A. DEFINISI
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Muttaqin, 2008).
Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000 : 2210).
Cedera Kepala sedang adalah suatu trauma yang menyebabkan
Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam dapat mengalami fraktur tengkorak dengan GCS 9-12.
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan
otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
B. ETIOLOGI
1. Trauma tumpul
Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
2. Trauma tembus
luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
3. Jatuh dari ketinggian
4. Cedera akibat kekerasan
5. Cedera otak primer
Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung
dari trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi.
6. Cedera otak sekunder
Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma.
C. MANIFESTASI KLINIK
1. Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak
Trauma kepala tertutup
Trauma kepala terbuka
2. Trauma pada jaringan otak
Konkosio : di tandai adanya kehilangan kesadaran sementara tanpa
adanya kerusakan jaringan otak, terjadi edema serebral.
Kontosio : di tandai oleh adanya perlukaan pada permukaan
jaringan otak yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka,
perlukaan pada permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi
yang terkena ( coup) atau pada permukaan sisi yang berlawanan
(contra coup).
Laserasi : ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang subaraknoid,
ruang epidural atau subdural. Perdarahan yang berasal dari vena
menyebabkan lambatnya pembentukan hematome, karena rendahnya
tekanan. Laserasi arterial ditandai oleh pembentukan hematome yang
cepat karena tingginya tekanan.
3. Hematom epidural
Perdarahan antara tulang tengkorak dan duramater.
Lokasi tersering temporal dan frontal.
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
Katagori talk and die.
Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
Penurunan kesadaran ringan saat kejadian periode Lucid (beberapa
menit beberapa jam) penurunan kesadaran hebat koma, deserebrasi,
dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik
positip.
4. Hematom subdural
Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
Biasanya pecah vena akut, sub akut, kronis.
Akut :
Gejala 24 48 jam, Sering berhubungan dnegan cidera otak &
medulla oblongata, PTIK meningkat, Sakit kepala, kantuk, reflek
melambat, bingung, reflek pupil lambat
Sub Akut :
Berkembang 7 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK
meningkat kesadaran menurun.
Kronis :
Ringan , 2 minggu 3 4 bulan, Perdarahan kecil-kecil terkumpul
pelan dan meluas, gejala sakit kepala, letargi, kacau mental,
kejang, disfagia.
5. Hematom intrakranial
Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih
Selalu diikuti oleh kontosio
Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi
deselerasi mendadak
Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema
lokal.
Pengaruh Trauma Kepala :
Sistem pernapasan
Sistem kardiovaskuler
Sistem Metabolisme
D. PATOFISIOLOGI
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat
dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan
jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan
cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis,
akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya
berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital
dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala
anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi,
robekan atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi,
robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit
neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang
progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila
kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak
organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal
ini terjadi karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan,
ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga cairan akan
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya
perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan
interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang
tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya,
terutama pada vena-vena gantung (bridging veins). Robeknya vena
yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan
subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang
subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak
juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera
regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi
kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan
mengalami penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang,
sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang akhirnya
gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan
peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan
edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang
sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak.
Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi
kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan
menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer
otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1. CT Scan
mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Aniografi Cerebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
3. X-Ray
Mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/ edema)
4. AGD (Analisa Gas Darah)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan intrakranial
5. Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat
peningkatan tekanan intrakranial
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Konservatif:
a. Bedrest total
b. Pemberian obat-obatan
c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
2. Obat-obatan :
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya traumTerapi
hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi
vasodilatasi.
b. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
c. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin)
atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
d. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %,
amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2
3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
e. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu
banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam
kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500
3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogen
f. Pembedahan.
G. TERAPI FARMAKOLOGI
Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Arif Mansjoer,
dkk, 2000)
1. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera
kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg
intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/
kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak
melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat, Antikejang fenitoin
diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu
pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan
intrakranial traumatik. Pemberianfenitoin tidak mencegah timbulnya
epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita
kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin
harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan
hipermetabolisme fenitoin.
2. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons
hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi
dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik
atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari
ke-2 perawatan)
3. Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF)
mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan
asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik)
diberikan bila perlu.
4. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan
pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi,
hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai
sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
5. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis
atau koagulopati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang
meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam
atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2antagonis lain atau
inhibitor proton.
6. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis
pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial.
Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis penumokok
pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan
organisme yang lebih virulen.
7. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi
8. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%
9. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
10. Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
11. Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan
penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi
retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari)
tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui
nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung
nilai urea.
H. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan
data baik subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya.
Data-data dalam pengkajian ini meliputi:
1. Identitas klien
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada
usia produktif atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria,
agama, pendidikan, pekerjaan klien biasanya berhubungan dengan
sarana transportasi, status marital, suku bangsa, tanggal masuk
rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek,
diagnosa medis dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
2. Riwayat kesehatan
a. Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas,
namun tidak menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada
Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana,
penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah
atau perdarahan dari hidung atau telinga.
b. Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah
sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan
apabila klien sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung,
mengeluh muntah, dispnea, tachipnea, sakit kepala, wajah tidak
simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka di kepala, akumulasi
sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga
dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan
akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat
menyebabkan konkusio atau kontusio serebri yang mengakibatkan
penurunan kesadaran kurang atau bisa lebih dari 24 jam.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau
penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga
apakah klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya,
memakai Helm dalam mengendarai kendaraan, meminum minuman
beralkohol atau obat-obatan terlarang.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular,
kebiasaan buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan
kesehatan anggota keluarga.
3. Pemeriksaan fisik
a. Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman
maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur
(cheyne stokes, ataxia breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor,
adanya sekret pada trakheo bronkhiolus, adanya retraksi dinding
dada.
b. Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun
kecuali apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka
tekanan darah meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian
bradikardi atau iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja
jantung untuk membantu mengurangi tekanan intra kranial.
c. Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang
normal atau bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi,
perut kembung, bibir dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat
mual dan muntah. kadang-kadang konstipasi karena klien tidak boleh
mengedan atau inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi
abdomen terdengar timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium,
penurunan berat badan.
d. Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar,
sedangkan pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia
urine dan fekal, jumlah urine output biasanya berkurang. Terdapat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat
hiponatremia atau hipokalemia.
e. Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan
involunter, kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur,
kekuatan otot mungkin menurun atau normal.
f. Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu
tubuh mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga
dari operasi biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/
belum kering. biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan
perdarahan dimeningen. Data fisik yang lain adalah mungkin
didapatkan luka lecet dan perdarahan pada bagian tubuh lainnya.
Bentuk muka mungkin asimetris.
g. Sistem persyarafan
1) Test fungsi serebral
a) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam orientasi,
daya ingat, perhatian dan perhitungan serta fungsi bicara klien
sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang dari normal atau
kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
b) Tingkat kesadaran
c) Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai
lethargi. Kuantitas: nilai GCS: 9-12
d) Pengkajian bicara
(1). Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih
dari satu kata misalnya sakit kepala atau rumah sakit
(2) Proses ekspresif
Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan
tidak jelas
a) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria,
dkk, 1996: 55)
1) Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia
bilateral yang disebabkan karena terputusnya serabut olfaktorius
selain karena trauma kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.
2) Nervus II (optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan
daya penglihatan, penurunan lapang pandang
3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial
akan menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis
karena tekanan pada bagian pinggir nervus III yang mengandung
serabut parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang
terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala
lainnya berupa refek cahaya menurun, anisokor.
4) Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
5) Nervus VII (fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral
dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3
bagian lidah anterior
6) Nervus VIII (akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran
dan keseimbangan tubuh.
7) Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila
trauma mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena
kompresi pada nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan
diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan
yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan
intrakranial.
8) Nervus XII (hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu
sisi, disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan
menelan.
4. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis
tidak dapat dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya
agak normal (GCS: 13-15) akan terlihat adanya gangguan emosi,
perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis,
delirium.
5. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan
orang-orang terdekat dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan
peranannya dalam keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan
kesadaran data sosial tidak dapat dikaji. Sedangkan pada klien yang
tingkat kesadarannya normal, pada klien trauma kepala akan
didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada lobus
temporal.
6. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat
dikaji, sehingga data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat
dan falsafah hidup serta keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat
terkaji.
7. Data penunjang (Doenges, et al, 2000:272)
a. Pemeriksaan analisa gas darah Biasanya memperlihatkan
acidosis respiratorik yaitu:
1) PH darah: < 7,35
2) PaO2 menurun antara 60-80 mmHg
3) PaCO2 : > 45 mmHg
4) HCO3: >22-26 mEq/l
5) Base excess: -2,5 s.d + 2,5
6) Saturasi: 95%
b. Pemeriksaan elektrolit biasanya didapatkan gambaran:
1) Natrium: > 14 mEq/l
2) Kalium: < 3,5 mEq/l
3) Kalsium: > 11 mg%
4) Fosfat: 3 mg%
5) Chlorida: > 107 mEq/l
c. Pemeriksaan HB dan leukosit biasanya didapatkan:
1) Penurunan HB (kurang dari normal: 13-18 gr/dl)
2) Leukosit meningkat (lebih dari normal: 3,8 10,6 ribu mm3)
d. CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan: Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemia/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca
trauma.
e. MRI: Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan
kontras
f. Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan,
trauma
g. EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
h. Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan,
oedema), adanya fragmen tulang
i. BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi
kortexs dan batang otak
j. PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan
aktifitas metabolisme pada otak
k. Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya
perdarahan subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga
terjadi iritasi meningen mengakibatkan meningitis
l. Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran
m. Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat therapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
1. BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum
pada jalan napas.
2. BLOOD:Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan
darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3.BRAIN
a. Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
b. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
c. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
d. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
e. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
f. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus
g. menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
h. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
4.BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5.BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera.Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6. BONEPasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.
I. ANALISA DATA
No
Symtom
Etiologi
Problem
1.
Do :
Mengalami trauma kepala
Luka scar pada dahi
Perubahan tekanan darah
Cedera kepala
(kecelakaan, jatuh, trauma tumpul, deselerasi, dll)
Mengenai tulang tengkorak
Terjadi robekan arteri meningeal media
Aliran meningen menjadi rusak
Hematom epidural
Menekan lobus temporalis
Kompresi
Okulomotorius
Palpebra ptosis
Peningkatan TIK
Kompensasi tubuh vasokontriksi
Gangguan autoregulasi
Iskemia
Hipoksia, hipoksemia
(Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral)
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral
2.
Do:
Menahan nyeri
Perubahan tekanan darah
Perubahan frekuensi pernapasan
Gelisah
Meringis
Tingkah laku berhati-hati
Cedera kepala
(kecelakaan, jatuh, trauma tumpul, deselerasi, dll)
Mengenai tulang tengkorak
Terjadi robekan arteri meningeal media
Aliran meningen menjadi rusak
Hematom epidural
Menekan lobus temporalis
Kompresi
Okulomotorius
Dilatasi
Peningkatan TIK
Nyeri kepala
(Nyeri Akut)
Nyeri Akut
3.
Do:
Gelisah
Gugup
Bingung
Wajah tegang
Peningkatan keringat
Cedera kepala
(kecelakaan, jatuh, trauma tumpul, deselerasi, dll)
Mengenai tulang tengkorak
Terjadi robekan arteri meningeal media
Aliran meningen menjadi rusak
Hematom epidural
Kurang informasi
(Ansietas)
Ansietas
4.
Cedera kepala
(kecelakaan, jatuh, trauma tumpul, deselerasi, dll)
Mengenai tulang tengkorak
Terjadi robekan arteri meningeal media
Aliran meningen menjadi rusak
Hematom epidural
Menekan lobus temporalis
Kompresi
Korteks serebri
Suplai O2 ke otak menurun
Penurunan Kesadaran
(Resiko tinggi cedera)
Resiko Tinggi Cedera
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral (otak) berhubungan
dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema
cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia
jantung).
2. Nyeri Akut dengan agen pencedera biologis, adanya proses
infeksi/inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi.
3. Ansietas berhubungan dengan keadaan pasien
4. Resiko Tinggi Cedera
K. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan
Kriteria Hasil (NOC)
Aktivitas (NIC)
ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Circulation status
Tissue prefusion:cerebral
Kriteria Hasil:
1)Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan
Tekanna systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
Tidak ada ortosttik hipertensi
Tidak ada tanda peningakatan TIK
2)Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
Berkomunikasidenganjelasdansesuaidengankemampuan
Menunjukkanperhatian, konsentrasidanorientasi
Memprosesinformasi
Membuatkeputusandenganbenar
Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh: tingkat
kesdaran membaik, tidak ada gerakan gerakan involunter
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan
fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Peripheral sensation management
( menejemen sensasi perifer)
Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas
dingin, tajam, tumpul
Monitor adanya paratese
Instrusikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lesi
atau laserasi
Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
Monitor kemmapuan BAB
Kolaborasi pemberian analgetik
Monitor adanya trombo plebitis
Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan
dengan nilai standar GCS.
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan,
reaksi terhadap cahaya.
Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti
lingkungan yang tenang.
Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah,
mengejan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat
ditoleransi.
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid,
antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
Nyeri Akut
Melaporkan nyeri hilang/terkontrol, menunjukkan postur rileks,
dan mampu tidur/beristirahat dengan tepat.
1.Berikan lingkungan yang tenang ruangan yang agak gelap sesuai
dengan indikasi.
2.Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri
yang penting.
3.Letakkan kantong es pada kepala pakaian dingin diatas
mata.
4.Dukung untuk menentukan posisi yang nyaman.
5.Berikan latihan rentang gerak ak-tif/pasif secara tepat dan
masase otot daerah leher / bahu.
6.Kaji tingkat skala nyeri catat lo-kasi, karakteristik.
7.Kolaborasi dalam pemberian ob-at-obatan sesuai indikasi
(anal-getik).
Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada
pasien
Kecemasan keluarga dapat berkurang
Kriteri evaluasi :
-Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
-Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
-Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan
meningkat.
Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga. Dengarkan
dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
-Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan
dilakukan pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
-Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan
klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
-Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan
keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.
Resiko Tinggi Cedera
Cedera tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1)Klien tidak mengalami cedera
2)Tidak terjadi luka baru
3)Kesadaran meningkat
1. Libatkan keluarga untuk terus menemani klien
2. Modifikasi lingkungan dengan cara:
menjauhkan benda-benda tajam, memasang bed plang, bantahan di
pinggir tempat tidur
3. Pasang restrain dan fiksasi klien bila perlu
4. Berikan penjelasan pada keluarga tentang pencegahan
trauma
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB
Ilmu Bedah XI Traumatologi , Surabaya.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat,
Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym, Intracranial Hemorrhage,www.ispub.com
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Edisi 3 . EGC.
Jakarta.
NANDA, 2001-2002,Nursing Diagnosis: Definitions and
classification,Philadelphia, USA
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi
Revisi. EGC, Jakarta.
UniversityIOWA., NIC and NOC Project., 1991,Nursing outcome
Classifications, Philadelphia, USA