Top Banner
CEDERA KEPALA Cedera kepala adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada berbagai kelompok umur. Sampai saat ini belum ada terapi efektif untuk mengembalikan efek cedera otak primer, dan terapi lebih ditujukan untuk meminimalkan cedera otak sekunder yang disebabkan oleh efek dari iskemia, hipoksia, dan peningkatan tekanan intrakranial. Seorang dokter perlu mempunyai pemahaman tentang cedera kepala tidak hanya dari diagnosa hingga terapi, tetapi juga epidemiologinya untuk mengembangkan rencana preventif yang berbasis populasi dan menyediakan terapi yang efektif termasuk fasilitas rehabilitasinya. Istilah cedera kepala biasa digunakan untuk mendeskripsikan cedera yang berimbas tidak hanya pada otak tapi juga scalp, cranium, maksila, mandibula, dan indra penciuman, penglihatan, dan pendengaran. Trauma kepala juga sering berhubungan dengan traumatic brain injury (TBI)/ cedera otak akibat trauma, yaitu trauma pada otak karena tenaga mekanik dari luar, yang mungkin menyebabkan gangguan fungsi fisik, kognitif, atau psikososial dengan disertai penurunan ata perubahan kesadaran, yang permanen atau temporer. Tingkatan cedera kepala dinilai berdasarkan skor GCS, dan digunakan untuk menggolongkan derajat berat ringannya cedera. GLASGOW COMA SCALE (GCS) Jenis Pemeriksaan Nilai Respon buka mata (Eye opening, E) Spontan Terhadap suara Terhadap nyeri Tidak ada 4 3 2 1 Respon verbal (V) Berorientasi baik Berbicara mengacau (bingung) Kata-kata tidak teratur 5 4 3
11

cedera kepala

Nov 28, 2015

Download

Documents

Yuji Aditya

keterampilan medis tentang penanganan cedera kepala
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: cedera kepala

CEDERA KEPALA

Cedera kepala adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada berbagai kelompok umur. Sampai saat ini belum ada terapi efektif untuk mengembalikan efek cedera otak primer, dan terapi lebih ditujukan untuk meminimalkan cedera otak sekunder yang disebabkan oleh efek dari iskemia, hipoksia, dan peningkatan tekanan intrakranial. Seorang dokter perlu mempunyai pemahaman tentang cedera kepala tidak hanya dari diagnosa hingga terapi, tetapi juga epidemiologinya untuk mengembangkan rencana preventif yang berbasis populasi dan menyediakan terapi yang efektif termasuk fasilitas rehabilitasinya.

Istilah cedera kepala biasa digunakan untuk mendeskripsikan cedera yang berimbas tidak hanya pada otak tapi juga scalp, cranium, maksila, mandibula, dan indra penciuman, penglihatan, dan pendengaran. Trauma kepala juga sering berhubungan dengan traumatic brain injury (TBI)/ cedera otak akibat trauma, yaitu trauma pada otak karena tenaga mekanik dari luar, yang mungkin menyebabkan gangguan fungsi fisik, kognitif, atau psikososial dengan disertai penurunan ata perubahan kesadaran, yang permanen atau temporer.

Tingkatan cedera kepala dinilai berdasarkan skor GCS, dan digunakan untuk menggolongkan derajat berat ringannya cedera.

GLASGOW COMA SCALE (GCS)

Jenis Pemeriksaan NilaiRespon buka mata (Eye opening, E)

SpontanTerhadap suaraTerhadap nyeriTidak ada

4321

Respon verbal (V)Berorientasi baikBerbicara mengacau (bingung)Kata-kata tidak teraturSuara tidak jelasTidak ada

54321

Respon motorik terbaik (M)Menuruti perintahMelokalisir nyeriFleksi normal (menarik anggota tubuh yang dirangsang)Fleksi abnormal (dekortikasi)Ekstensi abnormal (deserebrasi)Tidak ada (flasid)

654321

Nilai GCS = (E+V+M), nilai terbaik = 15, nilai terburuk = 3

Page 2: cedera kepala

Modifikasi Glasgow Coma Scale untuk anakSkor

Respon Verbal Ucapan yang sesuai atau senyum sosial, terfiksasi dan

mengikuti subyek Menangis tapi dapat ditenangkan Rewel yang persisten Gelisah dan agitasi Diam

5

4321

Respon mata dan motorik sama dengan dewasa

TBI menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting, karena menjadi penyebab utama kecacatan. Penderita sering mengalami kelainan kognitif. mood, dan tingkah laku. Efek sosial dari kecacatan akibat TBI ini merugikan akibat hilangnya tahun–tahun produktif dan perlu bantuan dalam jangka panjang atau seumur hidupnya. Di dunia diperkirakan sekitar 10 juta TBI per tahun dengan tingkat yang cukup sesrius sehingga diperlukan perawatan di Rumah Sakit, kecacatan jangka panjang atau seumur hidup, atau kematian.

Penyebab cedera kepalaPenyebab utama dari cedera kepala berturut-turut adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, pukulan atau benturan, kekerasan, dan olahraga. Perlu disadari juga bahwa hubungan antara penyebab dan efek antara mekenisme cedera dan TBI, dipengaruhi oleh faktor usia, gender, lokasi kejadian, dan sosio-ekonomi. Misalnya pada orang lanjut usia mempunyai insiden jatuh yang lebih tinggi dibanding golongan umur lain. Penyebab paling sering pada anak adalah kecelakaan dan jatuh, sedangkan pada dewasa adalah kecelakaan lalu lintas dan kekerasan.

Preventif cedera kepalaKebanyakan kasus TBI mempunyai pola cedera yang dapat diprediksi dan dicegah. Pola ini dibentuk oleh adanya faktor sosial, ekonomi, peilaku, dan lingkungan. Untuk itu diperlukan identifikasi factor resiko sebagai dasar mengembangkan cara prfentif dan kebijakan kesehatan publik. Program prevensi TBI difokuskan pada prevensi kecelakaan lalu lintas (penggunaan helm, sabuk pengaman, larangan penggunaan handphone) , meminimalkan resiko jatuh (terutama pada orang lanjut usia), menurunkan resiko cedera pada olahraga, dan menurunkan tingkat kekerasan termasuk kekrasan dalam rumah.

Patologi Cedera KepalaSecara umum patologi cedera kepala dapat dibedakan menjadi lesi fokal (local) seperti kontusio, perdarahan, fraktur cranium, atau perubahan difus seperti cedera axonal difus, cedera vascular difus, pembengkakan otak, dan iskemia. Walaupun lesi terjadi pada saat cedera kepala (primer), tetapi besar kemungkinan untuk muncul dalam waktu satu jam atau beberapa hari setelah kejadian (sekunder), dan bahkan sejumlah pasien dengan cedera kepala berat mengalami kemunduran neurologis progresif beberapa tahun kemudian. Faktor yang mempengaruhi timbulnya lesi ini adalah usia pasien, komorbiditas seperti alkohol, cedera lain (terutama yang menyebabkan iskemia dan hipoksia), sepsis dan perawatan medis. Selain itu terdapat bukti bahwa polimorfisme genetik pada gen apolipoprotein berhubungan erat terhadap perubahan patologis dan luaran klinis dari cedera kepala.

A. Lesi fokal

1. Cedera pada scalp

Lesi fokal pada scalp seperti abrasi dan laserasi dapat menjadi indikator yang berguna bagi lokasi terjadinya benturan dan sebagai petunjuk tipe obyek yang

Page 3: cedera kepala

kontak dengan otak. Laserasi scalp juga menjadi rute infeksi dan sumber perdarahan massif. Sedangkan memar (bruise) tidak selalu dapat menjadi petunjuk lokasi benturan, misalnya memar pada periorbita sering berhubungan dengan fraktur pada atap orbit sebagai dampak contra-coup injury pada occiput, dan memar pada mastoid (battle sign) dapat disebabkan oleh rembesan darah dari fraktur os petroseus temporalis.

Battles's Sign, Periauricular ecchymosis

Periauricular – sekitar auricular

Ecchymoisis – perdarahan di bawah kulit Source of Image:  Timby/Smith's Essentials of Nursing: Care of Adults and Children (2005). Lippincott.

2. Fraktur cranium

Adanya fraktur mengindikasikan adanya tenaga yang kuat yang terlibat dalam cedera kepala, dan dapat berhubungan dengan cedera intracranial seperti perdarahan. Fraktur linear adalah jenis yang paling sering, berawal pada titik terjadinya benturan lalu memanjang sepanjang tulang yang paling rendah tahanannya, atau tergantung pada anatomi cranium.

Pukulan kuat yang mengenai area luas pada cranium dapat menyebabkan fracture comminutive dengan multiple fragment, sedangkan bila pukulan pada area yang relative sempit akan menyebabkan fraktur depresif dengan satu fragmen tulang akan terdorong ke dalam dan menekan otak. Fraktur diastatik yang mengikuti linea sutura lebih sering terjadi pada anak. Fraktur yang merobek scalp akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi intracranial.

Fraktur basis cranii dapat menyebabkan cerebro-spinal fluid (CSF) merembes ke sinus menyebabkan aeroceles, yang dapat menjadi sumber infeksi. Fraktur basis crania sepanjang os petroseus dan fossa pituitary menyebabkan ‘hinge fracture’ yang menjadi indikasi benturan kuat dari samping kepala. ‘ring fracture’ yang mengelilingi foramen magnum biasanya disebabkan oleh hiperekstensi leher yang sangat ekstrem, atau jatuh dari ketinggian dan mendarat pada kaki. Tipe yang sering terjadi adalah pada atap orbita yang disebabkan oleh ‘contra-coup injury’ pada saat seseorang jatuh ke belakang dan occiputnya menghantam permukaan keras.

Page 4: cedera kepala

Fraktur Midfacialis digolongkan menjadi 3 pola: Le Fort I, II, dan III. Terdapat tiga axis vertical penyokong midfacialis yaitu nasofrontal-maksilaris, frontozygomaticomaxillaris, dan pterygomaxillaris. Terdapat 5 garis horizontal yang rapuh uaitu os fraontalis, os nasalis, alveolus, arcus zygomaticus, dan region infraorbita.

Tanda klasik dari fraktur midfacialis adalah subconjunctival hemorrhage; malocclusio; rasa tebal pada midfasialis atau hypesthesia (divisi maksilaris trigeminal nerve); facial ecchymoses/; ocular signs/symptoms; dan mobilitas area maksillaris.

Fraktur Le Fort I terjadi transversal sepanjang alveolus, di atas apex dentis. Fraktur ini ditandai oleh palatum durum yg mobile sedangkan pyramid nasalis dan rima orbita stabil.

Fraktur Le Fort II melewati batas nasofrontal, dinding medial orbita, sepanjang bagian inferior rima orbita, dan pada articulation zygomaticomaksilaris. Pada pemeriksaan dorsum nasalis, palatum, dan bagian medial rima orbita mobile.

Fraktur Le Fort III ( craniofacial disjunction) yaitu fraktur sepanjang garis pertemuan frontozygomaticomaksillaris, frontomaksillaris, dan frontonasalis. Pada keadaan ini, seluruh region facei mobile terhadap cranium.

Dalam kenyataannya, fraktur midfacei merupakan gabungan dari tiga pola tersebut. Fraktur pada midfacialis dan zygoma sering menyebabkan fraktur dasar orbita (orbital blowout), sehingga soft tissue dari orbita mengalami herniasi ke sinus maksilaris.

Page 5: cedera kepala

Fraktur cranium dapat diklasifikasikan menjadi    •    Linear: berbentuk garis

  •    Comminuted: fraktur multiple (depresi bila

fragmen frraktur terdorong ke dalam)

   •    Diastasis: fraktur mengikuti garis sutura

   •    Basilar: fraktur pada dasar cranium

Setiap fraktur yang menyebabkan laserasi scalp, sinus paranasalis, atau acusticus media diistilahkan compound fracture

.

CSF (cerebrospinal fluid) sering sulit dibedakan pada pasien dengan epistaksis. Bila didapatkan darah keluar dari lubang hidung, untuk mengidentifikasi adanya CSF dapat digunakan HALO TEST. Caranya yaitu cairan berdarah yang keluar dari lubang hidung diteteskan pada selembar kertas saring. Halo test positif bila terdapat bentuk lingkaran cairan jernih mengelilingi tetesan tersebut, hal ini menunjukkan terdapat rembesan CSF.

Page 6: cedera kepala

Trauma pada os zygomaticus (tulang pipi) dapat mengganggu artikulasinya dengan os frontal, maksilaris, temporalis, sphenoidalis, dan palatina. Gejala yang dapat dijumpai adalah perubahan penglihatan ipsilateral berupa diplopia, dan hyphema

3. Contusio dan laserasi otak

Robekan pia mater (laserasi) sering berhubungan dengan memar pada jaringan otak di bawahnya (contusio) dan fraktur pada struktur tulang di atasnya. Fraktur yang lebih sering disebabkan oleh contracoup injury dengan sering berlokasi di lobus frontalis dan lobus temporalis. Contracoup injury disebabkan oleh benturan pada satu sisi otak menyebabkan gelombang kejut yang menggerakkan cranium dan otak dalam cavitas cranialis searah dengan pukulan, kemudian keduanya mengalami gerakan deselesari ke arah posisi semula. Tetapi karena otak bergerak lebih lambat dari cranium, maka saat cranium mulal bergerak ke posisi berlawanan, otak masih menyelesaikan gerakan awal. Hal ini menyebabkan otak membentur permukaan dalam cranium yang tidak rata, menyebabkan terjadinya contusio.

Contusio terbentuk oleh perdarahan pada parenkim cerebrum, seringkali tegak lurus dengan permukaan korteks, dan perdarahannya dapat berlanjut hingga berjam-jam setelah cedera awal menyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Perdarahan juga dapat menjalar hingga white matter subcortical atau menembus leptomeningen menuju ruangan subdural (sering pada lobus frontalis dan temporalis). Sesudah beberapa hari atau minggu, jaringan otak akan mereabsorbsi perdarahan, menghasilkan area berbentuk baji yang berwarna kecoklatan (produk breakdown darah). Walaupun contusion ringan dapat asimtomatik, tetapi dapat menyebabkan epilepsi.

4. Perdarahan intracranial

Page 7: cedera kepala

a. Perdarahan ekstradural /epidural

Perdarahan ekstradural dihasilkan oleh benturan langsung, sering berhubungan dengan fraktur pada pars squamousa os temporalis dan robekan arteri meningea media. Tetapi pada anak, dimana tulangnya lebih fleksibel,robekan vascular dapat terjadi tanpa fraktur cranium. Terjadi perdarahan klasij berbentuk oval yang terakumulasi dalam waktu beberapa jam bersamaan dengan lepasnya dura dari cranium. Hal ini menyebabkan pasien mengalami lucid interval. Volume hematoma menjadi predictor prognosa, dan kebanyakan pasien dengan perdarahan lebih dari 150 ml mempunyai progosa buruk.

Gambar (A) adalah epidural hematoma dengan gambaran konvex pada hasil CT-scan, sedang pada perdarahan subdural (B) bentuknya konkaf dan mengikuti permukaan otak.

b. Perdarahan subdural / dural border hematoma

Perdarahan subdural biasanya disebabkan robekan vena cerebralis superior, di dekat sinus sagitalis superior. Perdarahan ini tidak selalu disebabkan benturan langsung, tapi lebih sering karena akselerasi-deselerasi cepat kepala. Sering terjadi pada lanjut usia, karena adanya atropi otak menyebabkan peningkatan kemampuan otak untuk bergerak dalam kavitas cranium.

Perdarahan subdural dapat terjadi segera setelah trauma (perdarahan subdural akut), 1 – 2 minggu kemudian (sub akut), atau lebih dari 2 minggu kemudian (kronik). Pada awal perdarahan terbentuk gumpalan darah (blood clotting) yang mirip seperti jelly blueberry. Setelah beberapa hari akan dipecah menjadi bentuk caairan serous, dan sesudah 1 – 2 minggu terbentuk membran granulasi yang terdiri dari proliferasi fibroblast dan kapiler. Walaupun hematoma pada akhirnya direabsorbsi, tetapi dapat terjadi re-bleeding akibat perdarahan dari pembuluh darah immature yang baru tebentuk.

c. Perdarahan sub arachnoid

Page 8: cedera kepala

Perdarahan subarachnoid dalam jumlah minimal umum terjadi pada cedera kepala, terutama bila terjadi contusion dan laserasi. Perdarahan jenis ini juga sering diikuti perdarahan intraventrikuler karena darah dapat melewati aperture medialis dan lateralis yang merupakan pintu keluar CSF dari ventrikel empat. Perdarahan subarachnoid massif juga dapat terjadi pada aspek ventral batang otak akibat laserasi arteri vertebralis atau arteri basilar. Penyebab perdarahan karena benturan langsung pada kepala atau leher, menyebabkan penderita langsung kolaps dan berakibat fatal. Setelah sembuh, penderita dapat mengalami komplikasi hidrosefalus.

d. Perdarahan intraventrikuler

Perdarahan jenis ini biasanya sekunder dari perdarahan jenis lain.

B. Lesi Diffuse

1. Traumatic axonal injury (TAI)

Istilah diffuse axonal injury (DAI) ditujukan untuk kerusakan axon yang luas pada otak, sebagai akibat dari trauma, hipoksia, iskemia, dan hipoglikemia. DAI yang disebabkan oleh trauma (disebut sebagai TAI) disebabkan oleh akselerasi-deselerasi kepala yang cepat, terutama bila pergerakannya berupa rotasi. Pasien dengan TAI biasanya tidak sadar sejak awal cedera dan mempunyai prognosa buruk, berupa kematian, kecacatan berat, atau kondisi vegetatif persisten.

TAI ditandai kerusakan axon, dan perdarahan petechial pada otak. Perdarahan petechial berdiameter 3 – 5 mm terutama di corpus callosum dan bagian atas batang otak (terutama di pedunculus cerebri), derajat petechie menjadi dasar menentukan derajat TAI.

Kerusakan axon ditandai oleh akumulasi protein precursor β-amyloid sejak 35 menit sesudah cedera kepala. Degenerasi axon menyebabkan hemisfer keabu-abuan dan mengecil, atropi batang otak, dan dilatasi ventrikel. Kerusakan axon menyebabkan terjadinya shearing force yang menyebabkan tarikan pada axon dan merusak axolemma, mengakibatkan influx calcium dan aktivasi calcium-dependent enzyme. Aktivasi calpain menyebabkan kerusakan protein sitoskeleton, mengganggu mekanisme transport axonal dan akhirnya terjadi akumulasi protein pada lokasi cedera.

2. Diffuse vascular injury (DVI)

Pasien dengan cedera otak dengan tipe akselerasi-deselerasi dapat mengalami perdarahan petechial luas yang disebabkan tenaga tarikan pada pembuluh darah. Pasien dengan tipe cedera ini tidak dapat bertahan cukup lama untuk mengalami perubahan axonal.

3. Edema otak dan iskemia cerebral

Setelah terjadi cedera pada otak, akan terjadi peningkatan colume darah cerebral karena vasodlatasi, masuknya cairan akibat tidak kompetennya blood-brain barrier

Page 9: cedera kepala

(edema vasogenik) dan peningkatan cairan intraseluler (edema sitotoksik). Edema otak menyebabkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi cerebral, dan menyebabkan ischaemic brain damage. Perbedaan tekanan intracranial antar kompartemen menyebabkan heniasi otak dan semakin meningkatkan ischaemic injury local. Misalnya herniasi subfalcine dari gyrus cingulatum menyebabkan kompresi arteri cerebralis anterior yang menyebabkan iskemia lebih lanjut.

4. Emboli lemak

Walaupun bukan sebagai akibat langsung dari cedera kepala, tetapi emboli lemak dapat dijumpai pada pasien cedera kepala yang juga mengalami fraktur tulang panjang. Sindrom yang ditimbulkan berupa dispnea dan tampak bingung 2 – 3 hari setelah cedera. Pada white matter ditemui perdarahan ptechie. Gejala ini disebabkan lipid yang dilepaskan bone marrow menyumbat pembuluh darah di paru dan intracranial.


Related Documents