Top Banner
54

Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Aug 03, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Page 2: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BULETIN

HASIL KAJIANVolume 5 Nomor 05, Tahun 2015

Penanggung JawabKepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Tim PenyuntingNana SutrisnaKarsidi PermadiAgus NurawanIskandar IshaqHendi SupriyadiDian HistifarinaIkin Sadikin

Penyunting PelaksanaNadiminBambang UPS

PenerbitBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Alamat RedaksiJalan Kayuambon No. 80, LembangBandung Barat 40391Telepon : 022-2786238Faksimile : 022-2789846e-Mail : [email protected] : http//jabar.litbang.pertanian.go.id

Page 3: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

i

Pengantar

Buletin Hasil Kajian (BHK) merupakan satu-satunya media publikasi BPTP Jawa Barat yang disiapkan secara khusus untuk menampung karya tulis peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. BHK diharapkan dapat mendukung peningkatan jenjang jabatan fungsional peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. Selain itu, artikel yang terpublikasi melalui BHK juga merupakan sumbangsih ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna.

Secara informal, Tim Penyunting senantiasa berusaha memacu peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa untuk menuliskan pengalamannya dalam bentuk artikel ke BHK. Akan tetapi, pendekatan informasi tersebut sangat terbatas. Karena itu, diperlukan dukungan penuh dari pejabat lingkup BPTP Jawa Barat untuk memacu semangat, membina, dan meningkatkan keterampilan peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis artikel khusunya untuk BHK.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa yang telah mengirimkan artikelnya. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada para Ketua Kelji yang telah memberikan dorongan semangat dan pembinaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis dan mengirimkan artikel ke BHK.

Kami berharap para peneliti dan teknisi litkayasa akan terus bersemangat dalam menulis artikel, didasari niat untuk beribadah dalam memasyarakatkan ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna. Kepada khalayak pembaca dan pengguna, kami berharap untuk mendapatkan tanggapan umpan balik agar pengelolaan dan kinerja BHK semakin meningkat.

Penyunting

Buletin Hasil Kajian memuat karya tulis tentang kegiatan peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa serta analisis kegiatan lapangan yang disajikan secara praktis. Buletin ini merupakan terbitan ke 53 pada tahun 2015, dengan frekuensi satu kali dalam setahun.

BULETIN

HASIL KAJIANVolume 5 Nomor 05, Tahun 2015 ISSN 2252-3219

Daftar Isi

Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Varietas Maja Cipanas dan Sembrani di Dataran Tinggi LembangRamdhaniati, S. , S. Mindarti , B. Nurbaeti1, W. Wahyudin .................................................. 1 - 5

Peran Kebun Bibit Desa (KBD) dalam Pengembangan Kawasan Rumah Pangan LestariYati Haryati dan Sukmaya ............................. 6 - 9

Peran Wanita dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan PekaranganErni Gustiani dan Neneng Ratna .................. 10 - 12

Pengaruh Perlakuan Jerami terhadap Beberapa Varietas Padi SawahYanto Surdianto, Nandang Sunandar dan Nana Sutrisna ............................................... 13 - 18

Kajian Produksi Kedelai pada Lahan Kering, di Kabupaten IndramayuAtin Yulyatin, IGP. Alit Diratmaja ................ 19 - 21

Pengaruh Perlakuan Jerami dan Varietas Padi Inbrida Terhadap Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah IrigasiSutrisna, N., Y. Surdianto, dan O. Marbun ... 22 - 26

Respon Petani Terhadap Padi Varietas Inpari 30 di Kecamatan Cileunyi Kabupaten BandungRatima Sianipar dan Eriawan Bekti ............. 27 - 32

Kajian Pemanfaatan Tepung Cassava Sebagai Bahan Baku Pembuatan BrowniesDian Histifarina1), dan Riswita2) ................... 33 - 36

Produksi Kedelai Pada Lahan Sawah Bekas Padi di Kabupaten MajalengkaKiki Kusyaeri Hamdani dan IGP Alit Diratmaja ...................................................... 37 - 40

Variasi Dosis Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai di Lahan Sawah Tadah Hujan Kabupaten GarutEndjang Sujitno dan Sumarno Tedy ............. 41 - 44

Aplikasi Pemberian Pakan Metoda Flushing pada Induk Sapi Potong PO di Lokasi PSDS Kabupaten CiamisSumarno Tedy dan Endjang Sujitno ............. 45 - 48

Page 4: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

ii

Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 4 Tahun 2014

Page 5: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

1

PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG MERAH VARIETAS MAJA CIPANAS DAN SEMBRANI DI DATARAN TINGGI LEMBANG

Ramdhaniati, S. , S. Mindarti , B. Nurbaeti, W. Wahyudin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Barat, Jawa [email protected]

ABSTRAKSalah satu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi dapat dilakukan melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia di lingkungan, antara lain, melalui penggunaan lahan pekarangan. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang strategis dapat dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan pertumbuhan dan hasil varietas bawang merah Maja Cipanas dan Sembrani halaman daerah di Lembang dataran tinggi. Kegiatan yang dilakukan di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Varietas yang ditanam adalah varietas Maja Cipanas dan Sembrani. Data dikumpulkan untuk sampel enam puluh tanaman per variasi dalam karakter pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan) dan hasil umbi bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan dalam pengembangan jumlah anakan dan tinggi tanaman di kedua varietas, sedangkan karakter umbi hasil menunjukkan tidak ada perbedaan dalam dua varietas.Kata Kuci : Bawang merah, varietas, hasil, dataran tinggi

PENDAHULUANSalah satu kebijakan pemerintah

untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi keluarga dapat dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya yang tersedia di lingkungan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan pekarangan yang dikelola oleh seluruh anggota keluarga. Ketahanan pangan nasional harus dimulai dari ketahanan pangan di tingkat keluarga dalam suatu kawasan tertentu. Pemanfaatan lahan pekarangan dirancang untuk meningkatkan konsumsi aneka ragam sumber pangan lokal dengan prinsip bergizi, berimbang, dan beragam, sehingga berdampak menurunkan konsumsi beras. Pemanfaatan lahan pekarangan yang dirancang untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dapat diarahkan pada komoditas komersial bernilai ekonomi tinggi, seperti sayuran, buah, biofarmaka, serta ternak dan ikan (Kementerian Pertanian, 2011).

Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan komoditas hortikultura yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta mempunyai prospek pasar yang menarik. Pertumbuhan produksi rata-rata bawang merah di Jawa Barat selama periode 2008-2012 adalah sebesar 0,33% per tahun dan komponen pertumbuhan areal tanam (2,64%) lebih banyak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan produksi bawang merah dibandingkan dengan komponen produktivitas (0,61%) (Tabel 1).

Bawang merah merupakan salah satu komoditas dengan fl uktuasi yang relatif tinggi. Koefi sien keragaman harga bawang merah pada bulan Juni 2012 sampai dengan bulan Juni 2013 sebesar 44,69%, dengan harga rata-rata dalam periode tersebut mencapai Rp. 21.920,-/kg (ews.kemendag.go.id. 2013).

Untuk mencegah terjadinya fl uktuasi produksi dan fl uktuasi harga yang sering merugikan petani, maka perlu diupayakan budidaya yang dapat berlangsung sepanjang tahun antara lain melalui budidaya di luar musim (off season). Melakukan budidaya di luar musim dan membatasi produksi pada saat bertanam normal sesuai dengan permintaan pasar, diharapkan produksi dan harga bawang merah dipasar akan lebih stabil. Selain itu budidaya bawang merah di lahan pekarangan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

Tabel 1. Perkembangan luas tanam, panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Jawa Barat 2008-2012

Uraian 2008 2009 2010 2011 2012 RATA-RATA

Luas Tanam (HA) 10,643 11,553 11,952 10,546 11,634 11,27

Pertumbuhan (%) 8,55 3,45 -11,76 10,32 2,64

Luas Panen (HA) 11,554 10,837 12,168 10,009 11,438 11,20

Pertumbuhan (%) -6,21 12,28 -17,74 14,28 0,65

Produksi (TON) 116,929 123,59 116,397 101,275 115,877 114,81

Pertumbuhan (%) 5,69 -5,82 -12,99 14,42 0,33Produktivitas (TON/HA) 10,12 11,4 9,57 10,12 10,13 10,27

Pertumbuhan (%) 12,65 -16,05 5,75 0,10 0,61

Sumber: diperta.jabarprov.go.id (2013) diolah

Page 6: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

2

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

memenuhi kebutuhan bawang merah di tingkat rumah tangga.

Kajian bertujuan untuk melihat pertumbuhan dan hasil bawang merah varietas Maja Cipanas dan Sembrani di dataran tinggi Lembang.

BAHAN DAN METODEKegiatan dilaksanakan di Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Ketinggian tempat + 1.200 mdpl. Dimulai bulan Oktober sampai dengan Desember 2013. Varietas bawang merah yang ditanam adalah varietas Sembrani dan Maja Cipanas.

Benih bawang diberi perlakuan fungisida Mankozeb, ditanam pada polybag dengan media tanam campuran tanah, pupuk kambing dan pupuk ayam dengan perbandingan 2:1:1, kemudian pada media tanam diberikan pupuk dasar NPK 16:16:16 sebanyak 7,5 gr/polybag, P2O5 1,5 gr/polybag, dan KCl 1 gr/polybag serta pestisida Regent. Tanam dilaksanakan sebanyak tiga umbi per polybag.

Polybag berisi umbi bawang merah, ditempatkan di lahan kebun menggunakan naungan (Rini Rosliani, dkk., 2002). Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan susulan, penyiangan, pendangiran dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Pemupukan susulan dilakukan pada umur tanaman 15 dan 30 HST dengan memberikan Urea dan ZA masing-masing sebanyak 1,5 gram/polybag. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari pada pagi hari di sekitar media tanam. Penyiangan dan pendangiran dilakukan apabila diperlukan.

Pengendalian OPT dilakukan menggunakan pestisida berbahan aktif Mankozeb, Mefenoksam, Difenokonazol, Clorotalonil, Propineb, atau Simoksanil. Penyemprotan insektisida dan fungisida dilakukan terpisah dengan selang waktu satu hari. Penyemprotan dilakukan pada sore hari dengan frekuensi penyemprotan seminggu dua kali.

Pengamatan terhadap serangan hama penyakit dilakukan dua kali yaitu pada fase vegetatif (20-25 HST) dan fase menjelang panen (35-40 HST). Panen dilakukan pada umbi bawang merah yang telah matang fi siologis dengan ciri–ciri 80% daun menguning dan leher batang kosong/gembos serta umbi telah muncul ke permukaan tanah. Panen dilakukan pada pagi

hari. Umbi dicabut dengan hati–hati dari dalam polybag, lalu diikat 15-20 rumpun per ikat.

Pengamatan dilakukan terhadap enam puluh sampel tanaman per varietas pada karakter pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan) serta hasil umbi bawang merah. Pengamatan penunjang dilakukan terhadap serangan OPT. Untuk melihat perbedaan karakter pengamatan antar varietas dilakukan analisis dengan uji T menggunakan program SPSS versi 18.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Serangan OPTOPT yang menyerang pada tanaman bawang

merah selama ditanam adalah virus. Umumnya gejala serangan virus pada bawang merah adalah mosaik lemah atau klorosis, menguning, alur-alur kuning memanjang disertai dengan bentuk daun yang tidak beraturan melengkung ke segala arah. Pada beberapa klon terjadi pertumbuhan yang terhambat atau kerdil serta jumlah anakan yang sangat berkurang.

Gejala serangan virus secara visual pada tanaman bawang merah dilapangan dibedakan menjadi dua tipe gejala yaitu : (1). Mosaik kuning yang disertai garis-garis vertikal kuning yang bersambung dan atau terputus-putus clorosis dan terputus-putus clorosis dan daun menjadi kecil, (2). Mosaik hijau clorosis bergaris vertical hijau. Menurut Parrilla et al.(2005), bawang merah di Calabria bergejala garis clorosis, menguning, keriting. Pengamatan terhadap gejala virus tidak dibedakan antara gejala mosaik strip kuning dan mosaik. Pada umur 25 hst, gejala serangan virus pada Varietas Maja Cipanas (19,7%) lebih tinggi dari Sembrani (2,2%). Hal ini diduga disebabkan benih sumber yang digunakan sudah mengandung virus tular umbi yang terbawa benih. Menurut Pathak et al. (1994) dan Van Dijk (1993), dalam Rismawita dkk (2011) kelompok bawang-bawangan yang diperbanyak secara vegetatif virus biasanya terakumulasi dari generasi ke generasi, bahkan serangan dapat mencapai 100%. Hasil penelitian Van Dijk dan Sutarya (1992) insiden virus cukup tinggi pada bawang merah yang ditanam dari umbi yaitu berkisar atara 29.75% - 76.36%. Menurut Rismawita dkk. (2011), insiden gejala virus yang tinggi tidak dipengaruhi oleh lokasi penanaman, bukan oleh sentra produksi bawang

Page 7: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

3

merah seperti Subang dan Lembang insiden gejala virus tetap tinggi. Persentase serangan virus dan penyakit lain disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase serangan virus dan penyakit lain pada umur 25 hst

Gejala Sembrani Maja CipanasFusarium (%) 1 -Erwinia (%) - 1Virus (%) 2,2 19,7

Pengendalian OPT dilakukan menggunakan pestisida berbahan aktif Mankozeb, Mefenoksam, Difenokonazol, Clorotalonil, Propineb, atau Simoksanil. Penyemprotan insektisida dan fungisida dilakukan terpisah. Aplikasi pestisida pada pertanaman bawang merah disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Aplikasi pestisida pada pertanaman bawang merah di KBI BPTP Jawa Barat

Waktu aplikasi (hst) Bahan Aktif Pestisida Dosis

9 Difenokanazol 250 gr/ltr 1 ml/lt

15 Clorotalonil 75% 3 gr/lt

17 Mankozeb 1 gr/lt

23 Clorotalonil 75% 3 gr/lt

30 Mankozep 1 gr/lt

37 Propineb 70% 2 gr/lt

41 Difenokanazol 250 gr/ltr 1 ml/lt

44 Simoksanil 8,36%, Mankozep 64%

0,5 gr/lt

51 Difenokanazol 250 gr/ltr 1 ml/lt

Karakteristik Pertanaman dan Hasil

Pertumbuhan vegetatif ditandai dengan penambahan tinggi dan jumlah daun. Hal tersebut akan mempengaruhi laju fotosintesis, sehingga diharapkan berdampak terhadap peningkatan hasil. Tinggi tanaman merupakan salah satu indikator pertumbuhan, kendati tinggi tanaman tidak berkorelasi dengan hasil (Aliuddin et al.1990, Gunadi dan Suwandi, 1989, dalam Sofi ari, dkk., 2009).

Karakter tinggi tanaman, jumlah anakan dan hasil bawang merah diamati pada 60 sampel tanaman per varietas. Hasil pengamatan dianalisis dengan uji T menggunakan program SPSS versi 18. Tabel 4. Rata-rata, standar deviasi dan standar

error rata-rata jumlah anakan, tinggi tanaman dan hasil umbi bawang merah, Lembang, 2013.

Varietas N Mean Std. De-viation

Std. Error Mean

Jumlah Anakan

Sembrani 60 3,85 1,260 ,163Maja Cipanas 60 4,83 1,317 ,170

Tinggi Tanaman

Sembrani 60 12,10 2,562 ,331Maja Cipanas 60 14,55 2,764 ,357

Hasil (G) Sembrani 60 41,47 19,799 2,556Maja Cipanas 60 40,88 24,692 3,188

Berdasarkan hasil pengujian, terlihat perbedaan perkembangan jumlah anakan dan tinggi tanaman pada kedua varietas, sedangkan karakter hasil umbi tidak menunjukkan perbedaan pada kedua varietas.

Rata-rata jumlah anakan dan tinggi tanaman varietas Maja Cipanas lebih tinggi

Tabel 5. Hasil pengujian sampel

Levene’s Test for Equality of Vari-

ancest-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Differ-ence

Std. Error Difference

95% Confi dence Interval of the Difference

Lower Upper

JUMLAH ANAKAN

Equal vari-ances assumed ,068 ,795 -4,179 118 ,000 -,983 ,235 -1,449 -,517

Equal vari-ances not assumed

-4,179 117,769 ,000 -,983 ,235 -1,449 -,517

TINGGI TANA-MAN

Equal vari-ances assumed ,227 ,634 -5,035 118 ,000 -2,450 ,487 -3,414 -1,486

Equal vari-ances not assumed

-5,035 117,328 ,000 -2,450 ,487 -3,414 -1,486

HASIL (g) Equal vari-ances assumed ,305 ,582 ,143 118 ,887 ,583 4,086 -7,508 8,675

Equal vari-ances not assumed

,143 112,677 ,887 ,583 4,086 -7,512 8,679

Page 8: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

4

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

dan lebih banyak dibanding varietas Sembrani. Akan tetapi bobot umbi yang diperoleh varietas Sembrani tidak berbeda nyata dengan bobot umbi varietas Maja Cipanas.

Menurut Suherman dan Basuki (1990) produktivitas dan karakter pertumbuhan bawang merah (seperti jumlah anakan) umumnya sangat bervariasi dan tergantung terhadap lingkungan dimana bawang merah itu ditanam baik di dataran rendah, dataran medium maupun dataran tinggi. Gardner et.al. (1991) dalam Ashrafi da dkk (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, iklim, CO2. Hal yang sama dinyatakan oleh Sofi ari dkk (2009), bahwa lingkungan eksternal sangat kuat memengaruhi pemunculan karakter kuantitatif, seperti jumlah anakan.

Tidak adanya perbedaan yang nyata pada karakter hasil kedua varietas mengindikasikan bahwa kedua varietas tersebut memiliki peluang yang sama untuk dikembangkan di dataran tinggi Lembang.

KESIMPULAN

1. Terdapat perbedaan jumlah anakan dan tinggi tanaman varietas Maja Cipanas dan Sembrani

2. Tidak terdapat perbedaan hasil umbi antara varietas Maja Cipanas dan Sembrani

DAFTAR PUSTAKA

Ashrafi da Rahmah, Rosita Sipayung, Toga Simanungkalit. 2013. Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dengan Pemberian Pupuk Kandang Ayam dan EM4 (Effective Microorganisms4). Jurnal Online Agroekoteknologi 1.(4), September 2013 ISSN No. 2337-6597. Diakses tanggal 29-10-2014

ews.kemendag.go.id. 2013.Tinjauan Harga Bawang Merah. Edisi : Bawang Merah/Jun/2013. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. diakses tanggal10 Januari 2014

http://diperta.jabarprov.go.id. 2013. Data Sayuran. diakses tanggal 9-12-13

Kementerian Pertanian, 2011. Daftar varietas hortikultura, Kementerian Pertanian.

Rini Rosliani, Nani Sumarni, dan Suwandi. 2002. Pengaruh Kerapatan Tanaman, Naungan, dan Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Produksi Umbi Bawang Merah Mini Asal Biji. J Hort. 12(1):28-34

Rismawita Sinaga, Zaenal Raup, Rinda Kirana, Pepen Ependi, Neni Gunaeni, Arifi n, Taslim, Nur Fauzi, Ahsol Hasyim dan Pemulia terkait. 2011. Produksi Benih Sumber Bawang Merah. Laporan Kegiatan ROPP 1804.13.B T.A 2011. Balitsa Lembang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian

Sarto dan A.H. Permadi., 1994. Pembungaan beberapa kultivar bawang merah untuk musim penghujan di Brebes. Bul. Penel. Hort. XXVI (4):145-150

Sofi ari, E., Kusmana, dan R.S. Basuki. 2009. Evaluasi Daya Hasil Kultivar Lokal Bawang Merah di Brebes. J. Hort. 19(3):275-280

Suherman, R. dan R.S.Basuki. 1990. Strategi Pengembangan Luas Areal Usahatani Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) di Jawa Barat: Tinjauan dari Segi Biaya Usahatani Terendah. Bul. Penel. Hort. Edisi Khusus XVIII(1):11-18

Van Dijk, P. dan R. Sutarya. 1992. Virus Diseases of Shallots, Garlic, and Welsh Onion in Java-Indonesia and Prospects for Their Control. Onion New Letter for the Tropics. 4:57-61.

LampiranVarietas Maja Cipanas (Lampiran SK. Menteri Pertanian NO. 597/Kpts/TP 290/8/1984) Asal tanaman : Lokal CipanasUmur : Mulai berbunga 50 hari, panen (60% batang melemas) 60 hariTinggi tanaman : 34,1 cm (24,3-43,7 cm)Kemampuan : Agak mudah berbunga alamiBanyaknya anakan : 6-12 umbi per rumpunBentuk daun : Silindris, berlubangWarna daun : Hijau tuaBanyak daun : 16-49 helai

Page 9: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

5

Bentuk bunga : Seperti payungWarna bunga : PutihBanyak buah : 60-100 (81) per tangkaiBanyak bunga : 100-130 (128) per tangkaiBanyak tangkai : 2-7 bunga per rumpunBentuk biji : Bulat, gepeng, berkeriputWarna biji : HitamBentuk umbi : BulatWarna umbi : Merah tuaProduksi umbi : 10,9 ton/ha umbi keringSusut bobot umbi : 24,9%(basah-kering) Ketahanan thd pnyakit : Cukup tahan terhadap busuk umbi(Botrytis allii)Kepekaan thd penyakit : Peka thd busuk ujung daun(Phytophora porri)Keterangan : Baik untuk dataran rendah dan dataran tinggiPeneliti : Hendro Sunarjono, Prasodjo, Darliah dan Nasran Horizon Arbain

Varietas Sembrani

Asal : Balai Penelitian Tanaman Sayuran LembangSilsilah : Bawang merah Thailand x Bawang BombayGolongan varietas : Menyerbuk silangUmur mulai berbunga : 28-37 hari setelah tanamUmur panen (80% batang melemas) : 54-56 hari setelah tanamTinggi tanaman : 44,3-56,2 cmBentuk daun : SilindrisPanjang daun : 37,2-47,2 cmWarna daun : Hijau mudaJumlah daun per umbi : 6-7 helaiJumlah daun per rumpun : 24-32 helaiBentuk bunga : Seperti payungWarna bunga : PutihKemampuan berbunga alami : Agak sukar berbungaBentuk umbi : BulatUkuran umbi : 3,3-3,8cm, diameter 2,0-3,5 cmWarna umbi : Merah pucatBerat umbi per rumpun : 20-150 gramBentuk biji : Bulat pipihWarna biji : HitamBerat 1000 biji : 3,6-3,9 gramJumlah anakan : 4-5 umbiSusut bobot umbi (basah kering) : 25,45%Hasil umbi : 9-24,4 ton/haDaya simpan umbi pada suhu kamar : 2-4 bulan setelah panenKeterangan : Beradaptasi dengan baik di dataran rendah dengan

altitude 6-80 m dpl pada musim kemarauPengusul : Balai Penelitian Tanaman Sayuran LembangPeneliti : Sartono Putrasamedja, Joko Pinilih dan Rofi k Sinung

Basuki (Balitsa, Lembang)

Page 10: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

6

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

PERAN KEBUN BIBIT DESA (KBD)DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI

Yati Haryati dan SukmayaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat

ABSTRAKKebun bibit merupakan salah satu sumber bibit dalam pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari sebagai upaya untuk keberlanjutan rumah pangan lestari (RPL). Kebun bibit dibangun dengan tujuan memproduksi bibit tanaman dalam memenuhi kebutuhan bibit anggota rumah tangga (RPL). Pengkajian dilaksanakan di Kelompok Wanita Tani Nusa Indah, Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Komoditas sayuran daun dan buah yang dominan yang ditanam di KBD untuk perbanyakan benih yaitu bayam, kangkung, sawi hijau, pakcoy dan cabai rawit. Pengelolaan kebun bibit desa dilaksanakan secara swakelola oleh anggota KWT. Kajian ini bertujuan untuk menguraikan pentingnya peran kebun bibit desa dalam penyediaan bibit. Data yang diamati meliputi jenis dan jumlah bibit yang dihasilkan Kebun Bibit Desa. Metode pengumpulan data menggunakan metode survey dengan teknik wawancara. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Kebun Bibit Desa (KBD) menghasilkan bibit beberapa jenis sayuran dalam bentuk bumbunan maupun dalam bentuk benih/biji dan menjadi fasilitas warga dalam penyediaan benih/bibit tanaman untuk memenuhi kebutuhan warga sebagai pelaksana kegiatan KRPL dan dapat menyediakan bibit sayuran dominan seperti bayam (1000), kangkung (1000), sawi hijau (750), pakcoy (500), dan cabai rawit (500) dengan pemanfaatan masing-masing tanaman sayuran bayam dan kangkung dibagikan ke anggota (100%), sawi hijau dibagikan ke anggota (50%), dibenihkan (20%) dan dijual (30%), pakcoy dibagikan ke anggota (50%) dibenihkan (20%) dan dijual (30%), dan cabai rawit dibagikan ke anggota (40%), dibenihkan (50%) dan dijual (10%).

Kata Kunci : Kebun Bibit Desa, Kawasan Rumah Pangan Lestari

PENDAHULUANKementerian Pertanian menyusun suatu

konsep Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) yang terdiri dari beberapa Rumah Pangan Lestari (RPL) dan dirancang dengan prinsip pemanfaatan pekarangan ramah lingkungan dan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifi kasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta peningkatan pendapatan rumah tangga. Pemanfaatan lahan pekarangan merupakan alternatif dalam mewujudkan kemandirian pangan dalam rumah tangga. Untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan lahan pekarangan tersebut harus didukung oleh Kebun Bibit Desa dalam penyediaan bibit yang dibutuhkan oleh masing-masing rumah tangga.

Konsep kawasan rumah pangan lestari merupakan konsep pemanfaatan lahan pekarangan untuk kemandirian pangan, diversifi kasi pangan berbasis sumber pangan lokal, pelestarian sumber daya genetik pangan dan kebun bibit (Werdhany dan Gunawan, 2012).Pemanfaatan lahan pekarangan sebagai lahan produktif sebagai sumber pangan dan penghijauan yang berkelanjutan akan berpengaruh terhadap peningkatan permintaan kebutuhan bibit.

Salah satu faktor yang mendukung keberlanjutan MKRPL adalah ketersediaan

benih atau bibit yang sehat dengan jumlah mencukupi, oleh karena itu diperlukan penumbuhan dan penguatan kelembagaan Kebun Bibit Desa (KBD) dalam mewujudkan kemandirian kawasan. Selain itu KBD berperan sebagai tempat pembelajaran masyarakat dalam menyediakan benih dan bibit yang baik, pemeliharaan tanaman yang spesifi k setiap komoditas tanaman dan pengetahuan tentang keragaman varietas sayuran. Menurut Kusumaningtyas et.al, (2006), bahwa salah satu faktor dalam menentukan struktur dan komposisi keragaman varietas pekarangan tergantung dari ekonomi petani terhadap sistem tersebut.

Dalam pelaksanaan Kawasan Rumah Pangan Lestari melibatkan masyarakat sekitar baik pengurus kelembagaan kelompok tani maupun kelompok wanita tani, dan seluruh peserta yang menjadi anggota kelompok (Hanafi et.al, 2012). Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dibangun dalam suatu lahan pekarangan di wilayah perdesaan sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari dengan komponen pendukung utamanya adalah Kebun Bibit Desa (KBD).

Kebun Bibit Desa dibangun secara partisipatif oleh masyarakat sebagai pemasok benih dan bibit untuk memenuhi Rumah Pangan Lestari maupun kawasan. Keberadaan Kebun Bibit Desa difokuskan untuk memenuhi kebutuhan benih semai sayuran di wilayah Kawasan Rumah Pangan Lestari dan sekitarnya.

Page 11: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

7

Peran KBD berada pada tahapan penyediaan benih bermutu dengan vigor dan daya tumbuh seragam. Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan, sebagian dari tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

METODOLOGIPengkajian dilakukan di KWT Nusa Indah,

Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada Bulan Januari-Desember 2014. Metode pengkajian menggunakan metode survei dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang melibatkan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Nusa Indah. Hasil wawancara dan diskusi dituangkan dalam bentuk naratif yang bersifat deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASANPeranan Kebun Bibit Desa

dalam memenuhi kebutuhan benih untuk anggota dan masyarakat sekitar cukup optimal terutama dalam memenuhi kebutuhan benih tanaman sayuran. Kegiatan pembibitan di KBD dilakukan secara gotong royong oleh anggota KWT Nusa Indah, sehingga bibit selalu tersedia tanpa harus menunggu waktu untuk pembibitan di persemaian. Ketersediaan benih sayuran bervariasi tergantung pada jenis sayurannya, beberapa jenis sayuran masih sangat terbatas sedangkan sebagian jenis sayuran yang lain sudah tersedia dalam jumlah yang memadai.

Minat warga untuk menanam varietas tanaman yang bervariasi di pekarangan, dibatasi oleh ketidak mampuan untuk memperoleh bibit yang baik, di mana tanaman yang ditanam yang berasal dari biji atau benih yang tidak jelas asal usulnya, sehingga tanaman memerlukan waktu lebih panjang untuk berproduksi dengan kualitas dan kuantitasnya yang tidak optimal. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan, konsep MKRPL harus dilengkapi kelembagaan Kebun

Bibit Desa (Kementerian Pertanian, 2011).Kebun bibit desa menghasilkan bibit

beberapa jenis sayuran dalam bentuk bumbunan maupun dalam bentuk benih/biji. Peningkatan peran KBD merupakan bagian dari kegiatan pengembangan untuk penyediaan bibit secara berkelanjutan. Kebun Bibit Desa menjadi fasilitas warga dalam penyediaan benih/bibit tanaman untuk memenuhi kebutuhan warga sebagai pelaksana kegiatan KRPL.

Secara umum jenis tanaman yang dikembangkan di KWT Nusa Indah merupakan tanaman berumur pendek (1-2 bulan) seperti tanaman bayam, kangkung, caisin dan pakcoy. Namun ada juga tanaman yang berumur sedang seperti tomat, cabe rawit, kailan dan terong. Jenis dan Jumlah bibit yang dikembangkan di KBD disajikan pada Tabel 1.

Di Kebun Bibit Desa masyarakat mendapat Tabel 1. Jenis dan Jumlah bibit yang dihasilkan Kebun Bibit

Desa di KWT Nusa Indah, Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. 2014.

No. Desa/Kecamatan Jenis Bibit

Jumlah (Tanaman/Bumbunan)

Pemanfaatan (%)Dibagikan ke peserta

Dibenihkan/ lainnya Dijual

1. Bantarjati/

Klapa

nunggal

Sayuran :Sawi hijau- 750 50 20 30Pakcoy- 500 50 30 20Bayam- 1000 100 0 0Kangkung- 1000 100 0 0Kc. Panjang- 300 100 0 0Buncis- 200 100 0 0Kailan- 400 45 30 25Tomat- 300 75 10 15Cabe merah - keriting

250 45 45 10

Cabe rawit- 500 40 50 10Terong ungu- 400 90 0 10Terong hijau- 250 90 0 10Selada hijau- 300 95 0 5Selada merah- 200 90 10 0Mentimun- 200 100 0 0Paria- 250 70 0 30Paria belut- 200 90 10 0Seledri- 100 100 0 0Bunga kol- 200 100 0 0Bawang daun- 40 90 0 10

Buah-buahan :Jambu kristal- 11 90 0 10Sirsak- 11 90 0 10Jeruk limau- 11 90 0 10

Tanaman obat:Sirih merah- 10 90 0 10Jeruk nipis- 11 90 0 10Salam - 2 0 0 100Jahe merah- 10 90 0 10

Page 12: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

8

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

pembelajaran tentang benih dan bibit yang baik, pemeliharaan tanaman yang spesifi k setiap komoditas tanaman dan pengetahuan tentang keragaman varietas. Kebun Bibit Desa digunakan sebagai tempat pemberian pengetahuan dan keterampilan pembuatan persemaian, penanaman dengan menggunakan benih/bibit yang berkualitas bagi kelompok pengelola kegiatan dan masyarakat umumnya (Kurnia, 2011).

Tanaman sayuran yang dominan dikembangkan yaitu sawi hijau, bayam, kangkung, pakcoy, dan cabai rawit. Pemilihan jenis sayuran ini berdasarkan minat warga sebagai pelaksana kegiatan dan dilihat dari kesesuaian tanaman tersebut terhadap kondisi setempat. Kelima komoditas tersebut p e r t u m b u h a n n y a baik sampai bisa dipanen sehingga bisa dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan gizi dan mengurangi pengeluaran rumah tangga.

K o m o d i t a s sayuran dapat memenuhi kebutuhan kalori, walaupun sayuran bukan merupakan makanan pokok tetapi sayuran memegang peranan penting dalam pemenuhan zat-zat dan gizi yang diperlukan oleh tubuh sebagai sumber vitamin, mineral serta sayuran dapat menambah ragam rasa, warna dan tekstur makanan (Aribawa dan Kariada, 2012).

Beberapa komoditas yang ditanam dipekarangan memberikan manfaat dan hasilnya dapat dirasakan oleh rumah tangga. Sebagian besar hasil pekarangan dapat dinikmati oleh keluarga dan masyarakat sekitar, apabila tanaman yang dipanen melebihi kebutuhan sehari-hari, sebagian dijual, bertukar produk yang dibutuhkan dan anggota yang lain atau tetangga (Tabel 2.). Sebagian besar produk sayuran dari pekarangan dikonsumsi oleh rumah tangga sebagai pemenuhan gizi keluarga, hal ini dapat dipahami masih dalam skla kecil dan belum tersusun pola tanam dan pemarasan

dari produk tersebut. Sayuran yang dijual hanya terbatas pada tetangga/warga sekitar yang rumahnya berdekatan.

Pemanfaatan lahan pekarangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan meningkatkan penghasilan rumah tangga. Manfaat yang diperoleh dari pengelolaan pekarangan yaitu dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran harian rumah tangga, dan memberikan tambahan pendapatan, ini dapat diperoleh apabila pekarangan dirancang, direncanakan, dan dikelola dengan baik.

Tabel 2. Jenis Tanaman Dominan Ditanam dan Pemanfaatannya Oleh KK Rumah tangga di KWT Nusa Indah, Desa Bantarjati,Kabupaten Bogor. 2014.

No. Desa, Kec. Jenis tanamanPemanfaatan (%)(per periode panen) Nilai

ekonomi yang dijual

(Rp)Kon-sumsi Dibenihkan Sosial/

lainnya Dijual

1. Bantarjati/

Klapanunggal

Sawi hijau 50 10 10 30 15.000Tomat 75 5 10 10 5.000Cabe rawit 50 5 20 25 3.000Paria 60 5 20 15 5.000Kangkung 75 3 10 18 3.000Pakcoy 40 5 20 35 10.000Kailan 45 5 20 30 15.000Terong 50 5 25 20 10.000Bawang daun 30 0 20 50 15.000Bayam 50 0 40 10 10.000Mentimun 35 10 10 45 15.000Bunga kol 20 0 10 70 25.000Cabe merah besar 10 5 10 75 15.000

Paria belut 20 5 10 65 10.000

Dalam mengelola pekarangan beragam fungsi dasar pekarangan perlu dimaksimalkan seperti warung hidup, bank hidup, apotik hidup serta fungsi keindahan. Lahan pekarangan yang dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan gizi keluarga, lingkungan rumah asri, teratur, indah dan nyaman. Semakin beragam tanaman pangan atau tanaman obat keluarga (toga) yang dikembangkan, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga/keluarga (Rustina, 2012).

KESIMPULAN

• Kebun Bibit Desa menghasilkan bibit beberapa jenis sayuran dalam bentuk bumbunan maupun dalam bentuk benih/biji dan menjadi

Page 13: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

9

fasilitas warga dalam penyediaan benih/bibit tanaman untuk memenuhi kebutuhan warga sebagai pelaksana kegiatan KRPL.

• Kebun Bibit Desa di KWT Nusa Indah mempunyai peranan penting dalam penyediaan bibit terutama dalam penyediaan bibit jenis sayuran dominan seperti bayam (1000), kangkung (1000), sawi hijau (750), pakcoy (500), dan cabai rawit (500) untuk tanaman sayuran bayam dan kangkung dibagikan ke anggota (100%), sawi hijau dibagikan ke anggota (50%), dibenihkan (20%) dan dijual (30%), pakcoy dibagikan ke anggota (50%) dibenihkan (20%) dan dijual (30%), dan cabai rawit dibagikan ke anggota (40%), dibenihkan (50%) dan dijual (10%).

DAFTAR PUSTAKA

Aribawa, IB dan Kariada, IK. 2012. Budidaya Tanaman Dalam Polybag School Garden: Alternatif Upaya Pemanfaatan Lahan Pekarangan Di Sekolah, Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis. Hal 544 - 548.

Hanafi , H., Sinung dan Sudarmadji. 2012.

Peningkatan Produksi Pangan melalui Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis. hal 717 - 723.

Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman UmumModel Kawasan Rumah Pangan Lestari. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Kurnia, I. 2011. Pelita Untuk Kluet Timur. DesaKu Hijau Wahana Wacana dan Warta Lingkungan Hidup 1 (4) : 3-5.

Kusumaningtyas, R., Kobayashi, S., and Takeda,S. 2006. Mixed Species Gardens In Java And The Transmigration Areas Of Sumatra, Indonesia: A Comparison. Journal Of Tropical Agriculture 44 (1-2): 15-22.

Rustina. 2012. Optimalisasi Lahan Pekarangan Melalui Program MKRPL di Desa Tebing Batu Kabupaten Sambas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat.

Werdhany, W., I, dan Gunawan. 2012. Teknik Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 16 (2): 76-83

Page 14: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

10

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

PERAN WANITA DALAM OPTIMALISASIPEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN

Erni Gustianidan Neneng RatnaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayuambon no 80 Lembang

ABSTRAKWanita memiliki peran yang sangat penting dalam suatu rumah tangga. Peran wanita saat ini tidak hanya terbatas pada mengurusi kegiatan rumah tangga, melainkan juga sebagai pencari nafkah untuk menambah penghasilan rumah tangga dan memenuhi kebutuhan hidup. Di rumah tangga, wanita memiliki peranan ganda yaitu peran sebagai ibu rumah tangga (feminine role) dan peran sebagai pencari nafkah tambahan. Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai peran wanita dalam optimalisasi lahan pekarangan pada program KRPL-P2KP . Kegiatan dilaksanakan di KWT Melati 09, Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi. Pengumpulan data dilaksanakan dalam bentuk survey dan wawancara terhadap 30 orang responden pelaksana kegiatan KRPL. Analisis dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Hasil kajian menunjukkan bahwa wanita memiliki peran dominan dalam pemanfaatan lahan pekarangan sebesar 80%, sedangkan peranan pria sekitar 20%

Kata Kunci: Peranan wanita, optimalisai, lahan pekarangan

PENDAHULUANPekarangan merupakan salah satu potensi

sumber daya lahan yang umumnya belum termanfaatkan secara baik dan terencana, sehingga potensi lahan pekarangan untuk tanaman pangan, hortikultura, tanaman obat-obatan dan lainnya masih sangat terbuka untuk dikembangkan (Badan Litbang Pertanian, 2011). Kementerian Pertanian pada akhir tahun 2010 telah menyusun suatu konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yaitu suatu himpunan rumah yang mampu mewujudkan kemandirian pangan keluarga melalui pemanfaatan pekarangan. KRPL dibangun dari kumpulan Rumah Pangan Lestari (RPL). Masing- masing RPL diharapkan dapat memenuhi prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan penambahan pendapatan, serta pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi masyarakat (Kementerian Pertanian, 2011).

Peran wanita sebagai ibu rumah tangga sangat penting dalam menjadikan pekarangan sebagai penghasil beraneka bahan makanan yang selanjutnya dikelola dan diolah untuk dikonsumsi oleh anggota rumah tangga. Namun, seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan wanita, serta tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, peran wanita tidak lagi hanya terbatas pada mengurusi kegiatan rumah tangga dan mendidik putra/putrinya, akan tetapi juga sebagai pencari nafkah untuk menambah penghasilan rumah tangga dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-

hari (Kirnoprasetyo, 2007). Menurut Elizabeth (2007) wanita memiliki peran ganda yaitu perannya sebagai ibu rumah tangga yang mencerminkan feminime role dan perannya sebagai pencari nafkah tambahan atau utama.

Peran wanita di sektor pertanian adalah realita yang tidak bisa dipungkiri. Faktanya, wanita berkerja di berbagai sektor, yaitu di sektor pertanian dan non pertanian. Sumberdaya manusia khususnya wanita memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan. Pembangunan pedesaan tidak bisa lepas dari pembangunan pertanian. Menurut Elizabeth (2008) semakin luas lahan usahatani yang digarap, semakin banyak tenaga wanita yang tercurah dalam kegiatan tersebut. Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai peran wanita dalam optimalisasi lahan pekarangan pada program KRPL-P2KP di KWT Melati 09, Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi.

BAHAN DAN METODEKajian dilaksanakan di Kelompok Penerima

Manfaat melalui Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui Konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) pada Program P2KP Badan Ketahanan Pangan yaitu di Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati 09, Kelurahan Padasuka Kecamatan Cimahi Tengah pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dan wawancara terhadap 30 orang responden pelaksana kegiatan KRPL. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

Page 15: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah

KWT Melati 09 terletak di Kampung Babakan sari, RW 09, Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi memiliki luas wilayah 7.550 ha, berada pada ketinggian 748 meter diatas permukaan laut, -6º52’27.98” Lintang Selatan dan 107º31’.41.98” Bujur Timur. Jumlah penduduk Kampung Babakan 1719 jiwa yang terdiri dari 868 orang laki-laki dan 851 orang wanita yang meliputi 526 kepala keluarga (KK). Perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan wanita disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Jumlah Penduduk di Kp. Babakansari Kelurahan Padasuka Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi Tahun 2014

Data tersebut menunjukkan betapa besar potensi wanita sebagai tenaga kerja yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya melalui pembinaan dan peningkatan efektivitasnya. Farmia (2006) menjelaskan bahwa keterlibatan perempuan di sektor pertanian disebabkan wanita memiliki rasa tanggung jawab dan kepemilikan yang besar terhadap keluarga.

Karakteristik RespondenTingkat pendidikan anggota KWT Melati 09

terdiri dari 75% lulusan SMA dan 25% lulusan SMP. Kondisi tersebut memiliki peluang yang cukup baik dalam pengembangan kegiatan KRPL. Tingkat pendidikan petani baik formal maupun non formal akan mempengaruhi cara berfi kir yang diterapkan pada usahanya yaitu dalam rasionalisasi usahadan kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Saridewi dan Siregar (2010) menyatakan bahwa tingkat p e n d i d i k a n s e s e o r a n g mempengaruhi dalam hal pola pikir dan daya nalar yang lebih baik. Gambar 2. Keragaan Tingkat Pendidikan KWT Melati 09 Kelurahan

Padasuka Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi

Peranan Wanita dalam pemanfaatan lahan pekarangan

Pemanfaatan lahan pekarangan di Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi telah dilakukan oleh wanita sebelum adanya kegiatan KRPL, namun pemanfaatannya masih terbatas pada fungsinya sebagai bermain anak dan fungsi sosial seperti tempat pertemuan antara pemilik rumah dan tetangganya. Untuk tanaman yang dipeliharanya pun terbatas pada tanaman yang mempunyai nilai estetika dan bukan tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan pangan.

Kegiatan KRPL merupakan kegiatan yang memanfaatkan lahan pekarangan menjadi lebih efektif, efi sien sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan. Potensi wanita dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan sangat strategis. Pekarangan rumah adalah salah satu potensi yang bisa diperankan oleh perempuan.Menurut Husnah, et all (2012), pemberdayaan pekarangan merupakan salah satu upaya kaum perempuan untuk meningkatkan perannya dalam pembangunan pertanian.

Kegiatan KRPL di Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi tahun 2014 terdiri dari pembinaan persemaian, pembumbunan, pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pembagian peran dan tanggungjawab dari pihak yang terlibat membuat kegiatan dapat berjalan dengan efektif dan efi sien.Tabel 1 Partisipasi Pria dan Wanita dalam

Kegiatan KRPL di Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi

No UraianWanita

(%)Pria(%)

1. Sosialisasi kegiatan pendampingan KRPL

40 60

2. Kegiatan pembinaan 80 203. Persemaian 80 204. Pembumbunan 80 205. Pelatihan pembibitan 80 206 Pelatihan pembuatan pestisida

Nabati 80 20

5. Pemeliharaan tanaman dan pengen-dalian hama penyakit

80 20

Sumber: Data primer (diolah)

Aktivitas kegiatan KRPL di Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi lebih banyak melibatkan wanita. Hal ini terlihat dari persentase partisipasi

50,4949,51

jumlah Penduduk (%)

Laki laki Wanita

25%

75%

Tingkat Pendidikan(%)

SMP

SMA

Page 16: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

12

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

antara pria dan wanita dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Pada sosialisasi kegiatan pendampingan KRPL terlihat bahwa partisipasi Pria 60% dan Wanita 40%. Sebaliknya pada kegiatan seperti pembinaan pendampingan kelompok, persemaian, pembumbunan, pelatihan pembibitan, pelatihan pembuatan pestisida nabati serta pemeliharaan dan pengendalian hama penyakit lebih didominasii oleh wanita sekitar 80% wanita dan 20% pria. Hal ini disebabkan kegiatan sosialisasi dilaksanakan di luar wilayah pekarangan yaitu Dinas Pertanian Kota Cimahi, sedangkan kegiatan lainnya dilaksanakan di lahan pekarangan atau di Kebun Bibit Desa (KBD). Menurut Komalawati, et all (2012) peran wanita yang dominan dalam pemanfaatan pekarangan menunjukkan bahwa wanita memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan pemanfaatan pekarangan. Hal ini wanita lebih banyak dirumah daripada pria dan pemanfaatan lahan pekarangan juga merupakan bagian dari program PKK. Selanjutnya dikatakan bahwa meningkatnya dominasi wanita dalam pemanfaatan pekarangan menunjukkan bahwa kegiatan KRPL untuk mendukung program ketahanan pangan dengan melibatkan wanita dapat dikatakan sangat tepat. Hal ini berarti keterlibatan wanita dalam pembangunan pertanian, dan sesuai dengan maksud dari adanya kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan.

KESIMPULAN

• KRPL merupakan kegiatan yang memanfaatkan lahan pekarangan menjadi lebih efektif, efisien sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan.

• Wanita memiliki potensi yang besar untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian melalui optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian, 2011. Panduan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian, Jakarta

Elizabeth, R. 2007. Pemberdayaan Wanita Mendukung Strategi Gender Mainstreaming dalam Kebijakan Pembangunan Pertanian di Perdesaan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 25(2):126-135.

Elizabeth, R. 2008. Peran Ganda Wanita Tani dalam Mencapai Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan. Iptek Tanaman angan Vol. 3. No 1 Tahun 2008

Farmia, A. 2006. Peran Perempuan Indonesia dalam Pembangunan Pertanian. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. 2(1) : 35-41. STPP-Magelang, Yigyakarta

Kementerian Pertanian, 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari, Jakarta, 52 hal.

Kirnoprasetyo, I. 2007. Peranan Wanita Tani dalam Perekonomi Keluarga Petani di Pedesaan (Utopia, Konseptual, dan Realita). Primordia 3(1):54-62.

Komalawati, Renie Oelviani, Agus Hermawan dan Ahmad Rifai. 2012. Peran Wanita dalam Memanfaatkan Lahan Pekarangan Guna Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis. Semarang

Huisnah, N., Fadjry Djufry, Andi Ella, Jamaya Halifah, dan Ahmad Rifai. 2012. Ketahanan Pangan : Peran Perempuan dan Pekarangan di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis. Semarang

Saridewi, T. R. dan Siregar, A.N. 2010. Hubungan antara Peran Penyuluh dan Adopsi Teknologi oleh Petani Terhadap Peningkatan Produksi Padi di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan, 5 (1) : 55-61.

Page 17: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

13

PENGARUH PERLAKUAN JERAMI TERHADAP BEBERAPA VARIETAS PADI SAWAH

Yanto Surdianto, Nandang Sunandar dan Nana SutrisnaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa BaratJl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat

ABSTRAKPenelitian telah dilaksanakan di Desa Karyamukti, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengjka, Propinsi Jawa Barat, mulai bulan Juli hingga Nopember 2014. Penelitian bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perlakuan jerami padi terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan lima ulangan. Sebagai petak utama adalah perlakuan kompos jerami (J) terdiri dari tiga taraf yaitu, (J0) tanpa jerami, (J1) jerami dikomposkan, dan (J2) Jermi padi digelebeg. Sebagai anak petak adalah varietas unggul baru (VUB) terdiri dari tiga taraf yaitu, Inpari-4 (V1), Inpari-14 (V2) dan Mekongga (V3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) varietas padi yang dikaji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman pada pada umur 45 hst dan 87 hst, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan umur 45 hst anakan produktif. Perlakuan jerami J1, memberikan tinggi tanaman tertinggi pada umur 45 hst dan 87 hst, (2) perlakuan varietas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap panjang malai dan jumlah gabah hampa per malai. Perlakuan jerami dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap panjang malai, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai, dan (3) perlakuan jerami dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap bobot gabah isi 1000 butir tetapi berpengaruh nyata terhadap hasil padi.Kata kunci : Jerami, padi , varietas, hasil.

PENDAHULUANBeberapa laporan menyebutkan produksi

padi sawah mengalami penurunan (leveling off) sebagai akibat dari perubahan sifat-sifat tanah. Kandungan C-organik tanah sawah yang sangat rendah (secara umum <1%) dinilai sebagai faktor kunci penyebab rendahnya hasil padi sawah (Al-Jabri, 2008).

Damanik dan Rauf (2008) menyebutkan bahwa setiap ton jerami mengandung 7 kg N, 1 kg P2O5, 14,5 kg K2O dan unsur hara lainnya. Oleh karena itu jumlah hara setiap tahun yang berasal dari jerami padi terdapat minimal 630.000 ton N yang setara dengan 1,4 juta ton urea, 420.000 ton P yang setara dengan 945.000 ton P2O5 atau 7,2 juta ton SP36, dan 6,09 juta ton K yang setara dengan 7,4 juta ton K2O atau 12,3 juta ton MOP.

Penurunan kesuburan tanah akan berdampak kepada produksi tanaman padi. Pemupukan secara anorganik secara terus menerus secara berlebihan menyebabkan penurunan unsur hara. Menurut Karama, et al., (1990), akibat dari penggunaan bahan kimia yang terus-menerus mengakibatkan sebagian besar (73%) lahan, baik lahan sawah maupun lahan kering mempunyai kandungan bahan organik yang rendah (<2%). Menurut Setyorini, 2005; Djaka kirana dan Sabihan, 2007 menyatakan bahwa, rendahnya kandungan bahan organik tanah disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penggunaan bahan organik dan hilangnya bahan organik dari

tanah utamanya melalui proses oksidasi biologis dalam tanah.

Terabaikannya pengembalian bahan organik kedalam tanah dan intensifnya penggunaan pupuk kimia pada lahan pertanian telah menyebabkan mutu fi sik dan kimia tanah menurun atau sering disebut kelelahan lahan (land fatigue) (Sisworo, 2006). Kondisi tanah yang demikian menyebabkan biota tanah yang berpengaruh terhadap fi ksasi nitrogen dan kelarutan fosfat menurun, miskin hara mikro, perlindungan terhadap penyakit rendah, boros terhadap penggunaan pupuk dan air, serta tanaman peka terhadap kekeringan. Produktivitas tanah dan keberlanjutan produksi pertanian tanaman pangan ditentukan oleh kecukupan kandungan bahan organik tanah.

Penggunaan pupuk kimia secara intensif oleh petani selama beberapa dekade ini membuat petani tergantung pada pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia yang intensif dan berlebihan dalam jangka panjang menyebabkan kesuburan tanah dan kandungan bahan organik tanah menurun. Kandungan bahan organik di sebagian besar sawah di P Jawa diperkirakan menurun hingga 1% saja. Padahal kandungan bahan organik yang ideal sekitar 5%. Kondisi miskin bahan organik ini menimbulkan banyak masalah, antara lain: efi siensi pupuk yang rendah, aktivitas mikroba tanah rendah, kebutuhan pupuk meningkat, dan produktivitas lahan yang semakin menurun.

Page 18: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

14

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

Selain faktor dosis pemupukan padi juga dipengaruhi oleh varietas. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang andal dan cukup besar sumbangannya dalam meningkatkan produksi padi nasional, baik dalam kaitannya dengan ketahanan pangan maupun peningkatan pendapatan petani. Varietas unggul telah memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan produksi padi nasional. Pada saat ini varietas unggul tetap lebih besar sumbangannya dalam peningkatan produktivitas dibandingkan dengan komponen teknologi lainnya (Sembiring dan Wirajaswadi, 2001).

Terbatasnya varietas padi spesifi k lokasi dengan keunggulan tertentu, menyebabkan peningkatan produksi padi menjadi terhambat. Oleh karena itu, upaya pengujian berbagai varietas unggul baru spesifi k lokasi yang beradaptasi baik dan punya potensi hasil yang tinggi harus tetap dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani.

Telah lama diketahui bahwa pemberian bahan organik ke dalam tanah sebaiknya melalui proses pengomposan terlebih dahulu untuk menurunkan nisbah C/N. Pada kondisi itu, aktivitas organisme tanah sudah menurun sehingga unsur unsur menjadi lebih tersedia bagi tanaman. Akan tetapi sampai saat ini nilai nisbah C/N berapa sebaiknya kompos itu diberikan ke dalam tanah masih menjadi perdebatan. Miller (1959) menyebutkan bahwa nilai C/N ratio 9-12 dapat dianggap sebagai acuan dalam pembuatan kompos yang baik, sedangkan Djajakirana (2008) berpendapat sebaiknya pemberian kompos pada tanah diberikan pada C/N ratio 20-30 karena pada C/N ratio sekitar 9-12 reaksi dekomposisi sudah selesai dan kompos terlalu matang, sehingga apa yang diharapkan dari proses perubahan bahan organik kompleks menjadi ikatan organik yang lebih sederhana sudah terlewati.

Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan merupakan metode yang aman bagi daur ulang bahan organik menjadi pupuk. Unsur-unsur yang terkandung dalam bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan diubah dalam bentuk yang dapat digunakan tanaman (menjadi tersedia) hanya melalui pelapukan (Millar et al., 1958).

Pemupukan adalah salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanah pada

level yang tinggi, namun penerapan input teknologi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia/anorganik dan pengapuran harus dilakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhannya (seimbang). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Santoso et al. (1995) menganjurkan pentingnya penggunaan pupuk yang berimbang dan perlunya pemantauan status hara tanah secara berkala.

Menurut Tisdale, et al., (1990), bahan organik yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi bila dibenamkan ke dalam tanah akan segera mengalami mineralisasi. Penggunaan jerami padi dapat menambah bahan organik tanah sehingga dapat memperbaiki sifat fi sik tanah, sifat kimia tanah, dan sifat biologis tanah.

Menurut Hadiwigeno (1993), pemberian 5,0 t/ha jerami dapat menghemat pemakaian pupuk KCl sebesar 100 kg/ha. Sedangkan Adiningsih (1984) melaporkan bahwa penggunaan kompos jerami sebanyak 5 t/ha selama 4 musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 kg K, 160 kg Mg, dan 200 kg Si.

Pemberian kompos jerami padi sebanyak 10 ton/ha sudah cukup untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Pangaribuan dan Pujisiswanto (2008) menyatakan bahwa Penggunaan 10 ton kompos per hektar dapat menyumbang 100 – 150 kg N, 44 kg P, dan 125 kg K. Selanjutnya Riffi n (1992) juga melaporkan bahwa apabila jerami padi dikeluarkan dari petakan, kemampuan tanah menahan air menurun dan suhu tanah menjadi tinggi. Akibatnya, hasil jagung sebagai tanaman berikutnya turun 26%. Sebaliknya, apabila semua jerami digunakan sebagai sumber bahan organik pada pertanaman jagung, maka kemampuan tanah menahan air meningkat, suhu tanah relatif stabil, dan hasil jagung naik 22%. Pemberian kompos jerami padi yang tepat diharapkan akan mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian pupuk anorganik yang dapat menyebabkan devisit unsur hara. Selain itu, juga diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi sawah.

Dekomposisi bahan organik merupakan proses biokimia, sehingga setiap faktor yang mempengaruhi mikroorganisme tanah juga mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik.

Page 19: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

15

Sedangkan Miller (1959) menyebutkan bahwa nilai C/N ratio 9-12 dapat dianggap sebagai acuan dalam pembuatan kompos yang baik, karena pada C/N ratio tersebut proses dekomposisi sudah selesai dan aktivitas mikroorganisme menurun sehingga unsur-unsur menjadi lebih tersedia.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perlakuan jerami dan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil padi di lahan sawah serta sifat fi sik dan kimia tanah.

BAHAN DAN METODEPenelitian telah dilaksanakan di Desa Karya

Mukti, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka, Propinsi Jawa Barat, berada pada pada ketinggian 51 m di atas permukaan laut dengan posisi geografi s 06°0′45′′- 06°0′52′′ LS dan 108°0′07′′-108°0′45′′ BT, beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin monsoon, (Badan Meteorologi dan Geofi sika Stasion Meteorologi Jatiwangi, 2013). Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, sejak persiapan sampai dengan panen dimulai bulan Februari hingga Juli 2014.

Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan lima ulangan. Sebagai petak utama adalah perlakuan kompos jerami (J) terdiri dari tiga taraf yaitu, (J0) tanpa jerami, (J1) jerami dikomposkan, dan (J2) Jermi padi digelebeg. Sebagai anak petak adalah varietas unggul baru (VUB) terdiri dari tiga taraf yaitu, Inpari-4 (V1), Inpari-14 (V2) dan Mekongga (V3). Dari dua faktor perlakuan tersebut maka didapat 9 kombinasi perlakuan. Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani dengan ukuran plot percobaan menggunakan petakan sawah alami antara 300 m2 s.d 700 m2.

Bibit padi dipindahkan dari pesemaian dan ditanam pada plot percobaan pada umur 15 hari setelah semai, dengan sistem tanam legowo (25 x 12,5 cm) x 50 cm, sebanyak dua bibit per lubang tanam. Pada saat tanam kondisi lahan dalam keadaan macak-macak, dan permukaan tanah rata.

Pada perlakuan J1, jerami padi sebelum disebar ke petakan dilakukan pengomposan terlebih dahulu menggunakan dekomposer pada saat perendaman benih. Setelah menjadi kompos (15 hari setelah pemberian dekomposer) kemudian disebar merata ke dalam petakan sawah pada saat 5 hari sebelum tanam. Pada perlakuan J2, jerami padi disebar merata ke dalam petakan sawah 20 hari sebelum tanam

(hst) kemudian digelebeg mengunakan rotary. Seluruh plot perlakuan diberi pupuk

anorganik Urea dengan dosis berdasarkan hasil pengukuraan bagan warna daun (BWD) dan SP-36 dengan dosis sebanyak 125 kg/ha. Sedangkan pupuk KCl hanya diberikan pada plot perlakuan jerami J0.

Sebagai pengamatan ditetapkan variabel respons sebagai berikut: 1) Kandungan N, P, K dan Ca tanah sebelum dan sesudah perlakuan; 2) Komponen pertumbuhan yang meliputi: tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun dilakukan pada umur 21, 44 hst dan jumlah anakan produktif per rumpun diukur pada saat menjelang panen.; 3) Komponen hasil padi (jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai, bobot gabah isi 1000 butir) dan hasil gabah per hektar (GKP) ton/ha, diukur berdasarkan hasil panen per petak yang dikonversi ke hektar.

Data variabel respons yang diperoleh dianalisis sidik ragam (Anova). Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan dilakukan uji pembeda menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5% (Gomez and Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat tanah sebelum percobaan

Hasil analisis sifat tanah sebelum dan setelah percobaan (Tabel 1), menunjukkan, bahwa tanah sawah di Desa Karya Mukti, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka menurut Hardjowigeno, (1995), bereaksi sedang dengan kandungan kandungan C-organik, N total rendah dan C/N sedang. P2O5 Olsen termasuk sangat tinggi dan K total (HCl 25%) sebelum penelitian sangat rendah dan setelah penelitian tinggi. Kadar basa dapat dipertukarkan (Ca) sebelum penelitian termasuk kriteria rendah dan setelah penelitian termasuk kriteria tinggi.

Berdasarkan kriteria sifat-sifat tanah tersebut, tampak bahwa tanah sawah di lokasi penelitian mempunyai tingkat kesuburan relatif baik.

Pertumbuhan TanamanHasil analisis statistik melaporkan bahwa

tidak terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan jerami dan varietas terhadap tinggi tanaman 45 hst, 87 hst, jumlah anakan 45 hst dan anakan

Page 20: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

16

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

produktif (Tabel 2).Pada Tabel 4 terlihat, bahwa perlakuan

jerami berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, umur 21 hst dan 42 hst serta jumlah anakan 45 hst maupun jumlah produktif. Perlakuan jerami J1, memberikan tinggi tanaman tertinggi pada umur 45 hst dan 87 hst yaitu, 85,56 cm dan 113,17 cm yang berbeda nyata dengan perlakuan jerami J0 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan jerami J2. Demikian pula, terhadap jumlah anakan umur

45 hst dan anakan produktif, perlakuan jerami J1 memberikan pengaruh anakan yang lebih banyak dibandingkan perlakuan jerami J0 (tanpa jerami) tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan jerami J2.

Varietas padi yang dikaji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 45 hst dan 87 hst, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan umur 45 hst maupun jumlah anakan produktif. Varieta inpari-4 (V1) menunjukkan jumlah anakan

Tabel 1. Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Tanah di Lokasi Penelitian Sebelum dan Sesudah Penelitian.

U R A I A NParameter

pH H2O P2O5 Olsen (ppm)

K HCl 25% (ppm)

Ca (me/100 g) C (%) N (%) C/N

Sebelum Penelitian

Tanpa Jerami (Jo)• 5,7(sedang)

70,7(sgt tinggi)

38,63(sedang)

8,83(sedang)

1,59(rendah)

0,19(rendah)

8(sedang)

Jerami di Komposkan (J1)• 5,6(sedang)

85,50(sgt tinggi)

37,78(sedang)

8,67(sedang)

1,78(rendah)

0,20(sedang)

9(sedang)

Jerami Digelebeg (J2)• 5,7(sedang)

71,2(sgt tinggi)

37,66(sedang)

8,87(sedang)

1,50(rendah)

0,17(rendah)

8(sedang)

Setelah Penelitian

Tanpa Jerami (Jo)• 5,7(sedang)

84,30(sgt tinggi)

43,74(tinggi)

9.45(sedang)

1,77(rendah)

0,15(rendah)

12(sedang)

Jerami di Komposkan (J1)• 6,2(sedang)

99,70(sgt tinggi)

48,68(tinggi)

12.34(tinggi)

1,72(rendah)

0,16(rendah)

11(sedang)

Jerami Digelebeg (J2)• 6,0(sedang)

85,33(sgt tinggi)

45,44(tinggi)

11,78(tinggi)

1,72(rendah)

0,16(rendah)

11(sedang)

Keterangan : Tempat analisis: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.*) Kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994 (Laporan Teknis No.7, Versi 1,0 April 1994: LREP-IIC/C).

Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Jerami dan Varietas Terhadap Tinggi Tanaman Padi Pada Umur 45 hst, 87 hst, jumlah anakan 45 hst dan Jumlah Anakan Produktif.

PerlakuanTinggi Tanaman

(cm)Jumlah anakan

(batang per rumpun)45 hst 87 hst 45 hst produktif

Perlakuan Jerami (J)j0

j1

j2

Varietas (V)

v1

v2

v3

77,68 a85,56 b83,63 ab

84,67 a

81,80 a

80,40 a

107,68 a113,17 b111,35 ab

113,22 a

110,38 a

108,61 a

25,40 a29,20 b27,86 b

30,59 b

26,83 ab

25.04 a

16,86 a19,25 b18,31 b

19,16 b

18,32 ab

16,94 aKeterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf

5%.

Page 21: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

17

produktif tertinggi yaitu sebanyak 19,16 batang/rumpun yang berbeda nyata dengan varietas Mekongga (V3) yaitu sebanyak 16,94 batang/rumpun tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari-16 (V2) yaitu sebanyak 18,32 batang/rumpun.

Meningkatnya tinggi tanaman pada umur 45 hst dan 87 hst serta jumlah anakan per rumpun umur 45 hst maupun jumlah anakan produktif per rumpun dengan pemberian bahan organik, karena bahan organik dapat meningkatkan ketersedian hara N, P, K dan Ca dalam tanah. Sarief (1984) menyatakan bahwa nitrogen sangat diperlukan tanaman untuk pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, sel daun, batang dan akar, sedangkan P dan Ca merupakan bagian inti sel, sangat penting dalam pebelahan sel dan juga perkembangan jaringan meristem. Unsur K berperan dalam proses translokasi fotosintat ke bagian tumbuh tanaman (Walingford, 1980). Tanaman yang kekurangan kalium ditandai dengan kerdilnya pertumbuhan, daunnya pendek berwarna hijau gelap dan terkulai (Abdulrachman, 1995).

Komponen Hasil Pengaruh perlakuan jerami berpengaruh

dan varietas terhadap terhadap panjang malai, gabah isi dan gabah isi per malai disajikan pada Tabel 3.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan jerami dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap panjang malai, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai. Perlakuan jerami J1 memberikan jumlah gabah isi per malai tertinggi yaitu, sebanyak 133,93 butir yang berbeda nyata dengan perlakuan jerami J0 yaitu sebanyak 122,70 butir, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan jerami J2 yaitu sebanyak 129,20 butir. Sebaliknya terhadap jumlah gabah hampa per malai, perlakuan jerami J0 memberikan jumlah gabah hampa per malai tertinggi, yaitu sebanyak 24,47 butir yang berbeda nyata dengan perlakuan jerami J1 yaitu sebanyak 122,70 butir, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan jerami J2 yaitu sebanyak 129,20 butir.

Hasil analisis statistik melaporkan bahwa perlakuan varietas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap panjang malai dan jumlah gabah hampa per malai. Pengaruh varietas hanya terjadi pada jumlah gabah isi per malai. Varietas inpari-4 (V1) menunjukkan jumlah gabah isi per malai tertinggi dibanding varietas lainnya yaitu, sebanyak 137,13 butir yang berbeda nyata dengan Mekongga (V3) (120,53 butir) tetapi tidak berbeda nyata dengan Inpari-14 (V2) (120,53 butir).

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Jerami dan Varietas Terhadap Panjang Malai, Gabah Isi dan Gabah Isi per Malai.

Perlakuan Panjang Malai (cm) Gabah Isi Per Malai (butir)

Gabah Hampa Per Malai (butir)

Perlakuan Jerami (J)j0

j1

j2

Varietas (V)v1

v2 v3

24,76 a26,03 a 25,03 a

25,13 a25,77 a24,93 a

122,70 a133,93 b129,20 ab

137,13 b127,73 ab120,53 a

24.47 b18.07 a21,00 ab

19,47 a22,07 a22,17 a

Keterangan: - Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Page 22: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

18

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

Hasil.Pengaruh perlakuan jerami dan varietas

terhadap bobot gabah 1000 butir hasil n padi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Jerami Varietas Terhadap Hasil Tanaman Padi per Hektar.

Perlakuan Bobot Biji 1000 butir (g)

Hasil Per Hektar GKP(ton/ha)

Selisih Kenaikan Hasil (%)

Perlakuan Jerami (J)j0

j1

j2

Varietas (V)v1

v2 v3

26,47 a27,01 a26,71 a

27,22 a 26,58 a26,40 a

8,18 a8,98 b9,47 b

9,43 b 8,89 ab8,31 a

-9,7815,77

16.006.98

-Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda

Duncan pada taraf 5%.

Berdasarkan hasil analisis statistik melaporkan bahwa perlakuan jerami dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap bobot gabah isi 1000 butir. Pemberian perlakuan jerami dan varietas berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa hasil padi meningkat secara nyata baik perlakuan J1 maupun J2. Pada perlakuan jerami J1 hasil padi meningkat sebesar 9,78% dibanding pada perlakuan J0, sedangkan pada perlakuan J2 hasil padi meningkat sebesar 15,77%.

Pada tabel 4 juga terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil yang nyata pada perlakuan varietas yang dikaji. Hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan Vi yaitu varietas Inpari 4 sebanyak 9,43 t/ha atau terjadi peningkatan hasil padi sebanyal 16% dibanding perlakuan V3 (Mekongga). Peningkatan hasil padi pada perlakuan jerami karena konsentrasi hara N, P, dan K dalam tanah meningkat, mengakibatkan jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai bertambah sedangkan % gabah hampa menurun.

KESIMPULANHasil penelitian dapat disimpulkan:1) Varietas padi yang dikaji tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 45 hst dan 87 hst, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan umur 45 hst maupun jumlah anakan produktif. Perlakuan jerami J1, memberikan

tinggi tanaman tertinggi pada umur 45 hst dan 87 hst

2) Perlakuan varietas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap panjang

malai dan jumlah gabah hampa per malai. Perlakuan jerami dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap panjang malai, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai.

3) Perlakuan jerami dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap bobot gabah isi 1000 butir tetapi berpengaruh nyata terhadap hasil padi.

DAFTAR PUSTAKA

Sisworo, W. H. 2006. Swasembada pangan dan pertanian berkelanjutan tantangan abad dua satu: Pendekatan ilmu tanah tanaman dan pemanfatan iptek nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional.

Al-Jabri, M., 2008. Pengelolaan Hara Makro dan Mikro Pada Tanaman Padi. Pros. Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balitbang Pertanian Deptan. Jkt. Hal. 90–13.

Damanik dan A., Rauf, 2008. Identifi kasi Tingkat Kesuburan Tanah dan Cara Praktis Penentuan Dosis Pupuk Berdasarkan Status Hara Tanah dan Tanaman. Dep. Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian USU, Medan.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Hal. 126.

Page 23: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

19

KAJIAN PRODUKSI KEDELAI PADA LAHAN KERING,DI KABUPATEN INDRAMAYU

Atin Yulyatin, IGP. Alit DiratmajaBPTP Jawa Barat

Jl. Kayuambon No.80 Lembang-Bandung 40391 IndonesiaEmail : [email protected]

ABSTRAKProduksi kedelai yang rendah diakibatkan salah satunya adalah areal pertanaman yang sedikit. Pemanfaatan lahan hutan jati dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan luasan pertanaman kedelai. Pengkajian dilakukan di lahan kering perum perhutani pada jati muda umur 2 tahun, di kelompok tani Agrotani, Desa Cikawung, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Pengkajian dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial satu faktor perlakuan yaitu varietas. Varietas yang digunakan adalah Wilis, Burangrang, dan Grobogan.Variabel pengamatan yaitu tinggi tanaman saat panen, bobot 100 butir dan produksi. Data dianalisis menggunakan anova, apabila terdapat beda nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT taraf 5%. Hasil menunjukan bahwa Wilis memiliki produksi yang lebih tinggi dibandingkan Burangrang dan Grobogan. Namun pada saat pengisian polong terjadi kekeringan.

Kata Kunci : kedelai, lahan kering, varietas

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditi target untuk swasembada pangan. Produksi kedelai di Kabupaten Indramayu mencapai 4.077,76 ton, luas lahannya 2.337 ha, sedangkan produktivitasnya 1,74 ton/ha (BPS Kab. Indramayu, 2014). Selama ini kedelai ditanam sebagai tanaman sela pengganti padi yang ditanam dimusim kemarau. Hal ini pertumbuhannya kurang optimal dan luasannya sedikit. Kabupaten Indramayu memiliki lahan perkebunan yang ditanami pohon jati. Perum Perhutani yang terdapat di Kabupaten Indramayu memiliki luas lahan 6.958 ha (BKP3, 2013).Jika dilihat dari potensi areal hutan yang dapat ditanami kedelai cukup luas dan akan sangat bermanfaat dan sumbangan kedelai di hutan diperuntukkan untuk produksi.

Pohon jati memiliki jarak tanam 3 m x 6 m, masih ada ruang lahan cukup diantara pohon jati muda yang dapat dimanfaatkan untuk menanam kedelai.Tanaman kedelai memerlukan sinar matahari penuh untuk tumbuh normal, tetapi masih dapat tumbuh pada batas tingkat naungan tertentu. Lingkungan ternaungi dapat terjadi di bawah tegakan tanaman tahunan atau lahan tunggu di perkebunan muda (Susanto et.al., 2011). Naungan dapat mengganggu proses fotosintesa, dan menyebabkan tanaman etiolasi. Untuk pertanaman pohon jati umur 1 sampai 2 tahun tidak bermasalah, namun setelah pohon jati berumur 3-5 tahun masalah naungan mengganggu pertumbuhan tanaman kedelai (Agroinovasi, 2012). Kedelai toleran naungan

yang dikembangkan di antara pohon jati muda di Ngawi Jawa Timur dan Boyolali Jawa Tengah mampu berproduksi 1,9-2,4 t/ha (Hermanto, 2012).

Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui produksi kedelai yang ditanam di lahan kering dibawah tegakan pohon jati muda umur 2 tahun.

BAHAN DAN METODEPenelitian dilakukan pada bulan Maret-Juli

2014 di lahan kering dibawah tegakan pohon jati pada kelompoktani Agrotani,Desa Cikawung, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Pengkajian dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial satu faktor perlakuan yaitu varietas. Setiap varietas diulang 3 kali sehingga terdapat 9 unit percobaan. Varietas yang digunakan adalah Wilis, Burangrang, dan Grobogan.

Produksi benih dilakukan pada lahan kering Milik Perhutani. Benih ditanam dibawah tegakan pohon jati yang memiliki tinggi 2 meter (umur 2 tahun) dengan jarak tanam 3 m x 6 m. Benih yang digunakan adalah kelas benih sumber (BS) dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi, Jatim). Benih diberi perlakuan sebelumnya dengan perendaman yaitu 200 g/ha rhizoplus. Benih kedelai ditanam menggunakan tugal dengan kedalaman 2-3 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 40 cm x 15 cm dengan jumlah biji per lubang tanam sebanyak 2-3. Pupuk yang diberikan adalah

Page 24: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

20

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

200 kg/ha NPK (15:15:15) dan 25 kg/ha KCl.Pestisida yang digunakan tergantung pada tingkat serangan hama dan penyakit. Pertanaman diberikan mulsa jerami padi yang bertujuan untuk mengurangi frekuensi penyiangan dan menekan serangan hama lalat kacang. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan berdasarkan hasil pemantauan lapangan. Panen dilakukan setelah 95% polong pertanaman berwarna coklat atau kehitaman (warna polong masak) dan sebagian besar daun sudah rontok. Panen dilakukan dengan cara memotong pangkal batang. Selanjutnya brangkasan yang telah kering, dirontok menggunakan power thresher. Biji kemudian dijemur sampai mencapai kadar air 10-11%, selanjutnya dilakukan sortasi yaitu membersihkan biji dari kotoran, seperti potongan batang, cabang tanaman, dan tanah.

Variabel pengamatan yaitu tinggi tanaman pada umur 90 hari, bobot 100 butir dan produksi. Data dianalisis menggunakan anova, apabila terdapat beda nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT taraf 5%. Tabel 1. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai

(Balitkabi, 2012)

UraianVarietas Unggul Kedelai

Wilis Burangrang GroboganTahun dilepas 1983 1999 2008Potensi hasil (t/ha) 1,6 2,5 2,77Tinggi tanaman (cm) 50 60-70 50-60Ukuran Biji Kecil Besar BesarUmur Berbunga (+ hari) 39 35 30-32Umur Matang 85-90 80-82 76Bobot 100 biji 10 17 18Kadar Protein (%) 37 39 43,9Kadar Minyak (%) 18 20 18,4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi tanaman kedelai menunjukan berbeda nyata pada 90 hst, varietas Wilis memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih baik (Tabel 2.). Berdasarkan deskripsi varietas,tinggi tanaman Burangrang (60-70 cm) lebih tinggi dibandingkan Wilis (50 cm). Hal ini menunjukan bahwa Wilis lebih dapat beradaptasi dibawah naungan dibandingkan Burangrang pada tinggi tanaman.

Tabel 2. Varietas Kedelai terhadap Rata-rata Tinggi Tanaman, Bobot 100 Butir dan Produksi per ha

Varietas

Rata-rataTinggi Tana-

man(cm)

Rata-rata Bobot 100

butir(g)

Rata-rata

Produksi(ton)

Wilis 75,57a 10,37c 1,03a

Buran-grang 70,45b 14,82b 0,68b

Grobogan 68,20c 15,46a 0,80b

Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT

Meskipun Wilis memiliki tinggi tanaman yang lebih baik, namun memiliki rata-rata bobot 100 butir terendah. Hal ini diduga bahwa pertumbuhan vegetatif dapat mempengaruhi pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman pada Wilis mempengaruhi bobot 100 butir. Pertumbuhan vegetatif Wilis lebih optimal dibandingkan generatif. Begitu juga polong yang dihasilkan banyak, namun berat polong lebih rendah. Makin tinggi tanaman maka makin banyak jumlah cabangnya, sehingga jumlah polong yang dihasilkan lebih banyak yang akan mempengaruhi produksi.

Produksi Wilis lebih tinggi dibandingkan Grobogan dan Burangrang (Tabel 2.). Hal ini diduga bahwa hara pada Wilis lebih dialokasikan dengan optimal pada pengisian polong. (Kriswantoro, 2012) varietas Wilis, Slamet dan Tanggamus memperlihatkan rata-rata pertumbuhan yang cenderung lebih baik dan produksi yang lebih tinggi atau mendekati potensi produksinya. Hal ini, menunjukkan bahwa ketiga varietas tersebut (Wilis, Burangrang dan Grobogan) mampu beradaptasi secara optimal pada lahan kering dan kondisi iklim setempat dibawah pengelolaan lingkungan tumbuh yang telah dilakukan. Adisarwanto (2005) menjelaskan bahwa varietas memegang peranan penting dalam perkembangan penanaman, karena untuk mencapai produktivitas yang tinggi sangat ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas unggul yang ditanam.

Varietas Wilis, Burangrang dan Grobogan memiliki rata-rata produksi yang masih rendah yaitu dibawah 2 ton/ha. Kedelai toleran naungan yang dikembangkan di antara pohon jati muda di Ngawi Jawa Timur dan Boyolali Jawa Tengah mampu berproduksi 1,9-2,4 t/ha (Hermanto, 2012). Hal ini diduga pada saat

Page 25: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

21

pengisian polong terjadi kekeringan akibat curah hujan yang rendah dan kurangnya pengairan akibat lokasi yang jauh dan gersang. Untuk mendapatkan hasil optimal, tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100-200 mm/bulan (Najiyati, 1999).Kedelai menghendaki kondisi tanah yang lembab, tetapi tidak becek. Kondisi seperti ini dibutuhkan sejak benih ditanam hingga pengisian polong. Kekurangan air pada masa pertumbuhan akan menyebabkan tanaman kerdil, bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kekeringan telah melampaui batas toleransinya.

Selain itu tanah perkebunan merupakan tanah liat yang sedikit masam ,miskin akan hara, maka penambahan bahan organik seperti kompos dan pupuk kandang sebaiknya perlu ditambahkan. kedelai menghendaki tanah yang subur, gembur, kaya akan unsur hara dan bahan organikuntuk dapat tumbuh dengan baik. Bahan organik yang cukup dalam tanah akan memperbaiki daya olah dan juga merupakan sumber makanan bagi jasad renik yang pada akhirnya akan membebaskan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman.

KESIMPULAN

1. Varietas Wilis memiliki rata-rata produksi yang lebih tinggi dibandingkan Burangrang dan Grobogan

2. Rata-rata produksi Wilis, Burangrang dan Grobogan masih rendah, hal ini disebabkan oleh kekeringan.

SARAN

1. Sebaiknya perlu adanya penambahan kapur dan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Agroinovasi. 2012. Inovasi Terkini Kedelai dan Jagung Menambah Penghasilan Petani. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Edisi 15-21 Agustus 2012 No.3470 Tahun XLII.

Adisarwanto, T. 2005. Kedelai: Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Badan Pusat Statistik kabupaten Indramayu. 2014. Kabupaten Indramayu Dalam Angka 2014. BPS Kabupaten Indramayu. 260 p.

Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian. 2013. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Kecamatan Terisi Tahun Anggaran 2014. Pemerintah Kabupaten Indramayu

Balitkabi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.

Hermanto. 2012. Kedelai Toleran Naungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. V 34 (3): 5- 7.

Kriswantoro, H., Nely Murniati, Munif Ghulamahdi; dan Karlin Agustin. 2012. Uji Adaptasi Varietas Kedelai Di Lahan Kering Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Dalam Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPI-HIGI. Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. 281-285 p.

Najiyati, S, dan Danarti, 1999. Palawija Budidaya dan Analisa Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta

Susanto, G. W. A dan Titik Sundari. 2011. Perubahan Karakter Agronomi Aksesi Plasma Nutfah Kedelai di Lingkungan Ternaungi. J. Agron. Indonesia 39 (1) : 1 - 6

Page 26: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

22

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

PENGARUH PERLAKUAN JERAMI DAN VARIETAS PADI INBRIDA TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA DI LAHAN SAWAH IRIGASI

Sutrisna, N., Y. Surdianto, dan O. MarbunBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

E-mail: natrisna@yahoo,.co.id

ABSTRAK

Sistem budidaya padi yang intensif dapat meningkatkan produktivitas, namun juga dapat memberikan dampak negatif terhadap peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ti troposfer dalam bentuk gas metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Indonesia adalah penyumbang emisi gas rumah kaca urutan ke-18 dunia. Atas dasar itu, pemerintah Republik Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 26% sampai tahun 2020. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan jerami padi pada beberapa varietas unggul baru terhadap penurunan GRK. Penelitian mengunakan rancangan petak terpisah (split plot design). Petak utama adalah VUB, terdiri atas (1) Inpari 4 (V1), (2) Inpari 14 (V2), dan (3) Mekongga (V3). Anak petak adalah teknik pemanfaatan jerami terdiri atas: (1) jerami dikomposan (J1), (2) jerami digelebeg (J2), dan (3) tanpa jerami (J0). Jumlah ulangan sebanyak 5. Data yang dikumpulkan terdiri atas: emisi GRK (CH4 dan N2O), pertumbuhan padi, komponen hasil, dan hasil padi. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis statistik dengan analisis keragaman (Analysis of Varians) yang dilanjutkan dengan uji nilai tengah Duncan pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara varietas dan perlakuan jerami padi terhadap emisi CH4 baik pada umur 21, 42, dan 87 hst. Pada umur 42 hst perlakuan jerami padi berpengaruh nyata terhadap emisi CH4. Pada umur 87 hst varietas dan perlakuan jerami masing-masing berpengaruh nyata terhadap emisi CH4. Pada umur 110 hst justru varietas berpengaruh nyata terhadap emisi CH4. Terjadi interaksi antara varietas dan perlakuan jerami padi terhadap emisi gas N2O pada umur 21 hst.

Kata kunci : Varietas padi, perlakuan jerami, gas rumah kaca

PENDAHULUANProvinsi Jawa Barat memegang peran

sangat penting dalam penyediaan beras nasional. Kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan beras nasional setiap tahun tidak kurang dari 17%.

Disisi lain, ketersediaan lahan sawah produktif di Provinsi Jawa Barat terus bekurang karena beralih fungsi untuk keperluan non pertanian. Program intensifi kasi menjadi satu satunya alternatif yang harus dilakukan dalam upaya meningkatkan produktivitas padi agar produksi padi terus meningkat dan tetap sebagai kontributor beras nasional terbesar .

Program intensifi kasi lahan sawah dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu (1) peningkatan intensitas tanam atau meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) untuk meningkatkan luas panen dan (2) penerapan inovasi teknologi untuk meningkatkaan produktivitas padi.

Peningkatan IP padi dari 2 kali dalam satu tahun (IP2) menjadi 3 kali dalam satu tahun (IP3) telah berhasil meningkatkan luas panen padi sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Pada tahun 2006 luas panen padi sekitar1.798.260 ha, meningkat menjadi 2.008.573 ha pada tahun 2010 (BPS, 2011). Demikian juga penerapapan teknologi budidaya padi, yaitu dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dilakukan sejak

tahun 2006 melalui Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) telah berhasil meningkatkan produktivitas padi dari 59,17 kw/ha menjadi 60,46 kw/ha untuk padi sawah dan 35,12kw/ha menjadi 39,32 kw/ha hektar untuk padi ladang (BPS, 2012). Bahkan pada tahun 2013 dengan adanya program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL- PTT), produktivitas padi di Jawa Barat meningkat dengan rata-rata 62,8 kw/ha (BPS, 2014).

Program intensifi kasi pada lahan sawah yang sudah berlangsung lama dan tanah dieksploitasi tanpa dilakukan perbaikan mengakibatkan tanah mengalami degradasi. Kandungan bahan organik tanah sawah menurun hingga < 2% dan pada kondisi tersebut tanah tidak dapat menopang pertumbuhan padi secara optimal.

Pemberian bahan organik pada tanah sawah mutlak diperlukan untuk mengatasi degradasi tanah dan mempertahankan kesuburan tanah. Menurut Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik juga merupakan salah satu sumber hara mikro tanaman, selain sebagai sumber energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian bahan organik jerami padi pada tanah sawah dapat memperbaiki kesuburan tanah, sehingga dapat meningkatkan produktivitas padi. Selain itu, penggunaan

Page 27: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

23

jerami sebagai sumber bahan organik sangat efektif dan efi sien, karena bahan tersebut sudah tersedia di lahan sawah.

Namun demikian, penggunaan bahan organik pada tanah sawah dalam kondisi anaerob dapat meningkatkan emisi gas metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). CH4 diproduksi sebagai hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen (Zehnder dan Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso and Husin 1994). Gas ini memiliki kemampuan menyerap energi yang dilepaskan planet bumi sehingga suhu dipermukaan bumi menjadi lebih hangat (Meiviana et al., 2004).

Sejak tahun 1990, peningkatan suhu udara akibat peningkatan kadar gas rumah kaca di troposfer terjadi sangat cepat. Selama 30 tahun terakhir terjadi peningkatan suhu global secara cepat dan konsisten sebesar 0,2 oC setiap 10 tahun. Menurut Zeigler (2005), setiap peningkatan suhu 1 oC akan menurunkan hasil padi 0,5 t/ha, karena peningkatan suhu akan menghambat fase pengisian bulir padi.

Atas dasar itu, sangat perlu dan penting untuk melakukan penelitian tentang komponen teknologi PTT yang dapat memberikan keuntungan ganda, yaitu meningkatkan produktivitas padi dan menurunkan emisi CH4. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan VUB berumur genjah sangat efektif menurunkan emisi CH4. Namun demikian, varietas apa dan teknologi pemberian bahan organik seperti apa yang sesuai dengan kondisi spesifi k lolasi di wilayah Jawa Barat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan jerami dan varietas padi terhadap emisi GRK, yaitu CH4 dan N2O; pertumbuhan; dan hasil padi.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus tahun 2014 di lahan milik petani seluas 3 ha. Lokasi penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Desa Panyingkiran, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara 109o20’ sampai 108o40 BT dan 7o 40’20” LS dengan ketinggian tempat 110 m DPL.

Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah (1)

sarana produksi (benih, pupuk, insektisida, dll.) untuk kegiatan budidaya tanaman padi, (2) kuesioner, dan (3) blanko pengamatan yang digunakan untuk pengambilan data primer keragaan usahatani padi. Alat-alat yang digunakan adalah (1) alat yang digunakan untuk kegiatan budidaya tanaman padi, (2) alat pengukur emisi CH4 dan Dinitrogen Oksida N2O, dan (3) seperangkat komputer yang dilengkapi berbagai software untuk keperluan analisis data (SPSS).

Metodologi Penelitian Penelitian menggunakan rancangan petak

terpisah (split plot design). Petak utama adalah VUB, terdiri atas (1) Inpari 4 (V1), (2) Inpari 14 (V2), dan (3) Mekongga (V3). Anak petak adalah teknik pemanfaatan jerami terdiri atas: (1) jerami dikomposan (J1), (2) jerami digelebeg (J2), dan (3) tanpa jerami (J0). Jumlah ulangan sebanyak 5.

Teknik Pengumpulan Data dan Jenis DataTeknik pengumpulan data dilakukan dengan

pengamatan langung di lapangan. Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas:• Data GRK: CH4 dan N2O pada umur 21, 42,

dan 87 hast. • Data agronomis sebagai penunjang meliputi:

(1) pertumbuhan tanaman padi (tinggi tanaman dan jumlah anakan); (2) komponen hasil, (panjang malai, jumlah gabah per malai, dan bobot 1.000 butir); dan (3) hasil padi.

Analisis DataData emisi GRK (CH4 dan N2O),

pertumbuhan padi, komponen hasil, dan hasil padi yang dikumpulkan kemudian dilakukan analisis statistik dengan analisis keragaman (Analysis of Varians) yang dilanjutkan dengan uji nilai tengah Duncan pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Kimia Tanah Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum dan

setelah percobaan (Tabel 1), menunjukkan, bahwa tanah sawah di Desa Karya Mukti, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka memiliki

Page 28: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

24

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

derajat keasaman sedang dengan kandungan kandungan C-organik, N total rendah dan C/N sedang. P2O5 Olsen termasuk sangat tinggi dan K total (HCl 25%) sebelum penelitian sangat rendah dan setelah penelitian tinggi. Kadar basa dapat dipertukarkan (Ca) sebelum penelitian termasuk kriteria rendah dan setelah penelitian termasuk kriteria tinggi. Secara umum sifat-sifat tanah tersebut tergolong baik (Hardjowigeno, 1995).

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa setelah penelitian beberapa sifat kimia tanah mengalami perbaikan, terutama kandungan kalsium dan kalium baik pada perlakuan jerami dikomposkan maupun jerami di gelebeg. Peningkatan kandungan Ca dan K berasal dari jerami padi. Menurut Perdana 2008, jerami padi mengandung unsur hara N, P, K, Ca, Mg, Zn, dan Si masing-masing sebesar 0,64; 0,05; 2,03; 0,29; 0,14; 0,02; dan 8,80%. Jerami padi jika telah didekomposisi oleh mikrobia perombak (dekomposer) akan berubah menjadi kompos. Hasil penelitian Nuraini (2009) menunjukkan bahwa kompos jerami memiliki kandungan N-organik 0,91%; N-NH4 0,06%; N-total 1,03%; P2O5 0,69%; C-organik 19,09% dan air 9,22%. Menurut Nazarudin et al. (2010), kompos jerami selain kaya akan C-organik (sekitar 30 -40%), juga mengandung hara yang lengkap baik makro (1,5 % N, 0,3-0,5 % P2O5, 2,0-4,0% K2O, 3,0-5,0 % SiO2) maupun mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Cl, Mo).

Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

A. Emisi Gas CH4

Hasil analisis (Tabel 2) menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan jerami padi dan varietas terhadap emisi CH4 baik pada umur 21, 42, dan 87 hst. Namun demikian, secara individu perlakuan jerami padi berpengaruh nyata terhadap emisi CH4 pada umur 21 dan 42 hst. Varietas padi juga berpengaruh nyata

Tabel 1. Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Tanah di Lokasi Penelitian Sebelum dan Sesudah Penelitian.

U R A I A NParameter

pH H2OP2O5 Olsen

(ppm)K HCl 25%

(ppm) Ca (me/100 g) C (%) N (%) C/N

Sebelum Penelitian

Tanpa Jerami (J• 0)5,7

(sedang)70,7

(sgt tinggi)38,63

(sedang)8,83

(sedang)1,59

(rendah)0,19

(rendah)8

(sedang)

Jerami di Komposkan (J• 1)5,6

(sedang)85,50

(sgt tinggi)37,78

(sedang)8,67

(sedang)1,78

(rendah)0,20

(sedang)9

(sedang)

Jerami Digelebeg (J• 2)5,7

(sedang)71,2

(sgt tinggi)37,66

(sedang)8,87

(sedang)1,50

(rendah)0,17

(rendah)8

(sedang)Setelah Penelitian

Tanpa Jerami (J• 0)5,7

(sedang)84,30

(sgt tinggi)43,74

(tinggi)9.45

(sedang)1,77

(rendah)0,15

(rendah)12

(sedang)

Jerami di Komposkan (J• 1)6,2

(sedang)99,70

(sgt tinggi)48,68

(tinggi)12.34

(tinggi)1,72

(rendah)0,16

(rendah)11

(sedang)

Jerami Digelebeg (J• 2)6,0

(sedang)85,33

(sgt tinggi)45,44

(tinggi)11,78

(tinggi)1,72

(rendah)0,16

(rendah)11

(sedang)Keterangan : Tempat analisis: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.

*) Kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994 (Laporan Teknis No.7, Versi 1,0 April 1994: LREP-IIC/C).

terhadap emisi CH4 pada umur 42 dan 87 hst.

Tabel 2. Pengaruh Varietas dan Tenik Pemanfaatan Jerami terhadap Emisi Gas CH4

Perlakuan Umur 21 hst

Umur 42 hst

Umur 87 hst

Perlakuan Jerami (J)

j0

j1

j2

Varietas (V)v1

v2 v3

3,15 a6,54 b5,43 b

5,58 a5,96 a6,46 b

5,56 a6,00 ab6,73 b

6,54 a6,93 ab7,24 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Inpari 4 (V1), Inpari 14 (V2), dan Mekongga (V3) serta jerami dikomposan (J1), jerami digelebeg (J2), dan tanpa jerami (J0).

Page 29: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

25

Tabel 2. juga menunjukkan bahwa pemberian jerami padi berpengaruh nyata terhadap emisi gas CH4 pada umur 42 dan 87 hst. Pemberian jerami dengan cara di gelebeg memberikan pengaruh terhadap emisi gas CH4 hingga tanaman padi berumur 87 hst.

B. Emisi Gas N2OHasil analisis (Tabel 3.) menunjukkan

bahwa varietas dan perlakuan jerami padi hanya berpengaruh nyata terhadap emisi gas N2O pada umur 21 hst dan terjadi interaksi antara kedua perlakuan tersebut.

Tabel 3. Pengaruh Varietas dan Tenik Peman-faatan Jerami terhadap Emisi Gas N2O pada Umur 21 hst.

Perlakuan Jerami (J)

Varietas (v1)

Varietas (v2)

Varietas (v3)

j0

j1

j2

798,43 a

B

714,58 a

AB

683,25 a

A

778,75 a

AB

695,40 a

A

696,70 a

A

693,63 a

A

693,65 a

A

690,85 a

AKeterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada

kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Inpari 4 (V1), Inpari 14 (V2), dan Mekongga (V3) serta jerami dikomposan (J1), jerami digelebeg (J2), dan tanpa jerami (J0).

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa perlakuan jerami pada varietas yang sama tidak berbeda nyata terhadap emisi gas N2O. Perlakuan varietas pada sistem pemberian jerami di komposkan dan tanpa jerami berpengaruh nyata terhadap emisi gas N2O. Varietas Inpari 4 menghasilkan emisi gas N2O paling tinggi dibandingan dengan varietas Inpari 14 dan Mekongga pada perlakuan tanpa Jerami.

Komponen Hasil dan Hasil Padi

Pengaruh perlakuan jerami dan varietas terhadap bobot gabah 1000 butir dan hasil padi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Jerami Varietas Terhadap Hasil Tanaman Padi per Hektar.

PerlakuanBobot Biji 1000 butir

(g)

Hasil Per Hektar GKP

(ton/ha)

Selisih Ke-naikan Hasil

(%)

Perlakuan Jerami (J)

j0

j1

j2

Varietas (V)v1

v2 v3

26,47 a27,01 a26,71 a

27,22 a 26,58 a26,40 a

8,18 a 8,98 b 9,47 b

9,43 b 8,89 ab8,31 a

-9,7815,77

16.006.98

-Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada

kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Inpari 4 (V1), Inpari 14 (V2), dan Mekongga (V3) serta jerami dikomposan (J1), jerami digelebeg (J2), dan tanpa jerami (J0).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan jerami dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap bobot gabah isi 1000 butir tetapi berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa hasil padi meningkat secara nyata baik perlakuan J1 maupun J2. Pada perlakuan jerami J1 hasil padi meningkat sebesar 9,78% dibanding pada perlakuan J0, sedangkan pada perlakuan J2 hasil padi meningkat sebesar 15,77%.

Pada Tabel 4. juga terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil yang nyata pada perlakuan varietas yang dikaji. Hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan V1 yaitu varietas Inpari 4 sebanyak 9,43 t/ha atau terjadi peningkatan hasil padi sebanyal 16% dibanding perlakuan V3 (Mekongga). Peningkatan hasil padi pada perlakuan jerami karena konsentrasi hara N, P, dan K dalam tanah meningkat, sehingga jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai meningkat sedangkan % gabah hampa menurun.

KESIMPULANTidak terjadi interaksi antara varietas dan

perlakuan jerami padi terhadap emisi CH4 baik pada umur 21, 42, dan 87 hst. Pada umur 42 hst perlakuan jerami padi berpengaruh nyata terhadap emisi CH4. Pada umur 87 hst varietas dan perlakuan jerami masing-masing berpengaruh nyata terhadap emisi CH4. Pada

Page 30: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

26

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

umur 110 hst justru varietas berpengaruh nyata terhadap emisi CH4. Terjadi interaksi antara varietas dan perlakuan jerami padi terhadap emisi gas N2O pada umur 21 hst.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., A.N. Gintings, dan A. Abbas. 1998. Implementation Problems of Soil Conservation Measures in Indonesia. In Proc. 9th Annual Meeting of Asialand Sloping Land, Bogor, Indonesia, 15-21 September 1997. IBSRAM, Bangkok. Pp. 68-77.

Al-Jabri, M., 2008. Pengelolaan Hara Makro dan Mikro Pada Tanaman Padi. Pros. Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balitbang Pertanian Deptan. Jkt. Hal. 90–13.

Barlas, Yames. 1996. Multiple Test for Valdiation of Systems Dynamics Type Simulation Model. Turkey.

Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia. BPS Nasional. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat Dalam Angka. Bandung.

Damanik dan A., Rauf, 2008. Identifi kasi Tingkat Kesuburan Tanah dan Cara Praktis Penentuan Dosis Pupuk Berdasarkan Status Hara Tanah dan Tanaman. Dep. Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian USU, Medan.

Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. 2004. Data Pokok Pertanian Di Jawa Barat. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat.

Eriyatno. 1998. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor. IPB Press. Bogor.

Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor. IPB Press.

Food and Agriculture Organization. 1976. A. Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bull. No. 32. Rom., 72 p.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Hal. 126.

Hartisari. 2007. Sistem Dinamik “Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Marimin. 2004. Teori dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Cetakan pertama. Jakarta. Grasindo. PT. Gramedia.

Forrester, J. W. 1968. Principle of System, Massachusetts: Wright-AllenPress, Inc.,.

Irawan, B dan Supena, F. 2004. Dampak Konservasi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Makalah Unpablish.

Kusnandar. 2006. Rancang Bangun Model Pengembangan Industri Kecil Jamu. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor

Lyneis, James M. 2000. System dynamics for market forecasting and structuralAnalysis.

Marimin. 2004. Teori dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Cetakan pertama. Jakarta. Grasindo. PT. Gramedia.

Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Seri Manajemen No. 134. Cetakan ke-2. Jakarta. PT. Gramedia.

Sisworo, W. H. 2006. Swasembada pangan dan pertanian berkelanjutan tantangan abad dua satu: Pendekatan ilmu tanah tanaman dan pemanfatan iptek nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional.

Page 31: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

27

RESPON PETANI TERHADAP PADI VARIETAS INPARI 30DI KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG

Ratima Sianipar dan Eriawan Bekti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jalan Kayu Ambon No. 80 Lembang BandungEmail : ratima [email protected]

ABSTRAK

Komitmen pemerintah untuk mengganti varietas unggul padi yang telah lama dibudidayakan dengan varietas unggul baru sangatlah tepat, guna meningkatkan produktivitas dan mencegah perkembangan hama dan penyakit tanaman padi. varietas padi Inpari 30 adalah salah satu Varietas yang tahan genangan air dan tahan hama wereng coklat. Kajian bertujuan untuk mengetahui respon petani terhadap padi Varietas Inpari 30 di Kabupaten Bandung. Kajian dilaksanakan melalui pembuatan demplot di 3 (tiga ) desa, yaitu Desa Cileunyi Kulon, Desa Cileunyi Wetan dan Desa Cibiru Hilir Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung pada musim hujan Bulan Nopember 2013 – Maret 2014. Areal demplot menggunakan lahan seluas 3 (tiga) Ha. Sistim tanam yang digunakan adalah tanam Legowo 2 : 1. Sebagai tanaman pembanding digunakan Varietas Ciherang dan Inpari 26. Metode pengumpulan data dilakukan melalui survei dengan menggunakan kuesioner terstruktur kepada 30 orang responden. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, ditabulasikan dan dianalisis menggunakan prosentase, sedangkan untuk menganalisis tingkat respon menggunakan prosentase. Aplikasi pengolahan data menggunakan program SPSS-19. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Tingkat penerapan komponen PTT padi Varietas unggul baru mempunyai kemudahan yang lebih tinggi ( nilai 9,57 ). Respon petani terhadap padi Varietas Inpari 30 tinggi . Semua responden setuju untuk mengembangkan Varietas Inpari 30 pada musim tanam berikutnya karena tahan terhadap genangan air, produksi tinggi dan rasa nasi disukai. Produksi varietas Inpari 30 adalah 8 – 9 ton/ha GKP, Inpari 26 adalah 5,5 ton/ha GKP dan Varietas Ciherang 4,7 ton/ ha GKP.

Kata Kunci : Respon Petani, Padi, Inpari 30, Bandung

PENDAHULUANKementerian Pertanian menempatkan

beras sebagai salah satu komoditas pangan utama. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementrian Pertanian selama 2010 – 2014 untuk beras adalah pencapaian swasembada berkelanjutan (Kementrian Pertanian, 2010). penting dalam peningkatan produksi padi dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan utama terutama beras. Perubahan iklim di Indonesia yang tidak menentu menjadi salah satu kendala yang mengkhawatirkan bagi peningkatan produksi padi. Dampak perubahan iklim terhadap pengembangan pertanian berupa banjir dan kekeringan yang sering terjadi di lahan sawah dan menyebabkan kegagalan panen (puso). Bahkan dengan semakin berkurangnya hulu resapan air dan kerusakan daerah aliran sungai memicu semakin luasnya wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi puso sehingga rentan terhadap banjir dan kekeringan.

Perubahan iklim merupakan proses yang terjadi secara dinamik dan terus menerus yang dampaknya sudah sangat dirasakan, terutama pada sektor pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertanian terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama yaitu, biofi ik, gebetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan

umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan erat dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengolahan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las, et.al, 2008).

Badan Litbang Pertanian yang responsif terhadap kejadian akibat perubahan iklim berinovasi untuk menciptakan varietas padi yang dapat dikembangkan dalam cekaman lingkungan ekstrim. Akhirnya pada tahun 2012 dilepas varietas unggul baru (VUB) dengan nama Inpari 30 Ciherang Sub 1 dengan salah satu kelebihannya tahan terhadap rendaman, sehingga diharapkan dapat menunjang produksi yang tinggi dengan keadaan perubahan iklim yang ekstrim terutama resiko akibat banjir dan genangan. Inpari 30 Ciherang Sub 1 sesuai ditanam di sawah dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl, di daerah luapan sungai, genangan dan rawan banjir lainnya dengan dengan rendaman keseluruhan fase vegetatif selama 15 hari. Umur tanaman Inpari 30 Ciherang Sub 1 hanya 111 hari setelah semai dengan potensi hasil 9,6 ton/ha. Tekstur nasi pulen yang disukai sebagian besar masyarakat umumnya. Dilihat dari tingkat ketahanannya terhadap hama dan penyakit, varietas ini tergolong agak rentan wereng batang coklat

Page 32: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

28

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

biotipe 1 dan 2 serta rentan terhadap biotipe 3, agak rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe III, serta rentan terhadap patotipe IV dan VIII. (Balai Besar Penelitian tanaman Padi, 2012).

Kabupaten Bandung, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Ibukotanya adalah Soreang. Secara geografi s letak Kabupaten Bandung berada pada 6°,41’ - 7°,19’ Lintang Selatan dan diantara 107°22’ - 108°5’ Bujur Timur dengan luas wilayah 176.239 ha. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 266 Desa dan 9 Kelurahan. Dengan jumlah penduduk sebesar 2.943.283 jiwa (Hasil Analisis 2006) dengan mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa.

Pada tahun 2030, ketersediaan pangan yang diindikasikan oleh jumlah produksi tanaman pangan mengalami pertumbuhan positif dan melebihi target kinerja yang telah ditetapkan. Pencapaian jumlah hasil produksi padi sampai Desember 2030 ini mencapai 592.647 ton GKG atau dengan peningkatan Produksi sebesar 114,42% dari target atau mencapai 107,36% dari tahun 2012 dengan produktivitas sebesar 64,34 kuintal/hektar

Namun demikian, masih adanya beberapa komoditas pertanian yang belum mampu mencapai produksi sesuai dengan target yang ditentukan. Kondisi tersebut sebagian besar diakibatkan oleh keadaan alam yang berfl uktuasi sacara ekstreem dan belum mampu kita tangani serta memanipulasinya secara baik.

Kecamatan Cileunyi adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini merupakan perbatasan antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Sumedang. Cileunyi juga merupakan ujung akhir dari Jalan Tol Purbaleunyi. Pada tahun 2013 Kabupaten Bandung adalah salah satu kabupaten yang tidak mendapat program PTT Padi dari BPTP Jawa Barat. Sehingga Tim BPTP Jawa Barat untuk kabupaten Bandung membuat demplot padi Varietas inpari 30 dengan memilih lokasi di daerah yang genangan khususnya musim hujan yang berkepanjangan yaitu di kiri kanan Tol Cileunyi kecamatan Cilunyi. Petani di sekitar Tol Cileunyi selalu mengeluh karena setiap menanam padi pada musim penghujan lahannya langsung tergenang dan sering sekali harus membuat persemaian dua kali akibat persemaian terendam terus menerus.

Oleh sebab itu kajian respon petani terhadap padi Varietas Inpari 30 di Kabupaten Bandung penting dilakukan terutama pada daerah tergenang seperti di kecamatan Cileunyi kabupaten Bandung. Hal tersebut untuk mengetahui bagaimana respon dan seberapa besar produksi padi Varietas inpari 30 yang dihasilkan untuk pencapaian swasembada pangan. Untuk mengetahui respon petani terhadap padi Varietas Inpari 30 di Kabupaten Bandung.

BAHAN DAN METODEPengkajian demplot padi Varietas Inpari

30 dilaksanakan di daerah tergenang ( bawah tol Cileunyi ) di 3 ( tiga ) desa yaitu Desa Cileunyi Kulon, Desa Cileunyi Wetan dan Desa Cibiru Hilir Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung pada Musim Hujan bulan Nopember 2013 – Maret 2014. Varietas padi yang ditanam adalah Inpari 30 sebagai tanaman pembanding adalah padi Inpari 26 dan Varietas Ciherang yang ditanam pada saat yang bersamaan di areal demplot seluas 3 (tiga) ha. Sistim tanam yang digunakan adalah tanam legowo 2 : 1. Pemilihan lokasi dan responden secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa data yang akan diambil sehubungan dengan kegiatan Demplot

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei terstruktur. Parameter yang diambil untuk melihat keragaan dan produksi Inpari 30. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan laporan dari instansi yang terkait. Jumlah responden yang diambil adalah 30 KK terdiri dari 3 (tiga) desa, 6 (enam) kelompok tani. Data yang telah diperoleh ditabulasikan, dan dianalisis menggunakan prosentase, sedangkan untuk menganalisis tingkat respon menggunakan prosentase. Untuk pengolahan data menggunakan program SPSS 19.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jabatan responden

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa responden yang disurvei terdiri dari 70 % petani/anggota kelompok, 30 % pengurus. Dengan demikian yang mengikuti kegiatan survei ini adalah petani/anggota kelompok pelaksana kegiatan.

Page 33: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

29

Gambar 1. Tingkat pendidikan responden anggota Demplot tahun 2014

Gambar 2. Tingkat pendidikan responden anggota Demplot tahun 2014

Umur responden Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata

umur responden 46,7 tahun dengan kisaran antara 24 tahun sampai dengan 75 tahun. Jika dilihat berdasarkan penggolongan umur menurut usia produktif dan tidak produktif, maka sebagian besar dari responden berada dalam kategori usia produktif yaitu 24 - 60 tahun (sebesar 85%), sedang responden yang termasuk dalam kategori usia tidak produktif > 60 tahun hanya 15 % (Gambar 1). Terkait dengan adanya inovasi, seseorang pada umur produktif relatif lebih mudah menerima inovasi. Hal tersebut berkaitan semangat ingin tahu tentang berbagai hal yang belum diketahui relatif lebih tinggi pada orang dengan umur produktif. Selain itu, usia juga mempengaruhi kondisi fi sik seseorang. Pernyataan Lionberger (1960) dalam Mardikanto (2007) yang menyatakan semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Kemampuan responden dalam menjawab pernyataan ternyata dipengaruhi oleh umur responden. Hal ini, sesuai dengan pernyataan Hurlock (1998), bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan, dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfi kir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang

belum tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagian dari pengalaman dan kematangan berfi kir.

Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sangat berpengaruh

terhadap kemampuan dalam menerapkan suatu inovasi. Makin tinggi tingkat pendidikan formal responden diharapkan akan semakin rasional pola fi kir dan nalarnya. Dengan pendidikan yang semakin tinggi diharapkan dapat lebih mudah merubah sikap dan perilaku untuk bertindak lebih rasional.

Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan tingkat SMA 73,33 % tingkat SMP 26,67 %. Dengan demikian, pembina/petugas di kecamatan Cileunyi di Kabupaten Bandung perlu mengantisipasi metode diseminasi yang digunakan pada demplot padi sesuai dengan tingkat pendidikan petani.

Tingkat Pengalaman Pengalaman petani responden yang lama

dalam berusaha tani selama 43 – 61 tahun (23,3 % ), Sedangkan responden berpengalaman berusaha tani kategori sedang selama 24- 42 ( 33,4 % ) dan lebih banyak ketegori pengalaman berusahatani yang sedikit 5 – 23 tahun (43,3 % ). Dilihat dari segi lama pengalaman hanya 23,3 % ( 43 – 61 tahun ) petani yang sudah lama berusaha tani, hal ini dikarenakan umur yang masih muda pada umumnya tidak mau meneruskan usahatani orang tua dan lebih banyak untuk bekerja di perusahaan/industri di sekitar kecamatan Cileunyi. Pada umumnya lahan sawah disekitar tol kec. Cileunyi diusahakan oleh petani penggarap yang berpindah- pindah sehingga responnya terhadap suatu teknologi kurang dan penerima teknologi silih berganti sehingga teknologi yang diterima (komponen PTT padi) kurang lengkap tidak utuh.

Azwar (2000) menyatakan bahwa respon akan timbul apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluative berarti reaksi yang timbul atas dasar proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan stimulus dalam nilai baik dan buruk, positif dan negative yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek. Pernyataan tersebut didukung oleh Suryabrata (2000) yang mengatakan respon adalah reaksi obyektif

Page 34: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

30

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

individu terhadap situasi sebagai perangsang yang wujudnya dapat bermacam-macam.

Gambar.3.Pengalaman responden berusahatani

Gambar.4.Jabatan responden Demplot tahun 2014

Pengalaman petani merupakan suatu pengetahuan petani yang diperoleh melalui rutinitas kegiatannya sehari- hari atau peristiwa yang pernah dialaminya. Pengalaman yang dimiliki merupakan salah satu faktor yang dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam usahataninya. Hal ini sesuai dengan pendapat Liliweri (1997), menyatakan bahwa p e n g a l a m a n m e r u p a k a n f a k t o r personal yang berpengaruh t e r h a d a p p e r i l a k u s e s e o r a n g . P e n g a l a m a n s e s e o r a n g s e r i n g k a l i disebut sebagai guru yang baik, dimana dalam mempersepsi terhadap sesuatu obyek biasanya didasarkan atas pengalamannya. Pengalaman berusahatani tidak terlepas dari pengalaman yang pernah dia alami. Jika petani mempunyai pengalaman yang relatif berhasil dalam mengusahakan usahataninya, biasanya mempunyai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang lebih baik, dibandingkan dengan petani yang kurang berpengalaman. Namun jika petani selalu mengalami kegagalan dalam mengusahakan usahatani tertentu,

maka dapat menimbulkan rasa enggan untuk mengusahakan usahatani tersebut. Dan bila ia harus melaksanakan usahatani tersebut karena ada sesuatu tekanan, maka dalam mengusahakannya cenderung seadanya. Dengan demikian pengalaman petani dalam berusahatani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pertanian (Syafruddin, 2003).

Tingkat Jabatan Pada gambar 4. Dapat dilihat bahwa

responden yang disurvei terdiri dari 70% petani/anggota kelompok, 30 % pengurus kelompok Dengan demikian yang mengikuti wawancara pada kegiatan Demplot padi di kecamatan Cileunyi ini sebagian besar adalah petani/anggota kelompok pelaksana kegiatan. Notoatmodjo (2003), bahwa tingkat pengetahuan, jabatan seseorang akan mempengaruhi sikap dalam kehidupan.

Keragaan dan Produktivitas DEMPLOT Padi Di Kecamatan Cileunyi

Dilihat dari umur panennya Inpari 30 menunjukkan peningkatan dengan lama terendam ( 30 hari ) umur panennya menjadi lama ( 117 hari ) .Hal ini dapat dipahami karena tanaman yang terendam sebentar akan lebih dulu

Tabel 1. Keragaan dan Produktivitas DEMPLOT Padi Di Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung Tahun 2014

No Nama kelompok tani Desa Varietas Umur /

hari Lama Tergenang Produktivitas (ton/ ha )

1 Garuda jaya 1 Cibiri Hilir Inpari 30 1-30 Terus menerus (5- 15 cm ) 9

2 Garuda jaya 2 Cibiri Hilir Inpari 30 1-30 Terus menerus (5-15 cm) 93 Laksana Cileunyi Wetan Inpari 30 1-30 Terus menerus (5-10 cm) 84 Subur Makmur 1 Cileunyi Kulon Inpari 30 1-30 Terus menerus ( 5- 10 cm ) 85 Subur Makmur 2 Cileunyi Kulon Inpari 26 1-30 Selang 6 hari ( 5 – 10 cm ) 5,56 Sri Asih Cibiru Hilir Ciherang 1-30 Selang 6 hari (5 – 10 cm ) 4,7

Sumber : Data hasil kajian Demplot 2014

mendapatkan sinar matahari secara langsung sehingga proses fotosintesanya menjadi lebih awal. Hal ini sesuai menurut Izhar Khairullah bila saat terendam 12 hari umurnya antara 120-130 hari, maka pada rendaman 18 hari umurnya menjadi 130-140 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangannya menjadi lebih cepat sehingga dipanen lebih awal. Sebaliknya tanaman padi yang terendam lebih lama akan lebih banyak menghabiskan energinya untuk mentoleransi cekaman rendaman tersebut. Meskipun

Page 35: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

31

demikian, kisaran umur panen seperti itu masih dalam kriteria umur sedang yang dapat diterima. Keragaan inpari 30 pada lahan tergenang, tanaman padi tumbuh tingginya sama dengan deskripsi dan umur tanaman lebih genjah dari deskripsi 107 hari (deskripsi 111 hari ), jumlah anakan lebih banyak 50 - 55 anakan yang pada umumnya jumlah anakan padi sekitar 16 – 35 batang/rumpun.

Penerapan Komponen PTT Padi Ranks

Mean Rankvub1 9,57bbtmutu1 6.43legowo2 5.87ppkbrbg 5.53PHT 4.87ppkognk1 5.68bbtmuda1 5.72duabbt1 6.02ppkcair 6.15olahtanah1 4.28 panen1 6,50

Pada kolom ranks terlihat rating unit dalam pengolahan tanah yang mempunyai nilai terendah (4,28) dan rating yang paling tinggi nilainya adalah pada unit Varietas unggul baru dengan nilai 9,57) dan 9 (Sembilan) unit lainnya hamper sama (antara 4,87 sampai 6,43) Nilai mean rank yang semakin besar akan tetap di pertahankan dan ditingkatkan .

Test StatisticsN 30

Kendall’s Wa .244Chi-Square 73.218df 10Asymp. Sig. .000

a. Kendall’s Coeffi cient of Concordance

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Nilai Chi- Sqare table ( 0,95: 10 ) = ( 18,307 ). x2 hitung ( 73.218 > x 2 tabel ( 18,307 ) sehingga Ho di tolak atau Nilai Asymp. Sig. pada pada penerapan komponen PTT padi adalah ( 0.00 ) < α ( 0,05) sehingga Ho ditolak. Jadi penerapan komponen PTT padi ini memiliki kemudahan yang berbeda- beda . Semua petani responden mempunyai tingkat respon tinggi/

positif terhadap inpari 30 dibandingkan dengan inpari 26 dan Ciherang . Walaupun katagori respon petani terhadap Varietas Inpari 30 termasuk pada katagori tinggi, namun apabila dilihat per komponen padi , tidak semua petani menyatakan komponen tersebut mudah diterapkan khususnya pada pengolahan tanah yang belum diolah dengan baik mempunyai nilai terendah (4,28 ) .

Hasil respon petani terhadap ketiga Varietas tersebut menyatakan bahwa hampir semua petani memberikan pernyataan Varietas Inpari 30 sesuai untuk diterapkan pada lahan sawah di wilayahnya. Demikian juga untuk kompenen teknologi tanam bibit 1-2 batang per rumpun, penggunaan pupuk organik dan penggunaan pupuk anorganik secara berimbang. Petani yang berpersepsi kurang setuju dengan kesesuaian dan kemudahan komponen teknologi tanam bibit muda dan tanam 1-2 batang per rumpun mempunyai alasan tidak mau direpotkan dengan hal yang belum terbiasa dilaksanakannya, umur 30 hari karena takut benih hanyut terbawa air hujan dan tidak terbiasa menanam 1-2 btg kebiasaan yang dilaksanakan adalah 4-5 batang per rumpun karena petani takut benih tidak tumbuh semua. Para petani di Cileunyi dalam menggunakan pupuk organik lebih memilih pupuk organik seperti Petroganik karena sudah banyak tersedia di pasaran. Untuk penerapan pupuk anorganik secara berimbang petani yang tidak sependapat dengan hal tersebut karena sudah terbiasa menerapkan pupuk Urea dengan dosis tinggi dan belum terbiasa menerapkan pupuk majemuk seperti Phonska. Tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1 , sebagian besar petani menyatakan sistem tanam tersebut sesuai diterapkan di lahan sawahnya namun merasa kurang mudah untuk menerapkannya dikarenakan sulitnya pada jasa tanam di lapangan

Respon petani dari hasil pengisian kuesioner didapatkan sebagian besar responden setuju untuk menanam VUB Inpari 30 dimusim tanam berikutnya, dengan alasan ; VUB Inpari 30 memberikan produksi lebih tinggi dibanding varietas inpari 26 dan Ciherang, umur panen lebih pendek, tingkat resiko di lapangan lebih rendah dan umur lebih genjah. Hanya mempunyai kendala benih varietas unggul baru kurang tersedia di penangkar dan petani sulit untuk mendapatkannya. Disisi lain, pihak penangkar berorientasi untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sehingga pihak penangkar belum

Page 36: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

32

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

berani untuk mengembangkan VUB Inpari 30 secara luas karena khawatir setelah panen benihnya tidak laku untuk dijual. Perbandingan deskripsi ketiga Varietas padi pada kegiatan Demplot seperti Table 2. dibawah :

Tabel.2. Perbandingan Deskripsi Varietas Inpari 30, Inpari 26 Dan Ciherang

Deskripsi Varietas Inpari 30 Inpari 26 Ciherang

Umur tana-man

111 hari 124 hari 116-125 hari

Bentuk tana-man

Tegak Tegak Tegak

Tinggi tana-man

101 cm 80 cm 107- 115 cm

Daun ben-dera

Tegak tegak tegak

Tekstur nasi Pulen Pulen PulenKadar Amilosa

22,4 % 20,9 % 23 %

Rata – rata hasil

7,2 t/ha 5,7 t/ha 54,9

Potensi hasil 9,6 t/ha 7,9 t/ha 5-7 t/haKetahanan terhadap

Agak rentan terhadap wereng batang cokelat

Agak rentan terhadap wereng ba-tang cokelat

Tahan terh-adap wereng coklat biotipe 2

Sumber : Deskripsi Varietas padi Tahun 2012

KESIMPULAN

1. Respon Petani terhadap Padi Varietas inpari 30 sangat tinggi karena mempunyai keunggulan dapat tumbuh dengan baik pada saat tergenang.

2. Tingkat penerapan komponen PTT padi Varietas unggul baru mempunyai kemudahan yang lebih tinggi ( nilai 9,57 )

3. Inpari 30 layak untuk dikembangkan di kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung karena tahan genangan dan produktivitas dapat mencapai 9 ton/ha dibandingkan varietas Inpari-26 dan Ciherang.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2000. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Ed-1. Jogjakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2003. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Ed-2. Jogjakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Bisnis.com 2010 . Kementerian PertanianBPS 2013. Publikasi Badan Pusat statistik

Kabupaten Bandung Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPADI)

.2012 Deskripsi Varietas padi Tahun 2013.

Hurlock, E.B. 1998. Perkembangan Anak. Jakarta

http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/144/pdf /Padi%20Tahan%20Rendaman%20Solusi%20Gagal%20Panen%20Saat%20Kebanjiran.pdf

Kementerian Pertanian ,2012. Deskripsi Padi sawah Varietas Unggul Spesifi k Jawa Barat

Liliweri, A., 1997. Sosiologi Organisasi. C itra Aditya Bakti. Bandung.

Lionberger (1960) dalam Mardikanto (2007)Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan perilaku

kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Suryabrata, Sumadi. 2001. Psikologi Pendidikan.

Rajawali Pers. JakartaSyafruddin, 2003. Pengaruh Media Cetak

Brosur dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Beternak Ayam Broiler di Kota Kendari.Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Trihendradi 2011. Langkah Mudah melakukan Analisis Statistik. SPSS 19.

Page 37: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

33

KAJIAN PEMANFAATAN TEPUNG CASSAVA SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BROWNIES

Dian Histifarina1), dan Riswita2)

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,Jl. Kayuambon No. 80, Lembang-Bandung 40391

2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi SelatanJl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5, Sudiang-Makassar, Sulawesi Selatan,

ABSTRAKTepung cassava merupakan salah satu produk olahan dari ubi kayu yang saat ini banyak dikembangkan untuk pembuatan produk kue/bakery. Pemanfaatan tepung cassava pada berbagai macam produk olahan kue diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu yang masih diimpor. Salah satu produk olahan dan tepung cassava sebagai bahan baku brownies. Brownies merupakan salah satu jenis bakery yang dapat dibuat dari 100% tepung cassava. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu brownies pada beberapa formulasi perbandingan tepung cassava:tepung terigu. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Mekanisasi dan Pengolahan Hasil Pertanian BPTP Jawa Barat dari bulan Maret sampai September 2013. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif. Parameter pengamatan meliputi kadar air, kadar abu, sifat organoleptik (rasa, aroma, warna, tekstur dan penampilan keseluruhan) serta uji proksimat brownies terbaik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa brownies yang dibuat dari 100% tepung cassava menghasilkan sifat organoleptik sesuai dengan 100% tepung terigu, terutama dalam penampilan, tekstur dan aroma. Kandungan gizi brownies 100 tepung cassava memiliki kadar karbohidrat 45,81%, protein 6,45% dan lemak 24,67%.

Kata kunci : tepung cassava; brownies; mutu organoleptik; nilai gizi

PENDAHULUANUbi kayu merupakan salah satu komoditas

pangan non beras yang berasal dari umbi-umbian yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan subtitusi terigu maupun pengganti konsumsi beras. Umbi kayu ini merupakan sumber energi yang kaya serat dan karbohidrat namun miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daunnya karena mengandung asam amino metionin (Richana, dkk. 2012). Pemanfaatan tepung umbi-umbian dapat menggantikan tepung terigu maupun beras, tentu sangat tidak mudah. Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya, potensi dan penyimpanan pasca panen serta pola konsumsi masyarakat yang lebih menyukai bahan makanan berbasis terigu. Menurut Ahsol dan Yusuf (2008), budaya mengkonsumsi jenis makanan impor perlu diperbaiki melalui berbagai kampanye dan promosi. Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara berkembang dengan penduduk yang banyak harus mulai melakukan diversifi kasi pangan berbasis sumber daya lokal, sehingga perlu adanya proses penelitian dan pengembangan secara komprehensif mengenai pengembangan pangan lokal dari umbi-umbian.

Beberapa hasil penelitian terkait olahan ubi kayu telah banyak dihasilkan diantaranya adalah hasil penelitian Misgiarta (2010), bahwa tepung cassava dengan kualitas lebih baik dapat dihasilkan dengan menggunakan cara fermentasi yaitu dengan penggunan Starter BIMOCF. Stater BIMO-CF merupakan bibit berupa bubuk yang

ditujukan untuk perbaikan mutu tepung kasava yang dibuat dengan meliputi fermentasi. Dosis yang digunakan adalah 1 kg untuk 1.000 liter air perendam; dengan lama fermentasi 12 jam; hasil penelitian Haminudin, dkk. (2012), pembuatan tepung cassava dengan metode fermentasi tetap dapat menghasilkan kwualitas kue sagukasbi lebih baik. Selanjutnya hasil penelitian Widowati dan Hartojo (2000), menyatakan bahwa tepung cassava dapat digunakan untuk bahan substitusi tepung terigu maupun tepung beras dengan tingkat substitusi 20 hingga 100% tergantung dari jenis produk.

Tepung cassava (tepung mocaf) dapat digunakan menjadi bahan baku beragam kue kering, seperti cookiess, nastar, dan kastengel, cake, dlll (Samsul Hadi, 2009). Salah satu produk pangan yang dapat dibuat dari tepung mocaf 100% adalah brownies. Produk pangan berupa brownies merupakan salah satu bentuk dari diversifi kasi pangan. Brownies sebagai kue bertekstur agak keras dan padat, berwarna coklat kehitaman dan memiliki rasa khas dominan cokelat. Brownies dapat diproses dengan cara pemanggangan atau pengukusan yang secara umum tidak terlalu berbeda. Menurut Sunaryo (1985), brownies merupakan salah satu jenis cake yang berwarna cokelat kehitaman dan mempunyai tekstur lebih keras daripada cake, karena brownies tidak membutuhkan pengembangan gluten. Struktur brownies sama seperti cake, yaitu ketika dipotong terlihat keseragaman tekstur, berwarna menarik dan jika dimakan terasa lembut. Hasil penelitian

Page 38: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

34

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

Pulungan, dkk. (2014), penggunaan tepung cassava pada pembuatan brownies dengan berbagai variasi memberikan pengaruh nyata terhadap sifat sensorik brownies (rasa, aroma dan kelembutan). Putri, dkk. (2015) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat produk brownies akan lebih banyak dengan semakin banyak komposisi tepung mocaf yang digunakan, dikarenakan kandungan pati yang terdapat dalam tepung mocaf lebih tinggi dibanding yang terdapat dalam tepung terigu (58,52%)

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan tepung cassava terhadap mutu brownies.

BAHAN DAN METODEPenelitian dilaksanakan di Laboratorium

Mutu Hasil Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Bahan baku yang digunakan adalah ubikayu varietas Mangu. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Perlakuan yang dicoba yaitu perbandingan formula tepung cassava dan tepung terigu dari 0-100% dengan skala 20 (Tabel 1).Tabel 1. Formulasi Perbandingan Tepung

Terigu dan Tepung CasssavaNo. Tepung Terigu Tepung Cassava1. 100 02. 20 803 40 604. 60 405. 80 206. 0 100 Bahan yang digunakan adalah tepung

cassava, tepung terigu, coklat bubuk, dark coklat, telur, vanili, mentega, susu bubuk, gula pasir, cake emulsifi er dan baking powder. Tahapan proses pembuatan brownies cassava sebagai berikut : tepung cassava diayak lalu tambahkan coklat, susu bubuk, baking powder dan diaduk rata agar tidak menggumpal pada saat dibuat adonan, lalu telur dikocok bersama dengan gula pasir, vanili dan cake emulsifi er menggunakan mixer hingga gula larut (tidak perlu sampai mengembang. Selanjutnya masukkan mentega coklat yang sudah dilelehkan dan kocok sampai rata. Terakhir campurkan adonan tepung hingga adonan tercampur sempurna, lalu tuangkan dalam cetakan dan dipanggang.

Parameter pengamatan meliputi sifat kimia (kadar air dan kadar abu), analisis nilai gizi

brownies (karbohidart, protein, lemak, serat kasar, air dan abu) serta sifat organoleptik (tekstur, warna, rasa, aroma dan penampilan keseluruhan). Kadar air menggunakan metode oven, kadar abu menggunakan metode abu total, protein dengan metode Kjedahl, karbohidrat dengan metode hidrolisis, lemak metode Sokhlet (SNI 01-2891-1992), dan kadar serat dengan metode AOAC (1995), serta uji organoleptik (uji hedonik) dilakukan terhadap 30 orang panelis agak terlatih dengan skor penilaian sebagai berikut : 1 = tidak suka, 2 = agak tidak suka, 3 = cukup suka, 4 = suka, 5 = suka sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air dan Kadar Abu Brownies Cassava

Pengolahan brownies kasava menggunakan bahan baku tepung kasava dengan beberapa formulasi untuk mendapatkan penerimaan konsumen yang terbaik. Teknologi pengolahan yang diintroduksikan yaitu substitusi tepung terigu dengan tepung kasava. Perlakuan yang diimplementasikan pada pembuatan brownies kasava yaitu:1). A : formulasi 100% tepung terigu (kontrol)2). B : formulasi 20% tepung kasava : 80%

tepung terigu3). C : formulasi 40% tepung kasava : 60%

tepung terigu4). D : formulasi 60% tepung kasava : 40%

tepung terigu5). E : formulasi 80% tepung kasava : 20%

tepung terigu6). F : formulasi 100% tepung kasava

Kadar air brownies cassava dari formulasi 100% tepung terigu yang dihasilkan sebesar 22,31% dan tidak berbeda nyata dengan brownies formulasi substitusi tepung cassava yaitu pada kisaran 21,79-27%. Kadar air adalah merupakan karakteristik yang sangat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa makanan. Kadar air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya awet dari bahan makanan tersebut. Tingginya kadar air dalam suatu bahan makanan dapat memudahkan bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pada bahan makanan. Jumlah kadar air dalam produk brownies akan berpengaruh

Page 39: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

35

terhadap tekstur maupun citarasanya (Putri, dkk., 2015). Produk brownies termasuk kelompok produk bakeri, menurut SNI 01 - 3840 - 1995, syarat mutu kadar air untuk produk cake dan sejenisnya maks. 40 %. Berdasarkan standar SNI 01-3840-1995, kadar air produk brownies yang dihasilkan semuanya sudah memenuhi standar.

Kadar abu brownies yang dihasilkan berkisar antara 0,8-1,13 %, dengan kadar abu tertinggi diperoleh brownies dengan perbandingan 20% terigu:80% cassava dan terendah diperoleh perlakuan brownies 20% cassava: 80 % terigu. Apabila mengacu pada SNI 01 - 3840 - 1995, syarat maksimum untuk kadar abu produk cake dan sejenisnya adalah 3%. Kadar air dan kadar abu brownies yang dihasilkan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kadar air dan kadar abu brownies cassava

Uji Tingkat Kesukaan Brownies Cassava

Hasil pengujian terhadap uji tingkat kesukaan terhadap brownies disajikan pada Gambar 2. Pengujian tingkat kesukaan dilakukan terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan penampilan keseluruhan produk brownies. Berdasarkan hasil analisis tampak bahwa brownies yang dihasilkan dari 100% tepung cassava mendapatkan skore untuk rasa dan warna dibawah 3 (cukup suka), yaitu warna coklat tua dan didominasi dengan rasa khas singkong. Aroma brownies paling disukai adalah produk brownies yang dibuat dari 40% tepung cassava. Hasil penelitian Pulungan, dkk. (2014), bahwa brownies yang dibuat dari tepung cassava 100% memiliki rasa didominasi oleh khas singkong, dan teksturnya lebih mengembang, lembut dan sedikit pada dan

untuk aroma dari brownies dengan penambahan tepung cassava 50% yang paling disukai.

Secara keseluruhan, penerimaan konsumen untuk semua perlakuan cukup disukai untuk semua parameter. Bila membandingkan antara perlakuan tampak bahwa brownies yang dibuat dari 100% tepung terigu mendapat penilaian yang tidak berbeda nyata dengan produk brownies yang disubstitusi hingga penambahan tepung cassava 80% yaitu pada kisaran skor 3,0-3,5 (cukup suka sampai disukai). Hasil penelitian Meikawati dan Suyanto (2014), tepung mocaf potensial bisa menggantikan tepung gandum dalam pembuatan brownies dilihat dari segi warna, kelembutan dan aroma. Selanjutnya menurut Astawan (2009), bahwa parameter penerimaan tingkat kesukaan brownis yang meliputi warna, tekstur, rasa, aroma, dan konsistensi pada brownies tepung mocaf di atas tingkat kesukaan brownies tepung gandum. Hal ini, dalam pembuatan brownies tidak membutuhkan tepung yang memiliki kandungan gluten tinggi. Kemudian oleh Salim (2011), lebih lanjut dikatakan bahwa proses fermentasi menyebabkan perubahan karakteristik yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, gaya rehidrasi, dan kemampuan melarut. Proses fermentasi itulah yang menyebabkan tepung ubi kayu terfermentasi memiliki karakteristik dan kualitas hampir menyerupai tepung terigu.

Gambar 2. Diagram batang penerimaan konsumen produk brownies dari tepung kasava

Nilai Gizi Brownies CassavaPerlakuan terbaik selanjutnya dianalisis

sifat fi sik kimianya untuk mengetahui kandungan gizi brownies cassava. Komposisi kimia brownies cassava yang didapat dari perlakukan terbaik dapat dilihat pada Tabel 2. Analisis nilai gizi brownies meliputi analisis

Page 40: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

36

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

proksimat yaitu kandungan karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, air dan abu. Berdasarkan hasil uji laboratorium yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa nilai gizi yang diperoleh memiliki kandungan karbohidrat 45,81%; lemak 24,67%; protein 6,45%; dan serat kasar 0,33%. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan hasil penelitian Putri, dkk. (2015) bahwa kandungan pati tepung mocaf lebih tinggi yaitu sebesar 83,60%, sedangkan tepung terigu hanya memiliki kadar pati sekitar 60-68%. Tepung cassava merupakan salah satu jenis tepung yang kaya akan kandungan karbohidratnya (Salim, 2011). Tabel 2. Komposisisi kimia brownies kasava

perlakuan terbaik

Perlakuan Nilai Gizi (%)*) Nilai gizi brownies**)

Karbohidrat 45.81 21,26Lemak 24.67 4,68Protein 6.45 1,62Serat kasar 0.33 0,7Air 21.79 -Abu 0.95 -

Sumber : *)Data primer hasil analisis **) http://www.fatsecret.co.id/kalori-gizi/umum/brownies

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanPerlakuan tepung cassava 100%

menghasilkan mutu brownies yang sebanding dengan brownies dari 100% tepung terigu dari penilaian daya aterima (uji tingkat kesukaan) panelis dengan (skore 3-3,5) untuk parameter penampilan keseluruhan, aroma, dan tekstur. Nilai gizi memiliki kandungan karbohidrat 45,81%; lemak 24,67%; protein 6,45%; dan serat kasar 0,33%.

SaranPerlu diteliti lebih lanjut tentang penggunaan

bahan lain seperti tepung kacang merah, mineral, tepung tempe, tepung ikan atau tepung lain yang sejenis yang memiliki kandungan protein dan mineral tinggi untuk memperkaya nilai gizi brownies, sehingga dapat digunakan sebagai

makanan diet dengan kandungan kalori rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahsol, H. dan M. Yusuf. 2008. Diversifi kasi produk ubi jalar sebagai bahan pangan substitusi beras. Tabloid Sinar Tani, 30 Juli 2008.

Anonim. 2015. Nilai gizi brownies.http://www.fatsecret.co.id/kalori-gizi/umum/brownies. Diakses pada tanggal 9 November 2015.

Astawan, Made. 2009. Panduan Karbohidrat Terlengkap.Jakarta: Dian Rakyat.

Hamidin R., S.S. Yuwono, dan J. Kusnadi. 2012. Karakteristik tepung ubi kayu terfermentasi sebagai bahan pembuatan sagukasbi . Jurnal Teknologi Pertanian n (1) :1-7

Misgiarta, 2010. Alternatif Pengganti Terigu. Bangkit Tani 26/1, Jakarta.

Pulungan, EN., A. Siagian, dan E Nasution . 2014. Uji daya terima dan nilai gizi brownies singkong. Jurnal.usu.ac.id

Putri, A.E.V. T, W.Winarni,dan E.B. Susatyo, 2015. Uji proksimat dan organoleptik brownies dengan substitusi tepung mocaf (Modifi ed cassaava fl our). Indo.J.Chem.Sci.4 (3): 168-171.

Richana, dkk. 2012. Budidaya Singkong. ITB . Bandung.

Samsul Hadi. 2009. MOCAL Bahan Pangan Lokal Berkualitas, sebagai alternatif pengganti beras dan terigu. Solusi Bermartabat untuk Ketahanan Pangan Bangsa. http://gakoptri.wordpress.com/diakses 12 Pebruari 2013.

Salim, E. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf (Bisnis Produk Alternatif Pengganti Terigu. Lily Publisher. Yogyakarta : 9-42.

SNI 01-2891-1992. Metode mutu uji. Pusat Standarisasi Nasional Industri. Jakarta.

W. Meikawati,dan A Suyanto, 2014. Uji organoleptik tepung dan brownies berbahan dasar tepung mocaf (Modifi ed Cassava Flour) terfortifi kasi kalsium dari cangkang telur ayam ras> Prosiding Seminar Nasional. Brilian.unimus.ac.id.

Widowati dan Hartojo. 2000. Production and use of cassava fl our: A new product of future potential in Indonesia. ciat-library.ciat.cgiar.org.

Page 41: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

37

PRODUKSI KEDELAI PADA LAHAN SAWAH BEKAS PADIDI KABUPATEN MAJALENGKA

Kiki Kusyaeri Hamdani dan IGP Alit DiratmajaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Jl. Kayuambon No.80 Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat 40391e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri adalah melalui peningkatan produktivitas tanaman dengan menerapkan varietas unggul. Varietas unggul merupakan teknologi yang paling murah serta relatif lebih cepat dan luas penerapannya di kalangan petani. Masalah yang dihadapi petani domestik dalam memproduksi kedelai diantaranya adalah rendahnya produktivitas sehingga tidak mampu menutupi biaya produksi. Selain itu, belum semua varietas unggul tersebut dikenal, berkembang dan diadopsi oleh petani. Lahan sawah masih dominan dijadikan sebagai areal penanaman kedelai setelah per tanaman padi dengan mengikuti pola tanam padi-padi-kedelai dan padi-kedelai-kedelai. Potensi lahan sawah tersebut sangat besar jika dapat dimanfaatkan secara optimal untuk produksi kedelai. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan beberapa varietas unggul kedelai di lahan sawah bekas padi di Kabupaten Majalengka. Pengkajian dilaksanakan di Desa Sindangkasih, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka pada bulan Maret – Juni 2014. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan varietas dan 10 ulangan. Varietas yang digunakan adalah varietas Gema,Wilis, dan Kaba. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong isi dan hampa, bobot 100 biji, dan hasil. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan sidik ragam dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT pada taraf 5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa varietas Gema memperoleh hasil tertinggi sebesar 2,24 ton/ha.

Kata kunci : kedelai, varietas unggul, lahan sawah

PENDAHULUANKedelai (Glycine max L.) merupakan salah

satu komoditas pangan penting karena sebagai sumber protein nabati untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Kebutuhan kedelai di dalam negeri sampai saat ini sangat besar. Bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan tumbuh pesatnya industri berbahan baku kedelai. Meningkatnya permintaan kedelai di dalam negeri tersebut mengakibatkan pemerintah mengimpor kedelai dari luar. Salah satu penyebabnya adalah tidak mencukupinya produksi dalam negeri. Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai diantaranya dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas tanaman, perluasan areal tanam atau panen, dan peningkatan intensitas tanam. Masalah yang dihadapi petani domestik dalam memproduksi kedelai diantaranya adalah rendahnya produktivitas sehingga tidak mampu menutupi biaya produksi atau mengalami kerugian (Riana dan Hardiyanto, 2011). Rendahnya produktivitas menyebabkan lemahnya daya saing kedelai terhadap komoditas pertanian lainnya sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi petani untuk memilih komoditas lain selain kedelai. Menurut Hilman, et al. (2004), hasil kedelai yang beragam antara lain disebabkan oleh : 1) kurangnya minat petani

bertanam kedelai, 2) produktivitas kedelai masih rendah, 3) implementasi inovatif yang sangat lamban, dan 4) kemitraan agribisnis yang belum berkembang.

Penggunaan benih varietas unggul berpotensi dalam meningkatkan produktivitas kedelai di samping teknologi lainnya, seperti pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Varietas unggul merupakan teknologi yang paling murah serta relatif lebih cepat dan luas penerapannya di kalangan petani. Jika dibandingkan dengan varietas lokal, maka varietas unggul biasanya memiliki kelebihan dalam potensi hasil, umur serta ketahanan terhadap hama dan penyakit. Varietas unggul jika diusahakan secara optimal, dapat mengurangi kesenjangan produktivitas antara hasil potensial dengan aktual di tingkat petani.

Selama kurun waktu 95 tahun (1918 hingga November 2013), Kementerian Pertanian telah melepas 78 varietas kedelai yang diantaranya sebanyak 59 varietas (75,65%) dihasilkan oleh Balitbangtan (Balitkabi, 2013). Beberapa hambatan terkait dengan varietas unggul kedelai adalah belum semua varietas unggul tersebut dikenal, berkembang dan diadopsi oleh petani. Perkembangan dan adopsi varietas unggul kedelai relatif lebih lambat jika dibandingkan dengan varietas padi sawah. Selain itu, petani seringkali sulit memperoleh benih varietas

Page 42: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

38

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

unggul kedelai sesuai dengan yang dibutuhkan.Jawa Barat sebagai salah satu provinsi

penghasil kedelai memiliki potensi lahan cukup luas bagi penanaman kedelai diantaranya lahan sawah dan bukan sawah. Lahan sawah masih dominan dijadikan sebagai areal penanaman kedelai setelah tanaman padi dengan mengikuti pola tanam padi-padi-kedelai dan padi-kedelai-kedelai (Suhartini, et.al., 2011). Luas lahan sawah di Jawa Barat selama lima tahun (2007-2012) yaitu 933.851,44 ha atau 11,59% dari total luas sawah di Indonesia (BPS, 2014). Penanaman kedelai di lahan sawah sesudah panen padi meningkatkan efi siensi pemanfaatan sawah tadah hujan atau yang beririgasi sederhana dan irigasi desa sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) (Atman, 2006).

Potensi lahan sawah tersebut sangat besar jika dimanfaatkan secara optimal untuk kedelai. Sebagian petani, biasanya kedelai ditanam pada musim kering di lahan sawah bergantian dengan padi. Itu pun jika ketersediaan air tidak memadai untuk kembali menanam padi. Akan tetapi, sebagian lainnya, lahan sawah dibiarkan bera setelah panen padi untuk waktu yang cukup lama. Penanaman kedelai di lahan sawah setelah padi harus pada waktu yang tepat agar terhindar dari kendala kekeringan serta gangguan hama dan penyakit. Menurut Atman (2006), penanaman kedelai sebaiknya dilakukan segera sesudah tanaman padi, dimana curah hujan sudah mulai berkurang namun masih cukup untuk masa pertumbuhan kedelai.

Potensi hasil di lapangan dipengaruhi pula oleh interaksi antara faktor genetik varietas dengan kondisi lingkungan tumbuh. Varietas yang adaptif dan unggul di suatu tempat belum tentu sama di tempat lain karena adanya perbedaan iklim, tofografi , unsur hara dan cara budidaya. Somaatmaja (1995) mengatakan bahwa suatu varietas disebut adaptif jika dapat tumbuh dengan baik pada wilayah penyebarannya dengan hasil tinggi dan stabil, mempunyai nilai ekonomis tinggi dan dapat diterima masyarakat dan berkelanjutan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan beberapa varietas unggul kedelai di lahan sawah bekas padi di Kabupaten Majalengka.

BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di lahan sawah di

Desa Sindangkasih, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka pada bulan Maret – Juni

2014. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan varietas dan 10 ulangan. Varietas kedelai yang digunakan adalah varietas Wilis, Gema, dan Kaba dengan kelas benih BS. Tabel 1. Deskripsi varietas kedelai

Karakteristik VarietasGEMA WILIS KABA

Tinggi tanaman ±55 cm ± 50 cm 64 cmUmur berbunga ±36 hari ± 39 hari ±35 hariUmur panen/ma-tang

±73 hari 85–90 hari 85 hari

Bobot 100 butir ±11,90 gram ± 10 g 10,37 gPotensi hasil 3,06 ton/ha - -Rata-rata hasil biji 2,47 ton/ha 1,6 t/ha 2,13 t/haKetahanan thd penyakit

Peka terhadap virus daun CMMV, moderat

penyakit karat

Agak tahan karat daun dan virus

Agak tahan karat daun

Ketahanan thd hama

Peka terhadap hama pengisap polong, agak

tahan hama penggerek po-long, moderat

terhadap hama ulat grayak

- -

Wilayah adaptasi Lahan sawah dan lahan kering (tegal)

- Lahan sawah

Sumber : Balitkabi, 2012.

Tahapan Pelaksanaan Kegiatan meliputi :• Persiapan, meliputi persiapan lahan

(pengolahan tanah minimum dan pembuatan drainase) dan penyiapan benih (50 kg/ha). Perlakuan benih dengan Rhizoplus dengan dosis 5 gr/kg benih.

• Penanaman, dilakukan 3-5 hari setelah panen padi dengan jarak tanam 40 x 20 cm dan biji 2-3 biji per lubang. Segera setelah tanam, dilakukan penaburan jerami di atas permukaan tanah.

• Pemupukan, dengan NPK phonska 150 kg, SP36 50 kg, KCl 50 kg pada saat tanam dan 15 hari setelah tanam.

• Penyiangan, dilakukan pada umur 1 MST dan 6 MST.

• Pengairan, pengairan dilakukan pada fase vegetatif, berbunga, dan pengisian polong.

• Pengendalian hama dan penyakit, dilakukan

Page 43: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

39

secara terpadu baik dengan cara bercocok tanam yang tepat, mekanis maupun kimiawi.

• Panen, dilakukan pada saat 95% polong telah berwarna coklat atau kehitaman (warna polong masak) dan sebagian besar daun tanaman sudah rontok. Ubinan dilakukan pada pertanaman seluas 2,5 x 2,5 m2. Setelah panen, polong langsung dijemur. Bila polong sudah kering, dilakukan perontokkan.

Data yang dikumpulkan terdiri dari tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot 100 biji, dan hasil. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan sidik ragam dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez and Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASANPengamatan terhadap tinggi tanaman

dilakukan pada saat panen. Berdasarkan hasil analisis statistik (Tabel 2), varietas Kaba memiliki rata-rata tinggi tanaman lebih tinggi dan berbeda nyata dengan varietas lainnya. Jika mengacu pada deskripsi varietas (Tabel 1), tinggi tanaman hasil pengamatan pada masing-masing varietas lebih tinggi dan varietas Kaba memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Wilis dan Gema. Tinggi tanaman yang berbeda tersebut karena adanya perbedaan karakter pada masing-masing varietas. Sedangkan untuk jumlah cabang produktif, walaupun varietas Gema dan Kaba memiliki jumlah cabang produktif yang sama lebih banyak, akan tetapi tidak berbeda yang nyata dengan varietas Wilis. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah

cabang produktif

Varietas Tinggi Tana-man (cm)

Jumlah Cabang Produktif (buah)

Gema 73,90 b 3,27 a

Wilis 74,93 b 3,23 a

Kaba 78,53 a 3,27 aKeterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom

yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Semakin banyak jumlah polong isi diharapkan peluang produksinya semakin tinggi. Varietas Kaba memiliki jumlah polong isi lebih banyak dan tidak berbeda nyata dengan varietas Gema. Sedangkan untuk jumlah polong hampa

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara semua perlakuan. Ada dua penyebab utama yang mengakibatkan polong hampa yaitu karena tidak terisi oleh biji (kurangnya bahan makan yang terangkut kebagian polong) dan karena biji yang masih muda diisap oleh hama pengisap polong.

Pada hasil pengamatan bobot 100 biji, varietas Gema menunjukkan bobot paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan karakteristik pada deskripsi varietas kedelai yang menunjukkan bahwa varietas Gema memiliki bobot 100 biji paling tinggi dibandingkan dengan varietas Wilis dan Kaba (Tabel 1). Komponen hasil seperti bobot 100 biji lebih dominan ditentukan oleh sifat genetik tanaman, karena berkaitan dengan kemampuan tanaman beradaptasi dengan lingkungan tumbuh (Kasno et al. 1987).Tabel 3. Rata-rata jumlah polong isi, jumlah

polong hampa, bobot 100 biji, dan hasil per hektar

VarietasJumlah

Polong Isi (buah)

Jumlah Polong Hampa (buah)

Bobot 100 Biji

(gr)

Hasil per hektar (ton

KKP)*

Gema 53,17 ab 2,53 a 11,35 a 2,24 a

Wilis 49,60 b 1,77 a 10,43 b 1,92 b

Kaba 57,43 a 2,40 a 10,29 b 1,76 bKeterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom

yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

* KKP = Kedelai Kering Panen

Varietas Gema memiliki hasil tertinggi yaitu 2,24 ton/ha, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hasil terendah diperoleh varietas Kaba sekitar 1,76 t/ha. Kombinasi jumlah polong isi yang banyak dan bobot 100 biji yang lebih berat pada varietas Gema diduga berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan. Berbeda halnya dengan varietas Kaba, walaupun memiliki jumlah polong isi lebih banyak tetapi bobot 100 bijinya paling rendah memberikan hasil paling rendah pula. Hal ini, menunjukkan bahwa varietas Gema lebih adaptif pada lahan sawah di lokasi pengkajian. Akan tetapi, rata-rata hasil kajian masih di bawah rata-rata hasil pada deskripsi varietas (Tabel 1), kecuali varietas Wilis. Hal tersebut diduga akibat beberapa kendala jika ditanam pada lahan sawah. Menurut Yursak dan Purwantoro (2012), kendala untuk pengembangan kedelai pada lahan sawah bekas padi adalah kejenuhan air pada awal musim tanam

Page 44: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

40

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

yang berakibat buruk untuk perkecambahan benih kedelai, struktur tanah yang padat akan menghambat perkembangan akar tanaman. Selain itu, walaupun penggunaan varietas unggul yang memiliki potensi hasil yang tinggi, penggunaan varietas unggul harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah pengembanganya. Hal ini disebabkan oleh stabilitas hasil dari suatu varietas sangat bervariasi, dimana varietas kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukkan keunggulan yang sama di daerah lain, karena faktor perbedaan iklim, topografi dan cara tanam (Sudjudi et al.,2005).

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Potensi lahan sawah berpeluang jika dimanfaatkan secara optimal untuk produksi kedelai.

2. Varietas Gema yang ditanam pada lahan sawah bekas padi memperoleh hasil tertinggi sebanyak 2,24 ton KKP/ha dibandingkan varietas Wilis dan Kaba.

DAFTAR PUSTAKA

Atman. 2006. Budidaya Kedelai di Lahan Sawah Sumatera Barat. Ilmiah Tambua. Jurnal. Vol. V (3):288-296.

Balitkabi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang.

Balitkabi. 2013. Panduan dan Materi Workshop Teknik Produksi Benih Kedelai Bagi Petugas UPBS BPTP dan Penangkar Benih. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang.

BPS. 2014. Statistik Indonesia 2014. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Gomez, A.K. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi 2. Terjemahan. UI Press. 698p.

Hilman, Y. A. Kasno, dan N. Saleh. 2004.

Kacang-kacangan dan umbi-umbian: Kontribusi terhadap ketahanan pangan dan perkembangan teknologinya. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor. 95-132 hlm.

Kasno, A. Bahri, A.A. Mattjik, S. Solahudin, S. Somaatmadja, Subandi. 1987. Telaah interaksi genotipe dan lingkungan pada kacang tanah. Penelitian Palawija 2: 81–88.

Riana, F.D. dan I. Hardiyanto. 2011. Analisis Peramalan Konsumsi Kedelai (Glycine max L.) di Indonesia Tahun 2010-2019. Agrise. Jurnal. V. XI (1):8-18.

Somaatmadja, S. 1995. Peningkatan Produksi Kedelai Melalui Perakitan Varietas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.

Suhartini, Purwantoro, A. Ghozi M, dan Gatut WAS. 2011. Stabilitas Hasil Beberapa Galur Harapan Kedelai Toleran Kondisi Tanah Jenuh Air. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang.

Sudjudi. S. Untung dan A. Gaffat. 2005. Keragaan Agronomis Beberapa Varietas Unggul Baru Kedelai pada Lahan Sawah di Lombok. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Mataram.

Yursak dan Purwantoro. 2012. Adaptasi Beberapa Varietas Kedelai pada Agroekosistem Lahan Kering dan Lahan Sawah di Kabupaten Lebak, Banten. Dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang.

Page 45: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

41

VARIASI DOSIS PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN KEDELAI DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN KABUPATEN GARUT

Endjang Sujitno dan Sumarno TedyBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayu Ambon No. 80 Lembang

ABSTRAK

Produktivitas kedelai nasional saat ini masih sangat rendah, yaitu 1,3 ton/ha. Padahal potensinya masih dapat ditingkatkan sampai 2,5 ton/ha melalui pemanfaatan teknologi dan pemeliharaan yang intensif. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas kedelai adalah dengan pemberian pupuk organik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik terhadap terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Wanaraja Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut pada lahan sawah tadah hujan. Waktu pelaksanaan mulai bulan April sampai Juli 2014, pada MK I. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok dengan empat perlakuan yaitu takaran pemberian pupuk organik yaitu masing-masing : 1,0 ; 1,50 ; 2,00 ; dan 2,50 t/ha sebanyak 6 ulangan. Varietas kedelai yang digunakan adalah Argomulyo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil produksi yang diperoleh pada perlakuan dosis pupuk organik 1,5 t/ha, 2,0 t/ha dan 2,5 t/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan masing-masing produksi sebesar 2,1 t/ha, 2,3 ton/ha dan 2,5 ton/h tetapi ketiga perlakuan tersebut berbeda dengan perlakuan pemberian dosis pupuk 1,0 t/ha dengan produksi sebesar 1,9 ton/ha.

Kata kunci: Kedelai, Pupuk Organik, Dosis

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia. Kedelai terutama digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan tempe dan tahu yang keduanya merupakan menu utama bagi penduduk Indonesia (Marwoto et al., 2010). Tercatat sekitar 88% kedelai digunakan sebagai pembuatan tahu dan tempe (Sudaryanto dan Swastika 2007). Rata-rata permintaan kedelai setiap tahun sebanyak 2,3 juta ton (Dirjen Tanaman Pangan 2012). Kebutuhan kedelai di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 2,16 juta ton, dan 71% kebutuhan tersebut dipenuhi dengan impor. Kebutuhan kedelai meningkat pada tahun 2012 sebesar 2,2 juta ton. Pada tahun 2011 Indonesia mengimpor 2.087.986 ton kedelai karena produksi dalam negeri hanya 851.286 ton biji kering. Produksi tersebut menurun 55.740 ton atau 6,15% dibanding tahun 2010. Tahun 2012 produksi kedelai diperkirakan sebesar 779.740 ton atau menurun 71.550 ton (8,40%) dibanding tahun 2011. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan produktivitas sebesar 0,08 kuintal per hektar (0,58%), namun luas panen menurun sebesar 55.560 ha (8,93%) akibat kurang petani untuk menanam kedelai (BPS 2011). Produksi kedelai Jawa Barat pada tahun 2012 sebesar 47.426 ton dari luas panen 30.345 ha atau produktivitas rata-rata sebesar 1,56 t/ha (BPS 2013).

Pemupukan menjadi salah satu faktor penting dalam usaha untuk meningkatkan

produksi, namun selama ini upaya petani dalam meningkatkan hasil produksi sangat mengandalkan kepada penggunaan pupuk buatan/kimia (anorganik), bahkan dalam jumlah yang cenderung terus meningkat dan tidak memperhatikan kondisi lahan yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan unsur hara tanah. Pemberian pupuk anorganik secara intensif serta mengabaikan penggunaan bahan organik untuk mengejar hasil yang tinggi menyebabkan kandungan bahan organik tanah menurun, keadaan ini akan menurunkan produktivitas lahan (Las, et al., 2002).

Usaha yang perlu dilakukan untuk kembali meningkatkan tingkat kesuburan tanah adalah dengan melaksanaan pemupukan kimia secara berimbang dan sesuai dengan kebutuhan lahan, namun hal itu tidak dengan serta merta akan mengembalikan tingkat kesuburan lahan, sehingga perlu masukkan bahan organik berupa pupuk hijau atau kompos. Secara umum pemberian bahan organik ke dalam tanah akan mempertahankan dan memperbaiki sifat fi sik, kimia dan biologi tanah. Karena dengan menambahkan bahan organik ke dalam tanah, khususnya pada tanah dengan kandungan bahan organik rendah pemberian pupuk menjadi lebih efektif dan efi sien (Arafah, 2011). Hasil kegiatan demfarm kedelai di Jawa Barat pada tahun 2013 diperoleh informasi bahwa penggunaan varietas unggul baru, pengaturan populasi dengan jarak tanam dan penambahan bahan organik dapat

Page 46: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

42

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

meningkatkan produktivitas 44,67% - 54,35% atau 0,738 – 0.898 t/ha di Indramayu dan 65,67% - 76,58% atau 0.678 – 0.748 t/ha di Cianjur (BPTP Jabar 2013).

Penggunaan bahan organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman yang antara lain dapat meningkatkan efisiensi pupuk (Adiningsih dan Rochayati, 1988). Pemanfaatan pupuk organik dan pemberian mikoriza merupakan salah satu bentuk pertanian organik yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi kedelai . Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan dan manusia seperti pupuk kandang, guano, casing, pupuk hijau dan kompos. Sumber pupuk tersebut banyak tersedia di lapangan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Pemberian pupuk organik terutama ditujukan untuk perbaikan sifat fisik tanah seperti memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kandungan lengas tanah, menyeimbangkan pori-pori tanah dan meningkatkan ketahanan terhadap erosi (Ma‘shum,2008). Selain manfaat terhadap perbaikan sifat fisik tanah, pupuk organik juga dapat meningkatkan kualitas sifat kimia dan biologi tanah seperti meningkatnya ketersediaan kandungan unsur hara dan aktivitas mikroorganisme tanah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.

BAHAN DAN METODALokasi kegiatan di Desa Wanaraja

Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut pada lahan sawah tadah hujan. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai bulan April sampai dengan Juli 2014, pada MK I. Lahan yang digunakan adalah lahan milik petani, pada musim sebelumnya (MH 2013/2014) ditanami padi. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RBD) dengan empat perlakuan yaitu takaran pupuk organik sebanyak 1,0 ; 1,50 ; 2,00 ; dan 2,50 ton/ha. Penelitian diulang sebanyak 6 kali tersebar pada 6 orang petani. Varietas kedelai yang digunakan adalah Argomulyo. Pengolahan tanah menggunakan sistem minimum tilage, jarak tanam 35 x 15 cm ditanam dengan cara ditugal 1-2 benih/lubang tanam dengan kedalaman 5-7 cm.

Pupuk anogranik yang diberikan adalah urea, SP36 dan KCl dengan dosis sesuai rekomendasi. Pemeliharaan seperti pengairan, penyiangan sesuai keadaan, pengendalian OPT mengacu pada konsep PHT. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan tanaman, hasil dan komponen hasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Salah satu penentu keberhasilan dalam suatu usaha budidaya tanaman adalah faktor penggunaan benih yang berasal dari varietas unggul (Syukur, dkk. 2010). Namun apabila tidak dilengkapi dengan masukan teknologi lain hasilnya tidak akan maksimal, salah satu diantaranya adalah teknologi penggunaan pupuk organik. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan yang menggunakan dosis pupuk organik yang berbeda, terlihat pada Tabel 1 bahwa pemberian pupuk organik berpengaruh terhadap: (1) laju pertumbuhan tinggi tanaman dan (2) jumlah cabang, 3) jumlah polong, 4) bobot 100 biji dan 5) hasil produksi.Tabel 1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang

Tanaman Kedelai pada Berbagai Dosis Pupuk Organik

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Cabang

1,00 t/ha 67,8 c 6,5 b1,50 t/ha 69,5 bc 6,9 b2,00 t/ha 72,2 a 7,9 a2,50 t/ha 71,2 ab 7,6 a

Pengamatan terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik sebanyak 2 t/ha mempunyai penampilan tertinggi dengan tinggi tanaman 72,2 cm sedangkan kedelai yang diberi pupuk organik pada perlakuan 1,00 ; 1,50 ; dan 2,50 t/ha masing-masing dengan tinggi tanaman 67,8 cm, 69,5 dan 71,2 cm. Menurut Mulyani (2002) pupuk organik memiliki pengaruh yang positif terhadap perbaikan sifat fi sik, kimia tanah dan dapat mendorong kehidupan biota tanah. Di antara sifat positif tersebut adalah (Brady,1982) : (1) menyediakan unsur hara tanaman seperti unsur hara makro (N, P, S dan K) serta unsur hara mikro (Zn, Cu, B), (2) mempertinggi kadar humus, (3) memperbaiki struktur tanah, dan (4) mendorong kehidupan jasad renik. Semua itu

Page 47: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

43

mendorong ke arah perbaikan di dalam tanah yang pada akhirnya meningkatkan kesuburan/produktivitas tanah. Peningkatan kesuburan tanah akan mendukung terjadinya pertumbuhan tanaman secara optimal.

Tabel 2. Jumlah Polong Tanaman Kedelai pada Berbagai Dosis Pupuk Organik

Perlakuan Polong Isi Polong Hampa

Jumlah Polong/Pohon

1,00 t/ha 49,8 b 7,1 1 56,9 a1,50 t/ha 49,8 b 6,8 a 56,6 a2,00 t/ha 52,9 a 3,1 b 56,0 a2,50 t/ha 52,4 a 3,4 b 55,8 a

Variabel jumlah polong pada penelitian ini diambil dengan menghitung semua jumlah polong yang terbentuk. Dari hasil analisis menunjukkan tidak berbeda nyata dosis pemupukan terhadap jumlah polong per pohon. Namun faktor dosis menunjukkan adanya pengaruh terhadap jumlah polong isi dan hampa. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa dosis pemberian pupuk organik sebanyak 1,00; 1,50 dengan 2,00; 2,50 ton/ha tidak terdapat perbedaan yang nyata. Jumlah polong terendah terdapat pada pemberian pupuk organik sebanyak 2,50 t/ha.

Tabel 3. Hasil dan Komponen Hasil Tanaman Kedelai pada Berbagai Dosis Pupuk Organik

Perlakuan Bobot 100 biji (gram)

Produksi Ubinan (ton/ha)

1,00 t/ha 18,0 a 1,9 b1,50 t/ha 18,0 a 2,1 a2,00 t/ha 18,8 a 2,3 a2,50 t/ha 19,1 a 2,4 a

Hasil analisis dengan uji Anova terhadap variabel ini menunjukkan tidak berbeda nyata dosis pemupukan terhadap bobot 100 biji. Berat basah polong terendah terdapat pada 1,00 t/ha dan 1,50 t/ha masing-masing seberat 18 gr, sedangkan berat basah tertinggi dicapai pada perlakuan 2,50 t/ha dengan bobot 100 biji sebanyak 19,1 gr.

Berdasarkan hasil penelitian ternyata dari empat perlakuan dosis pemupukan yang dikaji, tiga perlakuan dosis pupuk yaitu 1,5 t/ha, 2,0 t/ha dan 2,5 t/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tetapi berbeda dengan perlakuan 1 t/ha. Namun apabila dilihat dari jumlah produksi

yang diperoleh dari masing-masing perlakuan, produksi tertinggi diperoleh pada perlakuan 2,5 t/ha, kemudian diikuti oleh perlakuan dosis pupuk 2,0 t/ha dan 1,5 t/ha. Sedangkan terendah diperoleh pada perlakuan 1 t/ha. Hal ini sejalan dengan pendapat Hakim (1996) yang melaporkan pemberian pupuk organik sampai 40 t/ha mampu meningkatkan hasil kedelai dari 0,95 menjadi 1,72 t/ha. Demikian pula menurut Munir (1990) yang menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang dan pupuk P dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah PMK.

KESIMPULAN

1. Pemberian pupuk organik berupa pupuk petroganik pada tanaman kedelai pada berbagai dosis meningkatkan produksi tanaman kedelai di lahan sawah.

2. Hasil produksi yang diperoleh pada perlakuan dosis pupuk organik 1,5 t/ha, 2,0 t/ha dan 2,5 t/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan masing-masing produksi sebesar 2,1 ton/ha, 2,3 ton/ha dan 2,5 ton/h tetapi ketiga perlakuan tersebut berbeda dengan perlakuan pemberian dosis pupuk 1,0 t/ha dengan produksi sebesar 1,9 ton/ha.

DAFTAR PUSTAKAAdiningsih, S.J. dan S. Rochayati. 1988. Peranan

bahan organik dalam meningkatkan efi siensi penggunaan pupuk dan produktivitas tanah. Prosiding Lokakarya Efi siensi Pupuk.

Arafah, 2011. Kajian Pemanfaatan Pupuk Organik Pada Tanaman Padi Sawah di Pinrang Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik

Brady N. C., and Harry O. Buckman. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan oleh Prof.

Page 48: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

44

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

Dr. Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Balai Pengkajian Tedknologi Pertanian Jawa Barat. 2013. Laporan akhir Pendampingan PTT Kedelai

[Dirjen Tanaman Pangan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis SLPTT Kedelai Tahun 2012.

Hakim, N.1996. Teknologi Perbaikan Kesuburan Tanah di Lahan Kritis. Makalah Lokakarya Orientasi Penerapan Teknologi Pertanian untuk Pencegahan dan Perbaikan Lahan Kritis.

Mulyani,S. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta, Jakarta

Las, I., A.K. Makarim, Sumarno, S. Purba, M. Mardikarini, dan S. Kartaatmadja. 1991. Pola IP padi 300, konsepsi dan prospek implementasi sistem usaha pertanian berbasis sumberdaya. Badan litbang Pertanian. 66 hlm.

Munir, R.1990. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Pupuk P pada Podsolik Merah Kuning terhadap pertumbuhan dan Hasil Kedelai (Glycine max. Merr). Thesis Fakultas Pasca Sarjaba KPK IPB.

Sudaryanto T dan Swastika DKS. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. 1-27

Syukur, M., Sujiprihati, S., Yunianti, R., dan Kusumah, D. A., 2010. Evaluasi Daya Hasil Cabai Hibrida dan Daya Adaptasinya di Empat Lokasi dalam Dua Tahun. J. Agron. Indonesia., 38(1): 43-51.

Page 49: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

45

APLIKASI PEMBERIAN PAKAN METODA FLUSHING PADA INDUK SAPI POTONG PO DI LOKASI PSDS KABUPATEN CIAMIS

Sumarno Tedy dan Endjang SujitnoBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayu Ambon No. 80 Lembang

ABSTRAKUpaya peningkatan produktivitas ternak sapi potong memerlukan terobosan teknologi yang bersifat spesifi k lokasi. Salah satu metode pemberian pakan pada ternak sapi betina adalah dengan metode fl ushing. Metode ini merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi tubuh ternak melalui perbaikan pakan sehingga ternak siap untuk melakukan proses reproduksi.Pengkajian bertujuan untuk meningkatkan tingkat kebuntingan induk sapi PO melalui aplikasi pemberian pakan metoda fl ushing. Pengkajian dilaksanakan dari bulan Januari hingga Desember 2013, berlokasi di Desa Cibereum Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis sebagai salah satu lokasi kegiatan PSDSK di Jawa Barat. Bahan pakan suplemen yang digunakan adalah bahan pakan lokal yang tersedia di sekitar lokasi pengkajian, seperti glirisidia (gamal)dan Kaliandra. Aplikasi pemberian pakan dengan metoda fl ushing dilakukan pada 1 bulan sebelum partus hingga 1 bulan setelah partus diberi suplemen berupa hijauan leguminosa sebanyak 30% atau 12 kg dari total hijauan yang diberikan. Hasil pengkajian menujukkan bahwa Leguminose merupakan hijauan makanan ternak yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong.Pemberian pakan tambahan daun leguminosa pada sapi induk bunting tua selama dua bulan sebelum melahirkan ternyata efeknya memberikan hasil yang cukup baik pada interval beranak dan terjadinya birahi pertama.

Kata Kunci : Flushing, Induk sapi dan Produktivitas

PENDAHULUANDaging merupakan salah satu bahan pangan

yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, Program Swasembada Daging Sapi yang dicanangkan pemerintah sampai saat ini belum menunjukkan pencapaian yang diinginkan. Banyak kendala yang dihadapi di lapangan, diantaranya adalah efi siensi reproduksi sapi potong yang masih rendah. Efi siensi reproduksi yang rendah dipengaruhi faktor internal dan eksternal yang berkaitan dengan pengelolaan reproduksi, kondisi induk, kualitas ransum dan daya beli peternak untuk straw unggul masih rendah (Yusran et al., 2001).

Pemberian pakan ternak yang berkualitas baik dan dalam jumlah yang cukup untuk sepanjang tahun dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak, tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan modal yang dimiliki peternak. Salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi adalah pemberian pakan tambahan yang berkadar protein tinggi pada saat kritis dimana pada waktu tersebut ternak induk membutuhkan gizi yang baik dalam jumlah yang cukup, merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan efi siensi biaya pakan. perbaikan pakan yang dimaksud adalah Flushing.

Flushing merupakan upaya untuk perbaikan pakan pada fase sebelum dan setelah induk melahirkan, yakni lebih kurang 1 (satu) bulan

sebelum induk melahirkan sampai 1 (satu) bulan setelah anak lahir dan 1 (satu) bulan sebelum estrus (birahi) pertama, dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan susu induk, memperpendek waktu menjelang estrus pertama setelah anak lahir dan menjamin keberhasilan pelaksanaan IB. Penjaminan ini pada akhirnya akan memperoleh kondisi induk yang prima serta anak yang sehat dengan berat lahir sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Wardhani (1993) perbaikan pada sapi induk selain dapat meningkatkan kondisi tubuhnya, dapat pula meningkatkan kemampuan reproduksi.

Standar pemberian pakan untuk sapi bunting hanya untuk 1/3 masa kebuntingan terakhir, sedangkan pada masa kebuntingan sebelumnya dapat menggunakan standar pakan untuk kebutuhan pokok sapi dewasa biasa (Tillman et al., 1998). Kebutuhan karbohidrat selama kebuntingan sangat besar, karena dibutuhkan energi dalam jumlah besar. Kebutuhan mineral terbanyak pada saat terjadinya kebuntingan adalah kalsium (Ca) dan fosfor (P) karena dibutuhkan untuk pembentukan tulang janin. Pemberian pakan pada ternak ruminansia harus menjamin pemenuhan kebutuhan vitamin A dan D. Selanjutnya suplementasi dengan menggunakan daun leguminosa dan semak selama dua bulan pertama setelah beranak merupakan salah satu alternatif memperpendek periode anestrus post partus (APP) (Yusran et al., 1998). Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk

Page 50: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

46

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

meningkatkan tingkat kebuntingan induk sapi PO melalui aplikasi pemberian pakan metoda fl ushing.

BAHAN DAN METODA

Pengkajian aplikasi pemberian pakan metoda fl ushing pada induk sapi potong sabagai upaya untuk meningkatkan angka kebuntingan dilaksanakan dari bulan Januari hingga Desember 2013, berlokasi di Desa Cibereum Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis sebagai salah satu lokasi kegiatan PSDSK di Jawa Barat. Sapi yang akan digunakan sebagai objek kajian adalah milik peternak anggota kelompok ternak yang berjumlah15 ekor induk sapi potong jenis PO. Bahan pakan suplemen yang digunakan adalah bahan pakan lokal yang tersedia di sekitar lokasi pengkajian, seperti glirisidia (gamal), leucaenea (lamtoro) dan Kaliandra.

Aplikasi pemberian pakan dengan metoda fl ushing dilakukan pada 1 bulan sebelum partus hingga 1 bulan setelah partus diberi suplemen berupa hijauan leguminosa sebanyak 30% atau 12 kg dari total hijauan yang diberikan. Pakan yang diberikan pada induk sapi potong berupa campuran jerami padi sebanyak 28 kg/ekor/hari, dan leguminosa sebanyak 12 kg/ekor/hari. Parameter yang akan diamati meliputi: 1) pertambahan berat badan induk, 2) saat munculnya estrus pada induk sapi, 3) banyaknya jumlah pelaksanaan inseminasi oleh inseminator terhadap induk sapi sejak terlihatnya estrus sampai terjadi kebuntingan, dan 4) berat lahir anak sapi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Kecamatan Sukamantri dan Desa Cibeureum

Kecamatan Sukamantri terletak di wilayah utara Kabupaten Ciamis, memiliki topografi lahan mulai dari datar sampai bergunung dengan kemiringan lahan yang bervariasi dan berkisar antara 15 – 59%. Wilayah ini memiliki ketinggian wilayah 600 – 900 meter diatas permukaan laut (dpl). Jarak antara ibukota kecamatan dengan ibukota kabupaten sejauh 43 kilometer. Wilayah Kecamatan Sukamantri terdiri dari 5 desa yaitu Desa Sukamantri, Cibeureum, Sindanglaya, Mekarwangi dan Tenggerraharja.

Luas wilayah Kecamatan Sukamantri adalah 5.528,24 ha yang terdiri dari lahan sawah seluas 855,499 ha (15.48%), lahan darat seluas 1.182,24 ha (21,39%) serta sisanya seluas 3.490,501 ha (63,13%) untuk penggunaan lainnya seperti pemukiman, tegalan, padang rumput, kolam, hutan dan lain sebagainya. Sedangkan luas wilayah Desa Cibeureum adalah 1.746,81 ha, yang terdiri dari 15,91% (278 ha) lahan sawah, 12,73% (222,4 ha) lahan darat dan sisanya 71,36% (1.248,41 ha) untuk penggunaan lainnya.

Iklim di wilayah Kecamatan Sukamantri yang meliputi 5 Desa yang termasuk di dalamnya, menurut Schmidt-Ferguson termasuk type A curah hujan dengan sifat sangat basah. Rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir (2003 – 2012) adalah 1.809 mm dengan rata-rata hari hujan tertinggi selama 10 tahun terakhir terjadi pada tahun 2006 yang mencapai 3.421,5 mm dan terendah terjadi pada tahun 2010 dengan rata-rata curah hujan sebesar 1.015,0 mm.

Keragaan Usahatani TernakUsaha ternak sapi potong yang dijalankan

oleh peternak di Desa Cibeureum lebih banyak ditujukan untuk pembesaran dan penggemukan, usaha pembesaran dan penggemukan dilaksanakan oleh peternak di masing-masing kandang yang lokasinya di sekitar rumah peternak. Hal ini, dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan pemeliharaan ternak, sedangkan untuk usaha pembibitan dilaksanakan secara koloni di satu kandang. Sistem pemeliharaan ternak baik untuk pembibitan, penggemukan ataupun pembesaran dilakukan secara intensif.

Rata-rata kepemilikan ternak adalah 2 ekor dengan sumber modal awal, khususnya untuk penggemukan dan pembesaran berasal dari maro, yaitu apabila anak yang dilahirkan betina maka maro anak, sedangkan apabila anak yang dilahirkan berjenis kelamin jantan maka keuntungan dibagi dua.

Bangsa sapi potong yang dipelihara untuk pembibitan seluruhnya merupakan bangsa sapi PO 75%, sedangkan untuk pembesaran dan penggemukan, bangsa sapi yang digunakan cukup bervariasi diantaranya Limousine, Simmental, Brahman Cross, bahkan terdapat pula bangsa sapi FH. Untuk pembesaran dan penggemukan, peternak lebih menyenangi untuk memelihara sapi yang memiliki karakter tubuh yang besar seperti halnya sapi impor,

Page 51: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

47

karena sapi-sapi tersebut memiliki nilai jual relatif lebih tinggi jika dibanding dengan sapi-sapi dengan ukuran tubuh yang lebih kecil.

Pemberian pakan berupa jerami segar, rumput lapang dan rumput gajah. Jumlah pemberian hijauan belum dibedakan diantara status fi siologis ternak yang berbeda. Sumber hijauan berasal dari wilayah setempat dan tersedia cukup melimpah, hijauan yang diperoleh berasal dari kebun rumput, lahan pertanian dan yang berasal dari kawasan hutan yang berada di sekitar lokasi kandang.

Pakan diberikan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, pakan yang diberikan hanya berupa hijauan yaitu jerami segar ataupun rumput, tanpa diberikan pakan tambahan lainnya. Peternak belum mengetahui bahwa tanaman legum yang banyak terdapat di sekitar lokasi dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan. Namun keterbatasan peternak terhadap informasi mengenai jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber pakan, menjadikan tanaman legum yang berlimpah diantaranya gliricidia dan kaliandra tidak digunakan sebagai pakan. Untuk itu perlu dukungan pembinaan kepada peternak tentang berbagai hal yang berhubungan dengan manajemen pemeliharaan ternak sapi.

Perkandangan sapi, khususnya yang digunakan untuk kandang pembibitan menempati satu lokasi yang terdiri dari satu bangunan kandang untuk 25 ekor ternak, namun untuk kandang yang digunakan bagi pembesaran dan penggemukan berada di masing-masing peternak berdekatan dengan rumah peternak untuk memudahkan pemeliharaan.

Cara perkawinan ternak 100% dilaksanakan melalui Inseminasi Buatan (IB). Petugas IB yang bertugas berasal dari Dinas Peternakan Kabupaten Ciamis. Namun untuk memenuhi kebutuhan peternak serta mempercepat pelayana IB, kelompok telah mengirim beberapa anggotanya untuk dilatih menjadi inseminator swadaya, sampai saat ini sudah terdapat 2 orang inseminator swadaya di Kelompktani ternak Dua Saudara.

Aplikasi Pemberian Pakan Metode Flushing pada Sapi Induk Bunting Tua

Pemberian pakan suplemen leguminosa pada induk sapi PO selain untuk meningkatkan kondisi tubuh induk menjelang kelahiran dan kesehatan anak yang dilahirkan, juga

mempercepat siklus reproduksi (estrus) kembali pasca melahirkan. Pakan dasar yang diberikan di kedua lokasi pengkajian umumnya rumput lapangan, jerami padi dan jerami jagung, tanpa memberikan pakan tambahan. Jenis pakan seperti ini dinilai sangat jauh untuk pemenuhan maintenance (hidup pokok) seekor sapi, terlebih lagi untuk induk sapi bunting.

Pemberian pakan tambahan daun leguminosa pada sapi induk bunting tua selama dua bulan sebelum melahirkan ternyata efeknya memberikan hasil yang cukup baik pada interval beranak dan terjadinya birahi pertama (Tabel 1.). Sementara ternak yang tidak mendapat suplemen angka yang didapat jauh lebih besar atau lebih lama.

Hasil interval beranak dan terjadi birahi pertama setelah induk melahirkan berbeda nyata dengan sapi induk yang dijadikan pembanding (kontrol), dikarenakan pemberian legum mampu menutupi kekurangan pakan dasar yang biasanya selama ini diberikan, yaitu rumput dan jerami. Meskipun tidak dilakukan pengukuran dan penimbangan jumlah yang pakan yang dikonsumsi setiap harinya untuk menentukan jumlah bahan kering yang benar benar dikonsumsi ada indikasi bahwa target kebutuhan konsumsi bahan kering 2,5 – 3 kg bahan kering belum dapat dipenuhi. Sehingga pada akhir kebuntingan dan pasca kelahiran akan mengganggu fungsi hormonal untuk proses reproduksi yang normal. Menurut Soetanto (1994) Pemberian hijauan diperkirakan hanya cukup untuk memasok sekitar 75% kebutuhan hidup pokok. Untuk pemberian tambahan leguminosa pada sapi induk bunting tua digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok tersebut.Tabel. 1. Penampilan reproduksi induk sapi

yang mendapat pakan tambahan leguminosa dan tanpa leguminosa

No Keadaan reproduksi Perlakuan Kontrol (petani)

1 Interval beranak dan ter-jadi birahi pertama (hari)

135 192

2 Service per konsepsi 2,2 2,43 Tingkat konsepsi (%) 46,1 43,24 Interval beranak (hari) 502 5065 Berat lahir (kg) 22,7 22,1

Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa interval beranak pada induk sapi yang diberi perlakuan pakan tambahan berupa daun leguminose

Page 52: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

48

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

(gamal) sebanyak 12 kg ekor/hari menunjukkan terjadi birahi pertama setelah induk melahirkan berbeda nyata dengan sapi induk yang dijadikan pembanding (kontrol). Dikarenakan pemberian legum mampu menutupi kekurangan pakan dasar yang biasanya selama ini diberikan, yaitu rumput dan jerami. Meskipun tidak dilakukan pengukuran dan penimbangan jumlah yang pakan yang dikonsumsi setiap harinya untuk menentukan jumlah bahan kering yang benar benar dikonsumsi ada indikasi bahwa target kebutuhan konsumsi bahan kering 2,5 – 3 kg belum dapat dipenuhi. Pada akhir kebuntingan dan pasca kelahiran akan menggangu fungsi hormonal untuk proses reproduksi yang normal. Menurut Soetanto (1994), pemberian hijauan diperkirakan hanya cukup untuk memasok sekitar 75% kebutuhan hidup pokok. Untuk pemberian tambahan leguminosa pada sapi induk bunting tua digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok tersebut.

Hal ini sesuai dengan penelitian dari Wiradisastra dkk (1979) mengenai kandungan protein dan kualitas ransum tradisional pada peternakan sapi potong dimana untuk sapi berumur 1 (satu) tahun konsumsi protein cukup, tetapi pada tingkat umur yang selanjutnya konsumsi protein kurang dari kebutuhan. Ransum yang diberikan peternak bermutu rendah, belum kearah pemenuhan kebutuhan ternak.

Bobot lahir anak tidak berbeda nyata antara induk ternak yang diberi pakan tambahan dengan kontrol. Rata-rata bobot lahir ternak sapi potong yang diberi pakan tambahan bobot lahirnya sekitar 22,7 kg sedangkan kontrol bobot lahir rata-rata sekitar 22,1 kg. Namun induk ternak yang diberi pakan tambahan akan menghasilkan produksi susu yang lebih banyak dibandingkan kontrol sehingga PBBHnya pun lebih tinggi di banding kontrol.

Pemberian pakan suplemen leguminosa pada induk sapi PO selain untuk meningkatkan kondisi tubuh induk menjelang kelahiran dan kesehatan anak yang dilahirkan, juga mempercepat siklus reproduksi (estrus) kembali pasca melahirkan. Hasil interval beranak dan terjadi birahi pertama setelah induk melahirkan berbeda nyata dengan sapi induk yang dijadikan pembanding (kontrol), dikarenakan pemberian legum mampu menutupi kekurangan pakan dasar yang biasanya selama ini diberikan, yaitu rumput dan jerami. Meskipun tidak dilakukan pengukuran dan penimbangan jumlah yang

pakan yang dikonsumsi setiap harinya untuk menentukan jumlah bahan kering yang benar benar dokonsumsi ada indikasi bahwa target kebutuhan konsumsi bahan kering 2,5 – 3 kg belum dapat dipenuhi. Pada akhir kebuntingan dan pasca kelahiran akan menggangu fungsi hormonal untuk proses reproduksi yang normal. Menurut Soetanto (1994) pemberian hijauan diperkirakan hanya cukup untuk memasok sekitar 75% kebutuhan hidup pokok. Untuk pemberian tambahan leguminosa pada sapi induk bunting tua digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok tersebut.

KESIMPULANa. Leguminose merupakan hijauan makanan

ternak yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong.

b. Pemberian pakan tambahan daun leguminosa pada sapi induk bunting tua selama dua bulan sebelum melahirkan ternyata efeknya memberikan hasil yang cukup baik pada interval beranak dan terjadinya birahi pertama.

DAFTAR PUSTAKA

Soetanto, H., 1994. Upaya efi siensi penggunaan konsentrat dalam ransum sapi perah laktasi. Proceeding Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub BPT Grati

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu makanan ternak dasar. Penerbit Gadjah Mada Press. Yoyakarta.

Wardhani, N.K., A. Musofi e dan R. Harwono, 1997. Upaya perbaikan pakan dengan metode fl ushing untuk meningkatkana produktivitas ternak kambing di wilayah lahan kering Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Makalah disampikan pada Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 18 – 19 Nopember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Yuran, M.A., L. Affandhy dan Suyamto.2001. Pengkajian keragaan permasalahan dan alternatif solusi program IB sapi potong di Jawa Timur. Prosiding Semnas Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Page 53: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

49

Page 54: Bull H Kajian2015jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull_H_Kajian_201… · Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

50

Buletin Hasil Kajian Vol. 5, No. 05 Tahun 2015