Top Banner
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 i
108

Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

May 06, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 i

Page 2: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018ii

Page 3: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 iii

Assalamu’alaikum War. Wab.

Salam sejahtera selalu. Semoga Allah Swt. melimpahkan rahmat dan barokah-Nya kepada kita semua. Amiiin…

Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan saja sarana ekpresi pengembangan ilmu dan pengetahuan, tetapi juga dokumen sejarah

sebagai bukti atas eksistensi suatu lembaga. Bahkan, buku pun sebagai bahan tercetak yang dapat menjadi bukti laporan kegiatan dalam sebuah lembaga yang isinya bisa berbagai hal yang berharga, baik untuk lembaga itu sendiri maupun untuk masyarakat umum. Oleh karena itu, buku pun dapat menjadi bahan pertanggungjawaban atas eksistensi lembaga dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya.

Pun bagi KPID Jawa Barat, keberadaan buku sangat penting, sehingga pada tahun anggaran 2018, Bidang Isi Siaran KPID Jawa Barat memiliki program pembuatan buku dalam dua jilid. Jilid pertama merupakan perbanyakan dari Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Ptogram Siaran (P3-SPS) dan jilid dua adalah persepsi para komisioner dan para tokoh penyiaran tentang perkembangan dunia penyiaran.

Kedua buku tersebut sangat penting selain sebagai sarana sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang Penyiaran, juga pengembangan persepsi komisioner terhadap fungsi dan wewenang KPID Jawa Barat sepanjang periode yang diembannya (2015-2018). Dalam buku ini pun, terutama dalam Buku Jilid dua, para pengamat dan tokoh penyiaran diberikan kesempatan untuk menuangkan gagasannya terkait repleksi dunia penyiaran sepanjang masa tersebut sekaligus bagi pengembangan dunia penyiaran ke depan.

Oleh karena itu, kami sangat optimis atas manfaat buku ini, bahkan insya Allah buku ini akan memberikan manfaat yang besar, khususnya bagi perkembangan dunia penyiaran. Kendati, buku ini pun tidak terlepas dari kekurangan, tetapi semoga

Kata Pengantar

Page 4: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018iv

dapat menjadi stimulus bagi berbagai perbaikan dunia penyiaran ke depan.Kami, KPID Jawa Barat pun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak

yang telah ikut serta berpartisipasi atas terbitnya buku ini, terutama kepada para pengamat dan tokoh penyiaran yang telah berkontribusi dalam bentuk tulisan, juga kepada seluruh jajaran Pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan DPRD Jawa Barat, serta seluruh masyarakat Jawa Barat. Semoga semua yang kita lakukan mendapat ridlo Allah Swt.

Bandung, September 2018

Dr. Dedeh Fardiah, M.Si.Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat

Page 5: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 v

Pengantar Editor

Penyiaran yang Sehat dan Mendidik

Kendati eksistensinya sempat pasang-surut, tetapi dalam konteks kekinian peran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) tetap urgen. Bukan hanya menjadi kepanjangan tangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di daerah, tetapi

juga menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai ideologis, baik yang bersifat nasional maupun lokal, bahkan moral bangsa.

Keberadaan KPID, sebagaimana amanah peraturan perundangan, terutama berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang harus dipertahankan dan dilestarikan dalam kehidupan sosial masyarakat perlu pemahaman dan komitmen yang kuat. UU Penyiaran jangan dilihat hanya sebagai aturan, tetapi harus dipahami sebagai benteng bagi makin masifnya “budaya” negatif, terutama yang diimport melalui media massa, salah satunya media penyiaran.

Teori Kultivasi (Gerbner dan Gross, 1976) merupakan salah satu kajian Ilmu Komunikasi yang konsen pada pembuktian dahsyatnya pengaruh media penyiaran, terutama televisi, telah mengajarkan kewaspadaan kepada masyarakat terhadap dampak buruk dari siaran televisi. Kelahiran UU Penyiaran merupakan bukti kewaspadaan masyarakat Indonesia, sehingga KPID pun dilahirkan sebagai garda terdepan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

Jika UU Penyiaran dipahami hanya sebagai aturan dan KPID dipandang sebagai produk aturan, maka siapapun akan mudah untuk mengabaikannya. Apalagi Pemerintah yang notabene memiliki aksebilitas luas dan pemegang otoritas tertinggi atas eksistensi peraturan, bukan persoalan yang sulit untuk mengubah, bahkan menghapuskan aturan. Padahal, tertulis dengan jelas bahwa kelahiran UU Penyiaran bertujuan agar penyiaran diselenggarakan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.

Tujuan strategis tersebut sejatinya menumbuhkan pemahaman dan komitmen yang tinggi dari semua warga negara untuk meng-implementasikannya sekaligus memberikan dorongan dan dukungan pada KPID agar lembaga penyiaran tetap on the tract. Penyiaran di Indonesia harus tetap diarahkan pada : a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945; b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan

Page 6: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018vi

nilai-nilai agama serta jati diri bangsa; c. meningkatkan kualitas SDM; d. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa; e. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional; f. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup; g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran; h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi; i. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab; j. memajukan kebudayaan nasional.

Tujuan dan arah itulah yang harus menjadi komitmen bersama atas kehidupan penyiaran Teori Komitmen dari Porter, et al. (1982) mengajarkan, komitmen tidak hanya menerima bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam organisasi atau aturan organisasi itu benar, tetapi harus juga terdapat kesiapan dan kesediaan dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan dan mempertahankannya. Dalam konteks ini pun sama, Pemerintah dan warga Negara Indonesia sudah sepakat bahwa nilai-nilai substansial yang terdapat dalam UU Penyiaran itu benar, sehingga sampai saat ini masih berlaku dan diakui. Namun, hal itu tidak cukup jika tidak menjalankannya dan mempertahankannya, bahkan sangat kontrak produktif jika justru melanggarnya.

Oleh karena itu, jika Pemerintah dan seluruh warga Negara Indonesia komit atas nilai-nilai substansial UU Penyiaran untuk menjadi filter pertahanan dari dampak buruk konten isi siaran dan menguatkan dampak baiknya, maka eksistensi fungsi, tugas, dan kewajiban KPID tidak akan pernah surut.

Literasi media telah menumbuhkan aktivis-aktivis tangguh baik dari kalangan akademisi, LSM, mahasiswa, pelajar, dan kelompok masyarakat strategis lainnya untuk komit membatasi, bahkan melarang konten siaran yang dapat merusak moral dan mental bangsa. Bahkan, sejumlah gerakan sudah didengungkan, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Semuanya berangkat dari kesadaran atas pemahaman nilai-nilai yang terkandung dari UU Penyiaran. Bahkan, kesadaran pun mulai tumbuh pada sebagian pengelola lembaga penyiaran, sehingga mereka konsisten hanya menyajikan konten siaran yang sehat dan mendidik.

Realitas itulah yang menjadi tema besar dari buku yang diberi judul Penyiaran yang Sehat dan Mendidik. Apa yang dimaksud dengan tema itu, sepululuh penulis yang piawai di bidangnya mengupas dengan cerdas dengan perspektif masing-maising, sehinggga buku ini menarik untuk ditela’ah. Semoga di antara kekurangan yang ada, buku ini tetap dapat memberikan kontribusi pada situasi kehausan khalayak atas siaran yang sehat dan mendidik. Jayalah penyiaran Indonesia dalam globalisasi informasi yang makin masif. ***

Bandung, September 2018Editor

Page 7: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 vii

Kata Pengantar

Ketua KPID Jawa Barat ................................................................................

Pengantar Editor

Penyiaran yang Sehat dan Mendidik ..........................................................

Daftar Isi ...........................................................................................................

Prof. Dr. KH. Miftah Faridl

Mengemas Konten Dakwah di Media .............................................

Prof. Dr. H. Obsatar Sinaga, S.I.P., M.Si.

Penyiaran Sehat dan Mendidik ....……………………………………………….

Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie, Dra., M.Si.

Transformasi Lembaga Penyiaran Publik ..…………………………………….

Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, M.A.

Menggagas Konten Siaran yang Sehat .................………………………….

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si.

Cepot, Gelang Kesehatan, dan Artis Bersarung: Siaran Lokal

Untuk siapa? …………….......................................................................

Daftar Isi

iii

v

vii

1

9

17

29

37

Page 8: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018viii

Muradi, S.S., M.Si., M.Sc., Ph.D.

Demokrasi dan Penyiaran: Dilema Penyiaran Berkualitas dan

Politik Pemilik Media .................................................................…….

Dr. Dedeh Fardiah, M.Si.

Menjadi Orang Tua Cerdas di Era Digital .....................………………….

Dr. H. Mahi M. Hkikmat, M.Si.

Pengawasan Siaran Tahun Politik: Antara Idealisme dan

Ideologisme ……………………................................................................

Dr. Aep Wahyudin, M.Si.

Memotret Frame Piramida Penyiaran: Public Service

Broadcasting, Content Literacy, Local Enforcement ............………….

Hj Neneng Athiatul Faiziyah SAg. M.I.Kom.

Menggugat Tergerusnya Siaran Lokal …………………………………………..

Dadan Saputra, S.Pd. M.Si.

Posisi Dan Peran Lembaga Penyiaran Publik Lokal Jawa Barat

dalam Mewujudkan Jabar Juara ........…………………………………………..

43

55

65

73

87

95

Page 9: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 1

Dalam perspektif dakwah, ragam konten yang biasa disiarkan sejumlah media adalah pesan dakwah. Apapun bentuknya. Bukan hanya tayangan ceramah-ceramah agama ataupun sinetro-sinetron religi. Tapi semua bentuk tayangan

sejatinya dapat menjadi saluran penyampaian pesan dakwah. Mulai dari konten iklan, penyebaran informasi, acara pendidikan, progam anak-anak, dan lain sebagainya, sejatinya memiliki muatan pesan dakwah. Iklan, misalnya, harus mengandung kejujuran dan moralitas. Ia tidak bisa hanya mempertimbangkan unsur daya tarik, tapi harus juga memiliki muatan kebenaran sesuai tuntunan ajaran.

Karena itu, apapun acaranya, media tetap harus sanggup menyuarakan pesan-pesan yang bernuansa nilai-nilai amar ma’ruf nahyi munkar yang menjadi missi utama dakwah Islam. Di sisi lain, dakwah pun akan banyak terbantu media. Jika sebelumnya dakwah hanya bisa mengandalkan media mimbar yang kini semakin tidak menarik perhatian masyarakat, setelah lahirnya teknologi media, dakwah dapat dengan lebih leluasa bergerak memasuki pojok-pojok kehidupan manusia. Jika sang kiai sudah merasa kehabisan cara bagaimana mendekati usia remaja untuk mengajak pada kebajikan, melalui media kiai bisa bekerja sama dengan insan-insan media untuk secara bersinergi merumuskan konten yang menarik untuk usia remaja.

Sinergi seperti ini dapat sangat memungkinkan siapapun menjadi “juru dakwah”. Istilah juru dakwah kini bukan lagi monopoli seorang agamawan, atau seorang da’i yang biasa menyeru dalam mimbar, tapi siapapun bisa menjadi juru dakwah. Melalui media seorang kiai dapat dengan mudah menyeru ribuan bahkan jutaan sasaran dakwah, padahal sebelumnya, hanya dengan menggunakan speaker sederhana dan diruangan yang sempit dan sederhana, kalau bisa menjangkau seribu orang saja sudah luar biasa. Malah efektifnya paling hanya dalam hitugan puluhan seperti layaknya sang ustaz yang hadir di majelis taklim. Di sisi lain, masyarakat pendengar pun dapat dengan mudah menerima pesan-pesan agama dari seorang

Mengemas Konten Dakwah di Media

Prof. Dr. KH. Miftah Faridl

Ketua MUI Kota Bandung

Page 10: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 20182

da’i yang tak mudah ditemuinya sekalipun dan yang berada di manapun.Ibarat kontroversi tanggal 1 Syawal yang sering hanya diterima ujungnya saja,

kini masyarakat dapat dengan mudah mengikuti perdebatan yang terjadi di antara para pakar dan para kiai yang biasa ikut menentukan penanggalan itu. Pada tahun 1432 Hijriyah, misalnya, ketika terjadi perbedaan pendapat di seputar penetapan tanggal 1 Syawal yang muncul agak menegangkan, masyarakat tak tahu asal-usulnya. Masyarakat tahunya ada ketegangan di antara para pakar. Tidak seperti biasanya memang. Meski hampir setiap tahun terjadi perbedaan iedul fitri, saat itu perbedan berujung dalam suasana disharmoni hubungan intern umat yang kurang nyaman. Pasalnya sederhana. Seorang pakar astronomi yang biasanya rileks mengungkap perbedaan, saat itu berbicara sedikit provokatif. Bahkan secara eksplisit menuduh salah satu ormas Islam telah salah dan ketinggalan zaman dalam menggunakan metode itsbat.

Sidang itsbat yang difasilitasi Kementerian Agama, meski hanya dihadiri kalangan terbatas, tidak lagi tertutup bagi publik. Suasana perdebatan yang disiarkan langsung televisi terbukalah sudah. Publik secara nasional dan bahkan internasional dapat menyaksikan silang pendapat hingga Menteri Agama memutuskan sekaligus mengumumkan ketetapannya.

Melalui media, masyarakat dapat dengan mudah menyaksikan suasana sidang yang terjadi di ibu kota.1 Begitu terasa dekat jarak antara rumah dan gedung Kementerian Agama yang menjadi tempat berlangsungnya perdebatan. Bahkan bukan hanya suara yang dapat mereka dengarkan, mereka juga dapat seolah bertatap muka. Dengan bantuan media audio-visual, semuanya menjadi terasa semakin dekat. Mungkin, inilah di antara ciri era informasi, di mana dunia telah berubah menjadi apa yang biasa disebut “desa buana” (global village).

Hanya dalam hitungan detik, semua informasi itu sudah bisa dikonsumsi publik dunia tanpa mengenal waktu. Silang pendapat tidak lagi terjadi hanya di ruang sidang, tapi telah melibatkan partisipan yang semakin luas. Tidak bisa dihindari. Wacana perbedaan hari iedul fitri yang mengalir melalui saluran berbagai media telah berubah menjadi semacam aktivisme global yang tidak lagi terbatas ruang dan waktu. Khotbah seorang pakar astronomi yang dipersepsi sebagian kalangan telah merendahkan kemampuan orang lain segera tersebar di seluruh jagat. Keinginan membangun persatuan pun akhirnya berujung pada kenyataan semakin mempertajam perbedaan. Semuanya berjalan begitu cepat, karena peran media.

Melalui media yang semakin beragam jenis dan karakternya, dengan jangkauannya yang semakin mudah dan luas, umat Islam, dan masyarakat dunia pada umumnya, kini semakin memiliki banyak alternatif dalam mengakses berbagai

1 Suatu ketika Carlyle berkata, ada tiga elemen terbesar masyarakat Barat: serbuk mesiu, percetakan, dan Agama Protestan. Pada zaman sekarang, dia menambahkan yang keempat, yaitu media audio-visual. Lihat Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan Islam (Bandung: Mizan, 1993), hal. 218

Page 11: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 3

informasi tanpa hambatan. Melalui fasilitas internet, umat Islam kini semakin mudah membuka semua pintu informasi tanpa kecuali. Mungkin, kenyataan inilah yang dikomentari John L. Esposito (2010: 8-9) dalam salah satu bukunya, The Future of Islam, bahwa gerakan umat Islam melalui berbagai media telah mengubah wajah Islam di seluruh dunia.

Inilah di antara sisi menarik dinamika kehidupan di tengah gencarnya penemuan teknologi baru dalam bidang informasi dan komunikasi. Medialah yang telah membawa kita pada ruang kehidupan yang serba sempit ini. Kita dapat mengikuti apapun peristiwa dunia, tanpa harus berada di tempat-tempat berlangsungnya peristiwa itu. Dalam pandangan McLuhan, indera kita telah memanjang menembus pandang hampir setiap peristiwa. Dan dalam konteks ini pula, media telah membantu memenuhi keingintahuan manusia. Bahkan media pun dapat membantu memperoleh banyak hal yang dibutuhkan.

Akan tetapi, di sisi lain, ketika kekuatan media itu mulai menyentuh wilayah-wilayah yang dinilai berseberangan dengan norma-norma yang berlaku, media pun tidak jarang menuai kritik dan bahkan penolakan. Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi pun dipertaruhkan. Lalu pertanyaannya kemudian, dapatkah perkembangan teknologi informasi itu tetap dipertahankan? Jika menolak kehadiran media dengan segala sisi positif-negatifnya bukan merupakan solusi, bagaimana mempertahankan sisi positifnya terutama untuk kepentingan dakwah.

Pada titik inilah, saya kira, buku ini dirancang oleh lembaga terkait, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat. Lebih-lebih Jawa Barat merupakan kawasan yang memiliki potensi besar masuknya beragama tayangan melalui media. Jumlah media televisi lokal saja misalnya, kini semakin membengkak. Besarnya jumlah penduduk provinsi ini juga dapat menjadi salah sau pertimbangan para pengusaha media. Jika 10% saja penduduk provinsi ini menyaksikan sesuatu acara di televisi, maka tidak kurang dari 4,5 juta pasang bola mata ikut menyaksikannya. Sebuah angka yang tidak kecil yang dapat membuka mata para pengusaha untuk memasang iklan. Tak heran jika sejumlah guru ataupun orang tua mulai kehilangan wibawa di hadapan anak-anak didiknya, terutama karena anak-anak kini lebih tunduk pada televisi ketimbang pada guru dan orang tuanya sendiri.

Dengan menggunakan rasio statistis yang sama, jika seorang kiai biasanya hanya diikuti oleh sekitar 50 orang jamaah yang hadir di suatu majelis taklim, kini, melalui media televisi dapat saja disaksikan oleh sekitar 4,5 juta orang pemirsa. Luar biasa. Sebuah fenomena tabligh yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya. Karena itu, fasilitas media baru yang saat ini berkembang pesat menjadi kekuatan yang memberikan kemudahan-kemudahan dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk bagi kemudahan pelaksanaan dakwah Islam.

Meski demikian, efek yang dhasilkannya pun akan disesuaikan dengan misi yang menjadi orientasi utama sesuatu media, sebab media dengan kuasa yang

Page 12: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 20184

dimilikinya, dapat mengkonstruksi sesuatu obyek sesuai muatan yang diembannya. Konsekuensinya, jika Islam yang menjadi pesan utama dakwah, maka media dapat saja mengkonstruksi Islam sama dengan apa yang sesungguhnya, atau justru dapat pula sebaliknya, Islam dikonstruksi sesuai kehendak media. Misalnya, media dapat menghadirkan Islam dalam warna kekerasan seperti yang sering ditampilkan dalam banyak kasus; Islam juga dapat saja dihadirkan dalam warna yang penuh jenaka, tidak serius, seperti yang sering ditampilkan dalam acara-acara yang sengaja dikemas media. Islam kemudian dikomodifikasi untuk memenuhi kebutuhan pragmatis pemilik media. Islam berubah menjadi industri yang dapat diperjualbelikan.

Konten yang BerdakwahKarena itu, untuk ikut mendisain konten yang biasa disajikan media di satu sisi,

dan di sisi lain media pun tetap ikut berperan menjadi kekuatan dalam menegakkan missi amar ma’ruf nahyi munkar, maka diperlukan gagasan-gagasan cerdas untuk mensinergikan dua kepentingan pada satu kemasan secara integratif. Jika tayangan media bermaksud juga ikut berdakwah, maka diperlukan muatan-muatan yang dapat merawat prinsip dan etika dakwah yang sejalan. Mungkin, misalnya, bentuk acaranya tidak secara eksplisit disebut sebagai aktivitas dakwah, tapi muatan-muatan yang terkandung di dalamnya sepenuhnya untuk tujuan menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran.

Media dapat lebih tajam membidik kemunkaran. Fenomena dakwah virtual yang saat ini banyak dinikmati kalangan tertentu, sedikit-banyak dapat memberikan konstribusi penting dalam proses penyebaran informasi-informasi kebaikan dan dapat sekaligus menginternalisasi. Karena itu, untuk kepentingan dakwah, diperlukan sebuah rancangan konten siaran yang berdakwah, yaitu konten siaran yang sehat, mendidik, dan konsisten menebar kebaikan, atau dengan kata lain konten siaran yang tetap berdakwah.

Konten siaran yang berdakwah, kira-kira, dengan mengunakan prinsip-prinsip dakwah dapat dirumuskan dengan mengacu pada isyarat Alqur’an, “... menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar...” (QS, Ali Imran [3]: 104, 110 dan 114). Jika digunakan dalam merancang dan merumuskan konten siaran yang sehat sesuai missi disyari’atkannya Islam, prinsip ini sudah memberikan bimbingan yang relatif operasional dalam membuat rancangan yang diperlukan. Tayangan-tayangan itu disajikan dengan tetap memberikan muatan amar ma’ruf-nahyi munkar, bukan sebaliknya, menginspirasi munculnya tindakan-tindakan yang munkar, mendorong kebencian, dan atau membuat teladan-teladan perilaku negatif, baik secara moral maupun sosial.

Maraknya ujaran-ujaran kebencian yang saat ini banyak mengemuka melalui beragam media dan mengundang respon yang tidak sehat, sebetulnya telah dicegah dalam beberapa prinsip ajaran Islam. Lebih-lebih ujaran-ujarang yang mengandung

Page 13: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 5

unsur fitnah ataupun ghibah telah dengan tegas dilarang dalam Islam, baik dalam Alqur’an maupun Sabda Nabi Saw. Cara-cra yang sebaiknya dilakukan juga telah dengan jelas dipaparkan Alqur’an, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS, An-Nahl [16]: 125).

Para mufassir menjelaskan istilah “hikmah” sebagai perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Inilah di antara prinsip penting rancangan tayangan yang dipandang sehat secara moral. Ia tidak mengenal apa yang saat ini ramai dibicarakan sebagai ujaran kebencian, tayangan-tayangan kotor yang tidak mendidik, dan lain sebagainya. Bahkan Alqur’an dengan tegas memberikan petunjuk pentingnya merumuskan pesan-pesan yang disampaikan dalam bahasa yang santun, arif, tegas, dan bijaksana. Alqur’an Surah Fussilat (41) ayat 33, misalnya dengan tegas menyatakan “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata ‘Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)’?”.

Jadi, tayangan yang sehat, apapun bentuknya, sejatinya memiliki pesan-pesan kebajikan, menginspirasi atas perilaku yang mendorong kebajikan. Termasuk, yang saat ini banyak menjadi sumber kegelisahan masyarakat kita, adalah tayangan anak-anak yang cenderung tidak mendidik dan bahkan banyak menginspirasi perilaku kekerasan yang jauh dari watak anak-anak secara normal. Munculnya fenomena perilaku seks menyimpang, diduga kuat juga karena terinspirasi oleh tayangan-tayangan yang kurang selektif, atau tayangan-tayangan yang tidak ramah anak. Anak-anak yang dalam fase perkembangan psikologisnya tengah banyak meniru apapun yang mereka lihat, akan dengan mudah meniru sajian-sajian televisi yang kurang mendidik.

Contoh lain kita dapat lihat sebuah perintah untuk menyempaikan perkataan-perkataan yang baik seperti tertuang dalam Surah An-Nisaa (4) ayat 5, “... Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. Jika kita lihat konteks yang mengantarkan “perkataan yang baik” dalam ayat ini, ia berkaitan dengan sebuah pemberian mahar. Perkataan yang baik dipandang sebagai sebuah pemberian yang sangat berharga, yang memiliki kekuatan psikologis untuk membahagiakan orang lain. Jadi rangkaian pernyataan-pernyataan yang disajikan media hendaknya merupakan pernyataan yang memiliki nilai moral, sarat muatan pendidikan, sehingga semuanya akan menjadi gizi baik bagi para penonton dan atau pemirsanya. Sajian “Ipin-Upin”, misalnya, secara sederhana memiliki muatan pendidikan bagi anak-anak seusianya. Meski ada sedikit bias kultural, tetapi ia tetap dapat memberikan pesan-pesan moral, dan jika kita amati

Page 14: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 20186

nyaris tak ada pernyataan-pernyataan buruk yang dilontarkan para pemerannya.Pentingnya memilih ungkapan-ungkapan yang baik dalam setiap sajian

program-program media, terutama karena media dapat berdampak luar biasa bagi para pemirsanya. Sebuah penelitian, Relasi Kuasa Media Massa dalam Konstruksi Realitas Pondok Pesantren di Indonesia, mengindikasikan kekuatan media yang luar biasa bagi para pembacanya. Penulisnya, Kun Waziz (2018), menemukan sebuah indikasi adanya kekuatan media yang dapat membuat citra tersendiri, yang berbeda dari realitas yang sesungguhnya. Kesan sebagai produksi konstruksi media itu lalu pada gilirannya dapat menginternalisasi dalam diri pembacanya sehingga lahirnya perilaku massa sesuai dengan warna yang ditampilkan media dimaksud. Dalam penelitian itu ditemukan konstruksi pesantren sebagai sarang radikalisme terbentuk oleh media, sehingga massa yang secara sengaja mengkonsumsi pesan-pesan media pada akhirnya memiliki kesan seperti itu khususnya tentang dunia pesantren. Padahal, dalam pengamatan penelitinya, realitas pesantren sama sekali berbeda dengan apa yang dikonstruksi media.

Seperti itulah pentingnya mengemas pesan media. Ia bukan saja akan menghadirkan media sebagai sesuatu yang sejuk dan ramah, tapi juga karena ia sangat berdampak pada pembaca atau pemirsanya. Media tanpa disadari sedang berdakwah bagi audiennya secara laten, efektif, dan berkekuatan. ***

Page 15: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 7

Miftah Faridl lahir di Cianjur pada 18 Oktober 1944. Beliau terhitung sejak 1 Agustus 2008 ditetapkan

sebagai Guru Besar Etika dan Humaniora ITB, merupakan salah satu Doktor Ilmu Agama Islam yang memperoleh gelar S3-nya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif hidayatullah Jakarta dan juga lulusan Institut Agama Islam Muhammadiyah/Universitas Muhammadiyah (1969), serta Universitas Al-Irsyad (1967).

Beliau adalah dosen mata kuliah Agama Islam di ITB sejak awal tahun 70-an. Pribadi yang santun dan diterima semua pihak di kalangan ummat Islam. Beliau juga pembimbing dalam kegiatan keagamaan di masjid salman. Lebih dari itu, beliau adalah teladan karena sepanjang masa pengabdiannya di ITB beliau menjalaninya dengan penuh dedikasi.

Selain sebagai dosen di ITB, beliau juga berkiprah sebagai dosen agama Islam di Unpad, IKIP, INISI, Sangga Buana, maupun UNISBA. Di masjid Salman beliau pernah menduduki semua level jabatan, dari kedudukan sebagai TU hingga Ketua Pengurus Harian, dan sekarang anggota Majelis Pembina. Selama 30 tahu terakhir beliau adalah Ketua Majelis Ulama Kota Bandung. PUSDAI adalah salah satu lembaga yang poernah dipimpinnya, dan saat ini juga menjabat sebagai Ketua Yayasan UNISBA.

Beliau sekarang menjadi Ketua Yayasan UNISBA, juga sebagai Dosen Luar Biasa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung (2009 s.d. sekarang). Amanah jabatan yang pernah diampu yaitu sebagai Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) (1970 s.d. 2010). Dosen Luar Biasa Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung (UNISBA) (1970 s.d. 2010). Anggota Senat Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung. (2005 s.d. 2010). Anggota Senat Akademik Institut Teknologi Bandung. (2005 s.d. 2010). Anggota Senat Universitas Islam Bandung. (s.d. sekarang). Guru Besar Ilmu Sosial dan kemasyarakatan Institut Teknologi Bandung (2008 s.d. 2010). Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia Pusat. (s.d. sekarang). Wakil Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat. (s.d. sekarang). Dewan Penasehat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jawa Barat. (s.d. sekarang). Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat (s.d. 2011). Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung (s.d. sekarang). Ketua Umum Pengurus Yayasan Universitas Islam Bandung (UNISBA) (s.d. sekarang). Ketua Umum Pembina Yayasan adDa’wah Bandung.Anggota Dewan Penyantun Universitas Padjajaran Bandung. Anggota Dewan Penyantun Universitas Islam Negeri

Prof. Dr. KH. Miftah Faridl

Page 16: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 20188

Bandung.Pembina YPM Salman ITB.Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Pusat, Komisaris Utama Biro Perjalanan Haji dan Umrah PT. Armada Safari Suci Bandung. Ketua Pembina Dompet Dhuafa Jawa Barat.Dewan Redaksi Majalah Bina Da’wah Dewan Dakwah Indonesia Jawa Barat.Dewan Redaksi Majalah Al Hikmah.

Aktivitas lain melakukan kegiatan Da’wah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah dan Swasta di Dalam Negeri dan Manca Negara (Ceramah di Amerika Serikat, Eropa, ASEAN; Jepang, Hongkong, China). Nara Sumber Mimbar Agama Islam, dialog interaktif pada Media Televisi: SCTV, ANTeve, TVRI, Indosiar dan Media Radio; MQ FM Bandung, RRI Nasional Pro2 FM, KLCBS, PR FM 107,5 Bandung, Pengisi Ruang Konsultasi Rubrik Menggapai Sakinah, Majalah Sabili (s.d. 2005)., Pengisi Ruang Tanya Jawab Buletin Sakinah, Konsultasi Fiqh, SOLUSI ; DPU Daarut Tauhid, Penulis Tetap Majalah; Media Da’wah dan Tabloid Hikmah, Penulis di Harian Umum; Pikiran Rakyat dan Republika.

Sebagai salah satu aktivis dan inspirator yang menekuni Ilmu Agama, dalam dunia pekerjaan, ia mengemban beberapa amanah jabatan diantaranya Dosen fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) (1970-2010), Dosen Luar Biasa Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung (UNISBA) (1970-2010), Anggota Senat Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (2005-2010), Anggota Senat Akademik Institut Teknologi Bandung (2005-2010), Anggota Senat Universitas Islam Bandung (s.d. sekarang), Guru Besar Ilmu Sosial dan kemasyarakatan Institut Teknologi Bandung (2008-2010), Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia Pusat (s.d. sekarang), Wakil Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat (s.d. sekarang), Dewan Penasehat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jawa Barat (s.d. sekarang), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat (s.d. 2011), Anggota Dewan Penyantun di beberapa perguruan tinggi, Dewan Redaksi, dll.

Dalam berbagai perannya di atas, beliau telah menunjukkan kepada kita bahwa agama Islam bukanlah semata untuk dimengerti. Lebih dari itu adalah untuk dijalani, disebarkan dan diperjuangkan dengan penuh kesungguhan serta beliau telah memberikan teladan tentang hal itu.

Page 17: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 9

ADA kalimat pendek yang sering kita dengar dalam dunia penyiaran, “children see children do” menjadi gambaran faktual kenapa dunia penyiaran harus dikontrol dengan baik. Kita tentu masih ingat ketika tayangan Smack Down

dibebaskan, kemudian bermunculan berita tentang korban-korban di lingkungan keluarga, ketika seorang anak “men-smack down” kakak atau adiknya di rumah. Pratik ini sekaligus membenarkan bahwa ada benarnya “teori” yang menyebut apa yang dilihat anak akan dilakukannya.

Namun disayangkan, kualitas program acara hiburan yang disiarkan stasiun televisi itu masih terbilang rendah. Hasil survei yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) serta sembilan perguruan tinggi di sembilan kota di Indonesia pada pertengahan 2015 menunjukkan, indeks kualitas program siaran 15 televisi di Indonesia hanya 3,27 atau masih di bawah standar ketentuan KPI, yakni 4,0. Artinya, banyak program siaran televisi berkualitas di bawah standar yang ditetapkan. Program acara yang mendapat penilaian rendah adalah infotainment, sinetron, dan variety show. Hasil survei KPI September-Oktober 2015 menunjukkan, indeks kualitas tiga program siaran, yaitu infotainment, sinetron/film/FTV, dan variety show di bawah 3, masih di bawah standar nilai minimal 4. Skor program infotainment hanya 2,56, sinetron/film/FTV 2,84, dan variety show 2,96. Padahal, program-program tayangan yang kualitasnya rendah tersebut justru mendominasi layar kaca pada rentang waktu utama (prime time), saat warga Jakarta umumnya meluangkan waktu untuk menonton televisi. Demikian halnya hasil survei indek kualitas di tahun-tahun berikutnya yang dilakukan KPI Pusat di 12 kota besar.

Berdasarkan catatan tersebut dapat dipastikan bahwa kualitas tayangan yang substansinya tidak memadai disajikan kepada penonton televisi kita. Tragisnya, dari catatan yang ada penonton televisi terbanyak didominasi oleh anak-anak yang pada masa tayang prime time menonton televisi bersama orang tuanya.

Penyiaran Sehat dan Mendidik

Prof. Dr. H. Obsatar Sinaga, S.I.P., M.Si.

Komisioner KPI Pusat dan Guru Besar pada Universitas Padjadjaran Bandung

Page 18: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201810

Tanggung Jawab PublikRegulasi kita memastikan sejak dini bahwa lembaga penyiaran bertanggung

jawab secara umum atas penyelenggaran penyiaran. Pertanggungjawaban publik ini merupakan konsekuensi dari lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi publik (domain publik) dalam penyelenggaraan penyiaran. Bahkan media elektronik dikenal lebih highly regulated dibandingkan dengan media lainnya. Pertimbangannya justru karena dapat dipastikan bahwa media elektronik ini dinilai memiliki kemampuan penetrasi media yang sangat massive dan berdampak luar biasa terhadap sikap dan perilaku penontonnya.

Oleh karena itu, salah satu bentuk dari upaya untuk mencegah terjadinya pengaruh negatif maka diperlukan regulasi yang bisa menjamin tidak terjadinya dampak massive dari tayangan media elektronik dalam melakukan produk tontonan. Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator menetapkan program siaran dengan jam tayang yang dibedakan berdasarkan kriteris umur bagi media elektronik. Penggolongan ini diharapkan akan menciptakan pedoman bagi lembaga penyiaran dalam menentukan waktu yang tepat untuk menentukan substansi isi siaran mana yang memang layak ditayangan dalam waktu dimaksud. Penggolongan ini akan memungkinkan terjadi pembagian kelompok umur yang bisa menonton tayangan produk lembaga penyiaran berikut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Ketentuan P3-SPS ini setidaknya akan menjamin bahwa suatu tayangan yang tidak layak tonton bagi usia anak-anak tidak akan ditayangkan pada jam-jam yang disebut dalam ketentuan tersebut. Semua ini merupakan bukti bahwa penggunaan frekuensi publik harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.

Page 19: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 11

Karena itu, setiap lembaga penyiaran wajib bertanggung jawab kepada pemilik frekuensi melalui ketentuan P3-SPS.

Semua itu merupakan langkah untuk mewujudkan penyiaran yang sehat dan mendidik. Penyiaran yang sehat berarti penyiaran yang menampilkan isi siaran dengan batas-batas yang tidak memberikan pengaruh negatif kepada penontonnya. Memang masih ditemukan sejumlah tayangan yang berorientasi pada perolehan keuntungan akibat iklan dan lain-lain. Semua itu muncul sebagai ejawantah dari adanya program siaran yang mendapat perhatian lebih bagi penonton karena memang mendapat minat yang tinggi. Berbagai program siaran ini didorong oleh hadirnya hasil pooling dari lembaga survey yang memberikan referensi bahwa program tertentu memperoleh penonton terbanyak. Skala jumlah pononton dan jam tayang yang dikenal prime time ini kemudian mendorong lembaga penyiaran untuk menayangkan program dengan pertimbangan bahwa program tersebut menjadi program andalan untuk memperoleh iklan terbanyak.

Orientasi seperti ini terkadang tidak lagi memperhatikan pentingnya menciptakan program siaran yang sehat dan mendidik. Persoalannya justru terletak pada produksi program yang sehat dan mendidik itu lebih banyak menghasilkan produk yang tidak bisa menduduki posisi prime time, atau bahkan kurang peminat penontonnya. Kepentingan industri penyiaran untuk memperoleh keuntungan (bisnis) merupakan dilema berkepanjangan yang tidak bisa dipecahkan dalam waktu singkat.

Setidaknya, kepentingan industri akan berhadapan dengan kekuatan idealisme untuk menghasilkan program siaran yang sehat. Untuk memperoleh keuntungan, industri penyiaran dituntut dapat menghasilkan program siaran yang diminati penonton, sedangkan minat penonton selalu berjalan linier dengan trend perkembangan kehidupan kekinian. Belum lagi bila dilihat kondisi trend global yang penuh dengan sumber informasi lain dari lingkup dunia media sosial. Pada tahap ini, lembaga penyiaran sudah berhadapan dengan masalah baru, apakah pemirsanya akan tetap bertahan duduk menyaksikan suguhan tayangannya atau malah beralih dengan mudah ke media sosial yang lebih menjanjikan informasi menarik dan memenuhi keinginan trend isu.

Padahal, menciptakan tayangan yang sehat ikut menentukan wajah masa depan kader bangsa ini. Tayangan yang tidak mendidik akan melahirkan anak bangsa yang tidak memahami budaya bangsanya sendiri, bahkan tidak mengerti menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila hal ini terjadi, maka dapat dipastikan bangsa ini tidak memiliki jaminan untuk masa depan yang baik. Kita bersepakat bahwa tayangan program siaran memiliki pengaruh yang kuat bagi individu yang menontonnya. Dengan demikian program yang ditampilkan secara tidak bertanggun jawab, perlahan-lahan akan melahirkan penonton yang tidak bertanggung jawab juga kepada bangsanya sendiri.

Page 20: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201812

Pertanyaan besarnya, sebenarnya siapa yang bertanggung jawab kepada bangsa ini? Kita seringkali hanya menuduh pemerintahlah yang paling bertanggung jawab. Padahal kita juga mengakui bahwa kita adalah bagian dari bangsa ini. Kontrak kelahiran kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar ini, seringkali kita lupakan hanya dengan membebankan bahwa pembangunan bangsa ini adalah tanggung jawab dari pemerintah saja. Adalah tanggung jawab kita semua sebagai bagian bangsa ini untuk membangunnya. Kita tidak boleh lagi hanya mengandalkan pemerintah untuk membangun bangsa ini, tetapi setiap kita memiliki kewajiban untuk melakukannya.

Literasi Penyiaran SehatDalam dunia penyiaran, setidaknya kita harus pula bahu-membahu untuk

menciptakan penyiaran yang sehat. Keterlibatan kita semua bukan hal yang mudah, karena masih membutuhkan waktu untuk menyamakan pemahaman tentang penyiaran yang sehat dan mendidik. Pelbagai langkah yang dilakukan KPI dengan mengadakan literasi media di seluruh daerah merupakan langkah untuk memberikan pemahaman yang sama. Program literasi media ini diarahkan untuk memperbanyak pemahaman rakyat semesta terhadap wujud penyiaran yang sehat dan mendidik. Ide ini juga menjadi upaya untuk menciptakan dunia penyiaran yang menghadirkan tontonan yang layak menjadi tuntunan.

Gerakan literasi media yang berjalan cukup massive dalam kerangka menciptakan penyiaran yang sehat dan mendidik ini mencakup seluruh elemen masyarakat dari pelajar, tokoh masyarakat dan organisasi dari berbagai jenis untuk kemudian diharapkan menjadi agen bagi pemahaman yang sama tentang penyiaran yang sehat. Agen sosial ini diarahkan untuk mewujudkan kesadaran yang tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat terhadap program siaran yang ditontonnya dari lembaga penyiaran. Gerakan ini dilakukan KPI dengan cara melibatkan seluruh pihak untuk benar-benar faham dan mengerti akan penyiaran yang sehat dan mendidik. Pola pembentukan komunitas penyiaran dengan nama sesuai kebutuhan komunitas itu sendiri merupakan langkah lanjut dari gerakan literasi media ini.

Sebagai contoh, di beberapa daerah dibentuk kelompok sadar media ini, seperti yang dilakukan di Padang, Sumatera Barat dengan pembentukan Komunitas Pelajar Peduli Penyiaran Sehat (KPPS) sebagai bentuk dari kemampuan komunal untuk melakukan literasi kepada pelajar tentang penyiaran yang sehat dan mendidik. Bahkan KPPPS ini merupakan salah satu langkah untuk menangkal pengaruh buruk tayangan-tayangan yang tidak mendidik di media televisi, radio dan bahkan media internet. Hal ini dirasa efektif bagi kepentingan melindungi kalangan pelajar di daerah. Karena yang memahami dunia pelajar adalah pelajar sendiri, sehingga mereka dalam KPPPS memiliki cara melakukan penetrasi wawasan bagi pelajar melalui medsos dan media formal di sekolah.

Page 21: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 13

Fungsi Sosial PenyiaranTidak jarang kita melupakan bahwa frekuensi yang digunakan oleh lembaga

penyiaran adalah milik publik. Kepemilikan izin penyiaran bukan menafikan bahwa frekuensi milik publik yang digunakan harus dimanfaatkan sebaik baiknya secara bertanggung jawab kepada publik. Kepemilikan publik ini menuntut sebuah tanggung jawab sosial yang harus diarahkan bagi kepentingan fungsi pengabdian kepada publik. Hal ini tidak berbeda dengan fungsi sosial yang diemban lembaga penyiaran untuk melakukan tugas sosial bagi kepentingan publik yang bermanfaat secara edukasi dan informatif.

Seperti kita akui bahwa kepentingan terbesar dari lembaga penyiaran berada dalam lingkup industri. Kepentingan ini mengarah pada penciptaan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan usaha penyiaran yang ada. Namun fungsi sosial dari lembaga penyiaran juga menjadi kewajiban untuk ditegakkan. Fungsi sosial itu adalah dengan membaginya pada produk program siaran yang diarahkan untuk pendidikan, informasi dan juga gerakan literasi itu sendiri.

Paling tidak, ketika lembaga penyiaran bertanggung jawab dalam menayangkan program yang membutuhkan batas pemahaman yang tinggi, maka sebelum itu lembaga penyiaran juga sudah menciptakan penyadaran akan bahaya dan ancaman program siaran dimaksud. Dengan demikian terjadi keseimbangan antara jumlah tayangan dan kesempatan masyarakat luas untuk memperoleh pendidikan dan pemahaman akan program siaran yang ditontonnya sendiri. Kalau begitu, tugas melakukan literasi harus juga dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan membentuk komunitas sadar penyiaran baik di kalangan siswa, masyarakat umum dan juga lingkungan khusus.

Hal ini merupakan bentuk kepedulian sosial lembaga penyiaran dalam melaksanakan tugas fungsi sosialnya. Setidaknya, pemanfaatan sisi CSR (Corporate Social Responsibility) dari lembaga penyiaran dapat pula dimanfaatkan untuk hal tersebut. Makin banyak kesadaran masyarakat atas tayangan yang dihadirkan maka semakin mudah lembaga penyiaran melakukan kontrol terhadap produk siaran yang ditawarkan oleh pihak production untuk ditentukan layak tayang atau tidak.

Revolusi MentalKonten media penyiaran dapat mempengaruhi penontonnya baik itu secara

tindakan maupun karakter. Besarnya pengaruh isi siaran itu mestinya dimanfaatkan untuk membentuk karakter yang positif, salah satunya membentuk karakter kebangsaan. Pembentukan karakter kebangsaan melalui siaran, baik siaran TV ataupun Radio, dapat pula dimanfaatkan untuk menyukseskan Gerakan Nasional Revolusi Mental yang dicanangkan Pemerintah Pusat pada 2016 lalu lewat Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016.

Keterlibatan media penyiaran khususnya televisi sangat diperlukan dan

Page 22: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201814

memang tepat karena pengaruh dan jangkauannya yang luas terhadap masyarakat. Nilai-nilai pembentukan karakter kebangsaan dan revolusi mental itu dapat disisipkan dalam konten program, baik itu pemberitaan maupun yang bukan program berita.

Upaya KPI agar lembaga penyiaran memproduksi konten-konten berkualitas sudah sering dilakukan. Sayangnya, upaya lembaga penyiaran untuk menciptakan tayangan yang berkualitas dan mendidik terkadang terbentur kepentingan pasar. Akibatnya, masih banyak tayangan dihadirkan untuk publik penuh dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan pembentukan karakter kebangsaan dan gerakan revolusi mental. KPI mengusulkan agar konten dalam sinteron menyelipkan nilai-nilai positif seperti adegan kompetisi yang sehat dan sportif. Seperti adegan perkelahian bisa diganti dengan kompetisi bela diri yang mengarahkan kepada prestasi dengan sportivitas.

Upaya tersebut tentu saja tidak serta merta akan menghasilkan dukungan sepenuhnya dari dunia penyiaran, akan tetapi sekecil apapun upaya tersebut merupakan bagian dari sebuah langkah kepedulian kepada bangsa ini. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa kita sering mengandalkan pemerintah saja dalam membangun negeri ini, dalam membangun bangsa ini. Sikap kita mengandalkan pemerintah tersebut kemudian berakhir dengan kekecewaan dan pembenaran bila kita menyalahkan pemerintah atas segala sesuatu yang dipandang gagal. Padahal, tugas untuk membangun bangsa ini bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah, sebab kita juga mengaku secara sadar bahwa kita adalah anak bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut sekaligus memberikan kewajiban kepada kita untuk turut serta membangun bangsa ini bersama pemerintah, pihak swasta dan seluruh komponenan bangsa ini.

Kawan saya seorang warga Barcelona dan menjadi Pengajar di Harvard University Juan Alcacer mengatakan: “Indonesia is not poor country, poorly manage”. Menurut Juan, bila semua komponen di Indonesia bersatu padu untuk membangun bersama, maka negeri ini akan sangat maju, melebih negeri maju lainnya di dunia. Apa yang dikatakan Juan Alcacer ini memang sudah terbukti ketika saya mengunjungi berbagai negeri di dunia, baik dalam rangka vacation ataupun dalam tugas mengajar. Semakin jauh saya pergi meninggalkan Indonesia, maka semakin rindu dan sayang pada negeri ini. Makin terbayang kawan main di kampung, teman sekolah di Bandung dan semua kenangan yang pernah terjadi di tanah air. Hal tersebut bukti bahwa Indonesia memang bukan negeri yang hebat, tetapi kita yakin Indonesia punya potensi untuk menjadi negeri yang hebat.

Indonesia memang tidak semaju negeri-negeri maju di dunia, namun Indonesia layak untuk diperjuangkan. Hayo ah kita mulai dari dunia penyiaran, kita bangun Indonesia mulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Semoga peran kita di dunia penyiaran akan membuat kita tergolong menjadi bagian dari negeri ini yang sangat sayang pada Indonesia tercinta. Insha Alloh. ***

Page 23: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 15

Obsatar Sinaga lahir di Deli Serdang, Sumatera Utara, 17 April 1969. Ia adalah guru besar Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) Universitas Padjajaran, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Widyatama, serta Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Lahir dan besar di Deli Serdang, ia tidak terpaku pada tanah kelahirannya untuk pendidikan. Riwayat pendidikan ia lalui di berbagai tempat seperti SD Negeri Naga Radja Deli Serdang, SMP Negeri Lempake Samarinda, SMA Negeri 8 Bandung, S1 Ilmu Hub. Internasional FISIP Unpad. Tahun 1995, S2 Ilmu Sosial Unpad. Tahun 2005, S3 Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan konsentrasi Administrasi Unpad. Tahun 2009, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional TMT 1 Juni 2014.

Pengalaman lainnya, ia pernah aktif sebagai Ketua KNPI Bandung 1997-2000, Pemimpin Perusahaan Harian Umum “Bandung Pos” Sampai 2004, Koordinator Persatuan Orang Tua Mahasiswa Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran tahun 2007, Wakil Ketua Pengurus Daerah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia Jawa Barat Periode 2007-2011, Wakil Ketua I Pemuda Panca Marga Jawa Barat 2007-2011, Penguji Karya Tulis Ilmiah Militer SESKO, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) KONI Jawa Barat 2006-2010, Ketua I KONI Jawa Barat 2010-2014, Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bidang Pertahanan, Sekretaris Bidang Kajian Politik Internasional ICMI, Dosen non Organik Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) dan SESKOAU, Asesor Nasional Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi, Sekretaris Program Pascasarjana (Master dan Doktoral) Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, Wakil Ketua Majelis Wali Amanah Universitas Padjadjaran Bandung, Wakil Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Widyatama Bandung, Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Widyatama Bandung, Komisioner KPI Pusat.

Dalam proses perjalanan karirnya, sebagai ucapan terimakasih atas dedikasinya, ia mendapatkan penghargaan dan prestasi gemilang antara lain: Piagam Penghargaan dari Dewan Pimpinan Daerah Patriot Panca Marga Jawa Barat dalam Rangka Mensukseskan Penyelenggaraan Diklat Satgas Patriot Angkatan X dan XI Tahun 2007, Piagam Penghargaan Seminar Ketahanan Wilayah Provinsi Riau PASIS DIKREG XLV SESKOAD TA. 2007, Piagam Penghargaan Focus Group Discussion (FGD) : Eksistensi

Prof. Dr. Obsatar Sinaga

Page 24: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201816

MPR dalam Struktur Ketatanegaraan RI Tahun 2009, Dosen Teladan Fisip Unpad Tahun 2005, Dosen berprestasi FISIP Unpad Tahun 2010, Sertifikasi Dosen tingkat Nasional, dan Piagam Penghargaan SESKO AU, Seminar PKB Kejuangan Sinergitas TNI – POLRI 2017.

Page 25: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 17

RRI dan TVRI sudah ada sejak Indonesia merdeka yang menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi tentang eksistensi Negara Indonesia untuk warganya maupun untuk dunia luar. Perannya sangat luar biasa pada saat

itu dalam menggelorakan kesadaran sebagai suatu bangsa, bahwa kita memiliki hak kemerdekaan dan memiliki Negara yang berdaulat, tidak dijajah oleh bangsa manapun. Pemersatu bangsa dalam tataran psikologi massa, merupakan keberhasilan RRI dan TVRI pada masanya. Namun seiring waktu berjalan, kebijakan “open sky” pemerintah tahun 80-an dan membuka ‘kran’ televisi swasta memasuki Indonesia berdampak luar biasa pada landskap penyiaran di tanah air. Di samping itu, film dan acara hiburan serta gaya penyajian berita televisi swasta yang berbeda, ternyata sangat rentan mengubah bahkan menghapus nilai-nilai tradisi, pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Betapa cepat TV-TV swasta melakukan perubahan tersebut. Sebagian besar masyarakat sudah menyadari bahkan ‘berteriak’ tidak rela, melihat perubahan terutama pada generasi muda yang kehilangan identitas budaya (jati diri) nya. Namun suara “silent mayority” ini seolah hanya angin sayup-sayup yang tidak mendapat respons dari pelaku penyiaran.

Salah satu harapan masyarakat yang prihatin dengan kekuasaan kapitalis yang menciptakan hedonisme dan konsumsi tingkat tinggi ini, ada pada RRI dan TVRI. Terdapat celah kosong kebutuhan publik akan informasi yang bermanfaat dan bisa digunakan untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya. Namun bisakah kedua lembaga penyiaran ini dapat memenuhi harapan publik ? Apa yang menjadi hambatan dan kendala dari para penyelenggara ketika akan menjalankan siaran sesuai dengan amanat UU 32/2002? Bagaimana Posisi atau kedudukan LPP dalam menjembatani antara kepentingan publik dengan pemerintah? Bagaimana dukungan aturan atau regulasi penyelenggaraan LPP yang terkait dengan peran dan fungsinya? Dan Bagaimana profil program dan acara RRI dan TVRI pada era digital atau konvergensi media? Pertanyaan ini menjadi perenungan untuk dikaji secara serius, oleh karena posisi lembaga penyiaran publik ini sebagai ”ikatan” antara negara dengan warganya

Transformasi Lembaga Penyiaran Publik

Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie, Dra., M.Si.

Page 26: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201818

secara ”on the track”.

Konsep Penyiaran Publik Istilah Penyiaran (Radio dan Televisi) Publik dikenal secara formal sejak

tahun 2002 melalui Undang-Undang Penyiaran nomor 32/2002. Produk hukum ini merupakan pencerminan dari sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Diketahui bahwa dalam era orde baru posisi media harus mendukung dan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan sekelompok partai yang sedang berkuasa. RRI dan TVRI sebagai milik negara dipersepsikan hanya milik pemerintah. Padahal konsep “Negara” berdasarkan trias politica bukan hanya pemerintah, tapi termasuk legislatif, yudikatif dan rakyat sebagai warga negara yang punya hak atas pelayanan dan diperhatikan kepentingannya. Pada era Orde Baru sebagai “pemain tunggal” dalam penyebaran informasi, Radio dan televisi pemerintah telah berhasil “menyeragamkan” pemikiran, sikap dan suatu “budaya” bangsa Indonesia. Hal ini jelas, menjadi kondisi yang tidak sehat manakala realitasnya kita ada pada kemajemukan agama, etnik, bahasa dan budaya secara luas.

“Ruh” radio dan televisi publik jelas nampak dalam UU 32/2002 tentang pengertian Lembaga Penyiaran Publik, bahwa dimiliki oleh badan hukum Negara, bersifat independen, netral, tidak komersil dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, keberadaan media publik baik di tingkat pusat maupun daerah, semangatnya tidak untuk digunakan untuk kepentingan pejabat pemerintah, kelompok partai, atau sekelompok orang, tapi sekali lagi harus mengabdi pada kepentingan masyarakat. Walaupun secara psikologis dan dalam sebuah alur sistem merupakan hal yang utopis; namun bukan berarti karakter lembaga penyiaran publik seperti di atas tidak dapat direalisasikan.

Penyiaran publik adalah penyiaran yang dimiliki publik, yakni negara, pemerintah, atau organisasi publik sebagai tandingan dari kepemilikan swasta. Penyiaran ini didalamnya mengandung ‘layanan publik’ berupa penyebarluasan program kepentingan dan minat publik, seperti pendidikan, budaya, atau informasi yang membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Asia-Pacific Broadcasting Union, 1999). Konsep yang digunakan adalah, media audience as public bukan berarti sebagai konsumen. Khalayak sebagai warga negara harus direform, dididik, diberitahu dan tentu dihibur. Pendeknya: “dilayani” kiranya memungkinkan mereka untuk menampilkan hak dan kewajibannya dalam tataran demokrasi. Dalam konteks ini penyiaran tidak berkepentingan dengan hedonisme konsumen (penyiaran komersial). Berbeda dengan Penyiaran swasta, konsep ketika memandang khalayak adalah, audience as market. Media komersil mentransfer informasi yang bermakna kepada warga negara hanya sebagai kepentingan pendukung. Tujuan utamanya membuat konsumen sadar tentang produk dan jasa dan mengikat perhatian mereka dengan program hiburan. Komunikasi ini efektif selama audiens memberi perhatian

Page 27: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 19

kepadanya tanpa menghiraukan pengaruhnya sebagai warganegara. Pembedaan antara audience as public (citizen) dan audiens as market (consumers) penting untuk penyiaran yang akan berkiprah di pelayanan publik.

Perbedaan Filosofis Lembaga Penyiaran Pemerintah dan Publik Berdasarkan pandangan Hidayat, dkk (2003) bahwa secara teoritis, antara

lembaga penyiaran pemerintah dan penyiaran publik memiliki paradigma yang berbeda, mengikuti dan terkait dari sistem politik atau negara yang sedang dianut. Indonesia yang memiliki komitmen menjadi negara demokrasi, tentunya implementasinya harus tercermin juga dalam sistem penyiarannya. Untuk itu dalam matrik-matrik berikut digambarkan perbedaan antara lembaga penyiaran pemerintah, publik dan swasta.

Lembaga Penyiaran Pemerintah Lembaga Penyiaran Publik1. Fungsinya cenderung “voice of

government” …..efek analisis…. program mengangkat citra yang berkuasa

1. Fungsinya menyuarakan kepentingan publik (need assesment public)

2. Informasi tentang visi dan misi pemerintah sehingga masyarakat paham dan mendukung; alurnya “top down”

2. Idealnya informasi tentang pembangunan direncanakan pemerintah dan masyarakat; isu muncul dari rakyat “bottom up”

3. Dalam konteks kehumasan Lembaga Penyiaran menyampaikan visi, misi, dan kebijakan Pemerintah.

3. Efektif ketika pemerintah memberikan kesempatan masyarakat mulai dari grass root, untuk mengangkat dan membahas isu lalu publik menginterpretasikan sesuai dengan visi dan misi pemerintah yang terkait

Perbedaan Lembaga Penyiaran Publik dan KomersialBerdasarkan tataran normatif, terdapat perbedaan paradigma yang digunakan

dalam penyelenggaraan penyiaran publik dengan penyiaran swasta, pada umumnya pelaku penyiaran swasta berangkat dari kepentingan personal atau kelompok, baik kepentingan ekonomi, politik, atau sosial budaya lainnya. Adapun penyiaran publik, kepentingan yang dimaksud adalah sesuai dengan visi misi negara. Memang abstrak dan dan luas, namun dia harus ada di ‘atas’ kepentingan personal atau kelompok yang sudah disebutkan. Berikut rinciannya dalam matrik.

Page 28: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201820

Lembaga Penyiaran Publik Lembaga Penyiaran KomersialIde awal publik atau warga negara punya hak & kebutuhan program “lebih bermanfaat”, seperti: • program pendidikan yang • instruksional• program tentang kedalaman &

keteguhan agama serta budi pekerti• program budaya & tradisi serta

kearifan lokal• program yang membuka diskusi

dengan argumen yang baik dan pencarian solusi

• program untuk meningkatkan apresiasi terhadap kemajemukan, dll

• Nafas atau ‘semangat’-nya untuk tujuan komersial / keuntungan finansial

• Memiliki keyakinan bahwa penonton suka hiburan, film, musik, drama, kuis-kuis & program yang gemerlap dengan selebriti dan hadiah

• Lebih mendahulukan aspek hiburan dan komersial

• Program pelayanan publik biasanya hanya 10% dari keseluruhan program

Karakter Lembaga Penyiaran PublikMengacu pada perbedaan perspektif dari ketiga bentuk lembaga penyiaran

di atas maka lembaga penyiaran publik memiliki karakteristik yang khas diantaranya yaitu:• Punya Visi dan Orientasi untuk memperbaiki kualitas kehidupan publik, bangsa,

dan hubungan antar bangsa. Istilah ini secara ringkas bisa dimaknai bahwa, pemerintah Indonesia bisa berganti tiap 5 tahun sekali, namun negara Indonesia akan tetap ada selama masyarakat menginginkannya. Dengan demikian visi yang diemban untuk penyiaran publik adalah visi negara bukan visi eksekutif (pemerintah).

• Punya Misi untuk menjadi forum diskusi, artikulasi, dan pelayanan kebutuhan publik. Sama halnya dengan visi, bahwa penyiaran publik harus menjalankan fungsi “publicsphere” ruang publik yang siapapun sebagai warga negara memiliki akses untuk “keluar-masuk”, berinteraksi, berdialog tanpa ada kecemasan akan larangan, dengan catatan tetap dalam koridor etika dan estetika.

• Ada pengakuan signifikan terhadap pengawasan dan evaluasi oleh publik sebagai khalayak dan partisipan yang aktif

Sebagai konsekuensi dari lembaga penyiaran publik, maka aspek-aspek transformasi yang cukup revolusioner bagai sebuah lembaga yang telah berpuluh-puluh tahun, hidup dalam tradisi birokrasi orde baru, juga dalam perkembangannya sebagai era neoliberal (Masduki, 2007) diantaranya yaitu:• Akses publik: sebagai lembaga yang berorientasi pada kepentingan publik, maka

RRI dan TVRI didirikan tidak hanya berdasarkan daerah yang memiliki potensi ekonomi tinggi, namun juga di wilayah-wilayah terpencil, perbatasan negara

Page 29: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 21

termasuk misalnya di daerah blank spot. Sebagai penyiaran publik, RRI dan TVRI harusnya membuka akses yang luas dan membangun partisipasi publik yang tinggi untuk menentukan keberlangsungannya.

• Dana publik: lembaga penyiaran publik diantaranya menggunakan APBN dan APBD, walaupun dana dapat saja diperoleh dari iuran penyiaran, siaran iklan dan sumbangan masyarakat. Sebagai konsekuensi dari penggunaan APBN/D, maka hak dan kewajiban fungsional dan administratif harus mengikuti pola dan aturan yang berlaku dan terbangun “public trust” terhadap pengelolaan keuangannya.

• Akuntabilitas publik: mempertanggungjawabkan program dengan ukuran moral dan tata nilai publik (moral accountability); mempertanggungjawabkan keuangan (financial accountability), melalui mekanisme yang transparan dan jelas bagi semua pihak atas pengelolaan lembaga; bahwa tidak ada kepentingan politik dan ekonomi tertentu yang akan menciderai kepercayaan publik terhadap RRI dan TVRI.

• Keterlibatan publik: ada kerjasama seluas-luasnya (networking), mengundang serta menyambut keterlibatan publik dalam berbagai program dan kegiatan, baik melalui on air, off air, maupun on line (streaming, media sosial dll). Di samping itu, menyajikan conten yang merupakan representasi kemajemukan semua lapisan masyarakat.

Permasalahan yang dihadapi oleh RRI & TVRI sebagai LPPWalaupun terdapat sejumlah hambatan dan kerumitan permasalahan,

kiranya jika mencoba mengurai ‘benang kusut” maka masalah yang diidentifikasi diantaranya: Pertama, terkait dengan sistem penyiaran secara makro dan mikro; makro terkait dengan sistem politik, sistem ekonomi dan sistem kenegaraan lainnya. Sedangkan mikro yang terkait secara internal kelembagaan dalam penyelenggaraan lembaga penyiaran seperti masalah SDM, masalah aturan atau regulasi serta kebijakan, masalah pendanaan, masalah teknis, program dan isi siaran. Semua aspek internal dan eksternal satu sama lain saling mempengaruhi, dimana muaranya pada performance content dan citra dari lembaga penyiaran tersebut. Secara terangkum permasalahan yang dihadapi oleh lembaga penyiaran publik baik dalam konteks nasional, regional maupun lokal diantaranya sebagai berikut (Rachmiatie, 2014):1) Struktur kelembagaan penyiaran publik secara sistem kenegaraan dan politik

belum ditempatkan secara mapan dan budaya korporasi dan kelembagaan, pola transparansi anggaran yang belum diberlakukan.

2) Lembaga penyiaran publik, bukan menginduk pada pemerintah atau partai politik yang dominan di pemerintahan. Ia secara profesional menyajikan diskusi-diskusi yang kritis terhadap partai politik, pemerintah, demi mencerdaskan warganya.

3) Perbedaan kebijakan tentang lembaga penyiaran yang tidak sama di kalangan eksekutif, legislatif baik secara horisontal maupun vertikal (pusat, provinsi,

Page 30: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201822

maupun kota/kabupaten).4) Kemajemukan budaya sebagai potensi (kekayaan) bangsa yang tidak diakomodasi

oleh lembaga penyiaran, karena faktor kepentingan ekonomi dan politik tertentu.5) Perbedaan persepsi dan “menterjemahkan” konsep arah, tujuan, peran dan

fungsi dalam sistem penyiaran di Indonesia. 6) Lemahnya profesionalisme dan komitmen SDM di lembaga penyiaran publik,

karena hampir 90% pegawainya berstatus PNS dan telah melewati usia produktif sehingga sulit beradaptasi dengan ekologi media baru.

7) Aturan/regulasi yang belum mapan dan kebijakan internal yang belum mendukung

Peran-peran Lembaga Penyiaran Publik, harapan dan realitasSecara eksplisit dalam UU 32/2002 dikemukakan bahwa asas penyiaran yaitu

manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemudian, tujuan penyiaran di Indonesia adalah untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri. Asas dan tujuan ini tidak hanya berlaku untuk radio publik, namun berlaku juga untuk semua bentuk penyiaran termasuk radio swasta. Di sisi lain, asas dan tujuan di atas memang perlu penjabaran untuk bisa diaplikasikan, karena dianggap merupakan konsep yang bersifat abstrak. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman, kesepakatan dan komitmen dari semua pelaku penyiaran untuk bisa mewujudkannya.

Kondisi kemajemukan budaya Indonesia menjadi pisau bermata dua, ia bisa merupakan kendala untuk menjalin persatuan, tapi bisa juga bisa dipandang sebagai suatu potensi atau kekayaan bangsa. Pandangan yang kedua inilah justru yang harus diyakini oleh semua pelaku penyiaran publik, bahwa “Culture is our business “ (MT Zen, guru besar ITB,2006). Sekali lagi diversity of ownership dan diversity of content, jadi mutlak dengan kondisi keberagaman di Indonesia. Kondisi kemajemukan budaya sebagai potensi (kekayaan) bangsa selama ini tidak diakomodasi oleh RRI dan TVRI. Padahal dengan kewenangan dan jaringannya ke daerah-daerah, jauh lebih memungkinkan dibandingkan dengan radio & televisi swasta, artinya peluang tersebut lebih dulu dimiliki RRI dan TVRI.

Selama tidak ada ‘political will’ dari pemerintah pusat maupun daerah serta DPR/D untuk mengalokasikan APBN/D untuk RRI, maka diprediksi RRI akan masuk dalam permainan industri penyiaran yang berideologi rating. Atau tetap menjadi siaran yang tidak diminati khalayaknya karena penyajian yang tidak menarik, yang disebabkan oleh peralatan yang sudah tua, biaya produksi/operasional yang rendah, gaji yang minim dan seterusnya seperti ’lingkaran setan’ yang sulit diputus rantainya. Kedua, masalah aturan atau regulasi serta kebijakan. Regulasi ini bisa dilihat sebagai peluang, karena dari kuantitas alokasi frekuensi, UU memberikan 20% untuk media

Page 31: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 23

publik dari seluruh frekuensi di wilayah tersebut.Secara mikro, terkait secara internal kelembagaan dalam penyelenggaraan

penyiaran seperti masalah SDM, dimana masih tersisa mental PNS yang birokrasi dan feodal serta tidak independen, menjadikan RRI gemuk, lamban dan tidak efisien. Jumlah pegawai TVRI ada 4.300 orang, dan sekitar 1.800 pegawainya bekerja di Jakarta. Dari nisbah itu, artinya, sekitar 2.500 karyawan TVRI berada di daerah, dan mereka hanya menggarap 20 persen tayangan dalam 22 jam. Di setiap daerah, jumlah karyawan antara 150 hingga 200 orang. Artinya komposisi beban kerja, rasio produksi dengan jumlah karyawan, terlalu banyak. Sebagai perbandingan: Stasiun Metro TV di Surabaya hanya diisi 44 pekerja; CNN TV Biro Bandung 30 pekerja; Kompas TV Makassar hanya sekitar 20 pekerja. (Apni Jaya Putra, 2017)

Kondisi pendanaan akan terkait dengan teknis yang menyangkut kualitas alat serta pada program dan isi siaran. Semua aspek internal dan eksternal satu sama lain saling mempengaruhi, dimana muaranya pada performance content dan citra RRI & TVRI semakin redup di tengah-tengah gemerlapnya radio dan televisi swasta.

Memantapkan lembaga penyiaran publik, memang memerlukan pembenahan besar-besaran secara internal kelembagaan. Dengan menegakkan struktur yang lebih luwes dan ramping juga kebijakan lebih terdesentralisasi. RRI & TVRI di daerah lebih leluasa menggali potensi daerahnya. Mereka yang lebih tahu dan menghayati bagaimana kondisi lokal termasuk budayanya yang lebih penting diekspos, dan menumbuhkan kecintaan warga akan budayanya. Selain itu, RRI dan TVRI perlu memiliki komitmen, perjuangan dan keberanian pimpinannya dalam mewujudkan visi dan misi dan melakukan perubahan. Ketika Dewan Pengawas menseleksi calon direksi, maka dituntut kejelian untuk memilih direksi yang punya kriteria di atas. Termasuk keluwesan pimpinan dalam menjalin kemitraan dengan kekuatan manapun, kelompok manapun namun tetap netral dan independen. Dengan keberanian dan profesionalisme pulalah RRI & TVRI bisa membentuk “benchmarking” atau “positioning” sebagai lembaga penyiaran publik secara konsisten; yang pada waktunya akan dirindukan oleh khalayak yang semakin ‘dewasa’.

Dimensi-dimensi RRI dan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran PublikRegulasi tentang Lembaga Penyiaran Publik ada pada Peraturan Pemerintah

Nomor 11/2005 tentang penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Publik. Sebagai lembaga penyiaran yang dimiliki oleh badan hukum negara, maka ketika akan diberlakukan menjadi sulit, oleh karena badan hukum yang dikenal selama ini di Indonesia adalah PT, CV, Yayasan, Perkumpulan, Koperasi. Melihat karakternya, tidak ada satupun yang cocok untuk menaungi lembaga penyiaran publik ini. Untuk itu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah sementara ini merupakan pengesahan sebuah badan hukum radio atau televisi publik di pusat dan daerah. Sementara itu karena tidak ada nomenklatur-nya, terutama di daerah (propinsi, kabupaten atau

Page 32: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201824

kota); proses untuk menghasilkan peraturan tersebut, memerlukan waktu dan birokrasi yang cukup panjang dan lama. Pemda setempat harus mengajukan kepada DPRD untuk mendapatkan pengesahan, padahal untuk pendirian sebuah badan atau SKPD baru yang khusus untuk mengelola media elektronik ini tidak mudah.

Secara struktur, idealnya di lembaga penyiaran publik ada Dewan Penyiaran Publik, yang berfungsi menetapkan kebijakan umum dan strategis, menyusun dan memperbarui prosedur operasi standar dan kode etik, serta membahas anggaran. Ada beberapa aspek yang harus dibentuk, di antaranya Dewan Kehormatan yang menangani pelanggaran etik; Komite Audit yang memeriksa kepatuhan pelaksanaan kebijakan; Sekretariat Jenderal yang membentuk direksi yang fokus pada kualitas siaran; dan Dewan Eksekutif yang memeriksa kebijakan dan standar siaran. Ada pula rumusan yang mewakili “publik” dari tiap provinsi di Indonesia bernama Dewan Khalayak. (Masduki, 2017)

Dengan tidak fleksibelnya penyelenggaraan lembaga penyiaran publik ini, maka tercermin pula pada proses dan hasil produksinya. Warna birokrasi yang memerlukan tahapan dan prosedur yang jelas dalam pengambilan keputusan, kontradiksi dengan pekerjaan di media elektronik yang dinamis dan harus diputuskan dengan cepat. Berikut hasil penelitian Hooker tentang perbandingan siaran TVRI dan TV Swasta untuk siaran hiburan, yang tidak jauh berbeda pemberlakuannya dengan siaran informasi dan siaran lainnya.

Perbandingan Siaran Hiburan TVRI dan TV Swasta

DIMENSI TVRI TV SWASTAField (konteks) Waktu : Orientasi ke

masa lalu dengan tetap mempertahankan kesenian masa lalu yang tradisional, namun kurang spesifik dan kurang tersegmentasi dan tak terfokus pada (pasar) budaya apa yang harus diperjuangkan

Waktu : Orientasi ke masa depan dengan terus menyiarkan budaya kapitalis/budaya populer dengan segmen siaran yang jelas dan pasti

Mode (Gaya Bahasa)

Model siaran yang monoton, dengan gaya bahasa yang kaku serta bertutur sesuai dengan tradisi bertatabahasa

Model siaran yang bervariatif, interaktif, kreatif serta mengacu kepada model kapitalis dengan semaksimal mungkin mengeksploitasi harta, tahta dan wanita sebagai replikasi dari aktivitas masyarakat pada umumnya

Page 33: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 25

Tenor (Pihak yang dirujuk)

- Birokrasi, pejabat dan model atasan-bawahan, ilmuwan, tokoh agama dan tokoh masyarakat

- Budaya tradisional- Persatuan dan Kesatuan

bangsa- Primordialisme dan

sentimen masa lalu

- Kapasitas dan kompetensi sumber data

- Orientasi pasar pemberitaan

- Selera anak muda- Multikulturalisme- Rasional- Eksploitatif- Menyerang orang lain

Sumber : Hooker (1993) dalam Bungin, 2007.

Ditinjau dari konteks, Gaya bahasa dan pihak yang dirujuk nampak terdapat perbedaan yang signifikan di antara TVRI dan TV Swasta. Walaupun dalam perspektif ideologi yang digunakan keduanya memang berbeda, TV swasta cenderung business oriented yang menganggap khalayak adalah pasar (consumer); sedangkan TV publik lebih pada service oriented dan menganggap khalayak sebagai warganegara (citizen).

Bagi masyarakat sebagai khalayak penerima akan membandingkan dengan kebutuhan, harapan dan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sebagai contoh ketika televisi swasta menerpa penduduk perdesaan yang berkarakter agraris atau sebaliknya TVRI menerpa penduduk urban yang berkarakter masyarakat informasi, maka akan timbul “gap” yang pada gilirannya membawa dampak negatif. Yang pasti RRI dan TVRI sebagai penyiaran publik harus mengenal khalayaknya secara pasti, sehingga programnya senantiasa “in tune” dengan mereka, bahkan bisa merebut segmen yang baru jika kemasan yang disajikannya itu menyehatkan sekaligus menarik.

Perubahan status TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) sesungguhnya dapat menjadi media alternatif bagi proses pencerahan dan pencerdasan bangsa, serta membuka peluang untuk menyatakan eksistensinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang berada dalam tekanan media yang bersifat komersial. Sasaran strategis TVRI misalnya ”Terselenggaranya penyiaran program/materi siaran informasi, pendidikan dan hiburan yang berbasis Ke-Bhineka Tunggal Ika-an” (Cetak Biru TVRI, 2011-2016: 12).

Posisi atau kedudukan RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik sangat strategis untuk menjembatani antara kepentingan pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah secara ideal berperan sebagai fasilitator, policy dan pengawasan terhadap peran komunikasi dan informasi, selain itu yang juga sangat penting adalah memberikan kesejahteraan terhadap warganya. Namun pada saat ini negara tidak bisa memberikan jaminan harapan kepada rakyat (Rakyat tidak merasakan perlindungan dari pemerintah). Untuk itu diperlukan kesamaan persepsi dan komitmen atas tujuan bernegara bagi semua pihak yang dapat diakselerasi

Page 34: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201826

melalui komunikasi, informasi dan media massa. Kecenderungan lain bahwa, pada saat ini ada pergeseran kekuasaan eksekutif, dari yang “powerfull” menjadi lebih terbagi dan nampak ada dominasi kekuasaan legislatif. Konsekuensinya pada isi media massa, cenderung pada saat ini banyak media yang tidak peduli lagi terhadap kegiatan pemerintah dan lebih banyak mengekspos kegiatan masyarakat yang tidak proporsional.

Kesimpulan1. Konsistensi penyelenggaraan RRI dan TVRI sebagai penyiaran publik, secara

normatif sudah dipahami dan diupayakan oleh para pimpinannya. Namun dalam tataran empirik, masih terdapat sejumlah hambatan dan kendala secara internal kelembagaan dan sistem penyiaran di Indonesia yang belum kondusif untuk berpihak penuh pada keberadaan penyiaran publik. Posisi atau kedudukan RRI dan TVRI sebagai media Publik secara struktur kelembagaan relatif proporsional antara pusat dan daerah, terutama dalam alokasi program siaran, manajerial dan teknis.

2. Dukungan aturan atau regulasi penyelenggaraan siaran RRI dan TVRI yang terkait dengan peran dan fungsinya sebagai media informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial sangat memadai, namun masih terdapat aturan terutama kebijakan internal yang belum mengakomodir kebutuhan penyelenggaraan sebuah lembaga penyiaran publik.

3. Profil program dan isi siaran RRI dan TVRI setelah perubahan status menjadi LPP nampak belum ada perubahan yang signifikan, terutama dalam pemberitaan. Adapun dalam program pendidikan dan hiburan yang bernafaskan local content masih bersifat verbalistik dan formal, belum menyentuh keinginan publik yang lebih bervariasi dan sesuai dengan kondisi budaya masing-masing daerah. Nampak ada perbedaan kemenarikan kemasan penyajian acara, bila dibandingkan dengan penyiaran swasta.

4. Faktor-faktor yang menjadi kendala/penghambat dalam penyelenggaraan lembaga penyiaran publik baik RRI dan TVRI yaitu terkait dengan terbatasnya sumber dana, anggaran yang tidak memadai terutama untuk produksi program dan maintenance peralatan. SDM yang tidak efisien serta manajemen yang masih kaku formal dan proses birokrasi yang panjang.

Rekomendasi:Upaya yang dilakukan oleh KPI khususnya KPID Jabar dalam mendorong

keterlibatan publik dalam penyelenggaraan siaran LPP diantaranya:1) Membangun komunikasi secara individu maupun lembaga dengan pihak terkait,

khususnya dengan RRI & TVRI Jawa Barat secara intens.2) Mencari solusi dengan tepat, benar dengan berprinsip kearifan lokal “Laukna

Page 35: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 27

beunang caina herang”, artinya menyelesaikan satu masalah dengan tidak meninggalkan masalah lainnya.

3) Pembenahan internal kelembagaan, dengan menegakkan struktur yang lebih luwes dan ramping, kebijakan lebih terdesentralisasi.

4) Mendorong pimpinan dan staf LPP dalam berkomitmen, berjuang dan keberanian dalam mewujudkan visi dan misinya disamping membangun profesionalisme yang terus menerus ditingkatkan.

5) Mendorong kemitraan dan networking dengan kekuatan manapun, kelompok manapun namun tetap netral dan independen

6) Membentuk “benchmarking” atau “positioning” sebagai RRI dan TVRI secara konsisten. Peningkatan kesadaran masyarakat atas hak, kewajiban, tanggungjawab dan peran serta dalam penyelenggaraan penyiaran publik.

Daftar Pustaka

Apni Jaya Putra, 2017, dalam Dieqy Hasbi Widhana (www. tirto.id - Indepth), diunduh Mei 2018

Bignell, Jonathan & Orlebar Jeremy, 2005, The Television Handbook, Routledge taylor & Francis Group, London & New York.

Bungin, H.M.Burhan, 2007, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Hidayat, Deddy. N, 2003, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran, FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.

Kitley, Philip, 2000, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, Institut Studi Arus Informasi, PT Media Lintas, Jakarta.

Masduki, 2007, Regulasi Media Penyiaran dari otoriter ke liberal, LkiS, YogyakartaM.T.Zen, 2006, Seminar ”Peran Media Massa dalam Pembentukan Jati diri Bangsa”

Institut Teknologi BandungRachmiatie, Atie & Suryadi, Karim, 2014, Sistem & Kebijakan Komunikasi Penyiaran

di Indonesia, KPID Jabar, BandungTVRI, Televisi Republik Indonesia, 2012,”Transformasi TVRI (Kebijakan LPP TVRI,

tahun 2011-2016), Peraturan Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia, September, 2012.Jakarta.

Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002

Page 36: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201828

Atie Rachmiatie lahir di Bandung, 30 Maret 1959. Beliau adalah Guru Besar (Profesor) Ilmu Komunikasi di UNISBA

Bandung. Selain akademisi, beliau juga dikenal sebagai pengamat politik, peneliti, narasumber, dan penulis. Sosoknya sering

tampil sebagai narasumber talkshow dan diskusi politik di media televisi nasional. Pendidikan formal yang ditekuni beliau, Sarjana Ilmu Komunikasi, jurusan jurnalistik UNPAD di mulai sekitar tahun 1983. Selanjutnya, pada 1994 mengambil gelar Magister Komunikasi UNPAD. Dan, gelar Doktor konsentrasi ilmu Sosial diperoleh di

Pascasarjana UNPAD pada 2005.Beliau kerap menjadi rujukan bagi permasalahan komunikasi dan penyiaran. Salah

satu karya tentang penyiaran adalah Buku Radio Komunitas Eskalasi Demokratisasi Komunikasi, yang diterbitkan Simbiosa Rekatama Media, Bandung. Beliau kini menjabat Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unisba, yang pada beberapa waktu terakhir, sebagai Ketua menyelenggarakan international Event, dengan menggelar simposium internasional ‘Science dan Technology Research Symposium (SiRes) dan Social and Humaniora Research Symposium (SoRes), Oktober 2018.

Bahasa inggris mahir diaplikasikan dalam seminar-seminar komunikasi. Sebagai perempuan yang menguasai segala bidang pekerjaan, nama beliau populer di kalangan ilmuwan. Sederet pekerjaan yang ditekuni antara lain Dosen Kopertis Wilayah IV Jabar-Banten UNISBA tahun 1986 s.d. sekarang, Peneliti di bidang Komunikasi Media dan Ilmu Sosial, Komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar Periode I 2005–2009, Ketua Komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar Periode II 2009–2012, Ketua Program Studi Magister Komunikasi Pascasarjana UNISBA 2005- 2010, serta Asisten Direktur Pascasarjana UNISBA 2012–2016.

Selain sebagai dosen, beliau juga memiliki posisi penting pada Dewan Redaksi dan Mitra Bestari yakni Pemimpin Redaksi Buletin KOPERTIS Wilayah IV Jawa Barat dan Banten, sejak tahun 2001 s.d sekarang, Dewan Redaksi Jurnal MEDIATOR terbitan FIKOM UNISBA sejak tahun 2005 s.d. sekarang, Dewan Redaksi Jurnal ISSUE terbitan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Jawa Barat sejak tahun 2006 s.d. sekarang, Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Komunikasi, terbitan Balai Pelatihan dan Pengembangan SDM Depkominfo. Tahun 2007 s.d. sekarang, Dewan Redaksi Majalah Ilmiah TRIDHARMA terbitan Kopertis Wilayah IV Jabar & Banten, Dewan Penyunting Majalah Ilmiah OBSERVASI terbitan Balai Pelatihan dan Pengembangan SDM Depkominfo tahun 2010, Pemimpin Redaksi dan Penyunting ahli Jurnal ISKI Indonesia, terbitan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia tingkat Pusat tahun 2009 s.d sekarang, dan Mitra Bestari Jurnal terakreditasi Komunikasi, UPN Veteran Yogyakarta tahun 2011 s.d. sekarang, dll.

Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie, M.Si.

Page 37: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 29

Masih ingat tayangan sinetron dokter Sartika? Sinetron yang tayang di era 1990-an itu terbukti banyak menyita perhatian pemirsa. Menarik, karena ia menggambarkan tipe ideal seorang dokter yang dengan sepenuh hati

melayani masyarakat. Jam berapapun masyarakat membutuhkan bantuannya, ia datang tanpa banyak tuntutan dan masalah. Ditambah sang dokter baru itu ditempatkan di daerah pelosok, yang jauh dari keramaian, jauh dari kecukupan alat transportasi, dan tinggal di rumah yang sangat sederhana. Sosok dokter seperti digambarkan sinetron itu sangat dirindukan masyarakat, paling tidak para penonton tayangan itu. Tak heran jika sinetron itu menyedot rating yang tinggi.

Tapi tayangan itu tak berlanjut. Berhenti di tengah tingginya minat para pemirsanya. Kenapa? Kabarnya, pimpinan televisi itu terpaksa menghentikan tayangannya karena ada keberatan dari sejumlah penonton. Konon, mereka protes karena tersinggung. Tersinggung karena seolah dibawa mimpi. Disebut mimpi karena tak pernah ada di dunia kenyataan. Lebih-lebih jika diukur oleh kenyataan mutu pelayanan kesehatan para dokter di Indonesia. Sangat jauh berbeda. Bahkan terbalik seratus delapan puluh derajat. Ia seolah ngabibita tentang sesuatu yang sangat imajinatif. Kenyataan inilah yang memicu protes sejumlah pemirsa.

Tapi, anehnya, tentang ngabibita yang sama, seperti tayangan iklan, tidak ada yang protes, bahkan menikmatinya. Kenyatan ini dapat saja memunculkan pertanyaan, siapa sebetulnya yang paling memiliki otoritas menilai, produsenkah, pemilik mediakah, pemodalkah, atau masyarakat sendiri? Lalu apa standar yang digunakannya? Banyak standar memang dalam memberikan pertimbangan sehat-tidaknya sesuatu siaran. Ada yang berpegang pada norma tradisi, ada pula yang memegang agama, atau regulasi negara?

Sehatkah “Dokter Sartika”?Di tengah banjirnya informasi di era media sekarang ini, dapat diduga penilaian-

Menggagas Konten Siaran yang Sehat

Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, M.A.

Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Page 38: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201830

penilaian itu lebih disebabkan oleh karena kebingungan atas semakin luasnya banjir informasi, termasuk banjirnya tayangan yang disajikan media. Ciri menarik dari era informasi saat ini memang adanya deras arus informasi yang berakibat pada kebanjiran informasi yang tak terhindarkan. Dalam bukunya, InfoRelief: Stay Afloat in the InfoFlood, Maureen Malanchuk, mengungkap pernyataan “Symptoms of information overload include feeling on anxiety, fear and frustration directed at the information you receive, those sending it to you, and your inability to handle it effectively.” Dalam situasi seperti itulah, sebagus apapun tayangan dokter Sartika, akan disikapinya secara tidak proporsional, sehingga secara simplistik pula publik akan menilainya negatif.

Jadi, mana sebetulnya standar yang dapat dijadikan pegangan masyarakat? Malanchuk (1996: 7) selanjutnya menyarankan untuk banyak belajar memanaj banjir informasi baik secara pribadi maupun kelembagaan tempat individu-individu itu bekerja. Informasi khususnya yang selalu menemani masyarakat dalam bentuk tayangan-tayangan yang sangat beragam itu memang tidak dapat diabaikan sepenuhnya, tapi bagaimana informasi itu dapat tetap produktif bagi kehidupan. Cara ini, tambahnya, dapat menurunkan tingkat kecemasan sekaligus dapat membantu masyarakat untuk tetap fokus pada prioritas-prioritas sesuai agenda yang telah dibuatnya. Saran Malanchuk ini memang didasarkan pada adanya gejala rusaknya pola hidup masyarakat akibat masuknya beragam informasi yang kerap di luar kemampuan nalar masyarakat.

Di luar nasihat Malanchuk itu, secara normatif, dapat pula kita kembali memegang fungsi utama media masa. Media massa seharusnya dapat konsisten memainkan fungsi bukan saja menghibur (to entertain) tapi juga mendidik (to educate), dan memberi informasi (to inform) yang dibutuhkan masyarakat. Untuk sementara, fungsi menghibur memang masih menempati proporsi yang paling banyak dinikmati masyarakat. Karena itu, bagaimana para pegiat media dapat memainkan fungsi itu untuk kepentingan yang lainnya. Misalnya, untuk kebutuhan mendidik masyarakar, lalu bagaimana para pegiat media dapat membuat kemasan khusus sajian-sajian yang menghibur tapi juga yang mendidik. Para ulama juga dapat bersinergi dengan para pegiat media untuk merancang sajian nasihat-nasihat keagamaan dalam ramuan hiburan yang tetap mendidik.

Siaran-siaran media harus sarat konten mendidik. Fungsi mendidik dalam media tidak berarti media harus menayangkan pelajaran Akhlak atau pelajaran Matematika 24 jam, tapi siaran apapun seharusnya mengandung muatan yang mendidik. Demikian juga acara Mimbar Agama Islam, misalnya, tidak selalu harus menampilkan Mamah Dedeh atau Ustaz Abdul Somad secara terus menerus. Ia bisa saja dimodifikasi dengan tayangan sinetron atau berita-berita lainnya tapi dengan tetap konsisten mempertahankan muatan dakwah. Misalnya, jika masyarakat kita sangat kecanduan sinetron, maka sajikan nilai-nilai itu dalam bentuk pilihan-

Page 39: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 31

pilihan tema sinetron yang positif. Tinggal persoalannya, dapatkah para produsen merancang sinetron yang bermuatan moralitas yang mendidik?

Kembali pada pertanyaan sehatkan dokter Sartika? Sesuai standar yang digunakan setiap orang bisa saja memiliki kesimpulan yang berbeda-beda. Jika dilihat dari motif menginspirasi, tentu tayangan itu sangat baik untuk menginspirasi dunia kedokteran agar dapat keluar dari kenyataan saat ini yang kurang memuaskan bagi masyarakat. Tayangan dokter Sartika dapat menginsirasi sekaligus mendidik para tenaga kesehatan untuk meneladaninya. Dalam konteks seperti ini media sedang memainkan fungsi mendidik (to educate) bagi para tenaga kesehatan. Etika melayani tentu sudah diperoleh sejak ia dididik menjadi seorang dokter. Tapi, pada tingkat implementasi, meski sudah terikat janji dokter seringkali tak sesuai idealisasi yang ditetapkan.

Sebagian pihak lainnya bisa memiliki penilaian yang berbeda, tergantung dari sisi mana ia melihatnya. Dari sisi representasi, misalnya, tayangan itu akan dilihat sebagai tayangan yang tidak merepresentasikan realitas yang senyatanya terjadi. “Jauh panggang dari pada api”, begitu di antara komentar pemirsa yang setia menonton tayangan itu. Jalan cerita tayangan itu memang sama sekali tidak menggambarkan kenyataan di lapangan. Jadi kalau berharap bahwa sesuatu tayangan adalah gambaran realitas yang sesungguhnya, ia akan kecewa berat. Ibarat orang kecewa dengan film G30/SPKI yang mengundang kontroversi itu, hanya karena ia melihat ketidakjujuran sejarah dan adanya gejala pemutarbalikan fakta. Tapi penilaian itu dapat saja berbeda karena adanya kepentingan yang berbeda pula. Di era Orde baru, terhadap film itu banyak yang nyinyir melihatnya, karena dinilai ada kepentingan rezim yang berkuasa yang digambarkan sebagai pahlawan yang menumpas PKI. Tapi, ketika rezim berganti dan ada kepentingan melawan para pendukung PKI, film itu malah dianjurkan untuk ditonton.

Seperti itulah relativitas sebuah penilaian. Dibutuhkan kecerdasan sekaligus kearifan dalam menilai sesuatu tayangan. Masyarakat konvensional yang cenderung memegang standar kaku, akan berbeda dengan masyarakat yang cenderung lebih permisif. Tayangan LGBT, misalnya, bisa disikapi berbeda oleh pemirsa yang secara normatif bevariasi. Kalangan yang menyetujui tayangan itu mungkin saja karena dimaksudkan sebagai media pendidikan bagi anak, dan bukan untuk mendukungnya. Tapi kalangan yang berbeda bisa berbeda juga dalam menyikapinya. Jadi mudah dipahami jika pernah terjadi silang pendapat tentang tayangan LGBT di media.

Sesuatu tayangan memang dapat berdampak bagi para audiennya. Kisah peristiwa haji yang ditayangkan di tengah publik Amerika, misalnya, ternyata telah berdampak positif dalam konteks penyebaran Islam di negara sekuler itu. Alkisah, pada tahun 1998, untuk pertama kalinya peristiwa Ibadah Hajji ditayangkan stasion televisi Amerika, Cable News Network (CNN). Atas tayangan itu, berbagai reaksi muncul, khususnya dari para pengelola televisi Amerika lainnya, seperti HBO, Show

Page 40: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201832

Times dan Cinema Makes. Mereka menganggap tindakan CNN itu sebagai sesuatu yang dapat membahayakan sekaligus mengancam kewibawaan Yahudi yang telah berakar cukup lama pada masyarakat Amerika. Melalui saluran-saluran televisi yang mereka kuasai, ditayangkannya berbagai film yang menggambarkan citra orang-orang Islam sebagai teroris ataupun kelompok fanatik, seperti Road to Paradise, Executive Decision, True Lies dan lain-lain. Film-film tersebut sengaja ditayangkan secara terus menerus, terutama pada saat-saat CNN menayangkan secara langsung peristiwa wukuf di Arafah dan sepanjang suasana Ied al-Adha.

Riz Khan, seorang reporter CNN yang meliput peristiwa tersebut, sengaja memilih event-event yang dapat memberikan gambaran positif ibadah haji orang-orang Islam, sekaligus menghapus kesan negatif yang sudah lama mengkristal dalam pikiran mayoritas bangsa Amerika. Perkumpulan raksasa umat Islam di Makkah, gambaran persahabatan yang tercermin di sekitar lembah Mina, Padang Arafah dan Muzdalifah, semuanya disiarkan secara apik, obyektif dan menarik. Khan yang juga mengenakan baju ihram berusaha mengambil gambar seluruh peristiwa haji saat itu dengan mencoba mengambil posisi di puncak Bukit Arafah, sehingga tampak hamparan tenda wukuf jutaan umat manusia dalam nuansa yang amat menakjubkan. Khan memang berhasil menyajikan gambaran nyata semangat relijiusitas persaudaraan umat manusia yang tercermin dalam peristiwa haji pada khususnya, dan dalam mekanisme ibadah-ibadah kaum Muslimin pada umumnya.

Harian berbahasa Inggris yang terbit di Arab, Saudi Gazette edisi 17 April 1998, menurunkan ulasan berita berkenaan dengan inisiatif Khan tersebut sebagai usaha dakwah untuk memperkenalkan Islam kepada Barat secara obyektif. “Riz Khan leads initiative to present Islam to West,” tulis Omar Bagabas dalam Saudi Gazette. Menurutnya, Khan telah berhasil menyajikan gambaran yang sesungguhnya tentang Islam dan umatnya kepada masyarakat Amerika, yang berbeda dari tayangan-tayangan sebelumnya yang sengaja disajikan untuk memberikan kesan negatif tentang Islam sebagai agama terorisme dan sistem kepercayaan yang sangat terbelakang. Inilah di antara prestasi media yang oleh salah seorang free-lance Arab, Fozail Aqdas Ghazali, dinilai telah membuat kecewa besar orang-orang Yahudi di Amerika. “CNN coverage upsets American Jews,” tulisnya.

Lalu, apa yang menarik dari peristiwa di atas? Apakah tentang Riz Khan seorang Muslim yang menjadi reporter CNN, atau tentang konflik Muslim-Yahudi di Amerika? Di sini tentu saja kita tidak akan lebih jauh mengomentari ketersinggungan orang-orang Yahudi ataupun kemungkinan munculnya perang media yang diakibatkan oleh penayangan peristiwa yang amat langka itu.

Peristiwa itu sengaja dipinjam dalam tulisan ini hanya untuk menggambarkan kekuatan media dalam memengaruhi pikiran, sikap, maupun perilaku para pemirsanya. Saya belum bisa membayangkan, andai saja sesuatu lembaga keislaman mengirimkan 1000 juru dakwah untuk memulihkan citra Islam yang dikesani negatif

Page 41: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 33

di mata publik Amerika, apakah akan terjadi suasana berbalik pikiran menjadi positif? Mungkin, sebelum berhasil mempengaruhi, mereka sudah dideportasi karena dianggap membuat gaduh masyarakat Amerika. Tapi seorang Riz Khan, sang reporter yang dengan memanfaatkan CNN tempat dia bekerja, terbukti berhasil memengaruhi publik Amerika.

Sehatkah tayangan Riz Khan? Sehat, paling tidak karena ia tidak mengandung ujaran kebencian, tidak ada fitnah ataupun provokasi, termasuk tidak ada upaya-upaya penyebaran agama atau paham yang berbeda dengan paham pada umumnya pemirsa di Amerika. Adanya ketertarikan sebagian publik Amerika, bukan karena adanya provokasi ataupun pesuasi-persuasi yang dilakukan pembuat tayangan itu, tapi karena mutu tayangan dan isi tayangannya yang memang memiliki daya tarik. Rumusan pesan yang dikemas dalam simbol-simbol verbal ataupun non-verbal itulah yang dimungkinkan ketertarikan pemirsa pada tayangan itu. Ia konsisten menyajikan pemandangan-pemandangan anggun yang penuh kedamaian tanpa harus menjelek-jelekan pemandangan orang lain, dengan tetap memelihara prinsip televisi sesuai karakter media massa.

Dalam paparan Fakhruroji, kenyataan khalayak seperti itu merupakan efek media yang berada dalam kehidupannya. Menurutnya (2017: 35), “hal ini bukan hanya disebabkan oleh informasi yang semakin termediasi, melainkan juga disebabkan manusia itu sendiri yang semakin mengintegrasikan antara media lama dan teknologi media baru ke dalam kehidupan mereka.” Seperti itulah perkembangan manusia dari era ke era yang semakin dinamis. Pandangan dunia yang dimilikinya pun terus berubah secara dinamis. Kreativitas sosial dan kreativitas teknologisnya terus berubah seiring penemuan teknologi yang mereka dapatkan, termasuk teknologi komunikasi dan informasi.

Demikianlah masyarakat itu terus berubah, hingga seorang pakar komunikasi massa, Bittner (1986: 3) meggambarkan perubahan itu berlangsung terus secara gradual. Menurutnya, kebertahanan hidup masyarakat itu bergantung pada banyak hal, salah satunya sistem komunikasi di mana manusia dapat saling bertukar simbol sehingga pada gilirannya dapat saling belajar satu sama lain dalam percepatan yang tak terduga. Standar-standar nilai yang dianutnya pun ikut berubah. Apa yang pada satu era dipandang baik, pada era yang berbeda bisa saja dipandang tidak baik, tidak etis, dan bahkan tidak diperlukan lagi sama sekali. Para antropolog bahkan menggambarkan perubahan itu terjadi hingga menyentuh aspek-aspek keyakinan dan agama. Jadi sangat mungkin bila nilai-nilai religiusitas pun dapat saja bergeser memasuki ruang standar baru dalam menentukan baik buruk.

Sesuatu tayangan media, dalam televisi misalnya, dikatakan sehat atau tidak sehat tentu bergantung pada standar nilai yang dianut sesuatu masyarakat. Tapi, pada saat yang sama, media pun memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan pendidikan moral bagi para pemirsanya. Tidak semua tayangan disajikan untuk

Page 42: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201834

kebutuhan hiburan meskipun tayangan apapun harus mengandung dimensi hiburan, karena media, salah satunya, berfungsi to entertain. Di sinilah titik rawan sesuatu tayangan yang pada ujungnya akan dinilai sebagai sesuatu tayangan yang sehat atau tidak sehat.

Namun, sejauh yang dapat saya baca, standar utama ukuran sehat dan tidak sehat yang terjadi di masyarakat kita adalah lebih dititikpusatkan pada standar moral, baik moral yang berakar pada etika agama maupun etika lokal. Kasus tayangan porno dipandang tidak sehat dan tidak etis karena ia dianggap melintasi batas-batas moral yang berakar pada etika agama ataupun kearifan lokal. Tapi, lama-lama standar itu pun bergeser seiring semakin derasnya arus informasi yang masuk menerpa masyarakat kita. Dalam keadaan seperti ini muncul kemudian pertanyaan, apakah standarnya pun terus berubah mengikuti pergeseran yang terjadi? Apakah apa yang sebelumnya dipandang tidak sehat lalu “harus” berubah menjadi sehat? Sebagian kalangan berargumentasi “tidak!”, dan bahkan di sinilah posisi media dapat melakukan kontrol dan pembelajaran bagi audiennya.

Akhirul KalamUkuran “sehat” dan “tidak sehat” dalam sebuah konten sesuatu tayangan

perlu terus dipertahankan. Ia dipertahankan bukan saja untuk menjaga adanya tayangan yang menyimpang dan membahayakan secara moral, tapi juga terutama untuk mempertahankan identitas diri serta jati diri bangsa agar tetap terpelihara sesuai etika universal maupun kearifan lokal. Dibentuknya lembaga penyiaran seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah untuk melakukan kontrol formal agar memudahkan pendeteksian secara dini atas tayangan-tayangan yang dapat diduga atau terbukti mengandung muatan sehat atau tidak sehat.

Standar “sehat” sendiri dirumuskan secara normaif dan fleksibel. Ada norma universal yang dipegang sebagai ukuran, ada pula ukuran yang digunakan secara fleksibel untuk menyiasati perkembangan. Semuanya merujuk pada karakteristik media yang menjadi saluran utamanya. Indonesia, menurut saya, sebetulnya telah memiliki ukuran yang dapat dipegang, yaitu agama dan Pancasila. Agama merupakan ukuran moral sesuai karakter bangsa sebagai masyarakat beragama, sementara Pancasila, bukan saja karena ia sudah menjadi kesepakatan politik yang mengikat kehidupan berbangsa, tapi juga sebagai kristalisasi falsafah bangsa yang dirumuskan sesuai akar kultural-filosofis bangsa ini.

Daftar Referensi

Alqur’an dan Terjemahnya. 1971. Khadim al Haramain asy Syarifain Fahd ibn ‘Abd al ‘Aziz Al Sa’ud Kerajaan Saudi Arabia.

Page 43: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 35

Bittner, John R. 1986. Mass Communication, An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Cliffs.

Fakhruroji, Moch. 2017. Dakwah di Era Media Baru. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Malanchuk, Maureen. 1996. InfoRelief: Stay Afloat in the InfoFlood. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Muhtadi, Asep Saeful. 2016. Pengantar Ilmu Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Page 44: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201836

Asep Saeful Muhtadi, Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lahir di Bandung, 19 Juni 1961. Setelah

menyelesaikan pendidikan pesantren (1981), melanjutkan studi pada jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah IAIN

Sunan Gunung Djati (1985). Pendidikan S1 diselesaikan tahun 1987 dalam bidang Ilmu Dakwah dan Komunikasi dari perguruan tinggi yang sama. Program Magister (S2) diselesaikan tahun 1995 dalam bidang Studi Kawasan Asia Selatan di University of Wisconsin-Madison,

USA. Sedangkan Program Doktor (S3) dirampungkan Januari 2004 dalam bidang kajian Ilmu Komunikasi pada Pogram Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Sejak tahun 1988 bekerja sebagai tenaga pengajar Ilmu Komunikasi di Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan pernah diberi amanah sebagai Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi (1998-2003). Mulai tahun 2004, mengajar pada Program Magister Komunikasi Pascasarjana Universitas Dr. Soetomo Surabaya, dan Pascasarjana Unisba Bandung. Kini ia menjadi Asisten Direktur I Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Menulis artikel di beberapa jurnal dan media massa, menulis pengantar serta kontributor tulisan pada beberapa buku. Buku yang sudah terbit, antara lain: Dinamika Mahasiswa dalam Lintasan Tradisi Akademik (Bandung: Insan Cita, 1996); Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos, 1999); Dakwah Kontemporer: Pola Alternatif Dakwah di Televisi (Bandung: Pusdai Press, 2000); Agama dan Pembangunan (Bandung: Pemda Jabar, 1987); Metodologi Penelitian Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2003); Komunikasi Politik NU: Radikalisme dan Akomodatif (Jakarta: LP3ES, 2004); Pribumisasi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2006); Era Baru Politik Muhammadiyah (Bandung: Humaniora, 2006); Kampanye Politik (Bandung: Humaniora, 2008); Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru (Bandung: Rosdakarya, 2008); Do’a, Tak Sekedar Meminta (Bandung: Sajjad, 2011), Ranting-ranting dari Tepi Pesantren (Bandung: Insan Komunika, 2012), dan Komunikasi Dakwah: Teori, Pendekatan, dan Aplikasi (Bandung: Simbiosa Rekatama, 2012).

Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, M.A.

Page 45: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 37

Munculnya beberapa stasiun televisi lokal sempat melambungkan harapan berkurangnya ketergantungan terhadap program dan isi siaran televisi yang dikendalikan selera Jakarta dan munculnya suguhan baru yang lebih

peka terhadap kebutuhan dan selera lokal. Nyatanya dua hal itu tidak (mungkin belum) terjadi.

Mayoritas audiens tetap menggandrungi program dan isi siaran yang dikendalikan Jakarta. Bukan hanya untuk hiburan dan informasi, sekedar untuk infotainment pun masih mengikuti kisah gugat cerai artis yang sehari-hari hidup, tinggal, dan berkiprah di Jakarta.

Fakta bahwa selera publik sudah dikontruksi Jakarta dan ketergantungan terhadap siaran televisi “nasional” yang tidak tergeser televisi lokal terlihat saat acara budaya atau politik berskala nasional dan internasional dihelat di daerah namun audiens mengandalkan pemberitaan televisi nasional. Ketika partai mengadakan kongres, atau organisasi sosial yang berskala nasional mengadakan hajatan di Bandung misalnya, informasi tentang fakta dan kejadian tersebut dipancarkan televisi nasional, selain melalui radio atau surat kabar. Tidak seperti dua media yang disebut terakhir, keperkasaan televisi lokal sebagai media yang “paling tahu” tentang berbagai hal yang ada dan terjadi di daerah belum terasa.

Hal serupa berlaku pula untuk penangkapan terduga teroris atau tindak kriminal lain. Kendati perisitiwa terjadi di daerah, namun tidak menggiring audiens untuk memantau perkembangannya di televisi lokal. Ini jelas bukan hanya soal selera, tetapi menyangkut keterandalan.

Contoh mutakhir debat pilkada. Kendati digelar di Bandung, namun acara tersebut diliput televisi nasional, dan tidak banyak audiens yang memantau melalui televisi lokal meski ada juga yang turut menyiarkannya. Bahkan ketika salah satu

Cepot, Gelang Kesehatan, dan Artis Bersarung: Siaran Lokal untuk Siapa?

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia

Page 46: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201838

debat ditayangkan televisi daerah pun tidak berhasil menyedot audiens.Selain sajian berita di televisi nasional yang lebih atraktif, mungkin audiens

sudah jenuh dengan pemberitaan televisi lokal yang gemar menyajikan berita kriminal, atau berita yang didapat dari humas pemda atau institusi lain. Padahal keingintahuan audiens terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar mereka, yang lebih tertuju pada diri, kepentingan, dan lingkungan mereka, tidak akan pernah punah. Sayangnya, prinsip proksimitas seperti ini tidak dikelola dengan baik. Televisi lokal belum menjadi rujukan untuk mengetahui fakta dan peristiwa yang terjadi di daerah.

Selera audiens yang terlanjur terbentuk siaran nasional membuat iklan sulit didapat siaran lokal. Kondisi ini berlaku baik pada televisi lokal maupun siaran lokal pada televisi nasional.

Perkembangan ini tidak memberi daya ungkit yang kuat bagi munculnya konten lokal yang berkualitas dan menarik, baik pada televisi lokal maupun nasional. Alih-alih menyuguhkan pesona baru yang peka terhadap kebutuhan dan selera pemirsa di daerah, munculnya siaran lokal malah memperlihatkan ketimpangan seperti teramati pada beberapa contoh tayangan berikut.

Kesatu, kewajiban televisi yang bersiaran secara nasional menayangkan konten lokal terkesan terpaksa atau dipaksakan. Jam tayang siaran lokal pada televisi nasional bukan pada waktu-waktu utama. Si Cepot yang menjadi ikon dunia pedalangan misalnya, muncul menjelang subuh, saat dimana siaran nasional berlomba-lomba “tobat” dan menyuguhkan sajian dakwah Islam.

Dari aspek diferensiasi program sebenarnya terpenuhi. Suguhan wayang tidak ditemukan di televisi lain saat subuh, namun preferensi audiens yang sudah terkonstruksi “subuh untuk mengaji” membuat suguhan wayang terasa ganjil. Lebih dari itu, dalam kenduri dengan pertunjukan wayang semalam suntuk pun, Ki Dalang sudah “menutup lawang sigotaka” ketika subuh menjelang, dan lagu Mitra sebagai sajian penutup pertunjukan sudah tidak lagi mengalun jauh sebelum adzan berkumandang. Munculnya Cepot kala subuh terasa “salah mangsa”, seperti hujan turun di musim kemarau, baik jika merujuk pada kebiasaan pementasan di panggung pertunjukan maupun peta dan alokasi siaran televisi.

Kedua, hampir semua televisi lokal menyajikan tayangan pengobatan alternatif. Beberapa televisi kini sudah beralih ke sajian gelang dan kalung kesehatan, atau alat kesehatan lainnya. Acara ini hampir ditemukan di semua televisi lokal hingga memunculkan pertanyaan “Apakah pemirsa televisi lokal sakit semua ?”

Tayangan program kesehatan tidak mendidik pemirsa untuk hidup sehat, namun fokus menjual jasa (pengobatan alternatif) atau produk kesehatan. Suguhan program ini pun menjadi pembeda televisi lokal dan nasional, karena yang disebut terakhir jarang menyuguhkan acara serupa.

Mungkin dari sisi finansial kehadiran acara semacam ini bisa sedikit menolong televisi lokal, namun apa menariknya bagi audiens? Lebih-lebih jika semua televisi

Page 47: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 39

lokal menyajikan acara yang sama, malah makin menjauhkan saluran lokal dari agenda audiens.

Ketiga, suguhan konten lokal paling mudah dicerna ketika tersaji tayangan klip lagu Sunda. Sayangnya tidak semua suguhan menyajikan audio dan visual yang menarik. Bahkan beberapa dendang terdengar sumbang.

Beberapa penyanyi baru bisa muncul di siaran lokal. Namun penampilan mereka hampir sama. Beberapa penyanyi pria pendatang baru tampak terpapar “Darso Efek”. Mereka meniru penampilan sang legenda Darso, baik dalam tata suara, penampilan, maupun gaya berjoget. Namun seperti upaya peniruan pada umumnya yang kerap gagal, beberapa penyanyi pendatang baru pun hanya mampu menirukan gaya bersarung, rambut gondrong, atau gaya joget Darso yang khas.

Untuk Siapa?Televisi lokal seperti mengidap galau akut. Secara konseptual beberapa acara

telah jelas segmentasinya. Berita berbahasa Sunda atau sajian seni Sunda sudah tersaji dengan intensitas yang memadai. Namun beberapa suguhan agak kabur rumusan target audiens strategisnya. Sebagai contoh klip lagu Sunda. Melihat penampilan (appearance) artis dan host-nya seperti hendak menyasar audiens berusia muda. Padahal di sisi lain, tidak banyak anak muda di kota yang menggandrungi lagu Sunda kontemporer, bahkan di desa pun sudah tersalip pop dangdut.

Meski dalam regulasi (khususnya tentang penyiaran), definisi operasional tentang televisi lokal dan nasional telah cukup jelas, namun tidak menyangkut makna (meaning) kehadirannya baik bagi pengelola maupun bagi audiens. Keadaan ini menyebabkan absennya placenta yang menghubungkan televisi (dan siaran lokal) dengan audiens.

Saya pernah bertanya kepada kurang lebih 150 orang mahasiswa yang hadir dalam sebuah seminar dan meminta mereka menyebutkan satu atau dua siaran lokal yang mereka gandrungi. Tak ada seorang pun yang angkat bicara. Baru ketika diminta menyebutkan nama acara yang pernah dilihat dalam televisi atau siaran lokal tidak lebih dari 10 orang dapat menyebutkannya.

Magnitude televisi lokal berbeda dengan televisi nasional. Namun karena selera audiens sudah terlanjur terbentuk oleh siaran nasional maka diantara dua entitas siaran ini sering terjadi interradiasi. Bobodoran Sunda disajikan seperti reality show, dengan menggunakan bahasa Sunda kamalayon. Alih-alih nyunda, siaran semacam ini malah kian mengaburkan target audiensnya.

Audit komunikasi menjadi kebutuhan mendesak untuk memahamai “jenis kelamin” televisi dan siaran lokal dan pilihan peran yang bisa dimainkannya. Meski eksistensi televisi lokal dan nasional tidak akan bisa dipisahkan, namun atribusi lokal dan nasional bukan hanya merujuk locus dan coverage. Atribusi tadi semestinya menyentuh chemistry yang melumasi hubungan lembaga penyiaran dan audiens-

Page 48: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201840

nya. Sama seperti hubungan pemimpin dan pengikut, chemistry antara lembaga penyiaran dan audiens-nya tidak tumbuh di atas klaim sepihak, namun muncul dari pengakuan dan kepercayaan. Dua aspek inilah yang amat dibutuhkan televisi dan siaran lokal untuk meneguhkan eksistensinya, sayangnya dua aspek ini pula yang kini terasa masih langka. ***

Page 49: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 41

Karim Suryadi lahir di Subang, Jawa Barat, 14 Agustus 1970. Beliau adalah salah satu Guru Besar (Profesor) Komunikasi Politik pada Fakultas Pendidikan dan Ilmu

Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang menjabat Dekan Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia periode 2010-2016.

Selain sebagai akademisi, beliau juga dikenal sebagai pengamat politik, peneliti, narasumber, kolomnis, dan

penulis. Sosoknya sering tampil sebagai narasumber talkshow dan diskusi politik di media televisi nasional seperti Metro TV, TVOne, CNN Indonesia, dan televisi lainnya.

Beliau mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Pasanggrahan I, Subang, lulus tahun 1982. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Subang, lulus tahun 1985. Sejak kecil beliau bercita-cita menjadi guru sehingga mengantarkannya pada Sekolah Pendidikan Guru Negeri Subang, lulus tahun 1988. Adapun gelar Sarjana Pendidikan diperoleh pada Jurusan PMPKN FPIPS IKIP Bandung lulus 1993. Gelar Magister Ilmu Sosial pada bidang kajian utama Ilmu Komunikasi di Program Pasca sarjana Universitas Padjadjaran, lulus 1999. Begitu pula gelar Doktor Ilmu Sosial (Komunikasi Politik) pada kampus yang sama yaitu Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, lulus 2006. Setahun kemudian, beliau sempat mengikuti ‘Training for Educator and Community Leader’, Heartland International di Amerika Serikat tahun 2007.

Adapun pengalaman di dunia kariernya, beliau memulai sebagai dosen CPNS pada Jurusan PMPKN FPIPS IKIP Bandung sejak 1 Februari 1994. Kemampuannya dalam menulis dan meneliti mengantarkannya menjadi Ketua Penyunting Jurnal Civicus Jurusan PMPKN FPIPS UPI sejak 2007. Kariernya melesat ketika pada usia 36 tahun dipercaya menjadi Dekan pada Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Subang. Di tahun yang sama ia juga menjadi Direktur Riset pada Lembaga Riset Informasi (LRI), Johan Polling, Jakarta. Pada tahun 2009 ia terpilih menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sampai tahun 2009. Selanjutnya mulai 2010 sampai 2016 menjabat Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar Karim pernah menjadi Dosen Tamu pada College of International Relations, Nihon University, Japan tahun 2008.

Beberapa tulisan beliau di international forum pada The Annual Indonesian Scholar Conference in Taiwan, Southern Taiwan University, Tainan, Taiwan, 2010; Religion and Politics in Indonesia: Conflict Pattern and Political of Santri, Japan, 2008; Political Party, Civic Literacy and Dream About People Prosperity, Japan, 2008; Recontructing Political Education:

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si.

Page 50: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201842

How to Make People’s Political Participation Meaningful, Malaysia, 2008; Partai Politik, Civic Literacy dan Civil Society: Indonesia, 2008), dll. Kegiatan international program lain adalah Democratic Training for School and Community Leader, 2007, Heartland International, USA; dan Visiting Islamic Scholar, 2017, United Kingdom.

Page 51: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 43

Pendahuluan

Fenomena pemilik media yang aktif berpolitik, bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan hampir di semua Negara, tak terkecuali di Negara dengan tradisi demokrasi yang mapan seperti Amerika Serikat dan di sejumlah Negara Eropa

seperti Inggris, Jerman dan juga Italia.1 Bahkan di sejumlah Negara bentuk keaktifan pemilik media terlibat dalam politik praktis tidak hanya untuk kepentingan politik sesaat, tapi juga menjadi semacam pemosisian politik (blocking politics) yang karakternya lebih ideologis dan mengarah pada sentimen politik yang menegaskan posisi masing-masing arah dan dukungan politik yang ada.

Meski partai politik dan atau kelompok kepentingan dan juga kelompok penekan cenderung pula membangun atau mengembangkan media sebagai alat propaganda dan juga penyampai pesan, tetapi dalam karakter pemilik media yang kerap dan cenderung pragmatis pada akhirnya mengelompok dan atau menyokong kelompok politik yang dianggap sejalan dengan apa yang menjadi garis kebijakan pemilik media tersebut.

Pada konteks Indonesia, upaya tersebut bukan tidak terjadi, ada pasang surut yang membuat posisi dari media yang bersangkutan menjadi memiliki label sebagai media oposisi atau media pemerintah. Kasus Pemilihan Presiden 2014 lalu menjadi penegas bahwa keberpihakan dan kebijakan politik dari pengelola media

1 Lihat misalnya Watt, Duncan. J. and David M. Rothschild. (2017). Don’t blame the election on fake news. Blame it on the media”. Dikutip dari: https://www.cjr.org/analysis/fake-news-media-election-trump.php (diunduh 3 September 2018).

Demokrasi dan Penyiaran:Dilema Penyiaran Berkualitas dan Politik

Pemilik Media

Muradi, S.S.,M.Sc.,M.Si.,Ph.D.

Direktur Program Pasca Sarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung

Page 52: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201844

memosisikan media dalam dilema. Situasi ini pada akhirnya akan mengganggu kualitas penyajian dari media yang bersangkutan. Untuk kasus Metro TV dan juga TV One, penyajian penyiaran pada akhirnya juga membelah publik dalam sekat-sekat dan sentimen yang terkandung dalam konten penyiaran.2

Tulisan ini akan menganalisis tentang pengaruh aspirasi politik pemilik media dan pengaruhnya bagi penyajian penyiaran yang demoratik. Tulisan ini juga berargumen bahwa aspirasi politik pemilik media lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan pragmatisme semata daripada ideologi politik. Sehingga menjadi tidak heran apabila dalam skema aspirasi politik pemilik media. Kepentingan pragmatisme yang mengemuka adalah terkait dengan akses kekuasaan pribadi pemilik media, kemudahan untuk mengelola media, dan yang paling penting adalah memperkuat bisnis media yang diolahnya tersebut.

Politik MediaSecara konseptual, politik media adalah sebuah sistem politik, politisi sebagai

individual menggunakan media untuk dapat terus menambah ruang privat dan publiknya secara bersamaan. Sehingga, melalui media, para politisi tersebut dapat tetap mengurusi masalah politik ketika ia tengah duduk di kursi kerjanya, di rumah ataupun ruang lainnya melalui komunikasi yang bisa menjangkau publik sasarannya melalui media massa. Hal ini juga diartikan sebagai tatanan baru dari sistem politik konvensional, yang mana pendekatan pemenangan dan atau komunikasi dengan cara-cara konvensional tidak lagi digunakan dan beralih dengan memanfaatkan media sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan dan program.3

Dengan cara ini pola penyampaian politik konvensional menjadi tidak lagi prioritas. Pemanfaatan media telah menguatkan gagasan politik yang dapat dicerna secara luas, dan harus diakui bahwa pemanfaatan media dalam praktik politik menjadi bagian dari keniscayaan politik, yang mana kaitan antara media dan politik adalah sebuah sistem yang sedang menggejala dengan muatan-muatannya yang mulai dapat dipahami oleh berbagai kalangan dengan basis dari media yang ada.4

Politik media bisa diasosiasikan sebagai sebuah sistem politik, istilah ini untuk membandingkannya dengan sistem yang lain seperti politik legislatif, politik birokrasi, politik yudisial. Dalam setiap domain tersebut, dapat diidentifikasikan peran utama, dan juga berbagai kepentingan yang maupun aturan perilaku yang terstruktur maupun tidak terstruktur, serta interaksi politik yang terus menerus, yang apabila diintegrasikan akan memperjelas bentuk khusus dari esensi pemenangan politik

2 BBC Indonesia.com. (2018). “Pilpres 2014: Ketika Media Jadi Corong Propaganda”. Dikutip dari: https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/07/140702_lapsus_media_bias (Diunduh 2 September 2018)

3 lihat misalnya, Lozanov, Georgi dan Orlin Spassov. (Peny). (2011). Media and Politics. Sofia: Foundation Media Democracy Konrad-Adenauer-Stiftung. Hal. 19-23.

4 Besley, Timothy. Robin Burgess, dan Andrea Pratt. (2002). Mass Media and Political Accuntability. London: LSE. Hal. 3-5.

Page 53: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 45

dan juga secara normatif akan memudahkan pola hubungan antara pelaku politik dengan publik.

Terkait dengan itu, ada tiga aktor dalam politik media, yakni: politisi, jurnalis, dan orang-orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus, di dalamnya termasuk juga pemilik media. Perspektif para politisi dapat dilihat dari politik media adalah upaya untuk mendapatkan sokongan publik atas penggunaan atau pemanfaatan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik, yang diperlukan untuk memenangkan kontestasi dalam pemilihan umum dan mengimplementasikan program mereka ketika telah menjadi pejabat publik, baik eksekutif maupun legislatif.

Sementara itu, dalam perspektif jurnalis, tujuan politik media untuk membuat tulisan ataupun sajian yang menarik perhatian banyak orang dengan penekanan obyektivitas dan keindependenan agar tetap sesuai dengan etika dan independensi sebagai penyaji media. Bagi masyarakat; orang-orang yang memiliki dorongan kepentingan khusus dapat dilihat dalam dua perspektif, secara umum, misalnya, dapat berperan sebagai masyarakat yang tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Sedangkan untuk yang lebih khusus, bisa saja kepentingan tersebut kemudian terepresentasi dari kehendak hati dan pragmatisme pemiliknya untuk mengarahkan kepentingan medianya sesuai dengan hasrat politik dari pemilik media. Pada konteks tersebut, aktor ketiga ini bisa saja dalam derajat tertentu menjadi penghubung antara politisi dengan jurnalis.

Karenanya, meski aktor ketiga bisa menjadi jembatan penghubung, tapi juga memiliki potensi sebaliknya. Apalagi hal tersebut merupakan sumber ketegangan terus menerus yang ada di antara ketiga aktor tersebut. Di satu sisi, politisi menginginkan para jurnalis dapat bertindak selaku pembuat dan penyaji berita yang netral dalam komentar dan pernyataan para politisi dan dalam setiap rilis pernyataan yang dibagikan kepada media. Di sisi yang lain, para jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain. Para jurnalis berharap untuk tetap bisa memberikan kontribusi karya jurnalistik khusus untuk berita kepada khalayak, dimana mereka dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis berita yang kerap kali tidak disukai oleh oleh kalangan politisi. Oleh karena itu, terkait dengan politik media, para jurnalis menilai apa yang disuarakan oleh kalangan jurnalis setidaknya sama besarnya dengan para pembaca dalam jumlah besar, dan para jurnalis ini kerap kali tidak ingin membantu politisi untuk menerbitkan berita mereka kepada publik kecuali untuk kepentingan pragmatis baik dari pemilik media dan atau para jurnalis itu sendiri.

Betapapun para jurnalis selalu saja melaporkan berita yang dikehendaki politisi, atau hanya melaporkan berita politik yang sesuai dengan keinginan pembaca, maka bisa saja jurnalis hanya akan menjadi profesi yang kurang menguntungkan dan kurang memuaskan bagi praktisinya, atau bahkan bukan lagi menjadi sebuah

Page 54: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201846

profesi. Karena profesionalisme jurnalistik kerap kali juga memosisikan para pelakunya cenderung mencari tantangan baru dan atau malah justru berhenti untuk mencoba profesi yang lain, yang dianggap lebih menantang dan secara ekonomi lebih menjanjikan.

Meski publik secara terus menerus dan kadang dengan setengah memaksa menginginkan untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan kinerja para politisi, dengan harapan agar politisi tetap akuntabel dengan upaya yang minimal, tapi mendapatkan target maksimal. Oleh karena itu, adanya data dipahami adanya kejenuhan pihak politisi dan para jurnalis yang bersaing untuk mendapatkan perhatian publik dalam pasar yang kompetitif. Publik pada derajat tertentu cenderung mendapatkan bentuk komunikasi politik yang mereka inginkan, tetapi ini tidak berlaku seluruhnya.

Kepentingan politik yang telah melekat pada diri politisi untuk terus mengupayakan mengontrol muatan berita politik, berpadu dengan kepentingan jurnalis untuk membuat kontribusi yang independen dalam berita, akan menciptakan ketegangan dan distorsi yang cukup besar, bahkan bisa saja mengarah ke konflik. Ketegangan ini pada situasi tertentu kemudian seolah dilerai atau diselesaikan dengan ambisi politik pemilik media yang memiliki keinginan untuk juga berkiprah sebagai bagian dari kontestasi politik. Dengan penguasaan jaringan media, para pengelola media mengupayakan manuver politik dan dengan memanfaatkan jaringan media yang dimiliki membuat posisi para pemilik media tersebut terbantu dalam membangun komunikasi politik dengan publik serta peluang untuk mengkampanyekan program yang telah dan atau akan dilakukan.

Berkaitan dengan uraian di atas, ada penekanan terkait dengan konsep politik media dalam konteks negara berkait erat dengan nilai yang terkandung dalam sebuah penataan media, yang pada akhirnya menentukan orientasi makro kebijakan media, termasuk di dalamnya adalah politik dari pemilik media. Gerhard Vowe merumuskan 3 horizon nilai yang dominan dalam penataan media5 (Gerhard Vowe, 1999), yakni: Pertama, nilai keamanan (security) politik media seharusnya mampu menjamin terciptanya rasa aman dalam masyarakat. Melindungi masyarakat dari bahaya yang mengancam sebagai akibat keterbukaan dan kebebasan penyampaian informasi melalui media massa. Banyak dipraktikkan oleh negara-negara yang menggunakan tradisi etatisme dan korporatisme, seperti Jerman dan Austria. Kedua, nilai kebebasan (freedom) politik media seharusnya menjamin terwujudnya media massa sebagai sebuah arena publik yang dapat digunakan oleh seluruh kelompok dalam masyarakat untuk menyampaikan ide dan pemikiran mereka yang berkait dengan kepentingan publik. Banyak dipraktekkan oleh negara-negara Anglo Saxon,

5 Dikutip dari Wahyuni, Hermin Indah. (Jun, 2007). “Politik Media dalam Transisi Politik: Dari Kontrol Negara Menuju Self Regulation Mechanism”. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 4 No. 1. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal. 17-18.

Page 55: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 47

seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Inggris. Yang ketiga, nilai keadilan (equality) politik media seharusnya dapat dirasakan pengaruhnya oleh seluruh kelompok dalam masyarakat secara optimal, media diharapkan memperkecil kesenjangan dalam masyarakat. Banyak dipraktekkan di negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan juga Finlandia.

Ketiga nilai horizon Vow berkaitan dengan politik media pada praktiknya kemudian cenderung menjadi bias, karena para pemilik media juga pada akhirnya menyesuaikan karakter dari medianya agar bisa tetap diterima oleh publik dan tetap survive sepanjang jaman. Praktik bisnis dalam pengelolaan media menjadi salah satu faktor determinan terkait dengan politik media. Nilai dan etika jurnalistik kerap kali juga ditabrak atas nama profesionalisme dan bisnis. Pada konteks inilah mengapa politik media menjadi bagian yang serius untuk digarisbawahi, karena irisannya dengan dinamika yang tidak melulu politik, tapi juga profesionalisme, bisnis, serta daya terima publik.

Dilema Penyiaran Berkualitas dan DemokrasiSecara tradisional dan pendekatan politik normatif, media dianggap

mendukung demokrasi dalam dua cara penting, yakni mendorong debat publik dan keterlibatan politik dan dengan bertindak sebagai pengawas publik untuk mengawasi penyalahgunaan kekuasaan. Lewat media pula publik bisa mendapatkan akses politik dalam bentuk pengawasan maupun mendengarkan dan atau terlibat dalam perdebatan politik. Dalam dua puluh tahun terakhir, media penyiaran di Indonesia telah dimanfaatkan untuk membuka ruang bagi kemungkinan keterlibatan publik secara aktif.

Kemampuan media dalam penyediaan sebuah forum publik di mana debat politik yang bermakna dan serius dapat berlangsung sering di pandang sebagai peran demokrasi penting dari media, meski belakangan media yang bersangkutan juga kemudian memiliki agenda politik, terutama berasal dari pemilik media. Namun demikian, kebaikan-kebaikan dari ini adalah publik yang memiliki pengetahuan yang baik dan memiliki pandangan yang lebih independen dan mendalam secara pengetahuan akan cenderung lebih terlibat secara politik, dari pada yang lainnya.

Penekanan ini menegaskan media adalah bagian dari sarana dan agen-agen pendidikan politik. Dalam bahasa yang lebih luas media telah banyak menjadi alternatif dari lembaga-lembaga perwakilan formal, seperti majelis-majelis, parlemen dan dewan-dewan daerah sebagai arena-arena untuk dialog, debat dan kajian yang sangat penting dalam merawat tradisi demokratik yang berkualitas. Ini terjadi karena media dapat diposisikan lebih cocok untuk peran ini daripada badan-badan perwakilan normatif dalam konteks pelembagaan politik yang secara tradisional ada. Disamping memberikan kepada masyarakat kesempatan yang baik untuk menyaksikan dan terlibat secara interaktif pada siaran politik dalam aksi misalnya

Page 56: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201848

melalui wawancara-wawancara dengan para politisi dan debat-debat di parlemen atau lembaga politik yang ada yang disiarkan oleh media dengan durasi yang sudah diatur sedemikian rupa. Media menyediakan sebuah forum bagi ekspresi dan berbagai sudut pandang dan opini dari publik atau kalangan cendikiawan yang lebih beragam dan luas daripada yang disediakan di dalam lembaga-lembaga perwakilan yang hanya tersusun dari para politisi terpilih maupun porsi politik lainnya yang tidak tersiarkan.

Tidak hanya itu, media secara substansial dan efektif memperluas keragaman pandangan dan opini yang diekspresikan dalam debat politik, tetapi mereka juga menghadirkan debat dan diskusi dalam sebuah cara yang lebih hidup dan menarik keterlibatan publik, dengan menghadiri formalitas, serta kekakuan yang menjadi ciri pertukaran-pertukaran yang berlangsung di majelis-majelis dan dewan-dewan yang selama ini dilakukan di panggung konvensional parlemen dan juga lembaga Negara lainnya.

Oleh karena itu, peran media dalam perspektif politik adalah untuk menjamin bahwa proses akuntabilitas publik dapat berjalan dengan lancar, dengan mengawasi aktivitas pemerintahan dan mengekspos potensi dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan begitu, media melengkapi dan pada batas tertentu menggantikan kerja dari lembaga-lembaga perwakilan formal sebagai wadah dan sarana yang selama ini dianggap konvensional yang kaku dan formalitas menjadi lebih luas, suasana yang lebih santai namun tetap tidak keluar dari konteks substantif kepolitikan dengan penyajian yang mudah dipahami. Kalangan peneliti, jurnalis dan para presenter televisi terutama cocok untuk peran ini karena mereka berada di luar politik dan tidak memiliki kepentingan selain daripada mengekspos ketidakmampuan, korupsi, atau sekedar menyiarkan pemikiran kapan pun dan dimana pun ditemukan dengan penyajian yang setidaknya memberikan gambaran bagi publik atas dinamika yang terjadi.

Kontras dengan pernyataan tersebut, jika akuntabilitas publik hanya dibiarkan berada di tangan-tangan dari pada politisi profesional, hanya akan menjadi terbatas oleh fakta bahwa mereka yang berusaha mengekspos ketidakmampuan atau kesalahan mereka sendiri, menginginkan pada sebagian kasus, untuk memegang kekuasaan pemerintahan. Ini mungkin tidak hanya menodai motif-motif yang mereka lakukan, tetapi ini mungkin juga menghalangi mereka dari mengkritisi proses-proses dan praktik-praktik yang mungkin ingin mengambil keuntungan darinya di masa depan. Akan tetapi, media hanya dapat menjalankan peran ini secara efektif jika mereka benar-benar independen, karena media tidak boleh bersifat partisipan dan tidak didominasi oleh pemerintah. Hal yang kemudian juga menjadi perdebatan ada pada pengelola dan pemilik media yang dianggap bisa saja menjadi partisan untuk alasan tertentu. Anomali tersebut menegaskan bahwa dunia politik begitu menarik untuk diikuti bahkan oleh para pengelola dan pemilik media.

Page 57: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 49

Menjelang Pemilihan Presiden 2014, The Jakarta Post, harian terkemuka berbahasa Inggris menegaskan aspirasi politiknya secara terbuka yang ditulis di Tajuk Rencana koran tersebut.6 Sebaliknya, perseteruan yang menarik justru terjadi saat televisi berita TV One, Metro TV, Berita satu dan Kompas TV terlibat dalam pemberitaan yang dalam perspektif politik mewakili kubu yang berkontestasi saat itu hingga sekarang.7 Meski belakangan Kompas TV kemudian tidak lagi terlibat dalam polemik tersebut, namun kecenderungan konten siaran yang disampaikan suka atau tidak mewakili perspektif pengelola dan pemiliknya.8

Dilemma yang mengemuka adalah publik kemudian dihadapkan kerinduan akan siaran dan penyajian konten yang lebih berkualitas dari pada sekedar menampilkan posisi politik dan atau sekedar menjadikan media sebagai kepanjangan dari kepentingan politik. Publik pada derajat tertentu kehilangan suaran yang berkualitas, sehingga mengarahkan tontonannya kepada penuajian media yang jauh dari berkualitas dan mencerdaskan. Hal ini nampak dengan hasil sejumlah survey rating program di televisi yang justru didominasi oleh sajian program yang tidak mencerdaskan publik.9

Ada empat motif mengapa pengelola dan pemilik media cenderung berpolitik praktis dan memanfaatkan jaringan medianya untuk kepentingan politiknya dan atau kepentingan politik calon dan kelompok yang disokongnya, yakni: Pertama, motif ideologi politik. Alasan ini mengemuka seiring dengan watak dan karakter dari pengelola dan pemilik media, yang mana ingin agar media yang dikelolanya selaras dengan kehendak publik dan arah ideology politik yang ada. Harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post oleh banyak pihak dianggap mewakili alasan tersebut, dari tajuk rencana yang dimuat untuk menyokong calon presiden Jokowi pada 2014 lalu menunjukkan alasan tersebut dengan penegasan bahwa Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang baik dan bersih.10

Kedua, motif jaringan ekonomi dan bisnis. Penekanan ini ada pada realitas bahwa media sudah menjadi bagian dari bisnis yang dikelola secara professional. Karakteristik ini mau tidak mau menjadi penegas bahwa keberadaan media harus selaras dengan apa yang menjadi kebijakan politik Negara sebagaimana penegasan Vowe bahwa efektifitas pengelolaan media secara bisnis mau tidak mau atau suka

6 Kompas.com (2018). “Harian The Jakarta Post Nyatakan Dukung Jokowi”. Dikutip dari: https://nasional.kom-pas.com/read/2014/07/04/10580561/Harian.The.Jakarta.Post.Nyatakan.Dukung.Jokowi (diunduh 2 September 2018).

7 tempo.co. (2018). “7 Media ini Dituding Berpihak dan Tendensius”. Dikutip dari: https://nasional.tempo.co/read/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius (diunduh 2 September 2018).

8 Lihat misalnya, Detik.com. (2018). “Ketika Prabowo Marah Besar Pada Sejumlah Reporter Televisi” Dikutip dari: https://news.detik.com/berita/2632608/ketika-prabowo-marah-besar-pada-sejumlah-reporter-televisi (diunduh 2 September 2018)

9 lihat misalnya, kontan.co.id. (2018). “Terdorong Sinetron SCTV Puncaki Rating TV Nasional”. Dikutip dari: https://industri.kontan.co.id/news/terdorong-sinetron-sctv-puncaki-rating-tv-nasional (diunduh 3 September 2018).

10 The Jakarta Post.com. (2018). “Editorial Endorsing Jokowi”. Dikutip dari: http://www.thejakartapost.com/news/2014/07/04/editorial-endorsing-jokowi.html (diunduh 3 September 2018).

Page 58: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201850

tidak suka harus selaras dengan kebijakan politik Negara karena menyangkut ketiga horizon yang ditekankan oleh Vowe. Karakter ini mengarah kepada jaringan media MNC yang pada 2014 lalu cenderung menyokong dan mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, namun atas alasan jaringan ekonomi dan bisnis, MNC kemudian melunak dan cenderung mengarahkan penyajian terkait dengan pemerintah tidak lagi keras pedas dan berseberangan namun cenderung positif. Bahkan Perindo, partai bentukan pemilik grup MNC, Harry Tanusoedibjo ikut menyokong dan mendukung calon presiden petahana, Joko Widodo yang berpasangan dengan Mahruf Amin.11

Ketiga, motif politis. Penekanan pada alasan ketiga ini adalah bahwa secara faktual pengelola dan pemilik media yang basis awalnya atau setidaknya berkecimpung menjadi politisi. Nama Aburizal Bakrie dan juga Surya Paloh mewakili alasan ketiga ini. Logisnya bahwa keduanya mendirikan dan mengembangkan jaringan media semata-mata untuk kepentingan politik. Aburizal Bakrie dan Surya Paloh pernah bersama-sama di Golkar yang kemudian berubah menjadi Partai Golkar. Bahkan keduanya pernah berkontestasi dalam Konvensi Calon Presiden partai beringin tersebut pada 2004 lalu.12 Sepuluh tahun kemudian, yakni pada Pemilihan Presiden 2014, keduanya berhadap-hadapan dengan model yang lain, yakni keduanya berada di kubu yang berbeda dan mengarahkan jaringan media yang dikelolanya untuk mengkampanyekan atau setidaknya menjadi saluran untuk memaparkan program-program yang ditawarkan pada Pilpres 2014 antara pasangan Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta.13 Alasan politik inilah yang membuat TV One dan Metro TV memiliki konten penyiaran dan pemberitaan yang kerap kali tidak selaras, cenderung mewakili hasrat politik pemiliknya masing-masing.

Motif keempat, karena dipaksa dan ditekan oleh pemerintah. Alasan keempat ini relatif tidak lagi terjadi paska Orde Baru, jikapun ada cenderung bersifat segmentasi program saja, bukan konten secara keseluruhan. Misalnya terkait dengan salah satu program di TV One, Indonesian Lawyer Club, yang beberapa kali tidak tayang karena dianggap kontennya sensitif dan membuat pro dan kontra di publik meruncing, meski ada bantahan dari pengelola program, namun publik cenderung memahaminya karena ada tekanan politik, baik alasan keamanan hingga terkait hal teknis, yang mana dalam pendekatan tiga horizon Vowe sebagai esensi bahwa media harus menciptakan rasa aman publik.14

11 Kumparan.com. (2018). “Penjelasan Perindo Soal Dulu Dukung Prabowo Kini Jokowi di 2019”. Dikutip dari: https://kumparan.com/@kumparannews/penjelasan-perindo-soal-dulu-dukung-prabowo-kini-jokowi-di-2019 (diunduh 3 September 2018).

12 Liputan6.com. (2018). “Wiranto Menang Konvensi Golkar”. Dikutip dari: https://www.liputan6.com/news/read/76442/wiranto-menang-konvensi-golkar (diunduh 3 September 2018).

13 Merdeka.com. (2018). “Pemilik Metro TV Di Sisi Jokowi, TV One MNC Group Di Sisi Prabowo”. Dikutip dari: https://www.merdeka.com/politik/pemilik-metrotv-di-sisi-jokowi-tvone-mnc-grup-di-sisi-prabowo.html (diunduh 3 September 2018).

14 Lihat misalnya, Cnnindonesia.com. (2018). “Tim Acara ILC Ungkap Alasan Batal Tayang Live”. Dikutip dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180828224912-20-325699/tim-acara-ilc-ungkap-alasan-batal-tayang-live (diunduh 3 September 2018).

Page 59: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 51

Dari empat motif tersebut, bila diurutkan seberapa besar yang menjadi alasan untuk melakukan politik praktis, yakni urutan pertama berkaitan dengan pengembangan ekonomi dan bisnis, motif politis, motif ideologi politik dan terakhir merasa ditekan penguasa. Meski secara faktual langkah empat motif tersebut terjadi, namun yang paling dominan adalah motif pengembangan ekonomi dan bisnis dibandingkan dengan ketiga motif lainnya. Karena itu, premis bahwa politik media seolah mewakili warna politik yang kental harusnya tidak lagi menjadi alasan mengapa para pengelola dan pemilik media tersebut merasa warna dan karakter siaran dan penyajian kontennya tidak dapat diterima, karena jika melihat empat motif tersebut di atas, maka hanya sedikit sekali program dan konten dari siaran atau sajian media yang terpolitisir. Karena betapapun ada upaya untuk mensinambungkan antara politik dengan media, namun faktualnya lebih banyak beralasan pada pengembangan ekonomi dan bisnis, bukan lagi alasan semata-mata ideology politik atau alasan politik pribadi.

Politik pemilik media ini dalam derajat tertentu membuat publik tidak nyaman, mulai tampilan dan konten yang dianggap tidak lagi menarik karena berisi pujian atau makian serta kritik atas kebijakan yang dibuat oleh Negara. Program penyiaran dan konten yang ada menjadi monoton dan publik secara faktual dirugikan, karena tayangan berkualitas sebagaimana harapan terhadap media tidak lagi tersaji.

Di samping itu, efek lain yang membuat tayangan tidak berkualitas tersebut pada akhirnya membelah publik dalam sikap yang berbeda satu dengan yang lain. Pembelahan atas sikap publik ini pada titik tertentu membuat esensi kebangsaan dan kebersamaan juga terganggu. Terganggunya hak publik atas siaran yang berkualitas menjadi pijakan awal bagaimana para pengelola harus bisa menempatkan diri dalam pengelolaan program siaran dan medianya.

Betapapun arah politik pemilik media sudah jelas dan terang benderang, namun dalam tata kelola penyiaran dan media, harus ditegaskan perlu tetap memberikan penegasan bahwa keberadaan dan hak publik atas siaran yang berkualitas juga harus terpenuhi tanpa kecuali. Beberapa contoh tayangan yang dianggap makin meruncingkan perseteruan di publik adalah pada saat penyiaran tentang penistaan agama dan juga pilgub DKI Jakarta pada 2016 dan 2017 yang membuat publik terbelah dan saling serang baik secara verbal maupun fisik.15 Oleh sebab itu, menjadi penting mengapa politik media dalam kondisi kekinian harusnya dapat seiring dan tetap memperhatikan tiga horizon dari Vowe yang mana hak-hak publik tidak boleh terabaikan hanya karena pengelola dan pemilik media memiliki orientasi politik yang termanifestasi pada jaringan media dan kebijakan perusahaan

15 Lihat misalnya, tempo.co. (2018). “Pilkada DKI, KPI Kaji Stasiun Televisi yang Tidak Independen”. Dikutip dari: https://nasional.tempo.co/read/813477/pilkada-dki-kpi-kaji-stasiun-televisi-yang-tidak-independen (diunduh 3 September 2018). Lihat juga, bbc.com. (2018). “Pemilihan gubernur Jakarta ‘paling panas’ dan ‘terheboh’ karena sosok Ahok”. Dikutip dari: https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/09/160920_trensosial_gubernur_ja-karta (diunduh 3 September 2018).

Page 60: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201852

pengelolanya.

PenutupAspirasi politik pemilik media dalam politik praktis dipengaruhi oleh tiga motif,

yakni: motif pengembangan jaringan bisnis. Motif politis, motif ideologi politik, dan motif penekanan oleh penguasa. Dari keempat motif tersebut motif pengembangan jaringan bisnis lebih dominan dibandingkan dengan tiga motif lainnya. Efek dari keterlibatan politik pemilik media pada konten media yang dihasilkan berpengaruh pada penerimaan dan persepsi pubik atas konten yang disajikan. Ada dua pengaruh terkait dengan itu, yakni: pertama, publik terpengaruh dengan muatan dari media yang bersangkutan dan cenderung menjadikannya sebuah kebenaran. Kedua, publik kemudian skeptis atas sajian yang dianggap tidak mendidik dan jauh dari kualitas penyiaran yang baik. Daya rusak dari siaran yang dianggap tidak berkualitas dan disisipi oleh pesan politik dari pemilik media pada konteks Indonesia justru membelah publik dalam politik sempit yang memiliki daya rusak yang relatif tinggi. Pengaruh secara politik demokratik adalah membangun sentiment politik sempit yang pada akhirnya dalam perspektif pendidikan politik tidak memberikan pengaruh bagi makin matangnya demokrasi di Indonesia. Karena itu tak heran karena aspirasi politik pemilik media lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan pragmatisme semata dari pada ideologi politik. Kepentingan yang mengemuka adalah terkait dengan akses kekuasaan, kemudahan untuk mengelola media, dan yang paling penting adalah memperkuat bisnis media yang diolahnya tersebut. ***

Daftar Referensi:

Besley, Timothy. Robin Burgess, dan Andrea Pratt. (2002). Mass Media and Political Accuntability. London: LSE.

K. Milton, Andrew. (2000). Exploiting the Media in New Democracies. Ashgate PublishingCompany.

Lee, Edwards. (2001). Media Politik, How the Mass Media Have Transformed World Politics. Washington: The Catholic University of America Press.

Lozanov, Georgi dan Orlin Spassov. (Peny). (2011). Media and Politics. Sofia: Foundation Media Democracy Konrad-Adenauer-Stiftung.

Mc Cargo, Duncan. (2003). Media and Politics in Pacific Asia, London and New York: Routledge Curzon

Servaes, Jan and Rico Lie (eds.). (1997). Media and Politics in Transition, Cultural Identity in the Age of Globalization, Leuven, Belgia: ACCO (Academische Cooeperatief (C.V.).

Wahyuni, Hermin Indah. (Jun, 2007). Politik Media dalam Transisi Politik: Dari Kontrol

Page 61: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 53

Negara Menuju Self Regulation Mechanism. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 4 No. 1. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 11-24.

Watt, Duncan. J. and David M. Rothschild. (2017). Don’t blame the election on fake news. Blame it on the media”. Dikutip dari:

https://www.cjr.org/analysis/fake-news-media-election-trump.php (diunduh 3 September 2018)

Page 62: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201854

Muradi, S.S.,M.Sc.,M.Si.,Ph.D.

Muradi adalah dosen Ilmu Pemerintahan dan Program Pasca Sarjana FISIP Universitas

Padjadjaran (UNPAD), Bandung. Ia kini menjadi Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung. Ia aktif juga mengajar di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta dan Program Magister di Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta. Mata Kuliah yang diajarkan antara lain: Politik

Pertahanan dan Keamanan, Sistem Politik dan Kepartaian, Politik Perbandingan, Demokrasi, Diplomasi dan Regionalisme di Asia Tenggara, Terorisme, Insurgency dan Counter-insurgency. Mempelajari Sejarah Politik Jurusan Ilmu Sejarah UNPAD (2000). Selain mempelajari Politik Keamanan dari Program Magister Ilmu Politik (M.Si) FISIP UI (2003), juga memperdalam Kajian Stratejik dan keamanan (MSc) dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapura (2008) dengan Tesis berjudul: The Reform of Mobile Brigade of Indonesian National Police and Democratization. Penulis merampungkan studi Doktoral (Ph.D) Ilmu Politik pada School of Politics and International Studies, Flinders Asia Center, Flinders University, Adelaide, Australia (2012) dengan Disertasi berjudul: The Indonesian National Police in Post-Soeharto’s Indonesia: Politicization and Decentralization in the Era of Reformasi, 1998-2008. Tulisannya yang berjudul ‘The Coordination of Counter-Terrorism in Indonesia’ menjadi salah satu bab dalam Romaniuk, Scott Nicholas (ed) New Wars: Terrorism and Security of the State. Pittburgh: Red Lead Press. 2012. Selain itu buku terbarunya yang berjudul The Politics and Governance in Indonesia: The Police in the Era of Reformasi diterbitkan oleh penerbit terkemuka asal London, Inggris, Routledge. Muradi dapat dihubungi melalui pos elektronik: [email protected] atau lamannya: www.muradi. wordpress.com.

Page 63: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 55

Globalisasi media massa sejak awal abad ke-21 telah mengalami demokratisasi penting, terutama software computer telah mampu memberdayakan individu-individu untuk mengambil langkah sendiri dengan cara yang

benar-benar baru. Friedman menyebutnya dengan segitiga global negara-bangsa, perusahaan multinasional dan individu yang saling berhubungan secara dinamis, individu menjadi pemain baru yang memiliki akses informasi yang dahulu hanya dimiliki pemerintah dan perusahaan (Vivian, 2008: 526)

Internet muncul sebagai medium massa besar kedelapan dengan banyak isi, terutama melalui webcoding, melebihi media tradisional dalam banyak hal. Konsep dasar internet merupakan jaringan kabel dan telepon dan satelit yang menghubungkan computer. Hampir semua orang di planet ini yang memiliki computer bisa masuk ke jaringan. Dengan beberapa kali mengklik tombol mouse kita akan masuk ke lautan informasi dan hiburan yang ada di seluruh dunia.

Barr dalam Holmes (2012: 16) menegaskan bahwa kekuatan yang melekat internet adalah anarkinya jika dibandingkan dengan mode mapan berupa kepemilikan dan kontrol atas media tradisional; tidak ada kesetaraan langsung dengan gatekeeper atas isi dan bentuk yang pada beberapa dekade terakhir mencirikan media utama, cetak dan broadcast. Setiap orang yang memiliki akses ke Net dapat menjadi penulis sendiri, mengekspresikan perasaan identitas mereka sendiri ke pengguna Net lainnya yang tersebar di seluruh dunia.

Komunikasi pada internet merupakan komunikasi yang bersifat simbolik. Dalam pandangan Buck dan Vanlear, Symbolic communication is the intentional communication, using learned, socially shared signal system, of propositional information transmitted via symbol (Komunikasi simbolik adalah komunikasi yang disengaja, menggunakan sistem tanda yang sama secara sosial dari informasi

Menjadi Orang Tua Cerdas di Era Digital

Dr. Dedeh Fardiah, M.Si

Ketua KPID Jawa Barat, Dosen Universitas Islam Bandung

Page 64: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201856

proporsional yang ditransmisikan melalui simbol). Internet sebagai salah satu media baru telah mengubah pola komunikasi

konvensional yang terbatas ruang dan waktu menjadi lebih luas cakupannya karena dapat menembus ruang dan waktu. Teknologi komunikasi ini berkembang dengan pesat dan memberikan berbagai peluang bagi penggunanya sekaligus juga implikasi-implikasi negatif maupun positif yang diakibatkan oleh penggunanya. Internet selain menawarkan berbagai informasi dan peluang baru bagi penggunanya, sekaligus juga memberikan kebebasan bagi para penggunanya untuk menjadikan media baru ini dapat memberikan manfaat atau malah merugikan penggunanya (Maryani & Ahmadi, 2011: 1)

Pengertian internet sendiri menurut Ardianto dkk (2014: 153) adalah perkakas sempurna untuk menyiagakan dan mengumpulkan sejumlah besar orang secara elektronis. Tamburaka (2013: 75) menjabarkan bahwa internet merupakan suatu network (jaringan) yang menghubungan setiap computer yang ada di dunia dan membentuk suatu komunitas maya yang dikenal sebagai global village (desa global).

Sementara itu, Jack (dalam Maryani & Ahmadi, 2011: 2) mengungkapkan deskripsinya mengenai internet yaitu sebagai tempat terhubungnya berbagai mesin komputer yang mengolah informasi di dunia ini, baik berupa server, komputer pribadi, handphone, komputer genggam, PDA, dan sebagainya.

Definisi lain yang dikemukakan oleh McQuail dalam (Sobur, 2014: 298) internet adalah suatu sistem jangkauan dunia (worldwide) dari jaringan yang saling terhubung menggunakan infrastruktur telekomunikasi yang saat ini mendukung sejumlah besar jenis pertukaran komunikasi berbasis komputer, termasuk konsultasi basis data, website dan laman situs, interaksi perbincangan, surat elektronik, berbagai jenis jual beli elektronik, serta transaksi keuangan. Internet secara berangsur-angsur mengambil alih banyak fungsi dari media massa tradisional (misalnya iklan, berita, dan informasi). Mengakses internet masih dibatasi oleh ongkos kepada pengguna, ditambah dengan batasan bahasa, budaya dan literasi komputer.

Laquey (dalam Ardianto dkk, 2014: 150) mengemukakan pendapatnya mengenai internet yaitu jaringan longgar dari ribuan komputer yang menjangkau jutaan orang di seluruh dunia. Internet telah berkembang menjadi ajang komunikasi yang sangat cepat dan efektif. Selain itu internet juga telah tumbuh menjadi besar dan berdaya sebagai alat informasi dan komunikasi yang tak dapat diabaikan.

Dengan hadirnya internet dan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, banyak sekali mempermudah manusia dalam mengakses berbagai informasi yang dibutuhkannya. Seperti yang dikemukakan oleh Mc Luhan dalam (Tamburaka, 2013: 75) bahwasanya dengan kehadiran internet dewasa ini hampir mendominasi

Page 65: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 57

seluruh kegiatan manusia, bahkan internet bukan hanya tempat mencari informasi, tapi menjadi sumber pendapatan baik individu atau lembaga.

Menurut Castells dalam (Maryani & Ahmadi, 2012: 2) bahwasanya internet merupakan medium komunikasi yang memungkinkan komunikasi dari banyak orang kepada banyak orang dalam waktu yang dipilih sendiri pada skala global.

Berikut merupakan manfaat dari adanya internet yang dikemukakan Anonim dalam (Sumiaty, 2014: 20) yakni di antaranya: 1) Bidang pendidikan, sebagai media pembelajaran secara online dengan menggunakan teleconference internet (e-learning); 2) Bidang ekonomi dan bisnis, internet hadir dengan istilah e-commerce yaitu kegiatan perdagangan, jual beli, promosi, dan sebagainya dapat dilakukan melalui internet; 3) Bidang pemerintahan, internet hadir dengan e-government untuk memudahkan pemerintah dalam memberikan informasi dan layanan kepada masyarakat secara maksimal; 4) Sarana bersosialisasi dan mencari sahabat, pengguna internet dapat menjalin komunikasi dengan rekan-rekannya di segala penjuru dunia dalam waktu singkat dan biaya murah melalui fasilitas email dan chatting; 5) Sarana hiburan, internet menyediakan banyak fasilitas pilihan seperti permainan, game, musik, video, dunia entertainment, dan sebagainya. Sementara itu dampak negatif internet: pornografi, ancaman virus, ketergantungan jaringan, memengaruhi kultur budaya, tindak kejahatan, kekejaman dan kesadisan, perjudian.

Literasi InternetLiterasi media merupakan satu istilah untuk menyebut seseorang “pandai”,

”mampu dengan baik” menggunakan media massa yaitu televisi, radio, film, suratkabar termasuk juga internet. Banyak pengertian yang diungkapkan oleh banyak ahli tentang literasi media. Salah satu di antaranya adalah “Literasi Media merupakan suatu keterampilan yang kita terima, tetapi seperti semua keterampilan lainnya, keterampilan ini bisa dikembangkan”. Baran mengemukakan delapan elemen dasar dari literasi media yaitu:1) Suatu keterampilan pemikiran kritis yang memungkinkan para audiens dalam

mengembangkan keputusan bebas tentang isi media.2) Sebuah pengertian dari proses komunikasi massa.3) Suatu kesadaran dari dampak media pada individu dan masyarakat.4) Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media.5) Suatu pengertian dari isi media sebagai suatu wacana yang memberi arti yang

mendalam ke dalam kebudayaan dan kehidupan kita.6) Kemampuan untuk menikmati dan menghargai isi media.7) Perkembangan dari keterampilan-keterampilan produksi yang efektif dan dapat

Page 66: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201858

dipertanggungjawabkan.8) Suatu pengertian dari peraturan moral dan etik dari para praktisi media (Baran,

2008, hal: 26-27)

Literasi internet atau sering disebut juga dengan Digital Literacy adalah kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh setiap umat manusia untuk dapat secara mudah, efektif dan efesien disertai pemikiran kritis dan membangun dalam menggunakan teknolog-teknologi yang ada (Pratama, 2014: 120).

Istilah literasi sesuai dengan makna harfiahnya adalah kemampuan membaca dan menulis seperti yang dinyatakan dalam Dictionary of Problem Words and Expressions (Iriantara, 2009 : 3) yakni literat atau literasi tersebut berkenaan dengan huruf sehingga terkadang literasi diterjemahkan sebagai keaksaraan. Karena literasi pada dasarnya berkenaan dengan keaksaraan, orang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis disebut orang melek aksara atau melek huruf.

Pada dasarnya, istilah literasi digunakan karena melihat kemampuan membaca dan menulis tersebut merupakan kemampuan untuk menyampaikan dan menerima pesan, sedangkan dalam pandangan Kellner dan Share dalam (Iriantara, 2009 : 4) bahwa literasi disebut sebagai “berkaitan dengan perolehan keterampilan dan pengetahuan untuk membaca, menafsirkan dan menyusun jenis-jenis teks dan artifak tertentu, serta untuk mendapatkan perangkat dan kapasitas intelektual sehingga bisa berpatisipasi secara penuh dalam masyarakat dan kebudayaannya.” Artinya, dengan literasi orang dapat meningkatkan harkat, martabat dan perannya di tengah masyarakat.

Dalam kaitannya dengan literasi, dikenal juga namanya literasi media yang merujuk pada kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media massa dalam konteks komunikasi massa. Padanan kata istilah literasi media juga dikenal dengan istilah melek media pada dasarnya memiliki maksud yang sama. (Tamburaka, 2013 : 7).

Baran & Dennis dalam (Tamburaka, 2013 : 8) memandang literasi media sebagai suatu rangkaian gerakan melek media, yaitu: gerakan melek media dirancang untuk meningkatkan kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim dan menerima pesan.

Dalam perkembangannya literasi media kemudian menyentuh sebagai suatu kegiatan terorganisir dalam bentuk pendidikan kepada masyarakat. CML (Centre For Media Literacy) kemudian menggunakan definisi yang diperluas: Media Literacy is a 21st century approach to education. It provides a framework to access, analyze, evaluate, create and participate with messages in a variety of forms – from print to

Page 67: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 59

vido to the Internet. Media Literacy builds an understanding of the role of media in society as well as essential skills of inquiry and selfexpression necessary for citizens of a democrazy.

Literasi media adalah suatu pendekatan abad ke-21 kepada pendidikan. Itu menyediakan suatu kerangka untuk mengakses, meneliti, mengevaluasi, menciptakan dan mengambil bagian dan pesan-pesan di dalam bermacam wujud-wujud – dari cetakan ke video sampai internet. Media melek huruf membangun satu pemahaman peran dari media dalam keterampilan-keterampilan masyarakat penting atau dari pemeriksaan dan pernyataan diri (yang) penting bagi para warganegara suatu demokrasi.

Saat ini, literasi pada era digital sangat diperlukan, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung sangat cepat. Begitu juga dengan literasi internet sangat diperlukan, karena dengan internet seseorang bisa mengetahui apa yang diinginkan secara tepat dan cepat. Dunia seolah di tangan manusia, waktu, dan ruang tidak menjadi masalah (Sumiaty, 2014: 78).

Internet merupakan salah satu media baru (new media). Dalam sebuah jurnal Sumiaty (2014: 81) melalui medium internet banyak hal dapat dilakukan oleh penggunanya. Meskipun demikian seseorang yang akan menggunakan internet harus mempunyai kemampuan untuk menggunakannya agar dicapai hasil yang efektif dan efisien dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Kemampuan-kemampuan tersebut secara terminologis disebut dengan literasi ICT (TIK). Literasi tersebut mengandung makna di dalamnya termasuk menguasai komponen literasi teknikal dan literasi informasi.

Literasi internet diartikan Doyle dalam (Sumiaty, 2014 : 81) sebagai kemampuan dalam menggunakan pengetahuan teori dan praktik dalam hubungannya dengan internet sebagai medium komunikasi dan pemgelolaan informasi. Mudjiyanto dalam (Sumiaty, 2014: 82) mengungkapkan bahwa literasi internet memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas komunikasi, pencarian informasi dan sejenisnya melalui medium internet.

Berkenaan dengan literasi, dilaksanakan sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Berlin, Jerman pada 7-8 Maret 2002, diberi nama 21st Century Literacy Summit. KTT ini menghasilkan “buku putih” yang diberi judul 21st Century Literacy in a Convergent Media Word. KTT tersebut mengidentifikasi standar-standar literasi untuk abad ke-21 dikaitkan dengan tantangan yang dihadapi serta sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Berdasarkan identifikasi tersebut direkomendasikan pada berbagai institusi cara-cara mendukung individu-individu agar bisa memetik manfaat dari perangkat dan sumber daya pada Abad Digital

Page 68: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201860

(Iriantara, 2009: 9-10).Dalam buku putih disebutkan, literasi abad ke-21 lebih dari sekadar literasi

tradisional yang berbasis membaca, menulis, matematika, dan ilmu pengetahuan. Konsep baru literasi memasukkan komponen-komponen berikut ini untuk memperkaya pengetahuan dan keterampilan berfikir kritis manusia dengan memadukan perkembangan sosial, profesional, dan teknologi, yakni:1) Literasi teknologi: kemampuan untuk memanfaatkan media baru seperti internet

untuk mengakses dan mengomunikasikan informasi secara efektif;2) Literasi informasi: kemampuan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan,

menyaring dan mengevaluasi informasi dan untuk membentuk opini yang kokoh berdasarkan kemampuan tersebut;

3) Kreativitas media: kapasitas individu yang terus berkembang di mana pun untuk membuat dan menyebarluaskan konten pada berbagai khalayak;

4) Tanggung jawab dan kompetensi sosial: kompetensi untuk memperhitungkan akibat-akibat sosial dari publikasi online dan tanggung jawab terhadap anak-anak (Bertelsmann dan AOL Time-Warner dalam Iriantara, 2009: 10).

Perkembangan internet telah mengalami perkembangan yang luar biasa baik di kalangan remaja maupun anak-anak. Media internet memiliki dampak baik dampak negatif maupun positif. Dampak positif media sosial dalam perkembangan IT membawa banyak keuntungan, seperti kemudahan dalam hal komunikasi, mencari dan mengakses informasi. Namun di sisi lain juga membawa dampak negatif bagi para anak-anak dan remaja ketika salah dalam penggunaan fungsi media ini.

Kehidupan sehari-hari anak-anak dikelilingi paparan media digital seperti games, tayangan video musik, mainan, televisi, majalah, komik dewasa yang dibaca oleh anak-anak, internet, sampai media sosial. Secara tidak langsung, orang tualah yang berperan memberikan itu semua. Mulai dari berlangganan televisi berbayar, internet unlimited, sampai pemberian gadget di usia dini. Untuk mengantisipasi terjadinya dampak negatif internet, peran orang tua penting dalam memberikan literasi kepada anak dan remaja terkait dengan penggunaan media digital dan internet. Literasi internet tidak hanya dalam hal pengawasan teknis dan kontrol terhadap penggunaan media digital dan internet, tetapi juga pengawasan isi media digital yang membuka peluang untuk kemajuan sekaligus mengandung risiko sosial yang tinggi seperti lumpuhnya sikap dan keterampilan sosial di kalangan generasi muda. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang bisa kita amati itu antara lain rendahnya kemampuan bertatakrama atau etika berkomunikasi, melemahnya kepekaan sosial atau empati, dan rendahnya kemampuan menyelesaikan konflik

Page 69: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 61

dalam interaksi. Maka perlu adanya upaya konkret untuk mengatasinya melalui kegiatan pembelajaran baik langsung maupun tidak langsung khususnya upaya yang dikemas dalam konsep pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Anak-anak remaja banyak menghabiskan waktunya di sekolah sehingga peran guru menjadi lebih luas ketika mengajarkan kepada remaja tentang dampak negatif media sosial ini kepada mereka.

Jika dulu orang tua mendidik anak yang perlu dipikirkan adalah kesehatan anak dan pendidikannya maka kini di era serba teknologi bukan sekedar memikirkan dua hal ini. Teknologi yang semakin berkembang pesat ternyata menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua untuk mendidik anak. Anak adalah buah hati yang sangat berharga, apabila orang tua salah mendidik mereka akan berakibat buruk. selain harus bisa mengikuti perkembangan teknologi, kita juga harus memiliki siasat baru dalam mengasuh anak. sebagai orang tua, kita perlu mengetahui tantangan tantangan besar yang harus kita hadapi saat membesarkan anak pada era digital yang semakin mengglobal ini.

Merujuk buku Seri Pendidikan Orang Tua, Mendidik Anak di Era Digital yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada sembilan langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua saat mendampingi anak di era digital, terangkum dalam uraian ini, 1. Orang tua hendaknya selalu meng-update pengetahuan karena untuk menetapkan

peraturan bila orang tua tidak mengerti tentang internet. 2. Orang tua harus mampu mengarahkan penggunaan perangkat dan media digital

dengan komunikasi efektif agar terjadi komitmen berapa lama dan kapan anak-anak dapat menggunakannya.

3. Orang tua dan anak menyepakati waktu penggunaan dan waktu untuk berhenti memanfaatkan perangkat media digital di malam hari.

4. Mengimbangi waktu menggunakan media digital dengan Interaksi di dunia maya.5. Mengimbangi paparan media digital dengan mengenalkan pengalaman dunia

nyata seperti aktivitas berkesenian, kegiatan luar ruangan, olahraga, membaca interaktif, musik dan gerakan, permainan tradisional dan sebagainya kepada anak.

6. Meminjamkan anak perangkat digital sesuai keperluan serta belajar mengendalikan diri dan belajar menggunakannya bersama keluarga.

7. Memilihkan program atau aplikasi positif dengan mengidentifikasi program atau aplikasi yang memiliki edukasi dan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan anak.

8. Orang tua perlu mendampingi dan berinteraksi dengan anak selama penggunaan

Page 70: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201862

media digital.9. Orang tua memegang peranan utama dalam mengontrol penggunaan perangkat

digital pada anak. Karena itu, orang tua perlu bijaksana menggunakan perangkat digital selama berinteraksi dengan anak.

Komunikasi jarak jauh, membaca berita, melihat gambar dan video, merupakan kegiatan dunia maya, saat inilah yang tepat untuk mempersiapkan anak berkunjung ke dunia maya. Mendampingi dan memberitahu anak mana informasi yang baik dan tidak baik untuk dicerna anak-anak merupakan tugas orang tua.Orang tua dapat mengawasi situs web yang pernah dikunjungi, dan memastikan anak tidak mengunjungi situs yang tidak sesuai dengan usia. Saat ini telah terdapat program piranti lunak penyaring (web-filtering) yang dapat membantu orang tua dalam melakukan scan ataupun memblok alamat website yang mengandung fitur yang tidak sesuai dengan perkembangan anak. Jadi,mari menjadiorang tua yang cerdas di era digital !!!

Referensi

Ardianto, Elvinaro dkk. (2014). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Baran, Stanley J. (2012) Pengantar Komunikasi Massa jilid 1 : Melek Media dan Budaya, Jakarta, Erlangga.

Holmes, David. (2012). Teori Komunikasi : Media, Teknologi dan Masyarakat, Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Iriantara, Yosal. (2009.) Literasi Media: Apa, Mengapa, Bagaimana. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Maryani, Anne dan Dadi Ahmadi. (2011.) Komunikasi Virtual: Teori dan Praktik. Bandung:Ihsan Press.

Pratama, I Putu Agus Eka, (2014). Komputer dan Masyarakat, Bandung, Informatika.Sobur, Alex. (2014). Ensiklopedia Komunikasi: A-I. Bandung: Simbiosa Rekatama

Media.Tamburaka, Apriadi. (2013). Literasi Media: Cerdas Bemedia Khalayak Media Massa.

Depok: PT RajaGrafindo Persada.Vivian. (2008). Teori Komunikasi Massa, Jakarta, Prenada terpadu Media

Sumber Lain :

Page 71: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 63

1. Sumiaty, Noneng dan Neti Sumiaty. 2014. Literasi Internet pada Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Penelitian Komunikasi. Vol. 17, No. 1. (http://bppkibandung.id/index.php/jpk/article/download/8/10, diakses 15 Agustus 2016).

Page 72: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201864

Dedeh Fardiah lahir di Bandung pada 18 Februari 1968. Menyelesaikan pendidikan menengah di SMAN 7 Bandung, lalu melanjutkan ke j e n j a n g

sarjana (S1) di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas I s l a m Bandung (Unisba). Prestasi akademik mengantarkan Dedeh menjadi dosen di almamaternya tersebut sejak 1992. Status dosen tak cukup berbekal gelar sarjana. Guna menunjang stastusnya sebagai dosen, ia pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister (S2) dan doktor (S3) Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Selama mengabdi sebagai dosen di Fikom Unisba, Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris dan Ketua Bidang Kajian Jurnalistik, Kepala Laboratorium Televisi dan Televisi Komunitas Unisba, dan Editor Jurnal Terakreditasi Sosial & Pembangunan”Mimbar” LPPM UNISBA. Ia pun menjadi Mitra Bestari Jurnal “Observasi” dan Jurnal “Komunikasi” BPPKI Kementerian Informasi & Komunikasi.

Selain di bidang akademik, ia aktif di organisasi-organisasi ekternal. Beberapa di antaranya adalah Ikatan Sarjana Komunikasi (ISKI), Divisi Informasi & Dokumentasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan & Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat,Pengurus “Gerakan Sadar Media” Provinsi Jawa Barat, sertaAnggota Dewan Pakar ICMI Periode 2017-2022 Bidang Media Komunikasi&Informasi.

Pengalaman-pengalamannya di bidang media dapat dikatakan sebagai bekal yang membawanya menjadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat (periode 2015-2018).

Dr. Dedeh Fardiah, M.SiKetua KPID Jawa Barat

Page 73: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 65

Pendahuluan

Dunia penyiaran memang bukan dunia hampa; tetapi hirup pikuk dengan cerita. Amanah Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 bahwa lembaga penyiaran memiliki empat fungsi: informasi, pendidikan, hiburan yang

sehat, kontrol dan perekat sosial, telah mendorong lembaga penyiaran selayaknya media massa lainnya; Memiliki aksesitas yang luas dan resiprokal. Satu sisi lembaga penyiaran dapat memilih konten siaran, menyebarkannya, bahkan mempengaruhi khalayak, sehingga koginitif, afektif, bahkan konatif khalayak terpola pada framing. Namun pada sisi lain, khalayak pun dapat memberikan pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap konten siaran, sehingga mempola konten siaran di lembaga penyiaran mengikuti arus pasar.

Realitas itulah yang memberikan gambaran nyaris pasti bahwa konten siaran pada lembaga penyiaran sangat kaya; tidak hanya menyangkut konsep-konsep idealis lembaga penyiaran, tetapi hirup pikuk dan centang perenangnya fakta sosial yang inspiratif. Realitas itu pula yang membuktikan tesis Ilmu Komunikasi yang multidisipliner; yang selalu berhubungan intim; berkaitan erat dengan disiplin ilmu lain, sehingga beranak-pinak dalam beragam bentuk kajian.

Sebagai bagian dari disiplin terapan komunikasi massa, konten siaran pun tidak dapat hanya berdiri di wilayahnya sendiri, tetapi juga mengembara sejalan imajinasi yang tidak bertepi. Setiap fakta sosial selalu menjadi inspirasi untuk lahirnya karya-karya besar insan penyiaran. Apalagi jika fakta sosial tersebut kolosal menyangkut hayat hidup banyak orang; keberlangsungan sebuah institusi negara melalui suksesi kepemimpinan akan menjadi inspirasi besar untuk lahirnya konten siaran yang variatif dengan tanpa harus didesain dalam sebuah model kepentingan

Pengawasan Siaran Tahun Politik: Antara Idealisme dan Ideologisme

Dr. H. Mahi M. Hkikmat, M.Si

Koordinator Pengawas Isi Siaran KPID Jawa Barat; Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Fisip Unpas, dan Fisip Unikom

Page 74: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201866

politik praktis.

Tahun PolitikTahun 2018, kehidupan kenegaraan Indonesia sangat istimewa ketimbang

tahun sebelumnya, terutama dalam perspektif politik. Sejarah politik nasional telah mencatat 171 daerah menyelenggarakan Pilkada: 17 Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, 39 Pemilihan Walikota-Wakil Walikota, dan 115 Pemilihan Bupati-Wakil Bupati, sehingga Presiden Joko Widodo pun menyebutnya sebagai Tahun Politik.

Tahun Politik bagi label 2018 tidak hanya karena diselenggarakannya 171 Pilkada Serentak, tetapi tahun ini pun masuk pada tahap krusial penyelenggara Pemilihan Calon Anggota Legislatif dan Pemilihan Calon Presiden-Wakil Presiden yang akan diselenggarakan pada tahun politik berikutnya: 2019. Oleh karena itu, pada 2018, semua pemangku kepentingan Pemilu sedang berjuang berjibaku menuju sukses Tahun Politik, penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) doble pekerjaan, Pemerintah pun harus optimal memfasilitasi dan menggelontorkan dana APBN & APBD dengan angka fantastik, dan seluruh rakyat pun harus konsen ikut berpartisipasi. Semua dilakukan dengan harapan, dua tahun politik: 2018 – 2019, Indonesia sukses dalam suksesi kepemimpinan, baik di daerah maupun di pusat.

Kendati penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 bukan yang pertama, tetapi jika dibandingkan dengan tahun 2015 dan 2017 cukup berbeda, minimal dari sisi angka. Pilkada Serentak 2015 diselenggarakan di 8 provinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota, sedangkan tahun 2017 diikuti 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Oleh karena itu, dalam konteks jumlah penyelenggaraan bukan hal yang baru, baik penyelengara Pemilu, Pemerintah, maupun rakyat sudah memiliki pengalaman.

Yang baru dan sangat urgen, Pilkada Serentak 2018 “rasa” Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Tidak hanya dalam konteks berhimpitannya tahapan, tetapi kemenangan di Pilkada Serentak 2018 dapat menjadi miniature bagi peta prediksi kemenangan merebut kursi legislatif dan puncak kursi eksekutif periode 2019-2024. Pada Pilkada Serentak 2018, Partai Politik dan para Bakal Calon Presiden-Wakil Presiden mulai warming up untuk pertempuran Tahun Politik Kedua: 2019.

Yang sangat urgen harus dicermati dan dikawal bersama, Tahun Politik 2018 & 2019 harus berdampak positif bagi perkembangan bangsa dan negara ini karena akan banyak hal yang dikorbankan. Pilkada Serentak 2018 harus melahirkan pemimpin daerah yang mumpuni dalam berbagai aspek, sehingga dapat menjadi tumpuan bagi kehidupan rakyat di daerah untuk lebih baik; Pemilu Legislatif 2019 harus menghasilkan “senator” professional yang selalu berpikir, bersikap, dan bertindak untuk kepentingan rakyat; Pemilu Presiden 2019 harus menelurkan negarawan sejati untuk membawa negara dan bangsa ini pada puncak kegemilangan yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini.

Oleh karena itu, Tahun Politik: 2018-2019 tidak hanya dianggap seremonial

Page 75: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 67

untuk memenuhi hajat demokrasi, tetapi tahun yang sangat menentukan nasib bangsa, negara, dan rakyat ke depan. Pilkada Serentak 2018, Pemilu Legislatif & Pemilu Presiden 2019, tidak cukup hanya memenuhi prasyarat peningkatan kualitas demokrasi (Surbakti: 2008) dengan Predictable Procedures (semua aturan yang dibuat mengandung kepastian hukum), Free and Fair Election (Pemilu Luber & Jurdil), Electoral Integrity (pengawas menjamin hasil pemilihan sesuai pilihan rakyat), dan penyelesaian sengketa yang adil dan cepat. Namun harus menghasilkan akselerasi yang maha dasyat bagi perbaikan berbagai lini kehidupan bangsa dan negara.

Empat Lembaga NegaraSalah satu provinsi yang banyak menyelenggarakan Pilkada pada tahun 2018

ini adalah Provinsi Jawa Barat. Selain pemilihan gubernur-wakil gubernur, di Jawa Barat pun diselenggarakan 16 kabupaten/kota: Kota Cirebon, Sukabumi, Bandung, Banjar, Bogor, Kab. Purwakarta, Bandung Barat, Sumedang, Kuningan, Majalengka, Subang, Bogor, Garut, Cirebon, dan Ciamis. Pilrentak Jabar 2018 lebih banyak ketimbang di provinsi lainnya, sehingga pihak-pihak yang terlibat pun jauh lebih banyak. Besarnya keterlibatan warga tergambar secara nyata dari jumlah DPT yang rata-rata 20 persen dari jumlah pemilih di Indonesia atau kisaran 31 juta jiwa lebih.

Pilrentak 2018 pun tidak terlepas dari berbagai kerawanan, baik kerawanan pelanggaran maupun kerawanan konflik. Penyebabnya pun bisa saja yang pernah terjadi sebelumnya atau peristiwa baru. Secara kuantitatif Pilrentak Jabar 2018 lebih banyak ketimbang 2015 yang diikuti lima kabupaten; 2017 hanya diikuti satu kabupaten serta dua kota. Persaingan semakin ketat karena berhimpitan pula dengan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019. Pilrentak 2018 ikut menentukan kemenangan pada Pileg dan Pilpres 2019. Apalagi Jawa Barat lumbung suara, sehingga sangat menggiurkan bagi setiap Parpol.

Realitas tersebut sangat dipahami banyak pihak, termasuk penyelenggara Pilrentak 2018, sehingga muncullah gagasan untuk memperkokoh posisi melalui kerjasama positif dengan lembaga negara lain yang sama-sama memiliki komitmen sukses Pilrentak Jabar 2018. Dibangunlah kesepakatan bersama antara KPU Jabar, Bawaslu Jabar, KPID Jabar, dan KIP Jabar. Keempat lembaga tersebut berkomitmen untuk mengoptimalkan tugas pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing dalam konteks memaksimalkan sukses Pilrentak Jabar 2018.

Kendati peraturan perundang-undangan yang mengatur keempat lembaga itu berbeda, tetapi terdapat tugas pokok, fungsi dan kewenangan berarsiran yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada. KPU & Bawaslu jelas lembaga penyelenggara Pilrentak. KPI/KPID pun memiliki peran penting dalam Pilrentak, terutama terkait dengan pengawasan lembaga penyiaran (televisi dan radio), sehingga pada P3-SPS pun terdapat pasal khusus yang mengatur siaran jurnalistik dan iklan Pilkada. Bahkan, secara khusus, baik KPI maupun KPID Jabar mengeluarkan surat edaran

Page 76: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201868

yang menegaskan posisinya dalam Pilrentak 2018.

Siaran PolitikJauh sebelum tahapan penyelenggaraan Pilrentak 2018, Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI) Pusat mengedarkan surat imbauan kepada seluruh lembaga penyiaran agar dalam ikut serta menyukseskan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 tetap menjaga independensi dan keberimbangan. Pun dalam menyiarkan program siaran jurnalistik dengan berbagai bentuk pemberitaan, harus tetap memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik dan taat pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).

Memang UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dengan tegas mengatur bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Lebih jelas tentang siaran Pilkada/Pemilu diatur dalam Standar Program Siaran yang secara substansial menyuratkan kewajiban bersikap adil dan proposional terhadap para peserta Pilkada/Pemilu, dilarang memihak salah satu peserta Pilkada/Pemilu dan dibiayai atau disponsori oleh peserta Pilkada/Pemilu, kecuali dalam bentuk iklan. Program siaran pun wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan Pilkada/Pemilu, baik yang dikeluarkan Pemerintah maupun penyelenggara Pilkada (KPU dan Bawaslu).

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Anggota Legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur khusus tentang siaran pemilu, terutama dalam hal pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dalam 11 pasal dan 35 ayat. Secara substansial ketentuan dalam undang-undang tersebut mengatur perihal: a. Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye; b. Media massa cetak, media daring (online), media sosial, dan lembaga penyiaran; c. Pesan kampanye Pemilu Peserta Pemilu kepada masyarakat; d. Bentuknya tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang tapat diterima melalui perangkat penerima pesan; e. Keharusan patuh pada larangan kampanye; f. larangan pada masa tenang; g. Pemberian alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang peserta Pemilu untuk menyampaikan materi Kampanye Pemilu;

Selain itu diatur juga tentang h. Ketentuan lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye Peserta Pemilu; i. Penetapan standar biaya dan persyaratan iklan Kampanye Pemilu yang sama kepada setiap peserta pemilu; j. Rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye Pemilu harus berlaku adil dan berimbang; k. Penyiaran Kampanye Pemilu dilakukan dalam bentuk siaran monolog, dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa atau suara pendengar, debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat; l. Pemilihan narasumber,

Page 77: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 69

tema, moderator dan tata cara penyelenggaraan siaran monolog, dialog, dan debat diatur oleh lembaga penyiaran; m. Pelarangan menjual blocking segment dan/atau blocking time untuk Kampanye pemilu; n. Pelarangan menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan Kampanye Pemilu; o. Pelarangan menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada Peserta Pemilu yang lain; p. Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye pemilu televisi untuk di setiap peserta pemilu secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi dan 60 detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa Kampanye pemilu.

Untuk substansi tersebut, dalam Pasal 296 ditegaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak. Berbicara KPI, tentu tidak terlepas juga berbicara KPID yang notabene memiliki wilayah pengawasan terkait konten siaran, termasuk siaran politik pada lembaga penyiaran yang daerah layanannya di provinsi tersebut.

Namun di balik sejumlah pelarangan tersebut, program siaran pun wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan Pemilu. Hal itu tentu berangkat dari kesadaran bahwa peran media massa, khususnya lembaga penyiaran tetap sangat penting dalam mendukung suksesnya penyelengagaraan Pemilu. Terlebih trend Pemilu di Indonesia, termasuk Pilkada dan Pilkada Serentak, angka partisipasi politik warga dalam memilih terus melorot. Oleh karena itu, semua pihak dan semua lembaga yang memiliki aksesitas yang tinggi terhadap publik harus didorong untuk ikut serta menyosialisasi Pemilu, termasuk lembaga penyiaran.

Pasca pembatasan kampanye ”tradisional” dalam bentuk pesta rakyat arak-arakan ke jalanan, media massa dapat dijadikan sandaran bagi penguatan kognisi politik rakyat. Trend visi pemindahan kampanye dari pengerahan massa ke media massa, makin menguat. Realitas itu sudah berjalan dan telah membuktikan dapat meminimalisasi berbagai ekses negatif, seperti konflik horizontal sembari mengoptimalkan penguatan kognisi rakyat.

Hal itu menunjukkan pergeseran pase demokrasi mengarah pada praktek budaya demokrasi modern. Negara-negara yang menganut paham demokrasi modern lebih mengedepankan kampanye politik menggunakan teknologi informasi, khususnya televisi sebagai sarana kampanye yang efektif. Era reformasi mengedepankan demokrasi sebagai sistem politik nasional, sehingga mendorong Indonesia pada praktek-praktek pase demokrasi pada budaya demokrasi di negara asalnya. Demokrasi bukan produk asli negera-negara Dunia Ketiga, tetapi barang yang “diimpor” dari Barat.

Dalam konteks komunikasi politik, menurut Blumler dan Gurevitch (1995), Amerika seringkali dianggap sebagai negara yang tingkat modernisasi komunikasi politiknya paling maju. Media demokrasi ala Amerika sering dianggap sebagai the

Page 78: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201870

role model untuk menjelaskan perkembangan komunikasi politik di negara-negara demokrasi Barat. Perkembangan gejala kampanye di banyak negara demokrasi, baik negara maju maupun negara berkembang, mengalami proses “Amerikanisasi”.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara demokrasi yang sedang berkembang, sangat wajar jika praktek-praktek pase demokrasinya pun merupakan proses Amerikanisasi. Surbakti (2000) menyebutkan secara tersurat bahwa demokrasi langsung oleh rakyat yang terjadi di Indonesia memenuhi ciri-ciri Amerikanisasi Politik, yakni: 1) Penggunaan teknologi komunikasi, khususnya televisi sebagai sarana kampanye; 2) Kapitalisasi politik atau penggunaan uang dalam jumlah yang besar untuk kampanye; dan 3) Reduksi kompetisi politik menjadi kompetisi citra para calon. Ketiga hal itu nyaris ada dalam pesta demokrasi di Indonesia.

Walaupun beberapa realitas membuktikan, perkembangan gaya kampanye politik di Indonesia dari jalan raya ke media massa disebabkan oleh beberapa faktor internal. Pertama, adanya pertimbangan pemerintah dan regulator mengenai faktor keamanan dan ketertiban. Kedua, adanya kepentingan partai politik untuk mencari cara kampanye yang paling efektif di tengah mepetnya waktu pendirian partai politik dengan masa Pemilu. Ketiga, makin percayanya elit politik pada efektivitas opini publik di media massa seiring dengan makin bebasnya pers di era reformasi (Danial: 2009).

Kepercayaan semacam itu muncul disebabkan relasi antara media dan kekuasaan di era reformasi sudah berubah. Media tidak lagi berada dalam tekanan pemerintah dan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan civil society bersifat resiprokal. Hal itu sebagai dampak dari melemahnya kontrol pemerintah terhadap pers; aturan-aturan pendirian media massa menjadi longgar, sehingga jumlah media massa membludak yang juga melahirkan TV swasta yang sudah akrab dengan iklan-iklan komersial. Mereka melihat iklan politik sebagai suatu lahan baru yang dapat digarap demi keuntungan komersial.

Realitas itu selain akan memberikan keuntungan banyak bagi optimalisasi sosialisasi penyelenggaraan berbagai event politik, di antaranya Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019, dapat mendorong makin tidak sehatnya siaran politik. Jatuhnya sanksi sejak dini dari KPI terhadap sejumlah lembaga penyiaran sebelum tahapan Pilkada Serentak 2018, menjadi warning agar stakeholder siaran poitik untuk lebih waspada.

Realitas itu juga dapat menjadi ranjau bagi lembaga penyiaran untuk terjebak pada ketidaknetralan. Siaran politik mereka akan cenderung didominasi oleh kepentingan politik tertentu. Apalagi sejumlah lembaga penyiaran di Indonesia telah mempertontonkan diri sebagai lembaga penyiaran milik pihak tertentu yang baik secara personal maupun kelompok menunjukkan entitas politik tertentu.

Hal itu menjadi tantangan berat bagi Penyelenggara Pilkada Serentak 2018. Oleh karena itu, KPU (D), Bawaslu/Panwaslu, KPI (D), dan seluruh masyarakat

Page 79: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 71

harus bergandengan tangan merapatkan barisan untuk menggagas regulasi yang dapat meminimalisasi ekses negatif konten siaran politik. Mereka harus mengawal kewajiban lembaga penyiaran dalam ikut serta menyukseskan Pilkada Serentak 2018 serta Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 melalui siaran politik dengan tetap konsisten pada netralitas dan indepedensi. Lembaga Penyiaran harus tetap berada pada kesadaran frekuensi yang mereka gunakan adalah milik publik sehingga harus digunakan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan publik.***

Referensi

Danial Akhmad. 2009. Iklan Politik TV. Yogyakarta: LKISHikmat, Mahi M. 2005. Efek Berita Politik Media Cetak pada Perilaku Politik Anggota

DPRD dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Tesis. PPs. Universitas Padjadjaran

Hikmat, Mahi M. 2010. Komunikasi Politik: Teori dan Praktek dalam Pilkada Langsung. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Surbakti, Ramlan dkk. 2008.Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum. Jakarta: Kemitraan

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Iklan Politik: Dalam Realitas Media. Yogyakarta: JalasutraUndang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang PenyiaranUndang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang PersUndang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

WalikotaUndang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan UmumPeraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku

PenyiaranPeraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Standar Program

Siaran

Page 80: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201872

Mahi M. Hikmat Doktor Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Lahir di Bandung, 26

Maret 1972. Mulai SD, SMP, SMA, S-1, S-2, S-3 diselesaikan di kota kelahirannya. Tahun 2013 mengenyam pendidikan

Mediator Profesional di UGM Yogyakarta.Pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden-

Wakil Presiden Tahun 2009, ia menjadi Ketua Panwaslu Provinsi Jawa Barat dan pada Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008, menjadi Ketua Pokja Kampanye Panitia Pengawas

Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat. Koordinator Bidang Advokasi, Sosialisasi, Edukasi Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat (2011-2015), Peneliti Ahli Menkum HAM RI (2013), Koordinator Pengawas Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat (2015-2018).

Tahun 1994, ia sempat mengajar di beberapa SMP dan SMA di Bandung. Setelah lulus Sarjana dan Magister dari UNPAD, kegiatan mengajar dilanjutkan di STBA Jabar, STT Jabar, STMIK Jabar, STMIK Pasim, STMIK Bandung, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Program Diploma III UNPAD, Universitas Al-Ghifari, Universitas Pasundan, dan Universitas Komputer Bandung.

Di lembaga pendidikan tinggi, ia sempat memegang sejumlah jabatan strategis, di antaranya: Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STBA Jabar, Dekan Fakultas Sastra Universitas Al-Ghifari, Wakil Rektor Universitas Al-Ghifari, dan Ketua LPPM Universitas Al-Ghifari.

Mahi M. Hikmat pernah tercatat sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jabar. Ia pernah menjadi wartawan, redaktur, redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi, dan pemimpin redaksi di sejumlah media cetak baik di Bandung maupun di Jakarta.

Tulisannya dalam berbagai bentuk: buku, artikel, esai, news, feature, cerpen, dll. sudah menyebar di berbagai media cetak, baik media lokal maupun media nasional, seperti, di Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Galamedia, Tabloid Nova, Mandala, Suara Publik, Suara Pasundan, Kalawarta Kudjang, Gema Mahardika, Mingguan Patroli, Majalah Cupumanik, Buletin Ilmiah Pascasarjana, dll.

Tahun 2001, Mahi M. Hikmat mulai juga menggeluti kehidupan sebagai peneliti. Banyak sekali penelitian yang pernah ia lakukan berkait dengan berbagai kehidupan sosial kemasyarakatan. Beberapa hasil penelitiannya di antaranya: Konflik Horisontal di Kabupaten Sambas, Konflik Agama di Poso, Wilayah Berpotensi Konflik di Seluruh Wilayah Indonesia, Audit KUKM di Seluruh Indonesia, Konflik Perbatasan Indonesia-Malaysia, Penanggulangan Terorisme di Indonesia, Konflik Pilkada Langsung di Seluruh Indonesia, dll.

Dr. Mahi M. Hikmat, M.Si Koordinator Bidang Isi Siaran

Page 81: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 73

Syahdan, dengan haqul yakin Indonesia merupakan bangsa yang besar, berdaulat, adil makmur, kaya resources and biodiversity. Salah satu aset dan sumber resources tersebut adalah besarnya ranah frekwensi penyiaran Indonesia.

Daulat, mainstreaming, re-enforcement, re-existence, local wisdom, diversity, public domain, values content, dan lain-lain menjadi concern dalam sistem penyiaran untuk dikuatkan dan direvitalisasi kembali. Pendekatan public good dalam main frame ini menempatkan publik pada posisi otoritatif untuk turut menentukan tujuan, fungsi, kecenderungan dan kualitas praktek penyiaran. Sejatinya menjaga marwah penyiaran dari esensialismenya, sejalan dengan membangun ekonomi penyiaran sebagai bentuk tujuan penyiaran, yaitu membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia (UU No 32 Tahun 2002, Bab II Pasal 3). Akan tetapi laju dinamisasi penyiaran mulai dihadapkan dengan pragmatisme-kapitalisme. Proses komersialisasi dan komodifikasi ranah penyiaran diikuti trend imagologi dan banalisasi ruang publik. Hampir seluruh representasi kebudayaan (politik, ekonomi, sosial, hukum, etik, dan lain-lain) direduksi ke dalam dimensi citra, direproduksi dalam formula yang serba parsial, menghibur dan meaningless. Dengan menimbang dampak eksesif media penyiaran, muncul kekhawatiran trend pendangkalan ruang publik ini berujung pada pudarnya determinasi nilai-nilai kewargaan dalam evolusi watak sosial masyarakat, tergusur oleh orientasi pemujaan citra, kecenderungan self-interested dan hasrat konsumsi. Menyitir seorang komisioner pada komisi pengaduan media di Inggris, Eva Soloman, Director of Salomon Whittle Ltd,. Commissioner of the Press Complaints Commission

MEMOTRET FRAME PIRAMIDA PENYIARAN:

Public Service Broadcasting, Content Literacy, Local Enforcement

Dr. Aep Wahyudin, M.Si

Koordinator Pengawas Isi Siaran KPID Jawa Barat; Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Fisip Unpas, dan Fisip Unikom

Page 82: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201874

(United Kingdom), menyebutkan bahwa The Role of Broadcasting Regulation in Media Literacy: Media Rights and Freedoms, Why Is Television Regulated?, Government Regulators, Cultural Purposes, Protecting Children, Protecting Against Harm and Offence, Protection against Unfair Treatment, Accurate and Impartial News, Positive Obligations: Public Service Broadcasting, Digital Future: Media Literacy as Part of the Regulation and Self-Regulation Process? (Dalam Chapter in. AOC, Unesco, European Commission Comunicar, 2005). Tulisan ini mencoba meneratas serpihan-serpihan bagian sebagai potret dan bingkai mainstreaming penyiaran.

Menggagas Re-Eksistensi ‘Public Service Broadcasting’ Publik harus menjadi ‘centra’ dalam penyiaran, dan lembaga penyiaran yang

secara formalistik berorientasi ‘public oriented’ sudah semestinya diperkuat kembali sebagai instrumen penyangga penyiaran yang berpihak kepada publik (masyarakat) dan tidak melulu bergerak secara komersil seperti halnya lembaga penyiaran swasta. Selain itu, Lembaga penyiaran publik ini diharapkan bisa memberikan informasi siaran yang relevan dalam agenda pembangunan negara dalam berbagai bidang untuk kepentingan publik. Lembaga penyiaran publik dalam ranah radio, salah satunya adalah RRI, merupakan penyiaran publik, karena gelombang radio merupakan sumber daya alam yang terbatas (dalam ketakterbatasan inovasi teknologi) dan bagian dari ranah publik, yang penggunaannya ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, utamanya berupa kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang N0 32 tahun 2002 tentang penyiaran, bahwa dijelaskan dalam Bab 1 pasal 1 ayat (11) “tatanan nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antar wilayah di Indonesia dan dunia Internasional”. Bab 2 pasal 4 (1) “penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”. Pasal 5 (c) penyiaran diarahkan untuk: Meningkatkan sumber daya manusia.

Sistem penyiaran di Indonesia mengalami dinamika, secara historis pengaturan tentang penyiaran di Indonesia bermula sejak sebelum kemerdekaan, dengan dikeluarkannya Radiowet oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934. Secara tidak langsung peraturan tersebut dijadikan pijakan untuk pendirian NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschaapij) yang memperoleh hak-hak istimewa dari pemerintah Hindia Belanda. Peraturan ini terus mengalami perubahan seiring bermunculannya radio-radio siaran. Yang kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Selama hampir 27 tahun, radio siaran hanya diatur oleh aturan-aturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Namun memasuki tahun 1997, dengan

Page 83: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 75

proses yang cukup alot, DPR-RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran yang kemudian disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran pada tanggal 29 September 1997. Pada masa berlakukannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran diwarnai dengan pro kontra terutama berkaitan dengan lembaga pengawas (BP3N), selain itu dengan penghapusan Departemen Penerangan oleh Presiden (saat itu Presiden Abdurahman Wahid), membuat substansi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran tidak lagi sesuai. Oleh sebab itu, pada tahun 2002, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran dicabut dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.

Penyiaran Yang Demokratis harus Pro PublikDalam usaha membangun sistem penyiaran yang demokratis, UU Penyiaran

yang saat ini sedang dalam proses revisi hendaknya mengakomodasi dan memperhatikan lembaga penyiaran publik. Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik diposisikan dalam dua pengertian, yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju civil society. Sementara mengenai syarat penyiaran publik (public service broadcasting), diantaranya adalah media yang: 1) tersedia (available) secara “general-geographis”, 2) memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional, 3) bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersil, 4) memiliki imparsialitas program, 5) memiliki ragam variasi program, dan 6) pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media. Definisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik. Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik.

Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 Tahun 2002 adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas Radio Republik Indonesia (RRI). Dalam UU No. 32/2002, sebetulnya rumusan status kelembagaan LPP sudah cukup baik, yaitu: Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Namun sepanjang 2002 hingga sekarang, implementasi dalam model lembaga negara yang ada masih menghadapi

Page 84: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201876

kendala, sehingga perlu pengaturan yang lebih rinci pada UU khusus. Saat ini ada tiga pemikiran yang mengemuka terkait bentuk kelembagaan

LPP: (1) lembaga negara di bawah presiden, dipilih DPR seperti sekarang, (2) badan layanan umum di bawah kementerian, (3) perseroan terbatas dibawah kementerian BUMN. Jika mengingat prinsip dasar selaku LPP, maka pilihan satu jelas lebih tepat. Sebagai salah satu lembaga penyiaran, maka LPP memiliki hak dan kewenangan selaku penyelenggara penyiaran, yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. LPP menyelenggarakan kegiatan pemancarluasan program-program siaran yang bermutu dengan menghargai, memajukan,dan melindungi hak-hak publik.

Dalam draf perubahan UU 32/2002 tentang Penyiaran, pemerintah dan DPR sepakat melakukan penguatan terhadap LPP. Namun, terdapat perbedaan signifikan berkenaan status kelembagaan dan perlunya pengaturan dalam UU tersendiri di luar UU Penyiaran. DPR lebih maju dengan memperkuat keberadaan LPP sebagai Lembaga Negara dan mendorong pembuatan UU tersendiri, sedangkan pemerintah bersikap sebaliknya.

Pemerintah lebih berposisi sebagai yang mengontrol dan menguasai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dengan menyatakan bahwa LPP didirikan oleh pemerintah. LPP terdiri atas LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) dan LPP lokal. Dewan Pengawas RTRI diangkat oleh presiden dan direksi ditetapkan oleh menteri. Demikian juga dengan LPP lokal, peranan gubernur dan bupati/wali kota menjadi dominan. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Seharusnya LPP tidak boleh menjadi corong dan alat pemerintah. LPP harus independen.

Berdasarkan World Radio and Television Council tahun 2002, telah dirumuskan prinsip-prinsip utamanya, yaitu bahwa lembaga ini bukan lembaga komersial dan bukan lembaga yang dikontrol pemerintah. Alasan utama kehadirannya (raison d’etre) ialah melayani publik; berbicara kepada setiap warga negara; serta membangun dan memajukan pengetahuan, memperluas cakrawala berpikir, dan memberdayakan masyarakat (Banerjee, 2006).Prinsip ini telah terdapat dalam UU Penyiaran sebelumnya dan juga dinyatakan oleh RUU Inisiatif DPR. Meletakkan LPP sebagai alat dan corong pemerintah adalah pengkhianatan terhadap reformasi dan demokrasi.Filosofi Makro Kehadiran Penyiaran Publik

Secara filosofis, urgensi kehadiran media penyiaran publik berangkat dari kehidupan publik yang dilihat dari posisi sebagai warga masyarakat hanya dalam dua ranah, yaitu dalam lingkup kekuasaan dan lingkup pasar. Padahal, masyarakat memiliki ruang tersendiri untuk berapresiasi, berkarya, berpendapat, dan bersikap terhadap realitas yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu, munculnya pandangan dikotomis yang mengabaikan peran dan posisi warga negara dalam konteks hubungan sosial dan bernegara telah mengabaikan adanya kenyataan tentang ranah

Page 85: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 77

publik yang diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan yang bersih dari kekuasaan dan pasar. Habermas menyebut ranah ini sebagai ranah publik atau public sphere.

Secara garis besar, ada empat alasan mengapa lembaga penyiaran publik itu penting dalam sistem demokrasi. Pertama, dalam konteks kehidupan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil, sejatinya, publik berhak mendapatkan siaran yang lebih mencerdaskan, lebih mengisi kepala dengan sesuatu yang lebih bermakna dibandingkan sekedar menjual kepala kepada pemasang iklan melalui logika rating.

Kedua, berkait dengan yang pertama, warga berhak memperoleh siaran yang mencerdaskan tanpa adanya batasan geografis, lebih-lebih sosio-politis. Argumen kedua ini penting karena lembaga penyiaran swasta akan selalu berfikir dalam kerangka besaran jumlah penduduk dan potensi ekonomi untuk membuka jaringannya. Akibatnya, daerah-daerah yang miskin dan secara ekonomi tidak menguntungkan tidak akan mendapatkan layanan siaran swasta.

Ketiga, penyiaran publik merupakan entitas penyiaran yang memiliki concern lebih terhadap identitas dan kultur nasional. Jika lembaga penyiaran swasta acapkali dituduh menjadi bagian dari apa yang sering disebut sebagai imperalisme budaya, maka lembaga penyiaran publik justru sebaliknya. Keberadaan lembaga penyiaran publik penting dalam rangka menjaga identitas dan kultur nasional yang bersifat dinamis.

Keempat, demokrasi media niscaya memerlukan lembaga penyiaran yang bersifat independen, baik dilihat dari kepentingan negara maupun komersial. Hal ini penting digarisbawahi karena lembaga penyiaran yang dikontrol negara akan cenderung menjadi ideological state aparatus, sedangkan lembaga penyiaran yang dikontrol swasta akan mengakibatkan penggunaan logic of acumulation and exclusion sebagai penentu apa dan bagaimana sesuatu ditayangkan. Sebagaimana nanti dapat dilihat dalam pembahasan bab selanjutnya, dominasi lembaga penyiaran swasta telah membuat hanya kelompok masyarakat tertentu yang direpresentasikan dalam media penyiaran nasional. Demikian juga dengan tayangan yang hanya memenuhi keinginan pasar dibandingkan dilandasi oleh usaha yang sungguh-sungguh untuk turut serta, katakanlah, mencerdaskan kehidupan masyarakat.

Basis Penyiaran PublikKemudian, untuk menjawab kehadiran media penyiaran publik di Indonesia

saat ini, terdapat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, telekomunikasi sebagai basis material. Keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah (domain) telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang ‘dikuasai’ negara. Regulasi penyiaran publik harus menjamin pengelolaan spektrum gelombang tersebut dalam bingkai penguatan publik.

Page 86: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201878

Kedua, orientasi fungsi publik sebagai basis kultural. Basis kultural dari keberadaan media penyiaran publik sebagai institusi publik ditentukan oleh nilai bersama yang menjadi dasar keberadaannya. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan negara, serta konsensus yang tumbuh di lingkungan masyarakat tentang orientasi dan fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik. nilai bersama ini diharapkan dirumuskan oleh kaum profesional penyiran publik sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional kelembagaan.

Ketiga, sistem jaringan publik. Sistem penyiaran publik pada dasarnya berupa ranah jaringan (networks) penyiaran dan stasiun penyiaran. Masing-masing ranah ini dapat memiliki pola orientasi fungsional yang spesifik, serta pola hubungan institusional satu sama lain. Rumusan kedua macam pola ini diperlukan sebagai dasar sistemik kelembagaan penyiaran publik. Keberadaan media penyiran publik juga ditentukan oleh dukungan sosial dan finansial. Secara kongkrit dukungan ini diwujudkan melalui adanya stake-holder yang berfungsi untuk mendorong dan mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran publik, dan memberi dukungan sistem finansial beroperasinya penyiaran publik.

Keempat, adanya code of conduct profesi dan institusi. Code of conduct dimaksudkan untuk memelihara standar profesi. Biasanya mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari seluruh standar tindakan dan nilai hasil kerja kaum prefesional, bertolak dari sikap terhadap masyarakat, dan pemaknaan atas hasil kerja dalam konteks sosial. Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks makna sosial dari media penyiaran publik. Sebagai acuan standar tindakan profesional dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna sosial dari media massa, dan internal sebagai dasar dalam penilaian (evaluasi) profesional sebagai bagian dalam sistem manejemen personalia.

Kelima, sistem kontrol fungsi publik. Untuk menjaga agar suatu institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stake-holder khususnya dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter akuntabilitas akuntasi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk menjaga orientasi fungsionalnya kepada publik. Jika pertanggungjawaban akuntansi melalui lembaga audit (publik maupun negara), maka akuntabilitas sosial perlu dipertanggung-jawabkan kepada stake-holder dan lembaga yang relevan. Lewat akuntabilitas sosial ini kontrol atas fungsi publik yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik dapat berjalan.

Content Literacy: Positive ContentBerbicara mengenai content literacy dalam relevansinya dengan konteks

penyiaran, bahwa literasi konten pada media secara umum telah menjadi concern

Page 87: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 79

bagi publik, salah satu yang menjadi pendorong adalah semaraknya dampak negatif dari konten-konten negatif media seperti informasi hoaks, pelanggaran privasi, bullying, persekusi, gossip, konten yang mengeksploitasi kekerasan (violence), supranatural mistic and horror, sensualisme dan pornografi. Kondisi tersebut mendasari reaksi kepedulian dari kalangan public dan state, misalnya saja Jepang, negara-negara Asia Tenggara dan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) untuk memberikan perhatian khusus terhadap literasi media dan kontennya bagi keluarga dan masyarakat pendidikan Rendahnya literasi media sosial menjadi topik yang dibahas secara mendalam di ajang “ASEAN-Japan Forum on Media and Information Literacy for the Youth” yang digelar di Manila, Filipina pada 20-21 Maret 2018.

Dijelaskan bahwa, bahwa dalam literasi konten memerluka pemahaman dan kemampuan yang terbentuk pada setiap individu dari khalayak publik,

“Content literacy can be defined as the ability to use reading and writing for the acquisition of new content in a given discipline. Such ability includes three principal cognitive components: general literacy skills, content-specific literacy skills (such as map reading in the social studies,) and prior knowledge of content.” (McKenna & Robinson 1990)

Content literacy is the ability to read, write, create, interpret and present arange of media, in subjects such as science, social studies and mathematics. It includes the use of informational text, that is, print and electronic mediathat present factual and conceptual content.Content literacy is essential forsuccess in both secondary and post-secondary education, where most of whatstudents read will be non-fiction. Fortunately, developing content literacy candraw on students’ authentic interests in the world around them. (Perry Klein, The University of Western Ontario, 2010)

Konten dalam media menjadi concern pada media studies, Barry Duncan (dalam Guntarto & Dina, 2002), seorang ahli media literacy berpendapat bahwa media literacy sangat perhatian dalam hal membantu para siswa mengembangkan suatu pemaha man yang penuh informasi dan kritis mengenai sifat (the nature) dari media massa, teknik teknik yang digunakan, dan dampak dari teknik-teknik tersebut. Lebih spesifik, merupakan suatu pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kenikmatan para siswa tentang bagaimana media bekerja, bagaimana media memproduksi pengertian- pengertian,bagaimana media diorganisir, dan bagaimana media membangun realitas.

Media literacy juga bertujuan untuk mempersiapkan siswa dengan kemampuan untuk menciptakan produk media. The National Leadership Conference on Media Literacy (dalam Baran, 2004) menyatakan bahwa media literacy merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan. Hal senada diungkapkan oleh Wikipedia (2007) yang menyatakan bahwa

Page 88: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201880

media literacy merupakan proses mengakses, menganalisa, mengevaluasi pesan dalam suatu variasi yang mendalam mengenai model media, genre, dan bentuk di mana menggunakan model instruksional berbasis inkuiri yang mendorong individu untuk bertanya tentang apa yang mereka tonton, lihat, dan baca.

Sedangkan Rubin (dalam Baran, 2004) menyatakan bahwa media literacy adalah pemahaman terhadap sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode- kode yang digunakan, pesan-pesan yang diproduksi, dan seleksi, interpretasi, dan akibat dari pesan-pesan tersebut. Sementara Astuti (2007) menyatakan bahwa media literacy perlu dibedakan pengertiannya dari media education. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa. Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar, misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan surat kabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam media education.

Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu. Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajarikemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak. Berdasarkan pemaparan di atas, media literacy berarti kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam sebuah variasi yang mendalam dengan tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mampu mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media serta dapat memanfaatkan media tersebut secara kritis dan bijak.

Silverblatt (dalam Baran, 2004) mengidentifikasi lima elemen dasar dari media literacy. Adapun elemen-elemen dari media literacy tersebut adalah: a. Sebuah kesadaran akan akibat dari media. Menulis dan mencetak telah

membantu mengubah dunia dan orang-orang yang berada di dalamnya. Media massa juga melakukan hal yang sama. Bila individu menolak akibat media dalam kehidupannya, menghindari resiko yang akan didapat dan dibawa selama perubahan tersebut akan lebih baik daripada membiarkan akibat tersebut merajalela.

b. Sebuah pemahaman mengenai proses dari komunikasi massa. Apabila setiap individu mengetahui komponen-komponen dari proses komunikasi massa dan bagaimana komponen tersebut berhubungan satu sama lain, maka individu tersebut dapat membentuk harapan tentang bagaimana komponen tersebut dapat melayaninya. Bagaimana industri media yang bervariasi beroperasi? Apa kewajiban mereka terhadap penonton? Apa kewajiban penonton? Bagaimana media yang berbeda membatasi atau menambah pesan? Bentuk feedback yang bagaimana yang paling efektif, dan mengapa?

c. Strategi untuk menganalisa dan mendiskusikan pesan media. Untuk

Page 89: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 81

mengkonsumsi pesan media dengan baik, setiap individu membutuhkan sebuah pondasi sebagai dasar berpikir dan refleksi. Apabila seorang individu membuat suatu pengertian, maka haruslah memiliki alat yang dapat melakukan itu (sebagai contoh, memahami maksud dan akibat yang ditimbulkan dari film dan video seperti angle kamera dan pencahayaan, atau strategi di balik penempatan foto pada halaman koran).

d. Sebuah pemahaman mengenai isi media sebagai sebuah teks yang memberikan ide ke dalam kebudayaan dan kehidupan setiap individu. Bagaimana mengetahui sebuah kebudayaandan individu yang berada di dalamnya, sikap, nilai, perhatian, dan mitos-mitos? Hal tersebut dapat diketahui melalui komunikasi. Untuk kebudayaan modern, pesan yang disampaikan media meningkat tajam dan mendominasi dalam kehidupan.

e. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media. Media literacy bukan berarti sebuah kehidupan yang tidak menyukai media ataupun selalu curiga terhadap efek yang merugikan dan penurunan derajat kebudayaan, namun individu sebaiknya meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap media melalui sekolah tinggi dan perguruan tinggi.

Literasi itu penting dalam membangun siaran yang sehat, karena “Literacy is the ability to read, understand, analyze, and create with a written language. Public active, karena Cognitive dissonance dalam menyikapi fenomena siaran yang mengarah deviatif pada terjadinya hoax, exploitation of violence, sensuality, sex, mysticism, horror, supernatural, children, adolescents, women, cultural commodities, dan lain sebagainya.

Local Enforcement: Konteks-Konten Dan Konten-KonteksKemudian, penyiaran dalam konteks localize enforcement, bahwa konten-

konteks dan konteks-konten budaya terdapat delapan prinsip yang dibawa oleh lembaga penyiaran yang berorientasi public-good. Pertama, geographic universality. Prinsip ini menggambarkan bagaimana seharusnya penyelenggaraan penyiaran publik berorientasi pada publik secara luas. Keterjangkauan siaran di seluruh lapisan masyarakat merupakan hal penting yang harus diwujudkan. Kedua, catering for all interest and taste. Prinsip ini mendorong lembaga penyiaran publik memproduksi semua program yang memenuhi kepentingan publik termasuk untuk kelompok minoritas. Ketiga, catering for minorities. Prinsip ini menopang idealisme lembaga penyiaran publik untuk senantiasa menaruh perhatian pada program-program acara bagi publik minoritas misalnya menyangkut persoalan anak-anak, rasial, atau minoritas gender. Melalui lembaga penyiaran publik kelompok-kelompok minoritas akan memiliki ruang berekspresi yang bermakna bagi tumbuh kembangnya wacana publik tanpa harus tertekan oleh kepentingan kelompok elit atau mayoritas.

Keempat, detachment from vested interest and government. Prinsip ini mengindikasikan pentingnya kemandirian lembaga penyiaran publik dari pengaruh

Page 90: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201882

atau intervensi pihak luar seperti pemerintah, partai politik, pemodal atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Kemandirian ini penting artinya untuk menjaga konsistensi lembaga penyiaran publik pada kepentingan-kepentingan publik. Kelima, one broadcasting system to be directly founded by the corpus of users. Berdasarkan prinsip tersebut lembaga penyiaran publik dituntut untuk mencanangkan pendanaan langsung dan pembayaran yang relatif universal. Sifat pendanaan demikian akan memberikan ruang independensi yang luas bagi lembaga karena tidak perlu bergantung pada pihak-pihak tertentu. Alternatif pendanaan yang dimaksud dapat bersumber dari iuran penyiaran, donasi perorangan, yayasan atau perusahaan-perusahaan juga subsidi pemerintah. Keenam, competition in good programming rather than numbers. Prinsip ini menegaskan teori diversity of content sekaligus mengarahkan lembaga penyiaran publik untuk memproduksi dan menyiarkan program-program berkualitas yang tidak hanyak mengikuti rating dan selera pasar sebagaimana terjadi pada lembaga penyiaran komersial. Ketujuh, guideliness to liberate programming makers and not restricted them. Prinsip ini menegaskan perlunya pedoman untuk memberi kebebasan kepada pengelola lembaga penyiaran publik untuk mebuat program-program sesuai tuntutan kreativitas, bukan malah membatasi dengan berbagai sensor dan tekanan.

Salah satu esensi dari demokrasi adalah adanya jaminan kebebasan bagi munculnya berbagai ragam opini. Melalui prinsip diversity of content berarti menjamin keberagaman isi siaran, yang selaras dengan semangat dan eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis. Artinya, berbagai kelompok budaya, etnik, agama, ras dan golongan mempunyai posisi dan peluang yang sama dalam penyiaran, sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2002 terkait dengan prinsip Diversity of content (13 pasal dengan 16 ayat).

Senafas dengan ruh penyiaran dalam nadir tujuan penyiaran untuk membentuk karakter dan jati diri bangsa, bangsa konteks-konten local enforcement menjadi fundamen (al asasiy) dan goal (ghoyah) dalam penyiaran. Karena local enforcement dalam penyiaran merupakan effort menjelmakan entitas-entitas local genius, ethic and values, and culture identity, karena ”Cultural identity is the identity or feeling of belonging to a group. It is part of a person’s self-conception and self-perception and is related to nationality, ethnicity, religion, social class, generation, locality or any kind of social group that has its own distinct culture. In this way, cultural identity is both characteristic of the individual but also of the culturally identical group of members sharing the same cultural identity”.

Referensi

Baran, S.J & D.K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment,

Page 91: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 83

and Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth Baranowsky, T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and

health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San Francisco: Jossey-Bass

Chesney, Robert Mc. 1998. Coorporate Media and The Threat to Democracy, (terj. AJI), Jakarta: AJI

Curran, James. 1991. Mass Media and Democracy : a Reapprasial . In Curran, James and Gurrevitch, Michael (eds.), Mass Media and Society, London : Edward Arnold

Garnham, Nicholas. 1995. Media Culture and Society Vol.I, No.2 Academic Press London dalam Boyd Barrett, Oliver and Chris Newbold (eds.), Approaches to Media : a Reader, London : Arnold

Gazali, Effendi. 2002. Penyiaran Alternatif tapi Mutlak Sebuah Acuan tentang Penyiaran Publik & Komunitas, Jakarta : Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP-UI

_____________,.2003Menyelamatkan TVRI, Opini di Kompas, Sabtu, 5 April 2003 Heilbronner, Robert L. 1991. Hakekat dan Logika Kapitalisme, Jakarta : LP3ES, Hidayat, Dedy. N. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya sebuah Hegemoni,

Jakarta : PT. Gramedia________________ , 1999. Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi,

dalam Jurnal ISKI, Menuju Paradigma Baru Penelitian Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Vol III/ April 1999

________________ , 2003. Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran, Makalah dalam diskusi “UU Penyiaran, KPI dan Kebebasan Pers, di Salemba 8 Maret 2003)

_______________ , 2002. Neo-Liberalisme dan Market Dictatorship dalam Industri Penyiaran : Argumen bagi Lembaga Penyiaran Publik, dalam Gazali, Effendi, Penyiaran Alternatif tapi Mutlak, Jakarta : Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP-UI

Miller. Katherine.2005. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts. 2nd Edition. International Edition. Singapore: McGraw-Hil

Potter, W. James (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London: Sage.Potter, W. James (2005). Media Literacy. Third Edition. London: Sage.

Silverblatt, Art (1995). Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages. London: Praeger.

West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika. Hal 339-349

http://melekmedia.org/kajian/literasi-baru/apa-dan-mengapa-media-literacy-melekmedia/

http://wisnumartha14.blogspot.com/2011/05/literasi-media-pengantar-memahami.html

Page 92: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201884

http://sadidadalila.wordpress.com/2010/03/20/media-literasihttp://www.kidia.org/news

Dokumen :UU No 32 tahun 2002 tentang PenyiaranPedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tahun 2012

Page 93: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 85

Aep Wahyudin, lahir di Subang, 6 Juli 1975. Jenjang Pendidikan Dasar sampai Menengah Pertama di Subang,

dan SMA di Bandung. Pendidikan S1 pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), FIDKOM Universitas

Islam Negeri (UIN) SGD Bandung, jenjang Magister (S2) di kampus yang sama. Jenjang Doktoral (S3) diraih

dari prodi Komunikasi PPS Unpad dengan kajian media dan penyiaran. Setelah gelar doktor ilmu komunikasi dicapai, ia kembali mengambil gelar Magister (S2) pada Prodi Ilmu Komunikasi PPS Unisba dengan konsentrasi komunikasi politik.

Ia pun pernah mengenyam pendidikan nonformal ‘tholabul ‘ilmi’ di Pondok Pesantren tradisional dan modern di AlFalah Cicalengka Bandung, juga pernah menjadi santri karya dan

life skill di pesantren Daarut Tauhid Bandung. Menjadi dosen Ilmu Komunikasi dan Media, dan filsafat pada Prodi Komunikasi

dan Penyiaran Islam (KPI), Jurnalistik dan Humas pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (Fidkom) juga di S2 Prodi KPI PPs UIN SGD Bandung,dan pernah menjadi Dosen Luar Biasa di S2 KPI IAIN Perwokerto, dan Pernah mengajar juga Univ. Jenderal Ahmad Yani Bandung.

Ia pernah aktif dalam keorganisasian, diantaranya yang berhubungan dengan komunikasi dan profesi, yaitu perwakilan Production House network di kegiatan ATVSI (2003-2006), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) (2004-2008), ISKI, anggota (2010-2012); Ketua Divisi Kajian Media Forum Komunikasi dan Penyiaran Islam Indonesia (Forkopis) (2008-2013), Dewan Pakar Asosiasi Komunikasi dan Penyiaran Islam se-Indonesia (Askopis) (2016-2021), Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Program Pascasarjana Unpad (IMPPU,2008-2011) Direktur Ride Institute (Research of Islamic Development and Empowerment). Yang berhubungan dengan kemasyarakatan, yaitu Al Washliyah Jawa Barat (2015-2019), KNPI Jawa Barat (2014-2018), ICMI Jawa Barat (2017-2022), anggota GM FKPPI Kota Bandung (2015), Pengurus FKPPI Jawa Barat (2017-2022). Termasuk juga, pernah di aktif menjadi pengurus di Islamic Centre Pusda’i Jabar, Paguyuban Nonoman Kasundaan Subang (Asuhan Abah Yoseph Iskandar, Alm). Tokoh pengarang cerpen, novel, roman, dan drama Sunda, dll), Asysyakur Foundation, Wakil Ketua Ikatan Santri (Istifal) Jawa Barat, Penasehat Himpunan Mahasiswa Kabupaten Subang, dll.

Dr. Aep Wahyudin, M.Si.Komisioner Bidang Isi Siaran

Page 94: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201886

Sementara pengalaman di dunia kerja, Ia pernah aktif bekerja tetap diantaranya di Production House (PH), EO, Animasi, Suply content Setelite, Head of Creative and content Development Program untuk Televisi Jakarta (2002-2008); Produser, creative dan Host Acara ‘Obsesif ’ Setelite Palapa C2, Content supervisor naskah drama dan sinetron-komedi ‘Keluarga Senyum’, dll (2005-2006), FTV- STV ‘Jagalah Hati, Hidayah, dll; Program and Marketing Manager of Local television dan EO (MQTV, 2005-2008); Kepala Bidang Laboratorium Broadcasting: Radio, TV, Fotografi (FIDKOM, 2010-2015); Direktur Radio Komunitas Mandala di Kampus (2010-2015). Pernah mengikuti training yang berhubungan dengan Media Penyiaran tentang Programming and Production TV, Planning, Schedulling, Network dan Sindikasi (2005, Pusat Pendidikan Broadcast Indonesia), Media Research (AC Nielson, 2005-2006), Networking and Sindicate Program (VOA dan Al Jazeera Indonesia, 2007), Content Script Creative and Development untuk drama dan non drama (Komunitas Penulis Naskah), dll.

Dalam bidang akademik pernah mengikuti International Conference and Journal dalam Media and Broacasting Studies. Sebagai Presenter and Writer, dintaranya “The International Conference on Communication and Media 2016 (i-Come’16): An ICA Regional Conference International Communication Asociation (ICA) and School of Multimedia Technology and Communication, UUM College of Art and Science (2016), di Kuala Lumpur, Malaysa; International Journal of English Literature and Social Sciences , Publisher: Globeedu Group (ISO 9001:2008 Certified, (2016) India; International Conference on Sociology Education :Social Dynamic on Culture, Politic and Education, The 2nd ICSE,(2018) Indonesia; The International Conference on Transformation in Communication (2017, Icotic The 2nd), Indonesia; Icotic The3nd, 2018, Indonesia; OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF and Indonesian broadcast communication, 2017), Indonesia; In The International Seminar Indonesia-Malaysia “The Role of Mass Media in Election, Indonesia; New Media and Human Civilization, Indonesia; dll. Kegiatan akademik lain, training Peer Review International Article Writing dari Australian Development Scholarship, menulis jurnal dan buku, penelitian, menjadi editor dan reviewer jurnal, dll.

Ia kini mengabdi menjadi Komisioner KPID Jawa Barat bidang Isi Siaran (periode 2015 sd Sekarang).

Page 95: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 87

Fakta di masyarakat, siaran berbasis kearifan lokal di media penyiaran radio dan televisi kian menyusut, tergerus oleh menguatnya siaran berkonten selera pasar atau siaran yang dirancang untuk memenuhi permintaan pasar, bukan

sebagai siaran sebagai sarana edukasi yang dibutuhkan masyarakat. Tentu berbeda jauh makna ‘selera pasar’ dan kebutuhan masyarakat. Terlebih lagi fenomena kecenderungan siaran televisi yang serba ‘Jakarta’ dipaksakan untuk ditonton masyarakat dari berbagai penjuru Tanah Air hingga kini masih terjadi secara masif.

Akibatnya anak-anak masa kini pada usia yang mestinya sangat memerlukan edukasi orang tua dan lingkungan yang salah satu sarananya antara lain lewat siaran radio dan televisi menjadi semakin tidak terpenuhi. Mereka semakin langka mendengarkan siaran radio atau menonton televisi yang memrogramkan siaran kearifan lokal, siaran yang memaparkan nilai-nilai adiluhung yang ada di daerahnya. Padahal siaran tersebut sangat dibutuhkan untuk memperkuat dan menebalkan masyarakat untuk cinta terhadap budaya lokal.

Anak-anak pada Era Now juga mengalami krisis menikmati siaran klasifikasi anak yang sebenarnya sangat diperlukan sebagai sarana edukasi membentuk karakter dan jatidiri sebagai tunas bangsa. Siaran radio dan televisi semakin marak dibanjiri klasifikasi siaran dewasa, bahkan sering dijumpai siaran yang vulgar berkonotasi cabul, kekerasan, mistik, sadistis dan sebagainya yang tidak layak ditonton untuk usia anak-anak.

Keadaan ini diperparah lagi dengan minimnya kepedulian orang tua untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang sedang menonton televisi atau mendengarkan siaran radio. Bila dijumpai anak lagi menonton siaran yang tidak tepat untuk usia anaknya, mestinya orang tua mengarahkan dan membimbing agar tidak menonton. Namun masih banyak dijumpai orang tua yang malah larut bersama anak-anaknya menonton apapun siarannya.

Kita teringat era 1970-1980, lembaga penyiaran seperti RRI, TVRI dan

Menggugat Tergerusnya Siaran Lokal

Hj. Neneng Athiatul Faiziyah S.Ag., M.I.Kom

Komisioner Kelembagaan KPID Jawa Barat

Page 96: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201888

radio-radio swasta banyak yang mengudarakan program siaran anak-anak. Muara dari siaran tersebut mengarahkan pada pendidikan tentang budi pekerti, cara bertatakrama sebagai anak terhadap orang tua dan lingkungan, mengajarkan sikap ketaatan seorang anak dalam menjalankan ibadah sebagai anak yang saleh, mengedukasi pentingnya bersekolah yang rajin agar menjadi anak pintar dan kelak menjadi orang yang berguna. Sering pula dihiasai dengan lagu-lagu dolanan yang menjadi bagian dari kesenian, tradisi, serta budaya yang menjadi kebanggaan di daerahnya.

Pada era itu anak-anak akrab dan kental dengan budaya amengannya karena pengaruh siaran radio dan televisi. Bila di Jawa Barat tak hanya mainan sebangsa cing ciripit, oray orayan, boy boy ant, lebih dari itu anak-anak juga akrab dengan lagu-lagu daerah yang penuh muatan budi pekerti, seperti pepeling, pileuleuyan, sapu nyere pegat simpai, dan sejenisnya.

Lagu anak-anak yang menasional yang dinyanyikan bintang cilik era 1970, seperti Chicha Koeswoyo, Adi Bing Slamet, Bobby Sandora, Ira Maya Sopha, Debby Rhoma Irama terasa gempita yang membawa anak-anak pada suasana ke-Indonesiaan yang kental dan hangat.

Lagu-lagu yang berkarakter tersebut mampu memberi warna positif terhadap perkembangan anak pada era tersebut. Namun sayangnya, Chicha cs, sebagai generasi pendahulu, tak ada generasi penerusnya.

Harus diakui lagu dan permaian tradisional anak-anak tersebut secara konkret telah mampu membentuk karakter anak untuk memiliki budi pekerti, tatakrama yang tinggi, anak yang mencintai lingkungannya dan tanah airnya, membentuk anak yang cerdas. Pertanyaannya akankah nuansa indah tersebut hanya tinggal dikenangan saja atau perlu kita kembalikan pada era kekinian?. Tentu hal ini perlu perenungan bersama bagi semua potensi bangsa.

Anak era millenium pada era now, sungguh nyaris tidak memiliki ruang dan waktu untuk dapat bermain dengan kebudayaan dan tradisi lokalnya. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak mengenal lagi lagu ataupun permainan kearifan lokal yang pernah dinikmati generasi 1970-1980.

Krisis KarakterKini, pada era yang serba modern, anak-anak disibukkan dengan kegiatan yang

serba individual. Ada kecenderungan setiap hari selain mengikuti pelajaran sekolah yang jadwalnya terasa padat, rata-rata berangkat pagi pulang sore, praktis minim waktunya untuk bermain dengan kawan sekampung. Agenda kesehariannya tiba di rumah dari sekolah sore, ada yang langsung bermain games di komputer, play station, menonton televisi yang program siarannya bukan lagi untuk anak-anak, tapi siaran remaja-dewasa, alias siaran yang sebenarnya tidak ramah untuk perkembangan fisik dan psikisnya. Demikian pula bila mendengarkan siaran radio yang dijumpai di setiap

Page 97: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 89

chanel juga siaran dewasa yang belum saatnya didengar mereka. Kebiasan selanjutnya, bila maghrib anak-anak kebanyakan tidak terbiasa pergi

ke masjid-musala untuk salat berjamaah dilanjutkan mengaji Al-Quran sebagaimana anak generasi Era Old. Waktu yang dialokasi untuk kegiatan keagamaan semakin sempit, bahkan nyaris tidak ada karena kurangnya arahan dari orang tua. Akibatnya fenomena saat ini banyak masjid-mushola sepi dari anak-anak mengaji atau salat berjamaah walaupun instruksi Magrib Mengaji sudah ada dari pemerintah, tapi nampaknya respon masyarakat masih menempati prosentase yang minim kecuali di Kota Bandung yang sudah hampir 75% berjalan.

Ditemukan pula pada jam yang mestinya dipakai untuk salat maghrib berjamaah dilanjutkan mengaji ilmu agama, justru dihabiskan untuk menonton televisi yang alasan anak-anak siarannya sedang bagus-bagusnya sehingga malas bila diitinggal ke masjid-musala. Ironisnya lagi, orang tuanya yang mestinya melarang menonton televisi pada saat maghrib malah ikut menonton siaran tersebut.

Fenomena di atas patut membuat kita terperangah bila kita peduli dengan pentingnya penanaman karakter untuk anak-anak pada era now ini, sehingga perlu upaya menyelamatkan anak-anak dari krisis karakter dan jatidiri. Mengarahkan anak-anak untuk memiliki tanggung jawab mencari ilmu di sekolah, beribadah kepada Allah SWT, juga butuh bersosialisasi dan bermain bersama dengan lingkungannya.

Lantas siapa yang harus memegang kendali dan tanggung jawab untuk menyelamatkan anak-anak dari krisis karakter ini? Apakah orang tua, guru, lingkungan, pemerintah, atau Lembaga penyiaran?. Jawaban ini yang segera kita urai. Namun yang jelas, jawabnya harus menjadi tanggung jawab bersama dan harus segera dimulai.

Setidaknya lembaga penyiaran punya peran dan tanggung jawab besar untuk mengurai masalah tersebut. Selain juga orang tua, masyarakat dan semua elemen yang ada. Letak tanggung jawab bagi lembaga penyiaran terkait regulasi diatur dalam Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pada aspek fungsi dan regulasi terkait program siaran, yakni kewajiban mengedukasi publik yang di dalamnya termasuk kepada anak-anak. Fungsi berikutnya lembaga penyiaran menjadi perekat masyarakat dan menguri-uri budaya bangsa.

Bila arah penyiaran saat ini semakin tidak mempedulikan arti pentingnya siaran berbasis kearifan lokal, maka siaran tersebut selain melanggar UU Penyiaran 32/2002 juga melanggar Pedomen Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dibuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai arah dan pedoman bersiaran yang harus ditaati oleh Lembaga Penyiaran. P3SPS mengatur hal-hal yang diwajibkan dan yang dilarang. Lembaga yang mengawasinya pelaksanaan siaran adalah KPI dan KPD dibantu masyarakat.

Sebagaimana UU Penyiaran, KPI memiliki kewenangan dan bertanggung jawab besar untuk mengarahkan, membina, mengawasi dan mengedukasi lembaga

Page 98: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201890

penyiaran untuk melaksanakan penyiaran yang sehat dan benar. Siaran yang dapat memenuhi hak-hak masyarakat menuju terbentuknya watak dan jatidiri masyarakat yang beriman dan bertakwa.

Oleh karena itu, sungguh tragis bila anak-anak Indonesia yang tersebar di seluruh daerah kini semakin kering dari siaran yang ramah anak dan mereka dijauhkan dari mengenal kearifan lokal di daerahnya masing-masing. Padahal, siaran kearifan lokal sangat ditekankan sebagai kewajiban dalam regulasi penyiaran.

Bila kondisi ini dibiarkan maka dampak ke depan, karakter dan jatidirinya sebagai anak bangsa dikhawatirkan semakin luntur karena dalam kesehariannya mereka justru didekatkan menguatnya budaya asing yang serba libaralis-kapitalis malah diasingkan dengan nilai-nilai luhur budaya daerahnya. Tentu, dari perspektif di atas, akan membahayakan masa depan NKRI bila mental dan kepribadian anak-anak kita saat ini sudah dibentuk seperti itu. Padahal, mereka tunas-tunas bangsa. Lantas siapa yang bersalah?.

Bila kita analisis, keringnya siaran kearifan lokal serta tergerusnya siaran yang ramah anak tidak lepas dari meguatnya pragmatisme siaran saat ini yang secara masif berusaha meninggalkan nilai-nilai idealisme penyiaran. Hal itu sebagai implikasi negatif dari liberalisasi dan kapitalisasi yang merasuki dunia penyiaran saat ini.

Kita tahu, idealisme penyiaran dikenal sebagai UU Penyiaran, mengedepankan demokratisasi dan desentralisasi di bidang penyiaran. UU tersebut mengubah paradigma pada era Orde Baru yang sentralistik dan dari kuatnya hegemoni kekuasaan saat itu. Sementara itu, pragmatisme terjadi sebagai akibat munculnya pemodal-pemodal besar dalam industri penyiaran nasional yang berorientasi kapitalis-liberalis yang hanya mementingkan pasar. Kekuatan praktisnya telah menggeser nilai-nilai idealisme menjadi nilai pasar yang serba material, sehingga wajar bila wajah penyiaran kita saat ini dalam persimpangan. Harus diakui, kekuatan pragmatis ini telah memenangkan tarik ulur. Sementara negara masih membiarkan kondisi tersebut.

Oleh karenanya dibutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mengoptimalkan siaran berbasis kearifan lokal dan ramah anak untuk pembentukan kepribadian mereka. Tanggung jawab ini hendaknya dipikul bersama melalui sinergitas yang kuat pada semua elemen di masyarakat.

Termasuk mengembalikan ruh penyiaran yang sesuai regulasi menjadi misi utama yang harus dijalankan. Tentu saja, keterlibatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI/KPID) untuk merangkul lembaga penyiaran dan publik menjadi sangat penting. Menjadikan KPI sebagai koordinator atau leading sector dalam membingkai kembalinya penyiaran yang ramah lingkungan sesuai jatidiri bangsa.

Regulasi penyiaran menekankan demokratisasi dan desentralisasi sebagai ciri lokalitas yang kuat. Prinsip dari demokratisasi, memagari dunia penyiaran agar tidak dimiliki dan dikelola oleh golongan dan kelompok tertentu melainkan sebagai milik

Page 99: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 91

publik dan dikelola oleh publik. Arah penyiaran ini yang harus menjadi barometer dalam membangun penyiaran yang sehat di era kekinian.

Sementara itu, prinsip desentralisasi, mengatur dunia penyiaran tidak lagi terpusat di Ibukota Negara sebagaimana regulasi sebelumnya, melainkan berkekuatan di tiap lokal dan tersebar di daerah. Tidak lagi dalam bentuk sentralisasi penyiaran, baik dari sisi kepemilikan, pengelolaan maupun konten. Penyiaran sesuai UU 32/2002 hanya terdiri penyiaran lokal dan berjaringan, tidak ada penyiaran yang terpusat. Bila ada jenisnya siaran berjaringan yakni kerja sama dua atau lebih lembaga menyiaran untuk bekerja sama dalam hal penyiaran. Bentuk berjaringan tersebut melahirkan induk yang tugasnya mengatur penyiaran.

Demokrasi penyiaran juga mengatur, gelombang frekuensi radio sebagai ranah publik (pasal 1 angka 8 UU 32/2002). Diatur pula peran serta masyarakat (pasal 52 UU 32/2002). Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wujud peran serta masyarakat dan wadah aspirasi masyarakat (pasal 8 ayat 1). KPI sebagai lembaga pengatur penyiaran (independent state regulatory body) (pasal 7 ayat 2). Diatur pula keragaman isi siaran dan pembatasan kepemilikan (pasal 18 ayat (1) dan (2) serta pembatasan jangkauan siaran (pasal 18 ayat 3 dan pasal 31 ayat 5).

Krisis siaran anak yang berbasis kearifan lokal yang penuh nuansa integritas, karakter dan menjunjung tinggi nilai budaya sebenarnya sebagai salah satu potret dari krisis siaran kearifan lokal yang kita alami saat ini. Tidak hanya pada siaran anak saja, tapi meluas pada krisis siaran berbasis budaya lokal. Hal itu sebagai pertanda saat ini sedang terjadi pertarungan antara idealisme penyiaran melawan pragmatisme penyiaran.

Bila lembaga penyiaran tegak lurus menjalankan regulasi tersebut maka krisis siaran kearifan lokal tidak bakal terjadi. Regulasi penyiaran juga memosisikan publik sebagai pemilik frekuensi agar implementasi penyiaran berorientasi kepada publik bukan lagi kepada siapa-siapa.

Idealisme VS PragmatismeDalam tarik ulur di bidang penyiaran, kekuatan idealisme didukung oleh

kekuatan diversity of contents yang mengarahkan terbinanya watak dan jatidiri bangsa yang beriman dan bertakwa. Mengarahkan keberagaman isi siaran untuk menghidupkan semua potensi di masyarakat agar tumbuh dan berkembang. Mengarahkan agar fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, perekat sosial, budaya dan bisnis berjalan secara seimbang.

Mengawal lestarinya keragaman budaya daerah yang memiliki nilai adiluhung agar tidak tergerus oleh penetrasi budaya asing dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal, seperti wacana, pemikiran, adat istiadat, bahasa, termasuk agama. Mengarahkan pula agar program siaran tidak hanya tersentral pada poros budaya dan lokal tertentu saja (Jakarta).

Page 100: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201892

Sistem penyiaran yang dibangun hanya ada dua jenis, yakni stasiun berjaringan dan stasiun lokal. Tidak ada lagi istilah stasiun pusat dan stasiun daerah. Menjunjung tinggi dan menghormati nilai-nilai budaya, agama, adat istiadat, dan kesepakatan-kesepakatan yang tumbuh di masyarakat. Mengembangkan semangat integrasi nasional sebagai perwujudan persatuan dan kesatuan dalam menegakkan NKRI.

Kekuatan idealisme juga didukung oleh kekuatan diversity of ownership, yang misinya mengatur kepemilikan saham pada lembaga penyiaran tidak boleh dikuasai individu atau kelompok tertentu. Namun harus terbagi merata dengan mengutamakan tokoh lokal yang berminat. Mengatur kepemilikan saham dengan membatasi untuk menghindari monopoli. Arahnya agar industri penyiaran di setiap lokal tumbuh dan berkompetisi secara sehat.

Pelarangan terhadap orang asing untuk memiliki saham penyiaran di tanah air. Peluang yang diberikan hanya bila lembaga penyiaran butuh penambahan modal, maka saham asing yang diperbolehkan maksimal 20 persen. Itupun harus dimiliki minimal oleh 2 orang asing.

Sementara itu, pragamatisme penyiaran muncul sebagai akibat industri penyiaran kini dikuasai pemodal raksasa yang menggunakan frekuensi untuk kepentingan bisnis dan kelompok tertentu. Kini semakin marak pemindahtanganan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) kepada para pemodal besar. Pemicunya, banyak industri penyiaran lokal mengalami kekurangan modal menjadi tidak berdaya untuk melanjutkan operasional. Padahal pemindahtanganan ini dilarang oleh UU 32 Tahun 2002 sebagai pelanggaran hukum.

Bagi industri penyiaran lokal yang masih bertahan sebagian besar kondisi kelembagaannya mengalami kedodoran, kembung kempis yang berimbas pada kualitas siarannya tidak menjual, tidak menarik untuk ditonton. Akhirnya miskin iklan. Kondisinya hidup enggan tapi mati tidak mau. Banyak bermunculan makelar IPP. Mereka mengajukan izin penyelenggaraan penyiaran, tetapi motivasinya setelah mendapatkan IPP, akan dijual atau memang mereka dipasang oleh pemodal untuk mengurus setelah itu, IPP dimilikinya.

Program siarannya sarat pelanggaran regulasi termasuk iklan komersial. Isi siaran semakin jauh dari muatan pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat, terutama pendidikan karakter. Banyak bermuatan hedonisme, mistik, pamer aurat atau ketelanjangan aurat, pornografi, sadistis, intrik-intrik perselingkuhan, mengekspoitasi areal sekolah sebagai ajang rebutan pacar, berkelahi, dll.

Rendahnya persentase siaran agama dan pendidikan untuk masyarakat karena didominasi siaran hiburan dan iklan. Orientasi pasar terlalu dominan dibanding tanggung jawab untuk membentuk masyarakat yang berjati diri Indonesia. Sarat pelanggaran jurnalistik dalam siaran berita. Isi siaran sudah diarahkan menjadi kepentingan politik tertentu dan kepentingan kelompok tertentu.

Dalam konteks persoalan tersebut, maka menjadi tugas dan kewajiban KPI

Page 101: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 93

untuk mengatasi sekaligus mengembalikan keadaan. Mengingat kewajibannya antara lain, menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran.

Berkewajiban pula membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait, memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang, menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran, dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Tantangan KPISederet tantangan KPI/KPID ke depan, harus dapat menegakkan aturan

10% konten lokal guna menyelamatkan siaran berbasis kearifan lokal termasuk melahirkan kembali siaran anak. Idealnya bila hanya menarget 10 persen, mestinya sangat mudah bila dikaitkan semangat desentralisasi dan demokratisasi penyiaran. Tapi faktanya, mewujudkan 10 persen amat sulit, karena kekuatan pragmatisme yang telah menggurita di tubuh penyiaran kita.

Termasuk pengawasan iklan obat yang dilarang di televisi terutama di tv lokal, harus disertai pengawasan ketat oleh KPI bersama masyarakat. KPI harus melakukan pembinaan terhadap media penyiaran agar dalam membuat konten berbasis P3SPS, juga memperbesar cakupan pendidikan literasi media kepada masyarakat dengan melibatkan lembaga pendidikan dan kelompok permerhati masyarakat, serta masih banyak tantangan lainnya.

Literasi media sebagai kegiatan penting untuk memberi pemahaman dan kesadaran kepada publik mengenai sisi positif dan sisi negatif siaran televisi dan radio. Sisi positif penting untuk dikembangkan, sedatangkan sisi negatif harus ada upaya perlindungan agar tidak meluas. Literasi media merupakan tanggung jawab tokoh masyarakat, akademisi termasuk KPI. Ditujukan kepada khalayak luas termasuk generasi muda, remaja, orang tua, agar punya kepekaan bukan hanya permisif terhadap isi siaran.

Selain program Literasi Media yg dikemas dalam acara GEMAS PEDAS kalo di KPID Jawa Barat tentunya diperlukan pula KPI dan KPID melakukan literasi khalayak, di mana media massa termasuk media penyiaran memahami heterogenitas masyarakat agar dalam menyajikan program siaran memperhatikan kebutuhan dan resistensi publik.

Misi akhirnya bila serangkaian kewajiban sudah dijalankan tapi lembaga penyiaran masih membandel, maka sikap tegas dengan menjatuhkan sanksi patut diterapkan. Bila perlu direkomendasikan kepada Menteri Kominfo agar dicabut IPP-nya sebagai efek jera. ***

Page 102: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201894

Neneng Athiatul Faiziyah lahir di Bandung pada 22 Mei 1975. Menyelesaikan

pendidikan menengahnya di SMAN 10 Bandung, dan kemudian melanjutkan Program Studi PAI di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Selepas meraih gelar sarjana, ia melanjutkan studinya pada program magister (S2) Ilmu Komunikasi Unpad.

Sederet organisasi pernah dan masih digelutinya. Semasa berstatus mahasiswa S1, ia aktif di Karisma Salman ITB. Selain itu, Public Relation Koran Kampus SUAKA IAIN SGD Bandung pernah dijabatnya. Setelah lulus, pengalaman organisasi diperolehnya ketika menjabat sebagai Sekretaris Jendral Womens Studies Center (WSC) Bandung, Bendahara Umum KT HMI Cabang Soreang, Public Relation IPHI Ikatan Persaudaraan Haji Kota Bandung, Ketua Umum West Java Green Generation, Bendahara Umum Indonesian Outbound Rescue ICMI Orwil Jawa Barat, Bendahara Umum MASIKA (Majelis Sinergi Kalam) ICMI Orwil Jawa Barat, Sekretaris Umum Alisa Hadijah ICMI

Orwil Jawa Barat, Wakil Bendahara Umum ICMI Orwil Jawa Barat, Bidang Kautamaan Istri BAMMUS PUSAT Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Pusat.

Perhatian pada dunia penyiaran tanah air, mendorongnya masuk sebagai komisioner KPID Jawa Barat. Kini, pada periode 2015-2018, ia menjabat sebagai Kordinator Bidang Kelembagaan KPID Jawa Barat. Sebelumnya, ia merupakan Ketua KPID Provinsi Jawa Barat masa bakti 2012-2015.

Hj. Neneng Athiatul Faiziyah, S.Ag, M.I.KomKomisioner Bidang Kelembagaan

Page 103: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 95

Lembaga penyiaran publik lokal (LPPL) merupakan salah satu penyelenggara penyiaran di Indonesia sebagai metamorposis dari lembaga siaran pemerintah daerah atau Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD). Proses metamorposis ini

merupakan bagian dari tuntutan reformasi dalam dunia penyiaran yang memberi banyak ruang-ruang publik agar publik dapat bebas menerima dan memberikan informasi serta kebebasan untuk berekspresi.

Lembaga Penyiaran Publik Lokal didefinisikan sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh pemerintah daerah, menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio atau penyiaran televisi, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat yang siarannya berjaringan dengan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk radio dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) untuk televisi.

Lembaga Penyiaran Publik lokal dapat didirikan di daerah provinsi, kabupaten, atau kota jika belum ada stasiun penyiaran RRI dan/atau TVRI di daerah tersebut dan tersedianya alokasi frekuensi di wilayah layanan tersebut. Persyaratan lainya adalah tersedianya sumber daya manusia yang profesional dan sumber daya lainnya sehingga Lembaga Penyiaran Publik lokal mampu melakukan paling sedikit 12 (dua belas) jam siaran per hari untuk radio dan 3 (tiga) jam siaran per hari untuk televisi dengan materi siaran yang proporsional. Selain itu juga, operasional siaran juga diselenggarakan secara berkesinambungan.

Lembaga Penyiaran Publik lokal yang telah beroperasi sebelum stasiun penyiaran RRI dan/atau TVRI didirikan di daerah wilayah layanan LPPL tersebut, tetap dapat melaksanakan operasinya atau dapat didirikan. Dalam konteks Jawa Barat, ada beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat yang memiliki radio siaran

POSISI DAN PERAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL JAWA

BARAT DALAM MEWUJUDKAN JABAR JUARA

Dadan Saputra, S.Pd. M.Si.

Wakil Ketua KPID Jawa Barat

Page 104: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201896

pemerintah daerah dan keberadaannya lebih dulu berdiri dibadingkan RRI. Tentunya di kabupaten/kota tersebut dapat berdiri LPPL Radio jika tersedia alokasi frekuensi dan memenuhi persyaratan lainya tetang pendirian LPPL.

Fungsi dan Tujuan Lembaga Penyiaran Publik LokalLembaga Penyiaran Publik Lokal, baik secara kelembagaan maupun dalam

penyelenggaraan penyiarannya bersifat independen, netral, dan tidak komersial. Lembaga Penyiaran Publik Lokal berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta pelestari budaya bangsa, dengan senantiasa berorientasi kepada kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Lembaga Penyiaran Publik Lokal dalam menjalankan fungsi pelayanannya untuk kepentingan masyarakat melibatkan partisipasi publik berupa keikutsertaan di dalam siaran, evaluasi, iuran penyiaran, dan sumbangan masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga Penyiaran Publik Lokal bertujuan menyajikan program siaran yang mendorong terwujudnya sikap mental masyarakat yang beriman dan bertakwa, cerdas, memperkukuh integrasi nasional dalam rangka membangun masyarakat mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menjaga citra positif bangsa.

Posisi dan Peran Lembaga Penyiaran Publik LokalLembaga penyiran publik lokal memiliki posisi dan perang yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan informasi publik. Menurut Undang-Undang Dasar pasal 28f, Negara berkewajiban untuk menghormati, memfasiltasi dan memenuhi;

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia

Lembaga Penyiaran Publik Lokal dapat menjalankan fungsi negara untuk memfasilitasi dan memenuhi amanat pasal 28f tersebut dengan membuka ruang-ruang publik, menjamin publik untuk mendapatkan informasi yang layak dan benar, sekaligus juga menjadi media perekat sosial.

Berperan Aktif dalam Mewujudkan Jawa Barat JuaraJawa Barat Juara Lahir dan Batin merupakan visi pasangan gubernur terpilih

Ridwal Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Visi ini hampir senada dengan gubernur sebelumnya yang ingin mewujudkan Jawa Barat menjadi provinsi termaju dan JABAR ka hiji, walaupun Jabar ka hiji lebih banyak digunakan dalam konteks PON XIX yang diselenggarakan di Jawa Barat.

Jawa Barat memiliki 27 kabupaten/Kota yang terdiri atas 18 Kabupaten dan 9 Kota. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2005 tentang

Page 105: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 97

Penyelenggaraan Penyiaran Lembga Penyiaran Publik pasal 7 ayat 4 tentang kriteria dan persyaratan pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal di provinsi, kabupaten dan kota, ada 17 Kabupate/kota di Jawa Barat yang memungkinkan berdirinya lembaga penyiaran publik lokal tersebut. Sebanyak 10 dari 17 kabupaten/kota telah menempuh prizinan dan telah memiliki IPP Prinsip dan IPP, sedangkan 7 kabupaten/kota lainnya belum menempuh perizinan.

Berikut tabel pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal di Jawa Barat berdasarkan data bulan oktober 2018 dengan urutan kabupaten/kota sesuai yang tertera dalam rencana induk penggunaan spektrum frekuensi radio untuk kepentingan siaran Radio FM.

No Kabupaten/Kota

Pendirian(Pasal 7. 4) PP No. 11/2005)

Keterangan

1 Kota Bandung Tidak memungkinkan berdiri karena sudah ada RRI dan tidak ada alokasi frekuensi FM

Beroperasi LPPL Radio

2 Kabupaten Bandung

Tidak memungkinkan berdiri karena tidak ada alokasi frekuensi FM

Beroperasi LPPL Radio

3 Kota Cimahi Tidak memungkinkan berdiri karena tidak ada alokasi frekuensi FM

-

4 Kabupaten Bandung Barat

Tidak memungkinkan berdiri karena tidak ada alokasi frekuensi FM

-

5 Kota Bekasi Tidak memungkinkan berdiri karena tidak ada alokasi frekuensi FM

-

6 Kabupaten Bekasi

Tidak memungkinkan berdiri karena tidak ada alokasi frekuensi FM

Beroperasi LPPL Radio

7 Kota Bogor Tidak memungkinkan berdiri karena sudah ada RRI dan tidak ada alokasi frekuensi FM

Beroperasi LPPL Radio

8 Kabupaten Bogor

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio TEMAN dan telah memiliki IPP Prinsip

9 Kota Depok Tidak memungkinkan berdiri karena tidak ada alokasi frekuensi FM

-

10 Kabupaten Ciamis

Memungkinkan berdiri Belum menempuh proses perizinan

11 Kabupaten Pangandaran

Memungkinkan berdiri Belum menempuh proses perizinan

12 Kota Banjar Memungkinkan berdiri Belum menempuh proses perizinan

13 Kabupaten Cianjur

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio Cianjur FM dan telah memiliki IPP Prinsip

14 Kabupaten Cirebon

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio Ranggajati dan pernah memiliki IPP Prinsip

15 Kota Cirebon Tidak memungkinkan berdiri karena sudah ada RRI dan tidak ada alokasi frekuensi FM

-

Page 106: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 201898

16 Kabupaten Garut

Memungkinkan berdiri Belum menempuh proses perizinan

17 Kabupaten Indramayu

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio K2 dan telah memiliki IPP

18 Kabupaten Karawang

Memungkinkan berdiri Belum menempuh proses perizinan

19 Kabupaten Kuningan

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio dan Televisi dan telah memiliki IPP

20 Kabupaten Majalengka

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio RADIKA dan telah memiliki IPP Prinsip

21 Kabupaten Purwakarta

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio Suara Purwakarta dan telah memiliki IPP Prinsip

22 Kabupaten Subang

Memungkinkan berdiri Belum menempuh proses perizinan

23 Kabupaten Sukabumi

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio Citra Lestari dan sudah menempuh proses perizinan

24 Kota Sukabumi Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio RSPD dan telah memiliki IPP Prinsip

25 Kabupaten Sumedang

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio eRKS dan telah memiliki IPP

26 Kabupaten Tasikmalaya

Memungkinkan berdiri Telah Berdiri LPPL Radio PAS dan telah memiliki IPP

27 Kota Tasikmalaya

Tidak memungkinkan berdiri karena sudah ada RRI dan tidak ada alokasi frekuensi FM

-

Mayoritas kapuaten/kota di Jawa Barat dapat mendirikan LPPL radio dan hal tersebut merupakanp potensi untuk membangun sistem informasi dan komunikasi publik Jawa Barat. Hal ini memberikan posisi dan peran lembaga penyiaran publik lo-kal Jawa Barat dalam mewujudkan Jawa Barat Juara. Jawa Barat merupakan provinsi yang pertama membentuk Asossiasi Lembaga Penyiaran Publik Lokal dengan nama ARTAL (Asossiasi Raio dan Televisi Publik Lokal) yang dideklarasikan bulan agustus 2018 di Bogor. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang istimewa karena Jawa Barat selalu Juara dalam dunia penyiaran.

Sejak awal, lembaga penyiaran publik lokal yang tergabung dalam ARTAL memiliki cara pandang yang sama tentang posisi dan peran lembaga penyiaran publik lokal sehingga ketika ARTAL terbentuk, mereka langsung melakukan kerja bersama dalam bentuk;1. Sindikasi Program Siaran Pertukaran atau tukar-menukar program siaran, terutama program siaran unggu-

lan dari masing-masing LPPL kabupaten/kota telah berjalan/dilakukan oleh an-ggota ARTAL. Sindikasi program siaran ini dimaksudkan agar program unggulan tersebut dapat dinikmati oleh khalayak yang lebih luas, apalagi kalau program

Page 107: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018 99

tersebut kaya dengan informasi dan pendidikan. Saat ini ARTAL memiliki anggota yang terdiri atas 1 LPPL televisi dan 10 LPPL radio yang berizin. Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada 10 program dalam bentuk talkshow, documenter atau feature yang dapat disindikasikan antar LPPL di Jawa Barat. Kegiatan tersebut berdampak pada peningkatan kualitas program siaran dan penghematan biaya produksi untuk mendapatkan program-program siaran yang berkualitas.

2. Produksi Berita Bersama Jika kita mengamati kegiatan ARTAL saat ini, maka kita akan melihat aktivitas

produksi siaran berita bersama yang dikumpulkan dari seluruh anggota ARTAL. Melalui WhatsApp Group (WAG), masing-masing LPPL anggota ARTAL mengirim produksi berita lokalnya dan kemudian masing-masing LPPL akan mengambil ber-ita-berita tersebut dari WAG dan menyusunnya menjadi lintas berita atau sepu-tar berita Jawa Barat dengan hasil produksi yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing LPPL. Kreatifitas ini menurut saya Juara, bahkan kalau pemerin-tah daerah provinsi Jawa Barat berkeinginan memanfaatkan ruang produksi ini sebagai ruang diseminasi informasi pembangunan tentunya akan lebih banyak manfaatnya.

3. Rilai Siaran Sistem siaran kita adalah Sistem Siaran Jaringan (SSJ) yang identik dengan rilai.

Bagi radio yang bukan anggota SSJ, rilai dibatasi maksimal 20% dari total jam siaran. Sedangkan bagi radio yang merupakan anggota SSJ dan mengantongi per-setujuan SSJ dari menteri Kominfo, rilai dibatasi maksimal 40% dari total jam si-aran. Dengan demikian LPPL atau ARTAL memiliki keleluasaan untuk melakukan rilai tetap atau tidak tetap maksimal 20% dari total jam siarannya. Ruang yang cukup besar untuk saling rilai jika ada kegiatan Bupati, Walikota atau Gubernur yang sedang melakukan talkshow di sebuah LPPL dan di relai oleh seluruh LPPL di Jawa Barat.

Kerja-kerja tersebut diyakini akan semakin juara jika ARTAL mendapatkan dukungan dari berbagai pihak terutama dari para Bupati dan Walikota serta Guber-nur Jawa Barat. ARTAL saat ini membutuhkan ruang yang lebih representatif dari sekedar WAG, mungkin ARTAL membutuhkan portal web sehingga situs web nya dapat diakses dengan beragam perangkat. Melalui portal web tersebutlah kegitan streaming siaran, sindikasi program siaran, produksi bersama, rilai dan teleconfer-ence dapat dilakukan dengan fasilitas jaringan yang memadai milik pemerintah Jawa Barat sehingga nyaman dan optimal. Bahkan jika pemerintah provinsi Jawa Barat memiliki rumah produksi untuk kepentingan diseminasi informasi, maka ARTAL ada-lam media yang paling cocok untuk kegiatan diseminasi informasi.

Banyak hal yang ingin disampaikan dalam tulisan ini termasuk peran ARTAL dalam kegiatan PORDA Jabar 2018 dan peran-peran lainnya dalam mndorong terwu-judnya Jawa Barat juara. Tetapi karena keterbatasan ruang, saya harus mengakhiri tulisan ini, semoga tulisan ini dapat bermanfat bagi para pembacanya.

Page 108: Buku adalah dokumen yang maha penting; Bukan - KPID Jabar

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat 2018100

Dadan Saputra lahir di Garut pada 8 April 1974. Tamat dari SMA Negeri Leles, Garut, Ia melanjutkan studi jenjang

sarjana pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Extension Filsafat

UNPAR.Selama menjadi mahasiswa, Ia merupakan

aktivis kampus. Berbagai jabatan organisasi pernah disandangnya, antara lain: Presidium Forum Mahasiswa Bandung (FMB), Sekjen Front Indonesia Muda Bandung (FIM-B), Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UPI, Presidium Keluarga Mahasiswa IKIP Bandung (KMIB), Pendiri Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI, Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FPBS

UPI, Ketua Umum HMJ Diksatrasia FPBS IKIP Bandung.Setelah lulus dari UPI, Ia aktif di organisasi-organisasi seperti: Jaringan Radio

Komunitas Indonesia sebagai Dewan Pakar, Ketua Dewan Penyiaran Komunitas KOMBAS Banjaran, Dewan Penasehat Jaringan Radio Komunitas Jawa Barat, Anggota Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia, dan Wakil Sekretaris I Cabang 1008 FKPPI Kabupaten Bandung. Dan, aktivitasnya di bidang komunikasi tersebut membuat ia tertarik melanjutkan studi ke jenjang magister (S2) di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba).

Berbagai aktivitas, khususnya di bidang media penyiaran, tergerak dari keinginan untuk memperbaiki dunia penyiaran tanah air. Kini, Ia pun menjabat sebagai Wakil Ketua KPID Jawa Barat (periode 2015-2018). Sebelumnya, pada periode 2012-2015, ia menjabat Kordinator Infrastruktur KPID Jawa Barat.

Dadan Saputra, S.Pd., M.SiWakil Ketua KPID Jawa Barat