DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FURBA INDAH NIM : 11140480000119 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M i
80
Embed
DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA
PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FURBA INDAH
NIM : 11140480000119
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK
NOMOR 88/PUU-XIV/2016
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
FURBA INDAH
NIM : 11140480000119
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN
PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA
PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016” telah diujikan dalam sidang
munaqasyah pada tanggal 26 Februari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi
Ilmu Hukum.
Jakarta, Mei 2019
Mengesahkan
Dekan
ii
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya Saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 26 Februari 2019
iii
ABSTRAK
Furba Indah NIM 1114048000119 “DISKURSUS HUKUM
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH KERATON
YOGYAKARTA Pasca Putusan MK No. 88/PUU-XVI/2016”, Strata Satu
(S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M, 75 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis diskusrsus kepemimpinanan
perempuan yang sedang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY), baik
pengangkatan ratu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan penetapan
gubernur perempuan di Daerah Itsimewa Yogyakarta (DIY). Secara khusus,
skripsi ini mencoba mendalami aturan yang berlaku secara “ paugeran “ atau
aturan adat dan juga Undang – Undang yang bersifat spesialis dalam mengatur
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Disamping itu, skripsi ini juga mencoba
membahas keadaan masyarakat Yogyakarta pasca Putusan MK No.88/PUU-
XVI/2016. Terakhir Penulis mencoba membahas bagaimana seharusnya hukum
dibuat agar tidak terjadi kekosongan hukum saat pengangkatan dan penetapan
pemimpin bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian empiris, kepustakaan (library
research) melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan Aturan
Adat (Paugeran), Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa
studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti mengumpulkan dokumen dan data
untuk diolah menggunakan metode analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Undang – undang dan Paugeran yang mengatur Pengangkatan Ratu dan
Penetapan Gubernur di Dearah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum memberikan
kepastian hukum. Terbukti dengan adanya beberapa pasal dalam UU tentang
keiwstimewaan Yogyakarta yang masih menimbulkan pertanyaan soal penetapan
gubernur di masa mendatang, dan juga soal tata cara pergantian sultan.
Kata Kunci : Daerah, Keistimewaan, monarki,Pengangkatan, penetapan
Pembimbing : Drs. Noryamin Aini, M. A.
Daftar Pustaka : Tahun 2000 s.d Tahun 2017.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPIN
PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) PASCA
PUTUSAN MK NO 88/PUU-XVI/2016”. Selanjutnya, dalam penelitian skripsi
ini, peneliti mengucapkan terimakasih untuk berbagai pihak, yaitu yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum.
3. Drs. Noryamin Aini, M.A, dosen pembimbing skripsi yang penuh
kesabaran dalam meluruskan alur berpikir penulis, serta sangat perhatian
dan ketelitian dalam memberikan berbagai ide, gagasan serta kritik yang
membangun dan melengkapi banyaknya kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Semoga ilmu yang diberikan pada Penulis menjadi amal jariyah
yang tak pernah putus di sisi Allah S.W.T.
4. Nurrohim Yunus, S.H,L.LM, dosen pembimbing akademik yang telah
berperan sebagai guru sekaligus ayah bagi Penulis selama masa
pendidikan. Semoga setiap bimbingan yang selalu menyemangati Penulis
dibalas dengan pahala yang setimpal dari Allah S.W.T.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan wawasan
kepada Penulis selama perkuliahan.
6. Kawan-kawan HMPS Ilmu Hukum yang telah membantu menambah
wawasan serta memberikan semangat dan dukungan untuk penulis.
7. Keluarga Study Gender Mahasiswa (STIGMA FSH) yang telah menjadi
tempat untuk Penulis mengaktualisasikan berbagai gagasan.
v
8. Segenap keluarga Penulis, baik keluarga besar di Kuningan, Cirebon dan
juga Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang telah memberikan pecutan kisah
kehidupan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang
Perguruan Tinggi Negeri S1.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan
akademi maupun masyarakat luas.
Jakarta, 26 Februari 2019
Furba Indah
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ................................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Identifikasi, Pembatasan
dan Perumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 6
E. Tinjauan (Review)
Kajian Terdahulu 7
F. Metode Penelitian 8
G. Sistematika Penulisan
11
BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL SISTEM
MONARKI DALAM TATA NEGARA DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA 13
A. Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Pemerintahan
Indonesia 13
B. Tata Pengangkatan
Kepala Pemerintahan 14
BAB III PENGANGKATAN SULTAN DAN PENETAPAN
GUBERNUR DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 26
A. Sistem Pengangkatan Sultan pada Monarki Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat 28
B. Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat 32
vii
C. Peraturan Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) 37
D. Sistem Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa
Yogakarta 40
BAB IV PENEGAKAN HUKUM KONSTITUSIONAL DALAM
HUKUM ADAT PENGANGKATAN SULTAN DI
KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 43
A. Perkembangan Penetapan Gubernur bagi Yogyakarta
sebagai Daerah Istimewa dalam bagian Negara Kesatuan
Republik Inodnesia (NKRI) 44
B. Pengangkatan Ratu dan Penetapan Gubernur Perempuan
di Daerah Istimewa Yogyakarta 48
BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 62
A. Kesimpulan 62
B. Rekomendasi 62
C. Implikasi Penelitian
63
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 64
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Negara dan Tipe Monarki Konstitusional ................................................... 23
Tabel 3.2 Gubernur DIY dari masa ke masa ................................................................. 42
Tabel 3.3 Nama Ratu dan Sultanah Kerajaan Nusantara ........................................... 54
Tabel 3.4 Daftar Nama Pemimpin Perempuan di Wilayah Indonesia
Pasca Pilkada 2018 59
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai Negara kesatuan telah menetapkan otonomi daerah
dalam pengaturan setiap wilayahnya. Pemberian kewenangan daerah juga
memberikan kekhususan pada daerah-daerah tertentu yang mempunyai ciri
khas dalam wilayah atau sejarahnya. Kewenangan otonomi khusus tersebut
diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), selain tiga daerah
lainnya seperti Aceh, Papua, dan DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena
Yogyakarta yang bermodelkan kerajaan telah berdiri sebelum adanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, Yogyakarta juga ikut serta
mengusir penjajah dan memperjuangkan NKRI, lalu meleburkan diri menjadi
salah satu wilayah dalam bagian NKRI.
Yogyakarta sebagai daerah istimewa mempunyai kewajiban untuk
melestarikan budayanya. Bentuk keistimewaan sekaligus upaya pelestarian
tersebut tergambar dalam tata cara penetepan Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY. Gubernur dan Wakil Gubernur harus berasal dari keturunan Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Hal ini ditetapkan
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang
Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbunyi:
“bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur
dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”.
Pasal tersebut menegaskan bahwa hanya keturunan kesultanan keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang dapat menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Aturan tersebut juga berlaku pada syarat
spesifik keturunan yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur hanya
berlaku bagi keturunan laki-laki. Hal ini mengikuti budaya Monarki
Kesultanan dan Kadipaten yang menganut sistem patriarkhi dalam
1
2
pengangkatan seorang Sultan. Adapun paugeran1 yang dijadikan dasar bahwa
Sultan hanya berlaku bagi seorang laki-laki tersebut diambil dari sepenggal
kalimat dalam Serat Puji2 yang berbunyi :
“ Utamanya Raja itu Pria….”.
Dikarenakan pengangkatan dengan menggunakan asas patrilineal
tersebut masih terus dipertahankan. Sehingga, dapat dengan mudah
dipastikan bahwa aturan yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY hanya seorang laki-laki, terbukti hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 ayat
(1) huruf m Undang-undang No 13 Tahun 2012, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat
pendidikan, pekerjaan,saudara kandung, istri, dan anak”.
Pasal tersebut menyatakan bahwa calon Gubernur dan Wakil Gubernur
harus menyerahkan daftar riwayat istri. Sehingga, memberikan tafsiran
bahwa perempuan tidak dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur
Yogyakarta, karena yang ditetapkan menjadi istri dalam hukum Indonesia
adalah seorang Perempuan. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi perempuan
keturunan kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman
untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Melestarikan budaya tentu menjadi sebuah kewajiban bagi setiap
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat adat yang menganut adat
istiadat dalam budaya tertentu. Di sisi lain, upaya masyarakat untuk
merekonstruksi ulang budaya sebagai upaya menjawab tantangan zaman juga
sangat diperlukan. Dalam hal ini, upaya merekonstruksi atau meleburkan
budaya di DIY juga menjadi hal penting, khususnya dalam budaya suksesi
kepemimpinan. Upaya ini bertujuan semata-mata untuk memberikan
1 Menurut Bausastra Jawa yang dihimpun oleh W.J.S Poerwadarminta, ini bentuknya kamus
bahasa Jawa. Batavia 1939, Paugeran adalah weweton, Batokan, Dawuh Raja kepada seloroh dalem, abdi dalem, kawula dalem dan bukan tatanan pranatan, laku lampah atau panduan pelaksanaan keraton, Paugeran dapat dikatakan secara tertulis maupun lisan.
2 Serat Puji adalah Karya Sastra Agung dari Sri Sultan Hamnegkubuwono V tahun 1821-1855 yang isinya penuh ajaran-ajaran bagi seorang raja yang sedang bertakhta, ditulis dalam bahasa Jawa.
3
kepastian dan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara yang terwujud
dalam rekayasa budaya hukum.
Merekonstruksi budaya suksesi pengangkatan raja sekaligus mengikis
budaya patriarki dalam pengangkatan Sultan, sejatinya telah dilakukan oleh
Hamengkubuwono X di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kejadian
tersebut sudah dimulai dengan dikeluarkannya dawuh raja pada 5 Mei 2015
yang berbunyi :
“Putri Raja Mataram yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun ditetapkan sebagai Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Ning Bawono Langgeng Ing Mataram “
Pasca adanya dawuh raja tersebut kemudian digelar prosesi pemberian
gelar G.K.R Mangkubumi pada putri pertama Sultan Hamengkubuwono X.
Hal tersebut merupakan prosesi yang dilakukan sebagai salah satu langkah
sebelum ditetapkan menjadi penguasa Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Namun, dawuh raja ini menuai banyak kritikan dari kalangan
internal keraton seperti para adik laki-laki Sultan Hamengkubuwono X yang
sebelumnya diproyeksikan sebagai pengganti Sultan. Isi kritikan tersebut
kurang lebihnya mengatakan bahwa suksesi pengangkatan Sultan terhadap
perempuan tidak sesuai dengan adat istiadat kesultanan.3
Perubahan adat istiadat sejatinya telah banyak dilakukan oleh Sultan-
Sultan sebelumnya. Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh
Hamengkubuwono IX, untuk pertama kali beliau menghapus lembaga pepatih
dalem yang menjadi orang kedua di Kesultanan. Padahal Pepatih dalem
bertugas mengoperasionalkan sehari-hari Kesultanan yang bisa dipersamakan
dengan Perdana Mentri. Selain itu, Hamengkubuwono IX juga pernah
memberikan kebebasan pada Hamengkubuwono X untuk memilih calon istri
atas kehendaknya sendiri yang bukan berasal dari kalangan kerajaan. Padahal,
Sultan sebelumnya diwajibkan memilih, bahkan cenderung dipilihkan oleh
orang tua agar menikah dengan keturanan kerajaan yang semata-mata untuk
mempertahankan trah dan terjalinnya kontrak politik saja. Selain upaya
3 G.K.R Hemas, Ratu di Hati Rakyat (Jakarta: KOMPAS, 2012, Cet. Pertama), h.,29
4
merekontruksi budaya yang telah disebutkan, Hamengkubuwono IX juga
mereduksi masa pingitan yang seharusnya dilakukan selama 40 hari direduksi
hanya menjadi 3 hari.4, sehingga perubahan yang dicontohkan oleh Ayahnya
tersebut mengantarakan Hamengkubuwono X mereduksi masa pingitan
menjadi hanya sehari saja ketika menikahkan anak-anaknya.5 Persoalannya
adalah mengapa perubahan terkait suksesi pengangkatan Sultan Perempuan
terus diperdebatkan oleh beberapa kalangan di Internal Keraton. Hal ini tentu
menyimpan tanda tanya besar.
Upaya perubahan budaya atas suksesi kepemimpinan Yogyakarta juga
dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang merasa perlu adanya
perlindungan dan kepastian hukum bagi Perempuan keturunan Keraton
Ngayogyakarta Hadiingrat dan Kadipaten Pakualaman dengan mengajukan
judicial review terhadap UU No 13 Tahun 2012 Tentang Daerah
Keistimewaan Yogyakarta. Permohanan perubahan tersebut tepat pada pasal
yang membahas tentanng syarat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur
DIY, yakni pasal 18 ayat (1) huruf m kata istri untuk dapat dihilangkan. Pada
akhirnya, permohonan tersebut diterima sepenuhnya dengan putusan MK
bernomor 88/PUU-XIV/2016. Upaya yang awalnya bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum bagi Perempuan keturunan Keraton
Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman untuk menjadi Pemimpin DIY,
pada akhirnya membuat situasi semakin memanas. Hal tersebut tergambar
pada sikap adik-adik Sultan yang sudah tidak mengikuti berbagai acara yang
diadakan oleh keraton.
Berangkat dari kondisi di atas, dirasa menarik untuk membahas
permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul DISKURSUS
HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK No. 88/PUU-XIV/2016.
4 Ibid
5 Ibid
5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang berhasil diidentifikasi oleh Peneliti dalam
Penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Yogyakarta ditetapkan menjadi daerah istimewa karena
keterlibatannya dalam mempertahankan NKRI.
b. Indonesia menetapkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan
keputusan presiden.
c. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak pada
kepala daerah yang dijabat langsung oleh Sultan yang bertahta.
d. Aturan dalam UU DIY mengikuti paugeran tentang suksesi
pengangkatan Sultan di Keraton yang telah berlangsung berates-ratus
tahun.
e. Paugeran yang dibuat menghasilkan sistem patriarkhi di lingkungan
keratin Yogyakarta, sehingga setiap keturunan melakukan berbagai
cara untuk mempertahankan kekuasaannya.
f. Sultan Hamengkubuwono X mencoba merekonstruksi budaya
suksesi pengangkatan Sultan dengan cara mengeluarkan dawuh raja
yang menyatakan bahwa Putri pertamanya G.K.R Pembayun menjadi
Putri Mahkota.
g. Terjadi upaya reformasi hukum terkait penetapan Gubernur dan
Wakil Gubernur Yogya yang dilakukan oleh beberapa masyarakat
Yogya dengan mengajukan permohonan judicial review atas Pasal 18
ayat 1 huruf m UU tentang Keistimewaan DIY.
h. Terjadi diskursus hukum soal kepemimpinan kepala daerah DIY
yang akan dijabat oleh seorang Perempuan.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta masalah yang berhasil diidentifikasi
oleh peneliti menyangkut problematika yang terus berkembang di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) terkait pengangkatan dan penetapan Kepala
Daerah DIY, maka timbullah diskursus hukum tentang kepemimpinan
6
perempuan di daerah istimewa Yogyakarta pasca putusan MK no
88/PUU-XVI/2016.
3. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik, maka perlu dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa perkembangan hukum adat ( paugeran ) Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat pasca adanya dawuh raja tentang penetapan putri
mahkota?
b. Apa perkembangan peraturan penetapan Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta ( DIY) Pasca putusan MK No 88/ PUU-XVI/2016?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
penelitian ini berjalan dengan baik, maka perlu dibuat perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui perkembangan paugeran Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat pasca adanya dawuh raja tentang penetapan putri mahkota
2. Mengetahui perkembangan peraturan penetapan Gubernur di Daerah
Istimewa Yogyakarta pasaca Putusan MK no 88/PUU-XVI/2016.
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil
penelitian ini juga dapat memberi manfaat yang nyata untuk masyarakat di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adapun manfaat penelitian yang ingin
dihadirkan peneliti sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Hasil penilitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah
keilmuan dalam bidang hukum, khususnya hukum tata Negara, juga
dalam bidang hukum Otonomi Daerah.
7
2. Manfaat Praktis
Secara praktis tulisan ini dapat dijadikan rujukan untuk
mereformasi hukum tentang kepala daerah di Daerah istimewa
Yogyakarta (DIY) pada masa yang akan datang.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk pada skripsi, jurnal serta
makalah internasional terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi
fokus masalah dalam rujukan dengan fokus masalah yang peneliti bahas,
diantaranya:
1. Skripsi
a. Waldan Mufatir dalam skripsinya yang berjudul “ Kedudukan Sultan
Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam Sebagai Gubernur
Dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta :2015)”.
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah istimewa
Yogyakarta. Membahas mengenai hak politik warga negara dalam
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berdasarkan
UUD 1945 Pasal 18 ayat (4).
b. Farid Mustofa dalam skripsinya yang berjudul “ Mekanisme
Pemilihan Kepala Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta
Persefektif Demokrasi. (Universitas Negeri Semarang: 2013)”.
Skrispi ini membahas mengenai sistem penetapan Kepala daerah di
DIY yang tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut
Indonesia. Kemudian, skripsi ini menjabarkan tentang aturan kepala
daerah DIY yang hanya bisa dijabat oleh keluarga Kesultanan
Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman saja.
2. Jurnal dan Makalah
a. Ismu Gunadi Widodo dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No.2,
Mei 2011 yang berjudul “ Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah
8
Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945” Artikel ini membahas
mengenai penetapan keistimewaan DIY yang tercermin dalam
mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil
Gubernur, dengan sistem penetapan Sri Sultan dan Sri Pakualaman
secara langsung oleh Presiden. Menganalisis sejauh mana aturan
penetapan langsung kepala daerah DIY dengan konstitusi Indonesia.
b. Sumarlam dalam makalah berjudul “Representasi Kekuasaan
Melalui Sabda Raja Paada Teks Berita Mengenai Konflik Internal
Neagara Federasi. Kedua susunan pemerintahan ini memiliki ciri dan
karakteristik masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam uraian di bawah ini:
1. Negara Kesatuan
Negara Kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat,
dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah
(pusat) yang mengatur seluruh daerah. Dengan demikian dalam negara
kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang
mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintah dan
melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah –
daerah, di dalam maupun luar negri. Adapun macam-macam negara
kesatuan, antara lain:
a) Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala urusan
diatur oleh pemerintah pusat. Sedang pemerintah daerah tidak
mempunyai hak untuk mengurus sendiri daerahnya, pemerintah
daerah tinggal melaksanakan. Contoh: Jerman di bawah
kepemimpinan Hitler.
b) Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi (gedecentraliseerde
eenheidsstaat), di mana kepada daerah-daerah diberikan kesempatan
dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi
daerah) yang dinamakan daerah swatantra (daerah otonomi).
Contoh: Republik Indonesia dengan Daerah Swatantra (autonomie)
tingkat 1 (Daswati I atau pemprov) dan Daswati II atau Pemkot/pemkab.6
2. Negara Federasi
Negara federasi secara bahasa berasal dari kata”federal” bahasa
latin, yakni foedus yang artinya liga. Liga negara-negara kota yang
otonom pada zaman yunani kuno dapat dipandang sebagai negara federal
yang mula-mula. Negara federal lahir melalui suatu perjanjian
6 Titik Triwulan tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara,(Jakarta:Prestasi Pustaka,2006),
h.94
17
internasioanl yang ditanda tangani oleh negara-negara merdeka, karena
negara-negara merdeka tersebut mempunyai jumlah wakil yang sama di
dalam Senat, sehingga Komposisi Dewan Perwakilan Negara atau Senat
ini yang menjamin bahwa negara-negara anggota, yakni masyarakat-
masyarakat daerah, secara tidak langsung telah ikut serta di dalam
prosedur pembuatan undang-undang pusat, yang sama dengan satu unsur
desentralisasi. Tetapi unsur desentralisasi yang didasarkan pada ide
persamaan pada ide persamaan dari negara-negara anggota ini hampir
seluruhnya dinetralisir dengan fakta bahwa Dewan Perwkilan Negara
harus menerima atau menetapkan resolusi-resolusinya menurut prinsip
mayoritas.7 Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan bahwa dalam
negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat dalam
mengatur berbagai hal telah terperinci satu persatu dalam konstitusi
federal. 8
Perkembangannya banyak Negara yang memilih Negara kesatuan atau
yang lebih cenderung dengan penyatuan. Hal ini, dikarenakan bahwa susunan
pemerinatahan seperti ini lebih mudah untuk menyatukan wilayah-wilayah
kecil yang mempunyai penguasa sendiri. Hukum juga dibuat untuk merespon
perkembangan zaman ini, perkembangan yang bertitik pada keinginan rakyat.
Utrecth juga mengemukakan bahwa dalam permulaan perkembangan
kenegaraan, perlu adanya sentralisasi kekuasaan supaya kekuatan-kekuatan
yang bertujuan akan meruntuhkan kesatuan yang baru itu dapat dilenyapkan.9
Peristiwa penyatuan atas daerah-daerah atau kekuasaan-kekuasaan kecil
tersebut dapat dicontohkan dengan adanya penyatuan kerajaan-kerajaan kecil di
Inggris, yang ditandai dengan berdirinya Unitarianisme Kerajaan Inggris,
peristiwa dimana bersatunya Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia yang
disatukan dengan adanya kesepakatan
7 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa media, 2009),h. 36
8 Ibid, h. 37
9 Ibid, h. 40
18
bersama bernama Undang-undang Penyatuan (The Act of Union), yang
kemudian aturan tersebut dijadikan undang-undang yang sah di dalam Kitab
Undang-undang Kerajaan Inggris Raya.10
Melalui proses panjang tersebut akhirnya banyak Negara yang
memilih bentuk dan susunan pemerintahannya sesuai dengan keinginan
masyarakatnya. Semangat rakyat mencari bentuk Negara yang dapat
melindungi hak setiap individu dan pemerintahan yang tidak berbuat
sewenang-wenang juga mengantarkan Baron de Montesquieu –pemikir
pencerahan perancis- mencetuskan teori pembagian kekuasaan. Teori ini
bertujuan agar setiap lembaga pemerintahan dalam kerjanya melakukan
pengawasan yang berimbang. Pembagian kekuasaan tersebut terbagi atas
tiga lembaga yakni eksekutif (pelaksana), legislatif (pembuat aturan), dan
yudikatif (pengawas). Adapun orang yang mewakili ketiga lembaga tersebut
dipilih langsung oleh rakyat, sehingga setiap perwakilannya mempunyai
kewajiban untuk berbuat sesuai kehendak rakyat.
Pasca tercetusnya teori pembagian kekuasaan ini, bagi rakyat yang
tetap memilih dan menginginkan bentuk Negaranya monarki, pada akhirnya
tetap mempertahankan negaranya menggunakan bentuk monarki tersebut,
namun tidak kembali pada monarki yang mutlak hanya mengikuti keinginan
sang raja. Bentuk Negara monarki yang saat ini berkembang yakni bentuk
Negara monarki yang mempunyai batasan-batasan terhadap penguasa dalam
menjalankan pemerintahannya agar tidak sewenang-wenang terhadap
rakyatnya. Sehingga daam perkembangannya ada tiga macam monarki yang
digandrungi oleh banyak Negara, yakni sebagai berikut.
1. Monarki Absolut
Monarki Absolut adalah Seluruh kekuasaan raja berada di tangan
raja, raja mempunyai kekuasaan dan wewenang tidak terbatas (mutlak).
Suksesi pengangkatan kepala negaranya dengan cara diwariskan.11
10 C.F Strong, Konstitusi – Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bnetuk – Bentuk Konstitusi Dunia, (Bandung:Penerbit Nusa Media, 2008), h,. 118
11 Titik Triwulan tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara.h.91
19
Contoh: Prancis di bawah Loius XIV dan Louis XVI, Spanyol di bawah
Raja Phillip II. Adapun Negara-negara modern yang sampai saat ini
masih menggunakan bentuk Negara monarki absulte ialah sebagai
berikut:
a. Arab Saudi
Arab Saudi adalah negara Arab Saudi diproklamirkan oleh Abdul
Aziz bin Abdurrahman As- Saud, yang akrab disapa Ibnu Sa’ud pada
23 September 1932. Ibnu Sa’ud kemudian menjadi raja pertama
dengan ibu kotanya Riyadh. Sebagai penganut model monarki absolut
Arab Saudi menganut hukum syariat islam yang berasas pada manhaj
salafiyah.12
b. Brunei Darussalam
Brunei Darussalam adalah sebuah negara kerajaan dengan
penguasa tunggal disebut sultan. Sultan memegang kekuasan tertinggi
yakni sebagi kepala negara dan kepala pemerintahan, Raja Brunei
bergelar Sultan Hasanah Bolkiah. Karena corak pemerintahannya
adalah monarki absolut, maka gelar ini diturunkan dalam wangsa
(keturunan raja) yang sama sejak abad ke -15.13
c. Swaziland
Swaziland adalah sebuah negara kecil di Afrika Selatan sebelah
barat yang tidak memiliki pantai. Kepala pemerintahannya adalah raja.
Tercatat, Raja Mswati III adalah pemimpin Swaziland sejak tahun
1986. Swaziland juga merupakan negara di Afrika yang menganut
monarki absolut terakhir.14
d. Oman
Oman merupakan salah stau negara di bagian selatan Jaziarah
Arab yang menganut sistem kerajaan berdasarkan kesukuan dengan
legitimasi Islam Sunni. Bentuk Negaranya adalah monarki absolut.
12 Ahmad Baso, NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo – Liberal, (Jakarta:Erlangga,2007), h,.425
13 Radis Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, (Yogyakarta:Diva Pres), h.32
14 Ben Hills, Princess Masako: Kisah Tragis Putri Mahkota di Singgasan Negeri Sakura,(Jakarta: Pustaka Alvabe, 2009), h. 232
20
Adapun raja atau penguasa tunggal neagra ini adalah Qoboos bin Said
al-said. Ia naik tahta setelah mengkudeta ayahnya Said bin Tamuir,
yang berkuasa pada 1932-23 Juli 1970.15
e. Qatar
Qatar berada di Timur Tengah yang terletak di sebuah
semenanjung kecil di Jazizrah Arab. Negara ini berbatasan dengan
Arab Saudi di bagian selatan, sedangkan yang lainnya berbatasan
dengan Teluk Persia. Meskipun termasuk negara-negara arab, Qatar
adalah negara liberalis. Hukum di Qatar cenderung lebih bebas dan
liberal. Di bawah kepemimpinan Emir Qatar, Hamad bin Khalifa Al
Thani, Qatar mengalami modernisasi dan liberalisasi.16
Negara-
negara yang telah disebutkan di atas, adalah negara yang
masih mempertahankan model monarki absolut sebagai sistem atau
bentuk pemerintahannya di era modern ini. Indonesia sebagai Negara
Kesatuan yang terlahir dari berbagai wilayah berbentuk kerajaan,
menyisihkan beberapa wilayah yang masih mempertahankan kerajaanya,
namun karena melebur dengan NKRI, maka kerajaanya sudah tidak
mempunyai kewenangan untuk mengatur sebuah wilayah, ia hanya
menjadi msyarakat adat yang memiliki kewenangan untuk melestarikan
budayanya. Menurut riset yang dilakukan oleh Kementrian dalam Negeri
Republik Indonesia tahun 2012, maka ada 186 kerajaan yang eksis secara
fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun
tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI.17
Adapun beberapa
keraajannya yakni sebagai berikut:
a. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat
pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan ini menjadi pangkalan
15 Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h., 33
16
Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h. 40
penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Lokasinya
di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Barat, menjadikan pelabuhan yang 'menjembatani'
antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga tercipta kebudayaan
yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi
kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Saat ini, masih berdiri
dan melakukan ritual kebudayaan.
b. Kasunanan Surakarta
Kasunan Surakarta Hadiningrat adalah kerajaan di Jawa Tengah
yang berdiri pada 1755, sebagai hasil perjanjian Giyanti 13 Februari
1755. Perjanjian ini menyepakati Kesultanan Mataram dibagi 2
wilayah kekuasaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian ini
kesepakatan antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di
Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran
Mangkubumi.
Pada dasarnya Kasunanan Surakarta tidak dianggap sebagai
pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri,
walau pun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja
Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan--demikian pula raja
Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan, selalu menandatangani
kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
c. Kesultanan Ternate
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah
1 dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku, yang merupakan di
antara kerajaan Islam tertua di Nusantara. Kesultanan Ternate
didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan ini
memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13
hingga ke-17.
Kesultanan Ternate mengalami kegemilangan pada paruh abad ke-
16, berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada
masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku,
22
Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, serta bagian selatan
kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain
yang memiliki pengaruh yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo,
dan Kesultanan Bacan. Sampai saat ini Kesultanan Ternate masih
menetapkan batas-batas kerajaanya.
d. Kesultanan Kanoman
Kesultanan Kanoman merupakan pecahan dari Kesultanan Cirebon
pada 1677. Keraton Kanoman didirikan Pangeran Mohamad Badridin
atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I sekitar 1678
M. Saat ini Kesultanan Kanoman masih taat memegang adat-istiadat
dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,
seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur Sunan
Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Adapun Peninggalan-
peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan
syiar Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal
dengan Syarif Hidayatullah.18
2. Monarki Konstitusional
Monarki terbatas/konstitusional/monarche dengan undang-undang
yaitu suatu monarche yang di mana kekuasaan raja itu dibatsi oleh
konstitusi (UUD). Salah satu yang membedakan monarki konstitusional
dengan monarki absolut adalah orientasi pemerintahan. Pada monarki
konstitusional. Pemerintahan dibentuk oleh satu orang demi kepentingan
umum, sehingga mempunyai sifat baik dan ideal. Selain itu, model
pemerintahan ini telah menerepkan konsep trias politica. Dengan
penerapan konsep tersebut, kepala negara atau raja hanya berupa simbol.
Sebab raja tidak lagi memiliki kekuasaan pemerintahan yang penuh atau
mutlak seperti pada monarki absolut. Adapun pemegang kekuasaan
18
Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h. 41
23
tertinggi adalah perdana menteri karena ia dipilih oleh rakyat19
. Adapun
beberapa Negara di dunia yang menggunakan sistem ini adalah Inggris.
Inggris menggunakan model monarki konstitusional ini. Hal itu, dapat
dilihat dari adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara inggris.
Hood and Jackson seperti dikutip oleh Jimly Asshidiqie mengatakan:
“a body of laws, custom and conventions that define the composition
and powers of the organs of the state and that regulate the relations of
the various state organs to one another and to the private citizen.”
“Suatu bangun hukum, adat istiadat, kebiasan-kebiasaan yang
mennetukan susunan dan Kekuasaan organ-organ negara dan yang mengatur hubungan-hubungan di antara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ –organ
negara itu dengan Warga negara.”20
Selain Inggris tentu ada beberapa negara lain yang menganut bentuk
pemerintahan monaraki konstitusional, setiap Negaranya itu memiliki ciri
khas dalam cara pengangkatan kepala Negara dan kepala
pemerintahannya masing-masing. Adapun Negara-negara yang menganut
monarki konstitusional ialah seperti bagan yang ada di bawah ini:21
Negara Tanggal konstitusi
Seleksi Monarki terakhir
Antigua dan 1981 Suksesi yang diwariskan
Barbuda
Pemilihan uskup La Seu Andorra 1993 d'Urgell dan pemilihan Presiden Perancis
Bahama 1973 Suksesi yang diwariskan
Barbados 1966 Suksesi yang diwariskan
Bahrain 2002 Suksesi yang diwariskan
Belgia 1831 Suksesi yang diwariskan
Belize 1981 Suksesi yang diwariskan
Bhutan 2007 Suksesi yang diwariskan
19
Saut Hamonangan Sirait, Politik Kristen di Indoneisa: Suatu Tinjauan Etis, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2000), h., 38
20 Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Buku Kompas,2010), h.,6
21 Radis Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, (Yogyakarta :Diva Pres), h.34
ditetapkan.7Pada saat itu, disetujui pula perundang-undangan baru,yang
mengakhiri yuridiksi yang rumit akibat dari pembagian tersebut dan yang
secara resmi mengatur hubungan antar warga kedua istana, sehingga pada
tahun 1771 dan 1773 aturan tersebut seperti Angger Ageng
5 M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h.224
6 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 226
7 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 228
32
(Peraturan Hukum Besar) Angger-Arubiru (Undang-undang tentang
gangguan ketentraman).
B. Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Berbagai cara perebutan kekuasaan yang telah dipaparkan di atas,
tentunya memberikan batasan bagi keturunan Sultan untuk mengemban
kekuasaan. Bahkan, cara-cara pengangkatannya berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Sehingga, setiap Sultan memiliki cara dan cirinya
masing-masing saat proses pergantian kekuasaan. Akan tetapi, walaupun
berbagai cara dilakukan dalam merebut kekuasaan, tentu saja dalam proses
perhelatan perebutan kekuasaannya tidak boleh melanggar paugeran yang
telah disepakti rakyat di lingkungan keraton. Untuk mengetahui setiap
perbedaan cara dan aturan suksesi tersebut, Maka sudah sebaiknya kita
memahami uraian di bawah ini:
1. Bendara Raden Mas Sujono 1756-1792 (Sultan Hamengkubuwono I)
Hamengkubuwono I yang mempunyai nama asli Raden Mas
Sujana yang bergelar Pangeran Mangkubumi merupakan putra
Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama
Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717. Mangkubumi adalah
keturanan dari Sultan Agung yang memilki kerajaan Mataram. Pada
mulanya, Mangkubumi melakukan pemberontakan bersama-sama dengan
Mas Said, kemudian meletuslah Perang Suksesi Jawa III pada tahun 1746
yang akhirnya dimenangkan oleh Mangkubumi. Dipenghujung tahun
1749 Pakubuwono jatuh sakit, sehingga Van Hohendroff sebagai
Gubernur Jendral baru untuk wilayah pesisir pada 15 Desember 1749
mengumumkan pengangkatan Putra Mahkota sebagai Susuhunan
Pakubuwono III (1749-1788), akan tetapi sebelum prosesi tersebut
berlangsung pada 12 Desember 1749 Mangkubumi telah lebih dulu
dinyatakan sebagai Raja oleh pengikutnya di daerah kekuasaanya.
Akhirnya, Pada tahun 1755 pengangkatan Hamengkubuwono I yang
33
mempunyai kekuasaan di Yogyakarta disepakati dalam perjanjian
Giyanti.8
2. Bendara Raden Mas Sundoro 1792-1812 (Sultan Hmanegkubuwana II)
Pasca wafatnya Hamengkubuwono I pada Maret 1792, R.M
Sundoro yang telah dinobatkan sebagai Putra Mahkota akhirnya naik
tahta menggantikan Ayahandanya, R.M Sundoro kemudian bergelar
Sultan Hamengkubuwono II dan menjabat dari 1792-1810.9
3. Bendara Raden Mas Surojo 1812-1814 (Sultan Hamnegkubuwono III)
Pergantian kekuasan dari Hamengkubuwono II terhadap Raden
Mas (RM) Surojo banyak dicampuri oleh Pemerintahan Kolonial,
sehingga menuai pertikaian antara RM Surojo dengan Ayahandanya
sendiri. Hal ini, dikarenakan pada masa pememrintahan
Hamengkubuwono II, Deandles yang menjadi perwakilan VOC adalah
orang yang menyukai pembaharuan dan tidak menyukai sistem
keukasaan yang berpusat pada satu orang saja. Sedangkan,
Hamengkubuwono II adalah seoerang yang sangat tidak mempercayai
belanda dan tidak dapat berlaku ramah, sehingga Ia selalu menentang apa
yang diperintahkan oleh Belanda dan lebih cenderung mempertahankan
adat istiadat Keraton. Hal ini yang mengakibatkan Hamengkubuwana II
melancarkan peperangan terhadap Belanda melalui Raden Rangga
sebagai kepala Pemerintah wilayah mancanegara. Pemberontakan Raden
Rangga dan sikap Hamnegkubuwono II tersebut mendorong Deandles
merangkul RM Surojo melalui Danureja II –mantan Patih Sultan
Hamengkubuwono II- dan mengeluarkan ultimatum agar Hamengkubuwana
II mau menyetujui perubahan atas”minister”eropa di joggja dan mengangkat
kembali Danureja II, namun Sultan menolak hal tersebut. Sehingga,pada
bulan Desember 1810 Deandles bergerak menuju
8 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 229
9 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 230
34
Yogyakarta dengan membawa 3.200 serdadu dan memaksa
Hamengkubuwona II turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada
RM Surojo, Putranya dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton yang
lahir pada 20 Februari 1769 sebagai ”wakil raja” yang berkuasa dan
menetapkan Hamengkubuwana II sebagai Sultan Sepuh.
Pergantian tersebut memberikan kekecewan kepada
Hamengkubuwana II, yang akhrinya Ia memanfaatkan kekacauan
penaklukan inggris untuk merebut tahtanya kembali dari Putra
Mahkotanya, akhirnya dengan bantuan Inggris keadaan keraton kembali
ke semula, namun Rafles yang juga sangat membenci dispotisme dan
baru menyadari dimanfaatkan oleh Hamengkubuwono II, mengadakan
perundingan-perundingan rahasia dengan R.M Surojo,Putra Mahkota
Hamengkubuwono II, dan Natakusuma –saudara Sultan
Hamengkubuwono II- untuk menghancurkan Sultan Hamengkubuwono
II. Sehingga, pada bulan Juni 1812 sebanyak 1.200 prajurit
berkebangsaan eropa dan spoy india ditambah 800 prajurit Legiun
Mangkunegara berhasil merebut Istana Yogyakarta dan memakzulkan
Hamengkubuwana II yang kemudian diasingkan ke Penang, tahta
kembali ke tangan Hamengkubuwana III. Kemudian, Natakusuma atas
bantuannya kepada pihak Inggris dihadiahi suatu daerah yang merdeka
dan dapat diwariskan yang dianugrahi gelar Pangeran Pakualam I (1813-
1829 m),10
Dari titik ini dimulailah pembaharuan sistem kerajaan
Yogyakarta dan Surakata yang kemudian memilki kerajaan senior dan
Junior, Surakarta Pakubuwana dan Mnagkunegara, adapun Yogya
Hamengkubuwano dan Pakualaman, hal ini yang akan menjadi intrik
baru pengangkatan tahta di masa mendatang untuk kerajaan Yogyakarta.
4. Bendara Raden Mas Ibnu Jarat 1814-1823 (Hamengkubuwono IV)
Hamengkubuwono III tidak lama memerintah, pada tahun 1814 ia
wafat dalam usia 43 tahun, saat itu RM Ibnu Jarat sebagai Putra Mahkota
10 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 232
35
masih berusia 13 tahun, sehingga disepakati pemerintahannya diwalikan
pada Paku Alam 1 sampai 1820. Namun pada tahun 1822, Sultan
Hamengkubuwono IV meninggal dunia.
5. Bendara Raden Mas Batot Menol 1823-1835 (Hamengkubuwono V)
Setelah mangkatnya Hamengkubuwono IV ia digantikan oleh
Putra Mahkotany, Raden Mas Menol, dengan Gelar Hamengkubuwono
V, karena waktu dinobatkan masih berumur 3 tahun, maka
pemerintahannya diurus oleh dewan perwalian, Dewan perwalian
tersebut bertugas sampai Sultan berusia 17 tahun, sehingga barulah pada
sekitar tahun 1836, Sultan menjabat secara penuh.11
6. Bendara Raden Mas Murtedjo 1855-1877 (Hamengkubuwono VI)
Sultan Hamengkubuwono V mangkat pada tahun 1855 tanpa
meninggalkan Putra yang bisa mejadi penggantinya, akhirnya tahta
Sultan dilimpahkan pada adiknya Sultan Hamengkubuwono V,yang
bernama Pangeran Adipati Mangkubumi, dan kemudian bergelar
Hamengkubuwono VI menggantikan Sultan Hamengkubuwono V.
7. Bendara Raden Mas Musteyo 1877-1921 (Hamengkubuwono VII)
Pada tahun 1877, seorang putra Hamengkubuwono V , Raden Mas
Akhidayat, yang lahir setelah pengangkatan Hamengkubuwono VI,
melakukan pemberontakan dan meminta agar sepeninggal
hamengkubuwono VI Raden Mas akhidayat dinaikan ke atas tahta,
Hamengkubuwono VI. Hamengkubuwono VI yang menyadari bahwa
permaswarinya tidak memiliki seorang anak laki-laki, dan Ia tidak
menginginkan tahta Sultan jatuh pada keponakannya, akhirnya Sultan
Hamengkubuwono VI mengangkat salah seorang selirnya menjadi
prameswari, yang kemudian melahirkan Gusti Pangeran Hangabehi.
Selanjutnya, Pangeran Hangabehi diangkat menjadi Putra Mahkota
dengan nama Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Hanom (Adipati anom)
Hamengkunegoro. Walaupun RM Akhidayat masih mencoba untuk
11 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 241
36
merebut kekuasaan, Sultan Hamnegkubuwono VI tetap menunjuk Putra
Mahkotanya untuk menggantikannya sebagai Sultan Hamengkubuwono
VII dengan dukungan penuh pihak Belanda12
.
8. Bendara Raden Mas Sujadi 1921-1939 (Hamengkubuwono VIII)
Pada tahun 1920 saat itu Hamengkubuwono VII berusia 80 tahun,
ia mengajukan permintaan berhenti dan mengangkat Putra Mahkotanya,
Raden Mas Sujadi, untuk menjadi penggantinya. Setelah disepakati oleh
Pemerintahan Belanda. RM Sujadi yang saat itu sedang study di Belanda,
pada tahun 1921 Ia dipanggil pulang untuk menggantikan posisi
Ayahnya dan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono VIII.
9. Bendara Raden Mas Dorojatun 1940-1988 (Sultan Hamengkubuwono
IX)
Setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono VIII, sebagai Putra
Mahkota, RM Dorodjatun yang merupakan putra dari Sri Sultan
Hamengkubuwono VIII dengan R.A Kustilah, lahir pada 12 April 1912
atau bertepatan dengan Sabtu Pahing, 25 Rabingulakir tahun Jimakir
1842 penanggalan Jawa.13
Menggantikan posisi Ayahnya sebagai Sultan
Hamengkubuwono IX. Namun, dalam pengangkatannya, Sultan
Hamengkubuwono sempat tidak disetujui oleh Pemerintahan Belanda,
hal ini karena Ia menolak draf ”kontrak politik” yang disodorkan
Belanda, sebagai syarat penobatannya menjadi Sultan di Yogyakarta.
Padahal Kontrak politik tersebut telah lazim dilakukan oleh raja-raja
sebelum dirinya. Namun, Darojatun tetap konsisten untuk mengangkat
nilai tawar Keraton menjadi mitra kerja dengan Pemerintahan Belanda,
bukan menjadi bagian wilayah yang dijajah oleh Belanda. Sehingga,
pada masanya tarik ulur mengenai kontrak politik dengan Gubernur Dr.
Lucien Adam sampai 4 bulan lamanya. Akhirnya, Darojatun
12 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 222
13 Kustianti Muchtar, Pak Sultan dari Masa ke Masa, dalam Atmakusumah (Penyunting), 1982, Tahta untuk Rakyat: Celah – celah Sultan Hamegkubuwono IX, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h,.21
37
memenangkan hasil kesepakatannya bahwa Yogyakarta tidak menjadi
wilayah penjajahan Hindia Belanda dan Ia sah menjadi Sultan
Hamengkubuwono XI tanpa harus disetujui oleh Pemerintahan Hindia
Belanda.14
10. Bendara Raden Mas Herjuno Darpito 1988-sekarang (Hamengkubuwono
X)
Pasca wafatnya Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 3
oktober 1988, RM Herjuno Darpito sebagai Putra Mahkota secara
otomatis menggantikan Ayahnya sebagai Sultan Hamengkubuwono X,
yang kemudian penobatannya sebagai Sultan berlangsung pada 7 Maret
1989.
Setelah pemaparan Suksesi pengangkatan Sultan di keraton Yogyakarta,
kita dapat mencermati bahwa setiap Sultan memiliki ciri khas masing-
masing dalam proses pengangkatannya, ada yang diwakilkan, merebut
dengan paksa, menggunakan dukungan pihak ketiga, atau bahkan
dibunuh, semua cara tersebut hanya bertujuan untuk merebut tahta
Sultan. Walaupun menghalakan segala cara dalam proses
pergantiannnya, satu hal yang sama dilakukan oleh setiap Sultan adalah
menobatkan gelar Sultan sebagai penggantinya, pada anaknya yang telah
diangkat sebagai Putra Mahkota. Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa
Putra Mahkota adalah calon penerus Sultan selanjutnya.
C. Peraturan Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Keraton Yogyakarta telah berdiri semenjak Pemerintahan kolonial
bertahta, sehingga agar tetap berlangsungnya pemerintahan Keraton
Yogyakarta dapat menagatur wilayah kekuasaan, Yogyakarta tidak pernah
memberikan wilayahnya untuk dijajah oleh pemerintahan kolonial. Akhirnya,
Pemerintahan Hindia Belanda mengakui secara de facto keberadaan Keraton
14
Kustianti Muchtar, Pak Sultan dari Masa ke Masa, dalam Atmakusumah (Penyunting),
1982, Tahta untuk Rakyat: Celah – celah Sultan Hamegkubuwono IX, h. 39
38
Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang bertahta, sehingga pemerintahan
Hindia Belanda memberikan kewenangan pada Sultan untuk memerintah di
daerah kekuasaanya sederajat sebagai Bupati yang harus bertanggungjawab
pada Gubernur. Namun, Sultan yang bertahta harus atas persetujuan
Pemerintahan Hindia Belanda. Kontrak politik tersebut bergeser pada masa
pengangkatan Sultan Hamengkubuwono IX yang tercantum dalam Pasal 4
kontrak politik tentang kedudukan Sri Sultan yang kemudian ditanda tangani
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Gubernur Lusian Adam pada
tanggal 18 Maret 1940. Aturan tersebut menyatakan bahwa Pemerintahan
kolonial tidak lagi menjadi pihak yang harus ikut terlibat dalam menentukan
pengganti Sultan di keraton Yogyakarta, namun pemerintahan Kolonial harus
tetap mengakui secara de facto dan de jure kekuasaan yang ada di bawah
tahta Sultan.
Susunan pemerintahan yang telah dibuat oleh Sultan Hamengkubuwono
IX tersebut berlangsung terus sampai Yogyakarta melebur ke dalam NKRI,
Pasca daerah-daerah bersatunya di Nusantara menjadi NKRI tetap mengakui
Yogyakarta sebagai bagian daerah dalam NKRI yang diberikan hak istimewa
untuk mengatur daerahnya sendiri, hal ini diatur dalam Amanat 5 Sepetember
1945 yang dikeluarkan oleh Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII yang
menyatakan penggabungan diri Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki
kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya. Adapun amanat ini berbunyi
sebagai berikut :
“ Kami Hamnegkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
1. Bahwa Negri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negaraa Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung
dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan
kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat
dengan pemerintahan pusat Negara Republik Inodnesia bersifat
39
langsung dan kami bertanggung jawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indoenesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduuk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahka Amanat kami.”
Amanat tersebut dijawab oleh Presiden Soekarno dengan
menyerahkan Piagam Kedudukan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam
VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang sah di DIY pada
tanggal 6 September 1945. Setelah itu, kedudukan Sultan dan Paku Alam
sebagai Kepala daerah DIY diatur dalam Undang-undang No 3 tahun
1950 atas perubahan UU No.22 tahun 1947 tentang Pembentukan DIY,
dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa yang menjadi kepala daerah di
DIY ialah Gubernur yang berasal dari keturunan Sultan
Hamangkubuwono IX, dan Wakil Gubernur adalah keturunan Paku Alam
VIII.
Setelah itu UU no 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY diperbaharui
dengan UU No 1 tahun 1957, kemudian diperbaharui lagi dengan UU No. 5
Tahun 1965 tentang DIY, Setelah itu diperbaharui lagi dengan UU No 5
Tahun 1974 tentang Pembentukan DIY dan akhirya pada tahun 2012
Undang-undang DIY diterbitkan untuk mengatur susunan pemerintahannya
dalam UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Adapun dalam UU ini telah ditetapkan bahwa yang dapat
menjadi Gubernur DIY ialah yang bertahta sebagai Sultan Hamnegkubuwono
dan yang menjadi Wakil Gubernur ialah yang bertahta sebagai Adi Pati paku
Alam. Hal ini diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf c UU No.13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan DIY yang berbunyi:
“ Bertahta sebagai Hamengkubuwono untuk Calon Gubernur dan
bertahta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”.
Maka dapat sama-sama kita pahami, bahwa yang dapat menjadi Gubernur
dan Wakil Gubernur ialah siapapun yang sudah mengikuti proses penobatan
menjadi Sultan Hamengkubuwono dan telah disahkan untuk bertahta sebagai
penguasa Keraton Ngayogyakarta bagi calon Gubenur, dan yang dapat
dicalonkan menjadi Wakil Gubernur yakni siapapun yang sudah mengikuti
40
proses penobatan menjadi Adipati Paku Alam dan telah disahkan untuk
menjadi penguasa Kadipaten Pakualaman. Sehingga, dalam pasal ini
ditegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memilih dan
menentukan pengganti Sultan atau Adipati.
D. Sistem Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa Yogakarta
Pasca diserahkannya Piagam Kedudukan atas Sri Sultan dan Adipati Paku
Alam pada tanggal 6 Sepetember 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945) yang
berbunyi :
“ Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan : Ingkang SInuwun
Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalanga Abdurrahman
Sayyidin Panatagama Kalifatullah ingkang Kaping IX ing
Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya dengan kepercayaan
bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran,
tenaa, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai
bagian dari Republik Indonesia “
Sultan Hamengkubuwono IX dan Adipati Paku Alam selanjutnya
menjalankan amanah baru sebagai kepala pemerintahan DIY, yakni Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai
Wakil Gubernur DIY dengan masa jabatan seumur hidup. Semenjak itu,
Sultan dan Adipati memegang dua kekuasaan sekaligus yakni sebagai raja di
Keraton dan Kepala Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat menjalankan amanah sebagai Gubernur, Sultan Hamengkubuwono
juga banyak mengemban amanah lain untuk mempertahankan Negara
Indonesia. Pada 15 Juli 1948 Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan
menjadi Menteri Peratahanan Indonesia hingga 20 Desember 1949 untuk
mempertahankan Indonesia dari Agresi Militer II. Setelah itu, Pada 6
September 1950 Sultan Hamengkubuwono IX juga diangkat menjadi Wakil
Perdana Mentri Indonesia hingga 21 April 1951. Setelah sementara mengisi
wakil perdana mentri, Sultan Hamengkubuwono juga diangkat menjadi
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri pada 25 Juli 1966-29
Maret 1973 dengan Keputusan Presiden RI No. 64 tahun 1974 tentang
Pemberhentian Sebagian Menteri Kabinet Perjuangan. Ketika Sultan
41
menjabat sebagai Menteri, maka pekerjaannya sebagai Kepala Daerah
diwakilkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII untuk mengurusi pemerintahan
dan Parentah Hageg Keraton oleh GP Hangabehi. Tidak lelah mengemban
dua amanah sekaligus, Sultan Hamengkubuwono IX pada 23 Maret 1973-23
Maret 1978 diangkat menjadi Wakil Presiden Soeharto, secara otomatis Ia
tidak bisa aktif dalam mengurus DIY, oleh karena itu pemerintahan sehari-
hari dijalankan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII yang kemudian diatur dalam
UU No. 5 Tahun 1947 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur khusus
tentang Yogyakarta dalam aturan peralihannya. Sehingga dapat kita cermati,
Sultan Hamengkubuwono IX tidak pernah digantikan kepemimpinannya
sebagai Sultan dan Gubernur, ia tetap menjadi Sultan dan Gubernur sempai
akhir hayatnya.
Saat Sultan Hamengkubuwono IX dirawat di rumah sakit hingga
wafatnya, pada 11 september 1988-11 September 1998, jabatan Gubernur
diberikan kepada KGPAA Paku Alam VIII sesuai dengan penunjukan
pemerintahan pusat, namun saat itu Adipati Paku Alam tidak mempunyai
Wakil Gubernur. Setelah wafatnya Paku Alam VIII, Daerah Istimewa
Yogyakarta mengalami kekosongan hukum untuk mengatur pergantian
kepala daerah, karena UU No 5 tahun 1974 hanya mengatur jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur pada saat Sultan Hamnegkubuwono IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII saja. Pada akhirnya, atas desakan rakyat DIY Sultan
Hamnegkubuwono X ditetapkan menjadi Gubernur pada 1988-2003, Sultan
Hamengkubuwono X tidak memiliki Wakil Gubernur pada saat itu karena
tahta Sri Paduka Paku Alam IX belum ditetapkan penggantinya. Kemudian,
pada tahun 2003-2008 Sultan Hamengkubuono X ditetapkan sebagai
Gubernur dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur setiap 5 tahun
sekali. Pada tahun 2017, Sultan Hamengkubuwono X dan KGPAA Paku
Alam X menjabat kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang
Diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 107/P tahun 2017 tentang
Pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Masa Jabatan Tahun 2017-2022.
42
Adapun uraian masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dapat
digambarkan seperti bagan di bawah ini:
NO GUBERNUR MULAI AKHIR MASA KETERANGAN WAKIL
JABATAN JABATAN
1 Hamengkubuwono 19 Agustus 1 Oktober 1
[ket. 1] KGPAA
IX 1945 1988
VIII
2 KGPAA VIII 1 Oktober
11 [ket. 2] Lowong September 2
[ket. 3]
1988
1998
3 HAMENGKUBUW 3 Oktober 9 Oktober 3
[ket. 4] Lowong
ONO X 1998 2003
4 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober 4
[ket. 5] KGPAA IX
ONO X 2003 2008
5 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober [ket. 6]
KGPAA IX
ONO X 2008 2011
6 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober [ket. 7]
KGPAA IX
ONO X 2011 2012
7 HAMENGKUBUW 10 Oktober 10 Oktober 5
[ket. 8] KGPAA X
ONO X 2012 2017
8 HAMENGKUBUW 10 Oktober Petahana 6
KGPAA X
ONO X 2017
Tabel 3.2 Gubernur DIY dari masa ke masa
Keterangan:
1. Masa jabatan seumur hidup, pegawai negara dengan NIP 010000001
2. Wakil Gubernur yang melaksanakan tugas Gubernur dalam jabatan Penjabat 3. Gubernur Masa jabatan seumur hidup, pegawai negara dengan
NIP 010064150 4. Masa jabatan pertama.
5. Masa jabatan kedua.
6. Perpanjangan masa jabatan kedua
7. Perpanjangan kedua masa jabatan kedua 8. Masa jabatan ketiga.15
Indonesia sebagai Negara Kesatuan telah menetapkan sistem
desentralisasi untuk mengatur setiap wilayahnya, selain itu Indonesia juga
mengakui satuan wilayah yang mempunyai masyarakat adat. Bentuk Negara
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, yang dijalankan
berdasarkan desentralisasi (Pemerintahan Daerah), dengan otonomi yang seluas-
luasnyanya.1 Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal
18 huruf b Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbunyi :
“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesattuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undnag-undang.” .
Penjabaran atas aturan pengakuan terhadap Masyarakat adat dalam
Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam Undang-undnag No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal 2 ayat (8) dan ayat (9) yang berbunyi :
“(8) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-undang. (9) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pasal tersebut juga memberikan pengakuan atas pemerintahan daerah yang
bersifat istimewa, adapun pemerintahan yang diberikan kewenangan istimewa
yakni seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang ditetapkan dalam UU No
11 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap daerah
dengan asas desentralisasinya mendapatkan kewenangan untuk memilih
pemimpin daerahnya sesuai dengan bunyi Pasal 21 huruf b UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
“ Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. memilih pimpinan daerah ….”
Pasal tersebut telah mengatakan bahwa pemerintahan daerah dapat
menyelenggarakan proses pememilihan pimpinan daerahnya masing-masing,
sesuai dengan keinginan masyarakatnya itu sendiri. Adapun diskursus hukum
yang berkembang atas aturan di atas, akan diuraikan di bawah ini.
A. Perkembangan Penetapan Gubernur bagi Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa dalam bagian Negara Kesatuan Republik Inodnesia (NKRI)
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sejarah khas dalam
dirinya sendiri yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah survivalitas
Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Penelaahan atas sejarah
Yogyakarta dan Indonesia menunjukkan beberapa hal penting seperti, status
keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil
penguasa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwano IX dan Paku Alam VIII dan
bukan pemberian dari entitas politik nasional. Penguasa Yogya tetap
mempertahankan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) secara sadar di tengah-tengah tawaran penguasa Belanda
memberikan kekuasaan atas seluruh Jawa bagi Hamengkubuwana IX yang
pada akhirnya di tolak secara mentah-mentah oleh beliau.2 Yogyakarta juga
memberikan ruang wilayah dan penduduk yang kongkrit bagi Indonesia awal,
pengakuan kedua raja atas kedaulatan Indonesia di wilayah kekuasaannya
telah mengisi ruang kosong dan rakyat sebagai dua unsur kunci sebuah
negara yang bernama Republik Indonesia. Yogyakarta juga menjadi kekuatan
2 Berulangkali Belanda mengirim utusan menemui Hamengkubuwono IX untuk kepentingan ini. Tercatat misalnya, Residen E.M Stok, Berkhuis, Kol. Van Langen, Prof. Husein Jayaningrat dan Sultan Hamid yang dijadikan utusan. Tetapi tidak satupun yang dapat bertemu langsung dengan Sultan Hamengkubuwano IX yang sellau mengutus salah seorang saudaranya, Pangeran Prabunigrat, Pangeran Mudaningrat atau Pangeran Bintara untuk menemui para utusan. Alasan yang selalu disampaikan adalah kesehatan beliau yang tidak menginjikan.
45
penyelamat ketika Indonesia berada dalam situasi krisis untuk
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh karena
itu, DIY diberikan keistimewaan melalui UUD 1945 Pasal 18, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah istimewa yang mempunyai adat-
istiadat yang dilindungi oleh undang-undang juga mempunyai kewenangan
untuk memilih pimpinan daerahnya sendiri. Daerah istimewa Yogyakarta
(DIY) sebagai daerah yang harus melestarikan budaya diberi kewenangan
untuk memilih orang yang memimpin DIY dengan cara penetapan. Hal ini
sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :
“(1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur…”
Penetapan bagi kepala daerah tersebut menjadi keistimewaan yang
dimiliki oleh DIY. Penetapan kepala daerahnya diberikan pada siapapun yang
telah diangkat dan bertahta sebagai Sultan di Keraton Yogyakarta dan Adipati
Paku Alam di Kadipaten Pakualaman yang dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf c tentang syarat dan ketentuan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY yang berbunyi sebagai berikut:
“ (c) bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur….”.
Kedua, Yogyakarta memberikan ruang wilayah dan penduduk yang
kongkrit bagi Indonesia awal. Bahwa pengakuan kedua raja atas kedaulatan
Indonesia di wilayah kekuasaannya telah mengisi ruang kosong dan rakyat
sebagai dua unsur kunci sebuah negara yang bernama Republik Indonesia.
Ketiga,Yogyakarta menjadi kekuatan penyelamat ketika Indonesia berada
dalam situasi krisis untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Bahwa dijadikannya DIY sebagai ibukota negara ketika
Jakarta tidak dapat dipertahankan sebagai ibu kota negara sebagai akibat
46
agresi militer Belanda ke-1 tahun 1948 dan fakta bahwa Yogyakarta menjadi
satu dari tiga daerah yang tetap menjadi NKRI ketika daerah lain terpecah
menjadi Republik Indoensia Serikat.3
Keistimewaan Indoenesia yang diberikan ke Pemeritahan Daerah
Yogyakarta adalah tata cara pengisian jabatan di Yogyaarta dengan Sultan
atau Adipati yang bertahta. Untuk itu dapat kita ketahui bersama bahwa
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diberi kewennagan untuk merangkap dua
jabatan sekaligus. Perubahan politik nasional berikutnya yang terjadi setelah
turunnya Soeharto juga sama sekali tidak mengakhiri pengakuan legal atas
keberadaan daerah yang bersifat istimewa. Hal ini tercatata dalam Pasal 122
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara literal malah
mempertegas status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh
melalui penegasan yang menyatakan bahwa:
”Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Privinsi Daerah Yogyakarta. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi
Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini..”
Secara lebih spesifik penjelasan Pasal 122 menegaskan bahwa :
”Pengukuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada
asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuanagn nasional. Sedangkan
isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil
Gubernur dengan memeprtimbangkan calon dari keturunan Paku Alam
yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-undang ini.”
Ketentuan mengenai pengisisan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Kepala Daerah melalui mekanisme penetapan (pengangkatan) ini tetap
dipertahankan pada beberapa peraturan tentang Pemerintahan Daerah, bahwa
pada suatu waktu jabatan tersebut tidak terikat oleh waktu (seumur hidup).
Peraturan-peraturan tersebut seperti Penpres No 6 tahun 1959 pada pasal 6
3 SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan
Pengaruhnya,Yogyakarta: 2001 yang dibandigkan dengan Chidmad, Tatag, Sri Edang SUmiyati dan Budi Hartono, Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, (Yogyakarta: Media Persindo,2001)
47
ayat (1) dan (2), UU No.18 tahun 1965.4 UU No. 5 tahun 1970 Pasal 91 sub b,
UU No. 22 tahun 1999 (Penjelasan Pasal 122), dan diakhiri dengan UU No.
32 tahun 2004 pada Pasal 2 ayat (8) yang berbunyi:
”Negara mengakui dan menghormati satu-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi
landasan hukum keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
khususnya mekanisme pengisisan jabatan Gubernur pada dasarnya
kesemuanya itu mengikuti mekanisme penetapan (Pengangkatan) Sultan di
Keraton. Perlindungan melalui payung hukum ini, mencirikan bahwa
Indonesia secara eksplisit dalam setiap Undang-Undang pemerintahan
daerahnya konsisten dalam mengakui keistimewaan Yogyakarta. Melalui
pelaksananan otonomi daerah peranan kepala daerah diharapkan mampu
memahami perubahan yang terjadi secara cepat dan tepat dalam persefektif
nasional maupun internasional.5Bahwa dengan otonomi daerah keberhasilan
untuk menyesuaikan perubahan akan sangat mudah tercapai dan pemilihan
umum yang dilakukan oleh setiap daerah baik perwakilan maupun pemilihan
langsung memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengambil keputusan
yang berkaitan dengan kepentingan publik sesuai dengan dengan demokrasi
yang bermartabat dan berkeadilan, maka dengan demikian bukan saja
kepastian, tetapi terangkum keadilan dan kemanfaatan dalam kerangka
memajukan kesejahteraan bersama.6
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 telah menentukan
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah
4 Sifat Istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada sat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakrta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2).
5 Titik Triwulan Tutik,”Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam Persefektif Islam,”Jurnal
Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Vol.6, No.4, Lembaga Penelitian IAII Sunan AMpel (Surabaya: 4 Oktober 2005),h.361
6 Zaenal Arifin Husein,”Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, 2010, Vol.7,No.6,h.13
48
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.7 Hal ini, telah
memberikan makna bahwa demokrasi bukan hanya pemilihan langsung atau
keterwakilan saja, tidaklah semata-mata dilakukan secara langsung oleh
rakyat maupun pemilihan yang dilakukan oleh DPRD, tetapi juga
mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah
yang bersifat khusus dan istimewa. Sebagaimana dimaksudkan Pasal 18 b
ayat (1) UUD 1945 bahwa terdapat mekansime lain dalam proses pengisian
jabatan kepala daerah, seperti halnya sistem penetapan Gubernur Kepala
Daerah dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dengan demikian, sistem
pengangkatan Hamengkubuwono X dan Sri Paku alaman sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur tidaklah inkonstitusional selama penetapan tersebut
memeperoleh legitimasi dari masyarakat (masyarakat
menghendakinya).8Dalam perkembangannya untuk memberikan kepastian
hukum bagi Yogyakarta maka pada tanggal 31 Agustus 2012 disahkanlah
UU No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
pada Pasal 9 sampai 24 Undang-Undang tersebut, menegaskan bahwa
penetapan Gubernur ditetapkan dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,
dan yang menjadi Wakil Gubernur dari Kadipaten Paku Alaman, dengan
ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
B. Pengangkatan Ratu dan Penetapan Gubernur Perempuan di Daerah
Istimewa Yogyakarta
1. Pengangkatan ratu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah ditetapkan menjadi
daerah istimewa yang diatur dalam UU No 13 tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Salah satu yang
menjadi hak istimewa DIY ialah penetapan Gubernur dan Wakil
7 A. Mukhtie Fajar,”Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum
Pelanggaran Pemilu dan PHPU,”Jurnal Konstitusi, Vol.6,No.1,2009,h.5
8 Ismu Gunadi Widodo,”Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemeilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945,”h.16.
49
Gubernur yang diberikan pada seseorang yang bertahta sebagai Sultan
Hamengkubuwono dan Adipati Pakualaman. Seseorang yang bertahta
menjadi Sultan, maka akan ditetapkan sebagai Gubernur DIY, dan yang
bertahta sebagai Adipati Pakualam akan ditetapkan sebagai Wakil
Gubernur DIY. Hal ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sampai (2) UU
NO 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang berbunyi sebagai
berikut:
“ (1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur…”.
Hal ini dikuatkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c UU NO 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan DIY, yang berbunyi sebagai berikut :
“(c) bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur….”.
Berdasarkan pasal yang telah dipaparkan di atas, maka Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya akan mendapatkan seorang kepala
daerah yang akan mengurusi urusan pemerintahannya setelah
ditetapkannya Sultan Hamengkubuwono di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Adipati Pakualam di Kadipaten Pakualaman. Oleh sebab
itu, untuk menjalankan hak istimewanya Keraton Ngayogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman diberikan kuasa penuh tanpa ada campur tangan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam
pengangkatan Sultan ataupun Adipati di masing-masing kesultanannya.
Hal ini, telah diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU No 13 tahun 2012 tentang
Kesitimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berbunyi:
50
“Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat”. Sesuai dengan kewenangannya sebagai daerah Istimewa, kedua
Raja, baik Raja yang sedang bertahta di Kesultanan Ngayogykarta
ataupun Kadipaten Pakualaman selalu mempersiapkan salah satu
keturunannya untuk malanjutkan tahta sebagai Sultan ataupun Adipati.
Mendekati masa berakhir jabatannya Sultan Hamengkubuwono X
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, mengantarkan Hamengkubuwono X menetapkan penerus
tahtanya sebagai Sultan. Sultan Hamengkubuwono X yang hanya
mempunyai keturunan perempuan dari istri sahnya dan telah menetapkan
diri tidak menginginkan untuk mempunyai selir atau menikah lagi hanya
untuk mendapatkan keturunan laki-laki.9 Akhirnya, pada 5 Mei 2015
Sultan Hamengkubuwono menetapkan Putri pertamanya G.K.R
Pembayun sebagai Permaisuri yang akan menggantikan tahtanya sebagai
Sultan. Hal ini ditetapkan dalam Dawuh Raja yang berbunyi :
“Putri Raja Mataram yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun ditetapkan sebagai Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Ning Bawono Langgeng Ing Mataram “.
Adanya Dawuh Raja tersebut secara otomatis mengantarkan
Kesultanan Ngayogyakarta untuk pertama kalinya akan ditahta oleh
seorang Ratu. Hal ini, menimbulkan ketidaksetujuan dari beberapa
keluarga keraton yang sebelumnya telah disebut-sebut sebagai pengganti
Sultan Hamengkubuwono X. Adapun beberapa nama yang tidak
menyetujui adanya Dawuh Raja tersebut, seperti GPBH Hadisuryo,
11 Mereka berasal dari berbagai kalangan dan profesi, Saparinah Sadli ( Perintis berdirinya KOmnas Perempuan dan Pusat Studi Wanita), Sjamsiah Ahmad (Mantan Diplomat Hak Asasi Perempuan PBB), Siti Nia Nurhasanah (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), Ninuk Sumiarni (Psikiater), Dra. Masruchah (Karyawan Swasta), Anggiastri (Karyawan Swasta), Dr. Im. Sunarsih
56
gugatan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi atas Pasal 18
Ayat 1 huruf m, yang berbunyi:
“menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan,saudara kandung, istri, dan anak;”
Kata ”istri” dalam pasal tersebut memberikan keterbatasan bagi
Perempuan dan laki-laki di Keturunana Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat tidak dapat menjadi Gubernur. Kata ”istri” yang menjadi
cerminan diskriminasi bagi perempuan dan beberapa golongan lainnya,
sangatlah tidak mencerminkan NKRI yang menganut asas demokrasi.
Pranata dan praktik demokrasi dalam kehidupan barat selalu merupakan
hasil interaksi antara tradisi nondemokratis dan antidemokratis dengan
tradisi demokratis yang ada, serta persepsi baru dalam bidang social
kemanusiaan, keagamaan, kebutuhan politik dan hak politik. Demokrasi
sejatinya juga sangat melekat di kehidupan NKRI apalagi pasca orde
baru, refromasi hukum secara materiil dan formil banyak dilakukan sana-
sini, untuk itu berpacu pada Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu,”
Sementara dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia juga telah menajelaskan bahwa
”Diskriminasi adalah setiap pemabatasan, pelecehan, atau
penegcualian, yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok golongan, status social, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa keyakinan politik yang berakibat pengurangan
penyimpangan atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, social budaya dan aspek kehidupan lainnya.”
(Dosen), Bambang Prajitno (Karyawan Swasta), Wawan Harmawan ( Karyawan Swasta), Raden Mas Adwin Suryo (Abdi Dalem), Supriyanto ( Perangkat Desa).
57
Dari dua payung hukum di atas, jelas bahwa diskriminasi sangatlah
dilarang dipraktikan di NKRI.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrument
hukum nasional yang melarang diskriminasi. Salah satu diantaranya
adalah Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR
telah menyatakan bahwa:
“Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini sepakat untuk
menghormati dan menjamin setiap individu dalam wilayahnya
dan yang tunduk pada yuridiksinya hak-hak yang diakui dalam
Konvenan ini, tanpa perbedaan dalam bentuk apappun, seperti
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebngsaan atau
social hak milik, kelahiran atau status lainnya”
(Each State Party to the present Convenant undertakes to respect
and ensure to alla individuals within it’s territory and subject to
it’s jurisdiction the right recognized in the present Convenant
without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language,
religion, political or other opinion, nasional or social origin,
property, birth or other status).
Bahkan dalam membahas perempuan ICCPR telah secara khsus
menegaskan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
penikmatan atas hak-hak politik, hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ICCPR
yang mengatakan bahwa:
”Negara-Negara pihak dalam Kovenan ini sepaakat untuk
menjamin persamaan hak anatara laki-laki dan perempuan bagi penikmatan hak-hak sipil dna politik yang dinyatakan dalam
kovenan ini” (The State Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civil and political right set forth in the present Convenant).
Indonesia juga telah meratifikasi Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tentang larangan
diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On the
58
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) Pasal 1
CEDAW telah menegaskan penegrtian dikriminasi terhadap perempuan
dengan rumusan:
“Untuk tujuan Konvensi ini istilah diskriminasi terhadap
perempuan diartikan sebagai setiap pembedaan, pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang
berakibat atau bertujuan mengurangi atau meniadakan
pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan hak
asasi dan kebebasan manusia dalam bidang politik, ekonomi,
social budaya, sipil atau bidang lainnya, terlepas dari status
perkawinan mereka, dan berlandaskan persamaan antara laki-
laki dan perempuan” (For the purposes of the present Convention. The
term”discrimination against women”shall mean any distinction,
exclusion or restriction made on the basis of sex which has the
effect or purpose of impairing or nullifying the recognition,
enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital
status, on the basis of equality of men and women, of human rights
and fundamental freedom in the political economic, social,
cultural, civil or any other field).
Adapaun terkait persamaan hak antaar laki-laki dan perempuan telah
dijelaskan dalam Pasal 3 CEDAW yang berbunyi:
“Negara-Negara pihak akan mengambil segala upaya yang tepat
di segaal bidang termasuk legislasi. Guna menjamin
perkembangan dan pemajuan perempuan, dengan tujuan menjamin
mereka akan pelaksanaan dan penikmatan hak asasi dan
kebebasan mendasar di atas landasan persamaan dengan laki-
laki.” (State Parties shall take in all fields, in particular in the political,
social, economic and cultural fields, all appropriate measures,
including legislation, to ensure the full development and
advancement of women for the purpose of guaranteeing them the
exercise and enjoyment of human rights and fundamental freedoms
on a basis of equality with men).
Indonesia sebagai negara pihak (state party) maka sudah barang
tentu mempunyai kewajiban yang didasarkan pada hukum internasional
(international legal obligation) untuk mentaati perjanjiannya. Dalam hal
ini, untuk tidak melakukan sikap diskriminasi. Untuk itu, akhirnya pada
hari Kamis, 31 Agustus 2017 Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara
59
No 88/PUU-VII/2016 dikabulkan seluruhnya, dan bahwa Pasal 18 ayat 1
huruf m kata”istri”nya dihapuskan. Berdasarkn keputusan tersebut,
mengantarkan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berada di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu memastikan perlindungan
terhadap warga negaranya. Sehingga, dapat disimpulkan secara legalitas
DIY dapat dipimpin oleh Gubernur seorang Perempuan. Dalam Pasal 18
Ayat 1 huruf c telah dijelaskan bahwa:
“…yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk
calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”,
Dua pisau hukum yang menjadi acuan Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) yakni hukum adat (paugeran) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dan UU No. 13 Tahun 2012 Tentang Keisitimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), telah tertatat rapih untuk membolehkan Perempuan
menjadi pemegang kekuasaan. Setelah payung hukum yang jelas
membolehkan perempuan boleh menjabat pimpinan sebagai bupati, wali
kota atau gubernur telah mendorong perempuan-perempuan Indonesia
untuk berkiprah di dunia politik dan berkompetisi dalam pemilihan
umum. Adapun daftar nama perempuan yang menjabat di eksekutif,
sebagai berikut:
Daftar Pemimpin Perempuan di Wilayah Indonesia Pasca
Pilkada Serentak 2018
NO NAMA WILAYAH JABATAN
1. Khofifah Indar Parawansa Jawa Timur Gubernur
2. Iti Octavia Jayabaya Lebak Bupati
3. Dewi Handjani Tangamus Bupati
4. Ade Munawaroh Yasin Kabupaten Bogor Bupati
5. Anne Ratna Mustika Purwakarta Bupati
6. Ade Uu Sukaesih Banjar Wali Kota
7. Umi Azizah Tegal Bupati
8. Puput Tantriana Sari Probolinggo Bupati
9. Mundjidah Wahab Jombang Bupati
60
10 Anna Mu’awanah Bojonegoro Bupati
11. Ika Puspitasari Mojokerto Wali Kota
12. Paulina Haning Bulu Rote Ndao Bupati
13. Erlina Mempawah Bupati
14. Tatong Bara Kotamobagu Wali Kota
Tabel 3.4 Daftar Nama Pemimpin Perempuan di Wilayah
Indonesia Pasca Pilkada 201812
Menyoal Paugaran seharusnya tidak lagi menjadi hambatan, karena
Sultan Hamengkubuwono X telah menyatakan bahwa Keraton
Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alam itu dua-duanya menjadi satu.
Mataram itu negara yang merdeka yang memiliki aturan dan tata
pemerintahan sendiri seperti yang dikehendaki dan diperkenalkan
termasuk Mataram di dalam Nusantara. Medukung berdirinya negara,
tetapi tetap memiliki aturan dan tata pemerintahannya sendiri yang itu
seperti (suara tidak terdengar jelas) para Sultan Hamengkubuwono dan
Adipati Paku Alam, yang bertahta ditetapkan sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur .
Sifat Raja dalam keraton ialah inherent power, paugeran yang
menjadi konstitusi mengibaratkan juga Pangeran adalah konstitusi yang
hidup dalam hukum Keistimewaan Yogyakarta. Paugeran bisa saja lahir
dari bawah, namun kemudian kewajiban dan tanggung jawab guna
menghidupi tatanan, tata karma, atau uger berada di tangan raja.
Sehingga, Konstitusi dalam Keraton Yogyakarta dan Konstitusi
Indonesia sudah beriringan dan sejalan. Hal ini, memberikan analisa
bahwa penetapan menjadi seorang gubernur perempuan nyata-nyata
sudah diperbolehkan dan sangat dihormati akan seluruh haknya terkecil
hingga hak politik. Namun, Gubernur Daerah istimewa Yogyakarta
(DIY) yang sekaligus menjadi Sultan di Keraton, sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU No 13 Tahun 2012
12 Nasional.kompas.com, Senin 30 Juli 2018
61
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),yang
berbunyi:
“bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur.”
Bunyi pasal di atas menunjukkan bahwa Gubernur DIY adalah seorang
Sultan yang bertahta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Wakil
Gubernur adalah seorang Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakulaman.
Hal ini memberikan pertanyaan yang mendasar bagi kita, jika ini menjadi
hak istimewa bagi sesorang Sultan atau adipati tersebut berkompeten
memangku jabatan juga sebagai gubernur, akankah keturunannya juga
mampu mengemban dua amanah sekaligus.
Hukum hadir untuk memberikan kepastian untuk kehidupan,
rekayasa hukum setidaknya mengantarkan bahwa pembuatan hukum
tersebut harus memprediksi kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi
di kemudian hari. Perempuan yang memegang jabatan sebagai eksekutif
seperti apa yang telah dipaparkan pada bagan di atas, baik Presiden,
Gubernur, Bupati maupun Walikota yang terpilih karena mengikuti
pemilihan umum dan mereka yang mendulang suara terbanyak akan
menjadi Presiden, Gubernur, Bupati maupun Walikota yang secara
otomatis rakyat mengamini dipimpin olehnya. Namun, hal ini tentu akan
berbeda jika kita dudukan pada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan pada mereka
yang bergelar Sultan dan Wakil Gubernur yang bergelar Adipati Paku
Alam. Gubernur dan Wakil Gubernur ialah seseorang yang telah
ditetapkan dan mengikuti penunjukkan di internal keraton dan kadipaten.
Keturunan para Sultan di keraton maupun kadipaten keduanya selalu
dipersiapkan untuk menerima tanggung jawab guna agar siap ketika
mewarisi kebudayaan agar terus lestari. Akan tetapi, apakah keturannya
juga diberikan kemampuan untuk mengurusi rakyat yang menjadi
territorial Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan berlaku sebagai
62
Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentu ini menjadi tanda tanya besar bagi
tafsiran Pasal 18 ayat (1) huruf m tersebut. Namun, dikabulkannya
permohonan untuk dihilangkannya kata “ istri” pada Pasal 18 ayat (1)
huruf m tersebut telah menunjukkan hukum yang dapat merespon
perkembangannya zaman. Hukum yang memberikan keadilan gender
tanpa ada satupun diksriminasi dalam substansinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah Penulis paparkan di atas, maka Penulis
dapat mengambil kesimpulan dari permaslaahn yang dibahas yakni tentang
Diskursus Pengangkatan Ratu Daerah istimewa Yogyakarta Pasca Putusan
MK No 88/PUU-XVI/2016:
1. Perkembangan Hukum adat di Yogyakarta memperkenalkan sebuah
aturan baru yakni memperbolehkan perempuan menjadi Ratu yang
ditandai dengan adanya Dawuh Raja pada 5 Mei 2015 dari Sri Sultan
Hamengkubuwono X terhadap pengangkatan GKR Pembayun, Putri
pertama Sultan Hamengkubuwono X menjadi Putri Mahkota yang
bergelar Mangkubumi. Secara otomatis telah adanya perubahan dan
penetapan paugeran baru di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perdebatan masih terjadi hingga saat ini di internal keraton, pasca
perubahan paugeran tersebut.
2. Perkembangan Peraturan penetapan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) juga memperkenalkan sebuah aturan baru pasca adanya
Permohonan Judicial Review terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m agar
dihapuskannya kata”istri”yang menggambarkan bahwa perempuan tidak
boleh menjadi seorang Gubernur telah dikabulkan, yang diputuskan
dalam Putusan MK No. 88/PUU-XVI/2016. Sehingga, mengantarkan
bahwa Perempuan yang memegang kekuasaan di Keraton atau Kadipaten
dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY juga.
B. Rekomendasi
1. Mensosialisasikan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
No 88/PUU-XVI/2016 pada masyarakat.
63
64
2. Adanya penelitian tindak lanjut tentang Penerimaan Masyarakat DIY
terhadap Dawuh Raja dan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keisitimewaan
DIY pasca Putusna MK No 88/PUU-XVI/2016.
C. IMPLIKASI PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan impilkasi secara
teoritis dan praktis sebagai berikut:
1. Implikasi Teoritis
Hukum hadir untuk memberikan kepastian bagi kehidupan setiap
umat manusia. Oleh karena itu, hukum harus dapat merespon setiap
perkembangan zaman yang ada. Adanya Dawuh Raja tentang penetapan
Putri Mahkota dan Putusan MK tentang permohonan untuk dapat
dihilangkannya kata “istri” pada Pasal 18 ayat (1) huruf m, menjadi salah
satu ciri bahwa hukum harus bersifat responsif terhadap perkembangan
zaman, yakni zaman yang tanpa adanya diskriminasi.
2. Implikasi Praktis
Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi kalangan
Eksekutor dan Legislator dalam membuat aturan agar tidak
mendiskriminasi salah satu gender. Peraturan tersebut baik berupa
Undang- undang ataupun keputusan- keputusan. Hal ini, agar setiap aturan
yang dibuat juga dapat sejalan dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdulkadir, M. (2004). Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Adams, I. (2004). Ideologi Politik Mutakhir : Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya. Yogyakarta: Qalam.
Baso, A. (2007). NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga.
Busroh, A. D. (2009). Ilmu Negara. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Harari, Yuval (2017). Sapiens, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia HAW, W. (2002). Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT.Grafindo
Persada.
Hemas, G. (2002). Ratu di hati Rakyat. Jakarta: KOMPAS.
Hills, B. (2009). Princess Masako: Kisah Tragis Putri Mahkota di SInggasan Negeri Sakura . Jakarta : Pustaka Alvabe.
Huda, N. (2011). Ilmu Negara . Jakarta: Rajawali Press.
Irianto, S. (n.d.). Mempersoalkan “Netralitas” dan “Obejktivitas” Hukum”: Sebuah pengalaman Permepuan.
J.A, D. (2006). Politik yang Mencari Bentuk. Yogyakarta: LKIS.
Joseph Rudolph, J. F. (1996). International Encyclopedia of Government and Politics. In F. N. MAGIL. Singapura: Topan.
Kasali, R. (2007). Re code Yoaur Change DNA :Membebaskan Belenggu -
Belenggu untuk meraih keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lawrance, F. F. (n.d.). Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial.
Maggalatung, A. S. (2015). Pengantar Studi Antropologi Hukum Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Moedjanto, M. (n.d.). Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, .
Murata, S. (n.d.). The Tao Of islam.Batam: Lucky Publisher.
Prof. Siti Khamamah Suratno, P. D. (n.d.). Khazanah Budaya Keraton Yogyakarta. Yogyakarta.
65
66
Radis, B. (2005). Sistem-sistem Pemerintahan Sedunia. Yogyakarta: Diva Press.
Rahardjo, S. (n.d.). Hukum dan Mayarakat,.
Ricklefs, M. (1920 -2004). Sejarah Indonesia Modern .
Savitri, N. (n.d.). Perempuan dan Hukum : Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan.
Setiadi, R. L. (2008). Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK dan MAK Kelas X Standar isi 2006. Jakarta : Erlangga.
Simorangkir, B. (2000). Otonomi atau Federalisme Dampaknya Terhadap
Perekonomian. Jakarta: Pustaka SInar Harapan dan Harian Suara Pembaharuan.
Sirait, S. S. (2006). Politik Kristen di Indoensia: Suatu Tinjauan Etis . Jakarta: Gunung Mulia.
Soehino. (2001). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Soekanto, S. (2010). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindoo.
Strong, C. (2008). Konstitusi - Konstitusi Politik : Kajian tentang Sejarah dan Bnetuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Sumardjan, P. S. (n.d.). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.
Watimena, R. A. (2007). Melampaui Negara Hukum Klasik. Yogyakarta:
Kanisius.
JURNAL
Asshidiqie, J. (2006). Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi. Jurnal Konstitusi, Vol.3 No.4.
Badu, M. N. (2005). Demokrasi dan Amerika. Jurnal The Politic, Universitas Hasanudin, Vol.1 No.1.
Fajar, A. M. (2009). Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesain Hukum Pelangaran Pemilu dan PHPU. Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No.1.
Hasugian, J. (Juli,2009). Kajian Kritis Historis 350 Tahun Penjajahan Belanda di Indoensia. Jurnal Habanaran Da Bona, Edisi 2.
Husein, Z. A. (2010). Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi. Jurnal Konstitusi, Vol.7, No.6.
67
Isharyanto, J. E. (2009). Pemilihan Umum dalam Persfektif Budaya Hukum
Berkonstitusi. Jurnal Konstitusi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, VOL.II, NO.1.