PATOGENESIS
PENDAHULUAN
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem
yang terjadi setelah infeksi streptokokus grup A pada individu yang
mempunyai faktor predisposisi. Penyakit ini masih merupakan
penyebab terpenting penyakit jantung didapat (acquired heart
disease) pada anak dan dewasa muda di banyak negara terutama negara
sedang berkembang. Keterlibatan kardiovaskular pada penyakit ini
ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu
proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan2.
Serangan pertama demam reumatik akut terjadi paling sering
antara umur 5-15 tahun. Demam reumatik jarang ditemukan pada anak
di bawah umur 5 tahun1,2,3,5.
Demam reumatik akut menyertai faringitis Streptococcus beta
hemolyticus grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas
terhadap faringitis akut hampir meniadakan resiko terjadinya demam
reumatik. Diperkirakan hanya sekitar 3 % dari individu yang belum
pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini
setelah menderita faringitis streptokokus yang tidak
diobati1,5.
Saat ini diperkirakan insidens demam reumatik di Amerika Serikat
adalah 0,6 per 100.000 penduduk pada kelompok usia 5 sampai 19
tahun. Insidens yang hampir sama dilaporkan di negara Eropa Barat.
Angka tersebut menggambarkan penurunan tajam apabila dibandingkan
angka yang dilaporkan pada awal abad ini, yaitu 100-200 per 100.000
penduduk1.
Sebaliknya insidens demam reumatik masih tinggi di negara
berkembang. Data dari negara berkembang menunjukkan bahwa
prevalensi demam reumatik masih amat tinggi sedang mortalitas
penyakit jantung reumatik sekurangnya 10 kali lebih tinggi daripada
di negara maju. Di Srilangka insidens demam reumatik pada tahun
1976 dilaporkan lebih kurang 100-150 kasus per 100.000 penduduk. Di
India, prevalensi demam reumatik dan penyakit jantung reumatik pada
tahun 1980 diperkirakan antara 6-11 per 1000 anak. Di Yemen,
masalah demam reumatik dan penyakit jantung reumatik sangat besar
dan merupakan penyakit kardiovaskular pertama yang menyerang
anak-anak dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi8.
Di Yogyakarta pasien dengan demam reumatik dan penyakit jantung
reumatik yang diobati di Unit Penyakit Anak dalam periode 1980-1989
sekitar 25-35 per tahun, sedangkan di Unit Penyakit Anak RS. Cipto
Mangunkusumo tercatat rata-rata 60-80 kasus baru per tahun1,3.
Insidens penyakit ini di negara maju telah menurun dengan tajam
selama 6 dekade terakhir, meskipun begitu dalam 10 tahun terakhir
ini telah terjadi peningkatan kasus demam reumatik yang mencolok di
beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hal tersebut mengingatkan
kita bahwa demam reumatik belum seluruhnya terberantas, dan selalu
terdapat kemungkinan untuk menimbulkan masalah kesehatan masyarakat
baik di negara berkembang maupun negara maju1.
Suatu faktor penting yang mempengaruhi insidens demam reumatik
adalah ketepatan diagnosis dan pelaporan penyakit. Sampai sekarang
belum tersedia uji spesifik yang tepat untuk menegakkan diagnosis
demam reumatik akut. Terdapat kesan terdapatnya overdiagnosis demam
reumatik, sehingga diharapkan dengan kriteria diagnosis yang tepat,
pengertian dan kemampuan untuk mengenal penyakit ini serta
kesadaran para dokter untuk menanggulanginya merupakan hal yang
sangat penting dalam menurunkan insidens penyakit ini.ISI
DefinisiDemam reumatik merupakan penyakit peradangan akut yang
dapat menyertai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta
hemolyticus grup A1.
Etiologi
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan
akibat interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor
lingkungan3. Infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada
serangan pertama maupun serangan ulangan1,3,5,6. Untuk menyebabkan
serangan demam reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan
infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda
dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi
Streptococcus di kulit maupun di saluran napas, demam reumatik
agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di
kulit3.Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam
reumatik diketahui dari data sebagai berikut:
1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat
peninggian kadar antibodi terhadap Streptococcus atau dapat
diisolasi kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A, atau
keduanya3.
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan
insidens oleh beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi
pula. Diperkirakan hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah
menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah
menderita faringitis Streptococcus yang tidak diobati1,3.3.
Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita
mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika.
Faktor PredisposisiFaktor Individu
1. Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi
pada satu keluarga maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga
variasi genetik merupakan alasan penting mengapa hanya sebagian
pasien yang terkena infeksi Streptococcus menderita demam reumatik,
sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan1,3.
2. Jenis Kelamin
Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki
dan wanita1,3. Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih
sering ditemukan pada salah satu jenis kelamin, misalnya gejala
korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki.
Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga
menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa
berupa stenosis mitral lebih sering ditemukan pada wanita,
sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada
laki-laki3.3. Golongan Etnik dan RasBelum bisa dipastikan dengan
jelas karena mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada
golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan atau bahkan merupakan
sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah
terjadinya stenosis mitral. Di negara-negara barat umumnya stenosis
mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung
reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis
mitral organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang
relatif singkat, hanya 6 bulan-3 tahun setelah serangan pertama3.4.
UmurPaling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar
umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun
dan sangat jarang sebelum umur 3 tahun atau setelah 20 tahun.
Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
Streptococcus pada anak usia sekolah3.
5. Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain
Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi.
Hanya sudah diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang
yang menderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.
Faktor-faktor Lingkungan
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik1,3. Termasuk dalam
keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang
buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan
sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang sakit sangat
kurang, pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan
kesehatan kurang dan lain-lain3.
2. Iklim dan Geografi
Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang,
tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun
mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi daripada yang diduga
semula1,3. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidens lebih
tinggi daripada di dataran rendah3.3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens
infeksi saluran nafas meningkat, sehingga insidens demam reumatik
juga meningkat3.
Patogenesis
Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat,
namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum
diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam reumatik
termasuk dalam penyakit autoimun3,4,5.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20
produk ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O,
streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, disfosforidin
nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic
toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi3.
Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang
berlebihan terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan
hipotesis tentang adanya reaksi silang antibodi terhadap
Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen
mirip antigen streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi
autoimun1,3.
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling
dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya
infeksi streptococcus. Lebih kurang 80% penderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer
ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap
Streptococcus, maka pada 95% kasus demam reumatik/penyakit jantung
reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap
Streptococcus3.Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus
yang lain memiliki reaktivitas bersama dengan jaringan lain. Ini
meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat
streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma
streptokokus dan jaringan saraf subtalamus serta nuklei kaudatus
dan antara hialuronat kapsul dan kartilago artikular. Reaktivitas
silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan
organ multiple pada demam reumatik1.
Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya
diterima. Adanya antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum
pasien tanpa demam reumatik mendorong penelitian mediator imun
lain. Data muthakir menunjukkan pada sitotoksitas yang ditengahi
oleh sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera jaringan.
Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan
karditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium
yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik
menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini memberi kesan bahwa
antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh protektif
dalam pejamu tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak
dipercaya adalah bahwa mekanisme imunologik, humoral atau selular,
menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik1.
Patologi
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi
eksudatif dan proliferatif jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap
hanya terjadi pada jantung; organ lain seperti sendi, kulit,
pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi
selalu reversibel3. Proses patologis pada demam reumatik melibatkan
jaringan ikat atau jaringan kolagen. Meskipun proses penyakit
adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh,
manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan
jantung, sendi, dan otak.1.
Jantung Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai
setiap komponen jaringannya. Proses radang selama karditis akut
paling sering terbatas pada endokardium dan miokardium, namun pada
pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat.
Beberapa dengan pada penyakit kolagen lain seperti lupus
eritematosus sistematik atau artristis reumatoid juvenil (pada
kedua penyakit ini serositas biasanya ditunjukkan oleh
perikarditis), pada demam reumatik jarang ditemukan perikaditis
tanpa endokarditis atau miokarditis. Perikaditis pada pasien
reumatik bisanya menyatakan adanya pankarditis atau perluasan
proses radang1. Penemuan histologis pada karditis reumatik akut
tidak selalu spesifik. Tingkat perubahan histologis tidak perlu
berkolerasi dengan derajat klinis. Pada stadium awal, bila ada
dilatasi jantung, perubahan histologis dapat minimal, walaupun
gangguan fungsi jantung mungkin mencolok1.
Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif
menjadi lebih jelas. Stadium ini ditandai dengan perubahan
edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular yang terdiri
dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid,
bahan granular eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan
dasar. Bahan ini meliputi serabut kolagen ditambah bahan granular
yang berasal dari kolagen yang sedang berdegenerasi dalam campuran
fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain. Jaringan lain yang terkena
oleh proses penyakit, seperti jaringan sendi, dapat menunjukkan
fibrinoid; hal ini dapat juga terjadi dalam jaringan yang sembuh
pada pasien penyakit kolagen lain1.
Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh
Aschoff pada tahun 1940, menyertai stadium di atas. Lesi
patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular sel besar
dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset
sekeliling pusat fibrinoid yang avaskular. Beberapa sel mempunyai
inti banyak, atau mempunyai inti mata burung hantu dengan
titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke membran inti,
atau mempunyai susunan kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan
nukleus kisi-kisi atau lingkaran yang melilit. Sel-sel yang khas
ini disebut monosit Anitschkow1.
Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium
tetapi paling sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda
Aschoff ditemukan paling sering dalam jaringan miokardium pasien
yang sembuh dari miokarditis reumatik subakut atau kronik. Sel
Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini menderita
karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff
ditemukan dalam jaringan jantung pasien tanpa riwayat demam
reumatik1.
Reaksi radang juga mengenai lapisan endokardium yang
mengakibatkan endokarditis. Proses endokarditis tersebut mengenai
jaringan katup serta dinding endokardium. Radang jaringan katup
menyebabkan manifestasi klinis yang mirip karditis reumatik. Yang
paling sering terlibat adalah katup mitral, disusul katup aorta.
Katup trikuspid jarang terlibat, dan katup pulmonal jarang sekali
terlibat1.
Tinjauan etiologi penyakit katup oleh Roberts menunjukkan bahwa
etiologi reumatik 70% dari kasus dapat berasal dari penyakit katup
mitral murni (isolated) dan hanya 13% dari kasus yang berasal dari
penyakit katup aorta murni. Pada pasien yang kedua katupnya (mitral
dan aorta) terlibat, kemungkinan etiologi reumatik adalah 97%1.
Radang awal pada endokarditis dapat menyebabkan terjadinya
insufisiensi katup. Penemuan histologis dalam endokarditis terdiri
dari edema dan linfiltrasi selular jaringan katup dan korda
tendine. Lesi yang khas endokarditis reumatik adalah tambalan
(patch) MacCallum, daerah jaringan menebal yang ditemukan dalam
atrium kiri, yakni di atas dasar daun katup mitral posterior.
Degenerasi hialin pada katup yang terkena akan menyebabkan
pembentukan veruka pada tepinya, yang akan menghalangi pendekatan
daun-daun katup secara total dan menghalangi penutupan ostium
katup. Dengan radang yang menetap, terjadilah fibrosis dan
klasifikasi katup. Klasifikasi mikroskopik dapat terjadi pada
pasien muda dengan penyakit katup reumatik. Jikalau tidak ada
pembalikan proses dan penyembuhan, proses ini akhirnya akan
menyebabkan stenosis dan perubahan pengapuran yang kasar, yang
terjadi beberapa tahun pascaserangan1.
Pasien dengan pankarditis, di samping menderita miokarditis juga
menderita perikarditis. Eksudat fibrin menutupi permukaan viseral
maupun sisi permukaan serosa (serositis), dan cairan serohemoragis
yang bervariasi volumenya berada dalam rongga perikardium1.
Gambar 1. Valvulitis aktiv pada katup aorta, terdapat vegetasi
kecil yang disebut veruka.10Organ-organ lain
Ruam kulit mencerminkan terdapatnya vaskulitis yang mendasari,
yang mungkin ada pada setiap bagian tubuh dan yang paling sering
mengenai pembuluh darah yang lebih kecil. Pembuluh darah ini
menunjukkan proliferasi sel endotel. Nodul subkutan jarang
ditemukan pada pasien demam reumatik akut; kalaupun ada, nodul ini
cenderung ditemukan pada pasien dengan penyakit katup kronik,
terutama stenosis mitral. Histologi nodul subkutan terdiri dari
nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epitel dan
mononuklear. Lesi histologis tersebut serupa dengan lesi pada benda
Ascoff, suatu tanda patologis karditis reumatik1.
Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama,
yaitu serositis. Pada artritis reumatik jaringan tulang rawan
(kartilago) tidak terlibat, akan tetapi lapisan sinovia menunjukkan
terjadinya degenerasi fibrinoid. Patologi nodulus subkutan, yang
membentuk penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo
ekstensor, telah diuraikan di atas1. Vaskulitis, yang merupakan
dasar proses patologis eritema marginatum, juga menyebabkan lesi
ekstrakardial lain seperti keterlibatan paru dan ginjal yang kadang
ditemukan pada demam reumatik akut. Demikian pula, vaskulitis dapat
merupakan proses patologis yang berhubungan dengan korea Sydenham
(St. Vitus dance). Ganglia basalis dan serebellum adalah tempat
perubahan patologis yang sering ditemukan pada pasien dengan gejala
korea Sydenham. Perubahan ini terdiri dari perubahan selular dengan
infiltrasi perivaskular oleh sel limfosit1. Pada literatur lain
menyebutkan kelainan-kelainan pada susunan saraf pusat ini
(korteks, ganglia basalis, serebellum) tidak dapat menerangkan
terjadinya korea, kelainan tersebut dapat ditemukan pada penderita
demam reumatik yang meninggal dan diautopsi tetapi sebelumnya tidak
pernah menunjukkan gejala korea3. Manifestasi Klinis
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung
reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium:
Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman
beta-Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa
demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai
muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada
pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang
menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening
submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung
2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas
bagian atas pada penderita demam reumatik/penyakit jantung
reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi
pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara
infeksi Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik,
biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang
dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian3.Stadium
III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai
manifestasi klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik.
Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala
peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala
mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.
Manifestasi Klinis Mayor
1. Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50%
pasien, yang cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan
mutakhir1,2. Dua laporan yang paling baru, dari Florida dan Utah,
melaporkan karditis pada 75% pasien demam reumatik akut. Angka ini
didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan
auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi
Doppler 91% pasien menunjukkan keterlibatan jantung1. Pada
literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-80% dari demam reumatik
akan berkembang menjadi pankarditis5,7.
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam
reumatik akut, dan menyebabkan mortalitas paling sering selama
stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase akut, cedera sisa pada
katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah ditangani,
dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas
dapat terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut
yang menyebabkan endokarditis bakteri1.
Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam
reumatik yang paling khas. Karditis dengan insufisiensi mitral
diketahui dapat berkaitan dengan infeksi virus, riketsia, dan
mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab utama
insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun
laporan dari negara berkembang mengambarkan insidens penyakit
jantung reumatik yang tinggi pada anak muda, demam reumatik dan
karditis reumatik jarang ditemukan pada anak umur di bawah 5 tahun.
Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi mudah
lelah, anoreksia, dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat
demam ringan dan mengeluh bernapas pendek, nyeri dada, dan
artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan keterlibatan
jantung, dan pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung.
Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi
bersamaan dengan satu atau lebih manifestasi lain. Kadang artritis
dapat mendahului karditis; pada kasus demikian tanda karditis
biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi
keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini.
Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung
sangat bervariasi. Karditis dapat sangat tidak kentara, seperti
pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi mitral dapat sangat
ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada
auskultasi. Karditis yang secara klinis mulainya lambat mungkin
sebenarnya mengambarkan progresivitas karditis ringan yang semula
tidak dideteksi. Pasien yang datang dengan manifestasi lain harus
diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis.
Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi,
harus selalu dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak
menunjukkan keterlibatan jantung harus terus dipantau dengan ketat
untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga minggu berikutnya.
Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai 3 minggu
pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.
Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis.
Pengukuran frekuensi jantung paling dapat dipercaya apabila pasien
tidur. Demam dan gagal jantung menaikkan frekuensi jantung;
sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia. Apabila tidak
terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien
tidur merupakan tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan
karditis.
Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok
atrioventrikular total biasanya tidak ditemukan pada karditis
reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk dicatat secara klinis,
terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang berarti.
Pada umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising
patologis, terutama insufisiensi mitral, adanya kardiomegali secara
radiologis yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung dan
tanda perikarditis.
Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher
yang meninggi, muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit
dan bahkan edema pitting, semuanya dapat dipandang sebagai bukti
karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap anak dengan penyakit
jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti menderita
karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal
jantung kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada
jantung karena keterlibatan katup reumatik. Pada anak dengan demam
reumatik, gagal jantung kanan, terutama yang disertai dengan edema
muka, mungkin terjadi sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal
jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang ditemukan.
Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae
katup mitral, merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis
reumatik. Katup-katup pulmonal dan trikuspid jarang terlibat.
Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada karditis reumatik,
yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus,
dengan nada tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien
tidur miring ke kiri. Pungtum maksimum bising adalah di apeks,
dengan penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila terdapat
insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising
stenosis mitral relatif yaitu bising mid-diastolik sampai akhir
diastolik yang bernada rendah. Bising ini disebut bising
Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui
lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian,
menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising aliran
(flow murmur).
Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan
karditis reumatik. Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup
tunggal tetapi biasanya bersama dengan infusiensi mitral.
Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini dekresendo
yang mulai dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini
bernada sangat tinggi, sehinggga paling baik didengar dengan
stetoskop membran (diafragma) pada sela iga ketiga kiri dengan
pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan
dan menahan napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin lemah,
dan karenanya sering gagal dikenali oleh pemeriksa yang tidak
terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat, bising terdengar keras
dan mungkin disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini
tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar digambarkan
sebagai nadi perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse).
Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia
ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung reumatik yang kronik
dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler menunjukkan bahwa
kelainan pada katup trikuspid dan pasien demam reumatik pulmonoal
ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya.
Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan
terjadinya gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada
sekitar 5% pasien demam reumatik akut, terutama pada anak yang
lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan gagal jantung
jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah
sakit terdiri atas pasien demam reumatik akut serangan pertama dan
demam reumatik akut serangan ulang. Lagipula pasien di Yogyakarta
baru berobat apabila telah timbul gejala dan tanda gagal
jantung.
Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne,
ortopne, dan anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia,
kardiomegali, dan hepatomegali dengan hepar yang lunak. Edema paru
terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.
Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat
terjadi akibat penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif
dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu karena dilatasi jantung
akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan perikardium
parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang
menimbulkan suara gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini
terdengar paling baik di midprekordium pada pasien dalam posisi
tegak, sebagai suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat didengar
pada sistole atau diastole tergantung pada apakah pergeseran timbul
oleh kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan cairan yang
banyak menyebabkan terjadinya pergeseran perikardium, sehingga
dapat mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising gesek pada
pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya
pankarditis. Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis
dan miokarditis biasanya bukan disebabkan demam reumatik.
Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap
protodiastolik, akibat aksentuasi suara jantung ketiga. Derap
presistolik agak jarang terjadi, akibat pengerasan suara jantung
keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap kombinasi, yaitu
kombinasi dari dua derap (summation gallop).
2. Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik.
Walaupun merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis
ini paling tidak spesifik dan sering menyesatkan diagnosis.
Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan demam
reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat
pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan
artritis sebagai manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi
bukan yang paling serius, seperti kata Lasegue, demam reumatik
menjilat sendi namun menggigi jantung1.
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif
sendi, ditandai oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam.
Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat
istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya
merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat
pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis1.
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia
hanya terjadi nyeri ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi
besar paling sering terkena, yang terutama adalah sendi lutut,
pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang
kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan
berpindah-pindah (poliartritis migrans). Proses radang pada satu
sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan,
kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar
pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap
lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons
dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga
perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian
aspirin1.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali
efusi. Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia
harus benar-benar diperhatikan, baik yang berat maupun yang ringan.
Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan skrining
kolagen yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci
serta pemeriksaan fisis yang cermat1.
Korea Sydenham
Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai
sekitar 15% pasien demam reumatik1,2. Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan sistem saraf pusat, terutama ganglia basal dan nuklei
kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea Sydenham dengan demam
reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan tersebut
tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama
insufisiensi mitral, yang semula datang hanya dengan korea
Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten antara infeksi
streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten untuk
artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis
atu karditis adalah sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis
korea dapat mencapai 3 bulan atau lebih1.
Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja
dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil.
Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres.
Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh
pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi
yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak
gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut
dengan cepat dan menyerupai kantong cacing. Pasien korea biasanya
tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang
pendek1.
Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak.
Ekstensi lengan di atas kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua
tangan (tanda pronator). Kontraksi otot tangan yang tidak teratur
tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa (pegangan
pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka
jari-jari berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau
pinggan). Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk,
yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap1,5. Bila
disuruh membuka dan menutup kancing baju, pasien menunjukkan
inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan
emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi
yang tidak sesuai1,2,5. Orangtua sering cemas oleh kecanggungan
pasien yang reaksi yang mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien
kehilangan perhatian, gelisah, dan tidak koperatif. Sebagai pasien
mungkin disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku.
Meskipun tanpa pengobatan sebagian besar korea minor akan
menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada kasus yang berat, meskipun
dengan pengobatan, korea minor dapat menetap selama 3-4 bulan,
bahkan dapat sampai 2 tahun1.
Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan
cenderung menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea
terjadi pada 31% kasus. Korea tidak biasa terjadi sesudah pubertas
dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada wanita hamil
(korea gravidarum). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi
yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak
wanita dibanding pada lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis
kelamin ini bertambah1.
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan
jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk
dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan menunjukkan bahwa eritema
marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien1. Pada
literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari
10% kasus2. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema
yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit
yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering
pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan
wajah1,2,5. Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat
memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan pada pasien berkulit
gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal penyakit, kadang
menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi klinis
lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan
karditis, seperti halnya nodul subkutan1. Menurut literatur lain,
eritema ini sering ditemukan pada wanita dengan karditis
kronis5.
Gambar 2. Eritema Marginatum10Nodulus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade
terakhir, saat ini jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung
reumatik kronik. Penelitian mutakhir melaporkan frekuensi nodul
subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari Utah
nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari,
lutut dan persendian kaki. Kadang nodulus ditemukan pada kulit
kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya bervariasi dari
0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan
pada pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih
cepat menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang
menutupinya tidak menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini
biasanya muncul sesudah beberapa minggu sakit dan pada umumnya
hanya ditemukan pada pasien dengan karditis1.
Gambar 3. Nodul Subkutan.10MANIFESTASI MINOR
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering
ada pada karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni.
Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar,
gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu
2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi
tanpa tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan
sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien
tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya1. Termasuk kriteria minor
adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti LED atau
C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk
masa waktu yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada
elektrokardiogram juga termasuk kriteria minor5.
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan
gagal jantung oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada
pada demam reumatik tanpa gagal jantung dan ada sebelum manifestasi
spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa
berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat
disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan
operasi1.
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan
akibat gagal jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat.
Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan merupakan gejala
yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri
abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam
reumatik, tidak dianggap sebagai kriteria diagnosis1.
Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam
reumatik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung
reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala
apa-apa3.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa
kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis
serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam
reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat
mengalami reaktivasi penyakitnya3.
Lama Serangan Demam ReumatikLama serangan demam reumatik secara
keseluruhan (bukan lama masing-masing manifestasi) berbeda
tergantung pada kriteria yang digunakan, dan pada manifestasi
klinis. Serangan yang terpendek merupakan ciri artritis, yang lebih
panjang terjadi pada korea dan serangan terpanjang adalah
karditis1.
Pada serangan lebih pendek jikalau yang dianggap sebagai titik
akhir adalah hilangnya manifestasi klinis akut, dan lebih panjang
jika titik akhir adalah kembalinya laju endap darah manjadi normal.
Walaupun demikian dalam beberapa kasus manifestasi klinis mayor
tertentu (misalnya korea, dan kadang eritema marginatum dan
nodulus) dapat menetap atau bahkan muncul pertama kalinya setelah
fase akut telah kembali normal1.
Lama serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3
minggu (pada sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien
karditis berat, proses reumatik aktif ini dapat berlanjut sampai 6
bulan atau lebih. Pasien ini menderita demam reumatik kronik. Di
negara Barat keadaan ini terjadi pada sebagian kecil kasus (3% atau
kurang). Sebagian besar pasien dengan demam reumatik yang
berkepanjangan menderita beberapa kali serangan. Di negara tempat
karditis berat dan kumat sering terjadi, frekuensi demam reumatik
kronik mungkin sekali lebih tinggi1.
Proses demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari
tanda berikut: artritis, bising organik baru, kardiomegali, nadi
selama tidur melebihi 100/menit, korea, eritema marginatum, atau
nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup yang berat
juga merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat
berlangsung berlarut-larut dan menyebabkan kematian sesudah
beberapa bulan atau tahun. Laju endap darah (LED) yang terus tinggi
lebih dari 6 bulan bukan aktivitas reumatik jika tidak disertai
tanda lain1. DiagnosisDemam reumatik tidak mempunyai organ sasaran
tertentu. Demam reumatik dapat mengenai sejumlah organ dan
jaringan, secara tersendiri atau bersama. Tidak adanya manifestasi
(kecuali korea Sydenham murni) maupun uji laboratorium yang cukup
khas untuk diagnosis, karenanya diagnosis didasarkan pada kombinasi
beberapa penemuan. Makin banyak manifestasi, makin kuat pula
diagnosis. Karena prognosis bergantung pada manifestasi klinis,
maka pada diagnosis harus disebut manifestasi klinisnya, misalnya
demam reumatik dengan poliartritis saja.
Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria
diagnosis yang didasarkan kepada kombinasi manifestasi klinis dan
penemuan laboratorium. Tanda klinis yang paling berguna disebut
sebagai manifestasi mayor, yakni karditis, poliartritis, korea,
nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Istilah mayor berkaitan
dengan diagnosis dan bukan dengan frekuensi atau derajat kelainan.
Tanda dan gejala lain, meski kurang khas, masih dapat bermanfaat,
disebut kriteria minor yang meliputi demam, artralgia, riwayat
demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya,
pemanjangan interval P-R dan reaktan fase akut (LED, PCR). Dua
manifestasi mayor, atau satu manifestasi mayor dan dua minor,
menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik1.2.5.
Pada kriteria Jones yang direvisi tahun 1965 diperlukan bukti
adanya infeksi sterptokokus yang baru untuk mandukung diagnosis.
Terdapat dua pengecualian pada perlunya dukungan ini; pertama pada
beberapa pasien dengan korea Sydenham, dan kedua pada pasien dengan
karditis yang diam-diam (silent carditis). Antibodi streptokokus
mungkin telah kembali normal pada saat kedua golongan pasien
tersebut pertama diperiksa. Kriteria Jones ditinjau kembali pada
tahun 1984 tanpa perubahan yang berarti (Tabel 1). Tujuan semula
Jones ini untuk mencegah kesalahan diagnosis demam reumatik akut,
yang sampai sekarang belum tercapai. Overdiagnosis masih sering
terjadi, paling sering pada pasien dengan poliartritis sebagai
manifestasi tunggal. Manifestasi minor sangat tidak spesifik dan
infeksi sterptokokus terdapat dimana-mana, sehingga kebutuhan
pelengkap untuk diagnosis dengan mudah dapat dipenuhi sehingga
menyebabkan overdiagnosis1.
Yang sering dirancukan dengan demam reumatik adalah golongan
penyakit kolagen vaskular, khususnya artritis reumatoid juvenil.
Umumnya bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya dapat
membedakan penyakit ini. Penemuan klinis tertentu pada artritis
reumatoid juvenil yang khas meliputi keterlibatan sendi kecil
perifer, keterlibatan sendi besar yang simetris tanpa artritis
migrans, sendi yang terkena pucat, perjalanan penyakitnya lebih
lamban dan responsif terhadap salisilat. Meski sebagian artritis
reumatoid berespons cepat terhadap salisilat, sebagian besar pasien
sembuh lebih lambat, walaupun dengan dosis salisilat yang besar.
Jika pasien gagal berespons sesudah 24-48 jam setelah dimulainya
terapi salisilat, ia lebih mungkin menderita artritis reumatoid
daripada demam reumatik akut1.
Beberapa penyakit harus dimasukkan dalam diagnosis banding,
termasuk lupus eritematosus sistematik, penyakit jaringan ikat
campuran, artritis reaktif yang mencakup artritis
pascasterptokokus, penyakit serum, dan artritis infeksi, terutama
artritis akibat gonokokus yang melibatkan beberapa sendi.
Pemeriksaan serologis, termasuk panel antibodi anti-nuklear (ANA),
dan biakan biasanya dapat membantu membedakan keadaan-keadaan
tersebut. Pasien penyakit sel sikel atau hemoglobinopati lain, dan
kadang pasien leukemia, mungkin datang dengan keluhan poliartritis.
Pemeriksaan darah dan biopsi sumsum tulang biasanya memastikan
diagnosis1.
Karditis atau perikarditis reumatik harus dibedakan dengan
karditis akibat penyebab lain, termasuk infeksi bakteri, virus,
atau mikoplasma, serta penyakit kolagen vaskular. Endokarditis
harus dibedakan dari endokarditis pada kelainan katup bawaan atau
prolaps katup mitral. Ekokardiografi berperan penting untuk
identifikasi kelainan bawaan dan prolaps katup mitral. Penyakit
Libman Sacks, endokarditis yang bersamaan dengan lupus eritematosus
sistematik, jarang sekali terlihat pada anak. Pasien dengan
hipertiroidisme, terutama yang disertai dengan blok A-V derajat I
dapat dirancukan dengan insufisiensi mitral reumatik1.
Berbagai penyakit neurologis degeneratif, koreoatetosis
kongenital, spasme habitualis, beberapa tumor otak, dan kelainan
tingkah laku dapat dirancukan dengan korea Sydenham. Penyembuhan
spontan membantu diagnosis korea Sydenham, karena biasanya pada
kelainan lain apabila tidak diobati korea akan cendrung menetap
atau progresif. Teknik diagnosis yang lebih baru, antara lain
computerized axial tomography (CAT) scan dan magnetic resonance
imaging (MRI) berguna dalam memastikan kelainan-kelainan
tersebut1.
Seperti dinyatakan di atas, masalah utama dalam diagnosis adalah
bila pasien yang hanya menunjukan satu kriteria mayor, khususnya
pasien poliartritis. Masalah jarang timbul apabila ditemukan dua
kriteria mayor. Pengamatan cermat terhadap pasien sementara
pemberian profilaksis antibiotik dapat menyelesaikan dilema,
terutama bila terdapat artritis kumat tanpa bukti faringitis
streptokokus sebelumnya1.
Peninjauan Kembali Kriteria DiagnosisKesulitan untuk menegakkan
diagnosis dengan tepat menyebabkan Kelompok Studi WHO secara
berhati-hati meninjau kembali kriteria Jones dan memandang perlu
untuk mengadakan beberapa perubahan. Kelompok ini menyimpulkan
bahwa bukti adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya adalah
menyimpulkan penting, mengingat fasilitas laboratorium telah banyak
tersedia di banyak negara selama dua puluh tahun terakhir ini. Uji
laboratorium untuk biakan dan antibodi sterptokokus saat ini sudah
dapat diperoleh di banyak negara. Juga disimpulkan bahwa artralgia
harus dipertahankan sebagai manifestasi minor, bila tidak maka akan
terjadi overdiagnosis1.
Di negara sedang berkembang tidak jarang pasien didiagosis untuk
pertama kalinya sebagai karditis reumatik aktif tanpa dukungan
anamnesis, pemeriksaan fisis, ataupun pemeriksaan laboratorium
untuk memenuhi kriteria Jones yang direvisis. Untuk membuat
kriteria benar-benar lebih sesuai dengan pengalaman klinikus,
disetujui bahwa pada pasien dengan karditis yang datang diam-diam
atau datang terlambat, diagnosis demam reumatik dimungkinkan pada
pasien yang manifestasi satu-satunya adalah karditis aktif,
sebagaimana halnya pada diagnosis korea Sydenham. Namun harus
ditekankan bahwa dasar diagnosis tersebut haruslah secara hati-hati
ditentukan untuk membedakan dari penyakit jantung valvular kronik
yang diduga reumatik, dari mioperikarditis, dan dari
kerdiomiopati1.
Akhirnya kelompok studi menyimpulkan bahwa diagnosis demam
reumatik akut kumat pada pasien yang telah diketahui pernah
menderita demam reumatik harus ditentukan secara tersendiri. Pada
pasien dengan riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
yang dapat dipercaya, diagnosis haruslah didasarkan atas
manifestasi minor ditambah bukti adanya infeksi sterptokokus yang
baru. Diagnosis demam reumatik kumat mungkin baru dapat ditegakkan
sesudah waktu yang cukup lama untuk menyingkirkan diagnosis lain.
Dalam mengevaluasi pasien seperti ini harus diingat kemungkinkan
endokarditis infektif yang mungkin secara klinis menyerupai demam
reumatik kumat. Kelambatan diagnosis endokarditis infektif dapat
berakibat amat serius1.Kriteria yang Dianjurkan
Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang
direvisi tahun 1982 (Tabel 1) dengan tambahan catatan di bawah,
diambil sebagai pegangan umum. Pada tiga golongan pasien yang
diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik diterima tanpa adanya
dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua
manifestasi minor. Hanya pada dua yang pertama persyaratan untuk
infeksi streptokokus sebelumnya dapat dikesampingkan1,2,5.
Korea dalam praktek diagnosis korea reumatik ditegakan apabila
korea merupakan manifestasi klinis tunggal, sesudah sindrom grenyet
(tic) dan penyebab gerakan koreiform lain (misalnya lupus)
disingkirkan. Kelompok WHO secara tegas menyatakan bahwa korea
murni dapat dikecualikan dari pemakaian kriteria Jones.
Karditis datang diam-diam atau datangnya terlambat. Pasien
kelompok ini biasanya mempunyai riwayat demam reumatik yang
samar-samar atau tidak ada sama sekali, tetapi selama periode
beberapa bulan timbul gejala dan tanda umum seperti rasa tidak enak
badan, lesu, anoreksia, dengan penampakan sakit kronik. Mereka
sering datang dengan gagal jantung, dan pemeriksaan fisis dan
laboratorium menunjukkan adanya penyakit jantung valvular. Jenis
miokarditis akibat kelainan lain harus disingkirkan. Tanda radang
aktif (biasanya reaksi fase akut seperti LED dan PCR) diperlukan
untuk membedakannya dari penyakit katup reumatik inaktif.
Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk memperkuat atau
menyingkirkan adanya penyakit katup kronik. Endokarditis infektif
mudah dirancukan dengan keadaan ini.
Demam reumatik kumat. Pada pasien penyakit reumatik yang telah
menetap (establihed) yang telah tidak minum obat antiradang
(salisilat atau kortikosteroid) selama paling sedikit dua bulan,
terdapatnya satu kriteria mayor atau demam, artralgia, atau naiknya
reaktan fase akut memberikan kesan dugaan diagnosis demam reumatik
kumat, asalkan terdapat bukti adanya infeksi sterptokokus
sebelumnya (misalnya peninggian titer ASTO). Namun untuk diagnosis
yang tepat diperlukan pengamatan yang cukup lama untuk
menyingkirkan penyakit lain dan komplikasi penyakit jantung
reumatik seperti endokarditis infektif.
Seringkali sukar membuktikan adanya karditis akut selama serang
kumat. Munculnya bising baru, bertambahnya kardiomegali, atau
adanya bising gesek perikadial biasanya membuktikan diagnosis
karditis. Adanya nodul subkutan atau eritema marginatum juga
merupakan bukti terpercaya untuk terdapatnya karditis aktif.
TABEL 1. KRITERIA JONES (REVISI) UNTUK PEDOMAN DALAM DIAGNOSIS
DEMAM REUMATIK
Manifestasi MayorManifestasi Minor
Karditis
Poliartritis
Korea
Eritema marginatum
Nodulus subkutanKlinik
Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
Artralgia
Demam
Laboratorium
Reaktans fase akut
Laju endap darah (LED)
Protein C reaktif
Leukositosis
Pemanjangan interval P-R
ditambah
Bukti adanya infeksi streptokokus
Kenaikan titer antibodi antisterptokokus: ASTO/lain
Biakan farings positif untuk streptokokus grup A
Demam skarlatina yang baru
Adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor, menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik akut,
jika didukung oleh adanya infeksi streptokokus grup A
sebelumnya.
* Committee on Rheumatic Fever and Bacterial Endocarditis,
1982
Diagnosa BandingTidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan
laboratorium yang khas untuk demam reumatik/penyakit jantung
reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala yang
sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung
reumatik. Yang perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi
yang sering disertai demam serta reaksi fase akut. Bila terdapat
kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi Streptococcus
sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka
seolah-olah kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap
riwayat infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti
terhadap kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar tidak
terjadi diagnosis berlebihan3.Reumatoid artritis serta lupus
eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala yang mirip dengan
demam reumatik (Tabel 2). Diagnosis banding lainnya ialah purpura
Henoch-Schoenlein, reaksi serum, hemoglobinopati, anemia sel sabit,
artritis pasca infeksi, artritis septik, leukimia dan endokarditis
bakterialis sub akut3.TABEL 3. DIAGNOSIS BANDING DEMAM
REUMATIK3Demam reumatikArtritis reumatoidLupus eritomatosus
sistemik
Umur5-15 tahun5 tahun10 tahun
Rasio kelaminsamaWanita 1,5:1Wanita 5:1
Kelainan sendi
Sakit
Bengkak
Kelainan RoHebat
Non spesifik
Tidak adasedang
Non spesifik
Sering (lanjut)Biasanya ringan
Non spesifik
Kadang-kadang
Kelainan kulitEritema marginatumMakularLesi kupu-kupu
KarditisyaJarangLanjut
LaboratoriumLateks
Aglutinasi sel domba
Sediaa sel LE-
- 10% 10%
5%Kadang-kadang
Respon terhadap salisilatcepatBiasanya lambatLambat / -
Pengobatan
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup
APengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus
segera dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan
streptococcus dari tonsil dan faring sama dengan cara untuk
pengobatan faringitis streptococcus yakni pemberian penisilin
benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien
dengan berat badan > 30 kg atau 600 000-900 000 unit untuk
pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000 unit
(250 mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan
sebagai alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4
dosis yang sama dengan maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari
dianjurkan untuk pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti
sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga
efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus. Penisilin
benzatin yang berdaya lama lebih disukai dokter karena
reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi
streptokokus1,3.
2. Obat analgesik dan anti-inflamasi
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi
radang akut demam reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons
yang cepat dari artritis terhadap salisitas dapat membantu
diagnosis1.
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin
dalam dosis total 100 mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis
terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/ hari selama 2-6 minggu
berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus
diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan
tinitus dan hiperpne1,2,3.
Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal
jantung aspirin seringkali tidak cukup untuk mengendalikan demam,
rasa tidak enak serta takikardia, kecuali dengan dosis toksik atau
mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid;
prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2
mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada
kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus dimulai dengan
metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison
oral. Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan
pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila
penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus
ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison
dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insidens
rebound klinis pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi
klinis segera sesudah terapi dihentikan, atau sementara prednison
diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan
untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien
berespons lebih baik, demikian pula gagal jantung pun berespons
lebih cepat daripada dengan salisilat1,2.
Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan
selama berbulan-bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak
berat, tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan tidak perlu mengubah
tata laksana medik. Sebaliknya kadar PCR yang tetap tinggi
menandakan perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut
harus diamati dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan
tetap tenang lebih dari dua bulan setelah penghentian antiradang,
maka demam reumatik tidak akan timbul lagi kecuali apabila terjadi
infeksi streptokokus baru.TABEL 3. OBAT ANTIRADANG YANG DIANJURKAN
PADA
DEMAM REUMATIK2,3MANIFESTASI KLINISPENGOBATAN
Artralgia
Hanya analgesik (misal asetaminofen).
ArtritisSalisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dan 75
mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya
Artritis + karditis tanpa kardiomegaliSalisilat 100 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya
Artritis + karditis + kardiomegaliPrednison 2 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu dan diturunkan sedikit demi sedikit (tapering off)
2 minggu; salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai awal minggu ke 3 selama 6
minggu
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita.
Pada sebagian besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup
kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat dibenarkan. Bila
terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal
jantung yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi3,9.
4. Tirah Baring dan mobilisasi
Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika
mungkin di rumah sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk
menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan dini bila terdapat
gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu
sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus
dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah
baring bervariasi. Tabel 4 merupakan pedoman umum; tidak ada
penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal
penting adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan
manifestasi penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisis yang lama
harus dihindari1.
Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus
istirahat di tempat tidur. Untuk artritis cukup dalam waktu lebih
kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan gagal
jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara
bertahap3.
Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat
efek psikologis serta keperluan sekolah. Penderita demam reumatik
tanpa karditis atau penderita karditis tanpa gejala sisa atau
penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa
kardiomegali, setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas.
Penderita dengan demam kardiomegali menetap perlu dibatasi
aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang
bersifat kompetisi fisis3.
TABEL 4. PEDOMAN ISTIRAHAT DAN MOBILISASI PENDERITA DEMAM
REUMATIK/PENYAKIT JANTUNG REUMATIK AKUT(Markowitz dan Gordis,
1972)3ArtritisKarditis minimalKarditis tanpa kardiomegaliKarditis +
kardiomegali
Tirah baring2 minggu3 minggu6 minggu3-6 bulan
Mobilisasi bertahap di ruangan2 minggu3 minggu6 minggu3
bulan
Mobilisasi bertahap di luar ruangan3 minggu4 minggu3 bulan3
bulan atau lebih
Semua kegiatanSesudah 6-8 mingguSesudah 10 mingguSesudah 6
bulanbervariasi
5. Pengobatan lain5.1 Pengobatan Karditis
Pengobatan karditis reumatik ini tetap paling kontroversial,
terutama dalam hal pemilihan pasien untuk diobati dengan aspirin
atau harus dengan steroid. Meski banyak dokter secara rutin
menggunakan steroid untuk semua pasien dengan kelainan jantung,
penelitian tidak menunjukkan bahwa steroid lebih bermanfaat
daripada salisilat pada pasien karditis ringan atau sedang.
Rekomendasi untuk menggunakan steroid pada pasien pankarditis
berasal dari kesan klinis bahwa terapi ini dapat menyelamatkan
pasien3.
Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan
dengan gagal jantung; digoksin lebih disukai dipakai pada anak.
Dosis digitalisasi total adalah 0,04 sampai 0,06 mg/kg, dengan
dosis maximum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga
samapai seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali
sehari. Karena beberapa pasien miokarditis sensitif terhadap
digitalis, maka dianjurkan pemberian diitalisasi lambat. Penggunaan
obat jantung alternatif atau tambahan dipertimbangkan bila pasien
tidak berespons terhadap digitalis3.
Tirah baring dianjurkan selama masa kariditis akut, seperti
tertera pada tabel 11-9. pasien kemudian harus diizinkan untuk
melanjutkan kembali aktivitasnya yang normal secara bertahap.
Hindarkan pemulihan aktivitas yang cepat pada pasien yang sedang
menyembuh dari karditis berat. Sebaliknya, kita harus mencegah
praktek kuno yang mengharuskan tirah baring untuk waktu yang lama
sesudah karditis stabil dan gagal jantung mereda, karena takut
memburuk atau kumatnya karditis. Meskipun telah ada pedoman tirah
baring, namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan kasus demi
kasus3.
5.2 Pengobatan Korea SydenhamPasien korea yang ringan pada
umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus yang lebih berat,
obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat ini
sangat bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap
6 sampai 8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg),
kemudian dinaikkan sampai 2 mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak
diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat
diberi steroid3. Pencegahan Sekunder
Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart
Association dan WHO tertera pada tabel 5. Pemberian suntikan
penisilin berdaya lama setiap bulan adalah cara yang paling dapat
dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien dengan
resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri
suntikan dapat berlangsung lama, pasien yang lebih tua lebih suka
cara ini karena dapat dengan mudah teratur melakukanya satu kali
setiap 3 atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin oral yang
harus setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk
pencegahan primer (terapi faringitis), terbukti lebih efektif
daripada penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Sulfadiazin juga
jauh lebih murah daripada eritromisin.
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung
pada pelbagai faktor, termasuk waktu serangan atau serangan ulang,
umur pasien, dan keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan makin
besar kemungkinan kumat; setelah pubertas kemungkinan kumat
cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun
pertama sesudah serangan terakhir. Pasien dengan karditis lebih
mungkin kumat daripada pasien tanpa karditis.
Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan
sekunder disesuaikan secara individual; beberapa prinsip umum dapat
dikemukakan. Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya
diberikan profilaksis minimum 5 tahun sesudah serangan terakhir,
sekurangnya sampai umur 18 tahun. Pasien dengan keterlibatan
jantung dilakukan pencegahan setidaknya sampai umur 25 tahun, dan
dapat lebih lama jika lingkungan atau faktor risiko lain
mendukungnya1,3. Evaluasi pengobatan setiap 5 tahun. Risiko terjadi
kekambuhan paling tinggi dalam 5 tahun pertama2.
Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil; akan
tetapi sebaiknya tidak dipakai sulfadiazin karena mendatangkan
risiko terhadap janin. Remaja biasanya mempunyai masalah khusus
terutama dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu upaya khusus
mengingat resiko terjadinya kumat cukup besar. Untuk pasien
penyakit jantung reumatik kronik, pencegahan sekunder untuk masa
yang lama, bahkan seumur hidup kadang diperlukan, terutama pada
kasus yang berat. TABEL 5. JADWAL YANG DIANJURKAN UNTUK
PENGOBATAN
DAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI STREPTOKOKUS
PENGOBATAN FARINGITIS (PENCEGAHAN PRIMER)PENCEGAHAN INFEKSI
(PENCEGAHAN SEKUNDER)
1. Penisilin benzatin G IM
a. 600 000-900 000 unit untuk pasien < 30 kg
b. 1 200 00 unit pasien > 30 kg
2. Penisilin V oral:
250 mg, 3 atau 4 kali sehari selama 10 hari
3. Eritromisin:
40 mg/kg/hari dibagi dalam 2-4 kali dosis sehari (dosis maximum
1 g/hari) selama 10 hari
1. Penisilin benzatin G IM
a. 600 000-900 000 unit untuk pasien < 30 kg setiap 3-4
minggu
b. 1 200 00 unit pasien > 30 kg setiap 3-4 minggu
2. Penisilin V oral:
250 mg, dua kali sehari
3. Eritromisin:
250 mg, dua kali sehari
4. Sulfadiazin:
0,5 g untuk pasien < 30 kg sekali sehari
1 g untuk pasien > 30 kg sekali sehari
Prognosis
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat
keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat
karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di
negara maju (hampir 0%) namun masih sering ditemukan di negara
berkembang (1-10%). Selain menurunkan mortalitas, perkembangan
penisilin juga mempengaruhi kemungkinan berkembangnya menjadi
penyakit valvular kronik setelah serangan demam reumatik aku.
Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi penyakit
valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin
yaitu hanya sebesar 9-39%1,9.
Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam
reumatik akut hingga mencegah perburukan status jantung. Pengamatan
menunjukkan angka penyembuhan yang tinggi penyakit katup bila
profilaksis dilakukan secara teratur. Informasi ini harus
disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan
prognosis yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung
yang berat1.PENUTUPDemam reumatik merupakan suatu reaksi autoimun
terhadap faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A yang
mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti. Demam reumatik tidak
pernah menyertai infeksi kuman lain maupun infeksi Streptococcus di
tempat lain. Penyakit ini juga cenderung berulang. Insidens
tertinggi penyakit ini ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun dan
pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan
risiko terjadinya demam reumatik. Perjalanan klinis penyakit demam
reumatik/penyakit jantung reumatik didahului pertama kali oleh
infeksi saluran napas atas oleh kuman Streptococcus beta
hemolyticus grup A dan selanjutnya diikuti periode laten yang
berlangsung 1-3 minggu kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu
atau bahkan berbulan-bulan. Setelah periode laten, periode
berikutnya merupakan fase akut dari demam reumatik dengan timbulnya
berbagai manifestasi klinis, dan diakhiri dengan stadium inaktif,
yang pada demam reumatik tanpa kelainan jantung atau penyakit
jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala
apa-apa.
Manifestasi klinis demam reumatik dibagi menjadi manifestasi
klinis mayor yaitu artritis, karditis, korea, eritema marginatum
dan nodulus subkutan. Manifestasi klinis minor yaitu demam,
artralgia, peningkatan LED dan C-reactive protein dan pemanjangan
interval PR. Kriteria diagnosis berdasarkan kriteria Jones (revisi
1992) ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor +2 kriteria minor ditambah dengan bukti infeksi Streptococcus
grup A tenggorok positif + peningkatan titer antibodi
Streptococcus.
Penatalaksanaan pada demam reumatik/penyakit jantung reumatik
berupa eradikasi dari kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A,
obat-obat analgesik dan antiinflamasi, diet, istirahat dan
mobilisasi serta pengobatan lain yang diberikan sesuai klinisnya
seperti pengobatan korea. Kemudian diikuti dengan pencegahan
sekunder yang lamanya sesuai dengan klinisnya. Pencegahan sekunder
ini diharapkan dapat efektif untuk mencegah timbulnya demam
reumatik berulang.
Pengobatan serta pencegahan yang harus dilaksanakan secara
teratur ini, informasinya harus disampaikan kepada pasien atau
keluarga pasien sehingga prognosis pasien dengan penyakit ini baik
walaupun pada pasien dengan penyakit jantung yang berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak.
Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. Hal 279-3142. Hasan, Rusepro. Buku
Kuliah Ilmu kesehatan anak jilid dua edisi keempat. Jakarta: Bagian
ilmu kesehatan anak FK UI, 1985. Hal. 734-7523. Pusponegoro HD.
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2004. hal 149-153
4. Fayler, DC. Kardiologi Anak Nadas. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996. Hal 354-366
5. Behrman, R.E. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15.
Jakarta: EGC; 1999. hal 929-935
6. Samsi, TK, dkk. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak: RS. Sumber
Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Jakarta: UPT
Penerbitan Universitas Tarumanagara, 2000. hal 190-1937. Penn State
Medical Center. Rheumatic Fever. 31 Oktober 2006. (online).
(http://www..hmc.psu.edu, diakses 13 Maret 2008)
8. Ghaleb, Thuria. Rheumatic Fever Still Threatens Yemenss
Children. 22 Mei 2007. (online). (http://www.yobserver.com, diakses
13 Maret 2008)
9. Chin, TK. Rheumatic Heart Disease. 19 Mei 2006. (online).
(http://www.emedicine.com, diakses 13 Maret 2008)10. Binotto MA,
Guilherme L, Tanaka AC. Rheumatic Fever. 2002. (online).
(http://www.health.gov.mt/impaedcard/index.html, diakses 13 Maret
2008) REFERAT
DEMAM REUMATIK/
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
Oleh:
Muhammad Buchori
NIM. 02.34884.00077.09
Pembimbing:
dr. Tjan Kok Ming, Sp.A
Disampaikan pada hari Selasa, 18 Maret 2008
Dalam Pendidikan Senior Clerkship
SMF Ilmu Kesehatan Anak
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN EMBED Word.Picture.8
PAGE 5
_1148428724.doc