BUMI SURGA ADAM AKSARA
BUMI SURGA
ADAM AKSARA
PROLOG
Akan tiba waktunya bumi akan mengering di satu sisi dan banjir di sisi yang lain.
Gempa di mana-mana membuat bumi merekah dan tsunami menghancurkan
pesisir-pesisir pantai. Tidak ada tumbuhan yang akan bertahan dari kemurkaan
alam. Sebagai balasan alam atas tindakan semena-mena manusia selama
bertahun-tahun. Saat itu setiap makhluk hidup akan mengerang kelaparan karena
bumi menolak menumbuhkan apa pun. Jerit pilu kesakitan akan terdengar di
mana-mana memenuhi telinga-telinga semesta.
Saat itulah manusia baru mencari Tuhan dan bertanya, mengapakah mereka hidup
dalam penderitaan? Untuk apakah mereka hidup dalam siksaan? Mengapa
mereka masih hidup dalam dunia yang sudah menjadi neraka. Dan mungkin
hanya keheningan yang akan menjawab.
Dosa siapakah yang telah membuat bumi menjadi neraka.
Namun sebelum itu semua tiba. Tuhan, Allah Yang Maha Pengasih akan
mengirimkan segala sesuatu untuk mencegah keseluruhan bencana. Akan tiba
waktunya para malaikat turun ke bumi, untuk menyelamatkan manusia. Namun
beberapa dari malaikat akan dihancurkan oleh kebencian di bumi, beberapa dari
mereka akan membuat bumi semakin indah dengan kasih dan kelembutan.
Sedangkan beberapa lagi akan ikut menghancurkan bumi.
Pada akhirnya, manusialah yang akan memutuskan untuk menerima kasih dan
kebaikanNya untuk menyelamatkan kehidupan mereka atau membiarkan
kehancuran karena ketidakpedulian mereka.
Membawa surga ke dalam bumi atau membiarkan bumi menjadi neraka.
BAB 1
Pada awal mulanya Allah1 menciptakan seluruh keberadaan dengan
kekuatanNya. Dan kekuatanNya adalah sebuah energi paling tinggi dan murni
yang menjadi dasar dari segala penciptaan keberadaan dan isinya. Kekuatan
dariNya disebut juga EnergiNya, RahmatNya, BerkahNya, KuasaNya, KasihNya,
RestuNya dan pada beberapa pengertian lain disebut OM, yang berarti bunyi,
getaran, sabda atau suara. Yang pasti, itu semua adalah bagian dari Tuhan Yang
Maha Esa dan sungguh otak manusia di bumi tidak akan mampu mencerna arti
dari sesungguhnya bagian itu, meski hanya sepercik.
Dari KuasaNya itu terciptalah surga, neraka, nirwana dan 365 dimensi di dalam
keberadaan. Bumi dan alam semesta ada di dimensi ketiga dari 365 dimensi yang
ada. Sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan paling sempurna dari Tuhan.
Mereka tinggal dan berada di dimensi ketiga atau dimensi fisik. Namun
kesadaran dari pada manusia mampu mencapai segala dimensi, meski pada
umumnya manusia berada pada 7 dimensi sekaligus.
Di dalam ke 365 dimensi adalah tempat tinggal para dewa, ashura dan manusia.
Pada jaman dahulu terjadi pertentangan antara para dewa dan para ashura. Para
dewa berhasil mengusir para ashura untuk tinggal di dimensi bawah dan para
1 Pada buku ini mengunakan nama Sang Pencipta, Tuhan, Allah, Sumber Sejati Segala Sesuatu dan sebagainya dengan satu pengertian TUHAN YANG MAHA ESA. Mohon kembali pada agama dan kepercayaan masing-masing.
dewa tinggal di dimensi atas. Dengan manusia yang menguasai dimensi tengah.
Hingga kini ada istilah dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah yang
menunjukan tempat tinggal masing-masing.
Sedangkan di bawah ke 365 dimensi adalah Neraka dengan 7 tingkatannya. Di
atas ke 365 dimensi adalah surga dengan 7 tingkatannya dan di atas surga
terdapat Nirwana.
Malaikat adalah para pengawal dari Allah. Mereka bertugas untuk menjaga
segala sesuatu di dalam keberadaan agar selalu terjadi sesuai aturan dan
kehendakNya. Sedangkan di neraka adalah penjara tempat orang-orang jahat
berada atau istilah lainnya adalah tempat para pengacau.
Mereka yang meninggalkan tubuh fisik atau meninggal dunia akan berpindah ke
surga atau neraka sesuai emosi yang mereka miliki. Jiwa yang memiliki emosi
penuh dendam, amarah, kebencian dan semua emosi negatif akan cenderung
turun ke neraka hingga jiwanya disucikan. Jiwa yang memiliki emosi yang baik,
penuh kasih dan kelembutan akan menuju ke surga.
***
Terlihat seorang anak perempuan berumur 10 tahun berdiri di samping sungai
yang mengalir. Anak perempuan itu bernama Lily. Dia menatap sedih pada air di
sungai yang berwarna kecoklatan dan berbau busuk. Sungai yang dahulu menurut
neneknya mengalirkan air bening dengan rasa manis. Dengan enggan Lily
meletakkan sebuah ember di depan kakinya dan menggerakkan tangannya di
udara. Sebagian air di tengah-tengah sungai yang mengalir mendadak bergerak
melayang terbang di udara memasuki ember. Dalam sekejap ember itu penuh
meluap.
Melihat pada air berwarna kecoklatan di dalam ember, Lily memejamkan
matanya dan mulai menggunakan kekuatan pikirannya untuk memberikan
pengarahan agar kotoran yang ada dari dalam air itu untuk keluar dari air dalam
ember. Perlahan-lahan warna kecoklatan dalam air mulai memenuhi tengah-
tengah ember. Sebuah bola hitam yang menyerap seluruh warna kecoklatan
bergerak naik dari permukaan air dalam ember. Seketika terlihat air dalam ember
menjadi bening dan bersih.
Lily membuka matanya dan memandang sedih pada butiran kecil berwarna hitam
yang melayang di tengah udara. Bola hitam kecil itu mengeluarkan bau busuk
tajam. Lily melirik pada sungai, berpikir untuk membuang bola hitam itu kembali
pada sungai seperti yang dilakukan semua orang.
Membuang apa yang dirasa sebagai kotoran hanya untuk membuat orang lain
dan makhluk lain menerima kotoran itu. Mereka semakin tidak peduli pada alam
dan orang lain. Mereka semakin mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan
bahaya pada orang lain, generasi berikutnya atau resiko pada masa depan.
Lily tahu, banyak binatang dan organisme yang telah mati pada sungai ini karena
perbuatan itu. Mengurungkan niatnya, Lily membiarkan bola hitam itu jatuh pada
tanah di sampingnya. Dalam sekejap pada tanah itu membentuk warna hitam
yang berbau tajam. Lily tahu tidak akan ada tanaman yang akan dapat hidup pada
tanah itu lagi untuk ratusan tahun.
Tangan kecilnya memegang ember itu dan mulai mengangkatnya sambil berjalan.
Lily sebenarnya tidak ingin membuang racun itu pada tanah. Seharusnya dia
membuangnya pada tempat penampungan khusus, seketika wajah Lily menjadi
sedih. Dia benar-benar ingin melakukan hal itu tapi dia harus membayar beberapa
keping uang untuk membuangnya. Dan dia tidak memiliki uang sama sekali.
Lily mengigit bibir bawahnya. Tak lama lagi ia akan turun menuju ke tempat
sumber perusakan pada dunianya. Turun ke dimensi ketiga yang bernama bumi.
Tempat para manusia hidup dan mengotori dunia tempatnya berada dengan
pikiran-pikiran negatif mereka. Dia berjanji kepada dirinya untuk melakukan
yang terbaik untuk mencari akar penyebab mengapa manusia memiliki begitu
banyak hasrat dan energi untuk merusak. Mengapa manusia tidak mengunakan
kekuatan mereka untuk membuat seluruh keberadaan menjadi tempat yang layak
untuk semua makhluk. Padahal manusia memiliki kemampuan itu. Padahal
manusia adalah makhluk tertinggi di alam ini.
Mendadak Lily teringat kembali akan kata-kata dari Neneknya.
Sesungguhnya manusia adalah makhluk paling sempurna ciptaan Allah. Setelah
penciptaan manusia, malaikat disuruh untuk menghormati dan melayani manusia.
Seorang malaikat yang kabarnya paling terang dan sangat mengasihi Allah tidak
menyetujui hal itu. Dia berkata, “Aku tidak akan menyembah apa pun kecuali
Engkau, Tuhan Yang menciptakanku dan segala keberadaan.”
Allah melihat hal itu dan berkata, “Jika kamu tidak mau menyembahnya, turunlah
ke bumi dan cobailah mereka, belajarlah dari mereka.” Tuhan mengetahui bahwa
malaikat itu tidak seharusnya memiliki kesombongan dan merasa paling
mengasihi Allah dibandingkan dengan semua makhluk. Yang pada akhirnya
malaikat itu telah melanggar perintah Allah dengan enggan menghormati
manusia. Allah ingin mengajarinya dan menyadarkannya. Akhirnya Malaikat itu
dan pengikutnya yang tidak setuju dengan menghormati manusia memilih turun
ke bumi untuk mencobai para manusia.
Dimensi ketiga adalah dimensi yang paling buruk di antara 365 dimensi dan
bahkan pada seluruh keberadaan. Di bumi terdapat begitu banyak cobaan yang
bahkan membuat para dewa tergoda. Namun bumi juga tempat yang paling tinggi
dalam keberadaan ini. Karena siapa pun yang berhasil mencapai tujuan hidup
sebenarnya dari dimensi ketiga, dapat mencapai tempat mana pun juga termasuk
nirwana bahkan tempat-tempat rahasia di atas nirwana.
Mencapai pencerahan sejati.
Lily bertekad untuk mencari jawaban atas makhluk bernama manusia itu. Dia
akan segera turun ke bumi. Mencoba membuat perubahan seperti teman-teman
lainnya.
***
Aku melihat sekeliling yang gelap dan hanya memiliki cahaya remang-remang.
Teriakan demi teriakan kesakitan terdengar dari berbagai penjuru. Aku tiba di
tempat ini dengan ingatan terakhir aku baru saja mati oleh amukan rakyatku.
Siapakah aku?
Aku adalah makhluk dengan kejahatanku sudah bertumpuk-tumpuk dan tidak lagi
termaafkan. Dan sekarang aku dibuang ke neraka setelah kematianku. Tempat di
mana para penjahat, pembunuh dan orang-orang kejam berada.
Yah... di sinilah aku berada sekarang, setelah kematianku. Mungkin aku yang
akan paling terkejut jika aku bisa memasuki surga.
Dan setelah aku melihat neraka serta semua kekejaman yang ada di dalamnya,
aku tertawa keras. Ternyata tempat ini begitu menyenangkan dan tidak jauh
berbeda dengan kehidupanku di dunia. Tempat ini begitu sempurna dan penuh
dengan makhluk-makhluk yang dapat kupahami. Makhluk-makhluk serakah,
sembong, tamak dan dikuasai nafsu rendah.
Di sini aku tidak memiliki ketakutan apa pun lagi seperti saat masih di bumi. Di
sini aku telah mati dan sekarang tidak ada apa pun yang dapat menahanku lagi.
Neraka adalah tempat yang tepat untukku menjadi rajanya.
Konspirasi di sana-sini. Iming-iming di sana-sini. Aku mengumpulkan dan
mengerakkan orang-orang yang tertindas atas dasar kebencian dan kemarahan
untuk mengulingkan neraka. Adu domba terus menerus, bahkan petugas neraka
luluh rantak di bawah kepintaranku. Aku telah berhasil mengulingkan sebuah
negara saat di bumi dan di neraka juga tidak jauh bedanya. Jika mereka kuat, itu
hanya berarti bagaimana aku harus mencari kelemahan mereka dan
menghancurkannya.
Tidak ada orang sempurna di bawah sini dan mungkin di atas sana juga.
Tidak berapa lama, aku sudah menemukan diriku menjadi raja neraka. Ternyata
susah mengubah kebiasaan lama. Sekali engkau sudah menjadi pemimpin
kelihatannya kamu tetap ingin menjadi pemimpin di mana pun engkau berada.
Hidup di neraka terasa menyenangkan. Di sini kesombongan dan kekuasaanku
mutlak sebagai Raja Neraka, termasuk menghukum siapa pun juga. Aku
melakukan banyak kekejaman bagi para penghuni baru, agar mereka sadar bahwa
tidak baik menyakiti orang selama hidup di bumi.
Pada suatu hari aku menemukan Malaikat. Ada beberapa malaikat yang terkurung
di penjara bawah neraka. Mereka adalah malaikat yang tertangkap saat
peperangan antara surga dan neraka di jaman dahulu. Aku menyuruh petugas
untuk membawa seorang dari malaikat itu.
Dan kemarahanku langsung terpercik saat melihatnya. Makhluk yang bersinar
penuh cahaya, makhluk yang tercipta penuh keindahan, makhluk yang terlahir
sempurna. Aku membenci jenis mereka. Kecemburuan mengambil alih diriku dan
dalam kemarahanku, aku berteriak pada langit, “TUHANNNN!!!!! Inilah
malaikat kesayanganmu. Turunlah dan selamatkan dia sebelum aku
membunuhnya.” Tubuhku memang sangat besar dan dengan tanganku, aku
mengambil malaikat itu dan mengarahkannya ke langit.
“Turunlah Engkau Tuhan... aku menantangmu,” teriakku. “Mari kita bertarung.”
Karena tiada jawaban, aku pun menelan malaikat itu dan untuk membuktikan
kebuasanku, aku berteriak penuh kemarahan yang menggetarkan seluruh lapisan
neraka. Dan hatiku merasakan kesakitan luar biasa. Aku cemburu dan murka.
Mengutuk ketidakadilan Tuhan dalam menciptakan diriku dan malaikat. Penuh
ketidakadilan.
Aku merasa Tuhan sudah membenciku sejak awal. Dia sudah memusuhiku
bahkan sebelum kelahiranku.
Aku mengundurkan semua makhluk dari ruangan itu dan menangis karena
amarah. Mengapa ada makhluk yang terlahirkan sempurna, mengapa aku
terlahirkan di dalam lembah dan lumpur kekotoran ini. Mengapa aku tidak
dilahirkan sebagai malaikat. Aku benar-benar membenci Tuhan dan mulai
membunuh semua malaikat yang ada. Jika Tuhan yang lebih dahulu memulai
peperangan denganku dengan membenciku. Maka aku wajib menantangNya dan
membuatNya menyesal telah membenciku.
Hingga pada akhirnya tertinggal seorang malaikat. Aku melihat seorang malaikat
yang tersisa. Kembali aku melihat cahaya dan keindahan yang memancar begitu
indah menyejukkan hati dari malaikat itu. Kembali aku cemburu, merasa sakit,
merasakan kemarahan pada Tuhan.
Mengapa aku tidak terlahir seperti itu, terlahir dalam keindahan dan bertutur
bahasa dalam kelembutan.
Malaikat ini kelihatannya masih baru. Dia tidak membenci para ashura dan
pengacau seperti kami. Dia mungkin baru tercipta tidak seperti malaikat yang
sudah dewasa dan membenci kami. Berkali-kali aku, bertanya padanya tentang
banyak hal mengenai surga dan dia dengan sabar serta penuh keindahan
mengambarkan kehidupannya. Dia menyenandungkan suara yang lembut dan
indah bertutur tentang surga yang di mana tidak ada kekerasan, kesakitan dan
hanya ada kasih dari Tuhan.
Aku tidak merasakan sedikit kebencian pun darinya. Sungguh susah untuk
membenci orang yang tidak memiliki kebencian. Terutama malaikat yang
melihatmu dengan mata polosnya. Niat dalam hatiku sebenarnya adalah
mengumpulkan infomasi sebanyak mungkin darinya dan kelak aku akan
menyantroni surga. Aku akan melawan dan menurunkan para dewa seperti
pendahuluku, Raja Vali dari klan ashura yang tinggal di dunia bawah menguasai
ketiga dunia setelah menaklukan surga. Aku yang memegang kekuasaan di sini
dan dengan bantuan para ashura, aku menaklukan surga. Tapi di sisi lain aku
masih saja terus menangis, menangisi hidupku. Mengapa aku tidak terlahir di
surga, mengapa sejak lahir aku hanya melihat kekerasan dan kekerasan yang
mengeraskan hati.
Aku ingin bertemu dengan Penciptaku dan bertanya padanya. Aku akan
melakukan apa pun untuk dapat bertemu denganNya. Mempertanyakan
ketidakadilan yang terjadi padaku.
Siapakah yang masih dapat berkubang lumpur jika sudah mengetahui ada tempat
nyaman di mana tiada kesakitan dan penderitaan berada? Aku akan menyantroni
surga, membunuh dewa dan malaikat demi bertemu Penciptaku.
Setiap hari, aku berbicara dengannya, tanpa sadar aku memujanya dan
mendengarkan nyanyiannya memuja Tuhan. Aku selalu mengurungnya dalam
kerangkeng besi untuk mencegahnya keluar dan lari dariku. Akan tetapi sang
malaikat yang telah mencuri hatiku semakin lama terlihat semakin melemah,
cahayanya mulai redup dan terlihat energi kehidupannya mulai menghilang. Aku
bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi padanya. Selama ratusan tahun dia
dapat bertahan dipenjara neraka tanpa kehilangan cahayanya. Tapi mengapa
hanya bertahun-tahun dia bersamaku. Dirinya semakin lemah.
“Malaikat tercipta hanya untuk mencintai Tuhan, memberikan hatinya hanya
kepada Tuhan. Dan kami akan mendapatkan kekuatan dan cahaya dariNya,” bisik
Malaikat itu lemah.
“Apakah Tuhan berhenti mencintaimu sehingga kamu kehilangan kekuatan?”
Malaikat itu mengellengkan kepala, “Jika ada yang Tuhan tidak bisa lakukan, itu
adalah berhenti mencintai makhluknya.”
“Jadi mengapa?” tanyaku dengan hati yang sedih melihat dirinya yang melemah.
Malaikat itu untuk pertama kali memandang langsung mataku dan tersenyum.
Tangannya keluar dari kerangkeng besi dan menyentuh wajahku untuk pertama
kali. “Karena aku telah membagi hatiku dariNya.”
“Apa yang terjadi?” tanyaku bergetar tidak mengerti.
“Aku tidak bisa melawan kehendak takdir. Aku telah jatuh cinta padamu,”
bisiknya dan tubuhnya langsung jatuh dengan cahaya pada tubuhnya yang
semakin meredup. Sayap-sayap malaikat putihnya berguguran menjadi warna
hitam dan hancur.
Hatiku sakit. Aku berteriak, aku marah dan membenci Tuhan, sangat
membenciNya. Mengapa dia mengambil nyawa dari makhluk yang mencintaiku.
Mengapa dia tidak bersedia memberikan kebahagiaan untukku. Apakah aku
terlahir berbeda dan hanya kesakitan yang harus kuterima sepanjang hidupku.
Untuk beberapa saat aku terus marah, membiarkan kebencianku mengalir.
Hingga akhirnya aku melihat malaikat itu dan sesuatu menyadarkanku.
Aku raja neraka, selama hidup di bumi maupun neraka hanya dapat merusak,
belum pernah aku dapat menumbuhkan apa pun dari kedua tanganku. Hanya
kehancuran dan kerusakan. Hanya kesakitan dan jeritan yang diperas dari kedua
tanganku. Tidak pernah ada senyum dan kebahagiaan. Aku tidak bisa
membantunya.
Aku menangis begitu pilu. Aku membuka kerangkeng besar itu dan
mengeluarkan malaikat yang lemah. “Terbanglah,” kataku lirih padanya dan
sebuah luka nyeri terasa menyayat pada dadaku. “Kembalilah pada surga
tempatmu berada. Kepakan sayapmu.”
Malaikat itu melihatku dengan lemah.
“Pergilah,” teriakku putus asa. “Bukankah dari dahulu kamu terus meminta dan
bertanya mengapa aku tidak membebaskanmu? Sekarang, terbanglah! Kembali
ke tempatmu.”
Malaikat itu menggelengkan kepalanya dan akhirnya terjatuh. Tidak memiliki
kekuatan lagi. Hatiku hancur berkeping-keping dan aku tertunduk bersujud
sambil membawa malaikat itu pada tanganku.
“Ya Tuhan. Selama hidupku aku terus menantangmu, membencimu dan
melukaimu. Untuk pertama kalinya aku sujud dihadapanmu memohon
kebaikanmu untuk menyelamatkan dirinya. Aku tidak pernah memohon
sebelumnya dan aku bersedia...,” aku terisak hebat, “aku bersedia memberikan
hidupku ini untukMu sebagai gantinya.”
Aku menangis.
“Ya Tuhan. Engkau yang dikatakan Maha Baik dan Maha Penyayang. Tentu
Engkau tidak akan mengingat kejahatanku dan menghukumku dengan
mengambil nyawa malaikat milikmu ini. Bunuhlah aku, lenyapkanlah aku, tapi
selamatkanlah dia. Dia tidak memiliki dosa apa pun juga.”
Air mataku mengalir terus menerus. Perlahan-lahan diriku dan malaikat itu mulai
bercahaya. Dan aku merasakan untuk pertama kali seumur hidupku, sebuah
kedamaian dan ketenangan. Aku tahu hidupku sudah berakhir di sini saat melihat
tubuhku mulai lenyap. Aku menatap tubuh malaikat terkasihku dan bertanya
dalam sudut hatiku.
Jika suatu saat aku terlahir kembali, apakah kami akan pernah dapat bersatu?
“Yah... Tuhan....” bisikku lemah.
BAB 2
Aku duduk mendengarkan pembicara yang sedang berkoar-koar tentang cara-cara
untuk menjadi sukses, tepatnya menjadi seorang kaya. Aku sudah mengumpulkan
delapan bulan gajiku demi untuk mengikuti seminar ini. Seminar yang paling
menakjubkan abad ini, jika mengikuti kata iklan posternya.
Menurutku kata itu cukup tepat karena pembicaranya orang luar negeri yang
merupakan seorang pelatih pengembangan diri terkenal dunia. Dia juga
merupakan pelatih pribadi dari beberapa politikus dunia, pemain bola basket
profesional kelas dunia, pengusaha sukses, dan banyak orang-orang terkenal
lainnya. Dia memberitahukan rahasia-rahasia untuk memiliki mental juara dan
bahkan dapat mengatur pikiran bawah sadar kita untuk tetap memiliki mental
pemenang.
Untuk praktek nyata, pada hari terakhir seminar dia mulai membawa orang-orang
awam sepertiku untuk berjalan di atas api. Dan aku berhasil melakukannya. Aku
benar-benar yakin bahwa diriku akan menjadi sukses, uang yang kuinvestasikan
pada seminar ini tidak akan menjadi sia-sia sama sekali.
Aku akan SUKSES dan menjadi PEMENANG!
***
Tiga bulan berikutnya.
Di bawah terik panas matahari yang membuatku berkeringat deras, aku harus
mengangkat bertumpuk-tumpuk semen ini menuju ke lantai 5 sebuah gedung
yang sedang dikerjakan. Suara-suara besi terpukul, palu yang menghantam paku,
suara mesin las dan bor listirk silih berganti memenuhi lapangan konstruksi.
Aku mengusap keringatku setelah mengangkat tiga sak semen ke atas sorong dan
menyorongnya memasuki lift kerja.
Kenapa aku di sini? Di tempat konstruksi dan bekerja sebagai buruh harian
bangunan?
Jawabannya cukup sederhana, perutku membutuhkan makanan dan makanan
membutuhkan uang. Dan apakah aku sukses? Baiklah, aku akan dengan senang
hati mencekik siapa pun yang mengatakan, setelah menghabiskan 8 bulan gaji
untuk sebuah seminar internasional kelas dunia dan bertemu banyak orang-orang
dengan jabatan tinggi, menjadi seorang buruh harian adalah kesuksesan.
Lift berhenti di lantai lima dan aku mendorong semen itu menuju ke sebuah
gudang serta menyusunnya. Menurutku, aku cukup pintar, punya IQ tinggi, EQ
tinggi dan memiliki bakat besar untuk menjadi orang besar atau sukses. Hanya
saja, aku tidak diberi kesempatan. Tidak ada peluang, kesempatan atau rejeki
yang dapat membawaku ke tempat yang kuinginkan. Jika ada 1000 orang yang
mengikuti sebuah seminar pelatihan kesuksesan dan hanya 100 orang atau
sepuluh persen dari mereka yang sukses. Apakah itu berarti pelatihan itu berhasil,
atau hanya karena 100 orang itu memiliki modal, kesempatan dan rejeki untuk
sukses?
Dan seingatku, tidak ada seminar untuk membuat keberuntungan atau rejeki
meningkat. Jadi aku harus menjalani hidupku seperti biasanya. Sambil berharap
seorang kaya mendadak memanggilku untuk memegang perusahaannya. Atau
setidaknya dapat menikahi putri tunggal seorang kaya dengan harta warisan
berlimpah dan kedua orang tuanya sudah di ambang kematian.
***
Pukul enam sore, aku sudah menemukan diriku sedang berjalan pulang menuju
ke tempat kostku dalam keadaan lelah, melewati sebuah taman bermain anak-
anak milik sebuah sekolah negeri. Di sana aku melihat seorang gadis kecil yang
mungkin berumur 12 tahun sedang duduk sendirian di sebuah pelosotan tampak
sedang menunggu seseorang.
Terkadang, beberapa orang tua terlalu sibuk untuk menjemput anaknya pulang
sehingga mereka harus menunggu hingga larut malam. Dan jika aku tidak salah,
kelihatannya gadis kecil itu sudah ada di sana saat aku keluar pada jam makan
siang tadi.
Aku tidak peduli.
Orang tuanya mungkin sedang bekerja keras atau mungkin bekerja jauh lebih
keras dari pada orang lain, hanya untuk mendapatkan secuil uang yang hanya
dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Beberapa orang hanya perlu
bekerja beberapa jam sehari, mungkin tidak perlu bekerja sama sekali dan
memiliki uang berlimpah.
Selamat datang di dunia yang penuh ketidakadilan.
***
Pukul delapan malam, aku keluar dari tempat kostku untuk keluar mencari makan
malam dan harus melewati taman itu. Terlihat gadis cilik yang masih menunggu
orang tuanya. Gadis itu tampak kedinginan dan aku menggelengkan kepalaku.
Dunia ini memang kejam, teman.
Aku tidak tega melihat gadis kecil yang sendirian sehingga aku segera
melewatinya begitu saja, untuk mencari tempat makan di sudut jalan. Jika aku
tidak melihatnya lebih lama, aku tidak akan menyakiti diriku sendiri. Orang
tuanya pasti akan menjemputnya sebentar lagi. Jika orang tuanya tidak mau
menjemputnya, mungkin nasib baikku sudah tiba. Aku akan menculiknya dan
kemudian meminta tebusan uang milyaran pada orang tuanya. Kerjaan mudah,
uang banyak. Tinggal masalah nyali.
Apakah aku berani melakukannya?
Pukul sembilan malam, aku kembali dari makan malam dengan badan hangat dan
perut kenyang. Aku melewati taman itu kembali. Masih terlihat gadis cilik itu di
sana. Gadis itu menundukkan kepalanya dan mengores-gores tanah. Hatiku
langsung menjadi sedih. Aku menelan ludah dan melewati taman itu dengan
pikiran gundah. Terus berjalan di bawah udara dingin, aku melewati sebuah mini
market, terbayang wajah murung gadis itu. Dengan kesal aku memasuki mini
market itu dan keluar dengan sebuah kantongan, berjalan kembali ke taman itu.
Di sana terlihat seorang lelaki umur paruh baya mendekati gadis cilik itu dan
dengan ramah mencoba mengajak gadis cilik itu berbicara. Dengan cepat aku
bersembunyi di balik tembok sebelum memasuki taman.
Kenapa aku bersembunyi? Entahlah.
Seseorang telah mencoba membantu gadis cilik itu. Seharusnya pikiranku bisa
tenang. Jarang bisa menemukan orang baik dan mau membantu di jaman seperti
sekarang ini. Saat semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku tidak
perlu menguatirkan gadis cilik itu lagi.
Apakah demikian?
Dengan was-was aku mencoba mendengar pembicaraan itu.
“Adik kecil, ayo ikut om ke rumah om. Di sana kita akan menunggu keluargamu
datang menjemputmu...”
Baiklah, kalimat itu tidak memiliki masalah tapi nada bicaranya dan raut
wajahnya yang membuat perasaanku langsung menjadi buruk. Bukannya aku
mencurigai niat baik seseorang, tapi... isi dari surat kabar sudah penuh hal-hal
yang memicu reaksi negatif dari nada suara itu.
Menarik nafas dalam-dalam, aku berjalan masuk menuju ke taman itu dan
menegur pria paruh baya itu yang terlihat mencoba menarik tangan gadis kecil
itu. “Hei, jauhkan tanganmu dari adikku.”
Pria itu terkejut dan segera melihat ke arahku. Wajahnya segera menjadi pucat
dan melepas tangan gadis cilik itu. Ia terlihat memaksakan sebuah senyum, “Aku
hanya mencoba membantu adikmu karena dia terlihat sendirian.”
“Aku tahu,” jawabku acuh, “Terima kasih atas hal itu dan kamu boleh pergi
sekarang.”
Pria itu tampak kesal dan berlalu, aku menatap balik punggungnya hingga hilang
dari pandanganku. Kemudian menatap pada gadis cilik itu yang sedang melihat
ke arahku. Tanganku mengarahkan kantongan di tanganku dan menyerahkannya
pada gadis cilik itu. “Makanlah,” kataku singkat dan duduk di sebuah ayuan
sekitar lima langkah dari pelosotan tempatnya berada. “Aku akan ikut menunggu
orang tuamu di sini.”
Kupikir cuma ini yang bisa kulakukan untuk memastikan gadis cilik ini tidak
diganggu orang. Setidaknya aku bisa memastikan diriku tidak macam-macam
padanya dan orang tuanya akan menemukannya di sini. Gadis cilik itu membuka
kantongan, mengeluarkan tiga bungkus roti dan sebotol susu. Menikmati
makanan dan minuman itu dalam diam.
Aku mencoba mengerakkan ayunan yag kududuki ke depan dan belakang.
Bukankah tadi aku berencana untuk menculiknya?
“Apa kamu punya nomor telepon keluargamu?” tanyaku. Tidak ada orang yang
tidak memegang telepon genggam di jaman sekarang. Gadis cilik itu
menggelengkan kepalanya. Aku terpaksa diam dan menunggu. Mungkinkah
keluarganya cukup miskin hingga tidak mampu memiliki telepn genggam? Kalau
begitu, menculiknya hanya akan mengakibatkan kerugian sebelah pihak. Pastinya
pihakku jika melihat dari cara makannya yang banyak.
Pukul sepuluh malam, angin dingin mulai bertiup semakin keras dan gadis cilik
itu masih diam.
“Siapakah yang biasa menjemputmu?” tanyaku gelisah.
Gadis cilik itu menggellengkan kepalanya.
Tidak mau menjawab? Ataukah artinya tidak ada yang menjemputnya.
“Di mana rumahmu?” tanyaku yang berpikir mungkin bisa mengantarnya pulang.
Tangan gadis kecil itu menunjuk ke arah atas. Ke arah langit malam yang penuh
bintang. Aku diam dan menghela nafas.
Aku tidak punya roket dan aku tidak pernah beruntung dengan anak kecil.
Pukul sebelas malam dan jalanan mulai sunyi sepi. Untuk diriku sendiri juga
bukan hal yang baik berkeliaran pada jam begini. Dan besok aku harus kerja, jam
tidurku sudah lewat sejak pada pukul sepuluh tadi.
“Gadis cilik,” panggilku, “siapa namamu?”
“Lily.”
“Ikut aku,” sahutku sambil berdiri dan mulai melangkah keluar dari taman.
***
Di kantor polisi terdekat.
Pukul dua belas malam, aku dan gadis cilik itu berjalan memasuki pos jaga polisi.
Aku percaya gadis ini akan lebih aman di kantor polisi dari pada di taman. Aku
juga sudah meninggalkan secarik kertas pada pelosotan yang bertuliskan.
Jika mencari Lily, hubungin no.- yang bertuliskan no telepon genggam milikku-.
Aku mengantarkan Lily ke kantor polisi.
Aku bahkan harus membeli kertas dan pulpen dari mini market terdekat karena
Lily sama sekali tidak memiliki tas, buku atau alat tulis. Entah apa yang
dipelajarinya di sekolah, atau keluarga macam apa yang dimilikinya?
Seorang polisi dengan perut buncit dan janggut hitam menatap kesal padaku.
Tapi akhirnya mulai mencatat juga setelah aku melaporkan seorang anak kecil
yang kutemukan di taman.
“Namanya?” tanya polisi itu.
“Lily,” jawabku.
“Alamatnya?”
Aku melirik pada Lily dan dia hanya menggelengkan kepalanya. Begitu juga
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang ditanyakan polisi itu dan Lily hanya
menggelengkan kepalanya.
Polisi itu melihat padaku, “Apakah dia membawa telepon genggam atau sesuatu
yang menunjukan identitasnya?”
Aku melirik pada Lily. Dia tidak memiliki apa pun juga kecuali sepasang
pakaiannya. Sebagai gantinya polisi itu malah menanyaiku.
“Nama?”
“Jaime”
“Nama lengkap?”
“Cuma Jaime,” kataku sedikit kesal. Apakah salah memiliki nama tunggal.
Setelah beberapa pertanyaan polisi itu menutup berkasnya dan berkata dengan
ringan. “Bawa gadis itu. Kami akan menghubungimu jika ada yang mencarinya.”
Loh, sebuah tanda tanya besar muncul di kepalaku. Memang benar ini pertama
kalinya aku menuju ke kantor polisi. Tapi bukankah jika di kantor polisi semua
urusan akan selesai? Termasuk gadis ini akan berada dalam tanggungan
mereka?
“Apakah maksudnya aku akan membawa gadis ini pulang?” tanyaku tidak
percaya.
Polisi itu menatapku dengan kesal, “Apa kamu tidak bisa membantunya? Kupikir
keluargamu tidak akan keberatan menampungnya barang semalam. Dari pada di
sini.”
Aku meringis. “Aku tinggal sendirian di tempat kost.”
“Orang tuamu?” tanya polisi itu penasaran.
“Aku yatim piatu,” jawabku, “Dari panti asuhan Cinta Kasih.”
“Kalau begitu bagus sekali,” jawab polisi itu, “titipkan saja dia ke panti asuhan.”
Aku melirik pada polisi itu dan aku mendapatkan kesan kalau polisi ini tidak mau
direpotkan. Dia terlihat ingin aku mengurusi gadis ini.
Polisi itu mengetuk-ngetukkan pena di tangannya pada meja kayu di depannya
menunggu jawabanku. “Kalau kamu tidak bersedia membantu, ya sudahlah,
tinggalkan gadis itu di sini. Dia bisa tidur di kursi itu semalaman. Besok akan ada
petugas sosial yang akan membawanya.”
Aku melihat pada sebuah kursi di ruang tunggu yang terbuka, udara dingin jelas
menembus tempat ini. Tidak ada kasur, tidak ada selimut. Dan Lily akan
sendirian.
Baiklah, kupikir inilah yang akan didapatkan si Lily kecil.
Sebelum aku mengiyakan, tangan kecil Lily menarik belakang kausku.
Memaksaku untuk menatap matanya. Rasa kasihan kembali mengetuk hatiku.
“Aku akan membawanya pulang,” jawabku pada Polisi itu. “Besok petugas sosial
bisa menjemputnya di tempatku atau menghubungiku agar aku menyerahkannya
pada mereka.”
BAB 3
Lily dalam diam menatap seorang pria muda yang sedang tertidur di atas sofa.
Pria itu berrambut hitam, memiliki alis yang tajam, hidung yang mancung dan
belah dagu. Wajah yang sangat maskulin.
Air mata Lily mengalir. Membuatnya teringat akan bahwa di mana pun dan di
masa apa pun, bentuk wajah itu terlihat selalu sama. Wajah dari pria yang
dicintainya.
Wajah dari pria yang mencintainya.
***
Pagi harinya aku terbangun di atas sofa setelah alarm dari telepon genggamku
berbunyi. Waktunya untuk segera mandi dan berangkat ke tempat kerja. Saat
membuka mataku, mendadak aku segera melompat dan berteriak terkejut, karena
terlihat seseorang yang sedang duduk di meja kecil menatapku.
Setelah otakku sadar sepenuhnya, aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu.
Aku baru saja mengira entah makhluk apa yang berada dalam kamarku, karena
biasanya selalu aku sendirian. Sudah bertahun-tahun.
Kepalaku mendadak terasa pusing karena kurang tidur. Aku, orang yang selalu
tidur teratur, sedikit saja kekurangan jam tidur, kepalaku akan terasa pusing.
Apalagi kemarin aku tidur pada pukul 3 pagi dan bangun pada pukul 7 pagi,
bagiku sangat tidak cukup.
“Kamu menangis,” kata Lily mendadak.
“Aku?” tanyaku menyentuh mataku yang basah. “Aku tidak menangis,” kataku.
“Ini air mata menguap di pagi hari.” Dengan cepat, aku bangkit dan menuju ke
kamar mandi untuk mulai mandi sebelum pergi ke tempat kerja.
Sialan. Mimpi itu...
Aku mulai melepas pakaian dan mandi. Kemarin malam aku bermimpi tentang
diriku yang menjadi raksasa yang jatuh cinta pada malaikat. Mimpi yang buruk
karena membuatku menangis. Setelah selesai mandi, aku melihat Lily masih
duduk di depan meja kecil. Aku belum tahu harus melakukan apa terhadap anak
ini. Apakah aku akan meninggalkannya di tempat ini saat aku pergi bekerja? Atau
menitipkannya ke panti asuhan? Yang pastinya sekarang, aku harus memberinya
sarapan dan aku harus ketempat kerjaku.
“Jaime,” panggil Lily mendadak, pertama kali bersuara.
“Ya?”
“Jangan pergi ke tempat kerja,” sahut Lily.
Kemarahan langsung membakar diriku. Apa sih haknya mengatur diriku. Aku
menatap padanya dan karena Lily masih gadis kecil. Aku segera berkata,
“Baiklah.”
Bukan karena aku mengikuti perintahnya, hanya saja, terlalu banyak yang harus
kukerjakan hari ini, terutama kepalaku masih sakit dan hatiku buruk setelah
mimpi kemarin. Libur satu hari ini akan memberiku tidur yang cukup dan aku
bisa mengurus gadis kecil ini. Menolong seseorang adalah kewajiban tiap
manusia. Aku segera mengeluarkan telepon genggamku dan memberi alasan pada
mandorku bahwa keluargaku sedang datang dan aku tidak bisa masuk kerja.
Mandor itu marah dan mengeluarkan kata-kata favoritnya yang langsung kujawab
dengan pernyataan maaf sepenuh hati dan langsung menutup telepon. Kemudian
merebahkan diriku kembali pada sofa, “Lily, jika kamu menemukan makanan apa
pun di tempat ini. Itu adalah sarapanmu.”
Dan aku kembali tidur.
Kenikmatan dunia yang paling indah adalah tidur. Karena itu gratis.
***
Pukul 10 lewat aku bangun dengan sedikit sakit kepala dan melihat Lily yang
sedang menonton televisi.
“Kamu sudah sarapan?” tanyaku mengantuk.
Lily menggelengkan kepalanya. Aku tahu. Karena aku tidak punya makanan di
tempat ini. Seketika aku bangkit, mencuci muka dan mengerak-gerakan tubuhku
sedikit.
“Mari kita keluar makan,” ajakku. Lily langsung berdiri dan menggandeng
tanganku. Rasanya begitu alamiah baginya tapi bagiku ... rasanya sedikit aneh.
Apa lagi saat aku menatap wajah gadis itu yang mirip malaikat dalam mimpiku.
Benar-benar aneh.
***
Lily dan aku duduk di sebuah restoran siap saji. Gadis cilik itu terlihat menatap
ayam goreng yang ada di depan mejanya sambil merenggut.
“Ada apa?” tanyaku yang dengan nikmat menyantap hidangan di depanku.
“Mengapa Jaime bisa menyantap hidangan ini?”
Aku menatap heran padanya dan menyengir mengejek, “Karena enak, apa lagi?
Sudahlah ayo makan Lily. Jangan menyia-nyiakan makanan.”
Dua orang pria di samping kami mulai berbicara mengenai investasi yang
menguntungkan dan mau tak mau telingaku segera terpasang untuk mencoba
mendengarkannya. Setiap hal yang berhubungan dengan menambah uang adalah
hal yang menarik.
“Tapi makan ini energinya tidak bagus,” protes Lily kembali. “Kelihatannya ada
campuran berbahaya di dalamnya.”
“Berbahaya bagaimana? Bisa membuat mati?” tanyaku terkejut meliriknya serius
sambil melihat makanan di piringku.
“Tidak, tapi jika memakan racunnya dalam jumlah banyak bisa membuat sakit.”
Lily terlihat mengerutkan alisnya dan mencoba menjelaskan, “Campuran yang
tidak terlalu berbahaya jika dimakan sedikit. Tapi tetap saja... jika terus
menerus.”
Racun? Apakah maksudnya kimia berbahaya?
Aku menghela nafas dan menatapnya lekat-lekat. Ingin menjelaskan padanya.
Kupikir semua orang sudah menyadarinya dan menerima hal itu. Jaman sekarang
sudah tidak akan pernah ada lagi makanan yang bebas dari kimia. Lokasi bahan
baku yang jauh, tempat penyimpanan yang lama tentu saja semuanya
membutuhkan kimia pengawet. Tentu saja kimia itu tidak dapat di makan, akan
tapi dalam jumlah kecil hal ini bisa diterima karena masih bisa ditolerir tubuh.
Kalau pun ada yang namanya makanan organik, harganya pasti mahal. Dan jelas
jauh dari jangkauanku
“Ngak ada masalah, Lily, makan sajalah. Kamu tidak akan mati,” tambahku
sambil mengunyah kembali makanan. Aku memasang kembali telingaku pada
pembicaraan kedua orang pria di sampingku.
Lily menatapku terlihat marah dan membuang muka dengan mengembungkan
pipinya. Karena tidak mendapat tanggapan dariku yang tidak peduli, Lily terlihat
ikut mendengarkan pembicaraan kedua orang itu. Tak lama kemudian Lily turun
dari kursinya dan pergi ke orang di meja sebelah.
“Kenapa kamu berbohong?” tanyanya dengan muka polos tanpa dosa namun
membuat makanan dalam mulutku terdorong keluar. Pria itu terlihat menatap Lily
dengan pandangan tidak peduli dan kembali berbicara pada rekannya.
Lily kelihatan tidak peduli dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama.
Orang itu mengernyitkan mata dan memandang Lily, “Gadis muda, urus saja
urusanmu.”
“Tidak,” sahut Lily, “Aku mau tahu kenapa kamu berbohong?”
“Aku tidak berbaohong,” kata orang itu marah. “Di mananya aku berbohong?”
“Itu, energi yang terpancar darimu membuktikan kamu sedang berbohong.”
Pria itu menjadi kesal dan memukul meja segera berdiri hendak memukul Lily
sehingga aku buru-buru muncul untuk mencegahnya.
“Maaf Pak,” kataku segera menarik Lily, “Gadis ini ada sedikit gilanya.”
“Aku tidak gila,” teriak Lily padaku sehingga aku menutup paksa mulutnya.
Teman bicara pria yang dituduh bohong itu segera menatapku dan Lily dengan
tatapan kesal merasa terganggu, “Pergilah kalian sebelum aku memukuli kalian di
sini atau melaporkannya ke polisi.”
Aku segera mengangguk penuh hormat dan menarik Lily keluar dengan ditonton
oleh banyak orang. Wajahku memerah jelas ini bukan cara tercepat untuk
menjadi tenar mendadak.
***
Di sebuah taman kota.
“Iya, kami akan ke sana sebentar lagi,” kataku melalui telepon genggam. “Terima
kasih Iin.” Aku segera menutup pembicaraan dan menatap Lily yang terlihat
kesal dan mengigit roti di tangannya. Aku baru saja menghubungi panti asuhan
tempatku pernah dirawat dan memberi tahu bahwa aku akan membawa seorang
gadis kecil berumur sekitar 12 untuk dititipkan di sana. Aku tidak bisa membawa
Lily terus menerus. Aku butuh kerja.
Aku sebenarnya aku tidak ingin menelepon panti asuhan itu. Tidak setelah aku
berjanji pada mereka bahwa aku akan sukses. Namun ternyata hingga saat ini
setelah 4 tahun keluar dari tempat itu, aku tidak bergerak ke mana-mana.
Tampaknya masih semiskin saat aku keluar. Belum memiliki apa pun yang
mendekati keberhasilan dan kesuksesan. Jelas aku merasa malu.
“Baiklah, gadis kecil. Kita akan ke panti asuhan sekarang,” kataku menatapnya.
“Kamu bisa menghabiskan makananmu di tengah jalan dan aku masih punya
waktu untuk masuk kerja setengah hari.”
“Tidak!!” teriak Lily padaku. “Aku tidak mau ke panti asuhan sekarang dan kamu
tidak boleh bekerja hari ini.”
Amarahku timbul dan menatap padanya. Gadis ini terlalu kurang ajar mau
mencoba mengaturku. “Baiklah,” jawabku akhirnya, “Aku tidak akan kerja hari
ini tapi malam ini kamu harus menunggu di panti asuhan jika tidak ada yang
menjemputmu.” Aku menghempaskan diriku pada kursi taman di samping Lily
dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Terdengar suara burung-burung
berkicau dan saat melihat pepohonan yang masih alamiah. Aku merasakan
ketenangan di taman ini. Sudah lama sekalia ku tidak merasakan seperti ini.
Mungkin ... terkadang aku butuh istirahat juga.
Mataku melirik pada beberapa mahasiswi yang sedang berjalan dan duduk di
bawah taman. Beberapa dari mereka melirik ke arahku. Aku segera tersenyum
membalas.
“Aduh!” teriakku saat merasa telingaku sedang dijewer seseorang.
“Lily apa yang kamu lakukan? Lepaskan.” Mohonku melihat ke arahnya. Jari-jari
kecilnya sedang menarik telingaku.
“Mata keranjang,” dengus Lily kesal dan melepas telingaku.
Aku melihat ke arahnya dan tidak mengerti apa yang menyebabkannya seperti
ini. “Mengapa kamu marah?”
Lily diam merajuk.
Aku melihatnya lekat-lekat. “Kamu cemburu?”
Wajah Lily terlihat memerah dan membuatku tertawa terbahak-bahak. Terakhir
kali aku diikuti gadis cilik adalah saat aku masih di panti asuhan dan beberapa
adik-adikku mengikuti ke mana pun aku pergi. Dan aku mejitak kepala mereka
satu persatu untuk menjauhkan mereka dariku. Kamu baik pada mereka, maka
mereka akan mengikutimu ke mana pun kamu pergi dan kamu tidak akan bisa
bergabung dengan teman-teman lelakimu untuk menaklukan dunia.
“Berapa umurmu?” tanyaku.
Lily melihat ke arahku dan kemudian menyesap minumannya. “120 tahun waktu
bumi,” jawabnya. Aku terdiam. “12 tahun umur di dimensiku,” tambahnya.
Aku tertawa mengangkat tanganku mengacak-acak rambutnya. “Tunggu 100
tahun bumi lagi baru kamu boleh belajar cemburu.” Kataku tertawa. Dia menepis
tanganku kemudian turun dari kursi taman untuk berdiri di depanku sambil
berkacak pinggan.
“Apa?” tanyaku tidak mengerti menatapnya.
Dia kemudian mengerakan sebelah kakinya untuk menendang tulang keringku.
“Aduh! Lily,” teriakku memegang tulang keringku yang kesakitan.
Tanpa peduli dia kembali duduk di kursi taman dan melipat tangannya.
Dasar setan kecil.
Tak lama kemudian. “Jaime,” panggilnya mendadak dengan nada rendah dan
terdengar serius.
“Ya?” tanyaku tidak mempedulikannya dan melihat pada sekeliling. Tepatnya
melirik mahasiswi-mahasiswi cantik. Bunga dan wanita adalah keindahan alam
yang tiada kunjung habis.
“Apa kamu tidak ingat padaku?”
Aku menatap pada Lily dan mencoba mengingat. “Tidak,” jawabku. Aku tidak
akan mengingatnya jika dia selama ini diam-diam memperhatikanku dari taman
sekolahnya. Aku tahu, aku ini tampan, ganteng dan banyak disukai orang. Bukan
dosaku terlahir sebagai pria yang seksi.
“Apakah kamu menyukaiku?”
Kedua alisku mengernyit. Pertanyaan macam apa itu, dan gadis ini terlalu cepat
dewasa. Atau juga dia hanya mencari sebuah penerimaan karena tidak
mendapatkan penerimaan dari keluarganya. Panti asuhan akan tepat untuknya, dia
akan menemukan teman-teman sebaya dan pengasuh yang baik. Aku melihat
padanya, gadis kecil ini terlihat cantik dan menarik. Sesuatu dari dirinya
membuatku merasa mengenalnya tapi juga tidak. Tidak mungkin dia malaikat
dalam mimpiku. Lagi pula itu cuma mimpi.
“Tidak,” jawabku jujur. Lagi pula mengapa aku harus menyukai seorang gadis
kecil.
“Kenapa kalian manusia harus berbohong?”
“Aku berbohong?” tanyaku tidak percaya. Karena aku mengatakan aku tidak
menyukainya? Oh ayolah...?
Lily menarik nafas dan memandang lurus ke depan “Orang di tempat tadi, Jaime
mengatakan Lily gila dan juga jawaban Jaime tadi?” protes Lily, “Kenapa semua
manusia harus berbohong?”
Sedikit banyak kata itu membuatku diam. Karena aku benar berbohong
mengatakan Lily gila tanpa memperhatikan perasaannya. Seharusnya aku lebih
menghargainya meski dia masih kecil.
“Maaf,” kataku.
Lily menggellengkan kepalanya. “Mengapa manusia berbohong?” tanyanya lagi.
“Mungkin karena takut,” bisikku. Seperti aku takut akan terjadi sesuatu pada Lily
sehingga aku berbohong tentang Lily yang gila pada orang itu. Dan aku juga
takut mengatakan aku menyukai seorang gadis cilik yang menarik dan berakhir di
penjara.
Tidak menyukainya, dia hanya menarik.
Aku duduk bersandar pada kursi taman dan mulai berpikir tentang kebohongan.
Rasanya hal itu begitu alamiah. Aku berbohong beberapa kali ketika ingin masuk
bekerja sebagai buruh bangunan. Aku berbohong tentang umur dan pengalaman
kerjaku yang sebenarnya tidak ada.
Aku takut tidak diterima.
Aku berbohong pada temanku.
Karena aku takut dia membenciku.
Aku berbohong agar aku tampak lebih baik dari diriku yang kumiliki saat ini.
Mungkin aku berbohong karena aku merasa rendah diri, ketakutan untuk tidak
diterima, ketakutan akan disakiti atau aku hanya ingin menipu orang lain?
Meski aku tahu seseorang harus menipu dirinya sendiri sebelum membohongi
orang lain.
Tapi kenapakah aku berbohong? Mungkin karena aku tidak cukup kuat menerima
diriku dan kenyataan hidupku. Meski sebenarnya kenyataan itu yang tetap
terbaik. Kejujuran adalah obat mujarab yang pahit untuk kehidupan.
Tapi jelas tidak banyak orang yang menginginkannya.
Aku tidak tahu.
Lily menatap kejauhan di mana terlihat seorang pria dan seorang wanita yang
baru saja memasuki taman sambil saling berteriak. Terlihat keduanya berhenti di
tengah taman dan bertengkar dengan penuh kemarahan dan kebencian. Wanita itu
berteriak keras dan mulai memukul pria itu dengan kedua tangannya sambil
berderai air mata. Dan pria itu balas mendorongnya hingga terjatuh dan
meninggalkan wanita itu yang menangis dan berteriak-teriak marah.
“Mengapa dia menyimpan kemarahan?” tanya Lily muram.
“Karena dia disakiti,” jawabku yakin karena setiap orang pasti marah
diperlakukan demikian. Tidak heran jika kemarahan itu akan menjadi dendam
dan berlanjut menjadi sesuatu yang jauh lebih buruk.
“Jaime,” panggil Lily sambil menunduk sedih. “Kenapa manusia mau
menyimpan emosi buruk seperti kemarahan, kebencian dan kesedihan pada diri
mereka?”
Aku tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. “Bukankah itu normal?” tanyaku
kembali. Bukankah lebih normal untuk menyimpan semua itu dari pada
mengeluarkannya di depan umum. Dan berakhir ditonton semua orang.
“Itu tidak normal,” teriak Lily melompat turun dari kursi taman dan berdiri
dihadapanku. “Lihat nenek itu,” kata Lily menunjuk pada seorang tua yang
menjual bunga di tengah taman, “Dia menyimpan begitu banyak kemarahan dan
kebencian hingga energi berwarna hitam berkumpul pada dadanya, energi itu
akan merusak tubuhnya. Dan.. dan.. dia bisa mati.” Wajah Lily menjadi murung.
Aku menatap pada nenek itu dan aku mengenalnya, dia selalu ada di tengah
taman menjual bunga. Sepengetahuanku, dia mengidap kanker payudara. Kami
pernah berbicara beberapa kali. Aku menatap Lily. Tidak tahu apakah aku harus
mendengarkannya? Dan dia sedari tadi berbicara tentang energi. Apakah dia
anak-anak indigo yang kabarnya dapat melihat energi atau aura seseorang?
Atau hanya seorang gadis dengan imajinasi terlampau tinggi.
Aku menghela nafas dan jujur aku tidak dapat melihat energi. Jadi aku tidak tahu.
Akan tetapi aku pernah membaca jika kanker mungkin saja diakibatkan oleh
stress pikiran atau emosi buruk yang disimpan. Karena menurut jalur alamiah,
kanker adalah sel asing yang masuk dalam tubuh dan sel darah putih akan dengan
sendirinya mematikan sel asing itu sebelum bertumbuh. Sedangkan sel kanker
tumbuh membesar karena tubuh memberinya nutrisi untuk berkembang dan sel
darah putih menganggap sel kanker itu sebagai sahabat dan membiarkanya.
Dalam salah satu pengobatan alternatif kanker, ada yang mengatakan manusia
menyimpan kemarahan, kebencian, kesedihan atau emosi negatif lainnya dalam
tubuh hingga semua kotoran energi itu menjelma menjadi kanker. Dan bila
pikiran bersedia membiarkan semua emosi negatif itu terbuang keluar dari tubuh,
maka seorang pasien bisa mendapatkan kanker dalam tubuh mereka menghilang
tiba-tiba. Karena sel darah putih mengenali sel kanker atau sel asing itu tidak
boleh di dalam tubuh dan mulai membunuh sel kanker perlahan-lahan.
Pada banyak seminar juga sudah dijelaskan bahwa membawa-bawa emosi negatif
adalah seperti membawa sayur-sayuran atau buah-buahan yang mulai membusuk.
Membutuhkan energi yang tidak sedikit untuk tetap membawanya. Semakin lama
kita membawanya, emosi itu akan seperti buah yang terus membusuk dan
semakin berbahaya, hingga akhirnya emosi itu menjadi penyakit.
Menurutku manusia merasa wajar membawa kemarahan, kebencian, kesedihan
dan emosi negatif lainnya ke mana pun mereka berada. Inilah kehidupan di bumi.
Suka atau tidak, begitulah cara manusia hidup. Lily terlihat sedih sehingga aku
menghiburnya, “Lily mungkin saja mereka merasa sulit untuk melepaskan
kebencian dan kemarahan dari dalam dirinya.”
“Kenapa mereka merasa sulit? Bukankah tinggal membuangnya?” tanya Lily
ingin tahun.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan mencoba mencari alasan,
“Mungkin karena mereka tidak tahu caranya. Mungkin karena mereka suka
memiliki emosi itu. Atau mungkin...” Aku terdiam sebentar sebelum
melanjutkan. “Mungkin karena mereka ingin seseorang melihat kemarahan,
kesedihan, kesakitan dan emosi negatif yang melukai diri mereka. ”
“Untuk apa mereka mencelakai dirinya sendiri hanya untuk dilihat orang lain?”
tanya Lily.
“Supaya orang yang menyebabkan luka itu meminta maaf dan memperhatikan
mereka. Atau...” Aku menghela nafas akan kebodohan manusia “... mereka ingin
menghukum orang itu. Dengan menimbulkan perasaan rasa bersalah.”
“Apakah itu berhasil?” tanya Lily
Aku segera tertawa, aku sudah pernah mengunakan cara itu dan aku harus
menyadari dengan cara meyakitkan, “Orang yang menyakitimu, cenderung tidak
peduli padamu dan kalau kamu menghukum mereka dengan melukai dirimu.
Kamu hanya mendapati mereka membuang muka dan menatapmu dingin tanpa
belas kasihan. Mereka menganggapmu bodoh dan mungkin ada juga yang tertawa
senang melihat kebodohanmu.”
“Benarkah?” tanya Lily sedih.
Aku tahu ada beberapa suku kecil yang para istrinya masih memegang tradisi jika
suami mereka memarahi mereka dengan keterlaluan, maka mereka akan
memotong jari mereka agar suami itu menyesal. Mereka menghukum agar suami
itu terus mengingat kesalahannya dengan menatap jari yang hilang dari tangan
mereka, istrinya. Dan kebanyakan para wanita dari suku itu memiliki jari tangan
yang tidak lengkap.
“Tapi hal itu jarang berhasil,” sahutku pada Lily dan melihatnya. “ Don’t try it at
home. Kamu akan cepat mati karena “makan hati” kebanyakan.”
Lily masih bersedih, “Mengapa manusia mau merusak tubuhnya sendiri?”
“Itu hak mereka,” kataku akhirnya. “Mereka bebas melakukan apa pun pada
kehidupan mereka. Mereka berhak menyimpan emosi negatif mereka dan mati
bersamanya. Ini negara bebas.”
“Tapi” kata Lily, “Mereka tidak hanya merusak diri mereka. Mereka ikut
merusak dunia dan semua alam semesta. Secara energi mereka tidak saja
menyimpan kemarahan itu tapi mereka juga menyebarkannya. Mereka meracuni
seluruh kehidupan.”
Aku mengeryitkan alisku. Aku menyadari, tidak mungkin bagi seorang yang
tidak peduli pada dirinya untuk peduli pada orang lain dan lingkungan. Tapi
merusak alam semesta? Aku melihat pada Lily.
“Bagaimana caranya?” tanyaku tidak percaya. Tidak mungkin seorang yang
menyimpan kemarahan dapat memberikan kerusakan begitu besar. Palingan
merusak rumahnya dan beberapa orang dilingkungannya.
Lily kembali pada tempat duduk dan mulai bercerita, “Nenekku dulu pernah
mengatakan. Orang yang membawa kemarahan, cenderung akan membuat orang
lain marah. Meski mereka tidak membagikannya, hanya dengan berada di sekitar
orang pemarah saja dapat membuat energimu terpengaruh atau mendadak
menjadi marah tanpa sadar. Karena energi berpindah. Nenek juga bercerita
tentang efek berantai.”
Lily mulai mendongengkan sebuah kisah. Dan aku mendengarkannya sambil
menatap bunga dan mahasiswi. Biarkan orang yang ingin berbicara bicara.
Pada sebuah hutan yang indah, terdapatlah banyak binatang yang hidup di
dalamnya dengan tenang dan damai. Pada suatu hari seorang manusia tersesat di
dalam hutan itu dan dia menginjak ekor seekor rubah. Rubah tersebut diam dan
menunggu manusia itu untuk meminta maaf. Adalah hukum yang sudah lama
berlaku untuk siapa pun yang berbuat salah harus meminta maaf. Dan setiap
makhluk harus saling memaafkan. Dan rubah itu sudah memaafkan manusia yang
tidak sengaja menginjak ekornya tapi masih menunggu agar manusia itu meminta
maaf.
Manusia itu terlihat tidak peduli dan karena melihat rubah yang diam di tempat,
manusia itu mencoba untuk menangkapnya namun tidak berhasil karena rubah itu
melarikan diri. Rubah itu akhirnya marah dan menyimpan perasaan amarah
dalam hatinya. Dua hari kemudian rubah yang sedang marah bertemu dengan
seekor harimau. Rubah itu menatap harimau dan tidak bersedia menegurnya
sehingga berlalu begitu saja melalui hariamau. Harimau yang biasanya dihormati
melihat kelakuan rubah langsung menegurnya agar rubah meminta maaf darinya.
Namun, rubah itu malah tidak mempedulikannya dan berlari meninggalkannya
begitu saja. Rubah itu jelas masih marah dan berfikir, “Jika ada yang tidak
meminta maaf padaku setelah melakukan kesalahan padaku, Mengapa aku harus
meminta maaf karena hal yang tidak kulakukan.”
Harimau pun marah dan mengejarnya, karena kelincahan rubah melompat ke atas
pepohonan, harimau tidak berhasil mendapatkannya dan pergi dalam keadaan
marah.
Harimau yang marah mulai melampiaskan kemarahannya pada makhluk mana
pun yang melintas di dekatnya. Dalam sekejap hampir sebagian besar binatang
dalam hutan itu menyimpan kemarahan pada rubah dan harimau. Mereka juga
mulai melampiaskan kemarahan mereka pada binatang-binatang lain. Termasuk
pada burung-burung yang tidak bersalah. Para burung menjadi marah karena
diganggu.
Banyak burung-burung di hutan itu selalu berpindah dari satu hutan ke hutan lain.
Beberapa burung membawa kemarahan dalam diri mereka dari hutan ke hutan.
Mereka mulai sembarangan membuang kotoran di atas makhluk lain dan saat
ditegur oleh penghuni hutan lainnya, mereka hanya terbang sambil mengejek.
Meninggalkan kemarahan pada binatang-binatang dalam hutan itu. Dan binatang
dalam hutan itu mulai melampiaskannya pada binatang lain. Dalam sekejap
seluruh hutan di dunia itu dipenuhi kemarahan. Yang awalnya hanya berasal dari
sebuah kemarahan kecil.
Pada akhirnya manusia semakin sulit memasuki hutan karena binatang-binatang
menjadi pemarah. Setelah sekian tahun manusia yang pertama kali membuat
rubah marah kini kembali ke dalam hutan itu, berpikir bahwa hutan itu masih
sama seperti yang dahulu. Ia bertemu dengan harimau dan tanpa alasan harimau
itu menerkamnya.
Hanya karena sebuah kesalahan atau bibit kecil kemarahan yang ditanamnya
kini telah bertumbuh menjadi pohon kemarahan yang begitu besar.
Aku terdiam. Aku pernah mengenal teori seperti itu yang di sebut teori efek
kupu-kupu atau butterfly effect. Kisah tentang seekor kupu-kupu yang
mengepakan sayapnya dan akhirnya menyebabkan badai topan di benua lain.
Ceritanya seekor kupu–kupu kecil mengepakkan sayapnya dan mengubah jalur
arah angin kecil, dan angin kecil itu kemudia mengubah jalur arah angin yang
lebih besar. Dalam perjalanan berikutnya jalur angin yang lebih besar itu
mengubah jalur arah angin yang jauh lebih besar lagi. Setelah melewati
perjalanan setengah bumi, angin yang pada awalnya kecil telah berubah menjadi
badai topan.
Sederhananya, jika ada dua buah garis yang pada sebuah titik kecil, sebuah garis
melenceng 0.000001 mili meter dari garis lainnya, yang kelihatannya tidak
berarti pada awalnya. Pada jarak satu kilometer kedua garis itu akan sudah
berpisah pada jarak yang sangat lebar.
Aku memahami hal itu tapi kebencian antar sesama manusia sudah bertumbuh
sejak ribuan tahun, pada jaman perang salib, perang dunia satu dan dua bahkan
pada jaman-jaman sebelum itu. Kebencian, kemarahan sudah mendarah daging.
Tidak ada yang bisa diperbuat lagi.
Lilya duduk merengut, kembali bertanya. “Mengapa juga manusia perlu hidup
dengan menaklukan alam?”
“Apa,” tanyaku tidak mengerti...
“Manusia membangun kota-kota dengan menaklukan alam, bukankah pada
akhirnya mereka hanya mendapati alam akan menaklukan mereka?” tanya Lily
protes padaku. “Mengapa manusia tidak bisa hidup bersama dengan alam?”
Aku baru-baru ini membaca sebuah majalah yang menjelaskan hampir semua
makhluk hidup di dunia ini, kecuali manusia, hidup dan berkembang biak dengan
bekerja sama dengan alam. Mereka mengambil apa yang diberikan alam. Mereka
membutuhkan alam. Mereka hidup bersama alam meski kadang tempat mereka
hancur oleh alam dan mereka menerimanya.
Manusia adalah makhluk yang hidup dengan menaklukan alam, menghancurkan
alam dan memeras alam. Manusia membangun kota-kota dan bangunan yang
tidak ramah pada alam. Mereka mengunduli hutan, mengeluarkan isi perut bumi
dengan jumlah yang banyak dan membuat hasilnya yang merusak lingkungan.
Membangun kota yang menyebabkan pemanasan global.
Aku sering bertanya, sejak kapan manusia mulai menghancurkan rumah tempat
tinggal mereka sendiri hanya demi sebuah nafsu dan ketamakan. Tapi dunia ini
luas, sedikit bagian yang terbakar tidak akan menjadi masalah bukan? Tanah
yang tidak terpakai diolah untuk menjadikan sesuatu yang bernilai dan
dikirimkan untuk kota di mana lebih banyak manusia yang membutuhkan. Semua
ini karena yang terutama dalam kehidupan adalah manusia, bukan alam. Tentu
saja yang berlaku adalah hukum kepentingan manusia. Bukan hukum
kepentingan alam. Di mana ada permintaan manusia di sana selalu ada
penawaran. Selalu ada orang yang siap melakukan apa pun untuk uang termasuk
menghancurkan alam.
Sepanjang yang kuingat, manusia sudah lama menghancurkan bumi. Apakah
bumi dan alam akan membalasnya suatu saat? Karena apa yang ditanam manusia
akan kembali padanya dalam jumlah yang lebih besar. Aku menghela nafas
kembali. Dunia ini sudah hancur bahkan sebelum aku dilahirkan. Kami menerima
puing-puing kehancuran dari generasi sebelumnya. Manusia hanya tinggal
menunggu saat-saat alam membalasnya.
Tidak ada yang bisa kukerjakan, aku hanyalah seorang manusia biasa.
Dan aku jelas tidak akan menjadi ujung tombak untuk melakukan perubahan.
Aku cukup menikmati dunia ini dan semua kejelekannya. Kelak akan mati
bersama mereka. Dengan demikian, jika gadis ini ingin membuat perubahan
maka dia sendiri melawan dunia.
Semoga dia cukup kuat.
BAB 4
Telepon genggamku mendadak berbunyi dan aku melihat sebuah nomor tidak
dikenal pada layar telepon genggam. Setahun lalu mungkin aku tidak akan
mengangkat telepon dari nomor tidak dikenal berhubung karena aku banyak
utang. Tapi kini aku bersih, dengan bangga aku segera mengangkatnya.
“Halo,” tanyaku.
“Apakah saya berbicara dengan Pak Jaime?” terdengar suara dari balik telepon
genggam.
“Ya,” kataku.
“Saya keluarga dari Lily. Apakah Lily bersama bapak?”
Aku melihat pada Lily dan menjawab, “Ya, ya benar. Dia ada padaku.”
Pembicara itu segara mengatakan dia mendapatkan nomor dari kertas yang
kutinggalkan dipelosotan taman sekolah. Dia bertanya akan lokasi keberadaanku
untuk dapat menjemput Lily, yang segera kuberitahu. Dia memutuskan hubungan
telepon setelah berjanji akan segera menuju ke taman tempat aku berada karena
kebetulan posisinya sudah sangat dekat.
“Lily,” panggilku. “Keluargamu akan datang menjemputmu di sini.”
Lily segera melihat ke arahku dengan padangan kosong dan kemudian hanya
diam. Lima menit kemudian aku melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti
terburu-buru di tepi jalanan depan gerbang taman. Dua orang berpakaian hitam
langsung keluar dari mobil. Seorang darinya mengeluarkan telepon genggam.
Sedetik kemudian telepon genggamku berbunyi.
“Pak Jaime?” sahut pembicara di balik telepon, “Kami sudah tiba di gerbang
taman. Di manakah anda berada?”
Aku segera melambaikan tanganku pada arah mereka dan menjawab. “Di kursi
taman di depan kalian, aku sedang melambaikan tangan.”
Pria itu menatap ke arahku dan berkata, “Baiklah,” kemudian menutup telpon itu.
“Penjemputmu datang,” kataku pada Lily dan saat Lily berbalik dan melihat
mereka berdua. Lily langsung menarik tanganku dan berteriak, “Lari!!”
Tanpa sadar kakiku segera berlari mengikuti tarikan Lily, meski cuma setengah
hati. “Ada apa?” tanyaku kebingungan dan melihat para pria berpakaian hitam
juga mulai berlari mengejar kami.
“Mereka bukan keluargaku,” kata Lily sambil berlari cepat. “Mereka penculik?”
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah aku akan mendengarkan Lily
atau berhenti dan menyerahkan dirinya pada pria-pria itu. Kami berdua berlari
keluar dari pintu gerbang taman lain dan memasuki jalanan.
“Ke sebelah sini,” teriakku menarik Lily memasuki sebuah jalan yang menuju ke
arah tempat kerjaku. Di sana aku memiliki banyak teman dan bisa bersembunyi
sebentar. Mungkin Lily akan menjelaskan semua kegilaan ini. Di depan gerbang
tempat konstruksi aku mengarahkan Lily untuk memasuki lapangan kerja itu.
Lily tiba-tiba berhenti dan menatapku, “Ini tempat kerjamu?”
“Iya,” jawabku berhenti menunggunya.
“Kita tidak boleh di sini,” kata Lily dan segera menarikku ke arah lain.
“Kenapa?”
“Pokoknya tidak boleh,” tambah Lily menarikku. Karena pembicaraan kami, dua
pria itu sudah lari mendekati kami dan mendadak, Aku tidak tahu jika aku sedang
berhalusinasi atatu tidak. Dari tubuh kedua itu muncul sebuah bayangan hitam
yang menjelma menjadi dua ekor anjing besar yang mengeram dengan gigi
mereka yang tajam dan liur yang mengalir. Mata anjing itu terlihat sangat tidak
baik. Anjing itu segera mengonggon dan berlari cepat mengejar ke arah kami dan
karena aku segera berdiri di depan Lily, anjing itu melompat menerjang ke
arahku. Tanganku segera terangkat naik melindungi tubuhku dan anjing itu
mengigit lenganku.
“Tidak!!!!” teriak Lily keras.
Mendadak kedua anjing itu pecah dan buyar menjadi pecahan bayangan. Aku
melihat kedua pria itu yang segera mulai mengejarku lagi. Aku berbalik dan
melihat sebuah taksi yang baru berhenti menurunkan penumpangnya di pinggir
jalan. Dengan cepat dan aku segera menarik Lily untuk berlari menuju pada taksi
tersebut. Kami berdua masuk dengan terburu-buru, menutup pintu dan menyuruh
supirnyassegera bergegas maju. Meninggalkan kedua pria itu yang mencoba
mengejar dengan sia-sia. Aku melihat pada lengan tanganku yang tadinya tergigit
anjing dan menemukan bekas gigitan moncong anjing yang membiru.
Apa yang sedang terjadi? Jika anjing itu tidak pecah mungkin gigi-giginyalah
yang sudah menancap pada daging tanganku.
Supir menanyakan arah kami dan setelah menimbang jarak antara ke tempat
kostku atau panti asuhan, aku memutuskan untuk kembali ke tempat kostku. Aku
terdiam selama perjalanan dan saat mendekati jalanan menuju ke tempat kostku,
terlihat kemacetan dan keramaian. Taksi terpaksa berhenti sehingga aku
membayar dan turun untuk melihat apa yang terjadi. Melewati kerumunan orang
dan menarik tangan Lily. Aku melihat rumah tempat kostku yang berlantai dua
sedang terbakar dilalap api. Terlihat mobil pemadam kebakaran sedang mencoba
menanganinya.
Apakah ini kebetulan? Ataukah ada hubungannya dengan Lily?
Melihat tempat tinggalku yang terbakar. Aku mengepalkan tanganku dengan hati
yang terasa teramat sakit. Barang-barangku yang kumpulkan dengan bersusah
payah selama bertahun-tahun terlahap habis oleh api. Lantai 2 bangunan itu
akhirnya roboh dan jatuh dengan suara keras. Aku melihat beberapa teman
kostku yang menatap ruamh itu dengan raut wajah sedih, putus asa dan ada yang
menangis.
Udara panas terbawa angin menerpa diriku. Tanpa sadar air mataku menetes
turun. Pakaianku, komputerku, kursi dan meja yang kubeli dari gajiku. Aku ingin
berteriak keras. Tangan kecil Lily memegang tanganku yang terkepal. Mendadak
aku merasakan kebencian pada Lily tapi aku tahu dia tidak bersalah. Dengan
sedih aku berbalik melangkah yang diikuti oleh Lily.
Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi.
***
Di sebuah kafe kecil aku dan Lily duduk sambil memesan sebuah minuman. Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan pada Lily dan juga hidupku. Kepalaku terasa
tidak mampu mencerna semua ini lagi. Aku hanya ingin duduk di sini sementara
untuk beristirahat dan memikirkan mengapa semua ini terjadi.
Apakah rumahku yang terbakal memiliki hubungan dengan Lily atau kedua pria
tadi?
Aku sudah menelpon Iin yang memang salah seorang petugas panti asuhan untuk
menjemput Lily di kafe tempatku berada ini. Entah mengapa aku tidak ingin
bersama dengannya lagi, meski sedetik lebih lama. Terdengar suara pintu kafe
terbuka dan tiga orang gadis muda masuk sambil tertawa yang diikuti dua orang
pria dibelakangnya. Mereka adalah mahasiswa dan mahasiswi dari kampus
terdekat.
Seorang gadis berkaca mata menatap ke arahku dan tersenyum, “Jaime?”
“Nina,” balasku tersenyum dan gadis itu berjalan menuju ke mejaku
meninggalkan teman-temannya yang sedang duduk di meja lain. “Apa yang kamu
lakukan di sini? Menunggu seseorang? Kamu tidak bekerja?”
Pertanyaan itu membuatku sedikit malu. Nina adalah gadis cantik dan putri dari
seorang pengusaha kaya. Aku mengenalnya saat aku bekerja pada pembangunan
kampus baru mereka. Dia gadis yang teramat ramah dan baik hati. Hanya saja dia
juga pencuri. Dia telah mencuri hatiku dan tidak mengembalikannya.
“Aku, Aku...” sebelum aku menjawab tiba-tiba televisi di sudut kafe menunjukan
fotoku yang membuatku segera terdiam menatap layar televisi. Nina yang
melihatku segera mengikuti arah pandangan mataku menatap pada layar televisi.
Terdengar suara dari televisi, “Berita terbaru saat ini, seorang pemuda yang
diduga bernama Jaime telah menculik seorang gadis berumur 12 tahun yang
bernama Lily dari tempatnya bersekolah. Lily merupakan cucu dari Vito yang
merupakan satu dari 50 orang terkaya di dunia ...”
Layar televisi berganti-ganti menunjukan fotoku dan juga gambar Vito yang
sedang diwawancarai, sepasang pria dan wanita terlihat sedang menangis begitu
sedih. Terlihat tulisa di layar televisi menerangkan mereka adalah orang tua Lily.
Seluruh tubuhku segera berhenti bergerak dan bibirku keruh. Jantungku terasa
berdetak begitu lambat. Aku menatap pada Lily dan Lily segera menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak memiliki keluarga di bumi dan mereka bukan orang
tuaku.”
Nina memandang ke arahku dan juga pada Lily. “Jaime, Kamu menculiknya?”
Televisi itu segara menyiarkan lagi, “Vito bersedia memberikan hadiah bagi siapa
pun yang dapat memberikan informasi mengenai cucunya.”
Aku segera berdiri dan menarik Lily, “Maaf Nina,” kataku, “Aku akan
menjelaskannya nanti,” dan segera berangkat keluar dari cafe itu. Telepon
genggamku segera berbunyi yang segera kumatikan. Dengan wajahku yang
terpampang di media elektronik, teman-temanku mungkin akan segera
menghubungiku. Terutama kepala panti asuhan yang tidak pernah ketinggalan
menonton berita setiap harinya.
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi pada kehidupanku. Dan pastinya aku sudah
merusak nama baik panti asuhan tempatku dibesarkan, yang telah menghidupiku
bertahun-tahun. Aku mengeraskan kepalan tanganku. Lebih baik aku mati dari
pada mencoreng nama baik panti asuhan itu. Air mataku mengalir.
***
Sejak gadis ini berada di tanganku semuanya menjadi semakin buruk. Bahkan
belum ada 24 jam dan kesialanku muncul bertubi-tubi. Aku melangkah cepat ke
dalam sebuah jalanan kecil yang sudah lama kukenal. Tempat aku menghabiskan
waktu saat pertama kali keluar dari panti asuhan.
“Kita, ke mana?” tanya Lily yang ketakutan karena aku menarik tangannya
begitu keras. Aku menyeretnya dengan kebencian, yang mungkin lebih benci
pada nasibku yang buruk.
“Hei, Jaime,” panggil seorang tua penyapu jalanan.
“Brian,” sahutku melemparkan sebuah senyum kecil dan melewatinya.
“Jaime,” panggil seorang tua yang duduk di sebuah kursi depan tukang pangkas.
“Jack,” sahutku sambil menghormat. Jalanan kecil dengan rumah-rumah tua
berderet ini adalah tempatku tinggal selama dua tahun sebelum aku pindah ke
tempat kostku.
“Jaime, jaime, jaime..” sahut beberapa orang anak kecil mendekatiku, beberapa
ibu-ibu rumah tangga tersenyum melihatku dan beberapa orang menyapa ramah.
Tempat ini selalu ramah. Aku terseyum pahit jika saja fotoku tidak ada di siaran
siang hari ini, tentu aku akan sangat senang dipanggil. Tapi kali ini aku benar-
benar tidak ingin dikenali. Tapi sedikit keberuntunganku adalah orang-orang di
sini lebih menyukai berada di luar ruangan dari pada menonton televisi dan jika
pun ada, mereka akan lebih suka memutar drama.
Berjalan tidak jauh dari jalan kecil itu, kami menemukan sebuah pagar kawat besi
yang mengurung sebuah pabrik pembuatan minuman milik asing. Pabrik yang
sudah terbengkalai puluhan tahun lalu. Aku mendekati kawat pembatas dan
menggeser sebuah kawat yang sudah berkarat. Segera terlihat sebuah lubang
besar.
“Masuk,” sahutku pada Lily. Kami berdua melewati pagar itu dan melewati
sebuah halaman dari semen yang sudah hancur dan berumput. Tak lama, kami
tiba pada sebuah pintu besi kecil yang merupakan jalan belakang pabrik. Di
pinggir pintu terdapat tumpukan batu yang sudah berumut dan berumput tinggi
sekali. Aku menggeser dua buah batu untuk menemukan sebuah kunci untuk
membuka pintu besi itu. Aku mendapatkan kunci ini dari seorang senior
pendahulu yang keluar dari panti asuhan.
Pintu besi berkarat itu menderik saat kubuka dan ruangan itu segera
mengeluarkan bau apek bersama debu. Inilah tempatku tinggal bertahun-tahun
setelah keluar dari panti asuhan dan tidak memiliki pekerjaan.
***
Di sebuah ruangan bekas kantor di lantai dua pabrik, aku duduk di atas sebuah
kursi putar reyot dan Lily duduk di atas sebuah sofa usang. Berapa kalipun aku
berpikir, Aku tetap tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan Lily dan
nasibku. Juga mengapa semua ini bisa terjadi?
“Katakan siapa kamu sebenarnya dan siapa orang-orang itu yang kamu katakan
penculik,” tanyaku menatapnya tegas. Lily terdiam sebentar dan menatapku
dalam diam. “Sebaiknya kamu bercerita atau aku akan menyerahkanmu pada
polisi atau kedua orang yang mengejar kita tadi.”
“Apa kamu akan percaya terhadap ceritaku?”
“Tidak,” kataku tegas. “Tapi kamu boleh mencoba.”
BAB 5
Seorang kepala desa mengumpulkan para penduduknya di tengah-tengah pasar
dan memberitahukan bahwa pendaftaran untuk para sukarelawan menuju ke
dimensi ketiga sudah dibuka. Setiap orang yang ingin mendaftarkan diri akan
dipersiapkan sebelum diturunkan.
Mereka yang bersedia untuk turun ke dimensi ketiga akan mendapatkan sejumlah
uang yang cukup besar untuk ditinggalkan pada keluarganya. Bagi mereka yang
hidup di dimensi keempat, turun ke dimensi ke 3 adalah seperti dikirm ke medan
perang, hanya sedikit yang bisa kembali dan hampir dapat dikatakan tidak ada
yang pernah kembali. Dan memang benar, mereka dikirim untuk berperang di
pusat penyebab kehancuran, di mana mereka akan melawan pikiran negatif
mereka sendiri. Semuanya untuk menyelamatkan kerusakan yang sedang
mengerogoti dimensi keempat mereka dan juga kehidupan mereka. Tentu saja
tidak banyak orang yang ingin menjadi tentara di garis depan.
Lily mengigit bibirnya, ia membutuhkan uang untuk kesembuhan bibinya.
Bibinya yang sedang sakit. Bibinya selama ini sudah menjaganya menggantikan
kedua orang tuanya yang telah meninggal setelah kecelakaan yang berhubungan
dengan dimensi atas. Ia akhirnya membulatkan tekad untuk mendaftarkan diri
dan pergi setelah memastikan uang itu tiba di samping tempat tidur bibinya. Ia
tahu bibinya memiliki banyak anak-anak yang dapat menjaganya.
Sebelum diturunkan ke dimensi tiga, Lily dan beberapa rekannya mendapatkan
banyak pengetahuan akan hal-hal perlu diketahui sehubungan dengan dimensi
ketiga dan juga apa yang akan dilakukannya di bumi. Terutama penjelasan
tentang mengapa mereka harus turun ke bumi.
***
Lily menatapku, “Aku datang dari dimensi keempat untuk mencegah kehancuran
duniaku karena polusi dari energi yang dikeluarkan oleh para manusia.”
“Polusi energi?” tanyaku yang tidak tahu harus tertawa, menyengir atau marah.
Semua ceritanya sudah tidak masuk di akal. Aku akan mencoba seberapa baik dia
bisa terus-terusan berbohong.
Lily mengangguk, “Kalian manusia belum dapat mengendalikan kekuatan pikiran
kalian sehingga terus memikirkan banyak hal negatif yang dapat merusak hidup
kalian, bumi dan alam semesta.”
“Wow.. wow ... wow... tunggu dulu gadis cilik, tidak ada peraturan yang
melarang untuk berpikir bukan?”
Lily terlihat kesal, “Tapi tahukah apa yang kalian manusia pikirkan itu akan
menjadi kenyataan?”
“Benarkah?” tanyaku.
Seperti aku akan memikirkan aku kaya, punya banyak pabrik dan punya banyak
gadis-gadis cantik seksi yang menemaniku. Dan menjadi kenyataan? Viola.... aku
hidup di surga.
Lily memandangku dengan kesal. “Pikiran mengeluarkan energi dan energi itu
akan menyebar ke keberadaan serta bergerak untuk mewujudkan apa yang terus
kamu pikirkan. Semakin kuat kamu memikirkan hal yang kamu impikan, maka
hal itu akan semakin cepat terwujud. Dan hal itu akan menjadi nyata setelah
mendapatkan energi yang cukup. Semua itu adalah pembelajaran dasar
materialisasi.”
Aku terdiam dan kemudian mengingat banyak hal tentang materialisasi ini. Setiap
orang dalam dunia usaha mengunakannya untuk mencapai target mereka. Mereka
menggunakan kekuatan pikiran mereka dalam bentuk fokus untuk memusatkan
agar keinginan mereka terjadi, membentuk cetak biru dan sebagainya. Semakin
jelas menggambarkan sesuatu dan menginginkan sesuatu, maka hal itu akan
segera terjadi.
“Apakah itu berbahaya?” tanyaku.
Lily terlihat sedih, “Kalian manusia tidak menjaga pikiran-pikiran buruk kalian.
Bayangkan jika sekumpulan orang menginginkan akhir dunia dan mengirimkan
energi ke alam energi untuk meminta agar akhir dunia benar-benar terjadi. Dan
itulah yang sedang terjadi.”
Aku terdiam,
Apakah kiamat dunia akan benar-benar terjadi karena ulah manusia sendiri.
“Kalian membanjiri media dan tempat-tempat kalian berada dengan kemarahan,
kebencian, pembunuhan, tindakan-tindakan jahat lainnya. Tidakkah kalian
memikirkan bahwa semakin banyak kalian melihat hal-hal itu, memikirkan hal-
hal itu maka hal-hal seperti itu akan terus bertumbuh. Dan kelak akan menjadi
nyata.”
Lily melihatku dan mendadak menangis, “Kalian sudah mengotori dunia kalian
dan membawanya menuju kehancuran.”
Aku hanya dapat tersenyum, lagi pula dunia ini sudah ditakdirkan hancur, sudah
terlalu banyak kejahatan. “Jadi apa hubungannya dengan dirimu untuk datang ke
tempat ini? Jika kamu memang benar dari dimensi keempat?”
Inginku berkata, urus saja duniamu sendiri.
Lily mencoba menghentikan tangisnya, “Pikiran manusia bergerak pada banyak
dimensi sekaligus dan seperti semua penyakit pada tubuh manusia. Kerusakan
akan terjadi pada aura atau energi non fisik terlebih dahulu sebelum merusak
tubuh. Dan dimensi keempat adalah dunia yang terbentuk dari energi yang lebih
tinggi,” jelas Lily sambil menangis. “Sebelum dunia kalian hancur, kalian dan
pikiran negatif kalian akan menghancurkan dimensi keempat terlebih dahulu dan
kalianlah penyebabnya.”
“Apakah itu mungkin?” tanyaku tidak percaya. Rasanya gadis ini baru
menjelaskan sesuatu yang luar biasa tidak masuk akalnya.
Lily diam terisak dan menatapku.
“Baiklah kamu berasal dari dimensi keempat,” sahutku yang merasa cerita ini
semakin kacau dan hanya orang bodoh yang akan percaya. “Katakan Lily apa
sebenarnya tujuanmu datang ke dunia ini. Dari dimensimu itu.”
Cukup katakan, kamu merasa bosan dengan kehidupan orang tuamu yang super
kaya dan melarikan diri. Atau kamu diculik orang berpakaian hitam, kemudian
berhasil melarikan diri dari mereka. Sehingga aku bisa mengembalikanmu pada
keluargamu. Keluarga Vito yang sangat kaya.
Lily terdiam dan menatap pada langit melalui jendela kantor yang kubuka untuk
membuang udara apek, “Kami dan beberapa orang ikut turun ke bumi ini hanya
dengan satu tujuan. Yaitu menyelamatkan dimensi kami.”
“Aku tahu itu,” sahutku setengah kesal karena dia masih juga hendak bermain-
main. “Tapi bagaimana caranya?”
Lily menatap langsung pada mataku dan berkata. “Membawa surga ke bumi ini.”
Aku terdiam menatapnya, mencoba menebak-nebak apakah yang telah
ditanamkan oleh orang tuanya pada anak sekecil ini. Mungkin kedua orang
tuanya selalu bertengkar mengenai uang dan tidak memperhatikannya. Kebetulan
seorang guru agamanya berkata di surga punya banyak kebahagiaan dan orang
tuanya akan menyayanginya tanpa memikirkan urusan uang. Aku melihat Lily
dan mataku basah. Dia anak baik. Dia hanya menginginkan kasih sayang kedua
orang tuanya.
Tapi tetap saja aku masih ingin mengerjainya, “Apakah surga yang kamu
maksudkan itu, surga benaran?”
Lily mengangguk.
“Baiklah, kamu anak baik. Aku percaya padamu,” kataku menatapnya.
“Kamu tidak percaya!” teriak Lily.
“Aku percaya,” sahutku.
“Bahwa aku dari dimensi keempat dan dalam misi membawa surga ke bumi?”
tanya Lily menantangku.
Bola mataku berputar, apa dia ia ingin aku mempercayai itu? Baiklah aku bisa
mencobanya. mencoba mencari kesamaan dan kebenaran kata-kata itu.
“Dan apa hubungan dengan surga ke bumi ini dengan dimensi tempatmu
berada?”
“Jika surga dibawa ke bumi ini, maka dalam prosesnya surga, akan melewati 362
dimensi untuk tiba di dimensi ini. Dan pastinya surga itu akan melewati dimensi
keempat tempat kami berada. Sehingga membuat dimensi tempatku berada
menjadi surga juga.”
“Tapi mengapa bumi? Mengapa tidak membawa surga ke tempatmu berada saja
dari pada kamu harus turun ke tempat ini. Tinggalkan saja bumi ini dalam
kehancuran,” sahutku.
Lily menggellengkan kepalanya. “Aku tidak tahu tapi para tetua mengatakan
bumi dan dimensi ketiga adalah tempat teristimewa dari 365 dimensi yang ada
dalam keberadaan.”
“Oh, ya? Apa hebatnya?” tanyaku penasaran.
Lily sedikit menunduk dan akhirnya berbisik, “Di tempat ini, Tuhan dapat
menjadi manusia tanpa diketahui siapa pun. Jika di dimensi lain yang non fisik,
energi dari Sang Pencipta akan menerjang habis semuanya. Tapi tidak di alam
fisik ini. Di dimensi inilah tempat yang sangat istimewa.”
Tuhan yang menjelma menjadi manusia? Aku pernah mendengar konspirasi yang
mengatakan Tuhan berpura-pura menjadi manusia dan berjalan-jalan di pantai
Kuta Bali untuk melihat pemandangan.
Aku berdiri dan mulai memahami kegilaan apa yang sedang ingin dikerjakan
gadis kecil ini. “Dan dengan apa kamu akan membawa surga ke bumi?” tanyaku
berkacak pinggang menantang gadis kecil ini. Mencobanya sekali lagi.
“Menariknya dengan tali? Menghidupkan mesin untuk membuka portal sejenis
lubang hitam untuk menghisap surga ke bumi?”
Lily menatapku lurus dan jujur, kemudian memegang dadanya, “Hati,” jawabnya
tanpa keraguan.
Aku mengira dia memiliki beberapa ide hebat atau kekuatan menakjubkan untuk
melakukannya. Pada akhirnya aku yakin. Aku sedang ditipu oleh seorang anak
kecil kaya yang ingin melakukan konspirasi dunia. Atau aku bisa memikirkan
banyak organisasi non-profit atau keagamaan dan melemparkannya ke sana
sebagai salah satu pengikut setia mereka untuk membawa perubahan pada dunia.
Untuk membawa surga ke bumi.
Aku melirik padanya. Dia hanyalah seorang gadis kecil yang melarikan diri dari
rumah dengan idea gilanya dan kemungkian besar dia adalah cucu Vito yang
terkenal itu sehingga aku menjadi buronan. Tidak mungkin Vto mau
menayangkan di televisi jika Lily bukan cucunya bahkan menyediakan hadiah.
Jika aku menyerahkan dirinya pada Vito maka semuanya akan selesai. Namaku
akan kembali bersih.
“Jaime, kamu tidak percaya kepadaku?” tanya Lily.
Aku tersenyum ramah padanya, “Sama sekali tidak, dan sekarang aku akan
mengantarmu pulang,” kataku sambil hendak menghidupkan kembali telepon
genggamku.
Jika kedua orang berpakaian hitam tadi tidak dapat dipercaya, setidaknya aku
bisa menyerahkannya langsung pada Vito. Siapa tahu aku akan mendapatkan
imbalan yang dapat menganti barang-barangku yang terbakar. Mungkin sudah
saatnya kemalanganku berganti menjadi keberuntungan.
“Jaime,” panggil Lily dan saat aku melihatnya dia sedang memegang sebatang
emas. Jika aku tidak salah melihat.
“Dari mana kamu mengambilnya?” tanyaku.
Lily menyerahkan sebatang emas itu padaku dan kemudian berkata, “Aku bisa
memberikannya padamu sebanyak yang kamu mau.” Kemudian tangan Lily
menggapai di udara kosong dan mendadak muncul sebatang emas lagi di
tangannya.
Tubuhku seketika terdiam dan melihatnya, “Kamu bisa sulap?”
“Tidak,” tapi aku bisa membuat emas sebanyak yang kamu mau.
Aku terduduk.
“Kamu percaya padaku sekarang?”
“Tentang apa?” tanyaku.
“Semuanya?”
Aku menelan ludah, apakah semua yang diceritakannya adalah nyata? Dia dari
dimensi keempat dan sebagainya. Tadi juga dua ekor anjing muncul begitu saja.
Tapi tetap saja ... membawa surga ke bumi.
Aku pesimis.
“Jadi Vito bukan keluargamu?”
“Aku tidak punya keluarga di dimensi ini,”
“Jadi siapa Vito dan kedua orang itu? Mengapa mereka menginginkanmu.”
“Mereka...,” bisik Lily. “Aku tidak mengenal mereka. Tapi mungkin juga mereka
adalah orang-orang yang diuntungkan dari semua keadaan ini.”
Aku menggaruk kepalaku, “Aku tidak tahu jika ada yang akan merasa
diuntungkan saat dunia hancur.”
“Guruku pernah menjelaskan bahwa di dunia tidak semua orang akan memiliki
tingkat pengetahuan dan kesadaran yang sama. Beberapa masih terjebak pada
emosi rendah, mementingkan dirinya sendiri dan berusaha mengunakan semua
kemampuannya untuk memenuhi hasrat emosi rendah.” Jawab Lily.
“Dan dua orang yang bisa mengeluarkan anjing?” tanyaku ragu untuk
mengetahui apakah aku sedang bermimpi? Tapi jejak biru di tanganku jelas
masih terasa sakit.
“Mereka adalah para ashura. Beberapa manusia mengikat perjanjian dengan
mereka untuk saling bekerja sama,” bisik Lily.
“Untuk apa mereka bekerja sama?” tanyaku.
“Menurut guruku, para ashura takut akan kehilangan tempatnya jika surga dibawa
ke bumi. Mereka akan kehilangan tempat tinggal mereka karena surga adalah
milik para dewa...”
“Apakah ini artinya ada orang-orang yang tidak ingin surga terjadi di dunia dan
mereka ingin bumi hancur karena nafsu rendah?”
Lily menganggukkan kepalanya.
“Sempurna,” kataku mendesahkan nafas dan bersandar pada kursi. Aku tahu
dalam keadaan seburuk apa pun tetap saja ada yang diuntungkan. Manusia selalu
dapat mengambil keuntungan dari pada semua hal, termasuk hal buruk. Setiap
peperangan yang menyengsarakan dua negara selalu ada penjual senjata yang
kebagian untung. Bahkan para penjual senjatalah yang sengaja memperkeruh
suasana agar terjadi peperangan.
Pada setiap krisis ekonomi yang merugikan banyak orang, ada sebagian orang
yang diuntungkan. Saat orang-orang mengalami kerugian, uang yang direngut
dari mereka akan berpindah pada kantong beberapa orang. Manusia adalah
makhluk yang luar biasa tamak dan serakah.
Aku menutup mata berpikir. Memakai emosi rendah untuk keuntungan? Kupikir
semua orang mengetahui hal itu. Lihat saja iklan kulkas, mobil atau apa saja yang
diikuti dengan gadis cantik dengan berpakaian seksi. Meski kulkas atau barang-
barang yang dijual sebenarnya tidak ada hubungannya dengan wanita cantik.
Mereka mencoba merangsang nasfu sexual manusia untuk disatukan dengan
emosi lain seperti keinginan, kesombongan, keserakahan yang pada akhirnya
memberikan dorongan kuat untuk memiliki. Untuk apa? Tentu saja untuk
memperkaya perusahaan.
Puluhan tahun lalu manusia sudah mampu membuat mobil listrik. Dan mobil
listrik sudah memenangkan balap mobil pada beberapa perlombaan bergengsi di
masa lalu dibandingkan dengan mobil yang mengunakan minyak. Tapi para
pengusaha minyak segera menemukan cara untuk menutup pabrik mobil listrik
itu agar minyak mereka dapat tetap terjual. Meski kendaraan dengan minyak itu
cenderung merusak alam dengan polusi yang ada dan juga melubangi bumi.
Bukankah manusia adalah makhluk yang mengagumkan. Mereka selalu tahu
mencari kekayaan dengan cara yang paling cepat. Termasuk menghancurkan
alam.
Aku melirik pada Lily dan melihat batangan emas yang dipegangnya, jika dia
dapat membuat apa pun dari udara maka aku juga dapat berdamai dengan alam
semesta. Aku berdiri dan mengambil batangan emas itu di depan tatapan mata
Lily. Tentu harus melewati toko mas dulu. Aku melirik pada Lily berniat untuk
menyuruhnya membuat uang tapi tentunya akan menjadi uang palsu.
“Boleh aku miliki?” tanyaku. Sambil otakku menghitung harga terakhir satu gram
emas dikalikan dengan berat batangan yang hampir mencapai satu kilo.
Aku kaya.
Lily tersenyum, “Ambilah lagi pula sejak awal itu adalah milikmu?”
Aku terdiam menatapnya, “Aku tidak pernah memiliki emas.”
“Tidak, tapi aku mengambil rejekimu untuk masa depan dipindahkan untuk saat
ini. Jadi sebenarnya itu uangmu juga,” kata Lily terlihat malu-malu.
Wajahku merengut, “Coba jelaskan.”
Lily bersandar pada sofa dan tersenyum, “Kalian di dimensi tiga masih terikat
oleh waktu. Jadi sebagian besar dari kalian hanya menunggu hingga waktunya
tiba untuk mendapatkan apa yang memang menjadi milik kalian.”
“Aku tidak mengerti,” kataku.
“Jaime, setiap orang dan setiap makhluk di semua dimensi telah diberikan Tuhan
jatah mereka masing-masing untuk dapat hidup dan berkecukupan.”
Lily mencoba berpikir keras akhirnya bertanya, “Apa yang kalian namakan jika
sudah waktunya tiba maka kalian akan mendapatkan kekayaan?”
“Rejeki?” kataku.
“Yak itu,” sahut Lily senang, “Sebenarnya di mata kami makhluk dimensi empat,
hal itu adalah sesuatu yang sudah Tuhan berikan. Mungkin seperti tabungan yang
sudah ada, cuma kalian akan mendapatkannya pada waktu tertentu.”
“Apakah itu maksudnya setiap orang sudah memiliki bagian masing-masing,
keberuntungan dan rejeki? Seperti emas ini yang akan kudapatkan di masa
depan?”
“Yep,” kata Lily, “Aku hanya memajukan rejeki itu ke saat ini.”
“Dan itu berarti rejeki yang akan kudapat di masa depan nanti sudah hilang?”
Lily mengangguk, “Alam semesta punya catatan yang tidak dapat ditipu, setiap
orang akan mendapatkan apa yang sudah menjadi haknya. Jika suatu saat kamu
mencoba mencuri uang dari orang lain. Itu hanya berarti rejeki di masa depanmu
akan dipotong dan diberikan pada orang yang dicuri.”
Mataku berputar dan berpikir sejenak. Apakah ini berarti alam semesta punya
lembaga perbankannya sendiri? lengkap dengan perhitungan akuratnya? Seperti
yang dikatakan orang-orang sebagai hitungan karma? Aku melihat emas di
tanganku. Jadi untuk apa aku mencuri dari diriku sendiri?
“Apakah kamu tidak bisa membuat rejeki?”
Lily menggelengkan kepalanya, “Sesungguhnya hanya Tuhanlah yang bisa
memberi rejeki dan keberuntungan. Mahkluk-makhlukNya hanya bisa
mempercepat atau memperlambat datangnya rejeki. Tidak akan ada yang pernah
bisa memberikan keberuntungan. Kecuali..”
“Kecuali?” tanyaku.
“Kecuali kamu membuat kebaikan dengan beramal atau berderma yang membuat
bibit-bibit rejeki baru.” Lily tersenyum, “Setiap kali kamu berbuat kebaikan, amal
itu akan tercatat dan kemudian tersimpan dengan sendirinya yang kelak akan
dibayarkan padamu.”
Aku menggaruk kepalaku. Itukah sebabnya sepintar-pintar apa pun orang
menipu, mencuri, atau merampok, pada akhirnya mereka tidak akan pernah kaya
selamanya. Karena mereka mencuri rejeki dari dirinya sendiri. Aku pernah
mendengar setiap orang memiliki bagian rejekinya sendiri, saat dia menikah,
keberuntungan itu akan naik dari bagian pasangannya dan saat mendapatkan anak
keberuntungan mereka akan bertambah. Ada yang mengatakan itu adalah rejeki
dan hak si anak yang dititipkan Tuhan melalui orang tuanya.
Dan mengenai rejeki, Aku tahu dengan jelas ada yang terlahir kaya dan mati
miskin, ada yang terlahir miskin dan mati kaya. Ada yang kaya pada umur 20
tahun, ada yang baru kaya setelah umur 50 tahun. Dan mereka jika ditanya
bagaimana memperoleh kekayaan, mereka hanya akan mengatakan, “Aku tidak
tahu, mungkin rejeki lagi bagus.”
Aku mengenal seorang yang miskin selama 40 tahun dan hanya dalam 2 tahun
berikutnya dia sudah memiliki puluhan mobil dan mobil mewah. Dan dia tidak
tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, dia hanya berkata, semuanya mendadak
berdatangan.
Baiklah, rejeki itu ada dan jelasnya alam semesta punya catatannya. Jika
demikian. Bagaimana bisa kaya? Er tadi Lily berkata harus berbuat kebaikan dan
menanam bibit untuk rejeki. Jadi bagaimana dengan orang yang bekerja keras,
jungkir balik dan mendapati rejekinya kosong.
Aku menarik nafas hingga akhirnya teringat kalimat yang mengatakan.
“Apa yang sudah ditakdirkan menjadi milikmu, akan menjadi milikmu meski
kamu menolaknya. Tetapi apa yang tidak diperuntukkan padamu, tidak akan
pernah kamu dapatkan meski kamu berbuat apa pun juga.”
Dan sebuah kalimat lagi.
“Siksa Allah bagi manusia yang paling kejam adalah manusia mengejar apa yang
tidak diperuntukkan Allah baginya.”
Aku mendesah tidak dapat berpikir lagi.
“Aku keluar kataku,” pada Lily sambil melemparkan kembali batangan emas
yang ada. Aku tidak membutuhkan emas sekarang, aku membutuhkan
ketenangan pada pikiranku. “Kamu tetaplah di sini aku akan membeli makan
malam kita.”
Tanganku segera mengambil sebuah topi, kaca mata hitam dan sebuah jaket tua
yang dulu kutinggalkan di tempat ini.
BAB 6
Sepanjang perjalanan menelusuri jalanan aku tertawa sendiri. Aku yakin gadis
kecil itu pasti sedang menipuku. Dia mungkin mempelajari beberapa trik sulap.
Dan emas itu, mungkin saja emas palsu. Tidak mungkin aku mempercayai semua
kegilaan ini.
Membawa surga ke bumi?
Aku melihat papan iklan yang berhamburan di sepanjang perjalanan berisikan
gambar-gambar kemewahan dan gadis-gadis cantik. Tidakkah ekonomi di dunia
ini bergerak karena keserakahan dan emosi rendah? Lebih banyak penjualan
terjadi karena keinginan bukan karena kebutuhan. Jika suatu saat manusia hanya
bertransaksi untuk kebutuhan mereka yang bergerak pada kebutuhan primer dan
skunder saja. Kemungkian besar akan banyak perusahaan yang bangkrut. Orang-
orang akan lebih menikmat air putih dari pada jus berwarna. Manusia akan lebih
memakai pakaian sederhana dari pada pakaian dengan harga selangit dan pabrik-
pabrik yang bergerak untuk kebutuhan tersier akan berjatuhan semuanya.
Manusia sudah hidup menjadi budak keinginannya dan nafsu rendah sejak lama.
Mengapa harus mengubah semua ini? Bukankah orang mengejar surga karena di
sana enak dan terdapat segala jenis benda untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sedangkan manusia dengan alam? Aku kira semua orang tahu manusia itu sejenis
virus. Bumi harus mengakui kesialannya saat manusia tinggal di atasnya. Mereka
merusak dan menghancurkan tempat tinggal mereka. Dan sebelum bumi hancur
mereka akan menemukan planet lain untuk ditinggali dan dihancurkan lagi.
Sedangkan Vito, siapa yang tidak mengenalnya? Dia masuk dalam 50 besar
orang terkaya seluruh dunia dan memiliki banyak perusahaan. Jika ada musuh
besar menurut Lily. Kupikir dialah tetuanya. Setiap hari dia membanjiri media
massa dengan iklan barang-barang buatan perusahaannya, yang jelas dengan
mengali keserakahan, ketamakan dan kesombongan para manusia. Aku tidak
membencinya, ini hanya ekonomi.
Aku memasuki sebuah mini market dan melihat tayangan berita lain dalamnya.
Tentang pembunuhan, penganiyaan dan kejahatan lainnya. Aku tersenyum
mengingat belakangan ini surat kabar berisi seluruh hal itu. Seluruh berita dan
media ini akan membuat manusia semakin pintar untuk melakukan kejahatan
karena mereka disodorkan terus menerus dengan berita seperti ini. Di suatu saat
mereka menghadapi masalah, mereka akan mengunakan kesempatan itu untuk
melakukan kejahatan. Karena merasa hal itu sudah biasa atau cuma itu jalan
pemecahan yang terpikirkan oleh mereka.
Bukankah dunia ini menggagumkan?
Aku mengeluarkan telepon genggamku dan menghidupkannya. Cuma sebentar,
aku harus menghubungi panti asuhan agar mereka tidak kuatir dan aku akan
menjelaskan semuanya pada mereka. Mendadak telepon genggamku berbunyi,
sebuah pesan text masuk dan saat aku melihatnya terlihat nomor dari Iin.
Isinya singkat.
“Kamu sekarang sudah berani mencuri seorang gadis? Datang ke panti asuhan
dan jelaskan atau aku akan segera bergerak untuk menemukanmu, mengikatmu
dan menceburkanmu ke dalam sungai. Kamu punya 15 menit setelah membaca
pesan ini.”
Seketika keringat dinginku mengalir. Aku yakin laporan text sudah diterimanya
sekarang dan aku hanya memiliki 15 menit. Iin mengetahui semua tempat-tempat
rahasiaku dan jika dia sudah berkata akan menemukanku. Maka dia akan
menemukanku, termasuk mengikatku.
Aku harus ke panti asuhan sekarang. Aku lebih takut padanya dari pada kepada
polisi dan makhluk apa pun juga.
***
Di dalam panti asuhan, aku melompat melalui gerbang belakang yang hanya
diketahui oleh para penghuni panti asuhan. Tepat di baliknya Iin sudah
menunggu dengan menatapku seram.
“Iin..” panggilku meringis.
“Diam,” tambah Iin sambil berjalan membimbingku, “Polisi sedang mencarimu,
beberapa detektif swasta dari perusahaan Vito baru saja berlalu pergi. Kita tidak
tahu jika masih ada orang di sini.”
Masuk melalui pintu dapur, terlihat seorang wanita tua pemilik panti asuhan yang
kami panggil, “Ibu..”
Aku melihat di matanya jelas tersirat kekecewaan mendalam sehingga aku
langsung sujud di depannya dan menjelaskan semua yang terjadi, sejak aku
mengambil Lily dari taman bermain. “Aku tidak mencurinya, aku hanya
membawanya dan bahkan akan menitipkannya ke sini. Bukankah aku telah
menghubungi kalian?”
Sebelum ibu sempat menjawab, terdengar teriakan-teriakan anak-anak di luar dan
tiga orang berpakian hitam menerobos masuk. Iin terlihat mencoba menghadang
untuk berbicara dengan mereka namun seorang pria hitam langsung memukul
wajahnya dengan pegangan senjata api dan langsung melumpuhkannya seketika
di atas lantai.
“Di mana gadis itu,” tanya seorang di antara mereka.
Kedua mataku membelakak, apakah mereka itu adalah para penculik yang
seharusnya menculik Lily? Atau mereka adalah utusan Vito.
“Aku tidak tahu,” kataku dengan keringat dingin.
Seorang pria mengeluarkan sebuah senjata api yang memiliki peredam suara lalu
menembak pada kaki Ibu. Senjata api itu hanya mengeluarkan suara, “syuutt.”
Dan ibu segera berteriak memegang kakinya. Aku melihat sebuah lubang dan
darah langsung mengalir membasahi rok panjang yang dikenakannya.
“Gadis itu bersamaku... Dia bersamaku,” kataku seketika dengan gemetar.
Pria itu melihat pada rekannya yang langsung menyeret diriku keluar, “Bawa
kami padanya.”
Aku dipaksa pergi dengan meninggalkan ibu yang kakinya berdarah membasahi
rok putihnya dengan warna darah dan seorang kakak yang hidung dan bibirnya
mengeluarkan darah sedang telungkup di lantai.
Kesialanku masih terus berlanjut dan hatiku terasa sangat sakit.
Ketiga pria itu memaksaku untuk memasuki mobil mereka. Seorang di antara
mereka menemaniku di kursi belakang. “Di mana Lily?”
Aku segera menyebutkan sebuah nama wilayah tempat pabrik itu berada dan
seketika mobil sedan berwarna hitam itu langsung melesat cepat. Aku mulai
berpikir apakah aku akan menyerahkan Lily pada mereka? Jika tidak bukankah
nyawaku akan melayang? Mereka terlihat tidak segan-segan dalam menembak.
Tapi mungkin saja setelah aku menyerahkan Lily pada mereka, mereka juga akan
menembakku untuk menutup mulutku. Aku menelan ludahku dan memutuskan
aku harus melarikan diri, cuma itu satu satunya jalan. Sebelum atau sesudah Lily
diserahkan aku harus mencari kesempatan itu.
Mobil kami mulai memasuki jalanan kecil dan pada sebuah belokan, tiba-tiba
terlihat sebuah gerobak sampah berwarna hijau milik Brian menghadang di
jalanan. Seketika mobil hitam itu menabrak gerobak tersebut. Gerobak itu
terbalik dan isinya langsung berhamburan menutupi kaca depan. Detik berikutnya
mobil yang kunaiki terguncang hebat menabrak sesuatu.
Sekarang atau tidak.
Pria yang di sampingku terlihat terdorong ke depan membentur belakang kursi
depan dan begitu juga aku. Waktu itu langsung kugunakan untuk membuka pintu
samping dan keluar. Kakiku segera berlari secepatnya setelah menjejak jalanan.
Aku melihat Brian yang sedang memegang sapu jalanannya melihat ke arahku
dalam keadaan bingung. Mungkin tidak menyangka gerobak sampahnya akan
ditabrak. Aku melihat ke belakang sambil berlari dan melihat mobil tersebut
ternyata menabrak tiang listik. Seorang pria terlihat keluar dan mulai mengejarku.
Mereka tidak akan pernah menemukanku. Semua jalanan kecil di tempat ini
sudah menjadi tempat bermainku sejak lama.
Nyawaku masih selamat. Untuk saat ini...
***
Aku terus berlari menuju ke sebuah lorong buntu dan kemudian bersembunyi di
samping sebuah tempat sampah yang besar. Aku duduk menyembunyikan diri di
sana.
Tak lama kemudian muncul seorang pria berpakaian hitam, dia hanya melihat
dari depan lorong dan kemudian langsung berlalu diikuti yang lainnya. Tanpa
sadar aku sudah menahan nafasku sedari tadi.
Wakut terus berlalu dan aku belum berani mengeluarkan diriku. Aku terus
menunggu dalam gelisah, memikirkan ibu dan Iin. Aku menunggu hingga langit
menjadi gelap. Dan perlahan-lahan merayap keluar dari lorong itu dengan satu
keputusan pasti.
Lily harus keluar dari kehidupanku.
***
Sekeliling pabrik terlihat gelap karena sudah lama aliran listriknya diputus. Aku
memasuki tempat itu perlahan-lahan dengan bantuan cahaya dari telepon
genggam. Pada ruangan kantor terlihat terang bercahaya dengan cahaya lilin.
Aku memasuki ruangan itu dan melihat Lily yang sedang tertidur di sofa usang.
Aku meletakkan kantong yang berisi roti isi dan minuman di sampingnya.
Kemudian mengambil tempat sudut ruangan, mengelar kain dan tidur.
***
Di sebuah ladang pertanian di pedesaan belanda. Aku duduk di bawah pepohonan
sambil mengaggumi bacaan di tanganku. Aku tidak begitu menyukai tempat ini
tapi karena ayahku adalah tuan tanah dan pemilik kastil kecil di tempat ini, aku
terpaksa harus di sini dan belajar mengelolanya. Meski dalam hatiku aku selalu
menyukai kota dan keramaian.
Matahari tepat berada di atas kepala saat aku mendengar suara tawa gadis. Saat
aku menatap ke arah seorang gadis pemerah susu yang cantik dengan pakaian
putihnya. Kupikir aku menemukan seorang malaikat.
Hanya butuh sedetik aku sudah tiba di depannya dengan rayuan dari berbagai
puisi yang kubuat dadakan dan membuatnya tertawa sambil berusaha tidak
mengacuhkanku untuk segera memasuki rumahnya. Aku terus mengodanya
selama berminggu-minggu, mencoba mengajaknya bercanda, tertawa dan
memberikannya bunga.
Aku tergila-gila padanya.
Dalam sebulan ke depan, aku sudah mengetuk pintunya lebih banyak dari pada
aku mengetuk pintu sahabat terbaikku dalam setahun. Dari matanya, aku tahu dia
menyukaiku dan aku mencintainya. Meski kami berbeda oleh banyak hal. Orang
tuanya adalah pendatang yang menyewa lahan dari ayahku. Dengan beberapa
botol minuman yang tepat, ayahnya langsung merestui saat aku berniat
memperistiri putrinya.
Dua bulan berikutnya aku menyadari betapa ayahku sangat tidak menyetujui hal
ini saat aku mengatakan akan memperistirinya. Dia mencoba segala cara untuk
membuatku memahami arti darah bangsawan yang mengalir di tubuku dan tentu
saja .... seluruh keluargaku berusaha sekeras mungkin untuk mencegah
pernikahan ini.
Aku tidak peduli pada semua harta dan status yang diancam ayahku akan hilang
jika aku nekad memperistri dirinya. Aku sudah siap untuk semua itu, aku sudah
mengumpulkan cukup banyak uang untuk membuka sebuah perternakan. Dan
kelak kami akan hidup bahagia.
Pada suatu malam pintuku diketuk dan para penjaga muncul untuk menangkapku
serta mengurungku pada penjara di lantai paling atas kastil. Pendeta yang
merupakan tangan kanan ayahku menghasut ayahku bahawa aku telah di
manterai oleh gadis itu hingga aku kehilangan akal sehatku.
Aku marah dan terus berteriak ingin memberitahu mereka. Bahwa aku hanya
sedang jatuh cinta. Ayahku memutuskan untuk mengurungku hingga aku
bersedia melupakan cintaku pada gadis itu. Aku tidak bersedia melakukannya,
aku bahkan mogok makan dan berteriak di depannya “lebih baik aku mati dari
pada mengkhianati cintaku”.
Keadaanku semakin parah sejak aku menolak untuk makan selama beberapa hari.
Hingga suatu hari seorang prajurit berkata padaku. “Mereka akan membakar
gadis itu.”
Dengan cepat aku mengetuk pintu memanggil ayahku dan mengatakan betapa
aku sudah terbabes dari ikatan cinta, aku tidak lagi mencintainya dan aku
sepenuhnya akan melupakan gadis itu. Hanya saja biarkan gadis itu. Pendeta tadi
terus menghasut ayahku, mengatakan gadis itu adalah penyihir dan dia akan
mengunakan semua cara untuk menyelamatkan dirinya.
Ayahku mengangguk dan memutuskan untuk membakar gadis yang kucintai di
tengah pasar. Saat aku tiba di tengah pasar dengan para prajurit yang
mengawalku, Aku melihat dia yang terikat di tengah tiang dengan tangan kedua
di atas, di bawahnya terdapat banyak tumpukan ranting kering. Dan gadis itu
melihat ke arahku dengan air mata.
Seorang petugas menyalakan api disekelilingnya. Orang-orang mulai berteriak,
ibunya menangis dan ayahnya hanya dapat melihat dalam diam. Di atas api yang
berkobar, aku melihat seorang gadis yang terbakar karena aku mencintainya.
Aku mengambil sebuah pedang dari pengawal dan mengayunkannya pada siapa
pun di depanku agar mereka menghindar dari jalanku. Aku berlari ke depan
menerbos kobaran api dan memeluk gadis itu. Aku memeluknya dengan sangat
erat. Merasakan api yang membakar tubuhku dengan panas yang teramat sangat.
Tapi aku sadar semuanya adalah kesalahanku hingga dia dibakar.
Karena aku mencintainya.
***
Aku mendadak terbangun dengan air mata. Dan segera terkejut saat melihat Lily
terlihat tidur di sampingku dengan memegang tanganku.
***
Pagi harinya, aku berdiri di atas atap pabrik dan memandang matahari pertama.
Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan Lily tidak pada panti asuhan, tidak
pada polisi dan tidak juga pada pria berpakaian hitam. Aku akan menyerahkan
Lily langsung pada Vito. Karena bagaimana pun juga Vito adalah kakeknya. Aku
menghidupkan telepon genggamku dan segera menelpon ke salah satu
perusahaan milik Vito. Dari sana seorang customer service menerima teleponku.
“Aku memiliki Lily cucu Vito, ke manakah aku akan menyerahkan Lily?”
Customer service itu terlihat terkejut hingga akhirnya berkata, “Mohon
menunggu, aku akan menghubungi manajer.”
Saat manajer itu menerima teleponku, aku mengulang pertanyaan yang sama dan
dia menyuruhku menunggu. Dia akan menghubungkanku pada general manager.
Dari general manager aku dihubungkan pada sekretasi pribadi Vito.
“Gedung telesel jam 12 siang, Vito akan bisa menerimamu. Dan jika kamu
memiliki Lily kami akan memberikan hadiah sebagai informasi tersebut.”
Aku mematikan teleponku dan duduk selama satu jam sebelum turun ke bawah.
“Kamu sudah memutuskan?” tanya Lily saat melihatku masuk dari jendela.
Aku tidak tahu jika dia sudah mengetahuinya.
Aku mengangguk. Lily terlihat sedih dan air matanya mengalir, “Jaime, mereka
akan membunuhku.”
“Tidak,” kataku meyakinkannya dan juga diriku, “Vito adalah kakekmu tidak
mungkin dia akan membunuhmu. Lihat saja televisi dan koran, dia menghabiskan
semua uang untuk mencarimu. Dia tidak akan membunuhmu.”
Jika aku tidak menyerahkanmu pada Vito untuk mengakhiri semua ini. Ibu, Iin
dan mungkin akulah yang akan terbunuh oleh pria berpakian hitam.
Lily menangis dan berlari memelukku. Kemudian dia terisak, menangis begitu
sedih. Aku hanya bisa membalas dengan memeluknya.
BAB 7
Aku menggandeng Lily berjalan di jalanan kecil melewati pertokoan-pertokoan.
Dalam gelisah aku masih saja memikirkan nasib yang akan terjadi pada Lily dan
juga pada diriku. Tidak mungkin dia akan terbunuh. Dia akan lebih aman
bersama keluarganya dari pada bersamaku dikejar oleh pria berpakaian hitam.
Mereka jelas akan menembak.
Jujur ada juga dorongan lain yang memaksaku untuk mengembalikan Lily. Vito
berjanji akan memberikan hadiah yang jelas aku tahu akan membuat
kehidupanku berbalik arah.
Tangan Lily menggenggam erat tanganku. Aku melihatnya dan aku yakin dia
cucu Vito. Namun dengan imajinasi kecilnya yang berlebihan. Membawa surga
ke bumi? Dimensi keempat? Dan trik-trik sulapnya? Gadis kecil ini berpikir dia
sedang bermain-main tapi para penculik sedang mengejarnya. Dan mereka
membuat Ibu tertembak dan Iin terluka?
Aku menghembuskan nafas.
Lagi pula aku tidak berdaya. Aku tidak bisa membantu Lily dengan mimpinya
yang terlalu besar. Dia sendirian melawan dunia. Semoga bumi dapat menjadi
surga setelah kakeknya jelas membuat bumi bergelimang keserakahan.
“Jaime, kamu hendak ke mana?” tanya seorang tua tukang pangkas,
mengejutkanku.
Aku melihat ke arahnya. “Tidak ke mana-mana, Jack,” kataku pada tukang
pangkas tua ini.
Tukang pangkas itu tersenyum dan menunjukan pakaian yang kukenakan. “Aku
dapat melihat kamu ingin pergi ke suatu tempat dan pakaianmu benar-benar
jelek. Mau meminjam pakaianku?”
Aku menatap pakaian yang kukenakan dari semalam dan kotor setelah terkena
sampah dan debu. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli pakaian lagi.
Lagipula aku hanya akan bertemu dengan seorang kaya bernama Vito yang
hampir menguasai separuh kota ini dan memiliki banyak perusahaan di dalam
dan luar negeri.
“Ide bagus, Jack.” Sambutku, “ hanya jika kamu tidak keberatan.
“Aku?” tanya tukang pangkas, “tidak sama sekali. Masuklah.”
“Baiklah Jack,” sahutku memasuki tempat pangkas. Lily mengambil tempat
duduk di kursi tunggu dan diam tidak bergerak. Jack memberikan beberapa
pakaian yang bagus dan aku mengenakannya.
“Nak, Jaime,” panggil Jack itu tersenyum. “Setidaknya beri aku sedikit waktu
untuk merapikan rambutmu dan mencukur bulu wajahmu.”
Wajahku tampak memerah karena malu. Aku tidak memiliki waktu untuk mandi
karena pabrik itu tidak memiliki air. Sehingga aku tampak berantakan.
“Beri aku lima belas menit dan kamu akan tampak seperti pengusaha muda,” janji
Jack.
Aku menatap jam pada telepon genggamku dan menyadari masih ada dua jam
sebelum pertemuan. Melihat pada Lily yang menunduk sedih, kukira membiarkan
dirinya sedikit bebas bukan masalah. Dia mungkin lari dari Vito karena merasa
terkurung di rumahnya yang serba mewah.
Aku duduk di atas kursi pangkas dan Jack mengambil sebuah kain menutupi
tubuhku dari leher ke bawah dan mulai memangkas. Suara-suara gunting yang
berbunyi konstan membuatku segera tertidur setelah semalaman kurang tidur.
Setelah mimpi kemarin yang terasa begitu nyata.
***
Tepat pada pukul 12 siang, aku dan Lily telah duduk pada sebuah kursi tunggu di
perusahaan telekomunikasi terkenal. Rambutku terlihat baru dan pakaianku rapi.
Seorang seketaris mendekatiku dan memberitahu, “Pak Jaime, Tuan Vito sudah
menunggu, silakan ikut aku.”
Aku membawa Lily mengikuti gadis yang berpakaian rapi dan berkaca mata itu.
Kami memasuki sebuah lift dan menuju ke lantai tertinggi yang kelihatannya
hanya bisa diakses oleh orang tertentu karena harus memasukan enam digit
nomor sandi.
Pada saat pintu lift terbuka, kami memasuki sebuah ruangan lebar dengan kaca
tembus pandang yang menghadap langsung ke kota. Dalam ruangan ini terdapat
kursi-kursi sofa antik, lemari-lemari yang kelihatan mahal dan sebuah bar mini.
Di tengah-tengahnya terdapat sebuah meja besar dan Vito, seorang tua gemuk
terlihat duduk di sana menatap ke luar jendela.
“Mereka di sini,” sahut seketaris itu.
“Tinggalkan kami,” balas Vito dan sekretaris itu segera mundur kembali pada lift.
Vito segera berbalik dan menghadap ke arah kami. Lily terlihat ketakutan dan
memegang pakaianku. Tanpa basa basi, Vito segera melemparkan sebuah map di
atas meja, bahkan sebelum mempersilakan aku duduk.
“Kamu boleh memeriksa isi map itu dan tinggalkan gadis ini di sini.”
Apakah ini cara memperlakukan seorang cucu yang baru saja diculik? Atau dia
hanya ingin menghukum Lily yang melarikan diri..
Tangan Lily mencengram keras tanganku. Aku tidak peduli dan mengambil map
itu kemudian melihat isinya. Sebuah cek dengan jumlah uang yang akan
membuatku kaya dan sebuah kwitansi untuk mengambil sebuah mobil mewah.
“Anggap saja mobil itu sebagai bonus,” tambah Vito menatapku.
Semua benda itu aku masukan kembali ke dalam map dan memegangnya erat-
erat. Aku sudah melakukan yang terbaik, untuk Lily, diriku dan menjauhkan ibu
dan Iin dari bahaya. Meski jikalau Lily benar tentang dimensi keempat dan
membawa surga ke bumi, aku juga tidak akan mengambil jalan itu. Aku harus
memilih masa depanku. Dan aku memilih modal untuk sukses di dunia ini dari
pada mencoba membuat bumi di surga yang terlalu tidak masuk akal.
Setiap kesuksesan membutuhkan modal dan kesempatan. Aku tidak akan pernah
mendapatkan kesempatan seperti ini lagi jika aku meninggalkannya,
mengumpulkan uang modal sebesar ini membutuhkan 30 tahun dari pekerjaanku,
Tanganku yang dipegang erat oleh Lily segera kutarik ke atas tinggi, memaksa
Lily untuk melepaskan pegangannya.
“Maaf” kataku pada Lily dan berbalik ke arah lift, meninggalkan Lily.
Vito segera tertawa dan berkata, “Anak muda, jangan salahkan dirimu. Kita
membutuhkan kehidupan di dunia ini. Gunakanlah modal itu untuk membangun
kekayaanmu dan menikahi orang yang kamu cintai.”
Aku memasuki lift itu dan berbalik menekan tombol turun. Sebelum pintu lift
tertutup sepenuhnya, aku dapat melihat Lily yang menangis terisak di tempat itu.
Maafkan aku.
***
Nama baikku segera bersih setelah Vito membuat pernyataan kembalinya Lily
dan aku bukanlah penculiknya, namun orang yang menyelamatkan Lily saat Lily
lari dari penculik sebenarnya. Sejak saaat itu aku tidak lagi pernah menemukan
Lily.
Dua bulan kemudian, dengan modal dari Vito itu, aku membuka sebuah
perusahaan konstruksi. Perusahaannya kecil, hanya beranggotakan 5 orang tenaga
penjual. Dengan modal yang ada, aku membeli beberapa tanah dari hasil sitaan
perbankan dan mulai membangun beberapa perumahan kecil di atasnya. Yang
tentunya bekerja sama dengan sub-kontraktor. Dan modalku dapat membangun
sekitar 20 rumah sederhana.
Pada tahun yang sama 20 rumah itu telah terjual habis berkat tenaga penjual dan
kerjasamaku pada perbankan untuk angsuran KPR. Dan tahun berikutnya dari
modal yang sama, plus keuntungan tahun kemarin dan pemasukan yang lainnya,
aku sudah dapat membangun 40 rumah. Dan terus berlipat setiap tahunnya berkat
pemilihan lokasi yang tepat dan perencanaan yang matang.
Tanpa kusadari 5 tahun berlalu dan dari keuntungan yang ada, perlahan tapi pasti
aku mulai membeli perusahaan-perusahaan konstruksi kecil yang sudah berutang
terlalu banyak dengan harga miring dan mengambil karyawan mereka. Setelah
memasukan rencana investasi dalam perusahaanku dan menjalankannya.
Perusahaanku memiliki modal yang dapat membangun ratusan rumah. Selain itu
juga aku memiliki perusahaan yang menyewakan berbagai jenis mesin alat berat .
3 tahun berikutnya perusahaanku telah go public dengan 1.000 karyawan tetap.
Aku berhasil mendapatkan Nina dengan membayar seorang detektif swasta untuk
mendapatkan informasi darinya dan sedapat mungkin membuat pertemuan-
pertemuan tidak terduga dengannya. Meski kesempatan itu datang dari diriku dan
uangku. Aku mendekati teman-temannya dan juga keluarganya, melimpahi
mereka dengan hadiah-hadiah mahal sehingga mereka terus memuji diriku di
depannya.
Dua tahun tahun kemudian kami menikah dan memiliki 2 orang anak.
Pada saat yang sama aku mendapatkan pujian dari berbagai media sebagai
pengusaha muda yang sukses. Aku memiliki perusahaan yang sehat, modal yang
berlimpah dan harga saham yang terus naik setiap tahunnya.
Empat tahun kemudian Vito meninggal dunia dan seluruh hartanya jatuh pada 13
orang anaknya dari berbagai istri.
Selama bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia usaha, aku selalu menjauhi
wilayah kekuasaan bisnis Vito sedapat mungkin. Jelas aku tidak mau membuat
perusahaan raksasa itu marah dan menjadikanku sebagai musuh. Dengan
kematiannya dan 13 orang anaknya yang terus bertikai mengenai keuangan
selama bertahun-tahun, perusahaannya tidak lagi sekuat dulu.
Sebenarnya Vito cukup cerdik meninggalkan pembagian harta yang sangat solid
dan adil bagi anak-anaknya. Tapi bagaimana pembagian harta dapat adil di mata
orang-orang yang serakah? Terutama jika pengacara yang menjadi penyampaian
surat wasiat “tanpa sengaja” merancukan beberapa hal.
Aku sudah membayar seseorang untuk menjebak pengacara itu. Setiap orang
punya kelemahan mereka masing-masing, mungkin itu tentang uang, wanita atau
mungkin saja masa lalu buruk yang ingin mereka tutupi. Dan pengacara itu sial
terjebak oleh wanita cantik.
Surat wasiat Vito pada anak-anaknya yang seharusnya “Sah dan tidak dapat
diganggu gugat.” Pengacara itu memasukan beberapa kata yang membuat surat
wasiat itu menjadi “Sah dan masih dapat dirembukkan.”
Surat yang seharusnya hitam di atas putih telah menjadi abu-abu dan setiap orang
bernafsu untuk mendapatkan lebih.
Dari balik layar, aku mulai menyuap para pemegang kekuasaan dalam
perusahaan-perusahaan Vito untuk melemahkan perusahaan itu sendiri dan juga
untuk mencuri para pelanggan mereka. Aku terus memaksa media memberikan
berbagai pandangan buruk mengenai perusahaan bekas Vito yang membuat harga
perusahaan mereka terus turun dari tahun ke tahun. Apalagi dalam keadaan
pertikaian keluarga, maka hanya butuh beberapa waktu perusahaan Vito mulai
berjatuhan dan aku membeli saham serta perusahaan mereka dengan harga
rendah.
Sebagian anak mendapatkan perusahaan sehat, sebagian mendapatkan perusahaan
bangkrut. Pertempuran memperebutkan harta warisan terus berlanjut. Dan
keuntungan besar bagi pengacara karena uang masuk setiap harinya.
Jika ada yang bertanya mengapa pertikaian keluarga itu tidak pernah berhenti?
Aku harus mengakui akulah dalangnya. Vito mengajariku banyak hal tentang
keserakahan manusia. Aku terus mengirimkan orang-orang, menyogok para
teman-teman mereka dan menghadiahkan pria dan wanita kepada 13 orang anak
Vito agar mereka terus memperjuangkan hak mereka untuk memiliki lebih
banyak harta warisan. Pada akhirnya mereka hanyalah sampah di mataku.
Mereka terus bertikai dan menghabiskan uang dipengadilan. Mereka terus
menerus kekurangan uang dan aku mendekati mereka satu–persatu dengan
berbagai cara. Aku memberikan mereka pinjaman uang dan meyakinkan mereka
akan mendapatkan lebih jika memenangkan pertempuran itu. Mereka menjamin
pinjaman itu dengan perusahaan milik mereka. Yang pada akhirnya saat
pertempuran berhenti, aku sudah memiliki lebih dari separuh perusahaan Vito.
Aku melakukannya sebagian karena aku menginginkan kekayaan itu dan juga
sebagian karena untuk mengurangi sakit hati yang terus membekas pada diriku
saat meninggalkan Lily sendirian pada Vito. Meski akulah yang menjualnya.
Kerajaan bisnisku berkembang bahkan dua kali lipat dari kerajaan bisnis Vito
sebelumnya. Vito mengajariku banyak hal tentang keserakahan, ketamakan dan
ambisi para manusia. Aku terus memberikan sedikit pancingan keinginan pada
manusia dan mereka akan dengan sendirinya melahap semua itu. Trend, mode
terbaru, membanjiri setiap media untuk membiarkan manusia mengembangkan
rasa iri hati mereka, tidak mau kalah, kecemburuan dan berikutnya barang-
barangku akan diperebutkan.
Gangguan berikutnya muncul kembali, orang-orang yang memiliki mimpi seperti
Lily terus bermunculan. Mereka mencoba menyadarkan manusia untuk hidup
lebih sederhana, mengurangi pola konsumsi yang membuatku tertawa meski
sedikit kesal. Mereka seharusnya menyadari bahwa perusahaan yang kubangun
membutuhkan kenaikan penjualan dan perkembangan setiap tahunya. Minimal
15% setiap tahunnya. Dan aku akan melakukan apa pun untuk perkembangan
perusahaanku. Menghancurkan perusahaan saingan dan merebut pasar mereka,
mengeksplorasi manusia dan keserakahannya agar menjadi budak-budak pencari
kekayaan bagiku.
Mereka bukan budakku tapi mereka budak dari pada keserakahan mereka sendiri
dan aku, aku tahu bagaimana menjadikan keserakahan dan ketamakan itu menjadi
sahabatku. Hal-hal apa saja yang menghalangi perkembangan perusahaan akan
kuanggap sebagai musuh. Dan kekayaanku cukup untuk menghancurkan siapa
pun yang mencoba menghilangkan keserakahan dan ketamakan dari muka bumi
ini.
Waktu terus berlalu dan tanpa kusadari, aku sudah tua. Aku duduk di atas sebuah
kursi roda, di atas sebuah kastil kecil di luar negeri yang kubeli dari seorang artis.
Nina telah meninggal dan anak-anakku telah mulai melanjutkan usahaku, meski
sebagian besar masih di bawah kendaliku.
Aku menatap pada tamanku yang luas dan dipenuhi bunga-bunga. Pagi ini aku
terbangun begitu segar. Ingatanku terasa begitu jelas. Aku mengingat kembali
saat-saat aku tinggal di panti asuhan dan miskin. Kini aku sudah kaya dan
memposisikan diriku sebagai 10 besar orang terkaya seluruh dunia, pemilik
perusahaan telekomunikasi, pertambangan, konstruksi dan berbagai saham
perusahaan besar.
Aku mengingat kembali saat aku tinggal di tempat kost, kekurangan uang dan
harus meminjam dari beberapa teman yang memandangku hina. Kini semua
teman-temanku mengemis sedekah dari kebaikanku.
Semua ini berawal dari pertemuanku dengan Lily.
Mendadak air mataku mengalir. Aku memegang dadaku yang terasa sakit.
mengapa aku tetap tidak pernah bisa melupakan air mata yang menetes dari mata
Lily dan kesedihan di raut wajahnya saat aku meninggalkannya pada Vito.
Apa yang sebenarnya kucari di dunia ini?
Tanpa sadar aku menangis tersedu-sedu, hatiku terasa begitu sakit. Kini aku tidak
lagi mengetahui apa tujuanku di dunia ini. Pada awalnya aku tahu bahwa hidup
adalah untuk mengejar kekayaan. Tapi setelah aku sudah menemukan kekayaan
dunia, mengapa hatiku tetap terasa kosong dan ... mengapa ... mengapa aku terus
merasa bersalah pada gadis kecil itu. Meski aku sudah berderma untuk 20
yayasan yang bergerak pada penyelamatan anak kecil dan membawahi ratusan
panti asuhan di seluruh negara.
Mengapa...
Mengapa...
Mengapa ingatan tentang gadis kecil bernama Lily itu terus melekat seakan-akan
baru kemarin saja semua itu terjadi padahal sudah berpuluh-puluh tahun.
Aku menangis.
Aku melihat kekayaaanku dan menundukan kepalaku. Apakah ini yang benar-
benar kuinginkan, hingga mampu menjual Lily? Mungkin bukan Lilylah yang
kujual, tapi hatiku.
Dari-demi hari dan bulan demi bulan hidupku terus menyesali hal yang sama. Di
ajang kematianku, di atas tempat tidurku. Aku menarik nafas mengingat kembali
semuanya. Seorang pemuda yang bekerja sebagai buruh bangunan dan ingin
kaya. Apakah memang ini yang diinginkan anak muda itu?
Yang kuinginkan?
Air mataku menetes turun. Aku melihat seluruh keluargaku yang berada di
sampingku menangisi diriku Aku mendesahkan nafas terakhirku.
“Lily...”
BAB 8
Saat terbangun, aku sedang berada di dalam toko tempat tukang pangkas Jack.
Sedikit terkejut aku melihat Lily yang sedang duduk menungguku di kursi tunggu
dan tukang pangkas bernama Jack sedang tersenyum padaku. Aku melihat pada
kaca dengan potongan rambutku yang baru. Aku baru saja selesai memangkas
rambut sebelum pergi ke tempat Vito.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku melihat sekeliling dan sedikit kebingungan. Aku berdiri dan melihat pada
Lily yang melihatku dengan sedikit sedih. Seketika aku turun dari kursi pangkas,
berjongkok dan memeluknya dengan erat.
“Lily,” bisikku.
“Apakah sungguh kamu akan mengantarku ke tempat Vito?” tanya Lily.
Air mataku menagalir, aku menggelengkan kepalaku, “Tidak,” bisikku, “Aku
akan membantumu membawa surga ke bumi.”
Lily terdiam sesaat sebelum membalas memelukku dan mendadak menangis,
“Janji... Jaime kamu janji yah.”
Aku tersenyum dan menyadari yang kuinginkan bukanlah kekayaan. Aku ingin
melakukan apa yang dipanggil oleh hatiku.
“Aku berjanji Lily. Hidupku untukmu.”
PRANGGGGG!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Kaca jendela toko tempat tukang pangkas itu pecah dan tiga ekor binatang
berbentuk anjing baru saja menerjang masuk serta menerjang ke arah Lily dan
diriku. Kembali Lily mengerahkan kekuatannya dan membuat anjing-anjing itu
meledak pecah sebelum sempat menerjang ke arah kami. Meski demikian bajuku
terkoyak bekas tergores oleh binatang itu.
“Kita keluar,” teriakku menarik tangan Lily untuk keluar dari tempat itu dan di
depan jalanan terlihat dua buah mobil hitam yang sedang terparkir. Empat orang
pria berpakaian hitam terlihat berdiri menghadapiku. Aku tahu mereka
menginginkan Lily.
“Lari,” teriakku menarik Lily berlari ke arah lain. Kami mencoba berlari sekuat
tenaga yang segera dikejar mereka, karena langkah Lily yang kecil mereka
semakin mendekat dan aku mengeraskan rahangku. Aku berteriak pada Lily,
“Lari sampai ke pabrik.”
Aku akan mencoba menghalangi mereka. Aku berbalik dan menyambar sebuah
pipa besi yang tergeletak di jalanan untuk dijadikan senjata. Lebih baik daripada
tidak ada. Aku menghadang keempat pria itu. Dua dari mereka segera
menyerangku dan dua lainnya mencoba melewatiku untuk mengejar Lily.
Dengan pipa besi itu aku mengayunkannya dengna keras berusaha menghalangi
mereka yang hendak mengejar Lily. Mencoba memberi waktu untuk Lily pergi
menjauh sebelum aku juga ikut melarikan diri.
Terlihat tanpa kenal takut, para pria berpakaian hitam menerjang ke arahku. Pipa
besi di tanganku bergerak menyambar pipi seorang pria yang membuatnya
terjatuh dan pria lain segera menubrukku dan memeluk pinggangku dari depan.
Dengan cepat aku menekukkan siku tangan dan menghajar punggungnya.
Kami berkelahi di jalan dan mendadak dari jalan belakang muncul sebuah truk
yang melaju cepat menerjang ke arahku. Dengan cepat aku menghajar pria yang
memelukku dan segera hendak lari keluar dari jalanan tapi sebelah tangannya
menangkap kakiku yang membuatku terjatuh. Bagian depan truk berwarna
kuning itu terus melaju ke tempatku dengan suara mesinnya yang menderu-deru.
Saat itu Lily mendadak muncul menghalangi di antara truk dan diriku. Lily
terlihat memejamkan matanya dan truk tersebut bergoyang. Tapi tetap saja. Detik
berikutnya truk membelok menyambar sebelah tubuhku, suara rem terdengar dan
aku merasa melihat tubuh Lily yang terbang meluncur ke atas dan jatuh ke
jalanan. Dan aku sendiri hanya dapat rebah menatap langit dengan tubuh yang
terasa berat.
Kepalaku berkunang-kunang. Aku mencoba bernafas, menarik nafas dalam-
dalam dan memaksakan diriku untuk berdiri. Tangan kananku terasa sakit dan
saat aku melihatnya terlihat darah yang mengalir membasahi tanganku. Mungkin
tulangku patah. Aku tidak peduli, mataku segera melihat pada tubuh Lily yang
tergeletak di jalanan.
Aku bergerak berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Tanganku menyentuh tubuhnya
yang tergeletak sedikit panas. “Lily...” panggilku.
“Jaime,” balas Lily lemah membuka matanya menatap ke arahku.
“Kamu baik, baik saja?” tanya Lily.
Air mataku mengalir. “Aku baik-baik saja,” kataku penuh kecemasan dan
menyentuh pipinya. “Kamu?”
Lily tersenyum dan kemudian menutup matanya.
“Lily...?” panggilku.
Tidak ada jawaban, “Lily..?.”
“TOLONGGGGG!!!!!!!!!!!!!” Teriakku menggema seketika ...
“Tolonggg!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Semakin banyak orang yang berkumpul di sekeliling kami, beberapa orang
mengeluarkan telepon genggamnya. Aku menangis, dan terus berteriak hingga
suaraku habis...
Tak berapa lama, mobil ambulance datang. Mereka membawa Lily. Dan aku
dibawa dengan mobil ambulance yang lain. Aku terus menangis dan melawan
ingin berada di dekat Lily hingga akhirnya seorang perawat membiusku dan
membuatku tertidur.
Saat terbangun aku berada di rumah sakit dengan kakiku diborgol. Tangan
kananku sedang dibalut gips dan pada tangan yang lain terdapat infus. Aku mulai
berteriak-teriak hingga seorang perawat datang dan aku menanyakan tentang
keadaan Lily.
“Dia sudah meninggal, dua hari yang lalu,” jawab perawat itu segera
meninggalkanku.
Aku menutup mata dan air mata mengalir, perih terasa di hatiku.
Pada hari yang sama polisi datang dan menjadikanku tersangka penculikan. 8 hari
kemudian aku berdiri di dalam pengadilan. Dengan tangan terbalut. Aku melihat
sepasang pria dan wanita dewasa yang menangis karena kehilangan Lily. Aku
dituduh dengan pasal penculikan berencana dan pasal penyebab kehilangan
nyawa pada Lily. Dengan masa hukuman 12 tahun penjara.
Seorang pengacara yang diberikan negara untukku dari Lembaga Bantuan
Hukum. Mencoba segala cara untuk meringankan tuntuan hukumku. Aku melihat
kepala panti asuhanku, beberapa temanku dan juga Vito yang duduk menatapku
dengan dingin.
Setelah dua kali persidangan dengan seorang saksi yang merupakan seorang
polisi tempat aku melaporkan Lily pertama kali, bersaksi bahwa aku ingin
meninggalkan Lily di kantor polisi dan tidak menculik Lily. Pada akhirnya
mereka memutuskan bahwa aku tidak menculik Lily namun lalai dalam menjaga
orang yang berada dalam perwalianku, juga menyembunyikan Lily untuk waktu
tertentu sehingga memutuskan untuk memenjarakanku selama 4 tahun.
Aku tidak ingin mengatakan apa pun. Aku hanya menerimanya saja, jika memang
itu yang akan terjadi padaku. Satu bulan berikutnya setelah menjalani tahanan
khusus di rumah sakit penjara, aku dipindahkan ke dalam penjara.
Aku membagi sel penjaraku dengan seorang mantan pembunuh bertubuh besar.
Dia kelihatannya memiliki kekuasaan di dalam sel karena beberapa orang terlihat
mengikutinya. Dia jelas tidak senang dengan keberadaanku di dalam selnya dan
aku tidak peduli. Aku hanya diam dan sama sekali tidak menegurnya.
Di hari pertama, dia memukulku tanpa alasan dan aku membiarkannya saja. Aku
sama sekali tidak membalasnya. Setiap kali rasa sakit yang diberikan kugunakan
untuk menghukum diriku sendiri karena menyebabkan Lily meninggal. Beberapa
kali makananku sengaja ditumpahkannya dan aku hanya diam tidak melawan.
Tidak berbicara dan tidak melakukan apa pun. Aku selalu saja dipukuli hingga
pada suatu hari, mantan pembunuh itu tidak puas karena aku tidak melawan. Dia
mulai memaki tidak lagi dengan kata-kata kasar seperti pecundang dan
sebagainya. Dia mengucapakan satu kalimat, yang membuatku gelap.
“Apakah kamu menikmati membunuh gadis kecilmu..?”
Saat aku tersadar kembali, kedua tanganku sedang menghajar wajahnya hingga
berdarah dan dia terus meminta maaf. Kedua tanganku merah oleh darah.
Beberapa petugas datang melerai kami dan membawanya ke rumah sakit untuk
sementara waktu. Hingga seminggu kemudian pada jam makan siang aku
melihatnya memasuki ruangan makan yang membuatku teringat kata-kata itu
lagi, mendadak diriku menjadi gelap. Aku menemukan diriku mengambil piring
alumunium dan menerjang ke arahnya sambil menghajarkan piring ke wajahnya
berkali-kali.
Segera seluruh ruangan menjadi ramai. Petugas langsung datang dengan tongkat
untuk memukulku dan berusaha memisahkan kami. Aku dibawa dalam bak air
dingin dan direndam selama seharian yang membuatku kulitku keriput dan
kedinginan. Kemudian aku dikurung di penjara khusus yang dingin dan kecil.
Makanannya hanya sekali sehari. Dan dia mantan pembunuh itu kembali ke
rumah sakit.
Aku tidak peduli.
Setelah keluar dari penjara khusus itu, mereka terus mengatakan padaku untuk
tidak mencari masalah atau aku akan mendapat perpanjangan masa tahanan. Saat
aku dibebaskan keluar memasuki lapangan penjara di siang hari, aku menemukan
dirinya yang melihat ke arahku bersama dua orang, mungkin akan menghajarku.
Tapi seketika itu juga mataku menjadi gelap dan berikutnya aku menerjang ke
arahnya serta menghajarnya berkali-kali.
Hampir membunuhnya untuk yang ketiga kali.
Sejak saat itu aku dipindahkan ke blok sel yang lain.
BAB 9
Aku dipindahkan ke sebuah sel baru. Di sel ini aku sendirian. Tempatnya baru
dan berbeda. Tepatnya terlihat lebih bagus.
Di atas meja dalam penjara, aku melihat sebuah surat yang ditujukan atas namaku
tanpa nama pengirim. Aku tidak tahu dari siapa. Tidak mungkin dari kepala panti
karena aku telah mencoreng nama mereka sejak awal.
Mungkin dari Iin.
Aku membuka surat itu dan mulai membaca.
“Jaime, aku tahu apa yang terjadi padamu. Ketidakadilan dan antek-antek
pembuat kejahatan yang berlumur dosa telah menjerumuskanmu ke penjara.
Akan tiba waktunya kami akan membutuhkan bantuanmu. Bersabarlah dan latih
dirimu.
Kami adalah teman-teman dari Lily yang datang dari dimensi yang sama. Kami
juga memperjuangkan keadilan pada tempat ini untuk menyelamatkan dimensi
kami.
Kita akan bertemu secepatnya.”
Hanya itu, tanpa nama pengirim juga.
Tiga hari kemudian petugas penjara mendadak memanggilku dari ruangan
televisi. “Jaime, ada yang ingin menemuimu.”
Sesungguhnya belum pernah ada yang menemuiku selama aku dalam penjara, ini
adalah yang pertama kalinya aku memasuki ruang pertemuan. Mataku berkeliling
menatap orang yang kukenal dan jantungku berdetak keras saat melihat Nina
yang sedang menungguku.
Orang terakhir yang ingin kujumpai dalam keadaan begini. Bibirku langsung
mengering tidak tahu harus mengatakan apa. Dalam diam aku duduk di
sampingnya.
“Jaime, Aku tahu kamu tidak bersalah,” bisik Nina.
Dengan terkejut aku menatap ke arah matanya yang melihatku dengan sungguh-
sungguh. “Bagaimana kamu tahu?” tanyaku.
Nina mengigit bibir bawahnya dan terlihat sedih. “Jaime mungkin kamu belum
tahu tapi... aku berasal dari tempat yang sama dengan Lily.”
Mataku melihat pada Nina, melihat tanda-tanda apakah dia sedang bersandiwara
atau hanya mencoba menghiburku. Tempat yang sama dengan Lily? Apakah dari
dia juga anggota dari keluarga Vito?
“Kami dari dimensi keempat”
Itu lagi... Apakah aku hendak di permainkan di sini lagi.
“Nina, aku sedang tidak ingin bercanda. Lily tidak berasal dari dimensi mana pun
juga. Dia memiliki orang tua dan Vito adalah kakeknya. Gadis kecil itu mungkin
hanya berhalusinasi.”
Hatiku terasa sakit dan air mataku mengalir. Aku harus mengakui, akulah yang
bodoh telah mengikuti permainan anak kecil itu dan membuatnya meninggal.
Tangan Nina memegang tanganku, “Jaime, kedua orang yang di pengadilan dan
mengaku sebagai orang tua Lily adalah aktor yang di sewa Vito. Kami turun ke
dunia ini langsung dan tidak memiliki anggota kecuali mereka yang sama-sama
turun dari dimensi keempat. Vito telah menipumu.”
“Hentikan,” teriakku sambil menarik tanganku.
“Jaime,” kata Nina dengan mata yang terlihat sedih, “ Aku tahu kamu tidak akan
mempercayaiku.” Nina mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan
meletakkannya di meja. “Bacalah ini dan semoga kamu mau memahaminya.
Minggu depan aku akan kembali.”
Waktu pertemuan berakhir dan kami berpisah dalam diam.
Pada malam harinya aku memegang buku itu dan mulai membaca. Hanya karena
aku tidak memiliki pekerjaan lain. Dalam tiga hari aku menyelesaikan buku itu
dan memahami beberapa hal.
Sejak jaman dahulu cukup banyak orang-orang yang turun dari dimensi atas
menuju ke bumi, dan mencoba mengubah bumi. Bahkan beberapa malaikat telah
diutus ke bumi. Tapi pada akhirnya mereka diubah oleh keadaan. Beberapa
tergoda untuk mengikuti kenikmatan duniawi untuk memuaskan nafsu mereka.
Beberapa tetap berpegang pada prinsip mereka dan menjalani tugas dengan
sebaik-baiknya dan mati tanpa membawa perubahan apa pun juga. Beberapa
harus tewas karena dihancurkan oleh para ashura dan manusia yang tidak
menginginkan perubahan. Sisa lainnya berkumpul bersama orang-orang yang
berdedikasi membuat bumi semakin baik dan mulai menghancurkan para
penyebab kejahatan. Mereka kelompok ekstrim yang menyerang dengan
kekerasan.
Pertemuan kedua dengan Nina. Dia memberikanku buku lain yang berisi tentang
sejarah orang-orang seperti Lily. Mereka juga orang-orang yang terbunuh oleh
para pria berpakaian hitam yang merupakan pembunuh bayaran dan juga samaran
para ashura milik orang-orang seperti Vito. Lily sendiri tewas di tangan suruhan
Vito.
Bagaimana mereka mengetahui Lily turun ke dunia ini? Itu karena ada
paranormal yang bekerja pada Vito. Menurut ramalan yang di dapat, “Lily akan
membawa perubahan pada dunia dan Vito akan mengalami musibah besar karena
keberadaannya.” Oleh karena itu Vito mati-matian dan mengunakan segala cara
untuk mendapatkan Lily.
Kemarahan menguasai diriku.
Pertemuan berikutnya Nina dapat melihat kemarahan dari diriku. Dia mulai
menerangkan banyak hal dan memberikan sebuah buku untukku. Buku yang
menceritakan bahwa dia adalah bagian dari kelompok yang menyatakan perang
suci pada kejahatan di muka bumi ini dengan menghancurkan mereka yang
menginjak-injak kebenaran dan kesucian dunia. Mereka menyatakan perang pada
orang-orang yang menghancurkan bumi untuk memenuhi ketamakan dan nafsu
mereka.
Kelompok mereka memakai nama, Utusan Tuhan. Dan mereka berperang
melawan kesesatan dibumi. Mereka adalah orang-orang yang disebut teroris di
dunia ini.
Musuh mereka adalah kumpulan orang-orang kaya yang diuntungkan dari banyak
kesesatan yang ada. Beberapa dari mereka adalah orang-orang terkaya dunia.
Mereka mengunakan para ashura dan segala jenis yang mereka miliki untuk
menghancurkan para utusan atau malaikat yang baru.
Aku membenci Vito dan aku akan mengunakan segala cara untuk mendapatkan
dirinya. Mulai detik itu juga aku mulai berlatih, memperkuat diriku. Nina terus
memberikan buku-buku yang membantuku pada banyak hal, dia juga
menyediakan informasi-informasi yang kubutuhkan. Aku melatih diriku untuk
menjadi mesin pembunuh. Berlatih lebih keras dari siapa pun setiap hari.
Tiga bulan kemudian dia memberikanku sebuah buku kebatinan yang berisi cara-
cara untuk mendapatkan kemampuan melihat makhluk halus dan sejenisnya.
Mengolah kebatinan itu sangat penting untuk mengenali para ashura yang
menyamar menjadi manusia dan mendapatkan cara untuk menghancurkan
mereka.
Enam bulan kemudian aku terbebaskan dari penjara fisik, aku dapat mengatur
agar jiwaku keluar dari tubuh dan bergerak ke mana saja meski tubuhku masih
dalam kamar. Perjalanan astral atau Out of Body experience. Dengan itu aku
dapat berkeliling dunia saat tubuhku tertinggal di dalam penjara. Aku melakukan
banyak perjalanan di dimensi atas dan bawah, bertemu banyak makhluk.
Beberapa orang mengatakan aku berhalusinasi.
Dan aku mengatakan diriku gila.
Beberapa tahun kemudian, saat aku keluar dari penjara, aku dijemput oleh Nina
dan aku sudah menemukan tempatku pada sebuah kelompok yang bergerak
internasional.
Aku akan membalas dendam pada mereka.
***
Tiga tahun berikutnya aku sedang berjalan-jalan di Paris. Aku sedang mengikuti
seorang pria bersama pasangannya sambil menunggu kesempatan. Pada akhirnya
wanita itu bergerak melihat tas-tas tangan yang mahal dan pria itu terlihat bosan
menunggu di depan toko. Aku mendekati pria itu sambil tersenyum.
“Tuan Robert,” sapaku ringan dan mendapatkan perhatiannya. Aku membuka
jaketku sedikit dan memperlihatkan senjata api yang terselip di pinggangku.
“Aku membencimu dan kaummu.”
Dia terlihat terkejut seperti seharusnya.
“Aku akan dengan senang hati menembakmu di sini dan melarikan diri jika kamu
tidak mau mengikutiku perintah,” kataku ringan. Dan dia mengikuti setiap
perintahku.
Setahun lalu aku bergabung pada kelompok Utusan Tuhan sebagai anggota
pelaksana. Dan pekerjaanku tidak rumit, aku malah sering keluar negeri. Kami
punya ratusan daftar nama-nama orang kaya yang kemungkinan akan melakukan
perjalanan keluar negeri. Dan selama mereka berwisata ke negara lain, dengan
bantuan tenaga lokal, kami menculik mereka dan memeras sejumlah uang dari
keluarga mereka. Kepolisan setempat tidak mampu melakukan apa pun juga.
Kami butuh dana untuk peperangan suci kami dan mereka, para musuh yang
sudah menyebarkan keserakahan dan mengumpulkan kekayaan besar dari tangan-
tangan orang miskin menjadi prioritas utama kami. Kami hanya mencuri kembali
uang dari para pencuri.
Aku berjalan cepat mengiring Robert keluar dari keramaian pertokoan menuju ke
tempat parkir di mana Nina dan beberapa rekan lain sudah menunggu.
Perasaanku mendadak menjadi buruk. Aku melihat sekeliling dan merasa
diawasi, tak berapa lama dari kejauhan terlihat beberapa orang pria berpakaian
hitam mendekatiku. Tepatnya 5 orang dan 3 orang adalah ashura. Dua orang
lainnya kemungkinan bodyguard Robert yang mengikuti dari jauh.
“Dua orang berpakaian hitam, seorang tepat pada arah jam 6 dan seorang lagi
pada arah jam 4 sedang menuju ke arahku,” aku berbisik pada telepon
genggamku. Dalam sekejap beberapa orang lokal yang mengikutiku dari jauh
segera berbalik dan mencegat kedua orang pria itu.
Di kejauhan segera terdengar keributan, kelihatannya seorang dari anggota kami
memukuli mereka dan membuat keramaian. Tiga orang ashura yang semakin
mendekatiku mendadak berhenti pada jarak 10 meter dariku. Mereka saling
berpandangan kemudian hilang begitu saja. Jika meeka berani mendekat, aku
akan menghancurkan mereka dengan kekuatna pikiranku.
Aku tidak tahu mengapa tapi para Ashura takut padaku. Pada hari pertama aku
memasuki tempat kelempok Utusan Tuhan, para ashura yang terkurung di sana
tidak satu pun yang berani menegur atau melihat langsung padaku. Nina
melihatku dan tersenyum sambil berkata, “Kamu mungkin memiliki sesuatu yang
membuat mereka takut padamu.”
Aku tidak tahu apa yang membuat mereka takut padaku. Dan terus terang, meski
itu malaikat atau ashura, aku percaya manusia tercipta jauh lebih sempurna
dibandingkan mereka. Para malaikat tidak dapat mencintai apa pun lebih dari
yang diperintahkan Tuhan pada mereka atau mereka akan hancur. Para ashura
meski mereka licik dan kejam tapi mereka tidak pernah mau membahayakan diri
mereka dan mereka selalu kabur jika keadaan menjadi buruk. Tapi manusia jika
mereka membenci, mereka akan menghancurkan siapa pun bahkan nyawa
mereka sebagai taruhannya. Dan jika manusia mencintai, mereka mencintai
hingga mampu mengorbankan nyawa mereka.
Kami tiba di tempat parkir di mana Nina melihatku dan langsung memasuki
tempat kemudi mobil. Robert yang begitu memasuki mobil langsung diapit oleh
dua orang anggota Utusan Tuhan. Aku membuka pintu di samping Nina dan
masuk. Ini pekerjaan ke 45 yang berhasil kulakukan.
“Ketua,” panggil Nina sambil mengemudi.
“Nina, panggil aku Jaime saja,” sahutku langsung sambil mengeluarkan telepon
genggamku dan mncari mangsa berikutnya. Setengah tahun yang lalu karena
presentase keberhasilanku mencapai 100% dan berhasil menyumbangkan dana
yang sangat besar bagi kelompok Utusan Tuhan, jabatanku perlahan-lahan naik
hingga menjadi wakil ketua pelaksana seluruh kegiatan Utusan Tuhan dan baru
sebulan lalu aku menjadi ketua pelaksana umum. Setelah kematian ketua
pelaksana kegiatan Utusan Tuhan.
Meski demikian aku tidak terlalu mempedulikan jabatan itu. Aku hanya ingin
melakukan sesuatu dan menghancurkan mereka semua. Demi bumi yang lebih
baik, itulah tujuan hidupku.
“Malam ini kita akan mencoba memancing lagi,” kataku pada Nina, “Seorang
baru saja berangkat ke Paris kemarin dan sudah memesan meja untuk malam ini.”
Nina mengangguk.
Aku menutup mata dan mencoba berisitrahat sepanjang perjalanan menuju ke
sebuah gudang tempat markas cabang Utusan Tuhan di Paris. Di sana, video
Robert akan dibuat, dan kami akan memeras sejumlah uang darinya.
“Berapa yang akan diminta dari dia?” tanya Nina.
Nina adalah orang yang bertugas untuk mengurus penerimaan dan pengeluaran
keuangan. Aku memikirkan kembali harta kekayaan Robert dan memperkirakan
nilainya, “Kupikir 20 hingga 10 juta dollar darinya akan mudah.”
Nina mengangguk, “Ada permintaan khusus mengenai pembayaran kali ini?”
Aku membuka mata dan memandang jalanan. Kami tidak selalu meminta uang
tunai dari penculikan, terkadang kami meminta emas, surat berharga, saham,
surat hutang dan sebagainya. “Tidak,” kataku, “Hanya pastikan dia dan
keluarganya tahu.”
Bahwa... tidak ada gunanya untuk memberitahu polisi atau siapa pun untuk
mencoba melacak kami. Penculikan selalu terjadi di dunia ini setiap hari, hanya
saja media tidak dapat menangkap hal itu sehingga terlihat dunia yang damai.
Lagi pula kami menculik secara gerilya. Kami tidak ingin media tahu dan
menyalakan alarm yang membuat semua orang kaya mendadak memiliki
penjagaan berganda.
“Jaime,” panggil Nina dengan suara rendah.
“Ya?”
“Apakah kamu akan mengikuti pemilihan ketua umum Utusan Tuhan?”
“Aku tidak tahu,” kataku jujur.
“Jaime, menurut perhitungan sementara banyak anggota muda yang berpihak
padamu. Kamu sudah menjadi sumber inspirasi mereka. Kamu akan
memenangkan kursi itu jika kamu mengikutinya...”
Aku tersenyum. Beberapa anggota muda masuk dari berbagai penjuru dan
namaku terkenal karena memiliki tingkat keberhasilan tinggi dalam menculik
mereka yang berada di atas tahta kekayaan mereka. “Bagaimana Vito?” tanyaku
mengelak dari pertanyaan Nina.
“Kamu selalu lari dari pembicaraan ini,” Nina mendesah keras, “Dan mengenai
Vito..., sudah ada lampu hijau untuk itu.”
Semangatku bangkit dan aku melihat pada Nina. “Sungguh?”
“Semua informasinya sudah masuk ...”
Kembali aku tersenyum, “Jangan lupa sepuluh persen dari uang Robet ke
rekeningku nanti”
Nina diam untuk waktu yang panjang, “Jaime mengenai rencana pada Vito. Hal
itu sama sekali tidak sesuai dengan aturan kelompok kita.”
“Di mananya?” tanyaku.
“Pembunuhan dan perusakkan berskala besar.”
“Kamu tidak menyetujuinya?” tanyaku sambil menutup mata, tapi mungkin
nadaku terkesan mengancam.
Nina diam mengigit bibir bawahnya. “Apa kamu akan membunuhku juga seperti
kamu sudah menghilangkan semua yang menganggumu untuk mendapatkan Vito
dan seluruh keluarganya? Seperti yang kamu lakukan pada ketua sebelumnya?”
“Dia tidak mau memahami diriku dan aku terpaksa...” Aku membuka mata dan
menatap pada Nina, “Vito adalah milikku, aku bergabung dengan kelompok
karena menginginkannya. Aku sama sekali tidak peduli pada aturan kelompok
kalian. Aku hanya meminta kalian menjauhiku dan rencanaku ini. Termasuk
kamu.”
“Apa kamu akan membunuhku juga?”
Aku tersenyum remeh menatap jalan, “Kita akan tahu ketika saatnya tiba. Meski
kamu tahu aku tidak ingin hal itu terjadi.”
Nina tahu aku punya rekening pribadi sekitar 30 juta dollar dan aku akan
mengunakan semuanya untuk menghancurkan Vito dan seluruh akar-akarnya.
Agar Vito tahu, tidak seharusnya dia mengambil Lily dariku.
Pada saat hari peringatan kematian Lily sebulan lagi, Vito, seluruh anaknya yang
berjumlah 13 orang, istri dan semua keturunan Vito akan kukirimkan ke neraka.
Sekitar seratus lima puluhan orang diberbagai belahan dunia akan mati di saat
bersamaan.
Aku sudah menyusun rencana ini selama bertahun-tahun dan aku hidup untuk ini.
Air mataku mendadak mengalir.
Lily, aku melakukannya untukmu.
BAB 10
Sebulan kemudian.
Dalam sebulan ini semua persiapan sudah dilakukan dengan baik. Aku sudah
menghubungi semua orang-orang dan pembunuh bayaran yang bisa kuhubungi
bahkan hingga berlapis dua. Menjaga jika pembunuhan pertama gagal, yang
kedua akan langsung bergerak.
Hari ini akan menjadi hari penting bagiku. Dalam seminggu ini semua anggota
keluarga Vito sudah diawasi dengan baik. Mereka semua hanya tinggal
menunggu perintah dariku.
Aku berdiri di jalanan kecil dan meletakkan bunga di tempat kematian Lily.
“Lily,” bisikku.
Saat aku berbalik aku melihat Jack sedang duduk di kursi depan toko tempat
pangkasnya.
“Jaime,” panggil Jack ramah, “Aku sudah menunggumu.”
“Jack,” sapaku. Ini pertama kalinya kami berbicara kembali setelah kematian Lily
sekitar 7 tahun lalu.
“Kamu kelihatan berantakan. Mau pangkas?” tanya Jack.
“Aku.. tida...” Mendadak hatiku berkata lain. Aku menatap jam tanganku. Masih
ada tiga jam sebelum waktu perencanaan. Aku melihat pada tempat pangkas Jack.
7 tahun lalu jalan hidupku berubah di sini. Mungkin ini pertanda bagus untuk
memulainya lagi.
Aku tersenyum membalas, “Baiklah Jack.” Aku memasuki toko pangkas kecil itu
yang sama sekali tidak berubah dan menduduki kursi pangkas tuanya. Jack mulai
memotong rambutku. Dia melakukannya dengan cepat namun lembut sehingga
terasa damai. Memasuki tempat ini selalu dipenuhi ketenangan dan orang-orang
hampir dapat selalu tersenyum saat keluar.
Jack orang yang baik.
Aku harus mempertahankan senyuman orang-orang baik di dunia yang kotor dan
sedang membusuk ini. Kali ini aku akan menyerang Vito. Karena dia adalah
salah satu akar pemasalahan kotoran di bumi dan keluarganya yang menikmati
hasil kejahatan itu juga tidak luput dari dosa.
“Jaime, “ panggil Jack
“Ya?” jawabku masih sambil menutup mataku.
“Kekerasan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang indah. Kekerasan
hanya akan menghasilkan kekerasan.”
Aku membuka mataku dan menatap senyum Jack dari cermin di depanku.
“Mengapa kamu berkata demikian?” tanyaku.
“Aku tidak tahu, hanya saja kekerasan memang tidak pernah menyelesaikan
permasalahan.”
“Tidak,” jawabku, “Terkadang kekerasan dibutuhkan untuk menghancurkan
kejahatan, agar kejahatan berhenti bertumbuh.”
Jack mendesah masih dengan senyumannya. “Jaime, saat kamu melakukan
kekerasan, akan ada yang tersakiti. Mungkin juga membuat beberapa orang yang
mendendam dan melakukan kejahatan berikutnya, mungkin juga kamu akan
memberi contoh kejahatan pada orang yang akan melakukannya.”
Aku terdiam dan emosiku menolak hal itu sehingga aku tersenyum saja dan
membalas, “Sudahlah Jack. Kamu tidak akan mengerti.”
Jack tersenyum, “Maukah kamu mendengar sebuah cerita?”
“Silakan Jack,” lebih baik dari pada aku mendengarkan ceramahnya.
***
Pada suatu masa ada seorang guru yang mengajarkan pada muridnya untuk
melepaskan ikatan pada duniawi. Melihat muridnya yang sudah mengikutinya
dalam kesederhanaan selama sepuluh tahun. Gurunya segera pergi meninggalkan
muridnya untuk berlatih sendiri.
Murid itu hidup apa adanya dan belajar melepaskan diri dari nafsu duniawi apa
pun juga. Pada satu siang, murid itu turun untuk mandi dan meninggalkan
cawatnya pada pohon. Dan cawat itu digigit oleh tikus. Hal itu membuatnya kesal
karena di hanya memiliki sebuah cawat dan dengan hilangnya cawatnya, ia harus
meminta sumbangan untuk membeli cawat baru dan hal itu sangat
merepotkannya.
Kejadian itu terus berulang hingga dia berpikir untuk memelihara seekor kucing
untuk menjaga cawatnya di saat dia mandi. Pada akhirnya dia memelihara seekor
kucing dan dapat dengan tenang meninggalkan cawatnya saat mandi. Tapi
sayangnya selain berlatih, dia juga harus mencari susu untuk kucing tersebut. Dia
merasa malu untuk terus-menerus meminta susu pada orang-orang karena dia
hidup sederhana tanpa menikmati susu.
Akhirnya dia memutuskan untuk memelihara sapi untuk mendapatkan susu untuk
kucingnya. Dan sekarang dia harus menggembalakan sapinya sehingga membuat
waktunya berlatih menjadi berkurang. Dia pun mencari gembala yang bersedia
menggembalakan sapinya dengan pembagian hasil susu.
Tak lama kemudian sapinya mulai beranak dan jumlahnya terus bertambah
hingga seorang gembala tidak lagi dapat menjaganya dan dia juga tidak mau
menjaga sapi-sapi itu. Maka dia pun menambah jumlah budak-budak untuk
menjaganya dan membayar mereka dengan hasil jualan susu.
Dalam sekejap dia sudah memiliki puluhan budak yang menjaga sapi-sapinya dan
mereka semua begitu susah diatur hingga murid ini berpikir alangkah baiknya
jika dia memiliki seorang istri untuk mengatur para budaknya. Dan dia pun mulai
mencari seorang wanita baik yang dapat mengatur para budak dan semua sapi-
sapinya. Setelah ia menikah ia membutuhkan rumah yang cukup besar beserta
kandang-kandang sapinya. Setelah rumahnya selesai ia membutuhkan dayang-
dayang wanita untuk selalu membersihkan tempatnya. Dan sapinya terus
bertumbuh semakin banyak.
Hingga suatu saat gurunya pulang dari perantauan dan terkejut menemukan
sebuah rumah mewah di tempat latihan muridnya. Dia melihat penjaga di depan
gerbang dan bertanya. “Apakah ini tempat tinggal muridku?”
Murid itu yang melihat gurunya dari atas rumahnya langsung berlari menyambut
gurunya sambil bertelanjang kaki dan menangis sujud di depan kaki gurunya.
“Guru, yakinlah, tidak ada cara untuk mempertahankan cawatku selain semua
ini.”
***
Aku terdiam. Aku jelas tahu, orang yang mulai berbohong untuk pertama kalinya
akan menemukan dirinya pada akhirnya berbohong berkali-kali untuk menutupi
kebohongan pertamanya.
Jack meninggalkan gunting pangkasnya dan memegang pisau cukur tajam. Dia
mulai membersihkan bulu di sekitar leherku.
“Jaime, jangan bergerak,” kata Jack lembut mengerakkan pisau cukurnya. “Aku
tahu kamu akan menghabisi Vito dan seluruh keluarganya.”
Seluruh tubuhku menegang. Dan jantungku terasa menciut. Aku dapat merasakan
tajam pisau cukur sedang berada dileherku. “Jack,” kataku dengan suara serak.
“Jaime, saat kamu melakukan operasi besar yang melibatkan banyak orang, hal
itu selalu lebih memiliki peluang untuk bocor keluar. Kamu baru memiliki uang
dan memulai pemburuan, Vito sudah menghadapi permburuan seperti ini
berpuluh-puluh tahun. Apa kamu tidak pernah menyangka jika Vito sudah
mengetahui semua tentangmu dan ingin menghabisimu sejak lama?”
“Jack,” kataku lagi. Aku tahu tanganku tidak akan sempat mencapai senjata di
pinggangku karena pisau itu sudah di leherku.
“Jaime, jika aku tidak membunuhmu maka kamu akan membunuh Vito.
Perusahaannya akan mengadapi masalah dan kamu akan membuat puluhan ribu
karyawan di bawah Vito yang memiliki anggota keluarga dalam keadaan tidak
pasti. Semua itu akan mungkin menyebabkan kekacauan, kerusuhan dan
kehancuran. Anak-anak Vito, ada yang bergerak di bidang pengobatan dan
sedang meneliti obat baru yang akan menolong banyak nyawa orang. Jika kamu
juga membunuhnya, kamu akan menyebabkan banyak orang yang meninggal.
Katakan Jaime, mengapa nyawamu bisa lebih berarti dibandingkan dengan
nyawa ratusan dan ribuan orang?”
Aku terdiam.
“Dengan membunuhmu di sini aku akan menyelamatkan ribuan orang,” kata
Jack.
Aku menelan ludah dan tidak pernah menyangka Vito juga sedang memburuku.
Sampai di sini sajakah hidupku?
Pisau cukur Jack mulai bergerak mencukur bulu-bulu wajahku. “Aku tidak peduli
pada nyawamu,” kata Jack, “Aku hanya peduli pada nyawa yang ditinggalkan
Lily dengan menukarkan nyawanya.”
“Apa maksudmu?” tanyaku, tidak bergerak, belum tahu apakah Jack sudah
melewatkan nyawaku atau hanya sekedar pura-pura. Karena pisau cukur itu
masih menyentuh kulitku.
“Apa kamu sudah melupakan saat kamu menyerahkan Lily pada Vito?”
“Itu tidak pernah terjadi,” kataku. “Itu hanya sebuah mimpi.”
Jack tertawa, “Itu terjadi anak muda. Hanya saja Lily memohon agar kamu diberi
kesempatan lain setelah kematianmu di kehidupan itu dan untuk itu Lily
mengorbankan nyawanya.”
Aku langsung melompat untuk menatap Jack. Yang membuat Jack kalang kabut,
“Hei, kau akan terlukakan oleh pisau cukurku.”
“Aku tidak peduli kataku menatap pada Jack dan menarik kerah bajunya.
“Jelaskan semuanya padaku. Bagaimana Lily menukarkan nyawanya denganku.
Dan...” aku mendadak terdiam, “Bagaimana kamu mengetahui mimpi itu.”
Jack tersenyum menatapku.
***
Aku berjalan memasuki bekas pabrik tempat aku bersembunyi dengan Lily tujuh
tahun lalu. Saat aku membuka pintu besi itu aku melihat Nina dan sepuluh orang
lain sedang duduk menunggu aba-aba dariku. Pabrik ini sudah kubeli dari
pemiliknya setahun lalu untuk hari ini.
“Jaime,” panggil Nina, Tapi aku diam tidak mempedulikannya dan naik ke lantai
dua. Di ruangan kantor itu semuanya tampak berdebu.
Lily meninggalkan sebuah surat untukmu. Apakah kamu sudah membacanya?
Mataku melihat pada tempat tidurku yang berdebu dan di bawahnya terlihat
secarik kertas. Saat menariknya keluar aku melihat tulisan. Aku tidak tahu
bagaimana Jack bisa mengethaui hal ini.
“Jaime.
Aku tahu kamu tidak mengingatku. Tapi aku mengingat banyak hal tentangmu.
Aku tahu besok pagi kamu akan menyerahkanku pada Vito. Jika itu yang terbaik
bagimu. Aku akan menerimanya. Karena jika kamu tidak menyerahkan diriku
pada Vito. Kamu akan menghadapi hidup yang buruk karenaku.
Aku tidak ingin membuat kehidupanmu berat. Jaime, aku selalu ingin
bersamamu. Aku berdoa pada Tuhan untuk setiap kesempatan itu. Mohon
maafkan aku yang telah membuatmu menderita.”
Aku kembali sebuah membaca kalimat terakhir yang membuatku menangis dan
duduk dikursi untuk waktu yang lama. Air mataku terus mengalir.
Tulisannya sederhana.
“Jaime, ada yang berjanji padaku. Saat surga turun ke bumi. Kita akan dapat
bersama.
Aku mencintaimu. Selalu dan selamanya.”
Aku duduk melihat keluar jendela, melihat langit biru. Udara panas berhembus,
masuk. Kehidupanku setelah kehilangan Lily hanya bergerak pada dendam dan
pembalasan. Apakah ini jalan hidup yang kuinginkan? Apakah Lily
menginginkan semua ini?
Tapi mengapa Lily? Mengapa aku begitu sulit untuk melupakannya sejak
bertemu dengannya? Sudah bertahun-tahun dan bayangannya tidak juga pernah
pudar. Air mataku menetes dan aku harus mengakui jauh dalam hatiku, Aku juga
mencintainya.
“Tok, tok, tok...” terdengar suara pintu diketok dan aku melihat Nina di depan
ruangan. “Kami sedang menunggu perintah berikutnya.”
Aku menarik nafas dan berdiri, berjalan keluar meninggalkan Nina. Aku harus
mengakhiri apa yang aku mulai. Di lantai bawah, aku duduk di sebuah kursi
melihat pada layar laptop yang terhubung pada banyak orang melalui panggilan
online video.
Menarik nafas dalam-dalam. Aku melihat sekeliling dan merasa kehidupanku
jauh lebih besar dari semua ini. Sebuah kesadaran kelihatannya muncul
membebaskanku dari ikatan dendam dan kemarahan selama ini. Aku baru
menyadari, apa yang kulakukan sama sekali tidak sesuai dengan keinginan Lily
dan pastinya juga hatiku. Aku sama sekali tidak melakukan apa pun yang
membuat surga akan turun ke bumi. Yang kulakukan hanya pembunuhan dan
kekerasan, membuat neraka di bumi.
“Misi dibatalkan,” kataku mengejutkan semua orang di tempat ini juga mereka
yang terhubung melalui panggilan video. “Sekali lagi, misi dibatalkan. Kalian
akan mendapatkan pembayaran penuh tapi misi kali ini batal,” tambahku
Aku melihat Nina sudah duduk kembali pada kursinya dan dengan terkejut
berdiri menatapku, “Nina, kirimkan pembayaran penuh pada mereka semua.”
Semuanya terlihat diam tidak bergerak.
“Misi dibatalkan.” Kataku sekali lagi. “Tidak ada pertempuran, tidak ada
penyerangan. Masukan kembali barang-barang kalian dan lapor pada cabang
terdekat.”
“Aku tidak mengerti,” kata Nina dan beberapa orang di tempat ini begitu juga
dari sambungan video. “Kita sudah mempersiapkan ini selama bertahun-tahun.”
Aku menarik nafas dan duduk bersandar pada kursi. “Aku akan bertanggung
jawab atas semua ini. Aku akan mengundurkan diri untuk
mempertanggungjawabkannya.”
“Mengapa?” teriak Nina.
Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang tepat untuk semua ini. Aku hanya
diam.
“Aku akan keluar dari kelompok ini,” tegasku.
Sesaat setelah aku mengucapkannya terasa kelegaan di hatiku. Tampaknya semua
beban menguap begitu saja.
“Jaime,” teriak Nina berdiri. “Kamu tahu satu-satunya cara untuk keluar dari
kelompok ini adalah kematian. Kamu sudah menandatangani kontrak dengan
kelompok ini.”
Aku ingat aku pernah menjual nyawa dan kesetiaanku pada kelompok ini karena
dendam yang membutakanku. Jika itu artinya aku harus mati untuk dapat keluar
dari kelompok ini... aku menutup mata bertanya pada batinku. Apakah aku lebih
baik mati atau tetap dalam kelompok ini dan terus melakukan banyak kekerasan?
Memikirkan kekerasaan yang harus kulakukan berikutnya, hatiku terasa berat dan
aku tidak menginginkan hal itu lagi.
Aku membuka mata menatap Nina dan lainnya. “Aku keluar. Terserah siapa yang
ingin mengambil nyawaku.”
Seorang pria bernama Wanda yang selalu berada di samping Nina berdiri dan
mengarahkan senjata apinya padaku. “Tidak perlu repot untuk keluar. Ketua
Umum Utusan Tuhan sudah ingin menyingkirkanmu setelah rencana ini. Kamu
hanya mempercepat prosesnya. Nina akan menggantikan posisimu mengambil
alih misi ini.”
Aku tersenyum. Aku selalu menembak orang dalam 3 tahun ini, tidak mungkin
aku tidak akan ditembak suatu saat. Ini sudah menjadi karmaku. Terdengar
sebuah tembakan dan aku merasakan sesuatu yang panas menerjang paru-paruku.
Tembakan kedua menerjang bahuku dan aku melihat Nina sedang menahan
tangan Wanda. Setelahnya aku kehilangan kesadaran.
***
Dua hari berikutnya aku menemukan diriku berada di rumah sakit. Polisi
mengatakan aku ditemukan tergeletak di jalanan di depan rumah sakit. Aku
mengaku tidak mengetahui siapa pun yang melakukan semua ini sehingga
mereka berpikir aku adalah korban perampokan karena dompetku dan segala
isinya lenyap.
Saat aku keluar dari rumah sakit dan melihat bekas pabrik yang sudah kosong
melompong.
Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan lagi. Aku duduk di kursi dan
merenungkan sesuatu. “Membawa surga ke bumi.”
BAB 11
Di pagi hari ini, aku datang ke tempat Jack. Aku ingin mengetahui siapa dia
sebenarnya dan setidaknya aku akan mengucapkan terima kasih padanya. Aku
melihat Jack sedang duduk di sebuah kursi di depan tempat pangkasnya.
“Aku sudah menunggu kedatanganmu,” kata Jack saat melihatku.
Aku merasa dia selalu mengetahui segala sesuatu, “Siapa kamu sebenarnya
Jack?” tanyaku.
Jack terdiam dan menarik nafas menikmati secangkir tea panasnya dan
menyeruputnya. “Seorang manusia biasa.”
Aku tidak percaya dan aku mencoba mengunakan mata batinku untuk
menatapnya. Jika dia manusia biasa, akan dapat melihat auranya. Jika dia adalah
dewa, malaikat atau ashura yang menyamar, aku akan melihat wujud aslinya.
Dan berikutnya apa yang kulihat membuatku terkejut.
“Apa yang kamu lihat Jaime?” kata Jack tersenyum.
Aku tidak percaya apa yang telah kulihat dan sama sekali tidak mungkin. Setiap
orang memiliki aura dan energi mereka dan Jack.. Dia...
“Ops... Jaime, jangan katakan.” Kata Jack tersenyum melihat padaku. “Biarlah itu
menjadi rahasia di antara kita berdua saja. Kamu mau ke mana setelah keluar dari
kelompokmu?”
“Aku tidak tahu,” kataku jujur. Jack diam meperhatikanku. “Apakah kamu bisa
mengajari aku membawa surga ke bumi?” tanyaku.
Jack tertawa, “Itu tidak mungkin,” katanya singkat. “Yang mungkin
melakukannya cuma satu.”
“Siapa?” tanyaku penuh minat.
“Tuhan,” kata Jack tersenyum penuh arti.
Aku mendesahkan nafas dan hanya dapat berkata, “Aku tahu.”
“Kalau kamu tidak memiliki pekerjaan lain, jadilah muridku?”
Aku terdiam melihatnya. “Untuk mempelajari apa?”
“Memangkas, “ jawab Jack, “Apa lagi?”
Aku melihat tempat pangkas itu dan hanya bisa tersenyum.
“Mengapa tidak?” jawabku. Saat ini seluruh rekeningku telah kosong dan aku
tidak memiliki apa pun lagi.
***
Aku akhirnya setuju berlatih menjadi tukang pangkas menemani Jack. Setiap pagi
aku bangun untuk membuka tempat pangkasnya, mengepel dan menyapu. Saat
memiliki waktu dia akan mengajariku tentang memangkas.
Dia membiarkan aku memangkas beberapa anak-anak jalanan secara gratis. Aku
tinggal di lantai paling atas toko pangkas. Jack ada di lantai dua. Waktu berlalu
begitu saja dan aku mengurangi waktuku untuk keluar dengan berbagai alasan.
Pada suatu malam aku melakukan meditasi rutinku dan Jack tiba–tiba saja duduk
di depanku bertanya.
“Jaime, saat kamu meditasi apa yang kamu pikirkan?”
“Tidak ada,” jawabku.
“Untuk apa?”
“Untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian?” sahutku.
Jack tersenyum, “Di manakah pusat ketenangan dan kedamaian itu?”
“Pikiran yang tenang,” jawabku, “bukankah semua orang melakukan itu?”
Jack tersenyum. “Pusat ketenangan dan kedamaian ada pada hati,” jawab Jack
menujuk pada tengah dadaku dan pergi.
Malam itu aku mencoba meditasi dengan merasakan pada hati atau tengah-tengah
dada. Dan mendadak aku merasakan sebuah sensasi hangat, lembut dan damai
keluar dari hatiku langsung menyelimuti leher, kepala, seluruh tubuh hingga ke
ujung kaki. Untuk pertama kalinya kau merasakan ketenangan yang begitu
dalam.
Setelah tiga minggu berlatih dan merasakan kedamaian yang semakin dalam,
Jack mendadak muncul lagi saat aku sedang berlatih.
“Jaime, Apakah kamu percaya Tuhan?”
“Tentu saja,” jawabku.
“Apakah Tuhan selalu mengasihi dan memberkatimu?”
“Tergantung,” kataku, “Kadang ya dan kadang tidak.”
Jack tertawa, “Tahukah kamu kasih Tuhan, rahmat, berkah dan semua bentuk
cinta kasihNya padamu telah kamu terima setiap detik dan itulah yang
membuatmu hidup sekarang?”
“Cukup adil,” jawabku menyetujui.
“Pernahkah kamu mencoba membuka hatimu dan menerima kasih, perhatian atau
energi dari Sang Pencipta dengan kepasrahan? Membiarkan apa saja darinya
terjadi pada dirimu?” Jack tersenyum menatapku dan pergi.
Dia meninggalkan pelajaran sulit. Aku mencoba melakukan apa yang di beritahu
Jack. Aku mencoba membuka hatiku, menerima energi dari Sang Pencipta. Akan
tetapi otakku segera berpikir banyak hal. Apakah menerima perhatian dari Tuhan
sama seperti seorang pacar mendapat perhatian dari kekasihnya? Seperti seorang
anak menerima perhatian dari ibunya yang mengasihinya?
Mendadak aku merasakan sebuah sensasi energi yang begitu sejuk memasuki
kepalaku dan terus menyebar ke seluruh tubuhku. Perasaanku menjadi begitu
terasa nyaman, nikmat dan menyegarkan. Aku mulai menikmati perasaan itu.
Aku melakukannya berturut-turut hingga tiga minggu berikutnya Jack kembali
duduk saat aku latihan dan hanya berkata. “Jaime, setiap orang punya beban,
masalah, maupun emosi negatif seperti kemarahan, kebencian dan sejenisnya.
Sampai kapankah kamu mau membawa-bawanya? Tidakkah sebaiknya kamu
membiarkan energi dari Sang Pencipta mengeluarkannya dari tubuhmu?”
Setelah Jack berkata demikian, aku merasakan beban berat dari diriku seakan
terangkat keluar dari tubuhku dan menghilang. Proses itu terjadi terus menerus
hingga 3 minggu berikutnya.
Saat itu perasaanku akan energi semakin tajam. Kemarahan dan emosi negatif
dalam diriku jauh banyak berkurang sehingga senyum di wajahku semakin
terlihat. Kesehatannku menjadi semakin baik.
Saat itu aku sedang bermeditasi dan mendadak timbul keinginan untuk bertanya
pada Jack yang kebetulan sedang berada di depanku, “Jack mengapa tanpa sebab
kita dapat membenci sesorang yang baru saja kita temui, dan mungkin jatuh cinta
pada orang yang baru pertama kali kita temui tanpa alasan?”
Jack tersenyum dan menjawab satu kata, “Karma”
“Tapi aku belum membuat karma dengannya. Kami bahkan baru bertemu,”
balasku. Mengingat orang-orang yang kutemui seperti Lily.
“Itu adalah karma dari kehidupan masa lalu.”
“Maksudmu kehidupan sebelum kehidupan ini?”
“Kamu percaya?”
“Aku tidak tahu.”
Jack tersenyum, “Jaime mengapa kamu tidak mencobanya saja, Jika Sang
Pencipta sudah berkenan padamu, Dia akan menunjukan padamu tentang
kehidupan masalah lalumu.”
“Caranya?”
“Meditasilah seperti biasa,” sahut Jack, “Biarkan hatimu terbuka hanya pada
Tuhan, menerima dan menikmat berkahNya. Membiarkan energiNya bekerja
pada seluruh hati dan dirimu dan segala hal yang tidak kamu ketahui.”
Aku merasakan sebuah energi yang mengalir begitu nyaman dan indah.
“Dan sekarang biarkan Kasih Tuhan menunjukan kehidupan masa lalumu yang
menurut Tuhan siap untuk kamu hadapi.”
Mendadak aku terjatuh ... jauh.. dan jauh sekali...
***
Aku sedang berada di atas pesawat jepang yang melakukan pemboman pada
Pearl Harbor. Semua ini kulakukan karena perintah dari pada raja. Prajurit
sepertiku hidup sebagai prajurit dan harus mati sebagai prajurit juga. Harus
melakukan misi apa pun yang diberikan meski mati. Lagi pula aku membenci
mereka.
Pesawatku terus menjatuhkan bom-bom yang meledak saat menyentuh tanah.
Tak berapa lama saat aku hendak memutar haluan pesawat, “Duar!” Sayap
pesawatku mendadak diserang dari belakang sehingga mulai meluncur turun
jatuh ke perairan.
Saat tersadar berikutnya aku sedang tergeletak di pelabuhan dengan sekelompok
prajurit jepang sepertiku. Tentara Amerika mengelilingi kami. Tampak jelas aku
sudah menjadi tahanan. Aku dipukuli, pipiku diinjak oleh sepatu tebal mereka
untuk dilekatkan pada lantai semen pelabuhan, kemudian pahaku ditembak.
Beberapa temanku langsung ditembak di tempat. Dan aku pingsan.
Aku mendadak merasa dingin dan segera tersadar kembali dengan seluruh diriku
yang basah. Seorang tentara bermata biru baru saja menyiramiku dengan air
dingin. Aku sedang diikat pada dinding sebuah penjara. Pahaku yang tertembak
terikat erat oleh sebuah tali. Memberikan rasa sakit yang menyengat.
Mereka mulai menanyaiku dengan bahasa yang tidak kukenal. Seorang
penerjemah di sampingku terlihat kewalahan menerjemahkannya. Aku tidak ingin
menanggapi mereka. Harga diriku sebagai prajurit harus tetap terjaga. Lebih baik
mati dari pada menjadi pengkhianat negara. Seorang tentara terlihat kesal dan
mengeluarkan sebatang besi merah dari perapian dan meletakkannya pada kulit
dadaku.
Rasanya panas, sakit dan mendidih. Aku berteriak sekeras mungkin hingga
akhirnya pingsan. Saat aku tersadarkan kembali, mereka terus menanyaiku yang
tidak akan pernah kujawab. Seorang membawa sebuah alat penjepit dan
mematahkan jariku satu persatu. Rasanya sungguh sangat menyakitkan. Air
mataku mengalir karena sakitnya.
Setelah semua yang mereka gunakan untuk menyiksaku tidak berhasil, mereka
membiarkanku kelaparan di dalam penjara. Dan mereka sengaja makan di
depanku, aku mengemis dan berteriak sambil menangis untuk sedikit makanan
dan air untuk dahagaku. Tapi tak secuilpun yang mereka berikan.
Hari berikutnya mereka mematahkan kedua kakiku dan menyalakan api yang
membakar seluruh rambutku. Dalam keadaan setengah mati dua orang tentara
menyeretku keluar dari penjara dan melemparkanku ke dalam sebuah lorong
panjang dan gelap yang berisi kotoran dan air seni mereka.
Seluruh badanku terasa sakit dan hidungku terus menerus dihujam oleh bau
menyengat. Dalam keadaan itu aku teringat istriku, saudara-saudaraku dan
teman-temanku. Di sana aku menemukan sebatang besi berkarat dan berdoa atas
nama leluhur dan negaraku. Dan aku menusukkannya tepat pada perutku. Batang
besi itu menusuk dangkal, membuatku merasa kesakitan tajam dan aku jatuh
pingsan. Saat tersadar antara kesakitan dan bau menyengat. Aku memaksakan
diri untuk memaksa besi berkarat itu memasuki perutku lebih dalam. Hingga
akhirnya nafasku hilang.
***
Aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya tapi aku tersadar sebagai seorang
tentara amerika yang berada Pearl Harbor. Dan aku sedang menaiki truk bersama
teman-teman lain saat pesawat-pesawat jepang berterbangan di atas kami. Sebuah
bom meledak di dekat truk kami dan membuat kami terbalik. Kalang kabut kami
mulai berlarian, saat aku tiba di asrama tempat istriku berada, yang tersisa hanya
puing-puing bangunan yang hancur dihantam bom. Aku menangis sangat keras
saat menemukan jasad istriku berlumuran darah kental yang sedang memeluk
putriku di bawah bebatuan.
Dalam kemarahan, aku mulai menganiaya para tawanan jepang yang tertangkap
di Pearl Harbor. Aku menembak mereka, menggergaji tubuh mereka, menendang
mereka, menembak mereka satu persatu. Aku melakukan apa pun untuk membuat
mereka merasakan sakit. Dan saat jepang menyerah kalah, kami menangkap para
tentara yang tidak mau menyerah dan para penjahat perang. Aku membunuh
mereka di depan khalayak ramai namun pada akhirnya seorang wanita yang
kelihatannya istri dari prajurit lari ke tempatku dan menusuk perutku.
***
Perlahan-lahan aku membuka mata dan melihat Jack sedang melihat ke arahku.
Pikiranku perlahan-lahan mulai mengenali sekeliling.
“Sudah berapa lama aku di sini?”
“Sejak, kamu menanyakan tentang masa lalu?” tatap Jack padaku, “Hanya
beberapa menit berlalu.”
Aku tidak percaya dan melihat pada jam di dinding. Hanya beberapa menit sejak
aku mulai meditasi. Padahal aku menjalani dua kehidupan yang sangat panjang.
“Apa pelajaran yang kamu dapatkan dalam kehidupan itu?” tanya Jack santai.
Aku menarik nafas dan mengingat lagi semuanya. Aku adalah penganiaya dan
yang teraniaya.
“Kita melukai sesama kita dan pada akhirnya kita tidak bisa lari dari kita melukai
diri kita sendiri.” Kataku menyadari kebenaran itu jauh di dasar diri dan
ingatanku.
Jack mengangguk, “Kita tidak akan pernah dapat menipu karma. Apa yang kamu
lakukan akan kamu terima. Saat kamu melukai orang, alam tidak akan
membiarkan itu terlewati begitu saja. Kamu akan menerima kesakitan itu
kembali. Itu adalah hukum yang mengatur kehidupan ini.”
Minggu berikutnya aku mendadak bertanya pada Jack, “Siapakah Tuhan?”
Jack kembali membalas dengan senyum dan balik bertanya, mengapa kamu tidak
mempelajarinya saja dari kehidupanmu yang lalu.
***
Afrika.
Sudah dua tahun berturut-turut tiada setetes air pun yang menyentuh tanah kami.
Udara begitu panas, debu-debu berterbangan dan tanah-tanah terlihat retak karena
kering. Penduduk desa bermatian satu persatu, hanya meninggalkan kulit yang
membungkus tulang.
Aku seorang shaman atau kepala desa yang selalu bertugas untuk menjaga
komunikasi antar dewa dan manusia. Kini tidak ada yang dapat kulakukan, aku
pun mulai sekarat. Dewa-dewa membenci kami tidak mau melimpahi sedikitpun
air untuk kami. Aku kehilangan putra dan cucuku di tahun ini karena kelaparan.
Aku menatap pada langit yang tiada berawan sedikit pun. Menunggu ajalku,
karena dewa-dewi sekali lagi enggan menjawab panggilan hujan kami.
Di tengah sekarat dan tubuh tuaku, yang sudah berumur enam puluhan ke atas,
kupikir mungkin aku bisa berguna untuk satu atau dua hal. Aku berdiri dan
menyampaikan pesanku pada keluargaku, “Aku akan pergi mencari air atau dewa
kematian, mana pun yang lebih dulu kutemui nantinya.”
Berbekal sedikit rumput kering dan roti tepung berdebu, aku memulai perjalanan
tanpa arah berharap bisa menemukan sesuatu. Desa demi desa kulalui, dan
semuanya sama seperti desaku, kekeringan. Dewa apa pun yang mereka sembah
tidak mampu memberi mereka hujan. Aku kemudian bergerak lebih jauh lagi
dengan air mata. Karena apa yang kulihat dari desa demi desa hanyalah kematian.
Dan aku terus berjalan hingga kedua kakiku melemah dan bekalku habis. Aku
pingsan kepanasan dan kehausan di tengah padang gersang.
Saat terbangun aku berada di sebuah desa, mereka menolongku dan melihat
kalung dan rantai tulang yang kumiliki, mereka pasti tahu jika aku adalah ketua
para shaman, yang tiada berguna. Di tempat ini air mataku kembali mengalir, tapi
ini karena kebahagiaan, itu karena mereka memberiku air minum. Aku begitu
ingin membawa semua penduduk desa ke tempat ini di mana mereka memiliki
mata air yang belum kering. Namun saat aku melihat mata air mereka, aku tahu,
air itu hanya cukup untuk desa mereka dan tanpa hujan, mereka juga akan segera
mengalami bencana kekeringan. Aku harus bergerak lagi.
Mereka menitipkan doa dan bekal padaku saat aku mengatakan akan melakukan
perjalanan mencari air, hujan atau dewa. Aku kemudian terus berjalan menuju
matahari terbenam, tempat para dewa. Lelah letih aku berjalan berbulan-bulan,
tanpa hasil. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah tebing berbatu, sepanjang mataku
melihat hanyalah tanah kering dan bebatuan.
Dan aku melihat matahari terbenam dari atas tebing di mana aku sudah tidak
mampu berjalan lagi. Juga tiada jalan untuk kutempuh lagi, tiada dewa untuk
kutemui dan tiada harapan yang terlihat oleh kedua mataku. Api pengharapan
padam sudah, bekal dan minumanku juga sudah habis. Aku menatap matahari
terbenam dan untuk pertama kalinya. Sebuah pesona merasuki seluruh tubuhku.
Sebuah kekaguman yang luar biasa sakral. Sesuatu yang Maha Agung.
Perasaanku mengenaliNya Dia yang berada di atas para raja raja dewa, di atas
segalanya. Dia yang Pengasih dan tak kukenali.
Untuk pertama kali semenjak aku lahir, aku melepas semua kalung dan jimat-
jimat kesaktianku dari semua dewa-dewa leluhur, seluruh kalung dan benda apa
pun yang sudah kukenakan sejak aku lahir.
Aku melihat pada keagungan itu
“Hooo…” Teriakku tinggi dari atas tebing, berurai air mata memanggilNya.
“Heyaa….. Hooo…. Heyaa…. Hooo…. hooo… Heyaaaaa……yaaa…..”
Aku yang tidak mengenalmu dan Engkau yang menciptakan ke seluruhan tempat
ini. Di sini aku berdiri tanpa apa pun untuk kupersembahakan untukmu. Biarlah
diriku ini yang akan kuserahkan padamu.
Begitulah arti dari panggilan jiwaku.
Aku mulai bernyanyi dengan segenap jiwa dan hatiku. Air mataku menetes turun
menyadari betapa kecilnya diriku dibandingkan dengan semua keagungan ini.
Betapa para dewa juga tak berdaya di hadapanNya. Seluruh jeritan jiwaku
mengalir keluar dan menggema di angkasa dan aku mulai menari.
Tarian persembahan untuk penyerahan diriku.
Aku berharap Dia yang berada di atas segala-galanya mendengar kesedihan kami.
Jeritan anak-anak dan cucuku yang meninggal karena kekurangan air.
Kuberharap Dia menerima tarianku, meski aku tidak suci untuk dijadikan
persembahan. Tapi hanya selembar nyawa dan tubuh kering ini yang kumiliki
saat ini. Aku hanya berharap Dia yang menciptakan kami tiada melupakan kami.
Aku menangis, menari dan bernyanyi dengan jiwa dan hatiku.
“Hooo… Heyaa….. Hooo…. Heyaa…. Hooo…. hooo…
Heyaaaaa……yaaaa…..yaa…..”
Aku menari membentuk lingkaran, menaikkan sebelah tanganku, menurunkan
sebelah kakiku dan melompat terus menerus, sambil bernyanyi memanggil
Pencipta segala-galanya, jika Dia sudi mendengar suara dari hatiku. Meski aku
meyadari tarian yang kupersembahakan begitu buruk, nafasku setengah-setengah
dan otot-otot kakiku tidak lagi dapat melompat indah untukNya. Air mataku
mengalir menyadari betapa hinanya diriku.
“Hooo… Heyaa….. Hooo…. Heyaa…. Hooo…. hooo…
Heyaaaaa……yaaaa…..yaa…..”
Saat tarianku selesai semuanya terasa hening dan aku bersujud dihadapan tebing
curam siap untuk melompat. Bersujud dalam-dalam kiranya Dia mau menerima
persembahan yang hanya kumiliki ini, selembar nyawa tua tiada berharga ini.
Dalam air mata aku memukulkan dahiku pada debu kering untuk terakhir kalinya.
Namun saat itu kudengar guntur menyambar dan air hujan langsung jatuh di
tanganku disaat aku masih bersujud. berikutnya hujan pun terus turun dengan
lebatnya.Memenuhi kekeringan yang panjang.
Dan aku hanya dapat menangis terisak-isak, memujiNya, Ibu dan Raja segala raja
yang ada. Sungguh kebaikanNya tiada dapat terucapkan. Setelah dari itu aku
melakukan perjalanan pulang dan mulai memberitahu dari desa ke desa untuk
menyembah Dia. Tuhan di atas segala tuhan.
***
Minggu berikutnya mendadak timbul pertanyaan pada Jack, “Jack, aku tahu
kamu selalu berdoa untuk semesat dan semua makhluk. Apakah itu berguna?”
Jack tertawa dan melihatku. “Mari kita lihat apakah doa orang lain yang tidak
kamu kenal pernah menyelamatkanmu.”
***
Ratusan tahun lalu aku adalah raja monster dan siluman dari dimensi kedua atau
dimensi para arwah, aku memiliki pasukanku yang begitu banyak dan setiap hari
aku mendisplinkan mereka dengan kekuatan dan ketakutan. Aku adalah monster
dan siluman, di sanalah aku berada sepanjang ingatanku. Pekerjaanku adalah
menakut-nakuti makhluk lain.
Mendadak pada suatu hari sebuah cahaya datang dari dunia atas dan
membawaku. Cahaya itu membersihkanku dari semua kemarahan dan
menyembuhkan aku dalam cahaya, membawaku ke tempat yang begitu indah.
Aku terkejut dengan apa yang terjadi padaku, aku bertanya pada malaikat yang
ikut membawaku keluar dari dunia siluman menuju ke tempat yang begitu indah
ini.
“Apa yang terjadi?” tanyaku
“Seseorang mendoakan arwahmu dan menyucikan dosa-dosamu dengan hatinya
yang tulus,” jawab malaikat itu.
Aku tertawa, “Siapa yang mendoakan diriku ini? Siluman yang terus menerus
meneror dan menakuti nakuti semua orang.”
Malaikat kemudian membawaku kepada seorang gadis kecil yang sedang berdoa
di dalam kamarnya menghadap keluar jendela.
“Mengapa dia mendoakanku? aku tidak mengenal dirinya dan dia tidak
mengenalku,” tanyaku.
Kemudian malaikat membawaku kembali ke beberapa saat lalu di mana kakak
lelaki gadis kecil itu dan teman-temannya menakuti-nakutinya. Mereka berkata,
“Akan ada monster jahat di bawah tempat tidurmu, dia akan menerkammu dan
membawamu ke kuburan. Apalagi raja monster itu yang terkenal paling sadis.”
Gadis kecil berteriak ketakutan dan lari pada ibunya. Dan setelah kakaknya
ditegur oleh ibunya, gadis itu bertanya pada mamanya, ” Mama, kenapa raja
monster itu mau menakut-nakuti orang?”
Mamanya kebingungan menjawab dan melihat kakaknya yang sering menakuti
adiknya Dia hanya menjawab sekenanya, “Mungkin dia sama seperti kakakmu
yang senang mencari perhatian dengan menakut-nakutimu. Raja monster itu
kesepian di dunia bawah.”
Malam itu saat semuanya sudah tidur, gadis kecil polos itu duduk untuk doa
malamnya, setelah ia berdoa seperti biasanya mendadak ia menambahkan doanya
”Yah Tuhan, tolonglah Si Raja Monster itu agar dia tidak kesepian. Bantulah dia
agar dia dapat bahagia dan mempunyai banyak teman. Sehingga dia tidak perlu
menakut-nakuti orang untuk mencari teman lagi.”
Tuhan mendengar doa dari gadis kecil yang tulus dan suci. Dan aku sang raja
monster menangis.
BAB 12
Waktu demi waktu berlalu, Jack mulai membimbingku untuk lebih memasrahkan
diriku pada Tuhan. Memasrahkan beban dan masalahku hingga akhirnya
memasrahkan diriku sepenuhnya pada Tuhan. Misteri-misteri alam semesta mulai
terbuka padaku perlahan-lahan.
Aku sadar pernah hidup diberbagai masa dan waktu juga dimensi. Aku pernah
hidup sebagai raja neraka, dengan alasan itu juga banyak ashura yang takut
padaku karena kekuatan jiwa terbawa untuk jangka waktu yang sangat panjang.
Aku juga mengingat saat itu Lily adalah malaikatnya. Dan aku jatuh cinta
padanya. Kemudian kami bertemu di beberapa kehidupan lampau dan kisah cinta
kami lebih banyak menyakitkan. Kami tiada pernah bersatu.
Setelah mengenal jiwaku dan ingatannya, Jack mulai membimbingku untuk
mengenali hati dan hati nuraniku. Perlahan-lahan pengetahuan seluruh dimensi
mulai dibukakan Tuhan bagiku. Pengetahuan akan setiap bagian dimensi, surga,
neraka, nirwana dan bahkan hingga alam diluar semuanya. Sebuah pengetahuan
nyata akan diri sejati dan siapa manusia sesungguhnya. Meski setelah mengetahui
semua itu, tetap saja manusia harus belajar untuk sadar. Sadar akan Pencipta dan
tujuan hidupnya.
***
Jack menceritakan sebuah kisah yang indah tentang Raja Vali. Seorang raja
keturunan ashura yang pernah mengulingkan Dewa Indra sang penguasa surga.
Saat itu dia menguasai surga, neraka dan hampir seluruh keberadaan. Pada suatu
saat datanglah seorang Brahmana cebol yang bernama Vamana.
Dia meminta tanah sebanyak tiga langkah kakinya dari Raja Vali. Raja Vali yang
memiliki semuanya segera mengijinkannya tanpa mendengarkan larangan
gurunya. Raja Vali bahkan menawarkan lebih yang ditolak dengan oleh
Brahmana cebol dengan mengatakan cukup segala yang ada dalam tiga langkah
kakinya saja. “Ambil saja semua yang ada di dalam tiga langkah kakimu wahai
brahmana,” kata Raja Vali.
Brahmana cebol itu mulai mengerakkan kakinya untuk langkah pertamanya.
Kakinya yang terbuka langsung mencapai dunia atas dan mencakup keseluruhan.
Membuat semua orang di sana terkejut. Pada langkah kedua, Brahmana itu
menapak dunia bawah yang membuatnya sudah menguasai semua keberadaan,
bahkan tempat-tempat yang bukan milik Raja Vali.
Brahmana itu kemudian bertanya pada Raja Vali dengan kakinya yang
menggantung di udara, “Ke mana aku akan menapakkan langkah ketigaku.”
Raja Vali segera menangis setelah menyadari siapa Brahmana itu sebenarnya.
Dia turun dari tahtanya dan bersujud di depanNya. Meletakkan kepalanya sambil
berkata, “Tapakkan kakiMu di atas kepalaku dan jadikan aku milikMu.”
Dan Brahmana itupun menapakkan kakinya pada kepala Raja Vali.
Pada akhirnya setinggi apa pun kekuasaan sesorang, sehebat apa pun dia.
Tujuan kehidupan ini hanya satu, menjadikan diri kita sebagai milikNya.
***
Aku sedang memangkas, saat sesuatu yang tenang dan sejuk menghampiri hatiku,
terasa seperti moment yang begitu indah. Seketika itu juga aku merasakan
ketenangan dan kedamaian, kemudian menatap pada Jack yang seketika itu juga
sedang melihatku.
“Sudah waktunya,” kata Jack.
Aku mengangguk.
Siang itu juga mendadak aku merasa ingin berjalan-jalan dan diijinkan oleh Jack.
Pada malam harinya aku kembali dan menceritakan apa yang kulakukan. Aku
mengikuti hatiku, berjalan-jalan dan pada akhirnya aku tiba di sebuah sudut kota
lain yang terkenal karena kejahatan dan tempat penjualan obat-obatannya.
Hampir setiap hari terjadi kekerasan di daerah itu.
“Aku menemukan sebuah rumah toko kecil yang disewakan pemiliknya,” kataku.
Jack tersenyum, “Jika demikian. Apa lagi yang kamu tunggu?”
“Uang simpananku belum cukup untuk menyewa rumah itu, Jack,” kataku.
“Jaime, jika Tuhan sudah mengkhendakimu untuk berada di sana maka semua
juga sudah akan diatur olehNya.”
Hari berikutnya mendadak hatiku ingin menuju ke sana dan aku pun
mengunjungi tempat itu. Di sana aku bertemu dengan pemilik rumah yang setelah
berbicara panjang lebar, dia bersedia untuk menyewakan rumahnya dengan harga
yang sangat miring selama aku bersedia memperbaiki dan menjaga tempatnya.
Dua hari berikutnya saat sedang memangkas di tempat Jack. Brian datang dengan
mengatakan ada yang ingin membuang kursi pangkas lamanya yang masih bagus.
Pemiliknya baru saja membeli yang kursi pangkas baru yang lebih canggih.
Untuk merenovasi rumah itu, Jack membantuku dengan cukup banyak biaya dan
dia hanya mengatakan, “Uang yang kumiliki adalah titipan dari Tuhan untukmu.”
Minggu berikutnya aku sudah membuka sebuah tempat pangkas kecil di antara
rumah-rumah yang berderet-deret. Saat aku membuka pintu tempat pangkasku
menatap jalanan, yang terlihat adalah wajah-wajah orang marah, gelisah, lelah
dan semua emosi berat yang bisa terpikirkan. Jelas berbeda dengan tempat Jack
yang penuh senyuman. Di sini aku melihat banyak anak-anak yang putus sekolah
dan melakukan aktivitas berbahaya. Aku hanya bisa tersenyum dan berdoa dalam
hati agar hanya kehendak Tuhanlah yang terbaik, yang terjadi padaku, pada
mereka, pada semua lingkungan ini dan semua keberadaan ini. Energi dari Tuhan
yang menyelimuti tubuhku mulai mengalir keluar, menyebar ke semua arah.
Memberikan kebaikan, kasih, berkah dan energi positif pada lingkungan.
Dengan terkejut aku melihat Brian yang sedang lewat dengan gerobak
sampahnya sambil tersenyum padaku. Tampaknya dia berjalan hingga ke mana-
mana.
Dalam seminggu ini aku mendapatkan beberapa pelanggan, dari pelanggan yang
tidak membayar, hanya membayar separuh hingga mereka yang meludahiku
setelah aku memangkas mereka. Dan setidaknya aku masih dapat bertahan hidup.
Beberapa tetangga yang sudah lanjut usia memutuskan untuk datang ke tempatku
setelah aku memangkas untuk mereka dari rumah ke rumah.
Apa pun yang terjadi aku selalu berusaha tersenyum dan pada akhirnya sebagian
kecil dari mereka mulai membalas senyumanku.
Waktu terus berlalu, setiap malam sehabis bekerja, makan malam dan mandi.
Aku pergi ke ruang tamu dan mulai bermeditasi. Mulai membuka hati,
menyerahkan diriku dan menjadikan seluruh diriku sebagai bagian dari alatNya
untuk menyebarkan kasih Tuhan pada sekeliling.
Perasaan nyaman dan tenang mengalir melalui diriku pada semua arah.
Keesokan harinya aku menemukan seorang pemuda dengan rambut panjang
awut-awutan. Aku menegurnya karena pagi itu aku sedang membersihkan kaca
depan dan dia sedang terlihat lesu.
“Kamu mau mangkas? Aku dapat memberikannya padamu dengan gratis,”
tanyaku sopan.
Dia melihatku kemudian membuang mukanya sambil berkata dengan kesal
karena merasa terganggu, “Biarkan aku sendiri. Apa masalahmu teman?” Dia
segera berlalu pergi.
Aku tersenyum menatapnya pergi dengan tubuh yang lunglai dan lemas. Dalam
hati aku berdoa dengan setulusnya agar dia mendapatkan kasih yang indah agar
hidupnya dapat menjadi lebih baik. Karena aku tahu berjuang sendirian di bumi
ini tanpa Tuhan sungguh berat. Ibarat seorang anak yatim yang berjuang
sendirian tanpa keluarga dan orang tua yang mencintainya. Dia harus menghadapi
seluruh dunia seorang diri. Tentu saja bukan pekerjaan mudah.
Menjadi orang baik juga terkadang memiliki cobaannya, beberapa orang
mencoba meminjam uang dariku dan aku sendiri hanya mencoba mengikuti kata
hati. Saat hatiku mengkhendaki untuk meminjamkannya maka aku
melakukannya. Saat tidak, maka aku hanya tersenyum sambil berkata, “Maaf.
Aku tidak bisa.”
Kekayaan pada dunia ini hanya seperti energi yang mengalir masuk dan mengalir
keluar. Terkadang uang yang ada di tangan adalah titipan dari Tuhan untuk
diberikan pada orang lain dan kita menjadi perantaranya. Aku meminjamkan
uang untuk seorang yang istrinya sedang sakit, seorang yang listriknya sudah
memasuki waktu tenggang, seorang untuk membayar uang sewa kamar, seorang
yang mengaku untuk membantu tetangganya. Intinya semuanya membuthkan
uang untuk urusan yang sangat penting. Dan sekali lagi hanya jika hati nuraniku
mengkhendaki.
Apakah meminjamkan uang pada orang yang meminjam dengan alasan untuk
berobat karena dan pada akhirnya memakainya untuk memberi obat-obat
terlarang adalah salah? Bukankah hati nurani selalu mengetahui sedang
dibohongi atau tidak.
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Aku mengetahui, dengan hatiku dia berbohong, dan dia akan mengunakannya
untuk memberi obat-obatan, tapi mengapa hatiku memberikan padanya? Itu
karena jika aku tidak memberikannya ada kemungkinan dia akan merampok
rumah orang lain dan mungkin saja berakhir pada tindak kejahatan lainnya seperti
pembunuhan tak disengaja. Karena aku tahu, bagi orang yang sudah kecanduan
terkadang otak mereka sudah berhenti memikirkan alasan-alasan untuk bertindak
logis.
Pernah di suatu hari aku melihat seorang pria yang berjalan lunglai dan hatiku
memaksaku untuk menegurnya. Aku mengetahui bahwa dia sedang dalam
perjalanan untuk interviu sebuah pekerjaan di pusat kota, namun dia tidak
memiliki pakaian juga sepatu yang layak.
Saat itu juga selain aku meminjamkan pakaian dan sepatu terbaikku untuknya,
aku juga memangkasnya. Dalam sekejap dia tampil seperti orang baru yang lebih
percaya diri. Dan dirinya berjanji akan mengembalikan semua itu setelah dia
selesai di interviu. Dan dia belum juga kembali setelah itu.
Selain aku juga meletakkan kursi di depan tempat pangkasku, aku juga
meletakkan tempat untuk menikmati air putih di sampingnya. Terkadang aku
dapat melihat orang-orang yang sekedar duduk beristirahat, menikmati minum
dan berlalu begitu saja. Cukup menghangatkan hatiku.
Setahun berlalu tanpa terasa sejak aku berada di tempat ini. Aku dapat melihat
sekeliling yang sedikit banyak telah berubah karena energi positif dari Tuhan
terus bekerja. {erlahan tapi pasti energi negatif yang dulunya terikat erat dengan
wilayah ini mulai tidak sekental dulu lagi. Tindak kejahatan mulai berkurang,
orang-orang mulai terlihat tersenyum dan lebih sering keluar dari tempat mereka
dari pada mengurung diri seperti tahun lalu.
Beberapa toko-toko baru mulai dibuka. Orang-orang sudah menemukan tempat
ini sebagai bagian dari tempat yang dapat ditinggali. Jika ada pertanyaan, ke
manakah orang-orang yang selama ini merusak? Mereka masih di sini hanya saja
mereka sudah bosan untuk terus menerus melakukan perusakkan. Sedikit demi
sedikit mereka mulai mencari sesuatu yang dapat mereka lakukan dalam
kehidupan ini. Atau juga jika mereka berkeras melakukan perusakkan, dia hanya
menemukan tempat ini tidak lagi cocok untuk mendukung perusakkan.
Jika dibuat contoh maka itu adalah seperti 20 boneka yang tinggal dalam sebuah
kotak. Sebuah boneka pertama kali memulai permainan kemarahan. Satu boneka
menulari tiga boneka dengan kemarahan dan dari tiga boneka menulari sembilan
boneka hingga akhirnya seluruh boneka di dalam kotak mulai melakukan itu.
Menularkan kemarahan terus menerus hingga boneka itu rusak oleh kemarahan.
Jika saja satu boneka mendadak menjadi cerdik dan berkata, “Kita harus
menghentikan semua kemarahan dan kejahatan ini. Kita harus menghancurkan
boneka-boneka jahat yang menjadi sumber kemarahan.” Kemudian dia mulai
menghancurkan boneka mana pun yang menyebarkan kemarahan dan akan
mengakibatkan kehancuran. Pada akhirnya boneka itu mulai menghabisi boneka
lainnya hingga akhirnya yang tersisa hanyalah boneka itu sendiriam. Perbuatan
yang dilandasi dengan kekerasan terhadap yang lainnya cenderung menghasilkan
kehancuran atau memperdalam energi negatif.
Jika pada suatu saat sebuah boneka mendadak berhenti menyebarkan kemarahan
itu, setiap kemarahan yang masuk pada dirinya tidak lagi dibagikan pada yang
lain tapi diserahkan pada Yang Kuasa untuk dilenyapkan. Dalam sekejap hanya
tertinggal 19 boneka yang masih menyebarkan kemarahan.
Sebuah boneka itu kemudian mulai menyebarkan kebaikan, sedikit demi sedikit
memberikan udara dan nafas baru pada seluruh boneka itu. Dari satu boneka
mungkin hanya bisa mempengaruhi satu boneka lainnya. Hingga akhirnya
boneka itu mulai membagikan energi postitif. Selama perjalanan, dua boneka itu
segera menjadi emoat dan dari empat menjadi delapan hingga akhirnya semua
kemarahan lenyap dalam ruangan itu. Hanya menyisakan oleh kebahagiaan, kasih
dan kelembutan.
Pada akhirnya kekerasan selalu hanya menghasilkan kekerasan. Kebaikan selalu
menghasilkan kebaikan,
BAB 13
Waktu mulai berjalan terus dan aku mulai merasakan sebuah kesendirian. Pagi itu
aku duduk di depan kursi toko pangkas dan melihat beberapa orang berpasangan
berlalu. Aku hanya bisa tersenyum.
Dengan penuh keisengan aku mengeluarkan telepon genggamku dan
mengirimkan pesan singkat pada Jack.
“Jack, kapan aku akan mendapatkan seorang istri?”
Tak lama telepon genggamku berbunyi mendapatkan balasan dari Jack.
“Saat Tuhan merasa kamu sudah waktunya menikah.”
“Tapi Jack, setidaknya aku ingin pacaran dulu sebelum nikah.”
“Tuhan akan memberikannya padamu. Dan jika kamu sudah bertanya mungkin
itu karena hatimu sudah tahu waktunya sudah dekat.”
Dan aku tertawa.
Keesokan harinya. Aku sedang memangkas rambut orang saat hujan deras turun
dan seorang gadis dengan membawa seorang anak laki-laki memasuki tempatku.
Aku memandang gadis itu yang rambutnya basah. Seketika waktu terasa berhenti.
Aku mendapati diriku sedang menatap ke arahnya seperti dia juga menatap ke
arahku untuk waktu yang cukup lama.
“Jaime, kalian bisa terus bertatap-tatapan seharian. Tapi setelah kamu
menyelesaikan memangkas rambutku,” Seorang tua yang sedang kupangkas
rambutnya berteriak sambil tertawa memperlihatkan gigi ompongnya
Wajahku segera memerah dan kembali memangkas. Aku bisa melihat gadis muda
itu menunduk dan duduk di kursi tunggu.
“Tuhan Maha Baik dan Maha Pengertian,” bisikku dalam hati. “Dia selalu
memberikan yang terbaik bagiku.”
***
Seminggu kemudian aku mengunjungi gadis itu yang merupakan putri dari
seorang pemilik toko bunga yang baru saja pindah ke daerah ini. Dia bernama
Nadia. Hal yang menarik adalah aku menemukan kembali orang yang pernah
kupinjamkan pakaian dan sepatuku. Dia terlihat sedikit malu padaku saat kami
bertemu. Akhirnya dia berkata, “Aku minta maaf tidak mengembalikan pakaian
dan sepatumu.”
“Ngak apa apa,” kataku. “Kamu diterima? Interviu itu?”
Pria itu terlihat malu dan melanjutkan, “Aku diterima, tapi karena aku tidak
punya pakaian untuk melakukan pekerjaan sehingga aku tidak
mengembalikannya padamu.”
“Tidak, masalah” kataku sambil tersenyum. “Apa pekerjaanmu?” tanyaku.
“Sales real estate,” katanya terlihat bangga, “Aku baru saja berhasil menjual
rumah ini pada mereka.” Dia menunjuk pada toko penjual bunga di mana Nadia
sedang menjual bunga.
Aku menelan ludahku. Apakah jika waktu itu aku tidak meminjamkannya baju,
dia akan tidak diterima kerja dan itu juga membuat dia tidak akan menjadi agen
real estate yang akan membawa toko bunga ini ke sini? Dan toko ini tidak akan
pernah ada. Mungkin aku juga tidak akan pernah bertemu Nadia.
Minggu berikutnya aku kembali mengunjungi toko bunga. Aku melihat pada toko
yang memiliki begitu banyak bunga di depannya dan menemukan Nadia di sana.
Aku menegurnya dan melihat rona merah di wajahnya. Dalam kecanggungan aku
memesan beberapa bunga darinya hanya sebagai alasan untuk bertemu.
Keesokannya toko pangkasku sudah memiliki pot yang rutin memiliki bunga.
Aku selalu sengaja meluangkan waktu ke sana. Kami bercerita banyak hal dan
menemukan kesamaan pada beberapa hal.
“Jadilah pacarku,” kataku mendadak padanya di suatu hari.
Seluruh wajahnya memerah dan dia membuang mukanya. “Kalau kamu bisa
menyebutkan semua nama bunga di tempat ini aku akan menerimanya,” balasnya
mendadak. Tentu saja aku tidak mengetahui semua nama bunga di sini.
Sebagian? mungkin.
Aku melihat wajah yang bersemu merah, hidung yang mancung dan rambut yang
indah. Aku menutup mataku dan berdoa.
Yah Tuhan jika Engkau mengijinkan dirinya menjadi kekasihku, bantulah aku
melewati rintangan ini.
Sesaat sebuah energi terasa turun memenuhi diriku dan hatiku terasa
mengembang. Informasi bermasukan begitu saja pada pikiranku. Aku membuka
mata dan melihat tiap-tiap bunga, “ Allium, Jasmin, Amarillis, Mawar, Aster,
Chrysanthemum, Iris, ...” Aku terus menyebut nama bunga satu persatu sambil
menunjuk bunga itu dan Nadia terlihat takjub. Begitu juga beberapa orang di
sana.
Aku berkeliling sambil terus menyebut semua nama bunga hingga akhirnya aku
melihat dirinya. “Lily,” sahutku dan mendadak seluruh ingatan dengan dirinya di
berbagai kehidupan muncul memenuhiku. Air mataku mendadak mengalir.
Aku benar-benar mencintainya.
Tak berapa lama kami pun jadian. Sebulan kemudian kami berdua mulai
membagikan bibit bunga bagi tetangga-tetangga sebelah dan bahkan membantu
mereka menanam bunga di halaman rumah dan pot-pot jendela mereka.
Setahun berlalu, kota ini sama sekali terlihat menjadi berbeda. Terlihat bunga di
depan rumah-rumah, anak-anak berkeliaran di jalanan bermain dan tertawa.
Terlihat beberapa orang dari pusat kota sengaja mengunjungi tempat ini di hari
sabtu dan minggu untuk sekedar mengunjungi kafe-kafe kecil yang terbuka dan
taman yang indah.
Taman yang sama dahulunya adalah tempat para geng bertemu dan bertransaksi.
Tempat dulunya orang-orang menyelinap untuk melakukan niat jahat. Beberapa
bulan lalu, kami mulai menanam berbagai jenis bunga di taman itu, yang tentu
saja dibantu oleh penduduk daerah ini.
Hari ini aku dan Nadia menyempatkan diri bersama beberapa keluarga untuk
menanam bunga di taman itu lagi. Siang itu Nadia duduk di sampingku di atas
rerumputan, Dia melihat pada Brian si tukang sampah yang sedang
membersihkan sampah di taman. Nadia mendadak bercerita, “Jaime, aku pernah
bermimpi tentang kakek itu.”
“Brian?” tanyaku penasaran. “Aya yang dia lakukan dalam mimpimu?”
Nadia tertawa lepas, “Aku bermimpi menjadi anak kecil dan dikejar oleh banyak
anjing-anjing hitam. Kemudian dia muncul dan menyelamatkanku. Kemudian dia
membawaku menuju ke sebuah taman sekolah dan berpesan padaku.”
Jantungku berdetak, “Apa pesannya?”
“Emm...” Nadia menatap pada Brian, “Dia berpesan padaku untuk tetap di
halaman itu dan pada saat malam akan ada orang yang akan menjemputku. Aku
harus menolong orang itu dengan menyuruhnya untuk tidak pergi bekerja untuk
keesokan harinya.”
Empat tahun lalu aku bertemu temanku yang sama bekerja dikonstruksi. Dia
berjalan pincang dan saat aku bertanya alasannya. Dia mengatakan di hari aku
dinyatakan sebagai pencuri anak kecil saat itu, lift pada konstruksi jatuh dan
beberapa batang besi menimpa kakinya. Lift yang akan kugunakan jika aku
masuk kerja di hari itu. Aku diam menatap Brian yang terlihat membungkuk dan
memungut sampah. Dia juga sudah menyelamatkan nyawaku saat ditangkap pria
berbaju hitam. Saat aku mencoba mengunakan mata batinku untuk memeriksa
aura atau energinya. Mendadak aku menangis penuh kerinduan melihatnya.
Setahun setelah itu aku menikah dengan Nadia.
Dua tahun kemudian terjadi gempa besar di seluruh wilayah pada benua ini,
beberapa daerah mengalami kerusakan parah. Pada wilayah Jack dan tempatku
berada. Hampir tidak ada kerusakan apa pun yang terjadi.
Aku bertemu Jack beberapa hari setelah itu dan berbagi cerita. Jack hanya
berkata.
Saat seseorang memberkati ke sekelilingnya, dia juga akan memberkati bumi.
Dan bumi akan memberikan balasan kebaikan padanya. Selain itu dengan
banyaknya orang yang bersedia menjadi alatNya, energi dari pada Tuhan akan
bekerja lebih baik di bumi dan mencegah hal-hal yang buruk untuk terjadi. Meski
bumi murka akan perusakkan dari sebagian manusia dan mencari jalan untuk
menyeimbangkan alam dengan cara terjadinya bencana alam, Kuasa Tuhan akan
mencoba mencegahnya. Sebagian kehancuran terjadi karena ulah manusia yang
tidak memperdulikan alam atau energi buruk dari masyarakat sudah berkumpul
terlalu banyak di satu wilayah. Alam hanya mencoba menyeimbangkan hal itu.
Ini adalah karma, seorang yang menyebarkan energi negatif, mengotori sekeliling
lingkungan dan alam dengan energi buruknya, hanya akan mendapatkan alam
membalasnya dengan bencana untuk dikembalikan padanya.
Sedangkan pada tempat-tempat yang baik dengan energi yang baik, hal buruk
akan sangat jarang terjadi dan jika pun terjadi, kerusakannya akan sangatlah
kecil.
EPILOG
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa sadar aku pun sudah tua.
Waktu benar-benar melesat, terutama jika selalu ada hal menggembirakan setiap
harinya. Bersama Nadia, anak-anak dan pekerjaan yang disukai, hidup benar-
benar terasa menyenangkan.
Di tahun ini aku sudah berumur delapan puluhan, Jack sudah lama meninggal dan
begitu juga Nadia meninggal 4 tahun lalu.. Tempatku berada pun sudah jauh
berubah. Dan sudah semakin banyak orang-orang yang membagikan energi
kebaikan pada seluruh tempat, mereka membagikan kasihNya ke seluruh penjuru.
Bumi tentu saja energinya sudah lebih baik dan lebih mendekati surga dari pada
enam puluhan tahun lalu yang lebih mendekati ke neraka dan kehancuran. Di saat
ini dengan mudah terlihat senyuman, tawa dan kebahagiaan di mana-mana.
Aku duduk di kursi depan toko tempat pangkas dan melihat semua kebahagiaan
yang ada. Seorang gadis kecil yang merupakan cucuku datang dan duduk di
sampingku.
“Kakek,” tanyanya mendadak.
“Ya?” tanyaku menatapnya dan mendadak teringat pada Lily kecil.
“Hari ini guru menceritakan tentang surga pada kami, katanya tempatnya indah
dan penuh kebahagiaan.”
Aku tersenyum mendengarkan itu. Cucuku diam melihat sekeliling dan kemudian
dengan tersenyum manis memandang ke arahku. “Kakek, apakah surga ada
seindah tempat ini?”
Air mataku mendadak mengalir turun.
Dan bayangan Lily muncul di sampingku dan menatapku.
“Apakah kamu sudah membawa surga ke bumi?”