BAB IPENDAHULUAN
Karsinoma hepatoseluler (Hepatocellular Carcinoma = HCC)
merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit,
demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma.
Tumor ganas hati lainnya ialah kolangiosarkoma dan
sitoadenokarsinoma yang berasal dari sel epitel bilier. Dari
seluruh tumor ganas hati yang pernah didiagnosis, 85% merupakan
karsinoma hepatoseluler atau yang dikenal sebagai hepatoma, 10%
ialah kolangiosarkoma, dan sisanya ialah jenis lainnya. HCC
meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia. Karsinoma
hepatoseluler merupakan salah satu keganasan yang paling umum di
seluruh dunia. Insiden global setiap tahunnya ialah sekitar 1 juta
kasus, dengan perbandingan laki-laki dan wanita sekitar 4:1.
Tingkat kejadian sama dengan tingkat kematian. Tingkat kematian
pada laki-laki di negara-negara maju seperti Amerika Serikat adalah
1,9 per 100.000 per tahun sedangkan di negara-negara berkembang
salah satunya Indonesia, angka kematian berkisar 25-150 per 100.000
per tahun. Di Indonesia, khususnya Jakarta, karsinoma hepatoseluler
paling banyak ditemukan pada usia antara 50-60 tahun dengan
predominasi laki-laki. Rasio antara kasus laki-laki dan perempuan
berkisar antara 2-6 : 1. Faktor utama yang berkontribusi
menimbulkan karsinoma hepatoseluler ialah infeksi hepatitis virus,
terutama virus hepatitis B dan virus hepatitis C. Selain itu,
penggunaan alkohol, paparan zat yang bersifat hepatokarsinogenik
seperti aflatoksin, obesitas, penyakit hati metabolik dan sirosis
hepatis merupakan faktor yang terlibat dalam proses patologi
karsinoma hepatoseluler. Manifestasi klinik hepatoma sangat
bervariasi, dari asimptomatik hingga yang gejala dan tandanya
sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering
dikeluhkan ialah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan
atas abdomen. Dan sebagian besar pasien dengan hepatoma sudah
menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi,
maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti
malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus.
Sebagian besar kasus hepatoma berprognosis buruk karena tumor
yang besar, penyakit hati yang lanjut, serta ketiadaan atau
ketidakmampuan penerapan terapi yang berpotensi kuratif. Stadium
tumor, kondisi umum kesehatan, fungsi hati dan intervensi spesifik
mempengaruhi prognosis pasien karsinoma hepatoseluler. Dengan data
seperti ini, dapat disimpulkan bahwa hepatoma merupakan penyakit
kronik progressif yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas jika tidak ditindaklanjuti secara profesional. Dan
penyakit ini dapat menimbulkan gangguan pada semua organ tubuh
akibat proses metastasinya. Oleh karena itu, kami mengambil kasus
ini sebagai bahan presentasi kasus agar tenaga medis dapat mengenal
dengan baik faktor-faktor risiko, etiologi, pathogenesis, serta
tanda dan gejala klinis dari hepatoseluler karsinoma atau hepatoma.
Sehingga hal ini dapat membantu menurunkan mortalitas dan
morbiditas yang diakibatkan oleh penyakit tersebut.
BAB IILAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASIa. Nama : Tn. AM bin Ab. Usia: 55 tahunc. Jenis
Kelamin: Laki-lakid. Agama: Islame. Status: Menikahf. Pekerjaan :
Buruhg. Alamat: Jl. Slamet Riadi, 10 Ilir, Palembangh. No. RM:
119633
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis, 22 Desember
2014, 13.00 WIB)a. Keluhan UtamaPerut yang terasa membesar sejak 3
bulan SMRS.
b. Riwayat Penyakit SekarangTiga bulan sebelum masuk rumah
sakit, os mengeluh perutnya mulai membesar terutama di bagian sisi
kanan atas perut. Os juga merasa perut sisi kanan atasnya terasa
mengeras sehingga sering membuat os merasa tidak nyaman dan merasa
penuh pada perutnya. Os juga terkadang mengeluh nyeri pada perut
kanan atas. Nyeri bersifat tumpul, hilang timbul, dan tidak
menjalar. Mual (-), muntah (-), penurunan berat badan (-),
penurunan nafsu makan (-). Badan kuning (-), badan lemas (-), BAK
dan BAB seperti biasa. Os kemudian berobat ke dokter umum,
dikatakan menderita sakit liver. Os kemudian diberi obat yang os
lupa nama obatnya. Os mengaku merasa lebih baik setelah
mengkonsumsi obat tersebut namun perutnya tidak kunjung
mengecil.Dua bulan sebelum masuk rumah sakit, os kembali
mengeluhkan perutnya semakin membesar terutama di sisi kanan atas.
Perut terasa mengeras sehingga os sering merasa tidak nyaman dan
merasa penuh pada perutnya. Nyeri perut kanan atas (+), nyeri
hilang timbul dan tidak menjalar. Mual (-), muntah (+), frekuensi
1x, isi apa yang dimakan, demam (-), penurunan nafsu makan (-),
penurunan berat badan (-), badan lemas (-). Os kemudian berobat ke
dokter spesialis penyakit dalam, kemudian os tetap dikatakan
menderita sakit liver. Os diberi obat dan disarankan untuk
menjalani CT Scan perut di RSMH Palembang untuk melihat kondisi
livernya. Os mengatakan kondisinya lebih enak namun perutnya tidak
kunjung mengecil. Dua minggu sebelum masuk rumah sakit, os mengeluh
perutnya terus membesar dan teraba sangat keras. Os juga merasa
nyeri pada perut kanan atasnya. Mual (+), muntah (+), frekuensi 1x,
isi apa yang dimakan, badan lemas (+), nafsu makan menurun (+),
berat badan menurun (-), BAB cair, frekuensi 5-6x/hari, ampas (+),
lendir (-), darah (-). BAB hitam (-), muntah hitam (-). BAK tidak
ada keluhan. Os juga mengeluh matanya kuning. Kemudian os datang
berobat ke IGD RSUD. Palembang Bari. Lima hari setelah masuk rumah
sakit, os mengeluh kedua tungkainya mengalami kelemahan. Os juga
mengaku kedua tungkainya sulit digerakkan dan mati rasa.
c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit kuning sebelumnya
disangkal. Riwayat darah tinggi disangkal. Riwayat kencing manis
disangkal. Riwayat minum alkohol (+), sejak remaja, selama +10
tahun, 1 botol/hari, pasien stop minum alkohol sejak +20 tahun yang
lalu. Riwayat merokok (+) sejak remaja, 1-2 bungkus/hari, pasien
stop merokok sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat transfusi darah
disangkal, konsumsi jamu-jamuan (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat keluarga sakit kuning
sebelumnya disangkal. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien pada
keluarga disangkal.
III. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada tanggal 22 Desember 2014,
pukul 13.00 WIB)a. Keadaan Umum1. Keadaan umum: tampak sakit
sedang2. Kesadaran: delirium3. Tekanan darah: 130/80 mmHg4. Nadi:
84 x/menit, irama reguler, isi kuat dan tegangan cukup5.
Pernapasan: 24 x/menit6. Suhu tubuh: 36,6 oC7. Berat badan: 50 kg8.
Tinggi badan: 165 cm9. IMT: 18,3 kg/m2 (Underweight)b. Keadaan
Spesifik1. KepalaNormosefali, simetris, warna rambut hitam,
alopesia (-)Ekspresi tampak sakit sedang, meracau.2. MataEdema
palpebra (-), konjungtiva palpebral pucat (-/-), sklera ikterik
(+/+), pupil isokor, diameter 3 mm, reflex cahaya (+/+).3.
HidungTampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), cavum
nasi lapang, tidak keluar cairan, epistaksis (-).4. MulutStomatitis
(-), cheilitis (-), hipertrofi ginggiva (-), lidah pucat (-), lidah
kotor (-), atrofi papil lidah (-), pembesaran tonsil (-).
5. TelingaTampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus
externus lapang, membrane timpani tidak ada kelainan, secret (-),
darah (-).6. LeherJVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-).7.
ThoraksSimetris, retraksi (-), spider naevi (+), ginekomastia (-),
venektasi (-)Paru Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan =
kiri. Palpasi: stemfremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-) Perkusi:
sonor di kedua lapangan paru, batas paru-hepar ICS VI, batas
paru-lambung ICS VIII. Aukskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi
(-), wheezing (-). Jantung Inspeksi: ictus cordis terlihat di ICS V
LMC sinistra Palpasi: ictus cordis teraba di ICS V LMC sinistra
Perkusi: batas atas ICS II, batas kiri ICS V LMC sinistra, batas
kanan LS dextra Aukskultasi: HR 84 x/menit, reguler, murmur (-),
gallop (-)8. Abdomen Inspeksi: datar, venektasi (-), caput medusae
(-) Palpasi: lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 4 jbac, permukaan
tak rata, konsistensi keras, tepi tumpul, lien teraba Schuffner 2.
Perkusi: timpani (+), shifting dullness (-) Auskultasi: bising usus
(+) normal, bruit hepatic (+)9. Genitalia: edema skrotum (-),
atrofi testis (-)10. Ekstremitas: palmar eritema (+), flapping
tremor (+), edema pretibia (-), akral hangat (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Laboratorium (22 Desember
2014)NoPemeriksaanHasilNilai NormalInterpretasi
1Hb10,614-16 g/DlAnemia
2Leukosit10.2005000-10.000/mm3Leukositosis
3Trombosit380.000150-400 x 103/UlNormal
4Hematokrit3240-48%Menurun
5Diff count0/2/2/82/10/4Netrofilia, limfopenia
6AFP18502-4 UMeningkat
7SGOT500 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial kadar AFP serum
400 ng/ml
Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi
(untuk lesi berdiameter > 2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan
untuk menentukan pilihan terapi. Untuk tumor berdiameter < 2 cm
sulit menegakkan diagnosis secara non-invasif karena beresiko
tinggi tinggi terjadinya diagnosis negatif palsu akibat belum
matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara
imaging dan biopsi tidak diperoleh diagnosis definitif, sebaiknya
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan
sampai diagnosis dapat ditegakkan. Pada pasien ini juga didiagnosis
ensefalopati hepatik grade II. Ensefalopati hepatik (koma
hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit
hepar berat.12 Sindrom ini ditandai dengan kekacauan mental, tremor
otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis.12
Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma dibagi dalam empat
stadium, yaitu :12 Stadium I, tidak begitu jelas dan sukar
diketahui. Tanda yang berbahaya adalah sedikit perubahan
kepribadian dan tingkahlaku, termasuk pemanpilan yang tidak terawat
dengan baik, pandangan mata kososng, bicara tidak jelas, tertawa,
pelupa dan tidak mampu memusatkan pikiran. Stadium II, terjadi
perubahan perilaku, kedutan otot generalisata dan asteriksis.
Asteriksis merupakan suatu manifestasi perifer gangguan metabolisme
otak. Pada stadium ini juga ditemukan apraksia konstitsional yaitu
penderita tidak dapat menulis atau menggambar dengan baik seperti
menggambar binatang atau rumah. Stadium III, penderita dapat tidur
sepanjang waktu, elektroensefalogram mulai berubah pada stadium II
dan menjadi abnormal pada stadium III dan IV. Stadium IV, penderita
masuk dalam keadaan koma yang tidak dapat dibangunkan, sehingga
timbul refleks hiperaktif dan tanda barbinsky. Pada saat ini
terdapat bau apek yang manis (fetor hepatkum). Pada hasil
pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar amonia darah yang
meningkat.Pada pasien ini terdapat perubahan perilaku dan
asteriksis atau flapping tremor, sehingga pada pasien ini
didiagnosis ensefalopati hepatik grade II.Pada pasien ini detemukan
juga parese pada ekstremitas bawah, sehingga pada pasien ini
didiagnosis paraparese inferior.Faktor risiko karsinoma
hepatoselular antara lain terpajan dengan virus hepatitis B (HBV),
virus hepatitis C (HCV), sirosis hati, aflatoksin, obesitas,
diabetes melitus, penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun; PBC/
sirosis bilier primer), penyakit hati metabolik (hemokromatosis
genetik, defisiensi antitripsin-alfa 1, penyakit Wilson),
kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast, vinil klorida,
nitrosamin, insektisida organoklorin, asam tanik), alkohol, dan
tembakau (masih kontroversial).10 Dapat disimpulkan etiologi
terjadinya hepatoma pada Tn. AM adalah konsumsi alkohol dalamjangka
waktu yang lama (sejak remaja, selama +10 tahun, 1 botol/hari, dan
pasien stop minum alkohol sejak +20 tahun yang lalu) dan terdapat
juga riwayat merokok yang lama (sejak remaja, 1-2 bungkus/hari,
pasien stop merokok sejak 1 bulan yang lalu).Meskipun alkohol tidak
memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol berisiko untuk
menderita karsinoma hepatoselular melalui sirosis hepatik
alkoholik. Pada penggunaan alkohol jangka panjang terjadi fibrosis
perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan
alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang
terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang
pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul
septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan
triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini
mengelilingi masa kecil sel hepar yang masih ada yang kemudian
mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian
kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan
kolagen terus berlanjut, perubahan ukuran hepar, berbenjol-benjol
(nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.10Mekanisme
cedera hepar alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya
sebgai berikut: 1) hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid
etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia
relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari aliran darah yang
teroksigenasi (misal daerah perisentral); 2) infiltrasi/aktivasi
neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh
hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi
dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen
reaktif, proteosa, dan sitokin; 3) formasi acetaldehyde-protein
adducts berperan sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang
tersensitisasi serta antibodi spesifik yang menyerang hepatosit
pembawa antigen ini; 4) pembentukan radikal bebas oleh jalur
alternatif dari metabolisme etanol, disebut sistem yang
mengoksidasi enzim mikrosomal.10Pada kasus ini awalya terjadi
sirosis alkoholik, sehingga pada pemeriksaan fisik didapatkan
spider naevi karena pada sirosis terjadi peningkatan rasio
estradiol/testoteron bebas. Ditemukan juga palmar eritem yang
terjadi karena perubahan metabolisme hormon estrogen. Pada sirosis
terjadi hipertensi porta sehingga terjadi hepatomegali dan
splenomegali. Sirosis alkoholik pada kasus ini telah berlanjut
menjadi hepatoma (karsinoma hepatoselular). Ditandai dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yaitu peningkatan kadar AFP (1850 U) dan
kesan pada hasil pemeriksaan USG berupa hepatoma dan
splenomegali.Pada pasien ini telah terjadi ensefalopati hepatikum
(koma hepatik). Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa hipotesis yaitu:
hipotesis amonia, amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil
degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung
urease. Dalam hepar amonia diubah menjadi urea pada sel hepar
periportal dan menjadi glutamin pada sel hepar perivenus, sehingga
jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik.
Pada penyakit hepar kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia sebesar 5-10 kali
lipat yang mengakibatkan perubahan loncatan (fluk) klorida melalui
membran neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel
saraf. Disamping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan
eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan glutamat.10Hipotesis
neurotransmiter palsu, berupa penggantian neurotransmiter otak
dengan neurotransmiter palsu seperti oktapamin feniletanolamin,
yang lebih lemah dibanding dopamin dan nor-adrenalin. Beberapa
faktor yang mempengaruhi adalah: a) peningkatan produksi oktapamin
yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak; b)
terjadi penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari
valin, leusin dan isoleusin, yang megakibatkan terjadinya
peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin,
dan triptofan karena penurunan ambilan hepar.10Hipotesis GABA dan
Benzodiazepin, berupa penurunan transmiter yang memiliki efek
peningkatan glutamat, aspartat dan dopamin sebagai akibat
menigkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat
transmisi impuls.10Pada hepatoma dengan ensefalopati hepatik
mengakibatkan gangguan metabolisme pada hepar serta terjadinya
peningkatan substansi toksik sehingga terjadi perubahan unsur
selular serebral seperti astrosit yang mengakibatkan timbulnya
lesi-lesi fokal di otak dan medula spinalis yang meyebabkan
timbulnya paraparese inferior pada kasus ini.13Penatalaksaan pada
kasus ini adalah memperbaiki keseimbangan elektrolit cairan, serta
menjaga agar jaringan tidak dehidrasi sehingga diberikan terapi
berupa IVFD RL. Pemberian ceftriaxone berfungsi sebagai antibiotik
spektrum luas yang berfungsi mencegah infeksi, pemberian curcuma
pada kasus ini bertujuan sebagai hepatoprotektor yaitu hanya untuk
mengurangi keluhan seperti rasa tidak nyaman serta memperbaiki
nafsu makan. Pada kasus ini diberikan juga vitamin B berupa
methiasone dan mecobion. Secara klinis, pada pasien ini tidak
terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad
malan. Tetapi secara fungsional, pada kasus ini telah terjadi
kerusakan hepar yang permanen dan disertai komplikasi sehingga
prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Hati, edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45.2.
Petrides AS, Stanley T, Matthews DE Vogt C, Bush AJ, Lambeth H,
Insulin resistance in cirrhosis: prolonged reduction of
hyperinsulinemia normalizes insulin sensitivity Hepatology 1998;
28:141-9.3. Nurdjanah S. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam , edisi IV jilid II, Jakarta, Pusat penerbitan Departemen
Ilmu penyakit dalam FK UI., 2006 hal 445-8.4. Kakizaki S, Sohara N,
Yamazaki Y, Horiguchi H, Kanda D, Kenji K "Elevated plasma recistin
concentration in patients with liver cirrhosis". Lancet 359 (9300):
467.5. Pang S, Lee Y. "Role of Resistin in inflamation and
Inflamation-Related Disease". Obes. Res. 10 (11): 11979.6. Alizadeh
MHA, Fallahian Farrahnaz, Insulin Resistance in Chronic Hepatitis B
and C, Indian Journal of Gastroenterology 2006 Vol 25:286-288.7.
Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro,
Poernomo Boedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. Page 129-136.8. Riley TR,
Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the
setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis.
2009. 18(3):299-302.9. Guadalupe Garcia-Tsao. Prevention and
Management of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage in
Cirrhosis. Am J Gastroenterol. 2007. 102:20862102.10. Amin, Z. dan
A. Bahar. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5). Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, Indonesia, halaman
668-690.11. Khursid Humera, Malik Imtiaz A. Hepatocellular
carcinoma : clinical features, evaluation and treatment. J Pak Med
Assoc 1995 ; 45 : 136-42. 12. Price. Sylvia A dan Wilson. Lorraine
M. 2006. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, Indonesia, halaman
499-500.13. Prof. DR. Mardjono. Mahar dan Prof. DR. Shidarta.
Priguna. 2010. Neurologi Klinis Dasar (edisi ke 15). Penerbit Dian
Rakyat, Jakarta, halaman 387-388.
7