sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006 Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006 : 39- 48 ISSN 0216-1877 Budidaya Pembesaran Udang Karang Bayu Suprianto Bidang Ilmu………. Instansi, indonesia email Abstrak. Spiny lobster belongs to family Palinuridae and genus Panulirus. There are six species of spiny lobster found in Indonesian waters, i.e. Panulirus peniculatus). P. longipes P. versicolor, P. polyphagus, P homarus and P. ornatus. Demand for spiny lobster in the export market is continually increasing, causing the local price of this product escalated significantly at attractive value. This attractive price leads and motivates the local fishermen to increase their effort to catch lobster. Due to the intensive fishing, in some areas are proposed had over-fishing, especially in southern Java waters. Based on the field studies funded by Iptekda LIPI at Pacitan dan Gunungkidul, juvenile spiny lobster which ineligible for export (<100 g) could be grown up in cages and tanks easily. Juveniles with body weight of 75 g can grow to over 100 g within 2-3 month of fattening. However, it is a limitation to extensively grow up spiny lobster in Indonesia, there is no seed produced in hatchery. At the moment, fishermen and farmers catch seed or juveniles in nature. PENDAHULUAN Lobster atau udang barong atau udang karang (Panulirus spp.) merupakan komoditas perikanan yang poten sial dan bern ilai ekonomis penting untuk ekspor. Permintaan lobster, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, terus meningkat. Pada awal tahun 2006 di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, harga lobster dengan berat per ekor 300-400 g (Gambar 1) di tingkat nelayan (on the beach) berkisar antara Rp 170.000,- - Rp 260.000,- per kg, tergantung ukuran, jenis, dan kondisi fisik (cacat/tidaknya) lobster. Akibat tingginya per mintaan dan kecenderungan harga yang terus meningkat, nelayan selalu meningkatkan upaya/usahanya untuk menangkap lobster dari alam. Penangkapan yang semakin intensif tersebut tentunya akan sangat membahayakan populasi lobster di alam jika tidak segera diimbangi dengan pembenihan dan restocking. Pada tahun- tahun terakhir ini disinyalir telah terjadi penurunan populasi yang ditandai dengan penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran udang yang tertangkap di alam (KADAFI et al, 2006), khususnya di perairan selatan Jawa (Banyuwangi, Trenggalek, Pacitan, 1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta 39
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006 : 39- 48 ISSN 0216-1877
Budidaya Pembesaran Udang Karang
Bayu Suprianto Bidang Ilmu………. Instansi, indonesia
email
Abstrak. Spiny lobster belongs to family Palinuridae and genus Panulirus. There are
six species of spiny lobster found in Indonesian waters, i.e. Panulirus peniculatus).
P. longipes P. versicolor, P. polyphagus, P homarus and P. ornatus. Demand for
spiny lobster in the export market is continually increasing, causing the local price
of this product escalated significantly at attractive value. This attractive price leads
and motivates the local fishermen to increase their effort to catch lobster. Due to the
intensive fishing, in some areas are proposed had over-fishing, especially in southern
Java waters. Based on the field studies funded by Iptekda LIPI at Pacitan dan
Gunungkidul, juvenile spiny lobster which ineligible for export (<100 g) could be
grown up in cages and tanks easily. Juveniles with body weight of 75 g can grow to
over 100 g within 2-3 month of fattening. However, it is a limitation to extensively grow
up spiny lobster in Indonesia, there is no seed produced in hatchery. At the moment,
fishermen and farmers catch seed or juveniles in nature.
PENDAHULUAN
Lobster atau udang barong atau udang
karang (Panulirus spp.) merupakan komoditas
perikanan yang poten sial dan bern ilai
ekonomis penting untuk ekspor. Permintaan
lobster, baik untuk pasar domestik maupun
ekspor, terus meningkat. Pada awal tahun 2006
di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, harga
lobster dengan berat per ekor 300-400 g
(Gambar 1) di tingkat nelayan (on the beach)
berkisar antara Rp 170.000,- - Rp 260.000,-
per kg, tergantung ukuran, jenis, dan kondisi
fisik (cacat/tidaknya) lobster.
Akibat tingginya per mintaan dan
kecenderungan harga yang terus meningkat,
nelayan selalu meningkatkan upaya/usahanya
untuk menangkap lobster dari alam.
Penangkapan yang semakin intensif tersebut
tentunya akan sangat membahayakan populasi
lobster di alam jika tidak segera diimbangi
dengan pembenihan dan restocking. Pada tahun-
tahun terakhir ini disinyalir telah terjadi
penurunan populasi yang ditandai dengan
penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran
udang yang tertangkap di alam (KADAFI et al,
2006), khususnya di perairan selatan Jawa
(Banyuwangi, Trenggalek, Pacitan,
1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta
dengan harga antara Rp 12.500,- dan Rp 15.000,- per kg. Harga tersebut naik menjadi sekitar Rp 60.000,- per kg setelah diketahui bahwa anakan udang karang dapat dipelihara atau dibudidayakan untuk mencapai ukuran berat lebih dari l00 g per ekor (Gambar 3B). Program pembesaran anakan udang karang tersebut dirintis oleh staf peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI melalui Program Iptekda LIPI bekerjasama dengan Fakultas Biologi UGM dan Balai Benih Ikan Pantai - DKP DIY di Sundak - Gunungkidul.
Pertumbuhan
Secara periodik lobster akan berganti kulit (moulting), yaitu kulit yang lama akan ditanggalkan dan diganti dengan kulit yang baru. Pada saat pergantian kulit tersebut bisanya diikuti dengan pertumbuhan dan pertambahan berat. Pemberian pakan yang baik, jumlah dan nutrisinya mencukupi, akan merangsang lobster untuk cepat berganti kulit. Pada saat ganti kulit kondisi lobster menjadi sangat lemah dan perlu tempat berlindung untuk menghindari serangan (kanibalisme) dari teman-temannya. Proses pengerasan kulit akan berlangsung selama satu hingga dua minggu. Proses pengerasan kulit tersebut dipengaruhi oleh jumlah dan gizi (nutrisi) pakan.
Hasil percobaan sampingan yang dilakukan oleh DKP Pacitan, yaitu menampung anakan udang karang di karamba jaring apung bekas budidaya ikan kerapu, diketahui bahwa anakan udang karang dengan berat krang dari 50 g yang diberi pakan ikan rucah dapat tumbuh mencapai ukuran layak jual (>100 g) dalam waktu empat bulan.
Di Balai Benih Ikan Pantai Sundak, Gunungkidul, anakan udang karang (<100 g) yang dipelihara di dalam bak beton dengan diberi pakan kerang dan bulu babi dapat mencapai ukuran lebih dari 100 g dalam waktu
dua hingga bulan. Pada program penelitian di Balai Benih Ikan Pantai Sundak, Gunungkidul tersebut diketahui bahwa anakan udang karang menghasilkan pertumbuhan yang signifikan, yaitu 25 - 40 gram per bulan dengan tingkat kematian akibat transportasi benih dari lapangan ke laboratorium sekitar 5-7 %.
TEKNIK BUDIDAYA UDANG KARANG
Penentuan lokasi Usaha budidaya merupakan salah satu
kegiatan bisnis yang memerlukan modal, ketrampilan, ketekunan, dan kemampuan memprediksi perkembangan pasar. Usaha budidaya akan berkaitan dengan beberapa disiplin ilmu dan pengetahuan, atara lain aspek perikanan, biologi, hukum, teknik dan ekonomi (SETYONO, 2004).
Selain aspek personil (manusia) dan ekonomi (permodalan), penentuan lokasi untuk usaha budidaya juga harus memperhatikan keamanan, baik keamanan bagi pekerja maupun keamanan unit usaha (bangunan, peralatan, dan hewan yang dipelihara). Selain itu, prasarana dan sarana perhubungan dan komunikasi juga perlu dipertimbangkan.
Usaha budidaya tidak terlepas dari
kondisi air sebagai media tempat hidup hewan
yang dipelihara. Kualitas air akan sangat
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan hewan
yang dipelihara. Khusus untuk 'onland farming'
atau budidaya sistem kolam dan bak yang
dibangun di darat, maka sumber air (kuantitas
dan kualitas) harus mendapat perhatian utama
(SETYONO, 2004). Sedangkan untuk budidaya
di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain
k ond isi air (k u alitas) in situ ju g a p erlu
diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang
dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan,
salinitas (kadar garam), pH (keasaman),
kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar
perairan (lumpur, pasir, batu). Pemilihan lokasi
untuk budidaya pembesaran udang karang tidak
jauh berbeda dengan persyaratan untuk
budidaya biota laut pada umumnya (PILLAY, 1990; LANDAU, 1992). Kondisi lingkungan tersebut tentunya akan berkaitan erat dengan teknik budidaya yang akan dipilih.