BAB I
PENDAHULUANA. Latar BelakangPada saat ini, konflik pertanahan
dirasa semakin meningkat seiring dengan kegunaan tanah yang
memiliki nilai ekonomis, memiliki nilai sosial politik dan
pertahanan keamanan yang tinggi. Menurut Farkhani dari perbagai
konflik pertanahan yang terjadi dapat disimpulkan bahwa konflik
pertanahan menurut bentuk atau sifatnya dapat diklasifikasikan
dalam dua hal. (Farkhani, 2012,
http://stainsalatiga.ac.id/mengenal-hak-atas-tanah-dan-konflik-pertanahan-di-indonesia/)
Pertama, konflik vertikal (struktural) yakni konflik pertanahan
yang melibatkan antara penguasa dan rakyat. Kedua, konflik
horizontal, yakni konflik pertanahan yang melibatkan antar anggota
masyarakat, baik antara satu orang dengan satu orang yang lain,
satu orang berhadapan dengan kelompok masyarakat atau kelompok
masyarakat atau kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat
lainnya.
Konflik vertikal dalam pertanahan salah satu penyebabnya adalah
munculnya hunian-hunian liar di tanah negara. hunian liar dalam
karateristik hukum digambarkan ketiadaan hak milik terhadap lahan
yang dipergunakan untuk membangun rumah. (Etty Sulistyowati, 2007:
109) Hal ini terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum,
di sebidang tanah seperti bantaran sungai, bantaran waduk, bantaran
rel kereta api, tanah rawa-rawa dan sebagainya. Kemudian ketika
lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil
oleh pemukim liar untuk membangun rumah.
Keberadaan adanya hunian-hunian liar di tanah negara dapat
memberi dampak negatif terhadap tata ruang kota yaitu mengurangi
ruang terbuka hijau, sistem drainase semakin buruk yang pada
akhirnya akan mengakibatkan banjir di daerah tersebut, dan
menyebabkan sirkulasi transportasi di suatu daerah akan terganggu
jika hunian liar berada pada jalur-jalur transportasi seperti jalur
kereta api dan pinggir jalan tol. (Etty Isworo, 2012: 96)
Salah satu daerah yang tersebar meningkatnya kawasan hunian liar
di tanah negara adalah kawasan bantaran sungai Bengawan Solo di
kota Surakarta. Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terbesar di
Pulau Jawa, terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan
luas wilayah sungai 12% dari seluruh wilayah Pulau Jawa pada posisi
11018 BT sampai 112045 BT dan 6049LS sampai 8008 LS. (Satuan Kerja
Bina Pengelolaan SDA Direktorat Bina Penatagunaan Sumber Daya Air,
Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2013,
http://sda.pu.go.id:8181/sda/?act=peraturan_ws_detail&wid=19&gid=6)
Sungai Bengawan Solo dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.100
mm merupakan sebuah sumber air yang potensial bagi usaha-usaha
pengelolaan dan pengembangan sumber daya air, untuk memenuhi
berbagai keperluan dan kebutuhan, antara lain untuk kebutuhan
domestik, air baku air minum dan industri, irigasi dan lain-lain.
Karena banyaknnya manfaat dari sungai Bengawan Solo tersebut, maka
dibutuhkan pelestarian dari sungai tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai,
memberikan definisi mengenai bantaran sungai yaitu ruang antara
tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di
kiri dan/atau kanan palung sungai. Jika menelaah definisi dari
tersebut, wilayah di sekitar ruang antara tepi palung sungai dan
kaki tanggul haruslah steril dari bangunan apapun terutama hunian
tempat tinggal. Hal tersebut karena jika bantaran sungai ditempati
oleh bangunan maka akan berpotensi mempersempit daerah aliran
sungai, dan akan berakibat merusak ekosistem sungai selain itu,
akibat yang sering ditimbulkan karena sempitnya Daerah Aliran
Sungai yaitu terjadi banjir di wilayah-wilayah yang dilewati aliran
sungai Bengawan Solo.
Ada enam kelurahan di Kota Surakarta yang merupakan kawasan
bantaran sungai Bengawan Solo antara lain Kelurahan Pucang Sawit
terdiri dari 300 Rumah, Kelurahan Sewu terdiri dari 363 Rumah,
Kelurahan Sangkrah terdiri dari 294 Rumah, Kelurahan Semanggi
terdiri dari 339 Rumah, Kelurahan Joyosuran terdiri dari 57 Rumah
dan Kelurahan Jebres terdiri dari 218 Rumah. Dampak yang terjadi
ketika berkembangnya kawasan bantaran sungai Bengawan Solo di kota
Surakarta adalah ketiadaannya lahan atas resapan air yang
menimbulkan banjir keenam kelurahan di sekitar hunian liar bantaran
sungai Bengawan Solo.
Fakta empiris telah menunjukan bahwa penduduk di DAS Bengawan
Solo terus bertambah dan tinggal di daerah rawan banjir. Tahun 1980
ada 13,5 juta jiwa, tahun 1990 menjadi 14,7 juta jiwa, dan tahun
2005 ada 17,5 juta jiwa. Tutupan hutan hanya 13,6% dari luas DAS.
Erosi tanah mencapai 3,14 mm/tahun yang melebihi erosi yang
ditoleransikan. Kondisi ini menyebabkan banjir setiap tahun di
Bengawan Solo. (BNPB, 2013,
http://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/cover/567.pdf)
Dalam rangka mengatasi banjir tahun 2007, pada masa pemerintahan
Joko Widodo telah menerapkan konsep relokasi. Pada saat itu,
relokasi dilakukan karena peristiwa bencana banjir yang menimpa
Kota Surakarta dan konsep tersebut terus dipertahankankan hingga
saat ini pada masa pemerintahan Walikota Surakarta FX. Rudyatmo.
Namun, konsep relokasi ini masih menimbulkan pertanyaan apakah
telah ada landasan yuridis yang memberikan legalitas atas konsep
relokasi tersebut atau tidak.
Dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (untuk selanjutnya disebut UU
No. 51/PRP/1960) menyatakan bahwa penguasa Daerah dapat mengambil
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan
perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya
yang sah, yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu.
Selanjutnya dalam Ayat (2) UU No. 51/PRP/1960) juga menyatakan
bahwa penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan
memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.
51/PRP/1960, seharusnya Pemerintah Kota Surakarta melakukan
tindakan-tindakan yang sewajarnya untuk menyelesaikan permasalahan
hunian liar di bantaran sungai dengan tujuan untuk merevitalisasi
sungai. Pada kenyataannya tindakan-tindakan yang dilakukan
Pemerintah Kota Surakarta adalah dengan melakukan penggusuran atas
hunian liar.
Penggusuran yang dilakukan sangatlah tidak memperhatikan Hak
Asasi Manusia mengenai hak atas tempat tinggal sebagaimana diatur
dalam Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Penggusuran dengan kata lain tidak memberikan
pilihan kepada korban penggusuran dan tidak memberikan alternatif
kehidupan yang lebih baik. Adalah sebuah pelanggaran HAM, apabila
membuat manusia menurun derajat hidupnya. Para korban penggusuran
tidak diberikan alternatif untuk menjalankan kehidupan yang lebih
layak, dalam hal ini mereka hanya diberikan sosialisasi mengenai
penggusuran yang akan dilakukan terhadap mereka, mengingat mereka
tidak memiliki izin untuk menempati tempat tersebut. Tetapi hak
asasi manusia, dalam hal ini, tidak menonjolkan kepemilikan tanah,
melainkan menonjolkan sisi kemanusiaan. (Siti Manggar, 2011:
218)
Rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota Surakarta dapat suatu model
pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak terhadap masyarakat
yang menempati hunian liar di kawasan bantaran sungai Bengawan Solo
yaitu relokasi. Relokasi adalah membangun kembali perumahan, harta
kekayaan, termasuk tanah produktif dan prasarana umum di lokasi
atau lahan lain. (Rina Kemala Sari, 2006: 2) Hal ini diperkuat oleh
Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara telah memberikan landasan yuridis dimana setiap
RAPBD harus menyediakan anggaran yang berkaitan dengan pemenuhan
hak atas tempat tinggal yang layak.
Berdasarkan uraian diatas, maka menjadi penting untuk dikaji
masalah hukum dengan judul RELOKASI SEBAGAI MODEL PENYELESAIAN
HUNIAN LIAR YANG HUMANIS DALAM PEMENUHAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL
WARGA NEGARA (STUDI PENYELESAIAN SENGKETA ATAS HUNIAN LIAR DI
BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka, tulisan ini
dimaksudkan untuk memberikan argumentasi cerdas mengenai
penyelesaian hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo yang
humanis. BAB II
TINJAUAN PUSTAKAA. Teori Penyelesaian Sengketa
Teori penyelesaian sengketa dikembangkan oleh Ralf Dahrendof
pada tahun 1958. Teori penyelesaian sengketa beroreintasi pada
struktur dan institusi sosial (George Ritzer dan Douglas J.
Goodman, 2007: 153-154). Ralf Dahrendof berpendapat bahwa
masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu:
1. Sengketa; dan
2. Konsesensus.
Selanjutnya Simon Fisher mengemukakan enam teori yang mengkaji
dan menganalisis penyebab terjadinya sengketa, antara lain: (Salim
HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013: 144-146)1. Teori hubungan
masyarakat
Teori hubungan masyarakat berpendapat bahwa penyebab terjadinya
sengketa adalah polarisasi (kelompok yang berlawanan) yang terus
terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di dalam kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat.
2. Teori negosiasi prinsipTeori ini menganggap bahwa penyebab
terjadinya sengketa adalah dikarenakan oleh posisi-posisi yang
tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang sengketa oleh
pihak-pihak yang mengalami sengketa. Sasaran yang ingin dicapai
teori ini adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk memisahkan
perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah
tetap; dan
b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak atau semua pihak.
3. Teori identitas
Teori ini berasumsi bahwa terjadinya sengketa disebabkan karena
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu
atau penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan
4. Teori kesalahpahaman
Teori kesalahpahaman antar budaya berasumsi bahwa sengketa
terjadi disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi
diantara berbagai budaya yang berbeda.
5. Teori transformasi sengketa
Teori ini berasumsi bahwa senketa terjadi disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul
sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
6. Teori kebutuhan manusia
Teori ini berasumsi bahwa terjadinya penyebab sengketa adalah
oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang
tidak terpenuhi atau dihalangi. Sasaran yang ingin dicapai teori
ini adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang
tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu; dan
b. Agar pihak-pihak yang mengalami sengketa mencapai kesepakatan
untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
Dean G, Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuah teori
tentang penyelesaian sengketa yang disebut dengan teori strategi
penyelesaian sengketa, yaittu: (Dean G, Pruitt dan Jeffrey Z.
Rubin, 2004: 9-10)1. Contending (bertanding), yaitu mencoba
menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak
atas pihak lainnya.2. Yielding (mengalah), yaitu menurunkan
aspirasi sendiri dan bersedia kurang dari yang sebetulnya
diinginkan.3. Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari
alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.4. With
drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi
sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.5. Inaction (diam),
yaitu tidak melakukan apa-apa.
B. Teori Utilitarianisme
Utilitarianisme dalam bentuknya yang matang dikembangkan oleh
filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832), sebagai sistem moral
bagi abad baru, melalui bukunya yang terkenal Introduction to the
Principles of Morals and Legislation. Menurut Bentham,
utilitarianisme dimaksudkan sebagai dasar etis-moral untuk
memperbaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Dengan
demikian, Bentham hendak mewujudkan suatu teori hukum yang
kongkret, bukan yang abstrak. Ia berpendapat bahwa tujuan utama
hukum adalah untuk memajukan kepentingan para warga Negara dan
bukan memaksakan perintah-perintah Tuhan atau melindungi apa yang
disebut hak-hak kodrati. Oleh karena itu, Bentham beranggapan bahwa
klasifikasi kejahatan dalam hukum Inggris sudah ketinggalan zaman
dan karenanya harus diganti dengan yang lebih up to date. Melalui
buku tersebut, Bentham menawarkan suatu klasifikasi kejahatan yang
didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini
diukur berdasarkan kesusahan dan penderitaan yang diakibatkannya
terhadap para korban dan masyarakat (K. Bertens, 1997: 247).
Menurut Bentham, pada dasarnya setiap manusia berada di bawah
pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan (pain) dan
kesenangan (pleasure).
Menurut kodratnya, manusia menghindari ketidaksenangan dan
mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki
kesenangan dan bebas dari kesusahan. Oleh karena kebahagiaan
merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan
dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu
perbuatan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk
mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang
egois sebagaimana dikemukakan Hedonisme Klasik. Dengan demikian,
Bentham sampai pada prinsip utama utilitarianisme yang berbunyi:
the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar
dari jumlah orang terbesar). Prinsip ini menjadi norma untuk
tindakan-tindakan pribadi maupun untuk kebijakan pemerintah untuk
rakyat (Jeremy Bentham, 2000: 14).
Menurut Bentham, prinsip utilitarianisme ini harus diterapkan
secara kuantitatif. Karena kualitas kesenangan selalu sama, maka
satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya. Dengan
demikian, bukan hanya the greatest number yang dapat
diperhitungkan, akan tetapi the greatest happiness juga dapat
diperhitungkan. Untuk itu, Bentham mengembangkan Kalkulus Kepuasan
(the hedonic calculus). C. Konsep Relokasi
Dalam buku yang berjudul Analisis dan Evaluasi Hukum Tertulis
Tentang Cara Kegiatan Perombakan Rumah Pemukiman Kumuh Didalam
Perkotaan (Paulus Wirotomo, 1996: 11), menjelaskan bahwa pengertian
relokasi adalah perumahan dan pemukiman kumuh yang lokasinya tidak
sesuai dengan tata ruang wilayah yang telah ditentukan,
penanganannya dilakukan dengan relokasi ke lokasi perumahan dan
pemukiman lain yang telah ditentukan dan dipersiapkan sesuai dengan
peruntukkannya.
Untuk melakukan analisis terhadap pelaksanaan relokasi, maka
prosedur yang dapat ditempuh yaitu: (Mustianto Sepriyansyah, 2014:
2101)1. Pendekatan yang interaktif kepada masyarakat yang terkena
relokasi dalam rangka menginformasikan rencana proyek relokasi
tersebut.
2. Pembentukan forum diskusi warga sebagai wadah untuk menggali
respon, aspirasi warga dan peran serta warga dalam proyek relokasi.
Kegiatan forum diskusi ini dilaksanakan mulai dari perencanaan
hingga terlaksananya proyek.
3. Pekerjaan fisik berupa pengukuran yang bermanfaat bagi
penentuan besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, penyiapan
prasarana dan sarana lingkungan dilokasi yang baru.
4. Penyusunan rencana penempatan lokasi rumah tempat tinggal
baru dengan memperhatikan aspirasi warga.D. Kajian Mengenai Hak
Asasi ManusiaSejarah mengenai perkembangan pemikiran hak asasi
manusia telah berlangsung lama dari yang sangat sederhanya yang
mewakili zaman awal dan yang sangat kompleks yang mewakili zaman
modern. Karel Vasak seorang sarjana berkebangsaan Perancis
mengemukakan suatu model perkembangan hak asasi manusia dikutip
oleh Jimly Asshidiqie yaitu: (Jimly Asshidiqie, 2005: 211) Generasi
Pertama, mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi manusia
yang klasik. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia
ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal
Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1948. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak
asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia,
kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan
politik.Generasi Kedua, hak-hak generasi kedua pada dasarnya
tuntutan akan persamaan sosial yang sering dikatakan sebagai
hak-hak positif karena pemenuhan hak-hak tersebut sangat
membutuhkan peran aktif negara. Puncak perkembangan kedua ini
tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant on
Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. Kemudian pada
tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu
mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to
development. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut
sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga. Hak-hak dalam
bidang pembangunan ini antara lain: (Jimly Ashidiqqie, 2008: 625)
(1) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat; (2) Hak untuk
memperoleh perumahan yang layak; (3) Hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai.E. Hak Dasar Perumahan yang LayakHak
perumahan adalah HAM. Secara normatif, instrumen internasional
memberikan pengakuan yang kuat terhadap eksistensi hak perumahan.
Hak perumahan merupakan konstruksi terpenting dalam mengokohkan
terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak atas perumahan
menandakan upaya nyata bagi terjamin dan terpenuhinya hak hidup
yang layak. Dengan kata lain, hak perumahan merupakan unsur
esensial yang dapat memperkuat terpenuhinya hak-hak fundamental
lainnya, seperti hak pangan, kesehatan dan sebagainya. (Majda El
Muhtaj, 2008: 141-142)Dalam kajian hukum HAM, istilah hak perumahan
dikenal dengan beberapa istilah seperti the human right to an
adequate housing; the right to housing dan lain sebagainya. Dalam
pasal 25 ayat 1 UDHR tahun 1948 memberikan sandaran hukum
internasional bahwa hak atas perumahan berkaitan erat dengan
pemenuhan standar kehidupan yang layak (as part of the right to an
adequate standart of living). (Majda El Muhtaj, 2008: 145)Pasal 19
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman menegaskan bahwa penyelenggaraan rumah dan
perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah
satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Selanjutnya dalam Ayat (2) penyelenggaraan
rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk
menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati,
dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat,
aman, serasi, dan teratur. Selain itu Pasal 50 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk
bertempat tinggal atau menghuni rumah. Hal tersebut juga diatur
tegas dalam Pasal 129 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pemenuhan hak atas perumahan dijelaskan lebih lanjut dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H Ayat (1) menyebutkan,
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain itu sebagai tujuan Negara Republik Indonesia Negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat
mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan
terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan
berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan
kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat.
Ketentuan tersebut memberikan penegasan penting bahwa hak atas
perumahan merupakan HAM yang tidak saja memenuhi unsur kepastian
hukum dan aksesibilitas, tetapi juga aspek budaya yang memastikan
taraf keselarasannya dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup
yang sehat dan aman.
F. Tinjauan Pemenuhan Hak atas Lingkungan Hidup dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Penegasan hak atas lingkungan hidup berawal ketika lahirnya
Deklarasi Stockholm pada 5 Juni 1972. Prinsip pertama deklarasi itu
menyatakan, man has the fundamental right to freedom, equality and
adequate conditions of life, in an environment of a quality that
permits a life of dignity and well-being. Deklarasi ini memantapkan
langkah penghormatan dan perlindungan integritas dari lingkungan
global dan sistem pembangunan. Hal itu menegaskan bahwa pemerintah
berkewajiban untuk menjamin pemenuhan lingkungan hidup yang sehat
dan bersih. (Majda El Muhtaj, 2008: 205).Di Indonesia pemenuhan
atas hak atas lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam pasal 9 ayat (3)
menegaskan: setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Hal tersebut dipertegas dan dikuatkan, dalam Pasal 28 H Ayat
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Konstitusionalitas HAM atas lingkungan hidup semakin dipertegas
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menghadirkan
pengakuan dan jaminan perlindungan HAM atas lingkungan hidup. Pasal
1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Lidup menyatakan, lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Adapun yang dimaksud dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan dan penegakan hukum. Penegasan penting lainnya,
sebagaimana tercantum pada Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup.
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untu
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. (Majda El Muhtaj, 2008:
199
Daerah aliran sungai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
2012 adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.Kartodihardjo menjelaskan
bahwa tujuan dari pengelolaan daerah aliran sungai secara biofisik
antara lain: Pertama, terjaminnya penggunaan sumber daya alam yang
lestari, Kedua, Tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan
sebagai sistem penyangga kehidupan, Ketiga, terjaminnya jumlah dan
kualitas air yang baik sepanjang tahun, Keempat, terkendalinya
aliran permukaan dan banjir, Kelima, terkendalinya erosi tanah dan
proses degradasi lahan lainnya. Sedangkan kriteria umum yang
digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pengelolaan daerah aliran
sungai yaitu dengan tercapainya pembangunan ekonomi dengan
mempertahankan kepentingan sosial kemasyarakatan dengan tetap
mempertahankan fungsi lingkungan hidup (Astrid damayanti, 2010:
24).Dengan adanya tujuan dan kriteria tersebut maka penghormatan
atas hak asasi lingkungan hidup pada daerah aliran sungai menjadi
aspek yang sangat penting dan mendasar bahwa lingkungan pun
mempunyai keterbatasan, sehingga kontrol atas perilaku manusia dan
peranan pemerintah menjadi mutlak adanya.BAB IIIPEMBAHASANA.
Relokasi sebagai Model Penyelesaian Hunian Liar yang Humanis dalam
Pemenuhan Hak atas Tempat Tinggal yang Layak Bagi Warga Negara
Banjir besar pernah terjadi pada tahun 2007 yang berimbas
terendamnya enam kelurahan di Kota Surakarta yang merupakan kawasan
bantaran sungai Bengawan Solo antara lain Pucang Sawit terdiri dari
300 Rumah, Kelurahan Sewu terdiri dari 363 Rumah, Kelurahan
Sangkrah terdiri dari 294 Rumah, Kelurahan Semanggi terdiri dari
339 Rumah, Kelurahan Joyosuran terdiri dari 57 Rumah dan Kelurahan
Jebres terdiri dari 218 Rumah. (Data BAPERMAS) Meskipun tidak
menyebabkan korban jiwa, namun ratusan rumah rusak akibat bencana
banjir yang melanda tersebut. Melihat tatanan empiris bantaran
sungai Bengawan Solo, aliran air yang dihasilkan dari sungai
Bengawan Solo sangatlah besar. Namun karena kurangnya pengelolaan
sungai yang baik, maka berakibat banjir khususnya di daerah
bantaran sungai Bengawan Solo. Kondisi ini membuat Pemerintah Kota
Surakarta membuat suatu rencana untuk merelokasi rumah-rumah yang
berada di bantaran Sungai Bengawan Solo ke daerah yang lebih
aman.
Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin
yang Berhak atau Kuasanya (untuk selanjutnya disebut UU No.
51/PRP/1960) menyatakan bahwa penguasa Daerah dapat mengambil
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan
perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya
yang sah, yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu.
Selanjutnya dalam Ayat (2) UU No. 51/PRP/1960) juga menyatakan
bahwa penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan
memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.
51/PRP/1960. Fakta menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan
pemerintah selama ini adalah dengan melakukan penggusuran yang
tidak memperhatikan hak asasi masyarakat. Hal tersebut berakibat
terjadinya konflik atau sengketa antara pemerintah dan masyarakat.
Menurut Simon Fisher mengenai enam teori penyebab terjadinya
sengketa, salah satu teori yang sesuai diantara keenam teori
tersebut adalah teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa
terjadinya penyebab sengketa adalah oleh kebutuhan dasar manusia,
baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan bahwa penyelenggaraan
rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan
pemerataan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya dalam Ayat (2)
penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap
orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati,
menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi, dan teratur. Selain itu Pasal 50 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk
bertempat tinggal atau menghuni rumah. Hal tersebut juga diatur
tegas dalam Pasal 129 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.Tejadinya sengketa antara
masyarakat yang tinggal di hunian liar bantaran sungai Bengawan
Solo dikarenakan mereka yang berasal dari golongan ekonomi kecil
harus memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu memiliki rumah sehingga
mereka memanfaatkan lahan kosong milik pemerintah yang sesungguhnya
diperuntukkan untuk Daerah Aliran Sungai. Selama ini jika mengacu
pada Pasal 3 UU No. 51/PRP/1960, maka jelas akan menimbulkan
sengketa atau konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Oleh
sebab itu, diperlukan alternatif penyelesaian sengketa sebagai
solusi selain tindakan yang telah diatur oleh UU No.
51/PRP/1960.
Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh
menurut Dean G, Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin dalam teori strategi
penyelesaian sengketa, salah satunya adalah dengan Problem solving
(pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan
aspirasi kedua belah pihak.dalam pemecahan masalah kaitannya dengan
kebutuhan manusia tersebut, sasaran yang ingin dicapai adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang
tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu; dan
b. Agar pihak-pihak yang mengalami sengketa mencapai kesepakatan
untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
Salah satu problem solving yang menarik dan dilakukan oleh
Pemerintah Kota Surakarta adalah dengan melakukan relokasi hunian
liar di bantaran sungai Bengawan Solo. Untuk melakukan analisis
terhadap pelaksanaan relokasi, maka prosedur yang dapat ditempuh
yaitu: 1. Pendekatan yang interaktif kepada masyarakat yang terkena
relokasi dalam rangka menginformasikan rencana proyek relokasi
tersebut.
Awal ketika Pemerintah Kota Surakarta memberitahukan kepada
warga bahwa akan diadakan relokasi, sempat terjadi penolakan oleh
warga karena warga trauma, sebelumnya pernah terjadi penggusuran
untuk membuatan tanggul. Penolakan itu berhenti setelah warga
dikumpulkan di kantor kelurahan kemudian Walikota Surakarta yaitu
Joko Widodo dan Wakil Walikota Surakarta yaitu FX. Rudyatmo datang
untuk berdialog memberi penjelasan kepada warga dan memberikan
solusi untuk merelokasi warga bantaran sungai Bengawan Solo. Selain
itu warga dibebaskan untuk memilih lokasi yang diinginkan. (Majalah
Novum, 2010: 12)2. Pembentukan forum diskusi warga sebagai wadah
untuk menggali respon, aspirasi warga dan peran serta warga dalam
proyek relokasi. Kegiatan forum diskusi ini dilaksanakan mulai dari
perencanaan hingga terlaksananya proyek. Proses relokasi dimulai
tahun 2007. Konsep relokasi dalam Surat Keputusan Walikota
Surakarta Nomor 362.05/15/1/2009 yang diterapkan pada waktu itu
adalah dengan membentuk kepanitiaan pelaksanaan program relokasi
yang terdiri atas:
a. Tim Tingkat Kota
Kelompok Kerja (untuk selanjutnya disebut Pokja) program
relokasi pada tingkat kota memiliki tugas dan fungsi: (1)
mengkoordinir pelaksanaan pemberian bantuan program relokasi kepada
warga penerima; (2) melakukan verifikasi pengajuan permohonan
bantuan program relokasi; (3) menetapkan warga penerima program
relokasi; (4) melaksanakan sosialisasi, monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program relokasi; (5) melaksanakan pengadaan tanah
dalam rangka untuk merelokasi pemukiman; (6) menyusun guidance dan
site plan bangunan relokasi; (7) menetapkan dan menyerahkan ganti
rugi atas tanah yang haknya akan dilepas atau diserahkan termasuk
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berada diatas
tanah.
b. Kelompok Kerja Tingkat Kelurahan
Kelompok kerja ini dilegitimasi berdasarkan musyawarah bersama
warga dengan kelurahan dan LPMK. Kelompok kerja ini memiliki tugas
dan fungsi: (1) menginvetarisasi atau mendata warga yang berhak
mendapatkan bantuan program relokasi; (2) mengiringi proses
relokasi; (3) membuat laporan pertanggungjawaban penyerahan bantuan
(SPJ) serta mendokumentasikan semua kegiatan yang telah
dilaksanakan.c. Kelompok Kerja Tingkat Kelompok
Pada tingkat kelompok, dibentuk sub Pokja untuk mewakili
masyarakat yang menerima program. Dalam menindaklanjuti program
relokasi yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surakarta pada tahun
2007, selanjutnya Pemerintah Kota Surakarta menetapkan prosedur
pelaksanaan lanjutan yang ditetapkan dalam Keputusan Asisten
Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat SEKDA Kota Surakarta
Nomor 362/16/1/2009 yaitu sebagai berikut:
1) Rembug warga
Dalam hal ini, lurah memfasilitasi calon warga penerima bantuan
relokasi dengan cara menyepakati susunan Pokja Kelurahan tahun
2009. Kemudian dengan adanya petimbangan banyaknya jumlah calon
penerima program relokasi dan luasnya wilayah. Selain itu juga
melakukan identifikasi data lengkap calon penerima bantuan relokasi
yang merujuk pada data korban banjir tahun 2007.
2) Pengajuan proposal
Pengajuan proposal permohonan bantuan kepada Walikota Surakarta
dilakukan secara kolektif oleh Pokja dalam berkas
pengusulan/proposal yang terdiri atas: (1) daftar calon penerima
program relokasi sesuai formulir yang ditentukan disertai dengan
foto diri dan foto kondisi rumah; (2) menyerahkan fotocopy KTP dan
KK penduduk setempat, disertai dengan surat keterangan dari kepala
kelurahan bahwa yang bersangkutan tinggal ditempat; (3) menyerahkan
foto rumah kondisi awal serta rencana penggunaan bantuan sesuai
dengan formulir yang ada; (4) daftar susunan Pokja kelurahan.
Selanjutnya berkas proposal yang diketahui oleh Lurah dan Camat
dikirmkan ke BAPERMAS, PP, PA, dan KB untuk diverifikasi oleh Tim
Verifikasi.3) Penerimaan berkas pengusulan/proposal
BAPERMAS, PP, PA dan KB menghimpun berkas proposal permohonan
dan selanjutnya menyerhakan kepada Tim Verifikasi untuk pengecekan
kesesuaian dengan persyaratan yang ada.
4) Verifikasi berkas pengusulan/proposal
Ketua Tim Verifikasi data, dengan anggota tim melakukan
verifikasi kepada Ketua Tim Pasca Banjir guna bahan pertimbangan
untuk ditetapkan sebagai warga penerima bantuan program relokasi
dengan Surat Keterangan Walikota.
5) Pengajuan bantuan hibah
Setelah terbit Keputusan Walikota Surakarta tentang daftar warga
yang menerima bantuan pasca banjir 2007 Tahap II tahin 2009,
BAPERMAS, PP, PA, dan KB akan mengajukan permohonan pencairan hibah
kepada Walikota Surakarta melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah Kota Surakarta. Dalam hal ini untuk
pembelian tanah dalam program relokasi, warga yang menerima bantuan
melalui Pokja masing-masing melengkapi berkas berupa fotocopy
Sertifikat tanah yang akan dibeli, site plan tanah pembagian
kapling, peryataan siap jual beli Notaris.3. Pekerjaan fisik berupa
pengukuran yang bermanfaat bagi penentuan besarnya kompensasi bagi
masing-masing warga, penyiapan prasarana dan sarana lingkungan
dilokasi yang baru.
Untuk mensukseskan program relokasi tersebut dalam Keputusan
Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat SEKDA Kota
Surakarta Nomor 362/16/1/2009, Pemerintah Kota Surakarta
menggelontorkan dana sebesar Rp. 12.000.000,- untuk pembelian tanah
seluas 50-60 m2, Rp. 8.500.000,- untuk pembangunan rumah dan Rp.
1.800.000,- untuk fasilitas umum. Jadi setiap rumah mendapatkan
dana sebesar Rp. 20.500.000,-. Berdasarkan Keputusan Walikota
Surakarta Nomor 466.1/96/1/2012 dana tersebut diambil dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Kota Surakarta (APBD) tahun 2012. Program
relokasi di Kota Surakarta dikelompokkan menjadi dua, yaitu
bangunan yang berada di atas tanah milik Negara yang digolongkan
sebagai hunian liar dan bangunan yang berada di tanah bersertifikat
Hak Milik. Proses relokasi yang dilakukan berjalan sukses terbukti
dengan telah direlokasinya rumah-rumah di bantaran sungai Bengawan
Solo antara lain di kelurahan Jebres sebanyak 172 rumah di tanah
Negara, kelurahan Pucang Sawit sebanyak 274 rumah di tanah Negara
dan 10 rumah yang bersertifikat Hak Milik, kelurahan Sewu sebanyak
249 rumah di tanah negara dan 33 rumah yang bersertifikt Hak Milik,
kelurahan Sangkrah sebanyak 111 rumah di tanah Negara dan 28 rumah
yang bersertifikt Hak Milik, kelurahan Semanggi sebanyak 170 rumah
di tanah Negara dan 84 rumah yang bersertifikt Hak Milik
selanjutnya kelurahan Joyosuran sebanyak 48 rumah di tanah
negara.
Namun tidak semua rumah di bantaran sungai Bengawan Solo
direlokasi pada saat itu. Ada beberapa kelurahan yang belum
direlokasi baik rumah yang telah mempunyai sertifikat Hak Milik
ataupun hunian liar di tanah Negara. Hunian liar di tanah Negara
yang belum direlokasi di kelurahan Pucang Sawit sebanyak 55 rumah,
kelurahan Sewu sebanyak 18 rumah, dan kelurahan Semanggi sebanyak
21 rumah. Selain itu, rumah yang telah bersertifikat Hak Milik yang
belum direlokasi antara lai di kelurahan Jebres sebanyak 3 rumah,
kelurahan Pucang Sawit sebanyak 4 rumah, kelurahan Sewu sebanyak
106 rumah, kelurahan Sangkrah sebanyak 145 rumah, kelurahan
Semanggi sebanyak 78 rumah dan kelurahan Joyosuran sebanyak 11
rumah.4. Penyusunan rencana penempatan lokasi rumah tempat tinggal
baru dengan memperhatikan aspirasi warga.
Pelaksanaan kegiatan relokasi dilakukan sesuai hasil kesepakatan
rembug warga dan mengacu pada rencana penggunaan bantuan yang telah
dibuat sebelumnya serta berdasarkan ketentuan dalam perjanjian.
Setelah program relokasi rumah pasca banjir selesai, maka warga
yang menerima bantuan melalui Pokja membuat Surat Pertanggung
Jawaban (SPJ) atas penerimaan bantuan oleh masing-masing warga yang
dikumpulkan secara kolektif oleh Pokja yang terdiri dari : (1)
rincian penggunaan bantuan dengan format terlampir; (2) foto rumah
setelah relokasi; (3) menyertakan fotocopy sertifikat tanah atas
nama pemilik (warga penerima bantuan) atau surat keterangan
sertifikat masih dalam proses dari Badan Pertanahan Nasional
setempat.Dengan adanya program relokasi yang dilakukan Pemerintah
Kota Surakarta, masyarakat bantaran sungai Bengawan Solo tersebut
kemudiann dipindahkan ke lokasi pemukiman yang baru yaitu Kelurahan
Mojosongo yang merupakan kawasan yang diperuntukan untuk
pengembangan pemukiman dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)
Kota Surakarta dan pada saat pemindahan tersebut, masyarakat juga
memiliki status lahan dan rumah berupa Sertifikat Hak Milik. (Zaini
Musthofa, 2011: 96-97) Dengan adanya perubahan status yang awalnya
illegal menjadi legal, maka masyarakat mendapatkan kepastian hukum
dan masyarakat merasa lebih aman dari ancaman permasalahan di
kemudian hari. Selain itu, Pemerintah Kota Surakarta telah
menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan hak atas tempat tinggal
yang layak yang merupakan hak fundamental setiap warga Negara
seperti yang tertuang dalam Pasal 28H Ayat (3) UUD 1945. Dalam
kaitannya dengan penangan permasalahan perumahan dan pemukiman
khususnya hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo, Pemerintah
Kota Surakarta mempunyai visi Semua Orang Menghuni Rumah yang Layak
dalam Pemukiman yang Sehat. Dari visi tersebut, misi yang ingin
dicapai adalah: (1) Mewujudkan masyarakat yang mandiri melalui
pembangunan perumahan dan pemukiman; (2) Mendorong pertumbuhan
wilayah dan keserasian antar wilayah; (3) Mewujudkan lingkungan
pemukiman perumahan yang sehat, aman, teratur, rukun, produktif dan
berkelanjutan. (Zaini Musthofa, 2011: 52)Dalam memenuhi hak
masyarat atas perumahan yang layak dan sehat maka arah kebijakan
yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta yaitu: (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kota Surakarta, 2010) (1) Mengembangkan
partisipasi masyarakat dalam penyediaan perumahan; (2)
Menyempurnakan berbagai peraturan perudang-undangan yang dapat
menjamin perlindungan hak masyarakat miskin atas perumahan; (3)
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan
rumah yang layak dan sehat; (4) Meningkatkan keterjangkauan dan
kemampuan masyarakat dalam pembangunan rumah yang layak dan sehat;
(5) Meningkatkan ketersediaan rumah yang layak dan sehat bagi
masyarakat miskin dan golongan rentan.Asumsi mengenai kata humanis
erat kaitannya dengan memberikan kebahagiaan untuk masyarakat.
Seperti pada prinsip utama utilitarianisme klasik yang dicetuskan
oleh Jeremy Bentham berbunyi: the greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar).
Model relokasi mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara yang menegaskan bahwa RAPBD harus
menyediakan anggaran yang berkaitan dengan pemenuhan hak atas
tempat tinggal yang layak karena adanya kebijakan Pemerintah Kota
Surakarta mengenai ini telah menimbulkan kebahagiaan bagi
masyarakat dalam pemenuhan hak konstitusional mengenai tempat
tinggal yang layak.Munculnya solusi humanis ini telah mampu
mengurangi konflik yang sering muncul berkaitan dengan penyelesaian
hunian liar dengan menerapkan UU No. 51/PRP/1960. Penggusuran
dirasa telah memberikan ketidak bahagiaan bagi masyarakat. Konsep
relokasi ini tidak hanya memberikan kebahagiaan (kemanfaatan) dalam
jumlah terbesar, tetapi juga memberikan kebahagiaan (kemanfaatan)
besar bagi masyarakat seluruhnya.Oleh sebab itu, program relokasi
yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surakarta sejak tahun 2007
hingga saat ini dirasa telah memenuhi hak masyarakat akan tempat
tinggal yang layak. Pemenuhan hak tersebut dilakukan dengan cara
memberikan program relokasi yang berbasis humanis dan berlandaskan
musyawarah yang mufakat sehingga peran Pemerintah Kota Surakarta
sebagai fasilitator penyedia hunian bagi masyarakat Kota Surakarta
terpenuhi. Dapat dikatakan berbasis humanis karena masyarakat Kota
Surakarta juga turut berpartisipasi dalam pemenuhan hak atas hunian
yang layak dalam program relokasi tersebut dengan cara membentuk
Pokja sebagai perwakilan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi
atas relokasi yang diharapkan oleh masyarakat bantaran sungai
Bengawan Solo. Sehingga relokasi yang dilakukan tidak menimbulkan
konflik sosial.B. Rasionalitas Tindakan Relokasi sebagai Upaya
Pemenuhan Konstitusional Warga Negara dalam Hunian Liar
Relokasi sebagai tindakan hukum pemerintah dalam pemenuhan
konstitusional warga negara yang bertempat tinggal dalam hunian
liar maka perlu dikaji lebih lanjut apakah mempunyai dasar
legalitas pelaksanaan tindakan relokasi tersebut. Jimly Asshidiqie
menyatakan bahwa prinsip pokok negara hukum merupakan pilar utama
yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut
negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Ada dua belas prinsip
pokok negara hukum yang dikemukakan yang beberapa diantaranya yaitu
asas legalitas, dimana dalam setiap negara segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan, Peraturan
perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau
mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus
didasarkan atas aturan atau rules and procedures (regels), serta
perlindungan hak asasi manusia, dimana adanya jaminan hukum untuk
memperoleh penghormatan dan perlindungan yang adil. Jika dalam
suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan
sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi
secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut
sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya. (Jimly
Asshidiqie, 2008, http://www.jimly.com/pemikiran/view/11)Dalam
perkembangannya, penerapan model relokasi masih menimbulkan
pertentangan dengan asas legalitas sebagai tindakan hukum
pemerintah. Pertentangan tersebut dikarenakan dalam UU No.
51/PRP/1960 ditegaskan pemerintah daerah dapat melakukan
tindakan-tindakan untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan.
Tindakan-tindakan tersebut seringkali hanya menguntungkan bagi
pemerintah daerah namun bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
sepeti melakukan penggusuran, sehingga model relokasi tidak
mempunyai perlindungan hukum yang kuat untuk terjaminnya suatu
kepastian hukum di dalamnya.
Namun menurut Philipus M. Hadjon dalam hukum administrasi asas
legalitas dalam wujud wetmatigheid van bestuur (undang-undang)
sudah lama dirasakan tidak memadai, meskipun disadari bahwa asas
wetmatigheid menjamin pelaksanaan asas persamaan di hadapan hukum
dan asas kepastian hukum (Edi Asadi, 2011:42). Sebaliknya pemikiran
negara hukum abad XX lebih mengedepankan doelstelling (penerapan
tujuan), normstelling (penerapan norma), plan (rencana), dan beleid
(kebijakan) (Edi Asadi, 2011: 42). Landasan yuridis Pemerintah Kota
Surakarta menggunakan solusi relokasi adalah pada Pasal 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
memungkinkan Pemerintah Kota Surakarta menciptakan model pemenuhan
hak atas tempat tinggal yang layak terhadap masyarakat yang
menempati hunian liar di kawasan bantaran sungai Bengawan Solo
yaitu relokasi. Relokasi adalah membangun kembali perumahan, harta
kekayaan, termasuk tanah produktif dan prasarana umum di lokasi
atau lahan lain. (Rina Kemala Sari, 2006: 2) Hal ini diperkuat oleh
Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara telah memberikan landasan yuridis dimana setiap
RAPBD harus menyediakan anggaran yang berkaitan dengan pemenuhan
hak atas tempat tinggal yang layak. Meskipun tidak di atur secara
limitatif, namun dengan dianggarkannya RAPBD untuk pemenuhan hak
atas tempat tinggal yang layak, maka tidak ada alasan bagi
pemerintah untuk melakukan tindakan penggusuran sesuai dengan UU
No. 51/PRP/1960 yang tidak mencerminkan sikap humanis.
Alasan rasional mengapa tidak digunakan UU No. 51/PRP/1960
sebagai tindakah hukum pemerintah daerah antara lain :
1. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar
Alasan pertama adalah masyarakat yang tinggal di bantaran sungai
Bengawan Solo tidak memiliki sertifikat atau illegal. Lahan yang
mereka tempati adalah lahan milik Pemerintah Kota Surakarta. Mereka
juga telah lama menempati lahan di bantaran sungai Bengawan Solo,
meski mereka sadar bahwa lahan tersebut bukan miliknya, namun
karena keterbatasan ekonomi dan melihat adanya lahan kosong, mereka
memanfaatkan sebagai tempat tinggal. (Zaini Musthofa, 2011:
95)Fakta empiris tersebut ternyata tidak langsung ditanggapi
Pemerintah Kota Surakarta dengan mengimplementasikan UU No.
51/PRP/1960 sebagai solusi yang telah diatur oleh undang-undang.
Atas sikap diam yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta
hingga tahun 2007 tersebut, maka menimbulkan kepercayaan dan
pengharapan yang wajar dengan membiarkan dan memperbolehkan
pendirian hunian liar di tanah negara sekalipun hal tersebut tidak
memberi keuntungan bagi pemerintah daerah bagi masyarakat untuk
mendapatkan tempat tinggal khususnya warga Bantaran Sungai Bengawan
Solo.2. Hak Dasar atas Perumahan yang Layak
Alasan kedua Pemerintah daerah tidak melakukan tindakan hukum
sesuai UU No. 51/PRP/1960 adalah untuk memberi jaminan hak atas
perumahan yang layak bagi masyarakat yang bertempat tinggal di
hunian liar. Tindakan hukum yang dapat digunakan adalah tindakan
yang bersifat humanis seperti model relokasi. melalui model
relokasi yang dilakukan terhadap masyarakat yang bertempat tinggal
di hunian liar dapat memberikan pemenuhan hak dasar atas perumahan
yang layak dimana sesuai dengan amanat Pasal 25 ayat (1) Universal
Declaration of Human Rights, Pasal 11 ayat (1) International
Covenant on Economic, Social, And Cultural Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) Pasal 28
H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan Pasal 19 ayat (1), Pasal 50 ayat (1) dan pasal 129
huruf a Undang-Undang nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban
menghormati (duty to respect), kewajiban melindungi (duty to
protect) dan kewajiban memenuhi (duty to fulfill) berdasarkan
kesepakatan sukarela untuk memberikan penghormatan kepada
masyarakat yang bertempat tinggal di hunian liar untuk dipindah ke
pemukiman yang baru dengan status permanen dan mendapatkan kualitas
yang lebih baik daripada rumah di hunian liar.
Penyelesaian hunian liar di Bantaran Sungan Bengawan Solo dengan
mengimplementasikan UU No. 51/PRP/1960 bukan merupakan solusi
efektif dan tidak menunjukan sikap pemerintah yang menjunjung
tinggi hak asasi manusi. Memiliki tempat tinggal yang layak adalah
kebutuhan pokok manusia yang telah dijamin pemenuhan hak nya oleh
UUD 1945. Pelanggaran terhadap hunian liar di Bantaran Sungai
Bengawan Solo perlu diatasi dengan cara-cara yang humanis agar
tidak terjadi pertentangan hak dan kemanusiaan. Konsep relokasi
atas hunian liat ini dirasa menjadi sebuah solusi efektif untuk
menghindari konflik sekaligus menjalankan kewajiban pemerintah
dalam pemenuhan hak asasi warga Negara khususnya dalam pemenuhan
atas tempat tinggal yang layak.3. Hak Dasar atas Lingkungan Hidup
yang Baik
Alasan ketiga Pemerintah daerah tidak melakukan tindakan hukum
sesuai UU No. 51/PRP/1960 namun melakukan tindakan yang bersifat
humanis seperti model relokasi secara langsung dapat menciptakan
lingkungan hidup yang baik atas lahan yang dihuni sebelumnya oleh
masyarakat yang menempati hunian liar. Hal ini telah sesuai dalam
pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dimana tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan pemerintah daerah
adalah membuat dan mengelola perencanaan proyek pembangunan untuk
menghindari potensi adanya banjir dengan mengembalikan fungsi
daerah aliran sungai terhadap pemenuhan daerah resapan air
didalamnya.Pemenuhan hak atas lingkungan hidup tersebut diwujudkan
dengan mengembalikan fungsi sungai. Dalam Pola Pengelolaan Sumber
Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo dijelaskan bahwa tujuan
disusunnya Pola Pengelolaan sumber daya air wilayah sungai Bengawan
Solo secara umum adalah untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan
sumber daya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan. (Pola
Pengelolaan sumber daya air wilayah sungai Bengawan Solo, 2010:
5)Untuk mewujudkan tujuan dari revitalisasi sungai Bengawan Solo,
maka Pemerintah Kota Surakarta harus menyelesaikan isu-isu yang
dihadapi dalam melakukan pengelolaan sungai Bengawan Solo. Salah
satu isu yang harus diselesaikan adalah mengenai hunian liar di
bantaran sungai Bengawan Solo. Penyelesaian atas hunian liar di
bantaran sungai Bengawan Solo dapat menggunakan konsep relokasi
yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kota Surakarta pada tahun
2007-2009 lalu. Setelah hunian liar direlokasi, penghormatan atas
perelokasian hunian liar adalah dengan membuat taman kota di daerah
bantaran sungai Bengawan Solo. Contoh taman kota yang telah ada
adalah Taman Ronggowarsito yang berfungsi sebagai penjaga
keseimbangan ekosistem bagi lingkungan alam di sekitarnya. Selain
itu taman tersebut juga merupakan bagian dari jalur hijau yang
menjadi jantung penyuplai udara bersih. Kehadiran pepohonan yang
terdapat di dalamnya dapat berfungsi untuk menyimpan suplai air
meskipun dalam kapasitas terbatas. Program terbaru Pemerintah Kota
Surakarta dalam melakukan revitalisasi bantaran sungai Bengawan
Solo adalah membuat desain pilot project fasilitas publik yang akan
dibangun di bantaran Sungai Bengawan Solo Pucang Sawit Surakarta.
Fasilitas publik tersebut antara lain WC umum, penambahan sumur
resapan, prasarana olah raga seperti bola volley, tenis meja,
tempat bermain anak-anak yang dipadukan dengan taman serta monumen
peringatan terjadinya banjir. Pelaksanaan pilot project ini didanai
oleh Departemen Pekerjaan Umum dan JICA. (Artikel DUWRMT, 2013,
http://www.duwrmt.org/index.php?option=com_content&view=article&id=119:pilot-project-pengelolaan-kawasan-sungai&catid=3:news)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara Normatif yang diatur dalam UU No. 51 PRP Tahun 1960,
tindakan yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam
mengatasi hunian liar adalah dengan melakukan penggusuran, namun
pada faktanya penggusuran tersebut bertentangan dengan hak dasar
hunian yang layak maupun hak atas lingkungan hidup. Kemudian
Pemerintah Kota Surakarta membuat konsep baru yaitu dengan
melakukan relokasi dan hasil yang didapatkan bahwa relokasi yang
dilakukan Pemerintah Kota Surakarta sangat berhasil dan sesuai
dengan apa yang diinginkan masyarakat Kota Surakarta. Relokasi yang
dilakukan juga sangat humanis. Hal tersebut ditunjukan dengan
masyarakat bantaran sungai Bengawan Solo yang akan direlokasi
diajak berpartisipasi dalam penentuan lokasi relokasi, pembangunan
bangunan relokasi, hingga relokasu dilakukan. Kemudian partisipasi
masyarakat tersebut dapat ditunjukan dengan dibentuknya Pokja yang
merupakan perwakilan dari masyarakat yang akan di relokasi.2.
Selain itu, ada beberapa alasan yang menyimpulkan bahwa relokasi
merupakan tindakan Pemerintah Kota Surakarta yang efektif dalam
mengatasi hunian liat di bantaran sungai Bengawan Solo yaitu Asas
Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang wajar, hak atas
perumahan yang layak dan hak dasar atas lingkungan hidup yang baik.
Maka, relokasi yang berbasis humanis atas hunian liar di bantaran
sungai Bengawan Solo adalah suatu model yang efektif yang dapat
dilakukan dan dipertahankan untuk kedepannya.B. Saran
1. Saran pertama ditujukan kepada masyarakat baik masyarakat
yang menduduki hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo, maupun
masyarakat secara umum. Jika masyarakat mengetahui bahwa telah
menduduki tanah Negara secara illegal, alangkah lebih baik jika
masyarakat sesegera mungkin untuk mecari tempat-tempat yang telah
disediakan oleh Pemerintah sebagai lokasi hunian dalam penataan
suatu daerah. Karena selain tempat tersebut dapat diduduki secara
legal, akan terjamin pula keamanan, ketertiban maupun kesehatan
masyarakat.2. Saran kedua ditujukan kepada Pemerintah Kota
Surakarta. Jika Pemerintah menemukan hunian liar lain di bantaran
sungai Bengawan Solo, maka sesegera mungkin untuk merelokasi
masyarakat agar tidak ada suatu harapan bagi masyarakat yang tidak
ditindak atas pendudukan hunian di lokasi illegal. Selain itu saran
dalam kegiatan relokasi, Pemerintah Kota Surakarta diharapkan untuk
melakukan evaluasi maupun pengawasan yang baik agar tidak terjadi
penyimpangan atas dana bantuan yang diberikan Pemerintah untuk
melakukan relokasi. Selain itu, kami memberi saran kepada
Pemerintah Kota Surakarta agar membuat suatu program lanjutan pacsa
relokasi seperti memberikan program-program pelatihan keterampilan.
Dengan demikian masyarakat akan mempunyai keterampilan khusus dan
lokasi pemukiman akan menjadi hunian yang layak.3. Saran yang
ketida ditujukan kepada Pemerintah Daerah secara umum. Sebaiknya
pemerintah daerah memelihara tanah-tanah yang dikuasainya dengan
baik seperti taman kota dan daerah resapan air lainnya untuk
mencegah datangnya potensi banjir. DAFTAR PUSTAKA
BNPB. 2013. Sungai Bengawan Solo Kembali Meluap. Diakses dalam
http://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/cover/567.pdf pada tanggal
21 Oktober 2014 pukul 01.34 WIB.Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin.
2004. Konflik Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.Direktorat Bina
Penatagunaan Sumber Daya Air, Kementrian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia. 2013. Latar Belakang Pola PSDA WS Bengawan Solo. Diakses
dalam
http://sda.pu.go.id:8181/sda/?act=peraturan_ws_detail&wid=19&gid=6
pada tanggal 21 Oktober 2014 pukul 01.26 WIB.
DUWRMT. 2013. Pembahasan Rencana Pembangunan Fasilitas Publik
Sebagai Pilot Project Pengelolaan Kawasan Sungai (River Area
Management) di Bantaran Sungai Bengawan Solo (Pucang Sawit
Surakarta). Diakses dalam http://www.duwrmt.org. pada tanggal 19
Juli 2013 pukul 13.27 WIB.
Edi Asadi. 2011. Hukum Proyek Konstruksi Bangunan. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
Etty Isworo. 2012. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Penertiban
Hunian Liar di Kota Solo. Jurnal Jurisprudence Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Volume 1 Nomor 1.
Etty Sulistyowati. 2007. Kebijakan Perumahan dan Permukiman Bagi
Masyarakat Urban. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Dinamika Universitas
Negeri Semarang. Volume 16 Nomor 1.Fakhani. 2012. Mengenal Hak Atas
Tanah dan Konflik Pertanahan di Indonesia. Diakses dalam
http://stainsalatiga.ac.id/mengenal-hak-atas-tanah-dan-konflik-pertanahan-di-indonesia/
pada tanggal 21 Oktober 2014 pukul 01.21 WIB.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi
Moderen, diterjemahkan oleh Alimandan. Prenada: Jakarta.Jeremy
Bentham. 2000. An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation. Batoche Books: Kitchener.Jimly Asshiddiqie. 2005.
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan 1. Konstitusi
Press: Jakarta.
________________. 2008. Pokok-Pokok Negara Hukum. Diakses dalam
http://www.jimly.com/pemikiran/view/11 pada tanggal. 21 Juli 201
pukul 19.20 WIB.
K. Bertens. 1997. Etika. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.Keputusan Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan
Rakyat SEKDA Kota Surakarta Nomor 362/16/1/2009 tentang Petunjuk
Teknis Pemberian Bantuan Hibah Pasca Banjir 2007 Kota Surakarta
Tahun 2009. 9 April 2009. Surakarta.
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 266/KPTS/M/2010 tentang
Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo. 8
Maret 2010. Jakarta.
Keputusan Walikota Surakarta Nomor 362.05/15/1/2009 tentang
Pembentukan Tim dan Ketua Kelompok Kerja Penanganan Pasca Bencana
Banjir Tahun 2007 Kota Surakarta. 7 April 2009. Surakarta.
Keputusan Walikota Surakarta Nomor 466.1/96/1/2012 tentang Warga
Penerima Bantuan Hibah Uang untuk Pembelian Tanah dan Pembangunan
Rumah Relokasi Akibat Terkena Banjir Tahun 2007 dan Proyek
Pembangunan Parapet Sungai Bengawan Solo di Kelurahan Jebres,
Kelurahan Joyosuran dan Kelurahan Pucang Sawit Kota Surakarta. 13
November 2012. Surakarta.
Majalah Novum. 2010. Relokasi Memanusiakan Manusia. No.
20/XX/2010. 8 November. Halaman 11-13. Surakarta.
Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Mustianto Sepriyansyah. 2014. Relokasi Pemukiman Penduduk
Bantaran Sungai Karang Mumus di Kota Samarinda. Ejournal Ilmu
Pemerintahan.Volume 2 Nomor 2Paulus Wirotomo. 1996. Tata Cara
Pemugaran Pemukiman Kumuh di Perkotaan. Penerbit Departemen
Kehakiman Indonesia: Jakarta.Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani.
2013. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi.
Raja Grafindo Persada: Jakarta.Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman. 12 Januari 2011. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 7. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 5
April 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47.
Jakarta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 15
Oktober 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Oktober 2009. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 23
September 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
165. Jakarta.
Zaini Musthofa. 2011. Evaluasi Pelaksanaan Program Relokasi
Permukiman Kumuh (Studi Kasus: Program Relokasi Pemukiman di
Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres Surakarta. Tugas Akhir.
Program Sarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta.1