Top Banner
Penyunting Dr. Muhammad Hasbi
101

Bunga Rampai PAUD-ok.indd

Mar 26, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

PenyuntingDr. Muhammad Hasbi

Page 2: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

i

BUNGA RAMPAIPendidikan Anak Usia Dini

Direktorat Pendidikan Anak Usia DiniDirektorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan2020

Page 3: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

Da ar Isi ........................................................................ iiKata Pengantar ............................................................. iii1. Pembelajaran Anak Usia Dini di Era Adaptasi Kebiasaan Baru ............................... 12. Ayah dan ‘Bapak Guru’: Tinjauan Literatur Mengenai

Peran Laki-Laki dalam Pendidikan Anak Usia Dini dan Implikasinya di Indonesia ........................................ 19

3. Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesiapan Bersekolah .. 394. Strategi Play Based Learning untuk Pendidikan Anak Usia Dini ......................................................... 575. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Project-based

Learning untuk Anak Usia Dini ............................... 716. Implementasi Project-Based Learning pada Jenjang PAUD ................................................. 897. STEAM untuk Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia:

Tantangan atau Peluang? ....................................... 1098. Peran Teknologi dalam Pembelajaran Anak Usia Dini di Indonesia: Peluang dan Tantangan ...................... 1259. Pengenalan Matema ka pada Anak Usia Dini: Kesiapan Kogni f, Konten, dan Strategi .................. 14310. Kepemimpinan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia: Kajian Literatur ................................. 163 11. Kegiatan Literasi Anak Usia Dini ............................. 181

TIM REDAKSI

PENGARAHJumeri, S.TP., M.Si.

PENANGGUNG JAWABDr. Muhammad Hasbi

PENYUNTINGDr. Muhammad Hasbi

KONTRIBUTORMuhammad HasbiMerysaZaenal AbidinEka OktavianingsihRinia ZataliniHidayatul MabrurEka Sobia nDita Puji RahayuYusuf AdhityaCecep SomantriNia Nurhasanah

SEKRETARIATDrs. Muhammad NgasmawiNia Nurhasanah, S.Si.Ina Nurohmah, S.E.

PENERBITDirektorat PAUDDirektorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan DikmenKementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ALAMAT REDAKSIDirektorat Pendidikan Anak Usia DiniKompleks KemendikbudGedung E. Lt. 7 Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat

Hak Cipta © 2020 padaKementerian Pendidikan dan KebudayaanDilindungi Undang-Undang

BUNGA RAMPAIPENDIDIKAN ANAK USIA DINI

ISBN: 978-623-6806-02-9

iv+ 194 hlm; 21 x 29,7 cm

ii iiiBunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulisan Buku Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini ini dapat diselesaikan dengan baik. Dewasa ini, masyarakat Indonesia kian menyadari pen ngnya pendidikan anak sejak usia dini.

Meningkatnya antusiasme dan perha an masyarakat dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ini tentunya harus diimbangi dengan ketersediaan sumber bacaan dan materi bagi pendidik dan prak si PAUD. Buku Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini disusun dengan tujuan untuk mengisi kebutuhan sumber materi dan bacaan, khususnya bagi guru PAUD, orang tua, peneli , prak si, dan pemerha PAUD. Buku ini diharapkan dapat memberikan wawasan, pengetahuan dan peman k diskusi mengenai topik dan isu terbaru dunia PAUD, baik secara global maupun di Indonesia.

Publikasi ini merupakan bentuk kerja sama antara Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan para alumni penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), baik dari dalam maupun luar negeri. Para kontributor yang terpilih dalam buku ini telah menyelesaikan studi di bidang pendidikan dengan fokus disiplin yang beragam (interdisipliner), dan lulus dengan predikat cumlaude atau dis nc on pada bidang masing-masing, baik pada jenjang sarjana maupun magister.

Merysa menyelesaikan jenjang Magisternya di University of Bristol, United Kingdom, dengan jurusan Educa on dan konsentrasi Teaching and Learning. Zaenal Abidin menyelesaikan studi program magister pada Program Studi Pendidikan Dasar di Universitas Pendidikan Indonesia. Eka Oktavianingsih merupakan alumni program studi magister Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Negeri Yogyakarta. Rinia Zatalini menyelesaikan pendidikannya di University of Leeds, United Kingdom, dengan program studi Teaching English to Speakers of Other Languages (TESOL). Hidayatul Mabrur merupakan lulusan Program Studi Pengembangan Kurikulum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia. Eka Sobia n menyelesaikan studi magisternya di bidang Pendidikan Sains dari Universitas Negeri Yogyakarta. Dita Puji Rahayu menyelesaikan studi magisternya dari program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Universitas Pendidikan Indonesia. Yusuf Adhitya adalah alumni magister pendidikan matema ka di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Terakhir, Cecep Somantri menyelesaikan Masters in Educa onal Leadership and Management (ELM) dari University of No ngham, United Kingdom pada tahun 2017. Saat ini, ia juga sedang menempuh pendidikan Doctor of Philosophy (PhD) pada bidang dan universitas yang sama.

Buku ini berisi ar kel yang membahas topik terkini dan terhangat di bidang PAUD. Dimulai dari isu terhangat mengenai pandemi COVID-19, pada ar kel pertama, Muhammad Hasbi mengulas literatur dan studi empirik mengenai bagaimana prak k PAUD di Indonesia telah banyak berubah, namun tetap berfokus pada penanaman nilai-nilai karakter kinerja dan moral. Sebagai domain perempuan, ar kel kedua oleh Merysa kemudian menilik isu terkait peran “ayah” dan “Bapak guru” dalam dunia PAUD berdasarkan literatur dari berbagai negara dan Indonesia.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Page 4: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

1 Pembelajaran Anak Usia Dini di Era AdaptasiKebiasaan Baru

Muhammad Hasbi

Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini

iv 1Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Bulan Maret 2020 akan selamanya tercatat dalam sejarah Republik Indonesia sebagai bulan yang telah mengubah pendidikan. Atas nama kesehatan dan keselamatan publik, seluruh satuan pendidikan

di pelosok negeri secara perlahan ditutup untuk sementara. Se ap pendidik di Indonesia, baik orang tua, guru maupun orang dewasa lainnya, mengetahui satu hal, yaitu: mereka akan kesulitan untuk kembali ke lembaga pendidikan secara fi sik, dalam waktu tak menentu. Kenyataan pelik ini secara nyata menggeser pembelajaran ke rumah masing-masing orang tua, dan memaksa semua pihak untuk memainkan peran dan tanggung jawab lebih dalam pendidikan anak daripada sebelumnya. Ar kel ini mengulas bagaimana pandemi COVID-19 telah mengubak prak k pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia. Dengan merujuk pada literatur dan studi empirik terpercaya dari berbagai sumber dan negara, ar kel ini menemukan bahwa, dengan atau tanpa adanya COVID-19, fokus pembelajaran anak usia dini tetap berada pada penanaman nilai-nilai karakter kinerja dan moral. Pun demikian dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran yang dak dapat dihindari, karena masyarakat Indonesia dan dunia telah memasuki era teknologi. Namun demikian, yang berbeda seja nya adalah tuntutan terhadap kolaborasi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan pemangku kebijakan pendidikan.

Kata kunci: COVID-19; pandemi; pendidikan anak usia dini; karakter; teknologi.

Selanjutnya berkaitan dengan pembelajaran di satuan PAUD, Zaenal Abidin dalam ar kel ke ga mengulas berbagai peneli an dan literatur yang mengkaji bagaimana PAUD sangat berkaitan erat dengan kesiapan anak untuk bersekolah. Pada ar kel keempat, Eka Oktavianingsih mengangkat topik strategi pembelajaran play-based learning atau pembelajaran berbasis bermain pada jenjang PAUD yang sedang banyak dimina , namun masih menunjukkan hasil penerapan yang kurang op mal di Indonesia. Pada ar kel kelima, Rinia Zatalini menguraikan secara deskrip f anali k berbagai literatur terkait bagaimana integrasi pendidikan karakter pada jenjang PAUD dengan menggunakan strategi project-based learning atau pembelajaran berbasis proyek. Masih membahas project-based learning, Hidayatul Mabrur dalam tulisannya di ar kel keenam memaparkan secara mendalam strategi implementasi project-based learning pada jenjang PAUD yang dapat digunakan sebagai referensi bagi guru atau pendidik PAUD.

Pada ar kel ketujuh, Eka Sobia n mengajak pembaca untuk mengenal serta memahami STEAM atau Science, Technology, Engineering, Art and Mathema cs yang mengintegrasikan seni (Art) dengan STEM. Eka juga membahas bagaimana strategi STEAM yang telah diterapkan di berbagai negara ini dapat diterapkan dalam konteks PAUD di Indonesia. Masih berkaitan dengan STEM, Dita Puji Rahayu dalam tulisannya di ar kel kedelapan juga mengkaji peran teknologi dalam PAUD berdasarkan literatur dan peneli an kontemporer di berbagai negara mengenai manfaat teknologi untuk pembelajaran anak serta peran guru dan orang tua dalam memanfaatkan teknologi. Selanjutnya, dalam ar kel kesembilan, Yusuf Adhitya membahas bagaimana pen ngnya pembelajaran matema ka untuk anak usia dini, kesiapan anak untuk belajar matema ka, konten matema ka apa saja yang dapat diajarkan pada anak usia dini, dan bagaimana strategi pembelajaran matema ka pada anak usia dini sesuai dengan perkembangan kogni fnya. Ar kel kesepuluh oleh Cecep Somantri kemudian membahas suatu topik yang berpotensi menjadi kajian pertama di Indonesia. Cecep Somantri mengkaji berbagai studi dan literatur terkini tentang model-model kepemimpinan pendidikan, dan menuangkan gagasannya dalam konteks perkembangan kepemimpinan PAUD di Indonesia. Buku kemudian ditutup dengan ar kel tambahan oleh Nia Nurhasanah, Aparatur Sipil Negara (ASN) muda yang memaparkan beberapa alterna f dan strategi pengenalan literasi bagi anak usia dini.

Kesebelas ar kel yang dituangkan dalam Buku Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi guru, pendidik, orang tua, peneli , prak si dan pemerha PAUD di Indonesia.

Selamat membaca!

Penyun ng,

Muhammad HasbiDirektur PAUD

iv Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Page 5: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

2 3Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

PendahuluanSejak awal Maret 2020, COVID-19 mulai

terdeteksi di Indonesia, dan per tanggal 1 Agustus 2020 terdapat 109.936 kasus dengan jumlah kema an sebanyak 5.193 jiwa (covid19, 2020). Se ap hari, kasus COVID-19 di Indonesia dan berbagai negara lainnya terus bertambah,

karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk mencegah tersebarnya virus tersebut. Beragam upaya pencegahan dan intervensi yang telah diterapkan di Indonesia mencakup: karan na bagi orang-orang yang diduga terinfeksi, pembatasan perjalanan domes k dan internasional, larangan berkumpul dalam kelompok dan keramaian, serta penutupan sekolah, pabrik, restoran, dan ruang publik (UNICEF, 2020a).

Sebagai negara terpadat penduduk keempat di dunia, COVID-19 diperkirakan akan memberikan dampak signifi kan terhadap keberlangsungan hidup dan kehidupan di Indonesia dalam jangka waktu yang panjang (Djalante dkk., 2020). Dampak yang di mbulkan oleh adanya COVID-19 ini menyentuh berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, ekonomi, kesejahteraan, agama, pariwisata, hukum, dan pendidikan. Secara khusus, dampak yang terjadi pada bidang pendidikan memengaruhi seluruh lembaga pendidikan, mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi. Sebanyak 107 negara di dunia, termasuk Indonesia, sejak 18 Maret 2020 menerapkan kebijakan untuk menutup kegiatan belajar mengajar tatap muka di ins tusi pendidikan (Viner dkk., 2020). Dengan adanya COVID-19, banyak lembaga PAUD yang terpaksa harus ditutup dan kegiatan pembelajaran dialihkan untuk dilakukan dari rumah melalui pendekatan dalam jaringan (daring). Penutupan lembaga pendidikan bertujuan untuk mengontrol virus agar dak menyebar secara luas. Langkah ini diprediksi

dapat mengurangi puncak kasus COVID-19, dan secara dak langsung menurunkan kurva penyebaran virus.

Pembelajaran anak usia dini selama pandemi COVID-19 kemudian bergeser menjadi pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi dan internet. Beragam tantangan dirasakan oleh guru dan orang tua dalam memfasilitasi anak selama belajar dari rumah. Guru merasa kesulitan dalam memantau dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran jarak jauh selama pandemi. Terlebih jika anak di rumah dak memiliki akses terhadap teknologi, guru akan kesulitan dalam membimbing anak. Begitu pula orang tua, di samping keterbatasan akses internet (66% yang memiliki akses internet), kemampuan dalam mendampingi dan memfasilitasi anak juga masih kurang (UNICEF, 2020a). Keluarga dengan ekonomi rentan, khususnya, dak memprioritaskan tugas pengasuhan anak, karena tuntutan untuk mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga merupakan hal yang lebih mendesak. Selain itu, lingkungan belajar anak di rumah juga dak semuanya mendukung anak untuk berkonsentrasi, bahkan cenderung dak kondusif.

Pandemi COVID-19 yang terjadi sudah hampir memasuki waktu empat bulan. Proses perubahan tatanan baru (new normal) pun sudah mulai diterapkan dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu, termasuk di bidang pendidikan. Pembelajaran anak usia dini pasca-pandemi adalah topik yang didiskusikan dalam ar kel ini. Dimensi yang dibahas antara lain: pembelajaran di satuan PAUD, pembelajaran dari rumah, fokus pembelajaran, serta peran guru dan orang tua dalam pembelajaran anak usia dini.

Pembelajaran di Satuan PAUDBuk -buk ilmiah menunjukkan bahwa anak-

anak memiliki risiko lebih kecil untuk terpapar COVID-19 daripada orang dewasa (Munro & Faust, 2020). Di Australia, pemerintah tetap

membuka lembaga PAUD di tengah pandemi COVID-19, karena dak ada buk adanya anak yang menulari gurunya. Hal tersebut juga dak jauh berbeda dengan data yang ditemukan di China dan Perancis. Peneli an di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar COVID-19 dapat melawan infeksi dengan baik dan mengalami sedikit komplikasi (Kliger & Silberzweig, 2020). Risiko kesehatan akibat infeksi COVID-19 pada anak lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua (UNICEF, 2020a). Meskipun demikian, sampai saat ini belum diketahui penyebab mengapa anak-anak dan orang dewasa muda memiliki risiko ringan terkena COVID-19.

Cepat atau lambat, school from home (belajar dari rumah) dan penutupan sekolah yang terlalu lama akan menimbulkan permasalahan baru bagi kesehatan fi sik dan mental anak-anak (Wang dkk., 2020). Peneli an menyebutkan bahwa ke ka anak-anak dak bersekolah, mereka secara fi sik akan menjadi kurang ak f, memiliki waktu bermain gadget lebih lama, mengalami pola dur yang dak teratur, dan membangun pola makan yang kurang baik. Meskipun dikatakan dak langsung, pengaruh secara psiko-sosial akibat pandemi COVID-19 menjadi permasalahan serius. Karan na di rumah merupakan hal yang sangat menuntut anak secara mental, daripada fi sik (Ghosh dkk., 2020). Ditutupnya lembaga pendidikan, kurangnya ak vitas fi sik, dan pola makan dan pola dur yang dak teratur akan mengganggu pola hidup keseharian anak. Akibat kebiasaan baru yang dak seper biasanya tersebut, anak akan rentan terhadap stress, mudah bosan, dan cenderung dak sabar. Selain itu, semakin lama anak dak bersekolah, kemampuan, keterampilan, serta potensi dari anak tersebut juga akan cenderung menurun (NIEER, 2015).

Bagi anak berkebutuhan khusus, penutupan lembaga pendidikan dan kegiatan belajar dari

rumah memunculkan permasalahan baru. Berdasarkan peneli an Department of Educa on and Skills (2020) di Irlandia dan beberapa negara di Asia, terdapat kesulitan dan hambatan yang dialami selama anak berkebutuhan khusus belajar dari rumah, antara lain sebagai berikut.

1. Banyak orang tua merasa stres dan tertekan dengan penutupan sekolah dikarenakan orang tua harus mengajar dan mengelola perilaku anak.

2. Kurangnya dukungan kesehatan dan terapi sehingga berdampak nega f pada kemajuan anak-anak.

3. Anak-anak dengan kondisi kesehatan yang kompleks menjadi sangat rentan ke ka dak bersekolah.

4. Banyak orang tua yang dak memiliki waktu, kapasitas, maupun lingkungan rumah yang sesuai untuk melakukan pembelajaran dari rumah.

5. Model pembelajaran jarak jauh dak selalu memfasilitasi kebutuhan individual se ap anak.

6. Kehilangan ru nitas sekolah.7. Kekurangan peralatan dan kualitas

konek vitas internet.8. Keterbatasan buku dan material lain untuk

pembelajaran dari rumah.9. Menimbulkan ke dakpas an bagi keluarga

mengenai transisi anak-anak, terutama ke ka mereka akan pindah ke lingkungan pendidikan yang berbeda.

10. Beberapa keluarga menganggap bahwa kembali ke sekolah akan menjadi tantangan terbesar bagi anak.

Pembukaan kembali sekolah di masa pandemi COVID-19 dimungkinkan terjadi dengan tetap memperha kan protokol kesehatan. Adapun prinsip-prinsip untuk pembukaan kembali sekolah antara lain sebagai berikut.

Page 6: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

4 5Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

1. Pendekatan terintegrasi. COVID-19 memiliki dampak mul dimensi pada hak, pendidikan, perlindungan, kesehatan, nutrisi, dan lainnya. Ke ka sekolah kembali dibuka, perlu pendekatan yang terkoordinasi dan terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan holis k anak-anak.

2. Par sipasi anak dan remaja. Anak-anak memiliki hak untuk didengar dalam proses yang berdampak. Par sipasi anak harus bersifat inklusif dan dapat diakses untuk semua anak. Remaja dapat berperan dalam penyebaran informasi yang akurat kepada masyarakat.

3. Gender, inklusi, dan aksesibilitas. Anak-anak mungkin memiliki hambatan atau kebutuhan yang berbeda-beda karena perbedaan usia, jenis kelamin, kebutuhan khusus, etnis, dan kondisi sosial ekonomi. Semua upaya dalam pembukaan sekolah kembali harus bersifat inklusif dan dapat diakses oleh semua anak.

4. Komunitas sekolah. Mengikutsertakan keseluruhan komunitas sekolah termasuk anak, pengasuh, guru/pendidik, tenaga kependidikan, komunitas dan pemerintah daerah pada kondisi yang inklusif dan mudah diakses pada seluruh proses pembukaan sekolah.

5. Membangun resiliensi. Proses pembukaan sekolah menyediakan sebuah kesempatan untuk memperkuat sistem pendidikan, kesehatan, perlindungan dan kecelakaan sehingga lebih mudah diakses, inklusif, par sipa f, dan protek f.

Pembukaan kembali satuan PAUD memerlukan pedoman yang menyeluruh guna membantu pengelola dan pendidik dalam perencanaan dan pelaksanaan. UNICEF (2020b) telah mengeluarkan panduan tersebut dengan memper mbangkan antara keefek fan pembelajaran, kesejahteraan, dan kesehatan anak. Panduan pembukaan kembali lembaga PAUD pada masa pandemi

COVID-19 yang diadvokasikan UNICEF (2020b) adalah sebagai berikut.

1. Semua staf perlu meluangkan waktu untuk merencanakan dan mempersiapkan pembukaan kembali lembaga pendidikan. Perlu per mbangan dan perencanaan matang tentang pengaturan pembelajaran, shi , protokol kesehatan dan kebersihan. Komunikasi kepada berbagai pihak, seper orang tua, masyarakat dan pemerintah daerah juga diperlukan. Pihak sekolah dan pemangku kebijakan perlu melibatkan anggota masyarakat mengenai rencana implementasi (apa, kapan, dan seberapa sering informasi dibagikan) (Carvalho dkk., 2020). Hal ini bertujuan untuk membangun kepercayaan publik dan keterlibatan masyarakat.

2. Lingkungan lembaga pendidikan perlu dipersiapkan dengan baik untuk menciptakan kondisi aman, nyaman, menyenangkan, dan merangsang perkembangan anak. Lingkungan yang aman dak selalu diiden kkan dengan kondisi seper di rumah sakit. Hal-hal yang dapat dilakukan misalnya dengan memenuhi fasilitas sanitasi dan kebersihan, dan menerapkan protokol pengecekan suhu tubuh dan mulut untuk mendeteksi anak yang berisiko maupun dak. Selain itu, pihak lembaga dapat mengubah dan menyesuaikan sistem pembayaran dari tunai menjadi sistem transfer, dan memper mbangkan menghilangkan kegiatan makan bersama untuk meminimalkan penyebaran COVID-19 (Carvalho dkk., 2020).

3. Lembaga PAUD perlu mempertahankan prak k yang ramah anak dan memerha kan perkembangan anak. Meskipun anak-anak tetap diminta untuk melakukan physical distancing, tetapi pendidik dak menutup kesempatan anak untuk terlibat secara sosial, mengalami pembelajaran langsung,

dan mengiku kegiatan bermain. Oleh sebab itu, diperlukan kurikulum yang disesuaikan dengan konteks physical distancing.

4. Pendidik perlu menetapkan perilaku dan prak k kebersihan serta kesehatan di kalangan anak-anak yang mencakup: mencuci tangan, e ka batuk dan bersin, dan menghindari menyentuh wajah. Dalam mengajarkan prak k tersebut, pendidik perlu memper mbangkan usia dan pemahaman anak.

5. Pendidik dan tenaga kependidikan perlu manfaatkan se ap momen atau kesempatan untuk memberikan pemahaman kepada anak tentang kebiasaan baru pasca pandemi COVID-19 di ins tusi PAUD. Misalnya: mengapa jendela sering dibuka, permainan yang boleh dimainkan di luar ruangan, dan lain sebagainya.

6. Lembaga PAUD perlu bermitra dengan keluarga untuk memas kan transisi yang baik dari rumah ke lembaga pendidikan, serta memas kan komunikasi berjalan baik dan berkelanjutan. Komunikasi yang posi f, terbuka, dan berkelanjutan bertujuan untuk menghindari kepanikan dan ketakutan, serta dapat saling mendukung.

7. Pendidik dan tenaga pendidikan perlu diberikan pela han terkait dengan modifi kasi pembelajaran yang tetap memper mbangkan protokol kesehatan. Apabila dirasa kurang dan menimbulkan kewalahan, lembaga pendidikan dapat menambah jumlah pendidik dan tenaga pendidikan.

Pembelajaran dari Rumah1. Bagaimana dan mengapa belajar dari

rumahProses belajar dari rumah pada masa pandemi COVID-19 akan dialami oleh seluruh anak di Indonesia. Tujuan dari pelaksanaan belajar dari rumah antara lain: (1)

memas kan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat COVID-19; (2) melindungi satuan pendidikan dari dampak buruk COVID-19; (3) mencegah penyebaran dan penularan COVID-19 di satuan pendidikan; dan, (4) memas kan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik, dan orang tua/wali. Pembelajaran dari rumah dilakukan secara jarak jauh atau sistem daring dengan memanfaatkan teknologi seper handphone maupun komputer. Sayangnya, dak semua anak di Indonesia memiliki akses

dan perangkat untuk mengakses sumber belajar online tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan kondisi ekonomi dari masing-masing keluarga. Meskipun demikian, anak yang memiliki perangkat untuk mengakses sumber belajar juga dak selalu memiliki kepercayaan dan keterampilan untuk menggunakan bahan belajar mandiri dengan bermakna (Haßler dkk., 2020). Mereka tetap membutuhkan dukungan orang tua dalam mendampingi pembelajaran dari rumah. Bahkan, akan lebih bermakna lagi apabila bahan dan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan anak selama di rumah merupakan hasil kolaborasi dari guru dan orang tua.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Direktorat PAUD pada tahun 2020 terhadap 10.601 guru/pendidik PAUD di Indonesia, metode yang digunakan oleh guru selama pembelajaran jarak jauh adalah penugasan melalui orang tua (SMS/Telepon/WA/Aplikasi lain) (35.3%), siaran TVRI (19.9%), penugasan melalui orang tua secara langsung (17.5%), kunjungan ke rumah (14%), dan sisanya adalah dengan daring (Video call/AnggunPAUD/Rumah Belajar/Sahabat Keluarga). Bentuk-bentuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan anak selama di rumah mencakup: menggambar/mewarnai (20.9%), prak k ibadah (14.6%), menonton

Page 7: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

6 7Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

tayangan televisi (13.1%), gerak dan lagu (11.8%), bermain kreasi orang tua (11.7%), mengerjakan LKS (11.4%), bermain dengan APE kreasi (8.2%), bermain dengan APE standar (6.1%), dan edugames (2.3%). Proses penilaian atau asesmen dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: foto kegiatan anak (37.9%), video kegiatan anak (27.1%), teks sms/WA kegiatan anak (23.2%), dan telepon langsung ke guru (10%).

2. Penyelenggaraan belajar dari rumah: kebijakan pemerintahPenyelenggaraan kegiatan belajar dari rumah telah diulas dalam Surat Edaran Sekretaris Jendral Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020. Prinsip-prinsip penyelenggaraan BDR (Belajar dari Rumah) memper mbangkan SE Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020, yang mencakup: (1) keselamatan dan kesehatan lahir ba n peserta didik, pendidik, kepala satuan pendidikan dan seluruh warga satuan pendidikan menjadi per mbangan utama dalam pelaksanaan BDR; (2) kegiatan BDR dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik, tanpa terbebani oleh tuntutan menuntaskan seluruh capaian dari kurikulum; (3) BDR dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup (life skills) diantaranya mengenal pandemi COVID-19; (4) materi pembelajaran bersifat inklusif sesuai dengan usia dan jenjang pendidikan, konteks budaya, karakter, dan jenis kekhususan dari peserta didik; (5) ak vitas dan penugasan selama BDR dapat bervariasi di se ap daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik disesuaikan dengan minat dan kondisi masing-masing, termasuk memper mbangkan kesenjangan akses terhadap fasilitas BDR; (6) hasil belajar peserta didik selama BDR diberi umpan balik yang bersifat kualita f dan berguna dari guru tanpa diharuskan memberi skor atau nilai

kuan ta f; dan, (7) mengedepankan pola interaksi dan komunikasi yang posi f antara guru dengan orang tua/wali.

Belajar dari rumah dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh yang dapat dibagi menjadi dua pendekatan, antara lain: pembelajaran jarak jauh dalam jaringan (daring) dan pembelajaran jarak jauh luar jaringan (luring). Pembelajaran daring merupakan pembelajaran yang menggunakan gawai atau gadget maupun laptop melalui beberapa portal dan aplikasi pembelajaran daring. Media dalam pembelajaran daring mencakup Rumah Belajar, TV Edukasi, dan lain-lain. Pembelajaran luring dilakukan dengan menggunakan televisi, radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, bahan ajar cetak, alat peraga dan media belajar dari benda di lingkungan sekitar.

Menurut Surat Edaran Sekretaris Jendral Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020, panduan pelaksanaan pembelajaran dari rumah adalah sebagai berikut.

Pelaksanaan belajar dari rumah oleh dinas pendidikan

Dinas pendidikan dapat melakukan langkah-langkah berikut selama pandemi COVID-19.a. Membentuk pos pendidikan

Dinas pendidikan dalam masa darurat pandemi COVID-19 dapat membentuk pos pendidikan. Pos pendidikan ini ber-tu gas sebagai sekretariat penangan-an darurat COVID-19 pada bidang pendidikan. Keanggotaannya terdiri atas unsur pemerintah, organisasi kema sya rakatan, lembaga usaha dan media. Dalam melaksanakan tugasnya, pos pendidikan melakukan koordinasi secara daring di daerah dengan gugus penanganan COVID-19 setempat untuk mengoordinasikan penanganan COVID-19.

Dinas kesehatan setempat berperan untuk mengoordinasikan penanganan kesehatan termasuk ada atau daknya peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang terpapar COVID-19 (menjadi ODP, PDP, atau terkonfi rmasi posi f). Badan penanggulangan bencana daerah setempat bertugas untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dinas sosial setempat berfungsi untuk pengupayaan saluran layanan dukungan psikososial di ngkat daerah dan satuan pendidikan,

memas kan keamanan situasi dan kondisi pendidik, tenaga pendidikan, dan peserta didik secara fi sik dan mental, dan pemenuhan kebutuhan pendampingan psikososial bagi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Dinas komunikasi dan informa ka bertanggung jawab untuk mengoordinasikan ketersediaan akses komunikasi dan jaringan telekomunikasi untuk pelaksanaan BDR. Organisasi masyarakat, komunitas, media dan dunia usaha dapat membantu dalam proses penyelenggaraan pendidikan selama masa darurat bencana.

b. Melakukan koordinasi secara daring dengan Kemendikbud melalui Sekreta-riat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Pusat Pengembangan/Balai Pengem-bangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PP/BP-PAUD Dikmas) terkait pelaksanaan kebijakan BDR.

c. Melakukan pendataan di daerah yang mencakup: warga satuan pendidikan terpapar COVID-19 (ODP, PDP, terkonfi rmasi posi f); akses terhadap

internet dan listrik; dan kondisi, kesiapan dan kebutuhan belajar peserta didik selama BDR.

d. Menyusun dan menetapkan kebijakan pendidikan selama pandemi COVID-19 di daerahnya dalam hal: (1) program, kegiatan dan anggaran untuk melaksanakan kebijakan pendidikan selama masa darurat COVID-19; (2) durasi waktu pelaksanaan kebijakan BDR; (3) mekanisme penerimaan peserta didik baru yang mengiku protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran COVID-19, termasuk mencegah berkumpulnya peserta didik dan orangtua secara fi sik di satuan pendidikan; (4) mekanisme pelaksanaan ujian satuan pendidikan, kenaikan ngkat, dan kelulusan peserta didik; dan, (5) pembukaan kembali pembelajaran di satuan pendidikan.

e. Memfasilitasi pembelajaran daring dan/atau luring dengan cara: (1) memaksimalkan media pembelajaran daring yang dimiliki masing-masing daerah; (2) melakukan bimbingan teknis dan pela han untuk guru dan tenaga kependidikan yang membutuhkan pendampingan terkait pembelajaran jarak jauh; (3) mendorong dan memfasilitasi par sipasi masyarakat dalam proses BDR; (4) mekanisme pelaksanaan ujian satuan pendidikan, kenaikan ngkat, dan kelulusan peserta didik; dan, (5) pembukaan kembali pembelajaran.

f. Melakukan penyebaran informasi dan edukasi pencegahan COVID-19 melalui grup media daring, radio, pengumuman keliling, serta menginformasikan perkembangan penanganan darurat COVID-19 bidang pendidikan kepada masyarakat.

Page 8: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

8 9Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

g. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan BDR oleh satuan pendidikan.

h. Melaporkan perkembangan pelaksanaan kebijakan BDR kepada Kemendikbud dan menginformasikan perkembangan BDR kepada masyarakat secara ru n.

Pelaksanaan belajar dari rumah oleh kepala satuan pendidikan

Selama masa darurat COVID-19, kepala satuan pendidikan melakukan langkah-langkah pelaksanaan BDR sebagai berikut.

a. Menetapkan model pengelolaan satuan pendidikan selama BDR dengan cara: bekerja dan mengajar dari rumah bagi guru dan tenaga kependidikan, serta menentukan jadwal piket apabila diperlukan.

b. Memas kan sistem pembelajaran yang terjangkau bagi semua pembelajaran yang terjangkau bagi semua peserta didik termasuk peserta didik penyandang disabilitas.

c. Membuat rencana keberlanjutan pembelajaran.

d. Melakukan pembinaan dan pemantauan kepada guru melalui laporan pembel-ajaran yang dikumpulkan se ap minggu.

e. Melakukan pembinaan dan pemantauan kepada guru melalui laporan pembel-ajaran yang dikumpulkan se ap minggu.

f. Membuat program pengasuhan untuk mendukung orang tua/wali dalam mendampingi peserta didik belajar, minimal satu kali dalam satu minggu. Materi tentang pengasuhan dapat dilihat pada laman h ps://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/

g. Membentuk m siaga darurat untuk penanganan COVID-19 di satuan pendidikan, memberikan pembekalan mengenai tugas dan tanggung jawab kepada m, dan berkoordinasi dengan

dinas pendidikan dan /atau gugus tugas penanganan COVID-19 setempat dan/atau fasilitas kesehatan/rujukan penanganan COVID-19 terdekat.

h. Memberikan laporan secara berkala kepada dinas pendidikan dan/atau pos pendidikan daerah terkait.

Pelaksanaan belajar dari rumah oleh guruGuru memfasilitasi pelaksanaan

pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring, luring, maupun kombinasi keduanya sesuai dengan kondisi dan ketersediaan sarana pembelajaran.

a. Menyiapkan rencana pembelajaran jarak jauhReferensi perencanaan PJJ baik secara daring maupun luring dapat dilihat pada portal Guru Berbagi h ps://guruberbagi.kemdikbud.go.id/. Dalam menyiapkan pembelajaran, guru perlu memas kan beberapa hal berikut: (1) memas kan kompetensi yang ingin dicapai; (2) menentukan metode dan interaksi yang akan dipakai; (3) menentukan jenis media pembelajaran; dan, (4) guru perlu meningkatkan kapasitas dengan mengiku pela han daring.

b. Fasilitasi pembelajaran jarak jauh daringWaktu pembelajaran daring sepanjang hari menyesuaikan ketersediaan waktu, kondisi, dan kesepakatan peserta didik dan orang tua/walinya. Adapun langkah-langkah PJJ yang dilakukan oleh pendidik antara lain: kegiatan pra pembelajaran, saat pembelajaran (tatap muka virtual atau LMS), dan usai pembelajaran.

c. Fasilitasi pembelajaran jarak jauh luringProses Pembelajaran luring dapat dilaksanakan dengan: (a) menggunakan media buku, modul dan bahan ajar dari lingkungan sekitar; (b) menggunakan media televisi; dan, (c) menggunakan

radio. Adapun langkah-langkah PJJ luring yang dilakukan oleh pendidik antara lain: kegiatan pra pembelajaran, saat pembelajaran, dan usai pembelajaran.

Fokus PembelajaranLiteratur dan studi empiris terpercaya dari

berbagai sumber dan negara menunjukkan bawa, dengan atau tanpa adanya COVID-19, fokus pembelajaran anak usia dini tetap berada pada penanaman nilai-nilai karakter. Terlepas dari ada dan adanya COVID-19, penggunaan teknologi dalam pembelajaran pun dak dapat dihindari, karena masyarakat Indonesia dan dunia telah memasuki era teknologi. Kedua fokus pembelajaran anak usia dini ini dibahas secara anali k deskrip f di bawah ini.

1. Penanaman nilai-nilai karakter pada anak usia diniTelah kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan pembelajaran pada satuan PAUD tetap diselenggarakan dari rumah dengan melibatkan sinergi antara guru dan orang tua. Meskipun demikian, dimanapun dan bagaimanapun pembelajaran anak usia dini diselenggarakan, fokus s mulasi pembelajaran adalah pada penanaman nilai-nilai karakter anak. Karakter merupakan atribut kepribadian yang melekat pada individu. Pendidikan karakter sejak usia dini menjadi pen ng sebab pada karakter masa usia dini menjadi penentu karakternya pada kehidupan di masyarakat. Interaksi antara anak dengan teman sebaya, keluarga, guru, dan orang dewasa lainnya membantu anak dalam memahami norma sosial dan aturan kelompok yang akan bermanfaat bagi perkembangan anak (Benavides-Nieto dkk., 2017.

Pada hakikatnya, karakter merupakan bagian dari potensi yang dimiliki oleh anak (Kamaruddin, 2012). Karakter yang diajarkan kepada anak usia dini dak hanya berkaitan

dengan nilai-nilai moral, melainkan juga mencakup kinerja. Moral berkaitan dengan benar atau salah berdasarkan norma sosial yang dipengaruhi oleh kultur budaya setempat. Contoh cakupan moral dapat berupa empa , kejujuran, menghargai, keberanian (Betawi, 2020). Kinerja berkaitan dengan bagaimana membentuk manusia yang berkarakter secara kogni f dan kompeten yang mencakup berpikir krea f, berpikir kri s, berkolaborasi, berkomunikasi, dan juga menguasai teknologi. Pada konteks keragaman budaya Indonesia, maka pendidikan karakter juga mencakup penanaman nilai-nilai budaya lokal seper gotong royong, toleransi, musyawarah, dan juga nilai-nilai religius (Tomlinson & Andina, 2015).

Keberhasilan pendidikan karakter pada anak usia dini memerlukan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan satuan PAUD. Sinergi ini pen ng dilakukan untuk menyelaraskan antara pengasuhan di rumah, pendidikan di lembaga pendidikan, dan perlakuan masyarakat terhadap karakter anak. Orang tua menjadi pemegang peran utama dalam penanaman nilai-nilai karakter pada anak usia dini selama pandemi COVID-19 di rumah. Tahapan atau langkah-langkah penanaman nilai-nilai karakter pada anak dak dapat dilakukan secara cepat dan

instan, dan oleh sebab itu, perlu ada proses yang berkelanjutan. Yang utama dan pertama adalah orang tua perlu menjadi teladan atau fi gur baik anak dalam melakukan segala ak vitas. Setelah orang tua berkomitmen untuk menjadi contoh bagi anak, maka orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai karakter, dan kemudian anak dibiasakan untuk melakukannya secara berulang sampai hasil dan prosesnya konsisten. Apabila sudah konsisten, maka nilai-nilai yang diajarkan akan menjadi sebuah kebiasaan anak dan

Page 9: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

10 11Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

otoma s juga akan menjadi karakter dari anak usia dini.

Selain menjadi teladan dalam penanaman nilai-nilai karakter pada anak usia dini, orang tua di rumah juga perlu menerapkan pengasuhan yang posi f. Secara kultural, secara umum orang tua di Indonesia memiliki sikap yang hangat, bersahabat, dan ikhlas (Tomlinson & Andina, 2015). Hal ini menjadi karakter khususnya dalam hubungan antara orang tua dan anak yang tentunya dapat mendukung kesuksesan, karakter, dan kesejahteraan anak. Peran orang tua dalam pengasuhan yang posi f adalah dengan memberikan kasih sayang, membangun hubungan dan komunikasi yang hangat, saling menghargai, serta saling membangun. Orang tua dak sepantasnya memberikan hukuman fi sik kepada anak sekali pun untuk tujuan mendisiplinkan. Selanjutnya, orang tua perlu menggunakan pendekatan yang mengedepankan pemenuhan dan memper mbangkan hak serta kepen ngan anak. Orang tua juga memas kan menyiapkan lingkungan sosial yang ramah untuk anak.

Selain nilai-nilai moral yang telah disebutkan sebelumnya, pendidikan karakter juga mencakup karakter kogni f dan kompeten. Kondisi pandemi COVID-19 secara dak langsung juga turut menuntut adanya kemampuan dan kompetensi baru yang dikuasai oleh anak. Kompetensi digital sebagai konsekuensi logis dari adanya pandemi COVID-19 perlu diajarkan kepada anak usia dini. Pembelajaran daring dengan melibatkan smartphone, laptop, dan internet kini menjadi metode pembelajaran di masa pandemi. Tidak hanya persoalan bagaimana menggunakan dan mengoperasikan teknologi untuk menunjang school from home, akan tetapi juga berkaitan dengan

bagaimana anak menggunakan teknologi tersebut secara bijak. Oleh sebab itu, baik kompetensi maupun literasi di bidang digital perlu diajarkan kepada anak usia dini di masa pandemi COVID-19.

2. Pembelajaran daringDari waktu ke waktu, perkembangan teknologi informasi begitu cepat. Perkembangan ini dapat menjadi tantangan sekaligus peluang di dunia pendidikan. Berdasarkan data dari BPS (2018), sejak tahun 2014 sampai dengan 2018, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat menjadi 39.90%, sedangkan jumlah rumah tangga yang mengakses internet juga mengalami peningkatan pesat sampai dengan 62.22% dari yang sebelumnya 35.65%. Namun demikian, peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia masih bisa dikatakan belum merata. Hal tersebut tampak dari data sta s k BPS (2018) yang menunjukkan bahwa semakin mur wilayah Indonesia, maka semakin kecil

akses terhadap Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK).

Pada konteks pandemi COVID-19, khususnya pada jenjang PAUD, pemanfaatan teknologi digital sangat diperlukan untuk mendukung keberlangsungan belajar dari rumah. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa penggunaan teknologi digital pada jenjang PAUD memperlihatkan dampak posi f pada proses belajar anak. Peneli an menunjukkan bahwa pembelajaran daring telah terbuk mempercepat arus pemerolehan informasi dan memperpendek waktu pembelajaran (Zeglen & Rosendale, 2018). Teknologi digital yang familiar digunakan anak usia dini adalah komputer, handphone, video game, dan sejenisnya. Sumber-sumber teknologi digital menjadi suatu hal yang dekat dengan anak, karena tersedia di rumah dan lingkungan informal (Nikolopoulou & Gialamas, 2016).

Teknologi digital akan mendukung pembelajaran secara op mal apabila diintegrasikan dengan sistem pembelajaran yang baik (kurikulum, pedagogi, dan pengembangan profesi pendidik), dan ke ka dijadikan penambah daripada penggan pendidik (Stringer dkk., 2019). Teknologi digital dapat menjadi pendukung dan alat untuk mempermudah pembelajaran. Proses pengintegrasian teknologi digital pada sistem pembelajaran anak usia dini memerlukan peran guru secara fl eksibel (Lindahl & Folkesson, 2012). Oleh sebab itu, diperlukan sejenis pela han pengembangan profesi untuk meningkatkan keterampilan dan kesiapan guru dalam menggunakan teknologi digital pada pembelajaran anak usia dini. Sebagai contoh, sebagian besar guru PAUD di Swedia masih memiliki kesadaran yang rendah terhadap aplikasi atau fi tur-fi tur dalam tablet yang dapat dimanfaatkan dalam tujuan pembelajaran (Marklund, 2015). Aplikasi, fi tur, maupun so ware sendiri berbeda pada kecocokan pengguna, fi tur yang ditawarkan, dan kemampuannya.

Salah satu bentuk teknologi digital adalah internet, di mana di dalamnya terdapat aplikasi seper media sosial. Media sosial merupakan aplikasi internet yang memperbolehkan pengguna untuk berinteraksi dan menampilkan diri, tanpa terbatas ruang dan waktu. Pada dunia pendidikan, media sosial dapat dimanfaatkan untuk mendukung guru PAUD secara dak langsung (Beemt dkk., 2019). Sebagai contoh, seorang pemimpin lembaga PAUD menggunakan twi er untuk mengatur sebuah komunitas dan untuk mengkomunikasikan sebuah kebijakan. Contoh lain, kepala PAUD juga dapat menggunakan facebook untuk mendukung guru-guru dalam menerapkan

pendekatan pembelajaran yang baru. Pihak lembaga PAUD juga dapat memanfaatkan sosial media untuk membagikan informasi tentang gambaran lembaga serta seputar visi dan misi lembaga kepada orang lain.

Teknologi digital sendiri sebenarnya dak akan pernah mampu dalam menggan kan peran guru (Edwards & Cheok, 2018). Hal ini dikarenakan ada aspek afek f (perasaan) dari manusia dalam pembelajaran yang belum dapat digan kan oleh mesin maupun robot. Teknologi digital sebenarnya menjadi penambah atau pendukung dalam s mulasi pembelajaran anak usia dini, baik di lingkungan lembaga pendidikan maupun di lingkungan tempat nggal/rumah. Plowman dkk. (2010) membagi ga aspek perkembangan yang dapat didukung oleh teknologi ke ka di lembaga pendidikan. Pertama, aspek bahasa dan pengetahuan tentang kehidupan. Pada aspek ini, guru dapat memanfaatkan so ware, website, maupun buku yang memiliki audio. Hasil peneli an Rogowsky dkk., (2017) menyebutkan bahwa paket so ware tertentu dapat memiliki pengaruh posi f terhadap kemampuan literasi dan numerasi anak usia dini. Kedua, aspek kogni f dan matema ka. Pada aspek ini, guru dapat melibatkan fungsi benda dan kemampuan motorik seper menggunakan mouse dan tombol on/off ke ka anak mulai mengoperasikannya. Ke ga, aspek afek f dan sosial. Pada aspek ini, penggunakan teknologi digital dirasa mampu meningkatkan harga diri, kemandirian, dan kepercayaan diri anak dalam menggunakan teknologi. Menurut Slutsky dkk. (2019), anak usia dini dapat mengakses beragam teknologi di kelas seper iPad atau tablet, komputer, radio/CD/DVD player, digital/interac ve boards, kamera digital, dan televisi.

Page 10: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

12 13Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Pada konteks penggunaan teknologi digital di rumah, peneli an Plowman dkk. (2010) menunjukkan bahwa hampir semua keluarga dengan anak usia dini dari berbagai latar belakang sosial ekonomi memiliki akses terhadap teknologi, meskipun dak semua memiliki akses internet. Ke ka di rumah, anak akan memanfaatkan teknologi untuk mengobrol lewat handphone, menggunakan kamera dan mencetak hasil foto, melihat video, dan terkadang digunakan sebagai proper dalam bermain imajina f anak. Penggunaan teknologi di rumah biasanya bersifat spontan dan dak direncanakan oleh orang tua.

Di masa pandemi COVID-19, intensitas anak dalam menggunakan teknologi digital dapat dikatakan bertambah, dak seper pada kondisi normal biasa yang umumnya berlangsung sekitar 2,5 jam ap minggu (Slutsky dkk., 2019). Pada konteks PAUD, masih sedikit guru yang mengiku pela han dan masih sedikit pula yang meyakini kebermanfaatan teknologi dalam pembelajaran (Xie dkk., 2019). Dampaknya, guru masih jarang dan cenderung dak konsisten dalam melibatkan teknologi dalam pembelajaran. Oleh sebab itu, persepsi dan sikap guru terhadap teknologi menjadi pen ng dalam menentukan keterlibatan teknologi pada pembelajaran. Persepsi dan sikap guru tersebut juga dak jauh dipengaruhi oleh kualifi kasi

serta kompetensi yang dimiliki oleh guru PAUD. Pada kenyataannya, kualifi kasi dan kompetensi guru PAUD di Indonesia sendiri dapat dikatakan belum mumpuni. Pada tahun 2015, data menunjukkan kualifi kasi akademik pendidik PAUD di Indonesia sebagai berikut. Dari 598.887 pendidik PAUD, 97.25% diantaranya berjenis kelamin perempuan, sedangkan 2.75% berjenis kelamin laki-laki. Kualifi kasi pendidikan

pendidik PAUD paling banyak didominasi oleh lulusan SMA sebesar 48.69%, kemudian D4/S1 sebanyak 33.16%, Diploma sebanyak 12.68%, SMP sebanyak 4.81%, serta S2/S3 sebanyak 0.66% (Kemendikbud, 2015). Sebagian besar pendidik PAUD didominasi oleh kaum perempuan. Padahal, berdasarkan peneli an yang dilakukan oleh UNICEF (2017), banyak penduduk usia dewasa di Indonesia, terutama dengan jenis kelamin perempuan, merasa kurang memiliki kecakapan digital yang baik dan mumpuni. Oleh sebab itu, perlu solusi berupa pela han daring maupun webinar untuk peningkatan keterampilan dan literasi digital pendidik PAUD.

Peran Orang Tua dan Pendidik PAUDPembelajaran dari rumah (BDR) dak akan

berjalan secara op mal tanpa adanya sinergitas dan kolaborasi antara orang tua dan lembaga PAUD. Secara singkat, peran orang tua dan lembaga PAUD dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Peran orang tuaDalam pelaksanaan BDR pada jenjang PAUD, orang tua maupun wali dari anak usia dini memiliki peran pen ng sebagai penentu keberhasilan pembelajaran. Menurut Surat Edaran Sekjen Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020, orang tua dapat melakukan hal-hal sebagai berikut.

a. Pendampingan pembelajaran daring. Waktu pembelajaran sesuai dengan kesepakatan dengan guru dan peserta didik. Adapun langkah pendampingan belajar daring antara lain:1) Pra pembelajaran. Pada tahap ini,

orang tua harus memiliki nomor telepon guru dan bergabung dalam grup komunikasi lembaga. Kemudian orang tua juga mendiskusikan rencana

pembelajaran yang inklusif bersama dengan guru sesuai kondisi anak. Selanjutnya, orang tua menyiapkan perangkat untuk pembelajaran daring serta memas kan anak untuk siap mengiku pembelajaran daring.

2) Saat pembelajaran. Pada tahap ini, peran orang tua adalah mendampingi dan memantau proses pembelajaran daring serta mendorong anak untuk ak f selama proses pembelajaran. Selain itu, orang tua juga membantu secara teknis dalam mengoperasikan perangkat selama pembelajaran daring.

3) Usai pembelajaran. Pada tahap ini, orang tua mengumpulkan dokumentasi (dapat berupa foto, video, atau hasil kerja anak). Kemudian orang tua juga memberikan hasil tersebut kepada pihak lembaga PAUD, dan perlu menyampaikan kendala dan hambatan yang dialami anak selama pembelajaran daring.

b. Pendampingan pembelajaran luring menggunakan buku, modul, media pembelajaran maupun alat permainan eduka f anak usia dini. Langkah-langkah pendampingan belajar luring antara lain:1) Pra pembelajaran. Pada tahap ini,

orang tua perlu berkoordinasi dengan pihak pendidik untuk mendiskusikan rencana pembelajaran. Kemudian orang tua mengambil bahan ajar ke lembaga PAUD sesuai waktu yang telah ditentukan. Orang tua lalu menyiapkan waktu di rumah untuk belajar mandiri serta memas kan tempat belajar nyaman dan bersih.

2) Saat pembelajaran. Pada tahapan ini, orang tua membantu dan mendampingi proses belajar luring sesuai dengan jadwal kegiatan dan

penugasan yang telah diberikan. Tidak lupa, orang tua juga membimbing anak untuk berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran.

3) Usai pembelajaran. Pada tahapan ini orang tua memas kan anak mengisi dan mengerjakan penugasan baik secara tertulis, maupun dalam bentuk hasil karya. Hasil pengerjaan penugasan maupun hasil karya kemudian dikumpulkan se ap akhir minggu sekaligus mengambil jadwal dan penugasan minggu berikutnya. Orang tua juga secara ak f berdiskusi dengan guru terkait tantangan dan kendala yang dihadapi selama proses pembelajaran luring.

Di samping berperan dalam mendukung pembelajaran dari rumah, orang tua juga memiliki peranan pen ng untuk mendukung aspek psikososial anak selama pandemi COVID-19. Hal ini menjadi pen ng karena selama pandemi COVID-19, anak usia dini akan mengalami stres secara psikologis dalam bentuk perasaan sedih, kecewa, bosan, dan kesepian yang berbeda dari kondisi biasanya. Menurut UNICEF (2020) ada beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk mendukung kondisi psikososialnya sebagai berikut.

a. Orang tua perlu memberikan kesempatan anak untuk mence ritakan apa yang dia rasakan. Orang tua perlu mendengarkan apa yang diceritakan anak secara tulus dan hangat.

b. Orang tua perlu menggunakan berbagai metode untuk menenangkan dan membuat nyaman anak, misalnya dengan membacakan cerita, bernyanyi, bermain bersama. Pujian juga perlu diberikan kepada anak ke ka anak menampilkan kekuatan dan kemajuan.

Page 11: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

14 15Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

c. Orang tua juga perlu meyakinkan anak bah wa orang tua akan menjaga anak te tap aman serta senan asa memberikan infor-masi yang benar (bukan informasi bohong) sesuai dengan tahapan berpikirnya.

2. Peran pendidik PAUDPenutupan lembaga pendidikan selama pandemi COVID-19 secara ba- ba menyebabkan banyak guru di berbagai negara merasakan ke dakpas an tentang perannya, ke dakmampuan dalam menggunakan teknologi untuk berkomunikasi dan mengajar, serta ke dakmampuan dalam menyiapkan kelas ke ka lembaga pendidikan dibuka kembali (Beteille dkk., 2020). Baik guru maupun pendidik lainnya mengalami transisi perubahan melalui waktu yang dak pas dalam hal kehidupan profesional dan tanggung jawab (Allen dkk., 2020). Peran guru dak hanya memindahkan konten dan materi

pengajaran ke ruang online, tetapi perlu kemahiran dalam menggunakan perangkat lunak maupun aplikasi pembelajaran. Peran guru dalam memfasilitasi pembelajaran dari rumah baik secara daring maupun luring yang disesuaikan dengan kondisi dan ketersediaan dari sarana prasarana pembelajaran. Variasi metode pembelajaran, fl eksibilitas waktu dan tempat akan membantu keberhasilan dari pembelajaran dari rumah (Daniel, 2020).

Perluasan pembelajaran daring akan berlangsung secara cepat, kemudian lembaga pendidikan akan mengatur sistem pembelajaran menjadi lebih sistema s agar tujuan pembelajaran berbasis teknologi ini menjadi op mal. Menurut Surat Edaran Sekjen Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020, terdapat beberapa peranan guru selama pembelajaran dari rumah.

a. Guru menyiapkan rencana pembelajaran jarak jauh. Dalam proses persiapan terse-but, guru perlu memas kan beberapa hal

di antaranya: (a) memas kan kompetensi pembelajaran yang ingin dicapai (guru dilarang memaksakan penuntasan kurikulum dan lebih difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup); (b) menentukan interaksi dan metode yang akan digunakan dalam pembelajaran (luring, daring atau kombinasi keduanya); (c) menentukan jenis media pembelajaran (format teks, audio/visual, simulasi, mul media, alat peraga, dan sebagainya); dan, (d) guru perlu meningkatkan kapasitasnya dengan mengiku pela han daring maupun webinar yang mendukung keterampilan penyelenggaraan BDR.

b. Guru memfasilitasi pembelajaran jarak jauh secara daring. Waktu pelaksanaan pembelajaran daring disesuaikan dengan ketersediaan waktu, kondisi, dan kesepakatan antara anak usia dini dengan orang tuanya. Adapun proses pembelajaran daring terdiri atas tatap muka secara virtual dan melalui LMS (Learning Management System) melalui aplikasi tertentu. Pada pembelajaran daring, guru PAUD perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut.1) Pra pembelajaran

Guru perlu menyiapkan nomor telepon orang tua dan perlu membuat grup WhatsApp (atau aplikasi lainnya) sebagai media komunikasi dan interaksi. Guru juga perlu mendiskusikan dengan orang tua terkait hal-hal seper : ketersediaan gawai/laptop/komputer, aplikasi media pembelajaran daring yang akan digunakan, cara penggunaan aplikasi daring, serta materi dan jadwal pembelajaran daring. Guru kemudian membuat RPPH (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian) yang sesuai dengan kondisi dan akses

pembelajaran daring. Guru juga perlu memas kan orang tua mendukung proses pembelajaran daring.

2) Saat pembelajaranApabila guru menggunakan model tatap muka virtual, maka langkah-langkahnya: (1) memeriksa kehadiran anak dan memas kan anak siap mengiku pembelajaran; (2) menga-jak anak berdoa sebelum dan sesu-dah kegiatan; (3) menyampaikan materi sesuai dengan metode dan tema yang digunakan; dan, (4) memberikan kesempatan anak untuk bertanya, mengemukakan pendapat, serta melakukan refl eksi. Apabila guru menggunakan model LMS, maka langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut: (1) komunikasi dengan orang tua tentang penugasan belajar; (2) komunikasi dengan orang tua memas kan anak siap mengiku pembelajaran dan mengakses LMS; (3) memantau ak vitas anak dalam LMS; dan, (4) membuka layanan konsultasi bagi anak yang mengalami kesulitan.

3) Usai Pembelajaran Guru memas kan anak mengisi lembar ak vitas sebagai bahan pemantauan belajar harian. Kemudian guru mengingatkan orang tua untuk mengumpulkan foto kegiatan pembelajaran maupun ak vitas dan lembar penugasan. Guru juga perlu memberikan umpan balik terhadap hasil karya/tugas anak maupun lembar refl eksi pengalaman belajar anak.

c. Guru memfasilitasi pembelajaran jarak jauh secara luring. Pelaksanaan pembelajaran luring dengan:1) Menggunakan media buku, modul,

dan bahan ajar dari lingkungan

sekitar. Waktu pembelajaran dan pengumpulan hasil belajar disepaka dengan anak atau orang tua serta menyesuaikan kondisi.a) Pra Pembelajaran

Guru perlu menyiapkan RPP, bahan ajar, jadwal dan penugasan kemudian mengirimkannya ke orang tua. Guru perlu memas kan bahwa semua anak telah mendapatkan lembar jadwal dan penugasan. Jadwal pembelajaran dan penugasan belajar diambil oleh orangtua sekali dalam seminggu di akhir minggu atau dapat disampaikan melalui media komunikasi. Guru dan orang tua yang bertemu untuk menyerahkan jadwal dan penugasan diwajibkan menaa prosedur pencegahan COVID-19.

b) Saat Pembelajaran.Pembelajaran luring dibantu oleh orang tua sesuai dengan jadwal dan penugasan yang telah diberikan sebelumnya. Guru juga dapat melakukan kunjungan ke rumah anak untuk melakukan pengecekan dan pendampingan belajar dengan tetap menaa protokol kesehatan pencegahan COVID-19. Orang tua memandu anak untuk berdoa bersama sebelum dan sesudah belajar.

c) Usai PembelajaranSe ap anak dibantu orang tua mengisi lembar ak vitas. Orang tua memberikan tandatangan pada se ap sesi belajar yang telah tuntas di lembar pemantauan harian. Penugasan diberikan sesuai dengan jadwal. Muatan penugasan

Page 12: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

16 17Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

mencakup pendidikan kecakapan hidup berkaitan dengan pandemi COVID-19. Hasil penugasan juga dikumpulkan se ap akhir minggu sekaligus mengambil jadwal dan penugasan untuk minggu berikutnya yang dapat dikirim melalui alat komunikasi.

2) Menggunakan televisi dan radio. Waktu pembelajaran dan penger jaan tugas disesuaikan dengan jadwal tayang/siaran dan waktu pengum pulan tugas se ap akhir minggu atau disesuaikan dengan kondisi anak serta ketersediaan waktu anak dan orang tua.a) Pra Pembelajaran

Guru mendapatkan informasi meng e nai jadwal pembelajaran me lalui televisi maupun radio. Guru menyosialisasikan jadwal pembe-lajaran kepada orang tua dan anak.

b) Saat PembelajaranGuru ikut menyaksikan pembel-ajar an di televisi maupun radio. Guru kemudian mencatat perta-nyaan/penugasan yang diberikan di akhir pembelajaran. Guru membuat tugas tambahan infor-masi berdasarkan pembelajaran televisi atau radio. Guru juga membimbing dan mengingatkan anak berdoa sebelum dan sesudah belajar.

c) Usai PembelajaranGuru memberikan umpan balik terhadap tugas yang telah dikerjakan anak. Kemudian mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan. Penilaian yang dilakukan tetap memper mbangkan kompetensi yang ingin dicapai.

Tentang penulis

Muhammad Hasbi adalah Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Daftar Pustaka

Allen, J., Rowan, L., & Singh, P. (2020). Teaching and teacher education in the time of COVID-19. Asia-Pacifi c Journal of Teacher Education, 48(3), 233–236. https://doi.org/10.1080/1359866X.2020.1752051

Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Telekomunikasi Indonesia. BPS: Jakarta.

Beemt, A. Van Den, Thurlings, M., & Willems, M. (2019). Towards an understanding of social media use in the classroom : a literature review. Technology, Pedagogy and Education, 0(0), 1–21. https://doi.org/10.1080/1475939X.2019.1695657

Benavides-Nieto, A., Romero-López, M., Quesada-Conde, A. B., & Corredor, G. A. (2017). Basic Executive Functions in Early Childhood Education and their Relationship with Social Competence. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 237, 471–478. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2017.02.092

Betawi, A. (2020). Calling for character education: promoting moral integrity in early childhood education in Jordan. Early Child Development and Care, (5), 738–749. https://doi.org/10.1080/03004430.2018.1489383

Beteille, T., Ding, E., Molina, E., Pushparatnam, A., & Wilichowski, T. (2020). Three principles to support teacher eff ectiveness during covid-19, (May), 1–8.

Carvalho, S., Rossiter, J., Angrist, N., Hares, S., & Silverman, R. (2020). Planning for School Reopening and Recovery After COVID-19: An Evidence Kit for Policymakers. Washington DC: Center for Global Development.

Daniel, S. J. (2020). Education and the COVID-19 pandemic. Prospects. https://doi.org/10.1007/s11125-020-09464-3

Djalante, R., Lassa, J., Setiamarga, D., Sudjatma, A., Indrawan, M., Haryanto, B., … Warsilah, H. (2020). Review and analysis of current responses to COVID-19 in Indonesia: Period of January to March 2020. Progress in Disaster Science. https://doi.org/10.1016/j.pdisas.2020.100091

Edwards, B. I., & Cheok, A. D. (2018). Why Not Robot Teachers : Artifi cial Intelligence for Addressing Teacher Shortage Why Not Robot Teachers :

Artifi cial Intelligence for Addressing Teacher Shortage. Applied Artifi cial Intelligence, 0(0), 1–16. https://doi.org/10.1080/08839514.2018.1464286

Ghosh, R., Dubey, M. J., Chatterjee, S., & Dubey, S. (2020). Impact of COVID-19 on children: Special focus on psychosocial aspect. MInerva Pediatrica. https://doi.org/10.23736/S0026-4946.20.05887-9

Haßler, B., Khalayleh, A., & Mcburnie, C. (2020). A fi ve-part education response to the COVID-19 pandemic. EdTech Hub Helpdesk Response. https://doi.org/10.5281/zenodo.3756012

Kamaruddin, S. (2012). Character Education and Students Social Behavior. Journal of Education and Learning (EduLearn), 6(4), 223. https://doi.org/10.11591/edulearn.v6i4.166

Kemendikbud. (2020). Surat Edaran Sekjen Kemendikbud Nomor 15 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19). Jakarta: Kemendikbud.

Kemendikbud. (2015). Data Kualifi kasi Akademik Pendidik PAUD. Jakarta: Kemendikbud.

Kliger, A. S., & Silberzweig, J. (2020). Mitigating Risk of COVID-19 in Dialysis Facilities. The American Society of Nephrology, 707–709.

Lindahl, M. G., & Folkesson, A. (2012). ICT in preschool: friend or foe?The signifi cance of norms in a changing practice. International Journal of Early Years Education, 20(4), 422–436. https://doi.org/10.1080/09669760.2012.743876

Marklund, L. (2015). Preschool teachers ’ informal online professional development in relation to educational use of tablets in Swedish preschools. Professional Development in Education, 41(2), 236–253.

Munro, A. P. S., & Faust, S. N. (2020). Children are not COVID-19 super spreaders: Time to go back to school. Arch Dis Child, 618–619. https://doi.org/10.1101/2

Nikolopoulou, K., & Gialamas, V. (2016). ICT and play in preschool : early childhood teachers ’ beliefs and confi dence. International Journal of Early Years Education, 23(4), 409–425. https://doi.org/10.1080/09669760.2015.1078727

Page 13: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

2 Tinjauan Literatur Mengenai Peran Laki-Laki dalam Pendidikan Anak Usia Dinidan Implikasinya di Indonesia

Merysa

University of Bristol, United Kingdom

Ayah dan ‘Bapak Guru’:

18 19Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Plowman, L., Stephen, C., & Mcpake, J. (2010). Supporting young children’s learning with technology at home and in preschool. Research Papers in Education, 25(1), 93–113. https://doi.org/10.1080/02671520802584061

Research, N. I. for E. E. (2015). The State of Preschool 2014. New Jersey: (NIEER), National Institute for Early Education Research.

Rogowsky, B. A., Terwilliger, C. C., Young, C. A., Kribbs, E. E., Rogowsky, B. A., Terwilliger, C. C., … Elizabeth, E. (2017). Playful learning with technology : the eff ect of computer-assisted instruction on literacy and numeracy skills of preschoolers. International Journal of Play, 1–21. https://doi.org/10.1080/21594937.2017.1348324

Skills, D. of E. and. (2020). Planning for reopening schools in line with the Roadmap for reopening society and business. Irlandia.

Slutsky, R., Kragh-müller, G., Rentzou, K., Tuul, M., Guven, G., Foerch, D., … Tuul, M. (2019). A cross-cultural study on technology use in preschool classrooms : early childhood teacher ’ s preferences , time-use , impact and association with children ’ s play. Early Child Development and Care. https://doi.org/10.1080/03004430.2019.1645135

Stringer, E., Lewin, C., & Coleman, R. (2019). Using digital technology to improve learning: Guidance report. London: Education Endowment Foundation.

Tomlinson, H. B., & Andina, S. (2015). Parenting Education in Indonesia. Washington DC: The World Bank.

UNICEF. (2020a). CoVID-19 dan Anak-Anak di Indonesia: Agenda Tindakan untuk Mengatasi Tantangan Sosial Ekonomi. Jakarta: Unicef Indonesia. Retrieved from www.unicef.org

UNICEF. (2020b). Guidance for Re-Opening of Preschools and Kindergartens post- COVID19, (March).

UNICEF. (2020c). Psychosocial Support for Children

during COVID-19: A Manual for Parents and Caregivers. India: UNICEF India.

UNICEF. (2017). Skills for the Future. Jakarta: UNICEF Indonesia.

Viner, R. M., Russell, S. J., Croker, H., Packer, J., Ward, J., Stansfi eld, C., … Booy, R. (2020). Review School closure and management practices during coronavirus outbreaks including COVID-19 : a rapid systematic review. The Lancet Child and Adolescent Health, 1–8. https://doi.org/10.1016/S2352-4642(20)30095-X

Wang, G., Zhang, Y., Zhao, J., Zhang, J., & Jiang, F. (2020). Correspondence Mitigate the eff ects of home confi nement on children during the. The Lancet, 6736(20), 19–20. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30547-X

Xie, K., Vongkulluksn, V. W., Justice, L. M., Logan, J. A. R., Xie, K., Vongkulluksn, V. W., … Logan, J. A. R. (2019). Technology acceptance in context : preschool teachers ’ integration of a technology-based early language and literacy curriculum. Journal of Early Childhood Teacher Education, 40(3), 275–295. https://doi.org/10.1080/10901027.2019.1572678

Zeglen, E., & Rosendale, J. A. (2018). Increasing online information retention: Analysing the eff ects of visual hints and feedback in educational games. Journal of Open, Flexible and Distance Learning, 22(1), 22–33.

Abstrak

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada umumnya selalu iden k dengan dominasi kaum perempuan. Tidak sedikit yang meyakini bahwa laki-laki -ayah atau guru laki-laki

- dak lebih pen ng atau bahkan dak mampu untuk merawat apalagi mendukung pembelajaran anak. Namun, seiring bergesernya paham tentang tatanan gender secara tradisional dan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, semakin banyak yang menyerukan pen ngnya peran laki-laki di bidang PAUD yang tanpa disadari telah menjadi domain perempuan. Ar kel ini bertujuan untuk menelusuri dan menelaah literatur mengenai peran laki-laki dalam perkembangan, pembelajaran, dan pendidikan anak usia dini, di berbagai negara. Peran laki-laki secara khusus akan dilihat dari sudut pandang laki-laki sebagai ayah, dan laki-laki sebagai ‘Bapak guru’. Selanjutnya, topik ini juga dibahas dalam konteks Indonesia dan rekomendasi untuk meningkatkan par sipasi laki-laki di lingkungan PAUD.

Kata kunci: peran ayah; PAUD; guru laki-laki; kesetaraan gender

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini18

Page 14: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

20 21Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Latar BelakangApa yang terlintas dibenak Anda ke ka

membayangkan kegiatan belajar-mengajar di sebuah Taman Kanak-kanak (TK) atau lembaga PAUD yang ada di sekitar Anda? Mungkin sebagian dari kita akan membayangkan anak-anak usia dini yang sedang belajar sambil bermain dengan seorang guru atau pengajar -yang kebanyakan adalah kaum perempuan; dan orang tua – yang kebanyakan adalah para ibu – yang sedang mendiskusikan perkembangan belajar anak mereka. Namun, mungkin banyak dari kita yang merasa aneh jika kegiatan di atas dilakukan oleh seorang guru laki-laki atau ‘ayah’ di satuan PAUD. Mengapa?

Di hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia, terdapat pola pikir bahwa hal yang berkaitan dengan mengasuh, merawat dan mendidik anak usia dini merupakan keahlian kaum perempuan atau ibu. Stereo p ini membuat masyarakat berpikir bahwa laki-laki dak memiliki kecakapan dalam hal memahami pola perilaku anak-anak. Akibatnya, peran laki-laki sebagai ayah ataupun tenaga pendidik dianggap memiliki porsi yang minim dalam proses mendukung perkembangan anak. Ungkapan bahwa PAUD adalah domain perempuan menjadi benar adanya.

Dominasi kaum perempuan di bidang pendidikan, terutama untuk anak usia dini (PAUD) berakibat minimnya representasi kaum laki-laki dalam jumlah pendidik dan tenaga kependidikan PAUD. Meskipun dak pernah ada peraturan tertulis mengenai pembatasan ruang bagi kaum laki-laki untuk berkarir di bidang PAUD sekalipun, masih banyak yang menganggap bahwa seorang pendidik bagi anak usia dini atau seorang tenaga kependidikan di TK, Kelompok Bermain (KB) atau Taman Peni pan Anak (TPA) hanya cocok dilakoni oleh kaum perempuan, mengingat stereo p

dan penilaian masyarakat mengenai peran dan tanggung jawab perempuan. Meskipun kesadaran masyarakat, terutama di negara-negara Eropa mengenai pen ngnya kesetaraan gender di lingkungan kerja mulai meningkat; dan didukung dengan berbagai peneli an yang mulai menyerukan bahwa par sipasi laki-laki sama pen ngnya dengan perempuan dalam mendukung tumbuh kembang anak. Namun demikian, masih kuatnya pemahaman masyarakat akan tugas dan tanggung jawab kaum perempuan dan laki-laki tampaknya membuat usaha meningkatkan par sipasi kaum laki-laki dalam bidang pendidikan anak dak dapat berjalan semulus yang diharapkan.

Dalam ar kel ini, penulis secara kri s menelaah literatur mengenai peran laki-laki, khususnya ayah dan pendidik dalam perkembangan dan pendidikan anak usia dini. Dari sudut pandang sebagai ayah, mitos dan fakta mengenai peran pen ng ayah dalam merawat anak dibahas secara mendalam. Dari sisi pendidik atau guru laki-laki, ar kel ini membahas upaya yang dilakukan berbagai negara dalam mendukung lebih banyak laki-laki bergabung di bidang PAUD, dan bagaimana pengalaman serta hambatan yang dialami ‘Bapak Guru’ di satuan PAUD. Kajian literatur ini selanjutnya dijadikan landasan dalam pembahasan peran kaum laki-laki di bidang PAUD di Indonesia. Rekomendasi diulas di akhir pembahasan berdasarkan upaya yang telah dilaksanakan di negara lain.

Peran Ayah dalam Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini

Banyak yang telah sepakat dengan paham akan pen ngnya peran orang tua dalam se ap wacana pendidikan dan perkembangan anak usia dini. Orang tua dianggap sebagai aktor utama dalam tumbuh kembang anak, karena orang tua umumnya adalah orang yang paling dekat dengan anak usia dini. Namun sayangnya, peran seorang

ayah sebagai orang tua sering diasumsikan dak lebih pen ng, jika dibandingkan dengan peran seorang ibu, terutama dalam hal pola asuh dan pola perkembangan belajar anak.

Mitos: Ayah kurang mampu merawat anak karena dak memiliki sifat ‘keibuan’?Di Indonesia, masyarakat masih percaya bahwa seorang ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda dalam mengurus dan mengasuh anak. Berdasarkan Tesaurus Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘mengasuh’ bahkan berkaitan hanya dengan perempuan dan ibu. Ayah di Indonesia dan beberapa negara di Asia sering kali dak banyak ikut campur dan terlibat secara emosional dalam perkembangan anak, terutama di usia 0-6 tahun (Jankowiak, 1992 dalam Riany dkk., 2016). Ini juga alasan mengapa kita sering menjumpai ayah yang merasa canggung ke ka harus mengasuh anak mereka, dan memilih untuk menjaga jarak. Selain itu, budaya patriarki yang sangat kuat di Indonesia juga menyuburkan pemahaman bahwa, di dalam keluarga, ayah berperan sebagai pencari na ah, sedangkan merawat anak dan mengurus rumah tangga merupakan tugas ibu.

Faktanya, hal ini juga terjadi di berbagai negara di dunia selain Indonesia. Lynch & Lyons (2008) menyatakan bahwa secara global, pekerjaan atau tugas merawat anak-anak masih sangat dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Mathwasa & Okeke (2016) dalam studinya tentang par sipasi ayah dalam pendidikan anak usia dini juga mengakui bahwa masih banyak orang menganggap bahwa laki-laki dak cocok atau dak mampu mengasuh dan mengurus perkembangan anak-anak. Perempuan secara biologis masih dianggap memiliki kemampuan atau sifat ‘keibuan’ untuk mengasuh anak-anak (Moosa & Bhana,

2019). Akibatnya, di berbagai belahan negara di dunia, isu PAUD, pengasuhan atau paren ng lebih banyak dikaitkan dengan ibu, perempuan, dan sifat keibuan.

Pandangan sebelah mata mengenai perbedaan kemampuan antara laki-laki dan perempuan dalam pola mengasuh anak juga dialami oleh guru atau tenaga kependidikan di satuan PAUD. Bidang PAUD semakin dimaklumi sebagai domain ‘perempuan’ dan ayah atau laki-laki terkesan dak memiliki peran di posisi ini. Di TK, KB, TPA atau satuan PAUD sejenis lainnya, sosok guru atau pendidik lebih iden k dengan sosok perempuan. Hal ini juga selaras dengan laporan OECD yang menyatakan bahwa lebih dari 85% guru di ngkat prasekolah di dunia adalah perempuan, dan salah satu hal yang mendasari fenomena ini adalah adanya budaya masyarakat yang mengasosiasikan pekerjaan dengan gender tertentu (OECD, 2019). Selain itu, perkembangan PAUD di negara-negara barat banyak didasari oleh tatanan gender secara tradisional dan posisi perempuan di masyarakat (Van Laere dkk., 2012; Van Laere dkk., 2014). Profesionalisme seorang pendidik PAUD sering kali masih didasari oleh sifat-sifat yang lembut – layaknya seorang ibu (Cameron, 2006; Peeters, 2013). Akan tetapi, apakah klaim bahwa hanya ibu – perempuan – yang mampu merawat, mengasuh dan menghadapi anak-anak sudah benar terbuk ?

Fakta: Kemampuan mengasuh dan merawat anak dapat dipelajari, ayah dan ibu memiliki potensi yang samaDalam hal pengasuhan anak, perempuan dipercaya secara natural memiliki sifat ‘keibuan’ yang diperlukan untuk mengasuh dan merawat anak-anak. Hal ini membuat anggapan bahwa ibu sebagai seorang perempuan lah yang mampu merawat

Page 15: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

22 23Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

dan mendukung perkembangan belajar anak sejak lahir. Akibatnya, ayah sering kali diragukan dan bahkan dikucilkan dalam proses mengasuh dan mendukung perkembangan anak sejak usia dini.

Faktanya, laporan dari Fatherhood Ins tute menyimpulkan bahwa dak terdapat buk biologis jika laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kemampuan secara natural untuk mengasuh anak (Parke dalam Davies, 2017); bahwa ayah bisa mempelajari cara untuk menjadi lebih responsif terhadap bayi atau anaknya jika diinginkan (Davies, 2017). Senada dengan hasil peneli an ini, Jo Warin dalam bukunya juga menyimpulkan bahwa kemampuan mengasuh anak yang “responsive” dan “sensi ve” dapat dipelajari dan bukan sesuatu yang dimiliki secara natural dari lahir atau “innate” (Warin, 2018, hal.63)

Dalam rangkuman peneli an lainnya, Fatherhood Ins tute juga menyatakan bahwa meskipun peran ibu terlihat lebih banyak dalam perawatan dan pendidikan anak sejak usia dini, banyak peneli an yang membandingkan pengaruh ayah dan ibu dalam pencapaian pembelajaran anak sering kali menunjukkan hasil yang dak konsisten (Fatherhood Ins tute, 2010). Sebagian peneli an menyatakan bahwa ayah memberikan pengaruh yang besar dalam pembelajaran anak-anak (Mar n, dkk., 2010; Pancsofar & Vernon-Feagans, 2010); ada juga yang menyimpulkan bahwa ibu lebih berpengaruh (Aram, 2010); dan ada pula yang menjelaskan bahwa keduanya memiliki pengaruh yang sama (Ryan, dkk., 2006; Mar n, dkk., 2007). Dengan hasil peneli an yang kurang konsisten ini, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ibu dan ayah bisa sama-sama mengambil peran pen ng dalam mendukung perkembangan belajar anak.

Studi lain menunjukkan pengaruh posi f ayah bukan hanya dalam bidang pembelajaran anak, tetapi juga berbagai ranah lain seper perilaku dan sikap (Sarkadi dkk., 2008; Choi & Jackson, 2011). Menurut Flouri (2005), peserta didik yang ayahnya secara ak f terlibat dalam pembelajarannya menunjukkan minat dan perilaku baik di sekolah. Ayah juga memberikan pengaruh posi f pada kemampuan berbahasa dan berkomunikasi pada tahap awal anak-anak (Tamis-LeMonda dkk., 2004; Pancsofar & Vernon-Feagans, 2010; Fagan, dkk., 2016). Beberapa studi juga menjelaskan bahwa ayah dapat membantu mengembangkan kemampuan berbahasa dan juga memiliki kemampuan yang setara dengan ibu untuk mengembangkan kemampuan literasi anak-anak (Clark, 2009; Tamis-LeMonda dkk., 2012). Meuwissen dan Carlson (2015) juga menjelaskan bahwa ayah berperan pen ng dalam perkembangan “execu ve func on” atau kemampuan mengarahkan diri sendiri yang dikembangkan pada masa pra-sekolah.

Dengan sejumlah peneli an yang menunjuk-kan dampak posi f dari ayah pada perkembangan anak, dapat disimpulkan bahwa ayah dan ibu memiliki potensi dan kesempatan yang sama dalam memenuhi se ap kebutuhan anak. Berdasarkan berbagai studi empiris yang ada, jelas bahwa tugas merawat dan mengasuh serta mendukung perkembangan anak dapat dilakukan oleh siapa pun, terlepas dari apapun gender nya. Hal ini juga berar ayah dan ibu memiliki potensi yang sama dalam memberikan dampak posi f dalam proses perkembangan dan pembelajaran anak usia dini.

Ayah mampu merawat dan mengasuh anak = Laki-laki mampu dan bisa menjadi pendidik PAUDBuk -buk empiris mengenai bagaimana

ayah juga memiliki peran yang pen ng dalam perkembangan anak sebenarnya menjadi alasan yang kuat untuk menjelaskan bahwa laki-laki memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan perempuan untuk menjadi guru PAUD (Lamb, 2010). Hal ini juga berar laki-laki mampu dan bisa mengajar serta merawat anak usia dini (Warin, 2018). Sesuai dengan klaim Warin (2018) ini, sebuah laporan peneli an di Jerman juga menunjukkan persepsi posi f dari prak si PAUD dan orang tua terhadap guru laki-laki (Cremers dkk., 2012). Peneli lainnya dari Jerman juga berpendapat bahwa dak ada perbedaan yang signifi kan antara gaya mengajar guru laki-laki dan perempuan (Brandes dkk., 2015), yang sekali lagi membulatkan pendapat bahwa baik guru laki-laki maupun perempuan dapat mendukung pembelajaran anak secara op mal.

Peran ayah dan guru laki-laki khususnya menjadi poin pen ng dalam hal ini. (Lamb, 2010) menjelaskan bahwa kontribusi ayah dalam keluarga dapat menggambarkan peran laki-laki dalam PAUD. Sesuai dengan pendapat Lamb, Golombok dalam Warin (2018) juga menyatakan bahwa bentuk kedekatan ayah dan anak sering kali dilihat hari sifat ayah yang lebih ak f dalam permainan fi sik dan olahraga. Sifat ini selanjutnya juga yang berkontribusi membentuk gambaran seorang seorang guru laki-laki di TK yang menikma permainan luar ruangan atau yang disebut “rough and tumble play” (Warin, 2018, hal.67). Selain memberikan gambaran akan bagaimana guru laki-laki dipandang di satuan PAUD, meningkatkan par sipasi ak f ayah dalam kegiatan PAUD akan membantu meningkatkan pandangan posi f masyarakat tentang laki-laki yang bekerja dengan anak-anak; sebaliknya, kehadiran guru laki-laki di lembaga PAUD juga dapat membantu

mengajak lebih banyak ayah untuk datang dan ikut berperan dalam perkembangan pembelajaran anaknya (Warin, 2018).

Berdasarkan paparan di atas, peran ayah dan guru laki-laki sangat berkaitan dan memberikan pengaruh terhadap pembelajaran anak pada jenjang PAUD. Hal ini pula yang menjadi alasan ar kel ini dimulai dengan membahas pen ngnya peran ayah dalam perkembangan anak dalam keluarga. Pada bagian selanjutnya, kita akan membahas lebih dalam mengenai guru laki-laki pada lingkungan PAUD di berbagai negara dan Indonesia, bagaimana inisia f se ap negara dalam usaha meningkatkan jumlah dan kualitas guru laki-laki di lembaga PAUD, serta kendala yang mereka alami.

‘Bapak Guru’: Peran Guru Laki-Laki dalam Pendidikan Anak Usia Dini Guru PAUD laki-laki dalam angka

Profesi di bidang PAUD adalah profesi yang secara global terkenal paling dak seimbang dalam hal gender (Rohrmann, 2019). Di Britania Raya, yang diyakini sebagai negara yang dengan masyarakat yang lebih modern dan mendukung kesetaraan gender di dunia kerja, hanya ada 2% laki-laki dari seluruh tenaga kerja pendidikan di ngkat usia 0-5 tahun (Haywood dalam Brownhill & Oates, 2016). Situasi di Britania Raya kurang lebih juga menggambarkan kondisi pendidik dan tenaga kependidikan PAUD laki-laki di banyak negara Eropa. Berdasarkan berbagai hasil studi, proporsi laki-laki dalam jajaran satuan tenaga kerja di bidang PAUD masih sangat rendah dengan presentase 1-3% di banyak negara (Drudy, dkk. dan Brody dalam Warin, 2017;OECD, 2019). Beberapa negara seper Turki, Norwegia dan Denmark berhasil mendorong lebih banyak par sipasi guru PAUD laki-laki dengan mencapai

Page 16: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

24 25Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

jumlah di atas 5%, tapi jumlahnya masih tetap terhitung rendah dibandingkan guru perempuan (Peeters dkk., 2015). Hal ini berar sekitar 95-97% pendidik dan tenaga kependidikan PAUD adalah perempuan. Sesuai dengan perhitungan ini, survei pendidikan di negara-negara OECD pada tahun 2019 menemukan bahwa ada lebih dari 85% guru prasekolah perempuan di dunia. Secara kuan tas, perbandingan antara guru laki-laki dan perempuan masih jauh dari kata “seimbang” (OECD, 2019).

Selain negara-negara di Kawasan Eropa, negara lain seper Amerika Serikat dan Selandia Baru juga mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan jumlah guru laki-laki yang mengajar anak-anak belia. Di tahun 2019, tercatat hanya ada 2.3% staf laki-laki yang bekerja di ins tusi prasekolah dan TK di Amerika Serikat (Menteach, 2019). Sedangkan Selandia Baru hanya berhasil mencapai 2.2% (Koch & Farquhar, 2015). Rendahnya jumlah guru PAUD laki-laki juga terjadi di Asia dan Afrika. Di Afrika Selatan, guru laki-laki hanya mengisi 20% dari total jumlah guru di ngkat sekolah dasar (Lurits dalam Moosa & Bhana, 2019). Di Republik Rakyat Tiongkok, hanya ada 2% guru prasekolah laki-laki yang bekerja secara penuh waktu (Ministry of Educa on of the People’s Republic of China’s, 2014 dalam Xu & Waniganayake, 2017). Di Indonesia, berdasarkan laporan sta s k PAUD tahun 2018/2019, tercatat ada 36.403 guru PAUD laki-laki dari dan 619.807 guru perempuan atau hanya sekitar 5% dari jumlah seluruh guru dan kepala sekolah PAUD di Indonesia (Pusat Data dan Sta s k Pendidikan dan Kebudayaan, 2019). Meskipun secara presentasi Indonesia memiliki jumlah guru laki-laki yang lebih banyak dibanding negara lain, namun 5% masih tergolong sangat rendah untuk dikatakan seimbang.

Mengapa PAUD butuh guru laki-laki?Meskipun sampai saat ini masih menjadi isu yang banyak diperdebatkan, banyak negara yang sudah menyuarakan kebutuhan akan par sipasi lebih pendidik dan prak sioner laki-laki terutama di bidang pendidikan anak usia dini (Coordina on Centre for Men in ECEC dalam Hedlin, Åberg & Johansson, 2019). Pembahasan mengenai peran laki-laki dalam PAUD dimulai pada tahun 1970an di negara-negara barat seiring dengan munculnya diskusi mengenai peran laki-laki dan perempuan di masyarakat (Rohrmann, 2019). Dilihat dari peneli an akademik dan publikasi internasional, dalam dua dekade terakhir ini telah banyak ahli yang mengutarakan pen ngnya peran laki-laki, terutama guru laki-laki untuk mengasuh dan mendidik anak usia dini. Rohrmann (2019) menyatakan bahwa banyak ahli dari berbagai bidang yang mendukung par sipasi laki-laki di bidang PAUD, mulai dari peneli , psikolog, prak si dan guru serta orang tua. Namun, perlu diingat bahwa alasan yang mendasari sikap posi f ini seringkali berbeda, karena perbedaan persepsi mengenai peran laki-laki dalam bidang PAUD.

Kesetaraan gender di bidang PAUD dan masyarakatDi ngkat pemerintah atau pemangku kepen ngan terkait, meningkatkan par sipasi laki-laki di bidang PAUD kian menarik seiring meningkatnya isu tentang kesetaraan gender. Hal ini banyak terjadi terutama di negara-negara Eropa seper di Norwegia. Peeters, dkk. (2015) menyatakan bahwa ada ga hal yang mendorong pemerintah Norwegia untuk meningkatkan jumlah guru PAUD laki-laki: pertama, kesadaran akan pen ngnya peran laki-laki dalam PAUD. Kedua, adanya inisia f nyata dalam hukum dan kebijakan pemerintah serta kurikulum untuk mewujudkan kesetaraan gender, dan yang terakhir untuk

memberikan lingkungan pembelajaran yang lebih berwarna dan menjelaskan kesetaraan gender pada anak sejak dini.

Sebagai bidang pekerjaan yang sudah secara lazim dianggap sebagai domain milik perempuan, PAUD merupakan salah satu fokus dalam usaha penyetaraan gender di tempat kerja secara umum. Tidak sedikit yang berargumen bahwa melibatkan laki-laki dalam PAUD bahkan dapat menjawab isu sosial seper kesetaraan gender di dunia kerja dan masyarakat. Di negara seper Norwegia yang telah menyatakan tekadnya untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam kebijakan dan kurikulum nasional, tentunya usaha untuk merekrut lebih banyak laki-laki di bidang PAUD menjadi salah satu program andalan. Sebagai hasilnya, Norwegia tercatat telah berhasil meningkatkan jumlah laki-laki yang bekerja di bidang PAUD (Emilsen dalam Peeters dkk., 2015).

Norwegia dan beberapa negara lain yang menjadikan kesetaraan gender sebagai agenda utama dalam kebijakannya, menerapkan program serius dalam skala dan pendanaan besar, dan bahkan membentuk komite khusus yang mempromosikan rekrutmen laki-laki di sektor PAUD. Di Jerman, sejak tahun 2008, Kementerian Urusan Keluarga dan Anak memulai peneli an untuk melihat persepsi orang tua dan pegawai PAUD terhadap guru PAUD laki-laki (Cremers, dkk., 2012). Kemudian, pemerintah Jerman juga menginisiasi program ‘More Men in Kitas’ atau “Lebih banyak laki-laki di ins tusi PAUD” yang didanai oleh European Social Fund (Cremers, dkk., 2012; Icken; Rohrmann dalam Peeters, dkk., 2015).

Uniknya, di Turki di mana isu tentang kesetaraan gender dak ramai dibahas selayaknya di negara Eropa lainnya, jumlah guru atau pegawai laki-laki di ngkat PAUD menunjukkan peningkatan dalam dekade

terakhir, meskipun dak ada kebijakan pemerintah sedikit pun (Sak, dkk., 2015). Menurut Peeters dkk. (2015), hal ini dapat disebabkan oleh kondisi Turki sebagai negara berkembang yang menjadikan PAUD sebagai salah satu bidang yang berkembang dengan pesat dengan peningkatan kualitas gaji dan jenjang karir yang cukup menjanjikan. Namun, perlu dijadikan catatan adalah kesuksesan dari inisia f ini masih hanya dapat dijelaskan dalam angka, dan belum ada peneli an empiris yang menjelaskan bagaimana mereka mampu meningkatkan jumlah pendidik dan kependidikan PAUD laki-laki. Demikian juga dengan Turki yang mampu meningkatkan jumlah guru PAUD laki-laki meskipun di negara lain di mana guru laki-laki tetap masih sangat sedikit, meskipun mendapatkan penghasilan yang memadai (Peeters, 2013). Selain itu, meskipun usaha meningkatkan jumlah guru PAUD laki-laki dapat dianggap sebagai solusi yang menjawab isu kesetaraan gender di lingkungan kerja, perlu dilakukan analisis mendalam tentang apa yang dimaksud sebagai kesetaraan gender atau “gender balance” (Warin, 2017).

Contohnya, di Provinsi Jiangsu dan Fujian di Republik Rakyat Tiongkok, terdapat kebijakan untuk membebaskan biaya studi khusus bagi laki-laki yang memilih jurusan PAUD di universitas (Jiangsu Educa on dalam Xu & Waniganayake, 2017). Namun, kebijakan ini banyak diprotes karena dianggap dak adil pada kaum perempuan. Kebijakan ini juga nan nya mengarah pada masalah lainnya, yaitu rendahnya minat guru laki-laki yang benar-benar ingin belajar dan mendidik anak-anak usia dini. Secara sederhana, banyak yang mengar kan kesetaraan gender sebagai jumlah yang seimbang antara guru laki-laki dan perempuan. Namun, tentu saja jumlah yang seimbang dak sepenuhnya

Page 17: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

26 27Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

menggambarkan kesetaraan gender. Guru laki-laki bisa saja dak mendapatkan kepuasan atau akses untuk sepenuhnya menikma waktu dan pekerjaan sebagai guru PAUD. Hal senada juga disampaikan oleh Peeters dkk. (2015) yang mengusulkan pen ngnya melihat dengan perspek f lain terkait dengan topik gender di PAUD.

Role model laki-laki dan pengajaran ‘ala’ guru laki-lakiMasih berkaitan dengan peran dan isu gender, karakteris k laki-laki secara biologis yang berbeda dengan perempuan juga menjadi argumen lain yang mendasari berbagai upaya untuk meningkatkan par sipasi dan rekrutmen guru PAUD laki-laki. Ada keyakinan bahwa guru laki-laki dapat menjadi panutan dan contoh, terutama bagi anak laki-laki, dan dapat memberikan pengalaman belajar yang berbeda dari guru perempuan.

Didasari oleh paham bahwa ayah berperan pen ng dalam kehidupan anak, muncul pandangan bahwa anak laki-laki butuh peran yang menggambarkan seorang ayah di TK atau lembaga PAUD tempat mereka belajar. Selain itu, kebutuhan akan role model atau tokoh panutan bagi anak laki-laki juga banyak disebut sebagai alasan pen ng mengapa PAUD butuh lebih banyak guru laki-laki. Banyak studi yang dilakukan di Inggris yang menyebutkan bahwa guru laki-laki dibutuhkan di jenjang PAUD agar bisa menjadi ‘sosok ayah’ dengan meningkatnya jumlah anak-anak yang tumbuh di keluarga tanpa ayah. Guru laki-laki juga diharapkan menjadi ‘role model’ bagi anak laki-laki, seiring hasil peneli an yang menyebutkan bahwa anak laki-laki lebih lemah dalam pembelajaran dibandingkan perempuan (Rohrmann, 2019). Dengan adanya guru laki-laki di satuan PAUD, diharapkan anak-anak yang dak memiliki ‘sosok ayah’ di rumah

bisa mendapatkan akses dan melihat ‘stable male’ atau orang dewasa laki-laki yang stabil (Jones, 2008) yang dapat menggan kan sosok ‘ayah’ yang ideal. Sosok ini diharapkan dapat berempa lebih dekat dengan anak-anak, mendukung perkembangan mereka dan juga menjadi panutan perilaku, sehingga anak-anak ini dapat meningkatkan capaian belajar dan perilaku mereka (Beynon dalam Wood dan Brownhill, 2018)

Inisia f dengan mo f ini banyak mendapat kri k, karena hanya mengaitkan rendahnya hasil capaian belajar anak dengan gender guru. Padahal, peneli an yang menilai hubungan antara jenis kelamin guru dengan pencapaian peserta didik di sekolah dak menyimpulkan hasil yang jelas (Helbig, 2012; McGrath dan Sinclair, 2013). Peneli an lainnya juga menemukan bahwa gender dan etnis guru dak terlalu mempengaruhi hasil pembelajaran (Carrington dan Skelton, 2003). Brownhill dalam beberapa tulisannya juga berpendapat bahwa ekspektasi guru laki-laki untuk menjadi role model sering kali dak memberikan karakteris k yang jelas (Brownhill dan Oates, 2016; Wood dan Brownhill, 2018).

Selain mendapatkan peran sebagai penggan ‘ayah’ dan role model, gerakan meningkatkan par sipasi laki-laki pada jenjang PAUD juga sering kali didasari oleh kebutuhan akan sosok ‘jantan’ atau maskulin dalam pembelajaran anak usia dini (Mar no, 2008; Wohlgemuth, 2015). Ada anggapan bahwa guru laki-laki akan lebih mengakomodasi permainan fi sik dan luar ruangan dibandingkan guru perempuan (Rohrmann, 2019), karena karakteris k fi sik laki-laki yang dianggap dapat memberikan kesan ‘maskulin’ atau ‘jantan’. Pada konteks Indonesia, hal ini juga disebutkan oleh Yulaelawa yang mengungkapkan kebutuhan PAUD di Indonesia akan guru laki-laki

(Anggun PAUD, 2017). Menurut Yulaelawa , telah terjadi ‘feminisasi PAUD’ sehingga anak laki-laki dapat merasa tertekan dan dak diperha kan. Ia juga berpendapat

bahwa anak laki-laki sebaiknya banyak diajak bermain di luar sesuai nalurinya sebagai laki-laki.

Burn & Pra -Adams (2015) menjelaskan dalam bukunya bahwa perbedaan peran dalam keluarga dan gender secara tradisional memang banyak mempengaruhi pengajaran pada jenjang PAUD, terutama di abad ke 20. Banyak guru laki-laki diposisikan sebagai guru yang ahli dalam hal fi sik dan olahraga, mengambil risiko dalam permainan fi sik, menyukai kegiatan di luar ruangan, dan digambarkan sebagai seseorang yang disiplin dan juga lucu. Menurut Griffi ths (2006), karena banyak prak si dan guru pada jenjang pendidikan usia dini dan dasar merupakan perempuan, stereo p pengajaran dirasa menjadi lebih feminin –‘pembelajaran yang tenang, koopera f, banyak menggunakan kemampuan verbal, dilaksanakan dalam ruangan, ar s k, dan kegiatan yang cenderung pasif’ (Biddulph, dalam Brownhill dan Oates, 2016). Pengajaran yang bersifat feminin ini kemudian dianggap ‘menyudutkan’ anak laki-laki dalam pembelajaran sehingga mereka ter nggal dari teman-teman perempuannya. Jenis pembelajaran seper ini dianggap lebih cocok untuk anak perempuan dibandingkan anak laki-laki (Brownhill & Oates, 2016). Selain diharapkan dapat memberikan anak laki-laki contoh atau ‘role model’, adanya guru laki-laki juga diharapkan dapat menyesuaikan pembelajaran yang lebih ak f dan mewadahi naluri ak f anak laki-laki (McPhee dalam Brownhill & Oates, 2016)

Banyak peneli an juga membedakan gaya mengajar atau peran dari guru laki-laki dan

perempuan. Misalnya, Mallozi dan Galman dalam Warin (2018) menjelaskan bahwa guru laki-laki dianggap lebih cocok untuk menjadi sosok yang mendisiplinkan berdasarkan bentuk fi sik dirinya sebagai laki-laki. Simon dalam cerita pengalamannya (Burn dan Pra -Adams, 2015) juga menceritakan bagaimana ia mendapatkan ekspektasi sebagai guru yang mendisiplinkan anak. Selain itu, ekspektasi lainnya dari guru laki-laki terkait kemampuan fi sik misalnya adalah adanya permintaan untuk bertanggung jawab terhadap kegiatan di luar ruangan atau olahraga (Warin, 2017)

Namun, opini ini juga banyak dibantah dengan alasan bahwa anggapan ini malah membatasi gerak guru PAUD berdasarkan batas-batas tradisional gender(Mar no, 2008; Pulsford, 2014; Bhana & Moosa, 2016; Hedlin, dkk., 2019). Beberapa ahli juga menyatakan bahwa pedagogi yang cocok dan menarik untuk anak laki-laki sebenarnya juga cocok untuk semua anak, apapun gendernya. Prak k pedagogi yang baik adalah prak k yang mendukung semua pembelajaran anak tanpa melihat gendernya (Ashley, 2001) dan efek vitas pedagogi yang maskulin mungkin perlu ditelaah lebih dalam (Francis, 2008). Ekspektasi terhadap sikap maskulin yang diharapkan dimiliki oleh guru-guru laki-laki juga menjadi perdebatan, karena ada juga yang berpendapat bahwa dengan memetakkan tugas yang hanya bisa dilakukan oleh guru laki-laki atau perempuan, pada dasarnya agenda kesetaraan gender akan sulit tercapai. Menjawab hal terkait pedagogi, banyak ahli yang menyarankan bahwa kehadiran guru laki-laki pada jenjang PAUD sebenarnya berperan pen ng dalam memberikan contoh langsung mengenai konsep gender pada anak-anak. Anak-anak dapat diajarkan dari dua sisi pedagogi

Page 18: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

28 29Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

tanpa harus membedakan pengajaran yang dilakukan guru laki-laki dan pengajaran yang dilakukan guru perempuan (Adriany dan Warin, 2014; Warin dan Adriany, 2017).

Keunggulan laki-laki dalam berbagai hal terkait kemampuan kerjaTerlepas dari peran khusus dalam pembelajaran anak, guru laki-laki dipercaya memiliki beberapa kelebihan yang dipercaya dapat dibawa ke lingkungan PAUD yang mayoritas sumber daya di dalamnya adalah perempuan. Kehadiran sosok laki-laki di bidang PAUD diharapkan memberikan warna baru dalam sistem pembelajaran anak usia dini. Banyak pemimpin dan pendidik di PAUD mengharapkan peningkatan jumlah guru laki-laki, karena mereka dapat membawa nuansa baru ke dalam m. Ada pula yang beropini bahwa m yang terdiri atas campuran laki-laki dan perempuan akan lebih baik karena memiliki keseimbangan (Rohrmann, 2019). Di sisi lain, guru laki-laki juga diharapkan dapat meningkatkan mo vasi dan antusias ayah agar bisa lebih ak f dalam pembelajaran anak usia dini dengan memberikan contoh langsung bahwa laki-laki juga dapat mendukung perkembangan dan pembelajaran anak (Warin, 2018). Selain itu, ada juga perdebatan bahwa menambah jumlah guru laki-laki di satuan PAUD dapat meningkatkan status dan status sumberdaya PAUD. Namun, argumen ini dapat mengundang perdebatan karena menganggap sumber daya PAUD selama ini, di mana sebagian besarnya adalah perempuan, dak lebih berharga dari para laki-laki yang baru masuk ke sektor PAUD (Rohrmann, 2019).

Pada kesimpulannya, usaha dan upaya untuk meningkatkan jumlah dan par sipasi guru laki-laki pada jenjang PAUD mungkin terlihat sebagai isu sederhana yang akan

selesai dengan menerapkan kebijakan yang mendorong lebih banyak laki-laki untuk menda ar menjadi guru PAUD. Banyak buk empiris juga menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kemampuan yang sama dengan perempuan dalam mengajar anak-anak. Berbagai usaha, studi, dan diskusi untuk membahas bagaimana meningkatkan par sipasi dan peran laki-laki dalam pembelajaran anak telah dilakukan untuk terus menelaah bagaimana PAUD yang iden k dengan domain perempuan bisa menjadi tempat yang nyaman, dak hanya untuk para perempuan atau ibu, tapi juga untuk laki-laki dan para ayah. Namun, dalam prak knya, usaha untuk meningkatkan par sipasi laki-laki juga dak dapat dianggap mudah. Bagian berikut membahas mengapa upaya meningkatkan guru PAUD laki-laki masih belum maksimal, dengan melihat tantangan yang dihadapi oleh para “bapak guru” ini pada jenjang PAUD.

Jadi, mengapa guru laki-laki masih sangat minim pada jenjang PAUD? Melihat dari sudut pandang “Bapak Guru”Menurut Peeters dkk. (2015), meskipun usaha untuk meningkatkan par sipasi laki-laki dalam bidang PAUD sudah digalakkan oleh berbagai instansi selama beberapa dekade terakhir, usaha ini masih jarang diterapkan secara nasional. Banyak juga perdebatan yang muncul, misalnya pandangan skep s tentang laki-laki yang bekerja dengan anak usia dini setelah merebaknya isu pedofi lia dan kesetaraan gender. Menurut Rohrmann (2019), masih ada hal-hal kontradik f yang mempertanyakan mengapa kita butuh meningkatkan par sipasi laki-laki di bidang PAUD. Perdebatan opini ini tentu saja berdampak pada guru laki-laki yang mengajar pada jenjang PAUD sebagai kaum minoritas.

Menjadi ‘bapak guru’: dilema iden tas dan peran di bidang PAUDSeper yang sudah dijelaskan sebelumnya, kehadiran guru laki-laki di lingkungan PAUD ditandai dengan beberapa ekspektasi dan prasangka – baik dan buruk – yang cukup membebani dan bahkan membingungkan bagi para ‘bapak guru’. Berdasarkan njauan literatur yang dilakukan Peeters, dkk., (2015), banyak survei yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan par sipasi laki-laki pada jenjang PAUD disambut baik oleh orang tua, rekan kerja perempuan, dan ins tusi PAUD (Aigner & Rohrmann; Emilsen; Lyskle & Emilsen dalam Peeters, dkk., 2015). Bahkan, berdasarkan peneli an yang dilakukan di negara-negara yang dianggap masih memiliki pandangan tradisional tentang gender dan minim guru laki-laki, orang tua menunjukkan respon posi f terhadap guru PAUD laki-laki (Rentzou, 2011; Ho & Lam, 2014; Ahmad dkk., 2018).

Namun demikian, peneli an yang dilaksanakan di awal tahun 2003 di Belgia, menyimpulkan bahwa orang tua berpendapat bahwa guru laki-laki sebaiknya terlibat dalam kegiatan yang bersifat maskulin dalam mengajar anak-anak (Peeters, 2003). Dalam peneli an terbaru di Jerman yang lakukan oleh Cremers dkk. (2012), orang tua sudah menyambut baik kehadiran guru laki-laki yang mengajar di ins tusi PAUD dan berpendapat bahwa tugas guru laki-laki sebaiknya sama dengan rekan guru perempuan, namun masih ada prasangka dan anggapan yang membuat guru-guru laki-laki merasa tertekan ke ka bergabung di TK/PAUD. Peneli an yang dilakukan oleh Sak dkk. (2018) yang membandingkan pendapat orang tua terhadap guru PAUD laki-laki di Turki dan Austria menemukan bahwa orang tua di Austria lebih menyadari kesetaraan kualitas dan kemampuan guru, terlepas dari gender, sedangkan orang

tua di Turki masih lebih memegang anggapan tradisional dan menganggap bahwa guru perempuan dan laki-laki harus memiliki tugas yang berbeda. Selain orang tua, guru perempuan yang bekerja di bidang PAUD juga ditemukan masih banyak menganut asumsi peran gender yang tradisional, baik di masyarakat atau pun dalam pedagogi (Aigner & Rohrmann, dalam Rohrmann, 2019).

Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun banyak yang mendukung inisia f untuk menambah jumlah guru laki-laki, sikap dukungan ini sering kali dak diiringi oleh perubahan sikap dan persepsi dari pihak yang ada di ins tusi PAUD – orang tua, guru perempuan, dan pemimpin lembaga. Masih ada orang tua atau guru PAUD perempuan yang melihat peran guru laki-laki lebih sebagai “ayah”, “role model”, “pendisiplin”, dan guru yang lebih ak f di kegiatan luar ruangan. Menurut Rohrmann (dalam Rohrmann, 2019), ekspektasi dan pandangan yang berbeda terhadap peran guru laki-laki pada jenjang PAUD dapat menyebabkan kebingungan, dan bahkan berakibat buruk terhadap iden tas dan kinerja guru laki-laki. Tantangan yang dihadapi guru laki-laki menjadi lebih rumit karena dak hanya datang dari luar, para ‘bapak guru’ ini juga akan merasa tertekan ke ka bekerja di lembaga PAUD.

Menjadi ‘bapak guru’: dipandang sebelah mata dan terasingkanGuru laki-laki sebagai kalangan minoritas di sektor PAUD sering kali merasa ‘terasingkan’ ke ka berada di tempat kerja. Wohlgemuth, (2015) menyatakan bahwa salah satu alasan laki-laki kesulitan untuk menyesuaikan diri di lembaga PAUD adalah karena dominasi dari perempuan di bidang ini. Kehadiran guru laki-laki di ins tusi PAUD dak hanya diiringi ekspektasi untuk mengisi peran

Page 19: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

30 31Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

‘ayah’ atau ‘panutan’, tetapi juga sering kali harus dihadapkan dengan diskriminasi nega f (Hedlin, dkk., 2019). Bagaimanapun, laki-laki di ins tusi PAUD lebih dipandang sebelah mata (Eidevald, dalam Hedlin, dkk., 2019). Mengu p pendapat Sargent (2004), Ia menyatakan bahwa dengan berpenampilan sebagai seorang laki-laki saja sudah memberikan kesan yang berbeda dengan guru perempuan; Perempuan akan selalu dikaitkan dengan ‘kasih sayang’, sedangkan laki-laki sering memberikan kesan risiko dan bahaya.

Peneli an yang dilakukan oleh Munk dkk., (2013) bahkan menjelaskan bahwa guru-guru PAUD laki-laki yang dak mengalami diskriminasi saat bekerja tetap merasa khawa r jika mereka akan mengalaminya suatu saat. Hal ini tentu saja dapat merugikan status guru laki-laki di lembaga PAUD. Tidak sedikit pula guru laki-laki yang lebih memilih untuk bergabung dengan ins tusi PAUD yang sudah memiliki beberapa staf laki-laki (Johannesen, 2010) sehingga mereka lebih merasa dak dikucilkan di tempat kerja (Sumsion, 2000; Warin, 2006; Burn dan Pra -Adams, 2015). Peneli an yang dilakukan oleh Sobiraj dan m (2011) juga menemukan bahwa para guru laki-laki pada jenjang PAUD sering mengalami depresi yang terus meningkat, dan memiliki ngkat kepuasan kerja yang rendah karena rekan kerja perempuan mereka masih memandang sebelah mata peran laki-laki di dunia anak-anak. Di Turki di mana jumlah guru laki-laki terus meningkat dalam satu dekade terakhir, guru-guru laki-laki di lembaga PAUD juga memiliki ngkat kepuasan kerja yang lebih rendah dibandingkan guru perempuan (Sak, 2018). Jika dak diimbangi dengan refl eksi pandangan yang lebih sensi f terhadap isu gender, penambahan jumlah guru laki-laki pada jenjang PAUD justru akan menguatkan pandangan stereo p tentang gender (Cremers dkk., 2012).

Pintu kaca: tantangan yang dak disadariKoch dan Farquhar (2015) menyimpulkan enam hal yang seringkali membatasi upaya peningkatan par sipasi laki-laki di lembaga PAUD. Dalam menjelaskan keenam hal ini, mereka menggunakan metafora ‘glass doors’ atau pintu kaca yang menggambarkan tantangan yang sering kali dak disadari, dak terlihat, dan menjadi hambatan. Enam

pintu kaca ini antara lain: (1) lebih banyak dukungan untuk memajukan perempuan dibandingkan untuk laki-laki; (2) masih banyak yang belum menyadari kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan laki-laki di bidang PAUD; (3) kekhawa ran jika laki-laki akan ‘menguasai’ bidang ini menahan inisia f perubahan; (4) adanya diskriminasi yang sangat dak kentara dalam proses rekrutmen staf; (5) potret laki-laki yang posi f di bidang PAUD sudah meningkat, tapi masih belum cukup dan banyak pandangan yang masih bias; dan, (6) kurangnya minat untuk secara serius untuk mendedikasikan waktu, dan tenaga yang membatasi aksi perubahan yang diharapkan.

Merujuk kembali kepada literatur sebelumnya, beberapa pintu kaca ini sangat berkaitan dengan tantangan yang dihadapi guru laki-laki ke ka bekerja di TK atau lembaga PAUD di berbagai negara. Kesimpulannya, kesadaran untuk meningkatkan par sipasi laki-laki sebagai pendidik dan tenaga kependidikan PAUD mendapat sambutan yang sangat baik, terlepas dari apapun alasan yang mendasarinya. Namun, sambutan baik ini kurang di ndaklanju dengan usaha pergeseran persepsi dari seluruh elemen yang ada di bidang PAUD, mulai dari orang tua, guru perempuan, tenaga kependidikan, dan pemimpin pendidikan.

Koch & Farquhar (2015) berpendapat bahwa banyak kebijakan untuk meningkatkan

par sipasi laki-laki kurang mengajak semua elemen di bidang PAUD untuk menciptakan kesetaraan gender yang diharapkan. Hal ini juga yang barangkali menjadi alasan mengapa beberapa negara tercatat mampu meningkatkan angka guru laki-laki, tapi secara proporsi tenaga pendidik perempuan dan laki-laki masih dak seimbang. Isu-isu seper diskriminasi dan rendahnya ngkat kepuasan guru laki-laki bisa jadi menjadi salah satu kunci jawaban. Koch & Farquhar (2015) juga berpendapat bahwa kunci untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan membuat lebih banyak pihak menyadari keberadaan pintu kaca ini.

Usaha untuk meningkatkan par sipasi guru laki-laki harus dimulai dari perubahan budaya di sektor PAUD: PAUD bukan lah tempat dan bidang yang asing untuk laki-laki. Ayah ataupun guru laki-laki perlu merasa diterima sebagai bagian dari lingkungan PAUD, bukan sebagai orang asing yang diterima karena tekanan kebijakan kesetaraan gender, ataupun sebagai ‘obat’ bagi anak laki-laki yang dak memiliki role model dan ‘obat’ untuk guru perempuan yang kurang mampu mengatasi pembelajaran fi sik di luar kelas. Agar hal ini bisa tercapai, dibutuhkan inisia f dari ibu dan guru perempuan, untuk terus mendukung ayah dan guru laki-laki agar dapat mendukung pembelajaran anak usia dini.

PAUD di IndonesiaBerdasarkan publikasi peneli an

internasional yang ada, pembahasan mengenai peran dan par sipasi laki-laki dalam pendidikan anak di usia dini adalah topik yang banyak dibahas di negara-negara Eropa. Hal ini sebenarnya dapat dilihat dari antusiasme mengenai isu kesetaraan gender di negara-negara tersebut.

Di Indonesia, seper yang telah disampaikan sebelumnya, proporsi guru laki-laki pada

jenjang PAUD bisa diasumsikan sangat rendah. Meskipun sudah ada kesadaran akan pen ngnya kesetaraan gender di masyarakat, terutama di kota-kota besar, secara umum masih kurang ada kesepakatan mengenai betapa pen ngnya meningkatkan par sipasi laki-laki di bidang pendidikan, terutama pendidikan anak usia dini. Pemandangan umum di TK dan lembaga PAUD di Indonesia akan lebih banyak memperlihatkan fi gur perempuan yang memegang peran kunci, ibu yang mengantarkan anak ke sekolah dan mengobrol dengan guru perempuan tentang perkembangan anak-anaknya.

Namun demikian, kesadaran akan pen ngnya peran ayah dan keluarga dalam perkembangan dan pendidikan anak sejak usia dini telah meningkat secara signifi kan. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan telah meluncurkan program “Sahabat Keluarga”. Diku p dari laman resminya, Sahabat keluarga diharapkan dapat membangun ekosistem pendidikan, “yang terdiri atas orang tua, kepala sekolah, guru, komite sekolah, dewan pendidikan, pegiat pendidikan dan masyarakat keseluruhan, yang cerdas dan berkarakter” (Sahabat Keluarga, no date, par. 6). Selain itu, program ini juga bertujuan agar “orang tua dapat memperoleh prak k baik pendidikan keluarga dan menularkannya ke orang tua lain sehingga dapat menjadi fasilitas belajar bersama” (Sahabat Keluarga, no date, par. 7). Jika dilihat dari laman resmi Sahabat Keluarga ini, inisia f ini cukup berjalan baik dan memberikan informasi kepada orang tua untuk mendukung pembelajaran anak di luar ins tusi PAUD. Namun, masih belum ada laman atau inisia f yang khusus untuk mendorong ayah agar berperan lebih ak f dalam mendukung pembelajaran anak. Kita bahkan dak tahu apakah orang tua yang mengakses dan berpar sipasi dalam laman ini adalah ayah atau ibu. Hal ini menunjukkan masih kurang ngginya

Page 20: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

32 33Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

kesadaran dan minat guru, orang tua atau pegiat PAUD di Indonesia mengenai isu peran laki-laki dalam pendidikan anak. Hal ini juga dibuk kan dengan minimnya publikasi internasional yang membahas tentang topik ini.

Ada beberapa alasan yang mungkin menjadikan Indonesia masih belum menyadari pintu-pintu kaca ini. Yang pertama, PAUD di Indonesia masih dalam tahap perkembangan dan masih banyak isu lain yang menjadi perha an, misalnya kualifi kasi guru-guru PAUD yang masih rendah: baru sekitar 30% guru PAUD Indonesia memiliki kualifi kasi akademik SA, itu pun dak semuanya menyandang Sarjana Pendidikan Anak Usia Dini (Pra wi, 2016). Jika dibandingkan dengan urgensi untuk menambah jumlah guru laki-laki di satuan pendidikan, dak heran banyak TK dan PAUD masih berusaha untuk meningkatkan kualitas guru-guru perempuannya terlebih dahulu. Alasan lainnya adalah masih kuatnya budaya patriarki di Indonesia, sehingga masih banyak keluarga yang menganggap ayah adalah pencari na ah dan ibu bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak. Tentu saja, usaha untuk menyuarakan kesetaraan tugas ayah dan ibu terus dilakukan dari berbagai kalangan. Selaras dengan hal ini, masih belum ada kebijakan yang secara khusus bertujuan untuk mendorong par sipasi laki-laki di bidang PAUD, baik sebagai ayah ataupun guru.

Kondisi di Indonesia ini tentunya sangat menarik mengingat kembali lagi ke pernyataan Rohrmann (2019) bahwa masih ada hal-hal kontradik f yang akhirnya mempertanyakan seberapa nggi urgensi dari inisia f untuk meningkatkan par sipasi laki-laki di bidang PAUD. Jika dilihat dari situasi saat ini, meskipun belum menunjukkan antusiasme yang nggi mengenai peran laki-laki, bukan berar PAUD di Indonesia sama sekali dak menyadari akan pen ngnya isu ini. Hal ini menunjukkan bahwa

PAUD Indonesia tetap memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah par sipasi guru laki-laki, dan belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain yang telah lebih dulu melaksanakan inisia f ini.

Apa yang bisa Indonesia lakukan?Ada banyak inisia f, program atau ak vitas yang dapat kita contoh dari literatur dan peneli an empiris yang sudah ada agar bisa memulai gerakan untuk mendorong par sipasi laki-laki dalam bidang PAUD. Misalnya, dalam laporan Fatherhood Ins tute (2010), ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan ayah agar bisa lebih ak f berperan dalam mendukung perkembangan anak.

Ayah juga bisa ke TK/PAUDLloyd dan mnya (2003) menjelaskan dalam laporan mereka bahwa kebanyakan fokus dari ins tusi PAUD melibatkan ibu, sedangkan hanya 12% dari program PAUD yang dapat dianggap ‘sangat melibatkan ayah’. Dalam hal ini, dapat disimpulkan harus ada inisia f dari berbagai pihak untuk mendukung keterlibatan yang lebih bagi ayah dalam proses pembelajaran dan perkembangan anak usia dini. Ayah sering kali merasa terasingkan oleh program dan kegiatan PAUD yang sangat bersifat feminin atau keibuan. Hal ini tentunya akan membuat para ayah semakin merasa dak mampu ikut serta dalam mendukung perkembangan anak.

Goldman dalam laporan Fatherhood Ins tute (2010) menyatakan bahwa ‘dads clubs’ atau ‘klub para ayah’ yang ak f di satuan pendidikan terbuk membantu perkembangan sikap dan belajar anak. Fatherhood Ins tute juga menginisiasi kegiatan Father Story Week atau Pekan Cerita Ayah dengan berbagai kegiatan

yang melibatkan ayah dan anak di lembaga PAUD. Di Amerika Serikat, terdapat program literasi FRED (Father Reads Every Day) yang membimbing para ayah untuk mengajak anak membaca bersama. Berbagai kajian dan literatur juga membuk kan bahwa ayah dapat membantu kemampuan berbahasa dan literasi anak usia dini (Clark, 2009; Fagan, Iglesias & Kaufman, 2016). Dalam lingkup pendidikan Indonesia di mana literasi semakin digalakkan, mendorong program membaca bersama ayah bisa menjadi contoh yang baik untuk memulai meningkatkan par sipasi ayah dalam pendidikan anak. Kegiatan ini juga bisa langsung diintegrasikan dalam program Sahabat Keluarga yang sudah ada. Selain itu, mengajak ayah ke lingkungan TK atau PAUD tentunya juga memberikan dukungan emosional kepada para guru laki-laki (Warin, 2018).

Bapak guru juga pen ng!Selain mengajak ayah, dukungan kepada “bapak guru” atau bahkan laki-laki calon guru juga sangat pen ng agar regenerasi guru laki-laki pada jenjang PAUD tetap ada, dan peminat PAUD dari kalangan laki-laki semakin meningkat. Peneli an yang dilakukan oleh Mistry & Sood (2015) menekankan bahwa guru-guru laki-laki membutuhkan dukungan dan mentoring, terutama dari senior dan sesama guru laki-laki. Dalam bukunya, Elizabeth Burn (Burn & Pra -Adams, 2015) juga menceritakan tentang inisia fnya untuk membuat kelompok kerja khusus mahasiswa laki-laki calon guru agar mereka bertahan di profesi mengajar mereka. Inisia f seper ini dapat digunakan untuk memberikan dukungan moral dan emosional yang saling menguatkan guru-guru laki-laki. Ia juga menyarankan kelompok kerja seper ini digerakkan oleh guru laki-laki dan

perempuan. Kelompok kerja guru dapat menjadi sarana bagi guru agar mendapatkan bantuan emosional dan prak kal. Sangat pen ng bagi guru-guru laki-laki yang menjadi bagian minoritas di lembaga PAUD untuk tetap bertemu dan berbagi keluh kesah dari pekerjaan mereka.

Selain kedua hal ini, pemerintah dan pihak perguruan nggi juga memiliki peran pen ng dalam mendorong par sipasi laki-laki untuk menjadi guru PAUD. Masyarakat dan pegiat pendidikan juga dapat memberikan kontribusi dalam bentuk inisia f kecil, tapi berdampak dalam komunitas-komunitas pendidikan di sekitar masyarakat. Kegiatan yang sering disebut sebagai grass-roots ac vi es ini dapat membangun persepsi masyarakat dari skala kecil agar bisa lebih menerima dan memahami bahwa ayah juga dapat mengambil peran dalam pendidikan anaknya, dan laki-laki juga bisa menjadi guru PAUD.

Terakhir, perlu dilakukan lebih banyak penelitian dan studi empiris yang melihat bagaimana topik ini sebenarnya dipandang oleh guru, orang tua dan pegiat pendidikan. Hal ini penting karena hasil studi dari konteks negara lain mungkin sulit dikaitkan dengan konteks Indonesia karena latar dan situasi yang berbeda. Dengan adanya bukti empiris, usaha meningkatkan partisipasi laki-laki di sektor PAUD, baik ayah maupun guru laki-laki, akan mendapatkan landasan kuat untuk menentukan langkah selanjutnya yang perlu diambil untuk meningkatkan kualitas PAUD di Indonesia.

Page 21: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

34 35Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

KesimpulanBidang PAUD secara global sudah dianggap

sebagai ‘ranah’ atau domain perempuan. Mulai dari guru hingga orang tua, PAUD dipenuhi oleh guru perempuan dan ibu terlihat seper lebih banyak bertanggung jawab dalam pendidikan anak. Namun demikian, dalam beberapa dekade terakhir, peran pen ng laki-laki dalam kehidupan dan pendidikan anak usia dini semakin disuarakan. Ar kel ini menelusuri kembali literatur yang telah ada dan meluruskan mitos mengenai peran laki-laki dalam perkembangan anak. Faktanya, ibu dan ayah atau perempuan dan laki-laki, memiliki kemampuan dan potensi yang sama dalam mendukung perkembangan dan pendidikan anak. Hal ini selanjutnya juga berimplikasi pada upaya untuk meningkatkan par sipasi guru laki-laki di ins tusi PAUD. Meskipun upaya ini telah lama dilaksanakan, negara-negara di dunia masih mendapa rendahnya proporsi laki-laki dalam sumber daya bidang PAUD. Hal ini terjadi karena masih rendahnya kesadaran seluruh elemen PAUD – orang tua, guru perempuan, pemerintah dan pegiat pendidikan – tentang pen ngnya peran laki-laki. ‘Bapak guru’ atau guru-guru PAUD laki-laki menghadapi banyak tantangan seper ekspektasi yang nggi karena mereka berbeda, namun juga diskriminasi karena mereka berbeda.

Di Indonesia sendiri, masih belum ada langkah konkret yang dilaksanakan secara khusus untuk meningkatkan par sipasi laki-laki di bidang PAUD. Beberapa program telah diluncurkan, namun fokusnya masih lebih mengarah pada penguatan keluarga untuk mendukung pembelajaran anak dan meningkatkan par sipasi anak usia dini di ins tusi PAUD serta meningkatkan mutu tenaga pendidik di satuan PAUD.

Hal ini mungkin terjadi karena PAUD di Indonesia masih dalam tahap peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada,

sehingga inisia f khusus masih belum terbentuk. Rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan peran pen ng laki-laki dalam bidang PAUD adalah melaksanakan kegiatan yang melibatkan ayah di ins tusi PAUD, mendukung dan membuka kesempatan kepada laki-laki untuk memilih jalur PAUD sebagai pilihan karir tanpa prasangka, dan mendukung inisia f dengan skala besar ataupun kecil agar mampu menggeser persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan anak. Terakhir, perlu dilakukan peneli an empiris untuk melihat persepsi dan pengalaman se ap elemen PAUD mengenai topik ini untuk memberikan gambaran dalam konteks Indonesia.

CatatanPendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit.

Tentang penulis

Merysa merupakan alumni penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) program magister luar negeri. Ia menempuh pendidikannya di University of Bristol, United Kingdom, dengan jurusan Educa on (Teaching and Learning) dan lulus dengan predikat Dis nc on (Cum Laude).

Da ar Pustaka

Adriany, V. dan Warin, J. (2014). Preschool teachers’ approaches to care and gender diff erences within a child-centred pedagogy: fi ndings from an Indonesian kindergarten. International Journal of Early Years Education. 22(3), hal. 315–328. doi: 10.1080/09669760.2014.951601.

Ahmad, J. et al. (2018). Jordanian Mothers’ and Female Preschool Teachers’ Perceptions of Men Working in Preschools. Journal of Men’s Studies. 26(1), hal. 77–91. doi: 10.1177/1060826517729507.

Anggun PAUD (2017) PAUD butuh Peran Ayah. [Diakses pada: 3 July 2020]. Tersedia di: http://anggunpaud.kemdikbud.go.id/index.php/berita/index/20170904142652/PAUD-Butuh-Peran-Ayah.

Aram, D. (2010). Writing with young children: A comparison of paternal and maternal guidance. Journal of Research in Reading. 33(1), hal. 4–19. doi: 10.1111/j.1467-9817.2009.01429.x.

Ashley, M. (2001). Caring for the Boys: Lessons from Attachment Theory. [Diakses pada: 3 July 2020]. Tersedia di: http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/00001857.htm

Bhana, D. dan Moosa, S. (2016). Failing to attract males in foundation phase teaching: an issue of masculinities. Gender and Education. 28(1), hal. 1–19. doi: 10.1080/09540253.2015.1105934.

Brandes, H. Andrä, M., Röseler, W., dan Schneider-Andrich, P. (2015). Does gender make a diff erence? Results from the German “tandem study” on the pedagogical activity of female and male ECE workers. European Early Childhood Education Research Journal. 23(3), hal. 315–327. doi: 10.1080/1350293X.2015.1043806.

Brownhill, S. dan Oates, R. (2016). Who do you want me to be? An exploration of female and male perceptions of “imposed” gender roles in the early years. Education 3-13. 45(5), hal. 658–670. doi: 10.1080/03004279.2016.1164215.

Burn, E. dan Pratt-Adams, S. (2015). Men Teaching Children 3–11: Dismantling Gender Barriers. Bloomsbury Academic. doi: http://dx.doi.org/10.5040/9781474219433.ch-001.

Cameron, C. (2006). Men in the Nursery Revisited: Issues of Male Workers and Professionalism.

Contemporary Issues in Early Childhood. 7(1), hal. 68–79. doi: 10.2304/ciec.2006.7.1.68.

Carrington, B. dan Skelton, C. (2003). Re-thinking “role models”: Equal opportunities in teacher recruitment in England and Wales. Journal of Education Policy. 18(3), hal. 253–265. doi: 10.1080/02680930305573.

Choi, J. K. dan Jackson, A. P. (2011). Fathers’ involvement and child behavior problems in poor African American single-mother families. Children and Youth Services Review. 33(5), hal. 698–704. doi: 10.1016/j.childyouth.2010.11.013.

Clark, C. (2009).Why Fathers Matter to Their Children’s Literacy. National Literacy Trust. (June).

Cremers, M., Krabel, J. dan Calmbach, M. (2012) Male Educators in Kitas: A Study on the Situation of Men in Early Childhood Education. Berlin.

Davies, J. (2017). How can we attract more men into London’s Early Years workforce?. London: Fatherhood Institute. [Diakses pada: 25 Juni 2029]. Tersedia di: http://www.fatherhoodinstitute.org/wp-content/uploads/2017/09/MITEY-2017-London-report-1.pdf.

Fagan, J., Iglesias, A. dan Kaufman, R. (2016). Associations among Head Start fathers’ involvement with their preschoolers and child language skills. Early Child Development and Care. 186(8), hal. 1342–1356. doi: 10.1080/03004430.2015.1094654.

Fatherhood Institute (2010) Fatherhood Institute Research Summary: Fathers’ Impact on Their Childrens’ Learning and Achievement. [Diakses pada: 20 June 2020]. Tersedia di: http://www.fatherhoodinstitute.org/2010/fatherhood-institute-research-summary-young-fathers/.

Flouri, E. (2005) Fathering and Child Outcomes, Chichester, West Sussex: John. Wiley & Sons.

Francis, B. (2008). Teaching manfully? Exploring gendered subjectivities and power via analysis of men teachers’ gender performance. Gender and Education. 20(2), hal. 109–122. doi: 10.1080/09540250701797226.

Page 22: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

36 37Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Griffi ths, M. (2006). The feminization of teaching and the practice of teaching: threat or opportunity?. Educational Theory. 56(4), hal. 387–405. doi: 10.1111/j.1741-5446.2006.00234.x.

Hedlin, M., Åberg, M. dan Johansson, C. (2019). Fun guy and possible perpetrator: an interview study of how men are positioned within early childhood education and care. Education Inquiry. 10(2), hal. 95–115. doi: 10.1080/20004508.2018.1492844.

Helbig, M. (2012). Boys do not benefi t from male teachers in their reading and mathematics skills: Empirical evidence from 21 European Union and OECD countries. British Journal of Sociology of Education. 33(5), hal. 661–677. doi: 10.1080/01425692.2012.674782.

Ho, D. dan Lam, H. (2014). A study of male participation in early childhood education: Perspective of school stakeholders. International Journal of Educational Management. 28(5), hal. 498–509.

Johannesen, N. (2010). Status of Gender Equality Work in Norwegian Kindergartens – New Kindergartens in Old Tracks. Presentasi di OMEP Konferenz, 11–13 Agustus, 2010, Gothenberg, Swedia.

Jones, D. (2008). Constructing identities: Perceptions and experiences of male primary headteachers. Early Child Development and Care. 178(7–8), hal. 689–702. doi: 10.1080/03004430802352038.

Koch, B. dan Farquhar, S. (2015). Breaking through the glass doors: men working in early childhood education and care with particular reference to research and experience in Austria and New Zealand. European Early Childhood Education Research Journal. 23(3), hal. 380–391. doi: 10.1080/1350293X.2015.1043812.

Van Laere, K., Peeters, J. dan Vandenbroeck, M. (2012). The Education and Care Divide: The role of the early childhood workforce in 15 European countries. European Journal of Education. 47(4), hal. 527–541. doi: 10.1111/ejed.12006.

Van Laere, K., Vandenbroeck, M., Roets, G., dan Peeters, J. (2014). Challenging the feminisation of the workforce: Rethinking the mind-body dualism in Early Childhood Education and Care. Gender and Education. 26(3), hal. 232–245. doi: 10.1080/09540253.2014.901721.

Lamb, M. E. (2010) The role of the father in child development. 5th ed.Hobroken, NJ: Wiley

Lloyd, N., O’Brien, M. dan Lewis, C. (2003) Fathers in Sure Start. London. The National Evaluation of Sure Start (NESS) Institute for the Study of Children, Families and Social Issues.

Lynch, K. dan Lyons, dan M. (2008). The Gendered Order of Caring. Dalam: Barry, U. ed. Where are We Now? New Feminist Perspectives on Women in Contemporary Ireland. Dublin: Tasc at New Island Press, hal. 4–13. doi: http://dx.doi.org/10.1680/geot.2008.T.003.

Martin, A., Ryan, R. M. dan Brooks-Gunn, J. (2007). The joint infl uence of mother and father parenting on child cognitive outcomes at age 5. Early Childhood Research Quarterly. 22(4), hal. 423–439. doi: 10.1016/j.ecresq.2007.07.001.

Martin, A., Ryan, R. M. dan Brooks-Gunn, J. (2010). When fathers’ supportiveness matters most: maternal and paternal parenting and children’s school readiness. Journal of Family Psychology. 24(2), hal. 145–155. doi: 10.1037/a0018073.

Martino, W. J. (2008). Male teachers as role models: Addressing issues of masculinity, pedagogy and the re-masculinization of schooling. Curriculum Inquiry. 38(2), hal. 189–223. doi: 10.1111/j.1467-873X.2007.00405.x.

Mathwasa, J. dan Okeke, C. I. O. (2016). Educators’ Perspectives on Fathers’ Participation in the Early Childhood Education of Their Children. International Journal of Educational Sciences. 13(2), hal. 172–185. doi: 10.1080/09751122.2016.11890451.

McGrath, K. dan Sinclair, M. (2013). More male primary-school teachers? Social benefi ts for boys and girls. Gender and Education. 25(5), hal. 531–547. doi: 10.1080/09540253.2013.796342.

Menteach. (2019). Data about Men Teachers: Current Population Survey, US Bureau of Labor Statistics. [Diakses pada: 2 July 2020]. Tersedia di: http://www.menteach.org/resources/data_about_men_.

Meuwissen, A. S. dan Carlson, S. M. (2015). Fathers matter: The role of father parenting in preschoolers’ executive function development. Journal of Experimental Child Psychology. 140, hal. 1–15. doi: 10.1016/j.jecp.2015.06.010.

Mistry, M. dan Sood, K. (2015). Why are there still so few men within Early Years in primary schools: views from male trainee teachers and male leaders?. Education 3-13. 43(2), hal. 115–127. doi: 10.1080/03004279.2012.759607.

Moosa, S. dan Bhana, D. (2019). Masculinity as care: men can teach young children in the early years. Early Years. 40(1), hal. 52–66. doi: 10.1080/09575146.2019.1651697.

Munk, K. P., Larsen, P. L., Leander, E. M. B., dan Soerensen, K. (2013). Fear of child sex abuse: Consequences for childcare personnel in Denmark. Nordic Psychology. 65(1), hal. 19–32. doi: 10.1080/19012276.2013.796081.

OECD (2019) Education at a Glance 2019, Education at a Glance: OECD Indicators. Paris: OECD Publishing. doi: 10.1787/f8d7880d-en.

Pancsofar, N. dan Vernon-Feagans, L. (2010). Fathers’ early contributions to children’s language development in families from low-income rural communities. Early Childhood Research Quarterly. 25(4), hal. 450–463. doi: 10.1016/j.ecresq.2010.02.001.

Peeters, J. (2003). Men in childcare: an action-research in Flanders. International Journal for Equity and Innovation in Early Childhood. 1(1), hal. 32–72.

Peeters, J. (2013). Towards a gender neutral interpretation of professionalism in early childhood education and care (ECEC). Spanish magazine of comparative education. 21(2013), hal. 119–144.

Peeters, J., Rohrmann, T. dan Emilsen, K. (2015). Gender balance in ECEC: why is there so little progress?. European Early Childhood Education Research Journal. 23(3), hal. 302–314. doi: 10.1080/1350293X.2015.1043805.

Pratiwi, F. (2016). Kualitas Guru Persoalan Utama Pendidikan Nasional. Republika [Diakses pada: 3 July 2020].Tersedia di: https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/12/01/ohgvmz396-kualitas-guru-persoalan-utama-pendidikan-nasional

Pulsford, M. (2014). Constructing men who teach: Research into care and gender as productive of the male primary teacher. Gender and Education. 26(3), hal. 215–231. doi: 10.1080/09540253.2014.901719.

Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (2019) Statistik PAUD 2018/2019. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Rentzou, K. (2011). Greek parents’ perceptions of male early childhood educators. Early Years. 31(2), hal. 135–147. doi: 10.1080/09575146.2010.530247.

Riany, Y. E., Meredith, P. dan Cuskelly, M. (2016). Understanding the Infl uence of Traditional Cultural Values on Indonesian Parenting. Marriage and Family Review. 53(3), hal. 207–226. doi: 10.1080/01494929.2016.1157561.

Rohrmann, T. (2019). Men as promoters of change in ECEC? An international overview. Early Years. 40(1), hal. 5–19. doi: 10.1080/09575146.2019.1626807.

Ryan, R. M., Martin, A. dan Brooks-Gunn, J. (2006). Is One Good Parent Good Enough? Patterns of Mother and Father Parenting and Child Cognitive Outcomes at 24 and 36 Months. Parenting. 6(2–3), hal. 211–228. doi: 10.1080/15295192.2006.9681306.

Sahabat Keluarga (no date) Sahabat Keluarga. [Diakses pada: 3 July 2020].Tersedia di: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=39.

Sak, R. (2018). Gender Diff erences in Turkish Early Childhood Teachers’ Job Satisfaction, Job Burnout and Organizational Cynicism. Early Childhood Education Journal. 46(6), hal. 643–653. doi: 10.1007/s10643-018-0895-9.

Sak, R., Rohrmann, T., Şahin Sak, İ. T., dan. Schauer, G. (2018). Parents’ views on male ECEC workers: a cross-country comparison. European Early Childhood Education Research Journal. 27(1), hal. 68–80. doi: 10.1080/1350293X.2018.1556535.

Sak, R., Şahin Sak, İ. T. dan Yerlikaya, İ. (2015). Behavior management strategies: beliefs and practices of male and female early childhood teachers. European Early Childhood Education Research Journal. 23(3), hal. 328–339. doi: 10.1080/1350293X.2015.1043807.

Sargent, P. (2004). Between a Rock and a Hard Place: Men Caught in the Gender Bind of Early Childhood Education. The Journal of Men’s Studies. 12(3), hal. 173–192. doi: 10.3149/jms.1203.173.

Page 23: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

3 Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesiapan Bersekolah

Zaenal Abidin

Universitas Muhammadiyah Surakarta,

Indonesia

38 39Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Sarkadi, A., Kristianson, R., Oberklaid, F., dan Bremberg, S. (2008). Fathers’ involvement and children’s developmental outcomes: A systematic review of longitudinal studies. Acta Paediatrica, International Journal of Paediatrics, 97(2), hal. 153–158. doi: 10.1111/j.1651-2227.2007.00572.x

Sobiraj, S., Korek, S., Weseler, D., dan Mohr, G. (2011). When Male Norms Don’t Fit: Do Traditional Attitudes of Female Colleagues Challenge Men in Non-traditional Occupations?. Sex Roles. 65(11–12), hal. 798–812. doi: 10.1007/s11199-011-0057-7.

Sumsion, J. (2000). Negotiating otherness: A male early childhood educator’s gender positioning. International Journal of Early Years Education. 8(2), hal. 129–140. doi: 10.1080/09669760050046174.

Tamis-LeMonda, C. S., Shannon, J. D., Cabrera, N. J., dan Lamb, M. E. (2004). Fathers and mothers at play with their 2- and 3-year-olds: Contributions to language and cognitive development. Child Development. 75(6), hal. 1806–1820. doi: 10.1111/j.1467-8624.2004.00818.x.

Tamis-LeMonda, C. S., Baumwell, L. dan Cristofaro, T. (2012). Parent-child conversations during play. First Language. 32(4), hal. 413–438. doi: 10.1177/0142723711419321.

Warin, J. (2006). Heavy-metal Humpty Dumpty: Dissonant masculinities within the context of the nursery. Gender and Education. 18(5), hal. 523–537. doi: 10.1080/09540250600881683.

Warin, J. (2017). Conceptualising the value of male practitioners in early childhood education and care: gender balance or gender fl exibility. Gender and Education. 31(3), hal. 293–308. doi: 10.1080/09540253.2017.1380172.

Warin, J. (2018) Men in Early Childhood Education and Care: Gender Balance and Flexibility. Palgrave Studies in Gender and Education. doi: 10.1007/978-3-319-89539-0_1.

Warin, J. dan Adriany, V. (2017). Gender fl exible pedagogy in early childhood education. Journal of Gender Studies. 26(4), hal. 375–386. doi: 10.1080/09589236.2015.1105738.

Wohlgemuth, U. G. (2015). Why do men choose to become pedagogues? A profession continuously in pursuit of male colleagues. European Early

Childhood Education Research Journal. 23(3), hal. 392–404. doi: 10.1080/1350293X.2015.1043813.

Wood, P. dan Brownhill, S. (2018). “Absent fathers”, and children’s social and emotional learning: an exploration of the perceptions of “positive male role models” in the primary school sector. Gender and Education. 30(2), hal. 172–186. doi: 10.1080/09540253.2016.1187264.

Xu, Y. dan Waniganayake, M. (2017). An exploratory study of gender and male teachers in early childhood education and care centres in China. Compare: A Journal of Comparative and International Education. 48(4), hal. 518–534. doi: 10.1080/03057925.2017.1318355.

Yulindrasari, H. dan McGregor, K. (2011). Contemporary Discourses of Motherhood and Fatherhood in Ayahbunda, a Middle-Class Indonesian Parenting Magazine. Marriage and Family Review. 47(8), hal. 605–624. doi: 10.1080/01494929.2011.619304.

Abstrak

Kesiapan bersekolah menjadi dasar keberhasilan pendidikan seorang anak untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Kesiapan ini merupakan aspek yang sangat pen ng dan

harus dimiliki oleh se ap anak. Kesiapan bersekolah merupakan pondasi pen ng yang dapat membantu anak mengiku proses belajar. Namun, kenyataan menunjukkan banyak anak di Indonesia belum memiliki kesiapan bersekolah yang baik, umumnya karena guru dan orangtua belum mengelola kesiapan belajar anak. Ar kel ini mengulas berbagai peneli an dan literatur yang mengkaji kaitan antara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan kesiapan bersekolah. Peneli an dan literatur dari berbagai negara menunjukkan bahwa kesiapan bersekolah seorang anak dak hanya bergantung pada usia dan tahap perkembangan anak, karena anak dak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Tumbuh kembang anak juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seper lingkungan sekitar, pola asuh, kondisi kesehatan, dan asupan nutrisi.

Kata kunci: pendidikan anak usia dini; kesiapan bersekolah; transisi belajar.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini38

Page 24: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

40 41Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

PendahuluanAnak adalah penerus bangsa di masa yang

akan datang, sehingga anak-anak harus dididik secara op mal agar masa depan menjadi jauh lebih baik. Keberhasilan pendidikan anak menjadi salah satu fokus perha an orang tua, guru, dan pemerintah. Namun, banyak pihak yang dak memperha kan kesiapan anak untuk bersekolah. Hal ini mengakibatkan, banyak anak yang jenuh belajar, bahkan dak mempunyai mo vasi belajar. Lalu, sebenarnya kapan anak siap untuk bersekolah?

Sejak tahun 2017, Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa semua anak wajib mengiku Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), pasal 3, menjelaskan:

“Penyediaan layanan PAUD bertujuan untuk menyediakan layanan PAUD secara universal untuk semua anak usia dini yaitu sejak lahir sampai berusia 6 (enam) tahun agar memiliki akses terhadap perkembangan dan pengasuhan anak usia dini, pendidikan prasekolah dasar yang berkualitas sebagai persiapan menempuh pendidikan dasar”

Pasal tersebut memperkuat Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa, semua anak yang sudah mencapai usia tujuh tahun, mereka wajib memasuki ngkat Sekolah Dasar (SD). Secara tersirat, aturan tersebut menyatakan bahwa kesiapan bersekolah semua anak di Indonesia ditentukan atas dasar usia kronologis. Seja nya, kriteria kesiapan bersekolah berdasarkan usia anak ini dipelopori oleh Arnold Gesell (1880-1961), dengan menyusun teori yang disebut ‘the Matura onal Theory’. Menurut Gesell

(1925), usia perkembangan anak menentukan keberhasilan dan kesiapan anak bersekolah. Teori ini mengasumsikan bahwa anak yang bertambah usia, maka akan bertambah secara otoma s kemampuan dan keterampilan yang akan mendukung keberhasilan akademik di sekolah.

Bertolak belakang dengan teori dari Gesell, teori perkembangan menyatakan bahwa se ap anak itu unik dan berbeda, sehingga se ap anak memiliki perbedaan dalam proses tumbuh kembang, kecerdasan, dan karakteris k kepribadian. Se ap anak mempunyai lintasannya masing-masing, se ap anak tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang berbeda, sehingga meskipun usia anak sama, namun pertumbuhan dan perkembangan fi sik, sosial, emosional, bahasa, dan kogni f dapat berbeda (S pek, 2002). Berdasarkan dua teori yang bertolak belakang tersebut, usia kronologis dak bisa digunakan sebagai satu-satunya dimensi yang menentukan kesiapan bersekolah seorang anak.

Mengingat pen ngnya kesiapan bersekolah untuk mendukung keberhasilan pendidikan anak di masa mendatang, maka sejak tahun 2009, Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Peneli an dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Universitas Indonesia dan Universitas Atmajaya, telah mengembangkan Tes Kesiapan Bersekolah dengan mengadaptasi lima dimensi kesiapan bersekolah yang disusun oleh The Na onal Educa on Goals Panel (1995). Kelima dimensi tersbut terdiri atas kesehatan fi sik dan perkembangan motorik, kemampuan kogni f, kemampuan sosial-emosional, kemampuan berbahasa, serta mo vasi dan sikap kerja anak. Tes Kesiapan Bersekolah tersebut, pada tahun 2011 dan 2012, telah digunakan untuk melaksanakan pemetaan Kesiapan Bersekolah anak usia dini di 12 provinsi, yaitu, Lampung, Papua, Papua Barat, Daerah Is mewa Yogyakarta, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Banten,

Jawa Timur, Maluku Utara, Bangka-Belitung, dan Nusa Tenggara Barat. Pengambilan data untuk pemetaan Kesiapan Bersekolah dilakukan pada Taman Kanak-Kanak (TK), Kelompok Bermain (KB), dan Satuan PAUD Sejenis, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Selain melakukan pengukuran Kesiapan Bersekolah pada siswa, juga diberikan kuesioner untuk guru (melipu riwayat pendidikan guru, status kepegawaian, dan pendapat guru tentang kesiapan bersekolah) dan orang tua siswa (melipu usia, jumlah anak, pekerjaan, dan pendapat orang tua tentang kesiapan bersekolah).

Namun, pada kenyataanya, banyak ditemui orang tua yang memasukkan anaknya ke SD tanpa memperha kan kesiapan anak. Mereka umumnya mengukur kesiapan anak untuk memasuki jenjang formal dengan melihat dari satu aspek saja, seper kemampuan membaca anak, tanpa memperha kan aspek kematangan perkembangan lainya seper motorik, sosial, dll. Mempersiapkan anak untuk memasuki jenjang pendidikan dasar daklah cukup jika hanya menilai dari kemampuan membaca anak. Kesiapan seorang anak untuk bersekolah juga harus melihat kematangan seluruh aspek perkembangan lainya yang akan mendukung anak untuk memasuki dan menjalani pendidikan dasar yang proses pembelajarannya lebih kompleks.

Terlalu dini memasukkan anak pada jenjang pendidikan dasar tanpa melihat kesiapan anak, akan berakibat nega f pada anak. Anak yang belum siap memasuki jenjang pendidikan dasar akan kurang mandiri, cemas, frustasi, susah menyesuaikan diri, dan kurang konsentrasi pada saat menerima pelajaran. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Burman (2016) bahwa pada beberapa anak yang telah memasuki sekolah dasar sering muncul masalah kemandirian, konsentrasi, relasi sosial, mo vasi, prestasi belajar rendah, tulisan besar dan kasar, keliru menulis huruf

dan angka, belum lancar membaca, dll. Selain itu, terdapat pula masalah yang terkait dengan pola pengasuhan di antaranya: mudah marah, memukul dan menyaki teman. Berkaca pada seluruh permasalahan tersebut, maka kesiapan bersekolah menjadi pen ng bagi seorang anak. Dengan bekal kesiapan tersebut, anak akan mampu mengiku proses belajar dengan baik.

Dari uraian di atas, juga dapat disimpulkan bahwa pengalihan dari jenjang prasekolah dasar ke sekolah dasar daklah mudah. Orang tua harus mempersiapkan anak mereka sebelum memasuki jenjang formal dengan sebaik mungkin, dan dak hanya menilai anak dari kemampuan membaca saja, tetapi juga memperha kan kesiapan anak baik dari segi psikologis maupun mental secara menyeluruh, sehingga anak siap memasuki jenjang pendidikan selanjutnya dengan baik.

Kesiapan BersekolahKesiapan bersekolah dak bisa lepas dari

tahap perkembangan anak (Hoskisson, 1977). Hampir seluruh sekolah hanya menggunakan kriteria usia kronologis sebagai tolok ukur dalam menentukan kesiapan belajar (Mollborn & Dennis, 2012). Menurut Lewit & Baker (1995), sampai saat ini masih belum ada kejelasan dan kesepakatan dari para ahli terkait konsep kesiapan bersekolah dan cara untuk menilai dan mengukurnya. Kagan & Rigby (2003) menyatakan bahwa kesiapan anak terbagi menjadi dua bagian, yaitu Kesiapan Bersekolah (readiness to school) dan Kesiapan Belajar (readiness to learn). Kesiapan Bersekolah adalah kesiapan anak untuk memenuhi tuntutan akademik yang berkaitan dengan aspek-aspek kogni f seper menulis, membaca, dan berhitung. Sedangkan Kesiapan Belajar adalah kesiapan anak yang berkaitan dengan tahap perkembangan anak, yang ditandai dengan capaian kapasitas kemampuan anak untuk belajar di sekolah.

Page 25: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

42 43Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Para ahli perkembangan anak menyatakan, se ap anak memiliki perbedaan kecepatan tumbuh kembang, sehingga usia kronologis dak bisa dijadikan sebagai acuan kesiapan

bersekolah (Kagan, 2003). Perbedaan tumbuh kembang anak ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kondisi ekonomi keluarga dan kesehatan fi sik anak (Ladd, Herald, & Kochel, 2006). Sejumlah peneli an menunjukkan, kesiapan bersekolah anak juga dipengaruhi oleh kesehatan fi sik anak, dan status sosio-ekonomi orang tua (Mar nez-Perez, 2013; Wesley & Buysse, 2003; Williams, 2007).

Menurut Wesley & Buysse (2003), konsep kesiapan bersekolah seharusnya dak hanya dilihat dari kesiapan anak untuk bersekolah, namun juga kesiapan sekolah untuk menerima anak dari berbagai latar belakang dan tumbuh kembang yang berbeda. Masa transisi anak dari rumah ke sekolah juga akan berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri anak di sekolah (Ladd dkk., 2006). Keberhasilan anak menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah juga akan memengaruhi hasil belajarnya.

Se daknya terdapat empat pandangan teori s yang sering menjadi acuan mengenai konsep kesiapan bersekolah (Mehaffi e & McCall, 2002), yaitu:

1. Na vist/Maturasionist, menjelaskan kesiap-an bersekolah akan mengiku tahap perkem-bangan anak, sehingga meng asumsikan bahwa usia anak sangat berperan pen ng dalam menentukan kesiapan bersekolah.

2. Empiricist/environmental, menjelaskan ke-siap an bersekolah dapat dilihat dari peng-ua saan terhadap keterampilan yang men-dukung keberhasilan secara akademis, misalnya, mengenal angka, warna, huruf, bentuk, dan sebagainya.

3. Social construc vist, menjelaskan bahwa standar kesiapan bersekolah ditentukan

oleh lingkungan tempat anak nggal dan berkembang.

4. Interac onist, menjelaskan bahwa kesiapan bersekolah merupakan hasil dari interaksi antara kemampuan anak dan dukungan dari lingkungan.

Indikator Kesiapan BersekolahBerbagai literatur menyatakan bahwa

kesiapan bersekolah merupakan sebuah konsep yang rumit, dak hanya melipu keterampilan dan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung saja, tetapi juga konsep yang bersifat mul dimensional, yaitu kesehatan fi sik dan perkembangan motorik, kemampuan kogni f, kemampuan sosial-emosi, kemampuan berbahasa, serta mo vasi dan sikap kerja anak (Bri o, 2012; Burke & Burke, 2005; Kagan, 2003; Na onal Educa on Goals Panel, 1995). Hingga saat ini, defi nisi kesiapan bersekolah masih menjadi perdebatan para ahli pendidikan (Saluja dkk., 2000; Sco -Li le dkk., 2006). Bahkan menurut Bri o (2012), ada sekitar 150 defi nisi kesiapan bersekolah yang ditemukan melalui pencarian dengan ‘Google Scholar’. Dalam ar kel ini, defi nisi kesiapan bersekolah mengacu kepada defi nisi dari The Na onal Educa on Goals Panel (1995), yang menyatakan bahwa kesiapan bersekolah melipu enam dimensi, yaitu, kesehatan fi sik dan perkembangan motorik, kemampuan kogni f, kemampuan sosial-emosi, kemampuan berbahasa, serta mo vasi dan sikap kerja anak.

Kesehatan fi sik dan perkembangan motorikPeneli an menunjukkan, kesehatan fi sik dan perkembangan motorik, terutama kemampuan motorik halus menjadi prediktor yang baik untuk menentukan keberhasilan akademis anak (Docke & Perry, 2009; Kagan, 2003). Kesehatan fi sik melipu nggi, berat, dak menderita

penyakit, dan cacat fi sik. Kemudian, perkembangan motorik kasar melipu kemampuan berjalan, berlari, melompat, memanjat. Terakhir, perkembangan motorik halus melipu kemampuan menggun ng, melipat, menempel, dan mewarnai.

Perkembangan sosial-emosionalKemampuan anak dalam mengendalikan emosi, juga sangat berperan dalam keberhasilan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan berinteraksi dengan guru dan teman sebayanya (Docke & Perry, 2009; Kagan, 2003). Kemampuan sosial-emosional melipu berbagai emosi yang paling sering dialami oleh anak, baik di rumah maupun sekolah, misalnya marah, sedih, senang, takut, khawa r. Kemampuan anak memahami emosi orang lain, misalnya memahami bahwa temannya sedang senang, sedih, takut, marah, khawa r. Kemampuan berinteraksi dengan guru dan teman sebaya, misalnya kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa, memahami instruksi guru, dan mengemukakan keinginannya dengan bahasa.

Perkembangan kogni f dan pengetahuan umumKemampuan kogni f dan pengetahuan umum menunjukkan akumulasi pengalaman dan hasil belajar anak sebelum memasuki sekolah. Dari pengalaman dan hasil belajar tersebut, anak mendapatkan pengetahuan dan informasi baru tentang berbagai hal yang berguna untuk menyelesaikan permasalahan di sekolah (Docke & Perry, 2009; Kagan, 2003). Kemampuan kogni f melipu kemampuan mengenal bentuk, warna, ukuran, dan jarak benda, kemampuan mengelompokkan benda berdasar bentuk, warna, dan ukuran benda, sertamengenal huruf dan angka.

Perkembangan bahasa dan kemampuan berkomunikasiPerkembangan bahasa sangat mendukung anak dalam berinteraksi dengan orang lain, misalnya mengungkapkan keinginan, perasaan, dan pengalaman anak, serta memahami pembicaraan (Docke & Perry, 2009; Kagan, 2003). Kemampuan berbahasa melipu bahasa lisan dan tulisan, seper memahami perkataan orang lain; mengungkapkan keinginan, perasaan, dan pengalaman dengan bahasa lisan; bertanya kepada orang lain; memahami cerita yang dibacakan; dan mencontoh tulisan.

Mo vasi dan sikap kerjaMo vasi dan sikap kerja anak sangat mendukung keterlibatan anak dalam proses belajar mengajar di sekolah. Anak yang terlibat ak f dalam pembelajaran memiliki kesiapan yang baik untuk bersekolah dibanding anak yang pasif. Mo vasi dan sikap kerja melipu rasa ingin tahu, krea vitas, kemandirian, kemampuan bekerjasama dengan orang lain, serta ketekunan kerja (Docke & Perry, 2009; Kagan, 2003). Kriteria mo vasi dan sikap kerja melipu kemampuan memusatkan perha an pada tugas; krea vitas; ketekunan kerja; memiliki minat untuk belajar; memiliki rasa ingin tahu.

Proses mempersiapkan anak untuk bersekolah telah dimulai jauh sebelum anak memasuki sekolah, dan menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat (Docke & Perry, 2009). Faktor keluarga (seper pekerjaan, status sosial, keterlibatan orangtua dan pola asuh), serta dukungan dari masyarakat (seper tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan anak, tempat bermain, dan fasilitas pendidikan anak usia dini) berperan pen ng dalam mempersiapkan anak memasuki sekolah. Upaya yang dapat dilakukan orang tua agar anak dapat

Page 26: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

44 45Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

mencapai kesiapan bersekolah sangat bervariasi, misalnya, memasukkan anak ke lembaga PAUD maupun memberikan pola asuh yang mendukung kemandirian anak. The Na onal Educa on Goals Panel (1995) membagi komponen kesiapan bersekolah menjadi ga, yaitu: (i) kesiapan anak untuk bersekolah (children’s readiness for school); (ii) kesiapan sekolah untuk anak (school readiness for children); dan, (iii) dukungan dan layanan dari keluarga dan masyarakat (family and community support and services). Ke ga komponen tersebut menunjukkan bahwa kesiapan bersekolah dak hanya dilihat dari karakteris k anak semata, tetapi juga harus dilihat kontribusi keluarga dan masyarakat.

Tes Kesiapan BersekolahDari hasil penelusuran literatur, ada beberapa

tes kesiapan bersekolah yang sering digunakan secara internasional, misalnya Gesell School Readiness Test (GSRT). Item pada tes ini melipu menulis, menggambar, koordinasi visual motorik, dan ekspresi verbal anak (Janus & Off ord, 2007). Hingga kini GSRT masih banyak digunakan, terutama sebagai alat observasi di bidang psikologi klinis (Lichtenstein dalam Janus & Off ord, 2007). Selanjutnya adalah The Early Development Instrument (EDI: alat ukur kesiapan bersekolah bagi anak-anak yang akan memasuki Sekolah Dasar. Tes ini berbentuk checklist, mengukur kesehatan fi sik, kompetensi sosial, mo vasi belajar, kematangan emosi, perkembangan bahasa, perkembangan kognisi, kemampuan berkomunikasi, dan pengetahuan umum. Selain itu masih ada beberapa tes lain, misalnya The Peabody Picture Vocabulary Test (PPVT), Developmental Indicator for the Assessment of Learning (DIAL-R), The Phelps Kindergarten Readiness Scale, dan The Lollipop Test.

Indonesia belum memiliki tes kesiapan bersekolah yang dikembangkan khusus untuk anak. Tes kesiapan bersekolah yang sering digunakan adalah tes NST (Nijmeegse

Schoolbekwaamheid Test) yang mengukur kematangan anak dalam kemampuan kogni f, motorik, dan sosial emosi (Marwa dkk., 2017). Namun, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang, Kemendikbud sudah mengembangkan instrumen untuk mengukur kesiapan bersekolah di Indonesia. Instrumen tersebut disusun berdasarkan lima dimensi dari The Na onal Educa on Goals Panel (NEGP) (1995), yaitu: kesehatan fi sik, perkembangan sosio-emosi, bahasa, motorik, dan mo vasi belajar. Instrumen Kesiapan Bersekolah terdiri atas empat subtes, yaitu subtes kemampuan motoric: motorik kasar, motorik halus, kogni f, bahasa, dan sosioemosi.

Subtes Kogni f terdiri atas Persepsi Bentuk Visual, yang mengukur kemampuan mengenali konsep ukuran (konsep jauh-dekat, besar-kecil, banyak- sedikit, panjang-pendek, dan nggi-rendah), angka, hitungan sederhana, bentuk dan perbedaan bentuk.

Subtes Motorik Kasar mengukur kemampuan motorik kasar, seper menjaga keseimbangan badan, keseimbangan kaki, tangan, serta koordinasi kaki dan tangan berirama.

Subtes Motorik Halus mengukur kemampuan motorik yang mendukung ak vitas menulis, terdiri atas keterampilan memegang alat tulis, menggun ng kertas, mewarnai, melakukan tracing dan menyalin bentuk geometris, serta menuliskan nama sendiri.

Subtes Bahasa mengukur keterampilan resep f dan ekspresif dalam bahasa serta jumlah kosa kata dan persepsi bunyi (auditory), yaitu mengukur kemampuan mengenali bunyi bahasa. Item terdiri atas instruksi lisan, kosa kata, dan merespon s mulus bahasa. Pemecahan masalah mengevaluasi anak dalam memecahkan permasalahan sehari-hari. Jenis soal ada yang berupa prak k (puzzle), dan ada yang berupa pertanyaan verbal.

Subtes sosioemosi terdiri atas empat

sub aspek, yaitu kemandirian, komunikasi, kemampuan membina hubungan, dan sikap kerja. Yang dimaksud sebagai keterampilan sosial emosi yaitu kemampuan mengendalikan emosi dalam bersosialisasi, seper kemandirian, kemampuan berkomunikasi, membina hubungan, dan sikap dalam menyelesaikan tugas.

Selain instrumen kesiapan bersekolah, juga disusun kuesioner untuk guru dan orang tua yang mengetahui kondisi kesehatan anak, keluarga, komunitas, dan pelayanan kesehatan masyarakat dan sekolah, serta keterlibatan orang tua dan guru sebagai data pendukung pemetaan kesiapan bersekolah.

Pembelajaran Anak Usia Dini Tugas perkembangan anak usia

prasekolahPerkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan atau skills dalam struktur dan fungsi tubuh yang kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses kematangan. Hal ini behubungan dengan adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem jaringan yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan ngkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Doherty & Hughes, 2009).

Periode pen ng dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan memengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.

Pada masa ini, perkembangan kemampuan berbahasa, krea vitas, kesadaran sosial, kesadaran emosional, dan intelegensi berjalan sangat cepat. Perkembangan psikososial sangat dipengaruhi lingkungan dan interaksi anak dengan orangtuanya.

Perkembangan anak akan op mal apabila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangan. Havighurst (1961) mengar kan tugas perkembangan sebagai suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu yang apabila tugas itu berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya, namun apabila gagal maka akan mengakibatkan ke dakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya.

Tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku, atau keterampilan yang sekiranya dimiliki oleh individu sesuai dengan usia atau fase perkembangannya, seper tugas yang berkaitan dengan perubahan kematangan, pendidikan, pekerjaan, pengalaman beragama dan hal lainnya sebagai prasyarat untuk pemenuhan dan kebahagiaan hidupnya.

Menurut Hurlock (1999), tugas perkembangan anak usia 4-5 tahun adalah mempelajari keterampilan fi sik yang diperlukan untuk permainan umum; membangun sikap yang sehat mengenal diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh; belajar menyesuaikan diri sesuai dengan anak seusianya; mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat; mengembangkan keterampilan–keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung; mengembangkan penger an–penger an yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari; mengembangkan ha nurani, penger an moral dan ngkat nilai; dan mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga; dan Mencapai kebebasan pribadi.

Page 27: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

46 47Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Karakteris k anak usia prasekolahAnak usia prasekolah mempunyai karakteris k yang berbeda dengan anak usia pada masa lainnya (Doherty & Huges, 2009). Karakteris k anak usia prasekolah yaitu:

Usia Bermasalah, anak-anak di usia ini sudah merasa menjadi individu yang berbeda dari individu lain sehingga tututan untuk menjadi mandiri sangat besar di dalam dirinya.

Usia Menjelajah, rasa ingin tahu anak–anak usia prasekolah sangat besar terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungannya. Hal ini tergambar dari beberapa pertanyaan yang sering anak-anak ucapkan misalnya bagaimana itu bisa terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa suatu benda menjadi bagian dari benda tertentu, dan sebagainya.

Usia Bermain dan Usia Bertanya, anak-anak banyak menghabiskan waktu mereka untuk bermain, hampir sepanjang hari tampak selalu ingin bermain.

Usia Prakelompok, di usia ini mereka mulai belajar dasar-dasar perilaku sosial, mulai belajar bekerjasama, belajar bergan an, belajar bersaing dengan teman-temannya, belajar menunda keinginannya, meniru perilaku teman, merasakan simpa dan lain sebagainya.

Usia Meniru, di usia ini anak sangat suka meniru pembicaraan dan perilaku orang lain, baik yang dilihatnya langsung maupun lewat media lainnya.

Transisi pembelajaran dari PAUD ke pendidikan dasarTransisi merupakan isu pen ng untuk dibahas. Hal ini sangat berkaitan erat dengan lingkungan anak khususnya di lembaga PAUD. Peters (2010) menjelaskan bahwa PAUD berfokus pada perkembangan anak dan pembelajaran yang menyenangkan,

sedangkan pendidikan dasar berfokus pada bidang pelajaran, terutama pada tujuan literasi dan matema ka. Namun, seringkali isu transisi ini belum sepenuhnya disadari oleh orang tua dan lingkungan PAUD maupun pendidikan dasar. Mwangi (2016) mengungkapkan, pembelajaran anak usia dini saling terkait dan saling tergantung pada semua aspek perkembangan. Namun, pada prak knya, sebagian besar ins tusi PAUD lebih meni kberatkan dan menjejalkan penguasaan kogni f akademis, sementara afek f dan psikomotori seolah dinomorduakan. Fenomena ini menciptakan ketatnya persaingan untuk masuk SD berlabel favorit. Kondisi ini menyebabkan banyak orang tua berupaya meningkatkan kompetensi anak sejak dini dengan melakukan segala cara. Padahal prak k ini mungkin akan menyingkirkan pengalaman belajar yang seharusnya dapat membantu anak berkembang sesuai masanya.

Alasan lain mengapa transisi dianggap pen ng adalah kenyataan bahwa transisi dapat menghambat kesuksesan akademik anak di kelas awal SD. Beberapa peneli an menjelaskan, kesuksesan akademik anak dapat terhalang ke ka dak disertai dengan kesiapan pada saat berada pada jenjang PAUD (Walsh, 2003). Penyebab hal tersebut diperkirakan karena ke daksiapan anak untuk memasuki SD. Sebenarnya sebagian guru PAUD sepakat bahwa transisi melipu : menumbuhkan rasa ingin tahu, perkembangan emosional, penggunaan bahasa, perkembangan kogni f dan pengetahuan umum (Rosenkoe er dkk., 1991). Berdasarkan konsensus tersebut, upaya pengembangan seluruh potensi anak sejak dini di ins tusi PAUD menjadi sangat pen ng, utamanya dalam transisi (Ramli, 2003). Peters (2010) juga menambahkan,

keberhasilan anak dak dapat didasarkan hanya pada perilaku eksternal dan perilaku yang dapat diama saja.

Sejalan dengan pendapat di atas, luputnya isu transisi juga sering diabaikan orang tua yang sering kali fokus pada sisi akademik saja. Wu & Chiang (2014) menambahkan bahwa keluarga merupakan konteks yang paling luas dan sangat erat serta berpengaruh terhadap sosialisasi anak. Beberapa peneli an menyuarakan kepriha nan atas kegagalan transisi yang disebabkan oleh keluarga. Peneli an-peneli an yang dilakukan di Amerika Serikat, Inggris, dan Irlandia telah menyuarakan kepriha nan yang signifi kan atas perubahan yang terjadi akibat situasi keluarga, seper peningkatan kelahiran di luar nikah dan sejauh mana pengetahuan tentang transisi (Canavan, 2014; Panico, 2012). Hasil perbandingan antara orang tua yang utuh dan orang tua tunggal atau mengalami perceraian, menunjukkan perkembangan kogni f dan sosial emosional anak menjadi terganggu, hal yang sama juga terjadi pada orang tua. Kondisi berbeda dapat terjadi karena dipengaruhi faktor kemiskinan, dan kualitas pengasuhan anak. Semua faktor ini dapat merusak kapasitas dan kualitas pengasuhan anak (Berger, 2012; Hall & Monica, 2009).

Selain kesuksesaan akademik dan keluarga, transisi juga memiliki keterkaitan erat dengan kesejahteraan di sekolah, keterlibatan dalam belajar, dan iden tas sebagai pelajar. Anak harus mendapat kesempatan mengembangkan rasa memiliki di lingkungan sekolah mereka. Peneli an di Inggris yang dilakukan oleh Bulkeley & Fabian (2014) membuk kan askpek sosial emosional merupakan dasar yang kuat bagi anak agar dapat mengeksplorasi dan menjadi pembelajar ak f di jenjang pendidikan dasar. Anak akan mengembangkan rasa

memiliki, dak hanya terhadap keberhasilan sekolah, tetapi juga terhadap kesuksesan di kemudian hari.

Merasakan adanya kecocokan dalam belajar di sekolah juga menjadi hal yang pen ng dalam transisi. Peters & Educa on (2010) berpendapat, anak diperbolehkan menegakan haknya untuk dak dibeda-bedakan dalam keberhasilannya bersekolah, tetapi lebih menyoro nilai dalam proses yang ada di se ap diri individu anak. Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa anak harus berpakaian, berbicara, bermain dan berprilaku yang baik serta sesuai aturan di sekolah. Bi erberg (2013) menjelaskan pendapat yang berbeda, menurutnya, rasa memiliki lebih berkaitan dengan mengetahui diri sendiri sehingga orang lain menerima dan menghargai se ap individu.

Hubungan dalam pembelajaran juga berperan dalam transisi, terutama jika guru ingin mengenal anak dengan cukup baik untuk menemukan topik pembelajaran dan tantangan yang menarik. Hal ini diungkapkan oleh Beck (2018) bahwa, jika digambarkan, keadaan pembelajaran yang diberikan guru dianggap sebagai proses menyenangkan dan akan menjadi tantangan besar yang menciptakan frustasi, kekhawa ran dan kecemasan pada anak, sementara tantangan yang terlalu sedikit dapat menyebabkan kebosanan. Dalam masa transisi, hal ini menjadi pen ng untuk dipelajari agar dapat terus mengalami keadaan yang akan memberi penghargaan dan dengan adanya tantangan yang semakin kompleks (Nakamura & Csikszentmihalyi, 2009). Sering kali akan ada ke dakcocokan antara tantangan dan anak yang mengalami permasalahan di sekolah.

Anak-anak juga memerlukan keterlibatan pembelajaran sebagai bagian dari transisi

Page 28: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

48 49Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

yang sukses. Roseline (2013) memberikan buk keterlibatan mendalam di dalam kelas satu SD yang menjadi peris wa keseimbangan antara kemampuan dan tantangan. Namun, Mwangi (2016) justru berpendapat sebaliknya: pembelajaran yang terlalu mudah telah terbuk juga bermasalah, terutama untuk siswa yang berbakat. Meskipun keterlibatan dalam pembelajaran dipandang sebagai aspek kunci dari transisi yang sukses, Broekhuizen dkk. (2016) dalam studi kasus kecilnya menjelaskan bahwa kurikulum sekolah mencerminkan frustrasi beberapa guru karena menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan dalam memenuhi tuntutan sekolah dan pendekatan belajar, ternyata menentang perkembangan keterlibatan anak dalam belajar (Kelly & White, 2013).

Berdasarkan pemaparan di atas, peneli an-peneli an lebih fokus membahas peran guru, keluarga dan keterlibatan pembelajaran dalam proses transisi, serta belum adanya kesadaran akan adanya transisi ini, sehingga kurikulum memiliki pengaruh yang besar terhadap proses transisi. Namun, peneli an yang membahas mengenai bagaimana kurikulum memfasilitasi transisi belajar masih terbatas. Berdasarkan temuan tersebut, ar ken ini membahas presepsi transisi pemrbalajaran dari PAUD ke pendidikan dasar di njau dari dimesi kurikulum, orang tua, guru dan pengambil kebijakan pendidikan.

Transisi KurikulumSistem pendidikan anak usia dini yang dak

menonjolkan ketaatan terhadap peraturan sekolah, memperkuat pemahaman bahwa ins tusi PAUD adalah tempat bermain sambil belajar. Meskipun lembaga PAUD dianggap sebagai tempat bersekolah, kebijakan-kebijakan dan aturan pendidikan dak

terlalu mengikat. Hal ini berbeda dengan Sekolah Dasar, di mana anak mulai belajar menaa peraturan, mengiku perintah guru, membentuk tanggung jawab dalam mengerjakan tugas dan lain sebagainya. Seper sudah diungkapkan sebelumnya, memahami makna kesiapan bersekolah dak hanya terbatas pada kesiapan secara akademik saja. Anak yang sudah mampu membaca, berhitung, dan menulis dianggap sebagai anak yang sudah siap memasuki dunia sekolah, padahal jika dilihat dalam bingkai yang lebih luas, kesiapan akademik bukanlah satu-satunya faktor penentu kesiapan anak untuk bersekolah. Kesiapan pada aspek-aspek lain juga pen ng diperha kan. Dengan demikian, maka harus di njau kembali bagaimana kurikulum yang ada di lapangan, sehingga mengetahui transisi kesiapan bersekolah ini dilaksanakan atau justru diabaikan.

The Na onal Educa on Goals Panel (NEGP, 1995) menyatakan lima dimensi yang berperan dalam kesiapan bersekolah, melipu kesehatan fi sik dan perkembangan motorik, perkembangan sosial-emosional, perkembangan kogni f, perkembangan bahasa, serta mo vasi dan sikap kerja anak. Di sisi lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan UNICEF dan World Bank telah mengevaluasi program PAUD di Indonesia dan menemukan bahwa para guru mengajari anak-anak untuk menghafal angka dan huruf agar lulus tes Kesiapan Bersekolah untuk masuk sekolah dasar favorit (Hasan dkk., 2013; UNESCO, 2005). Para peneli merekomendasikan peneli an lebih lanjut untuk meneli kesiapan bersekolah dan transisi ke sekolah dengan melibatkan persepsi orang tua, anak, dan guru.

Presepsi Transisi Di njau dari Pihak Orang Tua dan Guru

Kesiapan bersekolah diar kan oleh Barne dkk. (2011) sebagai kemampuan anak untuk mencapai ngkat perkembangan emosi, fi sik,

dan kognisi yang memadai sehingga anak mampu atau berhasil dengan baik di sekolah. Sementara menurut Brenner (1957), kesiapan anak untuk bersekolah adalah kematangan persepsi dan kemampuan untuk menganalisa serta mengintegrasikan apa yang telah diterimanya. Menurut Papalia dkk. (2007), rentang usia sekolah dasar adalah 7-12 tahun. Saat memulai bersekolah, sebagian anak merasakan ke daknyamanan, mereka mengalami ketegangan dan kecemasan untuk bersekolah. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem lingkungan sosial yang cukup signifi kan bagi anak.

Hal inilah yang sering kali menjadi k tekan orang tua dalam menentukan kesiapan anak memasuki sekolah. Selain kemampuan akademik, kemampuan kogni f lain yang perlu diperha kan adalah bagaimana kemampuan ketajamaan penglihatan anak, kemampuan membedakan benda, kemampuan membedakan mana fi gure (fokus) dan mana ground (latar belakang), dapat mengiku instruksi, tenang dan dapat memusatkan perha an. Kesiapan emosi dapat dilihat dari sikap anak yang dapat menger perasaan orang lain, sabar dalam menunggu giliran, menunjukkan sikap yang mudah diatur oleh guru, berani dan merasa nyaman saat di nggal orang tuanya, dak mudah marah, dapat mendengarkan pembicaraan orang lain, dak egosentris, mampu meregulasi diri secara

baik, menerima guru sebagai pelindungnya di sekolah, memahami tanggung jawab pribadi, melakukan ak vitas secara mandiri.

Kesiapan secara sosial juga dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menyesuaikan diri kepada guru dan teman-temannya. Anak dapat bekerja sama di dalam kelompok, mau membantu dan berbagi kepada teman, mengontrol perilaku saat berinteraksi kepada orang lain, berteman dan berinteraksi dengan teman sebaya atau orang dewasa, serta mampu menerima dan mengekspresikan dengan bahasa ak f.

Dukungan beberapa faktor psikologis terhadap kesiapan anak bersekolah merupakan faktor kontribu f terhadap suksesnya anak di sekolah. Anak dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang diterapkan, memahami perintah guru serta mampu mengiku pembelajaran tentang pengetahuan maupun keterampilan yang diberikan guru secara baik sampai waktu pulang ba. Demikian indikasi kesiapan yang dapat dijadikan patokan bagi orang tua. Selain indikator perilaku seper telah dipaparkan, terdapat tes khusus yang digunakan untuk mengetahui kesiapan anak bersekolah secara lebih konkret, dikenal dengan NST.

Hasil-hasil peneli an terdahulu menunjukkan adanya perbedaan pemahaman antara orang tua, anak dan guru mengenai konsep kesiapan bersekolah dan transisi posi f ke sekolah (Brandt & Grace, 2005; Mollborn & Dennis, 2012; Sco dkk., 2006; Winter, dkk., 2007). Banyak orang tua cenderung menganggap transisi ke sekolah akan berjalan mulus bila didukung dengan kesiapan kemampuan anak yang berkaitan dengan kesiapan sosio-emosi, motorik dan bahasa (Barbarin dkk., 2008; Puccioni, 2015; Smith, 2012).

Transisi ke sekolah dak hanya melibatkan anak, namun juga keluarga, sekolah, dan masyarakat. Transisi dari PAUD ke pendidikan dasar merupakan suatu bentuk transisi ver kal, di mana anak berubah status dari jenjang pendidikan yang rela ve informal dan nonformal, menuju jenjang pendidikan formal yang lebih nggi ngkatannya. Selama fase transisi ini

seorang anak harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, iden tas sosial, jaringan sosial, serta metode belajar mengajar.

Kebijakan tentang PAUD Pra-Sekolah Dasar

Pendidikan pra-sekolah dasar atau PAUD satu tahun sebelum SD bukan bentuk layanan baru, melainkan upaya/program pemerintah

Page 29: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

50 51Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

untuk memberikan layanan PAUD kepada semua anak Indonesia, se daknya selama satu tahun sebelum masuk SD. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 tahun 2018 pasal 9 menjelaskan:

(1) Pembelajaran dalam PAUD dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan berpusat pada anak dalam konteks bermain sesuai dengan ngkat pencapaian perkembangan anak.

(2) Pembelajaran dalam PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengop malkan seluruh potensi perkembangan anak dengan dak mengutamakan kemampuan baca, tulis, dan hitung.

(3) Pembelajaran dalam PAUD dak menggunakan pendekatan skolas k yang memaksa peserta didik secara fi sik maupun psikis untuk memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.PAUD mempunyai peran pen ng dalam

menyiapkan anak untuk bertumbuh-kembang hingga dewasa, termasuk menyiapkan anak masuk pendidikan yang lebih nggi. Peran pen ng PAUD melipu penumbuh-kembangan enam aspek, yaitu kogni f, agama dan moral, fi sik-motorik, bahasa, sosial emosional, dan seni. Dalam aspek kogni f, 80 persen perkembangan otak anak terjadi pada usia emas 0-8 tahun (Shapper & Kipp, 1996) dan PAUD berperan selama enam tahun dari periode usia emas tersebut. Pengembangan aspek-aspek agama dan moral, fi sik-motorik, bahasa, sosial emosional, dan seni juga sudah harus dimulai ke ka anak masih usia dini sebagai dasar bagi pengembangan aspek-aspek tersebut pada pendidikan di masa selanjutnya.

Namun, pada kenyataannya, di Indonesia hampir semua lembaga PAUD masih mencoba mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung dengan alasan tuntutan dari orang tua dan syarat masuk ke sekolah dasar. Sehingga ak vitas dilakukan berorientasi pada tuntutan orang tua.

Negara Kebijakan dan Praktik

Praktik: Pembelajaran dilakukan menggunakan play based learning. Semua kegiatan bermain, dan lembaga pendidikan disetting seperti rumah. Tidak ada tuntutan anak untuk bisa menguasai membaca, menulis dan menghitung. Anak difasilitasi kemampuan dasar, hanya jika anak tersebut siap untuk belajar.

(Zeng, 2016; Kangas dkk., 2019, Reunamo & Suomela, 2013)

Jepang Karakter adalah hal yang menjadi muatan utama dalam pembelajaran anak usia dini. Fokus pembelajaran adalah mengajarkan disiplin dan tata krama. Selain itu, kesetaraan untuk semua pihak menjadi salah satu fokus pendidikan di jepang.

Implikasinya pembelajaran dilakukan selalu memuat karakter-karakter yang harus diaplikasikan seperti:

• mengantri untuk melatih disiplin;• berbagi makanan untuk menumbuhkan

jiwa sosial dan empati;• bazar, untuk melatih komunikasi dan

percaya diri;• pameran karya

(Yamashita & Mayusama, 2019;Takahashi, dkk., 2015)

Singapore Semua anak harus masuk lembaga PAUD sebelum masuk SD, capaian target lulusannya adalah:

• tahu apa yang benar dan apa yang salah;

• bersedia untuk berbagi dan bergiliran dengan orang lain;

• bisa berhubungan dengan orang lain; • ingin tahu dan dapat menjelajah; • dapat mendengarkan dan berbicara

dengan pengertian; • merasa nyaman dan bahagia dengan

diri mereka sendiri; • telah mengembangkan koordinasi

fi sik dan sehat.(Clarke & Sharpe, 2013; Ling-Yin 2006)

Implikasi Kegiatan yang Memfasilitasi Anak Hal yang harus dilakukan

Berdasarkan kajian literatur dan peneli an empirik, berikut adalah beberapa ak vitas yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi anak agar mempunyai kesiapan bersekolah dan belajar (Polkki & Vornanen, 2016; Reunamo & Suomela, 2013; Balashov & Rosenberg, 2002; Marsh, 2009; English & Moore, 2018; Cross, Woods, & Schweingruber, 2009; Burman, 2016).1. Sering mengajak anak mengunjungi

lingkungan di luar rumah, agar anak terbiasa dengan berbagai lingkungan yang ada, misalnya pasar, warung, dan rumah tetangga. Dengan melakukan ak vitas ini, anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat, sehingga tumbuh kesadaran kalau interaksi bersama orang lain merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan.

2. Membangun komunikasi dengan menanyakan pada anak, hal-hal yang telah dilakukannya pada hari itu. Hargailah se ap jawaban anak. Hindari pertanyaan yang diajukan bertubi-tubi karena akan membuat anak kesal dan akhirnya dak mau bercerita. Anak selalu memiliki rasa ingin diakui keberadaannya dan menjadi pusat perha an orang terdekatnya, sehingga salah satu caranya dengan membangun komunikasi dengan anak.

3. Berkunjung ke SD yang ada di dekat rumah atau SD yang akan dituju kelak dan berkenalanlah dengan guru- guru di sana. Hal ini berguna bagi anak agar dak malu dan mudah menyesuaikan

diri dengan lingkungan baru. Kalau sering berkunjung dan berkenalan dengan guru-guru di sana, anak pun akan terbiasa dengan lingkungan sekolahnya kelak.

Bertolak belakang dengan sistem pembelajaran di Indonesia, di beberapa negara maju justru ak vitas di PAUD sangat berfokus pada kegiatan-kegiatan yang dapat mens mulus perkembangan anak secara komprehensif. Sebagai gambaran, pelaksanaan PAUD di beberapa negara dapat dilihat pada tabel berikut:

Negara Kebijakan dan Praktik

Amerika Serikat

Negara adidaya ini mempunyai sistem pembelajaran PAUD dengan kebijakan memfasilitasi segala perbedaan: ras, fi sik, dan bahasa. Semua anak usia 4-6 tahun harus memiliki akses terhadap institusi PAUD, sebagai salah satu usaha untuk memfasilitasi kesiapan bersekolah. Kurikulum yang digunakan berfokus pada kecerdasan majemuk sehingga mengganggap semua anak pintar dalam bidangnya masing-masing.

Implikasi kebijakan dalam pembelajaran adalah:• anak selalu diminta berkelompok

dalam bermain, tanpa memilih teman;• terdapat penilaian secara berkala

untuk mengetahui kelebihan anak;• mengkomunikasikan perkembangan

secara berkala dan meminta kerjasama orang tua untuk memfasilitasi kelebihan anak.

(Brown & Lan, 2018; Samuelsson, 2008)Finlandia Kebijakan:

Negara dengan sistem pendidikan terbaik ini memiliki kebijakan yang menyatakan bahwa anak berusia 1 – 6 tahun wajib mengikuti pre-school yang terbagi menjadi daycare dan lembaga PAUD. Kebijakan ini berlaku untuk semua anak dengan pertimbangan pekerjaan orang tua. Jika salah satu orang tua anak bekerja, maka anak diberikan waktu 20 jam selama seminggu. Apabila kedua orang tuanya bekerja, anak diperbolehkan bermain di daycare dan institusi PAUD lebih dari 20 jam perminggu. Kebijakan ini mempertimbangkan pentingnya peran orang tua baik ibu ataupun ayah dalam menemani dan memfasilitasi perkembangan anak.

Page 30: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

52 53Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

4. Ajak anak untuk menyalurkan kegiatan fi siknya secara lebih terarah. Banyak sekali kegiatan motorik yang bisa dilakukan baik secara individu maupun kelompok, baik dengan temannya ataupun justru dengan orang tua. Semua anak memiliki keinginan untuk selalu bermain dan bergerak, sehingga anak-anak harus difasilitasi untuk melakukan kegiatan yang menuntut gerak fi sik.

5. Perbanyak kegiatan yang menunjang perkembangan motorik halus seper bermain tanah liat, membuat tulisan di atas pasir atau tepung dengan menggunakan jari tangan, membantu ibu menggiling adonan, membantu ibu memeras santan, dan lainnya.

6. Ciptakan kondisi belajar sambil bermain sehingga anak terbiasa bahwa belajar itu menyenangkan. Belajar dak harus selalu dengan kertas dan pensil, belajar merupakan transfer pengetahuan dan transfer nilai.

7. Hargai se ap hasil karya anak. Salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu penghargaan. Belajar untuk menghargai semua karya yang dihasilkan, perilaku baik yang dicontohkan, keterampilan baru yang dikuasai, sehingga anak justru termo vasi untuk menghasilkan karya, perilaku dan keterampilan yang jauh lebih baik.

8. Jawablah se ap pertanyaan anak, namun jika dak tahu, katakanlah secara terus terang. Anak memiliki rasa ingin tahu yang nggi, sehingga sangat wajar jika seorang anak akan bertanya hal-hal yang dilihat, didengar, dirasakan, walaupun menurut orang dewasa hal yang dak pen ng. Namun, hal tersebut merupakan hal yang sangat pen ng buat anak-anak.

9. Sebetulnya, kita diperbolehkan untuk

mengenalkan keterampilan dasar, jika kita mau memperkenalkan anak dengan kegiatan menulis, membaca, dan berhitung. Akan tetapi lakukan melalui kegiatan yang menyenangkan dan sambil bermain sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.

Ak vitas yang dak boleh dilakukan1. Memaksa anak belajar menulis,

membaca, atau berhitung di saat anak belum siap. Mengakibatkan anak menjadi dak menguasai keterampilan dasar dengan baik, anak cepat merasa bosan belajar, hasil belajar dak op mal, dan proes perkembangan anak yang dak dilalui dengan baik.

2. Menuntut terlalu nggi pada anak. Misalnya, anak harus bisa menulis dengan rapi, padahal secara perkembangan baru mengenal huruf. Hal ini mengakibatkan anak dak mempunyai percaya diri karena merasa dak dihargai. Anak merasa menjadi orang yang selalu salah dan takut melakukan sesuatu.

3. Membandingkan dengan anak lain. Se ap anak berkembang dan bertumbuh pada rutenya masing-masing. Secara general, memang ada tahapan perkembangan dan pertumbuhan berdasarkan usia. Namun, seharusnya dak perlu khawa r jika anak masih dalam tahapan perkembangannya walaupun secara kemampuan ada yang lebih baik dari dia. Seharusnya, fokus terhadap kelebihan yang dimiliki oleh anak tersebut dan fasilitasi kelebihannya agar menjadi sebuah prestasi.

KesimpulanKesiapan bersekolah merupakan hal yang

pen ng diperha kan agar perkembangan anak selalu terfasilitasi dengan op mal. Kesiapan bersekolah bukan hanya urusan akademik yang mencakup kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Namun, mencakup Kesehatan fi sik dan perkembangan motorik, perkembangan Sosial-emosional, erkembangan kogni f dan pengetahuan umum, perkembangan bahasa dan kemampuan berkomunikasi, mo vasi dan sikap kerja. Persepsi orang tua tentang kemampuan akademik yang menjadi tolak ukur kesiapan bersekolah membuat banyak sekali PAUD yang akhirnya menerapkan kegiatan membaca, menulis dan berhitung menjadi salah satu muatan pembelajaran dan kompetensi yang harus dikuasai. Seharusnya, PAUD adalah tempat untuk anak mengeksplor berbagai macam ak vitas yang dapat merangsang perkembangan anak secara komprehensif melalui bermain atau belajar sambil bermain (play based learning). Sehingga anak justru akan op mal berkembang, dan siap secara perkembangan nan nya untuk bersekolah. Selain di PAUD, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua di rumah untuk memfasilitasi anak siap bersekolah dengan cara mengajak bermain ke SD, selalu berkomunikasi dengan anak tentang ak vitas yang sudah dilakukan, menghargai dan mengapreasiasi semua karya, keterampilan dan perilaku yang baik dan berkembang.

CatatanPendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit.

Tentang penulis

Zaenal Abidin merupakan alumni penerima Beasiswa yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Ia menyelesaikan studi program Master pada Program Studi Pendidikan Dasar di Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2018 dengan nilai 3,91 dari skala 4,00. Sekarang, ia menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Da ar Pustaka

Al‐Hassan, S.M. and Lansford, J.E. (2009). Child, family and community characteristics associated with school readiness in Jordan. Early Years, 29(3), pp.217-226.

Balashov, Y. and Rosenberg, A. eds. (2002). Philosophy of science: contemporary readings. Psychology Press.

Barnett, W.S., Carolan, M.E., Fitzgerald, J. and Squires, J.H. (2011). The state of preschool 2011. National Institute for Early Education Research, 6.

Bitterberg, A. (2013). Feeling a Sense of Belonging in the Early Childhood Centre: An Exploration into a Community of Practice.

Brenner, A. (1957). Nature and meaning of readiness for school. Merrill-Palmer Quarterly (1954-1958), 3(3), pp.114-135.

Brizuela, L.A. (2012). Hispanic Preschoolers’ School Readiness: A Study Examining the Impact of Cultural, Social-emotional, and Sociodemographic Factors (Doctoral dissertation, Texas A & M University).

Page 31: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

54 55Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Broekhuizen, M. L., Mokrova, I. L., Burchinal, M. R., & Garrett-Peters, P. T. (2016). Classroom quality at pre-kindergarten and kindergarten and children’s social skills and behavior problems. Early Childhood Research Quarterly.

Bronfenbrenner, U. (1994). Ecological models of human development. Readings on the development of children, 2(1), pp.37-43.

Brooks-Gunn, J. and Markman, L.B. (2005). The contribution of parenting to ethnic and racial gaps in school readiness. The future of children, pp.139-168.

Brown, C.P. and Lan, Y.C. (2018). Understanding families’ conceptions of school readiness in the United States: a qualitative metasynthesis. International Journal of Early Years Education, 26(4), pp.403-421.

Bulkeley, J. and Fabian, H. (2006). Well-being and belonging during early educational transitions. International Journal of Transitions in Childhood, 2(2006), pp.18-31.

Burke, C.J. and Burke, W.M. (2005). Student-ready schools. Childhood Education, 81(5), pp.281-285.

Burman, E., 2016. Deconstructing developmental psychology. Taylor & Francis.

Canavan, J. (2012). Family and family change in Ireland: An overview. Journal of Family Issues, 33(1), pp.10-28.

Clarke, C. and Sharpe, P. (2003). Transition from preschool to primary school: An overview of the personal experiences of children and their parents in Singapore. European Early Childhood Education Research Journal, 11(sup1), pp.15-23.

Cooper, C.E., McLanahan, S.S., Meadows, S.O. and Brooks‐Gunn, J. (2009). Family structure transitions and maternal parenting stress. Journal of Marriage and Family, 71(3), pp.558-574.

Cross, C.T., Woods, T.A. and Schweingruber, H.E. (2009). Mathematics learning in early childhood: Paths toward excellence and equity. National Academies Press.

Csikszentmihalyi, M. and Csikzentmihaly, M. (1990). Flow: The psychology of optimal experience (Vol. 1990). New York: Harper & Row.

Dockett, S. and Perry, B. (2009). Readiness for school: A relational construct. Australasian journal of early childhood, 34(1), pp.20-26.

Doherty, J. and Hughes, M. (2009). Child development: Theory and practice 0-11.

Egalite, A.J. (2016). How family background infl uences student achievement: can schools narrow the gap?. Education Next, 16(2), pp.70-79.

English, L.D. and Moore, T. eds. (2018). Early engineering learning. Springer.

Havighurst, R.J. (1961). The nature and values of meaningful free-time activity. Aging and leisure, pp.309-344.

Hoskisson, K. (1977). Reading readiness: three viewpoints. The Elementary School Journal, 78(1), pp.45-52.

Hurlock, E.B. (1999). Developmental Psychology; An Approach Throughout Range Life. Interpreting: Istiwidayati & Soedjarwo. Fifth Edition. Jakarta: Erlangga.

Janus, M. and Off ord, D.R. (2007). Development and psychometric properties of the Early Development Instrument (EDI): A measure of children’s school readiness. Canadian Journal of Behavioural Science/Revue canadienne des sciences du comportement, 39(1), p.1.

Janus, M., Walsh, C., Viverios, H., Duku, E. and Off ord, D. (2003). School readiness to learn and neighbourhood characteristics. In Poster presented at the Biennial meeting of the Society for Research on Child Development, Tampa, FL.

Kagan, S.L. (2003). Children’s readiness for school: Issues in assessment. International Journal of Early Childhood, 35(1-2), p.114.

Kagan, S.L. and Rigby, E. (2003). Policy matters: Setting and measuring benchmarks for state policies: Improving the readiness of children for school: Recommendations for state policy-a discussion paper for the policy matters project. Center for the Study of Social Policy.

Kagan, S.L. (2003). Children’s readiness for school: Issues in assessment. International Journal of Early Childhood, 35(1-2), p.114.

Kangas, J., Harju-Luukkainen, H., Brotherus, A., Kuusisto, A. and Gearon, L. (2019). Playing to learn in Finland: Early childhood curricular and operational context. Policifi cation of Early Childhood Education and Care Early Childhood Education in the 21st Century Volume III.

Kelly, J. and White, J. (2013). The Ngahere Project: Teaching and learning possibilities in nature settings. Wilf Malcolm Institute of Educational Research.

Ladd, G.W., Herald, S.L. and Kochel, K.P. (2006). School readiness: Are there social prerequisites?. Early education and development, 17(1), pp.115-150.

Landsberg, R. (2013). Transition to school; The next phase of the child’s learning and development. Te Iti Kahurani. School of Education e-Journal, 1, pp.30-32

Lewit, E.M. and Baker, L.S. (1995). School readiness. The future of children, pp.128-139.

Ling-Yin, L.A. (2006). Steering debate and initiating dialogue: A review of the Singapore preschool curriculum. Contemporary Issues in Early Childhood, 7(3), pp.203-212.

Marsh, C.J. (2009). Key concepts for understanding curriculum. Routledge.

Martinez-Perez, F.A. (2013). The impact of socioeconomic status on elementary student achievement in rural South Texas schools. Texas A&M University-Kingsville.

Mehaffi e, K.E. and McCall, R.B. (2002). Kindergarten readiness: An overview of issues and assessment. Special Report. University of Pittsburg Offi ce of Child Development. University Center for Social and Urban Research.

Mollborn, S. and Dennis, J.A. (2012). Ready or not: Predicting high and low school readiness among teen parents’ children. Child indicators research, 5(2), pp.253-279.

Mwangi, M.W. (2016). Parental Involvement And Strategies Used By Teachers In Supporting Children’s Transition From Pre-Primary To Primary School In Kiambu County.

Nakamura, J. and Csikszentmihalyi, M. (2014). The concept of fl ow. In Flow and the foundations of positive psychology (pp. 239-263). Springer, Dordrecht.

Nyland, B. and Alfayez, S. (2012). Learning Stories–crossing borders: introducing qualitative early childhood observation techniques to early childhood practitioners in Saudi Arabia. International Journal of Early Years Education, 20(4), pp.392-404.

Osborne, C., Berger, L.M. and Magnuson, K. (2012). Family structure transitions and changes in maternal resources and well-being. Demography, 49(1), pp.23-47.

Panel, E.G. (1995). The national education goals report: Building a nation of learners. Washington, DC: US Government Printing Offi ce.

Panico, L. (2012). Family structure and child health (Doctoral dissertation, UCL (University College London).

Papalia, D.E., Olds, S.W., and Feldman, R.D. (2007). Human Development. Boston: McGraw-Hill.

Peters, S. (2010). Literature review: Transition from early childhood education to school. Report to the Ministry of Education, New Zealand.

Pölkki, P.L. and Vornanen, R.H. (2016). Role and success of Finnish early childhood education and care in supporting child welfare clients: perspectives from parents and professionals. Early Childhood Education Journal, 44(6), pp.581-594.

Ramli, M. (2016). Transisi Konsep Pendidikan Dasar dan Wajib Belajar: Analisis Terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional (1950--2003). Jurnal Ilmu Pendidikan, 16(1).

Rosenkoetter, S.E., Whaley, K.T., Hains, A.H. and Pierce, L. (2001). The evolution of transition policy for young children with special needs and their families: Past, present, and future. Topics in Early Childhood Special Education, 21(1), pp.3-15.

Page 32: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

4 StrategiPlay Based Learning untuk Pendidikan Anak Usia Dini

Eka Oktavianingsih

Universitas Trunojoyo Madura, Indonesia

56 57Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Dalam beberapa tahun terakhir, strategi play based learning atau pembelajaran berbasis bermain menjadi topik yang banyak dibahas, baik secara nasional maupun internasional. Banyak peneli an membahas tentang manfaat dan kelebihan dari strategi pembelajaran ini, dan penerapannya pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini. Akan tetapi, data kuan tas maupun kualitas menunjukkan bahwa penerapan play based learning di PAUD Indonesia belum menunjukkan hasil op mal. Ar kel ini membahas tentang dasar teori s strategi play based learning yang kemudian dielaborasi menjadi implementasi kurikulum berbasis bermain di PAUD, yang terdiri atas peran guru dalam persiapan lingkungan dan material, penyusunan rencana kegiatan bermain, dan proses asesmen atau penilaian. Ar kel ini juga menguraikan beragam tantangan penerapan strategi play based learning yang sering ditemui dalam pembelajaran anak usia dini.

Kata kunci: play based learning; anak usia dini; bermain; pembelajaran; guru.

Reunamo, J. and Suomela, L. (2013). Education for sustainable development in early childhood education in Finland. Journal of Teacher Education for Sustainability, 15(2), pp.91-102.

Saluja, G., Scott-Little, C. and Cliff ord, R.M. (2000). Readiness for School: A Survey of State Policies and Defi nitions.

Samuelsson, I.P. and Fleer, M. eds. (2008). Play and learning in early childhood settings: International perspectives (Vol. 1). Springer Science & Business Media.

Scott-Little, C., Kagan, S. L., & Frelow, V. S. (2006). Conceptualization of readiness and the content of early learning standards: The intersection of policy and research? Early Childhood Research Quarterly, 21(2), pp.153-173.

Shaff er, D.R. and Kipp, K. (1996). Development psychology. Childhood and Adolescence, pp.428-455.

Seward, R.R. and Stanley-Stevens, L. (2014). Fathers, fathering, and fatherhood across cultures. In Parenting Across Cultures (pp. 459-474). Springer, Dordrecht.

Stipek, D. (2002). At what age should children enter kindergarten? A question for policy makers and parents. Social Policy Report, 16(2), pp.1-20.

Takahashi, Y., Okada, K., Hoshino, T. and Anme, T. (2015). Developmental trajectories of social skills during early childhood and links to parenting practices in a Japanese sample. PloS One, 10(8), p.e0135357.

UNICEF. (2012). School readiness: A conceptual framework. United Nations Children’s Fund: New York.

Wesley, P.W. and Buysse, V. (2003). Making meaning of school readiness in schools and communities. Early Childhood Research Quarterly, 18(3), pp.351-375.

Williams, S.T. (2007). School Readiness: A Multifaceted, Developmental Approach. University of California, Davis.

Wu, J.C.L. and Chiang, T.L. (2015). Family structure transitions and early childhood development in Taiwan: Evidence from a population-based birth cohort study. International Journal of Behavioral Development, 39(3), pp.275-284.

Yamashita, J. and Masuyama, M. (2019. Socioeconomic Status and School Readiness in Japan.

Zeng, B. (2016). Study on the model of preschool education in Finland. Asian Social Science, 12(10), pp.163-166.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini56

Page 33: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

58 59Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

PendahuluanDewasa ini, pembelajaran di ngkat

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) lebih fokus kepada hal-hal yang bersifat akademik, seper membaca, menulis, dan berhitung. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi guru PAUD. Para guru harus mampu mengintegrasikan standar akademik melalui Developmentally Appropriate Prac ce (DAP) atau prak k pembelajaran yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Namun, pada kenyataannya, hal ini bukan perkara mudah. Pembelajaran anak usia dini yang berfokus pada aspek akademik terus meningkat, sedangkan s mulasi melalui bermain menjadi berkurang (Pyle & Danniels, 2017). Di sisi lain, banyak guru menghadapi dilema dan bertanya-tanya bagaimana mereka dapat memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak. Beberapa di antara mereka bahkan masih berpendapat bahwa bermain dan belajar merupakan dua kegiatan terpisah (Fesseha & Pyle, 2016).

Salah satu strategi yang dianggap terbaik dalam pembelajaran anak usia dini adalah play based learning. Bermain merupakan ak vitas yang berpusat pada anak, karena anak melakukannya secara sukarela, terlibat ak f, dak kaku, dan memiliki kebebasan untuk memilih (Edwards, 2017). Melalui bermain, anak secara diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Bermain memberikan banyak manfaat bagi seluruh aspek perkembangan anak, di antaranya dalama hal perkembangan motorik, perkembangan intelektual (berpikir simbolik, berbahasa, berpikir logis, berpikir kri s), perkembangan krea vitas dan imajinasi, perkembangan emosional (kontrol diri, harga diri, kepercayaan diri, kemandirian), dan perkembangan sosial-moral (interaksi sosial, standar moral kelompok). Andiar & Felicia

(2019) mengungkapkan bahwa play based learning merupakan strategi yang lebih efek f dan lebih memberdayakan kemampuan anak apabila dibandingkan dengan strategi yang berpusat pada guru. Belajar melalui bermain akan memberikan kesempatan kepada anak untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui kegiatan yang menyenangkan, bukan dengan kegiatan yang monoton.

Pada konteks PAUD di Indonesia, kurikulum nasional yang ada, yaitu Kurikulum 2013, telah dikembangkan sebagai panduan pembelajara di ngkat Satuan PAUD. Beberapa prinsip dari Kurikulum 2013 meni kberatkan proses belajar melalui bermain, berpusat pada anak, dan pembelajaran ak f. Ar kel ini mengulas kajian teori s play based learning, termasuk defi nisi dan konsep play based learning sebagai pusat kurikulum PAUD, asesmen, dan tantangan dalam menerapkan strategi pembelajaran berbasis bermain ini.

Kerangka Teori s Play Based LearningStrategi play based learning di PAUD

berkembang dan bermuara pada teori konstruk vis, yang dicetuskan oleh Jean Piaget dan Lev Vygostky. Teori konstruk vis percaya bahwa anak usia dini memiliki potensi untuk secara ak f membangun pengetahuannya sendiri melalui eksplorasi lingkungan. Secara sederhana, teori ini mendorong diterapkannya pendekatan berpusat pada anak atau yang sering kita sebut dengan student center approach.

Berbeda dengan teori tabularasa dari John Locke yang mengibaratkan anak seper kertas pu h yang diwarnai oleh lingkungan sekitar, teori konstruk vis memandang bahwa pengetahuan anak diperoleh melalui proses mental yang ak f melalui pengalaman (Wa ers & Diezmann, 1998). Proses belajar ak f tersebut memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan benda-benda, orang-orang, ide-ide, dan peris wa di sekitar lingkungannya.

Belajar ak f juga memberikan kesempatan anak untuk ber ndak secara langsung, melibatkan penemuan-penemuan, dan pemecahan masalah.

Apabila kita menilisik teori teori konstruk vis kogni f Piaget, maka anak dapat dikatakan sebagai seorang scien st yang memiliki kemampuan untuk menyelidiki dan mengeksplorasi dunia di sekitarnya, dan kemudian menyusun pemahamannya sendiri. Dalam penyusunan pemahaman dalam diri anak, Piaget menyebutkan adanya proses asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi, pengetahuan-pengetahuan baru dari pengalaman dimasukkan ke dalam struktur yang sudah ada secara adap f (Hoorn, Nourot, Scales, & Alward, 2007). Pada ranah anak usia dini, proses akomodasi diperoleh melalui kegiatan bermain. Sebagai contoh: ke ka anak bermain pewarna makanan, ternyata anak menemukan warna hijau dari pencampuran warna biru dan kuning. Ak vitas tersebut memberikan kontribusi pengetahuan kepada anak tentang terbentuknya warna hijau. Akomodasi merupakan bentuk penyesuaian kogni f anak yang disebabkan adanya perbedaan informasi yang diterima anak dengan informasi yang telah ada di otak. Proses mental tersebut juga dapat terjadi pada anak melalui ak vitas bermain. Sebagai contoh: ke ka anak membuat playdough sendiri, dia tau bahwa ada kegiatan mencampur antara tepung, pewarna, minyak, garam dan air. Akan tetapi, si anak belum mengetahui seberapa banyak takaran dari masing-masing bahan untuk membuat playdough. Percobaan pertama, si anak membuat adonan playdough terlalu encer, setelah anak mencoba menambahkan tepung beberapa kali, maka adonan playdough menjadi sempurna. Proses penyesuaian ini menunjukkan kemampuan anak dalam mengubah pengetahuan yang sudah anak miliki sebelumnya.

Teori kontruk vis sosial tentang Zone of Proximal Development (ZPD), scaff olding, dan peran bahasa dalam pembelajaran anak

Vygotsky memperkuat teori kontruk vis di PAUD. Dalam pandangan Vygotsky, bermain pada periode usia dini dapat berkembang dari orientasi benda di sekitar menjadi orientasi sosial dengan anak lain. Teori ZPD berfokus pada area perkembangan anak usia dini yang diukur antara kemampuan yang benar-benar telah dicapai dan kemampuan yang dapat dicapai dengan bantuan orang lain. Dalam mengembangkan kemampuan yang belum dicapai itu, anak memerlukan bantuan dari orang tua, guru, maupun teman sebaya yang lebih mampu (Verenikina, 2010). Hal ini menegaskan bahwa kemajuan proses mental dalam diri anak akan terjadi apabila anak berinteraksi dengan orang yang lebih berpengalaman. Melalui proses scaff olding, kemudian guru dan teman sebaya yang lebih mampu akan membimbing dan membantu anak mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Peran bahasa semakin mempermudah anak dalam mengomunikasikan ide atau gagasan hingga akhirnya anak mencapai pemahaman yang diharapkan. Teori Vgotsky ini menyeimbangkan kemampuan anak dalam membangun pengetahuan secara ak f dan peran serta guru dan teman sebaya dalam proses pembelajaran anak usia dini.

Play-based learning akan mendukung ZPD anak. Selama bermain, anak akan menunjukkan kemampuan dan perilaku di atas rata-rata dari yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan melalui bermain, anak akan mendapatkan scaff olding dalam kondisi yang alamiah dari guru dan teman sebaya yang lebih mahir . Proses bermain juga memungkinkan terjadinya komunikasi antaranak. Dalam konteks ini, bermain menjadi sangat menguntungkan bagi perkembangan anak. Bermain menjadi ak vitas terbaik bagi anak, karena anak dapat bebas, memiliki kendali penuh atas dirinya, dapat menggunakan atau dak menggunakan alat permainan, dan dapat melakukannya di mana saja (Saghir, Hussain, Batool, Si ar, & Malik, 2016). Bermain terjadi karena dorongan alamiah dari

Page 34: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

60 61Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

anak, sehingga hal ini menjadi poin plus untuk dijadikan proses belajar bagi anak.

Defi nisi dan Konsep Play Based Learning Apa itu play based learning?

Bermain (play) diar kan Hurlock (1978) sebagai se ap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan tanpa memper mbangkan hasil akhir, dan dapat dilakukan secara sukarela tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Bermain merupakan bagian yang dak terpisahkan dari dunia anak. Adapun pengaruh bermain bagi perkembangan anak usia dini menurut Hurlock di antaranya: mengop malkan perkembangan fi sik, mendorong proses komunikasi, menyalurkan energi emosional yang terpendam, menyalurkan kebutuhan dan keinginan, menjadi sumber belajar, mengembangkan wawasan diri, belajar bermasyarakat, mempelajari standar moral, belajar bermain sesuai peran jenis kelamin, dan mengembangkan kepribadian.

Play based learning merupakan kegiatan belajar melalui bermain. Belajar melalui bermain muncul didasarkan pada kealamiahan anak untuk terlibat ak f berdasarkan minat dan kekuatannya, serta meningkatkan keterampilannya. Play based learning merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang menyenangkan dan dipimpin oleh anak dengan bimbingan orang dewasa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya (Weisberg, Zosh, & Hirsh-Pasek, 2013). Saat anak mulai bermain, mereka akan lebih termo vasi dan senang untuk belajar, sehingga secara dak sadar mengembangkan kemampuannya. Oleh sebab itu pembelajaran untuk anak usia dini lebih sesuai jika dikemas dengan menggunakan kegiatan bermain.

Play based learning memberikan kesempatan kepada anak untuk memahami diri, orang lain, dan lingkungannya. Melalui pembelajaran berbasis bermain, banyak manfaat yang dapat diperoleh anak untuk mengembangkan

keterampilan dan pengetahuannya, terma-suk pemecahan masalah, berpikir logis, bersosialisasi dengan orang lain, menghargai perbedaan, dan belajar berkolaborasi. Kualitas dari pembelajaran berbasis bermain dipercaya lebih baik di njau dari kesejahteraan sosial emosional anak dan kemampuan kogni fnya jika dibandingkan dengan pembelajaran tradisional (Margaret, Mcguinness, Sproule, & Trew, 2010). Belajar melalui melalui kegiatan bermain yang menyenangkan bahkan diklaim dapat memunculkan keterampilan belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Anak akan lebih menyukai kegiatan belajar, karena belajar bagi anak bukan lagi menjadi kegiatan yang membosankan dan minim ak vitas.

Wolfgang & Wolfgang (Hanline, 1999)mengklasifi kasikan jenis-jenis bermain pada anak usia dini menjadi ga, yaitu bermain konstruksi, bermain simbolik, dan bermain sensori motor. Apabila dikaitkan dengan usia dan ngkat perkembangan anak, maka durasi dan jenis bermainnya juga berbeda-beda. Semakin nggi usia anak, semakin sedikit porsi bermain sensorimotor dan semakin besar porsi bermain konstruksi. Pada usia ga sampai dengan empat tahun, porsi bermain ke ganya menjadi seimbang, 30% bermain sensorik, 40% bermain simbolik, dan 30% bermain konstruksi. Penjelasan tentang jenis-jenis bermain pada anak usia dini adalah sebagai berikut.

1. Bermain sensorimotorBermain sensorimotor memberikan kesempatan pada anak untuk belajar tentang dunianya melalui panca indera dan interaksi fi sik dengan lingkungannya. Ak vitas ini sesuai untuk anak berusia nol sampai dengan dua tahun, seiring kemampuan sirkuler (kemampuan menyesuaikan diri) pada bayi (Rubin & Pepler, 1982). Bermain sensorimotor melibatkan motorik halus dan kasar anak. Contoh dari bermain sensorimotor adalah

berlari, memanjat, bermain pasir, mengocok botol berisi biji-bijian, meraba benda kasar dan halus, menangkap, dan mencium berbagai macam bau.

2. Bermain simbolikBermain simbolik merupakan kegiatan bermain imajina f yang melibatkan tarnsformasi orang, benda, atau peris wa yang menjadi khayalan atau pura-pura (Hanline, 1999). Bermain simbolik makro dilakukan ke ka anak sendiri yang memainkan peran sebagai tokoh orang/hewan/benda, sedangkan bermain simbolik mikro dilakukan ke ka anak menggunakan miniatur/simbol yang mewakili subjek sebenarnya yang diperankan. Menurut Piaget, bermain simbolik umumnya sering dilakukan anak usia di atas ga tahun.

3. Bermain konstruksiBermain konstruksi merupakan jenis kegiatan bermain di mana anak menggunakan satu atau lebih bahan untuk membuat bentuk baru dengan melibatkan kemampuan fi sik dan representasi dari bermain pura-pura (Readdick & Chapman, 1992). Sebagai contoh: anak menggunakan bermacam-macam bentuk lego untuk membuat sebuah menara, kemudian memainkan menara tersebut seolah-olah seper menara sungguhan. Bermain konstruksi menjadi ak vitas yang menyenangkan dan menarik bagi anak, karena kegiatan tersebut merupakan wujud curahan imajinasi pikirannya akan sebuah objek.

4. Bermain digitalKonsep dari bermain digital sangat berhubungan dengan munculnya era digital sebagai sebuah konteks budaya bagi perkembangan dan pertumbuhan anak usia dini di abad ke-21. Bermain digital dilakukan dengan melibatkan berbagai perangkat teknologi seper komputer, tablet, maupun smartphone. Peneli an dari Marklund & Dunkels (2016) menyebutkan jika tablet dan

permainan digital dapat dimanfaatkan secara tepat dalam konteks PAUD untuk mendukung literasi dan kemampuan individual anak. Namun demikian, paparan anak terhadap perangkat teknologi harus diperha kan dengan baik. Dalam hal ini, pendampingan dan kebijaksanaan orang tua dan dewasa di sekitar anak memiliki peran yang sangat pen ng.

Persiapan lingkungan dan material dalam play based learning

Sebelum menyusun kegiatan bermain dalam pembelajaran, guru perlu memper mbangkan banyak hal, seper minat dan kemampuan anak, ngkat pencapaian perkembangan anak, jenis-

jenis kegiatan bermain, kurikulum PAUD dari pemerintah (Kurikulum 2013), serta konteks dan kondisi lembaga PAUD. Play based learning dak akan terjadi tanpa adanya persiapan dari guru. Guru juga berperan dalam persiapan lingkungan fi sik untuk mendukung minat anak terhadap ak vitas sehingga kemampuan yang ingin dikembangkan dapat tercapai (Hanline, 1999. Sebagai contoh, apabila tujuan pembelajaran adalah untuk mengenalkan warna merah dan kuning, maka lingkungan juga harus dipersiapkan untuk memajang dan menampilkan warna-warna tersebut. Balok berwarna merah dan kuning dimasukkan ke dalam area balok, apel plas k merah dan apel plas k kuning diletakkan di dalam area bermain peran, cat warna merah dan kuning dimasukkan pada area seni, serta sekop merah dan kuning diletakkan di kotak pasir.

Guru memiliki banyak kesempatan untuk merencanakan lingkungan dan benda/material sehingga tujuan dari pembelajaran dapat tercapai melalui ak vitas bermain. Barble (2010) menyebutkan bahwa kesiapan lingkungan merupakan hal pen ng dalam mendukung penerapan play based learning bagi anak usia dini. Guru sebaiknya juga perlu mempersiapkan lingkungan fi sik dan sosial yang mendukung.

Page 35: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

62 63Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

1. Lingkungan fi sik mencakup tata ruang tempat, furniture, dan sumber belajar. Guru perlu memper mbangkan pelibatan sumber belajar dengan tujuan untuk mendukung anak mengeksplorasi, menyelidiki, dan belajar dari ak vitas bermain.

2. Lingkungan sosial dan emosional mencakup keamanan, kehangatan, dan hubungan yang ramah, sehingga anak akan merasa didukung penuh untuk mengeksplorasi dan mengambil risiko. Hubungan yang hangat ini dak hanya perlu dibangun antara guru dan anak, melainkan antara anak dan teman sebaya, sehingga anak akan belajar membangun pertemanan, memahami aturan kelompok, peduli, empa , dan mampu mengatur emosi ke ka bergaul.

Hasil pengamatan terhadap ak vitas bermain anak dapat dijadikan per mbangan bagi guru untuk memilih benda/material bermain yang akan membantu anak mempelajari konsep dan mengembangkan pemahamannya. Bahan/material yang bersifat open-ended akan memancing kemampuan anak untuk berpikir krea f dan memecahkan masalah (Brewer, 2007). Selain itu, bahan tersebut akan memberikan kesempatan kepada anak untuk bebas membuat apapun dan memungkinkan masing-masing anak untuk memiliki imajinasi yang berbeda-beda. Bahan tersebut dapat berupa benda semi cair yang dak memiliki bentuk pas , seper pasir, air, balok, ran ng, kerang, dan bahan bongkar pasang yang lainnya. Anak yang memainkan balok akan menyusun sebuah bentuk baru yang merupakan representasi dari imajinasinya.

Guru juga dapat memanfaatkan material looseparts baik dari alam/natural dan sintesis/buatan untuk mendukung kegiatan bermain bagi

anak usia dini. Material looseparts dapat berupa benda-benda alam, logam, plas k, dan potongan-potongan kayu (Gull, Bogunovich, Goldstein, & Rosengarten, 2019). Sebagai contoh, material ini dapat digunakan ke ka bermain membuat istana, di mana beberapa aspek perkembangan anak dapat ters mulasi. Anak akan belajar untuk mengomunikasikan sudut pandangnya, bereksperimen dengan benda, memanipulasi benda, dan belajar untuk bekerja sama. Dalam pengggunaan looseparts, guru perlu memper mbangkan aspek keamanan, keawetan, dan penyimpanan material. Hal ini dikarenakan ada beberapa material yang perlu dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk bermain anak. Selain itu, dalam penyimpanan, guru sebaiknya memper mbangkan jenis bahan agar dak mencemari atau bercampur dengan material lain.

Peran guru dalam play based learning

Play based learning dak membatasi dan dak meniadakan peran orang dewasa dalam kegiatan bermain anak. Meskipun anak-anak terkadang cenderung dak ingin ada intervensi dari orang dewasa dalam bermain, orang dewasa tetap masih memiliki peran pen ng dalam meningkatkan kualitas bermain dan belajar anak. Play based learning yang efek f menuntut orang dewasa untuk memiliki fi gur kuat sehingga anak menilainya sebagai seseorang yang mampu, kompeten, dan membimbing dalam kegiatan bermain.

Peran guru dalam penerapan play based learning dalam pembelajaran anak usia dini sangatlah pen ng. Sebagai orang dewasa di lembaga PAUD, guru merupakan pihak yang merancang kegiatan bermain yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan tetap memper mbangkan ngkat perkembangan anak. Ar nya, guru ditantang untuk krea f dan

menciptakan kebaruan ak vitas bermain dalam keterbatasan fasilitas, waktu, dan tenaga untuk anak didiknya (Oers & Duijkers, 2013). Dalam hal ini, konsistensi penerapan play based learning se ap harinya bukanlah perkara mudah.

Guru perlu menyusun kegiatan bermain di sekolah yang sesuai dengan tujuan pembelajaran atau program yang telah disusun sebelumnya. Menurut Moore, Edwards, Cu er-Mackenzie, & Boyd (2014), dalam penerapan play based learning bagi anak usia dini, terdapat dua prinsip yang harus diperha kan oleh guru sebagai berikut.1. Guru perlu memper mbangkan dan

menilai berbagai macam permainan yang mengandung nilai-nilai edukasi bagi anak. Se ap permainan memiliki kekhasan dalam mens mulasi aspek-aspek perkembangan anak. Tidak ada permainan yang paling bagus, karena pada dasarnya se ap permainan memiliki peran tersendiri dalam mela h kemampuan anak. Sebagai contoh: guru dapat melihat beberapa permainan yang disukai anak(bermain pasir, bermain pura-pura), dan kemudian mengiden fi kasi apakah jenis permainan yang disukai tersebut dapat digunakan untuk mendukung tujuan pembelajaran di lembaga PAUD.

2. Guru perlu membuat kombinasi permainan yang mendukung keterlibatan lingkungan pendidikan. Ar nya, guru dapat memodifi kasi secara fl eksibel ak vitas bermain agar tujuan dari pembelajaran dapat tercapai. Sebagai contoh: dalam tema pekerjaan, guru menggunakan kegiatan bermain pura-pura dengan mengatur ruang kelas seper di stasiun untuk mengenalkan beberapa pekerjaan, seper penjual ket, masinis, pedagang, dan penumpang.

Peran guru ke ka play based learning diterapkan di kelas-kelas PAUD, menurut Brewer (2007), mencakup lima dimensi, antara lain sebagai berikut.

1. Sebagai pengamatKe ka melakukan observasi, guru sebaiknya mengama interaksi anak dengan anak lain dan benda-benda di sekelilingnya. Guru perlu memperha kan durasi waktu yang dilalui anak ke ka dia bisa bermain dengan baik, dan perlu mengama siapa saja (anak) yang memiliki masalah ke ka bergabung dalam kelompok bermain. Hasil pengamatan dapat digunakan merencanakan pengembangan bermain tambahan, seper mengubah situasi bermain, atau mengubah material yang digunakan dalam bermain.

2. Sebagai elaboratorKe ka bermain, guru berusaha untuk menjadi rekan bagi anak. Sebagai contoh: ke ka anak-anak bemain pura-pura pergi ke salon, maka guru sebaiknya membantu mereka untuk mengumpulkan benda-benda yang dapat digunakan untuk menggambarkan salon. Bahkan guru juga perlu untuk ikut bermain dengan anak-anak dan menanyakan hal-hal yang memancing pemahaman mereka tentang salon.

3. Sebagai modelGuru dapat dijadikan model anak dalam situasi bermain. Sebagai contoh: guru mungkin memilih untuk duduk di area balok pada waktu is rahat, dan mengajak anak untuk menyusun balok-balok yang ada. Tujuannya adalah memberikan contoh kepada anak untuk bermain balok.

Page 36: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

64 65Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

4. Sebagai evaluatorEvaluasi berar bahwa material/bahan, lingkungan, dan ak vitas diper mbangkan sesuai dengan tujuan kurikulum, dan perubahan dilakukan apabila dibutuhkan. Dalam menjalani peran sebagai evaluator, guru sebaiknya ha -ha dalam menentukan apakah kegiatan bermain tertentu dapat memfasilitasi se ap kebutuhan anak. Guru berperan dalam mengenali kemajuan perkembangan akademik, sosial, kogni f dan fi sik anak selama bermain. Hasil dari kemajuan perkembangan tersebut juga perlu disampaikan oleh guru kepada orang tua.

5. Sebagai perencanaProses perencanaan mencakup hasil observasi, elaborasi, dan evaluasi. Guru perlu merencanakan pengalaman baru yang mendukung dan mendorong minat anak. Sebagai contoh: orang tua berprofesi sebagai pramuniaga toko sepatu dapat diundang ke kelas untuk berbagi informasi tentang pekerjaannya. Orang tua kemudian menunjukkan pekerjaannya dengan mengukur kaki anak-anak, menawarkan beberapa pilihan sepatu dan menbantu anak-anak mencoba sepatu. Dalam proses perencanaan selanjutnya, tentunya guru ingin megop malkan minat anak-anak tentang pekerjaan tersebut. Oleh sebab itu, guru kemudian dapat melakukan hal-hal seper : mengumpulkan sepatu, menata rak sepatu, mencari alat untuk mengukur kaki, dan lain sebagainya. Kemudian guru juga dapat melibatkan anak dalam menata kursi agar menyerupai toko sepatu, membuat meja kasir, dan membuat tas tempat sepatu. Melalui proses tersebut, seja nya guru telah merencanakan pengalaman lain yang mendukung minat anak melalui kegiatan bermain.

Play Based Learning sebagai Pusat Kurikulum PAUD

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Angka 19). Bermain menjadi pusat kurikulum pada pembelajaran anak usia dini. Pengembangan program pembelajaran di lembaga PAUD mulai dari Kelompok Bermain hingga Taman Kanak-kanak melibatkan ak vitas bermain, karena bermain mengutamakan adanya kebebasan bagi anak untuk mengeksplorasi dan mengasah krea vitas. Pada hakikatnya pengembangan kurikulum PAUD adalah proses pengembangan pengalaman belajar melalui kegiatan bermain yang dapat memperkaya pengalaman, rasa ingin tahu dan wawasan anak tentang berbagai hal.

Acuan kurikulum PAUD di Indonesia saat ini adalah Kurikulum 2013. Salah satu prinsip penyusunan kurikulumnya adalah belajar melalui bermain. Bermain menjadi pusat kurikulum PAUD didasarkan pada naluri anak untuk bermain bebas. Bermain bebas akan terjadi atas dasar mo vasi internal anak berupa rasa ingin tahu dan ketertarikan. Pada proses bermain bebas pula, anak akan berinisia f dalam menentukan apa yang akan dimainkan, bagaimana memainkannya, dan apa yang didapat dari bermain. Sebaliknya, ak vitas belajar merupakan aktvitas yang secara keseluruhan diatur secara terstruktur oleh guru, sehingga guru menentukan apa yang akan dilakukan anak, bagaimana cara memainkannya, dan apa yang didapat oleh anak. Dengan mengadaptasi kerangka kurikulum berbasis bermain yang dikembangkan Wang & Lam (2017), kerangka play based learning dalam pembelajaran anak usia dini dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Dasar kerangka play based learning dalam kurikulum PAUD

Mengacu pada pendapat Stone (1995), dalam mengintegrasikan bermain pada kurikulum PAUD perlu menentukan komponen kegiatan bermain yang melipu langkah-langkah bermain, pe kegiatan bermain, dan tema atau topik pembelajaran. Apabila

play based learning diintegrasikan ke dalam kurikulum PAUD, maka anak akan mengeksplor, menemukan, memecahkan masalah, menguji coba, menginisiasi, dan menikma proses pembelajaran berbasis bermain.

Bermain dicontohkan(guru menunjukkan cara mengeksplor material, anak boleh mengiku /

dak)

Bermain bebas( dak terstruktur,

diinisiasi oleh anak)

Belajar(guru mengatur secara penuh,

terstruktur)

KURIKULUM BERBASIS BERMAIN

Bermain terbuka(guru menyediakan

material, anak bebas mengeksplor)

Bermain terencana(guru menunjukkan cara mengeksplor

material, anak boleh mengiku /berkreasi)

KOMPONEN(Disesuaikan dengan tema)

1. Nama kegiatan bermain2. Langkah-langkah kegiatan bermain3. Indikator perkembangan 4. Metode5. Material/alat untuk kegiatan bermain6. Penilaian/asesmen

Tabel 1. Contoh Rancangan Play Based Learning

Tema/Subtema

Kegiatan Bermain

Langkah-langkah Indikator perkembangan*

Alat/bahan Penilaian

Kebutuhanku/buah-buahan

B e r m a i n peran

“ P e d a g a n g dan pembeli buah di pasar”

1. Guru mempersiapkan lingkungan, alat dan bahan (buah-buahan, keranjang, keresek, timbangan, uang mainan, dst).

2. Apersepsi3. Bercerita tentang

pengalaman pergi ke pasar.

4. Anak dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk bermain peran.

Bahasa: Memiliki lebih banyak kata-kata untuk mengekpresikan ide pada orang lain.

Sosem: Bermain dengan teman sebaya

- buah-buahan

- keranjang- keresek- timbangan - uang

mainan

- Unjuk kerja- Observasi

& doku-men tasi

- Observasi

Page 37: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

66 67Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

5. Anak berbagi peran dalam kegiatan main.

6. Anak menyepakati aturan main.

7. Anak bermain jual beli buah-buahan dengan uang mainan.

Kognitif: Merepresentasikan berbagai macam benda dalam bentuk gambar atau tulisan

*Mengacu pada Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD

Asesmen dalam Perspek f Play Based LearningDalam konteks PAUD, asesmen diperlukan untuk menentukan kelayakan sebuah program

pembelajaran dan kemajuan proses/kemampuan anak. Banyak tes terstandar dikembangkan untuk tujuan memutuskan kelayakan tersebut. Akan tetapi, tes terstandar dinilai kurang sesuai dengan karakteris k anak usia dini, sehingga prak si menemukan metode baru dalam asesmen, yaitu asesmen berbasis play based learning. Asesmen dalam play based learning secara intui f menguntungkan karena anak usia dini belajar melalui bermain (Kelly-Vance & Ryalls, 2005). Berbeda dengan tes terstandar, asesmen berbasis bermain lebih berpusat pada anak, bersifat kontekstual dan auten k, lebih menggambarkan kemampuan anak pada kondisi alamiah, dan hasilnya lebih valid apabila digunakan untuk perencanaan intervensi.

Van Hoorn, Nourot, Scales, & Alward (2015) membagi beberapa strategi pengumpulan data asesmen dalam konteks play based learning yang ditampilkan dalam tabel 2.

Tabel 2. Strategi pengumpulan data dalam asesmen berbasis bermain di lembaga PAUDStrategi

penilaianKarakteristik

Catatan observasi

- Dapat digunakan ketika bermain spontan dan terbimbing.- Guru dapat membuat catatan hasil observasi selama kegiatan bermain dalam kertas

kecil kemudian merapikan tulisannya setelah pembelajaran selesai.- Guru dapat melakukan pengamat an maksimal 3 anak per hari untuk memudahkan

pengamatan.- Observasi atau pengamatan me ru pakan proses terampil dengan memasuki dunia

anak untuk memahami bagaimana kemampuan berpikirnya berkem bang, apa yang dirasakan, mencakup hal-hal kompleks dan memerlukan interpetasi yang memadai dari pengamat (Dubiel, 2014).

Cecklis - Terdiri atas daftar indikator dari kompetensi yang akan dicapai oleh anak. Misalnya: tahapan pemecahan masalah, bermain kooperatif, dst.

- Guru dapat memberikan umpan balik dengan cepat terkait dengan tahapan yang dicapai secara individual maupun kelompok.

- Memudahkan dalam membuat informasi secara ringkas.- Untuk meminimalisir kelemahan dari ceklis, biasanya guru mengkombinasikan dengan

portofolio anak.Portofolio - Hasil kegiatan bermain anak dikumpulkan dalam sebuah fi le.

- Anak-anak berhak memilih hasil kegiatan bermain yang ingin dijadikan portofolio.- Dalam proses pemilihan ini, terjadi proses evaluasi diri anak.

Dokumen-tasi

- Guru dapat mengambil foto/gambar/video ketika kegiatan bermain sedang berlangsung.- Guru melibatkan anak-anak untuk membuat “caption” atau judul dari kegiatan yang

dilakukan anak di dalam foto.- Penilaian ini membantu mengomunikasikan kegiatan bermain yang telah dilakukan

anak kepada orang tua.

Strategi penilaian

Karakteristik

Wawan-cara

- Untuk anak usia prasekolah, guru dapat bertanya kepada anak tentang kegiatan bermain yang sedang dan telah dia lakukan.

- Dalam proses tanya jawab ini, guru juga dapat memanfaatkan teknologi untuk merekam.

Dalam beberapa kasus, guru telah merancang jadwal observasi, di mana se ap anak akan diobservasi/diama pada periode waktu tertentu dan hasil narasinya akan digunakan untuk data asesmen (Dubiel, 2014). Guru biasanya akan secara seksama menempatkan diri di pojok/sudut kelas, dan mecatat apapun yang dilakukan anak ke ka bermain. Sebenarnya guru juga dapat menggunakan perekam video seper smartphone untuk memantau anak selama periode bermain serta dapat menampilkan hasil karya dari bermain melalui dokumentasi dan portofolio (Deluca, 2018). Namun demikian, dalam proses dokumentasi guru harus terampil dan cekatan agar dak memakan banyak waktu dan bijak dalam memanfaatkan teknologi.Pyle, DeLuca, Danniels, & Wickstrom (2020) membagi dua jenis asessmen dalam konteks play based learning di njau dari keterlibatan guru dalam kegiatan bermain yang disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3. Jenis asesmen dalam konteks play based learning di lembaga PAUD

Jenis Asesmen

Karakteristik Contoh

Embedded assessment

- Guru dan anak terlibat aktif dalam kegiatan bermain.

- Asesmen terjadi dalam konteks bermain.- Digunakan untuk menilai kemampuan

akademis maupun aspek perkembangan lainnya.

- Guru bermain bersama anak di sentra balok, mendorong anak untuk menyusun balok tersebut membentuk bangunan baru, kemudian guru mengajukan pertanyaan dan merekam dengan foto maupun dookumentasi lainnya.

Observational assessment

- Kegiatan bermain diinisiasi penuh oleh anak.- Asesmen terjadi dalam konteks bermain.- Anak terlibat aktif dalam kegiatan bermain,

sementara guru melakukan pengamatan/observasi (tidak boleh mencolok).

- Biasanya digunakan untuk menilai perkembangan anak.

- Guru menjadi pengamat pasif melalui penglihatan dan pendengaran, kemudian mencatat hasil pengamatan (catatan anekdot, ceklis perkembangan, foto, dan video) dari anak yang terlibat dalam kegiatan bermain.

Pada konteks anak berkebutuhan khusus (contoh: anak dengan keterlambatan bicara), asesmen dalam konteks play based learning juga memberikan gambaran yang lebih luas tentang kemampuan linguis k anak dibandingkan dengan asesmen jenis lain. Asesmen berbasis play based learning mampu menghasilkan informasi yang lebih kaya dalam merencanakan modifi kasi kurikulum dan intervensi lebih lanjut pada anak usia dini (Gullo, 2005).

Agar bermanfaat bagi perkembangan dan pembelajaran anak usia dini, hasil asesmen juga harus dipas kan valid dan reliabel (Van Hoorn et al., 2015). Valid memiliki ar seberapa baik penilaian dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Sebaik-baiknya penilaian terhadap anak adalah yang dilaksanakan dalam konteks sebenarnya. Sebagai contoh, ke ka guru ingin menilai pemahaman tata ruang pada anak, maka guru dapat memanfaatkan kondisi ke ka anak bermain konstruk f dengan balok/material bongkar pasang, bukan dengan ak vitas pengerjaan worksheet. Reliabel berar ngkat konsistensi hasil penilaian. Menilai perilaku anak-anak usia dini bukanlah perkara sederhana,

Page 38: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

68 69Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

karena mereka memiliki kemampuan yang beragam dan berkembang dari hari ke hari, dibambah lagi mood, tenaga, regulasi diri, fokus, dan minat anak-anak yang dapat berubah-ubah sewaktu-waktu.

Tantangan Implementasi Play Based Learning di Lembaga PAUD Persepsi orang tua tentang kegiatan

bermain

Beberapa peneli an menunjukkan bahwa konteks sosial masyarakat masih menempatkan pembelajaran akademik pada posisi ter nggi dan menganggap kegiatan bermain hanya membuang-buang waktu (Mulia, 2016). Banyak orang tua memiliki ekspektasi akademis dan prestasi nggi ke ka memasukkan anaknya dalam program PAUD. Keterbatasan pengetahuan orang tua terhadap pendekatan bermain juga menjadi tantangan tersendiri bagi guru dalam menerapkan strategi play based learning untuk anak didiknya (Bubikova-moan, Hjetland, & Wollscheid, 2019). Orang tua perlu mengubah mindset bahwa capaian perkembangan anak dak hanya berkaitan dengan kemampuan

literasi dan numerasi, melainkan lebih luas dari itu, yaitu: sosial emosional, motorik, moral, dan seni. Orang tua dak perlu meminta guru untuk membuatkan Pekerjaan Rumah (PR) akademik yang cenderung paper-based pada anak PAUD.

Kualifi kasi akademik guru PAUDBanyak guru PAUD yang memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang terbatas dalam menerapkan strategi play based learning. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru kemudian menyebabkan kebingungan, bahkan merasa frustasi ke ka harus mengimplementasikan kegiatan bermain dalam kurikulum yang begitu padat, padahal mereka sendiri juga dak begitu paham tentang konsep dan manfaat bermain dalam pembelajaran anak usia dini (Gray & Ryan, 2016). Dorongan untuk

se ap hari dalam pola kurikulum yang sudah ditetapkan. Selain dari keterbatasan waktu, guru juga merasa kesulitan apabila play based learning diterapkan di dalam kelas yang besar, di mana rasio antara guru dan anak dak sesuai. Oleh sebab itu, guru cenderung menerapkan kegiatan yang lebih prak s untuk memfasilitasi kelas besar daripada menerapkan kegiatan bermain yang cenderung lebih kompleks dan sulit.

CatatanPendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit ataupun ins tusi profesi.

Tentang penulis

Eka Oktavianingsih, M.Pd merupakan dosen dan peneli pada programstudi PG-PAUD, Universitas Trunojoyo Madura. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta ini lulus dengan pujian (Cum Laude) pada tahun 2018 melalui beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Saat ini, dia juga menjadi reviewer pada beberapa jurnal nasional, dan menjadi founder serta prak si dari Komunitas Abhiseva. Selain itu, dia juga ak f dalam menulis buku tentang PAUD.

Da ar PustakaAndiarti, A., & Felicia, N. (2019). Menyiapkan anak

bersekolah secara holistik (Studi kasus calistung sebagai kesiapan bersekolah). Kilas Pendidikan Edisi 21, 1–12.

Barblett, L. (2010). Why play-based learning? Every Child, 16(3), 4–5.

Brewer, J.A. (2007). Introduction to early childhood education: Preschool through primary grades. Boston: Pearson.

Bubikova-moan, J., Hjetland, H. N., & Wollscheid, S. (2019). ECE teachers ’ views on play-based learning : a systematic review. European Early Childhood Education Research Journal, 1–25. https://doi.org/10.1080/1350293X.2019.1678717

Dubiel, J. (2014). Eff ective assessment in early years foundaton stage. London: SAGE Publications Ltd.

Deluca, C. (2018). Assessment in Play-Based Learning. Encyclopedia on Early Childhood Development, (February), 1–5.

Edwards, S. (2017). Play-based learning and intentional teaching: Forever diff erent? Australasian Journal of Early Childhood, 42(2), 4–11. https://doi.org/10.23965/AJEC.42.2.01

Fesseha, E., & Pyle, A. (2016). Conceptualising play-based learning from kindergarten teachers’ perspectives. International Journal of Early Years Education, 24(3), 361–377. https://doi.org/10.1080/09669760.2016.1174105.

Gray, C., & Ryan, A. (2016). Aistear vis-à-vis the Primary Curriculum: the experiences of early years teachers in Ireland. International Journal of Early Years Education, 24(2), 188–205. https://doi.org/10.1080/09669760.2016.1155973.

Gullo, D.F. (2005). Understanding assesment and evaluation in Early Childhood Education. New York: Teachers College Press.

Gull, C., Bogunovich, J., Goldstein, S. L., & Rosengarten, T. (2019). Defi nitions of Loose Parts in Early Childhood Outdoor Classrooms: A Scoping Review. International Journal of Early Childhood Environmental Education, 6(3), 37–52. Retrieved from https://fi les.eric.ed.gov/fulltext/EJ1225658.pdf.

meminimalisir kegiatan bermain juga datang dari orang tua, di mana mereka cenderung berpikir bahwa kegiatan bermain itu dapat dilakukan di rumah, dan apa yang dilakukan di sekolah itu sebaiknya “belajar”. Perlu pela han dan proses belajar dari manapun agar guru dapat menerapkan kurikulum berbasis bermain, dan mengomunikasikan kegiatan bermain tersebut kepada orang tua.

Tekanan dari sesama guru di dalam maupun di luar lembaga PAUDGuru yang telah memiliki pengetahuan dan

keterampilan dalam menggunakan strategi play based learning di kelasnya seringkali mendapatkan tantangan dari rekan kerja di dalam maupun di luar lembaga PAUD. Terkadang, guru merasa enggan untuk memperdebatkan masalah pen ngnya bermain di PAUD dengan sesama guru, karena merasa takut untuk menonjolkan diri dan terlibat dalam konfl ik (Bubikova-moan et al., 2019). Penyebab dari permasalahan tersebut adalah dak ada kesamaan persepsi dan kesepakatan

bersama dalam mengimplementasikan kegiatan bermain di dalam pembelajaran anak usia dini. Peran kepala lembaga menjadi pen ng dalam mendukung guru-guru di satuannya agar menerapkan pembelajaran berbasis bermain (Lynch, 2015). Dukungan dari luar sekolah juga diperlukan, sebagai contoh organisasi-organisasi komunitas guru sebaiknya dimanfaatkan sebagai wadah diskusi antar guru dalam menerapkan prak k terbaik di lembaga PAUD.

Tantangan-tantangan lain Banyak guru mengeluhkan bahwa

keterbatasan waktu untuk menerapkan strategi play based learning merupakan faktor penghambat mereka (Bubikova-moan et al., 2019). Guru memahami bahwa bermain membawa manfaat bagi perkembangan anak, akan tetapi mereka juga dak yakin untuk merancang dan menerapkan kegiatan bermain

Page 39: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

5 Integrasi Pendidikan Karakter dalam Project-based Learning untuk Anak Usia Dini

Rinia Zatalini

University of Leeds, United Kingdom

70 71Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Keinginan kuat untuk mencetak generasi Indonesia berkarakter di masa depan ditandai dengan semakin meningkatnya integrasi

pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Penanaman nilai-nilai karakter bahkan telah menjadi salah satu fokus utama pendidikan sejak dini. Ar kel ini bertujuan untuk meninjau literatur terkait integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran anak usia dini dengan menggunakan strategi project-based learning. Literatur terkait pendidikan karakter, pendidikan anak usia dini, dan project-based learning masing-masing diuraikan secara deskrip f anali k. Kajian literatur terhadap ke ga topik tersebut menunjukkan bahwa strategi project-based learning dipercaya mampu membantu menanamkan nilai-nilai karakter moral dan kinerja sejak dini.

Kata kunci: pendidikan karakter; anak usia dini; project-based learning

Hanline, M. F. (1999). Developing a preschool play-based curriculum. International Journal of Disability, Development and Education, 46(3), 289–305. https://doi.org/10.1080/103491299100515.

Hoorn,J.V., Nourot, P.M., Scales, B., &Alward, K.R. (2007). Play at the center of curriculum. New Jersey: Pearson.

Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan anak. Jilid 1. (Alih bahasa: Meitasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kelly-Vance, L., & Ryalls, B. O. (2005). A systematic, reliable approach to play assessment in preschoolers. School Psychology International, 26(4), 398–412. https://doi.org/10.1177/0143034305059017.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014).Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD.

Lynch, M. (2015). More Play, Please The Perspective of Kindergarten Teachers on Play in the Classroom. American Journal of Play, 7(3), 347–370.

Margaret, G., Mcguinness, C., Sproule, L., & Trew, K. (2010). Implementing a play-based and developmentally appropriate curriculum in Northern Ireland primary schools: what lessons have we learned ? Early Years, 30(1), 53–66. https://doi.org/10.1080/09575140903442994

Marklund, L., & Dunkels, E. (2016). Digital play as a means to develop children’s literacy and power in the Swedish preschool. Early Years, 36(3), 289–304. https://doi.org/10.1080/09575146.2016.1181608

Moore, D., Edwards, S., Cutter-Mackenzie, A., & Boyd, W. (2014). Play-Based Learning in Early Childhood Education, 9–24. https://doi.org/10.1007/978-3-319-03740-0_2

Mulia, D. (2016). Towards Play-Based Learning Practice. Kajian Lingusitik Dan Sastra, 1(1), 44–47.

Oers, B. Van, & Duijkers, D. (2013). Teaching in a play-based curriculum: Theory, practice and evidence of developmental education for young children. Journal of Curriculum Studies, 45(4), 511–534. https://doi.org/10.1080/00220272.2011.637182

Pyle, A., & Danniels, E. (2017). A Continuum of Play-Based Learning: The Role of the Teacher in Play-Based Pedagogy and the Fear of Hijacking Play. Early Education and Development, 28(3), 274–

289. https://doi.org/10.1080/10409289.2016.1220771

Pyle, A., DeLuca, C., Danniels, E., & Wickstrom, H. (2020). A Model for Assessment in Play-Based Kindergarten Education. American Educational Research Journal, XX(X), 1–42. https://doi.org/10.3102/0002831220908800

Readdick, C. A., & Chapman, C. W. (1992). Is play the centerpiece of your early childhood curriculum ? Early Child Development and Care, 81(1), 123–129. https://doi.org/10.1080/0300443920810111

Rubin, K. H., & Pepler, D. J. (1982). Children’s play: Piaget’s views reconsidered. Contemporary Educational Psychology, 7(3), 289–299. https://doi.org/10.1016/0361-476X(82)90033-9

Saghir, A., Hussain, A., Batool, A., Sittar, K., & Malik, M. (2016). Play and Cognitive Development: Formal Operational Perspective of Piaget’s Theory. Journal of Education and Practice, 7(28), 72–79. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Stone, S. J. (1995). Teaching strategies: integrating play into the curriculum. Childhood Education, 72(2), 37–41. https://doi.org/10.1080/00094056.1996.10521856

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. 8 Juli 2003.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4301. Jakarta.

Van Hoorn, J., Nourot, P. M., Scales, B., & Alward, K. R. (2015). Play at the center of the curriculum (sixth edition). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Verenikina, I. M. (2010). Vygotsky in Twenty-First-Century research. Proceedings of World Conference on Educational Multimedia, Hypermedia and Telecommunications, 16–25.

Wang, X., & Lam, C. B. (2017). An exploratory case study of an American-style, play-based curriculum in China. Journal of Research in Childhood Education, 31(1), 28–39. https://doi.org/10.1080/02568543.2016.1243175

Watters, J. J., & Diezmann, C. M. (1998). “This is nothing like school”: Discourse and the social environment as key components in learning science. Early Child Development and Care, 140(1), 73–84. https://doi.org/10.1080/0300443981400106

Weisberg, D. S., Zosh, J. M., & Hirsh-Pasek, K. (2013). Talking it up: Play, language, and the role of adult support. American Journal of Play, 6(1), 39–54.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini70

Page 40: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

72 73Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

PendahuluanDalam beberapa waktu terakhir, wajah

pendidikan Indonesia tercoreng dengan adanya kasus penganiayaan siswa sekolah menengah terhadap guru. Banyak faktor melatari terjadinya fenomena ini. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kauppi dan Pörhölä (2012) menemukan bahwa terdapat ga aspek utama yang memengaruhi siswa melakukan ndakan bullying (perundungan), di antaranya adalah siswa, ins tusi, dan guru. Faktor lain seper keluarga, lingkungan, dan media juga dak dapat ditafi kan. Meskipun ndakan penganiayan fi sik dak dikategorikan sebagai bullying, namun ndakan tersebut sangat dimungkinan terjadi

karena faktor yang sama dengan alasan mengapa siswa melakukan bullying.

Dari beragam faktor penyebab kekerasan, krisis moral dianggap menjadi penyebab utama. Tindakan penganiayaan terhadap guru sebagaimana dicontohkan di atas hanyalah satu dari banyak kasus moral lainnya yang terjadi di Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi atau kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemegang wewenang ter nggi seper pemerintah, kepala sekolah, hingga guru, orang tua, dan anak (Brannon, 2008). Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi hal ini adalah dengan mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum nasional yang direvisi pada tahun 2013, atau yang disebut juga dengan Kurikulum 2013. Secara tegas, pendidikan karakter dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, krea f, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokra s serta bertanggung jawab.”

Pendidikan karakter menjadi pintu masuk pembenahan pendidikan nasional dengan jenjang pendidikan dasar mendapatkan porsi yang lebih besar (70%) dibandingkan sekolah menengah sebesar 60% (Kemdikbud, 2017).

Meskipun pemerintah menekankan pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan, untuk mencegah atau meminimalisir ndakan immoral seper yang telah dicontohkan sebelumnya, dan untuk menciptakan apa yang sering disebut sebagai “generasi emas” Indonesia 2045, pendidikan karakter sebaiknya ditanamkan dan ditekankan sedini mungkin melalui jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sebuah studi yang dilakukan oleh Revell (2002) tentang tanggapan anak-anak terhadap pendidikan karakter di Amerika Serikat mengkonfi rmasi pen ngnya penanaman nilai-nilai karakter sejak dini. Peneli an ini melibatkan 12 sekolah umum (tujuh sekolah dasar dan lima sekolah menengah) di Chicago. Sebanyak 700 anak berusia tujuh hingga 17 tahun diwawancarai. Salah satu hasil peneli annya adalah perbedaan respon atau persepsi siswa terhadap pendidikan karakter berdasarkan usia. Anak-anak pada ngkat dasar atau elementary cenderung melihat pendidikan karakter sebagai sesuatu yang natural atau alami, dan anak-anak tersebut dak mempertanyakan fungsi pendidikan karakter. Mereka melihatnya sama seper subjek lain seper matema ka atau bahasa yang masing-masingnya mempunyai tujuan yang baik, termasuk pendidikan karakter. Sedangkan anak-anak ngkat menengah cenderung mempertanyakan fungsi serta efek fi tas pendidikan karakter, dan beberapa dari mereka merasa dak membutuhkan hal

tersebut. Bahkan di sebuah sekolah, beberapa anak mencemooh fungsi pendidikan karakter. Siswa di jenjang pendidikan menengah cenderung bersikap sinis dan berpikir skep s terhadap nilai-nilai yang diajarkan.

Meskipun hasil peneli an tersebut dak menyediakan kesimpulan umum, namun cukup menggambarkan pen ngnya menanamkan nilai-nilai karakter sedini mungkin. Para ahli psikologi anak berpendapat bahwa anak-anak (usia 0-6 tahun misalnya) berada pada “masa kri s” di mana mereka mampu menyerap informasi dengan cepat. Oleh karena itu, periode ini sebaiknya dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada anak. Agboola dan Tsai (2012) mempercayai bahwa keadaan anak-anak di masa depan berkaitan erat dengan karakter yang tertanam di dalam dirinya melalui pendidikan. Selain itu, menurut Hyson (2004), anak-anak harus memiliki pondasi emosi agar merasa “siap” menerima pelajaran, dan menjalani peran sosial-emosional yang dibutuhkan agar sukses dalam kehidupan dewasa kelak. Dalam konteks ini, ar kel ini memaparkan opini terkait integrasi pendidikan karakter dalam program PAUD.

Selanjutnya, terkait dengan psikologi anak, meskipun mereka memiliki daya serap yang luar biasa, hal ini dapat diwujudkan hanya ke ka anak-anak terlibat atau mengalami secara langsung informasi baru atau karakter yang diajarkan (Jackson dkk., 1976). McDaniel (1998), misalnya, menyimpulkan bahwa pendidikan karakter yang efek f melibatkan keterlibatan peers atau teman sebaya dan strategi pembelajaran koopera f. Hal inilah yang menjadi salah satu landasan mengapa proses edukasi anak cenderung dilakukan dengan cara bermain; belajar sambil bermain, baik secara individu maupun dalam kelompok. Semakin banyak indera yang dilibatkan dalam pembelajaran, semakin mudah anak-anak menyerap pelajaran.

Selain bermain, bentuk kegiatan lain yang dapat mendukung terjadinya pembelajaran efek f adalah project-based learning atau kegiatan belajar berbasis proyek. Project-based learning terbuk bermanfaat bagi anak-anak, dak hanya untuk memahami pengetahuan

konten atau subject yang dipelajari, tapi juga keterampilan kerja kelompok, mo vasi, dan efi kasi diri (Kaldi dkk., 2011). Ar kel ini mengkaji integrasi implementasi pendidikan karakter melalui project-based learning untuk anak usia dini.

Pendidikan Karakter Karakter dan pendidikan karakter

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter berar sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau watak yang menjadi pembeda seseorang dari yang lain. Defi nisi ini serupa dengan makna karakter dalam Bahasa Yunani, yang ar nya adalah “tanda” atau “pembeda” seorang individu (Pala, 2011; Agboola & Tsai, 2012). Adapun Berkowitz (2002) menyatakan bahwa karakter adalah ciri atau sifat seseorang yang mendorongnya untuk melakukan atau dak melakukan hal yang benar. Secara implisit, untuk mengetahui yang benar berar seseorang juga harus paham mana yang dak benar. Secara tradisional, karakter didefi nisikan sebagai virtue atau kebajikan (lihat Noddings, 2002; Curren, 2017; Lerner, 2019). Kebajikan atau kebaikan tersebut muncul dari interaksi sosial dan budaya. Lickona (dalam Noddings, 2002) menyebutkan beberapa sifat kebajikan, di antaranya memiliki rasa hormat, bertanggung jawab, jujur, adil, berani, disiplin, suka membantu, toleransi, kerja sama, dan demokrasi. Berdasarkan beberapa defi nisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan karakter adalah karakteris k kebajikan yang terpatri di dalam

Page 41: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

74 75Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

diri seseorang yang mendorongnya dalam melakukan sesuatu.

Nucci (2019) berpendapat bahwa karakter bukan hanya sekumpulan kebajikan yang terdapat pada diri seseorang, melainkan merupakan suatu sistem yang ak f. Se ap orang mengaplikasikan sifat-sifat kebajikan secara dak konsisten, karena sesuai dengan konteks ia berinteraksi. Seseorang yang berkarakter bukanlah ia yang mampu merespon se ap keadaan dengan sifat atau cara yang sama, tetapi ia yang sensi f terhadap situasi dan bersikap secara bermoral dalam situasi apapun (Nucci, 2019). Inilah yang disebut dengan “ak f”. Selain dari sifat-sifat kebaikan tersebut, Nucci menambahkan bahwa seseorang dianggap memiliki karakter ke ka ia mampu mengoreksi diri sendiri atas kesalahan yang diperbuat.

Berdasarkan defi nisi karakter di atas, pendidikan karakter secara sederhana dapat diar kan sebagai proses edukasi pembentukan virtue atau kebajikan. Pendidikan karakter sering kali dianggap sebagai tujuan mutlak pendidikan itu sendiri. Sudaryan (2012:12) menegaskan bahwa “tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual”. Pendidikan karakter juga merupakan salah satu dari beberapa aspek perkembangan dasar dari pendidikan yang bermutu untuk membekali peserta didik sebagai bagian dari anggota masyarakat (Curren, 2017). Pendidikan karakter, sebagai suatu pendekatan terhadap pendidikan moral, bukanlah hal baru di dunia pendidikan. Namun, posisinya semakin pen ng di abad ke-21 ini, karena perkembangan teknologi dapat membawa pengaruh nega f yang besar terhadap karakter anak-anak dan generasi

muda (lihat Mustafaoglu dkk., 2018). Di Amerika Serikat, pendidikan karakter sudah mendominasi dunia pendidikan sejak lama hingga pertengahan abad ke-20 (Noddings, 2002). Di Indonesia, pendidikan karakter diterapkan sekitar tahun 2013 melalui Kurikulum 2013.

Salah satu ciri pendidikan karakter adalah dilakukan secara sengaja (Berkowitz & Hoppe, 2009) dan merupakan suatu proses yang dak mudah, dak spontan dan berkembang

secara terus-menerus. Karena proses ini “disengaja” atau “terencana”, maka sebelum menyusun program pendidikan karakter, pen ng untuk memahami karakter apa saja yang perlu dibentuk dan bagaimana cara atau pola yang tepat untuk mengenalkan dan menanamkannya.

Literatur menunjukkan bahwa karakter yang berkembang pada anak-anak berbeda pada se ap periodenya: bayi dan balita, anak-anak, remaja. Ar kel ini hanya akan fokus pada anak usia dini. Dari sekian banyak karakter yang berkembang pada masa anak-anak, Berkowitz (2002) menyebutkan ga di antaranya, yaitu: pengendalian

diri, menyadari kesalahan atau perasaan bersalah, dan mengembangkan persepsi. Pengendalian diri merupakan sifat yang diutamakan dan menjadi dasar bagi sifat-sifat kebaikan lainnya. Sifat menyadari kesalahan merupakan respon emosional terhadap pelanggaran yang dilakukan sendiri. Karakter ini sangat pen ng untuk mela h sensi vitas anak. Terakhir, sifat “mengembangkan persepsi” biasanya akan berkembang sejak masa pra-sekolah, sekolah dasar, dan berlanjut hingga remaja. Selain dari karakter-karakter tersebut, ada beberapa karakter yang menjadi sorotan di abad ke-21 sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Karakter yang dibutuhkan pada abad ke-21Kemajuan sains dan teknologi dewasa ini diibaratkan pedang bermata dua (Bialik dkk., 2015). Di satu sisi, kemajuan ini memberikan banyak peluang untuk mengakses informasi dan berkolaborasi. Di sisi lain, hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri karena mengubah pola komunikasi yang seringkali menyebabkan gangguan cara bersosialisasi. Melalui rasa tanggung jawab dan e ka, peserta didik, sebagai warga negara di masa depan, akan mampu membuat suatu keputusan yang bijaksana untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Ada beberapa “kerangka” sikap atau kualitas karakter utama yang dibutuhkan di abad 21, yaitu: mindfulness (penuh per mbangan), curiousity (rasa ingin tahu), courage (keberanian), resilience (kemampuan bertahan), ethic (beradab), dan leadership (kepemimpinan) (Bialik dkk., 2015).

Mindfulness atau sikap penuh per mbangan dapat didefi nisikan sebagai kesadaran yang muncul melalui perha an terhadap sesuatu yang dilakukan dengan sengaja (Kabat-Zinn, dalam Bialik, 2015). Sikap ini dibutuhkan untuk, misalnya, mengambil keputusan. Kemudian rasa ingin tahu (curiousity), menurut Lowenstein (1994), merupakan suatu sikap dan keadaan yang muncul baik karena dorongan internal maupun eksternal. Sikap ini menjadi perha an para ahli abad ke-21 karena berbagai kemajuan ilmu pengetahuan menuntut peserta didik untuk terus memupuk sikap ini. Rasa ingin tahu dak akan tumbuh dengan semata-mata

memberikan informasi kepada peserta didik. Untuk menumbuhkan karakter ini, peserta didik perlu diberikan tantangan atau isu untuk diselesaikan. Hal ini dapat dilakukan dengan beragam cara seper dengan merenapkan model pembelajaran inquiry-based learning atau problem-based learning.

Keberanian (courage) juga menjadi sorotan. Kebutuhan akan sikap ini sangat diperlukan karena perubahan-perubahan cepat yang terjadi di era globalisasi. Sikap keberanian ini dapat didefi nisikan sebagai kemampuan seseorang untuk tetap mengambil langkah ke ka menghadapi ke dakpas an (Bialik dkk., 2015). Selanjutnya, setelah berani melangkah dan mengambil suatu ndakan, generasi penerus bangsa juga

diharapkan mampu bertahan (resilient) dalam menghadapi berbagai situasi, dan menemukan solusi terhadap hambatan-hambatan yang ada.

Keseluruhan karakter-karakter tersebut perlu diiringi dengan “e ka”. E ka memiliki ar yang beragam dan luas. E ka menggambarkan refl eksi teore s, sistema s, dan rasional atas perilaku seorang individu (Churchill dalam Chowdhury, 2016: 1). Dengan kata lain, e ka adalah standar dan nilai universal yang harus dipenuhi oleh se ap orang (Chowdhury, 2016). Untuk mengembangkan sifat ini dak cukup hanya dengan teori atau knowledge transfer namun harus dibarengi dengan prak k. Seseorang yang paham e ka belum tentu mampu menerapkannya dengan baik. Karenanya, sikap ini harus dibiasakan sejak dini. Terakhir, kerangka yang diperlukan adalah “leadership” atau kemampuan memimpin. Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan karena se ap individu sering dihadapkan pada banyak pilihan.

Keenam karakter di atas dak harus terpenuhi secara berurutan, namun perlu dikembangkan secara bersamaan. Masing-masing kerangka tersebut memiliki sub-karakter yang bervariasi. Untuk mengembangkan karakter-karakter tersebut, diperlukan metode, prinsip, dan landasan yang tepat.

Page 42: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

76 77Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Landasan pendidikan karakterPendekatan yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai karakter memiliki berbagai variasi (Lickona, 1996). Thomas Lickona, yang dianggap sebagai pengusung terminologi “pendidikan karakter” merangkum 11 asas atau prinsip dasar pendidikan karakter. Beberapa ahli dan peneli lainnya, seper McDaniel (1998), Berkowitz (2002), Thompson (2002), Pala (2011), dan McGrath (2018) juga memaparkan bagaimana cara menanamkan nilai-nilai karakter dengan baik. Meskipun menggunakan terminologi atau is lah yang berbeda-beda, para ahli tersebut pada dasarnya memiliki landasan atau pendekatan yang saling berkaitan dan tumpang ndih antara satu dengan yang lain.

Prinsip pertama yang diusung oleh Lickona adalah bahwa pendidikan karakter seharusnya mendorong nilai-nilai e ka dasar sebagai landasan dari karakter yang baik, dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai tujuan yang harus dicapai. Jika dikaitkan dengan pendidikan karakter di Indonesia, nilai-nilai e ka dasar ini tertuang didalam kompetensi dasar Kurikulum 2013 PAUD. Selanjutnya, is lah “karakter” harus didefi nisikan secara komprehensif dengan tujuan untuk menegaskan nilai-nilai apa saja yang termasuk ke dalam karakter baik. Prinsip selanjutnya adalah pendidikan karakter membutuhkan pendekatan yang disengaja, komprehensif, dan proak f. Hal ini berkaitan dengan prinsip keempat yang bertujuan untuk mewujudkan prinsip ke ga tersebut: sekolah beserta elemen-elemennya harusnya dijadikan sebagai suatu komunitas yang juga berkarakter. Hal serupa juga disampaikan oleh Berkowitz (2002) dimana salah satu dari tujuh aturan prak s pendidikan karakter adalah semua anggota di sekolah harus memiliki karakter yang baik.

Penegasan terhadap sekolah beserta anggota-anggotanya merupakan hal yang wajar, karena menurut Berkowitz (2002) dan beberapa para ahli lainnya, anak-anak belajar dengan cara melakukan observasi atau meniru. Oleh karena itu, bagaimana seorang anak diperlakukan dan bagaimana orang lain diperlakukan di lingkungan sekolah akan mudah di ru oleh anak-anak. Relasi atau hubungan juga sangat pen ng dalam perkembangan karakter (Berkowitz, 2002). Oleh karena itu, relasi yang berkualitas dan pemodelan karakter yang baik di lingkungan sekolah oleh semua anggotanya sangat diperlukan. Pemodelan dan pen ngnya relasi ini telah dibuk kan oleh Brannon (2008) melalui studinya terhadap beberapa orang guru di Kota Illinois, Amerika Serikat. Pemodelan dan memanfaatkan momen mengajar untuk mengembangkan karakter anak merupakan salah satu dari dua strategi populer pendidikan karakter di kota tersebut.

Selanjutnya, prinsip kelima yang diusung oleh Lickona adalah pendidikan karakter harusnya memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan aksi moral. Hal serupa juga disampaikan oleh Berkowitz (2002) yang menyampaikan children need opportuni es to prac ce good character (anak-anak butuh memprak kkan karakter baik). Secara terperinci, Berkowitz menambahkan bahwa anak-anak butuh kesempatan untuk memupuk kemampuan berpikir tentang moral atau karakter itu sendiri sekaligus merefl eksikannya. Dalam hal ini, Brannon (2008) juga menemukan bahwa ini adalah strategi yang diterapkan dalam prak k pendidikan karakter di Illinois pada jenjang sekolah dasar oleh para pengajar berser fi kasi yang telah mencapai standar ter nggi yang ditetapkan untuk profesi mengajar. Para pengajar tersebut menggunakan beberapa teknik, di antaranya

adalah melalui pembelajaran koopera f, role-play (bermain peran), bernyanyi dan service project.

Kurikulum akademik yang (1) bermakna sekaligus penuh dengan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong atau menantang siswa dalam belajar, dan (2) memandang setara semua siswa, adalah prinsip keenam. Maksud prinsip ini adalah harus adanya keseimbangan antara pendidikan karakter dan akademik yang bermanfaat bagi semua siswa.

Prinsip berikutnya adalah pendidikan karakter harusnya dapat mengembangkan mo vasi intrinsik anak, karena salah satu tujuan pendidikan karakter adalah mendorong tumbuhnya perilaku baik yang diinisiasi oleh diri sendiri, bukan karena dorongan dari luar. Dalam konteks ini, McDaniel (1998) menegaskan agar sebisa mungkin menghindari pemberian reward atau hadiah pada anak. Anak-anak yang sering menerima reward karena perilaku pro-sosial atau suatu hal baik yang mereka lakukan dikhawa rkan akan cenderung mengaitkan perilaku tersebut dengan hadiah yang diterima, daripada menganggap diri mereka sebagai seseorang yang, misalnya, peduli dan suka membantu. Pendidikan karakter yang efek f harus mengedepankan hal-hal yang dapat memo vasi anak-anak dalam berbuat baik dengan cara eksplorasi, bukan dengan memberikan bantuan dari luar.

Dua prinsip berikutnya (prinsip ke-8 dan 9) mengedepankan hal yang sama, yaitu keterlibatan staf dan struktur komite yang sama-sama bertanggung jawab terhadap program pendidikan karakter. Selanjutnya (prinsip ke 10), dak hanya Lickona tapi juga Berkowitz (2002), menegaskan prinsip atau landasan yang sama, yaitu melibatkan

orang tua serta lingkungan atau anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya membangun karakter. Pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama (Brannon, 2012), dan akan efek f ke ka sekolah dan orang tua serta masyarakat berbagi peran. Terakhir, setelah semua prinsip-prinsip di atas terlaksana, perlu adanya evaluasi terhadap program. Evaluasi dak hanya terbatas pada program, tapi termasuk juga karakter sekolah secara keseluruhan, staf atau anggota sekolah, dan siswa.

Manfaat pendidikan karakterPeneli an-peneli an yang mengkaji dampak atau efek dari pendidikan karakter telah membuk kan bahwa pendidikan karakter memiliki manfaat yang baik dan luas. Beberapa di antaranya adalah mampu mengembangkan harga diri (Hassan & Kahil, 2005), kecerdasan emosi (Urutus & Omeroglu, 2007 dalam Doak, 2009), mengurangi perilaku nega f (Patella, 2003), meningkatkan rasa tanggung jawab dan menghargai sesama (Thompson, 2002) dan beberapa manfaat lainnya (lihat Patella, 2003; Skaggs & Bodenhorn, 2006; Pala, 2011; Brannon, 2012).

Manfaat-manfaat tersebut diperoleh sesuai dengan tujuan utama pendidikan karakter. Untuk mencapai manfaat-manfaat tersebut, dibutuhkan usaha dan kolaborasi bersama. Prinsip-prinsip atau landasan yang telah didiskusikan sebelumnya juga harus diterapkan dengan baik. Selain prinsip-prinsip tersebut, karena fokus ar kel ini adalah pendidikan karakter untuk anak usia dini, maka studi literatur terkait pendidikan anak usia dini juga perlu di njau untuk memperoleh k temu atau benang merah di antara keduanya.

Page 43: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

78 79Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini Tujuan pendidikan anak usia dini

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan “pendidikan anak usia dini” atau PAUD sekitar awal abad ke-19, psikolog dan fi lsuf juga mengembangkan beberapa teori berbeda tentang tumbuh kembang anak-anak dan bagaimana mereka belajar (Wortham, 2006). Hal ini, secara dak langsung, tentunya bertujuan untuk mengembangkan metode yang tepat untuk PAUD. Menurut hemat penulis, memahami tumbuh kembang anak dak hanya mencakup pemahaman tentang

sifat anak, namun termasuk juga budaya dan perbedaan lingkungan tempat di mana anak-anak tersebut tumbuh.

Selain itu, fokus pendidikan anak usia dini pun beragam. Fokus atau tujuan PAUD di se ap negara berbeda, sesuai dengan kondisi negara masing-masing (lihat Boocock, 1995). Misalnya dalam hal mengembangkan kemampuan kogni f, kesiapan sekolah, serta perkembangan sosial dan emosional (Katz, 1999; Na onal Research Council di dalam Currie, 2001). Meskipun fokus PAUD sangat beragam, Currie (2001) menyimpulkan bahwa kemampuan pengendalian diri merupakan salah satu skill yang krusial dan sama pen ngnya dengan kemampuan-kemampuan dasar lainnya, seper misalnya kemampuan kogni f. Self-control atau pengendalian diri kemungkinan besar sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan kogni f (Currie, 2001). Contoh sederhananya yaitu kemampuan anak untuk duduk dan mendengarkan. Jika anak-anak dak mampu mengendalikan diri untuk mendengarkan guru misalnya, maka hal ini tentu saja akan sedikit banyak menganggu proses kogni f; proses siswa

dalam menyerap pelajaran. Oleh karena itu, keterampilan sosial seper ini menjadi salah satu tujuan yang absah dan logis dari PAUD (Currie, 2001).

Essa (2002), seorang profesor yang telah mengajar perkembangan dan pendidikan anak usia dini di University of Nevada selama 41 tahun di Las Vegas, Amerika Serikat berpendapat bahwa ada dua tujuan program PAUD. Tujuan yang paling utama adalah memberikan perawatan dan pengasuhan dalam lingkungan yang sesuai dengan perkembangan anak, dan yang kedua adalah memperkaya anak-anak dengan pengalaman sosial, kogni f, dan hal-hal lain yang mungkin dak bisa didapatkan di rumah. Oleh karena

tujuan-tujuan tersebut, lembaga pendidikan harus mempersiapkan kurikulum yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta tumbuh kembang anak.

Tumbuh-kembang anak usia diniAnak-anak dikategorikan sebagai anak usia dini dimulai dari umur 0 hingga 6 tahun (Dahlberg dkk, 1999; UU No. 22 tahun 2003 pasal 28). Ada juga yang mengklasifi kasikan hingga umur 8 tahun (lihat Essa, 2002; Andriani, 2012; Brewer, 2014). Merujuk pada jenjang pendidikan di Indonesia, yang termasuk ke dalam kelompok anak usia dini adalah anak-anak Sekolah Dasar ngkat rendah (kelas 1 – 3), taman kanak-kanak (kindergarten), kelompok bermain (play group) dan balita (Andriani, 2012). Anak-anak, meskipun memiliki potensi yang sama untuk berkembang, sering dianggap seper tabula rasa atau wadah kosong (Dahlberg dkk., 1999). Oleh karena itu, proses pendidikan anak harus dilakukan dengan ha -ha dan komprehensif sesuai dengan tumbuh kembangnya.

Pada usia dua hingga lima tahun, anak-anak mulai memasuki tahap pra-operasional (Wortham, 2006). Tahapan ini terbagi lagi ke dalam perkembangan bidang kogni f, fi sik, bahasa, dan sosial-emosional. Secara kogni f, anak-anak yang memasuki tahap pra-operasional ini telah mampu menggunakan simbol, merepresentasikan objek dan kegiatan atau dengan kata lain telah mampu bermain peran (Wortham, 2006). Ke ka memasuki usia 4-7 tahun, tahap pra-operasional ini akan berkembang. Proses berpikir anak-anak berubah dari pemikiran simbolis ke pemikiran intui f. Anak-anak akan mampu, misalnya, menyusun objek dalam grup atau koleksi tertentu, tapi dak dapat menggunakan kategori secara konsisten. Adapun terkait dengan mental experience atau pengalaman psikis, mereka memiliki kemampuan yang terbatas terhadap hal tersebut, dan mereka butuh untuk melakukan ekplorasi dengan cara, misalnya, kegiatan darmawisata.

Dari segi fi sik, anak-anak akan sangat tangkas dalam memanjat, berlari, dan melompat. Mereka memiliki kontrol motorik jari dan tangan yang baik. Dengan demikian, anak-anak sebaiknya diberikan kesempatan untuk bermain di dalam maupun di luar ruangan. Selanjutnya, dari segi perkembangan bahasa, anak usia dini telah mampu membicarakan hal-hal yang dak ada (abstrak) dan bermain peran seper dokter, guru, dan sebagainya. Anak-anak juga mampu memahami perasaan orang lain dan mengungkapkan perasaan dalam percakapan. Terakhir, terkait dengan perkembangan sosial-emosional, anak-anak secara perlahan belajar bagaimana menjadi bagian dari kelompok sosial (Wortham, 2006). Proses ini dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orang tua, hubungan dengan saudara dan

teman-teman, serta lingkungan. Agar dapat diterima di dalam grup, anak-anak harus belajar perilaku yang sesuai dan berterima, dan disinilah para guru dapat membentuk karakter anak. Meskipun dipengaruhi oleh banyak faktor, teman sebaya memiliki peran pen ng bagi perkembangan sosial anak di sekolah. Anak-anak akan belajar cara bergaul dengan teman-teman melalui trial dan error.

Perkembangan sosial-emosional anak dak terbatas pada bagaimana mereka mampu menjadi bagian dari suatu kelompok seper yang disebutkan di atas. Wortham (2006) menyebutkan bahwa kemampuan memimpin juga akan berkembang pada usia empat sampai lima tahun. Anak-anak akan tertarik untuk menginisiasi suatu proyek, dan merasa bahagia untuk menyelesaikan proyek tersebut (Hendrick, 1998 di dalam Wortham, 2006). Sifat ini muncul karena pada rentang usia tersebut, karakter egosentris anak mulai berkurang. Perkembangan ini dapat dimanfaatkan untuk mendidik karakter anak. Ke ka sifat egosentrisnya berkurang, anak-anak akan lebih stabil dalam mengembangkan persepsi tentang diri mereka sendiri (Wortham, 2006).

Pendidikan Karakter dan PAUD Hubungan pendidikan karakter dan

PAUDBerdasarkan kajian literatur yang disajikan sebelum bagian ini, dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa hal, pendidikan karakter dan PAUD memiliki kesamaan dan beririsan dalam banyak dimensi. Pertama, seper yang sudah dijelaskan sebelumnya, untuk membangun generasi berkarakter baik, terutama di lingkungan sekolah, perlu adanya kerja sama berbagai pihak seper

Page 44: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

80 81Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

siswa, guru, keseluruhan sekolah beserta elemen-elemen di dalamnya, orang tua, serta masyarakat dan lingkungan. Hal yang serupa juga menjadi sorotan PAUD. Karena sifat anak-anak cenderung mengama dan meniru ngkah laku orang-orang di sekitarnya, maka seluruh anggota sekolah pun diharapkan dapat membantu tumbuh kembang anak dengan cara menjadi role model atau panutan yang baik. Jadi, baik pendidikan karakter maupun pendidikan anak usia dini dak bisa dilakukan oleh guru semata, namun memerlukan peran serta banyak pihak.

Kedua, meskipun sifat yang menjadi fokus pendidikan karakter berbeda-beda di se ap ins tusi, sekolah, daerah, dan bahkan di se ap negara, tujuan pendidikan karakter tetap sama, yaitu mengedukasi individu agar memiliki tabiat yang baik. Pun demikian dengan PAUD yang secara umum bertujuan untuk mengembangkan kemampuan kogni f, fi sik, bahasa, dan sosial-emosional (Wortham, 2006). Tabiat atau perilaku baik yang menjadi fokus pendidikan karakter termasuk ke dalam ranah sosial-emosional yang menjadi salah satu fokus PAUD. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter sebenarnya sudah menjadi salah satu sasaran PAUD. Bahkan, seper yang telah disinggung sebelumnya, karakter yang baik dianggap dapat membantu anak dalam membangun kemampuan kogni f. Hal ini mengimplikasikan bahwa pendidikan karakter diibaratkan seper pisau bermata dua (Koesoema, 2010, didalam Surya, 2017). Di satu sisi, pendidikan karakter bermanfaat untuk pembentukan moral, dan di sisi lainnya, ia juga dapat meningkatkan kemampuan intelektual.

Terakhir, pendidikan karakter maupun PAUD dak bisa dilaksanakan semata dengan cara

mentransfer informasi melalui metode ajar seper ceramah, namun dengan pemodelan dan eksplorasi. Seper yang telah dijelaskan sebelumnya, Lickona (1996) menegaskan bahwa untuk membangun pondasi karakter yang kuat, anak-anak harus diberikan kesempatan untuk melakukan aksi moral atau memprak kkan karakter itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan keadaan psikologis anak usia dini yang cenderung belajar dengan cara meniru atau melakukan imitasi. Oleh karena itu, metode maupun pendekatan yang digunakan juga harus sesuai.

Pendidikan karakter untuk PAUD di IndonesiaPedoman pendidikan karakter untuk PAUD di Indonesia tertuang di dalam Kurikulum 2013 dan buku panduan “Pedoman Penanaman Sikap Pendidikan Anak Usia Dini”. Di dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa pengembangan kompetensi sikap mencakup seluruh aspek seper agama dan moral, fi sik motorik, kogni f, sosial-emosional, bahasa dan seni. Pengembangan sikap atau karakter anak usia dini yang dipaparkan di dalam buku panduan tersebut ternyata telah sesuai dengan teori yang diusung Lickona yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu dilakukan dengan terencana secara terus menerus.

Kompetensi sikap yang menjadi fokus utama pada jenjang PAUD terbagi dalam dua Kompetensi In yang melipu kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial. Dua kompetensi tersebut kemudian dikembangkan menjadi beberapa Kompetensi Dasar. Jika dilihat dengan seksama, sikap yang ditekankan selaras dengan kerangka karakter abad ke-21 yang telah diulas sebelumnya. Berikut penjabarannya.

Tabel 1. Kompetensi Dasar Sikap

Kompetensi Dasar 1 Sikap spiritual terdiri dari:1.1

1.2

Mempercayai adanya Tuhan melalui ciptaan-NyaMenghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar sebagai rasa syukur kepada Tuhan

Kompetensi Dasar 2 Sikap sosial terdiri dari:2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

2.6

2.7

2.8

2.9

2.10

2.11

2.12

2.13

2.14

Memiliki perilaku yang mencerminkan hidup sehatMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap ingin tahuMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap kreatifMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap estetisMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap percaya diriMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap taat terhadap aturan sehari-hari untuk melatih kedisplinanMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap sabar (mau menunggu giliran, mau mendengar ketika orang lain berbicara) untuk melatih kedisiplinanMemiliki perilaku yang mencerminkan kemandirianMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap peduli dan mau membantu jika diminta bantuannyaMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap menghargai dan toleran kepada orang lainMemiliki perilaku yang dapat menyesuaikan diriMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap tanggung jawabMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap jujurMemiliki perilaku yang mencerminkan sikap rendah hati dan santun kepada orang tua, pendidik, dan teman

Selain indoktrinasi1 dan keteladanan melalui perilaku guru (Habibah di dalam Sudaryan , 2012), pengembangan sikap-sikap tersebut sebagian besar dilakukan melalui (1) pembiasaan atau disiplin dalam kegiatan ru n disekolah sehari-hari dan (2) keteladanan

1 Pendekatan yang dilakukan dengan memberikan hukuman & penghargaan

(modeling). Beberapa sikap seper yang tertera pada kompetensi dasar 2.1, 2.5, 2.6, 2.8, dan 2.13 kemungkinan besar dapat terpenuhi melalui pembiasaan individu dan modeling. Namun, sikap seper menghargai orang lain, peduli, menyesuaikan diri, dan sikap sosial lainnya akan berkembang lebih baik melalui banyak interaksi, baik dengan teman sebaya, guru, maupun lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan atau metode yang digunakan harus dapat membantu anak usia dini dalam mengeksplorasi diri mereka untuk mengembangkan karakter-karakter tersebut.

Di Indonesia, pendidikan karakter banyak ditanamkan melalui kegiatan bermain (lihat Andriani, 2012; Risnawa , 2012; Fadlillah, 2016) dan terkadang melalui fi eld trip atau karyawisata (lihat Ya , 2016). Jadi, pembiasaan karakter dikemas dalam bentuk permainan dengan lingkungan kondusif yang mendukung tumbuh kembang karakter anak. Bermain merupakan kebutuhan anak paling dasar dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Gallahue, 1985) dan memiliki beragam manfaat posi f, sehingga dijadikan metode utama dalam pembelajaran anak usia dini. Sedangkan fi eld trip dipercaya mampu memupuk karakter anak usia dini, karena sesuai dengan karakter anak yang menyukai hal-hal baru, menantang, dan memuaskan rasa ingin tahu anak-anak (Ya , 2016). Di samping dua metode utama ini, untuk mengembangkan sikap sosial anak seper menghargai dan toleran terhadap orang lain, menyesuaikan diri, dan lainnya yang mungkin dak cukup hanya dengan pembiasaan atau menerapkan disiplin, ar kel ini menawarkan project-based learning sebagai salah satu solusi pendekatan.

Page 45: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

82 83Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Project-Based Learning

Apa itu project-based learning?Pembelajaran berbasis proyek atau project-based learning (PBL) bukanlah suatu hal yang baru di dalam dunia pendidikan. Blumenfeld dkk. (1991) menyimpulkan PBL hadir karena para peneli berpendapat bahwa pengetahuan dapat dikontekstualisasikan. Dengan kata lain, pelajar memahami suatu materi dengan cara memecahkan masalah dengan bantuan alat kogni f, sumber informasi yang beragam, dan bantuan orang lain. PBL didefi nisikan sebagai pendekatan pembelajaran inova f, komprehensif, dan konstruk vis di mana siswa fokus untuk menyelesaikan suatu masalah dunia nyata (Blumenfel dkk., 1991; Bell, 2010; Trianto dalam Dewi dkk., 2018). Melalui pendekatan ini, siswa mengeksplorasi suatu hal yang menarik perha an mereka (interes ng) atau berdasarkan pertanyaan (inquiry) (Diffi ly, 2002; Bell, 2010) dalam batas waktu yang telah ditentukan.

Pembelajaran berbasis proyek ini sedikit berbeda dengan bermain, sebagaimana yang menjadi dasar PAUD. Blumenfeld dkk. (1991) membagi dua komponen utama dari suatu proyek, yaitu (1) suatu proyek berawal dari sebuah isu atau pertanyaan yang mendorong terjadinya suatu kegiatan, dan (2) kegiatan tersebut menghasilkan suatu produk akhir yang menjawab isu atau pertanyaan tersebut. Selain produk, hasil akhir lainnya yang diharapkan dari PBL ini di antaranya adalah siswa mampu memahami topik yang dipelajari, terjadi pembelajaran yang lebih komprehensif, dan meningkatnya mo vasi belajar (Bell, 2010).

Thomas (2000) memaparkan lima karakteris k yang membedakan PBL dengan metode pembelajaran lainnya, yaitu: centrality, driving ques on, construc ve inves ga on,

autonomy, dan realism. Centrality maksudnya adalah PBL menjadi in kurikulum dan pusat pembelajaran. Selanjutnya, PBL perlu dilaksanakan berdasarkan masalah atau pertanyaan yang mendorong (driving) siswa atau peserta didik untuk menyelesaikan dan mencari solusinya. Adapun construc ve inves ga on memiliki makna adanya inves gasi langsung yang melibatkan penyelidikan suatu isu, pembangunan pengetahuan, dan resolusi yang keseluruhannya dilakukan secara mandiri oleh peserta didik. Akan tetapi, guru tetap membimbing siswa sebagai fasilitator. Terkait dengan autonomy, PBL merupakan pendekatan student-centered yang mendorong siswa menjadi problem-solver atau pemecah suatu masalah atau isu. Terakhir, karakteris k realism berar PBL mengutamakan pembelajaran melalui simulasi yang serupa dengan konteks aslinya. Sebagai contoh, siswa diminta untuk mengatasi isu kebersihan dengan membuat sebuah poster. Maka, dalam menyelesaikan proyek tersebut, suasana harus diciptakan sedemikian rupa sehingga siswa betul-betul merasakan bahwa apa yang mereka lakukan memiliki dampak, dan poster tersebut dibuat dak hanya sekadar untuk memenuhi tugas

dari guru.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan suatu strategi belajar yang dilakukan sekelompok siswa dengan bimbingan (scaff olding) guru sebagai fasilitator untuk menyelesaikan suatu isu dalam lingkungan atau situasi yang serupa dengan konteks dunia nyata. Dengan kata lain, siswa diberi kesempatan untuk belajar melalui pengalaman, eksplorasi, inves gasi, dan interaksi. PBL diklaim dapat digunakan untuk semua umur (lihat Sepulveda, 2016) di semua jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan nggi. Yang membedakan

pelaksanaannya adalah ngkat bimbingan atau keterlibatan guru. PBL juga memberikan beragam dampak posi f sebagaimana dibahas di bawah ini.

Manfaat project-based learningHasil peneli an tentang dampak dari PBL telah dipublikasikan secara luas dalam konteks internasional (Kaldi dkk., 2011). Hal ini menandakan bahwa manfaat PBL telah teruji di berbagai belahan dunia. Karena karakteris k PBL yang mengutamakan kolaborasi antarsiswa untuk menyelesaikan suatu masalah, manfaat utama yang paling sering ditemukan dari PBL adalah meningkatkan kemampuan kerja sama dan perkembangan sosial (lihat Kaldi, 2009; Bell, 2010; Dewi dkk., 2018; Farida & Rasyid, 2018). Ke ka peserta didik mengerjakan suatu proyek, mereka akan banyak berinteraksi dengan teman sebaya maupun guru. Peserta didik dituntut untuk dak hanya mendengarkan, tapi juga

menghargai pendapat, mengutarakan ide dan bernegosiasi untuk menyelesaikan proyek yang sedang digarap. Ke ka PBL dilakukan secara berkala, maka pendekatan ini dapat mela h kemampuan siswa dalam bersosialisasi dan berkomunikasi di dalam suatu kelompok yang dinamis.

PBL juga bermanfaat untuk memupuk krea vitas dan keak fan siswa. Peneli an yang dilakukan oleh Farida & Rasyid (2018) terkait keefek fan PBL terhadap anak usia dini (usia 5-6 tahun) di Yogyakarta, Indonesia, menyimpulkan bahwa PBL terbuk meningkatkan keak fan dan krea vitas siswa. Hal ini terjadi karena siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran dan diwajibkan untuk dapat memecahkan sebuah masalah dan menyelesaikannya dalam bentuk produk, sehingga mereka harus ak f dan krea f dalam mengerjakannya.

Manfaat lain dari PBL terungkap dalam sebuah studi kuasi-eksperimental yang dilakukan oleh Kaldi dkk. (2011). Peneli an ini melibatkan 70 orang anak dengan rentang usia kurang lebih sembilan hingga sepuluh tahun di beberapa kota di Yunani. Berdasarkan hasil peneli an ini, diketahui bahwa selain kerja kelompok, PBL dapat meningkatkan kemampuan anak ngkat sekolah dasar dalam memahami konten pelajaran (akademik), menimbulkan perasaan gembira karena prosedur PBL tersebut, dan menumbuhkan kesadaran akan pen ngnya kerja kelompok. Selain dari bermanfaat bagi perkembangan so -skills, PBL bahkan dapat membantu meningkatkan kemampuan motorik halus anak usia dini (Saptarini dkk, 2018).

Project-based learning dan pendidikan karakter anak usia diniDari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PBL, jika diterapkan dengan baik, dapat membawa manfaat baik untuk perkembangan akademik maupun sosial anak, terutama dalam hal kemampuan bekerjasama. Karakteris k PBL yang telah terbuk manfaatnya dipercaya mampu membantu membentuk karakter anak usia dini. Sebagaimana yang tertera di Tabel 1, terdapat 14 kompetensi sikap yang ditekankan di PAUD – yang berkaitan erat dengan kerangka karakter abad ke-21 – yang sebagian besarnya dapat direalisasikan dan diintegrasikan dengan strategi PBL. Di antaranya adalah sikap krea f, sabar, peduli dan mau membantu (kerja sama), sikap menghargai dan toleran, sikap mampu beradaptasi, dan sebagainya. Keseluruhan sikap-sikap tersebut dapat terasah dengan mengerjakan suatu proyek dalam kelompok. Brewer (2014) menyebutkan bahwa anak-anak dak akan mampu belajar dengan baik melalui pengalaman pasif hanya dengan

Page 46: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

84 85Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

mendengarkan seseorang (guru) memberi tahu mereka cara mengerjakan sesuatu. Hal ini sesuai dengan perkembangan intelektual dan emosional anak (lihat Wortham, 2006; Brewer, 2014).

Seper halnya pendidikan karakter dan PAUD, PBL membutuhkan kerja sama semua anggota sekolah, terutama guru. Untuk mendesain PBL yang baik, tentu membutuhkan kerja sama berbagai pihak sekolah. PBL yang efek f adalah yang didesain sesuai dengan ngkat kogni f atau kemampuan serta minat siswa. Blumenfeld dkk. (1991) mengingatkan agar PBL dirancang sesuai dengan minat siswa. Ke ka proyek yang diberikan semakin sulit dan dak menarik, dikhawa rkan siswa hanya

fokus untuk menyelesaikan proyek tersebut dengan usaha yang minimal dan dak menikma proses pembelajaran. Hal serupa juga disampaikan oleh Brewer (2014). Brewer berpendapat bahwa salah satu tantangan dalam memberikan tugas untuk anak usia dini adalah menghindari “learned stupidity”, yaitu ke ka anak-anak diberikan tugas yang dak sesuai dengan kemampuan mereka

atau dak bisa mereka lakukan, sehingga membuat mereka percaya bahwa mereka lemah atau dak pandai dan mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu, seluruh persyaratan atau karakteris k perkembangan anak usia dini harus terpenuhi untuk PBL yang bermanfaat.

Kesimpulan dan SaranPendidikan karakter dan pendidikan anak

usia dini merupakan dua hal yang dak dapat dipisahkan. Salah satu tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah membentuk karakter atau akhlak yang baik. Karakter memang semes nya diasah sejak dini karena anak usia 0-6 atau 0-8 tahun berada pada masa kri s atau masa

“emas” di mana mereka cukup cepat dalam menerima informasi, dan keadaan ini sebaiknya dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap pendidikan karakter semakin nggi. Pesatnya perkembangan teknologi dan media harus diiringi dengan sikap yang baik dan bijaksana untuk menghindari atau menyusutkan dampak nega f teknologi tersebut.

Di Indonesia, pendidikan karakter sudah terintegrasi kedalam kurikulum PAUD. Sayangnya, terdapat kendala pada tahap pengembangan (Alawiyah, 2012). Pendidikan karakter di Indonesia cenderung dilakukan dengan metode “pembiasaan” dan “pemodelan”. Dua metode ini dipercaya mampu mengembangkan karakter anak, terutama yang bersifat individu. Sedangkan untuk karakter sosial, ar kel ini menawarkan project-based learning (PBL) sebagai alterna f pendekatan. Berdasarkan kajian literatur dan peneli an empirik, PBL terbuk mampu mengembangkan kemampuan anak dari beragam sisi, terutama sisi sosial. Karakteris k PBL yang mengedepankan oten sitas, kerja kelompok, dan pemecahan masalah, dipercaya dapat menunjang perkembangan karakter anak usia dini. Meskipun strategi ini memberi banyak manfaat dan layak diterapkan dalam pendidikan karakter, namun studi tentang pengaruh PBL terhadap pendidikan karakter anak usia dini masih belum tereksplorasi. Peneli an yang tersedia masih sebatas pemodelan dan semacamnya. Oleh karena itu, hal ini menjadi masukan bagi para peneli untuk dapat menindaklanju sebagai terobosan baru dalam penyelenggaraan pendidikan karakter.

Refl eksiBerdasarkan kajian literatur yang dipaparkan

di atas, terdapat beberapa hal pen ng yang dapat dijadikan bahan renungan. Meskipun literatur menunjukkan bahwa pendidikan

karakter merupakan salah satu sorotan utama PAUD, hal ini belum menjadi fokus atau prioritas yang ditegaskan di dalam peraturan-peraturan pemerintah Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 20/2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Pasal 1 hanya meni kberatkan pendidikan karakter pada satuan pendidikan formal yang terdiri atas TK, Sekolah Dasar (SD), dan satuan pendidikan menengah.

Selanjutnya, PPK pada Permendikbud yang sama, khususnya Pasal 5, semakin mengukuhkan pendapat bahwa pendidikan karakter pada jenjang PAUD seper di anak- rikan. Pasal tersebut menyatakan bahwa PPK

diselenggarakan dengan mengop malkan fungsi kemitraan tripusat pendidikan yang melipu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sekolah yang dimaksud terbatas pada satuan pendidikan formal saja.

Seper yang diketahui, terdapat beberapa jenis lembaga penyelenggara PAUD di Indonesia, yaitu TK (Taman Kanan-kanak), KB (Kelompok Bermain), TPA (Taman Peni pan Anak), SPS (Satuan PAUD Sejenis), dan PBK (PAUD Berbasis Keluarga). Di antara lima lembaga penyelenggara tersebut, TK adalah satu-satunya satuan pendidikan formal (lihat Hariwijaya dalam Purnamasari, 2013); sedangkan empat layanan lainnya termasuk ke dalam kategori nonformal dan informal. Berdasarkan klasifi kasi ini, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter pada lembaga pendidikan nonformal dan informal dak diatur oleh peraturan pemerintah.

Padahal, merujuk pada data Kemdikbud tentang jumlah satuan PAUD di Indonesia (lihat referensi.data.kemdikbud.go.id), terdapat kurang lebih 50% satuan PAUD non-formal. Dengan jumlah persentase tersebut, pendidikan karakter di satuan pendidikan nonformal dan informal seharusnya juga diatur dan ditegaskan melalui peraturan pemerintah.

Selain itu, meskipun anak usia dini cenderung belajar dengan cara bermain, hal ini hendaknya dak mengurangi porsi pendidikan karakter di PAUD. Seper yang telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan karakter pada anak usia dini seyogyanya menjadi misi pokok pendidikan dan bukan hanya sebagai muatan lokal atau pelengkap kurikulum. Hal ini beserta pengukuhan pendidikan karakter di jalur pendidikan nonformal dan informal perlu menjadi perha an bersama untuk implementasi pendidikan karakter yang lebih baik di Indonesia.

CatatanPendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit.

Tentang penulis

Rinia Zatalini merupakan alumni penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia program magister luar negeri dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Ia menyelesaikan pendidikannya di University of Leeds, United Kingdom pada tahun 2019 dengan program studi Teaching English to Speakers of Other Languages (TESOL) dengan predikat Dis nc on (cumlaude). Saat ini, Rinia ak f mengajar IELTS melalui pla orm online seper Bahaso.com dan au.ins tute.

Page 47: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

86 87Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Da ar Pustaka

Agboola, Alex., and Tsai, Kaun Chen. (2012). Bring Character Education into Classroom. European Journal of Educational Research, 1(2), 163-170.

Alawiyah, Faridah. (2012). Kebijakan dan Pengembangan Pembangunan Karakter melalui Pendidikan di Indonesia. Aspirasi, 3(1), 87-101.

Andriani, Tuti. (2012). Permainan Tradisional dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini. Jurnal Sosial Budaya, 9(1), 121-136.

Bell, Stephanie. (2010). Project-based learning for the 21st century: Skills for the Future. The Clearing House, 83(2), 39-43.

Berkowitz, M.W. (2002). The science of character education. In W. Damon (Ed), Bringing in a new era in character education, 43-63. Stanford, CA: Hoover Institution Press.

Berkowitz, M.W., and Hoppe, M. (2009). Character Education & Gifted Children. High Abilities Studies, 20(2), 131-142.

Bialik, Maya., Bogan, Michael., Fadel, Charles., dan Horvathova, Michaela. (2015). Character Education for the 21st Century: What Should Students Learn?. Diunduh dari https://curriculumredesign.org/

Blumenfeld, Phyllis C., Soloway, Elliot., Marx, Ronald W., Krajcik, Joseph S., Guzdial, Mark., Palincsar, Annemarie. (1991). Motivating Project-based Learning: Sustaining the Doing, Supporting the Learning. Educational Psychologist, 26(3-4), 369-398.

Boocock, Sarane Spence. (1995). Early Childhood Programs in Other Nations: Goals and Outcomes. The Future of Children, 5(3), 94-114.

Boss, Suzie., and Krauss, Jane. (2007). Reinventing Project-based Learning. International Society for Technology for Education: United States.

Brannon, Diana. (2008). Character Education: It’s a Joint Responsibility, Kappa Delta Pi Record, 44(2), 62-65.

Brewer, Jo Ann. (2014). Introduction to Early Childhood Education: Preschool Through Primary Grades. 6th Ed. Pearson Education: Essex.

Chowdhury, Mohammad. (2016). Emphasizing Morals, Values, Ethics, and Character Education in Science Education and Science Teaching. The Malaysian Online Journal of Educational Science, 4(2), 1-16.

Curren, Randall. (2017). Why Character Education?. IMPACT. Diunduh dari http://onlinelibrary.wiley.com/journal/10.1111/(ISSN)2048-416X

Currie, Janet. (2001). Early Childhood Education Programs. Journal of Economic Perspectives, 15(2), 213-238.

Dahlberg, Gunilla., Moss, Peter., and Pence, Alan. (1999). Beyond Quality in Early Childhood Education and Care. Falmer Press, Taylor & Francis Inc.: Philadelphia.

Dewi, Ni Wayan Eka Praba., Gading, I.K., dan Antara, P.Aditya. (2018). Pengaruh Metode Pembelajaran berbasis Proyek Terhadap Kemampuan Kerjasama pada Anak Kelompok B Taman Kanak-kanak. e-Journal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(3), 261-271.

Diffi ly, Deborah. (2002). Project-Based Learning: Meeting Social Study Standards and the Needs of Gifted Learners. Gifted Child Today, 25(3), 40-59.

Doak, Jennifer. (2009). The Eff ect of Character Education on Emotional Intelligence. Theses, Dissertations, and Capstones. Paper 568.

Essa, Eva L. (2002). Introduction to Early Childhood Education. 4th Ed. Thomson Delmar Learning: United States.

Fadlillah, M. (2016). Penanaman Nilai-nilai Karakter Pada Anak Usia Dini melalui Permainan-permainan Edukatif. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”.

Farida, Niken., dan Rasyid, Harun. (2018). The eff ectiveness of Project-based Learning Approach to Social Development of Early Childhood. Advances in Social Science, Education and Humanities Research.

International Conference on Special and Inclusive Education, vol. 296, 369-372.

Gallahue, D.L. (1985). Understanding Motor Development in Children. John Wiley and Sons Ltd: New Jersey.

Hassan, K.E., dan Kahil, R. (2005). The eff ect of “Living Values: An educational program” on behaviours and attitudes of elementary students in a private school in Lebanon. Early Childhood Education Journal, 33(2), 81-90.

h t t p s : / / w w w. k e m d i k b u d . g o . i d / m a i n /blog/2017/07/penguatan-pendidikan-karakter-jadi-pintu-masuk-pembenahan-pendidikan-nasional

https://www.paud.id/2015/03/jenis-jenis-layanan-paud-kelembagaan-paud.html

Hyson, Marilou. (2004). The Emotional Development of Young Children: Building an Emotional-centred Curriculum. Teachers College Press: New York.

Jackson, Nancy Ewald., Robinson, Halbert B., and Dale, Philip S. (1976). Cognitive Development in Young Children: A Report for Teachers. Purdue University Library. Diunduh dari https://play.google.com/books/

Kaldi, Stavroula., Filippatou, Diamanto., dan Govaris, Christos. (2011). Project-based learning in primary schools: eff ects on pupils’ learning and attitudes. Education 3-13, 39(1), 35-47.

Katz, Lilian G. (1999). Balancing Constructivist and Instructivist Curriculum Goals in Early Childhood Education. Paper.

Kauppi, Teemu., and Pörhölä, Maili. (2012). School teachers bullied by their students: Teachers’ attributions and how they share their experiences. Teaching and Teacher Education, 28(7), 1059-1068.

Lerner, Richard M. (2019). Character Development: Four Facets of Virtues. Child Development Perspectives, 13(2), 79-84.

Lickona, Thomas. (1996). Eleven Principles of Eff ective Character Education. Journal of Moral Education, 25(1), 93-100.

Lowenstein, G. (1994). The Psychology of Curiosity: A Review and Reinterpretation. Psychological Bulletin, 116(1), 75-98.

McDaniel, Anette Kusgen. (1998). Character Education: Developing Eff ective Programs. Journal of Extension, 36(2),

McGrath, Robert E. (2018). What is Character Education? Development of a prototype. Journal of Character Education, 14(2), 23-35.

Mustafaoglu, Rüstem., Zirek, Emrah., Yasaci, Zeynal., Özdinçler, Arzu Razak. (2018). The Negativ Eff ects of Digital Technology Usage on Children’s Development and Health. Addicta: The Turkish Journal on Addictions, 5(2), 13-21.

Noddings, Nel. (2002). Educating Moral People – A caring alternative to character education. Teachers College Press: New York.

Nucci, Lary. (2019). Character: A Developmental System. Child Development Perspectives, 13(2), 73-78.

Pala, Aynur. (2011). The Need for Character Education. International Journal of Social Sciences and Humanity Studies, 3(2), 23-32.

Patella, Cindy. (2003). The eff ect of character education on student behaviour. Theses and Dissertation. Rowan University. Diunduh dari https://rdw.rowan.edu/etd/1351

Pedoman Penanaman Sikap Pendidikan Anak Usia Dini. (2018). Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini – Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Purnamasari, Widi Widiyawati. (2013). Studi Perbandingan Pengembangan Layanan PAUD di Kecamatan Brebes dan di Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Indonesian Journal of Early Childhood Education Studies, 2(2), 64-71.

Page 48: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

6 ImplementasiProject-Based Learningpada Jenjang PAUD

Hidayatul Mabrur

Universitas Pendidikan Indonesia

88 89Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Project-Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran alterna f dalam Kurikulum Nasional (Kurikulum 2013). Model ini digunakan mulai dari jenjang pendidikan anak

usia dini hingga pendidikan menengah. Pembelajaran berbasis proyek menjadi sebuah model yang kian populer lantaran menawarkan konsep belajar berbasis inves gasi (inves ga on), kerja sama (collabora on) serta pengalaman langsung (learning by doing). Berdasarkan berbagai karakteris k yang ditawarkannya, PBL dinilai mampu meningkatkan ga ranah sekaligus (kogni f, afek f dan psikomotorik) dalam satu

waktu, dan dapat menjadi model pembelajaran yang menjawab kebutuan masa depan. Ar kel ini bertujuan untuk memaparkan tahapan implementasi PBL pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dikaji dari sisi tahapan per tahapan, yaitu; perencanaan (planning), implementasi (implementa on), dan penilaian (assessment). Penulisan ar kel ini menggunakan kajian literatur yang merujuk pada berbagai jurnal ilmiah, buku, dan beberapa dokumen model penerapan PBL dari berbagai referensi. Keluaran dari ar kel ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi guru PAUD Indonesia dalam menerapkan pembelajaran berbasis proyek di satuan PAUD masing-masing.

Kata Kunci: implementasi; project-based learning; pendidikan anak usia dini

Revell, Lynn. (2002). Children’s Responses to Character Education. Educational Studies, 28(4), 421-431.

Risnawati, Vivit. (2012). Optimalisasi Pendidikan Karakter Anak Usia Dini melalui Sentra Main Peran di Taman Kanak-kanak Padang. Jurnal Pesona PAUD, 1(1), 1-10.

Saptarini, Indah., Wahyuningsih, Siti., Sujana, Yudianto. (2018). Peningkatan Kemampuan Motorik Halus melalui Project-based Learning pada Anak Kelompok B TK Siwi Peni XI Laweyan Tahun Ajaran 2015/2016. Diunduh dari jurnal.uns.ac.id.

Sepulveda, Janine. (2016). Introduction: Project-based Learning. Diunduh dari https://learn.canvas.net/courses/1123/pages/introduction-project-based-learning?module_item_id=160193

Skaggs, G., & Bodenhorn, N. (2006). Relationship between implementing character education, student behaviour, and student achievement. Journal of Advanced Academics, 18(1), 82-114.

Sudaryanti. (2012). Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 1(1), 11-20.

Surya, Yenni Fitra. (2017). Penggunaan Model Pembelajaran Pendidikan Karakter Abad 21 pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 52-61.

Thomas, John W. (2000). A Review of Research on Project-based Learning. Diunduh dari https://www.semanticscholar.org/

Thompson, William G. (2002). The eff ect of character education on students’ behaviour. Disertasi doktoral, East Tennessee State University.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wortham, Sue C. (2006). Early Childhood Curriculum – Developmental Bases for Learning and Teaching. Pearson Education: New Jersey.

Yati, Patmi. (2016). Pendidikan Karakter Anak Usia Dini melalui Metode Pembelajaran Field Trip. Lentera, 18(1), 123-139.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini88

Page 49: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

90 91Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Indonesia terus dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Kompleksitas itu hadir seiring dengan

derasnya arus globalisasi yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta episode peradaban yang baru (OECD, 2018). Pada konteks ini, pendidikan sebagai bagian dari upaya manifestasi perubahan, mau dak mau harus masuk ke dalam kumparan perubahan itu (Rusnia , 2015). Apabila dak ingin ter nggal, proses pendidikan harus terus diperbaharui dari waktu ke waktu, dari jejang pendidikan pra-sekolah hingga ke jenjang pendidikan nggi.

Menghadapi seluruh tantangan yang ada dak dapat dilakukan dengan cara-cara konserva f. Seluruh pemangku kepen ngan pendidikan perlu untuk terus melakukan terobosan pada semua jenjang dan ngkat pendidikan, termasuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Namun demikian, data dari UNESCO (2005) menunjukkan bahwa angka par sipasi PAUD di Indonesia berada pada urutan ke-45 dari 45 negara. Pun demikian dengan kualitas PAUD di Indonesia yang menduduki peringkat ke-44, se ngkat di atas India. Menurut UNESCO (2005), layanan PAUD di Indonesia belum dapat memberikan kontribusi besar terhadap hasil belajar pada jenjang pendidikan selanjutnya. Tak hanya itu, alokasi dana pendidikan untuk pengembangan PAUD juga rela f masih rendah, yaitu hanya sekitar 1,2% dari total anggaran pendidikan nasional. Padahal, rata-rata alokasi anggaran pengembangan PAUD secara internasional adalah 4-5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (OECD, 2015).

Di sisi lain, tantangan keterampilan global terus menyeruak. Salah satunya adalah tantangan keterampilan abad 21 (21st century skills) yang menuntut siswa untuk dapat berpikir kri s (cri cal thinking), memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving),

mempunyai krea vitas (crea vity), melakukan kolaborasi (collabora on), dan mampu berkomunikasi (communica on) dengan baik (Vinu dkk., 2011). Hal senada dikemukakan oleh Apollo Educa on Group, sebuah perusahaan penyedia program pendidikan ternama di Amerika Serikat yang mengiden fi kasi 10 keterampilan yang diperlukan peserta didik untuk dapat bersaing pada abad 21, di antaranya adalah: keterampilan berpikir kri s, komunikasi, kepemimpinan, kolaborasi, kemampuan adaptasi, produk vitas dan akuntabilitas, inovasi, kewarganegaraan global, kemampuan dan jiwa kewirausahaan, serta kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan menyintesis informasi (Barry, 2012). Seluruh keterampilan ini kian memosisikan pendidikan Indonesia untuk dak dapat memilih opsi lain kecuali “berbenah”.

Untuk menjawab berbagai tantangan yang ada, kurikulum pendidikan Indonesia menetapkan model pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) sebagai salah satu model pembelajaran alterna f, termasuk pada jenjang PAUD (Kemendikbud, 2014). PBL dinilai lebih relevan untuk pembelajaran saat ini dan juga masa depan, lantaran dak terbatas pada ak vitas transfer pengetahuan (knowledge transfer) semata (Costa, 2007), akan tetapi juga menekankan pada peningkatan aspek psikomotorik, afek f serta sikap sosial peserta didik, seper ; kemampuan bekerja sama, mencari informasi dari sumber yang berbeda, berpikir kri s, memecahkan masalah, evaluasi diri, menyimpulkan, hingga menyampaikan hasil inves gasi melalui presentasi (Aldabbus, 2018). Beberapa keterampilan tersebut dak hanya memberikan bekal untuk menjadi bagian dari masyarakat global (global society) (Bell, 2010), tetapi juga memberikan bekal pembelajaran seumur hidup (Phillips, 1999; Aldabbus, 2018).

Selayang Pandang Tentang Project-Based Learning

Model pembelajaran project-based learning merupakan model pembelajaran yang membimbing siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri dan mendemonstrasikan pemahaman baru melalui berbagai representasi bentuk (NYC Departemen of Educa on, 2009). Project-based learning ― yang dalam beberapa is lah lain juga disebut sebagai project approach (pendekatan proyek) (Lihat Helm & Kants, 2001, Bell, 2010; Danielle, 2017) ― juga diar kan sebagai sebuah proses pembelajaran eksplora f - terperinci mengenai suatu subjek (tema) dalam memberikan pengalaman pen ng bagi siswa, serta menjadi sebuah pendekatan mutli-tujuan yang pelaksanaannya menyesuaikan minat dan kemampuan siswa (Beneke & Ostrosky, 2009). Berdasarkan hal ini, Katz & Chard (2000) menilai PBL sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mampu mengakomodir berbagai kebutuhan siswa.

Okudan & Sarah (2004) menambahkan bahwa, PBL berfokus pada prinsip-prinsip dasar dari suatu disiplin ilmu yang melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, serta memberi peluang bagi siswa untuk bekerja secara otonomi dalam mengkonstruki cara belajar mereka sendiri. Puncak dari PBL berupa produk/karya siswa yang bernilai dan realis k (Okudan & Sarah, 2004).

Sementara itu, Philips (1999) mendefi nisikan PBL sebagai sebuah model pembelajaran yang dinilai mampu menyentuh seluruh aspek capaian dalam pendidikan, karena dak hanya fokus pada pengembangan aspek tertentu, melainkan semua ranah dalam pendidikan (kogni f, psikomotorink dan afek f). Hal itu senada dengan apa yang disampaikan oleh Lindsay (2006) yang mengemukakan berbagai

keunggulan yang dapat dicapai siswa ke ka guru menerapkan pembelajaran berbasis proyek, di antaranya adalah: (1) siswa mampu mengembangkan keterampilan komunikasi yang baik untuk mengurai perbedaan padangan; (2) siswa mampu mengembangkan keterampilan inves gasi yang baik; (3) siswa belajar untuk fl eksibel terhadap jam kerja mereka; (4) siswa mengembangkan pemahaman yang lebih lengkap tentang bagaimana dunia melebihi apa yang hanya mereka ketahui; dan, (5) siswa mencapai perasaan bahwa melalui komunikasi efek f dan memahami orang lain, sesorang dapat melakukan sesuatu untuk mengubah dunia.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa PBL telah banyak digunakan dan diadopsi oleh berbagai ins tusi pendidikan di berbagai belahan dunia (Pereiraa, 2017). Sebagai contoh, di Singapura, PBL telah menjadi sebuah pendekatan pembelajaran nasional, di mana Menteri Pendidikan Singapura telah mendorong para guru di negara tersebut untuk mengadopsi dan menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis proyek, dengan mengkampanyekan moto ‘’Teach Less, Learn More”. Di Amerika Serikat, salah satunya di New Technology High School California, pendekatan proyek dijadikan landasan dalam melakukan pengajaran di sekolah tersebut dan telah menyebar ke sejumlah jaringan sekolah yang berkembang di seluruh Amerika Serikat (Boss & Krauss, 2007). Namun demikian, secara historis, PBL sebetulnya bukanlah hal yang baru. Helm & Kants (2001) dalam bukunya Young Inves gators; The Project Approach in The Early Year memaparkan sebagaimana yang dijelaskan Smith (1997) bahwa project approach telah lahir sejak tahun 1960 hingga 1970-an. Project approach lahir dari gerakan pendidikan progresif dan telah lama digunakan secara intensif oleh Bri sh Infant Schools di Inggris (Smith, 1997).

Page 50: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

92 93Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

PBL juga dak lepas dari prinsip-prinsip teori dasar yang dikemukakan oleh beberapa tokoh terkemuka dalam bidang pendidikan dan psikologi perkembangan, seper Jean Piaget dan Lev Vygotsky dengan teori kontruk visme, dan Jhon Dewey yang mempopulerkan is lah experiental learning atau learning by doing (Ord, 2012). PBL kemudian dijelasakan secara lebih dalam oleh William Heard Kilpatrick – tokoh pen ng gerakan pendidikan progresif awal abad ke-20 (Sari & Astu , 2010). Piaget misalnya, dalam teori kontruk vismnya mengemukakan bahwa pengetahuan siswa akan berkembang saat siswa menghadapi pengalaman baru yang akan membangun dan memodifi kasi pengetahuan awal (Sjoberg, 2010).

Dalam konteks pembelajaran anak usia dini, PBL hadir sebagai antetesis dari pembelajaran konvensional, di mana dalam beberapa kasus, kita masih sering menemukan anak usia dini dipaksa untuk belajar membaca, menghitung, dan menulis, padahal hal itu dipandang sebagai potensi ancaman terhadap mo vasi anak untuk berkembang (Na onal Curriculum Faramework, NCERT, 2005). Bahkan, hal itu juga dinilai sebagai faktor yang merusak rasa inisia f anak (siswa) (NUEPA, 2009).

Lee (2002; Vengopal, 2016) menegaskan bahwa rasa ingin tahu siswa (students’ natural curiosity) membuat konsep dasar dalam project approach dapat dibangun melalui interaksi, hubungan, komunikasi, tanya jawab, pemecahan masalah, proses refl eksi dan lain sebagainya. Pembelajaran auten k semacam ini dinilai melampaui “dinding kelas”, dan dapat menghubungkan siswa dengan kehidupan nyata (Jane, 1998). Hal ini juga dapat membantu mereka dalam mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat membuat koneksi lintas-kurikuler (Helm & Katz, 2001).

Project-Based Learning untuk Jenjang PAUD, Mungkinkah?

Banyak di antara kita sering khawa r dan bertanya,“apakah model pembelajaran berbasis proyek relevan untuk diterapkan pada anak usia dini?”, “Apakah efek f?“, “Apakah dak terlalu memberatkan bagi anak usia dini?”.

Beberapa peneli an baru-baru ini menunjukkan bahwa PBL mampu meningkatkan keterampilan berpikir ngkat nggi anak-anak, seper pemecahan masalah, perencanaan, dan pemantauan diri (Brown & Campione, 1996). Lebih lanjut Brown & Campione (1996) mengungkapkan bahwa PBL dinilai mampu menigkatkan kepandaian siswa dalam mentransfer ide konseptual di berbagai situasi pembelajaran. Helm & Kants (2001) juga memaparkan, bahwa siswa pada ngkat pra-sekolah di sebuah lembaga pendidikan bernama Reggio Emilia, Italia menunjukkan kebiasaan penalaran yang lebih baik, seper peningkatan rasa ingin tahu, kemampuan melakukan refl eksi, dan kemampuan menghargai perspek f orang lain, setelah guru menerapkan PBL.

Howell (2003) menjelaskan bahwa, pada implementasi PBL, siswa dapat dilibatkan secara mendalam pada sebuah proses pembelajaran, di mana mereka bekerja dan berkolaborasi untuk mencapai satu tujuan bersama dan mengembangkan pemahaman bersama. Siswa juga terlibat langsung dalam ak vitas pemecahan masalah yang bermakna dan terarah. Pendekatan proyek didasarkan pada kolaborasi, komunikasi, dan asumsi awal bahwa hakikatnya semua anak memiliki kompetensi yang unik dan berbeda satu sama lain (Helm dkk., 2003). Dalam penerapan PBL, peran guru bukanlah memberi jawaban, tetapi untuk memfasilitasi proses belajar, mendengarkan, meneli dan belajar bersama dengan anak-anak (Rinaldi, 2006).

Peneli an lain yang lebih spesifi k dilakukan akademisi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Peneli an tersebut dilakukan untuk menguji relevansi PBL pada jenjang PAUD, dan melihat dampak penerapannya pada siswa. Temuan peneli an ini menunjukkan bahwa PBL merupakan model yang relevan untuk diimplementasikan pada jenjang PAUD. Sebagian besar guru yang terlibat dalam peneli an mengemukakan bahwa mereka mampu menerapkan PBL (Rahman dkk., 2011). Hal itu kian diperkuat dengan hasil peneli an Katz (2001) yang mengungkapkan bahwa project-based learning merupakan metode yang dapat diterapkan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga ke pendidikan nggi.

Peneli an lain yang dak kalah ini menarik adalah peneli an yang menguji tentang pengaruh metode PBL terhadap kemampuan kerja sama pada siswa (Dewi dkk., 2018). Hasil dari peneli an ini mengemukakan bahwa terdapat pengaruh yang signifi kan antara PBL terhadap kemampuan kerja sama siswa TK. Secara lebih spesifi k, peneli an tersebut menemukan bahwa rerata kemampuan kerja sama yang ditunjukkan anak yang dibelajarkan melalui metode PBL lebih nggi dari anak yang dak mengalami metode PBL.

Pandangan serupa jauh-jauh hari telah dikemukakan oleh Hurlock (1978) yang memaparkan bahwa, apabila anak memiliki banyak kesempatan untuk melakukan dan menyelesaikan sebuah pekerjaan bersama-sama, anak akan semakin cepat belajar melakukan pekerjaan dengan cara bekerja sama. Beberapa pakar juga menyampaikan bahwa anak-anak yang memasuki usia lima tahun mulai menger apa ar nya berbagi dan berkompromi ke ka mereka mulai berpindah dari permainan paralel ke permainan kerja sama. Mereka

mulai mengorganisasikan permainan mereka, menetapkan peran dan tanggung jawab yang menuntut perundingan dan kompromi (Wasik & Seefeldt, 2008).

Dari berbagai penelaahan literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa PBL relevan untuk diimplementasikan pada jenjang PAUD. Bahkan, beberapa literatur menunjukkan bahwa PBL dak hanya relevan untuk diterapkan pada

jenjang PAUD, namun lebih dari itu: PBL mampu memberikan s mulus posi f terhadap berbagai aspek perkembangan anak usia dini. Wilkinson (2014) menekankan bahwa PBL juga dapat menjadi model pembelajaran masa depan, karena dianggap lebih efek f untuk mempersiapkan siswa dalam menjawab kebutuhan skills dalam dunia kerja secara global, daripada model pembelajaran tradisional (Wilkinson, 2014). Dalam proses PBL juga terdapat upaya untuk menumbuhkan, memupuk, memo vasi dan menyediakan lingkungan belajar yang mendorong siswa untuk mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki seop mal mungkin (Primayana, 2019).

Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang perlu menjadi perha an guru dalam melaksanakan PBL pada jenjang PAUD, di antaranya: Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA), ngkatan usia, kedalaman tema, pemilihan bahasa, dan berbagai faktor per mbangan lainnya (Kemendikbud, 2018). Pun demikian yang MacDonell (2007) yang menjelaskan bahwa implementasi PBL seyogyanya dikembangkan berdasarkan ngkat perkembangan berpikir siswa dengan

berpusat pada ak vitas belajar siswa, sehingga memungkinkan siswa untuk berak vitas sesuai dengan keterampilan, kenyamanan, dan minat belajar masing-masing.

Page 51: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

94 95Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Implementasi Project-Based Learning pada Jenjang PAUD

Bagian mengenai implementasi PBL pada jenjang PAUD ini dibagi ke dalam ga tahapan: 1) perencanaan (planning); 2) implementasi (implementa on); dan, 3) penilaian (assessment). Sebagai batasan untuk diketahui pembaca, dalam menyajikan ke ga tahapan tersebut, ar kel ini mengacu dan mengembangkan beberapa kerangka yang telah dimuat dalam Buku Panduan Kurikulum PAUD 2013 yang dipublikasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perencanaan, implementasi dan evaluasi PBL hakikatnya dak dapat berdiri sendiri, sebab PBL seja nya

terintegrasi dalam Kurikulum PAUD 2013 yang telah direfl eksikan dalam seri Buku Panduan Implementasi Kurikulum PAUD 2013. Adapun pembahasan dalam sub bab ini akan dibahas dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

Perencanaan (Planning)Majid (2007) mendefi nisikan bahwa perencanaan dalam pembelajaran merupakan sebuah proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran, penggunaan pendekatan dan metode pengajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tidak sampai di situ, dalam membuat perencanaan guru juga dituntut untuk memberikan nilai inovasi agar pembelajaran yang dirancang menjadi op mal (Yulia dkk., 2019).

Tahapan perencanaan merupakan tahapan yang memegang peranan pen ng dalam pembelajaran. Hal itu senada dengan pandangan Gagne, Briggs & Wagner (1992) yang menekankan pen ngnya sebuah perencanaan dalam kegiatan pembelajaran. Proses perencanaan pembelajaran juga akan

menentukan keselarasan dalam menentukan tahapan pelaksanaan dan evaluasi. Hal itu diamini oleh Primayana (2019) yang menyatakan bahwa, perencanaan merupakan “ k tolak” terhadap kelancaran dan keberhasilan sebuah proses pembelajaran. Oleh karena itu, perencanaan bukan hanya sekadar persoalan administra f, namun merupakan bagian dari kesatuan sistem dalam pembelajaran. Pembelajaran sebagai suatu sistem bukan hanya antara komponen-komponen proses belajar mengajar, tetapi juga antara langkah yang satu dengan langkah berikutnya dalam melaksanakan program pembelajaran benar-benar harus sesuai dengan yang telah direncanakan (Ibrahim & Syaodih, 1995).

Dalam konteks perencanaan pelaksanaan PBL pada jenjang PAUD, Abidin (2014) menyebut fase ini sebegai fase pra proyek, di mana pada fase ini, guru hendaknya melakukan segala persiapan di luar jam pelajaran. Pada tahap ini, guru juga merancang deskripsi proyek, menentukan pijakan proyek, menyiapkan media, dan menyiapkan kondisi pembelajaran (Abidin, 2014). Merujuk pada Permendikbud Nomor 146 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 PAUD, yang menyatakan bahwa se ap satuan PAUD se daknya memiliki dua dokumen acuan. Dokumen satu berisi sekurang-kurangnya: visi, misi, tujuan satuan pendidikan, program pengembangan dan materi pembelajaran, pengaturan beban belajar, kalender pendidikan dan program tahunan, dan SOP. Sedangkan Dokumen dua berisi perencanaan program semester (Prosem), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mingguan (RPPM), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian (RPPH) yang dilengkapi dengan rencana penilaian perkembangan anak (Permendikbud Nomor 146 Tahun 2014).

Mencerma isi dokumen dua sebagaimana yang termaktub dalam Permendikbud di atas, dapat kita pahami bahwa dokumen dua merupakan dokumen perencanaan, yang seyogyanya telah disusun dan disiapkan oleh guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Dalam ar kel ini, penulis menganalisis dan mengembangkan beberapa dokumen yang berorientasi pada pelaksanaan PBL, sebagaimana yang disebutkan di atas. Agar pembahasan lebih terperinci, perkenankan penulis memaparkan analisis ak vitas pada tahapan-tahapan perencanaan yang hendaknya dilakukan oleh guru dalam merencanakan PBL sebagai berikut:

Langkah pertama: pemetaan KD Langkah pertama pada tahap

perencanaan implementasi PBL adalah menetapkan Kompetensi Dasar (KD). Perlu digaris bawahi, penetapan KD hendaknya mengacu pada empat Kompetensi In (KI) yang telah ditetapkan pada Kurikulum PAUD 2013. Penentuan KD seyogyanya juga memper mbangkan Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan (STPP) yang di dalamnnya memuat seluruh aspek perkembangan anak seper ; Nilai Agama dan Moral (NAM), fi sik-motorik (FM), kogni f (KOG), bahasa (BHS), sosial-emosional (SOSEM), dan seni (SN) (Buku Penyusunan RPP, Kemendikbud, 2018). Secara teknis, penetapan KD dapat ditulis lengkap atau dapat dituliskan kodenya saja. KD dapat diulang-ulang pada ap tema/subtema/sub-subtema yang berbeda (Kemendikbud, 2018).

Ada beberapa hal yang perlu dimuat oleh guru dalam menentukan KD, di antaranya adalah: (1) KD yang sudah ditetapkan pada Program Semester atau jika dipandang pen ng dapat diubah sesuai dengan kondisi;

(2) komposisi KD yang diambil mewakili seluruh program pengembangan (nilai agama dan moral, fi sik-motorik, kogni f, bahasa, sosial-emosional, dan seni); (3) KD untuk subtema atau sub-subtema dapat diambil seluruhnya atau hanya sebagian dari KD yang ada di tema; (4) KD yang sudah dipilih dapat diulang kembali untuk digunakan di tema lainnya; (5) KD dapat dituliskan dengan urutan angka atau dituliskan secara utuh; dan, (6) penempatan KD dapat masuk ke dalam kolom atau ditulis di atas setelah iden tas program (Kemendikbud, 2018). Menurut penulis, dalam konteks pemetaan KD yang berkaitan dengan PBL, guru dapat memilih beberapa KD yang memungkinkan siswa untuk melakukan PBL.

Langkah kedua: penentuan temaDalam merencanakan tema, guru dapat

merencanakan dan memilih berbagai variasi tema, sub tema dan sub-sub tema yang dapat menciptakan berbagai ak vitas PBL. Hal itu dapat dilakukan ke ka melaksankan program semester. Tema merupakan gagasan utama yang akan digunakan untuk membingkai seluruh muatan/materi pembelajaran selama siswa mengiku kegiatan pembelajaran. Subtema adalah penjabaran dari gagasan utama yang telah ditetapkan sebagai tema. Sedangkan sub-sub tema adalah hasil analisis dari subtema yang lebih operasional yang akan dijadikan landasan dalam menentukan topik-topik yang akan dijadikan muatan atau materi pembelajaran (Kemendikbud, 2018). Tema yang dipilih kemudian dikembangkan menjadi subtema atau sub-sub tema, dan akan diterapkan selama satu semester. Tema, subtema dan sub-sub tema yang dikembangkan merupakan topik-topik yang lebih khusus dan lebih mendalam (Kemendikbud, 2018).

Page 52: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

96 97Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Implementasi PBL pada jenjang PAUD menggunakan pembelajaran tema k yang merupakan pembelajaran terintegrasi berbasis “tema” sebagai dasar mengembangkan muatan dan materi pembelajaran untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD). Satu hal yang perlu dipahami oleh guru PAUD, tema bukan tujuan ataupun materi yang akan dipelajari oleh siswa. Tema merupakan sarana untuk mengintegrasikan sikap, pengetahuan, dan keterampilan siswa yang ingin dibangun. Tema juga berperan sebagai payung yang memiliki fungsi membingkai keseluruhan materi pembelajaran melalui kegiatan bermain (Kemendikbud, 2018). Hal itu senada dengan apa yang diungkapkan oleh para pendukung pendekatan proyek yang dak menyarankan pembelajaran proyek dilakukan sendiri-sendiri seper mata pelajaran. Helm & Katz (2001) menyatakan bahwa pembelajaran proyek bukanlah subjek yang terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari segala sesuatu yang termasuk dalam kurikulum.

Katz (1993) menekankan beberapa prinsip yang harus diperha kan dalam memilih tema, di ataranya: pertama, tema tersebut harus terkait erat dengan pengalaman sehari-hari siswa, atau se daknya beberapa dari mereka dak asing dengan tema yang diangkat agar kemudian mereka dapat mengajukan pertanyaan tentang hal itu. Kedua, terlepas dari keterampilan dasar pra-literasi dan pra-berhitung, tema yang dipilih harus menyediakan keterhubungan antara beberapa disiplin ilmu seper : sains, ilmu sosial, dan seni bahasa. Ke ga, tema yang dipilih seyogyanya luas agar dapat dieksplorasi se daknya selama sepekan.

Keempat, tema harus sedemikian rupa sehingga lebih cocok untuk dievaluasi di lembaga pendidikan daripada di rumah (Katz, 1993).

Langkah ke ga: menurunkan KD ke dalam materi ajar

Setelah menentukan KD dan tema, guru hendaknya menurunkan KD ke dalam materi-materi atau muatan ajar. Menurunkan KD ke dalam materi ini merupakan salah satu ak vitas pen ng sebagai bahan pengayaan pengetahuan serta pengalaman bagi siswa dalam melakukan proses pembelajaran (Kemendikbud, 2018). Hal lain juga yang perlu dipahami dalam menentukan materi, bahwa guru hendaknya menyesuaikan dengan kemampuan siswa.

Dalam pelaksanaannya, pengembangan materi dikualifi kasikan ke dalam dua bagian: (1) Materi pengembangan sikap, yang kemudian dimasukkan ke dalam SOP dan menjadi pembiasaan yang diterapkan sehari-hari sepanjang tahun; dan, (2) Materi pembelajaran, yang dikaitkan dengan tema/subtema/sub-subtema yang kemudian akan diulang-ulang sesuai dengan alokasi waktu RPPM untuk penguatan kemampuan anak (Kemendikbud, 2018).

Menurut analisis penulis, dalam konteks perencanaan implementasi PBL, beberapa materi dapat diop malkan untuk melahirkan kegiatan berbasis PBL, tentunya dengan menginduk pada KD yang telah dikembangkan. Sebagai contoh, tabel berikut ini menjelaskan alur keterkaitan pengembangan KD, materi dan rencana kegiatan sehingga melahirkan berbagai ak vitas proyek:

Langkah keempat: menyusun RPPMSetelah menentukan KD ke dalam materi,

tahapan selanjutnya adalah menuliskannya ke dalam RPPM dan RPPH. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mingguan (RPPM) disusun untuk pembelajaran selama satu minggu. RPPM dijabarkan dari Program Semester, yang memuat beberapa hal sebagaimana yang telah penulis jabarkan di atas, di antaranya sebagai berikut: (1) iden tas program layanan, (2) KD yang dipilih, (3) materi pembelajaran, dan (4) rencana kegiatan. Sedangkan Kompetensi Dasar (KD) yang ditetapkan dalam RPPM sesuai dengan standar RPPM yang telah ditetapkan.

Meskipun format penyusunan RPPM berbeda-beda, namun menurut hemat penulis, prinsip yang harus diperha kan dalam menyusun RPPM yang berorientsi pada pelaksanaan PBL adalah kepas an adanya ruang ak vitas atau sub-sub ak vitas yang

mengarahkan siswa untuk melaksanakan serangkaian berbasis proyek (project work).

Tahapan kelima: menyusun RPPH Rencana pelaksanaan pembelajaran

harian (RPPH) adalah dokumen terakhir yang dikembangkan pada tahapan perencanaan. RPPH merupakan acuan untuk mengelola kegiatan proyek dalam satu hari. RPPH disusun dan direncanakan oleh guru. Format RPPH dak harus baku, namun RPPH se daknya

memuat beberapa komponen yang telah ditetapkan, diantaranya adalah: (1) iden tas program, (2) materi, (3) alat dan bahan, (4) kegiatan pembukaan, (5) kegiatan in , (6) kegiatan penutup, dan (7) rencana penilaian (Buku Pandaun RPP PAUD Kemendikbud, 2015). Sebagaimana pada RPPM, perencanaan PBL juga harus dituliskan pada RPPH. Dalam perencanaan pembelajaran PAUD, ak vitas PBL dapat dikembangkan kedalam model pembelajaran yang akan digunakan pada kegiatan in (ak vitas pembelajaran).

Tabel 1. Gambaran Keterkaitan KD, Materi dan KegiatanKompetensi Dasar

(KD) Materi Rencana Kegiatan

NAM 1.1

FM 2.1; 3.3-4.3

KOG3.6-4.63.8-4.8

BHS3.11-4.113.12-4.12

SOSEM2.9

SN3.15-4.15

Pisang ciptaan Tuhan

Pisang makanan sehatNama dan fungsi anggota tubuh

Pola, bilanganPerkembangbiakan pisang

Cerita terkait pisangHuruf “Pisang”

Senang berbagi pisang

Kreasi seni terkait dengan pisang

Sentra Bahan Alam:• Menganyam daun pisang• Mencap pelepah pisang• Membungkus dengan daun pisang• Membuat sate pisangSentra Main Peran:• Seting pasar buah• Jual beli pisang• Warung olahan pisangSentra BalokMembangun kebun pisangSentra Persiapan• Menghitung jumlah pisang• Memasangkan pisang dengan bilangan• Menyusun huruf menjadi kata pisang• Mengurutkan gambar berseri pertumbuhan pisangSentra Seni• Kreasi membuat mainan dari pelepah pisang misalnya: pistol, perahu, kuda-kudaan, boneka

daun pisang keringSumber: Diadopsi dari Kemendikbud (2018)

Page 53: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

98 99Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

melaksanakan proyek dan menghasilkan produk dalam rangka menyelesaikan masalah (Sari dkk., 2010).

Sebagai contoh, ke ka tema yang sedang dibahas adalah mengenai “binatang” dan sub tema “binatang peliharaan”. Guru misalnya dapat membawa seekor kelinci ke dalam kelas, guru kemudian memulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan mendasar mengenai kelinci, mulai dari warna kelinci, jumlah kaki, jumlah mata, jumlah dan bentuk telinga, makanan utamanya, gaya berjalan dan lain-lain. Pada palaksanaan proyek, siswa akan mencari dan menemukan jawaban-jawaban tersebut dengan cara melakukan observasi teradap kelinci, dan di akhir proyek, mereka akan mempresentasikan temuan dari pertanyaan-pertanyaan tesebut. Ak vitas guru dalam mengajukan berbagai pertanyaan mendasar seper di atas merupakan bagian dari kegiatan menanya, yang merupakan langkah pertama dalam memulai PBL. Aldabbus (2018) menyarankan, agar pertanyaan-pertanyaan mendasar (essen al ques ons) yang diajukan guru kepada siswa hendaknya merupakan pertanyaan yang bersifat menantang dan berkaitan langsung dengan topik (tema) proyek yang akan dikerjakan (Aldabbus, 2018).

Merencanakan proyekDalam merencanakan proyek, menjadi

pen ng bagi guru untuk melibatkan siswa. Dalam melaksanakan tahapan perencanaan (lima tahapan perencanaan yang telah penulis paparkan pada sub bab sebelumnya), pen ng bagi guru untuk dak menentukan tema dan sub tema secara tunggal. Akan lebih baik jika guru menyediakan beberapa varian alterna f tema. Dengan begitu, guru dapat memberikan ruang untuk melibatkan siswa dalam ak vitas penentukan tema, meskipun

secara administra f, pilihan-pilihan itu telah direncanakan guru sebelumnya, khususnya pada tahapan perencanaan.

Hal di atas pen ng untuk diperha kan, sebab kajian literatur menunjukkan bahwa salah satu hal esensial dalam pelaksanaan PBL adalah bagaimana guru dapat melibatkan siswa sesering mungkin, termasuk pada tahapan merencanakan proyek. Chard (2014) bahkan menjelaskan, bahwa guru hendaknya dapat membebaskan siswa dan memfasilitasi mereka untuk memilih subjek bahasan, ngkat tantangan yang mereka yakini, lama waktu yang mereka rencanakan untuk bekerja, ngkat detail atau elaborasi, dan pilihan mereka untuk bekerja sendiri atau dengan rekan. Siswa hendaknya terlibat dalam pilihan tersebut dan guru memberikan ruang bagi siswa untuk mengambil tanggung jawab atas pekerjaan dan menerima tanggung jawab atas upaya dan kualitas ide yang mereka bawa ke ak vitas (Chard, 2014).

Aldabbus (2018) menekankan, bahwa salah satu hal yang membuat PBL menjadi berar adalah dengan memberikan siswa kesempatan yang cukup untuk menentukan bagaimana mereka melaksanakan proyek. Dalam konteks ini, siswa hendaknya didorong untuk mengembangkan ide-ide dalam mendesain proyek, juga menentukan bahan apa yang akan digunakan, sumber informasi, serta bagaimana mempresentasikan hasil temuan. Hal ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan krea vitas dan kemampuan belajar mandiri siswa (Aldabbus, 2018).

Dalam konteks implementasi PBL untuk anak usia dini, kemandirian siswa dalam merencanakan proyek juga dirasa perlu untuk diimbangi dengan peran guru. Hal ini disebabkan siswa pada jenjang PAUD belum memiliki pengalaman yang luas, ke mbang siswa pada jenjang pendidikan yang lebih

Berikut ini adalah langkah (sintak) perencanaan PBL yang digambarkan dalam sebuah gambar, sebagaimana yang telah penulis narasikan pada beberapa paragraf di atas.

Gambar 1. Langkah-Langkah Perencanaan Impelementasi PBL

Pelaksanaan (Implementa on)Tahap pelaksanaan (implementa on) merupakan tahapan in dalam penerapan model PBL. Ada banyak versi yang dipaparkan oleh berbagai tokoh/lembaga mengenai tahapan implementasi PBL. Munandar (2009) misalnya menjelakan ga langkah utama dalam melaksanakan PBL, di antaranya adalah: perencanaan (planning), mencipta atau implementasi (crea ng), pengolahan (processing). Sedangkan Abidin (2014) mengungkapkan bahwa tahapan pelaksanaan PBL terdiri atas enam fase, dan dari keenam fase tersebut didahului dan diakhiri dengan tahapan Pra-Proyek (sebelum fase 1) dan Pasca-Proyek (setelah fase 6).

Dalam ar kel ini, acuan yang penulis gunakan dalam menganalisis implementasi PBL adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh George Lucas Educa onal Founda on (2005) yang kemudian dikembangkan pula oleh Kemendikbud (2014) di mana masing-masing tahapan tersebut adalah: (1) menanya, (2) merencanakan, (3) membuat jadwal, (4) monitor, (5) menilai dan mengevaluasi. Perbedaan tahapan antara yang dikemukakan oleh George Lucas Educa onal Founda on dan Kemendikbud (2014) terletak tahapan evaluasi, di mana George Lucas Educa onal Founda on mengembangkan bagian evaluasi menjadi dua fase, yaitu menguji hasil dan mengevaluasi pengalaman. Berikut adalah deskripsi pelaksanaan PBL sebagaimana yang dikembangkan oleh George Lucas Educa onal Founda on (2005):

Gambar 2. Tahapan Implementasi PBL

Sumber: George Lucas Educational Foundation (2005)

Memulai dengan pertanyaan (start with essen al ques ons)Kegiatan PBL dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diajukan

oleh guru, yaitu pertanyaan yang memberikan s mulus (apersepsi) kepada siswa, agar siswa mempunyai persepsi awal terhadap pelajaran/tema yang akan dikembangkan (Aldabbus, 2018). Guru juga hendaknya mengkaitkan materi yang akan diajarkan dengan kehidupan sehari-hari yang diharapkan dapat lebih mudah dipahami siswa (Susanto, 2018). Pertanyaan yang diajukan seyogyanya terkait dengan tema yang telah direncanakan pada tahap perencanaan, juga terkait dengan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan mendasar tersebut harus dilengkapi dengan beberapa pertanyaan-pertanyaan lain yang dapat memo vasi dan menggiring mereka untuk

Page 54: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

100 101Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

nggi (Claussen, 2017). Sebagaimana kita ketahui, dalam klasifi kasi tahapan perkembangan anak yang berbeda, menurut Piaget, usia PAUD adalah mereka yang baru memasuki fase Pra-Operasional (2-6 tahun), di mana pada fase ini mereka lebih cenderung memaknai perencanaan sebagai sesuatu yang abstrak, sehingga dinilai perlu adanya peran dan bimbingan guru.

Membuat jadwalPada tahapan ini, guru dan siswa dapat

membuat kesepakatan jadwal dalam bentuk kesepakatan mandiri yang berisi tentang kesepakatan waktu/durasi pelaksanaan proyek. Susanto (2018) menjelaskan bahwa, dalam konteks pelaksanaan PBL pada jenjang PAUD, kegiatan menyusun jadwal perlu dilakukan secara bersama-sama yang berisikan target waktu pelaksanaan, dan diharapkan mampu diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Vengopal (2006) menuturkan bahwa, prinsip dalam penyusunan jadwal hendaknya dilakukan secara fl eksibel. Hal ini dilakukan untuk mendorong lahirnya inisia f siswa selama pelaksanaan proyek, guru memfasilitasi dengan memberikan waktu untuk menyelesaikan kegiatan proyek yang mereka pilih (Vengopel, 2006). Sama seper analisis sebelumnya, kegiatan penentuan jadwal pada jenjang PAUD seyogyanya dak terlalu formal dan kaku sebagaimana pelaksanaan PBL pada jenjang pendidikan nggi. Pembuatan jadwal dalam melaksanakan PBL pada jenjang PAUD perlu dilakukan secara fl eksibel menimbang kemampuan, penalaran dan kematangan komunikasi siswa PAUD.

Memonitor pembuatan proyekDalam melaksanakan PBL, siswa melak-

sanakan pembelajaran secara mandiri dengan cara menyelesaikan proyek sesuai

rancangan dan jadwal yang telah ditentukan bersama. Dalam konteks ini, guru berperan sebagai fasilitator yang memberikan arahan, memonitor pekerjaan, membimbing, memfasilitasi, dan memberi semangat kepada siswa. Selain itu, guru juga perlu mendorong siswa untuk bekerja efek f dan efi sien dalam kelompok, saling membantu dan memiliki tanggung jawab sesuai peran yang ditugaskan oleh kelompok. Tempat pelaksanaan proyek bisa dilakukan di ruang kelas, halaman sekolah, taman, atau tempat lain sesuai kesepakatan dan kebutuhan penyelesaian proyek.

Dalam konteks pelaksanaan PBL pada jenjang PAUD, peran monitoring guru tentu akan lebih dominan. Dalam konteks ini guru juga perlu untuk mengawasi jika seandainya siswa menggunakan alat-alat pendukung proyek yang dapat membahayakan keselamatan siswa, seper penggunaan gun ng, pisau karter, kompor, api dan lain sebagainya. Sebelum mengerjakan proyek, siswa perlu untuk diberikan contoh mengenai penggunaan berbagai alat pendukung, dan saat pelaksanaan PBL guru hendaknya memonitor penggunaannya secara seksama. Singkat kata, peran monitoring guru PAUD dalam melaksanakan PBL akan lebih dominan daripada guru ngkat/jenjang pendidikan yang lebih nggi (Claussen, 2017).

Pengujian proyek Tahap pengujian proyek merupakan

tahapan untuk mengomunikasikan produk atau kreasi yang telah dikerjakan. Proses pengujian proyek dilakukan siswa kepada guru maupun teman sebaya. Pelaporan bisa dibuat dalam bentuk pameran, majalah dinding, dan berbagai media lainnya yang dapat ditampilkan dan dipresentasikan. Laporan yang dibuat hendaknya memuat sekurang-kurangnya tema yang diangkat,

konsep dari ap tema, alat dan bahan yang digunakan, prosedur pembuatan proyek dan pemanfaatan produk yang dihasilkan (Sari dkk., 2010). Secara lebih spesifi k, Claussen (2017) memberikan panduan mengenai hal-hal apa saja yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengujian maupun refl eksi terhadap hasil proyek. Menurutnya, se daknya ada ga pertanyaan mendasar yang harus dijawab: (1) Sejauh mana ngkatan keterlibatan (kerja sama) dalam melakukan proyek?; (2) peningkatan apa yang telah mendukung kesuksesan pengerjaan proyek?; dan, (3) apa saja kesuksesan proyek? (Claussen, 2017).

Proses pengujian dan refl eksi terhadap pekerjaan proyek semacam ini seja nya akan mela h siswa untuk berkomunikasi yang baik. Howel (2013) menyebutkan bahwa siswa yang terbiasa menceritakan hasil eksplorasinya akan memiliki keterampilan komunikas yang baik, termasuk dalam konteks ini adalah menyampaikan penjelasan verbal, gambar, foto, tulisan, dikte, dan seni yang telah dikerjakan.

Evaluasi pengalamanTahapan ini merupakan tahapan akhir

dalam kegiatan PBL. Guru dan siswa melakukan refl eksi baik dalam konteks per individu maupun per kelompok. Aldabbus (2018) mengungkapkan bahwa proses pemberian umpan balik (feedback) dan revisi merupakan salah satu tahapan pen ng dalam PBL. Guru dan siswa melakukan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pengerjaan proyek, yang pada akhirnya akan menemukan temuan baru serta menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama (Susanto, 2018).

Dalam konteks pelaksanaan PBL pada jenjang PAUD, siswa diminta untuk meng-ungkapkan perasaan dan pengala mannya

selama menyelesaikan proyek. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan kepada siswa. Guru juga dapat memberikan pujian (reward) maupun umpan balik yang konstruk f kepada siswa. Dengan memberikan umpan balik yang konstruk f, siswa akan mendapatkan pengalaman-pengalaman berharga selama menjalankan proyek (Aldabbus, 2018).

Penilaian (Assessment)Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dak terlepas dari kegiatan penilaian. Keberhasilan dalam suatu pembelajaran dapat diketahui dari proses dengan penilaian (assessment). Demikian halnya dengan pembelajaran berbasis proyek, di mana untuk menilai se ap kegiatan yang dilakukan oleh siswa, guru perlu menerapkan penilaian (Susanto, 2018).

Sebagaimana kita ketahui, proses penilaian dalam kegiatan belajar mengajar pada jen-jang PAUD menggunakan pendekatan peni lai an auten k (authen c assessment) (Kemendikbud, 2018). Dalam hal ini, George Lucas Educa onal Founda on (2005) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis proyek cocok untuk penilaian auten k, karena dalam penilaian auten k memungkinkan guru untuk secara sistema s mendokumentasikan kemajuan dan perkembangan siswa.

Dalam melakukan penilaian, ada beberapa prinsip yang harus diperha kan oleh penilai (guru). Menurut hemat penulis, prinsip-prinsip ini juga berlaku untuk pembelajaran PBL. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1). Mendidik, maksudnya penilaian yang mendorong siswa meraih capaian perkembangan yang op mal. (2). Auten k, maksudnya penilaian hendaknya berorientasi pada kegiatan belajar yang berkesinambungan dan hasil belajar yang mencerminkan kemampuan siswa (3). Objek f, maksudnya penilaian hendaknya didasarkan

Page 55: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

102 103Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

pada indikator capaian perkembangan serta bebas dari pengaruh subjek vitas penilai. (4). Akuntabel, maksudnya penilaian dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan kriteria yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. (5). Transparan, maksudnya penilaian dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan hasil penilaian dapat diakses oleh orang tua dan semua pemangku kepen ngan yang relevan (Kemendikbud, 2018).

Dalam konteks penilaian PBL, guru hendaknya mengama segala hal yang dilakukan atau diucapkan siswa, mulai dari pertanyaan, ekspresi wajah, gerakan, dan hasil proyek siswa. Menurut Calussen (2017), anak usia dini seringkali menujukkan ketertarikannya terhadap suatu hal melalui ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya, dan hal itu dapat menjadi salah satu bahan pengamatan dalam melakukan proses penilaian. Hasil pengamatan itu kemudian didokumentasikan sebagai bahan yang dapat dijadikan acuan penilaian terhadap aspek perkembangan siswa yang kemudian dituliskan ke dalam beberapa rubrik penialain. Stevens & Levi (2005) menuturkan bahwa, rubrik merupakan alat penskoran yang dapat mengukur secara spesifi k tugas-tugas pebelajar dan bermanfaat dalam menjelaskan deskripsi tugas, memberikan informasi bobot penilaian, memperoleh umpan balik yang cepat dan akurat, serta penilaian lebih objek f dan konsisten.

Dalam melaksanakan penilaian PBL, ada beberapa model rubrik penilaian yang dapat digunakan oleh guru selama pelaksanaan proyek berlangsung, di antaranya adalah:

Rubrik ceklis Teknik ini digunakan untuk menentukan

status perkembangan siswa pada akhir periode penilaian. Ceklis dapat dibuat per siswa dalam satu periode tertentu, atau

dapat pula dibuat per periode dengan mencatat nama semua siswa. Dalam teknik ini, terdapat empat skala penilaian, di antaranya sebagai berikut:

Gambar 3. Skala Penilaian Model Ceklis

BB MB BSH BSB

Keterangan:BB ar nya Belum Berkembang: bila anak melakukannya harus dengan bimbingan atau dicontohkan oleh guru;

MB ar nya Mulai Berkembang: bila anak melakukannya masih harus diingatkan atau dibantu oleh guru;

BSH ar nya Berkembang Sesuai Harapan: bila anak sudah dapat melakukannya secara mandiri dan konsisten tanpa harus diingatkan atau dicontohkan oleh guru;

BSB ar nya Berkembang Sangat Baik: bila anak sudah dapat melakukannya secara mandiri dan sudah dapat membantu temannya yang belum mencapai kemampuan sesuai dengan indikator yang diharapkan.

Menurut penulis, dalam kontek melaksanakan penilain PBL, model ceklis lebih baik dak dominan digunakan, sebab model ceklis lebih cenderung digunakan untuk memantau tahapan perkembagan sikap seorang siswa. Karenanya, model penilain ini akan digunakan secara periodikal (berkesinambungan), untuk memantau tahapan perkembangan sikap siswa dari waktu ke waktu, khususnya bagi jenjang pendidikan anak usia dini.

Catatan anekdotCatatan anekdot merupakan catatan

nara f singkat yang menjabarkan apa yang menjelaskan bagaimana terjadi, kapan dan di mana, dan apa yang dikatakan dan dilakukan siswa (Beaty, 2015). Catatan anekdot digunakan untuk mencatat seluruh

fakta, menceritakan situasi yang terjadi, apa yang dilakukan dan dikatakan siswa. Catatan anekdot berguna sebagai jurnal kegiatan harian dalam mencatat kegiatan siswa se ap kegiatan pembelajaran berlangung. Catatan anekdot membantu guru untuk mengetahui perkembangan siswa yang indikatornya baik tercantum maupun dak tercantum pada RPPH.

Hal-hal pokok yang dicatat dalam catatan anekdot melipu nama siswa yang dicatat perkembangannya, kegiatan main atau pengalaman belajar yang diiku siswa dan perilaku, termasuk ucapan yang disampaikan siswa selama berkegiatan. Catatan anekdot dibuat dengan menuliskan apa yang dilakukan atau dibicarakan siswa secara objek f, akurat, lengkap dan bermakna tanpa penafsiran subjek f dari guru. Akurat (tepat), objek f (apa adanya, tanpa memberi label misalnya: cengeng, malas, nakal), spesifi k (khusus/tertentu), sederhana ( dak bertele-tele), dan catatan guru terkait dengan indikator yang muncul dari perilaku siswa.

Menurut penulis, catatan anekdot cukup relevan untuk melakukan penilaian dalam model BPL, karena menakomodir deskripsi ak vitas siswa secara komprehensif. Berikut ini adalah contoh penilaian menggunakan model catatan anekdot, ke ka siswa melaksanakan ak vitas/proyek berkebun:

Bagan 1. Contoh Peilaian Catatan AnekdotHari/Tanggal : Rabu, 1 Juli 2020Usia/Kelas : 4 Tahun/ TK ANama Guru : Ibu AniTema Proyek : Berkebun

Nama Siswa Tempat Waktu Persistiwa/Prilaku

Syauqi Halaman Sekolah 08.15 Menggali-gali tanah dengan kayu yang ditemukannya di kebun sekolah, mengajak teman lain untuk melakukan hal yang sama

Felly Halaman Sekolah 08.30 Membawa bibit tanaman dari depan kelas ke kebun sekolah dan mempersiapkann untuk ditanam

Labib Halaman Sekolah 08.32 Membuka bibit tanaman, menanam dan menutup tanaman dengan tanah menggunakan cankul

Keyla Halaman Sekolah 09.00 Berinisiatif menambil air untuk menyiram tanaman yang telah ditanam, menyimram air ke tanaman menggunakan gayung

Berbasis hasil karya/proyekHasil karya/proyek merupakan buah pikir anak yang dituangkan dalam bentuk karya. Karya

atau proyek itu dapat berbentuk: gambar, lukisan, lipatan, hasil kolase, hasil gun ngan, tulisan/coretan-coretan, hasil roncean, bangunan balok, tari, dan hasil prakarya lainnya. Dalam melakukan penilain karya/proyek, guru hendaknya menuliskan nama dan tanggal hasil karya tersebut dibuat. Data ini diperlukan untuk melihat perkembangan hasil karya/proyek yang dibuat siswa di waktu sebelumnya. Saat siswa telah menyelesaikan pekerjaanya, guru dapat menanyakan tentang hasil karya tersebut kemudian merekap apa yang dikatakan oleh siswa untuk mengonfi rmasi hasil karya/proyek yang dibuatnya (Kemendikbud, 2018).

Contoh dalam penerapan PBL, guru mengajak siswa untuk membangun balok sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Guru dapat memulai berdiskusi dengan siswa, dan memberikan gagasan tentang konsep bangunan. Guru jga hendaknya mendukung mereka untuk memulai merencanakan bangunan yang akan dibangunnya. Setelah selesai membangun, mintalah siswa untuk bercerita tentang bangunan tersebut.

Page 56: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

104 105Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Setelah siswa menghasilkan karya/proyek, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menikma karya tersebut dengan mengajak mereka untuk memajang karyanya sebagai bentuk apresiasi terhadapkarya tersebut. Claussen (2017) mempertegas bahwa, kegiatan memajang hasil proyek siswa merupakan kegiatan yang pen ng bagi siswa agar mereka belajar dari apa yang telah mereka kerjakan. Hasil pekerjaan proyek itu dapat dipajang di dinding kelas, gedung sekolah, dan beberapa tempat yang representa f lainnya (Calaussen, 2017).

Berbagai catatan dan hasil karya siswa disimpan dalam portofolio untuk selanjutnya dianalisis. Hasil karya yang dianalisis dapat dipilih dari hasil karya yang terbaik yang menunjukkan ngkat perkembangan ter nggi yang kemudian diinput kedalam laporan akhir pembelajaran (Rapor).

Dari beberapa model penilaian yang telah dipaparkan sebelumnya, model penilaian berbasis karya siswa (proyek) ini, menurut analisis penulis, adalah model penilaian yang paling relevan untuk digunakan dalam melakukan penilain PBL, karena model

penilaian ini mampu merepresentasikan ak vitas penilaian secara keseluruhan selama pelaksanaan PBL.

Kesimpulan

Pembahasan mengenai implementasi project-based learning pada ar kel ini sampai pada beberapa kesimpulan:

1. Project-Based Learning (PBL) merupakan model atau pendekatan pembelajaran yang mengusung semangat student-centered learning sebagai antetesis terhadap pembelajaran tradisional (Wilkinson, 2014). PBL hadir dak lepas dari sumbangsih pemikiran tokoh-tokoh terdahulu dalam bidang pendidikan maupun psikologi perkembangan, seper Jean Piaget dan Lev Vygotsky dengan teori kontruk visme, dan Jhon Dewey yang mempopulerkan is lah experien al learning (learning by doing) (Ord, 2012). Model pembelajaran ini diprediksi lahir sejak tahun 1960 hingga 1970-an yang lahir dari gerakan pendidikan progresif (Smith, 1997).

2. Sejumlah kajian literatur telah menunjukkan bahwa PBL dinilai sebagai model

pembelajaran yang relevan untuk konteks pembelajaran saat ini dan juga masa depan, lantaran dak terbatas pada ak vitas transfer pengetahuan (knowledge transfer) semata (Costa, 2007), akan tetapi juga menekankan pada peningkatan aspek psikomotorik, afek f serta sikap sosial siswa, seper ; bekerja sama, mencari informasi, berpikir kri s, memecahkan masalah, evaluasi diri, menyimpulkan hingga menyampaikan hasil inves gasi melalui presentasi (Aldabbus, 2018). Keterampilan tersebut dak hanya memberikan bekal untuk menjadi bagian dari masyarakat global (global society) (Bell, 2010), tetapi juga memberikan bekal pembelajaran sepanjang hayat (Phillips, 1999; Aldabbus, 2018).

3. Meskipun beberapa tokoh menkualifi kasikan PBL sebagai sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang kompleks (Cord, 2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss, Van-Duzer, Carol, 1998), namun secara empiris, PBL sangat relevan untuk digunakan pada semua jenjang pendidikan, termasuk pendidikan anak usia dini (Kantz, 2001 dalam Rinaldi, 2006). Namun demikian, dalam pelaksanaannya, guru perlu memper mbangkan berbagai faktor, seper : Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA), ngkatan usia, kedalaman tema, pemilihan bahasa dan berbagai faktor per mbangan lainnya.

4. Implementasi project-based learning pada jenjang PAUD di Indonesia hendaknya dilaksanakan secara sistema s, dimulai dengan melakukan analisis beberapa tahapan, termasuk tahapan perencanaan (planning), pelaksanaan (implementa on) dan penilaian (assessment) yang mengacu pada beberapa buku pedoman Kurikulum PAUD 2013, sebagaimana yang telah dikembangkan dalam ar kel ini.

CatatanPendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit.

Tentang penulis

Hidayatul Mabrur merupakan penerima Beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada Program Studi Pengembangan Kurikulum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia (2017-2019). Ia lulus pada tahun 2019 dengan raihan predikat Cumlaude. Saat ini ia ak f terlibat sebagai founder di sebuah komunitas sosial-kependidikan yang ak f mengampanyekan isu pemerataan kualitas pendidikan di desa-desa bernama Komunitas Penggiat Sosial Pendidikan (KPSP). Kini ia juga ak f sebagai konsultan bidang Teaching and Learning Innova on di Educrea va.id.

Dari beberapa hasil proyek yang telah dibuat oleh siswa, guru kemudian mencatat hasil pengamatan tadi ke dalam rubrik hasil pengamatan kerja proyek yang telah dikerjakan oleh siswa sebagai berikut:

Bagan 2. Rubrik Penilaian Berbasis Proyek SiswaDokumentasi Proyek Siswa Hasil Pengamatan

Proyek Khanza dan Jesicamembuat “Istana Putri”

● Menggunakan balok unit, setengah unit, segitiga, dan setengah lingkaran.

● Balok unit dibuat berbentuk lingkaran sesuai dengan alas

● Balok setengah unit ditumpuk dalam 4 kolom ● Ada segitiga pada bagian atas bagunan vertikal ● Ada celah terbuka di atara ujung lingkaran ● Dua setengah lingkaran digabung menjadi bulatan

dengan benda-benda kecil di dalamnya ● Menggunakan asesoris lain seperti gelas, cawan meja

dan kursi.Sumber: diadopsi dari Kemendikbud (2018)

Page 57: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

106 107Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Da ar Pustaka

Abidin, Y. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam

Konteks Kurikulum 2013. Bandung: PT. Refi ka Aditama.

Aldabbus, S. (2018). Project-Based Learning: Implementation and Challenges. International Journal of Education, Learning and Development.

Barry, M. (2012). What Skills Will You Need to Succeed in The Future? Phoenix forward (online). University of Phoenix. Accessed from: www.phoenix.edu/forward/careers/2012/09/what-skills-willyou-need-to-succeed-in-the-future.html

Beaty, Janice J. (2010). Observing Development of The Young Child. NewJersey: : Pearson Education, Inc.

Bell, Stephanie. (2010). Project-Based Learning for The 21st Century: Skills for the Future. The Clearing House, 83(2), p. 39 & 43.

Beneke, S., Ostrosky, M. M. (2009). Teachers’ Views of The Effi cacy of Incorporating The Project Approach Into Classroom Practice With Diverse Learners. Early Childhoos Research and Practice.

Boss, S., Krauss, J. (2007). Reinventing Project-Based Learning. International Society for Technology for Education: United States.

Brown, A. L., Campione. (1996). Physical Theory and The Design of Innovative Environments on Procedures, Principles and System. Hills Dale: Lawrence

Chard, S. (2014). The Project Approach. Retrieved from httpd://www.projectapp roach.org

Costa, L. R. J., Honkala, M., Lehtovuori, A. (2007). Applying The Problem-Based Learning Approach to Teach Elementary Circuit Analysis.IEEE Transactions on Education, 50(1), 41-48.

Claussen, Danielle. (2017). A Review of Literature: Project Based Learning in Early Childhood.Northwestern College, Iowa. UNESCO.

Dewi, P. E. W. N., Gading, I.K., Antara, A. P. (2018). Pengaruh Metode Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Kemampuan Kerjasama Anak. e-Journal Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini,.

Education, N. D. (2009). Project-Based Learning: Inspiring Middle School Students to Engage in Deep and Active Learning. Ney York: NYC Department of Education.

Gagne, R. M., Briggs, L. K., Wagner, W.W. (1992). Principles of Instructional Design (4th ed). New York: Holt, Reihhart and Winston.

George Lucas Educational Foundation. (2005). Instructional module project based learning. [Online]. Diakses dari http: //www.edutopia.org/modules/ spbl/project-based-learning

Helm, J. H., Katz, L.G. (2001). Young Investigators: The Project Approach in The Early Years. New York: Teacher Collage Press. p.1.

Helm, H.J., Beneke, S. (2003). The Importance of Documentation. In S. B. Juddy Harris Helm, The power of projects: Meeting contemporary challenges in early childhood classrooms. Strategies and Solutions (pp. 97-102). New York: Teachers College Press.

Helm, H,J., Beneke. S., Scraton, P., Doube, S. (2003). Responding to Children’s Special Needs. In S. B. Judy Harris Helm, The Power of Projects: Meeting Contemporary Challenges in Early Childhood Classrom: Strategies and Solutions (pp. 50-63). New York: Teacher Collage Press.

Howell, R. T. (2003). The Importance of The Project Method in Technology. Journal of Industrial Teacher Education, Spring.

Ibrahim., Syaodi, N. (1995). Perencanaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.

Jane, M. (1998). The Project Approach: A Diff erent Way to Plan Curriculum. Young Children, 53(4), 55-59

Katz, L. G. (1993). Dispositions: Defi nitions and implications for early childhood practice. Champaign, IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education (ED360104).

Kemendikbud. (2018). Buku Pedoman Pengembangan Tema Pembelajaran PAUD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini.

Kemendikbud. (2018). Buku Pedoman Pengelolaan Pembelajaran PAUD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini.

Kemendikbud. (2018). Buku Pedoman Penilaain Pembelajaran PAUD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini.

Kemendikbud. (2018). Buku Pedoman Penyusunan Rencanan Pembelajaran PAUD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini.

Lee, S. (2002). Explore, Question, Ponder, and Imagine: Projects Give Kids The Chance to Delve Deeply and Find Their Own Way Through Challenging Intellectual Terrain. Northwest Education, 7(3), 2-7.

Lindsay, J. (2006). While I Was Playing Tennis, The World Got Flatter, E-Learning Blog. Diakses pada Juli 22, 2007, dari http://123elearning.blogspot.com/2006/11/while-i-was-playing-tennis-world-got.html.

MacDonell, C. (2007). Project-Based Inquiry Units for Young Children: First Step to Research for Grade Pre-K-2. Ohio: Linworth Publishing,Inc.

National University of Educational Planning and Administration (NUEPA). (2009). Early Childhood Care and Education in India, EFA—Mid Decade Assessment. New Delhi, India: NUEPA

NCERT. (2005). National Focus Group on Early Childhood Education. New Delhi: NCERT.

OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge, OECD Publishing, Paris. downloaded from: http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en

OECD. (2018). The Future of Education and Skills Education 2030. OECD Publishing, Paris.

Okudan. G. E., Sarah E. R. (2004). A Project-Based Approach to Entreprenurial Leadership Education. Journal Technovation. Desember. Volume XX. Page 1-16.

Ord, J. (2012). John Dewey and Experiential Learning: Developing The Theory of Youth Work. Journal of Youth and Policy No. 108.

Pereiraa, M. A. (2017). Application of Project-Based Learning in The First Year of an Industrial Engineering Program: Lessons Learned and Challenges. Production (27 spe).

Permendikbud. (2014). Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Tentang Standar PAUD Nomor 137 Tahun 2014. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Permendikbud. (2013). Tentang Implementasi kurikulum Nomor 81a tahun 2013. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Phillips. (1999). Projects with Young Learners. Oxford : Oxford University Press.

Primayana, K. H. (2019). Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Dharma Acarya ke-1: Tantangan dan Peluang Dunia Pendidikan di Era 4.0 (pp. 321-329). Bali: Jurusan Dharma Acarya, STAHN Mpu Kuturan.

Rahman, S., Yasin R. M., S. F. M. (2011). The Impelentation of Project-Based Approach at Preschool Education. Kongres Pengajaran dan Pembelajaran Universitas Kebangsaan Malaysia (pp. 476-480). Bangi, Malaysia: UKM Malaysia.

Rinaldi, C. (2006). In Dialogue with Reggio Emilia: Listening, Researching and Learning. London: Routlegde.

Rusniati. (2015). Pendidkan Nasional dan Tantangan Global: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran A. Malik Fajar. Journal Ilmiah Didaktika. 205-128 (Vol. 16, No.1 105-128) Rahman, S., Yasin R. M., S. F. M. (2011). The Impelentation of Project-Based Approach at Preschool Education. Kongres Pengajaran dan Pembelajaran Universitas Kebangsaan Malaysia (pp. 476-480). Bangi, Malaysia: UKM Malaysia.

Sari, Y, S., Astuti, D.A., Zulfah, U. (2018). Implementasi Pembelajaran Project Based Learning Untuk Anak Usia Dini. E-Journal Motoric (Media of Teaching-Oriented and Children) PG-PAUD Universitas Narotama, Didownload dari :https://jurnal.narotama.ac.id/index.php/paudmotoric/article/view/547

Sascha Mitchell Teresa S. Foulger, Keith Wetzel, Chris Rathkey. (2008). The Negotiated Project Approach: Project-Based Learning without Leaving the Standards Behind 2 December 2008 Springer Science+Business Media, LLC 2008

Sjoberg, S. (2010). Constructivism and Learning: Penelope Peterson, Eva Baker, Barry McGaw, (Editors), International Encyclopedia of Education.volume 5, pp. 485-490. Oxford: Elsevier.

Page 58: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

7 STEAM untuk Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia: Tantangan atau Peluang?

Eka Sobiatin

Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia

108 109Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu jenjang pendidikan di Indonesia. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur formal, informal maupun nonformal. Apapun jalurnya, tujuan utama penyelenggaraan PAUD adalah untuk menciptakan generasi Indonesia yang gemilang. Seiring dengan berkembangnya zaman, PAUD menghadapai beragam tantangan yang mengharuskan modifi kasi dan perubahan sumber daya dan prak k pembelajaran. Salah satu tantangan global yang ada adalah bagaimana menemukan cara agar anak-anak Indonesia memiliki keterampilan abad 21. Keterampilan ini memiliki hubungan erat dengan sains dan teknologi, dan mengharapkan seluruh perangkat PAUD di Indonesia untuk menyajikan pembelajaran yang dapat mengasah keterampilan anak sejak dini, salah satunya melalui STEAM. STEAM adalah integrasi antara seni (Art) dengan STEM, yang telah banyak diterapkan di berbagai negara. Penggabungan Art dengan STEM diharapkan akan membantu lembaga PAUD untuk mens mulasi kemampuan anak sejak dini. Tulisan ini memuat serangkaian gagasan sederhana yang menjelaskan bagaimana STEAM dewasa ini menjadi sebuah tantangan bagi dunia PAUD Indonesia. Namun demikian, apabila digunakan dan diterapkan dengan baik, STEAM juga dapat menjadi sebuah peluang besar.

Kata kunci: STEAM; keterampilan abad 21; pendidikan anak usia dini

Smith (1997). Open Education, revisited: Promise and Problem in American Educational Reform. Teacher Collage Record.

Susanto, H. (2018). Model Pembelajaran Berbasis Proyek. Diakses dari: https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2018/02/08/model-pembelajaran-berbasis-proyek pada rabu 24 Juli 2020 pukul 16.00 WIB

Thomas, J. W. (2000). A Review of Research on Project Based Learning. California : The Autodesk Foundation.

Vengopal. K. (2016). Project Approach to Learning in Early Childhood Education. World Journal of Educational Research (Vol. 3, No. 1, 2016). ww.scholink.org/ojs/index.php/wjer

Winsler, A., Berk, L. E. (1995). Scaff olding Children Learning: Vygotsky and Early Childhood. Washington: DC: NAECY.

Wilkinson, J. (2014). The Role of Project Based Learning in Promoting Environmental Stewardship: A Case Study of Bahrain Teachers College. Journal of Sustainability Education (Vol. 7, December).

Yulia, P., Dewi, A., & Hengki, K. (2019). Eff ect of Learning Module with SettingContextual Teaching and Learning to Increase the Understanding of Concepts.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini108

Page 59: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

110 111Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Pada era globalisasi kini, 21st century skills atau keterampilan abad 21 menjadi sebuah hal yang dielu-elukan, karena

mengedepankan sains dan teknologi untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan masyarakat di berbagai sektor (Osborne, 2013), termasuk dunia pendidikan modern yang diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman (Chamrat dkk., 2019). Kerangka dari keterampilan abad 21 yang diusung WEF (World Economic Forum) terdiri atas ga kelompok besar, yaitu: founda onal literacies, competencies, dan character qualities. Literasi dasar melipu sejunlah keterampilan di mana beberapa di antaranya adalah keterampilan literasi, numerik, sain fi k dan keterampilan TIK (Teknologi, Informasdi dan Komunikasi) (World Economic Forum, 2015). Keterampilan abad 21 juga menginginkan anak membentuk pribadi yang berpikir kri s, memiliki kemampuan memecahkan masalah yang mumpuni, krea f, kolabora f dan mampu berkomunikasi dengan baik. Anak pada zaman ini juga diharapkan menjadi pribadi yang penuh rasa ingin tahu, inisia f dan berjiwa pemimpin (Vinu dkk., 2011).

Data United Na on Development Program (UNDP) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa indeks perkembangan sumber daya manusia Indonesia meningkat dari 0,525 menjadi 0,707, dan dengan ini Indonesia dilaporkan menempa peringkat 111 dari 189 negara (United Na on Development Program, 2019). Hal tersebut menunjukkan bahwa, meskipun indeks perkembangan sumber daya manusia meningkat, Indonesia harus lebih memperkuat pengembangan sumber daya manusia untuk menghadapi era globalisasi yang penuh kompe si, terutama pada bidang 21st century skills. Salah satu basis pembelajaran yang mengedepankan peningkatan 21st century skills ini adalah pembelajaran STEM (Science, Technology, Enginering and Mathema c) (Liao dkk., 2016).

Selayang Pandang STEMSTEM adalah akronim dari Science,

Technology, Enginering and Mathema c yang disusun sebagai alterna f kesetaraan pendidikan yang disinyalir dapat membantu peserta didik memeroleh pengetahuan yang mereka butuhkan untuk bersaing di pasar global. STEM menjadi wacana reformasi pendidikan yang paling indika f di zaman modrn ini. dan telah berkembang menjadi salah satu fokus utama kebijakan pendidikan, sebagian karena asosiasi yang mudah ke beragam industri saat ini: dari teknologi informasi dan komunikasi ke bidang medis, hingga inovasi keberlanjutan (Eguchi, 2015). Dengan adanya koneksi semacam itu, STEM dianggap sebagai perpanjangan logis dari tuntutan ekonomi terhadap pendidikan yang telah mendapatkan momentum dalam 30 tahun terakhir (Taylor, 2016).

PAUD: STEM atau STEAM?Pengembangan 21st century skills diharapkan

juga menyasar dunia anak usia dini. Di Indonesia, pendidikan anak usia dini lazim dikenal sebagai PAUD. Pembinaan anak usia dini dapat diberikan pada anak sejak usia nol sampai dengan tujuh tahun (Hirschland, 2008). Secara garis besar, PAUD adalah tahap di mana anak-anak memasuki jenjang sebelum pendidikan dasar. Pembelajarannya dilakukan dengan memberikan rangsangan belajar untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan fi sik dan mental sehingga anak-anak akan memiliki kesiapan untuk memasuki jenjang pendidikan dasar (Rutanen dkk., 2019). PAUD di Indonesia dapat diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal, non-formal dan informal (Saudah, 2015).

Banyak peneli an pada bidang PAUD dan anak-anak usia dini berfokus pada bagaimana anak-anak berinteraksi dengan orang dewasa, dan bagaimana pengaruh atau hubungan antara interaksi, guru, orang tua dan orang

dewasa terdekat lainnya di sekitar anak dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyaknya peneli an ini membuat pemerintah, prak si pendidikan, dan peneli di banyak negara, termasuk di Indonesia, memikirkan bagaimana mengop malkan tumbuh dan kembang anak usia dini melalui berbagai upaya secara op mal dan merata (Chao, 2016).

Pendidikan yang sesuai dalam perkembangan saat ini memerlukan kemampuan se ap guru dan anak untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dengan pesat. Persoalan seper ini perlu diatasi dengan mencari solusi yang tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran anak usia dini. PAUD mampu memberikan manfaat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, karena dapat membawa dampak posi f yang besar bagi perkembangan kogni f, fi sik, emosi dan sosial anak (Stem, 2017). Anak-anak usia dini pada zaman sekarang membutuhkan pendidikan yang jauh lebih terhubung dan kontekstual atau nyata daripada pembelajaran konvensional yang banyak diprak kkan di masa lalu: pendidikan yang dak sekadar memberi pengetahuan, tetapi juga menyediakan kesempatan pemberdayaan (Sobia n dkk., 2020).

Anak membutuhkan pendidikan yang tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan diri mereka sendiri, tetapi juga untuk memperbaiki lingkungan di mana mereka berada (Manning dkk., 2017). Rencana pendidikan STEM lima tahun yang dikeluarkan oleh Dewan Sains dan Teknologi Nasional (Komite Pendidikan STEM) di Amerika Serikat mengiden fi kasi lima kunci utama penerapan STEM yang dapat membantu kemajuan pendidikan STEM di masa yang akan datang. Bagian kedua sencana pendidikan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah Amerika Serikat akan menyediakan pengalaman pembelajaran STEM sejak dini demi mempersiapkan anak-anak untuk memasuki masa sekolah selanjutnya (Mcclure dkk., 2017).

STEAM: Integrasi seni dan STEM Tak dapat dielakan, PAUD menjadi salah satu

sektur yang harus menyesuaikan diri dengan kerangka 21st century skills. Di masa depan, rata-rata pekerjaan mewajibkan sumber daya manusianya untuk menguasai berbagai jenis keterampilan di bidang sains, teknologi, dan matema ka (Jamil dkk., 2017) . STEM yang kita kenal saat ini seja nya biasa diterapkan di sekolah menengah (Becker dkk., 2017; Shirey, 2018; Vidergor dkk., 2019) sehingga dibuatlah sebuah inovasi pembelajaran STEM yang diperuntukkan bagi anak usia dini yang memasukkan unsur Art atau seni di dalamnya, dan terbentuklah pembelajaran yang biasa dikenal dengan STEAM (Science, Technology, Engineering, Art and Mathema c) (Kim dkk., 2012). Inovasi pembelajaran untuk mengakomodir rencana masa depan tersebut diperlukan untuk mengaktualisasikan generasi yang krea f, inova f, berpikir kri s, mampu berkomunikasi dan berkolaborasi, dan mengenal sains (Dejarne e, 2018).

Pembelajaran anak usia dini berbasis STEAM merupakan salah satu jawaban untuk dunia PAUD saat ini. Pembelajaran STEAM dipandang sebagai pendekatan yang bertujuan untuk merangsang krea vitas dan mempersiapkan anak-anak usia dini dalam dunia kerja di kemudia hari yang penuh dengan inovasi dan penemuan baru (Akturk & Demircan, 2017). Penerapan kurikulum berdasarkan STEAM menjadi pen ng dan banyak manfaatnya bagi anak-anak, karena STEAM adalah bagian dari kurikulum yang mengembangkan krea vitas anak-anak dan berfokus pada kolaborasi, krea vitas, kemampuan verbal dan non-verbal, peneli an, pemecahan masalah dan berpikir kri s (Dejarne e, 2018). Melalui pendekatan pembelajaran ini, anak-anak dak hanya diarahkan untuk menjadi individu yang pintar secara akademik, tetapi juga cakap dari sisi perkembangan sosial dan emosional (Mcclure dkk., 2017).

Page 60: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

112 113Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Peneli an menunjukkan adanya hubungan posi f antara pengalaman STEAM pada periode usia dini dengan keberhasilan sekolah dan karir anak di masa depan (Swe & Shaljan, 2019). Pilihan untuk mengenalkan STEAM sejak dini menjadi sebuah keniscayaan, karena zaman telah berubah dan semua aspek kehidupan, terutama aspek pendidikan, perlu menyesuaikan diri (Chesloff , 2013).

STEAM adalah sebuah akronim yang tercipta dari inovasi penggabungan Art dengan STEM yang telah ada sebelumnya dan dikenal luas oleh banyak guru, baik pada jenjang PAUD, dasar maupun menengah (Kim dkk., 2012; Swe & Shaljan, 2019). STEAM dirasa lebih cocok bagi anak usia dini, dan Kurikulum PAUD pun kini umumnya menggunakan pembelajaran tema k dengan pendekatan ilmiah yang akan memberikan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi anak-anak (Land, 2013a). Anak usia dini selalu penuh dengan rasa ingin tahu tentang apa yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat dieksplorasi dengan menjelajahi lingkungan dengan cara bermain dan melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis ak vitas seni dan keseharian (Dejarne e, 2018). Secara sederhana, STEAM dapat dijelaskan sebagai berikut:

STEAM PenjelasanS (Science) Sains adalah proses berpikir ragam pengetahuan berdasarkan teori, hukum, dan fakta yang

ada untuk memecahkan masalah dan menemukan solusinya. Dalam dunia anak usia dini, sains dapat digunakan sebagai media pengembangan pola pikir, karena anak-anak pada masa ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Penerapan sains untuk anak usia dini harus dikemas secara komprehensif mengingat setiap masalah memiliki pemecahan yang berbeda. Contohnya, meskipun berbasis sains, mengenalkan anak pada warna dan bentuk sayuran di sekitar mereka memerlukan pendekatan yang kreatif dan inovatif sehingga tidak membuat anak menjadi bosan.

T (Technology) Teknologi didefi nisikan sebagai hal yang dapat memudahkan pekerjaan manusia. Dalam pendidikan, adanya kemajuan teknologi saat ini membuat pengajaran dan pembelajaran dapat tersampaikan dengan lebih baik. Contohnya, dengan adanya teknologi audiovisual, kita dapat menyampaikan materi kepada anak-anak usia dini dengan lebih nyata, mengingat anak-anak memiliki kesulitan dalam menggambarkan hal-hal yang terkesan abstrak. Banyak teknologi baru dapat digunakan untuk tujuan ini, seperti konten digital yang lebih mudah untuk dibagikan dan ditingkatkan sehingga proses pembelajaran lebih murah dan terjangkau.

E (Engineering) Enginering bisa digambarkan sebagai cara atau teknik yang digunakan dalam memecahkan masalah sehari-hari. Proses memikirkan teknik pemecahan masalah dengan basis enginering adalah pola pikir kreatif dalam mengembangkan metode baru dalam memecahkan masalah yang ada. Proses rekayasa tentunya tidak lepas dari proses berpikir secara ilmiah dan teknologi yang diterapkan dalam implementasinya. Proses rekayasa populer dalam pendidikan mengubah proses belajar menghafal menjadi proses pembelajaran berdasarkan proyek yang lebih mudah dipahami dan dialami sendiri oleh anak.

A (Art) Seni atau art menggambarkan sesuatu yang indah dipandang dan menyenangkan. Seni juga memiliki nilai sebuah keindahan. Pengimplementasian seni ini dapat dijadikan sebuah langkah menarik bagi anak-anak dalam belajar. Contohnya dalam membuat sebuah media, buku atau video belajar akan lebih menarik dan menimbulkan motivasi tersendiri bagi anak-anak usia dini. Seni pada level anak usia dini dapat dimulai dengan menggambar, mewarnai, dan bernyanyi.

M (Mathematic) Matematika memiliki dasar pendeskripsian sebagai sesuatu yang dapat dihitung dan dinilai untuk pemecahan masalah sehari-hari. Dalam pendidikan anak usia dini, matematika berfungsi untuk melatih anak-anak dalam memecahkan masalah. Namun demikian, pengenalan matematika bagi anak usia dini tidak dapat diartikan pengenalan matematika pada dumumnya, melainkan pengenalan aspek-aspek matematika sederhana seperti pengenalan angka dan bentuk-bentuk geometri.

Sumber: Dikembangkan dari Akturk & Demircan (2017); Dejarnette (2018); Swe & Shaljan (2019); Tabi (2019)

Aspek STEAM yang telah dijelaskan satu persatu di atas membentuk sebuah pembelajaran yang saling terintegrasi satu dan lainnya. Lima aspek tersebut memiliki peranan masing-masing. Sains digunakan untuk memacu dan memunculkan rasa ingin tahu anak-anak, teknologi memegang peran sebagai alat yang digunakan dalam menyampaikan konten sains, lalu engineering atau teknik digunakan sebagai langkah awal pemecahan masalah, memikirkan solusi dan melakukan percobaan, art atau seni digunakan anak-anak dalam mengilustrasikan konsep yang mereka dapatkan dari ak vitas belajar secara krea f dan imajina f, dan terakhir aspek matema ka mela h anak-anak untuk memiliki pemikiran matema ka termasuk membandingkan, memilah, bekerja dengan pola, dan mengiden fi kasi bentuk geometri (Liao dkk., 2016; English, 2016).

STEAM: Peluang Generasi GemilangMelalui pembelajaran berbasis STEAM,

anak-anak dila h untuk memecahkan masalah sehingga krea vitas mereka dapat berkembang dengan op mal. STEAM pada program PAUD telah diterapkan di beragam negara, seper Amerika Serikat, Finlandia, Korea Selatan, Malaysia, dan Tiongkok, termasuk Indonesia (Mcclure dkk., 2017; Perignat & Katz-Buonincontro, 2019; Lestari, 2020). Berdasarkan data dari hasil survey yang dilakukan pada tanggal 9 Juni 2020, dari 23 prak si PAUD, 100% dari mereka telah mengetahui dan pernah mendengar pembelajaran berbasis STEAM, dan 78,6% di antaranya telah menerapkannya di sekolah dan 21,4 % belum pernah menerapkan pembelajaran ini.

Survei yang dilakukan pada tanggal 9 Juni 2020, dari 23 prak si PAUD menunjukkan 64,3% dari mereka melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan bahan dan alat krea f, dan mengupayakan anak-anak agar terlibat dalam

ak vitas krea f tersebut. Hanya saja, 21% dari mereka masih membelajarkan konten secara tradisional dan yang melakukan eksperimen hanya sebanyak 7,1% saja. Hal ini sesuai dengan peneli an sebelumnya, bahwa pada hakikatnya, guru PAUD telah melaksanakan pembelajaran yang mengedepankan ak vitas anak dalam belajar (Welch, 2011). Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan STEAM prak si PAUD di Indonesia masih perlu di ngkatkan, karena beberapa respon yang diberikan pada pertanyaan mengindikasikan bahwa para prak si dak mampu mengemukakan secara mendetail

bagaimana penerapan STEAM yang telah mereka laksanakan di lembaga PAUD (Tabi, 2019).

Hasil survei pada tanggal 9 Juni 2020 tersebut juga menunjukan pembelajaran STEAM yang telah diterapkan adalah membelajarkan bentuk-bentuk geometri dengan memperkenalkan bentuk benda-benda di sekitar yang sesuai dengan bentuk geometri yang telah diperkenalkan sebelumnya. Kemudian anak-anak membuat bentuk geometri tersebut dari origami, sehingga dalam belajar anak-anak memiliki pengalaman sendiri, dan unsur STEAM dalam pembelajaran ini juga sederhana namun cocok untuk diterapkan bagi anak usia dini (Mar nez, 2017).

STEAM: Tantangan Masa Depan Generasi Mendatang Peran guru sebagai orang tua di sekolah

Pembelajaran STEAM pada jenjang PAUD kerapkali memberikan kekhawa ran pada orang terdekat anak (Akturk and Demircan, 2017). Kekhawa ran ini muncul karena kepercayaan dalam diri mereka bahwa topik dan materi STEM sulit untuk diajarkan pada usia anak-anak, walaupun telah diintegrasikan dengan seni dan hanya cocok diajarkan pada anak-anak yang sudah menginjak usia lebih dewasa (English, 2016). Orang tua dan guru adalah sosok yang selalu

Page 61: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

114 115Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

mendampingi perkembangan anak-anak sehingga kedua komponen ini sangatlah dibutuhkan untuk menjadi gerbang utama dalam mengenalkan STEAM ke kehidupan anak-anak sedini mungkin (Sochacka, Guyo e and Walther, 2016).

Komponen utama yang paling pen ng dalam membiasakan pembelajaran STEAM tentunya adalah guru (Manning dkk., 2017). Sebelum kita menginginkan anak-anak untuk mengubah pola pikir mereka demi bisa menangkap pembelajaran berbasis STEAM, guru adalah pihak yang harus lebih dulu mengubah mindset mereka mengenai STEAM sehingga dak lagi cemas untuk memgajarkannya kepada anak (Hoy & Spero, 2005; Jamil dkk., 2017; Mcclure dkk., 2017). Mengapa demikian? Karena guru yang antusias dan memiliki semangat serta percaya diri dalam mengajarkan topik STEAM akan dapat meneruskan sebuah kegembiraan dan semangat pula kepada anak dalam belajar. Namun, dewasa ini banyak guru PAUD kurang bersemangat dan siap untuk melibatkan anak-anak dalam pembelajaran STEAM yang memiliki domain luas (Kulinna dkk., 2011; Mcclure dkk., 2017).

Pemangku kebijakan atau pemerintah juga memiliki peran pen ng untuk hadir memberikan ragam pela han bagi pengembangan profesi dan kompetensi guru PAUD agar dapat lebih memahami kontruksi STEAM yang sesuai untuk anak dan mengadaptasinya ke dalam pembelajaran anak usia dini (Herro & Quigley, 2017). Guru juga mes ak f dalam meningkatkan kepercayaan dirinya dalam mengajarkan STEAM dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pedagogiknya agar dapat mengkontruksi STEAM yang sesuai dengan perkembangan anak usia dini (Kim & Kim, 2016; Harris & de Bruin, 2018; Sullivan & Bers, 2018).

Orang tua adalah gerbang pertamaPeran pen ng lainnya yang anak-anak butuhkan adalah lingkungan keluarga yang mendukung mereka untuk menjalani pembelajaran berbasis STEAM. Peran utama ada pada orang tua (Stem, 2017; Sureeporn, 2019). Anak-anak pada dasarnya terlahir dengan bakat seorang sain s, bahkan di usia kurang dari satu tahun biasanya anak cenderung mengobservasi dan mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya, dan tanpa sadar membuat sebuah hipotesis sederhana dalam pikirannya (Wang dkk., 2018).

Contoh kecil adalah ke ka ada seorang anak kecil melihat mobil-mobilan plas k di atas meja. Dari satu sisi mobil terlihat melayang, dan tanpa sengaja, karena rasa ingin tahu yang muncul, ia mencoba untuk menjatuhkannya apakah mobil tetap melayang atau dak, namun ternyata mobil jatuh ke bumi. Tanpa disadari mereka telah mencoba belajar konsep gravitasi bumi (Jamil dkk., 2017; Mcclure dkk., 2017). Ke ka anak berada pada periode usia yang dipenuhi dengan rasa ingin tahu seper inilah peran orang tua di rumah sangat diperlukan: orang tua harus cepat tanggap melihat keingintahuan anak dengan memancing mereka dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada STEAM, karena anak-anak ingin tahu dan mampu mempelajari STEAM bahkan di hari mereka lahir (Faulconer dkk., 2020).

Orang tua memiliki waktu dan peluang lebih banyak bersama dalam kehidupan anak-anak mereka daripada guru, sehingga orang tua memiliki peluang besar untuk membantu mendorong, mendukung, dan menormalkan pembelajaran STEAM sejak dini dalam kehidupan sehari-hari anak mereka (Taylor, 2016; Wang dkk., 2018). Peneli an sebelumnya memperlihatkan bahwa anak-anak yang dibiasakan orang

tua untuk berpikir kri s dengan sains dan matema ka di dalam keluarganya akan memiliki kesempatan besar untuk menjadi seorang pembelajar yang sukses di sekolahnya (Akturk & Demircan, 2017). Selain itu, kehadiran orang tua di rumah dalam membiasakan ak votas berbasis STEAM bagi anak akan membantu guru dan sekolah untuk lebih efek f membelajarkan STEAM di sekolah anak sehingga hasilnya akan lebih op mal (Rutanen dkk., 2019).

Banyakorang tua anak melewatkan kesempatan untuk memperkenalkan STEAM kepada anak-anak sejak dini. Oleh karena itu, orang tua diharapkan semakin ak f meningkatkan pengetahuan dalam mengkonstruksi STEAM yang menyenangkan untuk diajarkan pada anak ke ka di rumah (Dejarne e, 2018; Wang dkk., 2018). Anak-anak bermain layaknya melakukan eksperimen se ap harinya: mereka mengumpulkan data dan menarik kesimpulan tanpa sadar seper para ilmuwan, sehingga orang tua mes nya dak sekadar terus menerus memberikan la han membaca, menghitung dan memberikan fl ash card. Anak-anak harus dikondisikan pada sebuah lingkungan belajar yang membuat mereka dapat mengeksplorasi diri secara alami (Land, 2013a).

Penerapan STEAM untuk Anak Usia DiniPenerapan STEAM di ins tusi PAUD bermula dari

guru memahami: (a) konten yang mereka ajarkan; (b) sifat pemikiran/pengetahuan STEAM bagi anak-anak dan bagaimana mengembangkannya; dan, (c) memprak kkan pembelajaran terbaik untuk memas kan bahwa pengajaran STEAM sejalan dengan kebutuhan dan ngkat perkembangan anak (Chesloff , 2013; Sochacka dkk., 2016). Metode ak vitas berbasis STEAM diterapkan dengan cara menekankan pembelajaran ak f, merangsang

anak-anak untuk memecahkan masalah, fokus pada solusi, membantu cara berpikir logis dan sistema s, dan mempertajam kemampuan berpikir kri s (Tabi, 2019).

Penerapan metode STEAM pen ng untuk mela h pemikiran kri s anak-anak, membangun cara berpikir logis dan sistema s. Melalui metode ini, anak-anak akan belajar tanpa menyadari bahwa mereka sedang belajar, karena dikemas dalam bentuk permainan yang menyenangkan untuk anak-anak (Taylor, 2016; Sullivan & Bers, 2018). Anak-anak tentu akan sangat senang jika mereka diajak bermain, dan tanpa sadar mereka akan belajar banyak hal (Weatherly, Oleson & Kistner, 2017).

Hal yang juga dapat dilakukan oleh guru PAUD dalam mengenalkan anak pada STEAM adalah dengan menggunakan konsep-konsep matema ka ke ka berbicara dengan anak (Yakman, 2018), menggunakan alam dan hal-hal sekitar untuk mengkomunikasikan hal apa yang dapat diama dengan alat indera anak demi memunculkan kemampuan mengama dalam sains (Haynes Poronsky, 2017), menggunakan open ended ques on, membimbing dan megiku kegiatan anak dalam mengeksplorasi dunia sekitar hingga anak terbiasa membuat hipotesis sederhana, menggunakan buku-buku yang dapat memperkaya kosakata anak, dan membangun suasana pembelajaran bersama dengan iku ak vitas belajar anak (Akturk & Demircan, 2017; Mcclure dkk., 2017; Dejarne e, 2018; Lestari, 2020).

Indonesia memiliki begitu banyak lembaga PAUD, baik formal maupun non formal, yang tengah berkembang. Peneli an sebelumnya telah menemukan bahwa beberapa penerapan pemebelajaran berbasis STEAM telah diterapkan pada sejumlah lembaga PAUD (Saudah, 2015). Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menerapkan pembelajaran STEAM sejak dini ini adalah sebagai berikut:

Page 62: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

116 117Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Mendorong anak untuk memperha kan dunia sekitar (explore)Mengeksplorasi dalam hal ini mengama sekitarnya adalah kemampuan dasar dalam mengajarkan sains (Tabi, 2019). Dengan mengajak anak mengama , kita seja nya akan mengajarkan anak untuk berpikir kri s dan berani bertanya (Harris & de Bruin, 2018). Contoh pengamatan sederhana yang dapat dilakukan anak dan guru sebagai fasilitator adalah mengama pertumbuhan kedelai di atas kapas yang hanya dibasahi oleh air. Sebelum menanam, anak bisa di ajak untuk menghitung dan mengama ukuran biji kedelai tersebut, lalu dalam beberapa hari anak akan mengama pertumbuhannya dan mengukur ukurannya dengan bantuan guru. Pengamatan ini sangat sederhana dan dapat dilakukan (Tabi, 2019). Lebih sederhana lagi, guru dapat menyiapkan bahan dan alat di sekitar anak yang disebut sebagai kegiatan invitasi oleh guru. Alat dan bahan yang akan dieksplorasi ini di taruh di atas meja lalu anak-anak akan mengama alat dan bahan tersebut sebelum kemudian dengan bantuan guru menggunakannya dalam belajar (Quigley dkk., 2020).

Mendorong anak untuk bertanya dan menjelaskan apa yang mereka lihat dan kerjakan (extend)Anak-anak diminta menjelaskan komponen dari hal-hal yang mereka lihat dan lakukan di lembaga pendidikan (Tabi, 2019). Contohnya saat anak melihat kupu-kupu, semut, pohon, bunga dan sebagainya, guru meminta mereka untuk menggambarkan detail dengan warna, bentuk dan ukurannya, meskipun hasilnya masih sangat sederhana (Hartman and Dani, 2020). Demikian juga ke ka anak-anak membuat atau melakukan sesuatu, kita dapat meminta mereka untuk menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan, bisa dengan

menggunakan pertanyaan terbuka yang mendorong mereka berani mendeskripsikan apa yang sedang mereka kerjakan. Ini dapat meningkatkan kosakata dan kepercayaan diri anak dalam menggunakan kecakapan STEAM (Munawar dkk., 2019).

Menggunakan pertanyaan terbuka (open ended ques ons)Guru dituntut krea f dalam mengajukan pertanyaan terbuka yang dapat mengeksplorasi kemampuan anak. Baiknya guru menggunakan pertanyaan dengan kata “apa” dibanding menggunakan “mengapa” (Land, 2013b; Dejarne e, 2018). Pertanyaan dengan kata “mengapa” akan sangat sulit dimenger oleh anak terlebih anak dengan usia yang masih dini. Sebaliknya dengan menggunakan kata “apa” anak akan lebih percaya diri menjawab dan menger apa yang dimaksud gurunya. Contohnya, ke ka anak mengama kacang kedelai yang bertumbuh di kapas, jangan menanyakan “mengapa kedelai bisa bertumbuh” namun tanyakan “apa yang terjadi pada kedelai?” (Tabi, 2019).

Menggunakan teknik hitung “one – to – one correspondence” Mengajarkan berhitung pada anak-anak lebih baik dengan menggunakan one – to – one correspondence, di mana anak-anak dak sekadar menghitung angka atau diajarkan berhitung (Tabi, 2019). Metode atau teknik ini membuat anak melakukan ak vitas sekaligus belajar berhitung. Contohnya, anak diminta untuk menyiapkan ga bu r telur untuk membuat telur balado, atau anak diminta untuk memasukkan lima buah bola ke dalam keranjang. Dengan teknik ini, anak akan lebih mudah belajar berhitung karena melakukannya sembari berak vitas maupun sembari bermain (Swe & Shaljan, 2019; Tabi, 2019).

Evaluasi Pada tahap evaluasi, guru diminta untuk melakukan refl eksi bagi anak, kemudian berdiskusi dengan guru lainnya bagaimana pembelajaran berbasis STEAM berjalan dengan baik dan melakukan perencanaan selanjutnya (Munawar dkk., 2019).

STEAM itu SederhanaOrang tua dak diharuskan untuk membelikan

mainan atau alat sains yang mahal. Orang tua dan guru juga dak perlu memiliki pengalaman mumpuni untuk mengajarkan STEAM pada anak-anak mereka. Jadi, mengajarkan anak-anak untuk menggunakan metode STEAM dapat dilakukan sedini mungkin sehingga akan membantu anak-anak mampu dan percaya diri untuk mempelajari sesuatu di lingkungan mereka (Akturk & Demircan, 2017; Jamil dkk., 2017). Terlepas dari hal di atas, guru dan orang tua juga dapat membantu mengembangkan keterampilan STEAM melalui kegiatan yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di sekolah, seper : bertanya, memfasilitasi anak-anak untuk bekerja sama, berpikir krea f, memecahkan masalah, menjelajah, atau mencari cara baru yang dak biasa dalam belajar (Lindeman dkk., 2013).

Pemberdayaan STEAM dimulai di lingkungan terdekat anak dan kemudian dapat didukung oleh lingkungan luar (Perignat & Katz-Buonincontro, 2019). Pemangku kebijakan diharapkan juga dapat memberikan dukungan dan pendidikan yang lebih kuat untuk orang tua dan guru; strategi yang lebih selaras di seluruh ngkat kelas dan antara lingkungan belajar formal dan informal; melipatgandakan upaya untuk meningkatkan sistem pendidikan dini secara umum; penekanan dan arahan baru untuk peneli an dan pengembangan; dan, pendekatan baru untuk mengomunikasikan dan menyebarluaskan temuan peneli an (Land,

2013b; Namsone & Cakane, 2016; Tabi, 2019). Pada masa yang akan datang, penerapan STEAM di Indonesia membutuhkan dukungan dari semua pihak agar dapat mewujudkan pembelajaran yang berkualitas untuk anak usia dini (Wandari, Wijaya & Agus n, 2018). Penerapan STEAM yang telah diterapkan juga memiliki beragam contoh, beberapa di antaranya yang mungkin dapat di adaptasi oleh guru-guru PAUD adalah sebagai berikut.

Percobaan balon ajaib (Lestari, 2020)Percobaan STEAM dengan topik balon ajaib adalah dengan mencoba membuat balon dapat menggelembung tanpa harus di up. Percobaan ini membutuhkan bahan dan alat sederhana dan bisa difasilitasi oleh guru sebelum anak-anak memulai pelajaran. Alat dan bahan yang digunakan adalah 2 botol cuka makan, 2 sdm soda kue balon, botol bekas air mineral, dan corong.

Langkah pertama, guru membantu anak-anak untuk memasukkan soda kue ke dalam balon dengan menggunakan corong. Kemudian isi botol dengan cuka, lalu pasang balon ke mulut botol. Angkat balon yang masih kempes dan biarkan soda kue didalam balon terjatuh ke dalam botol berisi cuka. Beberapa saat akan mbul reaksi balon menggembung karena

adanya campuran soda kue dan cuka. Anak-anak diajak mengama peris wa menarik dalam ak vitas belajar mereka di lembaga PAUD. Lalu guru dapat membimbing anak dengan menanyakan apa yang terjadi pada balon? Dan menjelaskan dengan sederhana mengapa bisa terjadi hal tersebut. Percobaan ini diharapkan mampu mengasah kemapuan STEAM anak secara dak langsung.

Anak belajar sains dari bagaimana mereka mengeskplor dengan bertanya mengapa balon bisa menggelembung tanpa di up. Anak dikenalkan menggunakan teknologi berupa alat yang memudahkan percobaan mereka,

Page 63: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

118 119Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

seper : corong, botol plas k dan lainnya. Anak juga dapat belajar bagaimana teknik-teknik dalam mempersiapkan percobaan balon ajaib secara mandiri sehingga percobaan dapat berjalan dan berhasil. Selanjutnya seni yang didapat dari percobaan ini adalah anak dapat membuat hasil karyanya masing-masing, seper keinginan anak memilih warna balon kesukaanya. Anak juga mengenal bentuk-bentuk benda, mengetahui jumlah alat dan bahan yang digunakan akan mengasah kemampuan matema ka mereka secara dak disengaja.

Loose parts (Casey and Robertson, 2016)STEAM digunakan untuk menggali pemahaman tentang sifat disiplin sains, teknologi, seni, dan matema ka, dan pen ngnya mereka dalam dalam keberhasilan akademik jangka panjang anak-anak. Pembelajaran STEAM mengharapkan anak usia dini untuk mulai belajar secara kri s, komprehensif, dan mampu memecahkan masalah (Colker & Simon, 2014). S mulus yang diberikan dak selalu melalui peralatan yang modern dan berteknologi, bahan lainnya yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari se ap hari juga dapat dimanfaatkan untuk mengenalkan STEAM (Casey & Robertson, 2016). bahan dari alam atau lingkungan sekitar kita seper ran ng, biji-bijian, batu, kerang, daun kering, bunga, dan benda-benda alam lainnya dikenal sebagai loose parts (Casey & Robertson, 2016).

Loose parts memberikan kesempatan pada anak untuk bereksplorasi secara bebas dalam menciptakan sesuatu yang baru. STEAM dengan loose parts ini memberikan ngkat kebebasan untuk ak f dalam proses

belajar (Flannigan & Dietze, 2018). Anak-anak dimungkinkan untuk memperlihatkan ngkat krea vitas yang beragam. Sebagai

contoh ke ka anak-anak diberikan benda

yang sama, mereka akan memberikan proses bervariasi dalam anak berpikir. Ke ka guru membacakan dengan lantang sebuah cerita tentang seorang bocah lelaki yang membawa ikan paus yang hilang ke rumahnya, mereka menantang anak-anak untuk membuat kapal kreasi mereka sendiri. Sebagian besar kapal memiliki fi tur serupa seper ang dan layar. Namun, pemilihan bahan yang berbeda menghasilkan proses yang berbeda. Satu anak memilih jerami sebagai ang.

Ke ka dia menempelkannya ke styrofoamboard, ang itu bergoyang. Dia kemudian menguji bahan lain: tusuk sate. Tusuk itu lebih kuat dari sedotan. Mengapa tusuk itu lebih kokoh dari sedotan? Anak berinisia f menggan jerami tersebut dengan tusuk sate bahkan tanpa arahan dari guru. Namun, aksi anak menukar jerami dengan tusuk sate menunjukkan bahwa anak-anak mengama benda-benda, menguji sifat-sifatnya, dan mengambil keputusan. Mungkin dari ilustrasi tersebut anak-anak dak mengetahui konsep sains secara detail, tetapi pengalaman belajar seper ini berpotensi pada pemahaman mereka tentang sains di kemudian hari (Gomes & Fleer, 2019; Sikder & Fleer, 2015). Model pembelajaran seper ini juga akan membebaskan krea vitas anak dalam berhitung (Zsolt et al., 2019).

Anak melakukan sebuah pengamatan di mana anak ingin menambahkan tangga ke kapalnya. Anak ini akan memilih tusuk sate untuk membuat tangga. Awalnya, tusuk sate terlalu panjang, lalu anak memotong tusuk sate dengan panjang yang sama dan mengatur tusuk sate untuk membuat tangga. Proses teknik dan keterampilan matema ka yang dapat diama pada anak pada kegiatan ini adalah pengukuran, aljabar, dan geometri. Anak itu juga memodifi kasi tusuk sate untuk

memenuhi kebutuhannya. Anak melakukan proses rekayasa dan dia memakai sebuah alat yang merupakan pesawat sederhana (gun ng) sebagai teknologi. Rupanya, kebebasan selama melakukan kegiatan dapat membuat anak-anak mengalami berbagai masalah. Dengan kata lain, anak dapat menemukan masalah ke ka dibebaskan untuk melakukan ak vitas dan mencari bagaimana langkah penyelesaian masalah.

Percobaan magic milkPembelajaran STEAM dapat digunakan untuk merangsang daya pikir anak dalam mempelajari sesuatu. Untuk membiasakan STEAM, dibutuhkan kegiatan yang bersifat eksperimental namun sederhana sesuai dengan perkembangan otak anak (Dejarne e, 2018). Kegiatan yang banyak dilakukan baik oleh guru maupun orang tua untuk merangsang otak anak adalah dengan kegiatan membaca, mengajak olahraga, belajar menghitung dan bermain game, mencukupi vitamin dan memenuhi nutrisi anak. Anak-anak dalam perkembangan usia dini biasanya memilik rasa ingin tahu yang nggi dan keinginan mengeksplorasi lingkungan sekitar (Canning et al., 2017). Kecerdasan otak pada masa perkembangan anak dapat meningkat sangat signifi kan. Keingintahuan anak yang besar serta keinginan belajar anak menjadi sebuah dorongan bagi kita untuk memberikan pembelajaran STEAM yang menarik. Dalam mens mulasi anak agar senan asa mau belajar dan meningkatkan pengetahuan serta mengembangkan kemampuan otaknya memerlukan peran besar dari orang tua dan sekolah.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan kecintaan anak terhadap sains dengan mengajak anak melakukan eksperimen yang menyenangkan dan sesuai dengan tahapan perkembangan usia mereka. Percobaan sederhana yang

bisa kita lakukan baik di rumah maupun di lembaga PAUD untuk merangsang otak anak adalah percobaan dengan nama “magic milk”. Kegiatan ini membiasakan anak untuk akrab dengan sains: anak dapat belajar menghubungkan sebab dan akibat serta merangsang mereka untuk berpikir secara logis dari apa yang mereka ama . Kegiatan magic milk ini dapat menggunakan alat dan bahan sederhana seper piring, co on bud, sabun cair, pewarna makanan dan susu.

Percobaan ini sangat sederhana. Anak akan diajak menuangkan susu ke piring, lalu meneteskan pewarna makanan, kemudian co on bud dicelupkan dahulu ke sabun dan kemudian dicelupkan di bagian tengah susu yang berada di piring secara perlahan hingga menyentuh bagian bawah piring. Anak akan melihat perlahan warna akan menyebar dengan indah, dan akan memancing anak untuk berpikir kri s sehingga berani menanyakan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Di sinilah peran guru untuk menjelaskan sains sederhana yang terjadi pada pewarna di susu tersebut dengan bahasa yang mudah dimenger oleh anak. Eksperimen ini akan sangat membantu guru dan orang tua untuk menerapkan STEAM dalam kehidupan sehari-hari.

Magne c books (Roshayan & Sugiyan , 2020)Sebuah peneli an pengembangan yang telah dipublikasikan memberikan sebuah pilihan untuk guru PAUD dalam menerapkan STEAM berupa sebuah buku magne k. Buku magne k berbasis STEAM dapat mengembangkan keterampilan penyelidikan ilmiah pada anak-anak, seper kemampuan untuk mengajukan pertanyaan; kemampuan iden fi kasi masalah; kemampuan memiliki kesempatan untuk mengembangkan kebiasaan dan perilaku yang akan melayani

Page 64: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

120 121Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

mereka dalam mencapai kemampuan akademik (Roshayan and Sugiyan , 2020).

Buku magne k adalah jenis media pembelajaran anak yang berupa ac vity book anak inova f. Penggunaan magne c book ini dapat mela h motorik, daya konsentrasi dan krea vitas anak. Biasanya, se ap seri magne c book terdiri atas kartu dan magnet. Anak dengan bimbingan orang tua atau guru dapat bermain dan belajar dengan buku ini dengan memilih salah satu kartu, dan anak harus menyusun magnet sesuai dengan gambar yang dipilih. Salah satu contoh magne c book yang telah dikembangkan memiliki nilai pendidikan nggi untuk anak-anak. Terdapat ga sub tema dalam tema myself, yaitu: 1). Paket 1 adalah tentang Siapa Aku? Ini terdiri atas topik: a) siapa nama saya? b) ini wajahku; c) saya laki-laki atau perempuan; d) seberapa nggi dan berat aku?; e) apa favorit saya? Berbagai potongan yang di acak dan manipula f dapat ditempatkan pada halaman untuk mengatur gambar (Roshayan & Sugiyan , 2020). Selain itu, di halaman belakang pada se ap lembar, ada lembaran kosong sehingga anak-anak diberi kesempatan untuk membuat sendiri apa yang ingin mereka kreasikan mengenai tema ini. Guru PAUD masa kini juga bisa mengembangkan buku ini disesuaikan dengan tema-tema yang menarik.

STEAM dengan kearifan lokal IndonesiaRevolusi Industri 4.0 yang mengedepankan 21st century skills dak serta merta menginginkan kita untuk melupakan warisan budaya Indonesia. Pada dasarnya Indonesia memiliki banyak potensi dan kearifan lokal yang dapat dijadikan sumber belajar, dan dak menutup kemungkinan untuk mengajarkan STEAM (Eguchi, 2015). Krea vitas guru dan orang tua juga sangat berperan dalam memilih dan merancang jenis kearifan lokal apa yang

bisa digunakan untuk memperkenalkan anak dengan STEAM, sekaligus ikut melestarikan kearifan lokal kepada generasi muda, dalam hal ini anak usia dini.

Salah satu bentuk potensi lokal yang dapat digunakan adalah pembuatan layang-layang. Seper yang kita ketahui, membuat layang-layang membutuhkan teknik pembuatan dan pengukuran yang cermat, dan menggunakan beragam alat serta teknologi sederhana. Layang-layang juga memiliki banyak bentuk yang dapat mengasah krea vitas anak. Untuk mengajarkan pembuatan layang-layang, anak-akan diajak mencoba mengukur, belajar menghitung, belajar bentuk geometri, menimbang dengan tali, dan mengenali alat dan bahan yang digunakan. Anak juga akan belajar unsur sains secara dak langsung dengan arahan guru ke ka guru menjelaskan tentang angin yang dapat menerbangkan layang-layang.

Kearifan lokal selanjutnya yang dapat digunakan dalam mengajarkan STEAM adalah membuat mobil-mobilan sederhana dari kulit buah yang tebal seper melon atau semangka. Anak akan sangat tertarik dengan pembelajaran yang mengedepankan ak vitas mereka untuk dapat meningkatkan krea vitasnya.

STEAM: Tantangan yang Berpeluang Pengembangan STEAM di Indonesia

memiliki peluang besar, sekaligus dihadapkan pada tantangan untuk mengubah mindset guru dan orang tua (Chesloff , 2013; Mcclure dkk., 2017; Malone dkk., 2018). Guru PAUD dituntut membiasakan diri dengan konsep utama kehidupan, bumi, dan sains, serta mengintegrasikan hal tersebut dalam proses pengajaran dan pembelajaran (Jamil dkk., 2017). Pela han-pela han untuk guru PAUD dalam mengajarkan STEAM sangatlah dibutuhkan,

namun pela han ini dak hanya melulu mengacu pada kuan tas namun harus benar-benar memperha kan kualitas. Untuk mulai memperbaiki pengajaran STEAM, meningkatkan jumlah sesi pela han yang tersedia untuk guru saja daklah cukup (Hoy & Spero, 2005; Quigley dkk., 2020).

Pembelajaran berbasis STEAM direkomendasikan untuk dilakukan sebagai langkah pencapaian keterampilan abad ke-21 dalam kerangka Revolusi Industri 4.0 (Shatunova dkk., 2019). Pembelajaran anak usia dini yang didasarkan pada pengenalan STEAM diharapkan mampu menghasilkan hasil akhir berupa produk dan desain yang dibuat oleh guru yang kemudian diimplementasikan pada anak-anak yang berkaitan dengan desain atau produk sederhana (Malone dkk., 2018).

Dewasa ini, langkah untuk memajukan pendidikan anak usia dini secara umum, dan peningkatan pembelajaran berbasis STEAM secara khusus, membutuhkan usaha dan koordinasi yang lebih intensif dari berbagai pihak dan sektor terkait (Bahrum, Wahid and Ibrahim, 2017). Landasan pengembangan pendidikan STEAM di Indonesia memang telah lebih dulu dimulai (Tabi, 2019). Upaya-upaya pen ng sedang dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran STEAM di berbagai satuan pendidikan (Kim & Park, 2012). Upaya lain juga sedang dilakukan untuk membangun sistem pendidikan yang lebih koheren, berkualitas nggi, dan berkelanjutan sejak lahir hingga usia

7 tahun (Akturk and Demircan, 2017).

Calon guru dan guru PAUD saat ini perlu mengalami pengajaran substan f, terkait dengan pembelajaran STEAM sejak dini, termasuk konten, perkembangan anak dan pengetahuan pedagogi. Hal ini yang perlu diperha kan pihak universitas dalam menyiapkan guru (Namsone & Cakane, 2016). Kurangnya koneksi interdisipliner dalam program persiapan guru dan lembaga

pendidikan yang akan menampung mereka merupakan persoalan warisan dari waktu ke waktu. Persiapan dan pengembangan guru yang berkualitas nggi dan spesifi k merupakan cara efek f untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru di beberapa negara seper Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Finlandia (van de Gri , 2007). STEAM bagi anak usia dini menjadi sebuah peluang untuk meningkatkan krea fi tas anak sedini mungkin, namun hal ini juga menjadi sebuah tantangan besar bagi guru dan orang tua untuk berkolaborasi mengambil peluang perubahan ini menjadi sesuatu yang besar dimasa yang akan datang.

CatatanPendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit.

Tentang penulis

Eka Sobia n merupakan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia Afi rmasi (Magister) dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Ia menyelesaikan magister di bidang pendidikan sains dengan nilai cumlaude dari Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2020.

Page 65: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

122 123Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Da ar Pustaka

Akturk, A. A. and Demircan, H. Ö. (2017), A Review of Studies on STEM and STEAM Education in Early Childhood, Ahi Evran Üniversitesi Kırşehir Eğitim Fakültesi Dergisi (KEFAD), 18(2), pp. 757–776.

Bahrum, S., Wahid, N. and Ibrahim, N. (2017), Integration of STEM Education in Malaysia and Why to STEAM’, International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 7(6), pp. 645–654. doi: 10.6007/ijarbss/v7-i6/3027.

Becker, E. A. dkk. (2017), The Eff ects of Practice-Based Training on Graduate Teaching Assistants’ Classroom Practices, CBE Life Sciences Education, 16(4), pp. 1–14. doi: 10.1187/cbe.16-05-0162.

Canning, N. dkk. (2017), An innovative methodology for capturing young children’s curiosity, imagination and voices using a free app: Our Story, International Journal of Early Years Education. Taylor & Francis, 25(3), pp. 292–307. doi: 10.1080/09669760.2017.1353953.

Casey, T. & Robertson, J. (2016) Loose Parts Play. Edinburgh.

Chamrat, S., Manokarn, M. & Thammaprateep, J. (2019), STEM literacy questionnaire as an instrument for STEM education research fi eld : Development , implementation and utility, in AIP Conference Proceedings, pp. 1–12. doi: 10.1063/1.5094011.

Chao, L. (2016) Handbook of Research on Cloud-Based STEM Education for Improved Learning Outcomes. United States of America: IGI Global.

Chesloff , J. (2013) STEM Education Must Start in Early Childhood. Massachusetts.

Colker, L. .& Simon, F. (2014), Cooking with STEAM, Teaching Young Children, 8(1), pp. 10–13.

Dejarnette, N. K. (2018), Implementing STEAM in the Early Childhood Classroom, European Journal of STEM Education, 3(3), pp. 1–9.

Eguchi, A. (2015), RoboCupJunior for Promoting STEM Education , 21st Century Skills, and Technological Advancement through Robotics Competition’, Robotics and Autonomous Systems. Elsevier B.V., 75(b), pp. 692–699. doi: 10.1016/j.robot.2015.05.013.

English, Lyn D (2016), STEM education K-12 : perspectives on integration, International Journal of STEM Education. International Journal of STEM Education, 3(3), pp. 1–8. doi: 10.1186/s40594-016-0036-1.

English, Lyn D. (2016), STEM education K-12: perspectives on integration, International Journal of STEM Education. Springer, pp. 1–8. doi: 10.1186/s40594-016-0036-1.

Faulconer, E. K., Wood, B. and Griffi th, J. C. (2020), Infusing Humanities in STEM Education: Student Opinions of Disciplinary Connections in an Introductory Chemistry Course, Journal of Science Education and Technology. Springer, 29(3), pp. 340–345. doi: 10.1007/s10956-020-09819-7.

Flannigan, C. and Dietze, B. (2018), Children, Outdoor Play, and Loose Parts, Journal of Childhood Studies, 42(4), pp. 53–60. doi: 10.18357/jcs.v42i4.18103.

van de Grift, W. (2007), Quality of Teaching in Four European Countries: A Review of The Literature and Application of an Assessment Instrument, Educational Research, 49(2), pp. 127–152. doi: 10.1080/00131880701369651.

Harris, A. and de Bruin, L. R. (2018), Secondary school creativity, teacher practice and STEAM education: An international study, Journal of Educational Change. Springer Netherlands, 19(2), pp. 153–179. doi: 10.1007/s10833-017-9311-2.

Hartman, S. and Dani, D. (2020), Full STEAM Ahead: Creating Interdisciplinary Informal Learning Opportunities for Early Childhood Teacher Candidates, Journal of STEM Teacher Education, 54(1), p. 3.

Haynes Poronsky, E. (2017), Science and Sentiment: Aff ecting Change in Environmental Awareness, Attitudes, and Actions through the Daily Nature Project, Steam, 3(1), pp. 1–9. doi: 10.5642/steam.20170301.12.

Herro, D. and Quigley, C. (2017), Exploring teachers’ perceptions of STEAM teaching through professional development: implications for teacher educators, Professional Development in Education. Routledge, 43(3), pp. 416–438. doi: 10.1080/19415257.2016.1205507.

Hirschland, D. (2008) Collaborative Intervention in Early Childhood. New York: OXFORD University Press.

Hoy, A. W. and Spero, R. B. (2005), Changes in Teacher Effi cacy During The Early Years of Teaching: A Comparison of Four Measures, Teaching and Teacher Education, 21, pp. 343–356. doi: 10.1016/j.tate.2005.01.007.

Jamil, F. M., Linder, S. M. and Stegelin, D. A. (2017), Early Childhood Teacher Beliefs About STEAM Education After a Professional Development Conference, Early Childhood Education Journal. Springer Netherlands, 46(4), pp. 409–417. doi: 10.1007/s10643-017-0875-5.

Kim, B. H. and Kim, J. (2016), Development and validation of evaluation indicators for teaching competency in STEAM education in Korea, Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. Modestum LTD, 12(7), pp. 1909–1924. doi: 10.12973/eurasia.2016.1537a.

Kim, S. et al. (2012), Development of a Theoretical Model for STEAM Education, Journal korea Association Science Education, 32(2), pp. 388–401.

Kim, Y. and Park, N. (2012), The eff ect of STEAM education on elementary school student’s creativity improvement, Communications in Computer and Information Science, 339, pp. 115–121. doi: 10.1007/978-3-642-35264-5_16.

Kulinna, P. H., Cothran, D. and Kloeppel, T. (2011), Classroom Teachers’ Effi cacy in Teaching Healthy Behaviour Content’, Teacher Development, 15(3), pp. 319–331. doi: 10.1080/13664530.2011.608513.

Land, M. H. (2013a), Full STEAM ahead: The benefi ts of integrating the arts into STEM, in Procedia Computer Science. Elsevier B.V., pp. 547–552. doi: 10.1016/j.procs.2013.09.317.

Land, M. H. (2013b), Full STEAM ahead: The benefi ts of integrating the arts into STEM, in Procedia Computer Science. Elsevier B.V., pp. 547–552. doi: 10.1016/j.procs.2013.09.317.

Lestari, R. H. (2020) ‘Upaya meningkatkan pengetahuan sains pada anak usia dini melalui pembelajaran steam’, (CERDAS ENERGIK RESPONSIF INOVATIF ADAPTIF) ISSN, 3(3), pp. 237–244.

Liao, C. et al. (2016) ‘Tech-Savvy Girls: Learning 21st-Century Skills Through STEAM Digital Artmaking’, Art Education, 3125(October), pp. 29–35. doi: 10.1080/00043125.2016.1176492.

Lindeman, K. W., Jabot, M. and Berkley, M. T. (2013) ‘The role of STEM (or steam) in the early childhood setting’, Advances in Early Education and Day Care. Emerald Group Publishing Limited, 17, pp. 95–114. doi: 10.1108/S0270-4021(2013)0000017009.

Malone, K. L. et al. (2018) ‘Engineering Design Challenges in Early Childhood Education: Eff ects on Student Cognition and Interest’, European Journal of STEM Education, 3(3), pp. 1–18. doi: 10.20897/ejsteme/3871.

Manning, M. et al. (2017) ‘The relationship between teacher qualifi cation and the quality of the early childhood education and care environment’, Campbell Systematic Reviews, 13(1), pp. 1–82. doi: 10.4073/csr.2017.1.

Martinez, J. E. (2017) The Search for Method in STEAM Education. Cham: Springer.

Mcclure, E. R. et al. (2017) STEM starts early: Grounding science, technology, engineering, and math education in early childhood. New York.

Munawar, M., Roshayanti, F. and Sugiyanti (2019), Implementation Of STEAM (Science Technology Engineering Art Mathematics) - Based Early Childhood Education Learning In Semarang City, CERIA, 2(5), pp. 276–285.

Namsone, D. and Cakane, L. (2016), How Primary School Theachers Succeed in Designing Lessons to Teach Students 21st Century Skills, pp. 2–4.

Osborne, J. (2013), The 21st century challenge for science education : Assessing scientifi c reasoning, Thinking Skills and Creativity, 10, pp. 265–279.

Perignat, E. and Katz-Buonincontro, J. (2019), STEAM in practice and research: An integrative literature review, Thinking Skills and Creativity. Elsevier Ltd, 31, pp. 31–43. doi: 10.1016/j.tsc.2018.10.002.

Quigley, C. F. et al. (2020), STEAM Designed and Enacted: Understanding the Process of Design and Implementation of STEAM Curriculum in an Elementary School, Journal of Science Education and Technology. Springer. doi: 10.1007/s10956-020-09832-w.

Roshayanti, M. and Sugiyanti, F. (2020), STEAM-Based Learning Through Magnetic Book : Eff orts to Introduce Science Inquiry for Early Children, 417(Icesre 2019), pp. 167–170.

Page 66: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

8 Peran Teknologi dalam Pembelajaran Anak Usia Dini di Indonesia:Peluang dan Tantangan

Dita Puji Rahayu

Universitas Pendidikan Indonesia

Indonesia Indonesia

124 125Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Rutanen, N. et al. (2019) The First 1000 Days of Early Childhood Becoming. Singapore: Springer.

Saudah (2015), Lintas Sejarah dan Ragam Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (Formal, Non Formal, Informal), Journal Edukasi AUD, 1(1), pp. 1–30.

Shatunova, O. et al. (2019), Journal of Social Studies Education Research STEAM as an Innovative Educational Technology, Journal of Social Studies Education Research, 10(2), pp. 131–144.

Shirey, K. (2018), Breaking the silos of discipline for integrated student learning: a global STEM course’s curriculum development, 4(2), pp. 170–174. doi: 10.1016/j.eng.2018.03.006.

Sobiatin, E. et al. (2020), The integration of Palembang ’ s local potential in natural science learning materials The integration of Palembang ’ s local potential in natural science learning materials, Journal of physics : Conference series, 1440, pp. 1–13. doi: 10.1088/1742-6596/1440/1/012106.

Sochacka, N. W., Guyotte, K. W. and Walther, J. (2016), Learning Together: A Collaborative Autoethnographic Exploration of STEAM (STEM + the Arts) Education, Journal of Engineering Education, 105(1), pp. 15–42.

Stem, W. (2017) Psychology of early Childhood. 16’th. New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Sullivan, A. and Bers, M. U. (2018), Dancing robots: integrating art, music, and robotics in Singapore’s early childhood centers, International Journal of Technology and Design Education. Springer Netherlands, 28(2), pp. 325–346. doi: 10.1007/s10798-017-9397-0.

Sureeporn Sawangmek (2019), Trends and Issues on STEM and STEAM Education in Early Childhood, KÉPZÉS ÉS GYAKORLAT, 17(3–4), pp. 23–32. doi: 10.17165/TP.2019.3.

Swe, M. and Shaljan, K. (2019) STEAM Education. Awitzerland: Springer.

Tabi, A. (2019), Implementation of STEAM Method ( Science , Technology , Engineering , Arts And Mathematics ) for Early Childhood Developing in Kindergarten Mutiara Paradise Pekalongan, Early Childhood Education Journal, 2 (1), pp. 36-49.

Taylor, P. C. (2016), Why is a STEAM curriculum perspective crucial to the 21st century ? Australian Curriculum : Science, in 14th Annual conference of the Australian Council for Educational Research. Brisbane: Murdoch University, pp. 89–93.

Abstrak

Tujuan dari penulisan ar kel ini adalah untuk mengkaji peran teknologi dalam pembelajaran anak usia dini. Saat ini, sebagian besar anak usia dini sudah terpapar, mengenal dan menggunakan teknologi, khususnya smartphone, dalam kegiatan bermain sehari-hari. Agar penggunaan smartphone bisa bermanfaat terhadap perkembangan anak, diperlukan berbagai langkah baik dan tepat. Sementara itu, kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang telah disusun pemerintah membuka peluang penggunaan teknologi pada pembelajaran anak. Berdasarkan kajian terhadap berbagai literatur dan peneli an kontemporer di berbagai negara, ditemukan bahwa penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak usia dini dipengaruhi oleh kemampuan guru dan sikap anak terhadap teknologi. Manfaat teknologi dalam pembelajaran anak usia dini adalah untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi, berkolaborasi, berkreasi, dan literasi. Meskipun demikian, guru dan orang tua memiliki peran pen ng dalam memberikan kendali dan batasan penggunaan teknologi.

Kata kunci: teknologi; pembelajaran; anak usia dini; pendidikan anak usia dini

Vidergor, H. E., Givon, M. and Mendel, E. (2019), Promoting future thinking in elementary and middle school applying the Multidimensional Curriculum Model, Thinking Skills and Creativity. Elsevier Ltd, 31, pp. 19–30. doi: 10.1016/j.tsc.2018.10.001.

Vinu, P. V, Sherimon, P. C. and Krishnan, R. (2011), Towards pervasive mobile learning – the vision of 21 st century, Procedia Social and Behavioral Sciences, 15, pp. 3067–3073. doi: 10.1016/j.sbspro.2011.04.247.

Wandari, G. A., Wijaya, A. F. C. and Agustin, R. R. (2018), The Eff ect of STEAM-based Learning on Students’ Concept Mastery and Creativity in Learning Light And Optics, Journal of Science Learning, 2(1), p. 26. doi: 10.17509/jsl.v2i1.12878.

Wang, X., Xu, W. and Guo, L. (2018), The status quo and ways of STEAM education promoting China’s future social sustainable development, Sustainability (Switzerland). MDPI AG, 10(12), p. 4417. doi: 10.3390/su10124417.

Weatherly, L., Oleson, V. and Kistner, L. R. (2017), Over the Fence: Engaging Preschoolers and Families in a Yearlong STEAM Investigation, National Association for the Education of Young Children, 72(5), pp. 44–50.

Welch, G. F. (2011), The arts and humanities , technology and the “ English Baccalaureate, Journal of Music, Technology and Education, 4(2), pp. 245–250. doi: 10.1386/jmte.4.2-3.245.

World Economic Forum (2015) New Vision for Education Unlocking the Potential of Technology. Geneva.

Yakman, G. (2018), Exploring the Exemplary STEAM Education in the U . S . as a Practical Educational Framework for Korea, J Korea Assoc. Sci. Edu, 32(August), pp. 1072–1086. doi: 10.14697/jkase.2012.32.6.1072.

Zsolt, L. et al. (2019), Mathematics Learning Through Arts, Technology and Robotics: Multi- and Transdiscpilinary Steam Approaches’, 8th ICMI-East Asia Regional Conference on Mathematics Education, 2, pp. 325–338. doi: 10.1007/978-3-030-36691-9.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini124

Page 67: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

126 127Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Latar BelakangPenggunaan teknologi dalam pembelajaran

anak usia dini memiliki berbagai kontroversi. Beberapa peneli memandang bahwa teknologi menjadi ancaman terhadap kegiatan belajar dan perkembangan mental anak (Cordes & Miller, 2000). Dalam pandangannya, frekuensi dan intensitas yang berlebihan dalam melihat layar gadget dapat menyebabkan gangguan pada indra anak, di mana anak akan cenderung sulit berkonsentrasi dalam waktu tertentu, utamanya ke ka dia dak memegang gadget dan kurang memperha kan orang di sekitarnya. Selain itu, penggunaan teknologi yang berlebih juga disinyalir dapat mengakibatkan gangguan perkembangan kerangka otot dan daya visual anak. Paparan berlebih terhadap teknologi juga dapat melemahkan kemampuan literasi, menurunkan imajinasi, dan meminimalisir interaksi sosial anak.

Selain memiliki dampak nega f, penggunaan teknologi juga memiliki dampak posi f bagi anak. Dampak posi f dari penggunaan teknologi antara lain adalah menjadikan pembelajaran berpusat pada anak (Blackwell dkk., 2013), meningkatkan mo vasi dan kemampuan literasi digital (Lindahl, M. G., & Folkesson, A, 2012), dan mengembangkan kemampuan sosial melalui kolaborasi dan membantu anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus (Muligan, S.A, 2003). Meskipun penggunaan teknologi pada anak usia dini masih menjadi kontroversi, sebagian besar anak usia dini di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya dewasa ini telah mengenal dan menggunakan teknologi, baik secara mandiri maupun didampingi orang tua.

Berbagai survei tentang penggunaan teknologi pada anak usia dini telah dilakukan oleh berbagai lembaga. Survei yang dilakukan oleh Uswitch menunjukkan bahwa lebih dari 25% anak-anak di seluruh dunia mempunyai gadget sebelum berusia delapan tahun. Dalam

hal ini, satu dari ga anak mulai menggunakan smartphone ke ka berumur ga tahun, sedangkan satu dari 10 anak menggunakan gadget pada usia dua tahun (Murdaningsih & Faqih, 2014). Survei yang dilakukan oleh Common Sense Media di Amerika Serikat menunjukkan bahwa, sejak usia 4 tahun, anak-anak sudah mempunyai dan menggunakan smarthphone sendiri tanpa diawasi oleh orang tua.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Louis (2015), biasanya 25% orang tua meninggalkan anaknya menggunakan gadget sendiri saat mau dur, 33% orang tua mengaku anaknya yang

berusia ga sampai empat tahun menggunakan lebih dari satu smartphone, 42% mengaku anaknya yang berusia satu tahun cenderung menggunakan gadget untuk bermain game, menonton video, dan bermain aplikasi, 70% orang tua mengaku mengizinkan anaknya yang berusia enam bulan sampai empat tahun bermain smartphone ke ka mereka sedang mengerjakan pekerjaan rumah, dan 65% orang tua melakukan hal yang sama untuk menenangkan anak saat berada di tempat umum. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa banyak orang tua belum begitu memiliki kesadaran tentang batas penggunaan teknologi pada anak usia dini. Padahal, penggunaan teknologi pada anak usia dini harus dibatasi.

The Asian Parent Insight bersama Samsung Kids me melalui Mobile Device Usage Among Young Kids melakukan survei pada 500 orang tua di Indonesia, dan menghasilkan beberapa temuan, yaitu: 1) 98% orang tua memperbolehkan anaknya menggunakan smartphone/tablet; 2) orang tua yang memperbolehkan anaknya menggunakan smartphone/tablet untuk keperluan edukasi sebesar 80%, untuk hiburan sebesar 57%, dan untuk membuat anak tenang sebesar 55%; 3) harapan orang tua terhadap penggunaan smartphone/tablet pada anak untuk aplikasi pendidikan sebesar 81% dan

85% untuk aplikasi buku; 4) kenyataannya 72% penggunaan smartphone/tablet oleh anak adalah untuk bermain game, 57% untuk aplikasi pendidikan, dan 14% untuk aplikasi buku; 5) orang tua menyatakan bahwa 99% anak mereka memainkan gadget di rumah, dan 17% saat berada di sekolah.

Wulandari (2016) menunjukkan bahwa waktu maksimal anak-anak usia 3-7 tahun untuk memainkan gadget adalah satu jam se ap hari. Menurut Wulandari (2016), usia op mal untuk memperkenalkan gadget adalah di atas dua sampai ga tahun, karena di usia ini anak sangat memerlukan kegiatan untuk mengembangkan ak vitas fi sik dan interaksi sosial. Keterampilan sosial merupakan kebutuhan mendasar anak agar dapat menghadapi berbagai situasi yang terjadi di sekitarnya dan di masa yang akan datang (Poerwa & Cahaya, 2018). Akan tetapi, penggunaan gadget pada anak usia dini harus didampingi oleh orang tua agar bisa terkontrol. Apabila dak, penggunaan gadget berlebihan dapat mengganggu kondisi kesehatan anak (Wulandari, 2016).

Orang tua yang memberikan gadget kepada anak sebenarnya memiliki harapan agar anak memiliki peningkatan mo vasi dalam belajar. Apabila anak memiliki mo vasi yang nggi untuk mempelajari sesuatu, maka anak tersebut dapat menyerap dan memahami materi dengan baik (Aulina, 2018). Namun demikian, hadirnya teknologi digital di kalangan anak usia dini tentu menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, ar kel ini membahas bagaimana peran teknologi dalam pembelajaran anak anak usia dini, dan bagaimana menggunakan teknologi secara bijak untuk membantu proses perkembangan dan persiapan anak dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Ar kel ini diharapkan dapat memberikan pesan kepada guru dan orang tua agar waspada dan memper mbangkan dampak posi f dan nega f penggunaan teknologi bagi anak.

Kemungkinan Penggunaan Teknologi bagi Anak Usia Dini

Teknologi dapat didefi nisikan sebagai segala sesuatu yang memungkinkan kita untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan peralatan elektronik (Siraj-Blatchford & Siraj-Blatchford, 2003). Teknologi jenisnya bermacam-macam, seper komputer, kamera digital, so ware (perangkat lunak), alat krea vitas dan komunikasi, internet, telepon, faksimilé, permainan komputer, mainan yang dapat diprogram, video konferensi, papan tulis elektronik, dan lain-lain. Selain bisa digunakan untuk bermain, teknologi juga dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan anak.

Menurut Kalas (2010), teknologi memiliki beberapa fungsi bagi anak usia dini, yaitu pertama, menambah kegiatan bermain. Dalam hal ini, anak bisa menggunakan teknologi untuk bermain peran sambil mempelajari kosakata yang benar dan belajar dengan menggunakan berbagai bentuk teknologi. Kedua, teknologi dapat mengembangkan kemampuan bahasa dan matema ka anak. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mencocokkan kata dan gambar melalui so ware atau program ramah anak. Ke ga, teknologi mampu mempercepat kemampuan anak dalam mempelajari budaya atau bahasa asing. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mencocokkan gambar yang berkaitan dengan budaya dan bahasa dari berbagai latar belakang. Keempat, teknologi mampu mela h interaksi sosial anak. Hal ini dapat dilakukan ke ka anak saling memberikan komentar terhadap pekerjaan temannya, baik di dalam maupun di luar kelas. Kelima, teknologi dapat meningkatkan mo vasi anak dalam belajar. Hal ini dapat terjadi, karena berbagai fi tur dan warna menarik yang ada pada teknologi mebuat anak menjadi lebih semangat dalam belajar sehingga mampu mengembangkan kemampuannya secara op mal.

Page 68: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

128 129Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Menurut Plowman & Stephen (2005), penggunaan teknologi dapat mengakibatkan pembelajaran di lembaga-lembaga anak usia dini menjadi lebih berpusat pada anak (students centered). Ar nya, anak bisa secara ak f belajar, dak hanya pasif mendengarkan guru saja. Anak

bisa lebih mengeksplorasi berbagai kemampuan yang dimilikinya melalui penggunaan teknologi. Hal ini dapat terjadi, karena anak bisa mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru melalui teknologi yang dimilki. Dalam hal ini, guru hanya perlu mengobservasi anak untuk menghidari sikap-sikap kurang baik.

Berbagai peneli an menunjukkan pengaruh posi f penggunaan teknologi pada perkembangan anak. Meskipun demikian, guru masih memiliki kekhawa ran akan pengaruh buruk penggunaan teknologi dalam kegiatan pembelajaran. Ke ka anak dibiarkan bebas menggunakan teknologi tanpa adanya pengawasan dari guru, maka anak kehilangan kendali dalam membuka berbagai akses informasi yang dak selamanya baik. Hal ini mengimplikasikan bahwa pengawasan guru merupakan elemen pen ng dari penggunaan teknologi agar mampu mengop malkan kemampuan krea vitas anak (Terreni, 2010).

Penggunaan Teknologi dan Aplikasi dalam Pembelajaran Anak Usia Dini

Apa yang ada dibenak Anda saat mendengar kata teknologi? Apakah smartphone, komputer, laptop atau ke ganya atau yang lainnya? Selanjutnya apa yang ada dibenak Anda saat mendengar kata aplikasi? Apakah game, YouTube, Facebook, atau ke ganya atau yang lainnya? Sebagian besar dari kita beranggapan bahwa beberapa hal yang telah disebutkan tadi merupakan jenis dari teknologi dan aplikasi. Berbagai peneli an menunjukkan bahwa terdapat teknologi dan aplikasi yang dapat digunakan dalam pembelajaran anak usia dini. Berikut adalah uraian singkat teknologi

dan aplikasi yang dapat digunakan dalam pembelajaran anak usia dini.

Teknologi dalam pembelajaran anak usia dini

Berdasarkan beberapa peneli an yang telah dilakukan, terdapat ga jenis teknologi yang dapat digunakan dalam pembelajaran, yaitu iPad, tablet, dan komputer.

iPadiPad merupakan salah satu jenis

teknologi yang sudah banyak diteli dalam pembelajaran anak usia dini. Peneli an yang dilakukan oleh Dash & Habeeb (2020) menunjukkan bahwa iPad mampu mengembangkan kolaborasi dan keterlibatan peserta didik selama pembelajaran. Selain itu, peneli an yang dilakukan oleh Cou nho dkk. (2017) menemukan bahwa iPad juga mampu meningkatkan kemampuan motorik anak penyandang disabilitas. Penggunaan iPad pada anak usia dini didasari adanya mo vasi memainkan permainan yang di dalamnya berisi pelajaran (Sulaymani dkk., 2018). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan iPad mampu digunakan dalam pembelajaran anak usia dini. Meskipun demikian, di jurnal bereputasi Q1 dan Q2 belum ditemukan peneli an yang dilaksanakan di Indonesia mengenai penggunaan iPad pada pembelajaran anak usia dini. Padahal peneli an mengenai penggunaan iPad pada pembelajaran anak usia dini di berbagai negara seper Arab Saudi (Sulaymani dkk, 2018) dan Kanada (Cou nho, 2017) sudah ditemukan di jurnal bereputasi Q1 dan Q2.

Tablet Banyak peneli telah melakukan kajian

tentang penggunaan tablet dalam pendidikan anak usia dini (Souto dkk., 2020; Lin dkk., 2017; Leslie dkk., 2010). Penggunaan tablet dalam pembelajaran mampu mengembangkan kemampuan motorik anak (Suoto dkk., 2020;

Lin dkk., 2017) dan meningkatkan peran anak dalam belajar (Leslie dkk., 2010). Lebih lanjut Souto dkk. (2020) menjelaskan bahwasanya penggunaan tablet sebaiknya didampingi oleh orang tua dan dak diperbolehkan terlalu lama. Hal ini menunjukkan bahwa tablet dapat digunakan dalam pembelajaran anak usia dini, tapi diperlukan bimbingan dari orang tua ataupun orang yang lebih mengetahui bagaimana menggunakan tablet dengan anak usia dini secara baik dan benar. Meskipun demikian, di jurnal bereputasi Q1 dan Q2 lagi-lagi belum ditemukan peneli an yang dilaksanakan di Indonesia mengenai penggunaan tablet pada pembelajaran anak usia dini. Padahal peneli an mengenai penggunaan tablet pada pembelajaran anak usia dini di berbagai negara seper Brazil (Souto dkk., 2020); Taiwan (Lin dkk., 2017); dan Amerika Serikat (Leslie dkk., 2010) sudah dupublikasikan dalam jurnal bereputasi Q1 dan Q2.

Komputer Peneli di berbagai negara telah

melakukan kajian penggunaan komputer dalam pembelajaran anak usia dini. Peneli an yang dilakukan oleh Bose (2005) di Bostwana menunjukkan bahwa penggunaan komputer mampu meningkatkan berbagai aspek perkembangan seper kogni f, sosial, emo onal, bahasa, dan motorik. Al-Awidi & Ismail (2014) menyatakan bahwa penggunaan komputer dalam pembelajaran mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi. Hal ini menunjukkan bahwa komputer juga dapat digunakan dalam pembelajaran anak usia dini. Meskipun demikian, di jurnal bereputasi Q1 dan Q2 kembali belum ditemukan peneli an mengenai penggunaan tablet pada pembelajaran anak usia dini yang dilaksanakan di Indonesia.

Peneli an tentang penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak usia dini di Indonesia ditemukan dalam beberapa jurnal nasional berbahasa Indonesia. Berdasarkan peneli an yang ada, penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak usia dini dinilai kurang efek f, karena terkendala pedagogi, teknologi, dan ekonomi (Nurkolis, 2020). Selain itu, penggunaan teknologi pada pembelajaran anak usia dini berpotensi menjadikan anak dak bermain dengan teman-temannya (Pebriana, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara peneli an penggunaan teknologi yang dilakukan di Indonesia dan di luar negeri.

Aplikasi untuk pembelajaran anak usia dini

Para peneli di berbagai negara telah melakukan studi tentang penggunaan aplikasi dalam pembelajaran anak usia dini. Berikut adalah uraian singkat tentang aplikasi tersebut.

Media sosialPeneli an yang dilakukan oleh

Alkhayat dkk. (2020) menunjukkan bahwa penggunaan sosial media seper YouTube, Instagram, WhatshApp, dan twi er mampu meningkatkan ak vitas pembelajaran, komunikasi dengan orang tua, dan membagikan ak vitas di kelas. Meskipun demikian, Alkhayat dkk. (2020) merasa khawa r apabila ada peserta didik mengakses konten yang mengandung unsur nega f. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial mampu dijadikan aplikasi dalam pembelajaran anak usia dini. Namun demikian, untuk menghindari hal-hal yang dak diinginkan, penggunaannya harus didampingi oleh orang yang lebih memahami penggunaan media sosial secara bijak (Souto, 2020).

Page 69: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

130 131Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Electronic book (e-book)Peneli an yang dilakukan oleh Barnyak

dkk. (2016) menunjukkan bahwa penggunaan e-book mampu meningkatkan kemampuan literasi dan mo vasi siswa. Selain itu de Jong & Bus. (2004) menunjukkan peserta didik lebih memahami isi cerita yang disajikan menggunakan e-book. Setelah mengenal e-book, anak-anak termo vasi mengunduh e-book yang disukai untuk dibaca (Meynard, 2010). Pada kegiatan sehari-hari, anak-anak lebih senang membaca menggunakan e-book dibandingkan buku cetak (Meynard, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa e-book merupakan salah satu aplikasi yang dapat menjadi sangat bermanfaat apabila digunakan dalam pembelajaran anak usia dini.

Video modelling (VM)Peneli an tentang penggunaan VM

dalam pembelajaran anak usia dini telah dilakukan oleh beberapa peneli . Peneli an yang dilakukan oleh Obrusnikova & Cavalier (2018) menunjukkan bahwa penggunaan video modelling mampu meningkatkan kemampuan motorik siswa. VM menjadikan pembelajaran lebih efi sien. Mechling & Chaling (2012) menyatakan bahwa VM dapat membantu anak usia dini memahami gerakan motorik melalui pengulangan dengan petunjuk visual. Anak-anak menjadi lebih tertarik dalam menonton video (Charlop-Christy dkk., 2000). Paterson & Acro (2007) menyatakan bahwasanya VM mampu diberikan di luar jam sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa VM dapat digunakan dalam pembelajaran anak usia dini. Memang peneli an mengenai penggunaan VM baru dilakukan di luar negeri, belum pernah dilakukan di Indonesia. Meskipun demikian, para pendidik anak usia dini di Indonesia berpotensi menggunakan aplikasi VM dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan karena para pendidik anak usia dini sebagian besar

memiliki teknologi yang bisa digunakan untuk melakukan hal tersebut.

Berdasarkan pemaparan mengenai penggunaan teknologi dan aplikasi dalam pembelajaran anak usia dini dapat diketahui bahwasanya peneli an mengenai penggunaan teknologi dan aplikasi dalam pembelajaran anak usia dini di Indonesia masih sedikit, dan hasilnya belum terlalu efe f jika dibandingkan dengan yang diperoleh di luar negeri. Meskipun demikian, penggunaan teknologi dan aplikasi pada pembelajaran anak usia dini di Indonesia bukan berar dak bisa dilakukan. Para pendidik anak usia dini di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam menggunakan aplikasi dalam pembelajaran. Hal ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh The Asian Parent Insight bersama Samsung Kids me melalui Mobile Device Usage Among Young Kids yang menemukan bahwa anak usia dini di Indonesia saat ini sudah banyak menggunakan teknologi dan aplikasi dalam kegiatan sehari-harinya. Oleh sebab itu, agar penggunaan teknologi dan aplikasi pada anak usia dini lebih bermanfaat, sebaiknya para pendidik menggunakan teknologi dan aplikasi dalam melaksanakan pembelajaran.

Keterkaitan Kurikulum Anak Usia Dini dengan Penggunaan Teknologi

Kurikulum anak usia dini yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Permendikbud No. 146/2014 berupaya mengembangkan berbagai aspek tumbuh kembang anak, termasuk di antaranya moral dan nilai-nilai agama, fi sik/motorik, kogni f, sosial emosional dan kemandirian, bahasa, dan seni. Ketujuh aspek tersebut dijadikan muatan dalam pembelajaran anak usia dini. Program pembelajaran yang mengajarkan aspek-aspek tersebut antara lain adalah pembelajaran agama dan akhlak mulia, sosial dan kepribadian, pengetahuan dan teknologi, este ka, jasmani, olahraga dan kesehatan.

Pelaksanaan pembelajaran anak usia dini pada banyak lembaga PAUD di Indonesia selama ini dilakukan secara konvensional tanpa memanfaatkan teknologi (Putri, 2019; Saripudin, 2017). Pembelajaran umumnya menggunakan benda-benda ramah anak, seper buku, pensil warna, bola, dan lain-lain. Namun demikian, berbagai peneli an tentang penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak usia dini dalam ar kel ini menunjukkan bahwa, meskipun harus dibatasi, teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan berbagai kemampuan anak usia dini (Dhas & Kautsar, 2020; Sulaymani dkk., 2018; Cou nho, 2017; dan Vaughan, 2016). Dalam koridor ini, guru anak usia dini diharapkan dapat memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran dan pengajaran di satuan pendidikan masing-masing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai bagaimana teknologi dapat diintegrasikan dalam berbagai program pembelajaran.

Program pembelajaran agama dan akhlak mulia mencakup peningkatan potensi spiritual anak melalui pemberian contoh dari pengalaman guru agar menjadi kebiasaan sehari-hari, baik di dalam maupun di satuan pendidikan. Pada program ini, guru bisa memanfaatkan teknologi melalui kerja sama dengan orang tua (Alkhayat dkk., 2020). Dalam hal ini, teknologi berfungsi untuk menambah pengetahuan, pemahaman konsep, kemampuan, dan keterampilan anak dalam beragama dan berakhlak mulia. Meskipun demikian, penggunaan teknologi tetap harus diawasi oleh orang tua. Dewasa ini, terdapat banyak program yang dengan sangat mudah dapat diakses oleh anak, dengan bantuan orang tua, seper Youtube dan so ware media pembelajaran lainnya seper google classroom dan edmodo, atau yang dikenal dengan learning management system. Dengan demikian, anak menjadi lebih paham tentang konsep bagaimana beragama dan berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadikan kemampuan

anak kian berkembang, dan anak menjadi lebih terampil dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dianjurkan agama.

Program pembelajaran sosial dan kepribadian melipu pembentukan kesadaran dan wawasan anak atas hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat, dan pemahaman terhadap diri dan peningkatan kualitas diri sebagai manusia sehingga menjadi individu yang percaya diri. Peran teknologi dalam program pembelajaran sosial dan kepribadian adalah untuk mengembangkan sikap dan interaksi sosial anak.

Program pembelajaran pengetahuan dan teknologi mencakup persiapan anak secara akademik untuk memasuki jenjang pendidikan dasar. Penekanan dalam program ini adalah pada penyiapan kemampuan berkomunikasi dan berlogika melalui berbicara, mendengarkan, pra-membaca, pra-menulis dan pra-berhitung yang harus dilaksanakan secara ha -ha , dak memaksa, dan menyenangkan sehingga

anak menyukai belajar. Peran teknologi dalam program pembelajaran pengetahuan dan teknologi adalah untuk meningkatkan mo vasi anak dalam memahami pengetahuan, mempelajari teknologi, dan mengenalkan literasi digital (Barnyak dkk., 2016).

Program pembelajaran este ka bertujuan untuk meningkatkan sensi vitas, kemampuan mengekspresikan diri dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni yang terwujud dalam ngkah laku keseharian. Peran teknologi dalam program pembelajaran este ka adalah untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengekspresikan diri dalam bersikap dalam keseharian (Arno , 2016).

Program pembelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan melipu upaya meningkatkan potensi fi sik, menanamkan spor vitas, dan menumbuhkan kesadaran hidup sehat dan bersih. Dalam program ini, teknologi berperan

Page 70: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

132 133Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

dalam meningkatkan mo vasi anak dalam belajar dan meningkatkan kemampuan motoric (Obrusnikova & Cavalier, 2018). Hal ini dapat terjadi pada anak dengan berbagai kondisi. Integrasi teknologi dalam program ini juga dapat menjadikan anak lebih termo vasi untuk berolahraga. Salah satu jenis olahraga yang bisa diajarkan dengan menggunakan teknologi di antaranya adalah senam. Guru bisa memanfaatkan teknologi untuk mengajarkan senam. Selain itu, guru juga bisa memberikan ak vitas tambahan lainnya yang bisa dilakukan anak secara mandiri.

Manfaat Teknologi bagi Pembelajaran Anak Usia Dini

Teknologi memiliki berbagai manfaat bagi pembelajaran anak usia dini. Merujuk pada berbagai peneli an, peran utama teknologi dalam pembelajaran anak adalah untuk menjadikan pembelajaran interak f dan kolabora f, mengembangkan krea vitas, mengembangkan kemampuan literasi, dan menngenalkan literasi digital.

Teknologi digital mampu menjadikan pembelajaran interak f dan kolabora fSalah satu manfaat teknologi adalah mengembangkan kemampuan anak untuk berinteraksi dan berkolaborasi melalui pembelajaran. Kegiatan pembelajaran interak f dan kolabora f merupakan hal yang sangat pen ng untuk dilakukan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan dan memanfaatkan teknologi dalam kegiatan permainan. Bermain merupakan hal yang sangat pen ng dalam perkembangan anak (Hinske dkk., 2008). Permainan eduka f merupakan hal yang sangat baik untuk diajarkan kepada anak. Permainan eduka f melipu puzzle, fl ash card, dan match card untuk mengenalkan anak usia 5-6 tahun pada binatang, buah-buahan, sayuran, kendaraan, benda-benda, jenis pekerjaan, warna, angka,

dan bentuk (Yilmaz, 2016). Bentuk teknologi yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pembelajaran yang interak f dan kolabora f di antaranya Augmented Reality dan Interac ve Whiteboard.

Menurut Azuma (1997), Augmented Reality atau yang biasa disebut dengan AR, merupakan aplikasi yang mampu mengombinasikan kegiatan nyata, kegiatan virtual, dan ga dimensi. Kombinasi dari ke ga hal tersebut sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. Selain itu, memberikan pengalaman, membentuk sikap, dan meningkatkan imajinasi anak merupakan hal-hal yang sangat pen ng bagi perkembangan anak (Klemenovi_c, 2014). Berbagai peneli an menunjukkan bahwa AR memiliki beberapa manfaat bagi pembelajaran, di anataranya: meningkatkan perha an, menyediakan pembelajaran yang efek f dan menarik, meningktakan mo vasi, memfasilitasi pembelajaran, meningkatkan keterlibatan anak, dan mengembangkan imajinasi.

Bentuk teknologi selain AR yang mampu digunakan untuk melaksanakan pembelajaran secara interak f dan kolabora f adalah Interac ve Whiteboard atau disingkat dengan IW. Menurut Morgan (2010), IW merupakan suatu aplikasi layar lebar pada komputer yang dapat disentuh untuk dioperasikan secara langsung menggunakan jari ataupun bolpoin. Aplikasi ini mampu digunakan untuk menulis, mengedit gambar, atau pun menyimpannya. IW mampu digunakan untuk meningkatkan interaksi dan kolaborasi anak, dan menawarkan kemudahan menggunakan dan mengakses informasi.

Peneli an Mar n dkk. (2019) menun juk-kan bahwa penggunaan IW dapat me-ngem bangkan kemampuan anak dalam berkolaborasi untuk menyelesaikan masa-

lah. IW memungkinkan beberapa anak untuk melakukan kegiatan yang sama, dan mendorong mereka untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya. Misalnya, ke ka mereka membahas suatu persolan dan apabila ada temannya yang belum mengetahui solusinya, mereka dengan senang ha membantu temannya. Dengan demikian, IW sangat bermanfaat mela h kemampuan kolaborasi siswa. Menurut Wong dkk. (2012), terdapat beberapa manfaat penggunaan IW dalam pembelajaran anak, yaitu: (a) meningkatkan kemampuan berinteraksi sehingga terjadi pembelajaran ak f; (b) mengembangkan kemampuan kolaborasi; dan, (c) mengembangkan ketrampilan motorik.

IW memiliki beberapa keunggulan dibandingkan teknologi lainnya. IW dapat menyajikan beraneka macam warna yang dapat digerakkan dan dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan efek vitas dan efi siensi pembelajaran tentang pengenalan warna. IW juga mampu menyajikan berbagai macam informasi dan konten yang lebih nyata sehingga lebih mudah dipahami anak (Levy, 2002). IW juga dapat memberikan guru akses terhadap berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan anak. Selain itu, Mar n dkk. (2019) menemukan bahwa IW mampu meningkatkan kemampuan anak untuk berkolaborasi dan peduli antarsesama.

Penggunaan IW dalam kegiatan pembelajaran mampu memberikan kebebasan kepada anak untuk berada di mana saja sehingga pemebelajaran daj terpaku pada ruang dan tempat tertentu. Anak bisa berada di mana saja sesuai dengan kenyamanannya. Hal ini dimungkinkan apabila alat teknologi (contoh: tablet) terhubung dengan internet. Hal ini mengimplikasikan bahwa teknologi mampu menciptakan pembelajaran di mana pun dan kapan pun. Anak mampu menggunakan

IW dengan waktu yang dak terlalu lama. Menurut Mar n dkk. (2019), apabila memeroleh bimibingan orang dewasa, anak memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk menggunakan teknologi, dan butuh waktu 20 menit apabila melakukannya secara mandiri.

Teknologi digital dapat mengembangkan krea vitas anakTeknologi digital dapat digunakan untuk mengembangkan krea vitas anak melalui kegiatan belajar sambal bermain. Permainan dapat mens mulus imajinasi layaknya permainan fi sik yang berkaitan dengan karakter dan narasi yang ada di video game atau dunia virtual (Marsh, 2014). Permainan dan krea vitas memiliki keterkaitan. Dalam pandangan Vygotsky (2004), permainan merupakan hal yang sangat pen ng dalam perkembangan anak-anak. Dengan cara bermain, anak memeroleh pengetahuan, pemahaman, pengetahuan dan keterampilan baru. Dengan demikian, anak mampu menikma bermain secara digital dengan berbagai cara. Terdapat berbagai macam bentuk permainan digital, terutama online (dalam jaringan). Ofcom (2017) menunjukkan bahwa satu dari 10 anak usia ga hingga empat tahun bermain game online. Fenomena ini menunjukkan bahwa game online sangat populer dikalangan anak-anak. Apabila digunakan dengan baik, permainan tersebut dapat merangsang krea vitas anak.

Krea vitas dapat diar kan sebagai pemikiran atau perilaku imajina f yang bertujuan dan mengarah pada hasil yang bernilai (Marsh dkk, 2018). Krea vitas ditentukan oleh konteks spesifi k di mana ndakan krea f terjadi. Misalnya, ke ka seorang anak menghasilkan suatu gambar di tablet sesuai dengan tujuan awalnya, hal ini merupakan ndakan krea f. Bermain memungkinkan

anak untuk mengeksplorasi, mengembangkan

Page 71: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

134 135Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

ide, dan membuat sesuatu (Hughes, 2002). Menggabungkan permainan (game) dan bermain memiliki potensi besar untuk meningkatkan krea vitas dan imajinasi anak.

Teknologi mampu mengembangkan kemampuan literasi anakKemampuan literasi merupakan salah satu hal yang sangat pen ng dalam perkembangan anak. Secara umum, literasi pada anak usia dini dipandang sebagai keterampilan kogini f yang melipu keterampilan membaca dan menulis. Menurut Paris (2005), keterampilan ini mencakup keterampilan yang terbatas dan dak terbatas. Contoh keterampilan yang terbatas yaitu pengetahuan huruf, pelafalan huruf, dan bentuk huruf. Keterampilan ini sangat diperlukan, tapi dak dapat sepenuhnya diajarkan dalam

satu waktu. Ar nya, proses pengajaran tentang huruf yang jumlahnya sudah tetap memerlukan rentang waktu tertentu sampai anak-anak memahami dengan baik. Di sisi lain, keterampilan yang dak terbatas adalah keterampilan berbasis makna, seper bahasa lisan, kosakata, dan pemahaman.

Menurut Maureen dkk. (2020), kemampuan membaca dan menulis pada anak usia dini sebagai kemampuan literasi awal terdiri atas empat hal, yaitu: penulisan nama, pengetahuan alfabet, kemampuan mengungkapkan, dan kemampuan memahami huruf dan kata pada tulisan. Keempat hal tersebut dapat diperoleh dengan cara menelaah topik pengembangan literasi sebagai cara mela h kemampuan literasi dasar pada anak usia dini (Bowles dkk., 2014).

Salah satu kemampuan literasi awal anak usia dini adalah kemampuan menuliskan nama. Menurut Dunsmuir & Blatchford (2004), nama anak merupakan kata pertama yang sering dipikirkan dan dituliskan ulang oleh anak. Kemampuan menuliskan

nama merupakan proses perkembangan mental yang dimulai dengan mengenali bentuk-bentuk alfabet, dan melibatkan konsep bentuk huruf, iden fi kasi kata, dan menghasilkan kata (Puranik dkk., 2011), serta pengenalan suara atau fonik (Cardoso-Mar ns dkk., 2011).

Kemampuan literasi awal anak yang kedua adalah pengetahuan tentang huruf. Menurut Powel dkk. (2008), pengetahuan tentang huruf merupakan dasar dari kemampuan literasi. Ar nya, se ap anak dalam waktu yang tepat akan mampu membedakan bentuk dan pengucapan huruf. Guru bisa mengenalkan bentuk-bentuk huruf, tapi dak boleh dipaksakan.

Kesadaran fonologis atau bunyi huruf juga merupakan salah satu kemampuan literasi awal anak. Menurut Demont dan Gombert (1996), kesadaran fonologis merupakan kesadaran yang dimiliki anak terhadap bunyi kata-kata yang diucapkan. Ar nya, anak memahami makna dari kata-kata yang diucapkan, bukan sekadar mendengar dan meniru. Kesadaran fonologis mempengaruhi kemampuan anak pda waktu yang akan datang dalam membaca kata atau pun kalimat. Hal ini sejalan dengan peneli an yang dilakukan oleh Anthony & Francis (2005) yang menemukan bahwas kesadaran fonologis berpengaruh terhadap kemampuan membaca anak. Contoh pengajaran untuk mengembangkan kesadaran fonologis adalah dengan bertanya: “apa huruf pertama dari kata ikan?”.

Kemampuan awal literasi anak tahap terakhir adalah kemampuan memahami bentuk tulisan. Menurut Jus ce & Ezell (2002), kemampuan memahami bentuk tulisan adalah kemampuan yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi huruf. Kemampuan ini berkembang seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Pemahaman dan pengetahuan anak tentang suara dan nama huruf, bentuk huruf, dan kemampuan menulis awal merupakan modal dasar menulis dan membaca. Hal tersebut dapat dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi. Beberapa perangkat teknologi yang bisa digunakan antara lain komputer, smarthphone, iPad dan juga tablet (Storch and Whitehurst, 2002; Whitehurst and Lonigan, 1998). Menurut Huang dkk. (2013), guru dapat menggunakan teknologi untuk mengunggah aplikasi ABC match. Melalui aplikasi ini, anak bisa mengembangkan kemampuan literasinya dengan cara mengenal huruf.

Dewasa ini, banyak anak dengan mudah memiliki akses terhadap teknologi. Akan tetapi, penggunaan teknologi oleh anak sebaiknya didampingi orang tua. Kemampuan anak akan lebih cepat ters mulasi apabila dalam proses pembelajarannya mereka didampingi oleh orang tua, guru atau orang dewasa terdekat lainnya yang lebih berpengalaman (Wood dkk., 1976).

Salah satu temuan teknologi yang mampu mengembangkan kemampuan literasi adalah e-book. Menurut Bus dkk. (2009), e-book merupakan bentuk teknologi yang sering memberikan pengalaman kepada anak-anak sejak usia dini. Saat ini, e-book telah menjadi hal yang sangat pen ng dalam program pembelajaran di kelas (Folle , 2013; Jones & Brown 2011; Yokota & Teale 2014). Selain itu, e-book bisa berisi dialog lisan, membaca secara interak f, dan memuat gambar, serta memiliki penambahan mul media seper suara, animasi dan video yang dapat membantu mendorong kemampuan literasi anak (Medwell, 1996; Morgan, 2013; Schugar dkk., 2013). Dengan banyaknya fi tur yang dimiliki, e-book telah mengubah membaca secara tradisional menjadi modern. Hal ini

bisa dilakukan oleh anak secara mandiri maupun dengan pendampingan orang dewasa (Salmon, 2014).

E-book dapat mendukung perkembangan literasi anak dikarenakan beberapa faktor, antara lain: menyediakan peralatan yang dapat membantu anak membaca, membantu pelafalan, kosakata, dan bahasa, dan memahami cerita (Bus dkk. 2009; Grant, 2004; Medwell, 1998; Morgan, 2013). Selain itu, e-book juga dapat memberikan gambaran animasi mul media dan audio, sehingga dapat membantu anak mengenali dan memahami bahasa dan kosakata (Doty dkk., 2001; Grant 2004; Higgins & Cocks, 1999; Karemaker dkk., 2008; Roskos dkk., 2009; Shamir & Korat 2009).

Pengembangan kosakata merupakan salah satu manfaat dari penggunaan e-book. Meskipun keduanya adalah buku, e-book dan buku tradisional memiliki banyak perbedaan. E-book memiliki fi tur mul media layaknya kamus yang memiliki defi nisi dan animasi. Melalui fi tur ini, e-book dapat membantu anak mengenali kata. Selain itu, adanya feedback langsung saat melihat e-book sangat mendukung perkembangan kosakata anak (Grant, 2004; Medwell, 1998; Shamir & Korat, 2009). Peneli an Medwell (1996) menemukan bahwa anak-anak dapat mengucapkan kata-kata dengan keakuratan nggi ke ka mereka membaca e-book dan didukung oleh guru. Ar nya, guru memiliki peran pen ng dalam membantu peningkatan kosakata anak.

Penggunaan e-book juga mampu mendukung pemahaman siswa. Fitur mul media teks dan gambar pada e-book dapat meningkatkan pemahaman anak terhadap suatu hal, karena fi tur tersebut dapat memberikan makna lebih dan berbeda (Dalton & Proctor 2008; Labbo & Kuhn 2000; Zucker dkk., 2009). Menurut Pearman (2008), banyaknya buku

Page 72: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

136 137Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

cerita mul sensory dalam bentuk CD dapat membantu meningkatkan pemahaman anak akan banyak hal. Pun demikian dengan e-book, karena memiliki banyak feature dan menyediakan ruang bagi bimbingan dari tua (Pearman, 2008). Peneli an yang dilakukan oleh Barnyak (2016) juga menunjukkan bahwa, apabila didampingi orang tua, anak yang memiliki akses terhadap e-book mampu menceritakan kembali cerita nonfi ksi secara lebih rinci. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua sangat berperan pen ng dalam membantu pemahaman bacaan anak.

Pembelajaran menggunakan e-book juga mampu meningkatkan mo vasi anak. Mo vasi merupakan hal yang sangat pen ng untuk meningkatkan minat literasi anak. Guru sangat berperan pen ng dalam meningkatkan minat dan mo vasi anak (Miller, 2012). E-book merupakan media yang sangat menarik untuk meningkatkan mo vasi anak dalam mengenal literasi (Ciampa, 2012b; Jones & Brown, 2011). Melihat e-book bersama antara orang tua dan anak juga dapat meningkatkan mo vasi (Guthrie & Davis 2003). Berbagai peneli an menunjukkan bahwa membacakan cerita dengan menggunakan e-book akan lebih memo vasi anak dibandingkan membacakan cerita dari buku cetak. Mul media interak f, animasi, suara, pencocokan ap kata, dan fi tur ga dimensi meningkatkan keterlibatan dan mo vasi anak dalam melihat e-book (Ciampa, 2012b).

Teknologi mampu mengembangkan kemampuan digital literasi anakKemampuan literasi digital anak dapat dikembangkan melalui penggunaan teknologi. Hal ini bisa dilakukan melalui kegiatan story telling. Menurut Peck (1989), storytelling (bercerita atau mendongeng) merupakan proses di mana seseorang menggunakan suara dan cerita

untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pembelajaran anak usia dini dengan menggunakan metode storytelling dianggap sebagai salah satu cara pengajaran dan pembelajaran yang tepat untuk anak usia dini (Cremin dkk., 2018). Kegiatan story telling dapat memunculkan proses interaksi bahasa (Lucarevschi, 2016), mens mulasi imajinasi, dan melibatkan kemampuan kogni f (Phillips, 2000) yang berpengaruh terhadap proses perkembangan kemampuan literasi anak-anak.

Menurut Lisenbee & Ford (2018), ke ka anak-anak melakukan storytelling, terdapat lima hal yang perlu diperha kan, yaitu pengaturan penyampaian, tema, karakter, plot/alur, dan konfl ik. Apabila kelima hal tersebut diperha kan secara seksama, anak akan memeroleh pemahaman lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa story telling dapat menjadi salah satu strategi yang sangat menarik apabila dilakukan dalam proses pembelajaran. Agar storytelling dapat secara efek f mengembangkan kemampuan literasi anak, Cooper (2005) menyarankan agar guru mengajak anak untuk berinteraksi dan melakukan kegiatan bermain ke ka kegiatan dilaksanakan. Dengan demikian, anak merasa terlibat dan memiliki pengalaman nyata ke ka guru bercerita. Hal ini menunjukkan bahwasanya kegiatan storytelling dapat dijadikan kegiatan yang sangat menyenangkan dan efek f untuk mengembangkan kemampuan literasi anak.

Seiring dengan perkembangan teknologi, ak vitas story telling menjadi lebih menyenangkan dan lebih mampu mengembangkan kemampuan literasi anak, apabila diintegrasikan dengan teknologi digital. Menurut Barber (2016), digital storytelling merupakan kegiatan bercerita yang dilakukan secara lisan menggunakan

audio, gambar, dan berbagai alat digital lainnya. Ar nya, ke ka bercerita, seseorang menggunakan teknologi dengan benar dalam menceritakan suatu kisah. Hal ini dapat menjadikan anak lebih tertarik dan termo vasi untuk memperha kan, memahami, dan menceritakan Kembali suatu kisah (Boerma dkk., 2016). Apabila hal ini dilakukan dengan anak usia dini, maka anak akan terbiasa menggunakan teknologi untuk kegiatan yang sangat bermanfaat dalam proses perkembangannya. Ke ka di rumah, anak bisa menggunakan teknologi dengan lebih baik dan bermanfaat: dak hanya untuk bermain game atau menonton YouTube, tetapi juga untuk melakukan kegiatan digital story telling. Menurut Flewi dkk. (2015), ke ka bermain game di iPad, ia menjadi sangat termo vasi untuk memenangkan permainan. Selain itu, game juga memiliki banyak kosakata, visualisasi dan feedback yang sangat menarik bagi anak kecil. Dengan demikian, anak akan termo vasi untuk mela h kemampuannya secara terus menerus karena sangat menyenangkan.

Peran Guru dan Orang Tua dalam Penggunaan Teknologi pada Pembelajaran Anak Usia Dini

Menurut Anda, bagaimana jadinya penggunaan teknologi pada pembelajaran anak usia dini tanpa didampingi oleh guru dan orang tua? Apakah aman? Atau sebaliknya? Berikut ini uraian singkat mengenai peran guru dan orang tua dalam menggunakan teknologi pada pembelajaran anak usia dini.

Peran guruGuru memiliki peran untuk membantu mengembangkan kemampuan anak melalui kegiatan pembelajaran di ins tusi PAUD (Siraj-Blatchford & Siraj-Blatchford, 2003).

Menurut Fleer (2017), guru berperan memperha kan bagaimana anak terlibat dan menggunakan teknologi dalam pembelajaran ke ka di kelas. Hal ini dilakukan supaya anak menggunakan teknologi di dalam kelas secara bijak. Ar nya, anak hanya membuka konten-konten sesuai dengan arahan guru. Dengan demikian, peran guru sangat pen ng dalam penggunaan teknologi pada pembelajaran anak usia dini.

Peran orang tuaSouto dkk. (2020) menyatakan bahwasanya penggunaan tablet sebaiknya didampingi oleh orang tua. Selain itu, peneli an yang dilakukan oleh Lovato & Waxman (2016) menunjukkan bahwa orang tua sangat dibutuhkan dalam membantu pemahaman anak ke ka belajar di rumah. Lebih lanjut lagi Suoto dkk. (2020) menyatakan bahwa orang tua membantu menunjukkan konten-konten yang baik pada tablet. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki peran yang pen ng dalam penggunaan teknologi pada pembelajaran anak usia dini.

Berdasarkan pemaparan mengenai peran guru dan peran orang tua pada penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak usia dini, dapat diketahui bahwa orang tua dan guru sangat berperan pen ng dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan teknologi pada anak usia dini.

Kesimpulan Teknologi memiliki peran pen ng dalam

kegiatan pembelajaran anak usia dini. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak dipengaruhi oleh kemampuan anak dan guru. Adanya teknologi yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat membantu guru untuk mengop malkan kemampuan anak, sebagaimana digariskan kurikulum pemerintah dan diharapkan orang tua. Kemampuan anak

Page 73: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

138 139Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

yang bisa dikembangkan melalui pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran di antaranya adalah kemampuan berinteraksi dan kolaborasi, kemampuan berkreasi, kemampuan literasi, dan mo vasi anak agar lebih tertarik untuk belajar. Namun demikian, penggunaan teknologi sebaiknya didampingi oleh guru, orang tua atau orang dewasa terderkat lainnya untuk menghindari hal-hal yang dak diinginkan.

Tentang penulis

Dita Puji Rahayu merupakan alumni penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) program magister dalam negeri di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ia ak f menjadi pembicara pada berbagai seminar nasional dan internasional, baik di dalam maupun luar negeri. Pada bulan Oktober 2019, ia diwisuda dari program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan ALam (IPA), UPI dengan predikat Cum Laude.

Da ar Pustaka

Al-Awidi, H. M., & Ismail, S. A. (2014). Teachers’ perceptions of the use of computer assisted language learning to develop children’s reading skills in English as a second language in the United Arab Emirates. Early Childhood Education Journal, 42(1), 29-37.

Alkhayat, L., Ernest, J., & LaChenaye, J. (2020). Exploring Kuwaiti Preservice Early Childhood Teachers’ Beliefs About Using Web 2.0 Technologies. Early Childhood Education Journal, 1-11.

Anthony, J. L., & Francis, D. J. (2005). Development of phonological awareness. Current directions in psychological Science, 14(5), 255-259.

Arnott, L. (2016). An ecological exploration of young children’s digital play: framing children’s social experiences with technologies in early childhood. Early Years, 36(3), 271-288.

Aulina, C. N. (2018). Penerapan Metode Whole Brain Teaching dalam Meningkatkan Motivasi. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2(1), 1–12.

Azuma, R. T. (1997). A survey of augmented reality. Presence: Teleoperators and Virtual Environments, 6(4), 355e385.

Barber, J. F. (2016). Digital storytelling: New opportunities for humanities scholarship and pedagogy. Cogent Arts & Humanities, 3(1), 1181037. https ://doi.org/10.1080/23311 983.2016.11810 37.

Barnyak, N. C., & McNelly, T. A. (2016). The literacy skills and motivation to read of children enrolled in Title I: A comparison of electronic and print nonfi ction books. Early Childhood Education Journal, 44(5), 527-536.

Blackwell, C. K., Lauricella, A. R., Wartella, E., Robb, M., & Schomburg, R. (2013). Adoption and use of technology in early education: The interplay of extrinsic barriers and teacher attitudes. Computers & Education, 69, 310-319.

Boerma, I. E., Mol, S. E., & Jolles, J. (2016). Reading pictures for story comprehension requires mental imagery skills. Frontiers in Psychology, 7, 1630–1630. https ://doi.org/10.3389/fpsyg .2016.01630 .

Bose, K. (2005). Computers in reception schools—A case of Gaborone, Botswana. Early Childhood Education Journal, 33(1), 17-24.

Bowles, R. P., Pentimonti, J. M., Gerde, H. K., & Montroy, J. J. (2014). Item response analysis of uppercase and lowercase letter name knowledge. Journal of Psychoeducational Assessment, 32(2), 146–156. https ://doi.org/10.1177/07342 82913 49026 6.

Bus, A. G., Verhallen, M. J. A. J., & de Jong, M. T. (2009). How onscreen storybooks contribute to early literacy. In A. G. Bus &S. B. Neuman (Eds.), Multimedia and literacy development: Improving achievement for young learners (pp. 153–167). NewYork: Routledge.

Obrusnikova, I., & Cavalier, A. (2018). An evaluation of videomodeling on fundamental motor skill performance of preschool children. Early Childhood Education Journal, 46(3), 287-299.

Cardoso-Martins, C., Mesquita, T. C. L., & Ehri, L. (2011). Letter names and phonological awareness help children to learn letter–sound relations. Journal of Experimental Child Psychology, 109(1),25–38. https ://doi.org/10.1016/j.jecp.2010.12.006.

Charlop-Christy, M. H., Le, L., & Freeman, K. A. (2000). A comparison of video modeling with in vivo modeling for teaching children with autism. Journal of Autism and Developmental Disorders, 30, 537–552.

Ciampa, K. (2012b). Improving grade one students’ reading motivation with online electronic storybooks. Journal of Educational Media and Hypermedia, 21(1), 5–28.

Cooper, P. M. (2005). Literacy learning and pedagogical purpose in Vivian Paley’s ‘storytelling curriculum’. Journal of Early Childhood Literacy, 5(3), 229–251. https ://doi.org/10.1177/14687 9840505868 6

Cordes, C. & Miller, E. (2000). Fool’s gold: A critical look at computers in childhood. College Park, MD: Alliance for Childhood. http://fi les.eric.ed.gov/fulltext/ED445803.pdf (diambil 2 Juli 2020).

Coutinho, F., Bosisio, M. E., Brown, E., Rishikof, S., Skaf, E., Zhang, X., ... & Dahan-Oliel, N. (2017). Eff ectiveness of iPad apps on visual-motor skills among children with special needs between 4y0m–7y11m. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 12(4), 402-410.

Cremin, T., Flewitt, R., Swann, J., Faulkner, D., & Kucirkova, N. (2018). Storytelling and story-acting: Co-construction in action. Journal of Early Childhood Research, 16(1), 3–17. https ://doi.org/10.1177/14767 18x17 75020 5.

Dalton, B., & Proctor, C. P. (2008). The changing landscape of text and comprehension in the age of new literacies. In J. Coiro, M. Knobel, C. Lankshear, D. Leu (Eds.). Handbook of New Literacies. Erlbaum.

Dashti, F. A., & Habeeb, K. M. (2020). Impact of Shared iPads on Kindergarten Students’ Collaboration and Engagement in Visual Storytelling Activities. Early Childhood Education Journal, 1-11.

de Jong, M. T., & Bus, A. G. (2004). The effi cacy of electronic books fostering kindergarten children’s emergent story understanding. Reading Research Quarterly, 39, 378–393.

Demont, E., & Gombert, J. E. (1996). Phonological awareness as a predictor of recoding skills and syntactic awareness as a predictor of comprehension skills. British Journal of Educational Psychology, 66(3), 315–332. https ://doi.org/10.1111/j.2044-8279.1996.tb012 00.x.

Doty, D. E., Popplewell, S. R., & Byers, G. O. (2001). Interactive CD-ROM storybooks and young readers’ reading comprehension. Journal of Research on Computing in Education, 33,374–384.

Dunsmuir, S., & Blatchford, P. (2004). Predictors of writing competence in 4 to 7 year old children. British journal of educational psychology, 74(3), 461-483.

Fleer, M. (2017). Digital role-play: The changing conditions of children’s play in preschool settings. Mind, Culture, and Activity, 24(1), 3-17.

Flewitt, R. S., Messer, D., & Kucirkova, N. (2015). New directions for early literacy in a digital age: the iPad. Journal of Early Childhood Literacy, 15, 289–310.

Follett. (2013). 2013 survey of ebook usage in U.S. school (K-12) libraries. School Library Journal. https://bit.ly/surveyofe-book (diambil 2 Juli 2020)

Grant, J. M. A. (2004). Are electronic books eff ective in teaching young children reading and comprehension? International Journal of Instructional Media, 31(3), 303–308.

Guthrie, J. T., & Davis, M. H. (2003). Motivating struggling readers in middle school through an engagement model of classroom practice. Reading & Writing Quarterly, 19(1), 59–85

Higgins, N. C., & Cocks, P. (1999). The eff ects of animation cues on vocabulary development. Journal of Reading Psychology, 20, 1–10.

Page 74: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

140 141Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Hinske, S., Langheinrich, M., & Lampe, M. (2008, February). Towards guidelines for designing augmented toy environments. In proceedings of the 7th ACM conference on designing interactive systems (pp. 78-87). ACM.

Huang S, Clark N and Wedel W (2013) The use of an iPad to promote preschoolers ’alphabet recognition and letter sound. Practically Primary 18(1): 24–16.

Hughes, B. (2002). A playworker’s taxonomy of play types (2nd ed.) London: PlayLink.

Inan, F. A., and D. L. Lowther. (2010). Factors Aff ecting Technology Integration in K-12 Classrooms: A Path Model. Education Technology Research and Development 58: 137–154.

Jones, T., & Brown, C. (2011). Reading engagement: A comparison between ebooks and traditional print books in an elementary classroom. International Journal of Instruction, 4(2), 5–22.

Justice, L.M., & Ezell, H.K. (2002). Use of storybook reading to increase print awareness in at-risk children. American Journal of Speech-Language Pathology 11, 17-29.

Kalas, I. (2010). Recognizing the Potential of ICT in Early Childhood Education. Moscow: UNESCO Institute for Information Technologies in Education.

Karemaker, A., Pitchford, N. J., & O’Malley, C. (2008). Using wholeword multimedia software to support literacy acquisition: A comparison with traditional books. Educational and Child Psychology, 25(3), 97–118.

Klemenovi_c, J. (2014). How do today’s children play and with which toys? Croatian Journal of Education, 16(1), 181-200.

Kucirkova, N., Littleton, K., & Kyparissiadis, A. (2017). The infl uence of parents’ and children’s gender and age on children’s use of digital media at home. British Journal of Educational Technology, 49, 545–559.

Labbo, L. D., & Kuhn, M. R. (2000). Weaving chains of aff ect and cognition: A young child’s understanding of CD-ROM talking books. Journal of Research, 32, 187–210.

Leslie J. Couse & Dora W. Chen (2010) A Tablet Computer for Young Children? Exploring its Viability for Early Childhood Education, Journal of Research on Technology in Education, 43:1, 75-96, DOI:10.1080/15391523.2010.10782562

Levy, P. (2002). Interactive whiteboards in learning and teaching in two Sheffi eld schools: A developmental study. http://dis.shef.ac.uk/eirg/publ/publ.htm.

Lin, L. Y., Cherng, R. J., & Chen, Y. J. (2017). Eff ect of touch screen tablet use on fi ne motor development of young children. Physical & occupational therapy in pediatrics, 37(5), 457-467.

Lindahl, M. G., & Folkesson, A. (2012). ICT in preschool: Friend or foe? The signifi cance of norms in a changing practice. International Journal of Early Years Education, 20(4), 422- 436. doi:10.1080/09669760.2012.743876

Lisenbee, P. S., & Ford, C. M. (2018). Engaging students in traditional and digital storytelling to make connections between pedagogy and children’s experiences. Early Childhood Education Journal, 46(1), 129-139.

Louis, C. Saint. (2015). Many Children Under 5 Are Left to Their Mobile Devices, Survey Finds. https://bit.ly/childrenunderfi ve (Diambil 2 Juli 2020)

Lovato, S. B., & Waxman, S. R. (2016). Young children learning from touch screens: taking a wider view. Frontiers in Psychology, 7, 1078.

Lucarevschi, C. R. (2016). The role of storytelling on language learning: A literature review. Working Papers of the Linguistics Circle, 26(1), 24-44.

Marsh, J. (2014). Online and offl ine play. In A. Burn & C. Richards (Eds.), Children’s games in the new media age (pp. 109–131). Cambridge: Ashgate.

Marsh, J., Plowman, L., Yamada Rice, D., Bishop, J., Lahmar, J., & Scott, F. (2018). Play and creativity in young children’s use of apps. British Journal of Educational Technology, 49(5), 870-882.

Martín, E., Roldán Alvarez, D., Haya, P. A., FernándezGaullés, C., Guzmán, C., & Quintanar, H. (2019). Impact of using interactive devices in Spanish early childhood education public schools. Journal of Computer Assisted Learning, 35(1), 1-12.

Maureen, I. Y., van der Meij, H., & de Jong, T. (2020). Enhancing Storytelling Activities to Support Early (Digital) Literacy Development in Early Childhood Education. International Journal of Early Childhood, 1-22.

Maynard, S. (2010). The impact of e-books on young children’s reading habits. Publishing Research Quarterly, 26(4), 236-248.

Mechling, L. C., & Collins, S. (2012). Comparison of the eff ects of video models with and without verbal cuing on task completion by young adults with moderate intellectual disabilities. Education and Training in Autism and Developmental Disabilities, 47, 223–235.

Medwell, J. (1996). Talking books and reading. Reading, 30, 41–46.

Medwell, J. (1998). The talking books projects: Some further insights into the use of talking books to develop reading. Reading, 32(1), 3–8.

Miller, D. (2012). Creating a classroom where readers fl ourish. The Reading Teacher, 66(2), 88–92.

Morgan, A. 2010. “Interactive Whiteboards, Interactivity and Play in the Classroom with Children aged Three to Seven Years.” European Early Childhood Education Research Journal 18: 93–104.

Morgan H (2013) Multimodal children’s e-books help young learners in reading. Early Childhood Education Journal 41: 477–483.

Muliadi, A. W. (2017). Batasan Usia Anak dan Pembagian Kelompok Umur Anak. https://bit.ly/batasanusiaanak. (diambil 2 Juli 2020)

Muligan, S.A. (2003). Assistive technology: Supporting the participation of children with disabilities. Young Children, 58(6), 50-51. Retrieved from www.naeyc.org/fi les/yc/fi le/200311/AssistiveTechnology.pdf

Murdaningsih, D., & Faqih, M. (2014). Survei: Jutaan Anak Usia SD Kecanduan Gadget. https://bit.ly/anakkecanduangadget (Diambil 2 Juli 2020)

Nessipbayeva, O. (2019). The competencies of the modern teacher. International Perspectives on Education, 148–154. http://bit.ly/2fRwNoY (diakses pada 1 Juli 2020)

Nurkolis, N., & Muhdi, M. (2020). Keefektivan Kebijakan E-Learning berbasis Sosial Media pada PAUD di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 212-228.

Ofcom. (2017). Children and parents: media use and attitudes report. London: Ofcom. Diakses pada 2 Juli 2020. https://bit.ly/Childrenandparents (diakses pada 2 Juli 2020)

Paris, S. G. (2005). Reinterpreting the development of reading skills. Reading Research Quarterly, 40(2), 184–202. https ://doi.org/10.1598/RRQ.40.2.3.

Pearman, C. (2008). Independent reading of CD-ROM storybooks: Measuring comprehension with oral retellings. The Reading Teacher, 61(8), 594–602.

Pebriana, P. H. (2017). Analisis penggunaan gadget terhadap kemampuan interaksi sosial pada anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 1-11

Peck, J. (1989). Using storytelling to promote language and literacy development. The Reading Teacher,43(2), 138–141.

Paterson, C. R., & Arco, L. (2007). Using video modeling for generalizing toy play in children with autism. Behavior Modifi cation, 31, 660–681.

Phillips, L. (2000). Storytelling—The seeds of children’s creativity. Australian Journal of Early Childhood, 25(3), 1–5.

Plowman, L., and C. Stephen. 2006. Technologies and Learning in Pre-School Education. Paper presented at AERA annual meeting. Education Research in the Public Interest.

Poerwati, C. E., & Cahaya, I. M. E. (2018). Kegiatan Menggambar Berbasis Proyek Dalam Meningkatkan Kemampuan Sosial-Emosional Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2(2), 183–193. https://doi.org/10.31004/obsesi.v2i2.114

Powell, D. R., Diamond, K. E., Bojczyk, K. E., & Gerde, H. K. (2008). Head start teachers’ perspectives on early literacy. Journal of Literacy Research, 40(4), 422–460. https ://doi.org/10.1080/10862 96080 26376 12

Puranik, C. S., Lonigan, C. J., & Kim, Y. S. (2011). Contributions of emergent literacy skills to name writing, letter writing, and spelling in preschool children. Early Childhood Research Quarterly, 26(4), 465–474. https ://doi.org/10.1016/j.ecres q.2011.03.002.

Putri, D. A. P. (2019). Rancang Bangun Media Pembelajaran Bahasa Arab untuk Anak Usia Dini Berbasis Android. Technologia: Jurnal Ilmiah, 10(3), 156-164.

Robson, S. (2014). The ‘Analysing Children’s Creative Thinking Framework’: development of an observation-led approach to identifying and analysing young children’s creative thinking. British Educational Research Journal, 40, 121–134.

Roskos, K., Brueck, J., & Widman, S. (2009). Investigating analytic tools for e-book design in early literacy learning. Journal of Interactive Online Learning 8(3), 218–240. Retrieved from www.ncolr.org/jiol/issues/pdf/8.3.3.pdf.

Page 75: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

9

Kesiapan Kognitif, Konten, dan Strategi

Yusuf Adhitya

Universitas Pendidikan Indonesia,

IndonesiaIndonesia

Pengenalan Matematika pada Anak Usia Dini:

142 143Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Pembelajaran matema ka pada anak usia dini mempunyai peranan pen ng dalam proses pembentukan kemampuan kogni f anak di jenjang selanjutnya. Matema ka bagi anak

usia dini tentu berbeda dengan matema ka secara umum. Dari sudut pandang perkembangan kogni f, anak usia dini belum sepenuhnya matang sehingga belum mampu mengkaji materi matema ka yang rumit. Pembelajaran matema ka menjadi dilema, karena di satu sisi menjadi kebutuhan, namun di sisi lain dapat menjadi ancaman secara kogni f. Pen ng untuk mengintegrasikan konsep matema ka apa saja yang dapat diajarkan dengan dasar perkembangan kogni f. Untuk itu, pembelajaran matema ka di ins tusi PAUD disarankan bersifat realis s, prak s, dan observa f. Ar kel ini membahas bagaimana kesiapan anak usia dini dalam belajar matema ka, pen ngnya pembelajaran matema ka sejak dini, konten matema ka apa saja yang dapat diajarkan pada anak usia dini, dan bagaimana strategi pembelajaran matema ka pada anak usia dini sesuai dengan perkembangan kogni fnya.

Kata Kunci : matema ka; kesiapan kogni f; strategi pembelajaran; anak usia dini.

Salmon, L. G. (2014). Factors that aff ect emergent literacy development when engaging with electronic books. Early Childhood Education Journal, 42, 85–92.

Saripudin, A. (2017). Strategi pengembangan kecerdasan naturalis pada anak usia dini. AWLADY: Jurnal Pendidikan Anak, 3(1).

Schugar, H. R., Smith, C. A., & Schugar, J. T. (2013). Teaching with interactive picture ebooks in grades K-6. The Reading Teacher, 66(8), 615–624.

Shamir, A., & Korat, O. (2009). The educational electronic book as a tool for supporting children’s emergent literacy. In A. G. Bus & S. B. Neuman (Eds.), Multimedia and literacy development: Improving achievement for young learners (pp. 168–181). New York: Routledge.

Siraj-Blatchford, I., and J. Siraj-Blatchford. (2003). More Than Computers: Information and Communication Technology in the Early Years. London: The British Association for Early Childhood Education.

Siraj-Blatchford, I., and J. Siraj-Blatchford. (2000). Children Using ICT: The Seven Principles for Good Practice. Early Childhood – Developmentally Appropriate Technology. London. http://www.datec.org.uk/guidance/DATEC7.pdf

Souto, P. H. S., Santos, J. N., Leite, H. R., Hadders-Algra, M., Guedes, S. C., Nobre, J. N. P., ... & Morais, R. L. D. S. (2020). Tablet use in young children is associated with advanced fi ne motor skills. Journal of Motor Behavior, 52(2), 196-203.

Storch SA and Whitehurst GJ (2002) Oral language and code-related precursors to reading: Evidence from a longitudinal structural model. Developmental Psychology 38(6): 934–947.

Sulaymani, O., Fleer, M., & Chapman, D. (2018). Understanding children’s motives when using iPads in Saudi classrooms: is it for play or for learning?. International Journal of Early Years Education, 26(4), 340-353.

Terreni, L. (2010). Adding New Possibilities for Visual Art Education in Early Childhood Settings: The Potential of Interactive Whiteboards and ICT. Australian Journal of Early Childhood 35: 90–94.

Tondeur, J., M. Valcke, and J. van Braak. (2008). A Multidimensional Approach to Determinants of Computer Use in Primary Education: Teacher and School Characteristics. Journal of Computer Assisted Learning 24: 494–506

Torrance, E. P. (1974). Torrance tests of creative thinking. Benesville, IL: Scholastic Testing Service.

Vaughan, M., & Beers, C. (2017). Using an exploratory professional development initiative to introduce iPads in the early childhood education classroom. Early Childhood Education Journal, 45(3), 321-331.

Vygotsky, L. S. (2004). Imagination and creativity in childhood [M.E. Sharpe, Inc. (Trans.)]. Journal of Russian and East European Psychology, 42, 7–97. (Original work written 1930).

Whitehurst, G. J., & Lonigan, C. J. (1998). Child development and emergent literacy. Child Development, 69(3), 848–872. https ://doi.org/10.1111/j.1467-8624.1998.tb062 47.x.

Wood, D., Bruner, J. S., & Ross, G. (1976). The role of tutoring in problem solving. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 17, 89–100.

Wong, K. T., Russo, S., & McDowall, J. (2012). Understanding early childhood student teachers’ acceptance and use of interactive whiteboard. Campus‐Wide Information Systems, 30(1), 4–16.

Wulandari, P. Y. (2016). Anak Asuhan Gadget. Diambil 2 Juni 2020, dari https://bit.ly/anakasuhangadget

Yilmaz, R. M. (2016). Educational magic toys developed with augmented reality technology for early childhood education. Computers in human behavior, 54, 240-248.

Yokota, J., & Teale, W. H. (2014). Picture books and the digital world: Educators making informed choices. The Reading Teacher, 67(8), 577–585.

Zucker, T. A., Moody, A. J., & McKenna, M. C. (2009). The eff ects of electronic books on prekindergarten-to-grade 5 students’ literacy and language outcomes: A research synthesis. Journal of Educational Computing Research, 40(1), 47–87.

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini142

Page 76: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

144 145Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Latar BelakangPerbincangan mengenai pertumbuhan dan

perkembangan anak pada usia dini selalu menjadi isu menarik untuk dibahas, terutama dalam hal perkembangan kecerdasan dan belajar anak. Menurut Khadijah (2016), ngkat perkembangan kecerdasan anak usia dini dapat mencapai 80%, dan atas dasar ini, kalangan berusaha mempersiapkan dan mengop malkan perkembangan anak sejak usia dini. Fakta ini kian terwujud melalui ngginya animo masyarakat, terutama orang tua, dalam mendorong perkembangan kemampuan dasar seper membaca dan berhitung pada anaknya sejak belia.

Usaha pembinaan anak sejak lahir hingga usia enam tahun lebih sering dikenal dengan is lah Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD. Pada usia nol hingga enam tahun, anak mengalami perkembangan pada banyak aspek hidupnya, mulai dari perkembangan fi sik, mental, psikologi dan tentunya perkembangan kogni f (Wortham, 2006). Perkembangan kogni f atau intelektual ini pula yang menjadi alasan mengapa banyak orang tua lebih peduli terhadap pendidikan anaknya, bahkan dari usia yang sangat belia. PAUD dianggap pen ng karena berfungsi sebagai langkah awal dalam mempersiapkan pembelajaran pada tahap pendidikan selanjutnya (Baroody dkk., 2019; Permendikbud No. 146, 2014).

Masih berkaitan dengan perkembangan kogni f anak, salah satu kemampuan yang menjadi perha an orang tua dan pendidik di banyak satuan PAUD adalah kemampuan matema ka. Berdasarkan peneli an yang dilakukan oleh Clements & Sarama (2013), kemampuan dasar matema ka anak dapat berkembang pesat mulai dari lahir sampai usia lima tahun. Menariknya, perkembangan kogni f juga mencakup perkembangan kemampuan memecahkan masalah dan berpikir logis yang sebenarnya dapat di ngkatkan melalui

pembelajaran matema ka. Oleh karena itu, pembelajaran matema ka menjadi kebutuhan untuk diajarkan kepada anak usia dini, karena masa anak-anak adalah waktu yang tepat mengenalkan matema ka.

Meskipun sudah banyak yang sepakat tentang pen ngnya pembelajaran matema ka bagi anak usia dini, dak sedikit pula perdebatan dan tantangan yang dihadapi dalam mengenalkan dan mengembangkan kemampuan matema ka pada tahap ini. Hal ini karena pembelajaran matema ka pada anak usia dini berbeda dengan pembelajaran matema ka pada umumnya. Pembelajaran matema ka pada anak usia dini memiliki keterbatasan pada konsep-konsep tertentu saja (Clements & Sarama, 2004). Keterbatasan tersebut disebabkan penyesuaian dengan perkembangan kognisi anak yang belum sepenuhnya matang (Utoyo, 2018). Anak-anak usia dini belum dapat fokus, sehingga mereka dak dapat belajar dalam tekanan (Ethridge & King, 2005). Selain itu, pembelajaran matema ka yang bersifat abstrak menjadi kendala lain, karena pemahaman anak usia dini masih intui f. Kebenaran matema ka yang seharusnya mutlak masih sangat bergantung pada kebenaran pemahaman intui f yang diperoleh dari ak vitas yang telah mereka lakukan (Papalia & Feldman, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, terjadi dilema dalam pembelajaran matema ka pada anak usia dini. Pada satu sisi, anak usia dini diharapkan belajar matema ka sebagai pemahaman awal untuk jenjang yang lebih nggi. Sementara itu, di sisi yang lain, pembelajaran matema ka pada anak usia dini memiliki tantangan yang berhubungan dengan kesiapan mereka secara kogni f yang belum matang. Hal ini menjadi tantangan yang serius bagi seluruh pihak (orang tua, guru dan pemerintah) untuk mengedepankan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan kogni f masing-masing anak. Kesalahan dan keabaian dalam proses pembelajaran berpotensi

mengakibatkan pengalaman buruk bagi anak dalam belajar matema ka.

Ar kel ini membahas kesiapan perkem-bang an kogni f anak dalam mempelajari mate-ma ka, urgensi matema ka bagi anak usia dini, konten matema ka bagi anak usia dini dan bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk mengajarkan matema ka pada anak usia dini.

Perkembangan Kogni f Anak Usia DiniMenurut Piaget dalam Papalia & Feldman

(2014), perkembangan kogni f manusia terbagi menjadi empat tahap, yakni sensori motorik (0-2 tahun), praoperasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasi formal (11 tahun ke atas). Apabila teori Piaget ini debenturkan pada Permendikbud No. 146 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa rentang usia anak usia dini adalah 0-6 tahun, maka PAUD seja nya ditujukan bagi anak yang berada pada tahap sensori motorik dan praoperasional. Faktanya, kedua tahapan ini mempunyai karakteris k yang berbeda.

Pada tahap sensori motorik, anak usia dini mempunyai dua is lah, yakni bayi (infant) dan bayi yang mulai belajar berjalan (toddler). Kemampuan kogni f pada tahap ini didominasi oleh kegiatan motorik sebagai respons sensorik dari panca indera anak (Rahman, 2009). Proses utama pemerolehan informasi anak bergantung bagaimana mereka memanfaatkan panca inderanya. Oleh karena itu, anak tahap sensori motorik masih terkendala dengan pemahaman yang bersifat observa f. Sementara itu pada tahap praoperasional, Piaget dalam Papalia & Feldman (2014) menjelaskan ada beberapa kemajuan dalam perkembangan kogni f seper mengenal simbol, angka, objek ruangan, dan sebab akibat. Namun, di sisi lain, anak usia dini pada tahap praoperasional juga masih memiliki beberapa aspek perkembangan yang belum matang, seper perkembangan egosentris, alasan transduk f, dan konservasi.

Untuk memahami lebih mendalam, berikut disajikan potensi dan aspek yang belum matang pada masing-masing tahap perkembangan anak usia dini.

Potensi anak usia dini tahap sensori motorikPada tahap sensori motorik, terdapat dua kemampuan yang berpotensi membantu pembelajaran matema ka. Pertama, anak mempunyai kemampuan membandingkan berdasarkan jumlah dari dua buah kumpulan benda. Anak pada tahap ini menggunakan is lah “lebih” sebagai kalimat matema ka. Menurut peneli an Lipton & Spelke (2003), infant secara visual sudah mampu membedakan mana yang lebih banyak dari dua buah kumpulan benda yang mempunyai perbandingan 1:2 (8 objek dibanding 16 objek). Bahkan pada peneli an Nes & Lange (2007), infant sudah memahami perbedaan pada kelompok benda yang mempunyai perbandingan 1:1,5 (6 objek dibanding 9 objek). Pemahaman anak secara visual ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu memahami konsep kuan tas, walaupun belum mampu menghitung satu persatu.

Kedua, anak pada tahap ini telah mampu berpikir spasial sederhana. Beberapa peneli an menyimpulkan hal yang sama bahwa anak pada tahap sensori motorik memahami bentuk dan lokasi benda pada ruangan (Anthony & Walshaw, 2009; Hu enlocher dkk., 1994; Na onal Research Council, 2009; Sorariu a & Silvén, 2018). Sebagai contoh, anak sudah memahami bahwa boneka berada di kamar dan mereka mampu mencarinya.

Potensi anak usia dini tahap praoperasionalPada tahap praoperasional, potensi anak terlihat pada kondisi berikut.

Page 77: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

146 147Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Fungsi simbolisMenurut Papalia & Feldman (2014),

kemampuan simbolis pada anak usia dini berkaitan dengan kemampuan anak untuk membayangkan atau menganggap bahwa suatu benda dapat menyimbolkan benda atau hal yang lain. Fungsi simbolis juga memungkinkan anak usia dini memahami bahwa suatu benda dapat mewakili atau serupa secara bentuk, fungsi, atau karakteris k dengan benda lain. Sebagai contoh, anak usia dini menggunakan sapu sebagai pedang. Proses analogi antara bentuk sapu dan pedang menunjukkan bahwa anak usia dini menemukan ada karakteris k yang dianggap sama antara sapu dan pedang.

Menurut Soon (1982), pembelajaran matema ka harus diselaraskan dengan kemampuan simbolik anak. Dalam pembelaran matema ka, kemampuan simbolik bermanfaat untuk memahami konteks bilangan (Aunio dkk., 2016), misalnya penggunaan jari dalam membilang dan menghitung benda. Ke ka guru menunjukkan ada dua buah permen, maka guru dapat menunjukkan dua jari sambil mengucapkan kata “dua”. Dalam perkembangannya, anak usia dini dapat diajarkan proses simbolisasi mulai dari ucapan kata “dua” sampai simbol bilangan “2”. Pada contoh ini, proses simbolisasi terjadi dari benda konkret, yakni permen menuju ke benda abstrak, yakni bilangan dua. Dengan belajar simbolisasi, anak usia dini diharapkan mempunyai kesiapan dalam memahami simbol lain di matema ka yang bersifat abstrak seper simbol bilangan (1, 2, 3,..., dst), simbol operasi (+, -, x, :), dan simbol-simbol lain yang berkaitan materi khusus di matema ka.

Kemampuan simbolik anak usia dini juga sangat ditunjang dengan proses bahasa yang

sudah matang. Kedua kemampuan ini sangat membantu anak dalam memahami bilangan (Mononen & Aunio, 2013; Na onal Research Council, 2009). Pembelajaran matema ka secara verbal akan membantu anak usia dini memahami konsep simbolisasi yang lainnya. Oleh karena itu, biasanya proses belajar mengajar anak usia dini dak akan lepas dari kegiatan menyanyi dalam membilang bilangan (Giff ord, 2006). Kombinasi simbolik fi sik dan simbolik verbal akan membantu anak memahami konsep matema ka secara lebih bermakna. Proses belajar seper ini menjadikan anak usia dini tanpa sadar sedang belajar matema ka.

Pemahaman objek dalam ruang Kemampuan pemahaman objek dalam

ruang sangat berkaitan dengan kemampuan penalaran spasial. Menurut Sarama & Clements (2004), penalaran spasial terdiri atas kemampuan anak mengetahui letak, arah, jarak, dan iden fi kasi objek. Pemahaman objek ini juga melipu bentuk dasar baik dua dimensi maupun ga dimensi (Taylor dkk., 2005). Menurut Na onal Research Council (2009), anak usia dini bahkan sudah mampu membayangkan gambaran visual dari bangun ruang. Hal ini menunjukkan anak usia dini telah memahami konsep spasial dengan baik.

Pada pembelajaran matema ka, kemampuan penalaran spasial pen ng untuk mengawali pemahaman geometri. Geometri pada tahap awal dapat dikenalkan dalam konteks bentuk benda seper segi ga, persegi, dan lingkaran. Awalnya anak hanya mampu menyebut nama benda, namun ke ka sudah mahir mereka dapat memperha kan perbedaannya. Kemampuan anak mengenal sekaligus memahami perbedaannya disebut pengetahuan bentuk (Na onal Research Council, 2008). Selain itu,

anak usia dini dapat diajarkan posisi benda mulai dari posisi sederhana atas, bawah, kanan, dan kiri sampai pengenalan arah mata angin. Arah mata angin ini dapat digunakan sebagai pemahaman awal anak usia dini memahami konsep denah dan skala.

Kemampuan iden tas Kemampuan iden tas adalah kemam-

puan anak usia dini mengenal dirinya, keluarga, dan orang terdekat (Papalia & Feldman, 2014). Walaupun kemampuan ini termasuk dalam perkembangan sosial, namun kemampuan ini dapat menunjang proses belajar matema ka. Sebagai contoh, anak usia dini akan belajar matema ka ke ka mereka ditanya usia mereka. Selain usia, mereka dapat belajar matema ka melalui konsep ngkatan keluarga. Ke ka anak usia dini mampu mengenali ayah, bunda, kakak, adik, kakek, paman dan seterusnya, maka mereka akan memahami secara sederhana ngkatan silsilah di keluarganya. Misalnya,

anak usia dini akan memahami jika dirinya mempunyai dua kakak dan satu adik, maka ia merupakan anak ke ga.

Kemampuan mengategorikanKemampuan mengategorikan berman-

faat untuk membentuk anak berpikir logis dan teratur. Menurut Whi aker (2014), kemampuan mengategorikan dikembangkan melalui kegiatan mengatur, menyeleksi, memilah, dan mengelompokkan suatu benda dalam karakteris k tertentu. Sebagai contoh, menurut Nur dkk. (2018), anak usia

dini sudah dapat diajarkan pengelompokkan jenis buah dan sayur yang ada di dapur.

Pada pembelajaran matema ka anak usia dini, kemampuan mengategorikan dapat dikembangkan melalui kegiatan mengelompokkan benda sesuai warna, bentuk, atau ukuran. Pada umumnya, anak usia dini sudah mampu mengelompokkan benda dengan dua jenis kategori (Papalian & Feldman, 2014). Sebagai contoh, anak usia dini mampu mengolongkan berdasarkan bentuk dan warna benda. Jadi, anak usia dini sudah mampu membedakan benda bulat warna hijau dengan benda kotak warna merah. Proses mengategorikan menjadikan anak usia dini mampu menfokuskan pada persamaan, sekaligus mengeliminasi berdasarkan perbedaan suatu benda.

Berikut disajikan Gambar 1 di mana anak bisa diberikan sejumlah benda dengan berbagai bentuk dan diminta memilih dua benda yang dianggapnya mirip. Anak usia dini akan mencari satu benda terlebih dahulu, lalu dia mencocokkan satu per satu benda lainnya. Ke ka benda kedua dak cocok maka anak usia dini akan melakukan proses eliminasi. Begitu pula pada benda ke ga dan seterusnya. Proses pencocokan akan berakhir ke ka anak menemukan suatu benda yang memiliki persamaan dengan benda yang pertama. Pada kasus Gambar 1, bangun segilima dak dipilih karena dak ada benda lain yang serupa.

Gambar 1. Ilustrasi Kemampuan Mengategorikan

Page 78: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

148 149Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Pemahaman angka-angkaPemahaman terhadap angka-angka

menjadi kekuatan utama anak usia dini dalam mempelajari matema ka. Menurut Clements & Sarama (2004), pemahaman angka-angka melipu pemahaman konsep ordinal dan kardinal suatu benda. Konsep ordinal adalah konsep di mana anak sudah mampu membandingkan dua benda berdasarkan kuan tas. Anak usia dini sudah mulai memahami konsep lebih dari, kurang dari, lebih besar, lebih kecil, dan sebagainya. Dengan memahami konsep tersebut, anak usia dini mampu mengenal urutan bilangan seper pertama, kedua, dan seterusnya (NCTM, 1975).

Sementara itu, konsep kardinal adalah konsep yang berkaitan dengan berapa jumlah dalam ar sebenarnya (Doabler dkk., 2018; Na onal Research Council, 2009). Anak usia dini mampu menjelaskan konsep jumlah permen yang dimiliki dengan cara membilang atau menggunakan jari. Kardinalitas suatu benda dapat dinyatakan sebagai bilangan terakhir yang disebutkan pada proses membilang jumlah benda (Chin & Zakaria, 2015).

Selain mempunyai faktor kogni f yang mendukung, pembelajaran matema ka pada anak usia dini mempunyai beberapa hambatan berupa kondisi kogni f anak usia dini yang belum matang. Pada ar kel ini, penulis merangkum dan memilih kondisi beserta potensi hambatan apa yang muncul ke ka mempelajari matema ka.

Aspek kogni f yang belum matang pada tahap sensori motorikPada tahap sensori motorik, masih banyak aspek kogni f anak yang belum matang. Hal ini dikarenakan perkembangan kogni fnya sangat bergantung pada pemberian rangsangan (Pudjia & Masykouri, 2011).

Selain itu, pada tahap ini, perkembangan fi sik lebih menonjol dibandingkan dengan perkembangan kogni f (Papalia & Feldman, 2014). Jadi, memang agak sulit mengenalkan matema ka pada tahap ini. Terlebih proses pembelajaran pada usia ini akan lebih bersifat naluriah seorang infant atau toddler yang menerima rangsang, dan dibangun dengan proses habitasi (kebiasaan). Satu-satunya hal mungkin dilakukan adalah membentuk kebiasan baik dan teratur yang mengarahkan pada kecerdasan anak sehingga anak mempunyai bekal dan persiapan dalam belajar matema ka.

Aspek kogni f yang belum matang pada tahap praoperasionalPada tahap praoperasional, aspek yang belum matang terlihat pada kondisi berikut.

EgosentrismeMenurut Feeney dkk. (2006),

egosentrisme adalah kondisi di mana anak usia dini belum memahami persepsi orang. Santrok (2007) juga menjelaskan bahwa egosentrisme adalah ke dakmampuan anak membedakan antara perspek f sendiri dan perspek f orang lain. Mereka akan menganggap semua hal hanya dari perspek f dirinya tanpa harus melihat perspek f orang lain (Delgoshaei & Delavari, 2012). Hal ini menjadikan egosentrisme sebagai tantangan dalam proses pembelajaran anak usia dini.

Egosentrisme dapat membuat anak usia dini berpotensi dak mau menerima ilmu baru. Hal ini karena anak usia dini akan cenderung mempertahankan informasi yang dianggapnya benar dan mengabaikan informasi yang lain. Guru harus mencoba memberi kesempatan yang banyak untuk berkreasi, menguji, dan bereksperimen. Dengan banyaknya ak vitas tersebut, anak usia dini diharapkan akan menemukan sendiri

fakta ilmiah baru dan membuang persepsi awalnya yang kurang tepat (Essa, 2011). Menurut Piaget dalam Utoyo (2018), proses refl eksi abstraksi menjadi sangat pen ng untuk menemukan fakta baru sehingga anak usia dini akan membandingkan dengan persepsi mereka.

Kondisi egosentrisme se ap anak tentu berbeda. Hal ini bergantung pada proses eksperimen yang mereka lakukan. Dalam pembelajaran matema ka, menurut Skemp (1987), pengetahuan seorang anak terbangun oleh skema lalu tumpukan skema akan membentuk skema yang baru. Dijk dkk. (2004) menyatakan bahwa pembanguanan skema yang benar dapat meningkatkan pemahaman sekaligus memo vasi semangat belajar anak usia dini.

Penalaran Transduk fKemampuan pemahaman anak usa

dini terhadap konsep sebab-akibat sudah terbentuk, namun masih bersifat dak logis. Penalaran transduk f dapat diar kan belum mampunya anak memberikan alasan secara deduk f atau induk f dan melompat pada bagian lain yang kurang logis (Papalia &

Feldman, 2014). Anak usia dini cenderung menggunakan penalaran transduk f, karena mereka belum dapat mengenal operasi konkret (Ethridge & King, 2005). Dengan kondisi ini, anak usia dini belum dapat diajarkan materi matema ka yang membutuhkan logika yang rumit. Sebagai contoh, materi logika berpikir dengan konsep jika a maka b perlu dihindari seper pada konsep “jika bilangan dapat dibagi dengan empat, maka bilangan tersebut dapat dibagi dengan dua”.

KonservasiMenurut Papalia & Feldman (2014),

kegagalan konservasi adalah kondisi di mana anak usia dini dak memahami bahwa dua atribut yang dak saling berkaitan (irrelevant) dak dapat dibandingkan. Anak usia dini juga dak memahami bahwa perubahan bentuk

benda dak akan merubah kandungan atau jumlah dari benda tersebut (NCTM, 1975). Kondisi konservasi ini berlaku pada beberapa dimensi seper panjang, jumlah, massa, luas, dan volume. Sebagai ilustrasi, berikut diberikan Gambar 2 di mana terdapat dua benda berbentuk persegi panjang dengan ukuran luas yang sama yang disusun dari empat persegi panjang yang satuan.

Gambar 2. Ilustrasi Kegagalan Konservasi

Pada kondisi awal, anak usia dini memahami bahwa kedua benda mempunyai luas yang sama karena bentuknya sama. Ke ka bentuk benda kedua diubah menjadi bentuk lain maka persepsi anak akan berubah. Anak usia dini mengalami kebingungan bagaimana cara membandingkan luas ke ka bendanya dak mirip. Anak akan mencoba memahami konsep luas secara harfi ah. Ar nya, benda dikatakan lebih luas jika benda itu lebih panjang dan lebar. Secara visual, benda pertama lebih luas dibandingkan benda kedua, karena mereka yakin benda kedua lebih “ pis” sehingga mereka menganggap benda kedua lebih kecil. Menurut Vandermaas-peeler (2015), kegagalan konservasi dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu anak yang sudah tersusun. Hal ini menunjukkan bahwa pada ilustrasi kasus Gambar 2, anak usia dini dimungkinkan belum

Page 79: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

150 151Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

terlalu mengenal dimensi luas dan apa hubungannya dengan dimensi panjang.

Ke dakmampuan akan proses konservasi menjadi tantangan untuk guru PAUD dalam mengenalkan besaran. Menurut NCTM (1975), guru harus memberi penjelasan yang jelas mana besaran yang berkaitan dan mana besaran yang dak saling berkaitan. Kondisi ini menjadikan kegiatan memanipulasi antar dimensi harus dirancang dengan konsep yang lebih dipahami anak.

Proses manipula f juga tetap perlu dikenalkan kepada anak usia dini. Kemampuan matema ka harus diajarkan dengan berbagai cara, seper dengan manipulasi objek atau memberi pertanyaan terbuka (Na onal Research Council, 2008). Dengan memanipulasi objek, anak usia dini diharapkan mampu mengenali proses perubahan atau tranformasi suatu benda. Proses manipulasi sebaiknya ditekankan pada krea vitas anak. Dengan demikian, proses manipulasi akan ber ndak sebagai proses membangun imajinasi anak sesuai dengan pola pikirnya.

Setelah menelaah kondisi perkembangan kogni f pada anak usia dini, muncul pertanyaan apakah anak usia dini sebenarnya sudah siap untuk belajar matema ka? Mengapa pembelajaran matema ka pen ng untuk dilakukan sejak usia dini?

Kesiapan Kogni f Anak Usia Dini dan Pen ngnya Pembelajaran Matema ka

Pembelajaran matema ka perlu diberikan sejak usia dini. Hal ini didukung oleh pendapat Clements & Sarama (2013) yang mengungkapkan bahwa kemampuan matema ka seorang anak pada usia dini dapat dijadikan tolok ukur kesuksesan seorang anak dalam belajar matema ka tahap selanjutnya. Bahkan, Cannon & Ginsburg (2008) menilai bahwa kemampuan

matema ka pada anak usia dini lebih pen ng daripada kemampuan membaca dan berbahasa. Peneli an ini sesuai dengan temuan beberapa mitos oleh Clements & Sarama (2018), yakni banyak kalangan masyarakat menganggap bahwa jika anak usia dini terlalu banyak belajar matema ka, maka dia akan kehabisan waktu untuk berla h berbahasa. Oleh karena itu, mengenalkan matema ka pada usia dini menjadi hal yang pen ng.

Menurut NAEYC (2010), salah satu kunci untuk mengop malkan pembelajaran anak usia dini adalah mengenal perkembangan kogni fnya. Lebih spesifi k lagi, menurut Clemson & Clemson (1994), perkembangan kogni f anak sangat berkaitan dengan pembelajaran matema ka. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pembelajaran matema ka, pendidik dak dapat mengabaikan kesiapan perkembangan kogni f anak usia dini.

Peneli an Ojose (2008) menyebutkan bahwa matema ka dapat diajarkan pada se ap tahapan perkembangan kogni f. Hal ini juga didukung dengan penjelasan mengenai potensi perkembangan kogni f yang dijelaskan sebelumnya. Meskipun ada aspek yang belum matang, hal tersebut dapat disiasa agar pembelajaran matema ka tetap dapat diajarkan. Tentunya, guru memiliki peran pen ng dalam proses mendesain pembelajaran yang memfokuskan pada potensi anak usia dini. Guru sebaiknya bisa menentukan konten atau materi pembelajaran matema ka seper apa yang cocok diajarkan pada anak usia dini. Selain itu, guru harus bisa menyiasa strategi pembelajaran matema a yang menarik bagi anak usia dini.

Bagian selanjutnya membahas konten matema ka yang dapat diajarkan pada jenjang PAUD, dan beberapa contoh strategi pembelajaran yang dapat dijadikan sumber inspirasi mengajar bagi guru di satuan PAUD.

Konten Matema ka untukAnak Usia Dini

Menurut NCTM (2000), terdapat lima standar konten matema ka di sekolah, yakni bilangan dan operasi bilangan, aljabar, geometri, pengukuran, dan analisis data serta peluang. Namun, menurut Clements & Sarama (2004), dari kelima standar konten tersebut, ada ga standar konten utama dalam pembelajaran matema ka anak usia dini, yaitu bilangan dan operasi bilangan, geometri dan pengukuran. Aljabar dan analisis data berperan sebagai pendukung ke ga standar konten utama. Berdasarkan temuan ini, bagian berikut membahas secara rinci mengenai lima standar konten matema ka tersebut.

Bilangan dan operasi bilangan (number and opera ons)Secara kogni f, anak usia dini dapat dila h untuk mengenal bilangan. Menurut Clements & Sarama (2004), konten bilangan dan operasinya pada pembelajaran matema ka anak usia dini dapat dikembangkan melalui konsep jumlah suatu benda, mendeskripsikan urutan benda, ukuran benda, dan representasi benda dalam berbagai bentuk. Terdapat enam ide besar pada konsep bilangan dan operasinya, yakni membilang (coun ng), membandingkan dan mengurutkan (comparing and ordering), menambahkan/mengambil (adding to/taking away), menyusun dan menguraikan (composing and decomposing), mengelompokan dan memberi nilai tempat (grouping and place value), dan membagi rata (equal par oning).

Membilang (coun ng)Menurut Kohl (1990), ada dua jenis

kegiatan membilang, yaitu rote coun ng dan ra onal coun ng. Rote coun ng adalah menyuarakan nama bilangan secara berurutan yang tersimpan di memori otak

tanpa perlu memahami ar bilangan yang sesungguhnya. Kegiatan rote coun ng dapat diajarkan dengan cara bernyanyi, karena lagu dapat membantu anak lebih cepat mengingat urutan bilangan (Dunphy & Butler, 2018).

Sementara itu, ra onal coun ng adalah membilang benda dan memahami ar bilangan itu. Anak usia dini dapat diajarkan dengan cara menyentuh benda atau membuat isyarat dengan jari sambil menyuarakan nama bilangannnya (Rosita dkk., 2019). Proses membilang ini berkaitan dengan pemahaman korespodensi satu-satu. Kemampuan korespodensi satu-satu pen ng dalam memahami bilangan (Whyte dkk., 2018), karena menggambarkan kemampuan anak untuk memasangkan satu per satu antara benda konkret atau isyarat dengan pemahaman mengenai bilangan itu.

Membandingkan dan mengurutkan (comparing and ordering)

Secara intui f, anak usia dini mengenal proses membandingkan suatu benda. Proses membandingkan suatu benda dapat dimulai dengan menginden fi kasi benda dari jenis karakteris knya seper bentuk, warna, ukuran, dan kuan tasnya (Kohl, 1990). Dalam menginden fi kasi, anak akan menemukan konsep lebih besar, lebih panjang, dan sebagainya.

Guru dapat menggunakan ak vitas membandingkan benda berdasarkan kuan tasnya. Guru dapat memberikan dua buah benda yang mempunyai jumlah yang berbeda. Anak usia dini dapat menggunakan teknik mencocokan (matching) dan membilang (coun ng) untuk menilai kelompok benda mana yang lebih atau kurang secara kuan tas (Na onal Research Council, 2009). Proses mencocokan ini menggambarkan bahwa anak usia dini telah

Page 80: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

152 153Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

mampu memahami konsep korespodensi satu-satu dari dua buah himpunan.

Menambahkan/mengurangi (adding to/taking away)

Kemampuan anak usia dini dalam menyadari proses perhitungan dapat dilihat dari proses ini. Proses menambahkan/mengurangi menjadi ak vitas matema ka yang sering dilakukan oleh anak usia dini. Kegiatan ini juga dapat dilihat pada proses membilang. Dalam proses membilang, anak usia dini seringkali menggunakan jari-jari sebagai alat bantu menghitung jumlah benda (Baroody dkk., 2019; Cannon & Ginsburg, 2008; Rathé dkk., 2016).

Anak usia dini dapat menganalogikan jumlah bilangan dengan jari. Sebagai contoh, perhitungan 3-1 maka dapat dianalogikan dengan mula-mula ada ga jari yang terbuka lalu karena ada proses pengurangan maka ada satu jari yang dilipat. Jari yang masih terbuka berjumlah dua dianalogikan sebagai bilangan 2. Pemahaman aturan ini dapat membantu anak menalar pada kasus lain yang serupa. Jadi ke ka anak diminta menghitung 5-3, maka mereka langsung membuka lima jari lalu menutup ga jari. Anak nggal melihat berapa jari yang terbuka dan memperoleh jawaban 5-3 = 2.

Menyusun dan menguraikan (composing and decomposing)

Proses menyusun dan menguraikan dapat dijadikan sebagai langkah awal anak usia dini mengenal konsep bagian dan gabungan suatu himpunan. Menyusun (composing) bilangan adalah proses menggabungkan beberapa bilangan untuk menghasilkan bilangan yang lebih besar. Sebaliknya, menguraikan (decomposing) adalah memecah bilangan besar menjadi bilangan kecil yang menjadi penyusunnya (Clements & Sarama, 2004; Doabler dkk., 2018).

Anak usia dini secara intui f akan mencoba berkreasi ke ka menemukan sejumlah benda. Sebagai contoh, anak diberi lima 5 permen. Ke ka guru memberi instruksi untuk membagi menjadi dua kelompok permen, jawaban ap anak dapat dipas kan berbeda-beda. Ada yang membagi menjadi 1 dan 4 permen, ada pula yang menjadi 2 dan 3 permen. Konsep penguraian 5 permen menjadi 1 permen dan 4 permen secara bahasa matema ka berar 5 = 1+4. Dengan pemikiran yang sama, maka 2 permen dan 3 permen dapat diar kan sebagai 5 = 2 + 3.

Setelah anak usia dini memahami konsep mengurai, anak usia dini dapat diajarkan proses menyusun ulang. Proses 5 permen yang terurai menjadi 2 permen dan 3 permen harus diajarkan juga secara terbalik. Guru dapat menjelaskan bahwa ke ka 5 permen dapat diuraikan menjadi 2 permen dan 3 permen, ar nya ke ka kita menggabungkan 2 permen dan 3 permen maka hasilnya 5 permen.

Mengelompokan dan memberi nilai tempat (grouping and place value)

Sama halnya dengan proses menyusun, proses mengelompokkan dapat diar kan proses penyusunan benda dengan karakteris k yang sama. Seper contoh sebelumnya dengan ak vitas permen, 18 permen dapat dikelompokkan menjadi 6 kelompok permen yang masing-masing berjumlah 3 permen (Clements & Sarama, 2004). Konsep ini merupakan konsep awal dalam memahami konsep perkalian dan pembagian suatu bilangan. Sementara itu, nilai tempat merupakan konsep yang berkaitan dengan penulisan bilangan dengan konsep satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya. Pada jenjang PAUD, pemahaman nilai tempat dapat dikenalkan dalam bentuk memahami bahwa 28 dan 82 adalah dua bilangan yang berbeda walaupun penyusunnya sama

(Clements & Sarama, 2004). Oleh karena itu, anak usia dini hanya dapat dikenalkan konsep ini setelah memahami proses penyusunan (composing) dan penguraian (decomposing) (Doabler dkk., 2018).

Pengajaran nilai ini menjadi tantangan bagi guru PAUD dilihat dari kurangya ar kel yang membahas strategi untuk mengajarkannya pada jenjang PAUD (Parks & Wager, 2016). Hal ini dimungkinkan karena materi pembelajaran nilai tempat merupakan konsep yang kompleks yang dak hanya melibatkan bilangan bulat,

namun juga bilangan desimal. Sebagai contoh, nilai dari angka 2 pada 12,3 berbeda dengan angka 2 pada 1,23. Secara urutan penyusun angka, kedua bilangan tersebut sama, namun terdapat aturan desimal yang membedakan nilainya. Angka 2 pada 12,3 bernilai 2 sedangkan pada 1,23 bernilai 0,2.

Membagi rata (equal par oning)Membagi rata merupakan proses

yang berkaitan dengan menguraikan (decomposing) dalam ukuran yang sama. Konsep membagi rata juga merupakan konsep awal dalam mempelajari konsep pecahan (Clements & Sarama, 2004). Anak usia dini dapat diajarkan pecahan secara realis k. Sebagai contoh, guru dapat memperagakan cara memotong kue menjadi 2 bagian, 4 bagian atau 8 bagian yang sama. Guru dapat menjelaskan bahwa potongan tadi adalah penyusun dari kue yang utuh. Dengan bahasa matema ka, guru dapat mengenalkan is lah setengah, seperempat , seperdelapan, dan sebagainya.

Geometri (Geometry)Geometri merupakan salah satu konten matema ka yang mudah dipahami secara realis k. Geometri juga berguna untuk mengembangkan kemampuan penalaran spasial. Kemampuan spasial merupakan

kemampuan yang berkaitan dengan proses observasi. Menurut Clement & Sarama (2004), pembahasan materi geometri pada anak usia dini dapat dijabarkan pada empat ide besar, yaitu bentuk (shape), transformasi dan simetri (transforma ons and symmetry), visualisasi dan penalaran spasial (visualiza on and spa al reasoning), dan lokasi, arah, dan koordinat (loca ons, direc ons, and coordinates).

Bentuk (Shape)Bentuk merupakan hal dasar yang harus

dipahami dalam permulaan belajar geometri (Clements dkk., 2018). Anak usia dini secara naluriah dan intui f telah mengenal bentuk benda dari ak vitas sehari-hari. Pada konsep bentuk, anak usia dini diharapkan mampu merepresentasikan dan memahami bentuk benda yang berada di sekitarnya. Contohnya, anak usia dini mengenal buku sebagai representasi persegi panjang, dan uang koin sebagai representasi lingkaran. Selain dalam bentuk dua dimensi, anak usia dini juga dapat dikenalkan bentuk benda ga dimensi, seper penghapus sebagai balok dan dadu sebagai kubus.

Pemahaman anak usia dini pada nama bentuk geometri ini masih bersifat umum, misalnya segi ga. Anak belum dapat memahami bentuk khusus seper segi ga sama kaki, segi ga sama sisi atau segi ga lainnya; semuanya dianggap tetap sama yakni berbentuk segi ga (Resnick dkk., 2016). Anak juga belum memahami perbedaan persegi dan persegi panjang atau lingkaran dan elips (NCTM, 1975). Pada ngkatan yang lebih mahir, anak usia dini dapat dikenalkan perbedaan dasar bentuk geometri dengan mengenali ciri-ciri khasnya.

Dalam pembelajaran matema ka, bentuk geometri dapat dijadikan ak vitas menarik bagi anak usia dini. Anak usia dini dapat diberi kebebasan dalam menyusun (composing) atau

Page 81: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

154 155Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

menguraikan (decomposing) benda-benda sehingga diperoleh bentuk yang baru. Guru dapat memberikan benda dua dimensi dengan berbagai bentuk dan meminta anak membentuk suatu benda baru. Anak akan berkreasi dengan bentuk imajinasinya. Ada yang membuat robot, bunga, rumah, dan berbagai bentuk lainnya.

Transformasi dan simetri (transforma ons and symmetry)

Anak usia dini masih mempunnyai keterbatasan dalam memahami konsep transformasi dan simetri. Hal ini karena dalam memahami konsep transformasi, anak usia dini membutuhkan kemampuan spasial yang baik (Na onal Research Council, 2009). Akan tetapi, anak usia dini dapat dikenalkan secara perlahan tentang ar transformasi dan simetri dalam konteks ak vitas sehari-hari. Konsep transformasi dapat dikenalkan melalui ak vitas memutar benda 1800, memperbesar atau memperkecil benda, dan membalik posisi benda (fl ipping). Contohnya, benda segi ga dapat diubah bentuk dari bentuk menjadi bentuk .

Sementara itu, konsep simetri lebih mudah untuk diaplikasikan pada kegiatan anak usia dini. Kegiatan melipat kertas adalah ak vitas simetri yang paling mudah untuk diterapkan. Dengan melipat kertas dengan ukuran yang sama, anak usia dini memahami garis lipatan sebagai representasi dari garis simetris dari sebuah benda. Dengan demikian, mengenalkan transformasi dan simetri pada anak usia dini dapat menjadi bekal untuk peningkatan kemampuan spasial pada anak.

Visualisasi dan penalaran spasial (visualiza on and spa al reasoning)

Kemampuan ini tergolong kemampuan yang cukup sulit, karena sangat bergantung pada pola pikir anak usia dini. Walaupun demikian, kemampuan anak usia dini dalam berimajinasi dapat dikembangkan untuk memahami konsep

visualisasi dan penalaran spasial. Setelah anak memahami representasi bentuk geometri pada dunia nyata, anak usia dini dapat dikenalkan bentuk abstrak dari geometri. Sebelumnya, guru harus mengajarkan cara menggambar sketsa bentuk geometri. Lalu anak dapat belajar untuk menyalin apa yang guru gambar di depan. Namun, terkadang anak hanya dapat menirukan sketsa tanpa tahu nama dari sketsa tersebut (Skoumpourdi & Mpakopoulou, 2011).

Proses mengama lalu menyalin yang terus menerus dilakukan dapat mendorong anak usia dini memperoleh gambaran memori yang banyak. Ke ka objek ingatannya banyak, proses visualisasi dapat dimulai dengan mengajak anak usia dini membayangkan objek tersebut di dalam otak mereka. Proses penalaran spasial dapat terlihat dari bagaimana representasi hasil visualisasi yang ada di memori mereka. Representasi tersebut dapat berupa sketsa. Contohnya, setelah memahami bentuk persegi panjang, guru meminta anak membayangkan persegi panjang. Lalu anak diminta membuat sketsa dari gambaran persegi panjang yang ada di memorinya. Proses penalaran spasial ini akan muncul dengan seiringnya anak mahir dalam berimajinasi di otaknya.

Lokasi, arah, dan koordinat (loca ons, direc ons, and coordinates)

Konsep ini merupakan konsep awal anak usia dini untuk memahami konsep peta dan skala. Pada usia dini, anak dapat dikenalkan dengan memahami representasi posisi benda yang ada di sekitarnya. Anak dikenalkan dengan is lah posisi kanan, kiri, atas, dan bawah. Guru dapat menggunakan ilustrasi sketsa pada papan tulis dan menanyakan posisi benda tersebut. Pada kemampuan yang lebih mahir, anak usia dini dapat dikenalkan pada konsep mata angin ( mur-selatan-barat-utara). Permainan

seper labirin sederhana dapat diajarkan dengan meminta anak menjelaskan alur jalan keluarnya. Bermain labirin dapat mengembangkan pola pikir spasial anak usia dini (Zippert & Ri le-johnson, 2018).

Pengukuran (Measurement)Pengukuran pada jenjang PAUD merupakan suatu ak vitas yang melambangkan aplikasi matema ka pada dunia nyata. Menurut Clement & Sarama (2004), terdapat dua ide besar pada konsep pengukuran, yaitu atribut, besaran, dan proses (atribute, units, and process) dan teknik dan alat (techniques and tools).

Atribut, besaran, dan proses (a ributes, units, and process)

Pembelajaran matema ka pada konten pengukuran untuk anak usia dini dapat dikembangkan melalui ide membandingkan dan mengukur suatu benda dengan benda lain. Kegiatan membandingkan bersifat observasional sehingga anak usia dini dapat mengama secara langsung tanpa harus mengedepankan pemahaman terkait nominal atau bilangan benda tersebut. Sebagai contoh, anak mengobservasi ukuran sayuran terung. Pertama-tama, anak akan menginden fi kasi dimensi apa saja yang ada pada terung seper panjang, berat, dan ukuran. Selanjutnya, tanpa bantuan alat ukur, proses pengukuran akan dilakukan dengan cara membandingkan secara langsung. Ke ka diberikan beberapa terung, dan anak diminta untuk menentukan manakah yang lebih panjang, maka anak usia dini akan mulai mensejajarkan kedua terung lalu dipilih yang lebih panjang. Anak usia dini memang sering melakukan pengukuran dengan membandingkan benda, buah, atau sayuran di sekitarnya (Taylor dkk., 2005).

Pada konteks lain, anak usia dini secara naluriah akan menyebut is lah lebih besar, lebih panjang, lebih nggi, lebih luas, lebih

lama, dan sebagainya sebagai representasi hasil dari proses membandingkan antar benda. Pada ngkatan yang lebih nggi, anak usia dini dapat dikenalkan dengan is lah besaran seper panjang, massa, luas, waktu, kecepatan dan lain sebagainya. Dengan demikian, anak usia dini akan mempelajari keselarasan is lah dan besarannya.

Teknik dan alat (techniques and tools)Pada awalnya, pengukuran pada anak

usia dini belum menggunakan alat ukur standar yang memuat ukuran nominal seper mistar dan mbangan. Anak dapat dikenalkan dengan satuan dak baku seper jengkal, tangan, dan kaki (Frye dkk., 2013). Namun ternyata, ada peneli an yang menyatakan bahwa anak berhasil melakukan pengukuran dengan ukuran standar dibandingkan ukuran dak standar (Dunphy & Butler, 2018). Anak usia dini dapat dikenalkan tentang bagaimana mengukur benda dengan mistar atau membandingkan massa benda menggunakan mbangan sederhana. Yang menjadi catatan adalah guru harus berha -ha dalam mengenalkan konsep satuan seper cm, kg, sekon dan sebagainya. Biarkanlah anak memahami konsep panjang dalam ukuran nominal di mistar dan memahami konsep massa pada posisi keseimbangan/ke dakseimbangan pada mbangan sederhana. Dengan demikian, anak akan terbiasa menggunakan ukuran standar untuk menarik kesimpulan secara umum tentang ukuran suatu benda.

Aljabar (Algebra)Melalui konten aljabar, anak dapat dila h dalam pola pikir aljabar (algebraic thinking). Walaupun bukan topik utama dalam pembelajaran pada jenjang PAUD, aljabar sesungguhnya sangat erat dengan ak vitas anak usia dini. Pada anak usia dini, anak mengembangkan konsep awal aljabar

Page 82: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

156 157Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

melalui pengurutan, pengklasifi kasian, dan observasi pola di lingkungannya (Na onal Research Council, 2008).

Membuat pola merupakan ak vitas yang sering dilakukan oleh anak usia 5-6 tahun (Wijns dkk., 2019). Dengan mengama sebuah pola, anak usia dini dapat mempelajari urutan sebuah benda dan memprediksi bentuk umum yang ada dalam pola tersebut (Ri le-johnson dkk., 2018). Sebagai contoh, anak usia dini dapat dikenalkan pola pada zebra cross melalui foto atau tayangan video. Anak akan memahami bahwa pola pada zebra cross mempunyai aturan berulang, yakni hitam lalu pu h dan kembali ke hitam lalu pu h lagi dan seterusnya. Kegiatan sederhana ini akan merangsang anak untuk memahami suatu bentuk umum sebuah keteraturan atau pola. Tingkat kerumitan pola juga dapat di ngkatkan sesuai kebutuhan dan kondisi anak. Guru dapat menggabungkan dua dimensi seper warna dan bentuk. Anak dapat pula ditantang untuk mengama pola yang bersifat double (AA-BB-AA-dst), pola naik (A-AA-AAA-AAAA-dst) atau pola bolak balik (ABC-CBA-ABC-dst). Semakin rumit pola yang dibuat akan semakin meningkatkan penalaran anak usia dini. Melalui pemahaman pola yang baik, anak usia dini akan mencoba menemukan in dari sebuah pola dan membuat sebuah generalisasi secara umum (Clements & Sarama, 2004).

Analisis data (Data analysis)Pada topik analisis data, ak vitas anak usia dini melipu mengklasifi kan, mengorganisakan, menyajikan, dan menggunakan informasi yang tersedia untuk menjawab sebuah permasalahan (Frye dkk., 2013). Proses analisis data ini diawali dengan mengama permasalahan yang diberikan, lalu anak akan menggunakan

kemampuan seper menyor r, menyusun, dan akhirnya menemukan data yang baru. Proses selanjutnya adalah kemampuan anak merepresentasikan data atau pemahaman baru.

Representasi dapat berupa gerakan fi sik seper penggunaan jari dalam konteks berhitung atau sketsa sederhana yang menggambarkan bentuk benda. Representasi juga dapat berupa kegiatan verbal seper presentasi di depan kelas. Kemampuan representasi ini dapat menumbuhkan kemampuan komunikasi matema ka (NCTM, 1975). Proses terakhir adalah penggunaan data sebagai jawaban untuk permasalahan yang diberikan. Proses ini lebih berkaitan bagaimana anak usia dini mengaitkan proses representasi yang ada dengan konteks permasalahan. Dengan imajinasi dan krea vitas anak usia dini yang beragam, kemampuan pada topik analisis data tentu memunculkan banyak variasi proses dan jawaban. Terlebih ke ka guru PAUD mampu memunculkan permasalahan yang bersifat terbuka (open task). Dengan demikian, pembelajaran topik ini juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir krea f anak.

Strategi Pengajaran Matema ka bagi Anak Usia Dini

Selain memahami konten matema ka yang cocok diajarkan, pembelajaran matema ka pada anak usia dini juga harus menyeimbangkan antara daya krea vitas anak dengan standar pembelajaran matema ka pada jenjang PAUD (Heff ernan & Newton, 2019). Selain itu, pembelajaran di lembaga PAUD juga harus memper mbangkan perkembangan kogni f anak. Perlu adanya interaksi belajar yang bersifat sukarela dan mengasyikan antara anak-anak dengan guru (Weisberg dkk., 2015). Terlebih anak usia dini dak dapat belajar dalam

tekanan, karena fokus mereka belum terbangun dengan baik (Ethridge & King, 2005). Mereka akan cepat bosan dan akan berpaling pada hal baru yang dianggap lebih mengasyikan. Oleh karena itu, perlu adanya strategi yang tepat untuk mengajarkan matema ka pada anak usia dini.

Kajian tentang strategi pembelajaran matema ka pada anak usia dini telah banyak dilakukan. Mulai dari strategi sederhana menggunakan benda-benda di sekitar sampai dengan penggunaan teknologi terkini. Is lah strategi pada ar kel ini merujuk pada kegiatan pembelajaran baik kegiatan fi sik maupun pembelajaran berbantuan alat peraga yang mendukung pembelajaran matema ka. Pada bagian ini akan dibahas beberapa contoh strategi dari beberapa literatur yang sudah dikaji. Pembahasan ini melipu hasil kajian beberapa peneli an, potensi serta kemungkinan tantangan yang dihadapi dari penggunaan strategi tersebut.

OrigamiOrigami merupakan kegiatan yang sederhana karena hanya bermodalkan kertas. Beberapa penelitan menunjukkan bahwa origami, yang dikenal sebagai seni melipat kertas, dapat digunakan sebagai media matema ka (Rosli & Lin, 2018). Peneli an Yuzawa dkk. (1999) menunjukkan bahwa origami membantu anak untuk memahami perbandingan ukuran benda. Selanjutnya, Yuzawa & Bart (2002) menunjukkan origami membantu anak usia dini memahami rela vitas bentuk benda. Pada konteks Indonesia, peneli an Respitawulan & Afrian (2019) menggunakan strategi origami pada ga kegiatan sesuai dengan indikator

pembelajaran. Ke ga indikator tersebut yaitu mengklasifi kasikan warna, bentuk dan ukuran, mengklasifi kasikan sejumlah benda pada kelompok yang sama, dan menamai

simbol bilangan. Pada peneli an ini, origami dianggap sebagai salah satu alterna f yang baik dalam mengenalkan konsep matema ka pada anak usia dini.

Secara umum, berdasarkan beberapa peneli an di atas, strategi origami sangat berkaitan dengan kemampuan geometri. Namun, pada peneli an di Indonesia, origami ternyata dapat dimanfaatkan untuk mela h kemampuan pada konten bilangan dan operasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan origami dapat dijadikan alterna f kegiatan sederhana di lingkungan PAUD. Namun, pembelajaran matema ka di lembaga PAUD dengan menggunakan origami juga dapat menghadapi tantangan, jika guru kurang krea f dalam menggunakan origami. Kurangnya pengetahuan tentang origami dapat membuat bentuk kreasi origami terkesan monoton dan membatasi krea vitas anak usia dini. Selain itu, terkadang pada proses origami, ada proses perekatan dengan lem, memotong kertas dengan gun ng, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini dapat menjadi potensi ancaman bagi anak usia dini sehingga peran guru sangat pen ng untuk menjaga anak didiknya.

Block playBlock play merupakan kegiatan manipula f yang memanfaatkan benda dengan beragam bentuk dan ukuran. Peneli an Schmi dkk. (2018) pada anak usia dini dari berbagai jenis kelas sosial menunjukkan bahwa penggunaan block play mendorong anak usia dini memiliki kemampuan matema ka, khususnya bilangan, pengenalan bentuk, dan bahasa matema ka. Pada peneli an lain, Simoncini dkk. (2020) di Papua Nugini, anak usia dini yang diajak bermain block play menunjukkan potensi untuk mengembangkan kemampuan matema ka. Sama halnya dengan penggunaan block play

Page 83: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

158 159Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

di Indonesia, peneli an Syamsia n (2017) menunjukkan bahwa anak usia dini di Jakata Timur mempunyai kemampuan matema ka seper mengklasifi kasikan, membandingkan dan mengurutkan melalui ak vitas block play.

Berdasarkan beberapa peneli an di atas, strategi block play dapat terus dikembangkan sebagai alterna f strategi pembelajaran matema ka. Terlebih anak usia dini memang sudah mampu mengenal bentuk. Akan tetapi, yang perlu diperha kan adalah kondisi kegagalan konservasi yang sangat berkaitan dengan proses memanipulasi bentuk benda. Proses memanipulasi benda harus dijelaskan dengan baik. Selain tantangan dari internal kogni f anak, tantangan strategi ini adalah fasilitas penyediaan block play se ap instansi PAUD di Indonesia. Kondisi ini, menurut penulis, dapat diatasi dengan menggan media block play dengan permainan lego. Hal ini karena kedua permainan ini mempunyai konsep yang sama yakni menyusun benda.

Permainan (Play Based Learning)Pembelajaran anak usia dini sering kali menggunakan strategi bermain. Hal ini wajar karena mayoritas kegiatan anak usia dini adalah bermain. Ak vitas bermain anak usia dini dapat diintegrasikan dengan ak vitas matema ka (Na onal Associa on for the Educa on of Young Children & Na onal Council of Teachers of Mathema cs, 2002). Permainan ini dapat berbentuk permainan fi sik seper berlari, melempar atau melompat. Salah satu contohnya adalah peneli an Utoyo & Arifi n (2017) yang mendesain sebuah permainan dengan memanfaatkan gerakan menjinjit di atas kertas berbagai ukuran dari terbesar menuju terkecil. Melalui permainan ini, anak usia dini dapat dila h kemampuan membandingkan objek berdasarkan ukuran.

Selain itu, banyaknya jumlah gerakan yang dilakukan dapat dikembangkan untuk mela h kemampuan membilang.

Pembelajaran matema ka dengan strategi play based learning mempunyai potensi yang besar jika diterapkan. Hal ini ditunjang dengan berbagai potensi anak usia dini. Dengan bermain, anak usia dini dapat mengembangkan kogni fnya (Dunphy & Butler, 2018). Akan tetapi, strategi play based learning juga mempunyai potensi kendala seper kemungkinan kondisi anak yang dak semuanya bugar saat pembelajaran

dan peran guru yang kurang krea f dalam menyusun permainan yang dianggap menarik.

TeknologiDi era modern, strategi pembelajaran matema ka pada anak usia dini dapat diintegrasikan dengan teknologi seper aplikasi android, so ware komputer, dan teknologi lainnya. Pembelajaran menggunakan strategi ini diharapkan dapat membuat pembelajaran lebih nyata. Hal ini sesuai dengan peneli an Zaranis dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa penggunaan tablet dan handphone dapat menunjang adanya pembelajaran yang lebih realis k bagi anak usia dini.

Pada peneli an lain, manfaat penggunaan teknologi dapat dikhususkan pada topik tertentu. Peneli an Nawangnugraeni & Subiyanto (2015) dengan menggunakan aplikasi di android menunjukkan anak yang menggunakan pembelajaran game android meningkatkan pemahaman awal tentang bilangan. Bahkan sebuah program komputer bernama NT Preschool Maths Games digunakan untuk mempelajari penamaan bilangan, berhitung, dan kemampuan aplikasi masalah (Cohrssen dkk., 2019). Pada peneli an ini, anak yang

diajarkan NT Preschool Maths Games secara sta s k lebih baik daripada anak yang dak menggunakannya.

Pembelajaran berbasis teknologi mempunyai peluang untuk PAUD Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya pengguna teknologi di Indonesia. Akan tetapi, penggunaan teknologi yang terlalu dini juga mempunyai risiko mulai dari kesehatan sampai dengan rasa ketagihan anak. Di samping itu, penggunaan teknologi dikhawa rkan dapat menghilangkan esensi peran pedagogi guru itu sendiri. Teknologi sebaiknya digunakan sebagai alat bantu, bukan utama, dalam menunjang kegiatan bermain anak.

KesimpulanBerdasarkan kajian terhadap literatur dan

peneli an empirik yang dibahas secara kri s deskrip f pada ar kel ini, dapat disimpulkan bahwa matema ka merupakan ilmu yang bersifat logis. Oleh karena itu, dak mudah dalam mengajarkannya. Hal ini juga menyebabkan adanya keraguan dan kebingungan dalam merancang pembelajaran matema ka yang sesuai untuk anak usia dini. Terlebih pada anak usia dini yang mempunyai perkembangan kogni f yang belum sempurna. Kondisi kogni f seorang anak usia dini sangat memengaruhi bagaimana persiapan mereka dalam belajar matema ka.

Namun, berdasarkan kajian mengenai perkembangan kogni f pada anak usia dini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matema ka sebaiknya mulai diajarkan sejak usia dini. Meskipun ada aspek kogni f lain yang belum matang, pendidik dan orang tua sebaiknya lebih fokus untuk mengembangkan potensi kogni f pada anak usia dini. Hal ini juga dapat disiasa dengan memahami konten matema ka dan menggunakan strategi yang tepat.

Materi matema ka harus diselaraskan dengan kondisi kogni f anak usia dini. Terdapat ga konsep utama matema ka yang dapat

diajarkan pada jenjang PAUD, yakni bilangan & operasi, geometri, dan pengukuran. Selain itu, terdapat dua konsep penunjang, yaitu aljabar dan analisis data. Melihat dari karakteris k semua konsep matema ka, guru dak dapat secara serta merta mengajarkan semua konsep dalam satu model pembelajaran. Guru sebaiknya memperha kan kogni f anak usia dini sehingga tercipta strategi dan kegiatan prak s untuk mengajarkan matema ka. Beberapa alterna f strategi pembelajaran matema ka misalnya dengan memanfaatkan media di sekitar (kertas dan blok kayu), kegiatan bermain (play-based learning), sampai dengan memanfaatkan media teknologi yang canggih (handphone, komputer, dan program lainnnya).

CatatanIde yang didiskusikan dalam ar kel ini sepenuhnya berasal dari penulis dan dak mewakili Universitas Pendidikan

Indonesia

Tentang penulis

Yusuf Adhitya adalah alumni magister pendidikan matema ka di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (SPS UPI) dengan predikat Cum Laude. Penulis juga merupakan awardee Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Topik peneli an yang sering dikaji oleh penulis adalah kemampuan dan proses berpikir matema s serta psikologi matema ka.

Page 84: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

160 161Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Da ar Pustaka

Anthony, G., & Walshaw, M. (2009). Mathematics Education in the Early Years : building bridges. Contemporary Issues in Early Childhood, 10(2), 107–121.

Aunio, P., Tapola, A., Mononen, R., & Niemivirta, M. (2016). Early Mathematics Skill Development , Low Performance , and Parental Support in the Finnish Context. In B. Blevin-Knabe & A. M. . B. Austin (Eds.), Early Childhood Mathematics Skill Development in the Home Environment (1st ed., pp. 51–89). Springer International Publishing Switzerland. https://doi.org/10.1007/978-3-319-43974-7

Baroody, A. J., Clements, D. H., & Sarama, J. (2019). Teaching and Learning Mathematics in Early Childhood Programs. In C. P. Brown, M. B. McMullen, & N. File (Eds.), The Wiley Handbook of Early Childhood Care and Education (1st ed., pp. 329–353). John Wiley & Sons, Inc.

Cannon, J., & Ginsburg, H. P. (2008). “ Doing the Math ”: Maternal Beliefs About Early Mathematics Versus Language Learning. Early Education and Development, 19(2), 37–41. https://doi.org/10.1080/10409280801963913

Chin, L. C., & Zakaria, E. (2015). Understanding of Number Concepts and Number Operations through Games in Early Mathematics Education. Creative Education, 6(July). https://doi.org/10.4236/ce.2015.612130

Clements, D. H., & Sarama, J. (2004). Engaging Young Children in Mathematics. (A.-M. DiBiase, Ed.). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Clements, D. H., & Sarama, J. (2013). Math in the early years [ECS Research Brief: The progress of educational reform]. Education Commison of the States.

Clements, D. H., & Sarama, J. (2018). Myths of Early Math. Education Sciences, 71(8), 1–8. https://doi.org/10.3390/educsci8020071

Clements, D. H., Sarama, J., Swaminathan, S., Weber, D., & Trawick-Smith, J. (2018). Learning and teaching geometry in early childhood O ensino e a aprendizagem da Geometria : princípios fundamentais. Quadrante, XXVII(March 2019).

Clemson, D., & Clemson, W. (1994). Mathematics in the early years. London & New York: Routledge.

Cohrssen, C., Niklas, F., & Cohrssen, C. (2019). Using mathematics games in preschool settings to support the development of children ’ s numeracy skills the development of children ’ s numeracy skills. International Journal of Early Years Education, 1–18. https://doi.org/10.1080/09669760.2019.1629882

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014) Permendikbud No 146 Tahun 2014 Kurikulum 2013 PAUD dan Lampirannya. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Khadijah. (2016). Pengembangan kognitif anak usia dini. Medan: Perdana Publishing.

Kohl, D. M. (1990). Math Activities for Young Children. Early Childhood Education Journal, 17, 12–15.

Lipton, J. S., & Spelke, E. S. (2003). ORIGINS OF NUMBER SENSE : Large-Number Discrimination in Human Infants. Psychological Science, 14(396). https://doi.org/10.1111/1467-9280.01453

Mirawati, M., & Indonesia, U. P. (2018). Creative Mathematical Games : The Enhancement of Number Sense of Kindergarten Children Through Fun Activities Creative Mathematical Games : The Enhancement of Number Sense of Kindergarten Children Through Fun Activities, (February 2017). https://doi.org/10.1088/1742-6596/812/1/012114

Mononen, R., & Aunio, P. (2013). Early Mathematical Performance in Finnish Kindergarten and Grade One. LUMAT, 1(3), 245–262.

NAEYC. (2010). Early Childhood Mathematics : Promoting Good Beginnings. Washington, DC: National Association for the Education of Young Children.

National Research Council. (2008). Early Childhood Assessment: Why, What, and How. Washington DC: : The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/12446

National Research Council. (2009). Mathematics Learning in Early Childhood: Paths Toward Excellence and Equity. Washington DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/12519

Nawangnugraeni, D. A., & Subiyanto. (2015). A New Variant of Android Educational Game as the Facility Introduction of Number for Early Childhood. In 2015 International Conference on Innovation in Engieneering and Vocational Education (pp. 12–16). Atlanta Press.

NCTM. (1975). Mathematics learning in early childhood. (J. N. Payne, Ed.). Reston, Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics. INC.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. United States of America: The National Council of Teachers of Mathematics.

Nes, F. Van, & Lange, J. De. (2007). Mathematics Education and Neurosciences : Relating Spatial Structures to the Development of Spatial Sense and Number Sense Let us know how access to this

document benefi ts you . Mathematics Education and Neurosciences : Relating Spatial Structures, 4(2).

Nur, I. R. D., Herman, T., & Mariyana, R. (2018). Logical-Mathematics Intellegence in Early Childhood Students. International Journal of Social Science and Humanity, 8(4), 105–109. https://doi.org/10.18178/ijssh.2018.8.4.944

Ojose, B. (2008). Applying Piaget ’ s Theory of Cognitive Development to Mathematics Instruction. The Mathematics Educator, 18(1), 26–30.

Papalia, D. & Feldman, R.D. (2014). Experience Human Development. Jakarta: Salemba Humanika

Parks, A. N., & Wager, A. A. (2016). What Knowledge is Shaping Teacher Preparation in Early Childhood Mathematics ? What Knowledge is Shaping Teacher Preparation in Early Childhood Mathematics ?, 1027(April). https://doi.org/10.1080/10901027.2015.1030520

Pudjiati, & Masykouri, A. (2011). Mengasah Kecerdasan di Usia 0-2 tahun. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional.

Rahman, U. (2009). Karakteristik perkembangan anak usia dini. Lentera Pendidikan, 12(1), 46–57.

Rathé, S., Torbeyns, J., Hannula-Sormunen, M. M., & Verschaff el, L. (2016). Kindergartners’ Spontaneous Focusing on Numerosity in Relation to Their Number-Related Utterances During Numerical Picture Book Reading. Mathematical Thinking and Learning, 18(2), 125–141. https://doi.org/10.1080/10986065.2016.1148531

Resnick, I., Verdine, B. N., Golinkoff , R., & Hirsh-pasek, K. (2016). Geometric toys in the attic ? A corpus analysis of early exposure to geometric shapes. Early Childhood Research Quarterly, 36, 358–365. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2016.01.007

Respitawulan, R., & Afrianti, N. (2019). Limited trial on origami construction as mathematics learning strategy for early childhood on kindergarten teachers Limited trial on origami construction as mathematics learning strategy for early childhood on kindergarten teachers. Journal of Physics: Conference Series, 1375(012073). https://doi.org/10.1088/1742-6596/1375/1/012073

Rittle-johnson, B., Zippert, E. L., & Boice, K. L. (2018). The roles of patterning and spatial skills in early mathematics development. Early Childhood Research Quarterly. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2018.03.006

Delgoshaei, Y., & Delavari, N. (2012). Applying multiple-intelligence approach to education and analyzing its impact on cognitive development of pre-school children. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 361–366. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.01.054

Dijk, E. F., Oers, B. Van, Terwel, J., Dijk, E. E., Oers, B. V. A. N., & Terwel, J. A. N. (2004). Schematising in early childhood mathematics education : Why , when and how ? Schematising in Early Childhood Mathematics Education : European Early Childhood Education Research Journal, 12(1), 71–83. https://doi.org/10.1080/13502930485209321

Doabler, C. T., Clarke, B., Kosty, D., Smolkowski, K., Kurtz-nelson, E., Fien, H., & Baker, S. K. (2018). Building number sense among English learners: A multisite randomized controlled trial of a Tier 2 kindergarten mathematics intervention. Early Childhood Research Quarterly. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2018.08.004

Dunphy, L., & Butler, D. (2018). Mathematics in Early Childhood and Primary Education ( 3-8 years ). Dublin: National Council for Curriculum and Assessment.

Essa, E. L. (2011). Introduction to Early Childhood Education (2002).pdf. Belmont USA: Wadsworth Cengage Learning.

Ethridge, E. A., & King, J. R. (2005). Calendar Math in Preschool and Primary Classrooms : Questioning the Curriculum. Early Childhood Education Journal, 32(5), 291–296. https://doi.org/10.1007/s10643-005-4398-0

Feeney, S., Moravcik, E., & Nolte, S. (2006). Who Am I in the Lives of Children ? An Introduction to Early Childhood Education. New Jersey: Prentice Hall.

Frye, D., Baroody, A. ., Burchinal, M., Carver, S. ., Jordan, N. C., & McDowell, J. (2013). Teaching Math to Young Children: A practice guide (NCEE 2014-4005). Washington DC: National Center for Education Evaluation and Regional Assistance (NCEE), Institute of Education Sciences, U.S. Department of Educa- tion. Retrieved from http://whatworks.ed.gov

Giff ord, S. (2006). Early Child Development and Care Number in Early Childhood, (January 2015), 37–41. https://doi.org/10.1080/0300443951090108

Heff ernan, K. A., & Newton, K. J. (2019). Exploring mathematics identity : an intervention of early childhood preservice teachers. Journal of Early Childhood Teacher Education, 40(3), 296–324. https://doi.org/10.1080/10901027.2019.1590484

Huttenlocher, J., Newcombe, N., & Sandberg, E. H. (1994). The Coding of Spatial Location in Young Children. Cognitive Psychology, 27, 115-.

Page 85: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

10 Kepemimpinan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia:Kajian Literatur

Cecep Somantri

Post-graduate researcher,

University of Nottingham, United Kingdom

162 163Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Meningkatnya perha an terhadap kepemimpinan pendidikan ditandai dengan pengembangan teori, model dan pendekatan kepemimpinan efek f

di seluruh penjuru dunia. Tujuan ar kel ini adalah untuk meninjau berbagai studi dan literatur terkini tentang model-model kepemimpinan pendidikan, khususnya sekolah, dan menempatkannya dalam konteks perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia. Ar kel ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pendidikan memiliki peran pen ng dalam menciptakan perubahan lembaga pendidikan. Senada dengan hal ini, studi dan literatur internasional menunjukkan bahwa kepemimpinan PAUD yang efek f dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan bagi anak-anak dan keluarga.

Kata kunci: kepemimpinan pendidikan; gaya kepemimpinan; model kepemimpinan; teori kepemimpinan; pendidikan anak usia dini

Rosita, I., Nur, D., Herman, T., & Mariyana, R. (2019). Logical-Mathematics Intellegence in Early Childhood Students, (August). https://doi.org/10.18178/ijssh.2018.V8.944

Rosli, R., & Lin, T. W. (2018). Children Early Mathematics Development Based on a Free Play Activity. Creative Education, 9, 1174–1185. https://doi.org/10.4236/ce.2018.97087

Sarama, J., & Clements, D. H. (2004). Building Blocks for early childhood mathematics, 19, 181–189. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2004.01.014

Schmitt, S. A., Korucu, I., Napoli, A. R., Bryant, L. M., & Purpura, D. J. (2018). Using block play to enhance preschool children ’ s mathematics and executive functioning : A randomized controlled trial. Early Childhood Research Quarterly, 44, 181–191. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2018.04.006

Simoncini, K., Forndran, A., Manson, E., & Sawi, J. (2020). The Impact of Block Play on Children ’ s Early Mathematics Skills in Rural Papua New Guinea. International Journal of Early Childhood, (0123456789). https://doi.org/10.1007/s13158-020-00261-9

Skemp, R. R. (1987). The Psychology of Learning Mathematics. London, England: Psychology Press.

Skoumpourdi, C., & Mpakopoulou, I. (2011). The Prints : A Picture Book for Pre-Formal Geometry. Early Childhood Educ J, (39), 197–206. https://doi.org/10.1007/s10643-011-0454-0

Soon, G. K. (1982). Development of Mathematical Concepts and Skills In Primary. Teaching and Learning, 3(1), 14–20.

Sorariutta, A., & Silvén, M. (2018). Maternal cognitive guidance and early education and care as precursors of mathematical development at preschool age and in ninth grade. Inf Child Dev, 27, 1–19. https://doi.org/10.1002/icd.2069

Syamsiatin, E. (2017). Unit Blocks Play Activity ; What Do You See From Their Play ? ( The Study of Mathematical Thinking Development Children 3 – 5 Years Old ). Jurnal Usia Din, 3(2), 6–12.

Taylor, P., Hooks, L., Duarte, V., Hooks, L., & Duarte, V. (2005). Can 4 ‐ year olds really do math ? Using the project approach with preservice teachers. Journal of Early Childhood Teacher Education, 25, 185–192. https://doi.org/10.1080/1090102050250211

Utoyo, S. (2018). Metode Pengembangan Matematika Anak Usia Dini. Gorontalo: Ideas Publishing.

Utoyo, S., & Arifi n, I. N. (2017). Permainan Matematika - Ku. Gorontalo: Ideas Publishing.

Vandermaas-peeler, M. (2015). Parent Guidance of Young Children ’ s Scientifi c and Mathematical Reasoning in a Science Museum. Early Childhood Education Journal. https://doi.org/10.1007/s10643-015-0714-5

Weisberg, D. S., Hirsh-pasek, K., Golinkoff , R. M., & Klahr, D. (2015). Making play work for education. Phi Delta Kappan, 96(8), 7–13. https://doi.org/10.1177/0031721715583955

Whittaker, J. V. (2014). Good thinking! Fostering young children’s reasoning and problem solving. In Young Children (pp. 80–89). Washington DC: National Association for the Education of Young Children.

Whyte, K. L., Stein, M. A., Kim, D., Jou, N., Cynthia, E., Lyn, K., … Coburn, C. E. (2018). Mathematics in early childhood : Teacher educators ’ accounts of their work of their work. Journal of Early Childhood Teacher Education, 39(3), 213–231. https://doi.org/10.1080/10901027.2017.1388306

Wijns, N., Smedt, B. De, & Verschaff el, L. (2019). Are preschoolers who spontaneously create patterns better in mathematics ? British Journal of Educational Psychology, 1–17. https://doi.org/10.1111/bjep.12329

Wortham, S. C. (2006). Early Childhood Curriculum Development Bases for Learning and Teaching (4th ed.). New Jersey: Pearson Education.

Yuzawa, M., & Bart, W. M. (2002). Young Children ’ s Learning of Size Comparison Strategies : Eff ect of Origami Exercises. The Journal of Genetic Psychology : Research and Theory on Human Development, 163(4), 459–478. https://doi.org/10.1080/00221320209598696

Yuzawa, M., Bart, W. M., Kinne, L. J., Sukemune, S., & Bart, W. M. (1999). The Eff ect of “ Origami ” Practice on Size Comparison Strategy Among Young Japanese and American Children The Eff ect of “ Origami “ Practice on Size Comparison Strategy Among Young Japanese and American Children. Journal of Research in Childhood Education, 13(2), 133–143. https://doi.org/10.1080/02568549909594734

Zaranis, N., Kalogiannakis, M., & Papadakis, S. (2013). Using Mobile Devices for Teaching Realistic Mathematics in Kindergarten Education. Creative Education, 4(7A1), 1–10.

Zippert, E. L., & Rittle-johnson, B. (2018). The home math environment : More than numeracy. Early Childhood Research Quarterly. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2018.07.009

Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini162

Page 86: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

164 165Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Dalam 30 tahun terakhir, kepemimpinan pendidikan telah menjadi sebuah fenomena global (Gunter, 2016:8).

Leithwood (2007: 41) bahkan menyebutkan perkembangan kepemimpinan pendidikan di berbagai belahan dunia saat ini telah menjadi sebuah “industri” yang tak terelakan. Perha an para peneli , pemerintah dan pengambil kebijakan bidang pendidikan terhadap pen ngnya kepemimpinan pendidikan diiringi dengan pengembangan dan adopsi berbagai model dan teori kepemimpinan. Tujuan ar kel ini adalah untuk meninjau berbagai kajian terkini tentang model-model kepemimpinan pendidikan, khususnya sekolah, dan menempatkannya dalam konteks perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia. Ar kel ini mengulas literatur teori s, untuk melihat bagaimana kepemimpinan dikonseptualisasikan, dan literatur empiris, untuk menunjukkan apa dan bagaimana buk peneli an mendukung konsep-konsep kepemimpinan pendidikan. Secara lebih spesifi k, tulisan ini mengacu pada literatur kepemimpinan sekolah, utamanya di Inggris dan Indonesia yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi nggi. Tulisan ini juga merujuk pada beberapa sumber dari sektor manajemen.

Pen ngnya Kepemimpinan PendidikanPeneli an menunjukkan bahwa

kepemimpinan menempa peringkat kedua setelah pengajaran dalam dampaknya terhadap pembelajaran peserta didik. Peneli an Leithwood dkk. (2020:6) menunjukkan bahwa kepemimpinan efek f memiliki “dampak katalis k” terhadap pembelajaran peserta didik dan ekosistem satuan pendidikan secara keseluruhan. Sebelumnya, laporan Leithwood dkk. (2006:4) yang telah banyak diku p secara global menemukan bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang penuh totalitas akan memberikan dampak sekitar 27% terhadap hasil pembelajaran peserta didik. Temuan ini menjadi

dasar empiris ngginya perha an terhadap efek vitas kepemimpinan pendidikan di dunia, termasuk Indonesia.

Peneli an meta-analisis yang dilakukan Robinson dkk. (2007) menunjukkan bahwa pemimpin memiliki peran dan dampak yang signifi kan terhadap hasil pembelajaran anak. Keterlibatan langsung pemimpin dalam perencanaan kurikulum dan pengembangan profesi guru memiliki dampak yang besar dalam pengembangan pendidikan. “Ini menunjukkan bahwa semakin pemimpin terlibat dalam pengajaran dan pembelajaran, semakin besar kemungkinan pemimpin tersebut membuat perbedaan posi f bagi peserta didik” (Robinson dkk., 2007:21). Temuan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan instruksional memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada model kepemimpinan lainnya.

Kesimpulan Leithwood dkk. (2006:5), bahwa “ dak ada satu pun sekolah yang berhasil meningkatkan prestasi peserta didiknya tanpa kepemimpinan yang efek f”, seolah menjadi penguat asumsi pen ngnya peran kepala dan pemimpin senior di semua satuan pendidikan.

Defi nisi Kepemimpinan PendidikanGunter (2004) menemukan bahwa is lah

yang digunakan untuk mendefi nisikan bidang ini telah berubah dari “administrasi pendidikan” menjadi “manajemen pendidikan” dan, baru-baru ini, menjadi “kepemimpinan pendidikan”. Bush (2008) menunjukkan bahwa perubahan is lah ini bukan hanya bersifat seman k, melainkan substan f. Senada dengan ini, Bell (1991) menyatakan bahwa pemahaman kita tentang manajemen pendidikan pada dasarnya berasal dari kerangka kerja non-pendidikan, dan ini merupakan sebuah kelemahan besar, baik dari segi analisis konseptual maupun kredibilitas pendidikan sebagai dimensi yang berbeda dari sektor lain, khususnya manajemen bisnis.

Di Inggris, pergeseran ini ditandai dengan pendirian Na onal College for School Leadership (NCSL) pada tahun 2000, yang kemudian berubah menjadi Na onal College for Teaching and Leadership (NCTL) pada tahun 2013. Bolam (2004) menyebut pendirian lembaga tersebut sebagai perubahan paradigma dan cara pandang terhadap kepemimpinan pendidikan. Di Indonesia, pergeseran paradigma ini baru mulai sedikit terlihat dengan didirikannya Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS) pada tahun 2009 (Permendikbud No. 6/2009). Namun demikian, berdasarkan terminologi yang disematkan pada LPPKS, pemimpin pendidikan di Indonesia masih terbatas pada kepala sekolah.

Meskipun kepemimpinan sulit untuk dimaknai, karena sifatnya yang subyek f (Yukl, 2002), defi nisi berikut memuat unsur-unsur pen ng kepemimpinan pendidikan:

Kepemimpinan merupakan proses memberikan pengaruh untuk pencapaian tujuan yang diinginkan. Para pemimpin yang efek f mampu mengembangkan visi untuk sekolah mereka berdasarkan nilai-nilai pribadi dan profesional. Mereka mengar kulasikan visi ini pada se ap kesempatan, dan mereka juga memengaruhi staf dan pemangku kepen ngan lainnya untuk menjadikan visi tersebut sebagai tujuan bersama. Filosofi , struktur dan kegiatan sekolah diarahkan untuk mencapai visi bersama ini.

(Bush & Glover, 2003:5)

Berdasarkan defi nisi tersebut, terdapat ga dimensi kepemimpinan pendidikan sebagai berikut.

Kepemimpinan sebagai pengaruhSebagian besar defi nisi kepemimpinan yang ada mencerminkan asumsi bahwa kempemimpinan melibatkan proses

“pengaruh” yang secara sengaja diberikan oleh satu orang [atau kelompok] tertentu terhadap orang lain [atau kelompok] lain untuk menyusun kegiatan dan membentuk hubungan dalam suatu kelompok atau organisasi (Yukl, 2002:3). Bush (2008: 277) menjelaskan terdapat ga aspek utama dari defi nisi ini. Pertama, konsep utamanya adalah pengaruh, bukan jabatan. Baik pengaruh maupun jabatan merupakan dimensi kekuasaan, tetapi jabatan cenderung berada pada posisi formal, seper kepala sekolah, sementara pengaruh dapat dilakukan oleh siapa pun di lembaga pendidikan. Kedua, prosesnya disengaja. Orang yang ingin memberikan pengaruh kepada orang atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan tertentu akan melakukannya secara sengaja. Ke ga, pengaruh dapat diberikan oleh individu maupun kelompok. Gagasan ini memberikan implikasi akan pen ngnya konsep kepemimpinan terdistribusi dan m kepemimpinan senior:

Kepemimpinan merupakan proses yang cair, dan memiliki potensi untuk berasal dari bagian mana pun di sekolah, terlepas dari jabatan struktural formal, termasuk staf dan peserta didik.

(Bush, 2008:277).

Kepemimpinan dan nilai-nilaiSelain berhubungan dengan proses memberikan “pengaruh”, kepemimpinan semakin juga sering dikaitkan dengan nilai-nilai. Para pemimpin diharapkan dapat mendasari ndakan mereka dengan nilai-nilai pribadi dan profesional yang jelas. Peneli an Day dkk. (2001) di 12 sekolah “efek f” di Inggris dan Wales menyimpulkan bahwa, “pemimpin yang baik memiliki dan mengomunikasikan serangkaian nilai pribadi dan pendidikan yang jelas untuk mencerminkan tujuan moral mereka untuk

Page 87: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

166 167Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

sekolah yang dipimpinnya” (hal. 53). Ini menyiratkan bahwa pemimpin sekolah mampu “memilih” nilai-nilai pribadi dan profesional dalam kepemimpinan mereka. Namun demikian, Bush (2008:277) berpendapat bahwa nilai-nilai yang lebih dominan biasanya adalah nilai-nilai yang berasal dari pemerintah yang kemudian “memengaruhi” pemimpin sekolah. Guru dan pemimpin akan cenderung lebihmbersikap antusias terhadap perubahan apabila mereka rasa kepemilikan akan perubahan tersebut. Berdasarkan peneli an di sekolah-sekolah Kanada, Hargreaves (2004) menemukan bahwa sebagian besar guru memiliki pengalaman emosional yang posi f terhadap perubahan yang diprakarsai sendiri, tetapi bereaksi nega f tehadap perubahan yang “diamanatkan” pemerintah. Ini menandakan terjadinya ketegangan antara kewajiban untuk menerapkan kebijakan pemerintah dan perlunya ruang bagi guru untuk merasa posi f dan memiliki suatu inisia f tertentu. Di Indonesia, peneli an Raihani dan Gurr (2006), Raihani (2008), dan Raihani dkk. (2014) menemukan bahwa nilai-nilai kempemimpinan efek f di antaranya adalah kekeluargaan, toleransi, kepercayaan dan transparansi. Dikarenakan memori buruk akan ngginya korupsi di Indonesia, transparansi menjadi nilai yang sangat pen ng untuk diperha kan bagi para pemimpin pendidikan (Raihani dan Gurr, 2006).

Kepemimpinan dan visiVisi telah dianggap sebagai komponen pen ng dari kepemimpinan yang efek f selama lebih dari ga dekade. Southworth (1993) mengemukakan bahwa kepala sekolah sering termo vasi untuk bekerja keras “karena kepemimpinan mereka merupakan media untuk mewujudkan visi individu

mereka” (hal. 47). Namun demikian, Fullan (1992) mengingatkan bahwa pengembangan visi merupakan proses dinamis yang dak boleh hanya dilakukan seorang diri. Thoonen dkk. (2011:520) menjelaskan hal ini sebagai “efek buruk” yang muncul ke ka kepala sekolah dak melibatkan guru dalam proses pembangunan visi.

Ar kulasi visi yang jelas memiliki potensi untuk mengembangkan sekolah secara utuh, tapi buk empiris efek vitasnya cukup beragam. Terdapat kekhawa ran apakah para pemimpin sekolah, di Inggris dan di tempat lain, mampu mengembangkan visi yang baik untuk sekolah mereka apabila tujuan pendidikan dan kurikulum masih ditetapkan pemerintah pusat. Beberapa guru dan kepala sekolah mungkin cukup percaya diri untuk menantang kebijakan pemerintah sebagaimana dijelaskan Bo ery (1998:24), “kepala sekolah bisa saja menentang atau mengabaikan kebijakan pemerintah; melihat dan menunggu keberlanjutannya; dan dalam beberapa kasus, akhirnya merangkul kebijakan tersebut”. Akan tetapi, sebagian besar kepala sekolah biasanya akan melihat apakan suatu kebijakan berkaitan atau berpengaruh terhadap hasil akreditasi sekolah (Bo ery, 2007:164).

Gaya kepemimpinanRobens ne (2000) mendefi nisikan gaya

kepemimpinan sebagai cara memberikan arahan, membangun sistem dan memo vasi orang. Richmon & Allison (2003) menyebut gaya kepemimpinan sebagai pola perilaku yang mendorong terjadinya ndakan. Beberapa prak si kepemimpinan telah membentuk berbagai kategorisasi gaya kepemimpinan. Bass (1985), misalnya, mengklasifi kasikan gaya kepemimpinan ke dalam ga kategori: kepemimpinan transformasional, transaksional, dan laissez-faire. Banyak ahli telah melakukan

peneli an tentang gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional (Barne dkk., 2001; Bass, 1985; Downton, 1973;) dan menunjukkan kontradiksi antara keduanya (Bush & Glover, 2014). Burns (1978) menemukan bahwa kepemimpinan transaksional terjadi ke ka seorang individu memimpin komunikasi untuk mencapai tujuan kolek f, sementara kepemimpinan transformasional terjadi ke ka pemimpin dan pengikut bersatu dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang jauh lebih nggi dari yang disepaka untuk kepen ngan bersama. Bass (1985) mencatat bahwa ada variasi antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dalam hal nilai-nilai sosial: “kepemimpinan transformasional cenderung mencerminkan nilai-nilai sosial dan muncul di saat-saat sulit, sementara kepemimpinan transaksional lebih mudah dilihat pada masyarakat yang sudah tertata dengan baik” (hal. 154).

Northouse (2016), di sisi lain, menyatakan bahwa, “pemimpin transaksional dak ter-lalu memperha kan pengembangan pribadi pengikutnya” (hal. 171). Dia lebih lanjut menjelaskan bahwa pemimpin transaksional memiliki pengaruh ke ka pengikutnya meman-dang bahwa melakukan apa yang di ingin-kan pemimpin adalah yang terbaik untuk mereka. Kemudian, Northouse (2016) juga menggambarkan kepemimpinan transfor-masional sebagai proses di mana pemimpin berinteraksi dengan pengikut, dan kemudian menciptakan hubungan resiprokal yang mampu meningkatkan mo vasi dan moralitas kedua belah pihak.

Meskipun terkesan tumpang ndih, gaya kepemimpinan dak sama dengan model kepemimpinan. Gaya merujuk pada prak k atau kinerja kepemimpinan, sedangkan model merupakan alat anali k yang umumnya digunakan sebagai cara untuk memahami dan mengklasifi kasikan kepemimpinan.

Model KepemimpinanBush & Glover (2014) mengulas berbagai

model utama kepemimpinan pendidikan. Para pemimpin dapat mengadopsi semua atau sebagian dari model tersebut dalam prak k kepemimpinan mereka. Berikut adalah uraian singkat model-model kepemimpinan tersebut. Manajerial

Model kepemimpinan manajerial meni kberatkan pembagian dan penyelesaian tugas. Manajerialisme merupakan perpanjangan dari model kepemimpinan manajerial. Pendekatan model ini berorientasi pada efi siensi dan prosedur manajemen, dan mengabaikan nilai-nilai proses pendidikan (Bush, 2011). Hoyle dan Wallace (2005) berpendapat bahwa manajerialisme dapat terjadi apabila kepemimpinan manajerial dianggap terlalu mendominasi. Ke ka pemimpin terlalu fokus pada fungsi, tugas dan perilaku, terdapat kemungkinan tujuan pendidikan akan dinomor-duakan daripada tujuan manajerial.

TransformasionalKepemimpinan transformasional memercayai bahwa komitmen anggota terhadap tujuan organisasi akan mengarah pada keberhasilan organisasi (Bush & Glover, 2014). Dalam kepemimpinan transformasional, pemimpin da pat mengubah dan mentransformasi ang-gota kelompok dengan cara mengem bangkan keterampilan mereka dan meningkatkan tu juan organisasi untuk membangun pema ham an, visi, dan nilai-nilai bersama (Leithwood & Jantzi, 2000). Kepala sekolah dapat menunjukkan gaya kepemimpinan transformasional melalui enam dimensi berikut:1. Mengklasifi kasikan dan berbagi visi dan

tujuan sekolah.2. Mendorong tujuan kelompok.3. Memberikan dukungan individual.4. Menawarkan dukungan akademik.

Page 88: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

168 169Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

5. Memberikan contoh perilaku yang baik.6. Menyampaikan harapan kinerja yang

nggi.(Leithwood & Jantzi, 2000).

Moral dan oten kSeper yang disampaikan di atas, kepemimpinan transformasional meni kberatkan pada pencapaian tujuan organisasi. Namun demikian, dak semua tujuan itu layak atau baik sifatnya. Kita semua mempunyai versi pemimpin karisma k atau transformasional, tapi visi dan tujuannya bisa saja dak bermoral (contohnya: Hitler).

Pendekatan kepemimpinan moral dak sama dengan model transformasional, karena penekanannya berada pada integritas. Model ini mengasumsikan bahwa fokus utama kepemimpinan harus berada pada nilai-nilai, kepercayaan dan e ka para pemimpin itu sendiri. Jabatan dan pengaruh harus bermuara pada kebenaran dan kebaikan (Leithwood dkk., 1999:10). Beberapa is lah lain digunakan untuk menggambarkan kepemimpinan berbasis nilai ini, di antaranya: kepemimpinan e s (Ste ovich dan Begley 2007; Starra 2007), kepemimpinan oten k (Begley 2007) dan kepemimpinan spiritual (Woods, 2007).

West-Burnham (1997:239) menjelaskan dua dimensi yang dapat mengkategorikan suatu model kepemimpinan sebagai kepemimpinan “moral”. Pertama, kepemimpinan moral dapat digambarkan sebagai kepemimpinan “spiritual” yang mengakui terdapat kekuatan besar lain di luar kendali manusia, biasanya behubungan dengan agama tertentu. Pemimpin semacam ini memiliki seperangkat prinsip yang memberikan dasar kesadaran dan keterbatasan diri. Survei Woods (2007:148) menemukan bahwa 52% guru di Inggris merasa “diilhami atau didukung oleh kekuatan agama” dalam melaksanakan peran kepemimpinan. Kedua, West-Burnham (1997:241) menyatakan bahwa kepemimpinan moral didasari oleh

“kepercayaan moral”, yaitu kapasitas untuk ber ndak secara selaras dan konsisten dengan sistem e ka dari waktu ke waktu.

TransaksionalKepemimpinan transaksional pada dasarnya menunjukkan hubungan “menerima dan memberi”, di mana guru melakukan pekerjaan, sedangkan pemimpin memberi mereka penghargaan dalam bentuk gaji dan insen f (Bush & Glover, 2014). Penggunaan sistem penghargaan atau hukuman untuk menilai kinerja anggota kelompok adalah fi tur khas kepemimpinan transaksional yang banyak diadopsi oleh kalangan militer dan pejabat ekseku f dari perusahaan besar (Spahr, 2014). Hubungan antara pemimpin transaksional dan pengikutnya umumnya didasarkan pada mbal balik atau tawar menawar dalam

pencapaian tujuan organisasi.

TerdistribusiKepemimpinan terdistribusi telah memperoleh popularitas dan perha an yang sangat signifi kan di abad ke-21. Menurut Harris (2010), hal ini menggambarkannya adanya “perluasan peran kepemimpinan di sekolah, dak hanya terbatas pada jabatan formal atau administra f” (hal. 55). Gagasan kepemimpinan terdistribusi dikembangkan dari kata “distribusi”, yang menggambarkan kepemimpinan sebagai hal yang dapat “dibagi” kepada berbagai individu melalui peran dan tugas yang berbeda (Spillane dkk., 2004). Yukl (2002) menggarisbawahi pen ngnya kerja m dengan mendefi nisikan kepemimpinan terdistribusi sebagai:

“Sebuah proses bersama untuk meningkatkan kapasitas individu dan kolek f untuk menyelesaikan pekerjaan secara efek f ... Tidak hanya bergantung pada seorang pemimpin, fungsi-fungsi kepemimpinan didistribusikan kepada anggota m atau organisasi yang berbeda”.

(Yukl, 2002:432)

Gronn (2002) menambahkan bahwa fi tur yang paling membedakan kepemimpinan terdistribusi adalah konsep “aksi bersama”. Benne dkk. (2003) menjelaskan aksi bersama sebagai:

“Keadaaan di mana orang-orang bekerja sama sedemikian rupa, sehingga mereka mengumpulkan inisia f dan keahlian mereka, dan hasilnya adalah produk atau energi yang lebih besar dari jumlah ndakan individu mereka”.

(Bennett dkk., 2003:441)

InstruksionalMenurut Bush & Glover (2014), gagasan kepemimpinan instruksional dimulai di Amerika Utara pada 1980-an, dan kemudian banyak diadopsi di negara-negara lain. Beberapa negara mengenal konsep ini sebagai “kepemimpinan yang berpusat pada pembelajaran”. Pemimpin instruksional digambarkan sebagai individu yang memiliki orientasi kuat pada proses dan hasil pembelajaran (Hallinger, 2005: Robinson dkk., 2008). Peneli an meta analisis yang dilakukan Robinson dkk. (2008) menemukan bahwa kepemimpinan instruksional adalah model kepemimpinan terkuat dalam meningkatkan hasil pembelajaran peserta didik. Hallinger (2005) mencatat terdapat ga dimensi kepemimpinan instruksional,

di antaranya: menentukan misi sekolah, mengelola program pengajaran, dan mengembangkan iklim pembelajaran sekolah yang posi f. Meskipun kepemimpinan instruksional sering dikaitkan dengan efek vitas sekolah dan prestasi peserta didik, model ini menuai banyak kri k karena terlalu fokus pada pengaruh kepala sekolah dan mengabaikan peran pemimpin lainnya (Hallinger, 2003; Bush & Glover, 2014).

Kombinasi Transformasional dan instruksional

Para ahli telah meneli pengaruh penggabungan dua model kepemimpinan – transformasional dan instruksional – tehadap hasil belajar peserta didik (Day dkk., 2016). Model ini menggarisbawahi pen ngnya menggabungkan berbagai kombinasi dan strategi yang dapat meningkatkan kondisi pekerjaan dan budaya organisasi. Day dkk. (2016) lebih lanjut menjelaskan bahwa satu model kepemimpinan tertentu daklah cukup untuk memberikan pengaruh jangka panjang terhadap keberhasilan dan efek vitas sekolah.

Instruksional terdistribusiKepemimpinan instruksional

terdistribusi menjelaskan bagaimana prak k kepemimpinan di sekolah dapat menjadi hal yang terbuka, sekaligus bagaimana lingkungan belajar dapat dirancang dengan baik (Halverson & Cliff ord, 2013). Menurut Bredeson (2013), kepemimpinan instruksional terdistribusi:

“Dikonseptualisasikan sebagai karakteris k organisasi yang diar kulasikan melalui kerja kolabora f antara kepala sekolah dan guru dalam membangun kondisi, struktur, proses, dan prak k yang mampu memengaruhi desain dan prak k pengajaran demi hasil pembelajaran peserta didik yang op mal”.

(Bredeson, 2013: 365)

Pellicer dkk. (1990) menjelaskan bahwa kepemimpinan instruksional bergantung pada tanggung jawab yang didistribusikan secara proporsional antara guru dan pemimpin. Studi lain melaporkan hubungan posi f antara par sipasi guru dalam proses pengambilan keputusan, dan penurunan ke dakhadiran guru di sekolah (Rosenholz, 1989; Sickler, 1988).

Page 89: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

170 171Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

HibridaGronn (2008) mendefi nisikan

kepemimpinan hibrida sebagai pola kepemimpinan campuran. Dua tahun kemudian, Gronn (2010) mengungkapkan bahwa kepemimpinan hibrida memberikan ruang yang terbuka bagi kombinasi pendekatan terdistribusi dan individu. Konsep dasar hibriditas berada pada kombinasi antara kepemimpinan terdistribusi dan berbagai pendekatan dan upaya bersama untuk membawa perubahan pada organisasi pendidikan (MacBeath, 2005; Gronn, 2009).

Peneli an tentang Kepemimpinan PAUD di Tingkat Global

Meskipun kepemimpinan pendidikan sering dianalogikan sebagai sebuah industri besar yang tengah berkembang pesat di berbagai negara selama 30 terakhir (Bush dan Glover, 2014; Day dkk., 2000; Leithwood, 2007), sebagian besar peneli an tentang kepemimpinan pendidikan terbatas pada pendidikan dasar dan menengah. Banyak di antara peneli an tersebut juga bersifat anekdotal (Aubrey, 2011) dan hanya fokus pada keefek fan model kepemimpinan tertentu (Makel and Plucker, 2014). Peneli an tentang kepemimpinan PAUD masih sangat jarang ditemukan, kecuali di negara-negara seper Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Inggris dan Rusia (Hujala, 2004). Masing-masing negara memiliki fokus peneli an yang berbeda. Finlandia dan Inggris, misalnya, memprioritaskan pedagogi, dan negara-negara lainnya fokus pada peningkatan kapasitas para pemimpin lembaga PAUD.

Di banyak negara, layanan layanan pendidikan dan perawatan anak seringkali diselenggarakan secara terpisah (Rood, 2013). Tidak terlalu jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, di Jepang, contohnya, terdapat dua jenis layanan untuk anak-anak usia dini, yaitu taman kanak-kanak, yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan

Teknologi, dan peni pan anak, yang diawasi oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan (Hujala dkk., 2016). Secara alfabe s, berikut adalah beberapa temuan pen ng dari peneli an tentang kepemimpinan PAUD di negara-negara maju.

Di Amerika Serikat, Talan dkk. (2014) mensurvei 502 peserta program pela han kepemimpinan di kota Illinois untuk melihat perkembangan profesi pemimpin Satuan PAUD di kota tersebut. Mereka menemukan bahwa faktor-faktor pen ng yang memengaruhi kepemimpinan PAUD di antaranya adalah: kapasitas untuk menerima dan mengelola perubahan, gaya komunikasi, dan kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. Mereka menyarankan agar program pengembangan profesi pemimpin Satuan PAUD dapat dilaksanakan secara intensif dan sistema s.

Di Australia, guru memiliki peran pen ng dalam kepemimpinan PAUD, karena mereka mampu memberikan rasa nyaman dalam memberikan dukungan, serta menyediakan bimbingan kepada rekan-rekan sejawat di pusat-pusat PAUD tempat mereka bekerja (Waginayake, 2015). Colmer dkk. (2015) menyelidiki 12 direktur pusat PAUD di Australia, dan menemukan bahwa kepemimpinan PAUD di negara tersebut berkaitan erat dengan reformasi pendidikan. Studi mereka juga menunjukkan bahwa kepemimpinan yang terdistribusi merupakan faktor pen ng yang mampu mereformasi kurikulum PAUD. Meskipun dak semua direktur pusat PAUD memahami

konsep kepemimpinan terdistribusi, mereka semua mendorong guru untuk mengambil peran kepemimpinan.

Di Finlandia, peneli an oleh Heikka dkk. (2018) menemukan bahwa kepemimpinan PAUD dianggap sebagai bentuk tanggung jawab pedagogis guru. Dengan mengunjungi beberapa pusat PAUD di ga kota berbeda, mereka menemukan direktur pusat PAUD

mendistribusikan kepemimpinan kepada guru. Direktur dan guru di pusat PAUD bekerja bersama-sama untuk menghubungkan proses pembelajaran dengan visi dan misi lembaga.

Di Inggris, Aubrey (2011) menyatakan bahwa, sejak tahun 1997, pemerintah telah meningkatkan penyediaan layanan PAUD dengan memperkenalkan ga pusat PAUD, antara lain: Early Excellence Centres, Sure Start dan Neighbourhood Nursery. Kebijakan ini mendorong terjadinya peningkatan par sipasi yang signifi kan di pusat-pusat PAUD terpadu yang menawarkan layanan pendidikan dan perawatan, dukungan keluarga, dan kesehatan dan kesejahteraan. Peneli an Aubrey (2011) menemukan bahwa satu per ga pendidik dan tenaga kependidikan PAUD dak pernah menerima pela han yang memadai tentang bagaimana bekerja dengan anak-anak usia dini. Peneli an tersebut juga menemukan bahwa dalam kepemimpinan PAUD, pengambilan keputusan harus dilakukan secara kolabora f. Selain peneli an ini, Robertson & Hill (2014) menemukan bahwa pengelola dan pemimpin pusat-pusat PAUD di Inggris perlu mengembangkan kebijakan dan solusi untuk menghadapi tantangan dan masalah kompleks yang dihadapi di pusat-pusat PAUD, termasuk di antaranya isu ke daksetaraan yang dewasa ini kian kompleks dengan meningkatnya jumlah penduduk migran.

Di Rusia, reformasi kepemimpinan PAUD terlah terjadi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Vlasov & Hujala (2016) meneli perubahan ini dengan melakukan studi longitudinal antara tahun 1991 hingga 2014. Mereka menemukan terjadinya peningkatan harapan orang tua terhadap para pemimpin pusat PAUD agar lebih menjalin komunikasi dengan keluarga. Para direktur pusat PAUD di negara tersebut kini lebih banyak melaksanakan pekerjaan administrasi ke mbang melakukan kontak pribadi dengan orang tua. Hal ini

dikarekanan kepemimpinan yang didistribusikan di pusat-pusat PAUD telah meningkatkan peran kepemimpinan guru. Akibatnya, pemimpin pusat PAUD kemudian mengurangi interaksi dan komunikasi dengan keluarga.

Peneli an tentang Kepemimpinan PAUD di Kawasan Asia

Peneli an tentang kepemimpinan PAUD di benua Asia juga dak banyak ditemukan. kecuali di Cina, Hong Kong, Jepang, dan Singapura. Di Cina, Ho (2012) menemukan bahwa layanan PAUD di negara tersebut sangat tersentralisasi. Kekuasaan terpusat di tangan kepala TK, yang memiliki kendali penuh atas proses pengambilan keputusan. Guru cenderung menjadi pengikut dan enggan mengambil inisia f. Senada dengan temuan ini, Wang & Ho (2018) menyatakan bahwa strategi pemerintah adalah mereformasi layanan PAUD dengan cara mengembangkan kepemimpinan guru. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan antara inisia f kebijakan pemerintah dengan implementasi di lapangan. Di ngkat lembaga PAUD, dak banyak persiapan dan pengembangan kepemimpinan, karena kondisi sosial-budaya di negara tersebut yang memaksa orang yang bekerja di lembaga PAUD terlihat lebih seper pengasuh bayi daripada guru atau pendidik. Profesi ini dak terlalu dikenal oleh masyarakat Cina, karena kualifi kasi masuknya juga cukup rendah.

Di Hong Kong, Chan (2018) menemukan bahwa para pemimpin PAUD membutuhkan kemampuan untuk merencanakan dan mengelola program yang baik. Kepala Taman Kanak-Kanak (TK) juga harus memiliki kemauan untuk meningkatkan profesionalisme dan kemampuan berjejaring. Chan (2018) juga menemukan bahwa kepemimpinan TK di negara tersebut sangat tersentralisasi, dan model kepemimpinan yang biasa diadopsi pemimpin TK di sana adalah transaksional dan transformasional.

Page 90: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

172 173Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Sebelumnya, Chan (2014) juga menemukan bahwa hubungan antara kepala TK dan guru sangat hierarkis: kepala TK sering disebut sebagai “kaisar kecil berkekuatan diktatori” (hal. 30). Kepemimpinan TK di Hong Kong sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Cina, meskipun telah dijajah oleh Inggris selama lebih dari 150 tahun. Melalui survei yang diberikan pada 72 TK di Hong Kong, Chan (2014) menemukan bahwa keterlibatan guru dalam pengambilan keputusan di TK sangat terbatas, dan guru juga jarang mengambil inisia f dalam pengambilan keputusan. Chan (2014) menyimpulkan bahwa Hong Kong merupakan konteks yang sulit untuk menerapkan kepemimpinan terdistribusi. Di sisi lain, Li (2015) menemukan hasil yang berbeda. Dengan mempelajari 706 kepala dan wakil TK, Li (2015) menyimpulkan bahwa TK di Hong Kong menunjukkan model kepemimpinan campuran; transaksional, transformasional dan terdistribusi. Pendekatan kepemimpinan kepala dan wakil TK dak dipengaruhi secara signifi kan oleh pengalaman mengajar, ukuran lembaga, ataupun kualifi kasi akademik. Li (2015) mengklaim bahwa, meskipun masih minim, TK di Hong Kong mulai menunjukkan aspek kepemimpinan terdistribusi. Li (2015) mengaitkan temuan ini dengan Program Reformasi Pendidikan yang telah diluncurkan Pemerintah Hong Kong untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kepemimpinan guru.

Di Jepang, Inoue & Kawakita (2019) baru-baru ini mengeksplorasi bagaimana kepemimpinan PAUD mampu merespon perubahan sosial. Jepang membutuhkan lebih banyak pusat PAUD karena ngginya ngkat urbanisasi dan pertumbuhan

par sipasi perempuan dalam angkatan kerja, yang mengarah pada ngginya permintaan akan pengasuhan anak. Inoue & Kawakita (2019) menyimpulkan bahwa Jepang membutuhkan penekanan yang lebih besar pada pela han manajemen, administrasi dan kepemimpinan untuk para pemimpin atau guru muda, karena pergan an jabatan di negara tersebut sangat nggi. OECD (2017) menunjukkan bahwa 55

persen orang yang bekerja di pusat PAUD di Jepang berusia di bawah 30 tahun, dan hanya 9 persen berusia di atas 50 tahun. Survei OECD menunjukkan bahwa rasio staf berusia muda dan dewasa di Jepang jauh lebih nggi daripada negara lain. Akan tetapi, Hujala dkk. (2016) berpendapat bahwa kemampuan paling pen ng bagi para pemimpin PAUD di Jepang bukanlah manajemen dan administrasi pendidikan, melainkan keterampilan dialog dan komunikasi dengan orang tua, staf, dan rekan sejawat. Hujala dkk. (2016) meneli 100 pusat PAUD di Jepang dan menilai bahwa kerukunan antarstaf adalah hal yang paling pen ng. Namun demikian, Hujala dkk. (2016) menggarisbawahi bahwa kepemimpinan perlu dimasukan ke dalam pedoman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang, karena memiliki peran yang sangat pen ng dalam meningkatkan kualitas program PAUD di negara tersebut.

Di Singapura, studi Vijayadevar dkk (2019) menunjukkan bahwa pemerintah mendorong kepala PAUD agar memperkuat kolaborasi satu sama lain. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan menyelenggarakan pengembangan profesi bagi kepala PAUD selama 10 bulan sejak tahun 2015. Namun demikian, Vijayadevar dkk. (2019) menemukan bahwa kompe si di antara para kepala PAUD sangatlah nggi, dan mereka cenderung mengklaim bahwa pusat PAUD mereka lebih baik dari pusat PAUD lain. Sistem pendidikan Singapura memang mendorong terjadinya kompe si sehingga kolaborasi antarlembaga menjadi sulit dilakukan. Vijayadevar dkk. (2019) bahkan menemukan bahwa salah satu kepala pusat PAUD merasa berjuang seorang diri dalam pekerjaannya, dan berpendapat bahwa kepemimpinan dak lebih dari sekadar “bekerja dalam kesendirian” (hal. 84).

Studi lain yang dilaksanakan Hujala dkk. (2016) di Singapura menemukan bahwa banyak pemimpin pusat PAUD di negara tersebut harus berjuang keras menghadapi ngginya pergan an staf. Guru dapat dengan mudah mengundurkan diri dan kemudian memilih

bekerja di pusat PAUD lain yang menawarkan gaji lebih nggi. Priva sasi pusat PAUD di Singapura memang sangat signifi kan, di mana 99,7 persen pusat PAUD dimiliki sektor swasta. Sebelum menempa jabatan kepala, para pemimpin pusat PAUD di Singapura harus memperoleh dua buah ijazah terlebih dahulu, yaitu ijazah pendidikan dan kepemimpinan.

Peneli an tentang Kepemimpinan PAUD di Indonesia

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, peneli an tentang kepemimpinan pendidikan tumbuh dengan pesat di berbagai negara. Akan tetapi, di Indonesia, hal ini masih belum banyak dilakukan. Sebagian besar peneli an yang ada pun hanya fokus pada pendidikan dasar dan menengah. Berdasarkan penelurusan dalam jaringan, terdapat 18 ar kel tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia yang dimuat dalam sumber bereputasi nggi dan berbahasa inggris. Yang dimaksud dengan sumber bereputasi nggi adalah sumber yang secara khusus mempublikasi peneli an tentang administrasi, manajemenen, dan kepemimpinan pendidikan, atau jurnal yang memiliki peringkat kuar l satu atau dua. Kedua sumber rujukan tersebut juga menggunakan bahasa Inggris berstandar penutur asli. Dari 18 ar kel internasional tersebut, dak ada satu pun yang mengangkat peneli an kepemimpinan PAUD atau jalur pendidikan selain pendidikan formal. Raihani merupakan penulis pertama dari Indonesia yang mempublikasikan peneli an tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia dalam jurnal internasional berkaliber dunia. Tabel 1 menyajikan informasi tentang penulis, fokus peneli an, dan jurnal internasional yang memuat studi tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia mulai dari tahun 2006-2019.

Sofo dkk. (2012), misalnya, menyatakan bahwa Indonesia telah melakukan reformasi pendidikan melalui penerapan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Perubahan signifi kan termasuk melaksanakan

sistem otonomi sekolah, di mana kepala sekolah diberikan wewenang yang lebih besar untuk mereformasi pendidikan di satuan pendidikan masing-masing. Akan tetapi, harapan ini belum sepenuhnya tercapai. Senada dengan hal ini, Jawas (2017) menemukan bahwa, meskipun otonomi pendidikan telah dilaksanakan selama lebih dari satu dekade di Indonesia, pengaruh pemerintah terhadap kepemimpinan pendidikan pada ngkat satuan pendidikan masih tetap sangat besar. Kepala sekolah masih bergantung pada pedoman dan kebijakan dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, banyak kepala sekolah cenderung dak memiliki inisia f untuk memulai atau menjadi krea f dalam menjalankan peran kepemimpinan yang dimilikinya. Jawas (2017) merekomendasikan agar para kepala sekolah di Indonesia dapat mengadaptasi kepemimpinan instruksional untuk mengatasi masalah ini.

Hariri dkk. (2014) meneli hubungan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dan pengambilan keputusan. Mereka mensurvei 475 guru di enam Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Provinsi Lampung dan Pulau Sumatera. Mereka menemukan ga hal pen ng, yaitu: (i) para guru percaya bahwa kepala sekolah cenderung menerapkan kepemimpinan transformasional daripada pendekatan transaksional; (ii) kepala sekolah mengadopsi gaya pengambilan keputusan yang rasional; dan, (iii) para guru merasa puas dengan kepemimpinan kepala sekolah.

Wiyono (2018) mensurvei 120 Kepala Sekolah Dasar (SD) di Malang. Dia menemukan bahwa evaluasi diri merupakan teknik pengembangan diri yang cukup efek f dalam meningkatkan kepemimpinan transformasional, dan dalam meningkatkan mo vasi guru dan kerjasama m. Dia menganggap bahwa pemimpin dapat

memiliki kinerja lebih baik apabila memiliki kesadaran diri dan sering melakukan evaluasi diri. Selain itu, Wiyono (2018) juga menemukan bahwa kepemimpinan transformasional kepala sekolah memiliki pengaruh signifi kan terhadap kesuksesan sekolah.

Page 91: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

174 175Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Tabel 1 Peneli an tentang Kepemimpinan Pendidikan di Indonesiapada Jurnal Q1 dan Q2, 2006-2019

Tahun Penulis Judul Jurnal

2006 Raihani & Gurr, D. Value-Driven School Leadership: An Indonesian Perspective

Journal of the Australian Council for Educational Leaders

2008 Raihani An Indonesian model of successful school leadership

Journal of Educational Administration

2011 Parker, L. & Raihani

Democratizing Indonesia through education? community participation in Islamic Schooling

Educational Management Administration and Leadership

2012 Bandur, A. School-based management developments: challenges and impacts

Journal of Educational Administration

2012 Hariri, H., Monypenny, R. & Prideaux, M.

Principalship in an Indonesian school context: can principal decision-making styles signifi cantly predict teacher job satisfaction?

School Leadership and Management

2012 Lee, M. & Hallinger, P.

National contexts infl uencing principals’ time use and allocation: economic development, societal culture, and educational system

School Eff ectiveness and School Improvement

2014 Sofo, F., Fitzgerald, R. & Jawas, U.

Instructional leadership in Indonesian school reform: overcoming the problems to move forward

School Leadership and Management

2014 Hariri, H., Monypenny, R. & Prideaux, M.

Leadership styles and decision-making styles in an Indonesian school context

School Leadership and Management

2014 Raihani, Gurr, D., & Drysdale, L.

Indonesia: Leading an Islamic school in a multicultural setting in Indonesia

Leading Schools Successfully: Stories from the fi eld

2015 Sumintono, B., Sheyoputri, E. Y. A., Jiang, N., Misbach, I. H., & Jumintono

Becoming a principal in Indonesia: possibility, pitfalls and potential

Asia Pacifi c Journal of Education

2015 Uhbiyati, N. A competency-based model of the human resource development management of ustadz at salaf boarding school

International Journal of Educational Management

2016 Hariri, H., Monypenny, R. & Prideaux, M.

Teacher-perceived principal leadership styles, decision-making styles and job satisfaction: how congruent are data from Indonesia with the anglophile and western literature?

School Leadership and Management

2017 Damanik, E. & Aldridge, J.

Transformational leadership and its impact on school climate and teachers’ self-effi cacy in Indonesian high schools

Journal of School Leadership

2017 Jawas, U. The infl uence of socio-cultural factors on leadership practices for instructional improvement in Indonesian schools

School Leadership and Management

2018 Bandur, A. Stakeholders’ responses to school-based management in Indonesia

International Journal of Educational Management

2018 Shulhan, M. Leadership style in the madrasah in Tulungagung: how principals enhance teacher’s performance

International Journal of Educational Management

2018 Wiyono, B. B. The eff ect of self-evaluation on the principals’ transformational leadership, teachers’ work motivation, teamwork eff ectiveness, and school improvement

International Journal of Leadership in Education

2019 Sumintono, B., Hidayat, R., Patras, Y. E., Sriyanto, J., & Izzati, U. A.

Leading and Managing Schools in Indonesia: Historical, Political and Socio-cultural Forces

Perspectives on School Leadership in Asia Pacifi c Contexts

Dalam konteks PAUD, terdapat beberapa peneli an di Indonesia yang telah dipublikasikan di beberapa jurnal internasional berperingkat kuar l satu atau dua. Namun demikian, dak satu pun ar kel atau studi yang dipublikasi pada jurnal internasioal bereputasi nggi meneli kepeminpinan PAUD di Indonesia. Beberapa ar kel pen ng tentang PAUD di Indonesia yang dapat diperoleh pada jurnal internasional di antaranya ditulis oleh Thomas (1992), Newberry (2010), Andriany (2018; 2019), Newberry & Marpinjun (2018), Octarra & Hendria (2018), dan Nakajima dkk. (2019). Baru-baru ini Nakajima dkk. (2019), misalnya, meneli pengaruh PAUD pada kesiapan sekolah di Indonesia, sebagai bagian dari kolaborasi peneli an antara Australia, Belanda, Korea Selatan, dan Bank Dunia. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang mengiku program Kelompok Bermain (KB) (usia 3-4 tahun) dan kemudian melanjutkan ke Taman Kanak-Kanak (TK) (usia 5-6 tahun) memperoleh nilai Matema ka dan bahasa yang jauh lebih nggi ke ka mengiku ujian di SD, dibandingkan anak-anak yang hanya menda ar di KB atau TK saja.

Peneli an yang dilaksanakan Bank Dunia (Denboba dkk., 2015) merupakan salah satu studi paling komprehensif tentang PAUD di Indonesia. Denboba dkk. (2015) meneli pengaruh PAUD terhadap perawatan kesehatan, nutrisi, perlindungan sosial, dan perlindungan anak, tetapi dak membahas aspek kepemimpinan. Salah satu temuan peneli an Denboba dkk. (2015) mengangkat rendahnya frekuensi pela han guru dan kepala sekolah PAUD di Indonesia.

Setelah menjelajahi berbagai mesin pencari dalam jaringan (Google Scholar dan Nusearch), dak ditemukan studi terpublikasi internasional

yang meneli tentang kepemimpinan PAUD di Indonesia. Namun, terdapat beberapa ar kel dalam jurnal berbahasa Indonesia yang meneli manajemen atau pengelolaan lembaga PAUD di Indonsia. Meskipun sebagian besar dak mengiku prak k e ka yang baik, sumber-sumber ini paling dak memberikan sedikit gambaran

tentang bagaimana kepemimpinan PAUD di Indonesia yang masih dianggap sebagai suatu hal yang dak lebih dari sekadar manajemen. Yelsi & Kurniah (2016), contohnya, membahas dampak kepemimpinan kepala TK terhadap kinerja guru. Mereka melakukan peneli an di 10 TK di Muara Bangkahulu, Bengkulu. Mereka menemukan bahwa kepemimpinan kepala TK cukup dominan dalam memengaruhi kinerja guru. Faktor-faktor lain yang memengaruhi kinerja guru adalah latar belakang pendidikan dan gaji.

Senny dkk. (2018) meneli dua unit TK di Kecamatan Sidoreja, Jawa Tengah. Mereka menemukan bahwa kedua kepala TK tersebut belum mampu menerapkan kepemimpinan transformasional, dan cenderung menerapkan kepemimpinan transaksional. Para guru juga dak krea f dan dak mampu mengembangkan

potensi diri mereka sendiri. Hal ini mengakibatkan banyak guru mengundurkan diri pada se ap tahunnya untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih nggi.

Implikasi bagi Pemimpin Satuan PAUDBerbagai buk peneli an empiris dan

literatur konseptual memberikan buk yang kuat atas pen ngnya kepemimpinan pendidikan bagi lembaga pendidikan. Kepemimpinan juga menempa peringkat kedua setelah pengajaran yang memiliki potensi nggi untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran peserta didik. Dengan kondisi sistem pendidikan yang semakin terdesentralisasi, solusi paling baik untuk memperbaiki kinerja lembaga pendidikan yang buruk adalah melalui kepemimpinan yang kuat dan efek f.

Berbagai model kepemimpinan yang dibahas dalam ar kel ini diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi pemimpin satuan pendidikan, khususnya lembaga PAUD. Kepemimpinan manajerial dapat membuat perubahan yang ditargetkan dengan jelas, utamanya pada aspek-aspek akademis. Namun, perubahan yang terjadi bergantung pada sejauh mana pemimpin menunjukkan komitmen untuk bekerja dengan

Page 92: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

176 177Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

penuh dedikasi. Kepemimpinan transformasional mampu memperluas komitmen pemimpin untuk memperbaiki kondisi lembaga pendidikan secara keseluruhan melalui pengembangan visi yang melibatkan guru dan staf.

Keterbatasan yang seringkali disebabkan oleh struktur dan hierarki menyebabkan pen ngnya memikirkan model kepemimpinan terdistribusi, moral, atau hibrida. Apabila diadaptasi dengan baik, kepemimpinan terdistribusi akan memperluas fungsi kepemimpinan dan menekankan pen ngnya hubunga ver kal dan horizontal. Kepemimpinan moral akan mengingatkan pemimpin akan pen ngnya menjalani fungsi dan peran kepemimpinan sebagai media untuk bekerja yang dak hanya efek f, tapi juga baik dan benar. Apabila model-model kepemimpinan yang ada belum dipikir mampu membawa perubahan, kepemimpinan hibrida dapat menjadi pilihan. Pesan mendasar model kepemimpinan hibrida adalah melakukan pendekatan fl eksibel untuk memperoleh perubahan terbaik, sesuai dengan konteks yang ada.

KesimpulanKepemimpinan dan manajemen pendidikan

dewasa ini menunjukan signifi kansi global. Pemerintah di berbagai negara kian mengakui pen ngnya pendidikan sebagai alat untuk bersaing dalam ekonomi global. Dengan sistem otonomi dan desentralisasi pendidikan yang diberlakukan di hampir seluruh dunia, para pemangku kebijakan pendidikan juga kian menyadari bahwa kepemimpinan yang efek f merupakan kunci perubahan sekolah. Di banyak negara, para pemimpin lembaga pendidikan memperoleh status yang nggi di kalangan masyarakat, sebagai sebuah bentuk pengakuan atas pen ngnya profesi yang mereka emban. Hal ini merupakan hal yang baik, tapi apabila disalahgunakan, maka perubahan pendidikan hanya akan menjadi harapan semata.

Di sisi lain, studi tentang kepemimpinan PAUD di berbagai belahan dunia: barat maupun Asia, menunjukkan bahwa kepemimpinan

memiliki peran pen ng dalam memo vasi guru dan menyukseskan lembaga PAUD. Pemimpin dituntut agar dak hanya mampu melakukan pekerjaan administrasi, tapi juga pedagogi, termasuk menjalin komunikasi dengan orang tua. Namun, banyak pemimpin PAUD dak menerima dukungan yang cukup untuk mendukung peran kepemimpinan mereka. Di Indonesia, njauan literatur menunjukkan bahwa kepemimpinan PAUD masih kurang diteli , tanpa adanya publikasi internasional, dan studi lokal pun masih terbatas. Dalam hal ini, dorongan peneli an perlu di ngkatkan, dan perha an terhadap pengembangan profesi pemimpin PAUD perlu di ngkatkan. Berbagai model dan pendekatan kepemimpinan dari negara-negara barat dapat dijadikan rujukan, tapi dak serta merta dapat diadaptasi mengingat konteks Indonesia yang memiliki kekhasan tersendiri.

CatatanPendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit.

Tentang penulis

Cecep Somantri merupakan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (Magister dan Doktoral) dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Ia menyelesaikan Masters in Educa onal Leadership and Management (ELM) dengan nilai Dis nc on (Cum Laude) dari University of No ngham, United Kingdom pada tahun 2017. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan Doctor of Philosophy (PhD) pada bidang dan universitas yang sama.

Da ar Pustaka

Adriany, V. (2018). The internationalisation of early childhood education: Case study from selected kindergartens in Bandung, Indonesia. Policy Futures in Education, 16(1):92–107.

Adriany, V. (2019). I don’t want to play with the Barbie boy: Understanding Gender-Based Bullying in a Kindergarten in Indonesia. International Journal of Bullying Prevention. 1, 246–254.

Aubrey, C. (2011). Leading and Managing in the Early Years. London: SAGE.

Bandur, A. (2012). School-based management developments: challenges and impacts. Journal of Educational Administration, 50(6):845–873.

Bandur, A. (2018). Stakeholders’ responses to school-based management in Indonesia. International Journal of Educational Management, 32(6):1082–1098.

Barnett, K., McCormick, J. & Conners, R. (2001). Transformational leadership in schools – panacea, placebo or problem? Journal of Educational Administration, 39(1):24-46.

Bass, B. M. (1985). Leadership and performance beyond expectations. New York: Free Press.

Bell, L. (1991). Educational Management: An Agenda for the 1990s. Educational Management and Administration, 19(3):136–40.

Bennett, N., Harvey, J., Wise, C. & Woods, P. (2003). Distributed Leadership: A Desk Study. Nottingham: NCSL.

Bolam, R. (2004). Refl ections on the NCSL from a Historical Perspective. Educational Management: Administration and Leadership, 32(3):251–67.

Bottery, M. (1998). Professionals and Policy. London: Cassell.

Bottery, M. (2007). New Labour Policy and School Leadership in England: Room for Manouevre? Cambridge Journal of Education, 37(2):153–172.

Bredeson, P.V. (2013). Distributed instructional leadership in urban high schools: Transforming the work of principals and department chairs through professional development. Journal of School Leadership, 23(2):362-388.

Bush, T. & Glover, D. (2014) School leadership models: what do we know? School Leadership &

Management, 34(5):553-571.

Bush, T. (2008). From Management to Leadership: Semantic or Meaningful Change? Educational Management, Administration and Leadership, 36(2):271–288.

Bush, T. (2011). Theories of Educational Leadership and Management. 4th ed. London: Sage.

Bush, T. & Glover, D. (2003) School Leadership: Concepts and Evidence. Nottingham: NCSL.

Chan, C. W. (2014). The leadership styles of Hong Kong kindergarten principals in a context of managerial change. Educational Management Administration and Leadership, 42(1):30–39.

Chan, C. W. (2018). Leading today’s kindergartens: Practices of strategic leadership in Hong Kong’s early childhood education. Educational Management Administration and Leadership, 46(4):679–691.

Damanik, E. & Aldridge, J. (2017). Transformational leadership and its impact on school climate and teachers’ self-effi cacy in Indonesian high schools. Journal of School Leadership, 27(2):269–296.

Day, C., Gu, Q., & Sammons, P. (2016). The Impact of Leadership on student outcomes: How successful School Leaders use transformational and instructional strategies to make a diff erence. Educational Administration Quarterly, 1-38.

Day, C., Harris, A., & Hadfi eld, M. (2001). Challenging the Orthodoxy of Eff ective School Leadership. International Journal of Leadership in Education, 4(1):39–56.

Day, C., Harris, A., Hadfi eld, M., Tolley, H. & Beresford, J. (2000). Leading Schools in Times of Change. Philadelphia: Open University Press.

Downton, J.V. (1973). Rebel Leadership: Commitment and Charisma in the Revolutionary Process. New York: The Free Press.

Gronn, P. (2002). Distributed Leadership. in K. Leithwood, P. Hallinger, Educational Management Administration & Leadership 32(4).

Gronn, P. (2008). Hybrid leadership. In Leithwood, K., Mascall, B. and Strauss, T. (eds), Distributed Leadership according to the Evidence. Abingdon: Routledge, 17–40.

Gronn, P. (2009). From distributed to hybrid leadership practice. Dalam Distributed leadership (197-217). Dordrecht: Springer.

Page 93: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

178 179Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Gunter, H. (2004). Labels and Labelling in the Field of Educational Leadership. Discourse – Studies in the Cultural Politics of Education, 25(1):21–41.

Gunter, H. (2016) An intellectual history of school leadership practice and research. London: Bloomsbury Academic.

Hallinger, P. (2003). Leading educational change: Refl ections on the practice of instructional and transformational leadership. Cambridge Journal of education, 33(3):329-352.

Hallinger, P. (2005). Instructional leadership and the school principal: A passing fancy that refuses to fade away. Leadership and policy in schools, 4(3):221-239.

Halverson, R. & Cliff ord, M. (2013). Distributed instructional leadership in high schools. Journal of School Leadership, 23(2):389-419.

Hargreaves, D. (2010). Creating a Self-Improving School System. Nottingham: National College.

Hariri, H., Monypenny, R. & Prideaux, M. (2012). Principalship in an Indonesian school context: can principal decision-making styles signifi cantly predict teacher job satisfaction? School Leadership and Management, 32(5):453-471.

Hariri, H., Monypenny, R. & Prideaux, M. (2014). Leadership styles and decision-making styles in an Indonesian school context. School Leadership and Management, 34(3):284–298.

Hariri, H., Monypenny, R. & Prideaux, M. (2016). Teacher-perceived principal leadership styles, decision-making styles and job satisfaction: how congruent are data from Indonesia with the anglophile and western literature? School Leadership and Management, 36(1):41–62.

Harris, A. (2003). Teacher leadership and school improvement. Dalam A. Harris dkk. (Eds.), Eff ective leadership for school improvement (82-93). London: Routledge.

Heikka, J., Halttunen, L., & Waniganayake, M. (2018). Perceptions of early childhood education professionals on teacher leadership in Finland. Early Child Development and Care, 188(2):143-156.

Ho, D. (2012). The Paradox of Power in Leadership in Early Childhood Education. Peabody Journal of Education, 87(2):253–266.

Hoyle, E. & Wallace, M. (2005). Educational leadership:

Ambiguity, professionals and managerialism. Sage.

Hujala, E. (2004). Dimensions of leadership in the childcare context. Scandinavian Journal of Educational Research, 48(1):53–71.

Hujala, E. dkk. (2016) Leadership Tasks in Early Childhood Education in Finland, Japan, and Singapore. Journal of Research in Childhood Education, 30(3):406–421.

Inoue, C & Kawakita, M (2019). Current Japanese leadership roles in meeting social changes in early childhood education. Dalam Strehmel dkk (eds) Leadership in Early Education in Times of Change: Research from fi ve Continents. Opladen Germany: Verlag Barbara Budrich , 201-215.

Jawas, U. (2017). The infl uence of socio-cultural factors on leadership practices for instructional improvement in Indonesian schools. School Leadership and Management, 37(5):500–519.

Lee, M. & Hallinger, P. (2012). National contexts infl uencing principals’ time use and allocation: economic development, societal culture, and educational system. School Eff ectiveness and School Improvement, 23(4):461-482.

Leithwood, K. (2007). What We Know about Educational Leadership. In J.M. Burgers, C.F. Webber, and P. Klinck (Eds.), Intelligent Leadership: Construct for Thinking Education Leaders. Dordrecht: Springer, 41- 66.

Leithwood, K. and Jantzi, D. (2000). The eff ects of transformational leadership on organizational conditions and student engagement with school. Journal of Educational Administration, 38(2):.112-129.

Leithwood, K. Harris, A., & Hopkins, D. (2020). Seven strong claims about successful school leadership revisited. School Leadership & Management, 40(1):5-22.

Leithwood, K., Day, C., Sammons, P., Harris, A., & Hopkins, D. (2006). Seven Strong Claims about Successful School Leadership. London: DfES.

Leithwood, K., Jantzi, D., & Steinbach, R. (1999). Changing Leadership for Changing Times. Buckingham: Open University Press.

Li, Y. L. (2015). The Culture of Teacher Leadership: A Survey of Teachers’ Views in Hong Kong Early Childhood Settings. Early Childhood Education Journal, 43(5):435–445.

MacBeath, J. (2005). Leadership as distributed: A matter of practice. School leadership and management, 25(4):349-366.

Makel, M.C. and Plucker, J.A. (2014). Facts are more important than novelty: replication in the education sciences. Educational Researcher, 43(6):304-316.

Nakajima, N. dkk. (2019) Investing in school readiness: A comparison of diff erent early childhood education pathways in rural Indonesia. International Journal of Educational Development. 69, 22–38.

Newberry, J. (2010). The global child and non-governmental governance of the family in post-Suharto Indonesia. Economy and Society, 39(3):403–426.

Newberry, J., & Marpinjun, S. (2018). Payment in heaven: Can early childhood education policies help women too? Policy Futures in Education, 16(1), 29–42.

Northouse, P. (2016). Leadership. 7th ed. Los Angeles, CA: SAGE Publications, Inc., 162-171.

Octarra, H. S., & Hendriati, A. (2018). Old, borrowed, and renewed: A review of early childhood education policy in post-Reform Indonesia. Policy Futures in Education, 16(1), 80–91.

OECD (2017). Starting Strong V: Transitions from Early Childhood Education and Care to Primary Education, Starting Strong. Paris: OECD Publishing.

Parker, L. & Raihani, R. (2011). Democratizing Indonesia through education? community participation in Islamic Schooling. Educational Management Administration and Leadership, 39(6):712–732.

Pellicer, L.O., Anderson, L.W., Keefe, J.W., Kelley, E.A. & McCleary, L. (1990). High School Leaders and Their Schools: Volume II. Profi les of Eff ectiveness. Reston, VA: National Association of Secondary School Principals.

Raihani and Gurr, D. (2006). Value-Driven School Leadership: An Indonesian Perspective. Journal of the Australian Council for Educational Leaders, 12(1):121-134.

Raihani, Gurr, D., & Drysdale, L. (2014). Indonesia: Leading an Islamic school in a multicultural setting in Indonesia. In C. Day, & D. Gurr (Eds.), Leading Schools Successfully: Stories from the fi eld. UK: Routledge, 184-193.

Raihani. (2008). An Indonesian model of successful school leadership. Journal of Educational Administration, 46(4):481–496.

Richmon, M.J. & Allison, D.J. (2003). Toward a conceptual framework for leadership inquiry. Educational Management & Administration, 31(1): 31-50.

Robenstine, C. (2000). School choice and administrators: Will principals become marketers? The Clearing House: A Journal of Educational Strategies, Issues and Ideas, 74(2):95-98.

Robertson, L. H., & Hill, D. (2014). Policy and ideologies in schooling and early years education in England: Implications for and impacts on leadership, management and equality. Management in Education, 28(4):167–174.

Robinson, V., Lloyd, C., & Rowe, K. (2008). The Impact of Leadership on Student Outcomes: An Analysis of the Diff erential Eff ects of Leadership Types. Educational Administration Quarterly, 44(5):635-674.

Rodd, J. (2013). Leadership in early childhood. The pathway to professionalism, 4th ed.. Sydney: Allen and Unwin.

Rosenholz, S. (1989). Teachers’ Workplace: The Social Organisation of Schools. New York: Teachers College Press.

Senny, M. H., Wijayaningsih, L. & Kurniawan, M. (2018). Penerapan Gaya Kepemimpinan Transformasional Dalam Manajemen PAUD di Kecamatan Sidorejo Salatiga. Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 8(2):197–209.

Shulhan, M. (2018). Leadership style in the madrasah in Tulungagung: how principals enhance teacher’s performance. International Journal of Educational Management, 32(4):641-651.

Sickler, J.L. (1988). Teachers in Charge: Empowering the Professionals. Phi Delta Kappan, 69(5).

Sofo, F., Fitzgerald, R. & Jawas, U. (2012). Instructional leadership in Indonesian school reform: overcoming the problems to move forward. School Leadership and Management, 32(5): 503–522.

Southworth, G. (1993). School Leadership and School Development: Refl ections from Research. School Organisation, 13(1):73-87.

Spahr, P. (2014). What is transactional leadership? How structure leads to results. Leadership is learned.

Page 94: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

11 Kegiatan LiterasiAnak Usia Dini

Nia Nurhasanah

Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini

Abstrak

Perkembangan literasi pada anak berhubungan erat dengan kemampuan berbahasa atau berkomunikasi. Literasi sudah seharusnya diperkenalkan pada anak sejak usia dini melalui proses yang

menyenangkan. Namun, nyatanya masih ditemukan prak k pembelajaran literasi atau pembelajaran membaca dan menulis serta berhitung secara konvensional pada jenjang PAUD. Anak usia dini mengiku pembelajaran membaca dan menulis dengan duduk rapi tak ubahnya prak k literasi yang diselenggarakan pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Padahal, seharusnya pembelajaran membaca dan menulis pada anak usia dini dilakukan melalui kegiatan yang bermakna dan menyenangkan. Menurut studi literatur, kemampuan literasi anak dibagi menjadi enam keterampilan (skills), antara lain: print mo va on, phonological awareness, vocabulary, narra ve skills, print awareness, dan le er knowledge. Kemampuan literasi anak usia dini dapat difasilitasi melalui berbagai macam cara yang menyenangkan, seper bernyanyi, mendongeng, menyusun kartu, mencoret, bermain peran, membaca buku cerita, membentuk huruf, dan sebagainya.

Kata kunci: pendidikan anak usia dini; kegiatan literasi; literasi untuk anak usia dini

180 181Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Spillane, J.P., Halverson, R. & Diamond, J.B. (2004). Towards a theory of leadership practice: A distributed perspective. Journal of curriculum studies, 36(1):3-34.

Starratt, R. J. (2007). Leading a Community of Learners: Learning to be Moral by Engaging the Morality of Learning. Educational Management, Administration and Leadership, 35(2): 165–183.

Stefkovich, J. & Begley, P. T. (2007). Ethical School Leadership: Defi ning the Best Interests of Students. Educational Management, Administration and Leadership, 35(2):205–224.

Sumintono, B., Hidayat, R., Patras, Y. E., Sriyanto, J., & Izzati, U. A. (2019). Leading and Managing Schools in Indonesia: Historical, Political and Socio-cultural Forces. In Hairon, S. and Goh, P., J. W. (eds) Perspectives on School Leadership in Asia Pacifi c Contexts. Singapore: Springer, 31–45.

Sumintono, B., Sheyoputri, E. Y. A., Jiang, N., Misbach, I. H., & Jumintono. (2015). Becoming a principal in Indonesia: possibility, pitfalls and potential. Asia Pacifi c Journal of Education, 35(3):342–352.

Talan, T. N., Bloom, P. J., & Kelton, R. E. (2014). Building the leadership capacity of early childhood directors: An evaluation of a leadership development model. Early Childhood Research and Practice, 16(1): 1-10.

Thomas, R. M. (1992). Early childhood teacher education in Indonesia. Early Child Development and Care, 78(1):85–94.

Thoonen, E., Sleegers, P., Oort, F., Thea, T. D., Peetsma, T., Femke, P., & Geijsel, P. (2011). How to Improve Teaching Practices: The Role of Teacher Motivation, Organizational Factors and Leadership Practices. Educational Administration Quarterly, 47(3):496–536.

Uhbiyati, N. (2015). A competency-based model of the human resource development management of ustadz at salaf boarding school. International Journal of Educational Management, 29(5):695-709.

Vijayadevar, S., Thornton, K. & Cherrington, S. (2019) Professional learning communities: Enhancing collaborative leadership in Singapore early childhood settings. Contemporary Issues in Early Childhood, 20(1):79–92.

Vijayadevar, S., Thornton, K. and Cherrington, S. (2019). Professional learning communities: Enhancing collaborative leadership in Singapore early childhood settings. Contemporary Issues in Early Childhood, 20(1):79–92.

Vlasov, J. & Hujala, E. (2016). Cross-cultural interpretations of changes in early childhood education in the USA, Russia, and Finland. International Journal of Early Years Education 24(3):309–324.

Wang, M., & Ho, D. (2018). Making sense of teacher leadership in early childhood education in China. International Journal of Leadership in Education, 2(30):1–15.

Waniganayake, M. (2015). Leading change: Issues infl uencing the role of educational leaders in Australia. Education Journal, 77 (Autumn), 12-15.

West-Burnham, J. (1997). Leadership for Learning: Re-engineering ‘Mind Sets’. School Leadership & Management, 17(2): 231–244.

Wiyono, B. B. (2018). The eff ect of self-evaluation on the principals’ transformational leadership, teachers’ work motivation, teamwork eff ectiveness, and school improvement. International Journal of Leadership in Education. Routledge, 21(6):705–725.

Woods, G. (2007). The ‘Bigger Feeling’: The Importance of Spiritual Experience in Educational Leadership. Educational Management, Administration and Leadership, 35(1):135–155.

Yelsi, E. & Kurniah, S., (2016). Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru PAUD Sekecamatan Muara Bangkahulu. Jurnal Ilmiah Potensia, 1 (2): 107–112.

Yukl, G. (2002). Leadership in Organisations. Upper Saddle River: NJ, Prentice-Hall.

Page 95: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

182 183Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

PendahuluanPeraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Penyediaan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pasal 9 menjelaskan:

(1) Pembelajaran dalam PAUD dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan berpusat pada anak dalam konteks bermain sesuai dengan ngkat pencapaian perkembangan anak.

(2) Pembelajaran dalam PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan un tuk mengop malkan seluruh potensi perkem-bangan anak dengan dak mengutamakan kemampuan baca, tulis, dan hitung.

(3) Pembelajaran dalam PAUD dak menggunakan pendekatan skolas k yang memaksa peserta didik secara fi sik maupun psikis untuk memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.

Mengacu pada peraturan tersebut, maka pembelajaran literasi bagi anak usia dini seharusnya dilakukan melalui proses yang menyenangkan dan berlangsung tanpa paksaan, serta ramah anak. Namun, fakta menunjukkan, pada jenjang PAUD terjadi beberapa ke daksesuaian pada prak k literasi, yaitu penerapan sistem belajar membaca, menulis, dan berhitung dengan cara formal dan jauh dari kondisi yang ramah anak. Syaodih (2008) menemukan 35% guru PAUD mengajarkan keterampilan akademik secara formal sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan orang tua dan prasyarat untuk memasuki SD. Kegiatan membaca hanya ditekankan pada membaca buku dengan posisi anak duduk dan buku yang dibaca adalah buku teks yang penuh dengan tulisan. Begitu juga dengan pengenalan menulis anak-anak diharuskan menulis di dalam buku tulis bergaris layaknya di SD (Asiah, 2018). Pun pada pembelajaran berhitung. Anak langsung

dikenalkan pada angka-angka yang abstrak dan masih sulit dicerna.

Selain itu, banyak pula lembaga-lembaga PAUD yang memberikan Pekerjaan Rumah (PR) pada anak-anak berupa menulis dan berhitung. Bahkan, ada pula lembaga PAUD yang menyelenggarakan les baca tulis. Padahal prak k-prak k semacam itu justru membuat anak terbebani dan bahkan membuat sebagian merasa tertekan sehingga dak menyukai kegiatan literasi (Griffi n, 2003). Anak akan mengulangi sesuatu yang menyenangkan dan akan meninggalkan serta melupakan semua hal yang dak menyenangkan dan menyakitkan.

Menurut Fauziah (2019), seharusnya kegiatan membaca dan menulis, serta berhitung di Taman Kanak-Kanak (TK) disampaikan dengan memperha kan tugas-tugas perkembangan, keunikan anak, konsep menumbuhkan pengalaman yang telah dikontruksi dan dimiliki masing-masing anak sejak lahir.

Menurut Kostelnik & Grady (2009), fungsi PAUD bagi anak dak hanya sekadar memberikan berbagai pengalaman belajar seper pada pendidikan orang dewasa, tetapi juga berfungsi untuk mengop malkan perkembangan kapabilitas dan kecerdasannya.

Peneli an Lehr & Osborn (1994) dan Gillen & Hall (2013) menyebutkan, perkembangan kogni f pada anak mencapai 50% pada usia 4 tahun dan terus berkembang hingga mencapai 80% pada usia 8 tahun. Perkembangan kogni f akan mencapai k kulminasi pada usia 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa literasi memang perlu diperkenalkan kepada anak usia dini. Namun, proses pengenalannya wajib disampaikan dengan teknik yang menyenangkan bagi anak.

Menurut Na onal Ins tutes of Children and Human Development (NICHD) (2000), literasi dini adalah kemampuan membaca dan menulis sebelum anak benar-benar mampu membaca

dan menulis. Pengembangan kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk memersiapkan manusia dengan minat baca yang nggi. Indonesia sendiri masih memiliki banyak permasalahan terkait dengan minat baca, rendahnya minat baca di Indonesia tercermin dari beberapa fakta yang memuat tentang prestasi bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.

Berdasarkan studi lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in Interna onal Reading Literacy Study (PIRLS) pada 2006, yang melibatkan siswa SD, Indonesia menempa posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Selain itu, budaya baca masyarakat Indonesia menempa posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (Thorn, 2009).

Berdasarkan keterangan dari Suyoto (2010), rendahnya minat baca juga dibuk kan dari indeks membaca masyarakat Indonesia yang baru sekitar 0,001, ar nya dari 1000 penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca nggi. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan

dengan angka minat baca di Singapura yang memiliki indeks membaca sampai 0,45.

Selain fakta-fakta di atas, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga tergambar dari produksi buku yang masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Saat ini tercatat satu buku dibaca sekitar 80.000 penduduk Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Ekseku f Kompas Gramedia, Suwandi S. Subrata. Ia menyebutkan, pada 2011 tercatat produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul buku. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sekitar 260 juta, angka ini sangat miris. Karena itu ar nya satu buku dibaca oleh 80.000 orang. Jumlah ini sangat dak masuk akal (Subrata, 2011). Dari fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa minat baca di Indonesia masih

harus di ngkatkan. Kondisi tersebut juga harus menjadi perha an semua pihak. Pemerintah mes bekerja sama dengan orang tua agar sedini mungkin memperkenalkan buku pada anak. Dengan kebiasaan membaca sejak dini, anak akan terbiasa dengan kegiatan membaca.

Literasi DiniLiterasi harus dikenalkan sejak dini pada

anak melalui kegiatan yang menyenangkan dan sesuai dengan perkembangannya. Dengan cara ini minat dan keinginan anak untuk membaca dan menulis dapat tumbuh dengan baik. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemendikbud mengingatkan, jenjang PAUD seharusnya dak membebani anak dengan kemampuan membaca, menulis, berhitung (calistung). Metode pendekatan pada jenjang PAUD dak didasarkan pada aspek kogni f, tetapi lebih menekankan pengembangan so skill dengan cara bermain. Mason & Stewart (1990) menjelaskan waktu op mal bagi kegiatan membaca permulaan dak semata-mata tergantung pada keadaan anak sendiri tetapi banyak ditentukan oleh sifat program dan metode yang digunakan.

Musthafa (2008) dalam bukunya “Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi” menyebutkan, literasi dini merupakan proses membaca dan menulis secara informal yang umumnya bercirikan seper demontrasi baca–tulis, kerja sama interak f antara orang tua dan anak, berbasis kepada kebutuhan sehari-hari, dan dengan cara pengajaran yang minimal namun langsung (minimal direct). Kegiatan membaca bagi anak usia dini bukan hanya membaca secara langsung melalui buku, melainkan juga kegiatan membaca lingkungan sekitar, membaca dan mengenal berbagai tulisan-tulisan yang ada di sekitar anak, dan membawa anak ke tempat-tempat mereka bisa terlibat langsung dengan kegiatan membaca.

Page 96: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

184 185Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Begitu pula dengan kegiatan menulis, bukan hanya menulis di sebuah buku tulis melainkan juga dapat melalui kegiatan mencoret-coret pada berbagai media dan menirukan orang dewasa yang sedang menulis. Prak k-prak k semacam itulah yang akan mengantarkan anak kepada kemampuan untuk menulis (Gerde dkk., 2012).

Kegiatan literasi dini selain menggunakan teknik yang menyenangkan, juga harus didukung oleh lingkungan yang kaya dengan berbagai pajangan baik itu poster, refl ika, ataupun media sesungguhnya seper barang-barang yang mereka sering gunakan. Barang-barang tersebut misalnya seper dus-dus bekas pasta gigi, sabun, sampo, dan kemasan-kemasan bekas makanan dan minuman yang dapat ditempel di dinding-dinding sekitar anak.

Banyaknya pajangan yang berkaitan dengan membaca dan menulis, akan merangsang kemampuan membaca dan menulis serta berhitung seorang anak. Dengan pajangan yang sering dilihat, anak akan terbiasa membaca dan menuliskannya. Beragam pengalaman literasi dini yang diperoleh anak melalui kegiatan bermain akan mempengaruhi semua fungsi aspek perkembangan lainnya (Rimm-Kaufman, dkk., 2005).

Bermain, bercerita, dan bernyanyi merupakan ga teknik pen ng dalam se ap pembelajaran

anak usia dini. Berbagai hal dan berbagai kegiatan dapat disampaikan dengan menyenangkan dan menarik bagi anak apabila kegiatan tersebut dikemas melalui bermain, bercerita, dan bernyanyi. (Notari-Syverson dkk., 2007).

BernyanyiBernyanyi merupakan kegiatan yang sangat

menarik dan digemari oleh anak-anak. Melalui nyanyian, anak dapat mengekspresikan berbagai hal dengan baik melalui kata-kata maupun melalui gerakan. Kegiatan bernyanyi merupakan bakat alami anak yang dapat dikembangkan.

Menurut Madyawa (2016) dan Vukelich, dkk. (2019), bernyanyi dapat menambah perbendaharaan kata. Pada waktu bernyanyi anak dapat mendengar dan menghafal kosakata sehingga terangsang untuk mengungkapkan dan mengatakannya. Berikut ini beberapa manfaat kegiatan bernyani bagi anak:

1. Memberi ketenangan soma k2. Menumbuhkan rasa humor3. Merangsang kemampuan berpikir4. Mengembangkan rasa harga diri5. Mendukung keberhasilan pelajaran yang lain6. Mengatasai kesulitan-kesulitan tertentu

yang dialami anak

Melalui kegiatan bernyanyi, guru dapat menyampaikan berbagai hal dengan lebih mudah dan menarik sehingga anak dapat mengingatnya lebih lama karena nyanyian dapat diulang dan didendangkan kapan pun dan dimana pun. Kasihani (2007) menyatakan, dengan lagu guru bisa lebih mudah mengajak anak untuk mengenal berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari.

BerceritaPerkenalan anak pada kegiatan literasi

merupakan proses awal untuk mengetahui dan memahami iden tasnya. Proses awal memahami iden tas tersebut salah satunya terwujud dalam kegiatan story telling atau bercerita/mendongeng. Barra -Pugh & Rohl (2020) mengatakan story telling merupakan aspek signifi kan yang mampu mempertahankan dan mengembangkan nilai dan warisan budaya.

Dengan bercerita, anak memperoleh informasi mengenai dunia, suatu keadaan di berbagai daerah, karakter manusia yang beragam, dan kebiasaan serta nilai yang dimiliki sebuah kebudayaan. Kegiatan bercerita pada anak usia dini sebaiknya menggunakan cerita anak. Hal itu disebabkan karena cerita anak menggunakan anak sebagai sudut pandang dan pusat penceritaan.

Selain untuk mendukung kegiatan literasi, cerita bagi anak usia dini memiliki beragam fungsi. Berikut adalah fungsi cerita untuk anak usia dini (Nurgiyantoro, 2016; Palmer, dkk., 2000; Wright, A., 1995).

1. Perkembangan emosional Cerita mendemonstrasikan kehidupan dalam dunia nyata. Tokoh-tokoh pada cerita yang memperagakan segala peris wa yang biasa ditemui di dalam dunia nyata ke dunia cerita. Anak-anak secara langsung akan mengiden fi kasikan dirinya kepada tokoh protagonis sehingga sikap dan ngkah laku tokoh itu seolah-olah diadopsi menjadi sikap dan ngkah lakunya.

2. Perkembangan intelektualUrutan peris wa pada sebuah cerita itu dibentuk oleh hubungan logis, yaitu hubungan sebab akibat. Hal itu menunjukkan adanya logika pengurutan. Dari hubungan itu, anak mempelajari bahwa segala sesuatu memiliki rangkaian dan saling berhubungan. Tidak ada yang muncul seke ka.

3. Perkembangan imajinasi Cerita anak meni kberatkan pada hal-hal imajina f. Dari hal-hal yang imajina f anak akan terhibur sekaligus belajar banyak hal. Daya imajinasi ini akan membantu mengembangkan fungsi logika dan intelektual anak.

4. Penumbuhan rasa sosial Dengan membaca cerita, anak akan dihadapkan pada berbagai karakter tokoh, berbagai kisah dan peris wa, serta berbagai tempat. Dari situlah, anak akan menyadari bahwa dalam hidup bukan soal dirinya saja.

5. Pertumbuhan rasa e s dan relijiusDari cerita, anak akan selalu mengiden fi kasi dirinya pada tokoh yang baik/protagonis. Iden fi kasi dirinya pada tokoh baik bukan berupa gejala narsis s, melainkan semacam

kesadaran untuk meneladani sikap dan perilaku tokoh tersebut. Memperkenalkan cerita dapat dilakukan dengan membiarkan anak membaca buku atau menceritakan cerita pada anak.

BermainKegiatan bermain sangat pen ng dalam

pengajaran dan pembelajaran terutama bahasa. Chris e & Roskos (2009) berpandangan, terdapat hubungan kegiatan bermain dengan pemupukan kemahiran literasi. Bahan bacaan bertulis dalam ruang permainan misalnya toko makanan dan mainan yang diletakkan papan tanda, menu dan nama pekerja dapat meningkatkan kemahiran literasi secara berkesan. Buk juga menunjukkan bermain yang diperkaya dengan kemahiran literasi dapat meningkatkan pengetahuan dan kemahiran anak-anak tentang fungsi perkataan bertulis, mengenal perkataan bertulis, menggunakan strategi kefahaman seper memas kan dan membetulkan sendiri perkataan bertulis yang dilihat.

Kegiatan bermain dapat meningkatkan kemahiran bahasa kanak-kanak melalui beberapa cara. Kajian Williamson & Silvern (dalam Cris e & Roskos, 2009) melihat kaitan nara f antara proses bermain dengan perkembangan literasi. Permainan fantasi bertema dapat meningkatkan pemahaman bacaan. Hasil kajian mendapa anak-anak yang banyak terlibat dengan kegiatan permainan meta (meta-play) saat bermain dapat memahami jalan cerita dengan lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang kurang terlibat dengan kegiatan permainan.

Arce (2012) berpandangan, kegiatan bermain benar-benar bermanfaat apabila anak-anak memilih sendiri kegiatan yang sesuai dengan minat mereka. Oleh itu, anak-anak seharusnya diberikan waktu secukupnya dan kebebasan bermain. Apabila anak-anak bermain dengan bebas, mereka memilih sendiri apa, bagaimana, dengan siapa

Page 97: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

186 187Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

dan berapa lama mereka hendak melakukan permainan mengikut kemampuan mereka.

Neuman & Copple (2000) melihat hubungan bermain dengan kemahiran literasi yang melibatkan simbol, struktur bunyi dan bahan bercetak. Kemahiran bahasa dan literasi dapat dipupuk melalui permainan bunyi bahasa, simbol-simbol dan konsep bahan tercetak. Cris e & Roskos (2009) juga berpendapat kebanyakan anak-anak mampu mengenal tulisan saat mereka bermain. Pengajaran dan pembelajaran bahasa melalui bermain jelas dapat meningkatkan kemahiran bahasa dan literasi anak-anak.

Anak Usia Dini Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nggi, yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. Ar nya, pendidikan harus dimulai dari usia dini, yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Dengan demikian, PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Sasaran dari layanan PAUD adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun (Permendikbud Nomor 18 Tahun 2018)

Anak usia dini adalah anak dengan usia rentang antara 0-6 tahun. Pada masa itu, para ahli sering menyebutnya sebagai masa emas atau masa golden age. Periode emas adalah masa di mana otak anak mengalami perkembangan paling cepat sepanjang hidupnya. Otak merupakan kunci utama bagi pembentukan kecerdasan anak. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan anak mencapai 80% dan akan berkembang 20% saja ke ka mereka dewasa. Itulah mengapa Montessori mengatakan bahwa otak anak pada masa golden age bagaikan spon yang siap menyerap informasi apapun yang mereka dapatkan. Walaupun secara prak k, anak-anak seringkali dak sempurna dalam menunjukkan kemampuannya (Deming, 2009).

Kemampuan Literasi Dini Anak Print Mo va on (Mo vasi Literasi)

Lancy (1994) dan Wilson (2001) menemukan bahwa anak dengan kemampuan membaca yang fasih berasal dari orang tua yang memandang membaca adalah kegiatan yang menyenangkan. Anak yang belajar dari orang tua yang memiliki kesenangan membaca akan termo vasi untuk belajar lebih keras lagi untuk membaca meskipun awalnya akan menemui kesulitan. Berpura-pura membaca, mencoba untuk mengiden fi kasi kata dan tulisan pada kaos dan kotak sereal, dan bermain dengan permainan edukasi yang diajarkan orang tua akan menjadi kegiatan pen ng dalam mengikutsertakan anak-anak dalam mengenalkan literasi (Bergin, dkk., 1994; Saracho, 2000)

Phonological Awareness (Pengenalan Suara)Adalah kemampuan mendengar dan bermain dengan suara dari kata yang sederhana. Termasuk ak vitas dengan irama, kata-kata, suku kata, dan suara awal. Anak yang lebih baik dalam memperlihatkan irama, suku kata dan fonem lebih cepat dapat membaca. Hubungan ini berlangsung bahkan seper variabel IQ, kosakata, ingatan, dan kelas sosial membuat sta s yang sepele. Dengan kata lain, kemampuan fonem adalah satu dari kunci kesuksesan anak untuk menjadi pembaca yang fasih. Ini juga sesuatu yang dapat diajarkan dan didorong melalui buku bergambar dan permainan kata (Hall dkk., 2010).

Vocabulary (Kosakata) Adalah pengetahuan tentang nama dari sesuatu atau suatu benda. Bayi mempelajari kosakata secara cepat. Peneli an yang ditemukan oleh Janellen Hu enlocher, dari Universitas Chicago menunjukkan, pertumbuhan ini jelas membutuhkan keterlibatan orang tua yang memperpanjang waktu berbicara dengan anak (Hu enlocher,

dkk., 2006). Anak dengan kemampuan mendengar dan berbicara kosakata yang luas memiliki keuntungan yang sangat besar dalam belajar membaca. Pemahaman membaca yang besar tergantung pada kemampuan mengetahui ar bagian dari kata tunggal. Untuk tambahan, proses dari hubungan dengan kata tercetak dan kata yang diucapkan lebih cepat dan lebih akurat ke ka kata itu siap diucapkan oleh anak.

Narra ve Skill (Menceritakan) Adalah kemampuan untuk mendiskripsikan sesuatu dan kejadian untuk diceritakan kembali. Ada hubungan yang erat antara berbicara bahasa dan menuliskan bahasa. Pertama, kata-kata tercetak diakui, pemahaman tentang teks sangat tergantung pada kemampuan bahasa lisan pembaca. Perkembangan bahasa pada anak usia sebelum sekolah dasar terkait erat dengan prestasi membaca. Sejumlah studi mendukung kesimpulan ini dengan mendemontrasikan korelasi antara kemampuan lisan dan membaca. Pendek kata, anak- anak yang mempunyai kosakata yang banyak dan pemahaman yang lebih baik pada bahasa memiliki nilai membaca yang lebih nggi. (Gho ng dkk., 2006)

Print Awareness (Kesadaraan Literasi) Adalah memperha kan/menandai huruf atau benda-benda terkait literasi di lingkungan sekitar, mengetahui bagaimana memegang buku dan memahami bagaimana mengiku tulisan di dalam suatu halaman (Gho ng dkk., 2006).

Le er Knowledge (Pengetahuan Huruf)Adalah mengetahui bahwa huruf itu berbeda-beda, dan beberapa huruf terlihat sama dan se ap huruf memiliki nama dan berkaitan dengan suara tertentu (Gho ng dkk., 2006). Antara kemampuan yang dievaluasi secara

tradisional, salah satu yang terlihat untuk menjadi pembaca yang berprestasi. Di dalam sistema ka menulis seper yang kita miliki, anak-anak belajar untuk memecahkan kode yang ditulis dengan menggabungkan unit-unitnya disebut grafem, unit dari suara disebut fonem. Proses membalik tulisan dan melibatkan terjemahan unit dari suara, fonem, unit dari cetakan, grafem. Pada kasus kedua, anak harus mampu mengenali perbedaan huruf, untuk menger bahwa masing-masing huruf berbeda. Anak yang mempelajari bagaimana membaca dan dak dapat mengenali dan memberitahukan satu huruf pada bagian-bagian dari alfabet dari yang lainnya akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajari suara dari perwakilan huruf, atau pemakaiannya (Georgiou dkk., 2010; 2008).

Kemampuan Bahasa Anak Usia DiniPerkembangan literasi anak berhubungan

erat dengan kemampuan berbahasa atau berkomunikasi. Komunikasi dimaksudkan untuk memenuhi fungsi pertukaran pikiran dan perasaan. Menurut Harlock (1978), terdapat dua unsur pen ng dalam berkomunikasi pada anak usia dini. Pertama, anak harus menggunakan bentuk bahasa yang bermakna bagi orang yang mereka ajak berkomunikasi. Kedua, dalam berkomunikasi, anak harus memahami bahasa yang digunakan orang lain, sehingga kemampuan berbicara memengaruhi penyesuaian sosial dan pribadi anak.

Menurut Inten (2016), kegiatan membaca bagi anak usia dini bukan hanya dengan kegiatan membaca secara langsung melalui buku. Kegiatan membaca pada anak usia dini lebih kepada membaca lingkungan sekitar, seper membaca tulisan-tulisan yang ada di sekitarnya. Begitu halnya dengan menulis, anak bukan hanya menulis di atas kertas. Kegiatan

Page 98: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

188 189Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

mencoret-coret yang dilakukan anak, apapun medianya merupakan kegiatan menulis.

Kemampuan literasi atau kemampuan ber-ko munikasi pada anak, akan memengaruhi per-kembangan sosial, emosi, dan perkembangan kogni fnya (Harlock, 1978). Jika anak mampu berkomunikasi dengan lingkungan sekitar maka akan tumbuh kepercayaan diri dan mampu bersosialisasi atau bisa diterima di lingkungannya. Pernyataan Harlock di atas menegaskan bah wa kemampuan berbahasa memengaruhi penye suaian sosial dan pribadi anak tentu akan memengaruhi pula perkembangan emosi dan kogni fnya.

Kemampuan berkomunikasi secara lisan atau tulisan seper kemampuan membaca dan menulis merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki se ap orang. Kapan waktu yang tepat untuk belajar membaca dan menulis serta bagaimana cara mempelajarinya menjadi perha an banyak pihak.

Guru dan orang tua hendaknya memper-ha kan dan mengetahui tahapan perkembangan membaca anak sehingga kesalahan dalam pengenalan membaca dini dapat dihindari. Membaca dini ialah membaca yang diajarkan pada anak prasekolah.

Berikut ini tahapan perkembangan membaca pada anak.1. Tahap fantasi (magical stage), di mana anak

mulai belajar menggunakan buku, melihat dan membalikkan lembaran buku ataupun membawa buku kesukaannya;

2. Tahap pembentukan konsep diri (self concept stage), anak memandang dirinya sebagai pembaca, dan terlihat keterlibatan anak dalam kegiatan membaca, berpura-pura membaca buku;

3. Tahap membaca gambar (bridging reading stage), pada diri anak mulai tumbuh kesadaran akan tulisan dalam buku dan menemukan kata yang pernah ditemui

sebelumnya, dapat mengungkapkan kata-kata yang bermakna dan berhubungan dengan dirinya;

4. Tahap pengenalan bacaan (take off reader stage), anak mulai tertarik pada bacaan dan dapat mengingat tulisan dalam konteks tertentu;

5. Tahap membaca lancar (independent reader stage), anak dapat membaca berbagai jenis buku.

Belajar menulis dan membaca sama alaminya seper anak belajar berbicara. Tetapi, dalam kegiatan menulis dan membaca, anak tetap memerlukan orang dewasa untuk membimbing dan mengarahkannya agar menjadi penulis dan pembaca yang baik. Anak-anak membutuhkan media untuk menuangkan hasil membacanya ke dalam sebuah tulisan atau coretan atau gambar. Morrow (2002) membagi tahapan menulis anak menjadi enam tahapan sebagai berikut;

1. Wri ng via drawing: menulis dengan cara menggambar

2. Wri ng via scribbling: menulis dengan cara menggores

3. Wri ng via making le er-like forms: menulis dengan cara membentuk seper huruf

4. Wri ng via reproduc ng well learned unit or le er s ngs: menulis dengan cara menghasilkan huruf, atau unit yang sudah baik. Seper mencoba menuliskan namanya.

5. Wri ng via invented spelling: menulis dengan mencoba mengeja satu per satu

6. Wri ng via conven onal spelling: menulis dengan cara mengeja langsung

Clay (1987) menelaah beberapa prinsip dan konsep menulis yang digunakan seorang anak.

1. Prinsip berulang: menulis menggunakan bentuk yang sama lagi dan lagi.

2. Prinsip genera f: menulis terdiri dari sejumlah huruf yang terbatas yang dari sini anda bisa buat jumlah tulisan tak terbatas.

3. Konsep tanda: cetakan mewakili sesuatu selain dirinya, tetapi dak terlihat seper objek yang diwakilinya.

4. Prinsip fl eksibilitas: bentuk huruf serupa mungkin ditulis berbeda, tetapi arah hadap huruf itu tetap sama.

5. Prinsip pengaturan halaman: biasanya ditulis pada baris-baris cetakan dari kiri ke kanan dan atas ke bawah di halaman.

Kegiatan Literasi untuk Anak Usia DiniPenger an sederhana dari literasi adalah

pengajaran membaca dan menulis. Barra -Pugh & Rohl (2020) menjelaskan bahwa literasi adalah tentang bagaimana anak belajar membaca dan menulus. Begitu pula dengan Dharma (2014) yang menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Literasi merupakan jantung kemampuan siswa untuk belajar dan berhasil di sekolah, serta menghadapi berbagai tantangan pada abad 21.

Dengan kemampuan membaca dan menulis yang baik, anak dapat diantarkan untuk mengetahui banyak hal yang sangat diperlukan dalam kehidupannya. Pengenalan literasi dini sangatlah pen ng dalam kehidupan anak. Namun, kenyataannya literasi pada anak usia dini, yang sering juga disebut sebagai literacy emergent, disampaikan pada anak-anak secara formal dan jauh dari kata ramah anak. Berdasarkan kajian studi empiric, berikut adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi literasi anak. (Hicks, 2002; Buckingham, 2013; Barra -Pugh & Rohl, 2020)

Kegiatan untuk memfasilitasi Print Mo va on1. Kegiatan membaca bersama 2. Melakukan ak vitas membaca di depan anak 3. Mendongeng 4. Mengajak anak ke toko buku 5. Menunjukkan buku-buku yang menarik 6. Kegiatan membaca dengan ekspresif dan

jelas

Kegiatan untuk memfasilitasi Phonological Awareness 1. Kegiatan menyanyi 2. Kegiatan membaca dengan irama 3. Kegiatan tebak kata

Kegiatan untuk memfasilitasi Proses Vocabulary 1. Interaksi dan komunikasi 2. Ketersediaan waktu untuk berinteraksi 3. Memperkenalkan nama benda-benda

disekitar 4. Menjawab pertanyaan-pertanyaan anak 5. Kegiatan menambah kosakata

Kegiatan untuk memfasilitasi Proses Narra ve skill 1. Kegiatan bermain peran2. Kegiatan bercerita

Kegiatan untuk memfasilitasi Kemampuan Print Awareness 1. Mengajarkan cara memegang buku 2. Mengajarkan cara membaca tulisan

Kegiatan untuk memfasilitasi Kemampuan Le er Knowledge 1. Kegiatan Mengenalkan huruf 2. Flash card 3. Kegiatan belajar huruf 4. Bermain tebak huruf

Menurut Goodson dkk., (2009), terdapat beberapa ak vitas yang mendukung kemampuan literasi pada anak usia dini, di antaranya:1. Ak vitas yang membantu anak belajar

tentang nama huruf alfabet dan bunyi huruf tersebut.- Bermain permainan bingo alfabet untuk

mengajarkan nama huruf dan bentuknya.- Menunjukkan seperangkat huruf dan

menanyakan kepada anak nama dari huruf-huruf tersebut secepat mereka bisa.

Page 99: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

190 191Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

- Guru menyediakan kertas yang sudah ditulisi huruf, dan anak diminta untuk melingkari atau menandai huruf yang diminta.

- Menyanyikan lagu yang sesuai dengan huruf yang ingin dipelajari (misalnya b adalah untuk lagu “bunga”).

- Mela h anak untuk menulis dan membentuk kata sederhana terlebih kata yang bermakna dan dekat dengan anak (misal: nama anak).

2. Ak vitas yang membantu anak memahami bunyi dan dapat memanipulasi bunyi.- Menggunakan lagu dan puisi untuk

mela h anak mendengar secara berulang dari awal sampai akhir sekumpulan kata.

- Mengajarkan anak untuk mengombinasikan bunyi menjadi beberapa kata (misal: sikat dan gigi menjadi sikat gigi), begitu pula menjadi kata berimbuhan.

3. Ak vitas yang membantu anak mengingat informasi yang dibicarakan- Berikan perintah atau arahan sederhana

kepada anak untuk diingat ke ka di sekolah, misalnya setelah makan, anak perlu membereskan remahan.

4. Ak vitas untuk mendukung perkembangan bahasa lisan- Membaca buku yang kaya akan kosakata

baru bagi anak serta ajak diskusi mengenai gambar, tulisan, alur cerita, serta isi cerita.

- Berikan pertanyaan yang membuat anak bercerita tentang apa yang terjadi dalam cerita.

- Perdalam diskusi sehingga anak dapat secara ak f memprak kkan kosakata baru.

- Menginisiasi dialog interak f yang menggunakan kosakata dan konsep baru.

- Mencontohkan bagaimana cara bertanya (apa, kapan, dimana, mengapa, bagaimana, dan siapa).

- Mengajarkan anak untuk menggunakan bahasa untuk membuat perbandingan (Bunga mela baunya harum, sedangkan bunga kenikir baunya busuk).

5. Ak vitas untuk membantu anak tentang print awareness- Memas kan bahwa anak dapat melihat

cetakan huruf pada kertas ke ka membaca dan gunakan jari untuk mengarahkan huruf dan kata yang dibaca.

- Mendikte anak tentang huruf atau kata yang akan ditulis.

Menurut Brown (2014), pembelajaran literasi yang efek f bagi anak usia prasekolah adalah dalam penyediaan tempat, material, pengalaman, serta dukungan sosial harus memper mbangkan ngkat perkembangan anak itu sendiri.

Keterlibatan Orang Tua Walaupun kebanyakan anak mulai membaca

ke ka mereka memasuki SD, namun pengalaman literasi selama mereka berada di usia prasekolah diyakini akan membentuk fondasi yang kuat pada perkembangan membacanya (Levy dkk., 2006). Untuk membantu anak dalam proses literasinya, diperlukan peran lingkungan dalam proses pembelajarannya. Pada usia prasekolah, pemangku kepen ngan yang paling berperan dalam mengembangkan literasi anak adalah orang tua (Niklas dkk., 2013). Keterlibatan orang tua pada proses pengembangan literasi akan berdampak pada kemampuan membacanya kelak.

Barra -Pugh dan Rohl (2001; 2020) menyatakan bahwa literasi bukan sekadar capaian kemampuan kogni f anak. Literasi adalah par sipasi anak di dalam lingkungan sosial dan budaya yang membentuk cara pandang, pengetahuan, nilai, dan kemampuan komunikasi mereka. Dari pernyataan tersebut

dapat dipahami apabila seorang anak yang memiliki minat membaca nggi berasal dari keluarga yang memiliki kebiasaan membaca yang baik. Lingkungan rumah, sosial, dan budaya yang menyertai pertumbuhan adalah penentu utama kemampuan literasi seorang anak.

Keterlibatan orang tua pada proses perkembangan keterampilan literasi anak adalah peran orang tua yang dimainkan dengan mengadaptasi dari in fi losofi literasi yang dimulai dan dilakukan oleh masyarakat melek huruf yang diawali dan ditopang dengan pembelajaran keaksaraan yang dilakukan dirumah oleh orang tua dan anak. Anak usia dini perlu memahami mengapa orang perlu membaca dan menulis agar mereka termo vasi untuk mengembangkan kemampuan literasinya (Brown, 2014)

Orang tua memiliki peran pen ng dalam mengenalkan dasar literasi pada anak. Secara spesifi k, keterlibatan orang tua pada proses pengenalan literasi diberikan dengan cara berinteraksi dengan anak (Fantuzzo dkk., 2004). Selain itu, orang tua juga perlu memberikan ak vitas s mulasi untuk bahsa, membaca dan menulis, serta menyiapkan lingkungan yang mendukung (kaya akan literasi) selama anak usia dini dan berlanjut pada usia sekolah dasar dan menengah (Clark, 2007).

Hannon (2003) menyebutkan bahwa prestasi membaca anak dipengaruhi oleh intervensi yang dilakukan oleh orang tuanya. Keterlibatan orang tua dalam proses pengembangan literasi anaknya, memberikan kontribusi besar pada perolehan prestasi keaksaraan.

KesimpulanPas kan anak-anak mengalami

perkembangan literasi secara alami dan tanpa paksaan. Hal yang perlu diperha kan dalam pengajaran membaca bagi anak adalah program dan metode serta teknik pengajaran yang

dilakukan harus ramah anak. Jika anak-anak dak tertarik dengan literasi, dekatkanlah mereka pada kegiatan membaca dan menulis dengan permainan dan nyanyian. Melalui permainan dan nyanyian anak-anak akan mengulang dan mengulang lagi coretan-coretan, seolah-olah mereka sedang menulis sesuatu, catatan, surat atau menulis sebuah cerita, sambil bergerak dan menyanyikan lagu.

Catatan1 Pendapat yang dinyatakan dalam ar kel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan dak mencerminkan pendapat penerbit dan organisasi profesi.

Tentang penulis

Nia Nurhasanah adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Page 100: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

192 193Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Da ar PustakaArce, E.M., (2012) Curriculum for young children: An

introduction. Cengage Learning.

Asiah, N., (2018) Pembelajaran calistung Pendidikan anak usia dini dan ujian masuk calistung sekolah dasar di Bandar Lampung. TERAMPIL: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, 5(1), pp.19-42.

Barratt-Pugh, C. and Rohl, M. (2001) Learning in two languages: A bilingual program in Western Australia. The reading teacher, 54(7), pp.664-676.

Barratt-Pugh, C. and Rohl, M. eds., (2020) Literacy learning in the early years. Routledge.

Bergin, C., Lancy, D.F. and Draper, K.D. (1994). Parents’ interactions with beginning readers. Children’s emergent literacy: From research to practice, pp.53-78.

Brown, C. S. (2014) ‘Language and Literacy Development in the Early Years: Foundational Skills that Support Emergent Readers’, Language and Literacy Spectrum, 24, pp. 35–49.

Buckingham, D. (2013). Media education: Literacy, learning and contemporary culture. John Wiley & Sons.

Christie, J.F. and Roskos, K.A. (2009) Play’s potential in early literacy development. Encyclopedia on early childhood development, pp.1-6.

Clark, C. (2007) ‘Why it is important to involve parents in their children ’ s literacy development’, National Literacy Trust, (January), pp. 1–3.

Clay, M. (1987) Writing Begins at Home: Preparing Children for Writing before They Go to School. Heinemann Educational Books Inc., 70 Court St., Portsmouth, NH 03801.

Deming, D. (2009) Early childhood intervention and life-cycle skill development: Evidence from Head Start. American Economic Journal: Applied Economics, 1(3), pp.111-34.

Dharma, S. (2014) Membangun Bangsa Melalui Budaya Literasi Apa, Mengapa, dan Bagaimana. In Prosiding Seminar Nasional. Yogyakarta: UAD.

Fantuzzo, J., Perry, M.A. and McDermott, P. (2004) Preschool approaches to learning and their relationship to other relevant classroom competencies for low-income children. School Psychology Quarterly, 19(3), p.212.

Fauziah, S. (2019) Optimalisasi Manajemen Pembelajaran di PAUD Semai Benih Bangsa Pelangi Nusantara 05 Kabupaten Semarang. Indonesian Journal of Early Childhood: Jurnal Dunia Anak Usia Dini, 1(2), pp.44-53.

Georgiou, G.K., Manolitsis, G., Nurmi, J.E. and Parrila, R. (2010) Does task-focused versus task-avoidance behavior matter for literacy development in an orthographically consistent language?. Contemporary Educational Psychology, 35(1), pp.1-10.

Georgiou, G.K., Parrila, R. and Papadopoulos, T.C. (2008) Predictors of word decoding and reading fl uency across languages varying in orthographic consistency. Journal of Educational Psychology, 100(3), p.566.

Gerde, H.K., Bingham, G.E. and Wasik, B.A. (2012) Writing in early childhood classrooms: Guidance for best practices. Early Childhood Education Journal, 40(6), pp.351-359.

Ghoting, S.N. and Martin-Diaz, P. (2006) Early literacy storytimes@ your library®: Partnering with caregivers for success. American Library Association.

Gillen, J. and Hall, N. (2013) The emergence of early childhood literacy. The Sage handbook of early childhood literacy, pp.3-17.

Goodson, B. et al. (2009) ‘Early beginnings: Early literacy knowledge and instruction’, Washington, DC: National Institute for Literacy.

Griffi n, S. (2003) Laying the foundation for computational fl uency in early childhood. (Early Childhood Corner). Teaching children mathematics, 9(6), pp.306-310.

Hall, L.A., Johnson, A.S., Juzwik, M.M., Wortham, S.E. and Mosley, M. (2010) Teacher identity in the context of literacy teaching: Three explorations of classroom positioning and interaction in secondary schools. Teaching and Teacher Education, 26(2), pp.234-243.

Hannon, P. (2003) Family literacy programmes. Handbook of early childhood literacy, pp.99-111.

Hicks, D. (2002) Reading Lives: Working-Class Children and Literacy Learning. Language and Literacy Series. Teachers College Press, Columbia University, 1234 Amsterdam Avenue, New York, NY 10027.

Hurlock, E.B. (1978) Child growth and development. Tata McGraw-Hill Education.

Huttenlocher, J., Haight, W., Bryk, A., Seltzer, M. and Lyons, T. (2006) Early vocabulary growth: relation to language input and gender. Developmental psychology, 27(2), p.236.

Inten, D.N., Permatasari, A.N. and Mulyani, D. (2016) Literasi dini melalui teknik bernyanyi. AL-MURABBI: Jurnal Studi Kependidikan Dan Keislaman, 3(1), pp.70-91.

Kasihani, K.S. (2007) English for young learners. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Kostelnik, M.J. and Grady, M.L. (2009) Getting it right from the start: The principal s guide to early childhood education. Corwin Press.

Lancy, D.F. (1994) The conditions that support emergent literacy. Children’s emergent literacy: From research to practice, pp.1-19.

Lehr, F. and Osborn, J. eds. (1994) Reading, Language, and literacy: Instruction for the twenty-fi rst century. Routledge.

Levy, B.A., Gong, Z., Hessels, S., Evans, M.A. and Jared, D. (2006) Understanding print: Early reading development and the contributions of home literacy experiences. Journal of Experimental Child Psychology, 93(1), pp.63-93.

Madyawati, L. (2016) Strategi pengembangan bahasa pada anak. Kencana.

Mason, J.M. and Stewart, J.P. (1990). Emergent literacy assessment for instructional use in kindergarten. Assessment for instruction in early literacy, pp.155-175.

Morrow, L.M. (2002) The literacy center: Contexts for reading and writing. Stenhouse Pub.mar

Mullis, I.V., Kennedy, A.M., Martin, M.O. and Sainsbury, M. (2004). PIRLS 2006 Assessment Framework and Specifi cations: Progress in International Reading Literacy Study. TIMSS & PIRLS, International Study Center, Lynch School of Education, Manressa House, Boston College, 140 Commonwealth Street, Chestnut Hill, MA 02467.

National Reading Panel (US), National Institute of Child Health, Human Development (US), National Reading Excellence Initiative, National Institute for Literacy (US), United States. Public Health Service and United States Department of Health (2000). Report of the National Reading Panel: Teaching children to read: An evidence-based assessment of the scientifi c research literature on reading and its implications for reading instruction: Reports of the subgroups. National Institute of Child Health and Human Development, National Institutes of Health.

Neuman, S.B., Copple, C. and Bredekamp, S. (2000) Learning to read and write: Developmentally appropriate practices for young children. National Association for the Education of Young Children.

Notari-Syverson, A., O’Connor, R.E. and Vadasy, P.F. (2007) Ladders to literacy: A preschool activity book. Paul H Brookes Publishing.

Nurgiyantoro, B. (2016) Assessment in Language and Literature Teaching. Yogyakarta: BPFE.

Palmer, B.C., Leiste, S.M., James, K.D. and Ellis, S.M. (2000) The role of storytelling in eff ective family literacy programs. Reading Horizons: A Journal of Literacy and Language Arts, 41(2), p.2.

Rimm-Kaufman, S.E., La Paro, K.M., Downer, J.T. and Pianta, R.C. (2005) The contribution of classroom setting and quality of instruction to children’s behavior in kindergarten classrooms. The elementary school journal, 105(4), pp.377-394.

Saracho, O.N. (2000) Literacy development in the family context. Early Child Development and Care, 163(1), pp.107-114.

Page 101: Bunga Rampai PAUD-ok.indd

194 Bunga Rampai Pendidikan Anak Usia Dini

Suyoto (2010) “Galakkan Baca Buku untuk Kemajuan Bangsa”, Media Indonesia, Mei, p.12.

Syaodih, E. (2007) Model Bimbingan Perkembangan di Taman Kanak-kanak. Disertasi SPs UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Thorn, W. (2009) International adult literacy and basic skills surveys in the OECD region.

Vukelich, C., Enz, B., Roskos, K.A. and Kristie, J. (2019) Helping young children learn language and literacy: Birth through kindergarten.

Wilson, R.A. (2000) Emergent literacy. Early Childhood News, 12(3), pp.6-8.

Wright, A. (1995) Storytelling with children. Oxford University.

View publication statsView publication stats