Top Banner
MATERI BULETIN TATA RUANG TRANSKRIP WAWANCARA dengan PROF. DR. EMIL SALIM JAKARTA, 26 FEBRUARI 2008 BUTARU : Faktor apa yang memotivasi Bapak untuk terlibat sedemikian jauh pada isu perubahan iklim di Indonesia sehingga Bapak memulai petualangan baru menjadi ketua COP 13 di Bali yang silam itu? Emil Salim : Bukan petualangan baru, tetapi komitmen lama pada lingkungan, belum berhasil seperti yang dicita-citakan. Teman-teman dari Papua Barat, misalnya, mengeluh tidak bisa membangun jalan karena Departemen Kehutanan tidak mengizinkan penggunaan hutan lindung. Lalu saya tanya, “Mengapa harus melalui hutan lindung ?” dan, “Apakah ada rencana tata ruang?” Jawabnya adalah “Tidak ada.” Padahal, UU Penataan Ruang sudah ada sejak 1992, tetapi tidak ada pelaksanaan rencana tata ruang di semua provinsi atau semua kabupaten. Tanpa rencana tata ruang, masyarakat akan seenaknya membangun jaringan jalan atau (membuka) pertambangan di hutan lindung. Hal ini karena tidak ada guidance, bimbingan dari rencana tata ruang. Kejengkelan ini terus berkobar, sehingga kita harus tetap aktif. Rupanya generasi muda tidak melihat urgensi pentingnya rencana tata ruang sebagai petunjuk dimana harus dibangun jalan, pelabuhan, industri, pertambangan dan lain-lain. BUTARU : Lalu .. Emil Salim : Apakah dengan keadaan ini kita bisa tidur nyenyak? Saya tidak bisa nyenyak. Setelah sekian tahun kita membangun Republik, kok lingkungannya bertambah rusak. Bencana alam bertambah dahsyat, banjir semakin besar, hutan semakin menciut, ekspor asap ke negara-negara ASEAN tidak terkendali. Lantas apakah kita memang menjadi penonton di pinggir? BUTARU : Jadi Bapak comeback untuk menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya penataan ruang dan pelestarian lingkungan? Emil Salim : Bukan hanya masyarakat, yang saya heran ke mana pejabat-pejabat kita, terutama yang bertanggung jawab untuk penataan ruang ini? Apa yang telah dilakukan selama 16 tahun sejak UU Penataan Ruang diberlakukan tahun 1992? Mengapa provinsi, kabupaten dan kota tetap tidak punya rencana tata ruang? BUTARU : Mungkin ada tapi tidak dilaksanakan ...
58

Buletin TATA RUANG. Edisi januari-Februari 2009. Tata Ruang dan Pemanasan Global

Nov 25, 2015

Download

Documents

diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui Ditjen Penataan Ruang Kemen PU
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • MATERI BULETIN TATA RUANG

    TRANSKRIP WAWANCARA dengan PROF. DR. EMIL SALIM

    JAKARTA, 26 FEBRUARI 2008

    BUTARU : Faktor apa yang memotivasi Bapak untuk terlibat sedemikian jauh pada

    isu perubahan iklim di Indonesia sehingga Bapak memulai petualangan

    baru menjadi ketua COP 13 di Bali yang silam itu?

    Emil Salim : Bukan petualangan baru, tetapi komitmen lama pada lingkungan, belum

    berhasil seperti yang dicita-citakan. Teman-teman dari Papua Barat,

    misalnya, mengeluh tidak bisa membangun jalan karena Departemen

    Kehutanan tidak mengizinkan penggunaan hutan lindung.

    Lalu saya tanya, Mengapa harus melalui hutan lindung ? dan, Apakah

    ada rencana tata ruang? Jawabnya adalah Tidak ada. Padahal, UU

    Penataan Ruang sudah ada sejak 1992, tetapi tidak ada pelaksanaan

    rencana tata ruang di semua provinsi atau semua kabupaten. Tanpa

    rencana tata ruang, masyarakat akan seenaknya membangun jaringan jalan

    atau (membuka) pertambangan di hutan lindung. Hal ini karena tidak ada

    guidance, bimbingan dari rencana tata ruang.

    Kejengkelan ini terus berkobar, sehingga kita harus tetap aktif. Rupanya

    generasi muda tidak melihat urgensi pentingnya rencana tata ruang sebagai

    petunjuk dimana harus dibangun jalan, pelabuhan, industri, pertambangan

    dan lain-lain.

    BUTARU : Lalu ..

    Emil Salim : Apakah dengan keadaan ini kita bisa tidur nyenyak? Saya tidak bisa

    nyenyak. Setelah sekian tahun kita membangun Republik, kok

    lingkungannya bertambah rusak. Bencana alam bertambah dahsyat, banjir

    semakin besar, hutan semakin menciut, ekspor asap ke negara-negara

    ASEAN tidak terkendali. Lantas apakah kita memang menjadi penonton di

    pinggir?

    BUTARU : Jadi Bapak comeback untuk menyadarkan masyarakat mengenai

    pentingnya penataan ruang dan pelestarian lingkungan?

    Emil Salim : Bukan hanya masyarakat, yang saya heran ke mana pejabat-pejabat kita,

    terutama yang bertanggung jawab untuk penataan ruang ini? Apa yang

    telah dilakukan selama 16 tahun sejak UU Penataan Ruang diberlakukan

    tahun 1992? Mengapa provinsi, kabupaten dan kota tetap tidak punya

    rencana tata ruang?

    BUTARU : Mungkin ada tapi tidak dilaksanakan ...

  • Emil Salim : Kalau hanya ada diatas kertas tapi tidak dilaksanakan, ya sama saja toh !?

    Point saya adalah mengapa setelah 16 tahun, seolah-olah, kita berjalan di

    titik yang sama.

    BUTARU : Kembali ke persoalan COP-13 di Bali yang baru lalu, Pak. Sebagai Ketua

    Delegasi RI, apakah seluruh ambisi dan harapan untuk membawa

    kepentingan Indonesia sudah terpenuhi?

    Emil Salim : Belum, karena belum ada kesepakatan bulat (antara negara maju dan

    negara berkembang red). Negara maju, yang dipelopori Amerika Serikat

    (AS), tetap meletakkan peran serta mereka dengan syarat bahwa negara

    berkembang (terutama China, India dan negara-negara ASEAN) juga harus

    turut memiliki komitmen untuk membatasi emisi CO2. Padahal negara

    maju yang sejak lama menjadi sumber emisi CO2, berkewajiban menebus

    dosanya dengan mengurangi CO2.

    Sebaliknya negara berkembang masuk ke ruang bumi yang sudah kotor dan

    harus mengurangi kemiskinan yang jauh lebih rendah dibandingkan

    dengan kemiskinan di AS, Eropa, Jepang dan negara maju lainnya. Bagi

    negara maju, kemiskinan bukan merupakan prioritas, namun bagi negara

    berkembang, kemiskinan adalah hal yang serius. Maka, belum terjadi

    kesepakatan bahwa negara maju harus menurunkan emisi CO2-nya,

    sementara negara berkembang harus menurunkan kemiskinannya,

    sekaligus menurunkan CO2.

    Untuk itu, negara berkembang memerlukan alih teknologi, capacity

    building, dan funding. Namun jawaban negara maju adalah, Teknologi

    harus dibeli dari private sector. Saya menjawab, Bung, bila saya punya

    satu dollar, akan lebih baik saya usahakan agar kaum miskin bisa

    bekerja untuk mendapatkan makanan, daripada satu dollar ini saya beli

    untuk teknologi-mu yang hanya menambah pendapatan-mu saja, tapi

    kaum miskin (di negara saya red) tidak tertolong.

    Nah, injustice ini yang saya lihat belum berhasil dipecahkan. Betul, semua

    komponen committed. Tetapi, the devil is in detail, maka tampak jelas

    bahwa negara maju masih tetap enggan melakukan alih teknologi capacity

    building, dan funding transfer. Mereka tetap menuntut kita seperti negara

    maju, dengan mengusahakan penurunan emisi CO2, as if tidak ada

    kemiskinan. Hal itu yang menjengkelkan saya.

    BUTARU : Dengan realita yang ada, langkah apa yang harus ditempuh Indonesia

    untuk menerobos ke kebuntuan-kebuntuan tersebut?

    Emil Salim : Kebuntuan itu berkaitan dengan konservatisme di dalam pemerintahan AS

    di bawah Presiden George Bush dari Partai Republik. Tapi nanti di

    Kopenhagen, saya rasa sikap dari pemerintahan AS akan berubah karena

    Partai Demokrat lebih peka terhadap lingkungan. Seperti halnya Kevin

    Rudd (Perdana Menteri Australia yang baru - red) merubah sikap

    pemerintahannya dalam sekejap.

  • BUTARU : Bagaimana dengan peran Indonesia pasca COP-13 di Bali dalam konteks

    global?

    Emil Salim : Untuk peran kita sekarang, saya lebih cenderung mendemonstrasikan ke

    luar negeri dengan usaha di dalam negeri. Indonesia sudah menderita

    dampak climate change. (Muka air) laut sudah naik, sungai Bengawan Solo

    tidak bisa mengalir ke laut seperti tahun sebelumnya, terpantul kembali

    menjadi banjir. Begitu juga dengan sungai Cimanuk dan Ciliwung, belum

    lagi bencana angin topan.

    Jadi, saya merasa perlu kita menangani persoalan climate change di tanah

    air. (Urusan) luar negeri itu penting, tetapi sekarang kita harus

    membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu menangani climate

    change dan tidak hanya bicara di forum internasional.

    BUTARU : John Forester, Profesor of School of Urban and Regional Planning di

    Cornell University, mengatakan bahwa Planning is about our capacity to

    imagine the future differently. Perubahan iklim pun menuntut

    perubahan paradigma pembangunan nasional. Dalam konteks mitigasi

    dan adaptasi menghadapi perubahan iklim, seberapa jauh sebetulnya

    tingkat confidence Bapak terhadap instrumen penataan ruang untuk

    menghasilkan perubahan ke depan bila melihat pengalaman masa lalu,

    dari 1992 ke 2008?

    Emil Salim : Pada mulanya, tim BKTRN itu kuat. Menko-nya saat itu adalah Radius

    Prawiro, Menteri Dalam Negeri adalah Rudini, Dirjen Pembangunan

    Daerah adalah Attar Sibero, Menteri PU adalah Poernomosidhi, Dirjen

    Cipta Karya adalah Radinal Mochtar, dan saya adalah Menteri Lingkungan

    Hidup. Semua koordinasi berjalan efektif. (Prof. Emil Salim menceritakan

    kasus pembatalan rencana pembangunan villa di kawasan Puncak

    melalui proses koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah red).

    Point saya adalah bahwa tata ruang is a function of leadership dan

    keberanian untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Nah, (kedua

    faktor ini) yang tidak saya lihat sekarang. Bahkan saya tidak mengetahui

    siapa yang menggerakkan BKTRN.

    BUTARU : Jadi, menurut Bapak, BKTRN saat itu berperan sangat efektif dan RTRW

    juga bisa dilaksanakan dengan baik di lapangan...?

    Emil Salim : Ya, selama adanya tokoh-tokoh itu. Kemudian pada tahun 1993 kan

    berubah. Pak Rudini dan saya telah pensiun. Sesudah itu saya tidak

    mengikuti lagi perkembangan BKTRN.

    BUTARU : Lalu, bagaimana dengan penataan ruang dalam konteks otonomi daerah

    dewasa ini?

  • Emil Salim : Seperti yang saya katakan sebelumnya, daerah harus membangun dengan

    mengikuti guidance dari Pusat. Di mana sih yang tidak boleh, pada

    kemiringan berapa sih yang tidak baik.

    Saya ingat saat itu, Poernomosidhi memiliki teori bola-bola (konsep

    satuan wilayah pengembangan red) dan Made Sandi memiliki konsep

    tata guna lahan. Intinya, there is a concept. Itu yang saya inginkan.

    Sehingga, berdasarkan konsep tersebut, kita sampaikan pada semua

    gubernur, bupati, dan walikota yang mana yang boleh dan yang mana yang

    tidak boleh (dikembangkan), atau please try to avoid this.

    BUTARU : Namun, kewenangan Pemerintah Pusat saat ini kan juga sudah berbeda?

    Emil Salim : Maka pendekatannya harus berubah dong. Daerah-daerah itu tidak

    mengetahui mana yang boleh dan tidak, seperti kasus di Papua Barat

    diatas. Tell me why, mengapa harus membangun jalan melalui hutan

    lindung, ya mengapa tidak lewat pantai, apakah ada resources, apakah

    ada penduduk?. Membangun jalan kan harus melihat origin and

    destination, apakah ada destination, apakah ada origin, apakah ada kargo?

    Ketika dihujani pertanyaan-pertanyaan ini, mereka tidak bisa menjawab.

    Jadi, mereka membuat rencana, namun tidak memahami the principles of

    planning. Propinsi baru seperti Papua Barat perlu dibantu.

    Dalam era desentralisasi, semestinya kita punya pejabat yang terjun ke

    kabupaten dan kota, tidak hanya tinggal diam di Jakarta. Karena surat izin

    untuk membakar hutan kurang dari dua hektar atau surat izin untuk

    menebang pohon, keduanya, diberikan oleh Pemda, bukan oleh Jakarta.

    Jadi, the battle field is in daerah, berbeda dengan zaman orde baru dulu.

    BUTARU : By nature, upaya penataan ruang memiliki dimensi jangka panjang,

    tetapi upaya ini juga dihadapkan pada berbagai persoalan yang

    berdimensi jangka pendek. Menurut Bapak, bagaimana kita

    mengkompromikan kedua kepentingan ini?

    Emil Salim : Basically masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang sangat

    peka terhadap lingkungan. Selama menjadi Menteri Lingkungan Hidup,

    saya tidak pernah mengalami sikap masyarakat yang menentang

    lingkungan hidup, karena masyarakat kita adalah gemeenschaft,

    masyarakat pedesaan yang mayoritas agraris.

    Nah sekarang kita harus memberikan way-out, bagaimana kesejahteraan

    meningkat tanpa merusak lingkungan. Artinya, bagaimana mainstreaming

    lingkungan dalam bidang pertanian, pertambangan, kehutanan, dan lain-

    lain. (Pelestarian) lingkungan bukan hanya tugas Kementerian Lingkungan

    Hidup. Mainstreaming menjadi penting.

    Saya sedih ketika jalan tol Cipularang (Jakarta-Bandung) dibangun dengan

    memakan lahan-lahan subur. Padahal tersedia alternatif jalan kereta api

    Jakarta-Bandung, yang bisa dinaikkan frekuensi-nya, bisa dibangun double

    track, pada saat yang bersamaan, aliran barang juga bisa ditingkatkan.

  • Setelah pembangunan jalan tol tersebut, arus mobil memang lancar, tetapi

    kemacetan terjadi di Kota Bandung yang memicu kenaikan kadar CO2 rata-

    rata setahun sebesar 30%.

    Pertanyaannya, apakah tidak ada rencana tata ruang yang memuat

    intermode transportation system? Begitu jalan terbangun, kawasan

    Karawaci dan Sentul muncul, yang memakan tanah lagi. Orang tidak perlu

    heran sawah-sawah di Pulau Jawa ini berkurang. Ofcourse lahan

    berkurang, karena jalan meningkatkan aksesibilitas dan lahan-lahan (di

    sekitarnya red) berubah fungsi.

    Jadi Bina Marga, Pengairan, Cipta Karya, dan Penataan Ruang, harus

    (berada dalam satu frame red) in one map rencana tata ruang pulau

    Jawa, Nasional, dan bahkan ASEAN nanti, artinya menjadi one common

    market.

    BUTARU : Secara konseptual, visi penataan ruang identik dengan visi lingkungan

    hidup yakni untuk pembangunan berkelanjutan. Artinya, mencapai

    kesejahteraan tanpa merusak atau mengurangi hak dari generasi yang

    akan datang untuk menikmati kesejahteraan yang sama. Untuk

    mencapai visi jangka panjang tersebut, sebaiknya dari mana kita mulai?

    Emil Salim : Esensi dari sustainable development adalah resource-use management

    dengan mainstreaming pada environmental consideration. Artinya,

    bagaimana memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan memperhatikan

    daya dukung lingkungan. (Prof. Emil Salim menganalogikan daya

    dukung lingkungan dengan konsep pembuatan kapal Phinisi agar tidak

    tenggelam - red).

    Maka, bangun Kota Jakarta tanpa melewati daya dukung lingkungannya!

    Daya dukung lingkungan bisa dihitung dengan rumus tertentu, dan akan

    mendikte proses pembangunan. Konsep ini menjelaskan, why development

    of malls di Jakarta is wrong, karena mall-mall tersebut mengundang

    manusia datang ke Jakarta. Di luar negeri, Washington DC, mall terletak

    enam puluh mil dari White House, demikian juga di Paris. Lalu, mengapa

    pembangunan Kota Jakarta, Ibukota Negara menjadi semrawut seperti

    sekarang? Karena (perencanaan pembangunan) tidak mengikuti the

    principles of carrying capacity of a capital city. There has nothing to do

    dengan short term atau long term plan. It has to do when taking into

    account carrying capacity.

    BUTARU : Apakah ini artinya Jakarta yang semrawut merupakan hasil

    perencanaan masa lalu yang keliru ?

    Emil Salim : Salah. Bersama dengan Pak Ali Sadikin, kita membuat rencana 25 tahun,

    yang sekarang diakui oleh seorang penulis Inggris sebagai rencana

    pembangunan Kota Jakarta yang baik. Namun rencana tersebut kemudian

    direvisi pada masa Gubernur Tjokropranolo yang membuat (Jakarta)

  • kacau. Yang sebelumnya (direncanakan) menjadi waduk, berubah menjadi

    apartemen. He put the damn things up side down. Entahlah, saya tidak

    mengerti, pada saat itu terjadi semacam proses desadikinisasi.

    Dulu, saya ribut tentang Pantai Indah Kapuk yang akan dijadikan Hawaii-

    nya Jakarta, saya maklum karena pada saat itu lingkungan belum banyak

    dipahami orang banyak. Lalu tentang jalur hijau Senayan, yang merupakan

    paru-paru kota Jakarta. Awalnya saya happy, tapi sekarang mengapa

    dibangun Senayan City, yang jelas bukan merupakan sarana olahraga?

    Mengapa Direktorat Jenderal Penataan Ruang diam saja? Dinas

    lingkungan kan tidak ada di daerah-daerah, tapi Ditjen Tata Ruang kan

    ada.

    BUTARU : Kalau kita mengamati banjir Jakarta, sesungguhnya apa esensi

    persoalannya menurut Bapak? Yang jelas banjir bukan persoalan teknis

    semata.

    Emil Salim : Banjir Jakarta membuat saya kecewa. Ketika tahun 2007 terjadi banjir,

    seharusnya itu menjadi lesson. Kalau saya bertanggung jawab atas urusan

    itu, saya akan membuat potret, mengikuti berita-berita koran, dimana

    sumbernya, dimana yang tenggelam, sehingga kita memperoleh the picture

    of last year. Tetapi, nothing is being done. Memasuki awal tahun 2008,

    (banjir) meledak lagi. Maka terpikir oleh saya, siapa yang bertanggung

    jawab di dalam Republik ini?

    (Prof. Dr. Emil Salim kemudian menceritakan sedikit sejarah masa

    lalunya, bagaimana ayahnya selaku salah seorang pejabat di Pekerjaan

    Umum pada zaman Belanda melaksanakan tugas-tugasnya).

    BUTARU : Lantas, bagaimana dengan masa depan Jakarta agar banjir dapat

    diatasi atau dikurangi? Bukankah Jakarta harus membangun dengan

    cara yang berbeda?

    Emil Salim : Ada prakarsa dari DPR yang ditunjang Pak Sutiyoso untuk membuat

    Undang-Undang Ibukota Negara. (Dalam rancangan UU tersebut red)

    disebutkan bahwa Ibukota terdiri dari Gubernur dan Wakil Gubernur yang

    dipilih (melalui Pilkada), dan beberapa Deputi Gubernur yang diangkat

    sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur merupakan pejabat setingkat

    Menteri yang menghadiri Rapat Kabinet.

    Sebagai Ibukota Negara, menurut logic saya, maka fungsi ibukota yang

    relevan yes ada di dalam, tapi fungsi kota lain harus out, seperti fungsi

    industri semestinya tidak ada. Mengapa perluasan Tanjung Priok harus

    dilakukan, mengapa tidak ke Cirebon atau Banten saja? Can you imagine

    what will happen kalau kampus UI tidak dipindahkan ke Depok?

  • Dengan logic itu, berarti aktivitas yang menarik banyak penduduk harus

    keluar Jakarta. Artinya bukan fungsi ibukotanya yang keluar, tetapi fungsi

    yang tidak relevan dengan Ibukota Negara yang harus keluar. Bukan mall

    yang harus ada di Jakarta, tetapi mall yang harus keluar.

    Pak Sutiyoso ingin menerapkan konsep megapolitan, saya mengatakan

    bahwa megapolitan itu melebihi daya dukung lingkungan Jakarta. Jangan

    mengikuti perkembangan Jakarta as a past trend, bahwa dulu

    (penduduknya red) enam juta, terus bertambah hingga 20 juta, bukan

    begitu. Fungsi Ibukota Negara itu yang harus diutamakan, yang tidak

    relevan harus keluar. Business as usual versus what do you want terhadap

    kota itu. Nah, cara berpikir ini yang mesti dikembangkan oleh Departemen

    PU.

    BUTARU : Ini pertanyaan terakhir Pak Emil. Dalam beberapa kesempatan, Bapak

    kerap menyebut diri sebagai orang yang cinta pada penataan ruang.

    Sebetulnya apa maksud dari pernyataan Bapak ini?

    Emil Salim : Ya karena the soul atau hakekat dari pengelolaan lingkungan adalah

    resource use yang diperebutkan oleh berbagai sektor/departemen. Jadi

    walaupun berada dalam satu kabinet, setiap menteri punya kepentingan

    yang berbeda dengan menteri lain. Kalau kehutanan menang, maka

    pertambangan, pertanian, dan permukiman harus keluar. Kalau

    pertambangan yang menang, maka kehutanan, pertanian dan permukiman

    harus keluar. Jadi, jantungnya lingkungan terletak pada resource-use

    management, dan resource-use ini didikte oleh penataan ruang.

    Jika penataan ruang doesnt work, maka lingkungan fails. Itu sebabnya

    dulu mengapa saya, selaku Menteri Lingkungan Hidup, ngotot mendorong

    penataan ruang. Where is the resource use? Bagaimana resource use

    mengindahkan daya dukung lingkungan? Bagaimana dampak pemanfaatan

    resources itu terhadap lingkungan, baik daerah aliran sungai, gunung,

    tanah dan lain-lain. Itu semuanya itu kan bahasa tata ruang. Singkatnya,

    lingkungan in action is tata ruang.

    BUTARU : Lingkungan in action is tata ruang bisa lebih diperjelas maksudnya?

    Emil Salim : Kalau kita bilang lestarikan alam, itu kan hanya blablabla. Artinya,

    embung-embung, situ-situ, terminal banjir tidak boleh dibangun atau

    dirubah, selain itu agar bantaran-bantaran sungai tidak dirusak, agar air

    tetap bisa mengalir,. Maka tanpa tata ruang, lingkungan babak belur.

    Namun, tata ruang tanpa lingkungan adalah tata ruang yang bisa merusak

    lingkungan. Layaknya sebuah pisau, penataan ruang bisa menyembuhkan

    namun juga bisa membunuh.

    Nah saya mengamati bahwa di Departemen PU terlalu banyak orang baik.

    Sekali-sekali kita harus braak, banting meja.

    Pembangunan juga merupakan proses pendidikan. We have to fight for

    our principles

  • Profil DAS Bengawan Solo

    1. LATAR BELAKANG

    Sungai Bengawan Solo merupakan sebuah sumber air yang sangat potensial bagi usaha-

    usaha pengelolaan dan pengembangan sumber daya air (SDA), di sepanjang alirannya

    untuk memenuhi berbagai keperluan dan kebutuhan, antara lain untuk kebutuhan

    domestik, air baku air minum dan industri, irigasi dan lain-lain. Sungai Bengawan Solo

    merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa, terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa

    Timur dengan luas wilayah sungai 12% dari seluruh wilayah Pulau Jawa pada posisi

    110o18 BT sampai 112o45 BT dan 6o49LS sampai 8o08 LS.

    Wilayah Sungai merupakan suatu wilayah yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu

    kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang melalui wilayah tersebut dalam fungsinya

    untuk menampung air yang berasal dari hujan dan sumber-sumber air lainna yang

    penyimpanan dan pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam

    sekeliling berdasarkan keseimbangan daerah tersebut.

    Luas total wilayah sungai (WS) Bengawan Solo 19.778 km2, terdiri dari 4 (empat)

    Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Bengawan Solo dengan luas 16.100 km2, DAS

    Kali Grindulu dan Kali Lorog di Pacitan seluas 1.517 km2, DAS kecil di kawasan pantai

    utara seluas 1.441 km2 dan DAS Kali Lamong seluas 720 km2.

    DAS Bengawan Solo merupakan DAS terluas di WS Bengawan Solo yang meliputi Sub DAS

    Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Sub DAS

    Bengawan Solo Hulu dan sub DAS Kali Madiun dengan luas masing-masing 6.072 km2

    dan 3.755 km2. Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun mengalirkan air dari lereng

    gunung berbentuk kerucut yakni Gunung Merapi ( 2.914 m), Gunung Merbabu ( 3.142

    m) dan Gunung Lawu ( 3.265 m), sedangkan luas Sub DAS Bengawan Solo Hilir adalah

    6.273 km2.

    Secara administratif WS Bengawan Solo mencakup 17 (tujuh belas) kabupaten dan 3

    (tiga) kota, yaitu:

    Kabupaten : Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora,

    Rembang, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban.

    Lamongan, Gresik dan Pacitan.

    D E P A R T E M E N P E K E R J A A N U M U M D I R E K T O R A T J E N D E R A L S U M B E R D A Y A A I R S A T K E R B A L A I B E S A R W I L A Y A H S U N G A I B E N G A W A N S O L O

    Jl. SOLO-Kartosuro Km. 7 PO BOX 267 Telp (0271) 716428 716071, Fax (0271) 716428 SURAKARTA - 57102

  • Kota : Surakarta, Madiun dan Surabaya

    Pengelolaan sumber daya air merupakan suatu kegiatan yang kompleks karena

    menyangkut semua sektor kehidupan, sehingga harus melibatkan semua pihak baik

    pembuat aturan (regulator), pengguna (user) dan pengembang (developer) maupun

    pengelola (operator). Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk mulai menerapkan

    dan menggunakan pendekatan one river basin, one plan and one integrated

    management, sehingga keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan serta

    pengendalian dapat diwujudkan.

    Dalam pengelolaan WS Bengawan Solo Arah dan Kebijakan yang diambil adalah :

    1. Memperhatikan keserasian antara konservasi dan pendayagunaan, pengelolaan

    kuantitas dan kualitas air untuk menjamin ketersediaan air baik untuk saat ini

    maupun masa datang.

    2. Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan banjir dilakukan

    dengan pendekatan konstruksi (penyelesaian pelaksanaan pembangunan sarana

    pengendali banjir) dan non-konstruksi (konservasi sumber daya air dan

    pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan

    tata ruang wilayah).

    3. Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air memerlukan penataan

    kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab

    masing-masing pemangku kepentingan.

    2. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo

    + 26,1% wilayah Propinsi Jateng 27,5% wilayah Propinsi Jatim

  • Balai Besar WS Bengawan Solo sebagai pengelola Pengelolaan Sumber Daya Air yang

    bertugas dalam perencanaan, pelaksanaan konstruksi, o & p dalam rangka konservasi

    sumber daya air, pengembangan sumber daya air, pendayagunaan sumberdaya air dan

    pengendalian daya rusak air pada Wilayah Sungai Bengawan Solo. Dalam rangka

    menjalankan tugas tersebut, Balai Besar WS Bengawan Solo memiliki fungsi :

    1. Penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai

    2. Penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sumber air

    pada wilayah sungai

    3. Pengelolaan sumberdaya air yang meliputi konservasi sumber daya air,

    pengembangan sumber air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian

    daya rusak air.

    4. Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan, peruntukan,

    penggunaan dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai.

    5. Operasi dan pemeliharaan sumberdaya air pada wilayah sungai

    6. Pengelolaan sistem hidrologi

    7. Penyelenggaraan data dan informasi sumberdaya air.

    8. Fasilitasi kegiatan tim koordinasi pengelolaaan sumberdaya air pada wilayah

    sungai

    9. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air.

    10. Pelaksanaan ketatausahaan balai besar wilayah sungai.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11A/PRT/M/2006 Juni 2006, WS

    Bengawan Solo dikategorikan sebagai WS lintas propinsi yang didasarkan pada penilaian:

    WS Bengawan Solo adalah WS lintas propinsi, yaitu berada di wilayah Propinsi

    Jawa Tengah dan Jawa Timur.

    Ukuran dan besarnya potensi sumber daya air yang tersedia, ketersediaan air

    sebesar 18,61 miliar m.

    Banyaknya sektor yang terkait dengan sumber daya air WS Bengawan Solo,

    jumlah penduduk mencapai 16,03 juta jiwa pada tahun 2005.

    Besarnya dampak sosial, lingkungan dan ekonomi terhadap pembangunan

    nasional.

    Besarnya dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhan ekonomi

    nasional dan regional.

    Karena WS Bengawan Solo dipandang sebagai WS lintas propinsi, maka pengelolaan

    sumber daya air ini berada di dalam kewenangan Pemerintah Pusat.

    3. Pemanfaatn Ruang di WS. Bengawan Solo

  • Pemanfaatan ruang WS Bengawan Solo yang telah dikompilasikan dari RTRW Propinsi

    Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut :

    a. Pengelolaan Kawasan Lindung

    Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah kerusakan fungsi

    lingkungan. Sedangkan pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk

    meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan ruang, menjaga kelestarian

    lingkungan serta menghindari konflik pemanfaatan ruang.

    a) Kawasan Perlindungan Bawahan

    Kawasan perlindungan bawahan diperuntukkan untuk menjamin

    terselenggaranya fungsi lindung hidroorologis bagi kegiatan pemanfaatan lahan.

    Kawasan ini meliputi kawasan hutan lindung dan kawasan resapan air.

    Kawasan Hutan Lindung

    Arahan pengelolaan kawasan hutan lindung, khususnya yang berkaitan dengan

    pemanfaatan kawasan budidaya, berada di lokasi : Kabupaten Boyolali,

    Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten

    Magetan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi.

    Kawasan Resapan Air

    Kawasan resapan air diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan tanah yang

    dapat menjaga kelestarian ketersediaan air bagi daerah yang terletak di wilayah

    bawahannya. Kawasan resapan air tersebar di Kabupaten Boyolali, Kabupaten

    Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen,

    Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo

    dan Tuban.

    b) Kawasan Suaka Alam

    Beberapa sub kawasan termasuk di dalam kawasan suaka alam, pelestarian alam

    dan cagar budaya, suaka alam laut dan perairan, kawasan pantai berhutan

    bakau, taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

    c) Kawasan Rawan Bencana

    Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi

    tinggi mengalami bencana alam.

    Kawasan rawan banjir

    Kawasan rawan bencana banjir adalah tempat-tempat yang setiap musim hujan

    mengalami genangan lebih dari enam jam pada saat hujan turun dalam keadaan

    normal. Kawasan tersebut yaitu di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Blora.

    Kawasan rawan bencana longsor

    Kawasan rawan bencana alam rawan longsor merupakan wilayah yang kondisi

    permukaan tanahnya mudah longsor karena terdapat zona yang bergerak akibat

    adanya patahan atau pergeseran batuan induk pembentuk tanah.

    Lokasi kawasan rawan bencana longsor terdapat di Kabupaten Boyolali (lereng

    timur G.. Merbabu dan lereng timur G. Merapi), Kabupaten Wonogiri (lereng

    selatan G. Lawu, perbukitan selatan dan timur Sungai Keduwang, serta bagian

    selatan dan barat daya Kabupaten), Kabupaten Karanganyar (lereng barat G.

  • Lawu), Kabupaten Sragen (Sangiran dan Gemolong (G. Butak Manyar)),

    Kabupaten Blora (di daerah Ngawen, Todanan dan Jepon), Kabupaten Rembang

    terutama di bagian selatan dan timur dan Kabupaten Magetan.

    Kawasan rawan bencana gunung berapi

    Kawasan rawan bencana alam gunung berapi merupakan wilayah sekitar puncak

    gunung berapi yang rawan terhadap luncuran gas beracun, lahar panas dan

    dingin, luncuran awan panas dan semburan api, dan tempat lalunya tumpahan

    benda-benda lain akibat letusan gunung berapi.

    Lokasi kawasan rawan bencana gunung berapi yaitu di Kabupaten Boyolali,

    Kabupaten Klaten, Kabupaten Ngawi (G. Lawu), Kabupaten Magetan (G. Lawu),

    Kabupaten Madiun (G. Liman & G. Wilis) dan Kabupaten Ponorogo (G. Liman &

    G. Wilis).

    Kawasan rawan bencana gempa

    Lokasi rawan bencana gempa yaitu di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten,

    Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Ponorogo.

    b. Pengelolaan Kawasan Budidaya

    Pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil

    guna sumberdaya serta untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan

    kelestarian lingkungan hidup. Kawasan budidaya yang dikelola pemanfaatan

    ruangnya terdiri dari: Kawasan hutan produksi; Kawasan pertanian; Kawasan

    pertambangan; Kawasan peruntukan industri; Kawasan pariwisata; Kawasan

    permukiman; Kawasan perikanan; Kawasan perkebunan; Kawasan peternakan;

    Kawasan pariwisata; Kawasan permukiman; Kawasan industri; dan Kawasan

    perdagangan.

    c. Kawasan Andalan

    Adalah Kawasan kawasan yang mempunyai potensi pengembangan bagi sektor unggulan.

    WS Bengawan Solo ditetapkan 4 (empat) zona kawasan andalan:

    1. Tuban-Lamongan dan sekitarnya

    2. Madiun dan sekitarnya

    3. Surabaya dan sekitarnya

    4. Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan Karanganyar

    No Kaput Nama DAS Potensi Unggulan Prioritas Pengembangan

    1 Tuban-Lamongan dan sekitarnya

    Bengawan Solo Hilir dan Pantura

    Pertanian tanaman pangan

    Perikanan

    Industri

    Pariwisata

    Perdagangan jasa

    Pertambangan

    Mengembangkan kawasan industri di kawasan utara.

    Mengembangkan industri perikanan di Brondong.

    Eksploitasi sumber daya tambang.

    Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman pangan.

    Menumbuhkan potensi pariwisata alam atau buatan, a.l: Wisata alam Pacet, Goa Maharani, Tanjung Kodok, Jatim Park II.

  • 2 Madiun, Pacitan dan sekitarnya

    Kali Madiun, Kali Grindulu-Lorog

    Pertanian tanaman pangan

    Industri

    Perikanan

    Meningkatkan pengembangan potensi tanaman semusim selain tanaman padi sebagai sektor dasar, serta peningkatan produksi industri kulit.

    Mengembangkan kawasan industri di Madiun.

    Optimalisasi pariwisata alam.

    3 Surabaya, Gresik dan sekitarnya

    Kali Lamong Perdagangan jasa

    Industri

    Perikanan

    Pariwisata

    Pertanian tanaman pangan

    Mengembangkan kawasan industri.

    Aglomerasi permukiman perkotaan.

    Mengembangkan potensi wisata.

    Meningkatkan produksi perikanan tambak.

    Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman pangan

    4 Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan sekitarnya

    Bengawan Solo Hulu

    Industri

    Pariwisata

    Tanaman pangan

    Perdagangan

    Mengembangkan kawasan industri.

    Mengembangkan potensi wisata.

    Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman pangan

    4. Banjir Bengawan Solo Akhir Tahun 2007

    Permasalahan Utama dalam pengelolaan DAS WS Bengawan Solo diantaranya adalah

    banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi, intruksi air laut, kualitas air dan lain-lain yang

    disebabkan oleh :

    Terus menurunnya kondisi hutan.

    Kerusakan DAS: penebangan liar dan konversi lahan yang menimbulkan kerusakan

    ekosistem dalam tatanan DAS.

    Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging).

    Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.

    Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori potensial kritis sampai sangat kritis

    mencapai luas kurang lebih 11.398 km2 akibat proses erosi yang berlanjut dan kerusakan

    vegetasi.

    Luas lahan kritis terbesar terdapat di Kab. Wonogiri (Jawa Tengah) seluas 128.662 ha,

    Kab. Pacitan seluas 129.598 ha dan Kab. Bojonegoro seluas 172.261 ha (Jawa Timur).

    Wilayah Sungai Bengawan Solo mengalami penurunan daya dukung lingkungan. Hal ini

    antara lain disebabkan oleh penebangan liar dan konversi lahan, sehingga terjadi

    penurunan luas hutan yang ada yaitu 23 % pada tahun 1998 menjadi 18 % pada tahun

    2005. Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori potensial kritis sampai

    sangat kritis pada saat ini mencapai luas 11.39 km2, akibat proses erosi yang

    berkelanjutan dan kerusakan vegetasi.

  • Akibat terjadinya hujan di bagian hulu dengan intensitas tinggi di Sub DAS Bengawan Solo

    Hulu dan K.Madiun pada tanggal 25 Desember 2007, maka terjadi banjir besar diseluruh

    DAS Bengawan Solo mulai tanggal 26 Desember 2007, yang menimbulkan kerusakan

    akibat banjir besar seperti tergenangnya perumahan, fasilitas umum, kantor, tempat

    ibadah, sawah/tegalan, dan jalan nasional, propinsi, kabupaten di kota dan daerah

    disekitar sungai Bengawan Solo, dimana kondisi itu mempengaruhi aktifitas masyarakat

    dan perekonomian.

    Kejadian banjir besar tersebut melanda kabupaten/kota di sepanjang aliran sungai

    Bengawan Solo diantaranya yaitu : Solo, Sukoharjo, Sragen, Ponorogo, Madiun, Cepu,

    Bojonegoro, Tuban, Babat, Lamongan, Gresik dan daerah disekitarnya.

    5. Penangulangan Permasalahan Daya Rusak Air

    Upaya pengendalian banjir harus dengan keterpaduan antara upaya fisik teknis dan non

    teknis seperti perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan, perubahan tata ruang

    secara massive di kawasan budidaya yang menyebabkan daya dukung lingkungan

    menurun drastis, serta pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri yang mengubah

    keseimbangan fungsi lingkungan sehingga menyebabkan kawasan retensi banjir

    (retarding basin) berkurang. Aktivitas dan perubahan ini menyebabkan meningkatnya

    debit air yang masuk ke badan sungai dimana dengan terbatasnya kapasitas tampung dan

    pengaliran sungai akan berdampak meluapnya air sungai.

    Karena itu pada masa yang akan datang upaya pengendalian banjir tidak bisa hanya

    difokuskan pada penanganan fisik saja, namun harus disinergikan juga dengan

    pembangunan non fisik yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya keterlibatan

    atau partisipasi masyarakat, sehingga tercapai suatu sistem pengendalian banjir yang

    lebih optimal.

    Sinergi antara penanganan fisik dan non fisik dalam upaya pengendalian banjir dapat

    diwujudkan melalui beberapa hal sebagai berikut:

    a. Pengendalian tata ruang.

    Pengendalian tata ruang dilakukan dengan perencanaan penggunaan

    ruang sesuai kemampuannya dengan mempertimbangkan permasalahan

    banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya serta

    penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang telah

    memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai.

    b. Pengaturan debit banjir

    Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan penanganan fisik

    berupa pembangunan dan pengaturan bendungan, perbaikan sistem

    drainase perkotaan, normalisasi sungai dan daerah retensi banjir.

    Pengaturan daerah rawan banjir

    Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara:

  • 1) Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain management).

    2) Penataan daerah lingkungan sungai seperti: penetapan garis

    sempadan sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai, penertiban

    bangunan di sepanjang aliran sungai.

    c. Peningkatan peran masyarakat.

    Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir diwujudkan

    dalam:

    1) Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat

    2) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun

    dan mensosialisasikan program pengendalian banjir.

    3) Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain

    tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang

    berwenang untuk:

    mengubah aliran sungai;

    mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di

    dalam atau melintas sungai.

    membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan atau cair

    ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai

    yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran,

    pengerukan atau penggalian bahan galian golongan C dan atau

    bahan lainnya.

    pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap

    masyarakat (melalui Penyediaan informasi dan pendidikan,

    Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas umum,

    Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat

    lainnya dan lain-lain)

    d. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air

    Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir antara lain

    dapat dilakukan melalui kegiatan:

    1) Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan,

    kawasan budidaya dan kawasan lindung);

    2) Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak;

    3) Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif, kimia,

    maupun mekanis;

    4) Perlindungan/konservasi kawasan - kawasan lindung.

    e. Penyediaan Dana

    Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara:

    1) Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola

    sendiri oleh masyarakat pada daerah rawan banjir.

    2) Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah yang

    rawan banjir

  • 3) Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan

    Pemerintah Daerah.

    f. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat dan

    Rencana Tindak Darurat

    Agar efektif, di masa yang akan datang sistem peringatan dini datangnya

    banjir di WS Bengawan Solo harus berpusat secara kuat pada masyarakat

    yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu. Dengan

    penerapan sistem ini, akan dapat memberikan informasi lebih dini bagi

    masyarakat yang kemungkinan akan terkena bencana sehingga ada

    kesempatan bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri atau barang-

    barang berharganya.

    Sistem tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh sehingga dapat

    meyakinkan bahwa sistem tersebut dapat berfungsi ketika diperlukan dan

    peringatan dapat disampaikan secara segera dan mudah dimengerti oleh

    semua anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan tingkat resiko

    bencana. Komponen inti sistem peringatan dini datangnya banjir harus

    berpusat pada masyarakat terdiri dari:

    Penyatuan dari kombinasi elemen-elemen bottom-up dan top-down;

    Keterlibatan masyarakat dalam proses peringatan dini;

    Pendekatan multi bencana; dan

    Pembangunan kesadaran masyarakat.

    Mendasari semua hal tersebut di atas harus ada suatu dukungan politis

    yang kuat, hukum dan perundang-undangan, tugas dan fungsi masing-

    masing institusi yang jelas serta sumber daya manusia yang terlatih. Oleh

    karenanya, sistem peringatan dini perlu dibentuk dan didukung sebagai

    satu kebijakan, sedangkan kesiapan untuk menanggapi harus diciptakan

    melekat dalam masyarakat.

    Untuk menciptakan sistem peringatan dini datangnya banjir yang efektif

    di WS Bengawan Solo, yang berpusat secara kuat pada masyarakat yang

    tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu masih banyak hal-

    hal yang perlu dilakukan antara lain:

    o Membuat peta rawan banjir yang dapat menunjukkan ketinggian

    genangan, tempat yang aman untuk berlindung serta rute untuk

    penyelamatan.

    o Melakukan survei kerentanan masyarakat yang tinggal di lereng bukit

    yang rawan longsor.

    o Membantu lembaga nasional yang terkait dengan cuaca dengan

    mengakses data cuaca dan citra satelit internasional/global.

    o Mendukung masyarakat terpencil dengan memasang alat duga muka

    air elektronis yang sederhana dan sistem siaga untuk memberikan

    peringatan banjir.

    o Meningkatkan keinginan melakukan penelitian dan pelatihan tentang

    ilmu pengetahuan dan teknologi peringatan dini modern.

  • o Melaksanakan kajian bagaimana masyarakat meng-akses dan

    menginterpretasikan peringatan dini dan kemudian

    mengaplikasikannya pada saat proses diseminasi.

    o Mengembangkan, menguji dan menyempurnakan skenario evakuasi

    untuk berbagai kondisi siaga khususnya di daerah yang padat

    penduduk.

    o Mengembangkan sistem-sistem berbasis masyarakat untuk menguji

    anggota masyarakat yang berusia lanjut dan penyandang cacat ketika

    dilakukan peramalan banjir.

    o Mengembangkan standar dan pedoman untuk berbagai jenis sistem

    peringatan dini.

    o Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan

    Pemerintah Daerah.

    o Pengelolaan kawasan yang berpotensi mendorong perkembangan

    kawasan sekitar dan/atau berpengaruh terhadap perkembangan

    wilayah Propinsi secara umum.

    o Pengelolaan kawasan perbatasan dalam satu kesatuan arahan dan

    kebijakan yang saling bersinergi.

    o Mendorong perkembangan/revitalisasi potensi wilayah yang belum

    berkembang.

    o Penempatan pengelolaan kawasan diprioritaskan dalam kebijakan

    utama pembangunan daerah.

    o Mendorong tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan.

    o Peningkatan kontrol terhadap kawasan yang diprioritaskan.

    o Mendorong terbentuknya badan pengelolaan kawasan yang

    diprioritaskan.

    6. Rekomendasi Aspek Tataruang Dalam Pengelolaan DAS

    Pemanfaatan ruang di WS Bengawan Solo pada masa yang akan datang diarahkan

    untuk dapat menyeimbangkan antara fungsi kawasan lindung dan kawasan

    budidaya. Kawasan lindung memiliki potensi untuk perlindungan, pengawetan,

    konservasi dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya guna

    mendukung kehidupan secara serasi.

    Kawasan yang memerlukan perhatian utama adalah kawasan perlindungan setempat

    yang terdiri dari kawasan sekitar mata air, kawasan sekitar waduk/danau, kawasan

    sekitar sempadan sungai, pantai, kawasan sekitar sempadan sungai di kawasan

    permukiman, kawasan pantai berhutan bakau (mangrove) dan kawasan terbuka

    hijau. Pengamanan terhadap kawasan sekitar mata air akan memberikan jaminan

    terhadap penyediaan air jangka panjang

    Pemetaan dan perlindungan terhadap daerah resapan air tanah yang dilakukan

    pengelola SDA dan badan perencana masing-masing daerah sehingga pembangunan

    daerah tidak mengganggu konservasi air tanah

  • Penentuan rencana rinci tataruang kawasan dan arahan peraturan zonasi

    Penghijauan dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan dukungan penuh

    dari seluruh stakeholder yang terlibat (swasta, badan usaha), role sharing yang jelas

    antara pemanfaat dan pelaku konservasi, menjadikan kawasan hutan produksi yang

    mempunyai kemiringan > 45% sebagai kawasan hutan lindung.

    Mempertahankan vegetasi dan menanam kembali bagian kawasan yang terbuka

    khususnya pada hutan budidaya dan, role sharing yang jelas antara pemanfaat dan

    pelaku konservasi.

    Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.

    Kegiatan penghijauan yang didasarkan pada sinergi antara masyarakat, pemerintah

    dan badan usaha/swasta.

    Penegasan aturan hokum dan sangsi terhadap pelanggaran enatan ruang wilayah

    sungai.

    Meminimalisasi konflik yang terjadi dengan penerapan kebijakan rencana tata ruang

    wilayah.

    Penambahan ruang terbuka hijau sesuai dengan kebijakan tata ruang yang telah

    ditetapkan.

    Rehabilitasi pada lahan-lahan kritis atau yang mengalami kerusakan.

  • PENATAAN RUANG DAN PEMANASAN GLOBAL Oleh :

    Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, M.Sc (Presiden Direktur PT. Global Eco Rescue Indonesia)

    Penataan ruang tidak lagi semata menjembatani kepentingan ekonomi dan sosial. Lebih jauh dari kedua hal itu (ekonomi dan sosial), penataan ruang telah berubah orientasinya pada aspek yang benar-benar berpihak untuk kepentingan lingkungan hidup, sebagai konsekuensi keikut-sertaan Indonesia pada upaya menekan pemanasan global. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah ditegaskan mengenai tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, serta menciptakan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Penataan ruang yang berpihak pada lingkungan hidup perlu ditegakkan bersama karena sebelumnya, logika penataan ruang yang hanya mengikuti selera pasar, dalam kenyataan telah mengancam keberlanjutan. Hal ini dapat dicermati dari keberadaan lahan-lahan produktif dan kawasan buffer zone berada dalam ancaman akibat konversi lahan secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan yang mempunyai land rent tinggi seperti peruntukan lahan untuk permukiman, industri, perdagangan serta pusat-pusat perbelanjaan. Diperkirakan sekitar 15 ribu 20 ribu ha per tahun lahan pertanian beririgasi beralih fungsi menjadi lahan non pertanian, serta tidak sedikit kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) terdegradasi. Berdasarkan data (Bappenas, 2002) terdapat sekitar 62 Daerah Aliran Sungai (dari 470 Daerah Aliran Sungai) terdegradas akibat dari penebangan hutan yang tidak terkendali dari hulu sungai. Tekanan lingkungan lainnya adalah menyangkut laju urbanisasi yang akan tumbuh sekitar 4,4 persen per tahun. Oleh karena itu diperkirakan, pada tahun 2025 nanti terdapat sekitar 60 persen penduduk Indonesia (167 juta orang) berada di perkotaan. Bila penataan ruang tidak mengikuti logika pembangunan keberlanjutan, maka dapat dipastikan bahwa kota-kota besar yang telah berkembang saat ini akan selalu berada tekanan social yang sangat tinggi.

    Masalah Perkotaan dan Pemanasan Global Pertumbuhan kota yang mengabaikan penataan ruang berbasis lingkungan telah menyebabkan konversi lahan secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi. Oleh sebab itu sangat sulit menghindari konsentrasi permukiman penduduk di kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk perkotaan tentu sangat terkait dengan pemanasan global karena kenaikan jumlah penduduk perkotaan akan berbading lurus dengan produksi sampah perkotaan. Saat ini rata-rata satu rumah tangga diperkotaan telah menyumbang sekitar 3 kg sampah perhari. Jika penduduk perkotaan telah mencapai angka 167 juta maka dapat dibayangkan kira-kira berapa jumlah sampah yang akan dibuang oleh masyarakat kota disetiap TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah. Pengelolaan sampah di TPA bagi sebagian kota-kota besar di Indonesia rata-rata belum memenuhi standar lingkungan karena kebanyakan menggunakan sistem open dumping. Sistem ini (open dumping) sangat berbahaya bagi lingkungan sebab gas metan (CH4) yang dikandung oleh TPA

  • sampah menguap ke udara. Sebagaimana dipahami bahwa gas methan dari TPA yang menguap ke udara, mempunyai kemampuan menyerap radiasi matahari 21 kali lipat lebih besar dibanding dengan gas-gas berbahaya lainnya. Dengan demikian gas methan dari TPA adalah penyumbang terhadap pemanasan global yang cukup besar. Penguapan gas methan dari TPA ke udara dapat dihambat dengan merubah desain TPA dari open dumping menjadi sanitary landfill. Desain sanitary landfill mampu menekan lepasnya gas metan ke udara karena menggunakan sistem penimbunan (liner) sampah, dan sistem penangkapan gas methan (methan capture) yang dikandungnya dengan menggunakan teknologi tertentu. Bagi TPA yang telah dimodernisasi dengan melalui penangkapan gas metan dan kemudian gas metan tersebut dapat di flaring dan diolah menjadi biogas untuk kepentingan pembangkit listrik. Sebagai contoh misalnya pada pengelolaan sampah di 8 (delapan) Kota di Indonesia yang dilakukan oleh PT. Global Eco Rescue Indonesia meliputi :

    1. TPA Telaga Punggur Kota Batam, menghasilkan sampah 2.750 m3/hari (=995 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 131.892.442 m3/tahun gas metan.

    2. TPA Talang Gulo Kota Jambi menghasilkan sampah 600 m3/hari (=228 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 97.577.215 m3/tahun gas metan.

    3. TPA Air Dingin Kota Padang menghasilkan sampah 1.800 m3/hari (=684 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 143.080.883 m3/tahun gas metan.

    4. TPA Manggar Kota Balikpapan menghasilkan sampah 575 m3/hari (=226 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 31.803.427 m3/tahun gas metan.

    5. TPA Pinang Kota Samarinda menghasilkan sampah 1.550 m3/hari (=590 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 138.599.250 m3/tahun gas metan.

    6. TPA Supit Urang Kota Malang menghasilkan sampah 665 m3/hari (=236 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 94.341.221 m3/tahun gas metan.

    7. TPA Kebun Kongok Kota Mataram menghasilkan sampah 1.700 m3/hari (=776 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 122.427.100 m3/tahun gas metan.

    8. TPA Kawatuna Kota Palu menghasilkan sampah 600 m3/hari (=228 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 93.651.201 m3/tahun gas metan.

    Penataan Ruang dan Pemilihan Lokasi TPA Penataan ruang yang serasi dan selaras dengan kapasitas lingkungan mulai dirasakan sejak meningkatnya pertumbuhan penduduk perkotaan, masalah permukiman, penggunaan lahan untuk lokasi pembuangan samapah dan sebagainya. Oleh sebab itu zoning diperlukan untuk menciptakan keserasian alokasi ruang sehingga masing-masing lahan berfungsi sesuai pertumtukannya. Peruntukan lahan yang sesuai fungsinya dapat menciptakan suatu kawasan (perkotaan) berkembang tanpa tekanan yang kemudian memperkecil dampak eksternalitas perkotaan. Dalam suatu kawasan perkotaan, pembagian zoning mutlak diperlukan. Misalnya pembagian zoning untuk kawasan perdagangan dan bisnis, kawasan industri, kawasan perumahan, kawasan perkantoran dan pemerintahan, kawasan rekreasi, dan kawasan pembuangan atau pengelolaan sampah perkotaan. Bila kawasan tersebut tidak ditentukan dalam tata ruang perkotaan yang jelas dan tegas, maka pertumbuhan kota akan mengalami tekanan sosial yang sangat berat karena estetika dan nilai kenyamanan kota sulit dicapai. Dari semua pembagian zona, maka zona mengenai lokasi sampah khususnya pada pembuangan akhir sampah (TPA), dinilai sangat rumit karena terkait dengan kenyamanan tepat tinggal atau dampak eksternalitas pada penduduk didekat TPA. Disamping itu pemilihan lokasi TPA dalam membuat zoning, harus memperhatikan strutktur tanah, karena dalam teori lokasi, istilah tanah tersimpul pula keadaan topografi, struktur tanah dan cuaca yang terdapat ditempat tertentu; kesemuanya ini mempengaruhi pemilihan lokasi TPA. Topografi tanah adalah keadaan tanah seperti terungkap dalam permukaannya, seperti bukit, jurang dan

  • sungai. Topografi tanah yang menunjukan tanah yang berbukit pada umumnya cocok digunakan untuk lokasi pembuangan sampah (TPA). Lokasi sampah kurang cocok diletakan pada kawasan berlereng atau kawasan yang tergenang (rawan bajir) karena dengan gampang menularkan bakteri dan penyakit. Tetapi lokasi TPA yang berada perbukitan, akan memakan biaya yang tidak sedikit untuk mempersiapkan pembuatan jalan dan jembatan menuju lokasi TPA bersangkutan. Masalah lokasi TPA diperbukitan lebih dominan pada sistem transportasinya, sehingga untuk kasus yang satu ini (kasus TPA diperbukitan) harus secara cermat memperhitungkan jalur-jalur transportasi yang dipandang efisien dan cepat. Perubahan Iklim dan Penataan Ruang Perkotaan Untuk mengatasi perubahan iklim dengan menekan kegiatan pembangunan yang dapat mengurangi pemanasan global, maka kota-kota besar di Indonesia harus mengatasi masalah persampahan agar gas metan yang dikandungnya tidak menguap ke udara dan memicu pemanasan global. Gas metan itu harus ditangkap (methane capture) dan metode seperti ini akan dikembangkan dibeberapa kota di Indonesia. Untuk meningkatkan perekonomian kota agar dapat membiayai infrastruktur sosial, maka program methane capture ini dapat diintegrasikan dengan program Clean Development Mechanism (CDM) melalui mekanisme perdagangan karbon. Dengan demikian ketiga aspek (ekonomi, social dan lingkungan) dalam pembangunan berkelanjutan akan terpenuhi. Disamping konsep tersebut diatas, kita juga perlu mengembangkan kota-kota ramah lingkungan yang sejalan dengan upaya-upaya menekan pemanasan global. Kota-kota kecil menengah yang ramah lingkungan tentu akan mampu menghambat laju urbanisasi. Kota-kota kecil menengah ini dilakukan dengan membenahi sistem penggunaan energi (rumah tangga dan industri) yang menggunakan menggunakan energi terbarukan seperti PLTS (energi matahari) atau biogas dari pengolahan gas metan di TPA. Demikian pula dengan penggunaan bahan bakar transportasi menggunakan gas. Lapangan kerja tercipta dari aktivitas pertanian dalam desain agropolitan, sedangkan penataan permukiman menggunakan desain dimana satuan-satuan lingkungan permukiman berada dalam taman kota yang saling dihubungkan oleh jaringan transportasi dengan kawasan lain untuk memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja dalam rangka mendukung sistem kehidupan kota, sehingga fungsi permukiman tersebut dapat memberikan kenyamanan dan produktifitas bagi masyarakat yang mendiaminya. Konsep kota-kota kecil menengah yang ramah lingkungan dapat diintegrasikan dengan pengembangan agropolitan yang telah maju. Dengan konsep tersebut akan tercipta kota-kota produktif yang menjadi lokomotif dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan.

  • Pengembangan Peta Spasial Proyeksi Perubahan Iklim

    Untuk Pengendalian Banjir

    Oleh: Dr. Armi Susandi, MT

    Ketua Program Studi Meteorologi ITB &

    Pakar Perubahan Iklim Global

    Email: [email protected]

    Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Kesuksesan Indonesia sebagai tuan rumah dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim tanggal 3-15 Desember 2007 yang lalu di Bali, kembali membuktikan pada dunia internasional bahwa komitmen Indonesia sangat tinggi dalam mengatasi persoalan penting dunia tentang pemanasan global. Salah satu keputusan penting dalam konferensi internasional tersebut adalah upaya pengurangan emisi global yang lebih besar dari komitmen sebelumnya (Protokol Kyoto), pengurangan emisi yang lebih besar atau disebut deeper cut sebesar 25%-40% menjadi salah satu hasil utama perundingan di Bali. Tentunya hal tersebut bertujuan agar upaya mitigasi perubahan iklim yaitu pengurangan emisi karbon global dapat terus menjadi target utama bagi negara maju di masa mendatang, khususnya paska tahun 2012, sementara itu kegiatan adaptasi perubahan iklim menjadi titik fokus negara berkembang. Sebagaimana kita ketahui kemampuan negara berkembang jauh lebih rendah dalam adaptasi dampak perubahan iklim global, sehingga negara berkembang menjadi negara yang lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim global. Pemanasan global atau yang dikenal dengan global warming akan berdampak pada dua hal utama, yaitu peningkatan temperatur global dan yang kedua kenaikan muka air laut (sea level rise). Implikasi dari peningkatan temperatur global adalah perubahan pola dan variabilitas iklim. Secara khusus hal tersebut akan berdampak pada perubahan intensitas curah hujan pada suatu daerah sampai pada kejadian cuaca ekstrim yang bakal sering terjadi di muka bumi ini. Selanjutnya kenaikan muka air laut akan mulai menggenangi seluruh wilayah daratan yang lebih rendah di dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi di daerah tropis, dikenal sebagai daerah yang memiliki dinamika pertumbuhan awan yang tertinggi di dunia. Konsekuensinya, wilayah Indonesia akan sering tergangggu aktifitas cuaca jika terjadi cuaca ekstrim di wilayah dan sekitar Indonesia, karena perubahan dinamika atmosfer Indonesia sangat cepat terjadi. Perubahan Pola dan Intensitas Curah Hujan serta Perubahan Tata Guna Lahan Khususnya di Indonesia, dampak perubahan iklim akan berdampak pada perubahan pola dan intensitas curah hujan. Jika dibandingkan data curah hujan saat ini dengan data curah hujan 50 tahun yang lalu, secara umum kondisi curah hujan saat ini ditandai dengan kenaikan curah hujan yang lebih tinggi pada musim hujan di banding pada masa-masa yang lalu, pada musim yang sama. Sebaliknya, pada musim kemarau curah hujan yang terjadi jauh lebih sedikit dibandingkan musim yang sama pada masa yang lalu. Artinya terjadi perbedaan jumlah curah hujan yang sangat tinggi antara jumlah curah hujan pada kedua musim (musim hujan dan musim kemarau). Sebagai ilustrasi Gambar 1, memperlihatkan bagaimana curah hujan yang terjadi pada daerah Jawa Barat mulai tahun 1950 sampai tahun 2007. Selain itu perubahan iklim juga ditandai dengan intensitas curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan masa-masa sebelumnya. Ini lah yang kemudian menimbulkan peningkatan jumlah curah hujan yang sangat tinggi pada waktu yang singkat. Jika hal tersebut terjadi kemungkinan banjir bakal terjadi pada suatu daerah. Selanjutnya kejadian banjir tersebut

  • akan diperparah dengan perubahan tata guna lahan yang terjadi pada daerah tersebut. Daerah yang dulunya menjadi daerah resapan mungkin sudah berganti menjadi daerah perumahan dan perkantoran atau daerah industri. Jika intensitas curah hujan semakin tinggi dan perubahan tata guna lahan terus terjadi maka diperkirakan banjir akan terus meningkat dan sering terjadi. Kedua kejadian tersebut akan mempersulit upaya adaptasi perubahan iklim terhadap pengendalian kejadian banjir yang terjadi.

    Sumber: Susandi dkk, 2007

    Gambar 1. Data Curah Hujan Jawa Barat Tahun 1950 - 2007 Bagaimana penanganan kejadian banjir di masa mendatang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu didasarkan pada kajian kedua variabel penyebab banjir tersebut di atas. Perlu dikembangkan analisis dan kajian proyeksi iklim mendatang untuk wilayah kajian banjir. Proyeksi iklim mendatang haruslah dilakukan dalam skala ruang (spasial), sehingga dapat diketahui dimana potensi curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Gambar 2, memperlihatkan prosentasi perubahan curah hujan rata-rata Indonesia pada tahun 2100. Terlihat bahwa daerah Sumatera akan bertambah prosentase curah hujannya di masa mendatang, termasuk Sulawesi dan Nusa Tenggara. Sementara itu curah hujan di Jawa akan lebih turun prosentase jumlahnya di masa mendatang. Setelah kajian regional (Indonesia), selanjutnya perlu untuk mengkaji lebih detail bagaimana pola curah hujan mendatang dalam skala yang lebih mikro. Sebagai contoh, Gambar 3, berikut memperlihat bagaimana perubahan pola curah hujan di Jakarta pada tahun 2010. Pada Gambar 3 tersebut terlihat bahwa curah hujan di Jakarta pada tahun 2010 akan berasal/berpindah dari Bogor, artinya kemungkinan banjir yang terjadi di Jakarta, tidak hanya terjadi karena banjir kiriman dari Bogor, akan tetapi potensi banjir akan terjadi karena pola curah hujan telah bergeser dari Selatan (wilayah Bogor) ke Utara memasuki wilayah Jakarta.

  • Sumber: Susandi, 2006

    Gambar 2. Perubahan Curah Hujan Tahunan Indonesia Tahun 2100

    Sumber: Susandi dkk, 2006

    Gambar 3. Proyeksi Curah Hujan di Jakarta Tahun 2010 (Bulan Januari)

    Pengembangan model spasial menjadi penting dalam mengurangi dampak kejadian iklim global, khususnya dalam upaya pengendalian banjir di masa mendatang. Selanjutnya hal yang lebih penting lagi bagi pengendalian banjir mendatang adalah proyeksi perubahan tata guna lahan wilayah kajian.

  • Perubahan tata guna lahan tersebut sebenarnya dapat menjadi penyebab utama banjir di suatu wilayah. Berdasarkan model-model tersebut, baik model proyeksi perubahan iklim skala regional, lokal maupun model proyeksi tata guna lahan yang dikembangkan secara spasial (skala ruang) maka selanjutnya penyusunan langkah-langkah dan upaya adaptasi mendatang dalam pengendalian banjir dapat lebih tepat dan sesuai sasaran (optimal). Pengembangan upaya adaptasi akan disesuaikan dengan kondisi dan geografis lingkungan wilayah yang berpotensi banjir, sehingga pemangku jabatan serta masyarakat dapat menentukan langkah-langkah antisipatif yang perlu dikembangkan dalam penanganan banjir. Termasuk di dalam kegiatan tersebut adalah membangun infrastruktur yang di nilai tepat untuk mengatasi banjir di wilayah tersebut. Hanya saja sebagai catatan bahwa, apapun langkah yang diambil dalam penanganan banjir haruslah berdasarkan pertimbangan penentuan lokasi curah hujan mendatang sekaligus menentukan lokasi infrastruktur serta jenis teknologi apa yang akan dikembangkan pada wilayah tersebut. Daftar Pustaka: 1. Susandi. A, Y. Aditiawarman, E. Kurniawan., I. Juaeni. Climate Change in Jakarta: Its Historical

    Study for Projection, Proceedings of the Annual Scientific Meeting HAGI, Semarang, Indonesia, 13 15 November 2006.

    2. Susandi. A, Projection of climate change over Indonesia using MAGICC/SCENGEN, poster section in of the International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung, Indonesia, November 29-30, 2006.

    3. Susandi. A., A. Lubis., Y. Permadhi, Water resources management for climate change adaptation. Poster section on National seminar on climate change and environment in Indonesia, November 9, 200

  • AIR ADALAH REFLEKSI PERUNTUKAN LAHAN

    Pendahuluan

    Adalah Gilbert F. White yang pada tahun 1942 dalam dissertasi doktornya yang sangat terkenal Human Adjustment to Floods menulis : Floods are acts of God but flood losses are largely acts of man. Kalimat yang inspiratif tersebut kini telah menjadi milik dunia.

    Bahwa banjir adalah kehendak Tuhan kiranya tak ada yang menyangkal. Banjir adalah fenomena alam sebagai akibat panas matahari dan perputaran bumi yang menggerakkan siklus hidrologi.

    Bahwa umumnya kerugian banjir adalah karena perbuatan manusia, mungkin masih banyak

    diantara kita yang belum memahami. Tulisan ringkas ini menyoroti kasus daerah banjir dan penyebabnya serta alternatif penanganan

    sesuai cara pandang baru.

    Kasus 1. Perubahan peruntukan lahan DAS Ketika tahun 1984 Cengkareng Drain mulai berfungsi, penduduk di sekitar Daan Mogot, Rawa

    Buaya, Duri Kosambi Kodya Jakarta Barat dan sekitarnya segera menikmati hilangnya banjir

    tahunan yang biasa melanda daerah mereka. Namun mengapa banjir yang hilang itu sejak 1996 datang lagi dengan intensitas yang lebih sering. Cengkareng Drain yang memotong dan

    mengalirkan aliran sungai-sungai Pesanggrahan, Angke dan Mookervart kini seakan . tidak berdaya

    menampung serbuan ebit banjir dari ke 3 sungai tersebut. Kalau kita amati sejak 1984 daerah aliran sungai K. Pesanggrahan, K.Angke, dan Mookervart

    ternyata telah banyak berubah. DAS Angke misalnya sejak Parung, Serpong, Pamulang, Ciputat,

    Bintaro, Ciledug telah berubah peruntukannya dari lahan2 kosong / kebun menjadi areal

    permukiman dan perkotaan. Aliran air di permukaan tanah akibat hujan meningkat tajam karena peresapan ke dalam tanah terhalang perkerasan jalan dan atap bangunan. Peningkatan aliran inilah

    yang menyebabkan banjir datang lagi melanda daerah yang bahkan lebih luas.

    Ditinjau dari aspek perencanaan di daerah ini telah terjadi perubahan parameter disain secara pelahan sehingga melampaui kriteria perencanaan yang telah ditentukan tanpa tindakan antisipasi.

    Kerugian banjir adalah akibat perbuatan manusia.

  • Kasus 2. Dataran Banjir

    Masih di tahun 1984, wilayah Bandung Selatan dan sekitarnya dilanda banjir besar. Bale Endah di

    tepi S. Citarum yang waktu itu hampir siap ditetapkan sebagai ibukota kabupaten Bandung tenggelam berhari-hari, akhirnya ibukota kabupaten Bandung dipindahkan ke Soreang.

    Di wilayah Bandung Selatan ini S. Citarum membentuk dataran banjir yang sangat luas. Dataran

    banjir adalah dataran di kiri-kanan sungai yang dibatasi oleh genangan debit banjir sekurang-

    kurangnya Q50 tahun. Dataran banjir sebenarnya adalah alur sungai yang dilewati air hanya pada saat banjir, pada waktu tidak terjadi banjir dataran ini menjadi bagian sistim daratan. Dataran banjir

    dapat berwujud lahan yang sangat luas dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, namun

    mengingat dataran banjir sebenarnya adalah alur sungai, maka peruntukannya perlu diatur hanya untuk kegiatan yang sesuai dengan karakteristik dataran tersebut. Peruntukan dataran banjir sungai

    sebesar Citarum untuk sebuah kota pusat kabupaten jelas mengundang bahaya dan masalah

    berkepanjangan.

    Banjir akibat luapan sungai sesungguhnya adalah peristiwa pernyataan keberadaan alur sungai. Pada saat banjir, sungai mengambil ruang alurnya kembali yang seringkali justru telah diokupasi

    untuk kepentingan manusia.

    Mengingat pada umumnya sungai lebih dahulu menempati ruang alurnya dibanding keberadaan manusia. Sebetulnya manusialah yang mencari masalah mendatangi dataran banjir. Ketika muncul

    kerugian banjir hal tersebut tentunya adalah karena perbuatan kita sendiri yang kurang paham sifat

    dan perilaku banjir. Mengingat sejarah pembentukan kota-kota umumnya terkait erat dengan keberadaan sungai, banyak perkotaan terbentuk di daerah dataran banjir, tak terkecuali di

    Indonesia. Menurut catatan sejarah pengaturan dataran banjir pertama kali dicetuskan oleh Ratu

    Maria-Theresia (1740-1780) dari kekaisaran Austro-Hungaria. Sang Ratu menetapkan keputusan

    bahwa dataran banjir S. Danube sepanjang 50 km tepat di hulu kota Wina tidak boleh ditanggul. Dataran ini disediakan untuk menampung banjir S. Danube dan masyarakat dilarang membangun di

    daerah tersebut. Kini para perencana kota Wina mengagumi dan berterima kasih atas pandangan

    Sang Ratu yang jauh ke depan.

    Kasus 3 Ruang Sempadan Sungai

    Pada tahun 2000, dipicu oleh keberadaan kampung di tepi alur K. Code di daerah Terban Taman

    Yogyakarta yang sempat memperoleh penghargaan internasional, muncul wacana untuk melegalkan hunian tepian alur K. Ciliwung di Bidara Cina Jakarta . Pendukung wacana ini kurang

    memahami kenyataan bahwa keberadaan sungai adalah sangat spesifik terhadap ruang dan kondisi

    setempat. Untuk K. Code di Terban Taman, setinggi-tingginya air banjir tidak akan pernah

    menyentuh pemukiman karena tebing sungai yang sangat tinggi. Sangat berbeda dengan

  • pemukiman di tepi K. Ciliwung di Bidara Cina muka air banjir seringkali mencapai atap rumah.

    Membiarkan apalagi melegalkan penduduk tinggal di daerah yang berbahaya seperti itu tentu merupakan tindakan yang kurang bertanggung jawab. Sudah seharusnya saudara-saudara kita ini

    difasilitasi dengan rumah susun seperti yang akhirnya telah terbangun sekarang di daerah Cawang.

    Ruang sempadan sungai adalah ruang di kiri-kanan sungai sebagai batas perlindungan sungai.

    Maksud penetapan ruang sempadan sungai adalah untuk menjaga agar sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Jika keduanya saling mengganggu umumnya kegiatan manusia yang harus

    mengalah, mengingat kekuatan alam sangat besar.

    Ketiga kasus di atas adalah contoh tipikal kasus banjir di tanah air. Pekerjan-pekerjaan konstruksi

    pengendali banjir manfaatnya tidak akan bertahan lama jika perubahan peruntukan lahan di bagian

    hulu DAS terus berlangsung tanpa diantisipasi pengaruhnya. Demikian pula pekerjaan pengendali banjir semakin rumit dan mahal jika kita masih terus memanfaatkan dataran banjir secara salah

    tanpa ada pengaturan. Apalagi jika ruang sempadan sungai juga terus didesak untuk pemukiman,

    pekerjaan pengendalian banjir akan menjadi pekerjaan yang tidak pernah selesai.

    Langkah ke depan

    Daerah banjir umumnya tidak akan berpindah lokasi. Sejak dulu daerah banjir adalah dataran

    banjir, ruang sempadan sungai dan daerah2 rendah lain yang tergenang akibat peningkatan debit banjir karena perubahan peruntukan lahan. Kini telah berkembang cara pandang baru terhadap

    banjir yaitu pemahaman bahwa banjir merupakan produk seluruh DAS lengkap dengan segala isi

    dan aktifitasnya. Pengendalian banjir tidak cukup hanya dilakukan di sungai, namun perlu melibatkan peranan seluruh DAS tersebut.

    Ke depan, di samping pekerjaan secara struktur dan non struktur yang telah kita lakukan selama ini,

    daerah yang tidak banjir perlu diberi peran dalam memperbesar resapan air, juga perlu ditetapkan

    aturan-aturan terkait dengan tata ruang berkenaan dengan ke 3 jenis kasus di atas. Perubahan peruntukan lahan harus dikendalikan secara ketat kalaupun hal itu terjadi harus ada kompensasi

    berupa resapan air dengan kapasitas yang sesuai untuk meresapkan lonjakan debit akibat perubahan

    peruntukan lahan. Dataran banjir perlu diidentifikasi di setiap sungai demikian pula ruang sempadannya. Jika dataran banjir dan ruang sempadan tersebut masih kosong, peruntukannya dapat

    segera diatur. Dataran banjir dan ruang sempadan yang telah dihuni perlu ditetapkan kondisinya

    sebagai status quo tidak boleh ada pembangunan baru. Secara bertahap dalam jangka waktu yang

    disepakati oleh seluruh stakeholder (misalnya 5, 10 sampai 20 tahun) dataran banjir dan ruang sempadan sungai tersebut diatur untuk peruntukan yang sesuai. Hanya dengan cara demikian kita

    secara bertahap dapat menyelesaikan masalah banjir

  • Penutup

    Dari uraian di atas tampak bahwa kerugian banjir muncul terkait dengan kepentingan manusia. Ketika sebuah prasarana pengendali banjir selesai dibangun (misal Cengkareng Drain) umumnya

    segera diikuti oleh pembangunan daerah yang didorong oleh rasa aman semu karena adanya

    bangunan pengendali tersebut. Sedangkan untuk pengembangan di dataran banjir dan okupasi sempadan sungai biasanya disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat terhadap fungsi dan

    karakter sungai. Sungai sebagai alur alami tempat air mengalir sebenarnya hanya menunjukkan

    akibat saja dari perlakuan kita terhadap DAS. Karena ruang dan lahan DAS kita perlakukan secara sembarangan kurang memperhatikan fungsinya sebagai media air mengalir, pada saat musim

    penghujan kita menuai hasilnya berupa masalah banjir yang semakin kronis.

    Karena air merupakan cerminan peruntukan lahan tidak kita pahami, akhirnya kita mencelakai diri

    sendiri.

    S.Budi Santoso

    Ksd Cantek Dit Sungai Danau Waduk

    Ditjen Sumber Daya Air De. PU

  • Jawa, Cuaca dan Bencana

    Oleh : Yayat Supriatna

    Akibat musim pancaroba saat ini sebagian besar wilayah di Pulau Jawa,

    khususnya di Jakarta, Jawa Tengah dan Timur tenggelam dilanda bencana banjir dan

    tanah longsor. Tidak dapat dipungkiri, cuaca buruk telah membuka aib buruk terhadap

    pemeliharaan dan pengawasan pemanfaatan lingkungan di Pulau Jawa. Silih bergantinya

    kota yang dilanda banjir dan timbulnya kemacetan sepanjang hampir 40 Kilometer di

    jalur Pantura selama dua minggu, mengindikasikan cuaca sudah menjadi factor yang

    dominan terhadap munculnya bencana banjir dan longsor. Banyaknya kejadian bencana

    menunjukkan, daya dukung lingkungan Pulau Jawa sebenarnya sudah menurun. Hasil

    tinjauan ekologis yang telah dilakukan menunjukkan berbagai fenomena di atas

    disebabkan menurunnya secara tajam fungsi kawasan-kawasan lindung di Pulau Jawa.

    Fenomena berkurangnya fungsi kawasan lindung tidak mudah untuk diatasi.

    Mengingat terdapat hierarki kewenangan maupun hubungan horizontal antar

    pemerintahan, yang selama ini belum mempunyai sinergi yang kuat untuk memecahkan

    masalah-masalah di lapangan. Disamping itu juga terdapat sejumlah peraturan-

    perundangan yang belum mendukung terwujudnya sinergi dimaksud, bahkan cenderung

    implementasinya tidak sinkron satu sama lain.

    Problem Saat Ini

    Untuk menelaah mengapa terjadi penurunan daya dukung Pulau Jawa ada beberapa

    hal penting yang perlu diperhatikan antara lain, meskipun sumberdaya alam di Pulau

    Jawa telah mengalami kerusakan dan menyebabkan menurunnya daya dukung

    lingkungannya. Namun sebagian besar peraturan daerah atau perundangan yang ada

    saat ini masih bersifat eksploitatif dan tidak kolaboratif . Memasuki era otonomi daerah,

    pemerintah kabupaten dan kota, kini mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam

    memanfaatkan dan mengelola sumber-sumber alam di wilayahnya dibandingkan

    sebelumnya. Dari 119 Peraturan Daerah (Perda) yang dianalisis sebagian besar Perda

    tentang pemanfaatan sumber daya alam di era otonomi daerah diterbitkan dengan motif

    untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sebanyak 60 persen atau 71 dari 119

    Perda di Jawa diterbitkan dengan motif untuk memperoleh retribusi ijin usaha /pajak

    daerah. ( Haryadi & Haryanto,Fahutan IPB 2006)

    Sementara luas hutan dan lahan di P Jawa yang kini dalam kondisi kritis dan rawan

    bencana, sekitar 75% dimiliki secara perorangan (individual ownership rights) sedangkan

    sisanya sebesar 25% dikuasai negara (state property). Apabila pemilikan secara individu

  • ini digunakan untuk hanya mengejar manfaat ekonomi semata, maka kebutuhan

    masyarakat secara sosial untuk memulihkan daya dukung lingkungan tidak akan tercapai.

    Pulau Jawa, dengan demikian menghadapi social dilemma. Pemecahan masalah social

    dilemma hanya dapat dilakukan apabila keputusan-keputusan dilakukan secara kolektif

    serta tidak hanya bertumpu pada batas-batas yurisdiksi pemerintahan/ administratif,

    melainkan dengan memperhatikan basis ekosistem sebagai yurisdiksi pengambilan

    keputusan.

    Sementara perbandingan antara jumlah penduduk dengan daya dukung sumberdaya

    alam sudah tidak ideal lagi, dalam arti akibat besarnya jumlah penduduk tidak lagi

    memungkinkan tingkat produktivitas lahan per kapita dapat menjamin kesejahteraan

    minimal masyarakat. Upaya realokasi penduduk Pulau Jawa ke luar Jawa menjadi suatu

    keniscayaan. Masih berjalankah program Transmigrasi ?.

    Jika kondisi ini terus berlanjut , ada prakiraan kedepan, yang mengkhawatirkan

    tingkat perkembangan bencana akan semakin meluas dan merata di Pulau Jawa.

    Khususnya di kawasan perkotaan Pantura yang merupakan wilayah hilir dari sebagian

    besar DAS yang ada. Hasil kajian terhadap daya dukung sumber daya air di Pulau Jawa

    ( Indreswati Guritno,2006) mengungkapkan, jika kondisi lingkungan Pulau Jawa semenjak

    tahun 1995 tidak berubah, maka kondisi Pulau Jawa sudah sangat kritis. Batas daya

    dukung sudah sangat marginal disemua propinsi. Jika kenyataanya saat ini sudah lebih

    dari yang diperkirakan, maka seluruh Pulau Jawa daya dukung lingkungannya sudah

    terlampaui (overshoot). Sehingga dapat disimpulkan setiap tahun mungkin kita akan

    menuai bencana. Apalagi jika kondisi cuaca juga mendukung kearah tersebut. Semakin

    buruk cuaca, maka perkiraan bencana yang buruk mungkin segera akan terjadi.

    Hasil pengamatan selama tahun 2004 hingga 2006 telah terjadi banjir , longsor,

    dan kekeringan masing masing di 102, 51, dan 97 kabupaten/kota. Perkiraan bencana

    pada tahun tahun berikutnya diperkirakan akan semakin meningkat dan ini terbukti

    pada akhir tahun 2007 dan awal 2008. Kondisi banjir paling parah diperkirakan akan

    tetap terjadi di Jawa Tengah, disusul Jawa Barat dan Jawa Timur. Secara keseluruhan

    kejadian ini disebabkan semakin tingginya proses alih fungsi lahan. Sejak akhir tahun

    2000, Jawa telah kehilangan 134.000 ha lahan basah, 110.000 ha lahan kering, dan

    81.000 ha hutan (Hariadi Kartodihardjo, Fahutan IPB,2006) yang beralih fungsi menjadi

    permukiman, industri dan sebagainya. Padahal total luas pulau Jawa dan Madura hanya

    sekitar 7 persen dari luas Indonesia dan dihuni lebih dari 60 persen dari jumlah

    penduduknya. Tingkat kepadatan penduduknya rata rata sudah lebih dari 1000

    orang/km2. Dengan demikian Pulau Jawa telah berubah menjadi Pulau Perkotaan, yang

    semakin kritis wilayah resapan air.

  • Untuk mengantisipasi bencana , perlu dipertimbangkan beberapa hal yang

    menjadi prinsip dasar penanggulangan bencana secara bersama. Hindarkan pendekatan

    berdasarkan tugas pokok dan fungsi atau tupoksi dari masing masing sektor terkait.

    Perlu lebih dikedapankan adanya, inovasi dibandingkan sekedar tupoksi. Kedepankan

    lingkup wilayah fungsional DAS dibandingkan administrasi kabupaten/kota. Kaji lebih

    mendalam, bahwa banjir dan longsor bukan sekedar masalah kerusakan lingkungan

    disekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) atau masalah hulu dan hilir. Mungkin ada hal hal

    lain yang lebih mendasar dan struktural, seperti kemiskinan, politik pembiaran, politik

    penguasaan sumberdaya, politik pendapatan dibandingkan pengendalian.

    Untuk hal yang non struktural, BMG adalah badan pusat, yang tidak memiliki

    tangan di daerah, maka sudah saatnya peran pemerintah daerah bergerak memotivasi

    dirinya untuk melakukan inovasi dengan memanfaatkan informasi BMG sebagai alat

    pencegah terjadinya bencana. Sementara untuk lingkup antar wilayah otonom, solusi

    bencana bukan dengan hal teknis semata, tetapi lebih menyangkut pola kerjasama antar

    daerah. Sebab bencana itu adalah masalah yang harus diatasi bukan untuk ditangisi.

    Yayat Supriatna,

  • NERACA PENATAGUNAAN TANAH

    DALAM PERSPEKTIF PENATAAN RUANG

    Oleh: Harris Simanjuntak1

    Pemanfaatan ruang tanah, mengacu pada fungsi ruang tanah yang ditetapkan dalam rencana tata ruang tanah, dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah.

    Dalam rangka pengembangan penatagunaan tanah, diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah.

    (UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)

    Pembangunan berkelanjutan, pada hakekatnya, adalah upaya mencari keseimbangan antara faktor daya dukung tanah dan faktor sosio-ekonomi masyarakat yang menggunakan tanah. Dengan demikian, dalam konteks pengelolaan tanah, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya penyeimbangan faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, sehingga penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, namun tetap mencerminkan prinsip rasa keadilan secara sosial, dan berkelanjutan secara lingkungan hidup. Pemaduserasian faktor-faktor tersebut akan selalu menjadi tantangan dalam pengambil keputusan-keputusan terkait dengan tanah.

    Tanah adalah sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat dan karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan optimal. Perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal tersebut dilakukan melalui penyusunan rencana tata ruang yang semestinya mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

    Rencana tata ruang merupakan rencana letak dari berbagai macam penggunaan dan pemanfaatan tanah yang direncanakan dalam rangka memenuhi berbagai ragam keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) masyarakat. Dalam kenyataannya, untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat, banyak sekali jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah yang harus diakomodir di atas tanah. Tidaklah mungkin semua jenis itu bisa diakomodir dalam rencana tata ruang. Karena itu, rencana penggunaan dan pemanfaatan tanah yang diletakkan dalam rencana tata ruang hanya mencerminkan rencana penggunaan dan pemanfaatan yang benar-benar menjadi prioritas.

    Karena tanah bersifat terbatas (finite), penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut haruslah efisien, tertib dan teratur. Untuk itu, para pengguna tanah, dalam menggunakan dan memanfaatkan tanahnya, harus mengacu pada persyaratan (land use codes) yang disyaratkan dalam rencana tata ruang, untuk memastikan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang (LOSS) di kawasan pedesaan; dan, Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat (ATLAS) di kawasan perkotaan.

    Dalam tataran operasional, tanah digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia yang menguasai tanah untuk mensejahterakan hidupnya. Penggunaan oleh manusia tersebut sifatnya mendasar dan berlangsung terus menerus hingga memunculkan suatu hubungan hukum antara manusia pengguna dengan tanah yang digunakan. Terganggunya hubungan manusia pengguna dengan tanahnya akan berimplikasi pada kesejahteraan pengguna tanah, karena itu perlu ada jaminan kepastian hukum. Gangguan hubungan ini dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, gangguan hubungan dapat berupa sulitnya akses masyarakat kepada sumber daya tanah; kedua, besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk menggunakan sumber daya tanah dimaksud. Kesulitan ini diakibatkan oleh persediaan tanah yang memang terbatas dan adanya

    1 Kasubdit Pemeliharaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah pada Direktorat Penatagunaan Tanah BPN

    R.I.

  • berbagai macam hambatan institusional (kelembagaan)2 yang terkait dengan tanah, sehingga kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut bisa saja didominasi oleh sekelompok masyarakat dengan kepentingan tertentu, yang bermuara pada ketidakseimbangan/ketimpangan penguasaan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah.

    Agar masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah dengan optimal, tertib dan teratur, harus ada keserasian diantara kelembagaan yang terkait dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga memungkinkan digunakan dan dimanfaatkan secara efisien, tanpa mengabaikan keadilan sosial, dan tidak merusak fungsinya. Keserasian inilah yang melandasi perlunya penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah merupakan pola pengelolaan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

    Pelaksanaan konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan di atas harus mengacu kepada kebijakan penatagunaan tanah yang telah digariskan dalam PP No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Secara ringkas, kebijakan ini meliputi:

    penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;

    penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai rencana tata ruang wilayah tidak dapat diperluas, dikembangkan, atau ditingkatkan;

    pelayanan administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak memenuhi syarat-syarat menggunakan tanah sesuai rencana tata ruang, tidak saling mengganggu, tidak saling bertentangan, memelihara tanah, tidak merobah bentang alam, memberikan nilai tambah penggunaan tanah dan lingkungan;

    pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya dengan memperhatikan hak atas tanah serta kepentingan masyarakat sekitar;

    terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan;

    tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara;

    penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap pulau-pulau kecil harus memperhatikan kepentingan umum, tidak menutup akses umum ke pantai/laut;

    apabila pemilik tanah tidak mentaati syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah, dikenakan sanksi;

    penetapan rencana tata ruang wilayah tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah.

    Kebijakan di atas, selanjutnya, harus menjadi koridor dalam penyelenggaraan kegiatan penatagunaan tanah. Penyelenggaraan penatagunaan tanah, sesuai PP No.16 Tahun 2004, terdiri atas tiga jenis kegiatan pokok, yaitu:

    pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;

    penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan;

    penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang wilayah.

    Output penyelenggaraan kegiatan di atas adalah data dan informasi yang disajikan dalam bentuk peta (spasial) dengan skala lebih besar dari pada skala peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan,

    2 Institutions are the rules of the game of a society or more formally are the humanly-devised constraints

    that structure human interaction; see the authors North, C. Douglass, The New Institutional Economics and Development, Washington University, St. Louis.

  • sedangkan outcome-nya adalah kesesuaian dan keserasian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang yang disepakati.

    Lebih jauh, substansi kegiatan pokok kedua, yaitu: penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan di atas, pada dasarnya, adalah data dan informasi yang dikemas dalam bentuk neraca perimbangan (Balance).

    Neraca perimbangan ini berisi data dan informasi, baik tekstual maupun spasial, dari perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang wilayah. Dengan demikian, pengelolaan data dan informasi penatagunaan tanah merupakan bagian dari perencanaan dan pemodelan suatu rencana tata ruang. Karena itu, infrastruktur data spasial dan teknologi informasi penatagunaan tanah memegang peranan penting dan strategis dalam penataan ruang.

    Pembuatan keputusan dalam penataan ruang memerlukan akses kepada data dan informasi yang akurat dan relevan, yang dikemas dalam suatu bentuk yang interaktif dan tersedia pada saat diperlukan. Dalam menyusun rencana tata ruang, keputusan yang baik tentunya harus didasarkan pada informasi penatagunaan tanah yang baik. Selanjutnya, informasi penatagunaan tanah yang baik harus pula didasarkan pada data yang baik.

    Kebutuhan (demand) atas informasi tekstual dan spasial penatagunaan tanah untuk pengambilan keputusan dalam penataan ruang mencakup dua hal. Pertama, informasi penatagunaan tanah merupakan input dalam proses pembuatan keputusan (informed decisions). Kedua, informasi tekstual dan spasial juga diperlukan dalam rangka analisis dampak keputusan.

    Karena setiap keputusan mempunyai dampak, baik jangka pendek maupun jangka panjang, maka konsekuensi dari keputusan tersebut harus bisa diprediksi dan dikendalikan. Prediksi dan pengendalian ini dapat dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi hasil dari keputusan yang dibuat tersebut (decisions outcome). Dengan demikian, akuntabilitas keterpaduan antara komunitas, dampak, dan efek dari keputusan dapat dipertanggungjawabkan.

    Dalam rangka mendukung pengambilan dan analisis dampak keputusan dalam perencanaan dan penyelenggaraan penataan ruang, Direktorat Penatagunaan Tanah pada Tahun Anggaran 2007 telah melakukan pengumpulan dan analisa data penatagunaan tanah yang dikemas dalam bentuk Atlas Neraca Penatagunaan Tanah Nasional.

    Atlas ini berisi data dan informasi tekstual dan spasial tentang perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang. Sebagai contoh, berikut ini disajikan tabel dan gambar yang berisi informasi tekstual tentang perubahan, kesesu