Top Banner
Seminar Nasional dan Launching ADOBSI 3 DEMI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN: SEBERAPA LAYAKKAH KINERJA MENELITI HARUS DILAKUKAN OLEH GURU (DAN DOSEN)? Sudaryanto PPs Universitas Widya Dharma Klaten Goeroe hanjalah dapat mengasih- kan apa dia-itoe sebenarnja. Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is! (Ir Sukarno:Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan Ketiga, 1964: hlm. 614) Sebelum masuk ke dalam masalah pokok yang oleh Panitia temanya digariskan sebagai “Pengembangan Keprofesian Guru dan Dosen melalui Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya”, marilah kita pahami dulu beberapa hal elementer terkait dengan “sosok- peran” guru (dan dosen). Dalam hal ini, “dosen” berada dalam tanda kurung, karena pada hemat saya, dosen pun hakikatnya sama dengan guru. Hakikat yang sama itu nampak jika kita lihat pernyataan resmi dalam Undang-undang bahwa baik guru maupun dosen adalah pendidik. Dalam Undang-undang R.I No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengenai Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi, disebutkan pada Bab IV, Pasal 8, “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”; dan pada Bab V, Pasal 45, disebutkan “Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang diprasyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Dalam pada itu, prinsip profesionalitasnya pun guru dan dosen sama belaka, sebagaimana yang dipaparkan pada Bab III, pasal 7, yang terdiri atas dua ayat, dalam UU no. 14 Th. 2005 itu. Adapun tentang pendidik disebutkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI,No 20, Th 2003) sebagai berikut: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan” (Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 6). Disebutkan juga (dalam Bab XI, Pasal 39, Ayat (2)) bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi”. Dengan demikian, bila dalam paparan di bawah disebut-sebut kata “guru” maka dengan penyesuaian seperlunya kata itu dapat juga diganti “dosen”. Apalagi secara genetis munculnya konsep “dosen” didahului oleh konsep “guru”. (Bukankah dosen dengan jabatan yang tertinggi pun akhirnya juga disebut dengan kata “guru”, yaitu “guru besar” atau “mahaguru”. Dan bila pun kata “guru besar” atau “mahaguru” diganti dengan kata “profesor”, kata “profesor” pun dalam bahasa Prancis—yang ditulis professeur—adalah sebutan untuk guru pula.(Lihat Larousse’s French-English—English-French Dictionary, 1958: hlm.195 (Part One) & hlm. 228 (Deuxieme Partie). Sementara itu, kata “dosen” yang berasal dari bahasa Belanda pun—yang kata Belandanya docent—artinya tidak lain juga guru (lihat G.J.Visser, 1964: Nederlands-Engels, hlm. 59).)
4

DEMI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN: SEBERAPA LAYAKKAH …

Apr 15, 2022

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DEMI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN: SEBERAPA LAYAKKAH …

Seminar Nasional dan Launching ADOBSI 3

DEMI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN:SEBERAPA LAYAKKAH KINERJA MENELITI HARUS DILAKUKAN

OLEH GURU (DAN DOSEN)?

SudaryantoPPs Universitas Widya Dharma Klaten

Goeroe hanjalah dapat mengasih-kan apa dia-itoe sebenarnja. Menkan niet onderwijzen wat men wil,men kan niet onderwijzen wat menweet, men kan alleen onderwijzenwat men is! (Ir Sukarno:Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama,Tjetakan Ketiga, 1964: hlm. 614)

Sebelum masuk ke dalam masalah pokok yang oleh Panitia temanya digariskan sebagai “Pengembangan Keprofesian Guru dan Dosen melalui Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya”, marilah kita pahami dulu beberapa hal elementer terkait dengan “sosok-peran” guru (dan dosen). Dalam hal ini, “dosen” berada dalam tanda kurung, karena pada hemat saya, dosen pun hakikatnya sama dengan guru. Hakikat yang sama itu nampak jika kita lihat pernyataan resmi dalam Undang-undang bahwa baik guru maupun dosen adalah pendidik. Dalam Undang-undang R.I No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengenai Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi, disebutkan pada Bab IV, Pasal 8, “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”; dan pada Bab V, Pasal 45, disebutkan “Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang diprasyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Dalam pada itu, prinsip profesionalitasnya pun guru dan dosen sama belaka, sebagaimana yang dipaparkan pada Bab III, pasal 7, yang terdiri atas dua ayat, dalam UU no. 14 Th. 2005 itu. Adapun tentang pendidik disebutkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI,No 20, Th 2003) sebagai berikut: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan” (Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 6). Disebutkan juga (dalam Bab XI, Pasal 39, Ayat (2)) bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi”. Dengan demikian, bila dalam paparan di bawah disebut-sebut kata “guru” maka dengan penyesuaian seperlunya kata itu dapat juga diganti “dosen”. Apalagi secara genetis munculnya konsep “dosen” didahului oleh konsep “guru”. (Bukankah dosen dengan jabatan yang tertinggi pun akhirnya juga disebut dengan kata “guru”, yaitu “guru besar” atau “mahaguru”. Dan bila pun kata “guru besar” atau “mahaguru” diganti dengan kata “profesor”, kata “profesor” pun dalam bahasa Prancis—yang ditulis professeur—adalah sebutan untuk guru pula.(Lihat Larousse’s French-English—English-French Dictionary, 1958: hlm.195 (Part One) & hlm. 228 (Deuxieme Partie). Sementara itu, kata “dosen” yang berasal dari bahasa Belanda pun—yang kata Belandanya docent—artinya tidak lain juga guru (lihat G.J.Visser, 1964: Nederlands-Engels, hlm. 59).)

Page 2: DEMI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN: SEBERAPA LAYAKKAH …

4 Seminar Nasional dan Launching ADOBSI

Guru adalah peranSiapa pun dia, asalkan memenuhi syarat tertentu, dapatlah menjadi guru. Dengan menyebut “dia” di sini—misalnya diri kita masing-masing—maka sebenarnya saya menyebut seorang pelaku atau aktor (actor); sementara itu, “guru” adalah peran (role). Peran yang dimaksud hanya nampak jika fungsi khas yang diembannya dijalankan. Semakin mendekati optimal seseorang pelaku menjalankan fungsi khasnya, semakin nampaklah peran yang diembannya. Fungsi khas guru adalah mendidik dan mengajar; maka semakin kinerja mendidik dan mengajar itu dijalankan oleh seseorang pelaku semakin nampaklah peran seseorang itu menjadi guru. Siapakah yang dididik dan diajar? Tentu saja siapa pun yang sedang berperan sebagai peserta didik dan peserta ajar; yang dalam pendidikan formal, telah kita ketahui, resmi disebut “siswa”. Jadi, para siswalah yang dididik dan diajar oleh guru. Untuk mendidik dan mengajar tentu saja harus ada yang dididikkan dan diajarkan. Itulah yang biasa disebut “bahan” atau “materi ajar”. Materi ajar ini bak makanan tertentu yang harus dimakan—dalam arti dikunyah dan ditelan—demi pertumbuhan yang sehat diri yang memakannya. Dalam hal ini, sesuatu bak makanan yang berperan sebagai materi ajar itu berfungsi sebagai asupan, yang tentu saja sebagai sesuatu yang diasupkan haruslah mengandung kualitas gizi tertentu yang sesuai. Demikianlah, ada tiga peran yang saling terkait: guru, materi, dan (para) siswa, dengan fungsi khasnya masing-masing. Fungsi khas masing-masing peran itu diwujudkan atau baru terwujud dalam aktivitas atau proses kegiatan yang dikenal dengan istilah pembelajaran yang mengandung pengertian ‘proses belajar yang dilakukan oleh subjek didik yaitu (para) siswa dengan materi ajar tertentu sedemikian sehingga bertambah dan berkembanglah pemahaman, penguasaan, dan keterampilan tertentu mereka karena adanya penggerak motivasi dan fasilitator sang pendidik-pengajar, yaitu guru’. Tanpa adanya kegiatan konkret bersifat interaktif antara guru dengan siswa demi pengasupan materi ajar itu, peran yang dimaksudkan hanyalah merupakan potensi yang tidak menghasilkan apa-apa.

Sepuluh Macam Bekal GuruSesuai dengan topik yang kita diskusikan, terkait dengan kegiatan atau aktivitas yang dimaksud, perspektif gurulah yang layak dipilih. Untuk itu, di sini dipaparkan sepuluh macam bekal guru demi dapat diwujudkannya fungsi mendidik dan mengajar yang strategi konkretnya memotivasi dan memfasilitasi subjek atau peserta didik. Bekal yang pertama adalah pemahaman dan penguasaan terhadap materi atau bahan ajar. Kedua adalah pemahaman terhadap rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP sebagai dasar dan pedoman mengajar dan mendidik, yang dibuatnya sendiri atau tim (team) yang pembuatannya bertumpu pada buku ajar guru atau buku babon serta silabus yang bersumber pada kurikulum yang sudah ditetapkan. Ketiga adalah kemampuan memanfaatkan berbagai media ajar yang tersedia atau disediakan sebagai pelancar mengajar dan mendidik. Keempat adalah penguasaan terhadap berbagai metode mengajar yang sesuai dengan jenis materi ajar yang telah terjadwal dan sesuai pula dengan kondisi siswa si pembelajar, agar proses pembelajarannya efektif dan efisien. Kelima adalah penguasaan terhadap bahasa verbal tertentu sebagai saluran strategis untuk memaparbentangkan dan menerangjelaskan pernyataan-pernyataan tentang materi ajar dengan segala akibat ikutannya. Keenam adalah kemampuan memanfaatkan bahasa (organ) tubuhnya yang bersifat kial atau non-verbal sebagai saluran strategis yang lain untuk menyatakan maksud-maksud tertentu guru yang bersangkutan selama proses pembelajaran berlangsung. Adapun yang ketujuh adalah penguasaan terhadap tatatulis dalam arti luas yang berkomponenkan berbagai huruf, aneka tanda baca, dan angka-angka, serta lambang-lambang yang lain dengan aneka bentuk dan warnanya, sekaligus memvisualkan pula maksud dan paparan lisannya, agar paparannya itu lebih berterima. Kedelapan adalah penguasaan terhadap

Page 3: DEMI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN: SEBERAPA LAYAKKAH …

Seminar Nasional dan Launching ADOBSI 5

berbagai isi ilmu yang relevan dengan pembentukan sikap dan pembentukan keterampilan siswa (seperti: ilmu pendidikan, ilmu pengajaran, ilmu jiwa, ilmu komunikasi, ilmu bahasa, ilmu filsafat logika, estetika, dan etika, serta ilmu semiotika) sebagai pendukung utama tampilannya dalam meyakinkan siswa peserta didiknya. Kesembilan adalah kemampuan menjaga kondisi psikis dan fisik yang relatif bugar sebagai pendukung utama yang lain untuk dapat terus-menerus berkonsentrasi di sepanjang waktu dalam melaksanakan fungsi kepengajaran dan kependidikannya; dan yang kesepuluh adalah pemahaman akan lingkungan dan ruang beserta dengan isinya yang tersedia sekaligus kemampuan memanfaatkannya secara optimal demi terpeliharanya gairah belajar siswa. Patut diperhatikan, kesepuluh hal yang pada hemat saya sangat penting sebagai bekal guru dalam kinerja mewujudkan fungsi kepengajaran dan kependidikannya itu tidak eksplisit dituangkan dalam UU. Disebutkan pada pasal 10 ayat (1) bahwa kompetensi guru ada empat: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Adapun yang dimaksud dengan “kompetensi” adalah “seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya” (Bab I, pasal 1, butir 10). Sementara itu, dalam penjelasan untuk pasal 10 ayat (1) itu disebutkan “yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. “Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Adapun “yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”; dan “yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”. Khusus terkait dengan kemampuan menjaga kondisi psikis dan fisik agar tetap bugar, ada penjelasan untuk pasal 8 yang menyangkut guru dan pasal 45 yang menyangkut dosen, demikian: “yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru/dosen dapat melaksanakan tugas dengan baik.”

Agaknya, yang cenderung eksplisit dinyatakan adalah kompetensi profesional yang berarti kemampuan penguasaan materi; dan yang cenderung agak eksplisit adalah kompetensi sosial yang berarti kemampuan guru berkomunikasi dan berinteraksi. Saya katakan “agak eksplisit” karena tidak jelas apakah saluran komunikasi yang digunakan itu bahasa verbal saja ataukah juga bahasa non-verbal; dan bagaimana pula mengenai penguasaan tatatulis dalam arti yang luas. Sementara itu, kemampuan pedagogik yang berarti kemampuan mengelola pembelajaran tidak menampakkan ihwal “komponen” media dan metode serta penguasaan isi berbagai ilmu yang relevan, kecuali agaknya hanya diandaikan saja keberadaan dan fungsinya.

ImplikasiDengan kata kunci pemahaman, penguasaan, dan kemampuan, yang mengenai kesepuluh bekal itu nampaklah bahwa upaya keras, cerdas, dan iklas untuk memperolehnya merupakan implikasi yang layak disadari sesadar-sadarnya oleh sesorang dalam menjalankan peran profesionalnya sebagai guru dan mewujudkan fungsi khas dan utamanya sebagai pengajar dan pendidik. Mengingat akan implikasi yang seperti itu, dalam kaitannya dengan kinerja meneliti, timbul pertanyaan: Untuk apa guru meneliti? Apa saja yang harus diteliti? Seberapa bobot kualitas hasil penelitian yang layak dicapai?

Peran guru bukan peran ilmuwanSekiranya guru harus juga melakukan penelitian—padahal dalam UU yang bersangkutan tidak disebutkan, walau dengan sepatah kata pun (!)—maka penelitiannya pun harus terkait dengan kesepuluh bekal yang layak dipahami dan dikuasai itu. Dalam hal ini keterkaitannya

Page 4: DEMI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN: SEBERAPA LAYAKKAH …

6 Seminar Nasional dan Launching ADOBSI

ada pada fakta yang disadari bahwa ada sebagian dari kesepuluh bekal itu belum mencukupi untuk dipahami dan atau dikuasai; sehingga pada saat fungsinya sebagai pendidik dan pengajar dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran yang bersifat interaktif itu tidaklah dapat fungsi itu diwujudkan dengan baik. Hanya, masalahnya, kalau hal “belum mencukupi” itu benar adanya, haruskah yang meneliti itu dia sendiri atau orang lain yang sedang berperan sebagai guru? Apakah konsep “guru” harus diperluas, sehingga fungsinya kecuali mengajar dan mendidik juga meneliti? Agaknya: jangan dan tidak perlu. Awal dari terhambatnya kemajuan yang bermanfaat adalah dibiarkan, bahkan diperkenankan, adanya kerancuan semantis dalam berbahasa. Satuan-satuan lingual, khususnya kata dan juga kalimat memang dapat berisi pilah-pilah makna dan gabung-gabung makna; sebuah satuan lingual kata dapat berisi sebuah makna tetapi juga dapat berisi dua atau tiga gabungan makna; akan tetapi, sebuah kata tidak untuk menampung dua atau tiga makna yang mengakibatkan kerancuan. Lalu siapakah sosok-peran yang harus melaksanakan fungsi meneliti? Jawabnya: adalah “ilmuwan”; karena ilmuwanlah sosok-peran yang fungsi atau tugasnya meneliti. Itu tidak berarti orang yang berperan sebagai guru tidak boleh meneliti. Boleh; hanya dia—orang yang bersangkutan--harus menyadari betul-betul bahwa pada saat dia melakukan tugas meneliti itu dia bukan berperan sebagai guru melainkan sebagai ilmuwan; sehingga juga harus disadari dia pun perlu seperangkat bekal yang memadai pula untuk menjalankan perannya sebagai ilmuwan yang bertugas meneliti secara ilmiah akan objek sasaran penelitiannya. Itu tidak gampang. Identitas dosen: siapakah dia?Walaupun bertumpu pada kutipan-kutipan yang diangkat dari UU di atas bahwa dosen dapat disamakan dengan guru, yaitu sama-sama pendidik, akan tetapi pada ketentuan umum pasal 1 butir (2) UU RI no 14 Th 2005 tentang guru dan dosen itu disebutkan demikian: “dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”. Sampai saat ini kebanyakan dari kita dapat menerimanya sebagai keniscayaan yang nyaman-nyaman saja. Tanpa disadari, istilah dosen dari docent yang dalam arti awalnya dalam bahasa Belanda itu ‘guru’ telah diisi dengan dua konsep peran yang sangat berlainan, yaitu pendidik dan ilmuwan. Dan kita pun dapat melihat bagaimana kondisi dan situasi pendidikan dan penelitian di Indonesia sampai kini: jauh dari membanggakan. Salah satu sebabnya agaknya: dari tataran konsep yang ada di benak kita, kita sudah tidak beres; maka wajar jika realisasinya pun menjadi amburadul. Darma yang jumlahnya tiga, yang menjelma sebagai mitos di pendidikan tinggi, cenderung sulit diselaraskan satu sama lain, karena kita yang sedang berkiprah di pendidikan tinggi tidak tahu: kita sedang jadi pendidik yang profesional--yang menurut Bung Karno (men) kan alleen onderwijzen wat men is! ‘(Orang) hanya dapat mengajarkan apa-apa yang sebenarnya telah menjadi bagian dari dirinya’; ataukah kita sedang menjadi ilmuwan—sang petualang yang selalu mengagumi segalanya untuk diketahui ihwalnya; ataukah kita sebenarnya manusia-manusia pengidap kepikunan yang kelelahan oleh berbagai beban yang selalu kita tambahkan sendiri karena keserakahan kita. Terus terang, saya pun tidak tahu!

Yogyakarta, 20 April 2015