Deskripsi
(Uraian Penemuan)
SKOR DENGUE
Bidang Teknik Invensi
Invensi ini merupakan penerapan dari kajian ilmu di bidang kedokteran, khususnya di
bidang penyakit tropik dan infeksi.
Latar Belakang Invensi
Invensi ini merupakan suatu sistem skor yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
efusi pleura dan/atau asites pada pasien terinfeksi dengue, serta dapat digunakan
untuk stratifikasi pasien terinfeksi dengue yang memiliki risiko mengalami demam
berdarah dengue berat.
Sebanyak dua-perlima populasi dunia di negara-negara tropis dan subtropis
beresiko demam berdarah. Diperkirakan 500.000 orang dengan infeksi dengue
memerlukan rawat inap setiap tahun (1, 2). Berdasarkan pengamatan berbasis
epidemiologi selama 20 tahun di Indonesia, terdapat pergeseran epidemiologi usia
individu yang terinfeksi dengue. Sejak tahun 1999, terjadi penurunan insiden infeksi
dengue pada anak usia 5 sampai 14 tahun (kelompok usia dengan kejadian tertinggi
infeksi dengue secara historis). Saat yang bersamaan terjadi peningkatan insidens
individu berusia lebih dari 15 tahun yang terinfeksi (3). Adanya kebocoran plasma,
salah satu ciri demam berdarah dengue (DBD), adalah penyebab utama infeksi dengue
berat (4, 5). Diagnosis cepat dan pengelolaan kebocoran plasma yang tepat merupakan
hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan DBD (4). Fujimoto et al. melaporkan
bahwa 5,7% pasien dengan kebocoran plasma mengalami disfungsi kardiorespirasi,
dan tingkat kematian mencapai 7,3% (6). Chairul Fatah et al. melaporkan pendarahan
parah pada 6% dari 1300 kasus DBD anak dan dewasa di Indonesia (7). World Health
Organization (WHO) mendefinisikan kebocoran plasma sebagai terjadinya
hemokonsentrasi dan / atau hipoalbuminemia dan / atau efusi serosa (2, 5, 8-10).
Namun demikian, terdapat beberapa keterbatasan dalam mendiagnosis kebocoran
plasma menggunakan kriteria ini. Dalam praktek klinis, dokter sering mendeteksi efusi
pleura dan / atau asites pada pasien dengan nilai peningkatan hematokrit kurang dari
20%, sesuai dengan titik potong diagnosis hemokonsentrasi menurut rekomendasi
WHO (1, 8, 9). Selain itu, penelitian sebelumnya menunjukkan kadar albumin <3,5 g /
dL pada pasien demam dengue (DD) maupun DBD, berbeda dengan kriteria WHO
yang menggunakan 3,5 g / dL untuk membedakan pasien dengan dan tanpa kebocoran
plasma (2, 11-14) . Dibandingkan dengan hematokrit dan kadar albumin, visualisasi
efusi pleura dan / atau asites dengan ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan
yang sangat sensitif dan spesifik untuk menentukan kebocoran plasma (15-18). Namun,
USG tidak tersedia secara luas di daerah-daerah sumber daya yang terbatas (19). Di
sisi lain, secara patofisiologi terdapat hubungan antara kebocoran plasma yang
diidentifikasi dengan adanya efusi pleura dan / atau asites dengan trombositopenia dan
peningkatan kadar transaminase hati (20, 21). Sejauh yang kami dapat telusuri, belum
ada penelitian yang melaporkan titik potong jumlah trombosit terendah dan rasio
peningkatan kadar transaminase pada fase kritis untuk mendiagnosis efusi pleura dan /
atau asites. Demikian pula, belum ada laporan titik potong hiponatremia, yang
merupakan manifestasi kebocoran plasma lain yang sering dijumpai (10). Kami
melakukan penelitian untuk mengembangkan sistem skor dengue untuk memprediksi
diagnosis efusi pleura dan / atau asites dengan menggunakan parameter laboratorium,
seperti tingkat hemokonsentrasi, konsentrasi albumin terendah di fase kritis, tingkat
hipoalbuminemia, jumlah trombosit terendah, rasio peningkatan aspartat
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), dan konsentrasi natrium pada
fase kritis. Skor Dengue ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi efusi pleura dan /
atau asites, yang merupakan indikator kebocoran plasma yang lebih baik, untuk
stratifikasi pasien demam berdarah yang terinfeksi berisiko mengalami demam
berdarah berat.
Ringkasan Invensi
Invensi ini adalah Skor Dengue, sistem skoring yang digunakan untuk mengidentifikasi
efusi pleura dan / atau asites untuk stratifikasi pasien demam berdarah yang terinfeksi
berisiko mengalami demam berdarah berat.
Invensi ini tersusun dari: 1) hemokonsentrasi >15,1% (skor=1); 2) konsentrasi albumin
<3,49 mg/dL (skor=1); 3) trombosit <49.500/uL (skor=1); dan 4) peningkatan rasio AST
> 2,51 (skor=1).
Nilai tambah dari invensi ini adalah: sistem skoring dapat digunakan untuk
mengidentifikasi efusi pleura dan/atau asites dengan menggunakan parameter
laboratorium sederhana; sehingga memudahkan untuk mengevaluasi pasien dengan
infeksi dengue yang berisiko mengalami demam berdarah dengue.
Evaluasi pasien dengan infeksi dengue sebelum mengalami demam berdarah
dengue penting, karena terjadinya kebocoran plasma semakin memperburuk keadaan
demam berdarah dengue, antara lain disfungsi kardiorespiratori, perdarahan, dan
mortalitas.
Uraian Lengkap Invensi
METODE
Pasien dan desain studi
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif observasional yang dilakukan di ruang
rawat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Persahabatan, Jakarta, Indonesia.
Pasien dewasa berusia lebih dari 14 tahun yang terinfeksi Dengue dan dirawat sejak
demam hari ketiga pada bulan Maret 2010 hingga Agustus 2015 diinklusi dalam
penelitian. Diagnosis infeksi dengue ditegakkan bila pasien demam akut dengan suhu
ketiak di atas 37,5 ºC terbukti positif pada pemeriksaan tes antigen protein nonstruktural
(NS) 1 (Standard Diagnostics, Korea). Kriteria eksklusi meliputi wanita hamil, pasien
dengan komorbiditas, dan pasien yang tidak bersedia berpartisipasi.
Serotipe virus dengue (DENV) dan pemeriksaan laboratorium klinis
Serotipe DENV ditentukan menggunakan RT-PCR konvensional menurut metode
Lanciotti et al. (22) dan Simplexa Dengue real-time RT-PCR (Diagnostik Focus,
Cypress, CA, USA) (23). RNA virus diekstraksi langsung dari 140 ul sampel serum
dengan menggunakan QIAamp RNA virus Mini kit (Qiagen, Hilden, Jerman), dilakukan
sesuai dengan instruksi produsen. Pada RNA yang dihasilkan tersebut, akan dilakukan
tes RT-PCR. Karakteristik pasien, awitan demam, dan temuan klinis dicatat untuk setiap
subyek pada saat kedatangan di intalasi gawat darurat. Pemeriksaan darah perifer
lengkap, termasuk tingkat hematokrit, jumlah trombosit, dan kadar albumin dilakukan
setiap hari sampai subyek memenuhi kriteria pulang rawat berdasarkan pedoman WHO
(5). Dilakukan pengukuran kadar transaminase hati (AST dan ALT) dan konsentrasi
natrium sebanyak dua kali selama fase kritis, yakni 24-48 jam setelah penurunan suhu
tubuh. Pemeriksaan USG untuk mendeteksi efusi pleura dan / atau asites
menggunakan perangkat ultrasound konvensional dengan transducer 3,5 MHz
dilakukan oleh dokter radiologi dalam 24 jam setelah penurunan suhu tubuh (5). Untuk
tujuan validasi hasil USG, dokter radiologi lain menilai ultrasonogram setiap subjek.
Derajat hemokonsentrasi, dinyatakan dalam persen (%), dihitung dengan cara
mengurangi nilai hematokrit tertinggi dengan hematokrit terendah yang tercatat,
kemudian membagi nilai tersebut dengan hematokrit terendah dan mengalikannya
dengan 100. Derajat hipoalbuminemia, dinyatakan dalam persen (%), dihitung dengan
cara mengurangi kadar albumin tertinggi dengan tingkat minimum, kemudian membagi
nilai tersebut dengan kadar albumin tertinggi dan mengalikannya dengan 100. Rasio
peningkatan AST atau ALT dihitung dengan membagi AST atau ALT tertinggi pada fase
kritis dengan batas atas nilai normal.
Etika
Fakultas Kedokteran Universitas Komite Etik Indonesia telah menyetujui penelitian ini.
Persetujuan setelah penjelasan (informed consent) diperoleh dari semua pasien atau
perwakilan mereka jika pasien tidak mampu memberikan informed consent.
Analisis Statistik
Besar sampel penelitian didasarkan pada estimasi prevalensi 48% dari
hemokonsentrasi pada subyek dengan efusi pleura dan / atau asites (24). Dengan
asumsi rasio odds 1,75, dengan α = 0,05 dan β = 0,20, besar sampel total yang
dibutuhkan adalah 168 pasien. Analisis bivariat dengan student t-test untuk data
terdistribusi normal dan uji Mann Whitney untuk data non-parametrik dilakukan untuk
mengidentifikasi variabel yang memiliki asosiasi bermakna dengan adanya efusi pleura
dan / atau asites. Nilai titik potong dengan sensitivitas dan spesifisitas terbaik dari
masing-masing variabel yang signifikan (p <0,05) untuk mendiagnosis efusi pleura dan /
atau ascites, ditentukan dengan menggunakan kurva receiving operating characteristic
(ROC). Setiap variabel kemudian dikategorikan ulang kembali berdasarkan titik potong
tersebut. Semua variabel yang memiliki asosiasi bermakna pada analisis bivariat akan
dianalisis selanjutnya dengan analisis multivariat. Kami memasukkan variabel ke dalam
analisis regresi multipel dengan menggunakan algoritma backward selection algorithm
untuk menentukan koefisien dan prediktor diagnostik independen efusi pleura dan /
atau asites. Koefisien yang didapatkan kemudian dikonversi ke dalam sistem skor risiko
sederhana. Performa model dinilai dengan uji Hosmer Lemeshow (untuk menilai
kemampuan kalibrasi) dan area under receiving operating characteristic curve (AROC)
(untuk menilai kemampuan diskriminasi-nya). Analisis statistik dilakukan dengan
menggunakan STATA software statistik versi 12 (Stata Corp, College Station, TX,
USA).
HASIL DAN DISKUSI
Dari 172 pasien yang terinfeksi Dengue, median dari usia pasien adalah 22 tahun;
dengan 89 (51,7 %) di antaranya adalah laki-laki. Umumnya, pasien (34,3%) terinfeksi
DENV-2; dan 101 (58,7%) mengalami efusi pleura dan/atau asites.
Didapatkan derajat hemokonsentrasi, konsentrasi albumin yang rendah saat fase
kritis, derajat hipoalbumin, hitung trombosit yang rendah, peningkatan rasio AST dan
ALT, konsentrasi natrium pada fase kritis berhubungan bermakna dengan efusi pleura
dan/atau asites. Dari keenam variabel tersebut dievaluasi nilai titik potong terbaik
berdasarkan analisis kurva ROC. Untuk variabel albumin, konsentrasi albumin terendah
pada fase kritis (<3,49 mg/dL) dan derajat hipoalbumin (>15,39%) adalah variabel yang
berhubungan dengan prediktor kejadian efusi pleura dan/atau asites. Pada praktek
klinis, konsentrasi albumin terendah pada fase kritis yang digunakan sebagai variabel
prediktor terjadinya efusi pleura dan/atau asites, karena hanya dilakukan satu kali
pemeriksaan.
Analisis bivariat untuk memprediksi efusi pleura dan/atau asites menggunakan
lima variabel yaitu : hemokonsentrasi >15,1% (OR 4,30; 95% CI 2,25-8,22; p<0,001),
konsentrasi albumin terendah saat fase kritis <3,49 g/dL (OR 10,07; 95% CI 4,83-
21,01; p<0,001) , nilai hitung trombosit <49.500/uL (OR 8,28; 95% CI 4,12-16,64;
p<0,001), peningkatan rasio AST > 2,51 (OR 4,94; 95% CI 2,54-9,62; p<0,001) dan
peningkatan rasio ALT >1,01 (OR 2,50; 95% CI 1,33-4,70; p 0,004).
Kemudian, berdasarkan analisis multivariat didapatkan variabel yang independen
menjadi prediktor terjadinya efusi pleura dan/atau asites yaitu: 1) hemokonsentrasi
>15,1% (OR 3,11; 95% CI 1,41-6,88; p 0,005); 2) konsentrasi albumin <3,49 mg/dL (OR
4,48; 95% CI 1,87-10,77; p 0,001); 3) trombosit <49.500/uL (OR 3,62; 95% CI 1,55-
8,49; p 0,003); dan 4) peningkatan rasio AST > 2,51 (OR 2,67; 95% CI 1,19-5,97; p
0,017).
Selanjutnya masing-masing dari variabel independen tersebut dilakukan skoring,
dengan membagi masing-masing koefisien regresi logistik multivariat dengan nilai
koefisien terkecil (peningkatan rasio AST >2,51) dari pemodelan. Masing-masing skor
variabel dibagi dengan koefisien/standar eror (2,38) dan didapatkan : 1)
hemokonsentrasi >15,1% (1,17); 2) konsentrasi albumin <3,49 mg/dL (1,40); 3)
trombosit <49.500/uL (1,24); dan 4) peningkatan rasio AST > 2,51 (1,0). Kemudian,
dilakukan pembulatan pada setiap hasil pembagian sehingga didapatkan hasil sebagai
berikut: 1)hemokonsentrasi >15,1% (skor=1); 2) konsentrasi albumin <3,49 mg/dL
(skor=1); 3) trombosit <49.500/uL (skor=1); dan 4) peningkatan rasio AST > 2,51
(skor=1). Tidak terdapat interaksi antara masing-masing variabel independen.
Skor Dengue dievaluasi dengan nilai titik potong yang berbeda; pada titik potong
>2, sensitivitas skor Dengue 82,47%; spesifisitas 70,42%; nilai prediktif positif 79,21%;
nilai prediktif negatif 74,63%; dan nilai prediksi terkoreksi terjadinya efusi pleura
dan/atau asites sebesar 77,83%. Hasil dari area di bawah kurva (area under ROC) dari
model probabilitas regresi logistik adalah 86,02% dengan 95% IK 80,3-91,8%; dan
AROC dari skor Dengue adalah 85,36% (95% IK 79,5-91,2%). Kemudian, diakukan
perbandingan antara kedua AROC tersebut didapatkan nilai p=0,34. Selanjutnya
berdasarkan Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit test, nilai p sebesar 0,362.
Berdasarkan rekomendasi WHO, hemokonsentrasi didefinisikan bila terjadi
peningkatan sebesar >20%. Dari hasil studi, didapatkan nilai titik potong >15,1% sudah
menunjukkan terdapatnya efusi pleura dan/atau asites. Maka, diprediksikan pada
praktik klinik, kejadian kebocoran plasma berdasarkan peningkatan hematokrit tidak
selalu terdeteksi secara dini. Maka dengan menurunkan nilai titik potong (>15,1%) dari
hemokonsentrasi diharapkan dapat memprediksi kebocoran plasma sehingga dapat
mendeteksi secara dini dan meminimalisir terlambatnya deteksi perburukan infeksi
dengue.
Studi ini merupakan studi di Indonesia pertama yang mengidentifikasi sistem
skoring untuk memprediksi efusi pleura dan/atau asites pada pasien dewasa dengan
infeksi dengue. Pada studi yang dilakukan, dilakukan evaluasi untuk mendeterminasi
variabel prediktor independen untuk kejadian efusi pleura dan/atau asites yang praktis
guna. Dengan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah
rutin, fungsi hati, elektrolit, dan albumin dapat dijadikan faktor prediktor deteminasi
kejadian efusi pleura dan/atau asites. Sesuai rekomendasi WHO, hematokrit, albumin,
fungsi hati, trombosit, dan elektrolit diperiksa secara rutin pada pasien dengue. Maka,
sistem skoring ini dapat praktis guna untuk mendeteksi efusi pleura dan/atau asites
terutama pada fasilitas klinis yang tidak memiliki alat kesehatan penunjang seperti
ultrasonografi.
Selain hemokonsentrasi, salah satu faktor yang menandakan terjadinya
kebocoran plasma adalah menurunnya konsentrasi albumin > 0,5 g/dL dari nilai batas
normal atau konsentrasi albumin <3,5 g/dL. Pada studi yang telah dilakukan,
konsentrasi albumin terendah pada fase kritis <3,49 g/dL dan derajat dari hipoalbumin
>15,39% adalah dua parameter yang dapat menunjukkan kebocoran plasma. Namun,
pada praktiknya pemeriksaan albumin yang dilakukan satu kali yaitu konsentrasi
labumin terendah lebih mudah untuk dilakukan. Hipoalbumin pada kasus demam
berdarah dengue terjadi karena saat kebocoran plasma terjadi perpindahan albumin ke
ruang ketiga sehingga menurunkan konsentrasi albumin intravaskular. Fenomena
tersebut serupa dengan patofisiologi dari efusi pleura dan/atau asites pada demam
berdarah dengue. Maka konsentrasi albumin terendah pada fase kritis <3,49 g/dL
digunakan sebagai salah satu parameter untuk skor Dengue.
Trombositopenia dilaporkan juga sebagai petanda utama terjadinya kebocoran
plasma pada infeksi dengue. Trombositopenia terjadi melalui rusaknya trombosit,
lepasnya vascular endothelial growth factor (VEGF) berperan dalam efusi pleura
dan/atau asites. Studi ini melaporkan nilai titik potong dari trombosit <49.500/uL
digunakan sebagai parameter untuk skor Dengue.
Infeksi dengue juga memengaruhi fungsi hati, terlihat dari peningkatan rasio
transaminase hati terutama pada pasien dewasa yang terinfeksi dengue. Sel hati
menjadi salah satu target dari DENV yang menyebabkan disfungsi hati. Peningkatan
transaminase hati terutama elevasi AST terlihat pada efusi pleura dan/atau asites.
Terjadinya peningkatan AST lebih tinggi dibandingkan dengan ALT pada infeksi dengue
dapat disebabkan rusaknya miosit saat infeksi.
KESIMPULAN
Skor dengue dapat digunakan untuk mendiagnosis efusi pleura dan/atau asites pada
pasien dewasa dengan infeksi dengue. Skor ini dapat menjadi identifikasi dini pada
pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan kondisi akibat kebocoran plasma.
DOKUMEN PENDUKUNG
1. Srikiatkhachorn A: Plasma leakage in dengue haemorrhagic fever. Thromb Haemost
2009, 102:1042–1049.
2. WHO-SEARO: Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever. Revised and expanded. New Delhi, India: World Health
Organization; 2011.
3. Karyanti MR, Uiterwaal CSPM, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers MM, Heesterbeek
H, Hoes AW, Bruijning-Verhagen P: The changing incidence of dengue
haemorrhagic fever in Indonesia: a 45-year registry-based analysis. BMC Infect Dis
2014, 14:412.
4. Leo Y-S, Gan VC, Ng E-L, Hao Y, Ng L-C, Pok K-Y, Dimatatac F, Go C-J, Lye DC:
Utility of warning signs in guiding admission and predicting severe disease in
adult dengue. BMC Infect Dis 2013, 13:498.
5. TDR/WHO: Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Geneva: World Health Organization; 2009.
6. Fujimoto DE, Koifman S: Clinical and laboratory characteristics of patients with
dengue hemorrhagic fever manifestations and their transfusion profile. Rev Bras
Hematol E Hemoter 2014, 36:115–120.
7. Chairulfatah A, Setiabudi D, Agoes R, Colebunders R: Thrombocytopenia and Platelet
Transfusions in Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome.
Dengue Bull 2003, 27:138–43.
8. Bandyopadhyay S, Lum LCS, Kroeger A: Classifying dengue: a review of the
difficulties in using the WHO case classification for dengue haemorrhagic fever.
Trop Med Int Health TM IH 2006, 11:1238–1255.
9. Ng CFS, Lum LCS, Ismail NA, Tan LH, Tan CPL: Clinicians’ diagnostic practice of
dengue infections. J Clin Virol 2007, 40:202–206.
10. WHO: Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Volume Second Edition. Geneva: World Health Organization; 1997.
11. Jagadishkumar K, Jain P, Manjunath VG, Umesh L: Hepatic involvement in dengue
Fever in children. Iran J Pediatr 2012, 22:231–236.
12. Itha S, Kashyap R, Krishnani N, Saraswat VA, Choudhuri G, Aggarwal R: Profile of
liver involvement in dengue virus infection. Natl Med J India 2005, 18:127–130.
13. Roy A, Sarkar D, Chakraborty S, Chaudhuri J, Ghosh P, Chakraborty S: Profile of
hepatic involvement by dengue virus in dengue infected children. North Am J Med
Sci 2013, 5:480–485.
14. Karoli R, Fatima J, Siddiqi Z, Kazmi KI, Sultania AR. Clinical profile of dengue
infection at a teaching hospital in North India. J Infect Dev Ctries 2012, 6:551-554.
15. Michels M, Sumardi U, de Mast Q, Jusuf H, Puspita M, Dewi IMW, Sinarta S,
Alisjahbana B, van der Ven AJAM: The predictive diagnostic value of serial daily
bedside ultrasonography for severe dengue in Indonesian adults. PLoS Negl Trop
Dis 2013, 7:e2277.
16. Balasubramanian S, Janakiraman L, Kumar SS, Muralinath S, Shivbalan S. A
reappraisal of the criteria to diagnose plasma leakage in dengue hemorrhagic
fever. Indian Pediatr 2006, 43:334-339.
17. Srikiatkhachorn A, Gibbons RV, Green S, Libraty DH, Thomas SJ, Endy TP, Vaughn
DW, Nisalak A, Ennis FA, Rothman AL, Nimmannitaya S, Kalayanarooj S: Dengue
hemorrhagic fever: the sensitivity and specificity of the world health organization
definition for identification of severe cases of dengue in Thailand, 1994-2005. Clin
Infect Dis 2010, 50:1135-1143.
18. Motla M, Manaktala S, Gupta V, Aggarwal M, Bhoi SK, Aggarwal P, Goel A:
Sonographic evidence of ascites, pleura-pericardial effusion and gallbladder wall
edema for dengue fever. Prehosp Disaster Med 2011, 26:335-41.
19. Potts JA, Thomas SJ, Srikiatkhachorn A, Supradish P, Li W, Nisalak A, Nimmannitya S,
Endy TP, Libraty DH, Gibbons RV, Green S, Rothman AL, Kalayanarooj S:
Classification of dengue illness based on readily available laboratory data. Am J
Trop Med Hyg 2010, 83:781–788.
20. Tan S-S, Bujang MA: The clinical features and outcomes of acute liver failure
associated with dengue infection in adults: a case series. Braz J Infect Dis 2013,
17:164–169.
21. Lee LK, Gan VC, Lee VJ, Tan AS, Leo YS, Lye DC: Clinical relevance and
discriminatory value of elevated liver aminotransferase levels for dengue severity.
PLoS Negl Trop Dis 2012, 6:e1676.
22. Lanciotti RS, Calisher CH, Gubler DJ, Chang GJ, Vorndam AV: Rapid detection and
typing of dengue viruses from clinical samples by using reverse transcriptase-
polymerase chain reaction. J Clin Microbiol 1992, 30:545–51.
23. Sasmono RT, Aryati A, Wardhani P, Yohan B, Trimarsanto H, Fahri S, Setianingsih TY,
Meutiawati F: Performance of Simplexa dengue molecular assay compared to
conventional and SYBR green RT-PCR for detection of dengue infection in
Indonesia. PloS One 2014, 9:e103815.
24. Kalayanarooj S, Vaughn DW, Nimmannitya S, Green S, Suntayakorn S, Kunentrasai N,
Viramitrachai W, Ratanachu-eke S, Kiatpolpoj S, Innis BL, Rothman AL, Nisalak A,
Ennis FA: Early clinical and laboratory indicators of acute dengue illness. J Infect
Dis 1997, 176:313–321.
25. Kalayanarooj S: Dengue classification: current WHO vs. the newly suggested
classification for better clinical application? J Med Assoc Thail Chotmaihet
Thangphaet 2011, 94 Suppl 3:S74–84.
26. Wills BA, Oragui EE, Stephens AC, Daramola OA, Dung NM, Loan HT, Chau NV,
Chambers M, Stepniewska K, Farrar JJ, Levin M: Coagulation abnormalities in
dengue hemorrhagic Fever: serial investigations in 167 Vietnamese children with
Dengue shock syndrome. Clin Infect Dis Off Publ Infect Dis Soc Am 2002, 35:277–
285.
27. Gunsilius E, Petzer A, Stockhammer G, Nussbaumer W, Schumacher P, Clausen J,
Gastl G: Thrombocytes are the major source for soluble vascular endothelial
growth factor in peripheral blood. Oncology 2000, 58:169–174.
28. Olsson A-K, Dimberg A, Kreuger J, Claesson-Welsh L: VEGF receptor signalling - in
control of vascular function. Nat Rev Mol Cell Biol 2006, 7:359–371.
29. Souza LJ de, Alves JG, Nogueira RMR, Gicovate Neto C, Bastos DA, Siqueira EW da S,
Souto Filho JTD, Cezário T de A, Soares CE, Carneiro R da C: Aminotransferase
changes and acute hepatitis in patients with dengue fever: analysis of 1,585
cases. Braz J Infect Dis 2004, 8:156–163.
30. Samanta J, Sharma V: Dengue and its effects on liver. World J Clin Cases 2015,
3:125–131.
31. Mahmuduzzaman M, Chowdhury AS, Ghosh DK, Kabir IM, Rahman MA, Ali MS: Serum
transaminase level changes in dengue fever and its correlation with disease
severity. Mymensingh Med J 2011, 20:349–355.
32. Seneviratne SL, Malavige GN, de Silva HJ: Pathogenesis of liver involvement during
dengue viral infections. Trans R Soc Trop Med Hyg 2006, 100:608–614.
Klaim
Invensi yang ingin terdaftar terdiri dari komponen:
1. Hemokonsentrasi >15,1% merupakan komponen dari skor Dengue yang dapat
digunakan untuk memprediksi efusi pleura dan/atau asites pada pasien
terinfeksi dengue.
2. Konsentrasi albumin <3,49 mg/dL merupakan komponen dari skor Dengue yang
dapat digunakan untuk memprediksi efusi pleura dan/atau asites pada pasien
terinfeksi dengue.
3. Trombosit <49.500/uL merupakan komponen dari skor Dengue yang dapat
digunakan untuk memprediksi efusi pleura dan/atau asites pada pasien
terinfeksi dengue.
4. Peningkatan rasio AST > 2,51 merupakan komponen dari skor Dengue yang
dapat digunakan untuk memprediksi efusi pleura dan/atau asites pada pasien
terinfeksi dengue.
Abstrak
SKOR DENGUE
Latar belakang: Terdapat beberapa keterbatasan untuk mendiagnosis kebocoran
plasma pada pasien demam berdarah dengue (DBD) dengan menggunakan pedoman
WHO. Kami melakukan penelitian untuk mengembangkan sistem skor dengue untuk
memprediksi diagnosis efusi pleura dan/atau asites dengan parameter laboratorium
rutin. Metode : Sebuah studi prospektif observasional dilakukan di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo dan Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Indonesia. Dewasa yang
terinfeksi Dengue dan dirawat sejak demam hari ketiga pada bulan Maret 2010 hingga
Agustus 2015 diinklusi. Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan prediktor
diagnostik independen efusi pleura dan/atau asites. Selanjutnya, tahapan untuk
mengkonversi model prediksi tersebut menjadi sistem skor. Hasil : Sebanyak 172
orang dewasa terinfeksi dengue diinklusi dalam penelitian ini; 101 (58,7%) mengalami
efusi pleura dan/atau asites. Prediktor diberi skor berdasarkan perhitungan berikut:
derajat hemokonsentrasi ≥15,1% (skor 1; OR, 3,11; 95% CI, 1,41-6,88), kadar albumin
terendah di fase kritis ≤3,49 mg / dL (skor 1; OR, 4,48; 95% CI, 1,87-10,77), trombosit
terendah ≤49.500 / uL (skor 1;OR, 3,62; 95% CI, 1,55-8,49), dan rasio peningkatan AST
≥2,51 (skor 1; OR 2,67; 95% CI, 1,19-5,97). Pada titik potong skor ≥2, nilai prediksi
positif 79,21% dan nilai prediksi negatif 74,63%. Model prediksi diagnostik tersebut
menunjukkan kalibrasi dan diskriminasi baik Kesimpulan : Skor Dengue dapat
digunakan untuk mengidentifikasi efusi pleura dan/atau asites pada pasien terinfeksi
dengue.