perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA (TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM- 670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006. DI KEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh INSAN PANDHU WIRAWAN NIM. E1106029 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
71
Embed
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KAJIAN DISPARITAS ...eprints.uns.ac.id/10402/1/202611811201102141.pdf · kajian disparitas kontruksi yuridis jaksa penuntut umum dalam penuntutan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Tabel 3 Perbandingan Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana
Perkosaan Biasa dan Perkosaan di lingkungan Rumah Tangga…..
46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
ABSTRAK
Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG) Skripsi jurusan Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret 2011
Perkosaan telah menjadi salah satu jenis kejahatan bidang seksual yang membutuhkan perhatian yang serius, mengingat kasus ini dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam) dalam kehidupan kemasyarakatan, terutama kehidupan kaum perempuan.
Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan Pasal yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005 dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan yang didalam perkara Nomor PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-670/KEPANJEN/12-2005.Penelitian hukum yang dilakukan penulis menggunakan metode Penelitian hukum masuk ke dalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut Kajian Kontruksi Disparitas Hukum Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga Tahun 2004, itu sendiri meliputi dasar pertimbangan yuridis dan dasar pertimbangan sosiologis. Yang dimaksud dengan dasar pertimbangan yuridis adalah pertimbangan yang berdasar pada ketentuan Undang-undang, yang meliputi pertimbangan yuridis secara formil dan pertimbangan yuridis secara materiil. Sedangkan dasar pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan yang berdasar pada perasaan dan hati nurani seorang jaksa untuk melakukan penuntutan demi mencerminkan keadilan.
Mengenai pertimbangan penuntutan yuridis secara formil mengacu pada ketentuan Pasal 183 Jo. 184 KUHAP mengenai pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Sedangkan pertimbangan penuntutan yuridis secara materiil akan melihat pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam pemeriksaan di persidangan.Pertimbangan yuridis secara materiil, Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan tuntutan pidana terhadap pelaku perkosaan di lingkungan rumah tangga pada kasus di atas adalah mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan untuk pertimbangan sosiologis meliputi sikap batin, perasaan dan penilaian Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa di muka persidangan. Kata Kunci : disparitas, kontruksi, hukum,yuridis, KDRT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRACT
Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 JURIDICIAL CONSTRUCTION OF THE DISPARITY STUDY PUBLIC PROSECUTOR IN ENVIRONMENTAL RAPE LAWSUIT HOUSEHOLD (CASE NO COMPARISON REVIEW PDM-387/KPNJEN/05-2006 ISSUES AND CASE NUMBER PDM-670/KPJEN/12-2005. STATE DIKEJAKSAAN KEPANJEN MALANG) majors Thesis Faculty of Law, University Eleven March 2011
Rape has become one of the types of sexual crimes that require serious attention, since these cases can lead to problems komplikatif (serious and diverse) in the life of society, especially the lives of women.
How yurisdis construction of prosecutors in the formulation of Article which indicted in the case of PDM-case No. 670 / KAPANJEN/12-2005 and case No. PDM-387/KEPANJEN/05-2006 and How Juridical implications of construction claims in case No. PDM-387 / KEPANJEN/05-2006 and Case Number PDM-670/KEPANJEN/12-2005. Legal research conducted legal research methods writers enter into doctrinal research because it is perskriptif scientific law which saw law as a social norm rather than social phenomena (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 33). a process to find the rule of law, legal principles , as well as legal doctrine in order to answer the legal issues at hand.
The results of this study are as follows Disparity Study Construction Law prosecutor in the prosecution of using the draft Penal Code and the Elimination of Domestic Violence in 2004, itself covers basic considerations juridical and sociological considerations. The meaning of basic juridical considerations are considerations based on the provisions of the Act, including consideration of a formal juridical and legal considerations materially. While the basic sociological considerations are considerations based on the feelings and conscience of a prosecutor to conduct the prosecution in order to reflect justice.
Regarding consideration of a formal judicial prosecution refers to the provisions of Article 183 Jo. 184 Criminal Procedure Code regarding verification by at least two valid evidence. While juridical considerations materially prosecution will look at the elements of the offenses charged in the investigation at persidangan.Pertimbangan juridical materially, the Public Prosecutor in conducting criminal charges against perpetrators of rape in the household environment in case the above is referring to Act Number 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence. As for the sociological considerations include inner attitudes, feelings and assessment of the Public Prosecutor against the accused in a court. Keywords: disparity, construction, legal, juridical, domestic violence
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejaksaan merupakan Institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum
dan keadilan. Kejaksaan sebagai lembaga yang terdiri dari Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Namun demikian Kejaksaan tetap satu
dan tidak terpisah-pisahkan dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya,
yang bertindak demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa kedudukan setiap orang di muka
hukum adalah sama.
Kejaksaan dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya didukung
oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut yang antara lain
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat
KUHAP), dan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil
memuat norma-norma proses penegakan hukum materiil, termasuk wewenang
jaksa sebagai penuntut umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana.
Tindakan penuntutan dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, dalam hal ini kebenaran materiil ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana yang
didakwakan dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.
Diantara perkara pidana yang perlu mendapatkan perhatian serius salah
satunya adalah tindak pidana perkosaan yang sampai saat ini terus merebak.di sini
secara lebih kongkrit peneliti ingin mengkaji lebih dalam tuntutan pasal yang
diterapkan jaksa penuntut umum dalam kasus PKDRT.
Dinamika kejahatan kesusilaan di Indonesia dalam hal ini kasus
perkosaan sudah memasuki tahap yang memprihatinkan. Betapa tidak, tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pidana perkosaan tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban yang tidak saling
mengenal, namun juga terjadi antara seorang wanita yang masih tinggal bersama
dengan pelaku dan bahkan memiliki hubungan darah dengannya, sebagai contoh
seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Fakta ini seperti terlihat dari
berbagai pemberitaan, baik dari media masa maupun kasus-kasus yang ditangani
lembaga-lembaga yang perduli terhadap masalah tersebut.
Menurut laporan Komnas Perempuan baru-baru ini, ada 3.160 kekerasan
terhadap perempuan di seluruh Indonesia pada tahun 2001, kemudian bertambah
menjadi 5.163 setahun kemudian, 7.787 pada tahun 2003, dan bertambah menjadi
14.020 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut ketua komnas perempuan,
Kamala Chandrakirana, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk
kekerasan terhadap rumah tangga menumbuhkan permintaan agar negara atau
pemerintah bertindak (The Jakarta post; Wednesday, March 9, 2005).
Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, salah satunya disebabkan karena adanya ideologi gender
dan budaya patriarki. Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik
laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka.
Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang
utama atau superior dibandingkan dengan perempuan. Ideologi Gender dan
budaya patriarki inilah yang kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua
aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang domestik, seperti seperti
rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal, misalnya,
relasi suami istri, keluarga, dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan
domestik ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan masyarakat atau
individu lain dan negara.
Akibat budaya patriarki dan ideologi Gender tersebut berpengaruh juga
terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan
peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah
tangga (Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan) yang menimbulkan pandangan
dalam Masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar
sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya, termasuk melalui kekerasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Kondisi tadi menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak
perempuan yang terjadi dalam ruang lingkup privat atau domestik ini menjadi
tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang
melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan
aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Selain itu juga ada
kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbanya. Hal ini
dipengarui oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan,
walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum
pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena
kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah
dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (Ita F.Nadia;1998:2).
Padahal kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kejahatan
terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana,
tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena dianggap sebagai urusan internal suatu
rumah tangga.
Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan
rumah tangga timbul di antara suami istri yang hubungan hukum antara individu
tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup
hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan
hukum antar individu tersebut, pegakan hukumnya dilakukan dengan cara
melakukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Undang-
Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik (hukum pidana).
Masalah kekerasan atau penganiyaan yang terjadi di dalam rumah tangga
di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya merupakan salah satu alasan
penyebab putusnya suatu perkawinan, seperti yang diatur dalam Pasal 38 Undang-
Undang Perkawinan dan Pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974.
Melalui Instrumen hukum perdata, dalam hal ini Undang-Undang
Perkawinan, maka pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak dapat dikenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
hukuman karena penegakan hukumnya hanya dapat dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang
mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak merasa dirugikan dengan
adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tidak akan muncul gugatan ke
pengadilan. Berbeda dengan menggunakan hukum publik yang memiliki sifat
apabila terjadi pelanggaran hukum penegakan hukumnya dilakukan oleh penguasa
karena tujuan hukum publik adalah menjaga kepentingan umum. Dengan
meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan
terhadap korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki agar
masyarakat menghendaki agar pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana.
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang mengatur
tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan 90 yang hanya ditujukan kekerasan fisik
tetapi tidak mengatur kekerasan seksual yang dapat terjadi dalam rumah tangga
antara suami istri. Selain itu juga tidak ada perintah perlindungan atau perintah
pembatasan gerak sementara yang bisa dikeluarkan oleh pengadilan untuk
membatasi pelaku melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan
kelemahan yang dimiliki UUP dan KUHP maka diperlukan aturan khusus
mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini, hal ini berarti dibutuhkan aturan
hukum dan kebijakan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga karena
ketiadaan hukum dan kebijakan publik yang jelas dan semakin menyuburkan
praktik kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang
telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk
menghapus segala bentuk kekerasan dibumi Indonesia, khususnya kekerasan
dalam rumah tangga. Selain itu juga sesuai dengan konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dengan demikian terlihat pada perubahan pandangan dari pemerintah
mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak semata-mata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
merupakan urusan privat,tetapi juga menjadi masalah publik dari urusan rumah
tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam lingkup hukum perdata
menjadi urusan hukum publik yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Undang-Undang PKDRT). meski demikian lahirnya Undang-
Undang PKDRT tidak semata-mata memenuhi harapan para perempuan yang
sebagian besar merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan
keadilan mengingat kondisi penegakan hukum di negara kita yang masih jauh dari
harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih
menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuasan, ekonomi, sosial
maupun budaya. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan maka
pemahaman dan kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu
kejahatan harus disebarluaskan sehingga ada kesatuan pemahaman di dalam
masyarakat. Tanpa pemahaman dan kesadaran tersebut maka penegakan hukum
yang diharapkan akan semakin jauh. Selain itu perempuan sebagai anggota
masyarakat juga harus memiliki kemauan untuk membawa kasusnya kepengadilan
pidana. Untuk menumbuhkan kemamuan merupakan suatu langkah yang amat
berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendala
yang dihadapinya.
Oleh Karena itu tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat
ataupun aparat hukum yang responsive maka langkah yang ditempuh perempuan
korban KDRT hanya akan berakhir sia-sia ditengah jalan. Selama ini perempuan
yang mengalami korban KDRT lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui
penyelesaian perceraian daripada menyelesaikan kasusnya secara pidana
menunjukan bahwa ada keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian
kasusnya secara pidana. Kondisi ini menunjukan bahwa ada kendala yang
dihadapi perempuan yang dihadapi perempuan yang menjadi korban KDRT,
seperti peraturan hukumnya, aparat hukumnya dan masyarakat. Dengan demikian
terlihat bahwa system hukum yang ada belum mendukung kearah penegakan
hukum yang diharapkan. Perempuan korban KDRT cenderung memilih
penyelesaian secara perdata karena prosesnya cepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Seharusnya kasus KDRT ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
5 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengenai ancaman pidananya
dapat dilihat pada Pasal 46, 47 dan 48 undang-undang yang sama. Melihat kasus-
kasus yang terjadi, dapat diketahui bahwa perkosaan semakin membabi buta,
sehingga pelaku tidak melihat apakah korbannya adalah seorang wanita yang
masih memiliki hubungan darah dengan pelakunya. Hal ini tidak dipikirkan oleh
si pelaku, yang ada di pikirannya hanyalah dapat melampiaskan nafsu seksual
mereka. Oleh sebab itu seakan-akan pelaku tidak menghargai bahkan merampas
Hak asasi dari si korban. Jika diperhatikan, dampak dari tindak pidana perkosaan
tersebut sangatlah menyakitkan dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan
bagi mereka yang menjadi korban. Terkadang, dipidananya pelaku perkosaan
tidak lantas membuat si korban merasa mendapatkan keadilan. Hal ini
dikarenakan akibat fisik maupun psikis yang ditimbulkan tidak menjadi hilang
karena dipidananya pelaku perkosaan tersebut.
Maraknya kasus perkosaan dan Disparitas yang terjadi dalam penegakan
hukum dapat dikatakan sebagai cermin kegagalan penegak hukum dalam
menempatkan hukum sebagai kekuatan supremasi. Penjatuhan hukuman yang
cukup ringan terhadap pelaku kejahatan kesusilaan dalam hal ini perkosaan dinilai
dapat mendorong atau menstimulasi oknum-oknum sosial untuk melakukan
praktek peniruan kejahatan. Sehingga tuntutan pemberatan hukuman terhadap
pemerkosa wajib mendapatkan prioritas dan perhatian yang sangat penuh.
B. Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini,
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan pasal
yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005
dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
2. Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan dalam perkara
Nomor PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-
670/KEPANJEN/12-2005.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Guna mengetahui prosedur penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam proses perkara pidana khususnya tindak pidana perkosaan di
lingkungan rumah tangga.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pentingnya hal perumusan pasal bagi
Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana
pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan informasi rinci akurat dan
aktual yang akan memberikan jawaban permasalahan baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut dan secara
praktis berwujud aktual maka diperoleh manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat mengembangkan penelitian tentang kajian disparitas jaksa penuntut
umum pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan
rumah tangga. Dipadukan dengan teori-teori yang relevan dengan masalah
yang diteliti.
b. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pustaka dan sebagai salah satu
sumber bagi peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sesuai dengan
undang-undang yang berlaku dan telah ditetapkan.
b. Memberikan input atau bahan pertimbangan bagi lembaga kejaksaan
khususnya Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil pemerintah yang bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
signifikan dan konstruktif dalam memberikan tuntutan terhadap tersangka
pemerkosaan dilingkungan rumah tangga, Di Kejaksaan Negeri Kepanjen
Kabupaten Malang.
E. Metode Penelitian
H.J van Eikema Homes dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki
menyatakan dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Apa
yang dikemukakakan mengindentifikasikan bahwa tidak dimungkinkannya
penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (Peter Mahmud
Marzuki,2006:11). Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini
menggunakan metode antara lain sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,2006: 35). Penelitian hukum
menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:
a. Doctrinal Research.
b. Reform-oriented Research.
c. Theoretical Research.
d. Fudamental Research (Peter Mahmud Marzuki,2006:32-33).
Ketiga tipe Penelitian hukum yang dikemukakan Hutchison yaitu
Doctrinal Research, Reform-oriented Research, dan Theoretical Research,
menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal sedangkan
penelitian sosio legal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fudamental
Research (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32-33).
Penelitian hukum ini masuk ke dalam penelitian doktrinal karena
keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai
norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu
sendiri. ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum , konsep-konsep hukum
dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki,2006: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum doktrinal dapat dilakukan dalam berbagai
pendekatan. Pendekatan dalam penelitian hukum doktrinal sesungguhnya
merupakan esensi dari metode penelitian ini sendiri. Pendekatan itu yang
mungkin diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang
diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).
b. Pendekatan kasus (Case Approach).
c. Pendekatan Historis ( Historical Approach).
d. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).
e. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud
Marzuki,2006: 93-94).
Berdasarkan kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan
dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (Case
Approach). dan Pendekatan Perundang- undangan (Statute Approach).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis bahan hukum sebagai
titik tolak peneliti adapun bahan hukum tersebut meliputi :
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan
resmi atau risalah dalam perbuatan perundang-undangan dan tuntutan-
tuntutan Jaksa. Penelitian hukum ini menggunakan kajian konstruksi
disparitas hukum, jaksa penuntut umum dalam penuntutan kasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Perkosaan Dalam Rumah Tangga dengan bahan hukum dari Tuntutan
Nomor Perkara: PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-
670/KPNJEN/12-2005, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT)
di Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.
b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas kajian
kontruksi disparitas oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara nomor:
PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-
2005. Dalam hal ini penulis mengunakan bahan hukum sekunder berupa
jurnal-jurnal hukum dari dalam maupun luar negeri, hasil-hasil penelitian
hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel
hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki,2006: 141).
5. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum
yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis menggunakan teknik
studi pustaka, studi literatur, yang terkait perkara Perkosaan Dalam Rumah
Tangga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT). Dalam hal ini
penulis melakukan penelitian pada perkara nomor: PDM-387/KPNJEN/05-
2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-2005. di Kejaksaan Negeri
Kepanjen Malang. Selain itu peneliti juga mengumpulkan bahan-bahan hukum
sekunder yang berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti.
6. Tehnik Analisis bahan hukum
Analisis bahan hukum dalam suatu penelitian adalah menguraikan
atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan hukum yang
diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik analisis deduksi. Metode
deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor
yang kemudian di ajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki,2006: 47).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini Terdiri dari empat bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, maanfaat penelitian, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang. Kejaksaan Republik Indonesia, Asas-asas
Dibidang Penuntutan, Surat Tuntutan Pidana (Requisitor), Tindak Pidana
Perkosaan, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP,
Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengertian Rumah Tangga Dalam
Tinjauan Sosiologis, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang
telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana Kajian Disparitas
Kontruksi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pemerkosaan di
Lingkungan Rumah Tangga dengan Undang-Undang penghapusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Kitab Undang-Undang Acara
Pidana.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi
obyek penelitian dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
a. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan
tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan
hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan , kesopanan dan
kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum,
Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi
hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakkan hak asasi manusia.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai
susunan organisasi Kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan Agung
berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi
berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di
ibukota, kabupaten, atau kotamadya.
Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang
mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung
yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa
Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk di tingkat propinsi,
dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala
Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur
pimpinan, dan unsur pelaksana. Sedangkan di lingkungan kabupaten atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
kotamadya, dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri dan dibantu oleh
beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
b. Jaksa Penuntut Umum
Yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian
penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu
penuntutan dalam persidangan.
Kejaksaan adalah satu-satunya alat negara yang diberi wewenang
oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan Jaksa Agung adalah satu-
satunya pejabat negara sebagai penuntut umum tertinggi. Dengan tugas
tersebut, kepada penuntut umum diletakkan tanggung jawab yang berat dan
mendalam, karena dengan sumpah jabatan, ia tidak hanya bertanggung jawab
kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan tersebut baik dan buruknya
tergantung pada manusia pelaksana.
Tuntutan pidana adalah merupakan pekerjaan yang membutuhkan
ketekunan dalam menangani perkara yang didakwakan di muka sidang
pengadilan, disamping ketekunan, seorang penuntut umum harus terampil dan
berbakat dalam mengutarakan hasil pembuktian, memilih kata-kata yang tepat
dan mengaitkan alat-alat bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana
yang didakwakan terbukti dan terdakwa dapat dinyatakan bersalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Penuntut umum dalam menangani suatu perkara harus mempunyai
pengetahuan hukum yang luas khususnya teori-teori hukum yang berhubungan
dengan perkara yang ditangani. Tanpa dilandasi penguasaan ilmu hukum
penuntut umum akan selalu gagal dalam mencapai tujuan penuntutan.
c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Perkara
Pidana
Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1961 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan pokok Kejaksaan
Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan
kebutuhan hukum masyarakat serta kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar 1945.
Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun,
yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka dari itulah pembaharuan Undang-
undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan
membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004,
disebutkan:
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut
umum mempunyai wewenang :
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari
penyidik:
3) Pasal 110 ayat (3) berbunyi:
4) “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai
dengan petunjuk dari penuntut umum”
5) Pasal 110 ayat (4) berbunyi:
6) “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut
umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum
waktunya tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik”
7) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
8) Membuat surat dakwaan;
9) Melimpahkan perkara ke pengadilan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
10) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
11) Melakukan penuntutan;
12) Menutup perkara demi kepentingan hukum;
13) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
14) Melaksanakan penetapan hakim.
Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana yang
tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 di
atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan
penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Selain
itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada
instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
2. Tinjauan tentang Penuntutan
a. Pengertian Penuntutan
Di dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang
pengertian penuntutan, berikut dikemukakan beberapa pendapat para sarjana
Hukum Indonesia, seperti pendapat:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
1) Sudarto (Djoko Prakoso, 1988 : 25)
Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada
hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan.