This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENANGANAN PARTUS PREMATORUS DENGAN RETENSIO
PLASENTA PADA NY.RD DI RSUD PARIAMAN
Oleh:
Liganda Endo Mahata 1010312006
Osharinanda Monita 1010312106
Rurin Ardiyanti 1110311024
Preseptor:
Dr. Aladin, Sp.OG(K)
Dr. Mutiara Islam, Sp.OG(K)
BAGIAN OBSETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD PARIAMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-37
minggu dihituung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Persalinan preterm pada
umumnya adalah sekitar 6-10%. Hanya 1,5% persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang
dari 32 minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Namun, kelompok ini
merupakan 2/3 dari kematian neonatal.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Amerika, menunjukkan bahwa
persalinan preterm akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi perdarahan post partum
akibat retensio plasenta. Hasil survey yang dilakukan di RSUD Raden Mattaher Jambi
tercatat bahwa jumlah penderita retensio plasenta tahun 2011 yaitu 49 kasus (5,3%) per 924
persalinan normal dan tahun 2012 terdapat 54 kasus (6,1%)per 892 persalinan normal. Di
RSU H. Damanhuri Barabai insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta
dilaporkan berkisar 16%–17%. WHO memperkirakan sekitar 10% kelahiran hidup
mengalami komplikasi perdarahan pasca persalinan. Perdarahan yang bertanggung jawab atas
sekitar 28% kematian ibu, sering tidak dapat diperkirakan karena terjadi tiba-tiba. Hal ini
menunjukkan penanganan yang kurang optimal dan kegagalan sistem pelayanan kesehatan
menangani kegawatdaruratan obsetri dan neonatal secara cepat dan tepat. Manajemen aktif
kala tiga mempercepat persalinan plasenta dan dapat mencegah atau mengurangi perdarahan
post partum. 1
Berdasarkan uraian diatas, maka kelompok kami tertarik untuk melaporkan kasus
mengenai penatalaksanaan partus prematorus imminens dengan retensio plasenta pada Ny.X
di RSUD Pariaman.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah penatalaksanaan pasien retensio plasenta dengan adhesi plasenta pada
partus prematorus?
1.3 Tujuan
Tujuan ditulisnya laporan kasus ini adalah untuk mengetahui penatalakasanaan pasien
retensio plasenta dengan adhesi plasenta pada Ny.X di RSUD Pariaman
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Retensio Plasenta
2.1.1 Definisi Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta yang tetap tertinggal dalam uterus setengah jam
setelah anak lahir. 1
2.1.2 Epidemiologi
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%–60%) kematian ibu
melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta
dilaporkan berkisar 16%–17% Di RSU H. Damanhuri Barabai, selama 3 tahun (1997–1999)
didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari
sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0,68%) berakhir dengan kematian ibu.
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea,
pernah kuret berulang dan multiparitas.1
2.1.4 Etiologi
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh
perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi
tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta
lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak dan harus diantisipasi segera dengan melakukan Placenta
manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.1
2.1.5 Klasifikasi
Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan
oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila
implantasi menembus desidua basalis dan Nitabutch Layer, disebut sebagai plasenta inkreta
bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta prekreta bila vili korialis
sampai menembus perimetrium. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam
uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau
(lebih sering) sekunder1
2.1.6 Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel
miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri
mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai
mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta
berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus.
Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar
memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di
uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-
serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah
terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga
persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun
dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari
dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan
plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan
otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat
melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga
rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan
akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase
kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam
waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada
pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dankonsistensinya semakin padat,
uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina,
serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya
maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah
bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini
oleh adanya tekanan inter- abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang
sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan
artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah
dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta :
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan
tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta
pembentukan constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa;
implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak
perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak
ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat
menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi
terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
Plasenta pada kehamilan aterem akan mengalami perubahan berupa sel-sel jaringan
ikat yang dipisahkan dengan banyak matriks antar sel yang longgar menjadi lebih padat
danberbentuk kumparan dan tersusun lebih rapat. Perubahan lainya berupa berkurangnya
ketebalan sinsitium,pengurangan parsial sitotrofoblas, dengan jaringan ikat minimal.
Plasenta pada partus prematurus masih belum mengalami pematangan, sehingga jaringan
ikatnya masi tebal sehingga kejadian retensio plasenta meningkat.
2.1.7 Diagnosis Retensio Plasenta
A. Klinis
1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel
fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak
lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3. Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4. Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit
(Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
2. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan
activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting
Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang
disebabkan oleh faktor lain.
3. USG melihat adanya sisa jaringan plasenta setelah dilakukan manual plasenta.
C. Diagnosa Banding
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium
tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.
2.1.8 Tatalaksana Retensio Plasenta
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang
berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau
larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi,
tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang
dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl
0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus.
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual
plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio
plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti
forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir,
tali pusat putus.
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan
dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya
pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di
rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan
kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
sekunder.
2.1.9 Komplikasi dan Prognosis Retensio Plasenta
A. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan
perfusi organ.
3. Sepsis
4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak
selanjutnya.
B. Prognosis Retensio Plasenta
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya
serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.
2.2 Partus prematorus
2.2.1 Definisi Partus prematorus
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-37
minggu dihituung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). WHO menyatakan bahwa
bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. Himpunan
kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan
preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.1
2.2.2 Epidemiologi
Persalinan preterm pada umumnya adalah sekitar 6-10%. Hanya 1,5% persalinan
terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28
minggu. Namun, kelompok ini merupakan 2/3 dari kematian neonatal. Kesulitan utama dalam
persalinan preterm ialah perawatan bayi preterm, yang semakin muda usia kehamilannya
semakin besar morbiditas dan mortalitas. Penelitian lain menunjukkan bahwa umur
kehamilan dan berat bayi lahir saling berkaitan dengan risiko kematian perinatal. Pada
kehamilan umur 32 minggu dengan berat bayi >1.500 gram keberhasilan hidup sekitar 85%,
sedang pada umur kehamilan sama dengan berat janin <1.500 gram angka keberhasilan hanya
sekitar 59%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan persalinan preterm tidak hanya
tergantung umur kehamilan, tetapi juga berat bayi lahir. 1
Permasalahan yang terjadi pada persalinan preterm bukan sasja pada kematian
perinatal, melainkan bayi prematur ini sering pula disertai dengan kelainan, baik kelainan
jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalaj
RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intra/periventrikular, NEC (Necrotizing
Entero Colitis), displasi bronko-pulmonar, sepsis dan patern duktus arteriosus. Adapun
kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik seperti serebral palsi, retinopati,
retardasi mental, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang
kurang baik. Dengan melihat permasalahan yang dapat terjadi pada bayi preterm, maka
menunda persalinan
preterm bila mungkin, masih tetap memberi suatu keuntungan. 1
2.2.3 Faktor Risiko
Untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan prematur harus dicermati
beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan persalinan prematur atau
seorang dokter terpaksa mengakhiri kehamilan pada saat kehamilan belum genap bulan.
Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah: 1