PRESENTASI KASUS Asma bronkhial Nama : Windi Surya, S.ked Nim : 110.2009.301 Pembimbing : dr. Lita Farlina, Sp.A, M.Biomed 1
PRESENTASI KASUS
Asma bronkhial
Nama : Windi Surya, S.kedNim : 110.2009.301Pembimbing : dr. Lita Farlina, Sp.A, M.BiomedKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Serang
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : An. Nuryatus ShofiUmur: 10 tahun 11 bulanJenis Kelamin: PerempuanBerat badan: 26 kgTinggi badan: 133 cm
Agama:Islam
Bangsa: Indonesia
Alamat: Taktakan kota serangNo CM:14.03.98II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis tanggal 26 November 2014)
Keluhan utama: Sesak nafasKeluhan tambahan: Batuk, pusing, pilek,bersinRiwayat Penyakit SekarangPasien datang ke RSUD Serang diantar kedua orang tuanya dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Keluhan sesak terjadi saat dini hari sekitar pukul 02.00 WIB. Pasien mempunyai riwayat sesak nafas yang disertai dengan batuk terus menerus dirasakan sejak pasien berusia 2 tahun namun jarang kambuh. Sesak dan batuk semakin sering kambuh saat pasien berusia 6 tahun atau saat pasien mulai sekolah hingga sekarang berusia 10 tahun. Sesak biasanya kambuh saat pasien kelelahan, kontak dengan alergen seperti udara dingin dan debu. Sesak dan batuk terus menerus sering kambuh menjelang dini hari atau sekitar pukul 2-3 pagi. Sesak biasanya berlangsung sekitar 30 menit dan dibiarkan oleh orang tuanya lalu sembuh sendiri. Orangtua pasien pernah membawa pasien berobat ke klinik dokter umum dan didiagnosis sebagai penderita asma lalu diberi obat tablet yang diminum saat serangan namun orang tua pasien lupa nama obatnya.Pasein juga mengeluh batuk berdahak warna hijau selama 1 minggu. Batuk terus menerus dan memberat saat malam hari. Pasien juga mengeluh pilek, bersin bersin, kepala pusing 1 minggu SMRS. Pasien sempat dibawa ke klinik lalu diberi obat. 1 hari SMRS pasien mengeluh sesak nafas yang tidak membaik selama lebih dari 30 menit dan akhirnya keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Serang dan masuk IGD. Di IGD pasien sempat muntah sebanyak 2x dan muntah berupa makanan yang dimakan oleh pasien sebelumnya. Keluhan demam disangkal, keluhan kejang saat demam disangkal pasien.
Riwayat persalinan, pasien lahir ditolong dukun secara normal dan saat baru lahir tidak langsung menangis, usia kehamilan saat lahir adalah 36 minggu. Berat badan saat lahir tidak diketahui.Riwayat imunisasi, pasien tidak pernah di imunisasi karna ibu pasien tidak tahu pentingnya imunisasi.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Asma sejak pasien berumur 2 tahunRiwayat sesak sebelumnya (+), frekuensi 0
Tanda Vital:Tekanan darah:110/80 mmHgNadi
: 125 x/menitLaju napas
: 50 x /menit Suhu
: 36,7 C (axilla) Keadaan Spesifik
Kulit
Tidak ada kelainan
Kepala
Bentuk: bulat, simetrisRambut: hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya +/+, pupil bulat, isokor, 3 mm
Hidung: NCH (+), deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-), mukosa edema (-) , dan hiperemis (-).Telinga: Nyeri tarik auricula (-), Nyeri tekan tragus (-), sekret tidak ada
Mulut: mukosa bibir basah, coated tongue (-), sianosis (+) Tenggorok : faring hiperemis (-), T1-T1
Leher
: perbesaran KGB tidak adaThorax
Paru-paru
Inspeksi
: statis dan dinamis simetris, retraksi (+) pada IC, SC, epigastrium. Ekspirasi memanjang. Palpasi
: vocal fremitus kanan = kiri. Perkusi
: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (+/+). Jantung
Inspeksi
: Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V midklavikula kiri, tidak kuat angkat, tidak ada thrill
Perkusi : Batas atas jantung di sela iga 3 garis sternal kiri
Batas kanan jantung di sela iga 4 garis sternal kanan
Batas kiri jantung di sela iga 4 garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I II regular, tidak ada murmur, tidak ada gallopAbdomen
Inspeksi: datarPalpasi
: supel, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-)Perkusi: timpani
Auskultasi: bising usus (+) 4x permenit normal.Ekstremitas
Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada. CRT < 2 DetikPemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan URINE 26/11/2014 10: 32
MAKROSKOPISSEDIMEN
- WARNA : KUNING
- KEKERUHAN : JERNIH
- BERAT JENIS : 1020
- PH : 6,0
- ALBUMIN : NEGATIF
- GLUKOSA : NEGATIF
- KETON : NEGATIF
- BILLIRUBIN : NEGATIF
- DARAH SAMAR : NEGATIF
- NITRIT : NEGATIF
- UROBILINOGEN : NORMAL- LEUKOSIT : 0-1/LBP
- ERITROSIT : NEGATIF
- EPITEL : POSITIF
- SILINDER : NEGATIF
- KRISTAL : NEGATIF
- BAKTERI : NEGATIF
- JAMUR : NEGATIF
Pemeriksaan FOTO THORAX 26/11/2014 08:39
Uraian hasil pemeriksaan
Cor : CTR < 50%, aorta normal
Pulmo : corakan bronkovaskuler kasar, tidak tampak infiltratsinus dan diafragma normal
Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal
III. DIAGNOSIS KERJA
Asma bronkial episodik jarang serangan beratIV. RENCANA PEMERIKSAAN
Darah rutinV. PENATALAKSANAAN- O2 4l/menit
- IVFD D5% 20 cc + aminofilin 156 mg (loading dose)- IVFD D1/4 NS + aminofilin 200 mg - Nebulisasi combivent- Mucopect tab 3 x tab- Paracetamol 3 x tab
- MC 2000 kkal
VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubiaad bonamQuo ad functionam : dubia ad bonamBAB II
TINJAUAN PUSTAKA2.1. Definisi
Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai terjadinya penyempitan bronkus berulang namun reversibel, di antara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal (Solomon, 2005).Liu dkk (2007) mendefinisikan asma sebagai penyakit inflamasi paru kronis yang menyebabkan penyempitan saluran nafas. Inflamasi kronis ini meningkatkan responsivitas saluran nafas terhadap berbagai paparan faktor pencetus.
Menurut GINA (2011), asma adalah keadaan inflamasi kronis saluran pernafasan dengan banyak sel dan elemen selular yang berperan. Proses inflamasi kronis ini berhubungan dengan hiperresponsivitas saluran nafas yang menyebabkan episode mengi, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, terutama pada malam atau pagi hari. Episode ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran nafas luas namun bervariasi, berulang baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Batasan asma menurut definisi GINA lengkap, namun tidak praktis untuk penerapan klinis pada anak, oleh karena itu KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi batasan asma yang lebih lengkap, yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain baik pada penderita maupun keluarga. (Santosa, 2008)
Karakteristik utama asma adalah episode obstruksi saluran nafas yang menyebabkan terbatasnya aliran udara ekspirasi. Karakteristik patologis yang dominan adalah inflamasi saluran pernafasan, terkadang berhubungan dengan perubahan struktur saluran nafas.
Para peneliti mengembangkan pengukuran asma secara objektif, seperti atopi (respon klinis terhadap alergen), hiperresponsivitas jalan nafas (kecenderungan penyempitan saluran nafas akibat faktor pencetus yang berefek sedikit atau tidak berefek pada orang normal), dan pengukuran sensitasi alergi lainnya. (GINA committe, 2011)
2.2. EpidemiologiBerdasarkan informasi yang dikumpulkan the National Center for Health Statistics of the Centers for Disease control and Prevention 2002, 8,9 juta anak (12,2%) didiagnosa asma dan 4,2 juta anak (5,8%) mendapat serangan asma pada 12 bulan pertama kehidupan. Anak laki-laki lebih mudah mendapat serangan asma dibandingkan anak perempuan dengan persentase 14% pada anak laki-laki dan 10 % pada anak perempuan. Anak di keluarga kurang berkecukupan juga lebih mudah mendapat serangan asma dibandingkan anak di keluarga berkecukupan dengan persentase masing-masing 16% dan 10%. (Liu dkk, 2007)
Meskipun terdapat perkembangan dalam penatalaksanaan asma, prevalensi asma di seluruh dunia masih meningkat, beberapa penelitian di berbagai negara menyatakan terdapat peningkatan prevalensi asma sebesar 50% setiap dekade. Secara global prevalensi tersebut bervariasi, International Study of Asthma and Allergies in Childhood menemukan perbedaan yang besar pada prevalensi di 56 negara, dari 1,6% sampai 36,8%. Asma pada anak juga lebih banyak ditemui di kawasan metropolitan dan sangat berhubungan dengan kondisi alergi dibandingkan di kawasan pedesaan. (Liu dkk, 2007)
Penelitian asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa sentra, tetapi belum semuanya menggunakan kuesioner standar. Pada tabel 2.2.1 dapat dilihat beberapa hasil survei prevalensi asma anak di Indonesia.
Tabel 2.2.1. Prevalensi asma di Indonesia
Peneliti (kota)TahunJumlah SampelUmur (tahun)Prevalensi (%)
Djajanto (Jakarta)199112006-1216,4
Rosmayudi O (Bandung)199348656-126,6
Dahlan (Jakarta)1996-6-1217,4
Arifin (Palembang)1996129613-155,7
Rosalina I (Bandung)1997311813-152,6
Kartasasmita (Bandung)20022678
28366-7
13-143,0
5,2
Sumber : Buku Ajar Respirologi Anak, hal. 75 . 2008.
2.3. Faktor Risiko2.3.1. Faktor Genetik
Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) (2011), hubungan gen terhadap asma difokuskan pada 4 hal, yaitu produksi antibodi IgE (atopi), hiperresponsivitas jalan nafas, peningkatan dari mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan growth factor, dan menentukan rasio antara Th1 dan Th2. Suatu penelitian telah mengidentifikasi beberapa region kromosom yang berkaitan dengan asma, misalnya lengan panjang kromosom 5q mengatur kadar serum IgE, peningkatan kadar serum IgE cenderung mengakibatkan hiperresponsivitas jalan nafas. Meskipun demikian, penelitian terhadap gen spesifik yang mengakibatkan atopi atau asma hasilnya sampai saat ini masih belum konsisten. Kecenderungan genetik disertai dengan faktor lingkungan dapat menjelaskan banyak kasus asma pada anak.2.3.2. Jenis kelamin
Jenis kelamin pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Prevalensi asma hampir dua kali lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, akan tetapi semakin anak bertambah besar, kejadian asma antara anak laki-laki dan perempuan hampir sama, hal ini mungkin dikarenakan ukuran paru-paru bayi laki-laki yang baru lahir lebih kecil daripada bayi perempuan sehingga rentan terjadi obstruksi paru dan akan bertambah besar seiring bertambahnya usia. (GINA committe, 2011)
2.3.3. Riwayat atopi
Riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya asma. Serangan asma akan terjadi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rinitis alergi, atau eksema. Eksema persisten berhubungan pula dengan gejala asma persisten. (GINA committe, 2011)2.4. Faktor LingkunganFaktor lingkungan seperti alergen, asap rokok, polusi udara, dan perubahan cuaca dapat menyebabkan eksaserbasi asma. 2.6. Manifestasi klinis
Mengi saat ekspirasi dan batuk adalah gejala utama asma. Anak yang lebih tua dan dewasa biasanya juga mengalami sesak nafas dan rasa sesak di dada. Gejala-gejala ini akan bertambah parah pada malam hari, terutama saat eksaserbasi yang disebabkan berbagai faktor pencetus seperti infeksi respiratorik dan alergen inhalasi. Pada siang hari, gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan aktivitas fisik atau pada anak-anak aktivitas bermain. (Liu dkk, 2007)
Penderita asma akan merasa seperti tercekik dan berusaha mengerahkan tenaga untuk bernafas setelah terpajan faktor pencetus. Kesulitan utama pada penderita asma adalah saat ekspirasi, akan terdengar mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan ekspirasi. Serangan asma dapat berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam dan diikuti batuk produktif. Serangan asma yang berlangsung terus-menerus selama berhari-hari dan tidak dapat ditanggulangi pengobatan biasa dapat mengakibatkan sianosis dan kematian (Solomon, 2005).
2.7. Patogenesis
Hal yang mendasari semua bentuk asma adalah respons bronkus berlebihan terhadap berbagai rangsangan atau disebut juga hiperresponsivitas jalan nafas (Kumar dan Maitra, 2007). Perubahan jaringan pada asma terdiri dari spasme otot polos, edema mukosa, infiltrasi sel-sel radang yang menetap dan hipersekresi mukus kental (Solomon, 2005). Baik jalan nafas besar (>2 mm) maupun kecil ( 1x/bulanSering
Lama serangan< 1 minggu 1 mingguHampir sepanjang tahun, tidak ada remisi
Di antara seranganTanpa gejalaSering ada gejalaGejala siang dan malam
Tidur dan aktifitasTidak tergangguSering tergangguSangat terganggu
Pemeriksaan fisis diluar seranganNormal (tidak ditemukan kelainan)Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)Tidak pernah normal
Obat pengendali (anti inflamasi)Tidak perluNonsteroid/steroid hirupan dosis rendahSteroid hirupan/oral
Uji faal paru (di luar serangan)PEF/FEV1 > 80%PEF/FEV1 60-80%PEF/FEV1 < 60%
Variabilitas faal paru (bila ada serangan)Variabilitas > 15%Variabilitas > 30%Variabilitas 20-30%Variabilitas > 50%
Sumber : Buku Ajar Respirologi Anak, 20082.9.2. AnamnesisAnamnesis harus dilakukan secara tepat agar memperoleh riwayat penyakit yang akurat pada pasien asma. Anamnesis pada pasien asma terutama mengenai gejala sulit bernafas, mengi, atau batuk yang bersifat episodik dan berkaitan dengan musim. Setelah memastikan seorang anak mengalami mengi atau batuk, selanjutnya adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala. Pola gejala dibedakan gejala timbul saat infeksi virus atau timbul di antara batuk pilek biasa. Apabila tidak bersamaan dengan infeksi virus, faktor pencetus timbulnya gejala batuk dan mengi tersebut harus ditentukan. Faktor pencetus tersebut dapat berupa aktivitas, emosi, debu, bulu binatang, suhu lingkungan, aerosol/aroma yang tajam, asap rokok atau asap dari perapian. Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk menentukan penatalaksanaan yang akan diberikan. (Nataprawira, 2008)
Adanya faktor risiko seperti riwayat penyakit alergi lainnya (rhinitis dan atopic dermatitis) dan riwayat asma pada keluarga juga mendukung diagnosis asma. (Liu dkk, 2007)
2.9.3. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik abnormal yang paling sering ditemui adalah wheezing pada auskultasi yang mengkonfirmasi adanya keterbatasan aliran udara pada saluran pernafasan. Keterbatasan aliran udara disebabkan penyempitan saluran nafas karena kontraksi otot polos saluran nafas, edema, dan hipersekresi mukus yang menyebabkan meningkatnya usaha pernafasan. Karakteristik utama asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal menuju diagnosis (GINA committee, 2011). Gejala yang berkaitan dengan asma seperti pilek dan alergi (ekzema) juga diperiksa, namun karena gejala asma bervariasi pemeriksaan fisik saat diperiksa bisa saja normal. (National Heart Lung and Blood Institute, 2012)
2.9.4. Pemeriksaan fungsi paru
Diagnosis asma biasanya berdasarkan diagnosis klinis, namun pemeriksaan fungsi paru akan sangat mendukung diagnosis asma. Tujuan pemeriksaan fungsi paru adalah untuk menilai derajat obstruksi jalan nafas, reversibilitas dan variabilitasnya. Reversibilitas adalah ukuran peningkatan FEV1 (atau PEF) dalam beberapa menit setelah inhalasi bronkodilator kerja cepat seperti salbutamol 200-400 ug, atau dalam beberapa hari atau minggu setelah inhalasi glukokortikosteroid. Variabilitas adalah perbaikan atau perburukan gejala dan fungsi paru dalam beberapa waktu, baik dalam satu hari, hari ke hari, bulan ke bulan, maupun musiman (GINA committe, 2011). Variabilitas dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dengan nilai PEF malam hari tertinggi. (Nataprawira, 2008)
Ada beberapa metode untuk mengevaluasi obstruksi jalan nafas, paling sering digunakan adalah spirometri untuk mengukur forced expiratory volume in 1 second (FEV) dan forced vital capacity (FVC), dan pengukuran peak expiratory flow (PEF). (GINA committe, 2011)
2.9.5. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas
Penilaian respon bronkus dengan histamin, metakolin, latihan/olahraga, udara kering dan dingin dapat membantu menegakkan diagnosis asma pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal. Pemeriksaan hiperresponsivitas saluran nafas merefleksikan sensitivitas saluran nafas terhadap faktor pencetus. Pengukuran ini memiliki sensitivitas tinggi namun spesifisitasnya rendah, artinya hasil negatif dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasil positif tidak selalu berarti pasien tersebut menderita asma karena hiperreaktivitas saluran nafas juga terdapat pada pasien rinitis alergi dan penyakit paru obstruktif menahun. (GINA committe, 2011)
2.9.6. Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non invasif
Penilaian inflamasi saluran nafas pada asma juga dapat dilakukan dengan cara memeriksa eosinofil atau neutrofil sputum, baik yang spontan maupun yang diinduksi dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukuran kadar NO ekshalasi (FeNO) dan karbon monoksida (FeCO) juga merupakan cara menilai inflamasi saluran nafas non-invasif, kadar NO cenderung meningkat pada penderita asma, namun walaupun didapatkan eosinofilia pada sputum dan peningkatan kadar NO, hasil ini tidak spesifik untuk dapat menegakkan diagnosis pasti asma. (GINA committe, 2011; Nataprawira, 2008)
2.9.7. Penilaian status alergiAsma berhubungan kuat dengan rhinitis alergi, oleh karena itu adanya alergi meningkatkan kemungkinan diagnosis asma, alergi pada pasien dapat diidentifikasi melalui tes kulit dan pemeriksaan IgE spesifik dalam serum, selain itu penilaian status alergi ini dapat membantu mengidentifikasi faktor pencetus yang menyebabkan asma pada pasien. (GINA committe, 2011)
2.9.8. Alur diagnosis
Batuk dan/ mengi
Gambar 2.9.1. Alur diagnosis
Sumber : Buku Ajar Respirologi Anak 2008
2.10. Diagnosis bandingDiagnosis banding pada asma dibedakan sesuai umur (GINA, 2011)
Untuk anak umur 5 tahun :
Rinosinusitis kronik
Refluks gastroesofageal
Infeksi virus pada saluran pernafasan bawah
Fibrosis kistik
Displasia bronkopulmonari
Tuberkulosis
Congenital malformation
Aspirasi benda asing
Defisiensi imunologis
Penyakit jantung kongenital Untuk anak yang lebih tua :
Sindrom hiperventilasi dan serangan panik
Obstruksi saluran nafas atas
Inhalasi benda asing
Disfungsi pita suara
PPOK
Penyakit paru non obstrukstif
Gejala yang bukan ditimbulkan sistem pernafasan (misalnya left ventricular failure)
2.11. Tatalaksana
2.11.1. Tujuan tatalaksana Tujuan tatalaksana serangan asma adalah :
Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
Mengurangi hipoksemia
Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan. (Supriyanto dan MS, 2008)2.11.2. Tatalaksana asmaAda 4 prinsip utama tatalaksana asma anak yang optimal :
2.11.2.1. Pemeriksaan rutin dan pemantauan
Tatalaksana asma dapat dioptimalkan melalui pemeriksaan rutin setiap 2-4 minggu sampai kontrol asma yang baik tercapai. Pemeriksaan 2-4 kali per tahun juga direkomendasikan untuk mempertahankan kontrol asma yang baik.
Kontrol asma yang baik dapat dinilai dengan mengetahui (1) frekuensi gejala asma anak pada siang hari, malam hari, dan setelah aktivitas fisik; (2) frekuensi penggunaan 2-adrenergik kerja pendek; (3) kuantitas dan keparahan eksaserbasi asma sejak kunjungan terakhir; (4) partisipasi anak di sekolah, olahraga, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Pemeriksaan fungsi paru dianjurkan setidaknya setiap tahun dan lebih sering jika asma tidak cukup terkontrol atau fungsi paru menurun. (Liu dkk, 2007)
2.11.2.2. Penanganan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksaserbasi asmaFaktor-faktor yang dapat memperberat gejala asma adalah faktor lingkungan dan kondisi komorbid. Kondisi komorbid seperti rhinitis, sinusitis, dan refluks gastroesofageal dapat menyebabkan dan memperparah gejala asma. Penatalaksanaan yang efektif terhadap kondisi-kondisi tersebut dapat mengurangi eksaserbasi gejala asma (Liu, dkk, 2007).
Mengurangi paparan terhadap faktor lingkungan juga penting dalam optimalisasi tatalaksana asma.
1. Alergen dalam rumah
a. Tungau debu
Tungau debu tumbuh dengan subur di berbagai penjuru rumah, oleh karena itu tungau debu sulit untuk dikurangi dan tidak mungkin dieradikasi, namun suatu penelitian menunjukkan penyarungan kasur dapat menurunkan hiperresponsifitas saluran nafas pada anak terhadap tungau debu.
b. Bulu hewan
Anak dianjurkan tidak memiliki hewan peliharaan di rumah, meskipun demikian menghindari bulu hewan sepenuhnya hampir tidak mungkin dilakukan karena hewan ditemukan hampir di semua tempat seperti sekolah dan lingkungan luar rumah.
c. Kecoa
Alergen kecoa dapat dihindari dengan mendempul dan menutup celah dinding dan lantai, mengurangi kelembaban, memasang jebakan dan dengan menggunakan bahan kimia.
d. Jamur
Di negara dengan iklim subtropis dan tropis, jamur sering tumbuh di dinding akibat rembesan air dan kelembaban udara. Untuk menghindari pertumbuhan jamur, dinding rutin dibersihkan. (GINA committe, 2011)
2. Alergen luar rumahAlergen di luar rumah seperti serbuk sari tidak mungkin dihindari sepenuhnya, namun pemaparan dapat dikurangi dengan menutup pintu dan jendela, tetap tinggal di rumah ketika kadar serbuk sari di luar rumah sedang tinggi, dan menggunakan AC jika memungkinkan. (GINA committe, 2011; American Lung Association, 2012)
3. Rokok
Baik perokok aktif maupun pasif harus dihindari untuk mencegah hiperresponsivitas saluran nafas anak. Perokok pasif meningkatkan frekuensi eksaserbasi gejala asma pada anak. Orang tua atau pengasuh anak dengan asma sebaiknya dianjurkan untuk tidak merokok dan melarang penggunaan rokok di rumah. Asap rokok juga menurunkan efektivitas glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik, pasien asma yang merokok dan tidak ditangani dengan glukokortikosteroid inhalasi mengalami penurunan fungsi paru yang lebih berat dibandingkan pasien asma yang tidak merokok. (GINA committe, 2011)4. Polusi udara luar rumah
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara polusi udara seperti ozon, nitrogen oksida, aerosol dengan eksaserbasi asma. Anak dengan asma sebaiknya menghindari beraktivitas di lingkungan yang kadar polusi udaranya tinggi. (GINA committe, 2011)
5. Infeksi respiratorik
Sering mencuci tangan dan menghindari orang flu akan mengurangi kemungkinan terkena infeksi respiratorik yang dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun cara terbaik untuk mencegahnya adalah vaksinasi influenza setiap tahun. (American Lung Association, 2012)
2.11.2.3. FarmakoterapiTahapan tatalaksana1. Tatalaksana di rumah
Gambar Alur Penatalaksanaan Akut di Rumah
Sumber: Ilmu Kesehatan Anak Nelson, vol.1, ed 15, hal 7832. Tatalaksana di rumah sakit
1. Tatalaksana di UGD
Pasien asma yang datang langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian 2-agonis kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi dapat diulang dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal juga dapat berfungsi untuk penentuan derajat serangan karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Penatalaksanaan derajat serangan asma adalah sebagai berikut :
a. Serangan asma ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons baik, berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobervasi 1-2 jam, jika respon baik tersebut bertahan, maka pasien dapat dipulangkan dan dibekali obat 2-agonis yang diberikan 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma sedang.
b. Serangan asma sedang
Jika setelah dua kali pemberian nebulisasi pasien hanya menunjukkan respon parsial, kemungkinan derajat serangannya sedang. Pada serangan asma sedang diberikan inhalasi langsung 2-agonis dan ipratorium bromide (antikolinergik), pasien perlu diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari. Pasien juga diberikan kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari. Pasien yang akan diobservasi di RSS langsung dipasangi jalur parenteral sejak di UGD untuk persiapan keadaan darurat walaupun belum tentu diperlukan.
c. Serangan asma berat
Jika setelah tiga kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon, pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Bila pasien diduga serangan asma berat, diberikan nebulisasi dengan -agonis dan antikolinergik. Oksigen 2-4 liter/ menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi, kemudian pasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks untuk mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. (Supriyanto dan MS, 2008)
2. Tatalaksana di ruang rawat sehari
Pemberian oksigen dilanjutkan dan pemberian nebulisasi -agonis + antikolinergik bila perlu setiap 2 jam, kemudian diberikan steroid sistemik oral (metilprednisolon, prednison, atau triamsinolon). Pemberian kortikosteroid dilanjutkan sampai 3-5 hari. Jika dalam 8-12 jam keadaan klinis baik, pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan asma ringan yang dipulangkan dari IGD. Bila setelah 12 jam responnya tidak membaik, pasien dialihkan ke ruang rawat inap dengan tatalaksana serangan asma berat. (Supriyatno dan MS, 2008)
3. Tatalaksana di ruang rawat inapTatalaksana di ruang rawat inap adalah sebagai berikut : Pemberian oksigen diteruskan
Jika ada dehidrasi dan asidosis, atasi dehidrasi dengan pemberian cairan intravena dan tatalaksana asidosis
Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari
Nebulisasi 2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan pemberian 4-6 kali mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian diperlebar menjadi tiap 4-6 jam
Aminofilin IV dengan ketentuan : Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan amnofilin dosis awal sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit
Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam) dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial
Sebaiknya kadar aminofilin diukur dalam darah dan dipertahankan sebesar 10-20 g/ml
Empat jam kemudian diberikan aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam
Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam sampai 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat -agonis yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam dan steroid oral yang dilanjutkan hingga pasien kontrol dalam 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana. (Supriyatno dan MS, 2008)
Gambar 2.11.1. Alur Tata Laksana Serangan Asma pada AnakSumber : Buku Ajar Respirologi Anak, 2008Terapi Medikamentosa
1. Bronkodilator
a. Beta adrenergik kerja pendek (short acting)
2-agonis selektifObat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol
- Dosis salbutamol oral 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam
- Dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam
- Dosis fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam
Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapaia dalam 2-4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja lebih cepat yaitu 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam.- Dosis salbutamol nebulisasi 0,1-0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5 mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam)
- Dosis terbutalin nebulisasi 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi
Dapat juga diberikan metered dose inhaler (MDI)
- Serangan ringan : MDI 2-4 semprotan tiap 3-4 jam
- Serangan sedang : MDI 6-10 semprotan tiap 1-2 jam
- Serangan berat : MDI 10 semprotan
Pemberian intravena memberikan efek samping takikardi namun dapat digunakan saat obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan nafas.
- Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit
- Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infus selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1-0,4 ug/kgBB/jam dengan infus kontinuEfek samping 2-agonis antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
EpinefrinTidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada 2-agonis selektif. Epiefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2, dan sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
- Pemberian subkutan : larutan epinefrin 1:1000 (1 mg/ml), dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja adrenalin subkutan adalah 5-15 menit, efek puncaknya 30-120 menit, durasi efeknya 2-3 jam.
- Inhalasi racemic epinefrin 2,25% aerosol diberikan dengan nebuliser, kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasi hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping terutama pada jantung dan CNS.2.11.2.4. Edukasi pasien
Edukasi spesifik terhadap anak asma dan keluarga penting untuk optimalisasi tatalaksana asma karena kunci tatalaksana asma yang optimal adalah penilaian sehari-hari anak oleh keluarga dan implementasi tatalaksananya.
Edukasi yang dapat dilakukan adalah menjelaskan tujuan tatalaksana asma, menjelaskan dasar patogenesis asma, menjelaskan efek samping farmakoterapi yang berpotensi terjadi, mengajarkan dan mendemonstrasikan cara penggunaan medikasi inhalasi dan peak flow meter, menginvestigasi dan menganjurkan untuk menangani faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksaserbasi gejala asma, dan menganjurkan untuk melakukan kunjungan regular setahun dua kali dan pemeriksaan fungsi paru setahun sekali. (Liu dkk, 2007)
2.12. Pencegahan
2.12.1. Pencegahan asma 1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitasi pada bayi atau anak yang mempunyai resiko (dengan atopi) untuk menderita asma di kemudian hari. Pencegahan primer dapat dilakukan pada saat prenatal dan pascanatal. Pada masa prenatal, orangtua dihindari terhadap lingkungan yang dapat bersifat sebagai faktor risiko, terutama indoor pollutants seperti asap rokok, debu rumah yang mungkin banyak mengandung tungau debu, dan lain-lain. Pada masa pascanatal, bayi dihindari dari pemberian air susu ibu (ASI) yang mengandung makanan yang daat menyebabkan alergi. Pemberian ASI yang lama ( 4 bulan) juga dapat mengurangi risiko asma di kemudian hari.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada seorang anak yang sudah tersensitasi. Pemberian cetirizine selama 18 bulan pada anak dengan dermatitis atopi yang orangtuanya atopi, dapat mencegah terjadinya asma sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk sari. Selain pemberian obat-obatan, faktor risiko lain seperti alergen juga harus dihindari. 3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan asma pada seorang anak yang sudah menderita asma. Telah diteliti bahwa seorang anak yang bebas terhadap paparan tungau debu rumah (tempat tidurnya bersih) angka kejadian wheezingnya menurun, penggunaan obat-obatan berkurang, dan PEFR meningkat. (Rosmayudi dan Supriyatno, 2008)
2.13. Prognosis
Batuk dan mengi berulang terjadi pada 35% anak prasekolah, sepertiganya akan berlanjut menjadi asma persisten di kemudian hari dan dua-pertiganya akan membaik seiring pertumbuhan. Anak dengan asma sedang sampai berat dengan fungsi paru yang menurun akan menderita asma persisten saat dewasa, sedangkan anak dengan asma ringan dan fungsi paru yang normal akan membaik seiring pertumbuhan. (Liu, dkk, 2007)
2.14. Kerangka Teori
Gambar 2.14.1. Kerangka TeoriAnamnesis riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin
Tidak jelas asma:
- timbul masa neonatus
- gagal tumbuh
- infeksi kronik
- muntah/tersedak
- kelainan fokal paru
- kelainan sistem kardiovaskular
Patut diduga asma
- episodik
- nokturnal/morning dip
- musiman
- pasca aktivitas fisik
- riwayat atopi penderita/keluarga
Jika memungkinkan, periksa peak flow meter atau spirometer untuk menilai:
reversibilitas (> 15%)
variabilitas (> 15%)
hiperreaktivitas (>20%)
Pertimbangkan pemeriksaan:
- foto Rontgen toraks & sinus
- uji faal paru
- respons terhadap bronkodilator
- uji provokasi bronkus
- uji imunologis
- pemeriksaan motilitas silia
- pemeriksaan refluks GE
Berikan bronkodilator
Diagnosis kerja: Asma
mendukung diagnosis lain
Tidak mendukung diagnosis lain
Tentukan derajat & pencetusnya
Bila asma sedang/berat: foto Rontgen
Diagnosis dan pengobatan sesuai diagnosis kerja
Berikan obat antiasma:
tidak berhasil nilai ulang diagnosis dan ketaatan berobat
Bukan asma
Pertimbangkan asma sebagai penyakit penyerta
Nilai Derajat Serangan
Tata laksana awal:
* nebulisasi -agonis 1- 2x, selang 20 menit
* nebulisasi kedua + antikolinergik
* jika serangan berat, nebulisasi -agonis (+antikolinergik)
Serangan Berat
(nebulisasi 3x, respons buruk)
-sejak awal beri O2 saat/ di
luar nebulisasi
-pasang jalur parenteral
-nilai ulang gejala klinis, jika
sesuai dengan serangan
berat, rawat di r. rawat inap
-foto rontgen thorax
Serangan Sedang
(nebulisasi 2-3x, respons
parsial)
-berikan oksigen
-nilai kembali derajat
serangan, jika sesuai dengan
serangan sedang, observasi
di ruang rawat sehari
-berikan steroid oral
Serangan Ringan
(nebulisasi 1x, respons baik)
-observasi 1-2 jam
-jika efek bertahan, boleh
pulang
-jika gejala timbul lagi perlakukan sebagai serangan
sedang
Ruang Rawat Inap
-Oksigen diteruskan
-Atasi dehidrasi dan asidosis
jika ada
-steroid IV tiap 6 8 jam
-Nebulisasi tiap 1 2 jam
-Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan
-Jika membaik dlm 4 6 x
nebulisasi, interval jadi 4 6
jam
-Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
-Jika dengan steroid dan
aminofilin parenteral tidak
membaik, bahkan timbul
ancaman henti napas, alih
rawat ke R. Rawat Intensif
Ruang Rawat Sehari
-Oksigen diteruskan
-Berikan steroid oral
-Nebulisasi tiap 2 jam
-Bila dalam 12 jam
perbaikan klinis stabil, boleh
pulang, tetapi jika
belum membaik, alih rawat
ke R. Rawat Inap (dirujuk)
Boleh Pulang
-Bekali dengan obat -agonis
(hirupan/oral)
-Jika sudah ada obat
pengendali, teruskan
-Jika infeksi virus sebagai
pencetus, dapat diberi
steroid oral
-Dalam 24-48 jam, kontrol
rawat jalan untuk evaluasi
Catatan:
1. Jika menurut penilaian serangan berat, nebulisasi cukup 1x
langsung dengan agonis + antikolinergik
2. Jika tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin
subkutan 0,01ml/kgBB/kali, maks 0,3ml/kali
3. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2
4L/menit diberikan sejak awal, termasuk pada saat nebulisasi
Faktor risiko
(Faktor genetik, jenis kelamin, riwayat atopi)
Pemaparan terhadap faktor lingkungan
(alergen, asap rokok, polusi udara, bahan iritan, cuaca)
Antigen berikatan dengan IgE pada sel mast di jalan nafas
Sel mast degranulasi
mengi
Aliran udara melewati jalan sempit
Asidosis metabolik
Produksi asam laktat meningkat
Merangsang ujung sensoris vagus di epitel jalan nafas
batuk
Melepas mediator-mediator inflamasi
Hiperinflasi toraks
hiperventilasi
Hipoksia jaringan
Peningkatan usaha bernafas
Asidosis respiratorik
hipoksemia
hiperkapnea
Hipoventilasi alveoral
Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
Obstruksi jalan nafas
Edema mukosa
bronkokontriksi
Hipersekresi mukus
Merangsang kontraksi otot polos bronkus
Albuterol melalui nebulizer 0,15 mg/kg/dosis (maksimum 5 mg) atau dengan inhaler dosis terukur dengan dosis dua semprot setiap 20 menit sampai 1 jam jika diperlukan
Menilai keparahan
Mengukur PEFR, frekuensi pernafasan, kehabisan nafas, penggunaan otot-otot tambahan (asesoris), ketajaman perhatian, sianosis.
Respons jelek
Frekuensi nafas meningkat
Sesak nafas berat
Otot-otot tambahan: retraksi berat, nafas cuping hidung
Kewaspadaan menurun
Sianosis
PEFR 50% dan 50% dan 70%-90% garis dasar dan bertahan selama 4 jam
Lanjutkan penilaian
Lanjutkan albuterol 0,15 mg/kg/dosis tiap 3-4 jam
Lanjutkan obat-obatan rutin
Hubungi dokter jika gejala berulang
Lanjutkan penilaian
Segera ke IGD
Lanjutkan albuterol 0,15 mg/kg/dosis tiap 2 jam sebanyak 3x
Mulai prednison oral 1-2 mg/kg/dosis
21