Top Banner
DGM INDONESIA DGM INDONESIA CERITA DARI MITRA 2020 CERITA DARI MITRA 2020 2 PENDAHULUAN Mekanisme Hibah Khusus atau yang dikenal sebagai Dedicated Grant Mechanism (DGM) telah berjalan semenjak tahun 2017 di Indonesia. Awalnya dirancang untuk meningkatkan kemampuan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) hingga dapat terlibat penuh dalam proses mendapatkan kepastian akses dan hak hutan serta mendapatkan peluang peningkatan penghidupan. Empat tahun kemudian, dibawah dukungannya 63 proyek telah berjalan, tersebar di tujuh region di Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua) dan melibatkan lebih dari 150 komunitas. Proses klarifikasi tenurial merupakan jalan panjang dan berliku. Berbagai macam cara ditempuh oleh mitra-mitra DGM Indonesia, termasuk diantaranya upaya legalisasi penetapan masyarakat adat, penetapan hutan adat hingga proses-proses yang terkait reformasi agraria. Dimulainya Pandemi COVID-19 pada awal 2020 membuat jalan panjang yang harus dilalui semakin terjal. Penundaan hampir seluruh kegiatan disertai keterbatasan mobilitas pada paruh pertama tahun 2020 tidak meluruhkan (SAMDHANA/Anggit Saranta) semangat mitra-mitra DGM Indonesia. Cerita dari Mitra kali ini mengangkat upaya-upaya tersebut. Cerita pertama berlokasi di Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mengangkat peran penting perempuan dalam pengelolaan hutan. Cerita kedua mengisahkan upaya pengajuan hutan adat ditengah-tengah penguasaan sektor privat di Kemukimen Nosar dan Kemukimen Bintang, Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam. Cerita ketiga mengisahkan upaya empat kelompok masyarakat di Desa Kedungasri, Kendalrejo, Sumberasri dan Grajagan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dalam mengamankan akses mereka ke hutan melalui skema perhutanan sosial. Sementara cerita terakhir mengisahkan upaya masyarakat adat mendapatkan pengakuan dan memiliki hak akses dan kelola lahan serta sumber daya alam dari Pemerintah Kabupaten Sekadau dan Sanggau, Kalimantan Barat. Dengan membaca cerita-cerita ini, kami harap pembaca dapat ikut merasakan keberagaman yang ada dalam pelaksanaan Proyek DGM Indonesia. Harapannya, keberagaman ini bisa menjadi inspirasi perjuangan serupa di daerah lain. Selamat membaca.
14

DGM INDONESIA

Mar 28, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DGM INDONESIA

1 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020 |

DGM INDONESIADGM INDONESIACERITA DARI MITRA 2020CERITA DARI MITRA 2020

2

PENDAHULUAN

Mekanisme Hibah Khusus atau yang dikenal sebagai Dedicated Grant Mechanism (DGM) telah berjalan semenjak tahun 2017 di Indonesia. Awalnya dirancang untuk meningkatkan kemampuan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) hingga dapat terlibat penuh dalam proses mendapatkan kepastian akses dan hak hutan serta mendapatkan peluang peningkatan penghidupan. Empat tahun kemudian, dibawah dukungannya 63 proyek telah berjalan, tersebar di tujuh region di Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua) dan melibatkan lebih dari 150 komunitas.

Proses klarifikasi tenurial merupakan jalan panjang dan berliku. Berbagai macam cara ditempuh oleh mitra-mitra DGM Indonesia, termasuk diantaranya upaya legalisasi penetapan masyarakat adat, penetapan hutan adat hingga proses-proses yang terkait reformasi agraria. Dimulainya Pandemi COVID-19 pada awal 2020 membuat jalan panjang yang harus dilalui semakin terjal. Penundaan hampir seluruh kegiatan disertai keterbatasan mobilitas pada paruh pertama tahun 2020 tidak meluruhkan

(SAMDHANA/Anggit Saranta)

semangat mitra-mitra DGM Indonesia. Cerita dari Mitra kali ini mengangkat upaya-upaya tersebut.

Cerita pertama berlokasi di Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mengangkat peran penting perempuan dalam pengelolaan hutan. Cerita kedua mengisahkan upaya pengajuan hutan adat ditengah-tengah penguasaan sektor privat di Kemukimen Nosar dan Kemukimen Bintang, Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam. Cerita ketiga mengisahkan upaya empat kelompok masyarakat di Desa Kedungasri, Kendalrejo, Sumberasri dan Grajagan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dalam mengamankan akses mereka ke hutan melalui skema perhutanan sosial. Sementara cerita terakhir mengisahkan upaya masyarakat adat mendapatkan pengakuan dan memiliki hak akses dan kelola lahan serta sumber daya alam dari Pemerintah Kabupaten Sekadau dan Sanggau, Kalimantan Barat.

Dengan membaca cerita-cerita ini, kami harap pembaca dapat ikut merasakan keberagaman yang ada dalam pelaksanaan Proyek DGM Indonesia. Harapannya, keberagaman ini bisa menjadi inspirasi perjuangan serupa di daerah lain. Selamat membaca.

Page 2: DGM INDONESIA

2 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020|

2

INTRODUCTION

The Dedicated Grant Mechanism or known as (DGM) has been on-going implementation since 2017 in Indonesia. The project was designed to increase Indigenous Peoples and Local Communities’ (IPLC) capacity to involve them fully in the process of securing forest rights and access and obtaining opportunities to improve livelihoods. Four years later, 63 projects have been commenced under its support, spread across seven regions in Indonesia (Sumatra, Java, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, and Papua) and involving more than 150 communities.

The tenure clarification process is a long and winding road. DGM Indonesia’s partners have taken various ways, including legal efforts to recognize the indigenous people, customary forests stipulation, and processes related to agrarian reform. The start of the COVID-19 Pandemic in early 2020 has made the long road steeper. The postponement of almost all activities and limited mobility that happened in the first half of 2020 did not discourage the enthusiasm of DGM Indonesia’s partners. This time, the Story from Partners would like to highlight these efforts.

The first story is located in Gerduren Village, Purwojati District, Banyumas Regency, Central Java, highlighting the women’s vital roles in forest management. The second story tells of the efforts to stipulate customary forest amidst the control of the private sector in Kemukimen Nosar and Kemukimen Bintang, Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam. The third story tells of the efforts of four community groups in the Villages of Kedungasri, Kendalrejo, Sumberasri and Grajagan, Banyuwangi Regency, East Java, to secure their access to the forest through a social forestry scheme. Meanwhile, the last story tells of the indigenous peoples’ efforts to gain recognition, access, and rights in managing the land and natural resources from Sekadau and Sanggau Regency Governments, West Kalimantan.

By reading these stories, we hope that readers can share the diversity of DGM Indonesia implementation. We hope this diversity can inspire similar efforts in other regions. Happy reading.

Hutan di Komunitas Adat Lewu Tehang. Komunitas Adat Lewu Tehang merupakan salah satu kelompok masyarakat Dayak Ngaju yang hidup dan mendiami kawasan disekitar aliran sungai Manuhing di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Melalui dukungan DGM-I, Komunitas ini melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif yang sifatnya ramah lingkungan dan berkelanjutan di Wilayah Adat Tehang. Kegiatan mereka lakukan sambil terus mengupayakan pengakuan Masyarakat Adat oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Mas.

...

Forest in Lewu Tehang Indigenous Community. The Lewu Tehang community is part of Dayak Ngaju Tribe who live and inhabit the area around the Manuhing river in Manuhing Raya District, Gunung Mas Regency, Central Kalimantan Province.

Through DGM-I support, the community develops alternative livelihoods that are environmentally friendly and sustainable in the Tehang Adat Area. The activities they carry out while continuing to seek Indigenous Peoples recognition from the Gunung Mas Regency Government.

Cover Story

Desa Gerduren: Perjuangan Partisipasi Perempuan dalam Pengelolaan Hutan................................................. 3

Desa Gerduren: Beginning the Women’s Journey in Forest Management...................................................... 5

Kedaulatan Hutan Adat di Aceh....................................... 6

The struggle of People in Aceh for the Sovereignty over their Customary Forest............................................. 7

Perjuangan hak Tenurial dan Kepastian Mata Pencaharian di Banyuwangi.................................... 8

Struggle for tenure and livelihood security in Banyuwangi: ............................................................... 9

Keberhasilan Perjuangan Hak Masyarakat Adat Memperoleh Pengakuan di Tengah Pandemi................. 10

The Success of the Struggle for the Rights of Indigenous Peoples Receives Recognition amid the Pandemic......................................................... 11

Surat Kabar dari Mitra..................................................... 12.

Daftar Isi/Table of contents

Page 3: DGM INDONESIA

3 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020 |

Berbicara soal pemetaan partisipatif, sebuah kegiatan yang jarang melibatkan perempuan, Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas, Jawa Tengah punya cerita unik tersendiri. Sejak awal, perempuan sangat terlibat dalam proses tersebut. Pada tahun 2018, LPPSLH (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan) yang telah bekerja di desa tersebut sejak tahun 1998, mulai bekerja untuk mendapatkan Izin Pemanfaatan Hutan untuk Perhutanan Sosial (IPHPS). LPPSLH menggunakan Peraturan No.39/2017 tentang Wilayah Kerja Perum Perhutani sebagai dasar. Bersamaan dengan upaya pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi terbuka tentang perencanaan, pengelolaan, advokasi, dan penetapan tujuan, termasuk mengidentifikasi potensi mata pencaharian desa.

Saat perjalanan untuk mendapatkan izin dimulai, desa perlu memperjelas perbatasannya dengan desa tetangganya. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), sebagai fasilitator proses, melatih masyarakat lokal, laki-laki dan perempuan, untuk menggunakan tools Global Positioning System (GPS) dalam prosesnya. Narsem, salah satu perempuan yang terlibat aktif

Desa Gerduren: Perjuangan Partisipasi Perempuan dalam Pengelolaan Hutan

dalam ekowisata di kawasan itu mengatakan betapa senangnya dia dengan pengalaman baru ini karena dia belum pernah melakukannya sebelumnya. “Pada saat diajak oleh teman-teman LPPSLH, saya langsung tertarik. Karena tentu akan ada pengalaman baru ketika kita melakukan sesuatu yang belum pernah. Kami diajak untuk berkeliling desa. Kegiatannya adalah partisipatif. ” Baik pria maupun wanita berjalan melalui desa mereka sendiri untuk memetakan perbatasan. Banyak dari perempuan yang menyadari bahwa mereka telah tinggal di Gerduren selama beberapa dekade, namun mereka masih belum mengetahui secara pasti perbatasan desa mereka sendiri. “Benar-benar menjadi pengalaman baru. Karena meski setiap saat lewat, tetapi kan tidak memperhatikan. Ada juga perbatasan desa yang sebelumnya tidak kami ketahui. ” Itu adalah pengalaman yang mencerahkan, seperti yang dikatakan Narsem.

Menariknya, saat memetakan Gerduren, warga menemukan sebuah kawasan yang berbatasan dengan Desa Tinggarjaya, dan selama 20 tahun tidak jelas status pemanfaatannya. Para perempuan yang terlibat dalam proses negosiasi dan setelah masalah diselesaikan,

Pemetaan desa dilakukan oleh perempuan di Desa Gerduren. (SAMDHANA/Rizkiah Ma’mur)

Oleh Yessi Dewi Agustina

Page 4: DGM INDONESIA

4 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020|

menjadi sorotan pada hari itu. “Pada saat perempuan ikut melakukan pemetaan dan ada daerah yang disengketakan dulu, maka mereka tampil ke depan. Itu ada tanah yang selama 20 tahun, statusnya tidak jelas. Sehingga perlu dirampungkan, kalau tidak bisa-bisa-berantem terus tanpa berhenti. Maka, ketika terselesaikan, itu menjadi salah satu poin penting. Apalagi negosiasi dilakukan oleh sebagian besar perempuan, ”ujar Surti Handayani, Anggota Panitia Pengarah Dedicated Grant Mechanism Indonesia (DGMI), yang mendukung inisiatif tersebut melalui Samdhana Institute. Ia mengaitkan keberadaan perempuan sebagai salah satu faktor kelancaran negosiasi dengan Tinggarjaya tanpa konflik lebih lanjut.

Surti juga menyebutkan, selama diskusi untuk mengelola ekowisata Gunung Pertapan, perempuan lebih siap dan secara logis berdebat tentang rencana ke depannya. Para wanita kini semakin percaya diri untuk menunjukkan kemampuan mereka. “Salah satu yang kini digeluti secara serius adalah Yayasan Gunung Pertapan sebagai ekowisata. Pada saat diskusi awal, ternyata perempuan lebih siap dalam merencanakan ekowisata. Mereka lebih mantap dalam berargumentasi atau rencana-rencana yang bakal dilaksanakan. Sehingga pada saat aksi di lapangan, para perempuanlah yang lebih tampil di depan”.

Para perempuan tersebut mengetahui bahwa desanya memiliki banyak potensi dan semakin bersemangat untuk mengelolanya. Hutan desa memiliki luas total 285 hektar. Dengan ruang seperti itu, terdapat potensi yang sangat besar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal secara signifikan. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dibentuk oleh Kepala Desa, Bambang Suharsono, dan para perempuan tersebut diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara terbuka. Menurut Bambang, hal tersebut karena para wanita sangat ingin mengolah ide dan mengelola situs.

Masyarakat Desa tersebut berharap agar kawasan wisata mereka dapat dikembangkan lebih jauh, dan semakin banyak perempuan

yang dapat memperoleh pekerjaan. “Memang, nantinya tidak hanya menggarap Gunung Pertapan. Wisata di lokasi itu memang sangat penting keberadannya, untuk menyatukan semua potensi. Kami siap membuat produk olahan atau hasil kerajinan yang menarik bisa dipasarkan di lokasi wisata. Apalagi, saat ini sudah mulai ada peralatan yang menunjang membuat produk olahan. ” Narsem menuturkan, wisata Gunung Pertapan Gerduren telah membangkitkan harapan baru bagi masyarakat khususnya kaum perempuan. Para perempuan merasakan dampak positif dalam mengurangi pengangguran di desa, tidak hanya bagi penduduk setempat, tetapi juga bagi orang luar yang bekerja di Pertapan.

Surti berharap pengalaman ini tidak hanya terbatas untuk satu generasi perempuan ini saja, tetapi akan di wariskan ke generasi yang akan datang. Para ibu bahkan gadis remaja harus didorong untuk berpartisipasi melanjutkan perjalanan. “Jangan sampai tidak melakukan kaderisasi. Sebab, tanpa kaderisasi, maka bisa saja nanti kan mandek. Oleh karena itu, kami terus mendorong kepada para perempuan untuk juga mengajak ibu-ibu yang sudah tua untuk menentukan juga, tentu sesuai dengan apa yang mereka bisa. Keterlibatan mereka juga sangat penting.

Sumber :• Laporan Q1,2 dan 3 LPPSLH – DGMI reports • Laporan Akhir LPPSLH – DGMI Report • Buku Tapak Perjuangan untu Hutan Berkeadilan - Lilik Darmawan

LPPSLH

Page 5: DGM INDONESIA

5 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020 |

When speaking about participatory mapping, an activity rarely involving women, Gerduren Village1 has its own unique story. From the very beginning, the women have been heavily involved in the mapping process. LPPSLH (Institute for Research and Development of Resources and Environment) has been working in the village since 1998. In 2018, they started work to obtain a Forest Utilization Permit for Social Forestry (IPHPS), based on Regulation No.39/ 2017, on the work area of Perum Perhutani. They actively involved the community to participate in an open discussion on the planning, management, advocacy, and setting of goals, including identifying the village’s potential livelihood.

As the journey to obtain the permit began, the village needed to clarify its border with their neighbouring village. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), the facilitator of the process, trained the locals, both men and women, to use Global Positioning System (GPS) tools. Narsem, one of the women who actively involved in ecotourism in the area said she was very excited with this new experience. “Pada saat diajak oleh teman-teman LPPSLH, saya langsung tertarik. Karena tentu akan ada pengalaman baru ketika kita melakukan sesuatu yang belum pernah. Kami diajak untuk berkeliling desa. Kegiatannya adalah partisipatif.” Both men and women walked through their own village to map the borders. Many of the women realized that they have lived in Gerduren for decades, yet they still didn’t know the exact borders of their own village. “Benar-benar menjadi pengalaman baru. Karena meski setiap saat lewat, tetapi kan tidak memperhatikan. Ada juga perbatasan desa yang sebelumnya tidak kami ketahui.” It was an enlightening experience, as Narsem stated.

Interestingly, while mapping Gerduren, the locals came across an area that has border issues with Tinggarjaya Village, and for 20 years had no clear status of usage. The women involved in the negotiation process, and once the matter was resolved, it became the highlight of their experience. “Pada saat perempuan ikut melakukan pemetaan dan ada daerah yang disengketakan dulu, maka mereka tampil ke depan. Itu ada tanah yang selama 20 tahun, statusnya tidak jelas. Sehingga perlu dirampungkan, kalau tidak bisa-bisa berantem terus tanpa berhenti. Maka, ketika terselesaikan, itu menjadi salah satu poin penting. Apalagi negosiasi dilakukan oleh sebagian besar perempuan“ said Surti Handayani, member of the Steering Committee of Dedicated Grant Mechanism Indonesia (DGMI), which supported the initiative through Samdhana Institute. She attributed the presence of women as one of the factors that the negotiation with Tinggarjaya ran smoothly without further conflicts.

Surti also mentioned, during the discussion to manage the local ecotourism in Gunung Pertapan, the women were more ready and objective about future plans. The women now are more confident to show their abilities. “Salah satu yang kini digeluti secara serius adalah mengelola Gunung Pertapan sebagai ekowisata. Pada saat diskusi awal, ternyata perempuan lebih siap dalam merencanakan ekowisata. Mereka lebih mantap dalam berargumentasi maupun rencana-rencana yang bakal dilaksanakan. Sehingga pada saat aksi di lapangan, para perempuanlah yang lebih tampil di depan,”

The women learned that their village has a lot of potentials and are more excited to manage it. The village forest has a total area of 285 hectares. With such a space, there is an immense potential to improve the local people’s livelihood significantly. A Tourism Awareness Group (Pokdarwis) was created by the Village Head, Bambang Suharsono, and the women create ideas and manage the site were given the opportunity to participate openly. According to Bambang, this is because the women are eager to create ideas and manage the site.

The village hoped that their tourism site could be developed further, and that more women can gain work from it. “Memang, nantinya tidak hanya menggarap Gunung Pertapan. Wisata di lokasi itu memang sangat penting keberadannya, untuk menyatukan semua potensi. Kami siap untuk membuat produk olahan atau hasil kerajinan yang menarik supaya bisa dipasarkan di lokasi wisata. Apalagi, saat sekarang sudah mulai ada peralatan yang menunjang membuat produk olahan.” Narsem stated that Gerduren’s Gunung Pertapan tourism has rekindled new hope for the locals, especially the women. The women felt the positive impact in reducing the village unemployment, not just for the locals, but also for outsiders who come to work in Pertapan.

Surti hoped that the experiences will benefit, not only this generation of women but will continue on to the future. Mothers and even teenage girls should be encouraged to participate to continue the journey. “Jangan sampai tidak melakukan kaderisasi. Sebab, tanpa kaderisasi, maka bisa saja nanti kan mandek. Oleh karena itu, kami terus mendorong kepada para perempuan untuk juga mengajak ibu-ibu yang sudah tua untuk berpartisipasi juga, tentu sesuai dengan apa yang mereka bisa. Keterlibatan mereka juga sangat penting.”

Desa Gerduren: Beginning the Women’s Journey in Forest Management

https://samdhana.org/sites/default/files/publication/Stories%202020.pdfSource:

Page 6: DGM INDONESIA

6 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020|

Tengah, Karimansyah, menginstruksikan bagian-bagian terkait dalam Pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah menyelesaikan segala persyaratan penetapan hutan adat, khususnya peta wilayah kemukimen yang merupakan salah satu syarat utama. Hal tersebut disampaikan oleh Karimansyah saat Rapat Audiensi dengan JKMA di ruang rapat Sekda Aceh Tengah pada Selasa, 21 Januari 2020.

Dalam pelaksanaan di lapangan, proses pemetaan wilayah adat selalu diikuti dengan konflik tata batas yang cukup sulit diselesaikan seperti yang dihadapi oleh Kemukimen Nosar dan Kemukimen Bintang. Harapannya, dengan adanya keterlibatan pemerintah kabupaten permasalahan tersebut lebih mudah untuk diselesaikan. Masalah konflik batas ini kemudian memperoleh tanggapan positif dari Sekda Kabupaten Aceh Tengah dengan menunjuk Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setdakab Aceh Tengah, Dinas Pertanahan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK), Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan (BLHKP), Bappeda Aceh Tengah untuk membantu JKMA Aceh dalam proses penetapan hutan adat, salah satunya menyelesaikan konflik batas wilayah mulai dari tingkat kampung.

Lebih lanjut, dengan adanya penetapan wilayah adat dan hutan adat, Mukim Bintang, Fitrah, berharap agar ke depan tugas mukim khususnya menjadi lebih jelas agar tidak samar-samar

Selama ini kawasan hutan di Aceh Tengah sebagian besar dikuasai oleh sektor privat yang memanfaatkan hasil hutan kayu melalui Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri sementara wilayah hutan sisanya merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi lindung sehingga akses masyarakat Gayo menjadi terbatas. Kenyataan itulah yang kemudian membuat masyarakat di Kemukimen Nosar dan Kemukimen Bintang, Kabupaten Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam bertekat mengajukan Hutan Adat. Kedua kemukimen yang terletak di kaki bukit dan sangat dekat dengan Danau Laut Tawar, Suku Gayo menyebut danau ini dengan sebutan Danau Lut Tawar yang masih sangat kental dalam menerapkan adat dan budaya yang mereka jaga secara turun temurun. Harapannya, dengan adanya hutan adat, pengelolaan dapat kembali ke tangan masyarakat dan dilakukan dengan lebih lestari.

Dengan didampingi oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, kedua mukim telah memulai proses panjang upaya pengakuan. Pada Oktober 2019 musyawarah awal di tingkat kemukimen yang dihadiri oleh mukim (kepala kemukimen), para reje (kepala desa), tokoh masyarakat, pemuda dan tokoh perempuan dilakukan disamping melakukan upaya pendekatan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah. Upaya ini kemudian membuahkan hasil ketika Sekretaris Daerah Aceh

Kegiatan pelatihan penguatan Lembaga Adat di Takengon.(JKMA Aceh)

Kedaulatan Hutan Adat Di Aceh

Oleh Patti Rahayu dan Ratna Pawitra

Page 7: DGM INDONESIA

7 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020 |

seperti sekarang ini. Sementara Mukim Nosar, Kasihandi, menginginkan adanya kedaulatan adat di tingkat tapak dalam mengelola sumber daya alamnya yang tentu saja harus dengan dukungan pemerintah kabupaten.

Saat ini, meskipun tertunda dikarenakan Pandemi COVID-19, proses penetapan masih berlangsung dan berjalan lebih lambat. Harapan masyarakat di kedua kemukimen untuk memperoleh kedaulatan

hutan adat masih terus menyala.

Most of the forest areas in Central Aceh are controlled by the private sector, which utilizes timber forest products through Industrial Plantation Forest Concession Rights. Meanwhile, the remaining areas are forest areas with a protected function that limit the Gayo community access. This fact has prompted the community in Kemukimen Nosar and Kemukimen Bintang, Aceh Tengah Regency, Nangroe Aceh Darussalam to decide to propose a customary forest. The two kemukimen are located at the hill foot, very close to Lake Lut Tawar are still very strong in implementing the customs and culture they have preserved from their ancestor to the current generation. The communities hope that with the customary forest status, the community can run forest management more sustainably.

Accompanied by Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, the two mukim have begun a long recognition effort process. In October 2019, a preliminary discussion was held at the kemukimen level and attended by mukim (head of the kemukimen), reje (village heads), community leaders, youth, and women leaders. In parallel, the approach to Central Aceh Regency was also ongoing. As a result, the Regional Secretary of Central Aceh, Karimansyah, instructed the relevant sections in the Central Aceh Regency Government to complete all the requirements for designating customary forests, especially the map of the kemukimen area, which is one of the main requirements. Karimansyah conveyed this during an audience meeting with JKMA in the Central Aceh Regency Secretary’s meeting room on Tuesday, January 21, 2020.

During the implementation, mapping of the customary territories are always followed by boundary conflicts that are pretty difficult to resolve, such as those faced by Kemukimen Nosar and Kemukimen Bintang. The hope is, with the involvement of the regency government, these problems will be easier

to solve. This issue then received a positive response from the Regional Secretary of Central Aceh Regency by appointing the Head of the Central Aceh Secretariat Governance Section, the Land Agency, the Community and Village Empowerment Service (DPMK), the Environment, Hygiene and Landscape Agency (BLHKP), Bappeda Central Aceh to assist JKMA Aceh in the customary forests stipulation. The process then begins by resolving territorial boundary conflicts starting at the village level.

Furthermore, with the establishment of customary territories and customary forests, Mukim Bintang, Fitrah, hopes that the duties of the mukim will become more apparent in the future so that they are not as vague as they are today. Meanwhile, Mukim Nosar, Kasihandi, wants customary sovereignty at the site level to manage natural resources, which the regency government must support.

At present, although delayed for some time due to the COVID-19 Pandemic, the customary forest stipulation process is still ongoing and is running at a slower pace. The two kemukimen people hope for obtaining customary forest sovereignty are still burning.

Customary Forest Sovereignty in Aceh

Catatan: Artikel ini dirangkum dari https://trans89.com/2019/10/19/pertahankan-hutan-adat-di-aceh-tengah-kemukimen-nosar-petakan-wilayahnya, https://barometernews.id/pemkab-aceh-tengah-dukung-penetapan-hutan-adat/.

Note: this article is adapted from https://trans89.com/2019/10/19/pertahankan-hutan-adat-di-aceh-tengah-kemukimen-nosar-petakan-wilayahnya, https://barometernews.id/pemkab-aceh-tengah-dukung-penetapan-hutan-adat/.

By Patti Rahayu and Ratna Pawitra

Page 8: DGM INDONESIA

8 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020|

daerah untuk kebutuhan hidup dan menjualnya untuk mendapatkan penghasilan.

Dua kelompok lainnya adalah Kelompok Usaha Bersama (KUB) Perikanan Windu Jaya dan KUB Perikanan Baruna Jaya sedang mengupayakan kemitraan kehutanan untuk wilayah mereka. Kedua kelompok tersebut mengolah siput dan udang menjadi camilan renyah untuk dijual. Selain itu, mereka juga menjual ikan dan kepiting hasil tangkapan sebagai penghasilan.

Fasilitasi kegiatan diatas dilakukan semenjak tahun 2014 dengan dukungan ARUPA, lembaga lokal yang berdiri sejak tahun 1998 di Yogyakarta. Panjangnya proses yang harus ditempuh terjadi karena kawasan tersebut diserahkan kepada Perum Perhutani (Badan Usaha Milik Negara di bawah KLHK) untuk dikelola bersama dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Namun demikian keputusan untuk menanam atau memanen di areal tersebut bergantung pada Perum Perhutani. Dikarenakan masyarakat menginginkan kebebasan untuk mengelola kawasan yang akan mendukung mata pencaharian mereka, keputusan untuk mengajukan IPHPS dan Kulin KK diambil. Proses ini kemudian melibatkan banyak pihak

Empat kelompok masyarakat di Desa Kedungasri, Kendalrejo, Sumberasri dan Grajagan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur berupaya untuk mengamankan status hak mereka melalui skema perhutanan sosial. Sebuah skema pengelolaan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Gapoktanhut (Kelompok Tani Hutan) Desa Kedungasri memilih untuk menempuh jalur mengajukan izin pemanfaatan hutan untuk Perhutanan Sosial (IPHPS) dan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK). Kedua skema tersebut dipilih karena 114 rumah tangga memutuskan untuk mengejar pengajuan IPHPS untuk areal seluas 30 ha, sedangkan sekitar 1.200 rumah tangga memutuskan untuk mengejar Kulin KK seluas 804 ha.

Selain itu, sebanyak 150 KK dari Desa Grajagan yang tergabung dalam LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Petani Hutan Mandiri juga mengejar Kulin KK. Mereka berencana menanam pohon kayu di lahan seluas 4.110,58 ha. Kedua kelompok masyarakat tersebut juga memanen jagung, beras, kacang-kacangan, jeruk, mangga, dan jambu biji yang merupakan komoditi lokal

Nelayan Banyuwangi memanfaatkan fasilitas dukungan dari Samdhana/DGM-I. (ARUPA/Kresna)

Perjuangan Hak Tenurial untuk Meningkatkan Mata Pencaharian di Banyuwangi

Oleh Patti Rahayu

Page 9: DGM INDONESIA

9 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020 |

seperti perangkat desa, manajemen Perhutani, Perencanaan Hutan Wilayah (PHW) V Jember-Perhutani, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banyuwangi Selatan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Yogyakarta, hingga KLHK.

Saat ini SK IPHPS Gapoktanhut Desa Kedungasri telah terbit dan sosialisasi mengenai SK ini kemudian dilaksanakan pada bulan Januari 2020 bersama dengan Perum Perhutani. Sementara itu, proses pengajuan ijin bagi

kelompok lain masih berjalan. Meskipun belum selesai, masyarakat telah merasakan hal positif sebagai imbas dari pengajuan yang mereka lakukan. Anggota kelompok yang semula tidak memahami cara penggunaan komputer kini dapat mengoperasikannya. Pengetahuan baru ini mereka gunakan untuk mengetik dokumen pendukung pengajuan ijin untuk diserahkan ke Kementerian.

Four community groups in Kedungasri, Kendalrejo, Sumberasri and Grajagan villages, Banyuwangi Regency, East Java are trying to secure their rights through a social forestry scheme. A forest management scheme under the Ministry of Environment and Forestry (KLHK).

Gapoktanhut (Forest Farmers Group) in Kedungasri Village chose to apply for forest utilization permits for Social Forestry (IPHPS) and Forest Partnership Recognition and Protection (Kulin KK). The two schemes were chosen because 114 households decided to pursue IPHPS applications for an area of 30 ha, while around 1,200 households decided to pursue Kulin KK, covering 804 ha.

Meanwhile, as many as 150 families from Grajagan Village are members of the LMDH (Forest Village Community Institution) Independent Forest Farmers are also pursuing Kulin KK. They plan to plant timber trees in an area of 4,110.58 ha. Both Kedungsari Village and Grajagan Village harvest local commodities (maize, rice, beans, oranges, mangoes, guava) for daily needs and sell them for income.

The other two groups, the Windu Jaya Fisheries Joint Business Group (KUB) and the Baruna Jaya Fisheries KUB, are working on a forestry partnership for their region. The two groups produce snacks from snails and prawns for sale. In addition, they also sell their catch of fish and crabs as income.

The facilitation of the above activities has been ongoing since 2014 with the support of ARUPA, a local organization founded in 1998 in Yogyakarta.

The lengthy process occurs because the area is under Perum Perhutani (State-Owned Enterprises under the Ministry of Environment and Forestry) management to be jointly managed with the people living in the surrounding area. However, because the decision to plant or harvest depends on Perum Perhutani, the community wanted independence. The community feels they need to be free to decide their livelihood.

Therefore, the decision to apply for IPHPS and Kulin KK was taken. This process then involved many parties such as village officials, Perhutani management, Jember-Perhutani V Forest Planning (PHW), South Banyuwangi Forest Management Unit (KPH), Yogyakarta Forest Area Consolidation Center (BPKH), to the Ministry of Environment and Forestry.

At present, the SK IPHPS Gapoktanhut Kedungasri Village has been issued, and the socialization of this SK is then carried out in January 2020 together with Perum Perhutani. Meanwhile, the process for permit application for other groups is still ongoing. Even though it is not finished, the community has felt a positive impact due to this process. Group members who initially did not understand how to use computers are now able to operate them. They use this new knowledge to type supporting documents for permit applications to be submitted to the Ministry.

The Struggle for Tenure Rights to Improve Livelihoods in BanyuwangiOleh Patti Rahayu

Page 10: DGM INDONESIA

10 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020|

komunal (skema hutan adat dalam perhutanan sosial).

Dalam prosesnya komunitas difasilitasi oleh Konsorsium AMAN Sekadau dan AMAN Sanggau. Dimulai sejak bulan Agustus 2019, fasilitasi tidak hanya sebatas pendampingan masyarakat dalam penyadaran untuk melaksanakan proses hak tenurial, tetapi juga melakukan pendekatan terhadap dua pemerintah kebupaten serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pandemi COVID-19 di tahun 2020 menjadikan tantangan besar dalam penyelesaian dokumen pendukung aplikasi hutan adat. Proses pendampingan dan pemetaan untuk melengkapi data spasial dan profil masyarakat terhenti akibat hilangnya akses masuk ke beberapa desa. Masyarakat desa menutup dan membatasi orang-orang untuk dapat masuk dan melakukan aktivitas di desanya. Namun demikian, sebelum penutupan terjadi masyarakat dan AMAN Sekadau sempat menyiapkan beberapa informasi dasar dari keempat komunitas. Sehingga meskipun ada keterbatasan, Tim AMAN Sekadau mampu menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk penetapan tersebut. Ketika penutupan itu kemudian dibuka, desa-desa di wilayah dampingan mengadakan upacara adat Tolak Bala (lindong kampong / jaga bonua) untuk melindungi desa. Kegiatan untuk melengkapi data spasial dan juga

Empat komunitas adat, Taman Meragun dan Taman Sunsong di Kabupaten Sekadau dan Dayak Mayao dan Dayak Sami di Kabupaten Sanggau mengupayakan masyarakatnya mendapat pengakuan dan memiliki hak akses dan kelola lahan dan sumber daya alam dari Pemerintah Kabupaten Sekadau dan Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Masyarakat Taman Meragun dan Taman Sunsong memperjuangkan hak tenurial mereka karena izin perkebunan dan pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Padahal kawasan Taman Meragun telah ditetapkan sebagai hutan lindung seluas 16.727 ha. Izin lain yang juga dikeluarkan termasuk izin perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta seluas 4.552, 88 ha dan seluas 1.359 ha sementara lainnya adalah berstatus Area Pemanfaatan (APL). Sedangkan masyarakat Dayak Mayao dan Dayak Sami menghadapi masalah yang sama bahkan lebih parah. Perusahaan swasta didaerah tersebut melakukan penggusuran di luar batas wilayah adat Masyarakat Sami. Namun adanya perlawanan masyarakat Sami telah menggagalkan upaya penggusuran tersebut.

Kepastian hak atas wilayah tinggal dan hutan adat dibutuhkan oleh keempat komunitas adat tersebut untuk secara legal mengelola hutan dan lahannya secara lestari. Peraturan Daerah PPMHA dan Permendagri 52/2014 memberikan peluang untuk mendapatkan kepastian itu melalui status hak milik

Pemetaan wilayah adat Sami.(AMAN Sekadau)

Keberhasilan Perjuangan Hak Masyarakat Adat Memperoleh Pengakuan di tengah Pandemi

Oleh Patti Rahayu dan Nurul Chairunnisa

Page 11: DGM INDONESIA

11 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020 |

dokumen profil masyarakat dilanjutkan kembali setelah upacara usai.

Komunikasi dengan masyarakat dan pemerintah daerah di kedua kabupaten terus berjalan meski terbatas untuk mendorong kemajuan proses. Agenda yang telah disusun bersama antara pemerintah dan masyarakat sempat tertunda karena prioritas kerja di kedua kabupaten bergeser ke penanganan pandemi COVID-19.Dengan keterbatasan, perjuangan untuk meyakinkan kedua pemerintah daerah terus

berlanjut. Kerja keras ini berbuah ketika SK pengakuan dan perlindungan terbit dipenghujung tahun 2020. Bupati Sanggau, Paolus Hadi, S.IP, M.Si kemudian menyerahkan SK Bupati Sanggau Nomor 572 Tahun 2020 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak Sub Suku Sami dan SK Bupati Sanggau Nomor 573 Tahun 2020 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak Sub Mayao. Penyerahan SK tersebut dilakukan di Dusun Kadak, Desa Upe, Kecamatan Bonti pada Selasa, 13 April 2021.

The four indigenous communities, Taman Meragun and Taman Sunsong in Sekadau Regency and Dayak Mayao and Dayak Sami in Sanggau Regency, seek the recognition, rights, and access to manage the land and natural resources from the Sekadau and Sanggau Regency Governments, West Kalimantan Province. The communities of Taman Meragun and Taman Sunsong fight for their tenure rights because local governments issue plantation and mining permits to the private sector. Despite Taman Meragun designation as a protected forest covering the area of 16,727 ha, licenses were issued to the private companies for oil palm plantation permits covering the areas of 4,552, 88 ha, and 1,359 ha. Meanwhile, other areas are under the status of Utilization Area (APL). The Dayak Mayao and Dayak Sami people face the same problem, even more severe. Private companies in the area carried out evictions outside the boundaries of the customary territory of the Sami Community. However, the resistance of the Sami people has thwarted the eviction attempt.The four customary communities need the certainty to manage the land and natural resources sustainably and legally. PPMHA Regional Regulations and Permendagri 52/2014 provide an opportunity to obtain this assurance through the status of communal property rights (customary forest under social forestry scheme).

The AMAN Sekadau and AMAN Sanggau Consortium facilitated this application process. Starting in August 2019, facilitation was not limited to assisting the community in raising awareness to carry out the tenure rights process but also approaching the two regency governments and the Ministry of Environment and Forestry.

The COVID-19 pandemic in 2020 poses a significant challenge in completing supporting documents for customary forest applications.

The facilitation and mapping process to complete spatial data and community profiles were delayed due to access limitation to several villages. The village community closes and restricts people from entering and carrying out activities in their village. However, before the access limitation occurred, the community and AMAN Sekadau had prepared some basic information from the four communities. Therefore the AMAN Sekadau Team was able to prepare the documents needed for the application. When the access opened again, the villages held a traditional ceremony of Tolak Bala (lindong kampong / jaga bonua) to protect the villages. Activities to complete spatial data and community profile resumed after the ceremony was over.

Communication with communities and local governments in the two regencies continues, albeit limited to encouraging progress in the process. The plan set up jointly by the government and the community was postponed due to priorities changes to handle the COVID-19.

With limitations, the effort to convince the two local governments continues. This hard work paid off when the decree for recognition and protection issued at the end of 2020. The Regent of Sanggau, Paolus Hadi, S.IP, M.Si then hand over the Sanggau Regent’s Decree Number 572 of 2020 on the Recognition and Protection of the Dayak Indigenous Peoples of the Sami Tribe and Number 573 of 2020 on the Recognition and Protection of the Dayak Sub Mayao Customary Law Community. The decree was handed over at Kadak Hamlet, Upe Village, Bonti District, on Tuesday, April 13, 2021.

The Success of the Struggle for the Rights of Indigenous Peoples Receives Recognition amid the PandemicBy Patti Rahayu and Nurul Chairunnisa

Page 12: DGM INDONESIA

12 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020|

2

https://www.jkma-aceh.org/buletin-tuhoe-edisi-xxiii-juli-2020/

https://pplh-mangkubumi.or.id/wp-content/uploads/2020/10/Lembar-Mangkubumi-Edisi-Januari-2020.pdf

Surat Kabar dari Mitra

Page 13: DGM INDONESIA

13 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020 |

Page 14: DGM INDONESIA

14 DGM INDONESIA Cerita dari Mitra 2020|

209

21

3

2

NATIONAL EXECUTING AGENCY (NEA)

THE SAMDHANA INSTITUTEJalan Tampomas No. 33 Bogor 16128 Jawa Barat, Indonesia

Phone +62 251 7546173

www.dgmindonesia.id [email protected]

247

28

FIRST ROUND OF SUB-PROJECTS SECOND ROUND OF SUB-PROJECTS

DGM-I SUB-PROJECTS

SUB-PROJECTS PER REGION (7 REGIONS)

SUB-PROJECTS APPROVED

SUB-PROJECTS PROPOSAL RECEIVED SUB-PROJECTS PROPOSAL RECEIVED

SUB-PROJECTS APPROVED

SUB-PROJECTS PER REGION (7 REGIONS)4THIRD ROUND OF SUB-PROJECTS

210

14

2

SUB-PROJECTS PROPOSAL RECEIVED

SUB-PROJECTS APPROVED

SUB-PROJECTS PER REGION (7 REGIONS)