8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
1/41
Daulat
Senin, 08 September 2014
Ada sepatah kata yang berubah bersama sejarah: daulat.
Di masa lampau orang akan menyatakan siap menjalankan titah sultan dengan
berkata, "Daulat, Tuanku."Dalam ucapan itu tersirat hubungan dengan Yang-Di-Atas. Tapi
kini daulatjustru diucapkan sebagai idiom yang mengacu ke arah sebaliknya: orang
ramai: "Ketua rombongan pun didaulat para hadirin agar menyanyi di panggung."
Dalam bahasa Malaysia, ucapan "Daulat, Tuanku"masih berlaku dalam acara resmi. Tak
berarti tak ada arti lain bagi daulat. Kamus Dewan Bahasa dari Kuala Lumpur memaknainya
juga sebagai kuasa yang datang dari luar "Tuanku".Daulat, menurut kamus resmi itu, juga
berarti "merampas (kekuasaan) dengan tidak sah".
Namun tak berarti ada tafsir yang sama dalam kedua cabang bahasa Melayu itu. Tafsir
Kamus Dewan Bahasa mengisyaratkan sebuah tindakan yang tanpa legitimasi: "merampas
dengan tidak sah". Sebaliknya dalam bahasa Melayu-Indonesia, daulat, sebagai aksi orang
ramai, tidak hanya sah, tapi juga bagian pergaulan sehari-hari.
Sejarah politik Indonesia telah membuat perbedaan itu. Revolusi 1945 menyisihkan para
sultan dan privilese mereka. Terkadang dengan darah dan besi, seperti di Sumatera Timur.
Gerakan pembebasan nasional sejak awal abad ke-20 telah membuat daulat kehilangan
auranya. Kini kita menyebutnya kedaulatan.
Saya tak tahu kapan persisnya "ke"dan "an"itu menempel. Mungkin nasionalisme Indonesia
memang ekspresi protes yang meluas di seantero penduduk Hindia Belanda,
hingga daulattak bisa lagi dianggap melekat "di atas" atau di mana pun.
Kini kedaulatan:sesuatu yang impersonal. Kata itu jadi sebuah konsep, sesuatu yanguniversal. Ia jadi terjemahan kata Belandasoevereiniteitatau kata Inggrissovereignty. Ia
lebih sering disebut bersama kata nasionaldan rakyat.
Dan kita menumbuhkannya. Maka kata daulat, jika kita dengar sekarang, tak ada
hubungannya dengan "merampaskekuasaan".
Tapi sejarah politik modern Indonesia terkadang lupa bahwa daulat (atau kedaulatan) sering
datang dengan perampasan. Di abad ke-13 Kerajaan Singasari dibangun Ken Arok; ia
memulai kekuasaannya dengan membunuh akuwuTumapel, Tunggul Ametung. Hubungan
antara kedaulatan dan kekerasan tak berhenti di situ. Di Aceh, 400 tahun setelah itu, Sultan
Iskandar Muda, yang membangun sebuah kerajaan yang mengagumkan, naik takhta setelah
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
2/41
memberontak pamannya, Sultan Ali Ri'ayat Syah III, dan membunuh pamannya yang lain,
Hussain.
Riwayat seperti itulah yang agaknya membuat orang Indonesia tak mudah menerima
kedaulatan sebagai sesuatu yang terlepas dari gerak dan gejolak politik, dan juga tak mudah
memandang kuasa raja-raja sebagai perpanjangan kuasa Tuhan.
Saya kira ini berbeda dengan pengalaman Eropa sejak kemaharajaan Karolinger di abad ke-9.
Dimulai dengan takhta Pippin Kecil, -ia pangeran bangsa Frank yang diasuh para biarawan-
kedaulatan diberi tudung keagamaan. Tudung itu makin lama makin menyatu dengan
kedaulatan itu sendiri.
Di tahun 751 Pippin dinobatkan jadi raja dengan dukungan Paus Zakharias. Wilayah sekitar
yang direbutnya dipersembahkannya kepada Takhta Suci. Anaknya, Karl Agung,
mengukuhkan simbiosis Takhta-Raja-Takhta-Suci dengan mengembangkan "Dunia Kristen";
ia serang kerajaan Islam di Spanyol dan ia kristenkan bangsa Saxon. Klimaksnya, di hariNatal tahun 800, di Basilika Santo Petrus, Paus Leo III memasang mahkota kekaisaran di
kepala Karl Agung.
Sejak itu kedaulatan pun jadi sakral. Raja, pemonopoli kedaulatan, membangun analoginya
dengan Tuhan. Tuhan mendatangkan mukjizat, dan mukjizat adalah sebuah perkecualian dari
hukum alam, dan perkecualian itu tanda kedaulatan-Nya yang mutlak. Analog dengan itu,
raja-raja dengan kuasa yang absolut juga berada di luar hukum antarmanusia: seperti
ditunjukkan Carl Schmitt, pemikir Nazi itu, terutama di tangan raja-raja kedaulatan adalah
cerita "perkecualian",Ausnahme.
Kemudian Revolusi Prancis menghabisi kaitan Tuhan dan kuasa para Yang Dipertuan. Juga
ketika pada awal Desember 1804, Napoleon, perwira yang dibesarkan Revolusi, mengangkat
diri jadi maharaja. Upacara penobatannya ia buat mirip dengan Karl Agung. Tapi betapa
beda.
Dari Roma, Paus Pius VII datang ke Paris, ke Katedral Notre Dame, untuk meletakkan
mahkota ke atas kepala sang maharaja baru. Tapi Napoleon membatalkannya: sebelum Paus
sempat bergerak, Bonaparte meletakkan dengan tangannya sendiri mahkota itu di kepalanya.
Jika Paus dianggap wakil Tuhan, hari itu Tuhan disingkirkan di depan altar Notre Dame.
Tapi tanpa Tuhan sekalipun kedaulatan tak hilang tuahnya. Ia punya tuah baru yang lebihcocok di bumi, di mana senjata dan dukungan orang ramai, demos, kekuatan di luar agama,
lebih mengukuhkannya. Namun, berbeda dengan tuah lama, kini ada yang tak bisa ditutup-
tutupi: kedaulatan adalah bagian proses politik, dengan nafsu, gejolak, dan benturannya.
Jauh sebelum Napoleon di Prancis, Raja Mataram pertama menegaskan kenyataan itu ketika
melalui pelbagai penaklukan ia menamai dirisayidin panatagama: dialah -bukan ulama yang
dipilih Allah- yang "menata agama".
Tentu ia, seperti yang lain, juga membangun mithos tentang kekalnya kedaulatan; bayang-
bayang agama tak bisa sepenuhnya sirna dari ide tentang kedaulatan, bahkan hingga hari ini.
Tapi zaman tak bisa mengembalikan hikayat tua, ketika agama dan raja menganggap manusia
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
3/41
satu komunitas yang siap berkata, "Daulat, Tuanku." Etienne Balibar menyebut kedaulatan
ditandai "impotence of the omnipotent": di satu sisi tampak yang mahakuasa, pada saat yang
sama tampak pula impotensinya.
Maka sudah sepantasnya daulatberubah makna.
Goenawan Mohamad
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
4/41
Yogya
Sabtu, 06 September 2014
Putu Setia
Yogya istimewa. Irama rap yang mendominasi pentas From Republik Jogja with Loveini
cukup jeli menggambarkan keistimewaan Yogyakarta. Dibawakan dengan riang dan jenaka,
para penyanyi rap melantunkan berulang-ulang: Yogya, Yogya. Yogya istimewa. Istimewa
makanannya, istimewa orangnya....
Pentas itu sudah lama, 29-30 Maret 2011 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saat itu terjadi
polemik apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih atau ditetapkan olehpemerintah pusat dengan mengangkat Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil
gubernur. Pentas ini mengkritik tajam tentang digugatnya keistimewaan Yogya.
Yogya memang istimewa. Bukan cuma makanan dan orangnya. Sampai sekarang pun orang
Yogya tak pernah bisa menulis dengan seragam nama wilayahnya. Pemerintah Provinsi sudah
menetapkan nama yang baku: Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata itu diambil dari nama
Keraton Hayogyakarta Hadiningrat. Tapi orang banyak menulis kata Jogja atau Jogya,
bahkan Djogja. Padahal di Kepatihan, pusat pemerintahan tempat Sultan dan Paku Alam
berkantor, nama provinsi ini jelas disingkat DIY, bukan DIJ, apalagi DID.
Orang Yogya terkenal halus bertutur kata, meski kadang terlontar kata seperti "asu". Kata ini,
yang artinya anjing, dilontarkan bukan dalam bentuk umpatan, melainkan nuansa kekerabatan
yang kental disertai tawa. Di media sosial pun, kata asuacap nongoldalam percandaan akrab,
selain kata ndasmu.
Kini Yogya semakin istimewa ketika sumpah serapah Florence Sihombing muncul di media
Path, sebuah laman pertemanan yang lebih bersifat pribadi. Florence, mahasiswi S-2 Fakultas
Hukum UGM, tak mau antre saat hendak mengisi Pertamax di sebuah SPBU. Alasannya, ia
membeli Pertamax kenapa harus antre bersama pembeli Premium? Flo benar. Tapi ia salah
ketika ngamukdi masyarakat yang berbudaya halus dan mengumpat di Path dengan kata:
tolol.
Flo, yang berasal dari Medan, tak menduga kata tolol itu menusuk hati orang Yogya. Ada 15
LSM mengadukan Flo ke polisi, dan polisi pun sangat tanggap. Flo diperiksa dan ditahan.
Tapi warga Yogya juga kesal atas penahanan Flo. Tak seharusnya kata tololmembawa
mahasiswi ini ke tahanan. Polisi dikecam. Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas turun
tangan. Flo meminta maaf, dan Sultan pun meminta masyarakat Yogya memaafkan,
sementara Ratu Hemas meminta LSM itu menarik pengaduannya. Pemimpin LSM tidak mau.
Perkara jalan terus meski Flo hanya wajib lapor.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
5/41
Apakah tolollebih kasar dari asuatau ndasmu? Kehalusan (dan kekasaran) kata tergantung
budaya dan kepada siapa kata ditujukan. Fahri Hamzah menggunakan katasintingdan bodoh
untuk Jokowi, tapi tak ada yang menuntut politikus ini. Apakah beda bodoh dengan tolol?
Sikap LSM Yogya menarik, bahwa muncul kelompok fundamentalis di berbagai budaya yang
justru berdalih mempertahankan budaya lokal. Di Bali, ada LSM anak-anak muda yangmemprotes pemakaian peci dan kerudung karena dianggap "propaganda agama". Ketika
protes ini menyebar dan seolah mewakili Bali, betapa repotnya tokoh-tokoh Bali menjelaskan
ke publik. Anak-anak muda itu tak tahu bahwa peci adalah lambang nasionalisme yang
bahkan dipakai pejabat di Bali pada hari tertentu. Kerudung itu budaya leluhur pertanda
wanita terhormat, lihat tokoh-tokoh wanita dalam sinetronMahabharata, semuanya
berkerudung.
Munculnya kelompok fundamentalis di berbagai daerah seperti mewabah. Dalih
mempertahankan budaya lokal justru menjadi bumerang untuk keluhuran budaya itu sendiri.
Dalam kaitan ini, Yogya tak lagi istimewa, karena sama saja dengan daerah lainnya.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
6/41
Cela di Pengujung Jabatan
Minggu, 07 September 2014
Reza Syawawi, Researcher for Law and Policies Transparency International Indonesia
Pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi Siti Hartati Murdaya oleh pemerintah
(Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) di bawah kendali Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono setidaknya menjadi salah satu penanda bahwa rezim ini tak berujung happy end.
Tidak lama berselang, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan status tersangka korupsi
atas Jero Wacik, Menteri ESDM (3 September).
Rangkaian peristiwa ini tentu saja menambah noda dalam catatan pemberantasan korupsi
yang dilakukan SBY selama menduduki jabatan presiden dalam 10 tahun terakhir. Tidak
hanya dalam posisinya sebagai presiden, SBY dalam kapasitasnya sebagai petinggi Partai
Demokrat juga mengalami pembusukan di internal partainya. Sebut saja kasus korupsi yang
kini membelit bekas Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum.
Dalam konteks pembebasan bersyarat, SBY seperti mengalami kegamangan. Di satu sisi ia
ingin mengakhiri pemerintahannya dengan meninggalkan kebijakan yang baik, namun
faktanya ia justru memberikanprivilegekepada koruptor. Tak pelak, ini menjadi sangat
bertentangan dengan kebijakan yang berupaya memperketat pemberian keringanan terhadap
pelaku korupsi, termasuk dalam hal pembebasan bersyarat.
Pemberian pembebasan bersyarat kepada Siti Hartati Murdaya (SHM) dapat dilihat dalam
dua hal, dari sisi hukum dan relasi politik. Dari sisi hukum, pembebasan bersyarat yang diatur
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memang memberikan hak tersebut
kepada narapidana. Pemberian keringanan tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan di dalam peraturan pemerintah.
Dalam kasus SHM, pemerintah telah melanggar syarat yang diwajibkan dalam peraturanpemerintah tersebut. Pemberian pembebasan bersyarat tidak memenuhi syarat "bersedia
bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang
dilakukannya" (Pasal 43A ayat 1 huruf a).
Penetapan seorang narapidana sebagai pelaku yang bekerja sama ataujustice collaborator
harus ditetapkan dan dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum (Pasal 43A ayat
3). Faktanya, KPK sebagai lembaga yang menangani perkara tersebut tidak pernah
menetapkan dan menyatakan SHM sebagaijustice collaborator.
Hal ini diperkuat dengan surat KPK tertanggal 12 Agustus 2014 yang ditujukan kepada
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
7/41
Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham yang intinya menyebutkan bahwa tim jaksa penuntut
umum KPK yang menangani perkara tidak pernah mengajukan SHM cs sebagaijustice
collaborator. Namun pemerintah (Menkumham) justru menafsirkan bahwa syarat pemberian
pembebasan bersyarat bersifat alternatif, sehingga syarat sebagaijustice collaboratortidak
wajib dipenuhi.
Pernyataan ini jelas memperlihatkan ketidaktahuan pemerintah terhadap aturan yang ia buat
sendiri. Jika peraturan pemerintah tersebut dibaca secara jeli, syarat ini bersifat kumulatif dan
bukan alternatif. Dari sisi legal drafting, frasa yang digunakan dalam Pasal 43A ayat (1)
huruf (a), (b), (c), (d) dihubungkan dengan kata "dan", bukan kata "atau". Artinya, seluruh
syarat yang diatur dalam pasal tersebut wajib dipenuhi. Maka, berdasarkan ketentuan
tersebut, pemberian pembebasan bersyarat terhadap SHM jelas melanggar peraturan
pemerintah.
Perangkat hukum yang dilanggar ini sebetulnya semakin memperkuat dugaan relasi politik
terkait dengan pembebasan bersyarat terhadap SHM. Jika ditelisik ke belakang, SHM adalah
(bekas) kolega SBY di PD. Kecurigaan dan bacaan bahwa pemberian keringanan ini sebagai
bentuk kompensasi di akhir masa jabatan SBY tidak dapat dihindarkan.
Maka, satu-satunya cara untuk menyatakan bahwa pemberian keringanan bukanlah
disebabkan oleh sebuah relasi politik, melainkan murni sebagai pelaksanaan ketentuan
hukum, adalah dengan mencabut pembebasan bersyarat yang telah diberikan kepada SHM.
Pada sisi lain, relasi politik SBY dengan kasus korupsi yang menerpa Jero Wacik juga sangatmudah dibaca. Selain sebagai kolega di PD, yang bersangkutan juga menduduki jabatan
sebagai menteri. Alhasil, SBY mengalami dua bencana sekaligus, yaitu terkait di lingkup
internal partainya sendiri dan di dalam pemerintahannya. Pakta Integritas yang digagas dan
ditandatangani baik di lingkup internal PD maupun yang juga dilakukan oleh Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II ternyata tidak mampu menahan arus korupsi.
Pakta Integritas seolah menjadi dokumen kosong dan hanya menjadi seremoni untuk
mencitrakan semangat anti-korupsi. Pakta atau kesepakatan yang digagas ternyata minus niat
baik untuk menjaga dan menegakkan integritas.
Dengan semua kasus ini, SBY seperti sedang menciptakan cela di pengujung masa
jabatannya. Pilihan untuk diingat sebagai presiden yang anti-korupsi atau presiden yang
"ramah" terhadap korupsi sepenuhnya ada di tangan SBY. Publik tentu akan sangat
menunggu pilihan mana yang akan diambil oleh SBY, menciptakan akhir yang baik atau
justru akhir yang buruk.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
8/41
Pertahankan Pilkada Langsung
Minggu, 07 September 2014
Joko Riyanto,Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak Juni 2005 ada
kemungkinan akan berganti ke mekanisme perwakilan melalui DPRD. Mayoritas anggota
DPR, yang awalnya setuju pilkada langsung, kini berubah sikap. Fraksi Golkar, PPP, PAN,
Gerindra, dan Demokrat (65 persen suara di DPR) mendukung pilkada melalui DPRD atau
pilkada tidak langsung yang dituangkan dalam RUU Pilkada dan segera disahkan pada 11
September 2014.
Mereka beralasan bahwa pilkada langsung berbiaya politik mahal, membudayakan politik
uang, menimbulkan konflik horizontal dan memakan korban, serta tidak menciptakan
pemerintahan yang bersih, bahkan banyak kepada daerah terjerat kasus korupsi. Namun,
haruskah argumentasi itu lantas menjadi dasar kuat untuk menyerahkan pilkada lewat DPRD?
Menurut saya, pilkada melalui DPRD mengingkari semangat dan jiwa demokratisasi di
Indonesia. Sebuah langkah mundur jika DPR menarik kembali hak rakyat memilih pemimpin
daerah. Secara hukum, mekanisme pilkada lewat DPRD bertentangan dengan Pasal 18 ayat
(2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di
mana gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Aturan tersebut memberikan hak
memilih secara langsung kepada rakyat sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi di
Indonesia.
Makna frasa "dipilih secara demokratis" haruslah dimaknai dipilih langsung dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat yang merupakan implementasi menempatkan kedaulatan di tangan
rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Bagaimanapun, mekanisme pilkada melalui
DPRD akan menyingkirkan kedaulatan rakyat dalam menentukan dan memilih pemimpindaerah. Bisa dipastikan bahwa pemilihan dengan sistem perwakilan sering kali mengingkari
pemikiran, kedaulatan rakyat, dan proses demokrasi. Upaya menjadikan pilkada melalui
DPRD potensial merusak sistem demokrasi dan perjuangan reformasi hanya dengan
pertimbangan pragmatis dalam penyusunan UU Pilkada.
Argumentasi pilkada langsung berbiaya mahal dan rawan politik uang kurang tepat. Justru
kalau pilkada dikembalikan ke DPRD, peluang transaksi politik uangnya semakin besar.
Mahar politik kepada parpol untuk menjadi kandidat juga makin mahal. Begitu pula DPRD
yang diberi wewenang memilih bupati dan wali kota, tentu akan mematok harga.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
9/41
Dikhawatirkan, bukan pemimpin daerah berkualitas yang terpilih, melainkan "raja-raja" kecil
yang mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pilkada oleh
DPRD akan menutup ruang partisipasi warga dalam proses demokrasi dan menentukan
kepemimpinan politik di daerah.
Bagaimanapun, pilkada langsung masih lebih baik dan layak dipertahankan! Pilkada
langsung memberikan pendidikan politik. Esensi demokrasi yang terkait dengan partisipasi,
kebebasan, keadilan, dan kesetaraan lebih terjamin. Serta proses ketatanegaraan dan suksesi
kepemimpinan lokal berjalan dalam kaidah yang benar. Pilkada langsung dapat menghasilkan
pemimpin yang berlegitimasi, berkualitas, berintegritas, partisipatif, dan memungkinkan
fungsi checks and balancesberlangsung. Maka, DPR, berpihaklah kepada suara rakyat!
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
10/41
BBM, Inflasi, dan Kompensasi
Minggu, 07 September 2014
Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik
Setelah gagal "membujuk" Presiden SBY untuk menaikkan harga bahan bakar minyak dalam
pertemuan di Nusa Dua tempo hari, Jokowi harus siap untuk tidak populer pada masa awal
periode pemerintahannya dengan menaikkan harga BBM.
Seperti diketahui, dampak yang tak bisa dielakkan dari kebijakan menaikkan harga BBM
adalah lonjakan inflasi, yang biasanya bakal berujung peningkatan jumlah penduduk miskin.Karena itu, penentuan besaran kenaikan harga BBM harus memperhatikan dampaknya
terhadap inflasi, begitu pula kompensasi yang bakal diterima masyarakat yang terkena
dampak.
Ihwal harga BBM, pemerintah Jokowi-JK sebetulnya punya momentum untuk
menaikkannya-dengan dampak inflasi yang tidak signifikan-pada tahun ini. Dengan catatan,
kenaikan tersebut tidak lebih dari 10 persen. Hasil penghitungan memperlihatkan, jika harga
BBM naik sebesar Rp 1.000 per liter, dampak inflasi yang terjadi hanya 0,38 persen. Jadi,
kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000-3.000 per liter hanya akan menyumbang tambahan
inflasi sebesar 0,76-1,14 persen pada 2014. Dengan demikian, inflasi tahunan masih di bawah
6 persen.
Namun patut diperhatikan, angka-angka tersebut hanya menggambarkan dampak langsung
kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Faktanya, dampak kenaikan harga BBM terhadap
inflasi juga bekerja secara tidak langsung melalui kenaikan tarif angkutan umum dan
kenaikan harga-harga komoditas bahan makanan dan makanan jadi. Jika dampak tak
langsung ini tidak direspons dengan baik, tambahan inflasi yang terjadi bisa lebih besar.
Bila harga BBM naik 10 persen pada November tahun ini, akan ada penghematan sekitar Rp10 triliun pada APBN-P 2014. Kenaikan ini juga bakal memberi ruang fiskal bagi pemerintah
Jokowi-JK pada 2015. Dengan demikian, sejumlah program unggulan yang telah dijanjikan
saat kampanye bisa langsung direalisasi pada tahun depan. Diketahui, kuota BBM pada 2015
direncanakan sebesar 48 juta kiloliter. Itu artinya, jika harga BBM dinaikkan sebesar Rp
2.000-3.000 per liter, bakal ada penghematan sebesar Rp 96-138 triliun pada APBN 2015.
Soal kompensasi kenaikan harga BBM, pemerintah Jokowi-JK juga tak perlu risau. Pasalnya,
selain ada penghematan sebesar Rp10 triliun, dana cadangan risiko sosial yang sebesar Rp 5
triliun dalam APBN-P 2014 juga dapat digunakan sebagai dana kompensasi.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
11/41
Sekadar perbandingan, tahun lalu pemerintah mengucurkan kompensasi berupa Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 9,3 triliun kepada 15,5 juta rumah
tangga yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Setiap rumah tangga menerima dana
kompensasi sebesar Rp 150 ribu per bulan, yang diberikan selama empat bulan.
Sayangnya, BLSM ternyata kurang optimal dalam menekan peningkatan angka kemiskinan
setelah naiknya harga BBM pada Juni 2013. Hal ini tecermin dari lonjakan jumlah penduduk
miskin sepanjang Maret-September 2013 yang mencapai 0,48 juta orang. Tampaknya,
besaran BLSM yang hanya Rp 600 ribu tidak cukup untuk menjaga daya beli penduduk
hampir miskin dari gempuran inflasi. Selain itu, kebocoran (leakages) dalam penyaluran
BLSM ditengarai juga memberi andil. Karena itu, bila harga BBM dinaikkan pada tahun ini,
besaran kompensasi juga harus dinaikkan dan penyalurannya harus lebih tepat sasaran.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
12/41
Kepala Daerah Pilihan Politikus
SELASA, 09 SEPTEMBER 2014
Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta
Perjalanan sepuluh tahun pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung sudah
meninggalkan jejak berbentuk begitu banyak persoalan. Inilah alasan-alasan yang selalu
dikaitkan dengan upaya mengembalikan pilkada ke rezim pemilihan oleh DPRD.
Pertama, beberapa hal yang paling sering disebutkan adalah soal gangguan keamanan yang
mengikuti setiap proses pilkada. Sering kali, kekalahan tidak dapat diterima dengan
mengagregasi ketidakpuasan menjadi kekerasan dan aksi massa. Data Direktorat Jenderal
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri perihal rekapitulasi kerugian pascakonflik
pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota melansir begitu banyak korban jiwa dan harta
benda akibat kekerasan tersebut.
Kedua, pemilu langsung memicu korupsi di daerah. Pilkada membuat ongkos politik yang
sama sekali tidak sedikit. Ada "uang politik" (yang bertendensi negatif) untuk membeli suara
dan mempengaruhi pemilih secara langsung. Ada juga "ongkos politik" untuk membeli
"perahu" partai, kampanye, maupun ketika bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Tingginyabiaya ini membuat kandidat kepala daerah harus mencari sumber dana yang besar, yang
biasanya didapat melalui pemodal secara tidak gratis. Akhirnya, jika menang, penyandang
dana harus dibayar dengan bayaran yang direkayasa dari anggaran daerah. Belum lagi uang
negara yang dikeluarkan karena penyelenggaraan pilkada.
Ketiga, merusak institusi pengawal pemilihan umum. Berapa banyak anggota Komisi
Pemilihan Umum Daerah, Bawaslu Daerah, dan Panwaslu Daerah yang sudah terindikasi ikut
dalam permainan uang. Bahkan yang terheboh tentu saja adalah perilaku Ketua MK Akil
Mochtar, yang menjual kewenangannya dalam sengketa perselisihan hasil pilkada.
Keempat, meskipun proses panjang telah dilalui hingga sengketa di MK, hal itu tetap tak
menjamin pelaksanaan selesai. Masih ada tindakan menguji SK Pengangkatan Kepala Daerah
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal yang kemudian memberi kebingungan
tersendiri perihal putusan MK yang tidak lagi dianggap final dan mengikat, tapi bahkan bisa
diuji dan diberi pendapat hukum oleh hakim PTUN.
Kelima, rusaknya birokrasi di daerah. Perkubuan birokrasi sangat mungkin terjadi pada
pilkada. Apalagi jika kandidatnya punya kuasa kuat sebagai petahana yang kembali
bertarung. Daya menakutkan mereka kepada pada birokrat di daerah akan sangat kuat dalam
mempengaruhi netralitas pegawai daerah.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
13/41
Tentu saja semua hal tersebut harus dicari jalan keluarnya. Tapi, apakah dengan
mengembalikan pilkada ke DPRD adalah solusinya? Sebenarnya, tidak. Bahkan boleh jadi
hal itu hanya mengalihkan masalah sementara. Misalnya, tentang kekerasan. Ancaman
kekerasan dengan mudah beralih dari kantor-kantor pelaksana pemilu ke kantor DPRD atau
kantor partai.
Perihal gugat-menggugat hasil keterpilihan di DPRD akan jauh lebih mudah digugat di
PTUN, karena tidak lagi menjadi obyek keputusan yang dikecualikan dalam UU Nomor 5
Tahun 1986 tentang PTUN. Praktek PTUN selama ini, yang menerima permohonan
pengujian SK pengangkatan kepala daerah hasil pilkada, sesungguhnya merupakan praktek
yang keliru dari hakim PTUN, karena melanggar Pasal 2 huruf e dan g UU Nomor 5 Tahun
1986 tersebut. Makin muluslah perihal gugat-menggugat tersebut.
Begitu pun dengan konsep pemilu berbiaya mahal. Kontestan tetap harus mengeluarkan uang
untuk membeli "perahu" ke partai dan membayar anggota-anggota DPRD dalam pemilihan.Hal yang persis sama terjadi pada masa lalu. Calon-calon tertentu yang sudah menabur uang
di DPRD hanya akan dipertandingkan seadanya, seakan-akan penuh warna, akan tetapi sudah
ditentukan pemenangnya oleh uang yang sudah dibagi sebelum proses pemilihan. Jika
menyangkut soal menghemat uang negara, ide pemilu yang serentak sesungguhnya jauh lebih
menarik dalam menyederhanakan pengeluaran negara.
Harus diingat, dengan mengembalikan proses pilkada ke DPRD, banyak potensi terbunuhnya
kehidupan demokrasi. Pertama, dengan mengembalikan ke DPRD, akan sulit ada lagi
kandidat independen yang tidak terikat ke partai mana pun. Di tengah buruknya kualitas
hidup kepartaian di Indonesia, kandidat independen sesungguhnya adalah teguran, sekaligus
motivasi bagi partai untuk berbenah.
Juga, dapat dibayangkan bila anggota Dewan pilihan rakyat tak akan ada lagi, dan diganti
dengan pilihan politikus. Memang, DPRD adalah perwakilan rakyat, tapi secara realitas,
fungsi representasi adalah salah satu yang paling sulit dijalankan oleh partai. Terkhusus jika
sudah berhubungan dengan posisi jabatan publik kepala daerah. Keterputusan relasi rakyat
dan perwakilan yang selama ini terjadi akan semakin terlanggengkan dengan pemilihan
kepala daerah melalui DPRD.
Dengan pemilihan DPRD begini, bisa dibayangkan kualitas demokrasi yang akan terjadi,
meskipun hal itu belum tentu melanggar kata demokratis yang dimaksudkan dalam UUD
1945.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
14/41
Haji
Selasa, 09 September 2014
Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
Haji merupakan potret ketika manusia senantiasa merindukan Sang Khalik. Haji
mengingatkan dan menyadarkan kita semua bahwa terminal terakhir hidup ini bukanlah
rumah yang kita tempati setiap hari, bukan pula saat kita berhasil mendekati Ka'bah di
Mekah. Terminal terakhir itu adalah "rumah Allah".
Pemaknaan ini melukiskan kisah, betapa proses perjalanan (ziarah) bernama haji padadasarnya mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Manusia diperintahkan
untuk senantiasa berbuat kebajikan. Karena balasan kebajikan adalah kebajikan pula.
Sebaliknya, balasan dari perbuatan buruk adalah keburukan juga.
Memaknai ritual haji dalam konteks kekinian yang belum mampu membawa perubahan
mendasar bagi bangsa Indonesia, seakan menimbulkan sebuah kesan betapa pesan haji belum
sampai pada pemahaman jemaah. Mereka seakan-akan masih terkungkung pada hasil dari
ibadah haji, yaitu mendapatkan gelar H (haji) dan Hj (hajah) di depan namanya.
Penghormatan dan prestise saat mendapatkan gelar itu seakan menjangkiti bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia masih "menuhankan" gelar tersebut. Masyarakat tidak akan lagi
memanggil seseorang yang telah pergi berhaji dengan sebutan bapak/ibu. Masyarakat akan
memanggilnya dengan sebutan baru "pak haji" atau "bu haji".
Inilah yang kemudian disebut oleh William R. Roof sebagai aggregate(kebersamaan). Saat
jemaah haji kembali ke tempat asal mereka, biasanya tampak perbedaan penampilan lahiriah
pada mereka. Mereka pun sering kali berganti nama (sebagai budaya) dengan nama-nama
Arab dan menyandangkan gelar "haji" di depan namanya.
Menurut Turner, di sini seorang haji mendapat posisi dan keadaan baru. Posisi baru dalam
strata sosial inilah yang sering kali melalaikan peran dan makna haji. Banyak jemaah haji
yang terlena oleh gelar, sehingga aksi-aksi sosial setelah pelaksanaan ibadah haji sering kali
tertinggal di Tanah Suci. Ketika mereka kembali ke Tanah Air, kebiasaan-kebiasaan buruk
kembali menjadi laku harian.
Penghormatan masyarakat ini tidaklah dapat disalahkan. Namun demikian, sebagai seorang
yang memiliki posisi dan keadaan baru di masyarakat, "haji" selayaknya mampu
menunjukkan dan mendarmabaktikan ilmu dan tenaganya untuk masyarakat. Pasalnya,
kemabruran seorang haji adalah proses di mana ia kembali ke masyarakat dan menjadi
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
15/41
pemimpin bagi masyarakatnya. Mereka tidak hanya bangga dengan sebutan haji yang
disematkan oleh masyarakat, namun juga mampu mewarnai kehidupan masyarakat.
Kehidupan penuh harmoni antara ibadah mahdah(ibadah pribadi) dengan ibadah sosial.
Ketika pekerjaan sosial ini belum menjadi agenda jemaah haji Indonesia, niatan suci kembalike kampung halaman yang fitri akan sulit terwujud. Bahkan pelaksanaan ibadah haji yang
seperti itu hanya semakin menambah kegetiran kaum miskin (mustadhafin). Kaum miskin
melihat secara jelas bahwa orang-orang kaya berebut gelar haji. Mereka masih dihadapkan
dengan persoalan berebut bahan kebutuhan pokok dan bantuan dari pemerintah.
Pada akhirnya, pergi berhaji merupakan sarana membangun kesadaran bahwasanya
kehidupan merupakan sawah ladang akhirat. Berbuat baik kepada sesama dan menjadikan
diri sebagai pelita di tengah kegelapan akan menjadi bagian dari darma baik yang dapat
dipanen saat hari akhir kelak.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
16/41
Olahraga Andalan
Selasa, 09 September 2014
Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc
Ahli olahraga mengingatkan pentingnya melakukan pemanasan sebelum berolahraga.
Tujuannya adalah memperlancar sirkulasi darah, mengurangi ketegangan otot,
membangkitkan adrenalin, serta memberi manfaat positif lainnya. Saya termasuk yang malas
melakukan pemanasan, maka sekarang saya lebih memilih olahraga catur. Saat saya masih
bermain sepak bola, pemanasannya sangat melelahkan, lari keliling lapangan sepak bola.
Sewaktu saya beralih ke futsal, pemanasannya masih melelahkan, lari keliling lapanganfutsal. Kalau catur, pemanasannya ringan, cukup lari keliling papan catur.
Saya membagi olahraga menjadi tiga jenis. Pertama, olahraga yang saya suka lakukan dan
enak ditonton, seperti sepak bola. Kedua, olahraga yang saya suka lakukan tapi tak enak
ditonton, misalnya catur. Saya pernah menonton catur, rasanya sangat sepi. Ketika kuda
melakukan serangan dan mengancam raja lawan, tak ada sorak-sorai dari penonton seperti
halnya pemain sepak bola yang mengancam gawang lawan. Ketiga, olahraga yang saya tidak
suka lakukan, tapi enak ditonton, seperti renang indah.
Sebagian besar orang berolahraga untuk kesehatan. Belakangan ini, banyak orang mengikuti
lomba lari maraton bukan untuk prestasi, melainkan untuk kesehatan. Saya sendiri kurang
berminat mengikuti lomba lari maraton karena jarak larinya kejauhan. Saya lebih memilih
lari jarak pendek 100 meter. Selain untuk kesehatan, ada orang yang berolahraga untuk
meraih prestasi dengan berprofesi sebagai atlet. Ada teman saya memutuskan menjadi atlet
berkuda. Gagal meraih prestasi sebagai atlet berkuda, dia banting stir menjadi pemain kuda
lumping. Wah...
Selain untuk kesehatan, kita berharap banyak generasi muda yang menekuni olahraga untuk
prestasi. Pencapaian prestasi dalam olahraga tidak sekadar untuk mengangkat nama atlet, tapijuga mengangkat nama negara. Negara seperti Kamerun dan Pantai Gading dikenal dunia
karena sepak bolanya. Tentu saja popularitas yang diraih oleh negara-negara ini bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan negara yang lain, seperti pemasukan dari sektor
pariwisata maupun investasi.
Sebenarnya, Indonesia juga pernah dikenal dunia lewat olahraga pada masa keemasan bulu
tangkis. Prestasi-prestasi pemain bulu tangkis Indonesia di tingkat dunia saat itu sangat
membanggakan. Sejarah mencatat nama Rudi Hartono sebagai juara All England delapan
kali. Susi Susanti meraih medali emas bulu tangkis tunggal putri Olimpiade Barcelona,
Spanyol, pada 1992. Di tunggal putra, Alan Budikusuma meraih medali emas dengan
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
17/41
mengalahkan pemain bulu tangkis yang juga asal Indonesia, yaitu Ardy B. Wiranata. Pada
masa keemasan ini pula bulu tangkis beregu Indonesia disegani dalam perebutan Piala Uber
dan Piala Thomas. Sekarang Indonesia perlu bekerja keras untuk menguberPiala Thomas.
Untuk bisa kembali mendunia di bidang olah raga, sebaiknya Indonesia berfokus pada halyang menjadi kekuatannya. Boleh saja bermimpi sepak bola Indonesia tampil dalam Piala
Dunia, tapi jangan lupakan olahraga yang pernah menjadi kekuatan. Indonesia harus
memiliki satu olahraga andalan yang bisa disegani prestasinya di kancah dunia. Sudah
saatnya kekuatan bulu tangkis Indonesia di mata dunia dikembalikan. Kepada teman yang
buka usaha ayam bakar, saya pernah bilang, "Dengan semakin tumbuhnya bisnis kuliner
ayam bakar, seharusnya bulu tangkis Indonesia semakin maju, karena kita tak akan pernah
kehabisan bulu ayam untuk membuatshuttlecock."
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
18/41
Tiga Aspek Jero Wacik
Rabu, 10 September 2014
Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI
Setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa waktu
kemudian Jero Wacik mengundurkan diri sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Hal serupa sudah dicontohkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng yang
kebetulan juga sama-sama dari Partai Demokrat.
Selain pengunduran diri dari jabatan di kabinet, Jero Wacik seyogianya melepas BintangMahaputra Adipradana yang pernah dianugerahkan kepadanya pada 2013. Bintang
kehormatan itu diberikan atas jasa besarnya dan dengan tambahan beberapa kriteria lain, di
antaranya berkelakuan baik serta memiliki integritas moral dan keteladanan. Padahal, mereka
yang ditetapkan tersangka oleh KPK tak akan dinyatakan bebas murni, dan dijatuhi hukuman
pidana. Para tersangka korupsi tidak layak memegang bintang kehormatan tersebut.
Berbeda dengan gelar pahlawan nasional yang tidak bisa dicabut, bintang kehormatan dapat
dicopot. Mereka yang memperoleh bintang mahaputra mempunyai hak dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sangat ironis bila pada TMP Kalibata terdapat kuburan
koruptor yang bersanding dengan parafounding fathersdan tokoh berjasa lainnya.
Pengalaman selama ini sudah pernah ada pencabutan bintang mahaputra seperti yang
dilakukan MPRS terhadap Ketua PKI D.N. Aidit pada 1966. Jadi, seyogianya sekarang
Presiden SBY mencabut bintang mahaputra yang dimiliki Jero Wacik (juga Suryadharma
Ali) tanpa menunggu hal itu dilakukan presiden berikutnya.
Jero menjadi tersangka korupsi yang dilakukan dalam rangka meningkatkan uang operasional
menteri. Jumlahnya mencapai Rp 9,9 miliar. Jero baru menjabat Menteri ESDM. Sebelumnya
ia pernah menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Pertanyaannya, apakah kecurangan
ini juga sudah pernah dilakukan pada kementerian terdahulu? Tentu KPK harus mencaribukti-bukti tambahan karena selentingan negatif tersebut pernah beredar di kalangan pejabat
kementerian tersebut.
Jero Wacik lahir di Singaraja pada 24 April 1949. Dikenal sebagai anak istimewa di sekolah,
ia menjadi mahasiswa teknik mesin ITB pada 1970. Setelah 23 tahun bekerja di perusahaan
konglomerasi, seperti United Tractor dan perusahaan besar lainnya, ia membuka usaha
sendiri pada bidang pariwisata. Pada era reformasi, ia terjun ke dunia politik melalui Partai
Demokrat. Tidak berhasil dalam pemilihan legislatif di Bali, ia justru diangkat sebagai
menteri oleh Presiden SBY. Pada saat hampir bersamaan, ia juga memimpin Persatuan Golf
Indonesia yang secara berkala mengadakan turnamen golf dengan hadiah tertentu bagi
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
19/41
pemenangnya.
Ekonom Dr Sjahrir (almarhum) pernah melakukan studi tentang keekonomian lapangan golf:
apakah maraknya pembangunan lapangan golf itu menguntungkan ekonomi nasional atau
berdampak negatif terhadap lingkungan. Terlepas dari kontroversi itu, lapangan golfmerupakan tempat rawan bagi pejabat pemerintah. Kalau sesama pengusaha bermain golf
tidak masalah; mereka bisa menuai kerja sama bisnis. Yang menjadi persoalan adalah ketika
terjadi kongkalilong pejabat dengan pengusaha. Belum lagi, kedi yang bisa menjadi godaan,
seperti pada kasus Ketua KPK Antasari Azhar. Jadi, berhati-hatilah para pejabat negara bila
berada di lapangan golf.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
20/41
Pulung Gantung
Rabu, 10 September 2014
Nur Haryanto, Wartawan Tempo
Sahrul Arif Wiguna. Namanya bagus dan gagah. Semasa bocah, dia dikenal pandai karena
selalu juara kelas. Masuk SMP gratis karena kepintarannya. Juara debat bahasa Inggris ketika
di bangku XI di SMA. Namun remaja berusia 18 tahun itu membuat keputusan tragis.
Menurut saya teramat tragis.
Sabtu sore pekan lalu, dia memilih mengakhiri hidupnya dengan lilitan tali yang digantung ditiang pasak rumahnya, di Mojokerto, Jawa Timur. Semua keluarga kaget. Ibunya pun tak
habis mengerti terhadap pilihan anaknya, yang rajin beribadah itu. Tak jelas memang
alasannya mengakhiri hidup. Penyebabnya masih diduga-duga, dari masalah keluarga sampai
teman sekolah.
Sahrul meninggalkan wasiat secarik kertas bertuliskan tangan yang ditujukan kepada
keluarga dan teman-teman sekolahnya. Dia pamit dan minta maaf, seraya ingin tabungannya
disumbangkan ke sekolah. Kisah semacam Sahrul muncul di beberapa daerah lain dalam dua
pekan terakhir.
Badan dunia World Health Organization (WHO) baru saja melansir survei soal bunuh diri,
pekan lalu. Menurut catatan WHO, bunuh diri terjadi di berbagai belahan dunia setiap 40
detik sekali. Dalam riset, selama 10 tahun terakhir terdapat 800 ribu orang bunuh diri setiap
tahun.
Angka yang lebih miris lagi, dalam usia produktif 15-29 tahun, bunuh diri menjadi penyebab
kematian terbesar kedua pada anak muda. Sedangkan usia 70 tahun ke atas adalah rata-rata
usia yang paling banyak memiliki kecenderungan bunuh diri.
Angka-angka ini sungguh membuat masygul. Seperti halnya fenomena bunuh diri yang
pernah menggemparkan Korea Selatan dalam satu dekade terakhir. Satu per satu selebritas
Negeri Ginseng itu mengakhiri hidupnya. Muda, rupawan, kaya, terkenal, hampir semua
kehidupan di dunia seolah telah mereka miliki. Keputusan yang membuat orang bertanya-
tanya.
Setidaknya ada 14 selebritas Korea Selatan bunuh diri dan menjadi headlinedi berbagai
media, termasuk di Indonesia. Salah satunya Daul Kim, model ternama yang sudah
mendunia, sudah tampil di panggung mode New York, Milan, dan Paris. Satu hari pada
pertengahan November 2009, dia ditemukan tergantung di apartemennya di Paris. Ada
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
21/41
selarik pesan di blog-nya, "Semakin besar, aku semakin kesepian."
Mudahnya orang melakukan bunuh diri menyeret ingatan saya kembali ke era 80-an ketika
ada cerita "Pulung Gantung". Istilah ini dikenal di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di
Kabupaten Gunung Kidul, yang saat itu munculpageblukatau "wabah" orang bunuh diri.Berdasarkan catatan polisi--yang pernah diterbitkan majalah Tempo Februari 1984--dalam
rentang Agustus-Desember 1983, tercatat 30 orang meninggal dalam cara yang sama:
gantung diri.
Kisahnya rata-rata mirip. Malam sebelum terjadi bunuh diri selalu ada orang terdekat--
saudara atau tetangga--yang melihat cahaya terbang dan jatuh ke calon rumah duka.
Cahayanya dikatakan berwarna hijau kemerah-merahan, dan berbentuk seperti gayung. Itulah
Pulung Gantung.
Ada banyak sebab yang sering dijumpai dalam kasus bunuh diri, antara lain depresi, utang,
sakit yang menahun, atau sekadar putus hubungan dengan pacar. Yang jelas, ketika seseorang
lalu mengucapkan selamat tinggal kepada dunia tempatnya berpijak, ada sebagian dari diri
kita ikut masuk ke dalam kubur. Ya, cahaya yang terbang itu jatuh lagi. Pulung Gantung!
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
22/41
Motif RUU Pemilihan Umum KepalaDaerah
Rabu, 10 September 2014
Agung Baskoro,Analis Politik Poltracking
Kontestasi pemilihan umum presiden seusai putusan Mahkamah Konstitusi, yang
memenangkan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, ternyata
masih berlanjut. Bila sebelumnya domain persaingan berada di ranah eksekutif, kini arena
beralih ke ranah legislatif (parlemen).
Melalui serangkaian manuver politik, Koalisi Merah Putih berhasil untuk sementara merevisi
MD3, kemudian mengusulkan pembentukan Pansus Pilpres, hingga yang paling aktual terkait
dengan pembahasan RUU Pilkada. Menurut rencana, pilkada, dari tingkatan gubernur, wali
kota, hingga bupati, akan dikembalikan melalui DPRD, sebagaimana lazim terjadi pada masa
Orde Baru. Pengembalian wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah menjadi langkah
mundur bagi kemajuan dan perkembangan demokrasi di Tanah Air.
Aturan itu jelas menabrak konstitusi yang meniscayakan kedaulatan berada di tangan rakyat
dengan mekanisme teknisnya melalui pemilihan umum secara langsung, sekaligusmenegaskan komitmen dan konsistensi publik untuk menguatkan sistem presidensial di
tingkat nasional (DPR, DPD, presiden-wakil presiden) dan lokal (DPRD, gubernur, wali kota,
dan bupati). Di sisi lain, rakyat kembali menjadi korban. Bila dulu menjadi korban
kecurangan dari oknum kepala daerah melalui politik uang (money politics), kini hak politik
publik turut teramputasi. Apalagi konteks ini menguat di tengah menurunnya tingkat
kepercayaan publik terhadap partai dan menguatnya pengaruh figur.
Pada saat yang bersamaan, bila argumen aturan pilkada langsung dianggap kurang efisien, hal
ini menjadi tidak relevan, karena pilkada akan dilakukan serentak secara periodik mulai 2015,2018, dan diproyeksikan secara keseluruhan pada 2020. Justru, sebaliknya, inefisiensi hadir
ketika para calon kepala daerah yang akan maju dalam pilkada harus memastikan tiket
kemenangan dahulu melalui berbagai cara (baca: money politics) dan berikutnya menjadi sapi
perahan para oknum anggota-anggota DPRD ketika sudah terpilih.
Semangat lahirnya UU Pilkada ini untuk meminimalkan dinasti politik dan memastikan
hadirnya merit system. Figur seperti Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta), Basuki Purnama
Tjahaja (Wakil Gubernur DKI Jakarta), dan sederet nama lainnya membuktikan bahwa
kemajuan sebuah wilayah, selain ditentukan soal dominasi (winner takes all), harus pula
memenuhi aspek kompetensi dan integritas pribadi (track record), aspirasi publik, serta
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
23/41
representasi politik.
Terakhir, kerawanan sosial yang selama ini dikhawatirkan menjadi efek pilkada langsung
menjadi perdebatan karena, dalam prosesnya, penyelenggaraan semakin membaik dan ini tak
sebanding dengan efek yang bisa ditimbulkan dari terpilihnya seorang kepala daerah yang taksesuai dengan track record, aspirasi publik, dan representasi politik. Jangan sampai, demi
ongkos politik, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya.
Sulit untuk tidak mengaitkan realitas politik dalam pembahasan RUU Pilkada dengan
kontestasi pada pilpres kemarin. Apalagi beberapa partai, seperti Gerindra, Golkar, dan PAN,
sejak awal mengusung ide pilkada langsung. Dan, yang menarik, pemerintah sebagai pihak
yang mengusulkan telah pula mengakomodasi mayoritas dukungan fraksi-fraksi (PDIP,
Golkar, Hanura, PAN, Gerindra, dan PKS) yang menginginkan pilkada langsung. Pada titik
inilah, kekhawatiran sejumlah pihak bahwa RUU ini dijadikan alat untuk meningkatkan
bargaining positionpolitik partai-partai tertentu menjadi kontekstual.
Dalam kondisi seperti ini, akhirnya tak tertutup peluang Jalan Tengah sebagaimana berhasil
dilakukan Golkar, saat mengajukan opsi formula Pasal 7 ayat 6a, terkait dengan diskresi pada
pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi jika harga rata-rata minyak mentah
mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dalam kurun enam bulan pada
2012. Walaupun, sebaiknya pengesahan undang-undang ini ditunda, dengan tetap
dimasukkan dalam prioritas Prolegnas 2014-2019. Hal ini diperlukan agar seluruh skenario
yang disampaikan oleh Koalisi Merah Putih plus Demokrat memiliki basis argumentasi yang
kuat (baca: naskah akademik) saat menghendaki pilkada tidak langsung.
Bila ini tetap dipaksakan untuk disahkan, menjadi rawan untuk kembali dibawa ke sidang
MK, sebagaimana revisi UU MD3 yang prosesnya sedang bergulir. Artinya, keoposisian
yang saat ini sedang dipraktekkan oleh Koalisi Merah Putih perlu ditempatkan di atas
kepentingan bangsa yang lebih luas, sehingga energi publik tak habis oleh ingar-bingar
politik tanpa batas. Sampai pada fase ini, sebenarnya kondisi tersebut merupakan pertanda
baik bahwa demokrasi kita semakin terkonsolidasi, di mana ketika ia menjadi satu-satunya
aturan main (the only game in town), dan ketika tak seorang pun membayangkan bertindak di
luar sistem demokrasi, ketika kelompok yang kalah menggunakan aturan yang sama
(demokrasi) untuk membalas kekalahannya (Prezeworski, 1991:26).
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
24/41
Yamin dan Ilmu Sejarah
Kamis, 11 September 2014
Heri Priyatmoko,Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
Nama Muhammad Yamin menempati posisi istimewa dalam jagad pengetahuan sejarah
Indonesia. Satu dekade setelah Indonesia merdeka, bersama kaum cerdik-pandai lainnya, ia
menggulung lengan mewujudkan impian "pribumisasi" historiografi Indonesia. Sebelumnya,
dunia sejarah Indonesia didominasi oleh karya asing yang sarat akan kepentingan politik
kolonial. Nah, mereka ingin melepaskan diri dari perangkap budaya Nerlandocentris, warisan
penjajah yang dianggap sebagai "racun" yang ditebarkan lewat jalur pendidikan Barat danbuku bacaan.
Terkisah, pada 1957 di Yogyakarta, digelar Seminar Sejarah Nasional Indonesia yang
pertama. Tahun tersebut dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru bahwa bangsa
yang belum lama menikmati angin segar kemerdekaan ini harus punya sejarah versinya
sendiri. Digodoklah filsafat sejarah nasional, periodesasi sejarah Indonesia, dan pendidikan
sejarah.
DalamLaporan Seminar Sedjarah, saya menemukan curahan pikiran pokok Yamin mengenai
konsepsi filsafat sejarah nasional. Dia melontarkan istilah tafsiran sintesis, yaitu interpretasi
masyarakat Indonesia pada masa lalu dengan memakai pisau analisis hukum, ekonomi,
teologis, tata negara, geografis, dan rohani. Berbagai analisis tersebut dapat dioperasikan
secara serentak atau individual guna mengurai berbagai realitas dalam masyarakat untuk
memperoleh gambaran sejarah Indonesia yang bulat sempurna tanpa retak atau terpecah-
belah.
Kemudian, subyek filsafat sejarah Indonesia adalah bangsa dengan semangat nasionalisme
Indonesia. Dalam forum agung penentu bulat-lonjongnya sejarah Indonesia itu, Yamin
berkomentar di mimbar bahwa sejarah Indonesia yang baru seharusnya bercorak nasional,yang berdasarkan hasil penafsiran dari aneka kejadian pada masa silam. Nasionalisme
Indonesia merupakan rasa patriotisme terhadap persatuan bangsa, persatuan Tanah Air, dan
kebulatan-kebulatan pada saat memperkuat atau membina pembentukan bangsa (nation
building) Indonesia. Nasionalisme Indonesia dalam konsepsi filsafat sejarah Indonesia
menimbulkan berbagai syarat etis dan kesusilaan Indonesia untuk penulis dan juga karangan
sejarah Indonesia itu sendiri.
Inilah alasan mengapa Yamin berkeras menyuburkan semangat nasionalisme dari sebuah
bangsa yang baru saja merdeka lewat tulisan tentang pahlawan dan simbol negara. Sebagai
contoh, Yamin, dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, meyakinkan bahwa bendera
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
25/41
nasional Indonesia, Merah Putih, sudah dikenal sejak zaman purba dan direkam dalam
ingatan kolektif melalui ritual tradisional bubur merah dan putih.
Meski secara teori dan metodologi sejarah karya Yamin dianggap menciptakan mitos belaka,
spirit pada masa itu memang mendorong Yamin untuk berbuat demikian. Bagi Yamin,perjuangan politik bangsa Indonesia kala itu memerlukan legitimasi untuk membangun
nasionalisme sebagai ideologi. Anakronisme sejarah bukanlah persoalan utama yang perlu
diperdebatkan. Yang penting, semua "menjadi Indonesia" dan cinta Indonesia seutuhnya.
Bagaimanapun, Muhammad Yamin semasa hidup telah ikut mengerahkan kedigdayaan untuk
menentukan visi ilmu sejarah. Kendati dicela lantaran menyebarkan kisah historis yang sulit
diterima akal sehat, dia telah membaktikan hidupnya dan mengamalkan ilmunya untuk
bangsa Indonesia.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
26/41
Mengerdilkan Daerah
Kamis, 11 September 2014
Taufik Ikram Jamil, Sastrawan
Wacana pemilihan kepala daerah untuk menentukan gubernur dan bupati/wali kota melalui
DPRD, mengerdilkan daerah, dan menjadikannya sebagai ladang perburuan. Selain itu,
pemilihan pemimpin formal di daerah dipisahkan dari sistem pemilihan pemimpin formal
nasional yang memperlihatkan daerah hanyalah sebagai obyek. Belum lagi hal yang berkaitan
dengan gonjang-ganjing pengesahan RUU Pilkada, yang hanya memperlihatkan kekuasaan
tanpa rasa malu, sehingga berdampak pemudaran rasa kebangsaan.
Melalui pesan pendek, kawan saya Abdul Wahab menulis, "Kenyataan ini ironis karena
pertama-tama, yang dikatakan nasional adalah gabungan antardaerah sekaligus tempat
bermukimnya masyarakat, sehingga seharusnya apa yang terjadi di daerah merupakan
cerminan nasional. Jika pemimpin nasional, yakni presiden, dipilih langsung, tentu hal serupa
dilakukan untuk pemimpin di daerah. Demikian pula sebaliknya. Jika sistem pemilihan ini
tidak sejalan, daerah terkesan bukan bagian dari nasional, sehingga pada gilirannya dapat
mempertebal keinginan disintegrasi."
Di sisi lain, patut diakui bahwa pilkada melalui DPRD menyebabkan pemimpin di daerah
hanya menjadi milik partai. Padahal kehidupan politik sesungguhnya bukan hanya terletak
pada partai. Dengan adanya pemilihan langsung, elemen lainnya akan ikut berpartisipasi. Hal
ini tidak saja penting bagi kehidupan berdemokrasi, tapi juga lebih luas bagi kreativitas
manusia. Menguasai partai tidak berarti menguasai hak pilih seseorang terhadap pemimpin.
Sebab, baik pemilih maupun yang dipilih memiliki elemen lain sesuai dengan harkat manusia
sebagai makhluk multidimensional.
Saya mencoba mengimbangi pandangan Wahab itu dengan menulis bahwa pengalaman
dalam pilpres yang baru lalu kembali mengajarkan kita bahwa partai bukan segala-galanyadalam menentukan seorang pemimpin. Kubu Prabowo-Hatta menguasai lebih dari 60 persen
partai di parlemen, tapi harus mengaku kalah oleh kubu lainnya. "Bukankah kalau pilpres
melalui DPR, dapat dipastikan Jokowi-JK kalah telak dan Prabowo-Hatta melenggang
kangkung tampil sebagai pejabat nomor satu dan dua di republik ini. Namun nyatanya,
kekuatan non-partai lebih besar dibanding partai kan?" demikian saya menulis.
Pilkada melalui DPRD, tutur Wahab, hanya memperkuat satu kubu tertentu, sehingga
dinamisasi politik di daerah dipangkas habis. Apalagi, patut dicurigai wacana tersebut
merupakan jilid baru pertentangan antara kubu Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Kubu
terakhir dengan nama koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan pilkada melalui DPRD,sedangkan kubu Jokowi-JK sebaliknya. Dengan keyakinan menguasai DPRD, KMP yakin
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
27/41
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
28/41
Selamat Datang Era Maritim
Kamis, 11 September 2014
Soleman B. Ponto, Purnawirawan TNI Angkatan Laut; Kepala Badan Intelijen Strategis (KA-
BAIS) TNI Periode 2011-2013
Jika diamati, dalam pemilihan presiden lalu, satu di antara ikon yang dijual dan diperebutkan
adalah sosok Sukarno. Sejak kampanye hingga kini, ketika mempersiapkan pemerintahan
baru, Joko Widodo mengatakan akan menjalankan pesan dan gagasan besar Bung Karno
berupa Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam
sosial kebudayaan. Satu di antara implementasi terhadap ajaran Bung Karno adalah diangkatdan (akan) diberdayakannya laut serta kekuatan maritim oleh pemerintah mendatang.
Bahkan, seketika setelah ditetapkan sebagai pemenang pemilihan presiden 2014, pasangan
Jokowi-JK langsung menuju Pelabuhan Sunda Kelapa dan menyampaikan pidato
kemenangan mereka di atas kapal pinisi Hati Buana Setia.
Berkaca pada apa yang dilakukan Bung Karno 50 tahun silam terhadap Kabinet Dwikora
pada 1964, ia membentuk Kompartemen Maritim yang dipimpin Menteri Koordinator yang
membawahkan Menteri Perhubungan Laut, Menteri Perikanan dan Pengelolaan Laut, serta
Menteri Perindustrian Maritim. Saat itu (1964-1966), Menteri Koordinator Maritim dijabat
oleh Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin. Sebelumnya, Ali Sadikin menjadi Menteri
Perhubungan Laut Kabinet Kerja IV (1963-1964). Pembentukan Kompartemen Maritim
tersebut bertujuan membangun bangsa Indonesia dengan kekuatan maritim yang besar dan
kuat.
Fakta tersebut menunjukkan perhatian besar Bung Karno kepada bidang ini. Bahkan, pada
suatu kesempatan, beliau berpidato di hadapan National Maritime Convention (NMC) pada
1963 dan mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi negara kuat jika kita dapat menguasai
lautan. Satu hal penting yang disampaikan oleh Bung Karno dalam pesan tersebut adalah
pengusaaan terhadap armada.
Pada masa kampanye Jokowi-JK, kekuatan maritim sering didengungkan. Misi ketiga
pemerintah Jokowi-JK adalah mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat
jati diri Indonesia sebagai negara maritim. Adapun misi keenam adalah mewujudkan
Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan
nasional. Dalam kesempatan lainnya, Joko Widodo mengaku akan membangun tol laut untuk
memperlancar lalu lintas, kapal-kapal pengangkut barang, dan pengangkutan penumpang.
MenurutKamus Besar Bahasa Indonesia, kata maritimmemiliki arti berkenaan dengan laut;berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Dengan kata lain, maritim
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
29/41
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
30/41
Anda Masih Mendengarkan Radio?
Jum'at, 12 September 2014
Antyo Rentjoko, bekas blogger
Saya kagum sama Anda, suka ngeliatAnda di TV," kata pria itu via telepon kepada seorang
aktris sinetron yang sedang berbincang pagi di studio radio classic rockM97FM, Jakarta,
sekitar sepuluh tahun silam.
"Ah, masa sih, Pak? Sinetron saya kan mainnya pagi, yang nontonibu-ibu sama pembantu.
Kalopagi bapak-bapak kan di kantor," si aktris menyahut.
Saya tak tahu berapa banyak pendengar yang tersenyum. Sejauh saya tebak, stasiun itu tak
memantau pendengar secara real time-kalaupun ada alatnya, pasti merepotkan, berbeda dari
streamingyangserver-nya rajin mencatat.
Saya juga tak tahu di mana saja para pendengar pagi itu menyimak radio. Saya
berpengandaian bahwa mayoritas seperti saya mendengarkannya dalam mobil.
Dalam kehidupan domestik sekarang rasanya semakin jarang radio ngocehdan berdendang
mengisi pagi. Fungsi auditifnya sebagai benda sudah lama dioper oleh televisi. Bukankah
televisi juga sering kita perlakukan sebagai radio, didengarkan sambil lalu saja?
Untuk itu, koreksi si aktris tadi sebenarnya menanyakan hal lain: mengapa pagi itu bisa ada
yang mendengarkan radio dan menelepon ke studio? Tanpa interaksi, pengelola radio dan
pengiklan hanya bertumpu pada asumsi yang dimuat dalam rate card: jam sekian
pendengarnya segini, jenis kelaminnya kebanyakan pria, dan mendengarkannya dalam mobil.
Saya tak tahu Anda kini seberapa akrab dengan radio. Saya? Karena kini jarang menyetir,
saya jarang mendengarkan radio. Sementara itu, dalam angkot belum tentu sopir menyetelradio, bahkan USB flash disktelah menjadi gudang lagu. Para penumpang pun tak butuh lagu
dari sopir karena mereka menjadikan musik lebih individual: ponsel adalah pustaka lagu
berkatalog.
Hanya kadang saja Internet pada desktopsaya pakai untuk mendengarkan (bukan menyimak)
streamingsecara acak, dari RadioRGS di Sumenep sampaiAuralmoonuntuk progrock.
Maka saya ingin tahu apakah sampel Badan Pusat Statistik itu mewakili Anda. Ada Indikator
Sosial-Budaya 2003, 2006, 2009, dan 2012 dalam situs BPS. Salah satunya adalah
"Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Mendengar Radio". Angka selama
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
31/41
20032012, dengan interval tiga tahun, makin menurun: 50,29 persen, 40,26 persen, 23,50
persen, dan 18,57 persen. Apakah pada 2015 nanti turun lagi?
Sejauh ini, radio tidak mati. Freddie Mercury pernah melolongkannya bersama Queen dalam
Radio Gaga, "Radio, someone still loves you."
Tentang bagaimana radio bertahan, biarlah para pelaku bisnis dan ahlinya yang berbicara.
Lebih baik kembali ke paragraf awal tentang radio classic rock M97FM yang tampaknya
menyasar pria 3055 (usia pensiun) itu. Mulanya radio itu bernamaMonalisa. Akhir 1990-an,
Masima (Prambors) mengelolanya menjadiM97FM (Male 97 FM).
Radio itu tak laku di pasar iklan, padahal saudara-saudaranya, misalnyaDelta(dulu radio
dakwah) danFemale, bisa hidup. Lalu radio itu mati dengan berpamitan. Di sela hari-hari
akhir penyiarnya keceplosan meledek adlibstentang pakan anjing.
Agustus 2005,M97FMmati. Kabar yang menyambutnya: ada sebuah hard diskyang berisi
12.800 lagu claro(classic rock) sedang menganggur. Radio yang pernah memutar lagu
keriting dari band tak tenar National Health (albumMissing Pieces) itu kemudian menjadi
Radio Dangdut TPI, lantas menjadi jejaring bernamaRadio Dangdut Indonesia.
Terbukti radio belum mati dan bisa bertahan.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
32/41
Gugatan Setelah 40 Tahun
Jum'at, 12 September 2014
Putu Setia, Pendeta Hindu, @mpujayaprema
Usia undang-undang perkawinan sudah 40 tahun, belum pernah diganti. Padahal, beberapa
kali diprotes. Di masa Orde Baru pernah ada protes soal sulitnya seorang lelaki untuk kawin
lagi, harus meminta izin istri dan seterusnya. Kini protes itu menghilang. Mungkin para
suami sudah sadar punya satu istri saja tak ada habisnya. Mohon jangan berpikir negatif,
misalnya, sang suami sudah berselingkuh. Kita bangsa yang menjunjung tinggi agama.
Karena itu, sekarang masalah agama yang dijadikan dasar untuk menggugat undang-undang
ini. Sekelompok mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan
uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ini. Pasal itu berbunyi: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal ini menjegal perkawinan beda agama. Padahal, undang-undang tak melarang
perkawinan beda agama. Pasal 8, yang mengatur pelarangan perkawinan berisi 6 ayat, tak
menyebut soal agama. Ayat-ayat itu merinci hubungan kekeluargaan yang tak boleh menikah.
Di mana terjegal? Tak lain adalah (hukum) agama itu sendiri. Semua agama melarang
perkawinan beda agama, dengan sedikit pengecualian. Jadi, kalau agama telah melarangnya,
berarti perkawinan itu tak sah. Perkawinan yang tak sah tak bisa didaftarkan sesuai dengan
undang-undang ini. Akibat runtutannya panjang, karena perkawinan tak sah, lalu tak
terdaftar, status anak pun tak jelas, seperti tak bisa mendapat akta kelahiran dan seterusnya.
Para pemohon uji materi meminta undang-undang ini mengesampingkan urusan agama.
Perkawinan adalah hak asasi yang tak bisa disekat oleh masalah agama dan pemerintah wajib
mendaftarkannya. Dalam bahasa liberal, Ulil Abshar Abdalla mengatakan dalam acara debatsebuah televisi, maaf kalau tak persis: "Negara wajib mendaftarkan perkawinan yang
dilakukan warganya. Pisahkan itu dari ajaran agama, urusan halal-haram biarlah urusan
mereka."
Saya pengagum pikiran Mas Ulil dan banyak sepakat. Tapi kali ini, dengan segala hormat,
saya tak sepakat. Perkawinan itu sakral, dalam agama mana pun. Kalau pengantin itu
menyebut telah menikah padahal tanpa kesakralan, karena ritual tak bisa dicampur untuk
agama yang berbeda, apakah itu tetap bernama perkawinan? Meskipun itu didasari cinta
setinggi rembulan dan saksisejibunorang, bukankah secara agama tetap berstatus perzinaan?
Jadi, undang-undang ini sudah benar. Karena perkawinan itu ada dalam hukum agama,
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
33/41
selesaikan dulu urusan di sana, baru didaftarkan.
Jika negara menerima pendaftaran perkawinan tanpa ritual itu, sama artinya mengajarkan hal-
hal yang buruk kepada masyarakat, hal yang bertentangan dengan agama. Ini bukan saja tak
sesuai dengan Pasal 1 UU Perkawinan (membentuk keluarga yang bahagia dan kekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa) juga tak sesuai dengan konstitusi.
Bagaimana negara bisa menuntun warganya untuk hal-hal positif kalau melindungi
kesakralan agama saja abai? Misalnya: "Narkoba barang haram, jangan coba-coba". Orang
bisa berkomentar: biar saja dia makan, halal-haram itu urusan dia kok."Merokok
Membunuhmu". Walah, tahu sendiri risikonya, mau mati kek, mau sehat kek.
Lagi pula, kalau pasal yang diuji coba itu dikabulkan hilang oleh MK, yang diuntungkan
tidak begitu banyak. Yang melakukan perkawinan beda agama umumnya orang-orang kota
atau orang desa yang setelah kawin beda agama tinggal di kota. Ini bisa menjelaskan bahwa
perkawinan beda agama sulit diterima di komunitas adat di berbagai wilayah Nusantara.
Apalagi di Bali, yang adat dan budaya Hindu begitu kuat. Rohaniwan Hindu hanya bisa
menikahkan pasangan yang satu agama. Kalau salah satu belum Hindu, harus dibuatkan ritual
memeluk Hindu.
Orang Bali yang "diduga kawin" beda agama biasanya mengucilkan diri secara sukarela
karena tak akan diterima di komunitas adat. Ada contoh yang kini sangat populer dan karena
sudah diumbar media massa tak apa disebut. Yakni Jero Wacik. Di kampung kelahirannya,
beliau dianggap masih lajang secara adat, karena itu dia masih jadi "pemangku" khusus untukpura keluarganya. Tapi istri dan anaknya tak pernah ke sana. Pura dan rumah keluarga pun
sangat sederhana. Keringat Jero tak mampir di sana, apalagi hasil "memerasnya", kalau
terbukti.
Lalu kenapa ada gugatan kalau sudah banyak yang kawin beda agama? Sejatinya, UU
Perkawinan memberi jalan lewat Pasal 56, yakni: kawin di luar negeri. Ayat 1 menyebutkan
perkawinan sah jika mengikuti aturan di negeri tersebut. Dalam ayat 2, setelah suami-istri itu
kembali, surat bukti perkawinan bisa didaftarkan.
Ada juga "perkawinan abal-abal", yakni dengan pura-pura pindah agama. Misal, pasangan
Hindu dan Islam. Menjelang upacara di Bali, yang Islam masuk Hindu di hadapan pendeta
(ritual Sudhiwadani), setelah itu di luar Bali kawin di depan penghulu, yang Hindu masuk
Islam. Saya tak menganjurkan cara ini, risikonya besar. Lebih baik menabung untuk kawin di
Singapura atau Timor Leste. Keluar biaya tapi tenang.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
34/41
Menteri, Korupsi, Literasi
Jum'at, 12 September 2014
Bandung Mawardi, Esais
Hari-hari menjelang akhir masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu II, Susilo Bambang
Yudhoyono mesti bersedih dan menanggung malu akibat ulah para menteri yang terlibat
korupsi. Para menteri pasti belum membaca nasihat SBY dalam puisi berjudul Membasuh
Hati(1 Agustus 2010), dimuat di bukuMembasuh Hati di Taman Kehidupan(2014):
"Menjaga hati yang bersih adalah akidah/mengapa kita menjauh/dan tak pandai mencari
berkah.
Kita tentu maklum bahwa para menteri adalah kaum sibuk, tak sempat membacaatau merenungi puisi, meski merupakan gubahan sang atasan: SBY.
Di Indonesia, korupsi adalah urusan hukum dan politik. Kita jarang mengurusi korupsi
dengan puisi. Kita masih ingat publikasi iklan melawan korupsi buatan Partai Demokrat. Para
menteri dan legislator asal Partai Demokrat malah menjadi "teladan" untuk berkorupsi.
Mereka cuma bermodal iklan, berisi slogan, dan disajikan secara manipulaif.
Dulu, mereka tak memilih gerakan melawan korupsi dengan berpuisi. Barangkali puisi lebih
bertuah ketimbang iklan-dalam membuka kesadaran dan keinsafan menjadi insan mulia. Para
menteri tentu tak mengoleksi bukuPuisi Menolak Korupsi(Forum Sastra Surakarta, 2013),
yang berisi ratusan sajak gubahan ratusan pujangga di Indonesia. Buku berketebalan 450
halaman itu bisa menjadi bacaan reflektif dan kritis. Beni Setia mengajukan sajak berjudul
Genetika Korupsi 3, berisi sinisme: "Kata-kata birokrat kata-kata politisi satu maknanya:
sudahkah korupsi?"Kita mengandaikan para menteri, legislator, dan elite partai politik melek
puisi ketimbang berlagak menjadi bintang iklan untuk menolak atau melawan korupsi.
SBY mungkin tak memberlakukan kriteria literasi saat membentuk Kabinet Indonesia
Bersatu II. Kita menduga para menteri bakal bebal dan bandel jika tak memiliki kebiasaan
membaca buku mengenai korupsi. Di Indonesia, selama puluhan tahun telah terbit ratusanteks sastra bertema korupsi. Kita tak bisa memastikan buku-buku sastra bertema korupsi
adalah bacaan para menteri dan legislator. Ah, mereka tentu meremehkan faedah puisi, novel,
cerpen, serta drama dalam ambisi keprofesian dan peningkatan kehormatan. Mereka belum
meneladani SBY. Kita berharap SBY terus menulis sajak bertema korupsi agar menjadi
bahan bacaan untuk para menteri dan legislator periode 20142019.
Kita tak harus bergantung pada sastra untuk menjaga atau mengembalikan kewarasan para
menteri dan legislator. Syafii Maarif (2014) malah mengajukan usul berbeda tapi berpijak
pada literasi. Maarif menganjurkan agar para calon menteri membaca dua teks terkenal dari
Mohammad Hatta dan Sukarno:Indonesia Merdeka(1928) danIndonesia Menggugat
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
35/41
(1930).
Pemikiran para penggerak bangsa dianggap memberi referensi bagi para menteri agar
mengerti sejarah Indonesia, mentalitas perjuangan, dan kesanggupan memuliakan Indonesia.
Literasi diharapkan menjadi kriteria dalam memilih dan menetapkan menteri. Maarif inginkesadaran atas sejarah dan biografi para penggerak bangsa menjadi referensi perlawanan
korupsi. Kita juga ingin memastikan para menteri dalam kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla
memang kaum pembenci korupsi dan melek literasi agar Indonesia mulia. Amin.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
36/41
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
37/41
ramai menjadi inovator mumpuni nanti. Janganlah bertaruh Indonesia akan bisa berdiri
sejajar, paten demi paten, dengan satu pun dari ASEAN-4 atau Cina atau Korea pada 2045.
Jelaslah sistem inovasi berayun dalam jangka panjang bak maraton. Mengapa kemampuan
ilmu/matematika remaja kita lemah? Teori tadi akan mengantar kita ke modal insani lain,yaitu kesehatan, khususnya kesehatan anak. Kalau kita kaji prestasi Indonesia dalam bidang
kesehatan anak sejak 1990-an, kelihatan gambaran fraktal: corak karut-marut kecil mengikuti
pola kasat-kusut besar. Dari setengah juta anak dalam Survei Sosial-Ekonomi Nasional 1992
2013, kami temukan: tak sekali pun Indonesia mencapai sasaran imunisasi global. Sekarang,
semua ASEAN-4 sudah melebihi sasaran, namun Indonesia mentok.
Apa kaitannya imunisasi dengan nilai matematika dan inovasi puluhan tahun lagi? Kesehatan
dini, khususnya imunisasi dan tercukupkannya gizi, berkaitan dengan kemampuan di masa
selanjutnya. Di masa ini, dua kemampuan sangat penting: kemampuan abstraksi dan daya
tahan belaka ketika melakukan kerja mental yang ketat (macam menelusuri kaitan dari
imunisasi, lewat pendidikan ke inovasi, misalnya). Kedua, kegagalan ini adalah tanda
kegagalan kita bersama sebagai bangsa karena masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak
kita.
Para dokter biasanya akan bilang: lebih gampang mengobati pasien kalau diagnosisnya jelas
dan pasiennya tidak ngotot. Perbaikan kinerja inovasi Indonesia menuntut diagnosis yang
jelas. Misalnya, data seperempat abad inovasi, belasan tahun prestasi sekolah, dan beberapa
dasawarsa imunisasi. Data ini bersama persamaan diferensial yang menguraikan teori
Schumpeter diunggah di situsgoogle.com/site/tehtareknow/inovasi-asia.
Tulisan ini dibuat atas beberapa pertimbangan. Pertama, angket inovasi di Indonesia,
hambatan dan pencapaiannya, praktis nihil. Karena didorong oleh nalar di atas, kami merintis
kajian ini, namun dukungan pemerintah mengumpulkan diagnostik inovasi mutlak. Kedua,
Indonesia mesti menggagas badan internasional, Asia Science Fund, yang memberi dana
bersaing bagi peneliti/pencipta di Asia. Tantangan inovasi tidak pandang bulu dan tidak
peduli batas, seperti pandemik kawasan dan bahaya lingkungan. Selain itu, badan semacam
ini akan memberi sinyal tepat waktu kepada pembuat kebijakan tentang kinerja kita
dibanding jiran.
Terakhir dan sekaligus di awal, program imunisasi di Indonesia perlu rancangan ulang untuk
membantu kabupaten yang mengalami kesulitan dan menghargai kabupaten yang berhasil.
Hanya dengan menyiapkan anak yang sehat, remaja yang cakap, dan pekerja yang berinovasi,
bangsa kita bisa sejahtera pada masa seabad Indonesia merdeka.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
38/41
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
39/41
ikut andil terhadap adanya kekerasan anak. Konten-konten kekerasan yang hadir lewat
perangkat digital, entah komputer, tablet, ataupun telepon seluler, bisa mendorong terjadinya
berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Tapi bukan berarti kita harus selalu memasang sikap curiga kepada orang lain. Juga tidakperlu memproteksi terlalu berlebihan anak-anak kita. Yang terpenting adalah sikap waspada
dan menguatkan kembali kerekatan dan relasi sosial di lingkungan kita. Dengan kebersamaan
itu, kita selalu punya rasa tanggung jawab untuk saling menjaga. Kita boleh saja memberi
perangkat digital kepada anak atau membiarkan mereka bermain dan berekspresi, tapi yang
terpenting kita bisa mengontrolnya.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
40/41
SBY dan Buku
Sabtu, 13 September 2014
Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip
Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, buku itu penting. Termasuk rumah buku, yakni
perpustakaan. Untuk itu, Ibu Negara via Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (Sikib)
ditugaskan membuat Rumah Pintar di pelbagai penjuru Nusantara. Jumlahnya sudah lebih
dari setengah juta unit. Terkadang, dari segi bangunan, Rumah Pintar jauh lebih kinclong
ketimbang gedung perpustakaan daerah yang tampak kusam dan kelelahan berhadapan
dengan zaman.
Bagi Presiden SBY, buku itu mahkota seorang pemimpin. Karena itu, ketika pulang dari
muhibah ke luar negeri mewakili negara dan bangsa, ia kerap singgah di toko untuk membeli
beberapa buku penting tentang politik, manajamen kepemimpinan, dan biografi.
Bagi Presiden SBY, buku itu memperkaya gagasan dan menambah perbendaharaan istilah
dan lema. Karena itu, dalam berpidato, SBY betul-betul mengecek draf pidato yang dibuat
staf khusus untuk melihat gagasan, alur, dan bahkan diksi. Untuk itu, jangan heran, dalam
pidato SBY, terlalu banyak paragraf atau kalimat yang layak kutip, atau meminjam istilah
generasi terbaru media sosial, "layak twit".
Bagi Presiden SBY, buku itu sahabat inspirasi. Dengan buku, SBY menjadi pencipta dan
penulis lirik-lirik lagu. Menulis bait-bait lagu, bagi SBY, seperti kerja seorang penyair. Ia
membutuhkan waktu tapa dan hening. Karena itu, jangan kaget kalau beberapa kali
menemukan foto Presiden SBY duduk sendiri berhadapan dengan kertas kosong dengan latar
alam kehijauan dan sunyi. Di dalam situasi yang hening itu, ia menulis syair lagu sebagai
resultan puncak dari refleksi kesehariannya sebagai pemimpin negeri. Mungkin juga ia
sedang menulis dan mengedit pidatonya.
Bagi Presiden SBY, buku itu warisan pemikiran. Karena itu, dalam beberapa kali kesempatan
pada tahun-tahun pamungkas kekuasaannya selama 10 tahun ini, ia dengan lirih berkata
bahwa ia membuat suatu lembaga dengan perpustakaan kaya koleksi/terpilih yang menjadi
tempat para pemimpin muda masa depan Republik untuk mengasah gagasan. Ia juga
merancang Museum Presiden jauh-jauh hari, di mana koleksi kepustakaan dan bibliografi
tentang kepresidenan dan politik di dalamnya bisa ditemui. Perpustakaan dari Museum
Presiden itu kelak menjadi sandaran warisan untuk tahu bagaimana lini masa pemikiran
presiden-presiden Republik dalam waktu kebangsaan dan ruang kenegaraan kita.
Bagi Presiden SBY, buku itu mengabadikan. Maka ia menulis apa saja tentang dirinya.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014
41/41
Menjelang masa menjabat Presiden RI lewat pemilihan langsung oleh rakyat pada 2004, buku
biografinya, SBY Sang Demokrat, terbit. Separuh dari biografi tebal itu adalah foto-fotonya
yang sekaligus menjadi epik, karena inilah buku biografi presiden dengan kuantitas foto
terbanyak, yang mengalahkan dengan telak biografi Sukarno.
Dan pada akhir masa kekuasaannya, biografi harian SBY terbit dengan judul Selalu Ada
Pilihan. Ia merefleksikan isu-isu terpilih selama 10 tahun, termasuk gosip panas tentang
dirinya. Dan seperti seorang resi, tentu saja buku itu berisi banyak nasihat bijak untuk
presiden berikutnya.
Akhirul kalam, bagi Presiden SBY, buku itu adalah cerminan sikap politik. Dalam buku,
dialog yang intim adalah keharusan. Tak ada opsi pamer senjata dalam kamus kebijakan
SBY. Karena itulah pemerintah SBY selamat meniti demokrasi yang konstitusional dalam
kurun 10 tahun-sebuah transisi kepemimpinan politik paling sukses dalam sejarah RI.