CEDERA KEPALA PERDARAHAN INTRASEREBRAL Pembimbing: dr. H. Guido Muhammad Solihin, Sp.An Disusun Oleh: Siska Febrina (080100018) Marianto (080100112) Rini Y Andalia (080100197) DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
CEDERA KEPALA
PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Pembimbing:
dr. H. Guido Muhammad Solihin, Sp.An
Disusun Oleh:
Siska Febrina (080100018)
Marianto (080100112)
Rini Y Andalia (080100197)
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat
pada waktunya.
Pada laporan kasus ini kami menyajikan kasus mengenai cedera kepala:
perdarahan intraserebral. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Guido Muhammad Solihin, Sp.An, atas kesediaan
beliau sebagai pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini. Besar
harapan kami, melalui laporan ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai
cedera kepala semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum
sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan laporan kasus ini. Atas bantuan dan segala dukungan
dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima
kasih. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan.
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................11.1. Latar Belakang......................................................................................11.2. Tujuan Penulisan...................................................................................21.3. Manfaat Penulisan ................................................................................2
amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate, dan kanal Ca2+ dan Na+ yang
bergantung pada tegangan. Influks dari Ca2+ dan Na+ menyebabkan aktifnya lipid
peroksidase, protease, dan fosfolipase yang meningkatkan radikal bebas dan asam
lemak bebas. Aktivasi kaspase, translokase, dan endonuklease akan memulai
perubahan struktural progresif dari membran dan DNA nukleosom. Perubahan ini
selanjutnya akan menyebabkan degradasi membran vaskular dan sel yang pada
akhirnya menjadi apoptosis.12
Kejang post trauma dapat dikelompokkan menjadi segera (terjadi dalam
waktu 7 hari setelah trauma), atau lambat (terjadi > 7 hari setelah trauma).
Beberapa faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya
kejang post trauma antara lain skor GCS < 10, kontusi kortikal, fraktur depresi
tengkorak, hematom subdural, hematom epidural, hematom intracerebral, luka
penetrasi, dan kejang dalam waktu 24 jam setelah trauma. Edema otak difus atau
lokal merupakan komplikasi yang serius dari cedera kepala dan dapat berlanjut
pada peningkatan tekanan intrakranial. Efek massa dari edema meningkat dalam
waktu 72 jam setelah trauma.4,21
Hipertensi intrakranial setelah terjadinya trauma kranioserebral dapat
disebabkan oleh hematom intrakranial, edema cerebral, atau hiperemia cerebral.
Hukum Monro Kellie menyatakan bahwa adanya sedikit perubahan pada volume
intrakranial dapat secara jelas menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial
karena sifat tulang tengkorak yang rigid (kaku) dan inelastik. Pada situasi normal,
volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% cairan cerebrospinal, dan
10% volume darah intrakranial yang terdapat didalam tulang tengkorak yang kaku
dan tidak dapat meluas. Tiga komponen ini memiliki pengaruh terhadap tekanan
intrakranial yang secara normal tetap terjaga dalam batas 0-15 mmHg sat diukur
pada ventrikel lateral. Adanya peningkatan volume dari salah satu kompartemen
atau adanya penambahan kompartemen baru yang sifatnya patologis (seperti
perdarahan intrakranial), harus dapat dikompensasi oleh pengurangan volume dari
kompartemen lainnya. Mekanisme kompensasi yang merupakan buffer atau
penyangga seperti perubahan volume, meliputi peningkatan absorpsi cairan
12
cererospinal, redistribusi cairan cerebrospinal dari ruang intrakranial ke ruang
subarachnod medula spinalis, dan reduksi volume darah cerebral. Daya tampung
(komplians) cerebral menunjukkan adanya perubahan volume intrakranial dapat
mempengaruhi perubahan tekanan intrakranial. Saat terjadi edema otak, cerebrum
meluas dan cairan mengalami pergeseran tempat dari kompartemen intrakranial.
Sehingga, komplians akan menurun dan tekanan intrakranial meningkat dengan
cepat. Saat uncus ipsilateral dari lobus temporal bagian medial membengkak dan
menekan serat saraf pupilokonstriktor dari nervus oculomotorius perifer maka
dapat terjadi dilatasi pupil.14,17,21,22
Falx cerebri, tentorium cerebelli, dan foramen magnum merupakan
struktur yang relatif kaku (rigid) dan menjadi pemisah daerah otak. Karena
banyak proses patologik bersifat fokal, maka gradien tekanan dapat disebarkan
secara merata diantara setiap kompartemen intrakranial. Adanya peningkatan
tekanan intraranial dapat menimbulkan efek yang buruk melalui adanya gradien
tekanan diantara setiap kompartemen otak yang berbeda. Kombinasi dari
pergeseran otak akibat adanya massa fokal, tekanan intrakranial yang tinggi, dan
gradien tekanan diantara pemisah dura dan tulang (falx cerebri, tentorium, dan
foramen magnum) dapat menyebabkan jaringan otak mengalami herniasi dari
kompartemen dengan tekanan yang tinggi ke kompartemen dengan tekanan yang
rendah. Jika gradien tekanan ini memiliki besar yang cukup, maka dapat terjadi
pergeseran atau herniasi jaringan otak dan dapat mengakibatkan kompresi struktur
yang vital. Sebagai contoh, herniasi transtentorial dapat terjadi saat peningkatan
tekanan dan volume supratentorial cukup untuk menggeser uncus dan bagian
medial dari lobus temporal melalui celah tentorial; yang menyebabkan kompresi
dan disfungsi dari midbrain dan nervus okulomotorius. Herniasi transtentorial
ditunjukkan oleh adanya pupil yang dilatasi ipsilateral dan pupil yang terfiksasi
atau reaktif. Kompresi medula terjadi saat tekanan intrakranial meningkat dan
tonsilla cerebellar mengalami herniasi melalui foramen magnum. Kondisi ini yang
dikenal sebagai herniasi tonsilar, dapat berakibat fatal karena lokasi pusat respirasi
dan vasomotor yang vital berada pada area di batang otak ini. Selain itu, karena
tekanan perfusi cerebral berhubungan dengan tekanan intrakranial, maka
13
peningkatan tekanan intrakranal dapat menimbulkan gangguan perfusi cerebral.
Pada otak yang normal, aliran darah ke otak tetap konstan sekitar 50 ml/100 gr
jaringan otak per menit, selama mekanisme autoregulasi cerebral masih intak,
dimana terjadi perubahan diameter dan resistensi dari pembuluh darah cerebral
akibat adanya perubahan tekanan, sehingga aliran darah ke otak yang konstan
tetap dipertahankan selama tekanan perfusi cerebral sekitar 50-150 mmHg. Jika
tekanan rata-rata arteri sangat menurun atau terjadi peningkatan tekanan
intrakranial, maka selanjutnya tekanan perfusi cerebral menjadi sangat rendah
untuk dapat dikoreksi oleh mekanisme autoregulasi, sehingga hal ini dapat
menimbulkan iskemi cerebral. Jika tekanan perfusi cerebral berkurang dalam
jumlah yang besar (< 40-50 mmHg) maka dapat terjadi iskemi atau infark
cerebral. Sehingga monitoring tekanan darah sistemik merupakan hal yang
penting dilakukan saat terjadi peningkatan tekanan intrakranial.14,23
Saat hematom intrakranial makin meluas, maka akan menimbulkan
kompresi dan pergeseran dari struktur di sekitarnya. Perluasan ini dapat
menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial saat kapasitas penyangga dari isi
tengkorak sudah habis. Bukti adanya iskemia kadang ditemukan pada saat autopsi
setelah cedera kepala tumpul. Iskemi fokal dapat terjadi pada lokasi kontusi atau
dapat diakibatkan oleh vasospasme yang diinduksi oleh perdarahan subarachnoid
traumatik. Iskemi global dapat disebabkan oleh hipotensi sistemik atau
menurunnya tekanan perfusi cerebral yang ditimbulkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial.23
Iskemia pasca trauma dapat menginisiasi kaskade peristiwa metabolik
yang berlanjut menjadi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, asam amino
eksitatorik, sitokin, dan agen inflamasi lainnya. Glutamat dan aspartat merupakan
asam amino eksitatorik yang paling sering terbentuk pada cedera eksitotoksik,
dimana pembentukannya dimediasi oleh aktivasi N-metil-D-aspartat, alfa-amino-
3-hidroksi-5-metilisoazol-4-proprionic acid, atau reseptor asam kainak. Adanya
overaktivasi dari reseptor-reseptor ini, dapat menyebabkan influx yang besar dari
kalsium yang terionisasi ke dalam sitosol, dan menyebabkan peningkatan jumlah
14
kalsium terionisasi intraseluler yang memegang peranan pada terjadinya
neurodegenerasi setelah cedera pada sistem saraf pusat.16
Infeksi dapat bersifat lokal (meningitis atau abses otak) atau sistemik.
Infeksi lokal dapat terjadi saat timbul gangguan pada integritas menings yang
diakibatkan oleh cedera penetrasi atau fraktur campuran pada atap dan basis
tengkorak. Infeksi sistemik umumnya melibatkan saluran pernafasan dan
genitourinarius. Sepsis sistemik dapat menyebabkan gangguan neurologis yang
dapat semakin membaik dengan resolusi dari infeksi. Hipertermia yang terjadi
kadang dapat menjadi penyulit masalah tekanan intrakranial yang sudah ada.23
Di antara akibat sistemik sekunder, yang paling signifikan adalah meliputi
hipoksia dan hipotensi. Penelitian klinis prospektif telah menunjukkan bahwa dua
kondisi ini memiliki pengaruh dan hasil keluaran yang jelek pada cedera kepala
berat. Hipotensi sistemik yang terjadi pada saat kedatangan pasien cedera kepala
berat di rumah sakit, telah terbukti berhubungan dengan peningkatan 150%
terjadinya kematian. Pada pasien dengan cedera kepala yang signifikan,
hipoksemia dapat disebabkan oleh obstruksi saluran nafas bagian atas,
pneumothorax, hemothorax, edema pulmonal, dan hipoventilasi. Hipoksemia
harus dikoreksi dengan cepat untuk mencegah potensi kerusakan jaringan saraf.
Hipotensi dapat menurunkan perfusi cerebral, yang selanjutnya dapat
menimbulkan iskemi dan infark cerebral. Hal ini berbahaya jika disertai dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, gangguan pada autoregulasi cerebral
dapat terjadi setelah cedera otak. Dengan auoregulasi yang normal, maka aliran
darah ke otak tetap konstan meskipun terjadi fluktuasi dari tekanan arteri rata-rata
antara 60 dan 180 mmHg. Autoregulasi dibutuhkan untuk memberikan pasokan
yang tetap stabil dari oksigen dan nutrii ke jaringan otak dan membuang sampah
metabolik. Konstriksi dan dilatasi dari arteriol yang terjadi dengan cepat
merupakan respon dari adanya perubahan tekanan. Dilatasi pembuluh darah
cerebral terjadi saat tekanan darah arteri menurun atau saat metabilisme otak
meningkat. Tetapi, jika respon normal ini terganggu, maka aliran darah ke otak
secara langsung akan berhubungan dengan tekanan darah sistemik. Sehingga jika
15
terjadi hipotensi, maka dapat terjadi penurunan perfusi jaringan dan iskemi.
Operasi yang berhubungan dengan episode hipotensi dapat menimbulkan dampak
yang negatif untuk perfusi otak dan dapat mempengaruhi kualitas hasil keluaran.
Penyebab sistemik lainnya dari cedera otak sekunder, yang masih dapat dicegah
antara lain adanya ketidakseimbangan elektrolit, anemia, hipoglikemia,
hipertermia, gangguan pembekuan darah (koagulopati), dan kejang.14,17,24
Gangguan elektrolit sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala
sedang dan berat. Yang paling sering terjadi adalah sindrom sekresi antidiuretik
hormon yang tidak sesuai. Serum sodium dapat menurun secara signifikan,
dimana gangguan status neurologi pasien dapat terjadi pada level dibawah 120-
125 mEq/L. Diabetes Insipidus dapat terjadi pada cedera kepala yang lebih berat,
kadang sebagai kejadian preterminal pada pasien dengan gangguan neurologi
rostrocaudal progresif yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial
yang tidak terkontrol.23
Cedera kepala yang berat dapat menginduksi kondisi katabolisme dengan
ekskresi nitrogen yang sama dengan pada cedera lainnya. Takikardi yang
diinduksi oleh katekolamin, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan curah
jantung setiap menit, merupakan kondisi yang sering terjadi. Iskemi otot jantung
juga dapat terjadi akibat cedera kepala tertutup.23
2.5. Diagnosis Cedera Kepala
2.5.1. Gejala dan Tanda25
- Sakit kepala, mual, muntah, bradikardi, tekanan darah meningkat
- Pemeriksaan Glasgow Coma Scale
- Post Traumatic Amnesia
Indeks yang digunakan untuk menentukan tingkat cedera kepala. PTA
didefinisikan sebagai lamanya waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa
bingung, disorientasi, konsentrasi menurun, atensi menurun, dan atau
ketidakmampuan untuk membentuk memori baru.
16
Tabel 2.2. Gejala Cedera Kepala berdasarkan PTA26
PTA 1 hari atau kurang
Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan terapi yang sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang menetap, biasanya post-ok syndrome
PTA lebih dari 1 hari, tapi kurang dari seminggu
Masa penyembuhan lebih panjang, biasanya beberapa minggu sampai bulan. Penyembuhan sepenuhnya sangat mungkin dengan perawatan yang baik
PTA 1-2 minggu Penyembuhan memerlukan waktu beberapa bulan, pada beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya dapat kembali berkerja, pasien dapat melakukan aktivitas social dengan perawatan yang baik.
PTA 2-4 minggu Proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1 tahun atau lebih. Didapatkan deficit permanen, sebagian tidak dapat melakukan aktivitas fungsional (bekerja atau melakukan aktivitas social)
PTA lebih dari 4 minggu
Terdapat defisit dan disabilitas yang permanen, dibutuhkan pelatihan dan perawatan jangka panjang
- Patah tulang atap orbita
Hematom (Racoon eyes)
Likorea dari hidung
- Patah tulang petrosum tulang tengkorak
Hematom sekitar os.mastoid
Perdarahan dari telinga
- Paralisis n.fasialis
- Defisit neurologis yang terjadi tergantung pada lokasi cedera.
17
2.5.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma
kapitis adalah:27
1. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak. Foto polos
kepala atau otak memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam
mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan foto polos kepala
mulai ditinggalkan.
2. CT-Scan
CT Scan, harus segera dilakukan segera mungkin, idealnya dalam waktu
30 menit setelah cedera. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya
menjalani pemeriksaan CT Scan sedangkan pada pasien dengan GCS 15,
CT scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti:
- Nyeri kepala hebat
- Adanya tanda-tanda fraktur basis kranii
- Adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari 1 kali
- Penderita lansia (usia >65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau
amnesia
- Kejang
- Riwayat gangguan vaskuler atau mengunakan obat-obat antikoagulan
- Gangguan orientasi, berbicara, membaca dan menulis, gangguan
keseimbangan atau berjalan
Interpretasi CT scan kepala harus diakukan secara sistemik agar tidak
ada yang terlewatkan. Kulit kepala pada tempat benturan biasanya mengalami
pembengkakan atau dijumpai hematom subgaleal. Retak atau garis fraktur
dapat tampak jelas pada pemeriksaan teknik bone window. Penemuan
penting pada CT scan kepala adalah adanya perdarahan intracranial dan
pergeseran garis tengah (efek masa). Septum pelucidum yang seharusnya
berada di antara kedua ventrikel lateralis harusnya berada di tengah-tengah.
Garis tengah dapat ditarik antara Krista galli di anterior dan inion di bagian
posterior. Pada CT scan tidak selalu dapat dibedakan perdarahan epidural atau
18
sub dural tetapi dapat dilihat khas pada perdarahan epidural gumpalan darah
tampak bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
3. MRI kepala
Merupakan tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT
scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun
dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan
sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat darurat.
4. PET atau SPECT
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission
Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas
pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan
neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan
abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau
SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan. PET atau
SPECT. Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission
Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas
pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan
neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan
abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau
SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan.
2.6. Penatalaksanaan
a. Cedera kepala ringan
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat). Pengelolaan setelah
pasien distabilkan:28
Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri
kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
Pemeriksaan neurologis
19
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:28
1. Amnesia post traumatika jelas
2. Riwayat kehilangan kesadaran
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Kejang
9. Cedera penyerta yang jelas
10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
Dipulangkan:28
1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk
2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu
b. Cedera kepala sedang
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan:28
Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
Pemeriksaan neurologis
Transport ke pusat trauma/bedah saraf.
c. Cedera kepala berat
20
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala
berat dengan GCS > 8).28
Penilaian cedera kepala berat
1. Oksigenasi dan tekanan darah29
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan
darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan
outcome yang buruk. Oksigenasi darah : Presentase saturasi oksigen darah diukur
dengan oksimeter denyut nadi (bila ada). Tekanan darah sistolik dan diastolik
diperiksa sesering yang dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.
Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan sangat
mempengaruhi outcome.
*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : < 90.
2. Skor skala koma Glasgow29
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya
dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal
GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS
sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk. GCS
didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang
tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak
dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat
digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah
jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan
hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian
sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi. GCS inisial
3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 %
dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.
3. Pupil
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi
terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya
trauma orbital. Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap
21
cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak
bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan
stabilisasi. Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar
evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila
berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral,
mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi
simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons
konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa
sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar
saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak
dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil
sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari
otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk
terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma
epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen
refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual
utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi
serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya
trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya
disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil
berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 %
tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.29