-
MATERI BULETIN TATA RUANG
TRANSKRIP WAWANCARA dengan PROF. DR. EMIL SALIM
JAKARTA, 26 FEBRUARI 2008
BUTARU : Faktor apa yang memotivasi Bapak untuk terlibat
sedemikian jauh pada
isu perubahan iklim di Indonesia sehingga Bapak memulai
petualangan
baru menjadi ketua COP 13 di Bali yang silam itu?
Emil Salim : Bukan petualangan baru, tetapi komitmen lama pada
lingkungan, belum
berhasil seperti yang dicita-citakan. Teman-teman dari Papua
Barat,
misalnya, mengeluh tidak bisa membangun jalan karena
Departemen
Kehutanan tidak mengizinkan penggunaan hutan lindung.
Lalu saya tanya, Mengapa harus melalui hutan lindung ? dan,
Apakah
ada rencana tata ruang? Jawabnya adalah Tidak ada. Padahal,
UU
Penataan Ruang sudah ada sejak 1992, tetapi tidak ada
pelaksanaan
rencana tata ruang di semua provinsi atau semua kabupaten.
Tanpa
rencana tata ruang, masyarakat akan seenaknya membangun jaringan
jalan
atau (membuka) pertambangan di hutan lindung. Hal ini karena
tidak ada
guidance, bimbingan dari rencana tata ruang.
Kejengkelan ini terus berkobar, sehingga kita harus tetap aktif.
Rupanya
generasi muda tidak melihat urgensi pentingnya rencana tata
ruang sebagai
petunjuk dimana harus dibangun jalan, pelabuhan, industri,
pertambangan
dan lain-lain.
BUTARU : Lalu ..
Emil Salim : Apakah dengan keadaan ini kita bisa tidur nyenyak?
Saya tidak bisa
nyenyak. Setelah sekian tahun kita membangun Republik, kok
lingkungannya bertambah rusak. Bencana alam bertambah dahsyat,
banjir
semakin besar, hutan semakin menciut, ekspor asap ke
negara-negara
ASEAN tidak terkendali. Lantas apakah kita memang menjadi
penonton di
pinggir?
BUTARU : Jadi Bapak comeback untuk menyadarkan masyarakat
mengenai
pentingnya penataan ruang dan pelestarian lingkungan?
Emil Salim : Bukan hanya masyarakat, yang saya heran ke mana
pejabat-pejabat kita,
terutama yang bertanggung jawab untuk penataan ruang ini? Apa
yang
telah dilakukan selama 16 tahun sejak UU Penataan Ruang
diberlakukan
tahun 1992? Mengapa provinsi, kabupaten dan kota tetap tidak
punya
rencana tata ruang?
BUTARU : Mungkin ada tapi tidak dilaksanakan ...
-
Emil Salim : Kalau hanya ada diatas kertas tapi tidak
dilaksanakan, ya sama saja toh !?
Point saya adalah mengapa setelah 16 tahun, seolah-olah, kita
berjalan di
titik yang sama.
BUTARU : Kembali ke persoalan COP-13 di Bali yang baru lalu,
Pak. Sebagai Ketua
Delegasi RI, apakah seluruh ambisi dan harapan untuk membawa
kepentingan Indonesia sudah terpenuhi?
Emil Salim : Belum, karena belum ada kesepakatan bulat (antara
negara maju dan
negara berkembang red). Negara maju, yang dipelopori Amerika
Serikat
(AS), tetap meletakkan peran serta mereka dengan syarat bahwa
negara
berkembang (terutama China, India dan negara-negara ASEAN) juga
harus
turut memiliki komitmen untuk membatasi emisi CO2. Padahal
negara
maju yang sejak lama menjadi sumber emisi CO2, berkewajiban
menebus
dosanya dengan mengurangi CO2.
Sebaliknya negara berkembang masuk ke ruang bumi yang sudah
kotor dan
harus mengurangi kemiskinan yang jauh lebih rendah
dibandingkan
dengan kemiskinan di AS, Eropa, Jepang dan negara maju lainnya.
Bagi
negara maju, kemiskinan bukan merupakan prioritas, namun bagi
negara
berkembang, kemiskinan adalah hal yang serius. Maka, belum
terjadi
kesepakatan bahwa negara maju harus menurunkan emisi
CO2-nya,
sementara negara berkembang harus menurunkan kemiskinannya,
sekaligus menurunkan CO2.
Untuk itu, negara berkembang memerlukan alih teknologi,
capacity
building, dan funding. Namun jawaban negara maju adalah,
Teknologi
harus dibeli dari private sector. Saya menjawab, Bung, bila saya
punya
satu dollar, akan lebih baik saya usahakan agar kaum miskin
bisa
bekerja untuk mendapatkan makanan, daripada satu dollar ini saya
beli
untuk teknologi-mu yang hanya menambah pendapatan-mu saja,
tapi
kaum miskin (di negara saya red) tidak tertolong.
Nah, injustice ini yang saya lihat belum berhasil dipecahkan.
Betul, semua
komponen committed. Tetapi, the devil is in detail, maka tampak
jelas
bahwa negara maju masih tetap enggan melakukan alih teknologi
capacity
building, dan funding transfer. Mereka tetap menuntut kita
seperti negara
maju, dengan mengusahakan penurunan emisi CO2, as if tidak
ada
kemiskinan. Hal itu yang menjengkelkan saya.
BUTARU : Dengan realita yang ada, langkah apa yang harus
ditempuh Indonesia
untuk menerobos ke kebuntuan-kebuntuan tersebut?
Emil Salim : Kebuntuan itu berkaitan dengan konservatisme di
dalam pemerintahan AS
di bawah Presiden George Bush dari Partai Republik. Tapi nanti
di
Kopenhagen, saya rasa sikap dari pemerintahan AS akan berubah
karena
Partai Demokrat lebih peka terhadap lingkungan. Seperti halnya
Kevin
Rudd (Perdana Menteri Australia yang baru - red) merubah
sikap
pemerintahannya dalam sekejap.
-
BUTARU : Bagaimana dengan peran Indonesia pasca COP-13 di Bali
dalam konteks
global?
Emil Salim : Untuk peran kita sekarang, saya lebih cenderung
mendemonstrasikan ke
luar negeri dengan usaha di dalam negeri. Indonesia sudah
menderita
dampak climate change. (Muka air) laut sudah naik, sungai
Bengawan Solo
tidak bisa mengalir ke laut seperti tahun sebelumnya, terpantul
kembali
menjadi banjir. Begitu juga dengan sungai Cimanuk dan Ciliwung,
belum
lagi bencana angin topan.
Jadi, saya merasa perlu kita menangani persoalan climate change
di tanah
air. (Urusan) luar negeri itu penting, tetapi sekarang kita
harus
membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu menangani
climate
change dan tidak hanya bicara di forum internasional.
BUTARU : John Forester, Profesor of School of Urban and Regional
Planning di
Cornell University, mengatakan bahwa Planning is about our
capacity to
imagine the future differently. Perubahan iklim pun menuntut
perubahan paradigma pembangunan nasional. Dalam konteks
mitigasi
dan adaptasi menghadapi perubahan iklim, seberapa jauh
sebetulnya
tingkat confidence Bapak terhadap instrumen penataan ruang
untuk
menghasilkan perubahan ke depan bila melihat pengalaman masa
lalu,
dari 1992 ke 2008?
Emil Salim : Pada mulanya, tim BKTRN itu kuat. Menko-nya saat
itu adalah Radius
Prawiro, Menteri Dalam Negeri adalah Rudini, Dirjen
Pembangunan
Daerah adalah Attar Sibero, Menteri PU adalah Poernomosidhi,
Dirjen
Cipta Karya adalah Radinal Mochtar, dan saya adalah Menteri
Lingkungan
Hidup. Semua koordinasi berjalan efektif. (Prof. Emil Salim
menceritakan
kasus pembatalan rencana pembangunan villa di kawasan Puncak
melalui proses koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
red).
Point saya adalah bahwa tata ruang is a function of leadership
dan
keberanian untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Nah,
(kedua
faktor ini) yang tidak saya lihat sekarang. Bahkan saya tidak
mengetahui
siapa yang menggerakkan BKTRN.
BUTARU : Jadi, menurut Bapak, BKTRN saat itu berperan sangat
efektif dan RTRW
juga bisa dilaksanakan dengan baik di lapangan...?
Emil Salim : Ya, selama adanya tokoh-tokoh itu. Kemudian pada
tahun 1993 kan
berubah. Pak Rudini dan saya telah pensiun. Sesudah itu saya
tidak
mengikuti lagi perkembangan BKTRN.
BUTARU : Lalu, bagaimana dengan penataan ruang dalam konteks
otonomi daerah
dewasa ini?
-
Emil Salim : Seperti yang saya katakan sebelumnya, daerah harus
membangun dengan
mengikuti guidance dari Pusat. Di mana sih yang tidak boleh,
pada
kemiringan berapa sih yang tidak baik.
Saya ingat saat itu, Poernomosidhi memiliki teori bola-bola
(konsep
satuan wilayah pengembangan red) dan Made Sandi memiliki
konsep
tata guna lahan. Intinya, there is a concept. Itu yang saya
inginkan.
Sehingga, berdasarkan konsep tersebut, kita sampaikan pada
semua
gubernur, bupati, dan walikota yang mana yang boleh dan yang
mana yang
tidak boleh (dikembangkan), atau please try to avoid this.
BUTARU : Namun, kewenangan Pemerintah Pusat saat ini kan juga
sudah berbeda?
Emil Salim : Maka pendekatannya harus berubah dong.
Daerah-daerah itu tidak
mengetahui mana yang boleh dan tidak, seperti kasus di Papua
Barat
diatas. Tell me why, mengapa harus membangun jalan melalui
hutan
lindung, ya mengapa tidak lewat pantai, apakah ada resources,
apakah
ada penduduk?. Membangun jalan kan harus melihat origin and
destination, apakah ada destination, apakah ada origin, apakah
ada kargo?
Ketika dihujani pertanyaan-pertanyaan ini, mereka tidak bisa
menjawab.
Jadi, mereka membuat rencana, namun tidak memahami the
principles of
planning. Propinsi baru seperti Papua Barat perlu dibantu.
Dalam era desentralisasi, semestinya kita punya pejabat yang
terjun ke
kabupaten dan kota, tidak hanya tinggal diam di Jakarta. Karena
surat izin
untuk membakar hutan kurang dari dua hektar atau surat izin
untuk
menebang pohon, keduanya, diberikan oleh Pemda, bukan oleh
Jakarta.
Jadi, the battle field is in daerah, berbeda dengan zaman orde
baru dulu.
BUTARU : By nature, upaya penataan ruang memiliki dimensi jangka
panjang,
tetapi upaya ini juga dihadapkan pada berbagai persoalan
yang
berdimensi jangka pendek. Menurut Bapak, bagaimana kita
mengkompromikan kedua kepentingan ini?
Emil Salim : Basically masyarakat Indonesia adalah masyarakat
agraris yang sangat
peka terhadap lingkungan. Selama menjadi Menteri Lingkungan
Hidup,
saya tidak pernah mengalami sikap masyarakat yang menentang
lingkungan hidup, karena masyarakat kita adalah
gemeenschaft,
masyarakat pedesaan yang mayoritas agraris.
Nah sekarang kita harus memberikan way-out, bagaimana
kesejahteraan
meningkat tanpa merusak lingkungan. Artinya, bagaimana
mainstreaming
lingkungan dalam bidang pertanian, pertambangan, kehutanan, dan
lain-
lain. (Pelestarian) lingkungan bukan hanya tugas Kementerian
Lingkungan
Hidup. Mainstreaming menjadi penting.
Saya sedih ketika jalan tol Cipularang (Jakarta-Bandung)
dibangun dengan
memakan lahan-lahan subur. Padahal tersedia alternatif jalan
kereta api
Jakarta-Bandung, yang bisa dinaikkan frekuensi-nya, bisa
dibangun double
track, pada saat yang bersamaan, aliran barang juga bisa
ditingkatkan.
-
Setelah pembangunan jalan tol tersebut, arus mobil memang
lancar, tetapi
kemacetan terjadi di Kota Bandung yang memicu kenaikan kadar CO2
rata-
rata setahun sebesar 30%.
Pertanyaannya, apakah tidak ada rencana tata ruang yang
memuat
intermode transportation system? Begitu jalan terbangun,
kawasan
Karawaci dan Sentul muncul, yang memakan tanah lagi. Orang tidak
perlu
heran sawah-sawah di Pulau Jawa ini berkurang. Ofcourse
lahan
berkurang, karena jalan meningkatkan aksesibilitas dan
lahan-lahan (di
sekitarnya red) berubah fungsi.
Jadi Bina Marga, Pengairan, Cipta Karya, dan Penataan Ruang,
harus
(berada dalam satu frame red) in one map rencana tata ruang
pulau
Jawa, Nasional, dan bahkan ASEAN nanti, artinya menjadi one
common
market.
BUTARU : Secara konseptual, visi penataan ruang identik dengan
visi lingkungan
hidup yakni untuk pembangunan berkelanjutan. Artinya,
mencapai
kesejahteraan tanpa merusak atau mengurangi hak dari generasi
yang
akan datang untuk menikmati kesejahteraan yang sama. Untuk
mencapai visi jangka panjang tersebut, sebaiknya dari mana kita
mulai?
Emil Salim : Esensi dari sustainable development adalah
resource-use management
dengan mainstreaming pada environmental consideration.
Artinya,
bagaimana memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan
memperhatikan
daya dukung lingkungan. (Prof. Emil Salim menganalogikan
daya
dukung lingkungan dengan konsep pembuatan kapal Phinisi agar
tidak
tenggelam - red).
Maka, bangun Kota Jakarta tanpa melewati daya dukung
lingkungannya!
Daya dukung lingkungan bisa dihitung dengan rumus tertentu, dan
akan
mendikte proses pembangunan. Konsep ini menjelaskan, why
development
of malls di Jakarta is wrong, karena mall-mall tersebut
mengundang
manusia datang ke Jakarta. Di luar negeri, Washington DC, mall
terletak
enam puluh mil dari White House, demikian juga di Paris. Lalu,
mengapa
pembangunan Kota Jakarta, Ibukota Negara menjadi semrawut
seperti
sekarang? Karena (perencanaan pembangunan) tidak mengikuti
the
principles of carrying capacity of a capital city. There has
nothing to do
dengan short term atau long term plan. It has to do when taking
into
account carrying capacity.
BUTARU : Apakah ini artinya Jakarta yang semrawut merupakan
hasil
perencanaan masa lalu yang keliru ?
Emil Salim : Salah. Bersama dengan Pak Ali Sadikin, kita membuat
rencana 25 tahun,
yang sekarang diakui oleh seorang penulis Inggris sebagai
rencana
pembangunan Kota Jakarta yang baik. Namun rencana tersebut
kemudian
direvisi pada masa Gubernur Tjokropranolo yang membuat
(Jakarta)
-
kacau. Yang sebelumnya (direncanakan) menjadi waduk, berubah
menjadi
apartemen. He put the damn things up side down. Entahlah, saya
tidak
mengerti, pada saat itu terjadi semacam proses
desadikinisasi.
Dulu, saya ribut tentang Pantai Indah Kapuk yang akan dijadikan
Hawaii-
nya Jakarta, saya maklum karena pada saat itu lingkungan belum
banyak
dipahami orang banyak. Lalu tentang jalur hijau Senayan, yang
merupakan
paru-paru kota Jakarta. Awalnya saya happy, tapi sekarang
mengapa
dibangun Senayan City, yang jelas bukan merupakan sarana
olahraga?
Mengapa Direktorat Jenderal Penataan Ruang diam saja? Dinas
lingkungan kan tidak ada di daerah-daerah, tapi Ditjen Tata
Ruang kan
ada.
BUTARU : Kalau kita mengamati banjir Jakarta, sesungguhnya apa
esensi
persoalannya menurut Bapak? Yang jelas banjir bukan persoalan
teknis
semata.
Emil Salim : Banjir Jakarta membuat saya kecewa. Ketika tahun
2007 terjadi banjir,
seharusnya itu menjadi lesson. Kalau saya bertanggung jawab atas
urusan
itu, saya akan membuat potret, mengikuti berita-berita koran,
dimana
sumbernya, dimana yang tenggelam, sehingga kita memperoleh the
picture
of last year. Tetapi, nothing is being done. Memasuki awal tahun
2008,
(banjir) meledak lagi. Maka terpikir oleh saya, siapa yang
bertanggung
jawab di dalam Republik ini?
(Prof. Dr. Emil Salim kemudian menceritakan sedikit sejarah
masa
lalunya, bagaimana ayahnya selaku salah seorang pejabat di
Pekerjaan
Umum pada zaman Belanda melaksanakan tugas-tugasnya).
BUTARU : Lantas, bagaimana dengan masa depan Jakarta agar banjir
dapat
diatasi atau dikurangi? Bukankah Jakarta harus membangun
dengan
cara yang berbeda?
Emil Salim : Ada prakarsa dari DPR yang ditunjang Pak Sutiyoso
untuk membuat
Undang-Undang Ibukota Negara. (Dalam rancangan UU tersebut
red)
disebutkan bahwa Ibukota terdiri dari Gubernur dan Wakil
Gubernur yang
dipilih (melalui Pilkada), dan beberapa Deputi Gubernur yang
diangkat
sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur merupakan pejabat
setingkat
Menteri yang menghadiri Rapat Kabinet.
Sebagai Ibukota Negara, menurut logic saya, maka fungsi ibukota
yang
relevan yes ada di dalam, tapi fungsi kota lain harus out,
seperti fungsi
industri semestinya tidak ada. Mengapa perluasan Tanjung Priok
harus
dilakukan, mengapa tidak ke Cirebon atau Banten saja? Can you
imagine
what will happen kalau kampus UI tidak dipindahkan ke Depok?
-
Dengan logic itu, berarti aktivitas yang menarik banyak penduduk
harus
keluar Jakarta. Artinya bukan fungsi ibukotanya yang keluar,
tetapi fungsi
yang tidak relevan dengan Ibukota Negara yang harus keluar.
Bukan mall
yang harus ada di Jakarta, tetapi mall yang harus keluar.
Pak Sutiyoso ingin menerapkan konsep megapolitan, saya
mengatakan
bahwa megapolitan itu melebihi daya dukung lingkungan Jakarta.
Jangan
mengikuti perkembangan Jakarta as a past trend, bahwa dulu
(penduduknya red) enam juta, terus bertambah hingga 20 juta,
bukan
begitu. Fungsi Ibukota Negara itu yang harus diutamakan, yang
tidak
relevan harus keluar. Business as usual versus what do you want
terhadap
kota itu. Nah, cara berpikir ini yang mesti dikembangkan oleh
Departemen
PU.
BUTARU : Ini pertanyaan terakhir Pak Emil. Dalam beberapa
kesempatan, Bapak
kerap menyebut diri sebagai orang yang cinta pada penataan
ruang.
Sebetulnya apa maksud dari pernyataan Bapak ini?
Emil Salim : Ya karena the soul atau hakekat dari pengelolaan
lingkungan adalah
resource use yang diperebutkan oleh berbagai sektor/departemen.
Jadi
walaupun berada dalam satu kabinet, setiap menteri punya
kepentingan
yang berbeda dengan menteri lain. Kalau kehutanan menang,
maka
pertambangan, pertanian, dan permukiman harus keluar. Kalau
pertambangan yang menang, maka kehutanan, pertanian dan
permukiman
harus keluar. Jadi, jantungnya lingkungan terletak pada
resource-use
management, dan resource-use ini didikte oleh penataan
ruang.
Jika penataan ruang doesnt work, maka lingkungan fails. Itu
sebabnya
dulu mengapa saya, selaku Menteri Lingkungan Hidup, ngotot
mendorong
penataan ruang. Where is the resource use? Bagaimana resource
use
mengindahkan daya dukung lingkungan? Bagaimana dampak
pemanfaatan
resources itu terhadap lingkungan, baik daerah aliran sungai,
gunung,
tanah dan lain-lain. Itu semuanya itu kan bahasa tata ruang.
Singkatnya,
lingkungan in action is tata ruang.
BUTARU : Lingkungan in action is tata ruang bisa lebih
diperjelas maksudnya?
Emil Salim : Kalau kita bilang lestarikan alam, itu kan hanya
blablabla. Artinya,
embung-embung, situ-situ, terminal banjir tidak boleh dibangun
atau
dirubah, selain itu agar bantaran-bantaran sungai tidak dirusak,
agar air
tetap bisa mengalir,. Maka tanpa tata ruang, lingkungan babak
belur.
Namun, tata ruang tanpa lingkungan adalah tata ruang yang bisa
merusak
lingkungan. Layaknya sebuah pisau, penataan ruang bisa
menyembuhkan
namun juga bisa membunuh.
Nah saya mengamati bahwa di Departemen PU terlalu banyak orang
baik.
Sekali-sekali kita harus braak, banting meja.
Pembangunan juga merupakan proses pendidikan. We have to fight
for
our principles
-
Profil DAS Bengawan Solo
1. LATAR BELAKANG
Sungai Bengawan Solo merupakan sebuah sumber air yang sangat
potensial bagi usaha-
usaha pengelolaan dan pengembangan sumber daya air (SDA), di
sepanjang alirannya
untuk memenuhi berbagai keperluan dan kebutuhan, antara lain
untuk kebutuhan
domestik, air baku air minum dan industri, irigasi dan
lain-lain. Sungai Bengawan Solo
merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa, terletak di Propinsi
Jawa Tengah dan Jawa
Timur dengan luas wilayah sungai 12% dari seluruh wilayah Pulau
Jawa pada posisi
110o18 BT sampai 112o45 BT dan 6o49LS sampai 8o08 LS.
Wilayah Sungai merupakan suatu wilayah yang bentuk dan sifat
alamnya merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang melalui wilayah
tersebut dalam fungsinya
untuk menampung air yang berasal dari hujan dan sumber-sumber
air lainna yang
penyimpanan dan pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan
hukum-hukum alam
sekeliling berdasarkan keseimbangan daerah tersebut.
Luas total wilayah sungai (WS) Bengawan Solo 19.778 km2, terdiri
dari 4 (empat)
Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Bengawan Solo dengan luas
16.100 km2, DAS
Kali Grindulu dan Kali Lorog di Pacitan seluas 1.517 km2, DAS
kecil di kawasan pantai
utara seluas 1.441 km2 dan DAS Kali Lamong seluas 720 km2.
DAS Bengawan Solo merupakan DAS terluas di WS Bengawan Solo yang
meliputi Sub DAS
Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan
Solo Hilir. Sub DAS
Bengawan Solo Hulu dan sub DAS Kali Madiun dengan luas
masing-masing 6.072 km2
dan 3.755 km2. Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun mengalirkan
air dari lereng
gunung berbentuk kerucut yakni Gunung Merapi ( 2.914 m), Gunung
Merbabu ( 3.142
m) dan Gunung Lawu ( 3.265 m), sedangkan luas Sub DAS Bengawan
Solo Hilir adalah
6.273 km2.
Secara administratif WS Bengawan Solo mencakup 17 (tujuh belas)
kabupaten dan 3
(tiga) kota, yaitu:
Kabupaten : Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar,
Sragen, Blora,
Rembang, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro,
Tuban.
Lamongan, Gresik dan Pacitan.
D E P A R T E M E N P E K E R J A A N U M U M D I R E K T O R A
T J E N D E R A L S U M B E R D A Y A A I R S A T K E R B A L A I B
E S A R W I L A Y A H S U N G A I B E N G A W A N S O L O
Jl. SOLO-Kartosuro Km. 7 PO BOX 267 Telp (0271) 716428 716071,
Fax (0271) 716428 SURAKARTA - 57102
-
Kota : Surakarta, Madiun dan Surabaya
Pengelolaan sumber daya air merupakan suatu kegiatan yang
kompleks karena
menyangkut semua sektor kehidupan, sehingga harus melibatkan
semua pihak baik
pembuat aturan (regulator), pengguna (user) dan pengembang
(developer) maupun
pengelola (operator). Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama
untuk mulai menerapkan
dan menggunakan pendekatan one river basin, one plan and one
integrated
management, sehingga keterpaduan dalam perencanaan dan
pelaksanaan serta
pengendalian dapat diwujudkan.
Dalam pengelolaan WS Bengawan Solo Arah dan Kebijakan yang
diambil adalah :
1. Memperhatikan keserasian antara konservasi dan pendayagunaan,
pengelolaan
kuantitas dan kualitas air untuk menjamin ketersediaan air baik
untuk saat ini
maupun masa datang.
2. Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan
banjir dilakukan
dengan pendekatan konstruksi (penyelesaian pelaksanaan
pembangunan sarana
pengendali banjir) dan non-konstruksi (konservasi sumber daya
air dan
pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan
keterpaduan dengan
tata ruang wilayah).
3. Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air memerlukan
penataan
kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung
jawab
masing-masing pemangku kepentingan.
2. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo
+ 26,1% wilayah Propinsi Jateng 27,5% wilayah Propinsi Jatim
-
Balai Besar WS Bengawan Solo sebagai pengelola Pengelolaan
Sumber Daya Air yang
bertugas dalam perencanaan, pelaksanaan konstruksi, o & p
dalam rangka konservasi
sumber daya air, pengembangan sumber daya air, pendayagunaan
sumberdaya air dan
pengendalian daya rusak air pada Wilayah Sungai Bengawan Solo.
Dalam rangka
menjalankan tugas tersebut, Balai Besar WS Bengawan Solo
memiliki fungsi :
1. Penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumberdaya air pada
wilayah sungai
2. Penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan kawasan
lindung sumber air
pada wilayah sungai
3. Pengelolaan sumberdaya air yang meliputi konservasi sumber
daya air,
pengembangan sumber air, pendayagunaan sumberdaya air dan
pengendalian
daya rusak air.
4. Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas
penyediaan, peruntukan,
penggunaan dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah
sungai.
5. Operasi dan pemeliharaan sumberdaya air pada wilayah
sungai
6. Pengelolaan sistem hidrologi
7. Penyelenggaraan data dan informasi sumberdaya air.
8. Fasilitasi kegiatan tim koordinasi pengelolaaan sumberdaya
air pada wilayah
sungai
9. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air.
10. Pelaksanaan ketatausahaan balai besar wilayah sungai.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
11A/PRT/M/2006 Juni 2006, WS
Bengawan Solo dikategorikan sebagai WS lintas propinsi yang
didasarkan pada penilaian:
WS Bengawan Solo adalah WS lintas propinsi, yaitu berada di
wilayah Propinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ukuran dan besarnya potensi sumber daya air yang tersedia,
ketersediaan air
sebesar 18,61 miliar m.
Banyaknya sektor yang terkait dengan sumber daya air WS Bengawan
Solo,
jumlah penduduk mencapai 16,03 juta jiwa pada tahun 2005.
Besarnya dampak sosial, lingkungan dan ekonomi terhadap
pembangunan
nasional.
Besarnya dampak negatif akibat daya rusak air terhadap
pertumbuhan ekonomi
nasional dan regional.
Karena WS Bengawan Solo dipandang sebagai WS lintas propinsi,
maka pengelolaan
sumber daya air ini berada di dalam kewenangan Pemerintah
Pusat.
3. Pemanfaatn Ruang di WS. Bengawan Solo
-
Pemanfaatan ruang WS Bengawan Solo yang telah dikompilasikan
dari RTRW Propinsi
Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
a. Pengelolaan Kawasan Lindung
Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah kerusakan
fungsi
lingkungan. Sedangkan pengelolaan kawasan budidaya bertujuan
untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan ruang, menjaga
kelestarian
lingkungan serta menghindari konflik pemanfaatan ruang.
a) Kawasan Perlindungan Bawahan
Kawasan perlindungan bawahan diperuntukkan untuk menjamin
terselenggaranya fungsi lindung hidroorologis bagi kegiatan
pemanfaatan lahan.
Kawasan ini meliputi kawasan hutan lindung dan kawasan resapan
air.
Kawasan Hutan Lindung
Arahan pengelolaan kawasan hutan lindung, khususnya yang
berkaitan dengan
pemanfaatan kawasan budidaya, berada di lokasi : Kabupaten
Boyolali,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten
Magetan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten
Ngawi.
Kawasan Resapan Air
Kawasan resapan air diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan
tanah yang
dapat menjaga kelestarian ketersediaan air bagi daerah yang
terletak di wilayah
bawahannya. Kawasan resapan air tersebar di Kabupaten Boyolali,
Kabupaten
Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Sragen,
Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pacitan, Kabupaten
Ponorogo
dan Tuban.
b) Kawasan Suaka Alam
Beberapa sub kawasan termasuk di dalam kawasan suaka alam,
pelestarian alam
dan cagar budaya, suaka alam laut dan perairan, kawasan pantai
berhutan
bakau, taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan.
c) Kawasan Rawan Bencana
Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi
tinggi mengalami bencana alam.
Kawasan rawan banjir
Kawasan rawan bencana banjir adalah tempat-tempat yang setiap
musim hujan
mengalami genangan lebih dari enam jam pada saat hujan turun
dalam keadaan
normal. Kawasan tersebut yaitu di Kabupaten Sragen dan Kabupaten
Blora.
Kawasan rawan bencana longsor
Kawasan rawan bencana alam rawan longsor merupakan wilayah yang
kondisi
permukaan tanahnya mudah longsor karena terdapat zona yang
bergerak akibat
adanya patahan atau pergeseran batuan induk pembentuk tanah.
Lokasi kawasan rawan bencana longsor terdapat di Kabupaten
Boyolali (lereng
timur G.. Merbabu dan lereng timur G. Merapi), Kabupaten
Wonogiri (lereng
selatan G. Lawu, perbukitan selatan dan timur Sungai Keduwang,
serta bagian
selatan dan barat daya Kabupaten), Kabupaten Karanganyar (lereng
barat G.
-
Lawu), Kabupaten Sragen (Sangiran dan Gemolong (G. Butak
Manyar)),
Kabupaten Blora (di daerah Ngawen, Todanan dan Jepon), Kabupaten
Rembang
terutama di bagian selatan dan timur dan Kabupaten Magetan.
Kawasan rawan bencana gunung berapi
Kawasan rawan bencana alam gunung berapi merupakan wilayah
sekitar puncak
gunung berapi yang rawan terhadap luncuran gas beracun, lahar
panas dan
dingin, luncuran awan panas dan semburan api, dan tempat lalunya
tumpahan
benda-benda lain akibat letusan gunung berapi.
Lokasi kawasan rawan bencana gunung berapi yaitu di Kabupaten
Boyolali,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Ngawi (G. Lawu), Kabupaten Magetan
(G. Lawu),
Kabupaten Madiun (G. Liman & G. Wilis) dan Kabupaten
Ponorogo (G. Liman &
G. Wilis).
Kawasan rawan bencana gempa
Lokasi rawan bencana gempa yaitu di Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Klaten,
Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan
Ponorogo.
b. Pengelolaan Kawasan Budidaya
Pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya
guna dan hasil
guna sumberdaya serta untuk menghindari konflik pemanfaatan
ruang dan
kelestarian lingkungan hidup. Kawasan budidaya yang dikelola
pemanfaatan
ruangnya terdiri dari: Kawasan hutan produksi; Kawasan
pertanian; Kawasan
pertambangan; Kawasan peruntukan industri; Kawasan pariwisata;
Kawasan
permukiman; Kawasan perikanan; Kawasan perkebunan; Kawasan
peternakan;
Kawasan pariwisata; Kawasan permukiman; Kawasan industri; dan
Kawasan
perdagangan.
c. Kawasan Andalan
Adalah Kawasan kawasan yang mempunyai potensi pengembangan bagi
sektor unggulan.
WS Bengawan Solo ditetapkan 4 (empat) zona kawasan andalan:
1. Tuban-Lamongan dan sekitarnya
2. Madiun dan sekitarnya
3. Surabaya dan sekitarnya
4. Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan Karanganyar
No Kaput Nama DAS Potensi Unggulan Prioritas Pengembangan
1 Tuban-Lamongan dan sekitarnya
Bengawan Solo Hilir dan Pantura
Pertanian tanaman pangan
Perikanan
Industri
Pariwisata
Perdagangan jasa
Pertambangan
Mengembangkan kawasan industri di kawasan utara.
Mengembangkan industri perikanan di Brondong.
Eksploitasi sumber daya tambang.
Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman
pangan.
Menumbuhkan potensi pariwisata alam atau buatan, a.l: Wisata
alam Pacet, Goa Maharani, Tanjung Kodok, Jatim Park II.
-
2 Madiun, Pacitan dan sekitarnya
Kali Madiun, Kali Grindulu-Lorog
Pertanian tanaman pangan
Industri
Perikanan
Meningkatkan pengembangan potensi tanaman semusim selain tanaman
padi sebagai sektor dasar, serta peningkatan produksi industri
kulit.
Mengembangkan kawasan industri di Madiun.
Optimalisasi pariwisata alam.
3 Surabaya, Gresik dan sekitarnya
Kali Lamong Perdagangan jasa
Industri
Perikanan
Pariwisata
Pertanian tanaman pangan
Mengembangkan kawasan industri.
Aglomerasi permukiman perkotaan.
Mengembangkan potensi wisata.
Meningkatkan produksi perikanan tambak.
Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman
pangan
4 Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan sekitarnya
Bengawan Solo Hulu
Industri
Pariwisata
Tanaman pangan
Perdagangan
Mengembangkan kawasan industri.
Mengembangkan potensi wisata.
Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman
pangan
4. Banjir Bengawan Solo Akhir Tahun 2007
Permasalahan Utama dalam pengelolaan DAS WS Bengawan Solo
diantaranya adalah
banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi, intruksi air laut,
kualitas air dan lain-lain yang
disebabkan oleh :
Terus menurunnya kondisi hutan.
Kerusakan DAS: penebangan liar dan konversi lahan yang
menimbulkan kerusakan
ekosistem dalam tatanan DAS.
Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal
logging).
Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan
lingkungan.
Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori potensial
kritis sampai sangat kritis
mencapai luas kurang lebih 11.398 km2 akibat proses erosi yang
berlanjut dan kerusakan
vegetasi.
Luas lahan kritis terbesar terdapat di Kab. Wonogiri (Jawa
Tengah) seluas 128.662 ha,
Kab. Pacitan seluas 129.598 ha dan Kab. Bojonegoro seluas
172.261 ha (Jawa Timur).
Wilayah Sungai Bengawan Solo mengalami penurunan daya dukung
lingkungan. Hal ini
antara lain disebabkan oleh penebangan liar dan konversi lahan,
sehingga terjadi
penurunan luas hutan yang ada yaitu 23 % pada tahun 1998 menjadi
18 % pada tahun
2005. Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori
potensial kritis sampai
sangat kritis pada saat ini mencapai luas 11.39 km2, akibat
proses erosi yang
berkelanjutan dan kerusakan vegetasi.
-
Akibat terjadinya hujan di bagian hulu dengan intensitas tinggi
di Sub DAS Bengawan Solo
Hulu dan K.Madiun pada tanggal 25 Desember 2007, maka terjadi
banjir besar diseluruh
DAS Bengawan Solo mulai tanggal 26 Desember 2007, yang
menimbulkan kerusakan
akibat banjir besar seperti tergenangnya perumahan, fasilitas
umum, kantor, tempat
ibadah, sawah/tegalan, dan jalan nasional, propinsi, kabupaten
di kota dan daerah
disekitar sungai Bengawan Solo, dimana kondisi itu mempengaruhi
aktifitas masyarakat
dan perekonomian.
Kejadian banjir besar tersebut melanda kabupaten/kota di
sepanjang aliran sungai
Bengawan Solo diantaranya yaitu : Solo, Sukoharjo, Sragen,
Ponorogo, Madiun, Cepu,
Bojonegoro, Tuban, Babat, Lamongan, Gresik dan daerah
disekitarnya.
5. Penangulangan Permasalahan Daya Rusak Air
Upaya pengendalian banjir harus dengan keterpaduan antara upaya
fisik teknis dan non
teknis seperti perilaku manusia dalam mengubah fungsi
lingkungan, perubahan tata ruang
secara massive di kawasan budidaya yang menyebabkan daya dukung
lingkungan
menurun drastis, serta pesatnya pertumbuhan permukiman dan
industri yang mengubah
keseimbangan fungsi lingkungan sehingga menyebabkan kawasan
retensi banjir
(retarding basin) berkurang. Aktivitas dan perubahan ini
menyebabkan meningkatnya
debit air yang masuk ke badan sungai dimana dengan terbatasnya
kapasitas tampung dan
pengaliran sungai akan berdampak meluapnya air sungai.
Karena itu pada masa yang akan datang upaya pengendalian banjir
tidak bisa hanya
difokuskan pada penanganan fisik saja, namun harus disinergikan
juga dengan
pembangunan non fisik yang menyediakan ruang lebih luas bagi
munculnya keterlibatan
atau partisipasi masyarakat, sehingga tercapai suatu sistem
pengendalian banjir yang
lebih optimal.
Sinergi antara penanganan fisik dan non fisik dalam upaya
pengendalian banjir dapat
diwujudkan melalui beberapa hal sebagai berikut:
a. Pengendalian tata ruang.
Pengendalian tata ruang dilakukan dengan perencanaan
penggunaan
ruang sesuai kemampuannya dengan mempertimbangkan
permasalahan
banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya serta
penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang
telah
memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai.
b. Pengaturan debit banjir
Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan penanganan
fisik
berupa pembangunan dan pengaturan bendungan, perbaikan
sistem
drainase perkotaan, normalisasi sungai dan daerah retensi
banjir.
Pengaturan daerah rawan banjir
Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara:
-
1) Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain
management).
2) Penataan daerah lingkungan sungai seperti: penetapan
garis
sempadan sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai,
penertiban
bangunan di sepanjang aliran sungai.
c. Peningkatan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir
diwujudkan
dalam:
1) Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat
2) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menyusun
dan mensosialisasikan program pengendalian banjir.
3) Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara
lain
tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat
yang
berwenang untuk:
mengubah aliran sungai;
mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di
dalam atau melintas sungai.
membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan atau cair
ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai
yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran,
pengerukan atau penggalian bahan galian golongan C dan atau
bahan lainnya.
pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap
masyarakat (melalui Penyediaan informasi dan pendidikan,
Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas
umum,
Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat
lainnya dan lain-lain)
d. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air
Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir
antara lain
dapat dilakukan melalui kegiatan:
1) Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna
hutan,
kawasan budidaya dan kawasan lindung);
2) Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak;
3) Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif,
kimia,
maupun mekanis;
4) Perlindungan/konservasi kawasan - kawasan lindung.
e. Penyediaan Dana
Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara:
1) Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan
dikelola
sendiri oleh masyarakat pada daerah rawan banjir.
2) Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah
yang
rawan banjir
-
3) Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
f. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat
dan
Rencana Tindak Darurat
Agar efektif, di masa yang akan datang sistem peringatan dini
datangnya
banjir di WS Bengawan Solo harus berpusat secara kuat pada
masyarakat
yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu.
Dengan
penerapan sistem ini, akan dapat memberikan informasi lebih dini
bagi
masyarakat yang kemungkinan akan terkena bencana sehingga
ada
kesempatan bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri atau
barang-
barang berharganya.
Sistem tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh sehingga
dapat
meyakinkan bahwa sistem tersebut dapat berfungsi ketika
diperlukan dan
peringatan dapat disampaikan secara segera dan mudah dimengerti
oleh
semua anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan tingkat
resiko
bencana. Komponen inti sistem peringatan dini datangnya banjir
harus
berpusat pada masyarakat terdiri dari:
Penyatuan dari kombinasi elemen-elemen bottom-up dan
top-down;
Keterlibatan masyarakat dalam proses peringatan dini;
Pendekatan multi bencana; dan
Pembangunan kesadaran masyarakat.
Mendasari semua hal tersebut di atas harus ada suatu dukungan
politis
yang kuat, hukum dan perundang-undangan, tugas dan fungsi
masing-
masing institusi yang jelas serta sumber daya manusia yang
terlatih. Oleh
karenanya, sistem peringatan dini perlu dibentuk dan didukung
sebagai
satu kebijakan, sedangkan kesiapan untuk menanggapi harus
diciptakan
melekat dalam masyarakat.
Untuk menciptakan sistem peringatan dini datangnya banjir yang
efektif
di WS Bengawan Solo, yang berpusat secara kuat pada masyarakat
yang
tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu masih
banyak hal-
hal yang perlu dilakukan antara lain:
o Membuat peta rawan banjir yang dapat menunjukkan
ketinggian
genangan, tempat yang aman untuk berlindung serta rute untuk
penyelamatan.
o Melakukan survei kerentanan masyarakat yang tinggal di lereng
bukit
yang rawan longsor.
o Membantu lembaga nasional yang terkait dengan cuaca dengan
mengakses data cuaca dan citra satelit internasional/global.
o Mendukung masyarakat terpencil dengan memasang alat duga
muka
air elektronis yang sederhana dan sistem siaga untuk
memberikan
peringatan banjir.
o Meningkatkan keinginan melakukan penelitian dan pelatihan
tentang
ilmu pengetahuan dan teknologi peringatan dini modern.
-
o Melaksanakan kajian bagaimana masyarakat meng-akses dan
menginterpretasikan peringatan dini dan kemudian
mengaplikasikannya pada saat proses diseminasi.
o Mengembangkan, menguji dan menyempurnakan skenario
evakuasi
untuk berbagai kondisi siaga khususnya di daerah yang padat
penduduk.
o Mengembangkan sistem-sistem berbasis masyarakat untuk
menguji
anggota masyarakat yang berusia lanjut dan penyandang cacat
ketika
dilakukan peramalan banjir.
o Mengembangkan standar dan pedoman untuk berbagai jenis
sistem
peringatan dini.
o Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
o Pengelolaan kawasan yang berpotensi mendorong perkembangan
kawasan sekitar dan/atau berpengaruh terhadap perkembangan
wilayah Propinsi secara umum.
o Pengelolaan kawasan perbatasan dalam satu kesatuan arahan
dan
kebijakan yang saling bersinergi.
o Mendorong perkembangan/revitalisasi potensi wilayah yang
belum
berkembang.
o Penempatan pengelolaan kawasan diprioritaskan dalam
kebijakan
utama pembangunan daerah.
o Mendorong tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan
kawasan.
o Peningkatan kontrol terhadap kawasan yang diprioritaskan.
o Mendorong terbentuknya badan pengelolaan kawasan yang
diprioritaskan.
6. Rekomendasi Aspek Tataruang Dalam Pengelolaan DAS
Pemanfaatan ruang di WS Bengawan Solo pada masa yang akan datang
diarahkan
untuk dapat menyeimbangkan antara fungsi kawasan lindung dan
kawasan
budidaya. Kawasan lindung memiliki potensi untuk perlindungan,
pengawetan,
konservasi dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan
lingkungannya guna
mendukung kehidupan secara serasi.
Kawasan yang memerlukan perhatian utama adalah kawasan
perlindungan setempat
yang terdiri dari kawasan sekitar mata air, kawasan sekitar
waduk/danau, kawasan
sekitar sempadan sungai, pantai, kawasan sekitar sempadan sungai
di kawasan
permukiman, kawasan pantai berhutan bakau (mangrove) dan kawasan
terbuka
hijau. Pengamanan terhadap kawasan sekitar mata air akan
memberikan jaminan
terhadap penyediaan air jangka panjang
Pemetaan dan perlindungan terhadap daerah resapan air tanah yang
dilakukan
pengelola SDA dan badan perencana masing-masing daerah sehingga
pembangunan
daerah tidak mengganggu konservasi air tanah
-
Penentuan rencana rinci tataruang kawasan dan arahan peraturan
zonasi
Penghijauan dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan
dukungan penuh
dari seluruh stakeholder yang terlibat (swasta, badan usaha),
role sharing yang jelas
antara pemanfaat dan pelaku konservasi, menjadikan kawasan hutan
produksi yang
mempunyai kemiringan > 45% sebagai kawasan hutan lindung.
Mempertahankan vegetasi dan menanam kembali bagian kawasan yang
terbuka
khususnya pada hutan budidaya dan, role sharing yang jelas
antara pemanfaat dan
pelaku konservasi.
Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan
lingkungan.
Kegiatan penghijauan yang didasarkan pada sinergi antara
masyarakat, pemerintah
dan badan usaha/swasta.
Penegasan aturan hokum dan sangsi terhadap pelanggaran enatan
ruang wilayah
sungai.
Meminimalisasi konflik yang terjadi dengan penerapan kebijakan
rencana tata ruang
wilayah.
Penambahan ruang terbuka hijau sesuai dengan kebijakan tata
ruang yang telah
ditetapkan.
Rehabilitasi pada lahan-lahan kritis atau yang mengalami
kerusakan.
-
PENATAAN RUANG DAN PEMANASAN GLOBAL Oleh :
Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, M.Sc (Presiden Direktur PT.
Global Eco Rescue Indonesia)
Penataan ruang tidak lagi semata menjembatani kepentingan
ekonomi dan sosial. Lebih jauh dari kedua hal itu (ekonomi dan
sosial), penataan ruang telah berubah orientasinya pada aspek yang
benar-benar berpihak untuk kepentingan lingkungan hidup, sebagai
konsekuensi keikut-sertaan Indonesia pada upaya menekan pemanasan
global. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah
ditegaskan mengenai tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan, serta menciptakan keharmonisan antara lingkungan
alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Penataan
ruang yang berpihak pada lingkungan hidup perlu ditegakkan bersama
karena sebelumnya, logika penataan ruang yang hanya mengikuti
selera pasar, dalam kenyataan telah mengancam keberlanjutan. Hal
ini dapat dicermati dari keberadaan lahan-lahan produktif dan
kawasan buffer zone berada dalam ancaman akibat konversi lahan
secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan yang
mempunyai land rent tinggi seperti peruntukan lahan untuk
permukiman, industri, perdagangan serta pusat-pusat perbelanjaan.
Diperkirakan sekitar 15 ribu 20 ribu ha per tahun lahan pertanian
beririgasi beralih fungsi menjadi lahan non pertanian, serta tidak
sedikit kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) terdegradasi.
Berdasarkan data (Bappenas, 2002) terdapat sekitar 62 Daerah Aliran
Sungai (dari 470 Daerah Aliran Sungai) terdegradas akibat dari
penebangan hutan yang tidak terkendali dari hulu sungai. Tekanan
lingkungan lainnya adalah menyangkut laju urbanisasi yang akan
tumbuh sekitar 4,4 persen per tahun. Oleh karena itu diperkirakan,
pada tahun 2025 nanti terdapat sekitar 60 persen penduduk Indonesia
(167 juta orang) berada di perkotaan. Bila penataan ruang tidak
mengikuti logika pembangunan keberlanjutan, maka dapat dipastikan
bahwa kota-kota besar yang telah berkembang saat ini akan selalu
berada tekanan social yang sangat tinggi.
Masalah Perkotaan dan Pemanasan Global Pertumbuhan kota yang
mengabaikan penataan ruang berbasis lingkungan telah menyebabkan
konversi lahan secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi. Oleh
sebab itu sangat sulit menghindari konsentrasi permukiman penduduk
di kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk perkotaan tentu sangat
terkait dengan pemanasan global karena kenaikan jumlah penduduk
perkotaan akan berbading lurus dengan produksi sampah perkotaan.
Saat ini rata-rata satu rumah tangga diperkotaan telah menyumbang
sekitar 3 kg sampah perhari. Jika penduduk perkotaan telah mencapai
angka 167 juta maka dapat dibayangkan kira-kira berapa jumlah
sampah yang akan dibuang oleh masyarakat kota disetiap TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) Sampah. Pengelolaan sampah di TPA bagi sebagian
kota-kota besar di Indonesia rata-rata belum memenuhi standar
lingkungan karena kebanyakan menggunakan sistem open dumping.
Sistem ini (open dumping) sangat berbahaya bagi lingkungan sebab
gas metan (CH4) yang dikandung oleh TPA
-
sampah menguap ke udara. Sebagaimana dipahami bahwa gas methan
dari TPA yang menguap ke udara, mempunyai kemampuan menyerap
radiasi matahari 21 kali lipat lebih besar dibanding dengan gas-gas
berbahaya lainnya. Dengan demikian gas methan dari TPA adalah
penyumbang terhadap pemanasan global yang cukup besar. Penguapan
gas methan dari TPA ke udara dapat dihambat dengan merubah desain
TPA dari open dumping menjadi sanitary landfill. Desain sanitary
landfill mampu menekan lepasnya gas metan ke udara karena
menggunakan sistem penimbunan (liner) sampah, dan sistem
penangkapan gas methan (methan capture) yang dikandungnya dengan
menggunakan teknologi tertentu. Bagi TPA yang telah dimodernisasi
dengan melalui penangkapan gas metan dan kemudian gas metan
tersebut dapat di flaring dan diolah menjadi biogas untuk
kepentingan pembangkit listrik. Sebagai contoh misalnya pada
pengelolaan sampah di 8 (delapan) Kota di Indonesia yang dilakukan
oleh PT. Global Eco Rescue Indonesia meliputi :
1. TPA Telaga Punggur Kota Batam, menghasilkan sampah 2.750
m3/hari (=995 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh
131.892.442 m3/tahun gas metan.
2. TPA Talang Gulo Kota Jambi menghasilkan sampah 600 m3/hari
(=228 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 97.577.215
m3/tahun gas metan.
3. TPA Air Dingin Kota Padang menghasilkan sampah 1.800 m3/hari
(=684 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 143.080.883
m3/tahun gas metan.
4. TPA Manggar Kota Balikpapan menghasilkan sampah 575 m3/hari
(=226 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 31.803.427
m3/tahun gas metan.
5. TPA Pinang Kota Samarinda menghasilkan sampah 1.550 m3/hari
(=590 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 138.599.250
m3/tahun gas metan.
6. TPA Supit Urang Kota Malang menghasilkan sampah 665 m3/hari
(=236 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 94.341.221
m3/tahun gas metan.
7. TPA Kebun Kongok Kota Mataram menghasilkan sampah 1.700
m3/hari (=776 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh
122.427.100 m3/tahun gas metan.
8. TPA Kawatuna Kota Palu menghasilkan sampah 600 m3/hari (=228
ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 93.651.201 m3/tahun
gas metan.
Penataan Ruang dan Pemilihan Lokasi TPA Penataan ruang yang
serasi dan selaras dengan kapasitas lingkungan mulai dirasakan
sejak meningkatnya pertumbuhan penduduk perkotaan, masalah
permukiman, penggunaan lahan untuk lokasi pembuangan samapah dan
sebagainya. Oleh sebab itu zoning diperlukan untuk menciptakan
keserasian alokasi ruang sehingga masing-masing lahan berfungsi
sesuai pertumtukannya. Peruntukan lahan yang sesuai fungsinya dapat
menciptakan suatu kawasan (perkotaan) berkembang tanpa tekanan yang
kemudian memperkecil dampak eksternalitas perkotaan. Dalam suatu
kawasan perkotaan, pembagian zoning mutlak diperlukan. Misalnya
pembagian zoning untuk kawasan perdagangan dan bisnis, kawasan
industri, kawasan perumahan, kawasan perkantoran dan pemerintahan,
kawasan rekreasi, dan kawasan pembuangan atau pengelolaan sampah
perkotaan. Bila kawasan tersebut tidak ditentukan dalam tata ruang
perkotaan yang jelas dan tegas, maka pertumbuhan kota akan
mengalami tekanan sosial yang sangat berat karena estetika dan
nilai kenyamanan kota sulit dicapai. Dari semua pembagian zona,
maka zona mengenai lokasi sampah khususnya pada pembuangan akhir
sampah (TPA), dinilai sangat rumit karena terkait dengan kenyamanan
tepat tinggal atau dampak eksternalitas pada penduduk didekat TPA.
Disamping itu pemilihan lokasi TPA dalam membuat zoning, harus
memperhatikan strutktur tanah, karena dalam teori lokasi, istilah
tanah tersimpul pula keadaan topografi, struktur tanah dan cuaca
yang terdapat ditempat tertentu; kesemuanya ini mempengaruhi
pemilihan lokasi TPA. Topografi tanah adalah keadaan tanah seperti
terungkap dalam permukaannya, seperti bukit, jurang dan
-
sungai. Topografi tanah yang menunjukan tanah yang berbukit pada
umumnya cocok digunakan untuk lokasi pembuangan sampah (TPA).
Lokasi sampah kurang cocok diletakan pada kawasan berlereng atau
kawasan yang tergenang (rawan bajir) karena dengan gampang
menularkan bakteri dan penyakit. Tetapi lokasi TPA yang berada
perbukitan, akan memakan biaya yang tidak sedikit untuk
mempersiapkan pembuatan jalan dan jembatan menuju lokasi TPA
bersangkutan. Masalah lokasi TPA diperbukitan lebih dominan pada
sistem transportasinya, sehingga untuk kasus yang satu ini (kasus
TPA diperbukitan) harus secara cermat memperhitungkan jalur-jalur
transportasi yang dipandang efisien dan cepat. Perubahan Iklim dan
Penataan Ruang Perkotaan Untuk mengatasi perubahan iklim dengan
menekan kegiatan pembangunan yang dapat mengurangi pemanasan
global, maka kota-kota besar di Indonesia harus mengatasi masalah
persampahan agar gas metan yang dikandungnya tidak menguap ke udara
dan memicu pemanasan global. Gas metan itu harus ditangkap (methane
capture) dan metode seperti ini akan dikembangkan dibeberapa kota
di Indonesia. Untuk meningkatkan perekonomian kota agar dapat
membiayai infrastruktur sosial, maka program methane capture ini
dapat diintegrasikan dengan program Clean Development Mechanism
(CDM) melalui mekanisme perdagangan karbon. Dengan demikian ketiga
aspek (ekonomi, social dan lingkungan) dalam pembangunan
berkelanjutan akan terpenuhi. Disamping konsep tersebut diatas,
kita juga perlu mengembangkan kota-kota ramah lingkungan yang
sejalan dengan upaya-upaya menekan pemanasan global. Kota-kota
kecil menengah yang ramah lingkungan tentu akan mampu menghambat
laju urbanisasi. Kota-kota kecil menengah ini dilakukan dengan
membenahi sistem penggunaan energi (rumah tangga dan industri) yang
menggunakan menggunakan energi terbarukan seperti PLTS (energi
matahari) atau biogas dari pengolahan gas metan di TPA. Demikian
pula dengan penggunaan bahan bakar transportasi menggunakan gas.
Lapangan kerja tercipta dari aktivitas pertanian dalam desain
agropolitan, sedangkan penataan permukiman menggunakan desain
dimana satuan-satuan lingkungan permukiman berada dalam taman kota
yang saling dihubungkan oleh jaringan transportasi dengan kawasan
lain untuk memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja dalam
rangka mendukung sistem kehidupan kota, sehingga fungsi permukiman
tersebut dapat memberikan kenyamanan dan produktifitas bagi
masyarakat yang mendiaminya. Konsep kota-kota kecil menengah yang
ramah lingkungan dapat diintegrasikan dengan pengembangan
agropolitan yang telah maju. Dengan konsep tersebut akan tercipta
kota-kota produktif yang menjadi lokomotif dalam bidang ekonomi,
sosial dan lingkungan.
-
Pengembangan Peta Spasial Proyeksi Perubahan Iklim
Untuk Pengendalian Banjir
Oleh: Dr. Armi Susandi, MT
Ketua Program Studi Meteorologi ITB &
Pakar Perubahan Iklim Global
Email: [email protected]
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Kesuksesan Indonesia
sebagai tuan rumah dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim
tanggal 3-15 Desember 2007 yang lalu di Bali, kembali membuktikan
pada dunia internasional bahwa komitmen Indonesia sangat tinggi
dalam mengatasi persoalan penting dunia tentang pemanasan global.
Salah satu keputusan penting dalam konferensi internasional
tersebut adalah upaya pengurangan emisi global yang lebih besar
dari komitmen sebelumnya (Protokol Kyoto), pengurangan emisi yang
lebih besar atau disebut deeper cut sebesar 25%-40% menjadi salah
satu hasil utama perundingan di Bali. Tentunya hal tersebut
bertujuan agar upaya mitigasi perubahan iklim yaitu pengurangan
emisi karbon global dapat terus menjadi target utama bagi negara
maju di masa mendatang, khususnya paska tahun 2012, sementara itu
kegiatan adaptasi perubahan iklim menjadi titik fokus negara
berkembang. Sebagaimana kita ketahui kemampuan negara berkembang
jauh lebih rendah dalam adaptasi dampak perubahan iklim global,
sehingga negara berkembang menjadi negara yang lebih rentan
terhadap dampak perubahan iklim global. Pemanasan global atau yang
dikenal dengan global warming akan berdampak pada dua hal utama,
yaitu peningkatan temperatur global dan yang kedua kenaikan muka
air laut (sea level rise). Implikasi dari peningkatan temperatur
global adalah perubahan pola dan variabilitas iklim. Secara khusus
hal tersebut akan berdampak pada perubahan intensitas curah hujan
pada suatu daerah sampai pada kejadian cuaca ekstrim yang bakal
sering terjadi di muka bumi ini. Selanjutnya kenaikan muka air laut
akan mulai menggenangi seluruh wilayah daratan yang lebih rendah di
dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi di daerah
tropis, dikenal sebagai daerah yang memiliki dinamika pertumbuhan
awan yang tertinggi di dunia. Konsekuensinya, wilayah Indonesia
akan sering tergangggu aktifitas cuaca jika terjadi cuaca ekstrim
di wilayah dan sekitar Indonesia, karena perubahan dinamika
atmosfer Indonesia sangat cepat terjadi. Perubahan Pola dan
Intensitas Curah Hujan serta Perubahan Tata Guna Lahan Khususnya di
Indonesia, dampak perubahan iklim akan berdampak pada perubahan
pola dan intensitas curah hujan. Jika dibandingkan data curah hujan
saat ini dengan data curah hujan 50 tahun yang lalu, secara umum
kondisi curah hujan saat ini ditandai dengan kenaikan curah hujan
yang lebih tinggi pada musim hujan di banding pada masa-masa yang
lalu, pada musim yang sama. Sebaliknya, pada musim kemarau curah
hujan yang terjadi jauh lebih sedikit dibandingkan musim yang sama
pada masa yang lalu. Artinya terjadi perbedaan jumlah curah hujan
yang sangat tinggi antara jumlah curah hujan pada kedua musim
(musim hujan dan musim kemarau). Sebagai ilustrasi Gambar 1,
memperlihatkan bagaimana curah hujan yang terjadi pada daerah Jawa
Barat mulai tahun 1950 sampai tahun 2007. Selain itu perubahan
iklim juga ditandai dengan intensitas curah hujan yang lebih tinggi
dibandingkan masa-masa sebelumnya. Ini lah yang kemudian
menimbulkan peningkatan jumlah curah hujan yang sangat tinggi pada
waktu yang singkat. Jika hal tersebut terjadi kemungkinan banjir
bakal terjadi pada suatu daerah. Selanjutnya kejadian banjir
tersebut
-
akan diperparah dengan perubahan tata guna lahan yang terjadi
pada daerah tersebut. Daerah yang dulunya menjadi daerah resapan
mungkin sudah berganti menjadi daerah perumahan dan perkantoran
atau daerah industri. Jika intensitas curah hujan semakin tinggi
dan perubahan tata guna lahan terus terjadi maka diperkirakan
banjir akan terus meningkat dan sering terjadi. Kedua kejadian
tersebut akan mempersulit upaya adaptasi perubahan iklim terhadap
pengendalian kejadian banjir yang terjadi.
Sumber: Susandi dkk, 2007
Gambar 1. Data Curah Hujan Jawa Barat Tahun 1950 - 2007
Bagaimana penanganan kejadian banjir di masa mendatang? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu didasarkan pada kajian kedua
variabel penyebab banjir tersebut di atas. Perlu dikembangkan
analisis dan kajian proyeksi iklim mendatang untuk wilayah kajian
banjir. Proyeksi iklim mendatang haruslah dilakukan dalam skala
ruang (spasial), sehingga dapat diketahui dimana potensi curah
hujan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Gambar 2,
memperlihatkan prosentasi perubahan curah hujan rata-rata Indonesia
pada tahun 2100. Terlihat bahwa daerah Sumatera akan bertambah
prosentase curah hujannya di masa mendatang, termasuk Sulawesi dan
Nusa Tenggara. Sementara itu curah hujan di Jawa akan lebih turun
prosentase jumlahnya di masa mendatang. Setelah kajian regional
(Indonesia), selanjutnya perlu untuk mengkaji lebih detail
bagaimana pola curah hujan mendatang dalam skala yang lebih mikro.
Sebagai contoh, Gambar 3, berikut memperlihat bagaimana perubahan
pola curah hujan di Jakarta pada tahun 2010. Pada Gambar 3 tersebut
terlihat bahwa curah hujan di Jakarta pada tahun 2010 akan
berasal/berpindah dari Bogor, artinya kemungkinan banjir yang
terjadi di Jakarta, tidak hanya terjadi karena banjir kiriman dari
Bogor, akan tetapi potensi banjir akan terjadi karena pola curah
hujan telah bergeser dari Selatan (wilayah Bogor) ke Utara memasuki
wilayah Jakarta.
-
Sumber: Susandi, 2006
Gambar 2. Perubahan Curah Hujan Tahunan Indonesia Tahun 2100
Sumber: Susandi dkk, 2006
Gambar 3. Proyeksi Curah Hujan di Jakarta Tahun 2010 (Bulan
Januari)
Pengembangan model spasial menjadi penting dalam mengurangi
dampak kejadian iklim global, khususnya dalam upaya pengendalian
banjir di masa mendatang. Selanjutnya hal yang lebih penting lagi
bagi pengendalian banjir mendatang adalah proyeksi perubahan tata
guna lahan wilayah kajian.
-
Perubahan tata guna lahan tersebut sebenarnya dapat menjadi
penyebab utama banjir di suatu wilayah. Berdasarkan model-model
tersebut, baik model proyeksi perubahan iklim skala regional, lokal
maupun model proyeksi tata guna lahan yang dikembangkan secara
spasial (skala ruang) maka selanjutnya penyusunan langkah-langkah
dan upaya adaptasi mendatang dalam pengendalian banjir dapat lebih
tepat dan sesuai sasaran (optimal). Pengembangan upaya adaptasi
akan disesuaikan dengan kondisi dan geografis lingkungan wilayah
yang berpotensi banjir, sehingga pemangku jabatan serta masyarakat
dapat menentukan langkah-langkah antisipatif yang perlu
dikembangkan dalam penanganan banjir. Termasuk di dalam kegiatan
tersebut adalah membangun infrastruktur yang di nilai tepat untuk
mengatasi banjir di wilayah tersebut. Hanya saja sebagai catatan
bahwa, apapun langkah yang diambil dalam penanganan banjir haruslah
berdasarkan pertimbangan penentuan lokasi curah hujan mendatang
sekaligus menentukan lokasi infrastruktur serta jenis teknologi apa
yang akan dikembangkan pada wilayah tersebut. Daftar Pustaka: 1.
Susandi. A, Y. Aditiawarman, E. Kurniawan., I. Juaeni. Climate
Change in Jakarta: Its Historical
Study for Projection, Proceedings of the Annual Scientific
Meeting HAGI, Semarang, Indonesia, 13 15 November 2006.
2. Susandi. A, Projection of climate change over Indonesia using
MAGICC/SCENGEN, poster section in of the International Conference
on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung, Indonesia,
November 29-30, 2006.
3. Susandi. A., A. Lubis., Y. Permadhi, Water resources
management for climate change adaptation. Poster section on
National seminar on climate change and environment in Indonesia,
November 9, 200
-
AIR ADALAH REFLEKSI PERUNTUKAN LAHAN
Pendahuluan
Adalah Gilbert F. White yang pada tahun 1942 dalam dissertasi
doktornya yang sangat terkenal Human Adjustment to Floods menulis :
Floods are acts of God but flood losses are largely acts of man.
Kalimat yang inspiratif tersebut kini telah menjadi milik
dunia.
Bahwa banjir adalah kehendak Tuhan kiranya tak ada yang
menyangkal. Banjir adalah fenomena alam sebagai akibat panas
matahari dan perputaran bumi yang menggerakkan siklus
hidrologi.
Bahwa umumnya kerugian banjir adalah karena perbuatan manusia,
mungkin masih banyak
diantara kita yang belum memahami. Tulisan ringkas ini menyoroti
kasus daerah banjir dan penyebabnya serta alternatif penanganan
sesuai cara pandang baru.
Kasus 1. Perubahan peruntukan lahan DAS Ketika tahun 1984
Cengkareng Drain mulai berfungsi, penduduk di sekitar Daan Mogot,
Rawa
Buaya, Duri Kosambi Kodya Jakarta Barat dan sekitarnya segera
menikmati hilangnya banjir
tahunan yang biasa melanda daerah mereka. Namun mengapa banjir
yang hilang itu sejak 1996 datang lagi dengan intensitas yang lebih
sering. Cengkareng Drain yang memotong dan
mengalirkan aliran sungai-sungai Pesanggrahan, Angke dan
Mookervart kini seakan . tidak berdaya
menampung serbuan ebit banjir dari ke 3 sungai tersebut. Kalau
kita amati sejak 1984 daerah aliran sungai K. Pesanggrahan,
K.Angke, dan Mookervart
ternyata telah banyak berubah. DAS Angke misalnya sejak Parung,
Serpong, Pamulang, Ciputat,
Bintaro, Ciledug telah berubah peruntukannya dari lahan2 kosong
/ kebun menjadi areal
permukiman dan perkotaan. Aliran air di permukaan tanah akibat
hujan meningkat tajam karena peresapan ke dalam tanah terhalang
perkerasan jalan dan atap bangunan. Peningkatan aliran inilah
yang menyebabkan banjir datang lagi melanda daerah yang bahkan
lebih luas.
Ditinjau dari aspek perencanaan di daerah ini telah terjadi
perubahan parameter disain secara pelahan sehingga melampaui
kriteria perencanaan yang telah ditentukan tanpa tindakan
antisipasi.
Kerugian banjir adalah akibat perbuatan manusia.
-
Kasus 2. Dataran Banjir
Masih di tahun 1984, wilayah Bandung Selatan dan sekitarnya
dilanda banjir besar. Bale Endah di
tepi S. Citarum yang waktu itu hampir siap ditetapkan sebagai
ibukota kabupaten Bandung tenggelam berhari-hari, akhirnya ibukota
kabupaten Bandung dipindahkan ke Soreang.
Di wilayah Bandung Selatan ini S. Citarum membentuk dataran
banjir yang sangat luas. Dataran
banjir adalah dataran di kiri-kanan sungai yang dibatasi oleh
genangan debit banjir sekurang-
kurangnya Q50 tahun. Dataran banjir sebenarnya adalah alur
sungai yang dilewati air hanya pada saat banjir, pada waktu tidak
terjadi banjir dataran ini menjadi bagian sistim daratan. Dataran
banjir
dapat berwujud lahan yang sangat luas dan dapat dimanfaatkan
untuk berbagai kegiatan, namun
mengingat dataran banjir sebenarnya adalah alur sungai, maka
peruntukannya perlu diatur hanya untuk kegiatan yang sesuai dengan
karakteristik dataran tersebut. Peruntukan dataran banjir
sungai
sebesar Citarum untuk sebuah kota pusat kabupaten jelas
mengundang bahaya dan masalah
berkepanjangan.
Banjir akibat luapan sungai sesungguhnya adalah peristiwa
pernyataan keberadaan alur sungai. Pada saat banjir, sungai
mengambil ruang alurnya kembali yang seringkali justru telah
diokupasi
untuk kepentingan manusia.
Mengingat pada umumnya sungai lebih dahulu menempati ruang
alurnya dibanding keberadaan manusia. Sebetulnya manusialah yang
mencari masalah mendatangi dataran banjir. Ketika muncul
kerugian banjir hal tersebut tentunya adalah karena perbuatan
kita sendiri yang kurang paham sifat
dan perilaku banjir. Mengingat sejarah pembentukan kota-kota
umumnya terkait erat dengan keberadaan sungai, banyak perkotaan
terbentuk di daerah dataran banjir, tak terkecuali di
Indonesia. Menurut catatan sejarah pengaturan dataran banjir
pertama kali dicetuskan oleh Ratu
Maria-Theresia (1740-1780) dari kekaisaran Austro-Hungaria. Sang
Ratu menetapkan keputusan
bahwa dataran banjir S. Danube sepanjang 50 km tepat di hulu
kota Wina tidak boleh ditanggul. Dataran ini disediakan untuk
menampung banjir S. Danube dan masyarakat dilarang membangun di
daerah tersebut. Kini para perencana kota Wina mengagumi dan
berterima kasih atas pandangan
Sang Ratu yang jauh ke depan.
Kasus 3 Ruang Sempadan Sungai
Pada tahun 2000, dipicu oleh keberadaan kampung di tepi alur K.
Code di daerah Terban Taman
Yogyakarta yang sempat memperoleh penghargaan internasional,
muncul wacana untuk melegalkan hunian tepian alur K. Ciliwung di
Bidara Cina Jakarta . Pendukung wacana ini kurang
memahami kenyataan bahwa keberadaan sungai adalah sangat
spesifik terhadap ruang dan kondisi
setempat. Untuk K. Code di Terban Taman, setinggi-tingginya air
banjir tidak akan pernah
menyentuh pemukiman karena tebing sungai yang sangat tinggi.
Sangat berbeda dengan
-
pemukiman di tepi K. Ciliwung di Bidara Cina muka air banjir
seringkali mencapai atap rumah.
Membiarkan apalagi melegalkan penduduk tinggal di daerah yang
berbahaya seperti itu tentu merupakan tindakan yang kurang
bertanggung jawab. Sudah seharusnya saudara-saudara kita ini
difasilitasi dengan rumah susun seperti yang akhirnya telah
terbangun sekarang di daerah Cawang.
Ruang sempadan sungai adalah ruang di kiri-kanan sungai sebagai
batas perlindungan sungai.
Maksud penetapan ruang sempadan sungai adalah untuk menjaga agar
sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Jika keduanya
saling mengganggu umumnya kegiatan manusia yang harus
mengalah, mengingat kekuatan alam sangat besar.
Ketiga kasus di atas adalah contoh tipikal kasus banjir di tanah
air. Pekerjan-pekerjaan konstruksi
pengendali banjir manfaatnya tidak akan bertahan lama jika
perubahan peruntukan lahan di bagian
hulu DAS terus berlangsung tanpa diantisipasi pengaruhnya.
Demikian pula pekerjaan pengendali banjir semakin rumit dan mahal
jika kita masih terus memanfaatkan dataran banjir secara salah
tanpa ada pengaturan. Apalagi jika ruang sempadan sungai juga
terus didesak untuk pemukiman,
pekerjaan pengendalian banjir akan menjadi pekerjaan yang tidak
pernah selesai.
Langkah ke depan
Daerah banjir umumnya tidak akan berpindah lokasi. Sejak dulu
daerah banjir adalah dataran
banjir, ruang sempadan sungai dan daerah2 rendah lain yang
tergenang akibat peningkatan debit banjir karena perubahan
peruntukan lahan. Kini telah berkembang cara pandang baru
terhadap
banjir yaitu pemahaman bahwa banjir merupakan produk seluruh DAS
lengkap dengan segala isi
dan aktifitasnya. Pengendalian banjir tidak cukup hanya
dilakukan di sungai, namun perlu melibatkan peranan seluruh DAS
tersebut.
Ke depan, di samping pekerjaan secara struktur dan non struktur
yang telah kita lakukan selama ini,
daerah yang tidak banjir perlu diberi peran dalam memperbesar
resapan air, juga perlu ditetapkan
aturan-aturan terkait dengan tata ruang berkenaan dengan ke 3
jenis kasus di atas. Perubahan peruntukan lahan harus dikendalikan
secara ketat kalaupun hal itu terjadi harus ada kompensasi
berupa resapan air dengan kapasitas yang sesuai untuk meresapkan
lonjakan debit akibat perubahan
peruntukan lahan. Dataran banjir perlu diidentifikasi di setiap
sungai demikian pula ruang sempadannya. Jika dataran banjir dan
ruang sempadan tersebut masih kosong, peruntukannya dapat
segera diatur. Dataran banjir dan ruang sempadan yang telah
dihuni perlu ditetapkan kondisinya
sebagai status quo tidak boleh ada pembangunan baru. Secara
bertahap dalam jangka waktu yang
disepakati oleh seluruh stakeholder (misalnya 5, 10 sampai 20
tahun) dataran banjir dan ruang sempadan sungai tersebut diatur
untuk peruntukan yang sesuai. Hanya dengan cara demikian kita
secara bertahap dapat menyelesaikan masalah banjir
-
Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa kerugian banjir muncul terkait
dengan kepentingan manusia. Ketika sebuah prasarana pengendali
banjir selesai dibangun (misal Cengkareng Drain) umumnya
segera diikuti oleh pembangunan daerah yang didorong oleh rasa
aman semu karena adanya
bangunan pengendali tersebut. Sedangkan untuk pengembangan di
dataran banjir dan okupasi sempadan sungai biasanya disebabkan
karena ketidaktahuan masyarakat terhadap fungsi dan
karakter sungai. Sungai sebagai alur alami tempat air mengalir
sebenarnya hanya menunjukkan
akibat saja dari perlakuan kita terhadap DAS. Karena ruang dan
lahan DAS kita perlakukan secara sembarangan kurang memperhatikan
fungsinya sebagai media air mengalir, pada saat musim
penghujan kita menuai hasilnya berupa masalah banjir yang
semakin kronis.
Karena air merupakan cerminan peruntukan lahan tidak kita
pahami, akhirnya kita mencelakai diri
sendiri.
S.Budi Santoso
Ksd Cantek Dit Sungai Danau Waduk
Ditjen Sumber Daya Air De. PU
-
Jawa, Cuaca dan Bencana
Oleh : Yayat Supriatna
Akibat musim pancaroba saat ini sebagian besar wilayah di Pulau
Jawa,
khususnya di Jakarta, Jawa Tengah dan Timur tenggelam dilanda
bencana banjir dan
tanah longsor. Tidak dapat dipungkiri, cuaca buruk telah membuka
aib buruk terhadap
pemeliharaan dan pengawasan pemanfaatan lingkungan di Pulau
Jawa. Silih bergantinya
kota yang dilanda banjir dan timbulnya kemacetan sepanjang
hampir 40 Kilometer di
jalur Pantura selama dua minggu, mengindikasikan cuaca sudah
menjadi factor yang
dominan terhadap munculnya bencana banjir dan longsor. Banyaknya
kejadian bencana
menunjukkan, daya dukung lingkungan Pulau Jawa sebenarnya sudah
menurun. Hasil
tinjauan ekologis yang telah dilakukan menunjukkan berbagai
fenomena di atas
disebabkan menurunnya secara tajam fungsi kawasan-kawasan
lindung di Pulau Jawa.
Fenomena berkurangnya fungsi kawasan lindung tidak mudah untuk
diatasi.
Mengingat terdapat hierarki kewenangan maupun hubungan
horizontal antar
pemerintahan, yang selama ini belum mempunyai sinergi yang kuat
untuk memecahkan
masalah-masalah di lapangan. Disamping itu juga terdapat
sejumlah peraturan-
perundangan yang belum mendukung terwujudnya sinergi dimaksud,
bahkan cenderung
implementasinya tidak sinkron satu sama lain.
Problem Saat Ini
Untuk menelaah mengapa terjadi penurunan daya dukung Pulau Jawa
ada beberapa
hal penting yang perlu diperhatikan antara lain, meskipun
sumberdaya alam di Pulau
Jawa telah mengalami kerusakan dan menyebabkan menurunnya daya
dukung
lingkungannya. Namun sebagian besar peraturan daerah atau
perundangan yang ada
saat ini masih bersifat eksploitatif dan tidak kolaboratif .
Memasuki era otonomi daerah,
pemerintah kabupaten dan kota, kini mempunyai kewenangan yang
lebih besar dalam
memanfaatkan dan mengelola sumber-sumber alam di wilayahnya
dibandingkan
sebelumnya. Dari 119 Peraturan Daerah (Perda) yang dianalisis
sebagian besar Perda
tentang pemanfaatan sumber daya alam di era otonomi daerah
diterbitkan dengan motif
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sebanyak 60 persen
atau 71 dari 119
Perda di Jawa diterbitkan dengan motif untuk memperoleh
retribusi ijin usaha /pajak
daerah. ( Haryadi & Haryanto,Fahutan IPB 2006)
Sementara luas hutan dan lahan di P Jawa yang kini dalam kondisi
kritis dan rawan
bencana, sekitar 75% dimiliki secara perorangan (individual
ownership rights) sedangkan
sisanya sebesar 25% dikuasai negara (state property). Apabila
pemilikan secara individu
-
ini digunakan untuk hanya mengejar manfaat ekonomi semata, maka
kebutuhan
masyarakat secara sosial untuk memulihkan daya dukung lingkungan
tidak akan tercapai.
Pulau Jawa, dengan demikian menghadapi social dilemma. Pemecahan
masalah social
dilemma hanya dapat dilakukan apabila keputusan-keputusan
dilakukan secara kolektif
serta tidak hanya bertumpu pada batas-batas yurisdiksi
pemerintahan/ administratif,
melainkan dengan memperhatikan basis ekosistem sebagai
yurisdiksi pengambilan
keputusan.
Sementara perbandingan antara jumlah penduduk dengan daya dukung
sumberdaya
alam sudah tidak ideal lagi, dalam arti akibat besarnya jumlah
penduduk tidak lagi
memungkinkan tingkat produktivitas lahan per kapita dapat
menjamin kesejahteraan
minimal masyarakat. Upaya realokasi penduduk Pulau Jawa ke luar
Jawa menjadi suatu
keniscayaan. Masih berjalankah program Transmigrasi ?.
Jika kondisi ini terus berlanjut , ada prakiraan kedepan, yang
mengkhawatirkan
tingkat perkembangan bencana akan semakin meluas dan merata di
Pulau Jawa.
Khususnya di kawasan perkotaan Pantura yang merupakan wilayah
hilir dari sebagian
besar DAS yang ada. Hasil kajian terhadap daya dukung sumber
daya air di Pulau Jawa
( Indreswati Guritno,2006) mengungkapkan, jika kondisi
lingkungan Pulau Jawa semenjak
tahun 1995 tidak berubah, maka kondisi Pulau Jawa sudah sangat
kritis. Batas daya
dukung sudah sangat marginal disemua propinsi. Jika kenyataanya
saat ini sudah lebih
dari yang diperkirakan, maka seluruh Pulau Jawa daya dukung
lingkungannya sudah
terlampaui (overshoot). Sehingga dapat disimpulkan setiap tahun
mungkin kita akan
menuai bencana. Apalagi jika kondisi cuaca juga mendukung kearah
tersebut. Semakin
buruk cuaca, maka perkiraan bencana yang buruk mungkin segera
akan terjadi.
Hasil pengamatan selama tahun 2004 hingga 2006 telah terjadi
banjir , longsor,
dan kekeringan masing masing di 102, 51, dan 97 kabupaten/kota.
Perkiraan bencana
pada tahun tahun berikutnya diperkirakan akan semakin meningkat
dan ini terbukti
pada akhir tahun 2007 dan awal 2008. Kondisi banjir paling parah
diperkirakan akan
tetap terjadi di Jawa Tengah, disusul Jawa Barat dan Jawa Timur.
Secara keseluruhan
kejadian ini disebabkan semakin tingginya proses alih fungsi
lahan. Sejak akhir tahun
2000, Jawa telah kehilangan 134.000 ha lahan basah, 110.000 ha
lahan kering, dan
81.000 ha hutan (Hariadi Kartodihardjo, Fahutan IPB,2006) yang
beralih fungsi menjadi
permukiman, industri dan sebagainya. Padahal total luas pulau
Jawa dan Madura hanya
sekitar 7 persen dari luas Indonesia dan dihuni lebih dari 60
persen dari jumlah
penduduknya. Tingkat kepadatan penduduknya rata rata sudah lebih
dari 1000
orang/km2. Dengan demikian Pulau Jawa telah berubah menjadi
Pulau Perkotaan, yang
semakin kritis wilayah resapan air.
-
Untuk mengantisipasi bencana , perlu dipertimbangkan beberapa
hal yang
menjadi prinsip dasar penanggulangan bencana secara bersama.
Hindarkan pendekatan
berdasarkan tugas pokok dan fungsi atau tupoksi dari masing
masing sektor terkait.
Perlu lebih dikedapankan adanya, inovasi dibandingkan sekedar
tupoksi. Kedepankan
lingkup wilayah fungsional DAS dibandingkan administrasi
kabupaten/kota. Kaji lebih
mendalam, bahwa banjir dan longsor bukan sekedar masalah
kerusakan lingkungan
disekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) atau masalah hulu dan
hilir. Mungkin ada hal hal
lain yang lebih mendasar dan struktural, seperti kemiskinan,
politik pembiaran, politik
penguasaan sumberdaya, politik pendapatan dibandingkan
pengendalian.
Untuk hal yang non struktural, BMG adalah badan pusat, yang
tidak memiliki
tangan di daerah, maka sudah saatnya peran pemerintah daerah
bergerak memotivasi
dirinya untuk melakukan inovasi dengan memanfaatkan informasi
BMG sebagai alat
pencegah terjadinya bencana. Sementara untuk lingkup antar
wilayah otonom, solusi
bencana bukan dengan hal teknis semata, tetapi lebih menyangkut
pola kerjasama antar
daerah. Sebab bencana itu adalah masalah yang harus diatasi
bukan untuk ditangisi.
Yayat Supriatna,
-
NERACA PENATAGUNAAN TANAH
DALAM PERSPEKTIF PENATAAN RUANG
Oleh: Harris Simanjuntak1
Pemanfaatan ruang tanah, mengacu pada fungsi ruang tanah yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang tanah, dilaksanakan dengan
mengembangkan penatagunaan tanah.
Dalam rangka pengembangan penatagunaan tanah, diselenggarakan
kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah.
(UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
Pembangunan berkelanjutan, pada hakekatnya, adalah upaya mencari
keseimbangan antara faktor daya dukung tanah dan faktor
sosio-ekonomi masyarakat yang menggunakan tanah. Dengan demikian,
dalam konteks pengelolaan tanah, pembangunan berkelanjutan
merupakan upaya penyeimbangan faktor ekonomi, sosial, dan
lingkungan hidup, sehingga penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, namun tetap
mencerminkan prinsip rasa keadilan secara sosial, dan berkelanjutan
secara lingkungan hidup. Pemaduserasian faktor-faktor tersebut akan
selalu menjadi tantangan dalam pengambil keputusan-keputusan
terkait dengan tanah.
Tanah adalah sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat
dan karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan
optimal. Perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal
tersebut dilakukan melalui penyusunan rencana tata ruang yang
semestinya mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
Rencana tata ruang merupakan rencana letak dari berbagai macam
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang direncanakan dalam rangka
memenuhi berbagai ragam keinginan (wants) dan kebutuhan (needs)
masyarakat. Dalam kenyataannya, untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhan masyarakat, banyak sekali jenis penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang harus diakomodir di atas tanah. Tidaklah
mungkin semua jenis itu bisa diakomodir dalam rencana tata ruang.
Karena itu, rencana penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
diletakkan dalam rencana tata ruang hanya mencerminkan rencana
penggunaan dan pemanfaatan yang benar-benar menjadi prioritas.
Karena tanah bersifat terbatas (finite), penggunaan dan
pemanfaatan tanah tersebut haruslah efisien, tertib dan teratur.
Untuk itu, para pengguna tanah, dalam menggunakan dan memanfaatkan
tanahnya, harus mengacu pada persyaratan (land use codes) yang
disyaratkan dalam rencana tata ruang, untuk memastikan penggunaan
dan pemanfaatan tanahnya Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang
(LOSS) di kawasan pedesaan; dan, Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan
Sehat (ATLAS) di kawasan perkotaan.
Dalam tataran operasional, tanah digunakan dan dimanfaatkan oleh
manusia yang menguasai tanah untuk mensejahterakan hidupnya.
Penggunaan oleh manusia tersebut sifatnya mendasar dan berlangsung
terus menerus hingga memunculkan suatu hubungan hukum antara
manusia pengguna dengan tanah yang digunakan. Terganggunya hubungan
manusia pengguna dengan tanahnya akan berimplikasi pada
kesejahteraan pengguna tanah, karena itu perlu ada jaminan
kepastian hukum. Gangguan hubungan ini dapat dilihat dalam dua
perspektif. Pertama, gangguan hubungan dapat berupa sulitnya akses
masyarakat kepada sumber daya tanah; kedua, besarnya ongkos yang
harus dikeluarkan untuk menggunakan sumber daya tanah dimaksud.
Kesulitan ini diakibatkan oleh persediaan tanah yang memang
terbatas dan adanya
1 Kasubdit Pemeliharaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah pada
Direktorat Penatagunaan Tanah BPN
R.I.
-
berbagai macam hambatan institusional (kelembagaan)2 yang
terkait dengan tanah, sehingga kepemilikan dan penguasaan tanah
tersebut bisa saja didominasi oleh sekelompok masyarakat dengan
kepentingan tertentu, yang bermuara pada
ketidakseimbangan/ketimpangan penguasaan, penggunaaan dan
pemanfaatan tanah.
Agar masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah dengan
optimal, tertib dan teratur, harus ada keserasian diantara
kelembagaan yang terkait dengan penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah sehingga memungkinkan digunakan dan dimanfaatkan
secara efisien, tanpa mengabaikan keadilan sosial, dan tidak
merusak fungsinya. Keserasian inilah yang melandasi perlunya
penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah merupakan pola pengelolaan
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud
konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang
terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk
kepentingan masyarakat secara adil.
Pelaksanaan konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan
kelembagaan di atas harus mengacu kepada kebijakan penatagunaan
tanah yang telah digariskan dalam PP No.16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah. Secara ringkas, kebijakan ini meliputi:
penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai rencana tata
ruang wilayah tidak dapat diperluas, dikembangkan, atau
ditingkatkan;
pelayanan administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang
hak memenuhi syarat-syarat menggunakan tanah sesuai rencana tata
ruang, tidak saling mengganggu, tidak saling bertentangan,
memelihara tanah, tidak merobah bentang alam, memberikan nilai
tambah penggunaan tanah dan lingkungan;
pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah
penggunaan tanahnya dengan memperhatikan hak atas tanah serta
kepentingan masyarakat sekitar;
terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas
tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan
hutan;
tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di
wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas
sungai dikuasai langsung oleh negara;
penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap pulau-pulau kecil
harus memperhatikan kepentingan umum, tidak menutup akses umum ke
pantai/laut;
apabila pemilik tanah tidak mentaati syarat-syarat menggunakan
dan memanfaatkan tanah, dikenakan sanksi;
penetapan rencana tata ruang wilayah tidak mempengaruhi status
hubungan hukum atas tanah.
Kebijakan di atas, selanjutnya, harus menjadi koridor dalam
penyelenggaraan kegiatan penatagunaan tanah. Penyelenggaraan
penatagunaan tanah, sesuai PP No.16 Tahun 2004, terdiri atas tiga
jenis kegiatan pokok, yaitu:
pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah;
penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi
kawasan;
penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang wilayah.
Output penyelenggaraan kegiatan di atas adalah data dan
informasi yang disajikan dalam bentuk peta (spasial) dengan skala
lebih besar dari pada skala peta rencana tata ruang wilayah yang
bersangkutan,
2 Institutions are the rules of the game of a society or more
formally are the humanly-devised constraints
that structure human interaction; see the authors North, C.
Douglass, The New Institutional Economics and Development,
Washington University, St. Louis.
-
sedangkan outcome-nya adalah kesesuaian dan keserasian
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata
ruang yang disepakati.
Lebih jauh, substansi kegiatan pokok kedua, yaitu: penetapan
perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan di atas,
pada dasarnya, adalah data dan informasi yang dikemas dalam bentuk
neraca perimbangan (Balance).
Neraca perimbangan ini berisi data dan informasi, baik tekstual
maupun spasial, dari perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah
pada rencana tata ruang wilayah. Dengan demikian, pengelolaan data
dan informasi penatagunaan tanah merupakan bagian dari perencanaan
dan pemodelan suatu rencana tata ruang. Karena itu, infrastruktur
data spasial dan teknologi informasi penatagunaan tanah memegang
peranan penting dan strategis dalam penataan ruang.
Pembuatan keputusan dalam penataan ruang memerlukan akses kepada
data dan informasi yang akurat dan relevan, yang dikemas dalam
suatu bentuk yang interaktif dan tersedia pada saat diperlukan.
Dalam menyusun rencana tata ruang, keputusan yang baik tentunya
harus didasarkan pada informasi penatagunaan tanah yang baik.
Selanjutnya, informasi penatagunaan tanah yang baik harus pula
didasarkan pada data yang baik.
Kebutuhan (demand) atas informasi tekstual dan spasial
penatagunaan tanah untuk pengambilan keputusan dalam penataan ruang
mencakup dua hal. Pertama, informasi penatagunaan tanah merupakan
input dalam proses pembuatan keputusan (informed decisions). Kedua,
informasi tekstual dan spasial juga diperlukan dalam rangka
analisis dampak keputusan.
Karena setiap keputusan mempunyai dampak, baik jangka pendek
maupun jangka panjang, maka konsekuensi dari keputusan tersebut
harus bisa diprediksi dan dikendalikan. Prediksi dan pengendalian
ini dapat dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi hasil dari
keputusan yang dibuat tersebut (decisions outcome). Dengan
demikian, akuntabilitas keterpaduan antara komunitas, dampak, dan
efek dari keputusan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam rangka mendukung pengambilan dan analisis dampak keputusan
dalam perencanaan dan penyelenggaraan penataan ruang, Direktorat
Penatagunaan Tanah pada Tahun Anggaran 2007 telah melakukan
pengumpulan dan analisa data penatagunaan tanah yang dikemas dalam
bentuk Atlas Neraca Penatagunaan Tanah Nasional.
Atlas ini berisi data dan informasi tekstual dan spasial tentang
perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata
ruang. Sebagai contoh, berikut ini disajikan tabel dan gambar yang
berisi informasi tekstual tentang perubahan, kesesu