Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005 Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum,(nonet) BAB I PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM Tujuan Instruksional Umum: Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat: 1. Memahami pengertian filsafat. 2. Memahami pengertian hukum. 3. Mengetahui pengertian filsafat hukum. Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu: 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
filsafat. Sesungguhnya, istilah “filsafat” merupakan suatu istilah dari bahasa Arab
yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.1
Secara etimologis, kata “filsafat” berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan
sofia. Filo artinya ‘cinta’ dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena
ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya
‘kebijaksanaan’. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah
‘pandai’: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat
dimaknakan: “Ingin mengerti dengan mendalam” atau “cinta kepada
kebijaksanaan”. Dengan demikian, rumusan tersebut di atas dapat disebut sebagai
suatu definisi atau pembatasan yang semata-mata berdasarkan atas keterangan
nama atau pembatasan nama.
Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin
dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.2 Filsafat dapat juga
diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai
suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu
yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.
Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang
membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut
pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai
1 I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1. 2 Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 4.
sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat
kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.3
Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok,
yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.4 Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau
sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar,
artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang
mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan
“ilmu biasa”.
Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-
langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi
harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu
ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan
dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam
(contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan
yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis
yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab,
jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru
melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika
yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.
Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya
tentang filsafat, antara lain:
a. Plato : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
b. Aristoteles : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
c. Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang sebenarnya.
3 I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.4 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.5 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 7.
d. Descartes : Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi.6
Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat
tersebut dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang
hakikat sesuatu.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa filsafat dapat diartikan
sebagai ilmu, meskipun demikian antara filsafat dengan keseluruhan ilmu yang
bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada) tetap berbeda,
karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama,
karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam
lingkungan filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.
Dalam agama ada beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya:
Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada
atau paling tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar
penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama
didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran
tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus
dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut kepercayaan.
Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan,
melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak
mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya
atas wahyu. Dengan kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan
agama berdasarkan wahyu.
2. Ruang Lingkup Ilmu Filsafat
6 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 5.
J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan
kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von
Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen
menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-
satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata
tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa
luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita
dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalah-
masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum,
dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het
systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het
verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de
realisatie van de rechtsidee).11
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat
keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan
keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan 11 Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.
sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke
lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988.
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
________________, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
Sastrosoehardjo, Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah
perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman Yunani
(Kuno).
2. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
pertengahan.
3. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern.
4. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
sekarang.
1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang
sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu
pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat
membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman
Yunani (Kuno).
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan
sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan
sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada
zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato,
dan Aristoteles.0 Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM),
Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya 0 Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.
dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos
(rasio).0 Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang
dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai
dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan
dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke
dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan
terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara
itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan
(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
0 Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 20).
Z. Yunani (Kuno) Z. Pertengahan Z. Modern Z. Sekarang
Masa Gelap
Anaximander Augustinus W. Occam Hegel Herakleitos Thomas Aquino R. Descartes Fichte Parmenides T. Hobbes Schelling Socrates J. Locke von Savigny Plato G. Berkeley Aristoteles D. Hume
F. BaconWolfMontesquieuJ.J. RousseauImmanuel Kant
5. Latihan Soal
1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides)
berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan
nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
2. Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif
sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?
3. Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap
pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas
Aquinas membagi hukum?
4. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!
5. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
6. Jelaskan teori dialektika Hegel?
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat
hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari
Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut
Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
secara universal dan abadi.0
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui
penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Irrasional:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain:
Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius
Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan
merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera manusia.
b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya.
c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan
penjelmaan dari rasio manusia.
d) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam
oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh
0 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995.
Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan
dengan ilmu ekonomi. Tambahan lagi pada masa undang-undang banyak
dibuat peraturan perundang-undangan yang dundangkan mudah dianggap
orang sebagai type darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak
membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan
legislatif dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.
l. Akhirnya ada satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-
undang ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk
manusia di dalam masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan,
dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia
mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam
penyelenggaraan peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19,
tatkala orang mulai mencari dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan
oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh
perenungan filsafat. Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial
yang terakhir dengan pengamatan dan mengembangkan kesmpulan yang
logis dari kenyataan itu, mirip seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum
metafisika. Ini adalah akibat lagi dari suatu kecenderungan dalam tahun
mutakhir yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar
kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang
dikenal dengan “Law as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat
penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
sebagai berikut:0
1) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
a) kepentingan negara sebagai badan hukum;
b) kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
0
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129-130.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat
dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang
ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa
keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan
adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing
bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal
senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima.
Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan
hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan
umum.0
Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang
menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat
berikut ini:0
a. Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-
orang yang satu dengan yang lain;
b. Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam
mengejar keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c. Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara
orang-orang digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan
geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:0
a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang
pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang
menurut tempatnya.
b. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),terutama
untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum,
untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat
0 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154. 0 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 29.0 Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
_________________, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa dapat memahami filsafat
hukum berdasarkan Pancasila.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini, mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan falsafah hukum nasional.
2. Menjelaskan filsafat hukum dan Pancasila.
1. Falsafah Hukum Nasional
Usaha pengembangan falsafah hukum nasional di Indonesia bertumpu kepada
3 konsep dasar, yaitu:0
a. Pemahaman ukum yang bersifat normatif sosiologis yang melihat huku tidak
hanya sekumpulan kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan
untuk mewujudkan berlakunya hukum itu. Sejalan dengan konsep tersebut
maka fungsi hukum dalam masyarakat adalah untuk terwujudnya ketertiban
dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan
modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh.
b. Tujuan hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan
bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang
sekaligus juga merupakan perwujudan sila-sila Pancasila.
c. Cita-cita falsafah yang telah dirumuskan oleh para pendiri Kenegaraan dalam
Konsep Indonesia adalah Negara Hukum dan setiap orang sama di depan
hukum, mengandung arti:0 Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 44.
mampu menukik ke dalam masalah-masalah yang bersifat falsafati untuk bersikap
kritis, radikal, kreatif, dan eksploratif. Dalam suasana yang demikian, maka nilai-
nilai falsafati universal perlu digali untuk menentukan unsur-unsur yang relevan
bagi sumber hukum pada umumnya dan falsafah hukum pada khususnya. Untuk
itu, perlu dikembangkan kondisi yang makin kondusif untuk mengembangkan
falsafah hukum Pancasila tersebut.
Sistem hukum nasional yang juga merupakan sistem hukum Pancasila harus
merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila Pancasila secara keseluruhan.
Mengenai asas persamaan kedudukan di muka hukum ada yang melihat bahwa
pembinaan perlakuan yang sama dalam kondisi yang berbeda adalah sebuah
ketidakadilan, sehingga untuk hal-hal tertentu adanya berbagais tudi masih sangat
diperlukan.
Hukum dan kekuasaan dalam kenyataan masih sering tidak saling melengkapi
antara satu dengan yang lain.
2. Filsafat Hukum dan Pancasila
Untuk mengetahui keterkaitan antara Pancasila dengan berbagai aliran dalam
filsafat hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalam-
dalamnya. Di dalam mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat
dipergunakan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan
ialah metode dialektis dan analitis.0
Metode deduktif paralel dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan
oleh Hegel pada abad XIX (zaman Modern),0 mengemukakan teorinya yang
disebut “Teori Dialektika”. Dalam Teorinya, Hegel berpendapat bahwa proses
perkembangan rohani berjalan dialektis, yang menurut Hegel ide-ide saling
berlawanan dan sekalian rohani melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu ide
baru, yang merangkap kebenaran yang terkandung dalam dua ide tadi. Sebagai
0
Woro Winandi & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 9.0 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 106.
sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat
dapat terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan
terdapat 3 kepentingan hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a. Kepentingan Umum.
b. Kepentingan Masyarakat.
c. Kepentingan Individu.
Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara
positivisme hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum,
memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa,
sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama
masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu:
Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan
pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi
negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological
Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti
yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat untuk
rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila,
yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat
adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat
kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan,
batang tubuh, maupun penjelasannya.
3. Latihan Soal
a. Mengapa Pancasila disebut sebagai dasar falsafah negara? Jelaskan!
b. Mengapa ada keterkaitan antara Pancasila dengan mazhab sejarah dan
dialektika Hegel? Jelaskan!
c. Jelaskan pula tentang teori causalis untuk mendalami Pancaila!
DAFTAR PUSTAKA
Hujibers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Winandi, Woro & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997
rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan
jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak
yang terlibat dalam proses penegakan hukum,(nonet)
BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
4. Memahami pengertian filsafat.
5. Memahami pengertian hukum.
6. Mengetahui pengertian filsafat hukum.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
5. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama.
6. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat.
7. Menyebutkan pengertian hukum dari berbagai sarjana.
8. Mengetahui pengertian Filsafat Hukum dari berbagai sarjana.
4. Pengertian Filsafat dan Agama
Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk
dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan
filsafat. Sesungguhnya, istilah “filsafat” merupakan suatu istilah dari bahasa Arab
yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.0
Secara etimologis, kata “filsafat” berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan
sofia. Filo artinya ‘cinta’ dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena
ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya
‘kebijaksanaan’. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah
‘pandai’: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat 0 I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1.
dimaknakan: “Ingin mengerti dengan mendalam” atau “cinta kepada
kebijaksanaan”. Dengan demikian, rumusan tersebut di atas dapat disebut sebagai
suatu definisi atau pembatasan yang semata-mata berdasarkan atas keterangan
nama atau pembatasan nama.
Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin
dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.0 Filsafat dapat juga
diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai
suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu
yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.
Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang
membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut
pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai
sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat
kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.0
Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok,
yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.0 Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau
sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar,
0 Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 4.0 I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.0 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.
artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang
mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan
“ilmu biasa”.
Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-
langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi
harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu
ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.0 Refleksi berarti pengendapan
dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam
(contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan
yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis
yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab,
jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru
melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika
yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.
Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya
tentang filsafat, antara lain:
f. Plato : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
g. Aristoteles : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
h. Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang sebenarnya.
i. Descartes : Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
j. Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi.0
Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat
tersebut dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang
luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita
dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalah-
masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum,
dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het
systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het
verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de
realisatie van de rechtsidee).0
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat
keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan
keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan
sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke
lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA0 Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988.
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
________________, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
Sastrosoehardjo, Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah
perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
5. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman Yunani
(Kuno).
6. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
pertengahan.
7. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern.
8. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
sekarang.
6. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang
sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu
pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat
membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman
Yunani (Kuno).
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan
sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan
sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada
zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato,
dan Aristoteles.0 Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM),
Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya 0 Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.
dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos
(rasio).0 Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang
dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai
dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan
dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke
dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan
terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara
itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan
(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
0 Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 20).
Z. Yunani (Kuno) Z. Pertengahan Z. Modern Z. Sekarang
Masa Gelap
Anaximander Augustinus W. Occam Hegel Herakleitos Thomas Aquino R. Descartes Fichte Parmenides T. Hobbes Schelling Socrates J. Locke von Savigny Plato G. Berkeley Aristoteles D. Hume
F. BaconWolfMontesquieuJ.J. RousseauImmanuel Kant
10. Latihan Soal
7. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides)
berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan
nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
8. Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif
sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?
9. Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap
pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas
Aquinas membagi hukum?
10. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!
11. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
12. Jelaskan teori dialektika Hegel?
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat
hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari
Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut
Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
secara universal dan abadi.0
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui
penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
2) Irrasional:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain:
Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius
Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
e) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan
merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera manusia.
f) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya.
g) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan
penjelmaan dari rasio manusia.
h) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam
oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh
0 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995.
Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan
dengan ilmu ekonomi. Tambahan lagi pada masa undang-undang banyak
dibuat peraturan perundang-undangan yang dundangkan mudah dianggap
orang sebagai type darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak
membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan
legislatif dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.
l. Akhirnya ada satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-
undang ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk
manusia di dalam masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan,
dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia
mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam
penyelenggaraan peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19,
tatkala orang mulai mencari dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan
oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh
perenungan filsafat. Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial
yang terakhir dengan pengamatan dan mengembangkan kesmpulan yang
logis dari kenyataan itu, mirip seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum
metafisika. Ini adalah akibat lagi dari suatu kecenderungan dalam tahun
mutakhir yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar
kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang
dikenal dengan “Law as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat
penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
sebagai berikut:0
4) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
c) kepentingan negara sebagai badan hukum;
d) kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
0
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129-130.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat
dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang
ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa
keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan
adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing
bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal
senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima.
Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan
hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan
umum.0
Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang
menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat
berikut ini:0
a. Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-
orang yang satu dengan yang lain;
b. Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam
mengejar keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c. Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara
orang-orang digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan
geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:0
c. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang
pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang
menurut tempatnya.
d. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),terutama
untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum,
untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat
0 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154. 0 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 29.0 Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
_________________, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa dapat memahami filsafat
hukum berdasarkan Pancasila.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini, mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan falsafah hukum nasional.
2. Menjelaskan filsafat hukum dan Pancasila.
4. Falsafah Hukum Nasional
Usaha pengembangan falsafah hukum nasional di Indonesia bertumpu kepada
3 konsep dasar, yaitu:0
a. Pemahaman ukum yang bersifat normatif sosiologis yang melihat huku tidak
hanya sekumpulan kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan
untuk mewujudkan berlakunya hukum itu. Sejalan dengan konsep tersebut
maka fungsi hukum dalam masyarakat adalah untuk terwujudnya ketertiban
dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan
modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh.
b. Tujuan hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan
bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang
sekaligus juga merupakan perwujudan sila-sila Pancasila.
c. Cita-cita falsafah yang telah dirumuskan oleh para pendiri Kenegaraan dalam
Konsep Indonesia adalah Negara Hukum dan setiap orang sama di depan
hukum, mengandung arti:0 Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 44.
mampu menukik ke dalam masalah-masalah yang bersifat falsafati untuk bersikap
kritis, radikal, kreatif, dan eksploratif. Dalam suasana yang demikian, maka nilai-
nilai falsafati universal perlu digali untuk menentukan unsur-unsur yang relevan
bagi sumber hukum pada umumnya dan falsafah hukum pada khususnya. Untuk
itu, perlu dikembangkan kondisi yang makin kondusif untuk mengembangkan
falsafah hukum Pancasila tersebut.
Sistem hukum nasional yang juga merupakan sistem hukum Pancasila harus
merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila Pancasila secara keseluruhan.
Mengenai asas persamaan kedudukan di muka hukum ada yang melihat bahwa
pembinaan perlakuan yang sama dalam kondisi yang berbeda adalah sebuah
ketidakadilan, sehingga untuk hal-hal tertentu adanya berbagais tudi masih sangat
diperlukan.
Hukum dan kekuasaan dalam kenyataan masih sering tidak saling melengkapi
antara satu dengan yang lain.
5. Filsafat Hukum dan Pancasila
Untuk mengetahui keterkaitan antara Pancasila dengan berbagai aliran dalam
filsafat hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalam-
dalamnya. Di dalam mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat
dipergunakan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan
ialah metode dialektis dan analitis.0
Metode deduktif paralel dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan
oleh Hegel pada abad XIX (zaman Modern),0 mengemukakan teorinya yang
disebut “Teori Dialektika”. Dalam Teorinya, Hegel berpendapat bahwa proses
perkembangan rohani berjalan dialektis, yang menurut Hegel ide-ide saling
berlawanan dan sekalian rohani melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu ide
baru, yang merangkap kebenaran yang terkandung dalam dua ide tadi. Sebagai
0
Woro Winandi & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 9.0 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 106.
sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat
dapat terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan
terdapat 3 kepentingan hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:
d. Kepentingan Umum.
e. Kepentingan Masyarakat.
f. Kepentingan Individu.
Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara
positivisme hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum,
memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa,
sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama
masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu:
Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan
pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi
negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological
Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti
yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat untuk
rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila,
yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat
adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat
kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan,
batang tubuh, maupun penjelasannya.
6. Latihan Soal
a. Mengapa Pancasila disebut sebagai dasar falsafah negara? Jelaskan!
b. Mengapa ada keterkaitan antara Pancasila dengan mazhab sejarah dan
dialektika Hegel? Jelaskan!
c. Jelaskan pula tentang teori causalis untuk mendalami Pancaila!
DAFTAR PUSTAKA
Hujibers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Winandi, Woro & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997