BAB I PENGANTAR GEOLOGI TEKNIK 1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Geologi Teknik Geologi Teknik adalah ilmu yang mempelajari atau mengkaji gejala geologi dari aspek kekuatan dan/atau kelemahan geologi untuk keperluan pembangunan infrastruktur atau diterapkan pada tahap desain (tahap pra-konstruksi) dan tahap konstruksi bangunan - bangunan. Ruang lingkup kajian geologi teknik antara lain meliputi kajian terhadap aspek-aspek keteknikan dari manfaat dan masalah beberapa factor seperti: batuan/tanah, struktur geologi/tektonik maupun geomorfologi. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENGANTAR GEOLOGI TEKNIK
1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Geologi Teknik
Geologi Teknik adalah ilmu yang mempelajari atau mengkaji gejala
geologi dari aspek kekuatan dan/atau kelemahan geologi untuk keperluan
pembangunan infrastruktur atau diterapkan pada tahap desain (tahap pra-
konstruksi) dan tahap konstruksi bangunan - bangunan.
Ruang lingkup kajian geologi teknik antara lain meliputi kajian terhadap
aspek-aspek keteknikan dari manfaat dan masalah beberapa factor seperti:
batuan/tanah, struktur geologi/tektonik maupun geomorfologi.
Gambar 1.1. Hubungan geologi teknik dengan disiplin ilmu lain.
1
1.2. Batuan dan Tanah
Kulit bumi tersusun oleh batuan dan tanah. Batuan merupakan agregat
mineral yang diikat oleh gaya-gaya kohesif yang permanen dan kuat. Tanah
adalah kumpulan agregat mineral alami yang dapat dipisahkan oleh adukan secara
mekanika dalam air.
Batuan dan tanah mempunyai perbedaan. Menurut Shower & Shower
(1967), batuan dan tanah dibedakan dalam beberapa hal, yaitu:
a. Batuan merupakan material kerak bumi yang terdiri atas mineral
f = gaya friksi tanah terhadap selubung konus (kg/cm2)
qt /qf = jumlah perlawanan (kg/cm2)
faktor alat = luas konus (standar) = 10 cm
tahap pembacaan = 20 cm
Local Friction=qt−qc10
31
Friction Ratio= Local frictionConus resistance
X 100 %
2. Grafik yang dibuat antara lain : perlawanan penetrasi konus (qc) pada setiap
kedalaman dan jumlah hambatan pelekat/ Total Friction (TF) pada setiap
kedalaman.
Total Friction (kumulatif )=HL1+HL0
Gambar 5.3. Grafik hasil percobaan sondir (Wesley, 1977)
Hasil grafik yang dihasilkan pada Cone Penetration Test, terlihat ada grafik
yang berbentuk zig-zag pada kedalaman tertentu dan ada grafik yang lebih lembut
(smooth) pada kedalaman tertentu, hal ini menggambarkan jenis tanah yang ada pada
32
kedalaman tersebut. Jika terlihat grafik berbentuk zig-zag maka jenis tanah tersebut
lebih condong ke jenis tanah pasir, tetapi jika grafik lebih membentuk garis yang
lebih lembut, hal ini menunjukkan pada kedalaman tersebut jenis tanah lebih
cenderung ke jenis tanah lempung, hal ini disebabkan karena partikel pada pasir lebih
besar daripada lempung
5.2.4. Hubungan Empiris Kekuatan Tanah Berdasarkan Uji Sondir
Harga perlawanan konus hasil uji penetrasi sondir pada lapisan tanah/batuan
dapat dihubungkan secara empiris dengan kekuatannya. Pada tanah berbutir halus
(lempung – lanau), dapat ditentukan tingkat kekerasan relatifnya. Sedangkan pada
tanah berbutir kasar (pasir – gravel), dapat ditentukan tingkat kepadatan relatifnya.
Tabel 5.1. Konsistensi tanah lempung berdasarkan hasil sondir
(Terzaghi dan Peck, 1948)
KonsistensiConus Resistance
(qc) Kg/cm2
Friction Ratio
(FR) %
Sangat Lunak/ very soft
Lunak/ soft
Teguh/ firm
Kaku/ stiff
Sangat kaku/ very stiff
Keras/ hard
< 5
5 – 10
10 – 35
30 – 60
60 – 120
> 120
3.5
3.5
4.0
4.0
6.0
6.0
Tabel 5.2. Kepadatan lapisan tanah berdasarkan hasil sondir
(Terzaghi dan Peck, 1948)
KonsistensiConus Resistance
(qc) Kg/cm2
Friction Ratio
(FR) %
Sangat Lepas/ very loose
Lepas/ loose
Setengah lepas/ medium
Padat/ dense
< 20
20 - 40
40 - 120
120 - 200
2.0
2.0
2.0
4.0
33
Sangat padat/ very dense > 200 4.0
5.2. Standard Penetration Test (SPT)
Uji SPT dilakukan untuk mengetaui persebaran sifat fisik berupa kekuatan
batuan, secara vertical dan horizontal. Uji SPT dilakukan sewaktu dilakukan pengeboran
inti pada lapisan tanah yang diuji, mata bor dilepas dan diganti dengan suatu alat yang
disebut standard split barrel sampler. Kemudian, pipa bor diturunkan kembali sampai alat
tersebut menumpu lapisan tanah yang akan diuji.
Di atas ujung pipa bor, yang berada di permukaan tanah, dipasang pemberat
seberat 63,5 kg yang digantung pada sebuah kerekan. Pemberat ini ditarik naik – turun
dengan tinggi jatuh 76 cm. Sesudah suatu permukaan awal sedalam 15 cm, jumlah
pukulan untuk setiap penurunan split barrel sampler sebesar 30,5 cm (1 ft) dihitung. Nilai
N didefinisikan sebagai jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk penetrasi silinder split
barrel sampler sedalam 30,5 cm pada setiap pengujian. Jumlah pukulan dihubungkan
secara empiris dengan kerapatan relatif d tanah pasir.
Prosedur pengujian SPT adalah sebagai berikut :
1. Dasar lubang diusahakan bersih dari serpihan tanah.
2. Ujung tabung SPT diletakkan di dasar lubang yang di test, dan pekerjaan SPT di
mulai.
3. Hammer di tarik ke atas dengan sling baja dengan bantuan winch yang menyatu
dengan mesin bor. Setelah jarak dasar hammer dan muka landasan mencapai 75
cm, hammer dijatuhkan bebas. Karena tumbukkan hammer, tabung SPT akan
menusuk dasar lubang. Sejumlah tumbukkan SPT menusuk tanah dasar bor
sedalam 15 cm.
4. Bacaan pekerjaan SPT dihentikan bila :
a. Total tusukkan mencapai 3 x 15 cm (45 cm), atau
b. Total jumlah tumbukkan telah lebih dari 60 tumbuk walaupun kedalaman
tusukkan kurang dari 45 cm (bahkan hanya beberapa mm saja); ini artinya
lapis tanah dasar lubang sangat keras, yang bisa berupa batu atau pun
34
sedimentary rock. Data SPT yang dilaporkan adalah N = (N2 + N3)
tumbukkan/30 cm; atau N = 60 tumbuk/30 cm
Catatan :
- Jumlah tumbukkan petama, N1 tidak diperhitungkan karena dianggap bacaan tidak
benar/flas reading;
- Bila tiga kali (3R) bacaan SPT secara berurutan memperoleh nilai N ≥ 60
tumbuk/… cm, maka lapis tanah setebal dua (2) jarak test SPT dikatakan sangat
keras.
Jumlah pukulan N (blow count) memberikan sebuah petunjuk tentang kepadatan
relatif dari pasir atau kerikil, atau tentang hambatan jenis tanah lainnya terhadap penetrasi.
Uji ini dapat pula kita gunakan pada batuan lunak, atau pada zona pelapukan dari batuan
(Humaryono, 2001). Sebagaimana uji sondir, hasil angka dari uji ini digunakan untuk
mengetahui konsistensi relative tanah/ batuan. Gunakan tingkat kekerasan pada tanah
berbutir halus; dan tingkat kepadatan pada tanah berbutir kasar.
Tabel 5.3. Tingkat kekerasan tanah berbutir halus (SNI 03 – 2436 – 1991, 2006)
Tingkat kekerasan Nilai N SPT Kriteria
Sangat Lunak <2 Keluar diantara jari bila ditekan
Lunak 2-4 Mudah dibentuk dengan tekanan jari yang
rendah
Teguh 4-8 Dapat ditekan dengan ekanan jari yang kuat
Sangat Teguh 8-15 Membekas bila ditekan dengan ibu jari
Keras 15-30 Membekas bila ditekan dengan kuku ibu jari
Sangat Keras >30 Sulit untuk memperoleh bekas bila ditekan
dengan kuku ibu jari
Tabel 5.4. Tingkat kepadatan relatif tanah berbutir kasar (SNI 03 – 2436 – 1991, 2006)
35
Nilai N SPT Kriteria
<4 Sangat Urai
4-10 Urai
10-30 Agak Padat
30-50 Padat
>50 Sangat Padat
Gambar 5.3 Skema Peralatan Pengujian Penetrasi (SPT) (Wesley, 1977)
Uji SPT di dalam tanah kerikil atau tanah pasir yang berkerikil harus dianalisis hati
– hati, karena bila alat mendorong sekelompok kerikil, akan berakibat jumlah pikiran yang
lebih banyak. Umumnya dilakukan hitungan rata – rata statistik dari lapisan pada
kedalaman yang sama, pada tiap – tiap titik pengujian. Dari hasil yang diperoleh, dapat
ditentukan jumlah pukulan yang dianggap benar, yang selanjutnya akan dipergunakan
dalam perancangan.
36
Hasil uji SPT adalah grafik fungsi kedalaman terhadap nilai SPT. Tiap grafik dapat
dikorelasikan dengan penampang litologi hasil pemboran inti, untuk menentukan jenis
tanahnya.
37
BAB VI
UJI PERMEABILITAS
Menurut Darcy, permeabilitas adalah jumlah air yang merembes melalui tanah
dalam satuan waktu tertentu. Hukum Darcy:
Q = k x i x A x t
Keterangan:
Q = Debit dalam satuan waktu t
k = koefisien kelulusan air
i = gradient hidraulik
A = luas penampang aliran
6.1. Metode Uji Permeabilitas
Uji permeabilitas di dalam lubang bor ada beberapa macam diantaranya adalah :
6.1.1. Circulation Test
Circulation test dilakukan di laboratorium dengan instrument khusus, terdiri dari
dua metode, yaitu:
1. Constant Head
Cara kerja metode ini adalah:
Tabung berisi air selalu mendapat tambahan air lewat kran, dan dijaga agar
ketinggian permukaan air senantiasa tetap.
Tabung berisi contoh batuan atau tanah dengan luas penampang A dan panjang
contoh L, bagian atas dan bawahnya ditutup suatu lempeng yang berpori.
Tabung penampung air digunakan untuk mengukur volume air yang tertampung
(Q) dalam waktu tertentu (t)
38
Gambar 6.1. Skema uji constant head (Wesley, 1977)
Perhitungan permeabilitas menggunakan rumus di bawah ini:
Keterangan:
k = koefisien kelulusan air (cm/dtk)
Q = jumlah air tertampung
L = panjang contoh tanah/ batuan
A = luas penampang contoh
h = beda tinggi konstan (lihat gambar 6.1.)
t = waktu pengukuran
2. Falling Head
Lubang bor di isi air sampai penuh. Air dibiarkan turun kemudian di isi lagi
berulang-ulang sampai kelihatan lapisan tanah yang di uji jenuh air. Lubang di isi
penuh air lagi dan penurunan muka air di ukur dari waktu ke waktu sebagai data
untuk menghitung harga permeabilitas lapisan tanah/batuan yang di uji.
39
Gambar 6.2. Skema uji falling head (Wesley, 1977)
Perhitungan permeabilitas menggunakan rumus di bawah ini:
Keterangan:
k = koefisien kelulusan air (cm/dtk)
L = panjang contoh tanah/ batuan
a = luas pipa
A = luas penampang contoh
h0,1 = beda tinggi (lihat gambar 5.2.)
6.1.2. Packer Test
Pengujian dilakukan pada lubang bor menggunakan tekanan dari air yang
dipompakan ke dalam lubang bor. Untuk menyekat zona yang diuji menggunakan karet
packer yang dapat dikembangkan dengan dongkrak atau dengan pemompaan bisa juga
secara hidrolis. Pengujian di tengah-tengah lubang bor dapat menggunakan double packer
menggunakan dua karet packer sebagai penyekat di bagian atas dan bawah zona yang di
uji (Dwiyanto J.S., 2005)
Rumus yang digunakan dalam perhitungan harga permeabilitas (k) tergantung pada
panjang bagian tanah atau batuan yang diuji (L), sebagai berikut:40
a. Untuk L ≥ 10r (r = jari-jari lubang bor), digunakan persamaan :
k = Q2 π L h
In ( Lr )
b. Untuk 10r > L ≥ r, digunakan persamaan
k = Q2 π L h
sinh−1 ( L2r )
Dimana :
k = harga permeabilitas, (cm/detik);
Q = debit air yang masuk, (cm3/detik);
L = panjang lubang bor yang diuji, (cm);
r = jari-jari lubang bor (cm);
h = hp + hs, (cm);
(hp adalah tinggi air yang diperoleh dari konversi pembacaan manometer dan hs
adalah tinggi tekanan air);
Catatan : Untuk kondisi artesis dimana muka air tanah berada di atas kedudukan
manometer, hs diperhitungkan negatif.
Gambar 6.3. Rangkaian instalasi uji permeabilitas (Anonim, 1991)
41
Gambar 6.4. Uji permeabilitas bertekanan (Anonim, 1991)
6.2. Lugeon Unit
Dari uji permeabilitas di dapat harga lugeon unit (Lu) yang didapatkan dengan
rumus :
Lu = 10 . QH . L
Dimana :
Lu = Lugeon unit (liter/m/menit)
Q = Debit air yang masuk (liter/menit)
H = Tekanan total (meter) H = h1 +h2 + h3
L = Panjang zona yang diuji (m)
42
Besarnya harga Lugeon unit ini yang dapat digunakan sebagi batasan
dilaksanakannya grouting. Besarnya batasan ini sangat tergantung dari tipe bangunan air
yang dibuat.
Pengujian permeabilitas dilakukan dengan dua tipe pelaksanaan yaitu :
1. Tipe A, dilaksanakan dengan satu tekanan sebesar P selama 10 menit.
2. Tipe B, dilaksanakan dengan lima kali perubahan tekanan dengan urutan sebagai
berikut :
1/3 P = tekanan minimum selama 10 menit
2/3 P = tekanan menengah selama 10 menit
P = tekanan maksimum selama 10 menit
2/3 P = tekanan menengah selama 10 menit
1/3 P = tekanan minimum selama 10 menit
Pengujian permeabilitas pada primary holes, secondary holes, tertiary holes
tipe tekanan yang digunakan tipe A. Dari hasil pengujian permeabilitas di hitung
harga lugeon unit serta harga permeabilitas. Untuk pengujian permeabilitas dengan
tipe B yang dipilih mengikuti “Construction and Design of Cement Grouting A
Guide to Grouting in Rock Foundation, A.C. Houlsby (Wiley Interscience
Publication)”.
Tabel 6.1. Derajat permeabilitas menurut Trask, 1950 (dalam Soedibyo, 1993)
Koefisien Permeabilitas (K)
(cm/detik)Derajat Permeabilitas
K > 5,0 x 10-2 Sangat lulus air
5,0 x 10-3 < K < 5,0 x 10-2 Lulus air
5,0 x 10-4 < K < 5,0 x 10-3 Setengah lulus air
5,0 x 10-5 < K < 5,0 x 10-4 Setengah tidak lulus air
K > 5,0 x 10-5 Tidak lulus air
43
Tabel 6.2. Penentuan jenis aliran dan nilai Lugeon
(Houlsby, A.C., 1976; dalam Dwiyanto J.S., 2005)
44
BAB VII
SEMENTASI/ GROUTING
7.1. Pengertian Sementasi (Grouting)
Menurut konsultan boring dan grouting pada bendungan Gonggang (2005) di
dalam bukunya ”Pedoman Grouting Bendungan”, grouting adalah penyuntikan bahan
semi kental (slurry material) ke dalam tanah/batuan dengan bertekanan melalui lubang
bor, dengan tujuan menutup diskontinuitas terbuka, rongga-rongga dan lubang-lubang
pada lapisan yang dituju dan bahan tersebut akan mengeras di dalam.
Di Indonesia mengenal grouting tercatat pada proyek bendungan pampasan
Jepang, yaitu Bendungan K-3 (Karangkates, Kali Konto dan Riam Kanan) pada tahun
1962. Bendungan besar buatan zaman Belanda dan diawal Republik Indonesia, seperti
Penjalin, Malahayu, Prijetan, Cacaban, Darma dan Pacal dirancang tanpa perbaikan
pondasi dengan grouting karena berdiri pada pondasi yang sudah kokoh dan kedap. Seperti
halnya bendungan Jatiluhur merupakan bendungan besar di Indonesia yang dibangun
tahun 1958, tanpa perbaikan pondasi dengan grouting karena tapak bendungan berada
pada formasi batu lempung yang kedap dan berstruktur geologi sinklinorium yang stabil.
7.2. Tipe – Tipe Grouting
Bermacam-macam manfaat grouting telah dibuktikan secara sukses
diantaranya untuk memperkecil rembesan air dalam tanah, memperkuat kondisi batuan,
menambah kepadatan batuan, mempererat hubungan antara bangunan dan batuan serta
mengisi rongga-rongga antara bangunan terowongan dan batuan. Manfaat tadi seringkali
tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi dapat juga dikombinasikan.
Menurut Pangesti (2005), fungsi grouting di dalam tanah atau batuan dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Penetrasi atau Penembusan (permeation/penetration)
Grouting mengalir ke dalam rongga tanah dan lapisan tipis batuan dengan pengaruh
minimum terhadap struktur asli.
b. Kompaksi atau Pemadatan (compaction/controlled displacement)
Material grouting dengan konsistensi sangat kental dipompakan ke dalam tanah
sehingga mendorong dan memadatkan.45
c. Rekah Hidrolik (hydraulic fracturing)
Apabila tekanan grouting lebih besar dari kuat tarik batuan atau tanah yang di
grouting, akhirnya material pecah dan grouting dengan cepat menembus zona rekahan.
Gambar 7.1. Berbagai fungsi sementasi pada tanah dan batuan (Pangesti, 2005)
Manfaat dari pekerjaan grouting antara lain adalah sebagai berikut :
a. Menahan aliran air dan mengurangi rembesan
b. Menguatkan tanah dan batuan
c. Mengisi rongga dan celah pada tanah dan batuan sehingga menjadi padat
d. Memperbaiki kerusakan struktur
e. Meningkatkan kemampuan anchor dan tiang pancang
f. Menghindarkan dari material fluida yang dapat merusak tanah atau batuan
Menurut Kadar Budiyanto tahun 2000 di dalam bukunya “Pelaksanaan
Grouting Bendungan Sangiran, Ngawi , Jawa Timur”, berdasarkan tujuannya, tipe
grouting dapat dibedakan menjadi :
a. Sementasi Tirai (Curtain Grouting)
Sesuai dengan namanya sebagai konstruksi penyekat atau tabir, berfungsi
sebagai penghalang (cut-off atau barrier) dari rembesan air dalam pondasi
bendungan yang cenderung membesar atau bocor. Tujuan utama dari grouting ini
adalah membentuk lapisan vertikal kedap di bawah permukaan, disamping juga
untuk menambah kekuatan pondasi bendungan.
46
b. Sementasi Selimut (Blanket Grouting)
Blanket grouting dilaksanakan bersamaan atau sebelum grouting tirai, hal
ini tergantung dari keadaan geologi setempat. Tujuan dari blanket grouting adalah
untuk memperbaiki lapisan permukaan tanah atau batuan pondasi yang langsung
berhubungan dengan inti (core). Disamping itu untuk melindungi grouting tirai
yang langsung berhubungan dengan seepage water.
c. Sementasi Konsolidasi (Consolidation Grouting)
Fungsi utama dari grouting konsolidasi adalah sama dengan blanket
grouting bahkan dalam beberapa buku konsolidasi juga disebut sebagai blanket
grouting. Selain itu fungsi konsolidasi grouting adalah untuk perbaikan kondisi
fisik perlapisan tanah permukaan, karena ada kemungkinan permukaan tanahnya
retak atau jelek. Fungsi lain grouting konsolidasi adalah untuk menyeragamkan dan
menguatkan permukaan pondasi bendungan, struktur atau untuk menyelubungi
terowongan.
d. Sementasi Kontak (Contact Grouting)
Fungsi dari grouting kontak adalah untuk menghubungkan antara lapisan
lama dengan lapisan yang baru. Jadi antara lapisan yang sejenis maupun yang
berbeda juga bisa, misalnya pada bendungan di bawah concrete pad. Disini
dilakukan grouting kontak untuk menghubungkan antar pemukaan river bed
dengan lapisan concrete. Pada kondisi lain dapat juga dilakukan grouting kontak
antara struktur concrete lining terowongan, besi penyangga dengan batuan atau
lapisan beton yang rusak.
e. Sementasi Semprot (Slush Grouting)
Untuk menutup permukaan pondasi bendungan, waduk atau struktur dengan
tujuan mencegah kebocoran pada kontak antara pondasi dan material pondasi di
atasnya dengan cara menyemprotkan semen atau mortar pada permukaan batuan
pondasi untuk menutup celah, kekar atau rongga. Pemakaian bahan grout halus
dikenal dengan guniting dan grout kasar dikenal sebagai shotcreting.
f. Cavity Grouting
Grouting ini digunakan untuk mengisi lubang atau celah antara struktur
concrete dengan batuan atau lining terowongan dengan batuan.
47
g. Sementasi Cincin (Ring/Radial Grouting)
Pada prinsipnya sama dengan grouting tirai yaitu dengan membuat lapisan
yang kedap air, tetapi dilaksanakan pada terowongan.
7.3. Pertimbangan Geologi Dalam Pelaksanaan Grouting
Dalam hal perencanaan grouting, harus memahami secara rinci informasi
geologi lokal dari lokasi yang akan dikerjakan, misalnya untuk rencana tapak bendungan
(damsite). Berbagai informasi geologi diantaranya jenis batuan, apakah seluruhnya
seragam batuan beku atau campuran batuan sedimen dan metamorf. Bagaimana
penyebarannya secara horisontal maupun vertikal, berapa ketebalan dan posisi pelapisan
batuannya. Kemudian bagaimana sifat keteknikannya (engineering properties), baik dalam
sifat utuh (intact properties) maupun sifat massa (properties) secara kualitatif maupun
kuantitatif.
1. Pertimbangan Struktur Geologi
Beberapa struktur geologi yang perlu dicermati dalam perencanaan
grouting, diantaranya adalah kekar, sesar, patahan, dan ketidakselarasan. Kekar dapat
berkembang menjadi retakan, hancuran, bahkan rongga. Maka perlu diketahui arah
dan persebarannya, untuk mengetahui zona yang lolos air.
Posisi arah dan kemiringan lipatan mempengaruhi kecenderungan dari
rembesan maupun kebocoran. Penampang memanjang tubuh bendungan yang
bertumpu pada lipatan yang miring ke hilir rawan terhadap kebocoran sehingga
harus dibuat tabir kedap air diantaranya harus digrouting tirai (curtain grouting).
Sesar dalam berbagai ragam wujudnya dan dimensinya merupakan zona lemah
(weak zone) apabila dijumpai dalam pondasi konstruksi. Ketidakselarasan pada
pondasi bendungan sering menjadi zona lemah (weak zone), baik dari aspek daya
dukung maupun kekedapan.
2. Pertimbangan Diskontinuitas Batuan
Dalam perencanaan grouting untuk pondasi batuan evaluasi sifat batuan
sebagai individu titik grout, grup titik grout maupun zona grout harus dilakukan,
diantaranya bagaimana spasi kekar terbuka, ukuran, arah, kekuatan dan kekerasan
batuan yang terkekarkan. Pada kondisi ekstrim misalnya, bukaan kekar sangat lebar
48
dan spasinya rapat, maka akan semakin banyak dibutuhkan titik injeksi.Arah dari
kekar terbuka akan mempengaruhi orientasi lubang grouting dan menyebabkan
kemungkinan pergerakan batuan selama grouting. Kekar dengan kemiringan 30
hingga 60o mudah dipotong oleh lubang vertikal dan tidak mungkin bergerak
dibanding yang hampir horisontal atau mendekati vertikal. Bertambahnya arah kekar
terbuka juga mempengaruhi teknik grouting termasuk pengaturan tekanan grouting.
49
Gambar 7.2. Kondisi ekstrim yang biasanya membantu dan menyulitkan grouting
(Baker, H., 1982 dengan modifikasi)
7.4. Tata Cara Pelaksanaan Grouting
7.4.1. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan grouting diantaranya adalah :
a. Mesin Bor, digunakan untuk membuat lubang bor pada tanah/batuan yang akan
digrouting.
b. Pompa Tekan, digunakan untuk sirkulasi air dalam pelaksanaan pemboran.50
c. Mixer, digunakan untuk mengaduk dan mencampur bahan grouting.
d. Pompa Grouting, digunakan untuk memompakan bahan grouting ke dalam
lubang bor.
e. Pompa Supply, digunakan untuk supply air dalam pelaksanaan grouting.
f. By Pass, digunakan untuk mengatur tekanan grouting.
g. Packer, sebagai penyekat tiap-tiap stage dalam pelaksanaan grouting.
h. Corong, sebagai media masuknya bahan grouting dari mixer ke pompa
grouting. Corong digunakan juga sebagai alat pengukur volume bahan grouting
yang masuk ke dalam lapisan tanah/batuan.
7.4.2. Bahan Grouting
Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan grouting antara lain :
Semen dan air (+ bentonit)
Lempung
Campuran lempung dan gamping
Bahan kimia
Polimer
Untuk pekerjaan filling grouting bahan yang digunakan terdiri dari campuran
semen + bentonit + pasir + serbuk aluminium + air. Serbuk aluminium berguna untuk
mengurangi penyusutan pada saat bahan grouting membeku. Sedangkan bentonit berfungsi
sebagai additive, agar jangkauan grouting menjadi lebih luas.
7.4.3. Alur Kerja
Alur kerja dalam pelaksanaan grouting adalah sebagai berikut :
a. Persiapan
Pekerjaan persiapan, meliputi :
Pembuatan andang, digunakan untuk pelaksanaan pemboran (jika
diperlukan)
Pembuatan mixing plant, digunakan untuk tumpuan pencampuran bahan
grouting. Dibuat cukup luas untuk menaruh semen dan ruang kerja dalam
pelaksanaan pencampuran. Diberi atap atau tenda agar aman terhadap
hujan.
51
b. Pemboran
Lubang bor berguna sebagai media untuk memompakan bahan grouting
ke dalam tanah/batuan.
c. Pencucian lubang bor
Setelah pemboran selesai, lubnag bor dibersihkan dengan air pembilas
sampai bersih.
d. Pengujian permeabilitas (permeability test)
Uji permeabilitas akan mendapatkan harga lugeon unit (Lu) dan harga
koefisien permeabilitas (K) yang nantinya akan menentukan besarnya tekanan
dan perbandingan campuran bahan grouting.
e. Grouting
Dalam menginjeksikan campuran grouting ke dalam lubang bor dengan
bahan semen dan air, perbandingan campuran disesuaikan dengan kondisi
kelulusan tanah/batuannya. Ada dua macam sistem injeksi:
Sistem sirkulasi,
Sistem grouting ini sirkulasinya tetap dari agitator dan kembali lagi ke
agitator.
Gambar 7.7. Sistem injeksi grouting sirkulasi (James Warner, 2005)
Sistem langsung,
Hanya terdiri dari garis grouting tunggal yang langsung dari pompa ke
lubang grouting.
52
Gambar 7.8. Sistem injeksi langsung (James Warner, 2005)
Pekerjaan injeksi biasanya dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahapan
tersebut dapa dilakukan dari atas ke bawah (metoda downstage) atau dari bawah ke
atas (metoda upstage).
Metoda downstage
Lubang grouting dibor lebih dulu setiap 5 m, kemudian diadakan
pembersihan lubang dengan air sampai bersih. Lalu diadakan sementasi
sepanjang 5 m tadi sampai selesai. Sesudah bagian 1 selesai digrouting,
mesin pengeboran diletakkan di tempat semula, lalu diadakan pengeboran
lagi (redrilling) sampai kedalaman 10 m. Prosedur diulang kembali,
dibersihkan dengan air dan digrouting dari kedalaman 5 sampai 10 m, dst.
Metoda upstage
Lubang grouting dibor sampai mencapai kedalaman yang telah ditentukan.
Kemudian pasang packer di dalam lubang bor. Sesudah packer dipasang
maka grouting dapat dimulai dengan tekanan cukup tinggi. Sesudah selesai
bagian 1, packer ditarik ke atas kemudian grouting dilaksanakan lagi
sehingga bagian 2 penuh dengan bubur semen (campuran grouting)
seluruhnya, dst.
Setelah pelaksanaan uji permeabilitas selesai dilaksanakan, akan diketahui
nilai lugeon. Nilai tersebut digunakan untuk menentukan perlu tidaknya grouting
dilaksanakan, serta berapa komposisi campuran awal yang akan diinjeksikan.
53
Dalam hal ini, grouting dilaksanakan jika nilai lugeon lebih dari 5, sebaliknya jika
nilai lugeon kurang dari 5 maka tidak perlu dilakukan grouting. Untuk penentuan
campurannya, dapat digunakan standar acuan sebagai berikut:
Jika nilai lugeon 5 - 20 maka campuran awal semen : air = 1 : 5
Jika nilai lugeon lebih dari 20 maka campuran awal semen : air = 1 : 3
Penggunaan campuran awal disesuaikan hasil dari pengujian permeabilitas.
Pengentalan campuran injeksi pada prinsipnya dilakukan apabila penetrasi
campuran masih cukup besar dalam satuan waktu. Untuk batuan yang sangat lulus
air dapat menggunakan campuran langsung kental sesuai harga lugeon unitnya.
Suyono (1977), memberikan kriteria yang ditunjukkan pada tabel 7.1.
Tabel 7.1 Kekentalan campuran semen pada saat pelaksanaan grouting (Suyono, 1977 di dalam Sudarminto, 2005)
Perbandingan Campuran
(air : semen)
Penetrasi Campuran
per 20 menit (liter)
Keterangan
Campuran
1 : 8> 700
< 700
Diubah 1 : 6
Tetap 1 : 8
1 : 6> 600
< 600
Diubah 1 : 4
Tetap 1 : 6
1 : 4> 500
< 500
Diubah 1 : 2
Tetap 1 : 4
1 : 2> 400
< 400
Diubah 1 : 1
Tetap 1 : 1
Grouting dinyatakan selesai apabila campuran semen tidak masuk lagi,
namun hal ini sangat lama sehingga diperlukan batasan, yaitu :
20 liter / 15 menit untuk tekanan < 5 kg/cm2
20 liter / 10 menit untuk tekanan antara < 5 sampai 10 kg/cm2
20 liter / 8 menit untuk tekanan > 10 kg/cm2
f. Penutupan lubang bor, setelah pelaksanaan grouting selesai kemudian
lubang bor ditutup dengan semen.
54
7.4.4. Tekanan Grouting
Menentukan tekanan grouting yang sesuai adalah salah satu pekerjaan yang
sulit, sehingga memerlukan pengalaman, keahlian dan ketelitian dari perencana maupun
pelaksananya. Apabila terlalu rendah tekanannya maka campuran semen tidak mencapai
lubang yang agak jauh yang berakibat grouting menjadi tidak efektif. Sebaliknya apabila
terlalu besar tekanannya dapat merusak struktur batuan dan material grouting dapat
mencapai daerah yang terlalu jauh, sehingga tidak efisien.
Pada waktu diadakan grouting harus disediakan alat-alat ukur (water pas)
guna mengikkuti perkembangan apakah titiknya berubah atau tetap. Tekanan grouting
tergantung pada :
a. Jenis batuan serta retakan, celah dan rekahan yang ada.
b. Berat batuan yang ada di atasnya.
c. Perbandingan air semen (water cement ratio)
d. Hasil grouting yang pernah dilaksanakan atau hasil pengujian grouting
sebelumnya.
Ada beberapa pedoman untuk penentuan besarnya tekanan grouting, salah satu
cara adalah dengan rumus :
P = 1 + 0,4 HzAtau juga menggunakan rumus :
P = 1 + k HzDimana :
P = tekanan grouting (kg/cm2)
k = konstanta besarnya berkisar 0,1 sampai 0,3
0,1 untuk tanah
0,3 untuk batuan kompak dan padat
Hz = kedalaman yang diukur dari permukaan tanah sampai setengah zona yang
digrouting
55
Gambar 7.9. Tekanan grouting (Dwiyanto J.S., 2005 dengan modifikasi)
7.4.5. Kedalaman Grouting
Selain terget kelulusan air tersebut, kedalaman grouting akan berpengaruh
terhadap rembesan air dalam pondasi. Kedalaman grouting tirai pada bendungan dapat
ditentukan dengan rumus empiris Doboku Gakkai (1973) :
d = H3
+ C
Dimana :
d = kedalaman grouting (meter)
H = head/tinggi air pada bendungan (meter)
C = konstanta dengan besaran harga 8 meter – 20 meter
Menurut Suyono (1977), kedalaman grouting perlu mempertimbangkan
kondisi geologi, kelulusan air, lebar bagian lemah dan lain-lain. Dari pengalaman,
Suyono (1977) mengemukakan rumus :
d = 0 ,29 h + 6 ,41Dimana :
d = kedalaman grouting (meter)
h = head/tinggi air pada bendungan (meter)
56
BAB VIII
PERHITUNGAN CADANGAN BAHAN BANGUNAN
8.1. Pengertian Bahan Bangunan
Bahan bangunan adalah semua bahan yang digunakan oleh teknik sipil sebagai
bahan konstruksi, misalnya batuan, plat baja, pipa, kayu/baja konstruksi dan sebagainya.
Batuan sebagai bahan bangunan berfungsi sebagai :
1. Bahan konstruksi bangunan, contohnya : Andesit, marmer, batugamping.
2. Bahan ornamentasi, contohnya : Marmer, granit.
3. Bahan dasar industri, contohnya : Marmer, gips, lempung.
Faktor penentuan pengusahaan batuan sebagai bahan bangunan :
1. Kualitas/mutu
2. Kuantitas
3. Faktor ekonomis, yaitu biaya pengambilan
8.2. Penyelidikan Sumber Bahan Bangunan
Maksud dan tujuan dari penyelidikan ini adalah untuk mengetahui sumber bahan
bangunan untuk suatu bahan kontruksi bangunan tertentu serta menentukan volumenya.
Sebelum melakukannya penyelidikan untuk mendapatkan bahan bangunan perlu
dipelajari terlebih dahulu hal-hal berikut:
1. Bahan bangunan apa yang diperlukan
2. Sifat-sifat fisik yang menjadi persyaratan
3. Pengujian-pengujian yang perlu dilakukan
4. Dalam kondisi geologi yang bagaimana diharapkan akan diperoleh cadangan bahan
bangunan yang ekonomis
Dalam mencari cadangan bahan bangunan perlu dipertimbangkan :
1. Adanya banguna yang sesuai dengan keperluan
2. Jumlah cadangan yang memadai
3. Letaknya masih efesien, ditinjau dari letak tempat paling dekat (dari jaringan
transportasi) dengan rencana konstruksi bangunan
4. Teknik pengambilan masih ekonomis (biaya pengambilan seminimal mungkin)
57
Langkah selanjutnya yaitu mempelajari peta geologi yang ada maupun
interpretasi foto udara. Jika telah diketahui tempat yang prospek dari interpretasi peta
geologi maupun foto udara, maka selanjutnya dilakukan peninjauan lapangan.
Dari sini dilakukan pemetaan geologi dengan peta dasar skala 1:1000 atau
1:1500. untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari keadaan bawah permukaan/tanah
dari cadangan bahan bangunan, maka dari hasil peta geologi dilakukan penyelidikan
geofisika, biasanya geoseismik dan ditunjang data lapangan atau dari pengeboran inti.
Jika bahan bangunan yang diselidiki memenuhi persyaratan gambaran umumnya
cukup ekonomis untuk diambil, maka selanjutnya dilakukan penelidikan yang lebih
sistematis dengan pemboran inti/dalam secara grid atau sistematk.
Untuk bahan banguan yang bersifat lepas, dapat dibuat sumur uji untuk
mengetahui keadaan bawah permukaannya.
Berdasarkan hasil penyelidikan detail yang sistematis akan didapatkan gambaran:
1. Penyebaran lateral dari bahan bangunan
2. Ketebalan dari bahan bangunan yang dapat dimanfaatkan
3. Ketebalan dari lapisan penutup
4. Teknik pengambilan
5. Bentuk dari bahan bangunan di alam
Selanjutnya untuk mempertimbangkan besarnya cadangan bahan bangunan yang
ada dilakukan perhitungan volume dari bentuk penyebarannya di alam.
8.3. Perhitungan Cadangan Bahan Bangunan
Secara umum perhitungan volume ini bentuknya berupa bangun tiga dimensi.
Jika bentuknya baik dan teratur dihitung dengan menggunakan pendekatan perhitungan
volume bangun ruang sperti kerucut, silinder atau prisma.
Untuk bentuk dike seperti prisma maka dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:
58
Gambar 8.1. Bahan bagunan dengan bentuk dike (Staff Asisten Geologi Teknik, 1999)
Vtotal=( A 1+ A 2+ A 3 ) xb6
dengan, A1, A2, dan A3 adalah luas masing-masing penampang dan b adalah kedalaman
bahan bangunan yang dimanfaatkan
Untuk cadangan bahan bangunan yang bentuknya tidak teratur, maka
perhitungannya dengan membuat secara teratur penampang tegak sejajar dengan jarak
yang sama satu dengan yang lainnya. Besarnya cadangan adalah sebagai berikut :
Gambar 8.2. Bahan bangunan dengan bentuk tidak beraturan (Staff Asisten Geologi Teknik, 1999)
59
V total = V1-2 + V2-3 + ... + Vn-1+n
V 1−2=( A+B )xd 12
V 2−3=( A+B) xd1
2
dengan, A, B, dst adalah luas penampang pada a, b, c dan seterusnya.
d1, d2 dan seterusnya adalah jarak-jarak setiap garis penampang.
Beberapa metode perhitungan bahan bangunan yang lain adalah :
1. Metode Trapeziodal
Volume total = VAB + VBC + V dan seterusnya
h = interval kontur (jarak antar segmen)
Gambar 8.3. Kenampakan sumber bangunan yang dihitung dengan metode Trapezoidal
(Staff Asisten Geologi Teknik, 1999)
2. Metode Grid
V = [(luas satuan x skala) x h]
h = interval kontur
60
Gambar 8.4. Metode grid (Staff Asisten Geologi Teknik, 1999)
Metode ini dilakukan dengan membuat grid atau persegi dengan ukuran 1 x 1 cm pada
peta yang ada dan dihitung berapa jumlah persegi tersebut.
Contoh :
Skala 1 : 25.000 dan interval kontur 12,5 m
1 cm2 : 62.500m2
Luas A = 11 satuan
= 11 x 62.500 m = Y m2
Luas B = 42 satuan
= 42 x 62.500 m = Z m2
Volume = (Y + Z) m 2 x h
2
3. Metode Poligon
Metode ini dilakukan dengan menentukan koordinat x dan y pada peta yang ada dan
kemudian dimasukkan ke dalam persamaan sebagai berikut:
Luas = ½ [∑(Xn . Yn+1) – ∑(Yn . Xn+1)]
Volume = (Y + Z) m 2 x h
2
61
Gambar 8.5. Metode polygon (Staff Asisten Geologi Teknik, 1999)
4. Metode Segmen
Metode ini dilakukan dengan membuat segmen pada peta yang ada. Segmen tersebut
dapat berupa segitiga, segilima dan lain-lain, asalkan dalam pengukurannya mudah.
Luas = (I + II + III + ... + N) x Skala peta
Volume = (Y + Z) m 2 x h
2
Gambar 8.6. Metode segmen (Staff Asisten Geologi Teknik, 1999)
62
BAB IX
GERAKAN TANAH
Gerakan tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan,
bahan timbunan, tanah atau material campuran, bergerak kearah bawah dan keluar lereng
(Varnes, 1978). Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air
yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus
sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin
dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.
9.1. Tipe Gerakan Tanah
Ada dua faktor penting di dalam menentukan tipe-tipe gerakan tanah,
yaitu: kecepatan gerakannya dan kandungan air di dalam materi yang mengalami gerakan
tanah. Tipe-tipe gerakan tanah tersebut adalah jatuhan (falls), aliran (flows), longsoran
(slides), dan amblesan (subsidence).
Gambar 9 .1. Klasifikasi gerakan tanah berdasar kecepatan dan kandungan airnya
63
Klasifikasi gerakan tanah menurut Varnes (1978), dapat dilihat pada Tabel 9.1.
berikut ini.Tabel 9.1. Klasifikasi gerakan tanah menurut Varnes (1978)
1. Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 9.2. Longsoran translasi
2. Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan pada bidang
64
JENIS GERAKAN MASSAJENIS MATERIAL
BATUAN TANAH TEKNIKButir halus Butir kasar
RUNTUHAN Runtuhan batuan Runtuhan tanah Runtuhan bahan rombakan
ROBOHAN Robohan batuan Robohan tanah Robohan bahan rombakan
LONGSORAN
ROTASI Beberapa unit
Nendatan batuan Nendatan tanah Nendatan bahan rombakan
TRANSLASI
Longsoran blok batuan
Longsoran blok tanah
Longsoran blok bahan rombakan
Banyak unit
Longsoran batuan Longsoran tanah Longsoran bahan
rombakan
PENCARAN LATERAL Pencaran batuan Pencaran tanah Pencaran bahan rombakan
ALIRAN Aliran batuan(rayapan dalam)
Aliran pasir atau lanau basah
Aliran bahan rombakan
Aliran pasir kering
Lawina bahan rombakan
Rayapan dalam Rayapan bahan rombakan
Aliran tanah Aliran blokKOMPLEKS Campuran dari dua atau lebih jenis gerakan
gelincir berbentuk cekung.
Gambar 9.3. Longsoran rotasi
3. Longsoran blok batuan
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
Gambar 9.4. Longsoran blok batuan
4. Runtuhan Batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak
ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga
meng- gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat
menyebabkan kerusakan yang parah.
Gambar 9.5. Runtuhan batuan
65
5. Rayapan Tanah
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat
dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan
tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
Gambar 9.6. Rayapan tanah
6. Aliran Bahan Rombakan
Sering disebut banjir bandang. Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa
tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng,
volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah
dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan
meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunungapi. Aliran tanah ini dapat
menelan korban cukup banyak.
Gambar 9.7. Aliran bahan rombakan
66
Longsoran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu longsoran rotasional dan
longsoran planar/translational. Longsoran rotasional inilah yang umum dijumpai,
longsoran bergerak melalui bidang rotasional yang sumbunya sejajar dengan lereng
batuan. Pada keadaan tidak terjadi longsor (gambar 4a), maka akan terjadi
keseimbangan antara driving force terhadap resisting force. Jika driving force lebih
besar dari resisting force maka terjadilah longsor dan bila longsor terjadi, maka bagian
kepala (head of slide pada gambar 4b) akan turun dan pada bagian toe akan terangkat
(gambar 4b). Setelah terjadi longsor pada kepala terbentuk cekungan, air terakumulasi
padanya dan air tersebut meresap ke dalamnya sehingga kepala menjadi tidak
stabil. Di samping itu, di atas kepala longsoran meninggalkan tebing yang
lebih curam dibanding sebelum longsor dan hal inilah yang menyebabkan longsoran
berulang kembali di tempat yang sama.
Gambar 9 .8. Analisis stabilitas lereng pada longsoran rotasional
a. Sebelum terjadi longsor, b. Setelah terjadi longsor
9.2. Faktor-Faktor Pengontrol Terjadinya Gerakan Tanah
Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah adalah suatu fenomena yang
mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak. Lereng yang berpotensi
untuk bergerak ini baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya
67
gerakan. Berikut ini adalah faktor-faktor pengontrol terjadinya gerakan tanah (Karnawati,
2005):
1. Kondisi Geomorfologi
Kondisi geomorfologi yang berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah
adalah kemiringan lereng. Semakin curam kemiringan suatu lereng akan semakin
besar gaya penggerak massa tanah penyusun lereng. Namun perlu diperhatikan tidak
semua lahan yang miring selalu rentan untuk bergerak. Jenis, struktur dan komposisi
tanah atau batuan penyusun lereng juga berperan penting dalam mengontrol terjadinya
suatu gerakan tanah.
2. Kondisi Tanah/Batuan Penyusun Lereng
Meskipun suatu lereng cukup curam, namun gerakan tanah belum tentu
terjadi bila kondisi tanah atau batuan penyusun lereng tersebut cukup kompak dan
kuat. Tanah residual hasil pelapukan batuan yang belum mengalami pergerakan
(insitu), tanah koluvial, lapisan batulempung, lapisan napal dan serpih seringkali
merupakan massa tanah yang rentan bergerak, terutama jika kemiringan lapisan
searah dengan kemiringan lereng. Bidang ketidaksinambungan merupakan kondisi
tanah atau batuan yang seringkali menjadi bidang gelincir pada suatu gerakan massa.
3. Kondisi Iklim
Temperatur dan curah hujan yang tinggi sangat mendukung terjadinya
proses pelapukan batuan pada lereng. Lereng dengan tumpukan tanah hasil pelapukan
yang tebal relatif lebih rentan terhadap gerakan tanah. Curah hujan yang tinggi atau
menengah tetapi berlangsung lama sangat berperan dalam memicu terjadinya gerakan
tanah.
4. Kondisi Hidrologi Lereng
Kondisi hidrologi pada lereng berperan dalam meningkatkan tekanan
hidroustatis air, sehingga kuat geser tanah akan sangat berkurang dan gerakan tanah
akan terjadi. Lereng yang air tanahnya dangkal, atau lereng dengan akuifer
menggantung sangat sensitif mengalami kenaikan tekanan hidroustatis apabila air
permukaan meresap ke dalam lereng. Selain itu, retakan batuan atau kekar sering pula
menjadi saluran air masuk ke dalam lereng.
5. Vegetasi dan Tata Guna Lahan68
Sering dijumpai adanya sawah, tegalan atau kolam pada lereng yang
longsor. Hal ini disebabkan karena sawah dan kolam berpotensi untuk meresapkan air
ke dalam lereng, sehingga tingkat kejenuhan dan tekanan hidroustatis dalam lereng
meningkat. Tanaman berakar serabut juga berkaitan erat dengan gerakan tanah,
karena berperan dalam menggemburkan tanah sehingga air permukaan dapat dengan
mudah meresap ke dalam lereng dan meningkatkan tekanan air dalam tanah.
Hubungan antara faktor-faktor pengontrol dengan tipe gerakan tanah menurut
Karnawati (2005), dapat dilihat pada Tabel 9.2. berikut ini.
Tabel 9.2 Faktor pengontrol gerakan massa tanah dan batuan (Karnawati, 2005)
PARAMETERRUNTUHAN,JATUHAN,ROBOHAN
LONGSORAN
RAYAPANLUNCURAN(melalui bidang
luncur lurus)
NENDATAN(melalui bidang
luncur lengkung)
Kondisi Lereng(kemiringan
lereng)
Umumnya kemiringan lereng >
400
Umumnya kemiringan lereng> 200 sampai 400
Kemiringanlereng < 200
PARAMETERRUNTUHAN,JATUHAN,ROBOHAN
LONGSORAN
RAYAPANLUNCURAN(melalui bidang
luncur lurus)
NENDATAN(melalui bidang
luncur lengkung)
Tanah/ batuan penyusun lereng
a. Massa yang bergerak
Batuan yang terpotong-potong
oleh bidang retakan atau kekar.
Umumnya berupa blok-blok batuan
1. Tanah residual
2. Endapan koluvial
3. Batuan volkanik yang lapuk
1. Tanah residual2. Endapan
koluvial3. Batuan
volkanik yang lapuk
Tanah lempung jenis smektit
(montmorilonit dan vermiculite)
b. Bidang gelincir Tanpa bidang gelincir
Kontak antara material penutup yang bersifat lepas-lepas dan lolos air dengan lapisan tanah atau batuan yang bersifat lebih kompak dan kedap air
Zona yang merupakan batas perbedaan tingkat pelapukan batuan
Bidang-bidang diskontinuitas (bidang kekar, celah atau lapisan batuan), lapisan batulempung jenis smektit (montmorilonit), lapisan batulanau, serpih dan tuf seringkali menjadi bidang gelincir gerakan
c. Massa tanah atau batuan yang tidak bergerak
Blok-blok batuan yang masih stabil
Tanah atau batuan dasar yang bersifat lebih kompak dan lebih masif, misalnya batuan dasar berupa breksi andesit dan
andesit
69
Kondisi Geologi
a. Kondisi struktur geologi pada lereng
Kekar-kekar berpasangan/
terorientasi lebih dari dua arah umum
Pada beberapa lereng, massa batuan bergerak karena kehadiran bidang kekar atau bidang perlapisan batuan yang
miring searah dengan kemiringan lereng
b. Sejarah geologi
Daerah geologi yang aktif terletak pada zona penunjaman yang mengakibatkan terbentuknya morfologi gunung, pegunungan, bukit dan perbukitan dengan lembah-
lembah yang curam serta batuan penyusun lereng terpotong oleh kekar
Iklim Dan Curah Hujan
1. Hujan dengan intensitas yang tinggi (> 2500 mm/tahun), atau hujan dengan intensitas > 70 mm/jam
2. Hujan anteseden (akumulasi hujan yang terjadi secara menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari sebelum terjadi longsor). Hujan anteseden ini tidak harus merupakan hujan deras
PARAMETERRUNTUHAN,JATUHAN,ROBOHAN
LONGSORAN
RAYAPANLUNCURAN(melalui bidang
luncur lurus)
NENDATAN(melalui bidang
luncur lengkung)
Kondisi Hidrologi Pada
Lereng
1. Airtanah dangkal atau akuifer menggantung (perched aquifer). Muka airtanah pada aquifer ini sangat sensitif untuk naik apabila air hujan meresap. Naiknya muka airtanah mengakibatkan tekanan air pori dalam tanah meningkat dan ikatan antar butir-butir tanah melemah, sehingga kekuatan massa tanah untuk melawan gerakan berkurang
2. Munculnya rembesan-rembesan atau mata air pada lereng. Rembesan dan mata air ini umumnya muncul pada zona kontak antara batuan kedap dengan massa atau lapisan tanah atau batuan yang lolos air. Zona kontak ini sering sebagai bidang gelincir gerakan
3. Pipa atau saluran-saluran alamiah yang terdapat di dalam lereng. Pipa dan saluran ini merupakan zona jenuh air yang sangat sensitif untuk meningkatkan tekanan airnya (apabila ada tambahan resapan air), sehingga mampu mendorong massa tanah untuk bergerak
Penggunaan Lahan
1. Lahan persawahan dan saluran air yang dapat mengakibatkan rembesan air ke dalam lereng. Rembesan air ini dapat melemahkan ikatan antar pertikel tanah atau batuan serta meningkatkan bobot massa tanah atau batuan pada lereng. Akibatnya kekuatan lereng untuk melawan gerakan berkurang dan gaya penggerak massa tanah dalam lereng bertambah
2. Pemukiman dengan beban konstruksi yang berlebihan3. Penambangan yang tak terkontrol
9.3. Gejala dan Pemicu Gerakan Tanah
Secara umum, gejala – gejala derakan tanah adalah sebagai berikut:
• Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.
• Biasanya terjadi setelah hujan.
• Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.
• Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.
70
Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tanah merupakan proses alamiah
atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat
proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng.
Jadi pemicu ini dapat berperan dalam mempercepat peningkatan
gaya penggerak/peluncur/driving force, mempercepat pengurangan gaya penahan
gerakan/resisting force, ataupun sekaligus mengakibat keduanya.
Secara umum ganguan yang memicu gerakan tanah dapat berupa :
a. hujan
b. getaran
c. aktivitas manusia.
Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat
bersifat alamiah (misalnya gempabumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau
getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan
pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.
Uraian lebih lanjut tentang pemicu gerakan tanah akan dibahas di sub bab-sub bab
berikut.
1. Gerakan tanah yang dipicu oleh hujan
Hujan pemicu gerakan tanah adalah hujan yang mempunyai curah tertentu dan
berlangsung selama periode waktu tertentu, sehingga air yang dicurahkannya
dapat meresap ke dalam lereng dan mendorong massa tanah untuk longsor.
Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia,
yaitu tipe hujan deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama. Tipe hujan
deras misalnya adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per jam atau lebih dari
100 mm per hari. Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada
lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air , misal pada tanah lempung
pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi pada
bulan-bulan awal musim hujan. Tipe hujan normal contohnya adalah hujan yang
kurang dari 20 mm per hari. Hujan tipe ini apabila berlangsung selama beberapa
minggu hingga beberapa bulan dapat efektif memicu longsoran pada lereng
yang tersusun oleh tanah yang lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah
lempung (Karnawati, 2000). Pada lereng ini longsoran terjadi mulai pada
pertengahan musim hujan.
71
2. Gerakan tanah yang dipicu oleh getaran
Getaran memicu longsoran dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antar butir partikel-partikel penyusun tanah/ batuan pada lereng. Jadi
getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan sekaligus mengurangi
gaya penahan.
Contoh getaran yang memicu longsoran adalah getaran gempabumi yang
diikuti dengan peristiwa liquefaction. Liquefaction terjadi apabila pada lapisan pasir
atau lempung jenuh air terjadi getaran yang periodik Pengaruh getaran tersebut
akan menyebabkan butiran-butiran pada lapisan akan saling menekan dan kandungan
airnya akan mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan di atasnya. Akibat
peristiwa tersebut lapisan di atasnya akan seperti mengambang, dan dengan adanya
getaran tersebut dapat mengakibatkan perpindahan masa di atasnya dengan cepat.
3. Gerakan tanah yang dipicu oleh aktivitas manusia.
Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya longsoran. Pembukaan hutan secara sembarangan,
penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam terlalu rapat,
pemotongan tebing/ lereng untuk jalan dan pemukiman merupakan pola
penggunaan lahan yang dijumpai di daerah yang longsor.
Penanaman pohon dengan jenis pohon yang terlalu berat, misalnya pohon
durian, manggis dan bambu, serta penanaman dengan jarak tanam terlalu rapat
mengakibatkan penambahan beban massa tanah yang bisa menyebabkan longsoran.
Hal ini berarti akan menambah gaya gerak tanah untuk longsor menuruni lereng.
Pembukaan hutan untuk keperluan manusia, seperti misalnya untuk perladangan,
persawahan dengan irigasi, penanaman pohon kelapa, dan penanaman tumbuhan
yang berakar serabut dapat berakibat menggemburkan tanah. Peningkatan
kegemburan tanah ini akan menambah daya resap tanah terhadap air, akan tetapi
air yang meresap ke dalam tanah tidak dapat banyak terserap oleh akar-akar tanaman
serabut. Akibatnya air hanya terakumulasi dalam tanah dan akhirnya menekan dan
melemahkan ikatan-ikatan antar butir tanah. Akhirnya karena besarnya curah
hujan yang meresap, maka longsoran tanah akan terjadi.
Pemotongan lereng untuk jalan dan pemukiman dapat mengakibatkan
hilangnya peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini selanjutnya mengakibatkan
72
kekuatan geser lereng untuk melawan pergerakan massa tanah terlampaui oleh
tegangan penggerak massa tanah dan akhirnya longsoran tanah pada lereng akan
terjadi.
9.4. Upaya pemantauan dan mitigasi gerakan tanah
Meskipun suatu lahan atau kawasan berdasarkan kondisi alamnya
rentan (berpotensi) untuk bergerak atau longsor, potensi gerakan tanah ini dapat
diminimalkan dengan beberapa langkah berikut.
a. Identifikasi zona yang rentan bergerak
b. Identifikasi faktor kunci penyebab gerakan tanah c.
Menerapkan rekayasa untuk :
• meminimalkan pemicu atau pengaruh pemicu
• memperkuat lereng
1. Identifikasi zona yang rentan bergerak.
Identifikasi zona rentan bergerak merupakan langkah awal dalam
tahapan pencegahan dan atau pengendalian gerakan tanah. Identifikasi zona
rentan dilakukan dengan penyelidikan terhadap faktor-faktor pengontrol gerakan
tanah. Hasil penyelidikan kemudian dianalisis secara terpadu dan digambarkan
dalam peta sebaran zona-zona dengan tingkat kerentanan yang bervariasi. Tingkat
kerentanan gerakan tanah: :
• kerentanan tinggi
• kerentanan menengah
• kerentanan rendah
• kerentanan sangat rendah
2. Identifikasi faktor kunci penyebab gerakan tanah.
Faktor kunci merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh
terhadap proses terjadinya gerakan tanah, dan seringkali merupakan faktor yang
paling sensitif untuk bereaksi terhadap perubahan ekosistem. Teridentifikasinya
faktor kunci ini sangat penting dalam menetapkan teknik atau rekayasa
pencegahan/ pengendalian gerakan tanah yang efektif.
Identifikasi ini dilakukan dengan cara penyelidikan terhadap kondisi,
sebaran dan proses-proses yang dicurigai sebagai faktor penyebab gerakan tanah.
73
Penyelidikan geologi merupakan basis utama dalam indentifikasi ini, yang kemudian
perlu diintegrasikan dengan penyelidikan hidrologi dan penggunaan lahan.
Ketelitian dalam penyelidikan ini juga bervariasi, tergantung pada target atau
produk yang ingin dicapai dari hasil penyelidikan. Untuk produk yang berupa
arahan kebijakan pengendalian kawasan di suatu wilayah propinsi, minimal
diperlukan ketelitian penyelidikan dengan skala peta 1 : 100.000. Untuk wilayah
kabupaten minimal diperlukan ketelitian penyelidikan dengan skala peta 1 : 50.000
hingga skala 1 : 25.000.
3. Menerapkan rekayasa untuk pencegahan/ pengendalian.
Perkuatan lereng umumnya dilakukan untuk mereduksi gaya-gaya yang
menggerakkan, menambah tahanan geser tanah atau keduanya. Gaya-gaya yang
menggerakkan dapat direduksi dengan cara :
a. Menggali material yang berada pada zona tidak stabil.
b. Mengurangi tekanan air pori dengan mengalirkan air pada zona tidak stabil.
Berikut ini akan dibahas macam-macam metode perkuatan lereng manurut
Harry C (2005) yaitu dengan cara :
a. Merubah Geometri Lereng
Penggalian bagian tertentu pada lereng dimaksudkan untuk mengurangi
gaya-gaya yang menggerakkan dan menyebabkan gerakan tanah pada lereng.
Perbaikan kestabilan lereng dengan merubah geometri lereng meliputi:
Pelandaian Lereng
Pembuatan trap-trap/bangku (benching).
b. Mengontrol Drainase dan Rembesan
Metode drainase sebaikanya menjadi pertimbangan awal untuk penanganan
gerakan tanah. Beberapa macam metode drainase lereng adalah sebagai berikut :
Drainase air permukaan :
- Parit permukaan.
- Pengalihan aliran air permukaan.
- Penutup sambungan (joint), rekahan dan celah.
- Perataan kembali lereng untuk menghilangkan genangan.
74
- Perkerasan permukaan lereng.
- Penamaan tumbuh-tumbuhan (seeding).
Drainase air di bawah permukaan
- Drainase horizontal.
- Lapisan drainase (drainage blanket).
- Drainase lapisan pemotong (cut off drain).
- Sumur drainase.
c. Pembuatan Struktur Permukaan
Pembuatan struktur bangunan permukaan adalah untuk menambah gaya-
gaya yang menahan terjadinya gerakan tanah. Hal ini biasanya dilakukan dengan
cara meletakkan massa tanah/batuan atau dinding penahan di kaki lereng.
Pembuatan struktur permukaan tersebut meliputi pembuatan :
Struktur berm.
Parit geser.
Dinding penahan
Tiang-tiang atau kaison.
d. Pembongkaran dan Pemindahan
Seluruh massa atau bagian dari longsoran (umumnya bagian atas) dapat
dibongkar dan diganti dengan material yang lebih cocok atau lebih baik. Dengan
mengganti material jelek dengan material yang kuat/baik (seperti batuan atau
kerikil), gaya-gaya yang menahan gerakan lereng bertambah.
Gambar 9.9. Contoh pembongkaran bagian atas longsoran
e. Sementasi (Grouting)
75
Dengan tujuan memperkuat lereng, grouting diaplikasikan karena dapat
menambah daya dukung lereng dan mengurangi zona – zona lemah yang dapat
menjadi tempat terkumpulnya air, seperti rekahan dan pori – pori antarbutir.
76
BAB X
PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK
Pemetaan geologi teknik merupakan salah satu prosedur wajib dalam
perencanaan suatu konstruksi teknik, seperti bendungan, jalan raya, jembatan.
Berikut ini akan diuraikan prosedur dan persyaratan pemetaan geologi teknik
menurut SNI TATA CARA PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK LAPANGAN ( SK
SNI T-17-1991-03) yang diterbitkan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
10.1. Tujuan Pemetaan Geologi Teknik
Tata cara pemetaan geologi teknik ini dimaksudkan sebagai acuan dan
pegangan dalam pelaksanaan pemetaan geologi untuk kepentingan teknik sipil.
Sedangkan tujuan tata cara pemetaan geologi teknik adalah :
1. Memberikan gambaran bagaimana cara membuat peta geologi untuk kepentingan
teknik sipil.
2. Memberikan gambaran cara memperoleh data geologi teknik untuk parameter
perencanaan teknis.
10.2. Pengertian
Beberapa pengertian yang terkait dengan tata cara ini :
1. Peta topografi adalah gambaran permukaan bumi pada suatu bidang datar yang
memperlihatkan keadaan geografis dengan skala tertentu.
2. Peta geologi adalah suatu peta yang menggambarkan informasi geologi mengenai
jenis dan penyebaran batuan, struktur geologi, endapan mineral dan lokasi
terdapatnya fosil.
3. Peta geologi teknik adalah jenis peta geologi yang memberikan suatu gambaran
umum semua komponen dari suatu lingkungan geologi yang dianggap penting
untuk kepentingan teknik sipil.
10.3. Persyaratan Pemetaan Geologi Teknik
Data dan informasi yang diperlukan untuk pelaksanaan tata cara ini
adalah :
1. Literatur atau hasil studi terdahulu mengenai daerah pemetaan.
2. Keadaan daerah yang akan dipetakan yaitu iklim, vegetasi dan tata guna lahan.
3. Peta topografi daerah setempat yang tersedia.
77
Peta geologi teknik harus dibuat berdasarkan :
1. Kegunaan :
a. Peta khusus, hanya menyajikan salah satu aspek geologi teknik untuk
kepentingan khusus, misalnya longsoran;
b. Peta serba guna, menyajikan berbagai aspek geologi teknik untuk bermacam
kepentingan teknik sipil.
2. Isi :
a. Peta analisis, menyajikan rincian suatu masalah analisis lingkungan geologi;
misal kegempaan, kegunungapian;
b. Peta umum, menyajikan unsur – unsur dasar geologi teknik secara umum;
c. Peta bantu, misalnya peta struktur kontur, peta isopach, peta dokumentasi;
d. Peta pelengkap, misalnya peta geomorfologi, peta tanah, peta geohidrologi,
dan sebagainya.
3. Skala :
a. Peta skala besar, menyajikan peta dengan skala 1 : 10.000 atau lebih besar
b. Peta skala sedang, menyajikan peta dengan skala 1 : 10.000 atau lebih besar
dari 1 : 100.000;
c. Peta skala kecil, skala 1 : 100.000 atau lebih kecil lagi.
10.4. Ketentuan Pemetaan Geologi Teknik
1. Lokasi
Lokasi daerah pemetaan geologi teknik harus ditentukan batas dan luasnya
sesuai dengan kebutuhan.
2. Peralatan dan Perlengkapan
Jenis peralatan yang digunakan dalam pekerjaan ini :
a. Kompas geologi, palu geologi dan GPS;
b. Lup ( perbesaran 10 – 20 kali);
c. Pita ukur;
d. Komparator ukuran butir;
e. Kantong sampel;
f. Buku catatan lapangan dan alat tulis;
78
g. Papan penjepit peta;
h. Tas lapangan untuk peta dan alat tulis;
i. Tas untuk sampel batuan dan perbekalan;
j. Kamera;
k. Cairan HCl 0,1 N
3. Peta Dasar
Ketentuan peta dasar yang digunakan untuk pemetaan geologi teknik :
a. Peta topografi yang jelas skalanya dan kegunaannya disesuaikan seperti tabel
di bawah ini :Tabel 9.1. Ketentuan skala peta dan keperluannya
SKALA KEGUNAAN
1:10.000 – 1:50.000
1:1000 – 1:10.000
1:100 – 1:1000
1:50 – 1:100
Peta digunakan sebagai dasar perencanaan
penyelidikan tahap awal;
Digunakan untuk pemilihan alternatif dan
penentuan program penyelidikan terperinci:
Dasar perencanaan teknis
Pencatatan selama konstruksi
b. Dapat menggambarkan kemiringan lereng dan relief daerah.
10.5. Prosedur Pelaksanaan Pemetaan Geologi Teknik
Pelaksanaan pemetaan geologi teknik dibagi dalam beberapa tahapan
berikut:
1. Persiapan
a. Kumpulkan data mengenai keadaan daerah yang akan dipetakan, berupa :
laporan geologi yang telah ada atau data lainnya yang berhubungan dengan
daerah yang akan dipetakan;
b. Siapkan peta dasar berupa peta topografi daerah pemetaan;
c. Buat rencana kerja sesuai spesifikasi teknis yang telah ditentukan, meliputi :
Petugas yang akan bekerja di lapangan;
Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan;
Biaya yang diperlukan;
79
Waktu atau lamanya pemetaan.
2. Tahapan Pemetaan
a. Pelajari keadaan lapangan, dengan tujuan untuk mengetahui : keadaan
tanah/batuan di daerah pemetaan secara garis besar, nama bukit atau sungai,
kampung, dan lain – lain;
b. Buat rencana lintasan pemetaan dengan pertimbangan berikut :
Usahakan lintasan tegak lurus terhadap jurus lapisan batuan;
Usahakan lintasan di sungai, bekas galian, jalan, puncak bukit.
c. Tentukan posisi lokasi pengamatan;
d. Lakukan pengamatan singkapan, meliputi :
Jenis dan sifat fisik tanah dan batuan;
Penyebaran, luas dan ketebalan;
Kedudukan lapisan batuan dan struktur geologi yang mempengaruhi;
Aspek geologi lainnya yang terdapat di sekitar singkapan, contohnya
mataair, longsoran, bidang ketidakselaran;
Pemotretan singkapan.
e. Lakukan peneraan hasil pengamatan pada peta dasar dan gambarkan sketsa
peta geologi tekniknya;
f. Ambil contoh tanah / batuan seperlunya untuk diuji lebih lanjut di
laboratorium atau untuk dideskripsi lebih jelas;
g. Gambarkan peta geologi teknik dengan cara menarik batas satuan batuan dan
aspek geologi lainnya berdasarkan data hasil pengamatan dan interpretasi.
10.6. Penyusunan Laporan Pemetaan Geologi Teknik
Laporan pemetaan geologi teknik harus mencakup :
1. Kondisi geologi regional dan geologi lokal dari daerah pemetaan;
2. Kondisi geologi teknik daerah pemetaan yang meliputi sifat fisik tanah atau
batuan setempat, gejala struktur geologi yang ada (sesar/kekar,dst) dan masalah
yang mungkin timbul sehubungan dengan pekerjaan teknik sipil di daerah
tersebut;
3. Pembuatan penampang geologi teknik pada rencana bangunan;
80
4. Saran teknis berupa penanganan dan penanggulangan masalah yang timbul oleh
sebab kondisi geologi teknik.
10.7. Simbol dalam Peta Geologi Teknik
Dikutip dari SNI 13-4932-1998 tentang “Legenda Umum Peta Geologi
Teknik Indonesia Skala 1 : 100.000”, berikut ketentuan simbol dasar tanah/ batuan
dan kejadian geologi yang digambarkan dalam peta geologi teknik:
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1991, Metode pengujian lapangan tentang kelulusan air bertekanan,, Badan Standardisasi Nasional (BSN).
--------------, 2005, Pedoman Grouting Bendungan, PT. Indra Karya, Malang.
Baker, H., 1982, Grouting In Geotechnical Engineering, New Orleans, Lousiana.
Bowles, J.E., 1986, Sifat-Sifat Fisik Dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah), ed.2, Erlangga, Jakarta.
Budiyanto, K.Y., 2000, Pelaksanaan Grouting Bendungan Sangiran Ngawi Jawa Timur, Pelaksana Boring dan Grouting Bendungan Sangiran.
Dwiyanto, J.S., 2005, Pelatihan Grouting, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, tidak dipublikasikan.
Humaryono, 2001, Survey Geoteknik, Bagian dari KL – 241 dan 242 Mekanika Tanah dan Teknik Fundasi, ITB, Bandung.
Indriyanto, I.B. 2004. Tinjauan Aspek Geologi Teknik Dalam Perencaan Suatu Konstruksi Bandar Udara. Referat (Tidak Dipublikasikan). Perpustakaan Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta.
Karnawati, D., 2005, Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Litbang Pekerjaan Umum. 2005. Tata Cara Pencatatan Dan Identifikasi Hasil Pengeboran Inti: http://www.pu.go.id/satminkal/balitbang/SNI/isisni/SNI%2003-2436-1991.
Pangesti, D. R., 2005, Pedoman Grouting Untuk Bendungan, Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Sumber Daya Air, Direktorat Sungai, Danau dan Waduk, Jakarta.
Price, David G., 2009, Engineering Geology, Springer – Verlag Berlin Heidelberg.