Top Banner
BUKU AJAR GASTROENTEROLOGI- HEPATOLOGI JILID 1 UKK- GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI IDAI 2009
404

Buku Ajar Gastroenterologi

Apr 24, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Buku Ajar Gastroenterologi

BUKU AJAR

GASTROENTEROLOGI-

HEPATOLOGI

JILID 1

UKK- GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI IDAI

2009

Page 2: Buku Ajar Gastroenterologi

Sambutan ketua UKK-Gastroenterologi-Hepatologi IDAI

Teman sejawat yang terhormat,

Setelah menunggu sekian lama maka akhirnya terbitlah buku ajar gastroenterologi-hepatologi

yang kita tunggu tunggu. Mari kita bersama mengucapkan syukur kepada yang maha kuasa, atas berkah

dan rahmatnya sehingga kerja para kontributor dan editor menjadi lancar dan sukses.

Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak yang nantinya

akan dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia serta tentunya

semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun sesuai kesepakatan bersama

masyarakat gastroenterologi dan hepatologi anak Indonesia yang terangkum dalam bermacam judul dan

berasal dari bermacam macam referensi terbaru baik dari jurnal maupun text book, sehingga

keberadaannya merupakan representasi ilmu ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak masa kini.

Saya sebagai ketua UKK GH 2008-2011 memberikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi

tingginya kepada para kontributor dan editor dengan diterbitkannya buku ajar ini, semoga buku ini bisa

dimanfaatkan sebesar besarnya oleh para pengguna.

Buku ini tentunya masih jauh dari sempurna, ibarat peribahasa” tiada gading yang tak retak”, tapi saya

mengajak kepada teman sejawat sekalian untuk ikut serta memberi saran agar buku ini lebih baik di

masa yang akan datang

Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buju ajar ini dan selamat mempergunakan buku ajar ini

kepada masyarakat gastroenterologi-hepatologi dan kepada semua dokter anak di Indonesia

Salam,

Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D

Ketua UKK-GH IDAI (2008-2011)

Page 3: Buku Ajar Gastroenterologi

Pengantar

Setelah menunggu sekian lama, hampir 6 tahun akhirnya terkumpul 21 naskah topik buku ajar

gastroenterologi-hepatologi IDAI. Editor telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun,

menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada akhir tahun 2009 ini bisa diselesaikan buku ajar

gastroenterologi-hepatologi jilid pertama. Pada awalnya direncanakan 26 topik, tetapi sampai saat saat

terakhir yang mengumpulkan naskah jumlahnya 21. Kekurangan 5 naskah akan diterbitkan dalam buku

ajar gastroenterologi-hepatologi jilid 2. Dalam proses penyuntingan terdapat banyak kendala karena

beberapa penulis tidak merujuk ke Term Of Reference sehingga formatnya harus disamakan, demikian

juga narasi yang harus disesuaikan dengan bahasa Indonesia yang benar. Gambar gambar banyak yang

masih dalam bahasa aslinya sehingga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena

pengumpulan dan penyuntingan ini berjalan cukup lama maka ada sebagian topic yang sudah harus

diubah disesuaikan dengan ilmu2 dan penanganan kasus yang terbaru.

Pada kesempatan ini editor ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada para

kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun naskah dan

partisipasinya mengirimkan naskahnya ke editor. Selanjutnya editor mohon maaf jika yang tertulis di

buku ajar tidak sesuai dengan aslinya dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format

dari penerbit dan suntingan bahasa.

Editor ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr Hardiono Pusponegoro, SpAK ( ketua PP IDAI

2002-2005), Dr Sukman Tulus Putra SpAK, FACC, FESC ( ketua PP IDAI 2005-2008) Dr Badriul Hegar, SpAK

(ketua PP IDAI 2008-2011), Prof Dr Yati Soenarto, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi

2002-2005), Prof DR Dr Subijanto MS, SpAK (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi 2005-2008), Dr

Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastro-Hepatologi 2008-2011) atas ide dan saran sarannya

sehingga tercetak buku ajar ini.

Editor juga mengucapkan terima kasih kepada tim dr Budi Hartomo dkk yang telah membantu

menyempurnakan suntingan bahasa dan format sesuai permintaan penerbit.

Editor menyadari bahwa buku ajar ini jauh dari sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah

berusaha keras untuk membuat sesuai kebutuhan para peserta PPDS maupun teman sejawat dokter

spesialis anak. Oleh karena itu editor membuka pintu selebar lebarnya untuk kritik dan saran agar buku

ini akan jauh lebih sempurna pada edisi berikutnya.

Akhirnya editor mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengurus UKK GH 2008-2011 yang

telah mendorong editor untuk bekerja lebih giat sehingga buku ajar jilid 1 ini bisa terbit.

Editor,

Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D

Page 4: Buku Ajar Gastroenterologi

Daftar isi

Bab Judul halaman

1. Keseimbangan cairan dan elektrolit

2. Kegawatdaruratan gastrointestinal

3. Disfagia

4. Anoreksia pada anak

5. Gagal tumbuh pada penyakit gastrointestinal

6. Diare akut

7. Diare kronis dan diare persisten

8. Muntah

9. Sakit perut pada anak

10. Kembung

11. Allergi makanan

12. Konstipasi

13. Inflamatory Bowel Diseases

14. Pankreatitis pada anak

15. Ikterus

16. Hepatitis virus

17. Drug induce hepatitis

18. Penyakit sistemis yang berpengaruh pada hati

19. Hepatitis kronis pada anak

20. Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak

21. Hipertensi porta

Page 5: Buku Ajar Gastroenterologi

Kontributor

1. Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D

2. Prof DR dr. Pitono Soeparto

3. DR Dr. Reza Ranuh SpAK

4. Dr. Yorva Sayoeti, SpAK

5. Prof DR Dr. I Sudigbia, SpAK

6. Prof Dr. Rusdi Ismail, SpAK

7. Prof DR Dr. Bambang Subagyo, SpAK

8. Dr. Nurtjahjo Budi Santoso, SpAK

9. Prof Dr. Sri Supar Yati Soenarto, SpAK, Ph.D

10. Dr. Badriul Hegar, SpAK

11. Dr. Aswitha Boediarso, SpAK

12. DR Dr.Pramita G. Dwipoerwantoro, SpAK

13. Dr. Liek Djuprie, SpAK

14. Prof DR Dr. Agus Firmansyah, SpAK

15. Dr. Dwi Prasetyo, SpAK

16. Dr. Budi Santosa, SpAK

17. Dr. Iesje Martiza, SpAK

18. Dr. Sjamsul Arief, SpAK,MARS

19. Dr. Ina Rosalina, SpAK, MKes, MHKes

20. Prof Dr. Atan Baas Sinuhaji, SpAK

21. Dr. Nenny Sri Mulyani, SpAK

22. Dr. Julfina Bisanto, SpAK

23. DR Dr. Hanifah Oswari, SpAK

Page 6: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB I

KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Mohammad Juffrie

Ilustrasi Kasus

Seorang anak laki laki berumur 3 tahun masuk di unit gawat darurat dengan keluhan diare

cair akut, muntah-muntah, dan panas. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit anak tersebut

mengalami kejang-kejang selama 5 menit. Kesadaran agak menurun. Dari riwayat yang

diceritakan oleh neneknya yang mengantar anak tersebut ditemukan bahwa di rumah anak

tersebut sudah menderita diare selama 3 hari, cair, warna kuning, tidak berdarah dan

berlendir. Anak tersebut di rumah telah diberi larutan oralit selama diare. Neneknya

mencampur 1 bungkus oralit dengan setengah gelas kecil untuk mempermudah memasukkan

oralitnya.

Larutan Tubuh

Larutan tubuh terbagi menjadi larutan intraselular (CIS) dan larutan ekstraselular

(CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat diukur dengan

mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari

berat badan. CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari berbagai macam sel di

seluruh tubuh, yang tersebar dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai

komposisi yang berbeda. Larutan ekstraselluler. Volume larutan ekstraselluler lebih besar

dibanding volume larutan intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES dan CIS ini akan berubah

setelah umur 9 bulan. CES berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan sel

jaringan lebih cepat dibanding pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah

itu jumlah CES akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya berat badan. Pada

keadaan hidrasi normal jumlah CES pada anak adalah 20%-25% berat badan yang terbagi

dalam larutan plasma 5% berat badan, larutan interstisiel 15% berat badan dan larutan

transelluler 1%-3% berat badan. Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran

gastrointestinal dan larutan serebrospinal, intraokular, pleural, peritoneal dan larutan

sinovial.1,2,3

Page 7: Buku Ajar Gastroenterologi

Komposisi Larutan Tubuh

CIS terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah dengan K+, PO4--, Na+, Mg++,

HCO3-, dan HHCO3. Elektrolit yang terbanyak adalah K+. Plasma darah terdiri dari protein,

Na+, Cl-, HCO3-, K+, Ca++, Mg++, SO4

--, HPO4--, HHCO3 dan non-elektrolit.

Larutan interstisial terdiri dari Na+, Cl-, HCO3-, K+, Mg++, Ca++, SO4

--, HPO4--, HHCO3 dan non-

elektrolit. Elektrolit yang terbanyak adalah Na+.

Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat antara CES dan CIS.

Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen dan karbon dioksida) bisa langsung

memintas membran. Ion-ion seperti Na+ dan K+ berpindah melalui mekanisme transport

seperti pompa Na+/K+ yang berlokasi di membran sel. Elektrolit dalam larutan tubuh adalah

substansi yang terurai dalam bentuk partikel atau ion misalnya NaCl akan terurai menjadi ion

positif Na+, atau ion negatif yaitu Cl-. Karena kekuatan berikatan, keduanya selalu akan bersatu.

Distribusi elektrolit di antara kompartemen tubuh dipengaruhi oleh potential listriknya.

Walaupun begitu satu kation dapat diganti dengan yang lain, misalnya H+ diganti dengan K+

dan ikatannya HCO3- diganti dengan Cl-.1,2,3,4

Difusi dan Osmosis

Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak bermuatan di sepanjang gradien

konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk air dan larutannya dalam keadaan konstan.

Pergerakan partikel ini dipengaruhi oleh energi masing masing yang diperoleh dari

konsentrasinya, sehingga akan terjadi gerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.

Osmosis adalah gerakan air melewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari

tempat yang sedikit mengandung partikel ke tempat yang banyak partikelnya. Perpindahan air

ini membutuhkan tekanan yang disebut tekanan osmotik. Aktifitas osmotik ini diukur dengan

ukuran yang disebut osmol.

Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas dan osmolalitas.

Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter larutan (mOsm/L), sedangkan osmolalitas

adalah konsentrasi osmolar dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk larutan yang berada

di luar tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di dalam tubuh. Osmolalitas

serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang mengikatnya (klorida dan bikarbonat)

mempunyai angka berkisar antara 275 dan 295 mOsm/kg.

Tonisitas. Perubahan kandungan air menyebabkan sel menjadi membengkak atau

mengkerut. Pengertian tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari

larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena perpindahan air

melalui membran sel. Jadi tonisitas diukur dengan zat terlarut yang tidak bisa melalui

membran sel misalnya glukosa menyebabkan kekuatan osmotik yang menekan air masuk atau

keluar dari sel dan menyebabkan perubahan ukuran sel.

Larutan dimana sel-sel tubuh berada didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam jenis

osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia menyebabkan

Page 8: Buku Ajar Gastroenterologi

sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis apabila larutan itu

mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak atau

mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada dalam

larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari CIS, sel akan

membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan hipertonis dimana

osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena air keluar dari sel.1,2,3,4,5

1. Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial.

Pertukaran larutan dari vaskular ke interstisial terjadi di semua tingkatan kapiler. Ada 4

kekuatan yang mengatur pertukaran ini yaitu 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong

air keluar dari kapiler menuju jaringan interstisial; 2) tekanan osmotik koloid kapiler, yang

mendorong air kembali ke dalam kapiler; 3) tekanan hidrostatik interstisial sebagai

kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan 4) tekanan osmotik koloid jaringan yang

mendorong menarik air keluar dari kapiler ke jaringan interstisiel. Pada keadaan normal

semua air akan bergerak oleh 4 kekuatan tersebut, hanya dalam jumlah sedikit yang tersisa

di jaringan interstisial dan akan masuk ke sistem limfatik yang nantinya masuk ke siskulasi

darah.

Filtrasi kapiler dimaksudkan gerakan air melalui pori-pori kapiler karena faktor mekanis,

bukan karena tenaga osmotik. Tekanan filtrasi kapiler kadang disebut juga tekanan

hidrostatik kapiler yaitu tekanan yang mendorong air keluar dari kapiler ke dalam jaringan

interstisial. Hal tersebut menggambarkan tekanan arteri atau vena, yaitu tahanan

prekapiler (arteriol) dan post kapiler (venula). Kenaikan tekanan arteri atau vena

menaikkan tekanan kapiler. Penurunan tahanan arteri atau kenaikan tahanan vena akan

menaikkan tekanan kapiler dan suatu kenaikan tahanan arteri atau penurunan tahanan

vena akan menurunkan tekanan kapiler. Gaya gravitasi meningkatkan tekanan kapiler

pada posisi tertentu. Pada orang yang berdiri tegak maka berat darah di sepanjang

pembuluh darah menyebabkan kenaikan 1 mmHg untuk setiap 13,6 mm jaraknya dari

jantung. Tekanan ini hasil dari berat air oleh karenanya disebut tekanan hidrostatik. Pada

orang dewasa yang berdiri tegak, tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg. Tekanan

ini kemudian dialihkan ke kapiler.

Tekanan osmotik koloid kapiler adalah tekanan osmotik yang berasal dari protein plasma

yang terlalu besar melewati pori-pori dinding kapiler. Tekanan osmotik ini berbeda

pengertiannya dari tekanan osmotik di membran sel karena elektrolit dan non-elektrolit.

Karena protein plasma normal tidak bisa melalui pori-pori kapiler dan konsentrasinya lebih

besar di plasma daripada di jaringan interstisial maka inilah yang menarik air kembali ke

kapiler. Tekanan larutan interstisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan mempengaruhi

gerakan air dari dan ke jaringan interstisial.1,2,3,6

2. Edema

Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak

akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1)

Page 9: Buku Ajar Gastroenterologi

kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan

permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.1,2

Kenaikan tekanan filtrasi kapiler

Jika tekanan filtrasi kapiler naik maka perpindahan larutan vaskular ke dalam jaringan

interstisial naik. Faktor-faktor yang menaikkan tekanan kapiler adalah: 1) penurunan

tahanan aliran melalui sfingter prekapiler; 2) kenaikan tekanan vena atau tahanan aliran

keluar pada sfingter postkapiler, dan distensi kapiler karena meningkatnya volume

vaskular.1,2

Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler

Protein plasma mengeluarkan kekuatan osmotik yang dibutuhkan untuk menarik kembali

cairan ke dalam kapiler dari jaringan interstisial. Protein plasma terdiri dari albumin,

globulin dan fibrinogen. Karena bobot molekul albumin paling rendah maka konsentrasi

albumin paling tinggi.

Edema disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid kapiler sebagai akibat produksi

yang tidak adekuat atau kehilangan tidak normal protein plasma terutama albumin. Protein

plasma disintesis di hati. Pada penderita penyakit hati yang berat kegagalan sintesis

albumin menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid. Pada kelaparan dan malnutrisi

edema terjadi karena ada kebocoran kebutuhan asam amino dalam sintesis protein plasma.

Kebocoran protein plasma yang paling sering melalui ginjal seperti pada sindroma nefrotik,

kapiler glomerular menjadi permeabel terhadap protein plasma terutama albumin.

Kebocoran lain terjadi jika ada kerusakan kulit, sehingga edema terjadi pada fase awal luka

bakar akibat cedera kapiler dan kehilangan protein plasma. Karena protein plasma terdapat

di seluruh tubuh dan tidak tergantung oleh gravitasi maka edema bisa terjadi dimana-

mana.1,2

Kenaikan permeabilitas kapiler

Jika pori-pori kapiler melebar atau integritas dinding kapiler rusak maka permeabilitas

kapiler akan naik. Apabila ini terjadi protein plasma dan partikel aktif osmotik bocor ke

dalam jaringan interstisial meningkatkan tekanan osmotik koloid jaringan dan

menyebabkan akumulasi larutan interstisiel. Keadaan ini disebabkan oleh luka bakar,

bendungan kapiler, radang dan respon immun.1,2

Sumbatan aliran limfe

Protein plasma aktif osmotik dan partikel lain yang berat molekulnya besar yang tidak bisa

melalui pori-pori membran kapiler maka akan diresorpsi lewat saluran limfe dan masuk ke

sirkulasi. Edema yang disebabkan oleh kegagalan aliran limfe disebut limfedema.1,2

Page 10: Buku Ajar Gastroenterologi

3. Akumulasi di tempat ketiga

Yang dimaksud dengan hal ini adalah hilangnya atau terjebaknya CES di ruang transelular.

Ruang-ruang serous adalah ruang traseluler yang terletak di tempat strategis dimana ada

gerakan-gerakan kontinu dari bentuk tubuh, seperti saccum perikardial, cavum peritoneal,

dan pleura. Perubahan CES antarkapiler, ruang interstisial dan transelular melalui cara

sama di manapun di seluruh tubuh. Cavum serosa sangat dekat dengan sistem drainase

limfe.1,2

Kesimbangan Air dan Natrium

Perpindahan larutan tubuh antara CES dan CIS terjadi pada membran sel dan

tergantung pada pengaturan air dan natrium. Air merupakan 90% sampai 93% dari pelarut

CES. Dalam keadaan normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan

volume serta osmolalitasnya dipertahankan normal. Konsentrasi Na+ yang mengatur

osmolalitas CES, perubahan Na+ biasanya diikuti oleh perubahan secara proporsional volume

air.

Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1) kontraksi isotonis

atau ekspansi volume CES dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis

(hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES. Kelainan isotonis biasanya

dimaksudkan kontraksi produksi kompartemen CES ( defisit volume larutan) atau ekspansi

(kelebihan volume larutan) dari larutan vaskular dan interstisial. Kelainan konsentrasi natrium

menyebabkan perubahan osmolalitas CES dengan gerakan air dari kompartemen CES ke dalam

kompartemen CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS ke dalam kompartemen CES

(hipernatremia).2,7,8,9

Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan

1. Pengaturan keseimbangan Na+

Na+ adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, rata-rata kurang lebih 60 meq/kgBB.

Kebanyakan dari Na+ tubuh ada dalam CES (135-145 mEq/l) dan hanya sedikit dalam CES

(10-14 mEq/l).

Fungsi Na+ terutama mengatur volume CES termasuk kompartemen vaskular. Sebagai

kation yang paling banyak dalam CES Na+ dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3-)

mengatur sebagian besar aktifitas osmotik dalam CES. Karena Na+ adalah bagian dari

molekul NaHCO3 maka penting dalam pengaturan keseimbangan asam basa.1,2,9

2. Masuk dan hilangnya Na+

Na+ secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Pemasukan Na+

didapat dari makanan, atau infus natrium atau infus yang lain. Na+ keluar dari tubuh

melalui ginjal, saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na+ keluar lewat ginjal. Dengan

Page 11: Buku Ajar Gastroenterologi

fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na+ maka kadar Na+ dalam tubuh dipertahankan. Hanya

10% Na+ keluar lewat saluran pencernaan dan kulit.1,2,9

3. Mekanisme regulasi Na+

Ginjal adalah regulator utama Na+. Ginjal akan menyesuaikan terhadap tekanan arteri; jika

tekanan arteri turun maka Na+ akan ditingkatkan, jika tekanan arteri naik maka Na+ akan

dibuang. Pengaturannya dibawah kendali saraf simpatis dan sistem renin-angitensin-

aldosteron. Saraf simpatis bertanggung jawab terhadap tekanan arteri dan volume darah

dengan cara mengatur filtrasi glomerulus dan Na+. Saraf simpatis juga mengatur reabsorpsi

tubular dari Na+ dan pelepasan renin. Sedangkan sistem renin-angitensin-aldosteron

beraksi melalui angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan meningkatnya

reabsorpsi Na+ dan pembuangan K+.1,2,9

4. Pengaturan larutan

Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini

disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat

badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda

jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada

orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan.

Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi.

Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh

larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang

lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur.

Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding

dewasa.1,2,4

5. Masuk dan hilangnya larutan

Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan 100 cc air setiap 100 kalori untuk

proses metabolisme dan membuang sisa-sisa metabolisme. Dengan kata lain jika seseorang

mengeluarkan kalori 1800 maka dibutuhkan 1800 cc air untuk keperluan metabolisme.

Laju metabolisme (metabolic rate) akan meningkat jika terjadi peningkatan suhu. Setiap

kenaikan suhu sebesar 10 C, laju metabolisme akan meningkat sebesar 12%.

Sumber air tubuh yang utama adalah dari pemasukan lewat oral dan metabolisme nutrien.

Air (termasuk dari larutan dan makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses

metabolisme juga menghasilkan air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara 150 cc -

300 cc.

Pada umumnya kehilangan larutan yang paling banyak adalah lewat ginjal, kemudian lewat

kulit, lewat paru-paru, dan saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau parenteral

sedikit ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme tubuh. Urin yang

Page 12: Buku Ajar Gastroenterologi

bertujuan membuang sisa metabolisme ini disebut output urin obligatori. Kehilangan

larutan lewat urin obligatori ini sekitar 300-500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat kulit

dan paru-paru disebut kehilangan larutan insensibel.1,2,4

6. Mekanisme pengaturan

Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon

antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH

mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan

osmolalitas ekstraselular dan volume.1,2,4

Rasa haus

Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa

haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh

kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak

ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut

osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon

terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus.

Rasa haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas

serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan

volume darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting

ketiga untuk rasa haus adalah angitensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap

volume aliran darah dan tekanan aliran darah.

Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada orang-

orang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit

saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi.

Hipodipsia. Hipodipsia menggambarkan penurunan kemampuan rasa haus. Terdapat bukti

bahwa haus adalah penurunan pemasukan air, selain kadar osmolalitas dan Na+ yang

tinggi. Ketidakmampuan menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada

pasien stroke atau gangguan sensorik.

Polidipsia. Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa

haus yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah larutan tubuh

dan osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif.

Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan tubuh. Diantara penyebab rasa haus

yang paling banyak adalah kehilangan larutan akibat diare, muntah, diabetes melitus, dan

diabetes insipidus. Haus yang tidak tepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan gagal jantung

kongestif. Walaupun penyebab rasa haus pada kelompok ini tak jelas tetapi mungkin

karena peningkatan kadar angiotensin. Haus dirasakan juga pada orang yang mengalami

penurunan aktivitas kelenjar air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya

antikolinergik (termasuk atropin).

Page 13: Buku Ajar Gastroenterologi

Polidipsi psikogenik. Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan jiwa.

Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan

kadar ADH.1,2,4

Hormon antidiuretik (ADH)

Reabsorpsi air oleh ginjal diatur oleh ADH yang juga dikenal dengan vasopressin. ADH

disintesis oleh sel di nukleus supraoptikus dan nukleus paraventrikularis hipotalamus.

ADH diangkut di sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudian dilepas ke sirkulasi.

Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular.

Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas ekstraselular dan

merangsang produksi serta melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum (1%) sudah

cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan

volume darah sentral untuk membantu pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume

darah 5%-10% akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti mekanisme homeostatis

lainnya keadaan akut menyebabkan perubahan yang besar terhadap kadar ADH dibanding

keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang lama tidak akan mempengaruhi kadar

ADH.

Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti pada nyeri

yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin dan

meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga

menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH

sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu

diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat. Diabetes insipidus adalah keadaan

dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH.

Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat

kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan

ADH.1,2,4,10

7. Gangguan volume larutan isotonik

Gangguan volume larutan isotonik adalah penambahan atau kehilangan CES dengan

perubahan perbandingan air dan Na+ yang proporsional.11

Defisit volume larutan isotonik

Defisit volume larutan isotonik ditandai dengan penurunan CES, termasuk volume darah

sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk membedakan defisit larutan dengan perubahan

perbandingan air dan Na+ yang tidak proporsional. Keadaan dimana terjadi penurunan

volume darah sirkulasi maka disebut hipovolemia.

Page 14: Buku Ajar Gastroenterologi

Penyebab: Defisit volume larutan isotonik apabila air dan elektrolit hilang dengan proporsi

isotonik. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada keadaan kehilangan larutan tubuh yang

disertai penurunan pemasukan larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lewat saluran

cerna, poliuria, berkeringat karena panas dan aktifitas fisik.

Setiap hari 8-10 liter CES dikeluarkan ke saluran cerna. Sebagian besar diserap kembali di

ileum dan kolon proksimal, hanya 150-200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses.

Muntah dan diare mengganggu proses reabsorpsi dan pada beberapa keadaan

menyebabkan kenaikan sekresi larutan ke dalam saluran cerna.

Kehilangan air dan Na+ dapat juga terjadi lewat ginjal. Beberapa penyakit ginjal ditandai

dengan pembuangan Na+ karena kegagalan reabsorpsi Na+. Defisit volume larutan juga

disebabkan sebagai hasil dari diuresis osmotik atau pemakaian obat-obat diuretik. Glukosa

dalam urin mencegah reabsorpsi air di tubulus ginjal menyebabkan hilangnya Na+ dan air.

Pada penyakit Addison terjadi kehilangan Na+ dalam urin yang tidak teratur yang

menyebabkan kehilangan CES.

Kulit sebagai permukaan tempat perubahan panas dan barrier evaporasi mencegah air

hilang dari tubuh. Kehilangan air dan Na+ dari permukaan tubuh meningkat pada saat

keringat berlebihan atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan

panas meningkatkan pengeluaran keringat. Frekuensi pernafasan dan keringat biasanya

meningkat jika suhu tubuh meningkat. Kebakaran juga menyebabkan kehilangan larutan.

Defisit volume larutan berdampak pada penurunan volume CES.

Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut. Kehilangan berat badan (% berat

badan); defisit volume larutan ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit

volume larutan berat (>8%). Tanda tanda mekanisme kompensasinya adalah:

meningkatnya rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin.

Volume larutan interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa

kering, mata cekung dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun:

Hipotensi postural, nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok.

Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan elektrolit

isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik

menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara

cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama.1,2,4,11

Kelebihan volume larutan isotonik

Kelebihan volume larutan adalah perluasan CES isotonik dengan meningkatnya volume

vaskular dan interstisial. Walaupun peningkatan volume larutan biasanya hasil dari kondisi

penyakit, sebenarnya tidak seluruhnya benar. Misalnya kompensasi cuaca yang panas akan

terjadi peningkatan volume CES sebagai mekanisme pengeluaran panas tubuh.

Penyebab kelebihan volume larutan isotonik hampir selalu akibat dari meningkatnya kadar

Na+ tubuh total yang diikuti oleh peningkatan larutan tubuh secara proporsional. Hal ini

bisa terjadi karena pemasukan Na+ yang berlebihan atau pengeluaran Na+ dan air lewat

Page 15: Buku Ajar Gastroenterologi

ginjal yang berkurang, misalnya pada penyakit ginjal, gagal jantung, gagal hati, dan

kelebihan kortikosteroid.

Gagal jantung akan menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga dikompensasi

dengan peningkatan retensi air dan Na+. Pada gagal hati terjadi gangguan metabolisme

aldosteron, gangguan perfusi ginjal, menyebabkan meningkatnya retensi air dan Na+.

Kortikosteroid meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh ginjal.

Manifestasi kelebihan volume larutan isotonik ditandai oleh meningkatnya larutan vaskular

dan interstisial. Berat badan akan naik dalam periode waktu yang pendek. Kelebihan

volume larutan ringan menyebabkan kenaikan berat badan 2%. Kelebihan volume larutan

sedang menyebabkan kenaikan berat badan 5%. Sedangkan kelebihan volume larutan berat

menyebabkan kenaikan berat badan >8%. Edema akan terjadi di seluruh tubuh. Nadi akan

penuh, vena distensi, dan edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk. Penanganan

kelebihan larutan biasanya dengan membatasi Na+, dan jika perlu diberikan diuretika.1,2,4,11

8. Gangguan keseimbangan konsentrasi Na+

Dalam keadaan normal konsentrasi Na+ berkisar antara 135 sampai 145 mEq/l (135 sampai

145 mmol/l). Nilai Na+ serum ditentukan dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi

dari Na+ dalam air. Karena Na+ adalah anion CES (90%-95%) maka perubahan konsentrasi

Na+ serum umumnya diikuti oleh perubahan osmolalitas serum.7,8

Hiponatremia

Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na+ kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel

aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan

dengan tinggi rendahnya tonisitas.

Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah keadaan sebagai akibat suatu peralihan

osmotik air dari CIS ke CES seperti yang terjadi pada hiperglikemia. Pada keadaan ini Na+

di CES menjadi lebih encer karena air pindah keluar dari sel sebagai respon terhadap

tekanan osmotik karena hiperglikemia.

Hipotonik sejauh ini merupakan keadaan yang sering pada hiponatremia. Ini terjadi karena

retensi air dan ditandai dengan penurunan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi bisa

terjadi pada keadaan hipervolemik, euvolemik atau hipovolemik.

Hiponatremia hipervolemik terjadi jika CES meningkat dan ini terjadi jika diikuti dengan

edema seperti pada gagal jantung , sirosis, dan penyakit ginjal berat.

Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air sehingga konsentrasi Na+ turun

tetapi tidak disertai peningkatan volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus yang tak

tepat (SIADH).

Page 16: Buku Ajar Gastroenterologi

Hiponatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na tetapi jumlah Na+ lebih banyak

yang hilang, ini terjadi pada keadaan banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah dan

diare.

Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena obat-obatan (diuretika, sehingga

kadar ADH naik), penggantian larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca panas,

SIADH, polidipsi pada pasien skizofrenia.

Diantara penyebab hiponatremia hipovolemia adalah banyak berkeringat pada cuaca panas,

setelah latihan, hiponatremia karena minum lebih banyak air yang tidak mengandung

cukup elektrolit. Lavemen juga menyebabkan keadaan di atas.

Manifestasi dari hiponatremia hipotonik yaitu: Hasil laboratorium: Na+ serum <135 mEq/l,

osmolalitas serum turun, hematokrit turun, nitrogen urea juga turun. Larutan intraselular

meningkat; edema pada ujung jari. Hipoosmolalitas dan perpindahan air ke otot, saraf, dan

jaringan saluran pencernaan; otot kejang dan lemah, sakit kepala, penurunan perhatian,

perubahan sikap, letargi, stupor sampai koma, saluran cerna terganggu, nafsu makan turun,

mual, muntah, sakit perut, diare. Penanganan hiponatremia adalah mengatasi masalah

dasarnya. Pemberian Na+ lewat oral atau intravena diberikan jika diperlukan.7,8,9

Hipernatremia

Suatu keadaan dimana kadar Na+ serum >145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295

mOsm/kg. Karena Na+ ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan dalam

tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan

hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular.

Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na+ tubuh. Hal ini

disebabkan oleh jumlah bersih Na+ atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na+

secara cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia.

Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding

jumlah kehilanagn Na+. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat

respirasi pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian

makanan lewat pipa lambung dengan sedikit air.

Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehinga meningkatkan

pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang

peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah

kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus.

Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi selular.

Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na+ serum yang tinggi dan

terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang

hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN,

akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul,

terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas

meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit

Page 17: Buku Ajar Gastroenterologi

menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan

lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum

dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering,

saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal

dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf

maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi

pada hipernatremia yang berat.

Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada penyebabnya, yaitu penggantian

kehilangan larutan (dehidrasi). Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau dua-

duanya. Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat. Pada dehidrasi berat

penggantian larutan diberikan sesuai dengan protokol WHO.7,8,9

Keseimbangan Kalium

Kalium adalah kation yang terbanyak kedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di

dalam CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi

didalam intraseluler 140 sampai 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai 5.0

mEq/l) sangat rendah. Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah penyimpanan

kalium berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65% sampai 70% dari

kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun bersamaan dengan

perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot.

Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh. Kalium

berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis sel,

keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium diperlukan

untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat menjadi energi,

glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein.

Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk

merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput

potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial,

dan (3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya penting

untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan ketidakharmonisan

yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium serum juga mempengaruhi

otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran pencernaan.

Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap

ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial tersebut

menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai ambang kejutan.

Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai ambang dan

membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial. Kenaikan

konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan selaput potensial

yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak mendekati nilai

ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan. Aktifitas pembukaan

saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif juga dipengaruhi oleh

Page 18: Buku Ajar Gastroenterologi

kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada hiperkalemia yang berat,

saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan rangsangan. Tingkatan

repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum. Tingkatan repolarisasi lebih cepat

pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut

secara klinis sangat penting karena merupakan predisposisi untuk terjadinya defek konduksi

dan disritmia jantung.1,2,12,13,14

1. Pengaturan keseimbangan kalium

Pemasukan kalium berasal dari makanan. Pada orang yang sehat, keseimbangan kalium

biasanya terpenuhi dari makanan kira-kira 50 sampai 100 mEq setiap hari. Kalium

tambahan juga dibutuhkan pada keadaan trauma dan stress. Kehilangan kalium yang

paling banyak adalah melalui ginjal. Sekitar 80% sampai 90% dari kalium yang hilang

adalah melalui urine, sedangkan yang lainnya hilang melalui feses dan keringat.2,12

2. Mekanisme pengaturan

Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2 mEq/ml. Dibutuhkan

pengaturan yang tepat karena banyak fungsi sel sensitif terhadap perubahan yang sangat

kecil dari kadar kalium CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l

saja bisa menyebabkan disritmia jantung dan kematian.

Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua mekanisme: 1) mekanisme ginjal

yang mengabsorpsi dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium antara

kompartemen CIS dan CES. Umumnya hal ini berlangsung 6 sampai 8 jam untuk

membuang 50% pemasukan kalium. Untuk menghindari kenaikan kadar kalium

ekstraselular selama berlangsungnya hal tersebut, kelebihan kalium sementara dipindah ke

eritrosit dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.12,13,14

Pengaturan di ginjal

Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi

di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan

natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian

dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut

berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES.

Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal. Dengan

adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan tubulus untuk

dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam tubulus

kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin dan

hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan pH

dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap

kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.1,2,12,13,14

Page 19: Buku Ajar Gastroenterologi

Pergeseran ekstraselular-intraselular

Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke sel

tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam serum

rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS adalah: insulin, stimulus ß-adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa. Kedua

faktor insulin dan ß-adrenergik katekholamin (misalnya adrenalin) meningkatkan

masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan.

Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah

peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin,

terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres

fisik.

Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan dari kalium antara CIS

dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan kalium bergerak

keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat adanya larutan impermeabel

seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. Hilangnya air dalam sel menyebabkan

kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan kalium intraselular keluar dari

sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium

serum. Hidrogen dan kalium bermuatan positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara

bebas diantara CIS dan CES. Pada asidosis metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel

tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak

ke dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan.

Olahraga juga dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang

melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan

latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang

berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel

dan meningkatkan kadar kalium serum. 1,2,12,13,14

3. Hipokalemia

Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari

pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K+ serum kemungkinan

terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.15,16

Penyebab

Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan

kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali

antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab

hipokalemia. Pemasukan 10 sampai 30 mEq/hari diperlukan untuk mengkompensasi

pengeluaran lewat ginjal. Seseorang yang sedang diet kalium akan kehilangan sekitar 5

sampai 15 mEq setiap harinya. Kegagalan pemasukan kalium disebabkan karena kesulitan

makan, karena diet, atau makanan yang sedikit mengandung kalium. Kehilangan kalium

yang berlebihan dari ginjal terjadi karena diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar

Page 20: Buku Ajar Gastroenterologi

magnesium , trauma atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi diuretika,

kecuali diuretika dengan kalium adalah penyebab utama hipokalemia. Derajat

hipokalemia berhubungan secara langsung dengan dosis diuretika dan lebih tinggi saat

banyak mengkonsumsi natrium. Penekanan magnesium menyebabkan pengeluaran kalium

melalui ginjal. Defisiensi magnesium sering muncul bersamaan dengan penekanan kalium

misalnya pada penyakit diare. Perlu diperhatikan bahwa mengoreksi kekurangan kalium

akan gagal pada saat terjadi defisiensi magnesium.

Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang diperlukan untuk mempertahankan

kalium pada saat stress atau konsumsi yang tidak mencukupi. Setelah situasi trauma dan

stres, kehilangan kalium dalam urin meningkat, terkadang mendekati kadar 150 sampai

200 mEq/l. Ginjal kehilangan kalium dipengaruhi oleh aldosteron dan kortisol. Trauma

dan operasi menyebabkan hormon-hormon tersebut meningkat. Aldosteronisme primer,

yang disebabkan oleh tumor yang memacu aldosteron pada korteks adrenal, dapat

menghasilkan kehilangan banyak kalium dalam urin. Kortisol mengikat reseptor aldosteron

dan berefek menyerupai aldosteron untuk mengeluarkan kalium.

Meskipun kehilangan kalium dari saluran cerna dan kulit biasanya sedikit, kehilangan ini

bisa meningkat saat kondisi tertentu. Saluran cerna merupakan salah satu tempat yang

sering menjadi tempat kehilangan kalium akut. Muntah-muntah dan aspirasi saluran cerna

memacu terjadinya hipokalemia, sebagian disebabkan oleh kehilangan kalium dan juga

karena kehilangan di ginjal yang berhubungan dengan alkalosis metabolik. Diare dan

aspirasi gastrointestinal juga menyebabkan kehilangan kalium yang banyak. Evaporasi

lewat kulit dan keringat yang banyak akan menyebabkan kehilangan kalium yang banyak

juga. Luka bakar dan jenis luka kulit lain meningkatkan hilangnya kalium. Kehilangan yang

disebabkan oleh keringat pada seseorang yang sensitif cuaca panas, sebagian dikarenakan

oleh pengeluaraan aldosteron yang meningkat saat meningkatnya panas meningkatkan

hilangnya kalium lewat urin dan keringat.

Karena rasio kalium CIS dan CES tinggi maka aliran kalium dari CES ke CIS

mengakibatkan turunnya konsentrasi di serum. Salah satu penyebabnya adalah insulin.

Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa dan kalium ke dalam sel, pengurangan

kalium sering terjadi saat pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor ß-

adrenergik, seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap

distribusi kalium.12,13,15,16

Manifestasi

Manifestasi hipokalemia adalah efek gangguan potensial membran pada sistem

kardiovaskular, neuro-muskular dan gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan

kalium jarang terjadi jika kadar serum kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Biasanya gejala

datang pelan-pelan sehingga sulit terdeteksi.

Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular.

Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang

dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk

hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen ST,

gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan EKG

ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia ektopik

Page 21: Buku Ajar Gastroenterologi

ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai obat ini dan

akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan dasar penyakit

jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na+/K+ ATPase.

Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot, khususnya

saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0 sampai 2.5

mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia berat

(konsentrasi kalium serum <2.5 mEq/l). Otot kaki, khususnya otot kuadriseps, paling

sering terkena. Pada defisiensi kalium kronis bisa terjadi atrofi otot yang menyebabkan

kelemahan.

Terdapat banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi

gastrointestinal, termasuk anoreksia, nausea, dan muntah-muntah. Atonia otot polos

sistem gastrointestinal dapat menyebabkan sembelit, kembung karena hipokalemia yang

disebut ileus paralitik. Saat ada gangguan gastrointestinal maka secara perlahan akan

mengganggu pemasukan kalium.

Ginjal mempertahankan kadar kalium saat hipokalemia mengganggu kerja ginjal untuk

menyaring urin. Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran urin dan osmolalitas

serum, berat jenis urin turun dan terjadi poliuria, nokturia dan rasa haus. Alkalosis

metabolik dan pembuangan klorida dari ginjal adalah gejala dari hipokalemia yang

berat.11,15,16

Penanganan

Jika memungkinkan, hipokalemia yang disebabkan oleh kekurangan kalium ditangani

dengan cara meningkatkan konsumsi makanan dengan kalium yang tinggi. Suplemen

kalium secara oral harus diberikan pada anak yang pemasukan kaliumnya tidak mencukupi

sehubungan dengan kehilangan kalium, terutama pada anak yang dalam terapi diuretika

dan mereka yang mendapatkan digitalis.

Kalium dapat diberikan secara intravena apabila pemberian secara oral tidak

memungkinkan. Kekurangan magnesium dapat mengganggu pemasukan kalium; sehingga

perlu pemberian magnesium. Pemberian kalium dengan infus cepat dapat menyebabkan

kematian karena gangguan jantung. Oleh karena itu pemberian intravena harus dalam

pengawasan ketat dari dokter.11,15,16

4. Hiperkalemia

Hiperkalemia terjadi apabila kadar kalium serum diatas 5.0 mEq/l (5.0 mmol/l).

Hiperkalemia jarang terjadi pada orang yang sehat karena badan orang sehat sangat efektif

untuk mencegah akumulasi kelebihan kalium di dalam CES.15,16

Akibat

Terdapat tiga penyebab utama kelebihan kalium, yaitu: (1) penurunan pengeluaran dari

ginjal, (2) pemberian kalium yang cepat, dan (3) pergeseran kalium dari CIS ke CES.

Penyebab hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya fungsi ginjal. Hiperkalemia

kronis selalu berhubungan dengan gagal ginjal. Biasanya glomerular filtration rate (GFR)

turun secara sampai kurang dari 10 ml/menit sebelum terjadi hiperkalemia. Beberapa

kelainan ginjal, seperti sickle cell nephropathy, nefropati karena logam, nefritis lupus

sistemis dapat merusak sekresi kalium di tubulus tanpa menyebabkan gagal ginjal. Asidosis

Page 22: Buku Ajar Gastroenterologi

juga menyebabkan berkurangnya pengeluaran kalium oleh ginjal, sehingga gagal ginjal akut

yang disertai dengan asidosis laktat atau ketoasidosis akan meningkatkan risiko

hiperkalemia. Koreksi asidosis biasanya akan memperbaiki hiperkalemia.

Aldosteron bekerja pada keadaan dimana kadar kalium dan natrium tubulus distal dalam

kadar pertukaran sehingga kalium ditingkatkan ekresinya sedangkan natrium direabsorpsi.

Sehingga keadaan yang menurunkan aldosteron akan menurunkan ekskresi kalium melalui

ginjal seperti pada penyakit Addisson.

Kelebihan kalium dapat diakibatkan oleh kelebihan pemasukan kalium secara oral dan

intravena. Jika fungsi ginjal dan sistem aldosteron baik maka biasanya pemasukan oral

masih bisa di tolerir untuk tidak menyebabkan hiperkalemia. Lain halnya jika pemberian

secara intravena, terutama jika pemberian terlalu cepat maka biasanya menyebabkan

hiperkalemia yang fatal. Jadi pemberian kalium intravena seharusnya mempertimbangkan

fungsi ginjal.

Pergeseran kalium dari dalam sel ke CES juga dapat menyebabkan peningkatan kadar

kalium serum misalnya pada keadaan luka bakar dan luka parah. Keadaan ini juga akan

mengurangi fungsi ginjal sehingga bisa berkembang menjadi hiperkalemia. Hiperkalemia

transien dapat disebabkan saat melakukan olahraga yang berat atau kejang, saat sel otot

permeabel terhadap kalium.11,15,16

Manifestasi

Tanda-tanda dan gejala kelebihan kalium sangat berhubungan dengan gangguan pada

eksitabilitas neuromuskular. Manifestasi neuromuskular dari kelebihan kalium biasanya

tidak tampak, sampai kadar kalium serum melebihi 6 mEq/l. Gejala pertama yang

berhubungan dengan hiperkalemia biasa adalah parestesia. Kemungkinan besar nantinya

akan ada keluhan kelemahan otot secara menyeluruh atau dispnea sekunder karena

kelemahan otot pernafasan.

Akibat yang paling serius dari hiperkalemia ada pada jantung. Saat kadar kalium

meningkat, maka gangguan pada konduksi jantung akan terjadi. Perubahan yang cepat

mungkin terjadi pada gelombang T yang menyempit, dan pelebaran kompleks QRS. Jika

kadar kalium serum terus naik, interval PR menjadi memanjang dan diikuti oleh hilangnya

gelombang P. Detak jantung kemungkinan turun. Fibrilasi ventrikular dan cardiac arrest

akan terjadi. 11,15,16

Penanganan

Penanganan kelebihan kalium bervariasi tergantung beratnya gangguan dan biasanya

ditujukan pada penurunan pemasukan atau penyerapan, peningkatan pengeluaran lewat

ginjal, dan peningkatan pemasukan ke intraseluler. Penurunan pemasukan bisa dicapai

dengan cara mengurangi makanan yang mengandung kalium. Peningkatan pengeluaran

kalium sering kali lebih sulit. Pasien dengan gagal ginjal membutuhkan hemodialisis atau

dialisis peritoneal untuk mengurangi kadar kalium serum. Sebagian besar cara penanganan

ditujukan pada bagaimana memindahkan kalium ke intraselular, misalnya pemberian infus

insulin dan glukosa. 11,15,16

Keseimbangan Kalsium dan Magnesium

Page 23: Buku Ajar Gastroenterologi

Kalsium adalah salah satu kation divalen yang utama dalam tubuh. Sekitar 99% dari

kalsium tubuh terdapat pada tulang, dimana hal ini memberikan kekuatan dan stabilitas untuk

sistem kerangka dan sebagai sumber untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler.

Sebagian besar dari kalsium lainnya (sekitar 1%) terdapat dalam sel dan hanya 0.1%-0.2%

terdapat di CES.

Kalsium serum terdapat dalam tiga bentuk: (1) ikatan protein, (2) kompleks dan (3)

terionisasi. Sekitar 40% kalsium serum terikat pada protein plasma (sebagian besar albumin)

dan tidak dapat melewati dinding kapiler untuk keluar dari vaskular. Sepuluh (10) % lainnya

dalam bentuk kompleks seperti sitrat, fosfat dan sulfat. Bentuk ini tidak terionisasi. Sisanya,

50% dari kalsium serum terdapat dalam bentuk terionisasi. Kalsium yang berbentuk ion-lah

yang dapat keluar dari vaskular dan mengambil bagian dalam fungsi selular. Total kadar

kalsium serum berfluktuasi tergantung perubahan albumin serum dan pH.

Kalsium terionisasi mempunyai beberapa fungsi. Kalsium yang terionisasi tersebut

terlibat dalam beberapa reaksi enzimatik; memberi pengaruh pada membran potensial dan

rangsangan neuronal; diperlukan untuk kontraksi otot rangka, otot jantung, dan otot polos; ikut

pada pelepasan hormon, transmisi saraf dan pembawa pesan kimia lainnya; mempengaruhi

kontraksi jantung dan otomatis lewat kanal lambat kalsium; dan penting untuk penggumpalan

darah. Penggunaan obat antagonis Ca++ pada kelainan sirkulasi menunjukkan betapa

pentingnya ion kalsium dalam fungsi normal jantung dan pembuluh darah. Kalsium dibutuhkan

untuk semua langkah koagulasi darah tapi yang terpenting pada dua pertama jalur intrinsik.

Karena kemampuannya untuk mengikat kalsium, sitrat sering digunakan untuk mencegah

penggumpalan darah yang dipakai untuk transfusi darah.1,2,17,18

1. Pengaturan kalsium serum

Kalsium masuk ke dalam tubuh melalui saluran gastrointestinal, diserap dari usus dibawah

pengaruh vitamin D, disimpan di dalam tulang, dan dikeluarkan oleh ginjal. Sumber utama

dari kalsium adalah susu dan produk dari susu. Hanya 30% sampai 50% dari kalsium

makanan diserap dari duodenum dan jejunum atas; sisanya dikeluarkan melalui feses.

Kalsium disaring dalam glomerulus ginjal kemudian secara selektif diserap kembali ke

dalam darah. Sekitar 60%-65% kalsium yang tersaring secara pasif diserap kembali di

dalam tubulus proksimal didorong oleh penyerapan natrium klorida; 15% sampai 20%

diserap kembali di dalam ansa Henle yang tebal, didorong oleh Na+/K+/2Cl- transport; dan

5% sampai 10% diserap kembali di dalam tubulus distal. Tubulus distal adalah tempat

pengatur yang penting untuk mengendalikan jumlah kalsium yang dikeluarkan bersama

urin. PTH dan mungkin juga vitamin D yang memacu penyerapan kembali kalsium di

dalam bagian nefron. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penyerapan kembali

kalsium di dalam tubulus distal adalah kadar fosfat dan glukosa serta kadar insulin.

Diuretika tiazid, yang berefek di dalam tubulus distal, meningkatkan penyerapan kembali

kalsium.

Kalsium serum, yang bertanggung jawab terhadap fungsi fisiologis kalsium, langsung

ataupun tidak langsung diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D. Kalsitonin,

hormon yang diproduksi oleh sel C di dalam kelenjar tiroid, diperkirakan bekerja di ginjal

dan tulang untuk memindahkan kalsium dari sirkulasi. Pengaturan kalsium serum juga

sangat dipengaruhi oleh kadar fosfat dalam serum.

Hormon paratiroid, pengatur utama kalsium dan fosfat serum, hormon ini dikeluarkan oleh

kelenjar paratiroid. Respon terhadap penurunan kalsium serum terjadi secara cepat, terjadi

Page 24: Buku Ajar Gastroenterologi

dalam hitungan detik. Fungsi utama PTH adalah menjaga kosentrat kalsium dari ECF.

PTH melakukan fungsi tersebut dengan cara memacu pelepasan kalsium dari tulang,

peningkatan aktivasi vitamin D yang merangsang kenaikan penyerapan kalsium di dalam

intestinal dan merangsang penyerapan oleh ginjal sejalan meningkatnya pengeluaran

fosfat.

Walaupun vitamin D adalah suatu vitamin, tetapi berfungsi sebagai hormon. Vitamin D3

(bagian aktif dari vitamin D) disintesis di dalam kulit atau diperoleh dari makanan yang

kaya dengan vitamin D. Vitamin D3 dihidrosilasi didalam hati dan diubah ke dalam bentuk

aktif di dalam ginjal. Peran utama bentuk aktif vitamin D ini untuk meningkatkan

penyerapan kalsium dari intestinal.

Konsentrasi kalsium dan fosfat di CES diatur sedemikian rupa sehingga kadar kalsium

akan turun ketika kadar fosfat tinggi dan sebaliknya. Kadar kalsium serum normal adalah

8,5 sampai 10,5 mg/dl pada orang dewasa, dan kadar fosfat serum adalah 2,5 sampai 4,5

mg/dl pada orang dewasa. Ini diatur sedemikian sehingga produksi kedua konsentrasi

tersebut ([Ca2+] x [PO42-]) biasanya dijaga kurang dari 70. Rumatan produksi kalsium-fosfat

dalam rentang ini sangat penting untuk mencegah deposisi garam Calsium Fosfat di dalam

jaringan lunak, merusak ginjal, pembuluh darah, dan paru-paru. 1,2,17,18,19

2. Hipokalsemia

Hipokalsemia terjadi bila kadar kalsium serum dibawah 8,5 mg/dl. Hypokalsemia terjadi

dalam berbagai bentuk penyakit kritis dan mempengaruhi sebanyak 70% sampai 90%

pasien yang berada didalam unit gawat darurat (ICU).11,20

Penyebab

Penyebab hipokalsemia bisa dibagi dalam 3 ketegori: (1) ketidakmampuan mobilisasi

kalsium yang disimpan dalam tulang, (2) kehilangan luar biasa kalsium dari ginjal, dan (3)

kenaikan ikatan protein atau pengkhelatan (chelation) sedemikian sehingga proporsi yang

lebih besar dari kalsium adalah dalam bentuk non-ionisasi. Hipokalsemia maya (pseudo)

yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia ini mengakibatkan penurunan pada ikatan

protein-kalsium (bukan kalsium terionisasi) dan biasanya terjadi secara asimtomatik.

Kekurangan kalsium karena kekurangan makanan berefek pada kemampuan penyimpanan

tulang, bukan pada tingkat kalsium ekstraselular.

Kalsium serum ada dalam bentuk keseimbangan dinamik dengan kalsium dalam tulang.

Kemampuan untuk memobilisasi kalsium dari tulang tergantung pada tingkat kecukupan

PTH. Penurunan kadar PTH kemungkinan diakibatkan dari jenis pertama atau kedua dari

hipoparatiroidisme. Pengurangan pengeluaran PTH bisa juga terjadi ketika kadar vitamin

D meningkat. Kekurangan magnesium mencegah pengeluaran PTH dan merusak

kemampuan PTH pada penyerapan tulang. Hipokalsemia bentuk ini sangat sukar untuk

diobati dengan penambahan kalsium saja dan membutuhkan koreksi dari kekurangan

magnesium.

Pengurangan fosfat dapat mengurangi kegagalan kelenjar jaringan. Karena hubungan balik

antara kalsium dan fosfat, kadar kalsium serum jatuh saat kadar fosfat pada kegagalan

kelenjar jaringan naik. Hipokalemia dan hiperfosfatemia terjadi saat laju filtrasi glomerular

turun kurang dari 25 sampai 30 ml/menit (100 sampai 120 ml/menit adalah normal).

Hanya kalsium dalam bentuk terionisasi yang dapat meninggalkan kapiler dan ikut serta

dalam berbagai fungsi tubuh. Perubahan pH mengubah sebagian dari kalsium yang ada

Page 25: Buku Ajar Gastroenterologi

hanya dalam bentuk ionisasi. pH asam menurunkan ikatan (afinitas) protein terhadap

kalsium menyebabkan peningkatan kadar kalsium yang terionisasi sedangkan kadar

kalsium serum total tidak berubah. pH alkalis berefek sebaliknya. Sebagai contoh,

hiperventilasi cukup untuk menyebabkan alkalosis respiratorik sehingga dapat

menyebabkan tetani, karena alkalosis menyebabkan kenaikan ikatan (afinitas) protein

terhadap kalsium, sehingga kadar kalsium yang terionisasi berkurang. Asam lemak bebas

meningkatkan ikatan (afinitas) albumin terhadap kalsium, sehingga mengakibatkan

turunnya kadar kalsium yang terionisasi. Peningkatan kadar asam lemak bebas cukup

untuk mengubah ikatan kalsium. Hal ini dapat terjadi pada saat situasi stress yang

mengakibatkan peningkatan kadar adrenalin, glukagon, hormon pertumbuhan dan

adrenokortikotropin.

Hipokalsemia banyak dijumpai pada pasien dengan pankreatitis akut. Radang pada

pankreas menyebabkan pelepasan enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lipolitik.

Diperkirakan bahwa ion kalsium bergabung dengan asam lemak bebas yang dikeluarkan

oleh liposisis dalam pankreas, membentuk sabun dan menghilangkan kalsium dari

peredaran.1,2,11,20

Manifestasi

Hipokalsemia dapat dijumpai sebagai kondisi akut atau kronis. Hipokalsemia akut

direfleksikan oleh peningkatan ketegangan otot saraf dan kardiovaskular yang

menyebabkan penurunan kadar kalsium yang terionisasi. Kalsium yang terionisasi

menstabilkan ketegangan saraf otot, membuat sel saraf menjadi tidak sensitif terhadap

rangsangan. Rendahnya kadar kalsium yang terionisasi menyebabkan penurunan nilai

ambang eksitasi saraf, respon berulang terhadap rangsangan tunggal pada saraf, dan pada

kasus ekstrim terjadi aktifitas yang terus menerus. Keparahan manifestasi bergantung pada

penyebabnya, kecepatan serangan, yang menyertai gangguan elektrolit, dan pH

ekstraselular. Kenaikan ketegangan bisa berwujud sebagai parestesi (kesemutan) di sekitar

mulut, tangan dan kaki, dan tetani (kejang; Jawa: keduten) otot muka, tangan dan kaki.

Hipokalsemia parah bisa menyebabkan kejang laring, kejang-kejang, dan bahkan kematian.

Pengaruh hipokalsemia parah terhadap sistem kardiovaskular meliputi hipotensi,

menurunnya isi sekuncup, aritmia kordis (terutama blok kardiak dan fibrilasi jantung), dan

kegagalan merespon obat antara lain digitalis, noradrenalin, dan dopamin yang bekerja

lewat mekanisme yang diperantarai kalsium.

Hipokalsemia kronis sering diikuti dengan manisfestasi skeletal dan perubahan pada kulit.

Timbul rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur. Kulit menjadi kering dan

bersisik, kuku menjadi pecah, dan rambut menjadi kering. Keadaan ini sering disertai

timbulnya katarak. Seseorang dengan hipokalsemia kronis dapat menderita gangguan otak

ringan menyerupai depresi, demensia atau psikosis.1,2,11,20

Diagnosis dan perawatan

Uji Chvostek dan Trousseau sangat berguna untuk mengevaluasi peningkatan ketegangan

saraf otot dan tetani. Tanda Chvostek dimunculkan dengan cara mengetuk muka tepat di

bawah pelipis pada titik dimana saraf wajah muncul. Dengan mengetuk muka pada saraf

wajah mengakibatkan kejutan kecil pada bibir, hidung atau wajah apabila hasil tes positif.

Sabuk pengukur tekanan darah yang digembungkan digunakan untuk mengetes tanda

Troussean. Sabuk pengukur tekanan darah tersebut digembungkan di atas tekanan darah

Page 26: Buku Ajar Gastroenterologi

sistolik selama 3 menit. Kontraksi jari-jari dan tangan (spasmus karpopedal) menandakan

adanya tetani.

Hipokalsemia akut merupakan situasi darurat, sehingga memerlukan penanganan yang

cepat. Infus yang berisi kalsium diberikan saat tetani atau gejala akut terjadi atau bila ada

kemungkinan terjadi tetani karena penurunan kadar kalsium serum.

Hipokalsemia kronis diterapi dengan minum kalsium. Satu gelas susu berisi sekitar 300 mg

kalsium. Suplemen dengan minum kalsium bisa dilakukan. Pada beberapa kasus

pengobatan yang lama mungkin memerlukan penggunaan preparat vitamin D. Bentuk aktif

vitamin D mungkin perlu diberikan jika mekanisme dalam hati atau ginjal yang diperlukan

untuk aktivasi hormon tidak berjalan.1,2,11,20

3. Hiperkalsemia

Hiperkalsemia merepresentasikan konsentrasi total kalsium serum lebih dari 10.5 mg/dl.

Kenaikan palsu kadar kalsium bisa berasal dari pengambilan darah yang terlalu lama akibat

pembebatan yang terlalu kencang. Kenaikan kadar protein plasma (hiperalbuminemia,

hiperglobulinemia) bisa menaikan kadar kalsium serum total.11,20

Penyebab

Kelebihan kalsium serum (yaitu hiperkalsemia) terjadi jika pergerakan kalsium menuju

sirkulasi mendominasi pengaturan hormonal kalsium dan kemampuan ginjal untuk

mengambil kelebihan ion kalsium. Penyebab hiperkalsemia yang umum dan utama adalah

peningkatan resorpsi (penyerapan) tulang yang disebabkan oleh neoplasma atau

hiperparatiroidisme. Hiperkalsemia merupakan komplikasi umum dari kanker dan terjadi

sekitar 10% dari 20% orang yang terkena penyakit pada stadium lanjut. Beberapa tumor

ganas termasuk karsinoma paru-paru, telah dihubungkan dengan hiperkalsemia. Beberapa

tumor merusak tulang, tetapi beberapa yang lain memproduksi agen humoral yang

menstimulasi aktifitas osteoklastik, menaikkan resorpsi tulang, atau menghambat

pembentukan tulang.

Penyebab yang jarang dari hiperkalsemia adalah imobilisasi yang terlalu lama, kenaikan

absorpsi (penyerapan) kalsium dalam intestinum, dan penggunaan vitamin D dosis tinggi.

Imobilisasi yang terlalu lama menyebabkan pengurangan mineral pada tulang dan

pelepasan kalsium ke pembuluh darah. Absorpsi kalsium dalam intestinum bisa dinaikkan

dengan vitamin D dosis berlebih atau sebagai akibat kondisi yang dinamakan sindrom

alkali susu. Sindrom alkali susu disebabkan karena konsumsi berlebih kalsium (umumnya

dalam bentuk susu) dan antasida yang mudah diserap.

Beberapa macam obat bisa menaikkan kadar kalsium. Penggunaan litium untuk mengobati

kelainan bipolar menyebabkan hiperkalsemia dan hiperparatiroidisme. Diuretika tiazid

menaikkan penyerapan kalsium pada tubulus distalis ginjal. Meskipun diuretika tiazid

jarang menyebabkan hiperkalsemia, tetapi bisa membuka peluang hiperkalsemia yang

timbul dari penyebab lain seperti penyebab kelainan tulang dan kondisi yang menaikan

resorpsi tulang.1,2,11,20

Manifestasi

Tanda dan gejala kelebihan kalsium berasal dari 3 sumber: (1) perubahan pada eksitabilitas

neural, (2) perubahan pada fungsi otot jantung dan otot polos, dan (3) ginjal ”terbuka”

terhadap kalsium dalam kadar tinggi.

Page 27: Buku Ajar Gastroenterologi

Eksitabilitas neural turun pada pasien dengan hiperkalsemia. Kemungkinan akan terjadi

penurunan kesadaran, stupor, lemah, dan kekakuan otot. Perubahan tingkah laku mulai

dari perubahan kecil pada kepribadian sampai psikosis akut.

Jantung merespon kenaikan kadar kalsium dengan meningkatkan kontraktilitas dan

disritmia ventrikular. Digitalis menanggapi respon ini. Gejala gastointestinal

mencerminkan penurunan aktivitas otot polos, termasuk sembelit, anorexia, mual dan

muntah. Komplikasi hiperkalsemia yang lain adalah pankreatitis, yang kejadiannya

mungkin berhubungan dengan batu dalam saluran pankreas. Kadar kalsium yang tinggi

dalam urin merusak kemampuan ginjal untuk memekatkan urin dengan cara

mengintervensi aksi ADH. Ini menyebabkan diuresis garam dan air dan rasa haus

meningkat. Hiperkalsiuria juga menjadi pemicu awal pertumbuhan batu ginjal.

Hiperkalsemia krisis menggambarkan kenaikan akut kadar kalsium serum. Penyakit

maligna dan hiperparatiroidisme adalah penyebab utama hiperkalsemia krisis. Pada

hiperkalsemia krisis, poliuria, kehausan yang sangat, deplesi volume, demam, perubahan

tingkat kesadaran, azotemia (yaitu sampah nitrogen dalam darah), dan kondisi mental yang

terganggu menyertai gejala lain dari kelebihan kalsium. Hiperkalsemia simtomatik

berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, yang sering disebabkan oleh kegagalan

jantung.

Pengobatan kelebihan kalsium biasanya ditujukan ke arah rehidrasi dan usaha untuk

menaikan pengeluaran kalsium lewat urin dan mencegah pengeluaran kalsium dan

pelepasan kalsium dari tulang. Penggantian cairan diperlukan pada keadaan deplesi

volume. Ekskresi natrium disertai dengan ekskresi kalsium. Asam pada diuresis dan

natrium klorida bisa digunakan untuk menaikkan eliminasi kalsium lewat urin setelah

volume CES dipulihkan. Loop diuretic lebih umum digunakan daripada tiazid yang

menaikan reabsorpsi kalsium.

Penurunan awal kadar kalsium diikuti oleh tindakan untuk mencegah resorpsi tulang. Obat

yang biasanya digunakan untuk mencegah mobilisasi kalsium termasuk bisfosfonat,

kalsitonin, dan glukokortikoid . Bisfosfonat merupakan golongan obat baru yang bekerja

terutama dengan cara mencegah aktivitas osteoklastik. Kalsitonin mencegah aktivitas

osteoklastik, sehingga mengurangi resorpsi. Glukokortikoid mencegah resorpsi tulang dan

digunakan untuk mengobati hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker.1,2,11,20

4. Keseimbangan magnesium

Magnesium merupakan kation intraselular terbanyak kedua. Rata-rata tubuh orang dewasa

mengandung sekitar 24 gram magnesium yang terdistribusi di seluruh tubuh. Dari seluruh

magnesium sekitar 50%-60% disimpan dalam tulang, 39%-49% berada dalam sel tubuh

dan sisa 1% tersebar didalam CES. Sekitar 20%-30% magnesium ekstraselular terikat pada

protein, dan hanya sebagian kecil magnesium intraselular (15%-30%) dapat bertukar

dengan CES. Kadar normal magnesium dalam serum adalah 1,8-2,7 mg/dl.

Fungsi penting magnesium terhadap fungsi keseluruhan tubuh telah diketahui. Magnesium

bertindak sebagai kofaktor dalam banyak reaksi enzimatik intraselular, termasuk reaksi

transfer gugus fosfat dari ATP (penggunaan ATP). Hal ini disebabkan karena ATP hanya

dapat digunakan tubuh bila ATP membentuk senyawa kompleks dengan magnesium

menjadi Mg-ATP. Sehingga semua reaksi yang membutuhkan ATP, misalnya replikasi dan

transkripsi DNA serta translasi mRNA, tentu memerlukan magnesium. ATP merupakan

sumber tenaga metabolisme selular, yang antara lain digunakan untuk menjalankan pompa

Page 28: Buku Ajar Gastroenterologi

natrium-kalium (Na+/K+-ATPase). Bekerjanya pompa natrium-kalium menyebabkan

kestabilan membran sel terjaga, konduksi saraf dapat berjalan lancar, transport ion dan zat-

zat lain ke dalam dan ke luar sel dapat berlangsung, dan proses metabolisme dapat berjalan

dengan baik.

Magnesium dapat berikatan dengan reseptor kalsium. Diperkirakan bahwa perubahan

kadar magnesium akan berpengaruh melalui mekanisme yang diperantarai kalsium.

Magnesium mungkin terikat secara kompetitif ke tempat dimana kalsium dapat berikatan,

menghasilkan respon yang tepat, dan ini mungkin tidak menimbulkan efek; atau mungkin

mengubah distribusi kalsium dengan cara mempengaruhi pergerakannya memintas

membran sel.1,2,17,18,19

5. Pengaturan magnesium

Magnesium dikonsumsi melalui makanan, diabsorpsi di usus, dan diekskresi oleh ginjal.

Absorpsi di usus tidak diatur dengan ketat, dan sekitar 25%-65% magnesium yang

dikonsumsi diabsorpsi. Magnesium terkandung dalam semua sayuran hijau, gandum,

kacang, daging dan hasil laut. Magnesium juga terkandung dalam air tanah di Amerika

Utara.

Ginjal merupakan organ utama pengaturan kadar magnesium. Magnesium merupakan

elektrolit unik dimana hanya sekitar 30%-40% dari jumlah yang tersaring direabsorpsi

dalam tubulus proksimalis. Jumlah paling banyak, sekitar 50%-70% direabsorpsi di ansa

Henle yang tebal. Tubulus distalis mereabsorpsi magnesium dalam jumlah yang sedikit dan

merupakan tempat utama pengaturan kadar magnesium. Reabsorpsi magnesium turun jika

terjadi peningkatan kadar magnesium dalam serum atau jika distimulasi oleh PTH.

Sedangkan hambatan reabsorpsinya dipacu oleh kadar kalsium yang meningkat.

Perangsang utama reabsorpsi magnesium dalam ansa Henle yang tebal adalah sistem

kotransportasi Na+/K+/2Cl-. Hambatan sistem kotransportasi oleh diuretika menurunkan

reabsorpsi magnesium. 1,2,17,18,19

6. Hipomagnesemia

Hipomagnesemia adalah kadar magnesium serum yang kurang dari 1,8 mg/dl. Hal ini

terjadi pada kondisi dimana konsumsinya terbatas atau peningkatan ekskresi lewat usus

dan ginjal. Hipomagnesemia biasanya ditemukan pada keadaan gawat darurat dan pada

pasien dengan perawatan kritis.11,17

Penyebab

Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh konsumsi yang kurang mencukupi,

kehilangan yang terlalu banyak, atau pergerakan antara ruangan CES dan CIS. Dapat juga

disebabkan oleh keadaan dimana ada keterbatasan pemasukan, seperti kekurangan gizi,

kelaparan, atau perawatan yang lama dengan nutrisi parenteral yang tidak mengandung

magnesium. Kondisi lain, seperti diare, malabsorbsi, pemasangan nasogastric tube yang

lama, atau pemakaian laksansia, dapat menurunkan penyerapan usus. Kelebihan konsumsi

kalsium mengganggu absorpsi magnesium di usus karena adanya kompetisi kedua ion ini

pada protein transport yang sama. Penyebab umum kekurangan magnesium yang lain

adalah alkoholisme kronis. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hipomagnesemia

pada alkoholisme, yaitu pemasukan yang rendah dan kehilangan dari saluran cerna oleh

karena diare.

Page 29: Buku Ajar Gastroenterologi

Walaupun ginjal mampu bertahan terhadap hipermagnesemia, namun ginjal kurang

mampu menyimpan magnesium dan mencegah hipomagnesemia. Kehilangan melalui urin

meningkat pada ketoasidosis diabetikum, hiperparatiroidisme, dan hiperaldosteronisme.

Beberapa obat-obatan meningkatkan ekskresi magnesium lewat ginjal, termasuk diuretika

dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin,

sisplatin dan amfoterisin B.

Hipomagnesemia relatif juga dapat berkembang dalam kondisi dimana terjadi

meningkatnya pergerakan magnesium diantara CES dan CIS, termasuk pemberian glukosa

secara cepat, larutan parenteral yang mengandung insulin, dan alkalosis. Walaupun bersifat

sementara, kondisi ini dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh yang serius.11,17,18,19

Manifestasi

Gejala kekurangan magnesium biasanya tidak tampak sampai kadar magnesium serum

kurang dari 1 mEq/dl. Hipomagnesemia ditandai dengan peningkatan eksitabilitas saraf

otot seperti adanya kelemahan otot dan gemetar. Manifestasi lain yang mungkin terjadi

adalah peningkatan refleks tendon, parestesia (kehilangan rasa, rasa kesemutan dan

pricking), fasikulasi otot, dan kontraksi tetanik otot. Tanda Chvostek atau Trousseau dapat

juga muncul terutama pada keadaan hipokalemia. Karena penurunan kadar magnesium

serum akan menaikkan iritasi jaringan saraf maka bisa terjadi kejang. Manifestasi lain yang

bisa timbul meliputi ataksia, vertigo disorientasi, depresi dan gejala psikotik.

Manfestasi kardiovaskular meliputi takikardia, hipertensi, dan disritmia ventrikular.

Kemungkinan terdapat perubahan pada EKG misalnya pelebaran kompleks QRS terlihat

pada puncak gelombang T, pemanjangan interval PR, inversi gelombang T dan

penampakan gelombang U. Disritmia ventrikular terutama pada penggunaan digitalis, sulit

ditangani kecuali bila kadar magnesium dinormalkan. 11,17,18,19

Pengobatan

Pengobatan hipomagnesemia adalah dengan pemberian magnesium. Cara pemberian

tergantung berat ringannya. Hipomagnesemia simtomatik, sedang dan berat diterapi

dengan pemberian magnesium secara parenteral. Pemberian magnesium diberikan sampai

beberapa hari untuk mengganti kekurangan kadarnya dalam darah. Pada keadaan

kehilangan magnesium kronis melalui saluran pencernaan dan ginjal, pemberian

magnesium rumatan sangat diperlukan. Pemberian magnesium pada penderita gagal ginjal

harus hati-hati dan perlu dimonitor agar tidak terjadi kelebihan magnesium. 11,17,18,19

7. Hipermagnesemia

Hipermagnesemia adalah keadaan dimana kadar magnesium dalam serum lebih dari 2.7

mg/dl. Karena adanya kemampuan ginjal mengekskresi magnesium cukup baik maka

sangat jarang terjadi hipermagnesemia.

Terjadinya hipermagnesemia biasanya berhubungan dengan insufisiensi ginjal dan

pemakaian magnesium yang berlebihan seperti pemakaian obat-obatan antasida, suplemen

mineral, atau laksatif. Pada bayi lebih mudah terjadi karena fungsi ginjal relatif belum

sempurna.

Hipermagnesemia berefek terhadap fungsi saraf dan jantung, yaitu letargi, hiporefleksia,

bingung sampai koma, hipotensi, disritmia, dan cardiac arrest. Tanda dan gejala terjadi

hanya jika kadar magnesium lebih dari 4.9 mg/dl. Hipermagnesemia berdampak

Page 30: Buku Ajar Gastroenterologi

mengurangi transmisi neuromuskular, menyebabkan hiporefleksia, kelemahan otot, dan

bingung. Hipermagnesemia menurunkan pelepasan asetilkolin pada ujung mioneural dan

dapat menyebabkan blokade neuromuskular dan paralisis respirasi. Efek kardiovaskular

berhubungan dengan efek penghambatan (blocker) kanal kalsium oleh magnesium.

Penghambatan kanal kalsium menyebabkan penurunan tekanan darah dan pada gambaran

EKG tampak peningkatan interval PR, pemendekan interval QT, gelombang T tidak normal

dan pemanjangan QRS dan PR. Hipotensi disebabkan vasodilatasi; vasodilatasi timbul

karena penghambatan kanal kalsium tersebut. Disritmia kardiak bisa terjadi pada

hipermagnesemia sedang (>5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada

hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15

mg/dL) bisa menyebabkan cardiac arrest.

Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan mengurangi pemasukan magnesium.

Pemberian kalsium intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna untuk

menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa dilakukan jika

perlu. 11,17,18,19

Daftar Pustaka

1. Berne R.M., Levy M. Principles of physiology: 2000 (3rd ed., p. 438). St. Louis: Mosby.

2. Cogan M.G. Fluid and Electrolyte: 1991 (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245) Norwalk, CT:Appleton & Lange.

3. Guyton A., Hall J.E. Textbook of medical physiology. 2000 (10th ed., pp. 157-171, 264-278, 322-345, 346-363,

820-826). Philadelphia: W.B.Saunders. 4. Krieger J.N, Sherrad D.J. Practical fluid and electrolytes :1991. (pp. 104-105). Norwalk, CT: Appleton & lange.

5. Stearns R.H., Spital A., Clark E.C. Disorders of water balance. In Kokkp J., Tannen R.L., (Eds). Fluid and

Electrolytes: 1996 (3rd ed., pp. 65, 69, 95) Philadelphia: W.B. Saunders. 6. Rose B.D., Post T.W. Clinical physiology of acid-base and electrolyte disorders: 2001 (5th ed., pp. 168-178, 822,

835, 858, 909). New York: McGraw-Hill.

7. Fried L.F., Palevsky P.M. Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North America: 1997,81, 585-606.

8. Kugler J.P., Hustead T. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family Physician: 2000.61,

3623-3630 9. Oh M.S., Carroll H.J. Disorders of sodium metabolism: Hypernatremia and hyponatremia. Critical Care

Medicine :1992,20, 94-103.

10. Batchell J. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of North America: 1994,69, 687-691.

11. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (). Nelson textbook of pediatrics: 2000, (16th ed., pp. 215-218).

Philadelphia: W.B. Saunders. 12. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. The pathophysiology of potassium balance. Critical Care Nurse :1996,16 (5), 59-71.

13. Tannen R.L. Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes: 1996, (3rd ed., pp.

116-118). Philadelphia: W.B. Saunders. 14. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. Refractory potassium repletion: A consequence of magnesium deficiency.

Archives of Internal Medicine :1992,152 (1), 40-45.

15. Gennari F.J. Hypokalemia. New England Journal of Medicine: 1998,339, 451-458

16. Zaloga G.F. Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine:1992,20: 251-261.

17. Swain R., Kaplan-Machlis B. Magnesium for the next millennium. Southern Medical Journal: 1999, 92, 1040-

1046. 18. Toto K., Yucha C.B. Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical Care Nursing Clinicw

of North America :1994, 6, 767-778.

19. Workman L. Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical Issues :1992, 3, 655-663.

20. Yucha C.B., Toto K.H. Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of North America: 1994,6,

747-765.

Page 31: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB II

KEGAWATDARURATAN GASTROINTESTINAL

Pitono Soeparto & Reza Ranuh

Ilustrasi Kasus

Seorang anak perempuan umur 7 tahun dibawa ke UGD karena mengeluh sakit perut yang

amat sangat, dan anak tidak bisa berhenti menangis karena sakitnya. Sakit dirasakan

pertama kali 1 jam yang lalu dan belum mereda. Saat sakit di rumah sempat BAB 1x, nyeri

dan keluar sedikit kotoran campur darah. Dari pemeriksaan fisik anak tampak kesakitan,

dinding perut tidak kaku, dan disebelah kiri atas umbilicus dapat diraba massa yang panjang

seperti pisang.

Pendahuluan

Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat

dibagi dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.1

1. Kelompok non bedah

a. Dehidrasi

b. Perdarahan saluran gastrointestinal

- Penyakit peptik

- Demam berdarah

- Demam tifoid

- Hipertensi portal

- Polip

c. Muntah akut

d. Nyeri abdominal akut

e. Distensi abdomen akut

f. Disfagia akut

2. Kelompok bedah

a. Obstruksi intestinal

- Atresia duodenal

- Malrotasi dan volvulus

- Anus imperforata

- Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula

b. Defek dinding abdominal

- Eksomfalus

- Gastroskisis

c. Abdomen akut

- Apendisitis akut

Page 32: Buku Ajar Gastroenterologi

- Adenitis mesenterik

Dehidrasi

Tabel 2.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan

% Kehilangan berat badan

Bayi Anak besar

Dehidrasi ringan

Dehidrasi sedang

Dehidrasi berat

5 % ( 50 ml/kg )

5 – 10 % ( 50 – 100 ml/kg )

10 – 15 % ( 100 – 150 ml/kg )

3 % ( 30 ml/kg )

6 % ( 60 ml/kg )

9 % ( 90 ml/kg )

Sumber: Huang2

Tabel 2.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa

pH PCO2 Bikarbonat

Gangguan Tunggal

- Asidosis metabolik

- Alkalosis metabolik

- Asidosis respiratorik

- Alkalosis respiratorik

Gangguan Campuran

- Asidosis metabolik +

asidosis respiratorik , N, , N,

- Alkalosis metabolik +

asidosis respiratorik , N,

- Asidosis metabolik +

alkalosis respiratorik , N,

- Alkalosis metabolik +

alkalosis respiratorik , N, , N,

Sumber: Quak1

Prinsip Terapi Cairan

Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk

memberikan pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan

elektrolit, (2) mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi kehilangan abnomal dari

cairan yang sedang berlangsung (on going abnormal losses).

Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga tidak

ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi menjadi

beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2) memperbaiki defisit

cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan (3) mencukupi kebutuhan

nutrisi.

Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok

merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila

pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil.

Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah

defisit Na+ dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya

elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.1,2,3

Page 33: Buku Ajar Gastroenterologi

Pemberian Terapi Cairan1,2,3

Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang ditujukan untuk:

1. Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok).

2. Mengganti defisit yang terjadi.

3. Rumatan (maintenance)/ untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang

berlangsung (on going losses).

Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parenteral.

Dehidrasi berat

Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan lebih dari

9% untuk anak besar serta menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen-koma,

pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan pemberian cairan dan

elektrolit secara parenteral.1,2,3

Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap:

a. Terapi awal (initial therapy) yang bertujuan untuk memperbaiki dinamika sirkulasi dan

fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraselular.

b. Terapi lanjutan yang ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada kecepatan

yang lebih rendah dengan mengganti Na+ mendahului K+.

c. Terapi akhir yang ditujukan untuk menjaga/memulihkan status gizi penderita.

Terapi awal

Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara

cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah

bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular.1,2,3

Terapi lanjutan

Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk

mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na+ dan mengganti kehilangan

abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan

obligatorik. Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial,

dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila

didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata.

Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga

terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na+ yang ada (isonatremia,

hiponatremia, hipernatremia).1,2,3

Terapi akhir (koreksi dari defisiensi nutrisi)

Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan kalori

penderita, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut

waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberi diet sebagaimana biasanya,

segala kekurangan tubuh akan lemak dan protein dapat segera terpenuhi. Itulah

mengapa pada pemberian terapi cairan, bila memungkinkan diusahakan agar penderita

cepat mendapatkan makanan/ minuman sebagaimana biasanya. Bahkan pada dehidrasi

Page 34: Buku Ajar Gastroenterologi

ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral, makan dan minum tetap

dapat dilanjutkan (continued feeding).1,2,3

Tabel 2.3. Terapi cairan standar (Iso-hiponatremia)

Derajat

Dehidrasi

Kebutuhan Cairan Jenis Cairan Cara/Lama Pemberian

Berat 10 %

Gagal sirkulasi

(Plan C)

± 30 ml/kg/1 jam

(±10 tt/kg/menit)

Na Cl 0.9%

Ringer laktat

Asering

IV / 1 jam

Sedang 6-9 % ±70 ml/kg/ 3 jam

(±5 tt/kg/menit )

Na Cl 0.9%

Ringer laktat

1/2 darrow

KAEN 3 B (>3bln)

KAEN 4 B (<3bln)

I.V. / 3 jam atau

I.G. / 3 jam atau

Oral 3 jam

Ringan 5 %

(Plan B)

±50 ml/kg/ 3 jam

(±3-4

tt/kg/menit)

1/2 darrow

atau oralit I.V. / 3 jam bila

oral tidak mungkin

atau I.G. / oral Tanpa dehidrasi

(Plan A)

±10-20 ml/kg

setiap kali diare

Oralit atau cairan rumah

tangga Oral sampai diare

berhenti

Sumber: Lozner2

Untuk neonatus ( <3 bulan )

Plan C: 30 ml/kg/2 jam, KAEN 4 B

Plan B: 70 ml/kg/6 jam, KAEN 4 B

Untuk diare dengan penyakit penyerta

Plan C: 30 ml/kg/2 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) dan KAEN 4 B (usia

<3bl).

Plan B: 70 ml/kg/6 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) dan KAEN 4 B (usia

<3bl).

Untuk dehidrasi hipernatremia

Defisit (70 ml) + rumatan (100 ml) + "on going losses" (25 ml) x 2 (hari) = ±400 ml/kg,

diberikan dalam waktu 48 jam.

Jenis cairan ½ darrow, (KA-EN 3B,).

KA-EN 1B: sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui. Pada

prematur atau bayi baru lahir sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml.

KA-EN 3A, KA-EN 3B: sebagai larutan rumatan untuk memenuhi kebutuhan harian air dan

elektrolit dengan kandungan cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan

oral terbatas.

KA-EN 4A: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak tanpa mengandung kalium,

sehingga dapat diberikan pada pasien dengan kadar kalium serum normal

KA-EN 4B: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia <3 tahun.

Page 35: Buku Ajar Gastroenterologi

Perdarahan Saluran Gastrointestinal

Tabel 2.4. Etiologi Perdarahan

GIT Atas

Periode Neonatal Bayi Pra sekolah Usia sekolah

Tertelan darah ibu

Tukak stres

Gastritis hemoragis

Diatesis perdarahan

Benda asing

Malformasi

vaskular

Gastritis

Esofagitis

Tukak stres

Sind. Mallory Weiss

Stenosis pilorik

Malformasi

vaskular

Tukak stres

Gastritis

Esofagitis

Sind. Mallory Weiss

Varises esofagus

Benda asing

Malformasi vaskular

Tukak stres

Gastritis

Esofagitis

Tukak peptik

Sind. Mallory

Weiss

Varises esofagus

GIT Bawah

Anak sehat

Tertelan darah ibu

Kolitis infeksi

Peny. hemoragis

Divertikulum

Meckeli

Alergi susu

Duplikasi usus

Fisura ani

Kolitis infeksi

Kolitis nonspesifik

Intususepsi

Polip juvenil

Divertikulum

Meckeli

Alergi susu

Kolitis infeksi

Fisura ani

Polip juvenile

Intususepsi

Divertikulum Meckeli

Angiodisplasia

Purpura Henoch

Schőnlein

Kolitis infeksi

Polip

Hemoroid

Peny.usus

beradang

Anak sakit

NEC

DIC

Intususepsi

Volvulus usus

tengah (midgut)

Kolitis infeksi

Duplikasi usus

Sindrom hemolitik

uremik

Enterokolitis

pseudo

membranosa

Sindrom hemolitik

uremik

Enterokolitis pseudo

membranosa

Sumber: Quak1

Page 36: Buku Ajar Gastroenterologi

Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu dimasukkan

pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila

perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:

1. Menentukan tempat perdarahan.

2. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.

Perlu diingat bahwa tidak adanya darah dari lambung tidak selalu menyingkirkan

perdarahan GIT, karena perdarahan mungkin telah berhenti atau sumber perdarahan mungkin

di bagian distal pilorus yang kompeten.4,5

Gambar 2.1. Penentuan letak perdarahan (Sumber: Quak1).

Penampilan Klinis

Melena

Hematemesis

Hematoskesia

Bilas nasogastrik

Darah positif Darah negatif

Perdarahan GIT Atas Perdarahan GIT Bawah

Page 37: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 2.2. Pendekatan Klinis Perdarahan GIT Bawah (Sumber: Quak1)

Penampilan Klinis

Bilas nasogastrik

Darah positif Darah negatif

Perdarahan GIT Atas Perdarahan GIT Bawah

Foto abdominal / USG

(tegak dan terlentang)

Obstruksi Non – Obstruksi

Enema Ba

Evaluasi laboratorium

- Pembiakan tinja - Sken (Scan) Meckel - Enema Ba kontras

udara - Kolonoskopi

Bedah

Page 38: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 2.5. Diagnosis diferensial

Hematemesis dan Melena Hematoskesia

Neonatus

Tertelan darah ibu

Tukak stres

Duplikasi gastritis

Malformasi vaskuler

Difisiensi vitamin K

Hemofilia

Purpura trombositopenik

idiopatik

Maternal

Penggunaan NSAIDS oleh ibu

Tertelan darah ibu

Intoleransi protein

Kolitis infeksiosa

Enterokolitis nekrotikans

Hirschsprung dengan enterokolitis

Duplikasi

Malformasi vaskular

Defisiensi vitamin K

Hemofilia

Purpura trombositopenik idiopatik

maternal

Penggunaan NSAIDS oleh ibu

Bayi

Esofagitis

Gastritis

Fisura ani

Intususepsi

Kolitis infeksius

Intoleransi protein susu

Divertikulum Meckel

Duplikasi

Malformasi vascular

Anak

Esofagitis

Gastritis

Tukak peptik

Robekan Mallory – Weiss

Varises esofagus

Fisura ani

Kolitis infeksius

Polip

Hiperplasia noduler limfoid

Penyakit usus beradang

Purpura Henoch Schőnlein

Page 39: Buku Ajar Gastroenterologi

Intususepsi

Divertikulum Meckel

Sindrom hemolitik – uremik

Remaja

Esofagitis

Gastritis

Tukak peptik

Robekan Mallory – Weiss

Varises esofagus

Kolitis infeksiosa

Penyakit usus beradang

Fisura ani

Polip

Sumber: Chin6

Laboratorium4,5

1. Darah lengkap :

Perdarahan yang baru terjadi mungkin tidak mengubah hemoglobin atau hematokrit tetapi

MCV bisa rendah pada perdarahan kronis berderajat ringan. Peningkatan eosinofil dapat

menunjukkan kolitis alergi.

2. Laju endap darah :

Peningkatan KED dapat menandai penyakit usus beradang.

3. Koagulasi :

Profil koagulasi untuk menyingkirkan kelainan perdarahan.

4. Uji fungsi hepar :

Apabila ada tanda hipertensi portal atau penyakit hati kronis.

5. Tinja encer :

Pembiakan tinja dan toksin C. difficile

6. Uji fungsi renal:

Nilai urea yang tinggi merupakan kunci untuk mendiagnosis sindrom uremik hemolitik

atau dapat menandakan adanya dehidrasi.

Pencitraan4,7,8

1. Perdarahan GIT atas:

Studi kontras hendaknya jangan dijadikan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan

esofagitis, gastritis atau tukak peptikum karena kurang sensitif. Endoskopi jauh lebih

Page 40: Buku Ajar Gastroenterologi

sensitif. Studi kontras dapat merupakan indikasi pada pasien dengan disfagia atau

odinofagia. USG perlu dilakukan apabila ada penyakit hati.

2. Hematoskesia:

Studi kontras hendaknya jangan merupakan awal evaluasi. Endoskopi lentur lebih baik.

Yang menjadi perkecualian adalah adanya kecurigaan intususepsi, dan USG perlu

dilakukan (dan apabila sudah pasti, enema barium dilakukan untuk reduksi).

3. Perdarahan masif tanpa sakit:

Meckel scan merupakan prosedur terpilih. Negatif semu dapat disebabkan karena tidak

cukup terdapat jaringan lambung, down stream washout dari isotop, gangguan pasokan

darah atau teknik yang suboptimal. Ulangan scan Meckel dengan demikian diperlukan

untuk mengetahui jenis jaringan lambung.

4. Perdarahan yang tidak tampak pada saluran GI bawah. Scan sel darah merah yang diberi

label teknetium dapat membantu menetapkan lokasi, tetapi memerlukan perdarahan aktif

>0.5 ml/menit.

Endoskopi saluran gastrointestinal bagian bawah

Indikasi untuk endoskopi saluran gastrointestinal bawah meliputi hematoskesia atau

melena sesudah menyingkirkan kemungkinan sumber GIT atas.7

Penanganan

1. Penanganan umum

Penilaian awal pada setiap anak dengan perdarahan GIT perlu dipertajam serta dipercepat.

Dua persoalan yang perlu segera diperhatikan adalah: status volume darah pasien dan

kecenderungan perdarahan yang akan terus berlangsung. Penampilan anak, status mental,

tekanan darah, detak jantung merupakan cermin dari status anak, sedangkan potensi

terjadinya perdarahan yang terus berlangsung akan terlihat atau dapat diperkirakan dari

riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.

Stabilisasi awal ditujukan untuk mencegah atau mengatasi hipovolemia dan anemia yang

berat. Tujuan pemberian cairan bolus awal adalah untuk perfusi jaringan. Setelah

pemberian bolus cairan awal sebanyak 10-20 ml/kg selama 10 menit, lanjutkan bolus

secara pelan (titrasi) untuk menjaga tekanan darah dan perfusi jaringan. Pilihan cairan

paling baik dapat dilihat berdasarkan kemudahan dan tersedianya cairan. Apabila lebih dari

50-70 ml/kg yang diperlukan dalam waktu 4-6 jam, perlu dipertimbangkan pemantauan

invasif untuk memudahkan penanganan cairan. Cairan dan/atau koloid yang sesuai

kemudian dapat mulai diberikan. Prosedur diagnostik lanjut, hendaknya dilakukan bila

resusitasi yang sesuai sudah tercapai.8,9,10

Tindakan

- Letakkan pasien dalam posisi terlentang dengan tungkai dinaikkan. Pada perdarahan

yang masif, pasien perlu diletakkan dalam posisi tengkurap untuk mencegah aspirasi.

Page 41: Buku Ajar Gastroenterologi

- Selanjutnya masukkan kanula intravena ukuran besar. Apabila isian vena (venous

filling) buruk, dapat dilakukan venaseksi atau tusuk subklavia segera.

- Upayakan flow chart yang baik untuk pemasukan dan pengeluaran.

- Lakukan uji laboratoris yang meliputi: golongan darah dan cross match, pemeriksaan

darah lengkap, hematokrit, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, BUN,

elektrolit, dan analisis gas darah arterial.

- Perbaiki volume intravena dengan larutan kristaloid (garam fisiologis, Ringer laktat)

atau plasma 20 ml/kgBB/jam sampai tekanan darah membaik, ditandai dengan

hilangnya vasokonstriksi perifer.

Larutan koloid seperti albumin atau plasma digunakan apabila terjadi kehilangan darah

masif dan berlangsung terus-menerus yang dapat menyebabkan berkurangnya tekanan

onkotik plasma sehingga menimbulkan sindrom paru renjatan (shock lung syndrome).

Hindarkan ekspansi volume intravaskular yang berlebihan. Sesudah pengembalian

volume intravaskular tercapai (yang ditunjukkan oleh tekanan darah, denyut nadi dan

aliran urin), penggantian (replacement) selanjutnya perlu dititrasi sesuai dengan

kehilangan darah yang berlanjut (continuing blood loss).

- Vitamin K 5 – 10 mg diberikan untuk setiap pasien dengan masa protrombin yang

berkepanjangan, tanpa membedakan pasien penderita penyakit hati ataupun bukan.

- Keputusan pemberian transfusi darah tergantung dari nilai hematokrit sesudah

pengembalian volume darah dan ada tidaknya perdarahan yang berlanjut. Transfusi

darah dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan yang sudah berhenti untuk

berjaga-jaga apabila terjadi perdarahan kembali. Pada keadaan ini, transfusi pelan

dengan packed cells (10 ml/kgBB) lebih dianjurkan sebagai langkah awal.

Pada pasien dengan perdarahan yang berlanjut, transfusi yang terus-menerus

merupakan satu-satunya cara untuk merumat kapasitas pengangkut O2 darah hingga

mencukupi kebutuhan tubuh. Kecepatan transfusi tergantung dari cepatnya perdarahan.

- Komplikasi dari transfusi masif meliputi: hipersitratemia, hipokalsemia, berkurangnya

kadar faktor pembekuan, dan trombositemia. Untuk meminimalkan permasalahan ini,

pasien perlu diberikan kalsium intravena 0.5 ml/kgBB (10% kalsium glukonat) dan

plasma fresh frozen (10 ml/kgBB) sesudah pemberian setiap transfusi 50 ml packed cells

apabila diperlukan.

Penanganan Perdarahan GIT atas

- Bilas nasogastrik dengan garam fisiologis dingin. Pembilasan perlu dilanjutkan sampai

kembalinya warna merah muda atau jernih. Pipa perlu tetap terpasang untuk keperluan

drainase pasif sesuai gravitasi dan juga untuk menilai ada tidaknya perdarahan dengan

cara melakukan isapan dan irigasi pelan setiap 15 menit.

Apabila isi lambung jernih setelah dibilas, dan tidak ada perencanaan endoskopi segera,

irigasi lambung dilakukan setiap 15 menit selama satu jam dan selanjutnya setiap tiga

jam selama 12-24 jam. Apabila kondisi pasien stabil dan cairan lambung kembali jernih,

pipa nasogastrik dapat diangkat. Mual dan muntah yang persisten atau adanya ileus

merupakan tanda bahwa drainase perlu dilanjutkan.11,12

- Sebagian besar perdarahan varises akan berhenti secara spontan.

Vasopresin dahulu dikatakan efektif dalam menurunkan aliran darah dan tekanan

melalui sirkulasi portal. Dimulai dengan 0.1 unit/menit dan dinaikkan menjadi 0.05

Page 42: Buku Ajar Gastroenterologi

unit/menit setiap jam sampai mencapai 0.2 unit/menit pada anak yang berusia kurang

dari 5 tahun. Dosis awal vasopresin pada anak kurang dari 12 tahun dan pada remaja

berturut-turut adalah 0.3 unit/menit dan 0.4 unit/menit. Vasopresin hendaknya

diberikan dalam cairan dekstrosa 5%.5,6,13

Tamponade balon (Sengstaken-Blakemore) dipertimbangkan pada varises lambung atau

esofagus yang diagnosisnya ditegakkan melalui endoskopi. Prosedur ini berisiko tinggi.

Indikasi untuk tampon balon adalah:

1. Perdarahan masif yang mengancam jiwa

2. Perdarahan yang berkelanjutan walaupun diberikan vasopresin intravena 4-6 jam.

Gambar 2.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan varises usofagus (Sumber:McDiarmid15).

2. Penanganan Spesifik

Penyebab perdarahan gastrointestinal bagian atas dari segi penanganan dapat dibagi

menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Beta–bloker non selektif dianjurkan untuk

Kanula IV ukuran besar

Perdarahan Gastrointestinal Bagian Atas Pada Anak dengan Kecurigaan

Varises

Darah, plasma, beku segar, trombosit, bilas lambung

Perdarahan berhenti

Hct stabil

Amati Hct serial

Endoskopi atas dalam 24 jam

Skleroterapi/ligasi pitas atas

indikasi

Rencanakan untuk

Tx Hepar atas

indikasi

Pertimbangan shunt apabila

obstruksi v porta ekstra

hepatik

Konsolidasi

skleroterapi sembari

menunggu

Perdarahan tetap

Hct turun

Teruskan resisutisasi

Mulai tetes octeotride

Pindah ke ICU

Perdarahan berhenti

Endoskopi kedaruratan

skleroterapi bila mungkin

Perdarahan hebat

tetap

Tamporade balon

Tamporade balon

gagal

Transplantasi, shunt darurat bila

tidak ada donor

Page 43: Buku Ajar Gastroenterologi

mencegah perdarahan varises. Obat vasoaktif, seperti somatostatin, oktreotida dan

glupresin dapat digunakan dengan baik pada perdarahan varises maupun nonvarises.

Skleroterapi dan ligasi varises dapat digunakan pada anak untuk menghilangkan varises.

Cyanoacrylate efektif dan menunjukkan komplikasi terendah yang berhubungan dengan

varises lambung. Terdapatnya stigmata perdarahan, seperti perdarahan aktif dan pembuluh

darah yang tampak pada tukak merupakan indikasi adanya risiko tinggi dari perdarahan

berulang, yang memerlukan hemostasis endoskopik. Inhibitor pompa proton lebih efektif

daripada antagonis reseptor H2 dalam menunjang kesembuhan tukak peptikum.4,5,6,15

Penanganan Hipertensi portal

- Oktreotida (Octreotide) :

Oktreotida adalah suatu analog somatostatin yang aman tanpa efek samping berat.

Mekanisme aksinya adalah mengurangi spastik kolateral dan aliran darah hepatik.

Begitu dicurigai adanya perdarahan varises, infus oktreotida perlu segera dimulai, dan

pada umumnya diberikan terus selama 5 hari. Infus dimulai dengan dosis 1 µg/kgBB iv

bolus dilanjutkan dengan infus kontinu dari 1 µg/kgBB/jam, dinaikkan setiap jam

apabila perdarahan tidak berkurang sampai 4-5 µg/kgBB/jam dalam infus yang kontinu.

Apabila tidak ada perdarahan aktif sesudah 24 jam, dapat diberikan setengah dosis

semula setiap 12 jam.16

- Dalam suatu penelitian telah ditunjukkan bahwa skleroterapi berhasil

menutup varises esofagus sesudah diberikan secara multipel pada 92 pasien anak .

Terapi kombinasi propranolol + skleroterapi ternyata lebih menjanjikan dalam

pencegahan perdarahan hipertensif portal.15

- Ligasi varises endoskopik (EVL)

EVL lebih efektif daripada skleroterapi dalam menghilangkan varises dan mencegah

perdarahan berulang.

Portosystemic shunt melalui pembedahan dan akhir2 ini juga nonoperatif

transjugular intrahepatic portosystemic shunt, dan transplantasi hepar.17

- Pembedahan

Koreksi radikal dari hipertensi portal ekstrahepatik dengan hasil baik dilakukan pada

38,5% pasien.9

Penanganan perdarahan GIT bawah

Penanganan definitif dari perdarahan GIT bawah tergantung dari penyebabnya.

Pembedahan ditujukan pada perdarahan divertikulum Meckel. Suatu polip berdarah dapat

dihilangkan dengan polipektomi secara endoskopik. Malformasi vaskular pada GIT bawah

jarang ditemukan dan penanganan bedah dilakukan apabila malformasi ini diketahui

sebagai penyebab perdarahan.

Ligasi varises endoskopik dinyatakan aman dan merupakan prosedur yang sangat efektif

pada anak dengan hipertensi portal, tanpa memandang etiologi.4,8

Page 44: Buku Ajar Gastroenterologi

Penanganan Penyakit Peptikum

Terapi utama untuk penyakit tukak adalah supresi produksi asam atau penetralan asam

lambung. Menjaga pH lambung diatas 4.0 akan mengaktivasi pepsin dan menunjang

penyembuhan. Apabila diagnosis gastritis H. pylori, pengobatan yang diberikan meliputi

terapi tripel dengan klaritromisin, inhibitor pompa proton dan metromidazol atau dengan

amoksisilin, suatu antagonis reseptor histamin-2 (H-2) dan bismut subsalisilat efektif pada

70%-79 % dari pasien yang diterapi. Kekambuhan terjadi dalam rentang 10%-20 %.11,12

- Antagonis reseptor H-2: simetidin (20-40 mg/hari) dan ranitidin (2-4

mg/kgBB/kali, maksimum 150 mg/kali, 2x sehari) merupakan inhibitor sekresi asam

yang kuat. Inhibitor pompa proton seperti omeprazol (0.7-1.4 mg/kgBB/kali, maksimum

40 mg/kali, 1x sehari) dan lansoprazol (0.3-1.5 mg/kgBB/hari) merupakan penghambat

sekresi asam lambung yang lebih kuat.

- Sukralfat: merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa tersulfasi (sulfated

sucrose), yang tidak diabsorsi dalam jumlah banyak. Dosisnya 250 mg q.i.d untuk bayi

dan 0,5-1 gram q.i.d untuk anak besar, sebagai bahan barier pada tukak peptikum.

- Antasida: aluminium hidroksida bersifat konstipan, sedangkan magnesium hidroksida

adalah katartik. Dosisnya 0,5 ml/kgBB/kali, maksimum 20 ml perkali setiap 4 jam.

Demam Berdarah

Penanganan

D5 Ringer Laktat atau D5 Ringer Asetat 10 – 20 ml/kgBB/jam (pada derajat IV bolus 30 menit)

Baik

(PCV , nadi stabil produksi urin )

Tidak baik

(PCV , nadi cepat lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, produksi urin )

7 ml/kg/1jam

5 ml/kg/1 jam

3 ml/kg/1 jam

24 – 48 jam diharapkan sembuh

PCV , Hb PCV tetap tinggi

Darah (10 ml/kg/jam dapat diulang sesuai

kebutuhan)

Plasma (10 ml/kg/jam, dapat diulang 3x dlm 24 jam

Asidosis diperbaiki)

Page 45: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 2.4. Aluran tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD derajat III dan IV (Sumber: Soegijanto18;

Modifikasi Monograf, WHO19).

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan gastrointestinal seperti hematemesis

dan melena diindikasikan pemberian transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk

menganti volume massa eritrosit agar menjadi normal.20,21

Demam Tifoid

Penanganan

Terapi antimikrobia esensial dalam terapi demam tifoid. Sebagian besar regimen

antibiotik mempunyai risiko kekambuhan 5% – 20 %. Kloramfenikol (50 mg/kgBB/hari q.i.d

per os atau 75 mg/kgBB/hari terbagi dalam 6 jam i.v), ampisilin (200 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 4 – 6 kali perhari), amoksilin (100 mg/kgBB/hari dibagi 3x perhari p.o) dan trimetoprim-

sulfametoksazol (10 mg TMP dan 50 mg SMZ /kgBB/hari, 2x sehari p.o) memberikan hasil

klinis yang baik. Apabila perdarahan intestinal hebat, diperlukan transfusi darah. Intervensi

bedah dan antibiotik spektrum luas dianjurkan bila terjadi perforasi. Transfusi trombosit

dikemukakan untuk pengobatan trombositopenia yang cukup berat untuk menyebabkan

perdarahan intestinal pada pasien yang memerlukan pembedahan.22,23,24

Muntah Akut

Penanganan muntah

Penanganan penderita dengan muntah ditujukan untuk mengatasi akibat muntah

(robekan lokal, gangguan metabolik, gangguan nutrisi, aspirasi), simtomatik untuk

mengurangi/menghilangkan gejala muntah dan secara spesifik menghilangkan penyakit

penyebab yang mendasarinya.25,26,27

Tabel 2.5. Penanganan farmakologis

Kategori fisiologis Obat Dosis ( oral ) Efek samping

Baik Baik

Page 46: Buku Ajar Gastroenterologi

Antagonis kolinergik

Antagonis reseptor 5-hidroksitriptamin

Betanekol

Cisaprid

0.1-0.2 mg/kgBB/dosis TID

0.1-0.3 mg/kg BB/dosis TID

- Eksaserbasi spasme - Aritmia jantung,

diare

Antagonis reseptor dopamin D2

Metoklopramid (vometrol)

Domperidon

0.1-0.2 mg/kBBg/dosis TID/QID

0.3 mg/kgBB/dosis TID/QID

Mengantuk, gelisah, reaksi distonik, gejala ekstrapiramidal

Kejang perut ringan

Agonis motilin Eritromisin 3-6 mg/kgBB/dosis TID Rasa tak enak perut

Reaksi alergi ringan

Disfungsi hepar

Antagonis reseptor serotonin (5-HT)

Ondansetron untuk kemoterapi & radio terapi.

Sumatriptan, amitriptilin untuk muntah siklis

4 mg oral /8 jam selama 5 hari

5 mg /m2 1.V.-15 menit

0.1-1,2 mg/kgBB/24 jam oral dinaikkan sampai 1,5 mg/kgBB/24 jam

Konstipasi, sakit kepala, rasa panas di muka dan epigatrium

Kelemahan, kemerahan muka

Antagonis reseptor H2 Simetidin

Ranitidin

Famotidin

5-10 mg/kgBB/dosis TID/QID

1-2 mg/kgBB/dosis BID/TID

1-3 mg/kgBB/dosis BID/TID

Sakit kepala, diare

Sakit kepala, malaise

Inhibitor pompa proton

Omeprazol

Lansoprazol

0.7-3.0 mg/kgBB/dosis BID/QID

Sakit kepala, ruam, diare, hipergastrinemia

Sumber: Milla27

Distensi Abdominal Akut

Obstruksi Intestinal

Tabel 2.6. Klasifikasi etiologis obstruksi intestinal

Obstruksi Sederhana

(Mekanis)

Obstruksi Fungsional

(Pseudo-obstruksi, Ileus)

Intraluminal Ekstraluminal Akut Kronis

- Benda asing

- Bezoar

- Fekalit

- Batu empedu

- Hernia

- Intususepsi

- Volvulus

- Duplikasi

- Pasca bedah

- Toksisitas obat

- Gangguan keseimbangan

elektrolit

Gangguan pada

pleksus

mienterikus:

Page 47: Buku Ajar Gastroenterologi

- Parasit

- Ileus

mekonium

- Tumor

- Polip

- Stenosis

- Adhesi

- Kista

mesenterium

- Sindrom arteria

mesenterium

superior

- Pasca trauma

- Keradangan

intraabdominal

- Keradangan

ekstraabdominal (sepsis)

- Imaturitas saraf

(prematur)

- Aganglionosis

(Hirschsprung)

- Neuropati

- Konstipasi kronik

- Infeksi

- Endokrin

(diabetes)

Gangguan pada otot

polos

- Miopati

- Distrofi otot

- Infiltratif

- Endokrin

- Divertikulum

Sumber: Scott28; Wesson29; Yasbeck30

Penanganan

Penanganan obstruksi intestinal meliputi 2 tahap terpisah yaitu resusitasi dan

pengobatan definitif yang tahapannya selalu berurutan.

Tabel 2.7. Gambaran esensial dari resusitasi

- Hentikan semua masukan oral

- Dekompresi lambung dengan tabung nasogastrik

- Pasang slang intravena, perbaiki defisit cairan dan elektrolit serta kehilangan yang

sedang berjalan

- Pastikan pengeluaran urin yang cukup

- Tentukan golongan darah dan uji silang apabila terdapat kemungkinan untuk operasi.

Sumber: Wesson29

Keputusan untuk melakukan pembedahan didasarkan atas pertimbangan klinis dan

tidak dapat hanya berdasarkan hasil radiografi atau uji darah semata. Konsekuensi dari

penundaan meliputi nekrosis dan perforasi serta reseksi usus dan terjadinya sepsis sistemik.

Pembedahan perlu segera dilakukan apabila dicurigai terjadinya strangulasi dengan adanya

panas, takikardia, dan peritonitis. Indikasi adanya strangulasi adalah rasa nyeri hebat, tidak

menghilang dan menetap, walaupun dilakukan dekompresi.

Terapi konservatif atau tanpa pembedahan dapat dicoba untuk 6-12 jam pada obstruksi

mekanis sederhana, terutama obstruksi pasca operasi awal atau yang parsial (dalam waktu 3

minggu dari laparatomi sebelumnya) dan pada anak dengan obstruksi usus kecil yang berulang.

Operasi dapat ditunda pada obstruksi pilorus atau duodenum asalkan malrotasi dan volvulus

dapat disingkirkan. Operasi dapat dihindari seluruhnya pada sebagian besar bayi dengan

intususepsi ileokolik asalkan dapat direduksi secara sempurna oleh tekanan udara atau tekanan

hidrostatik.31,32,33

Page 48: Buku Ajar Gastroenterologi

Nyeri Abdomen Akut

Tabel 2.8. Etiologi nyeri abdomen akut berdasarkan simptom

1. Neonatus : - NEC - Perforasi lambung spontan - Penyakit Hirschsprung - Ileus mekonium - Atresia atau stenosis intestinal - Perforasi traumatik (kesulitan kelahiran)

2. Bayi (<2 tahun) - Kolik (<3 bulan) - Gastroenteritis akut/ sindrom viral - Intususepsi - Hernia inkarserata - Volvulus (malrotasi) - Sindrom sickling - Intoleransi susu sapi - Divertikulum Meckel

3. Usia sekolah (2 – 13 tahun) - Gastroenteritis akut/ sindrom viral - Infeksi saluran kemih - Apendisitis - Trauma - Konstipasi - Pneumonia - Sindrom sickling (vaso-occlusive crysis pada

penyakit sickle cell) - Pankreatitis - Torsio ovari - Batu empedu - Kolesistitis - Purpura Henoch-Schőnlein

4. Remaja - Gastroenteritis akut/ sindrom viral - Infeksi saluran kemih - Apendisitis - Trauma - Konstipasi - Penyakit keradangan pelvis (pelvic

inflammatory disease) - Pneumonia - Mittelschmerz - Pankreatitis - Kolesistitis - Purpura Henoch-Schőnlein

Sumber: Boyle34; Ross35

Gastritis dan Tukak Peptikum

Pengobatan primer gastritis dan tukak peptikum sampai saat ini ditujukan kepada

supresi asam lambung.

Tabel 2.9. Penanganan penyakit peptik pada anak

Obat Dosis

Antagonis reseptor

H2

Simetidin

Ranitidin

Nizatidin

Famotidin

20-40 mg/kgBB/hari

dosis terbagi setiap 6 jam

4-8 mg/kgBB/hari

dosis terbagi setiap 8-12 jam

4-8 mg/kgBB/hari

dosis terbagi setiap 12 jam

1-2 mg/kgBB/hari

sekali atau dua kali sehari, maksimum 40 mg

sehari

Page 49: Buku Ajar Gastroenterologi

Inhibitor pompa

proton

Omeprazol

Lansoprazol

0,5-3 mg/kgBB/hari

dosis terbagi setiap 12 jam

0,3-1,5 mg/kgBB/hari

dosis terbagi setiap 12 jam

Sumber: Lake36

Pankreatitis

Strategi dalam penanganan pankreatitis akut dilakukan secara spesifik maupun

nonspesifik sebagai berikut:

1. Menghilangkan proses yang mengawali terjadinya pankreatitis

2. Menghentikan berlanjutnya proses autodigesti dalam pankreas

3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim-enzim digestif dan substansi lain yang

beracun di dalam rongga peritoneal dan/atau sirkulasi.

4. Pembedahan

5. Mengobati komplikasi lokal maupun sistemik

Penanganan yang pada saat ini dapat dilakukan adalah mengistirahatkan pankreas yang

secara teoritis dapat mencegah atau mengurangi intensitas peradangan, mengurangi gejala dan

mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Penderita dipuasakan dan sekresi lambung

dikeluarkan melalui isapan nasogastik. Dengan demikian hal ini akan mencegah asam dan

nutrien mencapai duodenum yang secara teoritis akan mengurangi stimulasi hormonal bagi

sekresi pankreas. Berbagai pendekatan farmakologis dilakukan untuk mengurangi sekresi

pankreas namun hasilnya masih banyak dipertanyakan (antasida, antikolinergik, glukagon,

vasopresin). Demikian juga halnya obat untuk menstabilkan membran sel (prostaglandin) dan

obat seperti somatostatin dan analognya.37,38,39

Torsio testis

Penanganan yang optimal adalah eksplorasi bedah. Apabila dilakukan dalam waktu 6

jam setelah torsi, testis yang dapat terselamatkan dapat mencapai 90%. Apabila melebihi 6 jam

diperlukan orkidektomi.40

Apendisitis akut

Begitu diagnosis apendisitis ditegakkan penanganannya adalah pembedahan

(apendektomi). Anak dengan apendisitis tanpa perforasi membutuhkan persiapan prabedah

yang minimal dengan cairan intravena dan antibiotik. Walaupun penggunaan antibiotik pada

apendisitis tanpa komplikasi masih dipertentangkan, namun antibiotik telah menurunkan

kejadian infeksi luka pasca bedah. Apendektomi harus dilakukan dalam waktu beberapa jam

setelah diagnosis.34,35

Intususepsi

Page 50: Buku Ajar Gastroenterologi

Apabila diagnosis intususepsi telah diperkirakan, langkah pertama adalah resusitasi

pasien dengan cairan intravena dan pengosongan lambung dengan pipa nasogastrik. Pilihan

penanganan pasien anak dengan intususepsi cukup sederhana; reduksi radiologis (hidrostatik =

cairan, pneumatik = udara ) atau laparotomi dengan reduksi operatif atau reseksi. Suatu enema

kontras (udara atau radioopak) dibawah panduan fluoroskopi selain sebagai uji diagnostik

dapat juga dipakai untuk mereduksi intususepsi.34,36

Peritonitis

Antibiotika parenteral seperti sefotaksim dari aminoglikosida (untuk Streptococcus dan

Pneumococcus pada peritonitis primer) ataupun ampisilin, dan klindamisin yang dapat

mencakup organisme yang mendominasi sumber infeksi (pada peritonitis sekunder seperti E.

coli, Klebsiella, dan Bacteriodes) perlu segera diberikan. Pengecatan gram dan pembiakan

cairan asites atau cairan peritoneal dapat memberikan indikasi pergantian antibiotika awal yang

diberikan. Pembedahan perlu dilakukan untuk memperbaiki perforasi sesudah pasien

distabilisasi (resusitasi cairan dan fungsi kardiovaskular) dan diberikan antibiotik.31

Disfagia

Rencana terapi perlu dikembangkan berdasarkan konteks kelompok multidisiplin. Pada

umumnya rekomendasi terapeutik adalah berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan

dengan aman (kemampuan dari pasien untuk mentransfer makanan dari rongga mulut ke

dalam usofagus tanpa keliru masuk kedalam larings dan trakea), status nutrisi pasien, adanya

refluks gastro-esofageal, dan kenikmatan akan makanan bagi pasien dan orang tuanya. Terapi

disfagia biasanya ditujukan pada penyebabnya disertai perawatan suportif.41,42,43,44

1. Obati penyakit primer bila mungkin

a. Kelainan struktur esofageal: dilatasi atau bedah.

b. Gangguan neuromuskular sistemik :

- Bedah saraf (tumor otak, malformasi Arnold-Chiari)

- Pengobatan farmakologis (tetanus, dan sebagainya)

c. Dismotilitas esofageal

- Dilatasi atau miotomi (untuk sfingter hipertensif atau nonrelaksasi)

- Terapi farmakologis: calcium channel blocker, nitrat, antikolinergik, antagonis

adrenoseptor, medikasi psikotropik.

2. Jaminan nutrisi dan proteksi jalan nafas

- Makanan oral: pelan, berhati, lebih mudah dengan cairan semi padat dan kental

- Posisi kepala: fleksi leher untuk melindungi jalan nafas, ekstensi leher mempercepat

transit makanan, rotasi kepala.

- Nutrisi non-oral: nasogastrik (awas refluks), nasoduodenal, gastrostomi (awas refluks),

jejunostomi, nutrisi parenteral.

- Sten laringeal (laryngeal stens): untuk pasien yang tidak dapat menangani sekresinya.

Page 51: Buku Ajar Gastroenterologi

Daftar Pustaka

1. Quak SM. Gastrointestinal Emergency. In : W Yip Chin Ling, J Tay Sin Hock eds. A Practical manual on Acute Paediatrics. Singapore. 1989: 221 – 242.

2. Huang, Lennox H. Dehydration. eMedicine. Jul 21, 2008. 3. Lozner, Alison Wiley. Pediatrics, Dehydration. eMedicine. Feb 5, 2009. 4. Carvalho ED, Nita MH, et al. Gastro intestinal Bleeding. J Pediatric (Rio J). 2000; (Suppl 1) : S 135-146. 5. Faubian WA, Perrault J. Gastrointestinal Bleeding. In: W Alllan Walker, Pr Durie, Hamilton JR, JA Walker Smith, JB

Watkins, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management., 3rd ed, Ontario. 2000: 164 – 178. 6. Chin S. Gastrointestinal Bleeding in Children an Adolescens, Pediatric Clinical Guidelines. Starship Children’s Hospital. 1-

5. 7. Celinsko – Cedro DM. Teisseyre DM et al. Endoskopic Ligation of Esopagheal Varices for Prophylaxis of First Bleeding in

Children an Abdolescent with Portal Hypertension: Peliminary Result of Prospective Study. J Pediatric Surgeon. 2003; 35: 1008 1011.

8. Levy J. Gastrointestinal Bleeding. A Guide to Children’s Digestive an Nutritional Health. 2001; 1-8. 9. Erkan T, Cullu F et al. Management of Portal Hipertension in Children: Arestropective Study with Long term Follw up. Acta

Gastrointestinal Belg. 2003; 66 : 213-217. 10. Razumouskii A. Danzhinov BP et al. Radical treatment of Extrahepatic Portal Hypertension in Children Khirurgiia (Mosk).

2003; 7: 17-21. 11. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer: effects of hemorrhagic shock on energy metabolism in the mukosa of the

antrum, corpus and fundus of the rabbit stomach. Gastroenterology. 1974; 66: 1168. 12. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer: Influence of sodium taurocholate on gastric mucosal energy metabolism

during hemorrhagic shock and on mitochondrial respiration and ATPase in gastric mukosa. Dig Dis. 1976; 21: 1001. 13. Rogers EL, Perman JA. Gastrointestinal and Hepatic Failure. In: MC Rogers ed. Textbook of Pediatric Intensive Care, vol 2.

Baltimore. 1987: 979-998. 14. Choo KE. Usefulness of the Widal Test in Childhood Typhoid Fever. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid

Fever Strategies for the 90’s. Singapore. 1992: 200. 15. Sokucu S, Suoghu OD et al. Long term Outcome After Sclerotherapy with or without a beta blocker for Variccal Bleding in

Childreen. Pediatric int. 2003; 45: 388-394. 16. Eroglu Y, Emerick KM, et al. Octreotide Therapy for Control of Acute Gastrointestinal Bleeding in Children. J Pediatric

Gastroenteroal nutr. 2004; 38: 41-47. 17. Woeff M, Hirner A. Current State of Portosystemic Skunt Surgery. Langenbecks Arch Sung 2003; 388: 141-149. 18. Soegijanto S. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak. In: Soegijanto ed. Demam Berdarah Dengue. Tinjauan

dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya. 2004: 41-65. 19. WHO. Dengue Hemorraghic Fever: Diagnosis. Treatment and Control. Genewa. 1986; 7-15. 20. Soegijanto S. Manifestasi Klinik Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya. 2004: 27- 32. 21. Syahrurahman A. Beberapa lahan Penelitian Untuk Penanggulangan Demam Berdarah Dengue. Mikrobiologi Klinik

Indonesia 1988; 3: 87-89. 22. Elsevier 2004. Infectious Diseases 2. www-idreference.com. 23. Hoe LY. Epidemiology Clinical Features and Treatment of Typhoid Fever in Malaysia. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary.

Eds Typhoid Fever Strategies for the 90’s. Singapore. 1992: 84-93. 24. Sarasombath S. Immune Responses in Typhoid Fever. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for

the 90’s. Singapore. 1992: 168-175. 25. Dodge JA, Vomiting and Regurgitation. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds.

Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, vol I. Philadelphia. 1991: 32-41. 26. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting. In: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology,

Diagnosis, Management, Philadelphia. 1993: 135-150. 27. Milla PJ. Vomiting: gastroenterologic evaluation. International seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition.

Ontario. 1994; 3: 1-15. 28. Scott RB. Motility Disorders. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins. Pediatric

Gastrointestinal Disease, Pathophysiology, Diagnosis, Management, 2nd ed, Vol I St Louis. 1996: 936-954. 29. Wesson DE, Hadock G. Acute Intestinal Obstruction. In. W. Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB

Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis Management, Vol I. 2nd ed, St Louis. 1996: 565 – 574; 555 – 565.

30. Yazbeck S b. Intestinal obstruction in infancy and childhood. In: CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric Clinical Gastroenterology, 4th ed. St Louis. 1995: 104-129.

31. Langer JC. Peritonitis. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins eds Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. 3 rd ed, Ontario. 2000: 450-455.

Page 52: Buku Ajar Gastroenterologi

32. Walker Smith J, Murch S. Surgically correctable lesions of the small intestine. In: J. Walker-Smith, S.Murch eds. Disease of the Small Intestine in Childhood. Oxford. 1999: 329-341.

33. Wyllie R. Intestinal atresia, stenosis and malrotation. In: Behrman RE. Kliegman RM, Jenson HB. eds. Nelson Textbook of Pediatrics, 16 th ed. Philadephia. 2000: 1132-1136.

34. Boyle JT. Abdominal Pain. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. 3rded. Ontario. 2000: 129-149.

35. Ross AJ. Acute Abdominal Pain. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. Vol. I 2nd ed. St. Louis. 1996: 42-44.

36. Lake AM. Chronic Abdominal Pain in Childhood: Diagnosis and Management. American Academy of Family Physician . 1999.

37. Jordan S. Ament M. Pancreatitis in Children and Adults. J. Pediatr. 1977; 91: 211. 38. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins

eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. Vol. II 2nd ed. St. Louis. 1996: 1437-1465. 39. Weizmann Z, Durie PR. Acute Pancreatitis in Childhood. J. Pediatr. 1988; 113: 24-29. 40. Knight PJ, Vassy LE. Diagnosis and Treatment of the Acute Scrotum in Children and Adolescent. Ann Surg. 1984; 200: 664. 41. Ergun GA. Evaluation of the patient with dysphagia Current Practice of Medicine. 1999; 2: 2293-2306. 42. Illingworth RS. Sucking and swallowing difficulties in infancy; diagnostic problem of dysphagia. Arch Dis Child. 1969; 44:

655-665. 43. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting In: R Wyllie, JS Hyams. eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology,

Diagnosis, Management. Philadelphia. 1993: 135-150. 44. Stendal C. Swallowing disorders. Practical Guide to Gastrointestinal Function testing. Oxford. 1997: 27-45.

Page 53: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB III

DISFAGIA

Yorva Sayoeti

Ilustrasi Kasus

Astrid, anak perempuan, berumur 8 tahun dikirim ke Feeding Clinic untuk evaluasi makan

dan minum. Dia mengalami trauma kepala pada umur 3 tahun dengan komplikasi

kuadriplegia. Disamping itu dia juga menderita skoliosis berat yang memerlukan operasi.

Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan videofluoroskopi menggunakan barium yang

dimodifikasi (modified barium swallow) guna mengevaluasi fase-fase menelannya. Dari

aloanamnesis, ibunya mengatakan Astrid membutuhkan waktu lama bila makan, disertai

batuk, terdengar suara degukan yang cukup jelas dan menolak makan dengan mengatakan

tidak mau makan sambil menggelengkan kepalanya. Pemeriksaan dengan mengamati

makan, tampak perlambatan fase oral. Dia perlu beberapa kali menelan untuk mendorong

habis semua bolus makanan, sehingga waktu yang diperlukan tiap suapan makan hampir 1

menit. Dia juga menolak makan setelah diberikan beberapa suap. Hasil pemeriksaan

videofluoroskopi tampak sejumlah sisa makanan tertahan di dalam faring dan berkurangnya

gerakan peristaltik untuk semua jenis tekstur makanan yang diberikan. Tampak sedikit

aspirasi (silent trace aspiration). Keadaan ini tidak membaik walaupun telah dilakukan

perubahan posisi waktu makan. Dengan demikian disimpulkan Astrid berisiko tinggi terjadi

aspirasi bila makan peroral tetap diteruskan. Dua hari kemudian dilakukan operasi. Evaluasi

paska operasi menunjukkan proses menelan fase oral maupun fase faringeal masih lambat

disertai bunyi degukan, dan masih menolak makan. Bahkan hasrat makannya semakin turun

dibandingkan sebelum operasi. Pernafasannya tampak ada hambatan sehingga dilakukan

fisioterapi. Tiga hari kemudian Astrid masih menolak makan. Pemantauan selanjutnya berat

badan Astrid turun sampai 6 ons. Atas anjuran spesialis gizi ditambahkan Policore ke dalam

dietnya untuk meningkatkan kebutuhan kalorinya serta makanan kecil (snack). Kemudian

Astrid dipulangkan dan dijadwalkan 2 minggu lagi dievaluasi kembali oleh tim

interdisipliner di Feeding Clinic. Dua minggu kemudian tim interdisipliner memutuskan

bahwa Astrid harus menjalani gastrostomy (GT) guna menjamin kebutuhan nutrisinya dan

mencegah risiko aspirasi. Beberapa minggu setelah dilakukan GT, Astrid dipulangkan dan

pada orang tuanya diberikan pedoman agar tetap melakukan stimulasi makan peroral (oral

motor stimulation). Dianjurkan memberikan makanan dalam berbagai rasa dan tekstur

sedikit demi sedikit guna mengurangi terjadinya aspirasi. Ternyata dengan stimulasi oral ini

lama kelamaan dapat disenangi Astrid. Akhirnya kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi melalui

makan minum peroral tanpa komplikasi aspirasi dan kesehatannya makin lama makin

membaik.

Page 54: Buku Ajar Gastroenterologi

Pendahuluan

Kemajuan teknologi kedokteran lebih dari tiga dekade ini memungkinkan banyaknya

bayi yang lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) bahkan berat badan lahir sangat

rendah (BBLSR) atau dengan sakit gawat, dapat dipertahankan hidupnya. Namun sebagian

besar bayi dan anak ini akan menghadapi pula masalah-masalah medis yang cukup bermakna

dalam perkembangan selanjutnya. Beberapa diantara bayi ini akan mengalami komplikasi atau

cacat di kemudian hari antara lain menderita retardasi mental, serebral palsi, masalah penyakit

paru kronis atau gangguan neurologis. Akibat hal tersebut perlu strategi baru untuk mengatasi

masalah-masalah ini yang sebelumnya jarang ditemui. Beberapa dari masalah yang paling

menonjol adalah yang berhubungan dengan gangguan fungsi gerakan motorik mulut (oral-

motor function), gangguan menelan, makan dan atau berkomunikasi. Dengan demikian

kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran dalam usaha mempertahankan kehidupan

telah menyebabkan pula munculnya masalah baru yang memerlukan pencarian solusinya.

Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak dengan gangguan menelan menjadi

masalah yang unik bagi para klinisi. Aspek penatalaksanaan disfagia pada orang dewasa tidak

dapat diaplikasikan pada bayi dan anak karena perbedaan struktur anatomi dan maturasi

neurologis yang belum sempurna. Bayi dan anak yang menderita gangguan menelan serta

gangguan makan minum peroral memerlukan tatalaksana dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan aspek tumbuh kembang anak, yaitu aspek yang berkaitan dengan

pertumbuhan dan perkembangan organ menelan, perkembangan refleks-refleks motorik mulut,

serta maturasi perkembangan perilaku makan yang berhubungan erat dengan hubungan orang

tua dan anak. Perolehan nutrisi yang adekuat untuk menjamin pertumbuhan somatik dan

pengaruh-pengaruh isapan bayi bersifat nonnutritive harus dipertimbangkan dalam usaha

pendekatan diagnosis dan terapi penderita dengan gangguan menelan. Selain itu kebanyakan

penderita anak dengan gangguan menelan mempunyai kemampuan kognitif yang kurang dan

memerlukan terapi oleh beberapa spesialis (interdisciplinary team), terutama anak dengan

penyakit sistem saraf pusat yang tatalaksananya sangat rumit.1,2

Definisi

Disfagia secara alami didefinisikan berdasarkan sifatnya yaitu kesulitan sewaktu

menelan. Sedangkan odinofagia adalah rasa nyeri yang dirasakan sewaktu menelan. Fungsi

gerakan motorik mulut (motor-oral function) ialah semua aspek yang mencakup fungsi

motorik dan sensorik dari struktur rongga mulut dan faring yang berhubungan dengan proses

menelan sampai makanan masuk ke dalam esofagus.

Deglutisi (deglutition) adalah kegiatan menelan dan merupakan salah satu proses

dalam arti konteks yang luas dari makan. Namun deglutition dalam literatur lebih banyak

disebut dengan proses menelan (swallowing) yang didefinisikan sebagai aksi semiotomatik

gerakan otot-otot saluran pernafasan dan saluran pencernaan mendorong makanan dari rongga

mulut ke dalam lambung.6,10

Page 55: Buku Ajar Gastroenterologi

Kejadian

Data epidemiologis mengenai berapa kejadian disfagia yang akurat pada bayi dan anak

belum ada, karena disfagia bukan masalah yang berdiri sendiri, namun merupakan keluhan

dari berbagai keadaan. Keadaan ini lebih sering terjadi pada bayi-bayi dan anak dengan

gangguan yang multikompleks. Faktor predisposisi terjadinya disfagia adalah gangguan sistem

saraf pusat atau perifer, penyakit otot, kelainan struktur rongga mulut dan faring.

Kelompok lain yang berisiko terjadinya disfagia adalah kelompok yang mengalami

disfungsi perkembangan menelan termasuk komplikasinya yaitu bayi prematur yang koordinasi

pernafasan dan menelannya belum baik, bayi-bayi yang mengalami kehilangan kemampuan

makan peroral yang telah berlangsung lama, serta bayi-bayi dengan penyakit paru kronis.3,5

Etiologi

Oleh karena disfagia merupakan keluhan (symptom) maka etiologinya dibagi

berdasarkan gangguan-gangguan yang mendasari terjadinya disfagia pada bayi dan anak seperti

terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan anak

I. Prematuritas

II. Anomali jalan udara dan jalan makanan atas

A. Hidung dan nasofaring

1. Atresia dan stenosis koana

2. Infeksi hidung dan sinus

3. Deviasi septum

4. Tumor

B. Rongga mulut dan orofaring

1. Defek lidah dan prosesus alveolaris

2. Bibir terbelah dan palatum terbelah

3. Stenosis dan selaput pada hipofaring

4. Sindrom kraniofasial (spt: Pierre-Robin, Crouzon, Trecher-Collins,

Goldenhar)

5. Sindrom Down

6. Sindrom Backwich

7. Ankilo glossi

C. Laring

1. Stenosis dan selaput pada laring

2. Laring terbelah

3. Paralisis

4. Laringomalasia

III. Defek kongenital laring, trakea dan esofagus

A. Celah laringo-trakeo-esofagus

B. Fistel trakeo-esofagus, atresia esofagus

C. Striktur dan selaput pada esofagus

D. Anomali vaskuler

1. Arteri subklavia kanan yang menyimpang

Page 56: Buku Ajar Gastroenterologi

2. Arkus aorta yang kembar

3. Arkus aorta kanan dengan ligamentum kiri

IV. Defek anatomi yang didapat

A. Trauma

1. Trauma luar seperti bahan kimia (caustic agent)

2. Trauma karena endoskopi dan intubasi

V. Defek neurologis

A. Penyakit-penyakit susunan saraf pusat

1. Trauma kepala

2. Kerusakan otak oleh karena hipoksia

3. Atrofi korteks, mikrosefali, anensefali

4. Infeksi: meningitis, abses otak

5. Mielomeningokel

6. Palsi serebral

7. Botulisme

8. Infeksi

9. Rabies

B. Penyakit sistem saraf perifer

1. Trauma

2. Kongenital

C. Penyakit neuromuskular

1. Distrofi muskular miotonik

2. Miestania gravis

3. Sindrom Guillain-Barre

4. Poliomielitis (paralysis bulbaris)

5. Hipotiroid

6. Sindrom floppy infant

D. Lain-lain

1. Akalasia

2. Akalasia krikofaringeal

3. Spasme esofageal

4. Esofagitis

5. Disautonomia

6. Paralisis esofagus (atoni)

7. Fistel trakeo-esofagus / atresia esofagus

8. Timus servikal yang menyimpang

9. Disfagia konversi

10. Stenosis pilorus hipertrofi

11. Kelainan jantung bawaan

Sumber :Orenstein3

Patogenesis

Untuk dapat menjelaskan patogenesis disfagia perlu pemahaman anatomi dan fisiologi

menelan secara normal. Proses menelan selain berperan sebagai transport makanan juga

berperan memindahkan sekret-sekret dan partikel-partikel dari saluran napas atas mencegah

masuknya bahan-bahan asing tersebut ke dalam saluran napas bawah. Proses menelan

melibatkan banyak struktur yang fungsinya saling berinteraksi melalui jalan yang sangat rumit.

Saluran aerodigestif atas (upper aerodigestive tract) terdiri dari rongga mulut, faring, laring,

trakea dan esofagus (Gambar 1a dan 1b). Saluran aerodigestif bawah (lower aerodigestive tract)

Page 57: Buku Ajar Gastroenterologi

terdiri dari paru-paru dan saluran pencernaan bagian bawah (the lower digestive tract) yang

dibentuk oleh lambung, usus kecil dan usus besar. Terdapat perbedaan yang bermakna antara

anatomi saluran aerodigestif bayi dan dewasa. Rongga mulut bayi waktu istirahat menempatkan

lidah lebih kedepan dibanding dewasa. Berbeda dari dewasa, bayi mempunyai bantalan

pengisap yang terdiri dari jaringan lemak yang padat, rapi dalam muskulus maseter. Bantalan

ini berperan menstabilkan pipi dan akan menghilang saat berumur 4-6 bulan. Selanjutnya besar

rongga mulut bayi berkurang karena mandibula relatif lebih kecil dan menyebabkan lidah

kelihatan lebih besar dalam rongga mulut. Dekatnya hubungan lidah, palatum mole dan faring

dengan laring menyebabkan leher bayi lebih tinggi daripada dewasa yang memudahkan bayi

bernafas melalui hidung. Hal ini berkaitan dengan masa umur 3-4 bulan pertama kehidupan

bayi, yaitu ketika bayi masih lebih banyak bernafas melalui mulut maupun hidung. Di dalam

rongga mulut terdapat sulkus lateral, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau

maksila dengan pipi; dan sulkus anterior, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau

maksila dengan otot-otot bibir. Ruang-ruang ini penting artinya pada penderita dengan

masalah motorik mulut dengan terbentuknya kantong-kantong yang berisi makanan atau

cairan akibat menyangkutnya makanan atau cairan di dalam ruang tersebut.

Pada bayi baru lahir faring membentuk suatu lengkungan yang mulus dari nasofaring

menurun ke hipofaring. Dalam perkembangan selanjutnya sampai dewasa, lengkung ini

berubah membentuk sudut diantara nasofaring dengan orofaring mendekati 90o. Beberapa

struktur yang terdapat di dalam rongga mulut, faring, nasofaring, orofaring, hipofaring

berperan penting dalam proses kegiatan makan minum. Laring yang terdiri dari struktur yang

kompleks mempunyai tiga fungsi utama selain berperan melindungi jalan nafas waktu kegiatan

makan minum, juga berperan untuk pernafasan dan pembentukan suara (phonatory).6,7

Page 58: Buku Ajar Gastroenterologi

1. Frekuensi menelan.

Perkiraan frekuensi proses menelan pada anak berkisar 600-1000 kali/hari, pada orang

dewasa dapat mencapai sampai 2400 kali/hari. Frekuensi tertingi terjadi sewaktu kegiatan

makan dan frekuensi paling kecil adalah selama tidur. Disamping untuk makan, tujuan

menelan juga untuk memindahkan air liur dan sekret-sekret mukosa dari rongga mulut,

hidung, dan faring. Menurunnya frekuensi menelan, mengakibatkan air liur menetes ke

dagu (drooling).

2. Fisiologi menelan

Fisiologi proses menelan dibagi dalam 4 fase yaitu :

a. Fase persiapan oral

b. Fase oral

c. Fase faringeal

d. Fase esofageal

Gambar 1a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif atas struktur rongga mulut dan faring dapat dlihat

begitu juga pintu masuk laring, trakea dan esofagus

Gambar 1b. Dari gambaran samping saluran aerodigestif atas menunjukan batas anatomi nasofaring,orofaring

dan hipofaring

Page 59: Buku Ajar Gastroenterologi

Dua fase pertama seluruhnya disadari. Fase faringeal disadari dan tidak disadari. Sedangkan

fase esofageal seluruhnya tidak disadari. Urutan-urutan gerakan-gerakan menelan dapat dilihat

pada gambar 2.

Fase persiapan oral

Fase ini terjadi disadari, lamanya bervariasi tergantung dari tekstur makanan. Pada fase ini

terjadi manipulasi makanan di dalam mulut membentuk bolus agar dapat dengan mudah

ditelan dengan aman. Pada bayi yang masih mengisap cairan, fase ini diselesaikan dalam

waktu yang singkat. Pada anak, makanan telah mulai diberikan dengan pengentalan atau

tekstur makanan yang digumpalkan sehingga fase persiapan ini diselesaikan selama

beberapa detik, karena lebih banyak waktu yang digunakan untuk mengunyah. Biasanya

cairan berada di dalam rongga mulut tidak lebih dari 2-3 detik. Bibir harus segera ditutup

setelah bahan makanan dan minuman dimasukkan ke dalam mulut agar tidak menetes ke

dagu. Beberapa anak mungkin memindah-mindahkan makanan di sekitar mulutnya terlebih

dulu sebelum mereka membentuk bolus yang sudah bersatu padu. Kemudian bolus ini

dipertahankan di antara lidah dan palatum durum sebelum mulai menelan. Selama fase ini,

palatum mole dalam posisi merendah guna membantu mencegah bolus atau cairan masuk

ke dalam faring sebelum fase menelan dimulai. Merendahnya palatum mole ini terjadi

secara aktif oleh kontraksi otot palatoglosus. Laring dan faring pada fase ini dalam keadaan

istirahat, jalan udara tetap terbuka dan pernafasan hidung terus berlangsung sampai

menelan dimulai.

Fase oral

Fase oral terjadi disadari dengan mulainya mendorong bolus makanan ke posterior dengan

lidah dan berakhir dengan terjadinya penelanan. Pada fase ini bagian-bagian fisik bolus

diubah oleh aktivitas di dalam rongga mulut termasuk besar, bentuk, volume, pH,

temperatur dan konsistensi. Pada awal proses menelan bolus terjadi dengan kontrol

kesadaran dan pada akhir proses menelan terjadi secara tidak disadari. Makanan/ cairan

minuman yang berada di dalam rongga mulut secara disadari menunjukkan adanya

perintah untuk mulainya menelan. Berbeda dengan menelan air liur, proses terjadi secara

otomatis pada awal menelan. Aksi memanipulasi bolus atau cairan makanan yang terjadi

secara disadari, termasuk meningginya lidah diikuti oleh gerakan langsung ke posterior

adalah akibat dari gerakan peristaltik. Hal ini menyebabkan terjadi kontak bolus secara

berurutan mulai dari palatum durum, palatum mole yang mendorong bolus masuk ke dalam

faring. Peninggian palatum mole yang berhadapan dengan dinding posterior faring

menyebabkan bolus masuk ke dalam faring. Bersamaan dengan waktu bolus meninggalkan

mulut, nasofaring dalam keadaan tertutup guna mencegah refluks nasofaringeal. Waktu

normal yang diperlukan menelan fase oral ini berlangsung kurang dari 1 detik.

Fase faringeal

Fase faringeal dimulai dengan terbentuknya keadaan menelan, dengan meningginya

palatum mole untuk menutup nasofaring. Fase faringeal terdiri dari kontraksi peristaltik

Page 60: Buku Ajar Gastroenterologi

otot konstriktor faringeal guna mendorong bolus melalui faring yang terjadi secara refleks

melibatkan gerakan-gerakan unik yang merupakan suatu urutan proses yang terkoordinasi.

Umumnya fase faringeal berlangsung selama hampir 1 detik. Selama menelan, epiglotis

berpindah ke bawah, akibat kontraksi sfingter otot intrinsik laring termasuk aritenoid dan

epiglotis sehingga menutup selaput suara. Bersamaan dengan itu laring meninggi dan

tertarik ke depan menjauh dari jalannya bolus. Tujuan menelan pada fase faringeal adalah

untuk transport bolus secara sempurna melalui faring, krikofaring dan sfingter esofagus

atas.

Fase esofageal

Fase esofageal terdiri dari gelombang peristaltik yang otomatis membawa bolus ke dalam

lambung dan mencegah terjadinya risiko refluks esofageal, yaitu masuknya kembali bahan

makanan/minuman dari esofagus kembali ke dalam faring. Refluks gastroesofageal juga

dicegah oleh kontraksi tonik dari muskulus krikofaringeus. Kadang-kadang masih terjadi

refluks dalam jumlah kecil, namun dipandang normal pada bayi-bayi. Gelombang-

gelombang peristaltik berperan mendorong bolus melalui esofagus dan gastroesophageal

junction.

Keempat fase menelan ini berlangsung secara terkoordinasi dan berurutan satu sama lain

sehingga proses menelan berlangsung efektif dan aman tanpa terjadi komplikasi aspirasi.

Persarafan yang terlibat dalam koordinasi proses menelan ini dapat dilihat pada gambar 3.

Page 61: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 2. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan yang

normal.A. Fase oral.B. Fase awal faringeal.C. Bolus bergerak melewati faring. D.Bolus

memasuki esofagus E. Bolus didalam esofagus.

Jalur desending supranuklear

Kortikal dan subkortikal

Fasikulus solitarius

Traktus nukleus soliterius

Dan ventral medial

Formasi retikuler

Pola sentral generator

Nukleus motor

Saraf kranial

V,VII,IX,X,XII

Afferen primer

Saraf kranial

V,VII,IX,X,XII

Pons dan

medulla

Medulla

Efferen primer

Saraf kranial

V,VII,IX,X,XII

Page 62: Buku Ajar Gastroenterologi

Setiap gangguan yang menyebabkan tidak terkoordinasinya fase-fase menelan ini dengan

baik akan menyebabkan gangguan proses menelan atau disfagia.6,7 Patogenesis dan

patomekanisme gangguan itu dapat disebabkan oleh:

1. Kelainan anatomi saluran pencernaan dan saluran pernafasan atas (upper

aerodigestive) yang berhubungan dengan proses menelan baik yang dibawa sejak lahir

maupun yang didapat seperti agenesis, stenosis, defek anatomis, tekanan mekanik oleh

masa tumor, striktur karena trauma fisik maupun bahan kimia.

2. Gangguan neuromuskular baik sentral maupun perifer dari saluran pencernaan dan

saluran pernafasan atas yang berhubungan dengan proses menelan baik yang bawaan

maupun didapat seperti kelemahan otot-otot rongga mulut dan lidah (oral-motor

function) yang mencakup bibir, pipi, lidah, palatum, faring dan laring, esofagus, dan

gangguan motilitas esofagus, lambung dan duodenum (kelemahan kontraksi

peristaltik).

3. Faktor psikologis misalnya hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis.

Gejala Klinis

Gejala klinis disfagia dapat dilihat dengan melakukan pengamatan langsung pada bayi

dan anak yang sedang makan minum. Gejala klinis sangat bervariasi tergantung dari etiologi

yang mendasari timbulnya gejala disfagia. Selain gejala disfagia secara klinis, gejala penyakit

dasarnya dapat ditemukan. Pada pengamatan langsung bayi dan anak waktu makan dapat

dilihat gejala kesulitan menelan, disertai gejala lain seperti kesulitan makan, kesukaran

mengunyah, kesukaran mengisap, kesulitan menyusu, serta menolak makan dan minum.

Mungkin disertai liur yang menetes secara berlebihan atau makanan yang tumpah dari mulut,

adanya hambatan/sumbatan, batuk disertai tercekik, tedengar suara degukan, muntah sewaktu

makan atau disertai rewel setiap makan. Kadang-kadang mungkin ditemukan gejala-gejala

perilaku yang tidak normal waktu makan misalnya dengan mendorong lidah atau rahang,

makan hanya mau terhadap makanan tertentu saja, diikuti gejala komplikasi seperti berat

badan tidak bertambah sesuai umur (malnutrisisi ringan sampai berat) dan gejala infeksi

saluran pernafasan yang berulang atau kronis karena aspirasi. Dengan mengamati gejala klinis

yang ada dapat pula diperkirakan lokasi terjadinya gangguan misalnya menelan fase oral atau

fase faringeal. Bila penyakit dasarnya karena refluks gastroesofagus tampak bayi muntah tiap

habis minum, sedangkan pada anak mungkin memerlukan posisi tertentu waktu makan atau

menunjukkan gejala kegelisahan waktu makan.3,4,7

Diagnosis

Gambar 3.Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan sinyal afferen

antara lain saraf kranial,kortikal dan jalur subkortikal menuju Nukleus Traktus

Solitarius(NTS) dan Ventral Medial Retikular Formation(VMRF)(sist. generator

sentral). Sinap saraf efferen dengan Inti motor primer saraf pusat V,VII,IX,X dan XII.

Page 63: Buku Ajar Gastroenterologi

1. Aloanamnesis

Pendekatan diagnosis anak dengan disfagia harus dimulai dengan menanyakan riwayat

makannya. Namun untuk mendapatkan riwayat makan yang akurat mungkin mendapat

kesulitan karena berbagai alasan. Pertama anak dengan gangguan menelan yang berat

sering disertai keterbatasan kemampuan kognitif, yang menyebabkan komunikasi langsung

dengan penderita tidak memungkinkan. Karena itu riwayat makan harus didapat langsung

dari orang yang terlibat dalam pengasuhan anak seperti orang tua atau pengasuh. Kedua,

berdasarkan pengalaman, anak dengan gangguan menelan sering menderita aspirasi tanpa

menimbulkan batuk, suatu fenomena yang dikenal dengan silent aspiration.

Konsekuensinya sukar memprediksi dengan akurat apakah bahan makanan ditelan

semuanya tanpa adanya aspirasi, semata-mata hanya berdasarkan riwayat makannya atau

dengan pemeriksaan klinis saja.

Riwayat makan anak harus mencakup secara keseluruhan termasuk metode makan yaitu

makan menggunakan alat-alat tertentu, bagaimana posisi kepala, leher dan badan selama

makan, volume dari makanan yang ditawarkan, volume dari makanan yang ditolerir/yang

ditelan, serta konsistensi dari makanan yang ditawarkan dan yang ditolerir. Perlu digali ada

tidaknya proses mengunyah, waktu yang digunakan untuk makan, ada tidaknya riwayat

selain disfagia disertai odinofagia, ada tidaknya air liur menetes secara berlebihan (yang

diduga adanya gangguan menelan fase oral), riwayat adanya hambatan/sumbatan, tercekik

dan ada tidaknya suara degukan atau batuk yang berhubungan dengan makan. Apakah

keluhan-keluhan ini terjadi sebelum, selama atau setelah menelan, dapat membantu

menentukan fase dan lokasi yang dikenai. Keluhan-keluhan yang terjadi sebelum menelan

diduga kelainan kontrol oral, namun bila terjadi selama/sewaktu menelan menunjukkan

disfungsi fase faringeal. Tersumbat/terhambat dan tercekik setelah menelan dengan lengkap

mungkin terdapat gangguan pembersihan faring akibat kelemahan otot-otot menelan

dan/atau tidak adanya koordinasi otot-otot atau gangguan dari sfingter esofagus atas.

Makan yang berlangsung lebih dari 30 menit harus disadari oleh para klinisi kemungkinan

adanya disfagia. Adanya kelemahan mengisap, hilangnya kemampuan makan peroral,

kurangnya mengunyah atau makanan disimpan di pipi (pocketing food) mungkin terdapat

kelainan pada tingkat oral. Kelainan pada fase faringeal sering menimbulkan gejala

hambatan (gagging), batuk, tercekik dan distres pernafasan sewaktu makan. Makan disertai

muntah atau dengan melengkungkan badan, tercekik dan lekas marah (irritable) sering

terjadi karena kelainan fase esofageal seperti refluks esofagus. Di samping riwayat makan

minum, perlu ditanyakan pula penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya

trauma kepala, kelainan bawaan yang telah dikoreksi dengan operasi dan lain sebagainya.

Selain riwayat makan, yang sangat perlu ditanyakan adalah evaluasi nutrisinya secara

menyeluruh dari anak yang menderita gangguan menelan, karena tujuan akhir secara klinis

selain menegakkan diagnosis juga menentukan status nutrisi penderita sekarang. Tentukan

kalori dan protein yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan yang

optimal, dan perencanaan mendapatkan rute atau cara pemberian makan sementara.

Konsultasi dengan dokter ahli gizi anak akan membantu perencanaan program nutrisinya

secara konperehensif.3,4

2. Pemeriksaan fisik

Page 64: Buku Ajar Gastroenterologi

Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak dengan disfagia harus mencakup secara keseluruhan

sebagaimana pemeriksaan yang dilakukan secara rutin pada setiap bayi dan anak sakit.

Selain itu pemeriksaan harus mencakup struktur-struktur rongga mulut dan faring. Bila

didapat struktur yang abnormal dan/atau diduga ada kelainan di dalam faring, maka perlu

dilakukan konsultasi ke spesialis THT. Perlu dicatat ada tidaknya refleks

sumbatan/hambatan. Perlu diperhatikan apakah ada kelainan anatomi atau kelainan

struktur rongga mulut, misalnya akibat tekanan mekanik oleh tumor, serta adanya kelainan

struktur organ-organ yang mempengaruhi proses menelan. Perlu diperiksa adanya kelainan

karena trauma fisik maupun trauma bahan kimia (caustic agent) atau tanda-tanda infeksi

yang menyebabkan gangguan menelan. Lakukan pemeriksaan status gizi, dan perhatikan

ada tidaknya komplikasi seperti malnutrisi atau gejala penyakit paru kronis.3,4

3. Pemeriksaan percobaan makan

Hasil diagnostik uji coba makan sangat besar artinya dalam menilai gangguan yang terjadi

dan untuk perencanaan tatalaksana selanjutnya. Pengamatan uji coba makan harus bekerja

sama dengan spesialis terapi makan, spesialis terapi bicara dan berbahasa (speech-language

pathologist) atau dengan occupational therapist. Melalui pengamatan selama uji coba

makan dapat diketahui ada tidaknya kemampuan fungsi motor-oral yang sesuai dengan

umur. Kemampuan makan/minum peroral ini harus ditinjau secara rinci oleh masing-

masing spesialis dari tim pelaksana terapi. Selama uji coba makan/minum peroral perlu

dipantau dan dicatat kemungkinan adanya gerakan-gerakan abnormal, seperti memasukkan

atau mendorong rahang, mendorong lidah, ada tidaknya refleks tonik menggigit atau refleks

cengkeraman rahang. Adanya refleks yang seharusnya sudah menghilang sesuai umur,

seperti phasic bite reflex dan suckle feeding reflex yang merupakan refleks primitif, dapat

membantu perkiraan kelainan yang mendasarinya. Dengan memperhatikan gerakan-

gerakan rahang, gerakan mengunyah dan kemampuan gerakan-gerakan lidah, dapat dinilai

derajat berat ringannya gangguan dan perkiraan komplikasi yang mungkin terjadi akibat

disfagia.

Pada bayi, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama adanya keluhan disfagia waktu mengisap

puting susu ibu/dot susu botol. Tampak bayi menyusu tidak tahan lama, dan puting sangat

mudah dipindah-pindah atau dikeluarkan dari mulutnya. Sedikitnya jumlah gelembung

udara yang timbul di dalam botol susu selama minum susu botol atau bertambahnya

kehilangan cairan disekitar dot dan mulut, menggambarkan kelemahan mengisap.

Peningkatan jumlah menelan bolus pada berbagai macam tekstur makanan disertai suara

degukan setelah menelan menunjukkan adanya dugaan gangguan motilitas faring. Batuk

yang berlebihan selama minum, tercekik, nafas yang cepat, atau adanya hambatan mungkin

disebabkan disfagia daerah orofaring. Posisi kepala, leher dan badan selama makan/minum

peroral harus dicatat.3,4

4. Pemeriksaan videofluoroskopi

Pemeriksaan videofluoroskopi merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengevaluasi bayi

dan anak dengan gangguan menelan. Pemeriksaan ini memberikan arti yang terbaik dalam

Page 65: Buku Ajar Gastroenterologi

menentukan anatomi mulut, faring dan esofagus serta dapat memberikan bukti yang sangat

objektif ada tidaknya koordinasi yang baik dari fase-fase menelan oral, faringeal, maupun

esofageal. Melalui pemeriksaan ini dapat dideteksi episode-episode terjadinya aspirasi serta

membantu identifikasi ada tidaknya kontraindikasi pemberian makan/minum peroral.

Pemeriksaan videofluoroskopi selain bernilai untuk diagnostik juga berperan dalam

merekomendasikan terapi karena dapat menentukan karakteristik bolus makanan yang

aman untuk ditelan (besar bolus dan konsistensinya). Selain itu melalui pemeriksaan

videofluoroskopi dapat diputuskan perlu tidaknya tindakan medis maupun tindakan bedah

dalam tatalaksana penderita.

Pemeriksaan videofluoroskopi harus dikerjakan bersama-sama oleh tim, terutama terdiri

dari spesialis radiologi, spesialis teknologi radiologi dan spesialis terapi bicara dan

berbahasa (speech-language pathologist). Kesimpulan hasil pemeriksaan videofluoroskopi

secara rinci biasanya dilaporkan kepada seluruh tim terapi. Sayangnya pemeriksaan ini

melibatkan ekspansi radiasi yang sangat banyak. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang

memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi menelan dapat dilihat pada Tabel 3.2.3,4

5. Pemeriksaan diagnostik tambahan

Beberapa pemeriksaan menggunakan alat canggih lainnya mungkin diperlukan sebagai

tambahan, namun lebih banyak diindikasikan untuk diagnosis dan mengevaluasi penyakit

primernya, misalnya pemeriksaan CT scan bila dicurigai adanya tumor, pemeriksaan MRI

untuk melihat massa lunak, dan pemeriksaan USG untuk melihat penyempitan lumen.

Begitu juga dengan pemeriksaan endoskopi maupun pemeriksaan radiologi yang dilakukan

atas indikasi yang jelas.3,4

Tabel 3.2. Keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan

videofluoroskopi menelan

Kategori Keluhan-keluhan/gejala

Sewaktu makan Batuk, sumbatan, air ludah menetes berlebihan, hambatan yang

berlebihan, suara degukan yang keras, iritabel.

Menolak makan, kesadaran menurun, makan terlalu lama lebih dari 30

menit.

Keadaan paru Sering atau menderita pnemoni berulang, infeksi saluran pernafasan atas

berulang, penyakit paru kronis, infiltrat pada pemeriksaan foto toraks.

Kesehatan

umum dan

saluran cerna

Sering atau panas yang subfebril berulang, berat badan yang tidak naik.

Berat badan yang semakin turun, sering mual, refluks.

Page 66: Buku Ajar Gastroenterologi

Neurologis Gerakan mulut ang tidak terkoordinasi atau kelemahan, berkurang

sensasi mulut.

Struktur Dugaan adanya fistel trakeoesofagus, paralisis/ paresis selaput suara.

Sumber: Orenstein3

Terapi

Terapi gangguan menelan pada bayi dan anak memerlukan perencanaan yang tersendiri,

melihat kasus perkasus, karena dasar kelainan yang menyebabkan disfagia pada anak berbeda-

beda. Perencanaan terapi tergantung dari kelainan yang mendasari timbulnya disfagia, apakah

karena kelainan anatomis, perkembangan fungsi motorik dan koordinasi fase-fase menelan

yang belum baik, atau gangguan fungsi neuromuskular, dan harus jelas pula jenis defisit

neurologis yang terjadi. Sebelum merencanakan terapi harus dilakukan terlebih dulu evaluasi

secara menyeluruh penyakit yang mendasari timbulnya disfagia termasuk kronologi

perkembangan mental, status fisiologis, status psikologis dan perilaku anak. Kesemuanya itu

akan mempengaruhi program terapi, yang selanjutnya akan mempengaruhi pula tumbuh

kembang fisik maupun mental anak di kemudian hari. Karena itu, dalam perencanaan terapi

pada bayi dan anak dengan disfagia, perlu melibatkan berbagai spesialis ilmu secara tim

(interdisciplinary team), karena tujuan terapi bukan hanya terfokus untuk program tercapainya

makan/minum yang aman secara oral saja, namun juga mencakup kemampuan berbicara dan

berkomunikasi.

Harus diingat bahwa anak yang menderita disfagia sering disertai gangguan kognitif

(gangguan kemampuan berbicara, berkomunikasi dan gangguan perkembangan emosional)

yang memerlukan penatalaksanaan secara adekuat. Berbeda dengan terapi makan/minum,

tujuan utama terapi gangguan kognitif adalah melatih fungsi motorik mulut (oral motor

treatment) untuk mengembangkan koordinasi gerakan-gerakan mulut, sistem pernafasan dan

fonetik agar dapat berkomunikasi dan mendukung berkembangnya emosional anak dan

sekaligus tercapainya kemampuan makan peroral. Keberhasilan terapi sangat tergantung dari

pengalaman masing-masing para spesialis, karena itu untuk memaksimalkan keberhasilan,

pencapaian terapi perlu melibatkan berbagai spesialis dalam satu tim yang biasanya terdiri dari

spesialis perkembangan anak atau spesialis neurologi anak, spesialis gizi anak, occupational

therapist, dan spesialis untuk perkembangan motorik dan sensorik mulut seperti spesialis

patologi berbicara dan berbahasa. Konsultan untuk masalah yang khusus termasuk ahli

gastroenterologi, ahli pulmonologi, ahli THT, ahli radiologi, dan psikolog juga diperlukan

dalam tim.

Prinsip utama terapi bayi dan anak yang menderita disfagia adalah melakukan

pelatihan-pelatihan terhadap fungsi sensorik dan motorik mulut sehingga tercapai kemampuan

makan peroral yang aman tanpa terjadi komplikasi, sekaligus melatih kemampuan kognitif

sehingga tercapai perkembangan komunikasi dan emosional yang normal. Biasanya terapi yang

dianjurkan adalah terapi yang berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan dengan aman

(yaitu transfer makanan dari rongga mulut masuk ke dalam esofagus tanpa masuk ke dalam

Page 67: Buku Ajar Gastroenterologi

laring atau ke dalam trakea). Banyak teknik dilakukan untuk pelatihan makan peroral atau

stimulasi oral terutama untuk mengurangi rasa hipersensitivitas, stabilitas posisi tubuh dan

mengoptimalkan respon motorik dari mekanisme menelan peroral. Beberapa pilihan cara terapi

yang digunakan untuk anak dengan gangguan menelan dapat dilihat pada Tabel 3.3.3,8

Tabel 3.3. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan fungsi menelan

Sumber: Arvedson1

1. Pember

ian makan

melalui pipa

(feeding tube)

Untuk

tercapainya

kemampuan

minum peroral

yang efektif dan

aman pada bayi

dan anak

disfagia

diperlukan pelatihan-pelatihan khusus yang mencakup kemampuan fungsi sensorik dan

motorik mulut. Apabila kemampuan memperoleh kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi melalui

pelatihan minum/makan peroral, maka pemenuhan kebutuhan nutrisi sementara perlu

diberikan melalui jalur lain menggunakan pipa, baik pipa orogastrik (OG), nasogastrik

(NG), nasoduodenal (ND), nasojejunal (NJ) dan pipa gastrostomy (GT). Pilihan pemberian

makan melalui GT jarang dilakukan kecuali bila pemberian makan melalui OG dan NG

memerlukan waktu lama (beberapa minggu).

Pipa OG, adalah pipa yang dipasang melalui rongga mulut, faring, esofagus terus ke dalam

lambung. Biasanya pemberian minum melalui pipa ini dilakukan pada bayi prematur,

dengan keuntungan tidak menghalangi jalan nafas melalui hidung. Pipa harus diganti secara

teratur setiap 3-4 hari. Kerugian cara ini menyebabkan palatum mole tidak dapat menutup

secara aktif, mengakibatkan tidak cukupnya terbentuk tekanan di dalam rongga mulut yang

diperlukan untuk mengisap dan menelan dengan efisien. Komplikasi yang sering ditemukan

adalah muntah, refluks esofagus dan waktu pengosongan lambung yang lambat. Pemberian

minum melalui OG dan NG pada bayi selain mengganggu aktivitas mengisap dan menelan,

dapat menimbulkan iritasi yang tidak menyenangkan. Pemberian minum/makan melalui

ND, dilakukan dengan memasang pipa melalui hidung, faring, esofagus, lambung dan

duodenum atau terus melalui jejunum (NJ). Cara ini dilakukan bila terjadi refluks esofagus.

Pemasangan pipa ND dan NJ dilakukan dengan bantuan fluoroskopi.

Keuntungan pemberian makan minum melalui pipa OG, NG, ND atau NJ hanya bersifat

sementara dan pemasangannya tidak memerlukan tindakan bedah maupun anastesi.

Kerugian utama cara ini menyebabkan tidak adanya efek stimulasi sensorik maupun

1. Modifikasi bolus, modifikasi volume, modifikasi bagian-bagian bolus (misalnya

konsistensi bolus)

2. Pengaturan posisi kepala, leher, badan selama kegiatan makan minum

3. Penempatan bolus yang sesuai di dalam rongga mulut

4. Mengontrol stabilisasi rahang.

5. Memodifikasi sensitivitas mulut

6. Meniadakan kebiasaan-kebiasan perilaku makan yang abnormal

7. Sensitisasi/ stimulasi panas

8. Latihan-latihan menelan

- Resistensi lidah / gerakan-gerakan lidah

- Adduksi laring

9. Mengadakan gerakan-gerakan protektif seperti prosedur menelan supraglotik

(supraglottic swallow procedure)

10. Miotomi krikofaringeal

11. Mengisap makanan menggunakan valved feeding bottle

12. Mengusahakan makan pengganti secara oral dengan cara enteral

- Sonde lambung (nasogastric feeding)

- Tabung gastrostomi (tube gastrostomy / surgical or endoscopic

Page 68: Buku Ajar Gastroenterologi

motorik terhadap rongga mulut dan menyebabkan iritasi mukosa hidung dan faring bila

digunakan dalam jangka lama. Bayi juga akan merasakan gangguan yang tidak

mengenakkan karena insersi pipa pada kulit muka maupun disekitar mulutnya. Pemberian

makan minum melalui GT hanya dilakukan sebagai pengganti, bila pemberian makan

minum melalui OG, NG, ND maupun NJ memerlukan waktu lama lebih dari 3-6 bulan.

Keuntungan pemberian minum makan melalui GT adalah daerah yang mengalami

perlakuan terpisah jauh dari mulut sehingga bayi masih dapat berlatih menggunakan

sensasi dan motorik mulutnya secara menyenangkan.3,8,9

2. Terapi terhadap fungsi struktur anatomi.

Beberapa terapi yang ditujukan terhadap perbaikan fungsi rahang, bibir, pipi, lidah dan

palatum dapat dilihat dari tabel 3.4.

Tabel 3.4. Terapi motorik mulut dengan masalah struktur otomatis

Struktur Struktur Terapi

Rahang Daya dorong

Mencengkeram

Tarikan ke

dalam

Tidak stabil

Refleks

menggigit yang

kaku

Merangsang mulut dengan jari atau dengan mainan,

penyikatan gigi, meletakkan objek yang lembut diantara gigi.

Merangsang mulut dengan mainan agar membuka secara

berangsur-angsur, stimulasi yang menyenangkan pada muka.

Tidurkan dengan posisi telungkup, melakukan tarikan di

bawah rahang ke arah depan.

Latihan menutup rahang.

Berikan tekanan pada sendi temporomandibular, stimulasi

sensoris, menaruh sendok yang dibalut kasa di antara gigi.

Bibir Tarikan ke

dalam

Gerakan bibir

atas yang

terbatas

Memberikan getaran dengan ketokan jari pada pipi dan lidah,

latihan mengontrol rahang.

Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan temperatur,

melakukan tepukan dan ketokan jari, berikan minuman pakai

sedotan.

Pipi Tonus dan

sensoris yang

kurang

Ketokan dan tepukan pada sendi temporomandibular, berikan

makanan dalam berbagai tekstur dan temperatur.

Lidah Daya dorong

Kontrol rahang, latihan membersihkan cairan yang

dikentalkan pada bibir, menempatkan makanan disamping

gusi, latihan-latihan gerakan lidah ke lateral.

Menaruh sendok di tengah-tengah lidah dan menekannya ke

Page 69: Buku Ajar Gastroenterologi

Tarikan ke

dalam

Hipotoni

Penyimpangan

Gerakan terbatas

bawah.

Tidurkan dengan posisi telungkup, mengetok lidah dari

belakang ke arah depan, mendorong dagu ke posisinya waktu

berdiri tegak, tepukan di bawah dagu arah ke atas.

Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan rasa untuk

meningkatkan input sensoris.

Berikan makanan yang jumlahnya dinaikkan sedikit demi

sedikit.

Mempertahankan posisi kepala tetap di garis tengah, stimulasi

bagian lidah yang kurang aktif dengan jari, atau dengan

mainan, sikat gigi.

Berikan makanan dalam berbagai tekstur, temperatur dan

rasa, memberikan getaran pada lidah.

Palatum Refluks

nasofaring

Lakukan posisi tegak atau posisi telungkup, mengaktifkan

fungsi pipi dan lidah, berikan cairan yang dikentalkan (jika

menelannya normal).

Sumber: Arvedson1

3. Stimulasi mengisap dengan menggunakan bahan nonnutritive

Istilah nonnutritive sucking adalah semua yang mencakup pengisapan atau mengisap

berbagai obyek seperti dot, jari atau mainan. Hal ini berbeda dengan nutritive sucking yaitu

mengisap puting yang mengandung cairan (liquid), baik puting susu ibu maupun bentuk

puting yang lain. Gerakan-gerakan ritmik yang terjadi pada mulut bayi saat melakukan

nonnutritive sucking menunjukkan adanya kemampuan (skill) kesiapan minum peroral.

Kemampuan nonnutritive sucking ini dapat digunakan sebagai salah satu cara stimulasi

untuk melatih fungsi sensorik dan motorik mulut yang dapat dilakukan dalam berbagai cara

sesuai dengan jenis gangguan yang terjadi (Tabel 3.5). Para orang tua maupun pengasuh

dapat melaksanakan kegiatan stimulasi ini melalui pelatihan-pelatihan yang telah diberikan

oleh para spesialis.3,8

Tabel 3.5. Beberapa cara stimulasi nonnutritive

Teknik Kapan dilakukan Bagaimana melakukannya

Usapan pada muka Hipersensitif mulut Menggunakan telapak tangan

atau jari ritmik dari pinggir ke

arah mulut dengan kuat tetapi

lemah lembut.

Mengusap lidah Bayi irama mengisapnya Meletakkan ujung jari di tengah

lidah dan usapkan ke depan

Page 70: Buku Ajar Gastroenterologi

kurang dengan tekanan 4-6 kali tiap 1-2

usapan per detik.

Dot atau jari Bayi daya isap lemah, tidak

ada koordinasi, tidak ada

keinginan mengisap,

kurangnya tonus pipi.

Dot atau jari ditempatkan dalam

mulut dan pengasuh harus

mempertahankannya bila bayi

mendorongnya keluar.

Cotton swab dicelupkan

ke dalam air, susu

formula atau air susu

ibu

Bayi koordinasi mengisap

dan menelannya kurang,

sekuensial pernafasannya

tidak aman waktu minum.

Swab ditempatkan di tengah

lidah dengan tekanan ke bawah

sampai mengeluarkan sedikit

cairan dan diusapkan. Diulangi

sampai ditolerir dengan baik dan

menyenangkan.

Mengurangi stimulasi

sensoris

Kurangnya kemampuan

integrasi sensasi-sensasi

Mengurangi suara-suara gaduh,

derajat cahaya, bergoyang sambil

berjalan dengan irama tepukan,

mengikuti irama musik.

Sumber: Arvedson1

4. Terapi disfagia dengan tindakan bedah

Bila memungkinkan terapi ditujukan kepada penyakit primer yang mendasari timbulnya

disfagia, misalnya kelainan struktur esofagus dapat dilakukan tindakan dilatasi atau operasi,

gangguan neuromuskular karena tumor otak dilakukan operasi tumornya, dan gangguan

motilitas esofagus dapat dilakukan tindakan miotomi. Adakalanya tindakan bedah dapat

juga dilakukan pada gangguan menelan fase esofageal akibat refluks gastroesofageal berat

yang tidak bisa dikontrol dengan terapi konservatif.3

5. Terapi farmakologis

Beberapa kelainan yang menyebabkan disfagia dapat diterapi dengan menggunakan obat-

obatan (Pharmacologic treatment), misalnya disfagia yang disebabkan oleh penyakit

tetanus, polimiositis, hipertiroid, miastenia gravis dan lain-lain. Disfagia oleh karena

gangguan motilitas esofagus atau refluks esofagus dapat diberi obat-obat prokinetik seperti

motilin, cisapride, bethanecol, dan methoclopramide. Bila penyakit primernya infeksi maka

diberikan antibiotika yang sesuai.11,12

Prognosis

Prognosis tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya disfagia. Berat

ringannya penyakit serta kemampuan serta pengalaman tim pelaksana terapi sangat

menentukan keberhasilan terapi.

Page 71: Buku Ajar Gastroenterologi

Pecegahan

Belum ditemukan cara untuk mencegah terjadinya keluhan disfagia. Usaha pencegahan

ditujukan terhadap penyakit primernya yang menyebabkan gangguan neurologis yang

selanjutnya menyebabkan pula gangguan fungsi makan dan minum.

Daftar Pustaka

1. Brodsky L, Arvedson J. Introduction: Rationale for Interdisiplinary Care. Dalam Arvedson and Brodsky,

penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whurr Publishers. 1993: 1-4.

2. Rogers B, Campbell J. Pediatric and Neurodevelopmental Evaluation. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting.

Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 53-91.

3. Orenstein SR. Dysphagia and Vomiting. Dalam Wyllie R, Hyams JS. penyunting, Pediatric Gastrointestinal

Disiase. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 135-150. 4. Tuchman DN. Disorders of Deglutition. Dalam Walker WA, Durie DR, Hamilton JR,Walker Smith JA. Watkins

WA, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Patho Physiology-Diagnosis-Management, Toronto, BC

Decker Inc. 1991: 359-366. 5. Rossi T. Pediatric Gastroenterology. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and

Feeding, Assesment and Management, SanDiego, California, Whur Publisher. 1993: 123-156.

6. Arvedson J, Rogers B, Brodsky L. Anatomy, Embryology and Physiology. Dalam: Arvedson and Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding Assesment and Management, San Diego, California, Whurr

Publisher. 1993: 5-51.

7. Brodsky L, Volk M. The Airway and Swallowing. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding. Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 93-122.

8. Arvedson J. Management of Swallowing Problem. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and

Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 327-387. 9. Young C. Nutrition. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding,

Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 157-208.

10. Dorsey III JT. Prokinetic Agents. Dalam Van Ness MM, Gurney MS, Jones DM, penyunting. Handbook of Gastrointestinal Drug Therapy, 2nd Edit, London, Little Brown and Company. 1995: 319-327.

11. Patel AR, Snape WJ. Prokinetic Agents and Antiemetics. Dalam Wolfe MM, penyunting. Gastrointestinal

Pharmacotherapy, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 1-24.

Page 72: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB IV

ANOREKSIA PADA ANAK

I. Sudigbia

Ilustrasi Kasus

Anak laki-laki berusia 2 tahun dibawa neneknya ke poliklinik karena tidak mau makan,

lemah, kurus dan tidak bergairah. Neneknya mengatakan bahwa ibunya bekerja terus

seharian dan sering memarahi anak. Ayah si anak merupakan direktur perusahaan yang

jarang ketemu dengan anak. Ayah dan ibu anak ini sering bertengkar.

Pendahuluan

Masalah kesehatan anak di negara berkembang termasuk Indonesia diantaranya terjadi

karena interaksi antara infeksi, diare dan gizi. Pada umumnya penyakit infeksi dan diare

merupakan penyakit anak yang selalu diikuti gangguan pertumbuhan, sehingga keduanya selalu

membuka peluang timbulnya malnutrisi. Penyakit infeksi pada umumnya menyebabkan

berkurangnya masukan nutrien baik karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan

(anoreksia), sedangkan keluaran bertambah karena timbulnya demam dan atau pemakaian

tenaga karena batuk dan atau/sesak nafas yang menyebabkan meningkatnya katabolisme,

sehingga menyebabkan penurunan berat badan. Sedangkan pada diare masukan berkurang

karena: (1) turunnya nafsu makan yang disebabkan oleh karena turunnya sekresi asam

lambung, (2) mual karena peristaltik usus yang berlebihan, dan (3) berkurangnya asupan

makanan karena turunnya jumlah air susu ibu serta persepsi ibu yang ketakutan untuk

memberikan makanan kepada anaknya yang masih dalam keadaan diare. Disamping itu jumlah

keluaran pada penyakit diare masih meningkat dengan timbulnya penghamburan gizi karena

gangguan digesti dan absorbsi.

Melihat tinjauan diatas, hal tersebut merupakan kejadian yang dilematis karena kedua

penyakit tersebut berdampak pada peningkatan katabolisme, tetapi masukan makanan malah

turun karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan. Turunnya nafsu makan pada kejadian

di atas merupakan masalah yang sangat kompleks karena sangat dipengaruhi oleh interaksi

antara kondisi penderita, makanan dan pengasuh yang memberikan makanan, lebih-lebih pada

bayi dan balita.1,2,3

Page 73: Buku Ajar Gastroenterologi

Definisi

Untuk menegakkan definisi anoreksia pada dasarnya adalah sulit. Umumnya

anoreksia diartikan sebagai turunnya atau hilangnya nafsu makan serta tidak tertarik akan

makanan untuk menyantapnya. Istilah pseudoanoreksia sering dipergunakan pada manusia

atau binatang sebagai kesulitan makan karena tidak mampu untuk mengunyah dan/atau

menelan daripada tidak tertarik untuk menyantapnya. Sementara para ahli berpendapat

bahwa anoreksia pada bayi adalah hilangnya kemauan untuk makan, jumlah masukan makanan

menjadi sangat kurang dan berada di bawah kecukupan gizi, sehingga disertai dengan

penurunan berat badan yang bermakna setidaknya-setidaknya dalam waktu satu bulan.

Sedangkan menurut Alice Lawrence (2003) gangguan makan pada bayi dan anak sering diikuti

gagal tumbuh sehingga anoreksia infantil merupakan gangguan berisiko tinggi. Batasan

anoreksia infantil yang diajukannya adalah:

1. Penurunan berat badan yang nyata setidaknya dalam waktu satu bulan

2. Tidak disebabkan gangguan gastrointestinal, obat ataupun kekurangan makanan

3. Timbulnya sebelum umur 6 tahun

Apatis atau nafsu makan merupakan komponen sentral dalam kebijakan tentang jumlah

dan waktu pemberian makanan bayi. Apatis adalah perasaan sedikit lapar (mild hunger) dalam

memilih macam makanan. Lapar sering dihubungkan dengan konsep fisiologis, apatis

dihubungkan dengan kultur, sedangkan anoreksia diartikan dengan kehilangan apatis.

Manusia merupakan makhluk biopsikososiokultural spiritual, sehingga latar belakang

anoreksia pada manusia sangat kompleks baik secara fisik sebagai penyakit infeksi dan

noninfeksi serta aspek psikoemosional dan sosiobudaya sebagai hasil interaksi dengan

lingkungan. Pada anak dewasa timbulnya perasaan obsesif untuk menjadi kurus dan kebiasaan

membatasi jumlah makan untuk menurunkan berat badan menambah komplisitas timbulnya

anoreksia kronika serta anoreksia nervosa dan jenis-jenis lain kesulitan makan pada

anak.1,2,4

Patomekanisme

Makanan mencerminkan interaksi biologis dan budaya yang berpengaruh positif pada

angka kesakitan dan kematian anak. Perubahan makanan cair ke makanan padat pada bayi

merupakan fase perkembangan bayi dalam perubahan kematangan sosial dan kultural, bayi

harus belajar mengunyah, menelan, dan mencerna berbagai makanan berdasar kultur

daerahnya. Sehingga gangguan pertumbuhan dan kekacauan kebiasaan makan sering memberikan dampak yang serius. Lapar ádalah rasa keinginan (intrinsic desire) untuk makan,

apatis ádalah keinginan untuk makan sesuatu macam makanan tertentu, sedangkan kepuasan

(satiety) atau kenyang ádalah rasa penuh atau terpenuhinya keinginan makan. Apabila

beberapa jam tidak makan, lambung yang sedang dalam kondisi kosong akan mengalami

kontraksi ritmik dan keras yang terasa kencang serta sakit perut, disebut “suara lapar” atau

“kerongcongan” atau hunger pangs.3,4

Apatis sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran, anak akan mau

menerima makanan yang biasa diberikan kepadanya, tetapi kadang-kadang akan menolak bila

Page 74: Buku Ajar Gastroenterologi

makanan yang diberikan tidak seperti biasanya, karena terjadi penggantian macam, bentuk,

tekstur atau cita rasa makanan secara mendadak. Kondisi perut yang penuh, misalnya dalam 12

jam terakhir berkali-kali makan akan menurunkan apatis. Kadar gula dan asam amino darah

serta suhu badan akan berpengaruh pada perasaan lapar, kepuasan dan apatis. Sedangkan

perasaan lapar yang berkepanjangan akan menimbulkan kondisi apatis terhadap apatis.1,2,4

Timbulnya anoreksia pada umumnya sangat berhubungan dengan faktor-faktor

biopsikososiokultural spiritual. Faktor penyakit sistemik biologis baik sebagai infeksi,

noninfeksi dan penyakit keganasan sebagai faktor yang sering melandasi timbulnya anoreksia.

Tetapi faktor psikoemosional dan budaya yang berinteraksi dengan lingkungan sangatlah

berpengaruh pula.

Nafsu makan pada umumnya dikontrol oleh pusat kepuasan yang terletak di

hipotalamus medius dan pusat lapar di hipotalamus laterales. Hipotalamus juga mengontrol

pusat di bawahnya, terletak di batang otak yang bertanggung jawab untuk salivasi, pengunyahan

dan penelanan. Sedangkan pusat di atas hipotalamus bertanggung jawab terhadap apatis.

Mekanisme untuk menentukan macam makanan dituntun oleh memori, penglihatan,

penciuman, pengecapan dan perabaan. Sementara itu para ahli juga berpendapat bahwa pusat

nafsu makan juga dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, humoral,

baik dalam jaringan otak maupun jaringan lainnya. Faktor neurologis nafsu makan dan

perasaan lapar juga timbul karena pengaruh faktor gaster, distensi usus, hormon enterik

(insulin dan kolesistokinin), metabolit di hepar (sisa oksidasi energi dari sejumlah jaringan

adiposa), pengalaman citarasa dan tekstur makanan.2,4,5

Nakai (1999) mengutarakan bahwa anoreksia dengan penurunan berat badan yang

sering menyertai kejadian infeksi mempunyai mekanisme yang belum jelas. Beberapa sitokin termasuk TNF, IL-1, IL-6, IL-8 dan IFN-∂ telah terbukti mempengaruhi timbulnya anoreksia

dan kakeksia. Sitokin yang dilepaskan sebagai rekasi terhadap kejadian infeksi/ inflamasi akan

berpengaruh secara langsung pada otak sehingga menimbulkan anoreksia. Beberapa hormon

mempengaruhi pengaturan nafsu makan, diantaranya adalah corticotropin releasing hormone,

kolesistokinin, prostaglandin, glukagon, insulin dan kortikosteroid. Leptin (produk gen) yang

terjadi pada proses penumpukan lemak pada jaringan akan memberikan sinyal pada otak

melalui neurotransmiter pada hipotalamus akan terjadinya kecukupan masukan kalori sebagai

rasa kepuasan.5

Diagnosis Diferensial

Karena luasnya keterkaitan kejadian anoreksia, maka banyak ahli membahas bukan

anoreksia saja tetapi melalui pendekatan gangguan makan pada anak. Di Amerika Serikat,

sebelum diterbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders 4th edit. (DSM IV)

American Psychiatric Association (1994), diagnosis gangguan makan pada anak belum pasti

dan banyak penulis menyebutkan berbagai macam diagnosis, diantaranya: food refusal, food

aversion, food phobia dan problem eaters dan lain-lain. Bagaimanapun juga istilah

tersebut tidak mampu untuk membedakan bermacam kelainan gangguan makan pada anak.

Kelainan makan pada anak makin bertambah berat dengan timbulnya istilah gagal tumbuh

(failure to thrive = FTT) pada anak berumur di bawah 3 tahun yang mengalami kenaikan berat

Page 75: Buku Ajar Gastroenterologi

badan tidak adekuat. Gagal tumbuh dan gangguan makan pada anak sering dianggap sinonim

dan tidak selamanya kelainan makan pada anak menyebabkan FTT atau sebaliknya FTT karena

kelainan makan. FTT hanya merupakan diagnosis morfologis dan tidak mendeskripsikan

tentang proses terjadinya. Diagnosis gangguan makan pada anak menurut proses kejadiannya:

(1) organic FTT (FTT) dan (2) nonorganic FTT (NOFTT), dimana NOFTT adalah gagal tumbuh

tanpa etiologi medik dan diperkirakan bahwa NOFTT tersebut disebabkan oleh maternal

deprivation (kehilangan perhatian ibu).4,7

Blackman (1993) mengetengahkan mekanisme timbulnya gangguan makan pada bayi

dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor: (1) ketakutan, (2) anoreksia, (3) perkembangan,

(4) obstruksi, dan (5) kesakitan.4

Alice Lawrence (2003) membagi mekanisme gangguan makan berdasarkan penemuan

Chatoor (1984) sebagai gangguan makan pada bayi dan anak (toodler) yang mengalami

kenaikan berat badan tidak adekuat selama satu bulan serta bukan disebabkan kelainan organik

dan timbul sebelum umur 6 tahun. Pembagian tersebut adalah: (1) gangguan makan

homeostasis (feeding disoder of homeostasis), (2) gangguan makan karena kasih sayang

(feeding disorder of attachment) dan (3) gangguan makan karena perpisahan (feeding

disorder of separation) atau anoreksia infantil (infantil anorexia). Ketiga macam

gangguan makan tersebut dipilah dengan pendekatan tinjauan terhadap interaksi anak dan

ibu.2,7

1. Gangguan makan homeostasis:

a. Timbulnya pada waktu lahir sampai berumur 3 bulan

b. Masukan sedikit dan pola makan tidak teratur

c. Waktu makan bayi rewel, mudah capai dan mengantuk

d. Gagal tumbuh

e. Orang tua ketakutan, depresif serta kurang peka terhadap isyarat bayi

2. Gangguan makan karena kasih sayang:

a. Timbulnya antara umur 2 – 8 bulan

b. Respons bayi terlambat, kontak mata, senyum, dan lambat mengoceh

c. Perkembangan motorik dan kognitif terlambat

d. Gagal tumbuh

e. Orang tua biasanya menderita depresi, gangguan kepribadian dan psikososial stres

sehingga dalam perawatan makan anak terganggu dan tampak kurang kasih sayang.

3. Anoreksia infantil

Anoreksia infantil sebagai gangguan makan karena pemisahan atau separasi yang ditandai

dengan penolakan makan oleh bayi karena konflik berat antara hubungan ibu dengan anak

tentang otonomi, ketergantungan dan pengawasan. Keadaan tersebut muncul setelah anak

mampu mengatur dirinya dan membentuk ikatan dengan pengasuh utamanya.

a. Timbulnya pada umur 6 bulan – 3 tahun, pada periode perubahan ke tahap

kemampuan untuk makan sendiri.

b. Penolakan makan oleh bayi, baik karena pergantian macam makanan atau pergantian

pengasuh.

c. Gagal tumbuh.

Page 76: Buku Ajar Gastroenterologi

d. Perkembangan pada umumnya normal, kecuali pada kasus malnutrisi berat terjadi

keterlambatan motorik dan bicara.

e. Ibu merasa bahwa nafsu makan (apatis) anaknya rendah, rewel dan selalu minta

perhatian serta selalu menolak keinginan ibu. Sedangkan ibu selalu memaksa anaknya

untuk makan walaupun dengan disertai memberikan mainan. Penolakan makan tadi

tidak disebabkan oleh traumatik fisik ataupun kelainan organik, tetapi hubungan ibu

dan anak cenderung kurang lentur karena ibu selalu memaksakan kehendaknya yang

disertai marah dan kurang mengikuti keinginan anak. Nampaknya anak dengan

anoreksia infantil mengalami kesulitan dalam perkembangan pada tahap periode

perpisahan dan otonomi sehingga kemudian akan tumbuh dengan temperamen yang

mungkin menyulitkan.

4. Anoreksia nervosa8,9

Anoreksia nervosa adalah kelainan makan yang ditandai dengan keinginan obsesif untuk

tetap kurus, sama sekali tidak menghiraukan kebiasaan makan dan penurunan berat badan

dan mempunyai dampak yang kuat terhadap perubahan psikologis dan fisiologis. Anoreksia

nervosa adalah penyakit yang akan mempengaruhi seluruh sistem organ, terutama

kardiovaskular dan sistem endokrin. Anoreksia nervosa sering diikuti oleh komplikasi organ

diantaranya adalah pencernaan, ginjal, reproduksi, neurologis, orofasial. Pada umumnya

banyak diderita oleh gadis, sex ratio laki-laki : perempuan adalah 1:10, umur tidak terbatas

yang dimulai sejak dewasa (adolescent). Riwayat penyakit sangatlah penting untuk

keberhasilan rencana pengobatan dan bukan untuk menelaah kelainan makan saja. Aspek-

aspek penting adalah assesemen medik, yang berfokus pada komplikasi kekurangan nutrisi

dan detail mengenai penurunan berat badan.

Gejala klinis :

a. Gejala vital: hipotensi, bradikardi, hipotermia

b. Kulit kering, hiperkarotin, lanugo, akrosianosis

c. Buah dada menyusut

d. Kelenjar paratiroid dan kelenjar submandibular membengkak

e. Keluaran kardiak (komplek QT) memanjang, masa ventrikular berkurang, katup mitral

kolaps (Echo)

f. Gejala dilatasi usus sebagai kostipasi dan berkurangnya motilitas usus

Gejala kesehatan mental: Inti dalam penyusunan diagnosis kesehatan mental adalah

mencari adanya kelainan emosional dan sikap, penilaian resiko terjadinya bunuh diri, serta

menggali konteks psikososial dari gejala-gejala.

Penyebab anoreksia nervosa adalah kompleks, meliputi isu biologis, psikologis dan sosial

dan lebih ke arah kelainan mental daripada kelainan perkembangan. Sehingga dalam

menelaah penyebabnya dapat dikelompokan dalam faktor-faktor predisposing,

precipitating dan perpetuating.

Page 77: Buku Ajar Gastroenterologi

a. Predisposing factor (faktor yang memudahkan timbulnya): gadis, risalah dari keluarga

dengan personalitas perspektif, gangguan komunikasi dengan emosi negatif, kesulitan

memecahkan masalah dan empati yang rendah.

b. Precipitating factor (faktor yang sering berhubungan): gadis berumur 10 – 18 tahun

dengan gangguan seksualitas, konflik identitas, masalah otonomi kebebasan dan

masalah perjodohan dan perkawinan..

c. Perpetuating factor (faktor rumatan): isu emosio-biologis pada fase pemberian

makanan pada keadaan malnutrisi atau isu psikologis pendekatan sistem dalam

keluarga.

Maka secara singkat, diagnosis diferensial anoreksia sebaiknya melalui pendekatan

gangguan makan pada anak atau turunnya apatis, sebagai berikut:

1. Kelainan organik

a. Penyakit infeksi:

i. Sistemik: tifus, proses spesifik

ii. Organik: hepatitis, enteritis, tukak lambung

b. Non-infeksi : karies, aphtoe, lingua geographica, vertigo

2. Kelainan metabolik: bilirubinemia, uremia, anemia dan rendahnya kadar besi serum

3. Keganasan: lokal maupun sistemik

4. Hubungan anak-ibu (maternal deprivasion)

a. Anoreksia homeostasis

b. Anoreksia karena kurangnya kasih saying (attachment)

c. Anoreksia infantil (infantile anoreksia)

5. Anoreksia nervosa

Penatalaksanaan Anoreksia Anak

Penatalaksanaan anoreksia anak lebih mementingkan keberhasilan dalam meningkatkan

nafsu makan anak daripada secara teliti mencari penyebabnya.10 Pemeriksaan, baik secara klinis

maupun psikologis, selain menentukan penyebab yang multi kompleks juga memeriksa akibat

dari anoreksia yang telah berlanjut itu.11, 12 Tahapan penatalaksanaan adalah:

1. Umur (bayi, toodler, anak sekolah, dewasa muda atau dewasa)

2. Hubungan antara anak, orang tua atau pengasuh, dan makanan.

3. Pada anoreksia anak, sangat mutlak untuk melihat hubungan anak dan makanan, baik fisik

makanan sebagai macam, citarasa, bentuk dan rupa, juga waktu dan cara penyajian

sangatlah penting. Dari pemeriksaan secara klinis dan laboratoris serta penunjang dapat

ditelusuri faktor penyebab anoreksia yang kompleks tersebut serta komplikasinya.

Pemeriksaan psikologis, psikiatris serta pendekatan sistemik (systemic approach) ibu,

bapak, pengasuh dan lingkungan keluarga mutlak dilakukan.

4. Pemeriksaan fisik, laboratoris dan penunjang diperlukan untuk menentukan faktor

penyebab, akibat ataupun komplikasi yang terjadi.

Ringkasan

Page 78: Buku Ajar Gastroenterologi

Anoreksia pada umumnya diartikan sebagai berkurangnya nafsu makan (apatis), dan

nafsu makan tersebut sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran yang

dikontrol oleh pusat lapar di hipotalamus lateralis dan pusat kepuasan di hipotalamus medialis.

Pusat di hipotalamus tadi mengontrol pusat di atasnya yang bertanggung jawab terhadap pusat

salivasi, pengunyahan dan penelanan. Disamping itu nafsu makan juga dipengaruhi oleh

gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, dan hormonal, diantaranya adalah sitokin,

termasuk THF, IL-1, IL-6, IL-8 dan INF-∂. Nafsu makan yang berkurang atau anoreksia sangat

dipengaruhi oleh sifat manusia sebagai mahkluk biopsikososiokultural spiritual, sehingga untuk

menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya selayaknya melalui pendekatan tersebut.

Secara praktis telaah anoreksia dilakukan melalui pendekatan gangguan makan sebagai:

1. Kelainan organik: penyakit infeksi dan non infeksi.

2. Kelainan nonorganik sebagai metabolik, keganasan, dan gangguan psikoemosional sebagai

hasil interaksi antara anak dengan orang tua atau pengasuh. Faktor tersebut akan

berpengaruh pada perkembangan anak, baik pada periode penyapihan maupun remaja.

Penatalaksanaan anoreksia secara umum harus sangat terkait dengan analisis faktor tersebut

diatas, diperdalam dengan pemeriksaan yang detil sehingga dapat memberikan tindakan yang

menyeluruh.4,6,11

Daftar Pustaka

1. Abraham S, Jones D. Eating Disorders, The Facts. Oxford University Press. 1992: 47-57. 2. Blackman. Children Who Refuse Food. Comtamporary Pediatric Archive. October. 1993.

3. Chatoor I. Non-organic failure to thrive: A developmental Perspective Pediatric Annals. 1984: 13: 829-834.

4. Harrington DP. Anorexia. http://www.vetmedcenter.com. 2000. 5. Kerwin MLE. Empirically Supported Treatment in Pediatric Psychology. Journal of Pediatric Psychology. 1999;

24(3): 193-214. 6. Kleinman RE. Pediatric Nutrition Handbook. Amer Acad of Ped. 1998: 328–329.

7. Lawrence A. Feeding Disorders of Infant and Toodlers in The Child Advocate. Penn State College of Medicine.

2004.

8. Limburt JDA. Eating Disorders: Anorexia. http://www.eMedicine-Eating Disorders.com. 2003. 9. Maloney MJ. Treament Sequence for Severe Weight loss in anorexia nervosa. Int Journal of Eating Disorders.

1983; 2(2): 53-58.

10. Nakai Y. Plasma Concentrations of Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-alpha) and Soluble TNF Receptors in Patients with Anorexia Nervosa. J Clin Endocrinol Meta. 1999; 84(4): 1226-1228.

11. Robin AL. Treatment of Eating Disorders in Children and Adolescents. Clinical Psychology Review. 1998; 18(4): 421-446.

12. Stoppler, Melissa Conrad. Anorexia Nervosa. www.Medicinenet.com. August 2, 2009.

Page 79: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB V

GAGAL TUMBUH PADA PENYAKIT GASTROINTESTINAL

Rusdi Ismail

Ilustrasi kasus

Seorang anak perempuan berkonsultasi pertama kali pada usia 6 bulan. Sejak bayi menderita

batuk hilang timbul 2-3 kali sebulan, kadang-kadang nafas berbunyi, terutama di malam

hari. Berat badan lahir 3300 g (>persentil 50 standar NCHS), panjang badan 51 cm

(>persentil 50). Berat badan sulit sekali naiknya. Saat pemeriksaan awal berat badan hanya

4100 g (< persentil 3), panjang badan 66 cm (pada persentil 25), lingkar kepala 43 cm

(>persentil 25). Anak belum bisa tengkurap. Dari lahir diberi ASI, tetapi karena berat badan

tidak naik, dibantu susu botol sejak usia 3 bulan. Kadang-kadang anak mengalami gumo.

Tidak ada manifestasi atopik lain pada anak. Riwayat reaksi atopik pada ibu dan ayah juga

negatif. Berdasarkan observasi refluks sehabis minum, ditegakkan diagnosa klinis: anak

menderita batuk berulang yang dipresipitasi refluks gastro-esofageal. Dengan terapi obat

prokinetik, pengaturan posisi dan nasihat makanan, pada usia 12 bulan berat badan naik

menjadi 8900 g (>persentil 10), panjang badan 74 cm (>persentil 25), lingkar kepala 46 cm

(pada persentil 25), dengan berat badan untuk tinggi > persentil 25) dan anak telah kuat

merangkak.

Pendahuluan

Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan

(dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor penentu

keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku dan bahan

bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan pemacu spektrum

dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat mengganggu dan merusak struktur dan

fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada kedua faktor penentu pertama

dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat atau menghambat proses

tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria tertentu, dinamakan anak

menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini lazimnya saling terkait. Misalnya

kecukupan gizi mempengaruhi prevalensi penyakit; tingkat rasa aman dan stabilitas emosi

mempengaruhi nafsu dan kapasitas makan; dan penyakit tertentu dapat mengubah pola

perilaku anak.

Dapat dimengerti bahwa penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan GT. Di lain pihak

setiap GT, apapun penyebabnya, dapat menimbulkan kelainan struktur dan fungsi saluran

pencernaan. Lebih dari itu rehabilitasi gizi lazimnya merupakan pintu masuk dalam

Page 80: Buku Ajar Gastroenterologi

menanggulangi GT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh GT memiliki dimensi

gastroenterologi.1,2,3

Definisi

GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara

signifikan. Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait

dengan GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi "kerempeng") mengacu pada

keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi "kerdil") mengacu pada hasil akhir, (3)

catching up (diterjemahkan menjadi "kejar tumbuh") mengacu pada pencapaian upaya

rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi anak

dapat terlihat "kerempeng". Meski kecepatan tumbuh kembang dapat dipacu kembali menjadi

normal, jika "kejar tumbuh" tidak terjadi, anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang

potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya dan dalam keadaan ekstrim dapat

dikelompokkan sebagai "kerdil".

Batasan operasional GT adalah nilai indikator tumbuh kembang yang dipakai berada

dalam persentil ketiga atau menurun lebih dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan

pada anak usia kurang dari 6 bulan dan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas.1,2,3

Kejadian

Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang

dilakukan tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3

tahun dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (tabel 10.1).

Tabel 5.1. Prevalensi stunting pada usia 3 tahun

Negara Tahun Persentase

Etiopia 1982 42

Zambia 1972 44

Nigeria 1980 28

Bolivia 1981 60

Peru 1985 52

Jamaika 1970 9

Bangladesh 1983 79

Indonesia 1977 79

Mesir 1978 37

Page 81: Buku Ajar Gastroenterologi

Pakistan 1984 14

Palestina 1984 17

Filipina 1982 43

Papua New

Guinea

1970 57

Sumber: WHO4

Sebagian besar anak yang kerdil ini nantinya setelah dewasa tidak kelihatan sakit. Ada

yang memakai istilah small but healthy. Beberapa studi memperlihatkan disamping lebih

pendek, anak yang kerdil kemampuan fisiknya lebih rendah, IQ rata-ratanya lebih rendah, serta

kemampuan imunitasnya terbatas. Kinerja mereka juga lebih rendah. Angka kematian mereka

jauh lebih tinggi. Jelas bahwa pencapaian potensi dewasa mereka tidak sesuai dengan potensi

genetiknya. Satyanarayana dari India menyimpulkan telah terjadi suatu adaptasi biologis

sehingga mereka tetap kelihatan sehat tetapi semuanya bergerak dalam skala yang lebih

rendah.4,5

Data pada tabel 10.1 menunjukkan 79% anak Indonesia pada usia 3 tahun pada tahun

1977 dikategorikan kerdil. Prosentase ini mungkin terlalu tinggi, antara lain karena standar

yang dipakai berdasar data NCHS, yang mungkin terlalu tinggi untuk anak Indonesia.

Bagaimanapun kita yakin permasalahan yang dihadapi dunia berkembang sebagaimana

diuraikan di atas kita temukan pula di Indonesia. Data dari beberapa negara (gambar 5-1)

menunjukkan terdapatnya perbedaan tinggi sekitar 10 cm pada anak usia 7 tahun antara anak

dari keluarga mampu dan keluarga miskin. Pada awal milenium ketiga ini sekitar 20%

penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.5

Gambar 5.1. Tinggi rata-rata anak usia 7 tahun golongan sosial ekonomi tinggi() dan rendah()

Brazil Kostarika Guatemala Haiti Jamaika Nigeria India Hongkong

cm 123

50 - persentil

122

119

25

117

Page 82: Buku Ajar Gastroenterologi

115

10

113

5

111

109

Etiologi

GT hanyalah kumpulan gejala. Spektrum penyebabnya sangat luas dan saling

berinteraksi. Lazimnya dikelompokkan menjadi dua, kelompok non-organik dan kelompok

organik.

Kelompok non-organik umumnya muncul berupa penyimpangan pola asuh dan/atau

interaksi ibu dan anak yang bermuara pada kurangnya pasokan gizi dan penyimpangan

stimulasi fisik dan psikososial.

Berbagai kelainan pada semua organ dan sistem dapat menimbulkan GT (kelompok

penyebab organik), termasuk kelainan gastrointestinal. Untuk membantu sistematika

pendekatan diagnostik, kelainan gastrointestinal dapat dipilah mejadi:

1. Kelainan organik atau fungsional yang mengganggu fungsi motorik saluran pencernaan,

yang mengakibatkan gangguan pasase makanan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua

tingkatan saluran pencernaan, mulai dari palato-gnato skhisis, striktura esofagus,

khalasia/akhalasia, refluks, pseudoobstruksi, penyakit Hirsprung, termasuk sindroma usus

iritabel dan lain sebagainya.

2. Kelainan organik/fungsional yang menimbulkan gangguan fungsi sekresi dan digesti.

Lazimnya berupa kelainan kongenital atau berupa gangguan metabolisme bawaan lahir.

Misalnya akhlorhidria, gangguan glikosilasi kongenital, hipobetalipoproteinemia kongenital,

dan lain sebagainya.

3. Inflamasi non-infektif dan infeksi spesifik saluran pencernaan. Termasuk penyakit Crohn,

penyakit inflamasi kolon, serta infeksi Helicobacter pylori.

4. Lingkaran setan kompleks diare-MEP (malnutrisi energi protein)-infeksi.

Di negara maju sebagian besar GT disebabkan kelainan non-organik. Di negara berkembang

sebagian besar GT disebabkan oleh kompleks diare-MEP-infeksi. Jauh lebih tingginya kejadian

GT/kerdil di negara berkembang, disamping disebabkan besarnya peranan kompleks diare-

MEP-infeksi, juga disebabkan terlambat dan kurang adekuatnya penanggulangan penyakit

organik, misalnya terlambatnya tindakan koreksi pada kelainan jantung bawaan.1,3,6

Page 83: Buku Ajar Gastroenterologi

Patogenesis

Baik pada kelainan non-organik maupun pada kelainan organik, kurangnya pasokan gizi

dibandingkan dengan kebutuhan merupakan mekanisme utama munculnya GT.

Terdapat interaksi timbal balik antara hubungan ibu dan anak. Ibu harus reseptif dan

responsif terhadap berbagai bentuk komunikasi anak (tawa, tangis, mimik, celotehan, dsb),

termasuk ungkapan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anak yang mencakup kebutuhan

akan makanan, tidur, lingkungan yang higienis dan hangat, proteksi terhadap rasa sakit, trauma

dan penyakit. Ibu juga harus reseptif dan responsif dalam berinteraksi secara psikis dan

emosional dengan anak agar anak senang dan puas. Kegagalan interaksi ini dapat dalam bentuk

kuantitas, sehingga kebutuhan fisiologis dan atau psikologis anak tidak terpenuhi. Dalam

kondisi yang ekstrim dinamakan terjadi deprivasi pada anak. Tetapi kegagalan juga dapat

terjadi pada ketidakserasian pola kepribadian/perilaku anak dengan perilaku/ekspektasi ibu.

Kegagalan interaksi ini dapat menimbulkan anoreksia, rasa tidak aman, ansietas, depresi,

menarik diri dan lain sebagainya pada anak. Gangguan proses interaksi dan pola asuh ini dapat

menimbulkan berkurangnya pasokan nutrien serta gangguan pola stimulasi yang dapat

bermuara pada GT.

Kelainan atau penyakit dapat menimbulkan kurangnya makanan yang disediakan,

anoreksia, gangguan digesti dan absorpsi, kehilangan nutrien serta meningkatnya kebutuhan.

Lebih dari itu defisit dan gangguan stimulasi, baik fisik maupun psikososial tidak hanya

berpengaruh pada pola perkembangan fungsi tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan fisik.

Pada kelainan organik tertentu, meskipun pasokan gizi dan stimulasi cukup, GT dapat

muncul. Misalnya akibat defisiensi enzim atau kelainan hormonal. Kelainan enzim atau hormon

ini tetap mempunyai dimensi gizi, karena patogenesisnya mencakup gangguan pendayagunaan

nutrien tertentu.2,3,7

Penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan: (1) gangguan fungsi motorik, baik berupa

obstruksi, gangguan propulsi, maupun menurunnya kapasitas tampung, dan (2) gangguan

digesti dan absorpsi; yang akhirnya bermuara pada berkurangnya absorpsi nutrien.

Patogenesis kompleks diare-MEP-infeksi tercermin dalam konsep yang dikembangkan

kelompok kerja Lebenthal (gambar 10.2), dimana kerusakan/atrofi mukosa usus dianggap

merupakan titik sentral dari lingkaran setan keadaan patologis yang ditimbulkan diare yang

mencakup malabsorpsi, gangguan hormonal, infeksi berulang, tumbuh ganda, absorpsi protein

asing yang menimbulkan reaksi alergi, dan gangguan regenerasi vili. Semuanya dapat bermuara

pada semakin beratnya MEP. Jika berlanjut dapat berakhir dalam bentuk GT.

Gambar 5-2. Lingkaran setan kompleks diare–MEP–infeksi.

Malabsorpsi

nutrien

Page 84: Buku Ajar Gastroenterologi

Lazimnya munculnya kompleks diare-MEP-infeksi dipicu oleh munculnya diare atau

infeksi tertentu, misalnya morbili. Sebagian besar GT menimbulkan kurang gizi, sehingga

apapun etiologinya, khususnya di negara berkembang, GT yang disebabkan kelainan organik

atau non-organik dapat diperberat oleh kompleks diare-MEP-infeksi.2,3,7

Manifestasi Klinis

Anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Melalui pengukuran antropometrik dan

diplot pada grafik tumbuh kembang yang sesuai, anak yang kelihatan kecil ini dapat dipilah

menjadi MEP, pendek atau dismorfi. Temuan MEP mungkin disertai gejala terkait, misalnya:

edema, rambut jarang mudah dicabut, lemak subkutan menipis, distrofi otot, dan lain

sebagainya. MEP tentu dapat disertai dengan gejala spesifik defisiensi mikronutien, misalnya

gejala avitaminosis. Lebih lanjut manifestasi MEP dapat disertai dengan gejala yang terkait

dengan kompleks diare-MEP-infeksi.

Pendek atau dismorfi dapat ditemukan pada kelainan metabolik/neuroendokrin. Tentu

dapat pula ditemukan kelainan lain sesuai faktor penyebab.

Anak dapat kelihatan gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan

diam. Temuan ini lazimnya berkaitan dengan latar belakang psikososial ibu yang tercermin

dalam pola asuh serta pola interaksi ibu dan anak.

Gejala penyebab organik bervariasi sesuai jenisnya. Gejala yang terkait kelainan

gastrointestinal dapat didentifikasi secara sistematis melalui penelusuran gejala terkait yaitu

makan/menelan, defekasi, muntah, diare, sakit perut dan lain sebagainya.1,7

Diagnosis

Kerusakan mukosa

usus berlanjut

Absorpsi protein

asing

Malnutrisi

energi protein

Insufisiensi

hormon enterik

Infeksi dan

tumbuh ganda

Gangguan

regenerasi vili

Page 85: Buku Ajar Gastroenterologi

Petunjuk atau kecurigaan klinis bahwa kita mungkin berhadapan dengan GT adalah

anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Sebagai tindak lanjut ada tiga aspek diagnostik

yang harus ditegakkan. Pertama, menetapkan apakah telah terjadi GT, untuk memacu kita

melakukan langkah penanggulangan dan pencegahan agar "kejar tumbuh" dapat menjadi

maksimal dan risiko terjadinya "kerdil" menjadi minimal. Kedua, mengelaborasi permasalahan

klinis yang dihadapi anak sehingga langkah pemulihan dan rehabilitasi dapat direncanakan.

Ketiga, menetapkan faktor penyebab sehingga disamping terapi kausal, langkah pencegahan

dan promotif dapat direncanakan.8

Diagnosis GT ditegakkan berdasarkan pengukuran antropometrik. Indikator utama yang

dipakai adalah umur, berat dan panjang/tinggi. Dengan membandingkannya dengan nilai

standar (lazim dipakai data NCHS) diterjemahkan menjadi tiga indikator: berat untuk umur,

tinggi untuk umur dan berat untuk tinggi. Indikator berat untuk tinggi lebih mencerminkan

keadaan patologis sewaktu, sehingga lebih lazim dipakai sebagai dasar diagnosis GT.

Nilai yang didapat diplot dalam grafik pertumbuhan. Ada dua cara membuat acuan

kurva baku pertumbuhan: (1) berdasarkan simpangan dari mean, kurva baku atas = mean +

2SD, diikuti mean + 1SD, mean, mean - 1SD dan kurva paling bawah mean - 2SD, (2)

berdasarkan persentil dimana kurve paling atas = sentil 97, diikuti sentil 75, sentil 50, sentil 25

dan sentil 3. Anak dengan kurva pertumbuhan berdasarkan berat untuk tinggi, berada di bawah

sentil 3 atau mean - 2SD, atau kurva pertumbuhannya turun melewati dua garis baku kurva

pertumbuhan berturut-turut selama dua bulan pada anak berusia kurang dari 6 bulan, atau

berturut-turut 3 bulan pada anak usia 6 bulan atau lebih dianggap telah menderita GT.

Berdasarkan kriteria di atas diagnosis GT membutuhkan pengamatan longitudinal.

Tetapi secara klinis kita dapat menegakkan diagnosis GT berdasarkan riwayat sehingga

berdasarkan pengamatan retrospektif dapat diperkirakan telah terjadi hambatan pertumbuhan

yang telah berlangsung lama, sehingga dapat diperkirakan telah memenuhi kriteria diagnostik

di atas.

Indikator tinggi untuk umur dan berat untuk umur tetap bermanfaat untuk dianalisis

untuk lebih memahami proses gangguan pertumbuhan yang terjadi serta faktor penyebabnya.

Pemahaman akan lebih rinci jika dibantu dengan pengukuran lingkar kepala, tebal lemak

subkutan, serta proporsi bagian tubuh.

Indikator perkembangan fungsi, meskipun tidak dipakai untuk menegakkan diagnosis

GT karena lebih bersifat kualitatif tetap harus dinilai, misalnya dengan memakai standar DDST.

Keberhasilan penanggulangan dinilai tidak hanya melalui perbaikan indikator antropometrik,

tetapi juga melalui indikator fungsi.6,8

Kondisi klinis anak sangat tergantung pada faktor penyebab dan penyakit penyerta yang

harus dielaborasi gejalanya dan ditegakkan permasalahan yang ditimbulkannya. Kita harus

mengelaborasi sampai di mana telah terjadi gangguan fungsi vital serta muncul keadaan yang

membahayakan kehidupan seperti hipoglikema atau hipotermia sehingga langkah resusitasi dan

stabilisasi dapat segera dilakukan. Nafsu makan, kemampuan makan dan kemampuan

pencernaan anak harus dinilai sehingga langkah rehabilitasi gizi dapat dimulai. Kedaruratan

serta gangguan makan ini umumnya terkait dengan kompleks diare-MEP-infeksi. Bagi kita di

negara berkembang penting untuk mengelaborasi sampai di mana kompleks diare-MEP-infeksi

Page 86: Buku Ajar Gastroenterologi

telah berkembang, termasuk sampai di mana manifestasi defisiensi mikronutrien menjadi

masalah. Lebih lanjut perlu ditelusuri penyakit penyerta yang masih aktif serta permasalahan

klinis yang ditimbulkannya.

Kemungkinan gangguan pola asuh dan interaksi ibu dan anak sebagai penyebab GT

dapat diduga melalui perilaku anak; kita dapat berhadapan dengan anak yang gelisah, iritabel

dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Berdasarkan pengalaman di negara

maju, deskripsi dan kepastian terjadinya deprivasi, pengacuhan dan penyimpangan pola asuh

anak, sulit untuk dielaborasi dan ditegakkan diagnosisnya melalui wawancara/pengamatan di

tempat praktik dokter anak. Peranan faktor ini dapat dibuktikan secara eks-juvantifus dengan

merawat anak di rumah sakit, dalam arti kata mengalihkan pengasuhan anak dari ibu ke

petugas kesehatan. Melalui langkah rehabilitasi gizi intensif disertai dengan asuhan yang atentif

dan hangat, biasanya pemulihan dengan cepat terjadi. Diagnosis penyimpangan perilaku ibu

lazimnya membutuhkan penilaian psikologis oleh ahlinya.8,9

Faktor penyebab organik non-gastrointestinal ada yang dengan mudah diidentifikasi

misalnya kelainan jantung bawaan, tetapi ada juga yang membutuhkan kejelian karena jarang

ditemukan serta membutuhkan pemeriksaan yang lebih rumit misalnya kelainan endokrin atau

penyakit metabolik.

Diagnosis kelainan organik gastrointestinal dapat dikenal melalui penelusuran gejala

utama kelainan gastrointestinal seperti gangguan menelan, muntah, nyeri abdomen, diare serta

konstipasi. Temuan gejala menjuruskan kita untuk memikirkan sampai di mana terjadi kelainan

fungsi motorik, fungsi digesti dan/atau fungsi absorpsi. Kepastian diagnosis fungsional, serta

kelainan struktur yang mendasarinya tentu harus didukung dengan pemeriksaan penunjang

yang sesuai. Lebih lanjut ditelusuri diagnosis kausal kelainan yang ditemukan. Referensi

pelaksanaan rangkaian proses ini tentu harus mengacu pada keseluruhan isi buku ajar ini.6,8

Terapi

Spektrum terapi GT sangat bervariasi sesuai perbedaan penyebab, keberadaan penyakit

penyerta, spektrum keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung, derajat

MEP, serta gangguan pola asuh dan interaksi ibu-anak. Tetapi secara umum rehabilitasi gizi

merupakan langkah awal terapi yang dapat dijadikan pintu masuk untuk melaksanakan

penanggulangan secara menyeluruh.10

Pola penanggulangan MEP yang telah dikembangkan dapat dijadikan sebagai acuan

perencanaan rehabilitasi gizi, melalui pendekatan 4 tahap: fase penyelamatan, fase

penyesuaian, fase pemulihan dan fase pembinaan.

Pada fase penyelamatan dilaksanakan resusitasi dan stabilisasi gangguan fungsi vital

misalnya mengatasi syok/dehidrasi berat serta menanggulangi komplikasi misalnya hipotermia

atau hipoglikemia.

Pada fase penyesuaian, melalui pemberian makanan bertahap jumlah dan komposisinya,

kita membiasakan kembali anak untuk makan dalam jumlah dan volume yang besar serta

memilih makanan secara selektif sesuai dengan kapasitas pencernaan anak. Pada fase

Page 87: Buku Ajar Gastroenterologi

penyesuaian kita juga harus memulai penanganan terfokus terhadap defisiensi mikronutrien

serta mengobati penyakit penyerta. Terapi kausal juga dapat dimulai atau dapat menunggu

sampai keadaan umum anak lebih baik yaitu pada fase berikutnya. Penyakit penyerta dan

penyakit yang mendasari GT tentu harus ditanggulangi sesuai dengan standar yang berlaku.

Pada fase pemulihan kita memberikan makanan berimbang dengan prosentase kalori

120% - 200% dari perhitungan kebutuhan berdasarkan berat badan. Sasaran kita adalah

mengupayakan kejar tumbuh maksimal. Langkah penyelamatan dan penyesuaian lazimnya

dilakukan di rumah sakit. Fase pemulihan dan pembinaan dilakukan melalui rawat jalan. Kita

harus memberikan nasihat gizi yang operasional, yang secara wajar diperkirakan dapat

dilaksanakan ibu di rumah. Misalnya bagi keluarga mampu kita dapat menganjurkan

pemakaian formula nutrisi lengkap dengan kalori 1 kkal/ml. Sebagai alternatif bagi yang kurang

mampu kita dapat menerapkan konsep "multi-mixed" dari Cameron, di mana berdasarkan

ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan lokal, ibu diajarkan untuk menyusun menu

berdasarkan kombinasi bahan yang ada, berdasarkan pengayaan bahan pokok (beras) dengan

pilihan cerdik sumber protein lokal disertai pemanfaatan minyak untuk meningkatkan kalori.

Pada fase pembinaan dilaksanaan langkah promotif dan preventif agar GT tidak muncul

kembali. Telah dibuktikan, peningkatan stimulasi fisik dan psiko sosial akan meningkatkan

keberhasilan upaya promotif secara keseluruhan.7,8,10

Keberhasilan rehabilitasi gizi membuka peluang bagi penyaji untuk memberikan

konseling pada ibu. Jika dilaksanakan secara bijak tanpa sikap menuding dan menggurui,

lazimnya dapat memperbaiki pola asuh anak serta peningkatan interaksi ibu dan anak.

Prognosis

Perkembangan longitudinal indikator antropometrik seorang anak dinyatakan dalam

persentil terhadap nilai standar, lazimnya berada pada track tertentu. Anak yang menderita GT

track pertumbuhannya akan menurun. Meskipun GT berhasil ditanggulangi, jika GT

berlangsung lama atau berat, track pertumbuhan anak dapat menetap pada jalur yang lebih

rendah. Penurunan permanen track ini hanya terjadi pada GT usia muda, di bawah usia 5

tahun. Untuk itu kita harus memberikan perhatian khusus agar GT pada usia muda ini dapat

dicegah atau ditanggulangi sedini dan seadekuat mungkin. Jika track menetap pada jalur di

bawah 3 persentil (mean-2SD) anak akan menjadi dewasa sebagai orang kerdil. Secara umum

dapat dikatakan, jika terjadi penurunan track pertumbuhan secara permanen, berarti proses

penumbuh-kembangan potensi genetik menjadi potensi dewasa kurang berhasil.11

Sepenuhnya disadari, penurunan track pertumbuhan, akan disertai penurunan optimasi

perkembangan, baik fisiologis maupun psikososial. Penurunan kedua dimensi tumbuh kembang

ini akan menurunkan pula kesempatan anak nantinya untuk hidup secara produktif dan

kompetitif setelah dewasa.

Telah diketahui pertumbuhan dan perkembangan normal suatu organ dan sistemnya

yang terkait tidak berlangsung secara linier. Terdapat waktu puncak (sesuai umur anak) tingkat

pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda untuk berbagai organ dan sistem organ. GT

Page 88: Buku Ajar Gastroenterologi

yang terjadi pada saat suatu organ atau sistem organ sedang berada pada puncak pertumbuhan

dan perkembangan akan menimbulkan gangguan dan defisit yang lebih menonjol pada organ

atau sistem organ tersebut. Sehingga sesuai dengan waktu puncak tumbuh kembang otak, GT

yang lazimnya muncul pada usia bayi akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang otak

serta potensi intelektual anak nantinya setelah dewasa.2,10,11

Keberhasilan kejar tumbuh disamping ditentukan oleh kedinian dan intensitas

penanggulangan GT, tentu juga ditentukan sampai di mana faktor penyebab dapat di

sembuhkan.

GT yang datang dengan kelainan fungsi vital apalagi kalau disertai gangguan pencernaan

yang berat dengan angka kematian kasus yang cukup tinggi, pada masa dahulu dapat mencapai

30% - 50%. Tetapi dengan acuan penanganan MEP berat yang dikembangkan WHO yang juga

telah diadopsi di Indonesia, dimana melalui pemahaman tentang gangguan keseimbangan

elektrolit, gangguan sistem kardivaskuler, serta berbagai dimensi defisiensi nutrien, telah

disusun langkah stabilisasi dan pemulihan yang sesuai sehingga angka kematian kasus dapat

ditekan mendekati 10%. GT yang telah mencapai fase pemulihan lazimnya angka kematian

kasusnya sangat rendah.2,3

Pencegahan

Untuk kita di negara berkembang, dimana sebagian besar GT muncul dalam bentuk

kompleks diare-MEP-infeksi, langkah pencegahannya sejalan dengan upaya pencegahan diare.

Di samping menekan kejadian diare, kita harus melaksanakan penanggulangan tepat guna agar

diare tidak berlanjut dan dampak gizinya dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.

Identifikasi faktor risiko dan gejala dini deprivasi, pengacuhan anak dan penyimpangan

interaksi ibu dan anak dilanjutkan dengan pembinaan yang tepat dapat menekan kejadian GT

non-organik. Meskipun penanggulangannya secara tuntas membutuhkan disiplin lain,

permasalahan harus diidentifikasi oleh dokter anak.

Langkah lain yang layak untuk dilaksanakan adalah mengidentifikasi penyakit organik

termasuk kelainan gastrointestinal sedini mungkin, melakukan langkah korektif dan

penanggulangan lainnya seadekuat mungkin, disertai dengan bimbingan gizi dan pola asuh

yang baik agar kemungkinan munculnya GT dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.3,11

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Failure to thrive (pediatric undernutrition). In: Kleinman RE, ed. Pediatric Nutrition Handbook. 5th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics. 2003: 443-457.

2. Frank DA, Zeisel SH. Failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Dec 1988; 35(6): 1187-206.

3. Zenel JA Jr. Failure to thrive: a general pediatrician's perspective. Pediatr Rev. 1997; 18: 371-378. 4. Sherry B. Epidemiology of inadequate growth. In: Kessler DB, Dawson P, eds. Failure to thrive and pediatric

undernutrition: a transdisciplinary approach. Baltimore: Brookes. 1999: 19-36.

Page 89: Buku Ajar Gastroenterologi

5. WHO. Failure To Thrive : a manual for physicians and other senior health workers Child Health / WHO. CDR 95

(2005). 6. Levy Y, Levy A, Zangen T, et al. Diagnostic clues for identification of nonorganic vs organic causes of food refusal

and poor feeding. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Mar 2009; 48(3): 355-62.

7. Wright CM. Identification and management of failure to thrive: a community perspective. Arch Dis Child. 2000; 82: 5-9.

8. Hay WW. Current pediatric diagnosis and treatment. 15th ed. Norwalk, Conn.: Appleton & Lange. 2001: 250. 9. Sills RH. Failure to thrive. The role of clinical and laboratory evaluation. Am J Dis Child. Oct 1978; 132(10): 967-

9. 10. Maggioni A, Lifshitz F. Nutritional management of failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Aug 1995; 42(4):

791-810. 11. Reif S, Beler B, Villa Y. Long-term follow-up and outcome of infants with non-organic failure to thrive. Isr J Med

Sci. Aug 1995; 31(8): 483-9.

Page 90: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB VI

DIARE AKUT

Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso

Ilustrasi Kasus

Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang

lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan

pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung,

turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat.

Pendahuluan

Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara

berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus

penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit,

akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma

malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang

harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama

kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare.

Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan sering disertai dengan

asidosis metabolik karena kehilangan basa.1,2,3

Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh

karena rata – rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh

bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih

menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.4

Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat

menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan

menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap

pertumbuhan dan kesehatan anak.5

Definisi

Page 91: Buku Ajar Gastroenterologi

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai

perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung

kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih

dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau

normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi

merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran

cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah

meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya

abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada seorang anak buang air besar

kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.6,7,8

Epidemiologi

Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di

Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak,

terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya

karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai

gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil

Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang

terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian

karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%.2,5,9

Cara Penularan dan Faktor Risiko

Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui makanan

atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan

penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui

lalat. ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).10,11,12

Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak

memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya

penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK),

kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang

tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor

pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi

buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,

menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.8,11,13

1. Faktor umur

Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi

terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI.

Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya

Page 92: Buku Ajar Gastroenterologi

kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan

kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.

Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi

atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit

pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.1,4,14

2. Infeksi asimtomatik

Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat

setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik

yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus,

bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan

penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari

adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke

tempat yang lain.7,14,15

3. Faktor musim

Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik,

diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus

terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk

Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan

peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung

meningkat pada musim hujan.3,14,16

4. Epidemi dan pandemi

Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemi dan pandemi

yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia.

Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh V. Cholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar

ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah di

Amerika Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1

menjadi penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah dan

Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang

menyebabkan epidemi di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.2,14,17

Etiologi

Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen

telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80 % pada kasus yang datang disarana

Page 93: Buku Ajar Gastroenterologi

kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi

tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.

Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.

Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan

inflammatory.1,2,8

Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh

bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau

translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang

menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.3,4,18

Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah

sebagai berikut :

Golongan Bakteri :

1. Aeromonas 8. Salmonella

2. Bacillus cereus 9. Shigella

3. Campylobacter jejuni 10. Staphylococcus aureus

4. Clostridium perfringens 11. Vibrio cholera

5. Clostridium defficile 12. Vibrio parahaemolyticus

6. Escherichia coli 13. Yersinia enterocolitica

7. Plesiomonas shigeloides

Golongan Virus :

1. Astrovirus 5. Rotavirus

2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) 6. Norwalk virus

3. Enteric adenovirus 7. Herpes simplex virus *

4. Coronavirus 8. Cytomegalovirus *

Golongan Parasit :

1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia

2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli

3. Cryptosporidium parvum 7. Strongyloides stercoralis

4. Entamoeba histolytica 8. Trichuris trichiura

Sumber = Nelson Textbook of Pediatric3

* umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita imunocompromised

Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak yaitu:

Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan

Cryptosporidium.

Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare

pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada

Page 94: Buku Ajar Gastroenterologi

usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel

bundar pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi

dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare.

Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”,

walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk.

Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus

halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang

rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga

fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan

makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan

meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan

beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare

osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.

Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang

mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti

transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam

amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim

hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian

infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio

penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama

laktosa.

Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita terganggu

imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. Kenaikan kerentanan bayi (dibanding

dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan mortalitas

gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi

cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes

nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar

permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko

alergi makanan.6,8,10,13

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan

pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis

terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh

virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa

usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke

dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat

menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.7, 10, 12

Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak antara lain :

Kesulitan makan

Defek Anatomis

- Malrotasi

Page 95: Buku Ajar Gastroenterologi

- Penyakit Hirchsprung - Short Bowel Syndrome - Atrofi mikrovilli - Stricture

Malabsorpsi

- Defisiensi disakaridase - Malabsorpsi glukosa – galaktosa - Cystic fibrosis - Cholestosis - Penyakit Celiac

Endokrinopati

- Thyrotoksikosis - Penyakit Addison - Sindroma Adrenogenital

Keracunan makanan

- Logam Berat - Mushrooms

Neoplasma

- Neuroblastoma - Phaeochromocytoma - Sindroma Zollinger Ellison

Lain -lain :

- Infeksi non gastrointestinal - Alergi susu sapi - Penyakit Crohn - Defisiensi imun - Colitis ulserosa - Gangguan motilitas usus - Pellagra

Sumber : Nelson Textbook of Pediatric3

Anatomi dan Patofisiologi Diare19,20,21,22,23,24,25

Page 96: Buku Ajar Gastroenterologi

Anatomi

a. Gaster

Sel-sel epitel di gaster adalah merupakan kelenjar gaster. Terdapat 3 tipe kelenjar yaitu :

cardiac, oxyntic dan pyloric. Cardiac merupakan penghasil mukus yang terletak pada

perbatasan cincin gaster sampai oesophagus. Oxyntic merupakan yang paling banyak dan

didapatkan pada fundus. Tipe ketiga yaitu piloric merupakan 10% permukaan mukosa

gaster, ditandai adanya pits yang dalam. Dua tipe sel yang utama adalah sel penghasil

mukus dan sel penghasil gastrin.

Fungsi neuromuskuler gaster meliputi penyimpanan, mencampur, menggilas dan

melakukan kontrol terhadap pengeluaran makanan ke dalam duodenum. Sekresi gaster

terdiri dari asam hidroklorid (HCl), gastrin, pepsinogen, faktor intrinsik, lipase dan mukus.

Asam hidroklorid (HCl)

Merupakan produksi sel tunggal dari berbagai spesies. HCl ini diproduksi oleh sel parietal.

Pada bayi baru lahir, HCl diproduksi dengan cara mengubah-ubah bahan alkaline amnion

yang ditelan hingga dapat mencapai pH lambung kurang dari 4. Konsentrasi HCl tertinggi

terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10 setelah lahir dan akan terus meningkat sampai

mencapai kadar dewasa pada usia 60 sampai 90 hari. Pada bayi aterm 2 hari pertama

setelah lahir, stimulasi sekresi tidak dapat meningkat dengan stimulasi pentagastrin, dan

reaksi terhadap bahan-bahan histamin seperti betazole hidrochloride (histalog) tidak

timbul sampai usia 1 bulan.

Pentagastrin akan meningkatkan sekresi HCl mulai usia 1 minggu dan lebih besar pada

bayi-bayi aterm daripada yang preterm. Respon stimuli makanan pada bayi aterm oleh HCl

lambung terjadi setelah 2 jam. Sekresi asam lambung dikendalikan oleh sistem sekresi dan

inhibisi. Sistem persarafan gaster ada dua yaitu pleksus myenteric dan pleksus mukosal.

Pleksus myenteric menginervasi lapisan otot dan melakukan regulasi fungsi motorik. Saraf-

saraf ini terdiri atas 80 sampai 90 % saraf afferen dan 10 sampai 20% saraf efferen. Pleksus

mukosal terdiri dari neuropeptide transmiter seperti acetylcholin, serotonin, dan GABA

dan transmiter peptide seperti bombesin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan substansi

kalium.

Gastrin

Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi sel

G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang

letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana

G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang.

Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP yang akan

menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan

prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal

lambung akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam

lambung dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang

pelepasan gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga

oleh sekretin, neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE.

Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon endokrin

seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan

Page 97: Buku Ajar Gastroenterologi

perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan

perlambatan pengosongan lambung.

Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman

intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak usus, menurunkan

keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam

oleh sel parietal.

Pepsinogen

Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus

gaster memproduksi 4 proteinase acidic yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau C,

captensin D dan captensin A. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan beta

adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat dengan

propanolol, tidak oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh atropin

dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung oleh

histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan Ca

intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE

menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP.

Faktor intrinsik

Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan

fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan

11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh

transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi

sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai

30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis.

Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi atau

kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara baik

terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa pada

usia 3 bulan.

Lipase gaster

Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski

pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan

lipolytic intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang

menyebabkan absorbsi lemak langsung segera di gaster.4

Mukus gaster

Page 98: Buku Ajar Gastroenterologi

Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk

lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus

meningkat dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai

barier difusi terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan

difusi kembali asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk

mempertahankan integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.

b. Usus halus

Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan

tumbuh mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan

tunggal sel kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali lebih

luas dengan adanya vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas pada

masing-masing regio usus halus. Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan

lebih sedikit; menyerupai bentuk jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi lebih

kecil dan lebih meruncing di ileum. Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara

vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn) yang merupakan tempat proliferasi enterosit

dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan tight junction antara jejunum dan ileum,

tight junction ini berperan penting dalam regulasi permeabilitas epitel dengan melakukan

kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler.

Sel goblet

Merupakan sel penghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet

menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier

fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak

didapatkan pada gaster dan duodenum.

Sel kripta

Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di

kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel

enteroendokrine, sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi

ini mensintesis dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral,

dimana molekul ini bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel

plasma.

Sel Paneth

Terdapat di basis kripte. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula

lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel panet

Page 99: Buku Ajar Gastroenterologi

belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan

imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus.

Sel enteroendokrin

Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa

saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin

mensekresi neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon,

enteroglukagon, VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin.

Sel M

Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.4,25

c. Usus besar

Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah

dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak

terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel

kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina

propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus.

Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi,

sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada

usus halus.

Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian bawah kripta yang

berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya akan dilepaskan dari

permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklus pembaharuan sel ini berlangsung 3

sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh sarung fibroblas dalam lamina propria,

mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron dengan migrasi sel epitel. Jumlah total

sel terbanyak pada kripta kolon desenden, menurun secara progresif di sepanjang kolon

transversum dan kolon desenden dan meningkat lagi pada sekum.

Mekanisme Diare1,4,6,7,10,11,12,13,15,18,26,27

Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi.

Terdapat beberapa pembagian diare:

1. Pembagian diare menurut etiologi

2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan

a. Absorbsi

b. Gangguan sekresi.

3. Pembagian diare menurut lamanya diare

a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.

b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi.

Page 100: Buku Ajar Gastroenterologi

c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi.

Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling

tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal:

Diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada

kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan

absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat

terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga

dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan imunologi.

1. Gangguan absorpsi atau diare osmotik.

Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue,

atau karena:

a. mengkonsumsi magnesium hidroksida

b. defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar

c. adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus

bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas.

Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen

usus jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum,

sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk

ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar

dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan

tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat

diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi

kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat

dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan

memberikan dampak yang sama.

2. Malabsoprsi umum.

Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan

monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel

(yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman,

seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena

inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran

karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih

lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E.

coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush border tanpa

merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap, karbohidrat, dan trigliserid

diakibatkan insuficiensi eksokrin pankreas menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan

mengakibatkan diare osmotik.

Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks

protein, karbohidrat, trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi dan

akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein dan

Page 101: Buku Ajar Gastroenterologi

karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan

diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga diare tersebut dapat

disebabkan malabsorpsi karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi

sukrosa, isomaltosa dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose,

pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan

pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar

dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH,

setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang

menyebabkan kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase,

menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi laktose.

3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik

Hiperplasia kripta.

Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi

intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi vili.

Luminal secretagogues

Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan

kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta

asam lemak rantai panjang.

Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel

cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan

protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan

perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi

peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl-.

Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa

diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan permeabilitas

intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan

sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat

menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam

empedu, lemak.

Blood-Borne Secretagogues.

Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan

enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda dengan negara berkembang, di negara maju,

diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor

seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada

orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang

Page 102: Buku Ajar Gastroenterologi

menghasilkan VIP, Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma watery

diarrhe hypokalemia achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk

jarang.5 Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada

vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus dalam

keadaan normal.

4. Diare akibat gangguan peristaltik

Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan

motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan

motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan

bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau

nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan

stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare

akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena

hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin

merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai

penyakit lain.

5. Diare inflamasi

Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.

Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam

pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali

sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat

inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.

Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction,

menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek

infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi

absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk.

2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada

perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada

cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen

tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi chlorida

yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan

cytoskeleton maupun protein,Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik

protein tight junction, V cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction,

sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.

6. Diare terkait imunologi

Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan IV.

Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi

tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada

Page 103: Buku Ajar Gastroenterologi

Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh

menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh

reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan

berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti

histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi

komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang mengaktifkan

komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic

Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi

tipe IV terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar

dipresentasikan sel APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen.

Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin tersebut

akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.

Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat

kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.

Manifestasi Klinis

Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila

terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal

bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi

tergantung pada penyebabnya.1,6,9

Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium,

klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan

kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis

metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat

menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.

Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi

hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa

dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat.4,8,11

Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain :

vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia,

hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa

paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot

(C. botulinum).3,4,12

Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh,

contoh:

Tabel 6.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen terkait

Manifestasi Enteropatogen terkait

Page 104: Buku Ajar Gastroenterologi

Reactive arthritis Salmonella, Shigella, Yersinia, Camphylobacter, Clostridium

difficile

Guillain Barre Syndrome Camphylobacter

Glomerulonephritis Shigella, Camphylobacter, Salmonella

IgA nephropathy Camphylobacter

Erythema nodusum Yersinia, Camphylobacter, Salmonella

Hemolytic anemia

Camphylobacter, Yersinia

Hemolytic Uremic

Syndrome

S. dysentrie, E. coli

Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics3

Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas

badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.. Nyeri perut yang lebih hebat

dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan terkenanya

usus besar.14, 15, 17

Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin

disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik

virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium.

Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas

atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa

saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan

perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat

penting.11, 16, 18

Tabel 16.2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab

Gejala

klinik

Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera

Masa tunas

Panas

Mual

muntah

Nyeri perut

17-72 jam

+

Sering

Tenesmus

24-48

jam

++

Jarang

Tenesmus

kramp

6-72 jam

++

Sering

Tenesmus

kolik

6-72 jam

-

+

-

6-72 jam

++

-

Tenesmus

kramp

-

48-72 jam

-

Sering

Kramp

Page 105: Buku Ajar Gastroenterologi

Nyeri

kepala

Lamanya

sakit

Sifat tinja

Volume

Frekuensi

Konsistensi

Darah

Bau

Warna

Leukosit

Lain-lain

-

5-7 hari

Sedang

5-10x/hr

Cair

-

Langu

Kuning

hijau

-

Anorexia

+

> 7 hari

Sedikit

>10x/hr

Lembek

Sering

Merah-

hijau

+

Kejang

+

3-7 hari

Sedikit

Sering

Lembek

Kadang

Busuk

Kehijauan

+

Sepsis

-

-

2-3 hari

Banyak

Sering

Cair

-

+

Tak

berwarna

-

Meteorismus

-

Variasi

Sedikit

Sering

Lembek

+

Tidak

Merah-

hijau

-

Infeksi

sistemik

-

-

3 hari

Banyak

Terusmenerus

Cair

-

Amis khas

Seperti air

cucian beras

-

Sumber : Sunoto 199117

Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume,

konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume

dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam

terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit

lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak.

Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat

ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat

imunisasinya.3, 10, 12

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung

dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi:

kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-

Page 106: Buku Ajar Gastroenterologi

ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata,

bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.

Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang

lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena

perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.1, 3, 10

Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu

dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan

menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 16.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003

Simptom Minimal atau tanpa

dehidrasi kehilangan

BB < 3%

Dehidrasi Ringan -

Sedang, Kehilangan

BB 3 % - 9 %

Dehidrasi Berat

Kehilangan BB > 9%

Kesadaran Baik Normal, lelah,

gelisah, irritable

Apathis, letargi, tidak

sadar

Denyut

jantung

Normal Normal - meningkat Takikardi, bradikardia

pada kasus berat

Kualitas nadi Normal Normal – melemah Lemah, kecil, tidak

teraba

Pernapasan Normal Normal – cepat Dalam

Mata Normal Sedikit cowong Sangat cowong

Air mata Ada Berkurang Tidak ada

Mulut dan

lidah

Basah Kering Sangat kering

Cubitan kulit Segera kembali Kembali < 2 detik Kembali > 2 detik

Capillary refill Normal Memanjang Memanjang, minimal

Extremitas Hangat Dingin Dingin, mottled, sianotik

Kencing Normal Berkurang Minimal

Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Page 107: Buku Ajar Gastroenterologi

Penilaian A B C

1. Lihat :

keadaan umum

mata

air mata

mulut dan lidah

rasa haus

Baik, sadar

Normal

Ada

Basah

Minum biasa tidak

haus

* Gelisah, rewel

Cekung

Tidak ada

Kering

* Haus, ingin

minum banyak

* Lesu, lunglai atau

tidak sadar

Sangat cekung

dan

kering

Sangat kering

* Malas minum

atau

tidak bisa minum

2. Periksa : turgor kulit Kembali cepat * Kembali lambat * Kembali sangat

lambat

3. Hasil pemeriksaan : Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan /

sedang

Bila ada 1 tanda *

ditambah 1 atau lebih

tanda lain

Dehidrasi berat

Bila ada 1 tanda *

ditambah 1 atau

lebih tanda lain

4. Terapi : Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C

Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan – Maurice King (1974)

Bagian tubuh

yang diperiksa

Nilai untuk gejala yang ditemukan

0 1 2

Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, apatis,

ngantuk

Mengigau, koma atau

syok

Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang

Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung

Ubun-ubun

besar

Normal Sedikit cekung Sangat cekung

Mulut Normal Kering Kering & sianosis

Page 108: Buku Ajar Gastroenterologi

Denyut nadi/

mnt

Kuat < 120 Sedang (120-140) Lemah > 140

Sumber : Sunoto 199117

Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian

dijumlahkan.

Nilai: 0 – 2 = Ringan 3 – 6 = Sedang 7 – 12 = Berat

3. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya

pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui

atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat.

Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran

kemih.

Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut :

Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes

kepekaan terhadap antibiotika.

Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.

Tinja :

Pemeriksaan makroskopik:

Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare

meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus

atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh

infeksi diluar saluran gastrointestinal.

Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang

menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau

parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya

bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat

pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja

yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium

dan Strongyloides.2,7,17

Tabel 16.6. Test laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi enteropatogen

Test Laboratorium Organisme diduga / identifikasi

Page 109: Buku Ajar Gastroenterologi

Mikroskopik : Lekosit pada tinja Invasive atau bakteri yang memproduksi sitotoksin

Trophozoit, kista, oocysts, spora G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium, I. belli,

Cyclospora

Rhabditiform lava Stongyloides

Spiral atau basil gram (-) berbentuk

S

Camphylobacter jejuni

Kultur tinja: Standard

Spesial

E. coli, Shigella, Salmonella, Camphylobacter jejuni

Y. enterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C.

difficile, E. coli, O 157 : H 7

Enzym imunoassay atau latex

aglutinasi

Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile

Serotyping E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC

Latex aglutinasi setelah broth

enrichment

Salmonella, Shigella

Test yang dilakukan di laboratorium

riset

Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR

untuk genus yang virulen

Sumber: Suparto10

Pemeriksaan mikroskopik:

Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi

tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit

dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon.

Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau

kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C.

difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P.

shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S.

typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya,

pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal.

Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah

banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali

terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk

enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien

yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis

dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau

yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna

bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi

duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,

strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis

Page 110: Buku Ajar Gastroenterologi

dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja

cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat

membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh

karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk

mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir

selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati.

Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome,

diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita

immunocompromised.

Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus,

Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur

laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada

salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat

berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu

dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab

inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium

pendahuluan.9, 10, 18

Terapi

Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan

Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada

panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi

bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.28,29,30 Memperbaiki kondisi usus dan

menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen

Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita

anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:

1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

3. ASI dan makanan tetap diteruskan

4. Antibiotik selektif

5. Nasihat kepada orang tua

Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah.

Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit formula

lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang terutama

disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit

tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan

tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih

baik adalah disebabkan oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan

kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan

formula baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru

Page 111: Buku Ajar Gastroenterologi

lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya

hipernatremia.

Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama

dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit

formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan

suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta

mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah

direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.31, 32, 33

Tabel 16.7. Komposisi Oralit Baru

Oralit Baru Osmolaritas Rendah Mmol/liter

Natrium 75

Klorida 65

Glucose, anhydrous 75

Kalium 20

Sitrat 10

Total Osmolaritas 245

Sumber: WHO 200633

Ketentuan pemberian oralit formula baru:

a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru

b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24

jam.

c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai

berikut:

Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB

Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB

d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan

harus dibuang.

Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut.

Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan

anak.

Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence

based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang

dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan

morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada

pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang

dikeluarkan.

Page 112: Buku Ajar Gastroenterologi

Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang

optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk

pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler,

adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan

tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya

terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses

perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat

meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan

regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan

respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc

cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak

masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang

rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan

frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya

dehidrasi pada anak.

Dosis zinc untuk anak-anak:

Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari

Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare.

Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak

yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.34, 35, 36

ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada

waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang

hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan

menandakan fase kesembuhan.37

Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera.

Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena

akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh

dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak

rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya

pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi

peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin,

kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap

antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik

oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan

permeabilitas membrane terhadap antibiotik.38

Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang,

makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3

hari.28, 29

Page 113: Buku Ajar Gastroenterologi

Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu

penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit

dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan

dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi :

1. Terapi cairan dan elektrolit

2. Terapi diit

3. Terapi non spesifik dengan antidiare

4. Terapi spesifik dengan antimikroba

Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara

berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam

keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih

berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan

dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam

keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai

komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data

diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara

sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan pemberian

makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan terapi

antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral

hanya untuk kasus dehidrasi berat.28, 29, 30

1. Pengobatan diare tanpa dehidrasi

TRO (Terapi Rehidrasi Oral)

Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah

dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya.

Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang

diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5

tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400

ml setiap BAB.

Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1

sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang

lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila

terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan

misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare

berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus

diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali sehari) serta

rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang merangsang (pedas,

asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare

bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau bertambah

Page 114: Buku Ajar Gastroenterologi

hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan-

sedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan – sedang.28, 29, 30

2. Pengobatan diare dehidrasi ringan – sedang :

TRO (Terapi Rehidrasi Oral)

Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan

segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam

pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat,

perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu

: untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200

ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume

yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan

memantau tanda-tanda dehidrasi.

Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan

volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan

sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah

hilang dapat diberikan lagi.

Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral,

oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20

ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau

memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat

dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada

pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan

dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik

adalah pemberian cairan parenteral.28, 29, 30

3. Pengobatan diare dehidrasi berat

TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral)

Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan

yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral.

Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan

infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan

intravena ( 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam

(untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan

untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan

cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan

Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam

Page 115: Buku Ajar Gastroenterologi

pertama 30 cc/kgBB, diLanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam

pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 cc/kgBB.

Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat.

Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih

pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi ringan

sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi.28, 29, 30

4. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)

Pada tahun 1975 WHO dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan CRO tunggal yang

mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20, Chlorida 80, Basa 30 dan Glukosa

111 (2%).

Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan pada

pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai

dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan

dengan kehilangan natrium bersama tinja 30 – 40 mEq/L, ETEC 50 – 60 mEq/L dan V.

cholera > 90 – 120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun

efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare

infeksi.

Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa mendukung

penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya yang lebih

rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit,

berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan

anak non kolera.

Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas

rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian hiponatremi.

Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan

CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002

WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan

75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glucosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula

baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera,

meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan

indikasinya.31, 32, 39

5. CRO baru

Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport

natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan glutamin) atau substitusi glukosa

dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak

menunjukkan lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat

Page 116: Buku Ajar Gastroenterologi

direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan

mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera.

Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang dan

secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan

pilihan utama dari sebagian besar klinisi.

Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan SCFA (amylase resistent starch

derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar gum. Mekanisme kerja yang diharapkan

adalah meningkatkan uptake natrium oleh kolon terikat pada transport SCFA.

Kemungkinan lain dari perbaikan komposisi CRO masa depan adalah penambahan

probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer.3, 32, 34,

6. Seng (Zinc)

Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan

dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius.

Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting

antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya

dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng

dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat

menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih

sama dengan hasil yang dicapai upaya preventive yang lain seperti perbaikan higiene

sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan

penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari,

dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari.40, 41, 42

7. Pemberian makanan selama diare

Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh.

Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima.

Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi

teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang

normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga

memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya,

pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi

lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada

anak diare tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit

serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan

yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering

mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa

diminum paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau

bebas laktosa secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas

laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare

timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan

dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi

Page 117: Buku Ajar Gastroenterologi

dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari

kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap

selama 2 – 3 hari.

Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat,

makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari makanan

dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk

makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti serealia pada

umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang

lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat,

misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan

energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan.

Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur makanan pokok

tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe,

daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang

berlemak atau makanan yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang

diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari.43, 44, 45

8. Pemberian makanan setelah diare

Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan

pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu

perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh

untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan

yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam

ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.4, 43

9. Terapi medikamentosa29, 30, 38

Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika,

antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa

obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek

toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2

– 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk

pengobatan diare akut.

Antibiotik

Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian

besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh

dengan antibiotika.

Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera,

Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.

Page 118: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 16.8. Antibiotik pada diare

Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif

Kolera Tetracycline

12,5 mg/kgBB

4x sehari selama 3 hari

Erythromycin

12,5 mg/kgBB

4x sehari selama 3 hari

Shigella

dysentery

Ciprofloxacin

15 mg/kgBB

2x sehari selama 3 hari

Pivmecillinam

20 mg/kgBB

4x sehari selama 5 hari

Ceftriaxone

50-100 mg/kgBB

1x sehari IM selama 2-5

hari

Amoebiasis

Metronidazole

10 mg/kgBB

3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus

berat)

Giardiasis

Metronidazole

5 mg/kg

3x sehari selama 5 hari

Sumber : WHO 200633

Obat antidiare

Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak

diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini

berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :

Adsorben

(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-obat ini

dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk mengikat dan

menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan

mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti

keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada

anak.

Page 119: Buku Ajar Gastroenterologi

Antimotilitas

(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii,

paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa

akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan

ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan

memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis

normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan

diare.

Bismuth subsalicylate

Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan

diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.

Kombinasi obat

Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen

obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam diare.

Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada

bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk

menggunakan obat ini pada anak dengan diare.

Obat-obat lain :

Anti muntah.

Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat

menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh

karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena

biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.

Cardiac stimulan

Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan

yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang.

Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak

pernah diindikasikan.

Darah atau plasma

Page 120: Buku Ajar Gastroenterologi

Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi

oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan

elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk

penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.

Steroid

Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.

Komplikasi1,3,12,46

Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya

membutuhkan pengobatan khusus.

Gangguan Elektrolit

Hipernatremia

Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala

yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan.

Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat

menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara

terbaik dan paling aman.

Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline –

5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa

koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan

rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8

jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam.

Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing.

Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10

ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.

Hiponatremia

Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung

sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada

anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan

efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil,

koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer

Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang

diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya

diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.

Page 121: Buku Ajar Gastroenterologi

Hiperkalemia

Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium

glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10 menit dengan monitor detak

jantung.

Hipokalemia

Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika

kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5

mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam.

Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam,

kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).

Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan

aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan

menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah

diare berhenti.

Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral

Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran

tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat minum,

kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut

mungkin penderita harus diberikan cairan intravena.25, 30

Kejang

Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum

atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena :

hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia,

kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi.

Pencegahan

Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:

Page 122: Buku Ajar Gastroenterologi

1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.

Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal - oral.

Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini.

Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:

a. Pemberian ASI yang benar.

b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.

c. Penggunaan air bersih yang cukup.

d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan

sebelum makan.

e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.

f. Membuang tinja bayi yang benar.

2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu ( host ).

Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat

mengurangi resiko diare antara lain:

a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th.

b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan dalam jumlah

yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak.

c. Imunisasi campak.

Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang peranan probiotik, prebiotik dan seng dalam

pencegahan diare.47

Probiotik

Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi

yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang lebih

baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu yang

panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang dilakukan

Komisi Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology and Nutrition)

pada tahun 2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan peran probiotik untuk

pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada penelitiannya bahwa susu

formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan Streptococcus thermophilus

bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan yang dirawat di Rumah Sakit dapat

menurunkan angka kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi rotavirus juga berkurang dari

39% pada kelompok placebo menjadi 10 % pada kelompok probiotik. Penelitian Phuapradit P.

dkk di Thailand pada tahun 1999 menunjukan bahwa bayi yang minum susu formula yang

mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan Streptococcus thermophylus lebih jarang

menderita diare oleh karena infeksi rotavirus.

Page 123: Buku Ajar Gastroenterologi

Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di Peru pada

komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare terutama pada anak-

anak usia 18 – 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v 5,9 episod/anak/thn dengan p =

0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di Finlandia tahun 2001 tidak menemukan adanya

efek proteksi pada konsumsi jangka lama susu formula yang disuplementasi dengan probiotik.

D’Souza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-sama

dengan antibiotika mengurangi resiko”Antibiotic Associated Diaorrhea”.

Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan

lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa

patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit, modifikasi

toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan

imunomodulasi.

Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap

diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan

keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan

aman.

Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi pada

kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.48, 49

Prebiotik

Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya

kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinal

yang menguntungkan kesehatan.

Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena

dapat merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi yang

minum ASI. Data menunjukan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum

ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal

yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukan penurunan angka

kejadian diare. Penemuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian

RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat penyebabnya menunjukkan

adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat FOS lebih

pendek masa diarenya dibanding placebo48.

Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu

menunggu penelitian-penelitian selanjutnya. 49,50

Page 124: Buku Ajar Gastroenterologi

Daftar Pustaka

1. Dit. Jen PPM, PLP Dep. Kes. RI. PMPD. Buku Ajar Diare. 1996. 2. Parashar UD, Hummelman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and death caused by rotavirus

disease in children. Emerging Infection Disease. 2006; 9:565-572.

3. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 :1272-6.

4. Widayana IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas diare di era otonomi

dan krisis. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 45-54. 5. Firmansyah A. Pengaruh malnutrisi terhadap saluran cerna tikus putih: penelitian khusus pada perkembangan

morfologid, biokimiawi, dan fisiologis terutama kolon. Disertasi. 1992;13-20.

6. Rhoads JM, Powell DW. Diarrhea. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 65-73.

7. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG. Diare. Dalam: Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh

IRG eds. Gangguan absorbsi-sekresi sindroma diare. Graha masyarakat ilmiah kedokteran FK Unair. 1999:1-36.

8. Sunoto, Sutoto, Soeparto P, Soenarto Y, Ismail R. Pedoman Proses Belajar Mengajar Diare, Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular. 1990.

9. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in industriliazed countries : compliance with guidelines for treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33:531-5.

10. Suparto P. Sumbangan dan peran kaum profesional dalam mendukung program penyakit saluran cerna di era

otonomi.Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 17-27. 11. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in infections diseases. 2002; 4:183-94.

12. Vanderhoof JA. Diarrhe. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology,

diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993:187-95. 13. Pickering LK, Cleary TG. Approach to patients with gastrointestinal tract infection and food poisoning in Feigin

RD. Cherry JC eds. Textbook of Pediatric infectious diseases 4 Ed WB Saunders Co. 1998; 1:567-94.

14. Breese J, Fang, Wang BLE, Soenarto Y, Nelson EA, Tam J, Wilopo SA, Kilgore P. First report from the asian rotavirus survaillance network. Emerg Infect Dis. 2004; 10(6): 988-955.

15. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. Didapat dari: http://www.jci.orig.

16. Soenarto, Y. Rotavirus Disease Burden in Indonesia. Grand Round: Melbourne. 2007. 17. Sunoto. Penyakit radang usus: infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. 1991;

I:448-66.

18. Rahmat H. Kebijakan Nasional pemberantasan penyakit menular langsung dan oralit formula baru. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 91-7.

19. Antonsun DL. Anatomy and physiology of the small and large intestine. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds.

Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 479-91. 20. Berkes J, Viswanathan VK, Savkovic SD, Hecht G. Intestinal ephitel to enteric pathogens: effects on tight

junction barrier, ion transport, and inflammation. Didapat dari: http://gut.bmjjournals.com/

21. Burke V. Mechanisms of intestinal digestion and absorption. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993:150-6.

22. Desjeux JF. Transport water and ions. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric

gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 312-18. 23. Guyton AC, Hall JE. Transport ion dan molekul melalui sel. Dalam: Guyton AC, Hall JE eds. Buku ajar fisiologi

kedokteran. EGC. 1997: 55-69.

24. Lake AM. Anatomy and physiology of stomatch. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 405-11.

25. Weaver LT. Anatomy and embryology. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric

gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 405-11.

26. Brueton MJ. Immunology of the gastrointestinal tract. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and

hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993: 224-32.

27. Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Baratawidjaya KG ed. Imunologi Dasar. BPFKUI, 2002;135-49. 28. American academy of pediatric. The management of acute gastroenteritis in young children. Pediatrics. 1996;

97: 1-20.

29. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in children : oral rehydration, maintenance and nutritional therapy. MMWR. 1992; 41 (RR-16) : 1-20.

Page 125: Buku Ajar Gastroenterologi

30. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis among child ; oral rehydration,

maintenance and nutritional therapy. MMWR. 2003; 52 (RR16): 1-16. 31. Guarino A et al. Oral rehydration toward a real solution. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 2 – 12.

32. Hans S et al. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due to diarrhea in children :

systematic review. BMJ. 2001; 325: 81-5. 33. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006.

34. Altaf Waseef MD. Zinc Supplementaion in Oral Rehydration Solution : Experimental Assesment and

Mechanisms of Action. Journal of the American College of Nutrition. Orlando. 2001. 35. Baqui AH et al. Effect of zinc supplementation started during diarrhea on morbidity and mortality in

Bangladeshi children : Community randomized trial. BMJ. 2002; 325:1-7.

36. Lukacik M., Ronald L. Thomas., Jacob V. Aranda. A Meta-Analysis of the effect of Oral Zinc in the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. 2007.

37. Sandhu BK. Practical guidelines for the management of gastroenteritis in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.

2001; 33: 36-9. 38. Dwiprahasto, I. Penggunaan Antidiare ditinjau dari Aspek Terapi Rasional. Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan. 2003; 9(2): 94-101.

39. Duggan C et al. Oral rehydration solution for acute diarrhea prevents subsequent unscheduled follow up visits.

Pediatrics. 1999; 104 (3): 29-33.

40. Bao Bin. Zinc Modulates mRNA levels of cytokines. Am J Physiol Endocrinol Metab. Michigan. 2003.

41. Sazawal S et al. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India. N Engl J Med. 1995; 333: 839-44.

42. Yamey G. Zinc supplementation prevents diarrhea and pneumonia. BMJ 1999 : 1521 – 3.

43. Brown KH and Mac Lean W.C. Nutritional management of acute diarrhea : an appraisal of the alternatives. Pediatrics. 1984; 73: 2: 119-125.

44. Sandhu BK. Rationale for early feeding in childhood gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 13-

6. 45. WHO. The treatment of diarrhea : a manual for physicians and other senior health workers Child Health /

WHO. CDR 95 (1995).

46. WHO. Hospital Care for Children. Geneva. 2005. 47. Kandun IN. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat.

48. Juffrie M, et al. The effect of fructooligosaccharide (FOS) in children with diarrhea. J of the Medical

Sciences.2007;39:47-53. 49. Agostoni C et al. Medical position paper. Probiotic bacteria in dietetic product for infants : A commentary by

ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenerol Nutr 2004 : 38 : 365 – 74.

50. Szajewska H and Mrukowics JZ. Probiotic in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants and children : A systematic review of published randomized, double blind, placebo controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 17 – 25.

Page 126: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB VII

DIARE KRONIS DAN DIARE PERSISTEN

Yati Soenarto

Ilustrasi Kasus

Anak perempuan usia 23 bulan dengan keluhan BAB cair kurang lebih 5 kali sehari dan sudah

berlangsung selama 15 hari. Diare dimulai dengan tinja cair tanpa darah/lendir, demam,

muntah 2-3X/hari, oralit yang diberikan selalu dimuntahkan, sehingga dirawat oleh karena

dehidrasi berat. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 37,8°C, status gizi baik, anak

didiagnosis diare cair akut dengan dehidrasi berat. Anak diperbolehkan pulang setelah

dirawat 2 hari, dikarenakan sudah tidak dehidrasi, tidak muntah, tidak demam, walaupun

BAB masih 3-4 kali, lembek. Ibu juga sudah dapat melakukan semua penanganan yang akan

dilakukan di rumah, apabila diare belum sembuh. Ibu juga sudah diberi penjelasan tentang

penyakitnya dan memahaminya. Sepuluh hari kemudian, Ibu datang kembali dengan keluhan

diare belum sembuh, berak lebih sering, cair, berbau asam, berbuih, sampai “berengan” kulit

sekitar anus berwarna merah. Selama 10 hari di rumah setelah kunjungan pertama, setiap

kali diberi minum susu, anak diare, kembung, kadang-kadang muntah. Apabila susu

dihentikan, gejala-gejala membaik, oleh karena itu ibu menghentikan susu dan mengurangi

makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan anak tidak demam, tidak ada tanda-tanda dehidrasi,

tetapi mata kelihatan lebih cowong. Berat badan berada di persentil 3 kurva BB//TB, padahal

sebelum kena serangan diare, berat badan & tinggi badan anak normal.

Pertanyaan

1. Diagnosis apa yang paling mungkin pada anak ini?

2. Bagaimana anda mengkonfirmasi diagnosis tersebut?

3. Bagaimana tatalaksana pasien ini?

Pendahuluan

Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia

yang menyebabkan 1,6-2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5 dari

seluruh penyebab kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia menunjukkan

penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995).

Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan

survei serupa, yaitu 40% (1972), menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001).1,2

Page 127: Buku Ajar Gastroenterologi

Penurunan mortalitas ini merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral

Rehydration Salt) untuk manajemen diare. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas akibat

diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Studi meta-analisis yang

dilakukan oleh Kosek et al. menunjukkan bahwa angka kejadian diare akut cenderung tetap dari

tahun ke tahun. Di negara berkembang setiap anak mengalami rata-rata tiga episode diare akut

tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sebesar 1,3 kali per tahun. Berdasarkan Survei Kesehatan

Nasional yang dilakukan tahun 2003-2004 dilaporkan prevalensi diare pada anak sebesar

11%.2,3

Di Indonesia penurunan angka mortalitas yang signifikan terjadi sejak tahun 1970-an

saat ORS mulai dimasyarakatkan. Akan tetapi, manfaat manajemen ORS ini kurang terlihat

pada diare persisten sehingga angka kematian akibat diare ini cenderung tetap.2, 4

Definisi

Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau

lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain

disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10

g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24

jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis

dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang

sama.5,6 Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu,

sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh Walker-

Smith et al. didefinisikan sebagai diare persisten.5,6 Di lain pihak, dasar etiologi diare

kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological

Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu,

sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi

menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung

lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.5,6

Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan

persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar belakang

tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di

negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun pembahasan lebih

didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare

bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.5

Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat

dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan

masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta

diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut

yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini.4,7

Kejadian

Page 128: Buku Ajar Gastroenterologi

Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita.

Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun

dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini

menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang

mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai

diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa

secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna

dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%,

dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.2,9,10,11

Grafik 7.1. Insidensi Diare di Beberapa Negara Berkembang

hari hari hari hari

Sumber: Bhutta7

Etiologi

Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara

diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam

kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi

intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai dengan

darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perhatian

Page 129: Buku Ajar Gastroenterologi

global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi

saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Tabel 7.1

menunjukkan enteropatogen penyebab diare di Surabaya dari tahun 1984 hingga 1993,

berdasarkan durasi diare. Sayangnya publikasi lain dari studi semacam ini di Indonesia tidak

dapat diperoleh.4,12,13

Tabel 7.1. Enteropatogen penyebab diare di Surabaya (1984-1993)

Etiologi Diare Akut (<7

hari)

Diare

berkepanjangan

7-15 hari

Diare Kronis

>15 hari Rotavirus 116 n.d n.d.

V.cholera 78 2 -

Salmonella sp. 86 81 21(11.9%)

E.coli 102 14 16 (9%)

Campylobacter j. 16 2 -

Entamoeba histolytica - 16 12 (6.8%)

Staphylococcus aureus - 11 7 (4%)

Shigella 7 1 -

Pseudomonas - 1 -

Salmonella typhi - 1 3 (1.7%)

Morganella morgagni - - 3 (1.7%)

Klebsiella - - 1 (0.5%)

Enterobacter - - 1 (0.5%)

Aeromonas 4 n.d n.d

Klebsiella oxytocia 5 - -

Infeksi campuran 54 13 12 (6.8%)

76 (100%)

Sumber : Soeparto4

Patogenesis

Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Pertemuan

Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN)

menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan berbagai

faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang

pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali

diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya

menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun

sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut

lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi. 14,15,16

Gambar 7.1. Konsep Patogenesis Diare Persisten dan Kronis

Page 130: Buku Ajar Gastroenterologi

Sumber: Sullivan14

Gambar 7.2. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten

Interkuren infeksi

Faktor predisposisi utama

Kemiskinan

Penyapihan dini

Terapi puasa

Organisme patogen

malnutrisi

Insufisiensi

pankreas

Diare kronis

Kolonisasi kuman

Di usus halus

Malabsorbsi

asam empedu

Kerusakan mukosa

Alergi makananPenurunan

status imun

Page 131: Buku Ajar Gastroenterologi

Sumber: Bhutta7

Gambar 7.2. menunjukkan perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan

bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan

terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada

akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki konsekuensi

enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.7

Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2) faktor

mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk

gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang

mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang

mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi

transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh proses

akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan

fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan

Klorida-Bikarbonat.14,17

Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh Ghishan,

dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein

transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5) perubahan

motilitas usus.5

Diare infeksius

Pengobatan diare

Yang tidak optimal dan

terlambat

Infeksi dan diare yang

berulang

Diare berkepanjangan

Diare persisten dan enteropati

Malnutrisi

sejak awal

Difisiensi imun

Malnutrisi mikronutrien

mis. Zinc dan vit A

Page 132: Buku Ajar Gastroenterologi

1. Sekretoris

Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat

mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah

terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak

dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan

mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam),

konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon

terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di

mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah

disebutkan sebelumnya.5

2. Osmotik

Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses

pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan

langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen

usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung

pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam

proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila

disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan

gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi

laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi,

yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus

besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan

difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini

menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi

reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.5

3. Mutasi protein transport

Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion Cl-

/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan absorpsi

Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis

metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar

Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik.

Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi

polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum

rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai

daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur

Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi

pada penukar Na+/H+ dan Na+–protein pengangkut asam empedu.5,18

4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus

Page 133: Buku Ajar Gastroenterologi

Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing

enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain, diperlukan

pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short bowel

syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit

yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.5,15

5. Perubahan pada gerakan usus

Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus

dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan

bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak

meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik.

Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom,

misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori

dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu

terjadinya diare.5

Manifestasi Klinis (Komplikasi)

Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak

menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi

merupakan gambaran umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika

menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam

tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare

akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang

mendasarinya.10,,16

Diagnosis

Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:

1. Anamnesis

Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara lain berapa

lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga bertujuan

untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat pemberian

makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat dan

adanya penyakit sistemik.15,19

2. Pemeriksaan fisik

Page 134: Buku Ajar Gastroenterologi

Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada

penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.4

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit,

ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju enap darah, dan

protein C-reaktif.

b. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal

elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5 atau

adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan

kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti

giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten.4,19

Terapi

Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan meliputi:

1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi

Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare

persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit,

khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas

harus dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan

atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.20

2. Pemberian nutrisi

a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis

Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar 100

kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1

kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi: diet elemental, diet berbahan dasar susu,

dan diet berbahan dasar ayam.

i. Diet elemental

Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam

amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi

trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah

harganya mahal. Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima

oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk

Page 135: Buku Ajar Gastroenterologi

mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya

digunakan di negara maju.21

ii. Diet berbahan dasar susu

Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam

mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam

jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI,

pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap

oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah

infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan

susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan

demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga

membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung

epidermial growth factors.22

iii. Diet berbahan dasar daging ayam

Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa, hipoosmolar,

dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa pemberian diet

berbahan dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil perbaikan yang

signifikan. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK UGM

dengan single blind, randomized-controlled trial menunjukkan durasi diare yang

lebih pendek secara bermakna pada anak dengan diare yang mendapat bubur ayam

dibandingkan yang mendapat bubur tempe (1,92±0,66 vs 2,64±0,89, p 0,034).

Namun demikian, mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi

daripada bubur refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat menjadi pilihan

tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.21,23

b. Pemberian mikronutrien

Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan

nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi.

Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA

(Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1

tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi

10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan

suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk

anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.22

Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan

bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24%

dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%. 24,25

c. Probiotik

Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung

Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada

penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan

Page 136: Buku Ajar Gastroenterologi

durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006)

menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-

associated diarrhea.26,27

d. Tempe

Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah

2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat

bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33 hari). Sebuah studi uji klinis

randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997)

menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi

diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode

diare akut.15

3. Terapi Farmakologis

Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik

diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstra-

intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk

shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi

adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia lamblia

pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua antibotik

berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi

lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.20,28,29

4. Follow up

Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau

perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi

diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan

intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana 50% kebutuhan

cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara

maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai

dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-tanda dehidrasi,

atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari. Gambar 7.3 menjelaskan alur

tata laksana diare persisten/kronis.7,21

Page 137: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 7.3. Diagram Manajemen Diare Persisten

Diare persisten

{diare »14 hari disertai malnutrisi}

Diagnosis, resusitasi dan stabilisasi awal

•Intravena atau rehidrasi oral {cairan rehidrasi oral}

•Atasi gangguan elektrolit

•Pelacakan dan pengobatan infeksi sistemik

ASI diteruskan

Mengurangi asupan laktosa dengan:

Diet susu sereal (umumnya berbahan dasar beras)

Atau mengganti susu dengan yogurt

Suplemen mikronutrien (zink, vit A, folat)

sembuh

Pemantauan

pertumbuhan

Diare berlanjut atau berulang

Berat badan tidak naik

Pelacakan ulang untuk penyebab infeksi

Terapi diet sekunder

Ayam dan diet elemental

Diarre berlanjut dan dehidrasi

Pelacakan ualng untuk menyingkirkan

Diare intraktable pada bayi

Hiperalimentasi intravena

Page 138: Buku Ajar Gastroenterologi

Sumber: Bhutta7

Faktor Risiko dan Pencegahan

Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma

menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama

terjadinya diare persisten.16

Tabel 7.2. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten

Faktor bayi - Bayi berusia <12 bulan - Berat badan lahir rendah (<2500 gram) - Bayi atau anak dengan malnutrisi - Anak-anak dengan gangguan imunitas - Riwayat infeksi saluran nafas

Faktor maternal

- Ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat bayi

- Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun bayi.

- Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan pendamping ASI.

Pemberian susu pada bayi

- Pengenalan susu non-ASI - Penggunaan botol susu

Riwayat infeksi sebelumnya

- Riwayat diare akut dalam waktu dekat (khususnya pada bayi <12 bulan)

- Riwayat diare persisten sebelumnya.

Penggunaan obat sebelumnya

- Obat antidiare, karena berhubungan dengan menurunnya motilitas gastrointestinal.

- Antimikroba, termasuk antibiotik dan anti-parasit.

Sumber: WHO11

Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan. Hal ini

didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare persisten

paling banyak pada anak usia ≤ 3 bulan. Studi yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan

bahwa rata-rata usia anak penderita diare persisten adalah 10,7 bulan. Baqui et al (1993)

menyatakan bahwa kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah usia kurang dari 1

tahun.30,31

Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita

diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat dibandingkan

Page 139: Buku Ajar Gastroenterologi

kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran juga merupakan

salah satu faktor risiko diare peristen. Pemberian makanan pendamping terlalu dini

meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare persisten semakin tinggi. Oleh

karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI eksklusif

selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan manajemen yang tepat pada

diare akut sehingga kejadian diare tidak berkepanjangan. Manajemen diare akut yang tepat

meliputi pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.29,32

Diare Persisten pada Kondisi Khusus

1. Diare persisten pada Infeksi HIV

Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada

penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih

tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan

kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode

diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5

kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining

yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV

seropositif.9,33,34

Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum

diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan

perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik

dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan

bakteri.35,36

Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare

persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai

pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi

infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997)

mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten

pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi

usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare

persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi

microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus,

Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.13,35,36

2. Diare persisten pada keganasan

Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi

usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada

absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma

sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu

terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid

yang mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya

Page 140: Buku Ajar Gastroenterologi

menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin

yang menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut

mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi

asam lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim

pencernaan dan menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan

malabsorpsi zat nutrien. Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.36,38

Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi

menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-

agen kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan.

5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi,

sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.39

Diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat

kematian anak di Indonesia dan dunia. Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai

faktor yang sangat kompleks. Hubungan antara diare persisten dengan malnutrisi

bagaikan lingkaran setan yang memerlukan penanganan yang integratif dan bertahap

sehingga terapi yang dibutuhkan tidak hanya terapi medikamentosa akan tetapi

dibutuhkan pula terapi nutrisi yang optimal.

Daftar Pustaka

1. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children dying every year? Lancet. 2003; 361: 2236-

2234. 2. MoH I. Indonesia: demographic and health survey. Jakarta: Government of Indonesia. 2003.

3. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrhoeal disease, as estimated from studies published

between 1992 and 2000. Bulletin of the World Health Organization. 2003; 81(3). 4. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG. Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma Diare. Seri Gramik:

Gastroenterologi Anak Edisi 2. 1999.

5. Ghishan RE. Chronic Diarrhea. In Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. WB Saunders, Philadelphia. 2007. 6. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z et al. Chronic diarrhea and malabsorption (including short gut syndrome):

Working Group Report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.

Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 33 (supplement). 7. Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle. 2006; 64: 39-47.

8. Kandun, IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia Tahun 2008.

Makalah dipresentasikan dalam Annual Scientific Meeting Dies Natalis FK UGM ke-62 dan HUT RSUP Dr. Sardjito ke-26, Simposium Diare Rotavirus di Indonesia: Tantangan dan Harapan. 6 Maret 2008.

9. Parthasarathy P, Mittal SK, Sharma VK. Prevalence of Pediatric HIV in New Delhi. [Indian J Pediatr. 2006;

73(3): 205-7.

10. Roy RR, Roy E, Sultana S, Kawser CA. Epidemiology and Clinical Characteristics of Children with Persistent

Diarrhea. Journal of Bangladesh College Physicians and Surgeons. 2006; 24: 3: 105-9.

11. WHO. Persistent diarrhoea in children in developing countries: memorandum from a WHO meeting. Bull World Health Organ. 1988; 66: 709-17.

12. Thomas ED, Fortes A, Green C, Howdel P, Long R, Playford R, Sherriden M, Stevens R, Vallorie R, Walter J,

Eddison GM, Heal P, Brighden D. Guidelines For The Investigation Of Chronic Diarrhoea 2nd Ed. GAD. 2003; 52: V1-V15.

Page 141: Buku Ajar Gastroenterologi

13. Grohmann GS, Roger GW, Perreira HG, Monroe SS, Hightower AW, Weber R, Brian RT. Enteric Viruses And

Diarrhoea In HIV Infected Patient. 1993; 329: 14-20. 14. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J Clin Invest. 2003; 111(7): 931-943.

15. Soenarto, SY. Diarrhea Case Management: Using Research Findings Directly For Case Management And

Teaching In A Teaching Hospital In Yogyakakarta, Indonesia. Amsterdam. 1997. 16. Sullivan PB. Studies of the Small Intestine in Persistent Diarrhea and Malnutrition: The Gambian Experience,

Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 34: S11-S13.

17. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children: Part II. Clinical Approach and Management. Saudi J Gastroenterol. 1995; 1: 81-6.

18. Kere J, Lohi H, Hoglund P. Genetic disorder of membrane transport: III. Congenital Chloride Diarrhea. Am J

Physiol (Gastrointest Liver Physiol.39). 1999; 276: 7-13. 19. Kandun IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia. Dalam

Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Departemen

Kesehatan RI. 2003. 20. Patwari AK, Anand VK, Aneja S, Sharma D. Persistent Diarrhea: Management in a Diarrhea Treatment Unit,

Indian Pediatric Journal. 1995; 32: 277-84.

21. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of Persistent Diarrhea in Childhood: A Perspective from the

Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology & Nutrition, [Review]. 1996; 22: 17-37.

22. WHO. Persistent Diarrhea and Breastfeeding. WHO. Geneva. 1997.

23. Budiwiarti, YE. Pengaruh Pemberian Bubur Refeeding Tempe Terhadap Diare pada Anak Diare Akut Usia 6-24 Bulan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, FK UGM. 2005.

24. Bhutta ZA, Bird M, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A, Khatun F, Martorell R, Ninh NX, Penny ME,

Rosado JL, Roy SK, Ruel M, Sazawal S, Shankar A (The Zinc Investigator Collaborative Group). Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in children in developing countries: pooled analysis of

randomized controlled trials. Am J Clin Nutr. 2000; 72: 1516-22.

25. WHO. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines for the Management of Common Illnesses with Limited Resources. WHO Press, Switzerland. 2006.

26. Gaon D, Garcia H, Winter L, Rodriguez N, Quintas R, Gonzales SN, Oliver G. Effect of Lactobacilles Strain And

Saccharomices Boulardie On Persistent Diarrhoea In Children. MEDICINA. 2003; 63: 293-298. 27. Johnston DC, Supina AL, Ospina M, Vohla S. Probiotic For The Prevention Of Pediatric Antibiotic Associated

Diarrhoea. [Review Online]: Cochrain Database Of Systematic Review. 2008, Issue 1.

28. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronis. Dalam Sudigbia I, Harijono R, dan Sumantri A: Naskah Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987.

29. The Treatment of Diarrhoea: A Manual for Physicians and Other Senior Health Workers. WHO. 2005.

30. Baqui AH, Sack RB, Black RE, Chowdhury HR, Yunus M, Siddique AK. Cell-Mediated Immune deficiency and Malnutrition are Independent Risk Factors for Persistent Diarrhea in Bangladesh Children. Am J Clin Nutr.

1993; 58: 543-548.

31. Fraser D, Dagan R, Porat N, El-On J, Alkrinawi S, Deckelbaum RJ, Abraham D, Naggan L. Persistent Diarrhea in a Cohort of Israeli Bedouin Infants: Role of Enteric Pathogens and Family and Environmental Factors. JID. 1998;

178: 1081-8.

32. Badruddin SH, Islam A, Hendricks KM, Bhutta ZA, Shaikh S, Snyder JD, Molla AM. Dietary risk factors associated with acute and persistent diarrhea in children in Karachi, Pakistan. Am J Clin Nutr. 1991; 54: 745-9.

33. Thea DM, St.Louis ME, Atido U, Kanjinga K, Kembo B, Matondo M, Tshiamala T, Kamenga C, Davachi F, Brown

C, Rand WM, Keusch GT. A Prospective Study of Diarrhea and HIV-1 Infection among 429 Zairian Infants. N Engl J Med., 1993; 329: 1696-1702.

34. Winter H. Gastrointestinal Tract Function and Malnutrition In HIV Infected Children. J. Nutr. 1996; 126: 2620s-

2622s. 35. Attili SVS, Gulati AK, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4 counts and enteric infections in a hospital-

based cohort of HIV-infected patients around Varanasi, India. BMC Infectious Diseases. 2006: 6: 39.

36. Galal OM. Persistent diarrhea as an emerging child health problem. Saudi J Gastroenterol. 1997; 3: 34-40.

37. Schmidt W, Schneider T, Heize W, Schultz D, Weinke T, Ignatius R, Owen EY, Zeitz, Reichen T, Ulrich R.

Mucosal Absorbtion In Microsporidiasis. AIDS. 1997; 11: 1589-1594.

38. Vernacchio L, Zina RM, Mitchell AA, Lesko SM, Laut AG, Achesson DWK. Characteristic Of Persistent Diarrhoea In A Community Based Cohort, Community Of Young US Children. Journal Of Pediatric Gastroenterology And

Nutrition. 2006; 43: 52-58.

39. Wisinski K, Benson III A. Chemoterapy-Induced Mucositis: Focusing on Diarrhea. J Support Oncol. 2007; 5: 270-271.

Page 142: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB VIII

MUNTAH

Badriul Hegar

Ilustrasi kasus

Bayi berumur 9 bulan, selalu rewel dan menolak bila diberikan minum/makan sejak berumur

4 bulan. Berbagai jenis susu formula dan makanan padat telah dicoba diberikan kepadanya

tetapi tetap tidak memperlihatkan perubahan. Sejak lahir, bayi sering ‘gumoh’ dan sejak

umur 4 bulan kenaikan berat badan hanya 100-150 gram perbulan. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan bayi sadar, berat badan 6.600 gram, panjang badan 72 cm (BB/TB<70%), dan

tanda vital dalam batas normal. Jantung dan paru tidak ada kelainan, perut lemas, bising

usus normal, dan ekstremitas menunjukkan perfusi perifer baik. Pemeriksaan laboratorium

rutin memperlihatkan gambaran anemia mikrositik hipokromik. Adanya regurgitasi sejak

lahir yang disertai gejala klinis menolak minum/makan, rewel setiap diberi makan, kenaikan

berat badan yang tidak optimal, dan gambaran anemia mikrositik hipokromik perlu

dipikirkan adanya refluks gastroesofagus patologis (gastroesofagitis refluks). Untuk

membuktikan diagnosis tersebut dilakukan pemantauan pH esofagus (pH-metri) dan

endoskopi. Nilai indeks refluks (IR) pH-metri pada pasien ini sebesar 12%. Nilai IR di atas

10% sangat mendukung gejala klinis dan merupakan indikasi kuat untuk dilakukan

endoskopi. Gambaran erosi pada sepertiga distal esofagus (endoskopi) dan esofagitis derajat

2 (histopatologi) pada pasien ini menegakkan diagnosis gastroesofagitis refluks. Pasien

mendapat terapi parental reassurance, thickening milk, posisi supine 450-600, dan obat:

cisaprid 3 x 1,25 mg dan ranitidin 2 x 15 mg yang dievaluasi setiap 1-2 bulan tergantung

perbaikan klinis, gambaran endoskopi dan histopatologi.

Pendahuluan

Saluran pencernaan dapat diibaratkan sebagai sekelompok organ berbentuk corong yang

saling berhubungan dan membentuk satu tabung yang dilapisi oleh otot; mulai dari rongga

mulut sampai ke anus. Berdasarkan perbedaan diameter dan fungsi karakteristik yang

dimilikinya, saluran tersebut dapat dibedakan menjadi esofagus, lambung, usus halus, usus

besar (kolon), rektum, dan anus. Hati dan limpa merupakan organ lain yang ikut berperan

dalam proses pencernaan dengan mensekresi cairannya ke dalam saluran cerna. Salah satu

manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh seorang anak akibat adanya gangguan

pada saluran cerna adalah muntah. Keadaan ini dapat merupakan menifestasi klinis dari satu

keadaan yang tidak berbahaya, tetapi dapat pula sebagai tanda dari suatu penyakit ‘serius’.

Muntah bukan merupakan satu penyakit melainkan merupakan salah satu manifestasi klinis

Page 143: Buku Ajar Gastroenterologi

dari suatu penyakit. Oleh karena itu, pendekatan diagnosis dan tata laksana muntah sangat

bervariasi bergantung kepada dugaan penyebabnya.1,2,3

Dua organ saluran pencernaan yang paling terlibat pada proses muntah adalah esofagus

dan lambung. Oleh karena itu, pemahaman anatomi dan fisiologi kedua organ tersebut sangat

penting.

Fisiologi Menelan

Proses menelan sendiri telah terjadi pada saat janin. Menelan akan menimbulkan suatu

gerakan peristaltik yang dimulai dari farings, selanjutnya melalui otot serat lintang dan otot

polos esofagus dan berakhir pada kardia lambung. Pada awal menelan, sfingter esofagus atas

(SEA) mengalami relaksasi yang menyebabkan makanan/minuman dapat masuk ke dalam

esofagus. Sfingter esofagus atas merupakan bagian penting karena berfungsi mencegah

regurgitasi dari esofagus ke dalam rongga mulut dan larings. Epitel skuamosa yang melapisi

SEA berfungsi sebagai proteksi terhadap bahan makanan kasar. Begitu makanan/minuman

masuk ke dalam esofagus, SEA segera menutup dan terjadi gerakan peristaltik esofagus.

Sfingter esofagus bawah (SEB) juga mengalami relaksasi pada saat proses menelan berlangsung

dan terus terbuka sampai gerakan peristaltik mencapai SEB. Selanjutnya, SEB berkontraksi

kembali sampai mencapai tekanan pada saat istirahat. Gerakan peristaltik tersebut disebut

sebagai peristaltik primer yang akan menurun pada saat tidur. Pada saat menelan terdapat pula

peristaltik sekunder yang bertujuan mendorong bahan refluks kembali ke dalam lambung.

Peristaltik sekunder juga dapat terjadi bila terdapat makanan di dalam esofagus yang tidak

terdorong oleh peristaltik primer ke dalam lambung. Nervus vagus berperan dalam proses

menelan dengan mengatur gerakan otot rongga mulut, farings, serta kontraksi otot serat lintang

dan otot polos. Pada saat menelan, tekanan SEB menurun sehingga mirip dengan tekanan

lambung.4,5,6

Beberapa keadaan dapat mempengaruhi kompetensi otot SEB, antara lain lengkung

diafragma terutama pada saat tekanan intraabdomal meningkat, faktor hormonal, obat, dan

makanan. Motilin, protein, dan prokinetik meningkatkan tekanan SEB, sedangkan progesteron,

sekretin, kolesistokinin, lemak, alkohol, cokelat, dan berbagai obat (benzodiazepin, teofilin,

atropin) menurunkan tekanan SEB.7,8,9

Lambung terdiri atas fundus, korpus, antrum, dan pilorus yang mempunyai fungsi

berbeda1. Motilitas lambung merupakan aktivitas otot polos yang mendapat persarafan dari

saraf intrinsik (nervus vagus) dan ekstinsik (pleksus mienterikus). Berdasarkan fungsinya

sebagai organ yang berperan dalam motilitas, lambung dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu bagian

proksimal (fundus dan 1/3 proksimal korpus) dan bagian distal (2/3 distal korpus, antrum, dan

pilorus).10,11,12

Dalam keadaan istirahat terdapat gerakan siklus gastrointestinal yang dikenal dengan

migrating motor complex (MMC). Pada keadaan ini, sebagian otot polos bagian proksimal

lambung dalam keadaan kontraksi sedangkan bagian distal relaksasi. Respons terhadap proses

menelan, bagian proksimal akan mengalami relaksasi sehingga dapat mengakomodasi makanan

yang masuk ke dalam lambung. Pada saat relaksasi terjadi peningkatan tekanan intralumen

Page 144: Buku Ajar Gastroenterologi

fundus yang berperan dalam pengosongan lambung dari bahan makanan yang berbentuk cair,

sedangkan gerakan peristaltik antrum berperan penting dalam pengosongan lambung dari

bahan makanan berbentuk padat. Bagian distal lambung memegang peran penting dalam

mixing dan emptying.10,11,12

Saluran cerna juga mendapat persarafan intrinsik dari sistem saraf enterik yang terdapat

pada lapisan muskularis (pleksus mienterikus) dan submukosa (pleksus Meissner). Nervus

vagus menggunakan pleksus mienterikus sebagai relay neurons. Dari berbagai neurotransmiter

yang ada, asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting dalam aktivitas motorik saluran

cerna. Aktivitas motorik saluran cerna terutama diatur oleh sistem saraf enterik. Sistem saraf

enterik dapat menerima impuls aferen secara langsung dari saluran cerna dan memberikan

respons langsung tanpa keterlibatan nervus vagus. Oleh karena itu, sistem saraf enterik disebut

sebagai ‘otak kecil’ saluran cerna.10,11,12

Definisi

Secara klinis, kadangkala sulit dibedakan antara muntah, refluks gastroesofagus (RGE),

dan regurgitasi. Muntah didefinisikan sebagai dikeluarkannya isi lambung melalui mulut secara

ekspulsif melalui mulut dengan bantuan kontraksi otot-otot perut. Usaha untuk mengeluarkan

isi lambung akan terlihat sebagai kontraksi otot perut. Sedangkan, RGE didefinisikan sebagai

kembalinya isi lambung ke dalam esofagus tanpa terlihat adanya usaha dari anak, dapat

disebabkan oleh hipotoni sfingter esofagus bagian bawah, posisi abnormal sambungan esofagus

dengan kardia, atau pengosongan isi lambung yang padat. Apabila bahan dari lambung tersebut

dikeluarkan melalui mulut, maka keadaan ini disebut sebagai regurgitasi.6,10 Regurgitasi terjadi

akibat gerakan antiperistaltik esofagus. Sedangkan ruminasi yaitu pengeluaran makanan secara

sadar untuk dikunyah kemudian ditelan kembali.1,2,7

Patogenesis

Muntah berada di bawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula oblongata,

yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral yang dikenal sebagai pusat muntah. Pusat

muntah di medula diaktifkan oleh impuls yang berasal dari chemoreceptor trigger zone (CTZ)

yang berada di dasar ventrikel IV. Chemoreceptor trigger zone merupakan tempat

berkumpulnya impuls aferen yang berasal dari bahan endogen/eksogen atau impuls dari

saluran cerna atau tempat lainnya yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga

dtemukan berbagai neurotransmiter, reseptor, dan enzim. Reseptor terhadap dopamin

ditemukan pada daerah ini.1,13

Proses muntah sendiri mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea

merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus baik pada organ visera,

labirin, atau emosi. Fase ini ditandai oleh adanya rasa ingin muntah pada perut atau

Page 145: Buku Ajar Gastroenterologi

kerongkongan dan sering disertai berbagai gejala otonom seperti bertambahnya produksi air

liur, berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Pada saat nausea, gerakan peristaltik aktif

berhenti dan terjadi penurunan kurvatura mayor lambung bagian bawah secara mendadak.

Tekanan pada fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di daerah antrum sampai pars

desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum menjadi distensi sehingga dapat

menyebabkan refluks duodenogaster. Selain itu juga terjadi peristaltik retrograd mulai dari

jejunum sampai ke lambung. Adanya refluks duodenogaster tersebut menerangkan bahwa

muntah yang bercampur empedu tidak selalu disebabkan obstruksi usus. Fase ini tidak selalu

berlanjut ke fase retching dan emesis. Muntah yang disebabkan oleh tekanan intrakranial

meninggi dan obstruksi usus tidak memperlihatkan gejala nausea.1,13

Pada fase retching terjadi inspirasi dengan gerakan otot napas spasmodik yang diikuti

dengan penutupan glottis. Keadaan ini menyebabkan tekanan intratoraks negatif dan pada saat

yang sama terjadi pula konstraksi otot perut dan diafragma. Fundus mengalami dilatasi,

sedangkan antrum dan pilorus mengalami kontraksi. Sfingter esofagus bagian bawah membuka

tetapi sfingter bagian atas masih menutup. Fase retching-pun dapat terjadi tanpa harus diikuti

oleh fase emesis.1,13

Fase emesis ditandai dengan adanya isi lambung yang dikeluarkan melalui mulut. Pada

keadaan ini terjadi relaksasi diafragma, perubahan tekanan intratoraks dari negatif menjadi

positif, dan relaksasi sfingter esofagus bagian atas yang mungkin disebabkan oleh peningkatan

tekanan intralumal esofagus.1,13

Etiologi

Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi dan tergantung dari usia. Beberapa

keadaan dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti gangguan pada lambung atau usus

(infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada telinga bagian dalam (dizziness dan motion

sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat (trauma, infeksi), atau akibat makan yang

berlebihan. Meskipun jarang, obstruksi usus merupakan penyebab muntah pada bayi. Beberapa

penyebab muntah yang sering ditemukan pada anak berdasarkan lokasi kelainan dan usia dapat

dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 8.1. Penyebab muntah pada neonatus

Saluran cerna Luar cerna Non-organik

Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain

Atresia esofagus

Stenosis pilorus

M. Hirschsprung

Gastroenteritis

NEC

Kalasia

TIK meninggi

Meningitis

Efusi subdural

Hidrosefalus

Sepsis

Insuf. ginjal

Inf. saluran kemih

Iritasi C. amnion

Teknik minum

Obat

Page 146: Buku Ajar Gastroenterologi

Malrotasi usus

Hernia hiatus

Ileus mekonium

Laktobezoar

Iritasi as.lambung Hiperplasia

adrenal

Inborn error

metab.

Sumber : Dodge1

Tabel 8.2. Penyebab muntah pada bayi

Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organik

Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain

Stenosis pilorus

Antral web

Intususepsi

Volvulus

RGE

Intoleransi

laktosa

CMPSE

Gastroenteritis

NEC

Meningitis

Ensefalitis

TIK meninggi

Inf. saluran napas

Inf. saluran kemih

Otitis media

Hepatitis

Insufisiensi adrenal

Gangguan

metabolik

Teknik makan

Erofagi

Motion sicknes

Obat

Sumber : Dodge1

Tabel 8.3. Penyebab muntah pada anak

Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organik

Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain

Intususepsi

Obstruksi usus

Akalasia

Striktur (ingesti bahan

kaustik)

Gastroenteritis

Apendisitis

Gastritis

Ulkus peptikum

Keracunan

makan

TIK

meninggi

Infeksi SSP

Hidrosefalus

Inf. saluran napas

Inf. saluran kemih

Otitis media

Henoch-Schonlein

Torsio testis

Psikogenik

Menarik

perhatian

Motion sicknes

Obat

Page 147: Buku Ajar Gastroenterologi

Sumber : Dodge1

Oleh karena begitu besarnya variasi penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan

muntah pada anak, maka pengenalan keluhan dan gejala klinis yang spesifik dari masing-

masing penyakit tersebut sangat diperlukan oleh seorang dokter sebagai langkah awal

melakukan pendekatan diagnosis. Langkah awal yang tepat akan memberikan keakuratan

diagnosis yang cepat. Pada BAB ini tidak akan dibahas secara rinci penyebab muntah tersebut,

tetapi akan diuraikan pendekatan diagnosis secara umum.1,9,14

Manifestasi Klinis

Muntah pada anak biasanya merupakan suatu petanda adanya infeksi. Muntah pada

seorang anak yang mengalami infeksi biasanya disertai oleh gejala lainnya seperti demam,

mual, sakit perut, atau diare. Keadaan ini biasanya akan berhenti dalam waktu 6-48 jam.

Apabila muntah terus berlangsung perlu dipikirkan adanya suatu keadaan yang lebih serius.

Anak mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi dehidrasi, terutama apabila disertai diare.

Infeksi virus merupakan penyebab terbanyak diantara patogen lainnya. Muntah yang disertai

demam lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri dibanding virus atau parasit. Adanya

penyakit peptikum perlu dipikirkan bila muntah terjadi segera setelah makan, sedangkan

muntah yang disebabkan oleh keracunan makanan biasanya terjadi 1-8 jam setelah makan.

Muntah akibat food borne disease seperti Salmonella memerlukan waktu yang lebih lama untuk

menimbulkan gejala klinis karena diperlukan waktu untuk inkubasi. Kandidiasis oral sering

pula sebagai penyebab muntah pada bayi.1,3,15

Muntah proyektil non-bilious berulang pada bayi dapat merupakan tanda obstruksi

saluran cerna, misalnya stenosis pilorus. Stenosis pilorus sering ditemukan pada minggu kedua

setelah lahir, walaupun sangat jarang dapat pula ditemukan sejak lahir. Muntah persisten pada

neonatus yang terjadi pada malam hari perlu dipikirkan kemungkinan adanya hernia hiatus.

Penyakit pankreatitis jarang ditemukan pada anak. Penyebab tersering kelainan ini adalah

infeksi virus, obat-obatan, dan trauma. Selain muntah, anak memperlihatkan gejala sakit perut

di daerah epigastrium dan perut sebelah kiri atas yang kadang-kadang menyerupai gastritis

tetapi tidak memperlihatkan perbaikan setelah diberi obat antagonis reseptor H2.1,16,17

Satu hal penting yang juga harus dipahami pada seorang anak yang mengalami muntah

adalah menentukan adanya kelainan yang memerlukan tindakan bedah segera. Kelainan ini

umumnya digolongkan ke dalam kelompok penyakit perut akut. Ada beberapa petunjuk yang

dapat digunakan sebagai petanda kecurigaan terhadap kelainan tersebut, yaitu (1) nyeri perut

yang timbul mendahului muntah dan/atau berlangsung selama lebih dari 3 jam, (2) muntah

bercampur empedu, dan (3) distensi perut. Volvulus pada neonatus memperlihatkan muntah

berwarna hijau yang timbul pada hari-hari pertama kehidupan dan selanjutnya diikuti tanda

Page 148: Buku Ajar Gastroenterologi

obstruksi saluran cerna letak tinggi dan peritonitis. Muntah ditemukan pada 90% anak dengan

volvulus, sedangkan sakit perut pada 80% anak.1,18

Muntah dapat pula disebabkan oleh kelainan di luar saluran cerna seperti infeksi saluran

napas atau saluran kemih. Beberapa obat dapat pula sebagai pencetus muntah pada anak

seperti histamin, fenitoin, (obat anti epilepsi), kemoterapi, aspirin, dan beberapa antibiotika.

Muntah setelah trauma kepala yang ringan ditemukan pada 15% anak dan sebagian besar

mempunyai riwayat sakit kepala berulang dan motion sickness.3 Oleh karena itu, muntah pada

trauma kepala ringan lebih dihubungkan dengan adanya faktor intrinsik individual. Muntah

akibat kelainan fungsional biasanya ditemukan pada anak berusia 2-7 tahun dengan disertai

keluhan migrain, motion sickness, dan gangguan saluran cerna fungsional lainnya (sakit perut,

gangguan defekasi). Saat keluhan, adanya gangguan tingkah perilaku seperti anoreksia atau

bulimia nervosa perlu dipikirkan adanya kelainan psikiatri. Secara garis besar pendekatan

diagnosis muntah pada anak dapat dirangkum sebagai berikut:

- tegakkan/singkirkan penyakit infeksi sebagai penyebab muntah (misalnya otitis media,

diare, infeksi intrakranial, infeksi saluran kemih atau napas, sepsis, atau hepatitis)

- tegakkan/singkirkan kelainan organik saluran cerna (misalnya atresia esofagus, RGE,

stenosis pilorus, M. Hirschsprung, penyakit peptikum)

- cari kemungkinan adanya masalah dalam makanan (misalnya intoleransi laktosa, alergi

makanan, kebanyakan makan, teknik pemberian makan/minum yang salah) - cari kemungkinan adanya pengaruh obat-obatan, kelainan psikologi, dan kelainan

metabolik.1,9

Diagnosis16,19,20,21,22,23

Pendekatan untuk identifikasi masalah sangat penting, yang meliputi:

1. Usia dan jenis kelamin

2. Tentukan terlebih dahulu apa yang dihadapi: muntah/yang lain

3. Bagaimana keadaan gizi anak

4. Adakah faktor predisposisi

5. Apakah ada penyakit yang menyerang anak secara interkuren

6. Bagaimana bentuk (isi) muntahan, apakah seperti susu/makanan asal (tanda isi dari

esofagus), atau telah merupakan susu yang telah menggumpal (isi lambung) atau

mengandung empedu (isi duodenum), atau adakah darah

7. Apakah saat muntah berhubungan dengan saat makan/minum

8. Apakah perubahan posisi tubuh mempengaruhi muntah

9. Informasi diet: kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan (terutama untuk anak kecil)

10. Bagaimana teknik pemberian minum

11. Bagaimana kondisi psikososial di rumah

Pemeriksaan penunjang dilaksanakan untuk membantu pendekatan diagnosis. Jenis

pemeriksaan yang dipilih sesuai dengan dugaan diagnosis berdasarkan anamnesis dan

manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan darah, radiologis dengan

Page 149: Buku Ajar Gastroenterologi

atau tanpa kontras, ultrasonografi, endoskopi, pemantauan pH esofagus (pH-metri), uji

hidrogen napas, biopsi mukosa saluran cerna.16,19,23

Muntah hijau pada neonatus baik yang disertai atau tidak disertai distensi abdomen

dapat merupakan petanda awal obstruksi saluran cerna. Pipa nasogastrik harus segera dipasang

untuk dekompresi lambung. Pemeriksaan foto polos perut yang memperlihatkan dilatasi usus

dan air-fluid levels menunjukkan adanya obstruksi saluran cerna yang memerlukan tindakan

bedah. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras dapat membedakan adanya atresia

duodeni, malrotasi midgut, volvulus, atresia jejunum, atau ileus yang merupakan penyebab

obstruksi saluran cerna paling sering pada neonatus.7,16,19

Kecurigaan klinis adanya stenosis pilorus dapat dibuktikan dengan pemeriksaan barium

meal atau ultrasonografi yang memperlihatkan gambaran khas. Adanya refluks gastroesofagus

(RGE) dapat dibuktikan dengan pemantauan pH esofagus selama 24 jam (pH-metri). Indeks

refluks di atas 5% menunjukkan adanya RGE patologis. Esofagitis dan penyakit peptikum (erosi,

ulkus) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi dan biopsi mukosa saluran cerna.

Kecurigaan terhadap intoleransi laktosa dan overgrowth bacteria dibuktikan dengan

pemeriksaan uji hidrogen napas. Peningkatan kadar H2 napas diatas 20 ppm pada menit ke 60-

120 setelah minum larutan laktosa menunjukkan adanya malabsorpsi laktosa, sedangkan

peningkatan pada menit ke-30 menunjukkan overgrowth bacteria. Pemeriksaan darah perifer

dan urin diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi yang mendasari keluhan

tersebut, sedangkan pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit dilakukan bila diduga telah

terjadi komplikasi gangguan metabolik atau sebaliknya adanya kecurigaan gangguan metabolik

yang mendasari keluhan tersebut.16,19,22

Terapi

Terapi utama muntah ditujukan untuk mencari dan mengatasi penyebabnya, sedangkan

terapi suportif diperlukan untuk mencegah keadaan yang lebih buruk dan mengatasi komplikasi

yang telah terjadi. Beberapa petunjuk di bawah ini dapat dipakai sebagai terapi awal muntah

pada anak, yaitu:

- Apabila tidak ada obstruksi saluran cerna, muntah biasanya akan berhenti dalam waktu

6-48 jam.

- Atasi dan cegah dehidrasi serta gangguan keseimbangan elekrolit.

- Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa lebih enak atau tidak ada

muntah lagi selama 6 jam.

- Hentikan obat-obatan yang diduga dapat mengiritasi lambung dan membuat muntah

bertambah (misalnya aspirin, asetosal, kortikosteroid, antibiotik golongan makrolid).

- Hindarkan makanan padat pada 6 jam pertama dan berikan rasa nyaman pada anak

selama periode ini (misalnya dengan menurunkan suhu tubuh).

- Berikan makanan yang mudah dicerna sehingga membantu proses penyembuhan

saluran cerna yang mengalami gangguan.

- Berikan minuman manis seperti jus buah (kecuali jeruk dan anggur karena terlalu

asam), sirup, atau madu (untuk anak di atas 1 tahun) secara bertahap setiap 15-20 menit

Page 150: Buku Ajar Gastroenterologi

sebanyak 1-2 sendok teh. Cairan lain yang dapat pula diberikan antara lain kaldu ayam,

atau oralit.

- Setelah 1 jam pertama dapat diberikan minuman dengan jumlah yang lebih banyak (2-4

sendok teh setiap 15-20 menit) secara bertahap dan ditingkatkan 2 kali setiap 1 jam.

Apabila terjadi muntah kembali, berikan minuman dalam jumlah lebih sedikit.

Pemberian minum ad libitum pada anak terutama bayi mempunyai risiko terjadi

muntah yang berulang.

- Setelah 3 jam tidak mengalami muntah, dapat diberikan minuman melalui gelas (anak)

atau botol (bayi) dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap pula.

- Setelah 6 jam tidak mengalami muntah, bayi dapat diberikan buah pisang, sereal, dan

jus apel, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat diberikan roti, krakers, madu, sup

ayam, kentang atau nasi. Jenis dan jumlah makanan juga diberikan secara bertahap.

Diet normal biasanya dapat diberikan setelah 24 jam.

- Hindarkan aktivitas setelah makan.

- Obat anti muntah diberikan bila memang benar-benar diperlukan. Pemberian obat-

obatan ini harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Obat diberikan bila

anak menolak minum setelah muntah atau muntah telah berlangsung lebih dari 24 jam.

- Pemantauan lebih teliti perlu diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut: muntah

tetap berlangsung selama 12 jam (untuk bayi) dan 24 jam (untuk anak), muntah disertai

diare, disertai gangguan neurologis, letargi, tanda dehidrasi dan sakit perut, gangguan

pernapasan, atau isi muntah berwarna kehijauan.19,23,24

Obat anti muntah tidak digunakan secara rutin pada anak, tetapi hanya pada anak yang

menolak minum setelah muntah atau muntah berlangsung lebih dari 24 jam sehingga

dikhawatirkan keadaan tersebut akan menimbulkan komplikasi baik berupa dehidrasi maupun

gangguan keseimbangan elektrolit dan gas darah. Obat anti muntah dapat langsung diberikan

pada kasus yang mendapat kemoterapi atau radioterapi. Hal yang paling penting adalah harus

diyakini bahwa tidak ada obstruksi saluran cerna.23,25

Berbagai jenis obat dilaporkan sebagai obat anti muntah seperti golongan antagonis

reseptor dopamin, antikolenergik, antihistamin, dan antagonis reseptor serotonin. Pemilihan

golongan obat tersebut bergantung dari patofisiologi muntah yang terjadi. Pada motion sicknes

terjadi gangguan sistem vestibular, maka golongan antikolinergik (misalnya skopolamin)

merupakan obat pilihan. Golongan antihistamin (hyoscine hydrobromide, prometazin) yang

bekerja pada ’pusat muntah’ juga dapat digunakan pada keadaan tersebut. Golongan antagonis

reseptor serotonin (ondansetron) yang bekerja pada CTZ sangat efektif pada kasus yang

mendapat kemoterapi dan radioterapi.25

Gangguan pada saluran cerna seperti yang terjadi pada infeksi, golongan antagonis

reseptor dopamin yang bekerja pada pusat (CTZ) dan perifer (saluran cerna) merupakan obat

pilihan. Dari golongan tersebut, metoklopramid dan domperidon merupakan jenis obat yang

banyak digunakan sebagai antimuntah. Metoklopramid mempunyai efek menghambat reseptor

dopamin di CTZ, sehingga mengurangi nausea dan muntah. Berbagai gejala seperti ansietas,

tremor, distonia dan diskenesis pernah dilaporkan pada pasien yang menggunakan obat ini.26,27

Page 151: Buku Ajar Gastroenterologi

Domperidon banyak digunakan sebagai obat anti muntah karena efeknya yang positif

dan efek sampingnya kecil (0.5%). Obat ini selain menghambat reseptor dopamin di CTZ, juga

pada reseptor dopamin perifer (saluran cerna). Efek positif yang diperlihatkan setelah

pemberian domperidon, antara lain meningkatkan tekanan SEB, meningkatkan kontraktilitas

lambung, memperbaiki koordinasi antroduodenum, dan mempercepat pengosongan lambung.

Domperidon mempunyai bioavailabilitas yang rendah karena dimetabolisme secara cepat di

dinding usus dan hati. Domperidon dapat ditoleransi lebih baik dan mempunyai efek samping

ekstrapiramidal yang lebih kecil dibanding metoklopramid karena berkemampuan kecil

menembus sawar darah otak. Dosis yang dianjurkan pada anak adalah 0,2 -0,4 mg/kgBB/hari

peroral.28

Komplikasi

Kehilangan cairan dan elektrolit, aspirasi isi lambung, malnutrisi dan gagal tumbuh,

sindrom Mallory-Weiss (robekan pada epitel gastroesophageal junction akibat muntah yang

berulang), sindrom Boerhave (ruptur esofagus), dan esofagitis peptikum.1,9

Pencegahan

Pencegahan yang dimaksud di sini adalah pencegahan terjadinya komplikasi akibat

muntah, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (dehidrasi, asidosis/alkalosis

metabolik, hipokalemia, hiponatremia), aspirasi, gangguan nutrisi, esofagitis peptikum, dan

sindrom Mallory-Weiss. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan mengikuti petunjuk tata

laksana muntah pada anak seperti yang diuraikan sebelumnya17,29

Kesimpulan

Muntah merupakan salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh

seorang anak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan maupun di luar saluran

pencernaan. Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi, oleh karena itu pengenalan

manifestasi klinis spesifik dari masing-masing penyakit yang sering sebagai penyebab muntah

perlu dipahami oleh seorang dokter. Pendekatan diagnosis yang tepat dan cepat akan

menimbulkan penatalaksanaan yang optimal. Penggunaan obat anti muntah bukan merupakan

pilihan utama pada kasus muntah, tetapi pada beberapa keadaan, obat anti muntah yang efektif

dan aman sangat diperlukan.

Daftar pustaka

1. Dodge JA. Vomiting and regurgitation. In: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker Smith JA, Watkins JB, eds. Pediatric gastrointestinal diseases, 2nd ed. Philadelphia: BC Decker. 1991: 32-44.

Page 152: Buku Ajar Gastroenterologi

2. Fennig S. Cyclic vomiting syndrome. Jounal of pediatric gastroenterology and nutrition. 1999.

3. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of gastrointestinal tract. In: Roy CC, Silverman A, Alagille D, eds. Pediatric clinical gastroenterology, 1st ed. St Louis: Mosby. 1998: 20-30.

4. Biancani P, Zabinski M, Kerstein M, Behar J. Lower esophageal sphincter mechanics: Anatomic and physiologic

relationships of the esophagogastric junction of cat. Gastroenterology. 1982; 82: 468-75. 5. Penagini R, Bartesaghi B, Bianchi PA. Effect of cold stress on postprandial lower esophageal sphincter

competence and gastrooesophageal reflux in healthy subjects. Dig Dis Sci. 1992; 37: 1200-5.

6. Pope CE. A dynamic test of sphincter strength: Its application to the lower esophageal sphincter. Gastroenterology. 1967; 52: 779-86.

7. Hegar B, Vandenplas Y. Gastro-esophageal reflux in infancy. J. Gastroenterol Hepatol. 1999: 14:13-9.

8. Jan Nissl RN. Bloody or yellow or green liquid (bile) in vomit in children. Healthwise. 2007. 9. Tomomasa T, Kuroume T. Developmental physiology. In : Hyman PE, Lorenzo CD eds. Pediatric

gastrointestinal motility disorders, 1st ed. New York : Academy Profesional Information Services. 1994: 1-7.

10. Kumar D. Gross morphology of the gastrointestinal tract. In: Kumar D, Gustavsson eds. Gastrointestinal motility, 1st ed. London: John Wiley & Sons. 1988: 3-8.

11. Li Buk. Cyclic vomiting syndrome: A pediatric Rorschach. J pediatr gastroenterol nutr. 1993.

12. Stendal C. Anatomy of the digestive system. In: Stendal C. ed. Practical guide to gastrointestinal function testing.

1st ed. London: Blackwell Science. 1997: 1-14.

13. Weisbrodt NW. Swallowing. In: Johnson LR, ed. Gastrointestinal physiology. Mosby, Missouri. 1985: 23-31.

14. Dignan F, Symon DNK, Abu Arafeh I, Russel G. The prognosis of cyclical vomiting syndrome. Archives of disease in childhood. 2001.

15. Kimura K, Loening BV. Billious vomiting in the newborn: Rapid diagnosis of intestinal obstruction. Am Fam

Physician. 2008; 61: 2791-8. 16. Dinkevich E, Ozuah PO, Adam HM. Pyloric stenosis. Pediatric in review. 2007; 21: 1-3.

17. Lerner A, BranskiD, Lebenthal E. Pancreatic diseases in children. Pediatr Clin North America. 2006; 43: 125-34.

18. Peitz HG. Volvulus in childhood. Radiology. 1997; 37: 439-45. 19. Davies AEM, Sandhu BK. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal reflux. Arch Dis Child. 2005; 73: 82-6.

20. Forbes D. Differential diagnosis of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol nutr. 1993.

21. Hegar B, Buller HA. Breath hydrogen test in lactose malabsorption. Paediatr Indones. 1995; 35: 161-71. 22. Hegar B, Vandenplas Y. Electrogastrography in delayed gastric emptying. Paediatr Indones. 1998; 38: 181-90.

23. VandenplasY, Hegar B. Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux diseases in infant and children. J

Gastroenterol Hepatol. 2008; 15: 593-603. 24. Fleisher DR. Management of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol nutr. 1993.

25. The Italian group for antiemetic research. Dexamethasone alone or in combination with ondansetron for the

prevention or delayed nausea and vomiting induced by chemotherapy. N Eng J Med. 2007; 342: 1554-9. 26. Batts KF, Munter DW. Metoclopramide toxicity in an infant. Pediatr Emerg care. 1998; 14(1): 39-41.

27. Ganzini L, Casey DE, Hoffman WF, McCall AL. The prevalence of metoclopramide induced tardive dyskinesia

and acute extrapyramidal movement disorders. Arch Intern Med. 2003; 153: 1469-75. 28. Vandenplas Y, Hegar B, Salvatore S, Hauser B. Pharmacotherapy of gastrooesophageal reflux disease in

children: focus in safety. Expert Opin Drug Saf. 2002; I(4): 355-64.

29. Weber AR, Hyman PE, Cuuhiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ, Staiano A. Childhood functional gastrointestinal disorders. Gut. 1999; 45(suppl II): 60-8.

Page 153: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB IX

SAKIT PERUT PADA ANAK

Aswitha Boediarso

Ilustrasi kasus

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun 9 bulan dibawa ke Poliklinik anak dengan

keluhan utama sakit perut berulang sejak 1 tahun yang lalu. Sakit dirasakan hampir setiap

hari di daerah ulu hati yang tidak menjalar. Sakit perut dapat disertai dengan mual atau

muntah.

Pasien dilahirkan cukup bulan, spontan, ditolong dokter dan langsung menangis. Berat

lahir 3.000 gram dan panjang badan saat lahir 49 cm. Riwayat imunisasi dasar lengkap.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan terkesan normal. Riwayat makanan menunjukkan

kualitas dan kuantitasnya terkesan cukup. Pasien merupakan anak pertama dari dua

bersaudara.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan seorang anak lelaki dengan berat badan 19,5 kg dan

tinggi badan 117 cm. Keadaan umum baik, sadar, tidak terlihat pucat maupun sesak nafas.

Laju denyut jantung sama dengan laju denyut nadi 100 x/menit, laju napas 28 x/menit dan

suhu 36.7oC. Bunyi jantung I – II normal, tidak ada bising maupun irama derap. Gerakan

nafas simetris, suara nafas vesikular, tidak didapatkan adanya ronki maupun mengi. Perut

teraba lemas, turgor cukup dan didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium. Hati dan

limpa tidak teraba, tidak teraba massa, dan bising usus terdengar normal. Alat gerak teraba

hangat dengan perfusi perifer baik. Saat itu ditegakkan diagnosis sakit perut berulang yang

diduga disebabkan oleh gastritis yang dipikirkan akibat infeksi H. pylori.

Pasien kemudian mendapat terapi ranitidin 2 x 50 mg. Hasil pemeriksaan penunjang

darah tepi memperlihatkan kadar hemoglobin 12,8 g/dl, leukosit 6100/μl, trombosit

315.000/μl, hematokrit 36 vol%, hitung jenis (%): eosinofil 1, batang 0, segmen 53, limfosit 45,

dan monosit 1. Pada pemeriksaan serologi IgG anti H. pylori diperoleh hasil negatif.

Selanjutnya direncanakan pemeriksaan endoskopi.

Pemeriksaan endoskopi memperlihatkan gambaran hiperemis pada 1/3 distal mukosa

esofagus dan bagian antrum mukosa lambung, sedangkan mukosa duodenum normal. Pada

pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan biopsi didapatkan gambaran gastritis kronis

atrofi aktif dengan H. pylori positif serta tidak ditemukan gambaran keganasan. Pasien

kemudian mendapat terapi omeprazol 2 x 10 mg, amoksisilin 2 x 500 mg dan klaritromisin 2 x

250 mg selama 1 minggu.

Pada saat kontrol di Poliklinik Anak satu minggu kemudian, tidak didapatkan lagi

keluhan sakit perut berulang. Evaluasi hasil eradikasi H. pylori pada satu bulan pasca terapi

Page 154: Buku Ajar Gastroenterologi

dengan melakukan endoskopi ulang memberikan hasil gambaran mukosa esofagus dan

lambung normal, sedangkan hasil patologi anatomi jaringan biopsi memberikan gambaran

gastritis kronik nonaktif dengan atrofi ringan serta H. pylori negatif.

Pendahuluan1,2,3

Sakit perut pada bayi dan anak merupakan gejala umum dan sering dijumpai dalam

praktik sehari-hari. Tidak semua sakit perut berpangkal dari lesi yang ada dalam abdomen,

tetapi mungkin pula dari daerah di luar abdomen.

Sebagian kasus yang disebabkan oleh gangguan organ datang dalam keadaan akut dan

memerlukan pembedahan. Oleh karena itu tindakan pertama dalam menangani sakit perut

ialah menentukan apakah penyakit tersebut membutuhkan tindakan bedah segera atau tidak.

Disamping sakit perut akut dikenal pula sakit perut berulang.

Adapun yang dimaksud dengan sakit perut berulang pada anak ialah serangan sakit perut

yang berulang sekurang-kurangnya 3 kali dalam jangka waktu 3 bulan dan mengakibatkan

aktivitas sehari-hari terganggu1. Sakit perut berulang biasanya terjadi pada anak yang berusia

antara 4 sampai 14 tahun, sedangkan frekuensi terbanyak pada usia 5-10 tahun. Sakit perut

berulang dilaporkan terjadi pada 10-12% anak usia sekolah di negara maju. Studi epidemiologis

di Asia, juga melaporkan prevalensi yg sama. Sebagian besar studi menyebutkan wanita lebih

sering terkena dibandingkan dengan pria.

Sakit perut berulang merupakan gejala yang paling sering dialami oleh anak-anak di

seluruh dunia dan menyebabkan tingginya tingkat absensi anak di sekolah serta penggunaan

sumber daya kesehatan. Kondisi yang tidak kunjung membaik dan mengganggu menimbulkan

ketidakpastian diagnosis, kronisitas dan tingginya kecemasan orangtua. Hal inilah yang

menyebabkan manajemen oleh dokter umum maupun spesialis anak menjadi sangat sulit,

menghabiskan banyak waktu dan mahal.

Patofisiologi

Sakit perut berasal dari 7 sumber:

1. Distensi viseral

2. Iskemia

3. Radang intraabdominal

4. Kelainan pada dinding abdomen

5. Kelainan ekstraabdominal

6. Kelainan metabolik

7. Kelainan pada susunan saraf

Traktus gastrointestinal dan organ di sekitarnya berdasarkan vaskularisasi dan

persarafannya secara embriologi berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Orofaring, esofagus,

gaster, sebagian duodenum, pankreas, hati, kandung empedu dan limpa berasal dari foregut.

Duodenum bagian distal, jejunum, ileum, apendiks, kolon asenden serta sebagian kolon

Page 155: Buku Ajar Gastroenterologi

transversum berasal dari midgut. Kolon transversum bagian distal, kolon desenden, sigmoid

dan rektum berasal dari hindgut. Rangsang sakit dari ketiga segmen tersebut dapat tercermin

dari letak sakit perut di bagian atas, tengah dan bawah.

Peritoneum berasal dari mesoderm. Peritoneum terdiri dari dua lapis, yaitu peritoneum

viseralis dan peritoneum parietalis. Peritoneum viseralis dipersarafi bilateral oleh sistem saraf

otonom (simpatis dan para simpatis), sedangkan peritoneum parietalis oleh saraf somatis dari

medula spinalis. Rasa sakit dari peritoneum viseralis dirasakan di garis tengah perut. Rasa sakit

dari peritoneum parietalis terlokalisasi dengan baik, dirasakan di daerah organ itu berada dan

sakitnya bertambah bila digerakkan (perut ditekan atau penderita disuruh batuk). Sakitnya

dirasakan seperti disayat pisau atau ditusuk-tusuk.

Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin

yang berasal dari sistem saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai serabut

saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih luas dan lebih lama dari rasa sakit yang

dihantarkan oleh serabut saraf A yang terdapat di kulit, otot dan peritoneum parietalis.

Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari

organ di abdomen. Serabut C ini bersama dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan

paravertebra dan memasuki ganglia akar dorsal. Impuls aferen akan melewati medula spinalis

pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri.

Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan hebat

ambang nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal dan berbatas

tidak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas (lambung, duodenum,

pankreas, hati dan sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen thorakalis 6, 7, 8

serta dirasakan di daerah epigastrium.

Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz sampai

fleksura hepatika memasuki segmen th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus. Dari kolon

distalis, ureter, kandung kemih dan traktus genitalis perempuan, impuls nyeri mencapai

segmen th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada daerah suprapubik

dan kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas ke

peritoneum parietalis maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut aferen somatis ke radiks

spinalis segmentalis dan sakit dirasakan di daerah dimana organ itu berada. Penyebab

metabolik seperti pada keracunan timah dan porfirin belum jelas patofisiologi dan

patogenesisnya.4,5,6

Patofisiologi sakit perut berulang yang fungsional (tidak berhubungan dengan kelainan

organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan ada hubungan antara sakit perut berulang

fungsional dengan penurunan ambang rangsang nyeri. Berbagai faktor psikologis dapat

berperan sebagai mediator atau moderator dari sakit perut berulang fungsional.

Tabel 9.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional

PSIKOLOGIS FISIOLOGIS

Faktor stres Intoleransi

Page 156: Buku Ajar Gastroenterologi

Depresi

Ikatan keluarga

Operant conditioning

Somatisasi

laktosa

Dismotilitas usus

Konstipasi

Ketidakstabilan

otonom

Sumber: Barr7

Juga diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sakit perut berulang fungsional dengan tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin sempurna. Pada anggota keluarga lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosimatik seperti migrain dan kolon iritabel.2,7,8

Patogenesis9,10,11

Mekanisme timbulnya sakit perut adalah:

1. Gangguan vaskular

Emboli/trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau penekanan. Kejadian ini misalnya terjadi

pada putaran kista ovarium dan jepitan usus pada invaginasi.

2. Peradangan

Peradangan organ dalam rongga peritoneal menimbulkan rasa sakit bila proses peradangan

telah mengenai peritoneum parietalis. Mekanismenya seperti pada peradangan pada

umumnya, yang disalurkan melalui persarafan somatik. Rasa sakit ini dirasakan setempat

atau di seluruh perut tergantung pada peritoneum yang meradang, menetap dan bertambah

bila terdapat gerakan peritoneum yang meradang (batuk, penekanan pada abdomen).

3. Gangguan pasase/obstruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang

terdapat dalam rongga peritoneal ataupun di retroperitoneal

Organ-organ tersebut ialah saluran pencernaan, saluran empedu, saluran pankreas dan

saluran kemih. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu, baik total maupun

parsial, akan timbul rasa sakit akibat tekanan intralumen yang meninggi di bagian

proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus menerus dengan puncak-

puncak nyeri yang hebat (kolik).

4. Penarikan, peregangan dan pembentangan peritoneum viseralis

Misalnya pada pembengkakan hati dan ginjal.

Di dalam praktik, keempat penyebab timbulnya rasa sakit jarang ditemukan sendiri-

sendiri, tetapi umumnya merupakan proses campuran.

Page 157: Buku Ajar Gastroenterologi

Etiologi10,12,13

Etiologi sakit perut akut biasanya dibagi menurut usia ataupun menurut perlunya

tindakan bedah atau tidak. Pada tabel 2 dan 3 dapat terlihat etiologi sakit perut akut menurut

umur dan perlu tidaknya tindakan bedah. Etiologi sakit perut akut pada neonatus dapat terlihat

pada tabel berikut.

Tabel 9.2. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan tindakan bedah

Bayi/anak di bawah usia 2 tahun

- Abdomen :

- Perforasi tukak lambung

- Obstruksi usus : intususepsi, volvulus dan malrotasi

- Luar abdomen :

- Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi

- Apendisitis dan enterokolitis nekrotikan

Anak di atas usia 2 tahun

Abdomen:

- Obstruksi

- Obstruksi usus akibat perlekatan atau volvulus dan malrotasi

- Perforasi akibat obstruksi usus

- Peradangan

- Apendisitis

- Peritonitis primer

- Peritonitis akibat perforasi divertikulum Meckeli

- Perforasi ulkus duodeni atau perforasi akibat demam tifoid

- Divertikulitis Meckeli

- Kolesistitis dengan/tanpa batu empedu

- Megakolon toksik dengan perforasi

- Trauma

- Ruptura limpa, buli-buli atau organ visera yang lain

- Hematoma subserosa

- Pendarahan

- Pendarahan ke dalam kista ovarium

- Di daerah Tropis

- Perforasi yang berhubungan dengan askariasis, strongiloidiasis, perforasi

abses amuba

Luar abdomen:

- Torsio testis

- Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi

Sumber : Ulshen17

Page 158: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 9.3. Penyebab non-bedah sakit perut akut

Bayi/anak di bawah usia 2 tahun

Abdomen: Infeksi intestinal: Salmonella, Shigella, Campylobacter, dll

Luar abdomen: Pneumonia

Infeksi traktus urinarius

Anak di atas usia 2 tahun

Abdomen:

a. Intestinal:

- Infeksi: Salmonella, Shigella, Yersinia enterocolitica

- Keracunan makanan: toksin Staphylococcus, dan lain-lain

- Penyakit Crohn - Obstipasi

- Kolitis ulseratif - Sickle cell

anaemia

- Kolitis amuba - Adenitis mesenterika

- Purpura Henoch-Schonlein - Ileus

mekonium

b. Hati dan percabangan bilier

- Hepatitis A dan B, mononukleosis infeksiosa

- Kolelitiasis

c. Pankreas

Pankreatitis akut: infeksi, trauma, akibat lesi bilier, idiopatik

d. Renal

- Infeksi traktus urinarius

- Batu

- Nefritis

e. Metabolik

- Porfiria

- Hiperlipidemia

- Ketoasidosis diabetik

- Familial mediterranean fever

f. Ginekologis

Salpingitis

Luar abdomen:

- Pneumonia

- Limfadenitis inguinalis

- Osteomielitis (vertebra, pelvis)

- Hematomata otot abdomen

- Herpes Zoster

Page 159: Buku Ajar Gastroenterologi

- Kompresi saraf spinal

Sumber : Ulshen17

Tabel 9.4. Penyebab sakit perut akut pada neonatus

1. Malrotasi dengan volvulus midgut

Mekonium peritonitis

Perforasi viskus

2. Enterokolitis nekrotikans

Apendisitis

Ileus mekonium

3. Enterokolitis o.k. Hirschsprung

Pielonefritis

Trauma lahir

Torsio ovarium

Intususepsi

Hernia inkarserata

Sumber : Ulshen17

Manifestasi Klinik

Pada bayi dan anak manifestasi klinik sakit perut tergantung pada umur penderita.

Pegangan yang dipakai untuk mengatakan seorang bayi atau anak sakit perut adalah sebagai

berikut:

0 – 3 bulan Umumnya digambarkan dengan adanya muntah

3 bulan – 2 tahun Muntah, tiba-tiba menjerit, menangis tanpa adanya

trauma yang dapat menerangkannya

2 tahun – 5 tahun Dapat mengatakan sakit perut tetapi lokalisasi belum

tepat

> 5 tahun Dapat menerangkan sifat dan lokalisasi sakit perut

Page 160: Buku Ajar Gastroenterologi

Anak dengan sakit perut akut biasanya terlihat sangat sakit, menangis, keringat dingin,

dengan posisi meringkuk atau membungkuk seperti ingin melindungi perutnya dengan

memendekkan otot rektus abdominalis. Disamping sakit perut kadang-kadang ada pula gejala-

gejala lainnya yang menyertai seperti nausea, muntah, anoreksia, diare dan panas.8,13,14

Pendekatan Diagnosis4,8,14,15,16

Pemeriksaan yang terbaik ialah pada waktu ada serangan meliputi:

1. Anamnesis

Usia

Pada usia tertentu insiden sakit perut akut yang memerlukan tindakan bedah cukup tinggi.

Misalnya: 6 bulan – 3 tahun: Intususepsi

5 tahun – 14 tahun: apendisitis

Jenis Kelamin

Rasa sakit

a. Lokalisasi

Sakit yang disebabkan gangguan saluran pencernaan bagian atas biasanya dirasakan

di daerah epigastrium. Gangguan di ileum distal dan appendiks dirasakan di daerah

perut kanan bawah. Rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi usus lokalisasinya sukar

ditentukan. Perubahan lokalisasi sakit perlu ditanyakan pada anak. Bila rasa sakit

mula-mula ada di daerah periumbilikus dan kemudian pindah ke daerah perut kanan

bawah, ini adalah tanda apendisitis,

b. Sifat dan faktor yang menambah/ mengurangi rasa sakit

Sakit yang berasal dari spasme otot polos (usus, traktus urinarius, traktus biliaris)

biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan lokalisasinya dengan tepat dan tidak

dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen. Sakit yang berasal dari

iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat bila

penderita batuk atau ditekan perutnya. Apakah sakit menetap, bertambah hebat atau

berkurang dan adakah faktor-faktor yang dapat menambah atau mempengaruhi rasa

sakit. Adakah penyebaran rasa sakit.

c. Lama sakit dan pernahkah timbul rasa sakit seperti ini sebelumnya. Bila sakit perut

berlangsung lebih dari 24 jam perlu perhatian serius.

d. Gejala yang mengiringi: anoreksia, muntah, diare dan panas. Muntah yang berwarna

kuning atau hijau merupakan tanda adanya obstruksi usus, begitu pula muntah yang

berlangsung 12 – 24 jam atau lebih memerlukan perhatian serius

Pola defekasi:

- diare, obstipasi

- darah dalam tinja

Pola kencing

Page 161: Buku Ajar Gastroenterologi

Siklus Haid

Gejala/ gangguan traktus respiratorius

Trauma: trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma subserosa

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus lengkap dari kepala sampai ujung kaki walaupun titik beratnya

pada abdomen.

Perhatikan keadaan umum anak dan posisi anak waktu berjalan atau waktu tidur di tempat

periksa. Apakah anak masih dapat berlompat-lompat. Jika ia terbaring diam dan kesakitan

bila diubah posisinya maka hal ini mungkin adalah tanda abdomen akut.

Pemeriksaan pada abdomen harus dilakukan pada posisi anak yang santai dan

dicari/dilihat/dilakukan:

- Asimetri perut

- Bentuk perut (buncit, skapoid)

- Gambaran usus

- Nyeri terlokalisasi

- Massa (tumor), cairan ascites

- Ketegangan dinding perut

- Nyeri tekan

- Rebound tenderness

- Bising usus di seluruh perut

- Colok dubur: - darah (?)

- Pemeriksaan ginekologi: atas indikasi

Perlu dicari tanda-tanda kedaruratan perut, yaitu:

- Dinding abdomen yang kaku

- Defens muskular

- Nyeri tekan

- Rebound tenderness

Keempat tanda ini merupakan tanda peritonitis

Pada pemeriksaan di luar abdomen, dicari kemungkinan adanya:

- Hernia inguinalis strangulata atau inkarserata

Page 162: Buku Ajar Gastroenterologi

- Pneumonia

- Ruam di kulit (kaki dan bokong)

Pada neonatus tanda abdomen akut perlu dipikirkan bila ditemukan tanda-tanda seperti

pada Tabel 9.5.

Tabel 9.5. Gejala abdomen akut pada neonatus

Muntah empedu

Distensi abdomen

Nyeri tekan di abdomen

Massa pada abdomen

Obstipasi

Feeding intolerance

Omfalitis

Edema dinding abdomen

Menangis (mengangkat

kaki)

Iritabel

Letargi

Darah dalam tinja

Hernia inguinalis

Panas atau hipotermia

Sumber : Ulshen17

Tabel 9.6. Gejala klinis beberapa penyakit dengan sakit perut akut pada anak

Penyakit

Perjala

nan

penyak

it

Lokalisasi Penjalaran Kualitas sakit Gejala yang

mengiringi

Pankreatitis

Akut Epigastrium,

kiri atas

Punggung Stabil tajam Nausea, muntah, nyeri

tekan

Page 163: Buku Ajar Gastroenterologi

Obstruksi

usus

Akut

atau

perlahan

-lahan

Periumbilikus

- perut bawah

Punggung Silih berganti kolik

- tidak sakit

Distensi, obstipasi,

muntah, bising usus,

proksimal obstruksi

Apendisitis Akut Periumbilikus

kanan

bawah

Punggung/

pelvis

(retrosekal)

Tajam, menetap Nausea, muntah, nyeri

tekan lokal, panas

Intususepsi Akut Periumbilikus

– perut bawah

--- Kolik (kram)

dengan periode

tidak sakit

Hematochezia

Urolitiasis Akut Punggung

(unilateral)

Lipat paha Tajam, intermiten,

kram (kolik)

Hematuria

Infeksi

traktus

urinarius

Akut Punggung Kandung

kencing

Tumpul tajam Panas, nyeri tekan

kostokondral, disuria,

sering kencing

Sumber : Ulshen17

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

Harus diingat dalam membuat diagnosis pada anak dengan sakit perut akut, anamnesis dan

pemeriksaan fisik memegang peranan penting, sedangkan pemeriksaan laboratorium dan

penunjang hanya membantu.

Tergantung dari hasil anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik, maka dapat dipilih

pemeriksaan laboratorium dan penunjang di bawah ini yang diperlukan untuk dapat

membuat diagnosis dan kalau perlu dikonsultasikan ke dokter bedah.

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang tersebut adalah:

- Darah perifer lengkap

- Urin

- Test fungsi hati

- Amilase/ lipase darah

- Biakan darah

- Tinja parasit (?), bakteri (?), darah (?)

- Foto toraks

- Foto polos abdomen atau dengan kontras barium

- USG

- CT-scan abdomen

Tata Laksana

Apabila seorang anak menderita sakit perut akut, maka yang penting dilakukan adalah

menentukan apakah penyakitnya memerlukan tindakan bedah atau tidak. Kalau kita sudah

dapat membuat keputusan bahwa anak itu tidak memerlukan tindakan bedah, maka kita harus

Page 164: Buku Ajar Gastroenterologi

mencari penyebab sakit perut dan diberikan pengobatan sesuai etiologinya. Terapi simtomatis

perlu juga diberikan seperti istirahat serta pengawasan cairan dan diet.12,17

Sakit Perut Berulang

Batasan sakit perut berulang (SPB) menurut Apley adalah serangan sakit perut yang

timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan berturut-turut dan

mengakibatkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Pada beberapa anak, sakit yang timbul bisa

terjadi setiap hari dan pada beberapa anak lainnya timbul secara episodik.

Sakit perut berulang, biasanya terjadi pada anak berusia antara 4 sampai 14 tahun,

sedangkan frekuensi tertinggi pada usia 5 – 10 tahun dan turun setelah usia itu. Anak

perempuan cenderung lebih sering menderita sakit ini dibandingkan anak laki-laki (perempuan

: laki-laki = 5 : 3).

Kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang terdapat pada 5%-10% kasus

sedangkan 90%-95% kasus disebabkan kelainan fungsional saluran cerna. Dengan bertambah

majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran diagnostik, maka diperkirakan makin

banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Pada anak dibawah usia 4 tahun kelainan

organik saluran pencernaan merupakan penyebab yang terbanyak.1,5,11,18

Etiologi

Beberapa ahli mencoba mengelompokkan penyebab SPB ke dalam beberapa golongan.

Konsep pertama yaitu konsep klasik membagi sakit perut berulang ke dalam dua golongan,

organik dan psikogenik (fungsional atau psikosomatik). Pada anak di bawah umur 2 tahun,

gejalanya sering dikaitkan dengan penyebab organik; namun pada anak yang lebih besar hanya

10% kasus yang disebabkan oleh penyebab organik. Pendekatan diagnostik yang dilakukan

adalah dengan mencari dulu penyebab organik, apabila tidak ditemukan baru dipikirkan

kemungkinan penyebab psikogenik. Cara pendekatan seperti ini memerlukan waktu dan biaya

yang besar.

Barr mengajukan konsep kedua yang agak berbeda. Sakit perut berulang digolongkan atas

3 kelompok, yaitu: organik, disfungsional dan psikogenik. Nyeri organik disebabkan oleh suatu

penyakit, misalnya infeksi saluran kemih. Nyeri disfungsional disebabkan oleh berbagai variasi

fisiologi normal dan dibagi dalam 2 kategori, yaitu sindrom nyeri spesifik (mekanisme penyebab

nyerinya diketahui, misalnya defisiensi laktase dan kontipasi) dan sindrom nyeri nonspesifik

(mekanisme penyebab nyeri tidak jelas atau tidak diketahui). Nyeri psikogenik disebabkan oleh

tekanan emosional atau psikososial tanpa adanya kelainan organik.

Konsep ketiga diajukan oleh Levine dan Rappaport yang menekankan adanya penyebab

multifaktorial. Sakit perut berulang merupakan resultan dari 4 faktor, yaitu: (1) predisposisi

somatik, disfungsi atau penyakit, (2) kebiasaan dan cara hidup, (3) watak dan pola respons, dan

(4) lingkungan dan peristiwa pencetus. Faktor-faktor tersebut berperan meningkatkan atau

meredakan rasa sakit. Dengan demikian dapat diterangkan mengapa beberapa anak menderita

Page 165: Buku Ajar Gastroenterologi

konstipasi tanpa sakit perut berulang. Demikian pula halnya dengan kondisi psikososial yang

buruk akan menimbulkan sakit perut berulang pada anak tertentu, tetapi tidak pada anak yang

lain (Gambar 9.1.).5,7,19

KEBIASAAN DAN CARA HIDUP

LINGKUNGAN DAN PERISTIWA PENCETUS

PREDEPOSISI SOMATIK,

DISFUNGSI, PENYAKIT

SAKIT PERUT

TIDAK SAKIT PERUT

WATAK

POLA RESPON

Gambar 9.1.

Konsep yang menggambarkan peran penyebab multifaktorial pada sakit perut berulang

Penyebab sakit perut berulang yang terbanyak adalah faktor psikofisiologi, sedangkan

kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang dahulu hanya dilaporkan pada 5%-10%

kasus, namun sekarang mencapai 30%-40%. Van der Meer dkk (1993) menemukan 42%

kelainan organik pada 106 anak usia diatas 5 tahun yang mengalami keluhan sakit perut

berulang, yaitu malabsorpsi laktosa (15%), duodenitis/gastritis (13%), infeksi H. pylori (7%),

refluks gastroesofageal (4%) dan alergi makanan (3%).

Pada garis besarnya kelainan organik penyebab sakit perut berulang dapat dibagi

intraabdominal dan ekstraabdominal. Penyebab intraabdominal diklasifikasikan menurut

penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal dan lain-lain. Kelainan organik sebagai penyebab

sakit perut dapat dilihat pada Tabel 9.7.

Persepsi tentang sakit perut berulang adalah sumasi dari masukan sensorik, emosi, dan

kognitif. Kornu dorsalis medulla spinalis mengatur konduksi impuls dari reseptor nosiseptif

perifer ke medulla spinalis dan otak, dan perasaan nyeri selanjutnya dipengaruhi oleh pusat

kognitif dan pusat emosi. Nyeri perifer kronis dapat menyebabkan naiknya aktivitas saraf di

pusat-pusat SSS yang lebih tinggi sehingga menyebabkan nyeri terus-menerus. Stres psikososial

dapat mempengaruhi intensitas dan kualitas nyeri melalui mekanisme ini. Perbedaan dalam

sensasi viseral dapat juga menyebabkan perbedaan dalam persepsi nyeri. Respons anak

terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh stres, jenis kepribadian, dan dukungan perilaku sakit

dalam keluarga.7,10,12,20

Manifestasi Klinis

Keluhan sakit perut berulang sering ditemukan pada usia 4 – 14 tahun, dengan frekuensi

tertinggi pada usia 5 – 10 tahun. Pada anak di atas usia 9 tahun keluhan lebih sering ditemukan

Page 166: Buku Ajar Gastroenterologi

pada anak perempuan daripada anak laki-laki (1,5:1). Manifestasi klinis yang diperlihatkan

bervariasi cukup luas, baik dalam hal frekuensi, waktu, intensitas, lokasi maupun gejala yang

mengikuti. Keluhan mual, berkeringat dingin, muntah, pusing, pucat dan palpitasi sering

menyertai sakit perut berulang. Serangan biasanya berlangsung kurang dari 1 jam dan diselingi

periode bebas serangan. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik dapat dilihat pada tabel 8.

Etiologi sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik mempunyai tanda

peringatan (alarm symptoms) seperti yang terlihat pada Tabel 9.9.5,6,8,21

Tabel 9.7. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang

Intraabdominal Ekstraabdomi

nal Lain-lain

Saluran cerna Di luar saluran cerna

Maltorasi

Duplikasi

Gastritis

Hernia inguinalis

Volvulus

Ulkus peptikum

Kolitis ulseratif

Malabsorbsi

laktosa

Refluks

gastroesofagal

Helicobacter pylori

Apendisitis kronis

Divertikulum

Meckeli

Tuberkulosis

abdomen

Peritonitis

Konstipasi kronis

Bezoar

Askariasis

Hati, limpa, pankreas

Pankreatitis kronis

Kolelitiasis

Kolesistitis

Hepatitis

Splenomegali masif

Saluran kemih dan

kandungan

Pielonefritis

Hidronefrosis

Batu ginjal

Infeksi di daerah pelvis

Dismenore

Kista ovarium

Endometriosis

Kehamilan ektopik

Hematologi

Leukemia

Limfoma

Sickle cell

anemia

Talasemia

Purpura

Henoch-

Schönlein

Keracunan timbal

Porfiria

Epilepsi perut

Migrain

Hiperlipidemia

Edema

angioneurotik

Sumber : Ulshen17

Page 167: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 9.8. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik

Paroksismal

Daerah perilumbilikus atau suprapubis

Nyeri berlangsung <1 jam

Nyeri tidak menjalar, kram atau tajam, tidak membangunkan anak pada

malam hari

Nyeri tidak berhubungan dengan makanan, aktifitas, dan kebiasaan buang

air besar

Mengganggu aktifvitas

Di antara 2 episode terdapat masa bebas gejala

Pemeriksaan fisik normal, kecuali kadang-kadang sakit perut di bagian kiri

bawah

Nilai hasil pemeriksaan laboratorium normal

Sumber : Ulshen17

Tabel 9.9. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik

Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus

Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)

Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari

Nyeri timbul tiba-tiba

Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan

Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi,

inkontinensia)

Disertai perdarahan saluran cerna

Terdapat disuria

Berhubungan dengan menstruasi

Terdapat gangguan tumbuh kembang

Terdapat gejala sistemik: demam, nafsu makan turun

Terjadi pada usia <4 tahun

Page 168: Buku Ajar Gastroenterologi

Terdapat organomegali

Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada

sendi

Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

Sumber : Ulshen17

Pendekatan Diagnosis

Untuk membuat diagnosis diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan

penunjang.

1. Anamnesis5,15,21

Usia

Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 4 – 14 tahun.

Rasa sakit: meliputi lokalisasi, sifat dan faktor yang menambah/mengurangi rasa sakit,

waktu timbulnya, frekuensi dan gejala yang mengiringi.

Pola makan: banyak mengkonsumsi susu atau produk susu

Pola defekasi: obstipasi, diare

Pola kencing

Siklus haid

Akibat sakit perut pada anak

a. Apakah terdapat kemunduran kesehatan pada anak tersebut?

b. Bagaimana nafsu makan anak?

Gejala/gangguan traktus respiratorius

Gangguan muskuloskeletal

Aspek psikososial

Trauma

Penyakit yang pernah diderita dalam keluarga

Adakah diantara keluarga yang menderita cystic fibrosis, pankreatitis, ulkus peptikum,

kolon iritabel? Adakah faktor stres dalam keluarga?

2. Pemeriksaan fisik

Page 169: Buku Ajar Gastroenterologi

Pemeriksaan fisik harus lengkap. Dari hasil pemeriksaan fisik kita dapat mengetahui

apakah penyebab sakit perut berulang tersebut merupakan kelainan organik atau bukan,

dengan memperhatikan adanya tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel

9.9.5,6,8,21

3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang

Pemeriksaan ini dibagi atas 3 tahap, yaitu:

Tahap 1. Dilakukan pada seluruh anak dengan sakit perut berulang

Tahap 2. Dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 ditemukan kelainan atau bila

didapatkan beberapa tanda peringatan seperti yang tertera pada tabel 9 atau bila tidak

memenuhi kriteria gejala klinis sakit perut berulang klasik

Tahap 3. Dilakukan bila masih diperlukan (tabel 9.10)

Tabel 9.10. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sakit perut berulang

Tahap 1 Darah tepi lengkap

Laju endap darah

Biokimia darah (ureum, kreatinin, transaminase,

kolesterol, trigliserida, protein total, kalsium dan

fosfor)

Urin

Biakan urin dan tinja (termasuk parasit)

Uji serologis untuk Helicobacter pylori

Foto polos abdomen

USG abdomen

Tahap

2

Uji hidrogen nafas dengan laktosa

Amilase urin dan darah

Test benzidin

Gastroskopi

Tahap

3

Enema barium

Voiding cystourethrogram

EEG

Page 170: Buku Ajar Gastroenterologi

Porifirin dalam darah dan urin

Kolonoskopi

CTscan abdomen, dsb

Sumber : Ulshen17/*

Pada gambar 9.2 dapat dilihat ringkasan pendekatan diagnosis secara sistemik pada anak dengan sakit perut

berulang.

Sakit perut berulang dengan

gejala klinis klasik

(kemungkinan kelainan

organik tak ada)

Sakit perut berulang

dengan “tanda peringatan”

kelainan organik

ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK

( Penunjang tahap I )

Normal Abnormal

D / Kelainan

fungsional

Evaluasi

Periodik

Pertimbangkan kelainan

organik bila timbul

“tanda peringatan”

D / K e l a i n a n o r g a n i k

Tak ditemukan

kelainan organikKelainan organik

ditemukan

Pengobatan

medis/bedah

Penunjang

Tahap 2

Penunjang

Tahap 3

Page 171: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 9.2. Pendekatan diagnosis sakit perut berulang

Terapi

Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit perut berulang fungsional pengobatan

ditujukan kepada penderita dan keluarganya, bukan hanya mengobati gejala. Secara khusus,

mereka membutuhkan ketentraman bahwa tidak ada bukti adanya kelainan dasar yang serius.

Tujuan pengobatan ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan

keluarga sehingga kehidupan keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa sakit

sehingga efeknya terhadap aktivitas sehari-hari dapat menjadi seminimal mungkin (Tabel 9.11).

Kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan/atau psikiater anak.

Pemberian obat seperti antispasmodik, antikolinergik, antikonvulsan dan antidepresan tidak

bermanfaat.4,7,18,20

Tabel 9.11. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional

- Menyakinkan bahwa penyakitnya ringan

- Menerangkan masalah berdasarkan pada temuan positif maupun negatif

- Menemukan stres dan kecemasan yang mencetuskan rasa sakit

- Mengidentifikasi pengaruh keluarga/sosial yang mencetuskan sakit

- Menghindari gejala sakit yang berkepanjangan dan mengembalikan anak dalam

kehidupan normal

- Tatalaksana penyebab yang didapat: kurangi laktosa, diet tinggi serat, dll

- Follow-up teratur untuk mengetahui perubahan gejala, meningkatkan rasa percaya diri

dan mendorong keluarga serta anak untuk mengatasi masalahnya

- Hasil pengobatan jangan dipakai untuk membuat diagnosis

Sumber : Ulshen17

Daftar Pustaka

1. Apley J. The child with abdominal pains; 2nd ed. London : Blackwell Scientific Publ. 1975: 3-54. 2. Halimun EM. Sakit perut pada anak. Dalam Kumpulan naskah Kursus Penyegar Ilmu Bedah Anak II. 5-6

September 1980; Batu Malang. 1980: 7-11.

3. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Functional recurrent abdominal pain. Dalam: Pediatric clinical

gastroenterology; 4th ed Toronto ; Mosby. 1995: 522-37.

4. Hyam JS, Hyman PE. Recurrent abdominal pain and the biopsychososial model of medical practice. J Pediatr.

1998; 133: 473-8. 5. Levine MD, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain in school children: The loneliness of the long distance

physician. Pediatr Clin North Am. 1984; 31: 696-8.

6. Mc Collough M, Sharieff GQ. Abdominal Pain in Children. Pediatric Clinics of North America. 2006. 7. Barr RG. Abdominal pain in the female adolescent. Pediatr Rev. 1983; 4: 281-9.

Page 172: Buku Ajar Gastroenterologi

8. Van der Meer SB. Chronic recurrent abdominal pain in school children. Tidjschr Kindergeneeskd. 1993; 61: 69-

75. 9. Buller HA. Recurrent abdominal pain in children. Kuliah tamu Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.

2000.

10. Hatch EI, Sawin R. The acute abdomen. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia: Saunders. 1993: 209-19.

11. Walker Smith JA, Hamilton JR, Walker WA. Acute abdominal pain. Dalam Practical Paediatric

Gastroenterology. London: Butterworths. 1983: 21-9. 12. Mews CF, Sinatra FR. Abdominal Pain. Dalam: Wyllie R, Hyams JS. Penyunting. Pediatric gastrointestinal

disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia : WB Saunders. 1993: 177-86.

13. Thiesen PN. Recurrent abdominal pain. Pediatrics in review. 2002; 23: 39-46. 14. Oberlander TF, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain : Evaluation and Management. Dalam: Recurrent

abdominal pain. International Seminars in Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 1994; 3 Number 2:2-9.

15. Di Lorenzo C, Colleti RB, Lehnman HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams JS, Squires RH Jr, Walker LS, Kanda PT. Chronic Abdominal Pain In Children: a Technical Report of the American Academy of Pediatrics and the North

American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. 2005.

16. Leung A, Sigalet D. Acute Abdominal pain in children. American Academy of family physician.2003.

17. Ulshen M. Major Symptoms and Signs of Digestive Tract Disorders. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin

AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke lima belas. Philadelphia: Saunders, 1996: 1032-7.

18. Loening-Baucire V, Swidsinski A. Constipation as cause of acute abdominal pain in children. University of Iowa. 2007.

19. Khan, Seema. Functional abdominal pain in children. American college of gastroenterology. 2009.

20. Devarayana NM, Rajindrajith S, De-Silva H. Recurrent Abdominal Pain in children. Dept of physiology, faculty of medicine, Univ Kelaniya, Srilanka. 2009.

21. Firmansyah A. Aspek diagnostik sakit perut berulang. Maj Kedok Indones 1991; 9:525-8.

Page 173: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB X

KEMBUNG

Pramita G. Dwipoerwantoro

Ilustrasi Kasus

Anak lelaki usia 6 tahun, dirujuk oleh poliklinik Bedah Anak dengan keterangan kembung

selama 3 minggu terakhir dan telah dievaluasi tidak ada kelainan bedah yang mendasari.

Awalnya pasien menderita diare akut. Saat ini keluhan BAB seperti bubur, kadang disertai

lendir dan darah, dengan frekuensi 4-6 kali perhari dan kadang disertai demam. Anak

mengeluh kadang sakit perut, nafsu makan yang berkurang, sering bersendawa dan perut

cepat kenyang. Berat badan sebelum sakit 18 kg.Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat

badan 16 kg, tanda vital baik dan tidak ditemukan tanda dehidrasi. Perut tampak kembung,

perkusi timpani, tidak teraba pembesaran organ ataupun massa, bising usus normal. Otot

ekstremitas tampak hipotrofi. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan penunjang di poliklinik Bedah Anak menunjukkan kadar hemoglobin yang

rendah dan leukositosis dengan hitung jenis segmenter. Laju endap darah meningkat. Hasil

barium meal follow-through dalam batas normal.

a. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis banding pada anak ini?

b. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan!

c. Jelaskan tatalaksana kasus ini!

Kasus ini merupakan contoh klasik kasus kembung yang sering dijumpai di klinik rawat

jalan. Diare akut yang melanjut menjadi persisten (lebih dari 14 hari dan kemungkinan

penyebabnya adalah infeksi), pada kasus ini ditandai dengan frekuensi serta konsistensi tinja

yang abnormal disertai lendir dan darah. Keluhan kembung yang dominan pada kasus ini

kemungkinan penyebabnya suatu bakteri tumbuh lampau dan perlu disingkirkan penyebab

yang lain seperti sindrom malabsorpsi (intoleransi laktosa). Tampaknya gangguan gizi juga

telah terjadi pada kasus ini karena masukan energi berkurang akibat anoreksia, sakit perut,

dan malabsorpsi. Anemia yang terjadi pada kasus ini dapat sebagai akibat masukan nutrisi

yang kurang dan kehilangan melalui usus (perdarahan yang menyertai diare).

Pemeriksaan lanjutan yang diperlukan adalah pemeriksaan pH dan reduksi tinja untuk

membuktikan ada tidaknya intoleransi laktosa, pemeriksaan steatokrit untuk membuktikan

derajat malabsorpsi lemak yang terjadi, serta biakan tinja terhadap bakteri aerob dan

anaerob. Uji hidrogen napas (UHN) menggunakan laktosa dapat mendeteksi adanya bakteri

tumbuh lampau ataupun malabsorpsi laktosa. Kolonoskopi dapat melihat lebih jauh

Page 174: Buku Ajar Gastroenterologi

kerusakan mukosa kolon yang terjadi secara makroskopik. Selanjutnya perlu dilakukan

biopsi jaringan untuk melihat kelainan secara mikroskopik.

Tatalaksana untuk kasus ini adalah pemberian metronidazole selama 1 minggu sambil

menunggu hasil biakan tinja dan resistensi. Disamping suplementasi vitamin yang larut

dalam lemak, perlu pemberian nutrisi yang adekuat. Makanan cair dengan bahan dasar yang

mudah dicerna (bebas laktosa, mengandung glukosa polimer dan asam lemak rantai sedang)

dan berkalori tinggi (1 cc = 1 kalori) dapat diberikan pada minggu pertama, sampai keluhan

gastrointestinal berkurang, sebelum akhirnya mengkonsumsi makanan biasa 1500 kalori.

Pendahuluan

Kembung merupakan salah satu kondisi yang sering dikeluhkan oleh orang tua untuk

membawa anaknya berobat. Penyebab terjadinya kembung non-bedah tersering adalah

intoleransi laktosa, bakteri tumbuh lampau dan gangguan fungsional saluran cerna (antara lain

dispepsia, irritable bowel syndrome/IBS). Berikut ini akan diuraikan penyebab kembung akibat

intoleransi laktosa dan bakteri tumbuh lampau. Penyebab kembung yang lain akan diuraikan

terpisah pada bab tersendiri.

Intoleransi Laktosa

Susu merupakan sumber nutrien esensial terutama untuk bayi baru lahir dan anak yang

sedang tumbuh dan berkembang karena mengandung komponen yang diperlukan pada diet

yang sehat, antara lain karbohidrat, lemak, protein dan mineral. Laktosa adalah komponen

karbohidrat dalam susu yang akan dihidrolisis di usus halus (paling banyak di jejunum) oleh

enzim laktase menjadi glukosa dan galaktosa yang mudah diserap.1,2,3

1. Defisiensi

Intoleransi laktosa merupakan sindrom klinis (sakit perut, diare, flatus dan kembung) yang

terjadi setelah mengkonsumsi 2 gram laktosa per-kg berat badan, maksimum 50 gram,

dalam 20% larutan (dosis uji toleransi standar terhadap laktosa). Jika terjadi peninggian

maksimum kadar glukosa darah tidak lebih dari 20 mg/dl setelah uji toleransi terhadap

laktosa, maka keadaan ini disebut malabsorpsi laktosa.1,3,4

2. Kejadian

Scrimshaw dan Murray (1988) serta Sahi (1994) melaporkan prevalensi maldigesti laktosa

secara global. Prevalensi lebih dari 50% terdapat di negara-negara Amerika Selatan, Afrika

dan Asia dan mencapai hampir 100% di beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat

prevalensi intoleransi laktosa adalah 15% untuk populasi kulit putih, 53% di antara populasi

Meksiko-Amerika dan 80% pada populasi kulit hitam. Di negara Eropa prevalensinya

Page 175: Buku Ajar Gastroenterologi

bervariasi antara 2% di Skandinavia sampai 70% di Sisilia. Prevalensi di negara Australia

dan Selandia Baru adalah 6% dan 9%.5,6

3. Etiologi

Intoleransi laktosa dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu primer (genetik),

sekunder, dan bawaan. Disebut primer bila sindrom klinis yang timbul tanpa riwayat atau

penyakit saluran cerna yang mendasari. Jika didapatkan penyakit saluran cerna maka

diklasifikasikan sebagai intoleransi laktosa sekunder. Keduanya paling sering dijumpai di

klinik. Intoleransi laktosa bawaan sangat jarang dijumpai dan biasanya bermanifestasi sejak

lahir. Gambaran histologis mukosa saluran pencernaan biasanya normal akan tetapi

aktivitas enzim laktase di brush-border sangat rendah atau tidak ada sama sekali.3,7,8

4. Patogenesis

Pada negara dimana populasi hipolaktasia primer cukup tinggi, seperti di negara Indonesia,

maka aktivitas enzim laktase akan berkurang mulai usia 2-3 tahun. Sebaliknya di Finlandia

onset kebanyakan terjadi pada masa dewasa muda.5,8,9

Mekanisme tinja cair yang terjadi adalah akibat karbohidrat yang tidak diabsorpsi dengan

baik, sehingga terjadi beban osmotik yang meningkat, menyebabkan sekresi cairan dan

elektrolit. Dilatasi usus halus yang terjadi akibat proses osmosis tersebut, akan menginduksi

percepatan waktu singgah di usus halus dan hal ini sesuai dengan derajat maldigesti. Waktu

singgah yang cepat ini akan menyebabkan proses hidrolisis akan berkurang, karena

berkurangnya waktu kontak antara laktosa dan enzim laktase yang tersisa.6,10,11

Gejala perut kembung (distensi abdomen) dan rasa sakit (cramp) yang terjadi berasal dari

modifikasi keadaan usus halus dan kolon, seperti waktu singgah dan komposisi flora usus

dan hal tersebut mempengaruhi derajat beratnya gejala. Gejala malabsorpsi laktosa

bervariasi di antara individu. Jika laktosa dikonsumsi dalam jumlah sedikit tetapi dalam

jangka waktu yang lama oleh individu yang intoleransi laktosa, maka flora usus akan

beradaptasi terhadap beban laktosa tersebut, sehingga gejala yang timbul akibat gas dan

asam di kolon akan berkurang atau hilang.12,13

5. Manifestasi Klinis

Aktivitas enzim laktase yang mulai berkurang pada usia 2-3 tahun (pada intoleransi laktosa

primer), biasanya akan memberikan gejala setelah usia lebih dari 6 tahun, dan hal ini

tergantung dari kecepatan penurunan enzim laktase di usus maupun asupan laktosa pada

diet. Gejala klinis intoleransi laktosa dapat berupa kembung, sakit perut dan flatus yang

terjadi sekitar 1 jam setelah mengkonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Tinja cair

disertai flatus yang berlebihan dan rasa mules dapat terjadi beberapa jam kemudian.1,10,13

Pada pemeriksaan fisik jarang disertai gangguan tumbuh (gagal tumbuh atau malnutrisi).

Sakit perut yang tidak spesifik dan tidak terfokus biasanya tidak memberikan rasa sakit yang

Page 176: Buku Ajar Gastroenterologi

bermakna pada palpasi dan biasanya hanya dijumpai keadaan kembung pada perut.

Peningkatan bising usus (borborygmi) sering terdengar pada saat palpasi ataupun

auskultasi di daerah perut.3,13,14

6. Diagnosis

Malabsorpsi laktosa dapat didiagnosis berdasarkan kombinasi manifestasi klinis dan uji

diagnostik antara lain uji toleransi laktosa, uji hidrogen napas (breath hydrogen test) dan

pengukuran enzim laktase melalui biopsi usus halus. Cara lain adalah pemeriksaan pH

(asam) dan reduksi tinja (>0,5%). Tetapi cara ini tidak dianjurkan untuk penelitian karena

uji ini dinyatakan valid bila pengukuran dilakukan setelah laktosa dikonsumsi, waktu

singgah usus harus cepat, tinja dalam keadaan segar dan pemeriksaan dilakukan sesegera

mungkin, serta degradasi laktosa dalam kolon oleh bakteri tidak komplit.15,16

Pengukuran kadar laktase secara langsung dibandingkan dengan sukrase melalui biopsi

jejunum jarang dilakukan karena merupakan pemeriksaan yang invasif. Hal ini sulit

diterapkan terutama untuk pasien klinik.2,4

Pemeriksaan secara tidak langsung yang sering dilakukan adalah pemeriksaan glukosa

darah serial (setiap 2 jam) setelah mengkonsumsi laktosa secara oral (2 g per-kg berat

badan, maksimum 50 g laktosa). Jika kadar gula darah tidak meningkat lebih dari 20 mg/dl,

maka diagnosis malabsorpsi laktosa dapat ditegakkan.12,14

Pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif adalah uji hidrogen napas. Dosis laktosa yang

dibutuhkan adalah 2 g laktosa per-kg berat badan dan maksimum 50 g dalam 20% larutan

dalam air. Setelah puasa sejak malam hari (4 jam pada bayi kecil), dilakukan uji hidrogen

napas dengan cara mengukur udara ekshalasi sebelum mengkonsumsi laktosa dan pada

interval 30 menit setelah konsumsi laktosa sampai total 2-3 jam. Produksi hidrogen yang

diekskresikan melalui udara napas merupakan hasil fermentasi laktosa yang tidak dapat

dicerna oleh bakteri dalam kolon. Pada 30 menit pertama bila terjadi peningkatan <10 ppm

dibandingkan nilai basal dianggap normal, sedangkan peningkatan antara 10-20 ppm

dianggap bermakna bila disertai gejala. Nilai peningkatan >20 ppm dianggap malabsorpsi

laktosa. Uji hidrogen napas dapat memberikan hasil yang negatif palsu bila sebelumnya

mendapat antibiotik atau bakteri kolon tidak memproduksi hidrogen (sekitar 1% dari

populasi).15,16

7. Terapi

Terapi malabsorpsi laktosa tergantung dari usia anak. Pada anak berusia kurang dari 5

tahun, malabsorpsi laktosa yang dibuktikan oleh uji hidrogen napas, menunjukkan

kerusakan usus halus bila terjadi pasca gastroenteritis. Walaupun demikian beberapa

penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari kelompok ini yang memerlukan

susu formula rendah laktosa, karena penggantian epitel yang rusak tersebut sangat cepat

dan tidak semua infeksi usus akan menyebabkan kerusakan mukosa. Selain itu pada bayi

berusia kurang dari 6 bulan sebaiknya diberikan susu formula normal setelah rehidrasi

tercapai. Pada diare persisten sebaiknya upaya pemberian rendah laktosa dengan cara

Page 177: Buku Ajar Gastroenterologi

mencampur susu dengan sereal/susu fermentasi daripada dengan air. Pada anak yang

berusia lebih dari 5 tahun, malabsorpsi laktosa dapat akibat kadar enzim laktase yang

rendah ataupun karena mukosa usus yang rusak pasca gastroenteritis.17,18

Jika reduksi ataupun restriksi laktosa dibutuhkan maka perlu substitusi alternatif sumber

nutrien untuk menghindarkan berkurangnya asupan energi dan protein (seperti live-culture

yoghurt) serta kebutuhan kalsium perlu diperhitungkan dalam dietnya. Suplementasi

kalsium dapat berupa kalsium glukonat cair (untuk bayi dan anak) atau kalsium karbonat

(untuk anak yang lebih besar). Produk lain yang mengandung kalsium antara lain adalah

ikan, sayuran dan kacang-kacangan.19,20

Terapi lain adalah substitusi enzim laktase yang berasal dari ragi yang dapat berupa

preparat tetes (dengan cara menambahkan pada produk susu sapi) ataupun tablet kunyah

(yang dikonsumsi sebelum mencerna makanan yang mengandung laktosa).8

8. Prognosis

Pada umumnya prognosis intoleransi laktosa cukup baik. Karena penyebab kelainan bawaan

sangat jarang terjadi maka diagnosis alergi protein susu sapi pada bayi perlu

dipertimbangkan bila terjadi gejala intoleransi terhadap susu sapi atau produk susu sapi

yang dikonsumsi.1,3

9. Pencegahan

Untuk mengurangi bertambah buruknya gejala intoleransi laktosa maka perlu dicermati

untuk menghindarkan susu sapi atau produk susu sapi dalam diet. Kegagalan dalam

mengenali “intoleransi laktosa yang sementara” pada bayi maupun anak dapat

menyebabkan keluhan diare kronik dan kembung, sehingga mengganggu masukan makanan

yang adekuat. Hal ini merupakan pemicu terjadinya gangguan pertumbuhan pada bayi dan

anak.2,3

Bakteri Tumbuh Lampau

Pada saat lahir usus halus dalam keadaan steril, segera setelah persalinan, organisme

yang tertelan melalui mulut mulai membuat kolonisasi di saluran cerna. Lambung maupun usus

halus tidak mengandung bakteri dalam jumlah yang bermakna seperti halnya usus besar (kolon)

yang normalnya mengandung 1010 organisme per mililiter (tabel 1). Mikroflora kolon baru akan

berproliferasi di usus halus bila mekanisme klirens di usus halus terganggu, contohnya pada

kondisi stasis.21,22

Tabel 11.1. Flora normal usus di saluran cerna normal

Page 178: Buku Ajar Gastroenterologi

Usus halus proksimal

< 106 organisme per-mililiter

Bakteri aerob, dominasi flora mulut

Streptococcus, Lactobacillus, Neisseria

Usus halus distal

>109 organisme per-mililiter

Sejumlah besar bakteri anaerob dan bakteri anaerob

fakultatif

Bacteroides, Escherichia coli, Bifidobacterium

Kolon

< 1010 organisme per-mililiter

Bakteri anaerob dan anaerob fakultatif

Bacteroides, E. Coli, Bifidobacterium, Clostridium

Sumber: Crabbe22

1. Definisi

Sindrom klinis yang terjadi mempunyai sebutan bermacam-macam, di antaranya adalah

stagnant loop, blind loop, contaminated small bowel, small bowel stasis dan small bowel

bacterial overgrowth syndrome (sindrom bakteri tumbuh lampau di usus halus). Karakteristik

sindrom ini selain kembung adalah (1) kolonisasi abnormal usus halus oleh organisme yang

biasanya berada di kolon, (2) steatorrhea, dan (3) anemia.21,23,24

2. Kejadian

Kondisi usus halus yang steril tergantung dari sejumlah faktor yang mengurangi kandungan

jumlah kuman serta mencegah kolonisasi kuman. Faktor antibakteri ini dapat berupa

sistem imun tubuh ataupun non-imun. Yang termasuk faktor non-imun adalah asam

lambung, gerakan peristaltik usus, enzim pencernaan, mukus, katup ileo-sekal dan

kandungan bakteri.25,26

Faktor imunitas tubuh terhadap bakteri usus sejak awal kehidupan diperankan oleh

antibodi dengan cara mengendalikan kolonisasi bakteri dan penetrasi mukosa oleh bakteri

ataupun produk bakteri. Kehilangan kemampuan untuk produksi imunoglobulin

(hipogamaglobulinemia) dan defisiensi sIgA sering menyebabkan kolonisasi parasit

tertentu seperti Giardia lamblia. Imunoglobulin G spesifik dan IgA mempercepat eliminasi

parasit usus seperti Giardia dan nematoda. Bakteri tumbuh lampau sering dijumpai pada

Page 179: Buku Ajar Gastroenterologi

pasien dengan anemia pernisiosa dan pasien dengan hipogamaglobulinemia disertai

akhlorhidria.27,28

3. Etiologi

Beberapa faktor predisposisi terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat

dikategorikan menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelainan anatomis (divertikula, duplikasi,

striktur, stenosis, web, blind loop), (2) gangguan motilitas usus (pseudoobstruction,

hilangnya fungsi migratory motor complexes/MMC menyebabkan stasis akibat

terganggunya fungsi peristaltik, neuropati otonom pada diabetes, penyakit vaskular kolagen

pada skleroderma), (3) adanya lesi yang menyebabkan peningkatan jumlah bakteri usus

halus bagian proksimal (akhlorhidria, fistula, dan hilangnya katup ileosekal), dan (4)

defisiensi imun pejamu (immunodeficiency, malnutrisi, dan prematuritas).

Etiologi faktor risiko terjadinya bakteri tumbuh lampau sering tumpang tindih. Pada negara

yang belum berkembang sangat sulit memisahkan apakah kondisi tersebut akibat buruknya

higiene perorangan atau akibat malnutrisi. Bayi dengan sindrom usus pendek sering disertai

komplikasi bakteri tumbuh lampau, akibat multi faktor.21,24,29

4. Patofisiologi

Jumlah bakteri intralumen usus yang berlebihan akan menyebabkan perubahan sekresi dan

produksi metabolit, enzim serta toksin intralumen yang akan merusak mukosa dan

selanjutnya akan diabsorpsi. Dampak lanjut terhadap pejamu dapat dibagi menjadi 3

kategori yaitu efek intralumen, efek terhadap mukosa dan efek sistemik (Tabel 11.2).21,24,25

Tabel 11.2. Bakteri intra-lumen: efek pada pejamu

Efek Intralumen Efek Terhadap Mukosa Efek Sistemik

Dekonjugasi garam empedu

11α-hidroksilase

Deplesi garam empedu

Malabsorpsi lemak

Malabsorpsi vitamin B12

Fermentasi asam lemak

rantai pendek

Pelepasan protease, toksin

Hilangnya disakaridase

Kerusakan enterosit

Inflamasi

Hilang protein

Perdarahan

Absorpsi toksin bakteri,

antigen

Inflamasi hati

Pembentukan kompleks

imun

Vaskulitis kulit

Poliarteritis

Sumber: Lichtman29

Page 180: Buku Ajar Gastroenterologi

Efek patologis akan maksimal bila bakteri tumbuh lampau menempati usus halus bagian

proksimal. Bakteri anaerob intralumen, terutama yang berasal dari tinja, memiliki enzim

yang akan mendekonjugasi garam empedu dan mengubah asam kolat dan kenodeoksikolat

menjadi asam deoksikolat dan litokolat. Hasil akhirnya adalah menurunkan konsentrasi

garam empedu di duodenum dan jejunum, menyebabkan trigeliserid dan kolesterol tidak

dihidrolisis menjadi misel (campuran asam lemak dan mono serta digliserid) dan garam

empedu, melainkan akan banyak terbentuk emulsi yang berbentuk kristal dan tidak larut

dalam air. Akibat lebih lanjut akan terjadi maldigesti lemak dan malabsorpsi trigliserid serta

vitamin yang larut dalam lemak, dan selanjutnya terjadi malabsorpsi lemak. Bakteri

intralumen terutama Bacteroides dan coliform juga menggunakan B12 sehingga merupakan

kompetitor dan menyebabkan malabsorpsi vitamin B12.30,31,32

Bakteri yang jumlahnya berlebihan tersebut akan memproduksi enzim dan metabolit yang

dapat merusak mukosa usus. Sebagai akibatnya aktivitas enzim disakaridase akan berkurang

akibat lesi mukosa setempat (patchy) yang menyebabkan atrofi vili dan respon inflamasi

subepitel. Penelitian pada bayi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara

intoleransi karbohidrat dan bakteri tumbuh lampau. Selain hal tersebut akan terjadi hilang

protein (hipo-proteinemia) dan anemia akibat kehilangan darah kronik.33,34

Produk bakteri dan antigen akan diserap melalui mukosa yang rusak menyebabkan efek

sistemik. Penelitian Riordan dan kawan-kawan menunjukkan bahwa bakteri tumbuh

lampau di usus halus menyebabkan peningkatan permeabilitas usus pada manusia,

sedangkan penelitian lain pada tikus menunjukkan bahwa terjadi peningkatan absorpsi

polimer bakteri (peptidoglikan) pada keadaan bakteri tumbuh lampau di usus halus.35

5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis (Tabel 11.3) dapat terjadi pada sepertiga pasien, dan variasi gejala dapat ringan

sampai berat bahkan menjadi kronis. Gejala yang berat sesuai dengan letak bakteri tumbuh

lampau pada usus halus proksimal, sedangkan makin ke distal maka manifestasi gejala

makin ringan. Gejala sistemik biasanya terjadi setelah operasi pintas (bypass) usus.29,36

Selain gejala klinis pada Tabel 11.3, dapat terjadi maldigesti lemak, karbohidrat dan protein,

serta kehilangan protein endogen melalui usus. Sakit perut yang terjadi adalah akibat

intoleransi karbohidrat sekunder. Defisiensi vitamin jarang terdeteksi secara klinis.

Defisiensi vitamin B12 dapat dicegah karena terdapatnya cadangan kobalamin yang adekuat

dalam tubuh. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan besi melalui usus.

Asam folat serum akan meningkat karena bakteri tersebut pun memproduksi vitamin K dan

asam folat. Pneumoperitoneum dan asites dilaporkan dapat terjadi sekunder akibat bakteri

tumbuh lampau.25,33,37

Tabel 11.3. Manifestasi klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus

Gejala Klasik Gejala Lain

Page 181: Buku Ajar Gastroenterologi

Diare kronis

Steatorea

Anemia

Berat badan menurun

Perawakan pendek

Sakit perut

Enteropati hilang

protein

Hipoalbuminemia

Osteomalasia

Rabun senja

Ataksia

Sistemik

Artritis

Tenosinovitis

Ruam vesikulopustular

Eritema nodosum

Fenomena Raynaud

Nefritis

Hepatitis

Steatosis hati

Sumber: Lichtman29

6. Diagnosis

Anamnesis yang cermat merupakan hal yang penting untuk menentukan pemeriksaan

penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis keadaan yang mendasari terjadinya bakteri

tumbuh lampau. Riwayat operasi daerah perut sebelumnya perlu ditanyakan karena bakteri

tumbuh lampau di usus halus merupakan komplikasi jangka panjang akibat perubahan

motilitas atau akibat stasis yang terjadi pada perubahan anatomik tersebut. Pemeriksaan

barium meal dengan follow-through dapat mendeteksi adanya striktur usus, divertikel, dan

perlambatan waktu singgah. Walaupun demikian hasil pemeriksaan barium meal yang

normal tidak dapat mengeksklusi adanya bakteri tumbuh lampau di usus halus yang secara

klinis bermakna.21,24,25

Adanya bakteri anaerob di cairan usus halus bagian proksimal yang bukan merupakan flora

normal mulut, perut maupun usus halus proksimal dan jumlahnya lebih dari 106 koloni

merupakan baku emas uji diagnostik pada bakteri tumbuh lampau. Misalnya ditemukan

spesies Bacteroides. Karena sangat sulit melakukan biakan bakteri anaerob, maka

ditemukannya bakteri anaerob fakultatif, seperti strain E. coli, lebih dari 106 koloni pada

biakan tersebut dapat merupakan bukti adanya kolonisasi bakteri anaerob.32,33

Pengukuran H2 napas merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat digunakan pada anak

ataupun bayi. Sel mamalia tidak memproduksi H2, sedangkan mikroflora kolon komensal

pada umumnya memproduksi H2. Hidrogen yang diproduksi tersebut akan diabsorpsi dan

didistribusikan ke seluruh tubuh dan akhirnya dikeluarkan lewat udara napas. Konsumsi

karbohidrat yang tidak diserap, seperti laktulosa, akan menyebabkan peningkatan kadar H2

yang dihasilkan yang berkorelasi dengan adanya bakteri tumbuh lampau.15,16

Page 182: Buku Ajar Gastroenterologi

Peningkatan bermakna kadar konjugat asam 5-aminosalisilat ursodeoksikolat monofosfat

(5-ASA-UDCA monophosphat) di urin pada bakteri tumbuh lampau di usus halus

merupakan pemeriksaan noninvasif yang menjanjikan dan masih dalam tahap penelitian.26

Tabel 11.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus

Uji Tapis

Pewarnaan Sudan untuk lemak dalam tinja

Pengukuran lemak dalam tinja tampung 72

jam

Uji Schilling terhadap faktor intrinsik

Barium meal dengan follow-through

Uji Diagnostik

Invasif

Aspirasi duodenum

Biakan

Bakteri aerob

Bakteri anaerob

Eksklusi enteropatogen yg telah

diketahui

Garam empedu dekonjugasi

Asam lemak rantai pendek

Noninvasif

Indikanuria

Asam empedu serum

Uji hidrogen napas

Sumber: Lichtman29

7. Terapi

Tatalaksana bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dibagi 3 yaitu koreksi penyakit yang

mendasari, pemberian antibiotik dan terapi suportif. Penyebab terjadinya bakteri tumbuh

lampau di usus halus multi faktor dan sebagian besar dapat dikoreksi secara bedah. Oleh

sebab itu evaluasi ke arah penyebab kasus bedah harus dilakukan dengan cermat. Gejala

akut penyakit Crohn, sebagai penyakit yang mendasari, bila diberikan steroid akan

memperbaiki keadaan. Pemberian cisaprid untuk gangguan motilitas pada pseudoobstruksi

usus dilaporkan efektif.21,24,29

Pemilihan jenis antibiotik berdasarkan efektivitasnya terhadap Bacteroides. Pilihan yang

utama adalah metronidazol dan dapat diberikan selama 2 sampai 4 minggu. Bila terjadi

kekambuhan dapat diberikan antibiotik dengan spektrum luas, seperti trimetoprim-

sulfametoksazol atau gentamisin. Kloramfenikol dan linkomisin sebaiknya digunakan bila

terhadap antibiotik yang lain telah resisten. Penggunaan probiotik merupakan alternatif

terapi yang saat ini dilaporkan cukup efektif untuk terapi bakteri tumbuh lampau.32,38

Page 183: Buku Ajar Gastroenterologi

Terapi suportif terutama untuk mencegah komplikasi metabolik dan defisit nutrien.

Pemberian nutrisi dengan bahan dasar yang mudah dicerna dan rendah lemak

(mengandung asam lemak rantai sedang), sangat diperlukan untuk menjaga tumbuh

kembang yang normal. Pemberian suplementasi vitamin yang larut dalam lemak perlu

untuk mencegah komplikasi rabun senja, osteomalasia, ataupun kelainan neurologis.19,20

8. Prognosis

Prognosis tergantung dari penyakit yang mendasari dan respon terhadap terapi.

Daftar Pustaka

1. Büller HA, Grand RJ. Lactose intolerance. Annu Rev Med. 1990; 41: 141-8. 2. Committee on Nutrition of American Academy of Pediatrics. The practical significance of lactose intolerance in

children. Pediatrics. 1978; 62: 240-5. 3. Frye RE. Lactose intolerance. eMedicine [serial online] 2002 December 27 [disitasi 2004 Januari 29]:[9 screens].

Diunduh dari: URL:http://www.emedicine.com/ ped/ topic1270.htm. 4. Rings EHHM, Grand RJ, Büller HA. Lactose intolerance and lactase deficiency in children. Curr Opin Pediatrics.

1994; 6: 562-7. 5. Sahi T, LaunialaK, Laitinen H. Hypolactasia in a fixed cohort of young Finnish adult, a follow up study. Scand J

Gastroenterol. 1983; 18: 865-70. 6. Scrimshaw NS, Murray EB. Prevalence of lactose maldigestion. Am J Clin Nutr. 1988; 48 Suppl: 1086-98. 7. Sahi T. Genetics and epidemiology of adult-type hypolactasia. Scand J Gastroenterol. 1994; 29(Suppl 202): 7-20. 8. Vesa TH, Marteau P, Korpela R. Lactose intolerance. J Am Coll Nutr. 2000; 19Suppl: 165-75. 9. Arola H. Diagnosis of hypolactasia and lactose malabsorption. Scand J Gastroenterol. 1994; 29: 26-35. 10. Burke V, Anderson CM. Sugar intolerance as a cause of protracted diarrhea following surgery of the

gastrointestinal tract in neonates. Austr Pediatr J. 1986; 2: 219-27. 11. Christopher NL, Bayless TM. Role of the small bowel and colon in lactose-induced diarrhea. Gastroenterology.

1971; 60: 845-52. 12. Gracey M, Burke V, Oshin A, Barker J, Glasgow EF. Bacteria, bile salts and intestinal monosaccharide

malabsorption. Gut. 1971; 12: 683-92. 13. Ladas S, Papanikos J, Arapakis G. Lactose malabsorption in Greek adults: correlation of small bowel transit time

with the severity of lactose intolerance. Gut. 1982; 23: 968-73. 14. Launiala K. The effect of unabsorbed sucrose and mannitol on the small intestine flow rate and mean transit

time. Scand J Gastroenterol. 1968; 3: 665-71. 15. Hyams JS, Stafford RJ, Grand RJ, Watkins JB. Correlation of lactose breath hydrogen test, intestinal

morphology, and lactase activity in young children. J Pediatr. 1980; 97: 609-12. 16. Levitt MD, Hirsch P, Fetzer CA, Sheahan M, Levine AS. H2 excretion after ingestion of complex carbohydrate.

Gastroenterology. 1987; 92: 383-9. 17. Chew F, Penna FJ, Peret Filho LA, Quan C, Lopes MC, Mota Jac, et al. Is dilution of cow’s milk formula necessary

for dietary management of acute diarrhea in infants aged less than 6 months? Lancet. 1993 341: 194-7. 18. Penny ME, Brown KH. Lactose feeding during persistent diarrhea. Acta Paediatr. 1992; 381: 133-8. 19. Gregorio GV, Rogacion JM, Gabriel EP, Santos-Ocampo PD. Nutritional intervention in acute diarrhea: Is lactose

free formula essential? Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1992; 23: 235-45. 20. Lifschitz CH, Schulman RJ. Nutritional therapy for infants with diarrhea. Nutr Rev. 1990; 8: 329-38. 21. Bjorneklett A, Fausa O, Midvedt T. Bacterial overgrowth in jejunal and ileal disease. Scand J Gastroenterol.

1983; 18: 289-98. 22. Crabbe PA, Bazin H, Eyssen H, Heremans JF. The normal microbial flora as a major stimulus for proliferation of

plasma cell synthesizing IgA in the gut. Int Arch Allergy. 1968; 34: 362-75. 23. Hyman PE, Uc A, Hoon A, Dilorenzo C. Antroduodenal motility in children with chronic intestinal pseudo-

obstruction. J Pediatr. 1988; 112: 899-905. 24. Donaldson RM. Small bowel bacterial overgrowth. Adv Intern Med. 1970; 16: 191-212. 25. King CE, Toskes PP. Small intestinal bacterial overgrowth. Gastroenterology. 1979; 76: 1035-55.

Page 184: Buku Ajar Gastroenterologi

26. Konishi T, Takashi M, Ohta S. Basic study on 5-(7-hydroxi-3-O-phosphonocholy) aminosalicylic acid for the evaluation of microbial overgrowth. Biol Pharm Bull. 1997; 20: 370-5.

27. Dolby JR, et al. Bacterial colonization and nitrite concentration in the achlorhydric stomachs of patients with primary hypogamaglobulinemia or classical pernicious anemia. Scand J Gastroenterol. 1984; 19: 105-10.

28. Kaplan BS, Uni S, Aikawa M, Mahmud AA. Effector mechanism of host resistance in murine giardiasis: specific IgG and IgA cell-mediated toxicity. J Immunol. 1985; 134: 1975-81.

29. Lichtman SN. Bacterial overgrowth. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB. Pediatric Gastrointestinal Disease 3rd ed. Canada: BC Decker. 2000: 569-82.

30. Hill Mj, Drasar BS. Degradation of bile salts by human intestinal bacteria. Gut. 1986; 9: 22-7. 31. Long SS, Swenson RM. Development of anaerobic fecal flora in healthy newborn infants. J Pediatr. 1977; 91: 298-

301. 32. Riepe SP, Goldstein J, Alpers DH. Effect of secreted Bacteroides proteases on human intestinal brush borders

hydrolases. J Clin Invest. 1980; 66: 314-22. 33. Giannella RA, Toskes PP. Gastrointestinal bleeding and iron absorption in the experimental blind loop

syndrome. Am J Clin Nutr. 1976; 29: 754-7. 34. King CE, Toskes PP. Protein-losing enteropathy in the human and experimental rat blind loop syndrome.

Gastroenterology. 1972; 80: 504-9. 35. Riordan Sm, McIver CJ, Thomas DH, Duncombe VM, Bolin JD, Thomas MC. Luminal bacteria and small-

intestinal permeability. Scand J Gastroenterol. 1997; 32: 556-63. 36. Klinkhoff AV, Stein HB, Schlappner OL, Boyko WB. Postgastrectomy blind loop syndrome and the arthritis-

dermatitis syndrome. Arthritis Rheum. 1985; 28: 214-7. 37. Raju GS, Rao SSC, Lu C. Pneumoperitoneum and ascites secondary to bacterial overgrowth. J Clin Gastroenterol.

1997; 25: 688-90. 38. Stotzer P-O, Blomberg L, Conway PL, Henriksson A, Abrahamsson H. Probiotic treatment of small intestinal

bacterial overgrowth by Lactobacillus fermentum KLD. Scand J Infect Dis. 1996; 28: 615-9.

Page 185: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XI

ALERGI MAKANAN

(FOOD ALLERGY)

Liek Djuprie & Pitono Soeparto

Ilustrasi Kasus

Seorang anak berusia 7 bulan dibawa ke poliklinik karena kulit badannya merah dan gatal

sejak 2 hari yang lalu. Di rumah anak juga diare dan muntah. Anak sering mengeluh sakit

perut pada malam hari, sakitnya agak lama, sakit sekali, tetapi hilang timbul. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan lesi kulit urtika di dada, leher, mulut, dan tungkai atas dan

bawah. Anak diare cair tanpa lendir dan darah. Beberapa hari terakhir anak minum susu

formula yang sebelumnya tidak pernah minum. Dari keluarga, diketahui bahwa ibunya

penderita asma dan ayahnya sering gatal-gatal yang tidak jelas sebabnya.

Pendahuluan

Angka kejadian alergi terhadap makanan tampaknya semakin meningkat. Alergi

makanan dapat mengakibatkan terganggunya kualitas hidup dari penderita maupun

keluarganya. Alergi makanan juga sering menyebabkan dokter anak kerepotan dalam

menentukan diagnosis dan memberi penanganan.

Enam hingga delapan persen anak berusia kurang dari 3 tahun pernah mengalami alergi

makanan. Beberapa penelitian di masyarakat menunjukkan bahwa prevalensi alergi susu sapi

terjadi pada 1,9-3,9 % anak kecil, alergi telur terjadi pada 2,6 % hingga anak berusia 2,5 tahun,

kacang-kacangan pada 0,4%-0,6% pada anak usia kurang dari 18 tahun.1,2

Definisi

Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap protein makanan yang

merugikan, yang disebabkan oleh suatu hipersensitivitas imun, yaitu suatu interaksi antara

sedikitnya satu protein makanan dengan satu atau lebih mekanisme imun, tidak terbatas hanya

pada IgE.

Sebenarnya reaksi merugikan terhadap makanan merupakan suatu istilah umum yang

dipakai untuk menggambarkan suatu respons klinis abnormal sesudah makan makanan atau

bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian reaksi merugikan terhadap makanan dapat

ditimbulkan dari suatu alergi atau idiosinkrasi atau suatu respons metabolik, farmakologis atau

toksik terhadap protein makanan, bahan tambahannya atau kontaminan makanan.1,3,4

Page 186: Buku Ajar Gastroenterologi

Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat berupa reaksi toksik atau nontoksik.

Reaksi toksik tidak berhubungan dengan sensitivitas individual tetapi dapat terjadi pada semua

orang yang makan dalam jumlah yang cukup makanan yang mengandung pewarna, atau pada

keracunan makanan yang mengandung toksin bakteri. Sebaliknya, kejadian reaksi nontoksik

terhadap makanan tergantung dari kerentanan perorangan dan dapat terjadi dengan

perantaraan imun (yaitu alergi atau hipersensitivitas makanan) atau tanpa perantaraan imun

(yaitu intoleransi makanan). Alergi makanan biasanya diperantarai antibodi IgE yang tertuju

pada protein makanan spesifik, akan tetapi mekanisme imunologis lain terutama pada usus

dapat pula berperan.5,6

Epidemiologi

Akhir-akhir ini survei epidemiologi menunjukkan kenyataan adanya kenaikan fenomena

alergi yang cepat. Di negara berkembang, fenomena ini merupakan penyakit kronis yang paling

sering dijumpai dan mencapai sekitar 15% dan 30% dari seluruh populasi. Pada bayi dan anak

kecil, prevalensi alergi makanan diperkirakan terjadi sekitar 2%-3%. Faktor-faktor yang

mempengaruhi prevalensi alergi makanan pada berbagai populasi memberikan perhatian

mengenai dasar genetik dan lingkungan dari kenaikan penyakit atopik pada anak. Di Asia

Tenggara terdapat variasi yang sangat tinggi mengenai budaya, ras dan makanan yang mungkin

dapat berpengaruh terhadap prevalensi alergi makanan. Di Australia, telur (3,2%), susu sapi

(2%) dan kacang tanah (1,9%) merupakan alergen makanan yang paling sering dijumpai pada

anak hingga berusia 2 tahun. Di Asia, prevalensi alergi makanan tidak banyak diketahui.

Terdapat pandangan umum bahwa alergi nasi tidak umum dijumpai, sebaliknya alergi terhadap

kerang-kerangan lebih sering dijumpai di Filipina dan Singapura yang merupakan bagian dari

makanan sejak bayi usia dini. Berbeda dengan insidensi hipersensitivitas terhadap kacang tanah

di Malaysia, Jepang dan Filipina yang rendah, di Indonesia dan Australia insidensi alergi

terhadap bahan makanan tersebut relatif tinggi.. Di Amerika Serikat, hingga sepertiga rumah

tangga menyatakan bahwa salah satu keluarganya pernah mengalami reaksi makanan yang

merugikan, tetapi prevalensinya pada anak-anak hanya 6%-8%.7,8

Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak telah dikemukakan, termasuk sindrom

alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE), enterokolitis karena protein

makanan, sindroma malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif terhadap protein

susu sapi), gastro-enteropati eosinofilik alergik, kolik, refluks gastroesofageal. Di Skandinavia

dengan kriteria ketat didapatkan prevalensi alergi susu sapi sebesar 1,9 %, sedangkan Hill

(1999) melaporkan adanya insidens alergi susu sapi sebesar 2-7,5 % pada kurun usia bayi

sampai 1 tahun. Di Surabaya kejadian enteropati sensitif protein susu sapi (cow’s milk protein

sensitive enteropathy=CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare kronik dilaporkan

sebesar 72,9 %. Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk

challenge) dan ditegakkan dengan biopsi usus.7,9,10

Perjalanan Alami

Perjalanan alami dari alergi makanan pada anak kecil baik yang diperantarai IgE

maupun yang tanpa diperantarai IgE menunjukkan adanya toleransi yang timbul sejalan

dengan perjalanan waktu .

Page 187: Buku Ajar Gastroenterologi

Kebanyakan anak akan terbebas dari alergi terhadap susu, telor, terigu dan kedelai dan

hal ini biasanya berhubungan dengan resolusi atau kemajuan dari penyakitnya. Sekitar 1-3

tahun dengan diet eliminasi yang ketat diperkirakan dapat memperpendek waktu kesembuhan.

Namun, pasien-pasien yang alergi terhadap kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang

memiliki kemungkinan yang lebih banyak untuk tidak dapat terbebas dari reaktivitas klinis dan

sensitivitas hingga usia dewasa.

Peningkatan kadar IgE spesifik makanan dapat merupakan suatu indikasi berkurangnya

kemungkinan terjadi toleransi dalam tahun-tahun berikutnya dari usia anak.6,11,12

Klinis

Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat merupakan masalah, terutama pada

bayi dan anak, serta dapat memberikan spektrum yang luas dari reaksi-reaksi klinis seperti

gejala pada kulit, gastrointestinal, serta gejala lainnya.13

Kompleks gejala alergi makanan yang umum dari dermatitis atopik, kolik, refluks

esofageal dengan esofagitis pada bayi dapat disebabkan oleh reaksi terhadap makanan yang

merugikan baik secara langsung atau melalui susu ibu. Adanya hipotesa bahwa terdapat suatu

periode intoleransi protein makanan dimana hal ini merupakan bagian dari perkembangan

anak normal yaitu suatu periode untuk mendapatkan toleransi imunologis terhadap protein

makanan. Selama periode perkiraan intoleransi protein makanan ini, bayi dapat tidak

menunjukkan gejala atau menujukkan gejala sementara yang ringan atau bahkan gejala yang

berat yang memerlukan diagnosis dan penanganan dietetik yang berkepanjangan. Konsep-

konsep ini ditunjang oleh observasi-observasi yang menunjukkan adanya sensitisasi IgE yang

bersifat sementara terhadap makanan pada bayi yang asimptomatik, adanya intoleransi

terhadap protein makanan yang bersifat sementara pada bayi dengan kolik yang seringkali

menghilang dalam 3 bulan usia bayi, adanya kenyataan bahwa alergi terhadap susu sapi pada

umumnya membaik dalam waktu 2 bulan usia bayi, dan adanya fakta bahwa intoleransi pada

beberapa protein makanan membutuhkan dukungan nutrisi yang berkepanjangan.8,14,15

Pada bayi-bayi muda, kulit dan saluran gastrointestinal merupakan organ target yang

paling umum terkena, sedangkan gejala-gejala respiratorik sangat jarang tampak.16 Spektrum

hipersensitivitas makanan:

1. Gejala-gejala kulit meliputi:

- Pruritus

- Urtikaria

- Eksema

2. Gejala-gejala gastrointestinal meliputi:

- Sindrom alergi oral

- Anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE)

- Enterokolitis karena protein makanan

- Kolitis karena makanan

- Sindrom malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif protein susu sapi/

cow’s milk protein sensitive enteropathy).

Page 188: Buku Ajar Gastroenterologi

- Gastroenteropati eosinofilik alergik

- Kolik pada bayi

- Refluks gastroesofageal

3. Gejala-gejala respiratorik

4. Asma

5. Rhinitis alergika

Sicherer (1999) membagi penyakit alergi makanan dalam gangguan yang diperantarai

IgE dan yang tidak diperantarai IgE sebagai berikut (lihat tabel 11.1):

Tabel 11.1. Alergi makanan: Organ target dan gangguannya

Sumber: Sicherer2

Pembagian sindrom utama alergi susu sapi menurut Hill (1996)6 antara lain:

1. Penderita-penderita dengan kemungkinan besar menderita alergi susu sapi (cow’s milk

allergy : CMA).

a. Reaksi tipe anafilaktik

b. Reaksi tipe gastrointestinal akut

2. Penderita-penderita dengan kemungkinan sedang (moderat) menderita CMA:

a. Ekzema kronik pada bayi

b. Kolik infantil

c. Diare kronik (Enteropati sensitif terhadap protein susu sapi = cow’s milk protein

sensitive enteropathy: CMPSE)

d. Sembab (gastroenteropati eosinofilik: eosinophilic gastroenteropathy)

e. Diare berdarah (kolitis karena makanan=food induced colitis)

3. Penderita-penderita dengan kemungkinan kecil menderita CMA

a. Rinitis kronik

b. Otitis media berulang

c. Batuk berulang termasuk asma

Organ Target Dengan perantara IgE

Tanpa perantara IgE

Kulit - Urtikaria dan angioedema

- Dermatitis atopik

- Dermatitis atopik

- Dermatitis herpetiformis

Gastrointestinal - Sindrom alergi oral

- “Anafilaksis” gastrointestinal

- Gastroenteritis eosinofilik alergik

- Proktokolitis

- Enterokolitis

- Gastroenteritis eosinofilik

alergik

- Sindrom enteropatia

- Penyakit Celiac

Respiratorik - Asma

- Rinitis alergik - Sindrom Heiner

Multisistem

- Anafilaksis yang dipicu makanan

- Anafilaksis yang berhubungan

dengan makanan, anafilaksis yang

dipicu “exercise”

Page 189: Buku Ajar Gastroenterologi

Kompleksnya sistem imun gastrointestinal dan adanya fakta bahwa saluran

gastrointestinal merupakan tempat pertama yang menghadapi sejumlah besar alergen

makanan, sehingga tidaklah mengherankan apabila berbagai ragam gangguan hipersensitivitas

gastrointestinal dapat timbul.17

Atas dasar ini Workshop on the Classification of Gastrointestinal Disease of Infants and

Children Nopember 1988 membagi hipersensitivitas gastrointestinal menjadi:

a. Eksklusif dengan perantara IgE

b. Sebagian dengan perantara IgE

c. Eksklusif dengan perantara sel

Tanpa memandang mekanisme imunologis yang terkait, gejala hipersensitivitas GI

biasanya mirip sifatnya satu dengan lainnya, akan tetapi berbeda dalam waktu awal penyakit,

berat serta persistensinya.

Gambar 11.1. Gangguan hipersensitivitas GI IgE Non-IgE

- Hipersensitivitas

GI Seketika

- Sindrom alergi oral

- Esofagitis eosinofilik

- Gastritis eosinofilik alergik

- Gastroenteritis eosinofilik

alergik

- Enterokolitis protein makanan

alergik

- Proktitis protein makanan

- Enteropati protein makanan

Sumber: Sampson17

1. Dengan perantara IgE

Reaksi tipe anafilaktik

Anafilaksis merujuk pada reaksi multi organ yang dramatik yang berhubungan dengan

hipersensitivitas yang diperantarai IgE. Makanan yang utama penyebab anafilaksis adalah

kacang tanah, kacang pohon (mente) dan kerang-kerangan.1

Anafilaksis akibat makanan yang dipacu latihan (exercise) timbul dalam dua bentuk: (1)

anafilaksis timbul bila latihan dilakukan menyusul pemberian makanan tertentu yang

sensitivitasnya diketahui diperantarai IgE atau (2) yang lebih jarang adalah yang terjadi

sesudah makan sembarang makanan. Makanan-makanan yang terlibat bersama dengan

latihan atau latihan tanpa makanan makanan tidak menimbulkan gejala.18

Reaksi timbul cepat dalam hitungan menit namun dapat juga terjadi hingga 1 jam setelah

meminum susu. Gejala syok anafilaktik dapat timbul apabila jumlah susu yang diminum

besar, sedangkan susu dalam jumlah kecil memberikan gejala urtikaria perioral, urtikaria

umum, angioedema, eksem berulang, rinore, nafas bunyi, stridor, batuk dan muntah.

Kebanyakan penderita menunjukkan hasil tes tusuk kulit (skinprick test) yang positif kuat

terhadap ekstrak susu sapi.13

Sindrom alergi oral (oral allergy syndrome : OAS)

Page 190: Buku Ajar Gastroenterologi

Dalam dekade terakhir prevalensi dari OAS makin meningkat, hal ini mungkin disebabkan

karena bertambahnya kewaspadaan akan adanya penyakit ini. OAS merupakan bentuk

alergi kontak, alergi yang terbatas pada orofarings dan jarang mengenai organ target

lainnya. Aktivasi dari sel mast yang diperantarai IgE lokal memicu permulaan yang cepat

dari pruritus, rasa pedih dan angioedema dari bibir, lidah dan tenggorok, terkadang muncul

rasa gatal ditelinga, tenggorok sehingga seakan tercekik, atau keduanya. Gejala tersebut

biasanya bersifat sementara dan pada umumnya berhubungan dengan memakan berbagai

buah segar dan sayur-sayuran. Pasien alergi terhadap “Ragweed” (sejenis buah) dapat

mengalami OAS sesudah kontak dengan berbagai jenis semangka segar dan pisang.14,15

2. Dengan perantara campuran IgE dan non IgE

Yang termsuk dalam kelompok ini adalah:

- Esofagitis eosinofilik

- Gastritis eosinofilik

- Gastroenteritis eosinofilik

Gambaran hipersensitivitas ini ditandai dengan infiltrasi eosinofilik dari dinding esofagus,

lambung, usus dengan eosinofil, hiperplasia zona basal, perpanjangan papiler, tidak adanya

vaskulitis dan eosinofilia perifer pada 50% dari pasien.

Infiltrasi eosinofil dapat mengenai lapisan mukosa, otot dan serosa dari lambung dan usus

kecil. Gejala klinis berkorelasi dengan luasnya infiltrasi dinding usus. Infiltrasi eosinofilik

dari lapisan otot dapat menyebabkan penebalan dan kekakuan dinding usus yang memicu

gejala obstruksi, sedangkan infiltrasi daerah serosa menyebabkan asites yang mengandung

eosinofil. Walaupun demikian imunopatogenesis yang mendasari penyakit ini tetap tidak

diketahui dengan jelas.19,20

Esofagitis eosinofilik alergik

Esofagitis eosinofilik alergik didapatkan paling sering selama masa bayi hingga masa remaja

dalam bentuk refluks kronik (refluks gastroesofageal), emesis intermiten, penolakan

makanan, nyeri abdomen, disfagia, iritabilitas, gangguan tidur dan tidak responsif terhadap

pengobatan refluks konvensional. Formula susu terutama soya dan juga susu sapi dikatakan

banyak terlibat dalam kejadian refluks gastrointestinal.

Refluks gastroesofageal (gastro esophageal reflux: GER) menggambarkan

keluarnya secara involunter isi gaster diatas sfingter esofagus bawah. Refluks

gastroesofageal merupakan keadaan yang biasa pada usia bayi dan dikatakan patologis

apabila hal tersebut menyebabkan esofagitis, gagal tumbuh atau gejala respiratori

(GERD: gastroesophageal reflux disease). Kebanyakan gejala akan menghilang pada saat

usia bayi 12-18 bulan. Tangisan yang tidak henti-hentinya pada bayi sering terjadi dan

karena banyaknya prevalensi regurgitasi pada bayi-bayi muda, sering dihubungkan

Page 191: Buku Ajar Gastroenterologi

dengan GER dan esofagitis. Namun hal ini kemudian ternyata lebih merupakan asosiasi

dari pada hubungan kausal antara tangisan persisten (distres yang persisten) dan GER.

GER secara tradisional dipandang sebagai gangguan motilitas primer. Namun akhir-

akhir ini, suatu bentuk sekunder karena intoleransi terhadap protein makanan telah

pula dikemukakan kedua bentuk ini seringkali sulit dibedakan pada anak kecil karena

tumpang tindih secara klinis.

Esofagitis secara histologi ditandai oleh hiperplasia basal, perpanjangan dari papila dan

terdapatnya suatu campuran infiltrat keradangan dari neutrofil dan eosinofil. Umumnya

diperkirakan bahwa esofagitis merupakan efek langsung dari jejas peptik karena

paparan asam yang berkepanjangan pada esofagus distal. Eosinofil esofageal telah

digunakan sebagai tanda spesifik dari esofagitis refluks.12,14,21

Kolik infantil terdiri dari paroksisma tangisan atau kerewelan tanpa sebab yang jelas

yang terjadi pada 15-40% bayi berusia 4 bulan pertama.

Kolik yang berhubungan dengan muntah dikatakan mempunyai kaitan dengan refluks

gastroesofageal (GER). Hal ini diperkirakan primer penyebabnya karena suatu gangguan

motilitas, namun akhir-akhir ini dikemukakan suatu bentuk sekunder yang disebabkan

karena intoleransi protein makanan. Periode dari intoleransi protein makanan

merupakan suatu bagian dari perkembangan normal sistem imun karena pada periode

ini bayi dan anak kecil banyak menghadapi protein makanan yang umum dikonsumsi

bayi dan anak kecil.

Terdapat pendapat bahwa kolik infantil berhubungan baik dengan interaksi (perilaku)

orang tua-anak yang terganggu maupun dengan reaksi hipersensitivitas protein

makanan (alergi) dengan kemungkinan salah satu atau keduanya dapat manifes pada

seseorang anak yang mempunyai predisposisi gangguan motilitas usus. Dikemukakan

hipotesa bahwa pada bayi dengan kolik terdapat intoleransi terhadap protein makanan

yang transien yang mempunyai asosiasi dengan gangguan motilitas usus primer pada

minggu-minggu pertama usia bayi dan hal ini dapat menimbulkan distres yang

kemudian menetap, suatu hasil dari pola perilaku dan gangguan sekunder dalam

interaksi orang tua-bayi.12,14,21

Gastritis eosinofilik alergik

Gastritis eosinofilik alergik terdapat juga lebih banyak sepanjang masa bayi sampai remaja.

Biasanya menunjukkan gejala-gejala muntah sesudah makan, nyeri abdomen, anoreksia,

perut rasa penuh, hematemesis, gagal tumbuh dan obstruksi jalan keluar lambung (jarang

stenosis pilorik).4,20,

Gastroenteritis eosinofilik alergik

Gastroenteritis eosinofilik alergik dapat terjadi pada setiap usia dan muncul dengan gejala

sama seperti esofagitis, gastritis atau keduanya. Gejala yang paling mencolok adalah

Page 192: Buku Ajar Gastroenterologi

berkurangnya berat badan dan gagal tumbuh. Hingga 50% dari pasien adalah atopik dan

pada sebagian kecil pasien diperkirakan karena reaksi yang diperantarai IgE yang dipicu

makanan. Yang mencolok pada penyakit ini adalah gejala enteropati dengan kehilangan

protein (protein losing enteropathy) terlihat dengan adanya sembab perifer, asites,

malabsorpsi dan anemia kekurangan besi karena kehilangan darah melalui usus dan

terkadang hanya disertai gejala gastrointestinal lainnya yang minimal (muntah, diare).

Timbulnya penyakit ini biasanya lambat, biasanya terdapat riwayat atopi dalam keluarga

dan tidak responsif terhadap eliminasi diet. Kemungkinan adanya alergen ganda (multiple

allergens) termasuk inhalans berperan dalam gangguan ini.15,20,22

3. Gangguan hipersensitivitas dengan perantara non-IgE.

Enterokolitis protein makanan

Merupakan gangguan hipersensitivitas yang paling sering terjadi pada bayi usia beberapa

bulan dengan gejala yang berupa iritabilitas, muntah yang masif serta diare yang tak jarang

menyebabkan dehidrasi. Muntah biasanya terjadi 1-3 jam sesudah makan. Pada paparan

yang terus menerus dapat menyebabkan diare berdarah, anemia, distensi abdomen dan

gagal tumbuh.

Rektosigmoidoskopi pada kolitis menunjukkan eritema dan aftae pada mukosa sedang

secara histologis tampak adanya infiltrasi eosinofilik dan ulserasi fokal. Kebanyakan dari

gangguan ini disebabkan karena susu sapi (milk induced colitis), sebagian kecil mungkin

oleh antigen yang terkandung ASI (breast milk induced benign proctitis) ataupun oleh

protein soya. Tinja sering mengandung darah yang samar, neutrofil polimorfonuklear dan

eosinofil serta kristal charcot-Leyden. Uji tusuk kulit (skin prick test) biasanya negatif.

Spesimen biopsi jejunum menunjukkan vili yang datar, sembab dan peningkatan limfosit,

eosinofil dan sel mast. Sel-sel mast yang mengandung IgM dan IgA didapatkan dalam

jumlah yang meningkat. Walaupun mekanisme imunopatogenik masih perlu diteliti, studi

terbaru menunjukkan adanya sekresi dari TNF-α dan sel-sel mononuklear lokal yang

berperan dalam diare sekretori dan hipotensi.3,19

Proktitis protein makanan

Gangguan ini khas terlihat pada beberapa bulan setelah kelahiran berupa tinja dengan

bercak darah pada bayi-bayi yang tampak sehat. Sekitar 60% dari kasus adalah bayi yang

mendapatkan ASI, sedangkan selebihnya adalah bayi yang mendapatkan susu sapi atau

formula soya. Kehilangan darah bersifat sedang akan tetapi kadang dapat menimbulkan

anemi. Hipoalbuminemia dan eosinofilia perifer jarang terjadi.3,4

Enteropati protein makanan

Gangguan ini sering terlihat pada bayi usia beberapa bulan setelah lahir dengan gejala diare

(tidak jarang steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen

dan malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia.

Enteropati sensitif protein susu sapi merupakan penyebab utama sindroma ini, walaupun

terdapat pula asosiasi dengan soya, telor, gandum, nasi, ayam dan ikan pada anak yang lebih

besar. Pada biopsi usus tampak atrofi vilus yang tidak merata disertai infiltrat seluler yang

khas untuk gangguan ini. Pada enteropati susu sapi, didapatkan IgA dan IgG serum yang

meningkat.

Page 193: Buku Ajar Gastroenterologi

Prototipe dari intoleransi makanan yang bersifat sementara adalah enteropati sensitif

terhadap protein susu sapi (cow’s milk sensitive enteropathy=CMPSE, cow’s milk induced

enteropathy) yang biasanya menghilang sesudah anak berusia 2-3 tahun. Reaksi ini

biasanya tidak bersifat seketika. Terdapat pula kasus-kasus alergi susu sapi dengan disertai

malabsorpsi tetapi tanpa adanya enteropati. Hal ini menyebabkan bahwa diagnosa dengan

cara biopsi saja tidaklah cukup. Didapatkannya enteropati yang tidak merata pada biopsi

usus belumlah merupakan tanda patognomonik untuk menjelaskan etiologinya. Peran

gastroenteritis akut sebagai predisposisi terjadinya alergi susu sapi belum jelas. Defisiensi

disakaridase sekunder pada alergi susu sapi dapat disebabkan karena kerusakan vilimikro

pada permukaan enterosit. Enteropati yang terjadi pada alergi susu sapi bersifat transien

dan reversibel sesudah eliminasi susu sapi.10,23

Tabel 11.2. CMPSE di Surabaya

Usia (bulan) 0-6 7-12 ≥ 13 Jumlah

CMPSE (-)

CMPSE (+)

5

13

3

13

2

1

10

27

(72,9%)

Sumber: Soeparto10

Penyakit celiac

Merupakan enteropati protein makanan dengan ciri khas lebih luasnya kerusakan vili

absorptif dan hiperplasia kripta yang menimbulkan malabsorpsi, diare kronik, steatore,

distensi abdomen, flatulens, dan penurunan berat badan atau kegagalan tumbuh. Tidak

jarang dapat juga diketemukan ulserasi oral dan gejala ekstrapiramidal lain sekunder karena

malabsorpsi. Pasien dengan penyakit celiac sensitif terhadap gliadin, suatu bagian yang larut

alkohol dari gluten yang didapatkan a.l pada gandum, “oat” , “rye” dan “barley”. Penyakit

celiac berhubungan dengan HLA-DQ2 (dan DQ8) haplotype dan sekitar 90% dari pasien

yang mengingesti gliadin mempunyai antibodi IgA anti gliadin dan antiendomisium. Pada

biopsi terlihat adanya atrofi vilus total dan infiltrat seluler yang ekstensif. Prevalensi dan

penyakit celiac diperkirakan antara 1:3700 dan 1:300. Di Indonesia kejadian penyakit celiac

belum pernah dilaporkan.

Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa penyakit celiac dapat beragam mulai dari sindroma

malabsorpsi yang berat sampai yang tidak tampak (subklinis). Ingesti biji-bijian yang

mengandung gluten secara terus menerus mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko

terjadinya keganasan, terutama limfoma sel T. Studi histopatologi menunjukkan bahwa

limfosit–limfosit, sebagian besar CD8+ fenotipe sitotoksik/ supresor banyak berada dalam

ruang intra epitelial, dan sel-sel T/α meningkat dalam mukosa jejunum dan darah perifer.

Penemuan terakhir lain mengemukakan bahwa penyakit celiac berhubungan dengan

kenaikan aktivitas mukosal dari transglutaminase jaringan (tTGase) terhadap protein

spesifik yang terikat glutamin.3,4,7

Konstipasi kronis

Konstipasi kronis terdapat pada 68% dari penderita anak yang mengalami hipersensitivitas

terhadap susu sapi.

Page 194: Buku Ajar Gastroenterologi

Konstipasi kronik merupakan suatu gejala yang diberi batasan dari segi kesulitan selama

defekasi, interval-interval yang panjang antar buang air besar (BAB), penampang dan

kekerasan tinja. Gejala ditandai dengan gerakan BAB yang nyeri atau mengejan saat BAB,

tinja yang keras, frekuensi BAB kurang dari 3x/minggu selama paling kurang 30 hari,

dengan atau tanpa “soiling”.

Konstipasi adalah salah satu gejala dari intoleransi susu sapi. Uji-uji imunologik

menunjukkan bahwa konstipasi merupakan manifestasi dari alergi susu sapi yang sering

terjadi dengan perantaraan IgE. Selain itu karena tingginya frekuensi fisura berat pada anak

yang timbul kembali setelah pemberian susu sapi dan sebelum permulaan konstipasi, maka

hipotesisnya adalah bahwa nyeri selama BAB dapat menyebabkan retensi, tinja didalam

rektum sehingga memperberat konstipasi.23

Penyakit usus beradang (Inflammatory bowel disease=IBD)

Peran hipertensitivitas terhadap makanan dalam IBD (penyakit Crohn dan colitis ulserosa)

tetap spekulatif, walaupun diet elemental menunjukkan kemajuan dalam resolusi dari gejala

yang ada.3

Reaksi tipe gastrointestinal akut

Gejala-gejala meliputi pucat, kolik, nyeri abdomen dan muntah disusul dengan diare serta

terkadang kolaps yang terjadi beberapa jam sesudah minum susu sapi dalam jumlah yang

cukup besar (30-240 ml). Gejala muntah didahului oleh tingkah anak yang rewel dan mudah

terangsang. Gejala timbul dengan lambat, diare berlangsung beberapa jam tanpa muntah.

Pada bayi-bayi muda, muntah tidak selalu terjadi segera, dan pada beberapa bayi

diantaranya, muntah pada awalnya berupa muntah yang intermiten serta disertai gejala

kegagalan pertumbuhan. Pada anak-anak dengan dermatitis atopik dan alergi makanan,

ingesti alergen makanan memicu desensitisasi parsial dari sel-sel mast, menimbulkan reaksi

subklinis. Pada umumnya anak-anak ini pertama kali terlihat mempunyai keluhan anoreksi.

Kenaikan berat badan yang kurang ideal dan nyeri abdomen yang berulang, namun

integritas dinding usus menunjukkan adanya malabsorpsi. Kebanyakan penderita

menunjukkan uji kulit negatif terhadap ekstrak susu dan secara serologis tidak

menunjukkan hipersensitivitas IgE terhadap susu sapi. Penderita-penderita dengan gejala

yang timbul lambat biasanya pada pemberian susu yang berulang-ulang akan menimbulkan

episode-episode gastroenteritis atau intoleransi laktosa yang berulang.15,23

Diagnosis

Diagnosis alergi makanan berdasarkan:

- Riwayat medis - Pemeriksaan fisik - Pemeriksaan laboratories - Eliminasi diet - Tantangan makanan oral

Page 195: Buku Ajar Gastroenterologi

- Uji diagnostik lain Evaluasi awal dimulai dengan anamnesis riwayat medis dan pemeriksaan fisis yang mendalam,

pertimbangan diagnosis banding, termasuk gangguan metabolik, abnormalitas anatomik,

keganasan, insufisiensi pankreatik, reaksi merugikan terhadap makanan yang non-imunologik

dan gangguan-gangguan lainnya yang dapat memberikan gejala yang serupa. Reaksi alergik

terhadap bahan-bahan selain makanan (misal bulu binatang, jamur, debu) harus pula

dipertimbangkan.24

1. Riwayat medis

Riwayat medis dari alergi makanan kebanyakan adalah bertumpu pada daya ingat pasien

mengenai peristiwa-peristiwa disekitar timbulnya gejala dan pada umumnya sangat

subyektif. Hanya sekitar 40% dari riwayat medis yang didapatkan dari pasien/ orang tua

pasien dapat diklarifikasi. Konsekuensinya adalah bahwa dokter harus membedakan antara

gangguan yang disebabkan hipersensitivitas makanan dengan etiologi lain seperti tertera

pada tabel 11.3.

Tabel 11.3. Bahan-bahan/keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan hipersensitivitas

makanan

1. Gastrointestinal : muntah dan atau diare

- Abnormalitas struktural (missal: Hernia heatal, Stenosis pilorik)

- Defisiensi ensim: primer vs sekunder (misal Laktase, Galaktosemia)

- Keganasan

- Lain-lain (mis. Fibrosis kistik, tukak peptic)

2. Kontaminasi dan bahan tambahan

- Bahan penyedap dan pengawet

- Bahan warna

- Toksin

- Bahan yang berhubungan dengan ikan laut

- Organisme infeksi

- Antigen jamur

- Kontaminan asidental (logam berat , pestisida, antibiotik)

3. Bahan-bahan farmakologik

- Kofein (kopi, “soft drink”)

- Theobromin (coklat, teh)

- Histamin (ikan)

- Triptamina (format)

- Serotonin (tomat, banana)

- Tiramin (keju)

- Alkaloid glikosidal (kentang)

- Alkohol

4. Reaksi psikologik

Sumber: Sampson24

Page 196: Buku Ajar Gastroenterologi

Dapat dikatakan bahwa setiap protein makanan mampu menyebabkan suatu reaksi; namun,

hanya sejumlah kecil dari makanan terkait dengan 90% lebih reaksi makanan yang

merugikan,serta sebagian besar pasien sensitif terhadap kurang dari 3 makanan. Pada anak-

anak, makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi adalah telor, susu, kacang tanah,

soya, terigu, kacang-kacangan pohon, ikan dan kerang.

Tanda dan gejala dari reaksi alergik makanan yang berhubungan dengan berbagai organ

target dapat dilihat dalam Tabel 11.4.

Tabel 11.4. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target

Kulit

- Urtikaria/angioedema

- Kemerahan

- Bercak pruritis eritematus

- Dermatitis atopi

Gastrointestinal

- Pruritus dengan/atau pembengkakan bibir, lidah atau mukosa oral

- Mual

- Nyeri abdomen atau kolik

- Muntah atau refluks

- Diare

Respiratorik

- Hidung tersumbat

- Rinore

- Bersin

- Sembab larings, disfonia

- Nafas bunyi/batuk beruntun

Kardiovaskuler

- Hipotensi/renjatan

- Pusing

Lain-lain :

- Nyeri punggung

Sumber: Sampson24

Hal yang perlu diperhatikan adalah:

Saat terjadi reaksi

Makanan yang dicurigai sebagai penyebab reaksi

- Jenis makanan

- Kurun waktu antara makan-makanan yang dicurigai dan timbulnya gejala

- Apakah makan makanan yang dicurigai memberikan gejala yang sama pada waktu

lain.

- Apakah faktor-faktor lain (latihan, alkohol) diperlukan dalam mencetuskan gejala

- Lama waktu sejak terjadinya reaksi terakhir terhadap makanan

Pada gangguan yang kronik yang dipicu alergi makanan, riwayat medis mempunyai

ketepatan prediksi yang lemah, berbeda dengan gangguan yang bersifat akut.24

Page 197: Buku Ajar Gastroenterologi

2. Pemeriksaan fisik

Selama pemeriksaan fisik perhatian diarahkan ke sistem kulit, gastrointestinal dan

respiratorik dan ke arah deteksi adanya gambaran atopi yang umum didapatkan pada pasien

yang mengalami reaksi-reaksi yang diperantarai IgE. Status gizi umum dari pasien dan

setiap tanda fisik dari gangguan non alergik yang mendasarinya perlu dicatat.15,24

3. Pemeriksaan laboratorium

Selama riwayat medis dan pemeriksaan fisik, perlu ditentukan apakah temuan-temuan pada

pasien merupakan implikasi alergi makanan. Apakah mekanisme yang diperantarai IgE

ataukah yang tidak diperantarai IgE yang paling mungkin terlibat. Sejumlah penelitian

laboratorium mungkin berguna dalam menentukan makanan spesifik yang terkait dengan

reaksi yang diperantarai IgE akan tetapi terbatas nilainya dalam reaksi yang tidak

diperantarai IgE.

Uji kulit (skin test)

Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara IgE, maka uji tusuk kulit (prick/puncture

skin test = PST) dan RAST merupakan metode yang berguna untuk menetapkan apakah

pasien mempunyai antibodi IgE terhadap sesuatu makanan yang spesifik. Uji-uji ini dapat

menunjukkan adanya IgE alergen-spesifik, tetapi tidak dapat menetapkan diagnosis dari

alergi makanan klinis.17,25

Uji serologi

Karena banyaknya mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis alergi, berbagai uji

imunologis yang berbeda sering digunakan dalam mengindentifikasi reaksi alergik

walaupun hanya sebagian kecil saja dari uji ini yang benar-benar dapat dipakai dalam

menunjang diagnosis alergi.24

Uji RAST

RAST dan esai in vitro yang serupa, termasuk ELISA untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik

makanan dapat dipakai pula untuk menapis (screen) pasien-pasien yang dicurigai menderita

alergi makanan dengan perantara IgE. Uji-uji ini pada umumnya dianggap kurang sensitif

dibandingkan uji klinis, tetapi suatu studi menunjukkan bahwa RAST mempunyai kesamaan

sensitivitas dan spesivisitas dengan uji kulit apabila mencapai skor 3 atau lebih.

Dalam penapisan awal untuk alergi makanan yang diperantarai IgE, sering dilakukan

penapisan (skrining) sensitivitas makanan yang dicurigai dan kemudian diperoleh tingkat

IgE spesifik makanan untuk menentukan kecenderungan reaktivitas kliniknya. Tingginya

Page 198: Buku Ajar Gastroenterologi

antibodi IgE awal dapat dipakai sebagai angka rujukan untuk memonitor sensitivitas

spesifiknya.17

RIFT (Red Cell Immunosorbent Fluorescent Technique)

Antibodi IgG serum spesifik terhadap suatu antigen makanan yang sering ditemukan lebih

merupakan indikasi dari adanya suatu paparan dibandingkan sensitisasi. Dengan cara

semikuantitatif untuk IgG susu sapi (ELISA atau RIFT dapat dibedakan antara penderita-

penderita dengan CMA dengan yang sehat). Uji ini terutama berguna bagi reaksi alergi

pertengahan (intermediate) dan lambat (late reactors) dan tidak berguna reaksi bagi cepat

(immediate reaction). Pada penderita-penderita ini terdapat kecenderungan untuk

terjadinya reaksi gastrointestinal.24,26

Pemeriksaan kompleks imun dalam sirkulasi (Circulating immune complex),

pengikatan Clq (Clq binding).

Kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan antibodi yang beredar dalam

serum telah diteliti dalam penggunaannya untuk diagnosis alergi makanan. Walaupun

terdapat berbagai macam cara pemeriksaan (RIA dengan dimodifikasi, Clq binding), namun

hasil yang didapatkan cukup memberi harapan terutama dalam mengidentifikasi

mekanisme hipersensitivitas tipe III. Akan tetapi masih diperlukan data-data dari berbagai

penelitian untuk menetapkan cara pemeriksaan tersebut dalam diagnosis alergi

makanan.17,24,26

Uji histamin plasma, uji pelepasan histamin basofil

Pemeriksaan histamin plasma dan pemeriksaan histamin sesudah inkubasi leukosit basofil

dengan antigen yang merupakan mediator yang dikeluarkan pada reaksi cepat (immediate

reactors) dipakai pula dalam upaya diagnostik alergi makanan. Teknik yang digunakan

banyak menyita waktu dan biaya. Akhir-akhir ini didapatkan cara/uji degranulasi basofil

yang lebih sederhana, namun masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Uji pelepasan

histamin basofil (basophil histamine release=BHR) dan uji pelepasan histamin sel mast

pada umumnya hanya dilakukan untuk tujuan penelitian.24,26

Uji inhibisi migrasi leukosit (Leucocyte Migration Inhibition test=LIF test)

Mekanisme imun dengan perantara sel (cell mediated immune mechanism) dengan

pengeluaran limfosit yang tersensitisasi antigen makanan yang spesifik, yaitu faktor inhibisi

migrasi leukosit (leucocyte migration inhibiting factor=LIF) telah dicoba untuk dipakai

sebagai cara diagnostik alergi makanan. Disamping hasil-hasil yang dikatakan

Page 199: Buku Ajar Gastroenterologi

menggembirakan, terdapat banyak pula hasil-hasil yang positif palsu karena masalah-

masalah teknis, selain itu harganyapun mahal.24

4. Diet eliminasi alergen diagnostik

Begitu sesuatu makanan tertentu dicurigai sebagai penyebab alergi makanan, dimulailah

suatu diet eliminasi dalam upaya mendukung diagnosis. Keberhasilan dengan cara ini

membutuhkan eksklusi dari alergen atau alergen-alergen dalam diet eliminasi, kemampuan

pasien untuk menjaga dietnya bebas dari segala bentuk alergen yang dituju dan tidak

adanya faktor-faktor yang mungkin akan memperberat gejala selama masa penelitian.

Apabila semua faktor pengganggu disingkirkan, tidak adanya suatu respon terhadap diet

eliminasi secara esensial akan mengeksklusi makanan yang dieliminasi sebagai penyebab

dari gangguan alergi. Namun, pada beberapa alergi makanan gastrointestinal (misal

esofagitis eosinofilik alergik dan gastroenteritis) penyebab yang dimungkinkan adalah alergi

makanan multipel sehingga suatu diet elemental mungkin diperlukan dalam menegakkan

diagnosis. Apabila gejala penyakit menghilang dengan diet eliminasi, dalam memastikan

diagnosis perlu dilakukan, uji tantangan makanan (food challenge). Pada alergi makanan

gastrointestinal, diagnosis akan menjadi pasti apabila endoskopi dan biopsi menunjukkan

perbaikan patologis sesudah 6-8 minggu dengan diet eliminasi.2,27

5. Uji tantangan makanan oral (food challenge)

Uji tantangan makanan oral dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap sesuatu

jenis makanan yang menyebabkan gejala alergi makanan. Uji tantangan juga diperlukan

dalam menilai kesembuhan alergi. Uji tantangan makanan seyogyanya tidak dilakukan

apabila terdapat riwayat reaksi alergi makanan berat yang jelas dalam kaitannya dengan

adanya antibodi terhadap makanan yang dicurigai. Uji tantangan makanan dapat dilakukan

secara terbuka (pasien dan dokter mengetahui isi makanan yang diujikan), secara

pembutaan tunggal (single blind, pasien tidak mengetahui, tetapi dokter mengetahui isi

makanan tantangan). Atau secara pembutaan ganda dengan kontrol plasebo (“double-blind

and placebo controlled” atau DBPCFC, baik pasien maupun dokter tidak mengetahui isi

makanan tantangan). DBPCFC dianggap sebagai “baku emas” dalam diagnosis dari alergi

makanan. Sicherer (1999), melakukan dua kali tantangan setiap hari, satu kali berisikan

antigen makanan yang diuji dan yang satu lagi berisikan plasebo. Setiap tantangan

dievaluasi dan diskor dengan menggunakan lembar gejala yang baku. Tantangan yang

negatif selalu perlu dipastikan dengan pemberian secara terbuka makanan yang lebih besar

porsinya. Pasien juga diamati kemungkinan terjadinya reaksi lambat. Apabila dicurigai

hanya beberapa makanan saja, tantangan dengan pembutaan tunggal atau tantangan

terbuka dapat dilakukan untuk menapis (screen) reaktivitasnya.2,,28

Uji tantangan dilakukan pada bayi dalam keadaan puasa, dimulai dengan dosis yang

sekiranya tidak memicu gejala (25-500 mg dalam makanan yang diliofili = lyophilized food).

Pada reaksi yang dicurigai dengan perantara IgE, dosis pada umumnya dapat digandakan

setiap 15-60 menit. Namun apabila pasien menunjukkan reaksi yang lebih lambat,

diperlukan waktu interval yang lebih lama. Begitu pasien dapat mentoleransi 10 gram “lyophilized food” yang dibutakan dalam kapsul atau cairan (ekuivalen dengan putih telor

Page 200: Buku Ajar Gastroenterologi

satu butir telor atau satu gelas susu dari 4-oz), maka reaktivitas klinik pada umumnya dapat

disingkirkan.2

Pasien dengan tingkat IgE spesifik-alergen makanan dalam serum yang melebihi 95% dari

nilai prediksi dapat dianggap reaktif dan tantangan makanan oral tidak diperlukan. Pasien

dengan tingkat IgE kurang dari 95% nilai prediktif mungkin reaktif tetapi memerlukan

suatu uji tantangan makanan untuk memastikan diagnosis. Terkait dengan hal tersebut,

data-data terakhir menunjukkan bahwa pemantauan nilai IgE spesifik alergen mungkin

berguna dalam prediksi apabila tantangan-tantangan selanjutnya (follow up) cenderung

menjadi negatif (apabila pasien “outgrow” alergi makanannya). Penapisan awal alergi

makanan dengan perantara IgE seringkali merupakan penapisan bagi sensitivitas makanan

untuk kemudian ditentukan tingkat IgE spesifik makanan untuk menentukan reaktivitas

kliniknya. Tingkat awal antibodi IgE dapat dipakai sebagai titik rujukan dalam memantau

sensitivitas spesifik.2,20

6. Uji diagnostik lain

Pada gangguan alergi makanan tanpa perantara IgE, walaupun hasil-hasil dari sejumlah uji

laboratori non-spesifik mungkin abnormal ,tidak ada uji laboratorium yang menunjukkan

identitas makanan penyebabnya. Eosinofilia darah perifer dapat ditemukan pada 50% dari

pasien dengan gastroenteritis eosinofilik atau suatu peningkatan dari jumlah neutrofil dengan “left shift” sering dijumpai pada pasien enterokolitis yang dipicu makanan yang baru

mengalami reaksi alergik. Eosinofil dapat ditemukan dalam tinja pasien dengan

enterokolitis dan proktokolitis eosinofilik yang dipicu protein makanan. Antibodi IgG

spesifik-antigen makanan pada umumnya meningkat pada pasien dengan alergi makanan

yang mengenai usus, tetapi spesifisitasnya secara khas mencerminkan jenis makanan yang

dimakan tidak indikatif untuk patogenesis yang spesifik dari makanan yang terkait. Untuk

kebanyakan dari alergi gastrointestinal, histologi dari bahan biopsi sering memperkuat

diagnosis tetapi tidak menunjukkan makanan mana yang merupakan penyebab dari

reaksi.20,27

Tabel 11.5. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai penyebab penyakit

gastrointestinal.

1. Riwayat reaksi alergik atau serupa alergi terhadap makanan 2. Eksklusi dari penyebab-penyebab anatomis, metabolik atau infeksi 3. Penemuan patologik konsisten dengan penyebab alergik (biasanya eosinofilia) 4. Konfirmasi adanya hubungan ingesti dari protein makanan spesifik dan gejala melalui

tantangan-tantangan atau paparan berulang 5. Bukti adanya antibodi spesifik dalam tatanan penyakit-penyakit 6. Kegagalan dalam merespons pengobatan, metabolik atau infeksius 7. Perbaikan dalam gejala-gejala dengan eliminasi diet penyebab gangguan (protein

makanan) 8. Respons klinis terhadap pengobatan dari keradangan inflamasi (kortikosteroid) 9. Kesamaan sindrom klinis baik yang terbukti ataupun diperkirakan karena mekanisme

imunologik 10. Tidak adanya penjelasan untuk reaksi yang menyerupai alergi secara klinis

Page 201: Buku Ajar Gastroenterologi

Sumber: Wesley28

Gambar 11.2. Skema Umum bagi Evaluasi Peran Alergi Makanan Gastrointestinal

Evaluasi Indikatif (Tabel 11.1, 11.2,)

11.3

Riwayat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium spesifik (Tabel

)11.4)

Kemungkinan

alergi Makanan

Diet eliminasi

(Tabel 11.5)

Perbaikan

Diet rumatan

Pertimbangkan pemberian

kembali makanan spesifik

dan/atau tantangan secara

formal (Tabel 11.6)

Tantangan

positif, gejala

timbul

kembali

Teruskan eksklusi

makanan,

Pertimbangkan re-

evaluasi berkala

Penyebab lain

teridentifikasi, tidak

konsisten dengan alergi

makanan

Tidak ada perbaikan

Makanan dapat

ditoleransi/tantangan

dilewati

Stop, bukan

alergi makanan

Tidak

berhubungan

dengan alergi

makanan

Tambah

makanan pada

diet

Page 202: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 11.6. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai kausa penyakit gastrointestinal.

Usia pasien muda (< 3 th.)

Riwayat reaksi akut yang diperkirakan karena makanan tertentu

Penyakit atopik yang menyertai

- Dermatitis atopik (lezema)

- Reaksi alergi makanan akut

- Asma

- Riwayat keluarga dengan penyakit atopic

Sumber: Sampson15

Tabel 11.7. Jenis diet eliminasi A. Eliminasi dari salah satu atau beberapa makanan yang berhubungan dengan gejala

- Berguna untuk reaksi akut, makanan positif IgE atau makanan dengan kecurigaan

tinggi

B. Diet oligoantigenik-makanan yang terspesifikasi yang diperkenankan dalam diet yang

diseleksi bagi yang umumnya mengandung risiko rendah

- Berguna bila sejumlah besar makanan ada hubungannya dengan gejala

- Dapat menghasilkan hasil yang negatif semu apabila makanan yang sebenarnya

tidak dieliminasi

C. Diet elemental-formula hipoalergenik (yaitu formula berdasar asam amino) digunakan

sebagai nutrisi total, dapat berisikan beberapa bahan padat yang “aman”

- Berguna apabila sejumlah besar makanan dicurigai

- Kepatuhan yang rendah dari bayi Sumber: Wesley28

Tabel 11. 8. Modalitas untuk tantangan makanan oral

a. Jenis tantangan

- Tantangan terbuka (protein makanan diberikan dalam bentuk sebenarnya) berguna

untuk skrining reaktivitas, mempunyai tingkat tertinggi dari bias (positif semu).

- Pembutaan tunggal (bahan makanan di sembunyikan dalam kapsul atau makanan

lain) berguna untuk skrining reaktivitas, kurang biasnya, lebih memerlukan banyak

tenaga.

- Pembutaan ganda, plasebo terkontrol (DBPCFC) - menghilangkan bias, paling

menyita tenaga, penting bagi penelitian.

b. Pemberian tantangan

- Saat tantangan berdasar perorangan, tergantung dari riwayat (akut/subakut atau

kronik).

- Pembagian dosis - kuantitas secara perorangan berdasar riwayat sebelumnya.

- Pasien positif IgE : 8-10 gram secara bertahap dinaikkan dan dibagi dalam dosis

selama lebih dari 90 menit, disusul dengan porsi yang lebih besar seperti halnya

makan biasa 3 jam kemudian.

c. Pengawasan/Pengobatan

- Memonitor gejala gastrointestinal (juga pernafasan, kulit dalam beberapa kasus).

- Analisis tinja seperti yang diindikasikan.

- Biopsi pada beberapa kasus (enteropati, eosinofilia).

- Pengobatan darurat seperti yang ditentukan (epinefrin, antihistamin, cairan

Page 203: Buku Ajar Gastroenterologi

intravena, kortikosteroid dsb).

- Persediaan khusus dalam hal sindrom enterokolitis.

Sumber: Sicherer2

Tabel 11.9. Bagaimana hidup dengan allergi makanan

1. Hindari makanan penyebab allergi

2. Pantang/eliminasi 1-2 tahun kadang membaik

3. Eliminasi challenge, hati-hati

4. Beberapa allergi kacang tanah, kacang pohon ( mente, koro ), ikan, kerang-kerangan,

dapat berlangsung lama sekali

5. Penyandang harus sangat berhati-hati dalam memakan makanan yang tidak dikenal (

bahan dan bumbu-bumbunya )

6. Untuk yang bereaksi hebat (anaphylactic shock) perlu dibawa obat-obat untuk

pertolongan keadaan yang mengancam jiwa(epinephire dan carticolesterol). Pemakaian

gelang atau kalung pemberitahuan keadaan dan pertolongan perlu dianjurkan.

7. Tidak ada obat(drug) yang dapat menyembuhkan / mengobati allergi makanan

Sumber: Wesley28

Pengobatan

1. Eliminasi Protein Makanan

Begitu diagnosis dari hipersensitivitas makanan ditegakkan, terapi yang terbukti paling baik

adalah eliminasi dengan ketat dari alergen yang dicurigai. Dalam memberikan diet eliminasi

terapeutik perlu pertimbangan-pertimbangan yang sama seperti halnya dengan obat,

keduanya dapat menyebabkan efek-efek samping. Diet eliminasi dapat menyebabkan

malnutrisi dan/atau gangguan-gangguan makan, terutama bila menyangkut sejumlah besar

makanan dan/atau digunakan untuk waktu yang lama.

Reaktivitas klinik terhadap alergen makanan pada umumnya adalah sangat spesifik, dan

pasien jarang bereaksi dengan lebih dari 1 family botanis atau spesies binatang. Dengan

demikian, eliminasi diet terapeutik janganlah didasarkan pada eksklusi dari family

makanan (food families) tetapi hendaknya berdasar pada makanan individual yang terbukti

menginduksi gejala alergik. Pada pasien-pasien yang terindentifikasi alergi terhadap

makanan multipel, harus mendapatkan penanganan dari ahli diet yang mengetahui dengan

benar mengenai eksklusi makanan serta harus berpengalaman menangani pasien-pasien

yang alergi terhadap makanan.

Eliminasi protein makanan merupakan pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Pasien dan orang

tua pasien harus menyadari bahwa protein makanan, berbeda dengan gula atau lemak,

merupakan bahan yang dihilangkan. Bahan protein yang tersembunyi dapat pula

menimbulkan masalah.

Anak-anak kecil akan terbebas dari sensitivitasnya terhadap makanan alergenik yang umum

(telor, gandum, soya) dalam b eberapa tahun, terutama dengan menghindari makanan yang

potensial memberikan reaksi alergi makanan.

Page 204: Buku Ajar Gastroenterologi

Tantangan makanan untuk diagnostik secara serial dapat membantu dalam penanganan

anak yang alergi terhadap makanan. Dilain pihak, sensitivitas terhadap beberapa makanan

tertentu seperti kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang-kerangan, jarang yang

menghilang, dan sensitivitasnya dapat bertahan hingga usia dewasa.2,24,27

2. Imunoterapi

Imunoterapi telah dicoba dalam pengobatan gangguan-gangguan alergi yang dipicu

makanan. Dua pendekatan yang sedang ditelusuri yaitu pendekatan menyangkut mutasi

dari epitope yang mengikat IgE pada protein kacang dan yang melibatkan penggunaan DNA

protein kacang yang dikodekan dalam vektor plasmid. Pendekatan ini diharapkan berhasil

dalam upaya “desensitisasi” pada pasien dengan alergi makanan.2,6

3. Humanized anti IgE antibody therapy

Strategi yang lebih global yang mungkin berguna dalam pengobatan alergi makanan yang

diperantarai IgE adalah penggunaan terapi antibodi anti IgE. Bentuk pengobatan ini

mempunyai keuntungan dalam mengobati sensitivitas terhadap protein makanan multipel

tanpa memandang spesifisitas alergennya.2,6

4. Probiotik

Pada saat ini probiotik, LGG terbukti merupakan organisme yang sangat bermanfaat untuk

alergi makanan maupun pencegahannya. Bakteri probiotik tertentu dapat mengurangi

produksi pro inflamatory cytokines, sehingga probiotik bermanfaat tidak hanya untuk food

(gut) allergy saja, namun berguna juga untuk inflamatory bowel disease, seperti ulceratif

colitis dan crohn disease. Penelitian untuk probiotik jenis lain masih sedang dilakukan.2,29

Daftar Pustaka

1. Pascual CY, Crespo JF, Perez PG, Esteban MM. Food allergy and intolerance in children and adolescent, an

update. Eur J. Clin Nutr. 2000; 54: SI pp 575-578. 2. Sicherer SH, Sampson HA. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: Pathophysiology, epidemiology,

diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol. 1999; 104: S 114-22.

3. Justinich CJ. Update in gastrointestinal allergic diseases. Curr. Op in Pediatr. 2000; 12: 456-459. 4. Stern M. Gastrointestinal Allergy. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins

eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Philadelphia, BC Decker Inc. 1991; 1: 557-574.

5. Sampson HA, Mendelson LM, Rosen JP. Fatal and near fatal anaphylaxis reactions to food in children and adolescent. N Engl J Med. 1992; 327: 380-4.

6. Weier DM. Immunology Churchiel Livingstone. 1983.

7. Hill DJ, Hosking CS, Heine RG. Clinical spectrum of food allergy in children in Australia and South Eeast Asia: Indentification and targets for treatment. Ann Med. 1999; 31: 272-281.

8. Sicherer SH. Manifestations of Food Allergy: Evaluation and Management. American Academy of Family Phys.

1999: pp. 1-12.

Page 205: Buku Ajar Gastroenterologi

9. Bock SA, Atkins FM. Patterns of food hypersensitivity during sixteen years of double-blind, placebo controlled

food challenges. J Pediatr. 1990; 117: 561-567. 10. Soeparto P, Djupri LS, Noerasid H. Cow’s milk sensitive enteropathy, Kongres Nasional I KOPGI-KOPEGI

Jakarta. 1981.

11. Bock SA. The natural history of food sensitivity. J Allergy Clin Immunol. 1982; 69: 173-7. 12. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F. Gastroesophageal reflux and cow’s milk allergy in infants: a prospective

study. J Allergy Clin Immunol. 1996; 97: 822-827.

13. Bruijnzeel-Koomen C, Ortolani C, Aas K, Bindslev-Jensen C, Bjorksten B, Moneret D. Adverse reaction to food allergy. 1995; 50: 623-635.

14. Orenstein SR. Gastroesophageal reflux. Curr probl Pediatr. 1992; 21: 193-241.

15. Sampson HA, Mc Caskillc CC. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: evaluation of 113 patients. J Pediatr. 1985; 107: 699-675.

16. Wesley Burks A. The spectrum of food hypersensitivity: Where does it end? Editorials. J Pediatr 1998; 133: 175-

6. 17. Sampson HA, Albergo R. Comparison of result of skin test, RAST and double-blind, placebo controlled food

challenges in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 1989; 74: 26-33.

18. Romano A, Di Fonso M, Ginffreda F, Quaretino D. Diagnositic work-up foor food dependent, exercise induced

anaphylaxis. Allergy. 1995; 50: 817-24.

19. Seidman E. Immune homeostasis and the gut. In: CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric Clinical

Gastroenterology, 4th ed. St Louis , Mosby. 1995; 12: 388-416. 20. Winter HS, Madara JL, Stafford RJ, Grand RJ, QuinlanJE, Goldman H. Intraepithelial eosinophils: a new

diagnostik criterion for reflux esophagitis. Gastroenterology 1982; 83: 818-823. 21. Motta MEFA. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. International Pediatrics. 2001; 16:

66-72.

22. Bunser O, Araya M. Damage and repair of small intestinal mucosa in acute and chronic diarrhoea. In: E

Lebenthal ed. Chronic diarrhoea in infancy. New York. 1984: 31-55. 23. Iacono G, Cavataio F, Montalto G. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. N Engl J Med.

1998; 339: 1100-4.

24. Sampson HA. Food allergy part 2: Diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103: 981-989. 25. Bock SA, Lee WY, Remigro L, Holst A, May CD. Appraisal of skin tests with food extracts for diagnosis of food

hypersensitivity. Clin Allergy. 1978; 8: 559-564. 26. Romagnani S. Induction of Th1 dan Th2 response: a key role for the “natural” immune response? Immunol

Today. 1992; 13: 379-318.

27. Hill D, Hasking CS. Clinical management: Food allergy in Paediatric Clinical Practice. In: KM Hendricks, W

Allan Walker eds. International Seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition. Decker Periodicals Inc. 1992. pp. 2-7.

28. Host A, Koletzko B, Dreborg S, Muraro A, Wahn U et al. Dietary products used in infants for treatment and

prevention of food allergy. Arch Dis Child. 1999; 81: 80-84. 29. Jon A, Vanderhoof, MD & Rosemary J. Young, RN, MS. In The role of probiotic in the management of patients

with food allergy. Ann allergy, asthma, immunology. 2000; 3: 99-103.

Page 206: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XII

KONSTIPASI PADA ANAK

Agus Firmansyah

Ilustrasi kasus

Seorang anak lelaki berusia 6 tahun dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit karena

mengalami sembelit sejak 6 bulan yang lalu. Buang air besarnya jarang, sekali tiap 10 hari.

Tinjanya berbentuk pelet dan keras. Kadang-kadang disertai darah dalam tinjanya. Nafsu

makan turun dan badan bertambah kurus. Tampak anak selalu berusaha menahan buang air

besarnya. Anak tampak ketakutan bila mulai ingin buang air besar. Perut tampak membuncit

dan teraba ada masa tinja yang keras pada perabaan abdomen. Pada pemeriksaan colok

dubur anak merasa kesakitan dan rektum teraba dilatasi dengan banyaknya tinja yang

keras.

Pendahuluan

Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai pertanda anak sehat. Terutama

pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi, orang tua sangat menaruh perhatian pada frekuensi

defekasi dan karakteristik tinjanya. Adanya penyimpangan dari yang dianggap normal pada

anak, merangsang orang tua untuk membawa anaknya ke dokter. Pada umumnya orang tua

khawatir bahwa tinja anaknya terlalu besar, terlalu keras, nyeri waktu berhajat atau defekasinya

terlalu jarang. Kenyataannya, konstipasi memang merupakan masalah yang biasa ditemukan

pada anak.

Pada awalnya penyebab konstipasi mungkin sederhana saja, misalnya kurangnya

konsumsi serat, tetapi karena tidak ditangani secara memadai perjalanan kliniknya menjadi

kronis, yang membuat frustrasi anak, orangtua dan juga dokter yang merawatnya. Di lain pihak,

terdapat kasus-kasus konstipasi akut yang memerlukan diagnosis etiologi segera karena

memerlukan tindakan yang segera pula. Ringkasnya, ada kasus konstipasi ringan tetapi

memerlukan penanganan yang adekuat, ada kasus yang memerlukan diagnosis etiologi dan

tindakan segera dan ada pula kasus konstipasi kronis yang memerlukan kesabaran dan

penanganan yang cermat.

Tulisan ini menjelaskan secara ringkas mengenai pendekatan diagnosis dan tatalaksana

konstipasi pada anak, dengan perhatian khusus pada konstipasi fungsional yang sering

ditemukan pada anak.

Definisi

Page 207: Buku Ajar Gastroenterologi

Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan konstipasi. Rogers

mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya frekuensi

defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak.1 Lewis dan Muir menambahkan bahwa

kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak2, sedangkan Abel

mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan

dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan

konsistensi tinja lebih keras dari biasanya.3 Definisi lain adalah frekuensi defekasi kurang dari

tiga kali per minggu. Steffen dan Loening-Baucke mengatakan konstipasi sebagai buang air

besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan

keras.4 Penulis sendiri berpendapat bahwa konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan

evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi

berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen

teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis (kecepirit).

Epidemiologi

Sekitar 3 persen kunjungan ke dokter anak dan 10%-15% kasus yang ditangani ahli

gastroenterologi anak merupakan kasus konstipasi kronis. Sebagian besar (90%-95%)

konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5%-10% yang mempunyai

penyebab organik.3,5

Etiologi dan Patofisiologi

Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali per hari sampai tiga kali per

minggu. Frekuensi defekasi pada anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI pada

awalnya lebih sering berhajat dibandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati usia

4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Pada

umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi dua kali per hari.6,7,8 Frekuensi

defekasi normal pada anak terlihat pada Tabel 12.1.

Tabel 12.1. Frekuensi normal defekasi pada anak

Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari

0-3 bulan

ASI

Formula

5-40

5-28

2,9

2,0

6-12 bulan 5-28 1,8

1-3 tahun 4-21 1,4

Page 208: Buku Ajar Gastroenterologi

>3 tahun 3-14 1,0

Sumber: Weaver7

Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut

menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons dengan kontraksi

sfingter anus eksterna. Upaya menahan tinja ini tetap dipertahankan sampai individu mencapai

toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan

relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk

jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengejan, yaitu

meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui

anus. Pada keadaan normal, epitel sensorik di daerah anus-rektum memberitahu individu

mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas, atau kombinasi ketiganya.9,10

Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari ileum.

Makan atau minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (refleks gastrokolik) yang

diperantarai oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf visera. Kandungan

nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan frekuensi dan konsistensi

tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka tinja (stool bulking), kurang

minum dan meningkatnya kehilangan cairan merupakan faktor penyebab konstipasi. Berat tinja

berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu

singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu

singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan

bertambahnya usia, dan pada dewasa berkisar antara 30 sampai 48 jam. Berkurangnya aktivitas

fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan predisposisi konstipasi, misalnya pada

keadaan sakit, pascabedah, kecelakaan atau gaya hidup bermalas-malasan. Stres dan perubahan

aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah,

masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersediaan toilet dan masalah psikososial, dapat

menyebabkan konstipasi.10,11,19

Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman

nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orangtua sering memberitahu

adanya riwayat darah dalam tinja, popok atau toilet. Pengalaman nyeri berhajat ini dipercaya

menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja

(retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang

menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami

reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan

sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus,

menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus

berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorpsi air-

tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat-dan seterusnya.13,14

Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan kolon

desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis atau kebocoran (tidak disengaja;

involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan masalah yang mendorong

orangtua membawa anaknya ke dokter. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi tinja

menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang sebetulnya

Page 209: Buku Ajar Gastroenterologi

merupakan panggilan atau rangsangan untuk berhajat. Temuan terbanyak pada pemeriksaan

manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi

rektum. Dengan pengobatan jangka panjang, sensasi rektum dapat menjadi normal kembali.

Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum tetap abnormal dan hal ini

menjelaskan mengapa konstipasi dan enkopresis mudah kambuh.4,5

Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan

manometri anorektum pada anak dengan konstipasi kronis. Kontraksi puborektalis paradoksal

didefinisikan sebagai kurangnya kontraksi sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis

selama upaya defekasi, bahkan sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan kontraksi abnormal

sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis selama latihan defekasi (toilet training) juga

mengalami kesulitan mengevakuasi balon berisi air (model tinja tiruan) dan lebih sering

mengalami kegagalan terapi.9

Pada sekitar 5%-10% bayi dan anak, konstipasi dapat disebabkan kelainan anatomis,

neurologis, atau penyebab lain yang akan dibahas dalam paragraf tentang diagnosis banding.5

Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi Kronis

Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi

menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan indikator terpercaya

untuk konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola defekasi yang jarang terdapat pada awal

proses, yang mungkin terjadi beberapa bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter.

Dengan terjadinya retensi tinja, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti nyeri

dan distensi abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting dicatat adanya riwayat tinja

yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbat saluran toilet. Kecepirit

diantara tinja yang keras sering salah didiagnosis sebagai diare. Seorang anak yang mengalami

konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan

mengalami perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat disalahtafsirkan

sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki,

menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang (seperti berdansa) merupakan

manuver menahan tinja dan kadangkala prilaku tersebut menyerupai kejang.5,15,16

Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan dengan konstipasi

pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter ditemukan pada anak

dengan konstipasi kronis.17

Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal,

meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah

dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah

epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting pada

konstipasi.4,18,19 Pemeriksaan fisik yang penting (selain pemeriksaan rutin) dilakukan pada anak

dengan konstipasi dapat dilihat pada Tabel 12.2 dan temuan pada pemeriksaan fisik yang

membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 12.3.

Page 210: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 12.2. Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi

Abdomen

- Distensi

- Hati dan limpa

- Massa tinja

Inspeksi anus

- Posisi

- Adanya tinja di sekitar anus atau celana

- Eritema sekitar anus

- Skin tags

- Fisura ani

Colok dubur

- Kedutan anus

- Tonus anus

- Massa tinja

- Adanya tinja

- Konsistensi

- Adakah massa lain

- Tinja menyemprot bila jari dicabut

- Darah dalam tinja

Punggung dan spina

- Lesung

- Berkas rambut

Neurologi

- Tonus

- Kekuatan

- Refleks kremaster

- Refleks tendon

Sumber: Steffen4

Tabel 12.3. Temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dari fungsional

- Gagal tumbuh

- Distensi abdomen

- Hilangnya lengkung lumbosakral

- Pilonidal dimple covered by a tuft hair

- Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral)

- Agenesis sakrum

- Bokong datar

- Letak anus di depan

- Patulous anus

- Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen

- Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur

- Darah dalam tinja

- Hilangnya kedutan anus

- Hilangnya reflek kremaster

Page 211: Buku Ajar Gastroenterologi

- Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun

- Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas bawah

Sumber: Steffen4

Diagnosis

Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan

pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya menderita

konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai

konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat

dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat,

wajahnya memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal dan

bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan fisik tidak

ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi. Orang tua

merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari.

Oleh karena itu, sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali

mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal

ini.5,15

Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan apakah

konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung

kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.4,5

Penyebab konstipasi akut yang paling sering terlihat pada Tabel 12.4, tetapi perlu

dipikirkan kelainan yang mengancam kehidupan, seperi obstruksi usus, dehidrasi dan

botulisme infantil. Penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi virus. Infeksi virus dapat

menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya frekuensi defekasi. Anak juga mengalami

anoreksia serta kehilangan banyak cairan melalui saluran nafas dan demam.4,20

Tabel 12.4. Penyebab tersering konstipasi pada anak

- Fungsional

- Fisura ani

- Infeksi virus dengan ileus

- Diet

- Obat

Sumber: Steffen4

Obat juga sering menyebabkan efek samping berupa konstipasi akut, seperti antasida,

antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, diuretika, preparat besi, relaksan otot, narkotika

dan psikotropika. Bila meresepkan obat, dokter harus mengantisipasi konstipasi sebagai efek

samping. Sebagian besar obat yang dapat menyebabkan konstipasi terlihat pada Tabel 12.5.

Daftar yang ringkas ini dapat dipakai sebagai acuan umum. Beberapa sirup antasida dapat

menimbulkan konstipasi. Obat antikolinergik yang digunakan untuk pengobatan inkontinensia

Page 212: Buku Ajar Gastroenterologi

urin akibat neurogenic bladder pada pasien dengan defek medula spinalis seperti

meningomiokel, adalah oksibutinin klorida. Konstipasi mungkin merupakan efek samping yang

bermakna pada anak yang diobati untuk disritmia jantung, depresi, kejang, dan sejumlah

penyakit lain. Pada sebagian kasus, terapi dapat dilajutkan dengan menangani konstipasi yang

terjadi dengan pelunak tinja atau supositoria dan enema. Kecuali pada anak dengan diet

ketogenik untuk kejang intraktabel. Dalam hal ini, konsultasi pada ahli gizi mungkin dapat

membantu.4,16,19

Tabel 12.5. Obat yang menyebabkan konstipasi

- Anestesi, analgesik narkotik, opiat

- Antikolinergik dan simpatomimetik

- Antikonvulsan dan diet ketogenik

- Antimotilitas

- Antipsikotik, antidepresan

- Barium untuk pemeriksaan radiologis

- Penghambat kanal kalsium (misal verapamil), antidisritmia

- Mineral: aluminium, kalsium, besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth

- Antiinflamasi non-steroid

Sumber: Steffen4

Bila diet anak berubah mereka juga dapat mengalami episode konstipasi akut. Hal ini

terjadi misalnya pada waktu liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah buah dan

sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini, modifikasi diet

lebih diutamakan daripada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula pada bayi atau dari

formula ke susu penuh (fullcream) pada anak usia 1 tahun dapat menimbulkan konstipasi pada

beberapa bayi/anak.13,21

Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis

biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschsprung karena

berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.15,22

Petunjuk penting lain dalam diagnosis banding adalah umur pada saat awitan gejala

timbul. Bila dalam anamnesis didapatkan bahwa gejala timbul sejak lahir, kemungkinan

penyebab anatomis seperti penyakit Hirschsprung harus dipikirkan. Bila awitan gejala timbul

pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya fungsional.22

Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, pada

beberapa anak etiololginya mungkin multifaktorial. Bila terapi logis tidak efektif atau bila

konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi untuk mencari penyebab lain harus

dilakukan. Meski masa awitan manifestasi berbagai penyebab konstipasi dapat saling tumpang-

tindih, pengelompokan penyebab berdasarkan umur terlihat pada Tabel 12.6.

Tabel 12.6. Penyebab konstipasi berdasarkan umur

Page 213: Buku Ajar Gastroenterologi

Neonatus/Bayi

- Meconium plug

- Penyakit Hirschsprung

- Fibrosis kistik

- Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal band

- Chronic idiopathic intestinal pseudo-obstruction

- Endokrin: hipotiroid

- Alergi susu sapi

- Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis

- Retensi tinja

- Perubahan diet

Toddler dan umur 2-4 tahun

- Fisura ani, retensi tinja

- Toilet refusal

- Alergi susu sapi

- Penyakit Hirschsprung segmen pendek

- Penyakit saraf: sentral atau muskular dengan hipotoni

- Medula spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord

Usia sekolah

- Retensi tinja

- Ketersediaan toilet terbatas

- Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis

- Preokupasi dengan kegiatan lain

- Tethered cord

Adolesen

- Irritabel bowel syndrome

- Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma)

- Diet

- Anoreksia

- Kehamilan

- Laxative abuse

Segala usia

- Efek samping obat, perubahan diet, paska operasi

- Riwayat operasi anal-rektum

- Retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis

- Perubahan aktivitas fisik, dehidrasi

- Hipotiroid

Sumber: Steffen4

Komplikasi

Nyeri perut atau rektum dan enkoporesis merupakan komplikasi primer konstipasi pada

anak. Komplikasi lain dapat dilihat pada Tabel 12.7.

Tabel 12.7. Komplikasi konstipasi kronis pada anak

Nyeri: anus atau abdomen

Page 214: Buku Ajar Gastroenterologi

Fisura ani

Enkopresis

Enuresis

Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter

Prolaps rektum

Ulkus soliter

Sindrom stasis

- Bakteri tumbuh lampau

- Fermentasi karbohidrat, maldigesti

- Dekonjugasi asam empedu

- Steatorea

Sumber: Young20

Enuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkoporesis. Pada

beberapa kasus, enuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan

kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon distal,

sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan obstruksi ureter

kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan terjadinya

invaginasi, yang dapat bermanifestasi sebagai prolaps rekti setelah defekasi. Prolaps kolon

ringan tetapi berlangsung lama akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada dinding mukosa

rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja berlendir dan berdarah apapun

konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan dapat

menyebabkan protein-losing enteropathy.

Sindrom stasis terutama terlihat pada pseodo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan

dengan sering kentut dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi

anak. Sebagian besar anak dengan enkoporesis kronis akan menyangkal bila ditanya tentang

masalah enkoporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena

kecepirit.4,5,22,23

Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga

mempunyai penyebab organik.21,25

1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon.

Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila

pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.

2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus Hirschsprung

dan obstruksi usus.

3. Biopsi hisap rektum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada mukosa rektum secara

histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung.

4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon.

5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme,

ultrasonografi abdomen, MRI, dll.

Page 215: Buku Ajar Gastroenterologi

Tatalaksana Konstipasi Fungsional

Tatalaksana meliputi edukasi orangtua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi

prilaku, obat dan konsultasi.

1. Evakuasi tinja (disimpaction)

Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi regio abdomen

bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan

colok dubur atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen.

Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat

dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama

2-5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap/sempurna.

Bila menggunakan obat per oral, dapat digunakan mineral oil (parafin liquid) dengan dosis

15-30 ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan polietilen

glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogastrik

selama 4 jam per hari.

Evakuasi tinja dengan obat per rektum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3

ml/kg 2 kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000 ml) atau

120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan supositoria/enema gliserin 2-5 ml.26,27

2. Terapi rumatan

Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah

kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian

laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang

sempurna.

Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat. Buah-

buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air

sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terkandung

dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk

meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.

Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan toilet training.

Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar. Tidak perlu

terlalu terburu-buru, yang akan membuat anak makin tertekan, tetapi berilah waktu 10-15

menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan mengembangkan

reflek gastrokolik pada anak. Dianjurkan membuat catatan harian yang mencatat kejadian

defekasi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan bila anak berhasil

melakukan defekasi. Bila dengan cara di atas tidak berhasil, mungkin perlu dikonsulkan ke

ahli psikiatri anak.

Page 216: Buku Ajar Gastroenterologi

Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa (larutan 70%) dapat

diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Sorbitol (larutan 70%)

diberikan 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Mineral oil (parafin liquid) diberikan

1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untuk anak dibawah 1 tahun. Larutan magnesium

hidroksida (400mg/5 ml) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi dan

anak dengan gangguan ginjal. Bila respon terapi belum memadai, mungkin perlu

ditambahkan cisapride dengan dosis 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali perhari selama 4-5

minggu. Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah

normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih

perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang

banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.26,28,29

3. Evidence-based medicine dan konstipasi

Seiring dengan perhatian yang serius terhadap evidence-based medicine, berikut tertera

beberapa rekomendasi berdasarkan pada bukti-bukti penelitian dan kategori kualitas

buktinya.4,5,30,31

Rekomendasi umum

- Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian penting

dari evaluasi komprehensif bayi atau anak dengan konstipasi (III).

- Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat ternyata cukup

untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus (III).

- Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi dan pada

anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau

riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III).

- Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi dengan benar,

dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2).

- Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum merupakan

satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1).

- Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak dapat

menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).

Rekomendasi untuk bayi

- Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan supositoria gliserin. Enema harus

dihindari (II-3).

- Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune, pear dan apel, dapat

mengurangi konstipasi (II-3).

- Barley malt extract, corn syrup, latulosa atau sorbitol (laksatif osmotik) dapat

digunakan sebagai pelunak tinja (III).

Page 217: Buku Ajar Gastroenterologi

- Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan pada bayi (III).

Rekomendasi untuk anak

- Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan pengobatan peroral atau rektal,

termasuk enema (II-3).

- Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains, buah dan sayuran dianjurkan

sebagai bagian pengobatan konstipasi (III).

- Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan modifikasi perilaku dapat mengurangi

waktu remisi pada anak dengan konstipasi fungsional (I).

- Mineral oil (pelicin) dan magnesium hidroksida, laktulosa dan sorbitol (laksatif

osmotik) merupakan obat yang aman dan efektif (I).

- Terapi emergensi dengan pemberian laksatif stimulan dapat dilakukan pada kasus-kasus

tertentu (II-3).

- Senna dan bisakodil (laksatif stimulan) dapat bermanfaat pada kasus tertentu yang sulit

ditangani (II-1).

- Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada beberapa penelitian (walaupun

tidak semua) dan dapat digunakan pada kasus tertentu (I).

- Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis rendah dalam waktu

lama, mungkin merupakan alternatif pengobatan efektif pada konstipasi yang sulit

diatasi (III).

Catatan:

Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut:

I Bukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCT

II-1 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol tanpa randomisasi

II-2 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol, terutama pada lebih

dari 1 senter atau pusat penelitian

II-3 Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel dengan atau tanpa

intervensi

III Pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis, penelitian deskriptif, atau

laporan komite ahli

Kesimpulan

Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian besar

(90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus,

anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak

Page 218: Buku Ajar Gastroenterologi

dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa

pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri

dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari

obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu

lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orangtua. Prognosis

umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program terapi dengan baik.

Daftar Pustaka

1. Abel E. Managing constipation in a pediatric patient: It is more than a simple problem. Clin Excell Nurs Pract.

2001; 5: 211-7.

2. Lewis C, Muir J. A collaborative approach in the management of childhood constipation. Health Visitor. 1996;

69: 424-6.

3. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing Standard. 1997; 12: 40-2. 4. Steffen R, Loening-Baucke V. Constipation and encopresis. In: Wylie RW, Hyams JS, editors. Pediatric

gastrointestinal diseases. Pathophysiology, diagnosis, management. Saunders, Philadelphia. 1999: 43-50.

5. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr Rev. 1998; 19: 1-17. 6. Drossman DA, Sandler RS, McKee DC, et al. Bowel patterns among subjects nor seeking health care.

Gastroenterology. 1982; 83: 529-34.

7. Weaver LT, Ewing G, Taylor LC. The bowel habit of young children. Arch Dis Child. 1984; 59: 649-52. 8. Weaver LT, Steiner H. The bowel habit of milk-fed infants. JPGN. 1988; 7: 568-71.

9. Stefen R, Schroeder TK. Paradoxical puborectalis contraction in children. Dis Colon Rectum. 1992; 35: 1193-4.

10. Whitehead WE, Schuster MM. Anorectal physiology and pathophysiology. Am J Gastroenterol. 1987; 82: 487-97.

11. Burkitt DP, Walker ARP, Painter NS. Effect of dietary fiber on stools and transit-times, and its role in the

causation of disease. Lancet 1972; 2: 1408-12. 12. Muller-Lissner SA. Effect of wheat bran on weight of stool and gastrointestinal transit time: a metaanalysis.

BMJ. 1988; 296: 615-7.

13. Borowitz SM, Cox DJ, Tam A, et al. Precipitants of constipation during early childhood. J Am Board Fam Pract. 2003; 16: 213-8.

14. Preston DM, Lennard-Jones JE. Anismus in chronic constipation. Dig Dis Sci. 1985; 30: 413-8.

15. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Sari Pediatri. 1994; 2: 51-6. 16. Loening-Baucke V. Chronic constipation in children. Gastroenterology. 1993; 105: 1557-64.

17. Loening-Baucke V. Urinary incontinence and urinary tract infection and their resolution with treatment of

chronic constipation of childhood. Pediatrics. 1997; 100: 228-32. 18. Ludwig S. Constipation. In: Fleisher GR, Ludwig S, editors. Textbook of Pediatric Emergency Medicine.

Baltimore: Williams & Wilkins. 1988: 118-22.

19. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ. 2006; 333: 1051-5. 20. Young R. Pediatric constipation. Gastroenterol Nursing. 1996; 19: 88-93.

21. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM. Clinical Practice Guideline. Evaluation and treatment of

constipation in infants and children: Recommendations of the North American Socierty for Pesdiatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2006; 43: e1-e13.

22. Dodge JA. Functional disorders of the gastrointesrtinal tract. In: Gracey M, Burke V, editors. Pediatric

Gastroenterology and Hepatology. Oxford: Blackwell. 1993: p.880-9.

23. Loening-Baucke V. Sensitivity of the sigmoid colon and rectum in children treated for chronic constipation.

JPGN. 1984; 3: 454-9.

24. Meunir P, Marechal JM, De Beaujeu MJ. Rectoanal pressure and rectal sensitivity studies in chronic childhood constipation. Gastroenterology. 1979; 77: 330-6.

25. Focht III DR, Baker RC, Heubi JE, Moyer MS. Variability in the management of childhood constipation. Clin

Pediat. 2006; 45: 251-6.

Page 219: Buku Ajar Gastroenterologi

26. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, et al. Constipation in infants and children: evaluation and treatment. A medical

position statement of the North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. JPGN. 1999; 29: 615-26.

27. Tobias N, Mason D, Lutkenhoff M, Stoops M, Ferguson D. Management principle of organic causes of childhood

constipation. J Pediat Health Care. 2008; 22: 12-23. 28. Loening-Baucke V. Factors determining outcome in children with chronic constipation and fecal soiling. Gut.

1989; 30: 999-1006.

29. Taitz LS, Water JKH, Urwin OM, et al. Factors associated with outcome in management of defecation disorders. Arch Dis Chil. 1986; 61: 472-77.

30. DiPalma JA. Current treatment options for chronic constipation. Rev Gastroenterol Dis. 2004; 4: 34-42.

31. Roy CC, Silverman A, Alagile D. Pediatric clinical gastroenterology. Mosby, St Louis. 1994.

Page 220: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XIII

INFLAMMATORY BOWEL DISEASES

Dwi Prasetyo

Ilustrasi Kasus

Seorang anak berusia 9 tahun dibawa ke poliklinik karena diare yang tidak sembuh-sembuh.

Diare dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Mulanya diarenya cair tanpa lendir, tanpa darah.

Lama kelamaan muncul lendir dan darah. Anak juga sering mengeluh sakit perut, yang juga

dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Sakit perut dirasakan baik saat BAB maupun saat tidak

BAB. Sakit perut ini telah menyebabkan anak berkali-kali tidak masuk sekolah. Badan anak

semakin lama semakin kurus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah dan

kurus, nyeri tekan di perut bagian kanan dan kiri. Dari pemeriksaan laboratorium

didapatkan angka leukosit yang meningkat. Pada pemeriksaan tinja didapatkan darah dan

lendir.

Anak tinggal bersama kedua orangtuanya di lingkungan industri. Paman si anak juga sering

sakit perut dan diare yang telah dirasakan bertahun-tahun dan sering menyebabkan sang

paman datang ke dokter.

Pendahuluan

Inflamatory bowel disease (IBD) adalah istilah umum yang digunakan untuk

membedakan dua kelainan yang berhubungan dengan proses inflamasi di saluran pencernaan,

yaitu: Penyakit Crohn (PC) dan Kolitis Ulserativa (KU). Kelainan ini harus dibedakan dengan

penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala klinis dan laboratoris yang hampir sama, seperti

infeksi, alergi dan neoplasma. Oleh karena IBD juga mempunyai manifestasi ekstraintestinal,

maka sebagai klinikus harus mampu mengenal gejala klinis dengan baik, hal ini penting untuk

dapat mengatasi masalah yang bisa ditimbulkan seperti keterlambatan pertumbuhan, artritis,

hepatitis dan anemia.1

Page 221: Buku Ajar Gastroenterologi

Definisi

Kolitis ulserativa adalah proses peradangan yang mukosanya relatif homogen, dimulai

dari rektum dan meluas sampai kolon proksimal. Abses kripta sering ditemukan. Inflamasi yang

terbatas pada rektum didapatkan pada 10% pasien, dinamakan proktitis ulserativa, 30% kasus

didapatkan pada kolon bagian kiri dan sekitar 40%-50% didapatkan pada seluruh kolon,

dinamakan pankolitis.2

Penyakit Crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan di

salah satu bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Pada awalnya ulkus

terjadi superfisial termasuk folikel limfoid (aphthous lesion), kemudian inflamasi dapat

menyebar secara bertahap ke dalam lapisan submukosa, muskularis dan serosa. Peradangan

transmural dapat menyebabkan fistula. Granuloma sebagai gejala yang patognomonik untuk

PC, hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien. Proses inflamasi yang ditemukan di ileum

terminalis berkisar 30% kasus, sedangkan yang disertai ileum dan kolon sekitar 60%, dan yang

terbatas pada kolon 10%-20%. Inflamasi gastroduodenal didapatkan 30%-40%.3

Epidemiologi dan Genetik

IBD didapatkan sama pada laki-laki dan perempuan, umumnya pada orang kulit putih,

di belahan bumi utara lebih banyak daripada selatan, daerah urban lebih sering daripada rural

dan sering ditemukan pada keturunan Yahudi. PC banyak terjadi pada pasien dengan Turner

syndrome, Hermansky-Pudlak syndrome dan Glycogen storage disease type IB. Salah satu

faktor resiko yang berperan penting untuk terjadinya IBD adalah adanya hubungan keluarga

yang menderita pada tingkat pertama. Kemungkinannya mencapai 10%-25%. Diduga tempat

kelainannya adalah pada kromosom 6 dan 16. Faktor lain yang juga berperan adalah reseptor

komplemen, adhesi sel mikrobakterial, fungsi limfosit B, adhesi leukosit dan reseptor

interleukin-4 (IL-4). Perinuclear antineutrophil antibody (pANCA) ditemukan sekitar 70%

pada penderita KU, dan 6% pada penderita PC.1,4

Patogenesis

Penyebab pasti dari IBD belum diketahui secara pasti, serta mempunyai perjalanan

klinik yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronis. Kemungkinan genetik telah diketahui

sebagai faktor predisposisi IBD, yang dapat terlihat bahwa terjadinya IBD adalah pada etnik

tertentu dan bersifat familial. Kebanyakan peneliti mempertimbangkan kemungkinan akibat

suatu infeksi, tetapi sampai saat ini tidak ada infeksi spesifik yang berhubungan dengan IBD.

Beberapa bakteri, termasuk Salmonella, Shigella, Campylobacter dan Yersinia dapat

menyebabkan inflamasi intestinal akut, tetapi secara histopatologis biasanya dapat dibedakan

dengan IBD kronis. Tidak ada bukti yang menunjang bahwa Mycobacterium paratuberculosis

berperan dalam patogenesis PC. Hal ini berbeda dengan pendapat pada beberapa tahun yang

lalu. Diduga infeksi virus campak dapat menyebabkan vaskulitis granulomatosa yang berperan

penting pada patogenesis PC. IBD jarang terjadi pada anak yang mengalami gangguan koagulasi

bawaan seperti hemofilia dan penyakit Von Willebrand. Patogenesis dan PC dan KU dibahas

lebih rinci dalam bab masing-masing.5,6

Page 222: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 13.1. Perbedaan antara KU dan PC

Lokasi penyakit Kolitis Ulserativa Penyakit Crohn

Sal cerna atas

Ileum

Ileum dan kolon

Kolon

Rektum

Perianal

Radiologi

Sigmoidoskopi

Histologi

0%

0%

Backwash ileitis

90% (predominan pada kolon

distal)

+100%

Jarang

Continuous involment,

forehortening, loss of haustra,

irregular mucosal margins, normal

terminal ileum

Hemorrhagic mucosa, diffuse

continuous inflammation,

pseudopolyps

Mucosal and submucosal

inflammation, cryptitis, crypt

abscess, distortion of architecture

20%

19%

52%

9% (predominan pada kolon

proksimal)

50%

25%

Segmental involvement, skip

regions, mural thickening, stenotic

separate loops, abnormal terminal

ileum

Patchy involvement, skip regions,

relative rectal sparing, focal aphtae,

linear ulcers

Transmural inflammation, non-

caseating granulomas, prominent

lymphoid tissue, preserved goblet

cells, fibrosis

Sumber: Jackson & Grand6

PENYAKIT CROHN

Penyakit ini terutama terjadi pada dewasa muda, ditandai dengan inflamasi subakut

atau kronis. Ulserasi yang terjadi pada mukosa berhubungan dengan adanya disproporsi reaksi

jaringan ikat pada dinding usus, suatu proses yang sering mengakibatkan stenosis usus dan

berhubungan dengan pembentukan fistula yang multipel.

Sejak pertama kali dikenal sebagai ileitis nontuberkulosa pada tahun 1813 dengan

karakteristik yang unik sebagai chronic inflammatory disease, yaitu regional ileitis, oleh Crohn,

Ginzburg dan Oppenheimer pada tahun 1932. PC kemudian menjadi lebih heterogen termasuk

dalam perubahan anatomi dan histologinya. PC dapat mengenai bagian manapun dari saluran

pencernaan, tidak hanya regional dan gambaran histologisnya tidak harus ada gambaran

granulomatosa. Pada anak-anak, PC sama dengan yang terjadi pada dewasa, kecuali dalam hal

pengaruh terhadap pertumbuhan dan pematangan pada anak dan remaja.

Page 223: Buku Ajar Gastroenterologi

Sekarang telah diketahui bahwa PC adalah suatu penyakit kronis, transmural dan proses

inflamasinya dapat mengenai berbagai segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anus,

tetapi tidak secara kontinyu. Usus besar adalah sebagai tempat utama yaitu 90% kasus,

terutama terjadi pada ileum distal (70%) dan biasanya kombinasi dengan kolitis, yaitu

ileokolitis (50%). PC yang mengenai mulut, esofagus dan gaster frekuensinya jarang dan

biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan kelainan pada tempat lain. Secara klinis

sangat sulit untuk diprediksi dengan berbagai variasi respon terhadap terapi dan cenderung

untuk berulang dan berakhir dengan tindakan operasi.3,5

Epidemiologi

Studi epidemologi penyakit inflamasi saluran cerna pada anak-anak sangat terbatas.

Insidensi PC di Skandinavia adalah 5,3 per 100.000 populasi, dengan insidensi spesifik pada

usia 15-19 tahun, yaitu 16,0 per 100.000 dan untuk umur kurang dari 15 tahun 2,5 per 100.000.

Di Skotlandia, insidensi PC pada anak kurang dari 16 tahun pada tahun 1983 adalah 2,3 per

100.000. Prevalensi PC pada saat itu diperkirakan sekitar 9,5 per 100.000 anak, sedangkan

survei oleh British Pediatric Gastroenterelogy Group, prevalensi PC adalah 11 per 100.000

anak berusia diatas 18 tahun. Walaupun insidensi PC pada kebanyakan populasi di negara barat

meningkat tajam dari tahun 1950 sampai 1980, tetapi pada penelitian terbaru memperlihatkan

adanya penurunan kasus baru. PC lebih banyak terjadi pada orang berkulit putih, mengenai pria

dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasus baru PC terjadi pada usia <20 tahun. Puncak

insidensi PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan, kurang dari 5% kasus anak terjadi pada

usia dibawah 5 tahun.

Suatu penelitian di Stockholm, Swedia pada tahun 1990-2001 didapatkan adanya

peningkatan insidensi PC. Pada tahun 1990-1992 insidensinya 1,7 dan meningkat menjadi 8,4

per 100.000 pada tahun 1999-2001.

PC ini terjadi lebih banyak terjadi pada orang Yahudi dan dari populasi Yahudi ini PC

umumnya mengenai keluarga asli Eropa tengah dari pada asli Polandia dan Rusia. Pada studi

dari Amerika Serikat, PC muncul lebih sering di belahan utara daripada belahan selatan, seperti

perbandingan daerah urban dan rural.3,7

Etiologi

Walaupun telah dilakukan investigasi yang intensif, etiologi PC (dan juga KU) masih

belum diketahui secara pasti. Diduga ada predisposisi genetik pada IBD, karena penyakit ini

cenderung lebih banyak terjadi pada keluarga tingkat pertama. Hipotesis tambahan menyatakan

bahwa agen infeksius, toksin lingkungan, regulasi imun abnormal, faktor diet, abnormalitas

endokrin dan faktor psikologis mungkin secara bersama menyebabkan IBD.3,5

Observasi Genetik

Hubungan antara faktor familial dan IBD telah diketahui secara luas. Pada saat

diagnosis ditegakkan, baik pada KU maupun PC ditemukan adanya hubungan famili pada

Page 224: Buku Ajar Gastroenterologi

tingkat pertama sebesar 5%-25%, sedangkan pada anak kembar kasus PC ditemukan 17-35 kali

dibandingkan dengan populasi umum.

Tidak ditemukan adanya marker (penanda) genetik yang spesifik untuk KU maupun PC.

Walaupun demikian diduga bahwa Human Leukocyte Antigen (HLA) B 44 dan CW 5 mungkin

berperan dalam perkembangan PC. Telah diduga bahwa predisposisi IBD adalah diwariskan,

tapi faktor lain (lingkungan, infeksi dan imunologi) juga terlibat dalam patogenesisnya.1,5

Infeksi

Pada awalnya PC diduga disebabkan oleh infeksi, karena banyaknya kesamaan dengan

tuberkulosis usus. Dugaan ini telah menetapkan infeksi Mycobacterium ke dalam patogenesis

PC. Tetapi pada penelitian akhir-akhir ini secara serologis, maupun kultur dan pemeriksaan

imunologis tidak menyokong peran Mycobacterium pada PC.

Walaupun bermacam-macam jenis bakteri (Salmonella, Shigella, Campylobacter,

Yersinia, Aeromonas, Clostridium difficile, Escherichia coli) dapat menyebabkan PC atau KU,

tidak satupun yang dapat diisolasi dari feses atau jaringan dari penderita IBD. L-form bakteri

diduga sebagai penyebab dari PC. Tidak ada bukti kejadian yang telah dilaporkan bahwa virus

atau Chlamydia sebagai faktor etiologi PC dan secara serologis pun tidak menyokong.1,3

Mekanisme Imunologi

Sistem imun telah lama diperkirakan berperan penting dalam patogenesis IBD. Bukti

yang menyokong berdasarkan pada gambaran histopatologi lesi intestinal, respon dari penyakit

terhadap terapi imunosupresif, komplikasi sistemik yang diduga disebabkan oleh faktor

imunologi dan berbagai pemeriksaan laboratorium.

Dilaporkan bahwa sel T CD 4 dan sistem imun yang kompeten berperan penting dalam

patogenesis PC. Penyembuhan jaringan yang terinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, makrofag

dan sel-sel inflamatorik lain mempengaruhi sistem imun untuk berkembang menjadi inflamasi saluran pencernaan. Sel limfoid merupakan ¼ jumlah sel yang ada dalam saluran pencernaan

dan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) merupakan komponen utama dari sistem imun

tubuh. GALT diorganisasikan oleh beberapa komponen penghubung, termasuk Peyer’s patch,

sel limfosit lamina propia dan sel lymph intraepitel. Sistem limfoid ini secara tetap distimulasi

oleh makanan dan antigen mikroba. Sel M dalam folikel limfoid Peyer’s patch, tampak sebagai

bagian utama dari masuknya antigen. Walaupun tidak spesifik untuk PC, lesi aphtous atau

ulserasi epitel dapat merupakan gejala awal PC. Kemungkinan bahwa adanya defek dalam

antigen processing atau imunoregulasi dapat menyebabkan suatu inflamasi yang kronis.

Keadaan ini termasuk stimulasi kronis dan proliferasi limfosit, pelepasan sitokin, pengambilan

neutrofil dan sel efektor lain serta kerusakan jaringan.

Hipotesis lain menyatakan bahwa kerusakan intestinal pada PC dilatarbelakangi oleh

respons autoimun. Hipotesis ini telah disokong dengan ditemukannya antibodi pada sel epitel

intestinal.1,2,3

Page 225: Buku Ajar Gastroenterologi

Alergi dan Diet

Stimulasi sistem imun saluran pencernaan oleh antigen dietetik merupakan faktor

potensial untuk terjadinya PC. Berdasarkan data yang dilaporkan, reaksi imun yang

diperantarai lg-E mungkin berperan penting. Antibodi serum dari protein susu sapi ditemukan

lebih tinggi pada penderita PC daripada KU maupun kontrol dan diduga terjadi karena

peningkatan ambilan dari antigen dietetik atau peningkatan respon imunologis. Pemberian ASI

dapat menurunkan ambilan makromolekular oleh saluran cerna imatur, telah ditemukan dalam

satu studi efek proteksi terhadap perkembangan PC. Pada penelitian lain yang lebih besar dan

melibatkan hampir 500 anak dengan IBD dari beberapa negara, tidak ditemukan hubungan

antara perkembangan penyakit dan frekuensi pemberian ASI atau faktor diet yang lain.1,3

Faktor Psikologis

Faktor emosional telah lama dipikirkan menjadi hal penting dalam patogenesis IBD,

tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat yang dapat diperlihatkan dan adanya stres pada

kehidupan yang terjadi sebelum onset penyakit adalah tidak biasa pada IBD daripada kontrol.

Sebagai tambahan, tidak didapatkan kejadian stres atau depresi yang dapat mempresipitasi

eksaserbasi penyakit. Walaupun tidak secara langsung menyebabkan PC, tetapi telah diyakini

bahwa perubahan status emosional dapat mempengaruhi sistem imun dan selanjutnya dapat

mempengaruhi aktifitas penyakit.1,3

Page 226: Buku Ajar Gastroenterologi

Patologi

1. Gambaran makroskopis

Gambaran makroskopis pada usus ditandai dengan penebalan dinding sebagai hasil edema

transmural dan inflamasi kronis. Penebalan mural sering dihubungkan dengan penyempitan

lumen yang dapat menyebabkan obstruksi. Mesenterium menebal dengan edema, indurasi

lemak berpindah ke permukaan serosa usus, kelenjar limfe mesenterium kadang juga ikut

membesar. Pada mukosa usus dapat terjadi lesi-lesi kecil, yang dapat bergabung menjadi

besar tak beraturan atau ulkus yang dalam. Inflamasi usus dan ulkus dapat konfluens, tetapi

yang lebih karakteristik adalah adanya titik-titik kecil dengan skip areas dan bahkan secara

mikroskopis seperti pada mukosa normal. Gambaran cobblestone pada batas permukaan

dapat terjadi sebagai hasil dari perluasan linier dan ulserasi mukosa yang berhubungan

dengan regenerasi dan hiperplasi. Produksi beberapa sitokin pada jaringan yang inflamasi

dapat berperan sebagai stimulus untuk sintesis kolagen.

Intestinal loop dapat menjadi lebih tebal karena inflamasi pada serosa dan mesenterium.

Fistula-fistula dapat muncul ketika inflamasi pada transmural usus meluas melalui serosa ke

dalam struktur yang lebih luas, seperti dinding abdomen, saluran kemih, vagina atau

perineum. Kadang-kadang saluran fistula dapat berakhir sebagai massa inflamasi (flegmon)

yang meluas ke saluran cerna dan bagian-bagian saluran cerna seperti mesenterium,

kelenjar limfe dan kadang sebagai rongga abses yang bersifat kronis aktif.3,4,6

2. Gambaran mikroskopis

Temuan dari pemeriksaan histologis PC tergantung pada berapa lama penyakit sudah

berlangsung. Walaupun demikian, gambaran klasik lesi PC adalah enterokolitis transmural.

Pada awal penyakit dapat bermanifestasi sebagai lesi aphthoid superfisial dari mukosa,

biasanya berada di atas folikel limfoid. Granuloma sering terdapat pada stadium awal.

Sesuai dengan perjalanan penyakit, ulkus mukosa dapat menjadi konfluens. Dalam

perkembangannya ulkus pada mukosa dapat meluas menjadi konfluen dan menghasilkan

ulkus yang luas dan dalam. Inflamasi ini secara karakteristik menyebar ke submukosa dan

ditandai dengan edema, dilatasi limfatik, dan deposisi kolagen. Terakhir adalah

kemungkinan adanya obliterasi submukosa, yang mengakibatkan striktur, obstruksi atau

keduanya. Ulserasi fisura yang dalam ke bagian muskularis propria sering terjadi dan

merupakan gambaran yang khas untuk PC, walaupun tidak terdapat granuloma. Abses

kripta dan pengeluaran sel goblet umum terlihat tapi bukan sebagai tanda utama KU.

Metaplasia pilorik dan hiperplasia neuronal sering terdapat pada pemeriksaan histologis,

tetapi tidak spesifik.

Walaupun didapatkan gambaran histologis yang klasik pada PC, granuloma dapat tidak

ditemukan pada 40% kasus bedah yang direseksi dan 60%-80% dari biopsi mukosa.

Granuloma dapat ditemukan pada lapisan manapun dari dinding usus, tetapi kebanyakan

terdapat pada submukosa superfisial. Granuloma tersebut dapat pula tampak pada struktur

ekstraintestinal seperti kelenjar limfe mesenterium dan peritoneum.3,4,6

Page 227: Buku Ajar Gastroenterologi

3. Distribusi anatomi

Gambaran anatomi gastrointestinal pada anak dan dewasa dengan PC adalah berdasarkan

gambaran radiologis. Sekarang telah diketahui bahwa pemeriksaan endoskopi dan histologi

dapat menemukan suatu inflamasi meskipun secara radiografi saluran cerna masih normal.

Pada pemeriksaan radiografi, daerah yang paling banyak terkena adalah ileum terminalis

(50%-60%) dan berbagai bagian dari kolon, terutama pada kolon asenden. Sekitar 30%-35%

terdapat hanya pada usus kecil, dan 10%-15% penderita terbatas pada usus besar, sedangkan

yang mengenai esofagus, gaster atau duodenum kurang dari 5%.3,4,6

4. Patofisiologi dari gejala intestinal

Terdapat inflamasi aktif pada usus besar dan usus kecil mengakibatkan sejumlah perubahan

fisiologis yang berakhir dengan diare, perdarahan saluran cerna dan nyeri perut. Perluasan

ke jejunum dan ileum dapat menyebabkan malabsorpsi. Malabsorpsi asam lemak pada

kolon mengganggu absorbsi air dan elektolit. Fungsi abnormal ileum terminalis dapat

menyebabkan hilangnya asam empedu dengan penurunan konsentrasi asam empedu dalam

lumen usus dan menambah berat steatorrhea, sedangkan penurunan garam empedu juga

secara signifikan menurunkan absorpsi elektrolit dalam kolon. Pertumbuhan bakteri

berlebih pada usus kecil berhubungan dengan obstruksi dan stasis atau fistula enteroenterik

yang dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa dan dekonjugasi asam empedu, serta

menyebabkan gejala yang lebih buruk.

Fungsi normal kolon adalah untuk absorbsi sejumlah besar cairan dan elektrolit, dimana

absorbsi cairan dan elektrolit tersebut secara signifikan akan turun pada kolitis. Mediator

inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien, dapat mengubah permeabilitas saluran cerna

dan transport elektrolit. Penyakit pada mukosa yang meluas dapat mengakibatkan eksudasi

protein serum dan perdarahan. Nyeri abdomen diakibatkan oleh distensi usus, biasanya

berhubungan dengan obstruksi, inflamasi atau iritasi dari serosa akibat inflamasi

transmural. Motilitas saluran cerna yang abnormal akibat distensi perut dapat

menyebabkan kram pada perut.3,4,6

Manifestasi Klinik

Gambaran klinis PC pada anak dan remaja dapat dilihat pada Tabel 13.2. Yang menonjol

adalah gejala nyeri abdomen dan diare.

Tabel 13.2. Gambaran klinis dari 325 anak dengan PC

Gejala %

Nyeri perut

Diare

75

65

Page 228: Buku Ajar Gastroenterologi

Berat badan turun

Retardasi pertumbuhan

Mual/ muntah

Pendarahan rektal

Penyakit perirektal

Manifestasi ektraintestinal

65

25

25

20

15

25

Sumber: Wylie & Hyams7

Bentuk dari nyeri perut bervariasi tergantung pada daerah usus mana yang terkena.

Ketidaknyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis dan

sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pada daerah umbilikal biasanya karena

kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Nyeri perut terdapat pada 70% anak-anak yang

mempunyai kelainan gastroduodenal. Odinofagia dan disfagia terdapat pada PC yang mengenai

esofagus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan sering membuat anak terbangun

dari tidurnya. Nyeri perut ini biasanya memburuk bila makan dan bila kolon terlibat maka akan

bertambah sakit pada saat defekasi.

Diare terdapat pada dua pertiga anak dan bila anak terbangun pada malam hari karena

diare maka hal ini adalah suatu keadaan yang selalu patologis. Perdarahan biasanya setelah ada

ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar. Demam terdapat pada 50%

pasien, sering disertai mual-muntah, anoreksia dan kehilangan berat badan. Kadang sebelum

diagnosis PC ditegakkan, ditemukan inflamasi perirektal seperti fisura dan fistel yang

memberikan gambaran hemoroid atau kondiloma perianal.3,7

Manifestasi Ekstraintestinal

Gejala klinis di luar saluran pencernaan sering didapatkan pada PC.3,8

1. Persendian

Artralgia dan artritis didapatkan sampai 15% pada anak dengan PC dan mungkin dapat

timbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran pencernaan muncul. Pada umumnya

terjadi pada persendian besar di kaki. Artritis umumnya tidak menyebabkan kelainan

bentuk, bersifat sementara dan asimetrik. Ankilosing spondilitis ditemukan sekitar 2%-6%,

biasanya berhubungan dengan HLA-B27.

2. Muskuloskeletal

Mialgia sering dilaporkan, terutama bila mendapat kortikosteroid dosis tinggi. Miositis

granulomatosa, miopati dan dermatomiositis juga pernah dilaporkan.

3. Kulit

Manifestasi pada kulit didapatkan lebih kurang 1%-4%, dapat berupa eritema nodosum,

pioderma gangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan PC metastatik.

Page 229: Buku Ajar Gastroenterologi

4. Mukosa mulut

Sariawan sering ditemukan pada anak dengan PC, meskipun tidak begitu sakit tetapi

membuat keadaan menjadi tidak nyaman.

5. Kelainan mata

Hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata, termasuk iritis, episkleritis, uveitis

dan pseudotumor orbital. Katarak subkapsular posterior didapatkan pada pemakaian

kortikosteroid dalam jangka lama.

6. Vaskular

Manifestasi vascular antara lain trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor

VIII, serta penurunan antithrombin III. Komplikasi vaskular yang lain misalnya trombosis

vena, emboli pulmonal dan penyakit neurovaskular dengan kejang dan ensefalopati. Juga

didapatkan vaskulitis pada aorta dan arteri subklavia.

7. Ginjal

Obstruksi ureteral dan hidronefrosis dapat ditemukan pada kasus inflamasi ileokolon, gejala

lain yang ditemukan adalah fistula enterovesikel, infeksi perivesikal, abses perinefrik dan

nefrolitiasis.

8. Hepatobiliaris

Didapatkan abnormalitas hati dan sistem biliaris termasuk fatty liver, perikolangitis,

skelerosing kolangitis, hepatitis kronis, sirosis, granuloma hepatik, abses hati, kolelitiasis,

kolesistitis granulomatosa dan kolesistitis akalkulosa. Steatosis hepatis sering ditemukan

pada anak dengan malnutrisi dan lebih buruk bila mendapat terapi kortikosteroid

Komplikasi Gastrointestinal3,7

1. Pendarahan

Perdarahan masif pada saluran pencernaan didapatkan lebih kurang 1%. Perdarahan ini

disebabkan karena ulserasi pembuluh darah besar.

2. Obstruksi

Obstruksi saluran pencernaan terjadi sekunder akibat peradangan dinding usus yang berat

dengan atau tanpa flegmon atau abses. Striktur biasanya berhubungan dengan inflamasi

yang kronis atau akibat operasi sebelumnya. Hal lain yang dapat menyebabkan obstruksi,

tetapi jarang adalah giant pseudopolyposis, gallstone ileus dan karsinoma. Obstruksi letak

rendah yang kronis dapat menyebabkan bakteri tumbuh lampau.

3. Perforasi

Perforasi jarang terjadi pada PC, bila didapatkan biasanya pada daerah ileum, meskipun

demikian dapat juga terjadi di bagian lain dari saluran cerna.

4. Abses

Page 230: Buku Ajar Gastroenterologi

Inflamasi usus transmural yang disertai fistula dan perforasi dapat menyebabkan abses,

dapat berupa abses enteroperitoneal, interloop, intramesenterik, retroperitoneal-ileopsoas,

hepatik, splenik atau subdiafragmatika.

5. Fistula

Fistula sering terjadi pada PC, terutama pada daerah perianal dan perirektal, dapat juga

terjadi pada enteroenterik, enterovesikal, enterovaginal dan enterokutaneus.

6. Megakolon toksik

Frekuensinya pada anak-anak belum diketahui, tetapi sangat rendah, sedangkan pada

dewasa didapatkan 2%-11%.

7. Karsinoma

Kemungkinan karsinoma usus pada penderita PC lebih kurang 20 kali lebih besar dari

populasi normal.

8. Malnutrisi

Penyebab malnutrisi biasanya multifaktorial, termasuk intake diet yang suboptimal,

pengeluaran gastrointestinal yang bertambah, malabsorpsi dan peningkatan kebutuhan

akibat proses inflamasi. Anoreksia adalah tanda penting. Anak-anak tidak makan karena

takut nyeri abdomen atau buang air besar yang bertambah banyak. Inflamasi mukosa

mengakibatkan hilangnya unsur-unsur sel dan hematochezia, serta dapat terjadi protein-

lossing enteropathy dan anemia defisiensi besi.

Malabsorpsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada PC. Malabsorpsi lemak

bisa terjadi karena:

a. Berkurangnya bile acid pool sekunder akibat malabsorpsi asam empedu dari penyakit

ileum atau akibat reseksi ileum.

b. Meluasnya penyakit pada mukosa usus halus.

c. Pertumbuhan berlebih bakteria pada daerah usus proksimal.

Malabsorbsi laktosa terjadi pada 30% anak dengan PC. Hipoalbuminemia sering ditemukan.

Dapat terjadi pula defisiensi besi, asam folat, vitamin B 12, asam nikotinat, vitamin D,

vitamin K, kalsium, magnesium dan seng.

Increased Need Sub-optimal

Intake

Malabsoption Increased GI Losses

MALNUTRITION

Page 231: Buku Ajar Gastroenterologi

GROWTH FAILURE

Corticosteroids

Gambar 13.1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya malnutrisi dan gagal tumbuh pada anak

dan remaja dengan IBD. (Wylie & Hyams, 1993)7

9. Gagal Tumbuh

Gangguan pertumbuhan pada anak dengan PC adalah akibat rendahnya nutrisi yang

berlangsung lama. Idealnya dilakukan pengukuran secara serial dengan interval 6-12 bulan

untuk mengukur kecepatan pertumbuhan, kemudian dibuat perbandingan dengan nilai

normal yang diharapkan untuk kecepatan pertumbuhan terhadap umur dan jenis kelamin.

Pada anak dengan PC yang terdapat gangguan pertumbuhan, didapatkan kadar insulin-like

growth factor 1 (IGF –1, disebut juga somatomedine C) yang rendah, sedangkan kadar

growth hormone biasanya normal. Dosis terapi kortikosteroid yang tinggi dan lama secara

signifikan berhubungan dengan gangguan kecepatan pertumbuhan.3,7

Gangguan Psikologis

Perhatian yang mendalam telah dilakukan terhadap implikasi psikologis pada anak-anak

dan dewasa dengan IBD. Gangguan yang sering ditemukan adalah depresi, yang dapat timbul

pada saat diagnosis atau dalam perjalanan penyakitnya.7

Diagnosis

Diagnosis PC ditegakkan berdasarkaan kombinasi pemeriksaan klinis dan laboratorium

seperti pemeriksaan radiologi, endoskopi dan histologi. Karena pemeriksaan fisik melibatkan

berbagai sistem di luar saluran pencernaan, diagnosis kadang-kadang menjadi terlambat

beberapa bulan hingga beberapa tahun sebelum diagnosis yang tepat ditegakkan.

1. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksan fisik seorang anak tersangka PC sebaiknya dilakukan pemeriksaan

abdomen secara berhati-hati dengan memperhatikan kekenyalan, kepadatan atau massa.

Pemeriksaan yang lembut dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda iritasi peritoneal.

Page 232: Buku Ajar Gastroenterologi

Sebaiknya dilakukan inspeksi yang teliti pada daerah perirektal dan perineum. Adanya

stomatitis, clubbing, artritis, eritema nodosum, atau pioderma gangrenosa mengarah pada

IBD. Tinggi dan berat saat pemeriksaan harus dicatat dan dibandingkan dengan tinggi dan

berat sebelumnya untuk melihat perubahannya.2,6,7

2. Pemeriksaan laboratorium

Dalam menilai seorang anak atau remaja dengan tersangka PC seringkali perlu dilakukan

beberapa pemeriksaaan hematologi dan biokimia untuk keperluan skrining sebelum

dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih mahal dan invasif. Kelainan yang sering

ditemukan adalah anemia (70%), peningkatan laju sedimentasi eritrosit (80%),

Hipoalbuminemia (60%) dan Guiaiac-positif stool (35%). Meskipun trombositosis sering

terjadi, jumlah leukosit pada umumnya normal. Anemia yang paling sering ditemukan

terjadi sekunder karena defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah dan kadar Fe

serum dan feritin serum yang rendah. Makrositosis mengarah pada defisiensi folat atau

vitamin B12 .

Kadar seng, magnesium, kalsium dan fosfor dalam serum bisa rendah pada pasien dengan

kekurangan nutrisi. Kadar aminotransferase serum abnormal pada kira-kira 10% pasien

ketika didiagnosis. Breath hydrogen test yang digunakan untuk memeriksa malaborpsi

laktosa dapat membantu dalam pengelolaan makanan. Pemeriksaan yang teliti terhadap

spesimen feses yang multipel sebaiknya dilakukan untuk bakteri usus patogen dan parasit.

Alfa-1 antitripsin feses, meskipun tidak biasa dilakukan, abnormal pada hampir 90% kasus.

Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan piuria atau infeksi yang berhubungan

dengan fistula enterovesikal.2,6,7

3. Pemeriksaan radiologi

Pada seluruh kasus dengan tersangka IBD, pemeriksaan radiologi gastrointestinal dilakukan

untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui penyebaran penyakit, dan membantu

membedakan PC dan KU. Pada penderita dengan suspek kolitis akut yang berat, barium

enema harus ditunda karena mempunyai risiko terjadinya perforasi atau megakolon toksik.

Meskipun barium mempunyai sejarah sebagai pemeriksaan primer untuk memeriksa

penyakit kolon, kedudukannya tergeser oleh pemeriksaan kolonoskopi dimana telah

memberikan andil besar dalam pemeriksaan anak. Bila memungkinkan double contrass

(air-barium) enema lebih baik dibandingkan pemeriksaan single contrass dalam melihat

detail mukosa. Fluoroskopi yang teliti dilakukan untuk mengidentifikasi adanya

irregularitas, nodularitas (coblestoned), penebalan lengkungan usus seperti area stenosis

(string sign), ulkus yang dalam dan fistula. Nodularitas ileal sering ditemukan pada PC dan

mungkin sulit dibedakan dengan nodular lymphoid hyperplasia (NLH). Meskipun NLH

biasanya mempunyai diameter 3 milimeter atau kurang, inflamasi, edema, fibrosis dan

spasme memberikan gambaran seperti massa dan menyebabkan kesulitan membedakannya

dari limfoma.

Adanya massa yang kenyal di kuadran kanan bawah pasien PC menggambarkan sebuah

flegmon inflamasi atau abses. Pemeriksaan USG memperlihatkan penebalan dinding usus.

Page 233: Buku Ajar Gastroenterologi

CT-scan membantu menggambarkan perluasan ekstramural dari peradangan dengan

fistulasi, abses abdomen dan pelvis. Pemeriksaan radioisotop dengan memberi label pada

leukosit dengan indium-111 (In-111) telah digunakan pada pasien dewasa untuk

mengidentifikasi keterlibatan segmen usus, diantaranya mengidentifikasi abses. Pada anak,

skintigrafi In-111 kurang sensitif dan spesifik dibandingkan kolonoskopi dan biopsi untuk

mendeteksi IBD pada kolon karena indium mempunyai waktu paruh yang panjang (3

hari).2,6,7

4. Pemeriksaan endoskopi dan histologi

Pemeriksaan endoskopi dan histologi pada saluran pencernaan sangat bernilai untuk

mendiagnosis PC dan membedakannya dari KU. Ditemukannya rektum dan kolon sigmoid

yang normal pada sigmoidoskopi fleksibel dan biopsi pada pasien dengan diare berdarah

persisten dapat menyingkirkan diagnosis KU. Kultur kuman patogen yang negatif

menguatkan dugaan adanya PC. Ditemukannya secara fokal atau segmental gambaran

histologis adanya fisura, sinus, sarcoid-like granuloma atau ulserasi pada ileum terminalis

menunjang diagnosis PC. Kemampuan untuk menampilkan biopsi ileum terminalis selama

kolonoskopi menambah sensitifitas prosedur ini dalam membantu menegakkan diagnosis

PC. Granuloma ditemukan kurang lebih hampir 1 dari 3 kasus dengan biopsi endoskopi

pada kolon dan lebih banyak ditemukan dengan biopsi multipel. Fosfo-soda enema dan

bisakodil supositoria dapat menyebabkan perubahan inflamasi nonspesifik pada mukosa

rektum, sehingga sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien yang akan menjalani

pemeriksaan sigmoidoskopi. Esofagogastroduodenoskopi dan biopsi lebih sensitif daripada

pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi PC pada saluran pencernaan atas.2,6,7

Diferensial Diagnosis

Berbagai variasi gambaran PC memberikan diagnosis diferensial yang banyak. Nyeri

pada kuadran kanan bawah memberi kesan apendisitis, infeksi (Campylobacter, Yersinia),

neoplasma (khususnya limfoma), penyakit pada ovarium, intususepsi, adenitis mesenterika dan

divertikulum Meckel. Nyeri periumbilikal kronis atau nyeri perut pada epigastrium sering

dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome, konstipasi, intoleransi laktosa, penyakit

lambung atau kelainan saluran kemih. Jika ditemukan diare berdarah maka hal ini lebih

mengarah pada infeksi, hemolytic uremic syndrome, Henoch-Schonlein purpura dan ischemic

bowel. Adanya diare cair yang kronis dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome,

intoleransi laktosa, giardiasis atau pemakaian sorbitol yang berlebihan. Inflamasi perirektal,

fisura atau tags mungkin diduga sebagai infeksi streptokokus pada perianal, hemorrhoid dan

kondiloma. Perawakan pendek dan keterlambatan perkembangan pubertas seringkali diperiksa

untuk menentukan apakah penyakitnya merupakan kelainan endokrin sebelum diputuskan

sebagai PC. Anoreksia dan penurunan berat badan dapat dikacaukan dengan anoreksia nervosa.

Demikian juga gejala persendian yang persisten dan terutama artritis panggul sering diduga

sebagai juvenile rheumatoid arthritis jika tidak terdapat keluhan gastrointestinal. Pada PC

perlu dipertimbangkan hepatitis kronis bila didapatkan gangguan hati.3,6,7

Page 234: Buku Ajar Gastroenterologi

Terapi

Sampai saat ini belum ada terapi secara kuratif untuk PC, terapi yang ada hanya untuk

menghilangkan gejala dan komplikasinya. Terapi PC dapat dibagi 4 kategori dasar, yaitu

farmakologis, nutrisi, bedah dan psikologis. Masing-masing mempunyai keterbatasan dan

biasanya diberikan secara kombinasi.

Suatu penelitian di Inggris menyatakan bahwa terapi IBD sangat kompleks, sehingga

The British Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition

merekomendasikan untuk terapi anak dengan IBD sebaiknya ditangani oleh unit

gastroenterologi anak.3,6,7,8

1. Farmakologis

Beberapa kombinasi terapi dapat efektif dan menyebabkan remisi dari PC. Setelah tercapai

keadaan remisi maka dosis dapat diturunkan secara bertahap. Jadwal, dosis, dan indikasi

dapat dilihat pada Tabel 13.3.

Kortikosteroid

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kortikosteroid secara signifikan efektif

menyebabkan remisi pada pasien PC, baik pada usus halus maupun usus besar.

Mekanismenya adalah menghambat reaksi imun yang diperantarai netrofil dan monosit

dengan cara menghambat produksi leukotrien dan prostaglandin. Bila remisi telah tercapai,

dosis diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Absorbsi

prednison kurang baik, dan beberapa pasien pada awalnya membutuhkan pemberian secara

parenteral. Walaupun beberapa pasien memerlukan perawatan di rumah sakit dan

mendapat kortikosteroid secara parenteral, tetapi belum ada penelitian yang menyatakan

bahwa pemberian secara parenteral lebih baik daripada pemberian secara oral. Pemberian

kortikosteroid harus berhati-hati pada pasien PC dengan sepsis intraabdominal, karena

dengan dosis yang tinggi dapat menghilangkan gejala infeksi intraabdominal atau bahkan

gejala perforasi (masking effect). Efek samping pemberian yang lama dapat menyebabkan

gangguan pertumbuhan, katarak subkapsular posterior dan glaukoma, juga nekrosis aseptik

kaput femoris, kolaps vertebra, hipertensi dan depresi. Dapat juga efek samping kosmetik,

seperti akne, facial puffines, hirsutisme dan striae. Dengan cara pemberian selang sehari

(0,2-0,5mg/kgBB), efek samping dapat dikurangi.

Sulfasalazin

Obat ini hanya efektif untuk PC pada usus halus. Obat terbaru golongan ini (aminosalicylic

acid/ASA) yaitu 5-ASA adalah yang sering digunakan, tetapi belum direkomendasikan

untuk anak-anak. Banyak peneliti menggunakan 5-ASA enema (mesalamin) yang efektif

untuk pengobatan penyakit pada kolon bagian distal. Efek antiinflamasi dari sulfasalazin

Page 235: Buku Ajar Gastroenterologi

adalah menurunkan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat jalur

siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme asam arakhidonat.

Efek samping pada awalnya adalah mual, nyeri perut dan sakit kepala, sedangkan bila telah

berlangsung lama dapat menyebabkan rash hipersensitif, depresi sumsum tulang,

pankreatitis dan infertilitas pada laki-laki yang reversibel.

Antibiotika

Antibiotika spektrum luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal yang

merupakan salah satu manifestasi PC. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan, yaitu

ampisilin, gentamisin dan metronidazol. Pertimbangan menggunakan metronidazol

biasanya pada daerah kolon (perirektal). Mekanismenya masih belum jelas, tapi diduga

karena efeknya terhadap bakteri anaerob. Efek samping yang sering ditemukan pada

penggunaan jangka panjang (4-11 bulan) adalah neuropati perifer, yang bersifat reversibel.

Imunosupresif

Azatioprin dan 6-merkaptopurin, digunakan pada pasien yang telah mengalami

ketergantungan kortikosteroid dosis tinggi. Dengan obat ini, dapat menghilangkan gejala

dengan prosentase keberhasilan 75%, diikuti dengan penurunan dosis kortikosteroid.

Kebanyakan pasien mengalami perbaikan setelah pengobatan selama 3-4 bulan. Efek

sampingnya berupa pankreatitis, depresi sumsum tulang, reaksi alergi dan drug induced

hepatitis.

6-merkaptopurin juga digunakan pada kasus perirektal yang berat atau adanya fistula

internal, serta sebelum panproktokolektomi dan ileostomi pada pasien dengan gejala yang

intractable atau PC berat.

Tabel 13.3. Terapi Farmakologis PC

Obat Dosis Harian Indikasi Keterangan

Prednison 1-2mg/kgbb

1-2x/hr, maks 40-

60mg

Kelainan pada usus

halus dan usus besar

Remisi tercapai,

turunkan 5 mg per

minggu kemudian

stop.

Sulfasalazin 30-50mg/kgbb

2-3x/hr, maks 3 g

Kelainan pd usus besar Pada pasien alergi atau

intoleran, dianjurkan

menggunakan 5-ASA

Metronidazol 15-20mg/kgbb

2-3x/hr, maks 1,5g

Kelainan perirektal

atau pada kolon

Menggunakan jangka

panjang

Page 236: Buku Ajar Gastroenterologi

6-

Merkaptopurin

atau azatioprin

1-2mg/kg

2x/hr, maks 100mg

Penyakit berat

Toksisitas

kortikosteroid

Efeknya setelah 3-6

bln

Membutuhkan

monitoring ketat

Sumber: Wylie & Hyams7

2. Nutrisi

Penderita PC terjadi mengalami defisiensi makronutrien maupun mikronutrien, sehingga

peran terapi nutrisi menjadi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan

mengukur berat badan, tinggi badan, growth velocity, data antropometrik dan kadar

protein serum. Defisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium,

magnesium dan seng) diterapi secara spesifik.6,8

Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu terapi primer, terapi tambahan dan persiapan

preoperatif.

Terapi primer.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa masa remisi pasien PC aktif yang

mendapat terapi diet elemental sama dengan yang mendapat kortikosteroid, tetapi pada

penelitian akhir-akhir ini didapatkan peningkatan dan lebih cepat terjadinya remisi pada

pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dan sulfasalazin dibandingkan dengan yang

hanya mendapatkan nutrisi enteral dengan diet oligopeptida. Pemberian nutrisi parenteral

tidak lebih efektif untuk remisi daripada diet elemental. Telah diketahui bahwa diet

elemental dapat menurunkan inflamasi intestinal dengan menurunkan stimuli antigen ke

saluran pencernaan. Kadang-kadang anak dengan PC yang disertai gangguan pertumbuhan,

tetapi gejala pada saluran cernanya minimal dapat diterapi hanya dengan diet elemental

jangka panjang tanpa disertai obat-obatan.

Terapi tambahan

Dukungan nutrisi yang intensif dapat digunakan sebagai terapi tambahan terhadap terapi

farmakologis dalam beberapa keadaan klinis. Pada pasien dengan PC berat dan disertai

malnutrisi, nutrisi parenteral total berguna untuk meningkatkan simpanan protein tubuh.

Terapi preoperatif

Perbaikan suatu defisiensi nutrisi mutlak dibutuhkan untuk persiapan operasi yang besar

pada pasien PC.

3. Bedah

Page 237: Buku Ajar Gastroenterologi

Lebih kurang 50%-70% anak atau dewasa dengan PC membutuhkan tindakan bedah dalam

10-15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Indikasi untuk tindakan bedah dapat dilihat pada

tabel 4. Paling sering dilakukan tindakan bedah bila gejalanya masih menetap, meskipun

telah mendapat terapi farmakologis. Pasien dengan penyakit pada ileum lebih cenderung

mengalami obstruksi dan membutuhkan tindakan bedah daripada bila terjadi di kolon.

Reseksi bukan merupakan terapi kuratif, sehingga pasien dan keluarganya harus diberi

inform concent yang jelas tentang resiko kemungkinan rekurensi. Lebih kurang 80% anak-

anak dengan reseksi ileum terminalis atau ileosaekal secara klinis membaik 4 tahun setelah

tindakan bedah. Rekurensi setelah panproktokolektomi dan ileostomi tergantung keadaan

saat operasi, bila operasi untuk ileokolitis maka rekurensinya 70% dalam 5-10 tahun,

sedangkan bila hanya kolitis rekurensinya 15%.6,8

Tabel 13.4. Indikasi Tindakan bedah pada PC

1. Gagal setelah terapi medikamentosa

Gejala klinis menetap

Toksisitas akibat kortikosteroid

Social invalidism

2. Obstruksi akut atau kronis

Gastroduodenal

Usus halus

Usus besar

3. Perdarahan

Lesi usus halus

Lesi usus besar

Kolitis fulminan dengan ataupun tanpa toksik

megakolon

4. Perforasi

Bebas

Tertutup, disertai abses

5. Fistula

Intractable perirectal disease

Enteroenterik

Enterokutaneus

Enterovesikal

Enterovaginal

Page 238: Buku Ajar Gastroenterologi

6. Retardasi pertumbuhan

7. Karsinoma

8. Uropati obstruktif

Sumber: Wylie & Hyams7

9. Psikiatri

Sangat penting untuk memonitor secara psikologis dan sosial akibat dari IBD. Sering kita

dapatkan keadaan gangguan psikologis, terutama depresi. Oleh karena itu penanganannya

harus secara tim, termasuk anak tersebut dan keluarganya. Anak-anak harus diajak untuk

membicarakan aktifitasnya yang sesuai dengan kemampuannya, karena sering kali pada

saat mencapai masa remaja masih belum dapat mandiri.6

Prognosis

PC merupakan penyakit kronik dengan periode eksaserbasi dan remisi, hanya 1% pasien

yang mengalami satu kali relaps setelah diagnosis dan terapi awal. Pada umumnya pasien

dengan ileokolitis mempunyai respon yang buruk terhadap terapi medikamentosa dan

memerlukan tindakan bedah bila dibandingkan dengan yang hanya terbatas pada usus halus.

Suatu penelitian melaporkan, lebih dari 40% eksaserbasi pada anak-anak berhubungan dengan

adanya infeksi virus sebelumnya, terutama virus Epstein-Barr atau adenovirus. Infeksi virus

menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh, sehingga memudahkan terjadinya eksaserbasi.

Mortalitas PC berbeda pada beberapa penelitian, bervariasi dari 0 sampai 2 kali lipat

dari populasi normal. Kematian akibat PC pada anak-anak sangat jarang.1,3

KOLITIS ULSERATIVA

Lebih dari seabad sejak Wilks dan Moxon memperkenalkan KU sebagai IBD idiopatik

yang meliputi mukosa kolon dan rektum. Langkah besar telah dibuat untuk memahami

gambaran patologi klinik, riwayat alamiah dan komplikasi penyakit. KU biasanya terjadi pada

populasi muda, lebih kurang 20% didiagnosis sebelum umur 20 tahun. Peningkatan dalam

akurasi diagnosis seperti juga perbaikan terapi medis dan bedah telah meningkatkan perhatian

pada anak dengan KU.2

Epidemiologi

Terdapat perbedaan insidensi di tiap negara. KU paling sering terjadi di Amerika Utara,

Skandinavia dan Eropa, dimana terjadi peningkatan frekuensi di daerah selatan Eropa dan

beberapa negara yang sedang berkembang di benua lain. Laporan insidensi bervariasi antara 2

sampai 14 per 100.000 populasi, dengan umur insidensi spesifik pada 10 hingga 19 tahun.

Page 239: Buku Ajar Gastroenterologi

Dibandingkan dengan PC insidensi KU stabil atau menurun di beberapa negara, seperti Inggris,

Denmark, Finlandia dan Swedia.

Prevalensi KU berkisar antara 6 hingga 100 pasien per 100.000 tergantung pada tempat

yang disurvei. Seluruh laporan memperkirakan prevalensi KU di Eropa Utara dan Amerika

menjadi 50 hingga 75 per 100.000, penyakit ini sama terjadi pada laki-laki dan perempuan. KU

jarang terjadi pada anak di bawah 5 tahun, meskipun onset pada bayi pernah dilaporkan.

Onsetnya pada anak-anak dan dewasa muda paling sering muncul antara usia 15 dan 25 tahun,

dan lebih banyak terjadi pada ras kulit putih, khususnya Yahudi.

KU bisa bersifat familial (diwariskan), dan telah diketahui dengan baik, dengan kejadian

berkisar dari 5%-29%. Diturunkan pada tingkat pertama lebih tinggi daripada tingkat dua atau

tiga dengan adanya riwayat KU pada keluarga. Studi pada anak kembar memperlihatkan bahwa

kejadian PC (44%) lebih tinggi daripada KU (6,3%). Beberapa faktor lingkungan seperti

merokok, pil kontrasepsi dan fakror makanan merupakan faktor risiko terjadinya KU.2,5

Etiologi

Etiologi KU masih belum diketahui dengan pasti, walaupun telah banyak penelitian yang

dilakukan. Beberapa teori telah diajukan seperti faktor genetik, perubahan imunitas, infeksi,

alergi, diet dan faktor psikologis.1,2,5

1. Pengaruh genetik

Studi epidemiologi yang memperlihatkan peningkatan prevalensi KU dalam keluarga

tingkat pertama mendukung bahwa faktor genetik memberikan kontribusi pada

patogenesisnya. Adanya kaitan dengan sistem major histocompatibility antigen (MHA)

belum dapat dipastikan, karena berbagai studi dari beberapa negara memperlihatkan

clustering haplotipe-haplotipe yang berkaitan dengan etnis dan geografi dari penyakit

secara spesifik. Telah ditemukan adanya kaitan antara KU dengan HLA-B5 dan HLA-DR-2

di Jepang, dengan HLA-A2, BW35, dan BW40 pada Yahudi Ashkenazi di Israel, dan dengan

HLA-A11 di Belanda. Sebaliknya hubungan antara HLA-B27 dengan ankylosing spondylitis

dan kolitis tampak menjadi lebih universal.

2. Imunitas

Antineutrophil cytoplasmic antibodies pada pasien dengan KU telah diidentifikasi dengan

jelas dan terdapat pada mayoritas pasien KU tetapi tidak pada PC. Sebuah penelitian yang

membandingkan spesifisitas antineutrophil cytoplasmic antibodies dari KU dengan

peradangan usus lainnya menunjukkan bahwa antibodi tersebut sensitif dan spesifik

terhadap KU hingga sebesar 60% dan 94%. Antibodi ini juga berhubungan dengan

kolangitis skerosing. Peranan spesifik antineutrophil antibodies dalam patogenesis KU

masih belum jelas.

Page 240: Buku Ajar Gastroenterologi

3. Infeksi

Sampai sekarang tidak terdapat bukti yang kuat yang mendukung bahwa infeksi

bertanggung jawab secara langsung dalam patogenesis KU. Beberapa agen infeksi telah

diselidiki, termasuk beberapa bakteri dan virus.

4. Alergi dan diet

Alergi terhadap antigen dalam diet adalah salah satu diantara teori awal yang menjelaskan

penyebab KU. Alergi protein susu sapi telah secara luas dipelajari dan menyokong teori di

atas, salah satu penelitian memperlihatkan adanya perbaikan gejala ketika penderita diberi

diet bebas susu dan relaps jika diberi lagi.

Masalah pemberian makan dini pada bayi dan penyapihan dini masih menjadi perdebatan,

apakah merupakan presipitasi terjadinya KU. Beberapa studi mengenai hal ini masih

kontroversial.

5. Faktor psikologi

Hubungan antara faktor psikologis dengan KU masih merupakan tanda tanya pada

beberapa dekade, beberapa laporan ada yang menyatakan berhubungan dan sebagian lagi

menyatakan tidak.

Patologi

1. Gambaran makroskopis

Gambaran makroskopis KU bervariasi tergantung pada berat dan lamanya penyakit,

umumnya hanya mengenai kolon dan rektum, dan jarang meluas ke ileum terminalis.

Daerah yang terkena adalah kelanjutan dari rektum proksimal disertai mukosa yang

abnormal.

Pada fase awal kerusakan mukosa terlihat adanya peningkatan aliran darah permukaan yang

memberikan gambaran eritem yang difus. Dengan meningkatnya proses inflamasi,

arsitektur vaskular rusak; menyebabkan edema yang dikenal sebagai granularity. Karena

adanya peningkatan inflamasi dan perluasan abses kripta, batas mukosa menjadi tidak jelas,

sehingga menyebabkan pengelupasan daerah superfisial menjadi ulserasi dan meyebabkan

perdarahan spontan. Pada kerusakan yang progresif, abses kripta ruptur dan bersatu pada

dasar kripta, kemudian membelah daerah superfisial mukosa dan muskularis mukosa,

selanjutnya menjadi besar, datar dan menjadi ulkus mukosa yang dipisahkan oleh daerah

inflamasi nonulserasi yang tampak sebagai nodular, polipoid atau pseudopolip filamentosa.

Mucosal bridge terbentuk dari gabungan satu polip dengan yang lainnya. Karena KU adalah

penyakit yang mengenai mukosa, maka serosa biasanya tampak normal, tetapi dapat

terlihat berbagai tingkatan hiperemia. Inflamasi yang aktif dapat menembus dinding kolon

dan menyebabkan abses perikolik yang kecil. Pada keadaan remisi, vaskular dan ulkus

sembuh tetapi pseudopolip menjadi fibrosis dan terjadi penebalan dinding.2,5,6

Page 241: Buku Ajar Gastroenterologi

2. Gambaran mikroskopis

Secara histologi KU akut ditandai oleh inflamasi dalam kripta, tidak adanya sel goblet dan

adanya inflamasi kronis pada lamina propria. Gambaran histologis awal adalah adanya

edema pada lamina propria dan kongesti pembuluh darah mukosa, disertai dengan

kumpulan sel polimorfonuklear pada lamina propria dekat dengan dasar kripta. Pada KU

yang akut didapatkan kumpulan dari limfosit, eosinofil dan sel mast pada lamina propria,

sehingga dapat membantu untuk meyingkirkan diagnosis kolitis oleh sebab yang lain.

Infiltrasi neutrofil yang berasal dari penumpukan kecil dalam epitel kripta (Cryptitis)

menginvasi lumen kripta (Crypt abcess). Sejalan dengan perkembangan penyakit, abses

menyebar pada kripta yang lain dan membesar, dan timbul ulserasi mukosa. Epitel kripta

memperlihatkan penurunan jumlah sel penghasil mukosa yang menggambarkan tingkat

inflamasi akut, sedangkan penurunan jumlah sel goblet dalam kripta menggambarkan

tingkat yang lebih lanjut. Lesi pada KU umumnya terbatas pada mukosa meskipun pada

kasus yang berat dapat meluas pada submukosa, bahkan bisa sampai ke seluruh lapisan

termasuk serosa.

Penyembuhan proses inflamasi mempunyai gambaran yang bervariasi. Pada proses

penyembuhan umumnya, mucin pada bagian superfisial kripta meningkat kembali ke

keadaan normal. Regenerasi kripta dapat menyebabkan pemendekan muskularis mukosa,

meskipun pada permukaan tampak relatif normal. KU memperlihatkan distorsi arsitektur

dari mukosa dengan Paneth’s cell metaplasia, enteroendocrine cell hyperplasia, dan sedikit

infiltrasi limfoid, tetapi tanpa infiltrasi neutrofil, kriptitis, abses kripta atau kerusakan

epitel.2,5,6

Gambaran kinis

Kebanyakan pasien anak dengan diagnosis KU terjadi pada saat remaja. Gejala yang

terpenting adalah diare. Dari 125 anak yang didiagnosis KU terdapat gejala diare (93%),

perdarahan rektal atau nyeri perut (86%), kelemahan (67%), penurunan berat badan (51%),

mual dan muntah (42%), serta demam (37%). Setengah dari anak dan remaja mempunyai onset

yang insidious disertai demam intermiten yang tidak begitu tinggi disertai diare ringan dan

pendarahan rektal, dan hampir selalu disertai nyeri perut ringan tanpa kehilangan berat badan

atau hipoalbuminemia. Pada kasus yang lebih berat, didapatkan pada 1/3 pasien dengan diare

berdarah, tenesmus, demam ringan, penurunan berat badan dan anemia ringan. Kasus

fulminan terjadi pada 10% anak, dengan tinja berdarah lebih dari 6 kali per hari, demam,

penurunan berat badan dan takikardi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan

hipoproteinemia, anemia, leukositosis, dan trombositosis. Keadaan yang ekstrim adalah

megakolon toksik yang ditandai dengan distensi abdomen, demam dan takikardi. Tanda lainnya

adalah hipotensi, dehidrasi dan perubahan status mental.2,7,8

Diagnosis

Page 242: Buku Ajar Gastroenterologi

Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,

endoskopi, radiografi dengan barium dan histopatologi.6,7,8

1. Pemeriksaan laboratorium

Penderita KU pada anak 50% memiliki anemia hipokromik, peningkatan laju endap darah

atau trombositosis. Hipoalbuminemia banyak terdapat pada pasien dengan KU berat dan

biasanya berhubungan dengan kerusakan mukosa. Pada pemeriksaan tinja didapatkan

leukosit dan darah. Pemeriksaan mikrobiologi dari feses diperlukan untuk mencari adanya

telur, parasit, bakteri patogen, dan toksin Clostridium difficile.

2. Endoskopi

Walaupun banyak perbedaan pada pemeriksaan klinis dan radiologi yang ditemukan pada

KU, PC dan kolitis yang lain, tetapi kadang-kadang diagnosisnya tidak mudah. Pemeriksaan

endoskopi pada mukosa kolon secara visualisasi langsung dapat membantu menegakkan

diagnosis.

Secara endoskopi, manifestasi dini dari luka di kolon adalah bertambahnya aliran darah

pada mukosa sehingga terjadi eritema difusa. Hilangnya gambaran vaskular normal

menghasilkan gambaran mukosa granular, dimana terjadi pembengkakan mukosa karena

edema. Ulserasi kecil pada permukaan yang disertai kerusakan mukosa menyebabkan

pendarahan spontan. Ulkus kecil bisa menjadi ulserasi yang luas, dan tidak pernah

dikelilingi oleh mukosa normal tetapi selalu dikelilingi dengan peradangan.

Ulkus pada PC, khas didapatkan di submukosa, pada endoskopi tampak berupa ulkus

aphthosa pada area mukosa yang normal. Pengerasan yang disebabkan oleh inflamasi

submukosa adalah patognomonik untuk PC. Pengerasan yang berat dapat dikacaukan

dengan bentuk pseudopolip; pseudopolip umumnya tinggi dan ramping, serta mukosa yang

berdekatan biasanya flat. Walaupun tidak spesifik, secara endoskopi ada gambaran yang

membedakan antara kolitis akibat infeksi dengan IBD, yaitu adanya eksudat kekuningan

yang sebagian menutupi permukaan mukosa, tak ada ulserasi dan mukosa yang hiperemis.

Kolonoskopi atau sigmoidoskopi dipakai untuk membuat diagnosis yang spesifik,

dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi.

3. Radiografi

Gambaran radiologi abdomen pada penyakit ringan-sedang biasanya normal, sedangkan

pada kolitis yang berat terdapat thumbprinting akibat adanya edema mukosa, dilatasi

abnormal dari kolon (lebih 8 cm) atau keduanya.

Page 243: Buku Ajar Gastroenterologi

Barium enema dapat menunjukkan keadaan yang abnormal. Penggunaan double contrass

lebih baik karena lebih sensitif. Pada awalnya ditemukan gambaran granular menyerupai

pasir halus atau kasar, sedangkan pada keadaan lanjut, ulserasi menjadi lebih dalam dan

menembus submukosa sehingga memberi gambaran usus yang iregular. Lesi polipoid bisa

dikenali dan biasanya berbentuk pseudopolip. Bila penyakit menjadi kronis, haustra akan

hilang secara progresif dari kolon kiri ke saekum dan suatu saat kolon menjadi pendek dan

menyerupai stove pipe yang sempit.

Pemeriksaan USG berkorelasi dengan radiografi dan endoskopi tapi tidak menolong dalam

membuat diagnosis diferensial.

Diagnosis Diferensial

Tanda yang predominan dari KU pada anak adalah diare, perdarahan rektal dan nyeri

perut. Sedangkan kolitis infeksiosa disebabkan oleh Salmonella, Shigella, Campylobacter,

Yersinia, enterohemorrhagic E. coli, Aeromonas atau Entamoeba dan dapat memberikan gejala

yang sama dengan KU dan dapat dibedakan dengan kultur feses. Diare berdarah dari sindroma

hemolitik uremik dapat menyerupai KU. Kolitis akibat C. difficile mungkin bisa menyerupai KU,

dan identifikasi toksin pada tinja dan adanya pseudomembran pada pemeriksaan endoskopi

menolong dalam penegakkan diagnosis. Bila gejala kolitis menetap atau relaps walaupun terapi

untuk kolitis infeksiosa telah dilakukan, maka diagnosis dari KU harus dipikirkan.

Irritable bowel syndrome dapat disertai diare dan nyeri perut, tapi tanpa pendarahan

rektal. Pada pemeriksaan fisik normal, laboratorium, dan proktosigmoidoskopi dapat

menyingkirkan diagnosis KU. Kolitis alergi umumnya timbul pada bayi, sedangkan pada anak

yang lebih besar kolitis eosinofilik dapat mirip dengan KU.1,2

Manifestasi Ekstraintestinal

Komplikasi sistemik dari IBD dapat terjadi pada hampir setiap organ tubuh. Manifestasi

ekstraintestinal dapat mendahului, menyertai atau mengikuti. Patogenesis dari gejala-gejala

tersebut masih belum jelas.1,2,8

1. Muskuloskeletal

Artralgia dan artiritis monoartikular persendian besar adalah gejala terbanyak dari

manifestasi ekstraintestinal KU. Lebih kurang pada 10% anak, artritis bersifat migratorik

dan asimetrik pada sendi besar ekstremitas bawah. Kemerahan umumnya berhubungan

dengan IBD aktif, tetapi deformitas sendi jarang terjadi. Ankilosing spondilitis terjadi pada

6% penderita dan memiliki progresifitas pada penyakit spinal.

2. Dermatologis

Page 244: Buku Ajar Gastroenterologi

Eritema nodosum dengan gambaran kemerahan, menonjol, tegas, nodul kecil dari 1 sampai

beberapa sentimeter, biasanya terdapat pada permukaan ekstensor ekstremitas atas dan

bawah. Frekuensinya lebih banyak (<5%) daripada pioderma gangrenosa (<1%) pada pasien

dengan KU. Pioderma gangrenosa merupakan lesi ulseratif kutan yang klasik pada KU tapi

terdapat juga pada PC. Kebanyakan pasien dengan pioderma gangrenosa mempunyai

pankolitis.

3. Hepatobiliaris

Laporan insidensi masalah hepatobiliaris bervariasi antara 5%-10%, hubungannya masih

belum jelas. Lesi hepatobiliaris yang dilaporkan antara lain adalah perlemakan hati,

perikolangitis, sklerosing kolangitis, sirosis dan hepatitis kronis.

Infiltrasi lemak bersifat makrovesikular, nonspesifik, reversibel dan tidak pernah menjadi

kelainan yang permanen. Perikolangitis sering ditemukan pada spesimen biopsi dari IBD.

Insidensi sirosis pada KU berkisar 1%-5%, sedangkan hepatitis kronis masih belum

diketahui dengan pasti. Sklerosing kolangitis primer adalah suatu sindroma kolestasis

kronik yang ditandai adanya inflamasi fibrotik duktus biliaris, berakibat timbulnya

obliterasi duktus biliaris, sirosis dan gagal hati, yang terjadi pada lebih kurang 4% dari IBD,

terutama KU.

4. Hematologi

Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan sebagai akibat

dari kehilangan darah melalui saluran cerna. Pada pasien yang mendapat sulfasalazin dapat

terjadi anemia makrositik. Hal ini berhubungan dengan malabsorbsi folat atau anemia

hemolitik, tetapi jarang terjadi.

5. Vaskular

Tromboemboli yang terjadi pada IBD, lebih kurang 1,3%, terdiri dari trombosis vena yang

dalam, emboli paru, trombosis arteri dan vaskulitis serebral. Penyebab trombosis ini belum

diketahui, meskipun telah ditemukan adanya bekuan yang abnormal.

6. Okular

Uveitis asimtomatik pernah dilaporkan pada anak dengan IBD. Kelainan yang lain

adalah episkleritis, katarak, keratopati, ulserasi kornea marginal dan retinopati. Katarak

subkapsular dapat terjadi akibat pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dan lama.

7. Ginjal

Kalkuli ginjal terjadi lebih kurang 5% pada KU. Faktor litogenik mungkin berperan seperti

dehidrasi yang berlangsung lama, oliguria, menurunnya absorbsi air dan infeksi.

Page 245: Buku Ajar Gastroenterologi

8. Gagal tumbuh

Retardasi pertumbuhan pada KU lebih jarang daripada PC. Gagal tumbuh yang berat pada

anak terjadi pada lebih kurang 2%. Motil dkk, meneliti gagal tumbuh yang terjadi pada KU

19% dan PC 56%.

Komplikasi1,2,6

1. Perdarahan

Perdarahan rektum merupakan tanda yang sering didapat pada KU. Perdarahan hebat

jarang terjadi, insidensinya lebih kurang 3%. Penderita ini terlihat sakit berat dengan

perdarahan yang tiba-tiba sehingga memerlukan transfusi darah segera. Berbeda dengan

PC, kebanyakan didapat pada satu lokasi perdarahan yang tidak dapat diidentifikasi dan

hanya terlihat pada tempat erosi yang luas. Kebanyakan kasus ini diterapi secara

konservatif.

2. Perforasi

Perforasi bebas pada kolon merupakan komplikasi serius pada KU, karena sering berakibat

peritonitis umum yang fatal pada 75% penderita yang dilaporkan pada tahun 1964. Hal ini

sering terjadi megakolon toksik atau kolitis yang berat, tetapi dapat juga terjadi pada kasus

yang sedang. Kebanyakan perforasi terjadi pada kolon sebelah kiri dan melibatkan berbagai

lokasi.

Gejala perforasi adalah nyeri perut yang menyeluruh, distensi, kaku dan tidak ada bising

usus. Terapi kortikosteroid dosis tinggi dapat menutupi gejala perforasi dan pada penderita

yang mendapat terapi ini harus dilakukan pemeriksaan foto abdomen untuk mendeteksi

adanya udara bebas. Hal ini merupakan indikasi untuk dilakukan kolektomi emergensi.

3. Striktur

Striktur kolon sebagai komplikasi kronis KU dapat terjadi kapan saja. Berdasarkan

pengamatan Edwards dan Truelove, sepertiganya terjadi dalam 5 tahun pertama dari onset

penyakit, kebanyakan pada umur 5-25 tahun. Goulston dan McGovern menemukan striktur

pada 12% kasus operasi yang dipantau dari penderita dengan kondisi berat, kronik dan

penyakit yang berlanjut. Gambaran histologis tidak menunjukkan fibrosis yang berat tetapi

didapatkan hipertrofi dan penebalan lapisan muskularis mukosa. Striktur banyak

ditemukan di rektum dan sigmoid, tetapi dapat juga ditemukan pada seluruh bagian kolon.

Umumnya panjang striktur 2-3 cm, tetapi yang terpanjang adalah 15-30 cm.

Penanganan penderita dengan striktur kolon biasanya dengan tindakan bedah.

Ditemukannya striktur secara otomatis meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma

dan lesi-lesi ini harus diperiksa dengan kolonoskopi dan biopsi untuk menyingkirkan

Page 246: Buku Ajar Gastroenterologi

kemungkinan keganasan. Pemeriksaan ini mungkin tidak dapat membedakan jinak dari

keganasan striktur, terutama pada penderita yang telah mengidap KU selama 7-10 tahun.

4. Megakolon toksik

Megakolon toksik adalah suatu dilatasi kolon akut yang merupakan komplikasi yang jarang

terjadi, tetapi sangat berbahaya. Insidensinya pada KU sekitar 3%-5%. Megakolon toksik

bukan hanya merupakan komplikasi dari KU, tetapi kondisi ini dapat juga timbul pada PC

atau akibat infeksi. Pada suatu penelitian, dari 615 penderita PC didapatkan toksik

megakolon berkisar 3,7%. Jika kejadian PC dibatasi hanya pada kolon, insidensi megakolon

toksik 11%.

Beberapa faktor predisposisi terjadinya megakolon toksik adalah lama penyakit tidak

kurang dari 5 tahun, pankolitis, derajat beratnya penyakit, penggunaan opiat atau anti

kolinergik, penggunaan barium enema dan kolonoskopi.

Patofisiologinya belum dimengerti sepenuhnya. Hasil temuan patologinya adalah inflamasi

berat transmural dengan destruksi otot dan inflamasi serosa. Pada lapisan otot terjadi

inflamasi dan infiltrasi sel menembus sampai ke lapisan terdalam dari dinding kolon,

sehingga terjadi gangguan fungsi otot polos, dengan manifestasi tidak adanya peristaltik dan

dilatasi kolon. Fungsi pertahanan kolon rusak, terjadi peritonitis lokal, kebocoran toksin,

pelepasan antigen bakteri dan akhirnya toksemia sistemik.

Kriteria untuk mendiagnosis megakolon toksik ada dua, yaitu: (1) dilatasi kolon harus

terlihat secara klinis (distensi abdomen atau tanda peritoneal) atau secara radiografis

(segmental atau distensi total kolon), dan (2) adanya tanda toksisitas seperti demam,

takikardi, leukositosis, dan anemia. Tanda yang lain adalah dehidrasi, perubahan status

mental, gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia dan hipotensi.

Penanganan megakolon toksik termasuk pengobatan inisial dan mempertimbangkan

kemungkinan tindakan bedah. Megakolon toksik harus diantisipasi pada setiap kasus IBD

khususnya pada penderita dengan pankolitis berat, serangan pertama kolitis atau riwayat

megakolon toksik. Jika kolitis berat tidak berespon dalam 2-3 hari, penderita harus dirawat

di rumah sakit. Penderita harus lebih diperhatikan adanya distensi abdomen, kejadian

toksis, atau adanya sejumlah udara dalam abdomen. Secara radiografis pengembangan

selalu segmental dengan lokasi tersering adalah kolon transversum dan fleksura lienalis.

Gambaran lain adalah hilangnya haustrasi/lekukan. Ulserasi dinding kolon dapat terlihat.

Pada penelitian Fazio rata-rata garis tengah kolon pada dilatasi maksimun adalah 9,2 cm

dengan range 5-16 cm.

5. Karsinoma

Penderita KU mempunyai resiko karsinoma kolon. Pada suatu penelitian jangka panjang

penderita KU, setelah satu dekade mempunyai risiko kanker 0,5%-1%. Resiko terjadinya

karsinoma kolon pada penderita KU sekitar 15% dibandingkan dengan 5% pada populasi

umum. Angka kejadian karsinoma kolon pada penderita di bawah 21 tahun bervariasi 9%-

Page 247: Buku Ajar Gastroenterologi

20% pada rentang 20 tahun. Penderita paling muda dengan karsinoma kolon adalah 16

tahun dan stadium awal karsinoma terjadi 11 tahun setelah diagnosis tegak.

Karsinoma kolorektal yang muncul dengan latar belakang KU adalah adenokarsinoma.

Berbeda dengan adenokarsinoma lain, karsinoma kolorektal lebih infiltratif dan kurang

eksofilik. Tumor ini biasanya datar atau sedikit menonjol dan tidak lebih tinggi dari polip

adenomatosa, tetapi timbul secara langsung dari mukosa yang datar dan kemudian

menyebar melalui kolon.

Terapi

Tujuan terapi KU adalah penyembuhan inflamasi kolon, mencegah terjadinya

eksaserbasi dan komplikasi. Berbagai macam terapi dapat diberikan untuk KU, namun tidak

satupun yang memberikan hasil yang memuaskan.2,6,7,8

1. Sulfasalazin

Sulfasalazin (SASP) adalah obat yang dikembangkan oleh Svartz lebih dari 4 dekade terakhir

untuk mengobati reumatoid artritis. SASP kurang diabsorbsi di lambung dan usus halus,

setelah pemberian peroral hanya 10% yang berada dalam sirkulasi sistemik. SASP terutama

dimetabolisme di kolon menjadi sulfapiridin (SP) dan 5-aminosalicylic acid (5-ASA) oleh

bakteri anaerob dengan bantuan enzim azo-reduktase. SP dalam jumlah besar diabsorbsi

dan kemudian dimetabolisme di hati melalui proses asetilasi, glukuronidasi dan

hidroksilasi. Proses eliminasi terutama melalui jalur asetilasi. Dibandingkan dengan SP, 5-

ASA tidak sepenuhnya diabsorpsi di kolon, yang dapat dilihat dengan rendahnya kadar 5-

ASA pada serum dan urin.

Mekanisme pasti SP dan metabolitnya masih belum diketahui. SP dan 5-ASA menunjukkan

beberapa mekanisme kerja pada metabolisme eikosanoid dan folat, motilitas leukosit dan

bakteri flora usus. Mekanisme kerja ini menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien,

serta menurunkan aktivitas kemotaktik peptida bakteri, sehingga mencegah pengambilan

limfosit dan netrofil, dan memperkuat respon inflamasi. SP dan 5-ASA tampaknya dapat

menekan platelet activating factor.

Pada penelitian SP terdahulu, dengan dosis 4-6 gram perhari pada KU ringan dan sedang

memberikan hasil yang baik, namun terapi dosis tunggal untuk KU akut berat belum diteliti.

Setelah terjadi remisi, pengobatan diteruskan selama setahun dengan dosis 2 gram perhari

untuk mempertahankan remisi dan mencegah relaps. Dosis tinggi 4 gram perhari,

menurunkan relaps pada orang dewasa, tetapi memberikan efek samping yang tidak dapat

ditoleransi. Penelitian pada anak tentang efikasi SASP belum ada. Beberapa peneliti

merekomendasikan dosis 40-60 mg/kgBB/hari bersama dengan makanan, dengan dosis

maksimum 2-4 gram/hari. Untuk mengurangi efek samping (seperti yang terlihat pada

Tabel 13.5) pemberian dimulai dengan dosis 25 mg/kgBB/hari selama 7-10 hari. Sekitar

15%-30% penderita yang mendapat SASP timbul satu efek samping.

Tabel 13.5. Efek samping SASP

Hipersensitivitas

Demam

Ruam (rash)

Artritis

Page 248: Buku Ajar Gastroenterologi

Perikarditis

Pleuritis

Pankreatitis

Hepatitis

Anemia autoimun

Diare berdarah

Kolitis akut

Reversibel

Oligospermia

Berkaitan dengan absorbsi folat

Anemia megaloblastik

Berkaitan dengan dosis

Dispepsia

Nyeri kepala

Anoreksia

Mialgia

Atralgia

Sumber: Wylie & Hyams7

2. Aminosalisilat

Hipotesis tentang toksisitas SASP menyebabkan berkembangnya zat ASA baru untuk

pengobatan KU dan PC. Obat baru ini baik topikal maupun sistemik dapat memperluas

jangkauan terapi IBD.

3. Formula 5-ASA oral

Tiga mekanisme dari 5-ASA: (1) ikatan molekul pembawa dengan 5-ASA, (2) pH dependent,

obat ini merupakan delayed-release acrylic coating, dan (3) time-dependent-slow release.

4. Derivat asam aminosalisilat topikal

Preparat mesalamin topikal telah diteliti untuk terapi kolitis distal dan proktosigmoiditis,

diberikan dalam bentuk enema atau supositoria. Enema mesalamin (4 gram) lebih baik

dibandingkan plasebo atau hidrokortison topikal (100 mg) untuk terapi KU distal aktif, yang

berlangsung selama 2-6 minggu. 5-ASA supositoria (500 mg) juga mempunyai efek yang

lebih baik daripada plesebo untuk terapi proktosigmoiditis aktif.

5. Kortikosteroid

Kortikosteroid sangat berguna untuk terapi IBD, terutama efek antiinflamasinya.

Bioavailabilitas sistemiknya sangat baik, dalam darah berikatan dengan globulin (trascortin)

dan albumin. Peningkatan dosis dan hipoalbuminemia akan menyebabkan ikatannya

berkurang dan akan meningkatkan toksisitas.

Peran kortikosteroid adalah mengontrol sintesis imunomodulasi protein. Pada tingkat

selular, glukokortikoid berikatan dengan reseptor spesifik dalam sitosol dari sel nukleus.

Pada KU, prednisolon menginduksi sintesis inhibitor fospolipase A dan siklooksigenase,

sehingga menghambat produksi eikosanoid pada mukosa kolon.

Page 249: Buku Ajar Gastroenterologi

Obat topikal baru seperti budesonid mempunyai potensi 15 kali predsinolon dan lebih

kurang 100 kali hidrokortison.

6. Imunosupresif

6-Merkaptopurin dan Azatioprin

6-Merkaptopurin (6-MP) adalah analog purin yang berperan mengintervensi sintesis asam

nukleat. Azatioprin bekerja dengan menurunkan inaktivasi 6-MP. Meskipun mekanisme

kerjanya belum diketahui dengan pasti, tetapi telah diketahui bahwa keduanya menurunkan

toksisitas limfosit dan menekan amplifikasi dari cell-mediated immunity.

Siklosporin A

Siklosporin adalah supresor dari cell-mediated immunity. Bekerja menghambat produksi

limfokin dari helper T cells (gamma interferon and IL-2), dengan menghambat T cell-

dependent B cell activation and expantion of helper and cytotoxic T cell subsets and by

promoting antigen-specific suprresors T cells.

Penggunaan siklosporin pada KU masih terbatas. Pada kasus proktokolitis pada orang

dewasa yang mendapat siklosporin 12 mg/kgBB, menunjukkan perbaikan secara klinis dan

histologis setelah terapi selama 6 minggu.

Metotreksat

Metotreksat adalah suatu antagonis asam folat. Suatu penelitian melaporkan efektifitas

penggunaan metotreksat 25 mg perminggu secara intramuskular pada 21 pasien KU atau PC

yang refrakter. Lima dari 7 pasien KU menunjukkan perbaikan klinis. Penggunaan masih

sangat terbatas oleh karena efek samping jangka panjang, seperti pneumonitis dan fibrosis

hepar.

7. Terapi suportif

Nutrisi

Nutrisi parenteral pada pasien KU masih belum dapat diprediksi dan umumnya tidak

terjadi remisi jangka panjang. Werlin dan Grand melaporkan 14 remaja dengan kolitis berat

yang mendapat nutrisi parenteral pada awalnya mengalami perbaikan, tetapi hanya satu

pasien yang dapat mempertahankan remisinya setelah 2 tahun. Nutrisi parenteral tidak

direkomendasikan sebagai terapi primer untuk KU.

8. Antimikrobia

Metronidazol bekerja mempertahankan remisi dari KU tanpa komplikasi. Sedangkan pada

KU yang berat, pemakaian metronidazol secara tunggal maupun kombinasi dengan

kortikosteroid tidak berespon dengan baik.

Page 250: Buku Ajar Gastroenterologi

9. Tindakan bedah

Kebanyakan pasien dengan KU adalah ringan sampai sedang, yang dapat dikelola dengan

hanya terapi medikamentosa. Lebih kurang 5%-10% membutuhkan tindakan bedah segera,

oleh karena tidak berespon dengan terapi medikamentosa atau keadaan yang mengancam

jiwa akibat komplikasi (misalnya: perdarahan, perforasi atau megakolon toksik).

Tabel 6. Indikasi untuk tindakan bedah

Akut

Kegagalan terapi medikamentosa

Perdarahan

Perforasi

Toksik megakolon

Elektif

Penyakit yang kronis

Ketergantungan streroid yang kronis

Keganasan atau displasia tingkat tinggi

Sumber: Wylie & Hyams7

Prognosis

Kematian akibat KU pada anak sangat jarang. Kebanyakan penyebab kematian tidak

berhubungan atau tidak diketahui dan sebagian kecil akibat komplikasi operatif atau karsinoma

kolon. Lebih kurang 20% KU pada anak mempunyai kualitas hidup yang baik (gangguan

motilitas kurang dari 3 kali, sekolah seperti biasa). Hanya sebagian kecil (6%) yang tidak dapat

mengikuti sekolah regular, nyeri perut, dan diare. Tidak ada perbedaan aktivitas antara yang

dioperasi dan tidak.

Anak dan remaja dengan KU harus diamati secara terus menerus. Harus dikenali

tentang relaps, komplikasi, dan memberi dukungan serta edukasi kepada pasien. Masa transisi

dari remaja ke dewasa muda adalah masa yang kritis dari segi psikologis, pasien harus mengerti

betul tentang penyakitnya dan untuk kontrol selanjutnya dianjurkan ke ahli gastroenterologi

dewasa.1,2

Daftar Pustaka

1. Hyams JS. Inflammatory Bowel Disease. Pediatr Rev. 2000; 21. No 9.

2. Kirschner BS. Ulcerative Colitis In Children. Pediatr Clin North Am. 1996; 43: 235-254. 3. Kornbluth A, Sachar DB and Solomon P. Crohn’s Disease. Small and Large Intestine. 1708-1734.

Page 251: Buku Ajar Gastroenterologi

4. Hildebrand H, Finkel Y, Grahnquist L, Lindholm J, Ekbom A, Askling J. Changing pattern of paediatric

inflammatory bowel disease in northern Stockholm 1990-2001. Gut 2003; 52: 1432-1434. 5. Fiocchi C. Inflamatory Bowel Disease. Etiology and Pathogenesis. Gastroenterology, Vol 115, No1. 1998. 6. Jackson WD, Grand RJ. Crohn’s Disease. In: Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis,

management, Vol 1. Philadelphia: BC Decker Inc. 1991: 592-618. 7. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis, management. Philadelphia:

WB Saunders Co. 1993: 742-787.

8. Sawchenko A, Lynn R and Sandhu BK. Variations in initial assessment and management of inflammatory disease across Great Britain and Ireland. Arch Dis Child. 2003; 88: 990-994.

Page 252: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XIV

PANKREATITIS PADA ANAK

Budi Santosa

Ilustrasi Kasus

Anak laki-laki, 5 tahun, 19 kg, 1 hari mendadak perut sakit dan sering muntah, tidak

mau makan karena perutnya bertambah sakit, panas subfebril. Kesan umum sadar, kurang

aktif, sering menangis sambil memegang perutnya, tidak ada ikterus. Jantung dan paru tidak

ada kelainan. Pemeriksaan abdomen datar, terdapat ketegangan dan nyeri tekan di daerah

sekitar umbilicus. Hati dan limpa sukar diperiksa karena anak menangis menahan sakit serta

perut yang tegang. Diagnosis sementara adalah observasi nyeri perut akut dengan

diagnosis banding gastritis akut, apendisitis akut dan pankreatitis akut. Pengobatan

sementara adalah tahan makan dan minum dan diberikan cairan dan elektrolit parenteral

serta diberikan prokinetik agonis reseptor kolinergik (metoclopramide) secara intravena dan

antasid. Pemeriksaan penunjang dan konsultasi darah rutin, hematokrit, trombosit, elektrolit

(K+, Na+, Ca2+), kadar amilase serum meningkat (510 U/l) dan lipase serum meningkat (460

U/l) serta kesan dari bagian bedah anak tidak ada apendisitis, sementara diberikan

pengobatan konservatif. Hasil pemeriksaan USG tampak pankreas hipoekoik, bentuk dan

struktur berubah, duktus pankreatikus sedikit melebar. Hari kedua keadaan umum anak lebih

baik, tidak ada keluhan sakit perut, diperbolehkan minum air putih tanpa gula. Hari ke tiga

amilase serum menurun (120 U/l), lipase serum juga menurun (150 U/l) mulai diberikan

intake peroral dengan makanan lunak rendah serat dengan porsi kecil frekuensi lebih sering.

Anak dapat menerima makanan tersebut tanpa kesakitan. Selanjutnya keadaan bertambah

baik dan dinyatakan sembuh, sehingga anak diperbolehkan pulang.

Pendahuluan

Pankreatitis adalah inflamasi pada pankreas yang ditandai dengan gambaran klinis

berupa nyeri perut di daerah epigastrium yang disertai dengan peningkatan kadar enzim-enzim

pankreas yaitu amilase dan lipase. Pankreas merupakan kelenjar besar di belakang lambung dan

dekat duodenum. Duodenum adalah bagian proksimal dari usus halus. Pankreas mensekresi

enzim pencernaan ke dalam usus halus melalui duktus pankreatikus. Enzim-enzim tersebut

membantu pencernaan lemak, protein dan karbohidrat dari makanan. Pankreas juga

melepaskan hormon insulin dan glukagon. Hormon tersebut membantu tubuh dalam

menggunakan glukosa dari makanan untuk menghasilkan tenaga.1,2,3

Page 253: Buku Ajar Gastroenterologi

Hati

SaluranEmpedu

Empedu

SaluranPankreas

Kandung Empedu

Duodenum

Gambar

14.1. Pankreas dengan duktus pankreatikus dan duktus billiaris

Klasifikasi dan Definisi

Klasifikasi klinis pankreatitis menurut Second International Symposium di

Marseille pada tahun 1984 adalah pankreatitis akut dan kronik. Sebagian klasifikasi

yang digunakan di klinik adalah pankreatitis akut dan kronik. Pankreatitis akut adalah suatu

sindroma klinik yang ditandai nyeri perut akut yang dihubungkan dengan peningkatan enzim

pankreas pada darah atau urin. Secara morfologis lesi dapat dikelompokkan sebagai ringan

dan/atau berat. Pada bentuk yang lebih ringan, nekrosis lemak peripankreatik dan edem

interstitiel. Pada bentuk berat didapatkan nekrosis lemak peripankreatik dan intrapankreatik

atau tanpa nekrosis parenkimal dan ada perdarahan. Proses dapat difus atau terlokalisir dan

kadang-kadang korelasi antara etiologi dan patologi klinik kurang. Klasifikasi lain dari

pankreatitis adalah akut, kronik, nekrotik, hemorhagik dan herediter yang dapat

dibedakan secara klinis, radiologis dan pemeriksaan histologis jaringan pankreas. 2,3

Kejadian dan Epidemiologi

Sulit untuk memperkirakan prevalensi dan kejadian pankreatitis yang sesungguhnya

pada anak-anak karena sebagian besar referensi hanya melaporkan kasus individual ataupun

sekelompok kecil penderita. Pankreatitis lebih jarang dijumpai pada anak-anak bila

dibandingkan dengan orang dewasa, mungkin karena sering tidak terdiagnosis sehingga

memerlukan kecurigaan yang tinggi dari para dokter. Pankreatitis akut merupakan kelainan

pankreas yang paling sering pada anak-anak, sedangkan fibrosis kistik menempati urutan

kedua.3,4

Page 254: Buku Ajar Gastroenterologi

Pankreatitis Akut

Pankreatitis akut pada anak jarang menyebabkan nyeri perut sehingga sering

menyulitkan penegakan diagnosis pada kelompok umur tersebut. Perjalanan klinisnya

bervariasi mulai dari serangan ringan, self limited, tidak disertai komplikasi, sampai dengan

serangan berat dengan komplikasi fatal. Kadang-kadang pankreatitis akut terjadi secara tiba-

tiba dan berlangsung cepat dengan ciri khas nyeri perut yang berat yang sering dikelirukan

dengan ileus. Pankreatitis akut sering memberikan patogenesis yang tersamar sehingga untuk

menegakkan diagnosis diperlukan berbagai prosedur diagnostik. Dengan kemajuan sarana

diagnosis dan kemajuan terapi seperti sekarang morbiditas dan mortalitas berkurang.2,3,5

1. Patogenesis

Penyebab pankreatitis bervariasi. Perbedaan mekanisme tiap penyebab tidak jelas. Secara

umum dapat diterima bahwa pankreatitis akut disebabkan oleh aktivitas zimogen

pankreas yang tidak wajar terhadap enzim aktif di dalam parenkim pankreas yang

mengakibatkan autodigesti jaringan pankreas..

Patogenesis pankreatitis akut banyak yang belum diketahui. Beberapa mekanisme yang

dapat memicu terjadinya inflamasi pankreas meliputi meningkatnya permeabilitas duktus

pankreatikus, overstimulasi kelenjar, obstruksi pada aliran pankreas dan abnormalitas

metabolik (misalnya hiperkalsemia dan hipertrigliseridemia).

Hipotesis pertama patogenesis pankreatitis diajukan oleh Opie (1901) yang

menekankan pada potensi faktor mekanik. yaitu adanya obstruksi pada atau dekat dengan

ampulla Vateri akan menyebabkan refluks empedu ke dalam duktus pankreatikus yang

mengakibatkan aktivasi zimogen dalam duktus dan sebagai akibatnya terjadi kerusakan

pankreas. Tetapi hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan pada percobaan binatang.

Hipotesis kedua yaitu adanya hipertensi duktus pankreatikus (sebagai akibat obstruksi)

akan meningkatkan permeabilitas duktus yang mendorong terjadinya kebocoran sekresi

pankreas dengan aktivasi enzim digesti usus dan sebagai akibatnya terjadinya kerusakan sel

asinar. Hipotesis yang kedua ini dapat dibuktikan dengan beberapa macam percobaan pada

binatang.

Ada yang mengemukakan bahwa kelenjar eksokrin pankreas mengaktifkan proenzim

pankreas yang disebabkan beberapa faktor induksi seperti trauma, iskemia, toksin,

Page 255: Buku Ajar Gastroenterologi

PANCREATIC

TISSUE

PERIPANCREATIC

TISSUE

PERITONEAL

CAVITY

SYSTEMIC

CIRCULATION

INFLAMATIONEDEMA

HEMORRHAGENECROSIS

SPLENIC VEIN THROMBOSISSPLENIC INFARCT

RETROPERITONEAL ABSCESS

PERITONITISINTESTINALNECROSIS

ASCITES FATNECROSISBLEEDING

SHOCKCARCIAC FAILURERESP DISTRESSRENAL FAILURE

VASCULARDAMAGE

RELEASE OF ACTIVE ENZYMES

ENZYME ACTIVATION

PANCREATIC INJURY

INDUCTION PROCESS

SHOCKVASCULAR DAMAGE

infeksi, dan lain-lain. Aktivasi zimogen, terutama tripsin, dapat mengaktifkan enzim lain

yang mengakibatkan autodigesti pankreas dan jaringan sekitarnya.

Proses lokal menyebar ke ruang peripankreas dengan pengeluaran substansi di atas yang

bersifat toksik ke rongga peritoneal dan secara sistematis menyebabkan komplikasi dan

kegagalan multiorgan.

Gambar 14.2. Mekanisme Patogenesis Pankreatitis Akut

Fosfolipase A dan elastase yang diaktifkan oleh tripsin bertanggung jawab terjadinya

nekrosis jaringan pada pankreatitis akut. Sel-sel asini pankreas yang rusak akibat aktivasi

zimogen akan menarik sel-sel inflamasi dan mengatifkan trombosit serta sistem komplemen

yang menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin (seperti tumor necrosis factor-alpha,

interleukin-1, nitrat oksida (nitric oxide) dan platelet activating factor). Radikal bebas

oksigen mempunyai peran pada perkembangan inflamasi pada pankreatitis akut, sedangkan

substansi-substansi vasoaktif (histamin, kinin, kalikrein) peran utamanya meningkatkan

permeabilitas kapiler yang mengakibatkan transudasi eksudat. Substansi-substansi tersebut

merusak kelenjar secara langsung, menyebabkan edema, iskemia, nekrosis dan hilangnya

jaringan kelenjar.

Page 256: Buku Ajar Gastroenterologi

Activation Cascade

Trypsinogen

Enterokinaseor

Autoactivation

Inactivation bypancreatic trypsininhibitor

Trypsin

ChymotrypsinogenProelastaseProcarboxypeptidaseProcolipaseProphospholipase

ChymotrypsinElastaseCarboxypeptidaseColipasePhospholipase

Edema, necrosis and hemorrhageVessel wall damage and hemorrhageEdema and necrosisFat necrosis (with lipase and bile acids)Cell wall damage (with bile acids)

Proenzyme Activated Enzyme

Edema, necrosis and hemorrhage

Local Effects

Gambar 14.3. Aktivasi Enzim-enzim Pankreas

Pada keadaan normal terdapat beberapa mekanisme protektif mencegah pengaruh aktivitas

enzim-enzim pankreas yang prematur. Enzim-enzim proteolitik (tripsin, kimotripsin,

karboksipeptidase dan elastase) disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak aktif. Sintesis dan

penyimpanan zimogen terjadi pada pH 6,2 yang akan meminimalkan autokatalisis tripsin dalam

organela. Adanya granula zimogen, jaringan pankreas, getah pankreas dan serum mempunyai

potensi sebagai inhibitor protease.2,3,4

Etiologi

Penyebab pankreatitis akut pada kelompok umur anak-anak sangat bervariasi. Tetapi

sebagian besar diantaranya patofisiologinya belum terbukti, sehingga tidak memiliki hubungan

kausatif. Berbeda pada orang dewasa, 80% penyebab pankreatitis akut adalah penyakit saluran

empedu dan alkoholisme. Sedangkan pada anak-anak pada umumnya disebabkan infeksi,

trauma, penggunaan obat, kelainan bawaan (pankreas divisum), penyakit metabolik dan

sistemik dan kondisi herediter dan idiopatik.1,3,4

Page 257: Buku Ajar Gastroenterologi

Tabel 14.1. Etiologi Pankreatitis Akut pada Anak

OBAT dan TOKSIN

Alkohol

Overdosis parasetamol

Azathioprinase

Simetidin

kortikosteroid

DDC

DDI

Enalapril

Eritromisin

Estrogen

Furosemid

6-Merkaptopurin

Mesalamin

Metildopa

Pentamidine

Sulfonamid

Sulindak

Tetrasiklin

Tiazid

Asam valproat

Bisa (laba-laba, kalajengking)

Vinkristin

PANKREATITIS HERIDITER

Hereditary pancreatitis gene

OBSTRUKSI

Penyakit ampula

Askariasis

Malformasi saluran empedu

Kolelithiasis mikrolithiasis dan

Koledokolithiasis (batu atau

sludge)

Chlonorchis

Duplication cyst

Komplikasi ERCP

Pankreas divisum

Kelainan duktus pankreatikus

Pasca bedah

Disfungsi sfingter Oddi

Tumor

PENYAKIT SISTEMIK

Defisiensi alfa-1-antitripsin

Tumor otak

Penyakit kolagen pembuluh darah

Fibrosis kistik

Diabetes mellitus

Trauma kepala

Hemokromatosis

Sindrom hemolitik uramik

Hiperlipidemia: tipe I, IV, V

Page 258: Buku Ajar Gastroenterologi

Cystic fibrosis gene

SPINK 1 gene

INFEKSI

Askariasis

Coxsackie B virus

Epstein-Barr virus

Hepatitis A, B

Influenza A. B

Leptospirosis

Malaria

Measles

Mumps

Mycoplasma

Rubella

Rubeola

Raye syndrome: varicella, inluenza B

Hiperparatiroidisme

Penyakit Kawasaki

Malnutrisi

Organic acidemia

Periartesis nodosa

Ulkus peptikum

Gagal ginjal

Lupus eritematosus sistemik

Tranplantasi sumsum tulang, jantung, hati,

ginjal, pankreas

Vaskulitis

TRAUMA

Trauma tumpul

Kombusio

Child abuse

Trauma bedah

Total body cast

Sumber: Weizman3

Manifestasi Klinik

Pankreatitis akut mempunyai spektrum yang luas baik gejala maupun komplikasinya.

Tanda klinis yang utama adalah nyeri perut, yang paling sering terjadi pada daerah

epigastrium, nyeri lain pada kuadran kanan atas atau bawah atau peri umbilikal. Nyeri ini

biasanya timbulnya mendadak dapat bertahap, intensitas mencapai maksimum setelah

beberapa jam, biasanya menusuk, menetap dan memanjang. Nyeri berlangsung secara

bermakna dari beberapa jam sampai 2 minggu, dengan rata-rata lamanya 4 hari. Penjalaran

nyeri jarang tampak pada anak-anak mungkin menyebar ke punggung, perut bagian tengah-

bawah dan atas dan dapat terjadi pada dada bagian bawah depan. Gejala lain yang sering

meliputi anoreksia, nausea, dan muntah yang menetap. Pemberian makan akan

memperberat nyeri dan muntah. Kira-kira 70% kasus terdapat nyeri yang dihubungkan

dengan muntah dan 10% muntah empedu.

Page 259: Buku Ajar Gastroenterologi

Riwayat trauma abdomen paling sering dihubungkan dengan kejadian pankreatitis,

riwayat paparan penyakit infeksi atau intake obat harus dicari. Riwayat pankreatitis pada

keluarga, kelainan-kelainan metabolik dan sistemik. Demam biasanya subfebril.

Pada pemeriksaan fisik pada anak tampak kesakitan, iritabel atau tenang. Pemeriksaan

fisik yang teliti dapat memberikan petunjuk yang lebih banyak untuk membedakan pankreatitis

dengan sebab-sebab nyeri perut akut lainnya yang sering terjadi pada anak-anak.

Yang sering didapatkan pada pemeriksaan fisik adalah ketegangan daerah epigastrium

dan penemuan ini sering tampak dengan bising usus yang lemah atau hilang. Pada sepertiga

kasus terdapat perut yang membesar (distension) yang timbul setelah 2 sampai 3 hari. Secara

sistemik, sering dalam waktu beberapa jam setelah lesi awal, dapat timbul demam subfebril (

biasanya kurang dari 38.50C), hipotensi, takikardi, hipoksia dan sindroma kebocoran kapiler

pada kasus-kasus yang berat.

Pada kasus pankreatitis hemorhagik yang berat, penderita tampak sakit berat, dengan

nausea dan muntah yang berat serta nyeri perut. Diskolorisasi kebiruan tampak di sekitar umbilikus (Cullen’s sign) atau di sekitar panggul (Gray-Turner’s sign). Kedua tanda

tersebut bukan merupakan tanda patognomonis pankreatitis akut karena disebabkan darah yg

merembes sehingga menimbulkan ekimosis. Tanda fisik lain pankreatitis akut adalah

ketidakseringnya dan ketidaktetapan dalam kejadian yang umumnya tidak spesifik yang

meliputi koma, efusi pleura, distress pernafasan, asites, ikterus, adanya massa abdomen,

melena dan hematemesis.1,2,5

Tabel 14.2. Gambaran klinis Pankreatitis akut

GEJALA

Nyeri perut

Anoreksia

Nausea

Vomitus

Koma (jarang)

Dispneu (jarang)

TANDA

Ketegangan daerah epigastrium (localized epigastric tenderness)

Kekakuan dinding perut (abdominal wall rigidity)

Ketegangan yang kambuh (rebound tenderness)

Distensi perut

Bising usus lemah atau tidak ada

Page 260: Buku Ajar Gastroenterologi

Hipotensi dan syok

Panas subfebril

Efusi pleura

Asites

Oliguria/anuria

Distres pernafasan

Gray-Turner’s sign

Cullen’s sign

Sumber: Weizman3

Diagnosis

Diagnosis sulit ditegakkan kecuali bila indeks kecurigaan pada manifestasi klinis dan

pemeriksaan fisik menetap tidak hilang timbul. Gabungan dari tanda dan gejala klinis dengan

kelainan biokimiawi yang menunjang dan teknik pencitraan (imaging) dapat melengkapi

kepastian diagnosis. Tidak ada tes tunggal diagnostik untuk pankreatitis akut, dan konfirmasi

histologis inflamasi pankreas jarang tersedia. Beberapa tes dapat menyesatkan karena

kurangnya spesifisitas. Kadang-kadang diagnosis hanya dibuat dengan kepastian pada saat

laparatomi atau otopsi.2,3,4

1. Pemeriksaan laboratorium

Tes laboratorium nonspesifik

Kelainan laboratorium sangat bervariasi pada pankreatitis akut dewasa, tetapi data pada

anak-anak jarang didapatkan. Pemeriksaan darah lengkap dengan peningkatan sel darah

putih sering terjadi pada pankreatitis akut, sering dengan peningkatan bentuk batang dan

laju endap darah sering meningkat ringan. Pada keadaan berat menunjukkan

hemokonsentrasi. Kerusakan pada sel-sel endokrin ditunjukkan dengan hiperglikemia

transien yang dijumpai pada 15-25% dari kasus. Keadaan ini disebabkan oleh kelebihan

glukagon sedangkan insulinnya menurun. Hipokalsemia tejadi pada 15% kasus.

Peningkatan secara transien fosfatase alkali dan aminotranferase serum dengan disertai

hiperbilirubinemia. Peningkatan nilai laktat dehidrogenase serum, azotemia,

hipoalbuminemia dan hipoksemia menunjukkan beratnya penyakit.

Tes laboratorium spesifik

Amilase serum

Page 261: Buku Ajar Gastroenterologi

Amilase serum masih merupakan tes yang paling sering digunakan pada pankreatitis

akut, meskipun memililki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah yaitu 75%-92% dan

20%-60%, karena peningkatan amilase serum dapat terjadi pada penyakit nonpankreas

dan pada pankreatitis akut (Tabel 2) dapat dijumpai kadar amilase serum yang normal.

Peningkatan 3-6 kali diatas nilai normal spesifisitasnya meningkat tetapi sensitivitasnya

menurun. Peningkatan amilase serum terjadi dalam 2-12 jam setelah lesi pankreas dan

memuncak pada 12-72 jam setelah onset dan masih meningkat untuk 2-5 hari. Tidak

ada korelasi antara beratnya pankreatitis dan peningkatan amilase serum.

Tabel 14.3. Diagnosis diferensial hiperamilase

KELAINAN PANKREAS

Pankreatitis akut atau kronik

Komplikasi pankreatitis (pseudokista, asites, abses)

Facititious pancreatitis

KELAINAN KELENJAR LUDAH

Parotitis (mumps, Staphylococus aureus, CMV, HIV, EBV)

Sialadenitis (kalkuli, radiasi)

Gangguan makan (anoreksia nervosa)

Penyakit saluran empedu (anoreksia nervosa, bulimia nervosa)

KELAINAN INTRA ABDOMEN

Perforasi ulkus peptikum

Peritonitis

Obstruksi usus

Apendisitis

PENYAKIT SISTEMIK

Asidosis metabolik (syok )

Insufisiensi ginjal & transplantasi

Kombusio

Kehamilan

Obat (morfin)

Page 262: Buku Ajar Gastroenterologi

Trauma kepala

Cardiopulmonary bypass

Sumber: Werlin5

Amilase urine

Peningkatan kadar amilase urine dapat berada 24 jam setelah normalisasi serum

Rasio klirens kreatin / amylase urine

Peningkatan rasio terdapat pada pankreatitis. Tetapi tes ini tidak spesifik, tidak

menambah informasi diagnostik.

Isoamilase serum

Pada keadaan normal 60% dari serum amilase adalah saliva dan tersimpan di

pankreas.Walaupun pada pankreatitis akut sebagian besar dari amilase serum berasal

dari pankreas, keadaan abdomen lainnya meningkatkan isoenzim isoamilase. Sekarang

sudah tersedia bermacam-macam teknik untuk mengukur isoform dari amilase yaitu

dengan elektroforesis, ion exchange chromatography dan yang terbaru dengan teknik

radioimmunoassay dengan menggunakan antibodi monoklonal. Isoamilase lebih sensitif

dan spesifik daripada amilase total.

Lipase serum

Nilai lipase serum biasanya meningkat pada pankreatitis akut dan masih meningkat

lebih lama dibanding nilai amilase serum. Kadar lipase serum memiliki sensitivitas

klinis 86%-100% dan spesifisitas klinis 50%-99%. Dengan meningkatkan batas lebih

dari 3 kali dari batas atas normal, sensitivitas dapat ditingkatkan hingga 100% dan

spesifisitas hingga 99%. Walaupun masih ada kontroversi hal tersebut. Kadar lipase

serum mulai meningkat dalam 4-8 jam setelah gejala, memuncak pada 24 jam dan

menurun setelah 8-14 hari. Derajat peningkatan amilase dan lipase serum tidak

mencerminkan keparahan penyakit pankreasnya. Dengan menggabungkan penentuan

kadar amilase serum dan lipase serum secara bersama-sama sensitivitas diagnosis

pankreatitis meningkat hingga 94 %.

Tripsin imunoreaktif serum

Page 263: Buku Ajar Gastroenterologi

Sumber tripsin pada manusia hanya pada pankreas. Tripsin imunoreaktif total pada

serum meningkat lebih awal dibanding amilase serum pada pankreatitis akut.

Sensitivitasnya lebih tinggi dibanding lipase dan isoamilase pankreas dengan spesifisitas

yang sama.

Ribonuklease

Konsentrasi ribonuklease pada serum rendah. Ribonuklease pankreas dapat dibedakan

secara imunologis dari sumber ribonuklease lainnya. Peningkatan ribonuklease

pankreas pada serum dianggap sebagai indikasi adanya nekrosis pankreas.

Elastase-1 pankreas

Diukur dengan radioimmunoassay. Pada pankreatitis akut menunjukkan sensitivitas

lebih tinggi daripada lipase, amilase total maupun tripsin terutama selama stadium

akhir dari panyakit.

Fosfolipase A2

Merupakan enzim prediktif yang lain. Mempunyai peran kunci pada patogenesis awal

dari pankreatitis akut.

Analisis bikarbonat dan enzim yang berasal dari cairan pankreas

Pemeriksaan ini ditetapkan sebagai baku emas untuk mengevaluasi fungsi pankreas

secara langsung. Analisis bikarbonat dan enzim-enzim yang berasal dari cairan pankreas

yang dikeluarkan setelah stimulasi dengan sekretin dan pankreozimin (SPT) secara

intravena. Bila dilakukan secara benar sensitivitas dan spesifisitas berkisar 90%-100%.

Pemeriksaan ini langsung karena mengambil sampel langsung dari duktus pankreatikus

bukan secara tidak langsung (dari serum). Tetapi karena prosedur pemeriksaan ini

sifatnya invasif, kompleks, mahal dan hanya dilakukan di pusat kesehatan tertentu,

sehingga tidak dapat dilakukan secara rutin.

Page 264: Buku Ajar Gastroenterologi

2. Pencitraan

Foto polos abdomen

Menunjukkan adanya ileus dengan dilatasi kolon, sentinel loop (distensi bagian usus halus

dekat dengan pankreas), batas psoas yang kabur atau halo yang radiolusen di sekitar ginjal

kiri. Pemeriksaan radiologis ini nilai diagnostiknya terbatas. Tetapi sebaiknya setiap anak

yang menderita nyeri perut akut harus dilakukan prosedur ini karena dapat menyingkirkan

kegawatan abdomen yang lain seperti perforasi atau appendikolith yang memberikan kesan

sebagai apendisitis.

Foto dada

Dilakukan pada semua kasus yang diperkirakan untuk menentukan terkenanya diafragma

atau komplikasi paru pada pankreatitis akut, seperti infiltrat, edema paru dan efusi pleura.

Seri barium saluran pencernaan atas

Pemeriksaan ini jarang memberikan informasi yang berguna dan sudah ditinggalkan diganti

pencitraan alternatif lain (ultrasonografi) dan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio

Pancreatography).

Ultrasonografi

Ultrasonografi abdomen merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada

penderita yang dicurigai menderita pankreatitis akut. Pada pankreatitis akut akan

didapatkan penurunan ekogenitas, peningkatan ukuran pankreas, perubahan ekostruktur &

bentuk serta adanya pelebaran duktus pankreatikus. Terdapat hipoekogenitas pankreas

pada 40 % kasus pankreatitis akut. Laporan dari Swischuk dan Hayden menunjukkan

bahwa pada pankreatitis akut secara sonografi biasanya normal tetapi ruang pararenal-nya

hiperekoik selama inflamasi.

Computerized Tomography (CT) dari Abdomen

Dilakukan bila hasil USG tidak memuaskan atau membutuhkan gambaran anatomi lebih

baik. CT dengan kontras merupakan metode pencitraan pilihan dalam menggambarkan

pankreas (perubahan ukuran, tekstur), evaluasi beratnya dan mendeteksi komplikasi

pankreatitis akut seperti pseudokista, abses, kalsifikasi, pembesaran duktus, edema

peripankreatik, eksudat peritoneal dan distensi usus.

Page 265: Buku Ajar Gastroenterologi

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Sebagai alternatif CT-scan. Ternyata tidak lebih bermanfaat dibanding CT-scan.

Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)

Merupakan prosedur invasif. Berguna untuk mengevaluasi komplikasi pasca trauma atau

pasca pankreatitis, deteksi kelainan anatomi yang berhubungan dengan pankreatitis akut

dan penelitian duktus pankreatikus pada pankreatitis relaps kronik atau pankreatitis

herediter. ERCP selain untuk prosedur diagnosis juga dapat digunakan untuk prosedur

pengobatan seperti sfingterotomi, pemasangan stent, pengambilan batu, dilatasi dengan

balon. Kontraindikasi ERCP meliputi pankreatitis akut tidak menyembuh dan pembentukan

abses dan pseudokista sebagai kontraindikasi relatif.

Komplikasi

Komplikasi dapat bersifat lokal maupun sistemik yang dapat terjadi sebagai komplikasi

awal atau lanjut. Selama minggu pertama perawatan komplikasi potensial adalah gagal organ

multi sistem terutama sistem pulmonar, kardiovaskular, dan renal. Pada minggu kedua sakit,

jaringan nekrotik pankreas atau peripankreas terinfeksi dapat diobservasi. Keduanya dapat

dibedakan oleh sonografi atau aspirasi perkutan yang dipandu CT. Komplikasi lanjut terjadi

sesudah minggu kedua sakit dan termasuk timbulnya pseudokista dan abses. Kejadian

pseudokista pankreas sering terjadi, sehingga bila hiperamilase berlanjut sesudah 4 minggu

mungkin diperlukan tindakan pembedahan.2,4

Tatalaksana

Pengobatan yang utama bersifat suportif yang meliputi menghilangkan rasa nyeri dan

memperbaiki homeostasis metabolik dengan cara hidrasi yang adekuat dengan pemberian

cairan intravena atau koloid untuk menjaga volume intravaskular. Dengan mempertimbangkan

keseimbangan cairan, elektrolit dan mineral untuk perbaikan dan pemeliharan. Kadang-kadang

memerlukan tindakan agresif untuk mencegah syok, kegagalan respirasi dan katabolisme

protein3. Pada sebagian besar pankreatitis akut bersifat self limited dalam beberapa hari.1,3

Menghilangkan nyeri dengan opiat (morfin) akan memperburuk gejala karena

meningkatkan spasme sfingter Oddi. Meperidin sebagai agonis reseptor opiat murni yang

merupakan pilihan analgesik untuk pankreatitis akut karena hanya menyebabkan sedikit

peningkatan tekanan intrabiliaris. Sebagai alternatif penggantinya yaitu pentazosin yang

merupakan campuran analgesik opiat dengan obat yang mempunyai peran antagonis-agonis.

Page 266: Buku Ajar Gastroenterologi

Strategi pengobatan spesifik dan nonspesifik selanjutnya meliputi:

1. Menghilangkan proses yang mengawali (misalnya obat atau toksin)

2. Menghentikan melanjutnya proses autodigesti dalam pankreas

3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim pencernaan dan bahan toksik lain dalam

kavum peritoneal dan atau sirkulasi

4. Mengobati komplikasi lokal dan sistemik

5. Pembedahan

Pemasangan pipa nasogastrik sangat berguna bagi penderita dengan muntah berat atau

ileus. Perlu dipuasakan (tidak diberikan diet peroral) dan pengisapan sekresi lambung dapat

menimalkan sekresi pankreas sehingga membuat pankreas dalam keadaan istirahat. Setelah 3

hari hanya diberikan cairan intravena bila dan belum dapat diberikan nutrisi peroral harus

diberikan nutrisi parenteral untuk mencegah katabolisme protein. Mencegah asam dan nutrisi

mencapai duodenum, secara teori meminimalkan hormon dalam menstimulasi sekresi

pankreas. Setelah pengisapan dapat diberikan simetidin sebagai substitusi akan mengurangi

keasaman duodenum, hal ini penting untuk mencegah stress ulcer, terutama bila terjadi

perdarahan saluran pencernaan. Pemberian obat untuk mengurangi keasaman atau mengurangi

aliran pankreas (mengistirahatkan pankreas) yang meliputi penghambat reseptor H2 (H2

blocker), atropin, kalsitonin, glukagon, somatostatin dan fluorourasil tidak mengubah

perjalanan penyakit.

Pemberian inhibitor enzim seperti aprotinin (trasylol) secara invitro merupakan

inhibitor kuat terhadap tripsin, kimotripsin, kalikrein, plasmin dan trombin. Ternyata pada uji

klinik aprotinin tidak memberikan kegunaan pada terapi pankreatitis akut. Telah dicoba pula

inhibitor enzim lain FOY (gabexate mesilate) dengan hasil tidak berbeda.

Lavage peritoneal selama 7 hari menurunkan mortalitas yang disebabkan oleh

pembentukan abses pankreas tanpa mempengaruhi mortalitas secara keseluruhan. Pemberian

antibiotika untuk penderita yang menunjukkan tanda klinis yang kuat adanya infeksi sekunder

atau untuk mencegah komplikasi sepsis. Pemberian ampisilin tidak dapat mengubah perjalanan

penyakit. Pada penelitian terbaru antibiotika yang digunakan adalah imipenem, ternyata

berhasil mengurangi kejadian sepsis pankreas pada pankreatitis nekrotik.

Dalam praktik klinik anak yang menderita pankreatitis akut dilakukan penghentian

intake oral, pengisapan nasogastrik, resusitasi cairan, monitoring ketat vena sentral, output

urin, gas darah, parameter kalsium serum, glukosa, elektrolit dan lemak. Meperidin: 1-2

mg/kgBB im atau iv. Antibiotik diberikan segera jika diduga atau terbukti ada infeksi.

Nutrisi parenteral total jika dilakukan puasa. Diet oral dimulai dengan diet elemental rendah

lemak jika terjadi perbaikan klinis, sebagai indikatornya kadar amilase serum normal.3,4

Indikasi tindakan bedah pankreatitis akut ialah:

1. Diagnosis pankreatitis yang tidak pasti (pada anak kebanyakan diagnosis preoperatif adalah

apendisitis akut)

2. Obstruksi yang menyebabkan dekompresi pada duktus pankreatikus utama atau duktus

biliaris komunis (bawaan atau didapat)

Page 267: Buku Ajar Gastroenterologi

3. Koreksi komplikasi abdomen (misalnya kista atau abses)

4. Debridemen jaringan nekrotik

Prognosis

Prognosis bervariasi tergantung keadaan klinis pankreatitis akut pada anak. Pankreatitis

akut pada anak tanpa komplikasi akan membaik dan sembuh setelah 2-5 hari.

Kriteria Ranson meliputi 11 faktor risiko untuk membantu memperkirakan prognosis

beratnya penyakit meliputi lima faktor pertama yang dinilai pada waktu datang (peningkatan

umur, leukositosis, hiperglikemia, kadar laktat dehidrogenase dan aspartat aminotransferase)

dan enam faktor lainnya dievaluasi dalam 48 jam (penurunan hematokrit, azotemia,

hipokalsemia, hipoksemia, asidosis dam kehilangan cairan). Kriteria ini telah dimodifikasi

selama beberapa tahun dan disebut juga sebagai kriteria Glasgow atau Imrie. Akhir-akhir

ini indeks prognostik yang lebih kompleks disebut APACHE II (Acute Physiology and Chronic

Health Evaluation Score). Indeks ini berdasarkan pada 12 variabel fisologis, usia penderita

dan riwayat penyakit organ utama. APACHE II ini lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding

kriteria sebelumnya.

Tap peritoneal tidak mempunyai kelebihan dalam memprediksi beratnya penyakit

sedangkan CT perlu studi lebih lanjut. Masih banyak parameter seperti methemalbumin,

ribonuklease, antiprotease, komplemen, dan C-reactive protein telah digunakan sebagai

prediktor keparahan pankreatitis akut. Masih ada 2 marker yaitu peptid tripsinogen yang

diaktifkan dan elastase granulositik yang dianggap mampu memprediksi parahnya penyakit .

Data mortalitas pada anak jarang dijumpai dan pernah dilaporkan 13 dari 61 kasus (21%)

pankreatitis akut meninggal.3,4,5

Pankreatitis Herediter

Pankreatitis herediter didefinisikan sebagai serangan pankreatitis berulang (rekuren)

pada masa anak yang terjadi pada keluarga dua atau tiga generasi atau lebih tanpa

diketahui factor predisposisinya. Keadaan ini diturunkan secara dominan.autosom dengan

penetrasi yang tidak lengkapl.

Pada umumnya fungsi dan morfologi pankreas kembali normal diantara serangan

akut. Gejala sering dimulai sejak dekade pertama tetapi serangan pertamanya biasanya ringan.

Meskipun terjadi penyembuhan spontan dalam 4-7 hari setiap serangan, episodenya semakin

progresif. Pankreatitis herediter merupakan salah satu penyebab pankreatitis kronis.1,2

Pankreatitis Kronis

Penyebabnya pada umumnya pankreatitis herediter atau kelainan bawaan duktus

pankreatikus dan duktus biliaris. Karena pankreatitis rekuren, enzim pencernaan merusak

pankreas dan jaringan sekitarnya sehingga menimbulkan jaringan parut. Perubahan

Page 268: Buku Ajar Gastroenterologi

morfologis inilah yang mengakibatkan terjadinya pankreatitis kronis. Apabila terjadi sumbatan

kalsifikasi protein pada duktus pankreatikus, maka menunjukkan penyakit yang sudah lanjut.

Kemungkinan pada keadaan ini fungsi eksokrin dan endokrin dapat hilang secara irreversibel.

Diagnosis pankreatitis kronik tergantung penilaian fungsi pankreas dan temuan klinis

maupun radiologis. Dengan uji noninvasif yaitu uji-uji pengukuran enzim pankreatik serum

(amilase, lipase dan tripsin imunoreaktif) dan pemeriksaan lemak dan pemeriksaan enzim

pankreatik pada tinja, mempunyai nilai prediktif sangat buruk sehingga tidak dapat

mengeksklusi pankreatitis kronis dengan meyakinkan. Dengan pengukuran enzim pankreatik

elastase I pada tinja versus uji sekretin-pankreozimin mempunyai sensitivitas 100% dan

spesifisitas 96%.

Memang sebagai baku emas untuk menentukan adanya insufisiensi pankreas adalah

dengan memberikan kolesistokinin atau sekretin secara intravena, kemudian mengambil cairan

dari duktus pankreatikus dan diukur output bikarbonat dan ensim pankreatik-nya. Hasil

pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas antara 90%-100% dalam mendiagnosis

pankreatitis kronis. Prosedur pemeriksaan ini bersifat invasif karena membutuhkan intubasi

endoskopik atau oroduodenal, penempatan kateter duodenal yang akurat dan pengambilan

semua sampel sekresi duodenal. Kesulitan pelaksanaan dan intepretasi sehingga hanya dapat

dilakukan di pusat (center) kesehatan yang lengkap.3,4,5

Daftar Pustaka

1. Pietzak MM, Thomas W. Pancreatitis in childhood. Amarican Academy of Pediatrics. 2000: 2. 2. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In Walker A, Durie PR, Hamilton JR, et al, eds. Pediatric Gastrointestinal

Disease. St Louis, WB Saunders, 2 nd. 1996: 1436-1465.

3. Weizman Z. Acute Pancreatitis. In Wyllie R and Hyam JS, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease, Philadelphia, WB Saunders. 1993: 873-879.

4. Lerner A, Branski D, Lebenthal E. Pancreatic Disease In Children. Pediatric Clinics of North America. 1996; 43.1:

125-156. 5. Werlin SL. Exocrine Pancreas. In Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB. Nelson Text Book of Pediatrics,

Philadelphia, WB saunders 17 th Edit. 2004: 1298-1303.

Page 269: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XV

IKTERUS

Iesje Martiza

Ilustrasi Kasus

N, seorang bayi laki-laki lahir di Rumah Saki dari seorang ibu G1P0A0 yang merasa hamil

cukup bulan, letak kepala, lahir spontan, tak langsung menangis, ditolong dokter. Sejak

kurang lebih 22 jam setelah lahir, penderita tampak kuning/ikterik kramer I, yang semakin

lama semakin bertambah. Selama perawatan, pada akhir hari pertama penderita diberikan

terapi sinar dengan bilirubin total 13,45 mg/dl dan pada hari keempat penderita bertambah

kuning dengan bilirubin total 18,7 mg/dl, dilakukan transfusi ganti dan dilanjutkan terapi

sinar sampai hari kesembilan. Kemudian pada hari kesepuluh penderita pulang dalam

keadaan baik.

Pendahuluan

Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang

sering dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian

sesaat yang dapat hilang spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal

yang serius, bahkan mengancam jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah

sakit dalam minggu pertama kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia.

Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan risiko

terjadinya kernikterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir.

Alpay dan kawan-kawan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

penurunan lama tinggal dan risiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama kembalinya ke

rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia. Terlepas dari

penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik terhadap bayi baru

lahir.1,2

Bab ini dimulai dengan ulasan tentang metabolisme bilirubin perinatal, berikut

penilaian, penyebab, toksisitas dan terapi kernikterus neonatorum.

Definisi

Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat

peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin

serum >2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dl.3

Page 270: Buku Ajar Gastroenterologi

Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak

75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase dan heme

bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Metabolisme

bilirubin terdiri dari tahapan:

1. Transport bilirubin

Bilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan bilirubin

dimulai dengan memutuskan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX) sehingga

terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang pertama kali terlibat dalam

pembentukan bilirubin adalah mikrosomal heme-oksigenase. Telah diketahui ada 2 bentuk

utama heme-oksigenase: yang pertama terdapat di dalam hepar dan lien; yang kedua

terdapat di dalam otak dan testis. Heme-oksigenase menyebabkan reduksi besi porfirin (Fe3+ menjadi Fe2+) dan hidroksilasi karbon α-methine, dimana karbon α ini dioksidasi dari

cincin tetrapirol sehingga menghasilkan karbon monoksida. Pemotongan ini membuka

struktur cincin dan berhubungan dengan oksigenasi kedua atom karbon di kedua ujung rantai. Αtom karbon yang dipotong, diekskresi sebagai karbon monoksida yang juga

merupakan neurotransmiter. Besi yang dilepas oleh heme-oksigenase dapat digunakan

kembali oleh tubuh. Hasil akhir tetrapirol rantai lurus adalah biliverdin IXα.

Stereospesifisitas enzim yang menyebabkan pemutusan hampir pasti terdapat pada α-

karbon tetrapirol. Hal ini berbeda dari hasil yang didapatkan pada oksidasi kimiawi in vitro,

di mana pemutusan dapat terjadi di antara keempat atom karbon (α, β, γ, δ) yang

menghubungkan keempat cincin pirol dan menghasilkan jumlah isomer α, β, γ dan δ yang

sama. In utero, bilirubin IXβ merupakan pigmen empedu yang pertama kali ditemukan, dan

dapat ditemukan di empedu atau mekonium pada usia kehamilan 15 minggu. Sejumlah kecil bilirubin IXβ juga ditemukan pada empedu orang dewasa. Kemudian, atom karbon sentral

pada biliverdin IXα direduksi dari methine menjadi kelompok methilene, membentuk

bilirubin IXα, yang diselesaikan oleh enzim biliverdin reduktase sitosolik. Kedekatan enzim

ini menyebabkan sangat sedikitnya biliverdin yang dapat ditemukan di sirkulasi.

Pembentukan bilirubin dapat dinilai dengan mengukur produksi karbon monoksida.

Pembentukan ini menunjukkan rata-rata produksi bilirubin pada bayi matur sehat = 6-8 mg/kg BB/hari, dan pada orang dewasa sehat = 3-4 mg/kg BB/hari. Pada mamalia, ± 80%

bilirubin yang diproduksi setiap hari berasal dari hemoglobin. Pemecahan heme hepatik dan

renal tampaknya berperan pada 20% sisanya, menunjukkan begitu cepat turn over protein

heme. Walaupun tidak diketahui dengan pasti, turn over mioglobin heme sangatlah lambat

sehingga tidak signifikan. Katabolisme hemoglobin terutama berasal dari sekuestrasi

eritrosit pada akhir masa hidupnya (120 hari pada orang dewasa, 90 hari pada bayi, dan 50-

60 hari pada tikus). Sejumlah kecil fraksi hemoglobin yang baru disintesis, didegradasi

dalam sumsum tulang. Proses ini yang disebut sebagai eritropoesis yang tidak efektif,

biasanya terdapat kurang dari 3% dari produksi bilirubin harian, tetapi dapat meningkat

pada orang-orang dengan hemoglobinopati, defisiensi vitamin, dan keracunan logam berat.

Bayi menghasilkan lebih banyak bilirubin perkilogram berat badannya, karena jumlah

eritrosit mereka lebih banyak, dan umur hidup eritrositnya lebih pendek. Walaupun sudah

lama bilirubin dianggap sebagai produk sisa katabolisme heme, ternyata ada data yang

Page 271: Buku Ajar Gastroenterologi

menduga bahwa hiperbilirubinemia ringan mempunyai manfaat yang baik karena bilirubin

mempunyai kapasitas antioksidan dan berperan sebagai pemusnah radikal bebas.

Bilirubin sukar larut dalam air, sehingga memerlukan biotransformasi supaya dapat

diekskresi dari tubuh. Sifat bilirubin yang sukar larut ini berhubungan dengan struktur

bilirubin. Dibandingkan dengan bentuk rantai lurus, bilirubin cenderung terikat dengan

hidrogen. Hal ini terjadi karena atom karbon jenuh yang terletak di tengah memungkinkan

kedua belah molekul bilirubin berputar sedemikian rupa sehingga pirol nitrogen dan laktam

oksigen dari sisi yang satu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok karboksil asam

propionat pada sisi yang lain, sehingga menghalangi sisi asam propionat yang polar dan

membuat bilirubin menjadi lipofilik dan sangat tidak polar. Ikatan rangkap C=C pada posisi

C4-C5 dan C15-C16 dapat membentuk 2 konfigurasi yang berbeda (mirip dengan “cis” dan

“trans”) tergantung apakah atom-atom itu terletak pada sisi ikatan rangkap yang sama atau

berseberangan (Z = zusammen = together; E = entgegen = opposito). Bentuk alami bilirubin

(4Z,15Z-bilirubin IXα) dapat berupa salah satu dari ketiga struktur yang ada. Pengetahuan

stereokimia ini penting untuk dapat memahami fototerapi. Ikatan hidrogen pada bilirubin

membuatnya menjadi sangat hidrofobik dan tidak larut dalam media air.

Sifat bilirubin yang sukar larut dalam air ini menyebabkan diperlukannya molekul karier

untuk transport bilirubin dari tempatnya diproduksi di dalam sistem retikuloendotelial ke

dalam hati untuk diekskresi. Molekul karier yang dimaksud adalah albumin. Setiap molekul

albumin mampu mengikat 1 molekul bilirubin (Ka = 7.107/M). Artinya, pada kadar bilirubin

serum yang normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan albumin,

dengan sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain. Selain itu, albumin

juga merupakan karier untuk zat lainnya, misalnya xenobiotik dan asam lemak. Perlu

diingat bahwa daya ikat albumin berbeda-beda untuk setiap spesies. Rata-rata konsentrasi

albumin serum pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 3 sampai 3,5 g/dl, albumin dapat

mengikat bilirubin pada konsentrasi maksimum sekitar 450 M/h (25-30 mg/dl). Dikatakan

bahwa albumin pada neonatus mempunyai afinitas yang kurang terhadap bilirubin bila

dibandingkan dengan albumin pada orang dewasa. Bilirubin yang bebas dapat masuk ke

dalam otak dan merusak jaringan saraf.1,3,4

2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati

Struktur hati sudah disesuaikan sedemikian rupa untuk uptake bilirubin. Aliran darah yang

melalui sinusoid lebih lambat daripada aliran darah yang melewati kapiler, karena aliran

darah ini lebih berasal dari tekanan vena dibandingkan tekanan arterial. Bilirubin yang

terikat albumin dengan mudah mengalir dari plasma ke dalam space of Disse di antara

endotelium dan hepatosit, karena lapisan endotelial sinusoid hati tidak mempunyai lamina

basalis yang terdapat pada sistem kapiler organ lainnya. Celah-celah pada endotelium

memungkinkan kontak langsung dengan membran plasma hepatosit.

Gambar di bawah (gambar 15.1) menunjukkan ilustrasi skematik hepatosit dengan

metabolisme bilirubin. Pertama, bilirubin dipisahkan dari albumin yang mengikatnya dan

memasuki hepatosit melalui membran reseptor karier sehingga lebih mudah memasuki

hepatosit. Telah diketahui media transport yang membawa anion organik memasuki

Page 272: Buku Ajar Gastroenterologi

hepatosit, termasuk bilirubin, bromsulfophthalein (BSP) dan indocyanine green (ICG),

walaupun baru-baru ini telah diketahui bahwa bilirubin juga dapat melewati membran

dengan difusi pasif sederhana. Bukti yang ada menunjukkan bahwa bilirubin, BSP, dan ICG

memakai karier reseptor hepatosit yang sama, karena akan terjadi inhibisi kompetititf jika

diberikan bersamaan. Hal ini tidak dapat dijelaskan oleh metabolisme intrahepatik, karena

anion-anion ini ditangani secara berbeda oleh hepatosit: bilirubin berikatan dengan asam

glukoronat di dalam mikrosomal, BSP berikatan dengan glutation di dalam sitosol, dan ICG

langsung diekskresi tanpa mengalami biotranformasi. Data dari hepatosit tikus

menunjukkan bahwa anion binding receptor carrier merupakan suatu protein dimer

dengan berat molekul 55.000. Penelitian antibodi memperkuat dugaan lokasi di membran

plasma dan menunjukkan penghentian uptake. Untuk mengangkut bilirubin ke dalam

hepatosit diperlukan karier, karena ikatan protein di dalam hepatosit berbeda dari yang di

luar. Di luar hepatosit, bilirubin terikat albumin (dengan afinitas ± 1.108, konsentrasi 0,6

mM). Di dalam hepatosit, bilirubin terikat glutation S-transferase (GST), yang dikenal

sebagai ligandin atau protein Y (afinitas = 1.106, konsentrasi = 0,04 mM). GST merupakan

kelompok protein yang mempunyai fungsi baik sebagai enzim, maupun sebagai intracellular

binding protein, misalnya untuk bilirubin. Carrier mediated uptake membantu

meningkatkan gradien konsentrasi uptake bilirubin, untuk mengatasi perbedaan afinitas

antara albumin dan GST. GST merupakan cadangan intraselular bilirubin yang penting dan

mengurangi refluks dari hepatosit kembali ke plasma.1,3,4

Page 273: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 15.1 Skema metabolisme Bilirubin pada janin, neonatus dan orang

Dewasa

Page 274: Buku Ajar Gastroenterologi

Keterangan :

R, membran carrier; GST, glutation S-transferase (ligandin); UDPG, uridin diphosphat glukose;

UDPGA, uridin diphosphat glukoronic acid; UDPNAG, uridin diphosphat N-asetyl glukosamin;

P, permease; UGT1A1, bilirubin glukoronosyltransferase; NDPase, nukleoside diphosphatase;

PPi, inorganik pyrophosphat, BDG/BMG, bilirubin di atau monoglukoronidase; cMOAT,

tansporter anion organik kanalikuler multispesifik; BG, bilirubin glukoronidase.

3. Konjugasi

Di dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat. Proses ini terjadi di

dalam retikulum endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam glukoronat adalah uridine

diphosphate glucoronic acid (UDP-GA). Hasil konjugasinya adalah ester dengan atau tanpa

rantai samping asam propionat pada cincin B dan C pirol bilirubin. Enzim yang

bertanggung jawab untuk esterifikasi ini adalah bilirubin uridine diphosphate

glucuronasyltransferase (BUGT). BUGT berbeda dari isoform glucuronosyltransferase

lainnya, yang mengkatalisis konjugasi tiroksin, steroid, asam empedu dan xenobiotik.

PRODUKSISISTEM RETIKULOENDOTHELIAL

PRODUKSI HEME

80% HEMOGLOBIN20% HEMOPROTEIN &

SISA ERITROPOESIS

PENGAMBILAN, KONJUGASI DAN SEKRESIHEPATOSIT

MEMBRAN

PLASMASITOSOL

RETIKULUM

ENDOPLASMASITOSOL

MEMBRAN

KANALIKULI

APIKAL

R-B

R

R

UDPG

UDPGA

UDPNAG

GST-B

GST

B

UDPGA

BG

B

UDP

U PPi

NDPase

UGT1A1

P

GST

GST-BG

cMOAT

cMOAT-BG

BILE

BDGBMG

DEKONJUGASI

INTESTINUM JANIN

& NEONATUS

PRODUKSI UROBILINOID

INTESTINUM DEWASA

β-Glucoronidase

Urobilin

+H+

UrobilinogenB

-H+BAKTERI

C. RAMOSUM

E. COLI

EKSKRESI

FESES

PENGAMBILAN MATERNAL

PLASENTA

Albumin

B-Albumin B

KONJUGASI MATERNAL, DLL

EKSKRESI TERAKHIR

Albumin

B-Albumin

REABSORBSI

SIRKULASI

HEME

BILIVERDIN

B

BILIRUBIN

REDUKTASE

HEMEOKSIGENASE

CO

+

Fe

E-Albumin

TRANSPOR

SIRKULASI

Page 275: Buku Ajar Gastroenterologi

BUGT terdapat di bagian lipid membran mikrosomal dan gangguan pada lemak ini, secara

in vitro mempengaruhi pengukuran aktivitas BUGT. Karena BUGT terdapat di bagian

dalam retikulum endoplasma, keberadaan enzim permease diduga untuk mempercepat

transport UDP-GA dari sitosol menyeberangi lapisan lemak retikulum endoplasma. Karena

kadar uridine diphosphate glucose lebih tinggi di dalam sitosol, diduga UDP-GA

merupakan donor konjugasi bilirubin. Uridine diphosphate N-asetil glukosamin dianggap

sebagai regulator alami BUGT karena secara in vitro, ia dapat meningkatkan aktivitas

BUGT 3x dengan mempengaruhi kecepatan transporter UDP-GA permease. Setelah terjadi

konjugasi dengan asam glukoronat, uridin difosfat dapat dikonversi menjadi uridin dan

pirofosfat anorganik oleh nukleosida difosfatase, yang juga terdapat di dalam retikulum

endoplasma dan mencegah terjadinya reaksi simpang. Isoform spesifik yang bertanggung

jawab untuk konjugasi bilirubin adalah UGT1A1 (nama dagang = HUG-Brl, EC.2.4.1.17),

yang merupakan bagian dari enzim uridine diphosphate glycosyltransferase, yang diikuti

kompleks gen UGT pada kromosom 2. Gen UGT, mengkode beberapa isoform, dan

memiliki struktur kompleks yang terdiri dari 4 ekson yang umum dan 13 ekson variabel

yang mengkode isoform yang berbeda-beda. Pada tahun 1997, paling sedikit 30 UGT, alelle

mutan yang berbeda-beda telah dianggap sebagai penyebab Sindroma Gilbert (GS) dan

Sindroma Crigler-Najjar I dan II. UGT1A1 mengkatalisis bilirubin monoglukuronidase dan

bilirubin diglukoronidase (Gb. 15.1). Sejumlah kecil bilirubin (15%) juga diekskresikan

bersamaan dengan sangat sedikit bilirubin tak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi

lainnya (misalnya glukosa, xilosa dan diester). Pada bayi, karena aktivitas UGT1A1 rendah,

empedu mengandung lebih sedikit bilirubin diglukoronida dan lebih banyak bilirubin

monoglukoronida daripada orang dewasa.1,3,4

4. Sekresi bilirubin terkonjugasi

Setelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi hepatosit

melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Data dari penelitian pada hati tikus

menunjukkan bahwa transport bilirubin diglukoronida melalui membran kanalikuli dengan

menggunakan karier, elektrogenik, dan distimulasi oleh HCO3. Data serupa juga

menunjukkan bahwa bilirubin glukoronida dibawa melewati membran kanalikuli baik oleh

ATP dan membran potensial, sistem tergantung transport. Transporter tergantung ATP

yang bertanggungjawab terhadap pasase bilirubin glukoronida dari hepatosit melalui

membran kanalikuli adalah transporter anion organik kanalikuli multispesifik (CMOAT),

yang merupakan transporter yang terikat ATP dan homolog dengan proterin 2 multidrug

resistance.

Sebelumnya, CMOAT dianggap sebagai transporter anion organik non-asam empedu,

pompa glutathione S-conjugate dan pompa leukotrien. Mutasi genetik yang mengubah ATP

binding cassette transporter ini termasuk penyakit cystic fibrosis, hiperinsulinemia,

adrenoleukodistrofi, multidrug resistance dan Sindroma Dubin-Johnson. Mekanisme ini

dapat dipenuhi dengan meningkatkan jumlah bilirubin dan bilirubin terkonjugasi. Banyak

anion organik lainnya (misalnya: BSP, ICG), juga menggunakan mekanisme ekskresi

membran kanalikuli yang sama. Infus BSP dan ICG secara simultan mengurangi ekskresi

maksimal bilirubin, demikian juga sebaliknya, mekanisme ekskresi kanalikuli untuk

bilirubin dan BSP berbeda dengan yang untuk garam empedu. Ekskresi bilier untuk

Page 276: Buku Ajar Gastroenterologi

bilirubin terkonjugasi dan BSP, berkurang pada pasien-pasien dengan sindroma Dubin-

Johnson walaupun ekskresi garam empedu tidak terpengaruh. Ekskresi garam empedu dan

bilirubin terkonjugasi oleh membran kanalikuli bukannya tidak terpengaruh sama sekali,

karena pemberian garam empedu meningkatkan ekskresi maksimal bilirubin terkonjugasi.

Efek serupa tampak pada pemberian fenobarbital. Sebaliknya, ekskresi maksimal bilirubin

terkonjugasi dapat berkurang pada pemberian zat-zat kolestatik, misalnya estrogen dan

steroid anabolik.

Dalam keadaan normal, ada bukti yang menunjukkan bahwa bilirubin terkonjugasi yang

seimbang menyeberangi membran sinusoid hepatosit, sehingga dalam sirkulasi dapat

ditemukan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi. Jika terjadi gangguan glukuronidase

hepatik bilirubin (misalnya pada neonatus), jumlah bilirubin terkonjugasi di dalam serum

berkurang. Data yang ada menunjukkan bahwa pada neonatus cukup bulan terdapat peningkatan kadar bilirubin dikonjugat dalam serum (0,55 ± 0,25% pada umur 2-4 hari,

sampai 1,62 ± 0,99% pada umur 9-13 hari), yang konsisten dengan maturasi glukuronidasi

bilirubin. Sebaliknya, pada bayi prematur dengan usia kehamilan kurang dari 33 minggu,

kadar bilirubin diconjugates-nya sangat rendah, yang menunjukkan adanya gangguan

maturasi proses glukoronidasi.

Dalam banyak keadaan patologis, bilirubin mono dan diglukuronida tidak diekskresi cukup

cepat dari hepatosit untuk mencegah refluks ke sirkulasi. Peningkatan kadar bilirubin

terkonjugasi serum menyebabkan transesterifikasi bilirubin glukuronida dengan kelompok

amino dalam albumin, menghasilkan ikatan kovalen antara albumin dan bilirubin. Produk

ini terbentuk secara spontan, dan dikenal sebagai bilirubin delta, atau bilirubin-albumin.

Reaksi nonenzimatik serupa juga ditemukan antara albumin dan beberapa obat. Bilirubin

delta tidak terbentuk pada hiperbilirubinemia kecuali jika terdapat peningkatan fraksi

bilirubin terkonjugasi. Baik bilirubin delta maupun bilirubin terkonjugasi bereaksi

langsung yang menjelaskan suatu keadaan yang telah lama membingungkan para klinikus.

Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena:

1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan

2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati

3. Defek konjugasi bilirubin

4. Penurunan ekskresi bilirubin

5. Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena prosuksi yang berlebihan dan

sekresi yang menurun

Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan

konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek. Penurunan ekskresi

bilirubin akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis,

sedangkan bila mekanismenya bersifat campuran, terjadi peningkatan bilirubin direk

maupun indirek.1,3,4

5. Sirkulasi enterohepatik

Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus (Gb. 15.1), ada beberapa kemungkinan

terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan

Page 277: Buku Ajar Gastroenterologi

menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan urobilinogen

(Gb. 15.4). Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya sejumlah

besar ikatan tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi dan oksidasi

dari ikatan-ikatan ini. Keluarga besar reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini dikenal sebagai

urobilinoid, diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling penting dalam peranannya

memproduksi urobilinoid adalah Clostridium ramosum, yang bekerja sama dengan

Escherichia coli. Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk

menghalangi absorpsi bilirubin di intestinal yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.

Neonatus hanya sedikit memiliki flora intestinal, sehingga lebih banyak mengabsorpsi

bilirubin dari intestinum. Perbedaan antara ekskresi pigmen empedu pada orang dewasa

dan pada neonatus, dibandingkan dalam Gb. 15.2 dan 15.3.

Di dalam intestinum, bilirubin terkonjugasi juga dapat bertindak sebagai substrat, baik untuk bakterial maupun untuk β-glukuronidase jaringan endogen. Enzim ini

menghidrolisis asam glukoronat dari bilirubin glukuronida. Bilirubin tak terkonjugasi yang

diproduksi, diabsorbsi lebih cepat dari intestinum.

Pada fetus, β-glukuronidase sudah terdeteksi pada usia kehamilan 12 minggu dan diyakini

mempunyai peranan penting dalam mempercepat absorpsi bilirubin intestinum, yang

memungkinkan bilirubin dikeluarkan melalui plasenta. Setelah lahir, peningkatan kadar β-

glukuronidase intestinal dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum. Kemampuan β-glukuronidase jaringan endogen untuk men-dekonjugasi bilirubin

glukuronida telah dibuktikan pada hewan-hewan yang steril. ASI dapat mengandung

banyak β-glukuronidase, dan hal ini sudah diduga merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan tingginya kadar jaundice pada bayi-bayi yang mendapat ASI.1,3,4

Page 278: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 15.2. Gambaran ekskresi

empedu pada orang dewasa,

dengan menggunakan Larutan

Khromatografi High Performance

Gambar 15.3. Gambaran ekskresi

empedu pada bayi baru lahir,

dengan menggunakan Larutan

Khromatografi High Performance

Page 279: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 15.4. Reduksi dan oksidasi bilirubin menjadi sebuah kelompok yang mempunyai

kesamaan komposisi yaitu urobilinoid.

Pe

nye

rap

an (

43

6 n

m)

Pe

nye

rap

an (

43

6 n

m)

Pe

nye

rap

an (

43

6 n

m)

Waktu retensi (mnt) Waktu retensi (mnt)

Page 280: Buku Ajar Gastroenterologi

6. Penilaian jaundice

Jaundice dan ikterus, keduanya menunjuk kepada keadaan diskolorasi kuning pada

jaringan (kulit, sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice

berasal dari bahasa Perancis: jaune, yang berarti kuning. Ikterus berasal dari bahasa

Yunani: ikteros. Jaundice merupakan tanda adanya hiperbilirubinemia (misalnya kadar

total bilirubin serum lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan; 1 mg/dl = 17 μM). Derajat

kuning berhubungan dengan kadar bilirubin serum dan jumlah deposisi bilirubin dalam

jaringan ekstravaskuler. Hiperkarotenemia dapat menyebabkan kulit berwarna kuning,

tetapi sklera akan tetap berwarna putih. Ada banyak keadaan yang berhubungan dengan

neonatal jaundice. Beberapa dari keadaan ini begitu umumnya sehingga disebut fisiologis.

Sebaliknya jaundice dapat merupakan tanda hemolisis, infeksi, ataupun gagal hati.

Pengukuran kadar total bilirubin serum menunjukkan beratnya jaundice. Pengukuran

semacam ini sangat sering dilakukan pada neonatus, dan ada penelitian yang menunjukkan

bahwa pengukuran ini dilakukan minimal satu kali dari 61% neonatus cukup bulan. Dua

komponen bilirubin total serum dapat diukur secara rutin di laboratorium klinik, yaitu

bilirubin terkonjugasi (disebut juga sebagai bilirubin direk, karena pada test van den

Bergh, pewarnaan dapat langsung terjadi tanpa penambahan metanol), dan bilirubin tak

terkonjugasi (yang disebut juga sebagai bilirubin indirek). Walaupun penggunaan kata

direk dan indirek sama dengan bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, tetapi sekarang

telah diketahui bahwa hal itu tidaklah benar-benar tepat, karena fraksi bilirubin direk

Page 281: Buku Ajar Gastroenterologi

terdiri dari baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin delta. Peningkatan kadar bilirubin

yang manapun dapat menimbulkan jaundice.

Metode laboratoris otomatis yang dulu digunakan untuk mengukur kadar bilirubin serum

telah direvisi dimana-mana. Prosedur Jendrassik-Grof merupakan metode terpilih untuk

mengukur bilirubin total, walaupun prosedur ini juga mempunyai masalah. Jika kadar total

bilirubin serum tinggi, fraksi direk yang sebenarnya tidak meningkat dapat tampak seolah-

olah meningkat.

Tiga metode yang lebih baru yang telah dikembangkan dapat menentukan macam-macam

fraksi bilirubin (tak terkonjugsi, monokonjugasi, dikonjugasi, dan bilirubin yang terikat

albumin atau bilirubin delta) dengan lebih akurat: yaitu dengan high performance liquid

chromatography (HPLC), multilayered slides dan bilirubin oksidase. Analisis HPLC

memang yang terbaik, tetapi terlalu mahal dan memerlukan waktu yang terlalu banyak

untuk laboratorium klinik. Analisis HPLC untuk serum bayi normal pada 4 hari pertama

kehidupan menunjukkan bahwa kadar bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi

meningkat secara paralel dengan fraksi terkonjugasi hanya 1,2-1,6% dari pigmen total (3,6%

pada orang dewasa). Walaupun kadar absolut bilirubin terkonjugasi 2-6 x lebih tinggi pada

neonatus, hanya 20% dari bilirubin terkonjugasi yang merupakan dikonjugasi. Data HPLC

yang sensitif ini konsisten dengan peningkatan produksi bilirubin dan defisiensi relatif

glukuronidasi yang ditemukan pada neonatus. Saat ini sudah tersedia teknik analisis

dengan multilayered slides otomatis yang sudah digunakan di beberapa laboratorium

klinis. Hal ini memungkinkan pengukuran fraksi bilirubin terkonjugasi dan tak

terkonjugasi spesifik tanpa pengaruh bilirubin delta. Pengukuran kadar bilirubin

terkonjugasi merupakan indikator dini kolestasis bilier dibanding bilirubin direk, karena

lamanya waktu paruh bilirubin delta. Analisis terbaru dan perbandingan metode bilirubin

oksidase dengan metode sebelumnya untuk menentukan bilirubin total serum

menyimpulkan bahwa penentuan kadar bilirubin total serum pada neonatus tidak dapat

menggunakan metode ini.

Masih ada perdebatan tentang keakuratan kadar bilirubin serum dari vena dibandingkan

kapiler. Maxele telah membuat literatur tentang kernikterus, fototerapi, dan exchange

transfusion berdasarkan pengukuran kadar bilirubin kapiler.

Metode noninvasif untuk mengukur kadar jaundice sudah diterapkan pada neonatus,

misalnya dengan menggunakan jaundicemeter yang memakai reflectance

spectrophotometry untuk mengukur warna kulit. Jaundicemeter diletakkan di kulit dengan perlahan-lahan, dan memberikan hasil berupa “indeks jaundice”. Sejumlah penelitian

sudah menunjukkan korelasi yang tinggi (r>0,9) antara indeks jaundice dan kadar bilirubin

serum. Di pasaran, jaundicemeter sudah dijual dengan beberapa variasi interinstrumen

untuk pengukuran berulang. Lebih jauh lagi, dalam suatu penelitian telah tampak bahwa

baik indeks jaundice pada usia 24 jam, dan ratio peningkatan indeks jaundice selama 24

jam pertama perkilogram berat badan, berguna untuk memperkirakan timbulnya

hiperbilirubinemia. Jaundicemeter telah dianjurkan sebagai sarana skrining yang berguna.

Sebagai tambahan, beberapa orang menyatakan bahwa warna kuning pada kulit merupakan

indikator risiko yang lebih baik untuk menilai kerusakan otak akibat bilirubin dibandingkan

kadar bilirubin serum. Metode yang lebih manual untuk menilai jaundice adalah dengan

Page 282: Buku Ajar Gastroenterologi

menggunakan plexiglas color chart yang ditekan ke hidung bayi, ternyata berguna dan

lebih murah daripada jaundicemeter dalam penilaian jaundice. Saat ini telah

dikembangkan metode noninvasif yang lebih baru, yang dapat membaca bilirubin serum

dalam satuan miligram perdesiliter dan efektif terhadap semua warna kulit dan usia

kehamilan.1,3,4

Neonatal Jaundice

Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan timbul

segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin

dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami peningkatan

kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya kadar bilirubin serum, kulit menjadi

lebih jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak

ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki. Kramer menemukan kadar bilirubin indirek

serum sebagai perkembangan jaundice, kepala dan leher = 4-8 mg/dl, tubuh sebelah atas = 5-12

mg/dl, tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl, lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl,

telapak tangan dan telapak kaki jika >15 mg/dl, walaupun demikian jika kadar bilirubin >15

mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara terbaik untuk melihat jaundice adalah dengan menekan

kulit secara hati-hati dengan jari dibawah penerangan yang cukup. Setidaknya 1/3 bayi akan

tampak jaundice. Kombinasi analisis pada beberapa penelitian besar yang melibatkan ribuan

bayi berusia 1 minggu menunjukan bahwa moderate jaundice (kadar bilirubin <12 mg/dl)

tampak pada sekitar 12% bayi-bayi yang mendapatkan ASI dan 4% bayi yang mendapat PASI,

severe jaundice (kadar bilirubin >15 mg/dl) tampak pada 2% bayi yang mendapatkan ASI dan

0,3% bayi yang mendapat PASI.

Terjadi pergeseran dimana lama rawat ibu setelah melahirkan lebih singkat. Dua dekade

yang lalu, para ibu dan bayi dirawat di rumah sakit lebih dari 1 minggu setelah kelahiran normal

tanpa komplikasi selama perawatan. Selama di rumah sakit, jaundice dinilai setiap hari oleh

para dokter dan perawat sehingga dapat didiagnosis dan diterapi, sesuai dengan kegawatan

tingginya kadar bilirubin baru-baru ini, dengan kenaikan biaya kesehatan yang begitu tinggi dan

adanya organisasi pelayanan kesehatan untuk mengurangi biaya ini, lama perawatan menjadi 2

hari untuk kelahiran spontan dan 4 malam untuk kelahiran secara sectio caesaria. Banyak

orang yakin bahwa dalam dekade berikutnya, lama perawatan akan menjadi 6-12 jam setelah

melahirkan. Pada beberapa penelitian besar ditemukan bahwa bayi-bayi yang terlalu cepat

dibawa pulang (<30 jam) berisiko tinggi untuk dirawat kembali di rumah sakit karena jaundice

yang timbul dalam 1 bulan pertama.2,5

Bayi yang baru lahir yang segara dibawa pulang, di rumah mengalami

hiperbilirubinemia (30-40 mg/dl) dan menjadi kernikterus. Walaupun ASI hari pertama post

partum memiliki keuntungan-keuntungan, salah satu kerugian adalah risiko yang berhubungan

dengan diagnosis severe hiperbilirubinemia yang terlambat. The American Academy of

Pediatrics telah merekomendasikan bahwa bayi-bayi yang dibawa pulang sebelum berumur 48

jam, perlu difollow up dalam 48 jam setelah pulang. Banyak dokter yang tidak mengikuti

rekomendasi ini walaupun pengaruh serius rawat inap yang singkat berpengaruh pada jaundice

neonatus. Jaundice dapat disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin, penurunan ekskresi

Page 283: Buku Ajar Gastroenterologi

bilirubin, atau kombinasi mekanisme ini. Gb. 15.5 menampilkan satu pendekatan klinik untuk

menilai diagnosis ini. Pendekatan lain pun telah dipublikasikan. Walaupun Newman dan

kawan-kawan menemukan bahwa perolehan pengukuran bilirubin direk jarang menolong

karena spesifisitasnya rendah, lainnya menganjurkannya. Pengukuran kadar bilirubin

terkonjugasi dini sebagai uji skrining populasi yang dapat menegakkan diagnosis dini penyakit

hati pada neonatus. Buyhani dan kawan-kawan menganjurkan pengukuran bilirubin universal

untuk mengidentifikasi bayi-bayi yang berisiko menderita severe hiperbilirubinemia sebagai

dasar untuk pengukuran kadar bilirubin total serum spesifik sebelum bayi dibawa pulang.

Walaupun ada banyak penyebab neonatal jaundice, tetapi masih ada penyebab yang tidak

dapat diidentifikasi pada ½ dari 447 bayi yang dievaluasi selama penelitian ini.

Batasan jaundice fisiologis telah digunakan untuk menerangkan jaundice yang sering

ditemukan pada neonatus yang betul-betul normal. Tetapi jaundice fisiologis merupakan hasil

dari beberapa faktor termasuk peningkatan produksi bilirubin dan penurunan ekskresinya.

Jaundice harus dianggap sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis.

Karakteristik spesifik neonatal jaundice harus dianggap tidak normal sampai terbukti

sebaliknya, termasuk yang timbul sebelum usia 36 jam, persisten selama 10 hari, berhubungan

dengan kadar bilirubin serum >12 mg/dl dalam waktu kapanpun, dan peningkatan fraksi

bilirubin direk (>2mg/dl atau 30% dari bilirubin serum total), dalam waktu kapanpun.5,6

Page 284: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 15.5. Pendekatan klinis ikterus neonatus

IKTERUS NEONATUS DI BAWAH UMBILIKUS

TOTAL BILIRUBIN

IKTERUS PATOLOGIS IKTERUS FISIOLOGIS

BILIRUBIN DIREK

HIPERBILIRUBINEMIA DIREK HIPERBILIRUBINEMIA INDIREK

CARI PENYEBAB DI SKRINING PENYAKIT HEMOLITIK

TEKSBOOK DAN EVALUASI PADA BAYI BARU LAHIR

(COOMB’S TEST, GOL DARAH)

COOMB’S TES NEGATIF COOMB’S TES POSITIF

HEMOGLOBIN ATAU HEMATOKRIT

RENDAH ATAU NORMAL TINGGI

OBSERVASI

PERTIMBANGKAN PERIKSA ULANG

BILIRUBIN TOTAL

DX : ISOIMMUNISASI

- Rh

- ABO

- KELL, dll

Page 285: Buku Ajar Gastroenterologi

ANGKA RETIKULOSIT

DX : POLISITEMIA

- TRANSFUSI MATERNAL-FETAL

- TWIN-TWIN TRANSFUSI

- KETERLAMBATAN KLEM TALI PUSAT

- HIPOKSIA INTRAUTERIN

- TINGGAL DI TEMPAT TINGGI

- PENYAKIT IBU (misal, DM)

- KECIL MASA KEHAMILAN

NORMAL MORFOLOGI SEL DARAH MERAH TINGGI

DX : - PERDARAHAN EKTRAVASKULER

DI JARINGAN TUBUH

- KENAIKKAN SIRKULASI

ENTERO HEPATAL ABNORMAL

- GANGGUAN METABOLIK

- PENGARUH HORMON ATAU

OBAT-OBATAN

TIDAK SPESIFIK DIAGNOSTIK

DX : - ABNORMALITAS ERITROSIT DX : - SFEROSITOSIS

- HEMOGLOBINOPATI - ELLIPTOSITOSIS

Page 286: Buku Ajar Gastroenterologi

- DEFISIENSI ENZIM - STOMATOSITOSIS

- HEMOLISIS - PIKNOSITOSIS

- DIC

Ada sejumlah faktor epidemiologis yang berhubungan dengan neonatal jaundice yang

telah diulas. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin neonatus

adalah jenis kelamin laki-laki, berat lahir rendah, prematuritas, etnis tertentu (Oriental, Indian

Amerika, Yunani), obat-obatan pada ibu (misalnya oksitosin. Prometasin, obat yang

mengandung Hidroklorida, ketuban pecah dini, penurunan berat badan setelah lahir yang

cepat, keterlambatan pasase mekonium, pemberian ASI dan infeksi neonatus. Proses kelahiran

dengan ekstraksi vakum meningkatkan resiko sefalhematom dan neonatal jaundice. Data yang

ada menunjukan bahwa pankuronium berhubungan dengan peningkatan risiko

hiperbilirubinemia. Ada hubungan yang jelas antara kadar bilirubin serum tali pusat dengan

hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin ibu saat melahirkan dan gradien bilirubin transplasenta

juga mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi bilirubin serum neonatus. Faktor lain yang

berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin neonatus, termasuk ibu perokok, ras kulit

hitam dan obat-obat tertentu yang diberikan kepada ibu (termasuk fenobarbital).2,5,6

1. Peningkatan produksi bilirubin

Penyebab tersering jaundice dini adalah inkompabilitas golongan darah fetus - ibu dengan

akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi

maternal. Eritrosit fetus membawa antigen yang berbeda yang dikenal sebagai benda asing

oleh sistem imun ibu yang membentuk antibodi untuk melawannya (sensitisasi ibu).

Antibodi ini (IgG) melewati barier plasenta ke dalam sirkulasi fetal dan terikat ke eritrosit

fetal. Pada inkompatibilitas Rh, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis

antibodi mengambil tempat dalam sistem retikuloendothelial fetus. Pada inkompabilitas

ABO, hemolisis terjadi intravaskular, complement-mediated dan biasanya tidak seberat

pada Rh disease, (misalnya Kell). Walaupun hemolisis berkaitan dengan peningkatan kadar

bilirubin tak terkonjugasi, fraksi bilirubin terkonjugasi juga dapat meningkat.

Inkompabilitas Rh biasanya baru muncul pada kehamilan kedua. Pemeriksaan golongan

darah sebelum kelahiran dan serial testing ibu-ibu dengan Rh negatif untuk pemeriksaan

antibodi Rh memberikan informasi penting sebagai pedoman penanganan intrauterin. Jika

antibodi Rh ibu timbul selama kehamilan, pengukuran-pengukuran yang dapat membantu

termasuk amniosintesis serial (dengan pengukuran bilirubin), USG fetus, tranfusi

intrauterin dan partus prematurus. Terapi profilaksis anti-D γ-globulin merupakan yang

paling membantu untuk mencegah sensitisasi Rh. Bayi yang baru lahir dengan

inkompabilitas Rh, tampak pucat, hepatosplenomegali dan cepat menjadi jaundice dalam

umur beberapa jam. Jika masalahnya berat, bayi dapat lahir dengan edema generalisata

(hidrops fetalis). Hasil pemeriksaan laboratoriumnya adalah retikulositosis, anemia,

Coombs’s test (+) dan peningkatan kadar bilirubin serum yang cepat. Exchange

transfusions merupakan terapi penting untuk bayi-bayi dengan kasus berat.

Inkompabilitas ABO biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic disease

terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan golongan

Page 287: Buku Ajar Gastroenterologi

darah O. ABO hemolytic disease jarang timbul pada ibu dengan golongan darah A atau B.

Jaundice yang timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum >12 mg/dl

pada umur 3 hari adalah tipikal. Abnormalitas laboratorium termasuk retikulositosis

(>10%) dan Coombs’s test yang (+) lemah, walaupun kadang-kadang (-). Antibodi anti A

dan anti B dapat tampak pada serum sang bayi jika diperiksa pada umur beberapa hari

sebelum antibodi ini menghilang dengan cepat, sferositosis merupakan gambaran tersering

yang ditemukan pada sediaan apus darah tepi dari inkompabilitas ABO.

Darah ekstravaskular di dalam tubuh dapat dimetabolisme dengan cepat menjadi bilirubin

oleh makrofag jaringan. Contoh peningkatan produksi bilirubin termasuk sefal hematom,

ekimosis, petechie dan hemorhagis, walaupun diagnosisnya seringkali dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan fisik. Perdarahan intrakranial, intestinal maupun pulmonal juga dapat

menyebabkan hiperbilirubinemia. Hal yang serupa juga terjadi jika darah tertelan, yang

akan dikonversi menjadi bilirubin oleh heme-oksigenase epitel intestinum. Tes Apt dapat

digunakan untuk membedakan darah ibu atau darah fetus karena adanya perbedaan

resistensi alkali antara Hb fetus dengan Hb orang dewasa.

Polisitemia dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, karena peningkatan jumlah sel darah

merah absolut menyebabkan peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan eritrosit

dengan kecepatan normal. Beberapa mekanisme dapat menyebabkan polisitemia neonatus

(yang biasanya didefinisikan sebagai PCV >65%), seperti yang diulas oleh Danish. Selama

pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi perdarahan dari sirkulasi maternal

kedalam sirkulasi fetal (maternal-fetal transfusion) atau karena keterlambatan penjepitan

tali pusat. Twin-to-twin transfusion juga dapat menyebabkan polisitemia. Serupa juga

hipoksia intrauterine dan penyakit-penyakit pada ibu seperti diabetes melitus dapat

menyebabkan polisitemia neonatus. Terapi untuk polisitemia simtomatik adalah partial

exchange-tranfusion, sedangkan untuk terapi polisitemia yang asimtomatik masih

kontroversial.

Jumlah abnormalitas spesifik yang berhubungan dengan eritrosit dapat menyebabkan

neonatal jaundice, termasuk hemoglobinopati, defek membrane eritrosit dan enzim.

Sferositosis herediter bukan merupakan masalah neonatal, tetapi krisis hemolitik dapat

timbul dan tampak sebagai peningkatan kadar bilirubin dan penurunan hematokrit.

Adanya riwayat keluarga dengan sferositosis, anemia atau penyakit batu empedu pada usia

<40 tahun, membantu menegakkan diagnosis ini. Karakteristik sferositosis yang tampak

pada apusan darah tepi tidak mungkin dapat dibedakan dari yang terjadi pada hemolitik

ABO. Anemia hemolitik lainnya yang berhubungan dengan neonatal jaundice termasuk

hemolisis akibat obat-obatan, defisiensi enzim-enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase, dll) dan hemolisis yang diinduksi oleh vitamin A dan bakteri. Talasemia α dapat

mengakibatkan hemolisis berat dan hidrops fetalis letal. Talasemia α juga dapat tampak

sebagai hemolisis dan hiperbilirubin neonatal berat.

Ovalositosis pada orang-orang Asia Tengggara berhubungan dengan hiperbilirubinemia

berat. Obat-obatan atau zat dapat melewati plasenta ke dalam fetus atau melalui ASI.

Induksi partus dengan oksitosin tampak berhubungan dengan neonatal jaundice. Ada

hubungan yang signifikan antara hiponatremia dan jaundice pada bayi atau ibu yang

mendapatkan oksitosin untuk induksi partus. Efek vasopressin like - action dan oksitosin

Page 288: Buku Ajar Gastroenterologi

memacu transport elektrolit dan air seperti pembengkakan eritrosit dan peningkatan

fragilitas osmotik dan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Pemberian steroid pada

permulaan pemberian oksitosin dan 4 jam berikutnya dapat mencegah hiperbilirubinemia

ini.2,5,6

2. Penurunan ekskresi bilirubin

Peningkatan bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik diyakini merupakan hal yang penting

pada neonatal jaundice. Neonatal berisiko untuk mengabsorpsi bilirubin intestinal karena

empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga

lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase

dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang

mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora intestinal

untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid dan mekonium, intestinal

mengandung akumulasi selama kehamilan, mengandung bilirubin dalam jumlah yang

signifikan. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (misalnya penyakit

Hirschsprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan

hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium tampak berhubungan dengan kadar bilirubin

serum yang lebih rendah. Hal ini dapat dipicu dengan pengukuran-pengukuran suhu rektal

selama periode neonatal. Sirkulasi enterohepatik bilirubin dapat dihambat dengan

pemberian secara parenteral zat-zat yang mengikat bilirubin seperti agar, charcoal, dan

kolestiramin.

Pemberian ASI telah diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan neonatal

jaundice. Bayi-bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi

dibandingkan bayi-bayi yang mendapat susu formula. Pada usia 5 hari hiperbilirubinemia

tak terkonjugasi ini dapat bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Jaundice selama minggu pertama kehidupan sering dideskripsikan sebagai breast-feeding

jaundice untuk membedakan dari breast-milk jaundice yang berhubungan dengan

kurangnya intake ASI. Mungkin ada overlapping antara keadaan-keadaan ini dan jaundice

fisiologis. Laporan terbaru yang menghubungkan breast-milk-jaundice dan neonatal

jaundice dengan steroid-pregnane 3,20-diol dalam sampel susu belum terbukti dari

penelitian terbaru dengan sampel yang lebih besar dan metode yang lebih sensitif. Diduga

sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu dengan glukoronidase atau zat lain di dalam

ASI, yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase

hepatik. Faktor lain yang mungkin berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat

ASI antara lain intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase

mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil tranferase oleh suatu faktor

dalam susu yang tidak dapat diidentifikasi. Lascari menyatakan bahwa bayi sehat yang

mendapat ASI dengan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi, mempunyai kadar Hb,

retikulosit dan apusan darah yang normal, tanpa inkompabilitas golongan darah dan tanpa

kelainan lain pada pemeriksaan fisik, dianggap mengalami early breast-feeding jaundice.

Karena tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa breast-

milk jaundice, maka penting untuk menyingkirkan penyebab-penyebab jaundice yang

dapat diobati sebelum menghubungkan hiperbilirubinemia dengan ASI. Beberapa bayi

dengan breast-milk jaundice menunjukan peningkatan kadar asam empedu, menandakan

Page 289: Buku Ajar Gastroenterologi

adanya disfungsi hati ringan atau kolestasis walaupun pada umumnya ini bukanlah

masalah. Marsele dan Gifford menyarankan untuk menunggu sampai kadar bilirubin serum

mencapai 15 mg/dl sebelum evaluasi pada bayi sehat yang mendapat ASI. Beberapa inborn

error of metabolism dapat tampak sebagai neonatal hiperbilirubina, mungkin yang lebih

impresif adalah sindroma Crigler-Najjar atau jaundice nonhemolitik kongenital, yang

ditandai dengan defisiensi bilirubin glukoronil transferase hepatik herediter. Tanpa

kemampuan mengkonjugasi dan mengikat bilirubin, bayi-bayi ini akan tampak jaundice

dalam usia beberapa hari walaupun tes fungsi hatinya normal, jika tidak diterapi kadar

bilirubin serum dapat mencapai 25-35 mg/dl, dan berisiko untuk menjadi kernikterus. Ada

3 tipe Sindroma Crigler- Najjar. Tipe I dan II dibedakan dengan terapi fenobarbital, tipe I

tidak memberikan respon terhadap terapi ini dan tidak terdapat jumlah bilirubin yang

terkonjugasi yang signifikan di dalam empedu. Pasien-pasien tipe I membutuhkan terapi

seumur hidup dengan fototerapi nokturnal dan pencegahan sirkulasi enterohepatik. Pada

tipe II atau sindrom Arias, fenobarbital menyebabkan ekskresi bilirubin mono dan

diglukoronida. Walaupun hal ini berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum,

jaundice tetap ada secara signifikan ( 15 mg/dl) yang akhir-akhir ini disebut tipe III, tidak

seperti tipe I dalam hal tidak ada ekskresi bilirubin glukoronida, tetapi pasien-pasien tipe II

mengekskresi bilirubin mono dan diglukoronida terkonjugasi. Walaupun tidak separah

Sindroma Crigler-Najjar, GS juga berhubungan dengan meningkatnya neonatal jaundice.

Beberapa hormon dapat menyebabkan timbulnya hiperbilirubinemia neonatal tak

terkonjugasi, pasien-pasien dengan hipotiroidisme kongenital dapat mempunyai kadar

bilirubin serum >12 mg/dl. Prolonged jaundice tampak pada sepertiga bayi dengan

hipotiroidisme kongenital; serupa juga dengan itu, hipopituitarisme dan anensefali

berhubungan dengan jaundice akibat tiroksin yang tidak adekuat, yang diperlukan untuk

klirens bilirubin hepatik.

Obat-obatan tertentu berpengaruh terhadap metabolisme bilirubin dan menyebabkan

hiperbilirubinemia atau pergeseran bilirubin dari albumin. Penempatan ini meningkatkan

risiko kernikterus dan dapat disebabkan oleh sulfonamid, moxalactam, dan seftriakson.

Pankuronium bromida dan kloralhidrat dikatakan merupakan penyebab neonatal

hiperbilirubinemia. Bayi dari ibu diabetes berisiko mempunyai kadar bilirubin yang lebih

tinggi dan mempunyai risiko hiperbilirubinemia yang lebih tinggi dibandingkan neonatus

normal. Pasien-pasien ini menunjukan korelasi yang yang positif antara bilirubin total dan

hematokrit yang menandakan polisitemia. Alasan potensial lain untuk hiperbilirubinemia

termasuk prematuritas, defisiensi glukoronidase (akibat hipoglikemia) dan perfusi hati

yang buruk (baik akibat distress pernafasan, sirkulasi fetal persisten, maupun

kardiomiopati).

Sindroma Lucey-Driscoll ditandai dengan adanya riwayat neonatal hiperbilirubinemia

dalam keluarga, dimana ada hambatan in vitro glukoronil transferase baik oleh serum ibu

maupun bayi. Dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh hormon-hormon kehamilan.

Seringkali prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada

masa neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas menurun pada

bayi prematur atau naik sejak usia kehamilan 30 minggu sampai mencapai kadar dewasa

pada 14 minggu setelah lahir. Sebagai tambahan, mungkin ada defisiensi uptake maupun

Page 290: Buku Ajar Gastroenterologi

sekresi. Klirens bilirubin meningkat cepat setelah lahir. Hipoperfusi hati dapat

menyebabkan neonatal jaundice. Perfusi hati yang inadekuat dapat mengganggu uptake

dan metabolisme bilirubin hepatosit. Penyebabnya dapat berupa duktus venosus paten

(misalnya dengan sindroma distres pernafasan), gagal jantung kongestif dan trombosis

vena porta penyakit-penyakit hati spesifik juga dapat menyebabkan neonatal jaundice.2,5,6

3. Peningkatan produksi dan penurunan sekresi bilirubin

Pada penyakit-penyakit neonatus dengan jaundice akibat peningkatan produksi dan

penurunan ekskresi bilirubin, baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin tak terkonjugasi

dapat meningkat. Sepsis bakterialis meningkatkan produksi bilirubin dengan meyebabkan

hemolisis eritrosit akibat hemolisis yang dihasilkan oleh kuman.2

4. Toksisitas neonatal jaundice

Kernikterus (kern = nucleus, icterus = kuning) merupakan temuan neuropatologis yang

berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi berat dan dinamakan demikian

karena timbulnya warna kuning pada beberapa tempat di otak, misalnya ganglia basalis,

cerebelum, dan nuclei di dasar ventrikel ke IV. Manifestasi klinis yang berhubungan

dengan kernikterus disebut bilirubin ensefalopati, termasuk gangguan refleks Moro,

opistotonus, hipotonia, vomitus, high-pitch cry, hiperpireksia, kejang, setting sun sign,

krisis okulogirik, dan kematian. Manifestasi jangka panjang berupa spastisitas,

koreoatetosis, dan tuli sensorineural. Bentuk ringan bilirubin ensefalopati termasuk

disfungsi kognitif dan gangguan belajar. Pada anak laki-laki 17 tahun mempunyai risiko

IQ<85 lebih tinggi pada mereka yang sewaktu bayinya adalah bayi cukup bulan yang kadar

bilirubinnya >20 mg/dl. Walaupun periode neonatal merupakan waktu paling sering

timbulnya kerusakan otak akibat bilirubin, efek neurotoksisitas bilirubin juga tampak pada

sindroma Crigler-Najjar tipe I.

Kadar absolut bilirubin serum bukanlah prediktor yang baik untuk menentukan risiko

severe neonatal jaundice. Tetapi sudah lama diketahui bahwa kernikterus berhubungan

dengan keadaan bilirubin >30 mg/dl dan jarang terjadi jika <20 mg/dl. Pada suatu

penelitian, 90% pasien yang mempunyai kadar bilirubin >35 mg/dl akan meninggal,

menjadi cerebral palsy atau retardasi fisik. Sebaliknya tidak ada retardasi perkembangan

yang ditemukan pada 129 orang bayi dengan kadar bilirubin <20 mg/dl. Kadar albumin

merupakan variabel yang penting karena afinitasnya yang tinggi dengan bilirubin. Obat-

obatan dan anion organik juga mengikat albumin dan dapat menggeser bilirubin, sehingga

meningkatkan kadar bilirubin bebas yang dapat berdifusi ke dalam sel dan menyebabkan

toksisitas. Contoh yang paling sering dalam hal ini adalah kernikterus yang muncul dengan

kadar bilirubin yang rendah jika pada bayi-bayi prematur diberikan sulfisoksazol. Bilirubin

yang dipicu oleh obat merupakan risiko ensefalopati bilirubin pada bayi cukup bulan

apabila kadar bilirubin meningkat >20 mg/dl, walaupun demikian bilirubin total serum

bukan merupakan faktor terpenting yang berhubungan dengan risiko. Saat ini ada beberapa

pemeriksaan ( saturasi albumin, kapasitas ikat bilirubin atau bilirubin bebas) yang lebih

membantu dalam mengidentifikasi bayi-bayi yang berisiko untuk terkena bilirubin

Page 291: Buku Ajar Gastroenterologi

ensefalopati. Pendekatan lain bertujuan untuk mengukur perubahan–perubahan dini pada

SSP yang disebabkan oleh bilirubin bisa dinilai dengan brainstem auditory evoked

potentials (BAEPs). Abnormalitas pada BAEP akan tampak pada bayi dengan jaundice dan

akan membaik setelah exchange transfusion. Data menunjukan bahwa hiperbilirubinemia

derajat sedang (SD = 14,3 2,8 mg/dl) mempengaruhi BAEPs. Tampak gambaran

komponen spesifik Brazelton Neonatal Behavioral Assessment Scale, dan karakteristik

tangisan. Data dari penelitian pada tikus Gunn menunjukkan bahwa perbedaan gelombang

binaural (perbedaan antara 2 monoaural gelombang BAEP dan binaural BAEP) merupakan

metode yang sensitif untuk mendeteksi toksisitas bilirubin. Evoked potential

somatosensoris yang melalui ganglia basalis, suatu tempat yang sering terpengaruh

kernikterus, juga menunjukan abnormalitas pada jaundice dan dianggap sebagai cara lain

untuk mengawasi pengaruh bilirubin pada SSP. Tetapi, saat ini baik BAEP maupun evoked

potential somatosensoris bukan merupakan pengukuran rutin untuk menilai potensi

toksisitas bilirubin.

5. Penanganan jaundice neonatorum

Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah sakit

pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah

menentukan penyebabnya. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan fraksi bilirubin tak

terkonjugasi dalam serum dapat menyebabkan kernikterus seperti yang telah dibahas

sebelumnya. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-langkah penanganan

harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat yang mengikat albumin dan menggeser

bilirubin sehingga menyebabkan kernikterus. Walupun sudah diketahui bahwa sulfonamid

merupakan zat yang paling dapat menggeser bilirubin, obat-obat yang lebih baru misalnya

seftriakson juga kuat menggeser bilirubin, sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin

ensefalopati. Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara

lain fototerapi, exchange tranfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.

Pilihan-pilihan terapi ini masih terus diteliti.

Fototerapi terdiri dari radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang berasal dari

lampu akan merubah struktur molekul bilirubin dengan dua cara sehingga bilirubin

diekskresi ke empedu atau urin tanpa membutuhkan glukuronidase hepatik seperti

biasanya. Perubahan rotasi 18 di sekitar ikatan rangkap antara cincin A-B atau C-D,

merubah konfigurasi Z yang normal menjadi konfigurasi E 4Z,15 E. Bilirubin di-re-

isomerisasi secara spontan menjadi bilirubin alami, lebih penting lagi struktur cincin

ketujuh dapat dibentuk antara cincin A dan B dan menghasilkan hemirubin dan

siklobilirubin. Sekarang terlihat bahwa pembentukan hemirubin terjadi melalui

intermediate isomer 4E,15Z; kedua perubahan mempengaruhi ikatan hidrogen internal

dalam bilirubin alami, dengan menambahkan kelompok asam propionat akan menjadi

isomer E yang lebih polar dan hemirubin dapat langsung diekskresi ke dalam empedu.

Tampaknya, hemirubin merupakan cara utama eliminasi bilirubin dengan fototerapi.

Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus (atau biru super,

tapi bukan biru biasa) tampaknya lebih baik dari sinar putih atau hijau, walaupun warna

putih lebih tidak mengganggu terhadap paramedis. Saat ini sudah tersedia fototerapi baru

menggunakan woven fiberoptic pads, yang efektif (dibandingkan dengan foto

konvensional) dan aman. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah supaya

Page 292: Buku Ajar Gastroenterologi

bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Saat ini fototerapi

banyak dilakukan di rumah, suatu praktek yang dianjurkan oleh American Academy of

Pediatrics. Selain komplikasi yang telah diketahui, fototerapi sudah digunakan secara luas

dan secara umum dianggap aman. Walaupun fototerapi memang mempengaruhi cardiac

output dan aliran darah ke organ lain (misalnya, meningkatkan aliran darah ke otak), dan

dapat dihubungkan dengan pembukaan duktus arteriosus, efek ini secara umum bukanlah

masalah pada bayi yang ekstrim prematur (berat badan lahir kurang dari 800 gram).

Prolonged fototherapy dan rendahnya kadar bilirubin serum (9,4 mg/dl) dikatakan

berhubungan dengan kebutaan. Hal ini dapat berkaitan dengan efek langsung sinar pada

mata imatur yang tidak dilindungi atau penurunan proteksi antioksidan akibat rendahnya

kadar biliribin serum. Fototerapi sebaiknya tidak dilakukan tanpa sebelumnya dilakukan

evaluasi diagnostik penyebab jaundice. Walaupun sudah dianjurkan agar posisi bayi diubah

tiap 6 jam selama mendapat fototerapi, tetapi ada data dari suatu penelitian bahwa

perubahan posisi tidak berpengaruh terhadap kadar bilirubin serum. Suatu penelitian yang

melibatkan 164 bayi (beberapa di antaranya dengan jaundice hemolitik) yang mendapat

fototerapi selama 121 jam tidak mengalami rebound hyperbilirubinemia. Hal serupa juga

juga didapatkan pada 163 bayi matur dengan jaundice nonhemolitik yang mendapat

fototerapi selama 54-65 jam. Bayi-bayi sehat cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika

kadar bilirubin serum sudah < 14-15 mg/dL, sehingga bayi dapat dipulangkan tanpa perlu

mengamati “rebound”.

Exchange tranfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi bilirubin

serum. Indikasi exchange tranfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya

anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum. Pada penyakit hemolitik neonatal,

indikasi tranfusi antara lain adalah anemia (hematokrit <45%), direct Coombs’s test (+),

dan kadar bilirubin darah umbilikus >4 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1

mg/dl/jam selama lebih dari 6 jam, anemia progresif dan kecepatan peningkatan kadar

bilirubin serum >0,5 mg/dl/jam. Kadang-kadang exchange tranfusion untuk kasus

hemolisis dapat dihindari dengan menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi.

Indikasi exchange tranfusion atas hiperbilirubinemia sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15

mg/dl selama lebih dari 48 jam, (2) indeks saturasi salisilat >8,0 dan HABA binding <50%

pada 2x pengambilan berjarak 4 jam, (3) rasio kadar bilirubin total serum (mg/dl)

dibanding kadar protein total serum (g/dl) >3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum

dibanding kadar protein total serum >0,7. Walaupun banyak risiko exchange tranfusion

yang telah dijabarkan, angka mortalitasnya masih rendah (<0,6%) jika dilakukan dengan

benar.

Ada sejumlah pendekatan farmakologis untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia

neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian parenteral. Zat-zat

yang dapat mengikat bilirubin dalam intestinum dan mencegah resorbsi zat-zat ini antara

lain adalah agar, kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat. Mungkin akan terjadi

peningkatan peristaltik usus sebagai suatu upaya untuk mempersingkat waktu absorbsi

bilirubin. Pemberian makanan yanng sering dan stimulasi rektal berhubungan dengan

penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian bilirubin oksidase parenteral, suatu enzim

yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan produk lainnya, merupakan cara

Page 293: Buku Ajar Gastroenterologi

lain untuk menghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai saat ini masih diuji coba.

Pendekatan eksperimental lain menggunakan bilirubin oksidase intravena.

Karena aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa

induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini pada

neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada ibu

sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram)

memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar

bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi. Pada periode pasca

natal, penggunaan fenobarbital pada neonatus juga mempunyai efek penurunan bilirubin

yang sama. Klofibrat sebagai terapi farmakologi yang sederhana dan non toksik. Yang dapat

menginduksi BUGT , di Perancis digunakan untuk mencegah dan mengobati neonatal

jaundice.

Optimisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar bilirubin

meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan interval 2

jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya 8-10x per 24 jam. Ada

hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi

hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi

akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi

bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi

pasase mekonium. Kadar bilirubin serum berapa yang memerlukan penghentian ASI masih

kontroversial antara 14-20 mg/dl. Jika pemberian ASI dihentikan, pemberian PASI dapat

dimulai selama 24-48 jam, atau ASI dan PASI diberikan selang seling. Belum ada penelitian

yang menunjukan efektivitas dari segi biaya tentang susu formula dan efeknya untuk

menurunkan jaundice, walaupun dua penelitian yang terpisah menunjukan bahwa bayi-

bayi yang hanya diberi susu formula dengan hidrolisat kasein akan mengalami jaundice

yang lebih ringan dibanding bayi yang mendapat susu formula biasa. Pemberian ASI yang

dipanaskan juga dikatakan dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penurunan kadar

bilirubin serum 2-5 mg/dl sesuai dengan diagnosis breast-milk jaundice. Jadi pemberian

ASI dapat dilanjutkan, karena walaupun kadar bilirubin serum dapat meningkat selama

beberapa hari, tetapi akan turun lagi secara bertahap. Jika pemberian ASI dilanjutkan lagi,

penting untuk memberikan ASI dengan menggunakan pompa payudara. Pada suatu

penelitian, penghentian ASI selama 50 jam (selama pemberian susu formula) tampak

mempunyai efek penurunan bilirubin yang sesuai dengan pemberian fototerapi.

Penghentian ASI selama 24-48 jam berhasil menurunkan kadar bilirubin serum dan

menurunkan kebutuhan fototerapi pada 81-87 bayi jaundice. Pemberian susu formula pada

bayi-bayi Asia menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum yang lebih besar daripada

bayi-bayi yang mendapat ASI. Konseling yang cermat dan pemberian dukungan dapat

mencegah penghentian ASI sementara supaya tidak dihentikan selamanya.

Pendekatan alternatif untuk mengatasi neonatal hiperbilirubinemia adalah dengan

menahan enzim pertama yang bertanggungjawab terhadap produksi bilirubin adalah heme

oksigenase. Sn-protoporfirin telah sukses digunakan pada terapi eksperimental jaundice

pada neonatal jaundice dengan inkompatibilitas ABO. Penanganan neonatal jaundice

dengan penghambatan heme oksigenase saat ini masih dalam tahap eksperimen, walaupun

penelitian klinik tampaknya menjanjikan. Sebagai tambahan, untuk menghambat produksi

Page 294: Buku Ajar Gastroenterologi

bilirubin, metaloporfirin merupakan fotosensitizer yang dapat mempercepat destruksi

bilirubin oleh cahaya, tetapi juga dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan.

Sekarang CO dianggap merupakan neurotransmiter yang signifikan dan penghambatan

aktivitas heme oksigenase pada awal kehidupan bukanlah merupakan proses yang tidak

berbahaya. Pemikiran besar tentang metaloporfirin masih memerlukan penelitian jangka

panjang untuk mengetahui keamanannya.

Tetapi percobaan lain untuk hiperbilirubinemia neonatal adalah hemoperfusion. Penelitian

tentang metode ini telah menjalankan hemoperfusion dengan ion-exchange, bilirubin

oksidase dan sorben. Hemoperfusi sodium bezoat-augmented memberikan hasil yang

memuaskan pada anjing.2,5,7

Daftar Pustaka

1. Alpay F, Sarici SU, Tosuncuk HD. The value of first day bilirubin measurement in predecling the

development of significant hyperbilirubinemia in healthy term newborn. Pediatrics 2000; 106(2): e16.

2. Gourley GR. Neonatal jaundice and disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Suchi FY, Sokol RJ, Belistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Lippincott; Williams & Wilkins: 2001: h.275-314.

3. Maisels NY. Gifford K, Antle CE, Leib GR. Jaundice in the healthy newborn infant: A New Approach to an

old problem. Pediatrics 1988; 31: 505-11. 4. Robert EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Disease of the liver and biliary system in

children. Foreword by Sherlock DS. London; Blackwell Science: 1999: h.11-45.

5. Gartner LM. Neonatal jaundice. Pediatrics in Review 1994; 11: 422-32. 6. Maisels NY. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Cure of the high risk

neonate. Edisi ke-5. Philadelphia; WB Saunders: 2001: h.324-61.

7. Schwartz NW. Jaundice. Clinical handbook of pediatrics. Baltimore; William & Wilkins: 1999: h.420-8.

BAB XVI

HEPATITIS VIRUS

Sjamsul Arief

Ilustrasi Kasus

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun, dibawa ke poliklinik karena demam yang sudah

berlangsung selama 3 hari dan badan terasa lemah. Dari pemeriksaan fisik, anak tampak

lemah, perut sakit, demam, dan nyeri kepala. Badan dan sklera tampak kuning. Batas bawah

hepar teraba 5 cm bawah arkus kosta, dan nyeri tekan. Di lingkungan rumahnya pernah ada

tetangganya yang sakit serupa dan sedang dirawat di rumah sakit. Dari pemeriksaan

laboratorium didapatkan SGOT, SGPT meningkat dan fosfatase alkali meningkat.

Page 295: Buku Ajar Gastroenterologi

Pendahuluan

Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat

disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun.

Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak

hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi tersebut. Pada

makalah ini hanya diuraikan tentang hepatitis virus. Hepatitis virus masih merupakan masalah

kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara maju.1,2

Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik dimana hati merupakan organ target

utama dengan kerusakan yang berupa inflamasi dan/atau nekrosis hepatosit serta infiltrasi

panlobular oleh sel mononuklear. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini

identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat sedikitnya 6

jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G.

Semuanya memberi gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik,

sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Kecuali virus hepatitis G yang

memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat

berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis

atau timbulnya karsinoma hepatoselular. Virus hepatitis A, C, D, E, dan G adalah virus RNA

sedang virus hepatitis B adalah virus DNA. Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak

menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B, D, dan C dapat menyebabkan infeksi

kronis.1,3,4

Diagnosis Banding

Dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati, harus diingat adanya virus

lain yang memberikan gejala hepatitis sebagai salah satu komponen dari gejala sistemik. Virus

herpes simpleks (HSV), virus sitomegalo (CMV), virus Epstein-Barr, varicella, rubella,

adenovirus, enterovirus, arbovirus, dan HIV dapat memberi gejala hepatitis walaupun bukan

merupakan virus hepatotropik. Selain itu usia penderita memegang peranan penting dalam

menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati. Pada usia neonatus, ikterus fisiologis,

neonatal hepatitis, penyakit hemolitik, dan sepsis memberikan gejala menyerupai hepatitis.

Sedangkan kelainan metabolik seperti fruktosemia, tirosinemia, defisiensi alfa-1-antitripsin,

maupun kelainan anatomis seperti atresia biliaris dan kista duktus koledokus, memberikan

gejala klinis hepatitis. Pada bayi dan anak, infeksi malaria, leptospirosis, bruselosis, infeksi

berat pada keganasan, batu empedu, dan sindroma hemolitik-uremik juga memberikan gejala

hepatitis. Sindroma Reye dapat meyerupai gejala gagal hati fulminan. Obat-obatan seperti

asetaminofen, isoniazid, asam valproat, dan halotan juga dapat memberikan gejala hepatitis.1,3,4

Daftar pustaka

1. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric Gastrointestinal Disease.

B.C. Decker Inc. Philadelphia 1st. 1991:857-874. 2. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious

disease. 1999; 180(2): 509-13.

3. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999:827-70.

Page 296: Buku Ajar Gastroenterologi

4. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of

pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.

HEPATITIS A

Pendahuluan

Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup.

Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania, dan

Amerika Selatan dimana anak yang berusia sampai 5 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A

(HAV) dalam bentuk subklinis sehingga lebih dari 75% memiliki anti HAV (+).1,4,7

Pada anak yang terinfeksi HAV, hanya 30% yang menunjukkan gejala klinis (simtomatis),

sedangkan 70% adalah subklinis (asimtomatis). Bentuk klasik yang meliputi 80% penderita

simtomatis biasanya akut dan sembuh dalam waktu 8 minggu, tetapi dapat terjadi bentuk yang

berbeda yakni protracted, relapsing, fulminant, cholestatic, autoimmune trigger, dan

manifestasi ekstrahepatik seperti gagal ginjal akut, hemolisis yang sering terjadi pada penderita

defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), efusi pleural dan perikardial, gangguan

neurologis, vaskulitis, dan artritis. Manifestasi ekstrahepatik timbul karena adanya kompleks

imun yang beredar dalam sirkulasi.1,2,3,4

Sejarah

- Tahun 1820-1879: lebih dari 50 epidemi hepatitis terutama saat peperangan terjadi di

Eropa, mungkin disebabkan oleh hepatits A.

- Tahun 1912: Cockayne memberi nama hepatitis infeksiosa untuk penyakit kuning yang

menular.

- Tahun 1923: Blummer membuat ringkasan tentang penyakit ini dari evaluasi kasus epidemi

jaundice di Amerika Selatan.

- Tahun 1950-1970: Krugman meneliti pola epidomiologi untuk tujuan pencegahan.

- Tahun 1973: virus hepatitis A terlihat pada mikroskop elektron.

Virologi

HAV adalah virus RNA 27-nm nonenvelop, termasuk genus Hepatovirus, famili

Picornavirus. Genom terdiri atas 5’NTR-P1-P2-P3-3’NTR. VHA bersifat termostabil, tahan

asam, dan tahan terhadap empedu sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat 4

genotipe tapi hanya 1 serotipe. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena mekanisme

imun yang diperantarai sel-T. Infeksi HAV tidak menyebabkan terjadinya hepatitis kronis atau

persisten. Infeksi HAV menginduksi proteksi jangka panjang terhadap re-infeksi.

Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat

menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi

serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan. Transmisi HAV pada manusia

melalui rute fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui

vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV

Page 297: Buku Ajar Gastroenterologi

matur yg sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama

feses.5,6,7,8

Epidemiologi

Di negara berkembang dimana HAV masih endemis seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia

Tengah, dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir mencapai 100% pada anak berusia

10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35%-45%

pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5

tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Penelitian seroprevalensi di Yogyakarta

tahun 1997 menunjukkan 30-65% dari umur 4 tahun sampai 37 tahun (juffrie et al). Pada tahun

2008 terjadi outbreak yang terjadi disekitar kampus universitas Gadjah Mada yang menyerang

lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari pedangan kaki lima yang berada sekitar

kampus (harikus ). Di negara maju prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan

usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang.

Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi hepatitis A sehingga

kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih tua, diikuti konsekuensi timbulnya

gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan gejala klinis ringan atau subklinis, sedangkan

infeksi pada dewasa memberi gejala yang lebih berat. Walaupun jumlah infeksi pada dewasa

berkurang tetapi kasus hepatitis A akut yang manifes maupun berat, dan kadang-kadang

fulminan lebih sering dijumpai.9,10

Patogenesis

HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit, dan

melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses replikasi

ini tidak terjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa HAV diikat oleh

imunoglobulin A (IgA) spesifik pada mukosa saluran pencernaan yang bertindak sebagai

mediator antara HAV dengan hepatosit melalui reseptor asialoglikoprotein pada hepatosit.

Selain IgA, fibronectin dan alfa-2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV. Dari hepar HAV

dieliminasi melalui sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum timbulnya gejala klinis

maupun laboratoris. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum sepenuhnya dapat

dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung menyimpulkan adanya suatu

mekanisme imunopatogenetik. Tubuh mengeliminasi HAV dengan melibatkan proses

netralisasi oleh IgM dan IgG, hambatan replikasi oleh interferon, dan apoptosis oleh sel T

sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/ CTL).2,11,12,13

Gejala klinis

Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri

perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, dan jarang

terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya

(70%) simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu :

1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28 hari).

2. Masa prodromal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih. Gejalanya adalah

fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah

Page 298: Buku Ajar Gastroenterologi

kanan atas, demam (biasanya < 39o C), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda

yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.

3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh feses

yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi

kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat.

4. Fase penyembuhan, ikterik menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4 minggu

setelah onset.

Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, tetapi

relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya petanda viremia persisten

maupun penyakit kronis.3,6,11,12,14,15,16

Terdapat 5 macam gejala klinis:

1. Hepatitis A klasik.

Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum

jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simtomatis mengalami jenis klasik ini. IgG anti-

HAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari

kompleks IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah

terjadinya relaps.

2. Hepatitis A relaps.

Terjadi pada 4%-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah sebelumnya

dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis

dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum

timbulnya relaps. Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.

3. Hepatitis A kolestatik.

Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis

dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST,

ALT, dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap

tinggi.

4. Hepatitis A protracted.

Pada bentuk protracted (8.5%), clearance dari virus terjadi perlahan sehingga pulihnya

fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar

ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan

lobular hepatitis.

5. Hepatitis A fulminan.

Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian.

Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu protrombin.

Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua

yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya

bentuk fulminan ini.

Diagnosis

Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV. Antibodi ini

ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan

IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai beberapa dekade,

memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam cairan tubuh

Page 299: Buku Ajar Gastroenterologi

dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR) tetapi biayanya mahal dan biasanya

hanya dilakukan untuk penelitian.

Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai

5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit maupun

prognosisnya. Pemanjangan waktu (masa) protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas

seperti pada bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis

hepatitis A.17,18,19,20

Pengobatan

Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengan

pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin.

Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan rawat

inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per oral, kadar

SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.4,20,21,22,23

Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya

asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka

pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu

protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah: (1)

pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) umur penderita kurang dari 10 tahun

atau lebih dari 40 tahun, dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17 mg/dl atau waktu sejak dari

ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.19,21,22,23,24,25

Gambar 16.1. Pola respons terhadap infeksi HAV.

Pencegahan

Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih

diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang

0 4 8 12 16 20

Fekal HAV

Anti-HAV (IgG)

Anti-HAV (IgM) Infeksi

Simtomatis

Page 300: Buku Ajar Gastroenterologi

dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati

kronis. Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu : perbaikan higiene makanan-

minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (samapai dengan 2

minggu sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk

imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan imunoglobulin (IG), dan imunisasi aktif dengan

inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan Avaxim).15,16,22

Imunisasi pasif

Indikasi pemberian imunisasi pasif:

1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita.

2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau

keluarganya menderita hepatitis A.

3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A.

4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara

dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada

usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak

dibawah 2 tahun.

Dosis 0,02 ml/kgBB untuk perlindungan selama 3 bulan, dan 0,06 ml/kg untuk

perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh diberikan dalam

waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella,

varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenisitas vaksin. Imunogenesitas vaksin HAV tidak

terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama.7,26,27,28

Tabel 16.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah

paparan.

Kejadian Lama perlindungan dalam

bulan

Dosis IG

(ml/kgBB)

Sebelum

paparan

Jangka pendek (1-2) 0.02

Saat paparan Jangka panjang (3-5) 0.06

Sesudah

paparan

- 0.02

Sumber: Snyder19

Imunisasi aktif

Vaksin yang beredar saat ini adalah HavrixTM (Smith Kline Beecham) dan VaqtaTM

(Merck), AvaximeTM (Avantis Pasteur). Semuanya berasal dari inaktivasi dengan formalin dari

sel kultur HAV. HavrixTM mengandung preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan VaqtaTM

tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan

pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini.7,26,27,28

Tabel 16.2. Dosis HavrixTM yang dianjurkan

Umur anak

(Tahun)

Dosis (EL.U) Volume

(mL)

Jumlah

dosis

Waktu dalam

bulan

2-18 720 0.5 2 0.6-12

Page 301: Buku Ajar Gastroenterologi

>18 1440 1.0 2 0.6-12

Sumber: Snyder19

Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik rata-

rata anti-HAV pada VaqtaTM lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/l pada

HavrixTM dan 10 mIU/l pada VaqtaTM mempunyai nilai protektif. Kadar protektif antibodi

mencapai 88% dan 99% pada HavrixTM dan 95% dan 100% pada VaqtaTM pada bulan ke-1 dan

ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau

lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi.

Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada

vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma Guillain-

Barre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak

berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi.

Indikasi imunisasi aktif:

1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi.

2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak.

3. Homoseksual.

4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini yang

mengidap hepatitis C kronis.

5. Peneliti HAV.

6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi

hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat.

7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX.

Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita,

maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi

untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status

imunologi dalam masyarakat.

Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi

berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan

tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur

hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV

pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar

antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan

pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.7,26,27,28

Daftar Pustaka

1. Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou JP, Rizetto M, et al, Eds. Oxford Textbook of Clinical Hepatology 2nd ed. Oxford University Press. 1999: 1-15.

2. Kekez AJ. Treatment of viral hepatitis in children. Acta medica Croatia. 2005.

3. Tong MJ, El-Farra NS, and Grew MI. Clinical manifestation of hepatitis A: recent experience in community teaching hospital. J Infect Dis. 1995: S15-S18.

4. Vallbracht A, Maier K, Stierhof YD, et al. Liver-derived cytotoxic T cell in hepatitis A virus infection. J Infect Dis.

1989; 160: 209-217. Citation.

Page 302: Buku Ajar Gastroenterologi

5. Inman RD, Hodge M, Johnston ME, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with relapsing hepatitis A

virus infection. Ann. Intern. Med. 1986; 105: 700-703. Citation. 6. Kemmer NM, Mikovsky EP. Infection of the Liver, Hepatitis A. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 1-11.

7. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Hepatitis A virus infection and the interferon system. J Infect Dis. 1985;

152: 211-213. Citation. 8. Weitz M, Siegl G. Structure and molecular virology of hepatitis A. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral

Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 21-34.

9. Dentinger CM, Heinrich NL, Bell BP, et al. A prevalence study of hepatitis A virus infection in a migran community: Is hepatitis A vaccine indicated. J Pediatr. 2001; 138: 705-9.

10. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious

disease. 1999; 180(2): 509-13. 11. Han Y, Hillman M, Oren R, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with persisting cholestatic hepatitis

A virus infection. Am J Gastroenterol. 1990; 85: 585-587. Citation.

12. Koff R. Hepatitis A. Lancet. 2000; 341: 1643-1649. 13. Margolis HS, Nainan OV. Identification of virus components in circulating immune complexes isolated during

hepatitis A virus infection. Hepatology. 1990; 11: 31-37. Citation.

14. Jacobson IM, Nath BJ, and Dienstag JL. Relapsing viral hepatitis type A. J Med Virol. 1985; 16: 163-169.

15. Lemon SM, Binn LN. Serum neutralizing antibody response to hepatitis A virus. J Infect Dis. 1983; 148: 1033-

1039. Citation.

16. Sherlock S. Disease of the liver; 10nd ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 1999: 1-15. 17. Feinstone SM, Kapikian AZ, Purcell RH. Hepatitis A: Detection by immune electron microscopy of a virus like

antigen associated with acute illness. Science. 1973; 182: 1026. Citation.

18. Glikson M, Galin E, Oven R. Relapsing hepatitis A. Review of 14 cases and literature survey. Medicine. 1992; 71: 14-23. Abstract.

19. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of

pediatrics, 16th ed, W.B. Saunders Co. 2000: 768-75. 20. Sulaiman HA, Junitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan penerbitan IDI. 1995: 1-15.

21. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007;

38(6): 702-10. 22. Keeffe EB. Clinical reviews: Is hepatitis A more severe in patient with chronic hepatitis B and other chronic liver

diseases. Am J Gastro. 1995; 90: 201-05.

23. Sathiyasekara M. Management of viral hepatitis in children. National conference of pediatric infectious disease. 2006.

24. Schneider ZS, Mohan P. Treatment of Viral Hepatitis in Children. Children’s National Medical Center,

Washington, DC, USA. 2009. 25. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Cell-mediated cytotoxicity and hepatitis A virus infection. Hepatology.

1986; 6: 1308-1314. Abstract.

26. Dotzauer A, Gebhardt U, Bieback K, et al. Hepatitis A Virus-Specific Immunoglobulin A Mediates Infection of Hepatocytes with Hepatitis A Virus via the Asialoglycoprotein Receptor. J Virol. 2000; 74: 10950-10957.

27. Lemon SM. Type A Viral Hepatitis. In: Prieto J, Rodes J, Shafritz DA. Hepato Biliary Diseases. Berlin Springer

Verlag. 1992: 495-510. 28. Stapleton JT, Lange DK, LeDuc JW, et al. The role of secretory immunity in hepatitis A virus infection. J Infect

Dis. 1991; 163: 7-11. Citation.

HEPATITIS B

Pendahuluan

Pada tahun 1965, Blumberg dan rekan-rekannya di Philadelphia menemukan antibodi

pada darah penderita hemofilia yang bereaksi terhadap antigen pada serum dari orang Aborigin

Australia. Antigen ini ditemukan pada penderita hepatitis virus dan dinamai antigen Australia

yang sekarang telah diketahui sebagai HBsAg.

Page 303: Buku Ajar Gastroenterologi

Virologi

Virus hepatitis B (HBV) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1

dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan

pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat

menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus

hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200

nukleotida dengan diameter 42 nm dan dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3

komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan

partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi,

komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan

karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian

dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcAg)

yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein kinase untuk replikasi

virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HBeAg).

Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal,

pankreas, dan terutama hati. HBeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya

infeksi.1,2,3,4,5,6,7

Telah ditemukan beberapa genotip dan serotip antigen berdasar pada subdeterminan

HBsAg. Grup “a” paling banyak terdapat pada semua isolat, dan antibodi terhadap determinan

“a” ini memberi kekebalan terhadap semua serotipe HBV. Subdeterminan yang lain adalah d, y,

w dan r sehingga 4 determinan utama mencakup adw, adr, ayw, dan ayr. Selain 4

subdeterminan tersebut, mutasi jangka lama juga menghasilkan 9 subtipe minor. Terdapat 7

genotipe yaitu A-G. Pembagian genotip dan serotip ini penting karena masing-masing

mempunyai distribusi geografi tertentu; seperti genotip B dan C banyak didapat di Asia, A dan

D di Eropa dan India, E di Afrika, F di Amerika Tengah dan Selatan, serta G di Prancis dan

Amerika Utara. Genotip B dan C banyak terdapat di daerah dengan endemisitas tinggi seperti

Asia, dimana penularan secara vertikal atau perinatal memegang peranan penting. Sebaliknya

genotip A, D, E, F, dan G banyak terdapat di daerah dengan transmisi horisontal.1,2,3,4,5,6,7

Tabel 16.3. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV.

Genoti

p

Serotip Daerah dominan

A adw2, ayw1 Eropa Utara, Amerika Serikat, Afrika Tengah

B adw2, ayw1 Taiwan, Jepang, Indonesia, Cina, Vietnam

C adw2, adrq+, adrq-,

ayr

Asia Tengah, Taiwan, Korea, Cina, Jepang, Polinesia,

Vietnam

D ayw2, ayw3 Daerah Mediterania, India

E ayw4 Afrika Barat

F adw4q-, adw2, ayw4 Amerika Tengah dan Selatan, Polinesia

G adw2 Prancis, Amerika Serikat

? Ayr Kalimantan

Sumber: Magnius7

Epidemiologi

WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000.

Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-

Page 304: Buku Ajar Gastroenterologi

0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-HBs 20%-55%), dan

prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%). Di negara maju seperti Inggris,

Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-0,2%

sedangkan di Afrika dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di

Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%. Pada daerah

dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari

ibu ke anak maupun horisontal diantara anak kecil. Sebagai contoh di daerah pedesaan Senegal

(Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur 2 tahun, 50% pada umur 7

tahun, dan 80% pada umur 15 tahun. Sedangkan pada daerah dengan endemisitas sedang-tinggi

antara 8%-20% infeksi terjadi pada umur yang lebih tua, ditularkan secara horisontal pada

masa anak dengan kontak erat seperti penggunaan sikat gigi, pisau cukur atau berciuman, dan

kontak seksual pada dewasa muda. Sebaliknya pada daerah dengan prevalensi rendah

penularan secara horisontal terjadi oleh penyalahgunaan obat, penggunaan instrumen yang

tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun telinga, dan tatu (tatoo). Di Indonesia

pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi

antara 2,5%-36,2%.8,9,10

Pada ibu yang melahirkan dengan HBeAg positif, bayi memiliki risiko tertular sebesar

90%, sedangkan bila hanya HBsAg yang positif maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan

tindakan imunoprofilaksis. Sembilan puluh persen bayi yang tertular akan berkembang menjadi

infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis. Penularan vertikal dapat

terjadi pada masa intrauterin maupun pada saat kelahiran dan masa perinatal. HBV tidak selalu

didapatkan dalam air susu ibu, namun yang dikawatirkan adalah luka pada puting susu

sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV. Bayi dari ibu pengidap HBV

yang mendapat ASI dan belum menerima imunoprofilaksis mempunyai risiko tertular hampir

sama besar dengan bayi yang minum susu formula (PASI).8,9,10

Patogenesis

Di Indonesia, jalur penularan infeksi VHB (virus hepatitis B) yang terbanyak adalah

secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak

antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik

bersama). HBV dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan

konsentrasi tertinggi terdapat pada serum. Infeksi terjadi apabila seseorang mendapat paparan

terhadap cairan tubuh orang yang terinfeksi melalui kulit atau mukosa.

Bayi dari ibu dengan HBsAg positif berisiko terinfeksi HBV, akan tetapi infeksi HBV

paling sering terjadi pada bayi dengan ibu HBeAg positif atau menderita hepatitis B akut pada

trimester ketiga kehamilan. Faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan keadaan HBsAg

positif pada bayi, antara lain :

1. Titer HBsAg ibu

2. Status HBeAg ibu (hampir 90% bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif menderita

hepatitis B kronis; sedangkan bayi dari ibu dengan HBeAg negatif karier memiliki risiko

sebesar 20%)

3. DNA HBV positif pada serum ibu

Page 305: Buku Ajar Gastroenterologi

4. HBsAg positif pada darah plasenta

5. Saudara kandung dengan HBsAg positif

98% transmisi terjadi pada saat proses kelahiran, diduga melalui ingesti darah maternal

oleh bayi pada saat proses kelahiran. Meskipun demikian, transmisi virus dapat terjadi in utero

melalui kebocoran transplasenta (2%). HBeAg dapat menembus plasenta dari ibu ke fetus.

Belum ditemukan bukti bahwa menyusui merupakan salah satu rute transmisi HBV.

Bayi yang terinfeksi HBV dari ibu dengan HBsAg positif tidak akan menunjukkan

manifestasi infeksi HBV secara serologis sampai berumur 1-3 bulan. Meskipun infeksi HBV

perinatal memiliki manifestasi klinis yang minimal, akan tetapi 90% bayi dengan HBsAg positif

akan menderita hepatitis kronis atau keadaan karier kronis. Hal ini diduga disebabkan karena

sistem imun bayi yang belum matur. Hepatitis fulminan dapat terjadi pada transmisi perinatal

ini, meskipun jarang terjadi (1-2%). Bayi yang terinfeksi juga memiliki risiko tinggi menderita

hepatitis B kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler.

Risiko terinfeksi HBV tidak hanya pada periode perinatal saja, namun bayi yang rentan

berisiko terinfeksi HBV dari anggota keluarga yang lain. Infeksi posnatal dapat terjadi di

lingkungan dimana banyak dijumpai karier HBsAg dan rendahnya vaksinasi.

Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan

melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons

imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas selular

terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HbeAg, pada permukaan sel yang bergabung

dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T

sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan berasal dari sel

yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar akan dinetralisir oleh

antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga berperan pada

manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HBsAg dapat menimbulkan

poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis, dan sindroma

Guillain-Barre.11,12,13,14,15,16,17

Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis;

sehingga HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel T sitotoksik

tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak

perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi

kronis. Infeksi HBV dibawah umur 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada

infeksi diatas umur 3 tahun.11,12,13,14,15,16,17

Gejala Klinis

1. Hepatitis akut

Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari

tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala

hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih

berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia,

mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 6-

8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST

Page 306: Buku Ajar Gastroenterologi

sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus

dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria,

purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai

timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini

jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada

dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi

kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.1,2,14,15,18

2. Hepatitis kronis

Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau

HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita hepatitis kronis

adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar

aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal)

menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar

aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada

saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM

anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit,

tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada

penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan

bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun,

sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun.

Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati

yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan

timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.1,14,15,18,19

3. Gagal hati fulminan

Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik.

Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa

minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan,

dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin

disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis

jaringan hati yang luas.3,4,14,15,20

4. Pengidap Sehat

Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum

berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak

terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik

yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1)

membaik (anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur

diatas 30 tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.3,8,14,15,21

Page 307: Buku Ajar Gastroenterologi

Diagnosis

Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi

HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah

dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis.

Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini

berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan

sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat

kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang

menjadi hepatitis kronis.3,5,13,16,21,22

Tabel 16.4. Penanda serologis infeksi HBV.

Antigen Interpretasi Bentuk klinis

HBsAg Sedang infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis,

penanda kronis

HBeAg Proses replikasi dan sangat

menular Hepatitis akut, hepatitis kronis

Antibodi

Anti-HBs Resolusi infeksi Kekebalan

Anti-HBc total Sedang infeksi atau pernah

infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis,

penanda kronis, kekebalan

IgM anti-HBc Infeksi akut atau infeksi kronis

yang kambuh Hepatitis akut, hepatitis kronis

Anti-Hbe Penurunan aktivitas replikasi Penanda kronis, kekebalan

Pemeriksaan

Molekular

PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis kronis,

penanda kronis

Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat

menular Hepatitis akut, hepatitis kronis

Sumber: Rizetto21

Page 308: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar

16.2. Pola

respons

terhadap

infeksi akut

HBV.

Pengobata

n

Pada

hepatitis

virus akut,

sebagian

besar kasus

akan

sembuh dan

sebagian

kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien

dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10

kali nilai normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada

neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis

hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis

merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak.

Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga

virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis

didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan

replikasi aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis

dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap

pengobatan.1,13,18,22,23

1. Interferon alfa

Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah pengobatan standar untuk

penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati,

koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA HBV)

serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon

adalah neutropenia, trombositopenia, ganguan jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan

penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 secara subkutan tiga kali dalam

seminggu, diberikan selama 16 minggu.18,24

Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,

nerologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot,

nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan

rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-

interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura

Infektif

Simptomatis

HBsAg

Anti-HBc

Anti-HBs

0 8 16 24 32 40 52

HHBBeeAAgg AAnnttii--HHBBee

Minggu

Page 309: Buku Ajar Gastroenterologi

trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah

putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial

seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek

nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan

disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan

penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel,

depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.18,24

Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan

laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu

selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat

mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus

diturunkan atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati,

depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10%-

40% penderita memerlukan pengurangan dosis, dan 5%-10% pengobatan harus dihentikan.

Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi

kejiwaan berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.18,24

Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif

rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta

adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan

46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi anti-HBe

dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV

menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita

pada tahun pertama setelah pengobatan.18,24

2. Analog nukleosida

Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat

replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada

interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi

perbaikan gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan

timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi

HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin

memperbaiki skor Child-Pugh.

Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan

kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon

terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core

HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang

mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila

dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan

adefovir atau gansiklovir.

Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi

respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan

lamivudine tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudine saja.25,26,27,28

Page 310: Buku Ajar Gastroenterologi

Pencegahan

Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi maka. Semua orang di

Indonesia mempunyai kemungkinan untuk tertular. Saat ini program imunisasi masal HBV

dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi masih

terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981 adalah

derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi, pemurnian,

dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin ini mempunyai

imunogenisitas dan efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV rekombinan pertama

diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989. Saat ini ada 10 produk vaksin

rekombinan.20,29,30

Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak

erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit

hemodialisis), dan penderita penyakit darah. 20,29,30

Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu

yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada bayinya

diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif

hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi

HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi

imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila

dosis dikurangi maka nilai titer antibodi juga turun. Lebih tua umur, serokonvensi makin

berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas.

Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke

subkutan bukan ke otot. 20,29,30

1. Uji saring sebelum vaksinasi

Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk

pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat

dengan penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0.1%-20% dengan anti-

HBc positif dan 80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini

menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc

positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah (ibu HBsAg negatif saat melahirkan) dan anak-

anak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring, dan imunisasi dapat

diselesaikan dalam waktu 6-18 bulan.31,32,33,34

2. Pemeriksaan paska vaksinasi

Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi.

Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi

tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu

atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HBsAg positif yang telah

divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12

bulan.31,32,33,34

3. Penanganan nonresponder

Untuk para nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya

setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak

Page 311: Buku Ajar Gastroenterologi

muncul atau anti-HBs-nya kurang dari 10 mIU/ml, tampaknya tidak akan memberikan

hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa

mendatang, bagi para nonresponder ini dapat dilakukan: (1) pemberian vaksin yang

mengandung pre-S2 HBsAg, (2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell

peptide, (3) pemberian kombinasi HBsAg dengan HBcAg, atau (4) transfer limfosit dari

responder. Untuk penderita dengan dialisis yang respon imunologisnya sangat rendah hal-

hal tersebut diatas kurang bermanfaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberi

vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis. 31,32,33,34

Daftar Pustaka

1. Befeler AS, Di Bisceglie AM. Infections of the liver, hepatitis B. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 617-32. 2. Blumberg BS, Alter HJ, Visnich S. A “new” antigen in leukemia sera. JAMA. 1965; 191: 541-6. Citation.

3. Dudley FJ, Fox RA, Sherlock S. Celluler immunity and hepatitis associated, Australia antigen liver disease.

Lancet. 1972; 1: 723-26. Citation.

4. Guidotti LG, Chisari FV. Noncytolytic control of viral infection by the innate and addactive immun response.

Annu Rev Immunol. 2001; 19: 65-91. Abstract. 5. Hoofnagle JH, Di Bisceglie AM. The treatment of chronic viral hepatitis. N Engl J Med. 1997; 336: 347-56.

Citation.

6. Liu CJ, Kao JH, Chen PJ, et al. Molecular epidemiology of hepatitis B viral serotypes and genotypes in Taiwan. J Biomed Sci. 2002; 9: 166-70.

7. Magnius LO, Norder H. Subtypes, genotypes and molecular epidemiology of the hepatitis B virus as reflected by

sequence variability of the S-gen. Intervirology. 1995; 38: 24-34. 8. Gupta S, Shafritz DA. Viral hepatitis B and D in Prieto J, Rodes J, Shafritz DA: Hepatobiliary disease. Springer-

Verlag Berlin 1st ed. 1992: 528-71.

9. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13.

10. Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, et al. Perinatal hepatitis B virus transmission in the United States. Prevention by

passive-active immunization. JAMA. 1985; 253: 1740-45. Abstract. 11. Jacyna MR, Thomas HC. Pathogenesis and treatment of chronic infection in Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral

Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 185-205.

12. Jung MC, Paper GR. Immunology of hepatitis B infection. Lancet Infect Dis. 2002; 2: 43-50. 13. Kao JH, Chen DS. Global control of hepatitis B virus infection. Lancet Inf Dis. 2002; 2: 395-403.

14. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric Gastrointestinal Disease.

B.C. Decker Inc. Philadelphia 1st. 1991: 857-874. 15. Koff RS. Vaccines and Hepatitis B. Clin Liver Dis. 1999; 3: 417-28.

16. Lee WM. Medical progress: Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997; 337: 1733-45. Citation.

17. Okamoto H, Tsuda F, Sakugawa H, et al. Typing hepatitis B virus by homology in nucleotide sequence: comparison of surface antigen subtypes. J Gen Virol. 1988; 69: 2575-83. Abstract.

18. Margolis HS. Hepatitis B virus infection. Bull WHO. 1998; 76: 152-3. Citation.

19. McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, et al. Acute hepatitis B virus infection: Relation of age to the clinical expression of disease and subsequence development of the carrier state. J Infect Dis. 1985: 151: 599-603.

Abstract.

20. Miller RH. Proteolytic self cleavage of hepatitis B virus core protein may generate serum e antigen. Science. 1987; 236: 722-25. Citation.

21. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of

Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999: 876-96. 22. Sulaiman A, Julitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta. Cetakan

pertama. 1995: 19-20.

23. Stevens CE, Neurath RA, Beasley RP, et al. HBeAg and anti-HBe detection by radioimmunoassay: correlation with vertical transmission of hepatitis B virus in Taiwan. J Med Virol. 1979; 3: 237-41. Abstract.

24. Perrillo RP, Schiff ER, Davis GL, et al. A randomized, controlled trial of interferon alfa-2b alone and after

prednisone withdrawal for the treatment of chronic hepatitis B. The Hepatitis Interventional Therapy Group. N Engl J Med. 1990; 323: 295-301. Citation.

Page 312: Buku Ajar Gastroenterologi

25. Dienstag J, Schiff E, Wright T, et al. Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the United States.

N Engl J Med. 1999; 341: 1256-63. 26. Jonas NM, Kelley DA, Mizerski J, et al. Clinical trial of lamivudine in children with chronic hepatitis B. N Engl J

Med. 2002; 346: 1706-1713.

27. Mutinger D, Naoumov N, Honkoop P, et al. Combination alfa-interferon and lamivudine therapy for alfa-interferon resistant chronic hepatitis B infection: Results of pilot study. J Hepatol. 1998; 28: 923-29. Abstract.

28. Villeneuve J, Condreay L, Willem B, et al. Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis resulting from

chronic hepatitis B. Hepatology. 2000; 31: 207-10. 29. Fattovich G, Brollo L, Giustina G, et al. Natural history and prognostic factors for chronic hepatitis type B. Gut.

1991; 32: 294-98. Abstract.

30. Zuckerman AJ, Zuckerman JN, Harrison TJ. Prevention and control hepatitis B in Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 219-26.

31. Anonymous. General recommendation on immunization. Recombination of the advisory committe on

immunization practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR. 2002; 51: 1-35.

32. Chisari FV. Cytotoxic T cells and viral hepatitis. J Clin Invest. 1997; 99: 1472-7. Citation.

33. International Task Force on hepatitis B Immunization, Field strategies for the control of hepatitis B in areas of

intermediate and high prevalence. April 1988.

34. Pilot J, Poynard T, Elias A, et al. Weak immunogenecity of the pre-S2 sequence and lack of circumventing effect

on the responsiveness to the hepatitis B virus vaccine. Vaccine. 1995; 13: 289. Citation.

HEPATITIS C

Pendahuluan

Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus

Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian

Hepatitis paska transfusi. Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama

penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi Virus hepatitis C

sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang

minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah, lemah,

mual, nafsu makan turun, dan mialgia.1,2,3

Pada tahun 1987 Chiron Corperation Emmerville CA, USA bersama dengan Centre for

Desease Control (CDC) berhasil melakukan cloning genom virus hepatitis C. Choo (1987) dan

Quo (1989) berhasil menemukan teknik pemeriksaan anti–HCV, yaitu suatu uji yang sensitif

dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB.4,5

Kemudian secara berturut-turut ditemukan susunan nukleotida yang lengkap dari genom

HCV oleh Choo dkk (1991) dan Han dkk (1991), yaitu isolat HCV– dan HCV–H di Amerika

Serikat. Kato dkk (1990) menemukan isolat HCV–J, Takamizawa dkk (1991) menemukan isolat

HCV–BK, Okamoto dkk (1990) menemukan isolat HCV–J4 dan HCV–J6 dari Jepang, Kremsdorf

dkk (1991) menemukan isolat HCV–E1 dari Perancis, Fuch dkk (1991) menemukan isolat HCV–

GM 1 dan 2 dari Jerman, sedangkan Chen dkk (1991) menemukan isolat HCV–T3 dari Taiwan.6,7

Sampai saat ini telah ditemukan 6 genotip HCV. Masing-masing genotip mempunyai

beberapa subtipe, dan masing-masing subtipe mempunyai banyak isolat. Aspek medis dari

infeksi HCV terutama adalah resiko terjadinya sirosis hati dan keganasan oleh karena

perjalanan penyakitnya adalah infeksi kronis.7,8

Page 313: Buku Ajar Gastroenterologi

Virologi

HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan

Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 30–60 nm,

dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF)

dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.1,6,9,10,11

RNA HCV terdiri atas bagian-bagian :

1. 5’ noncoding region

2. Gen yang mengkode core protein

3. Gen yang mengkode envelope protein

4. Gen yang mengkode protein nonstruktural (NS1 sampai NS5)

5. 3’ noncoding region

Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat banyak.

Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan persentase kesamaan

nukleotida. Dikatakan adanya group atau tipe baru apabila terdapat kesamaan susunan

nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui.

Apabila kesamaan susunan nukleotida terjadi antara 75%–86% maka yang ditemukan

adalah subtipe baru. Tetapi apabila persamaan urutan nukleotida lebih dari 88%, maka yang

ditemukan adalah isolat baru.

Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang

merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga

infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat

ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya. 1,2,4,8,12

Akibat dari heterogenitas tersebut adalah :

1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis

menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus.

2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan

beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat.

3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah seperti

pada genotipe 1 dan 4.

4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis.

5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap

tipe.

Terdapat variasi yang signifikan secara regional dari distribusi genotip; Genotip 1, 2, dan 3

tesebar di seluruh dunia, genotipe 4 terutama ditemukan di Mesir dan Zaire, genotipe 5 di Afrika Selatan dan genotipe 6 banyak ditemukan di Asia. Subtipe HCV–1a dan HCV-1b banyak

ditemukan di USA dan Jepang walaupun tipe yang lain juga ada di kedua negara tersebut. Di

Belanda HCV-1b merupakan subtipe yang dominan. Di daratan Eropa pada umumnya yang

dominan adalah subtipe 1a dan 1b. HCV group 3 dan group 1 banyak dijumpai di Skotlandia. Di

Page 314: Buku Ajar Gastroenterologi

Surabaya subtipe 1b lebih dominan daripada subtipe yang lain diikuti subtipe 2a. Telah

ditemukan subtipe baru yaitu HCV–1d yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Di Jakarta

ditemukan isolat baru yang termasuk dalam subtipe 2e dan 2f serta 10a dan 11a.2,5,10,13,14

Epidemiologi

1. Prevalensi

Survey epidemiologi memperkirakan terdapatnya 170 juta pengidap HCV kronis di seluruh

dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5%-25%. Di Amerika

Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1,8% dari seluruh populasi. Untuk anak dibawah

usia 12 tahun, seroprevalensinya adalah 0,2%, dan untuk usia 12–18 tahun seroprevalensi

sebesar 0,4%. Di Jepang seroprevalensi HCV adalah 1.3% untuk seluruh populasi; sampai

usia 20 tahun jumlah carrier rendah dan meningkat sesuai pertambahan umur. Sebelum

skrining dengan cara pemeriksaan serologis terhadap anti HCV, insidensi hepatitis paska

transfusi adalah 5%-16%; dengan pemeriksaan C100-3 assay, insidensinya turun menjadi

2%-3%.15,16,17,18

Dengan perbaikan skrining melalui penambahan pemeriksaan anti NS-3, maka 99% darah

donor pengidap HCV dapat diketahui. Di Mesir prevalensi HCV pada seluruh populasi

adalah 14% dan pada donor darah sebesar 14,5%; pada penelitian Abdel Azis dkk di delta

sungai Nil didapat angka 25%. Di Arab Saudi, Bank Darah Ryad mendapat angka seropositif

sebesar 26,2%. Di Perancis jumlah pengidap kronis antara 50.000 sampai 600.000 dari

total 60.000.000 penduduk. Di Italia prevalensi anti HCV dilaporkan sebesar 3,2% untuk

seluruh populasi dari umur 12-65 tahun, tetapi hanya 0,2% pada anak-anak. 15,16,17,18

Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari

pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan

1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 1,3%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar

1,0%, dan Banjarmasin 1,0%.18

Angka tersebut akan sangat berbeda apabila kelompok yang diteliti merupakan kelompok

yang lebih khusus, misalnya: penderita yang mendapat hemodialisis berulang sebesar

76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4%, dan penderita talasemia pada anak yang

mendapat transfusi berulang sebesar 21,4%. Sedangkan penderita karsinoma hepatoselular

mempunyai prevalensi anti HCV sebesar 64,7%.15,17,19

Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan pada mereka yang sering

mengalami direct percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan suntikan

dan penderita yang mendapat transfusi berulang (antara 60%–90%). Angka yang sedang

didapatkan pada penderita hemodialisis (20%) dan harga yang rendah didapat pada

inapparent parenteral atau paparan terhadap mukosa seperti kelakuan seksual yang

berisiko tinggi, kontak seksual maupun keluarga dari penderita (1%-10%).15,17,19

2. Penularan

Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah

pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas dari mana sumber infeksinya. Walaupun

dapat mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang

terjadi.

Page 315: Buku Ajar Gastroenterologi

Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan cara

penularannya. Penularan melalui tranfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena,

hemodialisis, tertusuk jarum suntik, tatu, dan hubungan seksual, lebih banyak terjadi pada

orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui kontak keluarga adalah rendah.

Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan yang paling sering dijumpai pada

anak.Dibawah ini diuraikan cara penularan virus hepatitis C.20,21

Pemaparan terhadap darah dan produk yang berasal dari darah.

Cara penularan paling efisien adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit dengan

darah penderita HCV, misalnya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produk-

produknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV, dan pengguna obat bius

dengan suntikan intravena.

Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian hepatitis C paska transfusi berkisar 5%

sampai 13%. Dari tahun 1986 sampai 1990, dengan adanya larangan bagi golongan berisiko

tinggi untuk menjadi donor dan dilakukannya pemeriksaan LFT pada donor, angka tersebut

turun menjadi 1,5%. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining donor, angka

kejadian hepatitis C paska transfusi menjadi 1,0% pada awalnya dan akhirnya menjadi

<0,1%.

Apabila dengan cara ini masih terjadi infeksi hepatitis C paska transfusi, hal ini mungkin

disebabkan oleh ketidakmampuan pemeriksaan anti HCV generasi kedua untuk mendeteksi

anti HCV pada penderita yang berada dalam masa antara mulai terjadinya infeksi sampai

timbulnya anti HCV (antara 4-6 minggu).

Pada tahun 1994 di Amerika Serikat terjadi outbreak infeksi HCV yang disebabkan oleh

intravenous immunoglobulin. Hal serupa juga terjadi di Eropa. Pada saat ini, semua

produk imunoglobulin dengan standard RNA HCV negatif saja yang boleh beredar di

Amerika Serikat. Cara yang paling aman dalam pencegahan penularan melalui tranfusi

darah adalah memeriksan sampel darah dengan uji anti HCV sebelum diberikan kepada

penderita.3,22,23

Penularan melalui hubungan seksual

Diantara pasangan seksual pengidap HCV kronis yang tidak mempunyai risiko lain untuk

terjadinya infeksi, rata-rata prevalensi anti HCV adalah 5% (antara 0%-15%). Ada studi

yang mendapatkan hasil bahwa pasangan wanita dari pria pengidap HCV lebih banyak

tertular dibanding apabila yang menderita pengidap kronis adalah wanitanya.Penularan

infeksi HCV juga meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan hubungan seksual dan

tidak digunakannya kondom. Diago melaporkan angka 11,4% penularan dari pasangan

seksual pengidap HCV kronis. Kihara mendapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada

wanita pelacur yaitu 11% dibandingkan masyarakat umum.

Page 316: Buku Ajar Gastroenterologi

Di Indonesia belum diketahui secara jelas cara penyebaran infeksi HCV, apakah kontak erat

dapat merupakan penyebab penularan selain transfusi darah, jarum suntik pada pengguna

obat bius secara intra vena, dan hubungan seksual. Sumarto pada penelitian di daerah rural

Tengger tidak mendapatkan anti HCV positif dari 103 orang yang diteliti.12,20,21

Penularan vertikal dari ibu ke bayi

Penularan (transmisi) vertikal HCV dari ibu kepada bayinya relatif lebih jarang terjadi

daripada penularan vertikal HBV, karena titer HCV secara umum lebih rendah daripada

HBV. Penularan vertikal HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik pervaginam

maupun operasi. Pecahnya ketuban lebih dari 6 jam merupakan faktor risiko terjadinya

penularan HCV. 24,25

Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV positif, didapatkan angka 5% (antara 3%-

6%). Dengan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi adanya RNA

HCV tidak memberi angka yang lebih tinggi.

Bila Ibu menderita infeksi HIV bersama dengan infeksi HCV, maka kemungkinan tertular

bagi bayi yang lahir akan lebih besar yaitu 14% (antara 5%-36%) daripada Ibu yang hanya

menderita infeksi HCV saja. Dihipotesiskan bahwa Ibu yang mengidap infeksi HIV

mengalami penurunan daya imunitas sehingga mengalami viral load dari HCV yang lebih

tinggi menyebabkan mudahnya penularan secara vertikal.

Tingginya titer RNA HCV mempunyai peranan penting terhadap terjadinya penularan.

Pada Ibu dengan anti HCV positif, tetapi RNA HCV negatif tidak ditemukan viremia pada

bayinya dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan RNA HCV.

Ohto dkk mendapatkan bahwa Ibu dengan titer RNA HCV sebesar 106/ml akan menularkan

infeksi kepada bayinya. Disamping tingginya titer RNA HCV, genotip juga diduga

mempunyai peranan dalam penularan vertikal dari ibu ke bayi. Zucati dkk mendapatkan

dalam penelitiannya bahwa hanya Ibu yang terinfeksi HCV ber-genotip Ib dan 3a yang

menularkan infeksi HCV terhadap bayinya. Genotip 3a dan 1b mempunyai virulensi tinggi

dan kurang responsif terhadap pengobatan dengan interferon. Kemungkinan penularan in-

utero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi baru lahir. Tetapi viremia

mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir; dalam hal ini apabila seorang bayi dicurigai

tertular HCV maka sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15 bulan dimana antibodi

ibu sudah sangat turun. Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan fungsi hati juga penting

pada bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir; tetapi bila terjadi peningkatan hasil uji

fungsi hati, yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga kuat bahwa bayi tersebut tertular secara

perinatal.

Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur 3 bulan

sampai 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi penularan

secara perinatal.24,25,26,27

Penularan infeksi HCV melalui air susu ibu (ASI) belum pernah dilaporkan walaupun anti

HCV dan RNA HCV juga ditemukan pada ASI. Angka penularan HCV dari bayi yang minum

ASI sama dengan bayi yang minum susu botol, sehingga infeksi HCV pada ibu bukan

Page 317: Buku Ajar Gastroenterologi

merupakan kontraindikasi untuk pemberian ASI. Kemungkinan adanya RNA HCV pada ASI

adalah karena terjadinya lecet puting susu sehingga terjadi occult hemorrhage.28

Kemungkinan rendahnya penularan infeksi HCV melalui ASI dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Jumlah RNA HCV pada ASI sangat rendah sehingga tidak terjadi infeksi

2. Mungkin jumlah yang kecil tersebut dapat dinetralisir pada saluran cerna

3. Mukosa saluran cerna yang intak mencegah penularan melalui oral

Penularan dalam anggota keluarga

Yang dimaksud di sini adalah adanya anggota keluarga yang menderita infeksi HCV kronis

melalui penularan dengan atau tanpa hubungan seksual. Tanpa adanya faktor risiko yang

lain, nilai yang didapat berkisar antara 0% sampai 11% dengan harga rata-rata 4%.

Penularan dari penderita anak kepada saudaranya adalah rendah. Vignente mendapat

angka tidak adanya penularan pada 56 saudara dari 44 penderita anak. Camarero dkk

hanya mendapat 1 orang tertular dari 80 anggota keluarga 27 anak penderita infeksi kronis

HCV. Rosenthal mendapat 0% dari 103 anggota keluarga 26 penderita talasemia dengan

infeksi HCV. Di Surabaya, Widawati mendapatkan angka penularan 2,06% pada 97 anggota

keluarga dari 34 penderita hepatitis C kronis. Sedangkan Arief mendapatkan angka 0% dari

28 anggota keluarga 6 anak penderita talasemia yang menderita hepatitis C kronis.29,30

Patogenesis

HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi

non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus

lainnya, eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus

yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi dan

menghambat replikasi intraselular melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari

aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya. Mekanisme ini dapat

menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang penderita

terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi

dari antibodi penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan

cara infeksi langsung pada sel limfoid dan mengganggu produksi interferon. Kerusakan

hepatoselular masih menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan

ditemukannya perubahan degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b

mungkin lebih bersifat sitopatik daripada genotip yang lain. Mekanisme sitotoksisitas yang

diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity) diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati,

yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas I dan

core beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga

dihubungkan dengan gangguan imunologis seperti krioglobulinemia, vaskulitis,

glomerulonefritis, artritis, dan tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus

terhadap sistem imun yang menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan

Page 318: Buku Ajar Gastroenterologi

pembentukan kompleks imun dari IgG dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan

limfoid. Reaksi ini mungkin juga menimbulkan limfoma.31,32,33

Gambaran Klinis Infeksi HCV

1. Hepatitis C akut.

Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan masa

inkubasi sekitar 7 minggu yakni antara 2–30 minggu. Anak maupun dewasa yang terkena

infeksi biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada, gejalanya tidak spesifik yaitu

rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa

diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada penderita dewasa dengan gejala

klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan LFT, harga ALT dapat

meningkat sampai 10 kali harga normal. Antibodi terhadap HCV (anti HCV) mungkin

belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah terjadinya

infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase akut, dan pada 40%

penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan status virologis.

Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian menggunakan metode

PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun HBV, infeksi HCV jarang

menyebabkan kegagalan hati fulminan.1,2,4,6,7,11

2. Hepatitis C kronis

Tidak kurang dari 85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme

mengenai mengapa virus masih tetap ada atau persisten setelah infeksi akut belum

diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan

mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala

minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut

kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan

gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan

dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepaik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun,

mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan

kadar ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali harga

normal. Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase

lanjut.1,2,4,6,7,11

3. Sirosis hati

Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga

dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervarisi antara

20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai

timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya

progresifitas penyakit yaitu:

1. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi

2. Laki-laki

3. Derajat fibrosis pada saat biopsi awal

Page 319: Buku Ajar Gastroenterologi

4. Status imunologi

5. Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV

6. Infeksi genotip 1

7. Adanya quasi-species

8. Overload besi

9. Konsumsi alkohol

Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum adalah baik sampai

terjadinya dekompensasi. Fattovich dkk mendapatkan dari 384 penderita sirosis

kompensasi, survival ratenya mencapai 96%, 91%, dan 79% untuk waktu 3, 5, dan 10

tahun. Niederau dkk melalui studi prospektif terhadap 838 penderita hepatitis C kronis

mendapatkan bahwa apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5-year survival

rate kurang dari 50%. Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati.

Dengan adanya resiko terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala setiap 6

bulan perlu dilakukan USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein.1,2,4,6,7,11

4. Karsinoma hepatoselular

Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru

setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis. Resiko terjadinya

karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan

sekitar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma

hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. DiBisceglie memperkirakan bahwa antara 1,9%-

6,7% penderita sirosis HCV berkembang menjadi HCC setelah 10 tahun.2,6,7,34,35

Diagnosis

Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu:

1. Uji saring

Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu

mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita

dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada

penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga pada awal perjalanan

penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi.

2. Uji konfirmasi

Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun

perbaikan pemeriksaan serologis EIA generasi ketiga dapat menyamai atau tidak

memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil

pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah. Uji

konfirmasi ini meliputi :

Page 320: Buku Ajar Gastroenterologi

a. Recombinant immunoblot assay ( RIBA–1, RIBA-2, RIBA-3 )

b. Deteksi virologis

c. Biopsi hati

Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obat-

obat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2

golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.9,36,37,38

Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari

antigen HCV. Juga disebut sebagai diagnosis serologis untuk menemukan adanya IgG anti HCV.

IgM anti HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling populer adalah dengan cara

Enzyme Immuno Assays (EIA). EIA generasi pertama ditujukan untuk menemukan antibodi

terhadap protein nonstruktural (C-100) NS-4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan

kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan protein nonstruktural

dari NS-3 yaitu C-33 c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara mencari antibodi yang

spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada EIA generasi pertama,

dimana generasi kedua ini dapat menemukan 95% penderita infeksi HCV. Disamping itu

generasi kedua dapat menemukan timbulnya serokonversi anti HCV dengan lebih cepat yaitu

antara 4–6 minggu paska infeksi.

Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV dari daerah core

tidak timbul pada semua penderita hepatitis C akut, tetapi tetap ada pada penderita hepatitis C

kronis. Chey menemukan adanya IgM anti HCV pada 50% penderita infeksi kronis. Sedangkan

titer IgG anti HCV berhubungan erat dengan viremia, sehingga mungkin titer IgG tersebut tidak

terdapat pada penderita dengan viremia yang rendah.

EIA generasi ketiga merupakan peningkatan sensitifitas dari generasi kedua, sebab selain

antibodi terhadap protein yang berasal dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah dengan

protein rekombinan dari daerah NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat menyebabkan

hasil positif palsu.

Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA (recombinat immunoblot

assay) yang melakukan deteksi antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang

diikat lapisan nitroselulosa. Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya

karena menggunakan antigen yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam

pembacaan hasil. RIBA 3 merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil yang

meragukan (Indeterminate).

Chien dkk berusaha meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan anti HCV

dengan menambahkan epitop dari daerah E1–E2 dengan cara menggabungkan semua epitop

yang imunodominan dari 7 daerah genom HCV, yang dinamakan single multiple epitope fusion

antigen (MEFA, MEFA-6) yaitu protein dari daerah core, E1-E2, NS-2, NS-3, NS-4, dan NS-5.

Hasilnya adalah sensitivitasnya sesuai dengan EIA generasi ketiga.

Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA dan

menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut, di mana

Page 321: Buku Ajar Gastroenterologi

antibodi terhadap antigen-c belum terbentuk (window period). Pemeriksaan ini juga dapat

digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV; sensitivitasnya

mendekati pemeriksaan RNA HCV.34,35,37,39

Pemeriksaan molekular

Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan juga

dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis

molekular.

Ada 4 cara diagnosis molekuler terhadap HCV :

1. Polymerase chain reaction (PCR)

2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBAtm)

3. Ligase chain reaction (LCR)

4. Branched DNA assay (b DNA assay)

PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target

amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification.

Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan

seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya

kontaminasi.10,33,39

Pengobatan40,41,42,43,44,45,46,47,48

Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresivitas penyakit

menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular. Saat ini rekomendasi dari FDA adalah

pengobatan dengan kombinasi interferon dan ribafirin.

Tabel 16.5. Indikasi dan Kontraindikasi Pengobatan Hepatitis C Kronis.

Indikasi Kontraindikasi pada

Interferon Kontraindikasi pada

Ribavirin

Peningkatan AST/LST Depresi berat Anemia (Hgb <11 g/dl)

Ditemukan HCV-RNA Dekompensasi hati Tidak tahan anemia

Fibrosi portal atau

inflamasi pada biopsi hati Pengguna alkohol Penyakit jantung koroner

Pengguna obat-obatan Kehamilan

Penyakit autoimun Tidak tahan kontrasepsi

Penyakit penyerta berat Penyakit vaskular perifer

Diabetes berat Gagal ginjal

Hipertensi berat Gout

Sumber: Farrel41

Page 322: Buku Ajar Gastroenterologi

Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan infeksi

HCV akut pada anak. Sedangkan pada infeksi kronis ada beberapa laporan tetapi

tidak berskala besar, bukan penelitian multisenter, dan bukan uji klinis. Dari

laporan-laporan tersebut didapatkan sustained virologic responce berkisar 33%-

45%. Hasil ini ternyata lebih besar daripada respon pada orang dewasa.

Kemungkinan penyebabnya adalah: (1) penyakit masih pada stadium awal, (2)

tidak ada faktor yang memperberat penyakit, dan (3) dosis interferon relatif lebih

tinggi. Atau mungkin karena penelitiannya dalam ruang lingkup yang sempit dan

bukan uji klinis sehingga terjadi artefak statistik.

Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu. Dosis ribavirin

adalah 8, 12, atau 15 mg/kg BB per hari. Pada penderita hepatitis C kronis yang

mengalami ko-infeksi dengan HIV, konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran

histologis cenderung lebih progresif; maka pemberian pegylated interferon

bersama ribavirin diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Tabel 16.6. Evaluasi Pada Pengobatan Hepatitis C kronis.

Pilihan terapi Obat Penjelasan

Interferon tunggal

Interferon alfa-2a Roferon-A Dosis dapat ditingkatkan/

diperpanjang.

Induksi.

Interferon alfa-2b Intron-A

Interferon alfa-n1 Wellferon, lymphoblastoid

IFN

Interferon beta

Interferon alfacon-1 Infergen, Consensus IFN

Ribavirin tunggal Rebetol Respon biologis dan histologis (+),

respon virologis (-)

Kombinasi Interferon

and Ribavirin

Rebetron Sustained response rates sekitar

40%.

Terapi utama.

Pegylated interferon

alfa-2a

Symmetrel Masih diteliti, hasil lebih baik

Amantadin;rimantadin Flumadin Dalam penelitian

Recombinant

interleukins

IL-2, IL-10, IL-12 Dalam penelitian, hasil lebih baik

Ursodeoxycholic acid

(UDCA)

Ursodiol Kurang baik

Phlebotomy Actigall Hasil diperdebatkan

Page 323: Buku Ajar Gastroenterologi

Thymosin alpha-1 (TA1) Kurang memuaskan

Nonsteroidal NSAIDs Kurang baik

Sumber: Farrel41

Pencegahan 1,2,4,5

Tidak seperti HAV atau HBV, dimana imunglobulin memainkan peranan penting dalam

profilaksis primer, pada HCV belum ditemukan jenis imunoglobulin yang efektif untuk

pencegahan post exposure. Pembuatan vaksin juga terhambat karena tingginya derajat

diversitas genetik.

Sehingga pencegahan dititikberatkan pada :

1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ.

2. Uji saring terhadap individu yang berada pada daerah dengan prevalensi HCV yang tinggi

untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.

3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh.

Individu-individu yang seharusnya menjalani tes uji saring HCV adalah :

1. Pengguna obat terlarang dengan suntikan

2. Penerima darah dan produknya

3. Penderita dialisis kronis

4. Individu dengan ALT yang terus menerus meningkat

5. Petugas kesehatan yang pernah kontak dengan darah yang terinfeksi HCV

6. Bayi yang lahir dari ibu penderita HCV

Daftar Pustaka

1. Cheney CP, Chopra S, Graham C. Infection of the Liver. Hepatitis C. Inf Dis Clin N Am. 2000; 14: 633-67. 2. Tapia MS. Viral Hepatitis C in Prieto J, Riodes J, et al: Hepato Biliary Disease. Springer verlag. Berlin, 1st Ed.

1992: 573-609.

3. Untario MC. Pengaruh transfusi terhadap kejadian hepatitis C pada penderita anak Thalasemia di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Karya Akhir Spesialisasi Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Surabaya. 1992.

4. Albert A, Bartolotti F, Bircher J, et al. Clin Hepatology, Oxfort Univ Press, 2nd ed. 1999: 903-22.

5. Esomi M, Shikata T. Hepatitis virus C and Liver Desease. Patologi International. 1994; 44: 85-95. 6. Houghton M, Han J, Kuo G, et al. Viral hepatitis, scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone

1st ed. 1993: 229-40.

7. Okamoto H, Kurai K, Okada SI, et al. Full length sequence at a hepatitis c virus genome having poor honology to reported isolates comparition study of four distinct genotype. Virology. 1992; 188: 331–41.

8. Simmonds P, Holmes EC, Cha TA, et al. Classification of Hepatitis C virus into six major genotype and a series of

subtypes by philogenetic analysisi of the NS-5 region J. Gen. Virol. 1993; 74: 2391-99. 9. Cohen J. The scientific challenge of hepatitis C. Science. 1999; 285: 26-30.

10. Handayani R, Hotta H, Soemarto R, et al. Genotype virus hepatitis C di Surabaya, Surabaya, Simposium

Nasional hepatitis C September. 1994: 51-62. 11. Soetjipto, Handayani R, Lusida MI, et al. Diversity of hepatitis c sequences. simposium liver disease in the

tropical area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995: 13-20.

12. Soemarto R, Handayani R, Soetjipto, et al. Anti HCV pada beberapa kelompok masyarakat. Simposium Liver Desease in The Tropical Area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995: 37-43.

Page 324: Buku Ajar Gastroenterologi

13. Halsey NA, Abramson JS. Comitte in infections diseases hepatitis c virus infection. Pediatr. 1998; 101: 481-85.

14. Tokita H, Okamato H, Inzuka H, et al. Hepatitis C Virus Variant from Jakarta, Indonesia clasifiable intronovel genotypes in the second (2e and 2f), teenth (10a) and eleventh (11a) genetic groups. J. Gen virol. 1996; 77: 293-

301.

15. Bortolotti F, Resti M, Giochimo R, et al. Changing epidemiologic patterm of chronic hepatitis C virus infection in Italian children. J. Pediatr. 1998; 133 :378-81.

16. Deaffic S, Buffort L, Paynand T, et al. Modelling the hepatitis C virus epidemic in France. Hepatology. 1999; 29:

1596-1601. 17. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious

disease. 1999; 180(2): 509-13.

18. Sulaiman HA. Epidemiologi dan tinjauan klinis hepatitis c simposium nasional hepatitis C. Surabaya. 1994: 21-33.

19. Soetjipto, Handayani R, Lusida MI, et al. Differential prevalence of Hepatitis C virus subtypes in healthy blood

donors, patients on maintenance hemodialysis and patients with hepatocellular carcinoma in Surabaya, Indonesia. J Clin Microbiology. 1996: 2875–80.

20. Giacchino R, Tasso L, Timitilli A, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus infection: usefullness of viremia

detection in HIV-sero negative hepatitis C virus-seropositive mothers. J Pediatr. 1998; 132: 167-169.

21. Thaler MM, Kee Pork C, Landess DV, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus. The Lancet. 1991; 338: 17-

18.

22. Aach RD, Yonitovian RA, Hack M. Neonatal and pediatric post transfusion hepatitis C: A look back and a look forward. Pediatrics. 2000; 105: 836-42.

23. Rosenthal E, Hazari A, Segal D, et al. Lack of transmission of hepatitis C virus is very close family contacts of

patients undergoing multiple transfussion for thalassemia. J Ped Gastroenterol. 1999; 29: 101-3. 24. Pipan C, Amici S, Astomi G, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus in low-risk pregnant women. Eur J

Clin Microbiol Infect Dis. 1996; 15: 116–20. Citation.

25. Weystal R, Wideel A, Manson AS, et al. Mother to infant transmission of hepatitis C Virus. Annals of Int. med. 1992; 117: 887-90.

26. Ohto H, Terrazoma S, Sasaki N, et al. Transmisssion of hepatitis C virus from mother to infants. NEJM. 1994;

330: 744-50. 27. Zuccatti GV, Ribero ML, Giovanni M, et al. Effect of hepatitis C genotype on mother to infant transmission virus.

J Pediatr. 1995; 127: 278-280.

28. Hsunglien HS, Hong Kao J, Yuan Hsu H, et al. Absence of infection in brest fed infant born to Hepatitis C virus-infected mothers. J Pediatr. 1995; 126: 589-91.

29. Arief S. Penularan virus Hepatitis C (HCV) pada anggota keluarga. Bull. Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair. 1998;

2: 18-23. 30. Widawati S, Adi P. Soetjipto, Lusida MI. Penularan HCV pada keluarga. Buletin PGI-PPHI-PEGI. Surabaya.

1994; 1: 35-39.

31. Bortolotti F, Resti M, Giacebrino R, et al. Hepatitis C virus infection and related liver disease in children of mother with antibodies to the virus. J Pediatr. 1997; 130: 990-93.

32. Nelson DR. The immuno pathogenesis of hepatitis c virus infection. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 931-53.

33. Prince AM, Shata MT. Immuno Prophylaxis of Hepatitis C Virus Infection. Clin In Liver Dis. 2001; 5: 1091-1103. 34. Moyern LA, Mast EE, Alter MJ. Hepatitis C: Routine serologic testing and diagnosis. Am Fam Phys. 1999; 59:

79-88.

35. Roth WK, Zeuzem S. Serological and molecular diagnosis of Hepatitis C Virus infection in Darmadii S. Serologic marker in the diagnosis of viral hepatitis. Seminar on viral hepatitis up date. TDC. Airlangga Univ. Surabaya.

1998: 31-50.

36. Brown D, Dusheiko G. Diagnosis of HCV in Zuckerman AI, Thomas HC: Viral hepatitis, scientific basic and clinical management. Churchill livingstone London, 1st Ed. 1993: 283-301.

37. Chien DY, Arcangel P, Thelby AM, et al. Use of a polypeptide for diagnosis of HCV infection. J Clin Microbiol.

1999; 37: 1393-97.

38. Morishima C, Greth DR. Clinical use of hepatitis C virus test for diagnosis and monitoring during therapy. Clin

in Liver Dis. 1999; 3: 717-46.

39. Aoyagi K, Ohue C, Ilda K, et al. Development of a simple and highly serotive enzyme immuno assay for hepatitis C virus core antigen. J Clin Microbiol. 1999; 37: 1802-08.

40. Cotler SJ, Jensen DM. Treatment of hepatitis C virus and HIV Co-infection. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 1045-61.

41. Farrel GC. Management of hepatitis C draft working party reports from asia pasific concensus on prevensen and management of chronic hepatitis C and B. Black well Pty, Kyoto Japan. 1999: 4i-Viii.

Page 325: Buku Ajar Gastroenterologi

42. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007;

38(6): 702-10. 43. Jonas MM. Challenges in the treatment of hepatitis C in children. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 1063-71.

44. Kekez AJ. Treatment of viral hepatitis in children. Acta medica Croatia. 2005.

45. Marcellin P, Martinat M, Boyer N, et al. Treatment of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 1999; 3: 843-53. 46. Sathiyasekara M. Management of viral hepatitis in children. National conference of pediatric infectious disease.

2006. 47. Schneider ZS, Mohan P. Treatment of Viral Hepatitis in Children. Children’s National Medical Center,

Washington, DC, USA. 2009.

48. Shad JA, Mc Hutchison JG: Current and future therapies of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 335-60.

HEPATITIS D

Pendahuluan

Virus hepatitis delta (HDV) ditemukan pertama kali oleh Rizzetto dkk di Italia pada tahun

1977 dengan menemukan adanya antigen hepatitis delta pada sediaan biopsi hati. Pemeriksaan

serologis untuk mendiagnosis HDV baru dikembangkan pada tahun 1980.

Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus terkecil, tidak dapat menyebabkan infeksi bila

tidak bersamaan dengan infeksi HBV, dan ditemukan pertama kali sebagai inti antigen pada sel

hati dari penderita yang terinfeksi HBV. Dahulu HDV dianggap sebagai bagian dari HBV,

namun ternyata merupakan suatu virus RNA lain yang tidak dapat memproduksi protein

penutup sehingga bagian luar dari virus ini ditutup oleh antigen permukaan dari HBV (HBsAg)

dan selalu dihubungkan dengan gejala klinis yang berat.1,2,3

Virologi

HDV adalah virus RNA berdiameter 36 mm. Lapisan luarnya adalah HBsAg yang

membungkus genom RNA dan antigen delta. Genom ini terdiri dari 1700 nukleotida rantai

tunggal sirkular dengan kandungan G dan C yang tinggi (60%). HDAg adalah protein yang

dikode oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati penderita dengan massa molekul

27000 kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus oleh HBsAg maka cara masuknya HDV ke

dalam sel hati kemungkinan besar menggunakan reseptor untuk HBV. Apabila sudah berada di

dalam sel hati maka HDV melakukan replikasi tanpa adanya HBV. Replikasi dari HDV terjadi di

dalam inti sel hati dengan cara yang sama seperti virus lain walaupun mekanisme transkripsi

RNA-HDV belum jelas. Cara interaksi antara HDAg dengan HBsAg masih belum jelas.1,3,4,5

Epidemiologi

Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan

asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia dengan

prevalensi tinggi di Amerika Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania, dan beberapa

pulau di Kepulauan Pasifik. Masa inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu sedangkan

pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi tanpa adanya HBV

sebagai virus pembantu. Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang sama dengan infeksi

HBV (koinfeksi) atau menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah terinfeksi HBV

(superinfeksi). HDV adalah virus blood born sehingga penularan terjadi secara parenteral.

Page 326: Buku Ajar Gastroenterologi

Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada daerah dengan

prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent parenteral.

Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi pada kulit lebih

sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi pada penderita

penyakit darah, dan infeksi nosokomial.6,7,8

Patogenesis

Oleh karena dibungkus HBsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan

besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik menyebabkan

kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik pada

pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat.

Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas.

Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita dengan

infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi ini beban

replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel hati (sitopatik).

Peran sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel radang kronis pada portal

trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan kortikosteroid tidak

memberikan efek yang menguntungkan. Terdapat beberapa auto-antibodi pada serum

penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya kerusakan sel hati tidak

jelas.9,10,11

Gambar

16.3.

Perubahan

serologis dan

biokimia

pada

koinfeksi

HDV.4

Ikterus

Gejala

ALT

Anti-HDV

Anti-HBs

IgM Anti-HDV

HDV-RNA

HBsAg

0 2 1 3 5 6 12 24 4

Page 327: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar

16.4.

Perubahan

serologis

dan

biokimia

pada

superinfeks

i HDV.4

Gambara

n klinis

Gam

baran

klinis

infeksi

HDV

tergantun

g pada

mekanism

e infeksi.

Pada koinfeksi gejala klinis hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja. Namun

untuk menjadi hepatitis kronis kemungkinannya adalah rendah. Pada superinfeksi jarang

terjadi gejala klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian

superinfeksi risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal

hati fulminan harus dipikirkan kemungkinan infeksi HDV.11,12

Koinfeksi Superinfeksi

Fulminan

2%-20%

Sembuh

90%-95%

Kronis

2%-7%

Kronis

70 -90%

Sembuh

5%-10%

Fulminan

10%-20%

Sirosis

70%-80%

Karsinoma

Gejala

ALT

Anti-HDV

IgM Anti-HDV

HDV-RNA

HBsAg

0 2 1 3 5 6 4 1 2 3 4 5 6

Page 328: Buku Ajar Gastroenterologi

Gambar 16.5. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV.

Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan panas

mendadak, hematemesis, dan gejala gagal hati fulminan. Terjadi terutama di daerah lembah

sungai Amazon, Amerika Selatan dan disebut sebagai hepatitis Labrea, black fever atau

hepatitis santa marta.1

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu

setelah infeksi secara koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi, menggunakan metoda RIA

atau Elisa. HDAg dapat ditemukan pada sel hati menggunakan pengecatan khusus

immunoflourescence. HDAg juga terdapat pada serum penderita menggunakan metode analisis

Western blot. RNA HDV hapatik dan RNA HDV serum dapat ditemukan dengan cara Northren

blot, Hibridisasi Insitu. Metoda PCR juga dapat digunakan untuk mencari HDV RNA.11,13

Pengobatan

Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan

lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada

penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar

ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons

Page 329: Buku Ajar Gastroenterologi

positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian

interferon diteruskan sampai HBsAg hilang dari serum.12,14,15

Pencegahan

Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi

tanpa adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi

HDV.5,10

Daftar pustaka

1. Buitrago B, Popper H, Hadler SC, et al. Specific histological features of Santa Marta hepatitis: a severe form of

hepatitis delta virus in Northern South America. Hepatology. 1986; 6: 1285-91. Citation.

2. Conjeevaram HS, Di Bisceglie AM. Natural history of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ. 3. Monjardino J, Lai MMC. Sructure and molecular virology of hepatitis D virus. In Zuckerman AJ, Thomas HC.

Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 329-40.

4. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004: 1324-32.

5. Taylor JM, Manson W, Summers J, et al. Replication of human hepatitis delta virus in primary culture and

woodchuck hepatocytes. J Virol. 1988; 62: 2981-85. 6. Di Bisceglie AM. Epidemiology and diagnosis of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral

Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 351-61.

7. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13.

8. Rizzetto M, Ponzzetto A, Forzani I. Epidemiology of hepatitis delta virus: overview in Gerin JL, Purcell RH,

Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss New York. 1991: 1-20. Citation. 9. Bonino F, Brunetto MR, Negro F. Factors influencing the natural course of HDV hepatitis in: Gerin JL, Purcel

RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss, New York. 1991: 137-46. Citation.

10. Negro F, Rizzetto M. Pathobiology of hepatitis delta virus. In: Hollinger FB, Lemon SN, Margolis HS. Viral hepatitis and liver disease. Williams and Wilkins, Baltimore. 1991: 477-80.

11. Smedile A. Infection with HBV associated delta antigen in HBsAg carriers. Gastroenterology. 1981; 81: 992-7.

Citation. 12. Rizzetto M, Rosina F. Treatment of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific

basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 363-69.

13. Rizzetto M, Canese MJ, Arico S, et al. Immunoflorescence detection of a new antigen-antibody system (delta/anti-delta) associated to hepatitis B virus in liver and in serum of HBsAg carriers. Gut. 1977; 18: 997-

1003.

14. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007; 38(6): 702-10.

15. Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993:

341-49.

Page 330: Buku Ajar Gastroenterologi

HEPATITIS E

Pendahuluan

Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara

enterik (ET-NANB). Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali di New Delhi, India pada tahun

1955 di mana terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari

perusahaan air minum kota yang tercemar tinja. Pada tahun 1980 ditemukan bahwa jenis

hepatitis ini secara pemeriksaan serologis bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan hepatitis B

(HBV).1,2,3

Virologi

Virus hepatitis E mempunyai berdiameter 32-34 nm, berbentuk sferis dan merupakan

partikel yang tidak mempunyai penutup. Merupakan virus RNA yang terdiri dari 7500 pasangan

nukleotida rantai tunggal.1,2

Epidemiologi

Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgiz, Uni Soviet pada tahun 1955-1956

yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai usia pertengahan. Juga terjadi di

Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 20000 dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi di

Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis E di Kalimantan Tengah

pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.4,5

Patogenesis

HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologisnya

menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe

kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis

lain yaitu pembengkaan sel hati, digenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PNM pada daerah

intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan stasis empedu

pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti HEV.

IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens sedangkan IgG anti HEV

dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel hati pada infeksi HEV masih belum

jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic supression

immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh mekanisme

imunologis selular dan humoral.1,2,3,6

Gambaran klinis

Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus

fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya 2-9 minggu. Bentuk subklinisnya tidak

dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes dengan ikterus

akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan ALT dicapai setelah

3 minggu sejak mulai timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi pada kelompok anak

Page 331: Buku Ajar Gastroenterologi

muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada dewasa muda dan

umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi pada wanita hamil.

Tidak pernah didapatkan bentuk kronis. 1,2,3,6,7

Diagnosis1,2,3

Diagnosis hepatitis E akut ditentukan dengan cara:

1. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita.

2. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking

assay.

3. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu minggu

timbulnya gejala klinis.

4. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja.

Pencegahan

Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV.

Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah

penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk

mencegah infeksi HEV.3,8

Daftar pustaka

1. Bradley DW, Krawczynski K, Purdy MA. Hepatitis E virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis

scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 373-89. 2. Krawczynski K. Hepatitis E. In: Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of

Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999: 922-26.

3. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004: 1324-32.

4. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious

disease. 1999; 180(2): 509-13. 5. Viswanathan R. Infectious hepatitis in Delhi (1955-56): a critical study; epidemiology. Indian Journal of Medical

Research. 1957; 45: 1-30. Citation.

6. Bradley DW, Andjaparidze A, Cook EH, et al. Aetological agent of enterically transmitted non-A, non-B hepatitis. J Gen Virol. 1988; 69:731-38. Citation.

7. Khuroo MS. Incidence and severity of viral hepatitis in pregnancy. Am J Med. 1981; 70: 252-55.

8. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007; 38(6): 702-10.

HEPATITIS G

Pendahuluan

Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada

sekelompok penderita hepatitis paska transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum

diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non-A-E. Pada tahun 1996

ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non-A-E yang dinamakan dengan virus hepatitis

Page 332: Buku Ajar Gastroenterologi

G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus hepatitis C tetapi

tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati.1,2,3

Virologi

Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri

atas 9400 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviridae, ditularkan secara parenteral.3

Epidemiologi

HGV/ virus GB-C adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada

penderita penyakit darah yang mengalami transfusi berulang. Juga pengguna obat secara

intravena. Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari

ibu ke bayi yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus

plasenta. Prevalensi HGV/ virus GB-C pada donor darah dan populasi umum di negara maju

antara 1-2%. Di negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5%-10%. Tingginya prevalensi

HGV/VGB-C di daerah tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan vektor

lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadar ALT serum

normal.

Patogenesis

Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C mengalami viremia tetapi tidak

didapatkan perubahan gambaran histopatologis yang berarti dan kadar ALT dalam batas

normal. Sampai saat ini tidak didapatkan bukti bahwa infeksi HGV menyebabkan gejala klinis.

Ditemukannya HGV/ virus GB-C pada limfosit dianggap bahwa virus ini mempunyai sifat

biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV.6,7,8

Gambaran klinis

Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi

dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak ditemukan

kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C.1,2,8

Diagnosis

Diagnosis HGV/ virus GB-C berdasarkan ditemukanya virus RNA dengan cara RT-PCR.

Cara lain adalah metode branched DNA. Antibodi terhadap protein E2 secara ELISA dapat

ditemukan pada fase kesembuhan atau infeksi lampau.1,2,8

Pencegahan

Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi HGV/ virus GB-C.

Page 333: Buku Ajar Gastroenterologi

Daftar pustaka

1. Alter HJ, Bradley DW. Non-A, non-B hepatitis unrelated to the hepatitis C virus (non-ABC). Seminar in liver

disease. 1995; 15: 110-20. 2. Alter MJ, Gallager M, Morris TT, et al. Acute non-A-E hepatitis in the United States and the role of hepatitis G

virus infection. Sentinel counties viral hepatitis study team. N Engl J Med. 1997; 336: 741-46.

3. Leary TP. Sequence and genomic organization of GBV-C: a novel member of the flaviviridae associated with human non-A-E hepatitis. J Med Virol. 1996; 48: 60-7.

4. Hadziyannis S, Hess G. Epidemiology and natural history course of G/GBV-C infection. In Zuckerman A and

Thomas H. Viral Hepatitis. 2nd ed. Livingstones, in press. Citation. 5. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious

disease. 1999; 180(2): 509-13.

6. Karayiannis P. Hepatitis G virus infection. Clinical characteristics and response to interferon. J Viral Hepatitis. 1997; 4: 37-44. Citation.

7. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of

pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004: 1324-32.

8. Deinhardt F, Holmes AW, Capps PB, et al. Studies on the transmission of disease of human viral hepatitis to

marmoset monkeys. Transmission of disease, serial passage and description of liver lesions. J Exper Med. 1967;

125: 673-87.

BAB XVII

DRUG INDUCED HEPATITIS

Ina Rosalina

Page 334: Buku Ajar Gastroenterologi

Ilustrasi Kasus

Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut,

lemas dan muntah-muntah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan badan kuning, sklera kuning,

anak tampak sakit, lemah, dan kurus. Teraba limfonodi di leher kiri, kecil. Auskultasi paru

terdengar ronkhi. Pemeriksaan jantung dalam batas normal. Anak sedang dalam terapi TB

paru primer dengan INH, rifampin, dan pirazinamida. Sekarang sedang menjalani terapi

bulan ke 3. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan GOT dan GPT meningkat, sedangkan

fosfatase alkali normal.

Pendahuluan

Hati merupakan organ lintas pertama dari obat yang diabsorpsi dari mukosa lambung

dan mukosa usus halus sebelum mencapai bagian tubuh lainnya. Obat akan mengalami

biotransformasi oleh hati. Fungsi tersebut akan mengakibatkan hati mempunyai risiko tinggi

untuk mengalami intoksikasi oleh obat-obatan.

Biotransformasi mempunyai dua tahap, pertama disebut tahap aktivasi dan kedua

disebut tahap detoksifikasi. Obat-obat hepatotoksik pada proses keseimbangan ini sangat kritis

sehingga penggunaannya harus hati-hati.1,2

Sherlock (1993) melaporkan sekitar 2% dari semua kasus ikterus yang dirawat adalah

disebabkan oleh penggunaan obat. Sekitar seperempat kasus kegagalan hati fulminan di

Amerika Serikat berhubungan dengan pemakaian obat serta 4 dari 23 kasus hepatitis kronis

aktif.

Pasien dengan penyakit hati perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat-obatan sejak tiga

bulan terakhir termasuk dosis, rute pemberian, lama serta kombinasi dari obat tersebut.

Kerusakan hati yang ditimbulkan oleh obat-obat hepatotoksik secara histopatologi beraneka

ragam, namun ada 2 bentuk yang sering yaitu bentuk hepatitik dan bentuk kholestatik. Kedua

bentuk ini dapat terjadi bersamaan pada satu jenis obat pada orang yang sama.3

Pada tulisan ini akan dibahas metabolisme obat dan mekanisme kerusakan hati oleh

obat hepatotoksik serta obat-obat yang sering digunakan dalam terapi yang dapat menyebabkan

kerusakan hati khususnya bentuk hepatitik, gambaran klinis, pengobatan serta prognosisnya.

Metabolisme Obat di Hati

Metabolisme obat oleh hati atau biotransformasi terjadi dalam mikrosom sel melalui

sistem enzim yang sangat komplek. Perubahan ini terjadi melalui 2 tahap yaitu aktivasi dan

detoksifikasi. Tahap pertama terjadi oksidasi, reduksi dan penambahan gugus hidroksil

sedangkan pada tahap kedua atau tahap konjugasi terjadi metabolisme bahan yang menjadi

lebih polar sehingga mudah lebih larut dalam air yang kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui

traktus urinarius dan sistem bilier.

Page 335: Buku Ajar Gastroenterologi

Dikatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi metabolisme obat di mikrosom hati

antara lain adalah: (1) penurunan aktivitas sesuai dengan pertambahan umur (2) kurang gizi (3)

terjadinya kompetisi dalam metabolisme obat pada penggunaan obat kombinasi, dan (4) pada

penderita penyakit hati.3,4,5

Gambar 17.1. Metabolisme tahap I dan tahap II

Pada obat

hepatotoksik hal ini perlu berhati-hati karena berada dalam keseimbangan yang kritis.

Gambar 17.2. Metabolisme Obat Di Hati

Tahap II Tahap I

Bahan

Obat Detoksifikasi

Katalisator:

Kompleks enzim sitokrom P-450

Katalisator:

Sulfotransferase

Glukuroniltrasferase

Glutationtransferase

Asetiltransferase

Epoxidhidrolase

Bentuk

antara

Page 336: Buku Ajar Gastroenterologi

Pada tahap I metabolisme obat hepatotoksik disamping dapat menjadi bahan aktif juga dapat

berubah menjadi bahan kimia lain yang selanjutnya merupakan bahan toksik.

Mekanisme Kerusakan Hati

Mekanisme terjadinya nekrosis sel hati yang disebabkan oleh obat-obatan hepatotoksik

tidak diketahui secara pasti namun ada 7 dasar terjadinya kerusakan hati tersebut:

1. Berhubungan langsung atas proses metabolisme di hati (kholestasis)

2. Kerusakan sel hati oleh efek toksik obat (nekrosis)

3. Kerusakan sel hati akibat reaksi imunologi

4. Karsinogenik/ mutagenik

5. Berhubungan dengan aliran darah ke hati

6. Transmisi oleh infeksi

7. Penyakit hati sebelumnya

Menurut Roberts (1991) setiap obat berbeda mekanismenya sedangkan menurut Colon

(1990) kerusakan hati oleh obat hepatotoksik pada dosis terapi kemungkinan besar disebabkan

faktor kepekaan terhadap obat (idiosinkrasi).6,7

Mekanisme ini dapat diklasifikasikan atas 2 tipe yaitu: (1) yang dapat diramalkan

(biasanya tergantung dosis), dan (2) yang tidak bisa diramalkan atau idiosinkrasi (biasanya

tidak tergantung dosis), Kelainan idiosinkrasi terjadi akibat reaksi imunologis dengan gejala

dan tanda yang tampak di luar hati seperti ruam, nyeri sendi dan eosinofilia. Pada anak kelainan

yang tidak tergantung dosis ini (idiosinkrasi) jarang ditemui, namun perlu juga diperhatikan

karena timbulnya kelainan ini tidak dapat diduga sebelumnya.6,7

Aktifasi

metabolit Metabolik

nontoksik

Obat

Membentuk

makromolekul

Sitotoksik Antigen Mutagen

Nekrosis Karsinogenik Teratogenik Fenomena

imunologis

Page 337: Buku Ajar Gastroenterologi

Secara histopatologis kerusakan yang terjadi pada bentuk hepatitik sulit dibedakan

dengan hepatitis virus. Kerusakan tersebut dapat berupa nekrosis fokal atau masif dari sel hati.

Hal ini tergantung pada patogenesis (toksik/ idiosinkrasi) masing-masing obat.

Pada kasus toksik biasanya kerusakan pada satu wilayah namun pada idiosinkrasi

nekrosis yang terjadi merata di beberapa wilayah (masif). Gambaran nekrosis pada kasus toksik

yang lebih utama adalah neutrofil dan sedikit eosinofil. Pada nekrosis masif yang disebabkan

faktor idiosinkrasi yang terlihat adalah sel mononuklear dan ditandai dengan meningkatnya

eosinofil.6,8

Gejala yang Timbul

Gejala yang muncul adalah:

- Ikterus

- Lelah

- Nafsu makan turun

- Nausea (mual)

- Vomitus (muntah)

- Abdominal pain (nyeri perut)

- Diare

- Urin seperti air teh

Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan peningkatan tes fungsi hati dan hepatomegali.4,6

Bentuk Kelainan Hati dan Obat-obat yang Menyebabkan Kelainan Hati

Bentuk kelainan hati yang mungkin terjadi karena obat hepatotoksik dapat

dikategorikan seperti terlihat pada tabel 17.1 dibawah ini.

Tabel 17.1. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan

Tipe Kelainan AST/ALT AP Kolesterol Keterangan

I Nekrosis sel hati + 4 + 1 N/- Hepatitis-like

II Steatosis + 2 + 1 N/- Asimtomatik

III

Kolestasis:

- Hepatoselul

ar

- Kanalikuli

+ 1

+ 1

+ 3

+ 1

+ 2

N/+

Obstruksi, tergantung

dosis

Page 338: Buku Ajar Gastroenterologi

IV Kelainan

vaskular + 1 + 1 N/+ Trombotik

V Fibrosis + 1 + 1 N/- Hipertensi portal dan

sirosis

VI Granulomatosa + 1 + 1 N Asimtomatik

VII Neoplasma Bervariasi Jarang pada anak

Keterangan : (+) meningkat, (-) turun, N= normal

Sumber: Farrel3

Obat-obat yang tergolong hepatotoksik dapat dilihat dalam tabel 17.2 berikut yang

disusun menurut abjad, namun pada makalah ini yang dibahas secara khusus adalah obat-obat

yang banyak dipakai dan sering menyebabkan kelainan hati pada anak.

Tabel 17.2. Daftar obat hepatotoksik

Nama obat Kelainan Nama obat Kelainan

Asetaminofen

Asetohexamin

Allopurinol

Aminocaprooic acid

Amiodaron

Amithiozine

Ampicilin

Androgen

Amitriptilin

Anabolic steroid

Antimony potasium

Arsenic

Aspirin

I,III

I

I,IV

I

I,V

I,V

I

III

I

III,VII

I

V

I,II

Isoniazid

Ketokonazol

Levodopa

Marijuana

Melarsoprol

Mephenitoin

Meprobamat

Mercatopurin

Methotrexate

Methoxyflurane

Methyldopa

Mithramycin

Nafcilin

I

I

I

I

I

I,III

I,III,V

I

I,VI

I

I

III

I

Page 339: Buku Ajar Gastroenterologi

Azothioprin

BCG

Benoxaprofen

Benzyl alkohol

Carbamazepin

Carbason

Carisoprodol

Cephalothin

Chlorambucil

Chloramphenicol

Chloroform

Chlorothiazid

Chlorpromazin

Chlorpropamide

Chlorthalidone

Cimetidine

Cinchopen

Clidamycin

Clometacin

Coumarin

Cyclopospamide

Cyclopropane

Dantrolene

Dapsone

Demecolcine

Diazepam

Diphenilhidantoin

Disopyramin

Disulfiram

I,IV

I,V

I,III

I,III

I,III,V

I

I

I

I,III,V

I

I

I,III

III

I,III

I,III

III

I

I

I,III

I

I

I

I

I

III

I,III

I

III

I

Nicotinic acid

Nialamide

Nitrofurantoin

Noertiptylin

Oxacyllin

Oxyphenacetin

Papaverine

Paraaminosalicilic-a

Penicillin

Phenacemide

Phenazopyridin

Phenelzin

Phenobarbital

Phenothiazin

Phenilbutazon

Probenezid

Procainamide

Procarbasin

Prochlorperazin

Promethasin

Prophoxypen

Propilthiourasil

Pyrazinamid

Quinacrin

Quinidine

Ranitidin

Rifampicin

Stilbamidin

Streptomycin

III,VI

I

I,III

I

I

I,III

I

I

I

I

I

I,III

I,VI

I

VI

VI

III

III

III

I,III

I

I

I

I

I

I

I

I,III

I,III

Page 340: Buku Ajar Gastroenterologi

Enflurane

Erythomycin

Estrogen

Ecthlorvynol

Ethionamide

Ethotion

Fluroxene

Gold

Griseovulvine

Halotan

Hycantone

Imipramin

Indometasin

Iodine

Iodipamide

Iopanoic acid

Iproniazid

Isocarboxazid

I

I,III

I,II,III

III

I

I

I

I

III

I

I

III

I

I

I

I

I

I

Sulfa

Sulindac

Tapazol

Testosteron

Tetrasiklin

Thiabendazol

Thioguanin

Thioridazin

Ticrinafen

Tolbutamid

Totalparenteral nutrisi

Triaclyoleoandromycin

Trifluoferazin

Trimeprazin

Trimethadion

Trimetoprinsulfameto

Urethan

Valproat

zoxazolamin

I

III

I

III,V

III

III

I,V

I,III

I,III,V

I

I

I

I

III

I,VII

I,II,III

I

Sumber: Farrel3

Aspirin

Hepatotoksik bergantung dengan dosis dan biasanya terjadi pada pemberian dosis tinggi

pada artritis rematoid juvenil. Roberts (1991) melaporkan 10% kasus anak dengan demam

rematik akut yang mendapat aspirin. Pada anak perempuan lebih sering daripada laki-laki.

Hepatotoksik karena aspirin ditandai oleh kadar aspirin dalam serum yang melebihi 25

mg/dl dan sering meningkatkan kadar enzim transaminase. Kadar aspartat aminotransferase

dan/atau alanin aminotranferase meningkat dan timbul eosinofilia. Adanya bentuk kelainan

seperti hepatitis; anoreksia, mual, muntah dan nyeri perut dan hepatomegali. Pada kasus

overdosis dan progresif terjadi ikterus dan pada biopsi terlihat infiltrasi sel mononuklear dan

sel-sel nekrosis. Dengan mikrosop elektron terlihat mitokondria edem.3,6

Page 341: Buku Ajar Gastroenterologi

Asetaminofen

Asetaminofen (parasetamol) merupakan derivat para-amino-fenol yang mempunyai efek

antipiretik dan analgetik, sering dipakai untuk anak. Hepatotoksik dapat terjadi dengan

pemberian dosis tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan hati.

Kerusakan hati akibat asetaminofen disebabkan oleh suatu metabolitnya N-acetyl-p-

benzoquinoneimine (NAPQI) yang sangat reaktif. Pada keadaan normal produk reaktif ini

dengan cepat berikatan dengan glutation di hati sehingga menjadi bahan yang tidak toksik.

Akan tetapi pada keadaan kelebihan dosis produksi NAPQI yang bertambah dan tidak

sebanding dengan kadar glutation, NAPQI berikatan membentuk makromolekul dengan sel hati

yang mengakibat nekrosis sel hati.

Dosis toksik terjadi bila pemakaiannya lebih dari 160 mg/kgBB/hari. Namun pada

individu yang sama, dosis toksik dapat terjadi pada pemakaian dalam batas dosis terapi. Hal ini

berhubungan dengan menurunnya kadar glutation pada keadaan kelaparan dan kurang gizi dan

juga dapat terjadi pada penggunaan alkohol. Dikatakan bahwa pada anak berusia di bawah 12

tahun, sifat hepatotoksik dari asetaminofen berkurang jika dibandingkan dengan anak yang

lebih besar. Hal ini disebabkan karena kadar sitokrom P-450 yang rendah sehingga

metabolisme asetaminofen juga berkurang.6,9

Gambar 17.3. Metabolisme asetaminofen

Asetaminofen Senyawa nontoksik

glukuronidasi

sulfa

si

Bentuk tak stabil

Bentuk toksik (NAPQI)

Senyawa nontoksik

Bentuk makromolekul dengan sel hati

Nekrosis sel hati

katalisator:

kompleks enzim sitokrom

P450

glutation

Page 342: Buku Ajar Gastroenterologi

Isoniazid

Isoniazid menyebabkan kira-kira 7% kelainan hati pada anak. Hal ini jarang terjadi pada

bayi dan insiden akan meningkat dengan bertambahnya usia. Dikatakan bahwa INH dapat

menyebabkan hepatitis pada pemakainan lama. Kira-kira 10%-20% kasus akan mengalami

gangguan fungsi hati pada pemakaian lama dengan dosis 10 mg/kgBB/hari sedangkan dengan

dosis 3-5 mg/kgBB/hari angka ini akan turun hingga 2%. Efek toksik obat ini disebabkan oleh

metabolisme asetilat menjadi asetil isoniazid dan asetil hidralazin.6,9

Gambar 17.4. Metabolisme isoniazid (INH)

Menurut Sherlock (1993) hal tersebut di atas kemungkinan disebabkan reaksi imunologi

namun tidak dijumpai adanya manifestasi alergi. Kombinasi isoniazid dengan obat seperti

rifampisin, obat anestesi dan alkohol menambah risiko terjadinya toksisitas.

Peningkatan kadar transaminase dalam serum sering didapatkan dalam 8 minggu

pertama pengobatan dengan isoniazid secara terus-menerus. Hal ini biasanya tanpa gejala, oleh

karena itu pemeriksaan transaminase serum sebagai monitor perlu sebelum dimulai dan 4

minggu berikutnya setelah pengobatan dengan isoniazid. Bila didapatkan hasil yang meningkat

maka pemeriksaan ditingkatkan menjadi setiap minggu dan bila cenderung meningkat hingga

akan menimbulkan terjadinya resiko maka pengobatan harus dihentikan.2,10

Rifampisin

Isoniazid

Asetil-isoniazid

Asetil hidralazin

Acylating agent

Nekrosis sel hati

katalisator:

kompleks enzim sitokrom

P450

Page 343: Buku Ajar Gastroenterologi

Rifampisin dieksresi melalui saluran empedu. Obat ini dapat menyebabkan

hiperbilirubinemia, baik terkonjugasi maupun yang tak terkonjugasi. Rifampisin biasanya

dikombinasikan dengan INH untuk digunakan pada penderita tuberkulosis, dan keduanya

bersifat hepatotoksik. Mekanismenya tidak diketahui, kemungkinan melalui induksi enzim.2,6

Metotreksat

Efek hepatotoksik dari metotreksat sama seperti pada dewasa dimana pada dosis rendah

dan pemakaian lama biasanya menyebabkan kelainan berupa steatosis dan fibrosis. Tetapi pada

pemakaian dosis tinggi pada pengobatan kanker dapat mengakibatkan hepatitis akut.

Mekanisme hepatotoksik metotreksat tidak diketahui. Sangat berhubungan dengan dosis dan

lama pemakaian.2,6

Kloramfenikol

Kloramfenikol dalam beberapa kasus dilaporkan dapat menyebabkan ikterus yang

berhubungan dengan nekrosis sel hati. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi dikatakan

kerusakan sel hati bersamaan dengan terjadinya kerusakan sumsum tulang.2,6

Halotan

Mekanisme kerusakan hati akibat halotan tidak jelas, namun ada yang berpendapat

bahwa hal ini disebabkan oleh faktor alergi. Penggunaan halotan berulang kali dapat

menyebabkan kerusakan hati yang bersifat alergi berupa nekrosis sel hati yang letaknya

sentrolobular. Hal ini sesuai dengan konsep yang mengatakan bahwa mekanisme terjadinya

kerusakan hati tersebut berkaitan dengan hipersensitivitas, hipoksia dan pembentukan hapten.

Hepatitis oleh karena halotan biasanya terjadi setelah 1-2 minggu setelah penggunaan

(post operasi) dan umumnya pada pemakaian yang berulang dalam 3 bulan. Kejadian pada anak

jarang, diperkirakan sekitar 1:82.000 anak yang mendapat anastesi dengan halotan. Menurut

Dukes (1985) ada 2 gambaran kerusakan hati karena halotan; (1) yang sering terjadi yaitu

adanya peningkatan kadar enzim aminotransferase serum yang ringan sampai sedang dengan

gejala hepatitis ringan. Kedua gambaran nekrosis hati meluas sehingga dapat menimbulkan

kematian. Pada keadaan seperti ini dilaporkan angka kematian mencapai 14% bahkan sampai

71%. Insiden tipe berat ini diperkirakan berkisar antara 1:6000 sampai 1:20.000. perbandingan

antara laki dan perempuan 2:1.2,6,9

Ampisilin

Nekrosis sel hati akibat ampisilin telah dilaporkan pada 1 kasus, terjadi setelah 15 hari

pengobatan dengan ditandai adanya ruam dan eosinofilia dan berakhir fatal.2

Page 344: Buku Ajar Gastroenterologi

Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis

Pengobatan

Adanya penggunaan

obat-obatan

Anamnesis : Riwayat pemakaian obat-obatan

Riwayat transfusi

Riwayat kontak hepatitis

Pemeriksaan fisik:

ikterus,hepatomegali,asites,spider naevi,

erithema palmar, rash (ruam) Periksa: total bilirubin, bilirubin

direk

SGOT/SGPT, fosfatase alkali

GGT, albumin, globulin, PTT

Differential count (eosinofil)

Singkirkan: Kelainan ekstra

hepatal sal.empedu (USG)

Singkirkan hepatitis virus,

mononukleosis infesiosa,TORCH

Supected DRUG INDUCED HEPATITIS

Ikterus atau gejala

Kerusakan hati lain

Kolestasis Hepatoselular

Page 345: Buku Ajar Gastroenterologi

Pada drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus. Umumnya sembuh spontan bila

obat dihentikan. Seperti halnya hepatitis virus, pengobatan drug induced hepatitis berupa

simtomatis dan suportif.

Penggunaan kortikosteroid diperlukan pada drug induced hepatitis yang berat yang

disebabkan oleh reaksi hipersensitif, tetapi masih kontroversial. Pada kasus yang berat perlu

dipertimbangkan transplantasi hati untuk memperpanjang harapan hidup.3,4

Prognosis

Umumnya prognosisnya baik, tetapi pada nekrosis hati yang masif sering berakibat

kegagalan hati sehingga prognosis menjadi buruk.

Ringkasan

Telah dibahas tentang hepatitis yang disebabkan obat-obatan (drug induce hepatitis).

Hati berfungsi dalam biotransformasi obat dalam mikrosom sel melalui sistem enzim yang

sangat kompleks dan mengubah bentuk antara menjadi bentuk tidak toksik yang mudah larut

dalam air sehingga dapat diekskresi keluar tubuh.

Sehubungan dengan fungsi tersebut, pada obat-obat tertentu (hepatotoksik) hati

berisiko mengalami kerusakan yang tergantung dari jenis obatnya. Mekanisme terjadinya

kerusakan tersebut belum diketahui dengan pasti, namun ada yang berpendapat bahwa secara

garis besar mekanisme tersebut adalah: (1) yang berhubungan langsung dengan obat (dosis dan

lama pemberian) dan (2) reaksi imunologi.

Dalam pengobatan drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus (sama halnya dengan

hepatitis virus), Cukup dengan penghentian penggunaan obat dan terapi suportif dan

simtomatis. Pada kasus yang berat perlu dipertimbangkan transplantasi hati untuk

memperpanjang harapan hidup.2,3,4

Daftar Pustaka

1. Gryborski J, Waklker WA. Gastrointestinal Problem in the Infant; edisi ke-2 Philadelphia: WB Sounders Co. 1983; 337-43.

2. Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Biliary System; ed.ke-9. London: Blackwell Scientific Publication.

1993; 322-51. 3. Farrel GC. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Bayless TM, eds. Current Therapy in Gastroenterology and Liver

Disease; edisi ke-3. Philadelphia ; BC Decker. 1990; 460-4.

4. Ockner RK. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Zakim D, Boyer TD. Textbook of Liver Disease. Philadelphia; WB Sounders Company. 1982; 691-5.

5. Stricker BH, Spoelstra P. Drug Induced Hepatic Injury; Vol 1. Amsterdam: Elsevier Science Publishing. 1985.

6. Roberts EA, Spielberg SP. Drug-Induced Hepatotoxic Children. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease; ed.ke-3, Philadelphia: B.C.Decker. 1991; 898-912.

7. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology; Edisi ke-2. Chicago; Year Book Medical Publishers. 1990; 65-77.

Page 346: Buku Ajar Gastroenterologi

8. Zimmerman HJ, Maddre WC. Toxic and drug-Induced hepatitis. dalam: Schiff L, Schiff ER, eds. Diseases of the

liver. Philadelphia: lippincot Company. 1993: 707-83. 9. Poley JR. Effects of Drug on the Liver. Dalam;Gracey M, Burke V,eds. Pediatric Gastroenterology and

Hepatology; edisi ke-3. London Blackwell Scientific Publication. 1993; 726-30.

10. Olson KR. Poisoning & Drug Overdose; edisi ke-2. USA; Appleton & Lange. 1994.

BAB XVIII

PENYAKIT SISTEMIK YANG BERPENGARUH PADA HATI

Atan Baas Sinuhaji

Ilustrasi kasus

Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun dirawat di rumah sakit dengan keluhan

demam yang sudah berlangsung selama 3 minggu, pembengkakan perut (hepatomegali) dan

penurunan berat badan. Kadang-kadang disertai muntah setelah makan dan episode batuk.

Ibu anak mengatakan anaknya sehat sebelum masuk rumah sakit. Lima belas hari

sebelum dirawat, anak demam tinggi disertai batuk kering, muntah setelah batuk, sakit perut

setelah makan, nafsu makan turun dan tinja lembek. Volume urin normal, tetapi ibu mencatat

warna urin lebih gelap dari biasanya. Dalam masa 2 minggu, berat badan anak turun sampai

1 kg.

Sebelas hari sebelum dirawat, anak tersebut berobat ke dokter anak dan didiagnosis

dengan sindroma viral. Karena anak kelihatan sehat, anak berobat jalan dan berobat

sebanyak 2 kali yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum dirawat, dengan keluhan yang sama. Pada

kunjungan terakhir ke dokter tersebut, teraba hati membesar 5 cm di bawah arkus kosta

kanan. Foto toraks menunjukkan infiltrat di kedua paru. Hasil pemeriksaan laboratorium

menunjukkan adanya hiponatremia (127 mEq/l) disertai peningkatan hasil pemeriksaan

biokimia hati (bilirubin total serum = 1.5 mg%; aminotransferase aspartat = 130 U/ml;

aminotransferase alanin = 159 U/ml; fosfatase alkalin = 650 IU/L; kolesterol = 414 mg/dl;

dehidrogenase laktat = 513 U/mL). Bilirubin (+) pada pemeriksaan urin.

Riwayat penyakit serius sebelumnya tidak ada. Juga tidak didapatkan riwayat alergi

sebelumnya. Imunisasi sesuai dengan usia. Lahir spontan, cukup bulan. Tidak ada riwayat

keringat malam, sakit sendi, ruam pada kulit atau penyakit-penyakit kronis lainnya. Tidak

Page 347: Buku Ajar Gastroenterologi

ada riwayat memelihara binatang di rumah, memakan obat-obatan, kontak terhadap bahan

kimia ataupun bepergian sebelum sakit.

Kontak dengan penderita tuberkulosis disangkal, walaupun kakeknya penderita batuk

kronis yang produktif dan perokok berat. Tetangga menderita bronkitis. O.s adalah anak

kedua dari 3 bersaudara. Orang tua dan saudara-saudaranya kelihatan sehat dan berasal

dari keluarga ekonomi menengah.

Pada pemeriksaan anak kelihatan kurus tetapi sehat dan aktif. Tidak ada tanda-tanda

distres pernafasan akut. Ikterus (-). Berat badan =16.1 kg (75th percentile) dan tinggi badan =

102 cm (95th percentile). Temperatur = 40.5 oC. Denyut nadi = 132 x/menit, frekuensi

pernafasan 18 x/menit.

Pemeriksaan fisik lain didapatkan normal, kecuali hepar membesar simetris 5 cm di

bawah arkus kosta kanan, permukaan rata dengan tepi yang tajam. Lien dan ginjal tidak

teraba. Tidak ada pembesaran kelenjar limfe. Pemeriksaan funduskopi dan neurologi tidak

ada kelainan.

Hasil laboratorium darah sewaktu masuk rumah sakit menunjukkan: Hb = 10,7 g%;

leukosit 7300/mm3; hitung jenis: E =0/B=0/batang = 12%/ segmen = 53%/ limfosit = 31%/

monosit = 2%/ limfosit atipikal = 2%; laju endap darah = 43 mm/jam; bilirubin total = 1.6

mg%; dehidrogenase laktat = 421 U/l; transpeptidase gamma glutamil = 424 U/l;

aminotransferase aspartat = 99 U/l, aminotransferase alanin =94 U/l, amilase= 35 Somogyi

U/l. Natrium = 125 mEq/l; Kalium = 4 mEq/l: Klorida = 9.6 mEq/l; CO2 = 23 mEq/l). Hasil

urinalisis : trace bilirubin (+).

Pemeriksaan tinja: tidak dijumpai telur cacing, parasit lain atau lekosit. Kultur urin,

darah dan tinja yang dilakukan beberapa kali setelah 2 hari dirawat hasil (-). Hasil

pemeriksaan serologi terhadap sitomegalovirus, virus Hepatitis A dan B juga negatif.

Pemberian 5 TU intradermal purified protein derivative (PPD): tidak ada reaksi (anergi).

Kadar serum imunoglobulin: normal. Hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan noduler

retikular yang difus di kedua paru/miliary pattern tanpa pembesaran kelenjar hilus.

Ultrasonografi abdomen menunjukkan: pembesaran hepar dengan parenkim yang homogen

tanpa lesi fokal. Lien dan pankreas normal. Kandung empedu normal tanpa distensi saluran

biliaris intrahepatik ataupun pembesaran kelenjar retroperitoneal. Kedua ginjal membesar

yang diduga karena penyakit infiltrasi. Kandung kemih normal tanpa ada massa. Hasil

pungsi sumsum tulang menunjukkan gambaran hiperselular yang didominasi sel plasma,

eosinofil dan kompleks hematofagositik. Gambaran ini sekunder oleh infeksi bakteri (tidak

ada tanda - tanda keganasan). Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan bilasan lambung selama 3 hari berturut–

turut. Pada bilasan hari ke-3 dijumpai basil tahan asam. Hasil pemeriksaan cairan

serebrospinal menunjukkan tanda–tanda meningitis serosa. Selama perawatan O.s tetap

demam tinggi dan pada minggu pertama perawatan dijumpai distres pernafasan. Dengan

restriksi cairan, hiponatremia membaik. Diduga hiponatremia terjadi oleh karena SIADH

(Syndrome of Inappropriate Secretion of Anti Diuretic Hormone).

Diagnosis klinis ditegakkan dengan tuberkulosis milier disertai komplikasi

hepatitis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis, renal tuberkulosis disertai

Page 348: Buku Ajar Gastroenterologi

SIADH. Pada penderita dengan infeksi susunan saraf pusat dan tuberkulosis paru sering

terjadi SIADH. Penyebab lain SIADH dapat dilihat pada tabel 1.

Hasil ini didukung dengan pemeriksaan biopsi paru dimana dijumpai granuloma pengkejuan

yang multipel dengan basil tahan asam. Empat minggu setelah dirawat hasil kultur cairan

serebrospinal, urin, bilasan lambung dan jaringan paru menunjukkan pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis. Sayangnya pemeriksaan biopsi hepar tidak dilakukan karena

masa tromboplastin parsial yang memanjang.

Kasus ini merupakan rujukan ke Bagian Anak The John Hopkin’s Hospital, Baltimore

USA dan menjadi bahan konferensi klinik. Anak laki–laki berumur 3 tahun dengan keluhan

demam tanpa diketahui sebabnya, hepatomegali dan penurunan berat badan (BB). Selain

hepatomegali, keluhan lain seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya dan penurunan

berat badan, tidak spesifik untuk kelainan hepar. Setelah dilakukan serangkaian

pemeriksaan, termasuk menyingkirkan penyebab kelainan hepar primer dan drug induced

liver disease, ternyata kelainan hepar ini (hepatomegali disertai kelainan hasil pemeriksaan

laboratorium) sekunder akibat infeksi/kelainan sistemik (tuberkulosis).

Tabel 18.1. Penyebab Utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)

1. Ektopik

- Oat cell lung carcinoma

- Karsinoma pancreas

- Timoma

- Penyakit Hodgkin

- Tumor karsinoid

2. Eutopik

- Pulmoner

a. Pneumonia

b. Tuberkulosis

c. Gagal nafas akut

- Susunan saraf

a. Trauma

b. Meningitis

c. Abses

d. Ensefalitis

e. Vascular accident

3. Iatrogenik

- Drug induced, misalnya:

a. Karbamazepin

b. Klofibrat

c. Inhibitor oksidase monoamin

d. Sulfonilurea (klorpropamid)

Sumber: Schwimmer1

Page 349: Buku Ajar Gastroenterologi

Pendahuluan

Hepar merupakan organ parenkim terbesar dalam tubuh manusia, yang menerima hampir ¼ dari curah jantung dan memerlukan hampir 1/5 dari konsumsi oksigen dalam keadaan

istirahat. Di samping itu hepar memegang peranan fungsi metabolik yang esensial (seperti

mempertahankan kadar protein dan glukosa plasma tetap normal, sintesis empedu dan lain-

lain), biotransformasi xenobiotik (obat, food additives, pollutant dan lain-lain) dan respon

imunologis.

Hepar sendiri merupakan organ tubuh selanjutnya yang pertama sekali kontak dengan

nutrien dan xenobiotik (maupun mikroorganisme) yang masuk secara enteral melalui vena

porta; sedangkan bila bahan-bahan tersebut/mikroorganisme masuk melalui rute parenteral

juga akan mencapai hati melalui arteri hepatika. Bahan-bahan tersebut/mikroorganisme yang

masuk melalui vena porta maupun arteri hepatika akan bertemu di sinusoidal. Untuk sampai ke

hepatosit, bahan tersebut/mikroorganisme harus melalui barier yang terdapat di dinding

sinusoid (sel endotel, sel Kupffer dan sel stelat = sel Ito). Sel Kupffer berfungsi sebagai makrofag

sedangkan sel stelate (sel Ito) berfungsi untuk penyimpanan lemak dan vitamin A (lihat gambar

18.1).2,3

Gambar 18.1. Hubungan antara arteri hepatika, vena porta, sinusoid dan hepatosit

X

Page 350: Buku Ajar Gastroenterologi

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, (ukuran hepar, fungsi metabolik dan

biotransformasi, posisi sentral dalam sirkulasi/saluran cerna dan respon imunologis), tidak

dapat disangkal lagi bahwa hepar merupakan organ tubuh yang secara insidental sangat rentan

dipengaruhi oleh penyakit/kelainan sistemik. Yang dimaksud dengan hepar di sini adalah hepar

dan saluran empedu (hepatobilier). Karena itu dapat didefinisikan penyakit sistemik yang

berpengaruh pada hati adalah kelainan hepar (baik klinis, laboratorium dan histologi) yang

sekunder terjadi oleh karena penyakit/kelainan sistemik yang primernya di luar hati.

Penyakit/kelainan sistemik adalah penyakit/kelainan yang mempengaruhi tubuh secara

keseluruhan.1,3,4

Dalam tulisan ini akan diuraikan secara umum mengenai kejadian, etiologi, patogenesis,

manifestasi, diagnosis, terapi, prognosis dan pencegahan kelainan hepar sekunder yang

disebabkan oleh penyakit/kelainan sistemik. Juga akan dipaparkan beberapa penyakit/kelainan

di luar hepar yang menyebabkan kelainan hepar. Penyakit yang diuraikan hanya

menggambarkan hepar sangat mudah terkena oleh berbagai penyakit/kelainan sistemik. Drug

induced liver diseases tidak akan diuraikan dalam tulisan ini.

Kejadian dan Etiologi

Data mengenai penyakit sistemik yang berpengaruh pada hepar, belum jelas

dipublikasikan. Hanya dikatakan, bukan tidak jarang. Pada bayi yang mendapat nutrisi

parenteral total, insidens dilaporkan mencapai 30%. Bayi prematur yang mendapat nutrisi

S I N U S O I D

HEPATOSIT

LINTASAN

PARASELULER

V.centralis

V. porta

Saluran empedu yang lebih

besar

Arteri hepatika

Kanalikuli

V.hepatika

RONGGA DISSE

Sel endotel, Sel Kupffer,

Sel Ito LINTASAN

TRANSELULER

X

Page 351: Buku Ajar Gastroenterologi

parenteral total lebih dari 90 hari bahkan mencapai 100%. Insidensi kelainan hepar pada bayi

prematur yang mendapat nutrisi parenteral total dipengaruhi oleh umur bayi, lamanya

mendapat nutrisi parenteral total dan penyakit-penyakit lain yang menyertai.

Penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu

kelompok infeksi dan non-infeksi. Infeksi dapat dibagi atas infeksi akut yang sering

berhubungan dengan sepsis dan infeksi kronis yang menyebabkan hepatitis granulomatosa

(lihat tabel 18.2).1,5

Tabel 18.2. Penyebab Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati

I. Penyakit infeksi

a. Penyakit infeksi akut/sehubungan dengan sepsis (Streptokokkus, Stapilokokkus,

Gonokokkus, Salmonella, dan lain-lain)

b. Penyakit infeksi kronis/sehubungan dengan hepatitis granulomatosa)

1. Virus

- Sitomegalovirus

- Mononucleosis

2. Bakteri

- Aktinomikosis

- Histoplasmosis

- Bruselosis

- Tularemia

- Listerosis

- Nokardiosis

3. Mycobacterium: M.tuberculosis

4. Parasit

- Askariasis

- Strongiloidiasis

- Toksoplasmosis

5. Fungal

- Aspergillosis

- Kandidiasis

- Kriptokokkosis

6. Lain-lain

- Q fever

- Sifilis

II. Non-infeksi

a. Gagal jantung

b. Gangguan hematologi

- Hemoglobinopati

- Gangguan koagulasi

- Keganasan

- Transplantasi sumsum tulang

c. Penyakit kolagen vaskular

- Eritomatosis lupus sistemik

- Artritis rematoid

- Penyakit Sjogren

- Skleroderma (sklerosis sistemik disseminata)

Page 352: Buku Ajar Gastroenterologi

- Rematoid polimialgia

d. Gangguan endokrin

- Hipertiroidisme

- hipotiroidisme

e. Gangguan susunan saraf

f. Gangguan gizi

- Nutrisi parenteral total

- Jejunoileal bypass

- Obesitas

g. Inflammatory bowel disease

- Kolitis ulseratif

- Penyakit Crohn

h. Disfungsi hepar nefrogenik

- Sindroma Stauffer

i. Lain-lain.

- Sarkoidosis

- Amiloidosis

Sumber : O’Brien6

Patogenesis

Walaupun patogenesis terjadinya kerusakan hepatobiliaris sekunder oleh karena

penyakit/kelainan sistemik belum begitu jelas dalam beberapa hal, namun mekanisme

terjadinya kelainan hepatobiliaris (baik infeksi maupun non-infeksi) dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Invasi langsung parenkim hati oleh mikoorganisme melalui darah/limfe.

2. Kerusakan hepatobiliaris karena produk mikroorganisme dengan bantuan mediator

proinflamasi (seperti tumor necrosis factor, platelet activating factor, dll).

3. Kerusakan hepatosit karena penumpukan bahan-bahan baik hasil metabolisme atau proses

peradangan (amiloidosis hepatik, kelainan hepar pada hemoglobinopati).

4. Kerusakan hepatosit karena anoksia dan penekanan (misal: kelainan hepar karena gagal

jantung).

5. Gangguan nutrisi (baik kekurangan/kelebihan nutrien atau efek pemuasaan), misalnya:

kelainan hati pada nutrisi parenteral total.

6. Kerusakan hepar karena hiperpireksia (misal: kelainan hepar pada infeksi susunan saraf

pusat).

Tidak ditemukannya mikroorganisme pada parenkim hepar, tidak menyingkirkan

kemungkinan kerusakan hepar oleh infeksi. Harus diingat bahwa salah satu fungsi hepar adalah

pertahanan imunologis tubuh. Darah akan dibersihkan dari bahan-bahan patogen dengan

bantuan fagositosis dari sel Kupffer. Kemungkinan mikroorganisme yang dimakan sel Kupffer

menimbulkan cedera hepatobiliaris dan selanjutnya mengalami disolusi. Meskipun pada

beberapa kasus toksin tidak ditemukan dalam sirkulasi, namun produk dari mikroorganisme

tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hepar.

Selain itu harus dipertimbangkan peranan efek nonspesifik seperti malnutrisi, anoksia dan

hiperpireksia pada kerusakan hepatosit oleh karena infeksi.3,7,8

Page 353: Buku Ajar Gastroenterologi

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis kelainan hepatobiliaris sekunder oleh karena penyakit/kelainan

sistemik merupakan gabungan gejala kelainan hepatobiliaris primer dan gejala penyakit yang

mendasarinya (seperti sesak, gejala bendungan venosa pada gagal jantung). Sering kali

manifestasi kelainan hepatobiliaris lebih menonjol daripada penyakit primer yang

mendasarinya. Manifestasi penyakit ini sering tidak spesifik seperti mudah letih, anoreksia,

penurunan berat badan, demam, dll. Dapat ditemukan gejala klinis seperti hepatomegali,

ikterus, edema, perdarahan, ensefalopatia, dll. Ensefalopati diperberat dengan adanya gangguan

sirkulasi dan hipoglikemia. Demikian juga ikterus diperberat dengan adanya hemolisis. Gejala

ini bisa ringan hingga membahayakan kehidupan. Namun gejala klinis ini tidak ada yang

signifikan untuk kelainan hepatobiliaris sekunder.

Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium/biokimia hepar berupa peningkatan kadar

aminotransferase serum yang merupakan refleksi dari gangguan integritas hepatosit dan

membran sinusoidal. Peninggian kadar bilirubin, fosfatase alkali dan transpeptidase gamma

glutamil serum, menggambarkan adanya gangguan sekresi empedu. Pemanjangan masa

protrombin (terutama bila tetap memanjang setelah pemberian vitamin K) dan penurunan

kadar albumin serum menunjukkan adanya gangguan kapasitas biosintesis hepar oleh karena

proses akut ataupun kronis. Manifestasi kelainan laboratorium ini juga tidak ada yang spesifik

untuk kelainan hepatobiliaris sekunder. Abnormalitas dari biokimia hati tidak absolut

menggambarkan derajat kerusakan hati.7,8

Gambaran histologik hepar tidak spesifik. Kadang-kadang dijumpai bercak-bercak

radang di daerah porta, tetapi daerah porta ini juga bisa normal. Dapat dijumpai nekrosis

setempat disertai hiperplasi sel Kupffer ataupun steatosis yang meluas. Gambaran ini disebut

hepatitis reaktif. Tergantung dari lama/beratnya penyakit dan daya tahan tubuh penderita,

nekrosis tersebut bisa meluas sehingga terjadi disfungsi hati yang berat. Daerah nekrosis ini

diganti dengan jaringan ikat dan diikuti pembentukan nodul (sirosis hepatis). Adanya gambaran

granuloma hepar merupakan manifestasi radang kronis akibat penyakit sistemik di luar hepar.9

Diagnosis

Adanya gejala kelainan hati (baik klinis atau laboratorium) harus dipikirkan apakah

gangguan hati tersebut merupakan kelainan hati primer atau sekunder karena

penyakit/kelainan sistemik ataupun obat-obatan yang digunakan. Baik untuk pengobatan

penyakit hati primer maupun penyakit/kelainan sistemik (drug induced liver disease).

Kecurigaan terhadap penyakit hepar primer dapat dibuat berdasarkan perjalanan/gejala

klinis dan didukung pemeriksaan biokimia hati. Pada keadaan ini penyebab viral, autoimmun

dan gangguan metabolisme harus dipertimbangkan. Pemeriksaan serologi terhadap penyebab

infeksi yang sering (seperti virus Hepatitis A, virus Hepatitis B, virus Hepatitis C,

sitomegalovirus dan virus Epstein-Barr) harus dilakukan. Juga pemeriksaan serologi untuk

hepatitis autoimmun (antinuclear antibody dan smooth muscle antibody). Gangguan metabolik

seperti penyakit Wilson dan defisiensi antitripsin alfa-1 juga harus dipertimbangkan.

Page 354: Buku Ajar Gastroenterologi

Pemeriksaan tambahan seperti ultrasonografi dapat dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan kolelitiasis, kolesistitis ataupun massa di hepar (kista, tumor).3,10

Untuk menyingkirkan kemungkinan drug induced liver disease, diperlukan kecurigaan

yang tinggi terhadap pemakaian obat-obatan, karena tidak ada tes diagnosis dengan gambaran

patologis yang spesifik. Bila diduga dose dependent hepatotoxic drug (seperti aspirin dan

asetaminofen), kadar obat tersebut dalam darah harus diperiksa.

Adanya manifestasi kelainan hati (klinis dan laboratoris) disertai gejala penyakit/

kelainan sistemik, dipertimbangkan sebagai kelainan hepatobiliaris sekunder. Hepatopati

kongestif dicurigai bila ada pembesaran hepar ataupun abnormalitas biokimia hepar disertai

gejala-gejala gagal jantung (sesak, bendungan venosa, dll). Pada amiloidosis hepatik yang

terjadi akibat amiloidosis sistemik, dijumpai penumpukan amiloid di parenkim hati. Walaupun

demikian, biopsi hepar tidak dianjurkan pada amiloidosis sistemik yang diduga menderita

amiloidosis hepatik karena dikhawatirkan terjadinya perdarahan masif dari hepar yang

diinfiltrasi amiloid. Biopsi hati hanya dianjurkan kalau amiloidosis sistemik tidak jelas dengan

catatan masa pembekuan, jumlah trombosit dalam batas normal dan tidak ada riwayat

perdarahan. Biopsi hepar pada hepatopati kongestif juga tidak dianjurkan. Umumnya biopsi

hepar dilakukan kalau ada kelainan hati tetapi gejala/tanda penyakit sistemik tidak jelas.3,10,11

Pengobatan, Prognosis dan Pencegahan

Tidak ada pengobatan spesifik untuk kelainan hepatobiliaris sekunder karena

penyakit/kelainan sistemik. Pengobatan ditujukan pada penyakit/kelainan sistemik yang

menyebabkannya. Abnormalitas biokimia hepar akan kembali normal setelah penyakit/kelainan

sistemik mengalami penyembuhan.

Bila ada kolestasis, perdarahan ataupun ensefalopati hepatik (gagal hati), maka

pengobatan terhadap gangguan ini sama seperti bila gangguan ini disebabkan kelainan

hepatobilier primer. Misalnya, pemberian vitamin A, D, E, dan K, urseodeoksikolat, dll pada

kolestasis.8,12

Prognosis sangat tergantung dari penyakit/kelainan sistemik yang menyebabkannya.

Penderita amiloidosis sistemik umumnya memiliki prognosis buruk dengan median survival

kurang dari 2 tahun. Umumnya penderita meninggal karena kelainan jantung atau ginjal, jarang

karena kelainan hepar. Walaupun pada beberapa kasus dilaporkan bahwa pemberian mefalan

dan prednison bermanfaat. Pengobatan sistemik amiloidosis dengan kemoterapi tidak

dianjurkan. Mortalitas penderita hepatitis iskemik (shock liver), (yang merupakan komplikasi

gagal jantung kiri akut), mencapai 40-50% tetapi tidak ada korelasi dengan abnormalitas

biokimia hepar. Adanya sirosis kardiak yang merupakan komplikasi hepatopati kongestif, tidak

mempengaruhi prognosis. Pada penderita yang meninggal karena gagal jantung kongestif/gagal

jantung kanan, sirosis kardiak dijumpai pada 4%-10% kasus.

Bila penyakit berlangsung progresif yang ditandai dengan penurunan kesadaran,

gangguan pembekuan yang tidak bisa dikoreksi dan penurunan kadar aminotransferase alanin

yang disertai peningkatan kadar bilirubin serum, maka merupakan indikator prognosis yang

buruk. Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan transplantasi hepar.

Page 355: Buku Ajar Gastroenterologi

Adanya infeksi sistemik pada penderita penyakit hepar kronis akan mencetuskan

eksaserbasi. Karena itu mencegah penyakit yang menimbulkan gangguan hepar kronis (misal

Hepatitis B) mungkin bermanfaat untuk mengurangi beratnya kelainan hepatobiliaris karena

infeksi. Sama seperti pengobatan, tidak ada pencegahan spesifik penyakit hepatobiliaris karena

penyakit/kelainan sistemik. Mengingat tingginya angka kejadian tuberkulosis di Indonesia,

adanya hepatitis tuberkulosis harus diwaspadai. Imunisasi BCG akan mencegah/mengurangi

hepatitis tuberkulosis yang merupakan komplikasi tuberkulosis primer.3,12

Pembatasan lamanya pemberian nutrisi parenteral akan mencegah kelainan hepar yang

diakibatkan oleh nutrisi parenteral total. Pemberian makanan secara enteral harus secepat

mungkin dilakukan walaupun dalam jumlah sedikit, untuk merangsang sekresi empedu. Bila

ada gangguan biokimia hepar, nutrisi parenteral total harus dihentikan. Pemberian

kolesistokinin dilaporkan memberikan hasil, karena merangsang aliran empedu dan

menghambat kolestasis.13

Beberapa Penyakit Sistemik yang Mempengaruhi Hepar

1. Kelainan hepar pada amiloidosis sistemik

Amiloidosis adalah penyakit yang ditandai dengan penumpukan amiloid (serabut protein

amorf dan tidak larut) di berbagai jaringan tubuh (amiloidosis sistemik). Penumpukan ini

bila diwarnai dengan merah Congo menimbulkan gambaran materi eosinofilik yang

homogen. Penumpukan amiloid ini menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi

gangguan fungsi dan pembesaran organ seperti ginjal, jantung, hati dan lien. Terdapat

hampir 20%-100% keterlibatan hepar (amiloidosis hepatik) pada penderita amiloidosis

sistemik.

Dikenal berbagai tipe amiloidosis sistemik: amiloidosis primer, amiloidosis sekunder,

amiloidosis familial, amiloidosis sehubungan dengan penuaan (misalnya penyakit

Alzheimer) dan amiloidosis yang berhubungan dengan dialisis. Namun hampir 90% dari

amiloidosis tersebut adalah amiloidosis primer dan amiloidosis sekunder. Pada penderita

amiloidosis primer dijumpai penumpukan amiloid yang terdiri dari imunoglobulin rantai

pendek, tipe AL (amyloid light chain). Amiloidosis primer ini berhubungan dengan

mieloma multipel, sedangkan amiloidosis sekunder atau amiloidosis reaktif dijumpai pada

penderita Mediteranean familial fever dan penyakit radang kronis (seperti artritis

reumatoid juvenilis, artritis reumatoid, spondilitis ankilosing, inflammatory bowel disease,

dll).

Amiloidosis primer jarang dijumpai pada anak. Yang sering dijumpai adalah amiloidosis

sekunder. Umumnya dijumpai pada usia lebih dari 15 tahun. Protein amiloid A (AA)

merupakan amiloid yang dijumpai pada amiloidosis sekunder. Protein amiloid A ini

merupakan reaktan fase akut sebagai respons terhadap infeksi kronis. Amiloidosis sekunder

dicurigai bila ada penyakit radang kronis yang disertai dengan hepatomegali dan

proteinuria.1,3,6

Page 356: Buku Ajar Gastroenterologi

2. Kelainan hepar pada gagal jantung

Gagal jantung dapat menyebabkan kelainan hepar karena adanya bendungan venosa

hepatik dan curah jantung yang berkurang. Bendungan venosa hepatik disebabkan oleh

peningkatan tekanan atrium kanan sekunder terhadap gagal jantung kanan, sedangkan

curah jantung yang berkurang disebabkan oleh gagal jantung kiri. Masing-masing gejala

klinis, biokimia dan gambaran histologis hepar akibat kedua hal ini berbeda, tetapi

dipengaruhi oleh keseimbangan antara disfungsi jantung kanan dan jantung kiri.

Berkurangnya curah jantung akut sekunder terhadap gagal jantung kiri akut menyebabkan

hepatitis iskemia (shock liver). Dua pertiga dari aliran darah ke hepar berasal dari vena

porta yang kaya akan nutrien, hormon dan enzim yang berasal dari saluran pencernaan.

Sisanya berasal dari arteri hepatika yang kaya akan oksigen. Karena itu daerah periportal

mendapat darah yang kaya akan nutrien, oksigen, hormon dan enzim untuk pernafasan sel.

Sedangkan daerah perisentral mendapat darah yang miskin akan substrat-substrat tersebut

dan oksigen. Bila ada gangguan sirkulasi akut, maka yang pertama kali menderita adalah

daerah perisentral. Area perisentral akan nekrosis tanpa adanya inflamasi. Karena itu

penamaan hepatitis iskemik tidaklah tepat. Nekrosis hepatik menyebabkan ikterus, asidosis

laktat, peningkatan kadar aminotransferase serum, pemanjangan masa protrombin dan

hipoglikemia. Manifestasi hepatitis iskemik lebih banyak bersifat laboratoris. Peningkatan

kadar aminotransferase serum dan dehidrogenase laktat >25 kali di atas nilai normal dalam

1-3 hari setelah episode hipotensi sistemik akan diikuti nilai normal dalam 7-10 hari bila

gagal jantung sembuh.

Tekanan atrium kanan yang meningkat akibat gagal jantung kanan menyebabkan kongesti

venosa hepatik (hepatopati kongestif). Akibatnya terjadi distensi sinusoidal sentrizonal.

Distensi menyebabkan asites dan gejala hipertensi porta lainnya. Distensi juga akan

mengganggu difusi oksigen ke hepatosit sentrolobuler (hipoksia), sehingga terjadi

perdarahan, atrofi karena tekanan, dan nekrosis hepatosit. Ikterus dan pembesaran yang

disertai nyeri hepar akan dijumpai. Nekrosis hepatoselular tidak absolut berkorelasi dengan

beratnya gagal jantung. Perdarahan menyebabkan area sentrolobular yang berwarna merah

yang kontras dengan area midzonal dan periportal yang berwarna pucat/normal. Pada

irisan hepar, gambaran ini disebut nutmeg appearance. Bila kongestif berat dan

berlangsung lama, anyaman retikulin di sekitar vena sentralis akan kolaps, dan jaringan

ikat dan retikulin yang kolaps akan meluas dari satu vena sentralis ke vena sentralis

lainnya. Jaringan ikat yang menghubungkan vena sentralis yang berdekatan membentuk

reverse lobulation, ini merupakan gambaran yang unik dari sirosis kardiak. Pembentukan

nodul yang lebih luas jarang dijumpai pada sirosis kardiak, karena penderita umumnya

meninggal lebih awal akibat gagal jantung. Sirosis kardiak tidak akan menyebabkan

hipertensi porta yang berat seperti pecahnya varises esophagus. Stigmata penyakit hepar

kronis seperti eritema palmaris, spider angioma dan caput medusae jarang dijumpai.

Pemeriksaan laboratorium tidak dapat membedakan sirosis kardiak dengan hepatopati

kongestif nonsirosis. Hubungan masing-masing area lobulus hepar dapat dilihat pada

gambar 18.2.1,3,6

Page 357: Buku Ajar Gastroenterologi

Zone 1 Zone 2 Zone 3

(Periportal) (Midzonal) (Perisentral/Sentrizonal)

Perilobular Sentrolobular

Gambar 18.2. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport (pusat di triade

portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di vena sentralis).

3. Kelainan hati pada sepsis

Sepsis adalah respons inflamasi sistemik yang disebabkan infeksi (bakteremia +

respons inflamasi sistemik). Respons inflamasi sistemik dapat juga disebabkan oleh non-

infeksi (sepsis like illness). Sepsis dapat menyebabkan kelainan hepatobiliaris dan

organisme penyebab yang paling sering adalah Escheria coli, Klebsiella pneumoniae dan

Pseudomonas aeroginosa.

Asinus Hepar (Rappaport)

Portal triad V.sentralis

Lobulus hepar klasik

(Kiernan)

Page 358: Buku Ajar Gastroenterologi

Diduga, endotoksin bakteri merangsang sel retikuloendotelial hepar (sel Kupffer) untuk

melepaskan mediator inflamasi. Agen proinflamatorik seperti sitokin (tumor necrosis

factor, interleukin 1 dan 8) dan leukotrien merangsang kemotaksis, peningkatan

permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos vaskular. Permeabilitas vaskular yang

meninggi menyebabkan ekstravasasi plasma sehingga terjadi edema periduktular yang

mengakibatkan kolestasis. Kontraksi pembuluh darah menyebabkan hipoperfusi sehingga

terjadi iskemia (lihat gambar 18.3). Suatu penelitian eksperimental pada gagal hati

fulminan menunjukkan bahwa pemberian antagonis reseptor leukotrien menyebabkan

berkurangnya kerusakan hepatosit.

Endotoksin sirkulasi

Lepasnya agen proinflamasi

dari Sel Kupffer

Kemotaksis Permeabilitas vaskular meningkat Kontraksi vaskular

Lepasnya oksidan Ekstravasasi plasma Hipoperfusi

protease dari lekosit

Edema periduktular

Kolestasis

Gambar 18.3. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis

Page 359: Buku Ajar Gastroenterologi

Biopsi hepar menunjukkan kolestasis intrahepatik, sedikit/tanpa nekrosis hepatosit,

hiperplasia sel Kupffer, dan inflamasi portal. Gejala klinis bisa ringan dan sukar dibedakan

dari penyebab kolestasis lainnya. Terdapat peningkatan kadar bilirubin (terutama bilirubin

terkonjugasi), fosfatase alkali dan aminotransferase serum. Sepsis juga dapat menyebabkan

hiperbilirubinemia tanpa kolestasis. Namun yang dominan adalah gejala sepsis.

Abnormalitas biokimia hepar, dijumpai 2-4 hari setelah onset infeksi sistemik dan kembali

normal dengan pengobatan infeksi primer yang sesuai. Abnormalitas biokimia hepar ini

hanya sedikit mempengaruhi prognosis. Prognosis sangat bergantung pada penyakit yang

mendasarinya. Ultrasonografi dipertimbangkan untuk penyebab lain dari obstruksi saluran

empedu dan kolelitiasis.1,3,6

4. Kelainan hepar pada nutrisi parenteral total

Kelainan hepar akibat nutrisi parenteral total tergantung pada umur penderita dan lamanya

mendapat nutrisi parenteral total. Pada bayi, kolestasis merupakan gejala dominan

sedangkan pada anak yang lebih tua dan dewasa terjadi steatosis dan steatohepatitis. Kedua

golongan ini menyebabkan timbulnya lumpur empedu dan kolelitiasis, dan juga berakhir

dengan end stage liver disease (sirosis hepatis). Gambaran histologis kelainan hepar

bervariasi dan tidak spesifik. Area porta edematosa dan kolestasis diperberat dengan

terbentuknya jaringan ikat. Bila proses berlanjut, terbentuklah fibrosis yang

menghubungkan satu area porta dengan area porta lainnya disertai proliferasi saluran

empedu. Hampir semua menunjukkan gambaran perikolangitis yang diinfiltrasi granulosit

dan sel mononuklear.

Berdasarkan perjalanan penyakit, manifestasi kelainan hepar karena nutrisi parenteral total

dapat dibagi atas gejala awal dan gejala lambat. Gejala awal yang merupakan manifestasi

kolestasis, umumnya dijumpai 2-3 minggu setelah pemberian nutrisi parenteral total yang

ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi, fosfatase alkali, dan

transpeptidase gamma glutamil dalam serum. Bila pada saat ini nutrisi parenteral total

dihentikan, hasil pemeriksaan biokimia hepar kembali normal dan tidak akan dijumpai

gejala lambat. Berlanjutnya pemberian nutrisi parenteral total akan menyebabkan

terjadinya kerusakan hepar permanen, misalnya fibrosis dan sirosis hepatis.

Patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total, kemungkinan multifaktorial.

Saluran pencernaan sangat erat hubungannya dengan hepar baik secara anatomi maupun

fisiologi. Makanan dalam saluran pencernaan merangsang sekresi hormon pencernaan

seperti kolesistokinin, pankreozimin, sekretin, enteroglukagon, dll. Kolesistokinin dan

pankreozimin merangsang kontraksi kandung empedu, sekretin merangsang sekresi

empedu, sedangkan enteroglukagon mempengaruhi ambilan asam empedu oleh hepatosit.

Tidak adanya makanan dalam saluran pencernaan (starvasi enteral) merupakan faktor

penting dalam patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total. Pada bayi, keadaan

ini diperberat dengan adanya imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu. Pengaturan

aliran empedu tergantung dari ambilan asam empedu oleh hepatosit, proses dalam

hepatosit, dan sekresi kenalikular.1,3,6

Page 360: Buku Ajar Gastroenterologi

Akibat-akibat imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu dapat dilihat pada tabel

18.3.

Tabel 18.3. Imaturitas Sirkulasi Enterohepatik Asam Empedu

1. Peningkatan kadar asam empedu serum.

2. Penurunan ambilan asam empedu oleh hepatosit. 3. Gangguan pengikatan dan transport asam empedu di

hepatosit.

4. Gangguan jalur metabolik asam empedu (konjugasi dan sulfasi)

5. Gangguan sintesis asam empedu.

6. Penurunan pool asam empedu. 7. Penurunan aliran empedu.

8. Penurunan kadar asam empedu dalam usus.

9. Penurunan reabsorpsi asam empedu dalam ileum.

Sumber: O’Brien6

Tidak adanya makanan dalam lumen saluran pencernaan (pada bayi diperberat dengan

imaturitas sirkulasi enterohepatik), mengurangi aliran dan pembentukan empedu, karena

tidak ada stimuli sekresi kolesistokinin - pankreozimin, sekretin, dan enteroglukagon. Hal

ini menyebabkan terjadinya kolestasis dengan segala akibatnya. Sedikit atau tidak adanya

asam empedu dalam lumen usus menyebabkan penurunan sirkulasi enterohepatik asam

empedu. Ini mengakibatkan pool asam empedu berkurang (hampir 95% asam empedu yang

terdapat dalam pool asam empedu berasal dari sirkulasi enterohepatik, sedangkan sisanya

berasal dari sintesis dalam hepatosit). Perubahan pool asam empedu ini menyebabkan

lumpur empedu dan batu empedu (kombinasi kolesterol dan bilirubin). Isi kandung

empedu bersifat kental dan kering.

Enteral starvation menyebabkan over growth bakteri terutama bakteri anaerob (misalnya

Bacteroides), mengakibatkan terbentuknya asam litokolat (bersifat toksik bagi hepar).

Asam litokolat dijumpai pada serum bayi yang mengalami kolestasis sehubungan dengan

nutrisi parenteral total. Harus pula dipertimbangkan kemungkinan adanya

ketidakseimbangan nutrien dalam larutan nutrisi parenteral, misalnya defisiensi taurin,

defisiensi karnitin, dan kelebihan asam amino. Taurin dan karnitin bukan merupakan asam

amino esensial tetapi taurin dibutuhkan dalam proses konjugasi asam empedu primer.

Sedangkan karnitin diperlukan untuk oksidasi asam lemak. Penderita yang mendapat

larutan nutrisi parenteral dengan kadar asam amino yang tinggi, memiliki kadar bilirubin

terkonjugasi dalam serum yang lebih tinggi daripada penderita yang mendapat larutan

nutrisi parenteral dengan kadar asam amino yang rendah. Asam amino mungkin

menghambat pembentukan asam empedu. Adanya kontaminasi larutan nutrisi parenteral

juga harus dipikirkan (misalnya natrium bisulfat, produk foto oksidan, aluminium, dll)

sebagai penyebab kolestasis.1,3,6

Page 361: Buku Ajar Gastroenterologi

Daftar Pustaka

1. Schwimmer J, Balisteri WF. Liver disease associated with systemic disorders. Dalam: Behrman RE, Kliegman

RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders. 2004. h. 1333-5.

2. Ganong WF. Review of medical physiology. Edisi ke-21. New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill Medical

Publishing Division. 2003. h. 483-516. 3. Beath SV. The liver disease in systemic illness. Dalam: Kelly DAA, penyunting. Edisi pertama. Oxford: Blackwell

Science ltd. 1999. h. 213-27.

4. Klatskin G. Hepatitis associated with systemic infection. Dalam: Schiff L, penyunting. Disease of the liver. Philadelphia: J.B.Lippincot Co. h. 395-419.

5. Dickson RC. The liver in systemic disease. Dalam: O’Grady JG, Lake JR, Howde PD, penyunting.

Comprehensive clinical hepatology. London: Mosby. 2000. h. 3202-12. 6. O’Brien CB. Systemic condition affecting the liver. Dalam: Parker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith

JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, diagnosis, management.

Volume 2. Philadelphia: BC.Decker Inc. 1991. h.1081-86. 7. Markel H. Fever unknown origin, weight loss, and hepatomegaly in a 3-year-old boy. J Pediatr. 1988; 112(2):

308-13.

8. Holdaway IM. Inappropriate secretion of ADH. Pathogenesis work-up and management. Medical Progress. 1988; 15(6).

9. Junqueira LC, Carneiro J, Kelley RO. Basic histology. Edisi ke-8. London: Prentice-Hall International Inc. 1995.

h. 301-24. 10. Cello JP, Grendell JH. The liver systemic condition. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting. Hepatology. A

textbook of liver disease. Volume 2. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co. 1990. h.1411-35.

11. Farel MK, Bucuvalas JC. Systemic disease and the liver. Dalam: Suchy FJ, penyunting. St.Louis: Mosby. 1994. h. 580-97.

12. Grendell JH. The liver in systemic disease. Dalam: Friedman LS, Keeffe EB, Maddrey WC. Handbook of liver

disease. Philadelphia: Churchill-Livingstone. 1998. h. 305-13. 13. Fischer RL. Hepatobiliary abnormalities with total parenteral nutrition. Gastroenterol Clin North Am. 1989;

September: 645-66.

Page 362: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XIX

HEPATITIS KRONIS PADA ANAK

Nenny Sri Mulyani

Ilustrasi Kasus

Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun dengan ALL dalam terapi. Pada saat

kortikosteroid dihentikan anak tersebut menderita hepatitis fulminan dan meninggal tanpa

transplantasi hati.

Riwayat pada keluarga yang penting: ibu HBsAg positif, adiknya yang berusia 11

tahun terdiagnosis sirosis hepatis karena hepatitis B dan meninggal karena muntah darah

dan syok yang tidak tertangani. Lima orang saudaranya HBsAg positif.

Pendahuluan

Manifestasi klinis hepatitis kronis sangat bervariasi, dari yang tidak bergejala, yang

bergejala nyata dengan tanda klinis penyakit hati yang jelas, hingga yang sudah menunjukkan

komplikasi berupa karsinoma hepatoselular. Contoh jelasnya adalah hepatitis B tanpa gejala,

dimana manifestasi sirosis baru tampak jauh setelah sirosis itu sendiri terjadi. Oleh sebab itu,

banyak penderita datang dalam keadaan fase lanjut. Akan tetapi pada keadaan tertentu,

misalnya penyakit hati metabolik autoimun, sudah dapat diprediksi bahwa perjalanan penyakit

akan menjadi kronis.1,2

Definisi

Hepatitis kronis didefinisikan sebagai peradangan kronis hati tanpa tanda perbaikan

yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.3

Angka Kejadian

Prevalensi hepatitis kronis pada anak secara nyata tidak pernah dilaporkan.

Etiologi

Page 363: Buku Ajar Gastroenterologi

Penyebab hepatitis kronis yang penting pada anak adalah sebagai berikut: hepatitis

autoimun, penyakit hati metabolik misalnya defisiensi α1 antitripsin, tirosinemia, galaktosemia,

penyakit Wilson, beberapa tipe glycogen storage disease (terutama tipe IV), hepatitis virus B

dan D, dan sindroma Alagille.3,4

Patogenesis

Akan dibahas beberapa contoh patogenesis hepatitis kronis dilihat dari beberapa

penyebab penting:

1. Hepatitis autoimun

Penyebab penyakit hati autoimun adalah multifaktorial. Terdapat 2 tipe hepatitis autoimun

berdasarkan antibodi yang terdeteksi saat diagnosis, yaitu: (1) hepatitis autoimun tipe I

yang memiliki anti-smooth muscle antibody (SMA) atau antinuclear antibody (ANA), dan

(2) hepatitis autoimun tipe II yang memiliki anti-liver kidney microsome antibody (LKM1)

atau anti-liver cytosol type 1 antibody (LC1). Faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis

hepatitis autoimun dapat dibagi menjadi empat grup yaitu penyebab genetik, usia dan jenis

kelamin, sistem imun, serta faktor lingkungan.2,5

Faktor genetik.

Telah dilaporkan adanya kasus hepatitis autoimun yang bersifat familial. Pada sebuah studi

di Eropa prevalensi haplotipe HLA A1-B8-DR3 dan HLA A1-B8-DR3-DR52a secara

signifikan lebih tinggi pada anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 daripada populasi

kontrol. Pada populasi anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 di Amerika Selatan

ditemukan hubungan yang kuat dengan haplotipe HLA DRB1*1301-DQB1*0603;

sedangkan keberadaan alel DRB1*07 meningkat secara signifikan pada hepatitis autoimun

tipe II. Sesuai perannya sebagai molekul yang mempresentasikan antigen, alel-alel HLA,

kemungkinan berperan juga dalam munculnya atau resistennya individu terhadap penyakit

ini.

Faktor umur dan jenis kelamin

Puncak insidensi hepatitis autoimun adalah pada kelompok umur prepubertas, dengan

prevalensi terbanyak pada perempuan. Beberapa bukti secara tidak langsung menunjukkan

bahwa estradiol berperan pada patogenesis penyakit ini. Perempuan prepubertas memiliki

kadar estradiol yang lebih tinggi daripada laki-laki prepubertas. Karena estradiol berefek

pada proliferasi dan fungsi limfosit perifer, perubahan kadar estradiol dapat menimbulkan

ketidakseimbangan antara faktor pemicu dan penghambat imunitas, sehingga memberi

kontribusi terhadap agresivitas penyakit ini pada masa pubertas. Remisi spontan penyakit

ini telah diamati selama paruh kedua masa kehamilan. Pada periode ini faktor

imunosupresif trofoblast menghambat proliferasi sel T dan aktivitas sel NK.

Page 364: Buku Ajar Gastroenterologi

Respons imun

Autoantibodi dapat menyebabkan manifestasi hepatitis autoimun apabila terdapat

autoantigen pada membran hepatosit. Sitokrom P450 2D6 adalah antigen yang dapat

dikenali oleh LKM1, tetapi perannya dalam hepatitis autoimun masih diperdebatkan.

2. Penyakit Wilson

Adanya mutasi gen pada kromosom 13 yang mengkode ATPase tipe P menyebabkan

gangguan ekskresi tembaga di saluran biliaris sehingga terjadi akumulasi progresif tembaga

di hati, dan pada akhirnya berakibat kerusakan hati. Hal ini juga menyebabkan

penumpukan tembaga di organ lain sehingga manifestasi klinisnya bervariasi. Kelainan

pertama yang terjadi adalah penumpukan tembaga di hati yang terjadi pada awal

kehidupan. Umumnya, pada dekade 1 atau 2 kehidupan deposit tembaga di hati sudah

berlebih, sehingga akhirnya tembaga keluar dari hati menuju organ lain melalui sirkulasi

darah. Pada saat tersebut kadar tembaga di hati turun, sebaliknya kadar tembaga di organ

lain seperti otak, ginjal, mata dll meningkat sehingga terjadi gangguan neurologi, gangguan

mata, ginjal, dll.2,4

3. Defisiensi α1 antitripsin

Ada beberapa teori yang menjelaskan patogenesis kerusakan sel hati pada defisiensi α1

antitripsin. Teori umum yang diterima adalah teori akumulasi. Teori ini menyatakan bahwa

kerusakan hati terjadi akibat akumulasi protein mutan dari α1 antitripsin di sistem

retikuloendotelial sel hati. Akumulasi tersebut menyebabkan pembentukan polimer protein

unik, aktivasi autofagi, kerusakan mitokondria, stres pada retikulum endoplasmikum, serta

aktivasi kaspase yang menyebabkan kerusakan hepatoselular.6.7

4. Hepatitis B kronis

Perjalanan penyakit hepatitis B tergantung pada replikasi virus pada hepatosit yang

berkelanjutan serta status imunologi penderita. Virus tidak langsung berefek sitopatik dan

progresivitas hepatitis kronik tergantung pada respon imun hospes. Perjalanan infeksi akut

virus hepatitis B yang akhirnya menjadi hepatitis kronis disebabkan oleh respon imun

selular yang buruk dalam mengeliminasi virus hepatitis. Pada respon imun selular yang

adekuat, hepatosit yang terinfeksi akan dilisiskan oleh sel T sitotoksik, namun jika tidak

adekuat maka virus akan berproliferasi dengan fungsi hati yang normal.

Perjalanan penyakit hepatitis B kronis mencerminkan interaksi dinamis antara hospes dan

virus. Interaksi tersebut terkait dengan keadaan imun hospes, yang tergambar dari

manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B yang berbeda pada anak bila dibandingkan

dengan dewasa. Manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B pada anak sangat tergantung

Page 365: Buku Ajar Gastroenterologi

pada umur terjadinya infeksi. Kenyataan bahwa hampir 90% infeksi hepatitis B terjadi pada

saat bayi, dan 40%-70% sebelum umur tiga tahun menunjukkan bahwa belum

sempurnanya sistem imun anak erat kaitannya dengan kejadian infeksi. Pada anak,

perjalanan penyakit hepatitis B dapat disertai gejala maupun tanpa gejala. Ini menyulitkan

dalam penentuan durasi yang diperlukan hepatitis B kronik untuk akhirnya menjadi sirosis

hepatis. Terdapat beberapa kasus sirosis hepatis yang terdiagnosis pada anak usia 3-6

tahun dan bayi.8,9

Sebagian kecil hepatitis kronis pada anak didahului adanya suatu periode akut infeksi virus

hepatits B. Periode akut ini terjadi karena sistem imun bereaksi dan menimbulkan respon

imun terhadap virus. Sistem imun bereaksi terhadap infeksi virus hepatitis B melalui innate

immunity dan adaptive immunity, yang terdiri dari imunitas seluler maupun imunitas

humoral. Innate immunity bereaksi pertama kali dalam usaha menghadapi infeksi virus

hepatitis B. Mekanisme imun ini dicetuskan sendiri oleh hepatosit yang terinfeksi dengan

mensekresi interferon (IFN) alfa dan beta yang akan menghambat replikasi virus dan

selanjutnya mengaktifkan sel NK (natural killer). Mekanisme respon imun selular

merupakan mekanisme imun spesifik terhadap virus hepatitis B. Respon imun ini juga

banyak terlibat dalam cedera hepatosit melalui cara-cara antara lain sebagai berikut:

a. Ekspresi MHC (HLA) kelas I terhadap HBcAg atau HBeAg pada membran hepatosit

yang terinfeksi oleh virus hepatitis B disertai dengan produksi sitokin berupa interferon-ά untuk menghambat sintesis protein virus dan melindungi hepatosit yang lain.

b. Terjadi efek sitopatik langsung akibat ekspresi dari HBcAg pada hepatosit terinfeksi,

melalui ekspresi liver specific antigen pada membran yang antigenik dan menjadi

sasaran dari sel T sitotoksik.

c. Terjadi proses kenaikan kadar HBsAg yang cukup tinggi dan terjadi eradikasi yang tidak

efisien terhadap HBsAg yang beredar.

Kronisitas hepatitis B tergantung dari proses eradikasi virus dari hepatosit melalui

mekanisme imunitas selular dengan perantara sel T sitotoksik. Jika sel T sitotoksik tidak

berhasil menghancurkan semua hepatosit maka proses akan berkepanjangan dan menjadi

kronis. Ini dapat disebabkan kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi.1,8,9

Gambar 19.1. Mekanisme respon imun selular terhadap infeksi virus hepatits B

Aktivasi,

Diferensiasi Antibodi

Ekspansi

Klonal

Page 366: Buku Ajar Gastroenterologi

Virus masuk Lisis

Ekspansi Klonal

(Sel Th1 atau Th2)

Toleran

Fase Imunoaktif

Fase

Inaktif

Sembuh

DNA

ALT

He

pat

osi

t

Page 367: Buku Ajar Gastroenterologi

Hepatitis kronis umumnya berlangsung bertahun-tahun, selama waktu tersebut penderita

melewati beberapa fase dari hepatits kronis, diantaranya sebagai berikut:

1. Fase Imunotoleran

Fase imunotoleran terjadi pada umur muda dan biasanya berlangsung selama 10-30

tahun setelah masa infeksi perinatal dengan status HBeAg positif, dengan kadar HBV

DNA 2 x 104–2 x 108 IU/ml dan kadar ALT yang persisten normal

2. Fase imunoaktif

Fase imunoaktif ditandai dengan status HBeAg positif atau negatif, status kadar HBV

DNA 2 x 103–2 x 107 IU/ml, dan level ALT yang meningkat secara persisten, pada fase ini

pasien bisa simtomatik.

3. Fase non-replikatif

Fase non-replikatif terkait dengan karier HBsAG negatif, selama serokonversi karena

proses spontan atau karena pengobatan, terjadi kondisi karier HBsAG negatif dengan

status HBeAg negatif. Fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA <2 x 103 IU/ml (sering

tidak terdeteksi), dengan ALT normal atau sedikit meningkat.

4. Fase residual

5-10 %

30 %

23 % dalam 5 tahun

> 90 % anak-anak

< 5 % dewasa

Kanker Hati

Infeksi Akut

Infeksi

khronik

Sirosis

Transplantasi

Hati

Dekompensasi

Hati

Mati

Page 368: Buku Ajar Gastroenterologi

Virus hepatitis B pada fase ini berintegrasi dan bereplikasi di dalam hepatosit. Proses

berlangsung tanpa onkogenesis langsung dari virus yang bisa berakibat menjadi sirosis

dan karsinoma hepatoselular. Pada fase ini terjadi reaktivasi hepatitis dan kadang-

kadang disertai dengan dekompensasi hati.

Perjalanan Infeksi virus hepatits B menjadi kronik dapat berlangsung lama, kira-kira

selama 30 tahun. Beberapa penderita hepatits B kronis pada akhirnya akan menderita

karsinoma hepatoselular. Kejadian ini terutama terjadi pada laki-laki dengan sirosis yang

terinfeksi virus hepatits B pada masa awal anak-anak. Sekitar 60%-90% pasien karsinoma

hepatoselular memiliki latar belakang sirosis hepatis namun hanya sekitar 5% dari kasus

sirosis hepatis yang berkembang menjadi kasus karsinoma hepatoselular. Hampir sekitar

80% kasus kanker hati di dunia disebabkan oleh virus hepatitis B.1,8,9

Manifestasi Klinis

Manifestasi hepatitis kronis persisten biasanya tidak jelas atau tanpa gejala. Penderita

mengeluhkan sesuatu yang tidak khas seperti kelelahan, nafsu makan memburuk, intoleransi

lemak serta rasa tak nyaman di daerah hati. Pemeriksaan fisik bisa saja normal atau terdapat

ikterus yang ringan sampai sedang, hati dapat besar (hepatomegali) atau mengecil, bisa

didapatkan nyeri tekan, eritema palmaris, spider vascular dan splenomegali.

Hepatitis kronis karena autoimun menunjukkan gejala dan tanda yang melibatkan organ

lain seperti terdapatnya artritis, vaskulitis, nefritis, tiroiditis, anemia hemolitik dan terdapatnya

ruam.2,4

Penyakit Wilson sama dengan etiologi yang lain akan menunjukan gejala dan tanda

hepatitis kronis seperti hepatomegali asimtomatik dengan atau tanpa splenomegali, hipertensi

portal, asites, edema, perdarahan varises esofagus, atau efek yang timbul oleh kelainan fungsi

hati seperti pubertas terlambat, amenorea, dan gangguan pembekuan darah. Penderita anak

awalnya lebih menunjukkan penyakit hati kronis, seiring bertambahnya umur manifestasi

ekstrahepatik lebih dominan antara lain tremor, disartria, distonia, deteriorasi di sekolah atau

perubahan perilaku.3,4

Penderita dengan defisiensi α1 antitripsin manifestasi penyakitnya bervariasi. Kolestasis

dan hepatomegali dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan namun ikterik biasanya

menghilang pada umur 2-4 bulan. Penyakit akan berlanjut menjadi hepatitis kronis dan sirosis.

Anak yang lebih besar akan lebih menunjukkan gejala dan tanda karena sirosis dan

komplikasinya seperti hipertensi portal.6,7

Hepatitis B kronis dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular

sehingga manifestasi klinisnya sesuai manifestasi klinis sirosis yang terkompensasi ataupun

yang dekompensata, dan karsinoma hepatoselular.1,8

Page 369: Buku Ajar Gastroenterologi

Diagnosis

Hepatitis kronis diketahui secara kebetulan pada saat pemeriksaan AST, ALT ataupun

apabila ditemukan tanda-tanda stigmata penyakit hati kronis. Diagnosis etiologi ditegakkan

dengan upaya-upaya anamnesis dan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk masing-

masing penyebab. .

1. Hepatitis autoimun

Adanya hepatitis kronis dan manifestasi sistemik lain seperti atralgia, akne, amenorrhea

adalah khas pada hepatitis autoimun. Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda di atas

ditambah ANA positif , SMA positif, dan LKMA positif.2,4

2. Penyakit Wilson

Diagnosis penyakit Wilson ditegakkan dengan adanya manifestasi klinis dari penyakit

hepar dan manifestasi ekstrahepatik seperti gangguan neurologis serta adanya penurunan

kadar seruloplasmin dalam serum kurang dari 20 mg/dl (nilai normal: 23- 43 mg/dl),

tetapi pada keadaan akut fulminan kadar tembaga sangat meningkat karena nekrosis hati

hepar yang masif yang mengeluarkan banyak tembaga, peningkatan ekskresi tembaga di

urin dalam 24 jam (lebih dari 190 μg/d), adanya cincin Kayser-Fleischer di iris, tembaga

pada hepar lebih dari 250 μg/g (normalnya < 20 μg/g pada jaringan basah). Adanya tanda-

tanda anemia hemolitik, bilirubin yang sangat meningkat dan fosfatase alkali yang rendah

adalah khas untuk penyakit Wilson akut.3,4

3. Defisiensi α1 antitripsin.

Diagnosis ini ditegakkan dengan adanya kadar α1 antitripsin serum <50–80 mg/dl,

ditemukan fenotip spesifik (Pi ZZ, SZ), deteksi deposit dari diastase-resistant glycoprotein

di periporta hepatosit, biopsi hati menunjukkan bukti adanya penyakit hati dan riwayat

keluarga adanya penyakit paru atau hati pada usia muda.6,7

4. Hepatitis B kronis

Untuk menetapkan diagnosis hepatitis B kronis digunakan kriteria diagnostik yang

mencakup antara lain:

- Status HbsAg positif selama lebih dari enam bulan

- Pada pemeriksaan serologi didapatkan kadar HBV DNA di serum 20,000 IU/ml

(100.000 kopi/ml) atau batas terendah 2.000-20.000 IU/ml (10.000-100.000 kopi/ml)

Page 370: Buku Ajar Gastroenterologi

- Kenaikan kadar AST /ALT di dalam serum yang persisten atau intermiten

- Pada biopsi hati terlihat gambaran hepatitis kronis dengan nekrosis dan inflamasi

sedang sampai berat

Penderita hepatitis B kronis dikatakan sebagai karier HBsAg inaktif jika memenuhi kriteria

berikut: (1) status HBsAg menetap lebih dari enam bulan, (2) HBeAg negatif dengan anti-

HBe positif, (3) kadar HBV DNA dalam serum 2.000 IU/ml, dan (3) kadar ALT/AST dalam

serum dan biopsi hati persisten normal. Seseorang dikatakan sembuh dari hepatitis B jika

adanya riwayat hepatits akut atau kronik, status anti HBc positif dengan atau tanpa anti

HBs, HBsAg negatif, HBV DNA tidak terdeteksi di serum dan kadar AST/ALT serum

normal. Biopsi hati dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan (grade) dan stadium

dari penyakit (stage).1,8,9

Tabel 19.1. Parameter laboratorium dan penanda imunologi pada hepatitis B.

Petanda imunologi akut Kronik Pernah terinfeksi

HBsAg + + -

HBeAg awal + kemudian - +/- -

anti-HBs - - +

IgM anti-HBc + - -

IgG anti-HBc + + +

anti-HBe awal - kemudian + + +

HBV DNA awal + kemudian - + -

ALT sangat ↑ ↑ ringan-moderat normal

Sumber: Ganem8

Penatalaksanaan

Dalam melakukan tatalaksana harus selalu disesuaikan dengan EBM yang selalu dilakukan up

date.

1. Hepatitis autoimun

Tujuan terapi hepatitis autoimun adalah mengurangi dan menghilangkan peradangan hati

dengan efek samping minimal. Golongan kortikosteroid prednison bisa digunakan dengan

Page 371: Buku Ajar Gastroenterologi

dosis awal of 1–2 mg/kgBB/hari, dan dilanjutkan sampai nilai transaminase kembali

sampai kurang dari 2 kali batas atas normal. Dosis diturunkan sampai 0,2–0,3

mg/kgBB/hari untuk pemeliharaan. Obat-obatan imunosupresif seperti azatioprin

digunakan jika tidak ada respon terhadap pengobatan steroid.2,4

2. Penyakit Wilson

Terapi pada penyakit Wilson adalah pemberian copper chelating agents seperti

penisilamin atau trientin dan pemantauan ekskresi tembaga dalam urin. Jika ekskresi

tembaga urin menurun maka bisa diberikan garam seng. Terapi yang adekuat juga

dilakukan untuk mencegah gangguan sistem saraf yang lebih lanjut.3,4

3. Defisiensi α1 antitripsin

Sampai saat ini belum ada terapi untuk penyakit ini. Penatalaksanaan dilakukan secara

suportif untuk mengurangi derajat kerusakan hati. Tranplantasi hati adalah salah satu

metode kuratif saat ini. Di masa depan mungkin bisa dilakukan terapi gen.6,7

4. Hepatitis B kronis

Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan hepatitis kronis khususnya hepatitis B kronis bertujuan mengeradikasi

virus dari dalam tubuh atau mengurangi tingkat replikasi virus dan terjadinya

penyembuhan penyakit hati yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg, HBeAg, DNA

polimerase dan HBV DNA dan juga perubahan kadar SGOT dan SGPT dalam batas normal.

Tujuan utama adalah mencegah hepatitis kronis berkembang menjadi sirosis hepatis, gagal

hati dan karsinoma hepatoselular. Tujuan lain hanya untuk memperbaiki derajat penyakit,

dengan menghilangkan gejala klinik, memperbaiki hasil laboratorium seperti SGOT, SGPT

dan fungsi hati.

Secara garis besar terdapat tiga macam obat yang digunakan dalam pengobatan terhadap

hepatitis B kronik. Obat-obatan bekerja dengan cara mencegah proses replikasi virus

hepatitis B. Obat-obat yang digunakan antara lain interferon alfa dan obat-obatan antiviral,

seperti lamivudin dan adefovir.10,11

- Interferon alfa

Interferon alfa bekerja sebagai antivirus, antiproliferatif dan imunomodulator.

Interferon alfa diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun dengan status

HBeAg positif dan HBV DNA positif serta kadar ALT setidaknya dua kali lipat batas

normal. Pemberian interferon alfa pada anak kurang dari 2 tahun bisa menyebabkan

retardasi pertumbuhan. Beberapa ahli tidak mendapatkan retardasi pertumbuhan yang

Page 372: Buku Ajar Gastroenterologi

signifikan pada anak berusia dibawah 2 tahun yang diterapi dengan interferon alfa.

Dosis yang digunakan adalah 5 MU/m2 dengan dosis maksimum 10 MU secara

intramuskular atau subkutan 3 kali seminggu selama 4 sampai 6 bulan. Keberhasilan

terapi ditandai dengan kadar HBV DNA yang rendah dalam serum. Sekarang telah

tersedia Pegylated Interferon alfa yang lebih mudah pemberiannya.10,11

Efek samping interferon alfa antara lain influenza-like illness yang ditandai dengan

demam, menggigil, sakit kepala, badan lemah dan nyeri otot. Efek samping yang lain

adalah lesu, anoreksia, kehilangan berat badan dan kerontokan rambut. Interferon alfa

bisa berefek mielosupresif, tetapi netropenia (1000/mm3) dan trombositopenia

(50,000/mm3) yang signifikan sangat jarang terjadi.11,12

- Lamivudin

Obat lain yang digunakan antara lain adalah lamivudin, suatu agen antivirus yang

bekerja pada DNA polimerase virus. Lamivudin diindikasikan pada penderita yang tidak

berespons terhadap interferon atau kontraindikasi untuk terapi interferon. Dosis yang

digunakan adalah 3 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 100 mg/hari selama 1

tahun yang sama efektif dengan terapi satu seri interferon alfa. Pada umumnya

lamivudin bisa ditoleransi dengan baik oleh anak, tetapi beberapa ahli mendapatkan

trombositopenia yang diinduksi oleh lamivudin. Resistensi lamivudin berkaitan dengan

adanya covalently closed circular (ccc) HBV DNA pada sekitar 14%-32% penderita

dengan HBeAg positif setelah terapi lamivudin selama setahun.13,14

- Adefovir

Obat antiviral lain yang direkomendasikan FDA dan telah digunakan di Amerika dan

Eropa adalah adefovir, suatu analog adenosin monofosfat yang bekerja pada enzim

reverse trancriptase dan DNA polymerase serta menyebabkan terminasi rantai DNA

virus. Penggunaan adefovir telah direkomendasikan untuk penderita hepatitis B kronis

dewasa dengan dosis 10 mg per hari.10,11

Parameter laboratorium yang digunakan dalam menentukan respon terhadap terapi

medikamentosa antara lain normalisasi kadar ALT di dalam serum, penurunan kadar DNA

HBV, hilangnya HBeAg dengan atau tanpa adanya anti HBe dan terjadi perbaikan pada

gambaran histologis hati.11,12

Beberapa keadaan perlu dilakukan pemantauan, terutama pada keadaan:

- Hepatitis B kronis dengan HBeAg positif, HBV DNA >100.000 kopi/ml dan ALT normal

dilakukan tes ALT setiap 3-6 bulan, jika ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes

dilakukan setiap 1-3 bulan, jika ALT naik sampai >2 kali batas normal pertimbangkan

untuk dilakukan biopsi hati.

Page 373: Buku Ajar Gastroenterologi

- Hepatitis B kronis dengan status karier HBsAg inaktif dilakukan tes ALT setiap 6-12

bulan, jika kadar ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes HBV DNA dan lakukan

skrining karsinoma hepatoselular pada populasi yang berisiko.

Preventif

Upaya preventif dilakukan dengan imunisasi aktif pada populasi yang berisiko untuk

memotong jalur transmisi. Sasaran utama adalah bayi baru lahir yang divaksinasi segera

setelah lahir dalam waktu 12 jam pertama kehidupan

Daftar Pustaka

1. EASL International Consensus Conference on Hepatitis B. Geneva, Switzerland, Journal of Hepatology volume 38. 2002: page 533–540.

2. Lok, Anna S. F. and McMahon, Brian J. Chronic Hepatitis B. Hepatology, Vol. 45, No. 2. 2007.

3. Behrman, Richard E. et al. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier, Philadelpia. 2004.

4. Kliegman, Robert M; Marcdante, Karen J.; Jenson Hal B.; Berhman, Richard E. Nelson Essentials of Pediatrics fifth edition, Elsevier Saunders, Philadelphia. 2006.

5. Suchy, Frederick J, Sokol, Ronald J., Balistreri, William F. (eds.) Liver Disease in Children. Philadelphia,

Lippincott Williams & Wilkins. 2004. 6. Perlmutter,David H. Alpha-1-antitrypsin deficiency: diagnosis and treatment. Clinical Liver Disease. 2004; (8)

839-859.

7. Teckman, Jeffrey H.; Lindblad,Douglas. Alpha-1-Antitrypsin Deficiency: Diagnosis, Pathophysiology and Management. Current Gastroenterology Reports. 2006; 8:14-20.

8. Ganem, Don; Prince Alfred M. Hepatitis B Virus Infection, Natural History and Clinical Consequences. New

England Journal of Medicine. 2004; 350: 1118-1129. 9. Hepatitis B. Geneva, World Health Organization, WHO. Available at http://

www.who.int/csr/disease/hepatitis/HepatitisB_whocdscsrlyo2002_2.pdf. 2002.

10. Management of hepatitis B and HIV coinfection, Clinical Protocol for the WHO European region. Geneva, World Health Organisation, WHO. Available at www.euro.who.int/document/SHA/e90840_chapter_7.pdf. 2005.

11. Liberek, Anna; Luczak Graeyna; Gora-Gebka Magdalena; Landowski Piotr. Management of Chronis Hepatitis B

in Children. Journal of Hepatitis B Annual, volume 3. 2006; page 106-127. 12. Medical Management of Chronis hepatitis B and Chronic Hepatitis C. IDU HIV Prevention CDC. Available at

http://www.cdc.gov/idu. 2002.

13. Jonas, Maureen M et al. Clinical Trial of lamivudine in Children with Chronic Hepatitis B. New England Journal of Medicine. 2002; 346: 1706-1713.

14. Liberek Anna, arska-Popławska Anna Szafl, Korzon Maria, Łuczak Grażyna, Góra-Gębka Magdalena, Łoś-

Rycharska Ewa, Bako Wanda, Czerwionka-Szafl arska Mieczysława. Lamivudine therapy for children with

chronic hepatitis B. World Journal of Gastroenterology. 2006; 12(15): 2412-2416.

Page 374: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XX

KOLESTASIS INTRAHEPATIK

PADA BAYI DAN ANAK

Julfina Bisanto

Ilustrasi kasus

K, anak laki-laki berusia 44 hari, kuning pada mata dan sklera sejak berumur 1 bulan.

Panas tidak terlalu tinggi, naik turun sejak berusia 2 minggu. Air seni berwarna seperti teh,

tinja kuning pucat. Berat lahir 3700 gram. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan

5,5 kg (P 75-90 NCHS) lingkar kepala 37 cm (N), tampak ikterik, hati teraba 4 cm di bawah

arkus kosta dan 4 cm di bawah prosesus xipoideus (membesar), tepi tajam, konsistensi kenyal,

permukaan rata. Limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb

10,5 g/dl, leukosit 12.000/ul, bilirubin direk 8,16 mg/dl, bilirubin indirek 4,04 mg/dl, ALT

201U/l (N:10-41U/l), AST 305 U/l (N:11-41U/l), GGT 129 U/l (N= 11-50 U/l), masa protrombin

12” (N), kolesterol 229 mg/dL. Urinalisis: protein (-), bilirubin (+3), leukosit 2-3/lpb. Kultur

urine: Enterobacter aerogenes >105 CFU (Colony Forming Unit). USG abdomen 2 fase,

didapatkan hepatomegali yang homogen, kandung empedu yang berkontraksi. Kesimpulan

biopsi hati adalah suatu hepatitis neonatal dengan kemungkinan bersama atau menjadi

atresia biliaris tidak dapat diabaikan karena ditemukan kolestasis intrasel dan intrakanal,

duktulus agak bertambah, portal agak melebar, hematopoesis ekstramedular mencolok.

Diagnosis yang ditegakkan pada anak ini adalah kolestasis intrahepatik akibat infeksi

saluran kemih. Terapi yang diberikan adalah antibiotika yang sensitif, ursodeoksikolat,

vitamin A, D, E, K. Fungsi hati membaik dalam 2 bulan.

Pendahuluan

Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah sindrom klinik

yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada

bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom

hepatitis neonatal. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-

bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke

dalam plasma dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan

empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Penumpukan bahan yang harus

diekskresikan oleh hati tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai tingkat gejala klinik

yang mungkin terjadi serta pengaruhnya terhadap organ sistemik lainnya tergantung dari

lamanya kolestasis berlangsung serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab

kolestasis tersebut.1,2,3

Page 375: Buku Ajar Gastroenterologi

Secara klinis, kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik,

dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul

berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari

penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.1,4,5

Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih

besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi, kelainan

genetik, endokrin, metabolik, atau tumor. Penelitian mengenai patofisiologi dan patogenesis

kolestasis ini pada tingkat molekular serta perubahan dalam tes diagnostik masih terus terjadi

secara berkesinambungan.2,3,6

Selanjutnya akan dibahas berbagai aspek mengenai kolestasis intrahepatik pada bayi

atau sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis intrahepatik pada anak secara umum termasuk

etiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan komplikasinya, diagnosis, tatalaksana serta

prognosisnya dan secara khusus pada beberapa penyakit dengan singkat.1,4,7

Faktor predisposisi terjadinya kolestasis intrahepatik pada neonatus

Bayi baru lahir mengalami suatu periode kolestasis relatif (disebut juga kolestasis

fisiologis) tanpa menderita sesuatu penyakit. Keadaan ini terjadi antara lain karena pada

periode tersebut ukuran pool asam empedu masih kecil, ambilan serta transportasi asam

empedu belum efisien (tabel 1) sehingga bayi tersebut lebih rentan untuk menderita kolestasis

akibat berbagai keadaan/penyakit.5,8,9

Tabel 20.1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis intrahepatik.

Konsentrasi asam empedu serum basal tinggi.

Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum efisien.

Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit.

Adanya asam empedu abnormal (atipik).

Ukuran bile acid pool kecil.

Sekresi asam empedu kurang.

Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah.

Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit.

Sumber: Arce1

Patogenesis kolestasis intrahepatik10,11,12

Kolestasis intrahepatik terjadi akibat gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu

akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di dalam

hati.

Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi beberapa transporter pada membran

hepatosit dan sel epitel duktus biliaris (kolangiosit) dan pada struktur serta integritas fungsi

aparatus sekresi empedu. Akibatnya, berbagai keadaan/ penyakit yang mempengaruhi fungsi

normal tersebut akan menimbulkan kolestasis. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut

dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Gangguan transporter (Na+K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein- NCTP)

pada membran hepatosit sehingga ambilan asam empedu pada membran tersebut akan

Page 376: Buku Ajar Gastroenterologi

berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penggunaan estrogen atau akibat

endotoksin.

2. Berkurangnya transport intraselular karena perubahan keseimbangan kalsium atau

kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan obat.

3. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu atipik di

kanalikulus biliaris yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati.

Keadaan ini dapat terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen

perikanalikulus atau berkurangnya transporter MDR 3 akibat pemakaian androgen, atau

pengaruh endotoksin.

4. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu

akibat lesi pada tight junction, misalnya pada pemakaian estrogen.

5. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.4,5,10 Etiologi

Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik, endokrin atau

imunologi dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik seperti tercantum pada tabel 2 untuk bayi

dan tabel 3 untuk anak. Biasanya dalam klinik, sukar untuk membedakan bermacam-macam

etiologi kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal seperti tercantum di

dalam tabel 2 tersebut, sehingga akhirnya lebih dari setengahnya akan dilabel sebagai

“idiopatik”. Penderita kolestasis yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini makin berkurang

dengan kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang canggih.

Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius merupakan penyebab yang

paling sering.13,14

Tabel 20.2. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya diagnostiknya

Penyakit Strategi Diagnostik Utama

1. Infeksi

*Infeksi congenital

- Toksoplasma

- Rubella

- Cytomegalovirus

- Herpes simpleks

- Sifilis

- Human herpesvirus-6, herpes zoster

- Hepatits B

- Hepatitis C

- Human immunodeficiency virus

- Parvovirus B19

- Syncytial giant cell hepatitis

* Infeksi lain

- Tuberkulosis

- Sepsis

- Sepsis virus enterik (echoviruses,

Coxsackie A dan B, adenovirus)

IgM-anti toksoplasma

IgM-anti rubella

Kultur virus urin, IgM-anti CMV

Mikroskop elektron/ kultur virus vesikel

STS, VDRL, FTA-ABS, Ro Tulang panjang

Serologi

HBsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA

HCV-RNA (RT-PCR)

Anti-HIV, immunoglobulin, CD4

IgM antibody

Giant cell hepatitis pada biopsi hati

Mantoux, radiologi toraks

Kultur darah

Serologik, kultur virus cairan likuor

2. Kelainan genetik

- Trisomi 18 (21), cat eye syndrome

- Penyakit Byler

Kariotip

GGT, tes genetik

3. Kelainan endokrin

- Hipopituitarism (displasia septo-optik)

- Hipotiroidism

Kortisol, TSH ↓, T4↓

TSH↑, T4↓, free T4↓, T3↓

Page 377: Buku Ajar Gastroenterologi

4. Paucity duktus biliaris

- Sindrom Alagille

- Paucity duktus non sindromik

Ekokardiogram, embriotokson posterior,

“butterfly vertebrae”

Paucity pada biopsi

5. Kelainan struktur

- Carolli disease

USG, kolangiografi

6. Kelainan metabolik

- Def. alfa 1 antitripsin

- Fibrosis kistik

- Galaktosemia

- Tirosinemia

- Fruktosemia herediter

- Glycogen storage disease tipe IV

- Niemann-Pick Tipe A

- Niemann-Pick tipe C

- Penyakit Wolman

- Kel.sintesis as.empedu primer

- Sindrom Zellweger

Kadar alfa 1 antitripsin serum, tipe PI

Sweat chloride, immunoreactive trypsin

Galaktose 1-6 phospate uridyltransferase

Tirosin serum, methionin, AFP,

suksinilaseton urin

Biopsi hati: mik.elektron, aktivitas enzim

Biopsi hati

Aspirasi sum –sum tulang, spingomielinase

Storage cells pada aspirasi sum-sum

tulang, hati; biopsi rektum

Radiologi kel.adrenal

As.empedu urin

Gambaran very long chain fatty acid

7. Imunologik

- L.E. neonatal

- Hepatitis neonatal dengan AHA

Antibodi anti-Ro (bayi dan ibu)

Coombs’ test, giant cell hepatitis

8. Toksik

- TPN

- Obat

Riwayat TPN

obat

Sumber: Chang15

Tabel 20.3. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada anak yang lebih besar.

Infeksi virus akut (terutama HVA)

Kelainan yang diturunkan: penyakit Wilson, fibrosis kistik

Keganasan: leukemia, limfoma, tumor hati

Bahan toksik: obat/ jamur

Infeksi parasit: leptospirosis, skistosomiasis

Idiopatik/ lesi sekunder: hepatitis kronik, kolitis ulserativa, artritis

reumatoid, Obesitas

Sumber: Chang15

Angka kejadian

Angka kejadian kolestasis pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dapat mencapai 1

dari 2500 kelahiran hidup. Mieli–Vergani dkk, (dikutip dari Suchy) melaporkan, kolestasis

intrahepatik pada bayi sebanyak 675 (62%) dari 1086 bayi dengan kolestasis yang dirujuk ke RS

King’s College selama 20 tahun (1970-1990). Hepatitis neonatal idiopatik merupakan penyebab

tersering (49%) dengan perkiraan angka kejadian sebanyak 1 dari 5.000 kelahiran hidup.

Penyebab kedua terbanyak yang dilaporkan oleh penulis yang sama adalah defisiensi -1-

antitripsin (28%) yang memang banyak dilaporkan pada ras kulit putih, dengan angka kejadian

diperkirakan sebanyak 1 dari 20.000 kelahiran hidup. Tetapi tidak demikian halnya dengan di

Asia yang dilaporkan oleh Chang, tidak ada satupun defisiensi -1-antitripsin diantara 300

kolestasis pada bayi.14,16

Page 378: Buku Ajar Gastroenterologi

Di Subdivisi Hepatologi Anak FKUI/RSCM, dalam kurun waktu 2 tahun (2002-2003)

telah dirawat sebanyak 119 (73,5%) kasus kolestasis intrahepatik dari 162 kasus kolestasis pada

bayi.17

Manifestasi klinis dan komplikasi11,17,18,19

Tanpa memandang etiologinya yang sangat beragam, sindrom klinik yang timbul akibat

kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal, maupun kolestasis

intrahepatik pada anak berawal dari gejala ikterus, urin berwarna lebih gelap, dan tinja

mungkin berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai dempul (akholik) tergantung pola

minum/makan, lamanya kolestasis berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah

terjadi. Urin yang lebih gelap ini pada bayi mungkin tidak terlampau nyata karena volume urine

yang relatif banyak. Ikterus pada bayi biasanya merupakan ikterus fisiologis yang melanjut, dan

pada sebagian kecil timbul pada umur 5-8 minggu, bahkan pada beberapa kasus timbul pada

umur bayi yang lebih lanjut. Pada sindrom hepatitis neonatal, penderita mungkin kecil untuk

masa kehamilan terutama pada sindrom Alagille, kelainan metabolik serta infeksi intrauterin,

mungkin mengalami gagal tumbuh dan kesukaran minum. Mungkin pula terlihat rupa

dismorfik pada trisomi 18, 21, sindrom Alagille, sindrom Zellweger (sindrom

serebrohepatorenal) atau infeksi kongenital. Hipoglikemia dapat ditemukan pada penyakit

metabolik, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat. Ascites jarang ditemukan kecuali

pada penyakit metabolik. Bising jantung dan kelainan neurologis dihubungkan dengan sindrom

kongenital yang spesifik. Perdarahan mungkin ditemukan akibat defisiensi vitamin K atau

trombositopenia. Gejala klinik serta manifestasi laboratoris lainnya adalah gejala klinik serta

kelainan laboratoris penyakit yang menjadi penyebab kolestasis tersebut serta tergantung pula

pada lamanya kolestasis berlangsung, dan juga luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada

pemeriksaan fisik biasanya ditemukan hepatomegali dan pada 40%-60% kasus juga ditemukan

splenomegali.

Mekanisme terjadinya gejala klinik serta kelainan pemeriksaan laboratorium pada

kolestasis adalah keadaan sebagai berikut:

1. Berkurangnya garam empedu yang masuk ke usus sehingga mengakibatkan malabsorpsi

lemak dan vitamin yang larut di dalamnya, dan juga diare. Warna tinja menjadi lebih pucat

sampai dempul, dan urobilinogen urin berkurang atau tidak ada. Perubahan warna tinja

serta urobilinogen urin ini, sejalan dengan jenis serta beratnya hambatan empedu tersebut

dan berkorelasi pula dengan lamanya kolestasis yang berlangsung, serta luasnya kerusakan

hati yang sudah terjadi. Pada kolestasis kronis, anak akan menderita malnutrisi dan

retardasi pertumbuhan serta gejala defisiensi vitamin yang larut dalam lemak yaitu

defisiensi vitamin A berupa kulit menebal dan rabun senja. Defisiensi vitamin A ini terjadi

pada 35%-69% kolestasis kronis. Defisiensi vitamin D yang berupa osteopenia ditemukan

pada 66% kolestasis kronis bila tidak mendapat suplementasi vitamin D. Defisiensi vitamin

E yang berupa degenerasi neuromuskular, dan anemia hemolitik ditemukan pada 49%-77%

bila tidak mendapat suplementasi vitamin tersebut. Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada

25% kasus yang tidak mendapat suplementasi dan dapat mengakibatkan

hipoprotrombinemia yang mungkin menunjukkan gejala perdarahan.

2. Penumpukan komponen empedu dalam darah yang mengakibatkan terjadinya ikterus,

pruritus, xantomatosis dan hiperkolesterolemia. Kerusakan sel hati terjadi akibat

penumpukan komponen empedu terutama asam empedu primer dan sekunder, serta

Page 379: Buku Ajar Gastroenterologi

mineral, misalnya cuprum (Cu/ tembaga), yang bersifat hepatotoksik. Pada kolestasis

kronik, kelainan hati menjadi progresif, dan selanjutnya terjadi sirosis biliaris dengan

berbagai komplikasinya.

Beberapa gejala klinik lain yang dapat memberikan petunjuk penyebab kolestasis pada bayi dapat dilihat pada tabel 20.4. Tabel 20.4. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi

Penyebab Gejala klinik

Infeksi CMV

Infeksi

Toksoplasma

Infeksi Rubella

Infeksi Herpes

Infeksi Sifilis

Galaktosemia

Trisomi 21,18,13

Sindrom Alagille

Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf, korioretinitis,

ventrikulomegali

Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis,

retardasi psikomotor

Katarak, petekie, tuli saraf, mikrosefali, kelainan jantung,

korioretinitis

Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis

Rinitis, rash, kelainan tulang

Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak.

Anomali kongenital multipel

Dismorfik, embriotokson, kelainan jantung, vertebra

Sumber: Boyer11

Diagnosis

Diagnosis kolestasis intrahepatik dibuat berdasarkan: 1. Gejala klinik

Dari anamnesis mungkin terdapat riwayat kolestasis pada saudara kandung, bila

penyebabnya kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbiditas

selama kehamilan (infeksi TORCH, hepatitis B serta infeksi lainnya) dan riwayat kelahiran

(adanya infeksi intrapartum, berat lahir), morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi

parenteral, tranfusi serta penggunaan obat hepatotoksik yang mungkin ada bila keadaan

tersebut merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan riwayat

hipoglikemia, mungkin ada bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa atau

tirosinemia.9,14,20

Keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik pada bayi biasanya tampak sakit berat

terutama akibat infeksi kongenital dan mungkin disertai dengan kelainan non hepatik lain

seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal

lainnya.21,22 2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus14,23

- Kadar bilirubin direk darah meningkat 1,5 mg/dl tanpa peningkatan kadar bilirubin

indirek atau peningkatan 15% bilirubin total. Dalam urin ditemukan bilirubin.

- Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4 x nilai normal; bila lebih tinggi

memberi petunjuk adanya proses infeksi. ALT dan AST merupakan tes yang paling

sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini

spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik.

Page 380: Buku Ajar Gastroenterologi

Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati

karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan kadar di hati.

- Fosfatase alkali mungkin normal atau agak meningkat. Bila kadarnya lebih tinggi, lebih

mengarah pada atresia biliaris atau ricketsia. Peningkatan abnormal enzim ini tidak

dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik dengan intrahepatik.

- Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. GGT merupakan enzim

yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat

ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae dan intestinum dengan kadar tertinggi

pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan,

peningkatannya tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit hati. Bila fosfatase

alkali tinggi dan GGT rendah (<100 U/l), mungkin suatu kolestasis familial progresif

Byler atau gangguan sintesis garam empedu.

- Albumin biasanya masih normal pada awal perjalanan penyakit, tetapi akan menjadi

rendah bila kelainan hati sudah berlanjut atau pada penyakit prenatal yang berat.

Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di reticulum

endoplasma hepatosit dengan half life dalam serum sekitar 20 hari. Fungsi utamanya

adalah untuk mempertahankan tekanan koloid osmotic intravascular dan sebagai

pembawa (carrier) berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion

inorganic (contohnya kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum

dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar

albumin serum sering digunakan sebagai indicator utama kapasitas sintesis yang masih

tersisa pada penyakit hati. Karena albumin memiliki half life yang panjang, kadar

albumin serum yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati

kronis.

- Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang yang dapat dikoreksi

dengan vitamin K parenteral, kecuali bila telah terjadi gagal hati.

- Kolesterol biasanya masih dalam batas normal pada 4 bulan pertama. Hati merupakan

tempat sintesis dan metabolism utama lipid dan lipoprotein sehingga apabila terdapat

gangguan pada hati akan terjadi abnormalitas kadar lipid dan lipoprotein serum serta

munculnya lipoprotein yang normalnya tidak ada pada individu sehat (contohnya

Lipoprotein X).

- Bila ditemukan hipoglikemia harus dicurigai adanya kelainan metabolik, endokrin atau

kelainan hati lanjut.

- Dengan pemeriksaan khusus yaitu spektrometri terhadap urin penderita, dapat

dideteksi kelainan metabolisme asam empedu seperti defisiensi 3--hidroksisteroid

dehidrogenase/ isomerase yang bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat.

- Pemeriksaan khusus serologis untuk mendeteksi infeksi toksoplasma, rubella,

cytomegalovirus dan herpes (TORCH), hepatitis B (pemeriksaan pada bayi dan ibu),

kultur darah dan urin, serta kadar -1-antitripsin dan fenotipenya sebaiknya dikerjakan.

- Untuk pemeriksaan khusus lainnya seperti hormon tiroid, asam amino dalam serum dan

urin, zat reduktor di urin, galaktose-1 fosfat uridil transferase, uji klorida keringat dan

pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila ada gejala klinik lainnya yang

mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut.

- Kelainan oftalmologis yang berupa korioretinitis mungkin ditemukan pada infeksi

cytomegalovirus, toksoplasmosis dan rubella, embriotokson posterior pada sindrom

Alagille, dan katarak pada galaktosemia atau cherryed spot pada lipid storage disease.

Page 381: Buku Ajar Gastroenterologi

Pencitraan4,24,25,26

- Ultrasonografi: dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 4 jam dan diulang

kembali setelah bayi minum (sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis,

karena tekniknya sederhana, relatif tidak mahal, noninvasif, serta tanpa sedasi). Pada

kolestasis intrahepatik, kandung empedu terlihat waktu puasa dan mengecil pada

ulangan pemeriksaan sesudah bayi minum. Akurasi diagnostik pemeriksaan

ultrasonografi ini untuk kasus kolestasis hanya 80%. USG dapat menunjukkan ukuran

dan keadaan hati dan kandung empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada system bilier

oleh batu maupun endapan, ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau

kistik pada system bilier. Pada saat puasa, kandung empedu bayi normal pada umumnya

akan terisi cairan empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah

diberi minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu

akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu dapat tidak terlihat.

Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus hepatikus dan duktus

hepatis komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran empedu

ekstrahepatik. Pada keadaan ini, USG setelah minum tidak diperlukan lagi.

- Skintigrafi pada kolestasis intrahepatik (hepatoselular) menunjukkan ambilan kontras

oleh hati yang terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus. Dua hal yang harus dicatat

pada pemeriksaan skintigrafi adalah realibilitas yang berkurang bila kadar bilirubin

direk sangat tinggi (>20 mg/dl) dan false positive dan negatifnya sebesar 10%. Karena

pemeriksaan ini memakan waktu yang banyak, maka tidak banyak para ahli yang

menggunakannya pada evaluasi diagnostik kolestasis.

Biopsi hati

Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk membuat diagnosis

bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis mencapai 95%-96,8% bila dibaca oleh ahli

patologi yang berpengalaman.8,11,18 Pada hasil biopsi yang representatif, paling sedikit harus

dapat diperlihatkan 5 portal tracts. Gambaran histopatologis hepatitis neonatal adalah

perubahan arsitektur lobulus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan

pseudoroset, ada giant cells dengan balloning pada sitoplasma. Disamping itu, pada

kolestasis intrahepatik ini, lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstramoduler, deposit

hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobular dan hiperplasia sel

Kupffer.7,18,27 Selanjutnya ahli patologi dapat pula menentukan apakah ada penyakit Wilson,

glycogen storage disease, neonatal iron storage diseases, fibrosis hati kongenital maupun

defisiensi -1-antitripsin.12 Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan

informasi mengenai dinamika penyakitnya yang dapat menolong memastikan diagnosis.5,28 Beberapa Etiologi Kolestasis Intrahepatik pada Bayi

1. Infeksi

Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks (TORCH)15,29

Infeksi kongenital ini memberikan beberapa gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning,

hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie atau purpura dan kecenderungan untuk

prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat.

Page 382: Buku Ajar Gastroenterologi

- Toksoplasmosis: toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik lainnya

adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus,

kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus dan tanda tekanan intrakranial yang

meningkat serta kelainan mata berupa korioretinitis. Gambaran biopsi hati

menunjukkan hepatitis nonspesifik atau fibrosis portal dengan proliferasi duktulus

biliaris. Terapi spiramisin dapat mencegah progresivitas kelainan hati dan susunan saraf

pusat. Prognosis tergantung dari luasnya kelainan mata dan neurologis yang terjadi.

- Rubella: infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada imunisasi untuk

penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia, trombositopenia, kelainan jantung

kongenital (PDA atau stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi mental

dan tuli neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant cells yang

tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi sirosis

- Sitomegalovirus. Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling

banyak, dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar asimtomatik. Yang

bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas mungkin pula ada asites; tetapi jarang

menimbulkan gagal hati akut. Gejala lainnya adalah gejala susunan saraf sentral berupa

mikrosefali, kalsifikasi intrakranial dan korioretinitis. Tuli neurosensorik yang progresif

serta cerebral palsy mungkin baru terlihat kemudian. Diagnosis pasti memerlukan

pemeriksaan kultur virus dalam 4 minggu pertama. Pemeriksaan serologis dan klinis

dapat menunjang adanya infeksi sitomegalovirus, tetapi tidak dapat membedakan antara

infeksi kongenital dan infeksi postnatal dini. Pada sebagian besar anak yang terinfeksi

sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna tetapi pernah dilaporkan

terjadinya fibrosis, sirosis dan hipertensi portal nonsirotik. Yang menjadi problem

menetap biasanya adalah kelainan perkembangan neurologis yang mungkin atau sudah

terjadi.

- Herpes simpleks. Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama tipe 2)

dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat termasuk gejala ensefalitis,

hepatitis berat atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis

dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel

ditemukan virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi

herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata.

Sifilis

Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang timbul juga mengenai

multisistem termasuk retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya gagal tumbuh,

anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik, periostitis, nasal discharge, rash

pada kulit, limfadenopati difus dan hepatomegali. Kuning mungkin sudah terlihat dalam 24

jam pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak kuning, tetapi ada rash yang

khas pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam dengan hepatomegali yang

menyolok. Gejala susunan saraf pusat terjadi pada sampai 30% kasus. Pemeriksaan

histologis hati memperlihatkan Treponema pada jaringan hati. Diagnosis ditegakkan

dengan pemeriksaan serologis termasuk tes VDRL dan antibodi antitreponema.

Pemeriksaan radiologis tulang panjang mungkin memperlihatkan kelainan radiologis yang

khas dalam 24 jam pertama dan menolong membuat diagnosis secepatnya.30,31 Varisela

Page 383: Buku Ajar Gastroenterologi

Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam 2 minggu sebelum

melahirkan. Gejalanya cenderung lebih berat pada bayi prematur dan ringan pada bayi

cukup bulan yang berumur lebih dari 10 hari. Manifestasi yang timbul dini serta infeksi

yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala klinisnya berupa kuning,

kelainan kulit yang luas dan keterlibatan multisistem terutama pneumonia dan kelainan

parenkim hati pada kasus yang fatal.1,15 Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus)

Virus enterik dapat mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus dengan gambaran

klinis yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut. Transmisi vertikal yang

terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian

besar sepsis virus enterik terjadi pada umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning

disertai kadar aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga

disertai meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenoviruse juga dapat

menimbulkan gejala klinik yang serupa, hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong

akibat infeksi virus Coxsackie.28 Infeksi bakteri di luar hati

Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah mungkin terjadi pula pada

infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi traktus urinarius15 atau sepsis (streptokokus,

stafilokokus atau kuman Gram negatif).32 Tuberkulosis

Tuberkulosis kongenital jarang terjadi, tetapi pada beberapa tahun terakhir akibat

meningkatnya prevalensi tuberkulosis pada ibu usia subur, maka tuberkulosis pada bayi

menjadi lebih sering terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi melalui cairan amnion atau

sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir. Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat,

bila ada salah satu gejala berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik

primer atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau genitalia

ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering ditemukan, tetapi kuning jarang

terjadi dan bila ada merupakan tanda beratnya penyakit. Gejala lainnya yang sering adalah

distres pernafasan, kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapai 30%.26

2. Hepatitis neonatal idiopatik

Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama tidak dapat ditemukan

pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebut hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung

merupakan bayi prematur atau kecil untuk masa kehamilan yang mungkin merefleksikan

kelainan genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam

keluarga menderita penyakit yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell

transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya normal.7,16,18

3. Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)2,6,33

Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller, displasia

arteriohepatik) adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi dominan autosom, tetapi

dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi

Page 384: Buku Ajar Gastroenterologi

yang terjadi pada gen Jagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada 70%

kasus dan diturunkan pada 30%-50% kasus. Gambaran klinis utamanya adalah:

- Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna dempul dan disertai

pruritus.

- Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam, hipertelorism ringan, dan dagu

yang lancip. Raut muka ini mungkin belum terlihat pada bulan pertama.

- Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti butterfly akibat kegagalan

fusi bagian anterior vertebra. Mungkin pula terlihat jarak interpedikular pada daerah

lumbal yang berkurang, ada spina bifida okulta, falangs distal melengkung dan ulna yang

pendek.

- Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling sering dan memerlukan

pemeriksaan dengan slit-light adalah embriotokson posterior dan Schwalbe’s line yang

abnormal.

- Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi Fallot, stenosis katup

pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya kelainan jantung bervariasi.

- Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin.

Malnutrisi berat ditemukan pada 50% penderita yang mungkin merupakan

bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi akibat malabsorpsi atau refluks

gastroesofageal.

Gejala minor lain yang mungkin ada adalah:

- kelainan ginjal, misalnya kelainan struktur dan defek fungsi pemekatan urin

- pubertas yang terlambat atau hipogonadism

- suara atau tangis abnormal

- retardasi mental, kesulitan belajar, dan kelakuan antisosial

- kelainan vaskular termasuk moya-moya disease

- kelainan neurologis misalnya neuropati perifer akibat defisiensi vitamin E karena

kolestasis kronis hebat

- hipotiroidisme dan insufisiensi pankreas

- infeksi paru rekuren akibat refluks gastroesofageal sekunder atau pneumonia aspirasi

- xanthomata akibat hiperkolesterolemia

Diagnosis dibuat berdasarkan hasil biopsi hati yang memperlihatkan paucity duktus biliaris

dengan paling sedikit 3 dari kelainan utama (kelainan raut muka, mata, vertebra, ginjal dan

jantung). Pada biopsi hati terlihat jumlah duktus biliaris berkurang yaitu rasionya terhadap

portal-tract 0,9 (N: 0,9 – 1,8). Sindrom ini dapat berkembang menjadi sirosis biliaris pada

15% – 20% kasus. Prognosis tergantung dari organ yang terlibat. Estimasi mortalitas secara

umum adalah 20% - 25% akibat kelainan jantung, infeksi berulang atau kelainan hati tahap

lanjut.

4. Progressive familial intrahepatic cholestasis4,34

Penyakit Byler (PFIC-1: progressive familial intrahepatic cholestasis type 1)

Pada penyakit Byler, peningkatan kadar bilirubin direk yang beragam terjadi pada 3-6

bulan pertama disertai hepatomegali, retardasi pertumbuhan, diare persisten, pankreatitis

dan tanda defisiensi berat vitamin yang larut dalam lemak termasuk ricketsia. Pruritus

merupakan salah satu problem yang mencolok dan refrakter terhadap sebagian besar

Page 385: Buku Ajar Gastroenterologi

pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal

tetapi konsentrasi total asam empedu serum meningkat. Biopsi hati memperlihatkan

inflamasi ringan dengan bile plug di kanalikulus biliaris dengan pemeriksaan rutin serta

gambaran granular yang khas dengan mikroskop elektron. Mungkin pula ditemukan small

duct paucity.11 Pada penyakit Byler ini terdapat mutasi di kromosom 18q21-22. PFIC- 2

Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q24. Gejalanya sama dengan PFIC-1,

hanya tidak ada diare serta pankreatitis. PFIC-3

PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning

kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem biliaris dalam batas normal pada

pemeriksaan pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan

pruritus bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna. 5. Injuri (jejas) toksik

Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis pada bayi adalah nutrisi

parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi pada bayi yang mendapat nutrisi

parenteral total timbul terutama pada bayi dalam keadaan kritis dan lebih sering pada bayi

prematur karena mekanisme pembentukan empedunya masih belum berkembang.

Tergantung dari umur kehamilan, profil asam empedu fetal mungkin menetap yaitu lebih

banyaknya asam empedu litokolat yang dibentuk daripada bayi yang lebih besar. Asam

litokolat bersifat toksik. Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi enterohepatik,

mengurangi sekresi hormon-hormon intestinal yang diperlukan untuk fungsi normal

hepatobiliaris, dan mempermudah berkembangnya bakteri tumbuh lampau di usus halus

yang berpotensi membentuk endotoksin atau mengubah asam empedu menjadi lebih

toksik. Mungkin pula terjadi translokasi bakteri. Semua mekanisme ini dipersulit lagi oleh

faktor sistemik seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi lokal atau sistemik dan obat-obat

yang digunakan. Defisiensi nutrisi spesifik mungkin pula berpengaruh, misalnya: tidak

adanya taurin, asam lemak esensial, karnitin dan antioksidan seperti vitamin E, selenium

dan glutation. Kolestasis yang terjadi mungkin sangat hebat sehingga menyerupai obstruksi

traktus biliaris ekstrahepatik dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta

aminotransferase yang meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis

hepatoselular, lipofusin yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi giant cells ringan,

infiltrasi inflamasi daerah portal, beberapa proliferasi duktulus biliaris dengan atau tanpa

fibrosis porta. Dengan mikroskop elektron, dapat diperlihatkan kristal kolesterol dalam sel

hepatosit.5,27 Tatalaksana1,21

Tujuan tatalaksana kolestasis intrahepatik adalah:

1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara:

a. Mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis hepatoselular

yang dapat diobati seperti terlihat pada tabel. 5 untuk beberapa kelainan tertentu.

b. Menstimulasi aliran empedu dengan:

Page 386: Buku Ajar Gastroenterologi

- Fenobarbital: bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi kuning.

Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan aliran empedu dengan cara menginduksi

enzim UDP-glukuronil transferase, sitokrom P-450 dan Na+K+ATP-ase. Tetapi pada

bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu metabolisme beberapa

obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat mengeksaserbasi ricketsia.

Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis.

- Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih

hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer

serta sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam empedu

toksik. Selain itu asam ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk

absorpsi lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena antara lain

dapat menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta sebagai bile flow inducer

karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel

hati.

Dosis: 10-20 mg/kgBB/hari. Efek samping : diare, hepatotoksik.

- Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga juga akan

menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus

sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta

meningkatkan ekskresinya. Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan balik

negative ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang

berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka

panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia.

Dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari. Efek samping: konstipasi, steatorrhea, asidosis

metabolik hiperkloremik.

- Rifampisin: dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta menghambat ambilan

asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya, sehingga dapat

menghilangkan gatal pada 50% kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia

dan hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-10% kasus.

Dosis: 5 -10 mg/kgBB/hari. Tabel 20.5. Tatalaksana spesifik pada beberapa penyebab sindrom hepatitis neonatal

Penyebab Tatalaksana spesifik

Infeksi

- Toksoplasma

- Sitomegalovirus

- Herpes simpleks

- Sifilis

- Sepsis/infeksi bakteri

lain

- Tuberkulosis

Spiramisin

Gancyclovir, bila berat

Acyclovir

Penicillin

Antibiotik yang sesuai

OAT ( 4 jenis tanpa ethambutol)

Toksik

- Nutrisi parenteral total

Asupan oral, metronidazol,

ursodeoksikolat

Sumber : Suchy26

2. Nutrisi32

Page 387: Buku Ajar Gastroenterologi

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (terjadi pada

lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan

ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan

absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori

yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk

menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi digunakan

formula spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan normal serta vitamin,

mineral dan trace element:

a. Formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih larut dalam air sehingga

tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi dan menghindarkan makanan yang

banyak mengandung cuprum (tembaga).

b. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi normal sesuai

dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein :2-3 gr/kgBB/ hari.

c. Vitamin yang larut dalam lemak:

- A : 5000-25000 U/hari

- D3 : Calcitriol: 0,05 –0,2 ug/kgBB/hari

- E : 25-50 IU/kgBB/hari

- K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu

d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe. 3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya hiperlipidema/xantelasma dengan

kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi adalah transplantasi hati.8

4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk penderita dengan

kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati.8 Prognosis

Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh pada kasus

sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus yang bersifat familial,

prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik

dengan mortalitas sebesar 13%-25%. Prediktor untuk prognosis yang buruk adalah: kuning

hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit dalam keluarga,

hepatomegali persisten dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsi hati.

Daftar Pustaka 1. Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting.

Hepatology. A Textbook of liver disease; edisi ke-2. Philadelphia: Saunders. 1990: 1355-95.

2. Haber BA, Lake AM. Cholestatic jaundice in the newborn. Clins Perinatology 1990; 17: 483-506. 3. Sellinger M, Boyer JL. Physiology of bile secretion and cholestasis. Dalam: Popper H, Schaffner F, penyunting.

Progress in Liver Disease; Vol IX. New York: Saunders. 1990: 237-59.

4. Mews C, Sinarta FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994; 15: 233-40. 5. Roberts EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary system in

children, edisi ke-1. Oxford: Blackwell Science. 1999: 11-45.

6. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR et al, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, diagnosis, management; edisi ke-1.

Philadelphia: Decker. 1991: 835-48.

7. Shah HA, Spivak W. Neonatal cholestasis. New approaches to diagnostic evaluation and therapy. Pediatr Clin North Am. 1994; 41: 943-66.

Page 388: Buku Ajar Gastroenterologi

8. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children. Clinics in Family Practice. 2000; 2: 1-36.

9. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy: intrahepatic disorders. Dalam: Mowat AP, penyunting. Liver disorders in childhood, edisi ke-3. Oxford: Butterworth-Heinemann. 1994: 43-78.

10. Bolder U, Ton-Nu HT, Schteingart CD, Frick E, Hofmann AF. Hepatocyte transport of bile acids and organic

anions in endotoxemic rats: Impaired uptake and secretion. Gastroenterology. 1997; 112: 214-25. 11. Boyer JL. Bile secretion models, mechanisms, and malfunctions. A perspective on the development of modern

cellular and molecular concepts of bile secretion and cholestasis. J Gastroenterol. 1996; 3: 475-81.

12. Erlinger S. Pathophysiology of cholestasis. Dalam: Lentze M, Reichen J, penyunting. Paediatric cholestasis. Novel approaches to treatment. Proceeding of the 63th Falk Symposium. October 9-10 1991. London: Kluwer.

1992: 49-54. 13. D’Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev. 1999; 20: 376- 89.

14. Mieli-Vergani G, Howard ER, Mowat AP. Liver disease in infancy: a 20 year perspective. Gut. 1991; 8(suppl):

123-8.

15. Chang MH. Differential diagnosis of cholestasis in infancy. Dalam: Suharyono, Firmansyah A, Syarif BH, penyunting. Asian Pan Pacific society for paediatric gastroenterology and nutrition. Coordinating Working Unit

of Gastroenterology Indonesian Society of Paediatricians; December 16-19, 1996; Jakarta: IDAI. 1996: 213-24.

16. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal Hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs. 2006; 20: 103-7.

17. Bisanto J, Jong DM, Oswari H, Purnamawati SP. Gambaran kolestasis pada bayi di Departemen Ilmu Kesehatan

Anak FKUI-RSCM. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam. 12-14 Juli 2004.

18. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balisteri W, eds. Liver Disease in Children. 3rd ed. New York: Cambridge University Press. 2007.

19. Sherlock S, Dooley J. Cholestasis. Dalam: Sherlock S, Dooley J, penyunting. Disease of the liver and biliary

system; edisi ke-10. London Blackwell Science. 1997: 217-37. 20. Trauner M, Meier PJ, Boyer JL. Molecular pathogenesis of cholestasis. N Eng J Med. 1998; 339: 1217-27.

21. Kennedy MS, Balistreri WF. Pediatric liver disease. Hyperbilirubinemia. Dalam: Friedman LS, Keffe EB,

penyunting. Handbook of liver disease, edisi ke-1. Edinburgh: Churchill Livingstone. 1998: 316-20. 22. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. 2008; 13: 49-56.

23. Bisanto J, Putra IA, Hadinegoro SR. Clinical and laboratory manifestations of cholestasis in infancy. In Press.

24. Sera J, Ikeda S, Akadi M. Ultrasonographic studies for the diagnosis of infantile cholestatic disease. Dalam: Ohi R, penyunting. Proceeding of the 4th International symposium on biliary atresia. Sendai. 1986: 106-9.

25. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For. 2005; 2: 27-34.

26. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins. 2001: 187-94.

27. Phillips MJ, Suchy FJ. Mechanism and morphology of cholestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,

penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins. 2001: 23-38.

28. Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J, April 11,2003. Diunduh dari http://www. emedicine.com/ped/topic 383.htm. Diakses 26 Februari 2004.

29. Zallen, GS, Bliss DW, Curran TJ. Biliary Atresia. Pediatr in Rev. 2006; 27: 243-48.

30. Oswari H, Harijadi, Bisanto J, Purnamawati SP. Kolestasis intrahepatik pada bayi dengan infeksi saluran kemih. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam, 12-14 Juli 2004.

31. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996; 43: 1-26.

32. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional Management of cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: LippincottWilliams

Wilkins. 200: 195-238.

33. Piccoli DA, Spinner NB. Alagille Syndrome and the Jagged 1 Gene.Semin Liver Dis. 2001; 21: 525-34.

34. Bull LN, Carlton,VE, Stricker NL et al. Genetic and morphological findings in progressive familial intrahepatic cholestasis (Byler disease PFIC-1 and Byler syndrome) evidence for heterogeneity. Hepatology. 1997; 26: 155-64.

Page 389: Buku Ajar Gastroenterologi

BAB XXI

HIPERTENSI PORTA

Hanifah Oswari

Ilustrasi kasus

Seorang anak lelaki, 4 tahun, dirawat untuk pertama kalinya di Departemen Ilmu

Kesehatan Anak pada tanggal 18 Agustus 2003 dengan keluhan utama hematemesis dan

melena sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 8 bulan sebelumnya perut terlihat

membesar. Dua bulan sebelumnya pasien juga mengalami hematemesis melena 1 kali.

Keluhan ini hanya berlangsung 1 hari dan menghilang tanpa diobati. Sejak 1 bulan lalu, perut

pasien terlihat makin membesar dan pasien terlihat pucat. Orang tua membawa pasien

berobat ke dokter spesialis anak dan dianjurkan untuk berobat ke RS. Sejak lahir pasien tidak

pernah kuning, tidak ada riwayat infeksi tali pusat ataupun dirawat saat neonatus. Urin

tidak pernah berwarna coklat seperti teh. Pada pemeriksaan fisik anak tampak sakit berat,

kompos mentis, dan pucat, serta sklera tidak ikterik. Laju nadi, laju jantung 124 x/menit, isi

cukup, teratur. Frekuensi nadi basal 90x/menit. Laju napas 24 x/menit, teratur, suhu aksila

37,8oC. Jantung dan paru tidak ditemukan kelainan. Perut membuncit, tidak terlihat venektasi.

Perabaan lemas, turgor cukup, tidak terdapat nyeri tekan, hati teraba 2 cm di bawah

procesus xyphoideus, 2 cm di bawah arkus aorta. Limpa teraba 3 cm di bawah arkus kosta

kiri. Tidak ditemukan adanya asites. Palmar eritema juga tidak ditemukan. Pemeriksaan

darah tepi menunjukkan kadar hemoglobin 4,1 g/dl, leukosit 13.300/l, trombosit

315.000/l, hitung jenis (%): basofil 0%, eosinofil 0%, batang 0%, segmen 42%, limfosit 53%

dan monosit 5%. Hitung trombosit 315.000/l. Albumin 3,8 g/dl (3,5-5,5), kolesterol 145 mg%

(140-250), SGOT 20 mU/ml (N:<40), SGPT 41 mU/ml . (N:<40), bilirubin direk 0,24 mg%

(<0,2), bilirubin indirek 0,51 mg% (N <0,6), gula darah sewaktu 81 mg/dl, waktu protrombin

(PT) 13,2 detik (kontrol 13,2 detik), dan aPTT 28,4 detik (kontrol 38,3 detik). Ditegakkan

diagnosis hematemesis melena yang dicurigai akibat pecahnya varises esofagus karena

tersangka hipertensi porta ektrahepatik (non sirosis).

Pendahuluan

Pada hipertensi porta terjadi abnormalitas hemodinamik. Pada orang dewasa, hipertensi

porta umumnya disebabkan oleh sirosis hepatis, sedangkan pada anak lebih banyak disebabkan

oleh kelainan ekstrahepatik dengan fungsi hati yang normal. Hipertensi porta dan

komplikasinya seperti varises esofagus dan asites sering terjadi pada orang dewasa dengan

penyakit hati kronis. Perdarahan gastrointestinal merupakan manifestasi klinis hipertensi porta

Page 390: Buku Ajar Gastroenterologi

yang paling berat baik pada dewasa maupun anak. Perdarahan gastrointestinal akibat

hipertensi porta paling sering disebabkan oleh perdarahan varises esofagus dan gaster.1,2

Definisi

Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan tekanan porta di atas nilai normal,

yaitu 1-5 mmHg. Secara klinis hipertensi porta yang signifikan didefinisikan sebagai tekanan

porta di atas 12 mm Hg karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya perdarahan

akibat hipertensi porta. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi porta ini berhubungan

dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.3,4

Angka kejadian

Pada penelitan prospektif orang dewasa, lebih dari 90% pasien sirosis akan terbentuk

varises esofagus, dan sekali waktu dalam kehidupannya varises ini akan pecah. Pada penelitian

anak dengan sirosis hepatis, kira-kira dua pertiganya ditemukan varises. Miga dkk meneliti 134

pasien dengan atresia biliaris mendapatkan risiko perdarahan yang meningkat sejalan dengan

pertambahan waktu. Dalam 5 tahun terjadi perdarahan pada 40% anak tersebut. Pada

penelitian lain pada anak remaja dengan obstruksi vena porta ekstrahepatik, kemungkinan

perdarahan pada usia 16 tahun sebesar 49%, dan meningkat menjadi 76% pada usia 24 tahun.

Kemungkinan perdarahan semakin meningkat pada anak yang mengalami perdarahan pertama

sebelum usia 12 tahun.5,6

Etiologi

Pada dewasa, umumnya hipertensi porta disebabkan oleh sirosis, sedangkan pada anak

kurang lebih setengahnya disebabkan oleh obstruksi vena porta ekstrahepatik. Tabel 21.1

menunjukkan penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta.7,8

Tabel 21.1. Penyakit anak berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi berdasar patofisiologi

I. Kelainan prehepatik

a. Peningkatan resistensi

Trombosis vena porta-transformasi kavernosa

Omphalitis, kateterisasi neonatal, trauma, sepsis, peritonitis,

dehidrasi, kelainan pembekuan (defisiensi protein S, C)

Trombosis vena lienalis

Primer, sekunder (pankreatitis)

b. Peningkatan aliran darah

Fistula A-V

Giant hemangiomatosis

Page 391: Buku Ajar Gastroenterologi

Splenomegali masif kronis

II. Kelainan intrahepatik

a. Hepatoselular

Hepatitis kronis (virus)

Hepatitis autoimun

Fibrosis hati kongenital

Penyakit Wilson

Defisiensi alfa-1 antitripsin

Glycogen storage disease tipe IV

Hepatotoksisitas kronis

Histiositosis

Schistosomiasis

Hepatic storage disease-Gaucher’s disease

b. Penyakit saluran bilier

Atresia biliaris ekstrahepatik

Penyakit kolestasis intrahepatik (Sindrom Alagille, PFIC)

Cystic fibrosis

Sclerosing cholangitis

Choledochal cyst

III. Kelainan post-hepatik

a. Sindrom Budd-Chiari

Hiperkoagulopati

Neoplasma, penyakit kolagen, penggunaan kontrasepsi oral

b. Trauma, idiopatik

c. Penyakit jantung kongenital

d. Obstruksi vena kava inferior

e. Penyakit veno-oklusif

Hipertensi porta idiopatik

A-V=arteriovena ; PFIC=Progressive familial intrahepatic cholestasis

Sumber: Chen7

Page 392: Buku Ajar Gastroenterologi

Patogenesis/Patofisiologi

Peningkatan tekanan porta disebabkan oleh peningkatan resistensi vaskular dan

peningkatan aliran darah porta. Tempat peningkatan resistensi tergantung pada proses

penyakitnya. Tempat obstruksi dapat terjadi prehepatik (obstruksi vena porta),

intrahepatik (presinusoid: misalnya fibrosis hepatik kongenital; parasinusoidal: sirosis,

terapi obat hepatotoksik, hepatotoksitas vitamin A; postsinusoidal: venocclusive disease)

dan/atau posthepatik (sindrom Budd-Chiari, perikarditis konstriktiva).

Secara praktis yang penting adalah menentukan apakah ada penyakit parenkim

hati atau tidak. Penyakit hati terjadi pada semua kelompok di atas kecuali pada kelainan

prehepatik.

Hipertensi porta terjadi karena: (1) peningkatan resistensi vaskular intrahepatik dan (2)

peningkatan aliran vena porta. Pada sirosis terjadi perubahan struktural berupa peningkatan

tahanan vaskular intrahepatik melalui gangguan langsung pada aliran darah di sinusoid. Selain

itu pada hati yang sirosis terjadi peningkatan tonus vaskular akibat defisiensi relatif vasodilator

lokal intrahepatik, terutama nitrat oksida (nitric oxide).11 Selain peningkatan resistensi vaskular

intrahepatik, terjadi juga peningkatan aliran darah porta karena vasodilatasi splanknik yang

diperantarai oleh nitrat oksida. Akibatnya terjadi sirkulasi hiperdinamik yang tergantung pada

vasodilatasi perifer dan retensi natrium kompensatorik dengan ekspansi volume plasma karena

pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis

dapat dilihat pada Tabel 21.2. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta dapat dilihat

pada Tabel 21.3.9,10,11

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis hipertensi porta umumnya mengejutkan. Kira-kira dua pertiga anak

dengan hipertensi porta datang dengan hematemesis-melena, biasanya karena pecahnya varises

esofagus. Perdarahan gastrointestinal juga dapat terjadi karena gastropati hipertensi porta,

gastric antral vascular ectasia (GAVE), atau dari varises gaster, duodenum, periostomal atau

rektum. Perdarahan dapat sangat hebat dan mengancam kehidupan. Hampir seluruh pasien

yang dilaporkan di atas juga dengan splenomegali pada saat datang dengan perdarahan, oleh

sebab itu kombinasi perdarahan gastrointestinal dan splenomegali perlu dipikirkan akibat

hipertensi porta terlebih dahulu sampai terbukti bukan.12,13

Tabel 21.2. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis

I. Peningkatan resistensi

A. Makroskopis (irreversibel?)

1. Nodul regenerasi

2. Fibrous septa

3. Trombosis vena intrahepatik

4. Ablasi parenkim hati

B. Mikroskopis (reversibel)

Page 393: Buku Ajar Gastroenterologi

1. Pembengkakan sel hepatosit

2. Aktivasi hepatic stellate cell (HSC) perisinusoidal

3. Kolagenosis perisinusoidal

II. Peningkatan aliran darah vena porta

A. Dilatasi vena porta

B. Peningkatan produksi vasodilator

C. Splenomegali

D. Sirkulasi hiperdinamik sistemik

Sumber: de Franchis12

Tabel 21.3. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta

TAHAP AWAL

Ekspansi volume darah-vasorelaksasi

TAHAP AKHIR

Ekspansi volume darah

Vasodilatasi umum

- Peningkatan vasodilator yang bersirkulasi (nitrat oksida, prostasiklin,

glukagon, dll)

- Penurunan respons vaskular vasokonstriktor yang bersirkulasi

Peningkatan pirau (shunting)

Sumber: de Franchis12

Selain perdarahan gastrointestinal, manifestasi lain yang sering adalah splenomegali.

Umumnya splenomegali diketahui pada pemeriksaan fisik rutin secara tidak sengaja. Pasien

umumnya telah merasakan perutnya membesar pada sebelah kiri atas selama bertahun-tahun.

Kadang-kadang ditemukan manifestasi hipersplenisme berupa trombositopenia, leukopenia,

petekie, atau ekimosis yang pada pemeriksaan selanjutnya ditemukan adanya hipertensi porta.

Walaupun splenomegali merupakan gejala hipertensi porta, tetapi ukurannya tidak

berhubungan dengan tekanan porta.14

Gejala vena yang melebar di dinding abdomen juga spesifik untuk hipertensi porta.

Gambaran venektasi ini terjadi akibat pirau portokolateral melalui pembuluh darah subkutan.

Arah aliran pada vena tersebut menunjukkan tempat obstruksi. Jika vena kava inferior yang

tersumbat, arah aliran di atas umbilikus biasanya cephalad (ke arah kepala). Dekompresi vena

porta juga menimbulkan gejala kaput medusa, ini adalah dekompresi pada vena umbilikus yang

berakibat pelebaran kolateral periumbilikalis yang hebat, tetapi kaput medusa jarang ditemukan

pada anak.9,14

Page 394: Buku Ajar Gastroenterologi

Gejala asites dapat ditemukan dan umumnya berhubungan dengan penyakit hati yang

diderita pasien. Hipertensi pulmonal juga dapat ditemukan pada anak, dan merupakan suatu

keadaan yang mengkhawatirkan bila ditemukan. Patofisiologinya belum jelas, tetapi

berhubungan dengan hipertensi porta. Komplikasi ini jarang terjadi tetapi dilaporkan terjadi

pada anak.1,7

Sindrom hepatopulmonal juga merupakan manifestasi klinis yang penting. Pada

keadaan ini terjadi pirau darah dari kanan ke kiri intrapulmonal yang menyebabkan desaturasi

sistemik. Gejalanya berupa sesak nafas, intoleransi terhadap latihan, dan jari gada (clubbing

finger). Pengukuran saturasi oksigen perifer posisi berdiri pada saat diperiksa penting untuk uji

penapisan kelainan ini. Saturasi oksigen dibawah 96% perlu diperiksa lebih lanjut untuk

menyingkirkan sindrom hepatopulmonal.15

Diagnosis

Hipertensi porta perlu dipikirkan pada anak dengan perdarahan gastrointestinal yang

signifikan atau splenomegali yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemeriksaan fisik

dilakukan untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan juga diperlukan untuk

menilai adanya gangguan pertumbuhan, lesi kutaneus yang mengarah pada kelainan hati kronis

(misalnya teleangiektasia, eritema palmaris). Kombinasi perdarahan gastrointestinal dan

splenomegali sangat sugestif untuk hipertensi porta. Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk

menilai fungsi hati. Pemeriksaan jumlah leukosit dan trombosit dapat mengarah pada

hipersplenisme.14,16

Idealnya adanya hipertensi porta ditentukan dengan menentukan tekanan porta secara

langsung. Jika tekanan porta meningkat di atas batas normal maka disebut hipertensi porta,

tetapi pengukuran langsung tekanan porta bersifat invasif dan tidak praktis sehingga dicari

metode lain untuk menentukannya. Metode yang dapat digunakan adalah: (1) pengukuran

gradien tekanan vena porta, (2) USG Doppler abdomen, dan (3) endoskopi.17

1. Pengukuran gradien vena porta

Penentuan gradien tekanan vena porta (hepatic vein pressure gradient-HVPG) adalah

metode tidak langsung tetapi akurat untuk memperkirakan tekanan porta. Pengukuran

HPVG dilakukan dengan cara melakukan kateterisasi vena hepatika melalui jalan

transfemoral atau transjugular. HVPG dihitung dengan cara mengurangi tekanan vena

porta bebas dari tekanan wedge vena hepatika.

Batas atas normal HVPG adalah 5 mmHg, diatas nilai itu berarti terdapat hipertensi porta.

Pengukuran HVPG bermanfaat untuk menilai risiko terbentuknya varises esofagus dan

risiko perdarahan. Varises tidak terbentuk dan tidak berdarah bila HVPG nilainya kurang

dari 12 mmHg. HVPG juga bemanfaat untuk evaluasi pengobatan dan untuk menilai

prognosis perdarahan varises akut. Walaupun HVPG aman dan akurat, pemeriksaan ini

tidak praktis karena bersifat invasif dan relatif mahal serta memerlukan ahli yang terlatih.

Walaupun pemeriksaan ini bermanfaat pada orang dewasa, pada anak belum dilaporkan.18

Page 395: Buku Ajar Gastroenterologi

2. USG Doppler abdomen

Pemeriksaan USG Doppler abdomen mendeteksi secara tidak langsung tanda hipertensi

porta. Pada USG ditentukan apakah terdapat ekogenisitas hati yang abnormal,

splenomegali, asites, dilatasi vena porta, vena porta yang berkelok-kelok, patensi vena

umbilikalis, atau adanya kolateral vena lainnya. Selain itu dapat dihitung kecepatan aliran

vena porta (apakah terdapat perlambatan aliran?), arah aliran porta (hepatopetal atau

reversi/hepatofugal), dan ada tidaknya turbulensi. Pemeriksaan USG termasuk

pemeriksaan yang tidak invasif dan relatif mudah diulang, tetapi pemeriksaan ini sangat

bergantung pada operator dan terdapat variabilitas antar alat yang tinggi dan kesepakatan

hasil antar observer yang rendah (intra-observer variabilitas sampai 30% dan inter-

observer variabilitas sampai dengan 50%), walaupun variabilitas intra- dan inter-observer

dapat ditingkatkan dengan pelatihan. Walaupun USG Doppler menggambarkan secara

tidak langsung adanya hipertensi porta, tetapi tidak dapat menggantikan HVPG untuk

menilai beratnya hipertensi porta dan kurang baik untuk menilai respons pengobatan

untuk menurunkan tekanan porta pada sirosis hati.19,20,21

3. Endoskopi

Endoskopi gastrointestinal atas lebih tersedia dibandingkan pengukuran HVPG dan metode

yang lebih disukai untuk menilai hipertensi porta. Dengan endoskopi dapat dinilai ada

tidaknya varises esofagus atau gaster, ukuran varises, gastropati hipertensi porta.

Endoskopi terutama bermanfaat untuk menentukan sumber perdarahan, apakah karena

pecahnya varises atau karena sebab lain seperti gastritis atau ulkus peptikum. Terdapat

kesepakatan inter-observer dalam menilai ukuran varises dan dicapai akurasi yang cukup

memuaskan.22

Terapi

Terapi hipertensi porta tergantung pada 3 keadaan klinis yaitu: (1) pencegahan

perdarahan varises pertama kali (profilaksis primer), (2) pengobatan perdarahan akut, dan (3)

pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder).23,24

1. Pencegahan perdarahan varises pertama kali (profilaksis primer)

Pada orang dewasa, pencegahan perdarahan varises pertama kali secara prinsip ditujukan

untuk: (1) mencegah pembentukan varises, (2) mencegah pertumbuhan varises kecil

menjadi besar, dan (3) mencegah pecahnya varises sedang-besar.

2. Pencegahan pembentukan varises (profilaksis pre-primer)

Terdapat dua penelitian pada orang dewasa yang menilai profilaksis primer yang

membandingkan pemberian penghambat reseptor beta-adrenergik (beta blocker) dan

Page 396: Buku Ajar Gastroenterologi

plasebo. Pada penelitian-penelitian tersebut, disimpulkan terapi beta blocker tidak efektif

untuk mencegah terjadinya varises dengan hipertensi porta, walaupun data yang ada

mungkin belum lengkap. Belum ada laporan pada anak mengenai pencegahan

pembentukan varises yang dilaporkan.12

3. Pencegahan pertumbuhan varises kecil menjadi besar

Terdapat dua penelitian pada orang dewasa mengenai hal ini: penelitian di Perancis dan

Italia. Penelitian di Perancis, mendapatkan bahwa propranolol tidak efektif untuk

mencegah pertumbuhan varises pada pasien dengan varises kecil saat awal penelitian.

Penelitian di Italia, meneliti nadolol dibandingkan dengan plasebo. Pada 3 tahun

pengamatan, nadolol dapat mencegah pertumbuhan varises. Pada kelompok nadolol

jumlah pasien yang mengalami perdarahan secara bermakna lebih rendah dibandingkan

plasebo. Mengingat kedua hasil penelitian ini berlawanan, belum dapat disimpulkan

mengenai efikasi beta blocker untuk mencegah pembesaran varises.25,26

4. Pencegahan pecahnya varises sedang-besar

Operasi pirau portokaval dan skleroterapi telah ditinggalkan untuk mencegah perdarahan

pertama varises. Operasi pirau portokaval ditinggalkan karena secara bermakna lebih tinggi

kematiannya pada kelompok yang dioperasi dibandingkan kelompok kontrol. Skleroterapi

ditinggalkan karena hasil penelitian satu dan yang lain tidak konsisten. Saat ini pada orang

dewasa umumnya disetujui untuk pasien dengan varises berukuran sedang-besar perlu

diberikan terapi profilaksi. Propranolol merupakan obat yang paling sering digunakan

untuk profilaksi. Penelitian meta-analisis yang membandingkan beta blocker dan plasebo,

melaporkan hasil bahwa beta blocker menurunkan mean insidens perdarahan dari 25%

menjadi 15%. Bila pasien dapat diturunkan HVPG-nya di bawah 12 mmHg atau diturunkan

20% di bawah HVPG semula, insidens perdarahan bisa kurang dari 10%. Kekurangan beta

blocker ini adalah mengenai efek sampingnya. Isosorbid mononitrat (ISMN) memiliki efek

samping yang lebih rendah daripada nadolol, tetapi ternyata kurang efektif untuk

mencegah perdarahan primer. Kombinasi beta blocker dan ISMN jika dibandingkan

dengan beta blocker tersendiri tidak menunjukkan perbedaan bermakna dalam mencegah

perdarahan pertama. Dalam meta-analisis, ligasi secara bermakna menurunkan insidens

perdarahan pertama dan mortalitas.27,28,29

Sampai saat ini beta blocker masih merupakan pilihan utama untuk pencegahan

perdarahan pertama kali pada orang dewasa, tetapi ligasi juga dapat digunakan dan

sebaiknya digunakan sebagai pilihan utama pada pasien dengan kontraindikasi atau

menunjukkan intoleransi terhadap beta blocker.30,31

Pemberian profilaksis untuk perdarahan varises pertama kali pada anak masih

kontroversial. Endoskopi surveilans pada anak dengan penyakit hati dan stigmata

hipertensi porta hanya dibenarkan jika dokter mengantisipasi pemberian profilaksis, baik

beta blocker atau ligasi dengan endoskopi. Terapi beta blocker pada hipertensi porta

memberikan efek primer penghambatan reseptor 2 pada splanchnic bed, yang

menyebabkan tidak dihambatnya stimulasi terhadap reseptor adrenergik, sehingga

menurunkan perfusi splanknik dan porta. Selain itu beta blocker juga menurunkan

Page 397: Buku Ajar Gastroenterologi

frekuensi denyut jantung karena penghambatan reseptor 1 adrenergik sehingga

menurunkan cardiac output dan perfusi porta. Propranolol juga diketahui menurunkan

sirkulasi kolateral seperti aliran darah di vena azigos. Dosis terapeutik diharapkan dapat

menurunkan frekuensi denyut nadi minimal 25% dari frekuensi basal saat istirahat. Dosis

propranolol 0,6 sampai 8,0 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis perhari diperlukan untuk

mendapatkan efek terapeutik. Efek samping utama penggunaan propranolol adalah blok

jantung dan eksaserbasi asma. Beta blocker juga berpotensi mengganggu respons fisiologis

terhadap hipoglikemia sehingga obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan

diabetes.32,33

5. Pengobatan perdarahan akut

Penatalaksanaan perdarahan akut terdiri dari penilaian awal pasien, resusitasi efektif,

diagnosis, pengendalian perdarahan dan pencegahan berulang dini, dan pencegahan

komplikasi seperti infeksi, gagal ginjal atau ensefalopati hati.

Penilaian awal pasien

Adanya konsumsi obat-obat NSAID atau aspirin, riwayat perdarahan sebelumnya dan

diagnosis penyakit hati sebelumnya perlu ditanyakan. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan

untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan awal perlu menilai beratnya

perdarahan (takikardi, hipotensi), disfungsi ginjal atau penyakit lain, beratnya penyakit hati

(Child-Pugh score) dan ada tidaknya infeksi (kultur). Pasien yang sedang menggunakan

beta blocker mungkin tidak ditemukan gejala takikardi walaupun telah terjadi gangguan

hemodinamik sehingga meningkatkan risiko terjadinya gangguan hemodinamik yang lebih

berat karena keadaan yang sebenarnya tidak dikenali.23,29

Resusitasi

Pasien perlu dihindarkan dari kemungkinan aspirasi, terutama bila pasien tidak sadar.

Jalur intravena perlu dipasang. Pemberian volume cairan untuk menggantikan perdarahan

perlu diperhatikan dengan seksama karena pemberian volume restitusi sepenuhnya justru

akan meningkatkan tekanan vena porta melebihi yang semestinya sehingga berisiko

menimbulkan perdarahan selanjutnya. Saat ini bila akan memberikan transfusi packed red

cells dianjurkan untuk mempertahankan hematokrit antara 25%-30% saja.

Pemasangan nasogastric tube (NGT) aman dilakukan serta perlu untuk menilai perdarahan

yang masih berlangsung dan mengeluarkan darah. Darah merupakan sumber protein yang

dapat mempresipitasi ensefalopati. Selain itu darah di dalam lambung akan meningkatkan

Page 398: Buku Ajar Gastroenterologi

aliran darah splanknik dan berpotensi memperburuk hipertensi porta dan perdarahan

berikutnya.

Trombosit perlu diberikan bila jumlahnya kurang dari 50.000/l dan koagulopati perlu

dikoreksi dengan vitamin K atau dengan fresh frozen plasma terutama pada pasien dengan

kolestasis. Antibiotik intravena sangat dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan

asites karena risiko terjadinya peritonitis bakterial spontan meningkat pada keadaan

perdarahan varises terutama yang membutuhkan endoskopi emergensi.23,28

Diagnosis

Secepatnya pasien stabil, endoskopi perlu dilakukan untuk menentukan apakah perdarahan

memang berasal dari pecahnya varises. Tanda perdarahan baru adalah adanya bekuan

darah, adanya varises dengan perdarahan baru di lambung, dan tidak adanya sumber

perdarahan yang lain. Endoskopi merupakan bagian terintegrasi penanganan emergensi

perdarahan gastrointestinal akut pada anak dengan hipertensi porta. Cukup banyak pasien

dengan penyakit hati kronis dan perdarahan gastrointestinal dengan sumber perdarahan

bukan dari varises, misalnya ulkus duodenum atau ulkus gaster, tetapi farmakoterapi untuk

perdarahan akut tidak perlu ditunda sampai endoskopi dilakukan.34,35

Pengontrolan perdarahan dan pencegahan perdarahan berulang dini

Pengobatan perdarahan varises akut perlu ditujukan untuk mengontrol perdarahan dan

mencegah perdarahan dini. Terapi farmakologis (vasopressin, somatostatin, octreotide) dan

terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) efektif untuk mengontrol perdarahan akut.

Terapi farmakologis adalah menggunakan vasopressin atau somatostatin (atau analognya).

Vasopressin paling lama digunakan, bekerja dengan cara meningkatkan tonus vaskular

splanknik dan akhirnya menurunkan aliran darah porta. Penggunaannya dibatasi oleh efek

samping yang mungkin timbul, seperti gagal ventrikel kiri, iskemia usus, angina, nyeri dada

dan perut. Akibat dari efek samping yang mungkin timbul ini, penelitian-penelitian

dilakukan untuk mendapatkan alternatif terapi. Somatostatin dan homolog sintetis

octreotide juga menunjukkan penurunan aliran darah splanknik. Efek ini dianggap karena

penghambatan sekresi peptida vasoaktif peptida di usus. Efek obat ini untuk perdarahan

akut serupa dengan vasopressin, tetapi dengan efek samping yang lebih rendah. Dosis

octreotide yang dianjurkan untuk anak adalah 1,0-5,0 g/kgBB/jam dengan infus kontinyu,

didahului pemberian bolus 1 kali dosis yang setara pemberian infus 1 jam.36,37

Terapi kombinasi dengan obat vasoaktif (terlipressin, somatostatin atau analog- octreotide

atau vapreotide) dengan terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) dievaluasi secara luas.

Studi meta-analisis menunjukkan bahwa terapi farmakologis dengan endoskopi lebih

efektif daripada terapi endoskopi tersendiri untuk mengontrol perdarahan dan mencegah

perdarahan berulang dalam 5 hari, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas. Kombinasi terapi

endoskopi dan farmakologis dapat mengontrol perdarahan pada 90% pasien dan mencegah

Page 399: Buku Ajar Gastroenterologi

perdarahan berulang dini sekitar 80%. Algoritme tatalaksana perdarahan yang dicurigai

varises dapat dilihat pada Gambar 21.1.38

Pencegahan komplikasi

Infeksi bakteri merupakan komplikasi serius pada sirosis lanjut, terutama pada pasien

dengan perdarahan. Pada keadaan ini, infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, asites,

atau infeksi pada berbagai tempat dapat terjadi. Infeksi umumnya berasal dari flora usus,

dan yang paling sering adalah karena E. coli. Infeksi terjadi pada lebih dari sepertiga pasien

sirosis dengan perdarahan dalam waktu 7 hari perawatan, dan berhubungan dengan

kegagalan pengendalian perdarahan, perdarahan berulang dini, dan kematian dini.

Profilaksi antibiotik sudah merupakan bagian integral penanganan perdarahan pada pasien

sirosis.39,40,41

Page 400: Buku Ajar Gastroenterologi

Curiga

perdarahan

varises

ResusitasiDengan obat vasoaktif

(misalnya octreotide)

Endoskopi

diagnosis

Ligasi atau

Skleroterapi

Perdarahan

terkontrol?

TIPS

Survailans

Endoskopi

+ Obat

Berhasil

Operasi pirau

Tidak tersedia

fasilitas dan

tenaga ahli

Obat vaso aktif-

Transfer ke RS yang

ada fasilitas tsb

YA

Tidak

Tidak

Ya

Gambar 21.1. Algoritme tatalaksana anak dengan kecurigaan perdarahan varises

6. Pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder)

Sekali varises berdarah, rekurensi pada dewasa dapat mencapai 2/3 pasien, biasanya

selama beberapa minggu pertama. Prinsip pencegahan sekunder adalah dengan obat-

obatan, endoskopi, dan transjugular hepatic portosystemic stent shunt (TIPS), dan operasi

pirau. Pada umumnya pencegahan sekunder dilakukan dengan obat atau dengan

endoskopi.42,43

Page 401: Buku Ajar Gastroenterologi

Beta blocker terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo untuk mencegah perdarahan

berulang dan kematian. Endoskopi skleroterapi juga lebih efektif daripada terapi

konservatif. Perbandingan antara skleroterapi dan beta blocker menunjukkan sedikit lebih

baik pada skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak ada perbedaan

mortalitas. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa ligasi lebih efektif daripada

skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas.

Ligasi saat ini direkomendasikan sebagai terapi endoskopi untuk mencegah perdarahan

varises berulang.22

Zargar dkk yang membandingkan skleroterapi dan ligasi untuk pencegahan sekunder pada

penelitian randomized clinical trial, perdarahan berulang pada kelompok skleroterapi

adalah 25%, sedangkan kelompok ligasi 4% dengan nilai p= 0,049. Ligasi mempunyai

keuntungan dengan lebih sedikitnya sesi yang diperlukan (4 vs 6) dan menyebabkan

komplikasi yang lebih rendah (4% vs 25%), tetapi tidak ada perbedaan timbul kembali

varises esofagus maupun terbentuknya varises gaster.44,45

Kombinasi beta blocker dan ISMN yang dibandingkan dengan skleroterapi menunjukkan

kombinasi terapi obat lebih superior dibandingkan skleroterapi untuk mencegah

perdarahan berulang, tetapi tidak berbeda pada mortalitas. Studi meta-analisis yang

membandingkan terapi obat kombinasi dan ligasi tidak menunjukkan adanya perbedaan

keduanya dalam mencegah perdarahan berulang. 4

Pada pasien dengan perdarahan varises yang tidak dapat dikontrol dengan endoskopi dan

terapi farmakologis, tersedia dua pilihan, yaitu operasi pirau portosistemik dan TIPS.

Operasi pirau efektif untuk menghentikan perdarahan tetapi berhubungan dengan

tingginya mortalitas bila dilakukan secara emergensi. Operasi pirau dapat diperberat

dengan trombosis pirau dan ensefalopati. Teknik pirau yang baru untuk pasien dengan

obstruksi vena porta ekstrahepatik dilaporkan oleh de Ville de Goyet, prosedur ini

menggunakan conduit vena mesenterika ke vena porta kiri sehingga sirkulasi antegrad

dipertahankan melalui parenkim hati pada pasien dengan obstruksi vena porta. Pasien

dengan hipertensi porta nonsirosis atau sirosis dengan Child Pugh A dapat diharapkan

mempunyai fungsi hati jangka panjang yang baik dan hidup bebas dari perdarahan setelah

spleno renal shunt.47,48,49

Pada dua studi meta-analisis yang melaporkan perbandingan TIPS dengan terapi endoskopi

memberikan hasil yang sama yaitu TIPS secara bermakna menurunkan perdarahan

berulang dibandingkan dengan terapi endoskopi (19% vs 47%, p<0,001), tetapi secara

bermakna meningkatkan ensefalopati (34% vs 19%; p<0,001), dan tidak ada perbedaan

angka survival. TIPS pada anak telah dilakukan pada dua seri kasus yang kecil.50,51

Daftar Pustaka

1. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: report of the Baveno III consensus workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J Hepatol. 2000; 33: 846-52.

2. Molleston JP. Variceal bleeding in children. JPGN. 2003; 37: 538-45.

Page 402: Buku Ajar Gastroenterologi

3. Garcia-Tsao G. Portal hypertension. Curr Opin Gastroenterol. 2003; 19: 250-8.

4. Reif S, Blendis L. Portal hypertension and ascites.Dalam: Walker WA,Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease, edisi ke-3. Canada: BC Decker. 2000. h. 233-43.

5. Krowka MJ, Cortese DA. Hepatopulmonary syndrome: current concepts in diagnostic and therapeutic

considerations. Chest. 1994; 105: 1528-37. 6. Shneider BL. Portal hypertension. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, editors. Liver disease in children.

Philadelphia:Lippincott WW. 2001, edisi ke-2. h. 129-51.

7. Garcia-Tsao G, Groszmann RJ, Fisher RL, ConnHO, Atterbury CE, Glickman M. Portal pressure, presence of gastro-esophageal varices and variceal bleeding. Hepatology. 1985; 5: 419-24.

8. Soh H, Hasegawa T, Sasaki T, Azuma T, Okada A, et al. Pulmonary hypertension associated with postoperative

biliary atresia: report of two cases. J Pediatr Surg. 1999; 34: 1779-81. 9. Lange PA, Stoller KJ. The hepatopulmonary syndrome. Ann Intern Med. 1995; 122: 521-9.

10. Sokal EM, VanHoorebeeck N, VanObbergh L. Upper gastrointestinal track bleeding in cirrhotic children

candidates for liver transplantation. Eur J Pediatr. 1992; 151: 326-8. 11. Weist R, Groszmann RJ. Nitric oxide and portal hypertension: Its role in the regulation of intrahepatic and

splanchnic vascular resistance (review). Semin Liver Dis. 1999; 19: 411-26.

12. Lykavieris P, Gauthier F, Hadchouel P, Duche M, Bernard O. Risk of gastrointestinal bleeding during

adolescentce and early adulthood in children with portal vein obstruction. J Pediatr. 2000; 136: 805-8.

13. Westaby S, Wilkinson SP, Warren R, Williams R. Spleen size and portal hypertension in cirrhosis. Digestion.

1978; 17: 63-8. 14. Shah SHA, Hayes PC, Allan PL, Nicholl J, Finlayson ND. Measurement of spleen size and its relationship to

hypersplenism and portal hyperdinamics in portal hypertension due to hepatic cirrhosis. Am J Gastroenterol.

1996; 91: 2580-83. 15. Graham DY, Smith JL. The course of patients after variceal hemorrhage. Gastroenterology. 1981; 80: 800-9.

16. Grace ND. Diagnosis and treatment of gastrointestinal bleeding secondary to portal hypertension. American

College of Gastroenterology Practice Parameters Committee. Am J Gastroenterol. 1997; 92: 1081-91. 17. de Franchis R, Dell’Era A, Iannuzzi F. Diagnosis and treatment of portal hypertension. Digestive and Liver

Disease. 2004; 36: 787-798.

18. Groszmann RJ, Wongcharatrawee S. The hepatic vein pressure gradient: anything worth doing should be done right. Hepatology. 2004; 39: 280-2.

19. Conn HO, Lindenmuth WW, May CJ, Ramsby GR. Prophylactic portocaval anastomosis; a tale of two studies.

Medicine. 1972; 51: 27-40. 20. Sabba C, Merkel C, Zoli M, Ferraioli G, Gainani S, Sacerdoti D, et al. Interobserver and interequipment

variability of echo-Doppler examination of the portal vein: effect of a cooperative training program. Hepatology.

1995; 21: 428-33. 21. Sacerdoti D, Gaiani S, Buonamico P, Merkel C, Zoli M, et al. Interobserver and interequipment variability of

hepatic, splenic and renal artery Doppler resistance indices in normal subjects and patients with cirrhosis. J

Hepatol. 1997; 27: 886-92. 22. de Franchis R, Primignani M. Endoscopic treatments for portal hypertension. Semin Liver Dis. 1999; 19:439-55. 23. D’Amico G, Pagliaro L, Bosch J. The treatment of portal hypertension: a meta-analytic review. Hepatology. 1995;

22: 332-54. 24. The North Italian Endoscopic Club for the Study ant Treatment of Esophageal Varices. Prediction of the first

variceal hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver and esophageal varices. N Engl J Med. 1988; 319: 983-

9. 25. Cales P, Oberti F, Payen JL, Naveau S, Guyader D, Blanc P, et al. Lack of effect of propranolol in the prevention

of large oesophageal varices inth patients with cirrhosis: a randomized tial. Eur J Gastroenterol Hepatol. 1999;

11: 741-5. 26. Villanueva C, Minana J, Ortiz J, Gallego A, Soriano G, et al. Nadolol plus isosorbid mononitrate compared with

sclerotherapy for prevention of variceal rebleeding. N Engl J Med. 1996; 334: 1624-9.

27. Borroni G, Salerno F, Cazzaniga M, Bissoli F, Lorenzano E, et al. Nadolol is superior to isosorbide mononitrat

for prevention of the first variceal bleeding in cirrhotic patients with ascites. J Hepatol. 2002; 37: 315-21.

28. Ozsoylu S, Kocak N, Yuce A. Propranolol therapy for portal hypertension in children. J Pediatr. 1985; 106: 317-

20. 29. Vivas S, Rodriguez M, Palacio MA, Linares A, Alonso JL, Rodrigo L. Presence of bacterial infection in bleeding

cirrhotic patients is independently associated with early mortality and failure to control bleeding. Dig Dis Sci.

2001; 46: 2752-7.

Page 403: Buku Ajar Gastroenterologi

30. Groszmann R, Garcia-Tsao G, Makuch R, Bosch J, Escorsell A, et al. Multicenter randomized trial of non-

selective beta blocker in the prevention of complications of portal hypertension: final result and identification of a predictive factor. Hepatology. 2003; 38: 206A.

31. Shashidhar H, Langhans N, Grand RJ. Propranolol in prevention of portal hypertension hemorrhage in

children: a pilot study. J Pediatr Gastroenterol Nur. 1999; 29: 12-7. 32. Chen L, Groszmann RJ. Blood in the gastric lumen increases splanchnic blood flow and portal pressure in portal

hypertension rats. Gastroenterology. 1996; 111: 1103-10.

33. Merkel C, Marin R, Angeli P, Zanella P, Felder M, et al. Beta-blockers in the prevention of the aggravation of esophageal varices in patients with cirrhosis and small varices:a placebo-controlled clinical trial. Heptology.

2003; 38: 217A.

34. Banares R, Albillos A, Rincon D, Alonso S, Gonzalez M, et al. Endoscopic treatment versus endoscopic plus pharmacologic treatment for acute variceal bleeding: a meta-analysis. Hepatology. 2002; 35: 609-15.

35. Stringer MD, Howard ER, Mowat AP. Endoscopic sclerotherapy in the management of oesophageal varices in 61

children with biliary atresia. J Pediatr Surg. 1989; 24: 438-42. 36. D’Amico G, Paglioro L, Bosch J. Pharmacologic treatment of portal hypertension: an evidence-based approach.

Semin Liver Dis. 1999; 19: 475-505.

37. Kravets D, Bosch J, Teres J, Bruix J, Rimola A, Rodes J. Comparison of intravenous somatostatin and

vasopressin infusions in the treatment of acute variceal hemorrhage. Hepatology. 1984; 4: 442-6. 38. Burroughs AK, McCormic PA, Hughes MD, Sprenger D, D’Heygere F, MCIntyre N. Randomized, double-

blinded, placebo-controlled trial of somatostatin for variceal bleeding: Emergency control and prevention of early variceal rebleeding. Gastroenterology. 1990; 99: 1388-95.

39. Bernard B, Cadranel JF, Valla D, Escolano S, Jarlier V, Opolon P. Prognostic significance of bacterial infection in

bleeding cirrhotic patients. Gastroenterology. 1995; 108: 1828-34. 40. Borzio M, Salerno F, Piantoni L, Cazzaniga M, Angeli P, et al. Bacterial infection in patients with advanced

cirrhosis: a multicenter prospective study. Dig Liv Dis. 2001; 33: 41-8.

41. Rolando N, Gimson A, Philpot-Howard J, et al. Infectious sequelae after endoscopic sclerotherapy of oesophageal varices:role of antibiotic prophylaxis. J Hepatol. 1993; 18: 290-4.

42. Botha JF, Campos BD, Grant WJ, Horslen SP, Sudan DL, et al. Portosystemic shunts in children: A 15 year

experience. J Am Coll Surg. 2004; 199: 179-85. 43. Luca A, D’Amico G, La Galla R, Midiri M, Morabito A, Pagliaro L. TIPS for prevention of recurrent bleeding in

patients with cirrhosis: meta-analysis of randomized clinical trials. Radiology. 1999; 212: 411-21.

44. Imperiale TF, Chalasani N. A meta-analysis of endoscopic variceal ligation for primary prophylaxis of esophageal variceal bleeding. Hepatology. 2001; 33: 802-7.

45. Zargar SA, Javid G, Khan BA, Yatto GN, Shah AH, et al. Endoscopic ligation compared with sclerotherapy for

bleeding esophageal varices in children with extrahepatic portal venous obstruction. Hepatology. 2002; 36: 666-72.

46. Feu F, Garcia-Pagan JC, Bosch J, Luca A, Teres J, Escosell A, et al. Relation between portal pressure response

to pharmacotherapy and risk of recurrent variceal haemorrhage in patients with cirrhosis. Lancet. 1995; 346: 1056-9.

47. Heyman MB, LaBerger JM. Role of transjugular intrahepatic portosystemic shunts in the treatment of portal

hypertension in pediatric patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999; 29: 240-9. 48. Merkel C, Bolognesi M, Bellon S, Zuin R, Noventa F, Finucci G, et al. Prognostic usefulness of hepatic vein

catheterization in patients with cirrhosis and esophageal varices. Gastroenterology. 1992; 102: 973-9.

49. McKieman PJ. Treatment of variceal bleeding.Ped Gastroint Endosc. 2001; 11: 789-813. 50. Heyman MB, LaBerge JM, Somberg KA, Rosenthal P, Madge C, et al. Transjugular intrahepatic portosystemic

shunts (TIPS) in children. J Pediat. 1997; 131: 914-9.

51. Papatheodoridis GV, Goulis J, Leandro G, Patch D, Burroughs AK. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt compared with endoscopic treatment for prevention of variceal rebleeding: a meta-analysis. Hepatology.

1999; 30: 612-22.

Page 404: Buku Ajar Gastroenterologi