1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran Matematika umumnya didominasi oleh pengenalan rumus - rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa. Disamping itu proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode “chalk and talk” guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas (Somerset, 1997 dalam Sodikin, 2004:1). Pembelajaran matematika sering diinterpretasikan sebagai aktivitas utama yang dilakukan guru, yaitu guru mengenalkan materi, mungkin mengajukan satu atau dua pertanyaan, dan meminta siswa yang pasif untuk aktif dengan memula i melengkapi latihan dari buku teks, pelajaran diakhiri dengan pengorganisasian yang baik dan pembelajaran selanjutnya dilakukan dengan sekenario yang serupa. Kondisi di atas tampak lebih parah pada pembelajaran geometri. Sebagian siswa tidak mengetahui mengapa dan untuk apa mereka belajar konsep-konsep geometri, karena semua yang dipelajari terasa jauh dari kehidupan mereka sehari- hari. Siswa hanya mengenal objek-objek geometri dari apa yang digambar oleh guru di depan papan tulis atau dalam buku paket matematika, dan hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk memanipulasi objek-objek tersebut. Akibatnya banyak siswa yang berpendapat bahwa konsep-konsep geometri sangat sukar dipelajari (Soedjadi, 1991 dalam Sodikin 2004:2). Pada umumnya, sekelompok siswa beranggapan bahwa mata pelajaran matematika sulit dipahami. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, siswa kurang memiliki pengetahuan prasyarat serta kurang mengetahui manfaat pelajaran matematika yang ia pelajari. Kedua, daya abstraksi siswa kurang dalam memahami konsep-konsep matematika yang bersifat abstrak. Dalam mengajarkan matematika, sebaiknya diusahakan agar siswa mudah memahami konsep yang ia pelajari, sehingga siswa lebih berminat untuk mempelajarinya. Jika sekiranya diperlukan media atau alat peraga yang dapat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran Matematika umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-
rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap
pemahaman siswa. Disamping itu proses belajar mengajar hampir selalu
berlangsung dengan metode “chalk and talk” guru menjadi pusat dari seluruh
kegiatan di kelas (Somerset, 1997 dalam Sodikin, 2004:1).
Pembelajaran matematika sering diinterpretasikan sebagai aktivitas utama
yang dilakukan guru, yaitu guru mengenalkan materi, mungkin mengajukan satu
atau dua pertanyaan, dan meminta siswa yang pasif untuk aktif dengan memula i
melengkapi latihan dari buku teks, pelajaran diakhiri dengan pengorganisasian yang
baik dan pembelajaran selanjutnya dilakukan dengan sekenario yang serupa.
Kondisi di atas tampak lebih parah pada pembelajaran geometri. Sebagian
siswa tidak mengetahui mengapa dan untuk apa mereka belajar konsep-konsep
geometri, karena semua yang dipelajari terasa jauh dari kehidupan mereka sehari-
hari. Siswa hanya mengenal objek-objek geometri dari apa yang digambar oleh
guru di depan papan tulis atau dalam buku paket matematika, dan hampir tidak
pernah mendapat kesempatan untuk memanipulasi objek-objek tersebut. Akibatnya
banyak siswa yang berpendapat bahwa konsep-konsep geometri sangat sukar
dipelajari (Soedjadi, 1991 dalam Sodikin 2004:2).
Pada umumnya, sekelompok siswa beranggapan bahwa mata pelajaran
matematika sulit dipahami. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Pertama, siswa kurang memiliki pengetahuan prasyarat serta kurang mengetahui
manfaat pelajaran matematika yang ia pelajari. Kedua, daya abstraksi siswa kurang
dalam memahami konsep-konsep matematika yang bersifat abstrak.
Dalam mengajarkan matematika, sebaiknya diusahakan agar siswa mudah
memahami konsep yang ia pelajari, sehingga siswa lebih berminat untuk
mempelajarinya. Jika sekiranya diperlukan media atau alat peraga yang dapat
2
membantu siswa dalam memahami konsep matematika, maka seyogyanya guru
menyiapkan media atau alat peraga yang diperlukan.
Menurut Dienes (dalam Ruseffendi, 1980:134) menyatakan bahwa setiap
konsep matematika dapat difahami dengan mudah apabila kendala utama yang
menyebabkan anak sulit memahami dapat dikurangi atau dihilangkan. Dienes
berkeyakinan bahwa anak pada umumnya melakukan abstraksi berdasasarkan
intuisi dan pengalaman kongkrit, sehingga cara mengajarkan konsep-konsep
matematika dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan objek kongkrit.
Dengan demikian, dalam mengajarkan matematika perlu adanya benda-benda
kongkrit yang merupakan model dari ide-ide matematika, yang selanjutnya disebut
sebagai alat peraga sebagai alat bantu pembelajaran. Alat bantu pembelajaran ini
digunakan dengan maksud agar anak dapat mengoptimalkan panca inderanya dalam
proses pembelajaran, mereka dapat melihat, meraba, mendengar, dan merasakan
objek yang sedang dipelajari.
Guru selalu menggunakan metode ceramah yang langsung menyajikan materi
dalam bentuk rumus-rumus pasti, tanpa mengetahui bagaimana rumus itu diperoleh,
sehingga tidak bisa bertahan lama di benak siswa. Walaupun kurikulum telah
berkali-kali diperbarui, teknologi pendidikan telah mengalami berkali-kali inovasi,
banyak guru yang tidak mengubah cara mengajar mereka yang cenderung monoton
atau kurang bervariasi. Guru kurang kreatif dalam memanfaatkan alat peraga yang
ada dalam proses pembelajaran di kelas.
Seharusnya, siswa memiliki motivasi belajar tinggi, aktif, kreatif, disiplin,
antusias memperhatikan penjelasan guru, berusaha menjadi pembelajar yang
mandiri, mau berusaha mencari dan menemukan sendiri konsep-konsep
Matematika, sehingga diharapkan pemahaman siswa pada mata pelajaran
Matematika dapat meningkat, pada akhirnya prestasi belajarnya meningkat,
sehingga tidak ada anak yang tinggal kelas atau tidak lulus ujian karena nilai
Matematikanya tidak dapat memenuhi KKM yang telah ditetapkan di sekolah
masing-masing.
Hasil belajar siswa kelas V SDS 009 Immanuel Tahun Pelajaran 2013/2014
mata pelajaran Matematika tentang kubus dan balok masih sangat rendah. Hal ini
3
dibuktikan dengan nilai rata-rata ulangan harian belum dapat mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu baru 50 dengan nilai terendah 30 dan nilai
tertinggi 70. Dari siswa yang berjumlah 33 yang terdiri dari 16 putra dan 17 putri
baru 13 siswa atau 39,4% yang dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal
(KKM). KKM yang ditetapkan untuk mata pelajaran Matematika kelas V adalah
65.
Jumlah anak yang nilainya mencapai KKM belum ada separuh dari jumlah
keseluruhan siswa di kelas V. Hal ini tentu cukup memprihatinkan, mengingat
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional
(UN). Kenyataan ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari faktor guru,
faktor siswa, sarana dan prasarana maupun lingkungan serta latar belakang keluarga
siswa.
Faktanya pembelajaran Matematika di sekolah masih banyak melakukan
pembelajaran konvensional, padahal seharusnya dalam konsep pembelajaran guru
bukanlah satu-satunya sumber belajar, selain itu penggunaan media sebagai sumber
belajar harus dimaksimalkan.
Berdasarkan observasi dan diskusi dengan teman sejawat diketahui adanya
masalah yang menyebabkan rendahnya pencapaian kompetensi dasar tersebut.
Identifikasi masalahnya adalah bahwa siswa kurang mengerti dalam
menerjemahkan bentuk bangun ruang kubus dan balok dengan penerapannya, juga
masih rendahnya keberanian siswa dalam memberikan pendapat sesuai dengan
pengetahuan yang dimiliki.
Supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai, perlu adanya perbaikan proses
pembelajaran, dalam hal ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Alternat if
solusi yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan
menggunakan alat peraga yang sesuai dengan materi pembelajaran, dalam hal ini
adalah alat peraga konkrit berupa berbagai benda yang berbentuk bangun ruang
terutama kubus dan balok. Untuk itu perlu diadakan penelitian tindakan kelas
tentang penggunaan media visual atau alat peraga dalam pembelajaran materi kubus
dan balok. Dengan serangkaian tindakan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
4
sampai dengan evaluasi, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam
memahami materi kubus dan balok.
Oleh karena itu, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul
“Penggunaan Alat Peraga untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika tentang
Kubus dan Balok pada Siswa Kelas V SDS 009 Immanuel Tebing”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diajukan rumusan masalah
yaitu apakah penggunaan alat peraga konkrit dapat meningkatkan hasil belajar
Matematika tentang kubus dan balok pada siswa kelas V SDS 009 Immanue l
Tebing?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Untuk mendeskripsikan penggunaan alat peraga dalam pembelajaran
Matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa
2. Menciptakan pembelajaran matematika yang menyenangkan
3. Melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran
4. Meningkatkan kualitas pembelajaran
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa, guru, maupun
sekolah.
1. Bagi siswa, penelitian ini dapat mempermudah siswa dalam memahami materi
kubus dan balok dan meningkatkan motivasi belajar.
2. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai wahana peningkatan profesionalisme guru
yang akan berdampak pada kualitas pendidikan di sekolah
3. Bagi guru lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan untuk
menambah wawasan dalam menentukan strategi dan metode pembelajaran yang
sesuai dengan materi pelajaran.
4. Bagi sekolah, penelitian ini dapat membantu meningkatkan kualitas hasil
belajar, khususnya pelajaran matematika, sehingga secara langsung dapat
meningkatkan kualitas pendidikan.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar
Oemar Hamalik (2001 : 27 ) mengemukakan pengertian belajar adalah suatu
proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan.
Slameto (2003 : 2) berpendapat bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suparwoto (2004 : 41) bahwa
belajar pada intinya adalah proses internalisasi dalam diri individu yang belajar
dapat dikenali produk belajarnya yaitu berupa perubahan, baik penguasaan materi,
tingkah laku, maupun keterampilan.
William Burton mengemukakan bahwa ”A good learning situation consist of
a rich and varied series of learning experiences unified around a vigorous purpose
and carried on in interaction with a rich, varied and propocative environment”.
Yang berarti bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individ u
melalui interaksi dengan lingkungan. Di dalam interaksi inilah terjadi serangkaian
pengalaman – pengalaman belajar.
Menurut Winkel belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilka n
perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman. Menurut Ernest R. Hilgard
belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang
kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang
ditimbulkan oleh lainnya. Sifat perubahannya relatif permanen, tidak akan kembali
kepada keadaan semula. Tidak bisa diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat,
seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya (Purwanto, 2008
: 51)
Sedangkan pengertian belajar menurut Gagne (Mulyani Sumantri & Johar
Permana, 1999 : 16) belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam
perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum individu berada
6
dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan
terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan
serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.
Moh. Surya dikutip oleh Nana Sudjana (2005 : 22) mendefinisikan Belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu
itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan.
Oemar Hamalik (1993 : 280) mengungkapkan empat prinsip belajar yaitu :
a. Belajar senantiasa harus bertujuan, terarah, dan jelas bagi siswa, karena
tujuan akan menuntut dalam belajar,
b. Jenis belajar yang paling utama adalah untuk berpikir kritis,
c. Belajar memerlukan pemahaman atas hal – hal yang dipelajari sehingga
memperoleh pengertian – pengertian,
d. Belajar harus disertai keinginan dan kemauan yang kuat untuk mencapai
tujuan dan hasil.
Dari prinsip – prinsip tersebut memberikan penjelasan dalam memaknai belajar
dan dapat mengetahui apa saja yang perlu diperhatikan dalam mendukung proses
pembelajaran, sehingga pengertian dan pemahaman mengenai makna Belajar
menjadi lebih jelas dan terarah.
Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa di dalam belajar ada
suatu perubahan tingkah laku dalam diri seseorang berupa pengetahuan,
pemahaman, maupun sikap yang diperoleh melalui proses belajar. Perubahan
tingkah laku yang diperoleh merupakan hasil interaksi dengan lingkungan. Interaksi
tersebut salah satunya adalah proses pembelajaran yang diperoleh di sekolah. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa dengan belajar seseorang dapat memperoleh
sesuatu yang baru baik itu pengetahuan, keterampilan maupun sikap.
B. Hasil Belajar
Menurut W.J.S Purwadarminto (1987 : 767 ) menyatakan bahwa hasil belajar
adalah hasil yang dicapai sebaik-baiknya menurut kemampuan anak pada waktu
tertentu terhadap hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan.
7
Prestasi belajar menurut Winkel (1996 : 226 ) mengemukakan bahwa hasil
belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang.
Menurut Nana Sudjana (2005 : 20) hakikat hasil belajar adalah perubahan
tingkah laku individu yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Menurut Nana Sudjana (2005 : 38) hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi
oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang
dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa
terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali
pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Disamping faktor kemampuan
yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan
perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan
psikis.
Sedangkan menurut Arif Gunarso (1993 : 77 ) mengemukakan bahwa hasil
belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan
usaha-usaha belajar.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa yang
dimaksud dengan prestasi belajar adalah hasil terbaik yang dicapai siswa setelah
melaksanakan usaha belajar secara maksimal. Salah satu pemikiran
konstruktivisme yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami
perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan
individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat
tahap yaitu (1) sensory motor; (2) pre-operational; (3) concrete operasional; dan
(4) formal operational. Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik.
Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu
oleh pertanyaan dari guru.
Dengan melaksanakan kegiatan pembelajaran yang kreatif serta interaktif
maka guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar
mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan
8
berbagai pengetahuan dari lingkungan dan sumber Belajar lainnya. Implikasi teori
perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran, adalah:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena
itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara
berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Memberikan peluang agar anak belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
serta diskusi dengan teman-temannya.
C. Karakteristik Matematika
Menurut Soedjadi (1994:1), meskipun terdapat berbagai pendapat tentang
matematika yang tampak berlainan antara satu sama lain, namun tetap dapat ditarik
ciri-ciri atau karekteristik yang sama, antara lain: (a) memiliki objek kajian abstrak,
(b) bertumpu pada kesepakatan, (c) berpola pikir deduktif, (d) memiliki symbol
yang kosong dari arti, (e) memperhatikan semesta pembicaraan, (f) konsisten dalam
sistemnya.
Matematika sebagai suatu ilmu memiliki objek dasar yang berupa fakta,
konsep, operasi, dan prinsip. Dari objek dasar itu berkembang menjadi objek-objek
lain, misalnya: pola-pola, struktur-struktur dalam matematika yang ada dewasa ini.
Pola pikir yang digunakan dalam matematika adalah pola pikir deduktif, bahkan
suatu struktur yang lengkap adalah deduktif aksiomatik.
Matematika sekolah adalah bagian dari matematika yang dipilih, antara lain
dengan pertimbangan atau berorientasi pada kependidikan. Dengan demikian,
pembelajaran matematika perlu diusahakan sesuai dengan kemampuan kognitif
siswa, mengkongkritkan objek matematika yang abstrak sehingga mudah difahami
siswa. Selain itu sajian matematika sekolah tidak harus menggunakan pola pikir
deduktif semata, tetapi dapat juga digunakan pola pikir induktif, artinya
pembelajarannya dapat menggunakan pendekatan induktif. Ini tidak berarti bahwa
9
kemampuan berfikir deduktif dan memahami objek abstrak boleh ditiadakan begitu
saja.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik
dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik
(Mulyasa, 2002:100). Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah
mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan tingkah laku.
Pembelajaran matematika menurut Russeffendi (1993:109) adalah suatu
kegiatan belajar mengajar yang sengaja dilakukan untuk memperoleh pengetahuan
dengan memanipulasi simbol-simbol dalam matematika sehingga menyebabkan
perubahan tingkah laku.
Dalam kurikulum 2004 disebutkan bahwa pembelajaran matematika adalah
suatu pembelajaran yang bertujuan:
(a) Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya
melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan
kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi
(b) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin
tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba
(c) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
(d) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik,