DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................. ii PRASYARAT GELAR ................................................................................. iii LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR / KO-PROMOTOR ............. iv PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ v PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ........................................................... vi UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vii ABSTRAK ..................................................................................................... xi ABSTRACT ................................................................................................... xiii RINGKASAN ................................................................................................ xv SUMMARY ................................................................................................... xxii DAFTAR ISI .................................................................................................. xxix DAFTAR TABEL ......................................................................................... xxxv DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xxxvi BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 46 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 47 1.3.1. Tujuan Umum .............................................................. 47 1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................. 48
71
Embed
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL i HALAMAN SAMPUL DALAM ii … · daftar isi halaman halaman sampul..... i halaman sampul dalam .....
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................. ii
PRASYARAT GELAR ................................................................................. iii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR / KO-PROMOTOR ............. iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ........................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vii
ABSTRAK ..................................................................................................... xi
ABSTRACT ................................................................................................... xiii
RINGKASAN ................................................................................................ xv
Ketentuan teknis yuridis mengenai rehabilitasi diatur dalam Peraturan
Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional
Republik, Nomor: 01/PB/MA/III/2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor :
11/Tahun 2014, Nomor : 03 Tahun 2014, Nomor : PER-005/A/JA/03/2014,
Nomor: 1 Tahun 2014, Nomor : PERBER/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga
Rehabilitasi (selanjutnya disebut dengan Keputusan Bersama tentang Penanganan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga
Rehabilitasi).
Dalam Pasal 3 Keputusan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
ditegaskan mengenai pelaksanaan rehabilitasi, yakni:
Pasal 3
a. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaaan narkotika sebagai
tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang sedang
menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan
dapat diberikan pengobatan, perawatan,dan pemulihan pada lembaga
rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial.
b. Pecandu narkotika dan korban narkotika dan korban penyalahgunaan
narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat(1) yang menderita komplikasi
medis dan/atau komplikasi psikiatris, dapat ditempatkan di rumah sakit
pemerintah yang biayanya ditanggung oleh kluarga atau bagi yang tidak
mampu ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Dalam hal pecandu narkotika dan narkotika dan korban penyalahgunaan
narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memilih ditempatkan di
rumah sakit swasta yang ditunjuk pemerintah, maka biaya menjadi
tanggungan sendiri.
d. Keamanan dan pengawasan pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika yang ditempatkan dalam lembaga rehabilitas
medis, lembaga rehabilitasi sosial, dan rumah sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan oleh rumah sakit
dan/atau lembaga rehabilitas yang memenuhi standar keamanan tertentu
serta dalam pelaksanaannya dapat berkordinasi dengan Polri.
e. Pecandu narkotika dan korban penyalahguanaan narkotika sebagai
tersangka dan/atau terdakwa yang telah dilengkapi surat hasil asesmen dari
tim asesmen terpadu, dapat ditempatkan pada lembaga rehabilitas
medis/atau rehabilitasi sosial dengan kewenangan intitusi masing-masing.
Berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Bersama tentang Penanganan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga
Rehabilitasi, pecandu dan korban penyalahgunaaan Narkotika dapat menjalani
rehabilitasi sejak proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan tanpa
menunggu putusan pengadilan. Dalam praktik, kebijakan rehabilitasi ini telah
beberapa kali dilakukan pada tingkat penyidikan. Kasus Raffi Ahmad yang
direhabilitasi oleh penyidik BNN dapat menjadi salah satu contohnya. Rehabilitasi
juga dilakukan oleh penyidik kepolisian dengan payung hukum diskresi
kepolisian sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas Polri sesuai yang
diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa
Polri di dalam rangka menyelenggarakan tugasnya sebagai aparatur negara
penegak hukum memiliki kewajiban untuk melakukan penyidikan dan
penyelidikan dibidang kejahatan (tindak pidana) yang diatur dalam Undang-
undang hukum pidana.
Dalam melakukan penegakan hukum di lapangan Polri dibekali oleh
diskresi Kepolisian yang mengandung arti bahwa setiap tindakan Polri di
lapangan berdasarkan penilaiannya apakah patut dan wajar untuk diambil
suatu tindakan hukum kepada seseorang akan perbuatannya dengan suatu
resiko yang ditanggungnya sendiri apabila dampaknya berakibat bila terjadi
kerugian negara maupun masyarakat atau sebagai individu yang mencari
keadilan. Dalam Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa untuk kepentingan
umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.
Kebijakan rehabilitasi oleh komponen peradilan pidana yang hanya
dilandasi oleh diskresi dan Keputusan Bersama tentang Penanganan Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
ini menjadi problematika yuridis dalam penerapan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan. Menurut Pasal 54, 103 dan 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 maka kebijakan rehabilitasi melalui rehabilitasi bagi pecandu dan
penyalahguna narkotika hanya dapat dilakukan sebagaimana yang tercantum
dalam putusan pengadilan.
Kewenangan penyidik kepolisian, penuntut umum dan Lembaga
Pemasyarakatan dalam melakukan rehabilitasi hanya didasarkan pada ketentuan
teknis yuridis melalui Keputusan Bersama tentang Penanganan Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
bukan dalam tataran Undang-undang. Disinilah terdapat norma hukum kabur
yang menjadi payung hukum bagi peyidik kepolisian untuk merehabilitasi
pecandu dan korban penyalahguna narkotika. Hal ini secara teoritis justru
melemahkan posisi komponen peradilan pidana kecuali hakim. Bahkan jika
penyidik, penuntut umum dan Lembaga Pemasyarakatan menjatuhkan rehabilitasi
bukan atas dasar Undang-undang maka komponen peradilan pidana tersebut
terancam dapat dipraperadilankan.
Rehabilitasi memang perlu dilakukan sejak tingkat penyidikan. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa rehabilitasi merupakan sesuatu yang
urgen dilakukan untuk menyelamatkan para pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika. Mereka adalah pasien yang harus ditolong.
Rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang harus
menunggu putusan pengadilan tentu sangat tidak efektif. Pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika akan semakin terancam jiwanya jika tidak segera
direhabilitasi.
Penempatan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan hanya akan menambah beban negara. Lembaga
Pemasyarakatan bukan tempat yang tepat bagi para pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika. Keterbatasan fasilitas pengobatan di lembaga
pemasyarakatan akan membuat pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika semakin sulit untuk sembuh dari ketergantungan. Apalagi jika
menyimak pemberitaan di media bahwa lembaga pemasyarakatan menjadi
tempat peredaran narkotika secara bebas. Penyalahgunaan narkotika akan
semakin menjauhkan para pecandu dan korban penyalahguna dari hak hidup
mereka.
Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia disebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Rehabilitasi
bertujuan untuk menyelamatkan hak untuk hidup setiap pecandu dan
penyalahguna narkotika. Rehabilitasi juga menekan penyebaran penyakit
yang diakibatkan karena konsumsi narkotika baik terhadap diri pecandu
seperti gangguan saraf dan kepada orang lain seperti penyakit menular
seksual dan HIV/ AIDS. Untuk menuju penurunan penyalahgunaan narkotika
dan menurunkan jumlah pecandu narkotika dan penyalahgunaan narkotika
maka diperlukan program pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam
penanganan pecandu. Rehabilitasi yang harus menunggu putusan pengadilan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 103 Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 hanya akan memperburuk kondisi kesehatan pecandu dan penyalahguna
narkotika.
Perspektif teoritis, sanksi yang dijatuhkan oleh penegak hukum selama ini
lebih berorientasi kepada pembalasan, yakni dengan menjatuhkan pidana penjara
daripada merehabilitasi pecandu dan korban penyalahguna narkotika. Hukuman
mati juga diberlakukan dalam tindak pidana narkotika ini. Padahal penerapan
sanksi pidana merupakan suatu ultimum remidium atau sarana terakhir untuk
memperbaiki pelaku. Penjatuhan pidana masih menganut asas lex talionis yang
bernuansa pembalasan sebagaimana yang pernah dianut dalam hukum Babilonia
melalui undang-undang Hammurabi pada tahun 1780 SM.
Penempatan pecandu dan korban penyalahguna narkotika di penjara justru
akan memperburuk kondisi mereka. Permintaan akan narkotika mudah ditemui di
lembaga pemasyarakatan. Penjara juga menjadi sekolah untuk belajar menjadi
penjahat yang lebih profesional (school of crime) dan tempat prisonisasi bagi
terpidana. Dalam kondisi ini, rehabilitasi sebagai tindakan dalam double track
system harus menjadi sarana yang diutamakan (primum remedium) dalam
menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Penjatuhan sanksi harus didasarkan
pada kondisi dari pelakunya sebagaimana pemikiran para tokoh teori
individualisasi, karena tujuan penjatuhan pidana adalah untuk mengembalikan
kondisi pelaku bukan untuk melaksanakan pembalasan.
Rehabilitasi sebagai suatu tindakan dalam menanggulangi penyalahgunaan
narkotika didasarkan pada pemikiran bahwa pecandu dan penyalahguna
merupakan korban yang harus dibantu. Rehabilitasi berfungsi sebagai pengobatan
bagi pecandu dan korban penyalahguna yang dapat menyelamatkan generasi muda
dari ketergantungan. Dalam suatu perkara pidana, rehabilitasi yang dilakukan
sedini mungkin akan mempercepat proses hukum bagi pelaku dalam konteks sehat
jasmani dan rohani, sehingga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan. Seperti
yang telah diatur dalam ketentuan narkotika di Amerika Serikat sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, rehabilitasi juga akan menekan biaya pengeluaran
masyarakat dan beban kerja aparat penegak hukum. Penangkapan terhadap pelaku
juga tidak serta merta menurukan angka prevalensi.
Rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sudah
semestinya dilakukan sejak di tingkat penyidikan. Kebijakan ini selain
bertujuan untuk menyelamatkan pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika dari ketergantungan juga akan mengurai biaya negara untuk
penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika. Dalam konteks
pembaruan hukum di masa yang akan datang, maka sudah selayaknya jika
komponen peradilan pidana diberikan kewenangan yang tegas untuk
merehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika bukan hanya
karena diskresi saja. Kewenangan tersebut termasuk dalam kekuasaan
yudisial yakni kekuasaan dalam penerapan hukum. Oleh sebab itu sangat
menarik untuk masalah ini diangkat dan dibahas dalam disertasi yang
berjudul KEBIJAKAN FORMULATIF REHABILITASI TERHADAP
PECANDU DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam rangka untuk menurunkan prevalensi penyalahgunaan narkoba
dibutuhkan suatu paradigma baru agar pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika dikenakan rehabilitasi sejak di tingkat penyidikan. Dalam Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ketentuan rehabilitasi hanya
dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. Hal ini menyebabkan tersangka
atau terdakwa tidak dapat segera direhabilitasi karena mereka harus menunggu
putusan mengenai rehabilitasi.
Selama ini kebijakan rehabilitasi di tingkat penyidikan, penuntutan dan saat
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan hanya dilakukan berdasarkan diskresi
dan SOP keputusan bersama yang tentunya memiliki legitimasi hukum yang
lemah. Kelemahan kebijakan legislatif akan berdampak pada para penegak
hukum, yaitu kesulitan mengaplikasikan aturan-aturan tersebut dalam menangani
kasus-kasus tindak pidana narkotika.
Bertolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tindakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika dalam sistem peradilan pidana Indonesia
perspektif ius contitutum ?
2. Bagaimana pengaturan rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika dalam sistem peradilan pidana Indonesia
perspektif ius contituendum ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus yakni sebagai
berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
kebijakan formulatif rehabilitasi terhadap pecandu dan korban penyalahguna
narkotika dalam proses peradilan pidana. Sebagai science is a process, , ilmu
adalah sebuah proses yang membuat pengetahuan mengenai hukum pidana
khusus, tidak pernah berhenti khususnya yang terkait dengan hukum pidana
narkotika. Dalam penelitian ini, dibentuk pengetahuan mengenai tindakan
rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahguna narkotika. Tindakan
rehabilitasi berfungsi sebagai suatu tindakan untuk menanggulangi
penyalahgunaan narkotika dan memutus permintaan (demand) yang sekaligus
akan memutus mata rantai peredaran gelap narkotika.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mendeskripsikan, memahami dan menjelaskan secara mendalam
mengenai pengaturan tindakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika dalam Undang – Undang Narkotika yang sedang
berlaku (ius constitutum).
2. Untuk dapat memahami, mengetahui dan mengkritisi pengaturan tentang
rehabilitasi bagi pecandu narkotika di tingkat proses penyidikan dan
persidangan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat secara teoritis maupun
praktik dilapangan. Adapun manfaat teoritis dan manfaat praktis tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pembaharuan dan
pengembangan hukum secara tioritik dan perluasan konsep dasar dan teori hukum
pidana, khususnya tentang tindak pidana narkotika dan dalam menyusun
kebijakan formulasi dan aplikasi tindakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian kebijakan formulatif rehabilitasi terhadap
pecandu dan korban penyalahguna narkotika dalam proses peradilan pidana
adalah sebagai berikut:
a. Bagi penyidik dan penuntut umum serta Lembaga Pemasyarakatan untuk
memberikan landasan yuridis dalam melakukan rehabilitasi kepada pecandu
dan korban penyalahguna narkotika.
b. Bagi penyedia fasilitas rehabilitasi agar dapat menganggarkan biaya dan
menyiapkan fasilitas rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahguna
narkotika.
1.5 Orisinalitas Penelitian
Kajian mengenai tindak pidana narkotika pernah dibahas sebalumnya dalam
beberapa penelitian. Adapun penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1) Koesno Adi, dalam penelitian disertasi yang berjudul “Kebijakan Kriminal
Terhadap Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak (Dalam
Perspektif Pembinaan Anak Nakal” pada Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya, Malang, 2007. Dalam penelitian tersebut dibahas dua
permasalahan yakni bagaimanakah stelsel sanksi bagi anak yang melakukan
penyalahgunaan narkotika? bagaimanakah penerapan sanksi bagi anak yang
melakukan penyalahgunaan narkotika?, bagaimanakah dampak-dampak
negatif penerapan sanksi tersebut serta bagaimana pengaruhnya terhadap
pembinaan anak? dan bagaimanakah pola pembinaan terhadap anak yang
melakukan penyalahgunaan narkotika?29
2) Suprapto, dalam disertasi yang berjudul “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika di Indonesia dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia Berdasarkan UUD 1945”, pada Program
Pascasarjana Universitas Padjajaran tahun 2010. Penelitian ini
mempermasalahkan dua hal yakni 1) bagaimanakah penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika menurut UU No.
22 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dalam
praktik peradilan pidana di Indonesia; 2) apakah penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika melanggar hak
asasi manusia berdasarkan UUD 1945?30
3) Sri Astutik, dalam disertasi yang berjudul “Psikoterapi Islami Dalam
Mengatasi Ketergantungan Narkoba di Pondok Pesantren Inabah Surabaya.”
Dalam penelitian ini dibahas mengenai 1) Bagaimana kompetensi terapis
dalam pelaksanaan psikoterapi Islami di PPIS? 2) Bagaimana kondisi
klien/pasien ketergantungan narkoba di PPIS? 3) Bagaimana tahapan
psikoterapi Islami dan makanisme pengalaman beragama klien di PPIS? dan
29 Adi, Koesno, 2007, “Kebijakan Kriminal Terhadap Penyalahgunaan Narkotika yang
Dilakukan Oleh Anak (Dalam Perspektif Pmbinaan Anak Nakal”, (disertasi), Pascasarjana
Universitas Brawijaya, Malang. (selanjutnya disebut Adi, Koesno II). 30 Suprapto, 2010, “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika
dan Psikotropika di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Berdasarkan UUD 1945”,
(disertasi), Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.
4) Bagaimana pendekatan yang digunakan di PPIS dalam mengatasi
ketergantungan narkoba?31
Penelitian yang berjudul “Kebijakan Kriminal Terhadap Penyalahgunaan
Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak (Dalam Perspektif Pmbinaan Anak Nakal”
membahas empat permasalahan yakni stelsel sanksi bagi anak yang melakukan
penyalahgunaan narkotika, penerapan sanksi bagi anak yang melakukan
penyalahgunaan narkotika, dampak-dampak negatif penerapan sanksi tersebut
serta pengaruhnya terhadap pembinaan anak dan pola pembinaan terhadap anak
yang melakukan penyalahgunaan narkotika. Fokus penelitian dalam tulisan
tersebut adalah kebijakan penerapan sanksi bagi pelaku penyalahgunaan
narkotika, dimana pelaku masih digolongkan pada usia anak. Kajian tersebut tentu
berbeda dengan penelitian dalam disertasi in, dimana dalam disertasi “Kebijakan
Formulatif Rehabilitasi Terhadap Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika
dalam Proses Peradilan Pidana” dibahas mengenai formulasi kebijakan mengenai
rehabilitasi baik dalam hukum pidana saat ini maupun di masa mendatang. Hal
yang dipermasalahkan adalah mengenai persoalan normatif yakni tindakan
rehabilitasi dalam sistem peradilan pidana.
Hasil penelitian “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Narkotika dan Psikotropika di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Berdasarkan UUD 1945” menunjukkan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana narkotika dan psikotropika dalam praktik peradilan pidana di
31 Astutik, Sri, 2011, “Psikoterapi Islami Dalam Mengatasi Ketergantungan Narkoba di
Pondok Pesantren Inabah Surabaya.” Program Doktor Pasca Sarjana Iain Sunan Ampel,
Surabaya.
Indonesia penerapannya terhadap pengimpor, pengedar narkotika golongan I jenis
heroin, kokain, dengan jumlah minimum barang bukti seberat 300 gram, serta
memproduksi dan mengedarkan psikotropika golongan I jenis ekstasi secara
terorganisir. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan
psikotropika tidak melanggar hak asasi manusia karena tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan
tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir dari
perjanjian internasional tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan
psikotropika sehingga penegakan hukumnya perlu ditingkatkan. Fokus penelitian
tersebut adalah pidana mati bagi pelaku dalam perspektif HAM. Penelitian
mengenai “Kebijakan Formulatif Rehabilitasi Terhadap Pecandu dan Korban
Penyalahguna Narkotika dalam Proses Peradilan Pidana” membahas secara
mendalam mengenai tindakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahguna
narkotika. Rehabilitasi mengembalikan posisi dimana pidana seharusnya
dipandang sebagai upaya terakhir.
Penelitian yang disusun oleh Sri Astutik, dalam disertasi yang berjudul
“Psikoterapi Islami Dalam Mengatasi Ketergantungan Narkoba di Pondok
Pesantren Inabah Surabaya” dibahas mengenai suatu metode rehabilitasi dengan
pendekatan psikoterapi Islam sedangkan dalam penelitian mengenai “Kebijakan
Formulatif Rehabilitasi Terhadap Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika
dalam Proses Peradilan Pidana” kajian didasarkan pada permasalahan normatif
yang dimulai dari kualifikasi pecandu dan korban penyalahguna narkotika, proses
hukum, penjatuhan rehabilitasi hingga dasar kewenangan dari komponen
peradilan pidana untuk mendekriminalisasikan pecandu dan korban penyalahguna
narkotika melalui rehabilitasi.
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Kajian dan analisis atas permasalahan yang dicanangkan dalam sebuah
karya ilmiah disertasi untuk mendapatkan solusi atau jalan keluarnya akan dikaji
dan dianalisis berdasarkan landasan teoritis atau keilmuan dalam hubungan ini
berdasarkan keilmuan hukum seperti : asas – asas hukum, konsep – konsep
hukum, doktrin atau pendapat para ahli bidang hukum, yurisprudensi, hasil
penelitian sebelumnya dan teori – teori yang relevan untuk membahas masalah
yang ada.
Khusus mengenai teori – teori hukum yang relevan dan terkait serta
penulis memandang urgen untuk membahas masalah yang ada dengan memakai
teori-teori hukum seperti Teori Kemanfaatan (dari Jeremy Bentham), Teori
Kebijakan Hukum Pidana (dari A. Mulder dan March Ancel), Teori Hukum
Pembuktian, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Hak Asasi Manusia (HAM), Teori
Pemidanaan, dan Teori Kewenangan
Bagan 1
Kerangka Berpikir
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis/ Tipe Penelitian
Penelitian mengenai “Kebijakan Formulatif Rehabilitasi Terhadap Pecandu
dan Korban Penyalahguna Narkotika dalam Proses Peradilan Pidana” merupakan
penelitian hukum/ legal research. Legal Research is an essential component of
LATAR BELAKANG
MASALAH
KEBIJAKAN FORMULATIF REHABILITASI TERHADAP PECANDU DAN KORBAN
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PERADILAN PIDANA.
METODE
PENELITIAN
RUMUSAN
MASALAH
Jenis Penelitian
Jenis Pendekatan
Sumber Bahan Hukum
Teknik Pengumpulan Bahan
Teknik Analisis Bahan
PEMBAHASAN DAN
HASIL → SIMPULAN
DAN SARAN /
REKOMENDASI
SIMPULAN
1. Pengaturan tentang rehabilitasi
bagi pecandu saat ini belum
wajib untuk dilakukan pada
tiap tahapan peradilan oleh
hakim maupun institusi
terkait, normanya masih kabur
2. Dalam UU No. 35 / 2009 ke
depan pengaturan tentang
rehabilitasi bagi pecandu
diformulasi untuk wajib
dilakukan oleh semua instansi
penegak hukum terkait SARAN / REKOMEN
1. Agar UU No. 35 / 2009
tentang narkotika khususnya
menyangkut rehabilitasi bagi
pecandu untuk direvisi
menyangkut Pasal 103 ayat
(1) a dan b
2. Agar kedepan rehabilitasi
bagi pecandu, korban
maupun pengedar narkotika
direhabilitasi sejak proses
penyelidikan hingga Lapas
1. Filosofis – Ontologis :
Indo – tipe negara
kesejahteraan (welfare
states) – setiap orang
mesti sejahtera, sehat
lahir batin (Pembukaan
UU NRI 1945 alinea
IV) dan Pasal 28 H ayat
(1) UUD NRI Tahun
1945
Pasal 9 ayat (2) UU No.
39 Tahun 1999 tentang
HAM
Pasal 25 DUHAM /
UNHCR – Setiap orang
– untuk kesehatan dan
sejahtera diri pribadinya
2. Yuridis _ Epistemologis :
Pasal : 54, 56, 57 dan
Pasal 103 (1) dan (2)
UU No. 35 / 2009 dan
norma hukum kabur
3. Sosiologis – Aksiologis :
Rehabilitasi medis dan
sosialisasi bagi pecandu
dan korban narkotika
perlu diberikan guna
pengobatan dan
pemulihan – kesehatan
4. Teoritikal Problem :
Bagi pelaku
penyalahgunaan
narkotika mesti diberi
sanksi – pidana – untuk
tegakkan hukum dan
keadilan
1. Bagaimanakah
pengaturan tindakan
rehabilitasi bagi pecandu
dan korban
penyalahgunaan narkotika
dalam sistem peradilan
pidana Indonesia perspetif
ius contitutum ?
2. Bagaimana pengaturan
rehabilitasi bagi pecandu
dan korban
penyalahgunaan narkotika
dalam sistem peradilan
pidana Indonesia
perspektif ius
contituendum ?
LANDASAN
TEORITIS
ASAS – ASAS HUKUM
KONSEP HUKUM
DOKTRIN
YURISPRUDENSI HASIL
PENELITIAN
TERDAHULU TEORI –
TEORI HUKUM TEORI – TEORI HUKUM :
Teori Kewenangan
Teori Kebijakan Hukum
Pidana
Teori Harmonisasi Hukum
Teori Pemidanaan
Teori Kemanfaatan
Teori Pembuktian
Teori HAM
Teori Sistem Hukum
legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and
materials that explain or analyze that law”32 (Terjemahan bebas penulis:
Penelitian hukum merupakan komponen penting dalam praktik hukum. Penelitian
hukum merupakan suatu proses untuk mencari ketentuan hukum yang mendasari
suatu perbuatan dan saran yang menjelaskan atau menganalisis bahwa itu adalah
hukum).
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu adanya norma hukum
kabur yang ditunjang oleh bahan hukum (isu hukum) dengan melakukan
identifikasi terhadap isu hukum yang berkembang dalam masyarakat, mengkaji
penerapan hukum dalam masyarakat, mengkaji pendapat para ahli hukum terkait
dan analisa kasus dalam dokumen untuk memperjelas hasil penelitian ditinjau
aspek praktis dan akademis ilmu hukum dengan tujuan untuk mengungkap sampai
sejauhmana peraturan perundang-undangan tertentu serasi.33
Menurut Mukti Fadjar ND dan Yulianto Ahmad penelitian normatif adalah
penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sistem norma. Sistem norma
yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundang-undangan, putuan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).34
Dalam penelitian hukum normatif, permasalahan terletak pada adanya norma
kosong, norma kabur dan konflik norma.
32Cohen, Morris L and Olson, Kent C., 2000, Legal Research ,West Group, ST.Paul
Minn, Printed in the United States of America, h.1 33 Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2007. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, h. 79. 34 Fajar ND, Mukti dan Achmad, Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Hukum Empiris, Pustaka Pelajar, Yogayakarta, h. 34.
Dalam penelitian ini ditemukan norma hukum kabur mengenai rehabilitasi
kewenangan penyidik dan penuntut umum sebagai komponen peradilan pidana
selain hakim dalam rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
kewenangan rehabilitasi hanya dimiliki oleh hakim melalui putusan pengadilan,
sedangkan menurut penyidik dan penuntut umum tidak memiliki kewenangan
untuk memerintahkan rehabilitasi. Ketentuan ini tidak sejalan dengan petunjuk
teknis rehabilitasi sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Bersama
Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Di sinilah terdapat kekaburan norma hukum
dalam tataran Undang-undang mengenai tindakan rehabilitasi. Dalam praktik,
perawatan / pengobatan telah dilakukan oleh penyidik berdasarkan diskresi guna
kepentingan penyelamatan nyawa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan diartikan sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk
mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Pendekatan fakta (the fact approach), dimana permasalahan dianalisis melalui
fakta-fakta mengenai perlunya rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika dan kebijakan rehabilitasi oleh penyidik dalam
penyidikan tindak pidana narkotika.
2. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach),
dimana permasalahan dianalisis melalui asas-asas, teori-teori, pengertian-
pengertian dan konsep-konsep hukum sebagaimana yang telah disajikan
dalam kajian pustaka.
3. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach), dimana
permasalahan dianalisis berdasarkan peraturan perundang-undangan baik
dalam ketentuan umum maupun ketentuan khusus yang mengatur mengenai
narkotika dan kebijakan rehabilitasi.
4. Pendekatan historis (historical approach), dimana permasalahan dalam
penelitian ini dianalisis melalui berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang narkotika yang pernah berlaku di Indonesia.
5. Pendekatan komparatif yakni berupa perbandingan menyangkut rehabilitasi
dengan negara – negara asing. 35
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji berpandangan bahwa suatu penelitian
hukum normatif mengandalkan pada pecanduan bahan hukum primer (bahan-
bahan hukum yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer) dan bahan hukum
tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder).36 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.37
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 jo Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,
Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Panti Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial dan peraturan perundang-undangan yang terkait
lainnya.
35 Salim H.S. H. dan Nurbani, Erlies Septiana, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 17 36 Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Op.Cit., h. 13. 37 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, h. 181.
Sumber bahan sekunder adalah bahan-bahan yang membahas materi bahan
hukum primer, seperti buku maupun artikel, sedangkan bahan hukum tertier
adalah bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus dan buku pegangan.38 Dalam penelitian ini, bahan
hukum tertier berupa kamus hukum.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen pada pustaka
yang meliputi bahan hukum primer, berupa perundang-undangan dan sumber
sekunder, berupa buku literatur ilmu hukum serta tulisan hukum lainnya yang
relevan dengan permasalahan. Studi pustaka dilakukan melalui tahap identifikasi
pustaka sumber, identifikasi dan inventarisasi bahan hukum yang diperlukan
karena perpustakaan merupakan tempat menghimpun pengetahuan dari masa ke
masa.39
Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktriner
atau perpustakaan dan penelitian studi dokumen.40 Segala bahan hukum yang
diperoleh, dicatatkan dalam suatu dokumen melalui sistem kartu. Bahan hukum
yang dicatat dan digunakan dilengkapi dengan sumber perolehannya.
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang sudah dikumpulkan melalui studi dokumen atau studi
kepustakaan, diolah dan dianalisis secara kualitatif yakni dengan mengutamakan
38 Ashshofa, Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 103 39 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Op.Cit., h. 42 40 Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 13.
kualitas dari permasalahan yang dibahas. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan
mengelaborasikan antara asas, konsep, doktrin, yurisprudensi, teori, hasil
penelitian terdahulu, aturan hukum dan keperluan dalam praktik hukum
penanggulangan tindak pidana narkotika secara sistematis.
Guna menganalisis bahan hukum yang telah terkumpul dalam
penulisan ini menggunakan beberapa tehnik analisis seperti:
a. Tehnik analisis deskripsi, yaitu menguraikan terlebih dahulu kondisi atau
posisi apa adanya dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.
b. Tehnik analisis evaluasi, yaitu melakukan penilaian apakah tepat atau tidak
tepat, seruju atau tidak seduju, benar atau salah, oleh penulis terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan, norma, keputusan, baik yang
tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
c. Teknik analisis sistematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan
yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat
d. Tehnik analisis interpretasi, yaitu melakukan penafsiran dari kondisi atau
posisi apa adanya dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum dengan
menggunakan jenis-jenis penafsiran gramatikal, historis, sistematis,
kontekstual, dan lain-lain.
e. Tehnik analisis argumentasi, yaitu sebagai kelanjutan dari tehnik analisis
revaluasi, sebab suatu penilaian haruslah didasarkan pada alasan-alasan yang