PENGARUH KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP MUTU LAYANAN PENDIDIKAN PADA SLB DI KABUPATEN CIAMIS TESIS : Oleh : JAHIDIN NIM 82320607150 Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Bidang Kajian Manajemen Sistem Pendidikan 1
335
Embed
Doc Retrieval - Jahidinjayawinata61's Blog Web viewpengaruh kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan pada slb di kabupaten ciamis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGARUH KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP MUTU LAYANAN PENDIDIKAN PADA
SLB DI KABUPATEN CIAMIS
TESIS :
Oleh :JAHIDIN
NIM 82320607150Program Studi Magister Manajemen Pendidikan
Bidang Kajian Manajemen Sistem Pendidikan
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS GALUH
CIAMIS2007
1
LEMBAR PENGESAHAN
PENGARUH KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP MUTU LAYANAN
PENDIDIKAN PADA SLB DI KABUPATEN CIAMIS
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing pada tanggal seperti tertera di bawah ini
Ciamis, 10 April 2008
PEMBIMBING I,
Prof. DR. H. Djam’an Satori, M.A.
PEMBIMBING II,
Drs. Yagus Triana, M.Pd.
2
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Jahidin
NIM : 82320607150
Angkatan/Tahun Akademik : VII/2006/2007
Judul : Pengaruh Kompetensi Kepala Sekolah dan
Partisipasi Masyarakat Terhadap Mutu Layanan
Pendidikan pada SLB di Kabupaten Ciamis
Adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan
plagiatisme atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang
berlaku dalam tradisi keilmuan. Atas pernyataan ini saya siap menerima
tindakan/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan
adanya pelanggaran atas etika akademik dalam karya saya ini, atau ada klaim
terhadap keaslian karya saya ini.
Ciamis, 10 April 2008 Yang membuat pernyataan,
Jahidin, Drs. NIM : 82320607150
3
ABSTRAK
Sejalan dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah, penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap tentang mutu layanan pendidikan yang dilakukan pada SLB di Kabupaten Ciamis, serta mengungkap faktor-faktor yang dipandang turut menentukan mutu layanan pendidikan, yakni Kompetensi Kepala Sekolah sesuai dengan Permendiknas No. 13 tahun 2007 dan Partisipasi Masyarakat yang semakin diharapkan untuk mengikuti paradigma baru pendidikan yang berkembang ke arah sistem desentralisasi pendidikan, sehingga peran serta masyarakat semakin diperlukan.
Penelitian dilakukan pada SLB di Kabupaten Ciamis dari 11 SLB yang sudah lama berdiri dengan jumlah guru 106 orang diambil 51 orang responden sebagai sampel penelitian.
Dalam penelitian ini ada tiga variabel penelitian yang terdiri dari dua variabel bebas yaitu Kompetensi Kepala Sekolah ( X1), dan Partisipasi Masyarakat ( X2 ), serta satu variabel terikat yaitu Mutu Layanan Pendidikan ( Y ). Kompetensi kepala sekolah ditinjau berdasarkan Permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah. Partisipasi masyarakat dilihat dari aspek sumber partisipasi, mekanisme partisipasi, dan bentuk partisipasi masyarakat. Mutu layanan pendidikan ditinjau sesuai dengan Standar nasional Pendidikan yaitu PP 19 tahun 2005.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menggambarkan bahwa mutu layanan pendidikan pada SLB di Kabupaten Ciamis cukup baik dengan mencapai nilai 79,63 % dari standar mutu yang dijadikan kriteria penilaian. Hal itu sejalan dengan kompetensi kepala sekolah yang mencapai skor 76,8 % dari kompetensi yang dipersyaratkan dan paartisipasi masyarakat mencapai 63,94 %. Hasil uji hipotesis membuktikan bahwa kompetensi kepala sekolah berpengaruh terhadap mutu layanan pendidikan dengan persentase kontribusi sebesar 28,70 %, dan partisipasi masyarakat berkontribusi terhadap mutu layanan pendidikan sebesar 18,58 %. Secara bersama-sama kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap mutu layanan pendidikan sebesar 34,11 % dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.
Berdasarkan pada hasil penelitian di atas direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, da masyarakat sebagai berikut : (1) Perlunya meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kepala sekolah sesuai dengan tupoksinya. (2) Perlu dicarikan strategi dan upaya dalam menggali dan mendorong masyarakat agar mau berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. (3) Semua personel yang ada di sekolah diupayakan untuk memahami dan merealisassikan Standar Nasional Pendidikan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan. (4) Kepada para peneliti selanjutnya diharapkan untuk dapat mengungkap faktor-faktor lain selain kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat yang berpengaruh terhadap mutu layanan pendidikan.
Sesuai dengan hasil penelitian dan studi kepustakaan, bahwa untuk mewujudkan layanan pendidikan yang bermutu harus ada kerjasama serta
4
memberdayakan seluruh stakeholders pendidikan yang dimotori oleh kepala sekolah.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul : ”Pengaruh kompetensi
Kepala Sekolah dan Partisipasi Masyarakat terhadap Mutu Layanan Pendidikan
pada SLB di Kabupaten Ciamis”. Tulisan ini merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Manajemen Pendidikan di
Pasca Sarjana Universitas Galuh Ciamis.
Selesainya penelitian dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari
dukungan berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis
menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Yth :
1. Prof. DR. H.S. Koswara, selaku Rektor Universitas Galuh Ciamis,
2. Prof. DR. Suryana, M.Si. selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas
Galuh Ciamis,
3. Drs. H. Adun Rusyana, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Magister
Manajemen Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Galuh Ciamis,
4. Prof. DR. Djam’an Satori, M.A. sebagai Pembimbing I dalam penyusunan
tesis,
5. Drs. Yagus Triana, M.Pd. sebagai Pembimbing II dalam penyusunan tesis,
6. Seluruh dosen dan asisten dosen serta seluruh staf tata usaha Program Studi
Magister Manajemen Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Galuh
5
Ciamis, yang telah memberikan arahan dan tambahan wawasan ilmu
pengetahuan selama perkuliahan,
7. Ketua Gugus SLB Kabupaten Ciamis yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melakukan penelitian di SLB Kabupaten Ciamis,
8. Para Kepala Sekolah dan guru-guru SLB di Kabupaten Ciamis yang telah
berkenan menjadi responden dalam penelitian,
9. Seluruh rekan mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Pendidikan
Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................... 117
11
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kisi-kisi dan Instrumen Penelitian
Lampiran 2 : Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Kompetensi Kepala
Sekolah ( X1 )
Lampiran 3 : Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Partisipasi Masyarakat
( X2 )
Lampiran 4 : Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Mutu Layanan
Pendidikan ( Y )
Lampiran 5 : Daftar Tabel Statistik
Lampiran 6 : Daftar Lambang dan Singkatan
Lampiran 7 : SK Pembimbing Penelitian
Lampiran 8 : Surat Pengantar Penelitian
Lampiran 9 : Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 10: Daftar Riwayat Hidup Penulis
12
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
X1 : Kompetensi Kepala Sekolah
X2 : Partisipasi Masyarakat
Y : Mutu Layanan Pendidikan
r : Koefisien korelasi
n : Jumlah Responden
dk : Derajat kebebasan
H : Hipotesis
α : Signifikansi
R : Koefisien Korelasi Ganda
N : Jumlah populasi
e : Nilainkritis
t : Hasil uji t
Fhitung : Hasil perhitungan uji signifikansi korelasi ganda
k : jumlah variabel bebas
M : Rata-rata
Σ : Jumlah
SLB : Sekolah Luar Biasa
SNP : Standar Nasional Pendidikan
KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
ALI : Analisis Lingkungan Internal
13
ALE : Analisis Lingkungan Eksternal
PAKEM : Pembelajaran Aktif Kreatif Menyenangkan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam ketentuan umum UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 1
dikemukakan bahwa : “Proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan,
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara” (UU Sisdiknas, 2006 :
72). Bertitik tolak dari tujuan itulah setiap lembaga pendidikan hendaknya
bergerak dari awal hingga akhir sampai titik tujuan suatu proses pendidikan, yang
pada akhirnya dapat “mewujudkan terjadinya pembelajaran sebagai suatu proses
aktualisasi potensi peserta didik menjadi kompetensi yang dapat dimanfaatkan
atau digunakan dalam kehidupan” (Hari Suderadjat, 2005 : 6).
Syafaruddin (2002 :87) mengemukakan bahwa : “Dalam system
pendidikan nasional Indonesia sekolah memiliki peranan strategis sebagai institusi
penyelenggra kegiatan pendidikan.” Oleh karena itu, jelaslah bahwa sekolah
memiliki dan mengemban tugas yang berat tetapi penting. Berat karena harus
selalu berperang menghadapi berbagai kelemahan, ancaman dan tantangan guna
menselaraskan program-program kegiatan yang terealisir dengan dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang bergerak demikian
cepat. Penting, karena tugas-tugas dan fungsi sekolah sangat diperlukan untuk
14
mengembangkan potensi manusia demi kelangsungan hidupnya yang harus selalu
dinamis dan optimis.
Tentang peranan sekolah dikemukakan oleh H. Hadari Nawawi (1982 :27)
sebagai berikut :
Peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi manusia yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat. Kegiatan untuk mengembangkan potensi itu harus dilakukan secara berencana, terarah dan sistematik guna mencapai tujuan tertentu. …. Oleh karena itulah, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sekolah adalah meneruskan, mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan suatu masyarakat yang menyelenggarakan sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Melihat kedudukan sekolah yang demikian pentingnya Syafaruddin (2002
: 88) mengatakan bahwa : “ sekolah menjadi pusat dinamika masyarakat.
Keberadaan sekolah menjadi institusi sosial yang menentukan pembinaan pribadi
anak dan sosialisasi serta pembudayaan suatu bangsa.”
Di balik fungsi dan peranan sekolah yang sangat esensial bagi
perkembangan pribadi peserta didik, masyarakat dan bangsa, serta tingginya
harapan masyarakat terhadap sekolah ada satu realita yang masih jauh dari apa
yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain lembaga-lembaga sekolah
masih berkualitas rendah dan belum dapat memenuhi harapan masyarakat. Hal itu
tercermin dari rendahnya kualitas lulusan sekolah yang diekspresikan dengan
banyaknya pengangguran lulusan sekolah dan timbulnya gejala-gejala
kemerosotan mental dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam realita
keseharian terlihat meningkatnya kejahatan-kejahatan sebagai cerminan masih
rendahnya kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Gambaran di atas sesuai
15
dengan yang dikemukakan oleh Hari Suderadjat (2005 : 4) yang mengemukakan
bahwa “lulusan sekolah khususnya di Indonesia dinilai bermutu rendah dalam
komparasi Internasional”.
Sejalan dengan pendapat Hari Suderajat dikemukakan pula tentang
lemahnya mutu pendidikan kita oleh Syafaruddin (2002 : 19) sebagai berikut :
Dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih orientasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa.
Berangkat dari kenyataan di atas maka mau tidak mau harus dilakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan sekolah sehingga menjadi
lembaga pendidikan yang efektif dan produktif. Terwujudnya sekolah yang efektif
dan produktif merupakan suatu ciri bahwa sekolah itu berhasil dalam mengemban
dan menjalankan tugas dan fungsinya. Sondng P. Siagian (dalam Syafaruddin,
2002 : 97) mengemukakan bahwa : “Organisasi yang berhasil adalah organisasi
yang tingkat efektivitas dan produktivitasnya makin lama makin tinggi.” Oleh
sebab itu, dikemukakan Sondang P. Siagian (2002 : 1) bahwa :”Produktivitas
suatu organiasasi harus selalu dapat diupayakan untuk terus ditingkatkan, terlepas
dari tujuannya, misinya, jenisnya, strukturnya, dan ukurannya. Aksioma tersebut
berlaku bagi semua jenis organisasi.” Jadi, sesuai dengan pendapat tersebut,
16
tentunya termasuk di dalamnya organisasi pendidikan atau sekolah harus
melakukan berbagai upaya guna meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya,
sehingga apa yang diharapkan dapat dicapai secara optimal.
Untuk melihat keberhasilan suatu sekolah tentu harus diukur dengan
kriteria sebagaimana dikemukakan Sergiovanni dan Carver (H.M. Daryanto, 2006
: 17) bahwa ada empat tujuan yaitu :
Efektivitas produksi, efisiensi, kemampuan menyesuaikn diri (adaptiveness), dan kepuasan kerja, dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu penyelenggaraan sekolah. Efektivitas produksi, yang berarti menghasilkan sejumlah lulusan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku.
Menelaah perkembangan yang terjadi di sekolah dan lulusan sekolah
sebagai refleksi dari kualitas layanan pendidikan dibandingkan dengan PP No. 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang di dalamnya meliputi : (1)
Sandar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar
Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian Pendidikan,
ternyata masih banyak kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Hal ini
terlihat dengan masih rendahnya mutu kompetensi lulusan, masih kurangnya
profesionalisme guru dalam mengelola pembelajaran, masih banyaknya guru yang
belum berkualifikasi akademik S1, masih rendahnya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan masyarkat, dan sebagainya. Dengan kata lain, fenomena yang terlihat
dalam lembaga pendidikan sekolah saat ini masih rendah mutu layanannya.
Kualitas layanan pendidikan tersebut dicerminkan dengan suatu ukuran tingkat
daya hasil suatu program yang menjadi tanggung jawab sekolah.
17
Demikian pentingnya masalah mutu layanan pendidikan sehingga mempunyai
kaitan yang sangat erat dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Greiner (2000) dan Riportela Couste dan
Torres (2001) . (Tersedia :http/Google.pakguruonline ) sebagai berikut :
Perhatian pada mutu layanan pendidikan yang menekankan pada kepuasan siswa muncul dalam rangka menarik para calon siswa, melayani dan mempertahankan mereka. Peningkatan mutu pendidikan termasuk di dalamnya mutu layanan akademik dan mutu pengajaran merupakan upaya-upaya yang harus dilakukan agar kepuasan pelanggan dapat diberikan secara optimal. Namun pada beberapa masalah layanan pendidikan pada sebagian besar lembaga pendidikan di Indonesia menjadi kendala dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Dalam upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah tidak
dapat terlepas dan harus didukung oleh berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders) diantaranya pihak masyarakat. Hal ini penting karena masyarakat
memiliki peran yang sangat diperlukan oleh sekolah. Mengenai hal ini
diungkapkan dalam UU Sisdiknas tahun 2003 (Hadiyanto, 2004 : 85) sebagai
berikut
1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. 2) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Peranan-peranan itulah yang diperlukan dari pihak masyarakat guna
meningkatkan mutu layanan penidikan di sekolah. Diperoleh beberapa
keuntungan dengan adanya partisipasi masyarakat. Dikemukakan oleh Aan
Komariah dan Cepi Tritna (2006 : 5) bahwa : “Keputusan tentang bagaimana
berlangsungnya sekolah yang didasarkan atas partisipasi diharapkan akan dapat
18
menumbuhkan rasa memiliki bagi semua kelompok kepentingan sekolah.”
Dengan adanya rasa memiliki maka akan tumbuh rasa tanggung jawab terhadap
berlangsungnya pendidikan di sekolah yang pada saatnya akan membuahkan
tingginya mutu layanan pendidikan di sekolah. Karena dengan adanya rasa
tanggung jawab masyarakat, akan memberikan peranan yang lebih intensip sesuai
dengan hak-haknya sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan Mendiknas Nomor
044/U/2002, tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (Hadiyanto,
2004 :87) bahwa masyarakat akan berperanan sebagai :
1) Pemberi pertimbangan (advisory agency), dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan;
2) Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan;
3) Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa dalam rangka meningkatkan
mutu layanan pendidikan di sekolah sangat diperlukan partisipasi secara aktif dari
masyarakat. Dengan kerja sama yang optimal berbagai permaslahan dan kendala-
kendala yang dihadapi akan lebih mudah diatasinya. Dikemukakan oleh Suharman
(8 May 2007 : Tersedia : http//radarlampung.co.id) sebagai berikut :
Pertisipasi orang tua siswa atau masyarakat merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan desentralisasi pendidikan dalam bentuk manajemen berbasis sekolah atau otonomi sekolah. Partisipasi orang tua yang diukur antara lain, (1) partisipasi dalam ikut menentukan kebijakan program, (2) ikut mengawasi pelaksanaan kebijakan dan program sekolah, (3) pertemuan rutin sekolah, (4) kegiatan ekstra kurikuler, (5) pengawasan mutu sekolah, (6) pertemuan masyarakat, (7) membiayai pendidikan, (8) mengembangkan iklim sekolah, dan (9) pengembangan sarana dan prasarana fisik sekolah.
19
Dukungan masyarakat berkaitan dengan hal-hal di atas yaitu bahwa masyarakat
berperan sebagai pemberi pertimbangan (advisor agency), pendukung (supporting
agency) dan pengontrol (controlling agency) dan selanjutnya masyarakat akan :
… memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai kebijakan dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah, kriteria kinerja satuan pendidikan, tenaga kependidikan, fasilitas pendidikan, dan hal-hal yang terkait pendidikan. (8 May 2007 : Tersedia : http//radarlampung.co.id)
Upaya-upaya yang dilakukan sekolah dengan menggalang kerja sama
dengan masyarakat, singkatnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
yang di dalamnya tak lepas dari faktor mutu layanan pendidikan yang diberikan
oleh pihak sekolah kepada para siswa yang pada akhirnya memberikan kepuasan
kepada para pelanggan lainnya (orang tua, masyarakat, dan dunia usaha). Aan
Komariah dan Cepi Triatna (2006 : 9) mengatakan : “Dengan demikian,
pengertian mutu tidak dapat dilepaskan dari kepuasan pelanggan.” Oleh karena
itu, dalam memberikan layanan pendidikan agar dapat memberikan kepuasan
kepada pelanggan diperlukan berbagai upaya agar terwujud layanan pendidikan
yang berkualitas. Salah satu upaya yang dapat ditempuh yakni dengan
memberdayakan dan mendorong masyarakat agar mau berpartisipasi dalam
pendidikan di sekolah.
Namun demikian perlu disadari karena kompleksitasnya problematika
yang terjadi di masyarakat, maka keterjalinan hubungan yang harmonis dan
kerjasama yang sinergi antara pihak sekolah dengan pihak masyarakat tidak akan
terjadi begitu saja tanpa diupayakan. E. Mulyasa (2006 :163) mengatakan bahwa
“Jalinan semacam itu dapat terjadi jika kepala sekolah aktif dan dapat membangun
20
hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme).” Pernyataan ini
mengandung makna bahwa seorang kepala sekolah harus memiliki ketangguhan
dalam menjalankan tugas-tugasnya agar dapat meningkatkan mutu layanan
pendidikan. Dalam Media Informasi dan Komunikasi Guru Indonesia dikatakan
(Tersedia : http//www.geoceties.com/pakguruonline) bahwa kepala sekolah yang
tangguh yaitu :”kepala sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengelola dan
memimpin sekolahnya sebagai system”.
Pada level operasional pendidikan yakni di sekolah, orang yang berada
pada garis terdepan adalah kepala sekolah. Sebagai orang yang ada pada jajaran
terdepan di sekolah tentunya kepala sekolah mempunyai peran yang sangat
penting bagi kemajuan pendidikan di sekolahnya. Semua personel dan fasilitas
yang ada tidak akan berarti apa-apa tanpa pengelolaan dan pemberdayaan dari
kepala sekolah. Oleh karenanya, yang bertugas untuk mengkoordinasikan
berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah adalah kepala
sekolah. Sebagai pimpinan satuan pendidikan, kepala sekolah memiliki fungsi dan
peranan yang sama dengan manajer-manajer unit kerja atau perusahaan lainnya.
Bahkan kepala sekolah mempunyai tugas yang lebih dan tidak ringan bila
dibandingkan dengan pimpinan sebuah perusahaan yang hanya memproduksi
barang-barang benda mati. Kepala sekolah lebih dari itu karena yang dipimpin
dan dikelolanya dalam lembaga pendidikan adalah manusia, yang tentunya
mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, dan karakter yang berbeda-beda. Untuk
dapat menjalankan tugas dan fungsinya seorang kepala sekolah tidak saja harus
mempunyai berbagai kompetensi tetapi juga harus mempunyai visi dan misi dari
lembaga yang dipimpinnya. Mengenai hal ini dikemukakan oleh Agus Dharma
(30 April 2003, Tersedia : http//Google.pakguruonline.AgusDharma) sebagai
berikut :
Kepemimpinan pendidikan mengacu pada kualitas tertentu yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat mengemban tanggung jawabnya secara berhasil. Apa saja kualitas itu ? Pertama, kepala sekolah harus tahu persis apa yang ingin dicapainya (visi) dan bagaimana mencapainya (misi). Kedua, kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi untuk melaksanakan misi guna mewujudkan visi itu. Dan ketiga, kepala sekolah harus memiliki karakter tertentu yang menunjukkan integritasnya.
Akan sangat janggal bila seorang kepala sekolah tidak mengetahui secara
persis apa visi sekolahnya serta bagaimana cara mencapai visi tersebut. Lebih
ironis lagi bila sorang kepala sekolah tidak memahami benar arti visi dan misi itu
sendiri. Kepala sekolah yang profesional akan berupaya memahami visi
sekolahnya dan berupaya untuk mewujudkannya secara konsisten.
Kepala sekolah mempunyai kedudukan yang menentukan dalam mencapai
keberhasilan di sekolah. Bila kepala sekolah mampu memberdayakan semua
potensi yang ada maka akan sampailah ke arah tujuan yang dicita-citakan, dan
sebaliknya bila kepala sekolah tidak memiliki kemampuan maka akan terciptalah
suatu keterpurukan. Dengan demikian tampak begitu kuatnya kompetensi kepala
sekolah berpengaruh terhadap kinerjanya sehingga sangat logis bahwa rendahnya
mutu layanan pendidikan di sekolah salah satunya disebabkan karena kompetensi
kepala sekolah yang belum memenuhi kriteria. Dikemukakan oleh E.Mulyasa
(2006 :158) bahwa : “Kegagalan dan keberhasilan sekolah banyak ditentukan oleh
kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah
yang hendak ditempuh oleh sekolah menuju tujuannya.”
22
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil simpulan bahwa kompetensi
kepala sekolah dapat berperan dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan di
sekolah. Oleh karena itu pula, setiap kepala sekolah harus selalu berupaya untuk
meningkatkan kompetensinya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam PP RI No.
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 38.
Bertitik tolak dari uraian-uraian dan permasalahan di atas yang
mengungkapkan betapa pentingnya peran keterlibatan masyarakat dan kompetensi
kepala sekolah dalam upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah,
maka penulis memandang perlu mengadakan penelitian yang berkaitan dengan
permasalahan di atas. Adapun judul penelitian yang diambil adalah :
“PENGARUH KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT TERHADAP MUTU LAYANAN PENDIDIKAN PADA
SEKOLAH LUAR BIASA DI KABUPATEN CIAMIS”.
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Suatu permasalahan yang muncul dalam dunia pendidikan diantaranya
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data IPM
(Indek Pembanguan Manusia) Indonesia “Pada tahun 2004 Indonesia berada pada
ranking 111, dari 127 negara yang diukur. Data tersebut memperkuat laporan
Mendiknas dalam Rakorkesra tahun 2001, bahwa mutu pendidikan di Indonesia
rendah dalam komparasi Internasional” (Hari Suderadjat, 2005 : 3). Rendahnya
IPM di Indonesia ini mencerminkan bahwa mutu lulusan pendidikan sekolah di
23
Indonesia masih rendah. Rendahnya mutu lulusaan sekolah memberikan
gambaran bahwa mutu layanan pendidikan di Indonesia masih belum mencapai
sasaran yang diharapkan. Karena lulusan yang kurang bermutu merupakan satu
unsur yang mencerminkan bahwa mutu layanan pendidikan yang ada masih
rendah.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi mutu layanan pendidikan di
sekolah, mulai kurikulum, kompetensi guru, kompetensi kepala sekolah,
partisipasi masyarakat, sarana prasarana, letak geografis, sosial budaya dan adat
istiadat masyarakat setempat, dan sebagainya. Seluruh unsur yang turut
berpengaruh terhadap peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah, apabila
tidak disediakan dan dikelola dengan baik maka akan dapat menimbulkan
permasalahan yang pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya mutu pendidikan
sebagai cerminan rendahnya mutu layanan yang diberikan. Masyarakat sebagai
salah satu stakeholders pendidikan memiliki banyak peranan yang berguna untuk
meningkatkan mutu layanan pendidikan, sehingga apabila di sekolah tidak ada
partisipasi dari pihak masyarakat sudah dapat diduga bahwa permasalahan akan
timbul, seperti rendahnya mutu layanan pendidikan di sekolah. Begitu pula
apabila sekolah dikelola oleh seorang kepala sekolah yang berkompetensi rendah
maka tidak dapat diharapkan adanya mutu layanan pendidikan yang tinggi.
Sesuai dengan gambaran-gambaran di atas dalam upaya perbaikan mutu
pendidikan di sekolah, maka sebagai sumbangan pemikiran untuk bahan masukan
bagi dunia pendidikan, dalam penelitian ini menggarisbawahi permasalahan yang
berkenaan dengan mutu layanan pendidikan, serta faktor-faktor yang dapat
24
mempengaruhinya, yakni faktor keterlibatan masyarakat dan kompetensi kepala
sekolah.
1.2.2 Perumusan Masalah
Ada tiga pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu
masalah kompetensi kepala sekolah, partisipasi masyarakat, dan mutu layanan
pendidikan. Untuk memperoleh gambaran yang jelas, sebelum sampai pada
perumusan masalah terlebih dahulu perlu diuraikan pengertian-pengertian atau
definiasi dari ketiga pokok permasalahan tersebut di atas sebagai berikut :
Kompetensi kepala sekolah. Kompetensi adalah suatu kemampuan yang
berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Kemampuan tersebut sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi dari jabatan orang yang bersangkutan, dalam hal ini adalah kepala
sekolah. Kompetensi kepala sekolah agar dapat meningkatkan mutu layanan
pendidikan, minimal harus sesuai dengan standar kompetensi yang ditentukan
oleh BSNP yaitu memiliki kompetensi kepribadian, manajerial, supervisi,
kewirausahaan, dan kompetensi sosial.
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan maksudnya adalah keikutsertaan
masyarakat secara nyata dalam upaya mengembangkan pendidikan di sekolah
baik berupa moril maupun material. Masyarakat di sini mencakup orang tua
murid dan tokoh-tokoh masyarakat setempat (pemerhati pendidikan, ulama,
budayawan, pelaku bisnis, dan masyarakat terinstitusi seperti lurah, camat, utusan
dinas pendidikan, dan sebagainya. Peranan masyarakat dalam pendidikan dapat
25
memberikan masukan-masukan ide atau gagasan, harapan-harapan, kontrol,
evaluasi, dan memberikan dukungan dana atau fasilitas yang diperlukan dalam
rangka memberikan layanan pendidikan yang berkualitas.
Layanan pendidikan merupakan proses yang mencakup setiap kegiatan
yang diselenggarakan oleh sekolah yang diberikan kepada murid-murid dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan, termasuk penggunaan fasilitas-fasilitas
pendukungnya. Mutu yaitu suatu keadaan yang dapat memuaskan para konsumen
karena sesuai atau melebihi dari yang diharapannya, serta dilihat dari pihak
sekolah bahwa hasil atau layanan yang diberikan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan oleh sekolah tanpa ada kecacatan (zero defect).
Sesuai dengan pokok permasalahan tersebut di atas, masalah-masalah yang
dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimakah pengaruh kompetensi kepala sekolah terhadap mutu layanan
pendidikan pada SLB Kabupaten Ciamis ?
2. Bagaiamakah pengaruh partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan
pendidikan pada SLB Kabupaten Ciamis ?
3. Bagaimanakah pengaruh kompetensi kepala sekolah dan partisipasi
masyarakat secara bersama-sama terhadap mutu layanan pendidikan pada
SLB Kabupaten Ciamis ?
1.2.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.2.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi,
26
mendeskripsikan, dan menganalisa pengaruh kompetensi kepala sekolah dan
partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan di SLB Kabupaten
Ciamis. Hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dimaksudkan untuk bahan
masukan bagi dunia pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu layanan
pendidikan di sekolah.
1.2.3.2 Tujuan Penelitian
Secara khusus tujuan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh kompetensi kepala sekolah terhadap mutu
layanan pendidikan pada SLB Kabupaten Ciamis.
2. Untuk mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan
pendidikan pada SLB Kabupaten Ciamis.
3. Untuk mengetahui pengaruh kompetensi kepala sekolah dan partisipasi
masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan pada SLB Kabupaten Ciamis.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
Secara teoritis manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
digunakan sebagai sumbangan pemikiran yang dapat memperkaya teori dan
kepustakaan pendidikan. Manfaat dimaksud khususnya yang berkaitan dengan
kompetensi kepala sekolah dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya
meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah.
27
1.4.2 Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan hal-hal praktis, yakni
memberikan kontribusi bagi sekolah-sekolah dengan memberdayakan masyarakat
untuk kepentingan pendidikan. Hasil penelitian ini juga diharapkan akan menjadi
pendorong bagi para kepala sekolah untuk meningkatkan kompetensinya. Dan
pada akhirnya tiap sekolah akan berupaya meningkatkan mutu layanan khususnya
melalui peningkatan kompetensi kepala sekolah dan melalui pemberdayaan
masyarakat
28
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Kompetensi Kepala Sekolah
2.1.1.1 Pengertian Kompetensi Kepala Sekolah
Untuk menghindari kesalahan persepsi dalam membaca pembahasan ini
pada bagian ini terlebih dahulu diketengahkan pengertian-pengertian tentang
”kompetensi”. Dalam buku kurikulum 2006 Panduan Penyusunan KTSP dari
Depdiknas (2006 : 57) dikemukakan bahwa ”Kompetensi adalah kemampuan
bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki.”
”Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang
diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.” (Husein Siregar, 2004 : 2).
Pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dimaksud di atas disesuaikan
dengan tugas pokok dan fungsi dari jabatan orang yang bersangkutan. Bagi
seorang kepala sekolah harus memiliki kompetensi sebagai seorang kepala
sekolah yang bertugas sebagai pengelola satuan pendidikan. Untuk dapat
mengelola satuan pendidikan secara efektif dan efisien banyak kompetensi yang
harus dimiliki oleh kepala sekolah. Dalam hal kompetensi kepala sekolah Danim
29
(Danim, 2002 : 127) mengemukakan bahwa : ”Kompetensi minimal seorang
kepala sekolah adalah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang
keadministrasian sekolah, keterampilan hubungan manusiawi dengan staf, siswa,
dan masyarakat; dan keterampilan teknis instruksional dan non-instruksional.”
Sejalan dengan pendapat di atas dikemukakan oleh Sanusi dan Sutisna
(dalam Danim, 2002 : 135) tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala
sekolah berkenaan dengan aspek teknis manajerial sebagai berikut :
1) pemahaman yang luas terhadap seluruh operasi sekolah dalam hubungan dengan semua tuntutan teknis yang dihadapi, 2) pemahaman terhadap manajemen keorganisasian, 3) pemahaman yang luas tentang berbagai teknologi pendidikan dan organisasi.
Sedangkan E. Mulyasa (2006 : 43) mengatakan bahwa kompetensi yang harus
dimiliki oleh kepala sekolah adalah sebagai berikut : ”Kepala sekolah harus
mampu berperan sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader,
inovator, dan motivator pendidikan (EMASLIM).”
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kompetensi dalah kemampuan-kemampuan yang harus dikuasai, baik
yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Dalam hal ini
oleh kepala sekolah sebagai pengelola satuan pendidikan.
”Kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai
kepala sekolah.” (Danim, 2002 : 145). Oleh karena itu, harus dapat dipastikan
bahwa seorang kepala sekolah di samping memiliki kemampuan yang berkenaan
dengan pembelajaran juga harus memiliki kemampuan sebagai seorang pemimpin
satuan pendidikan. Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah harus mempunyai
kemampuan dalam hal merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan,
30
mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi semua kegiatan
pendidikan yang ada di sekolah. Hal tersebut lebih jelas dikemukakan oleh
Hadari Nawawi (1982 : 90) sebagai berikut :
Kepala sekolah selaku administrator berfungsi merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan dan mengawasi seluruh kegiatan pendidikan yang diselenggarakan di suatu sekolah. Di samping itu kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan berfungsi mewujudkan hubungan manusiawi (human relationship) yang harmonis dalam rangka membina dan mengembangkan kerja sama antar personal, agar secara serempak seluruhnya bergerak ke arah pencapaian tujuan melalui kesediaan melaksanakan tugas msing-masing secara efisien dan efektif. Kepala sekolah sebagai manajer pendidikan berfungsi mewujudkan pendayagunaan setiap personal secara tepat, agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara maksimal untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kepala sekolah selaku Administrator berfungsi merencanakan, mengorgansasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mengawasi seluruh kegiatan pendidikan yang diselenggarakan di suatu sekolah.
Dihubungkan dengan fungsi-fungsi kepala sekeolah tersebut di atas baik
sebagai administrator, pemimpin, maupun manajer maka semua itu harus
diterapkan dalam rangka melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya
sebagai kepala sekolah. Tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh kepala sekolah
mencakup berbagai aspek yang turut mendukung ke dalam proses pencapaian
tujuan pendidikan. Itulah sebabnya, seorang kepala sekolah yang profesional
harus memiliki berbagai kompetensi yang sesuai dan akan mendukung terhadap
kelancaran proses pendidikan yang efektif dan efisien.
Secara garis besarnya tugas pokok kepala sekolah menurut Hadari Nawawi
mencakup tujuh bidang (1982 : 91) sebagai berikut :
1. Bidang akdemik yang berkenaan dengan proses belajar mengajar di dalam dan di luar sekolah. 2. Bidang Ketatausahaan dan Keuangan Sekolah. 3. Bidang Kesaiswaan. 4. Bidang Personalia/Kepegawaian. 5.
31
Bidang Gedung dan Perlengkapan Sekolah. 6. Bidang Peralatan Pelajaran. 7. Bidang Hubungan Sekolah dan Masyarakat.
Tolok ukur bagi keberhasilan kepala sekolah dalam menjalankan fungsi
dan tugasnya pada saat ini telah disusun standar kompetensi oleh BSNP sesuai
dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, PP Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permen Diknas Nomor 13 tahun 2005
tentang Kepala Sekolah. Standar kompetensi kepala sekolah yang dikeluarkan
oleh BSNP mencakup ”kompetensi kepribadian, manajerial, supervisi, sosial, dan
kewirausahaan.” (Surya Dharma, 2007 : Kompac Disk Depdiknas). Upaya
pemerintah melalui BSNP yang selanjutnya didukung oleh pembinaan melalui
Direktorat Peningkatan Mutu Pedidik dan Tenaga Kependidikan tiada lain untuk
meningkatkan mutu layanan pendidikan, sehingga dapat memuaskan para
pelanggan atau stakeholders pendidikan. Orientasi mutu dalam pendidikan ini
sesuai dengan program Depdiknas yang telah dituangkan dalam Renstra
Depdiknas 2005-2009. Salah satu penentu keberhasilan layanan pendidikan di
sekolah adalah kepala sekolah . Dikemukakan oleh E. Mulyasa (2006 : 26)
sebagai berikut :
Sedikitnya terdapat lima sifat layanan yang harus diwujudkan oleh kepala sekolah agar pelanggan puas; yakni layanan sesuai dengan yang dijanjikan (reliability), mampu menjamin kualitas pembelajaran (assurance), iklim sekolah yang kondusif (tangible), memberikan perhatian penuh kepada peserta didik (emphaty), cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik (responsivenees).
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepala
sekolah adalah suatu gambaran keadaan yang harus dikuasai oleh kepala sekolah
yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus diwujudkan
32
dalam tindakan nyata secara konsisten dalam rangka memberikan layanan
pendidikan secara optimal untuk memperoleh lulusan yang bermutu tinggi.
2.1.1.2 Jenis-jenis Kompetensi Kepala Sekolah
Dalam uraian terdahulu telah disinggung bahwa kompetensi yang harus
dimiliki oleh kepala sekolah cukup banyak. Namun sebagai gambaran minimal
yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi terciptanya kepala sekolah yang
berkompeten dapat menggunakan acuan yang dikeluarkan oleh BSNP tentang
Standar Nasional Pendidikan yang untuk pelaksanaannya diikuti oleh Peraturan
Menteri Pendidikan Nasaional Nomor 13 tahun 2005. Sesuai dengan itu oleh
Direktur Tenaga Kependidikan, Surya Dharma bahwa standar kompetensi kepala
sekolah digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1
Standar Kompetensi Kepala Sekolah
33
KOMPETENSI KEPALA
SEKOLAH
KEPRIBADIAN
MANAJERIAL SUPERVISI
Standar yang dimaksud di sini yaitu sesuai dengan pengertian bahwa ”
Standar kompetensi adalah kualifikasi kemampuan minimal yang
menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
diharapkan dicapai.” (Depdiknas, 2006 : 57). Pengembangan kompetensi kepala
sekolah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan secara keseluruhan termasuk di dalamnya untuk meningkatkan mutu
layanan pendidikan guna mendongkrak mutu lulusan pendidikan di sekolah.
Kepala sekolah sebagai salah satu SDM dalam dunia pendidikan di sekolah
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan menentukan untuk mencapai
suatu keberhasilan pendidikan karena kepala sekolah mempunyai peran sebagai
pengelola nomor satu pada satuan pendidikan. Hadriyanus Suharyanto dan Agus
Hendro Hadna (2005 : 17) mengemukakan bahwa :
Sekalipun cukup tersedia secara melimpah sumber daya ekonomi non manusia, tidak akan banyak memberi arti bagi pembangunan ekonomi dan nilai tambah yang tinggi kalau tanpa pengembangan kualitas sumber daya manusia yang mengelolanya.
Sejalan dengan pendapat di atas dikemukakan oleh Danim (2002 : 125) yang lebih
tegas ditujukan kepada kepala sekolah sebagai berikut :
Sebagaian besar kelemahan administrasi pendidikan kita disebabkan oleh ketidakmampuan kepala sekolah dalam menjalankan fungsinya secara profesional. Efek lanjutan dari kelemahan sistem administrasi pendidikan kita yang berkepanjangan adalah makin tertinggalnya kemajuan pendidikan dilihat dari sudut kemajuan di sekitar ekonomi dan industri.
34
SOSIALKEWIRAUSAHAAN
Inovasi dalam berbagai bidang seperti kurikulum, sarana dan prasarana, pola pendidikan kepada anak , dan sebagainya, tidak banyak manfaatnya tanpa kemampuan administrasi yang memadai dari para pengelolanya.
Sejalan dengan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa upaya yang
dilakukan pemerintah melalui BNSP sangat penting untuk direspon secara positif.
Karena tanpa adanya upaya perbaikan kompetensi kepala sekolah akan sulit
mendapat Sumber Daya Manusia lainnya seperti guru, tata usaha, penjaga
sekolah, orang tua murid, dan masyarakat lainnya yang berkompeten dan
mendukung terhadap program-program sekolah.
Perlu disadari oleh tiap kepala sekolah bahwa ia memiliki peran sebagai
figur keteladanan, sehingga baik buruknya perilaku, berkompeten atau tidaknya
seorang kepala sekolah disadari atau tidak akan diperhatikan oleh bawahannya,
orang tua murid, dan masyarakat. Efek lanjutannya akan mewarnai prilaku, sikap,
dan dukungan mereka terhadap proses pendidikan di sekolah. Oleh karena itu,
guna meningkatkan mutu layanan pendidikan, kepala sekolah harus memiliki
beberapa kompetensi yang dapat menunjukan sebagai seseorang yang profesional.
Terlebih lagi dengan paradigma baru pendidikan dengan adanya desentralisasi
pendidikan, maka sekolah di bawah kepemimpinan kepala sekolah diberi
wewenang yang lebih luas untuk mengelola pendidikan di sekolahnya. Hal ini
dikemukakan oleh E. Mulyasa (2006:36) sebagai berikut :
Sekolah sebagai lembaga pendidikan diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan program-program kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta masyarakat. Untuk mendukung keberhasilan program tersebut, sekolah memiliki kekuasaan dan kewenangan mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di masyarakat dan lingkungan sekitar.”
35
Untuk mewujudkan pengembangan program yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat sebagaimana diuraikan di atas bukanlah suatu hal yang mudah tetapi
menuntut adanya sikap, prilaku, pengetahuan, dan keterampilan yang profesional
dari kepala sekolah. Oleh karenanya, dalam upaya mewujudkan layanan
pendidikan yang bermutu ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh
kepala sekolah sesuai dengan PP 19 tahun 2005. Kompetensi kepala sekolah yang
ikhlas, dan berhati-hati (Mar’at, 1982:47-48). Sifat–sifat tersebut jelas sangat
penting untuk dimiliki oleh seorang kepala sekolah dalam kinerjanya agar dapat
meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah.
Dengan kepribadian yang menyenangkan seorang kepala sekolah secara
profesional akan dapat memerankan fungsinya sebagai manajer, supervisor,
fasilitator, dan evaluator pendidikan di sekolah. Yakni dapat mendukung
kompetensi–kompetensi lainnya yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah
dan dapat mewujudkannya dalam tindakan nyata.
Mengingat pentingnya masalah kepribadian bagi seorang kepala sekolah
BSNP dan Permen Diknas No 13 tahun 2005 menentukan standar bahwa seorang
kepala sekolah harus memiliki kompetensi kepribadian yang di dalamnya
mencakup hal–hal sebagai berikut :
1. Memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin.
2. Memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin satuan pendidikan.
3. Memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala
sekolah.
4. Bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
5. Mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai
kepala sekolah.
6. Memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.
37
2.1.1.2.2 Kompetensi Manajerial
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah
Adalah kompetensi manajerial, karena salah satu peranan kepala sekolah adalah
sebagai manajer. Hadiyanto (2004:55) menjelaskan bahwa :
Kepala sekolah adalah manajer pendidikan tingkat sekolah dan ujung tombak utama dalam mengelola pendidikan di level sekolah. Kepala sekolah memegang peran paling penting (privotal role) untuk keberhasilan implementasi manajemen berbasis sekolah, dan oleh karena itu kepala sekolah harus mempunyai kemampuan manajerial yang profesional dalam mengelola sekolahnya.
Kepala sekolah sebagai manajer mempunyai peran yang sangat penting
dalam pengembangan pendidikan di sekolah. Hal ini dapat dipahami karena ”
Salah satu faktor yang membuat organisasi itu dapat berkembang adalah
kompetensi manajernya.” (Made Pidarta, 2004:234). Jadi, maju mundurnya
pendidikan di sekolah sangat besar dipengaruhi oleh faktor kompetensi
manajernya, dalam hal ini kepala sekolah. Ditegaskan oleh Made Pidarta bahwa :
”Manajer yang mempunyai kompetensi yang memadai cendrung mampu
meningkatkan orgnisasi, sebaliknya manajer yang kurang memiliki kompetensi
cendrung membuat organisasi itu mandeg atau mundur.” Dengan demikian,
seorang kepala sekolah harus dapat menerapkan konsep–konsep manajemen
dalam mengelola pendidikan di sekolahnya guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Perlu disadari bahwa setiap proses yang dilakukan, dengan sarana prasarana
pendukungnya semua itu diarahkan guna mencapai tujuan. Oleh karena itu, agar
tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien harus dilakukan manajemen yang
38
tepat. Mengenai manajemen dijelaskan oleh G.R. Terry (Hadriyanus Suharyanto
dan Agus Heruanto Hadna, 2005 :11) sebagai berikut : ”Management is the
accomplishing of the predetermined, objective through the effort of other people.”
Maksudnya bahwa manajemen melakukan upaya pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan melalui atau bersama-sama dengan orang lain. Sejalan dengan
pendapat G.R. Terry pengertian manajemen dikemukakan oleh John M. Pfifner
(Hadriyanus Suharyanto dan Agus Heruanto Hadna, 2005 :12) sebagai berikut :
”Management is concerned with the direction of this individuals and functions to
achieve ends previously determined.” Yakni bahwa manajemen berkaitan dengan
mengarahkan orang–orang dan tugas–tugasnya dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditentukan.
Tanpa kemampuan manajerial, seorang kepala sekolah akan sulit
melaksanakan tugasnya mengarahkan, membina, dan memberdayakan sumber
daya yang ada guna meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolahnya.
Padahal untuk menyiasati dan mencari solusi–solusi dalam mengatasi masalah
pendidikan seperti masalah rendahnya mutu layanan pendidikan merupakan tugas
seorang kepala sekolah sebagai manajer. Dan bukan suatu hal yang tidak mungkin
masalah rendahnya mutu layanan pendidikan bisa jadi disebabkan oleh
manajemen yang salah. Sesuai dengan permasalahan di atas Edward Sallis
menjelaskan sebagai berikut : ”Sebagian besar masalah sedemikian disebabkan
oleh manajemen yang lemah atau tidak mencukupi. Mengetahui sebab kegagalan
mutu dan memperbaikinya adalah tugas kunci seorang manajer.” (Edward Sallis,
alih bahasa Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, 2006:106).
39
Oleh karena itu, dalam upaya mengatasi masalah-masalah tersebut di atas
maka kepala sekolah harus memiliki kemampuan manajerial sebagaimana di
jelaskan oleh Hari Suderadjat (2005 : 42-54 yang tiada lain kemampuan dalam
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, pengawasan, dan evaluasi terhadap semua komponen di sekolah
seperti kurikulum, personalia , kesiswaan, sarana prasarana, keuangan, dan
lingkungan. Dengan kemampuan itu kepala sekolah akan dapat secara terarah
menata dan mengelola pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga
layanan pendidikan bermutu dapat terwujud.
Untuk kepentingan pengelolaan pendidikan BNSP menentukan standar
kompetensi manajerial bagi kepala sekolah yang di dalamnya meliputi
kompetensi-kompetensi sebagai berikut:
a. Menyusun perencanaan sekolah
Perencanaan merupakan suatu hal yang penting dalam setiap kegiatan,
terlebih dalam kegiatan pendidikan di sekolah, karena penyelenggaraan
pendidikan di sekolah merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang, sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Penyelenggaraan pendidikan yang tidak direncanakan secara matang
jangan diharap akan mencapai tujuan secara optimal. Oleh karena itu, kepala
sekolah sebagai manajer di sekolah harus mempunyai kemampuan membuat
perencanaan sekolah sesuai dengan visi dan misi sekolahnya. Sehingga segala
tindakan, dan keputusan yang diambil oleh sekolah didasarkan pada perencanaan
yang telah dibuat. Dengan perencanaan yang matang akan dapat menentukan
40
tujuan, prosedur, strategi, metode, indikator keberhasilan dan evaluasi sehingga
perencanaan ini akan menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian perencanaan menurut
Pada hakekatnya perencanaan adalah suatu rangkaian proses kegiatan menyiapkan keputusan mengenai apa yang diharapkan terjadi (peristiwa, keadaan, suasana, dan sebagainya) dan apa yang akan dilakukan (intensifikasi, ekstensifikasi, revisi, renovasi, substitusi, kreasi, dan sebagainya).
Ahli lain yaitu Anen mendefinisikan perencanaan dengan mengatakan
bahwa : “Planning is future thinking; planning is controlling the future; planning
is decision making; planning is integrated decision making.” (Udin Syaefudin
Sa’ud dan Abin Syamsuddin Makmun (2006 : 5).
Dari pengertian-pengertian perencanaan di atas dapat diuraikan bahwa
fungsi dan tujuan perencanaan pendidikan di sekolah adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan merupakan pedoman dalam melaksanakan kegiatan pendidikan
di sekolah.
2. Perencanaan berfungsi untuk mengendalikan kegiatan.
3. Perencanaan berfungsi untuk efisiensi yakni menghindari pemborosan sumber
daya.
4. Perencanaan berfungsi untuk memberikan jaminan mutu (quality assurance).
5. Perencanaan berfungsi untuk menjaga akuntabilitas kelembagaan.
Adapun hal-hal penting yang harus digarisbawahi dan dijadikan acuan
dalam pembuatan suatu rencana adalah sebagai berikut :
41
1. Perencanaan berhubungan dengan masa depan yang lebih baik.
2. Adanya seperangkat kegiatan yang logis.
3. Adanya tahapan-tahapan proses yang tersusun secara sistematis.
Dapat meramalkan hasil serta tujuan yang diharapkan.
Kita ketahui bahwa perencanaan pendidikan merupakan suatu hal yang
sangat penting karena diperlukan dalam pengambilan keputusan menyangkut
tentang mutu pendidikan yang harus terus ditingkatkan. Dan perencanaan
merupakan pedoman untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka mengubah
keadaan yang dinilai kurang saat ini ke posisi yang lebih baik sesuai dengan yang
diinginkan. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa perencanaan pendidikan
berkenaan dengan proses mempersiapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari
pengertian perencanaan yang dikemukakan oleh Guruge (Udin Syaefudin Sa’ud
dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006 : 8) bahwa : ”A simple definition of
educational planning is the process of preparing decisions for action in the future
in the field of educatioinal development is the function of educational planning.”
Guruge mengatakan bahwa perencanaan pendidikan merupakan proses
mempersiapkan kegiatan di masa depan dalam bidang pembangunan pendidikan
adalah tugas dari perencanaan pendidikan.
Guna menghasilkan perencanaan pendidikan yang baik, kepala sekolah
sebagai manajer harus memahami dimensi-dimensi yang terkait dengan proses
perencanaan. Mengenai dimensi-dimensi perencanaan dikemukakan oleh Udin
42
Syaefudin Sa’ud dan Abin Syamsuddin Makmun (2006 :53-54) ada sembilan
dimensi yang terkait dengan proses pendidikan, yaitu :
1. Significance, yaitu tingkat kebermaknaan perencanaan.
2. Feasibillity, yaitu kelayakan teknis dan perkiraan biaya dilihat secara relistik.
3. Relevance, yaitu diperlukan dalam implementasi rencana.
4. Definitiveness, yaitu penggunaan teknik simulasi untuk menjalankan rencana
dengan data model buatan, untuk meminimalkan hal yang tidak diharapkan.
5. Parsimoniousness, yaitu perencanaan harus digambarkan secara sederhana.
6. Adaptability, yaitu perencanaan harus dinamis dan dapat berubah sesuai
dengan perkembangan informasi.
7. Time, yaitu siklus alamiah pokok bahasan pada perencanaan, dan merubah
siatuasi yang tidak dapat dilakukan akibat keterbatasan-keterbatasan dalam
meramalkan masa depan.
8. Monitoring, yaitu untuk menjamin bahwa berbagai unsur rencana berjalan
secara efektif.
9. Subject matter, yaitu pokok bahasan yang akan direncanakan mencakup
sasaran dan tujuan, program dan pelayanan, sumber daya manusia, sumber
daya fisik, penganggaran, struktur pemerintahan, dan konteks sosial.
Dalam proses perencanaan pendidikan di sekolah melalui beberapa tahap
mulai dari pembuatan visi dan misi sekolah, menentukan tujauan, melihat
permasalahan-permasalahan melalui analisis lingkungan internal dan analisis
lingkungan eksternal (ALI dan ALE), mengkonsepsikan dan merancang rencana,
43
mengevaluasi rencana, dan revisi rencana, yang pada akhirnya implementasi
rencana dan evaluasinya untuk memperoleh umpan balik. Dengan menempuh
tahapan-tahapan seperti di atas akan diperoleh suatu perencanaan yang matang.
Mengenai proses perencanaan pendidikan digambarkan oleh Udin
Syaefudin Sa’ud dan Abin Syamsuddin Makmun (2006 : 45) sebagai berikut :
Gambar 2
Proses Perencanaan Pendidikan
44
Pendahuluan
Mendefinisikan Permasalahan Perencanaan PendidikanA. Ruang lingkup
permaslahan pendidikan.
B. Pengkajian sejarah perencanaan pendidikan.
C. Perberdaan antara kenyataan dan harapan pendidikan.
D. Sumber daya dan hambatan perencanaan pendidikan.
E. Menentukan bagian-bagian dari perencanaan pendidikan beserta prioritasnya.
Evaluasi Implementasi Rencana dan Umpan BaliknyaA. Monitoring
rencana.B. Evaluasi rencana.C. Menyelesaikan,
mengubah dan mendesain ulang rencana.
Analisis Bidang Telaahan Permasalahan PerencanaanA. Bidang atau
wilayah dan sistem-sistem sub bidang telaahan.
B. Pengumpulan data.
C. Tabulasi data.D. Perkiraan
perencanaan.
Menentukan RencanaA. Rumusan
masalah.B. Laporan hasil.
Implementasi RencanaA. Persiapan
program.B. Persetujuan
perencanaan.C. Pengaturan unit-
unit operasional perencanaan.
Mengkonsepsikan dan Merancang RencanaA. Mengidentifikasi
kecenderungan umum.
B. Menentukan tujuan dan sasaran.
C. Mendesain perencanaan.
Evaluasi RencanaA. Perencanaan
melalui simulasi.B. Evaluasi
perencanaan.C. Pemilihan
perencanaan.
b. Mengembangkan Organisasi Sekolah
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal di dalamnya terdapat
sekelompok orang yang bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan.
Dengan ciri-ciri seperti itu maka sekolah merupakan suatu organisasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sondang P. Siagian (20021:35) bahwa “
Organisasi merupakan gabungan sekelompok orang yang terikat secara formal dan
hierarkis, serta bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya.” Dengan demikian, maka kepala sekolah sesuai dengan tugas dan
fungsinya sebagai manajer pendidikan di sekolah harus dapat mengembangkan
organisasi di sekolahnya, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Bila tidak dikembangkan secara baik organisasi sekolah ini akan statis dan tidak
akan berfungsi sebagaimana mestinya. Organisasi sekolah dikembangkan sesuai
dengan tujuan dan kondisi yang ada sehingga semua anggota yang ada dalam
organisasi berkolaborasi secara sinegis dalam upaya mencapai tujuan. Hadari
Nawawi (1982:87) menjelaskan bahwa :
Setiap kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan harus mampu memilih dan mempersiapkan bentuk organisasi yang sesuai dengan kondisi sekolahnya dan harus berusaha pula menerapkan asas-asas organisasi bilamana menghendaki tujuan secara efektif.”
45
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam upaya mengembangkan
organisasi sekolah yaitu struktur organisasi, bentuk atau tipe organisasi, asas-asas
organisasi, dan budaya organisasi.
1) Struktur Organisasi.
Struktur organisasi yang dimaksud disini adalah mekanisme kerja, yakni
adanya pembagian unit-unit kerja sesuai dengan tugas yang harus dikerjakan.
Untuk memperoleh kinerja yang efektif maka harus dibentuk struktur organisasi
yang tepat dengan penempatan personil yang profesional. Pemahaman struktur
organisasi seperti di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Made Pidarta
(2004:57) sebagai berikut :
Struktur organisasi adalah mekanisme kerja organisasi itu yang menggambarkan unit-unit kerjanya dengan tugas-tugas individu yang didalamnya beserta kerja samanya dengan individu-individu lain dan hubungan anatara unit-unit kerja itu baik secara vertikal maupun horisontal.
Dengan adanya struktur organisasi maka kinerja seluruh personil yang ada di
sekolah akan terlaksana secara sistematis sehingga akan mewujudkan harmonisasi
kinerja. Kinerja yang sistematis dan harmonis dari semua personil yang ada di
sekolah merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan mutu layanan
pendidikan. Mutu layanan pendidikan baru akan terwujud bila kepala sekolah
memiliki kemampuan untuk mengembangkan struktur organisasi yang efektif
yang dapat menunjang kelancaran proses layanan pendidikan yang dilaksanakan.
2) Bentuk-bentuk atau tipe organisasi sekolah.
46
Bentuk-bentuk organisasi sekolah ini menggambarkan tentang pembagian
tugas, tanggung jawab, dan arus pelaksanaan tugas. Terdapat beberapa bentuk
organisasi yang dapat dikembangkan di sekolah. Tiap-tiap bentuk organisasi itu
mempunyai ciri-ciri tersendiri, sehingga kepala sekolah dapat memilih bentuk
atau tipe organisasi yang akan dikembangkan di sekolahnya berdasarkan ciri-ciri
yang dipandang paling sesuai dengan tujuan, situasi, dan kondisi yang ada.
Bentuk-bentuk organisasi yang dapat dikembangkan di sekolah
diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Sondang P. Siagian (2002 : 54-56)
dan Hadari Nawawi (1982 : 88-90) sebagai berikut :
a) Organisasi Lini (Line Organization)
Organisasi lini ini dikenal dengan struktur yang sederhana, karena sesuai
dengan ciri-cirinya yang antara lain sebagai berikut :
1. Tergolong organisasi yang kecil dan belum memiliki personil yang banyak.
2. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan masih sederhana.
3. Semua kekuasaan ada pada pucuk pimpinan.
4. Personilnya belum dituntut memiliki keterampilan yang khusus dan belum
dituntut untuk bisa melakukan berbagai kegiatan.
5. Produk organisasinya tidak beraneka ragam
6. Wilayah operasinya masih bersifat lokal.
7. Teknologi yang digunakan belum modern.
8. Pemimpin organisasi masih dimungkinkan untuk dapat berinteraksi secara
langsung dengan semua personilnya.
47
b) Organisasi Staf (Staff Organization)
Ciri-ciri organisasi staf adalah sebagai berikut :
1. Semua hak, kekuasaan, dan tanggung jawab dibagi habis kepada unit kerja
yang ada secara bertingkat.
2. Setiap unit mempunyai sebagaian hak dalam menentukan kebijakan sesuai
dengan bidang tugasnya, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan
pucuk pimpinan.
3. Tanggung jawab disampaikan secara bertingkat sesuai dengan hak dan
kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya.
4. Setiap personil mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan
pendapat, ide atau gagasan, dan saran-saran.
5. Personil mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan
inisiatifnya dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung
jawabnya.
c) Organisasi Lini dan Staf (Line and Staff Organization)
Bentuk organisasi ini merupakan bentuk gabungan dari organisasi lini dan
organisasi staf. Bentuk organiasi ini dikenal dengan struktur yang birokratis.
Artinya, jika bentuk organisasi ini yang diberlakukan berarti organiasinya besar
dengan tugas-tugas yang sangat rutin.
Adapun ciri-ciri dari organisasi bentuk ini adalah sebagai berikut :
1. Organisasinya besar.
48
2. Tugas-tugas diselenggarakan dengan berbagai jenis spesialisasi keterampilan
personil.
3. Dalam penyusunan dan penerapan ketentuan yang formal dan normatif sangat
formalistik.
4. Pemusatan wewenang pada manajemen puncak dan pengambilan keputusan
secara terpusat.
5. Hierarki organisasi berlapis-lapis dan bentuknya piramidal.
6. Deliniasi atau pembedaan yang jelas antara satuan kerja pelaksana tugas
pokok dan satuan kerja yang tanggung jawabnya melaksanakan tugas-tugas
penunjang.
7. Kewenangan satuan kerja pelaksana satuan tugas pokok bersifat komando
(line authority), sedangkan pelaksana tugas penunjang hanya memiliki
kewenangan staf (staff atau functional authority) yang biasanya berupa
nasihat.
8. Tidak semua hak, kekuasaan, dan tanggung jawab dibagi habis kepada unit
kerja yang ada, yakni tugas-tugas yang bersifat prinsipil tetap berada pada
pucuk pimpinan.
d) Organisasi Fungsional (Functional Organization)
Dalam organisasi bentuk ini pembagian hak dan kekuasaan dilakukan
berdasarkan fungsi yang dimiliki oleh unit kerja. Jelasnya organisasi bentuk ini
dapat dilihat pada ciri-ciri yang dimilikinya sebagai berikut :
49
1. Dalam bagan organisasi dan perlakuan manajerial tidak ada pembedaan antara
satuan-satuan kerja pelaksana tugas pokok dengan pelaksana tugas penunjang.
2. Prinsip-prinsip lain seperti pembagian tugas, spesialisasi, koordinasi,
kesatuan komando, kesatuan arah, dan rentang kendali tetap berlaku bahkan
dipegang teguh.
3. Wewenang yang dilimpahkan dibatasi pada bidang teknis yang memerlukan
keahlian tertentu dan mengangkat personil sesuai dengan keahliannya.
3) Asas-asas organiasi.
Berkenaan dengan kompetensi manajerialnya, kepala sekolah harus dapat
mengupayakan bahwa organiasi harus bermanfaat dan berdaya guna dalam rangka
mencapai tujuan. Melalui pengelolaan organisasi yang optiumal harus dapat
tercipta lulusan pendidikan yang bermutu. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sondang P. Siagian (2002 : 25-34) yang mengungkapkan filsafat organisasi yang
di dalamnya mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Fokus perhatian pada kepuasan pelanggan.
2. Pemupukan loyalitas.
3. Perhatian pada budaya organisasi.
4. Pentingnya ketentuan formal dan prosedur.
Faktor-faktor tersebut di atas harus diperhatikan oleh suatu organisasi
karena :
Organisasi tidak sekedar berarti wadah sekelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi juga merupakan mekanisme yang berlangsung dalam proses kerja sama itu. Oleh karena itu, maka organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Sebagai alat organisasi dapat baik dan dapat pula buruk bagi pencapaian tujuan. (Hadari Nawawi, 1982 : 93).
50
Mengelola organisasi sekolah sehingga menjadi organisasi yang baik merupakan
tugas kepala sekolah. Untuk dapat menjalankan tugas tersebut maka kepala
sekolah harus memahami dan menggunakan berbagai asas organisasi yang
meliputi “(1) kejelasan tujuan, (2) pembagian kerja, (3) kesatuan perintah, (4)
93). Sedangkan Sondang P. Siagian (2002 : 36-48) mengungkapkan hal-hal
tersebut sebagai prinsip-prinsip organisasi yang di dalamnya meliputi :
1. Kejelasan tujuan, yaitu tujuan organisasi harus dirumuskan
secara jelas agar dapat dipahami oleh semua personel, dan dapat meyakinkan
personel bahwa tujuan dimaksud pantas untuk dicapai.
2. Fungsionalisasi, yaitu segala jenis fungsi yang akan
diselenggarakan ditempatkan dalam wadah tertentu sehingga tidak ada fungsi
yang tidak jelas pewadahannya. Dan tidak ada fungsi yang bernaung di bawah
lebih dari satu wadah dalam organisasi. Fungsionalisasi ini berguna untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan berbagai jenis
kegiatan.
3. Pembagian tugas, yaitu dalam menyelesaikan tugas-tugas
organisasi dilakukan dengan cara membagikan tugas, dengan dasar bahwa
walaupun betapa hebatnya seorang manajer tentu tidak akan dapat bekerja
sendirian. Setiap satuan kerja mempunyai tugas dan kegiatan yang secara
fungsional menjadi tanggung jawabnya. Oleh karenanya, diperlukan uraian
tugas yang kemudian dirinci menjadi uraian pekerjaan setiap orang dalam
satuan kerjanya masing-masing.
51
4. Penempatan yang tepat, yaitu menempatkan personel sesuai
dengan pengetahuan, keterampilan, bakat, dan minatnya. Hal ini berfungsi
untuk menghindari kinerja yang hanya bersifat rutinitas, repetitip, dan
mekanistik yang pada akhirnya dapat menimbulkan kebosanan. Dengan
penempatan kerja yang tepat akan meningkatkan kepuasan kerja yang
pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas kerja.
5. Koordinasi, yaitu melakukan tugas-tugas organisasi yang bersifat
multi-dimensi tidak dengan cara yang berkotak-kotak, melainkan dengan
melihat
keterkaitan tugas yang satu dengan tugas yang lainnya.
6. Departementalisasi, hal ini dilakukan karena tuntutan
spesialisasi, dan pembagian tugas yang tepat. Departementalisasi ini biasanya
dilakukan oleh organisasi yang besar.
7. Kesatuan arah, yaitu setiap kegiatan yang dilakukan dalam
organisasi harus diarahkan hanya pada upaya pencapaian tujuan, karena
kegiatan yang tidak relevan hanya akan sia-sia saja.
8. Kesatuan komando, yaitu seseorang bawahan hanya bertanggung
jawab kepada dan menerima perintah dari atasannya. Jika prinsip ini tidak
diikuti maka akan menimbulkan kerancuan dalam kinerjanya.
9. Rentang kendali, yaitu suatu kegiatan yang berkaitan erat dengan
efektivitas supervisi.
52
10. Pola pengambilan keputusan, yaitu pola sentralisasi dan
desentralisasi, masing-masing memiliki ciri, dan dampak yang berbeda
terhadap prilaku personel. Itulah sebabnya, kepala sekolah harus pandai
membaca situasi, kondisi, waktu, dan ruang untuk menentukan pola
pengambilan keputusan yang tepat.
4) Budaya organisasi.
Suatu hal yang wajar bahwa setiap organisasi memiliki karekteristik yang
berbeda dengan organisasi lainnya walaupun organisasi itu sejenis. Hal ini terjadi
karena budaya organisasi terbentuk oleh faktor-faktor yang berbeda di setiap
organisasi. Mengenai budaya organisasi seperti itu dikemukakan oleh Keits Davis
dan John Newstorm (Aan Komariah dan Cepi Triatna, 2006 : 98) sebagai berikut :
Seperti halnya pribadi seseorang, organisasi selalu unik dan ingin tampil khas, masing-masing organisasi memiliki budayanya sendiri-sendiri, hal ini karena dipengaruhi oleh visi dan misi, serta tujuan. Walaupun organisasi itu sejenis, namun budayanya akan berbeda. Oleh kerena itu, budaya organisasi disebut juga dengan sifat-sifat internal organisasi yang dapat membedakannya dengan organisasi lain. Budaya organisasi ini dapat tampil lewat tradisi-tradisi, metode tindakannya sendiri secara keseluruhan menciptakan suatu iklim.
Berkaitan dengan budaya organisasi yang penting untuk dicermati oleh
kepala sekolah dalam pengembangan organisasi di sekolahnya adalah
pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Hal ini sesuai
dengan pendapat para ahli bahwa :
Budaya organisasi dapat mempengaruhi persepsi, pandangan dan cara kerja orang yang ada di dalamnya. Apakah karyawan menunjukkan kegairahan, disiplin, rasa suka atau moral-moral yang negatif seperti malas, kurang responsif, apatis, dan sebagainya, dapat ditentukan oleh
53
pengaruh-pengaruh kultural yang terjadi pada organisasi. (Aan Komariah dan Cepi Triatna, 2006 : 98).
Di sinilah letak pentingnya ada pembentukan dan pembinaan dari kepala sekolah
berkaitan dengan budaya organiasi, yakni agar dapat berperan dalam menciptakan
organisasi yang kondusif untuk terjadinya layanan pendidikan yang sesuai dengan
harapan sekolah maupun pelanggannya. Budaya organisasi harus dibentuk dan
dikembangkan kerena adanya budaya organisasi tidak terjadi dengan sendirinya
tetapi melalui proses yang memerlukan waktu, mulai dari terbentuknya organisasi
hingga menjadi organisasi yang mapan, yang pada gilirannya organisasi itu akan
menemukan jati dirinya yang khas. (Sondang P. Siagian, 2002 : 187).
Dengan adanya budaya organisasi yang mapan dan kondusif maka budaya
organisasi itu akan berfungsi bagi organisasi, dalam arti akan menjamin
keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya. Berbicara
masalah fungsi budaya Sondang P. Siagian (2002 :199-200) mengemukakan
bahwa ada lima fungsi budaya yang penting untuk diaktualisasikan yaitu :
1. Penentu batas-batas berprilaku.
2. Menumbuhkan kesadaran tentang identitas sebagai anggota organisasi.
3. Penumbuh komitmen.
4. Pemelihara stabilitas organisasi.
5. Mekanisme pengawasan.
c. Memimpin Sekolah dalam Pendayagunaan Sumber Daya Secara Optimal.
Dalam pasal 1 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan “Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu
54
yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga
kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.” (UU Sisdiknas, 2006 :
74).
Dari pengertian sumber daya pendidikan tersebut di atas dapat
dikelompokkkan menjadi dua dimensi yaitu sumber daya manusia dan sumber
daya material. Sumber daya manusia merupakan elemen yang paling strategis
dalam organisasi, karena berjalan tidaknya kegiatan-kegiatan yang telah
direncanakan akan sangat ditentukan oleh prilaku-prilaku dan motivasi orang-
orang yang ada di dalamnya. Itulah sebabnya, kepala sekolah pertama-tama harus
dapat memanaje sumber daya manusia, dalam hal ini para siswa, tenaga
kependidikan dan personel lainnya yang berpotensi untuk diberdayakan demi
kepentingan kemajuan pendidikan di sekolah.
Siswa sebagai sumber daya pendidikan harus dikelola, sebagaimana
dikemukakan oleh Aan Komariah dan Cepi Triatna (2006 : 55) bahwa :
“Manajemen sekolah yang efektif bagi bidang kesiswaan diarahkan untuk
menumbuhkembangkan kecerdasan, minat dan bakat, meningkatkan keimanan
dan ketakwaan, dan untuk meningkatkan disiplin siswa.”
Sedangkan tenaga kependidikan dikelola secara profesional guna
melakukan layanan pendidikan yang profesional. Pengelolaan profesional oleh
kepala sekolah dalam masalah ketenagaan dilakukan secara komprehensif. Yakni
mencakup seluruh aspek yang berkaiatan dengan keberadaan personel baik bidang
keahlian, sikap, dan kepribadiannya maupun unsur kepuasan kerja para personel,
sehingga para akhirnya para guru dan tenaga kependidikan lainnya memiliki
55
kematangan intelektual, emosional, dan sosial untuk kepentingan layanan
pendidikan.
Sumber daya manusia lainnya dalam pendidikan adalah masyarakat. Aan
Komariah dan Cepi Triatna (2006 : 57) mengemukakan bahwa : “Masyarakat
merupakan mitra untuk mengembangkan sekolah. Sekolah tidak dapat maju pesat
tanpa bantuan dari masyarakat. Oleh karena itu, kemitraan dengan masyarakat
harus terus terjalin.” Berdaya guna atau tidaknya sumber daya masyarakat yang
sangat potensial ini akan sangat tergantung pada kompetensi kepala sekolah dalam
hal pengelolaan sumber daya pendidikan. Dengan demikian hal ini merupakan
tantangan bagi kepala sekolah untuk selalu meningkatkan kemampuannya dalam
hal manajemen sumber daya manusia untuk kepentingan pendidikan.
Dimensi yang kedua dari sumber daya pendidikan adalah sumber daya
material, yang mencakup dana, sarana dan prasarana. Yang harus dilakukan oleh
kepala sekolah dalam mengelola sumber daya material ini meliputi pengadaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaannya, sehingga bermanfaat untuk memperlancar
berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa ada pengelolaan yang
profesional, maka sumber daya material akan sia-sia, dan tidak akan memiliki
nilai sama sekali untuk pendidikan karena “Berbagai sumber daya dan dana
merupakan ‘benda mati’, maka sarana prasarana tersebut harus digunakan
sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya selama
mungkin.” (Sondang P. Siagian, 2002 : 2).
Dengan kemampuan kepala sekolah untuk melakukan pengelolaan sumber
daya pendidikan secara menyeluruh dan profesional, maka seluruh sumber daya
56
yang ada akan menjadi sesuatu yang dirasakan sangat penting untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Dengan pengelolaan yang
total atau menyeluruh dan secara profesional maka semua sumber daya
pendidikan yang ada akan berperan secara simultan sehingga akan sangat besar
dampak positifnya terhadap mutu layanan pendidikan dan keberhasilan
pendidikan pada akhirnya. Di sini terihat bahwa sebagai kepala sekolah harus
memiliki kemampuan profesional untuk kepentingan pengelolaan pendidikan,
yakni mempunyai kemampuan manajerial, dan kemampuan akademik.
d. Mengelola Perubahan di Sekolah
Sesuai dengan kompetensi yang harus dimilikinya, salah satu “Tugas
kepala sekolah adalah menjadi agen perubahan (change agent) yang mendorong
dan mengelola agar semua pihak termotivasi dan berperan aktif dalam perubahan
tersebut.” (E. Mulyasa, 2006 : 181). Seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi yang selalu berubah, maka mau tidak mau dalam dunia pendidikan pun
selalu ikut berubah. Perubahan-peruibahan yang terjadi tentu ada faktor-faktor
penyebabnya. Faktor pemicu terjadinya perubahan secara umum dikemukakan
oleh Sondang P. Siagian (2002 : 207) sebagai berikut :
Faktor yang diakui secara umum sebagai pemicu perubahan ialah : a) konfigurasi tenaga kerja, b) terobosan di bidang teknologi, c) ketidak pastian di bidang ekonomi, d) persaingan yang makin ketat, e) gejala-gejala sosial, f) pergeseran nilai-nilai moral dan etika, dan g) situasi politik.
Senang maupun tidak senang suatu perubahan akan selalu terjadi, baik
akibat pengaruh internal ataupun pengaruh eksternal. Oleh karena itu, perubahan
57
yang terjadi di sekolah harus direspon secara positif yakni dengan cara mengelola
perubahan, yakni diarahkan dan dikembangkan menuju terwujudnya organisasi
pembelajar yang efektif. Sondang P. Siagian (2002 : 206) mengemukakan bahwa :
Perubahan yang diperkirakan akan terjadi harus dapat diantisipasi dan siap mengambil langkah-langkah untuk “menampung” dampaknya. Bahkan apabila mungkin dampak tersebut diubah menjadi peluang bagi organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan berbagai sasarannya termasuk tujuan dan sasaran pribadi para anggotanya.
Dalam upaya mengelola perubahan agar menjadi sesuatu hal yang bermanfaat
bagi berlangsungnya proses pendidikan di sekolah, maka terlebih dahulu harus
dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT di sini dimaksudkan untuk
menganalisis kekuatan-kekuatan yang dimiliki sekolah, kelemahan-kelemahan
yang mungkin ada di sekolah, kemampuan memanfaatkan peluang yang timbul
akibat adanya perubahan, dan menganalisis kemampuan untuk menghadapi
berbagai ancaman. Kepala sekolah harus dapat menyiasati bagaimana cara yang
harus ditempuh agar kelemahan-kelemahan yang ada dapat berubah menjadi
kekuatan, dan bagaimana pula cara yang harus ditempuh agar ancaman atau
tantangan dapat berubah menjadi suatu kesempatan. Kekuatan dan kesempatan
yang timbul akibat terjadinya perubahan selanjutnya dikelola sehingga
mendukung terciptanya organisasi pembelajar atau sekolah yang efektif.
Dalam upaya mengelola perubahan di sekolah ada beberapa tahap yang
harus dilakukan (E. Mulyasa, 2006 : 186) sebagai berikut :
1. Menemukan. Pada tahap ini kepala sekolah berupaya menemukan hal-hal
yang harus diatasi.
58
2. Mengkomunikasikan. Masalah yang telah ditemukan dikomunikasikan dengan
pihak-pihak terkait untuk mendapat kejelasan tentang masalah yang telah
ditemukan.
3. Mengkaji dan menganalisa. Masalah yang ditemukan dan telah
dikomunikasikan pada tahap ini dikaji secara cermat untuk mencari faktor-
faktor penyebabnya melalui data-data yang relevan.
4. Mencari dukungan. Untuk meyakinkan bahwa masalah benar-benar terjadi,
kepala sekolah mencari sumber, baik orang maupun sarana yang menguatkan
adanya masalah dan mencari jalan untuk melakukan perubahan.
5. Menerima perubahan. Pada tahap ini perubahan dimulai, sebagai problem
solving untuk memecahkan masalah.
Sebagai kepala sekolah yang profesional tentu akan mampu menghadapi
dan mengelola perubahan yang terjadi. Yakni kepala sekolah yang memiliki visi
tentang gambaran sekolah yang dicita-citakan, serta memiliki kemampuan
membimbing, memotivasi, dan mengorganisasikan tenaga kependidikan,
masyarakat, dan lingkungan sekitar dengan baik.
e. Menciptakan Budaya dan Iklim Sekolah yang Kondusif dan Inovatif
Berbagai upaya yang dilakukan dan sumber daya yang tersedia di sekolah
semuanya harus bermuara pada pembelajaran peserta didik. Satu hal yang tidak
boleh dilupakan oleh kepala sekolah agar proses pembelajaran berjalan secara
efektif, maka kepala sekolah harus memiliki kemampuan untuk menciptakan
budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta
59
didik. Aan Komariah dan Cepi Triatna (2006 :101) menjelaskan bahwa sekolah
memiliki budaya tersendiri sebagai berikut :“Sekolah sebagai organisasi, memiliki
budaya tersendiri yang dibentuk dan dipengaruhi oleh nilai-nilai, persepsi,
kebiasaan-kebiasaan, kebijakan-kebijakan pendidikan, dan prilaku orang-orang
yang ada di dalamnya.”
Hal yang esensial dari budaya adalah unsur nilai-nilai, kepercayaan, sikap
dan prilaku yang kesemuanya itu akan membentuk karakter sekolah. Unsur-unsur
tersebut sangat penting bagi terciptanya iklim yang kondusif bagi kelangsungan
proses pendidikan. Oleh karena faktor budaya dapat berpengaruh terhadap unsur-
unsur lain yang ada di sekolah, maka kepala sekolah harus dapat menciptakan dan
mengembangkan budaya sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran
siswa. Mengenai masalah budaya sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan oleh
Syafaruddin ( 2002 : 99 ) bahwa :
Budaya bersifat dinamis bukan statis. Dorongan budaya ini bertolak dari visi organisasi mengenai apa yang dapat dicapai dan strategi lembaga untuk menolong dorongan budaya agar melakukan perubahan organisasi. Budaya organisasi sekolah ini yang akan menentukan perbaikan mutu dalam kontek kepemimpinan sekolah.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi budaya sekolah
diantaranya kepemimpinan kepala sekolah, nilai-nilai masyarakat sekolah, kondisi
sekolah, tantangan-tantangan yang ada di sekolah, dan perubahan yang terjadi.
Hal yang perlu diingat bahwa kepala sekolah sebagai puncak pimpinan akan
sangat berperan dan sangat mewarnai corak budaya sekolah. Mengenai hal itu
dikemukakan oleh Safaruddin (2002 : 99) bahwa “Perubahan budaya sekolah pada
60
pokoknya ditentukan oleh atmosfer budaya yang dikembangkan oleh kepala
sekolah bersama dengan guru-guru.”
Pembelajaran yang efektif karena budaya sekolah yang kondusif dan
inovatif, akan makin bermakna dan meningkatkan keberhasilan pembelajaran bila
didukung dengan diciptakannya iklim sekolah yang kondusif. Pengembangan
iklim sekolah dalam upaya mewujudkan mutu pembelajaran merupakan hal
penting yang harus dilakukan oleh kepala sekolah. Dikemukakan oleh Hadiyanto
(2004 :177) bahwa “Iklim sekolah adalah suasana sosial psikologis di mana iklim
kelas berada di dalamnya.” Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa mutu
pembelajaran akan berkorelasi positif dengan iklim sekolah yang kondusif, karena
bagaimana mungkin pembelajaran berjalan dengan baik manakala suasana sosial
psikologis yang ada tidak kondusif. Lebih lanjut Hadiyanto (2004 : 178)
menjelaskan bahwa “ Iklim sekolah merupakan kualitas dari lingkungan sekolah
yang terus menerus dialami oleh guru-guru, mempengaruhi mereka dan berdasar
pada persepsi kolektif tingkah laku mereka.” Jadi, jelaslah bahwa iklim sekolah
yang merupakan gambaran kualitas lingkungan sekolah, merupakan faktor yang
penting untuk diciptakan, dan dikelola oleh kepala sekolah agar iklim sekolah
menjadi kondusif dan inovatif bagi kelancaran pembelajaran.
Membahas tentang iklim sekolah ada beberapa dimensi yang dikemukakan
oleh Moos dan Arter (Hadiyanto, 2004 : 179) sebagai berikut :
1) Dimensi hubungan
Dimensi ini mengukur sejauh mana partisipasi personalia yang ada di
sekolah. Dimensi ini mencakup afektif dan interaksi para personel yang ada. Skala
61
yang dipakai untuk mengukur hubungan adalah dukungan peserta didik (student
kedekatan (closeness), dan keterlibatan (involvment).
2) Dimensi pertumbuhan/perkembangan pribadi.
Dimensi perkembangan pribadi berorientasi pada tujuan, yang di
dalamnya membahas tentang tujuan utama sekolah dalam mendukung
pertumbauhan pribadi dan motivasi guru untuk tumbuh dan berkembang. Skala
yang dipakai untuk melihat iklim sekolah adalah minat profesional (professional
interest), halangan (hindrence), kepercayaan (thrust), standar presatasi
(achievement standard), dan orientasi pada tugas (task orientation).
3) Dimensi perubahan dan perbaikan sistem.
Dimensi ini membahas sejauh mana iklim sekolah mendukung harapan,
memperbaiki, kontrol, dan merespon perubahan. Skala yang dipakai dalam
dimensi ini adalah kebebasan staf (staff freedom), partisipasi dalam pembuatan
keputusan (participatory decision making), inovasi (innovation), tekanan kerja
(work pressure), kejelasan (clarity), dan pengawawan (control).
4) Dimensi lingkungan fisik
Dimensi ini membicarakan sejauh mana lingkungan fisik seperti fasilitas
sekolah dapat mendukung harapan pelaksanaan tugas. Skala yang dipakai
mengukur iklim sekolah adalah kelengkapan sumber (resource adequacy), dan
kenyamanan lingkungan (physical comfort).
Berdasarkan kepada penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan
bahwa prilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, demikian pula
62
peserta didik yang ada di sekolah seudah barang tentu akan dipengaruhi oleh
faktor lingkungan sekolah, yang di dalamnya terdapat faktor budaya dan iklim
sekolah. Itulah sebabnya, budaya dan iklim sekolah harus diciptakan dan dikelola
sedemikian rupa oleh kepala sekolah sebagai agen perubahan (change agent)
sekaligus sebagai manajer, motivator, dan inovator di sekolah.
f. Pengelolaan Tenaga Kependidikan
Untuk dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan di sekolah, unsur
manusia merupakan unsur penting, karena kelancaran pelaksanaan program-
program sekolah sangat ditentukan oleh orang-orang yang melaksanakannya.
Dengan demikian, hal tersebut harus betul-betul disadari oleh kepala sekolah,
sehingga dengan segala kemampuannya kepala sekolah akan terus berupaya
mengelola personalia yang ada di sekolah. Kepala sekolah harus memegang
prinsip seperti yang dikemukakan oleh H.M. Daryanto (2006 : 29) bahwa :
Bagaimanapun lengkap dan modernnya fasilitas yang berupa gedung, perlengkapan, alat kerja, metode-metode kerja, dan dukungan masyarakat akan tetapi apabila manusia-manusia yang bertugas menjalankan program sekolah itu kurang berpartisipasi, maka akan sulit untuk mencapai tujuan pendidikan yang dikemukakan.
Personalia atau tenaga kependidikan yang dimaksud di sini adalah semua
orang yang tergabung untuk bekerja sama pada suatu sekolah untuk melaksanakan
tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Personalia atau Tenaga
kependidikan di sekolah meliputi kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru,
pegawai tata usah, dan pesuruh. Agar kegiatan-kegiatan di sekolah berlangsung
secara harmonis maka semua personel yang ada itu harus mempunyai kemampuan
63
dan kemauan, serta bekerja secara sinergi dengan melaksanakan tugasnya masing-
masing dengan sungguh-sungguh dengan penuh dedikasi. Untuk dapat
terlaksananya kegiatan-kegiatan seperti itu diperlukan suatu pengelolaan dari
kepala sekolah sebagai manajer pada satuan pendidikan. Itulah sebabnya, kepala
sekolah harus memiliki kompetensi tentang pendayagunaan sumber daya
manusaia secara optimal untuk mengelola tenaga kependidikan di sekolah.
Dengan jelas mengenai hal ini dikemukakan oleh Hari Suderadjat (2005 : 18)
sebagai berikut :
Kepala sekolah merupakan penanggung jawab pertama dan utama dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah bersama dengan guru-guru sebagai fasilitator dan motivator pembelajaran siswa. Kepemimpinan pendidikan kepala sekolah merupakan tumpuan keberhasilan manajemen sekolah
Sejalan dengan pendapat di atas dikemukakan oleh E. Mulyasa (2006 :
151) bahwa “Keberhasilan pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh
keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola tenaga kependidikan yang tersedia
di sekolah.”
Mencermati pendapat para ahli tersebut di atas maka kepala sekolah
semestinya menguasai bidang manajemen tenaga kependidikan. Manajemen
tenaga kependidikan ini bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan
secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam rangka
melaksanakan manajemen tenaga kependidikan di sekolah, E. Mulyasa (2006 :
152) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
Pelaksanaan manajemen tenaga kependidikan di Indonesia sedikitnya mencakup tujuh kegiatan utama, yaitu perencanaan tenaga kependidikan, pengadaan tenaga kependidikan, pembinaan dan pengembangan tenaga
64
kependidikan, promosi dan mutasi, pemberhentian tenaga kependidikan, kompensasi, dan penilaian tenaga kependidikan.
Lebih jelasnya, unsur-unsur manajemen tenaga kependidikan tersebut di
atas oleh E. Mulyasa (2006 : 153-158) diuraikan sebagai berikut :
1) Perencanaan
Perencanaan tenaga kependidikan dilakukan untuk menentukan kebutuhan
tenaga kependidikan, baik dari segi jumlah maupun mutunya sesuai dengan
bidang kerja yang ada.
2) Pengadaan
Pengadaan tenaga kependidikan merupakan kegiatan yang dilakukan
dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga. Kegiatannya melalui rekrutmen dan
seleksi. Rekrutmen dimaksudkan untuk mencari calon sebanyak-banyaknya yang
memenuhi persyaratan, dan selanjutnya dilakukan pemilihan melalui seleksi.
3) Pembinaan dan pengembangan
Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan dilakukan untuk
memperbaiki, menjaga, dan meningkatkan kinerja tenaga kependidikan. Kegiatan
ini dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in service training.
4) Promosi dan mutasi
Promosi dilakukan dalam rangka menentukan calon tenaga kependidikan
menjadi anggota organisasi yang sah, yaitu melalui pengangkatan. Dengan
promosi ini personel akan menjadi anggota yang sah disertai dengan hak dan
kewajibannya sebagai tenaga kependidikan. Sedangkan mutasi dilakukan dengan
tujuan agar personel yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja, memberikan
65
prestasi kerja, menghilangkan kejenuhan yakni melalui pemindahan fungsi, dan
tanggung jawab pada situasi yang baru.
5) Pemberhentian
Pemberhentian personel dapat terjadi atas permintaan sendiri,
pemberhentian oleh dinas, dan pemberhentian karena sebab lain.
6) Kompensasi
Kompensasi yaitu balas jasa yang diberikan kepada personel. Kompensasi
yang diberikan harus seimbang dengan beban dan prestasi kerja personel yang
bersangkutan. Bentuk kompensasi ini dapat berupa gaji, tujangan, fasilityas
perumahan, kendaraan, dan sebagainya.
7) Penilaian
Penilaian biasanya difokuskan pada prestasi individu dan peran sertanya
dalam kegiatan sekolah. Penilai personel penting dilakukan dalam rangka
pengambilan keputusan berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program
sekolah, penerimaan, pemilihan, pengenalan, penempatan, promosi, sistem
imbalan, dan aspek lain dari keseluruhan proses pengembangan sumber daya
manusia secara keseluruhan. Hasil-hasil dari penilaian dimanfaatkan sebagai
sumber data untuk perencanaan tenaga kependidikan, nasihat yang perlu
disampaikan kepada personel, alat untuk umpan balik, salah satu cara untuk
menetapkan kinerja yang diharapkan, dan bahan informasi dalam pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan tenaga kependidikan.
Guna memperoleh efektivitas dan efisiensi dalam pemberdayaan tenaga
kependidikan tentu harus dilakukan secara profesional oleh kepala sekolah. Dalam
66
melakukan upaya-upaya pemberdayaan tenaga kependidikan harus
memperhatikan faktor-faktor yang sekiranya akan dapat meningkatkan kinerja
para personel. Dengan kata lain bahwa hal-hal yang harus diperhatikan dalam
upaya pemberdayaan tenaga kependidikan adalah segala unsur yang turut
berpengaruh terhadap produktivitas kerja personel tenaga kependidikan. Hal-hal
yang dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan harus diupayakan
pengembangannya antara lain sebagai berikut :
1. Sikap mental tenaga kependidikan. Untuk memperoleh sikap mental yang
diharapkan harus diupayakan melalui pemberian motivasi, pembinaan disiplin,
dan penanaman etika kerja.
2. Tingkat pendidikan. Dengan pengembangan pendidikan para personel
diharapkan akan memperluas wawasan, pengetahuan, dan keterampilan, serta
sikap profesionalisme.
3. Penghargaan (reward). Dengan pemberian penghargaan personel dirangsang
untuk meningkatkan kinerjanya secara positif. Pemberian penghargaan seperti
ini harus dilakukan secara terbuka dan dikaitkan dengan prestasi kerja, yakni
agar terhindar dari efek negatif.
4. Hubungan antar personel. Terciptanya hubungan yang harmonis antar
pimpinan dan bawahan, antara bawahan dengan rekan-rekan sejawatnya akan
dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif. Untuk semua itu, maka
kepala sekolah harus dapat membangun hubungan yang terjadi antara semua
tenaga kepandidikan yang ada berjalan dengan harmonis. Hal itu dapat
67
diupayakan dengan jalan memberikan bimbingan, keteladanan, dan
keterbukaan dalam berbagai program kegiatan sekolah.
5. Kesempatan berprestasi. Dengan memberikan kesempatan berprestasi kepada
seluruh tenaga kependidikan akan menumbuhkan semangat untuk
meningkatkan potensi yang dimilikinya dan pada saatnya akan dapat
meningkatkan dedikasinya dalam bekerja.
6. Lingkungan dan suasana kerja. Lingkungan dan suasana kerja yang
menyenangkan akan membuat para pekerja merasa senang, dan nyaman dalam
bekerja sehingga akan membuahkan kinerja yang efektif, efisien, dan
produktif.
7. Jaminan sosial dan kesehatan. Jaminan sosial dan kesehatan yang mencukupi
akan menumbuhkan percaya diri, dan semangat kerja yang tinggi sehingga
akan menumbuhkan pengabdian yang tinggi pula. Dengan senang hati para
personel akan mengerahkan segalanya tenaga, pikiran, dan waktunya.
g. Mengelola Sarana dan Prasarana
Proses berlangsungnya pendidikan di sekolah melibatkan berbagai unsur
yang kesemuanya itu saling berkaitan dan saling melengkapi guna lancarnya
proses pendidikan yang diselenggarakan. Salah satu unsur penting yang tidak bisa
dilupakan adalah unsur sarana dan prasarana pendidikan, kerena untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan di sekolah diperlukan berbagai fasilitas yang
serasi sesuai dengan jenis kegiatan yang dilakukan. Sarana dan prasarana tersebut
harus dikelola agar berdaya guna bagi pencapaian tujuan pendidikan.
68
Mengingat pentingnya unsur sarana dan prasarana pendidikan ini,
pemerintah dalam PP 19 tahun 2005 mengeluarkan Standar Sarana dan Prasana
Pendidikan. Dalam pasal 1 ayat 8 dijelaskan bahwa :
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolah raga,
tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain,
tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi.
Sarana dan prasarana yang ada tidak akan bermanfaat secara optimal tanpa
dikelola dengan baik. Oleh karena itu, kepala sekolah harus dapat mengelola
sarana dan prasarana agar dapat berdaya guna untuk menunjang kelancaran, dan
memberi kemudahan-kemudahan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
Dalam mengelola sarana dan prasarana harus dilakukan secara profesional, yakni
sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang di dalamnya mencakup fungsi-
fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan dan penilaian.
Dengan pengelolaan yang profesional segala fasilitas yang ada akan berdaya guna,
karena semua fasilitas yang ada telah melalui proses pertimbangan yang matang.
Pengadaannya telah disesuaikan dengan kebutuhan, dipertimbangkan segi
kebermaknaannya, kepraktisannya, dan nilai estetikanya. Sehingga adanya sarana
dan prasarana betul-betul memberi kemudahan, menimbulkan rasa senang, dan
memberi kenyamanan kepada semua personel di sekolah terutama peserta didik.
69
h. Mengelola Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Dalam rangka mencapai tujuan sekolah sesuai dengan paradigma baru
manajeman pendidikan diperlukan pemberdayaan masyarakat secara optimal.
Sekolah sebagai suatu lembaga formal yang ada di lingkungan masyarakat,
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Antara
sekolah dan masyarakat akan saling mempengaruhi dan saling membutuhkan.
Sekolah membutuhkan dukungan masyarakat dan masyarakat memerlukan jasa
sekolah dalam bidang pendidikan. Namun demikian untuk dapat terwujudnya
hubungan sekolah dan masyarakat yang harmonis tidak akan terjadi dengan
sendirinya tetapi akan tergantung pada upaya yang dilakukan oleh kepala
sekolah. Dikatakan oleh E. Mulyasa (2006:163) bahwa :” Jalinan semacam itu
dapat terjadi, jika kepala sekolah aktif dan dapat membangun hubungan yang
saling menguntungkan (mutualisme).” Sesuai dengan pendapat tersebut, maka
kepala sekolah harus dapat mengelola hubungan antara sekolah dengan
masyarakat.
Agar tercipta hubungan yang harmonis, kepala sekolah dapat menempuh
cara-cara sebagai berikut :
1. Mengikutsertakan masyarakat dalam membuat
program-program sekolah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
2. Menjalin komunikasi secara rutin, yaitu dengan
menyelenggarakan rapat bersama, dialog, diskusi, dan sebagainya.
70
3. Menyampaikan laporan tentang perkembangan
sekolah secara berkala.
4. Mengadakan kunjungan rumah dalam rangka
mencari informasi-informasi dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi.
H.M. Daryanto (2006 :72) menjelaskan tentang keterangan-keterangan
yang harus diketahui oleh kepala sekolah agar dapat menjalin hubungan yang
harmonis dengan masyarakat sebagai berikut :
1. Unsur-unsur penting pada anggota masyarakat, lingkungan sekolah, kesetiaan, kepatuhan dan perasaan terikat yang ada pada masyarakat, cara-cara beraksi, menangani ide baru. 2. Tradisi dan adat istiadat. 3. Organisasi anggota masyarakat. 4. Kepemimpinan/struktur kekuatan yang terdapat dalam masyarakat. 5. Situasi fisik masyarakat, ciri-ciri pengelompokan formil dan hubungan ciri-ciri populasi.
Dengan adanya hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat,
maka akan menumbuhkan simpati, perhatian, dan rasa tanggung jawab
masyarakat terhadap sekolah, sehingga dukungan dan bantuan yang diperlukan
untuk penyelenggaraan pendidikan akan dengan mudah diberikan oleh
masyarakat. Hal inilah yang harus terus diupayakan oleh kepala sekolah guna
memperoleh dukunghan baik berupa gagasan-gagasan, dana, maupun sarana
prasarana dalam rangka memperlancar dalam mencapai tujuan pendidikan telah
ditetapkan.
i. Mengelola Peserta DidikTanpa ada murid tentu tidak akan ada sekolah. Pernyataan singkat ini
dengan jelas menggambarkan bahwa unsur murid ini termasuk untur yang utama
untuk berdirinya sekolah. Oleh karenanya, murid sebagai subyek dalam
71
pendidikan sudah semestinya menjadi pusat segala-galanya dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Semua program yang dibuat harus
dipertimbangkan dan sisesuaikan dengan kebutuhan dan potensi murid.
Menyikapi hal tersebut di atas maka sekolah, dalam hal ini kepala sekolah harus
memiliki kemampuan untuk mengelola murid, mulai dari proses penerimaan
murid baru, penempatan, dan pengembangan kapasitas murid.
Berkenaan dengan pengelolaan murid dijelaskan oleh Hari Suderadjat
(2005 : 50) sebagai berikut : “Tugas kepala sekolah dalam manajemen siswa
adalah menyeleksi siswa baru, penyelenggaraan pembelajaran, kehadiran murid,
uji kompetensi akademik dan atau kejuruan, bimbingan karir serta penelusuran
lulusan.”
Khusus dalam hal penerimaan murid baru Hari Suderadjat (2005 : 50)
menjelaskan sebagai berikut :
Inovasi dalam hal penerimaan siswa baru bagi sekolah, yaitu identifikasi potensi dan bakat siswa yang sesuai dengan persyaratan program studi atau program keahlian, sehingga hasil bimbingan akan menjadi optimal dalam mengarahkan siswa ke pendidikan lanjutan dan atau dunia kerja yang relevan.
Kegiatan-kegaitan yang dapat dilakukan berkenaan dengan penerimaan
murid baru antara lain sebagai berikut :
1. Tahap persiapan, yaitu membentuk Panitia Penerimaan Murid Baru, kemudian
menyebarkan informasi kepada masyarakan berkaitan dengan penerimaan
murid baru.
2. Tahap pelaksanaan, yaitu menerima pendaftaran dengan segala persyaratannya
dan seleksi.
72
3. Tahap penempatan, yaitu melalui berbagai pertimbangan yang matang, siswa
ditempatkan pada tempat yang sesuai.
4. Tahap pengembangan, yaitu memberikan program-program kegiatan
pendidikan baik kokurikuler maupun ekstrakurikuler, sesuai dengan hasil
analisa dari data-data yang berkaitaan dengan faktor minat, bakat, dan
kemampuan yang diminati murid.
j. Mengelola Pengembangan Kurikulum
Tugas kepala sekolah pada jenis dan tingkat sekolah apa pun adalah
memberikan jaminan adanya program pengajaran yang baik bagi murid. Agar
program pengajaran dapat tersusun dan terlaksana dengan baik maka kepala
sekolah harus mempunyai kemampuan mengelola kurikulum. Dalam UU
Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 19 dijelaskan bahwa : “Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.”
Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas maka penyusunan kurikulum
harus betul-betul dilakukan secara matang, karena akan digunakan sebagai
pedoman dan arah dalam proses pembelajaran yang merupakan inti dari kegiatan
pendidikan di sekolah. Itu semua, merupakan tanggung jawab kepala sekolah,
karena sesuai dengan UU Sisdiknas tahun 2003 bahwa kurikulum disusun oleh
masing-masing satuan pendidikan (KTSP) di bawah kepemimpinan kepala
sekolah.
73
Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dijelaskan dalam pasal
36 ayat 2 UU Sisdiknas 2003 sebagai berikut : “Kurikulum pada semua jenjang
dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip-prinsip diversifikasi sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.”
Berdasarkan ketentuan UU Sisdiknas 2003 tersebut di atas, diuraikan lebih
terperinci dalam buku Panduan Penyusunan KTSP (Depdiknas, 2006 : 12-14)
bahwa pengembangan dan pelaksanaan kurikulum didasarkan pada beberapa
prinsip sebagai berikut :
1) Prinsip pengembangan kurikulum
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta
didik dan lingkungannya. Dalam hal ini peserta didik menempati posisi sentral
dalam rangka mengembangkan potensinya.
2. Beragam dan terpadu. Dalam pengembangan kurikulum disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, tanpa
membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, status sosial ekonomi dan
jenis kelamin. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib
kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, disusun
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Semangat dan isi kurikulum dikembangkan mendorong peserta didik untuk
mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis.
74
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan
dengan memperhatikan faktor relevansi dengan kebutuhan kehidupan
kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, dikembangkan
pula keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan kerja.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup
keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kegiatan keilmuan, dan mata
pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan.
6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi sesuai dengan motto
Bhineka Tunggal Ika.
2) Prinsip pelaksanaan kurikulum
Prinsip pelaksanaan kurikulum pada setiap satuan pendidikan adalah
sebagai berikut :
1. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi
peserta didik, untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
Dengan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya
secara bebas, dinamis, dan menyenangkan.
2. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu : (a)
75
belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha
Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu
melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan
berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan
jati diri, melalui proses dan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan (PAKEM).
3. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik memperoleh pelayanan
perbaikan, pengayaan, dan percepatan sesuai dengan potensinya.
4. Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik
yang saling menerima, dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat dengan
prinsip tutwuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada.
5. Kurikulum dilaksanakan dengan pendekatan multistrtategi, dan multimedia,
sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan
sekitar sebagai sumber belajar.
6. Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan
budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan.
7. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran,
muatan lokal, dan pengembangan diri dilaksanakan dalam keseimbangan,
keterkaitan dan berkesinambungan.
Kepala sekolah dalam melaksanakan pengelolaan kurikulum dilakukan
dengan menerapkan ”fungsi-fungsi manajemen pada komponen kurikulum, yaitu
komponen tujuan, materi, metode atau proses dan evaluasi.” (Hari Suderadjat,
76
2005 : 44). Yakni dalam rangka pengelolan kurikulum, kepala sekolah
melakukan
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan evaluasi.
k. Mengelola Keuangan Sekolah
Masalah keuangan merupakan hal yang penting, karena semua kegiatan di
sekolah berkaitan dengan masalah keuangan. Untuk keperluan pendidikan yang
bermutu memerlukan dana yang cukup banyak, terutama untuk keperluan
operasional dan penyediaan sarana prasarana pembelajaran. Pengelolaan
keuangan sekolah ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah, sebagaimana
dikemukakan oleh E.Mulyasa (2006 : 194) bahwa : ”Kepala sekolah memiliki
tanggung jawab penuh terhadap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pertanggungjawaban keuangan sekolah.” Oleh karena itu, sudah selayaknya
kepala sekolah memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan sekolah, yakni
mulai dari merencanakan dengan penyusunan RAPBS, melaksanakan yakni
menerima dan menggunakan keuangan, mengevaluasi dan menyusun laporan
pertanggungjawaban penggunaan keuangan secara efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh kepala sekolah dalam mengelola
keuangan antara lain sebagai berikut :
1. Perencanaan keuangan sekolah, yaitu mulai dengan penyusunan rencana
anggaran belanja sekolah ( RAPBS) hingga menjadi APBS yang akuntabel.
2. Pelaksanaan keuangan sekolah, yaitu penerimaan dan pengeluaran keuangan
77
untuk keperluan sekolah.
3. Evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan sekolah, yaitu untuk
mengendalikan penggunaan dana agar tepat sasaran, dan tidak terjadi
penyimpangan, dengan disertai dengan adanya pengawasan dari pihak
eksternal seperti petugas dari dinas pendidikan, bawasda, dan KPK.
l. Mengelola Ketatausahaan Sekolah
Mengingat fungsi dan peranannya dalam mendukung kelancaran proses
pendidikan di sekolah dalam rangka mencapai tujuan, tidak bisa lepas dari unsur
ketatausahaan. Oleh karenanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
organisasi sekolah, maka pengelolaan ketatausahaan sekolah ini merupakan
tanggung jawab kepala sekolah. Jelasnya, kepala sekolah harus mempunyai
kemampuan mengelola ketatausahaan sekolah.
Dalam bukunya yang berjudul Administrasi Pendidikan, H.M. Daryanto
(2006 : 94) mendefinisikan tata usaha sebagai berikut :
Tata usaha adalah segenap kegiatan pengelolaan surat-menyurat yang dimulai dari menghimpun (menerima), mencatat, mengolah, mengadakan, mengirim, dan menyimpan semua bahan keterangan yang diperlukan oleh organisasi. Tata usaha merupakan salah satu unsur administrasi.
Sesuai dengan definisi tersebut di atas kegiatan-kegiatan tata usaha
sekolah antara lain sebagai berikut :
1) Menghimpun atau menerima surat-surat, keterangan-keterangan, yang
diperlukan sekolah.
2) Melakukan pencatatan atas surat-surat, keterangan-keterangan, dan data-data
yang diperlukan sekolah.
78
3) Mengolah data-data, dan keterangan-keterangan yang diterima agar lebih
praktis dan bermanfaat.
4) Menggandakan surat-surat, data-data, dan keterangan-keterangan sesuai dengan
keperluan.
5) Mengirim surat, data, dan keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang
memerlukan.
6) Menyimpan atau mengarsipkan surat-surat, data-data, dan keterangan-
keterangan pada tempat yang aman, dan mudah mencarinya apabila
diperlukan.
Dari hasil kegiatan tata usaha sekolah merupakan sumber data yang sangat
diperlukan oleh sekolah dalam rangka membuat keputusan-keputusan, dan
program-program kegiatan yang akan dilakukan. Dengan demikian kegiatan
ketatausahaan ini mempunyai peranan yang diperlukan untuk mendukung
kelancaran program sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan. H.M. Daryanto (2006 : 94) menjelaskan bahwa tata usaha memiliki
tiga pokok peranan sebagai berikut :
1. Melayani pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan operatif untuk mencapai tujuan dari suatu organisasi. 2. Menyediakan keterangan-keterangan bagi pimpinan organisasi itu untuk membuat keputusan atau melakukan tindakan yang tepat. 3. Membantu kelancaran perkembangan organisasi sebagai suatu keseluruhan.
Peranan-peranan itulah yang membuat kegiatan ketatausahaan diperlukan
dan penting dalam kegiatan pendidikan di sekolah. Sehingga kepala sekolah harus
dapat mendayagunakan potensi ini hingga dapat berperan sebagaimana yang
diharapkan.
79
m. Mengelola Unit Layanan Khusus
Untuk mendukung kegiatan pembelajaran bagi peserta didik di sekolah
dilakukan berbagai upaya, dan kegiatan-kegiatan itu harus memenuhi prinsip
relevansi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh peserta didik dan lingkungannya.
Program-program spesialisasi yang dibutuhkan diselenggarakan dengan
membentuk unit-unit layanan khusus sesuai dengan karakteristik potensi peserta
didik, sehingga fokus dan tepat pada sasaran yang efeknya akan memberi
kepuasan kepada peserta didik dan masyarakat pengguna jasa pendidikan.
Guna mewujudkan unit layanan khusus yang memiliki kemampuan sesuai
dengan yang diharapkan tentunya tidak bisa dipenuhi tanpa pengelolaan yang
optimal oleh kepala sekolah. Itulah sebabnya, kepala sekolah harus mengelola
unit-unit layanan khusus yang ada di sekolah secara profesional. Maksudnya,
program-program yang diselenggarakan merupakan hasil perencanaan yang
matang, dan menempatkan tenaga-tenaga yang betul-betul ahli sesuai dengan unit
layanan khusus yang ditanganinya. Untuk keperluan layanan khusus, sekolah
dapat membentuk unit-unit layanan sesuai dengan kebutuhan, misalnya unit
layanan khusus dengan program otomotif, teknologi informasi, pertanian, dan
sebagainya yang kesemua itu ditangani oleh tenaga-tenaga yang ahli di bidangnya.
n. Mengelola Sistem Informasi
Sejalan dengan kemajuan teknologi dan era globalisasi yang membuat
berbagai informasi dapat diakses secara global, maka sekolah sebagai agen
perubahan, dan agen pembaharu jangan sampai ketinggalan oleh informasi-
informasi terbaru. Sekolah yang tertinggal dengan sistem informasi yang
80
berkembang, berarti sekolah itu berjalan statis yang dapat membuat keterpurukan.
Untuk menghindari keadaan yang demikian, maka di sekolah semestinya
mempunyai sistem informasi yang andal. Sehingga dengan sistem informasi yang
andal ini data-data, fakta, opini, dan informasi yang diperlukan sekolah dapat
diperoleh, dan diproses secara cepat dan cermat. Mengenai hal itu dikemukakan
oleh Made Pidarta (2004 : 146) sebagai berikut : ”Informasi itu diharapkan bisa
mendetail. Sebab keputusan yang diambil akan kurang sempurna bila didasari
oleh informasi tentang sesuatu secara garis besar saja.” Sedangkan Johnson (Made
Pidarta, 2004 : 145) menjelaskan bahwa informasi hendaknya memiliki sifat-sifat
sebagai berikut :”(1) integratif, (2) untuk jangka waktu tertentu, (3) cukup
mendetail, dan (4) berorientasi kepada masa yang akan datang.”
Masalah penanganan informasi dikatakan sebagai suatu sistem karena
data-data atau berita-berita yang ada dihimpun, disimpan, diproses sehingga
menjadi satu keterkaitan yang integral dan pada akhirnya dirumuskan menjadi
suatu informasi yang baku. Suatu informasi yang akurat sangat penting bagi
kemajuan sekolah, sehingga untuk kepentingan itu kepala sekolah harus
mempunyai kemampuan mengelola sistem informasi sekolah guna mendukung
penyusunan program-program sekolah dan pengambilan keputusan. Karena
pengambilan keputusan yang tidak didasarkan pada data-data dan informasi-
informasi yang akurat tidak akan diperoleh keputusan yang akuntabel.
o. Memanfaatkan Kemajuan Teknologi Informasi
Pada uraian terdahulu telah dibahas tentang pentingnya informasi untuk
81
mendukung program pembelajaran yang efektif. Namun seiring dengan kemajuan
teknologi yang semakin pesat, bagaimanakah pengelolaan sistem informasi yang
dilakukan di sekolah-sekolah ? Sudahkah sekolah-sekolah mengelola sistem
informasi dengan menggunakan fasilitas hasil kemajuan teknologi ?
Pengelolaan sistem informasi tentunya akan lamban bahkan mungkin akan
ketinggalan jika dilakukan secara manual dan tradisional. Lain halnya bila kita
menggunakan fasilitas-fasilitas hasil kemajuan teknologi tentu akan diperoleh
berbagai kemudahan dan keuntungan. Dengan demikian bila kita ingin
memperoleh kemajuan dalam penyelenggaraan pendidikan, harus sudah
meninggalkan cara-cara tradisional, dan beralih ke cara-cara yang moderen dan
inovatif. Oleh karenanya, guna memperoleh sistem informasi yang cepat, akurat,
inovatif, efektif, dan efisien sudah selayaknya pada saat ini sekolah-sekolah
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi berupa komputer. Melalui fasilitas-
fasilitas yang praktis dan inovatif, dengan mudah kita dapat mencapai tujuan yang
diharapkan, sehingga akan memberikan kepuasan kepada semua pihak. Dalam
aplikasinya teknologi informasi sesuai dengan yang dimaksud di atas dijelaskan
oleh Munir (2007 : 4) dalam Konsep Dasar Sistem Informasi Berbasis Komputer,
sebagai berikut :
Teknologi informasi secara aplikasinya adalah merupakan gabungan teknologi komputer (hardware) dan teknologi komunikasi (data, gambar dan rangkaian suara). Selain itu, sistem juga dikelompokkan ke dalam sistem fisik dan sistem konseptual. Sistem fisik adalah perusahaan dan sistem konseptualnya adalah sumber daya manusia, sistem fisiknya adalah komputer dan konseptualnya adalah data, informasi.
Digambarkan oleh Munir (2007 : 6) model sistem informasi berbasis
komputer sebagai berikut :
82
Gambar 3
Model Sistem Informasi Berbasis Komputer
83
PROBLEM
DECISION
Computer Based Information System (CBIS) Data Procesing System Management
Information System Decision Support
System Office Automation
Systerm Expert System
PROBLEM SOLUTION
Manfaat atau kelebihan yang diperoleh dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi adalah akan diperoleh keputusan-keputusan yang secara
otomatis melalui program-program komputer. Dengan demikian manfaat dari
penggunaan teknologi informasi, akan diperoleh berbagai informasi yang cepat,
dan akurat. Sehingga apa yang disajikan sebagai hasil dari pengembangan-
pengembangan informasi akan terasa up to date. Hal ini terlihat dari penjelasan
yang digambarkan oleh Made Pidarta (2004 : 156) sebagai berikut :
Gambar 4Pengelolaan Sistem Informasi
Melalui Komputer dan Non Komputer
Informasi dan Keputusan Keputusan Rutin yang Prosedur dengan Otomatis Komputer (Otomatis)Data Informasi Keputusan Proses Nonrutin Nonkomputer Informasi
Keputusan Rutin
p. Melakukan Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan Pelaksanaan Program
Kegiatan Sekolah
Kompetensi manajerial kepala sekolah dalam rangka pengendalian mutu
yang berkelanjutan yaitu kemampuan melakukan monitoring, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan program-program kegiatan sekolah. Monitoring dan
84
evaluasi ini dilakukan agar selalu terpantau perkembangan dari pelaksanaan
program kegiatan-kegiatan di sekolah. Dengan melakukan monitoring dan
eveluasi kepala sekolah akan mengetahui kekurangan-kekurangan dan juga
kelebihan-kelebihan program yang dijalankannya. Sehingga secara dini akan
dilakukan berbagai upaya sebagai solusi untuk perbaikan program yang masih
kurang dan mempertahankan serta meningkatkan program-program yang sudah
baik.
Sebagai bentuk akuntabilitas dari program-program sekolah yang sudah
dilaksanakan sesuai dengan hasil monitoring dan evaluasi, selanjutnya kepala
sekolah harus mampu menyampaikan laporan pelaksanaan program kegiatan
sekolah, baik secara vertikal kepada dinas pendidikan maupun kepada masyarakat.
Hasil semua itu juga digunakan sebagai umpan balik dalam rangka
mengendalikan mutu layanan pendidikan.
2.1.1.3 Kompetensi Supervisi
Dalam pasal 57 PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
dijelaskan bahwa : “Supervisi yang meliputi supervisi manajerial dan akademik
dilakukan secara teratur dan berkesinambungan oleh pengawas atau penilik satuan
pendidikan dan kepala satuan pendidikan.” Dari ketentuan tersebut jelas bahwa
salah satu tugas kepala sekolah adalah sebagai supervisor. Sebagai supervisor
kepala sekolah harus melakukan supervisi terhadap jalannya penyelenggaraan
pendidikan pada satuan pendidikan yang dipimpinnya. Dengan demikian, sudah
85
barang tentu kepala sekolah harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang
supervisi.
Sebagai gambaran tentang supervisi dikemukakan oleh H.M. Daryanto
(2006 : 84) bahwa : “Supervisi adalah aktivitas menentukan kondisi/syarat-syarat
yang esensial yang akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan.” Sesuai
dengan pengertian tersebut, maka kepala sekolah sebagai supervisor harus dapat
meneliti, mengidentifikasi, mengolah dan membuat keputusan-keputusan yang
berguna untuk meningkatkan pendidikan di sekolahnya.
Pengertian supervisi yang lain dikemukakan oleh Sergiovani dan Starrat
(E. Mulyasa, 2006 : 111) sebagai berikut :
Supervisi is a process designed to help teacher and supervisor learn more about their practice; to better able to use their knowledge and skill to better serve parents and school; and to make the school a more effective learning community.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa supervisi adalah suatu proses yang dirancang
secara khusus untuk membantu guru dan supervisor, dalam mempelajari tugasnya
sehari-hari, agar dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk
memberikan layanan yang lebih baik kepada orang tua peserta didik dan sekolah,
serta berusaha menjadikan sekolah sebagai masyarakat belajar yang lebih efektif.
Dari uraian-uraian di atas dapat dilihat betapa besar tugas dan tanggung
jawab kepala sekolah sebagai supervisor. Dalam rangka melaksanakan tugasnya
sebagai supervisor, maka kepala sekolah minimal harus dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan
profesionalisme guru.
86
2. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan pendekatan dan
teknik supervisi yang tepat.
3. Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka
membina dan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme
guru-guru.
Superevisi yang dilakukan oleh kepala sekolah hendaknya berfungsi untuk
memantau dan mengendalikan mutu pembelajaran agar tetap terpelihara
pembelajaran yang efektif. Mengenai hal tersebut di atas oleh H.M. Daryanto
(2006 : 179) dijelaskan bahwa fungsi supervisi adalah sebagai berikut :
a. Menjalankan aktivitas untuk mengetahui situasi administrasi pendidikan sebagai kegiatan pendidikan di sekolah dalam segala bidang. b. Menetapkan syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan situasi pendidikan di sekolah. c. Menjalankan aktivitas untuk mempertinggi hasil dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan.
Supervisi dilakukan bukanlah untuk mencari-cari kesalahan guru, tetapi
mengarah ke pembinaan untuk memperoleh peningkatan kinerja yang pada
gilirannya akan tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan secara memuaskan.
Untuk terwujudnya pelaksanaan supervisi yang baik, harus berpegang terhadap
prinsip-prinsip supervisi. Adapun prinsip-prinsip supervisi yang dapat dijadikan
pegangan oleh kepala sekolah diantaranya dikemukakan oleh Moh. Rifai (H.M.
Daryanto, 2006 : 85-87) sebagai berikut :
1. Supervisi harus bersifat konstruktif, yaitu dapat menimbulkan dorongan kepada
yang disupervisi untuk meningkatkan kinerjanya.
2. Supervisi harus berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya, ralistis dan mudah
dilaksanakan.
87
3. Supervisi hendaknya memberi perasaan aman kepada yang disupervisi.
4. Supervisi harus sederhana dengan suasana pelaksanaan yang informal.
5. Supervisi dilakukan atas dasar hubungan profesional, bukan hubungan pribadi.
6. Supervisi hendaknya memperhitungkan kesanggupan sikap dan prasangka yang
disupervisai.
7. Supervisi jangan bersifat menekan.
8. Supervisi jangan dilakukan atas dasar kekuasaan, pangkat, kedudukan, atau
kekuasaan pribadi.
9. Supervisi tidak boleh bersifat mencari kesalahan dan kekurangan.
10. Supervisi jangan terlalu cepat mengharapkan hasil, dan jangan cepat merasa
kecewa.
11. Supervisi hendaknya juga bersifat preventif, korektif, dan koopratif.
2.1.1.2.4 Kompetensi Kewirausahaan
Sekolah merupakan suatu organisasi yang mempunyai fungsi memberikan
pelayanan terhadap masyarakat dalam bidang pendidikan. Sebagai suatu
organisasi sudah barang tentu sekolah memiliki tujuan yang selalu diupayakan
agar tercapai secara optimal. Keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan di
sekolah, sangat tergantung pada upaya-upaya yang dilakukan sekolah. Begitu pula
sekolah dalam menarik simpati para orang tua murid dan masyarakat dalam
rangka mencari dukungan guna kelancaran penyelenggaraan pendidikan, ini pun
sangat tergantung pada upaya-upaya yang dilakukan sekolah.
88
Sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, yang harus bertanggung jawab
dalam melakukan berbagai upaya dimaksud di atas adalah kepala sekolah. Salah
satu cara yang diarahkan pada masalah kemampuan kepala sekolah untuk
melakukan upaya-upaya dalam pencapaian tujuan pendidikan, yaitu dengan cara
bahwa kepala sekolah harus memiliki kompetensi kewirausahaan atau
kewiraswastaan. Kompetensi kewirausahaan sangat penting bagi kepala sekolah,
karena sikap, kepribadian, prilaku, dan prinsip-prinsip kewirausahaan akan sangat
berguna untuk mengelola sekolah. Sifat-sifat gigih, percaya diri, aktif, kreatif,
dinamis, berani mengambil resiko, tidak mudah putus asa, selalu berorientasi pada
hasil, peka terhadap perubahan dan perkembangan, dan sebagainya merupakan
sifat-sifat yang selayaknya dimiliki oleh kepala sekolah sebagai manajer satuan
pendidikan.
Dikemukakan oleh Hari Suderadjat (2005 : 116) bahwa “Kewiraswastaan
adalah nilai dan sikap yang dapat menambah tingkat keberhasilan pemimpin dan
atau manejer, baik keberhasilan pribadi maupun lembaga.” Sedangkan E. Mulyasa
(2006: 179) menjelaskan tentang kewirausahaan sebagai berikut : “...wirausaha
adalah orang yang dapat meningkatkan nilai tambah terhadap sumber daya tenaga
kerja, alat, bahan, dan aset lain, serta orang yang memperkenalkan perubahan,
inovasi, dan cara-cara baru.”
Menganalisa pengertian-pengertian wirausaha di atas, maka jelaslah dari
ciri-ciri yang dimiliki oleh kewirausahaan tersebut merupakan hal yang harus
dilaksanakan oleh kepala sekolah. Melaksanakan kewirausahaan di sekolah berarti
menerapkan sikap-sikap, pribadi, dan prilaku kewirausahaan di lingkungan
89
sekolah guna meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah dan pencapaian
tujuan pendidikan. Itulah sebagnya, sifat kewirausahaan merupakan suatu hal
yang penting dalam dunia pendidikan, sehingga dikatakan oleh Hari Suderadjat
(2005 : 116) bahwa :
Nilai dan sikap kewiraswastaan merupakan kunci keberhasilan individu dalam posisi apapun ia berada; apakah ia seorang pemimpin, seorang manajer, karyawan, anggota TNI, pengusaha besar, pengusaha menengah atau kecil, ataupun seorang ulama.
Karakteristik kepribadian wirausaha dijelaskan lebih terperinci oleh
Steinhoff (E. Mulyasa, 2006 : 179 – 180) sebagai berikut :
1. Percaya diri (self confidence) yang tinggi, terhadap kerja keras, mandiri, dan
memandang bahwa resiko merupakan bagian dari keberhasilan. Dengan itu
mereka bekerja dengan tenang, optimis, dan tidak takut gagal.
2. Memiliki kreativitas diri (self creativity) yang tinggi dan kemampuan mencari
cara untuk melakukan suatu kegiatan.
3. Berpikir positif (positive thinking) dalam menghadapi setiap masalah, dan
melihat dari segi positifnya, sehingga akan selalu melihat peluang yang
dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan.
4. Berorientasi pada hasil (output oriented), sehingga tidak menyerah terhadap
hambatan yang dihadapi bahkan sebaliknya tertantang untuk mengatasinya
hingga mencapai hasil yang diharapkan.
5. Berani mengambil resiko yaitu tidak takut gagal atau rugi dalam melakukan
tindakan.
6. Berjiwa pemimpin, yaitu selalu ingin memberdayakan orang lain dan tampil ke
depan dalam menghadapi pekerjaan.
90
7. Berpikir orisinal, yaitu kreatif dan inovatif untuk mendapatkan peluang.
8. Suka pada tantangan, dan suka merealisasikan ide-idenya.
Untuk menerapkan kiat-kiat kewirausahaan dalam mengelola pendidikan,
kepala sekolah dapat berpedoman pada acuan yang dikeluarkan pemerintah sesuai
dengan PP 19 tahun 2005 dan Permendiknas nomor 13 tahun 2005 tentang
Kompetensi Kepala Sekolah, yang mengarahkan bahwa kepala sekolah harus
mempunyai kompetensi minimal tentang kewirausahaan yang meliputi kegiatan-
kegiatan sebagai berikut :
1. Kepala sekolah harus mampu menciptakan inovasi yang berguna untuk
pengembangan sekolah.
2. Kepala sekolah harus mampu bekerja keras dalam upaya mencapai keberhasilan
sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif.
3. Kepala sekolah harus memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai kesuksesan
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
4. Kepala sekolah pantang menyerah dan selalu mencari solusi dalam menghadapi
kendala di sekolah.
5. Kepala sekolah harus memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan
produksi/jasa sekolah sebagai sumber belajar peserta didik.
2.1.1.2.5 Kompetensi Sosial
Sekolah merupakan bagian yang integral dari kehidupan masyarakat,
sehingga sekolah tidak bisa berdiri sendiri atau mengisolir diri dari kehidupan
91
sosial. Sekolah perlu masyarakat, dan masyarakat pun perlu sekolah. Nana
Syaodih Sukmadinata (2000 : 59) menjelaskan bahwa :
Pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat, penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-lain.
Posisi mutualisme yang dapat menguntungkan ini merupakan sumber daya yang
sangat potensial untuk diberdayakan demi kepentingan penyelenggaraan
pendidikan. Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat dari potensi ini hanya
tinggal tergantung kepada dapat atau tidaknya sekolah menjadikan masyarakat
sebagai partner dalam mengelola pendidikan. Mengenai hal ini dijelaskan pula
oleh E. Mulyasa (2006 : 22) sebagai berikut :
Dalam alam demokratis, masyarakat merupakan partner sekolah dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran, karena sekolah merupakan bagian integral dari masyarakat. Kerjasama antara keduanya sangat penting untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan operasional, baik moral maupun finansial.
Upaya memberdayakan potensi yang ada di masyarakat merupakan
tanggung jawab kepala sekolah. Kepala sekolah harus mampu mengelola
hubungan yang harmonis dengan masyarakat, agar tercipta suatu kondisi
lingkungan yang kondusif bagi terlaksananya penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu. Kenyataan saat ini hubunghan yang terjadi antara sekolah dengan
masyarakat, diungkapkan oleh E. Mulyasa (2006 : 22) bahwa : “Hubungan
sekolah dengan masyarakat sebenarnya sudah didesentralisasikan, tetapi
pelaksanaannya belum optimal.”
92
Melihat kenyataan seperti digambarkan di atas, terlepas benar ataupun
tidak, tetap kepala sekolah harus segera berpikir dan segera berbuat melakukan
berbagai cara untuk menjalin hubungan dan kemitraan dengan pihak lain atau
masyarakat. Tentu banyak cara yang dapat ditempuh oleh kepala sekolah untuk
dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan pihak lain, misalnya mengadakan
pertemuan-pertemuan, mengadakan dialog dan diskusi, mengadakan acara-acara
yang dapat melibatkan masyarakat dan sebagainya. Namun demikian, sukses atau
tidaknya sekolah menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat
tergantung pada kompetensi atau kemampuan kepala sekolah dalam mengelola
hubungan.
Dalam rangka menjalin kemitraan dan menjalankan fungsi sosial sesuai
dengan uraian-uraian di atas, maka kepala sekolah harus mempunyai kompetensi
sosial sebagaimana digambarkan dalam Permendiknas nomor 13 tahun 2005
sebagai berikut :
1. Kepala sekolah harus berkompeten untuk menjalin kerja sama dengan pihak
lain untuk kepentingan pendidikan.
2. Kepala sekolah harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan.
3. Kepala sekolah harus memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok
lain.
Dengan adanya kemampuan kepala sekolah merealisasikan hal-hal
tersebut di atas, maka sudah dapat diperkirakan efek atau timbal balik dari pihak
lain terhadap sekolah akan bersifat positf sesuai dengan yang diharapkan. Yakni
93
masyarakat akan bersedia bahkan dengan ihlas memberikan dukungannya
terhadap penyelenggaraan pendidikan.
2.1.2 Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
2.1.2.1 Pengertian Partisipasi Masyarakat
Gambaran sepintas apabila mendengar kata masyarakat akan terbayang
cakupannya sangat luas dan umum, sehingga bila kurang cermat dalam
menggambarkan tentang masyarakat akan terkesan rancu terutama bila dikaitkan
dengan partisipasinya dalam pendidikan. Memang demikian adanya masyarakat
sangat luas dan beraneka ragam karakter, status, budaya, lingkungan, dan
sebagainya dari kelompok yang disebut masyarakat. Sehingga untuk kepentingan
yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pendidikan di sekolah,
semestinyalah ada penegasan terlebih dahulu masalah pemahaman tentang
masyarakat. Untuk memperoleh gambaran secara umum yang dimaksud dengan
masyarakat dapat dilihat definisi yang dikemukakan dalam UU Sisdiknas 2003
pasal 1 butir 27 bahwa “Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang
pendidikan.” Selanjutnya, kelompok masyarakat yang diharapkan berpartisipasi
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, saat ini ada yang dikenal dengan
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Pengertian Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah dijelaskan dalam pasal 24 dan 25 UU Sisdiknas 2003 sebagai
berikut :
Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Komite Sekolah/Madrasah
94
adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Sejalan dengn pengertian di atas Made Pidarta (2004 : 188)
mengemukakan kelompok-kelompok yang dapat memberi dukungan atau
berpartisipasi dalam pendidikan di sekolah sebagai berikut :
Beberapa contoh partisipasi masyarakat dalam pendidikan adalah : 1. Bentuk parrtisipasi antara lain : a. Dewan Pendidikan, b. Komite Sekolah, c. Persatuan orang tua siswa, d. Perkumpulan olah raga, e. Perkumpulan kesenian, f. Organisasi-organisasi yang lain.
Dalam pasal 54 UU Sisdiknas 2003 diuraikan pula tentang kelompok
masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam pendidikan sebagai berikut :
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peranserta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang dapat
berpartisipasi dalam pendidikan di sekolah adalah semua orang baik secara
individu, keluarga, kelompok, dan organisasi terutama yang ada di sekitar
lingkungan sekolah yang peduli terhadap pendidikan. Kita maklumi bahwa
masyarakat yang ada di sekitar sekolah itu sikapnya terhadap sekolah bermacam-
macam ada yang peduli, acuh tak acuh, dan mungkin ada yang kontra.
Sejauh mana realisasi dan peranan partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan tergantung pada pemahaman masyarakat itu sendiri pada pendidikan,
dan tergantung pada kemampuan sekolah, dalam hal ini kepala sekolah, menjalin
hubungan dengan masyarakat. Padahal dalam pasal 6 dan 9 UU Sisdiknas 2003
ditegaskan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
pendidikan, dan masyarakat wajib memberikan dukungan sumber daya untuk
95
penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula dengan dibentuknya Komite SD/MI
ditujukan untuk mendorong partisipasi masyarakat terhadap pendidikan, seperti
dijelaskan oleh Sukirno (2006 : 3) bahwa : “Komite SD/MI bertujuan
meningkatkan keikutsertaan atau partisipasi orang tua/wali siswa dan tokoh
masyarakat sebagai anggota komite dalam membantu keberhasilan pelaksanaan
pendidikan dan pembelajaran di SD/MI yang bersangkutan.” Untuk dapat
terlaksana sesuau dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, itu semua harus
diupayakan oleh kepala sekolah beserta stafnya, dan ini penting sekali mengingat
bahwa sekolah tidak akan berjalan secara optimal tanpa partisipasi masyarakat.
Yang dimaksud dengan partisipasi dijelaskan oleh E. Mulyasa (2006 :
170) sebagai berikut : “Partisipasi masyarakat mengacu kepada adanya
keikutsertaan secara nyata dalam suatu kegiatan. Partisipasi itu bisa berupa
gagasan, keritik membangun, dukungan dan pelaksanaan pendidikan.”
Partisipasi masyarakat ini dimaksudkan untuk memperlancar
penyelenggaraan pendidikan dalam rangka memenuhi harapan-harapan, baik itu
harapan masyarakat maupun harapan pihak sekolah itu sendiri, sehingga semua
pihak akan mendapatkan kepuasan. Kepuasan itu akan muncul bila apa yang
diharapkan terpenuhi dengan baik. Dengan adanya partisipasi masyarakat berarti
akan tercipta hubungan kerjasama yang sangat diperlukan dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Dengan terjalinnya hubungan akan dapat menghindari
terjadinya kesalahpahaman dalam menterjemahkan harapan dan kebutuhan
masyarakat dari pendidikan, karena dengan terjalinnya komunikasi segala sesuatu
persoalan dapat dibicarakan bersama-sama. Bent dan Kronenberg (H.M.
96
Daryanto, 2006 : 75) menjelaskan bahwa tujuan utama dari hubungan sekolah dan
masyarakat adalah sebagai berikut :
: a. To prevent misunderstanding. (Untuk mencegah kesalahpahaman antara masyarakat terhadap sekolah), b. To secure financial support. (Untuk memperoleh sumbangan-sumbangan finansial dan material dari masyarakat), c. To secure copperation in policy making. (Untuk menjalin kerja sama dalam pembuatan kebijaksanaan-kebijaksanaan).
Koentjaraningrat (E. Mulayasa, 2006 : 170) menggolongkan partisipasi
masyarakat ke dalam tipologi pertisipasi kuantitatif dan partisipasi kualitatif,
yakni : “Partisipasi kuantitatif menunjuk pada frekuensi keikutsertaan masyarakat
terhadap implementasi kebijakan, sedangkan partisipasi kualitatif menunjuk
kepada tingkat dan derajatnya.”
Partisipasi masyarakat dapat dilihat juga dari segi cakupannya seperti
dikemukakan oleh E. Mulyasa (2006 :171) sebagai berikut :
Secara luas, partisipasi dapat diartikan sebagai demokratisasi politik. Di dalamnya masyarakat menentukan tujuan, strategi dan perwakilannya dalam pelaksanaan kebijakan dan pembangunan. Secara sempit, partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan proses perubahan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan arti pembangunan sendiri.
Dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan partisipasi
masyarakat sangat di perlukan. Masyarakat harus menjadi partner sekolah dalam
melaksanakan pendidikan, karena dengan kerja sama itu akan dapat menambah
masukan-masukan, gagasan, dan saran-saran untuk meningkatkan pelayanan, di
samping dukungan berupa material. Itulah sebabnya sekolah, dalam hal ini kepala
sekolah, harus mampu mendorong agar masyarakat mau berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.
97
2.1.2.2 Masyarakat Sebagai Sumber Daya Pendidikan
Telah banyak disinggung dalam pembahasan di atas bahwa sekolah tidak
bisa berdiri sendiri dan harus bekerja sama agar mendapat dukungan dari
masyarakat. Tanpa dukungan dari masyarakat, sekolah akan menemui berbagai
kesulitan dalam mewujudkan cita-citanya memperoleh lulusan yang bermutu.
Berkaitan dengan hal ini H.M. Daryanto (2006 :71) menjelaskan sebagai berikut :
Adalah merupakan sesuatu kenyataan bahwa, sekolah tidak merupakan sesuatu yang berdiri sendiri terpisah dari dunia luar melainkan berada dalam suatu sistem masyarakat yang telah tetap. ... Oleh karena itu, orang-orang yang bekerja disekolah mau tidak mau harus bekerja dengan masyarakat.
Banyak manfaat yang dapat diambil dari masyarakat untuk kepentingan
pendidikan sehingga mutlak perlunya bagi sekolah yang mau meningkatkan mutu
pendidikan yang diselenggarakannya, untuk menjalin hubungan kerja sama
dengan masyarakat, terutama masyarakat lingkungan sekitar sekolah. Masyarakat
sebagai salah satu sumber daya pendidikan memiliki berbagai potensi, karena
masyarakat untuk kemajuan pendidikan mempunyai andil dalam masukan-
masukannya berupa ide, gagasan, pertimbangan, pengontrol dan mengevaluasi,
maupun dukungan dana. Perlu disadari bahwa dalam hal dana saja misalnya, saat
ini pemerintah belum mampu menangani pendidikan tanpa bantuan masyarakat.
Hal itu tercermin dari banyaknya bangunan fisik sekolah, dan fasilitas-fasilitas
belajar yang memprihatinkan. Realita ini sekaligus mencerminkan masih belum
tergalinya potensi masyarakat sebagai salah satu sumber daya pendidikan. Sebatas
dalam ketentuan memang secara yuridis sudah dituangkan dalam UU Sisdiknas
tahun 2003, misalnya dalam pasal 9 disebutkan bahwa masyarakat wajib
98
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Selanjutnya dalam pasal 46 disebutkan pula bahwa masyarakat ikut bertanggung
jawab dalam hal pendanaan pendidikan di samping sebagai tanggung jawab
pemerintah.
Di negara-negara yang sudah maju, tentang partisipasi masyarakat
dikemukakan oleh Walsh (Made Pidarta, 2004 : 185) sebagai berikut :
“Masyarakat memandang sekolah (lembaga Pendidikan) sebagai cara yang
meyakinkan dalam membina perkembangan para siswa (dan mahasiswa), karena
itu masyarakat berpartisipasi dan setia kepadanya.” Namun belum demikian
halnya pada masyarakat kita karena satu dan lain hal. Menurut Made Pidarta
(2004 :186) belum tingginya tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan
“... disebabkan karena banyak warga masyarakat yang belum paham akan makna
lembaga pendidikan, lebih-lebih bila sosial ekonomi mereka rendah, mereka
hampir tidak hirau akan lembaga pendidikan.” Gambaran ini hanyalah analisis
pada satu sisi, mengingat pada sisi yang lain ada penentu tingginya partisipasi
masyarakat terhadap sekolah, yaitu upaya pendekatan dan sosialisasi yang
dilakukan oleh sekolah, terutama kepala sekolah. Mengenai hal ini dikemukakan
oleh Made Pidarta (2004 :187) sebagai berikut :
Bila manajer berhasil, biasanya imbalannya dari warga masyarakat cukup besar. Mereka secara antusias akan mendukung lembaga pendidikan bersangkutan baik secara moral maupun material. Kadang kala sebelum mahasiswa tamat, beberapa di antara mereka sudah dipesan oleh konsumen. Melihat kondisi seperti ini sudah tentu orang-orang tua mahasiswa bersangkutan sangat gembira. Makin banyak orang tua dan konsmen yang merasakan kepuasan itu, makin banyak dan makin besar pula partisipasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan itu.
99
Dengan adanya gambaran-gambaran tersebut di atas, kita harus tetap
optimis karena pada dasarnya dalam kondisi dan status sosial yang bagaimana pun
dari masyarakat, bila dikelola dengan profesional akan dapat membuahkan hasil
yang baik, dan masyarakat sebagai sumber daya pendidikan akan berperan secara
optimal. Dengan kata lain, kepala sekolah harus memiliki kemamapuan dalam
memanfaatkan sumber daya pendidikan baik yang ada di sekolah maupun di luar
sekolah. Sejalan dengan maksud yang dikemukakan di atas Sudarwan Danim
(2002 : 142) menjelaskan sebagai berikut : “Salah satu penyebab lambannya
pertumbuhan kualitatif pendidikan kita adalah lemahnya kemampuan profesional
para pengelola satuan pendidikan, terutama kepala sekolah dalam memanfaatkan
potensi sumber daya pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.”
Dalam menghadapi merosotnya hasil pendidikan, maka pihak sekolah
semestinya menempuh berbagai strategi untuk mengatasinya. Salah satu strategi
untuk menghadapi merosotnya hasil pendidikan itu ditempuh dengan
mengupayakan partisipasi masyarakat. Mengenai hal ini dikemukakan oleh M.
Sobri Sutikno (2006, Tersedia :http://sobrysutikno.com [12/05/2006]) sebagai
berikut :
Mengenai kecenderungan merosotnya hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan guna meningkatkan kualitas dan relevasi pendidikan.
Dalam rangka memberdayakan potensi masyarakat ke dunia pendidikan di
sekolah terlebih dahulu harus dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan
masyarakat. Menurut E. Mulyasa (2006 : 166) hubungan yang harmonis akan
membentuk hal-hal sebagai berikut :
100
1. Menumbuhkan saling pengertian antara sekolah, orang tua murid, masyarakat,
lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat, dan dunia kerja.
2. Antara sekolah dan masyarakat akan saling membantu, karena mengetahui
manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing.
3. Kerjasama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di
masyarakat dan mereka merasa bangga serta ikut bertanggung jawab atas
suksesnya pendidikan di sekolah.
Dalam uraian di atas terlihat bahwa masyarakat, sesuai dengan potensi yang
dapat dikembangkannya menunjukkan bahwa masyarakat merupakan salah satu
sumber daya pendidikan. Hal ini dikemukakan pula oleh Hari Suderadjat (2005 :
54) sebagai berikut : “Masyarakat lingkungan juga merupakan sumber daya
pendidikan, baik dalam arti sumber dana, sumber tenaga kependidikan (gues
lecture), laboratorium pendidikan, maupun sebagai penasihat pendidikan
(advisory council).”
Berdasarkan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa masyarakat merupakan
sumber daya pendidikan yang harus diberdayakan untuk kemajuan pendidikan.
Adapun potensi-potensi yang terdapat dalam sumber daya masyarakat ini
diantaranya :
1. Berupa ide atau gagasan, dan masukan-masukan untuk kemajuan pendidikan.
2. Masyarakat sebagai sumber belajar, dan sebagai laboratorium bagi sekolah.
3. Masyarakat sebagai pendukung dana, fasilitas, sarana dan prasarana sekolah.
4. Masyarakat dapat menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi
berlangsungnya pendidikan.
101
5. Masyarakat sebagai pengontrol, penilai, dan memberikan umpan balik berupa
masukan-masukan, keritik dan saran-saran sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi.
2.1.2.3 Manajemen Pemberdayaan Masyarakat dalam Pendidikan
Sudah diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu sumber daya
pendidikan yang potensia. Partisipasi dan kebermanfaatannya bagi dunia
pendidikan tidak begitu saja terjadi dengan sendirinya, tetapi agar masyarakat
berdaya guna bagi pendidikan harus dikelola secara profesional. Jelas, tidak
mudah memberdayakan masyarakat terhadap dunia pendidikan di sekolah. Hal ini
dapat dimengerti karena antara pihak sekolah dan masyarakat tidak ada ikatan
formal. Kepala sekolah sebagi pimpinan sekolah tidak bisa memaksakan
kehendaknya yakni program-program sekolah dengan begitu saja kepada
masyarakat, tetapi harus menempuh cara-cara yang khusus dan profesional. Itulah
pentingnya bagi kepala sekolah untuk menguasai manajemen pemberdayaan
masyarakat. Antara kepala sekolah dan masyarakat tidak punya hubungan atasan
dan bawahan, tetapi hubungan sebagai mitra dalam rangka mengembangkan
pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini kepala sekolah harus dapat memberikan
pengertian-pengertian dan mengikutsertakan masyarakat dalam menyusun dan
melaksanakan program-program sekolah. Made Pidarta (2004 : 177) menyatakan
bahwa : “Perhatian manajer terpusat pada kelompok manusia atau masyarakat
lingkungannya. Sebab hanya masyarakatlah yang bisa diajak berbicara tentang
hal-hal yang menyangkut pendidikan.” Dalam hal apa masyarakat dapat diajak
102
bicara oleh kepala sekolah ? Yakni dalam : “merencanakan, mengkoordinasi, dan
bahkan dapat ikut mengontrol jalannya pendidikan” (Made Pidarta, 2004 : 178).
Dengan demikian semakin luas dan kompleksnya tugas-tugas yang harus
dilaksanakan oleh kepala sekolah. Oleh karenanya, kepala sekolah harus
mempunyai kemampuan profesional, sebagaimana dikemukakan oleh Sudarwan
Danin (2002 : 127) sebagai berikut :
Makin kompleksnya tugas-tugas kepala sekolah, membuat lembaga itu tidak mungkin lagi berjalan baik, tanpa dipimpin oleh kepala sekolah yang profesional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah meningkatkan mutu lulusan banyak ditentukan oleh kapasitas kepala sekolahnya, di samping guru-guru yang kompeten di sekolah itu.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar sekolah,
kepala sekolah dan guru-guru merupakan kunci yang menentukan berhasil atau
tidaknya manajemen pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan. Oleh karena
itulah, kemampuan ini termasuk salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
kepada sekolah yang tercakup dalam Standar Nasional Pendidikan. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Ametembun (H.M. Daryanto,2006 : 75) bahwa :
“Setiap pejabat/petugas sekolah terutama para guru haruslah menganggap dirinya
adalah petugas hubungan masyarakat.”
Berkenaan dengan manajemen pemberdayaan masyarakat dalam
pendidikan dikemukakan oleh E. Mulyasa (2006 : 164) sebagai berikut :
Model manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan sekolah yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh, serta pembinaan secara kontinyu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya, khususnya mayarakat yang berkepentingan langsung dengan sekolah.
103
Adapun indikator untuk menentukan tingkat partisipasi orang tua murid
atau masyarakat dikemukakan oleh Suharman (8 May 2007 : Tersedia :
http//radarlampung.co.id/web/index.php?
option=com_conten&task=view&id=3616<e ) sebagai berikut :
1. Partisipasi dalam menentukankebijakan dan program sekolah.
2. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan program sekolah.
3. Pertemuan rutin sekolah.
4. Kegiatan ekstrakurikuler.
5. Pengawas mutu sekolah.
6. Membiayai pendidikan.
7. Mengembangkan iklim sekolah.
8. Pengembangan sarana dan prasarana fisik sekolah.
2.1.3 Mutu Layanan Pendidikan
2.1.3.1 Pengertian Mutu Layanan Pendidikan
Mutu merupakan konteks yang dinamis, wujudnya dapat berupa kepuasan.
Kepuasan ini dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari sisi produsen dan yang
kedua dari sisi pengguna. Mutu bersifat dinamis karena ukuran kepuasan akan
selalu berubah dengan cepat sejalan dengan perubahan waktu dan perubahan-
perubahan yang terjadi di masyarakat. Itulah sebabnya, konsep mutu harus
dikaitkan dengan upaya perbaikan secara terus-menerus dan berkelanjutan
(continuous quality improvement). Dari sisi produsen mutu dapat digambarkan
sebagai sesuatu hasil yang telah sesuai atau melebihi dari apa yang ada dalam
104
perencanaan program. Program perencanaan dimaksud meliputi input, proses, dan
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan atau output. Namun mutu atau kepuasan
dari sisi produsen belum tentu sama dengan mutu atau kepuasan menurut
pelanggan. Dikatakan bermutu menurut pelanggan apabila program-program,
kegiatan, dan hasil yang dicapai telah sesuai atau melebihi apa yang diharapkan
oleh pelanggan itu sendiri.
Menyiasati agar ada relevansi antara mutu yang dimaksud oleh pelanggan,
dalam hal ini sekolah, maka harus ada kerja sama antara sekolah dengan pihak
pengguna pendidikan dalam penentuan dan pembuatan program-program kegaitan
yang akan dilaksanakan di sekolah.
Pengukuran mutu dari sisi produsen (sekolah) disebutr quality in fact
sedangkan pengukuran mutu dari sisi pelanggan disebut sebagai quality in
perception. Adapun standar yang dipakai standar yang dipakai pengukuran quality
in fact adalah standar proses dan pelayanan, yakni yang sesuai dengan spesifikasi
dalam perencanaan, cocok dengan tujuan dan dilaksanakan dengan tanpa
kesalahan (zero defect) atau mengerjakan sesuatu yang benar sejak pertama dan
seterusnya (right first time and every time). Standar yang digunakan untuk
pengukuran quality in perception adalah standar pelanggan, yakni kepuasan
pelanggan yang dapat meningkatkan permintaan dan harapan pelanggan (Hari
Suderadjat, 2005 : 2).
Mutu merupakan suatu keadaan yang esensi dalam segala hal, termasuk
dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan di sekolah yang tidak bermutu lambat
laun akan mati ditinggalkan pelanggannya dan kalah bersaing oleh penyelenggara
105
pendidikan yang bermutu. Mengingat esensinya masalah mutu, ditegaskan oleh
Syafaruddin (2005 : 34) bahwa : “Konsep sekolah bermutu (unggul) perlu ada
dalam konsep setiap kepala sekolah.”
Memandang mutu pendidikan tidak bisa serta merta hanya dilihat dari sisi
mutu lulusannya saja, karena yang paling penting justru harus mempertanyakan
bagaimana caranya meningkatkan mutu lulusan tersebut ? Jelasnya, hal-hal yang
dapat dan berpengaruh terhadap mutu lulusan adalah suatu proses dan fasilitas-
fasilitas pendukungnya dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan. Proses
yang dimaksud tiada lain berupa layanan yang diberikan kepada pelanggan
pendidikan, baik kepada siswa sebagai pelanggan utama yang menerima layanan
pendidikan dan pembelajaran, maupun orang tua dan masyarakat sebagai
pengguna hasil pendidikan. Dalam upaya mencapai lulusan yang bermutu tentu
harus melalui tahap proses yang bermutu, yakni memberikan layanan pendidikan
dengan mengerahkan segala sumber daya sebagai pendukungnya, baik sumber
daya material maupun nonmaterial. Sejalan dengan itu, Syafaruddin (2002 : 37)
menjelaskan sebagai berikut :
Tuntutan terhadap pelayanan terbaik juga menjadi perhatian manajemen mutu terpadu, tak terkecuali dalam pendidikan. Sekolah-sekolah pada dewasa ini tidak hanya cukup menawarkan program studi dengan kurikulum tertentu, orang tua dan pelajar menjadi puas. Akan tetapi, sekolah juga harus menyediakan alat-alat belajar dan mengajar yang relevan dengan perkembangan zaman untuk mendukung kemajuan proses pembelajaran dan pengajaran. Gedung sekolah yang bagus diisi dengan sarana dan fasilitas belajar yang baik dan fungsional, tempat bermain pelajar, serta pelayanan yang prima terhadap pelajar, guru, orang tua, dan masyarakat. Situasi dan kondisi sekolah yang kondusif akan memberikan kontribusi positif bagi mutu proses dan mutu produk (lulusan) sekolah.
106
Sesuai dengan gambaran tersebut di atas dapat dikatakan bahwa layanan
pendidikan mencakup dimensi proses dan dimensi sarana prasarana. Proses
berupa pelaksanaan pembelajaran, metode, komunikasi, motivasi, dan sebagainya.
Sarana prasarana berupa alat-alat pembelajaran, gedung, dan lingkunang sekolah
yang kondusif.
Bermutu atau tidaknya proses dan sarana prasarana pendidikan sebagai
indikator dalam layanan pendidikan dapat dibandingkan dengan standar yang
tertuang dalam PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang di
dalamnya mencakup standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, dan standar
pengelolaan. Apabila sarana prasarana, dan proses yang dilakukan telah sesuai
denga rencana dan harapan pelanggan, maka layanan pendidikan dapat
memuaskan produsen maupun pelanggan. Dengan kata lain, layanan pendidikan
yang bermutu adalah layanan pendidikan yang sesuai dengan rencana dan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan serta dapat memenuhi harapan dan
kebutuhan pelanggan.
2.1.3.2 Standar Mutu Layanan Pendidikan.
Digulirkannya paradigma baru pendidikan yang menganut sistem
desentralisasi pendidikan, sesuai dengan PP Nomor 25 tahun 2000 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai daerah Otonom,
bertitik tolak pada peningkatan mutu pendidikan. Dengan sistem desentralisasi
pendidikan sekolah diberi keleluasaan untuk memperoleh pendidikan yang lebih
107
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing dan kondisi lingkungan serta
kemampuan masing-masing. Sehingga hasil dari pendidikan akan betul-betul
dirasakan manfaatnya karena mulai dari proses perencanaan sudah
mempertimbangkan segi relevansinya dengan kebutuhan-kebutuhan yang
diharapkan. Dengan cara ini akan memberikan kepuasan kepada semua pihak.
Seperti telah disinggung dalam pembahasan terdahulu bahwa kepuasan mrupakan
suatu ciri dari pendidikan yang bermutu. Namun perlu disadari, dengan sistem
desentralisasi pendidikan bukan berarti bebas dari permasalahan, karena dengan
kondisi dan kemampuan tiap-tiap daerah yang berbeda-beda tentu kemampuan
dalam mengelola pendidikannya pun akan berbeda-beda pula. Mengenai hal ini
dikemukakan oleh Fiska, Nurhadi, dan Satori (E. Mulyasa, 2006 : 17) sebagai
berikut :
Sedikitnya terdapat enam permasalahan yang harus diantisipasi pada paradigma baru manajemen pendidikan dalam konteks otonomi daerah, yakni kepentingan nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, perluasan dan pemerataan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas.
Permasalahan-permasalahan yang dapat muncul dari konteks mutu layanan
pendidikan dikaitkan dengan desentralisasi pendidikan mencakup berbagai aspek
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Yakni masalah kurikulum,
tenaga kependidikan, pengelolaan, sarana dan prasarana, pembiayaan, proses
pembelajaran, dan penilaian. Dilihat dari kacamata nasional, regional, apalagi
global sebagai efek sampingnya dikhawatirkan bahwa mutu pendidikan yang
bersifat kedaerahan ini kurang kompetitif secara global. Permasalahan-
permasalahan tersebut sejalan dengan permasalahan yang dikemukakanoleh E.
Mulyasa (2006 : 18) sebagai berikut :
108
Masalahnya adalah bagaimana menjamin divaritas yang disebabkan oleh adanya konteks lokalitas yang cenderung memunculkan kriteria lokal. Lebih lanjut perlu dipikirkan pengembangan standar kinerja pendidikan yang memenuhi tuntutan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam konteks nasional bahkan internasional.
Guna menghadapi dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan seperti
di atas, maka pemerintah mengeluarkan Standar Nasional Pendidikan. “Standar
Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia” (UU Sisdiknas 2003, pasal
1 butir 17). Dengan berpedoman dan mengacu pada SNP maka pengelolaan
pendidikan yang kewenangannya diberikan kepada tiap daerah dan tiap satuan
pendidikan, tatapi tetap akan ada dalam koridor nasional. Dengan demikian mutu
pendidikan secara nasional akan dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan sesuai
dengan Renstra Depdiknas 2005-2009 (Depdiknas, 2005 :23) yang
mengungkapkan masalah peningkatan mutu pendidikan sebagai berikut :
Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu
pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada standar nasional
pendidikan (SNP). SNP meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu
pendidikan mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pemerintah
mendorong dan membimbing satuan-satuan dan program (studi) pendidikan
untuk mencapai standar yang diamanatkan oleh SNP. Standar-standar tersebut
digunakan juga sebagai dasar untuk melakukan penilaian terhadap kinerja satuan
109
dan program pendidikan, mulai dari PAUD, Dikdas, Pendidikan Menengah
(Dikmen), PNF, sampai dengan pendidikan tinggi (Dikti).
Satu hal yang sangat mendasar dalam upaya peningkatan mutu pendidikan
adalah peningkatan mutu layanan pendidikan. Samtono (03-08-2006 : Tersedia :
bahwa : “Untuk mendapatkan standar mutu merupakan suatu keharusan
menggunakan konsep manajemen yang menggunakan pendekatan mutu, yang
kemudian kita kenal dengan istilah ’manajemen mutu’.” Ada lima dimensi yang
diarahkan untuk mutu layanan pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh
Zeitham, Parasuraman, dan Berry dalam Media Informasi Pendidikan (3 Mei 2007
: Tersedia : http//Google.pakguruonline) sebagai berikut :
1. Tangibles, yaitu berkaitan dengan penampilan fisik lembaga, peralatan,
pegawai dan sarana komunikasi.
2. Reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan sebagaimana yang
dijanjikan, terpercaya, akurat, dan konsisten.
3. Responsiveness, yaitu kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan
layanan dengan cepat.
4. Assurance (kombinasi dari courtery competence,, credibility, scurity), yaitu
kemampuan staf lembaga untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan
melalui rasa hormat dan pengetahuan yang mereka miliki.
5. Empathy (kombinasi dari acess, communication, understanding the customer),
yaitu perhatian staf lembaga yang diberikan kepada pelanggan secara individu.
110
Indikator untuk mengukur dimensi-dimensi mutu layanan pendidikan
sebagaimana tersebut di atas dapat mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Selain itu, juga harus memperhatikan kriteria-kriteria pendidikan yang baik,
seperti dikemukakan dalam Renstra Depdiknas 2005-2009 (2005 : 84) sebagai
berikut :
Program dan latihan kegiatan pendidikan yang baik memiliki lima kriteria yang bisa disingkat dengan SMART (specific, measurable, achievebel, realistic, timebound). Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan indikator kinerja pendidikan yang terukur dan yang dapat dicapai sebagai target/sasaran masing-masing program.
Sekolah sebagai suatu organisasi yang memberikan jasa layanan
pendidikan, mempunyai tujuan yang diharapkan tercapai secara optimal. Itulah
sebabnya, dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu elemen-elemen
yang ada di dalamnya. Secara umum unsur-unsur yang ada dalam organisasi
sekolah ini terdiri dari tiga dimensi yaitu masukan (input), proses, dan keluaran
(output).
1. Input, meliputi peserta didik, kurikulum, dana, data dan informasi, pendidik dan
tenaga kependidikan, motivasi belajar, kebijakan-kebijakan dan perundang-
undangan, sararan dan prasarana, serta lingkungan.
2. Proses, meliputi lama waktu belajar dan mengikuti pendidikan, kesempatan
mengikuti pembelajaran, efektivitas pembelajaran, mutu proses pembelajaran,
metode dan strategi pembelajaran.
3. Output, meliputi jumlah siswa yang lulus atau naik kelas, nilai ujian, jumlah
siswa yang bekerja dan diteriama pada lapangan kerja, peran serta lulusan
dalam pembangunan dan kehidupan bermasyarakat.
111
Dari unsur-unsur tersebut di atas yang berkenaan dengan mutu layanan
pendidikan adalah unsur masukan (input) dan unsur proses. Sedangkan mutu
lulusan merupakan hasil dari layanan pendidikan yang bermutu, perwujudannya
dari unsur proses yang bermutu dengan didukung input yang bermutu. Dengan
kata lain, mutu layanan pendidikan diperoleh dari hasil pengelolaan input dan
proses pendidikan dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen mutu.
Dalam implementasi pelaksanaan manajemen mutu, yakni untuk
meningkatkan mutu layanan pendidikan dapat menerapkan prinsip-prinsip
manajemen mutu total (TQM) yang dikemukakan oleh Henster dan Brunel
(Samtono, 3-8-2006 : Tersedia : http//sma1-sltg.sch.id) sebagai berikut :
1. Kepuasan pelanggan.
Dalam manajemen mutu total diperlukan konsep tentang mutu dan
pelanggan. Mutu tidak hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi
tertentu, tetapi mutu tersebut ditentukan oleh pelanggan. Pelanggan itu meliputi
pelanggan internal dan eksternal. Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk
dipuaskan dalam segala aspek, termasuk di dalamnya harga, keamanan, dan
ketepatan waktu. Oleh karena itu, segala aktivitas harus dikoordinasikan untuk
memuaskan para pelanggan.
2. Respek terhadap setiap orang.
Di sekolah setiap personel sekolah dipandang sebagai individu yang
memiliki talenta dan kreativitas tersendiri yang unik. Dengan demikian warga
sekolah merupakan sumber daya sekolah yang paling berharga. Oleh karena itu,
112
setiap orang dalam organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan
untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan.
3. Manajemen berdasarkan fakta.
Sekolah bermutu berorientasi pada fakta, yakni setiap keputusan yang
diambil selalu berdasarkan pada data-data dan bukan berdasarkan pada perasaan.
Ada dua konsep pokok berkaitan dengan hal ini, pertama prioritisasi yaitu suatu
konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang
bersamaan. Oleh karena itu, berdasarkan data sekolah dapat memfokuskan
usahanya pada situasi atau kegiatan tertentu yang dianggap paling penting.
Konsep kedua, variasi atau vitabilitas kinerja manusia. Data statistik dapat
memberikan gambaran mengenai variabilitas yang merupakan bagian yang wajar
dari setiap sistem organisasi. Dengan demikian manajemen dapat memprediksi
hasil dari setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
4. Perbaikan berkesinambungan.
Untuk mencapai kesuksesan setiap sekolah harus melakukan proses secara
sistematis dalam melaksanakan perbaikan berkesinambungan. Konsep yang
berlaku di sini adalah siklus PDCA (plan-do-check-act), yang terdiri dari langkah-
langkah perencanaan, pelaksanaan rencana, pemeriksaan hasil pelaksanaan
rencana, dan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh.
2.1.3.3 Dimensi-dimensi Standar Mutu Layanan Pendidikan
Untuk mencapai mutu layanan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan
harus menempuh suatu sistem secara integral. Beberapa dimensi penentu mutu
113
layanan pendidikan dikelola secara sinergi sehingga satu unsur dengan unsur
lainnya akan saling mendukung mewujudkan suatu layanan pendidikan yang
bermutu. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BSNP dalam PP
19 tahun 2005 pasal 2 bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan minimal harus
memenuhi kriteria yang berkenaan dengan delapan standar nasional pendidikan
yaitu : “ a. Standar Isi; b. Standar Proses; c. Standar Kompetensi Lulusan; d.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; e. Standar Sarana Prasarana; f.
Satandar Pengelolaan; g. Standar Pembiayaan; dan h. Standar Penilaian
Pendidikan.” Lebih jelasnya mengenai hal-hal tersebut diuraikan dalam
pembahasan di bawah ini.
1) Standar Isi
Pengertian Standar Isi dikemukakan dalam PP 19 tahun 2005 pasal 1
sebagai berikut :
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Intinya yang tercakup dalam standar isi ini adalah berkenaan dengan materi
pembelajaran. Materi pembelajaran dimaksud yakni yang sesuai dengan harapan
pelanggan, harapan masyarakat, kondisi lingkungan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan dunia kerja sesuai dengan jenjang dan
jenis pendidikan yang diselenggarakan. Sebagai upaya untuk mengimbangi
tuntutan-tuntutan tersebut maka muncul kebijakan dan paradigma baru pendidikan
dalam bidang kurikulum yang dikenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
114
Pendidikan). Dengan KTSP setiap satuan pendidikan diberi keleluasaan untuk
merancang dan memformulasikan bahan-bahan ajar sesuai dengan kebutuhan
yang ada. Dengan cara demikian diharapkan penyelenggaraan pendidikan akan
tepat sasaran sesuai dengan harapan peserta didik, dan pengguna hasil
pendidikan. Efek lanjutannya akan memberikan kepuasan kepada pelanggan dan
pengguna hasil pendidikan. Dengan adanya kepuasan tersebut merupakan suatu
ciri bahwa pendidikan yang diselenggarakan telah berhasil menciptakan mutu
layanan pendidikan yang baik.
Guna menuju mutu layanan pendidikan maka dalam mengembangkan
KTSP harus didasarkan pada prinsip-prinsip sesuai dengan yang dikembangkan
oleh BSNP dalam Panduan Penyusunan KTSP (2006 : 5-7) sebagai berikut :
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik, dan lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu. Yakni sesuai dengan keragaman peserta didik, kondisi
daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta keberagaman lainnya dalam
kerangka kesatuan nasional.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang
berkembang secara dinamis.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan.
6. Belajar sepanjang hayat.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
115
Selain yang diuraikan tersebut di atas ditegaskan pula bahwa dalam
menyusun KTSP harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan peserta didik.
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan.
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
5. Tuntutan dunia kerja.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
7. Agama.
8. Dinamika perkembangan global.
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
11. Kesetaraan gender, dan
12. Karakteristik satuan pendidikan.
Untuk mendapatkan KTSP yang bermutu, yakni yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhan maka setiap satuan pendidikan harus memiliki visi dan
misi sekolah yang jelas. Visi dan misi sekolah ini merupakan gambaran yang
diharapkan dan sebagai pedoman arah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sehingga dengan kejelasan arah dan tujuan, sekolah akan dapat memberikan
layanan pendidikan yang bermutu. Di sinilah pentingnya bahwa dalam
penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan dimensi standar isi, yang di
dalamnya berkaitan erat dengan dengan visi dan misi sekolah, beban belajar,
116
KTSP, dan kalender pendidikan. Tanpa semua itu mutu layanan pendidikan sulit
untuk diwujudkan sebagaimana yang diharapkan.
2) Standar Proses
Dalam PP 19 tahun 2005 pasal 1 butir 6 dikemukakan bahwa : “Satandar
proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan.” Sesuai dengan pengertian itu dalam sistem pendidikan, pelaksanaan
pembelajaran merupakan jantungnya kegiatan pendidikan, karena berhasil atau
tidaknya dan tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan akan sangat tergantung
pada proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dengan kata lain keberhasilan
pendidikan ditentukan oleh mutu proses pembelajaran yang dilakukan. Dengan
demikian layanan pendidikan yang bermutu salah satu unsurnya adalah proses
pembelajaran.
Bila kita mengharapkan akan terwujudnya mutu layanan pendidikan mau
tidak mau harus memperhatikan teknik dan metode yang dipandang sesuai dengan
karakteristik peserta didik. Oleh karena itu, mengingat pentingnya masalah proses
pembelajaran dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan maka
pemerintah melalui BSNP dalam PP 19 tahun 2005 pasal 19 menentukan bahwa :
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
117
Untuk kepentingan tersebut di atas perlu ditempuh berbagai teknik dan
strategi dalam proses pembelajaran. Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh
guru misalnya dengan teknik-teknik pertanyaan kepada peserta didik
sebagaimana dikemukakan dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif
(2003 : 21) sebagai berikut :
Sedikitnya ada tiga hal strategis yang perlu dikuasai guru dalam pengelolaan
kegiatan pembelajaran yaitu, penyediaan pertanyaan yang mendorong berpikir dan
berproduksi, penyediaan umpan balik yang bermakna, dan penyediaan penilaian
yang memberikan peluang semua siswa mampu melakukan unjuk perbuatan.
Strategi yang dikemukakan di atas untuk merangsang peserta didik agar
mempunyai kemampuan berpikir, yakni melalui pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan oleh guru. Selain itu umpan balik atau respon darim guru juga perlu
diperhatikan, jangan sampai respon dari guru bersifat memvonis yang dapat
mematahkan semangat dan keberanian peserta didik, tetapi sebaliknya respon dari
guru harus dapat mendorong semangat peserta didik.. Mengenai hal ini
dikemukakan lebih lanjut dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif
(2003 : 24) bahwa : “Umpan balik yang tidak memvonis membuat siswa merasa
dihargai, dapat berpikir, dan bertanggung jawab untuk menilai mutu gagasan
sendiri.”
Hal-hal yang harus diperhatikan agar proses pembelajaran ini betul-betul
dapat memenuhi kriteria yang ditentukan yakni pembelajaran yang aktif, kreatif,
dan menyenangkan diantaranya dengan cara membuat perencanaan proses
pembelajaran, sebagaimana dikemukakan dalam PP 19 tahun 2005 pasal 19
118
sebagai berikut : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,
dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran
yang efektif dan efisien.”
3) Standar Kompetensi Lulusan
Dalam upaya menciptakan mutu layanan pendidikan di sekolah harus
mempunyai kriteria lulusan yang diharapkan. Kriteria tentang lulusan ini
merupakan pedoman dalam menentukan kelulusan peserta didik. Seperti
dikemukakan dalam PP 19 tahun 2005 kriteria lulusan ini disebut dengan Standar
Kompetensi Lulusan. “Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. (PP 19 tahun 2005
pasal 1 butir 4)”
Dalam pasal 25 PP 19 tahun 2005 dikemukakan bahwa : “Standar
kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.” Standar kompetensi lulusan ini
meliputi seluruh kompetensi untuk mata pelajaran sesuai dengan jenis dan jenjang
satuan pendidikan.
Dengan adanya standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan, maka
proses pendidikan dan pembelajaran akan terarah dan terukur sesuai dengan
kriteria kompetensi yang telah ditentukan. Semua unsur yang ada dalam sistem
pendidikan akan dikelola sesuai dengan kompetensi lulusan yang diharapkan.
Dengan cara pengelolaan seperti itu maka mutu layanan pendidikan akan terjamin.
119
4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Mutu layanan pendidikan di dalamnya turut ditentukan oleh tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah. Perlu diingat
bagaimanapun idealnya tujuan, visi misi, dan perencanaan pendidikan,
menterengnya gedung sekolah, lengkapnya fasilitas tetapi tanpa dimanfaatkan
dan dikelola oleh tenaga pendidiknya untuk kepentingan proses pembelajaran
tentulah semua itu tidak akan berarti apa-apa. Itulah sebabnya, unsur manusia
yang ada di sekolah baik posisinya sebagai pendidik, maupun tenaga
kependidikan merupakan unsur yang sangat penting untuk menciptakan mutu
layanan pendidikan di sekolah.
Dalam posisinya yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan, maka
unsur pendidik dan tenaga kependidikan merupakan salah satu bagian yang
termasuk ke dalam standar nasional pendidikan. Pendidik dan tenaga
kependidikan harus memiliki profesionalisme agar dapat melukan tugas-tugasnya
dengan baik, sebagaimana dituangkan dalam PP 19 tahun 2005 pasal 28 bahwa :
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. ... Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi : a. Kompetensi pedagogik, b. Kompetensi kepribadian, c. Kompetensi profesional, dan d. Kompetensi sosial.
Kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dikemukakan di atas disesuaikan
dengan jenis dan jenjang satuan pendidikannya. Seperti halnya jumlah tenaga
pendidik, dan tenaga kependidikannya harus sesuai dengan kebutuhan sekolah.
120
Satuan pendidikan yang dapat memenuhi tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan sesuai dengan kualifikasi akademik, maupun kualifikasi lainnya
yang dipersyaratkan sebagaimana telah dibahas di atas, diharapkan akan dapat
mengelola pendidikan secara profesional, termasuk di dalamnya dapat
memberikan layanan pendidikan yang bermutu.
5) Standar Sarana dan Prasarana
Tentang perlunya sarana dan prasarana pendidikan sangat tegas
diungkapkan dalam SNP PP 19 tahun 2005 pasal 42 sebagai berikut :
(1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan
habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2) Setiap satuan pendidikan wajib
memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan
pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang
laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi
daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat
berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Sejalan dengan yang dikemukakan di atas bahwa masalah sarana dan
prasarana mempunyai kaitan yang erat dengan proses pembelajaran. Proses
pembelajaran yang tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai
akan berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Sangat tidak mungkin
121
penyelenggaraan pendidikan yang sarana dan prasarana seadanya dapat membuat
senang, nyaman semangat kepada peserta didiknya. Oleh sebab itu, unsur sarana
dan prasarana merupakan hal yang wajib adanya dalam rangka meningkatkan
mutu layanan pendidikan. Mengenai hal ini dikemukakan pula oleh H.M.
Daryanto (2006 : 51` ) sebagai berikut :
Jenis peralatan dan perlengkapan yang disediakan di sekolah dan cara-cara pengadministrasiannya mempunyai pengaruh besar terhadap program mengajar belajar. Persediaan yang kurang dan tidak memadai akan menghambat proses belajar mengajar.
Mengingat pentingnya masalah sarana dan prasarana dalam rangka
meningkatkan mutu layanan pendidikan maka unsur sarana dan prasarana ini
termasuk unsur yang ditentukan dalam SNP. Mengenai pentingnya sarana dan
prasarana ini berkaitan dengan fungsinya yang sangat menunjang terhadap mutu
dan keberhasilan pendidikan, yakni guna menciptakan pembelajaran yang
nyaman, dan menyenangkan, efektif dan efisien.
6) Standar Pengelolaan
Setiap organisasi yang mengharapkan tujuannya tercapai secara efektif
dan efisien termasuk di dalamnya sekolah sebagai organisasi pendidikan,
memerlukan pengelolaan yang optimal. Oleh karena itu, sudah barang tentu
sekolah yang berupaya ingin merealisasikan mutu layanan pendidikannya menjadi
urgen adanya pengelolaan pendidikan yang bermutu. Dalam rangka menuju hal
tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan yaitu standar pengelolaan sekolah.
Dijelaskan dalam PP 19 tahun 2005 pasal 1 butir 9 bahwa :
122
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Standar pengelolaan sebagaimana dimaksud di atas meliputi pengelolaan
yang dilakukan oleh sekolah, pemerintah daerah, maupun oleh pemerintah pusat.
Adapun pengelolaan yang dilakukan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah
dijelaskan dalam PP 19 tahun 2005 pasal 49 sebagai berikut : “Pengelolaan
satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan
manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.”
Melaksanakan pengelolaan satuan pendidikan ini merupakan tugas kepala
sekolah. Maju atau mundurnya suatu sekolah sebagaian besar merupakan
tanggung jawab kepala sekolah. Dalam rangka pengelolaan ini kepala sekolah
harus menguasai tentang MBS, yang secara singkat dapat dilihat dari definisi yang
dikemukakan oleh Hari Suderadjat (2005 :42) sebagai berikut : “Secara
operasional manajemen berbasis sekolah dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan
fungsi-fungsi manajemen terhadap semua komponen pendidikan di sekolah.”
Dengan demikian sesuai dengan konsep MBS maka kepala sekolah harus
melakukan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan
penilaian terhadap unsur-unsur kurikulum, personel, kesiswaan, sarana dan
prasarana, keuangan, dan lingkungan. Melalui pengelolaan unsur-unsur trersebut
diharapkan mutu layanan pendidikan akan terwujud.
123
7) Standar Pembiayaan
Uang memang bukan segalanya, tetapi sebagai alat tukar yang sah uang
merupakan sesuatu yang vital dalam rangka memenuhi berbagai keperluan. Tanpa
adanya uang atau biaya berbagai keperluan, perencanaan dan program-program
kegiatan yang telah dibuat akan menjadi vakum. Dengan begitu dapat diartikan
bahwa tanpa adanya uang atau biaya tidak mungkin sekolah dapat mewujudkan
mutu layanan pendidikan yang dicita-citakan. Jadi, masalah biaya termasuk ke
dalam salah satu bagian yang turut menentukan mutu layanan pendidikan.
Biaya-biaya sebagaimana dimaksud di atas diperlukan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan sebagaimana dikemukakan dalam PP 19 tahun 2005 pasal 62
bahwa :
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri aatas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. (4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud paada ayat 1 maliputi : a. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai dan c. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan saran dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Dari uraian di atas jelas sekali keparluan-keperluan yang harus dibiayai
merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun
demikian menyikapi masalah pembiayaan pendidikan yang pada umumnya relatif
sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan sekolah, maka sebagai solusinya harus
124
diupayakan oleh kepala sekolah baik pengadaannya maupun pengelolaannya.
Mengenai hal ini dikemukakan oleh Hari Suderadjat ( 2005 : 52 ) sebagai berikut :
Disadari bahwa dana yang diperoleh sekolah ataupun madrasah pada umumnya sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan, oleh karena itu dalam MBS kepala sekolah yang interpreneur tidak mengandalkan dana yang biasa diperoleh sekolah melainkan menggali sumber dana lain yang ada di masyarakat. Built-in control mechanism dibangun agar terjadi transparansi dalam manajemen keuangan dan waskat (pengawasan melekat) yang melekat pada siklus dan prosedur keuangan dan pembelanjaan barang ataupun jasa.
Dengan adanya kerjasama dan kekompakan antara pihak sekolah,
masyarakat, dan pemerintah masalah kesulitan pembiayaan pendidikan
diharapkan dapat diatasi, sehingga dengan pembiayaan yang mencukupi mutu
layanan pendidikan dapat ditingkatkan.
8) Standar Penilaian Pendidikan
Mehrens dan Lehmann (M. Ngalim Purwanto, 2000 : 3) memberikan
pengertian penilaian atau evaluasi sebagai berikut : “Dalam arti luas, evaluasi
adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi
yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.”
Sejalan dengan pengertian yang dikemukakan di atas M. Ngalim Purwanto
( 2000: 3 ) menjelaskan bahwa :
Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis. Ini berarti bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi bukan hanya meerupakan kegiatan akhir atau penutup dari suatu program tertentu, melainkan merupakan kegiatan yang dilakukan pada permulaan, selama program berlangsung, dan pada akhir program setelah program itu dianggap selesai. Yang dimaksud dengan program di sini adalah program satuan pelajaran yang akan dilaksanakan dalam satu pertemuan atau lebih, program catur wulan ataupun program
125
semester, dan juga program pendidikan yang dirancang untuk satu tahun ajaran, empat tahun ajaran, atau enam tahun ajaran, dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan standar penilaian pendidikan
dikemukakan dalam PP 19 tahun 2005 pasal 1 butir 11 sebagai berikut : “Standar
penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.”
Adapun fungsi dari penilaian dalam penyelenggaraan pendidikan adalah
untuk mengetahui tingkat kemajuan dan keberhasilan peserta didik setelah
mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran. Hasil dari penilaian itu
selanjutnya digunakan untuk memperbaiki hal-hal yang masih kurang,
mempertahankan dan mengembangkan hal-hal yang sudah baik, serta untuk
menentukan kenaikan atau kelulusan peserta didik. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto ( 2000 : 5 ) bahwa fungsi evaluasi adalah:
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran. Pengajaran
sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa komponen yang saling berkaitan satu
sama lain. Komponen yang dimaksud antara lain adalah tujuan, materi, atau bahan
pengajaran, metode dan kegiatan belajar mengajar, alat dan sumber pelajaran, dan
prosedur serta alat evaluasi.
Dari uraian-uraian di atas tampak begitu pentingnya peran penilaian dalam
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, termasuk mutu layanan pendidikan.
Sehingga masalah penilaian ini dituangkan pula dalam PP 19 tahun 2005 yang
antara lain dalam pasal 83 dikemukakan bahwa penilaian berfungsi untuk
mengetahui hal-hal sebagai berikut :
126
a. Tingkat relevansi pendidikan terhadap visi, misi, tujuan, dan paradigma pendidikan nasional; b. tingkat relevansi satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat akan sumberdaya manusia yang bermutu dan kompetitif; c. tingkat pencapaian standar nasional pendidikan oleh satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; d. tingkat efisiensi dan produktivitas satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada tingkat daerah, nasional, regional, dan global.
Dengan menelaah uraian-uraian di atas jelaslah bahwa mutu layanan
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari masalah penilaian sehingga pemerintah
menentukan tentang standar penilaian pendidikan agar setiap lembaga pendidikan
minimal dapat memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan.
Akhirnya setelah membahas berbagai dimensi dari standar mutu layanan
pendidikan di atas yang mencakup delapan dimensi, dapat disimpulkan bahwa
untuk mewujudkan mutu layanan pendidikan maka kedelapan dimensi tersebut di
atas harus dikelola secara integral dan simultan, karena satu sama lain saling
mendukung dan memperkokoh untuk mewujudkan mutu layanan pendidikan.
Mutu layanan pendidikan di sekolah akan dapat terwujud apabila sekolah dapat
merealisasikan dalam tindakan nyata kedelapan dimensi standar mutu layanan
pendidikan secara berkesinambungan. Dan hal ini barulah kriteria minimal yang
sesuai dengan ketentuan yang dikelurkan oleh pemerintah, selanjutnya satuan
pendidikan dapat mengembangkan strategi-strategi yang dapat melebihi dari
kriteria minimal.
2.2 Kerangka Pemikiran
Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak dapat dicapai dengan baik tanpa
adanya kerjasama dari berbagai pihak. Secara garis besarnya tanggung jawab
perkembangan sekolah ada pada pihak pemerintah, masyarakat dan keluarga.
127
Sehingga tanpa ada keterlibatan dan kerjasama dari semua unsur yang terkait itu
akan berat dalam melakukan upaya untuk meningkatkan mutu layanan
pendidikan. Dalam buku MBS di Jawa Barat, Tim Pokja MBS Jawa Barat
(2003 :83) dikemukakan bahwa untuk mewujudkan sekolah yang berkualitas
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Semua pihak yang turut bertanggung jawab dan terkait dunia pendidikan itulah
yang dimaksud stakeholder pendidikan. Dikemukakan lebih lanjut oleh Tim Pokja
MBS Jawa Barat (2003 : 84) bahwa untuk dapat terwujudnya suatu partisipasi
yang berdayaguna dari semua stakeholders pendidikan diperlukan kesadaran dan
kepedulian melakukan aktivitas-aktivitas untuk turut serta mengambil keputusan,
melaksanakan dan mengevaluasi keputusan suatu program pendidikan di sekolah
secara proporsional yang dilandasi dengan kesepakatan. Walaupun saat ini
keadaannya belum sesuai dengan yang diharapkan tetapi melalui proses
sosialisasi, dan berjalannya waktu dengan berbagai upaya pembinaan, diharapkan
kerjasama dari berbagai unsur untuk kepentingan pendidikan akan berkembang
semakin baik.
Sebagai konsekuensi untuk mengakomodasi aspirasi, harapan dan
kebutuhan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan
perlu adanya kerjasama dan keterlibatan dari pihak masyarakat sebagai salah satu
bagian dari stakeholders pendidikan. Adapun pihak-pihak yang termasuk ke
dalam stakeholders pendidikan di tingkat sekolah yaitu pihak orang tua siswa,
kepala sekolah, guru, tokoh masyarakat setempat dari berbagai lapisan, dunia
usaha, unsur pemerintah setempat baik umum maupun dari dinas pendidikan.
128
Dengan demikian untuk pemberdayaan masyarakat diperlukan senter pengelola,
yang dalam hal ini adalah di sekolah, yang dimotori oleh kepala sekolah sebagai
pimpinan tertinggi di sekolah.
Sekolah sebagai lembaga formal merupakan suatu organisasi yang
memiliki visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses dan
pemberdayaan dari unsur-unsur yang ada di dalam organisasi. Unsur-unsur yang
ada di dalam organisasi mulai dari guru, siswa, program-program akademik, dan
fasilitas pendukungnya tanpa ada yang memberdayakan atau memanajenya
merupakan suatu hal yang mustahil akan berjalan dengan sendirinya bersinergi
untuk dapat mencapai visi, misi, tujuan yang telah ditentukan. Untuk kepentingan
itulah di setiap satuan pendidikan diperlukan seorang kepala sekolah sebagai
pengelolanya. Sudah semestinya kepala sekolah sebagi top leader harus memiliki
kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk mengelola organisasinya secara
profesional dalam upaya mencapai tujuan. Oleh karena itu, untuk menjadi kepala
sekolah yang profesional tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang yang tidak
memiliki kualifikasi sesuai dengan tuntutan tugas dan fungsi sebagai kepala
sekolah. Baik itu kualifikasi akademik, kepribadian, pedagogik, maupun
kualifikasi sosial. Paling tidak untuk dapat menjadi kepala sekolah harus memiliki
kriteria-kriteria seperti yang ditentukan oleh BSNP sesuai dengan PP RI No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (2005 : 34) pada pasal 38 butir
4 dijelaskan sebagai berikut :
Kriteria untuk menjadi kepala SDLB/SMPLB/SMALB meliputi : 1) Berstatus sebagai guru pada satuan pendidikan khusus.
2) Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
129
3) Memiliki penglaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di satuan pendidikan khusus, dan
4) Memiliki kemampuan kepemimpinan, pengelolaan, dan kewirausahaan, di bidang pendidikan khusus.
Dengan demikian jelaslah bahwa ada kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki
oleh seorang kepala sekolah agar dapat melakukan tugas dan fungsinya secara
optimal. Sejalan dengan itu Depdiknas menjabarkan secara rinci tugas dan fungsi
kepala sekolah seperti yang tertuang dalam Pedoman Penilaian Kinerja Kepala
Sekolah yang biasa disingkat dengan EMASLIM (Edukator, Manajer,
Administrator, Supervisor, Leader, Inovator, dan Motivator). Sesuai dengan
tupoksi kepala sekolah dan kriteria yang telah ditentukan oleh BSNP maka dapat
diperinci secara jelas bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala
sekolah meliputi hal-hal sebagai berikut : kompetensi kepribadian, manajerial,
supervisi, kewirausahaan, dan kompetensi sosial.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan dukungan dari
pihak masyarakat, semua itu diarahkan untuk mencapai mutu layanan yang
berkualitas sehingga pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas sekolah. Hal
yang berkenaan dengan produktivitas sekolah tidak hanya memandang dari segi
kuantitasnya saja tetapi harus memperhatikan pula masalah kualitasnya. Hal ini
dikemukakan oleh E. Mulyasa (2006 : 135) bahwa : ”Produktivitas bukan
semata-mata untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya melainkan
kualitas unjuk kerja juga perlu diperhatikan”.
Sekolah sebagai lembaga atau organisasi yang bekerja memproduksi
bidang jasa pendidikan harus berkiprah memenuhi tuntutan kebutuhan siswa
sebagai peserta didik dan masyarakat sebagai pengguna dari hasil lulusan
130
pendidikan di sekolah. Dengan demikian sekolah sebagai produsen harus
mempertimbangkan berbagai kompetensi yang dibutuhkan, sehingga memiliki
mutu dan relevansi yang tinggi dengan realita yang ada di masyarakat. Mengenai
kompetensi peserta didik dikemukakan oleh Tim Pokja MBS Jawa Barat (2003 :
45) sebagai berikut :
Mempersiapkan peserta didik yang memiliki berbagai kompetensi pada hakikatnya merupakan upaya untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki kemamapuan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial yang bermutu tinggi. Dengan memiliki kompetensi semacm itu, peserta didik diharapkan mampu untuk menghadapi dan mengatasi segala macam akibat dari adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan yang terdekat sampai yang terjauh (lokal, nasional, regional dan internasional). Untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi para lulusan maka di sekolah harus mengembangkan kurikulum secara dinamik sesuai dengan potensi sekolah berdasarkan pada keseimbangan etika, logika, estetika dan kinestetika.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan di sekolah diharapkan para lulusan
memiliki nilai-nilai moral dan sosial serta memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsanya. Di samping itu juga para lulusan
sekolah diharapkan mampu berpikir kreatif dan inovatif dengan keseimbangan
antara kognisi dan emosinya. Dengan kondisi ideal seperti tersebut di atas akan
berfungsi dalam rangka memperkuat identitas diri dan bangsanya menghadapi
globalisasi informasi, komunikasi dan teknologi, yang pada akhirnya akan
berkembang pula kecakapan hidup (life skill) para lulusan sekolah.
Dari uraian-uraian di atas dapat digambarkan krangka pemikiran dalam
penelitian ini sebagai berikut :
Gambar : 5
Kerangka Pemikiran Penelitian
131
B
C. Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan
di atas maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : Terdapat pengaruh
positif dari kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat terhadap mutu
layanan pendidikan.
Secara terperinci hipotesis tersebut di atas dirumuskan sebagai berikut :
132
MASYARAKAT
1. Orang tua siswa
2. Tokoh masyarakat
setempat (ulama,
budayawan, pemuka adat,
pemerhati pendidikan)
3. Wakil masyarakat
terinstitusi (camat, lurah,
dan pejabat lainnya)
4.Pelaku bisnis (Dunia
Usaha)
MUTU LAYANAN PENDIDKAN
1. Standar Isi2. Standar Proses3. Standar Kompetensi Lulusan4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan5. Standar Sarana dan Prasarana6. Standar Pengelolaan7. Standar Pembiayaan8. Standar Penilaian Pendidikan
KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH
1. Kompetensi kepribadian
2. Kompetensi manajerial
3. Kompetensi supervisi
4. Kompetensi
Kewirausahaan
5. Kompetensi sosoal.
1. Kompetensi kepala sekolah berpengaruh positif terhadap mutu layanan
pendidikan.
2. Partisipasi masyarakat berpengaruh positif terhadap mutu layanan pendidikan.
3. Kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat secara bersama-sama
berpengaruh positif terhadap mutu layanan pendidikan di sekolah.
BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini meliputi tiga pokok permasalahan yaitu :
133
1. Kompetensi kepala sekolah ditinjau dari kompetensi berdasarkan standar yang
ditentukan oleh BNSP dalam PP 19 Tahun 2005. Di dalamnya mencakup lima
permasalahan yang dijadikan objek penelitian yaitu: Kompetensi kepribadian,
manajerial, supervisi, kewirausahaan, dan sosial. Kelima permasalahan ini
ditinjau berdasarkan persepsi guru dan dihubungkan dengan mutu layanan
pendidikan.
2. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang berpengaruh
terhadap mutu layanan pendidikan. Partisipasi masyarakat dilihat dari
beberapa segi yaitu sumber partisipasi, mekanisme partisipasi masyarakat, dan
wujud partisipasi masyarakat nonmaterial (seperti gagasan, saran, kreativitas,
dedikasi, dan sebagainya) dan material (seperti bantuan dana dan fasilitas
belajar, sarana dan prasarana). Data-data yang diperlukan diambil
berdasarkan persepsi guru yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian.
3. Mutu layanan pendidikan. Objek permasalahan ini ditinjau berdasarkan
ketentuan dari BNSP yang mencakup proses-proses layanan terhadap siswa
maupun mutu layanan ditinjau dari faktor-faktor pendukung proses layanan
berupa sarana prasarana.
Semua objek yang diteliti dihimpun dari guru-guru SLB yang ada di
Kabupaten Ciamis baik SLB Negeri maupun SLB Swasta, dari guru-guru PNS
maupun non-PNS.
Keadaan Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada di Kab Ciamis
adalah sebagai berikut :
134
TABEL 1
KEADAAN GURU SLB KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2008
NO. NAMA SLB JUMLAH GURU1. SLB Negeri Ciamis 45 orang
2. SLB Negeri Widi Asih Parigi 11 orang
3. SLB Budi Bakti 1 Kawali 8 orang
4. SLB Budi Bakti 2 Cipaku 4 orang
5. SLB Sindangkasih 10 orang
6. SLB Al Huda Sadananya 4 orang
7. SLB Bagor Rancah 6 orang
8. SLB Amanah Kawali 3 orang
9. SLB Binaharapan Pangandaran 7 orang
10. SLB Kalangsari Cijulang 2 orang
11. SLB YKS Cijeungjing 6 orang
JUMLAH 106 orang
3.2 Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis termasuk ke dalam penelitian kuantitatif
non eksperimen, yaitu penelitian yang menyangkut sebab akibat antara variabel
bebas dan variabel terikat. Keadaan yang digambarkan dalam penelitian ini adalah
fakta-fakta yang terjadi pada saat sekarang. Karena itu penelitian ini tergolong ke
135
dalam penelitian deskriptif. Sutaryat Trisnamansyah (2007:13) mengemukakan
bahwa :
Penelitian deskriptif menggambarkan fenomena yang ada saat ini, dengan menggunakan angka-angka untuk memberikan karakteristik terhadap individu atau kelompok yang diteliti. Penelitian ini mengakses hakekat dari kondisi yang ada saat ini, sehingga tujuannya terbatas pada penyebaran karakteristik sesuatu sebagai mana adanya.
Dalam mengumpulkan data-data yang diteliti menggunakan kuisioner,
maka jenis penelitian ini termasuk penelitian survey. Sebagaimana dijelaskan oleh
Sutaryat Trisnamansyah (2007:13) bahwa: “Survey adalah jenis penelitian yang
dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan kuisioner, yaitu
daftar pertanyaan untuk mengumpulkan jawaban dari sejumlah responden
(sampel).”
Pada tahap akhir hasil dari penelitian ini dicarikan tingkat hubungannya
antara variabel bebas yaitu kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan (X1,dan X2) dengan variabel terikat yaitu mutu
layanan pendidikan (Y). Dengan demikian penelitian ini tergolong juga ke dalam
metode penelitian korelasional. Untuk mengukur tingkat hubungan variabel-
variaberlnya menggunakan analisis statistik korelasi. Mengenai penelitian
korelasional Sutaryat Trisnamansyah (2007:13) menjelaskan sebagai
berikut :
Penelitian korelasional berkaitan dengan pengukuran lembaga-lembaga di antara dua atau lebih variabel. Jenis penelitian ini menggunakan analisis statistik korelasi untuk mengukur hubungan-hubungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lainnya berdasarkan pada koefisien korelasi. Ukuran hubungan adalah pernyataan tentang derajat asosiasi antara variabel-variabel yang dikaji. Korelasinya bisa positif atau negatif. Korelasi positif berarti semakin tinggi nilai
136
variabel yang satu (variabel independen) diikuti dengan semakin tinggi pula nilai variabel yang lain (variabel dependen). Sedangkan korelasi negatif jika semakin tinggi nilai variabel yang satu diikuti oleh semakin rendah nilai variabel lainnya.
Singkat kata, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif dan metode penelitian survey dengan pendekatan kuantitatif
dan korelasional.
3.3 Disain Penelitian
3.3.1 Tahap Persiapan Penelitian
a. Menentukan topik permasalahan penelitian. Adapun topik dalam penelitian ini
adalah kompetensi kepala sekolah, partisipasi masyarakat, dan mutu layanan
pendidikan. Permasalahannya, yaitu bagaimanakah pengaruh kompetensi
kepala sekolah dan partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan
pada SLB Kab Ciamis?
b. Melakukan penjajakan lokasi dan objek penelitian guna memperoleh data awal
tentang permasalahan yang akan diteliti.
c. Melakukan pendalaman materi dengan studi kepustakaan tentang
permasalahan yang akan diteliti.
d. Menyusun kisi-kisi dengan instrumen penelitian yaitu angket berisi kuisioner
tentang kompetensi kepala sekolah, partisipasi masyarakat, dan mutu layanan
pendidikan.
e. Melakukan uji coba (tryout) untuk menguji validalitas dan reliabilitas
instrumen penelitian.
137
3.3.2 Tahap Penelitian
a. Menentukan responden penelitian yaitu dari guru-guru SLB Kab Ciamis yang
seluruhnya berjumlah 134 orang dari 11 SLB yang ada di Kab Ciamis.
Responden penelitian diambil 100 orang secara random dengan dasar bahwa
jumlah itu sudah mendapatkan 63% dari jumlah seluruhnya.
b. Pengumpulan data tentang kompetensi kepala sekolah, partisipasi masyarakat,
dan mutu layanan pendidikan melalui angket yang diisi oleh guru-guru SLB.
3.3.3 Tahap Pengolahan dan Analisis Data
a. Tabulasi data yaitu menghimpun dan mengelompokan data-data sesuai dengan
permasalahannya.
b. Menganalisis data-data hasil penelitian dengan menggunakan statistik
korelasional untuk menentukan tingkat hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat.
c. Menentukan kesimpulan tentang pengaruh kompetensi kepala sekolah dan
partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan pada SLB di
Kabupaten Ciamis.
3.4 Operasionalisasi Variabel
Dalam penelitian ini ditetapkan tiga variabel yang akan diukur, yaitu
dua variabel bebas (independen variable) dan satu variabel terikat (dependen
variable). Variabel-variabelnya adalah sebagai berikut :
1) Kompetensi kepala sekolah (variabel bebas) dengan notasi X1.
2) Partisipasi masyarakat (variabel bebas) dengan notasi X2.
138
3) Mutu layanan pendidikan (variabel terikat) dengan notasi Y.
Vaiabel-variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Keterangan :
X1 = variabel bebas kesatu, yaitu kompetensi kepala sekolah.
X2 = variabel bebas kedua, yaitu partisipasi masyarakat.
Y = variabel terikat, yaitu mutu layanan pendidikian.
Secara operasional dalam rancangan penelitian ini, variabel beserta sub-
sub variabel dan indikatornya diuraikan dalam pembahasan di bawah ini.
Bahasan dalam variabel ini disesuaikan dengan ketentuan yang
dikeluarkan oleh BSNP PP 19 tahun 2005 yang dipertegas dengan Permen Diknas
Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah.Secara
evaluasi dan pelaporan3. SUPERVISI 1. Merencanakan dan
melaksanakan supervisi4. KEWIRAUSAHAAN 1. Bekerja keras dan pantang
menyerah5. SOSIAL 1. Kerjasama dengan pihak
lain2. Berpartisipasi dalam
kegiatan sosial3. Kepekaan sosial terhadap
orang lainB. PARTISIPASI MASYARAKAT
(X)
1. SUMBER PARTISIPASI
1. Orang tua murid2. Tokoh masyarakat
lingkungan sekolah3. Masyarakat terinstitusi (RT,
RW, Lurah, Camat)4. Pelaku bisnis5. Organisasi kemasyarakatan
2. MEKANISME PARTISIPASI
1. Diskusi dan dialog2. Pengawasan dan penilaian3. Pameran/bazar4. Pemanfaatan nara sumber
140
3. BENTUK PARTISIPASI
1. Loyalitas2. Kreativitas3. Motivasi dan dedikasi4. Tanggung jawab5. Bantuan dana dan fasilitas
belajar6. Bantuan sarana dan
prasaranaC. MUTU
LAYANAN PENDIDIKAN (Y)
1. STANDAR ISI 1. Visi dan misi sekolah2. Beban relajar3. KTSP4. Kalender pendidikan
2. STANDAR PROSES
1. Pembuatan perencanaan pembelajaran
2. Proses pembelajaran yang aktif, kreativ, efektif, dan menyenangkan.
3. Pengawasan dan penilaian pembelajaran
4. Pemberian layanan dan mutu layanan
3. STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
1. Pedoman penentuan kelulusan
4. STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKIAN
1. Kualifikasi akademik2. Kemampuan mewujudkan
tujuan pendidikan3. Agen pembelajaran
(kemampuan pedagogik, kepribadian, profesional, dan social
4. Kelengkapan personel sekolah
5. STANDAR SARANA DAN PRASARANA
1. Fasilitas relajar2. Buku dan sumber pelajaran3. Bahan habis pakai4. Bangunan sekolah5. Ruangan kelas6. Toilet sekolah7. Kantin sekolah8. Sarana olah raga9. Kondisi lingkungan sekolah
6. STANDAR PENGELOLAAN
1. Keterbukaan dalam pengambilan keputusan
2. Tata tertib sekolah
141
3. Pembagian tugas4. Musyawarah sekolah dan
komite sekolah5. Rencana kerja pengelolaan
sekolah6. Pertanggungjawaban
pengelolaan sekolah7. Pengelolaan murid
7. STANDAR PEMBIAYAAN
1. Biaya operacional, sarana prasarana dan pengembangan SDM
8. STÁNDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
1. Ruang lingkup penilaian2. Waktu pelaksanaan
penilaian3. Tindak lanjut penilaian4. Kepuasan hasil penilaian
3.5 Sumber Data dan Alat Pengumpul Data
3.5.1 Sumber Data
Sumber data-data yang diperlukan dari variabel-variabel yang diteliti ada
dua kelompok sumber yaitu :
a. Kepustakaan, yaitu berupa buku-buku yang ditulis para ahli, karangan ilmiah
dan internet sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
b. Guru-guru SLB Kabupaten Ciamis yang berjumlah 51 orang sebagai sampel
penelitian dari jumlah keseluruhan guru 106 orang. Pengambilan sampel
sebanyak 51 orang dilakukan secara random dengan dasar asumsi bahwa
keadaan guru relatif homogen dilihat dari pengalaman bekerja dan latar
belakang pendidikannya. Mengenai banyaknya sampel 51 orang didasarkan
pada perhitungan dengan rumus Slovin (dalam Endang Suryana, 2005 : 61)
142
bahwa jumlah sampel yang diambil secara minimal dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
Nn = 1 + N (e)2
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Nilai kritis (toleransi) sebesar 10 %
Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini adalah :
106 n = --------------------- 1 + 106 (0,10)2
= 51,45 ~ 51 responden
Adapun sekolah yang dijadikan sampel adalah empat sekolah secara random
dan menyebar yaitu SLB Negeri Ciamis, SLB Bagor Rancah, SLB Binaharapan
Pangandaran, dan SLB Negeri Widi Asih Parigi. Jumlah responden dari tiap
sekolah diperhitungkan sesuai dengan banyaknya guru, sebagai berikut :
1. SLB Negeri Ciamis 33 responden,
2. SLB Bagor Rancah 4 responden,
3. SLB Binaharapan Pangandaran 5 responden,
4. SLB Negeri Widi Asih Parigi 9 responden.
3.5.2 Alat Pengumpul Data
143
Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan
menggunakan angket. Alat ini dipilih dengan pertimbangan bahwa penggunaan
angket ini efisien dan efektif.
Dikatakan bahwa dengan angket ini efisien karena dengan menggunakan
angket akan lebih menghemat biaya, tenaga, dan waktu bila dibandingkan dengan
wawancara misalnya. Bila kita harus mewawancarai 51 orang guru sebagai
responden dengan letak sekolah yang berjauhan tentu akan memerlukan biaya,
waktu, dan tenaga yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan angket.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sanapiah Faisal (1981 : 12) sebagai
berikut :
Keutamaan angket terletak pada unit kos yang relatif murah dari data persampelnya. Suatu sampel responden yang berjumlah 1000 orang misalnya, lebih-lebih bila terpencar di berbagai daerah yang saling berjauhan, untuk mewawancarai atau mengobservasinya secara perorang, sudah tentu memerlukan biaya yang lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan angket. Karena unit kos persampelnya relatif rendah (murah), maka dengan angket lebih memungkinkan dijangkaunya sampel (daerah dan responden) dalam jumlah besar.
Selanjutnya alasan penggunaan angket tidak ditinjau dari segi efisiennya
saja tetapi dari segi efektivitasnya. Dari segi efektivitasnya, angket dijamin dapat
digunakan sebagai alat pengumpul data-data yang diperlukan guna mencapai
tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Hal ini tentunya dengan memperhatikan
segi penyusunan angket yang harus memiliki nilai validitas dan reliabilitas sesuai
dengan permasalahan yang diteliti. Sebagaimana dikemukakan oleh Sanapiah
Faisal (1981 : 24) bahwa : ”Upaya pengumpulan data (pengukuran variabel),
seyogyanyalah menggunakan alat pengukuran yang benar-benar sesuai, cermat,
144
dan relatif stabil, sehingga bisa menghasilkan data yang benar-benar valid dan
reliabel.”
Agar alat pengumpulan data (angket) yang digunakan memiliki nilai valid
dan reliabel maka dalam penyusunannya dilakukan dengan cermat dan seteliti
mungkin. Setelah angket selesai disusun sebelum digunakan perlu dilakukan uji
coba dalam rangka menguji validitas dan reliabilitasnya dengan melakukan revisi
seperlunya.
Dikatakan angket itu valid bila benar-benar sesuai dan dapat menjawab
secara cermat tentang variabel yang diteliti. Sedangkan angket dikatakan
memiliki nilai reliabel bila data-data yang diperoleh hasil pengisian angket
bersifat konstan atau memiliki nilai ketetapan sekalipun angket itu diisi dalam
waktu yang berbeda-beda. Hal ini dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto (2000 :
137) sebagai berikut :
Validitas merupakan syarat yang terpenting dalam suatu alat evaluasi. Suatu teknik evaluasi dikatakan mempunyai validitas yang tinggi (disebut valid) jika teknik evaluasi atau tes itu dapat mengukur apa yang sebenarnya akan diukur. ... Keandalan (reliability) adalah ketetapan atau ketelitian suatu alat evaluasi. Suatu tes atau alat evaluasi dikatakan andal jika ia dapat dipercaya, konsisten, atau stabil dan produktif. Jadi, yang dipentingkan di sini adalah ketelitiannya : sejauh mana tes atau alat tersebut dapat dipercaya kebenarannya.
Adapun bagian-bagian yang ada dalam angket ini meliputi :
1) Surat pengantar.
2) Petunjuk pengisian.
3) Item pertanyaan.
Jenis angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup.
Yakni angket yang berisi item-item pertanyaan sekaligus telah disertai alternatif
145
jawaban, sehingga responden tinggal memilih jawaban yang dianggap paling
sesuai.
a. Uji Validitas Instrumen Penelitian
Dalam pengukuran validitas instrumen penelitian digunakan rumus product
moment correlation dari Pearson (M. Ngalim Purwanto, 2000 : 139) sebagai
berikut :
M. Ngalim Purwanto (2000 : 142) mengatakan bahwa :”Dengan rumus ini
kita dapat menghitung validitas suatu tes dengan membandingkan atau mencari
korelasi antara dua kelompok skor, dihitung berdasarkan deviasi setiap skor dari
mean”. Yakni suatu instrumen, misalnya X1, diteskan kepada dua kelompok
responden dan hasil dari tiap kelompok dihitung koefisien korelasinya. Langkah
pengolahannya adalah dengan menyusun Tabel Product Moment Correlation
yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Memasukkan dua kelompok skor, X dan Y pada kolom dua.
2. Menentukan mean dari kedua kelompok skor dengan rumus .
3. Menentukan deviasi setiap skor dari mean (skor yang diperoleh dikurangi
mean) pada kolom tiga, kemudian dijumlahkan.
4. Menguadratkan tiap deviasi dari tiap skor pada kolom empat, kemudian
dijumlahkan untuk memperoleh Σ X2 dan Σ Y2.
146
5. Mengalikan tiap pasangan deviasi untuk memperoleh Σ X′Y′.
6. Tahap selanjutnya mencari korelasi koefisien (r) dengan rumus Product
Moment Correlation tersebut di atas.
Selanjutnya dihitung dengan rumus Uji t dengan rumus :
Kriteria penilaian : Jika t hitung > t tabel berarti valid sebaliknya jika t
hitung < t tabel berarti tidak valid
Untuk melihat tingkat validitasnya dengan cara membandingkan nilai
koefisien korelasi (r) dengan kriteria sebagai berikut :
0,00 – 0,20 = hampir tidak ada validitas
0,21 – 0.40 = validitas rendah
0,41 – 0,70 = validitas cukup
0,71 – 0,90 = validitas tinggi
0,91 – 1,00 = validitas sangat tinggi.
Dari hasil uji coba instrumen penelitian yang telah dilakukan dengan
pengolahan uji validitas sebagaimana diuraikan di atas (dengan bantuan komputer
program Excel Statistik metode Pearson) pada taraf signifikansi 0,05 dengan
derajat kebebasan 8 diperoleh nilai t tabel = 2,306 sehingga instrumen penelitian
ternyata :
1. Variabel X1 yaitu Kompetensi Kepala Sekolah diperoleh r = 0,654 hasil uji t
diperoleh t hitung 2,447 dengan demikian secara keseluruhan instrumen
penelitian ternyata cukup valid.
147
2. Variabel X2 yaitu Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
diperoleh r = 0,973 hasil uji t diperoleh t hitung 11,965 dengan demikian
secara keseluruhan instrumen penelitian ternyata memiliki validitas sangat
tinggi.
3. Variabel Y yaitu Mutu Layanan Pendidikan diperoleh r = 0,968 hasil uji t
diperoleh t hitung 10,908 dengan demikian secara keseluruhan instrumen
penelitian ternyata memiliki validitas sangat tinggi.
b. Uji Reliabilitas
Untuk menentukan reliabilitas instrumen penelitian dengan menggunakan
rumus product moment correlation dari Pearson (M. Ngalim Purwanto, 2000 :
139) sebagai berikut :
Tahap selanjutnya dihitung dengan Uji t dengan rumus sebagai berikut :
Kriteria penilaian : Jika t hitung > t tabel berarti reliabel sebaliknya
Jika t hitung < t tabel berarti tidak reliabel
Untuk melihat tingkat reliabilitasnya dengan cara membandingkan nilai
koefisien korelasi (r) dengan kriteria sebagai berikut :
0,00 – 0,20 = hampir tidak reliabel
0,21 – 0.40 = reliabilitas rendah
0,41 – 0,70 = reliabilitas cukup
0,71 – 0,90 = reliabilitas tinggi
148
0,91 – 1,00 = reliabilitas sangat tinggi.
Dari hasil uji coba instrumen penelitian yang telah dilakukan dengan
pengolahan uji validitas sebagaimana diuraikan di atas (dengan bantuan komputer
program Excel Statistik metode Pearson) pada taraf signifikansi 0,05 dengan
derajat kebebasan 8 diperoleh nilai t tabel = 2,306 sehingga instrumen penelitian
ternyata :
1. Variabel X1 yaitu Kompetensi Kepala Sekolah diperoleh r = 0,654 hasil uji t
diperoleh t hitung 2,447 dengan demikian secara keseluruhan instrumen
penelitian ternyata cukup reliabel.
2. Variabel X2 yaitu Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
diperoleh r = 0,973 hasil uji t diperoleh t hitung 11,965 dengan demikian
secara keseluruhan instrumen penelitian ternyata memiliki reliabilitas sangat
tinggi.
3. Variabel Y yaitu Mutu Layanan Pendidikan diperoleh r = 0,968 hasil uji t
diperoleh t hitung 10,908 dengan demikian secara keseluruhan instrumen
penelitian ternyata memiliki reliabilitas sangat tinggi.
3.6 Teknik Analisis Data dan Uji Hipotesis
3.6.1 Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan teknik korelasi sederhana dan korelasi
linier ganda. Analisis linier sederhana dilakukan pada dua hipotesis pertama,
yaitu (1) Korelasi antara kompetensi kepala sekolah dengan mutu layanan
pendidikan, (2) Korelasi antara partisipasi masyarakat dengan mutu layanan
149
pendidikan, sedangkan analisis korelasi ganda dilakukan pada hipotesis ketiga,
yaitu (3) Korelasi antara kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat
dengan mutu layanan pendidikan.
3.6.2 Uji Hipotesis
Uji hipotesis pertama dan kedua dilakukan dengan mencari koefisien
korelasi dengan Product Moment Correlation (M. Ngalim Purwanto, 2000 : 139)
dengan rumus sebagai berikut :
kemudian ke uji t, untuk menguji keberartiannya dengan rumus :
Apabila t hitung lebih besar dari t tabel maka H0 ditolak, dengan tarap signifikansi
0,05. Besarnya sumbangan variabel bebas terhadap variabel terikat dicari dengan
menguadratkan koefisien korelasi kemudian dikalikan 100% yang disebut
koefisien determinasi. Selanjutnya diuji model regresi linieritasnya dengan
menggunakan persamaan
Dengan
150
dan
Untuk menguji hipotesis ketiga digunakan korelasi ganda dengan
menggunakan rumus seperti dikemukakan oleh Sugiyono (Yusuf Bachtiar, 2001 :
102) sebagai berikut :
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi dengan rumus sebagai berikut :
Dimana :
R2 = Koefisien korelasi ganda
k = Jumlah variabel bebas
n = Jumlah sampel
Fhitung = Fhitung yang selanjutnya akan dibandingkan dengan Ftabel
Ketentuan Uji Signifikansi :
Tolak H0 jika Fhitung ≥ Ftabel dan terima H0 jika Fhitung ≤ Ftabel
Cara mencari nilai Ftabel menggunakan Tabel F dengan rumus :
Taraf signifikansi α = 0,05
Ftabel = F (1-α) { (dk = k), (dk=n-k-1) }
151
= F (1-α) { (dk = 2), (dk=51-2-1) }
= F (1-0,05) (2, 48)
Cara mencari Ftabel = 2 sebagai angka pembilang
= 48 sebagai angka penyebut
Ftabel = 3,10
Sedangkan untuk menyatakan besar kecilnya sumbangan atau koefisien
determinan dengan menguadratkan koefisien korelasi, dikalikan 100 %.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
152
4.1.1 Tinjauan Umum Objek Penelitian
Untuk memperolah gambaran tentang objek penelitian terlebih dahulu
akan digambarkan tentang keadaan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kabupaten
Ciamis. SLB di Kabupaten Ciamis tersebar mulai dari Ciamis Utara sampai ke
Ciamis Selatan. Perkembangan SLB di Kabupaten Ciamis akhir-akhir ini cukup
bagus, terutama berkembang pesat dalam kurun waktu tujuh tahun ke sini yang
sekarang semuanya dengan sekolah yang baru dirintis sudah ada tujuh belas
sekolah. Sebelumnya hanya ada satu SLB dalam satu kabupaten, yaitu SLB
Negeri yang ada di kota Ciamis. Sekolah yang dijadikan sampel penelitian
diambil dari tiap wilayah mulai dari Ciamis kota, Ciamis Utara, hingga ke Ciamis
Selatan, yaitu SLB Negeri di kota Ciamis, SLB Bagor Rancah, SLB Bina Harapan
Muhammadiyah Pangandaran, dan SLB Negeri Widi Asih Parigi serta SLB Al-
Magfiroh Lakbok sebagai tempat uji coba instrumen penelitian.
Dari hasil studi lapangan, lebih dari 90 % guru-guru SLB yang ada
memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang kerjanya yaitu dari
jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB), dan hampir semuanya sudah memiliki
ijazah S1 yang lainnya sedang menempuh kuliah program S1 jurusan PLB.
Di samping perkembangan berdirinya SLB yang sudah cukup bagus,
namun dilihat dari segi mutu penyelenggaraan SLB ini masih menghadapi
berbagai permasalahan. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa SLB yang
ada sebagian besar sekolah swasta yang didirikan karena terdesak oleh perlunya
sekolah, sehingga berdiri atas dorongan dari atas, sedangkan masyarakat masih
banyak yang belum mengerti, belum menyadari, minder, dan sebagainya. Dengan
153
demikian bisa dibayangkan lingkup sekolah yang kecil dan swasta di tengah-
tengah masyarakat yang masih awam dan para orang tua murid yang sosial
ekonominya relatif lemah, maka jelas dukungan yang ada masih sangat jauh dari
yang diharapkan. Sehingga dilihat dari sumbangan ide dan saran-saran, fasilitas,
sarana dan prasarananya, serta dukungan dana untuk pengelolaan pendidikan
sangat terbatas.
Sesuai dengan gambaran tersebut di atas, jelas masalah hubungan atau
partisipasi masyarakat masih perlu sekali digali, ditingkatkan agar sumber daya
masyarakat yang potensial itu dapat berdaya guna untuk penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu. Rendahnya hubungan SLB dengan masyarakat ini tentu
ada keterkaitan dengan pengetahuan masyarakat tentang Sekolah Luar Biasa, dan
perlunya meningkatkan sosialisasi dari pihak sekolah. Melihat kondisi seperti ini
semestinya sekolah dalam hal ini kepala sekolah, harus berperan lebih aktif
mengupayakan jalinan hubungan dengan masyarakat dalam rangka mendorong
partisipasi masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Kesigapan dan kreativitas dari pihak sekolah berkaitan dengan
kompetensi kepala sekolah sebagai orang nomor satu yang menentukan gerak
lajunya penyelenggaraan pendidikan. Berhasil atau tidaknya penyelenggaraan
sekolah, terjalin tidaknya hubungan yang harmonis dengan pihak masyarakat, dan
bermutu tidaknya layanan pendidikan di sekolah banyak ditentukan oleh
kemampuan kepala sekolah dalam mengelola berbagai sumber daya yang ada.
Untuk mencapai ukuran yang standar tentang kompetensi kepala sekolah pada
saat ini dapat ditinjau dengan berpedoman pada ketentuan atau standar yang
154
dikeluarkan oleh pemerintah melalui UU Sisdiknas 2003, PP 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendiknas Nomor 13 tahun 2005
tentang Kompetensi Kepala Sekolah.
Seluruh kepala sekolah yang ada pada SLB Kabupaten Ciamis dilihat
dari kriteria akademik sudah sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu semuanya
sudah berpendidikan Sarjana PLB. Ditinjau dari segi pengalaman kerjanya antara
20 tahun sampai dengan 32 tahun dengan pangkat golongan antara III-d sampai
dengan IV-b. Namun mengenai kompetensi-kompetensi kepala sekolah lainnya
terutama yang sesuai dengan standar dari BSNP tentunya perlu diungkap lebih
teliti melalui penelitian.
Responden dalam penelitian ini adalah guru-guru SLB yang ada di
Kabupaten Ciamis. Pendidikan responden penelitian ini, hampir semuanya
berlatar belakang pendidikan sarjana PLB dan hanya sebagian kecil yang belum
berstatus sebagai PNS. Data yang diperlukan yaitu meliputi tiga variabel,
kompetensi kepala sekolah, partisipasi masyarakat, dan mutu layanan pendidikan
semuanya dihimpun dari guru-guru sebagai responden penelitian.
4.1.2 Uji Normalitas Distribusi Data
Menguji normalitas distribusi data dilakukan untuk menentukan teknik
analisis yang akan dipergunakan. Bila hasil uji normalitas distribusi data tersebut
normal, maka dipergunakan teknik analisis parametrik, dan sebaliknya bila hasil
uji normalitas distribusi data, tidak normal maka yang dipergunakan teknik non
parametrik. Dalam uji normalitas data menggunakan rumus Chi Kuadrat ( χ2 )
sebagai berikut :
155
Dimana :
χ2 = Harga Chi Kuadrat yang dihitung dibandingkan dengan Chi
Kuadrat tabel.
fo = Frekuensi hasil pengamatan atau frekuensi empiris.
fe = Frekuensi yang diharapkan atau frekuensi teoritis.
Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk uji normalitas distribusi data
dengan menggunakan rumus tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Mengubah skor mentah menjadi skor baku.
2. Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan jalan :
(a) Menentukan batas kelas, yaitu angka skor kiri kelas interval dikurangi 0,5.
(b) Mencari nilai Zscore untuk batas kelas interval dengan rumus ;
Dimana :
= nilai rata-rata
156
s = standar deviasi
Z = nilai Zhitung
(c) Mencari luas 0 – Z dari Tabel Statistik dengan menggunakan angka-angka
untuk batas kelas.
(d) Mencari luas tiap kelas interval dengan jalan mengurangkan angka-angka
0 – Z yaitu angka baris peertama dikurangi baris kedua, angka baris kedua
dikurangi baris ketiga, dan begitu seterusnya. Kecuali angka untuk baris
paling tengah berbeda yaitu dengan menambahkan angka baris paling
tengah dengan angka baris berikutnya.
(e) Mencari frekuensi yang diharapkan (fe) dengan cara mengalikan luas tiap
kelas interval dengan jumlah responden.
(f) Mencari Chi Kuadrat ( χ2 ) hitung.
(g) Membandingkan ( χ2 ) hitung dengan ( χ2 ) tabel dengan kriteria sebagai
berikut :
Jika ( χ2 ) hitung < ( χ2 ) tabel, maka berdistribusi normal.
Jika ( χ2 ) hitung > ( χ2 ) tabel, maka tidak berdistribusi normal.
Tabel 3
PENGUJIAN NORMALITAS DATA VARIABEL X1
NO KELAS INTERVAL
BATAS KELAS
Σ UNTUK BATAS KELAS
NILAI0 - Z
LUAS TIAP KELAS
INTERVALEi Oi
1. 65 – 72 64,5 -2,59 4952 0,0336 1,714 3
2. 75 – 80 74,5 -1,77 4616 0,0619 3,157 7
3. 81 – 88 80,5 -1,28 3997 0,1673 8,532 10
4. 89 – 96 88,5 -0,62 2324 0,2484 12,668 12
157
5. 97 – 104 96,5 0,04 0160 0,2389 12,184 11
6. 105 – 112 104,5 0,69 2549 0,1582 8,0688 6
7. 113 - 120 112,5 1,36 4131 0,0652 3,325 2
Dari hasil perhitungan distribusi frekuensi diperoleh :
= 96 dan S = 12,154
= 7,104
dk = 4
χ20,95 = 9,49
χ2 hitung = 7,104 dan dari daftar distribusi frekuensi banyaknya kelas K = 7 dengan
demikian derajat kebebasan dk = k – 3 = 4 dan derajat kepercayaan α = 95 %
maka nilai χ2 tabel = 9,49. Oleh karena χ2
tabel > χ2 hitung maka jelaslah bahwa data
kompetensi kepala sekolah berdistribusi normal.
Tabel 4
PENGUJIAN NORMALITAS DATA VARIABEL X2
NO KELAS INTERVAL
BATAS KELAS
Σ UNTUK BATAS KELAS
NILAI0 - Z
LUAS TIAP KELAS
INTERVALEi Oi
1. 48,0 – 48,2 47,5 -1,84 4671 0,0524 2,672 4
2. 48,3 – 51,5 47,8 -1,37 4147 0,0961 4,901 10
158
3. 51,6 – 54,8 51,1 -0,91 3186 0,1486 7,579 6
4. 54,9 - 58,1 54,4 -0,44 1700 0,1780 9,078 12
5. 58,2 – 61,4 57,7 0,02 0080 0,1799 9,175 9
6. 61,5 – 64,7 61,0 0,49 1879 0,1410 7,191 7
7. 64,8 – 68,0 64,3 0,95 3289 0,0947 4,829 3
Dari hasil perhitungan distribusi frekuensi diperoleh :
= 57,549 dan S = 7,089
= 7,936
dk = 4
χ20,95 = 9,49
159
χ2 hitung = 7,936 dan dari daftar distribusi frekuensi banyaknya kelas K = 7 dengan
demikian derajat kebebasan dk = k – 3 = 4 dan derajat kepercayaan α = 95 %
maka nilai χ2 tabel = 9,49. Oleh karena χ2
tabel > χ2 hitung maka jelaslah bahwa data
kompetensi kepala sekolah berdistribusi normal.
Tabel 5
PENGUJIAN NORMALITAS DATA VARIABEL Y
NO KELAS INTERVAL
BATAS KELAS
Σ UNTUK BATAS KELAS
NILAI0 - Z
LUAS TIAP KELAS
INTERVALEi Oi
1. 63 – 66 62,5 -1,78 4625 0,0718 3,662 3
2. 67 – 70 66,5 -1,23 3907 0,1390 7,089 8
3. 71 – 74 70,5 -0,68 2517 0,2000 10,200 9
4. 75 – 78 74,5 -0,13 0517 0,2108 10,751 9
5. 79 – 82 78,5 0,41 1591 0,1724 8,792 9
6. 83 – 86 82,5 0,96 3315 0,1030 5,253 8
7. 87 - 90 86,5 1,51 4345 0,0458 2,336 5
Dari hasil perhitungan distribusi frekuensi diperoleh :
= 96 dan S = 12,154
160
= 7,92
dk = 4
χ20,95 = 9,49
χ2 hitung = 7,92 dan dari daftar distribusi frekuensi banyaknya kelas K = 7 dengan
demikian derajat kebebasan dk = k – 3 = 4 dan derajat kepercayaan α = 95 %
maka nilai χ2 tabel = 9,49. Oleh karena χ2
tabel > χ2 hitung maka jelaslah bahwa data
kompetensi kepala sekolah berdistribusi normal.
4.1.3 Deskripsi Variabel yang Diteliti
Untuk mengetahui keadaan variabel penelitian yaitu Kompetensi Kepala
Sekolah, Partisipasi Masyarakat, dan Mutu Layanan Pendidikan dilakukan dengan
pengukuran menggunakan angket yang meliputi X1, X2, dan Y. Setiap pernyataan
masing-masing disertai lima kemungkinan jawaban untuk dipilih yang dianggap
paling sesuai menurut responden. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas
tentang variable penelitian ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
161
Tabel 6
SKOR-SKOR HASIL PENELITIAN
NO.SKOR
VARIABEL 1 ( X1 )
SKOR VARIABEL 2 ( X2 )
SKOR VARIABEL 3 ( Y )
1 75 45 132
2 87 60 156
3 89 65 167
4 81 64 166
5 91 50 178
6 88 50 178
7 94 53 156
8 92 51 154
9 90 50 178
10 90 49 179
11 88 57 175
12 106 67 179
13 89 55 175
14 90 50 173
15 113 66 181
16 114 67 181
17 113 66 182
18 97 53 178
19 113 67 179
20 113 67 180
21 81 54 186
22 115 67 176
23 96 58 152
24 96 58 150
25 94 57 156
26 81 53 135
162
27 65 47 147
28 96 58 155
29 93 47 154
30 104 57 168
31 104 58 167
32 87 60 156
33 89 65 167
34 81 64 156
35 90 49 179
36 88 57 175
37 106 67 179
38 89 55 175
39 113 66 182
40 97 53 178
41 113 67 179
42 113 67 180
43 88 50 178
44 94 53 166
45 92 51 154
46 90 50 173
47 113 66 181
48 114 67 181
49 93 47 154
50 104 57 168
51 104 58 167
Dari tabel di atas menggambarkan bahwa sebagian besar responden
penelitian menyatakan bahwa kepala sekolah pada SLB di Kabupaten Ciamis
163
memiliki kompetensi yang cukup baik. Hal itu terlihat dari skor nilai perolehan
jawaban responden dibandingkan dengan skor ideal.
Selanjutnya tabel di atas menggambarkan pula bahwa sebagian besar
responden penelitian menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan pada SLB di Kabupaten Ciamis Belem mencapai
partisipasi yang optimal. Hal itu terlihat dari skor nilai perolehan jawaban
responden dibandingkan dengan skor idealnya.
Skor perolehan yang terlihat pada tabel di atas, yakni tentang mutu
layanan pendidikan menggambarkan bahwa layanan pendidikan pada SLB di
Kabupaten Ciamis cukup baik
4.1.4 Analisis Data dan Pengujian Hipótesis
Rumusan hipotesis utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
Terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi kepala sekolah, dan partisipasi
masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan. Selain hipotesis tersebut diuji pula
tentang hubungannya secara parsial dari setiap variable bebas dengan variabel
terikat, sehingga secara keseluruhan dalam penelitian ini ada tiga pengujian
hipótesis sebagai berikut :
a. Terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi kepala sekolah terhadap mutu
layanan pendidikan.
Selanjutnya rumusan statistik hipotesis yang ingin diuji dapat dinyatakan
sebagai berikut :
164
H0 : β = 0, Tidak terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi kepala
sekolah terhadap mutu layanan pendidikan.
Hipotesis alternatif :
H1 : β ≠ 0, Terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi kepala sekolah
terhadap mutu layanan pendidikan.
Pengujian hipotesis tersebut menggunakan analisis korelasi Product
Moment metode Pearson dan uji t.
Ketentuan Uji Hipotesis :
Tolak H0 jika t (hitung) ≥ t (tabel), dan terima H0 jika t (hitung) ≤ t (tabel).
Perhitungan korelasi dengan metode Pearson disajikan dalam tabel
sebagai berikut :
Tabel 7
PERHITUNGAN KORELASI PRODUCT MOMENT
NO.
SKOR X1 Y
DEVIASIX1’ Y’
KUADRAT DEVIASIX1’2 Y’2
PRODUCT DEVIASI
X1’Y’1 75 132 -21 -35,22 441 1240,4484 739,62
2 87 156 -9 -11,22 81 125,8884 100,98
3 89 167 -7 -0,22 49 0,0484 1,54
4 81 166 -15 -1,22 225 1,4884 18,3
5 91 178 -5 10,78 25 116,2084 -53,9
6 88 178 -8 10,78 64 116,2084 -86,24
7 94 156 -2 -11,22 4 125,8884 22,44
8 92 154 -4 -13,22 16 174,7684 52,88
9 90 178 -6 10,78 36 116,2084 -64,68
10 90 179 -6 11,78 36 138,7684 -70,68
165
11 88 175 -8 7,78 64 60,5284 -62,24
12 106 179 10 11,78 100 138,7684 117,8
13 89 175 -7 7,78 49 60,5284 -54,46
14 90 173 -6 5,78 36 33,4084 -34,68
15 113 181 17 13,78 289 189,8884 234,26
16 114 181 18 13,78 324 189,8884 248,04
17 113 182 17 14,78 289 218,4484 251,26
18 97 178 1 10,78 1 116,2084 10,78
19 113 179 17 11,78 289 138,7684 200,26
20 113 180 17 12,78 289 163,3284 217,26
21 81 186 -15 18,78 225 352,6884 -281,7
22 115 176 19 8,78 361 77,0884 166,82
23 96 152 0 -15,22 0 231,6484 0
24 96 150 0 -17,22 0 296,5284 0
25 94 156 -2 -11,22 4 125,8884 22,44
26 81 135 -15 -32,22 225 1038,1284 483,3
27 65 147 -31 -20,22 961 408,8484 626,82
28 96 155 0 -12,22 0 149,3284 0
29 93 154 -3 -13,22 9 174,7684 39,66
30 104 168 8 0,78 64 0,6084 6,24
31 104 167 8 -0,22 64 0,0484 -1,76
32 87 156 -9 -11,22 81 125,8884 100,98
33 89 167 -7 -0,22 47 0,0484 1,54
34 81 166 -15 -1,22 225 1,4884 18,3
35 90 179 -6 11,78 36 138,7684 -70,68
36 88 175 -8 7,78 64 60,5284 -62,24
37 106 179 10 11,78 100 138,7684 117,8
38 89 175 -7 7,78 49 60,5284 -54,46
39 113 182 17 14,78 289 218,4484 251,26
40 97 178 1 10,78 1 116,2084 10,78
166
41 113 179 17 11,78 289 138,7684 200,26
42 113 180 17 12,78 289 163,3284 217,26
43 88 178 -8 10,78 64 116,2084 -86,24
44 94 166 -2 -1,22 4 1,4884 22,44
45 92 154 -4 -13,22 16 174,7684 52,88
46 90 173 -6 5,78 36 33,4084 -34,68
47 113 181 17 13,78 289 189,8884 234,26
48 114 181 18 13,78 324 189,8884 248,04
49 93 154 -3 -13,22 9 174,7684 39,66
50 104 168 8 0,78 64 0,6084 6,24
51 104 167 8 -0,22 64 0,0484 -1,76
Nx=Ny=51
M’x1=96M’y =167,22
ΣX’12=6960
ΣY’2=8265,1084 4062
Hasil perhitungan dari tabel 4 di atas selanjutnya diolah dengan rumus
korelasi Product Moment (Ngalim Purwanto, 2000 : 143) sebagai berikut :
= 0,536
167
Selanjutnya dilakukan uji t dengan rumus sebagai berikut (Wahyudin,
1999 : 92) :
= 5,262
Dari hasil perhitungan di atas diperoleh t (hitung) = 5,262 dan dengan derajat
kebebasan (dk) n – 2 = 49 pada taraf signifikansi 0,05 diperoleh nilai t
(tabel) 2,014.
Sesuai dengan ketentuan bahwa bila t (hitung) ≥ t (tabel), maka H0 ditolak
dan jika t (hitung) ≤ t (tabel) maka H0 diterma. Dengan demikian pengujian
hipotesis nol (H0) yang menyatakan : “Tidak terdapat pengaruh yang positif dan
signifikan dari kompetensi kepala sekolah terhadap mutu layanan pendidikan”,
ditolak. Oleh karenanya, hipotesis penelitian yang diajukan yaitu : “Terdapat
pengaruh yang positif dari kompetensi kepala sekolah terhadap mutu layanan
pendidikan”, diterima.
Sedangkan kontribusi (sumbangan langsung) variabel X1 terhadap Y = r2
x 100 % yaitu 0,5362 x 100 % = 28,70 % dan sisanya 71,30 % ditentukan oleh
variabel lain.
b. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari partisipasi masyarakat
terhadap mutu layanan pendidikan.
168
Rumusan statistik hipotesis yang ingin diuji dapat dinyatakan sebagai
berikut :
H0 : β = 0, Tidak terdapat pengaruh yang positif dari partisipasi
masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan.
Hipotesis alternatif :
H1 : β ≠ 0, Terdapat pengaruh yang positif dari partisipasi masyarakat
terhadap mutu layanan pendidikan.
Pengujian hipotesis tersebut menggunakan analisis korelasi Product
Moment metode Pearson dan uji t.
Ketentuan Uji Hipótesis :
Tolak H0 jika t (hitung) ≥ t (tabel), dan terima H0 jika t (hitung) ≤ t (tabel).
Perhitungan korelasi dengan metode Pearson disajikan dalam tabel
Hasil perhitungan dari tabel 4 di atas selanjutnya diolah dengan rumus
korelasi Product Moment (Ngalim Purwanto, 2000 : 143) sebagai berikut :
= 0,431
171
Selanjutnya dilakukan uji t dengan rumus sebagai berikut (Modul Praktika
Statistika, 1999 : 92) :
= 3,345
Dari hasil perhitungan di atas diperoleh t (hitung) = 3,345 dan dengan
derajat kebebasan (dk) n – 2 = 49 pada taraf signifikansi 0,05 diperoleh nilai t
(table) = 2,014. Sesuai dengan ketentuan bahwa bila t (hitung) ≥ t (tabel), maka
H0 ditolak dan H0 jika t (hitung) ≤ t (tabel) maka H0 diterma. Dengan demikian
pengujian hipotesis nol (H0) yang menyatakan : “Tidak terdapat pengaruh yang
positif dari partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan”, ditolak.
Oleh karenanya, hipotesis penelitian yang diajukan yaitu : “Terdapat pengaruh
yang positif dari partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan pendidikan”,
diterima.
Sedangkan kontribusi (sumbangan langsung) variabel X2 terhadap Y = r2
x 100 % yaitu 0,4312 x 100 % = 18,58 % dan sisanya 81,42 % ditentukan oleh
variabel lain.
172
c. Terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi kepala sekolah, dan partisipasi
masyarakat secara bersama-sama terhadap mutu layanan pendidikan.
Selanjutnya rumusan statistik hipotesis yang ingin diuji dapat dinyatakan
sebagai berikut :
H0 : β = 0, Tidak terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi kepala
sekolah, dan partisipasi masyarakat secara bersama-sama
terhadap mutu layanan pendidikan.
Hipotesis alternatif :
H1 : β ≠ 0, Terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi kepala
sekolah, dan partisipasi masyarakat secara bersama-sama
terhadap mutu layanan pendidikan.
Pengujian hipotesis tersebut menggunakan analisis korelasi ganda dengan
rumus seperti dikemukakan oleh Sugiyono (Yusuf Bachtiar, 2001 : 102) sebagai
berikut :
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi dengan rumus sebagai berikut :
Dimana :
R2 = Koefisien korelasi ganda
173
k = Jumlah variabel bebas
n = Jumlah sampel
Fhitung = Fhitung yang selanjutnya akan dibandingkan dengan Ftabel
Ketentuan Uji Hipotesis :
Tolak H0 jika Fhitung ≥ Ftabel dan terima H0 jika Fhitung ≤ Ftabel
Sedangkan untuk menyatakan besar kecilnya sumbangan atau koefisien
determinan dengan menguadratkan koefisien korelasi, dikalikan 100 %.
Perhitungan selengkapnya adalah sebagai berikut :
= 0,548
Perhitungan uji signifikansinya adalah dengan uji F sebagai berikut :
174
= 10,288
Dari hasil perhitungan di atas diperoleh F (hitung) = 10,288 dan dengan
derajat kebebasan (dk) n – 2 = 49 pada taraf signifikansi 0,05 diperoleh nilai F
(table) = 3,10. Sesuai dengan ketentuan bahwa bila F (hitung) ≥ F (tabel) maka
H0 ditolak, dan jika F (hitung) ≤ F (tabel) maka H0 diterma. Dengan demikian
pengujian hipotesis nol (H0) yang menyatakan : “Tidak terdapat pengaruh yang
positif dari kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat secara bersama-
sama terhadap mutu layanan pendidikan”, ditolak. Oleh karenanya, hipotesis
penelitian yang diajukan yaitu : “Terdapat pengaruh yang positif dari kompetensi
kepala sekolah dan partisipasi masyarakat secara bersama-sama terhadap mutu
layanan pendidikan”, diterima.
Sedangkan kontribusi (sumbangan lansung) variabel X1 dan X2 terhadap Y
= R2 x 100 % yaitu 0,5842 x 100 % = 34,11 % dan sisanya 65,89 % ditentukan
oleh variabel lain.
4.2 Pembahasan
175
4.2.1 Pengaruh Kompetensi Kepala Sekolah Terhadap Mutu Layanan
Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kompetensi Kepala Sekolah
berpengaruh positif terhadap Mutu Layanan Pendidikan. Artinya semakin baik
kompetensi kepala sekolah, maka akan semakin baik pula mutu layanan
pendidikan di sekolah.
Keadaan tersebut di atas sejalan dengan pendapat para ahli sebagaimana
telah dibahas dalam bab terdahulu. Pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
lainnya antara lain adalah sebagai berikut : Samtono (28-2-2007, Tersedia :
http//www.sma1-sltg.id) mengemukakan bahwa
Sebagai pengelola institusi satuan pendidikan, kepala sekolah dituntut untuk selalu meningkatkan efektivitas kinerjanya. Untuk mencapai mutu sekolah yang efektif, kepala sekolah dan seluruh stakeholders harus bahu membahu kerjasama dengan penuh kekompakan dalam segala hal. Masih berkisar dalam kompetensi kepala sekolah dikatakan oleh Agus
Dharma (30-4-2003, Tersedia : http//Google.pakguruonline) bahwa ”Agar
berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk dapat
mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar.” Lebih lanjut tentang
kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah dikatakan oleh Agus Dharma
(30-4-2003, Tersedia : http//Google.pakguruonline) sebagai berikut :
Dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali adalah kualitas yang seharusnya dimiliki para pemimpin. Karakter moral seperti itulah sebenarnya yang memiliki dampak jangka panjang. Kepala sekolah yang hanya mengandalkan kewenangan jabatannya untuk mempengaruhi lingkungan, hanya akan menimba hasil jangka pendek.
176
Sesuai dengan hasil penelitian ini, kompetensi kepala sekolah merupakan
faktor yang sangat penting untuk diperhitungkan guna meningkatkan mutu
pendidikan. Itulah sebabnya perlu adanya suatu standar kompetensi bagi kepala
sekolah, apabila mengharapkan mutu pendidikan terus meningkat. Agus Dharma
(30-4-2003, Tersedia : http//Google.pakguruonline) mengatakan bahwa ”Tanpa
adanya standar kompetensi yang cukup tinggi bagi para kepala sekolah rasanya
sukar berharap bahwa pendidikan di Indonesia akan dikenal berkualitas baik di
dunia.”
4.2.2 Pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Mutu Layanan
Pendidikan
Untuk mencapai suatu keberhasilan dalam upaya meningkatkan mutu
layanan pendidikan kepala sekolah tidak bisa bekerja sendiri tetapi ada satu hal
yang sangat esensial yaitu mendayagunakan masyarakat agar memberikan
dukungannya terhadap pendidikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan, dan sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Suharman (8-5-
2007, Tersedia : http//radarlampung.co.id) sebagai berikut :
Guna mewujudkan visi dan misi sekolah sesuai paradigma baru manajemen pendidikan, perlu memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekolah secara optimal. Hal ini penting karena sekolah perlu masukan dari masyarakat dalam menyusun program yang relevan.
Dihubungkan dengan program desentralisasi pendidikan, faktor
partisipasi masyarakat dalam pendidikan tampak semakin penting. Suharman (8-
5-2007, Tersedia : http//radarlampung.co.id) mengatakan bahwa : ”Partisipasi
orang tua siswa atau masyarakat merupakan faktor yang sangat menentukan
177
keberhasilan desentralisasi pendidikan dalam bentuk manajemen berbasis sekolah
atau otonomi sekolah.” Ditegaskan lebih lanjut oleh Suharman (8-5-2007,
Tersedia : http//radarlampung.co.id) bahwa : ”Masyarakat perlu dilibatkan dalam
segala kebijakan sekolah, sehingga mereka mempunyai rasa tanggung jawab
bersama.” Sesuai dengan pendapat di atas oleh Sudarwan Danim (2002 : 63)
menjelaskan sebagai berikut :
Kolaborasi pemerintahan negara bagian dengan sekolah personel atau tokoh masyarakat sangat esensial. Kepala, guru, dan anggota masyarakat, personel universitas, dan asisten teknis, semuanya muncul menjadi vital bagi usaha membangun lingkungan yang favorabel dan keterlibatannya sangat krusial.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan menjalin
kerjasama dengan masyarakat tiada lain bertujuan agar mutu layanan pendidikan
secara khusus dan umumnya mutu pendidikan dapat mencapai sasaran sesuai
dengan yang diharapkan dan memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai
konsumen dan pengguna hasil pendidikan. Karena tugas dari sekolah sebagai
suatu institusi tiada lain memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Edward Sallis (2006 : 82) yang menjelaskan sebagai
berikut :
Misi utama dari sebuah institusi TQM adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Organisasi yang unggul, baik negeri maupun swasta, adalah organisasi yang, dalam istilah Peters dan Waterman, ’menjaga hubungan dengan pelanggannya’ dan ’memiliki obsesi terhadap mutu’. Mereka mengakui bahwa pertumbuhan dan perkembangan sebuah institusi bersumber dari kesesuaian layanan institusi dengan kebutuhan pelanggan. Mutu harus sesuai dengan harapan dan keinginan pelanggan dan klien. Mutu adalah sesuatu yang diinginkan pelanggan dan bukan apa yang terbaik bagi mereka menurut institusi.
178
Dari hasil penelitian sesuai pula dengan pendapat para ahli ternyata
terdapat pengaruh positif dari partisipasi masyarakat terhadap mutu layanan
pendidikan. Hal itu berarti apabila partisipasi masyarakat meningkat maka mutu
layanan pendidikan pun akan meningkat.
Tentang partisipasi masyarakat dapat dilihat dari segi manfaatnya bagi
pengembangan lembaga pendidikan sebagaimana dikemukakan Made Pidarta
(2004:184) sebagai berikut :
1. memperbesar dorongan mawas diri, 2.memudahkan memperbaiki pendidikan, 3. memperbesar usaha peningkatan potensi pengajar,4 konsep masyarakat tentang guru/dosen menjadi benar, 5 mendapat koreksi dari kelompok masyarakat, 6. mendapat dukungan moral dari masyarakat, 7. memudahkan meminta bantuan dari masyarakat, 8. memudahkan pemakaian media pendidikan masyarakat, 9. memudahkan pemanfaatan nara sumber.
Sejalan dengan pendapat di atas dijelaskan oleh Tim Poleja MBS Jawa
Barat (2003:84) bahwa partisipasi masyarakat berkaitan dengan hal-hal sebagai
berikut :
Kesadaran dan kepedulian masyarakat melakukan aktivitas untuk turut serta mengambil keputusan, melaksanakan dan mengevaluasi keputusan suatu program pendidikan di sekolah secara proporsional yang dilandasi kesepakatan.
Tentang partisipasi orang tua murid dikemukakan oleh E.Mulyasa
(2006:167) sebagai berikut: ” Partisipasi orang tua merupakan keterlibatan orang
tua secara nyata dalam suatu kegiatan. Partisipasi itu bisa berupa gagasan,
kritikmembangun, dan pelaksanaan pendidikan.”
4.2.3 Pengaruh Kompetensi Kepala Sekolah dan Partisipasi
Masyarakat terhadap Mutu Layanan Pendidikan
179
Hasil penelitian penunjukkan bahwa faktor kompetensi kepala sekolah dan
partisipasi masyarakat secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap mutu
layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mengandung arti bahwa jika kompetensi
kepala sekolah dan partisipasi masyarakat meningkat maka mutu layanan
pendidikan pun akan meningkat.
Masalah kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat merupakan
dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah apabila mengharapkan mutu layanan pendidikan yang baik.
Kepala sekolah yang memiliki kompetensi sesuai dengan acuan yang ada
merupakan kunci keberhasilan dalam menggerakkan semua pihak yang terkait
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Masyarakat sebagai salah satu
bagian dalam pendidikan yang sangat potensial dapat berperan aktif dan
berdayaguna dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan manakala masyarakat
telah memeiliki perhatian yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan
sekolah.
Dapat ditegaskan bahwa kompetensi kepala sekolah dan partisipasi
masyarakat hendaknya dijadikan suatu bagian yang diperhatikan jika ingin
meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah. Upaya untuk mewujudkan
meningkatnya kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan di sekolah diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
berbagai potensi sekolah sehingga pada gilirannya akan terwujud layanan
pendidikan yang bermutu.
180
4.3 Temuan Penelitian
Temuan penelitian yang berkenaan dengan permasalahan pengaruh
kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Kompetensi kepala sekolah pada SLB di Kabupaten Ciamis sudah termasuk
baik bila dilihat dari Standar Kompetensi yang dituangkan dalam
Permendiknas Nomor 13 tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah.
Dari hasil wawancara dan pengamatan hal ini sejalan dengan kualifikasi
akademik yang telah dimiliki oleh para Kepala Sekolah yaitu berpendidikan
S1 jurusan PLB sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh BSNP. Selain itu
seringnya diadakan diklat dan seminar yang diperuntukkan bagi Kepala SLB
juga dapat menambah wawasan para Kepala Sekolah dalam hal mutu layanan
pendidikan.
2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
masih belum terlaksana secara optimal. Hal itu disebabkan oleh masih
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pendidikan luar biasa, sebagai
akibat kurangnya sosialisasi dari pihak sekoah maupun dari dinas pendidikan.
181
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kompetensi kepala sekolah berpengaruh positif terhadap mutu layanan
pendidikan. Hal ini berarti jika kompetensi kepala sekolah meningkat maka
mutu layanan pendidikan pun akan meningkat
2. Partisipasi masyarakat berpengaruh positif terhadap mutu layanan pendidikan.
Hal ini berarti jika partisipasi masyarakat meningkat maka mutu layanan
pendidikan pun akan meningkat
3. 3. Secara bersama-sama kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat
berpengaruh positif terhadap mutu layanan pendidikan. Hal ini berarti jika
kompetensi kepala sekolah dan partisipasi masyarakat meningkat maka mutu
layanan pendidikan pun akan meningkat.
5.2 Saran-saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian di bawah ini disamapaikan
saran-saran sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan diperlukan kepala sekolah
yang memiliki berbagai kompetensi sesuai dengan acuan dari Badan Standar
Nasional Pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk selalu
meningkatkan kompetensi kepala sekolah secara kontinyu dan terus menerus,
182
sehingga kepala sekolah dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara
profesional. Dengan berbagai upaya kepala sekolah harus memiliki beberapa
kompetensi, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial,
kompetensi supervisi, kompetensi kewirausahaan, dan kompetensi sosial.
2. Selain kompetensi kepala sekolah yang berpengaruh terhadap mutu layanan
pendidikan adalah partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, faktor partisipasi
masyarakat ini harus diberdayakan secara optimal. Untuk mengoptimalkan
partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan mengadakan sosialisasi dan
pembinaan-pembinaan terhadap sumber partisipasi masyarakat seperti orang
tua murid, komite sekolah, yayasan pendidikan, tokoh masyarakat, pelaku
bisnis, dan sebagainya. Sosialisasi dan pembinaan mencakup masalah
kurikulum, masukan dan ide-ide, harapan masyarakat, dana, fasilitas belajar,
dan sebagainya. Adapun mekanisme pembinaan terhadap masyarakat itu dapat
dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan-pertemuan, diskusi, dialog,
mengundang masyarakat sebagai nara sumber, dan sebagainya.
3. Dalam upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah, hendaknya
diperhatikan hal-hal yang telah dituangkan dalam PP 19 tahun 2005 tentan
SNP yang mencakup Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi
Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan
Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian
Pendidikan.
183
DAFTAR PUSTAKA
BSNP, 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jenjang Pendidikan Dasar dab Menengah, Jakarta : BSNP.
Bachtiar, Yusuf. 2001. Kesiapan Implementasi Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS), Tesis Program Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan.
Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Daryanto, H.M..2006.Administerasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
Depdiknas. 2006. Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan Panduan Penyusunan KTSP, Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2005. Rencana Strategi Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif, Pelayanan Profesional Kurikulum 2004, Jakarta : Depdiknas.
Faisal, Sanapiah. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Surabaya : Usaha Nasional.
Hadi, Sutrisno. 1986. Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Komariah, Aan dan Cepi Triatna. 2006. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Bandung : Bumi Aksara.
Manulang, M. 1983. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mar’at.1982. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mulyasa, E..2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Munir, 2007. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, Diktat Materi Kuliah Program Pasca Sarjana Universitas Galuh Ciamis
184
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan : Tidak Diterbitkan.
Nawawi, H. Hadari. 1982. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta : Gunung Agung.
Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Purwanto, M. Ngalim. 2000. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Samtono. 2007. Efektivitas Kepemimpinan Kepala Sekolah.. Tersedia : http//www.sma1-sltg.id. [28 Februari 2007]
Sallis, Edward. Alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi. 2006. Total Quality Management in Education (Manajemen Mutu Pendidikan). Jogjakarta : IRCiSoD.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun. 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Siagian, Sondang P..2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta : Rineka Cipta.
Suderadjat, Hari. 2005. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Bandung : Cipta Cekasa Grafika.
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung : Tarsito.
Suharman. 2007. Peran Masyarakat Dalam Pendidikan. Tersedia : http//radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=3616<e. [8 May 2007]
Suharyanto, Hadriyanus dan Agus Heruanto Hadna. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Media Wacana.
Sukirno, 2006. Pedoman Kerja Komite Sekolah. Jakarta : Pustaka Widyatama.
Sutikno, M. Sobri. 2006. Pendidikan Sekarang dan Masa Depan. Tersedia :http://sobrysutikno.com [12/05/2006]
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya.
185
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Konsep, Strategi dan Aplikasi. Jakarta : Grasindo.
Tim Pokja MBS Jawa Barat. 2003. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat. Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Unpas, 1999, Modul Praktika Statistika, Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan, Bandung : tidak diterbitkan.
Wahyudin. 2006. Aplikasi Statistika. Diktat Kuliah. Program Pascsarjana Universitas Galuh Ciamis : tidak diterbitkan.
____________.2005. Standar Nasional Pendidikan, PP RI No. 19 tahun 2005. Jakarta : LeKDiS.
____________. 2006. Undang-undang RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Permendiknas No. 11 tahun 2005 tentang Buku Pelajaran, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bandung : Citra Umbara.
____________. 2007. Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Untuk Tenaga Kependidikan di Lingkungan SLTP. Tersedia : www.geocities.com/pakguruonline
____________. 2007. Mutu Layanan Pendidikan. Tertsedia : http//Google.pakguruonline [3-5-2007]