Page 1
Diterbitkan Oleh:
Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Jl. Budi Utomo No. 6 Jakarta Pusat
Telepon (021)3449230 Pesawat 5500, 384068
Faksimili (021) 3864776
Selain tersedia dalam bentuk cetakan, Buku Bunga Rampai
Panduan Teknis Akuntansi Pemerintah Pusat ini juga dapat
diakses melalui www.perbendaharaan.go.id. Kritik dan saran
untuk perbaikan kualitas publikasi sangat kami harapkan.
Page 2
KATA PENGANTAR
uji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
perkenanNYA-lah penyusunan buku Bunga Rampai Panduan Teknis Akuntansi
Pemerintah Pusat ini dapat diselesaikan. Buku Bunga Rampai Panduan Teknis Akuntansi
Pemerintah Pusat ini menyajikan berbagai isu teknis terkini yang relevan dengan dinamika
akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah yang dipandang perlu untuk dapat
dipahami oleh semua pelaku keuangan negara.
Panduan Teknis Akuntansi Pemerintah Pusat sebagai salah satu media informasi
akuntansi dan pelaporan keuangan yang terbit secara berkala pada setiap semester, sejauh
ini dapat memberikan pedoman praktis dan aplikatif atas pelaksanaan standar dan sistem
akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat bagi para pelaku di bidang akuntansi
dan pelaporan keuangan. Dengan meningkatnya pemahaman para pelaku akuntansi terkait
dengan perkembangan sistem dan prosedur akuntansi, diharapkan akan meningkatkan
kualitas pelaporan keuangan pemerintah.
Buku Bunga Rampai Panduan Teknis Akuntansi Pemerintah Pusat ini berisi artikel-
artikel yang pernah dimuat pada Panduan Teknis Akuntansi Pemerintah Pusat edisi 1 sampai
dengan 12. Pemilihan artikel pada buku Bunga Rampai Panduan Teknis Akuntansi
Pemerintah Pusat didasarkan pada pertimbangan bahwa materi/permasalahan yang
dibahas masih up to date dan relatif sering dihadapi dalam pelaksanaan anggaran maupun
penyusunan laporan keuangan.
Kami berharap, Buku Bunga Rampai Panduan Teknis Akuntansi Pemerintah Pusat ini
dapat dipergunakan sebagai literatur dalam teknis pengelolaan keuangan negara dan dapat
bermanfaat serta menjadi inspirasi bagi pengembangan akuntansi dan pelaporan keuangan
pemerintah dan aspek pengelolaan keuangan negara lainnya.
Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Yuniar Yanuar Rasyid
P
Page 3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
LAPORAN KEUANGAN
1. NERACA AWAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA………………………………………………….
2. PENYAJIAN HASIL KAJIAN/PENELITIAN DALAM LAPORAN KEUANGAN…………………….
3. KETERKAITAN LAPORAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DENGAN LAPORAN
KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT………………………………………………………………………………
2
4
6
ASET
1. UNIT AKUNTANSI PENGGUNA BARANG DAN PELAPORAN BARANG MILIK NEGARA
(BMN)……………………………………………………………………………………………………………………….
2. ASET TETAP SEBELUM DISESUAIKAN: APA DAN BAGAIMANA………………………………….
3. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN ASET DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN……
4. PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP ASET TETAP RENOVASI....................................
5. PENGERTIAN REHABILITASI, RENOVASI DAN RESTORASI DALAM KAPITALISASI ASET
TETAP............................................................................................................................
16
18
21
27
35
AKRUAL
1. BASIS AKRUAL: SUATU PENGANTAR…………………………………………………………………………
2. LAPORAN OPERASIONAL: SUATU PENGANTAR………………………………………………………..
3. PENYAJIAN INFORMASI AKRUAL PADA LAPORAN KEUANGAN………………………………..
38
46
54
LAIN-LAIN
1. KAS DI BENDAHARA PENGELUARAN………………………………………………………………………….
2. PROSEDUR AKUNTANSI UNTUK SATUAN KERJA LIKUIDASI........................................
3. AKUNTANSI PERSEKOT/PANJAR GAJI DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI…………..
4. AKUNTANSI PENYISIHAN PIUTANG TAK TERTAGIH PADA KEMENTERIAN
NEGARA/LEMBAGA…………………………………………………………………………………………………..
5. PENGESAHAN PENERIMAAN HIBAH LANGSUNG BENTUK UANG……………………………
69
73
76
85
105
Page 5
NERACA AWAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
Oleh: Redaktur Pelaksana
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 1 Tahun 2007)
Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun
2006 menyebutkan bahwa Pemerintah belum menetapkan neraca awal yang mengakibatkan BPK tidak dapat
meyakini kewajaran angka awal dalam LKPP menjadi kontroversi di kalangan penyelenggara pemerintahan. Hal ini
mengakibatkan isu penyesuaian nilai aset di kementerian negara/lembaga menjadi topik pembicaraan yang hangat
belakangan ini.
Pada dasarnya neraca awal pemerintah telah ditetapkan dalam UU No. 22 tahun 2006. Dengan demikian,
keinginan BPK agar kementerian negara/lembaga menyesuaikan nilai yang tersaji dalam neraca sesuai dengan nilai
yang berlaku/wajar tidak lagi relevan. Apabila penyesuaian nilai ini dilakukan oleh kementerian negara/lembaga,
maka akan berakibat pada berubahnya saldo awal dari neraca di masing-masing kementerian negara/lembaga,
sementara
jika tidak diubah, akan terdapat keraguan di pihak kementerian negara/lembaga dikarenakan otoritas
pemeriksa BPK atas hal ini. Menghadapi permasalahan neraca awal ini, setiap kementerian negara/lembaga
diharapkan memiliki pemahaman konseptual sehingga dapat memberikan tanggapan atau jawaban yang memadai
atas temuan BPK.
Sebelum lahirnya paket Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, pertanggungjawaban Pemerintah
dalam pelaksanaan APBN berupa Perhitungan Anggaran Negara (PAN) disusun berdasarkan gabungan seluruh
Perhitungan Anggaran kementerian negara/lembaga. Perhitungan Anggaran Negara ini telah berlangsung mulai
tahun 1971 sampai yang terakhir pada tahun 2003. Dengan berlakunya Undang-undang di bidang Keuangan Negara
maka pertanggungjawaban Pemerintah dalam pelaksanaan APBN mulai tahun 2004 berbentuk Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) yang disusun berdasarkan gabungan seluruh Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga. Hal ini sesuai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan menyusun LKPP untuk
memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, yang disusun berdasarkan Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga. Sejak tahun 2004, Pemerintah telah menghasilkan tiga LKPP yang telah diperiksa oleh BPK dengan
hasil BPK “tidak dapat memberikan opini/disclaimer”.
Mencermati lebih lanjut Undang-Undang No. 22 Tahun 2006 tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan
APBN Tahun 2004 tertanggal 29 Desember 2006, pasal 2 beserta penjelasannya dinyatakan bahwa
pertanggungjawaban APBN berupa (i) Laporan Realisasi APBN T.A. 2004; (ii) Neraca Pemerintah Pusat per 31
Desember 2004; (iii) Laporan Arus Kas TA 2004; dan (iv) Catatan atas laporan Keuangan. Dalam undang-undang ini
disebutkan pula bahwa Neraca Pemerintah Pusat tersebut merupakan Neraca Awal Pemerintah Pusat per 31
Desember 2004 yang dapat disajikan sebagai perbandingan dalam laporan keuangan periode berikutnya yang
disusun berdasarkan gabungan Neraca seluruh kementerian negara/lembaga. Oleh karena itu, perubahan posisi
neraca awal Pemerintah Pusat haruslah mendapatkan persetujuan DPR karena hal tersebut telah menjadi ketetapan
politik antara pemerintah sebagai agen dan rakyat sebagai prinsipal.
Apabila ditinjau dari kondisi saat ini, Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga TA 2006 (audited)
yang telah mendapatkan opini dari BPK menjadi saldo awal aset tetap kementerian negara/lembaga per 1 Januari
2007. Untuk meneliti kebenaran saldo awal aset tetap tahun anggaran 2007, setiap kementerian negara/lembaga
harus melakukan inventarisasi Barang Milik Negara (BMN). Inventarisasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
keberadaan fisik dari BMN dimaksud, sedangkan dalam rangka penilaian BMN harus didasarkan pada ketentuan
sesuai PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan termasuk Buletin Teknisnya. Hasil inventarisasi
BMN menjadi dasar bagi kementerian negara/lembaga untuk membuat Memo Penyesuaian/Koreksi yang
Page 6
selanjutnya akan dijadikan penetapan sebagai saldo awal aset tetap tahun anggaran 2007. Selanjutnya, kementerian
negara/lembaga dalam melakukan penilaian BMN tidak dibenarkan melakukan revaluasi BMN sebelum adanya surat
keputusan revaluasi dari Menteri Keuangan.
Sehubungan dengan itu, kementerian negara/lembaga harus menanggapi secara tegas saran BPK tentang hal
ini bahwa neraca awal kementerian negara/lembaga telah tersusun dan telah terkonsolidasikan dalam UU No. 22
tahun 2006. Untuk itu, kementerian negara/lembaga seyogyanya menuangkan pendapat tersebut ke dalam bentuk
jawaban atau penjelasan tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan sesuai pasal 20 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Inilah sebenarnya yang harus dilakukan oleh
kementerian Negara/lembaga dalam menanggapi keinginan BPK.
Page 7
PENYAJIAN HASIL KAJIAN/PENELITIAN DALAM LAPORAN KEUANGAN
Oleh: Syaiful
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 3 Tahun 2008)
Dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga Tahun 2007 terdapat banyak
pertanyaan dari beberapa Kementerian Negara/Lembaga tentang perlakuan atas Hasil Kajian/Penelitian yang
dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2007 serta penyajiannya dalam Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diberikan penjelasan bahwa berdasarkan
ketentuan Standar Akuntansi Pemerintahan (Buletin Teknis Nomor 1) ditetapkan bahwa Hasil Kajian/Penelitian
merupakan bagian dari kelompok aset lainnya sub kelompok Aset Tak Berwujud.
Aset lainnya adalah aset pemerintah selain aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap dan dana
cadangan. Aset Lainnya antara lain terdiri dari:
1. Aset Tak Berwujud
2. Tagihan Penjualan Angsuran
3. Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi (TP/TGR)
4. Kemitraan dengan Pihak Ketiga
5. Aset Lain-lain
Aset Tak Berwujud
Aset tak berwujud adalah aset non keuangan yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta
dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan untuk tujuan lainnya termasuk hak
atas kekayaan intelektual. Aset tak berwujud meliputi:
1. Software komputer;
2. Lisensi dan franchise;
3. Hak cipta (copyright), paten, dan hak lainnya; dan
4. Hasil kajian/penelitian yang memberikan manfaat jangka panjang.
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak
untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat
tertentu.
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor (penemu) atas hasil invention (temuan) di
bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri temuannya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Hasil kajian/penelitian adalah suatu kajian atau penelitian yang memberikan manfaat ekonomis dan/atau sosial di
masa yang akan datang.
Hasil Kajian/Penelitian yang memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial dimasa yang akan datang yang dapat
diidentifikasi sebagai Aset merupakan kelompok Aset Tak Berwujud.
Hasil Kajian/Penelitian yang tidak dapat diidentifikasi sebagai aset dan tidak memberikan manfaat ekonomi
dan/atau sosial dimasa yang akan datang tidak dapat dikapitalisasi sebagai Aset Tak Berwujud.
Hasil Kajian/Penelitian yang diidentifikasikan dengan jelas akan memberikan manfaat ekonomi dan/atau
sosial di masa yang akan datang diperlakukan atau dibukukan sebagai Aset Tak Berwujud dan dilaporkan dalam
Neraca sebesar nilai belanja yang dikeluarkan. Selanjutnya terhadap Hasil Kajian/Penelitian yang tidak jelas
memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa yang akan datang cukup diinformasikan pada Catatan atas
Laporan Keuangan, dan terhadap nilai belanja yang telah dikeluarkan tidak perlu dilaporkan sebagai Aset dalam
Page 8
Neraca.
Aset tak berwujud dinilai sebesar pengeluaran yang terjadi dengan SPM belanja modal non fisik yang
melekat pada aset tersebut. Dokumen sumber yang dapat digunakan untuk menentukan nilai aset tak berwujud
adalah SPM/SP2D untuk belanja modal non fisik (setelah dikurangi dengan biaya-biaya lain yang tidak dapat
dikapitalisasi).
Jurnal untuk mencatat saldo awal Aset Tak Berwujud adalah sebagai berikut:
Kode Akun Uraian Jumlah
xxxx Dr. Aset tak Berwujud XXXXXX
xxxx Cr. Diinvestasikan dalam Aset Lainnya XXXXXX
Ket: Dr=Debet, Cr=Kredit
Akun Diinvestasikan dalam Aset Lainnya merupakan bagian dari pos Ekuitas Dana Investasi.
Sebagai contoh dapat dikemukakan dua kasus berikut ini:
Kasus 1
Pada tahun 2003 Kementerian Keuangan mengembangkan Program Aplikasi Komputer untuk Sistem Akuntansi
Pemerintah Pusat yang bertujuan untuk menyusun laporan keuangan secara komputerisasi. Biaya yang dikeluarkan
untuk menghasilkan program tersebut sebesar Rp500.000.000,-
Sebagai penyelesaian jurnal untuk mencatat aset tak berwujud adalah sebagai berikut:
Kasus 2
Satuan Kerja Kementerian C memiliki data-data hasil penelitian dan software sebagai berikut:
Prototipe Early Warning System untuk tsunami senilai Rp150.000.000,-, namun hanya disimpan dalam gudang
karena tidak digunakan dan kondisinya sudah rusak namun belum rusak berat.
Hasil Kajian Pembuatan Alat Penghenti Lumpur Lapindo dengan nilai belanja sebesar Rp500.000.000,-, namun
setelah diujicoba ternyata gagal.
Paten, hak cipta, merek dan desain industri, namun harga perolehannya tidak diketahui.
Penyajiannya dalam Neraca mengikuti langkah-langkah berikut ini.
Karena manfaat ekonomi di masa yang akan datang kecil kemungkinan diperoleh, maka:
Prototipe Early Warning System untuk tsunami tersebut tidak disajikan di dalam Neraca tetapi diungkapkan di
dalam CaLK.
Hasil Kajian pembuatan Alat Penghenti Lumpur Lapindo tersebut tidak disajikan di dalam Neraca tetapi
diungkapkan di dalam CaLK.
Sedangkan paten, hak cipta, merek dan desain industri sampai dapat diketahui nilai perolehannya belum
disajikan di dalam Neraca tetapi diungkapkan di dalam CaLK.
Kode Akun Uraian Jumlah
xxxx Dr. Aset tak Berwujud 500 juta
xxxx Cr. Diinvestasikan dalam Aset Lainnya 500 juta
Page 9
KETERKAITAN LAPORAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
DENGAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT
Oleh: R. Wiwin Istanti
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 5 Tahun 2009)
SEKILAS TENTANG BADAN LAYANAN UMUM
Tuntutan untuk meningkatkan produktifitas, efesiensi dan efektifitas pelayananan merupakan suatu
tantangan bagi instansi pemerintah yang tugas operasional sehari-harinya memberikan pelayanan publik seperti
layanan kesehatan, pendidikan, pengelolahan kawasan, dan lisensi. Instansi di lingkungan pemerintah yang di bentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang di jual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktifitas dikenal sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Timbulnya berbagai tuntutan tersebut tentunya juga
dibarengi dengan pemberian fasilias kepada instansi pemerintah yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan dan
memenuhi apa yang terjadi tuntutan tersebut. Fasilias yang ditawarkan berupa fleksibilitas dalam mengelola
keuangan, yang membedakannya dari instansi pemerintah/satuan kerja pada umumnya, atau kita kenal dengan
”Pola Pengelolaan Keuangan BLU”
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan BLU menyebutkan bahwa Pola
Pengelolaan Keuangan BLU (PKK-BLU) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilias berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam definisi di
atas, terdapat dua kata kunci yang patut digarisbawahi yaitu “fleksibilitas” dan “praktek bisnis yang sehat”.
Selain bergantung kepada APBN dalam hal pendanaannya, ternyata sebagian instansi pemerintah penyedia
layanan publik ini menerima imbalan dari masyarakat atas layanan yang diberikan dan bahkan dalam proporsi yang
cukup signifikan sehingga memang seharusnya diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada publik. “Fleksibilitas” dalam hal ini mencangkup keleluasaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaaan
barang/jasa. Menurut peraturan perundangan, apabila suatu instansi pemerintah memperoleh pendapatan maka
harus segera disetorkan sepenuhnya ke rekening Kas Umum Negara terlebih dahulu sebelum instansi tersebut dapat
untuk mengajukan untuk penggunaannya. Namun demikian pada praktiknya beberapa instansi pemerintah
mempergunakan pendapatan yang diperolehnya secara langsung dikarenakan kebutuhannya untuk membiayai
belanja operasionalnya walaupun hal ini tentu saja melanggar peraturan yang menyebabkan fiskal Negara menjadi
tidak disiplin. Sebagai solusi atas hal ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
menawarkan suatu konsep baru atas fleksibilitas pengelolaan keuangan yaitu berupa pengelolaan keuangan BLU. Hal
ini merupakan upaya pemerintah untuk menuju pengelolaan sumber daya yang lebih efisien.
Keleluasaan untuk menerapkan “praktik bisnis yang sehat” antara lain diwujudkan dengan di
perbolehkannya mempekerjakan tenaga propesional non PNS dan juga diperbolehkannya untuk memberikan
imbalan jasa kepada pegawai berdasarkan kepada kontribusinya. Yang unik dari BLU diharuskan untuk menerapkan
“praktik bisnis yang sehat” atau pengelolaan ala korporasi namun tujuan utamanya bukanlah untuk semata-mata
mencari keuntungan layaknya sebuah entitas bisnis, tetapi lebih kepada peningkatan layanan publik secara efisien.
Untuk mencapai tujuan tersebut, memang di satu sisi keleluasaan dalam rangka pengelolaan keuangan diberikan
kepada BLU, namun di sisi lain di lakukan pengendalian yang ketat terhadap BLU terutama dalam hal
pertanggungjawaban.
Page 10
Sampai saat ini (per Mei 2009, berdasarkan data dari Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU)
terdapat 67 BLU, baik BLU dengan status “BLU penuh” maupun “BLU bertahap”. Perbedaan antara BLU penuh dan
BLU bertahap terletak pada tingkat fleksibilitas yang diberikan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi
Pemerintah Untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU, pasal 15 menyatakan bahwa kepada BLU bertahap di
berikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu yang di berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung,
pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan, system, dan prosedur pengelolaan
keuangan. Adapun besaran atau persentase dari pendapatan BLU yang boleh dikelola secara langsung oleh BLU
bertahap ditetapkan oleh Menteri Keuangan bersama dengan penetapannya sebagai BLU bertahap, sehingga
besaran ini bisa berbeda-beda antar BLU. Selain pembatasan tersebut, kepada BLU bertahap tidak diberikan
fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan uang, dan pengadaan barang/jasa. Walaupun terdapat
pembatasan dalam berbagai hal seperti yang diuraikan di atas, namun dalam hal pertanggungjawaban pengelolaan
keuangannya, BLU bertahap memiliki kewajiban yang sama dengan BLU penuh. 3 (tiga) kementerian negara/lembaga
yang memiliki BLU terbanyak yaitu Kementerian Kesehatan (28 BLU); Kementerian Pendidikan Nasional (13 BLU); dan
Kementerian Agama (8 BLU).
BLU yang berada di bawah Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut:
No. NAMA BLU LOKASI
1 RS Cipto Mangunkusumo Jakarta
2 RS Fatmawati Jakarta
3 RSU Persahabatan Jakarta
4 RS JPD Harapan Kita Jakarta
5 RSAB Harapan Kita Jakarta
6 RS Kanker Dharmais Jakarta
7 RS Hasan sadikin Bandung
8 RS Kariadi Semarang
9 RS Sardjito Yogyakarta
10 RS Sanglah Denpasar
11 RS Wahidin Sudirohusodo Makasar
12 RS Djamil Padang
13 RS Mohammad Hoesin Palembang
14 RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta
15 RSO Prof. Dr. R Soeharso Surakarta
16 RSU Prof. Dr. R. D Kandow Manado
17 RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten
18 RS Paru Dr. Wirawan Salatiga
19 RS Paru Dr.H.Rotinsulu Bandung
20 RS Mata Cicendo Bandung
21 RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
22 RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang
23 RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
24 RSUP H. Adam Malik Medan
25 RS Ketergantungan Obat Jakarta
26 RS Paru Dr.M.G. Partowidigdo Cisarua
27 RSUP Rujukan Stroek Nasional Bukitinggi
28 RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Jawa Timur
Sumber Dit. PPK-BLU
Page 11
Sedangkan BLU yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut:
NO NAMA BLU LOKASI
1 Universitas Diponegoro Semarang
2 Universitas Padjadjaran Bandung
3 Universitas Negeri Malang Malang
4 Universitas Hasanudin Makasar
5 Universitas Brawijaya Malang
6 Universitas Semarang Semarang
7 Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
8 Universitas Mulawarman Samarinda
9 Universitas Negeri Sebelas Maret Solo
10 Universitas Negeri Surabaya Surabaya
11 Universitas Lampung Lampung
12 Universitas Negeri Gorontalo Gorontalo
13 Universitas Bengkulu Bengkulu
Sumber Dit. PPK-BLU
Adapun BLU di bawah Kementerian Agama adalah sebagai berikut:
NO NAMA BLU LOKASI
1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3 UIN Malang Malang
4 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
5 UIN Alauddin Makasar
6 IAIN Walisongo Semarang
7 IAIN Sumatrra Utara Medan
8 IAINSultan Syarif Kasim Riau
Sumber Dit. PPK-BLU
BLU selain yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian
Agama adalah sebagai berikut:
NO NAMA BLU KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
1 Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum
2 Pusat Investasi Pemerintah Kementerian Keuangan
3 Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan Kementerian Komunikasi dan Informatika
4 Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
5 Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (PPPH) Kementerian Kehutanan
6 Pusat Keragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PP Iptek)
Kementerian Negara Riset dan Teknologi
7 BPPT Enjiniring Kementerian Negara Riset dan Teknologi
8 Lembaga Layanan Pemasaran KUKM Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
9 Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Kementerian Keuangan
10 Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Dalam Negeri Bandung
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
11 Balai Besar Pengembangan Latihan Luar Negeri, Bekasi
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Page 12
12 Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Dalam Negeri, Serang
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
13 Akademi Kimia Analis, Bogor Kementerian Perindustrian
14 Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara LAPAN
15 Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno, Jakarta
Sekretariat Negara
16 Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran, Jakarta Sekretariat Negara
17 Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Kementerian Perhubungan
18 Balai Pendidikan Penyegaran dan Peningkatan Ilmu Pelayaran (BP3IP)
Kementerian Perhubungan
KETERKAITAN LAPORAN KEUANGAN BLU
DENGAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT
Ditinjau dari sisi pertanggungjawaban keuangan, penetapan suatu instansi pemerintah menjadi BLU
tentunya disertai dengan suatu kewajiban untuk menyusun laporan keuangan yang akuntabel. Walaupun suatu
instansi pemerintah telah berstatus BLU namun tetaplah merupakan instansi yang tidak terpisahkan dari
kementerian negara/lembaga yang membawahinya sehingga BLU berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan
pelaksanaan pengelola keuangannya sebagaimana yang dilakukan instansi pemerintah biasa. Atau dengan kata lain,
laporan keuangan BLU ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan kementerian
negara/lembaga yang secara teknis membawahinya, dengan demikian laporan keuangan BLU ini akan turut
mempengaruhi kualitas laporan keuangan kementerian negara/lembaga tersebut.
Dua bulan setelah berakhirnya tahun anggaran, kementerian negara/lembaga diwajibkan untuk menyampaikan
pertanggungjawaban keuangan berupa laporan keuangan kepada Menteri Keuangan c.q Direktorat Jenderal
Perbendaharaan yang selanjutnya laporan keuangan dari seluruh kementerian negara/lembaga tersebut akan
dikoordinasikan menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai pertanggungjawaban pemerintah
kepada DPR. Sejalan dengan pertanggungjawaban tersebut , baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara maupun Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU,
secara jelas menyatakan bahwa laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan
pertanggungjawaban keuangan kementerian negara/lembaga yang secara teknis menaunginya. Dengan demikian
secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa laporan keuangan BLU akan turut juga mempengaruhi kualitas LKPP,
yang secara sederhana dapat di gambarkan sebagai berikut:
.
Sebagai konsekuensi atas pengelolaan BLU yang ala korporasi tanpa melepas identitasnya sebagai instansi
pemerintah, maka laporan keuangan BLU pun juga di pisahkan menjadi dua jenis yaitu;
1. Laporan keuangan BLU (selaku korporasi) dengan mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang
diterbitkan oleh Ikatan Profesi Akuntansi Indonesia, dalam hal ini yaitu Ikatan Akuntansi Indonesia. BLU harus
bisa menyajikan laporan keuangan berupa:
a. Laporan Realisasi Anggaran/Laporan Operasional
b. Neraca
c. Laporan Arus Kas
d. Catatan atas Laporan Keuangan;dan
e. Laporan Kinerja
LK BLU LK K/L LKPP LK K/L LK BLU
Page 13
Laporan keuangan BLU yang dihasilkan sesuai SAK akan menjadi laporan keuangan kementerian
negara/Lembaga yang secara teknis menaungi BLU yang bersangkutan.
2. Laporan keuangan BLU yang akan diintegrasikan dengan laporan keuangan kementerian negara/Lembaga,
dengan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (Peraturan Pemerinah Nomor 24 Tahun 2005) untuk
menghasilkan laporan keuangan yang akan diintegrasikan dengan laporan keuangan kementerian
negara/lembaga yang secara teknis membawahinya, pedoman yang digunakan adalah Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-67/PB/2007 tentang Tata Cara Pengintegrasian Laporan Keuangan Badan
Layanan Umum kedalam Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga. Laporan keuangan yang harus
disajikan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan meliputi:
a. Neraca
b. Laporan Realisasi Anggaran;dan
c. Catatan atas Laporan Keuangan
Laporan keuangan ini akan di integrasikan ke dalam Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang
secara teknis membawahi BLU yang bersangkutan.
Sehubungan dengan kewajiban BLU untuk menyajikan laporan keuangan seperti di uraikan di atas, BLU
diberikan kewenangan penuh untuk menetapkan akuntansi yang akan digunakan oleh BLU. Hal ini sesuai dengan
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-67/PB/2007 tentang Tata Cara Pengintegrasian Laporan
Keuangan Badan Layanan Umum ke dalam Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga pasal 4 ayat (2). Sistem
Akuntansi Keuangan dikembangkan untuk menghasilkan laporan keuangan sesuai SAK, dan dikembangkan suatu sub
sistem keuangan untuk menghasilkan laporan keuangan sesuai SAP.
Seperti yang di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan BLU, sistem akuntansi yang harus di kembangkan oleh BLU meliputi:
1. Sistem akuntansi keuangan, yang dikembangkan untuk menghasilkan laporan keuangan pokok untuk keperluan
akuntabilitas, manajemen, dan transparansi;
2. Sisem akuntansi aset tetap, yang dikembangkan untuk tujuan manajemen aset tetap;
3. Sistem akuntansi biaya, yang dikembangkan untuk menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit
layanan, pertanggungjawaban kinerja ataupun informasi lain untuk kepentingan manajerial.
Selain sistem akuntansi diatas, BLU juga di perbolehkan untuk mengembangkan sistem akuntansi lain yang
diperlukan untuk kebutuhan manajerial BLU. Bagi instansi pemerintah yang telah ditetapkan menjadi BLU, diberikan
waktu selama 2 (dua) tahun sejak penetapannya menjadi BLU untuk mengembangkan dan menetapkan sistem
akuntansi keuangan seperti yang telah dijelaskan di atas. Ketentuan ini di atur dalam pasal 17 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akunansi dan Pelaporan Keuangan BLU. Sedangkan bagi BLU
yang telah ditetapkan lebih dulu sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008
tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BLU diberikan sedikit kelonggaran waktu dalam
mengembangkan sistem akuntansi keuangan yaitu 2 (tahun) setelah peraturan menteri keuangan tersebut di
tetapkan. Apabila dalam tenggang waktu yang diberikan yaitu 2 (dua) tahun, BLU belum mampu untuk
mengembangkan sistem akuntansi yang mendukung pelaporan akuntansi seperti yang telah diuraikan diatas, maka
BLU diperkenankan untuk menerapkan sistem akuntansi yang telah dilaksanakannya walaupun tetap diberikan
sanksi terkait fleksibilitas BLU, remunerasi, dan status BLU.
MEKANISME PELAPORAN KEUANGAN
Mekanisme pelaporan BLU yang akan dibahas berikut ini lebih menitikberatkan kepada pelaporan BLU
menurut SAP. Dokumen sumber yang ditunjukan untuk membukukan pendapatan BLU dan belanja BLU yang
bersumber dari pendapatan BLU yaitu SP2D BLU, yang disampaikan oleh BLU kepada Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) setiap triwulan. Sedangkan dokumen sumber untuk melakukan konversi Neraca
Page 14
(sesuai SAK) kedalam bagan akun standar adalah Memo Penyesuaian (MP), yang dibuat pada saat penyusunan
laporan semesteran dan tahunan.
Jurnal yang dibuat untuk mencatat transaksi pada saat diterimanya alokasi anggaran maupun realisasinya, dilakukan
dengan jurnal sebagai berikut:
a. Mencatat anggaran belanja yang bersumber dari APBN
Piutang dari KUN xxx
Allotment Belanja…..(akun sesuai dgn belanjanya
xxx
b. Mencatat anggaran belanja yang bersumber dari pendapatan operasional
Piutang dari Kas BLU xxx
Allotment belamja operasional BLU xxx
c. Mencatat Estimasi pendapatan
Estimasi pendapatan yang di alokasikan xxx
Utang kepada Kas BLU xxx
d. Mencatat realisasi belanja dengan dana yang bersumber dari APBN
Belanja……(akun sesuai jenis belanja yang terjadi xxx
Piutang akun xxx
e. Mencatat realisasi belanja Operasional dengan dana yang bersumber dari pendapatan operasional BLU
Belanja Operasional BLU xxx
Piutang dari Kas BLU xxx
f. Mencatat pendapatan
Utang dari Kas BLU xxx
Pendapatan Operasional BLU xxx
g. Mencatat saldo kas yang ada di BLU
h. Mencatat aset tetap
Aset tetap….. (akun sesuai jenis aset tetap ybs xxx
Allotment Belanja Operasional BLU xxx
Kas di BLU xxx
Saldo Dana Lancar BLU xxx
Page 15
Secara sederhana mekanisme pelaporan BLU sesuai SAP dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kewajiban Unit Akuntansi BLU
Periode Kegiatan Keterangan
Bulanan Merekam dan memproses dokumen sumber untuk menghasilkan Arsip Data Komputer (ADK)
Mengirim ADK ke UAPPA-E1
ADK berupa file data transaksi
Triwulanan Melakukan rekonsiliasi dengan KPPN
Menyusun laporan keuangan sesuai SAP Triwulanan
Mengirim laporan keuangan sesuai SAP kepada UAPPA-E1
Mengirimkan laporan keuangan sesuai SAK kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU
Dokumen sumber untuk membukukan pendapatan BLU dan belanja BLU yang bersumber dari pendapatan BLU adalah:
SPM Pengesahan BLU
SP2D Pengesahan BLU Laporan keuangan sesuai SAP triwulanan terdiri dari:
Laporan Realisasi Anggaran
Neraca
Semesteran/Tahunan Menyusun laporan keuangan sesuai SAP semesteran/tahunan
Mengirim laporan keuangan sesuai SAP dilampiri dengan laporan keuangan sesuai SAK ke UAPPA-E1
Laporan keuangan sesuai SAP semesteran/tahunan terdiri dari:
Laporan Realisasi Anggaran
Neraca
Catatan atas Laporan Keuangan
Laporan keuangan sesuai SAK terdiri dari:
Laporan Realisasi Anggaran/ Laporan Operasional
Neraca
Laporan Arus Kas
Catatan atas Laporan Keuangan
Laporan Kinerja Dokumen sumber untuk mengkonversi neraca (sesuai SAK) kedalam Bagan Akun Standard dan untuk membukukan Saldo Dana Lancar BLU adalah Memo Penyesuaian
b. Kewajiban Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Eselon 1 (UAPPA-E1)
Periode Kegiatan Keterangan
Bulanan Menggabungkan ADK seluruh UAKPA dibawahnya, termasuk unit akuntansi BLU
Membuat ringkasan laporan keuangan BLU
Mengirimkan ADK dan ringkasan
ADK berupa file data transaksi
Page 16
Laporan Keuangan BLU kepada UAPA
Triwulanan Mengirimkan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca kepada UAPA
Semesteran/Tahunan Mengirim Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Catatan atas Laporan Keuangan, dan dilampiri dengan lembar muka (face) Laporan Keuangan BLU sesuai SAK beserta ringkasannya kepada UAPA
Laporan keuangan sesuai SAK terdiri dari:
Laporan Realisasi Anggaran/ Laporan Operasional
Neraca
Laporan Arus Kas
c. Kewajiban Uni Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA)
Periode Kegiatan Keterangan
Bulanan Menggabungkan ADK seluruh UAPPA-E1 dilingkungannya
Membuat ringkasan laporan keuangan BLU
Semesteran Mengirimkan Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Catatan atas Laporan Keuangan, dan dilampiri dengan lembar muka (face) Laporan Keuangan BLU sesuai SAK beserta ringkasannya kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Mengirimkan lembar muka (face) Laporan Keuangan BLU sesuai SAK beserta ringkasannya ke Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU
Setiap semester dan tahunan, Direkorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU akan mengirimkan Ringkasan
Laporan Keuangan BLU kepada Direktorat Akuntansi dan Laporan Keuangan.
Berdasarkan mekanisme pelaporan yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa laporan keuangan BLU
memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan kementerian negara/lembaga
sehingga laporan keuangan BLU turut menentukan kualitas laporan keuangan kementerian negara/lembaga
yang bersangkutan. Atau dengan kata lain, kualitas laporan keuangan BLU juga akan mendukung kualitas laporan
keuangan pemerintah pusat., sehingga masing-masing unit akuntansi yang terkait dengan pelaporan BLU seperti
diuraikan di atas harus secara cermat memahami segala aturan yang telah ditetapkan sehubungan dengan
laporan keuangan tersebut.
Page 17
KESIMPULAN
Berdasarkan dengan apa yang telah diuraikan diatas, dapat di simpulkan beberapa hal sebagai berikut :
BLU merupakan status yang diberikan kepada instansi pemerintah yang secara operasional menyediakan
layanan publik.
Diberikan keleluasaan atau fleksibilitas bagi BLU untuk mengelola keuangan BLU sendiri, berbeda dengan
instansi pemerintah biasa.
Walaupun mendapat fleksibilitas dalalm pengelolaan keuangannya namun perencanaan, penganggaran, dan
pertanggungjawaban keuangan BLU tetap merupakan bagian yang idak terpisahkan dari kementerian
negara/lembaga yang secara teknis membawahinya.
Karena BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kementerian negara/lembaga yang secara teknis
membawahinya, maka dari sisi pertanggungjawaban keuangannya, BLU diwajibkan untuk menyusun laporan
keuangan yang berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah supaya laporan keuangan tersebut dapat
diintegrasikan kedalalm laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang secara teknis membawahinya.
Laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang termasuk di dalamnya melaporkan
pertanggungjawaban keuangan BLU tersebut dalam waktu 2(dua) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
akan disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q Direkorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya akan
dikoordinasikan dengan seluruh laporan keuangan dan seluruh kementerian negara/lembaga untuk
menghasilkan laporan keuangan pemerintah pusat.
Kualitas laporan keuangan BLU akan mendukung kualitas laporan keuangan kementerian negara/lembaga,
dan pada akirnya akan mendukung juga kualitas laporan keuangan pemerintah pusat, atau dengan kata lain
terdapat keterkaitan antara laporan keuangan BLU, laporan keuangan kementerian negara/lembaga dan
laporan keuangan pemerintah pusat.
Tulisan ini disarikan dari:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
(3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administraif Dalam Rangka
Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan
BLU;
(4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Badan Layanan Umum;
(5) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-67/PB/2007 tentang Tata Cara Pengintegrasian
Laporan Keuangan Badan Layanan Umum ke dalam Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.
Page 19
UNIT AKUNTANSI PENGGUNA BARANG DAN PELAPORAN BARANG MILIK NEGARA (BMN)
Oleh: Redaktur Pelaksana
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 2 Tahun 2007)
Salah satu objek temuan rutin BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)-nya atas Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga (K/L), adalah temuan yang terkait dengan penatausahaan maupun
pencatatan/pelaporan atas Barang Milik Negara (BMN). Temuan tersebut antara lain terkait dengan masih lemahnya
sistem pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan Barang
Milik Negara. Salah satu paradigma baru dalam manajemen aset adalah telah terbentuknya Unit Akuntansi
Pengguna Barang dan Pelaporan barang Milik Negara. Namun, hal itu masih perlu didukung dengan pemahaman
mengenai tugas pokok dan fungsi unit pengguna dan pelaporan yang dapat mendukung perbaikan dan
penyempurnaan pengelolaan aset negara.
Lemahnya sistem pengendalian intern atas pelaksanaan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN)
tercermin dalam salah satu komponen laporan keuangan K/L yaitu neraca, dimana nilai persediaan dan aset tetap
yang tercantum tidak dapat diyakini kebenaran dan kewajarannya. Hal ini juga dapat dilihat dari perbedaan yang ada
jika dilakukan perbandingan antara nilai realisasi belanja modal dengan mutasi aset yang diperoleh dari pembelian.
Kelemahan SPI ini juga didukungan dengan tidak dijelaskannya perbedaan tersebut dalam Catatan atas
Laporan Keuangan K/L. Demikian pula untuk nilai persediaan yang ada tidak dapat diyakini kebenarannya karena
tidak didukung oleh dokumen sumber sebagaimana tercantum dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor
40/PB/2006 tentang Akuntansi Persediaan. Permasalahan ini terbukti dengan adanya perbedaaan nilai persediaan
dan aset tetap pada neraca dengan nilai persediaan dan aset tetap pada laporan BMN yang dikirim kepada Ditjen
Kekayaan Negara. Hal ini terjadi karena tidak adanya rekonsiliasi internal antara Unit Akuntansi Pengguna Barang
(UAPB) dengan Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA).
Selain itu, permasalahan dalam manajemen aset antara lain kenyataan masih adanya K/L yang belum/tidak
membentuk unit akuntansi barang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005
tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Dalam peraturan tersebut, diatur bahwa setiap K/L membentuk unit akuntansi barang sebagai berikut:
a. Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB);
b. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Eselon I (UAPPB-E1);
c. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Wilayah (UAPPB-W); dan
d. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB).
Di samping itu, masalah aset tetap yang dihasilkan dari DIPA Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
sebagaimana telah dibahas pada Panduan Teknis Akuntansi Pemerintah Pusat Edisi 1, masih banyak ditemukan.
Temuan-temuan BPK tersebut merupakan masalah yang tidak sederhana karena SABMN merupakan salah
satu unsur dari laporan keuangan K/L. Namun manajer tingkat atas kebanyakan K/L masih kurang memperhatikan
dan menganggap SABMN bukanlah hal penting. Hal ini dapat dilihat dari minimnya Sumber Daya Manusia (SDM)
yang mampu dan terampil dalam menatausahakan maupun mencatat dan melaporkan BMN. Begitu pula dengan
sarana yang disediakan untuk menatausahakan serta melaporkan BMN. Berbeda dengan SDM maupun sarana yang
disediakan bagi pengelola keuangan. Dalam pelaksanaannya pengelola barang masih dianggap sebagai tempat
”pembuangan” padahal pengelolaan BMN membutuhkan kesabaran, keterampilan dan keuletan tersendiri. Maka
akan lebih baik apabila seorang pengelola BMN adalah SDM-SDM yang unggul, yang mempunyai pengetahuan dan
keterampilan yang cukup. Selain itu, perhatian dari atasan serta penghargaan perlu dijadikan unsur yang dapat
mendorong semangat bekerja.
Page 20
Pelaporan BMN dilakukan secara berjenjang mulai dari UAKPB sampai ke UAPB secara periodik yaitu
semesteran. Namun pelaporan ini agak sulit dilakukan dengan baik dan tepat waktu. UAPB sebagai unit akuntansi
barang tertinggi seharusnya dapat mengatur dan membimbing unit-unit akuntansi barang di bawahnya sehingga
kesalahan-kesalahan pencatatan maupun ketidakdisiplinan unit-unit akuntansi dalam mengirimkan laporan BMN
dapat diminimalisir.
Page 21
ASET TETAP SEBELUM DISESUAIKAN:
APA DAN BAGAIMANA
Oleh: Joko Supriyanto
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 5 Tahun 2009)
Kali ini penulis akan mengajak pembaca untuk berkecimpung dalam materi SAI/SAK. Setiap bulan satuan
kerja paling tidak mencetak laporan keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca. Penulis pernah
ditanya seorang pegawai pada suatu satuan kerja, “mas, saya mengajukan SPM Uang Persediaan (UP) dan telah
terbit SP2D. kemudian SPM dan SP2D tersebut direkam dalam aplikasi SAKPA, dan dilakukan proses posting.
Selanjutnya saya mencetak LRA. Ternyata LRA-nya kosong, apa ada program yang salah?” Ada pula yang bertanya,
“Mas,kantor kami melakukan pengadaan komputer sebanyak 5 unit dengan nilai Rp60 juta SPM dan SP2D terkait
transaksi tersebut sudah direkam tetapi dineraca muncul perkiraan Peralatan dan Mesin Sebelum Disesuaikan Rp60
juta. Mengapa bukan perkiraan komputer?”
Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah sebagian pertanyaan dari petugas akuntansi yang baru kenal dengan
SAI. Sebagian besar mereka dengan mudah dapat mengaplikasikan SAI, tetapi termasuk jurnal-jural yang
terkomputerisasi. Karena mudahnya aplikasi SAKPA dijalankan, petugas akuntansi tidak memperhatikan pengaruh
suatu transaksi terhadap laporan keuangan yang dihasilkan. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengajak
pembaca untuk sengaja mencermati isi laporan keuangan , khususnya neraca pada kelompok aset tetap, berupa Aset
Tetap Sebelum Disesuaikan. Sebagai ilustrasi, berikut contoh neraca suatu satuan kerja pada kementerian
negara/lembaga:
Satuan Kerja ABC
Neraca
Per 31 Desember 2008
NAMA PERKIRAAN JUMLAH
ASET
ASET LANCAR
Kas di Bendahara Pengeluaran 500.000
JUMLAH ASET LANCAR 500.000
ASET TETAP
Peralatan dan Mesin 150.000.000
Peralatan dan Mesin Sebelum Disesuaikan 60.000.000
JUMLAH ASET TETAP 210.000.000
JUMLAH ASET 210.500.000
KEWAJIBAN
KEWAJIBAN JANGKA PENDEK
Uang Muka dari KPPN 500.000
JUMLAH KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 500.000
JUMLAH KEWAJIBAN 500.000
EKUITAS DANA
EKUITAS DANA INVESTASI
Diinvestasikan Dalam Aset Tetap 210.000.000
JUMLAH EKUITAS DANA INVESTASI 210.000.000
JUMLAH EKUITAS DANA 210.000.000
JUMLAH KEWAJIBAN DAN EKUITAS DANA 210.500.000
Page 22
Pada ilustrasi diatas terlihat nilai aset tetap dalam akun Peralatan dan Mesin Rp.150.000.000 dan akun peralatan dan
Mesin Sebelum DIsesuaikan Rp.60.000.000,-, apakah arti dari laporan ini?
Sistem akuntansi instansi yang digunakan saat ini menggunakan jurnal standar yang sudah ditetapkan dalam
Perdirjen Perbendaharaan No.Per-01/PB/2005 tentang Pedoman Jurnal Standar dan Posting Rules Pada Sistem
Akuntansi Pemerintah Pusat.
Jurnal Standar adalah dasar pencatatan dan pemrosesan transaksi anggaran, realisasi penerimaan, dan
pengeluaran, serta transaksi non anggaran. Posting rules bertujuan sebagai dasar perlakuan suatu transaksi
keuangan untuk menghasilkan laporan keuangan.
Pada umumnya transaksi realisasi belanja dicatat oleh entitas akuntansi pada K/L dengan cara mendebet
akun belanja/transfer dan mengkredit akun piutang dari KUN. Namun, untuk transaksi realisasi belanja modal,
terdapat tambahan jurnal untuk mencatat aset tetap yang dibeli/dibangun dengan belanja modal tersebut. Jurnal
tambahan tersebut mendebet aset tetap sebelum di sesuaikan dan mengkredit akun diinvestasikan dalam aset
tetap. Jurnal tersebut disebut dengan jurnal korolari.
Sebagai contoh satker ABC membeli peralatan dan mesin berupa komputer senilai Rp.60.000.000,- terhadap
transaksi tersebut, jurnal dalam aplikasi SAI-SAK sebagai berikut :
Uraian Debet Kredit
Belanja Modal-Peralatan dan Mesin 60.000.000
Piutang dari KUN 60.000.000
Peralatan dan Mesin Sebelum Disesuaikan 60.000.000
Diinvestasikan Dalam Aset Tetap 60.000.000
Transaksi belanja modal dimaksudkan untuk perolehan aset tetap yang akan digunakan oleh pemerintah atau
masyarakat. Untuk mengantisipasi kealpaan unit akuntansi, diciptakan akun Aset Tetap Sebelum Disesuaikan, yaitu:
1. Tanah Sebelum Disesuaikan
2. Peralatan dan Mesin Sebelum Disesuaikan
3. Gedung dan Bangunan Sebelum Disesuaikan
4. Jalan, Irigasi dan Jaringan Sebelum Disesuaikan
5. Aset Lainnya Sebelum Disesuaikan
Akun diatas sangat berguna untuk mengantisipasi ketidaklengkapan data akuntansi. Adanya akun tersebut
dalam laporan instansi mengindikasi bahwa pada periode tersebut ada pengadaan aset, sementara asetnya belum
dicatat dalam Sistem Akuntansi Instansi Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SAISIMAK-
BMN). Akun-akun tersebut jika “tidak disesuaikan” akan tersaji dalam Neraca seperti pada ilustrasi diatas.
Bagaimanakah untuk mengatasi hal ini?
Struktur organisasi unit akuntansi instansi setidaknya memiliki petugas akuntansi dan petugas operator
komputer. Apabila terdapat akun aset tetap sebelum disesuaikan pada neraca, maka hal ini merupakan
tanggungjawab petugas akuntansi untuk menindaklanjuti.
Harus dilakukan penerimaan data aset dari SIMAK BMN atas aset-aset yang diperoleh pada tahun berjalan.
Demikian pula, bila terdapat data bawaan dari tahun sebelumnya. Akun aset tetap sebelum disesuaikan tidak boleh
terdapat pada laporan keuangan semester dan tahunan. Sehingga jika terdapat akun tersebut harus segera
diselesaikan sebelum laporan keuangan disampaikan ke unit akuntasi yang lebih tinggi.
Pada saat aset tetap diakui, jurnal standar di SAI akan melakukan penyesuaian dengan mendebet perkiraan
aset tetap yang sudah definitif, dan mengkredit akun diinvestasikan dalam aset tetap. Selain itu, terjadi proses
Page 23
pembatalan jurnal korolari yang pernah dibuat pada saat terjadinya belanja modal, yaitu dengan mendebet akun
diinvestasikan dalam aset tetap dan mengkredit akun aset tetap sebelum disesuaikan. Dengan demikian tidak ada
lagi akun aset tetap sebelum disesuaikan pada neraca satuan kerja, tetapi sudah menjadi aset yang defiitif, atau
setidaknya menjadi aset kontruksi dalam pengerjaan (dalam hal belanja modal dikeluarkan untuk memperoleh aset
teap, tetapi belum selesai pengerjaannya sampai dengan tanggal laporan). Sehingga akun yang mungkin dilaporkan
di Neraca, yaitu:
1. Tanah
2. Peralatan Mesin
3. Gedung dan Bangunan
4. Jalan,irigasi dan jaringan
5. Aset Tetap Lainnya
6. Kontruksi Dalam Pengerjaan
Kalau pada ilustrasi sebelumnya, petugas SIMAK BMN telah mengirimkan data aset tetap dari SIMAK BMN, Neraca
yang disajikan akan tampak sebagai berikut:
Satuan Kerja ABC
Neraca
Per 31 Desember 2008
Untuk itu harus dipastikan bahwa neraca yang disajikan setiap akhir periode tidak mengandung akun aset tetap
sebelum disesuaikan. Semoga catatan kecil ini dapat menjadikan laporan keuangan pemerintah semakin berkualitas.
NAMA PERKIRAAN JUMLAH
ASET
ASET LANCAR
Kas di Bendahara Pengeluaran 500.000
JUMLAH ASET LANCAR 500.000
ASET TETAP
Peralatan dan Mesin 210.000.000
JUMLAH ASET TETAP 210.000.000
JUMLAH ASET 210.500.000
KEWAJIBAN
KEWAJIBAN JANGKA PENDEK
uang muka dari KPPN 500.000
JUMLAH KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 500.000
JUMLAH KEWAJIBAN 500.000
EKUITAS DANA
EKUITAS DANA INVESTASI
Diinvestasikan dalam aset Tetap 210.000.000
JUMLAH EKUITAS DANA INVESTASI 210.000.000
JUMLAH EKUITAS DANA INVESTASI 210.000.000
JUMLAH KEWAJIBAN EKUITAS DAN EKUIAS DANA 210.500.000
Page 24
AKUNTABILITAS PENGELOLAAN
ASET DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN
Oleh: Chalimah Pujihastuti dan R. Wiwin Istanti (Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 6 Tahun 2009)
Dana dekonsentrasi/tugas pembantuan menunjukan tren peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun,
namun ternyata peningkatan ini belum diikuti oleh pengelolaan yang akuntabel sesuai ketentuan perundang-
undangan
MENGENAL DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN
Untuk mempermudah pemahaman kita terhadap pengelola aset dekonsentrasi atau tugas pembantuan, kita
awali dengan mengenal apa yang dimaksud dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, yang di payungi secara
hukum dengan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Yang dimaksud dengan “dekonsentrasi” yaitu pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu dengan kewajiban
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaanya. Sedangkan “dana dekonsentrasi“ merupakan dana yang
berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencangkup semua penerimaan
dan pengeluaran dalam rangka pelaksaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi
vertikal pusat di daerah. Dari definisi di atas, terlihat bahwa sebagai implementansi atas kegiatan dekonsentrsi
timbullah dana dekonsentrasi yang berasal dari APBN, yang selain berupa belanja akan timbul pula aset yang
diperoleh dari dana dekonsentasi ini atau dikenal sebagai aset dekonsentrasi.
Adapun yang dimaksud dengan “tugas pembantuan“ yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah
kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaanya kepada yang menugaskan. Sedangkan “dana tugas pembantuan“ adalah
dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Sama halnya dengan kegiatan dekonsentrasi di atas
sebagai implementasi atas kegiatan tugas pembantuan timbullah dana tugas pembantuan yang berasal dari APBN,
yang selain berupa belanja akan timbul pula aset yang diperoleh dari dana tugas pembantuaan ini atau dikenal
sebagai aset tugas pembantuan.
Pengelolaan dekonsentrasi/tugas pembantuan menurut Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintahan (PP)
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi Tugas Pembantuan, meliputi prinsip pendanaan, perencanaan,
penganggaran, penyaluran, dan pelakasanaan serta pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) hasil pelaksanaan
dekonsentrasi/tugas pembantuan.
Satu hal mendasar yaitu bahwa UU mewajibkan adanya pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh
satuan kerja penerima dana kepada yang menugaskan. Namun, pada prakteknya, pertanggungjawaban pengelolaan
dana dekonsentasi/tugas pembantuan belum berjalan sesuai yang diharapkan. Artikel ini akan menitik beratkan
pada pembahasan seputar akuntabilitas pengelolaan aset dekonsentrasi/tugas pembantuan dan tidak membahas
dari sudut pandang pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran dana dekonsentrasi/tugas pembantuan.
Page 25
PENGELOLAAN ASET DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN
Sebagaimana uraian diatas, aset dekonsentrasi/tugas pembantuan merupakan BMN yang diperoleh dari
dana dekonsentrasi/tugas pembantuan. Pengelola aset dekonsentrasi/tugas pembantuan meliputi kementerian
negara/lembaga (K/L) dengan program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan dan ditugaskan, serta Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
Secara akuntansi, entitas pengelolaan dekonsentrasi/tugas pembantuan tersebut sudah diorganisasikan
sebagai unit akuntansi yang dibentuk dalam rangka pengelolaan aset dekonsentrasi/tugas pembantuan dan wajib
menyusun laporan dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK
BMN). Jenjang unit akuntansi terkait dengan pelaporan aset dekonsentrasi/tugas pembantu adalah sebagai berikut:
Unit Akuntansi Dana
Output Dekonsentrasi Tugas Pembantuan
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB)
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mendapat alokasi dana Dekonsentrasi
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mendapat alokasi dana Tugas Pembantuan
Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP)
Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS)
Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT)
Jurnal Transaksi BMN
Laporan Manajerial lainnya
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Wilayah (UAPPB-W)
Dinas pada Pemerintah Provinsi yag ditunjuk
Dinas pada Pemerintah Daerah yang ditunjuk
Daftar Barang Pembantu Pengguna -Wilayah (DBPP-W)
Laporan Barang Pembantu Pengguna -Wilayah
Laporan Barang Pembantu Pengguna -Wilayah Tahunan (LBPP-WT)
Laporan Manajerial lainnya
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Eselon I (UAPPB-E1)
Eselon I kementerian negara/lembaga yang bersangkutan
Eselon I kementerian negara/lembaga yang bersangkutan
Daftar Barang Pembantu Pengguna -Eselon I (DBPP-E1)
Laporan Barang Pembantu Pengguna Eselon I Semesteran (LBPP-E1S)
Laporan Barang Pembantu Pengguna Eselon I Tahunan (LBPP-E1T)
Laporan Manajerial lainnya
Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB)
kementerian negara/lembaga yang bersangkutan
kementerian negara/lembaga yang bersangkutan
Daftar Pengguna Barang (DPB)
Laporan Barang Pengguna
Page 26
Semesteran (LBPS)
Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT)
Laporan Manajerial lainnya
Alur pelaporan aset dekonsentrasi /tugas pembantu dapat di gambarkan secara sederhana sebagai berikut
Pertanggungjawaban aset dekonsentrasi/tugas pembantuan dilakukan secara berjenjang dimulai dari SKPD
yang memperoleh dana dekonsentrasi/tugas pembantuan, UAPPB Wilayah, UAPPB Eselon 1, kemudian
dikonsolidasikan dengan seluruh barang milik negara yang berada dibawah UAPB, dan kemudian dikirimkan kepada
Menteri Keuangan berupa Laporan Barang Milik Negara. Hal ini juga sejalan dengan pasal 30 dan Pasal 59 DP Nomor
7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, yaitu bahwa pertanggungjawaban dan laporan
Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan mencangkup aspek akuntabilitas, dimana akuntabilitas terdiri dari Laporan
Realisasi Anggaran, Neraca, Catatan atas Laporan Keuangan, dan Laporan Barang.
IMPLIKASI KEGIATAN FISIK/NON FISIK TERHADAP PENGELOLAAN ASET
Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi untuk kegiatan yang bersifat non fisik, sedangkan pendanaan dalam
rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik sesuai dengan pasal 20 dan pasal 49 PP
Nomor 7 tahun 2008.
Kegiatan non fisik dana dekonsentrasi selain menghasilkan output yang berupa hasil kegiatan koordinasi
perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawaan, dan pengendaliaan, ternyata juga menghasilkan output
berupa barang yang diperoleh dalam menunjang kegiatan non fisik seperti komputer/laptop dan LCD yang
merupakan barang milik negara.
Sedangkan dari kegiatan fisik dana tugas pembantuan, sudah pasti akan menghasilakan aset tetap seperti
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jaringan.
Untuk mempermudah pemahaman kegiatan fisik dan non fisik seperti yang telah diuraikan di atas , dapat di
gambarkan sebagai berikut :
SKPD Gubernur Eselon 1 K/L K/L Menteri Keuangan
Provinsi/Kabupaten/Kota
BUN UAPB UAPPB –E1 UAPPB -W UAKPB
(Dekon/TP)
Page 27
Semua barang yang dibeli/diperoleh dari pelaksaan dekonsentrasi/tugas pembantuan merupakan BMN dan
bila dilaporkan pada laporan barang pengguna melalui SIMAK–BMN sebagai BMN, aset dekonsentrasi/tugas
pembantuan wajib dilaporkan dalam neraca K/L sebagai bagian dari Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga (LKKL), Dimana neraca seluruh K/L pada akhirnya akan di konsolidasikan oleh Kementerian
Keuangan menjadi Neraca Pemerintah Pusat yang merupakan bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP). Baik LKKL maupun LKPP tersebut akan diperiksa dan di beri opini oleh BPK. Atau dengan kata lain
akuntabilitas pengelolaan aset dekonsentrasi/tugas pembantuan turut mempengaruhi opini yang akan diberikan
oleh BPK terhadap LKKL dan LKPP secara keseluruhan.
Aset dekonsentrasi/tugas pembantuan tersebut dapat dihibahkan kepada pemerintah daerah dengan
mekanisme sesuai ketentuan yang berlaku. Adapun yang dimaksud dengan hibah adalah pengalihan kepemilikan
barang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar
pemerintah daerah atau dari pemerintah pusat/pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa memperoleh
penggantian. Hibah BMN baik yang berasal dari dana dekonsentrasi maupun dana tugas pembantuan, kepada
pemerintah daerah harus dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Hibah BMN. Berita Acara Serah Terima Hibah
BMN tersebut digunakan sebagai dasar mengeluarkan BMN tersebut dari daftar BMN K/L. Dalam hal BMN tersebut
telah dihibahkan kepada pemerintah daerah, maka baik penatausahaan, penggunaan, maupun manfaat BMN
tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah atau menjadi Barang Milik Daerah (BMD). Apabila
status aset dekonsentrasi/tugas pembantuan tersebut bukan lagi merupakan BMN tetapi sudah menjadi BMD, maka
nilai aset dekonsentrasi/tugas pembantuan tersebut akan dikeluarkan dari Neraca Pemerintah Pusat (dan neraca K/L
tentunya ) dan harus dilaporkan dalam Neraca Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Page 28
SANKSI
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban dana
dekonsentrasi/tugas pembantuan telah diatur secara tegas dan jelas dalam PP Nomor 7 Tahun 2008 tentang
dekonsentrasi dan Tugas pembantuan, dan bahkan bagi entitas penerima dana dekonsentrai/tugas pembantuan
apabila tidak melaksanakan pelaporan dana dekonsentrasi/tugas pembantuannya, data dikenakan sanksi. Aturan
mengenai sanksi ini tercantum dalam Pasal 75, yaitu bahwa SKPD yang secara sengaja dan/atau lalai dalam
menyampaikan laporan dekonsentrasi/tugas pembantuan dikenakan sanksi berupa:
a. Penundaan pencairan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan triwulan berikutnya;
b. Penghentian alokasi dana dekonsentrasi/tugas pembantuan untuk tahun anggaran berikutnya.
Pengenaan sanksi tersebut tidak membebaskan SKPD dari kewajiban menyampaikan laporan dana
dekonsentrasi/tugas pembantuan.
Walaupun aturan mengenai sanksi ini telah ditetapkan, amun penerapannya masih belum berjalan
sebagaimana mestinya, instansi yang terkait dengan pertanggungjawaban dana dekonsentrasi/tugas pembantuan
masih tetap belum melaporkan aset dekonsentrasi/tugas pembantuannya secara akuntabel. Untuk itu, diperlukan
ketegasan dari pemberi sanksi terhadap entitas yang tidak mematuhi aturan main yang telah ditetapkan tersebut.
PERMASALAHAN TERKAIT ASET DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN
Walaupun aturan dari hulu sampai hilir terkait dengan akuntabilitas pengelolaan aset yang diperoleh dari
dana dekonsentrasi/tugas pembantuan sudah ditetapkan, namun implementasinya didaerah penerima dana
dekonsentrasi/tugas pembantuan masih belum sempurna. Hal ini tercermin pada proses persetujuan hibah aset
dekonsentrasi/tugas pembantuan ke pemerintah daerah yang kendala utamanya adalah bahwa BMN tersebut tidak
tercatat dan terlaporkan sesuai ketentuan yang berlaku. Disamping itu, masih terus adanya temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait aset dekonsentrasi/tugas pembantuan dari tahun ke tahun.
Beberapa permasalahan yang terjadi di lapangan terkait dengan belum dilaporkannya aset dekonsentrasi/tugas
pembantuan adalah sebagai berikut:
a. Hampir seluruh unit akuntansi barang penerimaan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan tidak berfungsi.
b. Kurangnya pemahaman instansi terkait dana dekonsentrasi/tugas pembantuan, baik dari sisi KL maupun sisi
SKPD akan pentingnya pertanggungjawaban atas pengelolaan aset dekonsentrasi/tugas pembantuan yang
akuntabel.
c. Kurangnya pemahaman instansi terkait dana dekonsentrasi/tugas pembantuan mengenai SIMAK BMN.
d. Tidak berfungsinya gubernur/kepala daerah sebagai koordinator kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan di
daerah.
e. Tidak berjalannya fungsi pembinaan SIMAK BMN dari UAPPB Eselon 1 terhadap unit akuntansi barang penerima
dana dekonsentrasi/tugas pembantuan.
f. KL tidak dapat mengidentifikasi BMN hasil dekonsentrasi/tugas pembantuan.
g. Sanksi yang ada belum diterapkan secara tegas kepada entitas yang melanggar aturan main.
h. Adanya temuan BPK terkait aset dekonsentrasi/tugas pembantuan yang tentunya akan mempengaruhi opini BPK
terhadap LKKL dan pada akhirnya juga akan turut mempengaruhi opini BPK terhadap LKPP.
SOLUSI TERHADAP PERMASALAHAN YANG TIMBUL
Untuk menjamin terwujudnya akuntabilitas pengelolaan aset dekonsentrasi/tugas pembantuan, maka harus
ditempuh jalan keluar atas segala permasalahan yang timbul. Diperlukan pemahaman yang sama oleh seluruh
entitas yang terkait dengan aset dekonsentrasi/tugas pembantuan, serta diperlukan komitmen yang kuat dari
seluruh entitas yang terkait untuk melaksanakan segala aturan yang sudah ditetapkan. Beberapa solusi yang dapat
ditempuh dalam mengatasi permasalahan yang timbul atas tidak tertibnya pengelolaan aset yang berasal dari dana
dekonsentrasi/tugas pembantuan, yaitu:
Page 29
a. Intensifikasi pembinaan terhadap K/L dan SKPD tentang pertanggungjawaban atas pengelolaan aset
dekonsentrasi/tugas pembantuan.
b. Sosialisasi peraturan terkait dekonsentrasi/tugas pembantuan, baik ditingkat K/L, SKPD, Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN), dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
c. Penerbitan peraturan teknis terkait sanksi, misalnya mewajibkan SKPD melampirkan laporan akuntabilitas da
Laporan Barang Kuasa Pengguna Barang yang dihasilkan dari SIMAK BMN pada saat melakukan pencairan
dana ke KPPN.
d. Penerapan sanksi secara tegas.
KESIMPULAN
1. Belanja dana dekonsentrasi/tugas pembantuan terdiri dari belanja fisik dan belanja non fisik.
2. Di dalam belanja non fisik terdapat belanja barang modal yang menghasilkan aset tetap.
3. Aset yang diperoleh dari dana dekonsentrasi/tugas pembantuan merupakan BMN.
4. BMN dari dana dekonsentrasi/pembantuan harus dikelola dan dipertanggungjawabkan melalui SIMAK-BMN.
5. Aset yang diperoleh dari dana dekonsentrasi/tugas pembantuan dapat dihibahkan kepada pemerintah daerah
melalui prosedur yang telah ditetapkan.
6. Sebelum aset dekonsentrasi/tugas pembantuan dapat dihibahkan kepada pemerintah daerah, maka harus
dilaporkan secara tertib sebagai BMN menggunakan SIMAK BMN oleh entitas penerima dana
dekonsentrasi/tugas pembantuan dan entitas yang terkait dengan dana dekonsentrasi/tugas
pembantuantersebut.
7. Aset dekonsentrasi/tugas pembantuan yang merupakan BMN apabila telah dihibahkan kepada pemerintah
daerah maka statusnya akan menjadi BMD.
8. Aset dekonsentrasi/tugas pembantuan yang berstatus BMN harus dilaporkan dalam Neraca KL terkait.
9. Aset dekonsentrasi/tugas pembantuan yang berstatus BMD harus dilaporkan dalam Neraca pemerintah daerah.
10. Diperlukan ketegasan dalam penerapan sanksi bagi entitas yang terkait dengan dana dekonsentrasi/tugas
pembantuan yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan sehubungan dengan akuntabilitas pengelolaan
aset dekonsentrasi/tugas pembantuan.
11. Diperlukan sosialisasi dan bimbingan teknis secara berkesinambungan terhadap entitas yang memiliki tanggung
jawab terhadap aset dekonsentrasi/tugas pembantu tentang pengelolaan dana dekonsentrasi/tugas
pembantuan, SIMAK BMN, dan pengaruh pengelolaan aset dekonsentrasi/tugas pembantuan terhadap
transparasi dan akuntabilitas keuangan Negara secara keseluruhan.
Tulisan ini disarikan dari:
1) UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
2) PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
3) PMK No. 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
4) PMK No. 96/PMK .06/2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindahtanganan BMN.
5) PMK No. 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN.
Page 30
PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP
ASET TETAP RENOVASI
Oleh: Silvy Daniarti
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 7 Tahun 2010)
Pada saat Satuan Kerja (satker) melakukan rekonsiliasi internal antara Realisasi Belanja Modal dengan Nilai
Aset Tetap yang diperoleh dan ditemukan perbedaan yang signifikan, hal tersebut disebabkan adanya beberapa hal
seperti:
a. Belum dicatatnya Aset Tetap yang diperoleh pada Aplikasi Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang
Milik Negara (SIMAK-BMN);
b. Sudah dicatat pada Aplikasi SIMAK-BMN tetapi terdapat kurang catat atas unsur Biaya Perolehan Aset Tetap;
c. Adanya renovasi yang mengakibatkan peningkatan manfaat dan nilai teknis atas Aset Tetap yang bukan miliknya.
Permasalahannya adalah bagaimana perlakuan akuntansi atas renovasi yang mengakibatkan peningkatan manfaat
dan nilai teknis atas Aset Tetap yang bukan miliknya.
1. PENGERTIAN
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara
lampiran VII tentang Kebijakan Penatausahaan Barang Milik Negara memberikan pengertian Renovasi dan Restorasi
sebagai suatu aktivitas/kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas dan/atau kapasitas suatu aset tetap.
Sedangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang
Milik/Kekayaan Negara Dalam Sistem Akuntansi Pemerintah menyebutkan bahwa definisi renovasi adalah perbaikan
aset tetap yang rusak atau mengganti yang baik dengan maksud meningkatkan kualitas atau kapasitas.
Dengan mengacu kepada 2 (dua) peraturan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa renovasi adalah perbaikan
aset tetap yang rusak atau penggantian aset tetap yang baik dengan maksud meningkatkan manfaat, kualitas,
kapasitas, dan/umur ekonomis suatu aset tetap.
2. PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS ASET TETAP RENOVASI
Sesuai PMK Nomor: 120/PMK.06/2007, KMK Nomor: 01/KM.12/2001, dan mengacu kepada Buletin Teknis
(Bultek) Nomor: 04 Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja
Pemerintah, renovasi yang mengakibatkan peningkatan manfaat dan nilai teknis atas aset tetap yang bukan miliknya,
dikapitalisasikan sebagai Aset Tetap Renovasi.
Berdasarkan kesamaan sifat atau fungsinya dalam aktivitas operasional suatu entitas, Aset Tetap Renovasi
diklasifikasikan sebagai Aset Tetap Lainnya, yaitu Aset Tetap yang tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok Aset
Tetap berupa tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, jaringan, serta konstruksi dalam
pengerjaan. Oleh karena itu perlakuan akuntansi atas Aset Tetap Renovasi mengacu kepada perlakuan akuntansi
Aset Tetap Lainnya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan.
Pengakuan, Pengukuran, dan Pengungkapan
Selain berwujud, Aset Tetap Renovasi memiliki beberapa kriteria yaitu:
a. Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan;
b. Biaya perolehan Aset Tetap Renovasi dapat diukur secara andal;
c. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas;
d. Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan; dan
Page 31
e. Mempunyai Nilai Minimum Kapitalisasi Aset Tetap, yaitu:
Pengeluaran untuk per satuan Peralatan dan Mesin adalah sama dengan atau lebih dari Rp300.000,- (tiga
ratus ribu rupiah); dan
Pengeluaran untuk Gedung dan Bangunan adalah sama dengan atau lebih dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah).
Apabila manfaat ekonomi atas renovasi suatu aset tetap memenuhi kriteria di atas, maka pengeluaran atas belanja
tersebut diklasifikasikan sebagai Belanja Modal.
Penilaian Aset Tetap Renovasi adalah sebesar biaya perolehannya, dimana biaya perolehan Aset Tetap
Renovasi menggambarkan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tersebut sampai siap pakai. Biaya
perolehan Aset Tetap Renovasi yang diperoleh melalui kontrak meliputi pengeluaran nilai kontrak, biaya
perencanaan dan pengawasan, serta biaya perizinan. Sedangkan biaya perolehan Aset Tetap Renovasi yang diadakan
melalui swakelola meliputi biaya langsung dan tidak langsung, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja,
sewa peralatan, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, dan jasa konsultan.
Aset Tetap Renovasi disajikan sebagai Aset Tetap Lainnya sebesar nilai moneter di dalam Neraca. Selain itu,
pengungkapan Aset Tetap Renovasi di dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) antara lain meliputi:
a. Dasar penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai Aset Tetap Renovasi;
b. Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan Penambahan dan Penghapusan;
c. Kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi yang berkaitan dengan Aset Tetap Lainnya.
3. PENDEKATAN BMN
PMK Nomor 120/PMK.06/2007 menyatakan bahwa Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang
sah, meliputi:
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenisnya;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setiap satuan kerja selaku Kuasa Pengguna Barang (KPB) melaksanakan penatausahaan BMN yang meliputi
kegiatan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN. Penyusunan Laporan BMN (Laporan Barang Kuasa
Pengguna) dilaksanakan setiap semester dan tahunan. Laporan BMN (Laporan Barang Kuasa Pengguna) menyajikan
posisi dan nilai BMN pada awal periode, akhir periode, serta mutasinya.
Aset Tetap Renovasi dicatat dan diklasifikasikan sebagai Aset Tetap Lainnya dalam Neraca Kementerian
Negara/Lembaga dan Neraca Pemerintah Pusat. Nilai Aset Tetap Renovasi akan terus tersajikan dari tahun ke tahun
dalam LKKL dan LKPP sampai dengan dilakukan penghentian atau pelepasan terhadap Aset Tetap Renovasi tersebut.
4. PENCATATAN ASET TETAP RENOVASI
PMK Nomor: 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
menyatakan bahwa setiap Kementerian Negara/Lembaga wajib menyelenggarakan Sistem Akuntansi Indonesia (SAI)
untuk menghasilkan laporan keuangan. SAI terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem Manajemen dan
Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN).
Secara umum terdapat 3 (tiga) transaksi yang mempengaruhi pengakuan Aset Tetap, yaitu: perolehan,
perubahan pengembangan, dan penghapusan. Pencatatan atas transaksi Aset Tetap dilakukan melalui Aplikasi
SIMAK-BMN dan datanya akan dikirim ke dalam Aplikasi SAK sehingga bisa disusun Neraca.
Pencatatan Aset Tetap Renovasi sedikit berbeda dengan jenis aset tetap lainnya. Satuan kerja harus
melakukan penelaahan terlebih dahulu atas transaksi Aset Tetap Renovasi tersebut. Penelaahan tersebut antara lain
Page 32
terdiri dari: apa jenis belanja yang digunakan untuk membiayai renovasi atas aset tetap tersebut dan bagaimana
status kepemilikan atas aset tetap yang direnovasi.
5. JENIS BELANJA
Secara umum, apabila renovasi suatu aset tetap telah mengakibatkan peningkatan manfaat dan nilai teknis
aset tetap tersebut, maka pengeluaran belanjanya diklasifikasikan sebagai Belanja Modal. Menurut Buletin Teknis
Nomor 04, penelaahan atas jenis belanja yang digunakan untuk membiayai renovasi atas aset tetap perlu dikaji dari
teori akuntansi kapitalisasi Aset Tetap Renovasi, sebagai berikut:
Apabila renovasi atas aset tetap meningkatkan manfaat ekonomik aset tetap, misalnya perubahan fungsi dan
kapasitasnya naik, maka renovasi tersebut dikapitalisasi sebagai Aset Tetap Renovasi. Apabila renovasi atas aset
tetap tidak menambah manfaat ekonomik, maka dianggap sebagai Belanja Operasional.
Apabila manfaat ekonomik renovasi tersebut lebih dari 1 (satu) tahun buku, dan memenuhi point di atas, biaya
renovasi dikapitalisasi sebagai Aset Tetap Renovasi, sedangkan apabila manfaat ekonomik renovasi kurang dari 1
(satu) tahun buku, maka pengeluaran tersebut diperlakukan sebagai Belanja Operasional tahun berjalan.
6. STATUS KEPEMILIKAN ASET TETAP YANG DIRENOVASI
Status kepemilikan aset tetap yang direnovasi akan menentukan perlakuan akuntansi terhadap renovasi atas
aset tetap yang meliputi:
a. Renovasi atas aset tetap yang merupakan milik Satuan Kerja (KPA/B) terkait;
b. Renovasi atas aset tetap yang bukan merupakan milik Satuan Kerja (KPA/B) terkait.
Perlakuan akuntansi terhadap renovasi atas aset tetap yang merupakan milik Satuan Kerja (KPA/B) terkait
Nilai renovasi atas aset tetap merupakan penambah/pengembang atas nilai aset tetap sebelumnya yang
dimiliki oleh Satuan Kerja (KPA/B) terkait.
Contoh kasus:
Neraca Satker XXX tahun 2009 menyajikan adanya nilai Gedung dan Bangunan sebesar Rp2.000.000.000,-. Gedung
dan Bangunan tersebut merupakan Gedung Kantor milik Satker XXX yang digunakan sebagai sarana operasional
kegiatan kantor. Tahun 2010 Satker XXX melakukan renovasi atas Gedung Kantor tersebut dengan nilai
Rp500.000.000,-. Akibat dari renovasi yang dilakukan, Ruang Aula di dalam Gedung Kantor tersebut berubah bentuk
dan fungsi menjadi Ruang Pegawai Satker XXX.
Atas renovasi yang dilakukan, terdapat penambahan kapasitas dan perubahan fungsi dari Ruang Aula menjadi Ruang
Pegawai. Nilai renovasi sebesar Rp500.000.000,- melebihi nilai minimum kapitalisasi Gedung dan Bangunan. Karena
Gedung Kantor tersebut merupakan aset tetap milik Satker XXX, maka nilai renovasi tersebut akan menambah nilai
Gedung dan Bangunan pada Neraca Satker XXX tahun 2010. Oleh karena biaya renovasi menggunakan jenis Belanja
Modal, maka jurnal pencatatan atas biaya renovasi Rp500.000.000,- adalah:
Akibat jurnal di atas, tampilan Neraca Komparatif menurut SAK adalah:
Dr Belanja Modal Gedung dan Bangunan Rp500 juta
Cr Piutang kepada Kas Umum Negara Rp500 juta
Sedangkan jurnal korolari atas aset tetap dimaksud:
Dr Gedung dan Bangunan Sebelum Disesuaikan Rp500 juta
Cr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp500 juta
Page 33
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Gedung dan Bangunan Rp 2 Milyar Rp2 Milyar
Gedung dan Bangunan Sebelum
Disesuaikan
Rp0,5 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset Tetap Rp2,5 Milyar Rp2 Milyar
Pencatatan renovasi dilakukan juga pada SIMAK BMN sebagai Transaksi BMN yaitu Perubahan BMN
khususnya Pengembangan. Nilai renovasi merupakan nilai pengembangan atas Gedung Kantor milik Satker XXX yang
semula nilainya Rp2.000.000.000,- menjadi Rp2.500.000.000,-. Setelah pencatatan nilai renovasi di SIMAK BMN dan
dilakukan pengiriman data ke SAK, maka data SIMAK BMN tersebut akan membentuk jurnal pembalik atas jurnal
korolari serta jurnal penambah nilai atas Gedung Kantor itu sendiri, yaitu:
Jurnal pembalik atas jurnal korolari adalah:
Dr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp500 juta
Cr Gedung dan Bangunan Sebelum Disesuaikan Rp500 juta
Jurnal penambah nilai atas gedung kantor itu sendiri adalah:
Dr Gedung dan Bangunan Rp500 juta
Cr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp500 juta
Akibat dari jurnal tersebut di atas, tampilan Neraca Komparatif menurut SAK adalah:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Gedung dan Bangunan Rp2,5 Milyar Rp2 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset Tetap Rp2,5 Milyar Rp.2 Milyar
Apabila terdapat kesalahan penganggaran, misalnya biaya renovasi menggunakan Belanja Barang, maka
tidak ada jurnal korolari yang terbentuk sehingga tidak ada akun Gedung dan Bangunan Sebelum Disesuaikan di
dalam Neraca.
Pencatatan biaya renovasi langsung dilakukan di SIMAK-BMN sebagai Transaksi BMN yaitu Perubahan BMN
khususnya Pengembangan. Setelah pencatatan nilai renovasi di SIMAK BMN dan dilakukan pengiriman data ke SAK,
maka data SIMAK BMN langsung membentuk jurnal penambah nilai atas Gedung Kantor itu sendiri, yaitu:
Dr Gedung dan Bangunan Rp 500 juta
Cr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp 500 juta
Akibat dari jurnal tersebut, tampilan Neraca Komparatif menurut SAK adalah:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Gedung dan Bangunan Rp2,5 Milyar Rp2 Milyar
Page 34
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset Tetap Rp2,5 Milyar Rp2 Milyar
Pada akhir semester/tahun, Satker XXX menjelaskan secara rinci penambahan nilai Gedung dan Bangunan tersebut
beserta kesalahan penganggarannya di dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
Perlakuan akuntansi terhadap renovasi atas aset tetap yang bukan merupakan milik Satuan Kerja (KPA/B) terkait
Perolehan Aset Tetap Renovasi yang bukan merupakan milik Satuan Kerja (KPA/B) terkait tidak dicatat pada
SIMAK BMN, melainkan cukup dicatat di SAK saja.
Contoh kasus:
Neraca Satker YYY tahun 2009 hanya menyajikan adanya Aset Tetap berupa Peralatan dan Mesin sebesar
Rp1.000.000.000,-. Satker YYY tidak memiliki Gedung Kantor dan untuk menunjang operasional kegiatan kantor,
Satker YYY menggunakan Ruang Aula di Gedung Kantor milik Satker ZZZ.
Karena Ruang Aula tersebut kondisinya tidak memungkinkan untuk dipakai sebagai Ruang Pegawai, maka dengan ijin
dari Satker ZZZ, tahun 2010 Satker YYY melakukan renovasi atas Ruang Aula tersebut sehingga kondisinya lebih
baik/layak pakai, serta berubah bentuk dan fungsi menjadi Ruang Pegawai Satker YYY.
Biaya renovasi menggunakan Belanja Modal dengan nilai Rp500.000.000,-.
Atas renovasi yang dilakukan, terjadi penambahan kapasitas dan perubahan fungsi dari Ruang Aula menjadi Ruang
Pegawai. Nilai renovasi sejumlah Rp500.000.000,- melebihi nilai minimum kapitalisasi Gedung dan Bangunan. Nilai
renovasi tersebut dicatat sebagai Aset Tetap Renovasi dan diklasifikasikan sebagai Aset Tetap Lainnya.
Jurnal pencatatan atas biaya renovasi Rp500.000.000,- adalah:
Dr Belanja Modal Gedung dan Bangunan Rp500 juta
Cr Piutang kepada Kas Umum Negara Rp500 juta
Dan Jurnal Korolari:
Dr Gedung dan Bangunan Sebelum Disesuaikan Rp500 juta
Cr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp500 juta
Akibat jurnal di atas, maka tampilan Neraca Komparatif Satker YYY adalah:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Peralatan dan Mesin Rp1 Milyar Rp1 Milyar
Gedung dan Bangunan Sebelum
Disesuaikan
Rp0,5 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset Tetap Rp1,5 Milyar Rp1 Milyar
Karena Gedung dan Bangunan bukan milik dari Satker YYY, maka kegiatan renovasi ini tidak dicatat pada SIMAK
BMN. Selanjutnya dilakukan pembalikan jurnal korolari melalui jurnal neraca sebagai berikut:
Dr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp500 juta
Cr Gedung dan Bangunan Sebelum Disesuaikan Rp500 juta
Page 35
Juga dilakukan pencatatan jurnal Aset Tetap Renovasi sebagai berikut:
Dr Aset Tetap Renovasi Rp500 juta
Cr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp500 juta
Akibat jurnal tersebut di atas, tampilan Neraca Komparatif Satker YYY adalah:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Peralatan dan Mesin Rp1 Milyar Rp1 Milyar
Aset Tetap Lainnya Rp0,5 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset Tetap Rp1,5 Milyar Rp1 Milyar
Pada akhir semester/tahun Satker YYY menjelaskan secara rinci Aset Tetap Renovasi tersebut di dalam CaLK.
7. PENGHAPUSAN ASET TETAP RENOVASI
Aset Tetap Renovasi tidak memiliki ukuran kuantitas (measurement unit) yang jelas. Pengukuran yang ada
hanya berupa ukuran nilai satuan uang (monetary measurement) yang diambil dari nilai perolehannya. Sampai
dengan tulisan ini disusun belum ada aturan mengenai penghapusan Aset Tetap Renovasi dari Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Barang. Hal ini menyebabkan pertanyaan apakah nilai Aset Tetap Renovasi
akan dibiarkan terus terbawa dalam Neraca meskipun aset tersebut telah dikembalikan kepada satker pemiliknya
atau akan terhenti saat pengembalian aset tetap dan dilakukan serah terima kepada satker pemiliknya. Dalam hal
nilai Aset Tetap Renovasi akan dibiarkan terus terbawa dalam Neraca meskipun aset tersebut telah dikembalikan
kepada satker pemiliknya, maka satker hanya perlu menjelaskan secara rinci di dalam CaLK ketika aset tetap tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya. Sedangkan nilai Aset Tetap Renovasi yang diklasifikasikan sebagai Aset Tetap
Lainnya akan terus terbawa di dalam Neraca satker dari tahun ke tahun.
Apabila nilai Aset Tetap Renovasi akan dihentikan saat pengembalian dan serah terima Aset Tetap Renovasi
kepada satker pemilik, maka harus dilakukan eliminasi atas Aset Tetap Renovasi-Aset Tetap Lainnya dari Neraca.
Pencatatan eliminasi dilakukan berdasarkan Surat Persetujuan yang ditetapkan oleh DJKN dan bukti serah terima
Aset Tetap Renovasi.
Ilustrasi:
Pada akhir tahun 2010 Satker YYY mengembalikan Aset Tetap Renovasi senilai Rp500.000.000,- kepada Pemilik Aset,
Satker ZZZ. Neraca Satker YYY pada saat belum dilakukan serah terima Aset Tetap Renovasi adalah:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Peralatan dan Mesin Rp1 Milyar Rp1 Milyar
Aset Tetap Lainnya Rp0,5 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset
Tetap
Rp1,5 Milyar Rp1 Milyar
Berdasarkan Surat Persetujuan yang ditetapkan oleh DJKN dan bukti serah terima Aset Tetap Renovasi, Satker YYY
melakukan eliminasi atas Aset Tetap Renovasi-Aset Tetap Lainnya dari Neraca melalui jurnal neraca sebagai berikut:
Page 36
Dr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp500 juta
Cr Aset Tetap Renovasi Rp500 juta
Akibat jurnal eliminasi tersebut, tampilan Neraca Komparatif Satker YYY menjadi:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Peralatan dan Mesin Rp1 Milyar Rp1 Milyar
Aset Tetap Lainnya Rp0 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset Tetap Rp1,0 Milyar Rp1 Milyar
Penghapusan/serah terima atas Aset Tetap Renovasi mengakibatkan berkurangnya nilai Aset Tetap Lainnya sejumlah
Rp500.000.000,-. Penghapusan/serah terima ini juga harus dijelaskan secara rinci di dalam CaLK semester/tahun.
Sedangkan untuk Satker ZZZ selaku penerima Aset Tetap Renovasi, berdasarkan Surat Persetujuan yang ditetapkan
oleh DJKN dan bukti serah terima Aset Tetap Renovasi juga melakukan pencatatan dalam Laporan Keuangan Satker
ZZZ, khususnya Neraca.
Sebelum dilakukan serah terima Aset Tetap Renovasi, Neraca Satker ZZZ tahun 2010 adalah:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Tanah Rp1 Milyar Rp1 Milyar
Peralatan dan Mesin Rp1 Milyar Rp0,5 Milyar
Gedung dan Bangunan Rp1,5 Milyar Rp1,5 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset
Tetap
Rp3,5 Milyar Rp3 Milyar
Setelah adanya Surat Persetujuan yang ditetapkan oleh DJKN dan bukti serah terima Aset Tetap Renovasi, Satker ZZZ
mencatat penerimaan Aset Tetap Renovasi sebagai penambah nilai/pengembangan atas nilai gedung kantor yang
dimilikinya.
Pencatatan dilakukan pada SIMAK BMN melalui Transaksi BMN khususnya transaksi Penerimaan Aset dari
Pengembangan Aset Renovasi, kemudian dilakukan pengiriman data ke SAK.
Data SIMAK BMN langsung membentuk jurnal penambah nilai atas Gedung Kantor Satker ZZZ, yaitu:
Dr Gedung dan Bangunan Rp 500 juta
Cr Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Rp 500 juta
Akibat dari jurnal tersebut, tampilan Neraca Satker ZZZ adalah:
Uraian TA 2010 TA 2009
Aset
Tanah Rp1 Milyar Rp1 Milyar
Page 37
Peralatan dan Mesin Rp1 Milyar Rp0,5 Milyar
Gedung dan Bangunan Rp2 Milyar Rp1,5 Milyar
Kewajiban
Ekuitas Dana
EDI-Diinvestasikan dalam Aset
Tetap
Rp4 Milyar Rp3 Milyar
Perubahan nilai Gedung dan Bangunan di dalam Neraca dijelaskan secara rinci di dalam CaLK semesteran/tahunan
Satker ZZZ.
KESIMPULAN
1. Aset Tetap Renovasi dicatat di dalam Neraca sebagai akun Aset Tetap Lainnya;
2. Mutasi nilai Aset Tetap Renovasi diungkapkan secara jelas dan rinci di dalam Catatan atas Laporan Keuangan;
3. Perlu payung hukum yang jelas terhadap tindak lanjut perlakuan akuntansi dan manajerial atas Aset Tetap
Renovasi.
REFERENSI:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan
Negara Dalam Sistem Akuntansi Pemerintah;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan,
Pemanfaatan, Penghapusan, Dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Pemerintah;
7. Buletin Teknis Nomor 04 Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) tentang Penyajian Dan Pengungkapan
Belanja Pemerintah.
Page 38
PENGERTIAN REHABILITASI, RENOVASI DAN RESTORASI DALAM KAPITALISASI ASET TETAP
Oleh: Syaiful
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 7 Tahun 2010)
Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan aset tetap setelah perolehan kerap ditemukan.
Pengeluaran tersebut dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok besar yaitu:
1. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan aset tetap yang rusak sebagian dengan tanpa meningkatkan kualitas dan atau
kapasitas dengan maksud dapat digunakan sesuai dengan kondisi semula.
2. Renovasi
Renovasi adalah perbaikan aset tetap yang rusak atau mengganti yang baik dengan maksud meningkatkan
kualitas atau kapasitas.
3. Restorasi
Restorasi adalah perbaikan aset tetap yang rusak dengan tetap mempertahankan arsitekturnya.
Pengeluaran yang dilakukan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset atau dapat dianggap sebagai
pengeluaran biasa yang tidak dikapitalisasi.
Kapitalisasi adalah penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh aset tetap hingga
siap pakai, untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka
menambah nilai-nilai aset tersebut.
Dari uraian singkat tersebut di atas, maka belanja pemeliharaan yang dikeluarkan setelah perolehan aset tetap yang
menambah dan memperpanjang masa manfaat dan atau kemungkinan besar memberi manfaat ekonomik di masa
yang akan datang dalam bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja harus dikelompokkan
kedalam belanja modal dan dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset tetap dalam laporan keuangan.
Perlakuan Akuntansi dan Pelaporan
Pengeluaran setelah perolehan aset tetap dalam akuntansi dapat dikategorikan dalam dua kelompok yaitu:
a. Pengeluaran yang dapat dikapitaliasasi.
Di samping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya, pengeluaran-pengeluaran sesudah
perolehan aset tetap atau aset lainnya dapat juga dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset. Pengeluaran
tersebut dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal yang menambah nilai aset jika memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Pengeluaran tersebut menyebabkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas dan volume aset yang
telah dimiliki.
Terkait dengan kriteria tersebut, maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa:
(a) Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang diharapkan dari aset tetap yang
sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula diperkirakan mempunyai umur ekonomis 10 tahun. Pada
tahun ke-7 pemerintah melakukan renovasi dengan harapan gedung tersebut masih dapat digunakan 8
tahun lagi. Dengan adanya renovasi tersebut maka umur gedung berubah dari 10 tahun menjadi 15 tahun.
(b) Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset tetap yang sudah ada.
Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai output 200 KW dilakukan renovasi sehingga
kapasitasnya meningkat menjadi 300 KW.
(c) Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya, jalan
Page 39
yang masih berupa tanah ditingkatkan oleh pemerintah menjadi jalan aspal.
(d) Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan ukuran aset yang sudah ada, misalnya
penambahan luas bangunan suatu gedung dari 400 m2 menjadi 500 m2.
2. Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya.
Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap adalah pengeluaran untuk pengadaan baru dan penambahan
nilai aset tetap dari hasil pengembangan, reklasifikasi, renovasi, dan restorasi. Nilai Satuan Minimum
Kapitalisasi Aset Tetap meliputi:
(a) pengeluaran untuk per satuan peralatan dan mesin, dan alat olah raga yang sama dengan atau lebih dari
Rp300.000 (tiga ratus ribu rupiah); dan;
(b) pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih dari Rp10.000.000 (sepuluh juta
rupiah).
Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap dikecualikan terhadap pengeluaran untuk tanah,
jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian.
b. Pengeluaran yang tidak dapat dikapitalisasi.
Pengeluaran yang dimaksudkan untuk mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam
kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja. Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain
pemeliharaan tanah, pemeliharaan gedung dan bangunan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas,
perbaikan peralatan dan sarana gedung, jalan, jaringan irigasi, peralatan mesin, dan lain-lain sarana yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya berdasarkan urain diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pengeluaran setelah perolehan aset tetap yang dapat dikapitalisasi dan memenuhi batasan nilai minimum
dicatat dan dilaporkan sebagai penambah nilai aset tetap, serta dianggarkan dalam Belanja Modal.
Selanjutnya terhadap penambahan tersebut dilaporkan dalam Laporan Keuangan dan Laporan Barang Milik
Negara.
2. Pengeluaran dengan tujuan Rehabilitasi aset tetap tidak dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset tetap,
serta tidak dianggarkan dalam Belanja Modal dan dalam Laporan Barang Milik Negara.
3. Pengeluaran dalam rangka renovasi dan restorasi sepanjang meliputi biaya yang dikeluarkan untuk
meningkatkan kualitas dan atau kapasitas, dan memenuhi batasan nilai minimum dicatat dan dilaporkan
sebagai penambahan nilai aset tetap, serta dianggarkan dalam Belanja Modal. Selanjutnya terhadap
penambahan tersebut dilaporkan dalam Laporan Keuangan dan Laporan Barang Milik Negara.
Page 41
BASIS AKRUAL: SUATU PENGANTAR
Oleh: Mega Meilistya
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 6 Tahun 2009)
Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan-DJPBN, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan
Departemen of Finance and Deregulation, Pemerintah Australia telah menyelenggarakan seminar dua hari tentang
akrual pada tanggal 15 Oktober 2009 bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta.
Acara seminar didahului dengan pembacaan sambutan oleh Direktur Jendral Perbendaharaan Herry Purnomo,
dilanjutkan dengan pembacaan sambutan oleh Direktur APK-DJPBN Sonny Loho. Selanjutnya Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menyampaikan keynote speech sekaligus membuka acara seminar.
Acara seminar dihadiri antara lain para kepala biro keuangan kementrian negara/lembaga dan para kepala
KPPN seluruh Indonesia. Hari pertama seminar diawali dengan presentasi oleh Tony Ollife dan Ellie Barlow sebagai
perwakilan Departemen of Finance and Deregulation, Pemerintah Australia. Binsar H. Simanjutak sebagai ketua
Komie Kerja KSAP menutup hari pertama seminar. Presentasi hari kedua seminar disampaikan oleh Tony Ollife, Ellie
Barlow, dan Sonny Loho.
Pembicaraan dari Australia, Tony Ollife dan Ellie Barlow, membawakan beberapa judul presentasi. Pada hari
pertama seminar dipresentasikan makalah tentang: Tinjauan Terhadap Akuntansi Akrual, Konsep Kas dan Akrual,
serta Pengalaman Australia dalam Implementasi Akrual. Selanjutnya pada hari kedua seminar, mereka menjelaskan
Penyusunan Laporan Akrual dari Laporan Kas melalui contoh-contoh praktis serta Government Finance Statistics.
Perwakilan pembicaraan dari Indonesia, Binsar H. Simanjutak, membawakan presentasi dengan judul:
Pandangan Umun Standar Akuntansi Pemerintahan “Kas Menuju Akrual” di Indonesia – Perkembangan dan Arah
Setelah Ini.
Setelah masing-masing pembicara membawakan presentasinya, diadakan forum tanya jawab dan diskusi
kepada para peserta seminar.
BASIS AKUNTANSI
Basis akuntansi megacu pada saat/kapan suatu transaksi keuangan diakui atau dicatat. Pengakuan ini terbagi
menjadi dua basis, yaitu basis akrual dan basis kas.
Pada basis akrual, pendapatan diakui pada saat barang dijual atau pada saat jasa diberikan kepada pihak ketiga,
tanpa memperhatikan uang kas diterima penjual/penyedia jasa. Sedangkan beban/biaya diakui pada periode dimana
beban/biaya tersebut member manfaat pada perusahaan/entitas tanpa memperhatikan kapan uang kas harus
dibayarkan kepada pihak ketiga. Perbedaan antara jumlah pendapatan dan jumlah biaya dalam satu periode menjadi
laba periode dimaksud.
Sebaliknya, basis kas mengakui pendapatan pada saat uang kas diterima, dan mengakui beban/biaya pada saat uang
kas dibayarkan.
ILUSTRASI TRANSAKSI
Pada bulan Januari 2006, perusahaan asuransi Bimby menjual polis asuransi kesehatan yang berlaku untuk jangka
waktu 3 tahun. Dalam kontrak polis disebutkan bahwa klien akan membayar 150.000 di muka. Biaya untuk satu buah
polis yang terjual diperkirakan sebesar 20.000 setiap tahunnya. Bagaiman perhitungan laba perusahaan tersebut
untuk setiap polis asuransi yang terjual setiap tahunnya?
Page 42
Pada saat laporan keuangan disiapkan, harsu ditentukan pada periode mana pendapatan dan belanja harus
dilaporkan. Pada ilustrasi diatas, perusahaan Bimby dapat digolongkan sebagai perusahaan jasa yang menjula polis
asuransi. Apabila perusahaan mempergunakan basis akrual, maka pendapatan diakui pada saat jasa asuransi
diberikan.
Meskipun seorang klien harus melakukan pembayaran di muka sebesar 150.000 untuk membeli polis asuransi
tersebut, namun klien memperoleh masa manfaat asuransi selama 3 tahun sebagaimana tertera pada kontrak polis,
dengan demikian perusahaan Bimby harus menyebar penerimaan 150.00 dari klien kepada 3 periode berbeda (2006,
2007,dan 2008). Dengan demikian pelaporan pada basis akrual (dalam ribuan) adalah sebagai berikut:
2006 2007 2008
Pendapatan 50 50 50
Beban 20 20 20
Laba 30 30 30
Sedangakan dengan basis kas, perusahaan mengakui pendapatan dan bebannya sesuai dengan aliran uang Kas yang
diterima/dibayarkan (dalam ribuan).
2006 2007 2008
Pendapatan 150 0 0
Beban 20 20 20
Laba 130 (20) (20)
Apabila kita lihat pada ilustrasi dua pelaporan diatas, total laba untuk 1 polis asuransi selama 3 tahun pada basis
akrual dan basis akrual dan basis kas akan menghasilkan nilai yang sama, yaitu sebesar 90.000. Namun besarnya laba
setiap tahun tidak sama antara basis akrual dan basis kas. Pada basis akrual, fluktukasi laba setiap priode tidak
sebesar pada basis kas. Oleh karena itu, sering disebutkan bahwa basis akrual menghasilkan laporan keuangan lebih
akurat.
Untuk menerapkan akuntasi berbasis akrual, pada akhir periode akuntansi:
1. harus ditentukan mana pendapatan dan belanja yang harus dilaporkan pada periode yang dimaksud.
Penentuan kapan suatu pendapatan dan belanja akan dilaporkan harus mengikuti prinsip kesesuaian atau
matching principle. Menurut prinsip ini setiap pengorbanan ekonomis (pengeluaran/biaya/cost) pada suatu
periode harus dapat disandingkan dengan manfaat yang ditimbulkan pada periode yang sama. Dengan demikian,
setiap biaya yang timbul harus dapat disandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Demikian pula
sebaliknya, untuk setiap pendapatan yang diakui harus dapat disandingkan dengan beban yang timbul.
2. harus dibuat jurnal penyesuaian untuk, antara lain, perkiraan-perkiraan sebagai berikut:
a. beban dibayar muka
b. pendapatan diterima di muka
c. beban yang masih harus dibayar
d. pendapatan yang masih harus diterima
e. beban terkait degan alokasi pemakaian aktiva tetap (penyusutan)
JURNAL PENYESUAIAN
Pada akhir periode akuntansi beberapa perkiraan perlu untuk disesuaikan karena saldonya tidak mencerminkan nilai
sebenarnya.
Page 43
Beban Dibayar di Muka
Beban dibayar muka adalah beban yang dibayar secara tunai dan dicatat sebagai aset sebelum digunakan untuk
dikonsumsi. Beban dibayar muka akan kadaluarsa baik karena berlakunya waktu (misalnya untuk pos sewa dan
asuranasi) ataupun karena pemakaian dan konsumsi (misalnya untuk pos perlengkapan).
Pembukuan pos biaya dibayar dimuka dapat menggunakan pendekatan aset ataupun pendekatan biaya, seperti
terlihat pada contoh di bawah ini:
Pada awal bulan, dibayar sewa ruangan untuk setahun dengan biaya 2.400
Pendekatan aset:
Dr Sewa Dibayar Dimuka 2.400
Cr. Kas 2.400
Pendekatan Beban/biaya:
Dr Beban Sewa 2.400
Cr. Kas 2.400
Pada pendekatan aset , sewa didebet sebagai aset. Sedangkan dalam pendekatan beban/biaya, sewa didebet
sebagai beban.
Pada akhir bulan, harus dilakukan penyesuaian karena beban sewa sudah hangus untuk satu bulan (2.400 : 12 = 200),
maka jurnal penyesuaian sebagai berikut:
Pendekatan aset:
Dr Beban sewa 200
Cr Sewa dibayar muka 200
Pendekatan biaya:
Dr sewa dibayar di muka 2.200
Cr beban sewa 2.200
Jurnal penyesuaian pendekatan aset menyatakan bahwa aset telah terpakai sebesar 200: karena itu bila pada
awalnya akun sewa dibayar muka di debit 2.400, maka pada jurnal penyesuaian akun ini di kredit 200. Hal ini
menunjukan bahwa aset sudah berkurang dan ditambahkan ke biaya.
Jurnal awal pada pendekatan biaya, di debet biaya sewa sebesar 2.400. setelah satu bulan berlalu, dari jumlah 2.400,
sebesar 2.200 belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, dibuat jurnal penyesuaian dengan mengkreditkan biaya sewa
sebesar 2.200. Hal ini menunjukan bahwa biaya sewa tidak lagi sebesar 2.400 dan harus dikurangi untuk dipindahkan
ke jenis perkiraan aset (yaitu akun sewa dibayar muka) karena manfaatnya belum diterima.
Kedua pendekatan diatas akan menghasilkan saldo akun yang sama di laporan keuangan akhir bulan, yaitu saldo
sewa dibayar di muka 2.200 dan saldo biaya sewa 200.
Pendapatan Diterima di Muka
Pendapatan Diterima di Muka adalah pendapatan atas suatu barang/jasa yang belum diserahkan tetapi uang kasnya
sudah diterima.
Page 44
Contoh:
Tanggal 1 Agustus diterima sewa untuk 1 tahun kedepan sebesar 3.000. Akhir periode akuntansi adalah 31
Desember.
Terdapat dua cara pencatatan atas pos pendapatan diterima dimuka, yaitu pendekatan hutang dan pendekatan
pendapatan.
Pendekatan hutang:
Dr Kas 3.000
Cr Pendapatan Diterima di Muka 3.000
Pendekatan pendapatan:
Dr Kas 3.000
Cr Pendapatan 3.000
Dengan mengkredit akun pendapatan diterima di muka pada pendekatan hutang, perusahaan mengakui adanya
hutang pada klien sebesar 3.000.
Pada akhir tahun jumlah yang benar-benar merupakan pendapat sewa di periode tersebut adalah 1.250, yaitu sewa
5 bulan dari bulan Agustus hingga bulan Desember (5/12 x 3.000).
Sementara sewa sebesar 1.750 (3.000-1.250) merupakan uang sewa untuk periode tahun berikutnya. Dengan
demikian harus dibuat jurnal penyesuaian sebagai berikut:
Pendekatan hutang:
Dr Pendapatan Diterima di Muka 1.250
Cr Pendapatan 1.250
Pendekatan Pendapatan:
Dr Pendapatan 1.750
Cr Pendapatan Diterima di Muka 1.750
Jurnal penyesuaian pendekatan hutang mendebet pendapatan diterima di muka sebesar 1.250; hal ini
diinteprestasikan bahwa hutang perusahaan (yaitu akun pendapatan diterima dimuka) telah berkurang 1.250 karena
perusahaan telah memberikan jasa sewa selama 5 bulan. Sedangkan akun pendapatan disisi kredit mencerminkan
pengakuan pendapatan perusahaan selama periode berjalan.
Pada pendekatan pendapatan, perusahaan awalnya mengakui adanya pendapatan sebesar 3.000 dengan mengkredit
akun pendapatan. Di akhir periode nilai ini harus diadjust dengan mengurangi nilainya sebesar 1.750 untuk
dipindahkan ke jenis perkiraan hutang (yaitu akun pendapatan diterima di muka) guna mencerminkan nilai sewa
pada periode berikutnya.
Baik perusahaan menggunakan pendekatan pendapatan, akan dihasilkan saldo akun yang sama di laporan keuangan
akhir tahun, yaitu saldo pendapatan diterima dimuka sebesar 1.750 dan saldo pendapatan sebesar 1.250.
Beban yang Masih Harus Dibayar
Beban yang masih harus dibayar adalah beban yang menurut waktunya harus diakui (misalnya: karena perusahaan
telah menikmati jasa dari pihak lain) namun pembayaran (uang tunai) atas beban tersebut belum dilaksanakan.
Beban yang harus dibayar merupakan utang bagi perusahaan.
Page 45
Contoh:
Sampai dengan tanggal 31 Desember, beban rekening telepon perusahaan yang telah jatuh tempo sebesar 3.700.
perusahaan akan membayar tagihan telepon ini pada bulan Januari tahun yang akan datang.
Maka jurnal penyesuaian yang harus dibuat pada akhir bulan Desember:
Dr Beban Rekening Telepon 3.700
Cr Utang Rekening Telepon 3.700
Jurnal penyesuaian diatas mengandung arti bahwa per 31 Desember, perusahaan telah memakai jasa telepon
sebesar 3.700 tetapi atas beban ini belum dibayar.
Akun utang rekening telepon akan muncul pada bagian utang neraca perusahaan dan akun ini akan hilang pada saat
perusahaan melakukan pembayaran (kas) rekening telepon dalam melakukan jurnal berikut ini :
Dr Utang Rekening Telepon 3.700
Cr Kas 3.700
Pendapatan Yang Masih Harus Diterima
Pendapatan yang masih harus diterima merupakan pendapatan yang telah menjadi hak perusahaan tetapi belum
diterima uangnya sehingga menimbulkan piutang bagi perusahaan .
Contoh:
Pada tanggal 1 November 2008 perusahaan membeli obligasi senilai 9.000. bunga obligasi sebesar 20% per tahun
dan dibayar setiap tanggal 1 November dan 1 Mei.
Pada contoh kasus ini, tidak akan dibahas jurnal pada tanggal 1November 2008, yaitu saat oligasi dibeli. Adapun
jurnal peyesuaian pada tanggal 31Desember 2008 (periode tutup tahun buku perusahaan) sebagai berikut:
Dr Piutang Bunga 300
Cr Pendapatan Bunga 300
Dengan mengkreditkan akun pendapatan bunga, perusahaan mengakui bahwa sampai dengan 31 Desember
terdapat bunga (obligasi) sebesar 300 (20% X 9.000 X 2/12) yang berasal dari bunga bulan November dan Desember.
Karena bunga ini belum diterima pembayaran (Kas) nya, maka dicatat piutang bunga pada sisi debet yang nantinya
akan muncul disisi aset pada laporan neraca perusahaan.
Penyusutan
Selanjutnya perlu dilakukan jurnal penyesuaian terhadap penyusutan aktiva tetap perusahaan.
Aktiva tetap yang digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan akan mengalami keausan. Bahkan setelah
jangka waktu tertentu, aktiva tetap tersebut sudah tidak dapat dipergunakan lagi dan harus di keluarkan dari
pembukuan. Untuk mencatat nilai yang ‘aus’, perusahaan mengalokasikan sejumlah tertentu dari nilai aktiva tetap
selama periode masa manfaatnya. Hal ini biasa dikenal dengan penyusutan.
Jurnal Standar Untuk Mencatat Penyusutan Adalah:
Dr Beban Penyusutan xxx
Cr Akumulasi Penyusutan xxx
Page 46
Perkiraan akumulasi penyusutan merupakan perkiraan kontra terhadap perkiraan aset tetap yang disusutkan.
Dengan demikian, meskipun akumulasi penyusutan mempunyai saldo kredit, akun ini akan muncul disisi debet
laporan neraca dan menjadi pengurang (offset) dari akun aset tetapnya. Sedangkan perkiraan biaya penyusutan akan
dilaporkan pada laporan laba rugi perusahaan.
Hal yang menarik dari penyusutan terkait dengan tema sistem akuntansi berbasis akrual adalah perkiraan ini
merupakan perkiraan non Kas. Pada saat dilakukan pencatatan penyusutan pada pembukuan perusahaan, tidak ada
arus kas yang masuk ataupun keluar dari rekening perusahaan. Namun, dengan dibukukannya beban penyusutan ini,
perusahaan mengakui bahwa nilai aset tetap mengalami depresiasi/penurunan yang merupakan cerminan dari
berkurangnya masa manfaat/kapasitas asset tetap akibat telah dipakai dalam kegiatan operasional perusahaan.
Selain penyusutan, juga ada beberapa aktifitas non kas yang dibukukan pada sistem akuntansi akrual. Hal ini
merupakan salah satu kelebihan sistem akuntansi berbasis akrual bila dibandingkan dengan sistem akuntansi
berbasis kas sebagaimana dijelaskan pada halaman berikut.
MENGAPA BERPINDAH KE BASIS AKRUAL
Basis kas umumnya digunakan oleh perusahaan-perusahaan berskala kecil karena pencatatan transaksi
dengan bebasis kas cenderung sederhana dan tidak memerlukan analisis yang rumit. Sebaliknya bila perusahaan
semakin berkembang skala bisnisnya dimana jenis transaksi keuangan perusahaan juga turut berkembang dan
perusahaan mulai memerlukan laporan keuangan yang lebih terukur, maka basis akrual akan lebih menghasilkan
informasi yang lebih akurat.
Kelemahan pertama dari basis kas terkait dari tidak dicatatnya transaksi-transaksi non kas. Sebagaimana
dijelaskan dimuka, perusahaan hanya akan melakukan pembukuan setiap kali terjadi aliran uang tunai ke/dari
perusahaan. Sehingga informasi berikut tidak dapat disajikan dalam akuntansi bebasis kas:
Sumber daya non-kas. Sebagai contoh, apabila suatu entitas menerima bantuan atau hibah dalam bentuk barang
atau jasa, entitas dimaksud tidak dapat mencatat nilai dari bantuan/hibah tersebut, bahkan apabila bantuan
atau hibah tersebut dilengkapi dengan faktur/kwitansi atau dokumen yang menyebutkan harga barang atau nilai
jasa dari bantuan/hibah. Hal ini disebabkan tidak adanya aliran uang kas yang masuk ke entitas dimaksud.
Beban entitas yang bersifat non kas. Sebagaimana dijelaskan dimuka, sistem akuntansi dengan basis akrual
dapat menangkap aktifitas-aktifitas yang tidak ada aliran uang tunai (kas)nya, seperti beban penyusutan atau
beban amortisasi.
Kegagalan sistem akuntansi basis kas untuk biaya-biaya non kas menjadi perhitungan biaya atas suatu
barang/jasa hanya terbatas pada sumber daya real/fisik saja. Sehingga besar kemungkinan biaya barang/jasa
tersebut ‘under-valued’ daripada yang seharusya karena banyak beban-beban non fisik/real tidak dicatat.
Selain daripada itu, basis kas tidak bisa mencatat transaksi kewajiban yang tidak didanai (unfunded liabilities)
seperti pensiun. Juga kewjiban kontinjensi tidak dapat didefinisi pada sisitem akuntansi dengan basis kas.
Selain transaksi non kas, dari basis kas adalah tidak dimungkinkannya suatu entitas untuk menyusun neraca.
Karena basis kas hanya mencatat transaksi berdasarkan aliran uang tunai (kas), maka transaksi perjanjian bisnis
perusahaan yang tidak ada aliran uang/kas-nya tidak dapat dibukukan. Sehingga piutang tidak dapat direkam dalam
pembukuan.
Sebaliknya basis akrual memungkinkan untuk menyajikan posisi keuangan suatu entitas (aset, kewajiban,
modal/ekuitas) didalam pelaporannya. Perbedaan antara timing pendapatan dan beban, dan timing arus kas akan
berpengaruh kepada kenaikan dan penurunan aset dan kewajiban. Informasi tersebut dapat digunakan untuk
penilaian posisi keuangan suatu entitas pada akhir periode.
Page 47
Dengan adanya laporan atas posisi keuangan suatu entitas, maka entitas tersebut dapat menunjukan
akuntabilitasnya kepada publik (terutama bila entitas tersebut tergolong perusahaan publik atau entitas pemerintah
yang memiliki tanggung jawab publik). Selain itu entitas dapat melakukan manajemen ataupun pengelolaan aset dan
hutang yang terencana dengan baik, seperti dalam hal pemeliharaan dan penggantian aset ataupun pelunasan
hutang entitas.
Dengan adanya manajemen hutang yang baik, diharapkan entitas dapat mengendalikan beban finansialnya.
Dalam pemerintahan, diharapkan hutang tidak menjadi beban yang berat dimasa mendatang apabila
pengelolaannya sudah baik yang data-datanya terekam dalam pelaporan keuangan pemerintahan.
Dengan adanya hubungan antara timing pendapatan-beban dengan timing peristiwa atau transaksi yang
menyebabakannya, dapat dibuat penilaian terhadap “kinerja keuangan” selama satu periode keuangan. Selanjutnya,
kinerja keuangan antar periode dapat diperbandingkan.
KONSEP KAS MENUJU AKRUAL
Pada sesi akhir hari kedua seminar, Binsar Simanjutak membawakan makalah dengan judul Pandangan
Umum Standar Akuntansi Pemerintah “Kas Menuju Akrual” di Indonesia Perkembangan Arah Seelah ini.
Dalam presentasinya, beliau menyampaikan perjalanan sejarah sistem dan standar akuntansi pemerintahan di
Indonesia. Selanjutnya beliau memaparkan kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan basis akrual di
Indonesia berikut langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.
Untuk menghindari resistensi yang tinggi dalam upaya migrasi dari basis kas ke basis akrual, ditempuh cara
dengan mengakomodasi basis kas dan basis akrual. Dengan cara ini pendapatan, belanja dan pembiayaan diakui
bedasarkan basis kas. Sementara aset, utang, dan ekuitas diakui berdasarkan basis akrual.
Guna mengkaitkan antara pendapatan belanja dan pembiayaan sebagai unsur laporan realisasi anggaran
dengan aset, utang, dan ekuitas sebagai unsur neraca, digunakan ‘jurnal Korolari’ sehingga nilai kapitalitas aset dan
utang dapat dihasilkan.
Melalui cara ini pemerintah pusat telah berhasil menyusun laporan keuangan komprehensif pertama
(termasuk di dalamnya neraca) di tahun 2005, yaitu untuk pertanggungjawaban anggaran tahun 2004.
Selanjutnya penerapan sistem akuntansi dengan basis akrual akan dilakukan secara bertahap mulai tahun
2009 dan diharapkan sistem akrual penuh tahun 2015.
Menghadapi sistem akuntansi yang berbasis akrual penuh pada tahun 2015, banyak kendala-kendala yang harus
diatasi, baik oleh Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal maupun Kementerian Negara/Lembaga lainnya.
Untuk itu, pemerintah telah menyusun sejumlah langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh dalam
Page 48
menyongsong pelaksanaan sistem akuntansi berbasis akrual ini. Terkait dengan hal ini, dalam paparannya, Binsar
Simanjutak menjelaskan sebagai berikut:
1. Sumber Daya Manusia
Penerapan akuntansi berbasis akrual menghadapi kendala yang sangat signifikan, yaitu kesiapan staf dan pejabat
pada setiap Kementerian Negara/Lembaga dalam memasuki sistem yang berbeda dengan sistem yang ada saat
ini. Sistem akuntansi berbasis akrual akan memberikan banyak tantangan kepada mereka, mulai dari penentuan
pengakuan pendapatan dan biaya hingga menyiapkan jurnal penyesuaian yang tepat diakhir periode. Semua ini
menuntut pelaku akuntasi dan pelaporan keuangan pemerintah untuk memiliki kesiapan skil yang dibutuhkan.
Untuk itu, saat ini telah digalakan Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP) dimana staf
bagian akuntansi/pembukuan/keuangan instansi dapat belajar akuntansi dan manajemen pemerintahan. Selain
itu, sosialisasi sistem akuntansi dan laporan keuangan pemerintah juga digiatkan.
2. Sistem baru yang memerlukan pengembangan
Untuk menghadapi penerapan akuntansi berbasis akrual, sistem yang ada harus disesuaikan. Peraturan-
peraturan yang mendukung penerapan akuntansi berbasis akrual telah dan akan disusun sebagai landasan
operasional. Demikian pula Bagan Akun Standar (BAS) akan terus disempurnakan, terutama untuk
akun/perkiraan yang berkaitan dengan transaksi-transaksi akrual.
Saat ini DJPBN tengah mempersiapkan Perdirjen untuk mencatat transaksi-transaksi akrual pada penyusunan
LKKL dan LKPP 2009 sebagai salah satu langkah awal dalam pelaksanaan akuntansi berbasis akrual bertahap.
3. Dukungan Teknologi Informasi yang kuat
Pengembangan sistem dan aplikasi, terkait penerapan basis akrual, juga membutuhkan sarana teknologi
informasi yang kuat.
Semua fitur yang ditawarkan oleh teknologi informasi harus dapat membuat modul akuntansi berbasis akrual.
Saat ini Kementerian Keuangan sedang membangun SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara)
dengan modul-modul yang mendukung pelaksanaan sistem akuntansi berbasis akrual.
4. Investarisasi, penilaian dan satus BMN/BMD
Penatausahaan dan pencatatan aset di sebagian besar Kementerian Negara/Lembaga masih menjadi issue
penting. Terkait dengan pelaksanaan akuntansi berbasis akrual, aset yang disajikan pada neraca pemerintah
hendaknya mencerminkan nilai dan kuantitas yang sebenarnya. Untuk itu saat ini masih terus dijalankan
program investasi, penilaian dan status atas Barang Milik Negara (BMN) diseluruh instansi pemerintah,
khususnya pemerintah pusat.
5. Selain point-point di atas, penatausahaan document serta penyempurnaan proses bisnis yang terus menerus,
berkaitan dengan reformasi manajemen keuangan juga turut menjadi kunci sukses bagi pelaksanaan akuntansi
berbasis akrual.
Tulisan ini merupakan tinjauan teoritis sekaligus rangkuman kegiatan seminar tentang akrual yang diadakan oleh
Dit.APK DJPBN bekerja sama dengan Departemen of Finance and Deregulation, Pemerintah Australia
Page 49
LAPORAN OPERASIONAL: SUATU PENGANTAR
Oleh: Mega Meilistya
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 9 Tahun 2011)
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) pada tanggal 22 Oktober 2010. PP tersebut mempunyai 2 (dua) lampiran, yaitu lampiran I yang
berisi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang berbasis akrual dan lampiran II yang berisi PSAP yang
berbasis kas menuju akrual. Sebagaimana disebutkan dalam PP 71/2010, pernyataan standar yang ada dalam
lampiran I PP 71/2010 telah berlaku efektif sejak tahun anggaran 2010. Dalam hal entitas pelaporan belum dapat
menerapkan PSAP berbasis akrual, PSAP berbasis kas menuju akrual dapat diberlakukan sampai dengan tahun
anggaran 2014. Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual untuk entitas pada Pemerintah Pusat
akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dengan mengacu kepada PP SAP yang baru ini, seluruh entitas pemerintah pusat dan daerah akan
menerapkan SAP berbasis akrual untuk laporan keuangannya paling lambat pada tahun anggaran 2015. Penerapan
SAP berbasis akrual akan mempergunakan beberapa laporan baru selain yang saat ini telah ada. Untuk itu, Buletin
Panduan Teknis Akuntansi Pemerintah Pusat akan mulai membahas laporan-laporan baru yang ada pada PP
dimaksud guna mulai memperkenalkan kepada para pelaku akuntansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dimulai penerbitan Panduan Teknis edisi ini, akan dimulai pengenalan mengenai Laporan Operasional.
LATAR BELAKANG LO
Saat ini, sesuai dengan SAP berbasis kas menuju akrual, terdapat 4 (empat) jenis laporan keuangan
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang harus dipersiapkan oleh entitas akuntansi/pelaporan, yaitu
Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Sesuai
dengan isi PSAP dari PP 71/2010 lampiran II:
1. LRA adalah laporan yang berisi informasi tentang realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan
pembiayaan dari suatu entitas pelaporan yang masing-masing diperbandingan dengan anggarannya;
2. Neraca adalah laporan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset,
kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu;
3. Sedangkan LAK adalah laporan yang memberikan informasi historis mengenai perubahan kas dan setara kas
suatu entitas pelaporan dengan mengklasifikasikan arus kas berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset
nonkeuangan, pembiayaan dan nonanggaran selama satu periode akuntansi.
Penerapan akuntansi berbasis akrual mensyaratkan tambahan jenis laporan keuangan baru, yaitu Laporan
Operasional (LO), Laporan Perubahan Sisa Anggaran Lebih/Kurang (SAL/SAK), dan Laporan Perubahan Ekuitas.
Khusus untuk Laporan Operasional, PP 71/2010 mengatur secara tersendiri pada Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PSAP) Nomor 12 sebagaimana tercantum pada Lampiran I PP tersebut.
Laporan Operasional merupakan laporan tentang seluruh kegiatan operasional keuangan entitas pelaporan
yang terdiri dari unsur-unsur pendapatan-LO, beban, dan surplus/defisit operasional yang penyajiannya
disandingkan dengan angka-angka dari periode yang sebelumnya. Laporan Operasional dapat disetarakan dengan
Laporan Laba Rugi (income statement) seperti yang biasa dikenal pada akuntansi komersial, yaitu keduanya
memberikan informasi tentang seluruh transaksi pendapatan dan biaya/beban suatu entitas selama satu periode
akuntansi. Hasil bersih dari Laporan Operasional, yaitu Surplus/Defisit, selanjutnya akan dilaporkan melalui Laporan
Perubahan Ekuitas untuk kemudian dipindahkan ke akun Ekuitas (akhir) di Neraca. Sehingga tiga laporan, yaitu
Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca, mempunyai keterkaitan yang dapat
Page 50
dipertanggungjawabkan dalam siklus akuntansi berbasis akrual. Hal ini setara dengan hubungan antara Laporan Laba
Rugi, Laporan Perubahan Modal, dan Neraca pada sistem akuntansi komersial.
Adanya Laporan Operasional tidak menghilangkan kewajiban entitas akuntansi/pelaporan untuk menyusun
dan menyajikan Laporan Realisasi Anggaran. Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
pada Bab VIII tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan APBD mengatur bahwa laporan keuangan sebagai
bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD (anggaran) antara lain meliputi Laporan Realisasi APBN/APBD
(Anggaran). Hal yang sama kembali dipertegas pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dengan demikian penerapan akuntansi pemerintah yang berbasis akrual sebagaimana dinyatakan dalam PP
71/2010 akan memisahkan laporan finansial dan laporan pertanggungjawaban anggaran. Laporan finansial
melaporkan kinerja (performance) keuangan entitas akuntansi/pelaporan dan terdiri dari Laporan Operasional,
Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca. Sementara laporan pertanggungjawaban anggaran terdiri dari Laporan
Realisasi Anggaran dan Laporan Perubahan SAL/SAK yang disusun untuk memenuhi kewajiban pemerintah yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tabel di bawah ini menjelaskan perbedaan antara Laporan Operasional dan Laporan Realisasi Anggaran
menurut PP 71/2010 lampiran I pada saat akuntansi berbasis akrual diterapkan:
LO LRA
Penyajian Perbandingan antara nilai
periode berjalan dengan nilai
periode sebelumnya.
Perbandingan antara nilai
realisasi dengan nilai
anggaran.
Basis Akrual Kas
Unsur 1. Pendapatan-LO
2. Beban
3. Kegiatan Non Operasional
4. Pos Luar Biasa
5. Surplus/Defisit-LO
1. Pendapatan
2. Belanja
3. Transfer
4. Pembiayaan
5. Sisa Lebih/Kurang
Pembiayaan Anggaran
(SiLPA/SiKPA)
Proses Penyusunan LO
↓
Laporan Perubahan Ekuitas
↓
Neraca
LRA
↓
Laporan Perubahan SAL/SAK
Transaksi akrual:
1. Pendapatan yang masih
harus diterima
2. Pendapatan diterima di
muka
3. Belanja dibayar di muka
4. Belanja yang masih harus
dibayar
Dicatat
Tidak dicatat
(Saat ini, sesuai dengan
Perdirjen Nomor PER-
62/PB/2009, entitas
pemerintah pusat menyajikan
informasi pendapatan dan
belanja secara akrual sebagai
suplemen laporan keuangan)
Page 51
Transaksi non-kas:
1. Penyusutan
2. Amortisasi
3. Deplesi
4. Penyisihan (piutang tak
tertagih)
Dicatat
Tidak dicatat
MANFAAT LO
Laporan Operasional memberikan informasi tentang kegiatan operasional keuangan dari suatu entitas
akuntansi/pelaporan dengan menyajikan berbagai unsur pendapatan-LO, beban, surplus/defisit dari operasi,
surplus/defisit dari kegiatan non operasional, surplus/defisit sebelum pos luar biasa, pos luar biasa, dan
surplus/defisit-LO. Informasi yang disediakan untuk para pengguna laporan untuk satu periode pelaporan antara
lain:
(a) Penyajian beban akrual dalam LO memungkinkan pengguna laporan untuk mengetahui besarnya beban yang
harus ditanggung pemerintah dalam menjalankan pelayanannya melalui perhitungan biaya (cost) per
program/kegiatan. Pencatatan beban dengan basis akrual meliputi semua transaksi beban meskipun
pengeluaran kas-nya tidak dilakukan pada periode berjalan (current period). Sebaliknya, pengeluaran kas pada
periode berjalan tidak dapat dicatat sebagai beban pada LO bila pengeluaran tersebut tidak terkait dengan
program/kegiatan periode berjalan. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Biaya konsultan selama bulan November dan Desember akan dimasukkan sebagai beban pada Laporan
Operasional tahun 20X0 meskipun pembayarannya dilakukan pada bulan Februari 20X1.
Pembayaran sewa kantor untuk 3 (tiga) tahun ke depan pada bulan Juli 20X1 (Juli 20X1 – Juni 20X4) hanya
akan mencatat 1/6 (satu per enam) dari seluruh pembayaran sebagai beban sewa pada LO 20X1. Sementara
5/6 (lima per enam) dari total pembayaran tidak diakui sebagai beban sewa pada LO 20X1.
Dengan mempergunakan prinsip penyandingan beban terhadap program/kegiatan, penyajian beban per
program/kegiatan pada LO akan lebih andal dan terukur dibandingkan penyajian belanja per program/kegiatan
pada LRA.
(b) Selanjutnya biaya per program/kegiatan dalam LO dapat dibandingkan dengan dengan output/keluaran entitas
sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Kinerja untuk menilai efisiensi dan dibandingkan dengan outcome/hasil
entitas untuk menilai efektivitas entitas akuntansi/pelaporan. Dengan demikian kinerja (performance)
pemerintah dalam hal efisiensi, efektivitas, dan kehematan perolehan dan penggunaan sumber daya ekonomi
dapat dievaluasi. Informasi kinerja tersebut dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan atau kegagalan
kinerja entitas yang kemudian dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumber ekonomi
di masa yang akan datang.
(c) Penyajian LO dengan membandingkan secara komparatif angka periode pelaporan berjalan dengan periode yang
lalu memungkinkan pengguna laporan melakukan analisa trend yang antara lain berguna dalam memprediksi
(estimate) pendapatan-LO yang akan diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah pusat dan daerah pada
periode mendatang.
(d) Perhitungan pendapatan-LO dan beban dalam LO akan menghasilkan besaran surplus operasional yang
mencerminkan adanya peningkatan ekuitas pemerintah atau besaran defisit operasional yang menandakan
adanya penurunan ekuitas pemerintah. Nilai surplus/defisit operasional dalam LO seterusnya akan dilaporkan
dalam Laporan Perubahan Ekuitas.
AKUNTANSI PENDAPATAN-LO
Menurut PP 71/2010 pendapatan-LO diartikan sebagai hak pemerintah yang menambah ekuitas dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali, sementara pendapatan (LRA) sebagai
semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Baik
Page 52
Laporan Operasional maupun Laporan Realisasi Anggaran mengakui pendapatan sebagai hak yang tidak perlu
dibayar kembali di kemudian hari. Namun pendapatan LRA diakui bila uang/kas dari pendapatan tersebut telah
diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah sehingga ekuitas dana lancar pemerintah akan bertambah. Hal ini
berbeda dengan pendapatan-LO yang tidak memperhatikan aliran uang/kas yang masuk ke Rekening Kas Umum
Negara/Daerah sepanjang hak pendapatan tersebut telah menjadi milik pemerintah dan menambah ekuitas.
Hak pemerintah tersebut dapat diakui sebagai Pendapatan-LO apabila telah timbul hak pemerintah untuk
menagih atas suatu pendapatan atau telah terdapat suatu realisasi pendapatan yang ditandai dengan adanya aliran
masuk sumber daya ekonomi. Secara lebih rinci, pengakuan atas Pendapatan-LO sesuai PP 71/2010 adalah sebagai
berikut:
(a) Pendapatan-LO yang diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan diakui pada saat timbulnya hak
untuk menagih pendapatan. Contoh dari pendapatan-LO ini adalah pada saat diterbitkannya penetapan pajak
kepada wajib pajak.
(b) Pendapatan-LO yang diperoleh sebagai imbalan atas suatu pelayanan yang telah selesai diberikan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, diakui pada saat timbulnya hak untuk menagih imbalan. Contoh dari
pendapatan-LO ini adalah pendapatan yang diterima dari biaya pengurusan dokumen sipil/negara seperti KTP,
SIM, STNK dan lain-lain.
(c) Pendapatan-LO yang diakui pada saat direalisasi adalah hak yang telah diterima oleh pemerintah tanpa terlebih
dahulu adanya penagihan.
(d) Dalam hal badan layanan umum, pendapatan diakui dengan mengacu pada peraturan perundangan yang
mengatur mengenai badan layanan umum.
Paragraf 26 PSAP 12 dari Lampiran I PP 71/2010 mengatur bahwa Pendapatan-LO dilaksanakan berdasarkan
azas bruto, yaitu dengan membukukan pendapatan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah
dikompensasikan dengan pengeluaran). Berkaitan dengan penerapan azas bruto ini, terdapat perbedaan antara
Lampiran I PP 71/2010 yang berbasis akrual dengan Lampiran II PP 71/2010 yang berbasis Cash Toward Accrual
(CTA), yaitu terdapat paragraf tambahan yang menyebutkan “Dalam hal besaran pengurang terhadap pendapatan-
LO bruto (biaya) bersifat variabel terhadap pendapatan dimaksud dan tidak dapat di estimasi terlebih dahulu
dikarenakan proses belum selesai, maka asas bruto dapat dikecualikan”. Sehingga pendapatan migas dari Kontrak
Kontraktor Kerjasama (KKKS) yang memenuhi persyaratan paragraf di atas dapat diakui dengan tidak
mempergunakan azas bruto.
Akuntansi untuk koreksi dan pengembalian Pendapatan-LO diatur dalam PP 71/2010 sebagai berikut:
(a) Pengembalian yang sifatnya normal dan berulang (recurring) atas pendapatan-LO pada periode penerimaan
maupun pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang pendapatan.
(b) Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non-recurring) atas pendapatan-LO yang terjadi pada
periode penerimaan pendapatan dibukukan sebagai pengurang pendapatan pada periode yang sama.
(c) Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non-recurring) atas pendapatan-LO yang terjadi pada
periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang ekuitas pada periode ditemukannya koreksi dan
pengembalian tersebut.
Entitas pelaporan menyajikan pendapatan-LO yang diklasifikasikan menurut sumber pendapatan. Klasifikasi
menurut sumber pendapatan untuk pemerintah pusat dikelompokkan berdasarkan jenis pendapatan, yaitu
pendapatan perpajakan, pendapatan bukan pajak, dan pendapatan hibah. Klasifikasi menurut sumber pendapatan
untuk pemerintah daerah dikelompokkan menurut asal dan jenis pendapatan, yaitu pendapatan asli daerah,
pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan yang sah. Masing-masing pendapatan tersebut diklasifikasikan
menurut jenis pendapatan. Rincian lebih lanjut sumber pendapatan disajikan pada Catatan atas Laporan Keuangan.
Page 53
AKUNTANSI BEBAN
Menurut PP 71/2010 beban pada LO adalah penurunan manfaat ekonomi/potensi jasa dalam periode
pelaporan yang menurunkan ekuitas pemerintah, dapat berupa pengeluaran/konsumsi aset atau timbulnya
kewajiban. Sementara belanja pada LRA adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang
mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh pemerintah. Sama halnya dengan pendapatan, transaksi belanja pada Laporan
Operasional tidak memperhatikan arus kas yang keluar dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah. Dengan demikian
pengakuan beban pada LO terjadi pada saat:
(a) Timbulnya kewajiban, yaitu saat terjadinya peralihan hak dari pihak lain ke pemerintah tanpa diikuti keluarnya
kas dari kas umum negara/daerah. Contohnya tagihan rekening telepon dan rekening listrik yang belum dibayar
pemerintah.
(b) Terjadinya konsumsi aset, yaitu saat pengeluaran kas kepada pihak lain yang tidak didahului timbulnya
kewajiban dan/atau konsumsi aset nonkas dalam kegiatan operasional pemerintah.
(c) Terjadinya penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa, yaitu saat penurunan nilai aset sehubungan dengan
penggunaan aset bersangkutan/berlalunya waktu. Contoh penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa adalah
beban yang berkaitan dengan penyusutan atau amortisasi.
(d) Dalam hal badan layanan umum, beban diakui dengan mengacu pada peraturan perundangan yang mengatur
mengenai badan layanan umum.
Laporan Operasional mengklasifikasikan beban menurut klasifikasi ekonomi. Sementara beban berdasarkan
klasifikasi organisasi dan klasifikasi lain yang dipersyaratkan menurut ketentuan perundangan diungkapkan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan. Klasifikasi ekonomi pada prinsipnya mengelompokkan beban berdasarkan jenis
beban. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah pusat adalah beban pegawai, beban barang, beban bunga, beban
subsidi, beban hibah, beban bantuan sosial, beban penyusutan aset tetap/amortisasi, beban transfer, dan beban
lain-lain. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah terdiri dari beban pegawai, beban barang, beban bunga,
beban subsidi, beban hibah, beban bantuan sosial, beban penyusutan aset tetap/amortisasi, beban transfer, dan
beban tak terduga.
Pengelompokan beban pada akuntansi berbasis akrual memperkenalkan jenis beban baru, antara lain beban
penyusutan aset tetap/amortisasi. Pencatatan beban penyusutan/amortisasi merupakan akibat dari pengakuan
bahwa aset pemerintah, kecuali untuk beberapa aset tertentu seperti tanah, mempunyai masa manfaat dan
kapasitas yang terbatas sebagaimana dinyatakan dalam PSAP 1 tentang Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan. Seiring dengan penurunan kapasitas dan manfaat dari suatu aset, nilai aset tetap yang bersangkutan
disusutkan selama masa manfaatnya menurut suatu alokasi yang sistematis. Metode penyusutan/amortisasi dapat
dikelompokkan menjadi:
(a) Metode garis lurus (straight line method);
(b) Metode saldo menurun ganda (double declining balance method);
(c) Metode unit produksi (unit of production method).
Koreksi atas beban, termasuk penerimaan kembali beban, yang terjadi pada periode beban yang
bersangkutan dibukukan sebagai pengurang/penambah beban pada periode yang sama. Apabila diterima pada
periode berikutnya, koreksi atas beban dibukukan dalam pendapatan lain-lain. Dalam hal mengakibatkan
penambahan beban dilakukan dengan pembetulan/koreksi pada akun ekuitas.
Selisih lebih/kurang antara Pendapatan-LO dan beban selama satu periode pelaporan dicatat dalam pos
Surplus/Defisit dari Kegiatan Operasional. Surplus dari kegiatan operasional merupakan selisih lebih antara
Pendapatan-LO dan beban selama satu periode pelaporan, sedangkan Defisit dari kegiatan operasional adalah selisih
kurang antara Pendapatan-LO dan beban selama satu periode pelaporan. Untuk memperoleh surplus/defisit ini,
Page 54
transaksi pembiayaan tidak diperhitungkan karena transaksi pembiayaan tidak terkait secara langsung dengan
operasional entitas pemerintah selama periode pelaporan.
KEGIATAN NON OPERASIONAL DAN POS LUAR BIASA
Selain Pendapatan-LO dan beban, Laporan Operasional juga menyajikan kegiatan Non Operasional dan Pos
Luar Biasa. Kegiatan Non Operasional terdiri dari pendapatan dan beban yang sifatnya tidak rutin, seperti
surplus/defisit penjualan aset non lancar dan surplus/defisit penyelesaian kewajiban jangka panjang. Sedangkan Pos
Luar Biasa memuat kejadian luar biasa yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
(a) tidak dapat diramalkan terjadi pada awal tahun anggaran;
(b) tidak diharapkan terjadi berulang-ulang (rutin); dan
(c) diluar kendali entitas pemerintah.
Kegiatan Non Operasional dan Pos Luar Biasa disajikan terpisah dalam Laporan Operasional dan disajikan
sesudah Surplus/Defisit dari kegiatan operasional. Sifat dan jumlah rupiah dari kejadian luar biasa harus diungkapkan
pula dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Pembahasan tentang Kegiatan Non Operasional dan Pos Luar Biasa dari Laporan Operasional akan dijelaskan
lebih lanjut pada penerbitan Panduan Teknis berikutnya.
SURPLUS/DEFISIT-LO
Surplus/Defisit-LO adalah penjumlahan selisih lebih/kurang antara surplus/defisit kegiatan operasional,
kegiatan non operasional, dan kejadian luar biasa. Saldo Surplus/Defisit-LO pada akhir periode pelaporan
dipindahkan ke Laporan Perubahan Ekuitas. Ekuitas awal ditambah/dikurang dengan surplus/defisit LO pada periode
bersangkutan ditambah/dikurang dengan dampak kumulatif perubahan kebijakan/kesalahan mendasar akan
diperoleh ekuitas akhir.
CONTOH FORMAT LAPORAN OPERASIONAL
PEMERINTAH PUSAT
LAPORAN OPERASIONAL
UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0
(Dalam Rupiah)
URAIAN 20X1 20X0 KENAIKAN/
PENURUNAN (%)
KEGIATAN OPERASIONAL xxx xxx xxx xxx
PENDAPATAN xxx xxx xxx xxx
PENDAPATAN PERPAJAKAN xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Pajak Penghasilan xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan
Penjualan Barang Mewah
xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Cukai xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Bea Masuk xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Pajak Ekspor xxx xxx xxx xxx
Pajak Lainnya xxx xxx xxx xxx
Jumlah Pendapatan Perpajakan (3 s/d 10) xxx xxx xxx xxx
Page 55
PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Sumber Daya Alam xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya xxx xxx xxx xxx
Jumlah Pendapatan Negara Bukan Pajak (14
s/d 16)
xxx xxx xxx xxx
PENDAPATAN HIBAH xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Hibah xxx xxx xxx xxx
Jumlah Pendapatan Hibah (20) xxx xxx xxx xxx
JUMLAH PENDAPATAN (11+17+21) xxx xxx xxx xxx
BEBAN xxx xxx xxx xxx
Beban Pegawai xxx xxx xxx xxx
Beban Persediaan xxx xxx xxx xxx
Beban Jasa xxx xxx xxx xxx
Beban Pemeliharaan xxx xxx xxx xxx
Beban Perjalanan Dinas xxx xxx xxx xxx
Beban Bunga xxx xxx xxx xxx
Beban Subsidi xxx xxx xxx xxx
Beban Hibah xxx xxx xxx xxx
Beban Bantuan Sosial xxx xxx xxx xxx
Beban Penyusutan xxx xxx xxx xxx
Beban Transfer xxx xxx xxx xxx
Beban Lain-Lain xxx xxx xxx xxx
JUMLAH BEBAN (25 s/d 36) xxx xxx xxx xxx
SURPLUS/DEFISIT DARI KEGIATAN
OPERASIONAL (22-37)
xxx xxx xxx xxx
KEGIATAN NON OPERASIONAL xxx xxx xxx xxx
Surplus Penjualan Aset Non Lancar xxx xxx xxx xxx
Surplus Penyelesaian Kewajiban Jangka Panjang xxx xxx xxx xxx
Defisit Penjualan Aset Nonlancar xxx xxx xxx xxx
Defisit Penyelesaian Kewajiban Jangka Panjang xxx xxx xxx xxx
Surplus/Defisit Dari Kegiatan Non Operasional
Lainnya
xxx xxx xxx xxx
JUMLAH SURPLUS/DEFISIT DARI KEGIATAN NON
OPERASIONAL (42 s/d 46)
xxx xxx xxx xxx
SURPLUS/DEFISIT SEBELUM POS LUAR BIASA
(39+47)
xxx xxx xxx xxx
POS LUAR BIASA xxx xxx xxx xxx
Pendapatan Luar Biasa xxx xxx xxx xxx
Beban Luar Biasa xxx xxx xxx xxx
POS LUAR BIASA (51-52) xxx xxx xxx xxx
SURPLUS/DEFISIT-LO (48+53) xxx xxx xxx xxx
Page 56
KESIMPULAN
Penerapan akuntansi berbasis akrual merupakan tantangan besar bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Perubahan peraturan pelaksanaan dan sistem akuntansi sebagai konsekuensi dari penerapan akuntansi
berbasis akrual harus disikapi secara hati-hati dengan persiapan yang matang. Terkait dengan penyusunan Laporan
Operasional, perlu diperhatikan keterkaitan antara Laporan Operasional dengan Laporan Kinerja sehingga informasi
beban (akrual) per program/kegiatan dapat disajikan secara andal. Selanjutnya, hubungan yang logis antar laporan
keuangan, termasuk Laporan Operasional, harus diperhatikan dengan adanya (kemungkinan) penggunaan dual basis
pencatatan antara sistem penganggaran dan sistem pelaporan.
Kesimpulan lain adalah:
1. Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
2. Laporan pertanggungjawaban anggaran dapat dibedakan dengan laporan kinerja keuangan;
3. Dapat diketahui kinerja operasional pemerintah untuk periode pelaporan tertentu;
4. Laporan Operasional mempunyai nilai prediktif karena informasinya dapat digunakan untuk memprediksi
pendapatan LO yang akan diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah dalam periode mendatang.
REFERENSI:
1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Page 57
PENYAJIAN INFORMASI AKRUAL PADA LAPORAN KEUANGAN
Oleh: Joko Supriyanto
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 12 Tahun 2012)
I. PENDAHULUAN
Laporan keuangan pemerintah saat ini memasuki masa peningkatan kualitas. Hal ini ditandai dengan
meningkatnya jumlah Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) yang memperoleh opini Wajar Tanpa
Pengecualian. Demikian juga dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang sejak tahun 2009
menyandang opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari sebelumnya menyandang opini disclaimer Salah satu
kriteria laporan keuangan dinyatakan WTP antara lain tidak terdapat salah saji material pada setiap elemen laporan
keuangan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang APBN, yaitu sejak Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang APBN Tahun Anggaran 2009, Laporan Realisasi Anggaran pada LKPP dilengkapi dengan informasi
pendapatan dan belanja secara akrual. Dengan demikian, pemerintah harus melengkapi informasi pendapatan dan
belanja secara akrual sejak LKPP Tahun 2009. Sebelumnya laporan ini tidak diamanatkan pada UU APBN tahun-tahun
sebelumnya.
Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah menerbitkan Peraturan
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Nomor 62 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penyajian Informasi Pendapatan dan
Belanja Secara Akrual pada Laporan Keuangan. Perdirjen tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.
Perdirjen tersebut secara jelas memberikan pedoman dalam mengidentifikasi informasi pendapatan dan
belanja akrual yang harus disajikan, format penyajian informasi pendapatan dan belanja akrual, serta cara penyajian
informasi pendapatan dan belanja akrual pada neraca. Penyajian neraca sendiri secara eksplisit sudah ditetapkan
menggunakan basis akrual sebagaimana diamanatkan pada Pasal 26 ayat (4) UU 41 Tahun 2008. Pedoman dibuat
rinci sesuai jenjang pelaporan pada kementerian negara/lembaga mulai dari satuan kerja, tingkat wilayah, tingkat
eselon 1 dan pada tingkat kementerian negara/lembaga sehingga dapat dikompilasi dalam suplemen LKPP.
Pendapatan akrual diperoleh dari realisasi pendapatan berbasis kas disesuaikan dengan transaksi
pendapatan akrual. Informasi belanja akrual diperoleh dari realisasi belanja berbasis kas disesuaikan dengan
transaksi belanja secara akrual (Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Perdirjen Nomor 62/PB/2009).
Dengan demikian ada kemungkinan pendapatan akrual lebih kecil, sama dengan atau lebih besar dari
realisasi pendapatan berbasis kas. Jika ada pendapatan diterima di muka pada tahun berjalan berarti informasi
pendapatan akrual lebih kecil dari pendapatan berbasis kas, jika ada pendapatan yang masih harus diterima berarti
informasi pendapatan akrual lebih besar dari pendapatan berbasis kas. Jika tidak terdapat pendapatan diterima di
muka maupun pendapatan yang masih harus diterima maka informasi pendapatan akrual sama dengan pendapatan
berbasis kas.
II. PERMASALAHAN
Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan ditetapkan dan
berlaku mulai Penyusunan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2005, maka penyusunan LKPP menggunakan basis
kas untuk penyusunan Laporan Realisasi Anggaran dan basis akrual untuk penyusunan Neraca. Namun demikian,
pada pelaksanaannya belum maksimal, karena belum semua satuan kerja memahami dengan baik data pendapatan
dan belanja akrual yang seharusnya dimasukkan dalam laporan keuangan. Walaupun pengaruhnya tidak terlalu
Page 58
material, penyajian pendapatan dan belanja secara akrual merupakan salah satu tahap pembelajaran yang sangat
berharga menuju penerapan basis akrual yang akan secara penuh diterapkan Tahun 2015 nanti.
Inisiasi agar laporan keuangan disajikan lebih baik telah difasilitasi dengan Buletin Teknis SAP Nomor 01
tentang Penyusunan Neraca Awal Pemerintah. Pada Buletin Teknis tersebut telah diuraikan pos-pos aset, kewajiban,
dan ekuitas secara komprehensif termasuk penyajian pendapatan yang masih harus diterima, belanja dibayar
dimuka pada pos aset lancar. Demikian pula pendapatan di terima dimuka, belanja yang masih harus dibayar, dan
utang kepada pihak ketiga pada pos kewajiban lancar telah dijelaskan dengan memadai.
Selanjutnya dengan adanya UU 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
2009 Pemerintah diwajibkan menyajikan laporan keuangan yang dilampiri dengan informasi pendapatan dan belanja
secara akrual. Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan Perdirjen No. 62/PB/2009 memberikan pedoman tatacara
penyajian informasi akrual dan teknik penjurnalannya ke neraca. Dengan perdirjen tersebut setiap satuan kerja wajib
menyajikan informasi pendapatan dan belanja akrual setiap akhir tahun anggaran.
Pada pelaksanaannya banyak satker yang pemahamannya kurang komprehensif, sehingga informasi akrual
yang disajikan hanya akun tertentu saja, misalnya hanya utang terkait dengan tagihan listrik, air dan telepon, atau
bahkan informasi pendapatan dan belanja akrual disajikan nihil. Padahal setelah tahun anggaran berikutnya ternyata
satker tersebut mengajukan SPM untuk pembayaran tagihan tahun sebelumnya, seperti kekurangan uang makan,
kekurangan tunjangan profesi dan sebagainya.
Hal tersebut di atas menyebabkan terjadinya kurang saji atas akun utang pada neraca pada satuan kerja
sampai dengan kementerian negara/lembaga bahkan sampai pada LKPP.
III. TUJUAN
Tulisan ini dimaksudkan untuk:
1. Mengingatkan kembali tatacara penyajian Informasi pendapatan dan belanja secara akrual pada satuan kerja;
2. Memberikan panduan yang lebih mudah dalam menyajikan informasi pendapatan dan belanja secara akrual dan
memasukkan informasi tersebut ke dalam neraca;
3. Meningkatkan akurasi laporan keuangan, khususnya pada neraca satuan kerja;
4. Meningkatkan pemahaman pentingnya penerapan basis akrual.
IV. PEMBAHASAN
Standar Akuntansi Pemerintahan yang saat ini digunakan sebagai dasar penyusunan laporan keuangan
pemerintah adalah PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan sebagai pengganti PP Nomor 24
Tahun 2005. Pada masa transisi ini yang digunakan adalah Lampiran II PP tersebut, yang mengatur basis kas menuju
akrual. Basis kas digunakan untuk pengukuran dan pengakuan pendapatan dan belanja yang akan dilaporkan dalam
Laporan Realisasi Anggaran dan basis akrual untuk pengukuran dan pengakuan aset, kewajiban dan ekuitas. Basis kas
adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas
diterima atau dibayarkan. Basis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa
lainnya pada saat hak dan/atau kewajiban timbul.
Pada saat ini, pendapatan diakui pada saat kas diterima di Kas Negara. Pada pelaksanaannya ada
pendapatan negara yang seharusnya sudah menjadi hak negara tetapi belum diterima di kas negara. Demikian pula
ada penerimaan pada kas negara tetapi belum seluruhnya menjadi hak negara karena masalah waktu atau
kewajiban pemerintah lainnya yang belum ditunaikan. Jika tidak ada pendapatan yang belum diterima dan tidak ada
pendapatan yang diterima dimuka maka pendapatan secara akrual sama dengan pendapatan menurut basis kas. Jika
ada, maka pendapatan secara akrual adalah pendapatan menurut basis kas ditambah atau dikurang (diselisihkan)
dengan pendapatan yang masih harus diterima dan pendapatan yang diterima dimuka.
Page 59
Belanja diakui pada saat dikeluarkan dari kas negara, hal ini biasanya dibuktikan dengan adanya SPM dan
SP2D. Hanya belanja yang telah diterbitkan SP2D yang dicatat sebagai belanja pada Laporan Realisasi Anggaran. Pada
saat pembayaran kadang meliputi kontrak lebih dari satu tahun, seperti pembayaran langganan domain website,
pembayaran sewa rumah untuk pejabat dan lain-lain. Bila terdapat transaksi semacam ini, maka pada akhir tahun
harus dipisahkan adanya belanja dibayar dimuka yaitu sebesar belanja yang sudah dikeluarkan namun Pemerintah
belum menikmatinya. Sebaliknya bila ada tagihan yang belum dapat dibayar pada tahun berjalan, maka pada akhir
tahun harus dicatat sebagai belanja yang masih harus di bayar. Jika tidak ada belanja dibayar dimuka dan belanja
yang masih harus dibayar pada akhir tahun maka belanja secara akrual sama dengan jumlah belanja menurut basis
kas.
Identifikasi Pendapatan Akrual:
1. Pendapatan yang masih harus diterima
Adalah pendapatan pajak/atau bukan pajak yang seharusnya sudah dibayarkan oleh wajib bayar namun belum
diterima pembayarannya atau belum disetor ke kas negara. Pendapatan ini belum dicatat sebagai pendapatan
menurut basis kas, namun harus disajikan di neraca yang menggunakan basis akrual.
2. Pendapatan yang ditangguhkan
Adalah pendapatan yang sudah diterima oleh bendahara penerimaan atau bendahara pengeluaran tetapi belum
disetor ke kas negara sampai dengan tanggal pelaporan. Secara substansi sudah menjadi pendapatan negara,
namun secara formal belum dicatat sebagai pendapatan menurut basis kas. Pendapatan tersebut dicatat sebagai
pendapatan yang ditangguhkan.
3. Pendapatan yang diterima dimuka
Adalah pendapatan pajak/atau bukan pajak yang sudah diterima di rekening kas negara tetapi belum menjadi
hak pemerintah sepenuhnya karena masih melekat kewajiban pemerintah untuk memberikan barang/jasa di
kemudian hari kepada pihak ketiga atau adanya kelebihan pembayaran oleh pihak ketiga tetapi belum
dikembalikan.
Akuntansi pendapatan:
Saat pengakuan pendapatan menurut basis kas adalah saat dimana pendapatan tersebut diterima di
rekening kas umum negara. Sebagai contoh, pada tahun berjalan (2012) diterima pendapatan sebesar
Rp100.000.000, pelunasan piutang atas pendapatan tahun lalu sebesar Rp20.000.000 dan pendapatan yang diterima
dimuka untuk periode manfaat 2 tahun kedepan (misalnya Juli 2012 – Juni 2014) sebesar Rp10.000.000 dan
pendapatan yang masih harus diterima diterima sebesar Rp15.000.000. Dari kejadian tersebut maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Pendapatan menurut basis kas: Rp100.000.000 + Rp20.000.000 + Rp10.000.000 = Rp130.000.000
b. Pendapatan menurut basis akrual = Rp100.000.000 + ¼ (Rp10.000.000) + Rp15.000.000 = Rp100.000.000 +
Rp2.500.000 + Rp15.000.000 = Rp117.500.000
Atau dengan cara lain Rp130.000.000 – Rp20.000.000 – ¾ (Rp10.000.000) + Rp15.000.000 = Rp117.500.000
c. Pendapatan yang masih harus diterima tahun lalu (tersaji di neraca 2011 pada pos aset lancar) sebesar
Rp20.000.000 dan di neraca 2012 disajikan sebesar Rp15.000.000
d. Pendapatan diterima di muka, tahun lalu diasumsikan tidak ada, tahun 2012 disajikan di neraca sebesar
Rp7.500.000 ( ¾ X Rp10.000.000)
Jurnal akuntansi pada satuan kerja selama tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Page 60
1. Membuat jurnal pembalik saldo pendapatan yang masih harus diterima (1 Januari 2012) :
Akun Uraian Ref Debet Kredit
311311 Cadangan
Piutang
Rp20.000.000
113XXX Pendapatan
ymh. Diterima
Rp 20.000.000
2. Mencatat transaksi pendapatan
Akun Uraian Ref Debet Kredit
212511 Utang kepada
KUN
Rp130.000.000
42XXXX Pendapatan
PNBP XXX
Rp130.000.000
Transaksi ini dicatat dengan cara merekam SSBP pada tahun berjalan
3. Membuat jurnal penyesuaian untuk mencatat pendapatan yang diterima di muka
Akun Uraian Ref Debet Kredit
311611 Barang/Jasa
Yang Masih
Harus
Diserahkan
Rp7.500.000
211811 Pendapatan
Sewa Diterima
Di Muka
Rp7.500.000
4. Membuat jurnal penyesuaian untuk mencatat pendapatan yang masih harus diterima
Akun Uraian Ref Debet Kredit
113211 Pendapatan
Yang Masih
HarusDiterima
Rp15.000.000
311311 Cadangan
Piutang
Rp15.000.000
Apabila selain informasi di atas ada kas di bendahara penerimaan sebesar Rp5.000.000 yang merupakan pendapatan
yang belum di setor ke kas negara, maka pencatatanya sebagai berikut:
Akun Uraian Ref Debet Kredit
111711 Kas di
Bendahara
Penerimaan
Rp5.000.000
311511 Pendapatan yang
Ditangguhkan
Rp 20.000.000
Pendapatan yang ditangguhkan menambah informasi pendapatan berbasis akrual, karena tingkat
kolektivitasnya lebih tinggi di banding dengan pendapatan yang masih harus diterima (uangnya sudah diterima oleh
bendahara penerimaan).
Page 61
Identifikasi Belanja Akrual:
1. Belanja yang masih harus dibayar.
Belanja yang masih harus dibayar adalah tagihan pihak ketiga atau kewajiban pemerintah kepada pihak ketiga
yang pada tanggal pelaporan keuangan belum dapat dibayarkan. Tagihan pihak ketiga belum dapat dibayarkan
bisa saja disebabkan dana yang tersedia pada tahun berjalan tidak mencukupi, atau belum dibayarkan karena
alasan lain, sehingga harus menunggu anggaran tahun berikutnya. Kewajiban yang belum dapat dibayarkan
adalah kewajiban pemerintah kepada pegawai atau pihak ketiga yang pada tahun berjalan belum dibayarkan
karena belum diajukan pembayarannya atau dana yang tersedia tidak mencukupi.
Belanja yang masih harus dibayar dikelompokkan sebagai berikut:
a. Belanja Pegawai yang masih harus dibayar;
b. Belanja Barang yang masih harus dibayar;
c. Belanja Modal yang masih harus dibayar;
d. Belanja Bunga yang masih harus dibayar;
e. Belanja Subsidi yang masih harus dibayar;
f. Belanja Hibah yang masih harus dibayar;
g. Belanja Bantuan Sosial yang masih harus dibayar;
h. Belanja lain-lain yang masih harus dibayar.
Belanja yang masih harus dibayar tersebut di atas harus diidentifikasi pada akhir tahun oleh Pejabat Pembuat
Komitmen untuk memastikan bahwa terdapat belanja yang belum dibayar sampai dengan akhir tahun anggaran,
berdasarkan bukti-bukti yang ada dan bukan perkiraan, seperti: SK Kenaikan Pangkat, Surat Keputusan, Daftar
Hadir, tagihan dari penyedia barang/jasa, BAST dan lain sebagainya. Selanjutnya dibuatkan daftar untuk
diserahkan kepada petugas/bagian akuntansi (SAI) intuk dibuat rekapitulasi dan Memo jurnal penyesuaian.
(uraian lebih detil dapat dilihat di Per 51/PB/2007)
2. Belanja tahun berjalan.
Belanja tahun berjalan adalah semua pengeluaran belanja yang terjadi pada tahun berjalan yang membebani
anggaran tahun berjalan. Belanja inilah nanti yang akan disesuaikan dengan belanja akrual baik yang dibayar
dimuka maupun belanja yang masih harus dibayar pada awal tahun anggaran dan pada akhir tahun anggaran
sebagai dasar perhitungan.
3. Belanja Dibayar di Muka.
Belanja dibayar dimuka adalah pengeluaran belanja pada tahun berjalan tetapi manfaatnya melampaui tahun
anggaran berjalan, sehingga pada tahun berikutnya masih ada manfaat yang akan diterima akibat pembayaran
tersebut. Untuk mengidentifikasi belanja dibayar dimuka peril melihat dokumen pengadaan barang dan jasa
menyangkut masa kontrak atau waktu pelayanan jasa yang akan diberikan khususnya jasa. Seperti jasa sewa,
domain website dan kontrak jangka panjang lainnya dalam posisi pemerintah sebagai pemberi kerja. Jika masa
pelayanan penyedia melebihi atau melewati tahun anggaran maka mungkin ada belanja yang dibayar dimuka.
Akuntansi Belanja.
Belanja adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum negara yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam
periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Belanja
diakui saat uang keluar dari kas negara, bila pemerintah sudah menerima barang maupun jasa tetapi belum
dilakukan pembayarannya, maka tidak diakui sebagai belanja menurut basis kas. Namun demikian pengeluaran
pemerintah untuk memperoleh jasa dimasa depan sekalipun melewati tahun anggaran sudah dianggap sebagai
belanja pada saat pembayaran dilakukan.
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2012 dibayarkan melalui SPM Gaji Induk sebesar Rp400.000.000. Ada pegawai
pindahan yang baru masuk meminta uang muka gaji sebesar Rp8.000.000 dan akan dipotong setiap bulan
Rp1.000.000 mulai Desember tahun 2012. Sebagai Informasi tambahan Kekurangan Tunjangan Jabatan sebesar
Page 62
Rp1.440.000 untuk bulan November-Desember 2011 telah dicatat di neraca 2011 dan telah dibayarkan pada bulan
Januari 2012. Selain itu dibayarkan uang makan pegawai sebesar Rp50.000.000 untuk periode Januari sampai
Oktober 2012. Pembayaran uang makan sesuai daftar hadir pegawai bulan November - Desember 2012 seharusnya
sebesar Rp 10.000.000 namun karena pagu DIPA sudah tidak mencukupi tidak dilakukan pembayaran lagi. Dari
kejadian tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Belanja menurut basis kas = Rp400.000.000 + Rp8.000.000 + Rp1.440.000 + Rp50.000.000 = Rp459.440.000
b. Belanja Menurut basis akrual = Rp400.000.000 + 1/8 (Rp8.000.000) + Rp 50.000.000 + Rp10.000.000 =
Rp400.000.000 + Rp1.000.000 + Rp50.000.000 + Rp10.000.000 = Rp461.000.000
c. Belanja yang masih harus dibayar (tersaji di neraca 2012 pada pos Kewajiban lancar pos Utang Kepada Pihak
Ketiga) sebesar Rp10.000.000 (diasumsikan awal tahun tidak ada).
d. Belanja dibayar di muka, tahun lalu diasumsikan tidak ada, tahun 2012 disajikan di neraca sebesar Rp7.000.000
(7/8 X Rp10.000.000)
Kegiatan akuntansi pada satuan kerja selama tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1. Membuat jurnal pembalik saldo belanja yang masih harus dibayar (kekurangan gaji Tunjangan jabatan) dibuat
awal tahun (1 Januari 2012):
Akun Uraian Ref Debet Kredit
211211 Belanja Pegawai
Yang Masih
harus dibayar
Rp1.440.000
311611 Dana Yang Harus
Disediakan Untuk
Pembayaran
Hutang Jangka
Pendek
Rp1.440.000
2. Mencatat transaksi belanja
Akun Uraian Ref Debet Kredit
51XXXX Belanja
Pegawai
Rp459.440.000
113712 Piutang
Dari KPPN
Rp459.440.000
Transaksi ini dicatat dengan merekam SPM/SP2D pada tahun berjalan
3. Membuat jurnal penyesuaian untuk mencatat belanja dibayar di muka
Akun Uraian Ref Debet Kredit
113631 Belanja
pegawai
Dibayar di
Muka
Rp7.000.000
311311 Cadangan
Piutang
Rp7.000.000
*) Akun Belanja Dibayar Dimuka selain persekot gaji adalah Barang/Jasa Yang Masih Harus Diterima
Page 63
4. Membuat jurnal penyesuaian untuk mencatat belanja yang masih harus dibayar
Akun Uraian Ref Debet Kredit
311611 Dana Yang Harus
Disediakan Untuk
Pembayaran
Hutang Jangka
Pendek
Rp 10.000.000
211211 Belanja Pegawai
Yang Masih harus
Dibayar
Rp10.000.000
Perhitungan untuk belanja barang, belanja modal, dan jenis belanja lainnya seperti pada ilustrasi diatas sesuai
dengan karakteristik belanja dan bentuk pembayarannya masing-masing.
Penyajian Informasi pendapatan dan belanja akrual diilustrasikan sebagai berikut:
Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Berdasarkan basis kas :
Laporan Keuangan Satker ABC sebelum penyesuaian adalah sebagai berikut :
No. Akun Uraian Jumlah
423141 Pendapatan Sewa Rumah Dinas 5.000.000
423921 Pendapatan Pelunasan Piutang Non bendahara 4.500.000
423991 Penerimaan Kembali Persekot/Uang Muka Gaji 1.550.000
511111 Belanja Gaji Pokok PNS 4.400.000.000
511119 Belanja Pembulatan Gaji PNS 200.000
511121 Belanja Tunjangan Suami/Istri PNS 238.000.000
511122 Belanja Tunjangan Anak PNS 65.000.000
511123 Belanja Tunjangan Struktural PNS 183.130.000
511124 Belanja Tunjangan Fungsional PNS 629.000.000
511125 Belanja Tunjangan PPh PNS 133.000.000
511126 Belanja Tunjangan Beras PNS 261.000.000
511129 Belanja Uang Makan PNS 466.000.000
511151 Belanja Tunjangan Umum PNS 121.000.000
512211 Belanja Uang Lembur 190.000.000
521111 Belanja Keperluan Perkantoran 634.000.000
521112 Belanja Bahan Makanan 1.000.000.000
521114 Belanja Pengiriman Surat Dinas Pos Pusat 82.000.000
521115 Belanja Honor Terkait Operasional 435.000.000
521119 Belanja Barang Operasional lainnya 75.000.000
521211 Belanja Bahan 796.000.000
521213 Benja Honor Terkait Output Kegiatan 68.000.000
521219 Belanja Non Operasional lainnnya 661.000.000
522111 Belanja Listrik 300.000.000
522112 Belanja Telepon 100.000.000
522113 Belanja Air 125.000.000
522114 Belanja Sewa 52.000.000
522111 Belanja Pemeliharaan Gedung dan Bangunan 1.200.000.000
Page 64
523121 Belanja Pemeliharaan Peralatan dan Mesin 616.000.000
524111 Belanja Perjalanan Biasa 100.000.000
532111 Belanja Modal Peralatan dan Mesin 500.000.000
Neraca TA 2011 dan 2012 sebelum penyesuaian sebagai berikut:
2012 2011
Aset
Aset lancar
Kas di Bendahara Pengeluaran
Piutang
Persediaan 117.000.000 104.000.000
Jumlah Aset lancar 117.000.000 104.000.000
Aset Tetap
Tanah 57.000.000.000 57.000.000.000
Peralatan dan Mesin 16.000.000.000 15.000.000.000
Gedung dan Bangunan 45.000.000.000 45.000.000.000
Jalan, Irigasi dan Jaringan 867.000.000 867.000.000
Aset Tetap Lainnya 130.000.000 133.000.000
Jumlah Aset Tetap 118.997.000.000 118.000.000.000
ASET LAINNYA
Aset Lain-Lain 32.000.000 20.000.000
Jumlah Aset Lainnya 32.000.000 20.000.000
Jumlah Aset 119.146.000.000 118.124.000.000
KEWAJIBAN
Kewajiban Jangka Pendek
Utang Kepada Pihak ketiga
Ekuitas
Ekuitas Dana Lancar
Cadangan Piutang
Cadangan Persediaan 117.000.000 104.000.000
Dana Yang Harus Disediakan Untuk
Pembayaran Utang Jangka Pendek
Jumlah Ekuitas Dana Lancar 117.000.000 76.000.000
Ekuitas Dana Investasi
Diinvestasikan Dalam Aset tetap 118.997.000.000 118.000.000.000
Diinvestasikan Dalam Aset Lainnya 32.000.000 20.000.000
Jumlah Ekuitas Dana Investasi 119.029.000.000 118.020.000.000
119.146.000.000 118.124.000.000
Informasi yang diperoleh bagian akuntansi pada satker ABC sebagai berikut:
1. Terdapat 10 Pegawai yang naik pangkat dari golongan III A ke III B tmt tanggal 1 Oktober 2012, SK diterima pada
tanggal 20 Desember 2012. Terhadap kejadian tersebut belum dapat dimintakan kekurangan gaji pada tahun
2012. Berdasarkan perhitungan kekurangan gaji pokok sebesar Rp500.000
2. Belanja Uang Makan pegawai bulan Desember 2012 sebesar Rp12.000.0000 belum dibayarkan.
3. Belanja listrik, telepon dan air yang belum dibayar masing-masing sebesar Rp10.000.000, Rp15.000.000 dan Rp
5.000.000
Page 65
4. Pembayaran sewa sebesar Rp52.000.000 termasuk didalamnya pembayaran sewa kantor sebesar Rp40.000.000
untuk masa 2 tahun, yang akan berakhir pada Desember 2013.
5. Belanja bahan makanan untuk tahanan tahun 2012 sudah terealisasi seluruhnya sampai dengan Oktober 2012.
Untuk keperluan bahan makanan bulan November dan Desember sebesar Rp200.000.000 sudah disupply oleh
PT Menara Pangan, dan berdasarkan kesepakatan akan dibayarkan pada TA 2013.
6. Terdapat Pegawai yang menghilangkan inventaris kantor senilai Rp10.000.000. Kepada yang bersangkutan telah
ditetapkan untuk mengganti sebesar Rp5.000.000 pada tahun 2012. Sampai akhir tahun baru dibayar
Rp4.500.000 kekurangannya seharusnya dibayar pada bulan Desember 2012, baru dibayarkan kepada
bendahara pengeluaran tanggal 31 Desember 2012 Sore hari, sehingga tidak sempat disetor ke bank persepsi.
Berdasarkan data di atas dapat disusun Informasi Pendapatan dan Belanja Akrual sebagai berikut:
Informasi Pendapatan dan Belanja Secara Akrual
Untuk Periode Yang Berakhir 31 Desember 2012
BA : Kementerian XXX
Eselon 1 : Direkturat Jenderal XXX
UAPPA-W : Provinsi XXX
Satuan Kerja : Satker ABC
No
Pendapatan/Belanja Realisasi
Menurut
Basis Kas
(Rp)
Penyesuaian Akrual
(Rp)
Informasi
Akrual
(Rp)
Sumber
Dokumen
Kode
Akun
Uraian Tambah Kurang
1 423141 Pendapatan
sewa rumah
dinas
5.000.000 5.000.000
2 423921 Pendapatan
Pelunasan
Piutang Non
bendahara
4.500.000 500.000 5.000.000
3 423991 Penerimaan
kembali
Persekot/uang
Muka Gaji
1.550.000 1.550.000
4 511111 Belanja Gaji
Pokok PNS
4.400.000.000 500.000 4.400.500.000
5 511119 Belanja
Pembulatan
gaji PNS
200.000 200.000
6 511121 Belanja
Tunjangan
Suami/Istri
PNS
238.000.000 238.000.000
7 511122 Belanja
Tunjangan
Anak PNS
65.000.000 65.000.000
Page 66
No
Pendapatan/Belanja Realisasi
Menurut
Basis Kas
(Rp)
Penyesuaian Akrual
(Rp)
Informasi
Akrual
(Rp)
Sumber
Dokumen
Kode
Akun
Uraian Tambah Kurang
8 511123 Belanja
Tunjangan
Struktural PNS
183.130.000 183.130.000
9 511124 Belanja
Tunjangan
Fungsional
PNS
629.000.000 629.000.000
10 511125 Belanja
Tunjangan
PPh PNS
133.000.000 133.000.000
11 511126 Belanja
Tunjangan
Beras PNS
261.000.000 261.000.000
12 511129 Belanja Uang
Makan PNS
466.000.000 12.000.000 478.000.000
13 511151 Belanja
Tunjangan
Umum PNS
121.000.000 121.000.000
14 512211 Belanja Uang
Lembur
190.000.000 190.000.000
15 521111 Belanja
Keperluan
Perkantoran
634.000.000 634.000.000
16 521112 Belanja bahan
makanan
1.000.000.000 200.000.000 1.200.000.000
17 521114 Belanja
Pengiriman
Surat Dinas
Pos Pusat
82.000.000 82.000.000
18 521115 Belanja Honor
Terkait
Operasional
435.000.000 435.000.000
19 521119 Belanja
barang
Operasional
lainnya
75.000.000 75.000.000
20 521211 Belanja bahan 796.000.000 796.000.000
21 521213 Benja Honor
Terkait
Output
Kegiatan
68.000.000 68.000.000
22 521219 Belanja Non
Operasional
lainnnya
661.000.000 661.000.000
Page 67
No
Pendapatan/Belanja Realisasi
Menurut
Basis Kas
(Rp)
Penyesuaian Akrual
(Rp)
Informasi
Akrual
(Rp)
Sumber
Dokumen
Kode
Akun
Uraian Tambah Kurang
23 522111 Belanja Listrik 300.000.000 10.000.000 310.000.000
24 522112 Belanja
Telepon
100.000.000 15.000.000 115.000.000
25 522113 Belanja Air 125.000.000 5.000.000 130.000.000
26 522114 Belanja Sewa 52.000.000 20.000.000 32.000.000
27 522111 Belanja
Pemeliharaan
Gedung dan
bangunan
1.200.000.000 1.200.000.000
28 523121 Belanja
Pemeliharaan
Peralatan dan
Mesin
616.000.000 616.000.000
29 524111 Belanja
Perjalanan
Biasa
100.000.000 100.000.000
30 532111 Belanja Modal
Peralatan dan
Mesin
500.000.000 500.000.000
Informasi Akrual di atas secara berjenjang dilaporkan oleh Satuan Kerja ke KPPN dan ke UAPPA-W, oleh
UAPPA-W direkapitulasi untuk di laporkan ke UAPPA-Es1. Dari UAPPA-Es 1 digabung di UAPPA tingkat K/L.
Agar Informasi pendapatan dan belanja akrual tersaji di neraca maka petugas Akuntansi berdasarkan data
yang ada mengisi formulir Jurnal Penyesuaian untuk setiap informasi/transaksi sebagaimana contoh dapat dilihat
pada lampiran I Perdirjen 51/PB/2007. Untuk menyederhanakan pengisian berikut jurnal yang harus dibuat petugas
akuntansi untuk di rekam operator pada Aplikasi SAKPA:
Tgl Akun Uraian Ref Debet Kredit
31/12 311611 Dana Yang Harus Disediakan Untuk
Pembayaran Hutang Jangka Pendek
1 500.000
211211 Belanja Pegawai Yang Masih harus dibayar 1 500.000
31/12 311611 Dana Yang Harus Disediakan Untuk
Pembayaran Hutang Jangka Pendek
2 12.000.000
211211 Belanja Pegawai Yang Masih harus dibayar 2 12.000.000
31/12 311611 Dana Yang Harus Disediakan Untuk
Pembayaran Hutang Jangka Pendek
3 30.000.000
211212 Belanja Barang Yang Masih harus dibayar 3 30.000.000
31/12 113632 Belanja BarangDibayar Di Muka 4 20.000.000
311311 Cadangan Piutang 4 20.000.000
Page 68
FORMULIR JURNAL PENYESUAIAN
BA/Eselon : (1)___________________________
Eselon I : (2)___________________________
Wilayah : (3)___________________________
Satuan Kerja : (4)___________________________
No. Dokumen : (5)__________________
Tanggal : (6)__________________
Tahun Anggaran : (7)__________________
Periode/Bulan : (8)___________________________
Keterangan : (9)___________________________
Jenis Jurnal :
Aset
Kewajiban
Ekuitas
No.
Urut
(11)
Kode
Akun
(12)
Uraian Nama Akun
(13)
Debet Kredit
Dibuat oleh : (15) Disetujui oleh : (16) Direkam oleh : (17)
Tanggal : Tanggal : Tanggal :
Setiap transaksi penyesuaian dibuatkan memo penyesuaian sebagai dokumen sumber pencatatan dalam jurnal
neraca melalui Aplikasi SAKPA dan disimpan sebagai dokumen sumber sebagaimana SPM/SP2D, SSBP dan dokumen
akuntansi lainnya.
Setelah semua formulir jurnal penyesuaian dilakukan perekaman dan dilakukan posting maka akan dihasilkan neraca
Satker sebagai berikut:
31/12 311611 Dana Yang Harus Disediakan Untuk
Pembayaran Hutang Jangka Pendek
5 200.000.000
211212 Belanja Barang Yang Masih harus dibayar 5 200.000.000
31/12 111821 Kas lainnya di Bendahara Pengeluaran 6 500.000
311511 Pendapatan yang ditangguhkan 6 500.000
Page 69
KEMENTERIAN XXX
DIREKTORAT JENDERAL XXX
PROVINSI XXX
SATUAN KERJA ABC
NERACA
PER 31 DESEMBER 2012
2012 2011
ASET
Aset Lancar
Kas di Bendahara Penerimaan 500.000
Uang Muka Belanja Barang 20.000.000
Persediaan 117.000.000 104.000.000
Jumlah Aset Lancar 137.500.000 104.000.000
Aset Tetap
Tanah 57.000.000.000 57.000.000.000
Peralatan dan Mesin 16.000.000.000 15.000.000.000
Gedung dan Bangunan 45.000.000.000 45.000.000.000
Jalan Irigasi dan Jaringan 867.000.000 867.000.000
Aset Tetap Lainnya 130.000.000 133.000.000
Jumlah Aset Tetap 118.997.000.000 118.000.000.000
ASET LAINNYA
Aset Lain-Lain 32.000.000 20.000.000
Jumlah Aset Lainnya 32.000.000 20.000.000
Jumlah Aset 119.166.500.000 118.124.000.000
KEWAJIBAN
Kewajiban Jangka Pendek
Utang Kepada Pihak ketiga 242.500.000
Jumlah Kewajiban 242.500.000
EKUITAS
Ekuitas Dana Lancar
Cadangan Piutang 20.000.000
Cadangan Persediaan 117.000.000 104.000.000
Pendapatan Yang Ditangguhkan 500.000
Dana Yang Harus Disediakan
Untuk Pembayaran Utang
Jangka Pendek
(242.500.000)
Jumlah Ekuitas Dana Lancar (105.000.000) 76.000.000
Ekuitas Dana Investasi
Diinvestasikan dalam Aset tetap 118.997.000.000 118.000.000.000
Diinvestasikan Dalam Aset
Lainnya
32.000.000 20.000.000
Jumlah Ekuitas Dana Investasi 119.029.000.000 118.020.000.000
Jumlah Ekuitas 118.924.000.000 118.096.000.000
Jumlah Kewajiban dan Ekuitas 119.166.500 118.096.000.000
Page 70
V. REFERENSI
1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara;
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
pemerintah Pusat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.05/2011;
7. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 62/PB/2009 tentang Tatacara Penyajian Informasi
Pendapatan dan Belanja Secara Akrual pada Laporan Keuangan;
8. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 51/PB/ 2007 tentang Pedoman Akuntansi Belanja yang
Masih Harus Dibayar;
9. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 65/PB/ 2010 tentang Pedoman Penyusunan Laporan
Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.
Page 72
KAS DI BENDAHARA PENGELUARAN
Oleh: Alm. Eli Tamba
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 5 Tahun 2009)
Salah satu temuan BPK-RI yang berulang dari tahun ke tahun adalah bahwa SAL yang disajikan pemerintah
tidak dapat diyakini kewajarannya. Unsur-unsur pembentuk SAL terdiri dari antara lain Kas di Bank Indonesia, Kas di
KPPN, Kas di Rekening pemerintah lainnya dan Kas di Bendahara Pengeluaran. Kas di Bendahara Pengeluaran yang
disajikan seluruh kementerian negara/lembaga (K/L) berbeda dengan jumlah menurut laporan KPPP. Bagaimana
upaya untuk mencegah perbedaan tersebut ?
Sesuai dengan pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
“untuk kelancaran pelaksanaan tugas kementrian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah kepada pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat diberikan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran”.
Selanjutnya, sesuai dengan pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 66 Tahun 2005 tentang
Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara:
1. PA/KPA menerbitkan SPM-UP berdasarkan DIPA atas permintaan Bendahara Pengeluaran yang dibebankan pada
MAK transito.
2. Berdasarkan SPM-UP dimaksud pada ayat (1), KPPN menerbitkan SP2D untuk Rekening Bendahara Pengeluaran
yang ditunjukan dalam SPM-UP.
3. Penggunaan UP menjadi tanggung jawab Bendahara Pengeluaran.
4. Bendahara Pengeluaran melakukan pengisian kembali UP setelah UP di maksud digunakan (revolving) sepanjang
masih tersedia dana dalam DIPA.
5. Bagi bendahara yang dibantu oleh beberapa PUM, dalam pengajuan SPM-UP diwajibkan melampirkan daftar
rincian yang menyatakan jumlah uang yang di kelola oleh masing-masing PUM.
6. Sisa UP yang masih ada pada bendahara pada akhir tahun anggaran harus disetor kembali ke Rekening Kas
Negara selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan. Setoran sisa UP dimaksud, oleh
KPPN dibukukan sebagai pengembalian UP sesuai MAK yang ditetapkan.
7. UP dapat diberikan dalam batas-batas sebagai berikut:
a. UP dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran Belanja Barang pada klasifikasi belanja
5211,5212,5221,5231,5241,5811.
b. Di luar ketentuan pada butir a, dapat diberikan pengecualian untuk DIPA pusat oleh Direktur Jenderal
Perbedaharaan dan untuk DIPA pusat yang kegiatannya berlokasi di daerah serta DIPA yang ditetapkan oleh
Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat.
c. UP dapat diberikan setinggi-tingginya;
i. 1/12 (satu per dua belas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP,
maksimal Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk pagu sampai dengan Rp. 900.000.000 (Sembilan
ratus juta rupiah);
ii. 1/18 (satu per delapan belas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan
UP, maksimal Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu di atas Rp900.000.000 (Sembilan ratus
juta rupiah) sampai dengan Rp.2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah);
iii. 1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk
diberikan UP, maksimal Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu di atas Rp.2.400.000.000 (dua
miliar empat ratus juta rupiah);
d. Perubahan besaran UP di luar ketentuan pada butir c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
e. Pengisisan kembali UP sebagaimana dimaksud pada butir c dapat diberikan apabila dana UP telah
dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima.
Page 73
f. Dalam hal penggunaan UP belum mencapai 75%, sedangkan satker/SKS yang bersangkutan memerlukan
pendanaan melebihi sisa dana yang tersedia, satker/SKS dimaksud dapat mengajukan TUP dengan LS.
8. SPP-TUP (Tambahan Uang Persediaan) :
a. Rincian rencana penggunaan dana Tambahan Uang Persediaan dari Kuasa Penggunaan Anggaran atau
Pejabat yang ditunjuk.
b. Surat pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk bahwa :
i. Dana Tambahan UP tersebut akan digunakan untuk keperluan mendesak dan akan habis digunakan
dalam waktu satu bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan SP2D; apabila terdapat sisa dana TUP, harus
disetorkan ke Rekening Kas Negara;
ii. Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara langsung.
iii. Rkening Koran yang menunjukan saldo terakhir.
Pada saat SP2D UP/TUP akan mengakibatkan berpindahnya uang dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening
Bendahara Pengeluaran sejumlah nilai nominal SP2D yang diterbitkan, sejumlah uang tersebut akan dilaporkan pada
Neraca Satuan Kerja dan KPPN sebagai kas di bendahara Pengeluaran dalam jumlah yang sama.
Belanja atas penggunaan dana UP/TUP diakui pada saat pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut. Sementara
dana yang tidak digunakan sesuai ketentuan yang berlaku harus disetor kembali ke Kas Umum Negara.
Sesuai dengan pasal 7 Peraturan Dirjen Perbendaharaan, sisa UP yang masih ada pada bendahara pada akhir tahun
anggaran harus disetor kembali ke Rekening Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran
berkenaan. Setoran sisa UP dimaksud , oleh KPPN dibukukan sebagai pengembalian UP sesuai MAK yang ditetapkan.
Sementara dana TUP apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan, sisa dana yang ada pada bendahara, harus di
setor ke Rekening Kas Negara. Apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi kepada satker yang bersangkutan tidak
dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran berkenaan.
Setiap akhir tahun, penyetoran sisa dana UP yang berada pada Kas Bendahara baik tunai maupun yang berada di
dalam rekening bank/pos tetap diatur untuk mengingatkan semua pihak akan kewajibannya.
Penyetoran sisa kembali UP oleh Satuan Kerja ke KPPN baik baik melalui mekanisme SPM/SP2D Nihil maupun
penyetoran melalui bank persepsi akan dibukukan oleh satker dan KPPN sebagai pengurang Kas Bendahara
Pengeluaran di Neraca keduanya.
PENYEBAB PERBEDAAN
Sampai dengan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2008, saldo Kas Bendahara
Pengeluaran yang dilaporkan kementerian negara/lembaga selalu berbeda dengan Saldo Kas Bendahara Pengeluaran
yang dilaporkan KPPN. Kas Bendahara Pengeluaran berdasarkan laporan keuangan K/L sebesar Rp1.136.391.348.696
dan Kas Bendahara Pengeluaran menurut laporan keuangan seluruh KPPN sebesar minus Rp695.536.726.783 yang
merupakan selisih pengeluaran UP yang di bayarkan kepada satker sebesar Rp17.435.722.030.008 dengan
penerimaan pengambilan UP TAYL dan TAB oleh satker sebesar Rp.17.491.339.587.044.
Perbedaan antara saldo Kas Bendahara Pengeluaran menurut K/L dengan Bendahara Umum Negara, disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain:
1. Satuan kerja menyetor bunga jasa giro atas dana yang ada di rekening bendahara pengeluaran menggunakan
akun Pengembalian Uang Persediaan.
2. Satuan kerja menyetor pengembalian belanja menggunakan akun pengembalian Uang Persediaan.
3. Bendahara menyetor dana yang ada di bendahara termasuk dana yang sudah dipertangungjawabkan yang
belum didistribusikan kepada yang berhak dengan menggunakan akun pengembalian UP.
4. Pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang dipungut oleh bendahara disetor ke kas Negara dengan
menggunakan akun pengembalian UP.
Page 74
5. Satuan kerja menyetor penerimaan Negara bukan pajak dengan menggunakan akun pengembalian UP.
Apabila kedua pihak membukukan dengan akun yang sama, kemungkinan perbedaan tersebut tidak akan terjadi.
Permasalahannya timbul karena satker membukukan sebagaimana mestinya sedangkan KPPN membukukan
berdasarkan akun Pengembalian Uang Persediaan seperti yang disajikan pada Daftar Nominatif Penerimaan (DNP).
PENYELESAIAN
Perbedaan saldo tersebut harus segera diselesaikan agar SAL dapat diyakini kewajarannya khususnya yang terkait
dengan Kas Bendahara Pengeluaran. Upaya-upaya yang harus dilakukan antara lain adalah seperti berikut:
1. Sesuai dengan pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 47 Tahun 2008 tentang Langkah-
langkah Akhir Tahun, atas SSBP dan copy Nota Debet yang diterima dari Bendahara Pengeluaran, Seksi
Perbendaharaan melakukan pencocokan dengan data pada Seksi Presepsi/Bendahara Umum.
Setoran saldo dana oleh satuan kerja yang di labeli akun pengembalian UP baik tahun berjalan maupun tahun
anggaran disetor melalui bank persepsi yang kemudian data-data penerimaan tersebut ditransfer ke KPPN
melalui Seksi Persepsi atau Seksi Bendahara Umum. Data setoran UP yang selanjutnya oleh Seksi Persepsi atau
Seksi Bendahara Umum diserahkan ke Seksi Perbendaharaan untuk di cocokan dengan kartu pengawasan
masing-masing satuan kerja.
Apabila praktek pencocokan ini dilakukan secara baik, maka sudah pasti dapat ditemukan perbedaan antara
yang disetor dengan yang seharusnya disetor. Dengan demikian potensi untuk berbeda dapat dicegah dengan
cara melakukan penelitian atau mengklarifikasi ke satker apabila di temukan perbedaan dimaksud.
Apabila setoran dilakukan sekaligus, akan mempersulit Seksi Perbendaharaan untuk menentukan perbedaan
tersebut disebabkan oleh setoran apa. Sedikit lebih mudah mengklasifikasi apabila setoran-setoran tersebut
dilakukan terpisah walaupun akan susah menjustifikasi masuk akun apa kelebihan setoran tersebut. Pada saat
KPPN kesulitan menjustifikasi setoran tersebut masuk akun yang mana, maka alangkah baiknya Seksi
Perbendaharaan melakukan klarifikasi ke satker, maka Seksi Persepsi atau Bendahara Umum melakukan
perbaikan data-data setoran tersebut.
2. KPPN, Kantor Wilayah Perbendaharaan, dan Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan dapat menemukan
perbedaan pada saat rekonsiliasi dengan Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran, Unit Akuntansi Pembantu
Pengguna Anggaran Tingkat Wilayah, dan Unit Akuntasi Pembantu Pengguna Anggaran Tingkat Eselon 1 dan Unit
Akuntansi Pengguna Anggaran.
3. Satuan kerja/unit baik satuan Kementerian ataupun berbeda tetapi masih dalam lingkup pemerintah pusat
ataupun satuan kerja pemerintah daerah.
Apabila setoran yang berlabel akun UP sudah dicocokan datanya dengan kartu pengawasan oleh seksi
perbendaharaan dan telah diperbaiki datanya berdasarkan klarifikasi kepada satker, maka data persepsi/bendum
yang di posting pada aplikasi seksi Verifikasi dan Akuntansi tidak serta merta dinyatakan dapat diyakini, oleh
karenanya maka seksi vera masih tetap melakukan tugasnya untuk meyakinkan laporan tersebut, antara lain:
1 Mencetak registrasi transaksi penerimaan.
Registrasi transaksi penerimaan yang dicetak dicocokan dengan dokumen sumber, seperti Surat Setoran Bukan
Pajak (SSBP) termasuk SSBP yang sudah dikoreksi. Data-data yang tidak cocok kemudian diklarifikasi kepada seksi
persepsi/bendum.
2 Mencetak Neraca per masing-masing satuan kerja.
Saldo Kas Bendahara Pengeluaran masing-masing satker yang disajikan pada neraca masing-masing satker
dibandingkan dengan data karwas masing-masing. Apabila terdapat perbedaan, selanjutnya diklarifikasi ke Seksi
Perbendaharaan.
3 Seksi Vera melakukan rekonsiliasi dengan masing-masing satuan kerja.
Seperti telah diatur dalam peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 51 Tahun 2008, rekonsiliasi
laporan keuangan tingkat UAKPA dilakukan dengan KPPN setiap bulan.
Page 75
Rekonsiliasi antara satuan kerja dengan KPPN dilakukan dengan mencocokan data Neraca dan data Laporan
Realisasi Anggaran. Apabila terdapat perbedaan antara data penerimaan pengembalian uang persediaan yang
dilaporkan satuan kerja dengan yang dilaporkan KPPN, maka perbedaan tersebut harus di telusuri misalnya ke:
1. Akun pendapatan yang dilaporkan oleh satuan kerja. Hal tersebut dapat terjadi, dimana setoran pendapatan
digunakan kode akun penerimaan pengembalian UP, akan terjadi dibukukan oleh satker sebagai pendapatan
sedangkan oleh KPPN sebagai penerimaan UP.
2. Akun pengembalian belanja karena seringkali pengembalian belanja diperlukan disetor dengan
menggunakan kode akun Penerimaan Pengembalian Uang Persediaan Akun.
Cara yang sama juga dapat dilakukan apabila ditemukan perbedaan antara saldo Kas Bendahara Pengeluaran yang
disajikan pada Neraca satuan kerja dan Neraca per satker menurut data KPPN.
Disamping rekonsiliasi yang dilakukan oleh satker dan KPPN, untuk menghindari ketidakakuratan data masih
dilakukan rekonsiliasi dijenjang yang lebih tinggi seperti:
a. Rekonsiliasi laporan keuangan tingkat UAPPA-W dilakukan dengan Kanwil Ditjen Perbendaharaan setiap
triwulan.
b. Rekonsiliasi laporan keuangan tingkat UAPPA-E1 dilakukan dengan Ditjen Perbendaharaan c.q Direktorat
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan setiap semester.
c. Rekonsiliasi laporan keuangan tingkat UAPA dilakukan dengan Ditjen Perbendaharaan setiap semester.
KESIMPULAN
Saldo Kas di Bendahara Pengeluaran yang lebih akurat dapat disajikan apabila semua pihak melaksanakan tugas dan
fungsinya seperti:
1. Seksi Perbendaharaan melakukan pencocokan data transaksi UP dengan Karwas UP masing-masing satker.
Perbedaan antara keduanya harus diklarifikasikan ke satker dan selanjutnya dilakukan perbaikan data oleh seksi
persepsi/bendum.
2. Satuan kerja menghasilkan laporan keuangan yang selanjutnya dikirim untuk dilakukan rekonsiliasi dengan data
KPPN
3. KPPN dan satuan kerja melakukan rekonsiliasi dan menelusuri perbedaan yang akhirnya melakukan perbaikan
data berdasarkan hasil penelusuran tersebut.
Penyelesaian masalah-masalah yang terkait dengan Kas di Bendahara Pengeluaran akan berdampak semakin
diyakininya kewajaran Sisa Anggaran Lebih yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, dan
akhirnya akan menghasilkan LKPP yang Opininya lebih baik dari disclaimer opinion yang kita terima selama ini.
Page 76
PROSEDUR AKUNTANSI
UNTUK SATUAN KERJA LIKUIDASI
Oleh: Redaktur Pelaksana
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 7 Tahun 2010)
Beberapa satuan kerja pada lingkup pemerintah pusat mengalami perubahan signifikan atas bentuk
organisasinya, yaitu proses likuidasi dan proses merger. Hingga saat ini, belum ada regulasi pemerintah yang khusus
mengatur perlakuan akuntansi akan hal ini. Untuk mengisi kekosongan regulasi ini, diperlukan kebijakan akuntansi
untuk satuan kerja yang mengalami likuidasi ataupun merger termasuk perlakuan terhadap aset tetap yang
dimilikinya sehingga terdapat keseragaman perlakuan akuntansi pada semua kementerian negara/lembaga termasuk
terdapat pedoman bagi K/L untuk mencatat transaksi-transaksi sehubungan dengan kejadian ini. Tulisan ini mencoba
membahas prosedur akuntansi untuk satuan kerja pada suatu instansi pemerintah tertentu yang mengalami proses
likuidasi.
DEFINISI/PENGERTIAN
Apabila kita mengacu kepada istilah akuntansi, likuidasi adalah proses penutupan suatu entitas (bisnis) baik
disebabkan kepailitan ataupun hal-hal lainnya. Selanjutnya, apabila mengacu pada sektor komersil, prosedur yang
harus dilakukan pada saat suatu entitas (bisnis) mengalami likuidasi adalah: melaksanakan (1) prosedur realisasi dan
(2) prosedur pembayaran. Prosedur realisasi antara lain melakukan penagihan piutang, menjual persediaan, menjual
aset tetap, dan menjual aset lainnya.
Proses selanjutnya adalah prosedur pembayaran yang dapat dilakukan secara bertahap atau dapat juga
dilakukan sekaligus. Pembayaran bertahap dilakukan pada saat uang kas tersedia dari hasil (proses) realisasi,
sedangkan pembayaran sekaligus dilakukan pada saat prosedur realisasi sudah dilakukan sepenuhnya. Dalam hal
melaksanakan prosedur pembayaran, maka terlebih dahulu dilakukan pembayaran kepada pihak ketiga (hutang).
Selanjutnya kelebihan dari hasil prosedur realisasi (umumnya dalam bentuk kas) dibayarkan kepada pemiliknya.
Beberapa contoh proses likuidasi yang terjadi pada satuan kerja di pemerintah pusat adalah sebagai berikut:
1. Suatu satuan kerja ditetapkan untuk tidak lagi beroperasi disebabkan fungsi/tujuan/misi satuan kerja dimaksud
telah selesai. Contoh pada kasus ini adalah dihentikannya operasi kegiatan dari Badan Rekonstruksi dan
Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias. Pada contoh ini, BRR Aceh dan Nias bukan lagi berada pada level satuan kerja,
melainkan pada tingkat kementerian negara/lembaga. Meskipun prosedur yang harus dilakukan lebih kompleks,
namun secara umum prosedur yang dilaksanakan sama sebagaimana layaknya prosedur pada suatu level satuan
kerja.
2. Suatu satuan kerja tertentu dialihkan menjadi satuan kerja lain yang baru karena fungsi/misi satuan kerja
tersebut telah berubah. Contoh proforma untuk kasus ini adalah satuan kerja A menjadi satuan kerja B.
3. Suatu satuan kerja tertentu digabung dengan satuan kerja lainnya. Contoh untuk kasus ini adalah pada saat KPP-
PBB digabung dengan KPP.
Tulisan ini hanya akan membahas posedur akuntansi untuk satuan kerja-satuan kerja pada suatu K/L tertentu yang
mengalami perubahan struktur organisasi karena likuidasi, sementara akuntasi likuidasi untuk tingkat K/L tidak diulas
pada tulisan ini. Namun, seperti telah diungkapkan di atas, prosedur akuntansi ini bersifat umum.
PROSEDUR AKUNTANSI
Pengelolaan keuangan pemerintah dimulai dari proses penganggaran, pengelolaan anggaran, dan
pertanggungjawaban anggaran. Pada saat suatu satuan kerja ditetapkan untuk dilikuidasi, tentunya proses
penganggaran akan berhenti dengan sendirinya. Selanjutnya satuan kerja tersebut akan memproses dan melaporkan
dalam Laporan Realisasi Anggaran sampai dengan transaksi keuangan terakhir, baik transaksi pendapatan, belanja
maupun pembiayaan, yang dikelola oleh satuan kerja tersebut. Satuan kerja juga menjelaskan dalam Catatan atas
Page 77
Laporan Keuangan (CaLK) bahwa transaksi-transaksi keuangan tersebut merupakan transaksi anggaran terakhir
sebelum satuan kerja dilikuidasi.
Sementara itu, aset-aset dari satuan kerja yang dilikuidasi sebagaimana dilaporkan pada Neraca periode
pelaporan terakhir harus dikembalikan kepada negara karena prosedur penjualan aset sebagaimana pada proses
likuidasi entitas bisnis tidak diperkenankan pada entitas pemerintahan. Untuk keperluan pelaporan akuntansi atas
proses likuidasi satuan kerja pemerintah, aset digolongkan menjadi dua jenis, yaitu kas dan non kas. Prosedur untuk
kas (uang persediaan) dari satuan kerja dilikuidasi adalah menyetor sisa kas (uang persediaan) dimaksud pada Kuasa
Bendahara Umum Negara (BUN) sebagaimana dahulu ketika satuan kerja tersebut memperoleh kas (uang
persediaan)nya. Sedangkan aset non kas, seperti aset tetap dan persediaan barang, diserahkan kepada Pengguna
Barang untuk penggunaan lebih lanjut. Apabila aset non kas tersebut tidak digunakan lagi, maka sesuai dengan PP 6
Nomor Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, aset dimaksud dikembalikan kepada
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Barang Milik Negara.
Proses likuidasi suatu satuan kerja memerlukan adanya Tim Likuidasi yang tugasnya antara lain menyusun
Laporan Keuangan Penutup yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Neraca. Tim ini kemudian
melakukan penyetoran ke kas negara dan penyerahan aset tetap kepada pengguna barang. Proses likuidasi yang
diterapkan pada sektor komersil tidak dapat diterapkan pada pemerintahan karena yang dibubarkan/dilikuidasi
adalah satu bagian/entitas dari pemerintahan, sedangkan pemerintah tetap berlanjut.
Setelah satuan kerja dilikuidasi menyetor sisa kas (uang persediaan) kepada KPPN selaku Kuasa BUN, satuan kerja
dimaksud membuat ayat jurnal penyesuaian seperti di bawah ini:
Debet: Uang Muka dari KUN xxx
Kredit: Kas di Bendahara Pembayar xxx
Ayat jurnal di atas merupakan ayat pembalik atas jurnal saldo awal kas (uang persediaan) sebesar sisa kas (uang
persediaan) yang masih terdapat pada satuan kerja tersebut. Dengan demikian, setelah ayat jurnal di atas diproses
pada aplikasi Sistem Akuntansi Instansi, Neraca satuan kerja dilikuidasi akan menunjukkan saldo 0 (nihil) untuk aset
kas (uang persediaan).
Sedangkan prosedur untuk aset non kas adalah sebagai berikut:
1. Tim likuidasi melakukan verifikasi fisik atas aset non kas (yaitu aset tetap dan persediaan) dan aset kas yang ada.
Jumlah kuantitas dan kondisi kualitas dari aset non kas tersebut harus sama dengan yang ada pada laporan
barang satuan kerja. Demikian pula, jumlah (nilai) dari aset kas harus sama dengan nilai yang tercantum pada
laporan keuangan periode terakhir.
2. Tim likuidasi menyusun Laporan Keuangan Penutup yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan
CaLK.
3. Tim likuidasi mengusulkan agar seluruh aset non kas tersebut diserahkan kepada Eselon 1/Pengguna Barang
(UAPPB-E1) yang membawahi satuan kerja dilikuidasi (dalam hal proses likuidasi melibatkan Kementerian
Negara/Lembaga, maka seluruh aset non kas diserahkan kepada DJKN selaku pengelola BMN).
4. Setelah aset non kas ini diserahkan, satuan kerja memproses prosedur pelaporannya dengan cara mencatatnya
melalui aplikasi SIMAK BMN dengan mempergunakan menu transfer out sedangkan unit Eselon 1 yang menerima
aset non kas ini mencatatnya dengan menu transfer in. Setelah proses pencatatan aplikasi, melalui SIMAK BMN
dan SAI, Neraca dan laporan barang satuan kerja akan mempunyai saldo 0 (nihil) untuk aset non kasnya. Satuan
kerja dilikuidasi juga menjelaskan nilai nihil akibat proses likuidasi ini pada CaLKnya.
5. Selain melakukan pencatatan/pelaporan atas aset non kas yang diserahkan kepada Eselon 1 yang bersangkutan,
satuan kerja dilikuidasi juga harus melaporkan kepada DJKN selaku pengelola BMN. Selanjutnya disusun Berita
Acara Serah Terima (BAST) antara satuan kerja dilikuidasi dengan Eselon 1 penerima untuk aset non kas yang
diserahterimakan.
Selanjutnya, bila satuan kerja masih mempunyai jenis aset lain di luar aset kas dan aset non kas, seperti adanya saldo
Tuntutan Ganti Rugi (TGR) pada Neraca, maka saldo piutang ini juga harus diserahkan kepada Eselon 1 yang
Page 78
membawahi satuan kerja dilikuidasi. Penyerahan saldo piutang ini dicatat melalui jurnal penyesuaian SAI sebagai
berikut:
Debet: Cadangan Piutang xxx
Kredit: Piutang xxx
Jurnal di atas, sama seperti ayat penyesuaian aset kas (uang persediaan), merupakan ayat jurnal balik dari saldo awal
piutang. Secara logika, saldo awal bertujuan untuk mencatat transaksi keuangan pertama yang terjadi pada suatu
entitas akuntansi. Sehingga, pada saat suatu entitas (dalam hal ini satuan kerja pemerintah) ditetapkan untuk
dilikuidasi, jurnal yang disiapkan untuk menihilkan saldo-saldo pada Neraca adalah jurnal balik dari ayat jurnal saldo
awal. Neraca dengan nilai 0 (nihil) mempunyai arti satuan kerja dimaksud tidak lagi mengelola aset/harta setelah
dilikuidasi.
REFERENSI:
1. PP Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
2. Beams, Floyd A., Anthony, Joseph H., Clement, Robin P. 2008, Advanced Accounting, Prentice Hall.
Page 79
AKUNTANSI PERSEKOT/PANJAR GAJI DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI
Oleh: Wanto Sukahar
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 9 Tahun 2011)
A. PENGERTIAN
Pemberian persekot/panjar gaji didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran nomor SE-
125/A/621/1095 tanggal 3 Oktober 1995 perihal Persekot/panjar bagi pegawai negeri yang pindah dan Keputusan
Direktur Jenderal Anggaran nomor Kep-14/A/1984 tanggal 7 Desember 1984 tentang Pedoman Kerja KTUA.
Persekot/panjar gaji merupakan sejenis fasilitas pinjaman uang kepada PNS yang mengalami perpindahan tugas
(mutasi) dari satuan kerja satu ke satuan kerja lain dalam wilayah pembayaran KPPN yang berbeda. Bagi PNS yang
memanfaatkan fasilitas ini, persekot/panjar gaji dapat diperoleh dari satuan kerja asal (yang ditinggalkan) menjelang
keberangkatannya ke satuan kerja baru atau di satuan kerja baru paling lambat satu bulan terhitung sejak
diterbitkannya Surat Perintah Melaksanakan Tugas (SPMT) di satker baru tersebut. Jadi, fasilitas persekot/panjar gaji
hanya dapat dibayarkan di salah satu satuan kerja saja: satuan kerja yang ditinggalkan PNS tersebut, atau satuan
kerja baru tempat PNS dimutasikan.
Persekot/panjar gaji merupakan fasilitas belaka. Seorang PNS yang dipindahtugaskan bisa
memanfaatkannya, bisa juga tidak. Unsur belanja pegawai yang diperhitungkan dalam pemberian persekot/panjar
gaji meliputi: (1) gaji pokok, (2) tunjangan suami/istri, dan (3) tunjangan anak. Pegawai yang tidak menanggung
suami/istri dan anak alias berstatus bujangan tentu hanya mendapatkan persekot/panjar sebesar gaji pokoknya saja.
Pegawai yang berstatus bujangan memperoleh persekot/panjar gaji sebesar 1 (satu) kali/bulan penghasilan.
Sementara itu, pegawai yang berstatus berkeluarga memperoleh persekot/panjar gaji 2 (dua) kali/bulan penghasilan.
Pemberian persekot/panjar gaji tidak dikenakan pajak penghasilan.
Persekot/panjar gaji tidak diberikan secara cuma-cuma. Pegawai yang memanfatan fasilitas ini harus
mengembalikan dengan cara mengangsur melalui pemotongan penghasilan bulanannya. Pegawai berstatus
bujangan mengangsur maksimal 10 (sepuluh) kali, sedangkan yang berstatus berkeluarga (memiliki tanggungan)
mengangsur maksimal 20 (dua puluh) kali. Tidak dikenakan bunga atas pemberian fasilitas ini. Persekot/panjar gaji
diberikan dengan dengan persyaratan menyerahkan SK Pindah/Mutasi dan Surat Keterangan Mendapatkan
Tunjangan Keluarga (KP4).
Hak tagih atas pengembalian persekot/panjar gaji berada pada satuan kerja yang memberikan
persekot/panjar. Jika persekot/panjar diberikan oleh satuan kerja yang ditinggalkan oleh pegawai yang mengalami
mutasi, maka dengan diterbitkannya Surat Keterangan Pengehentian Pembayaran (SKPP) Gaji oleh satuan kerja yang
ditinggalkan, hak tagih beralih ke satuan kerja baru di mana pegawai yang bersangkutan ditempatkan.
B. AKUNTANSI PERSEKOT/PANJAR GAJI
1. Akuntansi Anggaran
Pemberian persekot/panjar gaji tidak pernah dianggarkan. Setidaknya ada dua alasan mengapa pos ini tidak
dianggarkan: pertama, adanya ketidakpastian mengenai jumlah PNS yang akan dimutasikan, dan kedua, jumlah
pegawai yang dimutasikan dan yang mengajukan untuk memperoleh fasilitas ini juga tidak dapat diperkirakan. Oleh
karenanya, anggaran untuk pemberian persekot/panjar gaji tidak pernah ada dalam Dokumen Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA).
Pola mutasi pegawai yang tidak terencana menjadi penyebab tidak bisa direncanakannya jumlah persekot gaji yang
akan diberikan kepada pegawai. Di samping itu, memperoleh persekot gaji merupakan pilihan, bukan hak yang harus
diambil oleh PNS. Oleh karenanya PNS yang dimutasikan memiliki kebebasan untuk tidak mengambil fasilitas ini.
Page 80
2. Akuntansi Pemberian Persekot/Panjar Gaji
Dalam praktik yang terjadi selama ini, pemberian persekot/panjar gaji dibebankan sebagai realisasi Belanja
Pegawai, yang meliputi: (1) Belanja Gaji Pokok PNS [511111], (2) Belanja Tunjangan Suami/Istri PNS [511121], (3)
Belanja Tunjangan Anak PNS [511122], dan (4) Belanja Pembulatan Gaji Pokok PNS [511119]. Komponen yang
disebut terakhir diberikan jika hasil penjumlahan komponen (1), (2), dan (3) tidak dalam ratusan rupiah penuh.
Dengan demikian pencatatan (journal entry) pemberian persekot/panjar gaji sama dengan pencatatan realisasi
belanja pegawai, seperti berikut:
3. Akuntansi Penerimaan Cicilan Pengembalian Persekot/Panjar Gaji
Penerimaan Cicilan Pengembalian Persekot/Panjar Gaji dicatat sebagai pendapatan tanpa memandang pada
tahun manakah pengembalian ini di terima. Artinya, bila suatu satuan kerja memberikan persekot/panjar gaji pada
bulan Februari 2011, maka penerimaan cicilan baik yang terjadi pada 2011 maupun 2012 diakui sebagai pendapatan,
dengan akun Penerimaan Kembali Persekot/Uang Muka Gaji [423991]. Mungkin ada di antara pembaca yang
mempersoalkan karena pada saat digelontorkan persekot/panjar gaji diperlakukan sebagai belanja [pegawai]
semestinya ketika dikembalikan pada tahun anggaran yang sama maka cicilan tersebut dicatat sebagai pengurang
belanja juga. Namun demikian dalam tulisan ini dikemukakan praktik yang selama ini ada saja. Dengan demikian
jurnal untuk mencatat cicilan/pengembalian persekot/panjar gaji adalah sebagai berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
212511 Utang kepada KUN XXXX
423991 Penerimaan Kembali
Persekot/Uang Muka Gaji
XXXX
4. Akuntansi Perpindahan Hak Tagih Karena Adanya SKPP
SKPP Gaji merupakan surat yang menerangkan bahwa gaji seorang pegawai dihentikan pembayarannya dari
satuan kerja yang lama hingga bulan tertentu sebagaimana disebut dalam surat keterangan tersebut. Disamping itu
dalam surat tersebut juga diterangkan mengenai rincian penghasilan yang terakhir kali dibayarkan di satker lama
serta utang-utang pegawai yang menjadi kewajiban keuangannya kepada Negara. Jika seorang pegawai memiliki
saldo persekot/panjar gaji pegawai yang belum dikembalikan/dibayar lunas pada satuan kerja yang ditinggalkannya
karena dialihtugaskan maka melalui SKPP tersebut hak tagih piutang Negara dialihkan dari satker yang ditinggalkan
pegawai ke satker baru tempat pegawai tersebut dipindahtugaskan.
Peralihan hak tagih atas pengembalian persekot/panjar gaji pegawai melalui SKPP-Gaji tidak dilakukan
penjurnalan baik oleh Satuan Kerja yang yang mengeluarkan (SKPP-Gaji Keluar) maupun oleh Satuan Kerja yang
menerima (SKPP-Gaji Masuk). Petugas pembuat daftar gaji melakukan monitoring mutasi saldo persekot/panjar
dengan membuat tabel perhitungan mutasi saldo piutang atas persekot/panjar gaji yang masih akan diterima.
5. Penyajian Persekot/Panjar Gaji dalam Laporan Keuangan
Hak tagih Satuan Kerja atas pengembalian persekot/panjar gaji merupakan piutang bagi satuan kerja selaku
entitas akuntansi. Oleh karenanya, jika pada tanggal pelaporan keuangan, baik 30 Juni ataupun 31 Desember, masih
terdapat saldo persekot/panjar gaji maka satuan kerja wajib menyajikannya di Neraca. Jurnal yang dibuat untuk
mencatat saldo akhir persekot/panjar gaji adalah sebagai berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
511111 Belanja Gaji Pokok PNS XXXX
511121 Belanja Tunjangan Suami/Istri PNS XXXX
511122 Belanja Tunjangan Anak PNS XXXX
511119 Belanja Pembulatan Gaji Pokok PNS XXXX
113712 Piutang dari KPPN XXXX
Page 81
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
113631 Belanja Pegawai yang
Dibayar Dimuka
XXXX
311311 Cadangan Piutang XXXX
Dalam keadaan tertentu mungkin saja terdapat saldo persekot/panjar gaji yang masa jatuh temponya 12
bulan setelah tanggal Neraca dan ada juga yang jatuh tempo lebih dari 12 bulan setelah tanggal Neraca. Dalam hal
demikian, sesuai dengan prinsip akuntansi, maka untuk jenis yang pertama disajikan sebagai bagian dari Aset Lancar
(Piutang Jangka Pendek), sementara untuk jenis yang kedua disajikan sebagai bagian dari Aset Lainnya (Piutang
Jangka Panjang).
Karena pemberian persekot/panjar gaji dibebankan pada belanja pegawai maka untuk menghitung beban
pegawai yang semestinya menjadi kewajiban untuk tahun anggaran yang bersangkutan (akrual), jumlah
persekot/panjar gaji yang diberikan selama tahun anggaran yang bersangkutan harus dikurangkan dari total realisasi
belanja pegawai.
C. CONTOH KASUS AKUNTANSI PERSEKOT/PANJAR GAJI
Untuk memudahkan pemahaman mengenai akuntansi persekot/panjar gaji berikut diberikan contoh kasus
transaksi pemberian persekot/panjar gaji yang terjadi Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi
Bali. Penggunaan nama satuan kerja dalam kasus ini hanya untuk tujuan simulasi belaka, jadi transaksi yang ada tidak
menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Berikut adalah transaksi, analisis, serta pecatatan yang dilakukan sehubungan dengan transaksi persekot/panjar gaji:
20 April 2011
Memberikan persekot/panjar gaji kepada PNS bernama A yang dipindahtugaskan ke KPPN Tangerang. A
berstatus kawin dengan 2 orang anak, golongan III/b. Rincian persekot/uang muka gaji yang diberikan
kepada PNS tersebut adalah sebagai berikut:
Unsur persekot/uang muka gaji
yang diberikan:
1 (satu)
bulan (Rp)
2 (dua) bulan
(Rp)
511111 Belanja Gaji Pokok
PNS
2.272.500 4.545.000
511121 Belanja Tunjangan
Suami/Istri PNS
227.250 454.500
511122 Belanja Tunjangan
Anak PNS
90.900 181.800
511119 Belanja Pembulatan
Gaji Pokok PNS
50 100
Jumlah persekot/uang muka gaji yang diberikan 5.181.400
Setelah menerbitkan SPM dan disahkan dengan terbitnya SP2D oleh KPPN maka dibuat jurnal sebagai berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
511111 Belanja Gaji Pokok
PNS
4.545.000
511121 Belanja Tunjangan
Suami/Istri PNS
454.500
511122 Belanja Tunjangan
Anak PNS
181.800
Page 82
27 April 2011
Menerbitkan SKPP atas nama A yang yang memuat rincian jumlah gaji yang dibayarkan terakhir kali beserta
potongannya di Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali serta tagihan Negara yang menjadi
kewajiban PNS yang bersangkutan berupa persekot/panjar gaji pegwai Rp5.181.400,-
Dengan diterbitkannya SKPP tersebut maka hak tagih atas pengembalian persekot/panjar gaji beralih dari
Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali ke Satker KPPN Tangerang. Tidak ada jurnal
yang dibuat oleh Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali.
18 Agustus 2011
Menerima PNS bernama B yang dipindahtugaskan dari Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi
Banten ke Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali. Pada SKPP yang dikirimkan oleh Kantor
Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Banten dinyatakan bahwa B (berstatus bujangan, golongan III/a)
memiliki utang kepada Negara sebesar Rp2.180.300 (berupa persekot/panjar gaji pegawai).
Transaksi ini menyebabkan beralihnya piutang Negara dari satuan kerja Kantor Wilayah Ditjen
Perbendaharaan Provinsi Banten ke satuan kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali. Satuan
kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali tidak melakukan penjurnalan atas transaksi ini.
1 September 2011
Membayar gaji pegawai Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali sekaligus
melakukan pemotongan gaji kepada B sebagai cicilan pertama atas persekot/panjar gaji pegawai sebesar
Rp218.030. Angka tersebut diperoleh dari Rp2.180.300 dibagi 10 bulan.
Jurnal yang dibuat pada waktu melakukan pemotongan sebagai cicilan persekot/panjar gaji adalah sebagai
berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
212511 Utang kepada KUN 218.030
423991 Penerimaan Kembali
Persekot/Uang Muka
Gaji
218.030
1 Oktober 2011
Membayar gaji pegawai Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali sekaligus
melakukan pemotongan gaji kepada B sebagai cicilan kedua atas persekot/panjar gaji pegawai sebesar
Rp218.030,-
Jurnal yang dibuat pada waktu melakukan pemotongan sebagai cicilan persekot/panjar gaji adalah sebagai
berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
212511 Utang kepada KUN 218.030
511119 Belanja
Pembulatan Gaji
Pokok PNS
100
113712 Piutang dari
KPPN
5.181.400
Page 83
423991 Penerimaan Kembali
Persekot/Uang Muka
Gaji
218.030
10 Oktober 2011
Menerima pegawai bernama C yang dipindahtugaskan dari Satuan Kerja Ditjen Perbendaharaan Pusat ke
Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali. Setelah menerima SPMT, C mengajukan
permohonan persekot/panjar gaji di Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali. C berstatus kawin,
dengan 1 anak, golongan II/d, maka rincian persekot/panjar gaji yang diberikan kepada B terinci sebagai
berikut:
Setelah menerbitkan SPM dan disahkan dengan terbitnya SP2D oleh KPPN maka dibuat jurnal sebagai berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
511111 Belanja Gaji Pokok
PNS
4.299.400
511121 Belanja Tunjangan
Suami/Istri PNS
429.940
511122 Belanja Tunjangan
Anak PNS
85.988
511119 Belanja Pembulatan
Gaji Pokok PNS
72
113712 Piutang dari KPPN 4.815.400
1 November 2011
Membayar gaji pegawai Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali sekaligus
melakukan pemotongan gaji kepada B sebagai cicilan ketiga sebesar Rp218.030,- dan kepada C sebagai
cicilan pertama sebesar Rp240.770,- (yaitu Rp4.815.400,- dibagi 20 bulan).
Jurnal yang dibuat pada waktu melakukan pemotongan sebagai cicilan persekot/panjar gaji adalah sebagai
berikut:
Unsur persekot/uang muka gaji yang
diberikan:
1 (satu) bulan
(Rp)
2 (dua) bulan
(Rp)
511111 Belanja Gaji Pokok PNS 2.149.700 4.299.400
511121 Belanja Tunjangan Suami/Istri
PNS
214.970 429.940
511122 Belanja Tunjangan Anak PNS 42.994 85.988
511119 Belanja Pembulatan Gaji Pokok
PNS
36 72
Jumlah persekot/uang muka gaji yang diberikan 4.815.400
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
212511 Utang kepada KUN 458.800
Page 84
1 Desember 2011
Membayar gaji pegawai Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali sekaligus
melakukan pemotongan gaji kepada B sebagai cicilan keempat sebesar Rp218.030,- dan kepada C sebagai
cicilan kedua sebesar Rp240.770,-
Jurnal yang dibuat pada waktu melakukan pemotongan sebagai cicilan persekot/panjar gaji adalah sebagai
berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
212511 Utang kepada KUN 458.800
423991 Penerimaan Kembali
Persekot/Uang Muka
Gaji
458.800
31 Desember 2011
Rekapitulasi transaksi pemberian persekot/panjar gaji beserta cicilannya selama tahun anggaran 2011 dapat
dilihat pada Peraga I .
Peraga 1
Rekapitulasi Pemberian Persekot/Panjar Gaji
Selama Tahun Anggaran 2011
No. Nama
Pegawai
April Agustus September Oktober November Desember Saldo
31/12/2011 Pemberian
Persekot
SKPP
Keluar
SKPP
Masuk
Cicilan Pemberian
Persekot
Cicilan Cicilan Cicilan
1 A 5.181.400 (5.181.400)
-
2 B
2.180.300 (218.030)
(218.030) (218.030) (218.030) 1.308.180
3 C
4.815.400
(240.770) (240.770) 4.333.860
Jumlah 5.181.400 (5.181.400) 2.180.300 (218.030) 4.815.400 (218.030) (458.800) (458.800) 5.642.040
Berdasarkan perhitungan pada Peraga I, saldo persekot/panjar gaji per 31 Desember 2011 adalah Rp5.642.040,-.
Saldo tersebut harus disajikan di Neraca per 31 Desember 2011 melalui penjurnalan sebagai berikut:
Kode Akun Uraian Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
113631 Belanja Pegawai yang
Dibayar Dimuka
5.642.040
311311 Cadangan Piutang 5.642.040
Sementara itu, rincian akun belanja pegawai yang dibebani dalam transaksi pemberian persekot/panjar gaji
diikhtisarkan pada Peraga 2. Rekapitulasi ini berguna bagi satker dalam menghitung beban akrual yang menjadi
kewajiban selama tahun anggaran 2011.
423991 Penerimaan Kembali
Persekot/Uang Muka
Gaji
458.800
Page 85
Peraga 2
Rekapitulasi Akun Belanja Pegawai yang Dibebani dalam Pemberian Persekot/Panjar Gaji
Selama Tahun Anggaran 2011
Kode
Akun Uraian Akun
Pemberian
Persekot
Bulan April
Pemberian
Persekot
Bulan
Oktober
Total
Pemberian
Persekot
Selama 2011
511111 Belanja Gaji Pokok PNS Rp4.545.000 Rp4.299.400 Rp8.844.400
511121 Belanja Tunjangan Suami/Istri PNS 454.500 429.940 884.440
511122 Belanja Tunjangan Anak PNS 181.800 85.988 267.788
511119 Belanja Pembulatan Gaji Pokok PNS 100 72 172
Jumlah Rp5.181.400 Rp4.815.400 Rp9.996.800
Berdasarkan uraian di atas maka informasi akrual yang disusun sebagai suplemen laporan keuangan
berkaitan Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali untuk periode yang berakhir 31
Desember 2011 adalah seperti yang tersaji pada Peraga 3. Angka yang ada pada kolom Basis Kas adalah
asumsi realisasi Belanja Pegawai selama tahun anggaran 2011.
Peraga 3
Satuan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali
Informasi Akrual
Untuk Periode yang Berakhir 31 Desember 2011
Kode Akun Uraian Akun Basis Kas Penyesuaian Akrual Informasi
Akrual Debit Kredit
511111 Belanja Gaji Pokok PNS 3.089.322.800
8.844.400 A 3.080.478.400
511121 Belanja Tunjangan
Suami/ \Istri PNS 234.523.960
884.440 A 233.639.520
511122 Belanja Tunjangan Anak
PNS 74.870.796
267.788 A 74.603.008
511119 Belanja Pembulatan Gaji
Pokok PNS 70.482
172 A 70.310
113631 Belanja Pegawai yang
Dibayar di Muka
9.996.800 A 1.353.660 C 5.642.040
2.180.300 B 5.181.400 D
311311 Cadangan Piutang 5.642.040 E 5.642.040
Keterangan:
A : Jumlah persekot/panjar gaji pegawai yang diberikan selama 2011
B : Jumlah persekot/panjar gaji pegawai yang hak tagihnya diperoleh dari SKPP-Masuk
selama 2011
C : Jumlah cicilan persekot/panjar gaji pegawai yang dipotong dari gaji pegawai selama
2011
D : Jumlah persekot/panjar gaji pegawai yang hak tagihnya dialihkan ke Satuan Kerja
tempat PNS dimutasikan melalui SKPP-Keluar selama 2011.
E: Penyeimbang akun Belanja Pegawai yang Dibayar di Muka
Page 86
Pada akhir periode akuntansi, saldo Belanja Pegawai yang Dibayar di Muka (113631) disajikan pada Neraca
sebagai bagian dari Aset Lancar. Pada Neraca yang dihasilkan oleh Sistem Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran
(SAKPA) akun ini hanya ditampilkan dalam klasifikasi empat digit pertama dari kode akun tersebut, yaitu Uang
Muka Belanja (1136). Sementara itu, sebagai penyeimbangnya, Cadangan Piutang disajikan sebagai bagian dari
Ekuitas Dana Lancar. Penyajian dimaksud ditunjukkan pada Peraga 4.
Peraga 4
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Bali
Neraca
Per 31 Desember 2011
D. CATATAN AKHIR
Dari praktik akuntansi atas pemberian persekot/panjar gaji sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, ada
beberapa catatan dan saran dalam rangka perbaikan ke depan. Berikut adalah dua di antaranya:
1. Pemberian persekot/panjar gaji kepada pegawai tidak memenuhi kriteria sebagai belanja, oleh karenanya ia
tidak layak dibebankan sebagai Belanja Pegawai (akun 5111XXX). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 71
tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas
Umum Negara/Daerah yang mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan
yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Ketika persekot/panjar gaji diberikan maka
PNS penerima serta merta memiliki kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut sesuai dengan jangka waktu
yang ditentukan. Dengan demikian pemberian persekot/panjar gaji tidak memenuhi syarat sebagai belanja
karena akan diperoleh kembali pembayarannya. Ke depan, meskipun besaran persekot/panjar gaji ditetapkan
sebesar unsur-unsur dalam belanja pegawai, semestinya pencatatannya dipisahkan dari belanja pegawai itu
sendiri. Pembebanan pemberian persekot/panjar gaji pada belanja pegawai mengakibatkan terjadinya lebih saji
(overstated) realisasi belanja pegawai pada Laporan Realisasi Anggaran. Meskipun pada saat pelaporan
keuangan angka tersebut dapat diklarifikasi menurut kewajiban akrualnya, namun demikian hal ini akan
mengaburkan informasi Belanja Pegawai yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Dengan kata lain,
perlu disediakan akun yang secara khusus digunakan untuk menampung transasksi tersebut di luar akun Belanja
Pegawai.
2. Bagi Satuan Kerja, sebagai entitas akuntansi, pemberian persekot/panjar gaji menimbulkan hak tagih (piutang)
kepada pegawai yang menerima persekot/panjar gaji tersebut. Piutang atas persekot/panjar gaji ada yang masa
jatuh temponya dalam satu tahun, dan ada juga yang lebih dari satu tahun sejak tanggal pelaporan. Sesuai
NAMA AKUN JUMLAH
1 2
ASET
ASET LANCAR
Uang Muka Belanja 5.642.040
KEWAJIBAN
EKUITAS DANA
EKUITAS DANA LANCAR
Cadangan Piutang 5.642.040
Page 87
dengan kaidah akuntansi yang berlaku, piutang yang jatuh tempo satu tahun setelah tanggal pelaporan disajikan
di Neraca sebagai bagian dari Aset Lancar. Sementara itu, piutang yang jatuh tempo lebih dari satu tahun
disajikan sebagai bagian dari Aset Lainnya. Kasus ini dapat dianalogikan dengan Tagihan Penjualan Angsuran
(TPA) yang selama ini cukup populer dalam Sistem Akuntansi Instansi. Dengan demikian ke depan perlu
disediakan akun “Bagian Lancar Piutang Persekot Pegawai” untuk menampung jumlah yang jatuh tempo satu
tahun/12 bulan setelah tanggal pelaporan. Di sisi lain disediakan akun Piutang Persekot Pegawai yang digunakan
untuk menampung jumlah yang jatuh tempo lebih dari satu tahun/12 bulan.
Peraga 5
Rekapitulasi Belanja Pegawai yang Dibayar di Muka
Dalam Klasifikasi Periode Jatuh Tempo
No. Nama
Pegawai
Pokok Persekot Cicilan/
Bulan
Jatuh Tempo
2011
Jatuh Tempo 2012 Jatuh Tempo 2013
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)=(5)X(6) (8) (9)=(5)X(8) (10) (11)=(5)X(10)
1 B 10 bulan 2.180.300 218.030 4 bulan 872.120 6 bulan 1.308.180
2 C 20 bulan 4.815.400 240.770 2 bulan 481.540 12 bulan 2.889.240 6 bulan 1.444.620
Jumlah
1.353.660
4.197.420
1.444.620
Dari Peraga 5 dapat diperoleh gambaran kemungkinan terjadinya transaksi piutang persekot yang masa jatuh
temponya dalam satu tahun dan yang lebih setelah tanggal Neraca (31 Desember 2011). Dalam hal ini piutang
yang diharapkan akan tertagih pada 2012 digolongkan sebagai Bagian Lancar Belanja Pegawai yang Dibayar di
Muka (Aset Lancar) yaitu Rp4.197.420. Sementara itu yang diharapkan akan tertagih pada 2013 sebesar
Rp1.444.620 disajikan sebagai Belanja Pegawai yang Dibayar di Muka (Aset Lainnya).
Catatan Redaksi:
Saat ini belum tersedia sistem akuntansi tentang Pemberian Persekot Gaji. Materi/isi tulisan ini merupakan
pendapat penulis.
Page 88
AKUNTANSI PENYISIHAN PIUTANG TAK TERTAGIH
PADA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
Oleh: Kadek Imam Eriksiawan
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 11 Tahun 2012)
I. PENDAHULUAN
Pengungkapan dan penyajian piutang pemerintah dalam LKPP perlu ditingkatkan relevansi dan keandalan
informasinya. Informasi yang disajikan harus mampu memberikan manfaat yang memungkinkan para pengguna
untuk melakukan koreksi berkaitan dengan kebijakan masa lalu, memprediksinya di masa depan, dan menyajikan
semua informasi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Disamping itu, informasi yang disajikan harus
menggambarkan dengan jujur suatu transaksi, dapat diuji dan Informasi diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak
berpihak pada kebutuhan pihak tertentu.
Untuk memenuhi kualitas di atas, Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 06 tentang
Akuntansi Piutang menyatakan bahwa aset berupa piutang di neraca harus dijaga agar nilainya sama dengan nilai
bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value). Dengan penyajian piutang pada nilai yang dapat
direalisasikan, informasi piutang yang disajikan dapat dijaga relevansinya dalam pengambilan keputusan karena
sudah memperhitungkan adanya potensi ketidaktertagihan. Dengan demikian piutang yang disajikan dalam neraca
akan mencerminkan nilai yang wajar.
Penyajian piutang pada nilai yang dapat direalisasikan mensyaratkan entitas akuntansi untuk melakukan
estimasi tingkat ketidaktertargihan piutang yang dimilikinya atau dikenal dengan penyisihan piutang tak tertagih.
Manajemen atau kuasa pengguna anggaran mengharapkan suatu piutang akan dilunasi pada waktu yang telah
disepakati, namun kenyataanya tidak semua piutang dibayar tepat waktu bahkan banyak piutang yang tidak dibayar
debitur. Ketidaktertagihan piutang dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti debitur meninggal dunia dan ahli
warisnya tidak memiliki aset untuk melunasinya atau debitur dengan sengaja secara melawan hukum tidak
membayar utangnya kepada pemerintah.
II. PENDEKATAN PENYISIHAN PIUTANG PADA SEKTOR BISNIS
Penyisihan piutang tidak tertagih (allowance uncollectible account expense) dalam dunia bisnis umumnya
dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu pendekatan laba rugi (income statement) dan pendekatan neraca (balance
sheet). Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan estimasi piutang tidak tertagih berdasarkan atas penjualan atau
saldo piutang pada tanggal neraca. Kedua metode tersebut dapat dipilih oleh manajemen sesuai dengan pendekatan
yang diinginkan dan keduanya sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accepted
accounting principle).
Pendekatan laba rugi (income statement) menghitung penyisihan piutang tak tertagih dengan menggunakan
persentase dari total penjualan selama periode tertentu. Metode ini lebih baik diterapkan apabila manajemen
menekankan pada prinsip penandingan antara beban dan pendapatan (matching cost against revenue) karena
penyisihan piutang tidak tertagih dihitung berdasarkan total penjualan.
Disisi lain, pendekatan neraca menekankan penilaian piutang pada nilai yang dapat direalisasikan.
Penghitungan penyisihan piutang tidak tertagihnya didasarkan pada persentase tertentu dari piutang pada tanggal
neraca. Manajemen dalam menentukan estimasinya akan menggunakan data dari pengalaman ketertagihan piutang
masa lalu, kondisi ekonomi, dan indikator-indikator lain.
Page 89
Untuk meningkatkan keakuratan estimasi dalam penerapannya manajemen akan membuat daftar umur
piutang (aging schedule of account receivable). Daftar umur piutang adalah daftar yang menggambarkan pengenaan
persentase berbeda untuk untuk setiap kategori umur piutang (Tabel 1). Daftar ini akan memberikan informasi
tentang piutang-piutang yang harus mendapatkan perhatian khusus dari manajemen berkaitan dengan ketertagihan
suatu piutang.
Tabel 1: Daftar Umur Piutang
CV Alimuddin
Daftar Umur Piutang
Nama
Pelanggan
Saldo
per 31 Des
Kurang
60 hari
60-90
hari
91-120
Hari
Lebih
120 hari
Aldi 4.500.000 4.000.000 500.000
Made 9.700.000 9.700.000
Dewi 750.000 750.000
14.950.000 13.700.000 500.000 - 750.000
Ringkasan
Umur Piutang Jumlah
Persentase Estimasi
Piutang Tidak
Tertagih
Saldo Penyisihan
Piutang
kurang 60 hari 13.700.000 2% 274.000
60-90 hari 500.000 10% 50.000
90-120 hari - 15% 0
lebih 120 hari 750.000 25% 187.500
Saldo penyisihan piutang per 31 Desember 2011 511.500
Penyajian piutang pada neraca oleh CV Allimudin pada tanggal 31 Desember 20XX adalah sebagai berikut:
CV Allimudin
Neraca
Per 31 Desember 20XX
Aset Lancar
Kas 5.000.000
Piutang 14.950.000
Kurang: Penyisihan Piutang Tak Tertagih (511.500)
Persediaan 3.250.000
Asuransi Dibayar Dimuka 4.500.000
Total Aset lancar 27.188.500
III. PENYISIHAN PIUTANG PADA SEKTOR PEMERINTAHAN
Seperti halnya akuntansi pada sektor bisnis, akuntansi pemerintahan juga mensyaratkan penyajian penyisihan
piutang tidak tertagih pada neraca pemerintah. Tata cara, akuntansi, dan penyajian penyisihan piutang tak tertagih
pada entitas akuntansi atau Satker pada kementerian negara/lembaga (K/L) untuk penerimaan negara bukan pajak
diatur dengan berbagai peraturan. Peraturan-peraturan tersebut meliputi Buletin Teknis Standar Akuntansi
Page 90
Pemerintahan Nomor 06 tentang Akuntansi Piutang, Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 201/PMK.06/2010
tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tak Tertagih,
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: 82/PB/2011 tentang Akuntansi Penyisihan Piutang Tak Tertagih
dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: 85/PB/2011 tentang Penatausahaan Piutang Negara Bukan
Pajak (PNBP) pada Kementerian Negara/Lembaga/Satker serta peraturan terkait lainnya.
Penyisihan piutang tak tertagih pada Satker K/L menggunakan pendekatan neraca. Penyisihan piutang dihitung
dari persentase tertentu dari saldo piutang pada tanggal pelaporan. Tujuan utama penerapan pendekatan neraca
(balance sheet approach) adalah untuk menyajikan piutang pada neraca sesuai dengan nilai yang dapat
direalisasikan (net realizable value) sedangkan prinsip penandingan antara beban dan pendapatan (matching cost
against revenue) tidak diadopsi karena sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan tidak mendapat penekanan
dalam akuntansi pemerintahan.
Entitas akuntansi pada K/L dan entitas bisnis sedikit berbeda dalam penentuan persentase dalam
pembentukan penyisihan piutang tak tertagihnya. Di satu sisi, entitas bisnis menghitung persentase penyisihannya
berdasar atas umur piutang (aging schedule) seperti contoh pada tabel 1. Di sisi lain, Satker menentukan persentase
penyisihannya berdasarkan atas kualitas piutang dan agunan atau barang sitaan yang dilibatkan dalam proses
piutangnya.
A. Penghitungan Penyisihan Piutang Tak Tertagih
Penyisihan piutang PNBP pada K/L pada tanggal pelaporan dihitung sebagai berikut:
Penyisihan Piutang =
(piutang PNBP - agunan/barang sitaan) X persentase penyisihan piutang sesuai dengan kualitas piutang
B. Kualitas Piutang
Dalam PMK Nomor: 201/PMK.06/2010 dijelaskan bahwa penilaian penyisihan piutang tak tertagih pada K/L
minimal ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu jatuh tempo piutang dan upaya penagihan yang dilakukan. Unsur-
unsur tersebut diformulasikan sebagai kualitas piutang yaitu hampiran atau estimasi atas ketertagihan piutang yang
diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh debitur dan jatuh tempo piutang. Kualitas piutang
dibedakan dalam 4 (empat) golongan yaitu:
1. Kualitas lancar
Piutang yang digolongkan dalam kualitas ini adalah piutang yang belum dilakukan pelunasan sampai dengan
jatuh tempo.
2. Kualitas Kurang Lancar
Piutang yang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Pertama tidak dilakukan
pelunasan.
3. Kualitas Diragukan
Piutang yang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Kedua tidak dilakukan
pelunasan
4. Kualitas Macet
Piutang yang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga tidak dilakukan
pelunasan; atau Piutang yang penagihannya telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara.
Selanjutnya estimasi penyisihan piutang tak tertagih yang ditentukan berdasarkan kualitas piutang dibedakan
menjadi dua yaitu:
1. Penyisihan Piutang Tak Tertagih yang umum ditetapkan paling sedikit 5‰ (lima permil) dari Piutang yang
memiliki kualitas lancar.
Page 91
2. Penyisihan Piutang Tak Tertagih khusus ditetapkan sebagai berikut:
a. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan atau
nilai barang sitaan.
b. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan atau
nilai barang sitaan.
c. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai
barang sitaan.
C. Surat Penagihan
Tata cara penerbitan surat penagihan yang merupakan usaha Satker dalam menagih piutang PNBP dan
menjadi dasar dalam menentukan kualitas suatu piutang dapat dijumpai dalam Perdirjen Perbendaharaan Nomor:
85/PB/2011. Dalam Perdirjen tersebut surat penagihan diatur sebagai berikut:
Surat penagihan pertama harus sudah diterbitkan paling lambat 3 hari sejak timbulnya piutang dengan jatuh
tempo pembayaran paling lama 1 bulan.
Surat penagihan kedua harus sudah diterbitkan paling lambat 1 hari kerja sejak debitur tidak menepati
pembayarannya sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang ditentukan dalam surat penagihan pertama.
Surat penagihan ketiga harus sudah diterbitkan paling lambat 1 hari kerja sejak debitur tidak menepati
pembayarannya sesuai dengan tanggal jatuh jatuh tempo yang ditetapkan dalam surat penagihan kedua.
D. Nilai Agunan dan Barang Sitaan
Pengertian secara umum nilai agunan adalah nilai jaminan yang diserahkan oleh debitur untuk dapat
diperhitungkan apabila debitur mampu menepati kewajibannya. Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang dalam pembentukan penyisihan piutang tak tertagih. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
201/PMK.06/2010 nilai agunan atau barang sitaan dalam hubungannya dengan penentuan penyisihan piutang tak
tertagih ditentukan sebagai berikut:
1. 100% dari agunan berupa surat berharga yang diterbitkan BI, SBN, garansi bank, tabungan atau deposito yang
diblokir pada bank, emas, dan logam mulia;
2. 80% dari nilai hak tanggungan atas tanah bersertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) berikut
bangunan diatasnya;
3. 60% dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB) atau hak
pakai, berikut bangunan di atasnya yang tidak diikat dengan hak tanggungan;
4. 50 % dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti
kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir;
5. 50% dari nilai hipotik atas pesawat udara dan kapal Iaut dengan isi kotor paling sedikit 20 meter kubik;
6. 50% dari nilai jaminan fidusia atas kendaraan bermotor;
7. 50% dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang tidak diikat sesuai ketentuan yang
berlaku dan disertai bukti kepemilikan;
8. Agunan selain di atas dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang
Tidak Tertagih setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Nilai barang sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tak Tertagih
ditetapkan sebesar:
100% dari agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, tabungan
dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia;
60% dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB), atau hak
pakai, berikut bangunan di atasnya;
Page 92
50% dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti
kepemilikan non sertifikat Iainnya yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir;
50% dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan;
Barang sitaan selain yang di atas tidak diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan
Piutang Tidak Tertagih.
E. Pencatatan Penyisihan Piutang Tak Tertagih
Pencatatan dilakukan dengan menjurnal transaksi piutang dan penyisihannya baik jangka pendek maupun
jangka panjang sebagai berikut:
Mencatat timbulnya Piutang Jangka Pendek
Dr Piutang XXXXX
Cr Cadangan Piutang XXXXX
Mencatat Penyisihan Piutang Tak Tertagih
Dr Cadangan Piutang XXXXX
Cr Penyisihan Piutang Tak Tertagih – Piutang Jangka
Pendek
XXXXX
Mencatat Piutang Jangka Panjang
Dr Piutang Jangka Panjang XXXXX
Cr Diinvestasikan Dalam Aset Lainnya XXXXX
Mencatat Penyisihan Piutang Tak Tertagih Jangka Panjang
Dr Diinvestasikan Dalam Aset Lainnya XXXXX
Cr Penyisihan Piutang Tak Tertagih – Piutang Jangka
Panjang
XXXXX
Untuk memberikan informasi keuangan yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya reklasifikasi piutang
jangka panjang menjadi piutang jangka pendek pada tanggal pelaporan harus menjadi perhatian. Penyusun laporan
harus melakukan reklasifikasi piutangnya maupun penyisihan piutang tidak tertagihnya. Penyisihan piutang tak
tertagih akan dialokasikan secara proporsional untuk piutang jangka pendek dan jangka panjang sesuai dengan
jumlahnya pada tanggal pelaporan. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada contoh kasus diakhir tulisan ini.
Reklasifikasi Piutang Jangka Panjang
Dr Diinvestasikan Dalam Aset Lainnya XXXXX
Cr Piutang Jangka Panjang XXXXX
Dr Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang XXXXX
Cr Cadangan Piutang XXXXX
F. Penyajian Penyisihan Piutang Tak Tertagih
Penyajian penyisihan piutang tak tertagih pada neraca merupakan unsur pengurang dari piutang baik untuk
piutang jangka pendek maupun jangka panjang. Selisih antara piutang dengan penyisihannya merupakan piutang
yang dapat direalisasikan atau sering disebut piutang neto.
Page 93
Satker XXX
Neraca
Per 31 Desember 20XX
Aset Lancar Kewajiban
Piutang Pajak XXX Kewajiban Jangka Pendek XXX
Piutang PNBP XXX Kewajiban Jangka Panjang XXX
Bag. Lancar Penerusan Pinjaman XXX
Bag. Lancar Piutang TGR XXX
Bag. Lancar TPA XXX
Piutang Lainnya XXX
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih-Piutang Jk. Pendek
(XXX)
Piutang Jangka Pendek Neto XXX Jumlah Kewajiban XXX
Aset Lainnya
Piutang Penerusan Pinjaman XXX Ekuitas Dana
Tagihan TGR XXX Ekuitas Dana Lancar
Tagihan Penj. Angsuran XXX Cadangan Piutang XXX
Aset Lain-Lain XXX Ekuitas Dana Investasi
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih-Piutang Jk. Panjang
(XXX) Diinvestasikan Dlm Aset Lainnya XXX
Ekuitas Dana Cadangan XXX
Aset Lainnya Neto XXX Jumlah Ekuitas Dana XXX
Jumlah Aset XXX Jumlah Kewajiban dan Ekuitas Dana XXX
G. Pengungkapan Penyisihan Piutang dalam Catatan Atas laporan Keuangan
Setelah disajikan pada neraca, akun piutang dan penyisihan piutang tak tertagih harus diungkapkan pada
catatan atas laporan keuangan. Informasi tersebut dapat berupa:
a. Kebijakan akuntansi pencatatan, pengukuran, dan penilaian piutang dan penyisihannya.
b. Rincian per jenis saldo menurut umur piutang untuk mengetahui tingkat kolektibilitas piutang yang dimiliki.
c. Penjelasan atas penyelesaian piutang apakah masih ada di K/L atau sudah diserahkan ke Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara-Kementerian Keuangan.
Contoh 1
Satker A memiliki piutang sebagai berikut
Atas pemberian sertifikasi untuk suatu proses tertentu selama tahun 20X1 terdapat saldo piutang tanggal 31
Desember 20X1 sebagai berikut:
Nama Debitur Saldo Piutang Agunan Kualitas
Piutang
PT Triana 25.000.000 30.000.000
(sertifikat SHM) Kurang Lancar
Wulandari 15.000.000 0 Lancar
Page 94
CV Mutiara 10.000.000 15.000.000
(deposito bank) Macet
Penghitungan penyisihan piutang dihitung sebagai berikut:
PT Triana
= (25.000.000 - (60% X 30.000.000)) X 10% = Rp700.000
Ket.
o Nilai agunan yang diperhitungkan untuk sertifikat hak milik adalah 60% dari nilai agunan
o Kualitas piutang kurang lancar maka estimasi piutang tak tertagihnya adalah 10%
Wulandari
= (15.000.000- 0) X 5 ‰ = Rp75.000
Ket.
o Nilai agunan 0
o Kualitas piutang estimasi lancar maka penyisihan piutang tak tertagihnya adalah menggunakan tarif umum
yaitu 5 ‰
CV Mutiara
= (10.000.000-10.000.000) X 100% = 0
Ket.
o Nilai agunan yang diperhitungkan untuk deposito bank adalah 100 % yaitu sebesar Rp 15.000.000, namun
karena nilai agunannya lebih besar dari piutangnya maka yang diperhitungkan hanya Rp10.000.000 yaitu
sebesar jumlah piutangnya.
o Kualitas piutang macet maka estimasi piutang tak tertagihnya adalah sebesar 100%
Maka atas penyisihan piutang tak tertagih Satker A tersebut diatas adalah
Nama Debitur Saldo
Piutang
Penyisihan
Piutang Tak
Tertagih
Piutang yang Dapat
Direalisasikan
PT Triana 25.000.000 700.000 24.300.000
Wulandari 15.000.000 75.000 14.925.000
CV Mutiara 10.000.000 0 10.000.000
Jumlah 60.000.000 775.000 59.225.000
Page 95
Pencatatan Piutang Satker A
Jurnal untuk mencatat piutang pada tanggal 31 Desember 20XX adalah sebagai berikut:
Dr Piutang 60.000.000
Cr Cadangan Piutang 60.000.000
Mencatat Penyisihan Piutang Tak Tertagih
Dr Cadangan Piutang 775.000
Cr
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih – Piutang Jangka
Pendek
775.000
Penyajian Pada Neraca Satker A
Satker A
Neraca
Per 31 Desember 20XX
Aset Lancar Kewajiban
Piutang Pajak XXX Kewajiban Jangka Pendek XXX
Piutang PNBP 60.000.000 Kewajiban Jangka Panjang XXX
Bag. Lancar Penerusan Pinj. XXX
Bag. Lancar Piutang TGR XXX
Bag. Lancar TPA XXX
Piutang Lainnya XXX
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih- Piutang Jk. Pendek
(775.000)
Piutang jangka pendek neto 59.225.000 Jumlah Kewajiban XXX
Aset Lainnya
Piutang Penerusan Pinjaman XXX Ekuitas Dana
Tagihan TGR XXX Ekuitas Dana lancar
Tagihan Penj. Angsuran XXX Cadangan Piutang 59.225.000
Aset Lain-Lain XXX Ekuitas Dana Investasi
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih- Piutang Jk. Panjang
(XXX) Diinvestasikan Dlm Aset
Lainnya
XXX
Ekuitas Dana Cadangan XXX
Aset Lainnya Neto XXX Jumlah Ekuitas Dana 59.225.000
Jumlah Aset 59.225.000 Jumlah Kewajiban dan
Ekuitas Dana
59.225.000
Page 96
Contoh 2
Pada tanggal 31 Desember 20X2 Satker XXYY memiliki saldo piutang berupa Tuntutan Ganti Rugi (TGR) yang berasal
dari transaksi dari tahun 20X1 sampai dengan 20X2. TGR tersebut berasal dari 3 pegawai yang masing-masing
dengan riwayat piutang sebagai berikut
Bapak Aldo
Pada tahun 20X1, karena menghilangkan aset kantor yang merupakan tanggung jawabnya, Bapak Aldo
dikenakan TGR sebesar Rp60.000.000 dan sesuai kesepakatan akan dicicil selama 5 tahun mulai 20 Januari 20X1
dan agunan berupa sertifikat hak milik atas tanah senilai Rp30.000.000. Dalam perjalanannya bapak Aldo
mencicil kewajibannya sesuai dengan ketentuan.
Bapak Badung
Pada tahun 20X2, karena kasus yang sama yang terjadi pada akhir bulan Juli, dikenakan TGR sebesar
Rp48.000.000 yang akan diangsur selama 4 tahun mulai 1 Agustus 20X2 dan tidak melibatkan agunan. Bapak
Badung tidak pernah mengangsur kewajibannya selama tahun 20X2 dan oleh Satker B telah diberikan surat
penagihan ketiga pada pertengahan Nopember 20X2.
Bapak Cindra
Pada bulan Agustus 20X2 Bapak Cindra menghilangkan laptop kantor dan atas kejadian tersebut dikenakan TGR
Rp7.500.000. Bapak Cindra tidak pernah mencicil utangnya namun dia melunasinya pada bulan Desember 20X2.
Penyelesaian atas kasus ini adalah sebagai berikut:
o Penghitungan penyisihan piutang dengan memperhatikan saldo dan kualitas piutang beserta agunannya.
o Penghitungan penyisihan piutang pada Satker dihitung untuk setiap debitur, bukan dihitung dari total
piutang seperti pada sektor bisnis
o Reklasifikasi dari piutang jangka panjang ke dalam piutang jangka pendek harus dilakukan untuk piutang
yang akan jatuh tempo kurang dari 12 bulan
o Penyisihan piutang tak tertagih yang telah dihitung selanjutnya dialokasikan secara proporsional untuk
piutang jangka panjang dan jangka pendek
o Masing-masing debitur harus dibuatkan Kartu Piutang
o Setelah dilakukan penghitungan untuk masing-masing debitur kemudian dituangkan dalam kartu penyisihan
piutang.
o Selanjutnya setelah didapatkan angka total baik untuk piutang jangka panjang dan jangka pendek maka
dimasukan dalam SAI dengan menggunakan form Jurnal Aset.
Bapak Aldo
Untuk pelaporan tanggal 31 Desember 20X2, penghitungan penyisihan piutang tak tertagih adalah sebagai
berikut:
o Saldo piutang sampai dengan 31 Desember 20X2 adalah Rp36.000.000 yaitu saldo awal piutang Rp60 juta
dikurangi cicilan selama 24 bulan sebesar Rp24.000.000 seperti yang nampak pada kartu piutang bapak Aldo.
o Kualitas piutangnya adalah lancar yang berarti penyisihan piutang tak tertagih yang harus dibentuk adalah
sebesar 5‰ dari saldo piutang setelah dikurangi nilai agunan pada tanggal pelaporan. Penyisihan piutang tak
tertagih untuk piutang Bapak Aldo adalah sebesar Rp60.000 yaitu 5/1000 (36.000.000-30.000.000X80%)
o Reklasifikasi piutang dari jangka panjang menjadi piutang jangka pendek untuk piutang yang jatuh tempo
kurang dari 12 bulan. Dalam hal ini piutang yang perlu direklasifikasi adalah sebesar Rp12.000.000 (12 bulan
X Rp1.000.000) dan sisanya Rp24.000.000 adalah merupakan piutang jangka panjang.
o Selanjutnya alokasikan penyisihan piutang tak tertagih sesuai dengan jumlah piutang jangka panjang dan
jangka pendek yang dimiliki. Untuk Bapak Aldo jumlahnya piutang jangka panjang dan pendeknya adalah
masing-masing sebesar 24 juta dan 12 juta. Alokasi penyisihan piutang tak tertagih jangka panjang dan
Page 97
pendeknya adalah masing-masing sebesar Rp40.000 dan Rp20.000 (60.000X24/36=40.000 dan
60.000X12/36=20.000).
Bapak Badung
Untuk pelaporan tanggal 31 Desember 20X2, penghitungan penyisihan piutang tak tertagih adalah sebagai
berikut:
o Saldo piutang sampai dengan 31 Desember 20X2 adalah Rp32.000.000 yaitu sama seperti saldo awal piutang
karena Bapak Badung tidak pernah mencicil piutangnya seperti yang tampak pada kartu piutang Bapak
Badung.
o Kualitas piutangnya adalah macet karena lebih dari 1 bulan setelah diterbitkan surat penagihan ketiga. Hal
ini berarti penyisihan piutang tak tertagih yang harus dibentuk adalah sebesar 100% dari saldo piutang
setelah dikurangi nilai agunan, yang dalam kasus ini tidak ada anggunan, pada tanggal pelaporan. Penyisihan
piutang tak tertagih untuk piutang Bapak Badung adalah sebesar Rp48.000.000 yaitu 100/100 (48.000.000-
0).
o Reklasifikasi piutang dari jangka panjang menjadi piutang jangka pendek untuk piutang yang jatuh tempo
kurang dari 12 bulan. Piutang jangka panjang dan jangka pendek Bapak Badung adalah sebesar 17 juta dan
31 juta. Dalam hal ini piutang yang perlu direklasifikasi adalah sebesar Rp12.000.000 (12 bulan X
Rp1.000.000) ditambah 5.000.000 piutang sebelumnya dari Agustus sampai dengan Desember yang belum
dilunasi dan sisanya Rp31.000.000 adalah merupakan piutang jangka panjang.
o Selanjutnya alokasikan penyisihan piutang tak tertagih sesuai dengan jumlah piutang jangka panjang dan
jangka pendek yang dimiliki. Untuk Bapak Badung jumlahnya piutang jangka panjang dan pendeknya adalah
masing-masing sebesar 31 juta dan 17 juta. Alokasi penyisihan piutang tak tertagih jangka panjang dan
pendeknya adalah masing-masing sebesar Rp31juta dan Rp17juta (48.000.000X31/48= 31 juta dan
48.000.000X17/48= 17 juta).
Bapak Cindra
Untuk pelaporan tanggal 31 Desember 20X2 tidak perlu dilakukan penyisihan terhadap piutang Bapak Cindra
karena piutang tersebut telah dilunasi sebelum tanggal pelaporan.
Setelah penghitungan penyisihan piutang tak tertagih selesai dilakukan maka nilai tersebut dimasukkan dalam kartu
penyisihan piutang untuk dibuatkan jurnal penyesuaian dalam bentuk form jurnal aset agar piutang yang disajikan
dalam neraca menginformasikan nilai yang dapat direalisasikan. Jurnal untuk mencatat reklasifikasi dan penyisihan
piutang tak tertagih Satker XXYY pada tanggal 31 Desember 20X2 adalah sebagai berikut:
Reklasifikasi Piutang Jangka Panjang
Dr 311311 Bagian Lancar TGR 24.000.000
Cr 113411 Cadangan Piutang 24.000.000
Dr 321311 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya 24.000.000
Cr 151211 Tagihan Tuntutan Ganti Rugi 24.000.000
Mencatat Penyisihan Piutang Tak Tertagih Jangka Pendek
Dr 311311 Cadangan Piutang 17.020.000
Cr 116611
Penyisihan Piutang Tak tertagih- Bagian
Lancar Tuntutan Perbendaharaan/
Tuntutan Ganti Rugi
17.020.000
Page 98
Mencatat Penyisihan Piutang Tak Tertagih Jangka Panjang
Dr 311311 Diinvestasikan Dalam Aset Lainnya 31.040.000
Cr 155211
Penyisihan Piutang Tak Tertagih-
Tagihan Tuntutan Perbendaharaan/
Tuntutan Ganti Rugi
31.040.000
Selanjutnya berdasarkan ayat jurnal diatas akan dibuat Form Jurnal Aset untuk masing-masing ayat jurnal sebagai
media untuk memasukan dalam aplikasi Sistem Akuntansi Instansi. Piutang Satker XXYY akan disajikan dalam neraca
per 31 Desember 20X2 seperti berikut ini.
Satker XXYY
Neraca
Per 31 Desember 20X2
Aset Lancar Kewajiban
Piutang Pajak XXX Kewajiban Jangka Pendek XXX
Piutang PNBP XXX Kewajiban Jangka Panjang XXX
Bag. Lancar Penerusan Pinj. XXX
Bag. Lancar Piutang Tgr 29.000.000
Bag. Lancar TPA XXX
Piutang Lainnya XXX
Penyisihan Piutang Tidak
Tertagih- Piutang Jk. Pendek
(17.020.000)
Piutang Jangka Pendek
Netto
11.980.000 Jumlah Kewajiban XXX
Aset Lainnya
Piutang Penerusan Pinjaman XXX Ekuitas Dana
Tagihan TGR 55.000.000 Ekuitas Dana Lancar
Tagihan Penj. Angsuran XXX Cadangan Piutang 11.980.000
Aset Lain-Lain XXX Ekuitas Dana Investasi
Penyisihan Piutang Tidak
Tertagih- Piutang Jk. Panjang
(31.040.000) Diinvestasikan Dlm Aset
Lainnya
23.960.000
Ekuitas Dana Cadangan XXX
Aset Lainnya Netto 23.960.000 Jumlah Ekuitas Dana 35.940.000
Jumlah Aset 35.940.000 Jumlah Kewajiban dan
Ekuitas Dana
35.940.000
Page 99
Kementerian
Negara/Lembaga : Kementerian XXXXX Jenis Piutang : Tuntutan Ganti Rugi
Eselon I
: Direktorat Jenderal YYYY Nomor
:
01
Wilayah
: Kanwil YYYY DKI Jakarta Nomor Spn : 001/Spn.01/20X1
Satker : Kantor XXYY Tanggal Spn : 20 Januari 20X1
KARTU PIUTANG
Nama
: Aldo Jumlah Piutang
: Rp60.000.000
NIP/NPWP : 197503221993021001 Tanggal Jatuh tempo : 20 Desember 20X4
Alamat
: Kampung Cilik, Jakarta Angsuran per Bulan : Rp1.000.000
Unit Kerja
: Kantor XXYY Mulai mengangsur : 20 Januari 20XX
Kementerian
Negara/Lembaga : Kementerian XXXXX Dasar Penetapan Piutang
No.SK
: 001/KL.06/SK.TGR/20XX
Tanggal SK
: 19 Januari 20X1
Tanggal Keterangan Debet Kredit Saldo
Pindahan
Pindahan saldo piutang tahun
sebelumnya 60.000.0000 12.000.000 48.000.000
20 Januari 20X2 Cicilan ke 13
1.000.000 47.000.000
20 Pebruari 20X2 Cicilan ke 14 1.000.000 46.000.000
20 Mareti 20X2 Cicilan ke 15
1.000.000 45.000.000
20 April 20X2 Cicilan ke 16 1.000.000 44.000.000
20 Mei 20X2 Cicilan ke 17 1.000.000 43.000.000
20 Juni 20X2 Cicilan ke 18 1.000.000 42.000.000
20 Juli 20X2 Cicilan ke 19 1.000.000 41.000.000
20 Agustus 20X2 Cicilan ke 20 1.000.000 40.000.000
20 September 20X2 Cicilan ke 21 1.000.000 39.000.000
20 Oktober 20X2 Cicilan ke 22 1.000.000 38.000.000
20 Nopember 20X2 Cicilan ke 23 1.000.000 37.000.000
20 Desember 20X2
Cicilan ke 24
1.000.000 36.000.000
Page 100
Kementerian
Negara/Lembaga : Kementerian XXXXX Jenis Piutang : Tuntutan Ganti Rugi
Eselon I
: Direktorat Jenderal YYYY Nomor : 02
Wilayah
: Kanwil YYYY DKI Jakarta Nomor Spn : 001/Spn.01/20X2
Satker : Kantor XXYY Tanggal Spn : 31 Juli 20X2
KARTU PIUTANG
Nama
: Badung Jumlah Piutang : Rp48.000.000
NIP/NPWP
: 197704231993021001 Tanggal Jatuh tempo : 01 Agustus 20X2
Alamat
: Kampung Gede, Jakarta Angsuran per Bulan : Rp1.000.000
Unit Kerja
: Kantor XXYY Mulai mengangsur :
Kementerian
Negara/Lembaga : Kementerian XXXXX Dasar Penetapan Piutang
No.SK
: 002/KL.06/SK.TGR/20X2
Tanggal SK
: 31 Juli 20X2
Tanggal Keterangan Debet Kredit Saldo
Saldo awal Piutang 48.000.0000 48.000.000
Page 101
Kementerian Negara : Kementerian XXXXX
Jenis
Piutang : Tuntutan Ganti Rugi
Eselon I
: Direktorat Jenderal YYYY Nomor : 03
Wilayah
: Kanwil YYYY DKI Jakarta Nomor Spn : 001/Spn.01/20X2
Satker : Kantor XXYY Tanggal Spn : 31 Juli 20X2
KARTU PIUTANG
Nama
: Cindra Jumlah Piutang : Rp7.500.000
NIP/NPWP
: 198206241993021001 Tanggal Jatuh tempo : 15 Agustus 20X2
Alamat
: Kampung Kampung, Jakarta Angsuran per Bulan : Rp750.000
Unit Kerja
: Kantor XXYY Mulai mengangsur :
Kementerian
Negara/Lembaga : Kementerian XXXXX Dasar Penetapan Piutang
No.SK
: 003/KL.06/SK.TGR/20X2
Tanggal SK
: 14Agustus 20X2
Tanggal Keterangan Debet Kredit Saldo
Saldo awal Piutang 7.500.0000 7.500.000
20 Desember 20X2 Pelunasan Piutang
7.500.000 0
Page 102
Kementerian: Kementerian XXXXX
Eselon I: Ditjen YYYY
Wilayah: DKI Jakarta
Satker: Kantor XXYYY
KARTU PENYISIHAN PIUTANG TIDAK TERTAGIH
PER 31 Desember 20X2
Jenis Piutang
: TGR
No. Nama
Debitur No & Tanggal SPn
Saldo
Piutang
(Rp)
Agunan/Barang Sitaan
Kualitas
Piutang
Jumlah Penyisihan Piutang Tidak
Tertagih
Keterangan Bentuk
Agunan/Sitaan
Nilai
Agunan/Sitaan
(Rp)
Nilai
Agunan/Sitaan
yang
diperhitungkan
(Rp)
Saldo
Piutang
setelah
Agunan/
Sitaan
(RP)
Prosentase
Penyisihan
(%)
Jumlah
Penyisihan
Piutang
(Rp)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9=4-7) (10) (11=9x10) (12)
1 Aldo 001/Spn.01/20X1
20 Januari 20X1 36.000.000 Sertifikat SHM 30.000.000 24.000.000 Lancar 12.000.000 5 ‰ 60.000
2 Badung 002/Spn.01/ 20X2
31 Juli 20X2 48.000.000 - - - Macet 48.000.000 100% 48.000.000
3 Cindra 001/Spn.01/ 20X2
31 Juli 20X2 0 - - - - - - - Lunas
JUMLAH 48.600.000
Mengetahui:
KPA
Petugas Unit
Pembukuan
Piutang PNBP,
Gayusa
Yagusa
NIP.0858500000
NIP. 085800001
Page 103
FORMULIR JURNAL ASET
Kementerian/Lembaga : XXXX No. Dokumen : 001
Eselon I : YYYY Tanggal : 31 Desember 20X2
Wilayah : Kanwil YYYY DKI Jakarta Tahun Anggaran : 20X2
Kode Satker : XXYY
Jenis Jurnal Aset (8)
Kas di Bendaharawan Penerima
Kas di Bendaharawan Pembayar
X Piutang
Persediaan
Aset Tetap
Aset Lainnya
No Kode Perkiraan Uraian Nama Perkiraan Rupiah
Debet Kredit
1 311311 Bagian Lancar TGR 24.000.000
2 113411 Cadangan Piutang 24.000.000
Dibuat Oleh: Wakhid
Disetujui oleh: Muslim
Direkam oleh: Rizol
Tanggal : 311220X2
Tanggal :31-12-20X2
Tanggal:31-12-20X2
Page 104
FORMULIR JURNAL ASET
Kementerian/Lembaga : XXXX No. Dokumen : 001
Eselon I : YYYY Tanggal : 31 Desember 20X2
Wilayah : Kanwil YYYY DKI Jakarta Tahun Anggaran : 20X2
Kode Satker : XXYY
Jenis Jurnal Aset (8)
Kas di Bendaharawan Penerima
Kas di Bendaharawan Pembayar
X Piutang
Persediaan
Aset Tetap
Aset Lainnya
No Kode Perkiraan Uraian Nama Perkiraan Rupiah
Debet Kredit
1 321311 Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Lainnya 24.000.000
2 151211 Tagihan Tuntutan Ganti Rugi 24.000.000
Dibuat Oleh: Wakhid
Disetujui oleh: Muslim
Direkam oleh: Rizol
Tanggal : 311220X2 Tanggal :31-12-20X2
Tanggal:31-12-20X2
Page 105
FORMULIR JURNAL ASET
Kementerian/Lembaga : XXXX No. Dokumen : 001
Eselon I : YYYY Tanggal : 31 Desember 20X2
Wilayah : Kanwil YYYY DKI Jakarta Tahun Anggaran : 20X2
Kode Satker : XXYY
Jenis Jurnal Aset (8)
Kas di Bendaharawan Penerima
Kas di Bendaharawan Pembayar
X Piutang
Persediaan
Aset Tetap
Aset Lainnya
No Kode Perkiraan Uraian Nama Perkiraan Rupiah
Debet Kredit
1 311311 Cadangan Piutang 17.020.000
2 151211 Penyisihan Piutang Tak Tertagih- Bagian Lancar Tuntutan
Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi 17.020.000
Dibuat Oleh: Wakhid
Disetujui oleh: Muslim
Direkam oleh: Rizol
Tanggal : 311220X2
Tanggal :31-12-20X2
Tanggal:31-12-20X2
Page 106
FORMULIR JURNAL ASET
Kementerian/Lembaga : XXXX No. Dokumen : 001
Eselon I : YYYY Tanggal : 31 Desember 20X2
Wilayah : Kanwil YYYY DKI Jakarta Tahun Anggaran : 20X2
Kode Satker : XXYY
Jenis Jurnal Aset (8)
Kas di Bendaharawan Penerima
Kas di Bendaharawan Pembayar
X Piutang
Persediaan
Aset Tetap
Aset Lainnya
No Kode Perkiraan Uraian Nama Perkiraan Rupiah
Debet Kredit
1 311311 Diinvestasikan Dalam Aset Tetap Lainnya 31.040.000
2 155211 Penyisihan Piutang Tak tertagih- Tagihan Tuntutan
Perbendaharaan/TGR 31.040.000
Dibuat Oleh: Wakhid
Disetujui oleh: Muslim
Direkam oleh: Rizol
Tanggal : 311220X2 Tanggal :31-12-20X2
Tanggal:31-12-20X2
Page 107
REFERENSI
1. Kementerian Keuangan, Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum, Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan
Piutang Tak Tertagih,
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2010/201~PMK.06~2010Per.HTM
2. Direktorat Jenderal Perbendahara-an, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: Per-82/PB/2011
tentang pedoman Akuntansi Penyisihan Piutang Tak Tertagih Pada Kementerian Negara/Lembaga,
ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/peraturan/perdirjen/2011/per_85_pb_2011.pdf
3. Direktorat Jenderal Perbendahara-an, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: Per-85 /PB/2011
tentang Penatausahaan Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Satuan Kerja Kementerian
Negara/Lembaga, ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/peraturan/perdirjen/2011/per_85_pb_2011.pdf
4. Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, Buletin Teknis Nomor 06 Tentang Akuntansi Piutang,
http://www.ksap.org/Buletin/BULTEK06.pdf
5. KIESO, WARFIELD, WEYGANDT, 2012, Intermediate Accounting, 14 Edition, Florida,US John Wiley & Sons,Inc.
Page 108
PENGESAHAN PENERIMAAN HIBAH LANGSUNG BENTUK UANG
Oleh: Fitra Riadian
(Dimuat pada Panduan Teknis APP Edisi 11 Tahun 2012)
I. PENDAHULUAN
Adakalanya suatu Satuan Kerja (Satker) di Kementerian Negara/Lembaga (K/L) menerima hibah langsung dari
pemberi hibah (Donor). Yang dimaksud dengan “langsung” adalah Satker menerima hibah langsung dari donor, tidak
melalui Kas Negara (KPPN). Donor dapat memberi hibah dalam bentuk uang, barang, jasa atau surat berharga. Dalam
artikel ini hanya dibahas mengenai penerimaan hibah yang diterima langsung oleh K/L dalam bentuk uang saja.
Syarat suatu Satker dapat menerima Hibah Langsung terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 2011
tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, yaitu di bagian Penjelasan Pasal 48 ayat
(3).
Pengertian Hibah Langsung Uang
Jenis Penerimaan Hibah
Penerimaan Hibah
Terencana
Langsung
Uang
Barang/Jasa/
Surat Berharga
Page 109
II. TAHAP PENGESAHAN HIBAH LANGSUNG
Satker menerima hibah dalam bentuk uang langsung dari donor. Uang yang diterima dari donor tersebut tidak
disetor ke kas negara, tetapi ditampung dalam rekening hibah. Satker langsung membelanjakan uang yang diterima
dari donor tersebut untuk membiayai kegiatan Satker tersebut atau membiayai kegiatan yang terdapat dalam
perjanjian hibah.
Atas penerimaan hibah langsung tersebut, Satker harus mengesahkan dan mengakuntansikan transaksi
penerimaan dan penggunaan hibah langsung tersebut. Tahapan dalam mengesahkan hibah langsung bentuk uang
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.191/PMK.05/2011 tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah
sebagai berikut:
1. Pengajuan Permohonan nomor register;
2. Pengajuan persetujuan pembukaan Rekening Hibah;
3. Penyesuaian pagu hibah dalam DIPA (Revisi DIPA); dan
4. Pengesahan ke KPPN.
Tahapan Pengesahan Hibah Langsung Bentuk Uang
Pengesahan hibah langsung yang dibahas disini tidak berlaku untuk Satker Badan Layanan Umum (BLU),
karena berdasarkan PP No.23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, apabila suatu BLU menerima hibah
maka diperlakukan/diakui sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP akun 424xxx) Satker BLU tersebut,
bukan diperlakukan/diakui sebagai penerimaan hibah ( akun 43xxxx).
1. Register Hibah
Setiap penerimaan hibah yang diterima langsung oleh Satker harus dituangkan dalam suatu dokumen
perjanjian hibah. Dokumen perjanjian hibah dapat berupa suatu dokumen yang lengkap dan mendetail yang berisi
siapa pemberi dan penerima hibah, berapa yang akan dihibahkan, bentuk hibah dan ketentuan-ketentuan lainnya,
misalnya tujuan pemberian hibah dan perlakuan atas sisa hibah, atau dapat berupa suatu dokumen yang sederhana
yang hanya memuat siapa pemberi dan penerima hibah dan berapa yang akan dihibahkan.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 Pasal 38 ayat (1), dinyatakan bahwa Menteri Keuangan dapat menunjuk
pejabat yang diberi kuasa atas nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang negara atau menerima hibah yang
berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dengan Undang-
Page 110
undang APBN. Pada pelaksanaannya, Menteri Keuangan menunjuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU)
sebagai kuasa untuk menerima hibah. Dengan demikian, semua perjanjian hibah antara donor dengan Satker/K/L
harus didaftarkan/diregister ke DJPU.
Satker/K/L membuat permohonan register hibah dan kemudian DJPU menerbitkan Nomor Register Hibah. Satu
Perjanjian Hibah mendapat satu Nomor Register Hibah yang berlaku sampai dengan seluruh kegiatan selesai (dapat
berlaku lewat tahun anggaran/multiyears). Apabila donor memberi hibah kepada suatu Satker lebih dari satu kali
dan dibuat dalam perjanjian hibah yang terpisah, maka Satker/K/L harus meregister semua perjanjian tersebut, dan
akan mendapat beberapa nomor register juga.
Dalam surat pemberian Nomor Register Hibah, selain mencantumkan Nomor Register Hibah juga
mencantumkan nilai perjanjian hibah. Dengan terbitnya Nomor Register Hibah, maka perjanjian hibah tersebut telah
tercatat dan dapat dilanjutkan ke proses berikutnya. Syarat pengajuan Register Hibah dan format Surat Permohonan
Register juga terdapat dalam PMK No.191/PMK.05/2011. Pada tahapan ini belum ada pencatatan akuntansi atas
penerimaan hibah.
2. Rekening Hibah
Dengan adanya perjanjian hibah dalam bentuk uang, maka Satker akan menerima sejumlah uang dari donor.
Uang dari donor tersebut pada hakekatnya adalah uang negara yang harus ditampung dalam rekening tersendiri
(tidak ditampung dalam Rekening Bendahara Pengeluaran/Penerimaan) yaitu Rekening Hibah.
Rekening Hibah adalah bagian dari Rekening Pemerintah Lainnya sehingga Satker/K/L harus mengajukan
permohonan persetujuan pembukaan rekening hibah kepada Kementerian Keuangan, yaitu kepada Ditjen
Perbendaharaan, cq. Direktur Pengelolaan Kas Negara.
Satu perjanjian hibah/Nomor Register hibah ditampung dalam satu nomor rekening hibah. Apabila suatu
Satker mendapat beberapa perjanjian hibah, maka harus meregister beberapa perjanjian hibah tersebut dan
membuka beberapa rekening hibah juga. Rekening Hibah ini dikelola oleh Bendahara Pengeluaran yang dapat
dibantu oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Satker/K/L dapat terlebih dahulu membuka rekening hibah dan menggunakan/membelanjakan uang hibah
tersebut sebelum persetujuan pembukaan rekening hibah diterbitkan, namun tetap harus mengajukan permohonan
persetujuan pembukaan rekening hibah kepada Kementerian Keuangan. Format dan lampiran permohonan
persetujuan pembukaan rekening hibah sesuai dengan PMK No.57/PMK.05/2007.
3. Revisi DIPA
Selanjutnya, setelah menerima uang dari hibah, Satker akan membelanjakan uang dari hibah tersebut. Karena
uang dari hibah merupakan uang Negara, maka penggunaan uang hibah merupakan pengeluaran negara. Dalam UU
No.17 Tahun 2003 Pasal 3 ayat 5, dinyatakan bahwa semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang
menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. Dengan
demikian penggunaan uang hibah harus dimasukkan dalam APBN juga, yaitu dalam bentuk Revisi DIPA Satker yang
bersangkutan.
Revisi DIPA bersifat on-top yaitu menambah pagu DIPA semula. Pagu yang direvisi adalah Pagu Belanja saja.
Satker tidak merevisi Pagu Pendapatan Hibah. Instansi yang melakukan Revisi Pagu Pendapatan hibah adalah DJPU
selaku BUN Pengelola Hibah (BA.999.02).
Page 111
Untuk Satker Pusat, revisi DIPA dalam rangka hibah langsung diajukan ke Direktorat Pelaksanaan Anggaran,
Ditjen Perbendaharaan. Untuk Satker Daerah, revisi DIPA dalam rangka hibah langsung diajukan ke Kanwil Ditjen
Perbendaharaan setempat.
Jumlah pagu Belanja yang direvisi adalah sebesar jumlah yang direncanakan akan dilaksanakan dalam satu
tahun anggaran tersebut, setinggi-tingginya sebesar Perjanjian Hibah. Misalnya, dalam Perjanjian Hibah dinyatakan
akan memberikan hibah sebesar Rp10 Miliar. Satker membuat perencanaan pelaksanaan kegiatan dari hibah
tersebut dan diperkirakan dalam tahun anggaran berjalan hanya akan menggunakan sebesar Rp7 Miliar dan sisanya
sebesar Rp 3 Miliar baru dilaksanakan pada tahun anggaran berikutnya. Dari contoh kasus diatas, maka Satker
tersebut pada tahun anggaran berjalan cukup mengajukan revisi DIPA sebesar Rp7 Miliar saja.
Kode Fungsi, Sub Fungsi, Kegiatan dan Output yang digunakan sebaiknya menggunakan kode Fungsi, Sub
Fungsi, Kegiatan dan Output yang sudah ada di DIPA Satker tersebut, dipilih yang paling sesuai dengan kegiatan yang
dilaksanakan. Apabila menggunakan kode Fungsi, Sub Fungsi, Kegiatan dan Output yang baru, maka pengajuan
Revisi DIPA harus melalui Direktorat Jenderal Anggaran terlebih dahulu.
Kode akun yang digunakan adalah kode akun belanja yang sesuai dengan kegiatannya sebagaimana
penyusunan RKAKL/DIPA pada umumnya. Misalnya, apabila kegiatannya untuk pengadaan kendaraan operasional,
maka menggunakan akun belanja modal peralatan dan mesin (akun 532111). Satker/K/L dapat terlebih dahulu
membelanjakan uang hibah tersebut sebelum proses revisi DIPA diterbitkan, namun tetap harus mengajukan revisi
DIPA kepada Kementerian Keuangan.
4. Pengesahan ke KPPN
Tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan/realisasi perjanjian hibah tersebut. Atas realisasi perjanjian hibah
tersebut harus dilakukan pengesahan ke KPPN. Pengesahan ke KPPN menggunakan dokumen SP2HL (Surat Perintah
Pengesahan Hibah Langsung) yang dibuat dengan menggunakan Aplikasi SPM. Berdasarkan SP2HL, KPPN akan
menerbitkan SPHL (Surat Pengesahan Hibah Langsung). Berikut adalah contoh format SP2HL:
Page 112
KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA …(1)
SURAT PERINTAH PENGESAHAN HIBAH LANGSUNG
Tanggal : ………… (2) Nomor : ………… (3)
Kuasa Bendahara Umum Negara, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara ……. 4)
Agar melakukan pengesahan sejumlah :
Saldo awal
Pendapatan Hibah
Rp………………..
Rp………………..
(5)
(6)
Belanja dari Hibah Rp……………….. (7)
Saldo akhir Rp……………….. (8)
Untuk Periode Triwulan : ................(9) Tahun Anggaran : ………….. (10)
Dasar Pengesahan :
....... (11)
Satker
xxxxxx
Kewenangan
xx
Nama Satker
xxxxxxxxxxxx..(12)
Sumber Dana/Cara Penarikan
Nomor Register
: xx/xx (15)
: xxxxxxx (16)
BELANJA PENDAPATAN
Akun Jumlah Uang BA/Unit Eselon I /Lokasi/Akun/
Satker Jumlah Uang
xxxxxx .. (17) ………(18)
(20)
999.02.01.51.431xxx. 977263
………………..(21)
Jumlah Belanja …………(19) Jumlah Pendapatan ………………. (22)
Kepada : Bendahara Umum Negara untuk dibukukan seperlunya
Yaitu : ................................................................................................................... (23)
……….. Tanggal seperti di atas (24)
A.n Kuasa Pengguna Anggaran
Pejabat Penandatangan SPM
….(25)
……………………………………………………….
NIP/NRP ………………………………….(26)
* seluruh penerimaan dalam mata uang asing dicantumkan sebesar ekuivalen rupiah
Fungsi, Subfungsi, BA, Unit Eselon I, Program
xx.xx.xxx.xx.xx (13)
Kegiatan, Output, Lokasi, Jenis Belanja
xxxxxx.xx.xx.xx.xx (14)
Page 113
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT PERINTAH PENGESAHAN HIBAH LANGSUNG (SP2HL)
NOMOR URAIAN ISIAN
(1) Diisi uraian Kementerian Negara/Lembaga
(2) Diisi tanggal diterbitkan SP2HL
(3) Diisi nomor SP2HL
(4) Diisi uraian KPPN yang melakukan pengesahan, diikuti kode KPPN
(5) Diisi saldo awal hibah langsung
(6) Diisi jumlah pendapatan hibah langsung yang telah diterima. Untuk hibah langsung dalam bentuk
selain uang diisi sebesar nilainya.
(7) Diisi jumlah belanja yang bersumber dari Hibah Langsung. Untuk hibah langsung dalam bentuk selain
uang diisi sebesar nilainya.
(8) Diisi selisih antara pendapatan hibah dengan belanja dari hibah
(9) Diisi periode triwulan
(10) Diisi Tahun Anggaran
(11) Diisi dasar diterbitkannya SP2HL, misalnya: Nomor UU APBN, nomor dan tanggal DIPA, atau dokumen
penerimaan dan pengeluaran lainnya
(12) Diisi kode Satker (6 digit), kode 2 digit kewenangan, serta nama Satker penerima hibah
(13) Di isi Kode akun
(14) Diisi jenis Kegiatan, Output, Lokasi, Jenis Belanja
(15) Diisi sumber dana dan cara penarikan
(16) Diisi nomor register
(17) Diisi akun belanja
(18) Diisi jumlah rupiah masing-masing akun belanja
(19) Diisi total rupiah jumlah belanja yang bersumber dari HLLN Uang dan/atau HLDN Uang
(20) Diisi kode akun pendapatan untuk Bagian Anggaran 999.02
(21) Diisi jumlah rupiah masing-masing akun pendapatan hibah
(22) Diisi total rupiah jumlah pendapatan HLLN Uang dan/atau HLDN Uang
(23) Diisi uraian keperluan pengesahan
(24) Diisi tanggal diterbitkan SP2HL (sama seperti pada poin 2)
(25) Diisi tanda tangan Pejabat Penandatangan SPM
(26) Diisi nama dan NIP/NRP Pejabat Penandatangan SPM
Dalam pelaksanaan hibah langsung bentuk uang, ada 2 (dua) transaksi yang terjadi, yaitu transaksi penerimaan
hibah dan transaksi belanja yang dibiayai dari hibah. Berdasarkan PMK Nomor: 230/PMK.05/2011 tentang Sistem
Akuntansi Hibah, yang mencatat/membukukan transaksi penerimaan hibah adalah Pembantu Bendahara Umum
Negara (P-BUN) Pengelola Hibah dengan kode Bagian Anggaran 999.02. Dengan demikian transaksi penerimaan
hibah akan dibukukan oleh DJPU selaku BA.999.02, sedangkan transaksi belanja dibukukan oleh Satker. Hal diatas
sama dengan apabila Satker menerbitkan SPM-LS belanja modal yang didalamnya terdapat potongan PPh & PPN.
Satker hanya membukukan transaksi belanjanya saja, sedangkan yang membukukan penerimaan/potongan
PPh/PPNnya dalah Kantor Pelayanan Pajak/Ditjen Pajak Kementerian Keuangan selaku BA.015.04.
Page 114
Pengesahan ke KPPN melalui penerbitan SP2HL dilakukan atas realisasi kedua transaksi tersebut, bukan atas
nilai pada register hibah atau nilai pada pagu revisi DIPA. Misalnya, Perjanjian Hibah sebesar Rp10 Miliar, maka
dalam register hibah akan tercatat sebesar Rp10 Miliar juga. Kemudian Satker merencanakan dalam tahun anggaran
berjalan hanya akan menggunakan sebesar Rp7 Miliar, maka revisi DIPA yang diajukan adalah sebesar Rp7 Miliar
juga. Ternyata realisasi penerimaan hibah tahun berjalan adalah sebesar Rp8 Miliar, sedangkan realisasi belanja dari
hibah adalah sebesar Rp6 Miliar, maka pengesahan yang diajukan ke KPPN adalah penerimaan hibah sebesar Rp8
Miliar dan pengesahan belanja sebesar Rp6 Miliar.
Dari transaksi Penerimaan Hibah dan Belanja diatas, terdapat transaksi ikutan yang harus dicatat juga, yaitu
transaksi realisasi penerimaan dan pengeluaran kas. Karena yang memegang uang kas adalah Satker, maka yang
mencatat/membukukan kas tersebut adalah Satker. Pencatatan kas tersebut dengan menggunakan akun 111822
(Kas Lainnya di K/L dari Hibah) dengan akun lawannya 311911 (Ekuitas Dana Lancar Lainnya dari Hibah Langsung).
Untuk mencatat transaksi ikutan penerimaan dan pengeluaran kas, pada bagian atas SP2HL terdapat kolom
pencatatan kas yang terdiri dari isian Saldo Awal, Pendapatan Hibah, Belanja Terkait Hibah, dan Saldo Akhir. Format
perhitungannya adalah Saldo Awal (+) Pendapatan Hibah (-) Belanja Terkait Hibah (=) Saldo Akhir.
Dengan menggunakan contoh diatas, maka pengisian kolom pencatatan kas adalah sebagai berikut:
Saldo Awal : Rp 0,-
Pendapatan Hibah : Rp8.000.000.000,-
Belanja Terkait Hibah: Rp6.000.000.000,-
Saldo Akhir : Rp2.000.000.000,-
Pada SP2HL berikutnya, baik pada tahun anggaran yang sama maupun pada tahun anggaran berikutnya,
Jumlah Saldo akhir (Rp2 Miliar) akan menjadi Jumlah Saldo Awal. Saat pengajuan pengesahan hibah diatur dalam
Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 81/PB/2011 tentang Tata Cara Pengesahan Hibah Langsung Bentuk Uang
dan Penyampaian Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga adalah minimal 1 (satu)
kali dalam satu tahun.
III. PELAPORAN HIBAH LANGSUNG UANG PADA SATKER
Atas transaksi hibah langsung bentuk uang, akan berpengaruh pada Laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan
Catatan atas Laporan Keuangan sebagai berikut:
1. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
Pagu pada LRA Belanja akan bertambah dengan adanya Revisi DIPA terkait hibah. Realisasi LRA Belanja akan
bertambah dengan adanya Realisasi Belanja dari hibah. Dengan menggunakan contoh diatas, maka Pagu pada LRA
Belanja bertambah Rp8 Miliar, sedangkan Realisasi LRA Belanja bertambah Rp6 Miliar.
2. Neraca
Pos yang dapat terpengaruh oleh transaksi hibah langsung bentuk uang adalah pos Aset Lancar dengan pos
lawannya yaitu pos Ekuitas Dana Lancar, pos Aset Tetap dan pos Aset Lainnya dengan pos lawannya yaitu pos Ekuitas
Dana Investasi.
Pada pos Aset Lancar yang terpengaruh adalah:
Pos “Kas Lainnya dan Setara Kas”
Apabila terdapat Saldo Uang hibah maka akan tercatat pada akun 111822 (Kas Lainnya di K/L dari Hibah). Pada
Neraca akun ini akan muncul pada pos “Kas Lainnya dan Setara Kas”. Dengan menggunakan contoh diatas, maka
pos ini akan bersaldo Rp2 Miliar.
Page 115
Pos “Persediaan”
Apabila dari realisasi belanja terdapat sebagian yang dipergunakan untuk memperoleh persediaan dan hingga
penyusunan Laporan Keuangan persediaan tersebut masih terdapat saldo, maka saldonya akan tercatat sebagai
penambah pos persediaan.
Pos “Aset Tetap” dan “Aset Lainnya”
Apabila dari realisasi belanja terdapat sebagian yang dipergunakan untuk pengadaan Aset Tetap (misalnya
pembangunan gedung atau perolehan peralatan dan mesin) atau Aset Lainnya (misalnya perolehan aset tidak
berwujud), maka saldonya akan tercatat sebagai penambah pos Aset Tetap dan Aset Lainnya.
3. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)
Transaksi hibah langsung agar diungkapkan secara memadai dalam CaLK. Informasi yang diungkapkan antara
lain mengenai perjanjian hibah langsung, siapa pemberi hibah, berapa perjanjian hibahnya, nomor register hibah,
nomor rekening hibah, realisasi penerimaan hibah dan realisasi belanja yang bersumber dari hibah serta saldo kas
dari hibah (bila ada).
IV. PERLAKUAN TERHADAP SISA/SALDO KAS DARI HIBAH
Dalam transaksi hibah langsung bentuk uang, terkadang menghasilkan sisa uang yang terdapat pada rekening
hibah. Misalnya, donor memberi uang hibah sebesar Rp100 juta dengan perjanjian untuk membeli 1 (satu) unit
kendaraan operasional. Ternyata dalam membeli kendaraan operasional tersebut hanya menghabiskan uang sebesar
Rp90 Juta. Berarti terdapat sisa uang hibah, baik di rekening maupun di pembukuan Satker.
Terdapat dua perlakuan terhadap saldo uang hibah tersebut sebagai berikut:
1. Dalam perjanjian hibah dinyatakan apabila terdapat sisa uang hibah agar dikembalikan kepada Donor. Dengan
menggunakan contoh diatas, maka sisa uang sebesar Rp10 Juta ditransfer ke donor.
2. Apabila dalam perjanjian hibah tidak disebutkan perlakuan terhadap sisa uang hibah, maka sisa uang hibah
harus disetor ke Kas Negara.
Dengan menggunakan contoh diatas, maka sisa uang sebesar Rp10 Juta disetor ke Kas Negara melalui Bank Persepsi
dengan menggunakan formulir SSBP.
Berikut apa saja yang dilakukan oleh Satker terhadap saldo uang hibah tersebut.
1. Sisa Uang Hibah Dikembalikan Kepada Donor.
Transaksi pengembalian sisa uang hibah kepada donor harus dilakukan pengesahan ke KPPN dengan
menggunakan dokumen SP4HL (Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung) yang dibuat
dengan menggunakan Aplikasi SPM. Berdasarkan SP4HL, KPPN akan menerbitkan SP3HL (Surat Pengesahan
Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung). Berikut ini adalah contoh format SP4HL:
Page 116
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT PERINTAH PENGESAHAN PENGEMBALIAN PENDAPATAN HIBAH LANGSUNG (SP4HL)
Kuasa Bendahara Umum Negara, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara ……… (04)
Agar mengesahkan pengembalian pendapatan hibah sejumlah :
1. Saldo Sisa Rp. …………… (05)
2. Pengembalian Pendapatan Hibah Rp. …………… (06)
3. Saldo Akhir Rp. …………… (07)
Tahun ……… (08)
Dasar Pengesahan : Satker Kewenangan Nama Satker
……. (09) xxxxxx xx xxxxxxxxxxx (10)
Fungsi, Subfungsi, BA, Unit Eselon I, Program
xx.xx.xxx.xx.xx (11)
Kegiatan, Output, Lokasi, Jenis Belanja
xxxxxx xx xx.xx xx (12)
Sumber Dana/Cara Penarikan : xx/xx (13)
Nomor Register : xxxxxxx (14)
Kepada : Bendahara Umum Negara untuk dibukukan seperlunya
Yaitu : Pengembalian Hibah Langsung kepada Donor, sesuai Bukti Setor Tgl..
………………………………………………………………………………………………(18)
……….. Tanggal seperti di atas (19)
a.n. Kuasa Pengguna Anggaran
Pejabat Penandatangan SPM
….(20)
……………………………………………………….
NIP/NRP ………………………………….(21)
…………. (17)Jumlah Pengembalian
KEMENTERIAN/LEMBAGA ……………(01)
SURAT PERINTAH PENGESAHAN PENGEMBALIAN HIBAH LANGSUNGTanggal : …. (02) Nomor …. (03)
BA/Unit Eselon I
/Lokasi/Akun/Satker
(15) utk pengembalian t.a. berjalan
999.02.01.51.431xxx. 977263
untuk pengembalian t.a.y.l.
xxx.xx.xx.xx.311911.xxxxxx
Jumlah Uang
……. (16)
PENGEMBALIAN PENDAPATAN HIBAH LANGSUNG
Page 117
NOMOR URAIAN ISIAN
(1) Diisi uraian Kementerian Negara/Lembaga
(2) Diisi tanggal diterbitkan SP3HL
(3) Diisi nomor SP3HL
(4) Diisi uraian KPPN yang melakukan pengesahan, diikuti kode KPPN
(5) Diisi saldo awal HLLN/HLDN Uang
(6) Diisi jumlah Pengembalian Pendapatan Hibah
(7) Diisi selisih antara penerimaan dengan pengeluaran
(8) Diisi Tahun Anggaran
(9) Diisi dasar diterbitkannya SP2HL, misalnya: Nomor UU APBN, nomor dan
tanggal DIPA, atau dokumen penerimaan dan pengeluaran lainnya
(10) Diisi kode Satker (6 digit), kode 2 digit kewenangan, serta nama Satker
penerima hibah
(11) Di isi Kode Fungsi, Subfungsi, BA, Unit Eselon 1, dan Program
(12) Diisi jenis Kegiatan, Output, Lokasi, Jenis Belanja
(13) Diisi sumber dana dan cara penarikan
(14) Diisi nomor register
(15) Diisi akun belanja
(16) Diisi jumlah rupiah masing-masing akun belanja
(17) Diisi total rupiah jumlah belanja yang bersumber dari HLLN/HLDN Uang
(18) Diisi uraian keperluan pengesahan meliputi bukti setor kepada……, melalui
Bank.., tanggal…., nomor……….
(19) Diisi tanggal diterbitkan SP3HL (sama seperti pada poin 2)
(20) Diisi tanda tangan Pejabat Penandatangan SPM
(21) Diisi nama dan NIP/NRP Pejabat Penandatangan SPM
Pengembalian sisa uang hibah kepada donor dapat dilakukan pada tahun saat yang sama dengan tahun
penerimaan hibah atau dilakukan pada tahun berikutnya yang masing-masing akan diperlakukan secara berbeda
sebagai berikut:
Tahun Yang Sama Dengan Penerimaan Hibahnya
Pengembalian sisa uang hibah kepada donor di tahun yang sama dengan penerimaan hibahnya berarti mengurangi
penerimaan/pendapatan hibah tahun tersebut dan mengurangi/menihilkan saldo kas di K/L dari hibah.
Untuk memudahkan menjelaskan perlakuan pengembalian sisa uang hibah kepada donor ini dengan menggunakan
contoh sebagai berikut:
Misalnya, hibah diterima pada tahun 2012 sebesar Rp100 Juta, kemudian dibelanjakan sebesar Rp90 Juta sehingga
terdapat sisa uang hibah sebesar Rp10 Juta, kemudian sisa uang hibah tersebut ditransfer ke donor pada tahun 2012
juga.
Sebelum sisa uang hibah dikembalikan kepada donor, Satker telah menerbitkan SP2HL yaitu mengesahkan
pendapatan hibah sebesar Rp100 juta dan mengesahkan belanja yang bersumber dari hibah sebesar Rp90 juta, dan
mencatat saldo kas di K/L dari hibah sebesar Rp10 Juta.
Page 118
Setelah mentransfer sisa uang hibah kepada donor, Satker mengesahkan ke KPPN dengan menerbitkan SP4HL.
Dalam SP4HL yang disahkan adalah transaksi pengurangan pendapatan hibah yang akan dibukukan oleh DJPU selaku
BA.999.02 dan mencatat transaksi ikutannya, yaitu mengurangi saldo Kas di K/L dari Hibah.
Dengan contoh diatas, untuk mengesahkan pengembalian pendapatan hibah, pada kolom Pengembalian
Pendapatan Hibah Langsung diisi BA.999.02 dengan kode akun sama dengan kode akun pendapatan pada saat
penerbitan SP2HL, sedangkan Jumlah Uangnya adalah sebesar Rp10 Juta.
Sedangkan untuk mencatat transfer uang kepada donor, maka pada kolom pencatatan kas, diisi sebagai
berikut:
Sisa Hibah : Rp10.000.000,-
Pengembalian
Pendapatan Hibah : Rp10.000.000,-
Saldo Akhir : Rp0,-
Transaksi pengurangan penerimaan hibah akan dibukukan oleh DJPU selaku BA.999.02, sedangkan transaksi
pengurangan/penihilan saldo kas di K/L dari hibah dibukukan oleh Satker.
Setelah terbit SP4HL, maka DJPU selaku BA.999.02 akan mencatat Pendapatan hibah Rp100 juta (dari SP2HL)
dan mencatat pengurangan hibah sebesar Rp10 juta (dari SP4HL), sehingga pada Laporan Realisasi Pendapatan
Hibah oleh DJPU akan dilaporkan sebesar Rp90 Juta. Sedangkan pada Satker, dari SP2HL mencatat saldo kas sebesar
Rp10 Juta, dengan terbit SP4HL mengurangi saldo kas sebesar Rp10 juta, sehingga saldo akhir kas hibah menjadi
Nihil.
Alternatif Lain
Apabila Satker sudah tahu akan mengembalikan sisa uang hibah kepada donor, maka alternatif lain
pengesahannya adalah pada saat menerbitkan SP2HL, mengesahkan penerimaan/pendapatan hibah sebesar
nettonya saja (pendapatan hibah dikurangi dengan pengembalian hibahnya), sehingga Satker tidak perlu
menerbitkan SP4HL.
Menggunakan contoh diatas, maka setelah Satker mentransfer sisa uang hibah kepada donor, baru
menerbitkan SP2HL dengan kolom penerimaan/pendapatan sebesar Rp90 Juta dan kolom belanja sebesar Rp90 juta
juga. Sedangkan pada kolom pencatatan Kas adalah sebagai berikut:
Saldo Awal : Rp0,-
Pendapatan Hibah : Rp90.000.000,-
Belanja Terkait Hibah : Rp90.000.000,-
Saldo Akhir : Rp0,-
Apabila Satker menggunakan alternatif ini, dalam CaLK harus diungkapkan penerimaan hibah adalah sebesar Rp100
Juta dan dikembalikan ke donor sebesar Rp10 juta, netto penerimaan hibah sebesar Rp90 Juta.
Tahun Berikutnya Setelah Tahun Penerimaan Hibahnya
Pengembalian sisa uang hibah kepada donor di tahun berikutnya setelah tahun penerimaan hibahnya berarti
merupakan transaksi koreksi terhadap penerimaan hibah tahun sebelumnya dan bukan merupakan pengurang
penerimaan/pendapatan hibah tahun tersebut. Karena merupakan transaksi koreksi, maka yang terpengaruh adalah
Ekuitas Dana Lancar Lainnya/SAL. Pengembalian tersebut juga merupakan transaksi yang mengurangi/menihilkan
saldo kas di K/L dari hibah.
Untuk memudahkan menjelaskan perlakuan pengembalian sisa uang hibah kepada donor ini dengan
menggunakan contoh sebagai berikut:
Page 119
Misalnya, hibah diterima pada tahun 2012 sebesar Rp100 Juta, kemudian dibelanjakan sebesar Rp90 Juta sehingga
terdapat sisa uang hibah sebesar Rp10 Juta, kemudian sisa uang hibah tersebut ditransfer ke donor pada tahun
2013.
Pada tahun 2012 Satker telah menerbitkan SP2HL yaitu mengesahkan pendapatan hibah sebesar Rp100 juta dan
mengesahkan belanja yang bersumber dari hibah sebesar Rp90 juta, dan mencatat saldo kas di K/L dari hibah
sebesar Rp10 Juta. Sehingga pada tahun 2012 pada DJPU selaku BA.999.02 telah mencatat Pendapatan Hibah
sebesar Rp100 Juta, dan di Satker telah mencatat Belanja sebesar Rp90 Juta dan Saldo Kas sebesar Rp10 Juta.
Pada tahun 2013, Satker mentransfer sisa uang hibah kepada donor sebesar Rp10 Juta. Satker mengesahkan ke
KPPN dengan menerbitkan SP4HL. Dalam SP4HL yang disahkan adalah transaksi koreksi Ekuitas Dana Lancar
Lainnya/SAL di Satker dan mencatat transaksi ikutannya, yaitu mengurangi saldo Kas di K/L dari Hibah.
Dengan contoh diatas, untuk mengesahkan pengembalian pendapatan hibah, pada kolom Pengembalian
Pendapatan Hibah Langsung diisi BA Satker dengan kode akun 311911 dengan Jumlah Uangnya adalah sebesar Rp10
Juta.
Sedangkan untuk mencatat transfer uang kepada donor, maka pada kolom pencatatan kas, diisi sebagai
berikut:
Sisa Hibah : Rp10.000.000,-
Pengembalian
Pendapatan Hibah : Rp10.000.000,-
Saldo Akhir : Rp0,-
Transaksi pengurangan penerimaan hibah yang ditransfer pada tahun berikutnya tidak dibukukan oleh DJPU
selaku BA.999.02, sedangkan transaksi pengurangan/penihilan saldo kas di K/L dari hibah dibukukan oleh Satker.
Setelah terbit SP4HL, maka DJPU selaku BA.999.02 akan mengungkapkan dalam CaLKnya bahwa terjadi
pengembalian hibah kepada donor atas transaksi penerimaan hibah tahun 2012. Sedangkan pada Satker, yang pada
saldo awal tahun terdapat saldo kas sebesar Rp10 Juta, dengan terbit SP4HL mengurangi saldo awal tersebut sebesar
Rp10 juta, sehingga saldo akhir kas hibah menjadi Nihil.
Penyetoran sisa uang hibah pada tahun berikutnya merupakan transaksi koreksi, dengan demikian diharapkan
transaksi ini tidak terjadi. Pengembalian hibah diharapkan dilakukan pada tahun yang sama dengan tahun
diterimanya pendapatan hibah.
2. Sisa Uang Hibah Disetor Ke Kas Negara
Transaksi penyetoran sisa uang hibah ke Kas Negara dilakukan dengan menyetorkan uang sisa hibah tersebut
ke Kas Negara melalui Bank Persepsi dengan dokumen SSBP. Penyetoran sisa uang hibah ke Kas Negara bukan
merupakan transaksi pengurang pendapatan hibah. Pendapatan hibah adalah tidak berubah/tetap. Transaksi ini
merupakan transaksi memindahkan sisa uang hibah dari Kas di K/L ke Kas di Kas Negara.
Penyetoran ke Kas Negara menggunakan SSBP dengan kode BA 999.02 dan menggunakan akun Pendapatan
Hibah yang sama dengan akun Penerimaan Hibahnya. Pada saat setoran uang sisa hibah telah diterima oleh Bank
Persepsi, maka sisa uang hibah tersebut telah tercatat di Kas Negara, namun belum menghilangkan/mengurangi
pencatatan saldo kas di K/L. Dengan demikian, setelah menyetor ke Kas Negara, maka Satker harus menerbitkan
dokumen SP4HL dalam rangka mengurangi saldo kas di pembukuan Satker dan KPPN.
Page 120
Pengembalian sisa uang hibah ke kas negara dapat dilakukan pada tahun yang sama dengan tahun penerimaan
hibah atau dilakukan pada tahun berikutnya. Untuk memudahkan menjelaskan perlakuan penyetoran sisa uang
hibah ke Kas Negara dengan menggunakan contoh sebagai berikut:
Misalnya, hibah diterima pada tahun 2012 sebesar Rp100 Juta, kemudian dibelanjakan sebesar Rp90 Juta sehingga
terdapat sisa uang hibah sebesar Rp10 Juta, kemudian sisa uang hibah tersebut disetor ke Kas Negara pada tahun
2012 juga.
Sebelum sisa uang hibah disetor ke Kas Negara, Satker telah menerbitkan SP2HL yaitu mengesahkan pendapatan
hibah sebesar Rp100 juta dan mengesahkan belanja yang bersumber dari hibah sebesar Rp90 juta, dan mencatat
saldo kas di K/L dari hibah sebesar Rp10 Juta.
Setelah menyetor sisa uang hibah ke Bank Persepsi, maka:
DJPU akan mencatat pendapatan hibah sebesar Rp110 Juta (Dari SP2HL sebesar Rp100 Juta ditambah dari
setoran SSBP sebesar Rp10 Juta).
Kas Negara/KPPN mencatat adanya penerimaan Kas sebesar Rp10 Juta.
Di Satker, tidak/belum terjadi pengurangan/penihilan saldo kas di K/L dari Hibah.
Kemudian Satker menerbitkan SP4HL. Dalam SP4HL yang disahkan adalah transaksi pengurangan pendapatan
hibah yang akan dibukukan oleh DJPU selaku BA.999.02 dan mencatat transaksi ikutannya, yaitu mengurangi saldo
Kas di K/L dari Hibah.
Pada SP4HL, pada kolom Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung diisi BA.999.02 dengan kode akun sama
dengan kode akun pendapatan pada saat penerbitan SP2HL, sedangkan Jumlah Uangnya adalah sebesar Rp10 Juta.
Sedangkan untuk mencatat penyetoran uang ke Kas Negara, maka pada kolom pencatatan kas, diisi sebagai
berikut:
Sisa Hibah : Rp10.000.000,-
Pengembalian
Pendapatan Hibah : Rp10.000.000,-
Saldo Akhir : Rp0,-
Dengan terbitnya SP3HL dari KPPN, maka:
DJPU akan mencatat pengurangan Pendapatan Hibah, yang semula Rp110 juta, dikurangi Rp10 Juta (dari SP4HL),
menjadi Rp100 Juta.
Satker akan mencatat pengurangan Saldo Kas di K/L dari Hibah dari semula Rp10 Juta (dari saldo SP2HL),
dikurangi Rp10 Juta (dari SP4HL) menjadi Nihil.
Alternatif Lain
Apabila Satker sudah tahu akan menyetor sisa uang hibah ke kas negara, maka alternatif lain pengesahannya
adalah: pada saat menerbitkan SP2HL, mengesahkan penerimaan/pendapatan hibah sebesar nettonya saja
(Pendapatan hibah dikurangi dengan penyetoran hibahnya), sehingga Satker tidak perlu menerbitkan SP4HL.
Menggunakan contoh diatas, maka setelah Satker menyetor sisa uang hibah ke kas negara, baru menerbitkan
SP2HL dengan kolom penerimaan/pendapatan sebesar Rp90 Juta dan kolom belanja sebesar Rp90 juta juga.
Sedangkan pada kolom pencatatan Kas adalah sebagai berikut:
Saldo Awal : Rp 0,-
Pendapatan Hibah : Rp90.000.000,-
Belanja Terkait Hibah : Rp90.000.000,-
Saldo Akhir : Rp 0,-
Page 121
Apabila Satker menggunakan alternatif ini, dalam CaLK harus diungkapkan penerimaan hibah adalah sebesar Rp100
Juta, dengan rincian: disahkan dengan menggunakan SP2HL sebesar Rp90 Juta dan disetor menggunakan SSBP
sebesar Rp10 juta.
Penyetoran Sisa Hibah ke Kas Negara pada Tahun Berikutnya Setelah Tahun Penerimaan Hibahnya
Penyetoran sisa uang hibah ke Kas Negara di tahun berikutnya setelah tahun penerimaan hibahnya juga
merupakan transaksi pemindahan saldo Kas di K/L ke Kas Negara, sehingga juga memerlukan dua tahap
penyelesaiannya, yaitu penyetoran ke Kas Negara dengan menggunakan SSBP dan menerbitkan SP4HL.
Perbedaannya dengan apabila disetor pada tahun yang sama adalah sebagai berikut:
Tanggal pada SSBP dan pada SP4HL adalah tahun 2013. Untuk penyetoran sisa uang hibah ke Kas Negara, tahun
pada SSBP dengan tahun pada SP4HL harus sama.
Pada SSBP pada uraiannya, dijelaskan sebagai penyetoran atas sisa hibah langsung tahun 2012. Maksudnya
adalah agar DJPU selaku BA 999.02 dapat membedakan antara SSBP yang merupakan setoran sisa uang hibah
tahun berjalan dengan yang merupakan setoran sisa uang hibah tahun yang lalu.
Dalam CaLK diungkapkan terjadi penyetoran sisa uang hibah tahun 2012 sebesar Rp10 juta.
PERLAKUAN TERHADAP SISA/SALDO KAS DARI HIBAH
Sisa/Saldo
Kas Hibah
Dikembalikan
ke Donor
Pada Tahun yang sama dengan Penerimaan
Hibahnya
Sudah di Sahkan seluruh Penerimaan
dan Belanjanya
Belum di Sahkan Penerimaan dan
Belanjanya
Pada Tahun berikutnya setelah tahun
Penerimaan Hibahnya
Disetor
ke Kas Negara
Sudah di Sahkan seluruh Penerimaan
dan Belanjanya
Belum di Sahkan Penerimaan dan
Belanjanya
Page 122
V. CONTOH TRANSAKSI HIBAH
CONTOH KASUS 1:
Transaksi hibah langsung bentuk uang pada Satker A selama tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Pebruari 2012 :
Menandatangani perjanjian hibah langsung bentuk uang dengan suatu LSM Dalam Negeri. Dalam perjanjian hibah
dinyatakan bahwa Satker A akan menerima Hibah berupa uang sebesar Rp100 juta yang akan dibelikan satu unit
Ambulans.
Maret 2012 :
Menerima uang hibah tersebut sebesar Rp100 juta.
April 2012 :
Membeli satu unit Ambulans seharga Rp100 juta.
Berdasarkan contoh kasus diatas, yang dilakukan oleh Satker A pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1. Register Hibah
Setelah menandatangani perjanjian hibah, Satker A mengajukan permohonan register hibah ke DJPU. Satker A
akan mendapat satu nomor register dengan nilai Rp100 juta.
2. Rekening Hibah
Setelah mendapat nomor register, Satker A mengajukan permohonan persetujuan pembukaan rekening hibah ke
Dit. PKN, DJPB. Setelah mendapat persetujuan, Satker A membuka rekening hibah. Donor mengirim uang hibah
ke rekening hibah tersebut.
Satker A dapat terlebih dahulu membuka rekening hibah untuk menampung uang hibah namun prosedur
pengajuan permohonan persetujuan pembukaan rekening hibah tetap dilaksanakan.
3. Revisi DIPA
Mengajukan Revisi DIPA ke Dit. PA, DJPB atau Kanwil DJPB setempat. Revisi DIPA Belanja, yaitu menambah akun
53 (Belanja Modal) sebesar Rp100 juta.
Setelah melakukan revisi, Satker A melakukan proses pengadaan Ambulans sesuai peraturan yang berlaku.
Proses pengadaan Ambulans dapat mulai dilakukan mendahului persetujuan Revisi DIPA.
4. Melakukan Pengesahan ke KPPN
Setelah proses pengadaan selesai, Satker A melakukan pengesahan ke KPPN dengan menerbitkan SP2HL.
Terdapat dua transaksi yang harus disahkan, yaitu transaksi penerimaan/pendapatan hibah dan transaksi Belanja
Modal Peralatan dan Mesin disamping transaksi ikutannya yaitu mencatat penerimaan dan pengeluaran kas.
Pada SP2HL, untuk mengesahkan pendapatan hibah, pada kolom Pendapatan diisi kode BA/Unit Eselon
I/Lokasi/Akun/Satker 999.02.01.51.431132.977263 dengan Jumlah Uang Rp100 juta. Untuk mengesahkan
belanja, pada SP2HL kolom belanja diisi kode akun 532111 dengan Jumlah Uang Rp100 juta.
Untuk mencatat kas, pada SP2HL, Saldo Awal diisi RpNol, Pendapatan Hibah diisi Rp100 juta, Belanja terkait
Hibah diisi Rp100 juta, dan Saldo Akhir diisi RpNol.
Apabila pengajuan SP2HL ke KPPN telah lengkap dan benar, maka KPPN akan menerbitkan SPHL.
Berdasarkan dokumen Revisi DIPA dan SP2HL/SPHL, Satker A melakukan input ke dalam Aplikasi SAKPA dan SIMAK
BMN. Dari kedua aplikasi tersebut, menghasilkan Laporan Keuangan sebagai berikut:
1. LRA
Menambah Pagu DIPA Belanja semula pada akun 53 sebesar Rp100 juta.
Menambah Realisasi Belanja pada akun 532111 sebesar Rp100 juta.
2. Neraca
Karena saldo Kas di K/L dari Hibah Nihil, maka pada Neraca tidak ada penambahan pos Kas Lainnya dan
Setara Kas.
Page 123
Perolehan Ambulans diinput dalam SIMAK-BMN, kemudian dikirim ke SAKPA, sehingga pada Neraca akan
menambah pos Aset Tetap (Peralatan dan Mesin) sebesar Rp100 juta, berikut juga pos lawannya yaitu
diinvestasikan pada Aset Tetap.
CONTOH KASUS 2:
Transaksi hibah langsung bentuk uang pada Satker A selama tahun 2012 adalah sama seperti Contoh Kasus 1, namun
dalam proses pengadaan Ambulans, Ambulans tersebut dapat diperoleh dengan harga Rp 90 juta. Kemudian sisa
uang hibah tersebut dikembalikan kepada donor.
Berdasarkan contoh kasus diatas, yang dilakukan oleh Satker A pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1. Register Hibah
Satker A mendapat satu nomor register dengan nilai Rp100 juta, bukan Rp90 juta. Karena Nilai pada Register
Hibah adalah Nilai pada Perjanjian Hibah, bukan nilai realisasi belanja dari Hibah.
2. Rekening Hibah
Satker A mengajukan permohonan persetujuan pembukaan rekening hibah ke Dit. PKN, DJPB.
3. Revisi DIPA
Revisi DIPA yang diajukan adalah sebesar yang direncanakan. Apabila:
Saat pengajuan Revisi, proses pengadaan belum selesai, sehingga belum diketahui realisasi yang
sesungguhnya, maka Revisi yang diajukan adalah sebesar yang direncanakan, yaitu sebesar Rp100 juta.
Saat pengajuan Revisi, proses pengadaan telah selesai, sehingga telah diketahui realisasi yang sesungguhnya,
maka Revisi yang diajukan dapat hanya sebesar realisasi, yaitu sebesar Rp90 juta.
4. Melakukan Pengesahan ke KPPN
Satker A melakukan pengesahan ke KPPN dengan menerbitkan SP2HL. Transaksi yang disahkan adalah transaksi
penerimaan/pendapatan hibah dan transaksi Belanja Modal.
Untuk mengesahkan belanja, pada SP2HL kolom belanja diisi kode akun 532111 dengan Jumlah uang sebesar
Realisasi Belanja, yaitu Rp90 juta (bukan Rp100 juta).
Sedangkan untuk mengesahkan pendapatan hibah, pada kolom Pendapatan diisi kode BA/Unit Eselon
I/Lokasi/Akun/Satker 999.02.01.51.431132.977263 dengan Jumlah Uang sebesar:
a. Realisasi Penerimaan Hibah yaitu Rp100 juta; atau
b. Apabila telah diketahui bahwa ada sisa uang dari hibah dan akan dikembalikan ke donor, maka yang
disahkan adalah sebesar nettonya, yaitu Rp100 Juta – Rp 10 Juta = Rp90 Juta.
Apabila yang dilakukan adalah alternatif a, maka untuk mencatat kas, pada SP2HL, Saldo awal diisi RpNol,
Pendapatan Hibah diisi Rp100 juta, Belanja terkait Hibah diisi Rp90 juta, dan Saldo Akhir diisi Rp10 juta.
Apabila yang dilakukan adalah alternatif b, maka untuk mencatat kas, pada SP2HL, Saldo awal diisi RpNol,
Pendapatan Hibah diisi Rp90 juta, Belanja terkait Hibah diisi Rp90 juta, dan Saldo Akhir diisi Rp a Nol.
Berdasarkan dokumen Revisi DIPA dan SP2HL/SPHL, Satker A melakukan input ke dalam Aplikasi SAKPA dan SIMAK
BMN. Dari kedua aplikasi tersebut, menghasilkan Laporan Keuangan sebagai berikut:
Alternatif a:
1. LRA
Menambah Pagu DIPA semula pada akun 53 sebesar Rp100 juta atau Rp90 juta.
Menambah Realisasi pada akun 53 sebesar Rp90 juta.
2. Neraca
Karena terdapat saldo Kas di K/L dari Hibah sebesar Rp10 juta, maka pada Neraca terdapat penambahan pos
“Kas Lainnya dan Setara Kas” dan “Ekuidas Dana Lancar Lainnya” sebesar Rp10 juta.
Perolehan Ambulans diinput dalam SIMAK-BMN, kemudian dikirim ke SAKPA, sehingga pada Neraca akan
menambah pos Aset Tetap (Peralatan dan Mesin) dan “Diinvestasikan Dalam Aset Tetap” sebesar Rp90 juta.
Page 124
Alternatif b:
1. LRA
Menambah Pagu DIPA semula pada akun 53 sebesar Rp100 juta atau Rp90 juta.
Menambah Realisasi pada akun 53 sebesar Rp90 juta.
2. Neraca
Tidak terdapat penambahan pos “Kas Lainnya dan Setara Kas” dan “Ekuitas Dana lancar Lainnya”.
Perolehan Ambulans diinput dalam SIMAK-BMN, kemudian dikirim ke SAKPA, sehingga pada Neraca akan
menambah pos Aset Tetap (Peralatan dan Mesin) dan “Diinvestasikan Dalam Aset Tetap” sebesar Rp90 juta.
Proses pengembalian Sisa Uang Hibah ke Donor
Alternatif a:
Satker mentransfer sisa uang hibah kepada donor sebesar Rp10 Juta.
Kemudian Satker menyampaikan SP4HL ke KPPN sebagai berikut:
Pada kolom Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung diisi BA.999.02 dengan kode akun sama dengan kode
akun pendapatan pada saat penerbitan SP2HL, sedangkan jumlah uangnya adalah sebesar Rp10 Juta.
Sedangkan untuk mencatat transfer uang kepada donor, maka pada kolom pencatatan kas, diisi sebagai berikut:
Sisa Hibah : Rp10.000.000,-
Pengembalian
Pendapatan Hibah : Rp10.000.000,-
Saldo Akhir : Rp0,-
Setelah SP4HL/SP3HL diinput dalam aplikasi SAKPA, maka menghasilkan Laporan Keuangan sebagai berikut:
1. LRA
Menambah Pagu DIPA semula pada akun 53 sebesar Rp100 juta atau Rp90 juta.
Menambah Realisasi pada akun 53 sebesar Rp90 juta.
2. Neraca
Saldo pos “Kas Lainnya dan Setara Kas” dan “Ekuitas Dana lancar Lainnya” telah menjadi Nihil.
Terdapat pos Aset Tetap (Peralatan dan Mesin) dan “Diinvestasikan Dalam Aset Tetap” sebesar Rp90 juta.
Alternatif b:
Satker mentransfer uang sisa hibah kepada donor sebesar Rp10 Juta.
Satker tidak perlu membuat SP4HL.
Tidak ada input lagi dalam Aplikasi SAKPA.
Satker mengungkapkan dalam CaLK atas pengembalian sisa uang hibah kepada Donor.
CONTOH KASUS 3:
Transaksi hibah langsung bentuk uang pada Satker A selama tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Menandatangani perjanjian hibah langsung bentuk uang dengan suatu LSM Dalam Negeri. Dalam perjanjian
hibah dinyatakan bahwa Satker A akan menerima Hibah bentuk uang sebesar Rp10 Miliar yang akan
dipergunakan untuk membangun gedung Puskesmas.
Diperkirakan/direncanakan pembangunan Puskesmas tersebut baru akan selesai pada tahun 2013.
Direncanakan donor akan memberikan hibahnya pada tahun 2012 sebesar Rp6 Miliar dan pada tahun 2013
sebesar Rp4 Miliar.
Diperkirakan pembangunan Puskesmas selama tahun 2012 hanya akan menyerap dana sebesar Rp5 Miliar.
Berdasarkan contoh kasus diatas, yang dilakukan oleh Satker A pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1. Register Hibah
Setelah menandatangani perjanjian hibah, Satker A mengajukan permohonan register hibah ke DJPU. Satker A
akan mendapat satu nomor register dengan nilai Rp10 Miliar.
Page 125
2. Rekening Hibah
Setelah mendapat nomor register, Satker A mengajukan permohonan persetujuan pembukaan rekening hibah ke
Dit. PKN, DJPB. Setelah mendapat persetujuan, Satker A membuka rekening hibah. Donor mengirim uang hibah
ke rekening hibah tersebut.
3. Revisi DIPA
Mengajukan Revisi DIPA ke Dit. PA, DJPB atau Kanwil DJPB setempat. Revisi DIPA Belanja, yaitu menambah akun
53 (Belanja Modal) sebesar yang direncanakan dibelanjakan pada tahun 2012, yaitu Rp5 Miliar.
4. Melakukan Pengesahan ke KPPN
Dalam pelaksanaannya, ternyata realisasi penyetoran uang hibah Rekening Hibah oleh Donor hanya sebesar Rp5
Miliar, sedangkan yang direalisasikan/dibelanjakan oleh Satker hanya sebesar Rp4 Miliar.
Satker A melakukan pengesahan ke KPPN dengan menerbitkan SP2HL yaitu mengesahkan transaksi
penerimaan/pendapatan hibah (akun 431132) sebesar Rp5 Miliar dan transaksi Belanja Modal Gedung dan
Bangunan (akun 533111) sebesar Rp4 Miliar. Sedangkan transaksi ikutannya adalah mencatat saldo awal sebesar
Nol, penerimaan kas sebesar Rp5 Miliar, pengeluaran kas sebesar Rp4 Miliar, sehingga terdapat Saldo akhir
sebesar Rp1 Miliar.
Berdasarkan dokumen Revisi DIPA dan SP2HL/SPHL, Satker A melakukan input ke dalam Aplikasi SAKPA dan SIMAK
BMN. Dari kedua aplikasi tersebut, menghasilkan Laporan Keuangan tahun 2012 sebagai berikut:
1. LRA
Menambah Pagu DIPA Belanja semula pada akun 53 sebesar Rp5 Miliar.
Menambah Realisasi Belanja pada akun 533111 sebesar Rp4 Miliar.
2. Neraca
Terdapat Kas di K/L dari Hibah (pos Kas Lainnya dan Setara Kas) dan akun lawannya yaitu pos Ekuitas Dana
Lancar Lainnya sebesar Rp1 Miliar
Pembangunan Puskesmas diinput dalam SIMAK-BMN sebagai Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP), kemudian
dikirim ke SAKPA, sehingga pada Neraca akan menambah pos Aset Tetap (KDP) sebesar Rp4 Miliar, berikut
juga pos lawannya yaitu diinvestasikan pada Aset Tetap.
Selanjutnya, transaksi yang terjadi pada tahun 2013 adalah sebagai berikut:
Menerima hibah lagi sebesar Rp5 Miliar.
Meneruskan pembangunan Puskesmas dengan pengeluaran sebesar Rp6 Miliar.
Berdasarkan transaksi pada tahun 2013 diatas, yang dilakukan oleh Satker A adalah sebagai berikut:
1. Register Hibah
Satker A tidak mengajukan permohonan register hibah ke DJPU, karena nomor register berlaku sampai dengan
kegiatan selesai.
2. Rekening Hibah
Satker A tidak mengajukan permohonan persetujuan pembukaan rekening hibah ke Dit. PKN, DJPB karena
rekening hibah berlaku sampai dengan kegiatan selesai.
3. Revisi DIPA
Mengajukan Revisi DIPA ke Dit. PA, DJPB atau Kanwil DJPB setempat. Revisi DIPA Belanja, yaitu menambah akun
53 (Belanja Modal) sebesar yang direncanakan dibelanjakan pada tahun 2013, yaitu Rp6 Miliar.
4. Melakukan Pengesahan ke KPPN
Satker A melakukan pengesahan ke KPPN dengan menerbitkan SP2HL yaitu mengesahkan transaksi
penerimaan/pendapatan hibah (akun 431132) sebesar Rp5 Miliar dan transaksi Belanja Modal Gedung dan
Bangunan (akun 533111) sebesar Rp6 Miliar.
Sedangkan transaksi ikutannya adalah mencatat adanya saldo awal kas sebesar Rp1 Miliar, penerimaan kas
sebesar Rp5 Miliar, pengeluaran kas sebesar Rp6 Miliar, sehingga terdapat Saldo akhir sebesar Rp Nihil.
Berdasarkan dokumen Revisi DIPA dan SP2HL/SPHL, Satker A melakukan input ke dalam Aplikasi SAKPA dan SIMAK
BMN. Dari kedua aplikasi tersebut, menghasilkan Laporan Keuangan tahun 2013 sebagai berikut:
Page 126
1. LRA
Menambah Pagu DIPA Belanja semula pada akun 53 sebesar Rp6 Miliar.
Menambah Realisasi Belanja pada akun 533111 sebesar Rp6 Miliar.
2. Neraca
Kas di K/L dari Hibah dan akun lawannya yaitu pos Ekuitas Dana Lancar Lainnya telah Nihil.
Pembangunan Puskesmas telah selesai dan diinput dalam SIMAK-BMN sebagai Aset Tetap Gedung dan
Bangunan, kemudian dikirim ke SAKPA, sehingga pada Neraca akan menambah pos Aset Tetap (Gedung dan
Bangunan) sebesar Rp10 Miliar, berikut juga pos lawannya yaitu diinvestasikan pada Aset Tetap.
REFERENSI
1. Kementerian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2011 tentang Mekanisme
Pengelolaan Hibah
2. Kementerian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230/PMK.05/2011 tentang Sistem Akuntansi Hibah
3. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Dirjen Perbendaharaan 81/PB/2011 tentang Tata Cara
Pengesahan Hibah Langsung Bentuk Uang dan Penyampaian Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk
Barang/Jasa/Surat Berharga