

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Ayat (1)

Pengumuman Daftar Calon Tetap oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dalam ketentuan ini dilakukan sekurang­kurangnya pada 1 (satu) media cetak dan media elektronik nasional untuk Daftar Calon Tetap anggota DPR dan 1 (satu) media cetak dan media elektronik daerah untuk Daftar Calon Tetap anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota selama satu hari.

Ayat (2)

Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurang­kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama satu hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama satu hari.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 67

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

1) Bukti kelulusan dalam bentuk fotokopi yang dilegalisasi atas ijazah, sTTB, syahadah dari satuan pendidikan yang terakreditasi, atau ijazah, syahadah, STTB, sertifikat, dan surat keterangan lain yang menerangkan kelulusan dari satuan pendidikan atau program pendidikan yang diakui sama dengan kelulusan satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah. Termasuk dalam kategori ini adalah surat keterangan lain yang menerangkan bahwa seseorang diangkat sebagai guru atau dosen berdasarkan keahliannya sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

2) KPU dalam menyusun peraturan KPU dalam kaitan ini berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama.

Page 166: Dokumentasi dan Informasi Hukum

162

3) Legalisasi oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan, kantor wilayah/kantor Departemen Agama sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPD.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Pasal 68 Cukup jelas.

Pasal 69 Cukup jelas.

Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Peran KPU kabupaten/kota terbatas verifikasi terhadap dukungan minimal Pemilih.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Page 167: Dokumentasi dan Informasi Hukum

163

Pasal 71

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu penyebarluasan pengumuman tersebut di daerah masing­masing.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 72

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari masyarakat” adalah yang berkaitan dengan persyaratan administrasi calon sementara anggota DPD dan dapat disampaikan melalui KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu”

Page 168: Dokumentasi dan Informasi Hukum

164

antara lain organisasi sayap partai politik Peserta Pemilu dan organisasi penyelenggara kegiatan (event organizer).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah suatu keadaan yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan kegiatan masyarakat dapat berlangsung sebagaimana biasanya.

Page 169: Dokumentasi dan Informasi Hukum

165

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan” pada ayat ini adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dilarang mengikutsertakan” pada ayat ini adalah dilarang secara aktif melibatkan pejabat dan/atau pegawai negeri sipil serta anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kegiatan kampanye pemilihan umum sebagai panitia pelaksana kampanye dan/atau juru kampanye.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Yang dimaksud menjanjikan atau memberi adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana kampanye yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi pemilih.

Page 170: Dokumentasi dan Informasi Hukum

166

Yang dimaksud materi dalam Pasal ini tidak termasuk barang­barang yang merupakan atribut kampanye pemilu, antara lain kaos, bendera, topi dan atribut lainya.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dilarang berisikan hal yang dapat mengganggu kenyamanan” antara lain bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan; memperolok­olokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai­nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kesempatan yang sama” adalah peluang yang sama untuk menggunakan kolom pada media cetak dan jam tayang pada lembaga penyiaran bagi semua peserta kampanye.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Page 171: Dokumentasi dan Informasi Hukum

167

Pasal 94

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “blocking segment” adalah kolom pada media cetak dan sub­acara pada lembaga penyiaran yang digunakan untuk keperluan pemberitaan bagi publik.

Yang dimaksud dengan “blocking time” adalah hari/tanggal penerbitan media cetak dan jam tayang pada lembaga penyiaran yang digunakan untuk keperluan pemberitaan bagi publik.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Komisi Penyiaran Indonesia” adalah Komisi sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Yang dimaksud dengan “Dewan Pers” adalah Dewan sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Page 172: Dokumentasi dan Informasi Hukum

168

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100 KPU dalam merumuskan peraturan tentang pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemberian sanksi berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “tindak pidana pemilu pada tahap pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan”, antara lain: tidak adil terhadap peserta pemilu, mengubah jadwal yang menguntungkan salah satu peserta pemilu dan merugikan peserta lain, melepas atau menyobek alat peraga kampanye, merusak tempat kampanye, berbuat keonaran, mengancam pelaksana dan atau peserta kampanye.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Page 173: Dokumentasi dan Informasi Hukum

169

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “tindak pidana pemilu pada tahap pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan”, antara lain: tidak adil terhadap peserta pemilu, mengubah jadwal yang menguntungkan salah satu peserta pemilu dan merugikan peserta lain, melepas atau menyobek alat peraga kampanye, merusak tempat kampanye, berbuat keonaran, mengancam pelaksana dan atau peserta kampanye.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Page 174: Dokumentasi dan Informasi Hukum

170

Pasal 114

Ayat (1)

Penyelesaian dalam ketentuan ini dapat berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan kampanye.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Cukup jelas.

Pasal 118

Cukup jelas.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Cukup jelas.

Page 175: Dokumentasi dan Informasi Hukum

171

Pasal 124

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “menetapkan penyelesaian” dapat bersifat final, dapat juga bersifat tindak lanjut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Cukup jelas.

Pasal 127

Cukup jelas.

Pasal 128

Cukup jelas.

Pasal 129

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak berasal dari tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal dari perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan.

Page 176: Dokumentasi dan Informasi Hukum

172

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “jasa” adalah pelayanan/pekerjaan yang dilakukan pihak lain yang manfaatnya dinikmati oleh penerima jasa.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Termasuk yang harus dibukukan adalah kontrak­kontrak yang dibuat maupun pengeluaran yang dilakukan sebelum masa yang diatur dalam ketentuan ini tetapi pelaksanaan dan penggunaannya dilakukan pada saat kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2).

Pasal 130

Cukup jelas.

Pasal 131

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”identitas yang jelas” adalah nama dan alamat penyumbang.

Pasal 132

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak berasal dari tindak pidana,

Page 177: Dokumentasi dan Informasi Hukum

173

bersifat tidak mengikat, berasal dari perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “jasa” adalah pelayanan/pekerjaan yang dilakukan pihak lain yang manfaatnya dinikmati oleh penerima jasa.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 133

Cukup jelas.

Pasal 134

Cukup jelas.

Pasal 135

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Pengumuman dapat dilakukan melalui papan pengumuman dan internet.

Pasal 136

Ayat (1)

Dalam menetapkan kantor akuntan publik yang memenuhi persyaratan di setiap provinsi, KPU bekerja sama dan memperhatikan masukan dari Ikatan Akuntan Indonesia.

Page 178: Dokumentasi dan Informasi Hukum

174

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 137

Cukup jelas.

Pasal 138

Cukup jelas.

Pasal 139

Cukup jelas.

Pasal 140

Cukup jelas.

Pasal 141

Cukup jelas.

Pasal 142

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dukungan perlengkapan pemungutan suara lainnya” meliputi sampul kertas, tanda pengenal KPPs/KPPsLN, tanda pengenal petugas keamanan TPs/TPsLN, tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem/perekat, kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan alat bantu tuna netra.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Page 179: Dokumentasi dan Informasi Hukum

175

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 143

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

KPU menetapkan peraturan tentang format surat suara setelah berkonsultasi dengan Pemerintah dan DPR.

Pasal 144

Cukup jelas.

Pasal 145

Cukup jelas.

Pasal 146

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “memverifikasi jumlah”: - surat suara yang telah dicetak adalah memverifikasi jumlah surat suara

yang dicetak sesuai dengan ketentuan; ­ surat suara yang dicetak yang tidak sesuai dengan ketentuan untuk

dimusnahkan; - surat suara yang dikirim adalah memverifikasi jumlah surat suara yang

sudah dikirim ke KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota; - surat suara yang masih tersimpan adalah memverifikasi jumlah surat

suara yang masih tersimpan di percetakan.

Page 180: Dokumentasi dan Informasi Hukum

176

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 147

Cukup jelas.

Pasal 148

Cukup jelas.

Pasal 149

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

selain menunjukkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, pemilih harus menunjukkan kartu tanda penduduk atau identitas lainnya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 150

Cukup jelas.

Pasal 151

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Petugas yang menangani ketenteraman, ketertiban, dan keamanan dalam ketentuan ini berasal dari satuan pertahanan sipil/perlindungan masyarakat.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Page 181: Dokumentasi dan Informasi Hukum

177

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 152

Cukup jelas.

Pasal 153

Cukup jelas.

Pasal 154

Cukup jelas.

Pasal 155

Cukup jelas.

Pasal 156

Cukup jelas.

Pasal 157

Cukup jelas.

Pasal 158

Ayat (1)

Huruf a

Pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPsLN dalam melaksanakan haknya untuk memilih menunjukkan alat bukti diri berupa paspor atau keterangan lain yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 159

Cukup jelas.

Page 182: Dokumentasi dan Informasi Hukum

178

Pasal 160

Cukup jelas.

Pasal 161

Cukup jelas.

Pasal 162

Cukup jelas.

Pasal 163

Cukup jelas.

Pasal 164

Cukup jelas.

Pasal 165

Cukup jelas.

Pasal 166

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tanda khusus” adalah tanda yang menandai pemilih dengan tinta sehingga tanda itu jelas dan mudah terlihat, tidak terhapus sampai penghitungan suara dilaksanakan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 167

Cukup jelas.

Pasal 168

Cukup jelas.

Pasal 169

Cukup jelas.

Pasal 170

Cukup jelas.

Page 183: Dokumentasi dan Informasi Hukum

179

Pasal 171

Cukup jelas.

Pasal 172

Cukup jelas.

Pasal 173

Cukup jelas.

Pasal 174

Cukup jelas.

Pasal 175

Cukup jelas.

Pasal 176

Cukup jelas.

Pasal 177

Cukup jelas.

Pasal 178

Cukup jelas.

Pasal 179

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Format berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menyediakan tempat untuk memuat hasil penghitungan suara dan penandatanganannya di halaman yang sama. Dalam hal penyediaan tempat dimaksud tidak memungkinkan, KPU menyediakan kolom untuk tanda tangan pada setiap halaman.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 180

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Sertifikat hasil penghitungan suara yang disampaikan kepada saksi peserta pemilu dan Panwaslu lapangan yang hadir memuat surat suara yang diterima,

Page 184: Dokumentasi dan Informasi Hukum

180

yang digunakan, yang rusak, yang keliru di coblos, sisa surat suara cadangan, jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap, dan dari TPs lain, serta jumlah perolehan suara sah tiap peserta pemilu.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “surat suara” adalah surat suara terpakai, surat suara tidak terpakai, surat suara rusak, dan sisa surat suara cadangan yang masing­masing dimasukkan ke dalam amplop terpisah.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 181

Cukup jelas.

Pasal 182

Cukup jelas.

Pasal 183

Cukup jelas.

Pasal 184

Cukup jelas.

Pasal 187

Yang dimaksud dengan “surat suara” adalah surat suara terpakai, surat suara tidak terpakai, surat suara rusak, dan sisa surat suara cadangan yang masing­masing dimasukkan ke dalam amplop terpisah.

Pasal 186

Cukup jelas.

Pasal 187

Cukup jelas.

Pasal 188

Cukup jelas.

Page 185: Dokumentasi dan Informasi Hukum

181

Pasal 189

Cukup jelas.

Pasal 190

Cukup jelas.

Pasal 191

Cukup jelas.

Pasal 192

Cukup jelas.

Pasal 193

Cukup jelas.

Pasal 194

Cukup jelas.

Pasal 195

Cukup jelas.

Pasal 196

Cukup jelas.

Pasal 197

Cukup jelas.

Pasal 198

Cukup jelas.

Pasal 199

Cukup jelas.

Pasal 200

Cukup jelas.

Pasal 201

Cukup jelas.

Pasal 202

Cukup jelas.

Page 186: Dokumentasi dan Informasi Hukum

182

Pasal 203

Cukup jelas.

Pasal 204

Cukup jelas.

Pasal 205

Cukup jelas.

Pasal 206

Cukup jelas.

Pasal 207

Cukup jelas.

Pasal 208

Cukup jelas.

Pasal 209

Cukup jelas.

Pasal 210

Cukup jelas.

Pasal 211

Cukup jelas.

Pasal 212

Cukup jelas.

Pasal 213

Cukup jelas.

Pasal 214

Cukup jelas.

Pasal 215

Cukup jelas.

Pasal 216

Cukup jelas.

Pasal 217

Cukup jelas.

Page 187: Dokumentasi dan Informasi Hukum

183

Pasal 218

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pengunduran diri calon terpilih yang dimaksud dalam ketentuan ini dinyatakan dengan surat penarikan pencalonan calon terpilih oleh Partai Politik Peserta Pemilu berdasarkan surat pengunduran diri calon terpilih yang bersangkutan.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 219

Cukup jelas.

Pasal 220

Cukup jelas.

Pasal 221

Cukup jelas.

Pasal 222

Cukup jelas.

Pasal 223

Cukup jelas.

Page 188: Dokumentasi dan Informasi Hukum

184

Pasal 224

Cukup jelas.

Pasal 225

Cukup jelas.

Pasal 226

Cukup jelas.

Pasal 227

Cukup jelas.

Pasal 228

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pemilu lanjutan” adalah Pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 229

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pemilu susulan” adalah Pemilu untuk melaksanakan semua tahapan Pemilu yang tidak dapat dilaksanakan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 230

Cukup jelas.

Pasal 231

Cukup jelas.

Pasal 232

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di negara lain dibuktikan dengan rekam jejak yang bersangkutan.

Page 189: Dokumentasi dan Informasi Hukum

185

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 233

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud ”daerah yang ingin dipantau” adalah wilayah administrasi pemerintahan dapat berupa desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 234

Ayat (1)

Cukup jelas.

Page 190: Dokumentasi dan Informasi Hukum

186

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Persyaratan bagi pemantau luar negeri sesuai dengan persyaratan bagi pemantau sebagaimana termuat di Pasal 232.

Pasal 235

Cukup jelas.

Pasal 236

Cukup jelas.

Pasal 237

Cukup jelas.

Pasal 238

Huruf a

Yang dimaksud dengan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilu antara lain penggunaan alat elektronik yang dapat mengganggu sistem komunikasi dan informasi Pemilu.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Page 191: Dokumentasi dan Informasi Hukum

187

Huruf j

Cukup jelas.

Pasal 239

Cukup jelas.

Pasal 240

Cukup jelas.

Pasal 241

Yang dimaksud dengan “menindaklanjuti penetapan pencabutan status dan hak pemantau asing” dalam ketentuan ini adalah melakukan tindakan hukum yang diperlukan terhadap pemantau asing sesuai dengan ketentuan perundang­undangan.

Pasal 242

Pelaporan rencana pelaksanaan kegiatan pemantauan Pemilu kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dimaksudkan agar KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dapat mengatur keseimbangan distribusi penempatan pemantau Pemilu sehingga tidak terjadi penumpukan pemantau Pemilu di suatu lokasi tertentu.

Pelaporan rencana kegiatan pemantauan oleh pemantau kepada kepolisian ditujukan untuk memudahkan kepolisian memberikan pelayanan perlindungan hukum dan keamanan sesuai ketentuan Pasal 236 ayat (1) huruf a, disamping untuk memenuhi kewajiban melaporkan diri.

Bagi pemantau dalam negeri, pelaporan rencana pemantauan Pemilu disesuaikan dengan cakupan pemantauan. Dalam hal cakupan pemantauan meliputi hanya satu wilayah kabupaten/kota saja, pelaporan kehadiran pemantau di kabupaten/kota tersebut dilaporkan kepada kepala kepolisian resor setempat. Dalam hal cakupan pemantauan meliputi lebih dari satu kabupaten/kota, maka pelaporan dilakukan kepada kepala kepolisian daerah provinsi.

Bagi pemantau asing, pelaporan rencana pemantauan Pemilu ditujukan kepada kepala kepolisian daerah provinsi, mengikuti ketentuan perundang­undangan yang mengatur pelaporan keberadaan orang asing.

Pasal 243

Cukup jelas.

Page 192: Dokumentasi dan Informasi Hukum

188

Pasal 244

Cukup jelas.

Pasal 245

Cukup jelas.

Pasal 246

Cukup jelas.

Pasal 247

Cukup jelas.

Pasal 248

Cukup jelas.

Pasal 249

Cukup jelas.

Pasal 250

Cukup jelas.

Pasal 251

Cukup jelas.

Pasal 252

Cukup jelas.

Pasal 253

Cukup jelas.

Pasal 254

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “hakim khusus” adalah hakim karier pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Page 193: Dokumentasi dan Informasi Hukum

189

Pasal 255

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “upaya hukum lain” adalah kasasi ataupun peninjauan kembali (PK).

Pasal 256

Cukup jelas.

Pasal 257

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan” dalam ketentuan ini adalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas. Cukup jelas.

Pasal 258

Cukup jelas.

Pasal 259

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara” yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi hanya yang berkaitan dengan yang dimohonkan untuk dibatalkan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Page 194: Dokumentasi dan Informasi Hukum

190

Pasal 260

Cukup jelas.

Pasal 261

Cukup jelas.

Pasal 262

Cukup jelas.

Pasal 263

Cukup jelas.

Pasal 264

Cukup jelas.

Pasal 265

Cukup jelas.

Pasal 266

Cukup jelas.

Pasal 267

Cukup jelas.

Pasal 268

Cukup jelas.

Pasal 269

Cukup jelas.

Pasal 270

Cukup jelas.

Pasal 271

Cukup jelas.

Pasal 272

Cukup jelas. Cukup jelas.

Pasal 273

Cukup jelas.

Page 195: Dokumentasi dan Informasi Hukum

191

Pasal 274

Cukup jelas.

Pasal 275

Cukup jelas.

Pasal 276

Cukup jelas.

Pasal 277

Cukup jelas.

Pasal 278

Cukup jelas.

Pasal 279

Cukup jelas.

Pasal 280

Cukup jelas.

Pasal 281

Cukup jelas.

Pasal 282

Cukup jelas.

Pasal 283

Cukup jelas.

Pasal 284

Cukup jelas.

Pasal 285

Cukup jelas.

Pasal 286

Cukup jelas.

Pasal 287

Cukup jelas.

Page 196: Dokumentasi dan Informasi Hukum

192

Pasal 288

Cukup jelas.

Pasal 289

Cukup jelas.

Pasal 290

Cukup jelas.

Pasal 291

Cukup jelas.

Pasal 292

Yang dimaksud dengan “pekerjaan tidak bisa ditinggalkan” adalah pekerjaan yang penanganannya tidak dapat digantikan oleh orang lain atau pekerjaan tersebut tidak dapat dihentikan, misalnya tenaga medis dan paramedis yang sedang melakukan operasi, penjaga mercu suar, dan lain­lain.

Pasal 293

Cukup jelas.

Pasal 294

Cukup jelas.

Pasal 295

Cukup jelas.

Pasal 296

Cukup jelas.

Pasal 297

Cukup jelas.

Pasal 298

Cukup jelas.

Pasal 299

Cukup jelas.

Pasal 300

Cukup jelas.

Page 197: Dokumentasi dan Informasi Hukum

193

Pasal 301

Cukup jelas.

Pasal 302

Cukup jelas.

Pasal 303

Cukup jelas.

Pasal 304

Cukup jelas.

Pasal 305

Cukup jelas.

Pasal 306

Cukup jelas.

Pasal 307

Cukup jelas.

Pasal 308

Cukup jelas.

Pasal 309

Cukup jelas.

Pasal 310

Cukup jelas.

Pasal 311

Cukup jelas.

Pasal 312

Cukup jelas.

Pasal 313

Cukup jelas.

Pasal 314

Cukup jelas.

Page 198: Dokumentasi dan Informasi Hukum

194

Pasal 315

Cukup jelas.

Pasal 316

Cukup jelas.

Pasal 317

Cukup jelas.

Pasal 318

Cukup jelas.

Pasal 319

Cukup jelas.

Pasal 320

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4836

Page 199: Dokumentasi dan Informasi Hukum

195

LAMPIRAN

UNDANG­UNDANG REPUBLIK INDONEsIA

NOMOR 10 TAHUN 2008

TANGGAL : 31 MARET 2008

PEMBAGIAN DAERAH PEMILIHAN ANGGOTA DPR RI

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

1. Nanggroe Aceh Darussalam

13 Nanggroe Aceh Darussalam I

7 Kab. Aceh Barat1.

Kab. Aceh Barat Daya2.

Kab. Aceh Besar3.

Kab. Aceh Jaya4.

Kab. Aceh selatan5.

Kab. Aceh singkil6.

Kota subulussalam7.

Kota Banda Aceh8.

Kab. Nagan Raya9.

Kab. simeulue10.

Kab. Gayo Luwes11.

Kota sabang12.

Kab. Aceh Tenggara13.

Kab. Pidie14.

Kab. Pidie Jaya15.

Nanggroe Aceh Darussalam II

6 Kab. Aceh Tamiang1.

Kab. Bener Meriah2.

Kab. Aceh Tengah3.

Kab. Aceh Timur4.

Kab. Aceh Utara5.

Kab. Bireuen6.

Kota Langsa7.

Kota Lhokseumawe8.

Page 200: Dokumentasi dan Informasi Hukum

196

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

2. sumatera Utara 30 sumatera Utara I 10 Kota Medan1. Kab. Deli serdang2. Kab. serdang Bedagai3. Kota Tebing Tinggi4.

sumatera Utara II 10 Kab. Labuhan Batu1. Kab. Tapanuli selatan 2. Kota Padang sidempuan3. Kab. Mandailing Natal4. Kab. Nias5. Kab. Nias selatan6. Kota sibolga7. Kab. Tapanuli Tengah8. Kab. Tapanuli Utara9. Kab. Humbang Hasundutan10. Kab. Toba samosir11. Kab. samosir12. Kab. Padang Lawas Utara13. Kab. Padang Lawas14.

sumatera Utara III 10 Kab. Asahan1. Kota Tanjung Balai2. Kota Pematang siantar3. Kab. simalungun4. Kab. Pakpak Bharat5. Kab. Dairi6. Kab. Karo7. Kota Binjai8. Kab. Langkat9. Kab. Batubara10.

3. sumatera Barat 14 sumatera Barat I 8 Kab. Kepulauan Mentawai1. Kab. Pesisir selatan2. Kota Padang3. Kota solok4. Kab. solok5. Kab. solok selatan6. Kota sawah Lunto7. Kab. sijunjung8. Kab. Dharmasraya9. Kota Padang Panjang10. Kab. Tanah Datar11.

sumatera Barat II 6 Kab. Pasaman1. Kab. Pasaman Barat2. Kota Payakumbuh3. Kab. Lima puluh Koto4. Kota Bukittinggi5. Kab. Agam6. Kota Pariaman7. Kab. Padang Pariaman8.

Page 201: Dokumentasi dan Informasi Hukum

197

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

4. Riau 11 Riau I 6 Kab. siak1. Kota Pakanbaru2. Kab. Rokan Hilir3. Kab. Rokan Hulu4. Kab. Bengkalis5. Kota Dumai6.

Riau II 5 Kab. Kuantan singingi1. Kab. Indragiri Hulu2. Kab. Indragiri Hilir3. Kab. Pelalawan4. Kab. Kampar5.

5. Kepulauan Riau 3 Kepulauan Riau 3 Kota Batam1. Kab. Karimun2. Kab. Bintan3. Kab. Lingga4. Kab. Natuna5. Kota Tanjung Pinang6.

6. Jambi 7 Jambi 7 Kab. Kerinci1. Kab. Merangin2. Kab. sarolangun3. Kab. Batang Hari4. Kab. Muaro Jambi5. Kab. Tanjung Jabung Timur6. Kab. Tanjung Jabung Barat7. Kab. Tebo8. Kab. Bungo9. Kota Jambi10.

7. sumatera selatan

17 sumatera selatan I

8 Kab. Banyuasin1. Kab. Musi Banyu Asin2. Kab. Musi Rawas3. Kota Palembang4. Kota Lubuk Linggau5.

sumatera selatan II

9 Kab. Muara Enim1. Kab. Lahat2. Kab. Ogan Komering Ulu3. Kab. Ogan Komering Ulu 4. Timur Kab. Ogan Komering Ulu 5. selatanKota Pagar Alam6. Kota Prabumulih7. Kab. Ogan Komering Ilir8. Kab. Ogan Ilir9. Kab. Empat Lawang10.

Page 202: Dokumentasi dan Informasi Hukum

198

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

8. Bangka Belitung 3 Bangka Belitung 3 Kab. Bangka 1.

Kab. Belitung2.

Kab. Belitung Timur3.

Kab. Bangka selatan4.

Kab. Bangka Tengah5.

Kab. Bangka Barat6.

Kota Pangkal Pinang7.

9. Bengkulu 4 Bengkulu 4 Kota Bengkulu1.

Kab. Bengkulu selatan2.

Kab. Kaur3.

Kab. seluma4.

Kab. Rejang Lebong5.

Kab. Lebong6.

Kab. Kepahiang7.

Kab. Bengkulu Utara8.

Kab. Muko Muko9.

10. Lampung 18 Lampung I 9 Kota Bandar Lampung1.

Kab. Lampung Barat2.

Kab. Lampung selatan3.

Kab. Tanggamus4.

Kab. Pesawaran5.

Kota Metro6.

Lampung II 9 Kab. Lampung Tengah1.

Kab. Lampung Utara2.

Kab. Tulang Bawang3.

Kab. Way Kanan4.

Kab. Lampung Timur5.

11. DKI Jakarta 21 DKI Jakarta I 6 Kodya Jakarta Timur1.

DKI Jakarta II 7 Kodya Jakarta Pusat + 1. Luar Negeri

Kodya Jakarta selatan2.

DKI Jakarta III 8 Kodya Jakarta Barat1.

Kodya Jakarta Utara2.

Kab Adm. Kepulauan 3. seribu

Page 203: Dokumentasi dan Informasi Hukum

199

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

12. Jawa Barat 91 Jawa Barat I 7 Kota Bandung1. Kota Cimahi2.

Jawa Barat II 10 Kab. Bandung1. Kab. Bandung Barat2.

Jawa Barat III 9 Kab. Cianjur1. Kota Bogor2.

Jawa Barat IV 6 Kab. sukabumi1. Kota sukabumi2.

Jawa Barat V 9 Kab. Bogor1.

Jawa Barat VI 6 Kota Bekasi1. Kota Depok2.

Jawa Barat VII 10 Kab. Purwakarta1. Kab. Karawang2. Kab. Bekasi 3.

Jawa Barat VIII 9 Kab. Cirebon1. Kab. Indramayu2. Kota Cirebon3.

Jawa Barat IX 8 Kab. Majalengka1. Kab. sumedang2. Kab. subang3.

Jawa Barat X 7 Kab. Ciamis1. Kab. Kuningan2. Kota Banjar3.

Jawa Barat XI 10 Kab. Garut1. Kab. Tasikmalaya2. Kota Tasikmalaya3.

13. Banten 22 Banten I 6 Kab. Pandeglang1. Kab. Lebak2.

Banten II 6 Kota Cilegon1. Kab. serang2. Kota serang3.

Banten III 10 Kab. Tangerang1. Kota Tangerang2.

Page 204: Dokumentasi dan Informasi Hukum

200

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

14. Jawa Tengah 77 Jawa Tengah I 8 Kab. semarang1. Kab. Kendal2. Kota salatiga3. Kota semarang4.

Jawa Tengah II 7 Kab. Kudus1. Kab. Jepara2. Kab. Demak3.

Jawa Tengah III 9 Kab. Grobogan1. Kab. Blora2. Kab. Rembang3. Kab. Pati4.

Jawa Tengah IV 7 Kab. Wonogiri1. Kab. Karanganyar2. Kab. sragen3.

Jawa Tengah V 8 Kab. Boyolali1. Kab. Klaten2. Kab. sukoharjo3. Kota surakarta4.

Jawa Tengah VI 8 Kab. Purworejo1. Kab. Wonosobo2. Kab. Magelang3. Kab. Temanggung4. Kota Magelang5.

Jawa Tengah VII 7 Kab. Purbalingga1. Kab.2.

BanjarnegaraKab. Kebumen3.

Jawa Tengah VIII 8 Kab. Cilacap1. Kab. Banyumas2.

Jawa Tengah IX 8 Kab. Tegal1. Kab. Brebes2. Kota Tegal3.

Jawa Tengah X 7 Kab. Batang1. Kab. Pekalongan2. Kab. Pemalang3. Kota Pekalongan4.

15. Daerah Istimewa Yogyakarta

8 Daerah Istimewa Yogyakarta

8 Kab. Kulonprogo1. Kab. Bantul2. Kab. Gunung Kidul3. Kab. sleman4. Kota Yogyakarta5.

Page 205: Dokumentasi dan Informasi Hukum

201

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

16. Jawa Timur 87 Jawa Timur I 10 Kota surabaya1. Kab. sidoarjo2.

Jawa Timur II 7 Kab. Pasuruan1. Kota Probolinggo2. Kota Pasuruan3. Kab. Probolinggo4.

Jawa Timur III 7 Kab. Bondowoso1. Kab. Banyuwangi2. Kab. situbondo3.

Jawa Timur IV 8 Kab. Lumajang1. Kab. Jember2.

Jawa Timur V 8 Kota Malang1. Kota Batu2. Kab. Malang3.

Jawa Timur VI 9 Kab. Tulungagung1. Kota Kediri2.

Kota Blitar3. Kab. Kediri4. Kab. Blitar5.

Jawa Timur VII 8 Kab. Pacitan1. Kab. Ponorogo2. Kab. Trenggalek3. Kab. Magetan4. Kab. Ngawi5.

Jawa Timur VIII 10 Kab. Jombang1. Kab. Nganjuk2. Kab. Madiun3. Kota Mojokerto4. Kota Madiun5. Kab. Mojokerto6.

Jawa Timur IX 6 Kab. Bojonegoro1. Kab. Tuban2.

Jawa Timur X 6 Kab. Lamongan1. Kab. Gresik2.

Jawa Timur XI 8 Kab. Bangkalan1. Kab. Pamekasan2. Kab. sampang3. Kab. sumenep4.

Page 206: Dokumentasi dan Informasi Hukum

202

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

17. Bali 9 Bali 9 Kab. Jembrana1. Kab. Tabanan2. Kab. Badung3. Kab. Gianyar4. Kab. Klungkung5. Kab. Bangli6. Kab. Karangasem7. Kab. Buleleng8. Kota Denpasar9.

18. Nusa Tenggara Barat

10 Nusa Tenggara Barat

10 Kab. Lombok Barat1. Kab. Lombok Tengah2. Kab. Lombok Timur3. Kab. sumbawa4. Kab. sumbawa Barat5. Kab. Dompu6. Kab. Bima7. Kota Mataram8. Kota Bima9.

19. Nusa Tenggara Timur

13 Nusa Tenggara Timur I

6 Kab. Manggarai Barat1. Kab. Manggarai2. Kab. Ngada3. Kab. Ende4. Kab. sikka5. Kab. Flores Timur6. Kab. Lembata7. Kab. Alor8. Kab. Nagekeo9. Kab. Manggarai Timur10.

Nusa Tenggara Timur II

7 Kab. sumba Barat1.

Kab. sumba Tengah2.

Kab. sumba Barat Daya3.

Kab. sumba Timur4.

Kab. Rote Ndao5.

Kab. Kupang6.

Kota Kupang7.

Kab. Belu8.

Kab. Timor Tengah Utara9.

Kab. Timor Tengah selatan10.

Page 207: Dokumentasi dan Informasi Hukum

203

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

20. Kalimantan Barat 10 Kalimantan Barat 10 Kab. sambas1. Kab. Bengkayang2. Kab. Landak3. Kab. Pontianak4. Kab. sanggau5. Kab. sekadau6. Kab. Ketapang7. Kab. sintang8. Kab. Melawi9. Kab. Kapuas Hulu10. Kota Pontianak11. Kota singkawang12. Kab. Kayong Utara13. Kab. Kubu Raya14.

21. Kalimantan Tengah

6 Kalimantan Tengah

6 Kab. Kotawaringin Barat1. Kab. Kotawaringin Timur2. Kab. Kapuas3. Kab. Barito selatan4. Kab. Barito Utara5. Kab. sukamara6. Kab. Lamandau7. Kab. seruyan8. Kab. Katingan9. Kab. Pulang Pisau10. Kab. Gunung Mas11. Kab. Barito Timur12. Kab. Murung Raya13. Kota Palangkaraya14.

22. Kalimantan selatan

11 Kalimantan selatan I

6 Kab. Banjar1. Kab. Barito Kuala2. Kab. Tapin3. Kab. Hulu sungai selatan4. Kab. Hulu sungai Tengah5. Kab. Hulu sungai Utara6. Kab. Tabalong7. Kab. Balangan8.

Kalimantan selatan II

5 1. Kab. Tanah Laut2. Kab. Kota Baru3. Kab. Tanah Bumbu4. Kota Banjarmasin5. Kota Banjar Baru

Page 208: Dokumentasi dan Informasi Hukum

204

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

23. Kalimantan Timur

8 Kalimantan Timur 8 Kab. Paser1. Kab. Kutai Barat2. Kab. Kutai Kartanegara3. Kab. Kutai Timur4. Kab. Berau5. Kab. Malinau6. Kab. Bulungan7. Kab. Nunukan8. Kab. Penajam Paser Utara9. Kota Balikpapan10. Kota samarinda11. Kota Tarakan12. Kota Bontang13. Kab. Tana Tidung14.

24. sulawesi Utara 6 sulawesi Utara 6 Kab. Bolaang Mongondow1. Kab. Minahasa2. Kab. Minahasa Utara3. Kab. Kepulauan sangihe4. Kab. Kepulauan Talaud5. Kab. Minahasa selatan6. Kota Manado7. Kota Bitung8. Kota Tomohon9. Kab. Minahasa Tenggara10. Kab. Bolaang Mongondow 11. UtaraKab. siau Tagulandang 12. BiaroKota Kotamobagu13.

25. Gorontalo 3 Gorontalo 3 Kab. Boalemo1. Kab. Gorontalo2. Kab. Pohuwato3. Kab. Bone Bolango4. Kota Gorontalo5. Kab. Gorontalo Utara6.

26. sulawesi Tengah 6 sulawesi Tengah 6 Kab. Banggai Kepulauan1. Kab. Banggai2. Kab. Morowali3. Kab. Poso4. Kab. Tojo Una­una5. Kab. Donggala6. Kab. Toli­Toli7. Kab. Buol8. Kab. Parigi Moutong9. Kota Palu10.

Page 209: Dokumentasi dan Informasi Hukum

205

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

27. sulawesi selatan 24 sulawesi selatan I 8 Kab. selayar1. Kab. Bantaeng2. Kab. Jeneponto3. Kab. Takalar4. Kab. Gowa5. Kota Makassar 6.

sulawesi selatan II 9 Kab. sinjai1. Kab. Bone2. Kab. Maros3. Kab. Bulukumba4. Kab. Pangkajene 5. KepulauanKab. Barru6. Kota Pare Pare7. Kab. soppeng8. Kab. Wajo9.

sulawesi selatan III

7 Kab. sidenrang Rapang1. Kab. Enrekang2. Kab. Luwu3. Kab. Tanah Toraja4. Kab. Luwu Utara5. Kab. Luwu Timur6. Kab. Pinrang7. Kota Palopo8.

28. sulawesi Tenggara

5 sulawesi Tenggara 5 Kab. Buton1. Kab. Wakatobi2. Kab. Bombana3. Kab. Muna4. Kab. Konawe5. Kab. Kolaka6. Kab. Kolaka Utara7. Kab. Konawe selatan8. Kota Kendari9. Kota Bau Bau10. Kab. Konawe Utara11. Kab. Buton Utara12.

29. sulawesi Barat 3 sulawesi Barat 3 Kab. Mamuju Utara1. Kab. Mamuju2. Kab. Mamasa3. Kab. Polewali Mamasa4. Kab. Majene5.

Page 210: Dokumentasi dan Informasi Hukum

206

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

30. Maluku 4 Maluku 4 Kab. Maluku Tenggara 1. BaratKab. Maluku Tenggara 2. Kab. Kepulauan Aru3. Kab. Maluku Tengah 4. Kab. seram Bagian Barat5. Kab. seram Bagian Timur6. Kab. Buru7. Kota Ambon8. Kota Tual9.

31. Maluku Utara 3 Maluku Utara 3 Kab. Halmahera Barat1. Kab. Halmahera Tengah2. Kab. Kepulauan sula3. Kab. Halmahera selatan4. Kab. Halmahera Utara5. Kab. Halmahera Timur6. Kota Ternate7. Kota Tidore Kepulauan8.

32. Papua 10 Papua 10 Kab. Merauke1. Kab. Jayawijaya2. Kab. Jayapura3. Kab. Nabire4. Kab. Yapen Waropen5. Kab. Biak Numfor6. Kab. supiori7. Kab. Paniai8. Kab. Puncak Jaya9. Kab. Mimika10. Kab. Boven Digul11. Kab. Mappi12. Kab. Asmat13. Kab. Yahukimo14. Kab. Pegunungan Bintang15. Kab. Tolikara16. Kab. sarmi17. Kab. Keerom18. Kab. Waropen19. Kota Jayapura20. Kab. Mamberamo Raya21. Kab. Yalimo22. Kab. Mamberamo Tengah23. Kab. Nduga24. Kab. Lanny Jaya25. Kab. Puncak26. Kab. Dogiyai27.

Page 211: Dokumentasi dan Informasi Hukum

207

NO. PROVINsI JUMLAH KURsI NAMA DAPIL

JUMLAH KURsI

PER DAPILWILAYAH DAPIL

(Nama Kabupaten/Kota))

33. Papua Barat 3 Papua Barat 3 Kab. Fak­fak1. Kab. sorong2. Kab. Manokwari3. Kab. Kaimana4. Kab. sorong selatan5. Kab. Raja Ampat6. Kab. Teluk Bintuni7. Kab. Teluk Wondama8. Kota sorong9.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 212: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 213: Dokumentasi dan Informasi Hukum

209

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2008

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANGNOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA

MENJADI UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. bahwa di Provinsi Papua Barat belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

c. bahwa Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan suatu kebijakan khusus dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua agar dapat setara dengan daerah lain;

d. bahwa karena pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

Page 214: Dokumentasi dan Informasi Hukum

210

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang­Undang;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151);

3. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG­UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG­UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAs UNDANG­UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUsUs BAGI PROVINsI PAPUA MENJADI UNDANG­UNDANG.

Pasal 1

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Page 215: Dokumentasi dan Informasi Hukum

211

Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4842) ditetapkan menjadi Undang­Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang­Undang ini.

Pasal 2 Undang­Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang­Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta

Pada Tanggal 25 Juli 2008

Presiden Republik Indonesia,

Ttd.

Dr. H. susilo Bambang Yudhoyono

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 25 Juli 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK AsAsI MANUsIA

REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2008 NOMOR 112

Page 216: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 217: Dokumentasi dan Informasi Hukum

213

PENJELASANATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2008

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANGNOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA

MENJADI UNDANG-UNDANG

I. UMUM

Pemberlakuan otonomi khusus di Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik, serta infrastruktur.

sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, untuk memberikan landasan hukum yang kuat dalam pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua Barat yang wilayahnya pada saat ini meliputi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak­Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten sorong selatan,

Page 218: Dokumentasi dan Informasi Hukum

214

dan Kota sorong, dalam kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Berdasarkan hal tersebut serta dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan dan efektivitas pemerintahan di Provinsi Papua Barat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua perlu ditetapkan menjadi Undang­Undang.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Cukup jelas.

Pasal 2Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4884

Page 219: Dokumentasi dan Informasi Hukum

215

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001

TENTANG

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa cita­cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar 1945;

b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai­nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai­nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;

c. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang­Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan­satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang­undang;

d. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;

e. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku­suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri;

f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya

Page 220: Dokumentasi dan Informasi Hukum

216

memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;

g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak­hak dasar penduduk asli Papua;

h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai­nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak­hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagau warga negara;

j. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak­hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;

k. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;

l. bahwa berdasarkan hal­hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang­undang;

Page 221: Dokumentasi dan Informasi Hukum

217

Mengingat : 1. Undang­Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 28;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis­garis Besar Haluan Negara Tahun 1999­2004;

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang­undangan;

5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;

7. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga­Lembaga Tinggi Negara pada sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000;

8. Undang­undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat;

9. Undang­undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten­kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907);

10. Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

11. Undang­undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

Page 222: Dokumentasi dan Informasi Hukum

218

12. Undang­undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);

13. Undang­undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

14. Undang­undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4012);

15. Undang­undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIADAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG­UNDANG TENTANG OTONOMI KHUsUs BAGI PROVINsI PAPUA.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang­undang ini yang dimaksud dengan:

a. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak­hak dasar masyarakat Papua;

Page 223: Dokumentasi dan Informasi Hukum

219

c. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;

d. Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah Gubernur beserta perangkat lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Papua;

e. Gubernur Provinsi Papua, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi Papua;

f. Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagai badan legislatif Daerah Provinsi Papua;

g. Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak­hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang­undang ini;

h. Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan;

i. Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal­pasal tertentu dalam Undang­undang ini;

j. Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­undangan;

k. Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota;

l. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal­usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota;

m. Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung;

Page 224: Dokumentasi dan Informasi Hukum

220

n. Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah­Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

o. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun­temurun;

p. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

q. Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi;

r. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

s. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

t. Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku­suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua;

u. Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.

BAB IILAMBANG-LAMBANG

Pasal 2

(1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.

(2) Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

Page 225: Dokumentasi dan Informasi Hukum

221

(3) Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang­undangan.

BAB IIIPEMBAGIAN DAERAH

Pasal 3

(1) Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing­masing sebagai Daerah Otonom.

(2) Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik.

(3) Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain.

(4) Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan undang­undang atas usul Provinsi Papua.

(5) Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung atau yang disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(6) Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang­undangan atas usul Provinsi.

BAB IVKEWENANGAN DAERAH

Pasal 4

(1) Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(2) selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang­undang ini.

(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi.

(4) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang­undangan.

(5) selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), Daerah Kabupaten dan Daerah Kota memiliki kewenangan berdasarkan Undang­undang ini yang diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi.

Page 226: Dokumentasi dan Informasi Hukum

222

(6) Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(7) Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(8) Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua.

(9) Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Perdasus.

BAB VBENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 5

(1) Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.

(2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak­hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

(3) MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.

(4) Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya.

(5) Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif.

(6) Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.

(7) Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.

Page 227: Dokumentasi dan Informasi Hukum

223

Bagian KeduaBadan Legislatif

Pasal 6

(1) Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP.

(2) DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang­undangan.

(3) Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(4) Jumlah anggota DPRP adalah 1. (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­undangan.

(5) Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(6) Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 7

(1) DPRP mempunyai tugas dan wewenang:a. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur;b. mengusulkan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada

Presiden Republik Indonesia;c. mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada

Presiden Republik Indonesia;d. menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama­sama dengan Gubernur;

e. membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama­sama dengan Gubernur;

f. membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama­sama dengan Gubernur;

g. menetapkan Perdasus dan Perdasi;h. bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Pola Dasar Pembangunan

Provinsi Papua dengan berpedoman pada Program Pembangunan Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua;

i. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;

j. melaksanakan pengawasan terhadap:

Page 228: Dokumentasi dan Informasi Hukum

224

1) pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya;

2) pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua;

3) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;4) pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua.

k. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan

l. memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 8

(1) DPRP mempunyai hak:a. meminta pertanggungjawaban Gubernur;b. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota

serta pihak­pihak yang diperlukan sesuai dengan peraturan per­undang­undangan;

c. mengadakan penyelidikan;d. mengadakan perubahan atas Rancangan Perdasus dan Perdasi;e. mengajukan pernyataan pendapat;f. mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi;g. mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;h. mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan

Anggaran Belanja DPRP sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan

i. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 9

(1) setiap anggota DPRP mempunyai hak:a. mengajukan pertanyaan;b. menyampaikan usul dan pendapat;c. imunitas;

Page 229: Dokumentasi dan Informasi Hukum

225

d. protokoler; dan e. keuangan/administrasi.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 10

(1) DPRP mempunyai kewajiban:

a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. mengamalkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang­undangan;

c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; dan

e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

(2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Bagian KetigaBadan Eksekutif

Pasal 11

(1) Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur.

(2) Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur.

(3) Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 12

Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat­syarat:a. orang asli Papua;b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. berpendidikan sekurang­kurangnya sarjana atau yang setara;d. berumur sekurang­kurangnya 30 tahun;

Page 230: Dokumentasi dan Informasi Hukum

226

e. sehat jasmani dan rohani;

f. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;

g. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan­alasan politik; dan

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan­alasan politik.

Pasal 13

Persyaratan dan tata cara persiapan, pelaksanaan pemilihan, serta pengangkatan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 14

Gubernur mempunyai kewajiban:a. memegang teguh Pancasila dan Undang­Undang Dasar 1945;b. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

serta memajukan demokrasi;c. menghormati kedaulatan rakyat;d. menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan perundang­undangan;e. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;f. mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;g. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;h. mengajukan Rancangan Perdasus, dan menetapkannya sebagai Perdasus

bersama­sama dengan DPRP setelah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRP;

i. mengajukan Rancangan Perdasi dan menetapkannya sebagai Perdasi bersama­sama dengan DPRP; dan

j. menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangun­an sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab.

Pasal 15

(1) Tugas dan wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah adalah:

a. melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota;

Page 231: Dokumentasi dan Informasi Hukum

227

b. meminta laporan secara berkala atau sewaktu­waktu atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota;

c. melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan pengangkatan, dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota;

d. melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama Presiden;

e. menyosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan peraturan perundang­undangan di Provinsi Papua;

f. melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi Papua;

g. membina hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta antar­Pemerintah Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

h. memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang­undangan.

Pasal 16

Wakil Gubernur mempunyai tugas:

a. membantu Gubernur dalam melaksanakan kewajibannya;

b. membantu mengoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Provinsi; dan

c. melaksanakan tugas­tugas lain yang diberikan oleh Gubernur.

Pasal 17

(1) Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya.

(2) Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis masa jabatannya.

(3) Dalam hal Wakil Gubernur berhalangan tetap, jabatan Wakil Gubernur tidak diisi sampai habis masa jabatannya.

(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka DPRP menunjuk seorang pejabat pemerintah Provinsi yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas­tugas Gubernur sampai terpilih Gubernur yang baru.

Page 232: Dokumentasi dan Informasi Hukum

228

(5) selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, sekretaris Daerah menjalankan tugas Gubernur untuk sementara waktu.

(6) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRP menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat­lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan.

Pasal 18

(1) Dalam menjalankan kewajiban selaku Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRP.

(2) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(3) sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

(4) Tata cara pertanggungjawaban Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(5) Gubernur mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan Peme­rintah di Provinsi Papua sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(6) Gubernur, bersama­sama dengan aparat Pemerintah yang ditempatkan di daerah atau aparat Provinsi, melaksanakan kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

(7) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian KeempatMajelis Rakyat Papua

Pasal 19

(1) MRP beranggotakan orang­orang asli Papua yang terdiri atas wakil­wakil adat, wakil­wakil agama, dan wakil­wakil perempuan yang jumlahnya masing­masing sepertiga dari total anggota MRP.

(2) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun.

(3) Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasus.

(4) Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Page 233: Dokumentasi dan Informasi Hukum

229

Pasal 20

(1) MRP mempunyai tugas dan wewenang:a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur

dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP;b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP;

c. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama­sama dengan Gubernur;

d. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak­hak orang asli Papua;

e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak­hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan

f. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal­hal yang terkait dengan perlindungan hak­hak orang asli Papua.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.

Pasal 21

(1) MRP mempunyai hak:a. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota

mengenai hal­hal yang terkait dengan perlindungan hak­hak orang asli Papua;

b. meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak­hak orang asli Papua;

c. mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua; dan

d. menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Page 234: Dokumentasi dan Informasi Hukum

230

Pasal 22

(1) setiap anggota MRP mempunyai hak:a. mengajukan pertanyaan;b. menyampaikan usul dan pendapat;c. imunitas;d. protokoler; dane. keuangan/administrasi.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

(1) MRP mempunyai kewajiban:a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;b. mengamalkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar 1945 serta menaati

segala peraturan perundang­undangan;c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli

Papua;d. membina kerukunan kehidupan beragama; dane. mendorong pemberdayaan perempuan.

(2) Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan.

(2) Tata cara pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasi berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25

(1) Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan.

(2) Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Page 235: Dokumentasi dan Informasi Hukum

231

BAB VIPERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN

Pasal 26

(1) Perangkat Provinsi Papua terdiri atas sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi.

(2) Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan kebutuhan.

(3) Pengaturan tentang ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan peraturan perundang­undangan.

Pasal 27

(1) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Perdasi.

BAB VIIPARTAI POLITIK

Pasal 28

(1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.

(2) Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(3) Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.

(4) Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing­masing.

Page 236: Dokumentasi dan Informasi Hukum

232

BAB VIIIPERATURAN DAERAH KHUSUS,PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN

KEPUTUSAN GUBERNUR

Pasal 29

(1) Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama­sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.

(2) Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama­sama Gubernur.

(3) Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

(4) Tata cara pembuatan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 30

(1) Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

(2) Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perdasus, dan Perdasi.

Pasal 31

(1) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur, diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi.

(2) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi.

(3) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi.

Pasal 32

(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc.

(2) Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur dengan Perdasi.

BAB IXKEUANGAN

Pasal 33

(1) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Page 237: Dokumentasi dan Informasi Hukum

233

(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 34

(1) sumber­sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi:

a. pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota;

b. dana perimbangan;

c. penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus;

d. pinjaman Daerah; dan

e. lain­lain penerimaan yang sah.

(2) sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a. pajak Daerah;

b. retribusi Daerah;

c. hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan

d. lain­lain pendapatan Daerah yang sah.

(3) Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan perincian sebagai berikut:

a. Bagi hasil pajak:

1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);

2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan

3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).

b. Bagi hasil sumber daya alam:

1) Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

2) Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

3) Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);

4) Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan

5) Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).

c. Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang­undangan;

1) Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang­undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua;

Page 238: Dokumentasi dan Informasi Hukum

234

2) Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan

3) Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

4) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun;

5) Mulai tahun ke­26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam;

6) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.

7) Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah­daerah yang tertinggal.

Pasal 35

(1) Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.

(2) Provinsi Papua dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.

(3) Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP.

(4) Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang­undangan.

(5) Total kumulatif pinjaman yang dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Page 239: Dokumentasi dan Informasi Hukum

235

(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan Perdasi.

Pasal 36

(1) Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua ditetapkan dengan Perdasi.

(2) sekurang­kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang­kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi.

(3) Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi, perubahan dan perhitungannya serta pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Perdasi.

Pasal 37

Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari Provinsi Papua disampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP setiap tahun anggaran.

BAB XPEREKONOMIAN

Pasal 38

(1) Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar­besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip­prinsip keadilan dan pemerataan.

(2) Usaha­usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak­hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip­prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.

Pasal 39

Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif.

Page 240: Dokumentasi dan Informasi Hukum

236

Pasal 40

(1) Perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati.

(2) Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan ketentuan Undang­undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan.

Pasal 41

(1) Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan­perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi Papua.

(2) Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 42

(1) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas­luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat.

(2) Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak­hak masyarakat adat setempat.

(3) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.

(4) Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas­luasnya.

BAB XIPERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

Pasal 43

(1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak­hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

Page 241: Dokumentasi dan Informasi Hukum

237

(2) Hak­hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang­undangan.

(4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

Pasal 44

Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

BAB XIIHAK ASASI MANUSIA

Pasal 45

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.

(2) Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 46

(1) Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

(2) Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

Page 242: Dokumentasi dan Informasi Hukum

238

a. melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

b. merumuskan dan menetapkan langkah­langkah rekonsiliasi.

(3) susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.

Pasal 47

Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak­hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki­laki.

BAB XIIIKEPOLISIAN DAERAH PROVINSI PAPUA

Pasal 48

(1) Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Kebijakan mengenai keamanan di Provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur.

(3) Hal­hal mengenai tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat, termasuk pembiayaan yang diakibatkannya, diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

(4) Pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur.

(5) Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua.

(6) Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(7) Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 243: Dokumentasi dan Informasi Hukum

239

Pasal 49

(1) seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua.

(2) Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua.

(3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Provinsi Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

(5) Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Provinsi Papua, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur.

BAB XIVKEKUASAAN PERADILAN

Pasal 50

(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Pasal 51

(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Page 244: Dokumentasi dan Informasi Hukum

240

(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.

(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.

(6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

Pasal 52

(1) Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia.

(2) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

(3) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.

BAB XVKEAGAMAAN

Pasal 53

(1) setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing­masing.

(2) setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban menghormati nilai­nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah

Page 245: Dokumentasi dan Informasi Hukum

241

belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 54

Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban:

a. menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

b. menghormati nilai­nilai agama yang dianut oleh umat beragama;

c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

Pasal 55

(1) Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

(2) Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.

BAB XVIPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Pasal 56

(1) Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua.

(2) Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi.

(3) setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah­rendahnya.

(4) Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas­luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang­undangan untuk

Page 246: Dokumentasi dan Informasi Hukum

242

mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.

(5) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.

(6) Pelaksanan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)ditetapkan dengan Perdasi.

Pasal 57

(1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.

(2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar­besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.

(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.

Pasal 58

(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua.

(2) selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.

(3) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.

BAB XVIIKESEHATAN

Pasal 59

(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota ber­kewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit­penyakit endemis dan/atau penyakit­penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.

Page 247: Dokumentasi dan Informasi Hukum

243

(3) setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan beban masyarakat serendah­rendahnya.

(4) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar­besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(5) Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah­rendahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

Pasal 60

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program­program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

BAB XVIIIKEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN

Pasal 61

(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua.

(2) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.

(3) Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur.

(4) Penempatan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.

Pasal 62

(1) setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Page 248: Dokumentasi dan Informasi Hukum

244

(2) Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.

(3) Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

BAB XIXPEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 63

Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip­prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Pasal 64

(1) Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak­hak masyarakat adat dan untuk sebesar­besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

(2) Untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengelola kawasan lindung.

(3) Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

(4) Di Provinsi Papua dapat dibentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

BAB XXSOSIAL

Page 249: Dokumentasi dan Informasi Hukum

245

Pasal 65

(1) Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial.

(2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar­besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi;

Pasal 66

(1) Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku­suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

BAB XXIPENGAWASAN

Pasal 67

(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial.

(2) Pelaksanaan pengawasan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 68

(1) Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi.

(2) Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur.

(3) Pemerintah berwenang melakukan pengawasan fungsional terhadap penyeleng­garaan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan per undang­undangan.

(4) Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota.

Page 250: Dokumentasi dan Informasi Hukum

246

BAB XXIIKERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 69

(1) Provinsi Papua dapat mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kebutuhan.

(2) Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan.

Pasal 70

(1) Perselisihan antara Kabupaten/Kota di dalam Provinsi Papua, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah Provinsi.

(2) Perselisihan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah.

BAB XXIIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 71

(1) Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota, dan DPRD Kota di Wilayah Provinsi Papua yang telah diangkat sebelum Undang­undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya.

(2) semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang­undangan tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan Undang­undang ini.

Pasal 72

(1) Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah.

(2) Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat­lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima.

Page 251: Dokumentasi dan Informasi Hukum

247

Pasal 73

Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang­undang ini, Pemerintah Provinsi Papua berhak menerima dan mengelola sumber daya meliputi pembiayaan, personil, peralatan, termasuk dokumennya (P3D) sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 74

semua peraturan perundang­undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undang­undang ini.

Pasal 75

Peraturan pelaksanaan yang dimaksud Undang­undang Otonomi Khusus ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.

BAB XXIVKETENTUAN PENUTUP

Pasal 76

Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi­provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh­sungguh kesatuan sosial­budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

Pasal 77

Usul perubahan atas Undang­undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 78

Pelaksanaan Undang­undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang­undang ini berlaku.

Pasal 79

Undang­undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang­undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 252: Dokumentasi dan Informasi Hukum

248

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 21 November 2001

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd

MEGAWATI sOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 21 November 2001

sEKRETARIs NEGARA REPUBLIK INDONEsIA,

ttd

BAMBANG KEsOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2001 NOMOR 135

Page 253: Dokumentasi dan Informasi Hukum

249

PENJELASANATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 21 TAHUN 2001

TENTANG

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA

I. UMUM

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus, bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku­suku lain di Indonesia. Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 (dua belas) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, yaitu: Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten Manokwari, Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua memiliki luas kurang lebih 421.981 km2 dengan topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang berawa sampai dengan pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea.

Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita­cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor

Page 254: Dokumentasi dan Informasi Hukum

250

kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik.

Pelanggaran HAM, pengabaian hak­hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah­masalah yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.

Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis­garis Besar Haluan Negara Tahun 1999­2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang­undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah­masalah di Provinsi Papua.

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar­besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang­undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial­budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang­orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk

Page 255: Dokumentasi dan Informasi Hukum

251

bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.

Hal­hal mendasar yang menjadi isi Undang­Undang ini adalah:

Pertama,

pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;

Kedua,

pengakuan dan penghormatan hak­hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan

Ketiga,

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:

a. partisipasi rakyat sebesar­besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;

b. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar­besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip­prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan

c. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.

Keempat,

pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.

Page 256: Dokumentasi dan Informasi Hukum

252

Undang­undang ini menempatkan orang asli Papua dan pendudukPapua pada umumnya sebagai subjek utama. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang­undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.

Penjabaran dan pelaksanaan Undang­undang ini di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai­nilai luhur masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua yang tidak mengesampingkan peraturan perundang­undangan lain yang ada termasuk Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang­undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sepanjang tidak diatur dalam Undang­undang ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Kewenangan tertentu di bidang lain yang dimaksud dalam Undang­undang ini adalah kewenangan Pemerintah yang meliputi: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, kewenangan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.

Page 257: Dokumentasi dan Informasi Hukum

253

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Dalam rangka percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, Provinsi Papua dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai lembaga/badan di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang­undangan. Hubungan tersebut memungkinkan Provinsi Papua memiliki lembaga atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi atau swasta, yang bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi, dan mengembangkan pariwisata di Provinsi Papua.

Ayat (8)

Koordinasi yang dilakukan oleh Gubernur dengan Pemerintah adalah dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pelaksanaan operasi militer selain perang di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Ayat (9)

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Page 258: Dokumentasi dan Informasi Hukum

254

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Proses pengajuan bakal calon, pemilihan, pengesahan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dilakukan sesuai dengan peraturan perundang­undangan. sesudah DPRP menetapkan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, para bakal calon tersebut diajukan kepada

Page 259: Dokumentasi dan Informasi Hukum

255

MRP untuk memperoleh pertimbangan dan persetujuan yang selanjutnya dijadikan dasar bagi DPRP untuk kemudian ditetapkan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Perjanjian atau kerja sama yang dimaksud di sini mencakup perjanjian atau kerja sama dengan pihak ketiga baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyangkut perlindungan hak­hak orang asli Papua.

Huruf e

Yang dimaksud dengan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaian aspirasi dan pengaduan dalam Undang­undang ini adalah tugas MRP untuk melakukan berbagai upaya penyelesaian dalam membantu pihak­pihak pengadu.

Huruf f

Termasuk di dalamnya adalah pertimbangan MRP kepada DPRD Kabupaten/Kota dalam hal penentuan bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Page 260: Dokumentasi dan Informasi Hukum

256

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Rekrutmen politik dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk mengurangi sifat terbuka partai politik bagi setiap warga negara Republik Indonesia.

Ayat (4)

Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian partai politik dalam hal seleksi dan rekrutmen politik.

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Ayat (1)

Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc dimaksudkan untuk membantu Gubernur, DPRP, dan MRP dalam menyiapkan rancangan Perdasus dan Perdasi sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang­undang ini.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Page 261: Dokumentasi dan Informasi Hukum

257

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Angka 1)

sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Angka 2)

sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Angka 3)

sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Huruf b

Angka 1)

sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Angka 2)

sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Angka 3)

sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Angka 4)

Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya alam sektor pertambangan minyak bumi sebesar 15% ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang­undangan, dan tambahan penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar 55% adalah dalam rangka Otonomi Khusus.

Angka 5)

Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya alam sektor pertambangan gas alam sebesar 30% ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang­undangan, dan tambahan penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar 40% adalah dalam rangka Otonomi Khusus.

Huruf c

Cukup jelas

Page 262: Dokumentasi dan Informasi Hukum

258

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang­kurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun seluruh kota­kota Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik atau pusat­pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas, sehingga Provinsi Papua dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Ayat (9)

Cukup jelas

Ayat (10)

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Page 263: Dokumentasi dan Informasi Hukum

259

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan sebagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumber daya alam Papua untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di masa mendatang.

Pasal 39

Yang dimaksud dengan pengolahan lanjutan dalam Undang­undang ini adalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya: sektor migas, pertambangan umum, kehutanan, perikanan laut, serta hasil­hasil pertanian pada umumnya. Pengolahan lanjutan ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber­sumber tersebut yang berdampak positif bagi penerimaan Provinsi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pemanfaatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemanfaatan lainnya. Usaha pengolahan lanjutan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat di Papua dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif.

Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dimaksud dalam Pasal ini dapat dilaksanakan di Provinsi Papua apabila memenuhi prinsip­prinsip ekonomi tersebut. Hal ini mengandung arti bahwa apabila pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam tersebut belum memenuhi prinsip­prinsip ekonomi, pengolahan lanjutan tersebut dapat dilaksanakan di wilayah lain untuk tetap memanfaatkan peluang investasi yang ada bagi kesejahteraan masyarakat Papua, dengan memperhatikan prinsip­prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam rangka mendorong peningkatan investasi di wilayah Provinsi Papua, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua wajib membuat kebijakan yang kondusif.

Pasal 40

Ayat (1)

Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia usaha, maka perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan sebelum

Page 264: Dokumentasi dan Informasi Hukum

260

Undang­undang ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masing­masing perizinan atau perjanjian kerja sama dimaksud.

Yang dimaksud dengan ”dilakukan” dalam ayat ini diartikan ”dikeluarkan”.

Ayat (2)

Cacat hukum dan/atau merugikan hak­hak hidup masyarakat serta bertentangan dengan Undang­undang ini harus dibuktikan dan dinyatakan dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Putusan pengadilan dimaksud memuat pernyataan mengenai salah satu pertimbangan hukum keputusannya, bahwa perizinan atau perjanjian yang bersangkutan cacat hukum atau merugikan hak hidup masyarakat.

suatu perjanjian yang oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum dapat dilakukan peninjauan kembali melalui perumusan ulang tentang apa yang harus diperjanjikan sepanjang memberikan keuntungan kepada masyarakat dan bahkan mengenai hal­hal yang seharusnya diperjanjikan lagi demi kepentingan yang berkelanjutan.

Adapun mengenai akibat hukum karena pembatalan perjanjian itu dapat disomasi untuk perumusan ulang hal­hal yang diperjanjikan sehingga pelaksanaan putusan tidak lagi dilakukan secara konvensional tetapi diubah menjadi materi muatan perjanjian.

Apabila kedua belah pihak bersepakat, maka suatu perizinan atau perjanjian kerja sama dapat diubah, diperbaiki, atau diakhiri.

Pasal 41

Ayat (1)

Penyertaan modal yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di Provinsi Papua dilakukan melalui penilaian secara saksama tentang keuntungan atau kerugian yang dapat ditimbulkan dengan berpedoman pada mekanisme pasar dan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas

Page 265: Dokumentasi dan Informasi Hukum

261

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Pemberian kesempatan berusaha sebagai upaya pemberdayaan masyarakat adat dapat berupa penyertaan modal dalam bentuk penilaian terhadap berbagai hak yang melekat pada masyarakat adat tertentu, antara lain berupa hak ulayat.

Pasal 43

Ayat (1)

Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat ini juga merupakan kewajiban Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur selaku wakil Pemerintah.

Pemberdayaan hak­hak tersebut meliputi pembinaan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup baik lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan hak­hak masyarakat adat meliputi hak bersama warga masyarakat seperti yang dikenal dengan sebutan hak ulayat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat.

Ayat (3)

Hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan perseorangan, dan juga bukan penguasa adat, meskipun banyak di antara mereka yang menjabat secara turun temurun. Penguasa adat adalah pelaksana hak ulayat yang bertindak sebagai petugas masyarakat hukum adatnya dalam mengelola hak ulayat di wilayahnya.

Hak ulayat diatur oleh hukum adat tertentu dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kenyataannya dewasa ini keberadaan hak ulayat berbagai masyarakat hukum adat tersebut beragam, sehubungan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat hukum adatnya sendiri baik karena pengaruh intern maupun lingkungannya.

Hak ulayat diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tetapi hak ulayat yang sudah tidak ada tidak akan dihidupkan kembali. sehubungan dengan itu, demi adanya kepastian mengenai masih adanya hak ulayat di lingkungan masyarakat adat tertentu,

Page 266: Dokumentasi dan Informasi Hukum

262

yang dibuktikan oleh: (1) masih adanya sekelompok warga masyarakat yang merasa terikat oleh tatanan hukum adat tertentu sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang merupakan suatu masyarakat hukum adat; (2) masih adanya suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hukum dan penghidupan sehari­hari para warga masyarakat hukum adat tersebut; dan (3) masih adanya penguasa adat yang melaksanakan ketentuan hukum hak ulayatnya.

Pengakuan, penghormatan dan perlindungan dalam ayat ini mencakup pula pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap pihak­pihak yang telah memperoleh hak atas tanah bekas hak ulayat secara sah menurut tata cara dan peraturan perundang­undangan yang berlaku, dan karenanya tidak dapat digugat kembali oleh ahli warisnya demi kepastian hukum.

Ayat (4)

Musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan keputusan pemberian hak yang bersangkutan. Hal yang sama berlaku juga terhadap perolehan tanah hak perorangan para warga masyarakat hukum adat, tidak cukup dengan persetujuan penguasa adatnya.

Pemanfaatan hak­hak adat untuk kepentingan pemerintah dan/atau swasta dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat adat dengan pihak yang memerlukan, harus disertai dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman kembali, sebagai pemegang saham, atau bentuk lain yang disepakati bersama.

Ayat (5)

Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui hal­ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif dalam penyelesaian sengketa­sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat atau warganya dengan pihak luar.

sengketa antara para warga masyarakat hukum adat sendiri diselesaikan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud dalam Undang­undang ini.

Pasal 44

Hak kekayaan intelektual orang asli Papua berupa hak cipta mencakup hak­hak dalam bidang kesenian yang terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana dan rancangan bangunan tradisional serta jenis­jenis seni lainnya, maupun hak­hak yang terkait dengan sistem

Page 267: Dokumentasi dan Informasi Hukum

263

pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat asli Papua, misalnya obat­obatan tradisional dan yang sejenisnya. Perlindungan ini meliputi juga perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual anggota masyarakat lainnya di Provinsi Papua.

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Langkah­langkah rekonsiliasi mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Ayat (3)

Dalam usulan Gubernur untuk keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat berasal dari DPRP dan MRP serta komponen lain.

Pasal 47

Kata memberdayakan bermakna meningkatkan keberdayaan.

Pasal 48

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Kebijakan yang perlu dikoordinasikan kepada Gubernur Provinsi Papua adalah kebijakan keamanan yang mencakup aspek ketertiban dan ketenteraman masyarakat.

Ayat (3)

Cukup jelas

Page 268: Dokumentasi dan Informasi Hukum

264

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang penuh member­hentikan Kepala Kepolisian Provinsi Papua tanpa meminta persetujuan Gubernur Provinsi Papua dan dalam hal­hal tertentu Gubernur Papua dapat memberi pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberhentikan Kepala Kepolisian Provinsi Papua.

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Ayat (1)

Pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang­undangan, membutuhkan pelayanan hukum secara khusus. Dalam hal demikian dan untuk mempercepat perolehan kepastian hukum, khususnya terhadap perkara kasasi, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan kebijakan khusus bagi penyelesaian perkara kasasi dari Provinsi Papua.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1)

Dalam ayat ini secara tegas diakui keberadaan dalam hukum nasional, lembaga peradilan dan pengadilan adat yang sudah ada di Provinsi Papua, sebagai lembaga peradilan perdamaian antara para warga masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat yang ada.

Ayat (2)

Pengadilan adat bukan badan peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat hukum adat. Berdasarkan kenyataan yang ada, susunannya diatur menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat setempat

Page 269: Dokumentasi dan Informasi Hukum

265

dan memeriksa serta mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana adat berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal itu antara lain mengenai susunan pengadilannya, siapa yang bertugas memeriksa dan mengadili sengketa dan perkara yang bersangkutan, tata cara pemeriksaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaannya. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.

Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya. Hal itu termasuk kewenangan di lingkungan peradilan negara. Dengan diakuinya peradilan adat dalam Undang­undang ini, akan banyak sengketa perdata dan perkara pidana di antara warga masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang secara tuntas dapat diselesaikan sendiri oleh warga yang bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan di lingkungan peradilan negara.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Putusan pengadilan adat merupakan putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap dalam hal para pihak yang bersengketa atau yang berperkara menerimanya. Putusan yang bersangkutan juga dapat membebaskan pelaku dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku. Pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Jika pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan telah diperoleh maka kejaksaaan tidak dapat melakukan penyidikan dan penuntutan.

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak memberikan pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan, maka kepolisian dan kejaksaan dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Dalam hal ini putusan pengadilan adat

Page 270: Dokumentasi dan Informasi Hukum

266

yang bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara yang diajukan. Dalam ayat ini dibuka kemungkinan pemeriksaan ulang dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau berperkara berkeberatan atas putusannya dan mengajukan sengketa atau perkaranya kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Persetujuan yang diberikan oleh Gubernur kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, tidak mencampuri teknis kepegawaian.

Ayat (3)

Jaksa Agung berwenang penuh memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua tanpa meminta persetujuan Gubernur dan dalam hal­hal tertentu Gubernur Provinsi Papua dapat memberi pertimbangan kepada Jaksa Agung untuk memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi.

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Ayat (1)

Khusus terhadap lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi yang memiliki otonomi perguruan tinggi, tanggung jawab Pemerintah Provinsi dalam ikut membiayai penyelenggaraan pendidikan merupakan perwujudan dari upaya pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia, baik pada aspek jumlah maupun mutu, bagi pembangunan di Provinsi Papua.

Ayat (2)

Pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, sehingga berkewajiban untuk menetapkan ke­bijakan­kebijakan umum pendidikan yang berlaku secara nasional dengan

Page 271: Dokumentasi dan Informasi Hukum

267

standar pendidikan yang sama, yang antara lain tercermin dalam kurikulum inti dan standar mutu. Dengan demikian ada pengakuan yang sama terhadap hasil pendidikan yang diselenggarakan di semua wilayah, termasuk di Provinsi Papua, yang memungkinkan terjadinya keluwesan dan kebebasan para peserta didik dari lembaga pendidikan di Papua berpindah dan mengikuti pendidikan yang diminati di provinsi lain.

Mengingat kondisi sosial budaya, potensi ekonomi, dan keinginan anggota masyarakat yang beragam di Papua, selain kurikulum inti, dikembangkan pula kurikulum institusional dengan standar lokal yang berlaku di Provinsi Papua, baik pada jalur sekolah maupun pada jalur luar sekolah, sehingga hasil pendidikan yang dicapai relevan dengan kebutuhan.

Ayat (3)

Dengan pendidikan yang bermutu dimaksudkan bahwa pendidikan di Provinsi Papua harus dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki derajat mutu yang sama dengan pendidikan yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya mutu sumber daya manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua jenjang pendidikan.

Ayat (4)

Pendidikan di Provinsi Papua telah lama diselenggarakan oleh Lembaga Keagamaan antara lain Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja­gereja Injili (YPPGI), Yayasan Pendidikan Advent (YPA), Yayasan Pendidikan Islam (Yapis), dan yayasan lainnya yang didirikan oleh masyarakat. Jumlah sekolah yang dimiliki oleh lembaga­lembaga pendidikan swasta ini cukup banyak dan tersebar hingga ke daerah­daerah yang terpencil, sehingga peranan mereka dalam bidang pendidikan tetap dihormati dan terus ditingkatkan, sedangkan dunia usaha, terutama yang berskala besar, didorong untuk menyelenggarakan pendidikan yang berpedoman pada kebijakan nasional dengan biaya dari perusahaan yang bersangkutan.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Page 272: Dokumentasi dan Informasi Hukum

268

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada jenjang pendidikan dasar di samping bahasa Indonesia.

Pasal 59

Ayat (1)

Pelayanan kesehatan yang berkualitas dilaksanakan secara merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di pelosok Provinsi Papua.

Ayat (2)

Penyakit­penyakit endemis yang dimaksud pada ayat ini meliputi antara lain penyakit malaria dan TBC.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan beban masyarakat serendah­rendahnya adalah biaya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi termasuk pembebasan biaya pelayanan bagi mereka yang tidak mampu.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Kebijakan kependudukan yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemberian fasilitas khusus dalam bentuk kebijakan afirmatif termasuk dalam hal

Page 273: Dokumentasi dan Informasi Hukum

269

migrasi untuk kurun waktu tertentu agar penduduk asli Papua dapat mengembangkan kemampuan dan meningkatkan partisipasi secara optimal dalam waktu secepat­cepatnya.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orang asli Papua merupakan suatu langkah afirmatif dalam rangka pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat adalah lembaga swadaya masyarakat yang keberadaannya sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Page 274: Dokumentasi dan Informasi Hukum

270

Pasal 65

Ayat (1)

Kewajiban Pemerintah Provinsi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban Pemerintah, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Penyandang masalah sosial yang dimaksud meliputi antara lain: a. anak­anak yatim piatu; b. orang lanjut usia yang memerlukan; c. kaum cacat fisik dan mental; dan d. korban bencana alam.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 66

Ayat (1)

suku yang terabaikan adalah kelompok masyarakat asli Papua yang mendiami wilayah tertentu yang belum tersentuh oleh pembangunan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 67

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pengawasan sosial adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MRP, DPRP, Gubernur dan perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran dan usul, yang diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

Pasal 68

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pemerintah Provinsi Papua menyampaikan Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur selambat­lambatnya 1 (satu) bulan setelah ditetapkan.

Page 275: Dokumentasi dan Informasi Hukum

271

Dalam rangka melakukan pengawasan represif, Pemerintah dapat membatalkan Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur apabila bertentangan dengan peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum masyarakat Papua. Keputusan pembatalan tersebut diberitahukan kepada Pemerintah Provinsi disertai dengan alasan­alasannya.

Dalam hal Pemerintah Provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan tersebut, Pemerintah Provinsi dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Apabila Mahkamah Agung membenarkan gugatan tersebut, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur tetap berlaku.

selama belum ada keputusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tersebut, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur tersebut ditangguhkan.

Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya gugatan tersebut oleh Mahkamah Agung tidak diperoleh keputusan, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur tersebut diberlakukan kembali.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Cukup jelas

Page 276: Dokumentasi dan Informasi Hukum

272

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Cukup jelas

Pasal 78

Cukup jelas

Pasal 79

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4151

Page 277: Dokumentasi dan Informasi Hukum

273

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. Bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua Barat, dalam kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan Otonomi Khusus berdasarkan Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

b. bahwa pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

Mengingat : 1. Pasal 22 Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Page 278: Dokumentasi dan Informasi Hukum

274

2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151);

3. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG­UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAs UNDANG­UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUsUs BAGI PROVINsI PAPUA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 huruf a diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang­Undang ini yang dimaksud dengan:

a. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak­hak dasar masyarakat Papua.

Page 279: Dokumentasi dan Informasi Hukum

275

c. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;

d. Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah Gubernur beserta perangkat lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Papua.

e. Gubernur Provinsi Papua, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi Papua.

f. Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagai badan legislatif Daerah Provinsi Papua.

g. Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak­hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang­undang ini.

h. Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

i. Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal­pasal tertentu dalam Undang­undang ini.

j. Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­undangan.

k. Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota.

l. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal­usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.

m. Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung.

Page 280: Dokumentasi dan Informasi Hukum

276

n. Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah­Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

o. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun­temurun.

p. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

q. Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi.

r. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

s. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

t. Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku­suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

u. Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.

2. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l dihapus, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) DPRP mempunyai tugas dan wewenang:

a. dihapus;

b. mengusulkan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia;

c. mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden Republik Indonesia;

Page 281: Dokumentasi dan Informasi Hukum

277

d. menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama­sama dengan Gubernur;

e. membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama­sama dengan Gubernur;

f. membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama­sama dengan Gubernur;

g. menetapkan Perdasus dan Perdasi;

h. bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua dengan berpedoman pada Program Pembangunan Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua;

i. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;

j. melaksanakan pengawasan terhadap:

1) pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya;

2) pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua;

3) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

4) pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua.

k. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan

l. dihapus.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal II

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 282: Dokumentasi dan Informasi Hukum

278

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 16 April 2008

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DR. H. sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 16 April 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK AsAsI MANUsIA

REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2008 NOMOR 57

Page 283: Dokumentasi dan Informasi Hukum

279

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 109 TAHUN 2000

TENTANG

KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 59 Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perlu mengatur mengenai Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang­Undang Dasar 1945;

2. Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Undang­undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

4. Undang­undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok­pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041) sebagaimana diubah dengan Undang­undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Bekas Kepala Daerah/Bekas Wakil Kepala Daerah serta Janda/Dudanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 16, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3160) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

Page 284: Dokumentasi dan Informasi Hukum

280

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 121);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3952);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Propinsi, Bupati bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999.

2. Biaya Penunjang Operasional adalah biaya untuk mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

BAB IIKEDUDUKAN KEPALA DAERAH DAN

WAKIL KEPALA DAERAH

Pasal 2

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara.

Pasal 3

(1) Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dibebaskan dari jabatan organiknya tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri.

(2) selama menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pegawai Negeri yang bersangkutan dapat dinaikkan pangkatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.

Page 285: Dokumentasi dan Informasi Hukum

281

(3) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berasal dari Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berhenti dengan hormat dari jabatannya dikembalikan kepada instansi asalnya.

BAB IIIKEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DAERAH

DAN WAKIL KEPALA DAERAH

Bagian PertamaGaji dan Tunjangan

Pasal 4

(1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diberikan gaji, yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lainnya.

(2) Besarnya gaji pokok Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku bagi Pejabat Negara, kecuali ditentukan lain dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 5

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dibenarkan menerima penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari Negara.

Bagian KeduaBiaya sarana dan Prasaran

Pasal 6

(1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan masing­masing sebuah rumah jabatan beserta perlengkapannya dan biaya pemeiliharaan.

(2) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhenti dari jabatannya, rumah jabatan dan barang­barang perlengkapannya diserahkan kembali secara lengkap dan dalam keadaan baik kepada Pemerintah Daerah tanpa suatu kewajiban dari Pemerintah Daerah.

Page 286: Dokumentasi dan Informasi Hukum

282

Bagian Ketiga KetigaSarana Mobilitas

Pasal 7

(1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan masing­masing sebuah kendaraan dinas.

(2) Apabila Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah berhenti dari jabatannya, kendaraan dinas diserahkan kembali dalam keadaan baik kepada Pemerintah Daerah.

Bagian KeempatBiaya Operasional

Pasal 8

Untuk pelaksanaan tugas­tugas kepada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan:

a. biaya rumah tangga dipergunakan untuk membiayai kegiatan rumah tangga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

b. biaya pembelian inventaris rumah jabatan dipergunakan untuk membeli barang­barang inventaris rumah jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

c. biaya Pemeliharaan Rumah Jabatan dan barang­barang inventaris dipergunakan untuk pemeliharaan rumah jabatan dan barang­barang inventaris yang dipakai atau dipergunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

d. biaya pemeliharaan kendaraan dinas dipergunakan untuk pemeliharaan kendaraan dinas yang dipakai atau dipergunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

e. biaya pemeliharaan kesehatan dipergunakan untuk pengobatan, perawatan, rehabilitasi, tunjangan cacat dan uang duka bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah beserta anggota keluarga;

f. biaya Perjalanan Dinas dipergunakan untuk membiaya perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

g. biaya Pakaian Dinas dipergunakan untuk pengadaan pakaian dinas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berikut atributnya;

h. biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Page 287: Dokumentasi dan Informasi Hukum

283

Pasal 9

(1) Besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:a. sampai dengan Rp 15 milyar paling rendah Rp 150 juta dan paling tinggi

sebesar 1,75%;b. di atas Rp 15 milyar s/d Rp 50 paling rendah Rp 262.5 juta dan paling

tinggi sebesar 1%;c. di atas Rp 50 milyar s/d Rp 100 milyar paling rendah Rp 500 juta dan paling

tinggi sebesar 0,75%;d. di atas Rp 100 milyar s/d Rp 250 milyar paling rendah Rp 750 juta dan

paling tinggi sebesar 0,40%;e. di atas Rp 250 milyar s/d Rp 500 milyar paling rendah Rp 1 milyar dan

paling tinggi sebesar 0,25%;f. di atas Rp 500 milyar paling rendah Rp 1,25 milyar dan paling tinggi sebesar

0,15%.

(2) Besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah Kabupaten/Kota, ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:a. sampai dengan Rp 5 milyar paling rendah Rp 125 juta dan paling tinggi

sebesar 3%;b. di atas Rp 5 milyar s/d Rp 10 milyar paling rendah Rp 150 juta dan paling

tinggi sebesar 2%;c. di atas Rp 10 milyar s/d Rp 20 milyar paling rendah Rp 200 juta dan paling

tinggi sebesar 1,50%;d. di atas Rp 20 milyar s/d Rp 50 milyar paling rendah Rp 300 juta dan paling

tinggi sebesar 0,80%;e. di atas Rp 50 milyar s/d Rp 150 milyar paling rendah Rp 400 milyar dan

paling tinggi sebesar 0,40%;f. di atas Rp 150 milyar paling rendah Rp 600 juta dan paling tinggi sebesar

0,15%.

Pasal 10

(1) Pengeluaran yang berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2) Peraturan Daerah yang mengatur penyediaan anggaran untuk kedudukan keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dibatalkan.

Page 288: Dokumentasi dan Informasi Hukum

284

(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Peraturan Daerah Propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah atas nama Presiden.

(4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Peraturan Daerah kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah.

BAB IVKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 11

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang­undangan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 12

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2000

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2000

sEKRETARIs NEGARA REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2000 NOMOR 210

Page 289: Dokumentasi dan Informasi Hukum

285

PENJELASANATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 109 TAHUN 2000

TENTANG

KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

I. UMUM

sistem penyelanggaraan pemerintahan daerah sesuai Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999, dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi dalam bentuk otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawan.

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab tersebut, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peranan yang sangat strategis di bidang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pejabat negara perlu diberikan hak keuangan dalam bentuk gaji dan tunjangan yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun dalam melaksanakan kedudukannya sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah perlu didukung dengan biaya untuk menunjang kegiatan operasional Kepala Daerah dalam rangka koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial, perlindungan masyarakat dan kegiatan­kegiatan lain yang berkaitan dengan pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, yang dibiayai melalui APBD.

Sesuai dengan kondisi dan keadaan jumlah penduduk, geografis, luas wilayah dan potensi ekonomi daerah yang relatif berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, maka pengaturan biaya operasional disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah, khususnya berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dengan tetap memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kehematan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Page 290: Dokumentasi dan Informasi Hukum

286

Atas dasar hal tersebut di atas, perlu diatur kedudukan keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dibebaskan dalam ayat ini adalah bahwa Pegawai Negeri yang bersangkutan tidak lagi menerima tunjangan jabatan dan fasilitas lainnya sejak yang bersangkutan dilantik menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Ayat (2)

sejak dilantik menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pejabat yang berasal dari Pegawai Negeri ini tidak lagi mengerjakan tugas­tugas pada instansi asalnya.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

seorang Pegawai Negeri apabila diangkat menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, hanya menerima penghasilan dan menggunakan fasilitas sebagai pejabat negara.

Pasal 6

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan biaya pemeliharaan rumah jabatan termasuk biaya pemakaian air, listrik, telepon, dan gas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kemampuan keuangan daerah.

Page 291: Dokumentasi dan Informasi Hukum

287

Ayat (2)

Proses penyerahan rumah jabatan dan barang­barang perlengkapan kepada Pemerintah Daerah dituangkan dalam berita acara serah terima.

Yang dimaksud dengan tanpa suatu kewajiban Pemerintah daerah adalah bahwa pemerintah daerah tidak menanggung segala ikatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan dengan pihak lain sehingga menjadi beban anggaran pemerintah daerah.

serah terima dimaksud selamat­lambatnya dilaksanakan 1 (satu) bulan sejak yang bersangkutan berhenti dari jabatannya.

Pasal 7

Ayat (1)

Dalam pengadaan kendaraan dinas harus mempertimbangkan prinsip penghematan, sederhana dan bersahaja yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

Ayat (2)

Penyerahan kendaraan dinas dilaksanakan paling lambat 1 (satu) bulan sejak yang bersangkutan berhenti dari jabatannya.

Pasal 8

Huruf a

Yang dimaksud dengan biaya rumah tangga adalah bantuan biaya untuk menunjang kebutuhan minimal terselenggaranya rumah tangga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebatas kemampuan keuangan daerah.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Yang dimaksud dengan pakaian dinas yaitu Pakaian sipil Harian, Pakaian sipil Resmi, Pakaian sipil Lengkap, dan Pakaian Dinas Upacara.

Page 292: Dokumentasi dan Informasi Hukum

288

Huruf h.

Yang dimaksud dengna kegiatan khusus seperti kegiatan kenegaraan, promosi dan protokoler lainnya.

Pasal 9

Yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang berasal dari hasil Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Perusahaan Milik Daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain­lain pendapatan asli daerah yang sah.

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4028

Page 293: Dokumentasi dan Informasi Hukum

289

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 110 TAHUN 2000

TENTANG

KEDUDUKAN KEUANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 39 Undang­undang Nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD menyatakan bahwa Kedudukan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD diatur dengan peraturan perundang­undangan yang berlaku;

b. bahwa berdasarkan Pasal 78 Undang­undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa penyelenggaraan tugas DPRD dibiayai dan atas beban APBD;

c. bahwa kemampuan keuangan daerah dan aspek keadilan dikaitkan dengan tugas, kewenangan dan tanggung jawab melaksanakan legislasi, pengawasan dan anggaran, merupakan unsur­unsur yang dipertimbangkan dalam menetapkan kedudukan keuangan DPRD;

d. bahwa sehubungan dengan hal­hal yang dimaksud pada huruf a, b, dan c, perlu menetapkan Kedudukan DPRD dengan peraturan pemerintah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang­Undang Dasar 1945;

2. Undang­undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3811);

3. Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

Page 294: Dokumentasi dan Informasi Hukum

290

4. Undang­undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3952);

6. Undang­undang Nomor 8 Tahun 1980 tentang Keuangan/Administrasi Kepala Daerah dan Bekas Kepala Daerah/Bekas Wakil Kepala Daerah serta Janda/Dudanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3160) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 121);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4022);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan :

1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah Badan Legislatif Daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota.

2. Pimpinan DPRD adalah Ketua dan Wakil­wakil Ketua.

3. Anggota DPRD adalah mereka yang diresmikan keanggotaannya sebagai anggota DPRD dan telah mengucapkan sumpah/janji berdasarkan ketentuan peraturan perundang­undangan.

Page 295: Dokumentasi dan Informasi Hukum

291

4. sekretariat DPRD adalah perangkat DPRD yang membantu DPRD dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya.

5. sekretaris DPRD adalah Pejabat yang memimpin sekretariat DPRD yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai Negeri sipil yang memenuhi persyaratan, atas persetujuan pimpinan DPRD dan dalam melaksanakan tugasnya berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan DPRD.

6. Uang Representasi adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Pimpinan dan anggota DPRD.

7. Uang Paket adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota DPRD dalam menghadiri dan mengikuti rapat­rapat yang terdiri dari uang transport lokal dan uang makan.

8. Tunjangan Jabatan adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan DPRD karena kedudukannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua DPRD.

9. Tunjangan Komisi adalah tunjangan yang diberikan kepada anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, sekretaris, dan anggota Komisi.

10. Tunjangan Panitia adalah tunjangan yang diberikan kepada anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, sekretaris, dan anggota Panitia.

11. Biaya penunjang Kegiatan adalah biaya yang disediakan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD.

12. Tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota untuk pembayaran Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

13. Tunjangan Perbaikan Penghasilan adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota DPRD untuk menambah penghasilan.

BAB IIKEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA

Bagian PertamaPenghasilan Tetap

Pasal 2

Penghasilan Tetap Pimpinan dan anggota DPRD terdiri dari:

a. uang Representasi;

Page 296: Dokumentasi dan Informasi Hukum

292

b. uang Paket;

c. Tunjangan Jabtan;

d. Tunjangan Komisi;

e. Tunjangan Khusus;

f. Tunjangan Perbaikan Penghasilan.

Pasal 3

(1) Pimpinan dan anggota DPRD menerima Uang Representasi.

(2) Besarnya Uang Representasi bagi Ketua DPRD Propinsi, paling tinggi 60% (enam puluh perseratus) dari gaji pokok gubernur, dan untuk Ketua DPRD Kabupaten/Kota paling tinggi 60% (enam puluh perseratus) dari gaji pokok Bupati/Walikota.

(3) Besarnya Uang Representasi Wako Ketua DPRD Propinsi, Kabupaten/Kota paling tinggi 90% (sembilan puluh perseratus) dari Uang Representasi Ketua DPRD.

(4) Besarnya Uang Representasi anggota DPRD Propinsi, Kabupaten/Kota paling tinggi 80% (delapan puluh perseratus) dari Uang Representasi Ketua DPRD.

(5) selain Uang Representasi, kepada Pimpinan dan anggota DPRD diberikan Tunjangan Keluarga dan Tunjangan Beras.

(6) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), besarnya sama dengan ketentuan yang berlaku bagi Pegawai Negeri sipil.

Pasal 4

(1) Pimpinan dan anggota DPRD diberikan Uang Paket.

(2) Besarnya Uang Paket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 25% (dua puluh lima perseratus) dari Uang Representasi yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Kepala Pimpinan DPRD diberikan Tunjangan Jabatan.

(2) Besarnya Tunjangan Jabtan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 50% (lima puluh perseratus) dari Uang Representasi yang bersangkutan.

Pasal 6

(1) Bagi anggota DPRD dalan kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, sekretaris dan anggota Komisi diberikan Tunjangan Komisi.

(2) Besarnya Tunjangan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

Page 297: Dokumentasi dan Informasi Hukum

293

a. Ketua paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

b. Wakil Ketua paling tinggi 15% (lima belas perseratus) dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

c. sekretaris paling tinggi 15% (lima belas perseratus) dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

d. Anggota paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD.

Pasal 7

Pimpinan dan anggota DPRD diberikan Tunjangan Khusus.

Pasal 8

Pimpinan dan anggota DPRD diberikan Tunjangan Perbaikan Penghasilan yang besarnya sama dengan ketentuan yang berlaku bagi Pegawai Negeri sipil.

Bagian KeduaTunjangan Panitia

Pasal 9

(1) Anggota DPRD dalam kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, sekretaris, dan anggota Panitia diberikan Tunjangan Panitia.

(2) Besarnya Tunjangan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

a. Ketua paling tinggi 15% (lima belas perseratus) dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

b. Wakil Ketua paling tinggi 10% (sepuluh perseratus dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

c. sekretaris paling tinggi 10% (sepuluh perseratus dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

d. Anggota paling tinggi 10% (sepuluh perseratus dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

Bagian KetigaTunjangan Kesejahteraan

Page 298: Dokumentasi dan Informasi Hukum

294

Pasal 10

(1) untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, kepada Pimpinan dan anggota DPRD diberikan Tunjangan Kesehatan.

(2) Tunjangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk jaminan asuransi.

Pasal 11

Apabila Pimpinan atau anggota DPRD meninggal dunia, kepada ahli waris diberikan:

a. uang duka wafat sebesar 3 (tiga) kali Uang Representasi atau apabila meninggal dunia dalam menjalankan tugas diberikan uang duka tewas sebesar 6 (enam) kali Uang Representasi;

b. bantuan biaya pengangkutan jenazah.

Pasal 12

(1) Ketua DPRD disediakan rumah jabatan beserta perlengkapannya dan 1 (satu) unit kendaraan dinas.

(2) Wakil­wakil Ketua DPRD disediakan masing­masing 1 (satu) Unit kendaraan dinas.

(3) Biaya pemeliharaan rumah jabatan beserta perlengkapan, dan kendaraan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan pada APBD.

(4) Apabila Pimpinan DPRD berhenti atau berakhir masa bhaktinya, rumah jabatan beserta perlengkapan dan kendaraan dinas diserahkan kembali dalam keadaan baik kepada Pemerintah Daerah.

Pasal 13

Pimpinan dan anggota DPRD dapat disediakan pakaian sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Bagian KeempatBiaya Kegiatan DPRD

Pasal 14

(1) untuk kelancaran pelaksanaan tugas DPRD pada Belanja sekretariat DPRD disediakan:

a. Belanja Pegawai;

b. Belanja Barang;

Page 299: Dokumentasi dan Informasi Hukum

295

c. Biaya Perjalanan Dinas;

d. Biaya Pemeliharaan;

e. Biaya Penunjang Kegiatan.

(2) Besarnya biaya penunjang kegiatan DPRD Propinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:

a. sampai dengan Rp 15 milyar paling rendah Rp 175 juta dan paling tinggi sebesar 1,5%;

b. di atas Rp 15 s/d Rp 50 milyar paling rendah Rp 225 juta dan paling tinggi sebesar 1,25%;

c. di atas Rp 50 milyar s/d Rp 100 milyar paling rendah Rp 625 juta dan paling tinggi sebesar 1%;

d. di atas Rp 100 milyar s/d Rp 250 milyar paling rendah Rp 1 milyar dan paling tinggi sebesar 0,75%;

e. di atas Rp 250 milyar s/d Rp 500 milyar paling rendah Rp 1,875 milyar dan paling tinggi sebesar 0,50%;

f. di atas Rp 500,00 milyar s/d Rp 2,50 milyar dan paling tinggi sebesar 0,25%;

(3) Besarnya biaya penunjang kegiatan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:

a. sampai dengan Rp 2,00 milyar paling rendah Rp 75 juta dan paling tinggi sebesar 5%;

b. di atas Rp 2,00 milyar s/d Rp 5,00 milyar paling rendah Rp 100 juta dan paling tinggi sebesar 4%;

c. di atas Rp 5,00 milyar s/d Rp 10,00 milyar paling rendah Rp 200 juta dan paling tinggi sebesar 3%;

d. di atas Rp 10,00 milyar s/d Rp 20,00 milyar paling rendah Rp 300 juta dan paling tinggi sebesar 2%;

e. di atas Rp 20,00 milyar s/d Rp 50,00 milyar paling rendah Rp 400 juta dan paling tinggi sebesar 1%;

f. di atas Rp 50,00 milyar s/d Rp 150 milyar paling rendah Rp 500 juta dan paling tinggi sebesar 0,75%;

g. di atas Rp 150 milyar s/d Rp 500 milyar paling rendah Rp 1.125 milyar dan paling tinggi 0,50%;

h. di atas Rp 500 milyar paling rendah Rp 2,5 milyar dan paling tinggi 0,35%;

Page 300: Dokumentasi dan Informasi Hukum

296

BAB IIIPENGELOLAAN KEUANGAN

Pasal 15

Berdasarkan pedoman yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, Pimpinan DPRD dan sekretaris DPRD menyusun Rencana Anggaran Belanja DPRD.

Pasal 16

(1) Pengeluaran yang timbul sebagai akibat Peraturan Pemerintah ini menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2) Peraturan Daerah yang mengatur penyediaan anggaran untuk kegiatan DPRD di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dibatalkan.

(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Peraturan Daerah Propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah atas nama Presiden.

(4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah.

Pasal 17

Anggaran Belanja DPRD dan sekretariat DPRD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 18

Pengelolaan keuangan DPRD dilaksanakan oleh sekretaris DPRD dan pertanggungjawaban keuangan DPRD berpedoman pada ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku.

BAB IVKETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Propinsi dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah bagi Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 20

Peraturan tata tertib DPRD yang mengatur tentang hak keuangan DPRD yang telah dibuat, disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Page 301: Dokumentasi dan Informasi Hukum

297

Pasal 21

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini segala ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 22

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2000

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2000

sEKRETARIs NEGARA REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2000 NOMOR 211

Page 302: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 303: Dokumentasi dan Informasi Hukum

299

PENJELASANATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 110 TAHUN 2000

TENTANG

KEDUDUKAN KEUANGAN DEWAN PERWAKILANRAKYAT DAERAH

I. UMUM

sebagaimana ditegaskan dalam Undang­undan Nomor 4 Tahun 1999 ditentang susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah, DPRD melaksanakan fungsi legislatif sepenuhnya sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat di Daerah, dan berkedudukan sejajar sebagai mitra Pemerintahan Daerah.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya kepada DPRD perlu diberikan hak­hak keuangan dan administratif yang diatur dalam Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Penetapan Kedudukan keuangan DPRD dimaksud perlu mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan aspek keadilan dikaitkan dengan tugas, kewenangan dan tanggungjawab dalam melaksanakan legislasi, pengawasan dan anggaran.

Atas dasar tersebut di atas, dipandang perlu diatur kedudukan keuangan DPRD dengan Peraturan Pemerintah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Page 304: Dokumentasi dan Informasi Hukum

300

Pasal 2

Penghasilan tetap Pimpinan terdiri dari Uang Representasi, Uang Paket, Tunjangan Jabatan, Tunjangan Khusus, dan Tunjangan Perbaikan Penghasilan. Penghasilan Tetap anggota terdiri dari Uang Representasi, Uang Paket, Tunjangan Komisi, Tunjangan Khusus dan Tunjangan Perbaikan Penghasilan.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud Uang Paket dalam ketentuan ini adalah uang yang berikan setiap bulan kepada Pimpinan dan anggota DPRD untuk menghadiri rapat­rapat dinas di dalam kota.

Untuk rapat­rapat dinas di luar kota diberikan biaya perjalanan dinas sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Panitia yang dimaksud ayat ini adalah Panitia­panitia sebagai alat kelengkapan DPRD yang dibentuk dan disahkan oleh rapat Paripurna DPRD.

Ayat (2)

Cukup jelas

Page 305: Dokumentasi dan Informasi Hukum

301

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Jaminan asuransi yang diberikan setara dengan ketentuan yang berlaku bagi Pegawai Negeri sipil golongan IV.

Pasal 11

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Biaya pengangkutan jenazah diberikan kepada Pimpinan atau anggota yang tewas dalam menjalankan tugas.

Pasal 12

Ayat (1)

Rumah jabatan dan kendaraan dinas dimaksud tidak mewah dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (3)

Penyerahan rumah jabatan beserta perlengkapannya dan kendaraan dinas dilaksanakan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jabatan.

Pasal 13

Pakaian dinas dimaksud terdiri dari PsH 2 (dua) kali setahun, PsR 1 (satu) kali kali setahun, dan PsL 1 (satu) kali lima tahun.

Pasal 14

Ayat jelas

a. Yang dimaksud Belanja Pegawai pada Pasal ini adalah Belanja Pegawai sekretariat DPRD;

b. Yang dimaksud Belanja barang adalah belanja barang dan jasa yang diperlukan sekretariat DPRD untuk menunjang kegiatan DPRD;

c. Yang dimaksud Biaya Perjalanan Dinas adalah biaya perjalanan dinas Pimpinan dan anggota DPRD dan sekretariat DPRD.

Page 306: Dokumentasi dan Informasi Hukum

302

Biaya Perjalanan Dinas Pimpinan dan anggota DPRD standarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan paling tinggi sama dengan ketentuan perjalanan dinas yang berlaku bagi Pegawai Negeri sipil golongan IV.

Perjalanan Dinas sekretariat DPRD disesuaikan dengan ketentuan perjalanan dinas Pegawai Negeri sipil di Daerah;

Yang dimaksud Biaya Pemeliharaan rumah jabatan dan kendaraan dinas Ketua dan Wakil Ketua DPRD serta sarana dan prasarana perkantoran sekretariat DPRD;

d. Yang dimaksud Biaya Penunjang Kegiatan adalah untuk menunjang kegiatan DPRD yang tidak terduga dan penyediaan tenaga ahli serta peningkatan kapasitas legislatif.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 15

Rencana anggaran dimaksud dibahas bersama dengan Eksekutif untuk selanjutnya dicantumkan dalam RAPBD.

setelah APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah, Ketua DPRD menetapkan keputusan DPRD sebagai dasar pelaksanaan oleh sekretaris DPRD.

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ketentuan ini berarti bahwa pengajuan, pembahasan usulan anggaran DPRD diberlakukan sama seperti usulan anggaran perangkat daerah lainnya. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban keuangan DPRD dan sekretariat DPRD termasuk bagian dari laporan pertanggungjawaban akhir tahun Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pasal 18

Cukup jelas

Page 307: Dokumentasi dan Informasi Hukum

303

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4029

Page 308: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 309: Dokumentasi dan Informasi Hukum

305

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 54 TAHUN 2004

TENTANG

MAJELIS RAKYAT PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa keberadaan Majelis Rakyat Papua berdasarkan Pasal 5 Undang­undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua perlu diikuti dengan pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilihan dan penggantian anggota, pedoman tata tertib, serta kedudukan keuangan Majelis Rakyat Papua;

b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (4), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (3) Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang­Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten­kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907);

3. Undang­Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok­pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang­undang Nomor 43 tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

Page 310: Dokumentasi dan Informasi Hukum

306

4. Undang­Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);

5. Undang­Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);

6. Undang­Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

7. Undang­Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

8. Undang­Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);

9. Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151);

10. Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4251);

11. Undang­Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

12. Undang­Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310);

13. Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

14. Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang­undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Page 311: Dokumentasi dan Informasi Hukum

307

Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

15. Undang­Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

16. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

17. Undang­Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG MAJELIs RAKYAT PAPUA.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.

2. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi.

4. Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi dan sebagai Wakil Pemerintah di Provinsi.

5. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/ Kota di Provinsi.

6. Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disingkat MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan

Page 312: Dokumentasi dan Informasi Hukum

308

hak­hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

7. Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi.

8. Panitia Pemilihan MRP adalah panitia penyelenggara pemilihan anggota MRP yang berada di tingkat distrik, kabupaten/kota dan provinsi yang anggotanya terdiri unsur pemerintah dan masyarakat.

9. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku­suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

10. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun temurun.

11. Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.

12. Wakil adat adalah Anggota MRP yang berasal dari dan mewakili masyarakat adat.

13. Masyarakat agama adalah semua penduduk pemeluk agama di Provinsi.

14. Wakil agama adalah Anggota MRP yang berasal dari dan mewakili masyarakat agama.

15. Masyarakat perempuan adalah penduduk berjenis kelamin perempuan di Provinsi.

16. Wakil perempuan adalah Anggota MRP yang berasal dari dan mewakili masyarakat perempuan.

17. Perlindungan hak­hak orang asli Papua adalah perlindungan terhadap hak­hak yang berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

18. Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang­undangan.

19. Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi dalam rangka pelaksanaan pasal­pasal tertentu dalam Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001.

20. Pimpinan MRP adalah Ketua dan Wakil­wakil Ketua.

Page 313: Dokumentasi dan Informasi Hukum

309

21. Anggota MRP adalah mereka yang diresmikan keanggotaannya sebagai Anggota MRP dan telah mengucapkan sumpah/janji berdasarkan ketentuan peraturan perundang­undangan.

22. sekretariat MRP adalah unsur pendukung MRP yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan bertugas membantu MRP dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya.

23. sekretaris MRP adalah Pejabat yang memimpin sekretariat MRP yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai Negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan MRP.

BAB IIPEMBENTUKAN DAN KEANGGOTAAN MRP

Bagian PertamaPembentukan MRP

Pasal 2

MRP dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.

Bagian KeduaKeanggotaan MRP

Pasal 3

(1) Anggota MRP terdiri dari orang­orang asli Papua yang berasal dari wakil­wakil adat, wakil­wakil agama, dan wakil­wakil perempuan di provinsi.

(2) Anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlahnya tidak lebih dari ¾ (tiga per empat) jumlah anggota DPRP.

(3) Komposisi anggota MRP terdiri dari:

a. Jumlah Anggota Wakil Adat sebanyak 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota MRP;

b. Jumlah Anggota Wakil Perempuan sebanyak 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota MRP;

c. Jumlah Anggota Wakil Agama sebanyak 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota MRP dengan komposisi masing­masing Wakil Agama yang ditetapkan secara proporsional.

Page 314: Dokumentasi dan Informasi Hukum

310

(4) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota MRP yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 4

Anggota MRP adalah warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat­syarat :

a. orang asli Papua ;

b. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia dan taat kepada Pancasila dan memiliki komitmen yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

d. setia dan taat kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;

e. tidak pernah terlibat dalam tindakan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia;

f. berumur serendah­rendahnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi­tingginya 60 (enam puluh) tahun;

g. sehat jasmani dan rohani;

h. memiliki keteladanan moral dan menjadi panutan masyarakat;

i. memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi hak­hak orang asli Papua;

j. tidak berstatus sebagai anggota legislatif dan anggota partai politik;

k. berdomisili di provinsi sekurang­kurangnya 10 (sepuluh) tahun berturut­turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon anggota MRP;

l. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

m. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;

n. pegawai negeri yang terpilih menjadi anggota MRP harus melepaskan sementara jabatan dan status kepegawaiannya;

o. berpendidikan serendah­rendahnya sekolah Dasar atau sederajat untuk wakil adat, sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (sLTP) atau sederajat untuk wakil agama dan perempuan;

p. untuk wakil adat harus diakui dan diterima oleh masyarakat adat;

q. untuk wakil agama harus mendapat rekomendasi dari lembaga keagamaan yang bersangkutan;

Page 315: Dokumentasi dan Informasi Hukum

311

r. untuk wakil perempuan harus aktif dan konsisten memperjuangkan hak­hak perempuan dan diterima oleh komunitas perempuan;

s. untuk wakil adat, agama, dan perempuan yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Anggota MRP harus mengundurkan diri dari jabatan kelembagaan.

BAB IIITATA CARA PEMILIHAN ANGGOTA MRP

Bagian PertamaPenyelenggara Pemilihan

Pasal 5

(1) Pemilihan anggota MRP diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan MRP.

(2) Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :

a. Panitia Pemilihan MRP tingkat Distrik;

b. Panitia Pemilihan MRP tingkat Kabupaten/kota;

c. Panitia Pemilihan MRP tingkat Provinsi.

(3) Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing­masing berjumlah 5 (lima) orang dan anggotanya terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

(4) Pembentukan Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, ditetapkan oleh Bupati/walikota dengan mendengar usul dari DPRD kabupaten/kota dan masyarakat.

(5) Pembentukan Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan pendapat DPRP dan masyarakat.

(6) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk 3 (tiga) bulan sebelum pemilihan anggota MRP dan berakhir masa tugasnya 1 (satu) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Pasal 6

Tugas dan wewenang Panitia Pemilihan MRP adalah :

a. merencanakan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP;

b. mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan anggota MRP;

c. menetapkan waktu dan tanggal pelaksanaan tahapan pemilihan anggota MRP;

Page 316: Dokumentasi dan Informasi Hukum

312

d. mengajukan hasil pemilihan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mendapat pengesahan;

e. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan.

Pasal 7

Panitia pemilihan MRP berkewajiban :

a. memperlakukan calon anggota MRP secara adil dalam pelaksanaan pemilihan;

b. meneliti dan memverifikasi persyaratan calon anggota MRP;

c. memelihara arsip dan dokumen pemilihan anggota MRP;

d. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;

e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBD.

Pasal 8

(1) Pengawasan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan yang dibentuk oleh Gubernur pada tingkat provinsi dan Bupati/Walikota pada tingkat kabupaten/kota dan distrik.

(2) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang pada setiap tingkat.

(3) Anggota panitia pengawas terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan dan masyarakat.

(4) Tugas dan wewenang panitia pengawas adalah :

a. mengawasi semua tahapan pelaksanaan pemilihan;

b. menerima laporan pelanggaran pelaksanaan pemilihan;

c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaan pemilihan;

d. meneruskan temuan kepada pihak yang berwenang.

(5) Panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk 3 (tiga) bulan sebelum pemilihan anggota MRP dan berakhir masa tugasnya 1 (satu) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Pasal 9

(1) Panitia pengawas pemilihan tingkat provinsi bertanggung jawab kepada Gubernur.

(2) Panitia pengawas pemilihan tingkat kabupaten/kota dan distrik bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

Page 317: Dokumentasi dan Informasi Hukum

313

Bagian KeduaPemilih

Pasal 10

(1) Pemilih terdiri atas anggota masyarakat adat, masyarakat agama, masyarakat perempuan, penduduk yang telah berdomisili sekurang­kurangnya 6 (enam) bulan di provinsi.

(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. berusia sekurang­kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/ pernah kawin;

b. nyata­nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;

c. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(3) Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari satu tempat tinggal harus menentukan satu diantaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.

(4) Pemilih yang namanya telah dicatat dalam daftar pemilih diberi tanda bukti pendaftaran yang berlaku sebagai surat pemberitahuan untuk memberikan suara.

Bagian KetigaPencalonan

Pasal 11

(1) Pendaftaran calon di wilayah pemilihan tahap pertama dilakukan oleh masyarakat adat dan masyarakat perempuan pada Panitia Pemilihan MRP tingkat distrik.

(2) Pendaftaran calon anggota MRP untuk masyarakat agama dilakukan oleh masyarakat agama pada panitia Pemilihan MRP tingkat Provinsi.

Bagian Keempat Tahapan Pemilihan

Pasal 12

(1) Pemilihan anggota MRP dilakukan:

a. Pemilihan untuk calon dari wakil adat dan perempuan dilakukan 2 (dua) tahap yakni pemilihan ditingkat distrik dan kabupaten/kota;

Page 318: Dokumentasi dan Informasi Hukum

314

b. Pemilihan untuk wakil agama dilakukan 1 (satu) tahap berdasarkan jumlah pemeluk agama secara proporsional.

(2) Pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a di seleng­garakan oleh Panitia Pemilihan MRP tingkat distrik dan tingkat kabupaten/kota.

(3) Pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan MRP tingkat Provinsi.

Pasal 13

(1) Proses tahapan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dilakukan:

a. tahap pertama dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari;

b. tahap kedua dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari.

(2) Proses tahapan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari.

Pasal 14

(1) Pemilihan tahap pertama calon anggota MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a diselenggarakan melalui pemungutan suara secara serentak di masing­masing wilayah pemilihan di seluruh provinsi.

(2) Pemilihan tahap kedua calon anggota MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dilakukan oleh calon anggota terpilih dari pemilihan tahap pertama untuk menghasilkan 2 (dua) orang yang mewakili unsur adat dan perempuan.

(3) Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara musyawarah dan mufakat.

(4) Apabila musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai, pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara.

Pasal 15

(1) Hasil pemilihan calon anggota MRP tingkat distrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) diajukan oleh Panitia Pemilihan MRP tingkat distrik kepada Panitia Pemilihan MRP tingkat kabupaten/kota untuk dilakukan pemilihan pada tahap kedua.

(2) Pemilihan calon anggota MRP pada tahap kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui musyawarah dan mufakat antara calon yang terpilih pada pemilihan tahap pertama.

Page 319: Dokumentasi dan Informasi Hukum

315

(3) Apabila musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara.

(4) Hasil Pemilihan Calon Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam Daftar Urut Calon Anggota MRP oleh Panitia Pemilihan tingkat kabupaten/kota berdasarkan peringkat perolehan suara masing­masing calon yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

(5) Calon Anggota MRP nomor urut pertama daftar calon dari unsur adat dan perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan oleh Bupati/Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapat pengesahan.

Pasal 16

(1) Calon anggota wakil agama dari setiap agama diajukan oleh masyarakat agama masing­masing.

(2) setiap masyarakat agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan calon anggota MRP paling banyak sejumlah kabupaten/kota di provinsi.

(3) Calon anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penelitian persyaratan calon oleh Panitia Pemilihan MRP tingkat Provinsi.

(4) Calon anggota MRP yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui musyawarah dan mufakat oleh masyarakat agama tingkat Provinsi dengan memperhatikan proporsi jumlah pemeluknya.

(5) Perimbangan jumlah wakil masing­masing agama ditetapkan oleh Panitia Pemilihan tingkat Provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah pemeluk masing­masing agama.

(6) Apabila musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai, pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara.

(7) Hasil pemilihan calon anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dalam Daftar Urut Calon Anggota MRP berdasarkan peringkat perolehan suara masing­masing calon setiap agama yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

(8) Calon anggota MRP yang telah ditetapkan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapat pengesahan.

Page 320: Dokumentasi dan Informasi Hukum

316

Bagian KelimaPengesahan dan Pelantikan

Pasal 17

(1) Hasil pemilihan anggota MRP diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan.

(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima usulan dari Gubernur.

(3) Menteri Dalam Negeri tidak mengesahkan calon anggota MRP yang berdasarkan penelitian ternyata tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(4) Calon anggota MRP yang tidak disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak mengajukan keberatan selama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat penolakan.

(5) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mendapat keputusan Menteri Dalam Negeri paling lama 14 (empat belas ) hari sejak diterimanya keberatan dan keputusan tersebut bersifat final dan mengikat.

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mendapat persetujuan, Menteri Dalam Negeri mengembalikan usulan kepada Gubernur untuk kemudian mengajukan calon lain sesuai daftar urut berikutnya.

Pasal 18

(1) Anggota MRP terpilih dilantik oleh Menteri Dalam Negeri di ibukota provinsi.

(2) sebelum melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota MRP wajib mengucapkan sumpah dan janji.

(3) susunan kata­kata sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut:

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya sanggup melaksanakan tugas dan kewajiban saya selaku Anggota Majelis Rakyat Papua dengan sebaik­baiknya, sejujur­jujurnya, dan seadil­adilnya;

bahwa saya sanggup memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang­undangan yang berlaku;

bahwa saya sanggup menegakkan kehidupan demokrasi serta setia dan berbakti kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Page 321: Dokumentasi dan Informasi Hukum

317

BAB IVPEMBERHENTIAN ANGGOTA DAN PENGGANTIAN PIMPINAN MRP

Pasal 19

(1) Anggota MRP berhenti karena:

a. meninggal dunia;

b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota MRP;

c. mengajukan permohonan berhenti atas permintaan sendiri;

d. berdomisili di luar wilayah provinsi;

e. melanggar kode etik MRP;

f. tidak lagi memenuhi syarat – syarat sebagai anggota MRP;

g. melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini;

h. melanggar sumpah/janji anggota MRP;

i. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.

(2) Anggota MRP diberhentikan sementara karena dinyatakan sebagai terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar dan/ atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

(3) Pemberhentian dan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 20

(1) Pemberhentian anggota MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h, diusulkan oleh pimpinan MRP kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur, setelah mempertimbangkan hasil penelitian dan verifikasi Dewan Kehormatan MRP atas pelanggaran anggota MRP.

(2) Penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengaduan pimpinan MRP, masyarakat, lembaga adat, lembaga/organisasi perempuan dan/atau lembaga keagamaan.

(3) Tata cara pengaduan, pembelaan dan pengambilan keputusan oleh Dewan Kehormatan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Page 322: Dokumentasi dan Informasi Hukum

318

(4) Pemberhentian anggota MRP sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (1) huruf i dan / atau perbuatan makar dapat dilakukan oleh pejabat yang mengesahkan tanpa melalui pertimbangan dewan kehormatan.

(5) Dewan Kehormatan MRP terdiri dari unsur pimpinan dan anggota MRP yang mewakili unsur keagamaan, adat, perempuan yang berjumlah paling banyak 5 (lima) orang.

(6) Tatacara pembentukan Dewan Kehormatan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Pasal 21

(1) Pimpinan MRP dapat diganti apabila kinerjanya dinilai tidak baik dan menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1 ) huruf e, f, g, h, dan i. berdasarkan penilaian kinerja yang dilakukan terhadap pimpinan MRP secara kolektif.

(2) Penilaian kinerja Pimpinan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Rapat Pleno MRP dihadiri oleh sekurang­kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MRP.

(3) Penilaian kinerja Pimpinan MRP yang dinilai tidak baik dan menyimpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir dan sebagai bahan usulan penggantian Pimpinan MRP.

Pasal 22

(1) Usulan penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) diputuskan dalam rapat pleno yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MRP.

(2) Keputusan MRP tentang usulan penggantian Pimpinan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan Berita Acara Usulan Penggantian.

Pasal 23

Keputusan MRP tentang usulan penggantian sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (2) disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur, guna peresmian penggantian.

Pasal 24

Pengisian Pimpinan MRP yang diganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipilih dari anggota MRP.

Page 323: Dokumentasi dan Informasi Hukum

319

BAB VPENGGANTIAN ANTAR WAKTU ANGGOTA MRP

Pasal 25

(1) Penggantian antar waktu anggota MRP dilakukan untuk mengisi kekosongan anggota MRP.

(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan daftar urut calon.

Pasal 26

(1) Menteri Dalam Negeri mengesahkan calon anggota MRP pengganti antar waktu selambat­lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak usulan diterima dari Gubernur.

(2) Menteri Dalam Negeri dapat mendelegasikan pelantikan anggota MRP pengganti antar waktu kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.

BAB VITATA TERTIB MRP

Pasal 27

(1) Peraturan Tata Tertib merupakan landasan pelaksanaan hak dan kewajiban MRP.

(2) Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kelengkapan MRP,pelaksanaan tugas dan wewenang, pelaksanaan hak dan kewajiban, dan rapat­rapat MRP.

(3) Peraturan Tata Tertib ditetapkan dengan Keputusan MRP berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIIALAT KELENGKAPAN MRP

Pasal 28

Alat Kelengkapan MRP terdiri dari :

a. Pimpinan;

b. Kelompok Kerja­Kelompok Kerja; dan

c. Dewan Kehormatan.

Page 324: Dokumentasi dan Informasi Hukum

320

Pasal 29

(1) Pimpinan MRP merupakan lembaga yang bersifat kolektif mencerminkan unsur adat, agama, dan perempuan, yang terdiri atas:

a. satu orang Ketua;

b. dua orang Wakil Ketua.

(2) Pengesahan dan pelantikan Pimpinan MRP dilakukan oleh Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.

(3) Tata cara pemilihan Pimpinan MRP diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Pasal 30

(1) Kelompok Kerja merupakan alat kelengkapan MRP untuk menangani bidang adat, perempuan dan agama.

(2) Jumlah Kelompok Kerja MRP sebanyak 3 (tiga) Kelompok Kerja.

Pasal 31

Kelompok Kerja MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) terdiri atas:

a. Kelompok Kerja Adat;

b. Kelompok Kerja Perempuan;

c. Kelompok Kerja Keagamaan.

Pasal 32

(1) Tugas Kelompok Kerja MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 adalah :

a. Kelompok Kerja Adat mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan dalam rangka perlindungan adat dan budaya asli;

b. Kelompok Kerja Perempuan mempunyai tugas melindungi dan memberdayakan perempuan dalam rangka keadilan dan kesetaraan gender;

c. Kelompok Kerja Keagamaan mempunyai tugas memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama.

(2) Tugas Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Page 325: Dokumentasi dan Informasi Hukum

321

Pasal 33

(1) Dewan Kehormatan merupakan alat kelengkapan MRP yang bertugas dan berwenang melakukan pertimbangan dan penilaian terhadap anggota MRP yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h.

(2) Dewan Kehormatan MRP terdiri dari unsur pimpinan dan anggota MRP yang mewakili unsur keagamaan, adat, perempuan yang berjumlah paling banyak 5 (lima) orang.

(3) Tatacara pembentukan Dewan Kehormatan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

BAB VIIILARANGAN DAN SANKSI

Pasal 34

Anggota MRP dilarang:

a. mengkhianati Pancasila, Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah;

b. melakukan tindakan yang tercela dan tidak bermoral;

c. memiliki jabatan rangkap sebagai Pegawai Negeri dan/atau pejabat negara;

d. melakukan tindakan melanggar hukum yang dapat berakibat dicabut hak pilihnya;

e. melakukan kegiatan dan/atau usaha yang biayanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi.

Pasal 35

(1) Anggota MRP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dikenakan sanksi pemberhentian sebagai Anggota MRP.

(2) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan dan penilaian Dewan Kehormatan.

(3) Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Page 326: Dokumentasi dan Informasi Hukum

322

BAB IXPELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN

Bagian PertamaTugas dan Wewenang MRP

Pasal 36

MRP mempunyai tugas dan wewenang :

a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP;

b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama­sama dengan Gubernur;

c. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak­hak orang asli Papua;

d. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak­hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;

e. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD kabupaten/kota serta Bupati/Walikota mengenai hal­hal yang terkait dengan perlindungan hak­hak orang asli Papua.

Bagian keduaTata Cara Pertimbangan dan Persetujuan terhadap

Pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 37

(1) MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur yang diajukan oleh DPRP.

(2) Pertimbangan dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya menyangkut persyaratan pasangan bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur adalah orang asli Papua.

(3) Hasil pertimbangan dan persetujuan MRP, diberitahukan secara tertulis kepada pimpinan DPRP paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan.

Page 327: Dokumentasi dan Informasi Hukum

323

(4) Apabila pasangan bakal calon tidak mendapatkan persetujuan MRP karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), DPRP diberi kesempatan untuk memperbaiki persyaratan pasangan bakal calon paling lambat 7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan MRP.

(5) Pasangan bakal calon yang telah mendapatkan persetujuan MRP disampaikan kepada DPRP.

(6) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari, MRP tidak memberikan persetujuan terhadap pasangan bakal calon yang diajukan DPRP, pasangan bakal calon tersebut sah untuk diajukan menjadi pasangan calon.

Bagian ketigaTata Cara Memberikan Pertimbangan Dan Persetujuan

Terhadap Rancangan Perdasus

Pasal 38

(1) Rancangan Perdasus disampaikan oleh Pemerintah provinsi bersama DPRP kepada MRP untuk dilakukan pembahasan guna mendapat pertimbangan dan persetujuan.

(2) Pembahasan Rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kelompok Kerja paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rancangan Perdasus.

(3) Dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MRP melakukan konsultasi dengan Pemerintah Provinsi dan DPRP.

(4) Dalam hal Rancangan Perdasus tidak mendapatkan pertimbangan dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan Perdasus dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan oleh MRP.

(5) Pemerintah Provinsi bersama DPRP menetapkan Rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Perdasus.

Bagian KeempatTata Cara Memberikan Pertimbangan Dan Persetujuan

Terhadap Kerjasama dengan Pihak Ketiga

Pasal 39

(1) Rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga disampaikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi bersama DPRP kepada MRP untuk mendapat pertimbangan khusus menyangkut perlindungan hak­hak orang asli Papua.

Page 328: Dokumentasi dan Informasi Hukum

324

(2) Pembahasan rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompok kerja yang membidangi untuk mendapatkan persetujuan rapat pleno MRP selambat­lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rencana perjanjian.

(3) Apabila diperlukan kelompok kerja dapat berkonsultasi kepada pemerintah atau pemerintah provinsi mengenai rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga sebagaima dimaksud pada ayat (1).

(4) Dalam hal rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga tidak mendapatkan pertimbangan dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP.

(5) Perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga dari luar negeri dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang­undangan yang mengatur hubungan luar negeri.

Bagian KelimaTata Cara Menerima Penyampaian Aspirasi dan Pengaduan

Pasal 40

(1) Masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang datang secara langsung ke MRP untuk menyampaikan aspirasi dan pengaduan diterima oleh sekretariat MRP dan disalurkan kepada Pimpinan MRP dan/atau Kelompok Kerja yang membidanginya.

(2) Dalam menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pimpinan MRP meneruskan kepada Gubernur dan DPRP sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Bagian KeenamTata Cara Memberikan Pertimbangan Terhadap

Perlindungan Hak-Hak Orang Asli Papua.

Pasal 41

(1) Kebijakan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai hal­hal yang terkait dengan perlindungan hak­hak orang asli Papua, disampaikan kepada MRP untuk mendapat pertimbangan.

(2) Pertimbangan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling lambat diberikan 14 (empat belas) hari sejak diterima oleh MRP untuk mendapatkan perhatian Pemerintah Daerah.

Page 329: Dokumentasi dan Informasi Hukum

325

BAB XPELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN MRP

Bagian PertamaHak Meminta Keterangan

Pasal 42

(1) MRP dapat meminta keterangan Pemerintah Provinsi yang berkaitan dengan perlindungan hak­hak orang asli Papua.

(2) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh paling sedikit 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah anggota MRP yang mencerminkan unsur wakil adat, wakil perempuan dan wakil agama.

(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Pimpinan MRP disampaikan pada rapat pleno MRP untuk memperoleh keputusan.

(4) Dalam rapat pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (3), para pengusul diberi kesempatan menyampaikan penjelasan lisan atas usul permintaan tersebut.

(5) Apabila rapat pleno menyetujui usul permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pimpinan MRP menyampaikan permintaan keterangan secara tertulis kepada Pemerintah Provinsi.

(6) Pemerintah Provinsi memberikan keterangan tertulis kepada Pimpinan MRP.

(7) Anggota MRP dapat mengajukan pertanyaan atas keterangan Pemerintah Provinsi dalam rapat kerja.

Bagian KeduaHak Meminta Peninjauan Kembali Perdasi

Pasal 43

(1) MRP dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali Perdasi atau Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan perlindungan hak­hak dasar orang asli Papua.

(2) Permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah anggota MRP yang mencerminkan unsur wakil adat, wakil perempuan dan wakil agama dan mendapat persetujuan rapat pleno MRP.

(3) Permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP.

Page 330: Dokumentasi dan Informasi Hukum

326

(4) Permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditanggapi secara tertulis oleh Pemerintah Provinsi dan DPRP untuk dibahas dalam rapat kerja.

Bagian KetigaHak Mengajukan Rencana Anggaran Belanja MRP

Pasal 44

(1) MRP mengajukan rencana anggaran belanja MRP kepada DPRP.

(2) Rencana anggaran MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas bersama antara DPRP dengan Gubernur untuk ditetapkan sebagai anggaran belanja MRP.

(3) Anggaran Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

Bagian KeempatHak Menetapkan Tata Tertib MRP

Pasal 45

(1) MRP menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

(2) Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat tentang :a. pengucapan/sumpah janji;b. pemilihan dan penetapan pimpinan;c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;d. penyelenggaraan sidang/rapat;e. pelaksanaan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak serta larangan bagi

anggota / lembaga;f. pengaduan dan tugas Dewan Kehormatan dalam proses penggantian antar

waktu;g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang serta kewajiban alat­alat

kelengkapan;h. pembuatan keputusan;i. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;j. pelaksanaan kesekretariatan;k. pengaturan protokoler dan kode etik.

Page 331: Dokumentasi dan Informasi Hukum

327

Bagian KelimaPelaksanaan Hak Anggota MRP

Pasal 46

(1) Anggota MRP mempunyai hak mengajukan pertanyaan.

(2) Hak mengajukan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis untuk ditanggapi dalam rapat–rapat MRP.

Pasal 47

(1) Anggota MRP mempunyai hak menyampaikan usul dan pendapat.

(2) Usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis untuk dibahas dalam rapat­rapat MRP.

Pasal 48

(1) Anggota MRP mempunyai hak imunitas atau hak kekebalan hukum untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat­rapat MRP dengan Pemerintah Provinsi dan DPRP sesuai dengan peraturan perundangan­undangan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a dan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal­hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam buku kedua Bab I Kitab Undang­Undang Hukum Pidana.

Pasal 49

Hak protokoler anggota MRP dipersamakan dengan anggota DPRP dan selanjutnya ditetapkan dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Bagian KeenamPelaksanaan Kewajiban MRP

Pasal 50

(1) MRP dalam melaksanakan tugas dan wewenang, mempunyai kewajiban :

a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;

Page 332: Dokumentasi dan Informasi Hukum

328

b. mengamalkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mentaati segala peraturan perundang­undangan;

c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua;

d. membina kerukunan kehidupan beragama;

e. mendorong pemberdayaan perempuan.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pimpinan dan anggota MRP dalam setiap kegiatan MRP dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.

(3) Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

BAB XIRAPAT-RAPAT MRP

Pasal 51

Rapat­rapat MRP terdiri dari :

a. Rapat Pleno;

b. Rapat Kerja;

c. Rapat Dengar Pendapat;

d. Rapat Kelompok Kerja;

e. Rapat Gabungan Kelompok Kerja.

Pasal 52

(1) Rapat Pleno sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 huruf a merupakan rapat anggota yang dipimpin oleh pimpinan MRP dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang MRP.

(2) Rapat Kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 huruf b merupakan rapat antara alat kelengkapan MRP dengan pejabat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta DPRP dan DPRD Kabupaten/Kota dan Lembaga Pemerintah lainnya di Daerah.

(3) Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c merupakan rapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga­lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP.

Page 333: Dokumentasi dan Informasi Hukum

329

(4) Rapat Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 huruf d merupakan rapat anggota Kelompok Kerja yang dipimpin oleh pimpinan Kelompok Kerja sesuai bidang tugas.

(5) Rapat Gabungan Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 huruf e merupakan rapat bersama yang diadakan oleh lebih dari satu Kelompok Kerja.

Pasal 53

(1) Rapat Pleno dilaksanakan sekurang­kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

(2) Rapat MRP sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) harus dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota.

(3) Pengambilan keputusan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan sah apabila disetujui oleh 2/3 (duapertiga) dari jumlah yang hadir.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rapat­rapat MRP diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Pasal 54

(1) Produk­produk MRP berbentuk Keputusan MRP dan Keputusan Pimpinan MRP.

(2) Tatacara dan proses pengambilan keputusan ditetapkan dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

BAB XIISEKRETARIAT MRP

Pasal 55

(1) sekretariat MRP dipimpin oleh seorang sekretaris yang bertugas membantu MRP dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya.

(2) sekretaris MRP diangkat dari PNs yang memenuhi syarat oleh Gubernur.

(3) sekretariat MRP secara operasional berada di bawah pimpinan MRP dan secara teknis administrasi berada di bawah sekretaris Daerah Provinsi.

Pasal 56

Kedudukan, susunan organisasi dan tatakerja serta keuangan sekretariat MRP diatur dalam Perdasi.

Page 334: Dokumentasi dan Informasi Hukum

330

BAB XIIIKEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA

Bagian PertamaHak Keuangan MRP

Pasal 57

Penghasilan bagi Pimpinan dan Anggota MRP terdiri dari :

a. Uang Representasi;

b. Uang Paket;

c. Tunjangan Jabatan;

d. Tunjangan Kesejahteraan.

Bagian KeduaUang Representasi

Pasal 58

(1) Pimpinan dan Anggota MRP diberikan Uang Representasi.

(2) Besarnya Uang Representasi bagi Ketua MRP, paling tinggi 50% (limapuluh perseratus) dari gaji pokok Gubernur.

(3) Besarnya Uang Representasi Wakil Ketua MRP paling tinggi 90% (sembilan puluh perseratus) dari Uang Representasi Ketua MRP.

(4) Besarnya Uang Representasi Anggota MRP paling tinggi 80% (delapan puluh perseratus) dari Uang Representasi Ketua MRP.

(5) selain uang representasi, kepada Pimpinan dan Anggota MRP diberikan tunjangan keluarga dan tunjangan beras.

(6) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada huruf e besarnya sama dengan tunjangan yang berlaku bagi DPRP.

Bagian KetigaUang Paket

Pasal 59

(1) Pimpinan dan anggota MRP diberikan Uang Paket.

(2) Besarnya Uang Paket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Uang Representasi yang bersangkutan.

Page 335: Dokumentasi dan Informasi Hukum

331

Bagian KeempatTunjangan Jabatan

Pasal 60

(1) Kepada Pimpinan MRP diberikan Tunjangan Jabatan.

(2) Kepada Pimpinan Kelompok Kerja diberikan Tunjangan Jabatan.

(3) Besarnya Tunjangan Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 50% (lima puluh perseratus) dari Uang Representasi yang bersangkutan.

(4) Besarnya Tunjangan Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari Uang Representasi yang bersangkutan.

Bagian KelimaTunjangan Kesejahteraan

Pasal 61

(1) Untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, kepada Pimpinan dan anggota MRP diberikan Tunjangan Kesehatan.

(2) Tunjangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk jaminan asuransi.

Pasal 62

Apabila Pimpinan atau anggota MRP meninggal dunia, kepada ahli waris diberikan :

a. uang duka wafat sebesar 3 (tiga) kali Uang Representasi atau apabila meninggal dunia dalam menjalankan tugas diberikan uang duka tewas sebesar 6 (enam) kali Uang Representasi;

b. bantuan biaya pengangkutan jenazah.

Pasal 63

(1) Ketua MRP disediakan rumah jabatan beserta perlengkapannya dan 1 (satu) unit kendaraan dinas.

(2) Wakil­Wakil Ketua MRP disediakan masing­masing 1 (satu) unit kendaraan dinas.

(3) Apabila Pimpinan MRP berhenti atau berakhir masa baktinya, rumah jabatan beserta perlengkapan dan kendaraan dinas diserahkan kembali dalam keadaan baik kepada Pemerintah Provinsi.

Page 336: Dokumentasi dan Informasi Hukum

332

Pasal 64

Pimpinan dan anggota MRP disediakan pakaian dinas sesuai dengan kemampuan keuangan provinsi.

Bagian KeenamBiaya Kegiatan MRP

Pasal 65

(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas MRP pada belanja sekretariat MRP disediakan:

a. Belanja Pegawai;

b. Belanja Barang dan jasa;

c. Belanja Perjalanan Dinas;

d. Belanja Pemeliharaan;

e. Belanja modal.

(2) Besarnya belanja MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kemampuan keuangan Provinsi dan tidak melebihi belanja penunjang kegiatan DPRP.

Bagian KetujuhPenghargaan

Pasal 66

(1) Pimpinan dan anggota MRP pada akhir keanggotaannya atau pada waktu diberhentikan dengan hormat dari jabatannya atau meninggal dunia, diberikan uang penghargaan, yaitu :

a. bagi pimpinan MRP untuk tiap 1 (satu) tahun memangku jabatan sejumlah 1 (satu) bulan uang representasi bersih paling banyak 5 (lima) bulan uang representasi bersih;

b. bagi anggota MRP untuk tiap 1 (satu) tahun masa keanggotaannya sejumlah 1 (satu) bulan uang representasi bersih paling banyak 5 (lima) bulan uang representasi bersih;

c. Masa memangku jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari 1 (satu) tahun dibulatkan menjadi 1 (satu) tahun penuh.

(2) Dalam hal pimpinan dan anggota MRP meninggal dunia, uang penghargaan tersebut pada ayat (1) diberikan kepada ahli warisnya.

Page 337: Dokumentasi dan Informasi Hukum

333

Pasal 67

(1) Biaya yang timbul akibat pemberlakuan Peraturan Pemerintah ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

(2) MRP dilarang menerima bantuan keuangan di luar sumber keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.

(3) Perdasi yang mengatur penyediaan anggaran untuk kegiatan MRP di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 68

Pengelolaan keuangan MRP dilaksanakan oleh sekretariat MRP dan pertanggungjawaban keuangan MRP berpedoman pada ketentuan peraturan perundang­undangan.

BAB XIVPENGAWASAN

Pasal 69

(1) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban MRP.

(2) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perdasus.

BAB XVKETENTUAN LAIN-LAIN

Bagian pertamaTugas Lain MRP

Pasal 70

selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, MRP mempunyai tugas lain :

a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pemekaran provinsi;

b. menyampaikan usulan perubahan Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Page 338: Dokumentasi dan Informasi Hukum

334

Bagian keduaTata Cara Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan

Terhadap Pemekaran Provinsi

Pasal 71

(1) Rencana pemekaran provinsi disampaikan oleh Pemerintah Provinsi bersama DPRP kepada MRP untuk mendapat pertimbangan.

(2) Pembahasan rencana pemekaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kelompok Kerja/gabungan Kelompok Kerja untuk mendapatkan persetujuan rapat pleno MRP selambat­lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rencana pemekaran.

(3) Apabila diperlukan Kelompok Kerja/gabungan Kelompok Kerja dapat meminta penjelasan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP mengenai rencana pemekaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Dalam hal rencana pemekaran tidak mendapatkan pertimbangan dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rencana pemekaran dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan oleh MRP.

Bagian ketigaTata Cara Penyampaian Usulan Perubahan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

Pasal 72

(1) Usulan perubahan Undang­undang Nomor 21 Tahun 2001 dapat disampaikan oleh rakyat kepada MRP dan DPRP.

(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan melalui MRP, dibahas oleh MRP untuk diteruskan kepada DPR atau Pemerintah melalui Gubernur.

(3) Usulan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi bahan pertimbangan Pemerintah.

Bagian keempatPembentukan MRP di Wilayah Pemekaran

Pasal 73

MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk bertugas dan bertanggung jawab untuk membantu Pemerintah menyelesaikan masalah

Page 339: Dokumentasi dan Informasi Hukum

335

pemekaran wilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang­undangan selambat­lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Pasal 74

(1) Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi­provinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing­masing ibukota provinsi.

(2) Tata cara pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan, pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 75

(1) MRP mempersiapkan dan bertanggung jawab terhadap pembentukan MRP di provinsi­provinsi baru hasil pemekaran.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MRP bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk.

BAB XVIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 76

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 Desember 2004

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd

Dr.H.sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 340: Dokumentasi dan Informasi Hukum

336

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 Desember 2004

MENTERI HUKUM DAN HAK AsAsI MANUsIA

REPUBLIK INDONEsIA,

ttd

Dr. HAMID AWALUDDIN, s.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2004 NOMOR 165

Page 341: Dokumentasi dan Informasi Hukum

337

PENJELASANATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 54 TAHUN 2004

TENTANG

MAJELIS RAKYAT PAPUA

I. UMUM

Otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan khusus berarti memberikan tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar­sebesarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang­undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang­orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan yang diwujudkan melalui Majelis Rakyat Papua.

Majelis Rakyat Papua berperan serta dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan dalam perumusan kebijakan daerah, dalam rangka kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua.

sebagai lembaga representasi kultural maka pemilihan anggota MRP dilakukan melalui proses yang demokratis dan transparan pada tingkat distrik, kabupaten/kota dan tingkat provinsi untuk memperoleh wakil­wakil dari masyarakat adat, masyarakat agama dan masyarakat perempuan.

Untuk pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya, MRP memiliki hak dan kewajiban yang perlu mendapatkan landasan operasional sebagaimana yang diamanatkan Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001, serta diberikan hak keuangan dan administrasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

Page 342: Dokumentasi dan Informasi Hukum

338

Dalam rangka pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman budaya berdasarkan etnis di Papua, maka dibentuk MRP pada provinsi­provinsi pemekaran yang dibentuk dengan memperhatikan perkembangan dan kemajuan serta kesiapan masyarakat di wilayah pemekaran.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Page 343: Dokumentasi dan Informasi Hukum

339

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan secara serentak di masing­masing wilayah pemilihan di seluruh provinsi adalah pelaksanaan pemungutan suara dilaksanakan pada hari yang sama di tingkat distrik dan di tingkat kabupaten/kota serta tingkat provinsi sesuai dengan tahapan masing­masing.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Page 344: Dokumentasi dan Informasi Hukum

340

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan berdasarkan daftar urut calon adalah daftar urutan berdasarkan perolehan jumlah suara terbanyak berikutnya dari calon wakil yang digantikan.

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Page 345: Dokumentasi dan Informasi Hukum

341

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud berkonsultasi kepada Pemerintah adalah berkonsultasi dengan instansi pemerintah yang meliputi Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Badan Usaha Milik Negara yang terkait dengan rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Page 346: Dokumentasi dan Informasi Hukum

342

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Page 347: Dokumentasi dan Informasi Hukum

343

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas

Pasal 66

Cukup jelas

Pasal 67

Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Page 348: Dokumentasi dan Informasi Hukum

344

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Penyelesaian pemekaran wilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini adalah tanggung jawab Pemerintah. MRP bersama Pemerintah Provinsi dan DPRP memberikan bantuan sesuai dengan ke­wenangannya berdasarkan peraturan perundang­undangan.

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4461

Page 349: Dokumentasi dan Informasi Hukum

345

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 24 TAHUN 2005

TENTANG

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 32 ayat (2) Undang­Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang standar Akuntansi Pemerintahan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang­Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

3. Undang­Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

4. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

5. Undang­Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).

Page 350: Dokumentasi dan Informasi Hukum

346

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG sTANDAR AKUNTANsI PEMERINTAHAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

2. Akuntansi adalah proses pencatatan, pengukuran, pengklasifikasian, peng-ikhtisaran transaksi dan kejadian keuangan, penginterpretasian atas hasilnya, serta penyajian laporan.

3. Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan adalah prinsip­prinsip yang mendasari penyusunan dan pengembangan standar Akuntansi Pemerintahan bagi Komite standar Akuntansi Pemerintahan dan merupakan rujukan penting bagi Komite standar Akuntansi Pemerintahan, penyusun laporan keuangan, dan pemeriksa dalam mencari pemecahan atas sesuatu masalah yang belum diatur secara jelas dalam Pernyataan standar Akuntansi Pemerintahan.

4. standar Akuntansi Pemerintahan, selanjutnya disebut sAP, adalah prinsip­prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.

5. sistem Akuntansi Pemerintahan adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pemerintah.

6. Komite standar Akuntansi Pemerintahan, selanjutnya disebut KsAP, adalah komite sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang berfungsi menyusun dan mengembangkan sAP.

7. Interpretasi Pernyataan standar Akuntansi Pemerintahan, selanjutnya disebut IPSAP, adalah klarifikasi, penjelasan dan uraian lebih lanjut atas pernyataan SAP yang diterbitkan oleh KsAP.

8. Buletin Teknis adalah informasi yang diterbitkan oleh KsAP yang memberikan arahan/pedoman secara tepat waktu untuk mengatasi masalah­masalah akuntansi maupun pelaporan keuangan yang timbul.

9. Pengantar standar Akuntansi Pemerintahan adalah uraian yang memuat latar belakang penyusunan sAP.

Page 351: Dokumentasi dan Informasi Hukum

347

Pasal 2

(1) sAP dinyatakan dalam bentuk Pernyataan standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut PsAP.

(2) sAP dilengkapi dengan Pengantar standar Akuntansi Pemerintahan.

(3) PsAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan dikembangkan oleh KsAP dengan mengacu kepada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan.

(4) Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan dikembangkan oleh KsAP.

(5) Pengantar standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran I.

(6) Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran II.

Pasal 3

(1) PsAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilengkapi dengan IPsAP dan/atau Buletin Teknis.

(2) IPsAP dan Buletin Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan ditetapkan oleh KsAP dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

(3) IPsAP dan Buletin Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sAP.

Pasal 4

PsAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari:

1. PsAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran III;

2. PsAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran IV;

3. PsAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran V;

4. PsAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran VI;

5. PsAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran VII;

6. PsAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran VIII;

7. PsAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran IX;

Page 352: Dokumentasi dan Informasi Hukum

348

8. PsAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran X;

9. PsAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XI;

10. PsAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan Peristiwa Luar Biasa, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XII; dan

11. PsAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian, adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XIII.

Pasal 5

Pengantar standar Akuntansi Pemerintahan dan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 serta PsAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini, merupakan satu kesatuan serta bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 6

(1) Pemerintah menyusun sistem akuntansi pemerintahan yang mengacu pada sAP.

(2) sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(3) sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah daerah diatur dengan peraturan gubernur/bupati/walikota, mengacu pada Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Pasal 7

semua peraturan perundang­undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan akuntansi pemerintahan sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 8

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada saat ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 353: Dokumentasi dan Informasi Hukum

349

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 13 Juni 2005

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd

Dr. H. sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 13 Juni 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK AsAsI MANUsIA

REPUBLIK INDONEsIA,

ttd

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2005 NOMOR 49

Page 354: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 355: Dokumentasi dan Informasi Hukum

351

PENJELASANATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 24 TAHUN 2005

TENTANG

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN

UMUM

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan Undang­Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa standar akuntansi pemerintahan disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

standar akuntansi pemerintahan dimaksud dibutuhkan dalam rangka penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan yang setidak­tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Peraturan Pemerintah ini juga merupakan pelaksanaan Pasal 184 ayat (1) dan (3) Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah disusun dan disajikan sesuai dengan standar Akuntansi Pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Page 356: Dokumentasi dan Informasi Hukum

352

Pasal 3

Ayat (1)

IPsAP dimaksudkan untuk menjelaskan lebih lanjut topik tertentu guna menghindari salah tafsir pengguna PsAP.

Buletin Teknis merupakan arahan/pedoman untuk penerapan PsAP maupun IPsAP.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 2005 NOMOR 4503

Page 357: Dokumentasi dan Informasi Hukum

353

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 41 TAHUN 2007

TENTANG

ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah, ke­pala daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah;

b. bahwa berdasarkan Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, susunan dan Pengendalian Organisasi Perangkat Daerah dilakukan dengan berpedoman pada peraturan pemerintah;

c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah belum cukup memberikan pedoman yang menyeluruh bagi penyusunan dan pengendalian organisasi perangkat daerah yang dapat menangani seluruh urusan pemerintahan, sehingga perlu dicabut dan dibentuk peraturan pemerintah yang baru;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Organisasi Perangkat Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

Page 358: Dokumentasi dan Informasi Hukum

354

125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ORGANIsAsI PERANGKAT DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas­luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas­batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

Page 359: Dokumentasi dan Informasi Hukum

355

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

8. Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

9. Rumah sakit Daerah adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat yang dikategorikan ke dalam rumah sakit umum daerah dan rumah sakit khusus daerah.

10. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.

11. Unsur pengawasan daerah adalah badan pengawasan daerah yang selanjutnya disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten, dan Inspektorat Kota.

12. Unit Pelaksana Teknis adalah unsur pelaksana tugas teknis pada dinas dan badan.

13. sekretaris Daerah adalah sekretaris daerah provinsi dan sekretaris kabupaten/kota.

14. Eselon adalah tingkatan jabatan struktural.

BAB IIPEMBENTUKAN

ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

Pasal 2

(1) Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini.

(2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah.

(3) Rincian tugas, fungsi, dan tata kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur/bupati/walikota.

Page 360: Dokumentasi dan Informasi Hukum

356

BAB IIIKEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI

PERANGKAT DAERAH PROVINSI

Bagian PertamaSekretariat Daerah

Pasal 3

(1) sekretariat daerah merupakan unsur staf.

(2) sekretariat daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

(3) sekretariat daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a. penyusunan kebijakan pemerintahan daerah;

b. pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah;

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

d. pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah; dan

e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(4) sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah.

(5) sekretaris daerah berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur.

Bagian KeduaSekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 4

(1) sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah yang selanjutnya disebut sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD.

(2) sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi ke­sekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Page 361: Dokumentasi dan Informasi Hukum

357

(3) sekretariat DPRD dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:a. penyelenggaraan administrasi kesekretariatan DPRD;b. penyelenggaraan administrasi keuangan DPRD;c. penyelenggaraan rapat–rapat DPRD; dand. penyediaan dan pengoordinasian tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD.

(4) sekretariat DPRD dipimpin oleh sekretaris dewan.

(5) sekretaris dewan secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.

Bagian KetigaInspektorat

Pasal 5

(1) Inspektorat merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(2) Inspektorat mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota.

(3) Inspektorat dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:a. perencanaan program pengawasan; b. perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan; danc. pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan.

(4) Inspektorat dipimpin oleh inspektur.

(5) Inspektur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bertanggung jawab langsung kepada gubernur dan secara teknis administratif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.

Bagian Keempat

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Pasal 6

(1) Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Page 362: Dokumentasi dan Informasi Hukum

358

(2) Badan perencanaan pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

(3) Badan perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:a. perumusan kebijakan teknis perencanaan;b. pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan;c. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan

daerah; dand. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas

dan fungsinya.

(4) Badan perencanaan pembangunan daerah dipimpin oleh kepala badan.

(5) Kepala badan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.

Bagian KelimaDinas Daerah

Pasal 7

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.

Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dinas daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan

lingkup tugasnya;c. pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dand. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas

dan fungsinya.

Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas.

Kepala dinas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.

Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa daerah kabupaten/kota.

Page 363: Dokumentasi dan Informasi Hukum

359

Bagian KeenamLembaga Teknis Daerah

Pasal 8

(1) Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah.

(2) Lembaga teknis daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik.

(3) Lembaga teknis daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;b. pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai

dengan lingkup tugasnya;c. pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dand. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas

dan fungsinya.

(4) Lembaga teknis daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk badan, kantor, dan rumah sakit.

(5) Lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dipimpin oleh kepala badan, yang berbentuk kantor dipimpin oleh kepala kantor, dan yang berbentuk rumah sakit dipimpin oleh direktur.

(6) Kepala dan direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.

(7) Pada badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dibentuk unit pelaksana teknis tertentu untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa daerah kabupaten/kota.

Pasal 9

(1) Rumah sakit dapat berbentuk rumah sakit umum daerah dan rumah sakit khusus daerah.

(2) Rumah sakit umum daerah terdiri dari 3 (tiga) kelas:a. rumah sakit umum daerah kelas A;b. rumah sakit umum daerah kelas B; danc. rumah sakit umum daerah kelas C.

(3) Rumah sakit khusus daerah terdiri dari 2 (dua) kelas yaitu:

a. rumah sakit khusus daerah kelas A; dan

b. rumah sakit khusus daerah kelas B.

Page 364: Dokumentasi dan Informasi Hukum

360

(4) Penetapan kriteria klasifikasi rumah sakit umum daerah dan rumah sakit khusus daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi secara tertulis dengan Menteri dan menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB IVKEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI

PERANGKAT DAERAH KABUPATEN/KOTA

Bagian PertamaSekretariat Daerah

Pasal 10

(1) sekretariat daerah merupakan unsur staf.

(2) sekretariat daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati/walikota dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

(3) sekretariat daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a. penyusunan kebijakan pemerintahan daerah;

b. pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah;

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

d. pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah; dan

e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(4) sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah.

(5) sekretaris daerah berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.

Bagian KeduaSekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 11

(1) sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah yang selanjutnya disebut sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD.

Page 365: Dokumentasi dan Informasi Hukum

361

(2) sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi kesekre­tariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

(3) sekretariat DPRD dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a. penyelenggaraan administrasi kesekretariatan DPRD;

b. penyelenggaraan administrasi keuangan DPRD;

c. penyelenggaraan rapat­rapat DPRD; dan

d. penyediaan dan pengoordinasian tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD.

(4) sekretariat DPRD dipimpin oleh sekretaris dewan.

(5) sekretaris dewan secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.

Bagian KetigaInspektorat

Pasal 12

(1) Inspektorat merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(2) Inspektorat mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa.

(3) Inspektorat dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a. perencanaan program pengawasan;

b. perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan; dan

c. pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas pengawasan.

(4) Inspektorat dipimpin oleh inspektur.

(5) Inspektur dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada bupati/walikota dan secara teknis administratif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.

Page 366: Dokumentasi dan Informasi Hukum

362

Bagian KeempatBadan Perencanaan Pembangunan Daerah

Pasal 13

(1) Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(2) Badan perencanaan pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

(3) Badan perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas sebagai­mana dimaksud pada ayat (2), menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis perencanaan;

b. pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah; dan

d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(4) Badan perencanaan pembangunan daerah dipimpin oleh kepala badan.

(5) Kepala badan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.

Bagian KelimaDinas Daerah

Pasal 14

(1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.

(2) Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Dinas daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan

d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Page 367: Dokumentasi dan Informasi Hukum

363

(4) Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas.

(5) Kepala dinas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.

(6) Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

Bagian KeenamLembaga Teknis Daerah

Pasal 15

(1) Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah.

(2) Lembaga teknis daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik.

(3) Lembaga teknis daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;b. pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai

dengan lingkup tugasnya;c. pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dand. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan

tugas dan fungsinya.

(4) Lembaga teknis daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk badan, kantor, dan rumah sakit.

(5) Lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dipimpin oleh kepala badan, yang berbentuk kantor dipimpin oleh kepala kantor, dan yang berbentuk rumah sakit dipimpin oleh direktur.

(6) Kepala dan direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.

(7) Pada lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dapat dibentuk unit pelaksana teknis tertentu untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

Pasal 16

(1) Rumah sakit dapat berbentuk rumah sakit umum daerah dan rumah sakit khusus daerah.

Page 368: Dokumentasi dan Informasi Hukum

364

(2) Rumah sakit umum daerah terdiri dari 4 (empat) kelas:a. rumah sakit umum daerah kelas A;b. rumah sakit umum daerah kelas B;c. rumah sakit umum daerah kelas C; dand. rumah sakit umum daerah kelas D.

(3) Rumah sakit khusus daerah terdiri dari 2 (dua) kelas yaitu: a. rumah sakit khusus daerah kelas A; danb. rumah sakit khusus daerah kelas B.

(4) Penetapan kriteria klasifikasi rumah sakit umum daerah dan rumah sakit khusus daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi tertulis dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Bagian KetujuhKecamatan

Pasal 17

(1) Kecamatan merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.

(2) Camat mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.

(3) Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi:a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban

umum;c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang­

undangan;d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan

umum;e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat

kecamatan;f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dang. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya

dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.

Page 369: Dokumentasi dan Informasi Hukum

365

(4) Pelimpahan sebagian kewenangan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.

(5) Kecamatan dipimpin oleh camat.

(6) Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.

(7) Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan peme­rintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Bagian KedelapanKelurahan

Pasal 18

(1) Kelurahan merupakan wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kecamatan.

(2) Kelurahan dipimpin oleh lurah.

(3) Lurah berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui camat.

(4) Pembentukan, kedudukan, tugas, susunan organisasi dan tata kerja kelurahan diatur sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

BAB VBESARAN ORGANISASI

DAN PERUMPUNAN PERANGKAT DAERAH

Bagian PertamaVariabel Besaran Organisasi

Pasal 19

(1) Besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel:a. jumlah penduduk;b. luas wilayah; danc. jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

(1) Perhitungan variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Page 370: Dokumentasi dan Informasi Hukum

366

Bagian KeduaJumlah Besaran Organisasi

Paragraf 1Besaran Organisasi Perangkat Daerah Provinsi

Pasal 20

(1) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai kurang dari 40 (empat puluh) terdiri dari:a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten; b. sekretariat DPRD;c. dinas paling banyak 12 (dua belas); dand. lembaga teknis daerah paling banyak 8 (delapan).

(2) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai antara 40 (empat puluh) sampai dengan 70 (tujuh puluh) terdiri dari:a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten; b. sekretariat DPRD;c. dinas paling banyak 15 (lima belas); dand. lembaga teknis daerah paling banyak 10 (sepuluh).

(3) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) terdiri dari:a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 4 (empat) asisten; b. sekretariat DPRD;c. dinas paling banyak 18 (delapan belas); dand. lembaga teknis daerah paling banyak 12 (dua belas).

Paragraf 2Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 21

(1) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai kurang dari 40 (empat puluh) terdiri dari:a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten;b. sekretariat DPRD;c. dinas paling banyak 12 (dua belas);d. lembaga teknis daerah paling banyak 8 (delapan); e. kecamatan; danf. kelurahan.

Page 371: Dokumentasi dan Informasi Hukum

367

(2) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai antara 40 (empat puluh) sampai dengan 70 (tujuh puluh) terdiri dari:a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten;b. sekretariat DPRD;c. dinas paling banyak 15 (lima belas);d. lembaga teknis daerah paling banyak 10 (sepuluh);e. kecamatan; danf. kelurahan.

(3) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) terdiri dari:a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 4 (empat) asisten;b. sekretariat DPRD;c. dinas paling banyak 18 (delapan belas); d. lembaga teknis daerah paling banyak 12 (dua belas);e. kecamatan; danf. kelurahan.

Bagian KetigaPerumpunan Urusan Pemerintahan

Pasal 22

(1) Penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani.

(2) Penanganan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.

(3) Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah.

(4) Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari:a. bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;b. bidang kesehatan;c. bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi;d. bidang perhubungan, komunikasi dan informatika;e. bidang kependudukan dan catatan sipil; f. bidang kebudayaan dan pariwisata;g. bidang pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta karya

dan tata ruang;

Page 372: Dokumentasi dan Informasi Hukum

368

h. bidang perekonomian yang meliputi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, industri dan perdagangan;

i. bidang pelayanan pertanahan;j. bidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan

darat, kelautan dan perikanan, perkebunan dan kehutanan;k. bidang pertambangan dan energi; danl. bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.

(5) Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan rumah sakit, terdiri dari:a. bidang perencanaan pembangunan dan statistik;b. bidang penelitian dan pengembangan;c. bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat;d. bidang lingkungan hidup;e. bidang ketahanan pangan;f. bidang penanaman modal;g. bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi;h. bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa; i. bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana;j. bidang kepegawaian, pendidikan dan pelatihan;k. bidang pengawasan; danl. bidang pelayanan kesehatan.

(6) Perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan urusan pilihan, berdasarkan pertimbangan adanya urusan yang secara nyata ada sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah.

Pasal 23

Pelaksanaan tugas dan fungsi staf, pelayanan administratif serta urusan pemerintahan umum lainnya yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi dinas maupun lembaga teknis daerah dilaksanakan oleh sekretariat daerah.

BAB VISUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

Bagian PertamaSusunan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi

Paragraf 1Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD

Page 373: Dokumentasi dan Informasi Hukum

369

Pasal 24

(1) sekretariat daerah terdiri dari asisten, dan masing­masing asisten terdiri dari paling banyak 3 (tiga) biro, dan masing­masing biro terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian, dan masing­masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian.

(2) sekretariat DPRD terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian, dan masing­masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian.

Paragraf 2Dinas Daerah

Pasal 25

(1) Dinas terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing­masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi.

(2) Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.

(3) Unit pelaksana teknis dinas yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.

Paragraf 3Lembaga Teknis Daerah

Pasal 26

(1) Inspektorat terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) inspektur pembantu, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, serta kelompok jabatan fungsional.

(2) Badan terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing­masing bidang terdiri dari 2 (dua) subbidang atau kelompok jabatan fungsional.

(3) Kantor terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan paling banyak 3 (tiga) seksi.

(4) Unit pelaksana teknis pada badan terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.

(5) Unit pelaksana teknis badan yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.

Page 374: Dokumentasi dan Informasi Hukum

370

Pasal 27

(1) Rumah sakit umum daerah kelas A terdiri dari paling banyak 4 (empat) wakil direktur dan masing­masing wakil direktur terdiri dari paling banyak 3 (tiga) bagian/bidang dan masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional atau terdiri dari 2 (dua) seksi.

(2) Pada wakil direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang membidangi administrasi umum terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian dan bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian.

(3) Rumah sakit umum daerah kelas B terdiri dari paling banyak 3 (tiga) wakil direktur, dan masing­masing wakil direktur terdiri dari paling banyak 3 (tiga) bagian/bidang, masing­masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian dan masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional atau terdiri dari paling banyak 2 (dua) seksi.

(4) Rumah sakit umum daerah kelas C terdiri dari 1 (satu) bagian dan paling banyak 3 (tiga) bidang, bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian dan masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional atau terdiri dari paling banyak 2 (dua) seksi.

(5) Rumah sakit khusus daerah kelas A terdiri dari 2 (dua) wakil direktur, masing­masing wakil direktur terdiri dari paling banyak 3 (tiga) bagian/bidang, masing­masing bagian terdiri dari 2 (dua) subbagian, dan masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional atau terdiri dari 2 (dua) seksi.

(6) Rumah sakit khusus daerah kelas B terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan paling banyak 3 (tiga) seksi.

Bagian KeduaSusunan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota

Paragraf 1Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD

Pasal 28

(1) sekretariat daerah terdiri dari asisten, masing­masing asisten terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian, dan masing­masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian.

(2) sekretariat DPRD terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian, dan masing­masing bagian terdiri dari 3 (tiga) subbagian.

Page 375: Dokumentasi dan Informasi Hukum

371

Paragraf 2Dinas Daerah

Pasal 29

(1) Dinas terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing­masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi.

(2) Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.

Paragraf 3Lembaga Teknis Daerah

Pasal 30

(1) Inspektorat terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) inspektur pembantu, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, serta kelompok jabatan fungsional.

(2) Badan terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing­masing bidang terdiri dari 2 (dua) subbidang atau kelompok jabatan fungsional.

(3) Kantor terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan paling banyak 3 (tiga) seksi.

(4) Unit pelaksana teknis pada badan, terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.

Pasal 31

(1) Rumah sakit umum daerah kelas A terdiri dari paling banyak 4 (empat) wakil direktur dan masing­masing wakil direktur terdiri dari paling banyak 3 (tiga) bagian/bidang, masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional dan/atau terdiri dari 2 (dua) seksi.

(2) Pada wakil direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang membidangi administrasi umum terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian dan bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian.

(3) Rumah sakit umum daerah kelas B terdiri dari paling banyak 3 (tiga) wakil direktur, dan masing­masing wakil direktur terdiri dari paling banyak 3 (tiga) bagian/bidang, masing­masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian dan masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional atau terdiri dari paling banyak 2 (dua) seksi.

Page 376: Dokumentasi dan Informasi Hukum

372

(4) Rumah sakit umum daerah kelas C terdiri dari 1 (satu) bagian dan paling banyak 3 (tiga) bidang, bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian dan masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional atau terdiri dari paling banyak 2 (dua) seksi.

(5) Rumah sakit umum daerah kelas D terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan 2 (dua) seksi.

(6) Rumah sakit khusus daerah kelas A terdiri dari 2 (dua) wakil direktur, masing­masing wakil direktur terdiri dari paling banyak 3 (tiga) bagian/bidang, masing­masing bagian terdiri dari 2 (dua) subbagian, dan masing­masing bidang membawahkan kelompok jabatan fungsional atau terdiri dari 2 (dua) seksi.

(7) Rumah sakit khusus daerah kelas B terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan paling banyak 3 (tiga) seksi.

Paragraf 4Kecamatan dan Kelurahan

Pasal 32

(1) Kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretariat, paling banyak 5 (lima) seksi, dan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.

(2) Kelurahan terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) seksi.

Pasal 33

Jumlah bidang pada dinas dan badan yang melaksanakan beberapa bidang urusan pemerintahan paling banyak 7 (tujuh) bidang.

BAB VIIESELON PERANGKAT DAERAH

Bagian PertamaEselon Jabatan Perangkat Daerah Provinsi

Pasal 34

(1) sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon Ib.

(2) Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, dan direktur rumah sakit umum daerah kelas A, merupakan jabatan struktural eselon IIa.

(3) Kepala biro, direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur rumah

Page 377: Dokumentasi dan Informasi Hukum

373

sakit umum kelas A, dan direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIb.

(4) Kepala kantor, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan inspektorat, kepala bidang dan inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum daerah kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit khusus daerah kelas A, dan kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan struktural eselon IIIa.

(5) Kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit daerah merupakan jabatan struktural eselon IIIb.

(6) Kepala seksi, kepala subbagian, dan kepala subbidang merupakan jabatan struktural eselon IVa.

Bagian KeduaEselon Jabatan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 35

(1) sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon IIa.

(2) Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, direktur rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIb.

(3) Kepala kantor, camat, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan inspektorat, inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum daerah kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan wakil direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIIa.

(4) Kepala bidang pada dinas dan badan, kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit umum daerah, direktur rumah sakit umum daerah kelas D, dan sekretaris camat merupakan jabatan struktural eselon IIIb.

(5) Lurah, kepala seksi, kepala subbagian, kepala subbidang, dan kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan struktural eselon IVa.

(6) sekretaris kelurahan, kepala seksi pada kelurahan, kepala subbagian pada unit pelaksana teknis, kepala tata usaha sekolah kejuruan dan kepala subbagian pada sekretariat kecamatan merupakan jabatan struktural eselon IVb.

(7) Kepala tata usaha sekolah lanjutan tingkat pertama dan kepala tata usaha sekolah menengah merupakan jabatan struktural eselon Va.

Page 378: Dokumentasi dan Informasi Hukum

374

BAB VIIISTAF AHLI

Pasal 36

(1) Gubernur, bupati/walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu staf ahli.

(2) staf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 5 (lima) staf ahli.

(3) staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, bupati/walikota dari pegawai negeri sipil.

(4) Tugas dan fungsi staf ahli gubernur, bupati/walikota ditetapkan oleh gubernur, bupati/walikota di luar tugas dan fungsi perangkat daerah.

Pasal 37

(1) staf ahli gubernur merupakan jabatan struktural eselon IIa, dan staf ahli bupati/walikota merupakan jabatan struktural eselon IIb.

(2) staf ahli dalam pelaksanaan tugasnya secara administratif dikoordinasikan oleh sekretaris daerah.

BAB IXPEMBINAAN DAN PENGENDALIAN ORGANISASI

Pasal 38

(1) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi dilakukan oleh Pemerintah.

(2) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.

Pasal 39

(1) Pembinaan dan pengendalian organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam penataan organisasi perangkat daerah.

(2) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah dilakukan melalui fasilitasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang organisasi perangkat daerah yang telah dibahas bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD.

(3) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada gubernur bagi organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dan kepada Menteri bagi organisasi perangkat daerah provinsi.

Page 379: Dokumentasi dan Informasi Hukum

375

Pasal 40

(1) Fasilitasi yang dilakukan oleh Menteri dan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan peraturan daerah.

(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memberikan fasilitasi, maka rancangan peraturan daerah dapat ditetapkan menjadi peraturan daerah.

Pasal 41

(1) Peraturan daerah provinsi tentang organisasi perangkat daerah harus disampaikan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan.

(2) Peraturan daerah kabupaten/kota tentang organisasi perangkat daerah harus disampaikan kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan, dengan tembusan Menteri.

(3) Peraturan daerah tentang organisasi perangkat daerah dan peraturan pe­laksanaannya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dibatalkan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 42

(1) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi penataan organisasi perangkat daerah.

(2) Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB XKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 43

Provinsi, kabupaten/kota yang baru dibentuk dan belum mempunyai DPRD, pembentukan perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan penjabat kepala daerah setelah mendapat persetujuan dari Menteri dan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Pasal 44

Daerah yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus, pembentukan perangkat daerah untuk melaksanakan status istimewa dan otonomi khusus

Page 380: Dokumentasi dan Informasi Hukum

376

berpedoman pada peraturan Menteri dengan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Pasal 45

(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelaksanaan peraturan perundang­undangan dan tugas pemerintahan umum lainnya, pemerintah daerah dapat membentuk lembaga lain sebagai bagian dari perangkat daerah.

(2) Organisasi dan tata kerja serta eselonisasi lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Pasal 46

Pemerintah daerah yang membentuk perangkat daerah sebagai badan layanan umum berpedoman pada peraturan perundang­undangan.

Pasal 47

(1) Untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk unit pelayanan terpadu.

(2) Unit pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan gabungan dari unsur­unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan.

(3) Unit pelayanan terpadu didukung oleh sebuah sekretariat sebagai bagian dari perangkat daerah.

(4) Pedoman organisasi dan tata kerja unit pelayanan terpadu ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB XIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 48

Kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daerah kabupaten/kota yang telah menduduki jabatan struktural eselon IIIa sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap diberikan hak kepegawaian dan hak administrasi lainnya dalam jabatan struktural eselon IIIa pada kabupaten/kota.

Page 381: Dokumentasi dan Informasi Hukum

377

Pasal 49

Di lingkungan pemerintah daerah ditetapkan jabatan fungsional sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 50

(1) Perangkat daerah yang didukung oleh kelompok jabatan fungsional, dilakukan penyerasian dan rasionalisasi struktur organisasi.

(2) Penyerasian dan rasionalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak peraturan daerah tentang organisasi perangkat daerah ditetapkan.

Pasal 51

Pelaksanaan penataan organisasi perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

BAB XII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 52

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku maka Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 53

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 Juli 2007

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DR. H. sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 382: Dokumentasi dan Informasi Hukum

378

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 Juli 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK AsAsI MANUsIA

REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA TAHUN 2007 NOMO

Page 383: Dokumentasi dan Informasi Hukum

379

PENJELASANATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 41 TAHUN 2007

TENTANG

ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

I. UMUM

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.

Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren berdasarkan Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi­fungsi pemerintahan tersebut pada masing­masing tingkatan pemerintahan.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, diselenggarakan oleh seluruh provinsi, kabupaten, dan kota, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing­masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat.

Page 384: Dokumentasi dan Informasi Hukum

380

Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing­masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah.

Besaran organisasi perangkat daerah sekurang­kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing­masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Peraturan Pemerintah ini menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing­masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing­masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen) untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing­masing perangkat daerah.

Perubahan nomenklatur Bagian Tata Usaha pada Dinas dan Badan menjadi sekretariat dimaksudkan untuk lebih memfungsikannya sebagai unsur staf dalam rangka koordinasi penyusunan program dan penyelenggaraan tugas­tugas Bidang secara terpadu dan tugas pelayanan administratif.

Bidang pengawasan, sebagai salah satu fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka akuntabilitas dan objektifitas hasil pemeriksaan, maka nomenklaturnya menjadi Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan dipimpin oleh Inspektur, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah.

selain itu, eselon kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daerah kabupaten/kota diturunkan yang semula eselon IIIa menjadi eselon IIIb, dimaksudkan dalam rangka penerapan pola pembinaan karir, efisiensi, dan penerapan koordinasi sesuai peraturan perundang­undangan di bidang kepegawaian, namun demikian bagi pejabat yang sudah atau sebelumnya memangku jabatan eselon IIIa, sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan kepada yang bersangkutan tetap diberikan hak­hak kepegawaian dan hak administrasi lainnya dalam jabatan struktural eselon IIIa, walaupun organisasinya menjadi eselon IIIb, dan jabatan eselon IIIb tersebut efektif

Page 385: Dokumentasi dan Informasi Hukum

381

diberlakukan bagi pejabat yang baru dipromosikan memangku jabatan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Beberapa perangkat daerah yaitu yang menangani fungsi pengawasan, kepegawaian, rumah sakit, dan keuangan, mengingat tugas dan fungsinya merupakan amanat peraturan perundang­undangan, maka perangkat daerah tersebut tidak mengurangi jumlah perangkat daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, dan pedoman teknis mengenai organisasi dan tata kerja diatur tersendiri.

Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi antardaerah dan antarsektor, sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah. Dalam ketentuan ini pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah tentang perangkat daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang­undangan dengan konsekuensi pembatalan hak­hak keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya.

Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah, pemerintah senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja sama, sehingga sinkronisasi dan simplifikasi dapat tercapai secara optimal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Diatur pula dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti sekretariat badan narkoba provinsi, kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga lain untuk mewadahi penanganan tugas­tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun untuk pengendaliannya, pembentukannya harus dengan persetujuan pemerintah atas usul kepala daerah.

Pengertian pertanggungjawaban kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif yang meliputi penyusunan kebijakan, perencana­an, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas dinas daerah, sekretariat DPRD dan lembaga teknis daerah, dengan demikian kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah bukan merupakan bawahan langsung sekretaris daerah.

Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini menerapkan prinsip­prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas.

Page 386: Dokumentasi dan Informasi Hukum

382

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Kegiatan teknis operasional yang dilaksanakan unit pelaksana teknis dinas adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat sedangkan teknis penunjang adalah melaksanakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya.

Page 387: Dokumentasi dan Informasi Hukum

383

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pemberian dukungan termasuk penyelenggaraan tugas dan fungsi yang menjadi ruang lingkup kewenangannya.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Kegiatan teknis operasional yang dilaksanakan unit pelaksana teknis badan adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat sedangkan teknis penunjang adalah melaksanakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Page 388: Dokumentasi dan Informasi Hukum

384

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Kegiatan teknis operasional yang dilaksanakan unit pelaksana teknis dinas adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat sedangkan teknis penunjang adalah melaksanakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Page 389: Dokumentasi dan Informasi Hukum

385

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Kegiatan teknis operasional yang dilaksanakan unit pelaksana teknis badan adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat sedangkan teknis penunjang adalah melaksanakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang­undangan” adalah Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1)

Penentuan jumlah perangkat daerah sesuai dengan jumlah nilai yang ditetapkan berdasarkan perhitungan dari variabel, dan masing­masing pemerintah daerah tidak mutlak membentuk sejumlah perangkat daerah yang telah ditentukan sesuai dengan variabel tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Page 390: Dokumentasi dan Informasi Hukum

386

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Penentuan jumlah perangkat daerah sesuai dengan jumlah nilai yang ditetapkan berdasarkan perhitungan dari variabel, dan masing­masing pemerintah daerah tidak mutlak membentuk sejumlah perangkat daerah yang telah ditentukan sesuai dengan variabel tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Urusan pemerintahan yang perlu ditangani terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.

Ayat (2)

Masing­masing urusan pada prinsipnya tidak mutlak dibentuk dalam lembaga tersendiri, namun sebaliknya masing­masing urusan dapat dikembangkan atau dibentuk lebih dari satu lembaga perangkat daerah sesuai dengan prinsip­prinsip organisasi, kebutuhan dan kemampuan daerah masing­masing.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Perumpunan dimaksud adalah penanganan urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang dapat digabung dalam satu perangkat daerah berbentuk dinas, misalnya urusan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah digabung dengan urusan perindustrian dan perdagangan.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Page 391: Dokumentasi dan Informasi Hukum

387

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Pelaksanaan urusan bidang pelayanan pertanahan diselenggarakan oleh perangkat daerah sesuai kewenangan masing­masing.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Ayat (5)

Perumpunan dimaksud adalah penanganan urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan fungsi pendukung yang dapat digabung dalam satu perangkat daerah berbentuk badan dan/atau kantor, misalnya urusan perencanaan pembangunan digabung dengan urusan penelitian dan pengembangan.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Page 392: Dokumentasi dan Informasi Hukum

388

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 23

Perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi staf seperti bidang hukum, organisasi, hubungan masyarakat, protokol dan pelayanan administratif, serta fungsi pemerintahan umum lainnya antara lain bidang penanganan perbatasan dan administrasi kerja sama luar negeri, yang termasuk sebagai bagian dari urusan pemerintahan, dan tidak termasuk fungsi dinas maupun lembaga teknis daerah diwadahi dalam sekretariat daerah.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Page 393: Dokumentasi dan Informasi Hukum

389

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Untuk menentukan jumlah susunan organisasi masing­masing perangkat daerah dilakukan berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “koordinasi” adalah peran serta para pemangku kepentingan dalam menata organisasi perangkat daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya, baik lintas sektor maupun antarstrata pemerintahan.

Page 394: Dokumentasi dan Informasi Hukum

390

Yang dimaksud dengan “integrasi” adalah penyelenggaraan fungsi­fungsi pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara terpadu dalam suatu organisasi perangkat daerah.

Yang dimaksud dengan “sinkronisasi” adalah konsistensi dalam penataan organisasi perangkat daerah sesuai dengan norma, prinsip, dan standar yang berlaku.

Yang dimaksud dengan “simplifikasi” adalah penyederhanaan penataan organisasi perangkat daerah yang efisien, efektif, rasional, dan proporsional.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan ”fasilitasi” adalah pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan evaluasi terhadap penyusunan dan pelaksanaan peraturan daerah tentang organisasi dan tata kerja satuan kerja perangkat daerah.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Pembentukan perangkat daerah bagi daerah yang ditetapkan sebagai daerah istimewa dan daerah otonomi khusus secara umum berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini, sedangkan untuk perangkat daerah lainnya dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi dalam kedudukannya sebagai daerah istimewa dan otonomi khusus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik dari segi jumlah dan jenis perangkat daerah dengan berpedoman pada peraturan Menteri.

Page 395: Dokumentasi dan Informasi Hukum

391

Pasal 45

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tugas dan fungsi sebagai pelaksanaan peraturan perundang­undangan” adalah tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan selain tugas dan fungsi perangkat daerah tetapi harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang­undangan, misalnya sekretariat komisi penyiaran, sekretariat badan narkoba.

Yang dimaksud dengan “tugas pemerintahan umum lainnya” adalah penyelenggaraan tugas pemerintahan yang perlu ditangani oleh pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik daerah, misalnya penanganan perbatasan, kerja sama antardaerah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Pejabat strukutural eselon IIIa pada semua satuan kerja perangkat daerah sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, apabila dimutasikan menjadi kepala bidang pada dinas/badan pada perangkat daerah kabupaten/kota tetap diberikan hak kepegawaian dan hak administrasi lainnya dalam jabatan struktural eselon IIIa.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Ayat (1)

Perangkat daerah yang dapat didukung oleh jabatan fungsional seperti jabatan fungsional auditor pada inspektorat, jabatan fungsional perencana pada badan perencanaan pembangunan daerah, jabatan fungsional pustakawan pada badan/kantor perpustakaan, jabatan fungsional arsiparis pada badan/kantor arsip, jabatan fungsional pranata komputer dan lain­lain, dilakukan penyerasian dan rasionalisasi struktur organisasi dengan menghapus dan atau mengurangi jabatan struktural pada unit pelaksana.

Page 396: Dokumentasi dan Informasi Hukum

392

Ayat (2)

Pelaksanaan penyerasian dan rasionalisasi dimaksud dalam hal ini adalah bahwa pembina jabatan fungsional dapat menetapkan program impassing sesuai ketentuan peraturan perundang­undangan.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEsIA NOMOR 4741

Page 397: Dokumentasi dan Informasi Hukum

393

LAMPIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEsIA

NOMOR : 41 Tahun 2007

TANGGAL : 23 Juli 2007

PENETAPAN VARIABEL BESARAN ORGANISASIPERANGKAT DAERAH

A. PROVINSI

NO VARIABEL KELAs INTERVAL NILAI

1 2 3 4

1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Provinsi di Pulau Jawa

≤ 7.500.0007.500.001 ­ 15.000.000 15.000.001 ­ 22.500.00022.500.001­ 30.000.000

> 30.000.000

816243240

2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Provinsi di luar Pulau Jawa

≤ 1.500.0001.500.001 ­ 3.000.000 3.000.001

­ 4.500.0004.500.001 ­ 6.000.000

> 6.000.000

816243240

3. LUAs WILAYAH (KM2)Untuk Provinsi di Pulau Jawa

≤ 10.00010.001 ­ 20.00020.001 ­ 30.00030.001 ­ 40.000

> 40.000

714212835

4. LUAs WILAYAH (KM2)Untuk Provinsi di luar Pulau Jawa

≤ 20.00020.001 ­ 40.00040.001 ­ 60.00060.001 ­ 80.000

> 80.000

714212835

5. JUMLAH APBD ≤ Rp500.000.000.000,00Rp500.000.000.001,00 ­Rp1.000.000.000.000,00

Rp1.000.000.000.001,00 ­Rp1.500.000.000.000,00

Rp1.500.000.000.001,00 ­Rp2.000.000.000.000,00

> Rp2.000.000.000.000,00

510

15

20

25

Page 398: Dokumentasi dan Informasi Hukum

394

B. KABUPATEN

NO VARIABEL KELAs INTERVAL NILAI

1 2 3 4

1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa)Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura.

≤ 250.000250.001 ­ 500.000500.001 – 750.000

750.001 – 1.000.000 > 1.000.000

816243240

2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa)Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura.

≤ 150.000150.001 ­ 300.000300.001 – 450.000450.001 – 600.000

> 600.000

816243240

3. LUAs WILAYAH (KM2)Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura.

≤ 500501 ­ 1.000

1.001 – 1.5001.501 – 2.000

> 2.000

714212835

4. LUAs WILAYAH (KM2)Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura.

≤ 1.0001.001 – 2.0002.001 – 3.0003.001 – 4.000

> 4.000

714212835

5. JUMLAH APBD ≤ Rp200.000.000.000,00Rp200.000.000.001,00 – Rp400.000.000.000,00

Rp400.000.000.001,00 – Rp600.000.000.000,00

Rp600.000.000.001,00 – Rp800.000.000.000,00

> Rp800.000.000.000,00

510

15

20

25

Page 399: Dokumentasi dan Informasi Hukum

395

C. KOTA

NO VARIABEL KELAs INTERVAL NILAI

1 2 3 4

1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa)Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura.

≤ 100.000100.001 ­ 200.000200.001 ­ 300.000300.001 ­ 400.000

> 400.000

816243240

2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa)Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura.

≤ 50.00050.001 ­ 100.000100.001 ­ 150.000150.001 ­ 200.000

> 200.000

816243240

3. LUAs WILAYAH (KM2)Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura.

≤ 5051 ­ 100101 ­ 150151 – 200

> 200

714212835

4. LUAs WILAYAH (KM2)Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura.

≤ 7576 ­ 150151 ­ 225226 – 300

> 300

714212835

5. JUMLAH APBD ≤ Rp200.000.000.000,00 Rp200.000.000.001,00 – Rp400.000.000.000,00

Rp400.000.000.001,00 – Rp600.000.000.000,00

Rp600.000.000.001,00 – Rp800.000.000.000,00

> Rp800.000.000.000,00

510

15

20

25

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DR. H. sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 400: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 401: Dokumentasi dan Informasi Hukum

397

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIANOMOR 84 TAHUN 2004

TENTANG

KOMITE STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 32 Undang­undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun dan disajikan sesuai dengan standar Akuntansi Pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

b. bahwa sesuai dengan Pasal 32 Undang­undang Nomor 17 Tahun 2003 tersebut, standar Akuntansi Pemerintahan dimaksud disusun oleh suatu komite standar yang independen;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b di atas, dipandang perlu membentuk Komite standar Akuntansi Pemerintahan guna menyiapkan, menyusun dan merumuskan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang standar Akuntansi Pemerintahan, dengan Keputusan Presiden;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang­Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang­Undang Dasar 1945;

2. Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Undang­undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

Page 402: Dokumentasi dan Informasi Hukum

398

4. Undang­undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

5. Undang­undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 209, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4027);

8. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4212) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4418);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUsAN PREsIDEN TENTANG KOMITE sTANDAR AKUNTANsI PEMERINTAHAN.

Pasal 1

Dalam rangka mempersiapkan penyusunan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang standar Akuntansi Pemerintahan (sAP) sebagai prinsip­prinsip akuntansi yang wajib diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, dibentuk Komite standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut KsAP.

Pasal 2

KsAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, terdiri dari:

Page 403: Dokumentasi dan Informasi Hukum

399

a. Komite Konsultatif standar Akuntansi Pemerintahan, yang untuk selanjutnya disebut Komite Konsultatif; dan

b. Komite Kerja standar Akuntansi Pemerintahan, yang untuk selanjutnya disebut Komite Kerja.

Pasal 3

(1) Komite Konsultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, bertugas memberi konsultasi dan/atau pendapat dalam rangka perumusan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang sAP .

(2) susunan keanggotaan Komite Konsultatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sebagai berikut :

Ketua : Direktur Jenderal Perbendaharaan,

merangkap Anggota Departemen Keuangan;

Wakil Ketua : Direktur Jenderal Otonomi Daerah,

merangkap anggota Departemen Dalam Negeri;

Anggota : 1. staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara;

2. Ketua Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Akuntan Indonesia;

3. Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi seluruh Indonesia;

4. Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia;

5. Ketua Asosiasi Pemerintah Kota seluruh Indonesia.

(3) Tata kerja Komite Konsultatif ditetapkan oleh Ketua Komite Konsultatif setelah disetujui dalam sidang pleno Komite Konsultatif.

Pasal 4

(1) Komite Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, bertugas mempersiapkan, merumuskan dan menyusun konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang standar Akuntansi Pemerintahan .

(2) susunan keanggotaan Komite Kerja adalah sebagai berikut :

Ketua : Dr. Binsar H. simanjuntak, CMA.;

merangkap Anggota

Wakil Ketua : Dr. Ilya Avianti, sE., M.si., Ak.;

merangkap Anggota

sekretaris : sonny Loho, Ak., MPM.;

merangkap Anggota

Page 404: Dokumentasi dan Informasi Hukum

400

Anggota : 1. Drs. sugijanto, Ak., MM.;

2. Dr. soepomo Prodjoharjono, Ak., M.soc.sc.;

3. Dr. Hekinus Manao, M.Acc., CGFM.;

4. Drs. Jan Hoesada, Ak., MM.;

5. Drs. A B. Triharta, Ak., MM.;

6. Iman Bastari, Ak., M. Acc.

Pasal 5

(1) Persiapan, perumusan dan penyusunan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah yang dilakukan oleh Komite Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilaksanakan dengan mekanisme dan tahapan sebagai berikut :a. Pengidentifikasian topik untuk dikembangkan menjadi draft SAP;b. Konsultasi topik draft sAP kepada Komite Konsultatif;c. Riset Terbatas;d. Penulisan draft sAP;e. Pembahasan draft sAP;f. Penulisan Draft Publikasi sAP;g. Konsultasi Draft Publikasian sAP kepada Komite Konsultatif;h. Peluncuran Draft Publikasi sAP;i. Dengar pendapat publik;j. Pembahasan tanggapan atas Draft Publikasi sAP;k. Permintaan pertimbangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan;l. Pembahasan hasil pertimbangan Badan Pemeriksa Keuangan;m. Konsultasi dalam rangka finalisasi SAP kepada Komite Konsultatif;n. Finalisasi sAP;o. Pengusulan sAP untuk ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komite Kerja dapat membentuk Kelompok Kerja.

(3) Tata kerja Komite Kerja ditetapkan oleh Ketua Komite Kerja setelah disetujui dalam sidang pleno Komite Kerja.

Pasal 6

Dalam melaksanakan tugasnya, KsAP dapat mengundang dan bekerja sama dengan lembaga pemerintah, swasta, dan lembaga pendidikan atau pihak lain yang dianggap perlu.

Page 405: Dokumentasi dan Informasi Hukum

401

Pasal 7

(1) Dalam pelaksanaan tugas sehari­hari, KsAP melaporkan kegiatannya secara berkala kepada Menteri Keuangan.

(2) KsAP bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.

Pasal 8

Konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang standar Akuntansi Pemerintahan yang telah dirumuskan dan disiapkan oleh KsAP, disampaikan Menteri Keuangan kepada Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 9

Untuk melaksanakan tugasnya, KsAP dibantu oleh suatu sekretariat, yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usul dari Komite Konsultatif.

Pasal 10

segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas KsAP dibebankan kepada APBN.

Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 12

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 5 Oktober 2004

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

MEGAWATI sOEKARNOPUTRI

Page 406: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 407: Dokumentasi dan Informasi Hukum

403

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIANOMOR 3 TAHUN 2008

TENTANG

PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Untuk kelancaran pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan ini menginstruksikan:

Kepada : 1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan;

2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

3. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;

4. Menteri Keuangan;

5. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;

6. Menteri sosial;

7. Menteri Dalam Negeri;

8. Menteri Komunikasi dan Informatika;

9. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;

10. Jaksa Agung Republik Indonesia;

11. Panglima Tentara Nasional Indonesia;

12. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;

13. Kepala Badan Pusat statistik;

14. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ;

15. Para Gubernur;

16. Para Bupati/Walikota.

Page 408: Dokumentasi dan Informasi Hukum

404

Untuk :

PERTAMA : 1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan segera mengkoordinasikan langkah­langkah yang diperlukan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat untuk pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian segera mengkoordinasikan penyiapan kondisi perekonomian yang mendukung rencana pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM, dengan melibatkan menteri­menteri terkait, para gubernur, dan Kepala Badan Pusat statistik.

3. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat segera mengkoordinasikan pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM, dan penanganan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaannya, dengan melibatkan menteri­menteri terkait, para gubernur, dan Kepala Badan Pusat statistik.

4. Menteri Keuangan segera melakukan:

a. penyediaan pendanaan setelah menerima usulan dari Menteri sosial;

b. penyusunan dan pengendalian anggaran untuk pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran;

dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

5. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional segera melaksanakan:

a. koordinasi pelaksanaan dalam penyusunan rencana program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM;

b. penyusunan organisasi pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM ;

Page 409: Dokumentasi dan Informasi Hukum

405

c. melakukan evaluasi pelaksanaan program bantuan langsung tunai terhadap pendapatan rumah tangga sasaran.

6. Menteri sosial:

a. menjadi Kuasa Pengguna Anggaran dalam pelaksanaan pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran;

b. mengusulkan kebutuhan pendanaan kepada Menteri Keuangan sesuai data rumah tangga miskin untuk program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran yang disediakan oleh Badan Pusat statistik;

c. segera menyalurkan bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran sesuai program yang telah disusun oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;

d. menyusun pelaporan pelaksanaan penyaluran bantuan langsung tunai sebagaimana dimaksud pada huruf c;

dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

7. Menteri Dalam Negeri segera mengkoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM bersama­sama Pemerintah Daerah.

8. Menteri Komunikasi dan Informatika bersama Menteri Dalam Negeri segera mengkoordinasikan pelaksanaan sosialisasi dan konsultasi publik mengenai program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

9. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara segera mengintegrasikan program BUMN Peduli dan mengambil langkah­langkah yang diperlukan berkaitan dengan peran Badan Usaha Milik Negara dalam rangka mendukung pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

10. Jaksa Agung Republik Indonesia segera melakukan penegakan hukum terhadap setiap pihak yang melakukan penyimpangan dan penyelewengan dalam pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

Page 410: Dokumentasi dan Informasi Hukum

406

11. Panglima Tentara Nasional Indonesia segera memberikan dukungan dan bantuan pengamanan pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

12. Kepala Kepolisian Republik Indonesia segera melakukan langkah­langkah komprehensif dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat untuk pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

13. Kepala Badan Pusat statistik segera:a. melakukan kegiatan penyediaan data rumah tangga sasaran

untuk program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran bersama Pemerintah Kabupaten/Kota;

b. memberikan akses data rumah tangga sasaran kepada instansi Pemerintah lain yang melakukan kegiatan kesejahteraan sosial.

14. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan segera melaksanakan audit atas pelaksanaan penyaluran bantuan langsung tunai mulai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM.

15. Para Gubernur beserta jajarannya memberikan dukungan terhadap pelaksanaan dan pengawasan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM di wilayah masing­masing.

16. Para Bupati/Walikota beserta jajarannya memberikan dukungan terhadap pelaksanaan dan pengawasan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM di wilayah masing­masing.

KEDUA : Yang dimaksud dengan rumah tangga sasaran dalam Instruksi Presiden ini adalah rumah tangga yang masuk dalam kategori sangat Miskin, Miskin, dan Hampir Miskin.

KETIGA : segala biaya yang diperlukan dalam rangka penyiapan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Page 411: Dokumentasi dan Informasi Hukum

407

KEEMPAT : Melakukan tindakan hukum yang tegas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku terhadap setiap orang, perusahaan atau badan hukum yang melakukan atau patut diduga melakukan penyimpangan dan penyelewengan dalam persiapan dan pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran.

KELIMA : Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga sasaran sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden ini, berakhir pada tangal 31 Desember 2008.

KEENAM : Agar melaksanakan Instruksi Presiden ini secara terkoordinasi dan dengan penuh tanggung jawab serta melaporkan hasilnya kepada Presiden.

KETUJUH: Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden ini, maka Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Miskin dinyatakan tidak berlaku lagi.

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta

pada tanggal 14 Mei 2008

PREsIDEN REPUBLIK INDONEsIA,

ttd.

DR. H. sUsILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 412: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 413: Dokumentasi dan Informasi Hukum

409

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS

DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa untuk mempelancar komunikasi antar lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah atau antar daerah dipandang perlu mencantumkan alamat lengkap pada Kop surat Dinas Bupati/Walikota;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Perubahan pertama atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota;

Mengingat : 1. Undang­undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang­undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomoe 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);

2. Undang­undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Nomor 176);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara (Lembaran Negara tahun 1958 Nomor 1971, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1636);

Page 414: Dokumentasi dan Informasi Hukum

410

5. Peraturan Pemerintan Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/ Kota;

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2005 tentang Tata Kearsipan di Lingkungan Pemerintah Daerah;

8. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 72.KEP/M.PAN/07/2003 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAs PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN TATA NAsKAH DINAs DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA.

Pasal 1

(1) Kop Naskah Dinas Bupati/Walikota memuat sebutan BUPATI/ WALIKOTA dengan menggunakan Lambang Negara berwarna hitam dan ditempatkan dibagian tengah atas dan alamat, nomor telepon, nomor faximile serta kode pos ditempatkan dibagian tengah bawah.

(2) Bentuk, ukuran dan isi Kop Naskah Dinas Bupati/Walikota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 13 Februari 2008

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MARDIYANTO

Page 415: Dokumentasi dan Informasi Hukum

411

LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI DALAM

NEGERI

NOMOR : 10 Tahun 2008

TANGGAL : 13 Februari 2008

BENTUK, UKURAN DAN IsI KOP NAsKAH DINAs BUPATI/WALIKOTA

Contoh Kop Naskah Dinas Bupati :

BUPATI TABALONG

Jalan P. Antasari Nomor 1 Tanjung kode pos ........ Kalimantan selatan Telp. (0516) 21205 ­ 21002 Fax. (0516) 21510

Page 416: Dokumentasi dan Informasi Hukum

412

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MARDIYANTO

Page 417: Dokumentasi dan Informasi Hukum

413

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008

TENTANG

PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah, masih terdapat ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, sehingga diperlukan strategi peng­integrasian gender melalui perencanaan, penyusunan, pelaksana­an, penganggaran, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah;

b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah, sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan sehingga perlu diganti;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarus­utamaan Gender di Daerah;

Mengingat : 1. Undang­Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Kon­vensi Mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);

2. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Page 418: Dokumentasi dan Informasi Hukum

414

4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

3. Undang­Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pebangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004­2009;

6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;

Memperhatikan : Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKsANAAN PENGARUsUTAMAAN GENDER DI DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pengarusutamaan Gender di daerah yang selanjutnya disebut PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral

Page 419: Dokumentasi dan Informasi Hukum

415

dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah.

2. Gender adalah konsep yang mengacu pada pembedaan peran dan tanggung jawab laki­laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.

3. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki­laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak­haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.

4. Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki­laki dan perempuan.

5. Analisis Gender adalah analisis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki­laki dan perempuan, akses kontrol terhadap sumber­sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan, dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki­laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanannya memperhatikan faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa.

6. Perencanaan Berperspektif Gender adalah perencanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, yang dilakukan melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan perempuan dan laki­laki.

7. Anggaran Berperspektif Gender (Gender budget) adalah penggunaan atau pemanfaatan anggaran yang berasal dari berbagai sumber pendanaan untuk mecapai kesetaraan dan keadilan gender.

8. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas­luasnya dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

9. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

10. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten dan daerah Kota.

11. Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota di bawah Kecamatan.

12. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas­batas wilayah yang berwenang

Page 420: Dokumentasi dan Informasi Hukum

416

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal­usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

13. Focal Point PUG adalah aparatur sKPD yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pengarusutamaan gender di Unit kerjanya masing­masing.

14. Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender yang selanjutnya disebut Pokja PUG adalah wadah konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi/lembaga di daerah.

BAB II MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

Pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat yang berperspektif gender.

Pasal 3

Pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah bertujuan :

a. memberikan acuan bagi aparatur Pemerintah Daerah dalam menyusun strategi pengintegrasian gender yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, clan kegiatan pembangunan di daerah;

b. mewujudkan perencanaan berperspektif gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan laki­laki dan perempuan;

c. mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara;

d. mewujudkan pengelolaan anggaran daerah yang responsif gender;

e. meningkatkan kesetaraan dan keadilan dalam kedudukan, peranan, dan tanggung jawab laki­laki dan perempuan sebagai insan dan sumberdaya pembangunan; dan

f. meningkatkan peran dan kemandirian lembaga yang menangani pemberdayaan perempuan.

Page 421: Dokumentasi dan Informasi Hukum

417

BAB IIIPERENCANAAN DAN PELAKSANAAN

Bagian KesatuPerencanaan

Pasal 4

(1) Pemerintah daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana strategis sKPD, dan Rencana Kerja sKPD.

(2) Penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis gender.

Pasal 5

(1) Dalam melakukan analisis gender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat menggunakan metode Alur Kerja Analisis Gender (Gender Analisys Pathway) atau metode analisis lain.

(2) Analisis gender terhadap Rencana Kerja sKPD dilakukan oleh masing­masing sKPD bersangkutan.

(3) Pelaksanaan analisis gender terhadap RPJMD dan Renstra sKPD dapat bekerjasama dengan lembaga perguruan tinggi atau pihak lain yang memiliki kapabilitas di bidangnya.

Pasal 6

(1) Bappeda mengoordinasikan penyusunan RPJMD, Renstra sKPD, dan Rencana Kerja sKPD berperspektif gender.

(2) Rencana kerja sKPD berperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Bagian KeduaPelaksanaan

Paragraf 1 Pelaksanaan di Provinsi

Pasal 7

(1) Gubernur bertangung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, pem­bangun an, dan pelayanan masyarakat bidang pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender skala Provinsi.

Page 422: Dokumentasi dan Informasi Hukum

418

(2) Pelaksanaan tanggung jawab Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Wakil Gubernur.

Pasal 8

Gubernur menetapkan Badan/Dinas/Dinas yang membidangi tugas pember­dayaan masyarakat sebagai koordinator penyelenggaraan pengarusutamaan gender di provinsi.

Pasal 9

(1) Dalam upaya percepatan pelembagaan pengarusutamaan gender di seluruh sKPD provinsi dibentuk Pokja PUG Provinsi.

(2) Gubernur menetapkan Ketua Bappeda sebagai Ketua Pokja PUG Provinsi dan Kepala Badan/Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai Kepala s£kretariat Pokja PUG Provinsi.

(3) Anggota Pokja PUG adalah seluruh Kepala/Pimpinan sKPD.

(4) Pembentukan Pokja PUG Provinsi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 10

Pokja PUG Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 mempunyai tugas :

a. mempromosikan dan menfasilitasi PUG kepada masing­masing sKPD;

b. melaksanakan sosialisasi dan advokasi PUG kepada Pemerintah Kabupaten/Kota;

c. menyusun program kerja setiap tahun;

d. mendorong terwujudnya anggaran yang berperspektif gender;

e. menyusun rencana kerja Pokja PUG setiap tahun;

f. bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Wakil Gubernur;

g. merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Bupati/Walikota;

h. menfasilitasi sKPD atau Unit Kerja yang membidangi Pendataan untuk menyusun Profil Gender Provinsi;

i. melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing­masing instansi;

j. menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah;

k. menyusun Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Provinsi; dan

l. mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal Point di masing­masing sKPD.

Page 423: Dokumentasi dan Informasi Hukum

419

Pasal 11

(1) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf j beranggotakan aparatur yang memahami analisis anggaran yang berperspektif gender.

(2) Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf k memuat :

a. PUG dalam peraturan perundang­undangan di daerah;

b. PUG dalam siklus pembangunan di daerah;

c. penguatan kelembagaan PUG di daerah; dan

d. penguatan peran serta masyarakat di daerah.

Paragraf 2Pelaksanaan Di Kabupaten/Kota

Pasal 12

(1) Bupati/Walikota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat bidang pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender skala Kabupaten/Kota.

(2) Tanggung jawab Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Wakil Bupati/Walikota.

Pasal 13

Bupati/Walikota menetapkan Badan/Kantor/Dinas yang membidangi tugas pemberdayaan masyarakat sebagai koordinator penyelenggaraan pengarusutamaan gender di Kabupaten/Kota.

Pasal 14

(1) Dalam upaya percepatan pelembagaan pengarusutamaan gender di seluruh sKPD Kabupaten/Kota dibentuk Pokja PUG Kabupaten/Kota.

(2) Anggota Pokja PUG adalah seluruh Kepala/Pimpinan sKPD.

(3) Bupati/Walikota menetapkan Ketua Bappeda sebagai Ketua Pokja PUG Kabupaten/Kota dan Kepala Badan/Dinas/Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai Kepala sekretariat Pokja PUG Kabupaten/Kota.

(4) Pembentukan Pokja PUG Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Bupati/ Walikota.

Page 424: Dokumentasi dan Informasi Hukum

420

Pasal 15

Pokja PUG Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mempunyai tugas :a. mempromosikan dan menfasilitasi PUG kepada masing­masing sKPD;b. melaksanakan sosialisasi dan advokasi PUG kepada Camat, Kepala Desa, Lurah;c. menyusun program kerja setiap tahun;d. mendorong terwujudnya anggaran yang berperspektif gender;e. menyusun rencana kerja POKJA PUG setiap tahun;f. bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Wakil Bupati/Walikota;g. merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Bupati/Walikota;h. menfasilitasi sKPD atau Unit Kerja yang membidangi Pendataan untuk menyusun

Profil Gender kabupaten dan kota;i. melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing­masing instansi;j. menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah;k. menyusun Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Kabupaten/Kota; danl. mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal Point di masing­

masing sKPD.

Pasal 16

(1) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf j beranggotakan aparatur yang sudah mengikuti pelatihan atau pendidikan analisis anggaran yang berperspektif gender, atau tenaga ahli di bidang analisis anggaran.

(2) Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf k memuat :a. PUG dalam peraturan perundang­undangan di daerah;b. PUG dalam siklus pembangunan di daerah;c. penguatan kelembagaan PUG di daerah; dan d. penguatan peran serta masyarakat di daerah.

Paragraf 3 Focal Point

Pasal 17

(1) Focal Point PUG pada setiap sKPD di Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri dari pejabat dan/atau staf yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan dan Bidang lainnya.

(2) Focal Point PUG sebagaimana dimaksud patia ayat (1), mempunyai tugas :

Page 425: Dokumentasi dan Informasi Hukum

421

a. mempromosikan pengarusutamaan gender pada unit kerja;b. menfasilitasi penyusunan Rencana Kerja sKPD yang berperspektif gender;c. melaksanakan pelatihan, sosialisasi, advokasi pengarusutamaan gender

kepada seluruh pejabat dan staf di lingkungan sKPD;d. melaporkan pelaksanaan PUG kepada pimpinan sKPD;e. mendorong pelaksanaan analisis gender terhadap kebijakan, program, dan

kegiatan pada unit kerja; danf. menfasilitasi penyusunan profil gender pada setiap SKPD.

(3) Pelaksanaan tugas Focal Point PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikoordinir oleh pejabat pada setiap sKPD yang membidangi tugas pemberdayaan perempuan.

(4) Focal Point PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipilih dan ditetapkan oleh Kepala/Pimpinan sKPD.

BAB IV PELAPORAN, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI

Pasal 18

(1) Bupati/Walikota menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepada Guberm secara berkala setiap 6 (enam) bulan.

(2) Gubernur menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepada Menteri Dalai Negeri secara berkala setiap 6 (enam) bulan dengan tembusan Menteri Negai Pemberdayaan Perempuan.

(3) Menteri Dalarn Negeri menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepad Presiden secara berkala setiap akhir tahun.

Pasal 19

Materi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi :

a. pelaksanaan program dan kegiatan;

b. instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan;

c. sasaran kegiatan;

d. penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN, APBD, atau sumber lain;

e. permasalahan yang dihadapi; dan

f. upaya yang telah dilakukan.

Page 426: Dokumentasi dan Informasi Hukum

422

Pasal 20

Bupati/Walikota menetapkan pedoman mekanisme pelaporan di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.

Pasal 21

Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 menjadi bahan pemantauan dar evaluasi pelaksanaan PUG.

Pasal 22

(1) Gubernur, Bupati, dan Walikota melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG.

(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap sKPD dan secara berjenjang antar susunan pemerintahan.

(3) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG dilakukan sebelum diadakannya penyusunan program atau kegiatan tahun berikutnya.

(4) Bappeda melakukan evaluasi secara makro terhadap pelaksanaan PUG berdasarkan RPJMD dan Renja sKPD.

(5) Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan Perguruar Tinggi, Pusat studi Wanita, atau Lembaga swadaya Masyarakat.

(6) Hasil evaluasi pelaksanaan PUG menjadi bahan masukan dalam penyusunar kebijakan, program, dan kegiatan tahun mendatang;

BAB V PEMBINAAN

Pasal 23

(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan umum terhadap pelaksanaan PUG di daerah yang meliputi :

a. pemberian pedoman dan panduan;

b. penguatan kapasitas aparatur pemerintah daerah;

c. penguatan kapasitas Tim Teknis Analisis PUG, Pokja PUG provinsi, kabupaten dan kota;

d. pemantauan pelaksanaan PUG antar susunan pemerintahan;

e. evaluasi pelaksanaan PUG;

f. pemberian Pedoman Penilaian Pelaksanaan PUG (gender audit); dan

g. penyusunaii indikator pencapaian kinerja PUG .

Page 427: Dokumentasi dan Informasi Hukum

423

(2) Pembinaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri.

Pasal 24

Gubernur melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan PUG yang meliputi :

a. penetapan panduan teknis pelaksanaan PUG skala Provinsi;

b. penguatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan, konsultasi, advokasi, dan koordinasi;

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG di Kabupaten/Kota dan pada sKPD Provinsi;

d. peningkatan kapasitas focal point dan Pokja PUG; dan

e. strategi pencapaian kinerja.

Pasal 25

Bupati/Walikota melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan PUG yang meliputi :

a. penetapan panduan teknis pelaksanaan PUG skala Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan;

b. penguatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan, konsultasi, advokasi, dan koordinasi;

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG di Desa dan pada sKPD Kabupaten/ Kota;

d. peningkatan kapasitas focal point dan Pokja PUG; dan

e. strategi pencapaian kinerja.

BAB VI PENDANAAN

Pasal 26

(1) Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG di Provinsi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

(2) Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG di Kabupaten/Kota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/ Kota.

(3) Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG di Desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Alokasi Dana Desa.

Page 428: Dokumentasi dan Informasi Hukum

424

Pasal 27

Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan surnber lain yang sah dan tidak mengikat.

Pasal 28

Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG yang bersumber dari APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), dianggarkan pada sKPD yang terkait dengan Pelaksanaan PUG.

BAB VIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 29

(1) Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

(2) RPJMD, Rencana strategis sKPD, dan Rencana Kerja sKPD yang telah disusun disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak ditetapkan.

(3) semua kebijakan daerah di bidang PUG sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 30

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 27­2­2008

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

MARDIYANTO

Page 429: Dokumentasi dan Informasi Hukum

425

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 28 TAHUN 2007

TENTANG

NORMA PENGAWASAN DAN KODE ETIK PEJABAT PENGAWAS PEMERINTAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan yang profesional, obyektif, transparan, independen dan untuk mewujudkan citra positif pejabat pengawas pemerintah dan mutu pengawasan, diperlukan norma pengawasan dan kode etik pejabat pengawas pemerintah;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Norma Pengawasan dan Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah;

Mengingat : 1. Undang­Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok­Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

2. Undang­Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851).

3. Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Page 430: Dokumentasi dan Informasi Hukum

426

1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);

4. Undang­Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

5. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3176);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3866);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4450);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4594);

Page 431: Dokumentasi dan Informasi Hukum

427

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG NORMA PENGAWAsAN DAN KODE ETIK PEJABAT PENGAWAs PEMERINTAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Norma Pengawasan adalah patokan, kaidah atau ukuran yang harus diikuti oleh pejabat pengawas pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan dan pihak/pejabat lain yang terkait dengan pengawasan.

2. Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah adalah seperangkat prinsip moral atau nilai yang dipergunakan oleh pejabat pengawas pemerintah sebagai pedoman tingkah laku dalam melaksanakan tugas pengawasan.

3. Pejabat Pengawas Pemerintah adalah orang yang karena jabatannya pada Inspektorat Jenderal Departemen/Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota, melaksanakan tugas pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk dan atas nama Menteri, Pimpinan LPND dan Kepala Daerah.

BAB IINORMA PENGAWASAN

Pasal 2

Norma Pengawasan meliputi :a. norma umum;b. norma pelaksanaan; danc. norma pelaporan.

Pasal 3

(1) Norma Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:a. pemeriksaan;b. evaluasi; dan c. monitoring.

Page 432: Dokumentasi dan Informasi Hukum

428

(2) Pemeriksaan, evaluasi dan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. rancangan kebijakan daerah, dan kebijakan daerah;b. tugas dan fungsi satuan Kerja Perangkat Daerah (sKPD), DPRD;c. pelaksanaan program dan kegiatan daerah;d. pengelolaan sumber daya daerah; dane. kebijakan lainnya.

Pasal 4

Norma Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi : a. perencanaan pengawasan;b. bimbingan dan pengawasan terhadap tim pengawas;c. bukti pengawasan yang cukup, kompeten, relevan dan catatan lainnya;d. identifikasi permasalahan di daerah; dane. ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, kehematan, efisiensi dan

efektifitas.

Pasal 5

(1) Norma Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c bentuk tertulis dengan memenuhi standar pelaporan.

(2) Laporan pengawasan disampaikan kepada pejabat yang berwenang paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah melaksanakan tugas.

Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut norma pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

BAB IIIKODE ETIK

Pasal 7

(1) Pejabat Pengawas Pemerintah dalam melaksanakan tugas mentaati peraturan perundangan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab.

(2) Pejabat Pengawas Pemerintah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bersikap dan berperilaku sesuai dengan kode etik.

Pasal 8

Kode Etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) meliputi :

Page 433: Dokumentasi dan Informasi Hukum

429

a. pejabat pengawas pemerintah dengan organisasi intern;b. pejabat pengawas pemerintah dengan pejabat pengawas;c. pejabat pengawas pemerintah dengan pemeriksa/auditor;d. pejabat pengawas pemerintah dengan penyidik;e. pejabat pengawas pemerintah dengan yang diawasi; danf. pejabat pengawas pemerintah dengan masyarakat.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini.

BAB IVPENEGAKAN KODE ETIK

Pasal 10

(1) Penegakan kode etik pengawasan dibentuk Tim Kehormatan Kode Etik yang bersifat ad hoc.

(2) Tim Kehormatan Kode Etik sebagaimana dimaksud ayat (1) berjumlah ganjil dan paling sedikit 5 (lima) orang terdiri dari :a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota;b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; danc. sekurang­kurangnya 3 (tiga) orang anggota.

Pasal 11

Tim Kehormatan Kode Etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mempunyai tugas:a. memeriksa pejabat pengawas yang diduga melanggar kode etik; danb. memberikan rekomendasi hasil pemeriksaan.

Pasal 12

(1) Tim Kehormatan Kode Etik di lingkungan Departemen/LPND sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ditetapkan dengan Keputusan Menteri /Kepala LPND.

(2) Tim Kehormatan Kode Etik di Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

(3) Tim Kehormatan Kode Etik di Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

Page 434: Dokumentasi dan Informasi Hukum

430

Pasal 13

(1) Tim Kehormatan Kode Etik dibentuk paling lambat 15 (limabelas) hari kerja sejak laporan/pengaduan dan/atau informasi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pejabat pengawas.

(2) Tim kehormatan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir masa tugasnya setelah menyampaikan rekomendasi hasil pemeriksaan.

BAB VSANKSI

Pasal 14

Pejabat pengawas pemerintah yang dalam melaksanakan tugasnya melanggar kode etik dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang­undangan setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Kehormatan Kode Etik.

BAB VIPEMBINAAN

Pasal 15

(1) Pimpinan atasan langsung pejabat pengawas melakukan pembinaan profesi dan mental.

(2) Pembinaan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan formal dan pendidikan informal.

BAB VIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 16

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Mei 2007

MENTERI DALAM NEGERI a.i.,

ttd

WIDODO As.

Page 435: Dokumentasi dan Informasi Hukum

431

LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI DALAM

NEGERI

NOMOR : 28 Tahun 2007

TANGGAL : 30 Mei 2007

NORMA PENGAWASAN

Pendahuluan

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah hakekatnya adalah pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah dan kinerja DPRD. Tugas pengawasan tersebut meliputi pelaksanaan azas desentralisasi (urusan wajib dan urusan pilihan), azas dekonsentrasi dan azas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi :

1. Perencanaan peraturan perundang­undangan pada tingkat daerah;

2. Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah;

3. Rancangan Peraturan Kepala Daerah/Peraturan Kepala Daerah;

4. Peraturan Tata Tertib DPRD;

5. Peraturan pelaksanaan kebijakan daerah lainnya;

6. Pelaksanaan peraturan perundang­undangan tingkat pusat;

7. Pelaksanaan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan APBN yang dilaksanakan di daerah dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan;

8. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ Kdh);

9. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD);

10. Pelaksanaan azas tampung tantra atau tugas­tugas lain yang belum ada instansi yang harus melaksanakannya (diluar tugas pokok dan fungsi sKPD); dan

11. Pengelolaan sumber daya (Manusia, Uang, sarana Prasarana, sumber Daya Alam, sumber Daya Ekonomi dan sumber Daya lainnya), untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah secara ekonomis, efektif dan efisien.

Pengawasan tidak hanya digunakan untuk kegiatan yang dilaksanakan oleh pejabat pengawas pemerintah dalam rangka menghimpun/menemukan informasi untuk menguji dan menilai kelayakan pelaksanaan kegiatan dan atau laporan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah tetapi juga untuk menilai:

1. ketaatan terhadap peraturan perundang–undangan;

Page 436: Dokumentasi dan Informasi Hukum

432

2. effisiensi dan kehematan dalam penggunaan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan organisasi (sKPD); dan

3. effektifitas dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

sKPD wajib mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara ekonomis, effisien dan effektif untuk mencapai tujuan penyediaan sumber daya tersebut.

setiap pejabat yang mendapatkan pendelegasian wewenang atau mendapat penugasan secara khusus untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya wajib memberikan pertanggung­jawaban atas pelaksanaannya.

Demikian juga pejabat pengawas pemerintah harus berupaya agar hasil pengawasan yang dilaksanakan dapat bermanfaat untuk memperbaiki, menertibkan, menyempurnakan dan meningkatkan kinerja instansi yang diawasi sekaligus bermanfaat dalam upaya peningkatan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.

Pengawasan merupakan bagian penting dari kebertanggunggugatan (accoun­tability) dan pertanggungjawaban (responsibility) melalui penilaian secara obyektif dan independen terhadap pejabat atau pemerintah daerah. Pengawasan harus dapat membantu, memberikan motivasi kepada pejabat berwenang untuk mengambil kebijakan dalam peningkatan kehematan, efisiensi dan efektifitas dengan menunjukan jalan/cara memperbaiki, menertibkan, menyempurnakan dan meningkatkan kinerja.

Pengawasan harus dapat memilah/memisahkan setiap permasalahan yang ditemukan didalam suatu sKPD dalam setiap pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari implementasi azas desentralisasi, dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.

Kerjasama pengawasan antar aparat Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan LPND, Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dalam pengawasan suatu program/kegiatan yang terkait dengan kepentingan bersama akan sangat bermanfaat bagi semua fihak karena dapat menghindari pengawasan yang bertubi–tubi dan atau tumpang tindih.

Para pengawas dari suatu lembaga pengawasan dapat memanfaatkan hasil pengawasan yang telah dilaksanakan oleh lembaga pengawasan lain, sebagai referensi untuk melakukan pengawasan lebih lanjut atau dimanfaatkan secara utuh apabila obyek/sasaran yang diawasi sama sehingga tidak perlu adanya pengulangan kegiatan pengawasan yang sama.

Page 437: Dokumentasi dan Informasi Hukum

433

Tujuan Norma

Norma pengawasan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin mutu pengawasan, mutu laporan hasil pengawasan, persamaan pandangan dan pendapat berkaitan dengan manfaat pengawasan. Disamping itu norma pengawasan ini juga dimaksudkan sebagai dasar pertanggungjawaban pelaksanaan pengawasan bagi pejabat pengawas pemerintah.

Norma pengawasan digunakan sebagai pedoman oleh seluruh pejabat pengawas pemerintah pada semua strata pemerintahan.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri atas pemeriksaan, evaluasi dan monitoring atas suatu rancangan kebijakan daerah, kebijakan daerah, kebijakan lainnya, tugas dan fungsi sKPD, DPRD, program, pelaksanaan kegiatan, organisasi dan sumber daya pendukungnya. Petugas yang bertanggung jawab menentukan ruang lingkup suatu pengawasan tertentu, harus mempertimbangkan kebutuhan pihak­pihak yang mungkin akan menggunakan hasil pengawasan tersebut.

Norma Pengawasan

1. Norma Umum

Norma umum pengawasan meliputi norma pemeriksaan, evaluasi dan monitoring.

a. Pemeriksaan

1) Dasar Hukum pembentukan organisasi perangkat daerah atau sKPD;

2) Tugas Pokok dan Fungsi sKPD terkait dengan sebagian/beberapa bagian urusan wajib dan/atau urusan pilihan yang ditetapkan dalam dasar hukum;

3) seluruh Urusan Wajib dan Urusan Pilihan yang ditetapkan di dalam Peraturan Daerah apa sudah terbagi habis ke dalam tugas pokok dan fungsi sKPD di Provinsi atau Kabupaten/Kota;

4) Tugas lain diluar tugas pokok dan fungsi sKPD yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;

5) Tugas lain diluar tugas pokok dan fungsi sKPD yang ditetapkan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah dan/atau selaku kepala wilayah administrasi;

Page 438: Dokumentasi dan Informasi Hukum

434

6) sumber Daya (Pegawai Negeri sipil, Non PNs, sumber dana, sarana dan prasarana) untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sKPD maupun tugas lain yang ditetapkan;

7) Perusahaan Daerah;

8) Badan Usaha Milik Daerah dan Penyertaan Modal diluar BUMD; dan

9) Pemeriksaan dilakukan untuk menilai kinerja secara utuh dan lengkap (komprehensif).

Norma ini mewajibkan pejabat yang menentukan ruang lingkup Pemeriksaan atas instansi pemerintah daerah untuk menetapkan pekerjaan Pemeriksaan yang cukup luas, sehingga dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang akan menggunakan hasil Pemeriksaan.

Norma ini tidak dimaksudkan mencegah pejabat untuk menetapkan tugas tertentu atau pemeriksaan khusus yang hanya meliputi sebagian dari ruang lingkup pemeriksaan selengkapnya.

Tujuan Umum Pemeriksaan

Tujuan umum pemeriksaan adalah untuk menjamin pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Pemeriksaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan kepada pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan yang dilaksanakan pemerintah daerah. Disamping itu pemeriksaan juga diarahkan kepada pelaksanaan azas dekonsentrasi, azas tugas pembantuan dan tugas lainnya yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

salah satu kegiatan pemeriksaan diarahkan kepada penggunaan sumber daya yang tersedia di daerah antara lain sumber daya dana.

Pemeriksaan terhadap pengelolaan sumber dana meliputi :

1) Pemeriksaan atas transaksi, perkiraan, laporan keuangan dan ketaatan pada peraturan perundang­undangan, harus meliputi pekerjaan pemeriksaan yang cukup untuk menentukan apakah :

a) Instansi yang diawasi telah memperhatikan pengendalian yang efektif terhadap pendapatan, pengeluaran, harta, utang dan dana cadangan serta kekayaan daerah yang dipisahkan;

b) Instansi yang diawasi telah melakukan pencatatan atas seluruh transaksi keuangan pada periode yang diperiksa dan hasil transaksi

Page 439: Dokumentasi dan Informasi Hukum

435

tahun­tahun sebelumnya (laporan pertanggungjawaban keuangan tahun sebelumnya);

c) Laporan keuangan memuat data keuangan yang teliti, dapat dipercaya dan bermanfaat serta disajikan secara layak; dan

d) Instansi yang diawasi mentaati ketentuan peraturan perundang­undangan.

2) Tinjauan mengenai efisiensi dan kehematan harus meliputi penyelidikan apakah instansi yang diawasi dalam melakukan tugasnya cukup mempertimbangkan efisiensi dan kehematan dalam penggunaan sumber daya yang tersedia.

Contoh praktek yang tidak ekonomis atau tidak efisien yang harus diperhatikan dengan cermat oleh pejabat pengawas adalah sebagai berikut:

a) Prosedur, baik yang ditetapkan maupun yang dijalankan karena kebiasaan, yaitu yang tidak efektif atau lebih mahal dari yang dapat dibenarkan;

b) Pelaksanaan satu pekerjaan dilakukan oleh beberapa petugas atau berbagai bagian di dalam organisasi;

c) Pelaksanaan pekerjaan yang kurang atau tidak mempunyai tujuan yang bermanfaat;

d) Pengggunaan peralatan yang tidak efisien atau tidak ekonomis;

e) Penggunaan petugas yang berlebihan jika dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan;

f) Praktek pembelian yang tidak sesuai kebutuhan; dan

g) Pemborosan dalam penggunaan sumber daya yang tersedia.

Efisiensi maupun kehematan merupakan dua pengertian yang bersifat relatif karena pada hakekatnya tidak mungkin untuk menentukan dengan tepat bilamana suatu organisasi telah mencapai tingkat efisiensi dan/atau kehematan yang praktis serta maksimal. Oleh karena itu, didalam norma ini tidak ditegaskan keharusan bagi pejabat pengawas pemerintah untuk memberikan pendapat sedemikian itu.

Tinjauan tentang efektifitas pelaksanaan program/kegiatan harus meliputi penilaian atas hasil yang dicapai dan/atau manfaat yang diharapkan sesuai dengan rencana kerja (prestasi kinerja).

Page 440: Dokumentasi dan Informasi Hukum

436

Pejabat pengawas pemerintah harus mempertimbangkan :

a) Kegunaan serta kewajaran kriteria yang dipergunakan oleh instansi yang diawasi untuk menilai efektivitas dalam capaian prestasi;

b) Ketepatan cara yang dipergunakan oleh instansi yang diawasi untuk mengevaluasi efektivitas dalam mencapai hasil program (prestasi kinerja);

c) Ketelitian dan kecukupan informasi yang relevan dan kompeten; dan

d) Apakah hasil yang dicapai dapat diyakini kebenarannya.

b. Evaluasi

Pejabat yang bertanggung jawab menentukan ruang lingkup suatu evaluasi tertentu, harus mempertimbangkan peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi tingkatannya, kepentingan umum, pengembangan perekonomian daerah, perbaikan iklim investasi daerah, kepentingan antar daerah, pendekatan pelayanan masyarakat, peningkatan mutu pelayanan masyarakat, stabilitas daerah, kebutuhan para pihak yang akan menggunakan hasil evaluasi.

Evaluasi dimaksudkan untuk :

1) Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah, harus meliputi pekerjaan evaluasi yang cukup untuk menentukan apakah :

a) Rancangan Peraturan Daerah telah mengikuti prosedur dalam proses legislasi;

b) Pembentukan Peraturan Daerah telah memuat seluruh klausul aturan didalam batang tubuh dan diberikan penjelasan secara cukup;

c) Telah mengacu secara tepat kepada peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi sebagai dasar pengaturan dalam bentuk peraturan daerah;

d) Telah mengacu kepada kepentingan, kebutuhan, tuntutan, harapan masyarakat di daerah dan/atau kepentingan umum;

e) Telah mendorong kemajuan ekonomi daerah, investasi daerah, pendapatan daerah, mutu pelayanan kepada masyarakat, kesejahteraan masyarakat sesuai dengan fokus dan/atau tujuan peraturan daerah yang ditetapkan tersebut;

f) Tarif yang ditetapkan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah atau Retribusi Daerah telah mempertimbangkan

Page 441: Dokumentasi dan Informasi Hukum

437

tingkat perkembangan/kemajuan perekonomian daerah, kemampuan masyarakat untuk membayarnya ditetapkan secara nominatif besaran nilai rupiahnya setiap kegiatan/kejadian;

g) Tarif yang ditetapkan tidak boleh diskriminatif terhadap setiap wajib pajak dan/atau wajib bayar retribusi serta harus proporsional;

h) Tarif ditetapkan secara fleksibel dalam prosentase tertentu atas volume dan/atau omzet/satuan waktu/periode tertentu/kejadian suatu obyek pajak/retribusi daerah yang bersangkutan kepada setiap wajib pajak/wajib bayar retribusi daerah;

Misalnya :

- Pajak hotel dan restoran ditetapkan sebesar 10% dari nilai omzet penjualan jasa hotel/menu restoran/rumah makan dalam nilai rupiah dan/atau valuta asing tertentu.

- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN­KB) untuk pertama kali ditetapkan sebesar 10% dari nilai jual obyek pajak dan untuk BBN­KB kedua dan seterusnya ditetapkan sebesar 1% dari Nilai Jual Obyek Pajak. (NJOP­KB)

i) Tarif ditetapkan secara nominal dalam nilai rupiah dan/atau valuta asing untuk setiap kali kejadian dalam pelayanan pajak daerah dan/atau retribusi daerah;

Misalnya :

- Pajak Parkir di badan jalan ditetapkan sebesar Rp.2.000,­ untuk satu jam pertama dan Rp.1.000,­ untuk setiap jam berikutnya.

- Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan, ditetapkan sebesar Rp.10.000,­/M2 kali luas lantai dasar bangunan untuk bangunan berlantai satu (tidak bertingkat).

j) Telah menjabarkan peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi dan peraturan daerah yang dijadikan acuan untuk dasar hukum dalam pembentukan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

Misalnya :

- Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang setiap tahun ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

- Peraturan Daerah tentang rencana strategi pembangunan daerah (renstrada).

Page 442: Dokumentasi dan Informasi Hukum

438

- Peraturan Daerah tentang pembentukan dan struktur organisasi perangkat daerah.

k) Telah dilakukan perbaikan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk rancangan peraturan daerah di bidang keuangan dan tata ruang daerah pada tingkat provinsi dan oleh Gubernur untuk rancangan peraturan daerah di bidang keuangan dan tata ruang daerah untuk tingkat Kabupaten/Kota; dan

l) Telah diundangkan kedalam Lembaran Daerah dan/atau Berita Daerah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang­undangan dan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang­undangan.

2) Evaluasi Peraturan Daerah.

Evaluasi peraturan daerah harus dapat menggali informasi apakah :

a) Peraturan Daerah telah mengikuti prosedur dalam proses legislasi;

b) Pembentukan Peraturan Daerah telah memuat seluruh klausul aturan didalam batang tubuh dan diberikan penjelasan secara cukup;

c) Telah mengacu secara tepat kepada peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi sebagai dasar pengaturan dalam bentuk peraturan daerah;

d) Telah mengacu kepada kepentingan, kebutuhan, tuntutan, harapan masyarakat di daerah dan/atau kepentingan umum;

e) Telah dilakukan perbaikan terhadap Peraturan Daerah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk peraturan daerah di bidang non keuangan dan tata ruang pada tingkat provinsi dan oleh Gubernur untuk peraturan daerah di bidang non keuangan dan tata ruang untuk tingkat Kabupaten/Kota; dan

f) Telah diundangkan kedalam Lembaran Daerah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang­undangan dan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang­undangan.

Page 443: Dokumentasi dan Informasi Hukum

439

Evaluasi peraturan daerah dimaksudkan untuk: a) Peraturan daerah tersebut tidak tumpang tindih dengan

peraturan daerah yang ditetapkan terlebih dahulu dan/atau peraturan daerah lainnya;

b) Peraturan daerah tersebut mendorong sinergi penyelenggaraan pemerintahan antar daerah; dan

c) Peraturan daerah tersebut dapat mencegah kegiatan yang tidak mempunyai dasar hukum sesuai dengan kewenangan yang dilaksanakan pemerintah daerah.

3) Evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dimaksudkan untuk melakukan penilaian terhadap :

a) Pelaksanaan kegiatan tertentu dan/atau keseluruhan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam periode tertentu;

b) Pelaksanaan wewenang, tugas dan fungsi Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan perangkat pemerintah daerah serta DPRD dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;

c) satuan kerja pemerintah daerah tertentu dan/atau DPRD sesuai dengan tujuan evaluasi yang ditetapkan oleh pejabat berwenang; dan

d) Penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan, peraturan desa, peraturan Kepala Desa.

c. Monitoring

Pejabat yang bertanggung jawab menentukan ruang lingkup suatu kegiatan monitoring pemerintahan daerah harus mempertimbangkan :

1) Maksud dan tujuan dilaksanakannya kegiatan monitoring;

2) Kapasitas tim yang akan melaksanakan tugas monitoring;

3) Cakupan kegiatan sesuai dengan kebutuhan; dan

4) Para pihak yang akan menggunakan laporan hasil monitoring.

Monitoring dimaksudkan untuk :

1) Memperoleh data yang mutakhir atas tindaklanjut Undang­Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri telah dilaksanakan dengan membuat Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan DPRD, Keputusan Kepala Daerah dan Keputusan DPRD;

Page 444: Dokumentasi dan Informasi Hukum

440

2) Memperoleh informasi tentang kendala yang dihadapi daerah dan upaya pemerintah daerah dan/atau DPRD untuk mengatasi kendala yang ada;

3) Memperoleh umpan balik (feetback) dari pemerintah daerah dan/atau DPRD sebagai bahan penyempurnaan kebijakan di tingkat Undang­Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri;

4) Memperoleh data mutakhir tentang kemajuan/perkembangan suatu kegiatan tertentu, pelaksanaan anggaran tertentu dan hambatan yang terjadi serta upaya mengatasi hambatan tersebut oleh pejabat berwenang; dan

5) Memperoleh data mutakhir tentang tindaklanjut laporan hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, hasil pemeriksaan BEPEKA­RI, penanganan kasus pengaduan masyarakat, pengawasan oleh lembaga DPR­RI, DPD­RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

2. Norma Pelaksanaan Pengawasan.

a. Perencanaan pengawasan;

1) Norma ini mewajibkan pengawas atau lembaga pengawasan menyusun rencana kerja pengawasan yang tepat sebagai dasar pelaksanaan pengawasan yang efektif. setiap langkah kerja pengawasan harus ditetapkan secara sistimatis dan menggambarkan rencana kerja bersih sehingga mengefektifkan waktu kerja pengawas dan penggunaan sumber daya lainnya.

2) Perencanaan pengawasan yang tepat meliputi :

a) Koordinasi dengan para pengawas pemerintah lainnya;

b) Penentuan pengawas profesional yang akan melakukan pengawasan;

c) Jenis pekerjaan yang harus dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah; dan

d) Bentuk dan isi laporan yang diinginkan.

b. Bimbingan dan pengawasan terhadap tim pengawas;

Pejabat Pengawas Pemerintah harus dibimbing dan diawasi; norma ini mewajibkan lembaga pengawasan dan/atau ketua tim pengawas

Page 445: Dokumentasi dan Informasi Hukum

441

menjamin pejabat pengawas pemerintah yang kurang cakap dan kurang pengalaman mendapat bimbingan yang cukup dalam melaksanakan tugas pengawasan.

Cara yang efektif untuk mengendalikan mutu dan mengikuti perkembangan kegiatan pengawasan yaitu melakukan pengawasan sejak dimulainya kegiatan persiapan sampai penyusunan laporan hasil pengawasan.

Bimbingan dan pengawasan terhadap pejabat pengawas pemerintah diarahkan untuk tercapainya mutu pengawasan dan laporan hasil pengawasan, melalui :

1) Cara pengujian, penilaian, penelitian dan prosedur pengawasan telah dilaksanakan secara layak oleh pejabat pengawas pemerintah;

2) Temuan dan kesimpulan hasil pengawasan harus didukung dengan informasi berdasarkan fakta, data yang benar, syah dan lengkap;

3) Penyajian temuan dan kesimpulan harus didukung informasi tersebut dan/atau pengembangan atas informasi secara rasional;

4) Pelaksanaan pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan norma pengawasan secara ketat; dan

5) Dilakukan tinjauan secara kritis terhadap setiap pemberian bimbingan kepada pejabat pengawas pemerintah dan terhadap pertimbangan yang digunakan dalam membantu pelaksanaan tugas pengawasan.

c. Bukti pengawasan yang cukup, kompeten, relevan dan catatan lainnya;

1) Bukti yang cukup; yaitu mengandung arti cukup banyak bukti yang nyata, tepat dan meyakinkan sehingga berdasarkan bukti­bukti itu orang yang bijak akan dapat menarik kesimpulan yang sama seperti kesimpulan pejabat pengawas pemerintah;

2) Bukti yang kompeten; yaitu mengandung arti dapat dipercaya/ diandalkan dan merupakan bukti terbaik yang dapat diperoleh dalam menggunakan cara pengawasan yang layak; dan

3) Bukti yang relevan; yaitu bukti yang ada hubungan dan masuk akal atau logis/relevansi antara masalah yang dihadapi/dipersoalkan dengan bukti yang ditemukan.

Bukti pengawasan dapat menjadi bukti awal sebagai bukti hukum apabila bukti tersebut ditemukan secara cermat, akurat dan tepat yang terkait dengan temuan pengawasan atau kesimpulan pengawasan.

Bukti pengawasan berupa :

Page 446: Dokumentasi dan Informasi Hukum

442

1) Bukti fisik atau bukti barang, diperoleh dengan melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap fisik atau barang yang dituangkan didalam Berita Acara Pemeriksaan;

2) Bukti dokumen; yaitu seluruh bukti dalam hubungannya dengan proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan hasil pelaksanaan kegiatan, serta pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan;

3) Bukti kesaksian; yaitu keterangan yang diberikan oleh pejabat dan/atau pihak lain yang terlibat secara langsung/tidak langsung terhadap masalah/ kejadian/transaksi yang dipersoalkan atau keterangan yang diperoleh dari pejabat/PNs/pihak lain yang melihat, mendengar dan/atau ikut terlibat sebagai pelaku dalam suatu permasalahan yang ditemukan oleh Tim Pengawas dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan;

4) Bukti Pengakuan; yaitu keterangan/pernyataan yang diberikan oleh pejabat dan/atau pihak lain yang menjadi pelaku terjadinya penyimpangan, kecurangan, kerugian negara/daerah, penyalahgunaan wewenang yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan;

5) Bukti ketangkap tangan; yaitu tertangkapnya seseorang/ sekelompok orang pada waktu sedang melakukan tindakan yang menyimpang atau dengan segera sesudah beberapa saat kemudian diserahkan oleh masyarakat sebagai orang/kelompok yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan melakukan penyimpangan itu yang menunjukkan bahwa ia/mereka adalah pelakunya atau turut membantu melakukan tindakan yang menyimpang tersebut;

6) Bukti analisis; yaitu alat bukti yang diperoleh dengan jalan melakukan analisa terhadap informasi/bukti lain yang dimiliki oleh Tim pengawas dengan menggunakan pendekatan suatu bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi; dan

7) Catatan lain yaitu berupa seluruh alat bukti pengawasan yang ditemukan/ digunakan dalam mengukur suatu kegiatan/kinerja instansi yang diawasi dan dapat dijadikan sebagai penghubung antara pekerjaan pengawasan dengan laporan hasil pengawasan.

d. Identifikasi Permasalahan di Daerah.

Norma ini mewajibkan pejabat pengawas pemerintah mengungkapkan permasalahan yang terjadi di daerah secara kronologis, obyektif, cermat dan independent.

Page 447: Dokumentasi dan Informasi Hukum

443

1) Pengungkapan permasalahan secara kronologis yaitu menguraikan latar belakang permasalahan, penanggungjawab kegiatan, pelaku/ pelaksana kegiatan yang terlibat, permasalahan yang terjadi dan dibuktikan dengan fakta/data secara akurat, lengkap dan sah sampai dengan kondisi nyata pada saat dilakukan pemeriksaan;

2) Pengungkapan permasalahan secara obyektif menempatkan pejabat pengawas pemerintah untuk bersikap dan bertindak berdasarkan alat bukti yang ditemukan;

3) Pengungkapan permasalahan secara cermat mengharuskan pejabat pengawas pemerintah harus selalu waspada menghadapi suatu kondisi, situasi, transaksi, kegiatan yang mengandung indikasi penyimpangan, penyelewengan, ketidakwajaran, pemborosan atau ketidakhematan dalam penggunaan sumberdaya yang ada; dan

4) Pengungkapan permasalahan secara independent mengharuskan pejabat pengawas pemerintah dan/atau pejabat yang diawasi untuk mempertahankan independensinya sehingga tidak memihak kepada suatu kepentingan tertentu.

e. Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, kehematan, efisiensi dan efektifitas.

Norma ini mewajibkan pejabat pengawas pemerintah melakukan pengkajian terhadap ketaatan peraturan perundang­undangan secara akurat atas pelaksanaan kegiatan pada instansi yang diawasi serta menilai efisiensi, kehematan dalam penggunaan sumberdaya dan efektifitas pencapaian tujuan.

3. Norma Pelaporan.

Norma ini memuat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan bentuk dan penyampaian laporan tertulis.

a. Laporan hasil pengawasan secara tertulis dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Nota Dinas/surat.

Norma ini berisi hasil pengawasan yang strategis, mendesak dan/atau yang bersifat rahasia sehingga harus disusun secara singkat, padat dan jelas yang menggambarkan permasalahan secara utuh dan lengkap.

Laporan hasil pengawasan ini dapat bersifat sementara (interm report) untuk memenuhi kebutuhan informasi yang sangat mendesak bagi

Page 448: Dokumentasi dan Informasi Hukum

444

pejabat yang berwenang mengambil tindakan dan/atau menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil suatu kebijakan. Walaupun laporan itu bersifat sementara namun isi laporan tersebut harus didukung fakta/bukti yang mengarah kepada kesimpulan final. Laporan hasil pengawasan dalam bentuk nota/surat dapat juga bersifat final yang berisi permasalahan strategis dan urgen yang ditemukan dalam melaksanakan pengawasan dan wajib disampaikan kepada pejabat berwenang, juga harus disusun secara singkat, padat dan jelas.

2) Laporan Hasil Pengawasan Lengkap.

Norma ini berisi laporan hasil pengawasan yang diuraikan secara lengkap atas semua permasalahan yang ditemukan berdasarkan bukti/fakta yang cukup, kompeten dan relevan. Penulisan dalam laporan hasil pengawasan ini dengan menggunakan bahasa/istilah yang sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca atau pengguna laporan.

Pengungkapan permasalahan yang disajikan dengan menggunakan analisis berdasarkan disiplin ilmu pengetahuan tertentu harus berdasarkan fakta/data yang valid dari instansi yang diawasi dan/atau sumber informasi yang independen.

Laporan hasil pengawasan secara tertulis harus disampaikan kepada pejabat yang berwenang, pejabat pemberi perintah dan pejabat lain yang terkait dan/atau memerlukan laporan hasil pengawasan itu. Tembusan laporan harus disampaikan kepada pejabat lain yang ikut bertanggungjawab untuk melaksanakan tindaklanjut atas rekomendasi hasil pengawasan.

Norma ini menetapkan keharusan membuat laporan tertulis mengenai setiap kegiatan pengawasan atas instansi, organisasi, program, kegiatan dari penyelenggara pemerintahan daerah (Kepala Daerah beserta sKPD dan DPRD serta pengelola kekayaan daerah yang dipisahkan/BUMD).

Manfaat dibuatnya laporan tertulis.

a) Hasil pengawasan dapat diberitahukan kepada para pejabat yang bertanggungjawab pada semua tingkat/strata pemerintahan;

b) Kesimpulan dan saran tindak atas hasil pengawasan tidak disalahtafsirkan oleh penerima laporan;

c) Hasil pengawasan dapat disediakan untuk dipelajari oleh semua pihak yang berkepentingan;

d) Mempermudah tindaklanjut hasil pengawasan yaitu tindaklanjut yang layak dan tuntas; dan

Page 449: Dokumentasi dan Informasi Hukum

445

e) Hasil pengawasan dapat dilakukan evaluasi dan dijadikan bahan referensi guna rencana kegiatan pengawasan berikutnya.

Dalam hal tertentu yang bersifat rahasia atau sangat rahasia perlu dilakukan dengan membuat laporan khusus yang bersifat rahasia/ sangat rahasia dan hanya disampaikan secara terbatas kepada pejabat berwenang dan pejabat yang harus melakukan tindaklanjutnya.

Diantara pejabat dimaksud adalah para pejabat yang mempunyai kepentingan langsung dengan hasil pengawasan berdasarkan peraturan perundang­undangan, wajib menerima laporan hasil pengawasan.

b. Ketepatan Waktu Laporan.

Laporan hasil pengawasan harus diterbitkan sebelum batas waktu yang ditentukan didalam peraturan perundang­undangan agar memberikan manfaat yang maksimal.

Dalam upaya mempercepat penerbitan laporan maka pejabat pengawas sudah harus :

1) menyusun laporan pada saat kegiatan pengawasan mulai dilaksanakan;

2) memberitahukan masalah penting/urgen kepada pejabat yang berwenang pada instansi yang diawasi; dan

3) melaporkan masalah penting/urgen kepada pejabat pemberi perintah tugas pengawasan.

Hal ini dimaksudkan agar tindakan korektif terhadap permasalahan tertentu dapat dilaksanakan oleh pejabat tersebut guna mencegah meluasnya permasalahan yang terjadi.

c. Isi Laporan.

Pejabat pengawas pemerintah menyusun laporan tertulis yang memuat :

1) Penjelasan ruang lingkup dan tujuan pengawasan;

2) Uraian laporan hasil pengawasan dibuat secara singkat, jelas, lengkap dan mudah dimengerti oleh para pihak yang menggunakannya;

3) Fakta secara teliti, cermat, lengkap dan layak atas permasalahan yang diangkat, harus dijelaskan sebab dan akibatnya;

4) Kesimpulan secara obyektif dalam bahasa yang sederhana namun jelas;

Page 450: Dokumentasi dan Informasi Hukum

446

5) Informasi berdasarkan fakta/bukti dan kesimpulan yang disajikan didalam kertas kerja pengawasan sehingga apabila diperlukan dapat dibuka kembali/ditunjukan dasar penulisan laporan;

6) Rekomendasi yang dapat dijadikan dasar tindakan perbaikan, penertiban dan penyempurnaan serta peningkatan kinerja;

7) Kritik disajikan dalam pertimbangan yang wajar dengan memuat kesulitan atau kondisi yang tidak lazim yang dihadapi oleh pejabat yang diawasi;

8) Identifikasi dan penjelasan atas permasalahan yang masih perlu pendalaman lebih lanjut dari pejabat pengawas pemerintah atau pihak lain;

9) Pengakuan atau penghargaan bagi prestasi yang dicapai oleh instansi yang diawasi, terlebih apabila prestasi tersebut dapat dimanfaatkan instansi lain; dan

10) Permasalahan yang bersifat kasus penyelewengan tertentu dan/atau pertimbangan lain tidak perlu dimuat namun disampaikan secara khusus kepada pejabat yang berwenang secara tertulis/tidak tertulis.

Dalam penyusunan Isi laporan hasil pengawasan lengkap harus memperhatikan, antara lain:

1) simpulan dan Rekomendasi.

Norma ini mewajibkan pejabat pengawas pemerintah membuat simpulan ringkas, padat, jelas dan kriteria/peraturan perundang­undangan yang dilanggar secara tepat. Apabila dipandang perlu menyajikan sebab dan akibat secara singkat atas permasalahan tersebut serta memberikan rekomendasi yang tepat.

2) Dasar Hukum Pengawasan.

setiap pengawasan yang akan dilaksanakan harus berdasarkan rencana kerja pengawasan dan perintah tugas pengawasan dari pejabat berwenang.

3) Ruang Lingkup dan Tujuan Pengawasan.

Ruang lingkup pengawasan harus dikemukakan didalam laporan. Uraian tentang ruang lingkup pengawasan harus menyebutkan dengan jelas apakah semua unsur pengawasan (keuangan, ketaatan pada peraturan perundang-undangan, efisiensi, efektivitas dan ekonomisnya pelaksanaan kegiatan).

Page 451: Dokumentasi dan Informasi Hukum

447

Apabila pimpinan instansi yang diawasi menghendaki adanya perluasan ruang lingkup pengawasan yang khusus maka hal ini perlu mendapat perhatian dalam bentuk surat tugas tambahan.

Disamping itu harus dikemukakan juga secara ringkas tujuan pengawasan sebagaimana tertuang didalam surat tugas.

4) Batasan Pengawasan.

Norma ini mewajibkan pejabat pengawas pemerintah memberikan batasan waktu pelaksanaan pemeriksaan dan batasan waktu masa yang diperiksa serta batasan substansinya.

5) Tindak lanjut hasil pengawasan yang lalu.

Norma ini mewajibkan pejabat pengawas pemerintah menyajikan tingkat penyelesaian tindaklanjut hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dan hasil pemeriksaan BEPEKA yang lalu.

6) Pengakuan/Penghargaan Atas Prestasi.

Laporan hasil pengawasan harus menyajikan hal­hal yang bersifat positif dan merupakan prestasi dari pejabat yang diawasi. Hal ini penting sebagai imbangan yang wajar atas kinerja instansi yang diawasi disamping permasalahan yang masih perlu mendapat perbaikan, penertiban, penyempurnaan kegiatan/kinerja yang bersangkutan.

7) Temuan dan Rekomendasi.

Permasalahan yang masih perlu mendapat perhatian sebagai temuan hasil pengawasan harus dikemukakan secara obyektif dan tidak memihak disertai informasi yang cukup tentang pokok masalah yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar pembaca/pengguna laporan memperoleh pandangan dalam perspektif yang tepat, tidak menyesatkan dan menunjukkan permasalahan yang perlu perhatian.

Dengan demikian untuk memudahkan membaca dan pengguna laporan maka temuan harus memuat :

a) Judul Temuan

b) Uraian kondisi temuan

c) Kriteria/tolok ukur

d) sebab

e) Akibat

f) Tanggapan pejabat yang diperiksa

Page 452: Dokumentasi dan Informasi Hukum

448

g) Komentar atas tanggapan

h) Rekomendasi

Pejabat pengawas pemerintah harus membuat rekomendasi yang tepat sesuai dengan fakta hasil pengawasan serta perbaikan yang disarankan memang perlu diwujudkan. Rekomendasi harus dapat menghilangkan penyebab permasalahan yang ditemukan, dapat dilaksanakan serta memperbaiki/menertibkan/menyempurnakan kinerja instansi yang diawasi.

MENTERI DALAM NEGERI a.i.,

ttd

WIDODO As.

Page 453: Dokumentasi dan Informasi Hukum

449

LAMPIRAN II : PERATURAN MENTERI DALAM

NEGERI

NOMOR : 28 Tahun 2007

TANGGAL : 30 Mei 2007

KODE ETIK PEJABAT PENGAWAS PEMERINTAH

A. Umum

Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah merupakan landasan etika yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh setiap pejabat pengawas dalam melaksanakan tugas pengawasan.

Pemahaman kode etik akan mengarah adanya perubahan positif terhadap pola pikir, sikap, perilaku pejabat pengawas Inspektorat Jenderal Departemen/ Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah non Departemen (LPND), Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, sehingga dapat mewujudkan mutu pengawas, citra dan martabat Inspektorat Jenderal Departemen/Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah non Departemen, Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.

Pejabat pengawas pemerintah dalam melaksanakan tugas akan berhubungan dengan semua unsur yang ada pada organisasi, sesama anggota tim, pihak yang diawasi, pihak lain yang terkait dan masyarakat, sehingga pejabat pengawas pemerintah dituntut untuk menjaga citra positif dan memenuhi kewajiban organisasi. Dengan demikian, interaksi antar pihak yang terkait dalam pengawasan akan mengarah pada suatu bentuk kerja sama yang harmonis dengan kesadaran masing­masing pihak.

Oleh karena itu Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah ini perlu dipahami dan ditaati oleh pejabat pengawas pemerintah untuk menjaga citra positif aparat pengawas dan mutu hasil pengawasan yang harus dipertanggungjawabkan.

B. Maksud dan Tujuan

Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah dimaksudkan untuk memberikan pengertian dan penjabaran mengenai aturan perilaku sebagai pejabat pengawas pemerintah yang profesional dan sebagai pedoman bagi aparat pengawas dalam berhubungan dengan lembaga organisasinya, sesama pejabat pengawas pemerintah, pihak yang diawasi, pihak lain yang terkait dan masyarakat, agar terpenuhi prinsip­prinsip kerja yang sehat dan terlaksananya pengendalian pengawasan. Dengan

Page 454: Dokumentasi dan Informasi Hukum

450

demikian dapat terwujud kinerja yang tinggi dalam mempertahankan profesionalisme, integritas, obyektivitas dan independensi serta memelihara citra organisasi dan masyarakat.

C. Ruang Lingkup

Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah ini meliputi : tata pikir, tata sikap, tata wicara dan tata laku pejabat pengawas dalam berinteraksi dengan lembaga pengawasan, sesama pejabat pengawas pemerintah, para pihak yang diawasi dan pihak lain yang terkait serta masyarakat.

D. Pejabat Pengawas Pemerintah dalam melaksanakan tugas.

Pejabat pengawas pemerintah wajib mentaati peraturan perundang­undangan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab melalui :

1. memberikan keteladanan yang baik dalam segala aspek kepada semua pihak khususnya dalam hal ketaatan terhadap peraturan perundang­undangan;

2. dilarang mereduksi, melampaui dan atau melanggar batas tanggung jawab dan kewenangan yang dimiliki sesuai dengan hak dan kewajiban yang dimaksud dalam surat Perintah Tugas.

3. menghindari semua perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma dan peraturan perundang­undangan dan kaidah agama serta norma kehidupan bermasyarakat.

4. wajib melaksanakan tugas secara profesional, dengan penuh tanggung jawab, disiplin, jujur, dan transparan.

5. dilarang mengurangi dan atau menghilangkan temuan hasil pengawasan dengan maksud atau tujuan atau kepentingan pribadi atau pihak lain.

6. berpakaian seragam kedinasan, sopan, rapi, dan memakai tanda pengenal;

7. berbicara secara sopan, wajar, tidak berbelit­belit, rasional, tidak emosional dan pengendalian diri yang kuat untuk memahami pokok permasalahan;

E. Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah dengan Organisasi Intern meliputi:

1. Pejabat Pengawas Pemerintah wajib mentaati segala peraturan perundang­undangan dalam melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab.

2. Pejabat Pengawas Pemerintah harus memiliki semangat pengabdian yang tinggi kepada organisasinya.

3. Pejabat Pengawas Pemerintah harus memiliki integritas dan dedikasi yang tinggi.

Page 455: Dokumentasi dan Informasi Hukum

451

4. Pejabat Pengawas Pemerintah wajib menyimpan rahasia jabatan, rahasia negara, rahasia pihak yang diawasi serta hanya dapat mengemukakannya kepada dan atas perintah Pejabat yang berwenang atas kuasa peraturan perundang­undangan.

F. Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah dengan Pejabat Pengawas lain meliputi :

1. Menggalang kerjasama yang baik dengan cara :

a. bekerjasama dalam rangka tugas pengawasan;

b. mengkomunikasikan segala permasalahan yang timbul dalam tugas pengawasan;

c. menghargai setiap pendapat sesama Pejabat Pengawas Pemerintah;

d. percaya sesama Pejabat Pengawas Pemerintah;

e. menghilangkan sifat iri hati;

f. mengendalikan diri dan mengendalikan emosi;

g. toleransi sesama Pejabat Pengawas; dan

h. menghormati sesama Pejabat Pengawas.

2. saling mengingatkan, membimbing dan mengoreksi perilaku dengan cara :

a. membimbing dalam hal meningkatkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan perilaku Pejabat Pengawas;

b. menerima saran dan kritik yang sehat dari sesama Pejabat Pengawas;

c. memberi dorongan moral terhadap sesama Pejabat Pengawas untuk bertanggung jawab dalam tugasnya; dan

d. mengingatkan untuk selalu mengacu pada kode etik Pejabat Pengawas.

3. Memiliki rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan dengan cara :

a. saling memberikan informasi penting mengenai pihak yang diawasi kepada Pejabat Pengawas lain yang akan melakukan pengawasan pada obyek yang sama;

b. tidak mengatasnamakan sesama Pejabat Pengawas untuk tujuan­tujuan pribadi;

c. perbedaan pendapat atau pandangan tidak dikemukakan dihadapan pihak yang diawasi;

d. kelemahan, kekurangan, aib sesama Pejabat Pengawas dilarang dibuka didepan orang lain dan atau pihak yang diawasi;

e. tidak saling menghasut dan atau menghujat sesama Pejabat Pengawas.

Page 456: Dokumentasi dan Informasi Hukum

452

G. Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah dengan Pemeriksa/Auditor meliputi:

1. bekerja sama untuk mencapai tujuan pemeriksaan;

2. saling mengkomunikasikan segala permasalahan yang timbul dalam tugas pemeriksaan;

3. menghargai pendapat Pemeriksa/auditor;

4. mengendalikan diri/mengendalikan emosi;

5. saling menghormati;

6. memberikan informasi penting hasil pengawasan/pemeriksaan yang lalu pada suatu obyek tertentu kepada Pemeriksa lain yang akan memeriksa obyek tersebut.

H. Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah dengan Penyidik meliputi :

1. bekerja sama dan atau koordinasi penanganan laporan kasus pengaduan;

2. saling mengkomunikasikan segala informasi/permasalahan yang timbul dalam tugas penanganan kasus pengaduan;

3. menghargai pendapat penyidik;

4. memberikan keterangan yang diperlukan penyidik dalam suatu penanganan pengaduan masyarakat dan atau pengembangan hasil pengawasan dalam proses hukum;

5. saling menghormati pelaksanaan tugas profesi;

6. diperbantukan dalam proses penyidikan kasus.

I. Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah dengan Pihak yang diawasi meliputi:

1. menjalin interaksi yang sehat dengan cara :

a. berperilaku secara persuasif, edukatif, menarik dan simpatik;

b. memperlakukan sebagai mitra kerja;

c. saling menghormati dan memahami tugas masing­masing pihak;

2. mampu menciptakan iklim kerja yang sehat dengan cara :

a. menjaga independensi dalam pelaksanaan tugas, untuk mencegah praktek nepotisme;

b. pendalaman informasi sebatas pelaksanaan pengawasan;

Page 457: Dokumentasi dan Informasi Hukum

453

J. Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah dengan masyarakat meliputi :

1. setiap informasi yang disampaikan masyarakat secara tertulis ditanggapi secara proporsional sesuai dengan kewenangannya;

2. pejabat pengawas pemerintah dilarang membocorkan rahasia jabatan dan atau rahasia negara kepada pihak lain yang tidak berkepentingan.

Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah merupakan amanat profesi yang harus dijaga agar martabat pengawas dimasyarakat mendapat tempat yang terhormat dan mampu memberikan out come/hasil pengawasan yang diharapkan.

MENTERI DALAM NEGERI a.i.,

ttd

WIDODO As.

Page 458: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 459: Dokumentasi dan Informasi Hukum

455

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 53 TAHUN 2007

TENTANG

PENGAWASAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah;

Mengingat : 1. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang­undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang­undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Repupblik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4594);

Page 460: Dokumentasi dan Informasi Hukum

456

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERTURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PENGAWAsAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Kepala daerah adalah gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk kabupaten/kota.

2. Peraturan daerah adalah peraturan perundang­undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah, termasuk qanun yang berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan peraturan daerah provinsi (Perdasi)/peraturan daerah khusus (Perdasus) yang berlaku di Provinsi Papua.

3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

4. Pengawasan adalah klarifikasi dan evaluasi terhadap peraturan daerah, peraturan kepala daerah, rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah.

5. Klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi.

6. Evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi.

7. Pemantauan adalah kegiatan mengamati dan mengidentifikasi realisasi pengawasan.

Page 461: Dokumentasi dan Informasi Hukum

457

BAB IIKEWENANGAN PENGAWASAN

Pasal 2

(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Klarifikasi peraturan daerah provinsi, kbupaten/kota dan peraturan gubernur, bupati/walikota; dan

b. Evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD/perubahan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan rencana tata ruang dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD.

Pasal 3

(1) Gubernur melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Klarifikasi peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota; dan

b. Evaluasi rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD/perubahan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan rencana tata ruang dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD.

BAB IIITATA CARA PENGAWASAN

Bagian PertamaKlarifikasi

Pasal 4

(1) Gubernur menyampaikan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.

(2) Bupati/waliota menyampaikan peraturan aderah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri

Page 462: Dokumentasi dan Informasi Hukum

458

paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.

Pasal 5

(1) Untuk melakukan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Menteri Dalam Negeri membentuk tim klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup Departemen Dalam Negeri sesuai kebutuhan.

(2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 6

(1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) melaporkan hasil klarifikasi peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri dalam bentuk berita acara.

(2) Hasil klarifikasi peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah dan peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.

(4) Hasil klarifikasi peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi dijadikan bahan usulan Menteri Dalam Negeri kepada Presiden untuk pembatalan.

Pasal 7

(1) Untuk melakukan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), gubernur membentuk tim klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas satuan kerja perangkat daerah sesuai kebutuhan.

(2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan gubernur.

Pasal 8

(1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) melaporkan hasil klarifikasi peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota kepada gubernur dalam bentuk berita acara.

(2) Hasil klarifikasi peraturan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah dan peraturan

Page 463: Dokumentasi dan Informasi Hukum

459

perundangan yang lebih tinggi dijadikan bahan usulan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan.

(3) Hasil klarifikasi peraturan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah dan peraturan perundangan yang lebih tinggi dijadikan bahan usulan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan.

Pasal 9

(1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) serta Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) terhadap sebagian atau seluruh materi peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

(2) sebagian materi peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pasal dan/atau ayat.

Pasal 10

(1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) disertai dengan alasan.

(2) Alasan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menunjukkan pasal dan/atau ayat yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang­undangan yang lebih tinggi.

(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Pasal 11

(1) Gubernur menghentikan pelaksanaan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya peraturan pembatalan.

(2) Bupati/walikota menghentikan pelaksanaan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya peraturan pembatalan.

Bagian KeduaEvaluasi

Pasal 12

Gubernur menyampaikan rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD perubahan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRD termasuk

Page 464: Dokumentasi dan Informasi Hukum

460

rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan evaluasi.

Pasal 13

(1) Untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD/ perubahan APBD, rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Menteri Dalam Negeri membentuk tim evaluasi yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup Departemen Dalam Negeri sesuai kebutuhan.

(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 14

(1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) melaporkan evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD/perubahan APBD/ pertanggungjawaban APBD, rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada Menteri Dalam Negeri.

(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara untuk dijadikan bahan keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 15

(1) Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan tata ruang daerah berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang.

(2) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan sebagai bahan keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 16

(1) Menteri Dalam Negeri menyampaikan evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD/perubahan APBD/pertanggungjawaban APBD, pajak daerah, retribusi daerah, tata ruang daerah, rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(2) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi.

Page 465: Dokumentasi dan Informasi Hukum

461

(3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi peraturan daerah dan/ atau peraturan gubernur, menteri membatalkan peraturan daerah dan peraturan gubernur tersebut dengan peraturan menteri.

Pasal 17

Bupati/walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD/perubahan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada gubernur untuk mendapatkan evaluasi.

Pasal 18

(1) Untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD/perubahan APBD/pertanggungjawaban APBD, rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, gubernur membentuk tim evaluasi yang keanggotaannya terdiri atas satuan kerja perangkat daerah sesuai kebutuhan.

(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan gubernur.

Pasal 19

(1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) melaporkan evaluasi rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD/perubahan APBD/pertanggungjawaban APBD, rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada gubernur.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara untuk dijadikan bahan keputusan gubernur.

Pasal 20

(1) Gubernur dalam melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan tata ruang daerah dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang melalui Menteri Dalam Negeri.

(2) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dijadikan bahan keputusan gubernur.

Page 466: Dokumentasi dan Informasi Hukum

462

Pasal 21

(1) Gubernur menyampaikan evaluasi rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD/perubahan APBD/pertanggungjawaban APBD, pajak daerah, retribusi daerah, tata ruang daerah, rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada bupati/walikota paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(2) Bupati/walikota menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi.

(3) Apabila bupati/walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota, gubernur membatalkan peraturan daerah dan/atau peraturan bupati/walikota tersebut dengan peraturan gubernur.

Pasal 22

(1) Pembatalan peraturan daerah tentang pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (3) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya pembatalan harus dihentikan pelaksanaannya.

(2) Pembatalan peraturan daerah tentang APBD/perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (3) sekaligus dinyatakan berlaku pagu APBD tahun anggaran sebelumnya/APBD tahun anggaran berjalan.

BAB IVKEBERATAN ATAS PEMBATALAN

Pasal 23

Apabila kepala daerah tidak dapat menerima peraturan tentang pembatalan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah dengan alasan yang dapat dibenarkan dengan peraturan perundang­undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Pasal 24

Apabila keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan peraturan tentang

Page 467: Dokumentasi dan Informasi Hukum

463

pembatalan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

BAB VPEMANTAUAN

Pasal 25

(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pemantauan terhadap tindaklanjut hasil klarifikasi dan evaluasi peraturan daerah dan peraturan kepala daerah serta pengawasan gubernur atas peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota.

(2) Untuk melakukan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk tim pemantauan yang anggotanya terdiri atas komponen lingkup Departemen Dalam Negeri sesuai kebutuhan.

(3) Tim pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 26

(1) Gubernur melakukan pemantauan terhadap tindaklanjut hasil klarifikasi dan evaluasi peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota.

(2) Untuk melakukan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk tim pemantauan yang anggotanya terdiri atas satuan kerja perangkat daerah sesuai kebutuhan.

(3) Tim pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Gubernur.

BAB VILAPORAN

Pasal 27

(1) Gubernur melaporkan hasil pengawasan dan pemantauan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota kepada Menteri Dalam Negeri.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 3 (tiga) bulan dan/atau sewaktu­waktu jika diperlukan.

BAB VIIKETENTUAN PENUTUP

Page 468: Dokumentasi dan Informasi Hukum

464

Pasal 28

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri ini, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah, sepanjang mengatur mengenai pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 29

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 1 Oktober 2007

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MARDIYANTO

Page 469: Dokumentasi dan Informasi Hukum

465

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 57 TAHUN 2007

TENTANG

PETUNJUK TEKNISPENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka standarisasi dan tertib penataan kelembagaan perangkat daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka dipandang perlu menetapkan Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penataan Perangkat Daerah;

Mengingat : 1. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

Page 470: Dokumentasi dan Informasi Hukum

466

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PETUNJUK TEKNIs PENATAAN ORGANIsAsI PERANGKAT DAERAH.

Pasal 1

Pembentukan perangkat daerah berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, dengan memperhatikan kebutuhan, kemampuan keuangan, cakupan tugas, kepadatan penduduk, potensi, karakteristik serta sarana dan prasarana.

Pasal 2

Penataan organisasi perangkat daerah dilakukan melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Pasal 3

Petunjuk teknis penataan organisasi perangkat daerah sebagaimana tercantum dalam lampiran, dan merupakan satu kesatuan dari Peraturan ini.

Pasal 4

Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 Oktober 2007

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MARDIYANTO.

Page 471: Dokumentasi dan Informasi Hukum

467

LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI DALAM

NEGERI

NOMOR : 57 Tahun 2007

TANGGAL : 23 Oktober 2007

A. Pendahuluan

Reformasi birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokrasi pada tataran pemerintah daerah antara lain bidang organisasi perangkat daerah yang diarahkan untuk terciptanya organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang diformulasikan berdasarkan prinsip­prinsip manajemen yang terdiri atas unsur pimpinan, unsur staf, unsur pengawas, unsur perencana, unsur pelaksana, unsur pendukung dan unsur pelayanan.

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.

Pembinaan dan pengendalian organisasi dimaksudkan dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi antar daerah dan antar sektor, sehingga masing­masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah, yang dilaksanakan melalui fasilitasi, asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan serta kerjasama.

Dalam penataan kelembagaan perangkat daerah harus menerapkan prinsip­prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tatakerja yang jelas.

B. Penataan Kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi

1. Pembentukan.

a. Perangkat Daerah ditetapkan dalam Peraturan Daerah, yang memuat nama atau nomenklatur, tugas pokok dan susunan organisasi masing­

Page 472: Dokumentasi dan Informasi Hukum

468

masing satuan kerja perangkat daerah (sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas, badan, kantor, rumah sakit daerah dan lembaga lain sesuai ketentuan peraturan perundang ­ undangan).

b. Peraturan Daerah (Perda) tentang perangkat daerah secara prinsip dituangkan dalam 1 (satu) Perda. Namun apabila lebih dari 1 (satu) Perda, dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan daerah yang terdiri dari :

1) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja sekretariat Daerah dan sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termasuk staf Ahli.

2) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Dinas Daerah.

3) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah termasuk Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Rumah sakit Daerah.

4) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Lain yang telah mendapat persetujuan pemerintah.

c. Penjabaran tugas pokok dan fungsi masing­masing perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

d. Pengaturan tentang UPT Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

2. Tugas dan Fungsi.

Tugas dan fungsi masing­masing perangkat daerah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dengan ruang lingkup dan kewenangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, serta potensi dan karakteristik daerah masing­masing.

Pada prinsipnya tugas dan fungsi masing­masing sKPD secara lebih teknis sebagai berikut :

a. sekretariat Daerah sebagai unsur staf pada hakekatnya menyelenggarakan fungsi koordinasi perumusan kebijakan, koordinasi pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan serta pelayanan admistratif. selain itu sekretariat daerah juga dapat melaksanakan fungsi

Page 473: Dokumentasi dan Informasi Hukum

469

hukum dan perundang­undangan, organisasi dan tatalaksana, hubungan masyarakat, protokol, serta fungsi pemerintahan umum lainnya yang tidak tercakup dalam tugas dinas dan lembaga teknis, misalnya penanganan urusan kerjasama, perbatasan dan lain­lain.

b. sekretariat DPRD sebagai unsur pelayanan pada hakekatnya memberikan pelayanan administratif kepada dewan yang meliputi kesekretariatan, pengelolaan keuangan, fasilitasi penyelenggaraan rapat­rapat dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan daerah masing­masing.

c. Inspektorat sebagai unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan, baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota. Dalam rangka akuntabilitas dan objektifitas hasil pengawasan, maka Inspektur dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Gubernur, sedangkan kepada sekretaris Daerah merupakan pertanggung jawaban administratif dalam hal keuangan dan kepegawaian.

d. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan melaksanakan tugas perumusan kebijakan perencanaan daerah, koordinasi penyusunan rencana yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan masing­masing satuan kerja perangkat daerah.

e. Dinas Daerah, sebagai unsur pelaksana otonomi daerah pada hakekatnya menyelenggarakan urusan otonomi daerah baik yang bersifat wajib maupun pilihan, sesuai dengan pembagian urusan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.

f. Lembaga Teknis Daerah, sebagai unsur pendukung yang sifatnya lebih teknis. Lembaga teknis daerah dapat berbentuk badan, kantor dan rumah sakit, penentuan Badan atau Kantor sesuai dengan analisis beban kerja.

3. Besaran Organisasi.

a. Besaran organisasi ditentukan berdasarkan perhitungan kriteria dari variabel sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tersebut tidak menentukan jenis perangkat daerah masing­masing daerah, namun ditentukan oleh potensi dan karakteristik daerah masing­masing, dengan memperhatikan pembagian urusan, baik urusan wajib maupun urusan pilihan.

Page 474: Dokumentasi dan Informasi Hukum

470

c. Jenis dan nomenklatur serta jumlah perangkat daerah, dapat disesuaikan dengan kharakteristik, kebutuhan, kemampuan, potensi daerah dan beban kerja perangkat daerah.

d. Untuk menentukan besaran susunan organisasi dilakukan melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja.

4. Perumpunan bidang pemerintahan

a. Perumpunan bidang pemerintahan pada prinsipnya adalah penggabungan beberapa urusan pemerintahan yang ditangani atau diwadahi pada satu lembaga dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas serta adanya kesamaan dalam penanganan atau pelaksanaan.

b. Perumpunan bidang pemerintahan yang diwadahi dalam bentuk dinas tidak dapat menjadi lembaga teknis dan sebaliknya, lembaga teknis daerah tidak dapat menjadi dinas daerah

c. Pengembangan dari perumpunan urusan pemerintahan dapat dilakukan dengan pertimbangan prinsip­prinsip organisasi, kebutuhan, ketersediaan potensi dan kemampuan daerah masing­masing.

d. Khusus bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan asset, dapat dikembangkan sesuai prinsip­prinsip organisasi (fungsi lini dan fungsi staf) yaitu fungsi pendapatan menjadi dinas pendapatan dan fungsi pengelola keuangan dan Asset menjadi Biro Keuangan dan Biro Perlengkapan.

5. Susunan Organisasi

a. Dalam rangka standarisasi minimal susunan organisasi sKPD sebagai acuan jumlah dan jenis perangkat daerah masing­masing daerah dapat ditetapkan sebagai berikut:

1) sekretariat Daerah, terdiri atas :

a) Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, membawahkan dan mengkoordinasikan :

(1) Biro Administrasi Pemerintahan Umum (dengan ruang lingkup meliputi bidang pengawasan, penyelenggaraan urusan otonomi kabupaten/kota, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, ketentraman dan ketertiban dan perlindungan masyarakat, penanggulangan bencana, kependudukan, agraria, kerjasama dan perbatasan).

(2) Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat (dengan ruang lingkup meliputi bidang pendidikan, kesehatan, sosial,

Page 475: Dokumentasi dan Informasi Hukum

471

Tenaga kerja dan transmigrasi, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan agama).

(3) Biro Administrasi Kemasyarakatan (dengan ruang lingkup meliputi bidang kesatuan bangsa dan politik, pemuda dan olah raga, dan pemberdayaan masyarakat).

b) Asisten Perekonomian dan Pembangunan, membawahkan dan mengkoordinasikan :

(1) Biro Administrasi Pembangunan (dengan ruang lingkup meliputi bidang perencanaan pembangunan, penelitihan dan pengembangan, statistik, perhubungan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata);

(2) Biro Administrasi sumber Daya Alam (dengan ruang lingkup meliputi bidang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan energi, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan serta penyuluhan);

(3) Biro Administrasi Perekonomian (dengan ruang lingkup meliputi bidang koperasi dan UKM, penanaman modal, perindustrian dan perdagangan, dan badan usaha milik daerah).

c) Asisten Administrasi Umum, (dengan ruang lingkup bidang hukum dan perundang­undangan, organisasi dan tatalaksana, aparatur, keuangan, pendapatan, perlengkapan dan asset, kearsipan, perpustakaan serta urusan umum);

2) sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

3) Dinas daerah yang harus dibentuk sekurang­kurangnya, terdiri atas:

a) Dinas Pendidikan;

b) Dinas Kesehatan;

c) Dinas sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

d) Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika;

e) Dinas Pekerjaan Umum (Bina Marga, Pengairan, Cipta Karya dan Tata Ruang);

f) Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;

g) Dinas Pemuda, Olahraga dan Kebudayaan;

h) Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset;

i) Dinas lainnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah masing­masing.

Page 476: Dokumentasi dan Informasi Hukum

472

4) Badan, Inspektorat dan Lembaga Teknis Daerah (Badan, Kantor dan Rumah sakit Daerah), yang harus dibentuk sekurang­kurangnya, terdiri atas :

a) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal;

b) Badan/Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat;

c) Badan/Kantor Lingkungan Hidup;

d) Badan/Kantor Ketahanan Pangan;

e) Badan/Kantor Penelitihan, Pengembangan dan statistik;

f) Badan/Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi;

g) Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa;

h) Badan/Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana;

i) Badan Kepegawaian dan diklat;

j) Inspektorat; dan

k) Rumah sakit Daerah.

l) Lembaga teknis daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing­masing.

5) Apabila jumlah asisten 4 (empat) maka pengembangan asisten dan Biro­Biro termasuk nomenklatur dapat disesuaikan.

6) Nomenklatur dan pengembangan Dinas serta Lembaga Teknis Daerah dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing­masing.

7) Penyelenggaraan fungsi penghubung pemerintah daerah, masing­masing Provinsi membentuk perangkat daerah yang berkedudukan di Ibukota Jakarta sebagai bagian dari perangkat daerah.

C. Penataan Kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten/Kota.

1. Pembentukan.

a. Perangkat Daerah ditetapkan dalam Peraturan Daerah, yang memuat nama atau nomenklatur, tugas pokok dan susunan organisasi masing­masing satuan kerja perangkat daerah (sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas, badan dan kantor, rumah sakit daerah, kecamatan, kelurahan dan lembaga lain sesuai ketentuan peraturan perundang­ undangan).

Page 477: Dokumentasi dan Informasi Hukum

473

b. Peraturan Daerah (Perda) tentang perangkat daerah secara prinsip dituangkan dalam 1 (satu) Perda. Namun apabila lebih dari (satu) Perda dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan daerah yang terdiri atas: 1) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja sekretariat

Daerah dan sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termasuk staf Ahli.

2) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Dinas Daerah.3) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis

Daerah termasuk inspektorat, badan perencanaan pembangunan daerah, serta rumah sakit daerah.

4) Peraturan Daerah tentang kecamatan dan Kelurahan.5) Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja lembaga lain yang

telah mendapat persetujuan pemerintah.

c. Penjabaran tugas pokok dan fungsi masing­masing perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.

d. Pengaturan tentang UPT Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota.

2. Tugas dan Fungsi.

Tugas dan fungsi masing­masing perangkat daerah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dengan ruang lingkup dan kewenangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, serta potensi dan karakteristik daerah masing­masing.

Pada prinsipnya tugas dan fungsi masing­masing perangkat daerah secara lebih teknis sebagai berikut :

a. sekretariat Daerah sebagai unsur staf pada hakekatnya menyelenggarakan fungsi koordinasi perumusan kebijakan, koordinasi pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan serta pelayanan admistratif. selain itu sekretariat daerah juga melaksanakan fungsi hukum dan perundang­undangan, organisasi dan tatalaksana, hubungan masyarakat, protokol serta fungsi pemerintahan umum lainnya yang tidak tercakup dalam tugas dinas dan lembaga teknis, misalnya penanganan urusan kerjasama, perbatasan dan lain­lain.

Page 478: Dokumentasi dan Informasi Hukum

474

b. sekretariat DPRD sebagai unsur pelayanan pada hakekatnya memberikan pelayanan administratif kepada dewan yang meliputi kesekretariatan, pengelolaan keuangan, fasilitasi penyelenggaraan rapat­rapat dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan daerah masing­masing.

c. Inspektorat sebagai unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan, di kabupaten dan kota. Dalam rangka akuntabilitas dan objektifitas hasil pengawasan, maka Inspektur dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Bupati/Walikota, sedangkan kepada sekretaris Daerah merupakan pertanggungjawaban administratif dalam hal keuangan dan kepegawaian.

d. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan melaksanakan tugas perumusan kebijakan perencanaan daerah, koordinasi penyusunan rencana yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan masing­masing satuan kerja perangkat daerah.

e. Dinas Daerah, sebagai unsur pelaksana otonomi daerah pada hakekatnya menyelenggarakan urusan otonomi daerah baik yang bersifat wajib maupun pilihan, sesuai dengan pembagian urusan yang ditetapkan dalam Peraturan pemerintah Nomor 38 tahun 2007.

f. Lembaga Teknis Daerah, sebagai unsur pendukung yang sifatnya lebih teknis. Lembaga teknis daerah dapat berbentuk badan, kantor dan rumah sakit , penentuan Badan atau Kantor sesuai dengan analisis beban tugas.

3. Besaran Organisasi.

a. Besaran organisasi ditentukan berdasarkan perhitungan kriteria dari variabel sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tersebut tidak menentukan jenis perangkat daerah masing­masing daerah, namun ditentukan oleh potensi dan karakteristik daerah masing­masing, dengan memperhatikan urusan wajib dan urusan pilihan.

c. Jenis dan nomenklatur serta jumlah perangkat daerah, dapat disesuaikan dengan kharakteristik, kebutuhan, kemampuan, potensi daerah dan beban kerja perangkat daerah.

d. Untuk menentukan besaran susunan organisasi dilakukan melalui analisis beban kerja.

Page 479: Dokumentasi dan Informasi Hukum

475

4. Perumpunan bidang pemerintahan

a. Perumpunan bidang pemerintahan pada prinsipnya adalah penggabungan beberapa urusan pemerintahan yang ditangani atau diwadahi pada satu lembaga dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas serta adanya kesamaan dalam penanganan atau pelaksanaan.

b. Perumpunan bidang pemerintahan yang diwadahi dalam bentuk dinas tidak dapat menjadi lembaga teknis dan sebaliknya, lembaga teknis daerah tidak dapat menjadi dinas daerah.

c. Pengembangan dari perumpunan urusan pemerintahan dapat dilakukan dengan pertimbangan prinsip­prinsip organisasi, kebutuhan, ketersediaan potensi dan kemampuan daerah masing­masing.

d. Khusus bidang pendapatan, pengelolaan dan Asset dapat dikembangkan sesuai prinsip­prinsip organisasi (fungsi lini dan fungsi staf) yaitu fungsi pendapatan menjadi dinas pendapatan dan fungsi pengelola keuangan dan Asset menjadi Bagian Keuangan dan Bagian Perlengkapan.

5. Susunan Organisasi

a. Dalam rangka standarisasi minimal sebagai acuan jumlah dan jenis perangkat daerah masing­masing daerah untuk melaksanakan urusan wajib dan pilihan sekurang­kurangnya terdiri dari:

1) sekretariat Daerah, terdiri atas:

i. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, membawahkan dan mengkoordinasikan:

1. Bagian Administrasi Pemerintahan Umum (dengan ruang lingkup meliputi bidang pengawasan, tugas pembantuan, ketentraman dan ketertiban, Perlindungan Masyarakat, Penanggulangan Bencana, kependudukan, agraria, dan kerjasama);

2. Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat (dengan ruang lingkup meliputi bidang pendidikan, kesehatan, sosial, tenaga kerja dan transmigrasi, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan agama);

3. Bagian Administrasi Kemasyarakatan (dengan ruang lingkup meliputi bidang kesatuan bangsa dan politik, pemuda dan olah raga, dan pemberdayaan masyarakat);

ii. Asisten Perekonomian dan Pembangunan, membawahkan dan mengkoordinasikan :

Page 480: Dokumentasi dan Informasi Hukum

476

1. Bagian Administrasi Pembangunan (dengan ruang lingkup meliputi bidang perencanaan pembangunan, penelituhan dan pengembangan, statistik, perhubungan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata);

2. Bagian Administrasi sumber Daya Alam (dengan ruang lingkup meliputi bidang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan energi, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan);

3. Bagian Administrasi Perekonomian (dengan ruang lingkup meliputi bidang koperasi dan UKM, penanaman modal, perindustrian dan perdagangan, dan badan usaha daerah);

iii. Asisten Administrasi Umum, (dengan ruang lingkup bidang hukum dan perundang­undangan, organisasi dan tatalaksana, sdm aparatur, keuangan, pendapatan, perlengkapan dan asset, kearsipan, perpustakaan serta urusan umum);

2) sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

3) Dinas daerah yang harus dibentuk sekurang­kurangnya terdiri atas:

a) Dinas Pendidikan;

b) Dinas Kesehatan;

c) Dinas sosial dan Tenaga Kerja;

d) Dinas Kependudukan dan Catatan sipil;

e) Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika;

f) Dinas Pekerjaan Umum (Bina Marga, Pengairan, Cipta Karya dan Tata Ruang);

g) Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;

h) Dinas Pemuda, Olahraga dan Kebudayaan;

i) Dinas pendapatan, pengelolaan keuangan dan asset;

j) Dinas lainnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah masing­masing.

4) Badan, Inspektorat dan Lembaga Teknis Daerah (Badan, Kantor dan Rumah sakit Daerah), yang harus dibentuk sekurang­kurangnya, terdiri atas :

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal;

Badan/Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Ma­syarakat;

Page 481: Dokumentasi dan Informasi Hukum

477

Badan/Kantor Lingkungan Hidup;

Badan/Kantor Ketahanan Pangan;

Badan/Kantor Penelitian Pengembangan dan statistik;

Badan/Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi;

Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa;

Badan/Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana;

Badan Kepegawaian;

Inspektorat; dan

Rumah sakit Daerah.

Lembaga teknis daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing­masing.

5) Kecamatan dan

6) Kelurahan.

4. Apabila jumlah asisiten 4 (empat) maka pengembangan asisten dan Bagian­Bagian termasuk nomenklatur dapat disesuaikan.

5. Nomenklatur dan pengembangan Dinas serta LTD dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing­masing.

Perubahan jumlah besaran organisasi

1) Perubahan jumlah besaran organisasi perangkat daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan perubahan data variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD.

2) Apabila dipandang perlu perubahan besaran organisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, dapat dilakukan setelah organisasi perangkat daerah ditetapkan dan dilaksanakan sekurang­kurangnya 1 (satu) tahun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.

3) Perubahan besaran organisasi perangkat daerah, meliputi perubahan jumlah unit kerja dan jumlah susunan organisasi perangkat dapat dilakukan berdasarkan analisis beban kerja sesuai dengan analisis jabatan.

4) Prosedur perubahan besaran organisasi perangkat daerah, sebagai berikut:

a. Perubahan organisasi perangkat daerah disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri baik perangkat daerah provinsi maupun perangkat daerah kabupaten/kota dilengkapi dengan naskah akademis dan dukungan data personil, keuangan, sarana dan prasarana lainnya untuk bahan kajian lebih lanjut.

Page 482: Dokumentasi dan Informasi Hukum

478

b. Menteri Dalam Negeri melakukan pengkajian atas usul tersebut, dan Menteri dapat melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah yang bersangkutan dan instansi terkait, untuk ditetapkan persetujuan.

c. Persetujuan sebagaimana dimaksud huruf b, lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan daerah.

d. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud huruf c, selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

Pembentukan Perangkat Daerah untuk Daerah Otonom Baru, Daerah Khusus/ Istimewa dan Lembaga Lain.

1. Prosedur penetapan perangkat daerah untuk daerah otonom yang baru dibentuk, sebagai berikut :

a. Penjabat Kepala Daerah menyampaikan usul pembentukan perangkat daerah dilengkapi dengan naskah akademik kepada Menteri Dalam Negeri.

b. Usul sebagaimana dimaksud huruf a, untuk perangkat daerah provinsi diusulkan oleh Penjabat Gubernur dan untuk perangkat daerah kabupaten/kota diusulkan oleh Penjabat Bupati/Walikota melalui Gubernur dan difasilitasi oleh kabupaten/ provinsi induk.

c. Menteri Dalam Negeri melakukan pengkajian atas usul sebagaimana dimaksud huruf a, dan melakukan koordinasi dengan kementerian pendayagunaan aparatur negara, pemerintah daerah yang bersangkutan dan instansi terkait, untuk ditetapkan persetujuan.

d. Persetujuan sebagaimana dimaksud huruf b, lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

e. Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud huruf c, selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

2. Prosedur pembentukan perangkat daerah sebagai daerah khusus/istimewa, sebagai berikut :

a. Gubernur menyampaikan usul pembentukan kelembagaan perangkat daerah bagi daerah yang memiliki status khusus/istimewa kepada Menteri Dalam Negeri, dilengkapi dengan dasar hukum dan naskah akademis.

b. Menteri Dalam Negeri melakukan pengkajian atas usul sebagaimana dimaksud huruf a, dan melakukan koordinasi dengan kementerian

Page 483: Dokumentasi dan Informasi Hukum

479

pendayagunaan aparatur negara, pemerintah daerah yang bersangkutan dan instansi terkait, untuk ditetapkan pedoman organisasi dan tatakerja.

c. Pemerintah Daerah, lebih lanjut menetapkan dalam Peraturan Daerah sesuai dengan Pedoman yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri.

d. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud huruf c, selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

3. Prosedur pembentukan lembaga lain, sebagai berikut :

a. Lembaga lain adalah lembaga yang dibentuk sebagai pelaksanaan dari ketentuan perundang­undangan dan tugas pemerintahan umum lainnya, yang ditetapkan sebagai bagian dari prerangkat daerah.

b. Gubernur/bupati/walikota menyampaikan usul pembentukan lembaga lain kepada Menteri Dalam Negeri, dilengkapi dengan dasar hukum dan naskah akademis.

c. Menteri Dalam Negeri melakukan pengkajian atas usul sebagaimana dimaksud huruf a, dan melakukan koordinasi dengan kementerian pendayagunaan aparatur negara, pemerintah daerah yang bersangkutan dan instansi terkait, untuk ditetapkan pedoman organisasi dan tatakerja.

d. Pemerintah Daerah, lebih lanjut menetapkan dalam Peraturan Daerah sesuai dengan Pedoman yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri.

e. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud huruf c, selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

D. Staf Ahli.

1. staf Ahli mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan daerah sesuai dengan bidang tugasnya.

2. Dalam pelaksanaan tugas staf Ahli dikoordinasikan oleh sekretaris daerah.

3. Nomenklatur jabatan staf Ahli dapat terdiri dari :a. staf Ahli bidang Hukum dan Politik;b. staf Ahli bidang Pemerintahan;c. staf Ahli bidang Pembangunan;d. staf Ahli bidang Kemasyarakatan dan sumberdaya Manusia;e. staf Ahli bidang Ekonomi dan Keuangan.

Page 484: Dokumentasi dan Informasi Hukum

480

4. Tugas staf ahli :a. staf Ahli bidang Hukum dan Politik mempunyai tugas memberikan

telaahan mengenai hukum dan politik.b. staf Ahli bidang Pemerintahan mempunyai tugas memberikan telaahan

mengenai pemerintahan.c. staf Ahli bidang Pembangunan mempunyai tugas memberikan telaahan

mengenai pembangunan.d. staf Ahli bidang Kemasyarakatan dan sumberdaya Manusia mem­

punyai tugas memberikan telaahan mengenai kemasyarakatan dan sumberdaya manusia.

e. staf Ahli bidang Ekonomi dan Keuangan mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai ekonomi dan keuangan.

5. Jumlah dan nomenklatur jabatan staf ahli dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan kemampuan daerah masing­masing.

6. Hubungan kerja staf Ahli dengan sKPD bersifat konsultasi dan koordinasi.

E. Pembinaan dan Pengendalian.

1. Prosedur pengendalian organisasi perangkat daerah Provinsi, sebagai berikut :

a. Rancangan Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Perangkat Daerah, sebelum ditetapkan dilakukan fasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri;

b. Fasilitasi sebagaimana dimaksud huruf a untuk mengklarifikasi dalam penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi sesuai ketentuan peraturan perundang­undangan;

c. Dalam rangka fasilitasi sebagaimana dimaksud huruf a, Gubernur dapat melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah yang bersangkutan dan instansi terkait;

d. selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari setelah rancangan Peraturan Daerah tersebut disampaikan kepada Menteri, harus menyampaikan hasil fasilitasi kepada Gubernur;

e. Pemerintah daerah wajib menyesuaikan hasil fasilitasi tersebut untuk ditetapkan dalam Peraturan Daerah;

f. Peraturan Daerah setelah ditetapkan wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri cq. Biro Organisasi selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

Page 485: Dokumentasi dan Informasi Hukum

481

2. Prosedur pengendalian organisasi perangkat daerah Kabupaten/Kota, sebagai berikut :

a. Rancangan Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Perangkat Daerah, sebelum ditetapkan dilakukan fasilitasi oleh Gubernur cq. Biro yang membidangi organisasi;

b. Fasilitasi sebagaimana dimaksud huruf a untuk mengklarifikasi dalam penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi sesuai ketentuan peraturan perundang­undangan;

c. Dalam rangka fasilitasi sebagaimana dimaksud huruf a, Gubernur dapat melakukan koordinasi dengan Menteri dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan serta instansi terkait;

d. selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari setelah rancangan Peraturan Daerah tersebut disampaikan kepada Gubernur, harus menyampaikan hasil fasilitasi kepada Bupati/Walikota;

e. Pemerintah daerah wajib menyesuaikan hasil fasilitasi tersebut untuk ditetapkan dalam Peraturan Daerah;

f. Peraturan Daerah setelah ditetapkan wajib disampaikan kepada Gubernur dan dengan tembusan kepada Menteri cq. Biro Organisasi selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

3. Dalam pelaksanaan fasilitasi baik oleh pemerintah maupun oleh Gubernur, pemerintah daerah yang bersangkutan dapat melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri.

4. Fasilitasi dilakukan dalam bentuk pemberian arahan, bimbingan, supervisi, asistensi, pedoman dan kerjasama antara pemerintah dengan pemerintah daerah.

5. Pembatalan Peraturan Daerah tentang sKPD dengan prosedur sebagai berikut :

a. Gubernur menyampaikan usul pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

b. Menteri Dalam Negeri melakukan pengkajian usul Gubernur berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

c. Apabila hasil kajian dimaksud huruf b memenuhi aspek untuk dibatalkan, Menteri Dalam Negeri lebih lanjut mengajukan pembatalan kepada Presiden.

Page 486: Dokumentasi dan Informasi Hukum

482

d. Apabila hasil kajian dimaksud huruf b tidak memenuhi aspek untuk dibatalkan, Menteri Dalam Negeri memberikan arahan penyempurnaan dan penyesuaian.

e. Menteri Dalam Negeri menyampaiakan usul pembatalan Peraturan daerah Provinsi tentang Perangkat daerah kepada Presiden setelah dilakukan pengkajian bersama instansi terkait.

F. Penataan Rumah Sakit Daerah

1. Organisasi dan eselon rumah sakit daerah ditetapkan berdasarkan kelas rumah sakit.

2. Kelas Rumah sakit Daerah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.

3. Prosedur peningkatan kelas rumah sakit daerah sebagai berikut :

a. Usul peningkatan kelas RsD Provinsi disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Kesehatan dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara disertai dengan data sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri kesehatan.

b. Usul peningkatan kelas RsD Kabupaten/Kota disampaikan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur kepada Menteri kesehatan dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri pendayagunaan Aparatur Negara disertai dengan data sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri kesehatan.

c. Menteri Kesehatan bersama­sama Menteri Dalam Negeri dan Menteri pendayagunaan Aparatur Negara melakukan pengkajian atas usul dimaksud, untuk dapat disetujui atau ditolak.

d. Apabila usul dimaksud telah disetujui maka Pemerintah daerah lebih lanjut menetapkan dalam Peraturan Daerah.

G. Kelompok Jabatan Fungsional.

1. Pada masing­masing Perangkat Daerah dapat ditetapkan Jabatan Fungsional berdasarkan keahlian dan spesialisasi yang dibutuhkan sesuai dengan prosedur ketentuan yang berlaku;

2. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Pemerintah Daerah sesuai dengan keahlian dan kebutuhan.

3. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional yang diatur dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang­undangan.

4. Kelompok Jabatan Fungsional dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk.

Page 487: Dokumentasi dan Informasi Hukum

483

5. Jumlah tenaga fungsional ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.

6. Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatas diatur berdasarkan peraturan perundang­undangan.

7. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

8. satuan kerja perangkat daerah yang dapat didukung oleh kelompok jabatan fungsional, selambat­lambatnya 1 (satu) tahun setelah organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam peraturan daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dilakukan penyerasian dan penyesuaian sesuai ketentuan peraturan perundang­undangan.

H. Perangkat daerah yang ditetapkan menjadi badan layanan umum.

Pemerintah daerah yang menetapkan satuan kerja perangkat daerah menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

I. Perangkat daerah yang melaksanakan perijinan.

12. Dalam meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat dibidang perijinan yang bersifat lintas sektor dibentuk unit pelayanan terpadu, yang merupakan gabungan dari unsur­unsur sektor terkait tersebut.

13. Unit pelayanan terpadu tersebut didukung oleh sekretariat sebagai bagian dari perangkat daerah.

14. Pedoman organisasi dan tata kerja unit pelayanan terpadu tersebut, yang mengatur tugas, fungsi, susunan organisasi dan eselon lebih lanjut ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri yang membidangi Pendayagunaan Aparatur Negara.

J. Tata Kerja

1. Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan unit organisasi dan kelompok tenaga fungsional wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan masing­masing maupun antar satuan organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah serta dengan Instansi lain di luar Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas masing­masing.

2. Penjabaran Tatakerja masing­masing unit kerja perangkat daerah ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Perangkat Daerah, sesuai dengan bentuk dan cakupan ruang lingkup kerja masing­masing perangkat daerah.

Page 488: Dokumentasi dan Informasi Hukum

484

3. setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengawasi bawahannya masing­masing dan bila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah­langkah yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

4. setiap pimpinan organisasi bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan masing­masing dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.

5. setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk dan bertanggung jawab kepada atasan masing­masing dan menyiapkan laporan berkala tepat pada waktunya.

6. setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari bawahannya wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk kepada bawahan.

7. Dalam penyampaikan laporan masing­masing kepada atasan, tembusan laporan wajib disampaikan kepada satuan organisasi lain yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja.

8. Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan satuan organisasi dibawahnya dan dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahan masing­masing, wajib mengadakan rapat berkala.

K. Ketentuan Lain-lain.

1. Menteri Dalam Negeri melakukan fasilitasi, pemantauan dan evaluasi penataan kelembagaan perangkat daerah melalui pemberian pedoman dan petunjuk teknis, supervisi, asistensi dan kerjasama.

2. Penataan organisasi Inspektorat Provinsi, Kabupaten dan Kota, khususnya mengenai penetapan jabatan fungsional auditor dan pejabat pengawas pemerintah, apabila belum ditetapkan sesuai ketentuan perundang­undangan, maka untuk sementara dapat dibentuk jabatan eselon IV/a paling banyak 3 seksi pada masing­masing Inspektur Pembantu.

3. satuan kerja perangkat daerah yang dapat dipolakan berlaku secara nasional, yaitu Badan Kepegawaian Daerah, Inspektorat, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan ditetapkan pedoman teknis organisasi dan tatakerja dengan peraturan Menteri.

4. Pelaksanaan tugas bidang pelayanan pertanahan tidak perlu membentuk Dinas Pertanahan, tugas dan fungsinya diselenggarakan oleh masing­masing sKPD sesuai kewenangannya.

Page 489: Dokumentasi dan Informasi Hukum

485

5. Pembentukan UPT pada Dinas dan Badan dilakukan secara selektif dengan kriteria sifat tugasnya teknis operasional.

6. Pengaturan mengenai organisasi lembaga lain seperti lembaga penyuluhan, penanggulangan bencana, unit pelayanan perijinan terpadu, sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah, Badan Narkotika dan lain­lain akan diatur tersendiri, dan merupakan perangkat daerah di luar jumlah yang ditetapkan dalam kriteria.

7. Kelembagaan satuan Polisi Pamong Praja ditata sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang satuan Polisi Pamong Praja.

8. Dalam rangka efisiensi, jabatan kepala Tata Usaha pada Sekolah Menengah Kejuruan, sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sekolah Menengah Umum dan kepala Puskesmas tidak harus dijabat oleh pejabat struktural dan tugas fungsinya dapat dilaksanakan oleh tenaga fungsional.

9. Efektif pelaksanaan penataan kelembagaan perangkat daerah dilaksanakan selambat­lambatnya tanggal 23 Juli 2008 termasuk pengisian personil.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 Oktober 2007

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MARDIYANTO

Page 490: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 491: Dokumentasi dan Informasi Hukum

487

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 10 TAHUN 2006

TENTANG

PERPINDAHAN MENJADI PEGAWAI NEGERI SIPIL PUSAT DAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan karier sesuai dengan kompetensi Pegawai Negeri sipil perlu dilaksanakan perpindahan menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat dan Pegawai Negeri sipil Daerah;

b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 Tahun 2003 Tentang Perpindahan Pegawai Negeri sipil Pusat dan Pegawai Negeri sipil Daerah Menjadi Pegawai Negeri sipil Departemen Dalam Negeri tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b tersebut, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat dan Pegawai Negeri sipil Daerah;

Mengingat : 1. Undang­Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok­pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

2. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,

Page 492: Dokumentasi dan Informasi Hukum

488

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4262);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PERPINDAHAN MENJADI PEGAWAI NEGERI sIPIL PUsAT DAN PEGAWAI NEGERI sIPIL DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Pegawai Negeri sipil adalah Pegawai Negeri sipil Pusat dan Pegawai Negeri sipil Daerah.

2. Pegawai Negeri sipil Pusat adalah Pegawai Negeri sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen,

Page 493: Dokumentasi dan Informasi Hukum

489

Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kantor Menteri Negara Koordinator, Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Badan Narkotika Nasional, Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh Pejabat struktural Eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga­ Pemerintah Non Departemen, Instansi Vertikal di Daerah Provinsi/Kabupaten /Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.

3. Pegawai Negeri sipil Daerah adalah Pegawai Negeri sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.

4. Perpindahan adalah Mutasi Kepegawaian yang berakibat pada beralihnya jenis kepegawaian seorang Pegawai Negeri sipil.

5. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan Pegawai Negeri sipil berdasarkan peraturan perundang­undangan.

6. Pejabat yang berwenang pada Instansi Pusat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tnggi Negara, Kepala Pelaksana Harlan Badan Narkotika Nasional serta Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen.

7. Pendelegasian wewenang adalah Pelimpahan wewenang dari pejabat yang berwenang kepada pejabat lain di lingkungannya.

8. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri sipil berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

BAB IIPERPINDAHAN

Pasal 2

(1) Perpindahan Pegawai Negeri sipil Pusat menjadi Pegawai Negeri sipil Daerah atau sebaliknya harus memenuhi persyaratan.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. Persetujuan dari pejabat yang berwenang dalam bentuk surat Pernyataan Persetujuan;

Page 494: Dokumentasi dan Informasi Hukum

490

b. surat keterangan dari pejabat yang berwenang tidak sedang menjalani hukuman disiplin dan/atau dalam proses peradilan;

c. setiap unsur penilaian prestasi kerja dalam DP3 sekurang­kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;

d. surat keterangan dari pejabat yang berwenang tidak sedang menjalani tugas belajar.

Pasal 3

(1) selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Perpindahan Pegawai Negeri sipil Pusat/Daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat Departemen Dalam Negeri harus memenuhi basil pengamatan kompetensi.

(2) Pengamatan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sekurang­kurangnya bernilai baik.

Pasal 4

Perpindahan Pegawai Negeri sipil yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dikembalikan ke instansi yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Menteri Dalam Negeri berwenang menetapkan perpindahan :

a. Pegawai Negeri sipil Pusat dan Pegawai Negeri sipil Daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat Departemen Dalam Negeri;

b. Pegawai Negeri sipil Pusat menjadi Pegawai Negeri sipil Daerah;

c. Pegawai Negeri sipil Daerah antar Kabupaten/Kota dan antar Provinsi.

(2) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah mendapat pertimbangan teknis dari Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 6

(1) Pejabat yang berwenang pada instansi pusat menetapkan perpindahan Pegawai Negeri sipil Pusat dan Pegawai Negeri sipil Daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat di lingkungannya.

(2) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri dan pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(3) Formulir Persetujuan Menteri Dalam Negeri mengenai perpindahan Pegawai Negeri sipil tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini.

Page 495: Dokumentasi dan Informasi Hukum

491

Pasal 7

(1) Pejabat pembina kepegawaian daerah provinsi menetapkan perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Kabupaten/Kota ke Daerah Provinsi atau sebaliknya dalam 1 (satu) Provinsi.

(2) Penetapan oleh pejabat pembina kepegawalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 8

Pejabat berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7, dapat mendelegasikan wewenang kepada pejabat lain di lingkungannya sesuai peraturan perundang­undangan.

Pasal 9

Tata cara Perpindahan Pegawai Negeri sipil tercantum dalam Lampiran II Peraturan ini.

BAB IIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri ini, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 Tahun 2003 Tentang Perpindahan Pegawai Negeri sipil Pusat dan Daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat Departemen Dalam Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 11

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 19 Mei 2006

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MOH. MA’RUF , sE

Page 496: Dokumentasi dan Informasi Hukum
Page 497: Dokumentasi dan Informasi Hukum

493

LAMPIRAN I

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR : 10

TANGGAL: 8 Mei 2006

FORMULIR PERSETUJUAN MENTERI DALAM NEGERI

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, …………….

Kepada:

Nomor : Yth. Pimpinan Dep/Instansi

sifat : di

Lampiran : JAKARTA

Hal : Perpindahan PNsP/PNsD …

Menjadi PNsP …..

sehubungan dengan surat saudara Nomor ... Tanggal ... dan surat Gubernur/Bupati/Walikota ... Nomor ... Tanggal ... perihal tersebut di atas, dengan hormat diberitahukan sebagai berikut :

1. Menteri Dalam Negeri prinsipnya menyetujui perpindahan saudara ... …… NIP ... Pangkat/Gol... dari PNsP/PNsD ... menjadi PNsP ...;

2. sehubungan dengan itu, untuk proses lanjut agar saudara menetapkan keputusan tentang perpindahan dimaksud, dengan mencantumkan Nomor dan tanggal surat ini dan Pertimbangan Teknis Kepala BKN Nomor ….. Tanggal....

Demikian untuk maklum.

Page 498: Dokumentasi dan Informasi Hukum

494

a.n. MENTERI DALAM NEGERI

sEKRETARIs JENDERAL

(.................................. )

Tembusan disampaikan kepada :

1. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah

2. Kepala BKN

3. Gubernur

4. Bupati/Walikota

5. Kepala Bagian Perencanaan pada Biro Kepegawaian Depdagri.

MENTERI DALAM NEGERI

ttd

H. MOH. MA’RUF, sE

Page 499: Dokumentasi dan Informasi Hukum

495

LAMPIRAN II

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR : 10

TANGGAL : 8 Mei 2006

TATA CARA PERPINDAHAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

1. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Menjadi Pegawai Negeri sipil Departemen Dalam Negeri :

a. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Kabupaten/Kota

1) Usul perpindahan disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur dengan melampirkan :

- surat Pernyataan Persetujuan dari pejabat yang berwenang;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau dalam proses peradilan;

- surat Keterangan jumlah tambahan formasi tahun sebelumnya;

- surat Keterangan jumlah Pegawai Negeri sipil yang pindah ke Instansi lain;

- Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP­3) dalam 2 (dua) tahun terakhir;

surat Pernyataan tidak sedang menjalani tugas belajar;

­ Keputusan Pengangkatan dalam pangkat terakhir.

2) Gubernur menyampaikan usul perpindahan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal;

3) sekretaris Jenderal dalam hal ini Kepala Biro Kepegawaian melakukan:

a. Penelitian kelengkapan berkas perpindahan Pegawai Negeri sipil;

b. Penetapan Kebutuhan formasi di setiap komponen di lingkungan Departemen Dalam Negeri;

c. Koordinasi secara tertulis dengan pimpinan komponen di lingkungan Departemen Dalam Negeri;

d. Pengamatan kompetensi, setelah memenuhi persyaratan.

4) Pegawai Negeri sipil yang mencapai nilai baik dari hasil Pengamatan Kompetensi diproses lebih lanjut menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat

Page 500: Dokumentasi dan Informasi Hukum

496

Departemen Dalam Negeri sedangkan yang tidak memenuhi syarat tidak dapat diproses.

5) Perpindahan menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat Departemen Dalam Negeri ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara dan tembusannya disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.

b. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Provinsi

1) usul perpindahan disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal, dengan melampirkan :

- surat Pernyataan Persetujuan dari pejabat yang berwenang;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau dalam proses peradilan;

- surat Keterangan jumlah tambahan formasi tahun sebelumnya; surat Keterangan jumlah Pegawai Negeri sipil yang pindah ke Instansi lain;

- Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP­3) dalam 2 (dua) tahun terakhir;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani tugas belajar;

- Keputusan Pengangkatan dalam pangkat terakhir.

2) sekretaris Jenderal dalam hal ini Kepala Biro Kepegawaian me­lakukan:

a. Penelitiankelengkapan berkas perpindahan Pegawai Negeri sipil;

b. Penetapan Kebutuhan formasi komponen di lingkungan Departemen Dalam Negeri;

c. Koordinasi secara tertulis kepada pimpinan komponen di lingkungan Departemel Dalam Negeri;

d. Pengamatan kompetensi, setelah memenuhi persyaratan.

3) Pegawai Negeri sipil yang mencapai nilai baik dari hasil Pengamatan Kompetensi diproses lebih lanjut menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat Departemen Dalam Negeri sedangkan yang tidak memenuhi syarat tidak dapat diproses.

4) Perpindahan menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat Departemen Dalam Negeri ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara dan tembusannya disampaikan kepada Gubernur yang bersangkutan.

Page 501: Dokumentasi dan Informasi Hukum

497

2. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Menjadi Pegawai Negeri sipil Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota antar Provinsi:

a. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Kabupaten/Kota

1) Usul perpindahan disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur dengan melampirkan :

- surat Pernyataan Persetujuan dari pejabat yang berwenang;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau dalam proses peradilan;

- surat Keterangan jumlah tambahan formasi tahun sebelumnya;

- surat Keterangan jumlah Pegawai Negeri sipil yang pindah ke Instansi lain;

- Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP­3) dalam 2 (dua) tahun terakhir;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani tugas belajar;

- Keputusan Pengangkatan dalam pangkat terakhir.

2) Gubernur menyampaikan usul perpindahan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri cq. sekretaris Jenderal;

3) Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dapat menolak atau menyampaikan usul perpindahan dimaksud kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang dituju untuk dimintakan persetujuan dari pejabat yang berwenang;

4) Usul perpindahan yang telah mendapat persetujuan dari Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan, ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara, dan tembusannya disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota.

b. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Provinsi

1) Gubernur menyampaikan usul perpindahan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri cq. sekretaris Jenderal, dengan melampirkan ;

- surat Pernyataan Persetujuan dari pejabat yang berwenang;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau dalam proses peradilan;

- surat Keterangan jumlah tambahan formasi tahun sebelumnya;

- surat Keterangan jumlah Pegawai Negeri sipil yang pindah ke Instansi lain;

Page 502: Dokumentasi dan Informasi Hukum

498

- Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP­3) dalam 2 (dua) tahun terakhir;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani tugas belajar;

- Keputusan Pengangkatan dalam pangkat terakhir.

2) Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dapat menolak atau menyampaikan usul perpindahan dimaksud kepada Gubernur yang dituju untuk dimintakan persetujuan dari pejabat yang berwenang

3) Usul perpindahan yang telah mendapat persetujuan dari Gubernur yang bersangkutanr ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara, dan tembusannya disampaikan kepada Gubernur.

3. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat Lainnya :

a. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Kabupaten/Kota

1) Usul perpindahan disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur dengan melampirkan :

- surat Pernyataan Persetujuan dari pejabat yang berwenang;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau dalam proses peradilan;

- surat Keterangan jumlah tambahan formasi tahun sebelumnya;

- surat Keterangan jumlah Pegawai Negeri sipil yang pindah ke Instansi lain;

- Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP­3) dalam 2 (dua) tahun terakhir;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani tugas belajar;

- Keputusan Pengangkatan dalam pangkat terakhir.

2) Gubernur menyampaikan usul perpindahan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri cq. sekretaris Jenderal;

3) Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dapat menolak atau menyampaikan usul perpindahan kepada Pimpinan Departemen/Instansi untuk dimintakan persetujuan, dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota dan Pegawai Negeri sipil yang bersangkutan.

Page 503: Dokumentasi dan Informasi Hukum

499

4) Menteri Dalam Negeri menyampaikan persetujuan perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat lainnya setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara kepada Pimpinan Departemen/Instansi yang bersangkutan dengan tembusan kepada Gubernur/Bupati/Walikota.

5) Pimpinan Departemen/Instansi menetapkan perpindahan Pegawai Negeri sipil daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat di lingkungannya dengan tembusan antara lain disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri.

b. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah Provinsi

1) Usul perpindahan disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal dengan melampirkan :

- surat Pernyataan Persetujuan dari pejabat yang berwenang;

- surat Pernya’taan tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau dalam proses peradilan;

- surat Keterangan jumlah tambahan formasi tahun sebelumnya;

- surat Keterangan jumlah Pegawai Negeri sipil yang pindah ke Instansi lain;

- Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP­3) dalam 2 (dua) tahun terakhir;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani tugas belajar;

- Keputusan Pengangkatan dalam pangkat terakhir.

2) Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal menyampaikan usul perpindahan kepada Pimpinan Departemen/Instansi untuk dimintakan persetujuan, dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur dan Pegawai Negeri sipil yang bersangkutan.

3) Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dapat menolak atau­menyampaikan persetujuan perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat lainnya setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara kepada Pimpinan Departemen/Instansi yang bersangkutan dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur.

4) Pimpinan Departemen/Instansi menetapkan perpindahan Pegawai Negeri sipil Daerah menjadi Pegawai Negeri sipil Pusat di lingkungannya dengan tembusan antara lain disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri.

Page 504: Dokumentasi dan Informasi Hukum

500

4. Perpindahan Pegawai Negeri sipil Pusat menjadi Pegawai Negeri sipil Daerah

1) Usul perpindahan disampaikan oleh Pimpinan Departemen/Instansi kepada Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal dengan melampirkan :

- surat Pernyataan Persetujuan dari pejabat yang berwenang;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau dalam proses peradilan;

- Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP­3) dalam 2 (dua) tahun terakhir;

- surat Pernyataan tidak sedang menjalani tugas belajar;

- Keputusan Pengangkatan dalam pangkat terakhir.

2) Menteri Dalam Negeri Cq. sekretaris Jenderal menyampaikan usul perpindahan kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk dimintakan persetujuan, dengan tembusan disampaikan kepada Pimpinan Departemen/Instansi Pegawai Negeri sipil yang bersangkutan.

3) Menteri Dalam Negeri menetapkan keputusan tentang perpindahan Pegawai Negeri sipil Pusat menjadi Pegawai Negeri sipil Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara.

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MOH. MA’RUF , sE

Page 505: Dokumentasi dan Informasi Hukum

501

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 16 TAHUN 2006

TENTANG

PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib administrasi penyusunan produk hukum daerah perlu dilakukan penyeragaman prosedur secara terpadu dan terkoordinasi;

b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk­Produk Hukum Daerah tidak sesuai lagi dengan Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang­undangan, sehingga perlu diganti;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;

Mengingat : 1. Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang­undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia 4389);

2. Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang­Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,

Page 506: Dokumentasi dan Informasi Hukum

502

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PROsEDUR PENYUsUNAN PRODUK HUKUM DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Prosedur penyusunan produk hukum daerah adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak perencanaan sampai dengan penetapan.

2. Produk hukum daerah adalah peraturarj daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3. Kepala daerah adalah gubernur atau bppati/walikota.

4. Daerah adalah provinsi dan kabupaten/kota.

5. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis.

BAB IIPRODUK HUKUM DAERAH

Pasal 2

Produk hukum daerah bersifat pengaturan dan penetapan.

Pasal 3

(1) Produk hukum daerah bersifat pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:

a. Peraturan daerah atau sebutan lain;

b. Peraturan kepala daerah; dan

c. Peraturan bersama kepala daerah.

Page 507: Dokumentasi dan Informasi Hukum

503

(2) Produk hukum daerah bersifat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:a. Keputusan kepala daerah; danb. Instruksi kepala daerah.

BAB IIIPROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM

Bagian PertamaProduk Hukum Bersifat Pengaturan

Pasal 4

Penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan Prolegda.

Pasal 5

(1) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah menyusun rancangan produk hukum daerah.

(2) Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Biro Hukum atau Bagian Hukum.

(3) Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibentuk Tim Antar satuan Kerja Perangkat Daerah.

(4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diketuai oleh Pimpinan satuan Kerja Perangkat Daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah dan Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai sekretaris.

Pasal 6

(1) Rancangan produk hukum daerah dilakukan pembahasan dengan Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja perangkat daerah terkait.

(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menitikberatkan permasalahan yang bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan.

Pasal 7

Ketua Tim Antar satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk hukum daerah dan/atau permasalahan kepada sekretaris Daerah untuk memperofeh arahan.

Page 508: Dokumentasi dan Informasi Hukum

504

Pasal 8

(1) Rancangan produk hukum daerah yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah terkait.

(2) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah atau pejabat yang ditunjuk mengajukan rancangan produk hukum daerah yang telah mendapat paraf koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Daerah melalui sekretaris Daerah.

Pasal 9

(1) sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah yang telah diparaf koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).

(2) Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa.

(3) Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan pimpinan satuan perangkat daerah terkait.

Pasal 10

Produk hukum daerah berupa rancangan peraturan daerah atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan pembahasan.

Pasal 11

Dalam rangka pembahasan peraturan daerah atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh sekretaris Daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Pasal 12

Pembahasan rancangan peraturan daerah atau sebutan lainnya atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh sekretaris Daerah atau Pimpinan satuan Kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Page 509: Dokumentasi dan Informasi Hukum

505

Pasal 13

Pembahasan rancangan peraturan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik atas inisiatif pemerintah maupun atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dibentuk tim asistensi dengan sekretariat berada pada Biro Hukum atau Bagian Hukum.

Bagian KeduaProduk Hukum Bersifat Penetapan

Pasal 14

(1) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah penyusun produk hukum daerah yang bersifat penetapan sesuai dengan tugas dan fungsi masing­masing.

(2) Produk hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada sekretaris daerah setelah mendapat paraf koordinasi dari Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

Pasal 15

(1) Produk hukum daerah yang bersifat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditandatangani oleh Kepala Daerah.

(2) Penandatanganan produk hukum daerah yang bersifat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada sekretaris Daerah.

BAB IVPENOMORAN AUTENTIFIKASI, PENGGANDAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN

PENDOKUMENTASIAN PRODUK HUKUM DAERAH

Pasal 16

(1) Penomoran produk hukum daerah dilakukan oleh Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum sekretariat daerah.

(2) Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat pengaturan menggunakan nomor bulat.

(3) Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat penetapan mengggunakan nomor kode kiasifikasi.

Pasal 17

Produk hukum dalam bentuk peraturan daerah atau sebutan lainnya yang telah ditetapkan dan diberikan nomor harus diundangkan dalam lembaran daerah.

Page 510: Dokumentasi dan Informasi Hukum

506

Pasal 18

Produk hukum dalam bentuk peraturan kepala daerah dan peraturan bersama kepala daerah serta produk hukum yang bersifat penetapan tertentu yang telah ditetapkan dan diberikan nomor harus diumumkan dalam berita daerah.

Pasal 19

(1) Pengundangan peraturan daerah atau sebutan lainnya dan pengumuman peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 dilakukan oleh sekretaris Daerah.

(2) Pengundangan peraturan daerah atau sebutan lainnya dan pengumuman peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

Pasal 20

(1) Produk hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 sebelum disebarluaskan harus terlebih dahulu dilakukan autentifikasi.

(2) Autentifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

BAB VPEMBIAYAAN

Pasal 21

Pembiayaan berkaitan dengan penyusunan produk hukum daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB VIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 22

Penggandaan, pendistribusian dan pendokumentasian produk hukum daerah dilakukan oleh Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa.

Pasal 23

sosialisasi produk hukum dilakukan secara bersama­sama Biro Hukum atau Bagian Hukum dengan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa.

Page 511: Dokumentasi dan Informasi Hukum

507

BAB VIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk­Produk Hukum Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 25

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 19 Mei 2006

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

H. MOH. MA’RUF , sE

Page 512: Dokumentasi dan Informasi Hukum