Page 1
2014
Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh
LAPAN
PENGEMBANGAN MODEL PENGEMBANGAN MODEL PENGEMBANGAN MODEL PENGEMBANGAN MODEL
PEMANFAATAN PENGINDERAAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN
JAUH UNTUK DETEKSI DAERAH JAUH UNTUK DETEKSI DAERAH JAUH UNTUK DETEKSI DAERAH JAUH UNTUK DETEKSI DAERAH
TERCEMAR LIMBAH B3TERCEMAR LIMBAH B3TERCEMAR LIMBAH B3TERCEMAR LIMBAH B3
Page 2
PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN MODEL MODEL MODEL MODEL
PEMANFAATAN PEMANFAATAN PEMANFAATAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH PENGINDERAAN JAUH PENGINDERAAN JAUH PENGINDERAAN JAUH
UNTUKUNTUKUNTUKUNTUK DETEKSI DAERAH TERCEMARDETEKSI DAERAH TERCEMARDETEKSI DAERAH TERCEMARDETEKSI DAERAH TERCEMAR
LIMBAH B3LIMBAH B3LIMBAH B3LIMBAH B3
PROGRAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBANGAN DAN ANTARIKSA
BIDANG LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA
PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
(LAPAN) TAHUN ANGGARAN 2014
Page 3
i
PENGEMBANGAN MODEL PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH
UNTUK DETEKSI DAERAH TERCEMAR LIMBAH B3
Disusun oleh:
PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH
DEPUTI BIDANG PENGINDERAAN JAUH
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
(LAPAN)
Tim Penyusun:
Pengarah :
Dr. M. Rokhis Khomarudin, S.Si., M.Si.
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Parwati, S.Si., M.Sc.
Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Peneliti:
Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si., Sayidah Sulma, S.Si., M.Si.,
Junita Monika Pasaribu, S.Si., Hana Listi Fitriana, S.T.
Editor, Penyunting, Desain, dan Layout:
Muhammad Priyatna, S.Si., MTI.
Jakarta, Desember 2014
Page 4
ii
RINGKASAN (EXECUTIVE SUMMARY)
Limbah B3 (hazardous waste) adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya
dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan
atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain (Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun
1999).
Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik daerah tercemar limbah B3 dengan
data satelit penginderaan jauh, termasuk kondisi spektralnya, mengembangkan model
pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan Limbah B3 (acid sludge), serta validasinya.
Metode yang digunakan adalah dengan menganalisis karakteristik spektral dan thermal dari
data penginderaan jauh optis, yang meliputi metode spektral yang terdiri dari metode Spectral
Angel Mapper (SAM) dan metode Spectral Mixture Analysis (SMA), serta metode Termal yaitu
dengan metode Land Surface Temperature(LST). Analisis yang dilakukan dengan
menggunakan data penginderaan jauh Landsat 8 TIRS dan OLI diharapkan mampu mengkaji
potensi dan efektivitas serta mempelajari karakteristik daerah yang tercemar limbah B3. Kajian
dalam penelitian ini adalah mengenai limbah acid sludge di Pertamina RU V, Balikpapan –
Kalimantan Timur.
Analisis termal, digunakan data Land Surface Temperature (LST) dari Landsat 8 TIRS.
Algoritma untuk perhitungan LST digunakan Split Window, dimana Algoritma Split Window
diperoleh dari turunan pertama deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi.
Perhitungan LST berdasarkan data Landsat 8 TIRS time series tahun 2013-2014 pada daerah
tercemar dan tidak tercemar, kemudian dibandingkan pola LST antara kedua kondisi daerah
tersebut. Selanjutnya dihitung rata-rata LST dan selisih LST daerah tercemar dan tidak
tercemar. Daerah tercemar limbah acid sludge dapat dideteksi berdasarkan kondisi termal,
dimana daerah tercemar lebih panas dibandingkan daerah tidak tercemar. Pemantauan Limbah
B3 (acid sludge) berdasarkan Land Surface Temperature (LST) Landsat 8 secara umum
menunjukkan suhu di daerah yang tercemar limbah B3 dalam hal ini limbah acid sludge
cenderung lebih tinggi dibandingkan suhu di daerah yang tidak tercemar di lokasi kajian.
Pemantauan LST secara temporal dari tahun 2001 hingga 2014 menggunakan data Landsat 7
Page 5
iii
dan Landsat 8 menunjukkan selisih rata-rata LST antara daerah tercemar dan tidak tercemar
semakin kecil.
Pada penelitian menggunakan metode Spectral Angel Mapper (SMA) sudut radian
yang digunakan dalam proses klasifikasi menggunakan sudut radian sebesar α= 0,2 dimana
semua piksel sudah terkelaskan. Berdasarkan perhitungan akurasi menggunakan data
pengecekan di lapangan, diperoleh hasil klasifikasi SAM menggunakan spektral referensi dari
data spektrometer hanya memperoleh tingkat akurasi sebesar 33,3 %. Rendahnya akurasi
tersebut disebabkan masih adanya perbedaan kondisi data karena pengaruh atmosfir dan tidak
digunakannya panjang gelombang SWIR karena resolusi spektral spektrometer yang digunakan
terbatas pada panjang gelombang visible dan NIR. Klasifikasi SAM menggunakan referensi dari
endmember yang diektraksi dari citra memberikan hasil yang lebih baik dimana pada daerah
tercemar terklasifikasi sebagai kelas tercemar (pasir dan sludge), sedangkan di luar daerah
tercemar dominan terkelaskan sebagai vegetasi dan lahan terbuka tidak tercemar. Berdasarkan
perhitungan akurasi menggunakan data pengecekan lapangan, bahwa hasil klasifikasi SAM
menggunakan spektral referensi dari endmember citra memiliki tingkat akurasi sebesar 66,7 %.
Analisis spektral menggunakan metode Spectral Mixture Analysis (SMA) dengan
spektral referensi berdasarkan endmember citra memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan spektral referensi dari spektrometer, dimana pada daerah tercemar memiliki fraksi
dari unsur tercemar yang tinggi seperti pasir dan sludge serta memiliki fraksi dari unsur tidak
tercemar yang rendah seperti vegetasi. Kemudian dengan klasifikasi indeks dari hasil SMA
berdasarkan endmember citra memperlihatkan hasil yang lebih sesuai dengan kondisi di
lapangan dibandingkan menggunakan referensi spektrometer. Berdasarkan perhitungan
akurasi, diperoleh tingkat akurasi pengkelasan berdasarkan indeks ini sebesar 62,5 %.
Page 6
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN (EXECUTIVE SUMMARY) .................................................................. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………................ iv
. PENDAHULUAN …………………………........………………...………............. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………........……….......... 1
1.2. Tujuan ……………………………………………….......….....................…. 2
1.3. Sasaran ..................................................................................................... 2
1.4. Manfaat .................................................................................................... 3
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 3
1.6. Daerah Penelitian ..................................................................................... 4
2. KERANGKA KONSEPTUAL …………………………........……................... 5
2.1. Pengertian Limbah B3 ................................................................................ 5
2.2. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 6
2.3. Data Landsat 8 .........................................................................................
11
3. METODOLOGI ......................…………………………........……................... 14
3.1. Data .......................................................................................................... 14
3.2. Metode ......................................................................................................
3.2.1. Pengolahan Data Awal ......................................................................
3.2.2. Pengolahan Lanjut .............................................................................
3.2.2.1. Metode Analisis Termal .......................................................
- Land Surface Temperature ( LST) ...................................
3.2.2. 2. Metode Analisis Spektral ....................................................
- Metode Spectral Angel Mapper ( SAM) ...........................
- Metode Spectral Mixture Analysis ( SMA).........................
3.3. Perhitungan Akurasi ....................................................................................
14
14
16
17
17
19
20
22
26
3.4. Tahapan Kegiatan Penelitian ....................................................................... 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 29
4.1. Analisis Data Lapangan ............................................................................ 29
Page 7
v
4.2. Normalisasi Spektral Landsat Terhadap Pengukuran Spektrometer .........
4.3. Analisis Spektral dari Citra Landsat .........................................................
4.4. Hasil Klasifikasi Spectral Angel Mapper (SAM) .......................................
31
34
36
4.5. Hasil Klasifikasi Spectral Mixture Analysis (SMA)....................................
4.6. Perhitungan Indeks ..................................................................................
4.7. Land Surface Temperature (LST) .............................................................
38
41
43
5. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
5.1. Kesimpulan .............................................................................................
5.2. Saran ......................................................................................................
47
47
48
6. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 49
LAMPIRAN 1 Laporan Survey Lapangan ...........................................................
LAMPIRAN 2 Hasil Pengukuran di Lapangan ....................................................
LAMPIRAN 3 Hasil Laboratorium Sampel Tanah ................................................
L1-1
L2-1
L3-1
Page 8
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pertumbuhan industri dan pertambangan yang sangat pesat khususnya di Indonesia
menyebabkan adanya peningkatan pencemaran yang terjadi di udara, air, maupun pencemaran
tanah. Kontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 (hazardous waste) hasil dari
proses industrialisasi maupun pertambangan merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
Kegiatan yang mengakibatkan pencemaran limbah tersebut baik disengaja maupun tidak
disengaja dapat membahayakan kehidupan manusia maupun habitat lingkungan hidup lainnya
yang berada di daerah tercemar. Oleh karena itu, kegiatan deteksi kondisi lahan yang tercemar
limbah B3 sangat penting dilakukan untuk antisipasi dan penanganan dini, dengan tujuan agar
pencemaran tersebut tidak meluas dan membahayakan lingkungan.
Deteksi lahan tercemar limbah B3 biasanya dilakukan dengan analisis lapangan daerah
tercemar dan analisis laboratorium memerlukan waktu dan biaya yang relatif mahal. Adanya
perkembangan teknologi saat ini memungkinkan untuk mendeteksi maupun memantau kondisi
lahan tercemar tersebut dengan cara tidak menyentuh objek yang dianalisis. Dalam hal ini
teknologi yang digunakan adalah teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Keunggulan
teknologi penginderaan jauh meliputi cakupan yang luas, data real time (up to date), dan
historikal data yang baik, serta memiliki karakterik spektral yang memungkinkan untuk
memantau kondisi lahan tercemar limbah B3. Penelitian yang terdahulu menunjukkan bahwa
data penginderaan jauh terutama dengan kanal inframerah thermal mampu mendeteksi daerah
yang tercemar limbah B3. Namun untuk wilayah Indonesia yang kejadian pencemaran limbah
ini memiliki luasan yang tidak besar, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut.
Penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2013, telah berhasil dikembangkan metode deteksi
daerah terkontaminasi limbah B3 (acid sludge) dengan data penginderaan jauh resolusi
menengah (Landsat TM). Daerah yang terkontaminasi limbah B3 memiliki karakteristik nilai
Indek Kehijauan yang berbeda dengan daerah yang tidak terkontaminasi. Penelitian
pengembangan model pemantauan limbah B3 dalam hal ini acid sludge dapat digunakan untuk
pemetakan daerah yang terkontaminasi di perusahaan minyak seperti pertamina, dan
perusahaan minyak yang lainnya. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk pengujian lahan
terkontaminasi yang telah dilakukan pemulihan atau perbaikan oleh suatu perusahaan,
sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dapat menilai atau mengontrol kegiatan yang dapat
dilakukan.
Page 9
2
Usaha untuk memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, penelitian ini dapat mengkaji
pemanfaatan data penginderaan jauh untuk deteksi maupun pemantauan limbah B3, sehingga
diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pemantauan daerah yang tercemar
limbah B3.
Permasalahan limbah B3 yang terjadi pada masa sekarang ini banyak mengakibatkan
terjadinya pencemaran, yang selanjutnya akan merusak lingkungan terutama lingkungan yang
ada di sekitar pembuangan limbah B3. Berdasarkan permasalahan tersebut perlunya
penanganan mengenai daerah yang terkena pencemaran limbah B3, terutama penelitian ini
akan difokuskan deteksi pencemaran limbah B3 di wilayah daratan. Jadi akan dipantau daerah
yang tecemar limbah B3 tersebut sebelum terjadi pencemaran, pada saat terjadi pencemaran
atau sesudah terjadi pencemaran. Pemantauan ini menggunakan data penginderaan jauh
secara historis, maka akan dapat dilihat perkembangan percemarannya.
Penelitian lebih lanjut pada tahun 2014 ini akan melanjutkan penelitian dengan menggunakan
data Landsat 8, dengan data tersebut diharapkan dapat mendeteksi limbah acid sludge.
Berdasarkan perbedaan nilai spektral dari citra tersebut, diharapkan dapat dideteksi daerah
yang tercemar dan daerah yang tidak tercemar limbah B3 tersebut.
1.2. Tujuan
1) Mempelajari karakteristik daerah tercemar limbah B3 dengan data satelit penginderaan
jauh, termasuk kondisi spektralnya.
2) Mengembangkan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan Limbah B3
dalam hal ini acid sludge berdasarkan nilai spektral.
3) Validasi model pemanfaatan pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi Limbah B3
(acid sludge).
1.3. Sasaran
1) Pengetahuan tentang karakteristik daerah tercemar limbah B3 (acid sludge) dengan
data satelit penginderaan jauh, termasuk kondisi spektralnya. Pengetahuan ini
selanjutnya dapat digunakan untuk membuat model deteksi lahan tercemar limbah B3
2) Tersedianya model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan Limbah B3 (acid
sludge)
Page 10
3
3) Tervalidasinya model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan Limbah B3
(acid sludge)
1.4. Manfaat
1) Sumbangan ilmu pengetahuan dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi
lahan tercemar limbah B3
2) Dapat digunakan oleh instansi terkait seperti KLH dalam upaya penanganan daerah
yang tercemar limbah B3
3) Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, media, dan komunitas pemerhati lingkungan
dalam mengenali daerah yang tercemar limbah B3
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup kegiatan yang akan dikerjakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1) Penyusunan proposal kegiatan, ROK dan riset desain
2) Studi literatur aplikasi penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3 yang telah
dilakukan di berbagai Negara
3) Penyusunan rencana kerja penelitian
4) Penyusunan pembagian kerja personil
5) Menentukan lokasi penelitian
6) Menentukan data penginderaan jauh yang tepat dan efektif untuk pemantauan limbah
B3
7) Pengumpulan data penginderaan jauh yang terpilih
8) Pengolahan dan analisis data penginderaan jauh
9) Mengkaji karakterisitk daerah tercemar dengan data penginderaan jauh
10) Menyusun model pemanfataan penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3
11) Survey lapangan
12) Kolokium
13) Penyusunan paper ilmiah
14) Publikasi paper ilmiah
15) Penyusunan pelaporan
Page 11
4
1.6. Daerah Penelitian
Daerah penelitian limbah B3 (acid sludge) berlokasi di pembuangan limbah Main Flare
Refenery Unit V Pertamina di Balikpapan – Kalimantan Timur. Adapun lokasi limbah acid sludge
seperti pada Gambar 1-1 berikut ini
Gambar 1-1. Daerah penelitian limbah B3 (acid sludge)
Page 12
5
BAB 2. KERANGKA KONSEPTUAL
2.1. Pengertian Limbah B3
Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya
dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup
dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
mahluk hidup lain. (PP No. 18 tahun 1999).
Jadi secara ringkas bahwa dapat dikatakan Limbah B3 apabila setiap materi yang karena
konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung B3 dan membahayakan manusia,
mahluk hidup dan lingkungan, apapun jenis sisa bahannya.
Definisi limbah B3 atau bahan berbahaya dan atau beracun (Hazardous waste) yang diperoleh
dari berbagai pustaka dapat dilihat seperti berikut ini:
1) Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995)
Limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan
proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat
(toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau
membahayakan kesehatan manusia.
2) Definisi Limbah B3 berdasarkan PP No. 74 Tahun 2001,
Limbah B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak
lingkungan hidup, dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
3) Definisi limbah B3 menurut Wikipedia
Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan
dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan, dan
sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara
berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai
limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3). Bahan-bahan yang termasuk limbah
B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar,
Page 13
6
bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, yang bila diuji dengan
toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3.
2.2. Penelitian Terdahulu
1) Rozenstein, et al. (2014), penelitian LST (Land Surface Temperatur) dilakukan dengan
memanfaatkan data satelit penginderaan jauh Landsat 8 TIRS (Thermal Inframerah
Sensor) dengan menggunakan SWA (Split Window Algorithm). Input yang digunakan
dalam SWA adalah LSE (Land Surface Emissivity) dan atmospheric transmittance.
Adaptasi dari SWA untuk band-band TIRS bergantung pada penentuan parameter Li untuk
band spektral TIRS-spesifik. Li memiliki suhu dalam derajat Kelvin, Bi (T) adalah Planck
fungsi cahaya, spektral terintegrasi satu sama band TIRS pada suhu T, dan ∂Bi (T) adalah
turunan dari fungsi Planck untuk band dalam suhu T. Oleh karena itu, ∂Bi (T) / t dapat
dihitung sebagai: ∂Bi (T) / ∂T≈ [Bi (T + AT) -Bi (T)] / AT
Li numerik dihitung dengan menggunakan ∂Bi (T) / t dan akurasi yang sesuai dengan
menggunakan regresi linier Li = ai BIT +. Kisaran suhu antara 0-60 ° C, L10 = -64,4661 +
0.4398T (r2 = 0,9968, standard error dari estimasi (SEE) = 0,1643) dan L11 = -68,8678 +
0.4755T (r2 = 0,9967, SEE = 0,1687). Koefisien ai dan bi berbeda bila dihitung untuk
rentang suhu yang berbeda, disajikan dalam tabel. Dalam tabel dapat dilihat bahwa
sebagai kisaran T menurun, akurasi yang lebih baik, atau SEE lebih rendah. Penilaian
akurasi SWA dilakukan untuk kasus yang ketat dari kisaran suhu ekstrim antar 0-60 ° C.
Untuk mendapatkan LST yang akurat, disarankan untuk memilih koefisien yang sesuai
dengan kisaran suhu 270 – 340 derajat Kelvin.
Dalam analisis sensitivitas terdapat beberapa skenario yang dipertimbangkan untuk
memperkirakan kemungkinan kesalahan estimasi LST karena kemungkinan kesalahan
estimasi parameter input SWA: transmitansi atmosfer dan LSE. Skenario ini termasuk
berbagai LST dari 0-60 ° C dan berbagai T10-T11 dari -3 hingga 3 ° C. Analisis sensitivitas
terhadap uap air, dimana transmisi berasal dari kandungan uap air di atmosfer, diharapkan
bahwa kesalahan estimasi transmisi akan terjadi secara simultan di band TIRS 10 dan 11.
Oleh karena itu, analisis sensitivitas dilakukan untuk konten uap air, yang berfungsi sebagai
input ke model. Kesalahan estimasi dari LST hampir independen dari perubahan suhu. Ini
perubahan kurang dari ± 0.02 ° C selama rentang suhu 0-60 ° C, dengan asumsi T10-T11
= -2,3. Analisis sensitivitas terhadap LSE, dimana kesalahan dalam estimasi LSE dapat
Page 14
7
terjadi secara bersamaan untuk kedua band TIRS. RMSE (Root mean square error) dari
simulasi LST sebesar 0,93 ° C.
2) Qin et al. (2001), Algoritma yang digunakan dalam menurunkan nilai LST dari TIRS
Landsat-8 adalah Split Window. Algoritma Split Window diperoleh dari turunan pertama
deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi dan perumusan adalah:
Dalam penelitiannya menyajikan SWA (Split Window Algorithm) untuk AVHRR yang hanya
memerlukan dua variabel penting, yaitu LSE (Land Surface Emissivity) dan transmitansi
atmosfer. Penelitian yang dilakukan menguji algoritma dan mendapatkan perhitungan
akurasi menjadi 1,75°C. Selain itu, penelitian tersebut menemukan bahwa itu lebih baik
daripada SWAS lain yang juga dilakukan dengan baik tetapi diperlukan beberapa
parameter yang sulit untuk memperkirakan. Oleh karena itu, SWA disarankan dipilih untuk
memanfaatkan data TIRS, selanjutnya dilakukan pengujian dan terbukti akurat. serta dapat
untuk memperkirakan parameter input. Lebih lanjut penelitian ini dilakukan untuk
memperdalam latar belakang teori dan pengembangan algoritma.
3) Kamil Faisal, et al. (2012), penelitian bertujuan untuk mengkaji hubungan antara LST dan
jumlah gas yang diemisikan di TPA Trail Road. Metode yang digunakan adalah dengan
memperhatikan hubungan antara LST dengan hasil pengukuran lapangan. Beberapa hal
yang dilakukan dalam penelitian ini, antara lain: a) Analisis korelasi hasil pengukuran
perbedaan suhu dan pengukuran emisi gas metana (CH4) yang diperoleh dari dua stasiun
pengamatan, GM-2 dan GM 17, yang berlokasi di sekitar stage 1 dan 3 di lokasi TPA Trail
Road. b)penelitian ini hanya band thermal (band 6 Landsat TM and band 61 Landsat
ETM+) yang digunakan untuk menentukan LST atau suhu permukaan tanah C) koreksi
atmosferik untuk semua citra multi-temporal Landsat. Model koreksi atmosferik (ATCOR2)
yang dikembangkan oleh Richter (1998) dimanfaatkan untuk menghitung transmisi dan
radiasi up dan down. LST dihasilkan dari band thermal dari citra terkoreksi atmosferik.
Pengolahan LST untuk setiap citra Landsat di TPA Trail Road dibandingkan dengan suhu
udara disekitar TPA. Perbandingan ini dilakukan dengan menggunakan analisis zona GIS.
Analisis awal dilakukan untuk mengetahui korelasi antara LST dan jumlah gas hasil emisi
LST. Pengukuran metana (CH4) dari dua sumur pantau (GM-2 dan GM-17) diperoleh dari
Page 15
8
tahun 2007 dan 2008, dan analisis regresi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara
kedua faktor tersebut
Hasil yang diperoleh pada tahun 2007, LST di TPA Trail Road pada bulan April dan Juni
lebih tinggi dari temperatur udara sekitar 10°C dan lebih tinggi sekitar 6°C pada bulan
September dan Oktober. Penurunan perbedaan temperatur ditemukan pada bulan Juli dan
Agustus, hal ini terjadi akibat adanya kabut pada citra Landsat. Pada tahun 2008,
perbedaan temperatur antara LST dan temperatur udara bervariasi karena perubahan
musim. Pada 14 April, nilai LST lebih tinggi 7°C dibandingkan temperatur udara dan
perbedaan temperatur lebih dari 10°C selama bulan Mei dan Agustus. Perbedaan
temperatur menurun dibawah 7°C setelah bulan September kecuali untuk hasil yang
diperoleh pada tanggal 7 Oktober. Berdasarkan hasil dari tahun 2001-2009 serta hasil pada
tahun 2007 dan 2008, dapat disimpulkan bahwa LST pada lokasi TPA selalu lebih tinggi
dari suhu udara. Hasil korelasi data tahun 2008 diperoleh nilai R2 sumur pantau GM-2
adalah sebesar 0.573 dan sumur pantau GM-17 adalah sebesar 0.914. Namun untuk tahun
2007 diperoleh nilai R2 sumur pantau GM-2 adalah sebesar 0.066 dan sumur pantau GM-
17 adalah sebesar 0.332
4) Rajeshwari, A. dan Mani, N.D. (2014), melakukan penelitian LST (Land Surface
Temperature) menggunakan Split Window Algoritm (SWA) di Kabupaten Dindigul (Tamil
Nadu, India), dengan menggunakan Landsat 8 Optical Tanah Imager (OLI) resolusi 30 m
dan Thermal Infrared Sensor (TIR) data resolusi 100 m. SWA dengan masukan untuk
menurunkan LST adalah kebutuhan spektral cahaya dan emisivitas dua band TIR yakni
band TIR 10 dan 11. Emisivitas berasal dengan bantuan teknik threshold NDVI
menggunakan band OLI 2, 3, 4 dan 5. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa LST
tinggi di daerah tandus sedangkan LST rendah di daerah perbukitan karena tutupan
vegetasi. Sebagai algoritma SW menggunakan kedua Band TIR (10 dan 11) dan OLI band
2, 3, 4 dan 5, LST diperoleh hasil lebih baik, dapat diandalkan dan akurat.
5) Skokovic D., (2014), melakukan penelitian kalibrasi dan validasi Land Surface Temperature
(LST) dari Landsat 8 TIRS (Thermal Infrared Sensor). Penelitian ini menggunakan metode
Split-Window Algorithm (SWA). Parameter yang digunakan dalam SWA meliputi: temperatur
brightness band 10 dan band 11 (TB10 dan TB11), Split Window Coefficient values (C0 to C6),
dimana besarnya koefisien (C0:-0.268, C1:1.378, C2:0.183, C3:54.3, C4:-2.238, C5:-129.2,
Page 16
9
C6:16.4) (Skokovic et al., 2014; Sobrino et al., 1996; 2003; Shaouhua Zhao et al., 2009).
Rata-rata Land Surface Emissivity (LSE) dari band TIR (ɛ), atmospheric water vapour
content yang diperoleh dari data Modis (W), dan selisih nilai Land Surface Emissivity (∆ɛ).
Perhitungan LST menggunakan metode SWA dengan formula sebagai berikut:
LST=TB10+C1(TB10–TB11)+C2(TB10–TB11)+C0+(C3+C4W)(1-ɛ)+(C5+C6W)∆ɛ
6) Erin Jing Male, et al. (2010), melakukan penelitian dengan tujuan untuk memantau dan
memverifikasi penyerapan CO2 atau adanya kebocoran CO2 pada vegetasi. Metode
dilakukan pengukuran spektral harian pada 68 titik. Pengukuran dimulai 2 hari sebelum
injeksi sampai 1 minggu setelah injeksi CO2 diberhentikan. Pengukuran menggunakan alat
Spektrometer dapat mengukur spektrum reflektan dari 350-2500 nm dengan 1 nm
bandwidth. Pengukuran data dilakukan pada waktu yang sama yaitu pada jam 09.30 pagi
sampai 13.30 sore. Klasifikasi spektum dilakukan dengan menggunakan software ENVI 4.5
(www.ittvis.com). klasifikasi pada software ENVI yaitu Spectral Angle Mapper (SAM).
Metode mengklasifikasikan spektrum hasil pengukuran to reference endmember spectra
berdasarkan seberapa dekat spektrum yang diobservasi dan spektrum referensi (Kruse et
al., 1990). Klasifikasi dari citra buatan yang diperoleh dengan menggunakan spektrometer
juga menunjukkan dua lokasi stres tanaman: 1) di sisi timur dan 2) di pusat lokasi
penelitian. Berdasarkan hasil klasifikasi, tanaman mulai mengalami stres dari stres sedang
sampai tinggi setelah 6 hari dilakukan injeksi. Keuntungan dari memantau CO2 adalah
perbedaan perubahan antara strs yang disebabkan oleh perubahan alami tanaman dengan
injeksi CO2 dapat dibedakan. Klasifikasi SAM dari citra hyperspectral, yang diambil 27 hari
setelah injeksi CO2. Klasifikasi menunjukkan dua zona yang sama masing-masing
berdiameter sekitar 2 m. Kemiripan zona ini juga ditemukan disepanjang pipa injeksi. Hal ini
menunjukkan bagaimana teknik pemantauan ini mampu mendeteksi bocoran CO2 pada
area dengan vegetasi yang berbeda.
7) Odden B., et al. (2008), penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode klasifikasi
Spectral Angle Mapper (SAM) yang saat ini diimplementasikan di software Geomatica
(Geomatica, 2005) dan di ENVI (ENVI, 2006). Klasifikasi SAM pada ENVI dan Geometica
menunjukkan hasil yang identik meskipun terdapat perbedaan pada tools alur kerja
klasifikasi. Perbedaan utama alur kedua software ini adalah menyangkut sudut spektral
SAM antara setiap piksel dan endmember yang harus ditetapkan dalam klasifikasi. Dalam
ENVI, sudut ini dinyatakan dalam radian sedangkan dalam Geomatica dalam derajat.
Page 17
10
Meskipun sudut datang yang digunakan sedikit berbeda yaitu 0,5 radian ≈ 28,7 derajat di
ENVI dan 30 derajat di Geomatica, citra hasil klasifikasi SAM yang dihasilkan terlihat sama.
Pemilihan endmember dilakukan di ENVI menggunakan tool ROI. Endmember ini
kemudian diimport ke Geomatica. Setelah endmember ditentukan, harus diketahui apakah
spektrum memiliki kualitas yang baik untuk klasifikasi. Piksel citra cenderung heterogen.
Hal ini menyebabkan sulitnya pemilihan endmember, karena sulitnya pemisahan spektral
kelas landuse secara jelas, terutama spektral vegetasi yang agak mirip. Hasil klasifikasi
dari pengolahan kedua software dibandingkan satu sama lain, baik secara visual maupun
perhitungan akurasi. Perbandingan visual menunjukkan tidak ada perbedaan antara dua
hasil klasifikasi. Semua citra menunjukkan efek tumpang tindih serupa sepanjang batas di
lokasi yang sama, dan daerah yang tidak terpengaruh oleh piksel campuran juga sama di
kedua citra. Perhitungan akurasi menggunakan Geomatica FOCUS dilakukan untuk
mengetahui perbedaan kedua citra klasifikasi secara statistik. Hasil perhitungan akurasi
menunjukkan bahwa hasil klasifikasi dengan ENVI dan Geomatica adalah sama.
8) Luc Bartels, et al., (2005) melakukan penelitian klasifikasi Spectral Angel Mapper (SAM).
Data yang digunakan hyperspectral 32 band VIS-NIR AISA Eagle. Metode yang digunakan
Optimized Spectral Angel Mapper (OSAM) adalah dengan memperhitungkan jarak antara
sebuah piksel spektrum uji dengan nilai spektrum referensi. Ada dua langkah dalam
mengoptimasi sudut spektral. Pertama, metode Optimal Spectral Library (OSL), menjaga
variabilitas spektral dalam setiap Region Of Interest (ROI), nilai optimal diperoleh dengan
langkah mengklasifikasikan semua pixel dari suatu kelas tertentu dengan benar. Kedua,
semua pixel citra diklasifikasikan dengan spektrum referensi yang disimpan. nilai sudut
spektral dihitung setiap nilai dan diminimalkan sehingga setiap sudut terkecil dapat
dihitung. Nilai akurasi klasifikasi dihitung secara acak memilih 50% ROI untuk kelas tertentu
dan melakukan uji klasifikasi, sisanya digunakan untuk mevalidasi OSAM. Beberapa
vegetasi yang diinterventarisasi diukur dengan dGPS. Target diukur sebagai poligon, pada
daerah homogen dengan minimum diameter 5m diambil titik pusat. pengukuran dilakukan
untuk menentukan ROI dari 3x3 pixel ukuran sentral. ROI digunakan untuk mengekstrak
spektrum pixel dari gambar hyperspectral yang digunakan sebagai referensi dalam
algoritma klasifikasi.
9) Wijanarto A., et al., (2010), Penelitian yang dilakukan dengan melihat kemampuan data
Hyperion untuk klasifikasi tutupan lahan dan khususnya untuk mengetahui
Page 18
11
keanekaragaman hayati tanaman tropis. Daerah studi di Kebun Raya Bogor dan
sekitarnya, dengan luas 1,2 x 1,2 km2 atau 1600 piksel Hyperion. Kajian ini dibatasi pada
tutupan jenis vegetasi tertentu. Metode pengolahan data meliputi koreksi geometrik,
konversi data menjadi radians absolut, koreksi atmosferik untuk memperoleh nilai reflektan
dan klasifikasi menggunakan metode spectral angle mapper. Data radian terkalibrasi
dikonversi menjadi reflektansi permukaan menggunakan Fast Line-of-sight Atmospheric
Analysis of Spectral Hypercubes (FLAASH). Input data FLAASH, data hyperion diperkecil
skalanya dengan faktor 400 pada data VNIR dan 800 pada SWIR. Untuk latihan hanya
VNIR yang digunakan pada tahap klasifikasi. Klasifikasi untuk pemetaan vegetasi
menggunakan metode Spectral Angle Mapper (SAM).
10) Parwati et al., (2012) melakukan penelitian Degradasi Hutan untuk Analisa Bencana Banjir,
dengan menggunakan metode klasifikasi Spectral Mixture Analysis (SMA). Klasifikasi visual
dengan menggunakan teknik konvensional pengolahan citra secara dijital akan terjadi atau
rentan terhadap kesalahan akibat adanya kesamaan nilai obyek seperti regenerasi hutan,
vegetasi yang mati, dan lahan terbuka sehingga lebih sulit diidentifikasi dari data satelit
(Souza et al, 2003). Sehingga permasalahan ini dapat diatasi dengan klasifikasi Spectral
Mixture Analysis (SMA). Spectral Mixture Analysis merupakan suatu alat analisis dimana
beberapa citra dikalibrasi menjadi reflektan dan piksel-piksel dimodelkan sebagai potensi
pencampuran dari spektra lapangan/laboratorium. Tahap pertama yang dilakukan adalah
pemilihan endmemember citra, kemudian diperoleh referensi endmember setelah semua
spektra band dikalibrasi menjadi reflektansi. Endmember citra dapat dipilih dari training
area pada citra atau melalui analisis stepwise setiap piksel. Endmember citra terdiri dari
nilai spektra atau Digital Number (DN) dimana ketika dicampur akan menghasilkan spektra
yang cocok untuk piksel lain di citra tersebut, dengan catatan piksel tersebut ikut dalam
proses pencampuran.
2.3. Data Landsat 8
NASA dan USGS melakukan kerja sama untuk mengembangkan Landsat Data
Continuity Mission (LDCM). Dalam kerjasamanya NASA bertanggung jawab untuk membangun
dan meluncurkan satelit dan sensor, sedangkan USGS melakukan pengembangan ground
system. USGS Earth Resources Observation and Science (EROS) akan bertanggung jawab
untuk operasi satelit dan untuk mengumpulkan, pengarsipan dan mendistribusikan data.
Page 19
12
Peluncuran satelit Landsat Data Continuity Mission (LDCM) dilakukan pada tanggal 11
Februari 2013, selanjutnya satelit ini dikenal dengan Landsat 8. Satelit ini menyediakan produk
citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013. Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi
Landsat yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 yang disebut
dengan Landsat 1. Landsat 8 ini dapat dikatakan sebagai satelit dengan misi lanjutan Landsat
7 dari pada sebagai satelit baru dengan spesifikasi yang baru. Hal ini dapat terlihat dari
karakteristik Landsat 8 yang serupa dengan karakteristik landsat 7, dalam hal resolusi spasial,
resolusi temporal, resolusi spektral, metode koreksi, ketinggian terbang dan karakteristik sensor
yang dibawa oleh satelit tersebut. Pada Landsat 8 ada beberapa tambahan yang merupakan
penyempurnaan dari Landsat 7 seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang
elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor dan nilai bit atau rentang nilai Digital
Number dari tiap piksel pada citra tersebut.
Menurut USGS, satelit Landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan
bumi dan memiliki luas liputan sebesar 170 km x 183 km. NASA memiliki target satelit Landsat
8 atau Landsat versi terbaru ini mengemban misi yang akan beroperasi selama 5 tahun, dimana
sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS selama 3 tahun. Kemungkinan umur produktif
Landsat 8 dapat diperpanjang dari umur yang dicanangkan sebagaimana terjadi pada Landsat
5-TM yang awalnya ditargetkan hanya beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012
masih bisa berfungsi. Landsat 8 memiliki nilai DN (Digital Number) dengan interval yang lebih
panjang sebesar 0-4096. Sensitifitas Landsat 8 ditingkatkan dari yang semula tiap piksel
memiliki kuantifikasi 8 bit, pada Landsat 8 ditingkatkan menjadi 12 bit.
Satelit Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal
Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah band atau kanal sebanyak 11 buah. Ban atau kanal-
kanal tersebut antara lain: 9 kanal (terdiri dari band 1sampai dengan band 9) berada pada
sensor OLI dan 2 band atau kanal (yang terdiri dari band 10 dan band 11) terdapat pada sensor
TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan Landsat 7. Jenis kanal, panjang
gelombang dan resolusi spasial setiap band pada Landsat 8 seperti pada Tabel 2-1 di bawah ini
:
Page 20
13
Tabel 2-1. Karakteristik Landsat 8
Jenis Band Panjang Gelombang
(micrometer) Resolusi Spasial
(meter)
Band 1 Coastal aerosol 0.433 - 0.453 30
Band 2 Blue 0.450 – 0.515 30
Band 3 Green 0.525 – 0.600 30
Band 4 Red 0.630 – 0.680 30
Band 5 Near Infrared (NIR) 0.845 – 0.885 30
Band 6 SWIR 1 1.560 – 1.660 30
Band 7 SWIR 2 2.100 – 2.300 30
Band 8 Panchromatic 0.500 – 0.680 15
Band 9 Cirrus 1.360 – 1.390 30
Band 10 Thermal Infrared (TIR) 1 10.3 – 11.3 100
Band 11 Thermal Infrared (TIR) 2 11.5 – 12.5 100
Sumber: Nasa, Landsat Data Continuity Mission (LDCM) Brochure.
Page 21
14
BAB III. METODOLOGI
3.1. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data Landsat 8 – Onboard Operational Land
Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS), adapun data Landsat 8 yang digunakan
seperti pada tabel berikut:
Tabel 3-1. Data Landsat 8 yang digunakan
Tanggal Path/Row Lokasi
Juni 2013 116/061 Balikpapan – Kalimantan Timur
Juli 2013 116/061 Balikpapan – Kalimantan Timur
Agustus 2013 116/061 Balikpapan – Kalimantan Timur
November 2013 116/061 Balikpapan – Kalimantan Timur
Februari 2014 116/061 Balikpapan – Kalimantan Timur
Data Landsat yang sudah dilakukan preprocessing (koreksi data) untuk penelitian limbah B3
dalam hal ini pencemaran limbah Acid Sludge di Refinery Unit V (RU - V) Pertamina di
Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.
3.2. Metode
Metode pengolahan data yang dilakukan untuk penelitian deteksi daerah tercemar limbah B3
dalam hal ini limbah acid sludge, meliputi:
3.2.1. Pengolahan awal data
Pada pengolahan awal data meliputi koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Koreksi
geometrik merupakan koreksi yang berhubungan dengan distribusi keruangan. Geometrik
meliputi informasi data geo-referenced yang berupa sistem koordinat lintang dan bujur, serta
informasi yang ada di dalamnya. Koreksi geometrik yang dilakukan dalam citra penginderaan
jauh meliputi koreksi geometrik sistematik dan koreksi geometrik presisi. Koreksi geometrik
sistematik adalah koreksi geometrik demenggunakan informasi karakteristik sensor yang
meliputi orientasi internal (informasi panjang fokus sistem optik, dan koordinat titik utama,
distorsi sistem lensa dan difraksi atmosfer), sedangkan orientasi eksternal berisi koordinat titik
Page 22
15
utama pada ground space dan tiga sudut relatif antara bidang citra dan bidang bumi. Koreksi
presisi untuk meningkatkan ketelitian geometrik dengan menggunakan titik kontrol tanah
(ground control point atau GCP).
Koreksi radiometrik dilakukan dengan mengkonversi nilai digital menjadi nilai reflektansi yang
bertujuan untuk mengurangi kesalahan nilai piksel akibat sudut matahari dan jarak matahari
bumi pada data yang berlainan waktu (Mumby and Clark, 2000). Hasil pengolahan awal ini
telah tersedia dalam produk standart Landsat 8 dengan format 16-bit integer, dimana konversi
menjadi nilai radiansi dan reflektansi Top of Atmosphere (ToA) menggunakan koefisien
rescaling radiometrik yang tersedia dalam file metadata (file MTL) dengan tahapan seperti di
bawah ini (USGS, 2014).
Konversi ke spektral radiansi ToA
Nilai digital band OLI dan TIRS dikonversi menjadi spektral radiansi ToA dengan persamaan
berikut:
L� = ML. Qcal + AL
L� = Spektral radiansi ToA (W/(m2.sr.µm))
ML = Faktor rescaling perkalian setiap band (RADIANCE_MULT_BAND_x)
AL = Faktor rescaling aditif setiap band (RADIANCE_ADD_BAND_x)
Qcal = Nilai digital
Konversi ke reflektansi ToA
Nilai digital band OLI juga dapat langsung dikonversi menjadi nilai reflektansi ToA dengan
persamaan berikut:
ρ� = (Mρ. Qcal + Aρ)/(cos(θSZ)) = (Mρ. Qcal + Aρ)/(sin(θSE))
ρ� = Reflektansi ToA
Mρ = Faktor rescaling perkalian setiap band (REFLECTANCE_MULT_BAND_x)
Aρ = Faktor rescaling aditif setiap band (REFLECTANCE_ADD_BAND_x)
Qcal = Nilai digital
θSE = Sudut elevasi matahari
θSZ = Sudut zenith matahari; θSZ = 90° - θSE
Konversi spektral radiansi ke brightness temperature
Konversi spektral radiansi ke brightness temperature band TIRS menggunakan persamaan
berikut:
Page 23
16
T = K2 / (ln(K1/ L�)+1)
T = Brightness temperature (K)
L� = Spektral radiansi ToA (W/(m2.sr.µm))
K1 = Konstanta konversi termal setiap band (K1_CONSTANT_BAND_x)
K2 = Konstanta konversi termal setiap band (K2_CONSTANT_BAND_x)
Dari produk data standart yang telah dikoreksi, kemudian dilakukan konversi nilai
reflektansi dari tipe data 16 bit integer menjadi tipe 4 byte real untuk mengembalikan nilai asli
reflektansi dengan satuan micrometer. Selanjutnya pemisahan awan dilakukan dengan
mengoverlay band hasil klasifikasi awan yang telah tersedia dalam produk standar dengan
semua band pada data OLI dan TIRS.
3.2.2. Pengolahan Lanjut
Pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi daerah tercemar
limbah B3 menggunakan beberapa metode, antara lain: metode analisis termal yaitu
menggunakan analisis Land Surface Temperatur (LST), dan metode analisis spektral yang
terdiri dari metode klasifikasi Spectral Angle Mapper (SAM), dan metode klasifikasi Spectral
Mixture Analysis (SMA). Penelitian model pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi
daerah tercemar limbah B3, dimana alur penelitiannya dapat digambarkan seperti pada
diagram alir Gambar 3-1 berikut ini.
Page 24
Gambar 3-1. Diagram Alir Penelitian
3.2.2.1. Metode Analisis Termal
Pada analisis termal untuk deteksi limbah acid sludge, dilakukan pengamatan kondisi suhu
permukaan lahan (Land Surface Temperature
multitemporal.
Algoritma yang digunakan dalam menurunkan nilai
dari Landsat 8 TIRS adalah Split Window
pertama deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi dan perumusan
berikut: (Qin et al., 2001)
Diagram Alir Penelitian limbah B3 (Acid sludge
Metode Analisis Termal
Pada analisis termal untuk deteksi limbah acid sludge, dilakukan pengamatan kondisi suhu
Land Surface Temperature/LST) berdasarkan data Landsat
Algoritma yang digunakan dalam menurunkan nilai Land Surface Temperature
Split Window. Algoritma Split Window diperoleh dari turunan
pertama deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi dan perumusan
17
Acid sludge)
Pada analisis termal untuk deteksi limbah acid sludge, dilakukan pengamatan kondisi suhu
/LST) berdasarkan data Landsat 8 TIRS
Land Surface Temperature (LST)
diperoleh dari turunan
pertama deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi dan perumusan adalah sebagai
Page 25
Ts : Land Surface Temperature
A0, A1, A2 : koefisien atmosfer transmitans
T10, T11 : temperature brightness
Perhitungan LST menggunakan
berikut: (Rajeshwari, A. dan Mani, N.D.
LST=TB10+C1(TB10
Secara lebih rinci metode yang digunakan untuk perhitungan
(LST) dapat digambarkan dalam diagram alir berikut ini: (Rajeshwari, A. dan Mani, N.D., 2014)
Land Surface Temperature (LST)
: koefisien atmosfer transmitans
temperature brightness TIRS band 10 dan band 11
Perhitungan LST menggunakan Algoritma Split Window dengan formula, sebagai
Rajeshwari, A. dan Mani, N.D., 2014) ; (Skokovic, D. et al. (2014)
10–TB11)+C2(TB10–TB11)+C0+(C3+C4W)(1-ɛ)+(C
Secara lebih rinci metode yang digunakan untuk perhitungan Land Surface Temperature
dapat digambarkan dalam diagram alir berikut ini: (Rajeshwari, A. dan Mani, N.D., 2014)
18
Algoritma Split Window dengan formula, sebagai
)+(C5+C6W)∆ɛ
Land Surface Temperature
dapat digambarkan dalam diagram alir berikut ini: (Rajeshwari, A. dan Mani, N.D., 2014)
Page 26
Gambar 3-2. Diagram Alir Metode
3.2.2.2. Metode Analisis Spektral
Pada analisis spektral untuk deteksi
metode Spectral Angel Mapper
Landsat 8 OLI.
Langkah-langkah yang digunakan untuk klasifikasi dengan metode SAM dan metode SMA,
adalah sebagai berikut:
Pengumpulan data spektral
Pada penelitian ini referensi spektral untuk klasifikasi citra diperoleh dari endmember yang
diekstraksi dari citra itu sendiri dan dibandingkan dengan spektral pengukuran di lapangan
menggunakan spektrometer.
Data spektral diperoleh dari pengukuran reflektansi di lapangan menggunakan spektrometer
tipe HR4000CG. Panjang gelombang spektrometer yang digunakan terdiri dari gelom
visible dan Near Infrared (NIR) dengan kisaran panjang gelombang 200 nm sampai 1050 nm.
Diagram Alir Metode Land Surface Temperature (LST)
Metode Analisis Spektral
al untuk deteksi daerah tercemar limbah acid sludge,
tral Angel Mapper (SAM) dan Spectral Mixture Analysis (SMA) berdasarkan data
langkah yang digunakan untuk klasifikasi dengan metode SAM dan metode SMA,
Pada penelitian ini referensi spektral untuk klasifikasi citra diperoleh dari endmember yang
diri dan dibandingkan dengan spektral pengukuran di lapangan
Data spektral diperoleh dari pengukuran reflektansi di lapangan menggunakan spektrometer
tipe HR4000CG. Panjang gelombang spektrometer yang digunakan terdiri dari gelom
(NIR) dengan kisaran panjang gelombang 200 nm sampai 1050 nm.
19
(LST)
limbah acid sludge, menggunakan
berdasarkan data
langkah yang digunakan untuk klasifikasi dengan metode SAM dan metode SMA,
Pada penelitian ini referensi spektral untuk klasifikasi citra diperoleh dari endmember yang
diri dan dibandingkan dengan spektral pengukuran di lapangan
Data spektral diperoleh dari pengukuran reflektansi di lapangan menggunakan spektrometer
tipe HR4000CG. Panjang gelombang spektrometer yang digunakan terdiri dari gelombang
(NIR) dengan kisaran panjang gelombang 200 nm sampai 1050 nm.
Page 27
Pengukuran spektral dilakukan pada ob
pengulangan 10 kali setiap pengukuran. Oby
daerah tercemar dan tidak tercemar serta oby
Pengumpulan spektral obyek atau endmember dari citra menggunakan metode automatis yaitu
membuat endmember dari eigenvektor dengan order tingkat tinggi dari PCA (Parwati, et.al
Boardman 1993).
Analisis spektral
Pada penelitian ini akan dibandingkan analisis spektral untuk penentuan daerah tercemar dan
tidak tercemar menggunakan metode
Analysis (SMA).
- Metode Spectral Angel Mapper
Spectral Angle Mapper (SAM) adalah
spektral pada spektrum citra dengan spektrum referensi. Algoritma SAM menentukan
kesamaan spektral antara dua spektrum dengan menghitung sudut (
spektrum, memperlakukannya sebagai vektor dalam ruang dengan dimensi yang sama dengan
jumlah band (Kruse,et.al.). Algoritma
Atau dapat dituliskan sebagai:
Pengukuran spektral dilakukan pada obyek-obyek tercemar dan tidak tercemar dengan
n 10 kali setiap pengukuran. Obyek yang diukur terdiri dari vegetasi da
mar dan tidak tercemar serta obyek sludge (lumpur padat).
ek atau endmember dari citra menggunakan metode automatis yaitu
dari eigenvektor dengan order tingkat tinggi dari PCA (Parwati, et.al
Pada penelitian ini akan dibandingkan analisis spektral untuk penentuan daerah tercemar dan
tidak tercemar menggunakan metode Spectral Angle Mapper (SAM) dan
Spectral Angel Mapper (SAM)
(SAM) adalah metode yang memungkinkan pemetaan cepat kesamaan
spektral pada spektrum citra dengan spektrum referensi. Algoritma SAM menentukan
kesamaan spektral antara dua spektrum dengan menghitung sudut (angle
spektrum, memperlakukannya sebagai vektor dalam ruang dengan dimensi yang sama dengan
Algoritma SAM dirumuskan sebagai berikut:
20
ek tercemar dan tidak tercemar dengan
ek yang diukur terdiri dari vegetasi dan pasir di
ek atau endmember dari citra menggunakan metode automatis yaitu
dari eigenvektor dengan order tingkat tinggi dari PCA (Parwati, et.al,
Pada penelitian ini akan dibandingkan analisis spektral untuk penentuan daerah tercemar dan
Spectral Mixture
yang memungkinkan pemetaan cepat kesamaan
spektral pada spektrum citra dengan spektrum referensi. Algoritma SAM menentukan
angle) antara dua
spektrum, memperlakukannya sebagai vektor dalam ruang dengan dimensi yang sama dengan
Page 28
Sudut Spectral Angel dapat digambarkan
metode Spectral Angel Mapper
spektral yang lebih kecil. Sudut yang lebih kecil menunjukkan kemiripan antara spektral
referensi dan spektral test.
Gambar 3
Input referensi yang digunakan dalam algoritma
adalah training sampel citra, ataupun
Gambar 3-4. Diagram Alir
Spectral Library
dapat digambarkan seperti pada Gambar 3-3 berikut ini, dimana dalam
bahwa piksel yang lebih gelap pada output menunjukkan sudut
spektral yang lebih kecil. Sudut yang lebih kecil menunjukkan kemiripan antara spektral
Gambar 3-3. Sudut Spectral Angel Mapper (SAM)
Input referensi yang digunakan dalam algoritma SAM yang diimplementasikan dalam
citra, ataupun spektral dari pengukuran lapangan.
Diagram Alir Metode Spectral Angel Mapper (SAM) Menggunakan
Spectral Library dari Pengukuran Spektrometer di Lapangan
21
3 berikut ini, dimana dalam
menunjukkan sudut
spektral yang lebih kecil. Sudut yang lebih kecil menunjukkan kemiripan antara spektral
yang diimplementasikan dalam software
(SAM) Menggunakan
Page 29
Gambar 3-5. Diagram Alir
Spectral Library
- Metode Spectral Mixture Analysis
Pada Spectral Mixture Analysis (SMA)
(DN), sehingga dapat lebih merepresentasikan kondisi antara citra dan pengamatan di
lapangan. Pada klasifikasi penutup lahan
sehingga dapat dianalisis sebagai referensi
dan konsep proporsi endmember
(Horowitz et al. 1971).
Spectral Mixture Analysis merupakan suatu alat analisis dimana beberapa citra dikalibrasi
menjadi reflektan dan piksel-piksel
lapangan/laboratorium. Tahap pertama yang dilakukan adalah pemilihan
kemudian diperoleh referensi endmember
reflektansi. Endmember citra dapat dipilih dari
stepwise setiap piksel. Endmember
Diagram Alir Metode Spectral Angel Mapper (SAM) Menggunakan
Spectral Library dari Citra Landsat
Spectral Mixture Analysis (SMA)
(SMA) fraksi endmember diinterpretasi daripada
(DN), sehingga dapat lebih merepresentasikan kondisi antara citra dan pengamatan di
klasifikasi penutup lahan dimana nilai piksel perlu dikalibrasi menjadi r
sehingga dapat dianalisis sebagai referensi endmember. Piksel yang bercampur (
endmember diketahui pada awal studi mengenai citra multispektral
merupakan suatu alat analisis dimana beberapa citra dikalibrasi
piksel yang dimodelkan sebagai potensi pencampuran dari spektra
lapangan/laboratorium. Tahap pertama yang dilakukan adalah pemilihan endmemember
endmember setelah semua spektra kanal dikalibrasi menjadi
citra dapat dipilih dari training area pada citra atau melalui analisis
Endmember citra terdiri dari nilai spektra (DN) dimana ketik
22
(SAM) Menggunakan
diinterpretasi daripada Digital Number
(DN), sehingga dapat lebih merepresentasikan kondisi antara citra dan pengamatan di
nilai piksel perlu dikalibrasi menjadi reflektansi
. Piksel yang bercampur (mixed pixel)
diketahui pada awal studi mengenai citra multispektral
merupakan suatu alat analisis dimana beberapa citra dikalibrasi
dimodelkan sebagai potensi pencampuran dari spektra
endmemember citra,
setelah semua spektra kanal dikalibrasi menjadi
pada citra atau melalui analisis
citra terdiri dari nilai spektra (DN) dimana ketika dicampur
Page 30
23
akan menghasilkan spektra yang cocok untuk piksel lain di citra tersebut, dengan catatan piksel
tersebut ikut dalam proses pencampuran. Sebagai contoh spektrum tubuh air berbeda dan asli
(bukan campuran), tetapi piksel tersebut tidak dapat digunakan sebagai endmember untuk
piksel lainnya didalam citra, karena piksel yang berisi air hanya terdapat secara lokal. Digital
number (DN) setiap piksel dikonversi ke dalam fraksi endmember citra menggunakan formula
(1) dan memecahkan matriks pseudoinverse (Golub dan Van Loan, 1989). Fraksi endmemer
dijumlahkan menjadi 1 untuk setiap piksel.
��� = � ��� + �dan� � = 1�
��
�
��…………………1
DNi : Kode radians pada kanal I setiap piksel
DNik : kode radians pada kanal I setiap endmember k pada citra
fik : fraksi endmember k pada setiap citra yang dikalkulasi setiap kanal
i : nomor kanal
k : setiap n endmember citra
ɛi : pengingat antara DN yang diukur dan DN yang dimodelkan (band residual)
Endmember citra dengan sendirinya akan mendefinisikan kembali sebagai pencampuran dari
referensi endmember yang diperoleh dari pengukuran laboratorium atau spektra pengukuran
lapangan dalam unit reflektan. Referensi endmember dipilih dari spektrum yang terdapat di
studi area serta dari spektrum lain yang relevan. Endmember citra dideskripsikan dalam
endmember referensi melalui formula:
�� = �′ � ���� + �′ + �dan�� = 1�
���
�
���
DNik : kode radians pada kanal i setiap endmember k pada citra
fijk : fraksi setiap referensi endmember j yang berkontribusi terhadap k yang dikalkulasi
setiap kanal
Rij : reflektansi pada kanal-i untuk setiap referensi endmember j
i : nomor kanal
k : setiap n endmember citra
Page 31
24
ɛi : pengingat antara DN yang diukur dan DN yang dimodelkan (kanal residual)
g’I : gain kanal i
o’I : offset kanal i
Endmember citra kemudian dikalibrasi menjadi reflektansi menggunakan formula 2 dengan
mengkalkukasi gain dan offset untuk setiap kanal. Nilai gain dan offset setiap kanal ada dalam
header file data. Selanjutnya istilah endmember dalam penelitian ini diasumsikan sebagai
referensi endmember. Residual kanal setiap piksel dikalkulasi berdasarkan selisih antara DN
yang diukur dengan DN yang dimodelkan pada setiap kanal. Residual semua kanal dijumlahkan
sebagai RMS eror. Model dijustifikasi sebagai model yang baik jika:
1. Residual atau RMSEnya rendah
2. Fraksi tidak kurang dari 0 atau lebih besar dari 1
Piksel yang mempunyai RMS error tinggi dan fraksinya <0 atau >1 mengindikasikan variasi
komposisi yang tidak termodelkan pada suatu scene. Model endmember yang simple
diaplikasikan disini tidak menggambarkan kecocokan semua piksel.
Spectral Mixture Analysis (SMA) merupakan nilai sebuah spektrum dimodelkan
sebagai jumlah fraksi endmember dimana setiap fraksi endmember diberi nilai bobot (Adams et
al, 1993; Roberts et al 1993; Settle and Drake, 1993 dalam Parwati et al, 2012).
Rb = reflektansi kanal-b
Ri,b = reflektansi endmember-i pada kanal-b
Fi = fraksi endmember i
εb = residual error kanal-b
Page 32
Kesalahan model SMA pada setiap pixel di citra dapat dikalkulasi berdasarkan RMS
error dengan formula sbb:
Gambar 3-6. Diagram Alir Metode
Spectral Library
Kesalahan model SMA pada setiap pixel di citra dapat dikalkulasi berdasarkan RMS
Diagram Alir Metode Spectral Mixture Analysis (SMA) Menggunakan
Spectral Library dari Pengukuran Spektrometer di Lapangan
25
Kesalahan model SMA pada setiap pixel di citra dapat dikalkulasi berdasarkan RMS
(SMA) Menggunakan
Page 33
Gambar 3-7. Diagram Alir Metode
Spectral Library
3.3. Perhitungan Akurasi
Perhitungan akurasi dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi daerah tercemar dan tidak
tercemar berdasarkan analisis SAM serta SMA dengan acuan hasil survey lapangan.
Perhitungan akurasi dihitung berdasarkan
berisi informasi tentang klasifikasi aktual dan klasifikasi prediksi yang diperoleh dari suatu
sistem klasifikasi, di mana n adalah jumlah kelas yang berbeda (Visa
bawah ini merupakan contoh confusion matrix untuk
- a adalah jumlah prediksi kelas negatif yang benar
- b adalah jumlah prediksi kelas positif yang salah
- c adalah jumlah prediksi kelas negatif yang salah
- d adalah jumlah prediksi kelas positif yang benar
Diagram Alir Metode Spectral Mixture Analysis (SMA) Menggunakan
Spectral Library dari Citra Landsat
Perhitungan akurasi dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi daerah tercemar dan tidak
tercemar berdasarkan analisis SAM serta SMA dengan acuan hasil survey lapangan.
Perhitungan akurasi dihitung berdasarkan confusion matrix yaitu matrix berukuran n x n
berisi informasi tentang klasifikasi aktual dan klasifikasi prediksi yang diperoleh dari suatu
adalah jumlah kelas yang berbeda (Visa et al, 2011). Tabel di
bawah ini merupakan contoh confusion matrix untuk n=2, dengan keterangan sebagai berikut :
adalah jumlah prediksi kelas negatif yang benar
adalah jumlah prediksi kelas positif yang salah
adalah jumlah prediksi kelas negatif yang salah
adalah jumlah prediksi kelas positif yang benar
26
(SMA) Menggunakan
Perhitungan akurasi dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi daerah tercemar dan tidak
tercemar berdasarkan analisis SAM serta SMA dengan acuan hasil survey lapangan.
yaitu matrix berukuran n x n yang
berisi informasi tentang klasifikasi aktual dan klasifikasi prediksi yang diperoleh dari suatu
, 2011). Tabel di
n keterangan sebagai berikut :
Page 34
27
Tabel 3-2. Confusion matrix untuk klasifikasi dua kelas (n=2)
Kelas Negatif prediksi Positif prediksi
Negatif aktual a b
Positif aktual c d
Akurasi dihitung berdasarkan total jumlah kelas hasil prediksi yang benar, yaitu dihitung
menggunakan persamaan berikut:
Akurasi (%) = ���
�������
3.4. Tahapan Kegiatan Penelitian
Kegiatan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Studi literatur.
Pada tahap studi literatur ini dilakukan pengumpulan literatur yang terkait dengan
penelitian masalah limbah B3 dari data penginderaan jauh, selanjutnya dilakukan
review literatur atau pengkajian terhadap metode yang terkait dengan analisis
deteksi limbah B3 berbasis data satelit penginderaan jauh.
2) Pengumpulan/inventarisasi data.
a. Data Landsat 8 TIRS dan OLI
b. Data pendukung yang berhubungan dengan penelitian mengenai limbah B3 (acid
sludge)
3) Pengolahan data, meliputi:
a. Pengolahan awal Citra penginderaan jauh berupa: koreksi geometrik, pemisahan
awan, pembuatan citra warna komposit dan penajaman citra
b. Seleksi spektral obyek (endmember) dan pembuatan spectral Library
c. Normalisasi data citra dengan data spektrometer
d. Pengolahan Citra Landsat 8 tahun 2013 - 2014 menggunakan metode
- Land Surface Temperature (LST)
- Klasifikasi Spectral Angel Mapper (SAM)
Page 35
28
- Klasifikasi Spectral Mixture Analysis (SMA)
4) Survey Lapangan
a. Pengukuran titik survey lapangan, yang meliputi:
- Posisi lokasi
- Temperatur
- Reflektan
b. Pengambilan sampel tanah untuk analisis laboratorium
c. Pengumpulan data pendukung
5) Analisis Data dan Perhitungan Akurasi
Analisis data, berdasarkan:
- Land Surface Temperature (LST)
- Klasifikasi Spectral Angel Mapper (SAM)
- Klasifikasi Spectral Mixture Analysis (SMA)
6) Penyusunan laporan hasil penelitian
Laporan Akhir Penelitian Pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh
untuk pemantauan limbah B3 (Acid Sludge)
Page 36
29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Data Lapangan
Data lapangan diperoleh dari hasil pengukuran spektral obyek menggunakan alat
spektrometer. Pengukuran reflektansi terhadap objek dilakukan di daerah tercemar dan tidak
tercemar, dengan panjang gelombang Visible dan Near Infrared (NIR). Pengukuran dilakukan
sebanyak 10 kali perulangan pada setiap objek pada saat kondisi cerah pukul 10.00 – 15.00
WITA. Pada saat pengukuran dengan field of view sensor membentuk sudut sebesar 25°, dan
ketinggian pengukuran 1 – 1,5 m maka luas obyek yang terukur sekitar 50 x 50 cm. Obyek
yang diukur adalah yang mewakili obyek yang ada di daerah tercemar dibandingkan dengan di
luar daerah tercemar, yaitu vegetasi (rumput dan alang-alang), pasir putih dan pasir coklat serta
obyek lumpur/sludge. Hasil pengukuran reflektansi dari spektrometer untuk lima jenis obyek
dapat dilihat pada Grafik 4-1.
Pada profil spektral obyek vegetasi dapat dilihat perbedaan yang signifikan antara obyek
di daerah tercemar (kurva warna merah) dan tidak tercemar (kurva warna biru) seperti pada
Grafik 4-1a. Reflektansi pada vegetasi di daerah tercemar cenderung lebih rendah dan bentuk
kurva datar (flat) dari mulai gelombang biru sampai ke NIR, sedangkan pada daerah tidak
tercemar terlihat berfluktuasi terutama pada panjang gelombang merah dan meningkat dengan
tajam pada NIR yang merupakan indikator kesehatan vegetasi. Pada obyek pasir baik pasir
putih maupun pasir coklat menunjukkan reflektansi di daerah tercemar lebih tinggi dibandingkan
daerah tidak tercemar dengan pola cenderung meningkat dari panjang gelombang biru hingga
NIR, seperti terlihat pada Grafik 4-1b dan Grafik 4-1c. Sedangkan obyek sludge atau limbah
lumpur pada Grafik 4-1d menunjukkan pola datar dari mulai panjang gelombang biru hingga
NIR dan meningkat dengan tajam di akhir panjang gelombang NIR.
Page 37
30
a b
c d Keterangan: Daerah tercemar
Daerah tidak tercemar
Grafik 4-1. Profil Spektral Obyek Tercemar dan Tidak Tercemar dari Spektrometer
Pada profil spektral masing-masing obyek (vegetasi, pasir coklat, pasir putih dan sludge) dibuat
nilai rata-rata spektral, selanjutnya nilai rata-rata spektral tersebut dijadikan spektral referensi
untuk klasifikasi Spectral Angel Mapper (SAM) dan Spectral Mixture Analysis (SMA). Namun
sebelum diaplikasikan dalam proses klasifikasi, dilakukan proses resampling data hasil
spektrometer untuk menyamakan jumlah kanal atau band dengan kanal Landsat 8. Resolusi
spektral spektrometer yang digunakan terdiri dari kanal visible dan NIR yaitu panjang
gelombang 200-1050 nm, sehingga data Landsat 8 yang digunakan hanya terbatas pada Band
1 hingga Band 5 dengan panjang gelombang Band 1: 0.43 – 0.45 µm, Band 2: 0.45-0.51 µm,
Band 3: 0.53-0.59 µm, Band 4: 0.64-0.67 µm dan Band 5: 0.85-0.88 µm . Hasil resampling
selanjutnya diplotkan pada center wavelength pada masing-masing band, yaitu band 1: 0.44
µm, band 2: 0.48 µm, band 3: 0.56 µm, band 4: 0.655 µm dan band 5: 0.865 µm.
Page 38
31
Analisis data lapangan dari pengukuran reflektan dengan menggunakan alat spektrometer pada
lokasi bervegetasi dan pada lahan terbuka yang berupa pasir dan sludge dihasilkan seperti
Grafik 4-1. Pengukuran reflektan pada Grafik 4-1a menunjukkan bahwa pada titik lokasi HU1
(pada daerah tidak tercemar) dari hasil laboratorium sampel tanah menunjukkan semua
kandungan logam berat rendah (dapat dilihat pada Lampiran 3) dimana dalam pengukuran
reflektan pada obyek vegetasi (rumput dan alang-alang) menunjukkan nilai reflektan yang tinggi
(dalam grafik warna biru), sedangkan untuk obyek vegetasi pada daerah tercemar menunjukkan
nilai yang rendah (dalam grafik warna merah).
Pengukuran reflektan pada obyek lahan terbuka yang berupa pasir (pasir coklat dan pasir putih)
dalam Grafik 4-1b dan Grafik 4-1c terlihat bahwa daerah yang tidak tercemar mempunyai nilai
reflektan yang rendah (grafik warna biru), dan untuk daerah tercemar mempunyai nilai reflektan
yang lebih tinggi (grafik warna merah). Sedangkan pada obyek sludge dari hasil laboratorium
sampel tanah mempunyai kadungan logam berat yang tinggi dalam Grafik 4-1d dimana hasil
pengukuran di lapangan dengan nilai reflektan rendah.
4.2. Normalisasi Spektral Landsat terhadap Pengukuran Spektrometer
Citra Landsat yang digunakan dalam penelitian ini belum melalui proses koreksi
atmosferik. Sehingga untuk mengurangi adanya perbedaan kondisi atmosfer saat pengukuran
menggunakan spektrometer dengan kondisi pada citra Landsat saat perekaman data, maka
untuk mengaplikasikan data pengukuran spektral di lapangan dari alat spektrometer tersebut ke
citra Landsat, pada tahap awal dilakukan perbandingan nilai spektral pada piksel citra dengan
rata-rata spektral dari hasil pengukuran di lapangan dengan spektrometer pada lokasi yang
sama, kemudian dilakukan normalisasi nilai. Grafik 4-2a dan Grafik 4-2b memperlihatkan
perbedaan beberapa piksel citra dengan data hasil pengukuran dengan alat spektrometer,
dimana perbedaan terutama terlihat pada Band 1, Band 2 dan Band 5, sedangkan pada Band 3
dan Band 4 memperlihatkan pola yang serupa. Kemudian data Landsat yang digunakan
dinormalisasi dengan persamaan hasil regresi linier antara kedua jenis data yang dapat dilihat
pada Grafik 4-3, dimana hasil regresi linier pada Band 1 seperti pada Grafik 4-3a, Band 2
seperti pada Grafik 4-3b, dan Band 5 seperti pada Grafik 4-3c.
Page 39
32
a b
Grafik 4-2. Perbandingan nilai spektral dari pengukuran spektrometer dan data Landsat 8
band 1 - band 5
a
b
c
Grafik 4-3. Hasil regresi untuk normalisasi citra Landsat terhadap nilai spektral hasil
pengukuran dari spektrometer
Page 40
Hasil persamaan dan korelasi dari n
Band 2 dan Band 5, seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 4-1. Persamaan dan korelasi hasil n
dan Band 5
No. Normalisasi Spektral Landsat
1 Band 1
2 Band 2
3 Band 5
Hasil persamaan dan korelasi dari normalisasi spektral Landsat dilakukan pada Band 1,
Band 2 dan Band 5, seperti pada tabel berikut ini:
Persamaan dan korelasi hasil normalisasi spektral Landsat pada Band 1, Band 2
Normalisasi Spektral Landsat Persamaan Korelasi
y = 1.458 x – 0.162 R² = 0.536
y = 1.458 x – 0.162 R² = 0.502
y = 1.458 x – 0.162 R² = 0.692
b
33
dilakukan pada Band 1,
pada Band 1, Band 2
Korelasi
R² = 0.536
R² = 0.502
R² = 0.692
a
Page 41
Grafik 4-4. Normalisasi Citra Landsat Band 1, Band 2, dan Band 5
4.3. Analisis Spektral dari Citra Landsat
Endmember atau spektral asli ob
2- band 3, PCA band 2-band 4 dan PCA band 4
Landsat ini diperoleh spektral endmember
serta pasir dan sludge di daerah tercemar. Pada daerah tercemar tidak diperoleh
vegetasi karena area vegetasi yang terlalu sempit.
untuk masing-masing endmember
spektral terlihat pola spektral serupa, dimana pada panjang gelombang antara 440
band 1 – band 4 kurva sedikit menurun, dan pada band 5 kurva mengalami peningkatan yang
cukup tajam baik pada obyek vegetasi, pasir sludge dan lahan terbuka (tidak tercemar)
Perbedaan utama terlihat untuk vegetasi memiliki puncak reflektansi pada panjang gelombang
NIR (band 5) kemudian menurun tajam pada gelombang SWIR, sedangkan objek lahan terbuka
tidak tercemar dan pasir sludge memiliki nilai puncak pada panjang gelombang SWIR 1.
Kemudian untuk objek pasir sludge memiliki pola yang cenderung lebih datar dibandingkan
lahan terbuka lainnya dan memiliki nilai yang lebih tinggi pada panjang gelombang SWIR 1
(band 6) dan SWIR 2 (band 7).
pasir sludge, dan lahan terbuka).
spektra setiap obyek.
c
Normalisasi Citra Landsat Band 1, Band 2, dan Band 5
itra Landsat
atau spektral asli obyek juga diperoleh dari ekstraksi antara citra PCA band
band 4 dan PCA band 4 – band 5. Hasil analisis endmember
endmember vegetasi dan lahan terbuka di daerah tidak tercemar,
di daerah tercemar. Pada daerah tercemar tidak diperoleh
vegetasi yang terlalu sempit. Grafik 4-5 memperlihatkan pola spektral
endmember pada band 1 – band 7 data Landsat. Berdasarkan pola
pola spektral serupa, dimana pada panjang gelombang antara 440
band 4 kurva sedikit menurun, dan pada band 5 kurva mengalami peningkatan yang
byek vegetasi, pasir sludge dan lahan terbuka (tidak tercemar)
Perbedaan utama terlihat untuk vegetasi memiliki puncak reflektansi pada panjang gelombang
NIR (band 5) kemudian menurun tajam pada gelombang SWIR, sedangkan objek lahan terbuka
dan pasir sludge memiliki nilai puncak pada panjang gelombang SWIR 1.
Kemudian untuk objek pasir sludge memiliki pola yang cenderung lebih datar dibandingkan
lahan terbuka lainnya dan memiliki nilai yang lebih tinggi pada panjang gelombang SWIR 1
dan SWIR 2 (band 7). Pada band 7 kurva menurun untuk semua obyek (vegetasi,
pasir sludge, dan lahan terbuka). Pada Grafik 4-5 d dapat dilihat perbandingan kurva
34
Normalisasi Citra Landsat Band 1, Band 2, dan Band 5
ek juga diperoleh dari ekstraksi antara citra PCA band
endmember dari citra
vegetasi dan lahan terbuka di daerah tidak tercemar,
di daerah tercemar. Pada daerah tercemar tidak diperoleh endmember
memperlihatkan pola spektral
band 7 data Landsat. Berdasarkan pola
pola spektral serupa, dimana pada panjang gelombang antara 440 – 655 atau
band 4 kurva sedikit menurun, dan pada band 5 kurva mengalami peningkatan yang
byek vegetasi, pasir sludge dan lahan terbuka (tidak tercemar).
Perbedaan utama terlihat untuk vegetasi memiliki puncak reflektansi pada panjang gelombang
NIR (band 5) kemudian menurun tajam pada gelombang SWIR, sedangkan objek lahan terbuka
dan pasir sludge memiliki nilai puncak pada panjang gelombang SWIR 1.
Kemudian untuk objek pasir sludge memiliki pola yang cenderung lebih datar dibandingkan
lahan terbuka lainnya dan memiliki nilai yang lebih tinggi pada panjang gelombang SWIR 1
Pada band 7 kurva menurun untuk semua obyek (vegetasi,
5 d dapat dilihat perbandingan kurva rata-rata
Page 42
a
c d
Grafik 4-5. Profil Spektral Obyek Tercemar dan Tidak Tercemar dari
Nilai rata-rata spektral endmember
referensi dalam proses klasifikasi berdasarkan metode
Mixture Analysis. Hasil analisis statistik rata
objek pada band 1 – band 7 Landsat dapat dilihat pada Tabel
Tabel 4-2. Analisis Statistik Rata
Band Landsat
Vegetasi
Mean Stadart Dev.
Band 1 0.1401 0.0026
Band 2 0.1183 0.0032
Band 3 0.1054 0.0047
Band 4 0.0885 0.0052
Band 5 0.3239 0.0108
Band 6 0.2485 0.0151
Band 7 0.1447 0.0147
b
c d
ek Tercemar dan Tidak Tercemar dari Endmember
endmember untuk masing-masing objek selanjutnya menjadi spektral
referensi dalam proses klasifikasi berdasarkan metode Spectral Angel Mapper
Hasil analisis statistik rata-rata dan standar deviasi spektral masing
band 7 Landsat dapat dilihat pada Tabel 4-2 berikut ini.
Analisis Statistik Rata-rata dan standar deviasi spektral masing-masing ob
band 1 – band 7 Landsat
Endmember Pasir Sludge Lahan Terbuka
Tercemar
Stadart Dev.
Mean Stadart Dev. Mean
0.0026 0.1508 0.0034 0.1641
0.0032 0.1346 0.0097 0.1473
0.0047 0.1315 0.0268 0.1292
0.0052 0.1582 0.0287 0.1233
0.0108 0.2847 0.0116 0.1992
0.0151 0.3469 0.0081 0.3256
0.0147 0.2573 0.0043 0.2748
35
Endmember Citra Landsat
masing objek selanjutnya menjadi spektral
Spectral Angel Mapper dan Spectral
rata dan standar deviasi spektral masing-masing
masing obyek pada
Lahan Terbuka (Tidak Tercemar
Stadart Dev.
0.0125
0.0151
0.0184
0.0227
0.0245
0.0204
0.0313
Page 43
36
4.4. Hasil Klasifikasi Spectral Angel Mapper (SAM)
Klasifikasi Spectral Angel Mapper (SAM) dilakukan dengan spektral referensi dari data
pengukuran spektrometer dan endmember citra Landsat 8, kemudian dibandingkan metode
yang memberikan hasil lebih baik. Pada penelitian ini, sudut (radian) yang digunakan dalam
proses klasifikasi SAM menggunakan sudut radian sebesar α= 0,2 dimana penggunaan sudut
α= 0,2 dalam pengolahan klasifikasi SAM semua piksel sudah terkelaskan, sedangkan
penggunaan sudut radian α= 0,1 diperoleh hasil pengolahan menunjukkan bahwa dalam
klasifikasi semua piksel belum dapat terkelaskan, sehingga digunakan sudut α= 0,2.
Hasil klasifikasi SAM menggunakan spektral referensi dari spektrometer dapat dilihat pada
Gambar 4-1a, daerah tercemar ditandai dengan lingkaran berwarna merah. Pada hasil
klasifikasi SAM tersebut dapat dilihat proses klasifikasi hanya berhasil mengkelaskan dua kelas
dominan yaitu kelas vegetasi tercemar dan pasir tercemar di seluruh wilayah baik daerah
tercemar maupun daerah tidak tercemar. Berdasarkan perhitungan akurasi menggunakan data
pengecekan di lapangan, diperoleh hasil klasifikasi SAM menggunakan spektral referensi dari
data spektrometer hanya memperoleh tingkat akurasi sebesar 33,3 %. Faktor yang dapat
mempengaruhi rendahnya akurasi tersebut diantaranya adalah masih adanya perbedaan
kondisi data karena pengaruh atmosfir juga tidak digunakannya panjang gelombang SWIR
karena resolusi spektral spektrometer yang digunakan terbatas pada panjang gelombang visible
dan Near Infrared (NIR).
a
b
Page 44
37
Gambar 4-1. Hasil klasifikasi SAM menggunakan spektral referensi dari spektrometer (a) dan
endmember dari citra (b)
Metode klasifikasi yang berikutnya adalah klasifikasi SAM dengan spektral referensi dari
endmember citra Landsat 8. Hasil klasifikasi SAM menggunakan referensi dari endmember
yang diektraksi dari citra dapat dilihat pada Gambar 4-1b, Pada hasil SAM dengan spektral
referensi citra itu sendiri dapat dilihat bahwa kelas yang terbentuk terdiri dari 3 kelas sesuai
dengan endmember yang digunakan. Klasifikasi memberikan hasil yang lebih baik dimana
pada daerah tercemar (lingkaran merah) secara umum terklasifikasi sebagai kelas tercemar
yaitu pasir dan sludge, sedangkan di luar daerah tercemar dominan terkelaskan sebagai
vegetasi dan lahan terbuka tidak tercemar. Berdasarkan perhitungan akurasi menggunakan
data pengecekan lapangan, diketahui bahwa hasil klasifikasi SAM menggunakan spektral
referensi dari endmember citra memiliki tingkat akurasi sebesar 66,7 %. Klasifikasi dengan
spektral referensi endmember citra memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan spektral dari
data pengukuran spektrometer, hal ini dapat terjadi karena telah digunakannya band dengan
panjang gelombang SWIR yaitu band 6 dan band 7 pada Landsat 8. Pada Gambar 4-2 dapat
dilihat perbandingan hasil klasifikasi SAM menggunakan spektral referensi endmember ketika
menggunakan band SWIR dan tidak menggunakan band SWIR. Ketika menggunakan band
SWIR dapat dilihat bahwa obyek tercemar (pasir sludge) dominan terdapat atau mengelompok
pada daerah tercemar (Gambar 4-2a), sedangkan ketika tidak menggunakan band SWIR kelas
pasir sludge masih banyak terlihat di luar daerah tercemar (Gambar 4-2b).
Page 45
38
a
b
Gambar 4-2. Perbandingan hasil klasifikasi SAM menggunakan band SWIR (a) dan tidak
menggunakan band SWIR (b)
4.5.Hasil Klasifikasi Spectral Mixture Analysis (SMA)
Klasifikasi Spectral Mixture Analysis (SMA) pada penelitian ini dilakukan juga perbandingkan
antara hasil analisis menggunakan spektral referensi berdasarkan data pengukuran
spektrometer dan endmember dari citra Landsat 8. Hasil analisis SMA diperoleh citra fraksi
endmember obyek di daerah tercemar dan tidak tercemar. Berdasarkan metode klasifikasi
SMA menggunakan spektral dari data pengukuran spektrometer, diperoleh citra fraksi vegetasi
tercemar, vegetasi tidak tercemar, pasir tercemar, pasir tidak tercemar dan sludge. Kisaran
nilai masing-masing citra berbeda mulai dari -3.7 hingga 4.3. Semakin besar nilai piksel (terlihat
pada gambar warnanya semakin putih) menunjukkan kandungan/persentase suatu fraksi pada
piksel tersebut semakin tinggi.
Pada Gambar 4-3 diperlihatkan citra fraksi hasil analisis SMA menggunakan spektral referensi
dari data pengukuran spektrometer. Di daerah tercemar (dalam lingkaran merah) dapat dilihat
fraksi vegetasi tercemar memiliki persentase yang tinggi (warna piksel lebih terang)
dibandingkan sekitarnya, sedangkan fraksi vegetasi tidak tercemar rendah dibandingkan
sekitarnya. Untuk fraksi vegetasi pada hasil SMA menggunakan referensi dari spektrometer ini
Page 46
masih sesuai dengan kondisi di lapangan, namun untuk fraksi pasir tercemar, pasir tidak
tercemar dan fraksi sludge terdapat perbedaan dimana pasir tercemar dan
seharusnya tinggi di lokasi tercemar tetapi terlihat rendah. Hal ini menunjukkan hasil analisis
masih kurang sesuai dengan kondisi lapangan. Faktor yang dapat mempengaruhi sama seperti
pada proses metode klasifikasi SAM dimana masih adanya perbedaan kondisi data citra
dengan pengukuran spektrometer karena
panjang gelombang SWIR.
Vegetasi tercemar
Pasir tidak tercemar
Gambar 4-3. Fraksi hasil SMA dengan spektral referensi dari spektrometer
dengan kondisi di lapangan, namun untuk fraksi pasir tercemar, pasir tidak
terdapat perbedaan dimana pasir tercemar dan
seharusnya tinggi di lokasi tercemar tetapi terlihat rendah. Hal ini menunjukkan hasil analisis
masih kurang sesuai dengan kondisi lapangan. Faktor yang dapat mempengaruhi sama seperti
klasifikasi SAM dimana masih adanya perbedaan kondisi data citra
dengan pengukuran spektrometer karena adanya pengaruh atmosfir, juga tidak digunakannya
Vegetasi tidak tercemar
Pasir tercemar
Pasir tidak tercemar
Sludge
Fraksi hasil SMA dengan spektral referensi dari spektrometer
39
dengan kondisi di lapangan, namun untuk fraksi pasir tercemar, pasir tidak
terdapat perbedaan dimana pasir tercemar dan sludge yang
seharusnya tinggi di lokasi tercemar tetapi terlihat rendah. Hal ini menunjukkan hasil analisis
masih kurang sesuai dengan kondisi lapangan. Faktor yang dapat mempengaruhi sama seperti
klasifikasi SAM dimana masih adanya perbedaan kondisi data citra
pengaruh atmosfir, juga tidak digunakannya
Pasir tercemar
Fraksi hasil SMA dengan spektral referensi dari spektrometer
Page 47
Selanjutnya penelitian ini mencoba membandingkan hasil analisis SMA menggunakan referensi
endmember citra. Berdasarkan
diperoleh citra fraksi vegetasi, lahan terbuka tidak tercemar dan pasir
4 diperlihatkan citra fraksi hasil analisis SMA menggunakan spektral referensi
tersebut. Secara umum kisaran nilai fraksi minimal dan maksimal semua
berada pada kisaran 0 hingga 1, pada citra terlih
bawah 0 menunjukkan bahwa terdapat obyek yang terklasifikasi namun memiliki nilai kecerahan
yang lebih rendah dari nilai piksel murni yang digunakan untuk
bersangkutan, begitu pula sebaliknya untuk nilai fraksi di atas 1 (Wi
tersebut dapat terjadi karena pada daerah kajian memiliki tutupan lahan yang beragam yang
kemudian terklasifikasi menjadi
Namun pada penelitian ini diketahui pula bahwa penjum
hasil analisis tetap bernilai 1.
Vegetasi
Gambar 4-4. Fraksi hasil SMA dengan spektral referensi dari
Berdasarkan hasil analisis SMA dengan spektral referensi
vegetasi di daerah tercemar hanya memiliki kandungan yang rendah ditandai dengan piksel
yang lebih gelap, dan terlihat lebih terang di luar daerah tercemar yang menunjukkan
penelitian ini mencoba membandingkan hasil analisis SMA menggunakan referensi
citra. Berdasarkan metode klasifikasi SMA menggunakan endmember
diperoleh citra fraksi vegetasi, lahan terbuka tidak tercemar dan pasir sludge.
diperlihatkan citra fraksi hasil analisis SMA menggunakan spektral referensi endmember
Secara umum kisaran nilai fraksi minimal dan maksimal semua endmember
berada pada kisaran 0 hingga 1, pada citra terlihat rentang antara -3 hingga 2.5
bawah 0 menunjukkan bahwa terdapat obyek yang terklasifikasi namun memiliki nilai kecerahan
yang lebih rendah dari nilai piksel murni yang digunakan untuk endmemeber
bersangkutan, begitu pula sebaliknya untuk nilai fraksi di atas 1 (Wikantika, et al. 2005). Hal
tersebut dapat terjadi karena pada daerah kajian memiliki tutupan lahan yang beragam yang
kemudian terklasifikasi menjadi endmember vegetasi ataupun lahan terbuka dan
Namun pada penelitian ini diketahui pula bahwa penjumlahan fraksi dalam setiap piksel citra
Lahan terbuka
(tidak tercemar)
Pasir Sludge
Fraksi hasil SMA dengan spektral referensi dari endmember citra Landsat 8
Berdasarkan hasil analisis SMA dengan spektral referensi endmember dapat dilihat untuk fraksi
vegetasi di daerah tercemar hanya memiliki kandungan yang rendah ditandai dengan piksel
yang lebih gelap, dan terlihat lebih terang di luar daerah tercemar yang menunjukkan
40
penelitian ini mencoba membandingkan hasil analisis SMA menggunakan referensi
endmember dari citra,
Pada Gambar 4-
endmember citra
endmember juga tidak
3 hingga 2.5. Nilai fraksi di
bawah 0 menunjukkan bahwa terdapat obyek yang terklasifikasi namun memiliki nilai kecerahan
endmemeber yang
kantika, et al. 2005). Hal
tersebut dapat terjadi karena pada daerah kajian memiliki tutupan lahan yang beragam yang
vegetasi ataupun lahan terbuka dan sludge.
lahan fraksi dalam setiap piksel citra
Pasir Sludge
citra Landsat 8
dapat dilihat untuk fraksi
vegetasi di daerah tercemar hanya memiliki kandungan yang rendah ditandai dengan piksel
yang lebih gelap, dan terlihat lebih terang di luar daerah tercemar yang menunjukkan
Page 48
41
kandungan vegetasinya lebih tinggi. Untuk lahan terbuka tidak tercemar secara umum hampir
sama kandungannya di daerah tercemar dan sekitarnya, namun terlihat lebih tinggi di bagian
utara dan sepanjang pesisir yang ditandai dengan warna yang lebih terang. Sedangkan pasir
sludge yang merupakan obyek tercemar, terlihat tinggi terutama di dalam daerah tercemar yang
ditandai dengan piksel lebih terang. Berdasarkan analisis SMA menggunakan endmember dari
citra ini menunjukkan hasil yang lebih baik dimana pada daerah tercemar memiliki fraksi
vegetasi rendah dan fraksi pasir sludge yang tinggi.
4.6. Perhitungan Indeks
Pada penelitian ini dilakukan kajian pembuatan indeks untuk mengklasifikasi daerah tercemar
dan tidak tercemar berdasarkan kelas atau fraksi yang diperoleh dari proses SMA. Pada SMA
dengan spektral referensi data spektrometer, unsur tercemar dihitung dari vegetasi tercemar,
pasir tercemar dan sludge, sedangkan unsur tidak tercemar dihitung dari vegetasi dan pasir
tidak tercemar. Sehingga persamaan indeks tersebut adalah:
Indeks = (�� !"#!�$%�&'$�(')*$!"#!�$%�&'$)–(�� !�$%�&'$�(')*$!�$%�&'$�)-." �)(�� !"#!�$%�&'$�(')*$!"#!�$%�&'$��� !�$%�&'$�(')*$!�$%�&'$�)-." �)
Sedangkan untuk perhitungan indeks berdasarkan SMA dengan referensi endmember
citra, unsur tercemar dihitung dari pasir sludge, dan unsur tidak tercemar dihitung dari vegetasi
dan lahan terbuka tidak tercemar. Sehingga persamaan untuk indeksnya adalah sebagai
berikut:
Indeks = (�� �!')*�-'/'0!�$1.#')–(2')*$)-." �)(�� �!')*�-'/'0!�$1.#'�2')*$)-." �)
Kisaran indeks yang diperoleh tidak berkisar antara -1 hingga 1, hal ini dikarenakan nilai
fraksi pada setiap piksel juga tidak berkisar antara 0-1, sehingga dalam penerapan indeks ini
adalah nilai yang berada di bawah 0 (negatif) merupakan kelas daerah tercemar sedangkan
nilai di atas 0 (positif) merupakan kelas tidak tercemar.
Pada Gambar 4-5 disajikan citra hasil perhitungan indeks dari hasil SMA berdasarkan
referensi spektrometer. Kisaran indeks yang diperoleh antara -2.2 hingga 0.79, sehingga
klasifikasi batas tercemar adalah pada indeks -2.2 hingga 0. Pada citra hasil klasifikasi
Page 49
tersebut dapat dilihat bahwa hampir seluruh daerah menjadi kelas tercemar baik di dalam
maupun di luar wilayah tercemar, sehingga klasifikasi masih belum bisa membedakan dengan
baik daerah tercemar dan tidak tercemar.
a
Gambar 4-5. Klasifikasi indeks dengan spektral referensi dari spektrometer untuk seluruh
daerah (a) dan daerah yang terkelaskan sebagai kelas tercemar (b)
Pada Gambar 4-6 disajikan citra hasil perhitungan indeks dari hasil SMA berdasarkan
referensi endmember citra. Kisaran indeks yang diperoleh antara
klasifikasi batas tercemar adalah pada indeks
tersebut dapat dilihat bahwa kelas tercemar terfokus di dalam wilayah tercemar. Hasil
klasifikasi ini lebih sesuai dengan kondisi di lapangan dibandingkan hasil klasifikasi sebelumnya
yang menggunakan referensi spektrometer. Berdasarkan perhitungan akurasi,
akurasi pengkelasan berdasarkan indeks ini sebesar 62,5 %.
tersebut dapat dilihat bahwa hampir seluruh daerah menjadi kelas tercemar baik di dalam
maupun di luar wilayah tercemar, sehingga klasifikasi masih belum bisa membedakan dengan
ik daerah tercemar dan tidak tercemar.
b
Klasifikasi indeks dengan spektral referensi dari spektrometer untuk seluruh
daerah (a) dan daerah yang terkelaskan sebagai kelas tercemar (b)
disajikan citra hasil perhitungan indeks dari hasil SMA berdasarkan
referensi endmember citra. Kisaran indeks yang diperoleh antara -0.7 hingga 7.3, sehingga
klasifikasi batas tercemar adalah pada indeks -0.7 hingga 0. Pada citra hasil klasifikasi
sebut dapat dilihat bahwa kelas tercemar terfokus di dalam wilayah tercemar. Hasil
klasifikasi ini lebih sesuai dengan kondisi di lapangan dibandingkan hasil klasifikasi sebelumnya
yang menggunakan referensi spektrometer. Berdasarkan perhitungan akurasi,
akurasi pengkelasan berdasarkan indeks ini sebesar 62,5 %.
42
tersebut dapat dilihat bahwa hampir seluruh daerah menjadi kelas tercemar baik di dalam
maupun di luar wilayah tercemar, sehingga klasifikasi masih belum bisa membedakan dengan
Klasifikasi indeks dengan spektral referensi dari spektrometer untuk seluruh
daerah (a) dan daerah yang terkelaskan sebagai kelas tercemar (b)
disajikan citra hasil perhitungan indeks dari hasil SMA berdasarkan
0.7 hingga 7.3, sehingga
0.7 hingga 0. Pada citra hasil klasifikasi
sebut dapat dilihat bahwa kelas tercemar terfokus di dalam wilayah tercemar. Hasil
klasifikasi ini lebih sesuai dengan kondisi di lapangan dibandingkan hasil klasifikasi sebelumnya
diperoleh tingkat
Page 50
a
Gambar 4-6. Klasifikasi indeks dengan spektral referensi dari endmember citra Landsat 8
untuk seluruh daerah (a) dan daerah yang
4.7. Land Surface Temperature
Analisis termal, digunakan data
Algoritma untuk perhitungan LST digunakan
diperoleh dari turunan pertama deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi
al., 2001). Perhitungan LST berdasarkan data Landsat 8 TIRS
pada daerah tercemar dan tidak tercemar, kemudian dibandingkan pola LST antara ke
kondisi daerah tersebut. Selanjutnya dihitung rata
dan tidak tercemar.
12 Juni 2013
b
Klasifikasi indeks dengan spektral referensi dari endmember citra Landsat 8
untuk seluruh daerah (a) dan daerah yang terkelaskan sebagai kelas tercemar (b)
Land Surface Temperature (LST)
Analisis termal, digunakan data Land Surface Temperature (LST) dari Landsat 8 TIRS.
Algoritma untuk perhitungan LST digunakan Split Window, dimana Algoritma Split Window
dari turunan pertama deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi
Perhitungan LST berdasarkan data Landsat 8 TIRS time series tahun 2013
pada daerah tercemar dan tidak tercemar, kemudian dibandingkan pola LST antara ke
kondisi daerah tersebut. Selanjutnya dihitung rata-rata LST dan selisih LST daerah tercemar
30 Juli 2013 15 Agustus 2013
43
Klasifikasi indeks dengan spektral referensi dari endmember citra Landsat 8
terkelaskan sebagai kelas tercemar (b)
(LST) dari Landsat 8 TIRS.
Algoritma Split Window
dari turunan pertama deret linierisasi Taylor dari persamaan transfer radiasi (Qin et
tahun 2013-2014
pada daerah tercemar dan tidak tercemar, kemudian dibandingkan pola LST antara kedua
rata LST dan selisih LST daerah tercemar
15 Agustus 2013
Page 51
3 November 2013
Gambar 4-7. Land Surface Temperature
Daerah tercemar limbah acid sludge
daerah tercemar lebih panas dibandingkan daerah tidak tercemar. G
citra LST dari Landsat 8 di lokasi penelitian pada tahun 2
tersebut terlihat suhu tertinggi terjadi pada bulan Februari 2014 di semua lokasi, namun tidak
terlihat perbedaan yang signifikan antara daerah tercemar dan tidak tercemar. Grafik
perbandingan rata-rata LST antara daera
Grafik 4-6. Pada grafik terlihat pola temporal antara rata
tercemar cenderung memiliki pola yang sama, namun tetap ada perbedaan nilai dimana daerah
tercemar memiliki LST yang lebih tinggi. Pada G
2001 hingga 2013, dimana kecenderungan perbedaan LST daerah tercemar dan tidak tercemar
semakin kecil, hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan yang dilakukan pada daerah tercemar
memberikan hasil yang cukup baik.
Hal ini juga dapat dilihat lebih jelas pada G
daerah tercemar dan tidak tercemar berdasarkan Landsat 7 dan 8. Pada G
LST tahun 2013-2014 pada daerah ter
sedangkan jika dilihat pada tahun
tercemar mencapai 3 °C. Kecenderungan penurunan selisih nilai LST terjadi mulai tahun 2005
hingga 2014.
23 Februari 2014
7. Land Surface Temperature (LST) dari Landsat 8
acid sludge dapat dideteksi berdasarkan kondisi termal, dimana
daerah tercemar lebih panas dibandingkan daerah tidak tercemar. Grafik 4-6
citra LST dari Landsat 8 di lokasi penelitian pada tahun 2013 dan 2014. Berdasarkan citra LST
tersebut terlihat suhu tertinggi terjadi pada bulan Februari 2014 di semua lokasi, namun tidak
terlihat perbedaan yang signifikan antara daerah tercemar dan tidak tercemar. Grafik
LST antara daerah tercemar dan tidak tercemar dapat dilihat pada
. Pada grafik terlihat pola temporal antara rata-rata LST daerah tercemar dan tidak
tercemar cenderung memiliki pola yang sama, namun tetap ada perbedaan nilai dimana daerah
yang lebih tinggi. Pada Grafik 4-6b dapat dilihat LST temporal dari tahun
, dimana kecenderungan perbedaan LST daerah tercemar dan tidak tercemar
semakin kecil, hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan yang dilakukan pada daerah tercemar
berikan hasil yang cukup baik.
Hal ini juga dapat dilihat lebih jelas pada Grafik 4-7 yang memperlihatkan selisih nilai LST pada
daerah tercemar dan tidak tercemar berdasarkan Landsat 7 dan 8. Pada G
2014 pada daerah tercemar dan tidak tercemar berkisar antara 0,2
sedangkan jika dilihat pada tahun-tahun sebelumnya selisih LST daerah tercemar dan tidak
tercemar mencapai 3 °C. Kecenderungan penurunan selisih nilai LST terjadi mulai tahun 2005
44
dapat dideteksi berdasarkan kondisi termal, dimana
6 memperlihatkan
013 dan 2014. Berdasarkan citra LST
tersebut terlihat suhu tertinggi terjadi pada bulan Februari 2014 di semua lokasi, namun tidak
terlihat perbedaan yang signifikan antara daerah tercemar dan tidak tercemar. Grafik
h tercemar dan tidak tercemar dapat dilihat pada
rata LST daerah tercemar dan tidak
tercemar cenderung memiliki pola yang sama, namun tetap ada perbedaan nilai dimana daerah
b dapat dilihat LST temporal dari tahun
, dimana kecenderungan perbedaan LST daerah tercemar dan tidak tercemar
semakin kecil, hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan yang dilakukan pada daerah tercemar
yang memperlihatkan selisih nilai LST pada
daerah tercemar dan tidak tercemar berdasarkan Landsat 7 dan 8. Pada Grafik 4-7a selisih
cemar dan tidak tercemar berkisar antara 0,2 – 1,8 °C,
tahun sebelumnya selisih LST daerah tercemar dan tidak
tercemar mencapai 3 °C. Kecenderungan penurunan selisih nilai LST terjadi mulai tahun 2005
Page 52
45
Grafik 4-6. Rata-rata LST dari Landsat 8 tahun 2013-2014 (a) dan LST dari Landsat 7
tahun 2001-2013 (b) pada daerah tercemar dan tidak tercemar
25
30
35
40
Juni-13 Juli-13 Agt-13 Nov-13 Feb-14
Tercemar Tidak Tercemar
25
30
35
40
Jul-01 Agt-01 Feb-02 Mei-02 Mar-03 Agt-03 Des-03 Nov-04 Jul-05 Sep-05 Nov-05 Des-05 Nov-06 Mar-07 Des-07 Mei-09 Juli-12 Apr-13
Rata-rata LST Landsat 7 Daerah Tercemar dan Tidak Tercemar
Tercemar Tidak Tercemar
(a) Rata-rata LST Landsat 8 di Daerah Tercemar dan Tidak Tercemar
(b)
Page 53
Grafik 4-7. Selisih LST dari
tahun 2001-2013 (b)
0
0.5
1
1.5
2
Juni-13 Juli
-1
0
1
2
3
4
Jul-01 Agt-01 Feb-02 Mei-02 Mar-03 Agt
Selisih LST Landsat 8 pada
Selisih LST Landsat 8
(b)
dari Landsat 8 tahun 2013-2014 (a) dan LST dari
2013 (b) pada daerah tercemar dan tidak tercemar
Juli-13 Agt-13 Nov-13
Selisih LST
Agt-03 Des-03 Nov-04 Jul-05 Sep-05 Nov-05 Des-05 Nov-06 Mar-07 Des-07 Mei
Landsat 8 pada Daerah Tercemar da Tidak Tercemar
Selisih LST
Selisih LST Landsat 8 pada Daerah Tercemar dan Tidak Tercemar
46
dari Landsat 7
daerah tercemar dan tidak tercemar
Feb-14
Mei-09 Juli-12 Apr-13
Page 54
47
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1) Penelitian mengenai limbah B3 khususnya acid sludge dapat dilakukan menggunakan
data penginderaan jauh, terutama melalui analisis nilai spektral dan termal.
2) Analisis spektral menggunakan metode Spectral Angel Mapper (SAM) dengan spektral
referensi berdasarkan endmember citra menunjukkan tingkat akurasi yang lebih baik
dibandingkan dengan spektral referensi berdasarkan pengukuran spektrometer di
lapangan. Tingkat akurasi klasifikasi SAM dengan spekral referensi berdasarkan
endmember citra sebesar 66,7 %, sedangkan dengan menggunakan refernsi
spektrometer hanya mencapai 33,3 %. Faktor yang mempengaruhi rendahnya akurasi
tersebut diantaranya adalah masih adanya perbedaan kondisi data karena pengaruh
atmosfir dan tidak digunakannya panjang gelombang SWIR karena resolusi spektral dari
spektrometer yang digunakan terbatas pada panjang gelombang visible dan Near
Infrared (NIR).
3) Analisis spektral menggunakan metode Spectral Mixture Analysis (SMA) dengan
spektral referensi berdasarkan endmember citra memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan spektral referensi dari spektrometer, dimana pada daerah tercemar
memiliki fraksi dari unsur tercemar yang tinggi seperti pasir dan sludge serta memiliki
fraksi dari unsur tidak tercemar yang rendah seperti vegetasi. Kemudian dengan
klasifikasi indeks dari hasil SMA berdasarkan endmember citra memperlihatkan hasil
yang lebih sesuai dengan kondisi di lapangan dibandingkan menggunakan referensi
spektrometer. Berdasarkan perhitungan akurasi, diperoleh tingkat akurasi pengkelasan
berdasarkan indeks ini sebesar 62,5 %.
4) Pemantauan Limbah B3 (acid sludge) berdasarkan Land Surface Temperature (LST)
Landsat 8 secara umum menunjukkan suhu di daerah yang tercemar limbah B3 dalam
hal ini limbah acid sludge cenderung lebih tinggi dibandingkan suhu di daerah yang tidak
tercemar di lokasi kajian. Pemantauan LST secara temporal dari tahun 2001 hingga
2014 menggunakan data Landsat 7 dan Landsat 8 menunjukkan selisih rata-rata LST
antara daerah tercemar dan tidak tercemar semakin kecil.
Page 55
48
5.2. Saran
• Penelitian untuk deteksi limbah B3 (acid sludge) disarankan menggunakan data resolusi
tinggi sehingga dapat dilihat dengan jelas perbedaan nilai spektral daerah tercemar dan
tidak tercemar.
Page 56
49
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. B., Smith,M. O., & Gillespie, A. R. (1993). Imaging spectroscopy: Interpretation based
on spectral mixture analysis. In C. M. Pieters & P. Englert (Eds.), Remote
geochemical analysis: Elements and mineralogical composition. NY: Cambridge
Univ. Press 145–166 pp.
Bapedal. 1995. Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995 Tentang: Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Beracun dan
Berbahaya. Bapedal. Jakarta.
Bateson A., and Curtiss B., 1996. A Method for Manual Endmember Selection and Spectral
Unmixing. Remote Sensing and Environment. Elsevier Science Inc. New York. pp
229-243
Boardman, J. 1993. Automatic spectral unmixing of AVIRIS data using convex geometry
concepts, In Summaries of the Fourth Annual JPL Airborne Geoscience Workshop,
pp11-14.
Faisal, K., M. A. Ahmad, A. Shaker, 2012. Remote Sensing Techniques as a Tool for
Environmental Monitoring. International Archived of the Photogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Science, Vol. XXXIX-B8. XXII ISPRS Congress
Kruse, F.A. 1993. The effects of AVIRIS atmosfer calibration methodology on identification and
quantitative mapping of surface mineralogy, Drums Mountains, Utah, in Summaries
of the Fourth Airborne Geoscience Workshop, pp 101-104.
Luc, Bertels, et all, 2005, Optimized spectral angle mapper classification of spatially
heterogeneous dynamic dune vegetation, a case study along the Belgian coastline,
The 9th International Symposium on Physical Measurements and Signatures in
Remote Sensing (ISPMSRS), Beijing October 17-19.
Male, E.J., W.L. Pickles, E.A. Silver, G.D. Hoffmann, J. Lewicki, M. Aplle, K. Repasky, and E.A.
Burton, 2010. Using hyperspectral plant signatures for CO2 leak detection during the
2008 ZERT CO2 sequestration field experiment in Bozeman, Montana. Environment
Earth Science, 60:251-261. doi:10.1007/s12665-009-0372-2.
Mumby, P.J and Clark, C.D. (2000). Radiometric correction of satellite and airborne images. In:
Green, E.P., Mumby, P.J., Edwards, A.J. and Clark, C.D. Remote Sensing
Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebooks 3,
UNESCO, Paris, 109 –120.
Odden, B., Kneubuhler, M. and Itten, K.I. 2006. Comparison of a Hyperspectral Classification
Method Implemented in Two Remote Sensing Software Packages. Departement of
Geography, Remote Sensing Laboratories, University of Zurich. Switzerland.
Page 57
50
Parwati, Vetrita Y., Sulma S., Ernawati. 2012. Pengembangan Model untuk Pemantauan
Degradasi Hutan untuk Analisa Bencana Banjir. Spectral Mixture Analysis (SMA).
Laporan Akhir 2012. Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana (LMB), Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN. Jakarta.
PP No. 74. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang:
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Kementrian Lingkungan
Hidup. Jakarta.
PP No. 18. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Lingkungan Hidup. Jakarta.
Qin, Z., Dall’Olmo G., and Karnieli A. 2001. Derivation of Split Window Algorithm and its
Sensitivity Analysis for retrieving land Surface Temperature From NOAA-Advanced
Very High Resolution Radiometer Data. Journal of Geophysical Research, Vol. 106
No. D 19. Oktober 16, 2001.
Rajeshwari, A. and Mani, N.D. 2014. Estimation of Land Surface Temperature of Dindigul
District Using Landsat 8 Data. IJRET: International Journal of Research in
Engineering Technology. pISSN: 2321-7308. Volume: 03. May-2014. India.
Roberts, D. A., Smith, M. O., & Adams, J. B. (1993). Green vegetation, nonphotosynthetic
vegetation, and soils in AVIRIS data. Remote Sensing of Environment, 44, 255−269.
Rozenstein O., Qin Z., DerimianY., and Karnieli A. 2014. Derivation of Land Surface
Temperature for Landsat-8 TIRS Using a Split Window Algorithm. Jurnal
Sensorsl. Apr 2014, Vol. 14: 5768-5780. Basel.
Singhroy V., F. Kuhn, 1996. Remote Sensing for characterizing and Monitoring of Hazardous
Waste Sites – Case Studies in Canada and Germany. International Archives pf
Photogrammetry and Remote Sensing. Vol XXXI. Part B7. Vienna
Skokovic D, Sobrino J.A, Jimenez , Munoz J.C, Soria G., Julien Y., Mattar C., and Jordi
Cristobal, 2014. “Calibration and validation of land surface temperature for landsat 8
– tirs sensor”, land product validation and evolution, esa/esrin frascati (Italy), pp 6 - 9
, january 28 - 30, 2014
Slonecker T., G. B. Fisher, D. P. Aiello, and B. Haack, 2010. Visible and Infrared Remote
Imaging of Hazardous Waste : A Review. Remote Sensing. 2010, 2, 2474-2508; doi:
10.3390/rs2112474
Visa, Sofia; Ramsay, B.; Ralescu, A.; and VanDerKnaap, E. 2011. Confusion Matrix-Based
Feature Selection. Proceedings of The 22nd Midwest Artificial Intelligence and
Cognitive Science Conference 2011, , 120-127.
Page 58
51
Wijanarto A., and Amhar F. 2010. Tropical Biodiversity Mapping from Hyperion Image in Bogor
Indonesia. ISPRS TC VII Symposium – 100 Years ISPRS, Vienna, Austria, July 5–7,
2010, IAPRS, Vol. XXXVIII, Part 7B
http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/data_prod/prog_sect11_3.html
http://landsat.usgs.gov).
id.wikipedia.org/wiki/Limbah_beracun
Page 59
PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH - 2014