i PENGARUH CLAY THERAPY TERHADAP KECEMASAN AKIBAT HOSPITALISASI PADA PASIEN ANAK USIA PRASEKOLAH DI RSUD BANYUMAS SKRIPSI Oleh: KHOLISATUN MUAFIFAH G1D009024 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PURWOKERTO 2013
71
Embed
Clay Therapy Utk Penurunan Kecemasan Anak Yang Hospitalisasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PENGARUH CLAY THERAPY TERHADAP KECEMASAN
AKIBAT HOSPITALISASI PADA PASIEN ANAK
USIA PRASEKOLAH DI RSUD BANYUMAS
SKRIPSI
Oleh:
KHOLISATUN MUAFIFAH
G1D009024
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATANJURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
PENGARUH CLAY THERAPY TERHADAP KECEMASAN
AKIBAT HOSPITALISASI PADA PASIEN ANAK
USIA PRASEKOLAH DI RSUD BANYUMAS
Oleh :KHOLISATUN MUAFIFAH
G1D009024
Untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan pendidikanSarjana Keperawatan pada Jurusan KeperawatanFakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal SoedirmanPurwokerto
SKRIPSI
Telah disetujui dan disidangkan dihadapan Panitia Penguji Skripsipada tanggal 26 Agustus 2013
PengujiNs. Keksi Girindra Swasti, M.Kep. (..............................................)NIP. 19790919 200604 2 002
1Mahasiswa Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu KesehatanUniversitas Jenderal Soedirman
2Dosen Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu KesehatanUniversitas Jenderal Soedirman
3Unit Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu, RSUD Banyumas
Latar belakang: Dampak hospitalisasi pada anak salah satunya adalah cemasyang dapat mengganggu proses penyembuhan. Oleh karena itu diperlukan carauntuk mengurangi kecemasan, salah satunya dengan terapi bermain.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh clay therapy sebagaisalah satu dari jenis terapi bermain terhadap kecemasan akibat hospitalisasi padapasien anak usia prasekolah di RSUD Banyumas.Metode: Penelitian ini menggunakan desain pre experiment dengan pendekatanpre test - post test one group design. Pengambilan sampel menggunakanconsecutive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 18 responden. Instrumenpenelitian yang digunakan berupa kuesioner kecemasan. Analisis data yangdigunakan adalah uji Paired samples t test.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh clay therapy terhadapkecemasan akibat hospitalisasi pada pasien anak usia prasekolah di RSUDBanyumas. Uji statistik Paired samples t test menunjukkan p value >0,05(p value 0,257).Kesimpulan: Tidak ada pengaruh clay therapy terhadap kecemasan akibathospitalisasi pada pasien anak usia prasekolah di RSUD Banyumas.
Kata kunci: Clay therapy, hospitalisasi, kecemasan, prasekolah
x
ABSTRACT
THE EFFECT OF CLAY THERAPY ON HOSPITALIZATIONANXIETY OF PRESCHOOL CHILDREN PATIENTS
1Student of Nursing Majority, Faculty of Medical and Health Sciences
Jenderal Sudirman University2Lecturer of Nursing Majority, Faculty of Medical and Health Sciences
Jenderal Sudirman University3Unit of Integrated Mental Health Services, RSUD Banyumas
Background: Impact of hospitalization to the children are anxious who candisturb recovered process. So that need manner to decrease anxiety, either withplay therapy.Purpose: This research aims to determine the effect of clay therapy as one of playtherapy on hospitalization anxiety of preschool children patients in RSUDBanyumas.Method: This research used design approach pre experiment with pre test posttest one group design. Sampling used consecutive sampling with a sample size of18 respondents. Research instrument used anxiety questionnaire. Analysis of thedata used statistical test of paired samples t test.Result: Result showed that there were no effect of clay therapy on hospitalizationanxiety of preschool children patients in RSUD Banyumas. Paired samples t testshowed p value>0,05 (p value=0,257).Conclusion: There were no effect of clay therapy on hospitalization anxiety ofpreschool children patients in RSUD Banyumas.
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah
diolah (Saryono, 2011). Instrumen penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan alat ukur kecemasan berupa kuesiner
kecemasan yang dimodifikasi dan dikembangkan dari Hockenberry dan
Wilson (2007), Subardiah (2009) dan Widianti (2011). Kecemasan
diobservasi menggunakan 15 item respon anak yang dinilai dengan skala
likert, yaitu selalu (SL) = 4, sering (SR) = 3, kadang-kadang (KD) = 2, dan
tidak pernah (TP) = 1 untuk pernyataan favourable dan pernyataan
unfavourable sebaliknya. Pernyataan unfavourable terdapat pada
pernyataan no 1, 2, 6, 11, 12, dan 15, sedangkan no 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 13
dan 14 adalah pernyataan favourable.
G. Validitas dan Reliabilitas
Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu
benar-benar mengukur apa yang diukur (Saryono, 2011). Pengukuran
validitas kuesioner dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan
kecermatan alat ukur untuk mengukur apa yang seharusnya diukur
(Notoadmodjo, 2003). Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan
sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sudah pernah digunakan
33
oleh Widianti (2011) yang telah dinyatakan valid dengan nilai
reliabilitasnya sebesar 0,89 yang artinya reliabel.
H. Teknik Pengumpulan Data dan Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui tahap-tahap sebagai berikut :
1. Tahap persiapan
a. Persiapan materi dan konsep yang mendukung jalannya penelitian.
b. Studi pendahuluan untuk mengetahui populasi anak yang dirawat di
Ruang Kanthil RSUD Banyumas.
c. Pembuatan proposal penelitian yang dilanjutkan dengan pengujian
proposal penelitian.
d. Mengurus perijinan ke Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan
Masyarakat (Bakesbang Pol dan Linmas) Kabupaten Banyumas, Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan RSUD
Banyumas.
2. Tahap pelaksanaan
a. Presentasi di RSUD Banyumas pada tanggal 24 Juni 2013.
b. Kegiatan penelitian yang meliputi:
1). Mencari sampel yang sesuai dengan kriteria untuk penelitian.
2). Menjelaskan kepada calon responden dan orangtua tentang
tujuan dari clay therapy.
3). Meminta izin kepada orangtua calon responden untuk anaknya
menjadi responden penelitian dengan membina hubungan
saling percaya dengan orangtua calon responden, kemudian
membuat persetujuan dengan lembar inform consent.
34
4). Setelah orangtua mengizinkan anaknya menjadi responden
maka peneliti melakukan pendekatan dengan anak untuk diajak
bermain bersama peneliti disertai dengan memberikan
penjelasan tentang pelaksanaan clay therapy kepada anak.
5). Melakukan wawancara dengan orangtua responden untuk
mengisi identitas responden berupa nama anak (inisial), usia,
jenis kelamin dan riwayat pernah dirawat di RS.
6). Mengumpulkan data kecemasan dengan memberikan
kuesioner yang diisi oleh orangtua responden.
7). Pelaksanaan penelitian pada pasien anak dengan melakukan
intervensi sebanyak 2 kali selama 30 menit.
8). Mengatur posisi yang nyaman bagi anak yaitu posisi duduk.
9). Peneliti dan responden menentukan topik sebelum melakukan
kegiatan clay therapy.
10). Peneliti membagikan clay dan cetakan kepada responden.
11). Responden mulai melakukan kegiatan clay therapy dengan
didampingi orangtua dan peneliti.
12). Responden memasukkan adonan clay ke dalam cetakan dan
peneliti membantu responden untuk mengeluarkan adonan dari
cetakan.
13). Peneliti memberikan bintang kepada responden ketika
responden berhasil membuat satu bentuk.
14). Peneliti menanyakan perasaan responden setelah bermain clay.
35
15). Peneliti membersihkan tangan responden dengan tisue basah.
16). Peneliti memberikan hasil clay yang dibuat responden untuk
dibawa pulang oleh responden.
17). Kegiatan clay therapy sesi pertama diakhiri dengan melakukan
kontrak dengan orangtua untuk sesi kedua yang akan
dilaksanakan hari berikutnya.
18). Pada hari kedua kegiatan clay therapy dilaksanakan seperti
pada hari pertama.
19). Setelah kegiatan clay therapy sesi 2 selesai dilaksanakan,
peneliti memberikan kuesioner kembali untuk diisi oleh
orangtua responden.
20). Peneliti menanyakan pendapat orangtua tentang kegiatan clay
therapy ini.
21). Terminasi kepada responden dan orangtua serta mengucapkan
terimakasih atas kesediaannya menjadi responden.
3. Tahap pengolahan dan analisis data
Mengumpulkan hasil kuesioner kecemasan yang diisi orangtua
responden, memasukkan data hasil isian kuesioner, serta menganalisis
hasil data yang telah dimasukkan.
4. Tahap penyusunan laporan
Pembuatan pembahasan dan kesimpulan yang disusun ke dalam
laporan hasil penelitian untuk kemudian dipresentasikan.
36
I. Analisis Data
1. Pengolahan data
Data yang diperoleh diolah dengan komputer menggunakan program
statistik. Menurut Hastono (2001), pengolahan data dilakukan dengan
melewati beberapa tahapan yaitu:
a. Editing
Peneliti melakukan pengecekan data yang diperoleh meliputi
kelengkapan identitas dan data tentang hasil isian kuesioner
kecemasan anak.
b. Coding
Peneliti merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka. Data yang dilakukan coding meliputi usia yaitu 1= 3
tahun, 2= 4 tahun, 3= 5 tahun dan 4= 6 tahun coding jenis kelamin
1= laki-laki dan 2= perempuan serta coding riwayat pernah dirawat
di rumah sakit yaitu 1= pernah dan 2= tidak pernah.
c. Entry data
Peneliti memasukkan data dari hasil isian kuesioner
kecemasan ke dalam komputer agar data dapat dianalisis
menggunakan program statistik.
d. Tabulating
Peneliti meringkas jawaban dari hasil kuesioner kecemasan
menjadi tabel yang memuat semua jawaban responden. Jawaban
37
responden dikumpulkan dalam bentuk kode-kode yang disepakati
untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya.
2. Analisis data
a. Analisis univariat
Analisis data univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari
hasil penelitian. Data yang diperoleh pada analisis ini disajikan
dalam bentuk tabel frekuensi dan ukuran tendensi sentral (Saryono,
2011). Karakteristik responden seperti usia, jenis kelamin dan
riwayat pernah dirawat di rumah sakit disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi. Skor kecemasan sebelum dan skor kecemasan sesudah
clay therapy disajikan dalam bentuk ukuran tendensi sentral.
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui
interaksi dua variabel. Dalam penelitian ini, analisis bivariat
menggunakan uji statistik paired t-test yang mensyaratkan data
setiap variabel yang akan dianalisis berdistribusi normal sehingga
perlu adanya uji normalitas data sebelum dilakukan pengujian
hipotesis. Uji normalitas data menggunakan metode saphirowilk.
Uji normalitas skor kecemasan sebelum perlakuan hasilnya 0,50
dan setelah perlakuan hasilnya 0,18. Oleh karena hasilnya >0,05
maka data terdistribusi normal dan dianalisis menggunakan uji
statistik paired t-test.
38
J. Etika Penelitian
Hidayat (2008) menyatakan dalam penelitian yang subyeknya
adalah manusia dikenal 3 prinsip penelitian yaitu:
1. Prinsip manfaat
Peneliti memperkecil risiko dan memaksimalkan manfaat.
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
pasien anak yang menjalani hospitalisasi, orangtua pasien dan petugas
kesehatan yang merawat pasien anak di RSUD Banyumas.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
a. Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden (right to self-
determination).
Orangtua pasien diberi kebebasan untuk menentukan apakah
anaknya diizinkan mengikuti atau tidak mengikuti kegiatan
penelitian.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan
(right to full disclosure).
Peneliti memberikan penjelasan secara rinci kepada orangtua
pasien dan pasien tentang pelaksanaan clay therapy yang akan
diberikan dan bertanggungjawab ketika pelaksanaan terapi dan
sesudah pelaksanaan terapi. Clay therapy yang diberikan aman untuk
anak-anak karena selama kegiatan terapi, peneliti dan orangtua
responden akan mendampingi.
39
c. Informed consent
Peneliti memberikan informed consent pada orangtua sebagai
bukti bahwa orangtua setuju jika anaknya menjadi responden dalam
penelitian.
3. Prinsip keadilan (right to justice)
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair
treatment).
Seluruh pasien harus diperlakukan secara adil baik sebelum,
selama dan sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya
diskriminasi apabila ternyata orangtua pasien menolak atau tidak
bersedia menjadi responden.
b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy).
Responden mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang
diberikan harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya anonymity
(tanpa nama) yaitu tidak mencantumkan nama responden pada
lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode dan confidentiality
(rahasia) merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini disajikan hasil dan pembahasan. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi usia, jenis kelamin, riwayat
pernah dirawat di rumah sakit, skor kecemasan responden sebelum dan
sesudah dilakukan clay therapy dan pengaruh clay therapy terhadap
kecemasan akibat hospitalisasi pada pasien anak usia prasekolah di RSUD
Banyumas. Selanjutnya dilakukan pembahasan dari setiap hasil yang
dicapai pada penelitian. Penelitian pengaruh clay therapy terhadap
kecemasan akibat hospitalisasi pada pasien anak usia prasekolah di RSUD
Banyumas dilaksanakan selama 1 bulan dimulai pada tanggal 26 Juni
sampai 25 Juli 2013. Responden dalam penelitian ini sebanyak 18 pasien
anak usia 3-6 tahun. Pengukuran kecemasan menggunakan kuesioner yang
diisi berdasarkan laporan orangtua.
A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik responden
a. Usia
Responden dalam penelitian ini adalah pasien anak yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Data keseluruhan
responden penelitian berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 4.1
berikut.
41
Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan usia anak prasekolahyang dirawat di Ruang Kanthil RSUD Banyumas bulan Juni-Juli2013 (n=18)
No Usia Frekuensi Persentase(%)
1 3 tahun 6 33,32 4 tahun 2 11,13 5 tahun 5 27,84 6 tahun 5 27,8
Total 18 100
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.1 diketahui bahwa
sebagian besar responden berusia 3 tahun yaitu sebanyak 6
responden (33,3%). Hasil penelitian dinilai dari perubahan skor
kecemasan menunjukkan pada usia 3 dan 4 tahun, skor kecemasan
anak yang diberi clay therapy mengalami peningkatan sebanyak
100%. Sedangkan pada usia 5 tahun sebanyak 60% mengalami
penurunan skor kecemasan dan 40% mengalami peningkatan skor
kecemasan. Responden yang berusia 6 tahun sebanyak 40%
mengalami penurunan skor kecemasan, 20% mengalami peningkatan
skor kecemasan dan 40% skor kecemasannya tetap.
b. Jenis kelamin
Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.
42
Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin anakprasekolah yang dirawat di Ruang Kanthil RSUD Banyumas bulanJuni-Juli 2013 (n=18)
No Jenis kelamin Frekuensi Persentase(%)
1 Laki-laki 12 66,72 Perempuan 6 33,3
Total 18 100
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.2 sebagian besar
responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 12 responden
(66,7%). Hasil penelitian dinilai dari perubahan skor kecemasan
menunjukkan pada responden laki-laki sebanyak 58,33% mengalami
peningkatan skor kecemasan, 25% mengalami penurunan skor
kecemasan dan 16,67% skor kecemasannya tetap. Sedangkan pada
responden perempuan sebanyak 33,3% mengalami penurunan skor
kecemasan dan 66,67% mengalami peningkatan skor kecemasan.
c. Riwayat pernah dirawat di rumah sakit
Distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat pernah
dirawat di rumah sakit dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan riwayat pernahdirawat di RS anak prasekolah yang dirawat di Ruang Kanthil RSUDBanyumas bulan Juni-Juli 2013 (n=18)
No Riwayat pernah dirawat diRumah Sakit
Frekuensi Persentase(%)
1 Pernah 6 33,32 Tidak pernah 12 66,7
Total 18 100
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.3 sebagian besar
responden tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya yaitu
43
sebanyak 12 responden (66,7%). Hasil penelitian dinilai dari
perubahan skor kecemasan menunjukkan pada responden yang
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya sebanyak 83,33%
mengalami peningkatan skor kecemasan dan 16,67% mengalami
penurunan skor kecemasan. Sedangkan pada responden yang tidak
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya sebanyak 50% mengalami
peningkatan skor kecemasan, 33,33% mengalami penurunan skor
kecemasan dan 16,67% skor kecemasannya tetap.
2. Skor kecemasan responden sebelum dan setelah dilakukan clay therapy
Skor kecemasan responden sebelum dan setelah dilakukan clay
therapy dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4 Skor kecemasan responden sebelum dan setelah dilakukanclay therapy pada anak prasekolah yang dirawat di Ruang KanthilRSUD Banyumas bulan Juni-Juli 2013 (n=18)
Variabel MeanMedian
SD Min-Max 95% CI
Skor kecemasan pretest
28,9428,50
4,425 19-36 26,74-
31,15Skor kecemasan posttest
29,9430,00
4,771 20-43 27,57-
32,32
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa rata-rata responden
memiliki skor kecemasan sebelum diberikan clay therapy 28,94. Skor
kecemasan minimal sebelum diberikan clay therapy yaitu 19 dan
maksimal 36 dengan standar deviasi 4,425. Hasil estimasi interval
penelitian disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata skor kecemasan
sebelum diberikan perlakuan adalah antara 26,74-31,15.
44
Skor kecemasan setelah diberikan clay therapy rata-rata adalah
29,94. Skor kecemasan minimal setelah diberikan clay therapy yaitu 20
dan maksimal 43 dengan standar deviasi 4,771. Hasil estimasi interval
penelitian disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata skor kecemasan
setelah diberikan perlakuan adalah antara 27,57- 32,32.
3. Pengaruh clay therapy terhadap kecemasan akibat hospitalisasi pada
pasien anak usia prasekolah di RSUD Banyumas
Pengaruh clay therapy terhadap kecemasan akibat hospitalisasi
pada pasien anak usia prasekolah di RSUD Banyumas dapat dilihat
pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Pengaruh clay therapy terhadap kecemasan akibathospitalisasi pada pasien anak usia prasekolah di RSUD Banyumasbulan Juni-Juli 2013 (n=18)
Variabel Min-Max
Mean±SD t df p value
Pre test clay therapyPost test claytherapy
19-3620-43
28,94±4,42529,94±4,771
-1,174 17 0,257
Data dianalisa dengan uji statistik paired samples t test dengan
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil uji ini,
didapatkan nilai p value adalah 0,257 dengan demikian p value>α
(0,257 > 0,05), maka Ha ditolak dan Ho diterima. Dari analisa tersebut
dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh clay therapy terhadap
kecemasan akibat hospitalisasi pada pasien anak usia prasekolah di
RSUD Banyumas.
45
B. Pembahasan
1. Karakteristik responden
a. Usia
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden berusia 3 tahun. Potter & Perry (2005) menyatakan
usia prasekolah merupakan masa kanak-kanak awal yaitu pada usia
3-6 tahun. Susilo (2007) dalam Barokah et al (2012) menyatakan
pada usia prasekolah awal merupakan fase dimana anak mulai
terlepas dari orangtuanya dan mulai berinteraksi dengan lingkungan.
Hal ini menyebabkan perubahan-perubahan yang membuat anak
merasa terbebani dan membuatnya mudah terkena penyakit. Muscari
(2005) menyebutkan bahwa awal masa prasekolah pada usia 3 tahun,
anak lebih rentan mengalami kecelakaan dan cidera. Cidera yang
dialami dapat berupa jatuh, aspirasi dan luka bakar sehingga
memungkinkan anak untuk menjalani perawatan di rumah sakit.
Muscari (2005) menjelaskan perkembangan psikososial anak
usia prasekolah menurut teori Erikson yaitu “inisiatif versus rasa
bersalah.” Anak memiliki keingintahuan dan inisiatif yang
berkembang mengarah pada eksplorasi aktif terhadap lingkungan,
perkembangan keterampilan baru dan membuat teman baru.
Sementara itu, rasa bersalah muncul pada diri anak ketika anak
merasa berperilaku tidak benar dan tidak sesuai dengan harapan
orangtua. Potter & Perry (2005) menyatakan selama hospitalisasi
46
anak prasekolah mungkin kembali ngompol atau menghisap ibu jari,
menginginkan orangtua untuk menyuapi ketika makan, memakaikan
pakaian dan memeluk anak. Selama proses penelitian, peneliti juga
menjumpai kebanyakan responden disuapi orangtua ketika makan,
minum menggunakan sedotan dan dipakaikan baju oleh orangtuanya.
Hidayat (2005) menyatakan anak usia prasekolah seharusnya sudah
memiliki kemampuan makan sendiri, minum dari gelas dan tidak
lagi mengompol. Akan tetapi, hospitalisasi menyebabkan anak minta
disuapi orangtua ketika makan, minum menggunakan sedotan dan
memakai pampers sehingga hospitalisasi pada anak dapat
menyebabkan regresi.
Berdasarkan perhitungan dari perubahan skor kecemasan dapat
disimpulkan pada usia 3 dan 4 tahun responden lebih banyak yang
mengalami peningkatan skor kecemasan dibandingkan usia 5 dan 6
tahun. Hal ini berarti clay therapy lebih berpengaruh pada anak usia
5 dan 6 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Rahmani & Moheb (2010) yang menyatakan bahwa clay therapy
efektif dapat menurunkan kecemasan pada anak usia 6 tahun.
b. Jenis kelamin
Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin
responden menunjukkan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki.
Hal ini dikarenakan jumlah pasien anak prasekolah yang menjalani
rawat inap di ruang Kanthil lebih banyak yang berjenis kelamin laki-
47
laki dibandingkan perempuan. Wong (2007) menyatakan anak
perempuan pada umumnya lebih adaptif terhadap stresor
dibandingkan dengan anak laki-laki sehingga anak laki-laki lebih
banyak yang dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan anak
perempuan. Hurlock (2002) menyatakan jenis kelamin anak akan
memengaruhi aktivitas bermain anak. Anak laki-laki lebih banyak
melakukan permainan yang menghabiskan energi dibandingkan anak
perempuan, sehingga anak laki-laki lebih berisiko terkena penyakit
atau cidera.
Berdasarkan perhitungan dari perubahan skor kecemasan dapat
disimpulkan anak perempuan lebih banyak yang mengalami
peningkatan skor kecemasan dibandingkan anak laki-laki. Hal ini
berarti clay therapy lebih berpengaruh pada anak laki-laki. Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rochayah (2012) yang
menyatakan bahwa anak laki-laki lebih banyak yang mengalami
peningkatan kreativitas setelah bermain plastisin dibandingkan anak
perempuan. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Katinawati et al
(2012) yang menyatakan terapi bermain efektif untuk menurunkan
kecamasan dan penurunan kecemasan terbanyak terjadi pada
responden laki-laki.
c. Riwayat pernah dirawat di rumah sakit
Distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat pernah
dirawat di umah sakit menunjukkan sebagian besar responden belum
48
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Berdasarkan perhitungan
dari perubahan skor kecemasan dapat disimpulkan anak yang belum
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya lebih banyak yang
mengalami penurunan skor kecemasan dibandingkan anak yang
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Hal ini berarti clay
therapy lebih berpengaruh pada anak yang belum pernah mengalami
perawatan di rumah sakit sebelumnya. Hasil ini tidak sesuai dengan
penelitian Subardiah (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan setelah pemberian permainan terapeutik
antara anak yang pernah dirawat sebelumnya dengan yang belum
pernah. Hal ini dapat disebabkan karena keadaan anak pada saat
pelaksanaan clay therapy tidak semua anak dalam keadaan yang
senang dan menyukai permainan tersebut. Selain itu, pengaruh dari
faktor lain seperti dukungan keluarga, posisi anak dalam keluarga
dan usia anak juga memengaruhi kecemasan anak saat hospitalisasi.
Supartini (2004) menyatakan reaksi anak terhadap hospitalisasi
berbeda-beda, sesuai dengan tahapan usia perkembangan anak,
pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang
tersedia dan kemampuan koping yang dimilikinya. Apriliawati
(2011) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman
pernah dirawat dengan kecemasan anak. Hal ini dapat disebabkan
mungkin karena tindakan medis yang didapatkan sebelumnya
meninmbulkan trauma bagi anak, sehingga walaupun anak pernah
49
dirawat sebelumnya tetapi memiliki pengalaman yang tidak
menyenangkan sehingga anak dapat mengalami kecemasan.
Riwayat pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya terjadi pada
pasien dengan diagnosa anemia aplastik, diare dan demam.
Sedangkan riwayat pernah dirawat di rumah sakit paling banyak
yaitu lebih dari 6 kali terjadi pada pasien dengan diagnosa anemia
aplastik. Mansjoer et al (2002) menyatakan tanda dan gejala dari
penyakit ini meliputi pucat, lemah, perdarahan, demam dan tanpa
organomegali. Pasien tersebut sering mengalami perdarahan
sehingga sering masuk ke rumah sakit.
2. Kecemasan responden sebelum dan setelah dilakukan clay therapy
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata responden
mengalami peningkatan skor kecemasan. Sebelum mendapatkan clay
therapy skor minimal 19 dan maksimal 36. Setelah mendapatkan clay
therapy skor minimal 20 dan maksimal 43. Kecemasan anak selama
hospitalisasi terjadi karena adanya stresor berupa perpisahan dengan
keluarga, kehilangan kontrol, dan ketakutan akan perlukaan terhadap
anggota tubuh (Johnson,1989; dalam Alfiyanti et al, 2007). Potter &
Perry (2005) menyatakan kecemasan terbesar anak usia prasekolah
adalah kecemasan akan kerusakan tubuh. Semua prosedur atau tindakan
keperawatan baik yang menimbulkan nyeri maupun tidak, keduanya
dapat menyebabkan kecemasan bagi anak usia prasekolah selama
50
hospitalisasi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pemahaman anak
usia prasekolah tentang integritas tubuh.
Pada penelitian ini dijumpai sebanyak 5 responden mengalami
penurunan skor kecemasan, 2 responden skor kecemasannya tetap dan
11 responden mengalami peningkatan skor kecemasan. Responden yang
mengalami penurunan skor kecemasan berusia antara 5-6 tahun. Hasil
ini sesuai dengan pendapat Feist (2009) yang menyatakan semakin
bertambahnya usia akan memengaruhi kematangan psikologis
seseorang, sehingga faktor usia memengaruhi kecemasan seseorang.
Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Rahmani & Moheb (2010) yang
menyatakan bahwa bermain clay efektif untuk menurunkan kecemasan
anak usia 6 tahun. Stuart & Laraia (2005) menyatakan anak yang lebih
muda cenderung lebih cemas dibandingkan anak yang lebih tua. Hal ini
terbukti bahwa dalam penelitian ini anak yang mengalami penurunan
skor kecemasan adalah anak yang berusia 5 dan 6 tahun. Tahap
perkembangan anak antara usia 3-6 tahun yang berbeda-beda juga dapat
menjadi penyebab berbedanya skor kecemasan anak.
Anak yang mengalami peningkatan skor kecemasan terdiri dari 6
anak yang sebelumnya belum pernah mengalami perawatan di rumah
sakit dan 5 anak yang sudah pernah mengalami perawatan di rumah
sakit. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Supartini (2004) yang
menyatakan pengalaman anak sebelumnya terhadap perawatan di
rumah sakit memengaruhi kecemasan anak. Akan tetapi hasil penelitian
51
ini sesuai dengan pendapat Apriliawati (2011) yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara pengalaman pernah dirawat dengan
kecemasan anak. Hal ini dapat disebabkan mungkin karena tindakan
medis yang didapatkan sebelumnya menimbulkan trauma bagi anak,
sehingga walaupun anak pernah dirawat sebelumnya tetapi memiliki
pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga anak dapat mengalami
kecemasan. Pengalaman dirawat sebelumnya tidak selalu memengaruhi
kecemasan anak. Oleh karena itu dukungan keluarga juga sangat
dibutuhkan anak, karena anak akan merasa lebih nyaman ketika dekat
dengan keluarganya.
Responden yang skor kecemasannya tetap sebanyak 2 responden.
Hal ini dapat disebabkan pada saat pelaksanaan penelitian mungkin
anak dalam keadaan tidak senang karena pada saat bermain clay anak
dalam keadaan bangun tidur. Sementara itu, orangtua anak menyuruh
anak untuk bermain bersama peneliti, padahal mungkin anak masih
dalam keadaan mengantuk. Wong (2001) menyatakan dalam aktivitas
bermain anak diajari teknik mengatasi kecemasan sebagai mekanisme
koping, misalnya teknik distraksi atau mengalihkan perhatian anak pada
aktivitas yang disukainya. Skor kecemasan yang tetap juga dapat
disebabkan karena anak mungkin kurang menyukai permainan clay.
Permainan yang disukai anak akan membuat anak merasa senang dan
menikmati permainan tersebut, sehingga jika anak kurang menyukai
jenis permainan yang dimainkan mungkin anak tidak merasakan
52
kesenangan dari permainan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat
Alfiyanti et al (2007) yang menyatakan metode bermain yang sesuai,
pendekatan perawat dan dukungan orangtua selama pemberian terapi
bermain berpengaruh terhadap reaksi anak selama tindakan dilakukan.
Keadaan di ruang perawatan yang asing bagi anak dapat
menyebabkan meningkatnya kecemasan selama hospitalisasi. Selain itu,
jarak antar pasien yang sangat dekat dapat membuat anak menjadi tidak
nyaman ketika pasien disebelahnya menangis saat dilakukan tindakan
perawatan. Sari & Sulisno (2012) menyatakan kecemasan yang terjadi
pada anak dapat juga diakibatkan karena ibu yang mendampingi anak
selama hospitalisasi merasa cemas dan memperlihatkan kecemasannya
tersebut di depan anak. Jadi jika ibu yang mendampingi anak selama
hospitalisasi semakin cemas, maka anak dapat semakin cemas pula.
3. Pengaruh clay therapy terhadap kecemasan akibat hospitalisasi pada
pasien anak usia prasekolah di RSUD Banyumas
Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan nilai p value adalah
0,257 yang artinya tidak ada pengaruh clay therapy terhadap kecemasan
akibat hospitalisasi pada pasien anak usia prasekolah di RSUD
Banyumas. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Supartini
(2004) yang menyatakan bermain memungkinkan anak terlepas dari
ketegangan dan stres yang dialami selama hospitalisasi. Ketika anak
melakukan permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada
53
permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya
melakukan permainan.
Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Rahmani & Moheb (2010) yang memberikan hasil
clay therapy dapat menurunkan kecemasan anak usia prasekolah di
sebuah taman kanak-kanak. Sementara itu, penelitian yang dilakukan
Naderi et al (2010) memberikan hasil yang sama juga. Hal ini dapat
disebabkan karena pada penelitian sebelumnya dilakukan pada anak
yang sehat dan sedang tidak menjalani hospitalisasi. Anak yang
menjalani perawatan di rumah sakit, biasanya akan dilarang untuk
banyak bergerak dan harus banyak beristirahat. Permainan clay yang
seharusnya bisa dilakukan dengan 2 tangan, hanya bisa dilakukan
dengan satu tangan karena adanya keterbatasan gerak pada tangan yang
sedang diinfus. Oleh karena itu, anak mungkin kurang merasa senang
dan nyaman ketika melakukan permainan tersebut.
Yusuf (2002) menyatakan salah satu permainan yang cocok untuk
anak usia prasekolah adalah permainan membentuk (konstruksi) dan
clay merupakan salah satu dari permainan membentuk. Hasil penelitian
Listiana & Aminin (2010) menyebutkan bahwa clay merupakan salah
satu APE (Alat Permainan Edukatif) karena dapat mengembangkan
aspek perkembangan anak dan mendorong aktivitas dan kreativitas
anak. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada pengaruh clay therapy
terhadap kecemasan akibat hospitalisasi pada pasien anak usia
54
prasekolah dikarenakan clay bukanlah satu-satunya jenis permainan
membentuk yang dapat diberikan pada anak usia prasekolah. Jenis
permainan membentuk lain yang dapat diberikan pada anak usia
prasekolah diantaranya adalah permainan origami dan puzzle. Penelitian
yang dilakukan oleh Suryanti et al (2011) memberikan hasil bahwa
bermain origami dapat menurunkan tingkat kecemasan anak usia
prasekolah selama hospitalisasi. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan oleh Barokah et al (2012) juga memberikan hasil bahwa
bermain puzzle dapat meningkatkan tingkat kooperatif anak selama
hospitalisasi.
Metode bermain yang sesuai, pendekatan perawat dan dukungan
orangtua selama pemberian terapi bermain juga berpengaruh terhadap
reaksi anak selama tindakan dilakukan (Alfiyanti et al, 2007).
Permainan yang disukai anak akan membuat anak merasa senang
melakukan permainan tersebut. Sementara itu, jika anak kurang
menyukai terhadap jenis permaianan tertentu mereka tidak akan
menikmati permainan yang mereka lakukan. Selama penelitian, peneliti
menemukan tidak semua anak menyukai permainan clay yang
diberikan. Oleh karena itu, tidak semua anak mengalami penurunan
skor kecemasan karena mungkin mereka tidak menikmati permainan
yang dikerjakan.
Responden tidak mengalami penurunan skor kecemasan dapat juga
disebabkan oleh kondisi fisik anak akibat penyakit yang diderita, pola
55
asuh dan dukungan keluarga yang kurang. Pola asuh anak dapat
memengaruhi koping yang digunakan anak. Anak yang terbiasa
dimanjakan dan jarang diajak bermain dengan teman sebayanya akan
sulit bersosialisasi dan menerima keberadaan orang lain di sekitarnya.
Sementara itu, anak yang di rumah kurang diperhatikan akan banyak
mencari perhatian dengan rewel dan cenderung bertindak agresif
(Sukoati & Astarani, 2012).
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti masih memiliki beberapa
keterbatasan. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah:
1. Desain penelitian yang digunakan tanpa kelompok kontrol, sehingga
peneliti hanya bisa membandingkan hasil dari pre test dan post test.
2. Subjek penelitian kurang homogen, karena terbatasnya anak yang
memiliki pengalaman hospitalisasi yang sama.
3. Faktor pengaruh yang tidak bisa dikendalikan oleh peneliti: partisipasi
orangtua dan keadaan umum anak saat pelaksanaan penelitian.