Bagian Farmakologi Klinik Laporan Kasus Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman DM TIPE II + ABSES PEDIS SINISTRA Dipresentasikan pada tanggal: 8 September 2011 Disusun Oleh: Nur Anisah Karina Oleh: Nurul Salamah Khoirun Nisa Siti Mu’awanah Sizigia Hascharini Utami Pembimbing: dr. Lukas D. Leatemia, M. Kes M. Pd. Ked Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Bagian Farmakologi Klinik Laporan KasusFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
DM TIPE II + ABSES PEDIS SINISTRA
Dipresentasikan pada tanggal: 8 September 2011
Disusun Oleh:
Nur Anisah
Karina
Oleh:
Nurul SalamahKhoirun Nisa
Siti Mu’awanahSizigia Hascharini Utami
Pembimbing:
dr. Lukas D. Leatemia, M. Kes M. Pd. Ked
Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada
Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SAMARINDA
2011
BAB ILAPORAN KASUS
Presentasi KasusFarmakologi Klinik Tanggal: 1 September 2011
RSUD AWS – FK Unmul
I. Identitas Pasien : Tanggal pemeriksaan: 1 September 2011
Nama : Ny. S P/L Dokter yg memeriksa : dr. jaga IRD
Usia : 50 tahun
Tanggal Lahir : -
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl. Adam Malik No. 2
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No RM : 11035671
II. Anamnesis (Subjektif)
Keluhan Utama :
Nyeri di luka kaki sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Terdapat luka pada ibu jari kaki kiri sejak kurang lebih 1 minggu yang
lalu. Luka awalnya tampak seperti letupan dan tidak diawali oleh trauma. Luka
makin meluas kemudian pasien mengalami demam dan badan lemah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat DM (+) sejak 1 tahun yang lalu, rutin minum obat glibenklamid.
Riwayat hipertensi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak diketahui.
III. Pemeriksaan Fisik (Objektif)
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD : 140/90 mmHg RR: 30 x/menit
N : 120 x/menit cepat lemah T: 37,8˚C
Kepala dan leher : Anemis (+), Ikterik (-), sianosis (-)
Thoraks : Pulmo: Bentuk dan gerak simetris, ronkhi -/-, wheezing -/--/- -/--/- -/-
Cor : S1 S2 tunggal reguler, suara tambahan (-)
Abdomen : Flat, soefl, nyeri tekan epigastrium (-), BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat
Lain-lain : Regio pedis sinistra: ulkus pada digiti I, dasar jaringan
1. Penggunaan obat-obatan pada kasus ini berdasarkan diagnosis
2. Rasionalisasi pengobatan pada kasus ini
3. Interaksi dan efek samping obat-obat yang digunakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kerusakan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi (kelainan fungsi tubuh), kegagalan
dari 14 berbagai organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah (Fauci et al, 2008). Menurut WHO (1999) Diabetes mellitus (DM)
didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan
multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama terjadinya penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA), amputasi ekstremitas bawah dan kebutaan pada usia dewasa.
Selain itu juga, DM menjadi faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler. Dengan
peningkatan insidensi di seluruh dunia, DM menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas banyak penyakit-penyakit lainnya (Fauci et al, 2008).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile
diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45
tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak
dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada
usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan
rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-
istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan
Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA)
mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latnt Diabetes,
Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes (Depkes,2005).
WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian
diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan
Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru
diabetes mellitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada
tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-
Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan
"Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes
Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak
lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan
istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-
Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-
publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul (Depkes, 2005).
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun
1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu
Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose
Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes
Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan
satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau
Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga
dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-
Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi
insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih
berdasarkan etiologi penyakitnya (Depkes, 2005). Klasifikasi Diabetes Melitus
berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel 1.
2.1.3 Patofisiologi
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan
sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula
yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie,
Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi
yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase) (Depkes, 2005).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di
dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1.
ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans (Depkes, 2005).
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat
beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-
sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon
somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif
menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa
tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan
respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat,
bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah
merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun
sejalan dengan perjalanan penyakit (Depkes, 2005).
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama
seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu
(Depkes, 2005).
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi
terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80%
pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana
halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun
sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan
prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi (Depkes,
2005).
Di samping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa
otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin (Depkes, 2005).
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi
glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi
dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis
diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi
somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan
terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang
pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1
yang sedang mendapat terapi insulin (Depkes, 2005).
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM
Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam
lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di
jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme
glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh (Depkes,
2005).
Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor
glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose (Depkes, 2005).
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai
90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-
anak populasinya meningkat (Depkes, 2005).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya
terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar
dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak
dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Depkes, 2005).
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.
Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang
merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2 (Depkes, 2005).
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin” (Depkes, 2005).
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak
(sedentary), dan penuaan. Di samping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe
2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans
secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian
defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak
absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi
pemberian insulin (Depkes, 2005).
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa
yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase
kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2,
sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan
baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen (Depkes, 2005).
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa
plasma puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa
plasma puasa > 140 mg/dl).
Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1 dengan DM Tipe 2 adalah sebagai
berikut:
Tabel 2. Perbedaan DM Tipe 1 dan Tipe 2
2.1.4 Faktor Resiko
Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes
selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas
kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya
memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk
melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar
tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi
diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan
kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.
Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat
dilihat pada tabel 3 berikut ini (Depkes, 2005).
Tabel. 3 Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2
2.1.5 Gejala Klinis
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa
gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal
yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air
kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain
itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali
sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas
(Depkes, 2005).
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM
Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai
beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,
dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis klinis DM umumnya dapat dipertimbangkan bila ada keluhan
khas berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulva pada wanita (Fauci et al, 2008).
Jika terdapat keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan sebagai patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis
DM. Dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) yang abnormal (Fauci et al, 2008).
Kriteria diagnostik DM adalah sebagai berikut (Fauci et al, 2008):
a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl (puasa berarti
tidak ada asupan kalori sejak 10 jam terakhir), atau
c. kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa hemoglobin A1C (Hb A1C)
merupakan tanda diagnostik DM. meskipun memang terdapat korelasi yang kuat
antara A1C dengan glukosa plasma, namun hubungan antar glukosa darah puasa
dan A1C pada seseorang yang mengalami toleransi glukosa normal atau
intoleransi glukosa ringan masih kurang jelas, sehingga penggunaan A1C belum
direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis diabetes.
Tes hemoglobin terglikosilasi disingkat sebagai A1C merupakan cara
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun (Fauci et al, 2008).
Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, perlu dilakukan konfirmasi
dengan hasil uji toleransi glukosa oral. Kurva toleransi glukosa penderita DM
Tipe 1 menunjukkan pola yang berbeda dengan orang normal sebagaimana yang
ditunjukkan dalam gambar 1(Depkes, 2005)
Gambar 1. Kurva Toleransi Glukosa normal dan pada pasien DM Tipe 1.
Garis titik-titik menunjukkan kisaran kadar glukosa darah normal.
2.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes sebagai berikut (Depkes, 2005).
Tabel 4. Target Penalataksanaan Diabetes
Parameter Kadar Ideal yang diharapkanKadar Glukosa Darah PuasaKadar Glukosa Plasma PuasaKadar Glukosa Darah Saat TidurKadar Glukosa Plasma Saat TidurKadar InsulinKadar HbA1CKadar Kolesterol HDL
4 Interaksi obat: Aminoglikosida dan loop diuretik meningkatkan efek nefrotoksik, kloramfenikol menginhibisi cefotaxime, oral antikoagulan menyebabkan hipoprotrombinemia
Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi
√
5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral
Pada pasien ini diberikan secara parenteral
√
3. Metronidazole
Merupakan Antimikroba yang berfungsi sebagai terapi pada infeksi yang
disebabkan bakteri anaerob serta diperlukan untuk tindakan profilaksis pra
dan pasca bedah. Pada kasus ini, pasien mengalami infeksi serta
mendapatkan penanganan perawatan pada lukanya tersebut. Hasil kultur
bakterinya belum didapatkan sehingga perlu penggunaan antibiotik Broad
Spectrum yang dikombinasikan dengan Metronidazole.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: infeksi
yang disebabkan
bakteri anaerob,
trikomoniasid, dan
amubisid terhadap
Giardian lamblia serta
tindakan profilaksis
pra dan pasca bedah.
Infeksi yang belum diketahui hasil kulturnya; dalam perawatan luka
√
2 Dosis : dws: tab: 500 mg 3x/hari 5-7 hari; inf: 500mg tiap 8 jam IV; supp: 1 g supp 3x/hari 7 hari
diberikan Metronidazole tab 500 mg 3x/hari
√
3 Efek samping: sakit
kepala, mual, mulut
kering, dan rasa kecap
logam. Muntah, diare dan
spasme usus, Lidah
berselaput, glositis dan
stomatitis, vertigo, ataksia,
parestesia ekstremitas,
urtikaria, flushing,
pruritus, disuria, sistitis,
nyeri tekan pelvis, kering
pada mulut, vagina dan
vulva, ataksia, kejang.
- √
4 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral, parenteral, suppositoria.
Pada pasien ini diberikan secara oral
√
4. Reguler Insulin
Merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat meningkatkan
penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi pertumbuhan
sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan reseptor
insulin di jaringan. Dapat diberikan pada pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II.
Pada pasien ini, ditegakkan diagnosa yaitu DM tipe II sejak setahun terakhir dan rutin
mengkonsuksi Glibenclamide. Namun pada pemeriksaan kadar gluksa didapatkan
hasil kadar glukosa yang sangat tinggi sehingga tatalaksana OHO dihentikan dan
memerlukan reguler Insulin.
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak1 Indikasi : Diabetes Mellitus
tipe I dan tipe II Diabetes Melitus tipe II √
2 Dosis : 0,2-1 iu/kgBB/hari. Vial 40 IU/ml x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml, vial cartridge 100 IU/ml x 3 ml. Dapat diberikan SC atau IV pada kondisi ketoasidosis. Dosis tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah.
diberikan RI 3x4 iu √
3 Interaksi obat:
Kortikosteroid, diuretik, oral
kontrasepsi, tiroksin
meningkatkan kebutuhan
insulin, b bloker, MAO
Inhibitor, alkohol
meningkatkan efek
hipoglikemik dari insulin
Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi
√
4 Efek samping obat :
Hipoglikemi. Jarang
menyebabkan lipodistrofi,
resisten terhadap insulin,
reaksi alergi lokal atau
umum
- √
5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral
Pada pasien ini diberikan secara parenteral
√
5Ranitidin
Merupakan antagonis H2 reseptor sehingga bekerja sebagai
menghambat sekresi asam lambung dan pepsin. Pada pasien ini ditemukan
gejala nyeri ulu hati yang dianalisa disebabkan pemberian Antrain yang
memiliki efek samping pada GIT. Sehingga pada pasien ini dibutuhkan
pemberian Ranitidin.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: peptic ulcer,
refluks esofagitis,
sindroma zolinger Ellison
Nyeri ulu hati √
2 Dosis dan sediaan: 150
mg 2x/hari selama 4
minggu; 300 mg 1x/hari
selama 4-8 minggu. Tab
150 mg; Amp 50
mg/2mL
Diberikan inj Ranitidin 2x1 amp
√
3 Efek samping obat:
pusing, rash, sakit kepala,
konstipasi
- √
4 Cara Pemakaian: dapat Pada pasien ini √
digunakan secara oral, parenteral
diberikan secara parenteral
6. Metamizole Na (Antrain)
Merupakan derivat metansulfonat dari aminopirin yang mempunyai khasiat
analgesik. Pada pasien ditemukan rasa nyeri dari luka pada kaki kirinya sehingga
dibutuhkan analgesik untuk mengatasi nyerinya.
no Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: untuk
meringankan rasa sakit, pasca operasi, nyeri kolik
Nyeri pada ulkus √
2Dosis Dosis dan sediaan :
Tablet : 1 tablet jika sakit
timbul, berikutnya 1 tablet
tiap 6-8 jam,maksimum 4
tablet sehari. Injeksi: 500
mg jika sakit timbul,
berikutnya 1 tablet tiap 6-8
jam maksimum 3 kali/hari.
Diberikan secara injeksi
baik IM/IV
Pada pasien diberikan inj Antrain 3x1 amp
√
3 IO: Bila Metamizole Na
diberikan bersamaan
dengan Chlorpromazine
dapat mengakibatkan
hipotermia
Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi
√
4 Efek samping: rush
(kemerahan) dan
agranulositosis
- √
5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral dan parenteral
Pada pasien ini diberikan injeksi
√
7. Paracetamol
Merupakan terapi yang memiliki efek antipiretik dan analgesi melalui
mekanisme sentral yang dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang.
Efek antiinflamasinya sangat rendah, bahkan tidak ada. Pada awal kasus
ini didapatkan demam pada pasien sehingga diperlukan pemberian
antipiretik.
no Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: untuk
menghilangkan demam dan meredakan nyeri
Terdapat demam dan nyeri
√
2Dosis Dosis dan sediaan :
paracetamol tablet 500 mg,
sirup 120 mg/5 ml x 60 ml,
supp 125 mg dan 250 mg.
Dws: 1-2 tab 3-4x/hari
Pada pasien diberikan Paracetamol 500 mg 3x/hari bila demam
√
3InteraIO: alkohol, anti
koagulan, kloramfenikol,
aspirin, fenobarbital
Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi
√
4 Efek samping: reaksi
hipersensitivitas
- √
5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral dan suppositoria
Pada pasien ini diberikan oral
√
8. Packed Red Cells (PRC)
Transfusi sel darah merah merupakan komponen pilihan untuk mengobati
anemia dengan tujuan utama adalah memperbaiki oksigenisasi jaringan.
Pada pasien ini ditemukan keadaan anemis yang diperlihatkan pada hasil
pemeriksaan lab hemoglobinnya hanya 1,9 gr/dl.
no Teori kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi : • Hb < 8
g/dL
• Hb 8 – 10 g/dL,
normovolemik disertai
tanda-tanda gangguan
miokardium, serebral
dan respirasi
• Perdarahan hebat: 10
ml/kg pada 1 jam
pertama atau > 5 ml/kg
pada 3 jam pertama
Terdapat hasil Hb 1,9 g/dL
√
2 Risiko transfusi:
• Acute: overload,
reaksi alergi, reaksi
hemolitik, demam,
emboli udara.
Delayed: infeksi dan
imunosupresi
Pada pasien diberikan PRC 2 unit
√
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Penggunaan RL dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
b. Pemberian Cefotaxim dilihat dari indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
c. Penggunaan Metronidazole dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
d. Penggunaan Regular Insulin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
e. Penggunaan Ranitidin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
f. Penggunaan Antrain dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
g. Penggunaan Paracetamol dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
h. Pemberian transfusi PRC dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
2. Saran
Dalam menyelesaikan ada sedikit kendala terutama untuk klinis pasien
yang tidak dievaluasi tetapi mungkin mendukung untuk follow up dan
pencatatan data rekam medis atas setiap tindakan yang diberikan pada pasien.
Diharapkan ke depannya pencatatan tersebut lebih lengkap lagi sehingga akan
lebih mudah untuk dianalisis dan juga dipertanggungjawabkan.