ASMA BRONKIAL 1. Definisi Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasann yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernapasan. 1 Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri- ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. 2 2. Epidemiologi Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ASMA BRONKIAL
1. Definisi
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasann
yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang
reversible dan gejala pernapasan.1 Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,
fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode
sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan
fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah
episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada
ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran
napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.2
2. Epidemiologi
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi
masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi
dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma
bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian.
Selama sepuluh tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma
bronkial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai
belahan dunia. Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan
kuisioner namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi asma
bronkial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada
wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang
pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.3
Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi)
dan 50% pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma
bronkial atopi ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen
seperti debu, tungau rumah, bulu binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh
peningkatan produksi IgE sebagai respon terhadap alergen. Prevalensi asma 1
2
bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%. Asma bronkial merupakan interaksi
yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Data pada penelitian saudara
kembar monozigot dan dizigot, didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial
diturunkan sebesar 60-70%.3
3. Patogenesis
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel.
Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel
epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf. Hiperresponsif bronkus
adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai rangsangan dan
menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respon bronkus biasanya
mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas, atau paparan
bahan kimia. Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran
napas. Pemeriksaan histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel
radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental.
Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi
pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai
pelepasan epitel bronkus.4
Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic
protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari
bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa. Sel epitel
sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel bronkus merupakan
kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin dapat menerangkan berbagai
mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan ozon, infeksi virus, dan
alergen. Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap terjadinya hiperresponsif
bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya pertahanan,
sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai submukosa yang
seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot
polos bronkus terhadap bahan spasmogen.4
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula
akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrin dapat
3
menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul.
Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan edema saluran napas sehingga terjadi
pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang konstraksi otot polos bronkus.
Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada
saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari
mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran
mikrovaskuler, hal ini berperan dalam terjadinya asma pada malam hari. 4
Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan
patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus
bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan
nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator
inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan
terjadinya reaksi reseptor saraf otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran
nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi
mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel
inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab
bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan
bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi.
Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena rangsangan reseptor sensorik
pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh mediator inflamasi.4
4. Faktor Risiko2
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
4
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan
asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).