BAB IKASUSI. Identitas PasienDataPasienAyahIbu
NamaAn. RTn. LHNy. S
Umur3 bulan30 tahun27 tahun
Jenis KelaminLaki-lakiLaki-lakiPerempuan
AlamatPerum Graha Asri, Cikarang Barat
AgamaIslamIslamIslam
Suku bangsaJawaJawa
Pendidikan-S1S1
Pekerjaan-Karyawan BUMNPNS
KeteranganHubungan dengan orang tua : Anak kandungAyah
kandungIbu kandung
II. AnamnenisDilakukan secara Alloanamnesis pada tanggal 24
April 2014Keluhan Utama : Os datang ke RSUD Kota Bekasi dengan
keluhan batuk berdahak kurang lebih 1 bulan SMRSKeluhan Tambahan :
Demam, perut kembungRiwayat Penyakit Sekarang : Os datang ke RSUD
Kota Bekasi pada tanggal 7 April 2014, dengan keluhan batuk
berdahak kurang lebih 1 bulan SMRS. Dahak berwarna putih, lengket,
jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal. Batuk lebih sering pada
malam hari, kadang Os terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan.
Awalnya batuk kering dan tidak sesering sekarang namun makin lama
batuk terlihat semakin berat. Setiap kali batuk, hal itu terjadi
terus menerus sampai perut os teraba kencang. Keluhan batuk
tersebut disertai dengan demam, demam dirasakan naik turun dan
tidak pernah diukur dengan termometer. Gejala lain seperti muntah,
diare dan kejang disangkal orang tua os. Nafsu minum ASI berkurang,
tidak ada keringat malam, buang air besar dan buang air kecil
normal.7 hari setelah munculnya gejala awal berupa batuk kering
tersebut Os dibawa berobat ke klinik dr.Ahmad, diberikan obat batuk
sirup dan di inhalasi. Ibu os tidak ingat nama obatnya.8 hari
setelah ke klinik ternyata batuk kering tersebut menjadi berdahak
dan tidak membaik.
Riwayat Penyakit Dahulu
:PenyakitUmurPenyakitUmurPenyakitUmur
Alergi-Difteria-Jantung-
Cacingan-Diare-Ginjal-
DBD-Kejang-Darah-
Thypoid-Maag-Radang paru-
Otitis-Varicela-Tuberkulosis-
Parotis-Operasi-Morbili-
Kesan : Os tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya dan
tidak pernah dirawat karena penyakit yang berat..Riwayat Penyakit
Keluarga :Sebelum os sakit, ibu os sudah terlebih dahulu batuk
kering selama 7 hari dan tidak diobati.Riwayat Kehamilan dan
Kelahiran :KEHAMILANMorbiditas kehamilanTidak ditemukan
kelainan
Perawatan antenatalSetiap bulan periksa ke bidan
KELAHIRANTempat kelahiranBidan
Penolong persalinanBidan
Cara persalinanNormal
Masa gestasi 40 minggu
Keadaan bayiBerat lahir 2600 gPanjang badan 47 cmLingkar kepala
tidak ingatLangsung menangisNilai apgar tidak tahuTidak ada
kelainan bawaan
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :Pertumbuhan gigi I:
-(normal: 5-9 bulan)PsikomotorSenyum: 30 hariMika-Miki: -Mata
merespon: -(normal: 3-4 bulan)Duduk: -(normal: 6 bulan)Berdiri:
-(normal: 9-12 bulan)Berjalan: -(normal: 13 bulan)Bicara: -(normal:
9-12 bulan)Baca dan Tulis: -Kesan : Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan pasien sesuai usia.Riwayat MakananUmur
(bulan)ASI/PASIBuah/biskuitBubur susuNasi tim
0-2+
2-4
4-6
6-8
8-10
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik.Riwayat
Imunisasi :VaksinDasar (umur)Ulangan (umur)
BCG-
DPT-
POLIO+
CAMPAK-
HEPATITIS B+
Kesan : Imunisasi dasar sudah lengkap sampai dengan usia 3
bulan.Riwayat Keluarga :AyahIbu
NamaTn. MNy.AF
Perkawinan kePertamaPertama
Umur 2725
Keadaan kesehatanBaikBaik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan
baik.Riwayat Perumahan dan Sanitasi :Tinggal dirumah sendiri.
Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air
minum dan air mandi berasal dari air tanah.Kesan : Kesehatan
lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.III. Pemeriksaan fisik
( Pada tanggal 28/4/2014) Keadaan umum: Tampak sakit sedang Tanda
Vital Kesadaran: Compos Mentis Frekuensi nadi : 100x/menit Tekanan
darah: Tidak dihitung Frekuensi pernapasan: 60x/menit Suhu tubuh:
37.6C Data antropometri Berat badan: 5,9 kg Lingkar kepala: 40 cm
Panjang badan: 57 cm
Z-ScoreKeterangan
>3 SDObese (sangat gemuk)
>2 SDOverweight (gemuk)
>1 SDPossible risk of overweight
1 < SD > -2Berat badan sesuai
70Kernig: >135/>135Brudzinski II: -/-2. Nervus KranialisN.
I: Tidak valid dinilaiN. IIAcies visus: Tidak dilakukan Visus
campus: Tidak dilakukanLihat warna: Tidak dilakukanFunduskopi:
Tidak dilakukanN. III, N. IV, dan N. VIKedudukan bola mata:
Ortoposisi +/+Gerak bola mata: Kesan baik ke segala arah +/+
(nasal, temporal, superior, inferior, nasal atas, nasal bawah,
temporal atas, temporal bawah)Exophtalmus: -/-Nystagmus:
-/-PupilBentuk : Bulat, isokor 3mm/3mmReflex cahaya langsung:
+/+Reflex cahaya tidak langsung: +/+N. VCabang motorik:
Baik/baikCabang sensorikOphtalmikus: Tidak valid dinilaiMaksilaris:
Tidak valid dinilaiMandibularis: Tidak valid dinilaiN. VIIMotorik
orbitofrontalis: SimetrisMotorik orbikularis okuli:
Baik/baikLipatan nasolabial: Baik/baikPengecapan lidah: Tidak
dilakukanN. VIIIVestibular: Nistagmus: Tidak dilakukanKoklearis:
Tuli konduktif: Tidak dilakukan Tuli perseptif: Tidak dilakukan
Tinnitus: Tidak dilakukanN. IX dan N. X Arkus faring simetris,
uvula ditengahN. XIMengangkat bahu: Tidak dilakukanMenoleh:
Baik/baikN. XIIPergerakkan lidah: Simetris, tidak ada
deviasiAtrofi: -Fasikulasi: -Tremor: -a. Sistem MotorikEkstremitas
atas proksimal-distal: Bergerak aktifEkstremitas bawah
proksimal-distal: Bergerak aktifb. Gerakan InvolunterTremor:
-/-Chorea: -/-Atetose: -/-Miokloni: -/-c. Trofik: Eutrofi +/+d.
Tonus: Normotonus +/+e. Sistem SensorikPropioseptif : Tidak dapat
dinilaiEksterioseptif: Tidak dapat dinilaif. Fungsi SerebelarAtaxia
: Tidak dilakukanTes Romberg: Tidak dilakukanDisdiadokokinesia:
Tidak dilakukanJari-jari: Tidak dilakukanJari-hidung: Tidak
dilakukanTumit-lutut: Tidak dilakukanRebound phenomenon : Tidak
dilakukang. Fungsi LuhurAstereognosia: Tidak dilakukanApraxia:
Tidak dilakukanAfasia: Tidak dapat dinilaih. Fungsi OtonomMiksi:
BaikDefekasi: BaikSekresi keringat: Baik
i. RefleksPemeriksaanKananKiri
Bicep+2+2
Tricep+2+2
Patella+2+2
Achilles+2+2
Hoffmann-TromnerTidak dilakukanTidak dilakukan
Babinsky++
Rooting+
Grasp+
V. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan
LaboratoriumTanggal8-4-201410-4-201419-4-201427-4-2014
LED26mm---
Leukosit15.2 ribu/uL10,3ribu/uL11,6ribu/uL6,3 ribu/uL
Eritrosit2.99juta/uL3,53juta/uL--
Hemoglobin7,3 g/dl10,3g/dL11,0 g/dl9,5 g/dl
Hematokrit23.5 %28,3%31,2 %29,9 %
Trombosit323 ribu/Ul442ribu/Ul742 ribu/Ul179 ribu/Ul
MCV78,7 Fl---
MCH24,3 pg---
MCHC30,9%---
GDS-88 mg/dl72 mg/dl
Natrium-138135 mmol/L135 mmol/L
Kalium-4.44.8 mmol/L4,8 mmol/L
Clorida-8584 mmol/L85 mmol/L
CRP KualitatifNon-reaktif---
Sediaan Apus darah Tepi (9/4/2014)Kesan : Anemia mikrositik
Hipokrom e.c suspek defisiensi besi Mikrobiologi (kultur dan tes
resistensi) (26/4/2014) Jenis sample: darah Hasil Kultur:
steril
Hasil Rontgen: Thorax PA
(8/4/2014)Kesan : Bronkopneumonia duplex
(30/4/2014)Kesan : Pneumonia dextra
Analisis Gas Darah (9/4/2014)KIMIA DARAHHASIL
pH7,271
PCO283,3
PO245,0
O2 saturasi65,9
HCO338,1
TCO240,5
BE ecf11,3
BE blood10,3
SBC33,5
O2 content8,5
O2 cap12,7
Alveolar o2129,4
VI. ResumeOs datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan batuk
berdahak kurang lebih 1 bulan SMRS. Dahak berwarna putih, lengket,
jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal. Batuk lebih sering pada
malam hari, kadang Os terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan.
Awalnya batuk kering dan tidak sesering sekarang namun makin lama
batuk terlihat semakin berat. Setiap kali batuk, hal itu terjadi
terus menerus sampai perut os teraba kencang. Keluhan batuk
tersebut disertai dengan demam, demam dirasakan naik turun dan
tidak pernah diukur dengan termometer. Nafsu makan berkurang, buang
air besar dan buang air kecil normal. 7 hari setelah munculnya
gejala awal berupa batuk kering tersebut Os dibawa berobat ke
klinik, klinik memberikan obat batuk sirup dan diinhalasi. Ibu os
tidak ingat nama obatnya. 8 hari setelah ke klinik ternyata batuk
kering tersebut menjadi berdahak dan tidak membaik.Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran:
Compos Mentis, frekuensi nadi: 100x/menit, frekuensi pernapasan:
68x/menit, suhu tubuh: 37.6C, berat badan: 5,9 kg, lingkar kepala:
40 cm. Pemeriksaan status generalis thorax paru-paru terdapat
wheezing +/+ dan pemeriksaan status neurologis tidak tampak ada
kelainan. Dari hasil lab didapatkan Leukositosis, anemia,
hemodilusi, hiponatremi. Pada pemeriksaan thorax dada didapatkan
infiltrate di parakardial, kesan bronkopneumonia duplex.
VII. Diagnosis Kerja- Sepsis e.c PertusisVIII. Diagnosis
Banding-BronkopneumoniaIX. Penatalaksanaan Non medikamentosa :Rawat
inap PICUInhalasi (intermitten) + O2 (Combivent 1 ml + pulmicort
amp, NaCl 2ml)Stop oralNGT dialirkanEdukasi orangtua mengenai
penyakit anakMedikamentosa :IVFD Tridex 27A 18 tpm/mikroAmikasin 2
x 35 mg/ivDexametasone 3 x 0,5 mg ivAminofilin 4 x 0,5 ml ivSanmol
drip 35 mg bila suhu 37derajatRanitidin 2 x 5 mgBE 100 cc/hari
(4cc/jam)Transfusi PRC 50 ccX. Prognosis Ad vitam: Dubia ad bonam
As fungsionam: Dubia ad bonam Ad sanationam: Dubia ad bonam
XI. Follow Up10 April 201419 April 201427 April 2014
S Sesak berat Demam (-) Batuk (+) Sesak berkurang Demam (-)
Batuk (+) Demam (-) Batuk (+)
O KU : TSB dan apatis Nadi 182x/menit Napas 24x/menit Suhu
36.7oC Saturasi 70 %Pada PF : Thorax: Ronki +/+Lab : Hb post
transfusi: 10,3 Leukosit 15,2 g/dl KU : TSB dan apatis Nadi
162x/menit Napas 24x/menit Suhu 36.1oC Saturasi 95 %Pada PF :
Thorax: Ronki +/+Lab : Leukosit 11,6 g/dl
KU : TSS dan compos mentis Nadi 154x/menit Napas 30x/menit Suhu
36.2oC Saturasi 98%Pada PF : Thorax: Ronki +/+ Mikrobiologi dan
kultur resistensi : steril
A Bronkopneumonia berat Pertusis
Sepsis e.c Pertusis
Sepsis e.c Pertusis
PPindah PICUIVFD Tridex 27A 18 tpm/mikroMeropenem 2 x 150
mgAmikasin 2 x 35 mgDexametason 3 x 1 mg ivOmeprazole 1 x 6 mg
ivAminofilin 4 x 0,5 ml ivSanmol drip 35 mg bila suhu 37derajatBE
100 cc/hari (4cc/jam)Inhalasi (intermitten) + O2 (Combivent 1 ml +
pulmicort amp, NaCl 2ml)
IVFD Tridex 27A 18 tpm/mikroMeropenem 2 x 150 mgAmikasin 2 x 35
mgDexametason 3 x 1 mg ivOmeprazole 1 x 6 mg ivAminofilin 4 x 0,5
ml ivSanmol drip 35 mg bila suhu 37derajatBE 100 cc/hari
(4cc/jam)Inhalasi (intermitten) + O2 (Combivent 1 ml + pulmicort
amp, NaCl 2ml)
IVFD Tridex 27A 18 tpm/mikroMeropenem 2 x 150 mgAzithromycin 1 x
60 mgMucos 3 x 0,4 mlDexametason 3 x 1 mg ivOmeprazole 1 x 6 mg
ivAminofilin 2 x 0,3 ml ivSanmol drip 35 mg bila suhu 37derajatBE
100 cc/hari (4cc/jam)
XII. Analisis KasusDari anamnesis didapatkan keluhan batuk
berdahak kurang lebih 1 bulan SMRS. Dahak berwarna putih, lengket,
jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal. Batuk lebih sering pada
malam hari, kadang Os terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan.
Awalnya batuk kering dan tidak sesering sekarang namun makin lama
batuk terlihat semakin berat. Setiap kali batuk, hal itu terjadi
terus menerus sampai perut os teraba kencang. Keluhan batuk
tersebut disertai dengan demam, demam dirasakan naik turun dan
tidak pernah diukur dengan termometer. Semakin lama batuk semakin
parah dan tidak kunjung sembuh.Pada pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran: Compos Mentis,
frekuensi nadi: 100x/menit, frekuensi pernapasan: 68x/menit, suhu
tubuh: 37.6C, berat badan: 5,9 kg, lingkar kepala: 40 cm.
Pemeriksaan status generalis thorax paru-paru terdapat ronki +/+.
Dari hasil lab didapatkan Leukositosis, anemia, hemodilusi,
hiponatremi. Pada hasil analisa gas darah didapatkan asidosis
metabolic. Pada pemeriksaan thorax dada didapatkan infiltrate di
parakardial, kesan bronkopneumonia duplex.Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang mendukung diagnosis
sepsis e.c pertusis.
XIII. Foto Pasien
BAB IITINJAUAN PUSTAKAII.1 Definisi PertusisPertusis yang
berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Syndenham
yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670.
Disebut juga whooping cough karena penyakit ini ditandai oleh suatu
sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan
paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya
keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai
bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai daripada whooping
cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi yang khas.
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Bordetella pertussis.(1,3,4)II.2 Etiologi Penyakit PertusisPertusis
pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat
dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4
spesies yaitu B.pertusis, B.parapertusis, B.bronchoseptica, dan
B.avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu
dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella
parapertusis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3, dan 5).(2,5)
Gambar 1. Kolonisasi di Trakea oleh Bordetella pertussis
Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil,
ovoid, ukuran panjang 0,5 m sampai 1 m dan dimeter 0,2 m sampai 0,3
m, tidak bergerak, tidak berspora, tumbuh pada suhu kamar, aerob
obligat, segera mati di luar saluran nafas. Dengan pewarnaan
toluidin biru, dapat terlihat granula bipoler metakromatikdan
mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B.pertusis, diperlukan
suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou
(potato-blood-glycerol agar) yang ditambah Penisilin G 0,5 g/ml
untuk menghambat pertumbuhan organisme lain.(1,5)
Gambar 2. Pewarnaan Gram Bordetella pertussis
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1).
Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang
avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk penularan
penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis
dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50C selama setengah jam,
tetapi bertahan pada suhu rendah (0 10C).(4-6)Spesies Bordetella
memiliki tingkat homologi DNA (Deoxynucleic acid) yang tinggi pada
gen virulen. Hanya B.pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis
(TP), protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada
aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 spesifik untuk
B.pertussis.(3-5)B.pertussis mengahasilkan beberapa bahan aktif
secara biologis yang berperan dalam penyakit dan imunitas.
Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP (toksin pertusis)
tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor
dermonekrotik, dan adenilat siklase menyebabkan cedera epitel lokal
yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah
penyerapan TP. Toksin pertusis terbukti mempunyai banyak aktivitas
biologis, misalnya sensitivitas histamin, sekresi insulin,
disfungsi leukosit. Toksin pertusis menyebabkan limfositosis segera
pada hewan coba. Toksin pertusis tampak memainkan peran sentral
tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis.Batuk paroksismal yang
mirip pertusis, namun lebih ringan, dari Pertusis disebabkan B.
parapertussis, Chlamydia trachomatis, enterovirus, virus sinsitial
respiratori, dan beberapa jenis Adenovirus. (4,5)II.3 Faktor Risiko
dan TransmisiSiapa saja berisiko terkena pertusis. Orang yang
tinggal serumah dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit.
Bayi prematur, pasien yang menderita penyakit jantung, paru-paru,
otot atau neuromuskular berisiko tinggi menderita pertusis dan
komplikasinya.(2,4,6)Pertusis merupakan penyakit menular dengan
tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada
kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat
penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara
secara : Droplet Bahan droplet Memegang benda yang terkontaminasi
dengan sekret nasofaring.Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier
orang dewasa.(1)II.4 EpidemiologiPertusis merupakan salah satu
penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80%
sampai 100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia
merupakan satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui
udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita
selama batuk. Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa
Negara, seperti amerika serikat selama tahun 1977 1980 terdapat
102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600
penderita dengan kematian 17.00 orang.(8) Pada tahun 1983 di
Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100
orang.(1) Di Amerika Serikat antara tahun 1932 sampai tahun 1989
telah terjadi 1.188 kali puncak epidemi pertusis.(8,9) Data yang
diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun
1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%,
menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian
turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992.(1,9)
Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh udara, dapat menyerang
semua golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1
tahun.(1-9) Makin muda usianya makin berbahaya penyakitnya, lebih
sering menyerang anak perempuan daripada laki-laki. Di Amerika
Serikat + 35% penyakit terjadi pada usia kurang dari 6 bulan,
termasuk bayi yang berumur 3 bulan.(9) Sekitar 45% penyakit terjadi
pada usia kurang dari 1 tahun dan 66% pada usia kurang dari 5
tahun. (10) Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi
terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Antibodi dari ibu
(transplansenta) selama kehamilan tidak cukup untuk mencegah
pertusis pada bayi baru lahir. Pertusis yang berat pada neonatus
dapat ditularkan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian
sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan
Eritromisin dapat menurunkan tingkat penularan pertusis, karena
biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan.(1)
Diagram 1. Insidensi Pertusis di Amerika Berdasarkan Usia pada
Tahun 1997-2000.(9)
Diagram 2. Jumlah Kasus Pertusis di Amerika Tahun
1922-2000.(9)
II.5 PatogenesisMasa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7
sampai 10 hari). Pertusis paling mudah menular pada stadium
kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau sebelum 5 hari
pengobatan dengan Eritromisin.(1-3)Penularan terutama melalui
saluran pernapasan dimana Bordetella pertussis akan terikat pada
silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami
multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan
inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami
kongesti dan infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di
samping itu terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial
diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada lapisan basal dan
pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada
pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi
peribronkial dan pneumonia interstitial.(2)Mekanisme patogenesis
infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya
timbul penyakit sistemik.(2)Filamentous hemaglutinin (FHA),
lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis toxin (PT) dan
protein 69 Kd berperan dalam perlekatan B.pertussis pada silia.
Setelah terjadi perlekatan, B.pertsusis kemudian bermultiplikasi
dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses
ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi
bakterimia. Selama pertumbuhan B.pertussis akan dihasilkan toksin
yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit adalah pertussis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 subunit, yaitu A dan B. Toksin
subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target,
kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi
membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
daerah infeksi.(1-4)Toxin mediated adenosine diphosphate mempunyai
efek mengatur sintesis protein di dalam membran sitoplasma,
berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergik
dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.(1,3)Toksin menyebabkan peradangan ringan
dengan hiperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan
jumlah mukus pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi
dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat
pengaruh langsung toksin atau sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotik terhadap proses
penyakit.(3,5)Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic
toxin menyebabkan kontraksi otot polos pembuluh darah dinding
trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin
bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan
diakhiri dengan kematian sel. Pertussis lipopolysaccharide
(endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit
ini. Kadang-kadang B.pertussis hanya menyebabkan infeksi yang
ringan karena tidak menghasilkan toksin pertusis.(1)
II.6 Manifestasi KlinisMasa inkubasi pertusis 6 20 hari (rata
rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit ini 6 8 minggu atau
lebih.(2,4) Perjalanan klinis pertusis dapat berlangsung dalam 3
stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksismal),
stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium
konvalesens. Manivestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik,
umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak usia kurang dari 2
tahun terdapat pada tabel 1.
Tabel 1. Gejala pertusis pada anak usia kurang dari 2 tahunBatuk
paroksismal100%
Whoops60-70%
Emesis66-80%
Dispnea70-80%
Kejang20-25%
Pada anak yang lebih besar, manifestasi klinis tersebut lebih
ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang
dari 2 tahun. Suhu jarang lebih dari 38,4oC pada semua golongan
umur. Penyakit yang disebabkan B.parapertussis atau B.bronkiseptika
lebih ringan daripada B.pertussis dan juga lama sakit lebih pendek.
Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.(1,2)
Gambar 3. Manifestasi klinis pertussisII.6.a. Stadium Kataral
(1-2 minggu)Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas
bagian atas yaitu timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir
yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk
ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan
dengan common cold.Selama stadium ini sejumlah besar organisme
tersebar dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap
ini kuman paling mudah diisolasi.(1,2) Selama masa ini penyakit
sering tidak dapat dibedakan dengan common cold.Batuk yang timbul
mula mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi semakin
hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada
bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan
iritabel.II.6.b. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)Selama
stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk
yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik
napas pada akhir serangan batuk. Frekuensi dan derajat batuk
bertambah, khas terdapat pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat
selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi whoop akibat udara yang dihisap
melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi
yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering
tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena
leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva
bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous
plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda
kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai
bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk
mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih,
gembira) dan aktivitas fisik. Juga pada serangan batuk nampak
pelebaran pembuluh mata yang jelas, di kepala dan leher, bahkan
terjadi petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan sclera,
bahkan ulserasi frenulum lidah.(2,4,6)Pada bayi kurang dari 3
bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi tersebut sering
apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada
pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara
whoop, hanya ada batuk yang bertahan lama. Anak yang sudah
divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala
yang lebih ringan, tetapi bisa menular.(1,2,4,6)
Gambar 4. Batuk paroksismal pada pertusisWalaupun batuknya khas,
tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa.
Setelah 1 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan
frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 3 minggu dan
berangsur angsur menurun sampai whoop dan muntah
menghilang.(2,4,6)II.6.c. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1
sampai 2 minggu)Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya
whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang
berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk
beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada
beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.
Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang
berulang.(1,2,4,6)
II.7 DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
II.7.a AnamnesisPada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu
paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan
mengenai riwayat imunisasi.
II.7.b Pemeriksaan FisikGejala klinis yang didapat dari
pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
II.7.c Pemeriksaan PenunjangPada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis 20.000 sampai 50.000/ IU dengan
limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk
diagnosis karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi
lain.(2,11,12)
Gambar 4.Limfositosis pada pertusis
Isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95% sampai
100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai
20% untuk waktu berikutnya.(4)Tes serologi terhadap antibodi toksin
pertusis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan negatif. ELISA (Enzime
Linked Immuno Assay) dapat dipakai untuk menentukan serum IgM
(Immuno globulin M), IgG (Immuno globulin G), dan IgA (Immuno
globulin A) terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT
menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit
maupun vaksinasi. Immuno globulin G toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami
dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.(12) Pemeriksaa lain
yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis, atau emfisema.(1,4)
II.8 Diagnosis Banding Batuk spasmodik pada bayi perlu
dipikirkan bronkiolitis (disebabkan oleh Respiratory Syncitial
Virus, pada bayi kurang dari 6 bulan), pneumonia bakterial, sistik
fibrosis, tuberkulosis, dan penyakit lain yang menyebabkan
limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.1. Asma
Bronchiale2. Obstruksi benda asing di trakea (biasanya gejalanya
mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan
endoskopi).3. Infeksi B.parapertussis, B.bronkiseptika, dan
adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis. Dapat
dibedakan dengan isolasi kuman penyebab, pemeriksaan serologis, dan
biasanya gejalanya lebih ringan.4. Infeksi Chlamydia trachomatis
pada bayi menyebabkan pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari
ibu. Infeksi saluran pernapasan terjadi 2 12 minggu setelah lahir
dengan gejala gejala pernapasan cepat, batuk paroksimal, tanpa
demam, eosinofilia. Pada foto toraks terlihat konsolidasi paru dan
hiperinflasi. Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya klamidia
dari cairan saluran pernapasan. Penyakit ini disebut juga
Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis.(4,6)
II.9 Komplikasi Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi
sekunder (otitis media dan pneumonia), dan sekuele fisik batuk
kuat. Kebutuhan untuk perawatan intensif dan ventilasi artifisial
biasanya terbatas pada bayi kurang dari 36 bulan. Apnea, sianosis,
dan pneumonia bakteri sekunder mempercepat kebutuhan intubasi dan
ventilasi.(4,6) Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering
dijumpai, menyebabkan 90% kematian pada anak kurang dari 3 tahun.
Pneumonia dapat diakibatkan oleh B.pertussis, tetapi lebih sering
diakibatkan oleh infeksi sekunder (H.influenzae, S.pneumoniae,
S.aureus, S.pyogenes). Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif.
Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang kental.
Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas
tinggi merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri.(1)Kenaikan
tekanan intratoraks dan intraabdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan konjungtiva dan sklera, ptekie pada bagian tubuh atas,
epistaksis, perdarahan pada sistem saraf sentral dan retina,
pneumotoraks dan emfisema subkutan, dan hernia umbilikaslis serta
inguinalis. Luka robek frenulum lidah tidak jarang.(4-6) Gambar 5.
Perdarahan konjungtiva dan prolaps rektum
Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma,
ensefalitis, hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of
inapproriate diuretic hormon) juga dapat terjadi. Kejang tetanik
mungkin dihubungan dengan alkalosis yang disebabkan oleh muntah
persisten. Peneliti Inggris melaporkan di antara 2.295 kasus
didapatkan penyulit pada tabel 2.(4)Tabel 2. Penyulit pertusisBerat
badan menurun16,8%
Bronkitis akut 9,8%
Atelektasis0,3%
Bronkopneumonia 0,88%
Apnea1,1%
Kejang 0,6%
Otitis media7,5%
II.10 PenatalaksanaanTujuan terapi adalah membatasi jumlah
paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila
perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa
sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai
kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada
puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik
orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang
akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa
komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72
jam.(2,4)Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri
nadi dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga
setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat kesehatan.
Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah,
dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.
Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai
berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi
tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan
selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk
menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan
lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak
berespon.(4)Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya
menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk,
mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres
pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi
dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik
atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah
sebagai berikut:1. Agen AntimikrobaAgen antimikroba selalu
diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi.
Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi
empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan
baku.(2) Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi
etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin
etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi
menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga
dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24
jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada
98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,
Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin
generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis,
eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang
terbukti.(1,2,4,6)2. Kortikosteroid dan Salbutamol Dapat mengurangi
batuk paroksismal walaupun belum terbukti dalam penelitian
kontrol.Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah
dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam
manajemen pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh
yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai
kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan
klinisnya tidak dibenarkan.(1,2,4)Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian imunoglobulin pertusis telah pada anak kurang dari 2
tahun (1,25 ml/24 jam dalam 3 sampai 5 dosis) tidak bermakna, oleh
karena itu tidak direkomendasikan.(1)II.11 PencegahanCara terbaik
untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian
pertusis dengan adanya program imunisasi. Pada tahun 1926 sampai
tahun 1930 (era sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris
terdapat sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan pertusis dan
setelah era imunisasi berjalan terdapat 26 kematian yang disebabkan
pertusis (tahun 1986 sampai tahun 1988). Melalui PPI (Program
Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan imunisasi
pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Pencegahan
dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.(1)II.11.a
Imunisasi PasifDalam imunisasi pasif dapat diberikan human
hyperimmune globulin. Namun berdasarkan beberapa penelitian di
klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini human
hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.(1)
II.11.b Imunisasi Aktif Diberikan vaksin pertusis dari kuman
B.pertussis yang telah dimatikan untuk mendapatkan kekebalan aktif.
Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin difteria
dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU (International
Unit) dan diberikan 3x sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.
Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi
dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak umur
lebih dari 7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil
imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun
selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih
besar biasanya ringan, tetapi dapat menjadi sumber penularan
infeksi pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen
(0,25 ml/ im) telah dipakai untuk mengontrol epidemi di antara
orang dewasa yang terpapar.(1)Efek samping sesudah imunisasi
pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema, indurasi, dan
rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Untuk mengurangi
terjadinya kejang demam dapat diberikan asetaminofen (15mg/kg BB,
per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72
jam.(2,4,6,12) Anak dengan kelainan neurologik dengan riwayat
kejang 7,2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan
4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai iwayat kejang dalam
keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian hanya diberikan
imunisasi DT (Difteri Tetanus).(1)Kontraindikasi pemberian vaksin
pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari
sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3
hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry
dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari,
demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan
penyebabnya.(1,2)Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada
bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis. Kontak erat pada anak
usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi
hendaknya diberi booster dan Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam,
secara oral dalam dosis terbagi dua sampai empat (maksimum 2 g/24
jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Booster tidak perlu
diberikan bila telah diberi imunisasi dalam 6 bulan terakhir.
Kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan
eritromisin sebagai profilaksis.(1)Pengobatan eritromisin awal
berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan mengurangi gejala
penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum
pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama 14 hari
setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan
hendaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau
setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis
monovalen dan eritromisin diberikan waktu terjadi epidemi.(1) (1)
Vaksin Seluruh Sel Vaksin yang sekarang digunakan untuk seri
imunisasi primer di AS (Amerika Serikat) dan dianjurkan oleh WHO
untuk penggunaan seluruh bagian terbesar dunia adalah vaksin
seluruh sel mati yang membentuk suspensi B.pertusis yang
diinaktifkan, digabung dengan toksoid difteri dan tetanus (DT) dan
tambahan berisi aluminium (vaksin DPT). Kekuatan vaksin pertusis
di-assay dalam tikus dengan uji proteksi-tantangn intraserebral,
suatu standard yang terbukti berkorelasi dengan kemajuan protektif
vaksin pada manusia. Kekuatan vaksin diwujudkan pada unit kekeruhan
(juga standard keamanan) atau unit protektif preparat AS berisi 4
sampai 12 unit protektif dan tidak lebih dari 16 unit kekeruhan per
0,5 ml dosis. Kemanjuran vaksin sel utuh bervariasi menurut
definisi kasus dari 64% untuk batuk ringan, sampai 81% untuk batuk
paroksismal, dan sampai 95% untuk penyakit klinis berat. Komposisi
preparat yang digunakan, tingkat kecocokan antara tipe-tipe
aglutinogen dalam vaksin dan strain tantangan, tipe pajanan, waktu
sesudah imunisasi dan kebutuhan untuk konfirmasi biakan kasus semua
berdampak pada perkiraan kemajuan vaksin. Individu lebih dari 7
tahun tidak secara rutin diberi vaksin berisi pertusis. Bila
digunakan pada orang dewasa untuk mengendalikan ledakan serangan
rumah sakit, vaksin seluruh sel ternyata kurang reaktogenik
daripada yang dilaporkan pada anak.(4,12)Keterbatasan utama
penggunaan vaksin seluruh sel adalah reaktogenisitas terkaitnya,
yang dilaporkan 1 dekade yang lalu terjadi pada 75% vaksin.
Dibanding dengan vaksin DT, DTP mempunyai reaksi lokal yang lebih
bermakna seperti nyeri, pembengkakan, eritema, dan reaksi sitemik
seperti demam, rewel, menangis, mengantuk, dan muntah. Manivestasi
ini terjadi dalam beberapa jam setelah imunisasi dan berkurang
secara spontan tanpa sekuele. Penelitian baru-baru ini melaporkan
frekuensi reaksi lokal da sistemik yang lazim menurun, memberi
kesan bahwa modifikasi vaksin seluruh sel telah terjadi.
Anafilaksis berat atau abses steril sangat jarang paska vaksin DTP.
Urtikaria sementara jarang, mungkin terkait dengan kompleks
antigen-anti bodi dalam sirkulasi, dan jika reaksi tidak terjadi
dalam beberapa menit imunisasi adalah tidak mungkin menjadi reaksi
serius yang diperantarai IgE (Immunoglobulin E), atau kumat pada
imunisasi berikutnya.(4,6,12)Kejang-kejang terjadi dalam 48 jam
dari sekitar 1:1.750 dosis yang diberikan, singkat, menyeluruh dan
sembuh sendiri, terjadi pada anak demam pada hampir semua keadaan.
Terjadi lebih lazim pada mereka dengan riwayat pribadi atau
keluarga konvulsi dan tidak berakibat epilepsi atau sekuele
neurologis permanen. Menangis terus-menerus yang tidak dapat
dihibur atau berteriak selama 3 jam/lebih dilaporkan sesudah
diberikan 1% dosis, biasanya pada bayi muda yang menderita reaksi
lokal, tidak aneh pada imunisasi pertusis dan tampak merupakan
manivestasi nyeri pada banyak keadaan. Keadaan kolaps (episode
hipotonik-hipertonik) biasanya tidak terkait dengan demam atau
reaksi lokal, telah diamati sesudah 1:1.750 vaksinasi pertusis,
biasanya pada bayi muda. Reaksi ini tampak terkait secara unik
dengan vaksin pertusis dan tidak mempunyai sekuele neurologis
permanen. Sebanyak 60 anak dievaluasi secara teliti segera pasca
kejadian-kejadian yang merugikan akibat vaksin pertusis termasuk
kejang-kejang, menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur,
demam sangat tinggi, dan hipotonik-hiporesponsif. Sebanyak 90%
kejang adalah khas kejang demam. Tidak ada kekacauan metabolik atau
toksin pertusis yang dapat diukur ditemukan dalam darah. Bayi umur
kurang dari 1 tahun cenderung mempunyai kadar insulin lebih tinggi
daripada yang diharapkan memberi kesan kemungkinan kerentanan
terkait umur individu atau perubahan akibat vaksin dalam pengaturan
insulin.(4,6,12)Amat jarang (dengan dosis 1:140.000) vaksin
pertusis dapat dihubungkan dengan penyakit neurologis akut yang
sebelumnya normal. Kejadian berat yang merugikan seperti kematian,
ensefalopati, mulai gangguan kejang, perkembangan lambat, atau
masalah belajar atau perilaku telah terjadi pada individu yang
berkaitan secara temporal dengan imunisasi pertusis atau diduga
keras ada hubungan sebab akibat. Lima penelitian epidemiologi utama
telah memeriksa risiko neurologis akibat imunisasi pertusis.
Kematian bayi mendadak (sudden infant death) dan spasme infantil
ditemukan tidak terkait sementara atau tidak terkait sebab akibat.
Analisis dan reanalisis oleh 7 komisi besar tidak mendapatkan
informasi yang cukup untuk mendapatkan hubungan sebab akibat antara
DTP dan gangguan neurologis kronik. Pertimbangan manfaat lawan
risiko vaksin seluruh sel telah berulang-ulang menyimpulkan setuju
penggunaannya.(4)(2) Vaksin AselulerKomponen vaksin pertusis
aseluler yang dimurnikan (AP), pada mulanya berkembang di Jepang
adalah imunogenik dan disertai dengan kejadian kurang merugikan
bila dibandingkan dengan DTP. Vaksin yang disediakan oleh 6 pabrik
telah digunakan secara luas di Jepang sejak tahun 1981, dan
penggunaannya telah mengendalikan pertusis. Trial kemanjuran
kendali-plasebo, acak (tetapi bukan kendali DTP) 2 vaksin pertusis
aseluler (dikembangkan oleh institut kesehatan Jepang dan dilakukan
di Swedia selama tahun 1986-1987 di bawah sponsor AS) menunjukkan
kemanjuran vaksin aseluler ini sedikit kurang dibandingkan secara
historis dengan vaksin pertusis seluruh sel yang digunakan di AS.
Reaktogenisitas vaksin aseluler yang lebih rendah dan
imunogenisitas yang baik pada anak AS yang baru belajar jalan,
digabung dengan bukti kemanjuran pada pemajanan-rumah tangga dan
penelitian berdasar populasi dari Jepang, menyebabkan keluarnya
lisensi AS (tahun 1991 sampai 1992) pada DTAP untuk penggunaan pada
anak umur lebih dari/ sama dengan 15 bulan sebagai dosis ke-4 dan/
atau ke-5 seri DTP yang dianjurkan. Vaksin ini ditoleransi dengan
baik, dan penggunaannya disertai dengan sedikit reaksi lokal yang
lazim dan gejala-gejala sistemik, demam dan kejang demam.(4)II.12
Prognosis Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai
prognosis lebih baik. Pada bayi risiko kematian 0,5-1% disebabkan
ensefalopati. Pada observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan
menyebabkan gangguan intelektual di kemudian hari.(1)
DAFTAR PUSTAKA
1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory
Tract in Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th
edition. Chapter 62. h :1018-1023.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h:
80-86.
3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics.
USA. WB Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h:
908-912,1079.
4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric
Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42.
h: 693-699.
5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf
pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta,
Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
6. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html
7. www.cdc.gov/nip/publication/pink/pert.8.Irawan Hindra, Rezeki
Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi
2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta,
2008. Hal 331 337.9.James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2
mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/142210.Rampengan
T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1,
Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20
-33.11.Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M
Ann. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 965
17