DINAMIKA LEKSIKON PERSAWAHAN DI DESA JATILUWIH, TABANAN Sri Darmayani, Sri Ramayanti Magister Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana Email: [email protected], [email protected]ABSTRACT Agriculture is one of the Balinese’s livelihoods. However, the paddy fields decline in 1000 ha annually. It means that young generations are not interested in becoming farmers. This situation absolutely affects their knowledge of paddy field lexicons and text as their language environment. Based on this fact, this paper discusses about paddy field lexicons, both of active and passive lexicons. It is analyzed in ecolinguistic perspective. This research is conducted at Jatiluwih. The data were collected through field observation method; the researchers involved in the dialogue, and paid an attention interlocutor and also participated in the talk; reflexive – introspective method, and then the analysis is presented in description and table. The fact reveals that the old generation has more complete knowledge of paddy field lexicon than the young generation. The lexicons include activities, such as: ngurit , nandur, manyi; tools, such as: tenggala, penampad, arit; animals that live in the paddy field, such as blauk, lindung, baling; plants, such as: genjer, biah-biah, kapu-kapu; and also religious ceremonies were performed as ngendag, biukukung, ngusaba. Keywords: ecolinguistic, paddy field, lexicon, Jatiluwih ABSTRAK Pertanian merupakan salah satu sektor mata pencaharian masyarakat Bali. Namun, luas sawah diperkirakan menurun 1000 ha pertahunnya. Dengan kata lain, profesi petani mulai ditinggalkan generasi muda. Hal ini tentu saja memengaruhi pengetahuan generasi muda tentang leksikon dan teks persawahan sebagai bahasa lingkungan mereka. Menyikapi fakta tersebut, makalah ini membahas leksikon persawahan, baik yang masih digunakan maupun tidak. Berdasarkan perspektif ekolinguistik, penelitian dilakukan di Desa Jatiluwih. Data dikumpulkan melalui metode observasi lapangan, simak libat cakap, dan refleksif – introspektif sedangkan hasil analisis disajikan dalam uraian dan tabel. Fakta menunjukkan bahwa generasi tua memiliki pengetahuan tentang leksikon persawahan yang lebih lengkap daripada generasi muda. Leksikon tersebut mencakup kegiatan bertani seperti ngurit, 1
24
Embed
Dinamika Leksikon Persawahan di Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, Kajian Ekolinguistik
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DINAMIKA LEKSIKON PERSAWAHAN DI DESA JATILUWIH, TABANAN
Sri Darmayani, Sri RamayantiMagister Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
ABSTRACTAgriculture is one of the Balinese’s livelihoods. However, the paddy fields decline in 1000
ha annually. It means that young generations are not interested in becoming farmers. This situation absolutely affects their knowledge of paddy field lexicons and text as their language environment.
Based on this fact, this paper discusses about paddy field lexicons, both of active and passive lexicons. It is analyzed in ecolinguistic perspective. This research is conducted at Jatiluwih. The data were collected through field observation method; the researchers involved in the dialogue, and paid an attention interlocutor and also participated in the talk; reflexive – introspective method, and then the analysis is presented in description and table.
The fact reveals that the old generation has more complete knowledge of paddy field lexicon than the young generation. The lexicons include activities, such as: ngurit , nandur, manyi; tools, such as: tenggala, penampad, arit; animals that live in the paddy field, such as blauk, lindung, baling; plants, such as: genjer, biah-biah, kapu-kapu; and also religious ceremonies were performed as ngendag, biukukung, ngusaba.
ABSTRAKPertanian merupakan salah satu sektor mata pencaharian masyarakat Bali. Namun, luas
sawah diperkirakan menurun 1000 ha pertahunnya. Dengan kata lain, profesi petani mulai ditinggalkan generasi muda. Hal ini tentu saja memengaruhi pengetahuan generasi muda tentang leksikon dan teks persawahan sebagai bahasa lingkungan mereka.
Menyikapi fakta tersebut, makalah ini membahas leksikon persawahan, baik yang masih digunakan maupun tidak. Berdasarkan perspektif ekolinguistik, penelitian dilakukan di Desa Jatiluwih. Data dikumpulkan melalui metode observasi lapangan, simak libat cakap, dan refleksif – introspektif sedangkan hasil analisis disajikan dalam uraian dan tabel.
Fakta menunjukkan bahwa generasi tua memiliki pengetahuan tentang leksikon persawahan yang lebih lengkap daripada generasi muda. Leksikon tersebut mencakup kegiatan bertani seperti ngurit, nandur, manyi; alat pertanian seperti tenggala, penampad, arit; binatang yang hidup di sawah seperti blauk, lindung, balang; tumbuhan yang hidup di sawah seperti genjer, biah-biah, kapu-kapu; maupun upacara keagamaan yang dilakukan petani seperti ngendag, biukukung, ngusaba.
Kata kunci: ekolinguistik, persawahan, leksikon, Jatiluwih
PENDAHULUANManusia dan lingkungan adalah komponen-komponen yang berinteraksi secara teratur dan
saling ketergantungan untuk menjamin kelangsungan hidup keduanya. Interaksi antara manusia dan lingkungan membentuk bahasa sebagai perwujudan konkret manusia dan lingkungan. Hal ini dipertegas oleh Mbete (2009:2) yang menyatakan bahwa dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya. Misalnya, masyarakat yang menetap di lingkungan persawahan dan berkecimpung secara aktif dalam bidang pertanian tentunya akan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang leksikon dan teks persawahan yang lebih kompleks daripada masyarakat yang menetap di luar lingkungan persawahan.
Pada mulanya Bali terkenal memiliki areal pertanian (sawah) yang luas dan sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Namun, menurut Arif B. Prasetyo (2010: 9) sampai pada tahun 2001, lahan pertanian (sawah) di Bali secara keseluruhan berjumlah hanya sekitar 89.000 ha
dan jumlahnya diperkirakan menurun 1000 ha pertahunnya akibat aktifitas pariwisata (pembangunan). Perubahan lahan tersebut mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan, yang mana mencapai separuhnya sudah berpindah ke kota (Arif, 2010:9). Seiring dengan perpindahan tersebut, profesi agraris mulai ditinggalkan. Antara tahun 1970 dan 2002 masyarakat yang berprofesi sebagai petani dari 56.6% menjadi 21.4% sisanya bekerja di sektor pemerintahan dan pariwisata.
Salah satu desa di Bali yang terkenal dengan areal persawahan bertingkat atau terasering adalah Desa Jatiluwih. Desa Jatiluwih memiliki lahan pertanian (sawah) seluas 303 ha dan mayoritas penduduk yang mendiami desa ini berprofesi sebagai petani. Karena areal persawahannya yang masih terjaga, kawasan Desa Jatiluwih telah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia pada tanggal 29 Juni 2012. Hal ini tentu saja memengaruhi keberadaan bentuk-bentuk leksikon dan teks persawahan sebagai bahasa lingkungan mereka. Leksikon-leksikon dan teks persawahan masih digunakan oleh para penduduk di Desa Jatiluwih dalam kehidupan sehari-hari yang erat kaitannya dengan ihwal adat istiadat, ranah rumah tangga dan pertanian lokal.
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimana gambaran pengetahuan khazanah leksikon persawahan dalam komunitas tutur bahasa Bali di Desa Jatiluwih? (2) Bagaimana gambaran pengetahuan khazanah leksikon persawahan pada generasi tua dan generasi muda di Desa Jatiluwih? (3) Faktor-faktor apakah yang memengaruhi dinamika pengetahuan khazanah leksikon persawahan pada generasi tua ke generasi muda di Desa Jatiluwih?
Tujuan penelitian ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan leksikon persawahan dan mengetahui dinamika leksikon persawahan sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan leksikon persawahan dalam komunitas tutur bahasa Bali di Desa Jatiluwih, memeroleh gambaran pengetahuan generasi tua dan generasi muda di Desa Jatiluwih terhadap khazanah leksikon persawahan dan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika leksikon persawahan tersebut.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk: (a) menambah khazanah pengetahuan ekolinguistik terutama leksikon persawahan bahasa Bali dan (b) kumpulan leksikon persawahan bahasa Bali dapat disusun menjadi kamus mini sedangkan manfaat praktis penelitian ini adalah: (a) sebagai dasar pertimbangan dalam berkomunikasi bagi penutur bahasa Bali, khususnya generasi muda sehingga mereka dapat menggunakan leksikon persawahan dengan tepat dan benar serta (b) mengangkat harkat dan martabat bahasa Bali, khususnya khazanah leksikon persawahan. Kajian ini merupakan salah satu upaya agar leksikon persawahan bahasa Bali tidak terancam punah akibat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya ini penting karena bahasa ibu yang diwariskan sejak lahir sangat bermanfaat untuk berkomunikasi sehari–hari, utamanya sebagai jati diri masyarakat etnik Bali.
KONSEP DAN LANDASAN TEORI KonsepAda sejumlah konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) DinamikaBerdasarkan KBBI online, dinamika adalah gerak (dari dalam); tenaga yang menggerakkan; gerak atau kekuatan yag dimiliki sekumpulan orang dalam masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan; gerak masyarakat secara terus-menerus yg menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini dinamika dikaitkan dengan pengetahuan leksikon persawahan di Desa Jatiluwih dan keberadaan leksikon tersebut hingga kini.
b) LeksikonLeksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis,
2
atau suatu bahasa; kosakata; perbendaharaan kata (Kridalaksana, 2011:142). Kategori ini berkaitan dengan sikap dan perilaku masyarakat.
Landasan Teori Ekolinguistik merupakan cabang linguistik (terapan) yang menyandingkan ekologi dengan
linguistik. Karena sifatnya yang interdisipliner, parameter ekologi memegang peranan penting yang digunakan dalam menyimak dan memaknai fenomena bahasa. Parameter ekologi yang diterapkan dalam ekolinguistik adalah lingkungan, interaksi-interelasi-interdepedensi, dan keberagaman (Fill dan Mu ̈�hlha �usler, Eds., 2001: 1)
Lingkungan ragawi atau lingkungan alam yang disebut alam raya/jagat raya (makrokosmos) maupun lingkungan manusia dengan lingkungan budaya, dan di dalamnya ada lingkungan kebahasaan yang monolingual dan multilingual, merupakan lingkungan sosial atau jagat kecil (mikrokosmos). Ekologi manusia (dengan ekologi budaya dan tentu pula dengan ekologi bahasanya) berada dalam lingkungan alam. Ada lingkungan alamiah seperti lingkungan kesungaian, lingkungan pegunungan, lingkungan pesisir dan laut. Di antara lingkungan alamiah itu hadir dan hidup pula lingkungan sosial keetnikan dengan kebudayaan dan bahasa etniknya.
Di antara komponen lingkungan terjadi interaksi, interelasi dan interdepedensi. Interaksi adalah aksi timbal-balik antara komponen dalam lingkungan tertentu bahkan ada kesalingtergantungan. Penerapan parameter ini sekaligus menjadi dasar teoritis hubungan antara manusia dengan ekologi budayanya tampak nyata, misalnya: betapa interelasi manusia dengan lingkungan biologis dengan bambu dengan beringin, dengan bakau, dengan sungai, serta contoh-contoh lainnya. Manusia yang ada di lingkungan itu hidup sejahtera lahir-bathin karena adanya kesalingtergantungan, kesalinghubungan dengan tanaman dan lingkungan itu.
Keberagaman hadir dalam lingkungan kita, misalnya: tanaman, hewan, termasuk bebatuan. Secara ekologis keberagaman yang ada di sekitar kita dikategorikan sebagai biotik (segala sesuatu yang hidup dan berkembang biak) sedangkan segala sesuatu yang tidak bernyawa secara ekologis dikenal dengan istilah abiotik. (Mbete, 2013: 4)
BAHAN DAN METODELokasi penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Jatiluwih. Secara administrasi desa ini berada di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Berdasarkan data dari kecamatan, Desa Jatiluwih terbagi atas 8 Banjar Dinas, yaitu: Banjar Dinas Kesambi, Banjar Dinas Kesambahan Kaja, Banjar Dinas Kesambahan Kelod, Banjar Dinas Jatiluwih Kangin, Banjar Dinas Jatiluwih Kawan, Banjar Dinas Gunungsari Desa, Banjar Dinas Gunungsari Umakayu, Banjar Dinas Gunungsari Kelod. Jumlah penduduk yang mendiami Desa Jatiluwih adalah 2.680 orang atau sekitar 812 Kepala Keluarga (KK). Secara geografis desa ini memiliki luas wilayah 33.220 km2
dengan batas wilayah: di sebelah utara Hutan Negara, di sebelah selatan Desa Babahan, di sebelah timur Desa Senganan dan di sebelah barat Desa Wongaya Gede. Desa Jatiluwih berjarak 14 km dari kota Kecamatan Penebel dengan waktu tempuh ± 30 menit dan 26 km dari Kabupaten Tabanan dengan waktu tempuh ± 50 menit.
Desa Jatiluwih dipilih sebagai lokasi penelitian karena Desa Jatiluwih merupakan daerah pertanian dengan lahan persawahan bertingkat atau terasering seluas 303 ha dan mayoritas penduduk yang mendiami desa ini berprofesi sebagai petani. Bahkan kawasan Desa Jatiluwih telah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia dalam sidang komite warisan budaya di Saint Petersburg, Rusia pada tanggal 29 Juni 2012.
Jenis dan Sumber DataData penelitian ini terdiri atas data verbal dan data non-verbal. Yang dimaksud dengan data
verbal adalah data bahasa yang diujarkan oleh penutur sedangkan data non-verbal adalah data yang diperoleh dari aspek di luar bahasa seperti alat-alat pertanian. Namun data non-verbal dikodekan dalam bahasa Bali.
Sumber data adalah penutur bahasa Bali di Desa Jatiluwih yang dipilih secara sampel purposif, yaitu metode yang tidak melihat besarnya jumlah populasi, tetapi lebih menekankan pada
3
kriteria informan. Beberapa kriteria dalam penentuan informan bahasa adalah (a) penutur asli dewasa yang berusia antara 40-60 tahun dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih dewasa dianggap memiliki pengetahuan lebih banyak tentang leksikon persawahan; dan (b) terlibat aktif dalam kegiatan bertani dalam kelompoknya.
Data kuantitatif bersumber dari sejumlah responden melalui hasil penyebaran kuisioner yang diperkuat wawancara mendalam. Beberapa kriteria dalam penentuan responden adalah (a) penutur Bahasa Bali; (b) berusia 8-80 tahun; serta (c) tinggal di desa tersebut sedangkan indikator-indikator yang digunakan dalam pengujian kompetensi leksikon persawahan para responden dapat dijabarkan sebagai berikut: (a) mengetahui, memahami dan mengakrabi leksikon persawahan tersebut, (b) mengetahui dan memahami, tetapi tidak mengakrabi leksikon persawahan tersebut, (c) mengetahui, tapi tidak memahami dan tidak mengakrabi leksikon persawahan tersebut, (d) tidak mengetahui, tidak memahami, dan tidak mengakrabi leksikon persawahan tersebut.
Instrumen PenelitianInstrumen yang digunakan dalam penelitian ini agar peneliti lebih mudah menjaring data,
yaitu daftar pertanyaan yang berfungsi sebagai petunjuk umum wawancara memuat seputar leksikon persawahan dan seberapa jauh pengetahuan serta pemahaman generasi muda terhadap leksikon-leksikon tersebut; alat perekam digunakan untuk merekam data hasil wawancara; sedangkan kamera digital digunakan untuk memvisualisasikan penelitan ini.
Metode Pengumpulan DataData penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi lapangan, simak
libat cakap, dan refleksif–introspektif. Metode observasi lapangan dilakukan dengan maksud peneliti mengamati langsung objek
yang diteliti di lapangan, yaitu leksikon persawahan. Pengamat dalam hal ini relatif bebas membuat catatan yang dikehendaki sesuai dengan tujuan penelitian (Moleong, 2010)..
Dalam pengumpulan data, peneliti juga menggunakan metode simak libat cakap dengan teknik catat. Peneliti berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan (Sudaryanto, 1993:133). Dengan kata lain, peneliti terlibat langsung dalam dialog. Keikutsertaan peneliti bersifat aktif karena peneliti juga ikut angkat bicara dalam proses dialog atau konversasi atau imbal wicara.
Metode refleksi-introspektif juga dapat dilakukan karena peneliti merupakan penutur asli bahasa Bali. Sudaryanto (1993:121) menyatakan bahwa metode refleksif–introspektif adalah upaya untuk melibatkan atau memanfaatkan sepenuh-penuhnya, secara optimal, peran peneliti sebagai penutur bahasa tanpa melebur-lenyapkan peranan kepenelitian itu sendiri.Metode dan Teknik Analisis Data
Kajian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dan kuantatif. Secara kualitatif, data dianalisis dengan menggunakan metode padan teknik pilah unsur tertentu (Sudaryanto, 1993:21-30), yaitu data dikelompokkan ke dalam kategori, kemudian dijabarkan ke dalam unit-unit dan diberikan penjelasan. Secara kuantitatif, pengetahuan dan pemahaman responden terhadap leksikon persawahan dapat dilihat berdasarkan presentasenya. Semakin tinggi persentase menandakan bahwa pengetahuan dan pemahaman leksikon persawahan yang dimiliki oleh responden tergolong baik. Sebaliknya, semakin rendah persentasenya, maka semakin kurang pengetahuan dan pemahaman leksikon persawahan yang dimiliki oleh responden tersebut. Persentase pengetahuan dan pemahaman leksikon persawahan yang dimiliki oleh responden dapat dijabarkan sebagai berikut: 85%-100% tergolong sangat baik; 70%-84% tergolong baik; 55%-69% tergolong cukup; 45%-54% tergolong rendah; 0%-44% tergolong sangat rendah. Untuk memeroleh persentase tersebut, dilakukan perhitungan sederhana, yaitu:
Jumlah jawaban per leksikonX 100% = Hasil
Jumlah responden per kategori umur
Penyajian Hasil Analisis Data
4
Hasil analisis data dalam bentuk leksikon-leksikon persawahan disajikan secara deskriptif atau dalam bentuk uraian sedangkan pengetahuan dan pemahaman responden terhadap leksikon persawahan disajikan dalam bentuk grafik.
PEMBAHASANAnalisis Data secara KualitatifKhazanah leksikon persawahan yang ada di Desa Jatiluwih dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
No LeksikonLingkungan Kategori Kelas Kata
MaknaBiotik Abiotik Nom Ver Ajk
1. Abangan + + Talang 2. Anggapan + + Ani-ani (alat pemotong padi)3. Arit + + Sabit 4. Aungan + + Terowongan 5. Awig-awig + + Hukum tertulis yang memuat
seperangkat kaedah-kaedah sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat petani
6. Balang danyuh + + Sejenis belalang7. Balang kajo + + Sejenis belalang8. Balang ketepung + + Sejenis belalang9. Balang minyak + + Sejenis belalang10. Balang nasi + + Sejenis belalang11. Balang nyandag + + Sejenis belalang12. Balang sangit + + Walang sangit 13. Be ekor pedang + + Sejenis ikan14. Bebek + + Bebek15. Be julit + + Sejenis ikan16. Be kucing + + Sejenis ikan17. Be lele + + Sejenis ikan18. Be nila + + Sejenis ikan19. Be nyalian + + Sejenis ikan20. Becing-becing + + Berudu 21. Bendesa Adat + + Kepala desa adat22. Berag + Kurang subur23. Besek + + Tempat penasih, terbuat dari
bamboo24. Biah-biah + + Sejenis gulma25. Bikul (jero
ketut)+ + Tikus
26. Biu ketip + + Sejenis pisang27. Biukukung + + Upacara saat padi bunting28. Blauk + + Anak capung yang masih muda29. Bluang + + Sejenis binatang air hidup di
sawah30. Bokor + + Tempat canang, terbuat dari
kayu31. Bubu ikan + + Alat perangkap ikan32. Bubu lindung + + Alat perangkap belut33. Bubu udang + + Alat perangkap udang34. Buit-buit + + Sejenis siput35. Buka/bungas + + Hulu sungai36. Bulih + + Benih padi
5
37. Cagak + + Bagian dari tenggala38. Cakar + + Bagian dari lampit39. Caluk + + Alat untuk merabas semak40. Candung + + Sejenis tumbuhan seperti keladi41. Capil + + Alat pelindung kepala42. Capung engkok + + Sejenis capung43. Capung karag-
barak+ + Sejenis capung
44. Capung legitik + + Sejenis capung45. Carik + + Sawah46. Caruk + + Bagian dari tenggala47. Dongkang + + Sejenis katak48. Dulang + + Alat untuk menempatkan
banten49. Dungki + + Tempat ikan50. Eceng gondok + + Eceng gondok51. Empelan + + Empangan, bendungan52. Emping + + Sejenis gulma hidup di air53. Entut balu + + Sejenis gulma, berupa rumput54. Gamongan + + Sejenis gulma, berupa rumput55. Gelagah + + Sejenis gulma, berupa rumput56. Genjer + + Genjer 57. Gergaji penebih + + Alat untuk memotong kayu
papan58. Gergaji
Pengeleng+ + Alat untuk memotong kayu
59. Godogan + + Sejenis katak60. Grinding + + Alat untuk meratakan tanah61. Guun + + Sejenis gulma62. Ingka + + Alat untuk meletakkan banten63. Janggi + + Alat pengukur waktu, terbuat
dari tempurung kelapa64. Jengkuwung + + Gorong-gorong65. Jubel + + Sejenis ikan66. Kakul + + Siput67. Kalimenje
(gonda)+ + Sejenis gulma, rumput yang
tumbuh di sela-sela padi68. Kandik + + Alat dalam penyiapan lahan,
untuk memotong akar pohon69. Kapak + + Alat dalam penyiapan lahan,
untuk memotong kayu70. Kapu-kapu + + Sejenis gulma71. Katak hijau + + Sejenis katak72. Katak paku + + Sejenis katak73. Kawun
lampit/pemelasahan
+ + Bagian dari lampit
74. Kayu mer + + Tumbuhan yang hidup di tepi sawah, berupa semak
75. Kebo + + Kerbau76. Kedis + + Burung
6
77. Kejen + + Sejenis cangkul yang digunakan untuk membersihkan pematang sawah
78. Kekalen + + Parit kecil di tepi sawah79. Kekupu + + Kupu-kupu80. Kelian
subak/Pekaseh+ + Pemimpin subak
81. Keluwung + + Urung-urung82. Kepuakan + + Alat untuk mengusir burung83. Kerincing + + Sejenis katak84. Keroncong + + Bagian dari lampit,
dikalungkan di leher sapi85. Kesimbukan + + Sejenis tumbuhan yang
merambat86. Ketungan + + Alat untuk menumbuk padi87. Kiskis + Alat untuk membersihkan
rumput diantara tanaman padi88. Klipes + + Sejenis serangga hidup di air89. Krama pekaseh + + Anggota pemimpin subak90. Kumba + Bejana kecil dari tanah liat
digunakan pada waktu upacara91. Kumis misa + + Sejenis gulma92. Lait + + Pasak, bagian dari tenggala93. Lampit Alat untuk
menggaru/meratakan sawah setelah dibajak
94. Lawas lemeng + + Nama sejenis gulma95. Layu + Layu 96. Lelakut + + Orang-orangan sawah97. Lindung + + Belut98. Lipi/lelipi jali + + Sejenis ular 99. Lipi/lelipi kawat + + Sejenis ular100. Lipi/lelipi sampi + + Sejenis ular101. Lobakan + + Alat penerang untuk
menangkap ikan102. Lu + + Antan 103.L
Lumut + + Lumut
104. Majukut + Membersihkan gulma105.m
Malungin + Membersikan rumput yang berserakan seusai membajak sawah
106. Mamakal + Membajak sawah pertama kali, saat usai panen sebelumnya
107. Mantenin + upacara yang dilakukan pada saat padi disimpan di lumbung atau ditempat lainnya sebelum padi diolah menjadi beras untuk pertama kalinya
108. Manyi + Panen 109.M
Maongin + + Sawah yang berada di tengah yang mendapat giliran air
7
110. Mapag Toya + upacara yang dilakukan di dekat bendungan menjelang pengolahan tanah
116. Nandur/mamula + upacara yang dilakukan pada saat menanam padi
117. Nangluk Merana
+ upacara ini merupakan suatu ritual dalam rangka menolak hama yang ada di sawah dengan melakukan suatu upacara yang berkaitan dengan pura yang mempunyai hubungan dengan penguasa hama
Sistem Pengairan Sawah di Desa JatiluwihSubak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah
yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Subak sebagai organisasi yang otonom berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan dapat menetapkan awig-awig. Anggota subak adalah orang yang mempunyai sawah dan mendapatkan air, yang dapat dibedakan menjadi: anggota aktif (anggota subak yang wajib aktif dalam segala kegiatan subak seperti Karma Pekaseh, Sekaa Yeh atau Karma Subak), anggota tidak aktif (anggota yang mengganti kewajibannya dengan uang yang disebut Pengohot atau Pengampel), dan anggota luput (anggota yang tidak bisa aktif dalam segala kegiatan subak karena mempunyai tugas penting seperti: Bendesa Adat, Sulinggih atau Pemangku). Prajuru/pengurus subak terdiri dari pekaseh/kelian subak, pangliman/petajuh, penyarikan/juru tulis, petengan/juru raksa, saya/juru arah/juru tibak/kasinoman, pemangku/urusan keagamaan.Sekaa dalam Subak terdiri dari sekaa numbeg, sekaa jelinjingan, sekaa sambang, sekaa mamulih/ nandur, sekaa majukut, sekaa manyi. Rapat anggota disebut sangkepan/paruman umumnya dilaksanakan secara rutin setiap 35 hari (satu bulan menurut kalender Bali) walaupun ada juga subak yang melaksanakan rapat 3 atau 6 bulan sekali.
Irigasi sebagai suatu sistem fisik dalam satu sistem Subak umumnya terdiri dari: bangunan utama berupa bangunan pengambilan yang terletak pada sumber air; jaringan pembawa berupa saluran pembawa yang berfungsi menyalurkan air irigasi dari sumbernya sampai ke petak sawah yang memerlukan; kumpulan petakan sawah sesuai topografi dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan air secara kolektif; sistem pembuangan yang berupa saluran air alami atau buatan yang terletak di luar wilayah irigasi Subak untuk membuang kelebihan air. Menurut sistem distribusi (pembagian) air, sesukat sawah memperoleh satu tektek bila sawah itu menggunakan bibit satu tenah.
Mitos tentang PadiMenurut legenda, pada awalnya orang-orang Bali hanya minum air tebu sebagai makanan
mereka. Karena merasa kasihan terhadap ras manusia, dewa lelaki kesuburan dan air, Wisnu, Penguasa Pluto dan Dunia Bawah Tanah, datang menyamar ke muka bumi untuk menyediakan makanan yang lebih baik bagi mereka. Dewa Wisnu memaksa Ibu Bumi yang ogah-ogahan untuk menyuburkan tanah dan melahirkan padi dan beliau dikenal sebagai Sang Hyang Pertiwi, Nenek Tercinta. Kemudian Dewa Wisnu menyatakan perang dengan Dewa Indra, Penguasa Surga, untuk membujuknya mengajari manusia bagaimana cara menanam padi. Karena padi adalah sumber utama kehidupan, kekayaan serta anugrah dewata; padi dilahirkan dari kesatuan sinar kosmis dari lelaki dewata dan kekuatan kreatif perempuan yang diwakili di muka bumi dan air.
Analisis Data secara KuantitatifTingkat pengetahuan dan pemahaman khazanah leksikon persawahan pada generasi tua
dan muda di Desa Jatiluwih dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:Kategori Generasi Muda Generasi Tua
(56-80 tahun)Usia belum produktif(8-14 tahun)
Usia produktif(15-55 tahun)
Jumlah responden dalam persen (%)A B C D A B C D A B C D
Keterangan tabel:(A) Mengetahui, memahami dan mengakrabi leksikon persawahan tersebut(B) Mengetahui dan memahami, tetapi tidak mengakrabi leksikon persawahan tersebut(C) Mengetahui, tapi tidak memahami dan tidak mengakrabi leksikon persawahan tersebut(D) Tidak mengetahui, tidak memahami, dan tidak mengakrabi leksikon persawahan tersebut
Berdasarkan data di atas, khazanah leksikon persawahan yang sudah pasif adalah gergaji penebih, gergaji pengeleng, janggi, kejen, ketungan, lu, kiskis, lobakan, penasih, besek, telepus, tika, wurak sedangkan leksikon persawahan lainnya masih aktif.
Faktor-faktor yang memengaruhi dinamika pengetahuan khazanah leksikon persawahan pada generasi tua ke generasi muda di Desa Jatiluwih dijelaskan berikut ini.
a) Walaupun banyak generasi muda yang pindah ke luar desa mereka, baik untuk bekerja atau belajar, mereka setidaknya pernah terlibat dalam kegiatan bertani sehingga tingkat pengetahuan khazanah leksikon persawahan mereka tergolong cukup baik.
b) Tingkat pengetahuan generasi muda tentang upacara keagaamaan yang umumnya dilakukan oleh para petani di sawah tergolong cukup baik karena hal ini merupakan bagian dari adat istiadat mereka.
c) Generasi muda cenderung tidak mengetahui alat-alat pertanian tradisional karena alat-alat tersebut telah digantikan dengan alat-alat pertanian yang lebih modern dan canggih, seperti traktor dan mesin penggilingan padi.
d) Tingkat pengetahuan generasi muda tentang keberagaman binatang dan hewan yang hidup di sawah cukup baik. Binatang dan hewan yang hidup di sawah masih mudah ditemukan di Desa Jatiluwih karena lahan pertanian (sawah) di sana masih terjaga.Lahan pertanian (sawah) di Desa Jatiluwih masih terjaga karena adanya Perda Bupati yang menetapkan kawasan sawah di Desa Jatiluwih sebagai sawah abadi; adanya Rencana Daerah Tata Ruang (RDTR) yang mengatur tata letak persawahan dan bangunan lainnya; adanya ketentuan Jalur Hijau di setiap kawasan di Bali dan di Kabupaten Tabanan kawasan Jatiluwih telah ditetapkan sebagai jalur hijau; Desa Jatiluwih telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tanggal 29 Juni 2012.
SIMPULANLeksikon-leksikon persawahan yang ada di Desa Jatiluwih merepresentasikan khazanah verbal masyarakat setempat yang menunjukkan pengalaman dan pengetahuan masyarakat mengenai keanekaragaman hayati, pengalaman serta hasil interaksi, interrelasi dan interdepedensi masyarakat dengan lingkungan alam sekitar mereka. Dari segi linguistik, jenis leksikon tersebut terdiri dari kategori verba, nomina dan ajektiva. Melalui penelitian ditemukan 245 leksikon persawahan. Generasi tua memahami dengan sangat baik seluruh leksikon tersebut dan hanya 6% dari data tersebut tergolong leksikon pasif sedangkan generasi muda memiliki pengetahuan yang cukup baik. Banyak leksikon persawahan di Desa Jatiluwih yang masih bertahan karena adanya Perda Bupati yang menetapkan kawasan persawahan di desa Jatiluwih sebagai Sawah Abadi, adanya RDTR, ditetapkan sebagai Jalur Hijau, dan sebagai Warisan Budaya Dunia ditetapkan oleh UNESCO.
DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan. 2011. Statistika Daerah Kecamatan Penebel 2011.
Fiil, Alwin, Peter Mu ̈�hlha � usler, Eds. 2001. The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology, and Environment. London dan New York: Continuum
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Mbete, Aron Meko, I Nyoman Suparwa, Anak Agung Putu Putra. 2013. Laporan Penelitian:
Khazanah Verbal Kepadian Sebagai Representasi Pengetahuan Lokal, Fungsi Pemeliharaan, dan Pelestarian Lingkungan dalam Komunitas Bahasa Wajewa dan Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya. Denpasar: Universitas Udayana
Mbete, Aron Meko. 2009. Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif: Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009. Denpasar: Universitas Udayana.
Mbete, Aron Meko. 2013. Cuplikan Definisi dan Kerangka Teoritik Ekolinguistik. Denpasar: Universitas Udayana.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.Prasetyo, B. Arif. 2010. Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Denpasar: Pustaka Larasang.Situs Resmi Kabupaten Tabanan. 2012. Kawasan Jatiluwih Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya
Dunia. Diakses dari: http://tabanankab.go.id/berita/budaya-pariwisata/1695-kawasan-jatiluwih-ditetapkan-sebagai-warisan-budaya-dunia.
Situs Resmi Kecamatan Penebel. 2013. Desa Jatiluwih. Diakses dari: http://penebel.tabanankab.go.id/desa-jatiluwih/.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Museum Subak Sanggulan. 2011. Museum Subak. Tabanan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan.