Top Banner
DAYA DUKUNG PONDASI DALAM BERDASARKAN TES LAPANGAN Dalam setiap bangunan, diperlukan pondasi sebagai dasar bangunan yang kuat dan kokoh. Hal ini disebabkan pondasi sebagai dasar bangunan harus mampu memikul seluruh beban bangunan dan beban lainnya yang turut diperhitungkan, serta meneruskannya kedalam tanah sampai kelapisan atau kedalaan tertentu. Bangunan teknik sipil secara umum meliputi dua bagian utama yaitu struktur bawah (sub structure) dan struktur atas (upper structure). Struktur atas didukung oleh struktur bawah sebagai poondasi yang berinteraksi dengan tanah dan akan memberikan keamanan bagi struktur atas. Struktur bawah sebagai pondasi juga secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pondai dangkal dan pondasi dalam. Pemilihan jenis pondasi ini tergantung kepada jenis struktur atas, apakah termasuk konstruksi beban ringan atau beban berat dan juga jenis tanahnya. Untuk konstruksi beban ringan dan kondisi lapisan permukaan yang cukup baik, biasanya jenis pondasi dangkal sudah cukup memadai. Tetapi untuk konstruksi beban berat (high-rise building) bisanya jenis pondasi dalam adalah menjadi pilihan, dan secara umum permasalahan perencanaan pondasi dalam lebih rumit dari pndasi dangkal. 1
23

Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Feb 09, 2016

Download

Documents

Danuk Tyastuti
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

DAYA DUKUNG PONDASI DALAM BERDASARKAN TES

LAPANGAN

Dalam setiap bangunan, diperlukan pondasi sebagai dasar bangunan yang

kuat dan kokoh. Hal ini disebabkan pondasi sebagai dasar bangunan harus mampu

memikul seluruh beban bangunan dan beban lainnya yang turut diperhitungkan,

serta meneruskannya kedalam tanah sampai kelapisan atau kedalaan tertentu.

Bangunan teknik sipil secara umum meliputi dua bagian utama yaitu struktur

bawah (sub structure) dan struktur atas (upper structure). Struktur atas didukung

oleh struktur bawah sebagai poondasi yang berinteraksi dengan tanah dan akan

memberikan keamanan bagi struktur atas. Struktur bawah sebagai pondasi juga

secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pondai dangkal dan pondasi

dalam. Pemilihan jenis pondasi ini tergantung kepada jenis struktur atas, apakah

termasuk konstruksi beban ringan atau beban berat dan juga jenis tanahnya. Untuk

konstruksi beban ringan dan kondisi lapisan permukaan yang cukup baik,

biasanya jenis pondasi dangkal sudah cukup memadai. Tetapi untuk konstruksi

beban berat (high-rise building) bisanya jenis pondasi dalam adalah menjadi

pilihan, dan secara umum permasalahan perencanaan pondasi dalam lebih rumit

dari pndasi dangkal.

Penyelidikan tanah diperlukan untuk menentukan stratifikasi (pelapisan)

tanah dan karakteristik teknis tanah, sehingga perancangan dan konstruksi pondasi

dapat dilaksanakan dengan ekonomis. Biasanya informasi dari hasil penyelidikan

tanah tidak hanya digunakan untuk perancangan pondasi saja, melainkan untuk

evaluasi dan rekomendasi pekerjaan yang lain, seperti kestabilan galian dan cara

dewatering. Dengan demikian pihak kontraktor juga dapat menyiapkan peralatan

yang sesuai dengan kondisi tanah dan dapat memperkirakan biaya secara lebih

terinci. Informasi mengenai pondasi dari bangunan sekitar lokasi proyek, jalan,

bangunan eksisting disekitarnya, fasilitas tertanam (underground facilities), dan

lain-lain perlu diperoleh sebelum proses perancangan.

Karakteristik tanah pada suatu lokasi umumnya amat variabel dan dapat

berbeda drastis dalam jarak beberapa meter. Oleh sebab itu penyelidikan tanah

1

Page 2: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

harus dapat mencakup informasi kondisi tanah sedekat mungkin dengan

kenyataan untuk mengurangi resiko akibat variasi tersebut, dan jumlahnya cukup

untuk dapat merancang pondasi yang mendekati kenyataan. Perencanaan

pengujian tanah menjadi bagian dari explorasi tanah dan perancangan pondasi.

Umumnya penyelidikan tanah dapat dikategorikan atas "confirmatory" atau

"exploratory". Dimana kondisi tanah telah diketahui oleh pelaksana, maka

kategori confirmatory lebih menonjol dan sebaliknya pada daerah yang sama

sekali baru maka bersifat exploratory. Dalam hal yang kedua maka untuk

penghematan sering dilakukan penyelidikan pendahuluan dan kemudian baru

dilakukan penyelidikan terinci. Informasi lain yang penting dalam perancangan

pondasi adalah elevasi dari muka air tanah. Umumnya data ini diperoleh

bersamaan dengan pelaksanaan penyelidikan tanah.

Tahapan penyelidikan tanah dan studi pondasi dalam dapat mengikuti

prosedur sebagai berikut :

1. Evaluasi dan studi kondisi lapangan

Keadaan di lapangan. Pengamatan mengenal topografi, vegetasi, bangunan

yang telah ada, jalan akses, dan lain-lain. Peninjauan seperti ini perlu dilakukan

oleh seorang ahli geoteknik. Informasi lain yang dapat dikumpulkan adalah

kondisi geologi, kegempaan regional, peraturan setempat, dan besarnya beban dari

struktur. Informasi ini akan membantu ahli geoteknik dalam memutuskan tahap

penyelidikan selanjutnya.

2. Penyelidikan Tanah Awal

Pada tahap ini dilakukan pemboran dan uji lapangan dalam jumlah yang

terbatas. Gunanya adalah untuk merencanakan penyelidikan tanah selanjutnya.

Tetapi pada proyek dengan skala kecil, tahap ini ditiadakan. Penyelidikan tanah

awal juga sering digunakan untuk studi kelayakan.

3. Penyelidikan Tanah Terperinci

Pada tahap ini, informasi mengenai keadaan tanah yang dibutuhkan untuk

perancangan dan konstruksi pondasi dalam dikumpulkan. Informasi ini harus

mencukupi perencana dan kontraktor untuk menentukan jenis, kedalaman, daya

dukung pondasi dan untuk mengantisipasi penurunan yang akan terjadi dan

masalah yang mungkin timbul selama konstruksi dan lain-lain. Untuk itu pada

2

Page 3: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

tahap ini diperlukan sejumlah pemboran yang dilengkapi dengan SPT,

pengambilan sampel, sondir, pengamatan muka air tanah dan penyelidikan

lapangan yang lain. Faktor yang menentukan disini adalah skala proyek,

kepentingan penyelidikan tanah untuk perancangan dan konstruksi bangunan,

ketersediaan dana, ketersediaan waktu dan ketersediaan informasi dari sumber

sumber yang lain. Pada beberapa proyek besar, beberapa kontraktor melakukan

penyelidikan tanah tambahan untuk memastikan bahwa konstruksi dapat

dilaksanakan sesuai spesifikasi yang tertulis dalam dokumen perencanaan.

Analisis pondasi sebaiknya diikuti dengan pengujian pondasi di lapangan.

Jumlah dan kedalaman pemboran amat bergantung kepada kondisi

dilapangan. Pada kategori ‘confirmatory’, maka kedalaman pengujian pada

umumnya, dapat ditetapkan secara lebih pasti, tetapi pada kategori ‘exploratory’

maka kedalaman pemboran ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam

penyelidikan tanah. Perencanaan penyelidikan tanah meliputi penentuan jumlah

banyaknya titik bor, kedalaman pemboran, jumlah sampel yang hendak diambil

dan diuji dilaboratorium, jumlah test pit, pengamatan muka air tanah dan lain –

lain. Biasanya, jika kondisi tanah setempat diketahui dari laporan geologi atau

pengujian terdahulu, jumlah pekerjaan penyelidikan tanah dapat mengalami

perubahan selama pelaksanaan dilapangan.

Uji lapangan menjadi populer karena dapat memberikan informasi profil

tanah secara kontinu dan dewasa ini telah dikembangkan untuk perancangan

pondasi tiang secara langsung dengan korelasi empirik.

1. Uji Sondir (Cone Penetration Test)

Uji sondir saat ini merupakan salah satu uji lapangan yang telah diterima

oleh para praktisi dan pakar geoteknik. Uji sondir ini telah menunjukkan manfaat

untuk pendugaan profil atau pelapisan (stratifikasi) tanah, karena jenis perilaku

tanah telah dapat diidentifikasi dari kombinasi hasil pembacaan tahanan ujung dan

gesekan selimutnya. Sondir standar memiliki luas penampang ujung konus

sebesar 10 cm2 dan sudut puncak 60°. Luas selimut 150 cm2. Kecepatan penetrasi

2 cm/det. Standar alat yang pada saat ini secara luas diterima tercantum dalam

ASTM D3411–75T. Pada sondir mekanis, penetrasi ujung konus dilakukan

mendahului selimutnya, gaya pada konus diukur, kemudian baru penetrasi ujung

3

Page 4: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

dan selimut dilakukan bersama–sama sehingga tercatat perlawanan total. Selisih

antara pengukuran perlawanan kedua dan pertama adalah gaya yang bekerja pada

selimut sondir, sehingga gesekan selimut, fs, dapat ditentukan.

Penggunaan Uji sondir yang makin luas terutama disebabkan oleh beberapa

faktor: Cukup ekonomis dan dapat dilakukan berulang kali dengan hasil yang

konsisten.

1. Korelasi empirik yang telah berkembang semakin andal.

Perkembangan yang semakin meningkat khususnya dengan ada

penambahan sensor pada sondir listrik seperti batu pori dan stress cell untuk

mengukur respon tekanan lateral tanah.

2. Kebutuhan untuk pengujian di lapangan (insitu test) dimana sampel tanah

tidak dapat diambil (tanah lembek dan pasir).

3. Dapat digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dengan baik.

4

Gambar 1. Skema Uji SondirSumber : Joseph E. Bowles

Page 5: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Pengujian awal dengan sondir dapat merupakan arahan untuk pemilihan

jenis uji tanah berikutnya dan dapat membantu menentukan posisi (kedalaman)

untuk uji lapangan yang lain (misalnya pressuremeter dan uji geser baling (vane

shear test) maupun lokasi pengambilan contoh tanah untuk uji laboratorium.

Untuk uji lapangan, sebaiknya uji sondir dilaksanakan lebih dahulu. Penggunaan

hasil uji sondir untuk klasifikasi tanah juga berdasarkan data secara empiris,

demikian pula untuk kepentingan interpretasi parameter tanah yang lain seperti

kuat geser dan kompresibilitas tanah. Oleh sebab itu pembaca diminta

memperhatikan keterbatasan pemakaian korelasi yang ada. Dalam praktek

dianjurkan agar uji sondir didampingi dengan uji lain baik uji lapangan maupun

uji laboratorium.

5

Gambar 2. Data – Data Uji SondirSumber : Mochamad Sholeh

Page 6: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Uji ini memberikan perlawanan ujung qc dan gesekan selimut fs. Nilai

perlawanan ujung dengan gesekan selimut ini dapat memberikan indikasi jenis

tanah dana beberapa parameter tanah seperti konsistensi tanah lempung, kuat

geser, kepadatan relatif dan sifat kemampatan tanah meskipun hanya didasarkan

pada korelasi empiris. Parameter-parameter tersebut amat bermanfaat untuk

perancangan pondasi dalam.

Sejak penggunaan data sondir untuk menentukan daya dukung tiang

dikembangkan mula-mula di Belanda dan Belgia, di Indonesia juga telah menjadi

semacam kesepakatan untuk melakukan aplikasi uji sondir ini khususnya untuk

keperluan design pondasi tiang. Horvitz et al. (1981) telah melakukan studi dalam

skala penuh pada beberapa pondasi tiang kayu dan tiang bor yang diuji hingga

mencapai keruntuhan (failure) dan menyatakan bahwa terdapat korelasi yang amat

baik antara hasil perhitungan analitis dengan beban keruntuhan (ultimate) dan

pondasi tiang. Perhitungan analitis yang dimaksud adalah metoda yang diusulkan

oleh Svhmertmann dan Notingham (1975).

Perhitungan daya dukung aksial pondasi tiang berdasarkan data uji sondir sering

disebut ekstrapolasi dengan atau tanpa koreksi. Hal ini adalah karena komponen-

komponen yang terukur dari sondir (tahanan ujung dan gesekan selimut)

merupakan representasi dari komponen daya dukung tiang. Perbedaan utama

antara alat sondir dan pondasi tiang terletak pada ukurannya, bentuk ujung, sifat

permukaan dan mekanisme keruntuhannya. Dalam tulisan ini dikemukakan

beberapa metoda yaitu metoda langsung (direct cone method), mehode

Schmertmann dan Nottingham (1975), metoda Lambda Cone (metode Tumai &

Fakhroo, 1981), metode Cone M dan metoda Tomlinson.

Metoda Langsung

Metoda ini diantaranya dikemukakan oleh Meyerhof (1956) yang menyatakan

bahwatahanan ujung tiang mendekati tahanan ujung konus sondir dengan rentang

2/3 qc hingga 1,5 qc dan Meyerhof menganjurkan untuk keperluan praktis agar

digunakan, sebagai berikut :

q p=qc

6

Page 7: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Selanjutnya tahanan selimut pada tiang dapat diambil langsung dari gesekan total

(jumlah hambatan lekat =JHL) dikalikan dengan keliling tiang, sehingga formula

untuk metoda langsung dapat dituliskan :

Qult=qp A p+JHL∗kll

Rumusan ini diambil di Indonesia dengan mengambil angka keamanan 3 (tiga)

untuk tahanan ujung dan angka keamanan 5 (lima) untuk gesekannya. Sehingga

daya dukung ijin pondasi dapat dinyatakan dalam :

Q ult =qp A p

3+JHL∗kll

5

Dalam tulisan ini hanya dibahas daya dukung ultimate tiang sehingga angka

keamanan tidak disertakan. Schmertmann dan Nottingham (1975) menganjurkan

perhitungan daya dukung ujung pondasi ting menurut cara Begemann, yaitu

diambil dari nilai rata-rata perlawanan ujung sondir 8 D diatas ujung tiang dan

0,7D sampai dengan 4,9D dibawah ujung tiang. Rumusan tersebut dihitung

sebagai berikut :

q p=qc1+qc2

2∗A p

Dimana qp adalah daya dukung ujung tiang, qc1 adalah nilai qc rata-rata 0,7D-4D

dibawah ujung tiang, qc2 adala nilai qc rata-rata 8 D diatas ujung tiang dan Ap

adalah proyeksi penampang tiang. Bila zona tanah lembek dibawah tiang masih

terjadi pada kedalaman 4D – 10D, maka perlu dilakukan reduksi terhadap nilai

rata-rata tersebut. Pada umumnya nilai perlawanan ujung diambil tidak lebih dari

150 Kg/Cm2 untuk tanah pasir dan tidak melebih 100 Kg/Cm2 untuk tanah

kelanauan. Untuk mendapatkan daya dukung selimut tiang maka digunakan

formula :

Dimana Ksc adalah faktor koreksi fs dengan harga Kc untuk tanah lempung dan

Ks untuk tanah pasir, z adalah kedalaman dimana fs diambil, D adalah diameter

tiang,As adalah luas bidang kontak tiap interval kedalaman fs, L adalah total tiang

terbenam. Untuk tanah kohesif, gesekan selimut dihitung dengan menggunakan

formula : D adalah diameter tiang.

7

Page 8: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Sedangkan daya dukung berdasarkan Schmertmann (1987) pada tanah non

kohesif adalah sebagai berikut :

Menerus : qu = 28 – 0,0052 (300-qc)1,5

Bujur Sangkar : qu = 48 – 0,0090 (300-qc)1,5

Lalu daya dukung batas pada tanah kohesif adalah sebagai berikut :

Menerus : qu = 2 + 0,28 qc

Bujur Sangkar : qu = 5 + 0,34 qc

Qu dan qc dalam tsf atau kg/cm2

2. Standard Penetration Test (SPT)

Standard Penetration Test (SPT) telah memperoleh popularitas dimana–

mana sejak tahun 1927 dan telah diterima sebagai uji tanah yang rutin di

lapangan. SPT dapat dilakukan dengan cara yang relatif mudah sehingga tidak

membutuhkan ketrampilan khusus dari pemakainya. Metoda pengujian tanah

dengan SPT termasuk cara yang cukup ekonomis untuk memperoleh informasi

mengenai kondisi di bawah permukaan tanah dan diperkirakan 85% dari desain

pondasi untuk gedung bertingkat menggunakan cara ini. Karena banyaknya data

SPT korelasi empiris telah banyak memperoleh kemajuan. Alat uji ini terdiri dari

beberapa komponen yang sederhana, mudah ditransportasikan, dipasang, dan

mudah pemeliharaannya. Pandangan para ahli masih sama yaitu bahwa alat ini

akan terus dipakai untuk penyelidikan tanah rutin karena relatif masih ekonomis

dan dapat diandalkan.

Uji penetrasi standar (SPT) adalah penyelidikan tanah dengan uji dinamis

yang berasal dari Amerika Serikat. SPT adalah metoda pengujian di lapangan

dengan memasukkan (memancangkan) sebuah Split Spoon Sampler (tabung

pengambilan contoh tanah yang dapat dbuka dalam arah memanjang) dengan

diameter 50 mm dan panjang 500 mm. Split spoon sampler dimasukkan

(dipancangkan) ke dalam tanah pada bagian dasar dari sebuah lobang bor. Metoda

SPT adalah metoda pemancangan batang (yang memiliki ujung pemancangan) ke

dalam tanah dengan menggunakan pukulan palu dan mengukur jumlah pukulan

perkedalaman penetrasi. Alat ini sudah populer penggunaanya di dunia karena

sederhana, praktis, cepat dan dapat mengetahui jenis tanah secara langsung. Alat

8

Page 9: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

ini perlu distandarisasi karena hasil yang didapat berupa nilai N (jumlah

pukulan/30 Cm) sangat bergantung pada tipe alat yang digunakan.

Alat uji berupa sebuah tabung yang dapat dibelah (split tube, split spoon) yang

mempunyai driving shoe agar tidak mudah rusak pada saat penetrasi. Pada bagian

atas dilengkapi dengan coupling supaya dapat disambung dengan batang bor (drill

rod) ke permukaan tanah. Sebuah sisipan pengambil contoh (sampel insert) dapat

dipasang pada bagian bawah bila tanah yang harus diambil contohnya berupa

pasir lepas atau lumpur. Gambar 1.1. menunjukkan split spoon sampel dan sampel

insert.

Prosedur Uji mengikuti urutan sebagai berikut :

1. Mempersiapkan lubang bor hingga kedalaman uji.

2. Memasukkan alat split barrel sampel secara tegak.

3. Menumbuk dengan hammer dan mencatat jumlah tumbukan setiap 15 cm.

Hammer dijatuhkan bebas pada ketinggian 760 mm.

9

Gambar 3. Prosedur dalam Pengujian SPTSumber : Mochamad Sholeh

Page 10: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

4. Nilai tumbukan dicatat 3 kali (N0, N1, N2) dimana harga N = N1 + N2.

Split spoon sampler diangkat ke atas dan kemudian dibuka. Sampel yang

diperoleh dengan cara ini umumnya sangat terganggu.

5. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik untuk diuji di

laboratorium. Pada plastik tersebut harus diberikan catatan nama proyek,

kedalaman, dan nilai N.

Secara konvensional, uji SPT dilakukan dengan interval kedalaman 1.5 m –

3.0 m dan sampel tanah yang diperoleh dari tabung SPT digunakan untuk

klasifikasi. Penting untuk ditegaskan disini bahwa identifikasi dari jenis tanah

pada SPT harus dilakukan karena interpretasi dari data SPT hanya dapat

dilakukan dengan baik bila dikaitkan dengan kondisi tanah tersebut.

Interpretasi hasil SPT bersifat empiris. Untuk tanah pasir, maka nilai N-SPT

mencerminkan kepadatannya yang dapat pula diprediksi besar sudut geser dalam

(φ) dan berat isi tanah (γ), kapasitas daya dukung pondasi dan penurunan pondasi.

Sedangkan pada tanah lempung, hasil SPT dapat menentukan secara empiris

konsistensi tanah, kapasitas daya dukung pondasi dan penurunan pondasi. Hasil

SPT pada tanah lempung ini tidak begitu dapat diandalkan karena umumnya tanah

lempung mempunyai butiran halus dengan penetrasi yang rendah, sehingga pada

tanah lempung ditentukan berdasarkan kekuatan gesernya yang dapat diperoleh

dari uji tekan bebas (Unconfined Compression Test).

Daya dukung satu tiang pancang berdasarkan data SPT (Standard

Penetration Test),

Qu = (40*Nb*Ap)

Dimana :

Qu = Daya dukung batas pondasi tiang pancang

N = Nilai N-SPT rata-rata pada elevasi dasar tiang pancang = (N1 + N2) / 2 ;

N1 = Nilai SPT pada kedalaman 3D pada ujung tiang ke bawah

N2 = Nilai SPT pada kedalaman 8D pada ujung tiang ke atas

Ap = Luas penampang dasar tiang pancang (m2)

Daya dukung gesek / friction tiang pancang berdasarkan uji lapangan SPT

(Standard Penetration Test),

Qsi = qs*Asi

10

Page 11: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Pada lapisan tanah hingga kedalaman 1-10 m adalah jenis tanah lempung dan

lapisan tanah pada kedalaman 10-12 m adalah pasir.

qs = untuk pasir 0,2N

qs = untuk lempung 0,5N

Asi = Keliling penampang tiang pancang (tebal = 2π∗25 R)

Lalu rumusan yang digunakan untuk memperkirakan daya dukung pondasi

tiang dengan menggunakan data SPT adalah sebagai berikut :

Qult ( ton)=mNa A p+nNAs

Dimana m adalah koefisien perlawanan ujung tiang, n adalah koefisien

gesekan, N adalah nilai SPT (pukulan / 30 cm = blows/ft). Untuk nilai N-SPT ini

biasanya dianjurkan untuk koreksi menjadi sebagai berikut :

- Untuk N pada ujung tiang

Na=0,5 (N 1+N2)≤40

Dengan N1 adalah nilai N pada ujung tiang, N2 adalah nilai N dari ujung

tiang hingga 4 B diatas ujung tiang, B adalah lebar tiang.

- Untuk jenis tanah pasir yang sangat halus (fine sand) atau tanah pasir

kelanauan (Silty Sanfd) yang terletak dibawah muka air tanah (jenuh air)

dimana nilai N cenderung lebih tinggi karena permeabilitas tanah yang kecil

maka di koreksi menjadi sebagai berikut :

N=15+0,5 ( N−15) ; N>15

Dimana N adalah nilai N SPT dilapangan.

Terdapat beberapa pakar yang merekomendasikan besarnya koefisien

koefisien m dan n diantaranya diperlihatkan pada Tabel 1 berikut :

11

Tabel 1 Nilai m dan n

Page 12: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Contoh kasus :

Daya dukung satu tiang pancang berdasarkan data SPT/Standart Penetration Test

Qu =( 40 x Nb x Ap )

Dimana ;

Qu : Daya dukung batas pondasi tiang pancang

N : Nilai N-SPT rata-rata pada elevasi dasar tiang pancang

N1 : Nilai SPT pada kedalaman 3D pada ujung tiang ke bawah

N2 : Nilai SPT pada kedalaman 8D pada ujung tiang ke atas

Ap : Luas penampang dasar tiang pancang (m2)

Data SPT disajikan pada gambar dibawah berikut :

12

Gambar 4. Tabel Boring LogSumber : Kajian Rony Siregar

Page 13: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Direncanakan tiang pancang lingkaran diameter 40 m2 akan dipancang hingga

kedalaman 2,5 meter. Dari data SPT diperoleh nilai N-SPT rata-rata pada elevasi

dasar tiang pancang adalah sebagai berikut :

N1=49+45

2=47 N2=

38+452

=41,5

N=N1+N 2

2=47+41 ,5

2=44 , 25

Qu=( 40 x N x Ap)

= 40 x 44,25 x (0,25⋅π⋅0,42 )

= 222,42 kg

3. Uji Geser Baling (Vane Shear Test)

Uji geser baling dilakukan dengan cara memasukkan baling pada kedalaman

titik uji dan memutar baling tersebut dengan kecepatan 6°/menit hingga runtuh.

Torsi(T) diukur dan nilai kuat geser undrained Su dapat ditentukan berdasarkan

formula :

Dimana :

D = diameter dari baling (cm)

T = torsi (kg.m)

13

Gambar 5. Alat-Alat pada Vane Shear TestSumber : Mochamad Sholeh

Page 14: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

4. Uji Pressuremeter

Uji Pressuremeter (Gambar 6. ) dikembangkan oleh Menard, berupa silinder

karet yang dimasukkan kedalam lubang bor dan dikembangkan. Respon tanah

(perubahan volume atau jari-jari lubang) terhadap pengembangan karet di ukur

dan interpretasikan ke dalam besaran kuat geser dan sifat kemampatan tanah.

Keuntungan dari uji ini adalah karena modulus tanah dapat diperoleh di lapangan

(in–situ), demikian pula besarnya tekanan tanah at rest. Besaran besaran lain

seperti kuat geser tanah dan tekanan air pori juga dapat diperoleh dari uji ini.

14

Gambar 6. Uji Pressure meter dan Hasil Uji TipikalSumber : Mochamad Sholeh

Tabel 2. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Test Pressuremeter

Page 15: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

5. Uji Dilatometer

Flat Dilatometer Test (DMT) dibuat dan dikembangkan di Itali oleh Silvano

Marchetti pada tahun 1975. Pada awalnya diperkenalkan di Amerika Utara dan

Eropa pada tahun 1980 dan saat ini telah digunakan di lebih dari 40 negara

sebagai alat uji penetrasi in-situ dalam bidang investigasi geoteknik. Peralatan

DMT, metode pengujian dan korelasi awal disajikan dan digambarkan oleh

Marchetti pada tahun 1980 dalam In-situ Test by Flat Dilatometer, dan

selanjutnya DMT telah secara luas digunakan dan dikalibrasi terhadap endapan

tanah yang diuji di seluruh dunia. Uji dilatometer (Marchetti 1980, Schmertmann,

1988) merupakan uji sederhana untuk mengukur modulus tanah. Alat ini berupa

suatu blade dengan lebar 95 mm dan tebal 15 mm. Ditengahnya terdapat suatu

plat lingkaran yang dapat bergerak keluar jika dikembangkan. Prosedur pengujian

dilatometer mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

1. Dilatometer dimasukkan kedalam lubang galian, lakukan pembacaan setelah

dikoreksi (p1).

2. Membran dikembangkan dan tekanan dibaca saat mencapai 1.1. mm (p2).

3. Tekanan diturunkan dan saat membran kembali keposisi semula, kembali

dibaca (p3).

4. Dilatometer diturunkan ke titik berikutnya dan langkah 1 s/d 3 diulang

kembali.

Setiap pengujian hanya membutuhkan waktu 1-2 menit. Keuntungan utama

dari dilatometer adalah bahwa alat ini dapat memperkirakan tekanan at rest di

lapangan. Disamping itu kemampatan tanah dapat diperoleh (modulus subgrade).

Dari data diatas dapat diperoleh beberapa parameter dilatometer sebagai berikut :

1. Modulus dilatometer, Ed

Ed = 34,7 (p2 – p3)

2. Indeks Teganga Lateral, Kd

Kd=p1−u

pu'

3. Indeks Material, ID

I D=p2−p1

p2−u

15

Page 16: Daya Dukung Pondasi Dalam Berdasarkan Tes Lapangan

Berdasarkan parameter tersebut, maka jenis tanah, modulus, dan kekuatan

gesernya dapat diperkirakan

16

Gambar 7. Korelasi Antara Jenis Tanah dengan Indeks Material dan Modulus Dilatometer

(Sumber : Lacasse & Lunne. 1986)