APENDIX Catatan Dari Penelitian Lapangan “Sebaiknya bapak jangan melakukan penelitian di Tabola, Sidemen. Sebab Desa Adat Tabola sekarang situasinya sudah berubah dibandingkan dengan ketika bapak pertama ke Tabola kurang lebih setahun lalu. Saya usulkan tempat penelitian bapak diganti di Desa Adat Sibetan saja”, demikian kata pak Catra. Ketika itu, siang hari 11 November 2009, saya memang sedang bertandang ke rumah pak Catra, panggilan akrab dari Ida I Dewa Gde Catra. Pertemuan itu berlangsung setelah hampir setahun setengah sebelumnya sempat bertemu dan berdiskusi dengannya tentang berbagai masalah adat di Desa Tabola. Dalam kesempatan pertemuan di bulan November 2009 itu, meluncurlah kalimat sebagaimana dikutip di atas. Pertemuan pertama itu terjadi ketika saya sedang menyiapkan laporan evaluasi untuk sebuah organisasi donor yang membantu mendanai program penyusunan “awig-awig desa” yang dilakukan oleh pak Catra dan kelompoknya. Dalam pertemuan itu saya berkesempatan menggali banyak informasi dari sosok budayawan yang lahir dan dibesarkan di Tabola, tetapi menjelang akhir kariernya sebagai guru terpaksa pindah ke Amlapura, Ibukota Kabupaten Karangasem, Bali. Desa Tabola sendiri berada dalam lingkup wilayah Kabupaten Karangasem, yaitu tepatnya berada di Kecamatan Sidemen. Ternyata tidak hanya informasi terkait bahan laporan evaluasi yang bisa digali dari sosok pensiunan guru itu. Lebih dari itu, dari hasil diskusi, pak Catra banyak sekali menjelaskan berbagai hal terkait perkembangan masyarakat Desa Adat Tabola, yang semua itu sungguh menarik perhatian saya. Oleh karena itu tidak terlalu mengherankan ketika berkesempatan mengikuti program studi doktor “by research” maka pilihan topik penelitiannya adalah perubahan sosial di perdesaan Bali, dengan wilayah penelitian di Desa Adat/Pakraman Tabola. Jadi ketika akan mulai melakukan penelitian lapangan terkait studi doktor “by research”, saya sebenarnya tidak mulai dari nol sama sekali. Saya
21
Embed
Catatan Dari Penelitian Lapangan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/12/D_902008104... · Karangasem, yaitu tepatnya berada di Kecamatan Sidemen. Ternyata
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
APENDIX
Catatan Dari Penelitian Lapangan
“Sebaiknya bapak jangan melakukan penelitian di Tabola, Sidemen. Sebab Desa Adat Tabola sekarang situasinya sudah berubah dibandingkan dengan ketika bapak pertama ke Tabola kurang lebih setahun lalu. Saya usulkan tempat penelitian bapak diganti di Desa Adat Sibetan saja”, demikian kata pak Catra. Ketika itu, siang hari 11 November 2009, saya memang sedang bertandang ke rumah pak Catra, panggilan akrab dari Ida I Dewa Gde Catra. Pertemuan itu berlangsung setelah hampir setahun setengah sebelumnya sempat bertemu dan berdiskusi dengannya tentang berbagai masalah adat di Desa Tabola. Dalam kesempatan pertemuan di bulan November 2009 itu, meluncurlah kalimat sebagaimana dikutip di atas.
Pertemuan pertama itu terjadi ketika saya sedang menyiapkan laporan evaluasi untuk sebuah organisasi donor yang membantu mendanai program penyusunan “awig-awig desa” yang dilakukan oleh pak Catra dan kelompoknya. Dalam pertemuan itu saya berkesempatan menggali banyak informasi dari sosok budayawan yang lahir dan dibesarkan di Tabola, tetapi menjelang akhir kariernya sebagai guru terpaksa pindah ke Amlapura, Ibukota Kabupaten Karangasem, Bali. Desa Tabola sendiri berada dalam lingkup wilayah Kabupaten Karangasem, yaitu tepatnya berada di Kecamatan Sidemen.
Ternyata tidak hanya informasi terkait bahan laporan evaluasi yang bisa digali dari sosok pensiunan guru itu. Lebih dari itu, dari hasil diskusi, pak Catra banyak sekali menjelaskan berbagai hal terkait perkembangan masyarakat Desa Adat Tabola, yang semua itu sungguh menarik perhatian saya. Oleh karena itu tidak terlalu mengherankan ketika berkesempatan mengikuti program studi doktor “by research” maka pilihan topik penelitiannya adalah perubahan sosial di perdesaan Bali, dengan wilayah penelitian di Desa Adat/Pakraman Tabola. Jadi ketika akan mulai melakukan penelitian lapangan terkait studi doktor “by research”, saya sebenarnya tidak mulai dari nol sama sekali. Saya
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
384
telah mengenal daerah penelitian tersebut, dan bahkan sempat membuat laporan penelitian evaluasi di daerah tersebut.
Kembali kesaran pak Catra agar saya memindahkan wilayah lokasi penelitian. Tentu saran ini sedikit agak mengejutkan, selain juga menjadi “menarik” karena sempat dikatakan bahwa Desa Tabola sekarang sudah berubah. Apanya yang berubah? Pertanyaan ini benar-benar menggoda pikiran, apalagi penelitian yang sedang saya siapkan justru menyingung tema terkait perubahan sosial di perdesaan. Oleh karena itu, alih-alih menerima saran untuk memindahkan wilayah penelitian seperti yang diusulkan pak Catra, sebaliknya saya malah penasaran dan semakin berkeinginan kuat melakukan penelitian di Desa Tabola seperti rencana semula. Meskipun pak Catra menawarkan diri akan membantu secara penuh kalau mau memindahkan wilayah penelitian ke Desa Sibetan.
Karena agak sedikit ngotot untuk tetap melakukan penelitian di wilayah Desa Tabola, maka akhirnya pak Catra “mengalah” terhadap keinginan penulis dan malah berjanji akan membantu sepenuhnya proses penelitian sebagai narasumber. Inilah awal dari serangkaian diskusi dan wawancara saya dengan Ida I Dewa Gde Catra terkait masalah penelitian. Terus terang dalam prosesnya kemudian banyak sekali informasi berharga terkait substansi penelitan yang bisa diperoleh dari berbagai diskusi dengan tokoh Adat Desa Tabola itu. Pak Catra sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak bermukim di Desa Tabola, melainkan tinggal di kota Amlapura (Ibukota Kabupaten Karangasem). Namun demikian, ia tetap menjadi anggota krama dari Desa Adat Tabola, karena budayawan ini lahir, besar dan bekerja sebagai guru di Desa Tabola, sebelum akhirnya dipindahtugaskan ke kota Amlapura (Ibukota Kabupaten Karangasem) hingga pensiun sebagai pegawai negeri sipil.
Pada diskusi awal dengan pak Catra itu, saya menjadi mengerti maksud dari kata-kata yang sempat diucapkannya bahwa Tabola sekarang situasinya sudah berubah. Rupanya sejak pertengahan tahun awal tahun 2009, di Tabola mencuat konflik di masyarakat, yang melibatkan Pengurus Desa Tabola yang lama dibawah kepemimpinan
APENDIX
385
Cokorda Gde Dangin (sebagai pingejen desa), I Gusti Lanang Gita (sebagai bendesa/klian desa) dengan kelompok masyarakat, yang waktu itu dipimpin oleh I Gusti Lanang Sidemen, yang kemudian terpilih menjadi Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola yang baru. Sebagaimana dijelaskan dalam isi disertasi (Bab VII), konflik itu meledak dipicu oleh persoalan kenaikan tarif langganan air PDAM yang dirasakan memberatkan masyarakat setempat. Dari persoalan kenaikan tarif itu, akhirnya konflik merembet ke mana-mana, dan memuncak pada tuntutan penggantian pengurus desa pakraman.
Jadi ketika saya hendak melakukan penelitian lapangan, kondisi Desa Tabola sedang dalam suasana “panas” menyusul terjadinya “pelengseran” pengurus desa lama. Sedangkan ketika setahun sebelumnya saya ke Desa Tabola dan bertemu dengan pengurus desa, mereka semua adalah pengurus desa yang lama yang sudah dilengserkan. Agaknya inilah yang dimaksudkan pak Catra bahwa kondisi Desa Tabola sudah tidak kondusif bagi saya untuk melakukan penelitian di sana. Tetapi dari perspektif substansi penelitian, situasi seperti ini justru menarik, karena menggambarkan kondisi dinamis dari perkembangan sosial-budaya masyarakat di lokasi penelitian. Hal ini yang melatarbelakangi mengapa saya menyampaikan berbagai argumentasi untuk meyakinkan kepada pak Catra agar mengijinkan dan membantu penelitian di Desa Tabola.
Setelah pak Catra bersedia akan membantu proses penelitian lapangan, pensiunan guru yang di masa mudanya sempat menjadi Pengurus Desa Dinas Sidemen ini, menyarankan saya untuk juga menemui Cokorda Gde Dangin, Penglingsir Puri Sidemen yang juga tokoh penting Desa Adat/Pakraman Tabola. Sebagaimana disinggung di depan, Pak Cok, demikian ia sering dipanggil, adalah mantan Pengurus Desa Tabola yang baru saja dilengserkan. Kalau pak Catra tinggal di Amlapura, maka Pak Cokorda tinggal di Puri Sidemen, yang masih wilayah Desa Pakraman Tabola. Sebagaimana dengan Pak Catra, saya sebelumnya juga sudah mengenal Pak Cokorda, hanya saja, seperti halnya dengan pak Catra, sudah hampir setahun setengah belum sempat ketemu lagi. Terakhir bertemu, pak Cokorda masih menjabat sebagai Pengurus Desa Pakraman Tabola (pingajeng desa), dan juga
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
386
Ketua Majelis Desa Pakraman Sidemen. Jabatan yang terakhir ini masih dipegangnya hingga disertasi ini selesai ditulis.
Sesuai saran pak Catra akhirnya saya menemui pak Cokorda dikediamannya di komplek Puri Sidemen, yang merupakan bangunan peninggalan Istana Kerajaan Sidemen pada masa dahulu. Saya segera menyampaikan rencana untuk melakukan penelitian lapangan di Tabola. Merespon rencana itu, ternyata pak Cokorda menyampaikan hal yang sama dengan yang pernah dinyatakan oleh Pak Catra. Saya disarankan untuk memilih daerah penelitian di wilayah dekat Desa Tabola, yaitu Sibetan. Alasannya, sama seperti yang dikatakan pak Catra, Desa Tebola sudah banyak berubah sekarang.
Menghadapi hal ini, sekali lagi saya menyampaikan berbagai argumentasi yang intinya agar diperkenankan dan dibantu untuk tetap melaksanakan rencana penelitian di Desa Tabola. Menghadapi argumentasi saya, pak Cokorda akhirnya juga “mengalah” dan malahan juga siap membantu penelitian saya di desanya itu. Tentu saja dalam menyampaikan argumentasi kepada pak Cokorda saya sudah mengenal latar belakang konflik yang terjadi di Tabola, sehingga lebih mudah bagi saya untuk meyakinkannya.
Setelah Penglingsir Puri Sidemen ini bersedia membantu rencana penelitian lapangan saya, maka disampaikanlah berbagai informasi terkait konflik di Desa Tabola, yang memang secara langsung melibatkan dirinya, dan khususnya, dengan bendesa yang baru Desa Pakraman Tabola, I Gusti Lanang Sidemen. Tentu informasi yang disampaikan lebih dari sudut pandang Pak Cokorda ketimbang, misalnya, para “lawannya” yaitu para pengurus baru Desa Pakraman Tabola. Tetapi yang sedikit mengejutkan, setelah banyak cerita tentang situasi perkembangan di Tabola, pak Cokorda tiba-tiba berinisiatif menulis surat kepada Bendesa Desa Pakraman Tabola. Pesannya ke saya: ”Tolong sampaikan surat ini ke Bendesa Tabola yang baru. Isinya permohonan agar bendesa bisa menerima bapak untuk melakukan penelitian di Tabola ini”.
Memang mengejutkan karena tidak menyangka bahwa Pak Cokorda menulis surat kepada “lawannya”, justru setelah secara
APENDIX
387
terbuka mengkritiknya di depan saya. Rupanya, meskipun mereka berkonflik, tetapi tidak menghilangkan sama sekali upaya-upaya untuk menjalin komunikasi kembali. Di kemudian hari saya memahami fenomena seperti ini sebagai bentuk keinginan untuk membangun harmoni setelah konflik mereda. Lalu ketika saya menemui Bendesa Desa Tabola, I Gusti Lanang Sidemen, untuk meminta ijin rencana melakukan penelitian di wilayah kekuasaannya, surat tersebut saya serahkan. Sulit menduga reaksi apa yang mungkin akan terjadi setelah bendesa membaca surat tersebut, mengingat bayangan tentang suasana konflik di antara mereka. Informasi dari berbagai sumber memberikan gambaran bahwa konfliknya sangat tajam dan berujung pada proses pelengseran pimpinan pengurus (lama) desa pakraman.
Akhirnya bendesa membaca surat Pak Cokorda. Setelah itu Bendesa I Gusti Lanang Sidemen, menyampaikan bahwa ia menerima saran Pak Cokorda agar menerima dan turut bersedia membantu penelitian yang akan saya lakukan. Tentu saya menerima dengan gembira sikap bendesa baru itu. Dengan demikian saya akan bisa mendapatkan informasi terkait penelitian dari dua kelompok yang sebelumnya saling bersaing dan berkonflik di Desa Tabola: kelompok mantan pengurus desa pakraman (lama) dan kelompok pengurus desa pakraman (baru). Penerimaan kedua kelompok yang saling bersaing ini, sedikit banyak memberikan keuntungan karena bisa mendapatkan informasi dari perspektif keduanya secara sekaligus. Hal ini penting, sebab persaingan dan konflik di antara kedua kelompok itu, ternyata memang merupakan bagian dari dinamika sosial-politik desa, yang memiliki arti penting bagi munculnya gejala perubahan sosial perdesaan di Tabola.
Penerimaan Bendesa Tabola yang baru itu, sekaligus mengawali penelitian lapangan saya. Sebab ia langsung mengundang saya untuk menghadiri rapat lengkap pengurus desa, dalam rangka memperingati satu tahun berdirinya Forum Peduli Desa Pakraman Tabola (FPDPT). FPDPT adalah suatu forum masyarakat desa yang dibentuk dalam rangka mengorganisasi aspirasi masyarakat yang merasa kecewa terhadap kebijakan pengurus desa yang lama, khususnya paska kenaikan tarif langganan air minum (PDAM) di
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
388
Tabola. FPDPT ini lah yang kemudian mensponsori tuntutan untuk mencopot para pengurus desa yang lama dari jabatannya. I Gusti Lanang Sidemen adalah salah seorang pimpinan FPDPT, sebelum kemudian terpilih menjadi Bendesa Tabola yang baru menggantikan bendesa lama yang mengundurkan diri. Keesokharinya saya berkumpul di balai pertemuan Banjar Budha Manis, Desa Pakraman Tabola, untuk mengikuti dan mendengarkan pertemuan para pengurus Desa Pakraman Tabola. Di tempat pertemuan itulah saya berkesempatan mengenal para tokoh desa, khususnya dari jajaran pengurus desa yang baru.
Berawal dari perkenalan itu, maka selanjutnya saya meminta sebagian dari mereka untuk menjadi nara sumber penelitian. Selanjutnya satu demi satu nara sumber dihubungi untuk menjadi nara sumber dalam setiap kesempatan saya berada di Desa Tabola/Sidemen, sepanjang kurun waktu kurang lebih selama hampir dua tahun, sejak 2009 hingga 2011. Dalam setiap kesempatan kegiatan penelitian lapangan (di Desa Pakraman Tabola), biasanya saya tinggal di Desa Tabola antara seminggu hingga dua minggu; atau tidak jarang pula tinggal di Denpasar, Bali dan kemudian pergi ke Desa Tabola setelah memperoleh janji bertemu dengan seseorang nara sumber. Nara sumber ini beranekaragam latar belakangnya, bisa tokoh desa, pengusaha lokal, aparat pemerintah (mulai Camat dan beberapa aparatnya serta Kepala Desa Dinas), pedagang di pasar, serta masyarakat biasa (krama desa).
Dalam beberapa waktu tertentu saya mengunjungi Ida I Dewa Gde Catra, di Amlapura, Karangasem untuk melakukan diskusi, terutama menyangkut masalah adat masyarakat desa Tabola pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Selama proses penelitian, saya menganggap bahwa Ida I Dewa Gde Catra, atau pak Catra, merupakan nara sumber penting karena pengetahuannya yang luas dan dalam tentang masalah-masalah adat dan agama (Hindu). Atau dalam kesempatan lain, melakukan penelusuran pustaka, baik yang ada di perpustakaan Universitas Udayana maupun perpustakaan Pemda Bali, yang ada di Denpasar Bali. Terkait studi pustaka, saya beruntung mendapatkan pustaka dari koleksi pribadi Puri Sidemen, dalam bentuk babad. Babad yang berjudul “Babad Dalem Anom
APENDIX
389
Pemahyun” itu berisi cerita tentang sejarah asal usul penguasa Puri Sidemen, yang di dalamnya juga disebutkan kaitannya dengan Desa Tabola sebagai lokasi dari Puri Sidemen itu sendiri. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kajian sejarah (komparasi sejarah) sebagai salah satu metodenya maka babad itu menjadi bahan penting. Ini khususnya bernilai untuk menjelaskan sejarah perkembangan masyarakat desa di Bali pada umumnya dan Desa Tabola pada khususnya dari periode ke periode hingga dewasa ini.
Terkait penelitian ini, saya juga berkesempatan melakukan diskusi dengan seorang peneliti dari luar (AS), Lene Pedersen, yang secara kebetulan juga sedang melakukan penelitian lanjutan di bidang Anthropologi, melanjutkan penelitian sejenis yang pernah dilakukan beberapa tahun sebelumnya terkait dinamika Puri Sidemen. Hasil penelitan yang pertama berjutudul “The Sphere of The Keris: Power and People in a Balinese Princedom”, merupakan penelitian doktoral di bidang anthropologi, di Universitas Southern California, USA. Tentu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari serangkaian diskusi dengan antropolog ini, sama seperti halnya diskusi-diskusi baik dengan pak Catra maupun pak Cokorda. Semuanya memiliki pengetahuan yang sangat luas dan mendalam terkait masyarakat Bali pada umumnya, dan masyarakat Desa Tabola/Sidemen pada khususnya. Harus diakui, mereka ini adalah “para guru” yang saya kenal dalam proses penelitian lapangan.
Dalam setiap wawancara dengan berbagai nara sumber, saya tidak memakai daftar pertanyaan yang ketat. Sebaliknya saya hanya menggunakan pokok-pokok pertanyaan yang disusun berdasarkan kebutuhan terkait substansi penelitian. Oleh karena itu, wawancaranya seringkali bersifat terbuka, dan tidak jarang berkembang menjadi suatu diskusi menarik yang seringkali hasilnya memperkaya substansi terkait topik penelitian. Kadangkala wawancara dengan seseorang nara sumber juga tidak direncanakan sebelumnya, tetapi justru berkembang setelah berdiskusi di lapangan dalam kesempatan kunjungan lapangan. Wawancara dengan Ketua Adat Desa Tenganan Pegringsingan (Desa Bali Aga), misalnya, berkembang setelah kunjungan dan perkenalan di lapangan.
Saya sengaja mengunjungi Desa Tenganan Pegringsingan untuk mendapatkan gambaran pembanding langsung dari lapangan tentang apa yang dinamakan desa Bali aga dan desa Bali apanaga. Dalam hal ini,
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
390
Desa Tenganan termasuk desa Bali aga, sedangkan Desa Tabola adalah desa Bali apanaga. Setelah melihat secara langsung kondisi ke dua tipe desa itu, memang akhirnya bisa disimpulkan bahwa kedua desa tersebut memilik banyak perbedaan, disamping masih adanya kesamaan. Hasil dari kunjungan lapangan untuk membandingkan ke dua jenis desa di Bali itu, dituangkan dalam Bab II. Di sini saya merasa beruntung sempat berkenalan dan berdiskusi dengan nara sumber yang sangat kompeten terkait upaya menggali informasi mengenai profil Desa Bali aga, khususnya Desa Tenganan yang namanya cukup terkenal itu. Dengan cara penelitian lapangan seperti disebutkan di atas maka tidak mengherankan kalau apa yang dipikirkan pertama kali waktu menyusun kerangka penelitian, kelak kemudian pada prosesnya di lapangan lalu terjadi pergeseran dan perkembangan yang tidak semuanya bisa dibayangkan sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kalau gambaran outline penulisan disertasi berubah di sana sini dalam beberapa kali. Sampai pada akhirnya semua hasil penelitian lapangan itu terwujud dalam keseluruhan isi disertasi ini.