Page 1
Disertasi
BUDAYA ORGANISASI DI UNIVERSITAS SAINS AL-
QUR’AN WONOSOBO
Oleh
Rifqi Muntaqo 11.3.00.1.03.01.0049
Promotor:
Prof. Dr. Suwito, MA.
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2018
Page 5
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT., atas segala
nikmat dan karunia-Nya, sehingga Disertasi ini dapat terselesaikan dengan
baik. shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan yang
mulia Rasulullah SAW.
Penyusunan Disertasi ini merupakan observasi tentang “Budaya
Organisasi Di Universitas Sains Al-Qur’an” yang mengambil obyek
penelitian pada UNSIQ, untuk diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor
Manajemen Pendidikan Islam.
Penulis menyadari penuh dalam penyusunan Disertasi ini, bahwa
tanpa adanya bimbingan, bantuan, motivasi dan kerjasama dari berbagai
pihak sulit rasanya dapat mewujudkan dan menyelesaikan penulisan ini.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Masykuri
Abdillah, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM. selaku Wakil Direktur Sekolah Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah. Prof. Dr. Didin Saepudin, MA. sebagai Ketua
Program Studi S-3, Dr. J.M. Muslimin, MA. sebagai Ketua Program Studi S-
2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kedua promotor
dalam penelitian ini, Prof. Dr. Suwito, M.A, dan Prof. Dr. Ahmad Rodoni,
MM. yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan sampai
Disertasi ini selesai. Dan segenap guru besar dan dosen Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak memberi bekal bagi
penyusun untuk menjadi dewasa dalam berpikir dan menjadi kritis secara
akademik. Dan tidak lupa segenap karyawan dan karyawati Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah atas segala pelayanan dan bantuan yang
telah diberikan selama studi dan menyelesaikan Disertasi ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor UNSIQ Dr.
KH. Mukhotob Hamzah, MM., Wakil Rektor 1 Dr. Zaenal Sukawi, MA.
Wakil Rektor 2 H. Mahfudz, MA, Wakil Rektor 3 Alm. Dr. A. Kholiq yang
sebelumnya menjadi Kabiro UNSIQ ketika penulis melakukan penggalian
data. Dosen UNSIQ Fakthurrohman, M.Pd, dan H. Ahmad Zuhdi, M.Ag. dan
seganap dosen UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo.
Ucapan terimakasih tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua
orang tua ayahanda Samingan, S.Pd.I, Ibunda Drs. Maisaroh, yang telah
memberikan dukungan penuh selama penulis menuntut ilmu sejak tahun
1992 hingga 2017, dan adinda Kamaludin Ridho beserta keluarga.
Termikasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Mertua Somadi, Ibu
Page 6
Mertua Siti Jariyah dan segenap saudara-saudari istri, Mba Umi, Mas Narto,
dan Mas Mad beserta keluarga besar masing-masing.
Ungkapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan kepada
istri tercinta Dwi Masruroh, M.Pd.I. yang telah menemani penulis dalam
suka maupun duka selama penelitian ini berlangsung bersama anak-anak
tersayang, Ahmad Khalish ar-Raid dan Nizar Aliy Azam, semoga kalian
lebih baik dari ayah dan bunda.
Ungkapan terimakasih teristimewa juga penulis sampaikan kepada
Dr. Robingun Alh. telah bersedia menjadi teman diskusi penulis selama
penyusunan disertasi ini. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan,
penulis tidak bisa membalas apa-apa, kecuali hanya ucapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya dan hanya bisa memanjatkan do’a mudah-mudahan
Allah swt, membalas semua amal dan kebaikan dengan berlipat ganda.
Jazahumulloh Ahsanal Jaza’. Amin.
Page 7
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menemukan efektivitas konsep relasi interpersonal
dalam budaya organisasi. Sarana solusi alternatif organisasi dari efek makin
menurunnya kualitas relasi antar anggota organisasi, sehingga muncul sikap
individual. Konsep tersebut berkontribusi menghasilkan nilai baik bagi anggota
organisasi, yakni hidup bermakna untuk dirinya maupun lingkungannya.
Disertasi ini berkesimpulan bahwa internalisasi nilai dan norma organisasi
lebih efektif melalui intensitas relasi interpersonal anggota organisasi dalam
mendukung pengembangan budaya organisasi daripada prosedur kerja organisasi.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini berkesimpulan sama dengan temuan Geertz
Hofstede (1980) yakni budaya organisasi merupakan simbol efektivitas subjektif
dan objektif dalam organisasi. Kesimpulan disertasi ini berbeda dengan hasil
penelitian Fons Trompenaars and Charles Hampden Turner (1997) yakni budaya
organisasi sebagai sistem makna bersama anggota organisasi berdasarkan peraturan
organisasi.
Bertumpu pada kerangka teori dari pendekatan metodologis yang
digunakan, diverifikasi dari fakta yang ada bahwa konsep relasi interpersonal
merupakan salah satu pendukung utama dari terbentuk dan berkembangnya budaya
organisasi. Dengan adanya kepemimpinan organisasi yang mumpuni dalam
menjalankan fungsinya, kemudian konsep relasi interpersonal dengan pendekatan
teori keseimbangan yang terimplementasikan dengan baik, dan adanya dukungan
nilai-nilai Qur’ani dalam proses pembentukan budaya Qur’ani dan budaya
akademik dalam pengembangan budaya organisasi.
Disertasi ini merupakan penelitian field research dengan pendekatan
penelitian kualitatif. Sumber utama data penelitian yakni informasi langsung yang
diperoleh dari civitas akademik Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo, didukung
pengayaan informasi dari berbagai sumber data. Data dibaca menggunakan
pendekatan antropologi, fenomenologi dan manajemen pendidikan. Pengumpulan
data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi terlibat, dan dokumentasi.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik triangulasi
dan komparasi.
Keyword ; Relasi Interpersonal, Budaya Akademik, Budaya Qur’ani, Budaya
Organisasi, dan Manajemen Pendidikan.
Page 8
Abstract
Based on the theoretical framework of the methodological approach
used, it is found that organizational culture is a cornerstone of educational
management concepts, with academic and Qur'anic principles as universal
buildings and revelation in tangible organizational culture values, namely;
power distance, individualism, uncertainty avoidance, masculine, and term
orientation. Then Interpersonal values as a strenght for the implementation of
organizational culture values, where indication can be seen from the balance
of income, job satisfaction, motivation, communication, workload and
performance. They also need to be supported by a sense of kinship and
justice, where they can address internal integration issues, i.e; the
organization's external adaptation.
This dissertation aims to describe the internalization of organizational
values and norms more effectively through the intensity of interpersonal
relations of organization members in supporting the development of
organizational culture in UNSIQ (Universitas Sains Al-Qur’an). Therefore,
this study supports the findings of Geertz Hofstede stating that organizational
culture is a symbol of subjective and objective effectiveness in the
organization. And the results of research Stephen P. Robbins which states
that the organizational culture is a system of meaning with members of the
organization.
This dissertation is a quantitative and qualitative research with case
study method. The main sources of data or information are obtained directly
from the academic community of Universitas Sains Alqur’an Wonosobo,
supported by the enrichment of information from various sources. Data is
read using an anthropology approach, phenomenology and management
education. Data collection was conducted by questionnaire, in-depth
interviews, participant observation, focuss group discussion, and
documentation. The collected data was then analyzed by using triangulation
and comparation technique.
Through theoretical analysis, the research ultimately offers
interpersonal values in organizational culture as a theory as well as
educational management practice, means of an alternative solution to the
organization of the effect of decreasing the quality of relationships among
members of the organization, resulted in the attitude of self-stunting and
uncertainty. These values contribute to positive values for members of the
organization, meaningful living for themselves and their environment. This
theory can be utilized for the development of Islamic education management
as an alternative form of organizational culture model based on interpersonal
values in the construction of Islamic studies.
Keyword ; Interpersonal Values, Organizational Culture, and
Management Education.
Page 10
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Pernyataan Bebas Plagiarisme
Persetujuan Pembimbing Dan Penguji
Abstrak Bahasa Indonesia, Arab Dan Inggris
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Permasalahan .............................................................................. 6
1. Identifikasi Masalah ............................................................. 6
2. Rumusan Masalah ................................................................ 6
3. Pembatasan Masalah ............................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
D. Signifikansi/ Manfaat Penelitian ................................................ 7
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................................ 7
F. Metodologi Penelitian ................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 15
BAB II DISKURSUS BUDAYA ORGANISASI
A. Budaya Organisasi di Perguruan Tinggi ..................................... 17
B. Kepemimpinan Organisasi ......................................................... 29
C. Relasi Interpersonal Dalam Sebuah Organisasi ......................... 36
D. Relasi Interpersonal Meningkatkan Budaya Organisasi ............. 43
E. Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Budaya Organisasi ........................... 49
BAB III PROFIL UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
A. Gambaran Umum Lembaga ....................................................... 61
B. Unit Organisasi pembentuk Kultur Qur’ani ............................... 63
C. Sistem Manajemen Mutu Pendidikan ......................................... 65
BAB IV KONKRITISASI RELASI INTERPERSONAL DALAM
PENGEMBANGAN BUDAYA ORGANISASI DI UNSIQ
A. Kepemimpinan dalam Budaya Organisasi ................................. 74
B. Kepemimpinan Pendidikan di UNSIQ ....................................... 79
C. Sosialisasi Budaya Organisasi Oleh Pemimpin Organisasi ........ 91
D. Azaz Keadilan Tujuan Pengembangan Budaya Organisasi ........ 93
E. Azaz Kekeluargaan Tujuan Pengembangan Budaya Organisasi 101
Page 11
BAB V RELASI INTERPERSONAL DALAM BUDAYA
ORGANISASI DI UNSIQ
A. Relasi Interpersonal Sebagai Asas Pemberdayaan Pegawai
UNSIQ ........................................................................................ 107
1. Dinamika Perubahan Organisasi ......................................... 112
2. Peningkatan Kompetensi Pegawai UNSIQ .......................... 121
B. Relasi Interpersonal Media Bargaining Jaringan Regional ......... 125
C. Relasi Interpersonal Media Pengembangan Mutu Dosen ........... 130
BAB VI INTEGRASI HUMANIS-QUR’ANI DALAM
PENGEMBANGAN BUDAYA ORGANISASI DI UNSIQ
A. Transformasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Budaya Organisasi ..... 137
B. Budaya Akademik Asas Pengembangan Budaya Organisasi .... 150
BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 155
B. Saran dan Rekomendasi .............................................................. 156
Daftar Pustaka
Lampiran
Indeks
Page 12
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Budaya organisasi bisa dipahami sebagai segala bentuk akumulasi cara
berpikir, bekerja, perasaan, dan kebiasaan yang dipelajari oleh anggota
organisasinya.1 William memperjelas konsep budaya organisasi terkait
keputusan, tindakan dan komunikasi, baik pada instrumental maupun simbolik.2
Pecanha dan Godoy mengasumsikan salah satu bentuk budaya organisasi yang
diaplikasikan dalam tindakan adalah komunikasi, di mana keterbukaan dalam
komunikasi merupakan faktor pendukung manusia dalam berhubungan dengan
orang lain3 sebagai makhluk sosial.
4 Manfaat hubungan dengan orang lain atau
lebih tepatnya relasi interpersonal yang positif dalam suatu organisasi dapat
meningkatkan produktivitas kerja anggota organisasi tersebut.5 Penjelasan
Hofstede tentang komunikasi bahwa seseorang memeliki kemampuan berikir
dan bertindak sesuai impiannya atau dengan kata lain mental. Hal ini meliputi
konsep mengenai tradisi dalam suatu organisasi atau masyarakat dan hasil dari
pemahaman nilai atau norma yang berlaku.6
Pemaknaan komunikasi dalam relasi interpersonal seperti yang
dijabarkan oleh Rushdi> Ahmad T}u’aymah, مصطهح إحصال يشيش بانخفاعم istilah
komunikasi diartikan sebagai relasi interpersonal.7 Syaiful menambahkan
bahwa relasi interpersonal8 manusia timbul sebagai reaksi atas hubungan
1 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership (San Fransisco:
Josseybass, 1992), 18. 2 William G. Tierney, “Organizational Culture in Higher Education: Defining The
Essentials”, The Journal of Higher Education, Vol. 59, No. 1 (Jan. - Feb., 1988), 3.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00221546.1988.11778301?journalCode=uhej2
0 3 Godoy, R.S.P., & Peçanha, D.L.N., “Cultura organizacional e processos de
inovacao: um estudo psicossociologico em empresa de base tecnologica”. Boletim Academia
Paulista de Psicologia, 29 (1), (2009) 142-163.
http://pepsic.bvsalud.org/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1415-711X2009000100012 4 Dian Wisnu Wardhani, Mashoedi, dan Sri Fatmawati, Hubungan Interpersonal
(Jakarta: Salemba Humanika, 2012), 116. Vivin Ayu Dwi L, “hasil belajar mahasiswa
terhadap hubungan interpersonal”, artikel (Surabaya: Fak. Ekonomi UNESA), 209. 5 Erkan Yaman dan Keyhan Ruclar, “Organizational Silence In Universities As The
Predictor Of Organizational Culture”, Yükseköğretim ve Bilim Dergisi/Journal of Higher
Education and Science; DOI: 10.5961/jhes.2014.087. Sri Haryani & Yulia, Mengelola
Sumber Daya Manusia Dan Hubungan Karyawan (Jakarta: Gramedia, 1995), 61. Saydam,
Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Djambatan, 1996), 423. 6 Myron W. Lustig & Jolene Koester, Intercultural Competence Interpersonal
Communication Across Cultures, 6th ed. (Boston: Pearson Education Inc. 2010) 113-123. 7 Rushdi Ahmad T}u’aymah ‚Ta’li>m al-Lughoh Ittis}aliya> Bayna al-Mana>hij wa al-
Istira>tijiya>t‛, (i>si>siku>, 2006). 25. 8 Pearson dalam Dian Wisnu Wardhani, Mashoedi, dan Sri Fatmawati, Hubungan
Interpersonal (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), 2.
Page 13
2
formalitas, di mana fokusnya lebih dititikberatkan kepada berbagai elemen
organisasi.9 Seperti dalam hubungan pegawai dan manajemen, di mana
hubungan ini terdapat beberapa aktor utama, seperti; mahasiswa, pegawai,
pimpinan dan pemerintah terkait.10
Meskipun setiap pihak saling tergantung,
tetapi mereka hanya dibedakan dengan adanya struktur jabatan tertentu. Oleh
karena itu, hubungan manusia dalam organisasi seharusnya menunjukkan
keterkaitan antara tanggung jawab, wewenang dan pelaporan (akuntabilitas).11
Husein Hamadi menyatakan:
إن الإحصال هى انعمهيت انخ يخم عه طشيقها اوخقال انمعشفت مه شخص لإخش
ن انخفاهم بيه هزيه انشخصيه أو أكثشحخ حصبح مشاعا بيىهما وحؤدي إ Komunikasi adalah proses di mana pengetahuan ditransfer dari
seseorang kepada orang lain, sehingga menjadi pengetahuan umum di
antara mereka dan mengarah pada pemahaman antara dua orang atau
lebih.12
‘Ula>uddi>n Ah}mad Kafa>fi memperjelas:
إن الاحصال شكم مه أشكال عمهياث انخفاعم الإجخماع ايا كان حجمه وشكهه
فئوه عمهي ديىاميكيت إرا عمهيت الإحصال ضشوسيت نهفشد وانمجخمع عه حذ انسىاء
فهي حسهم في ححقيق انحاجاث انفشديت والإجخماعيتKomunikasi merupakan salah satu bentuk hubungan sosial terlepas dari
ukuran dan bentuknya, hal tersebut dinamis jika proses komunikasi
diperlukan baik untuk individu dan masyarakat, dan berkontribusi pada
pencapaian kebutuhan individu dan masyarakat.13
Untuk menjaga hubungan baik antara anggota organisasi dibutuhkan
beberapa faktor, seperti dengan adanya keakraban, adanya pengawasan, adanya
perhatian, dan pengunaan perasaan yang disesuaikan dengan kondisi. Karena
pada hakikatnya, setiap hubungan interpersonal pasti akan terjadi konflik
lambat atau cepat.14
Dalam dunia pendidikan, keseimbangan ini lah yang
seharusnya dapat dibiasakan, agar proses peningkatan kinerja pendidikan
9 Syaiful Sagala, Budaya Dan Reinventing Organisasi Pendidikan (Bandung:
Alfabeta, 2008), 277-278. 10
T. Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia
(Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2001), 213 11
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), 82 12
H}usain H}amadi> dalam Rushdi Ahmad T}u’aymah ‚Ta’li>m al-Lughoh Ittis}aliya> Bayna al-Mana>hij wa al-Istira>tijiya>t‛, (i>si>siku>, 2006). 25.
13 ‘Ula>uddi>n Ah}mad Kafa>fi>, ‚Mahara>tu al-Ittisha>l wa al-Tafa>’ul fi> ‘Imli>ti> wa al-
Ta’alum‛, Shaf 2, (Da>r al-Fikr: Qa>hiroh Mishr). 14
Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Raya, 2005), 126
Page 14
3
khususnya di perguruan tinggi dapat cepat tercapai sekaligus menanggulangi
problem-problem yang terjadi.15
Kemudian pada konsep budaya organisasi seperti yang dijelaskan
Hofstede, menggambarkan efek dari budaya masyarakat pada nilai-nilai
anggotanya, dan bagaimana nilai-nilai berhubungan dengan perilaku.16
Pada
proses penerapan budaya organisasi terdapat perdebatan di antara kemudahan
maupun kesulitan yang disebabkan berbagai faktor (usia, geografis, dsb), seperti
yang dikatakan oleh Antony bahwa budaya organisasi dapat dengan mudah
dikelola, sedangkan Burack, Nord, Trice And Beyer berpendapat penerapan
budaya organisasi jauh lebih sulit. Aplikasi budaya organisasi terdapat beberapa
faktor seperti keragaman dan kompleksitas sub-budaya, konflik kepentingan
politik, waktu yang tidak tepat, dan kegagalan komunikasi.17
Martin
menambahkan bahwa budaya organisasi dapat dan telah berhasil berkembang
diterapkan dalam organisasi modern. Oleh karena itu Smircich menambahkan
budaya organisasi merupakan bagian dari organisasi bukan sesuatu yang hanya
dimiliki organisasi.18
Robbins mengartikan budaya organisasi sebagai pemaknaan bersama
oleh anggota organisasi, sehingga membedakan organisasi tersebut dengan
organisasi lainnya.19
Budaya organisasi pada setiap organisasi berbeda, seperti
karakter, watak dan kepribadiannya.20
Hofstede menyebutkan empat manifestasi
budaya (simbol, pahlawan, ritual, dan nilai). Namun lebih rinci lagi, budaya
organisasi di perguruan tinggi dibangun berdasarkan falsafah yang dianut,
keyakinan-keyakinan dasar dan nilai-nilai21
dominan yang dihargai bersama
anggota organisasi perguruan tinggi itu, sehingga membentuk perilaku
organisasi. Dalam pandangan Hofstede budaya sendiri diartikan proses interaksi
yang mencirikan kegiatannya sehingga mempengaruhi anggota organisasi lain
dan lingkungan sekitarnya.22
Perilaku organisasi dapat dilihat seperti; pertama,
penampilan fisik (artefak) misal gedung dan pengaturan lingkungan perguruan
tinggi. kedua, penampilan non fisik misal pola relasi interpersonal antar sesama
15
Ahmad Sobirin, Budaya Organisasi: Pengertian, Makna, Dan Aplikasinya
Dalam Kehidupan Organisasional (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2009), 239. 16
Geert Hofstede, Geert Jan Hofstede and Michael Minkov, Culture and
Organization: Software of The Mind, (McGraw Hill Professional, 2010), 17
Karel De Witte and Jaap J. Van Muijen, Organizational Culture, dalam jurnal
European journal of work and organizational Psychology, Peter Heriot, Organizational
Culture, Volume 8, Number 4, December 1999, (United Kingdom: Psychology Press in
Association with the international Association of Applied psychology, 1999), 497. 18
Karel De Witte and Jaap J. Van Muijen, Organizational Culture.., 497. 19
Stephen P. Robbins and Judge A. Timothy, Organizational Behaviour, vol 15,
(USA: Pearson Education, 2013), 512 20
Tobroni, Perilaku Kepemimpinan Spiritual Dalam Pengembangan Organisasi
Pendidikan Dan Pembelajaran; Kasus Lima Pemimpin Pendidikan Di Kota Ngalam
(Yogyakarta: Disertasi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2005), 60. 21
Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 18. 22
Hofstede, Geert, Culture‟s Consequences, International Differences in Work –
Related Values. (Beverly Hills/London/New Delhi: Sage Publication.1986) 21.
Page 15
4
mahasiswa, dosen, interaksi dosen-mahasiswa (semua subyek yang ada di
perguruan tinggi) dan penggunaan metode reward-punishment terhadap
pegawai, dosen maupun mahasiswa yang berprestasi dan berdedikasi.23
Perguruan tinggi juga memiliki hak dan kewenangan dalam
menentukan kebebasan, otonomi, dan budaya akademik (academic culture).
Adapun hak dan wewenang ini sesuai dengan misi undang-undang nomor 20
tahun 2003, peraturan pemerintah nomor 60 tahun 1999 dan PP nomor 61 tahun
1999. Ketiga kebijakan tersebut seharusnya dapat dijaga dan dikembangkan
oleh perguruan tinggi untuk menjadi panutan lembaga pendidikan lain. Kita
ketahui bahwa budaya akademik perguruan tinggi yang paling mendasar adalah
budaya literacy. Wujud budaya literacy antara lain pencapaian prestasi
akademik tertinggi misal profesor, proses pencapaianya pun dilalui dengan
berbagai kegiatan akademik yang mendukung ke arah tingkatan akademik
tertinggi tersebut. Kompetensi lainnya adalah dosen sebagai tenaga
profesional,24
menetapkan apa yang terbaik untuk mahasiswanya berdasarkan
pertimbangan profesional. Sallis mengatakan, dosen merupakan front line
provider and determine the quality of service delivery system.25
Beberapa permasalahan dalam kegiatan akademik di perguruan tinggi,
Rindang Gunawan dan Jumadi mencontohkan permasalahan mahasiswa saat
perkuliahan26
dan saat proses pembimbingan.27
Permasalahan relasi
interpersonal yang negatif,28
baik kepada dosen pengampu mata kuliah ataupun
kepada dosen pembimbing29
sehingga menimbulkan pengurangan nilai bahkan
penundaan penilaian pada mahasiswa tersebut.30
Saat ini salah satu model
perkuliahan yang diminati oleh mahasiswa pada saat ini adalah perkuliahan
23
Tobroni, Perilaku Kepemimpinan Spiritual, 60. 24
Bambang Sumadjoko, Membangun Budaya Pendidikan Mutu Perguruan Tinggi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 89. 25
Edward Sallis, Total Quality Management In Education (London: Kogan Page
Limited). 26
Jumadi, “Peranan Kultur Sekolah Terhadap Kinerja Guru, Motivasi Berprestasi
dan Prestasi Akademik Siswa”, Jurnal Penelitian Tajdidukasi. Vol. 1, Tahun 2006, 22.
https://www.tajdidukasi.or.id/index.php/tajdidukasi/article/view/4 27
Rindang Gunawati, Sri Hartati dan Anita Listiara dengan judul “Hubungan
Antara Efektivitas Komunikasi Mahasiswa Dosen..”, Jurnal Psikologi Universitas
Diponegoro Volume 3 No.2, Desember 2006, 95.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/view/659 28
Sarafino, E.P., Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Second Edition
(Singapore: John Wiley & Sons, Inc, 1994), 89. 29
De Vito, J. A.. The Interpersonal Communication. Seventh Edition (New York:
Harper Collins College Publisher, 1995), h.7. Lihat juga dalam Walgito, B, Psikologi
Sosial: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Andi Offset, 2001), 77. 30
Pangestuti, R. “Penundaan Menyelesaikan Skripsi (Studi Kasus pada beberapa
Mahasiswa Angkatan ‟96 Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro” (Semarang. Fakultas Psikologi UNDIP, 2003), 200.
Page 16
5
online, dengan harapan mahasiswa lebih dapat terkonsentrasi pada pemahaman
materi yang disampaikan ataupun tugas yang diberikan.31
Budaya memiliki makna yang sangat penting dalam meningkatkan
kinerja manajemen pada suatu lembaga,32
suatu lembaga yang
mengombinasikan nilai dan keyakinan, kebijakan dan praktik manajemen, serta
hubungan antara keduanya akan menunjukkan keberhasilan yang terlihat dari
budaya organisasi yang memiliki sifat keterlibatan,33
konsistensi,34
adaptabilitas
dan penghayatan misi. Dalam hal ini, penelitian akan meneliti pada sebuah
perguruan tinggi islam di daerah dataran tinggi Wonosobo Jawa Tengah yakni
Universitas Sains Al-Qur‟an, merupakan lembaga pendidikan tinggi islam yang
masih memiliki keterkaitan dengan pondok pesantren Tahfiz al-Qur‟an al-
Asy‟ariyyah. Lebih dari itu, sebagian besar dosen dan mahasiswa yang
berkecimpung dalam kegiatan pembelajaran di UNSIQ adalah para kyai/ ustad
dan santri dari pesantren tersebut. Penulis tertarik untuk meneliti pada objek
penelitian tersebut, karena adanya lingkungan pesantren yang mendukung
proses pengelolaan perguruan tinggi baik dari bidang akademik maupun bidang
manajerial lembaga, sehingga menimbulkan banyak asumsi bahwa perguruan
tinggi tersebut bercorak tradisional-modern, kemudian dari sisi relasi
interpersonal civitas akademik yang semakin demokratis tanpa meninggalkan
kharismatis. Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan pola budaya
organisasi yang ideal dalam meningkatkan kualitas perguruan tinggi, melalui
pemahaman dan pengaplikasian konsep relasi interpersonal dan nilai-nilai
budaya organisasi.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, beberapa masalah yang
akan dikaji dalam penelitian ini, antara lain:
a. Efektiftivitas relasi interpersonal antara civitas akademik belum
berjalan dengan baik di UNSIQ.
b. Keakraban, kontrol teman sejawat, respon yang tepat belum menjadi
dasar anggota organisasi berinteraksi yang baik di UNSIQ.
c. Intensitas komunikasi antara civitas akademik kurang maksimal di
UNSIQ.
d. Dasar pengembangan budaya akademik belum mendalam sebagaimana
dikembangkan dalam kajian budaya organisasi di UNSIQ.
31
Lei Li, John Finley, Jennifer Pitts, dan Rong Guo, Which is a better choice for
student-faculty interaction: synchronous or a synchronous communication?, Journal of
Technology Research; Volume 2 - September, 2011, Published by Academic and Business
Research Institute, Florida, USA.
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.467.7214&rep=rep1&type=pdf 32
Didin Kurniadin Dan Imam Machali, Manajemen Pendidikan; Konsep dan
Prinsip Pengelolaan Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 247. 33
Edy Sutrisno, Budaya Organisasi (Jakarta: Kencana, 2011), 187. 34
Edy Sutrisno, Budaya Organisasi (Jakarta: Kencana, 2011), 186.
Page 17
6
e. Peran budaya pesantren memberikan pengaruh religiusitas yang tinggi
terhadap proses sosialisasi budaya organisasi di UNSIQ.
f. Pentingnya inovasi budaya organisasi yang dapat meningkatkan
kreativitas civitas akademik di UNSIQ.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah mayor penelitian ini adalah bagaimana budaya
organisasi di Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo?. Kemudian
dirumuskan permasalahan minor penelitian ini, sebagai berikut:
a. Bagaimana peran kepemimpinan dalam budaya organisasi?
b. Bagaimana peran relasi interpersonal dalam budaya organisasi?
c. Bagaimana peran nilai-nilai Qur‟ani dalam budaya organisasi?
3. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan di atas,
penulis akan membatasi permasalahannya pada pengelolaan budaya
organsiasi yang didasarkan atas efektivitas relasi interpersonal civitas
akademik Universitas Sains al-Qur‟an Wonosobo sehingga memudahkan
peran pimpinan dalam merumuskan sekaligus mensosialisasikan budaya
organisasi. Budaya organisasi diwujudkan antara lain dalam budaya
akademik dan budaya Qur‟ani, dengan demikian diharapkan civitas
akademik berorientasi pada pencapaian tujuan organisasi. Kemudian lama
waktu penelitian ini yakni 2 tahun, dimulai dari tahun 2016 hingga tahun
2018. Penelitian ini dilakukan di Universitas Sains Al-Qur‟an Kalibeber
Mojotengah Wonosobo Jawa Tengah.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Mayor dari penelitian ini ialah menjelaskan budaya organisasi
di Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo. Kemudian tujuan minor penelitian
ini adalah;
1. Menjelaskan peran kepemimpinan dalam budaya organisasi.
2. Menjelaskan relasi interpersonal dalam budaya organisasi
3. Menjelaskan nilai-nilai Qur‟ani dalam budaya organisasi.
D. Signifikansi/Manfaat Penelitian
Setelah melakukan penelitian penulis berharap disertasi memiliki
kegunaan sebagai berikut:
1. Secara teoritis, Kegunaan yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini
adalah agar hasil kajian yang mengangkat persoalan manajemen
pengembangan budaya organisasi di perguran tinggi dapat dijadikan
sebagai sesuatu yang terkait secara umum dengan berbagai persoalan
penyelenggaraan pendidikan yang berkembang.
2. Secara praktis, Hasil penelitian ini, ingin mencoba memperlihatkan bahwa
manajemen pengembangan budaya organisasi dapat menunjang
peningkatan mutu perguruan tinggi. Dan diharapkan hasil penelitian ini
Page 18
7
dapat memunculkan inspirasi untuk melakukan pembaharuan dan
reorientasi dalam praktek penyelenggaraan pendidikan.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan budaya
organisasi antara lain yang dilakukan oleh Erkan Yaman dan Kayhan Ruçlar
dengan tema Organizational Silence in Universities as the Predictor of
Organizational Culture.35
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa Civitas
akademik universitas berupaya menciptakan budaya komunikasi yang baik
dalam lembaga mereka, serta mendorong instruktur atau pimpinan untuk
berkomunikasi dengan jelas dan meningkatkan frekuensi kontak dengan civitas
akademik.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah konsep budaya
organisasi yang saling mendukung membutuhkan ketenangan dalam
berkomunikasi, sehingga pesan yang disampaikan dalam komunikasi tersebut
dapat dipahami dengan baik. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan bahwa
budaya organisasi di perguruan tinggi islam tidak hanya mendukung
ketenangan dalam berkomunikasi namun ketegasan dalam komunikasi juga
dituntut untuk menyikapi pengaruh global yang tidak sesuai dengan budaya
pesantren yang telah dikembangkan.
Salman Ilaiyan dengan tema Difficulties Experienced by the Arab
Teacher during His1 First Year of Teaching as a Result of Personal and
Organizational Variables.36
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor iklim
organisasi (budaya organisasi) secara signifikan mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan. Adapun iklim organisasi dipengaruhi oleh latar belakang pendidik
pemula dan spesialisasi keilmuannya, sehingga menimbulkan kesulitan adaptasi
pada tahun pertama. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah
adaptasi dosen pemula di perguruan tinggi islam yang sangat mudah, hal ini
disebabkan sebagian besar dosen senior dapat membimbing dosen pemula.
Houshang Mobarakabadi dan Meisam Karami dengan tema
Investigation of Relationship among the Organizational Culture and
Creativity.37
Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi positif antara budaya
35
Erkan Yaman and Kayhan Ruçlar, “Organizational Silence in Universities as the
Predictor of Organizational Cultur”, Yükseköğretim ve Bilim Dergisi/Journal of Higher
Education and Science, Volume 4, Number 1, April 2014; Pages 36-50, DOI:
10.5961/jhes.2014.087. http://oaji.net/articles/2014/593-1400074406.pdf 36
Salman Ilaiyan, “Difficulties Experienced by the Arab Teacher during His1 First
Year of Teaching as a Result of Personal and Organizational Variables, scientific research”,
Creative Education, Vol.4, No.6, 363-375. Published Online June 2013 in SciRes
(http://www.scirp.org/journal/ce). 37
Houshang Mobarakabadi and Meisam Karami, “Investigation of Relationship
among the Organizational Culture and Creativity”, Research Journal of Applied Sciences,
Engineering and Technology 7 (19): 4069-4071, ISSN: 2040-7459; e-ISSN: 2040-7467 ©
Maxwell Scientific Organization, 2014.
http://www.airitilibrary.com/Publication/alDetailedMesh?docid=20407467-201405-
201507070020-201507070020-4069-4071
Page 19
8
organisasi dan kreativitas Manajer Organisasi Pelatihan. Perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah budaya organisasi pesantren merupakan dasar
kreatifitas yang menunjang inovasi budaya organisasi yang bersifat islami lebih
banyak,
Maria de Fátima Bruno-Faria dan Marcus Vinicius de Araujo Fonseca
dengan tema Cultura de Inovação: Conceitos e Modelos Teóricos.38
Hasil
penelitian hasil penelitian menunjukkan hubungan antara budaya organisasi dan
inovasi, dengan menggunakan beberapa kata kunci dalam menganalisis
beberapa artikel yang ada pada Coordenação de Aperfeiçoamento de Pessoal de
Nível Superior (CAPES), Proquest dan Directory Open Articles Journal
(DOAJ). Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah penelitian
lapangan (field research) sehingga objek kajian tidak hanya mengkaji inovasi
dalam bentuk karya ilmiah.
Pilar Mendoza dan Joseph B. Berger dengan tema Academic Capitalism
and Academic Culture: A Case Study.39
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Staf fakultas percaya bahwa integritas luas dari budaya akademik tetap
tidak terpengaruh di departemen ini dan mereka menganggap sponsorship
industri sebagai kendaraan yang sangat efektif untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan mengejar kepentingan ilmiah mereka. Studi ini memberikan
wawasan berharga untuk kebijakan federal dan kelembagaan yang diciptakan
untuk mendorong kemitraan industri-akademisi dan komersialisasi penelitian
akademis. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah aksentuasi
terhadap konsep komunikasi relasi interpersonal dalam menghadapi
perkembangan budaya organisasi pesantren di perguruan tinggi islam, adapun
komunikasi terhadap instansi terkait merupakan arah perkembangan budaya
organisasi dalam penelitian ini.
Radoslaw Wolniak dengan tema a typology of organizational cultures
in terms of improvement of the quality management.40
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa budaya organisasi dibagi dalam empat jenis: budaya pro-
kualitas (sukses), budaya penghindaran, budaya konservatif (kaku) dan budaya
perubahan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pendalaman
konsep tentang budaya organisasi pesantren yang dikembangkan dalam
perguruan tinggi islam, sehingga kajian pengelompokan dapat menjadi dasar
dalam pemisahan budaya organisasi yang terjadi pada objek penelitian.
38
Maria de Fátima Bruno-Faria dan Marcus Vinicius de Araujo Fonseca, “Cultura
de Inovação: Conceitos e Modelos Teóricos”, RAC, Rio de Janeiro, v. 18, n. 4, art. 1, pp.
372-396, Jul./Ago. 2014 http://dx.doi.org/10.1590/1982-7849rac20141025 39
Pilar Mendoza dan Joseph B. Berger, “Academic Capitalism and Academic
Culture: A Case Study”, Education Policy Analysis Archives, Volume 16 Number 23
December 29, 2008 ISSN 1068–2341 http://www.redalyc.org/html/2750/275020545022/ 40
Radoslaw Wolniak, “A Typology Of Organizational Cultures In Terms Of
Improvement Of The Quality Management”, Manager, Change and Leadership, Faculty of
Organisation and Management, Silesian Technical University, Poland No. 17 ~ 2013
https://search.proquest.com/openview/841db2f9db20a071b99870c05744b207/1?pq-
origsite=gscholar&cbl=2032296
Page 20
9
Atilgan Erozkan dengan tema The Effect of Communication Skills and
Interpersonal Problem Solving Skills on Social Self-Efficacy.41
Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
keterampilan interpersonal ditemukan secara signifikan berhubungan dengan
sosial efektivitas diri dan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
keterampilan interpersonal prediktor penting dari sosial efektivitas diri.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penekanan
komunikasi dalam pemecahan masalah budaya organisasi yang terwujud dalam
budaya akademik, budaya otonomi dan budaya kebebasan yang dikaji dalam
penelitian.
Lei Li, John Finley, Jennifer Pitts, dan Rong Guo dengan tema Which is
a better choice for student-faculty interaction: synchronous or asynchronous
communication?.42
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan
komunikasi melalui komputer (CMC) teknologi telah secara dramatis
mengubah cara bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan profesor mereka
terutama untuk komunikasi yang terjadi di luar kelas. Perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah penelitian ini pengembangan dari komunikasi
melalui computer atau teknologi, sehingga penelitian ini tidak saja meneliti
tentang pemanfaatan teknologi tetapi juga efektifitas komunikasi antar anggota
organisasi.
Nebojša Janićijević dengan tema The Influence Of Organizational
Culture On Organizational Preferences Towards The Choice Of Organizational
Change Strategy.43
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Budaya organisasi,
melalui asumsi, nilai-nilai, norma dan simbol, menentukan cara di mana
anggota organisasi memandang dan menafsirkan realitas di dalam dan di sekitar
organisasi mereka, serta cara mereka berperilaku dalam kenyataan itu.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah kajian budaya organisasi
yang berupa asumsi, nilai, dan simbol dikaitkan dengan efektifitas komunikasi
interpersonal.
Silvio Luiz Paula dan José Ricardo Mendonça dengan tema A
construção de uma impressão socialmente responsável: Um estudo em
41
Atilgan Erozkan, “The Effect of Communication Skills and Interpersonal
Problem Solving Skills on Social Self-Efficacy”, Educational Sciences: Theory & Practice -
13(2) • Spring • 739-745, 2013 Educational Consultancy and Research Center,
www.edam.com.tr/estp https://eric.ed.gov/?id=EJ1017303 42
Lei Li, John Finley, Jennifer Pitts, dan Rong Guo, “Which is a better choice for
student-faculty interaction: synchronous or asynchronous communication?”, Journal of
Technology Research, Volume 2 - September, 2011 ISSN Online: 1941-3416, Print: 2327-
5359 https://pdfs.semanticscholar.org/cdc7/197f2c6fbfcfccb82f4b69975123e554ce60.pdf 43
Nebojša Janićijević, “The Influence Of Organizational Culture On Organizational
Preferences Towards The Choice Of Organizational Change Strategy”, ECONOMIC
ANNALS, Volume LVII, No. 193 / April – June 2012, UDC: 3.33 ISSN: 0013-3264
DOI:10.2298/EKA1293025J http://www.doiserbia.nb.rs/img/doi/0013-3264/2012/0013-
32641293025J.pdf
Page 21
10
Instituições de Ensino Superior a partir da Comunicação Organizacional.44
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Institusi Pendidikan Tinggi telah
menunjukkan konsistensi antara Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan
budaya identitas mereka, sejauh mereka cenderung untuk berkomunikasi hanya
apa yang menjadi praktek. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah
kajian budaya pada penelitian ini lebih menekankan pada dunia akademik,
namun demikian budaya atau komunikasi yang dipraktekkan terhadap
lingkungan pendidikan perlu dikembangkan agar dapat memunculkan budaya
yang positif.
Dalam penelitian ini menitikberatkan pada pemahaman pengembangan
budaya organisasi di universitas melalui peningkatan relasi interpersonal civitas
akademik. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menunjang proses
pengelolaan lembaga, sehingga perguruan tinggi tersebut dapat berhasil
meningkatkan mutu pendidikan dan dapat berkembang bersama-sama antar
komponen penyelenggara pendidikan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research).45
dalam
penelitian ini, peneliti akan berinteraksi langsung pada objek penelitian
untuk menemukan data-data dan fakta yang terkait46
dengan Relasi
Interpersonal dalam Pengembangan Budaya Organisasi di Universitas Sains
Al-Qur‟an.
Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Qualitative
research suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeteksikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan,
persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.47
Dengan
menggunakan pendekatan ini, penulis akan menghimpun data dalam
penelitian ini dengan mengkaji buku-buku yang terkait dengan topik
permasalahan yang dibahas.
Penelitian ini mengacu pada jenis penelitian studi kasus, dalam arti
peneliti melakukan pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang ada,
perihal mengenai struktur, bagian, dan fungsi dalam sistem pendidikan
tinggi Universitas Sains Al-Qur‟an, serta dalam rangka mengungkap makna
dibalik simbol, perihal persepsi, motivasi, motif, perilaku, dan tindakan-
44
Silvio Luiz Paula dan José Ricardo Mendonça, “A construção de uma impressão
socialmente responsável: Um estudo em Instituições de Ensino Superior a partir da
Comunicação Organizacional”, Revista de Negócios_ISSN 1980.4431_vol. 19, n. 1, p.
44_69, 2014_DOI:10.7867/ 1980-431.2014v19n1p44_69
http://gorila.furb.br/ojs/index.php/rn/article/view/3138 45
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1998), 11. 46
Norman K. Denzin Yvonna S. Lincoln, Handbook Of Qualitative Research, terj.
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009), 18-19. 47
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2007), 60.
Page 22
11
tindakan para aktor dalam pendidikan tinggi Universitas Sains Al-Qur‟an
dan unsur-unsur lain yang terlibat di dalamnya agar menghasilkan deskripsi
yang komprehensif sebagaimana yang dalam rumusan masalah penelitian.
Pendekatan antropologi yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai titik pijak dalam meneliti tentang manusia, kebiasaan, nilai, norma,
adat istiadat, dan kepercayaannya. Oleh sebab itu, penetapan kriteria ini
dimaksudkan juga dalam rangka menjalin suatu hubungan terhadap teori-
teori yang akan digunakan peneliti, juga sebagai sebuah paradigma
penelitian sehingga setiap langkah-langkah dalam proses penelitian
senantiasa dalam koridor yang telah ditetapkan.
Pendekatan fenomenologi dalam perspektif ilmu sosial menjadi
dasar teori yang menggambarkan gejala sosial dalam objek penelitian.
Dalam penelitian ini pendekatan fenomenologi digunakan sebagai acuan
pemahaman fenomena-fenomena yang terjadi di Universitas Sains Al-
Qur‟an, meliputi relasi antara civitas akademik yang terkait dengan
universitas.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua
kategori, yaitu data primer dan data sekunder.48
Dengan demikian, data
primer dalam penelitian ini adalah data atau informasi langsung yang
diperoleh di lapangan seperti Pimpinan, Dosen, Tenaga Kependidikan,
Mahasiswa, dan pihak yang terkait dengan kelembagaan Universitas Sains
Al-Qur‟an.
Data sekunder yang dimaksudkan adalah data tidak langsung yang
diperoleh di luar data primer, baik pustaka maupun data lain yang
mendukung, Seperti; sejarah berdiri dan perkembangan, keadaan geografi,
kurikulum pendidikan, kondisi lingkungan, dan Sarana prasarana
Universitas Sains Al-Qur‟an.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah observasi, wawancara49
dan dokumentasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sugiyono.50
Teknik ini digunakan untuk mengetahui
ketercapaian Relasi interpersonal dan Budaya Organisasi. Model observasi
yang dilakukan adalah observasi partisipan,51
teknik observasi digunakan
untuk mengumpulkan data budaya organisasi perguruan tinggi seperti
48
Nyoman Kutha Ratna. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu
Sosial Humaniora pada Umumnya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 143. 49
Mundhir al-D}a>man, Asa>siya>t al-Bah}su al-‘Alami> (‘Ama>>n: Da>r al-Masi>rah,
2006), 96. 50
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
R & D (Bandung: Alfabeta, 2006), 309. 51
Norman K. Denzin Yvonna S. Lincoln, Handbook Of Qualitative Research, 496.
Page 23
12
artefak dan kondisi aktual mengenai manajemen pengembangan budaya
organisasi di Universitas Sains Al-Qur‟an.
Teknik wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara yang
sifatnya mendalam dalam bentuk interviu bebas terpimpin. Interviu bebas
terpimpin yang dimaksud oleh peneliti yaitu mempersiapkan pokok-pokok
penting pertanyaan sebagai pedoman sebelum diajukan pertanyaan dan
peneliti dapat bertanya secara bebas.52
Wawancara mendalam (in-depth
interview) adalah termasuk dalam kategori wawancara tidak terstruktur di
mana susunan pertanyaan dapat diubah sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi saat wawancara. Wawancara yang dilakukan dalam rangkaian
penelitian ini menurut perspektif etik, emik dan noetik. Menurut Noeng
Muhadjir yang menyebutkan bahwa ketiga perspektif itu dalam rangka
menentukan ukuran dan kriteria kebenaran. Kriteria kebenaran dalam
perspektif etika bersifat ekstrinsik dan universal sehingga kriteria kebenaran
emic berada pada ranah pribadi masing-masing, bersifat intrinsik dan
merupakan ranah personal values. Sedangkan kriteria kebenaran noetik
adalah kebenaran moral grass root. Kebenaran noetik adalah kebenaran
moral saadar dan bawah sadar kolektif (collective values).53
Sesuai dengan Fontana dan Frey, teknik wawancara54
digunakan
untuk menggali data-data tentang kegiatan-kegiatan yang terkait relasi
dosen dengan mahasiswa, dosen dengan dosen, dosen dengan pimpinan dan
staf perguruan tinggi, dosen dengan warga lingkungan perguruan tinggi,
mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan pimpinan dan staf
perguruan tinggi, mahasiswa dengan warga lingkungan perguruan tinggi
dalam upaya pengembangan budaya organisasi, persepsi terhadap relasi
interpersonal yang terjadi dalam perguruan tinggi, dan dampak relasi
interpersonal warga perguruan tinggi terhadap perkembangan budaya
organisasi positif dan khususnya dalam proses peningkatan mutu
pendidikan.
Metode dokumentasi atau metode visual digunakan untuk mencari
data melalui beberapa literatur dan dokumentasi lainnya yang mendukung.
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk menghimpun data-data tentang
artifak-artifak perguruan tinggi, upaya pengembangan budaya perguruan
tinggi, manajemen perguruan tinggi, dan deskripsi lokasi penelitian. Proses
pengumpulan data dengan teknik dokumentasi digunakan instrument
checklist.
4. Teknik Analisis Data
Lexy J. Moleong mengatakan analisis data merupakan ikhtiar
berupa pemilihan data, pengorganisasian, dan pemilihan data menjadi suatu
52
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial. (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007). 123-124 53
Noeng Muhadjir, 167-168. 54
Ann Oakly, Interviewing Women; A Contradiction in Terms, Dalam Helen
Roberts, Doing Feminist Research (London: Routledge, 1997), 30.
Page 24
13
inormasi yang dapat diorganisir, dirangkai, dan dijelaskan kepada publik.55
Tahapan teknik analisis data kualitatif antara lain:
a. Analisis Data sebelum di Lapangan
Analisis data sebelum di lapangan ini digunakan pada saat
melakukan kajian pendahuluan dengan tujuan untuk menetukan fokus
penelitian. Fokus penelitian tentunya masih bersifat sementara sebelum
dilakukan penelitian lanjutkan. Informasi yang diambil penting untuk
dijadikan landasan penelitian dan mencari kerangka penelitian yang
sesuai dengan metode penelitian.
b. Analisis Data selama di Lapangan
Analisis data ini dilakukan pada saat berlangsungnya proses
pengumpulan data, baik melalui observasi maupun pelacakan
dokumentasi dan wawancara. Data dipelajari dan dikelompokkan
berdasarkan tingkat relevansinya terhadap objek yang diteliti, dikritisi
tingkat keakuratannya, kemudian data tersebut dianalisis dengan
menggunakan analisis interaktif model Miles dan Huberman,56
bahwa
aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus melalui tiga proses analisis yang
saling berinteraksi, yakni reduksi data, sajian data, dan penarikan
kesimpulan. Berikut penjelasan dari ketiga proses analisis;
1) Reduksi Data
Proses pengambilan data di UNSIQ peneliti menemukan
banyak data, oleh karena itu peneliti menggunakan reduksi data
untuk mengambil data, memilih data dan mengelompokkannya
sehingga dapat ditarik kesimpulan terhadap data tersebut. Berbagai
data yang tersedia, seperti hasil wawancara, cerita-cerita yang
berkembang, dan lainnya. Dengan menggunakan reduksi data
peneliti dengan mudah melakukan penelitian dan penggalian data-
data yang terkait.
2) Display Data
Penyajian data yang diambil dari objek penelitian yakni
UNSIQ adalah berupa teks-teks yang bersifat naratif, dan kemudian
dipahamkan dengan menemukan hubungan-hubungan teks naratif
tersebut antara satu dengan yang lainnya. Analisis hubungan teks
diharapkan dapat memunculkan konsep atau teori baru atau
pandangan baru sehingga menjadi landasan untuk menentukan
kesimpulan penelitian ini.
55
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya,
2010), 248. 56
Matthew B. Miles, A. Michael Hubermen, and Johnny Saldana, Qualitative Data
Analysis; A Methodes Sourcebook (Sage Publication, 2014), 14.
Page 25
14
3) Verifikasi dan Simpulan
Sejak awal pengumpulan data peneliti sudah menyusun
kesimpulan sementara. Untuk kemudian dari kesimpulan tersebut
harus diteliti kembali agar tidak terjadi kesalahan mengambil
kesimpulan dari data yang di lapangan dengan data yang telah
disusun peneliti, adapun langkah selanjutnya adalah uji keabsahan
data.
Secara sistematis Kabalmay memberikan tahapan-tahapan
menganalsisi data kualitatif, 57
antara lain; mengorganisasikan data,
mengelompokan berdasarkan kategori, temuan dan pola jawaban.
menguji asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data, mencari
alternatif penjelasan bagi data, dan menulis hasil penelitian.
Dengan menerapkan analisis data menurut Miles dan
Hubermen dan Marshall dan Rossman, diharapkan dapat memberikan
gambaran yang lebih tajam mengenai relasi interpersonal dalam
pengembangan budaya organisasi di Perguruan Tinggi.
c. Keabsahan Data
Teknik keabsahan data yang digunakan peneliti adalah teknik
Triangulasi. Teknik ini merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data
yang menggunakan data dari luar untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data-data tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh
Denzin dalam membedakan 4 cara teknik triangulasi yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.58
G. Sistematika Penulisan
Bab 1, membahas tentang latar belakang penelitian, identifikasi
masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan
sistematika penelitian.
Bab 2, membahas tentang diskursus budaya organisasi. Dengan sub
bahasan, budaya organisasi di perguruan tinggi, kepemimpinan organisasi,
relasi dalam sebuah organisasi, relasi interpersonal meningkatkan budaya
organisasi, dan nilai-nilai Qur‟ani dalam budaya organisasi.
Bab 3, membahas tentang profil Universitas Sains Al-Qur‟an. Dengan
sub bahasan; gambaran umum lembaga, unit organisasi pembentuk kultur
Qur‟ani, dan sistem manajemen mutu pendidikan.
57
Kabalmay. Designing Qualitative Research. (London: Sage Publication, 2002).
97 58
Norman K. Denzin Yvonna S. Lincoln dikutip oleh Jane Fielding and Nigel
Fielding, “Synergy and Synthesis; Integrating Qualitative Data and Quantitative Data”,
dalam Pertti Alasuutari, Leonard Bickman, and Julia Brannen, The Sage Handbook of Social
Research Methods (Sage Publication, 2008), 556
Page 26
15
Bab 4, membahas tentang konkritisasi sistem nilai relasi interpersonal
dalam pengembangan budaya organisasi. Dengan sub bahasan; Pertama, Etos
kepemimpinan di UNSIQ, melingkupi; kepemimpinan dalam budaya
organisasi, kepemimpinan pendidikan di UNSIQ, sosialisasi budaya organisasi
oleh pemimpin organisasi, azaz keadilan tujuan pengembangan budaya
organisasi, dan azaz kekeluargaan tujuan pengembangan budaya organisasi.
Kedua relasi interpersonal dalam budaya organisasi di UNSIQ, melingkupi;
relasi interpersonal sebagai asas pemberdayaan pegawai UNSIQ, relasi
interpersonal untuk bargaining jaringan regional, dan relasi interpersonal
sebagai asas pengembangan mutu dosen. Dan Ketiga integrasi humanis-Qur‟ani
dalam pengembangan budaya organisasi di UNSIQ, melingkupi; transformasi
nilai-nilai qur‟ani dalam budaya organisasi, dan budaya akademik asas
pengembangan budaya organisasi.
Bab 5 sebagai penutup membahas tentang kesimpulan dari disertasi dan
beberapa saran terkait relasi interpersonal dalam upaya pengembangan budaya
organisasi di Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo Jawa Tengah.
Page 27
16
BAB II
DISKURSUS BUDAYA ORGANISASI
A. Budaya Organisasi Di Perguruan Tinggi
Budaya organisasi di perguruan tinggi merupakan wujud nyata dari
nilai-nilai, prilaku, norma-norma perilaku warga perguruan tinggi dan
pengembangan studi dan penelitian warga perguruan tinggi. Dengan demikian,
budaya perguruan tinggi dapat diwujudkan dalam aturan, pola perilaku dan
sarana prasarana perguruan tinggi. Misalnya dalam perkuliahan, perkembangan
metodologi penelitian dan pembelajaran, norma-norma akademik dan aktivitas
akademik sebagai komponen-komponen dari budaya organisasi di perguruan
tinggi. Kemudian perguruan tinggi penting menentukan strategi penciptaan dan
pengembangan budaya organisasinya, yakni; perguruan tinggi harus mengacu
pada visi misinya, meningkatkan kepercayaan budaya dan kesadaran budaya,
mengintegrasikan budaya ke dalam proses pemberdayaan sumber daya,
mempromosikan pengembangan budaya dan inovasi budaya organisasi.
Tradisi akademik di perguruan tinggi selalu berkaitan erat dengan
prestasi terbaru dari penelitian akademik, misal munculnya teori-teori baru,
metode baru, ide-ide baru dan teknik-teknik baru. Adapun subyek budaya
akademik adalah orang-orang yang mendasarkan penelitian akademisnya pada
pengetahuan, semua ini bagian langsung dari pembangunan budaya perguruan
tinggi. Oleh karena itu, mereka dapat dianggap sebagai penggerak utama dari
pembangunan budaya organisasi di perguruan tinggi.
Pada proses perkuliahan, Pennycook berpendapat bahwa perkuliahan
harus memenuhi kebutuhan mahasiswa sebagai pemenuhan norma-norma
budaya akademik, tetapi pada saat yang sama, proses perkuliahan juga dapat
mendukung mahasiswa untuk bertindak kritis pada norma-norma dan
implementasinya, sehingga ada keterbukaan untuk budaya yang beragam
sebagai tambahan pengetahuan.59
Sebuah kasus di sebuah perguruan tinggi, di
mana hukuman untuk plagiarisme tidak merata dan adil, misalnya terjadi
pelanggaran dalam satu kelas dapat menyebabkan pengusiran atau pembatalan
karya ilmiah, sementara di kelas lain terjadi pembiaran. Budaya akademik di
dalam perkuliahan terpusat pada dosen, keleluasaan dosen mengajar dan
menciptakan hubungan ketergantungan mahasiswa pada dosen. Ciri-ciri ini
berbeda dengan pengertian fleksibilitas mahasiswa dan kebutuhan mahasiswa
akan perkuliahan di perguruan tinggi.
Kemunculan perbedaan ini menjadi dinamika paradoks mendasar antara
budaya akademik fleksibilitas dan tidak fleksibel. Ada ketegangan dialektis
antara budaya akademik dan akses mudah belajar. Budaya akademik
menjelaskan pada umumnya dosen sebagai sosok sentral sedangkan fleksibilitas
menempatkan mahasiswa dalam pengawasan dan pembinaan dosen. Para dosen
menyusun kurikulum dan desain program sedangkan pendekatan yang fleksibel
memungkinkan mahasiswa untuk memilih materi pembelajaran dan
59
Pennycook, A. Borrowing others' words: Text, ownership, memory, and
plagiarism. TESOL Quarterly, 30(2), 1996. 265.
Page 28
17
menetapkan tujuan perkuliahannya. Pada akhir pencapaian budaya akademik
adalah penghargaan pencapaiannya dalam perkuliahan dengan memberi gelar
atau sertifikat. Dalam lingkungan yang fleksibel, mahasiswa dapat mencapai
akhir pendidikannya sesuai kemauan sendiri dan tujuan yang tidak sesuai
dengan yang ditentukan oleh perguruan tinggi.
Budaya akademik tidak hanya terwujud dengan proses belajar mengajar
tetapi juga aktivitas utama lainnya yakni penelitian berbasis disiplin keilmuan.
Tujuan institusional, prioritas dan nilai-nilai mempengaruhi suasana budaya
akademik di mana individu institusi mampu mengekspresikan diri. Dalam
kegiatan penelitian tergantung pada kemampuan individu akademik yang
berada di lokasi dan waktu tertentu untuk melakukan penelitian. Aturan tentang
menyadur, pengakuan dan penulisan dapat berubah tergantung pada konteks
dan budaya akademik. Johns mendukung untuk keterampilan menulis, seperti
integrasi teks, untuk diajarkan sebagai bagian dari pengetahuan subjek.60
Menurutnya intertekstualitas adalah wacana akademik yang membutuhkan
pengetahuan kontekstual. Contoh tujuan penulisan dapat didekonstruksi untuk
menunjukkan integrasi teks. Dosen mungkin tidak dapat membuat semua
referensi akademik bagi mahasiswa untuk budaya akademik. Namun, mereka
dapat mengingatkan mahasiswa untuk dapat melakukannya.
Penelitian akademik menuntut kondisi konteks tertentu. kondisi konteks
tersebut dalam penelitian akademik adalah sebagai akar pohon dan air untuk
ikan. Pembangunan budaya akademik akan benar-benar mustahil kecuali
kondisi yang diperlukan dipastikan ada. Kondisi yang diperlukan, khususnya
perdebatan akademik, buku-buku, informasi data, instrumen eksperimental,
sistem jaringan, situs penelitian dan sebagainya. dukungan keuangan sangat
diperlukan dalam rangka untuk memenuhi kondisi ini. Oleh karena itu, jaminan
bahan adalah langkah pertama untuk pemberdayaan budaya akademik yang
berkualitas tinggi. Dengan dana yang memadai untuk penelitian, instrumen
canggih dan peralatan, sumber data yang melimpah dan lokasi penelitian yang
sesuai, penelitian akademis dapat mengembangkan sepenuhnya dan sebebas
burung terbang dengan sayap yang kuat. Pada akhirnya, pembangunan budaya
akademik dapat dilakukan.
Mahasiswa berpartisipasi dalam semua aspek pembangunan budaya
perguruan tinggi, termasuk pembangunan budaya akademik. Skala dan tingkat
penelitian akademik, serta kuantitas dan kualitas prestasi akademik, tergantung
pada kemampuan akademik, yaitu, karakter eksternal dan kualitas internal
individu akademis. Kemampuan akademik adalah kombinasi dari kekuatan
fisik, kecerdasan, moralitas, rasa estetika dan kemampuan praktis, yang berpikir
kreatif adalah kemampuan inti. kemampuan akademik menentukan apa yang
orang akademik dapat melakukan kegiatan akademik, dan itu merupakan faktor
penting penentu apakah kegiatan akademik dapat berjalan lancar dan mencapai
kemajuan atau tidak. Di zaman modern, adalah mustahil untuk mendapatkan
temuan penting atau prestasi luar biasa oleh kerja individu, sebaliknya, perlu
60
Johns, A. Text, Role, and Context: Developing Academic Literacies. (Cambridge:
Cambridge University Press. 1997).
Page 29
18
bagi tim akademis untuk mengatasi kunci masalah bersama-sama dan
berkomunikasi satu sama lain. Secara keseluruhan, apakah budaya akademik
bisa makmur atau tidak ditentukan oleh tingkat akademik staf pengajar di
perguruan tinggi.
Peningkatan media pembelajaran berupa adanya program pembelajaran
komputer juga harus ada dalam budaya akademik. Kemampuan pengelolaan
organisasi juga perlu didukung dengan pengajaran dan pembelajaran materi
digital terstandarisasi sesuai dengan cara kerja akademisi.61
Kemampuan digital
ini untuk mengelola bahan ajar dan praktek pembelajaran untuk mendukung
pengalaman guru sangat penting. Kebutuhan perkembangan teknologi
pendidikan untuk memfasilitasi cara belajar fleksibel, mudah, dan dapat
dipahami dari sumber utamanya. Walaupun kebutuhan akan informasi yang
bersifat global ini bervariasi baik dalam isi maupun presentasinya, perlu
kesesuaian dengan karakteristik penggunanya, sehingga perguruan tinggi perlu
menyediakannya sebagai sarana prasarana pembelajaran.
Budaya akademik merupakan salah satu yang mendorong keistimewaan
perguruan tinggi dan ini mempengaruhi cara dosen membuat program. Dosen
membuat program yang sesuai dengan diri mereka sendiri dan umumnya tidak
mengadopsi seluruh program yang dibuat oleh orang lain, dan itu termasuk
paket CAL yang tidak dapat disesuaikan. belajar yang fleksibel (dengan
penekanan pada belajar) adalah berpusat pada mahasiswa sedangkan
fleksibilitas perlu menyertakan dosen yang bekerja dalam budaya akademik.
Pengajaran dan Pembelajaran telah dirancang dan dikembangkan untuk
beroperasi sesuai dengan budaya akademik. Ini akan memberdayakan para
akademisi untuk memanfaatkan sumber daya untuk membuat kursus online
dalam cara yang mereka biasanya bekerja, dan juga memungkinkan mahasiswa
untuk mengakses sumber belajar dengan cara non-preskriptif.
Kekuatan budaya akademik ini sangat penting ketika lembaga
akademik menghadapi penurunan sumber daya. Selama periode ini struktur
sosial masyarakat berada di bawah tekanan besar. Jika budaya akademik tidak
dapat dipelihara selama periode kemajuan, hasilnya bisa konflik destruktif
antara fakultas, kehilangan semangat profesional, dan keterasingan pribadi.
Nisbet menunjukkan bahwa alasan utama untuk peningkatan budaya organisasi
dan budaya profesi pada umumnya, adalah identifikasi anggota fakultas dengan
budaya disiplin.62
Tapi konsepsi yang lebih berguna adalah identifikasi anggota
fakultas individu dengan karir profesional mereka.63
kondisi organisasi tertentu
61
Jones, P., Jacobs, G. & Brown, S. Learning styles and CAL design: a model for
the future. Active Learning 7, December, 1997. 9-13. 62
Nisbet, R. The Degradation of the Academic Dogma. (New York: Basic Books.
1971). 63
Blankenship, R. L. "Toward a theory of collegial power and control". 1977. in
Ralph Blankenship, (ed.) Colleagues in Organization New York: John Wiley.
http://www.sidalc.net/cgi-
bin/wxis.exe/?IsisScript=LIBRO.xis&method=post&formato=2&cantidad=1&expresion=mf
n=030351
Page 30
19
dari beberapa dekade terakhir telah memberikan status dan prestise langsung ke
anggota fakultas masing-masing dan telah demikian dikompromikan
kewenangan fakultas di semua tingkatan (disiplin, lembaga, profesi) untuk
mempertahankan norma-norma budaya akademik dengan memberikan status
konvensional.
Pemimpin berpikir serius tentang penciptaan makna atau lebih
bertanggung jawab, membina budaya akademik yang ada, mitos atau identitas
merupakan isu kritis. Ini adalah pilihan dan mempertinggi nilai-nilai penting
yang merupakan inti dari dimensi kreatif kepemimpinan. Nilai-nilai yang dipilih
untuk penekanan kondisi diperlukan untuk konteks inti dari kehidupan
akademik: penelitian, beasiswa dan perkuliahan. Dalam hal ini jelas bahwa
identitas utama dan ritual mendukung perguruan tinggi, penting karena mereka
mungkin untuk menciptakan makna antara alumni dan sponsorship yang
melakukan sedikit dukungan budaya akademik. Aktualisasi nilai akademis
seperti kejujuran, berkelanjutan rasa ingin tahu, komunikasi pengetahuan, dan
pertumbuhan intelektual terus diperlukan untuk setiap budaya akademik.
Penting dalam arti bahwa mitos, identitas dan ritual yang terdiri budaya akan
melestarikan identitas khas dari kreatifitas akademik, menentukan perilaku yang
diperlukan untuk kelangsungan kreatifitas, dan memberikan makna pada
perilaku ini. Sementara banyak lembaga akademis memiliki aktifitas seperti
kalender akademik, wisuda, dan aktifitas yang menarik perhatian lembaga.
Singkatnya, salah satu aspek dari pengelolaan budaya akademik melibatkan
manajemen makna. Beberapa alat penting dalam pengelolaan makna, termasuk
pemahaman mitos, identifikasi simbol pemersatu, ketaatan pelaksanaan aktifitas
akademik, dan pembentukan kelompok. Sebagaimana Hofstede jelaskan simbol
sebagai sesuatu yang membawa makna yang diakui bersama oleh suatu
kelompok budaya. Ini adalah alat manajerial penting dalam organisasi nilai-
rasional, karena melalui keyakinan bersama dan tradisi bahwa perguruan tinggi
tersebut dapat dikoordinasikan dan dikendalikan dan loyalitas profesional,
komitmen, dan identitas dapat dipertahankan.
Intensitas budaya akademik tidak hanya ditentukan oleh kekayaan dan
relevansi simbolisme untuk pemeliharaan kreatifitas profesional, tetapi dengan
ikatan organisasi sosial. Obligasi ini diciptakan oleh mekanisme komunikasi
kolegial dengan umpan balik tentang kegiatan profesional.64
Untuk mekanisme
ini untuk mengoperasikan lembaga perlu mengambil langkah-langkah khusus
untuk mensosialisasikan individu untuk sistem kepercayaan organisasi, dan
mempromosikan kegiatan bersama antara rekan-rekan dari seluruh perusahaan.
Penurunan budaya akademik dengan demikian sebagian dapat dilacak
pertumbuhan yang cepat dari masyarakat akademik, isolasi spesialisasi, dan
kurangnya perhatian yang diberikan untuk proses organisasi sosial yang
diperlukan untuk memelihara budaya akademik. Pengelolaan budaya akademik
karena melibatkan kedua manajemen makna dan pengelolaan integrasi sosial.
Salah satu contoh kurangnya perhatian ini untuk integrasi sosial dapat dilihat
64
Hage, H. Communication and Organizational Control. New York: John Wiley.
1974.
Page 31
20
dalam pengembangan lapangan baru. Selama periode organisasi pertumbuhan
yang cepat sering tumbuh adopsi daripada ekstensi. Adopsi memerlukan
penunjukan spesialis di bidang baru yang kemudian membuat keputusan
penting yang independen tentang pegawai tambahan. Jika pegawai baru
disosialisasikan, baik dalam bentuk departemen atau lapangan, dan norma
institusional. Pengembangan kurikulum, definisi tingkatan dan proses
perkuliahan dan penelitian, dilakukan dalam isolasi dari rekan-rekan lain,
kebijakan kelembagaan responsif terbaik dinyatakan atau mekanisme yang jauh
dari ulasan. Potensi konflik dari waktu ke waktu dengan keyakinan dasar
kelembagaan menjadi jelas. Hal ini sering dialami dalam program profesional
yang baru atau bidang baru seperti studi etnis, di mana anggota fakultas tidak
sepenuhnya berlangganan ideologi lembaga induk dan sebagai masalah hasil
dari kontrol kualitas dan integritas akademik menjadi sumber perdebatan.
Sebaliknya, beberapa lembaga lebih selektif tumbuh dengan ekstensi.
Pemilihan pegawai baru sering dibutuhkan komitmen untuk disiplin
sehingga menjamin bahwa nilai-nilai akademik tradisional dapat dipahami dan
dipatuhi. Sementara seleksi umum pegawai baru, komitmen akan kedisiplinan
diciptakan dari kelompok kecil pegawai yang telah ada sebelumnya secara
intens disosialisasikan tentang pemahaman nilai-nilai akademik. Sehingga
pertumbuhan sekitar internal perguruan tinggi sudah berkomitmen dengan
budaya akademik, pemilihan pegawai baru dengan menekankan harmoni antara
sosialisasi dan sistem kepercayaan institusional, dan pengangkatan anggota baru
yang berkomitmen pada ideologi kedisiplinan, semua cenderung untuk
memastikan kekuatan budaya akademik dan pemeliharaan norma-norma
akademik. Pemeliharaan budaya akademik tergantung pada tingkat substansial
pada pengelolaan yang cermat dari teknik organisasi sosial penting untuk
mempertahankan sistem kepercayaan umum. Teknik ini melibatkan penekanan
pada sosialisasi dan kebijakan yang mempromosikan komunikasi organisasi
terutama melalui kegiatan bersama menampilkan integrasi vertikal dan
horisontal. Pada aspek ini organisasi sosial ditambah dengan sistem keyakinan
bersama adalah metode utama koordinasi dan kontrol dalam nilai organisasi
rasional.
Dari uraian pentingnya membangun budaya organisasi di perguruan
tinggi, kemudian diterjemahkan dalam budaya akademik, juga tidak kalah
pentingnya pemahaman akan nilai-nilai organisasi. Dengan nilai tersebut adalah
bagaimana individu dalam organisasi tersebut dapat dengan mudah beradaptasi
terhadap organisasinya tersebut. Dan juga dengan mudah memahami pada
dimensi manakah anggota organisasi tersebut berada, sehingga anggota
organisasi dapat menyadari posisinya sebagai warga organisasi.
Beberapa dimensi budaya organisasi yang dirumuskan oleh para pakar
seperti yang dijabarkan dalam Morden‟s Models of National Culture;65
65
Morden, T. Models of National Culture- A Management Review. Cross Cultural
Management. 6 (1). 1999:19-44.
https://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/13527609910796915
Page 32
21
Model Source Cultural Dimensions
Single Di-
mension
Hall (1990)
Lewis (1992)
Fukuyama (1995)
High Context-Low Context
Monochronic-Polychronic
High Trust-Low Trust
Multiple
Dimension
Hofstede (1980)
Hampden-Turner &
Trompenaars (1994)
Lessem & Neubeauer (1994)
Kluckhohn & Strodbeck (1961)
Power Distance
Individualism-Collectivism
Masculinity-Femininity
Uncertainty Avoidance
Universalism-Particularism
Analyzing-Integrating
Individualism-Communitarians
Inner-Directed – Outer-
Directed
Time as Sequence – Time as
Synchronization
Achieved Status-Ascribed
Status
Pragmatism-Idealism/ Wholism
Rationalism-Humanism
Relationship to Nature
Time Orientation
Basic Human Nature
Activity Orientation
Human Relationship
Space
Historical-
Social
Bloom, Calori & de Woot
(1994)
Chen (1995)
Euromanagement Model
South East Asian Management
Model
Dimensi-dimensi budaya organisasi sebagaimana dijelaskan oleh
hofstede, penjabarannya sebagai berikut:
1. Individualistic atau collectivistic. Dalam budaya individualistik, baik
pemimpin maupun anggota organisasi akan berusaha melibatkan diri dalam
pengambilan keputusan untuk memaksimalkan pengaruh individual mereka
dan mendapatkan hasil baik bagi mereka. Dalam budaya kolektivistik,
orang melihat dirinya sebagai anggota kelompok atau kolektif, menyukai
aktivitas kelompok, dan mengharapkan keputusan dilakukan berdasar
konsensus atau konsultatif, dimana pengaruh keputusan pada setiap orang
dipertimbangkan.
2. Power distance, merupakan praktik kepemimpinan otokratik yang diadopsi
dan ditoleransi budaya dengan high-power distance, di mana perbedaan
kekuasan yang besar antara atasan dan bawahan diharapkan dan ditoleransi.
Sebaliknya apabila orang tidak dapat menerima perbedaan atau
mengharapkan perlakuan yang sama, dinamakan low-power distance.
Page 33
22
Hofstede memberikan batasan untuk menilai tingkatan power
distance seperti luas wilayah (dengan asumsi bahwa makin luas wilayah
yang dikuasai maka makin rendah tingkat perbedaan kekuasaan),
banyaknya anggota organisasi (dengan asumsi bahwa makin besar atau
makin banyak anggota organisasi yang dipimpinnya maka makin tinggi
tingkat perbedaan kekuasaannya) dan kesejahteraan (dengan asumsi bahwa
makin sejahtera kehidupan anggota organisasi dengan demikian makin
rendah tingkat perbedaan kekuasaan).66
3. Uncertainty avoidance, dalam budaya dengan high uncertainty avoidance,
sebuah rekayasanya adalah pemimpin menstrukturkan pekerjaan bawahan,
mungkin melalui birokrasi, dan membuat keputusan yang mungkin
meningkatkan stabilitas, akan diharapkan berjalan baik. Adapun dalam
budaya low uncertainty avoidance rekayasa organisasinya akan lebih
banyak terdapat fleksibilitas dalam menjalankan pekerjaan.
4. Masculinity atau femininity, seorang pegawai yang memelihara
hubungannya dengan anggota kelompok lainnya serta merta mengabaikan
peluang pribadi seperti pengakuan (aktualisasi diri) dan promosi, dalam hal
ini terdapat dalam feminine culture, tetapi mungkin dipandang aneh dalam
masculine culture.
5. Term Orientation; dinamisasi kehidupan merupakan hal penting, keragama
merupakan keharusan, oelh karena itu diperlukan sebuah perubahan dan
modernisasi, tetapi tidak harus meninggalkan tradisi justru harus
mensinergikan antara tradisi dan modernisasi. Kemudian dalam menjaga
dinamisasi organisasi agar suasana organisasi positif dan mendukung
organisasi, diperlukan menghormati tanggung jawab dan status sosial yang
tak hanya dimaknai biaya dan finansial, karena keduanya hanya bagian
kecilnya. Tekanan untuk menjaga hubungan baik dengan teman walaupun
harus menambah biaya merupakan suatu keharusan dan kebaikan meskipun
menambah biaya, karena untuk melakukan perubahan memerlukan
kedekatan personal, emosional, professional, dan spiritual.
Trompenaars memiliki dimensi yang berbeda dengan hofstede dalam
mengelompokkan dimensi yang tekandung dalam organisasi, antara lain;
1. Universalisme atau Particularisme. Pengertiannya bahwa dimensi universal
ini lebih menekankan pada prosedural atau aturan-aturan organisasi yang
disiplin. Sedangkan, dimensi partikular lebih menekankan pada
penghargaan relasi interpersonal namun juga tetap mengindahkan prosedur
organisasi dengan baik.
2. Individualisme atau Collectivisme. Pengertiannya dimensi individual ini
menekankan pada kemampuan individu menyelesaikan berbagai
permasalahan organisasi tanpa bantuan orang lain. Sedangkan kolektifitas
menekankan pada kemampuan individu menyelesaikan berbagai
66 Chairuman Armia, “Pengaruh Budaya Terhadap Efektivitas Organisasi: Dimensi
Budaya Hofstede” JAAI volume 6 no. 1, juni 2002.
Http://www.jurnal.uii.ac.id/index.php/jaai/article/view/870
Page 34
23
permasfalahan organisasi bersama kelompok atau orang lain yang bekerja
sama dalam organisasinya.
3. Netral atau Afektif. Pengertiannya dimensi netral ini tidak menonjolkan
perasaan dari anggota organisasinya, perasaan emosi mampu diredam.
Sedangkan dimensi afektif lebih ekspresif dalam berbagai permasalahan
organisasi sehingga mudah bagi pimpinan organisasi memahami perasaan
dari anggota organisasinya.
4. Spesifik atau difusi. Pengertiannya dimensi spesifik lebih menekankan pada
pemisahan antara kepentingan organisasi dengan kepentingan lainnya.
Sedangkan dimensi difusi ditekankan pada pentingnya memahami dan
memaklumi kepentingan organisasi dan kepentingan lainnya sehingga
terjadi dinamika kehidupan berorganisasi yang lebih baik, dengan kata lain
terjadi integrasi internal dan adaptasi eksternal.
5. Prestasi atau askripsi. Pengertiannya dimensi prestasi memberikan
perhatian lebih pada tingkat pencappaian yang tinggi bagi setiap anggota
organisasi. Sedangkan dimensi askripsi memberikan perhatian lebih pada
kehidupan sosial organisasi, dengan demikian ada jaminan hubungan atau
komunikasi antar anggota organisasi lebih baik dan kondusif tanpa
memandang gender, ras, suku, agama dan lain sebagainya.
Kedua dimensi tersebut memiliki perbedaan dan juga persamaan seperti
pada pemahaman tentang dimensi power distance dengan dimensi
universalisme-particularisme, dimana keduanya membahas kemampuan
pemimpin dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin sekaligus menjadi
teladan bagi anggota organisasinya. Jika pemimpin memandang bahwa anggota
organisasi sebagai partner kerja maka ini diidentifikasikan bahwa pemimpin
menggunakan dimensi high powef distance atau dimensi particulaisme, begitu
juga sebaliknya. Adapun perbedaannya adalah dimensi hofstede lebih dinamis
dalam memandang pemimpin dengan kemampuannya mengelola organisasi,
berbeda dengan dimensi trompenaars yang terkesan lebih pada pemahaman
yang bersifat prosedural terhadap pemimpin dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan pembahasan beberapa dimensi budaya organisasi diatas,
yang berorientasi pada pemahaman nilai-nilai organisasi yang terkandung
didalamnya. Sedangkan Hofstede berpendapat untuk mempelajari nilai-nilai
organisasi tersebut harus membandingkan antar individu di dalam organisasi.
Makna Nilai sendiri adalah standar evaluatif yang berhubungan dengan
pekerjaan atau lingkungan kerja dimana individu melihat apa yang benar atau
menilai pentingnya preferensi.67
Vijay Sathe menjelaskan values sebagai basic
assumption about what ideals are desirable or worth striving for.68
Robbins
manambahkan nilai mengandung unsur menghakimi bahwa mereka membawa
67
Matic, L. J. “Cultural Differences In Employee Work Values and Their
Implications for Management”. Journal Management. Vol. 13, 2, 2008. 93-104.
https://hrcak.srce.hr/index.php?show=clanak&id_clanak_jezik=46584 68
Vijay Sathe. Culture And Related Corporate Realities. (Richard D. Irwin, Inc.
Homewood, III, 1985). 35
Page 35
24
ide-ide individu tentang apa yang benar, baik atau diinginkan.69
Menurut Geert
Hofstede nilai sebagai a broad tendency to prefer certain states of affairs over
others.70
Sedangkan Webster, nilai diartikan sebuah tingkat kelayakan, utilitas
atau kepentingan. Dengan demikian, nilai harus dipilih sesuai hati nurani
seseorang. Nilai yang dipilih secara bebas akan terinternalisasi, menjadi
pelindung dan nilai hidup selamanya bagi seseorang. Memilih nilai secara bebas
berarti bebas dari tekanan, seperti tekanan yang jelas terlihat atau nampak
dirasakan dan juga nilai yang dalam bentuk tertutup atau dirahasiakan dari
orang-orang yang terkait.71
Triguno menyatakan bahwa lembaga pendidikan yang efektif dan
berkualitas memiliki karakteristik seperti dalam misi utamanya terdapat
persamaan,72
terkait; shared values and beliefs; clear goals; instructional
leadership. Nilai adalah sebuah kualitas,73
karena setiap organisasi memiliki
keyakinan, norma-norma, nilai-nilai, dan persepsi yang berbeda dalam
memandang suatu objek. Oleh sebab itu, perbedaan tersebut memberikan
identitas dan karakteristik kepada masing-masing kelompok. Kluckhohn dalam
bahasanya menjelaskan bahwa nilai adalah sebuah konsep, eksplisit atau
implisit, berdasarkan atas individual atau kelompok dalam organisasi yang
kemudian mampu mempengaruhi model, pemaknaan dan pada akhirnya
menjadi prilaku organisasi.74
Andreas Danandjaja menjelaskan lebih rinci dalam sistem nilai yakni
pengertian-pengertian yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting
dan kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih
benar atau kurang benar.75
Simons mengidentifikasi unsur-unsur yang dapat
membantu kita menentukan apa yang disebut sebagai pengaruh organisasi,
diantaranya nilai yakni penilaian abstrak tentang hal-hal seperti apa yang moral,
penting, indah.76
Karena pengaruh organisasi sebagai komunikasi manusia yang
69
Robbins, S. Organisational Behaviour: Concepts, Controversies and
Applications. 6th ed. (New Jersey: Prentice Hall, 1993). 34. 70
Geert Hofstede. Culture‟s Consequences International Differences in Work-
related Values. (Baverly Hills, Ca: Sage Publ., 1980). 24 71
Webster. Third New International Dictionary. Encyclopedia. (Britania, Meriam
Webster Inc, 1981). 2530 72
Triguno. Budaya Kerja: Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk
Meningkatkan Produktivitas Kerja. (Jakarta: Golden Terayon Press, 2004). 1 73
Abdul Latif. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. (Bandung: Refika
Aditama, 2997). 69 74
Melvin L. Kohn. “Social Class And Parent Child relationship; An
Interpretation”. American Journal of Sociology Vol. 68, No. 4 (Jan., 1963), Published by
University of Chicago Press. 471-480 75
Andreas A. Danandjaja. Sistem Nilai Manajer Indonesia. (Jakarta: Pustaka
Binaman Pressindo, 1986). 4 76
Simons dalam Laode Muhamad Umran. “The Political of Communication and
Imaging (Analysis of Theoretical Imaging the Politics in Indonesia)”. IOSR Journal Of
Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 3, Ver. I (Mar. 2014), PP 74-
84 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org
Page 36
25
dirancang untuk mempengaruhi orang lain dengan memodifikasi keyakinan
mereka, nilai-nilai, atau sikap. Adapun nilai sebagai cita-cita atau standar yang
digunakan untuk mengarahkan perilaku mereka, nilai-nilai yang diharapkan
setelah melalui proses usaha dalam kehidupan mereka.77
Nilai adalah standar
yang kita gunakan dalam membuat penilaian tentang apa yang penting dalam
hidup dan apa yang benar atau salah dalam perilaku manusia. Kami menilai diri
kita sendiri dan lain dalam hal nilai-nilai kita. Kita mungkin tidak setuju dengan
nilai-nilai orang lain, tapi semua orang hidup dengan nilai-nilai orang membuat
penilaian tentang apa yang penting dalam hidup melalui nilai-nilai mereka.
Soebijanta mengartikan nilai sebagai cerminan sikap dan tingkah laku
individu organisasi, seperti dikonsepsikan pada pemahaman nilai kemudian
muncul sikap atas dasafr pemahaman tersebut dan pada akhirnya muncul reaksi
atau respon dari anggota organsiasi berupa tindakan-tindakan.78
Oleh karena itu,
sudah seharusnya nilai bisa dipahami berdasarkan ukuran, standar, objektif,
kesepakatan bersama dan adanya penetapan yang dilakukan oleh lembaga yang
berwenang.79
Kategori nilai perspekti Danandjaja; pertama nilai berdasarkan
kepentingannya didasarkan pada kebutuhannya. Kedua kebaikannya didasarkan
pada moral-etika. Dan ketiga kebenarannya didasarkan pada logika. Dengan
demikian kategori nilai tersebut disebut juga sistem nilai karena berdasarkan
faktor-faktor tersebut.80
Sedangkan Murphy mendapati seseorang dengan sistem
nilai yang berbeda mengalami kesulitan untuk bekerja bersama.81
Proses
penyesuaian antara nilai organisasi terhadap nilai-nilai yang dipahami bersama
anggota organisasi dapat menjadi alternati pemecahan masalah hubungan
interpersonal dan meningkatkan manajemen sumber daya manusia agar lebih
sukses lagi.
Pemahaman sistem nilai yang dimulai dari pemahaman prinsip dan
aturan-aturan organisasi, seperti dalam penjelasan berikut; suatu sistem nilai
adalah sebuah pemahaman organisasi berdasarkan pada prinsip-prinsip dan
aturan-aturan untuk mendukung terciptanya alternati-alternati kesimpulan atas
permasalahan organisasi, terumuskan solusi atas konlik, dan memunculkan
keputusan baru.82
Sebagai contoh kategori system nilai dengan skala; (a) yang
77
Lombardo Tom. Educational Ethics and Values. (USA: The Macmillan
Company and the Free Press, 2004). 5 78
J.M. Soebijanta. “Nilai, Pelimbahan Nilai Dan Penjernihan Nilai”. dalam Atma
Nan Jaya, Desember 1988, UAJ Jakarta, 1988 79
Taliziduhu Ndraha. Budaya Organisasi. (Jakarta: Rinek Cipta, 2003). 17-32 80
Taliziduhu Ndraha. Budaya Organisasi. (Jakarta: Rinek Cipta, 2003). 17-32 81
Murphy dan Enz dalam Joyce Beggs, Dorothy C. Doolittle and
Diane Garsombke. “Work Value Orientations And Patterns: A Comparison Of Future
Managers With Manager And Non-Manager Groups” International Journal of Value-
Based Management, October 1995, Volume 8, Issue 3. 289-300 82
Andreas A. Danandjaja. Sistem Nilai Manajer Indonesia. (Jakarta: Pustaka
Binaman Pressindo, 1986). 73
Page 37
26
terpenting (b) yang lebih penting (c) yang penting (d) yang kurang penting (e)
yang tidak penting.
Menurut Subur nilai merupakan implikasi hubungan yang diadakan
oleh manusia yang sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu
ukuran.83
Transmisi nilai bisa dikatakan persoalan komunikasi nilai, tentunya
sama seperti komunikasi pada umumnya, keberhasilan komunikasi nilai
tergantung pada kelancaran komunikasi. Dengan demikian, nilai meliputi nilai
subjekif, nilai objektif dan nilai ideal bersifat abstrak. Nilai tersebut baru dapat
diamati atau dirasakan jika terekam atau termuat pada suatu wahana (vehicle).
Wahana itulah budaya. Jadi budaya dengan nilai tak terpisahkan dan antara
keduanya harus terdapat keselarasan, keserasian dan keseimbangan.84
Fungsi nilai, Values serve as standards of behavior, as well as criteria
for judging and choosing. They are, in effect, abstract ideas-concept revealed
and expressed through human action and speak. Values underline and give
purpose to human behavior; human behavior, in turn, shapes values”.85
Nilai
berfungsi sebagai standar perilaku, serta kriteria untuk menilai dan memilih.
Mereka, pada dasarnya, ide-ide abstrak - konsep terungkap dan diekspresikan
melalui tindakan manusia dan berbicara. Nilai menggarisbawahi dan
memberikan tujuan untuk perilaku manusia; perilaku manusia, pada gilirannya,
membentuk nilai-nilai. Sesuai dengan tersebut diatas, Earle menyatakan nilai
sebagai kualitas positif dari sesuatu yang diinginkan, berguna, menarik, baik
dan penting; hanya beberapa dari istilah yang tersedia untuk ekspresi nilai-nilai
positif.86
Dalam Islam, nilai dan etika memiliki dua dimensi; Pertama etika
kepada Allah. Seorang Muslim harus beriman kepada Allah dan harus
menyembah-Nya. Yang kedua adalah etika terhadap orang lain; seorang muslim
harus memiliki etika yang baik dengan orang lain dengan mempertahankan
hubungan yang baik. Etika sangat penting untuk efektivitas organisasi dan
diperlukan untuk hubungan interpersonal. Van Baal cenderung mempersepsikan
nilai dengan agama sebagai alat manusia untuk melakukan interaksi dengan
alam semesta sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an.87
Subur menambahkan
keterangan dimana nilai spiritual hanya satu dari empat tingkatan nilai dalam
83
Subur. “Pendidikan Nilai: Telaah tentang Model Pembelajaran”. Insania, Jurnal
Pemikiran Alternatif Pendidikan. Vol. 12, No. 1, Januari-April 2007. Purwokerto: STAIN. 5
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/insania/article/view/215 84
Taliziduhu Ndraha. Budaya Organisasi. (Jakarta: Rinek Cipta, 2003). 17-32 85
Berry K. Beyer. Teaching Thinking in Social Studies; Using Inquiry in the
Classroom. (London Sydney: Bell and Hawell Company, 1979). 268 86
William James Earle. Introduction to philosophy. (Singapure: Mc Graw-Hill Inc,
1992). 297 87
Van Baal J. Symbols for Communication. An Introduction to the Anthropological
Study of Religion. (Assen, 1971). 177
Page 38
27
kehidupan manusia, seperti nilai nikmat, nilai hidup, nilai jiwa, dan nilai
spritual.88
Agama sendiri seperti yang dikatakan giddens terdiri dari terdiri dari
simbol-simbol yang menumbuhkan ketaatan dan tindakan keagamaan secara
disiplin oleh pemeluknya.89
Tindakan keagamaan ini bisa berwujud juga
pemakmuran rumah ibadah, suatu aktivitas untuk menampilkan dan menjaga
rutinitas keagamaan serta menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai filter bagi
pemeluknya.90
Sedangkan Weber memposisikan agama sebagai doktrin saja
tidak cukup untuk mengatakannya tindakan sosial, tetapi jika agama dipahami
dari pemaknaan subjektif individunya, maka bisa dikatakan sebagai tindakan
sosial. Kesimpulannya, soziale gebilde muncul atas tindakan keagamaan yang
diawali dari pemaknaan subjektif individu bukan dari kelompok atau pemeluk
agama lain.91
Lebih jauh untuk memahami nilai-nilai yang termanifestasikan dalam
budaya, peran pemimpin menjadi signifikan, adapun enam langkah utama pada
konkritisasi nilai menjadi budaya: a) Apakah pemimpin memperhatikan,
mengukur, dan mengendalikan secara teratur?, pemimpin yang ulet merupakan
pemimpin yag mampu mencurahkan perhatiannya terhadap hal detail dalam
organisasinya, sehingga mampu mengendalikan dan mengembangkan program-
program organisasinya agar lebih efektif dan efisiens. b) Bagaimana pemimpin
bereaksi terhadap suasana kritis dan krisis organisasi?, c) Kriteria yang telah
diamati oleh pemimpin untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas, hal
ini dilakukan agar sumber daya yang tersalurkan tepat sasaran dan akuntable. d)
pemberdayaan dan percontohan pelaksanaan peran, pembelajaran, dan
pembinaan yang disengaja. e) Pemimpin memiliki kriteria dalam pemberian
penghargaan dan status. Dan terakhir, f) Pemimpin juga memiliki kriteria untuk
merekrut, memilih, mempromosikan, pensiun, dan memberhentikan anggota
organisasi.
Enam mekanisme sekunder perwujudan nilai-nilai menjadi budaya: a)
Desain dan struktur organisasi. b) Sistem dan prosedur organisasi. c) upacara
dan ritual Organisasi. d) Desain fisik, jiwa, dan bangunan dari organisasi. hal ini
dimaksudkan dengan pentingnya dalam sebuah organisasi membangun dan
membentuk subjek organisasi dengan memperhatikan sisi psikologi, motivasi
dan identitas jelas organisasi. e) Cerita, legenda, dan mitos dari orang-orang dan
88
Subur. “Pendidikan Nilai: Telaah tentang Model Pembelajaran”. Insania, Jurnal
Pemikiran Alternatif Pendidikan. Vol. 12, No. 1, Januari-April 2007. Purwokerto: STAIN. 6
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/insania/article/view/215 89
Anthoni Giddens. The Constitution of Society: Teori Strukturasi Untuk Analisis
Sosial. (Yogyakarta: Pedati, 2003). 452. 90
Flavius Floris Andries. “Movement of Campus‟ Mosque at UGM and UIN
Sunan Kalijaga In Order to Understand National Politic” Jurnal “Analisa” Volume 19
Nomor 02 Juli - Desember 2012
https://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/article/view/161 91
Laeyendecker L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991). 315.
Page 39
28
peristiwa yang telah ada sebelumnya. Dan f) Pernyataan formal tentang filosofi,
nilai, dan kepercayaan organisasi. Dengan langkah-langkah ini semua,
diharapkan nilai-nilai budaya organisasi dapat dengan mudah disosialisasikan
dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan organisasi.
B. Kepemimpinan Organisasi
Suatu Organisasi pasti memiliki dan memerlukan figur seorang
pemimpin yang mampu menjalankan proses kepemimpinan bagi keseluruhan
organisasinya. Kepemimpinan dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan
mengarahkan organisasi yang merupakan faktor penting dalam efektivitas
pemimpin.92
Beberapa organisasi membutuhkan banyak pemimpin untuk
mengawal dan mengelola organisasi dengan demikian digunakan istilah
pimpinan, pemimpin-pemimpin tersebut dikonsentrasikan membantu pimpinan
utama dengan menjadi pimpinan-pimpinan pada unit-unit organisasi pada
tingkatan dibawahnya.
Tugas kepemimpinan menurut Pfeffer dalam organisasi adalah untuk
membuat kegiatan yang berarti dan masuk akal, yang menghasilkan sentimen
positif, sikap, dan perasaan di antara anggota organisasi.93
Dengan kata lain,
pemimpin melakukan peran simbolis untuk membenarkan keputusan organisasi
dan kinerja organisasi. Hubungan yang kuat dengan visi dan strategi perusahaan
menekankan peran eksplisit manajemen puncak dalam perumusan identitas
organisasi.94
Walaupun identitas perusahaan berbeda dari identitas organisasi
yang menunjukkan sebagai fungsi kepemimpinan dan dengan fokus pada
simbolik.95
Meskipun kedua konsep membangun gagasan tentang sebuah
organisasi.96
Kepemimpinan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran
organisasi Popper dan Lipshitz,97
seperti halnya pemimpin dapat membuat
struktur organisasi dan membentuk budaya organisasi untuk menghasilkan
pengaruh melalui berbagai urusan, tindakan dan pelayanan. Dengan demikian,
kepemimpinan benar-benar mempengaruhi pembelajaran organisasi dan sangat
92 James Stoner and Charles Wankel. Management. 3rd ed. (New Dehli: prentice
Hall of India. 1998). 445. 93
Pfeffer, J. "Management as symbolic action: the creation and maintenance of
organizational paradigms", 1981. in Star, B. and Cummings, L. (Eds), Research in
Organizational Behavior, Vol. 3, JAI Press, Greenwich, CT, 1-52. 94
Abratt, R. "A new approach to the corporate image management process",
Journal of Marketing Management, Vol. 5 No. 1, 1989. 63-76.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0267257X.1989.9964088?journalCode=rjmm2
0 95
Olins, W. Corporate identity, Thames & Hudson, London. 1989. 96
Balmer, J.M.T. "Corporate branding and connoisseurship", Journal of General
Management, Vol. 21 No. 1, 1995. 25
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/030630709502100102 97
Popper, M. and Lipshitz, R. “Installing mechanisms and instilling values: the role
of leaders in organizational learning”, The Learning Organization, Vol. 7 No. 3, 2000a. 135-
45. http://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/09696470010335854
Page 40
29
berkorelasi dalam meningkatkan proses dan hasil kegiatan belajar organisasi.98
Pemimpin juga dapat meningkatkan kemampuan organisasi melalui
menyampaikan visi mereka dan kesempatan belajar yang diciptakan oleh para
pemimpin yang diijinkan untuk bawahan mereka dapat meningkatkan kinerja
organisasi.99
Dengan demikian para pemimpin juga dapat mengusulkan dan
mengambil tindakan masa depan yang baik.100
Fungsi manajemen kepemimpinan terutama ditujukan untuk mengelola
perilaku pegawai dan dengan menjelaskan dan memprediksi produktivitas
pegawai, mengundurkan diri tingkat dan kepuasan kerja dalam upaya untuk
mencapai tujuan akhir untuk keterlibatan kerja agresif pegawai dan komitmen
untuk perusahaan.101
Yeung et al. menyatakan bahwa dalam pembelajaran
organisasi, diperlukan bagi para pemimpin untuk merancang budaya dan sistem
pada pegawai dengan tantangan yang terus menerus untuk menciptakan masa
depan yang sejahtera untuk organisasi.102
Secara konseptual, manajer puncak organisasi dapat mempengaruhi
kreativitas pegawai dan inovasi organisasi dalam beberapa cara berbeda.
Pertama, mereka mendefinisikan dan membentuk konteks kerja di mana
pegawai berinteraksi untuk menentukan tujuan, masalah, dan solusi.103
Dengan
mengartikulasikan visi yang menekankan jangka panjang lebih dari hasil jangka
pendek, pemimpin dapat mengarahkan upaya individu dan bersama pegawai
terhadap proses kerja yang inovatif dan berhasil.104
Lebih luas, para pemimpin
organisasi adalah sumber kunci dari pengaruh budaya organisasi.105
Dengan
menciptakan dan mempertahankan iklim organisasi dan budaya yang
memelihara upaya kreatif dan memfasilitasi difusi pembelajaran, pemimpin
98
Lam, Y.L. “Defining the effects of transformation leadership on organization
learning: a cross-cultural comparison”, School Leadership & Management, Vol. 22 No. 4,
2002. 439-52. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1363243022000053448 99
Edmondson, A.C. “The local and variegated nature of learning in organizations:
a group-level perspective”, Organization Science, Vol. 13 No. 2, 2002. 128-46.
https://pubsonline.informs.org/doi/abs/10.1287/orsc.13.2.128.530 100
Pfeffer, J.,'& Davis-Blake, A. Administrative succession and organizational
performance: How administrator experience mediates the succession effect. Academy (f
Management Journal, 29, 1986. 72-83. http://amj.aom.org/content/29/1/72.short 101
Robbins, S.P. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and
Applications, 10th ed, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ. 2003. 102
Yeung, A. K., Ulrich, D. O., Nason, S. W., & Von Glinow, M. A.
Organizational learning capability: generating and generalizing ideas with impact. New
York: Oxford University Press. 1999. 103
Redmond, M. R., Mumford, M. D., & Teach, R. Putting creativity to work:
Effects of leader behavior on subordinate creativity. Organizational Behavior and Human
Decision Processes, 55(1), 1993. 120-151.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0749597883710277 104
Amabile, T. M. Creativity in context: Update to the social psychology of
creativity. Boulder, CO: Westview Press. 1996. 105
Schein, E. H. Organizational culture and leadership (2nd
ed.). San Francisco:
Jossey-Bass. 1992.
Page 41
30
secara signifikan dapat meningkatkan kreativitas organisasi.106
Akhirnya, para
pemimpin dapat mengembangkan dan memelihara sistem yang menghargai dan
manfaat kinerja kreatif melalui kompensasi dan kebijakan terkait sumber daya
manusia lainnya. Ketika sebuah perusahaan menyediakan imbalan intrinsik dan
ekstrinsik sebagai upaya untuk memperoleh keterampilan baru dan
bereksperimen dengan pendekatan kerja kreatif pegawai akan terus diperkuat.107
Banyak pemimpin membuat kesalahan dengan berpikir mereka dapat
mengubah perilaku individu dalam organisasi dengan mengubah budaya.108
Valikangas dan Okumura berpendapat bahwa fakta individu menolak perubahan
adalah sebagai akibat dari kegagalan pemimpin untuk memahami apa yang
memotivasi pengikut untuk mengubah perilaku mereka.109
Singkatnya,
kepemimpinan pada dasarnya adalah sebuah proses pengaruh sosial di mana
individu ingin merasa disertakan, didukung dan diperkuat, terutama selama
perubahan. Hubungan antara individu dan pemimpin mereka akan
mempengaruhi persepsi efektivitas pemimpin. Dengan demikian, pemahaman
tentang hubungan tersebut perlu untuk mengatasi masalah konsep diri individu.
Markus dan Wurf mengemukakan bahwa aspek inti dari kondisi diri yang stabil
adalah mengendalikan situasional, tetapi banyak aspek perifer seperti praktek
budaya dan kepemimpinan organisasi mungkin cukup menghambat faktor yang
mempengaruhi konsekuensi bagi individu maupun persepsi dari pemimpin.110
Dalam penjelasan ini, penting untuk melihat peran kepemimpinan dalam
membuat teladan yang tepat.111
Etika kepemimpinan, apakah mereka baik atau
buruk, positif atau negatif, mempengaruhi etos kerja dan dengan demikian
membantu untuk membentuk pilihan etis dan keputusan dari para pekerja di
tempat kerja.
Dengan demikian, pemimpin berusaha untuk mengklarifikasi nilai-nilai
dan menentukan tujuan organisasi. domain ini menekankan komunikasi tujuan
106
Yukl, G. Leadership in organizations. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
2001. 107
Jung, D. I., Chow, C., & Wu, A. The role of transformational leadership in
enhancing organizational innovation: Hypotheses and some preliminary findings.
Leadership Quarterly, 14(4-5), 2003. 525-544.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S104898430300050X 108
Nadler, D. A., P. K. Thies and M. B. Nadler. 'Culture Change in the Strategic
enterprise: Lessons from the Field'. 2001. In: C. L. Cooper, S. Carwright and P. C. Earley,
The International Handbook of Organizational Culture and Climate. John Wiley & Sons Ltd,
Chichester. 109
Valikangas, L. and A. Okumara. 'Why do people follow leaders? A study of a
US and a Japanese change program', Leadership Quarterly, 8 (3), 1997. 313–337.
http://nasim.hormozgan.ac.ir/ostad/UploadedFiles/388060/388060-4410031272387417.pdf 110
Markus, H. and E. Wurf. 'The dynamic self-concept: A social psychological
perspective', Annual Review of Psychology, 38, 1987. 299–338.
http://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.ps.38.020187.001503?journalCode
=psych 111
Sekhar, R.C. Ethical Choices in Business, Response Books, New Delhi. 1997
Page 42
31
dan hasil organisasi, baik secara internal maupun eksternal.112
Misalnya,
Bolman dan Deal telah mencatat "mitologi" peran sering dimainkan oleh para
pemimpin sebagai kepala seremonial organisasi, dalam upaya untuk
memperjelas tanggung jawab peran, mengajarkan nilai-nilai organisasi, dan
mempromosikan misi organisasi.113
Perilaku simbolik dapat mewakili upaya
untuk mengirimkan nilai-nilai organisasi pada tingkat yang lebih dalam
inkulturasi.
Selain mengelola faktor inti dari organisasi, pemimpin juga mungkin
memiliki beberapa dampak pada membangun iklim organisasi yang produktif
melalui penekanan dari setting tertentu nilai-nilai organisasi, dan jumlah usaha
yang dikeluarkan dalam domain ini adalah prediksi dari hasil organisasi.114
Bagian dari peran pemimpin dalam mengelola subsistem ini juga dapat
mencakup ketahanan organisasi dari pengaruh luar, sehingga tujuan dapat
dicapai dan masukan dari lingkungan disalurkan secara konstruktif.
Kepemimpinan memiliki hubungan erat dengan inovasi organisasi.115
King dan Anderson menemukan fakta bahwa gaya kepemimpinan yang
diperlukan adalah untuk mendorong munculnya inovasi organisasi.116
Leonard
dan Swap setuju bahwa seorang pemimpin harus mampu memahami norma-
norma organisasi dan merubah organisasi untuk mendorong kreativitas dan
inovasi organisasi tersebut.117
Terlepas dari idealitas seorang pemimpin, maka
organisasi juga safngat membutuhkan anggota organisasi yang mampu
menerjemahkan ide-ide tersebut sehingga akan sangat terlihat kontribusi
mereka.
Kepemimpinan sebagai salah satu kontributor paling sering
menegaskan untuk kinerja organisasi di semua jenis organisasi. Beberapa studi
telah meneliti hubungan ini secara empiris.118
Secara umum, studi lapangan
telah menemukan bahwa karakteristik kepribadian pemimpin dan perilaku
112
Marcoulides, G.A. and Heck, R.H. “Organizational culture and performance:
proposing and testing a model”, Organization Science, Vol. 4, 1993. 209-25.
https://pubsonline.informs.org/doi/abs/10.1287/orsc.4.2.209 113
Bolman, L. and T. Deal. Modern Approaches to Understanding and Managing
Organizations, San Francisco: Jossey-Bass. 1984. 114
Heck, R. H., T. J. Larsen, and G. A. Marcoulides. "Instructional Leadership and
School Achievement: Validation of a Causal Model," Educational Administration
Quarterly, 26, 2, 1990. 94-125.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0013161X90026002002 115
Waldman, D., & Bass, B. M. Transformational leadership at different phases of
the innovation process. Journal of High Technology Management Research, 2, 1991. 169-
180. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/1047831091900026 116
King, N., and Anderson, N. Innovation and Change in Organizations. New
York: Routledge, 1995. 117
Leonard, D. A., and Swap, W. C. When Sparks Fly: Igniting Creativity in
Groups. Boston: Harvard Business School Press, 1999. 118
Nahavandi, A. and A. R. Malekzadeh. 'Acculturation in mergers and
acquisitions', Academy of Management Review, 13 (1), 1988. 79–90.
http://amr.aom.org/content/13/1/79.short
Page 43
32
memiliki sedikit efek pada produktivitas organisasi yang diukur dengan tidak
langsung, tindakan keuangan perusahaan-lebar seperti laba dan pengembalian
aset.119
Higgins menemukan beberapa hubungan yang signifikan antara
orientasi kepemimpinan (transaksional terhadap transformasional) dan persepsi
para pemimpin 'dari efektivitas organisasi.120
Namun Thompson menemukan
bukti kuat yang menunjukkan bahwa kehadiran yang peduli, terlibat pemimpin
adalah bahan penting dalam kinerja organisasi.121
Demikian pula, Butler dan
Cantrell menemukan efek yang kuat antara struktur pemulai pemimpin 'dan
pertimbangan pada kedua kepuasan kerja dan produktivitas anggota
kelompok.122
Pada akhirnya pemimpin akan dinilai pada 2 hal, yakni prestasi
organisasi atau organizational achievement dan pembinaan organisasi atau
organizational maintenance. Organizational achievement mencakup: produksi,
pendanaan, kemampuan adaptasi dengan program-program inovatif dan
sebagainya. Dengan pendekatan ini keberhasilan pemimpin menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut: Pengamatan terhadap produk yang dihasilkan
oleh proses transformasi kepemimpinan, seperti: Penampilan kelompok,
Tercapainya tujuan kelompok, Kelangsungan hidup kelompok, Pertumbuhan
kelompok, Kemajuan kelompok menghadapi krisis, Bawahan merasa puas
terhadap pemimpin, Bawahan merasa bertanggung jawab terhadap tujuan
kelompok, Kesejahteraan psikologi dan perkembangan anggota kelompok dan
Bawahan tetap mendukung kedudukan dan jabatan pemimpin. Kemudian hasil
transformasi kepemimpinan tersebut dapat dilihat pula beberapa hal seperti:
peningkatan kualitas personal maupun organisasi, kesejahteraan yang tercukupi,
peningkatan daya saing kualitas mahasiswa maupun dosen sehingga
meningkatkan daya tawar perguruan tinggi, target perguruan tinggi yang
tercapai, investasi pada semua sektor, produktivitas, biaya per unit pengeluaran
dan Biaya yang bertalian dengan pengeluaran anggaran dan sebagainya.
Penilaian yang kedua adalah pada Organizational maintenance,
meliputi; kepuasan kerja, motivasi dan semangat kerja. Untuk meneliti ini maka
dibutuhkan pengamatan dari pemimpin secara teliti, antara lain;;
1. Kepuasan kerja, akan dilihat dari imbalan kerja, anggota organisasi bisa
beradaptasi dengan organisasinya, melaksanakan tugas dan tanggung jawab
dengan baik, loyalitas.
119
Costanza, D.P. "Leadership and Organizational Decline: The Relationship
Between Personality Characteristics and Organisational Performance." Ph.D. diss. George
Mason University. 1996. 120
Higgins, C.C. "Transactional and Transformational Leadership: An Examination
of the Relationship Between Leadership Orientation and Perceptions of Organizational
Effectiveness." Ph.D. diss. George Washington University. 1998. 121
Thompson, J.W. "Employee Attitudes, Organizational Performance, and
Qualitative Factors Underlying Success." Journal of Business and Psychology. 1996.
11:171-96. https://link.springer.com/article/10.1007/BF02193858 122
Butler, J.K., and Cantrell, R.S. 1997 "Effects of Perceived Leadership Behaviors
on Job Satisfaction and Productivity." Psychological Reports 80:976-78.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.2466/pr0.1997.80.3.976
Page 44
33
2. Motivasi, dilihat dari; kedisiplinan, rotasi kepegawaian, kritik, keinginan
mutasi, resign, mogok kerja dan perusakan fasilitas organisasi dan adanya
sikap ketidaksesuaian dengan pemimpin akhirnya memunculkan konflik.
3. Semangat kerja, seperti: adanya kerjasama dalam organisasi; motivasi
kelompok, kebijakan pimpinan menyelesaikan konflik, profesionalitas
kerja, partisipasi dalam kegiatan organisasi, mengakomodir kebutuhan
organisasi, dan mempersiapkan dan mengantisipasi berbagai perubahan
organisasi, dan meningkatkan kualitas kesejahteraan, pendelagasian dan
pemberian wewenang kepada anggota organisasi.
Kompetensi pemimpin dituntut lebih dari pada anggota organisasinya.
Prinsip-prinsip kepemimpinan yang benar dalam memahami masalah budaya
organisasi melalui komunikasi yang benar123
adalah sebagai berikut: Decision
making, Leadership, Communication, Appreciating differences, Personal
excellence, Business success, Continuous learning, Vibrant workplace, Ethics,
Partnership, Passion for coffe, Planning and measuring, Shared ownership,
Sustainability, dan World benefit.
Indikasi peran pemimpin yang diadaptasi dari Jerome Want untuk dapat
melakukan perubahan budaya,124
seperti:
a. Become a student of a culture, Budaya organisasi tidak dimiliki oleh
seseorang dan pasti bukan oleh pemimpin. Budaya merupakan produk dari
banyak kontributor yang dipelajari selama bertahun-tahun, yang didasarkan
pada perilaku organisasi, komitmen, nilai-nilai, kebijakan, misi, sejarah dan
kondisi organisasi. Bila dalam pendirian belum secara sadar dibentuk,
mungkin diperlukan waktu yang lama dan bahkan sulit untuk dibentuk.
Oleh karena itu, Setiap orang dalam budaya perlu menjadi pembelajar
budaya sebelum berusaha mengubahnya, termasuk pemimpin.
b. Renewal, pemimpin mutlak diposisikan untuk membangun budaya sebagai
proses pembaruan. Dengan memperbarui budaya organisasi, bakat dan
komitmen pegawai merasa termotivasi baik dari dalam maupun luar
organisasi. Tidak dengan mengambil kebijakan pengerdilan atau pengucilan
terhadap pegawai, perbaikan operasional, maupun restrukturisasi yang
mempunyai pengaruh pembaruan terhadap organisasi. Sebaliknya, hal
tersebut diatas dipastikan selalu meningkatkan fokus pada budaya
organisasi.
c. Communications, pemimpin memastikan terjadinya komunikasi secara
terbuka dengan seluruh organisasi. Tidak untuk menciptakan
ketidakpercayaan pada proses perubahan budaya secara rahasia. Ketika
orang merasa ditinggalkan, maka kemarahan dan penolakan akan tumbuh.
Komunikasi terbuka dengan anggota organisasi perubahan juga penting
sehingga orang di tempat yang sama dapat bertukar gagasan baru dan
sumber daya.
123
Jerome Want. Corporate Culture, Illuminating the Black Hole, Key Strategies of
High-Performance Business Cultures. (New York: St Martin's Press. 2006).156 124
Jerome Want. Corporate Culture, Illuminating the Black Hole, Key Strategies of
High-Performance Business Cultures. (New York: St Martin's Press. 2006).160
Page 45
34
d. Inclusiveness, pemimpin menjelaskan pada organisasi bahwa membangun
budaya merupakan proses pelibatan, suatu proses dengan menyertakan
orangnya. Penyertaan orang tidak harus ditetapkan dengan merekrut
pegawai baru, tetapi gagasan dan komitmennya harus dapat menjangkau
seluruh pegawai. Manfaat utama dalam hal ini adalah tumbuh sepanjang
waktu melibatkan semua pegawai. Pemimpin dapat diterima dalam proses
organisasi untuk menunjukkan gagasan baru dan rekomendasinya.
e. Trust, pemimpin menanamkan rasa percaya di antara anggota organisasi
dalam proses membangun budaya. Orang harus merasa aman menyuarakan
pendapatnya dan perbedaan tentang budaya yang baru diimpikan dan proses
berorganisasi. Kepercayaan di antara anggota organisasi perubahan adalah
penting apabila proses perubahan tidak diluncurkan. Apabila isu
kepercayaan tumbuh, pemimpin akan menjadi orang terbaik untuk
menyampaikan isu tersebut.
f. Accountability, Tidak ada seorang pun dalam posisi lebih baik dari pada
menempatkan pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab. Hanya
pemimpin yang dapat mempertimbangkan apakah proses perubahan budaya
berjalan di arah yang benar dan menyelesaikan tujuan sebenarnya.
Setiap organisasi pasti akan mengalami perubahan organisasi, dengan
demikian penting bagi pemimpin untuk mempersiapkan segala aspeknya
dengan matang. Akhirnya tujuan dari perubahan organisasi tersebut tercapai
dengan maksimal dan konflik yang terjadi dapat teratasi dengan baik.
Keunggulan organisasi terletak pada peran pemimpin dalam mengelola
organisasinya.
C. Relasi Interpersonal dalam sebuah organisasi
Dicks dan Heider mendefinisikan relasi atau hubungan interpersonal
merupakan suatu hubungan yang dilakukan oleh dua individu dan atau lebih.125
Relasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap orang, baik sebagai individu
maupun sebagai kolektivitas, bahkan relasi juga merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia, Relasi interpersonal menjadi sumber utama
kebahagiaan dan penyangga terhadap stress.126
Relasi interpersonal yang
didasari oleh rasa percaya dan orientasi pada tujuan tinggi akan dapat
memunculkan tingkat kepuasan dalam melakukan interaksi satu sama lain,
Relasi dalam pekerjaan juga dapat mempengaruhi iklim organisasi, kinerja
pegawai, dan akhirnya dapat berpengaruh pada produktivitas organisasi. Lewis
menjelaskan beberapa konsep yang mendasari hubungan interpersonal;
125
Clara Moningka, M.M. Nilam Widyarini. “Pengaruh Hubungan Interpersonal,
Self Monitoring, Dan Minat Terhadap Performansi Kerja Pada Pegawai Baglan Penjualan”.
Proceeding. Seminar NasionaJ PESAT 2005, Perguruan tinggi Gunadarma, Jakarta, 23-24
Agustus 2005. http://repository.gunadarma.ac.id/1080/ 126
David Zandvliet, Perry Den Brok, Tim Mainhard And Jan Van Tartwijk.
Advances In Learning Environments Research Interpersonal Relationships In Education:
From Theory To Practice. (Rotterdam, The Netherlands: Sense Publishers, 2014). 11
Page 46
35
kelekatan (attachment), koneksi & pemisah (connection & separation),
negosiasi, ketakutan yang tidak disadari (unconscious fear), kekuatan,
pemeliharaan keseimbangan (maintenance of balance), perubahan dalam
keseimbangan (changes in balance), kesehatan, keseimbangan yang optimal
(the optimal balance) dan nilai-nilai.127
Beberapa teori yang membahas tentang relasi interpersonal, salah
satunya adalah teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh John Thibaut dan
Harold H. Kelley pada tahun 1959 yang menerangkan hubungan dua orang
dimana mereka saling tergantung untuk mencapai hasil-hasil yang positif.128
Dan dinyatakan juga bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan
tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup
memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya. Teori Pertukaran Sosial
disebut juga dengan Teori Tingkah Laku Sosial Dasar,129
George C. Homans
pada tahun 1950 mencoba menerangkan hubungan dua orang dengan
menggunakan prinsip-prinsip ekonomi (jual beli). Ia berpendapat bahwa proses
psikologik yang terjadi pada dua orang yang saling berinteraksi pada hakikatnya
sama dengan proses jual beli, dimana kedua belah pihak saling memberi harga
dan mencari keuntungan. Hubungan yang dapat bertahan lama adalah hubungan
dimana kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan.
Teori Pertukaran Sosial ini memandang hubungan interpersonal sebagai
suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya dan saling memuaskan
kedua belah pihak. Sehingga ada empat konsep pokok dalam teori ini yaitu
ganjaran, biaya, laba atau hasil dan tingkat perbandingan. Dan tingkat
perbandingan inilah yang menjadi teori khas dari sumbangan yang diberikan
oleh Thibaut dan Kelley. Adapun teori interdependensi dari Shaw & Costanzo
secara khusus mengungkapkan suatu kerangka kerja untuk menganalisis tentang
interaksi sosial yang berhubungan di dalam suatu kelompok kecil serta
mengajukan suatu teknik didalam menganalisis interaksi dan pertukaran sosial.
Adam berpandangan berbeda dalam “Equity Theory” yang menjelaskan
bahwa teori keseimbangan merupakan keseuaian antara sebuah hubunan antar
individu yang berpedoman pada sistem yang berlaku dalam organisasi
tersebut,130
misal; pengalaman, pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki individu
disesuaikan dengan kinerjanya pada organisasi. Kekhawatiran ini akan terjadi
ketika munculnya ketidakseimbangan. Dalam teori ini, ketidakseimbangan
muncul karena reward yang diberikan tidak sesuai sehingga anggota organisasi
tersebut merasakan ketidakpuasan. Ketika anggota organisasi merasakan
127
Lewis dalam Gary J. Kennedy, MD. Geriatric Mental Health Care. (New York:
The Guilford Press, 2000). 97 128
Kelley, H. H., & Thibaut, J. W. Interpersonal Relations: A Theory Of
Interdependence. (New York: Wiley, 1978). 42. 129
Ross L. & Nisbett R. E. The person and the situation: Perspectives of social
psychology. (New York: McGraw-Hill, 1991). 4. 130
Stephen P. Robbins. Organizational Theory. (Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall Inc., 1990). 66-67
Page 47
36
ketidakpuasan dalam bekerja, kemungkinan marah dan keinginan keluar dari
organisasi muncul, sebaliknya jika anggota organisasi merasakan kepuasan
dalam bekerja, kemungkinan mereka akan melakukan pekerjaannya dengan
maksimal dan bertanggungjawab.131
Penelitian ini membahas faktor-faktor teori
keseimbangan yang berkaitan satu sama lainnya, seperti; keseimbangan
penghasilan, keseimbangan antara kepusan kerja dan penghasilan,
keseimbangan antara motivasi dan penghasilan, keseimbangan antara
komunikasi dan kinerja, dan keseimbangan antara beban kerja dan penghasilan.
Teori Relasi Interpersonal seperti yang telah dijelaskan, merupakan
suatu interaksi sosial seseorang dengan orang lain dengan melibatkan beberapa
aspek komunikasi dan keterampilan sosial. Seperti dalam kasus perawat pada
sebuah pusat kesehatan, relasi interpersonal termasuk keterampilan sosial yang
diperlukan untuk menjalani kehidupan individu serta berinteraksi dengan
pasien, keluarga pasien dan rekan.132
Hal ini terkait manusia memiliki 8 jenis
kecerdasan seperti yang dijelaskan Gardner, yaitu kecerdasan komunikasi,
kecerdasan logika, kecerdasan visual-spasial, kinestetis, musik, intrapersonal,
interpersonal dan kecerdasan naturalis.133
Penelitian ulasan dalam esai ini
meneliti proses interaksi yang menjembatani kesenjangan antara psikologi
intrapersonal dan psikologi interpersonal. Singkatnya, penelitian ini
mengeksplorasi cara-cara di mana pengalaman interpersonal membentuk
kepribadian, termasuk disposisi pribadi, nilai-nilai, dan kecenderungan perilaku.
Johnson memberikan masukan untuk menciptakan, mengembangkan
dan mempertahankan relasi interpersonal, seseorang diwajibkan memiliki 4
kompetensi, yaitu; kepercayaan dan saling memahami, komunikasi, menerima
dan memberikan motivasi dan kontrol emosi.134
Beberapa hal yang mendasari
kepercayaan adalah kepastian atau keyakinan bahwa sesama anggota kelompok
akan berprilaku kooperatif, keyakinan bahwa semua anggota kelompok
memiliki kompetensi untuk memenuhi harapan dalam menjalankan perannya
dan kesediaan untuk menempatkan nasib seseorang ditangan anggota kelompok
dengan kata lain siap untuk rela berkorban demi kepentingan umum.
Bennis memberikan konsepsi relasi interpersonal; interpersonal
relationship may be defined any relationship of two or more person which has
its ultimate function the performance of task.135
Dalam konsep tersebut, relasi
131
Stephen P. Robbins. Organizational Theory. (Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall Inc., 1990). 65 132
Kagan C. Evans J. & Kay B. A Manual Of Interpersonal Skills For Nurses: An
Experiential Approach. (London: Harper & Row, 1990). 2 133
Rose C. & Malcolm JN. Accelerated Learning For The 21st Century. (Jakarta:
Nuansa, 2003). 37. 134
Johnson D.W. Reaching Out Interpersonal Effectiveness And Self Actualization.
(San Fransisco: Prentice HaIl, 1986). 20 135
Warren G. Bennis. “Desarrollo organizacional: su naturaleza, sus orígenes y
perspectivas”. Estados Unidos de América. Fondo Educativo Interamericano, S.A., 1973.
http://www.sidalc.net/cgi-
Page 48
37
interpersonal merupakan hubungan instrumental karena relasi yang terbentuk
dalam rangka menghasilkan suatu produk atau untuk mencapai tujuan
(penyelesaian tugas). Oleh karena itu, Baron dan Byrne menyarankan agar
setiap individu memiliki kemampuan self monitoring, ini adalah faktor utama
dalam menciptakan dan menjaga hubungan interpersonal agar tetap baik.136
Bennis membagi 2 dimensi utama mengenai orientasi pribadi manusia
dalam suatu relasi interpersonal.
1. Orientasi terhadap Rasa percaya (trust orientation) terhadap masing-masing
pihak yang melakukan hubungan. Dari tinjauan dimensi dasar ini akan
terdapat dua alternatif orientasi yang terjadi, yaitu orientasi terhadap pihak
lain yang sifatnya bersahabat dan orientasi yang sifatnya bermusuhan
2. Orientasi mengenai tujuan dari hubungan yang terjadi (goal orientation).
Dari tinjauan ini akan terdapat 2 alternatif, yakni kooperatif dan kompetitif.
Pada orientasi kooperatif tindakan-tindakan yang dilakukan oleh setiap
pihak dipandang sebagai kolaboratif dan berguna bagi kedua belah pihak.
Sedangkan orientasi kompetitif menunjukkan bahwa suatu tindakan untuk
mencapai tujuan oleh suatu pihak dilihat sebagai suatu ancaman terhadap
pencapaian tujuan dari pihak lainnya
Krech dan Crutchfield tingkah laku sosial tergantung pada social
psychological field yang dikarakteristikkan oleh kehadiran individu-individu
lainnya.137
Artinya tingkah laku sosial merupakan suatu tingkah laku yang
muncul dalam acuan terhadap orang lain. Gudykunst memberikan bukti dimana
latar belakang budaya berpengaruh terhadap relasi interpersonal anggota
organisasi.138
Pada penelitiannya, budaya timur terutama wilayah asia
cenderung kooperatif atau bersahabat, adanya keinginan tolong menolong
dalam setiap permasalahan, terbuka dan empati. Sebaliknya budaya barat
cenderung ekslusif. Penelitian lain, hubungan interpersonal dapat dipengaruhi
oleh tempat tinggal.139
Suatu organisasi yang berada di daerah pedesaan
memiliki sifat tolong menolong dan terbuka, berbeda dengan masyarakat
perkotaan..140
bin/wxis.exe/?IsisScript=UACHBC.xis&method=post&formato=2&cantidad=1&expresion
=mfn=019852 136
Baron RA. & Byrne D. Sosial Psychology: Understanding Human Interaction.
(New York: Allyn & Bacon, 1994). 34 137
Krech D. & Crutchfield RS. Theory And Problems Of Social Psychology. (New
York: McGraw-Hill Book Co.; 1948). 47 138
Smith & Bond, M.H. Sosial Psychology Across Culture: Analysis And
Perspective. (Cambridge: University Press, 1993). 46. 139
House J.S. & Wolf S. Effect Of Urban Residence On Interpersonal Trust And
Helping Behavior. Journal Of Personality And Social Psychology. 1978. 36, 1029-1043 (II).
http://psycnet.apa.org/record/1980-05422-001 140
Milgram S. “The Experience Of Living In Cities”. Science, 1970. 167, 1461-
1468 (11,14). http://www.jstor.org/stable/1728966?seq=1#page_scan_tab_contents
Page 49
38
Anastasi menambahkan pentingnya minat dalam setiap individu,141
minat sangat mempengaruhi prestasi, pendidikan, pekerjaan, hobi, dan relasi
interpersonalnya kepada orang lain. Adanya perbedaan peran dalam konteks
pekerjaan & bukan pekerjaan maka terdapat pula perbedaan kepentingan seperti
tugas dan tujuan yang akan dicapai. Hal tersebut didukung oleh Shockley &
zalabak yang menyatakan bahwa relasi interpseonal dalam organisasi terbentuk
karena adanya tugas yang penting dan pertimbangan sosial.142
Organisasi pada
dasarnya adalah sebuah bangunan tempat pertemuan banyak pribadi yang
diperlukan untuk penyelesaian tugas, dengan kata lain relasi interpersonal yang
terjalin di tempat kerja terbentuk karena adanya kebutuhan untuk
menyelesaikan tugas atau tujuan bersama.
Manusia sebagaimana fitrohnya yakni membutuhkan orang lain dalam
kehidupannya. Relasi atau komunikasi interpersonal yang baik menjadi faktor
yang menentukan kemudahan adaptasi sehingga mencapai kesuksesan karir,
mendapatkan dukungan rekan sekerjanya. Beberapa pakar membagi Tipe relasi
interpersonal seperti relasi dengan keluarga, relasi romantic, afiliasi,143
dan
persahabatan. Beberapa tipe relasi interpersonal dalam sebuah organisasi yang
hampir sama pun dijelaskan sebagai berikut;
1. Relasi kerjasama yang bersahabat, bennis mengemukakan bahwa tipe ini
adalah realsi antar anggota suatu kelompok yang didasari oleh adanya rasa
percaya yang tinggi dan didukung dengan orientasi pada tujuan yang tinggi.
Masing-masing anggota kelompok menempatkan rasa percaya dan orientasi
tujuan sebagai landasan utama dalam berinteraksi dg rekan lain. ciri
perilaku dg tipe ini yakni; menunjukkan perilaku kerjasama yang tinggi,
saling menghormati, saling mempercayai dan setiap pihak memiliki
orientasi pada pencapaian tujuan bersama. Dengan demikian persaingan
antar pihak menjadi rendah, demikian pula dengan pertentangan dan rasa
saling curiga dalam menjalin hubungan tidak Nampak.
Hubungan semacam itu akan memungkinkan kegiatan kelompok
akan semakin energik, masing-masing anggota berkeinginan untuk tetap
bertahan di dalam kelompok, menghargai kesepakatan terhadap tujuan serta
upaya untuk mencapainya. Relasi interpersonal yang mendasarkan pada
rasa percaya dan tujuan tinggi juga akan mendorong kepada setiap anggota
kelompok untuk bekerja secara teratur berdasarkan tujuan yang telah
ditetapkan. Mereka bekerja secara efektif guna mencapai tingkat
produktivitas kelompok, selalu memperhatikan kepaduan kelompok,
mengutamakan keharmonisan kelompok.
141
Anastasi A. Tes Psikologi. (Jakarta: PT. PrenhaIIindo, 1997). 31. 142
Pamela S. Shockley & Zalabak. Fundamentals of Organizational
Communication: Knowledge, Sensitivity, Skills, Values. Sixth Edition, (Pearson Education,
Inc. Published by Allyn and Bacon, 2006). 24 143
Afiliasi adalah kebutuhan dasar untuk berhubungan dengan orang lain. banyak
motif yang mendorong orang untuk berafiliasi, tetapi 3 yang utama adalah perbandingan
social, pengurangan kecemasan, dan mencari informasi. Dwyer D. Interpersonal
Relationships. (USA: Taylor & Francis e-Library. Dari e-Book, 2002). 17.
Page 50
39
Produktivitas kelompok, kepaduan kelompok, dan kepuasan
anggota kelompok merupakan unsur-unsur efektifitas kelompok,144
sesusi
dengan konsep kolektivisme Hofstede dan Trompenaars. Pertemanan dan
persahabatan di tempat kerja dapat meningkattkan sikap individu pegawai
seperti komitmen kerja, engagement, persepsi terhadap dukungan organisasi
dan kepuasan kerja.145
Gallup menambahkan dalam dwyer, persahabatan
dan dukungan dari lingkungan sosial di tempat kerja berkaitan dengan
komitmen dan employe engagement.146
Dimensi utama yang menentukan
efektifitas kelompok adalah terjalinnya relasi antara anggota kelompok
secara baik, sehingga terdapat komunikasi 2 arah yang terbuka dan
akurat.147
Rekan kerja saling menukarkan informasi mengenai persyaratan
pekerjaan, memberikan dukungan sosial, dan memberikan nasihat tanpa
secara resmi mengevaluai kinerja rekannya.148
Relasi interpersonal berperan positif terhadap efektifitas kelompok.
Dimana dalam kelompok tersebut terjalin kerjasama, komunikasi 2 arah,
dan partisipatif cenderung lebih produktif, padu, dan pada diri anggotanya
terdapat kepuasan hidup berkelompok. Kesimpulannya bahwa kelompok
yang didalamnya terjalin relasi interpersonal antar anggota dengan baik
cenderung lebih kohesif (padu) dan produktif.
2. Relasi kompetisi yang bersahabat, Bennis mengemukakan bahwa tipe ini
adalah relasi antar anggota suatu kelompok yang didasari oleh adanya
orientasi rasa percaya yang tinggi dan orientasi pada tujuan kelompok yang
rendah. Pada tipe ini anggota kelompok menempatkan rasa percaya yang
tinggi namun diantara mereka memiliki tujuan-tujuan pribadi yang hendak
diwujudkan melalui aktivitas kelompok. Kekurangan tipe ini adalah dimana
tujuan kelompok tidak menjadi prioritas untuk dicapai oleh para
anggotanya. Dengan ciri perilaku anggotanya yakni; menunjukkan perilaku
saling menghormati dan saling mempercayai, namun di dalam relasinya
para anggota kelompok menunjukkan kerjasama yang rendah dalam
mencapai tujuan kelompok. Disamping itu diantara anggota kelompok
144
Cartwright D. & Zander A. Group dynamics: Theory and research. 3rd ed. (New
York: Harper & Row, 1968). 3-21 145
Dachner A. “Interpersonal Relationships At Work: An Examination Of
Dispositional Influences And Organizational Citizenship Behavior”. (Doctoral dissertation).
Retrieved from: Knowedge_Bank_Submission_3-24-2011.pdf. 2011. Diambil dari Anu
Singh Lather & Shilpa Jain, “Interpersonal Need Orientation And Employee Engagement:
An Empirical Evidence”, American International Journal of Research in Humanities, Arts
and Social Sciences, Published by International Association of Scientific Innovation and
Research (IASIR), USA. 2015. 146
Dwyer D. Interpersonal Relationships. 25. 147
Johnson D.W., & Johnson H. Learning Together And Alone: Cooperation,
Competition, And Individualization. (3rd ed.). (Engkwood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1991).
31 148
Pamela S. Shockley & Zalabak. Fundamentals of Organizational
Communication: Knowledge, Sensitivity, Skills, Values. Sixth Edition, (Pearson Education,
Inc. Published by Allyn and Bacon, 2006). 38
Page 51
40
Nampak adanya persaingan yang ketat untuk memperoleh keuntungan-
keuntungan pribadi dari kehidupan berkelompok.
Relasi semacam ini berperan positif pada kepaduan kelompok,
sementara itu perannya terhadap kepuasan anggota juga memungkinkan
akan positif, sebab hubungan yang menyenangkan akan mengurangi rasa
persaingan yang terjadi diantara mereka. Kurangnya kerja sama dalam
mencapai tujuan akan dapat diatasi dengan keharmonisan dalam
menampilkan perilaku yang saling menghormati, menghargai, dan
mempercayai. Oleh karena itu, tipe ini masih memungkinkan untuk
mencapai tujuan kelompok, terciptanya kepaduan kelompok, dan
diperolehnya kepuasan para angggotanya.
3. Relasi kerjasama yang antagonistic, bennis mengatakan tipe ini adalah
suatu tipe relasi antara anggota suatu kelompok yang didasari oleh adanya
orientasi rasa percaya yang rendah dan orientasi pada tujuan kelompok
yang tinggi. Cirri perilakunya adalah menunjukkan perilaku saling curiga
dan saling bertentangan, namun diantara para anggota menunjukkan
kerjasama yang tinggi dalam mencapai tujuan kelompok. Disamping itu
diantara anggota kelompok tidak Nampak adanya persaingan untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi dari kehidupan berkelompok.
Relasi semacam ini akan mengutamakan produk dari pada kepuasan
berhubungan dengan teman kerja. Oleh sebab itu, relasi ini akan
memungkinkan tercapainya tujuan kelompok, sehingga berperan positif
pada produktivitas kelompok.
4. Relasi kompetisi yang antagonistic, bennis mengemukakan tipe ini adalah
suatu tipe relasi antara anggota suatu kelompok didasari oleh adanya
orientasi rasa percaya yang rendah dan orientasi pada tujuan kelompok
yang juga rendah. Cirri perilakunya adalah menunjukkan sikap saling
curiga dan bertentangan, anggota kelompok tidak ada kerjasama untuk
mencapai tujuan kelompok. Disamping itu, diantara anggota kelompok
Nampak adanya persaingan untuk memperoleh keuntungan pribadi dari
kehidupan berkelompok. Kelompok yang berkembang didalamnya
berkembang relasi kompetisi yang antagonistic merupakan kelompok yang
tidak efektif. Para anggota tetap bertahan dalam kelompok biasanya hanya
karena ketentuan formal yang mengharuskan mereka tetap bersatu dalam
suatu kelompok. Relasi ini kurang adanya rasa percaya satu sama lain,
kurang dapat bekerjasama satu sama lain, yang akhirnya tidak dapat
berperan positif terhadap produktifitas kelompok, kepaduan kelompok, dan
kepuasan anggota kelompok.
Hackman & Oldham dalam Elizur mengklasifikasikan relasi
interpersonal menjadi 2, yaitu relasi interpersonal yang terbentuk dalam konteks
pekerjaan dan relasi interpersonal yang terbentuk dalam konteks bukan
pekerjaan.149
Beberapa aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal dalam
149
Richard Hackman J. and Greg R. Oldham. “Development of The Job Diagnostic
Survey". Journal of Applied Psychology, Vol. 60, 1975. 159-170
http://psycnet.apa.org/record/1975-22031-001
Page 52
41
kontek pekerjaan, yakni; task identity, feedback from others, feedback from job,
skill variety, dealing in job, autonomy, dan task significant. Sedangkan aspek
yang terdapat dalam relasi interpersonal dalam konteks bukan pekerjaan, yakni;
autonomy, physical variety, dealing, dan feedback from others. Hubungan
interpersonal yang terjaling di tempat kerja merupakan interaksi hari ke hari
antara rekan kerja, atau manajer dan pegawai. Hubungan ini adalah bagian
alami dari lingkungan kerja dan biasanya menyenangkan dan kreatif, tapi
terkadang menjadi sumber ketegangan dan frustasi.
D. Relasi Interpersonal Meningkatkan Budaya Organisasi
Penelitian dari Smart dan Hamm, efektivitas sampel dari dua tahun
perguruan tinggi yang berbeda dominasi budaya organisasi. Temuannya
menunjukkan perbedaan dalam efektivitas perguruan tinggi selama dua tahun
yang menunjukkan ciri-ciri kolektivitas, organisasi yang dinamis, hirarki,
budaya entrepreneur, dan perbedaan ideology perguruan tinggi yang konsisten.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan meningkatkan manajemen dan
kinerja kelembagaan perguruan tinggi yang telah berjalan selama dua tahun.150
Bukti empiris yang konsisten mendukung validitas dari empat jenis budaya
organisasi dominan yang berkembang dari tanggapan terhadap skenario budaya.
Misalnya, perguruan tinggi dengan budaya kolektivitas adalah sebuah bukti
semangat tinggi dan kolegial dalam pengambilan keputusan, orang-orang
dengan budaya adhokrasi menggunakan strategi inovatif dan kegiatan selama
dalam batas aturan akademik, orang-orang dengan budaya hirarki memiliki
struktur mekanistik dan mengurangi kekurangan sumber daya, dan orang-orang
dengan budaya pasar yang proaktif dan mengadopsi inisiatif kebutuhan pasar
yang kuat.151
Demikian pula bukti pendukung disediakan oleh Zammuto dan
Krakower yang melaporkan bahwa budaya organisasi IPS berkorelasi dengan
ukuran karakteristik organisasi (misalnya sentralisasi), iklim (misalnya,
kepercayaan, moral), dan orientasi strategi (misalnya, reaktif, proaktif) dengan
cara yang umumnya sesuai dengan prediksi dari kerangka kerja konseptual yang
mendasari.152
Misalnya, sejauh mana perguruan tinggi bukti budaya hirarki
yang positif berkaitan dengan sentralisasi dan orientasi strategis reaktif dan
150
John C. Smart and Russell E. Hamm. “Organizationalc ulture and effectiveness
in two-year colleges”. Research in Higher Education, Vol. 34, No. 1, AIR Forum Issue
(Feb., 1993). 95-106 151
Cameron K.S. and Ettington D.R. The Conceptual Foundations Of
Organizational Culture Higher Education: Handbook of Theory and Research. (New York:
Agathon, 1988). 356-396. 152
Zammuto RF and Krakower JY. “Quantitative and Qualitative Studies of
Organisational Culture”, Research in Organisational Change and Development 5. 83-114.
Lihat juga dalam Muzainah Mansor & Mahamad Tayib. “An Empirical Examination of
Organisational Culture, Job Stress and Job Satisfaction within the Indirect Tax
Administration in Malaysia”. International Journal of Business and Social Science Vol. 1
No. 1; October 2010. 83 https://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:277734
Page 53
42
berhubungan negatif dengan percaya, semangat, dan kredibilitas pemimpin.
Mereka menyimpulkan bahwa, "Hal ini dimungkinkan untuk mengembangkan
instrumen survei yang valid untuk mempelajari budaya organisasi" karena hasil
mereka, menggunakan IPS, "memenuhi kriteria konsistensi internal, hubungan
diprediksi dengan fenomena organisasi lainnya, dan diskriminasi antara
kelompok".153
Budaya organisasi sebagai aspek penting dalam upaya mengembangkan
kinerja manajerial dan organisasi.154
Survei para penulis terhadap beberapa
literatur mengintegrasikan budaya organisasi dalam kerangka konseptual,
kemudian mengembangkan kerangka penelitian didasarkan pada lima
paradigma, yakni manajemen budaya komparatif, manajemen kontingensi,
kognisi organisasi, simbolisme organisasi, dan struktur/ psikodinamik.155
Beberapa sarjana, baru-baru ini mulai menyadari pentingnya budaya organisasi
dalam pengelolaan fungsi promosi. Weitz, Sujan, dan Sujan konsep budaya
organisasi berkembang dari efektivitas promosi atau sosialisasi.156
Deshpande
mengemukakan tentang pentingnya perhatian yang lebih besar untuk budaya
organisasi bersamaan dengan penjelasan struktural untuk efektivitas
manajerial.157
Selain itu, meningkatkan kekhawatiran untuk masalah
implementasi dalam strategi promosi158
dan pengembangan orientasi pelanggan
dalam organisasi juga memunculkan pertanyaan khusus berkaitan dengan
budaya organisasi. Bahkan, Mahajan, Varadarajan, Kerin menegaskan bahwa
fase berikut dari proses pengembangan pada bidang rencana strategis pasar
harus melibatkan integrasi formal dan budaya organisasi.159
Ott memberikan keterangan tiga tingkatan dasar dari tipologi budaya
organisasi yang menghubungkan definisi budaya organisasi agar memahami
153
Zammuto RF and Krakower JY. “Quantitative and Qualitative Studies of
Organisational Culture”. Research in Organisational Change and Development 5, 83-114. 154
John C. Smart and Russell E. Hamm. “Organizational Culture and Effectiveness
in Two-Year Colleges”. Research in Higher Education, Vol. 34, No. 1, AIR Forum Issue
(Feb., 1993). 95-106 155
Rohit Deshpande & Frederick E. Webster Jr. “Organizational Culture and
Marketing: De fining the Research Agenda”. Journal of Marketing Vol. 53 (January 1989).
3-15. http://www.jstor.org/stable/1251521?seq=1#page_scan_tab_contents 156
Barton A. Weitz, Haris Sujan, and Mita Sujan. “Knowledge, Motivation, and
Adaptive Behavior: A Framwork For Improving Selling Effectiveness”. Journal Of
Marketing 50, 1986. 174-191 http://www.jstor.org/stable/1251294 157
Parasuraman dan Deshpande dalam Rohit Deshpande and Frederick E. Webster,
Jr. “Organizational Culture and Marketing: Defining the Research Agenda” The Journal of
Marketing, Vol. 53, No. 1 (Jan., 1989). 3-15 http://etd.uum.edu.my/3524/ 158
Walker O.C. and Ruekert R.W. “Marketing‟s Role In The Implementation Of
Business Strategies: A Critical Review And Conceptual Framework”. Journal of marketing,
15, 1987.15-33. http://www.jstor.org/stable/1251645?seq=1#page_scan_tab_contents 159
Vijay Mahajan, Rajan Varadarajan and Roger A. Kerin. "Metamorphosis in
Strategic Market Planning". in Gary L. Frazier and Jagdish N. Sheth (Eds.) Contemporary
Views on Marketing Practice (Lexington, Mass.: Lexington Books), 1987. 67-110.
Page 54
43
metode yang digunakan.160
Ketiga tingkatan tersebut adalah: artefak dan pola
perilaku, nilai-nilai dan keyakinan, dan asumsi dasar. Ott berpendapat bahwa
mendefinisikan budaya organisasi berawal dari sebuah asumsi dasar. Ini definisi
dasar dari budaya organisasi yang menjelaskan nilai dalam perilaku organisasi
dan akhirnya menciptakan artefak (misalnya, jargon, layout kantor, busana, dan
norma-norma perilaku untuk beberapa kegiatan) dan nilai-nilai dan keyakinan
(misalnya, etos, filsafat, ideologi, kode etik dan moral, dan sikap). Ringkasnya,
tipologi ini memberikan kita wawasan baru, bahwa banyak studi tentang budaya
yang memanfaatkan nilai-nilai yang dianut, yaitu manifestasi realitas budaya
atau kebenaran budaya itu sendiri. Budaya riil atau benar ini hanya dapat
diuraikan dengan melihat secara mendalam untuk asumsi dasar menggunakan
metode kualitatif seperti wawancara klinis161
atau dengan menggunakan
etnografi strategie penelitian.
Peran budaya sebagaimana dikatakan oleh Schein peran budaya
diperuntukkan memecahkan masalah dasar kelompok (1) kelangsungan hidup
dan adaptasi terhadap lingkungan eksternal, dan (2) kemudian integrasi pada
proses internal untuk memastikan kapasitas untuk terus bertahan dan
beradaptasi.162
Budaya telah dikaitkan dengan variabel organisasi lain seperti
komitmen, kepuasan kerja, perencanaan strategis, inovasi, tugas dan hubungan
otoritas, omset, koordinasi dan arah kegiatan, keuntungan tujuan, ketertiban dan
kompetisi. Budaya juga telah dikaitkan lebih khusus dengan proses perumusan
strategi yang mempengaruhi masalah promosi seperti cakupan geografis,
cakupan pasar dan perubahan strategi, pada akhirnya budaya terikat dengan
kemampuan adaptasi organisasi dan efektivitas.
Pada artikel lain, budaya organisasi memiliki tujuan; pertama, untuk
mengusulkan dan menguji model, bagaimana budaya organisasi mempengaruhi
kinerja organisasi; dan kedua, untuk menunjukkan penerapan metodologi
pemodelan LISREL untuk memperkirakan dan menguji model ini. Budaya
organisasi dihipotesiskan terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait: sistem
sosiokultural dari fungsi strategi organisasi dan praktek, sistem nilai organisasi,
dan keyakinan kolektif dari individu yang bekerja dalam organisasi. Budaya
organisasi dioperasionalkan oleh beberapa variabel laten: struktur organisasi
dan tujuan, nilai-nilai organisasi, organisasi tugas, iklim, dan nilai-nilai individu
dan keyakinan. Variabel ini, pada gilirannya, yang diduga mempengaruhi
kinerja organisasi. Analisis data dari 392 responden yang berpartisipasi dalam
penelitian ini menegaskan fit dari model yang diusulkan untuk data. Model
yang disajikan dalam penelitian ini merupakan upaya awal untuk
menggambarkan dan mengevaluasi efek dari berbagai dimensi budaya
organisasi. Tampak bahwa perbandingan aspek terlihat dari budaya di dalam
organisasi dan dapat memberikan informasi yang berguna untuk membimbing
160
Ott J.S. The Organizational Culture Perspective. (Pacific Grove, CA:
Brooks/Cole Publishing Company. 1989). 53 161
Edgar H Schein. Organizational Culture and Leadership. (San Fransisco:
Jossey Bass, Publ. 1992). 48 162
Edgar H Schein. Organizational Culture and Leadership. 50.
Page 55
44
arah organisasi. Dengan menyelidiki variabel yang didefinisikan dalam studi ini
lebih lanjut menjelaskan mengapa beberapa organisasi tidak tampil di tingkat
yang diinginkan dalam produktivitasnya. Sebuah alat metodologis juga telah
disajikan dalam artikel ini. Hal ini jelas bahwa penerapan teknik pemodelan
persamaan struktural dapat memberikan para ilmuwan organisasi dengan alat
analisis yang kuat untuk memajukan teori pengujian dan pengembangan.
Pemodelan struktural dapat digunakan untuk membangun, memperkirakan, dan
menguji berbagai model dalam ilmu organisasi.163
Budaya memainkan peran kunci dalam menentukan tingkat hasil
organisasi. Sebuah hipotesis umum tentang peran ini menunjukkan bahwa jika
sebuah organisasi memiliki budaya yang kuat dengan memamerkan satu set
yang terintegrasi dengan baik dan efektif dari nilai-nilai tertentu, keyakinan, dan
pola perilaku, maka akan menghasilkan produktivitas di tingkat yang lebih
tinggi.164
Dalam hal ini, budaya organisasi didefinisikan sebagai pola nilai dan
keyakinan bersama dari waktu ke waktu yang menghasilkan norma-norma
perilaku yang diadopsi dalam memecahkan masalah.165
Awadh dan Saad menegaskan bahwa budaya yang kuat dan peran
kepemimpinan dalam sebuah organisasi dapat membantu dalam meningkatkan
kinerja, dimana sebuah organisasi dengan budaya yang kuat akan
memungkinkan untuk mengelola sumber daya manusia secara efektif dan
efisiens.166
Seorang pemimpin harus mampu memobilisasi dan
mengkoordinasikan sumber daya manusia dengan menekankan hubungan antar
manusia, maka akan meningkatkan dimensi-dimensi dalam kinerja. Sedangkan
perilaku etis dan karakter yang kuat menjadi hal yang sangat penting bagi
kredibilitas seorang pemimpin dan memberikan pengaruh yang sangat berarti.
Butts dan Rich menambahkan ethical leader mampu menjadi panutan
dan menggunakan kekuasaannya secara positif untuik mempengaruhi orang
lain.167
Pemimpin juga harus menciptakan lingkungan kerja yang etis dan ramah
bagi semua pegawai, mengkomunikasikan isu-isu berkaitan dengan etika,
bertanggung jawab, dan menjadi panutan bagi pegawai. Seorang ethical leader
163
George A. Marcoulides and Ronald H. Heck. “Organizational Culture And
Performance: Proposing And Testing A Model”. Organization Science vol. 4, No. 2, May
1993 printted in U.S.A. 164
Dennison D.R. “Bringing Corporate Culture to the Bottom Line”.
Organizational Dynamics, 13 (2) 1984. 4-22
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0090261684900159 165
Owens and Schein dalam Mujeeb Ehtesham, Ul, Tahir Masood Muhammad,
Shakil Ahmad Muhamma. “Relationship between Organizational Culture and Performance
Management Practices: A Case of University in Pakistan”. Journal of Competitiveness, Issue
4/2011. 79. 166
Mohammad Awadh Alharbi, Mohammed Saad AlYahya. “Impact of
Organizational Culture on Employee Performance”. International Review of Management
and Business Reseacrh, Vol. 2 Issue 1, March 2013
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.918.653&rep=rep1&type=pdf 167
Butts J.B. & Rich K.L. Nursing Ethics: Across the Curriculum and into Practice
Second Edition. (UK: Jones and Bartlett Publisher, 2008). 57.
Page 56
45
adalah seorang pemimpin yang selaras antara tindakan dan kata-kata. Hasil
penelitian Boevink kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki pengaruh
terhadap kinerja organisasi dan kinerja pegawai.168
Menurut Key konsep budaya
organisasi memberi kesan bahwa dalam organisasi, etika adalah menjadi
bagiannya.169
Di kalangan para akademisi dan praktisi akhir-akhir ini telah
muncul perhatian terhadap bagaimana organisasi memilih cara untuk
menjalankan bisnisnya dengan tetap dapat mencapai tujuan organisasi, tetapi
dengan cara yang lebih patut. Termasuk di dalamnya adalah kajian tentang
pengaruh budaya organisasi dan kepemimpinan.170
Para pemimpin level atas diyakini sebagai orang-orang yang memiliki
pengaruh utama pada penciptaan dan pengembangan budaya organisasi, dimana
peran pemimpin level atas adal membangun, mempertahankan, dan merubah isi
dari suatu budaya organisasi.171
Secara structural seorang pemimpin akan
terlibat dalam sebuah perencanaan strategic, sehingga akan berpengaruh
terhadap kebijakan, proses pengambilan keputusan dan tata aturan yang
diberlakukan.172
Schein menyatakan bahwa sebuah organisasi yang mapan
adalah organisasi yang berhasil memenuhi tugas-tugas utamanya, asumsi
pemimpin disebarluaskan dan penanaman asumsi dapat dianggap sebagai suatu
proses sosialisasi bagi anggota baru.173
Ketika leader menanamkan nilai-nilai
moral di tempat kerja, mendorong komunikasi terbuka di dalam kelompok
kerja, menghargai setiap pegawai, menstimulasi potensi pegawai dan
memberikan kesempatan untuk berpendapat maka akan dapat meningkatkan
kinerja pegawai.
Dimensi budaya organisasi yang dikembangkan oleh Hofstede melalui
sebuah proyek IBM nya bertujuan untuk mengukur sembilan dimensi yang
berasal dari berbagai literatur, termasuk konsekuensi budaya, seperti; jarak
kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, kolektivisme sosial, dalam kelompok
kolektivisme, egalitarianisme jenis kelamin, ketegasan, orientasi masa depan,
orientasi kinerja, dan orientasi manusiawi.174
Empat diantaranya yang
digunakan dalam penelitiannya oleh Vijay, Fariborz, Jaepil, Chao dan Seung,
dimensi nasional budaya-individualisme, seperti; jarak kekuasaan,
168
Boevinks A. “Shared Transformational Leadership and Organization Culture as
Predictors of a Bank‟s Financial Performance”. Essay of Bussiness Administrationand
Organizational Science, 2009. 1-45. 169
Key S. “Organizational Ethical Culture: Real Or Imagined”. Journal of Business
Ethics, 20, 3, 1999. 217:225 https://link.springer.com/article/10.1023/a:1006047421834 170
Adi Kristiawan dan Kuncono Teguh Yunanto. “Pemimpin, Budaya Organisasi
Dan Perilaku Etis”. Prosiding Seminar Nasional Peran Budaya Organisasi Terhadap
Efektivitas dan Efisiensi Organisasi. 132 171
Edgar H Schein. Organizational Culture and Leadership. 70. 172
Butts J.B. & Rich K.L. Nursing Ethics: Across the Curriculum and into Practice
Second Edition. (UK: Jones and Bartlett Publisher, 2008). 63. 173
Edgar H Schein. Organizational Culture and Leadership. 230 174
Geert Hofstede. Culture‟s Consequences International Differences in Work-
related Values. (Baverly Hills, Ca: Sage Publ., 1980). 30
Page 57
46
penghindaran ketidakpastian, dan maskulinitas digunakan untuk
mengoperasionalkan perbedaan budaya antara mitra IJV.175
Dimensi
individualisme-kolektivisme mengacu kecenderungan untuk menempatkan nilai
lebih pada kepentingan individu atau kepentingan kelompok. Dimensi jarak
kekuasaan menjelaskan penerimaan distribusi kekuasaan yang tidak setara
antara pihak. Dimensi penghindaran ketidakpastian menganggap sejauh mana
orang memandang kecemasan dalam keadaan tidak pasti. Terakhir, dimensi
maskulinitas-feminitas mengacu pada kecenderungan apakah keberhasilan
ekonomi berdasarkan akumulasi kekayaan materi dihargai atau apakah
sensitivitas interpersonal yang didasarkan pada kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain dihargai.
Dari teori keseimbangan yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dipahami, bahwa relasi interpersonal harus dapat menjadi landasan
pengembangan budaya organisasi, seperti halnya relasi interpsersonal yang
dapat menyeimbangkan semua aspek penghasilan, komunikasi, motivasi, dan
kinerja. Maka teori dimensi budaya organisasi hofstede ini akan lebih mudah
diterapkan, ketika power distance yang diharapkan oleh sivitas akademik adalah
low, pegawai dengan mudah menemui sekaligus berkomunikasi kepada
pimpinan maupun dengan sivitas akademik lainnya. Demikian juga,
karakteristik pegawai yang cenderung lebih feminin lebih diharapakan dapat
menunjang proses pengabdian warga sivitas akademik agar senantiasa memiliki
pendewasaan sikap dalam bekerja.
E. Nilai-nilai Qur’ani dalam budaya organisasi
Pembudayaan atau kebudayaan dalam tahap proses menurut pandangan
Al-Qur‟an adalah amal yaitu aktivitas kreatif sebagai wujud dari realisasi
kehambaan dan kekhalifahan. Amal adalah kesatuan pemikiran dan perbuatan,
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Faktor pokok dalam pembentukan
kebudayaan sehingga terwujud budaya qur‟ani dalam kehidupan berorganisasi,
yakni;
1. Nilai-nilai Qur‟ani sebagai dasar pembentukan nilai-nilai budaya organisasi
yang kuat
Nilai-nilai relasi interpersonal yang diadaptasi dari nilai-nilai
komunikasi interpersonal berdasarkan al-Quran, merupakan landasan
organisasi untuk membangun budaya organisasi yang kuat, seperti;
a. Kepercayaan, puncak akhlak adalah amanah (kepercayaan yang
diberikan). Barang siapa yang tidak menepati amanah dan melanggar
janji, maka yang demikian adalah tanda merosotnya iman dan
merosotnya ketaqwaan kepada Allah SWT. Hadits Anas bin Malik ra:
“Tidak sempurna iman bagi mereka yang tidak menepati janji”. Hadits
Abu Hurairah ra: “Rasulullah SAW bersabda: Tunaikanlah amanah
175
Vijay Pothukuchi, Fariborz Damanpour, Jaepil Choi, Chao C. Chen and Seung
HoPark. “National and Organizational Culture Differences and International Joint Venture
Performance”. Journal of International Business Studies, Vol. 33, No. 2 (2nd Qtr., 2002).
243-265 https://link.springer.com/article/10.1057/palgrave.jibs.8491015
Page 58
47
kepada orang yang engkau percaya (untuk menunaikan amanah
kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu”.
Al-Qur‟an menjelaskan pentingnya membangun sebuah kepercayaan
dalam sebuah organisasi, seperti dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat
58 yang berbunyi;
للٱإن نمركه يأ
أ ٱحؤدوا
إلجنمل اأ خهحكى وإذان
نلناسٱبي ت أ ا كى ٱة
ةيػظلهػىاللٱإنلػد م إنۦكنللٱ اةصيراشىيػ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
b. Keterbukaan, sebuah keterbukaan mensyaratkan adanya kejujuran.
Tanpa kejujuran, perkataan sia-sia, keterbukaan akan menimbulkan
keharmonisan, sebaliknya ketidakjujuran menyebabkan
ketidakpercayaan, munculnya prasangka dan merusak hubungan. Rasul
memerintahkan setiap muslim agar memiliki watak shidiq sebab shidiq
membawa kebaikan sedangkan kebaikan akan menuntunnya ke surga,
Dalam al-Qur‟an sangat tegas keterbukaan atau kejujuran dalam
membangun sebuah organisasi dalam surat at-Taubah ayat 119;
اي يلييٱأ ا ٱءاو ا للٱتق ا دقيمصٱوعوك
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”.
Kemudian dipertegas dalam sabda Nabi;
ام وإن امب ديإل ي دق الص دقفإن ةالص غنيله ث ال ديإل ي ووابدقحتي يقايزالالرجليصدقويخحرىالص وإياكهلخبغداللصد
امكوامكذب فإن ر امفج إل دي ي النارذب إل دي ي ر امفج وواوإن يزالالرجليلذبويخحرىامكذبحتيلخبغداللكذاةا
“Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran
membawa kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga.
Page 59
48
Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis
oleh Allah sebagai orang yang jujur (shidiq), dan jauhilah sifat
bohong, karena kebohongan akan membawa kepada kejahatan,
dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu bohong
dan mencarai kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai
pembohong (kadzab)”. HR Muslim176
c. Sikap Positif, dalam perspektif Islam sebagaimana yang ada dalam diri
Rasulullah SAW, antara lain jujur (al Amin), ikhlas, sabar, husnudhan,
اي يلييٱأ ا ج ٱءاو ا ضبػ إنمظيٱوياكثيرخنتلوهإث مظيٱ ا يبضا بػ ضلهبػ خبيغ ولتصص
أ
حدكه نأ
أ
خيهل كليأ
اجوي أ ه فكر ٱوخى ا تق
ابللٱإنلل ٱ رحيهحArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka
itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. QS. Al-Hujarat: 12
d. Sikap Supportif, lebih menekankan pada pribadi seseorang, bukan
tindakannya. Islam tidak pernah merestui penghinaan kepada siapa saja.
Islam mengajarkan untuk menghargai orang lain. Sebagaimana hadis
berikut; “Nabi tidak pernah sama sekali menghina satu makanan. Bila
beliau suka beliau makan, bila tidak beliau tinggalkan” HR al-Bukhâri
dan Muslim.177
Kemudian Al-Qur‟an sangat memperhatikan sikap
supportif ini dengan firmanNya dalam surat al-Maidah ayat 32;
176 Shohih Muslim, Hadist No; 6586 177 HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064
Page 60
49
اصنف قخلوي و سنف ةغير ٱففصادأ
نىاضرل فكأ
ح ووي اجيعلناسٱقخلاأ يا نىا
ح فكأ
لناسٱياأ
ا جيعArtinya: “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.
e. Kesetaraan, sikap ini kemudian dijelaskan dalam surat Al-Hujarat ayat
13, yang berbunyi;
اي يثذكرويلهنخنق إالناسٱأ
له نوجػن وأ
اشػب نلوقتا لػارف ك إناللٱغدروله أ
ت أ قى ختيرغنيهللٱإنله
Artinya; “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
Kemudian ditegaskan oleh Rasululloh dalam hadis berikut;
“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuhmu dan rupamu, melainkan
Allah melihat hati dan perbuatanmu”. (HR. imam Buchari dan Imam
Muslim).178
Hal ini dimaksudkan, bahwa semua hubungan manusiawi
yang bermotifkan simbol-simbol luar tidak akan langgeng, namun
ketulusan hati dari masing-masing partner komunikasi yang akan
langgeng.
f. Empati, seseorang yang merasa paling altruis akan merasa diri mereka
bertanggung jawab, social, menyesuaikan diri, toleran dapat mengontrol
diri, dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik di mata orang
178
Muslim, Al Birr Wash Shilah Wal Adab, bab Tahrim Dzulmin Muslim Wa
Khadzlihi Wa Ihtiqarihi Wa Damihi Wa „Irdhihi Wa Malihi, VIII/11, atau no. 2564 (33).
Page 61
50
lain. Dalam ibadah khusus beliau selalu mempertimbangkan kondisi
makmumnya.
ا وتػاو م ٱع ىلق ٱوب ول ا تػاو ٱع نوػد م ٱوهث ل ٱو ا ٱتق ػقابم ٱشديدللٱإنلل
Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. QS Al-
Maidah: 2
Rasululloh sendiri memberikan perumpamaan bahwa setiap
muslim adalah bersaudara: “setiap muslim adalah satu tubuh, jika
sebagian anggota sakit, maka seluruh anggota tubuh juga sakit”.
Berkaitan dengan tolong menolong tersebut, wujud tolong menolong
tersebut bias menafkahkan hartanya, seperti dalam al-Qur‟an:
و يفقنلييٱوثلأ ه و نحتثكىثلللٱبيلشفل
أ تخج
اةلعشت فش لىيػفيضللٱوحتثوائثتنثشنك غنيهشعوللٱوء يشا
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-
orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-
Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah; 261)
Ditegaskan lagi dalam HR Buchari Muslim; “setiap pagi ada
dua malaikat yang turun dari langit dunia untuk memanjatkan doa
kepada Allah. Yang satu berdoa; Ya Allah berikanlah ganti kepada
orang yang mau membelanjakan hartanya. Sedangkan yang lain juga
memanjatkan doa; ya Allah berikanlah kerusakan pada harta pada orang
yang tidak mau membelanjakannya”.179
179
Muttafaq „alaih. Shahiih al-Bukhari kitab az-Zakaah bab Qau-luhu Ta‟ala: Fa
Amma Man A‟thaa wat Taqaa wa Shaddaqa bil Husnaa (III/304 no. 1442) dan Shahih
Muslim kitab az-Zakaah bab Fil Munfiq wal Mumsik (II/700 no: 1010 (57)).
Page 62
51
Abu Hurairah meriwayatkan hadis rasululloh sebagai berikut;
“Apabila salah seorang di antara kalian menjadi imam shalat maka
pendekkanlah bacaannya. Sebab di antara orang-orang itu ada orang-
orang yang lemah, sedang sakit, dan tua. Namun apabila ia shlat
sendirian, maka perpanjanglah sesukanya”. Begitu juga yang
diriwayatkan dalam HR. Dailami; “Jika orang-orang tidak lagi
mempedulikan orang miskin, memamerkan kekayaannya, bertingkah
seperti anjing (menjilat atasan, menendang bawahan), dan hanya
mengeruk keuntungan, maka Allah akan mendatangkan empat perkara:
paceklik, kezaliman penguasa, pengkhianatan penegak hukum, dan
tekanan dari pihak musuh”. Dan diperjelas dalam HR. Ahmad; “Sabda
Rasul menegaskan tentang hal ini: “Orang-orang yang menyayangi
sesamanya akan disayangi Allah”.
Dari penjelasan diatas, nilai-nilai Qur‟ani tersebut yang
diharapkan dapat diterapkan oleh anggota organisasi dalam
melaksanakan tugasnya, mengenal lingkungannya dengan baik dan
mampu berkomunikasi maupun berinteraksi layaknya sebuah keluarga,
sehingga dapat menunjang budaya organisasi yang dikembangkan
dalam organisasinya.
2. Berpikir sebagai sarana memunculkan kreativitas budaya berasaskan nilai-
nilai Qur‟ani
Berpikir dalam perspektif Al-Qur‟an bukanlah hasil-hasil
pemikiran manusia yang ada dalam Al-Qur‟an, akan tetapi bagaimana
ajaran Al-Qur‟an menjelaskan tentang berpikir. Berikut penjelasannya
dalam tafsir Fakhr Ar-Razi 2 hal penting pada ayat tersebut, pertama kata
wahidah artinya tauhid dan kedua tatafakkaru artinya berpikir.180
Kita dapat
memahaminya bahwa tauhid sebagai prinsip ajaran Al-Qur‟an, dengan
adanya kemampuan berpikir manusia mampu memahami ajaran tauhid
untuk kehidupannya.
Dalam Al-Qur‟an kata benda yang dipakai untuk memahami atau
berpikir hanyalah al-qalb, dan al-qalb ini berada di rongga dada, sedangkan
kata benda al-„aql dan al-fikr tidak pernah dipakai, kecuali kata kerjanya,
seperti „aqalu (عقهىا). Sedangkan kata kerja dari al-fikr antara lain kata
dalam bentuk fakkara (فكش). Jadi, al-qalb dalam Al-Qur‟an merupakan daya
untuk mengembangkan pikiran memahami kebenaran, dan dalam hubungan
ini, ia yang dapat pula disebut sebagai al-„aql artinya al-hiir (انحجش) yaitu
kecerdasan atau al-nuha (انىه). Sedangkan aktivitas berpikir yang berasal
dari kata kerja „aqala (عقم) artinya adalah Bahasa (حبس) yaitu menahan atau
mengikat. Seorang yang berpikir disebut al-„aqil (انعاقم) yaitu orang yang
menahan atau mengikat hawa nafsunya.181
Yang dimaksud adalah agar
180
Muhammad Ar-Razi, Fakhr Ad-Din, Tafsir Al-Fakhr Ar-razi, 32 Jilid, cetakan
ke III (Bairut: Lebanon: Dar‟-Fikr, 1985) Jilid 25. 269. 181
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 13. 485.
Page 63
52
kegiatan berpikir dapat memahami kebenaran haruslah hawa nafsunya
diikat, sehingga hawa nafsunya tidak menguasai dirinya, karena dapat
menghalangi pemahaman terhadap kebenaran.182
Akal sebagai sarana berpikir berpusat di dalam kepala berfungsi
untuk memahami alam sekitarnya, sedangkan hati berpusat di dalam dada
berfungsi untuk merasakan dan menghayati kebenaran yang diperolehnya
melalui berpikir terhadap alam sekitarnya, bekerja dan menghayati
kebenarannya. Melalui proses penghayatan terhadap kebenaran yang
diperoleh dengan berpikir, maka hawa nafsu akan dapat ditawan
sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur‟an bahwa hawa nafsu akan dapat
ditawan. Jika hati merasakan tenang, manusia akan dapat selalu ingat
kepada Tuhannya. Al-Qur‟an selalu menjelaskan tentang keterkaitannya
antara manusia yang tidak bisa memisahkan antara kemampuannya berpikir
terhadap alam sekitar dengan mengingat pada kekuasaan Tuhan, disebut
juga fitrah.
Kebebasan berpikir merupakan faktor pokok kebudayaan.
Kebudayaan akan mandeg dan sulit untuk tumbuh tanpa adanya kebebasan
berpikir. Kebebasan berpikir adalah terbebasnya pikiran dari sesuatu hal
yang menyebabkan ia gagal memahami kebenaran seperti hawa nafsu yang
ada dalam setiap insan. Menurut Al-Qur‟an, seseorang akan gagal
memahami kebenaran jika ia tidak dapat membebaskan pikirannya dari
hawa nafsu. Jadi, kebebasan berpikir mutlak diperlukan dalam kebudayaan.
Kebebasan berpikir artinya membebaskan pikiran dari hawa nafsu, sehingga
pikiran bekerja sesuai dengan fungsinya untuk memahami kebenaran, dan
kebebasan pikiran dicapai jika hati manusia dalam keadaan tenang, karena
hati yang goncang akan membuat manusia jatuh pada kekuasaan hawa
nafsu. Ketenangan hati akan diperoleh jika ingat Tuhannya, sehingga
muncul kesadaran keTuhanan, yang kemudian akan menerangi pikiran
untuk bekerja memahami kebenaran.
Ayat-ayat Tuhan sebagai objek berpikir adalah alam, manusia dan
sejarah serta Al-Qur‟an sendiri sebagai ayat-ayat dari firman Tuhan yang
diwahyukan. Pertama, Tentang Alam. Al-Qur‟an menegaskan bahwa alam
semesta dan isinya merupakan tanda-tanda Tuhan bagi orang yang berpikir.
Dengan memikirkan alam, menjadikannya sebagai objek studi, maka
manusia dapat mengambil manfaat darinya, untuk kepentingan hidupnya
sendiri. Seperti besi yang mengandung kekuatan serta manfaat bagi
kehidupan manusia, menjadi bahan untuk membuat perkakas serta mesin-
mesin. Sehubungan dengan kekuatan yang terkandung dalam besi ini.
Sesungguhnya alam diciptakan dengan kebenaran, dan manusia dapat
mengungkapkan kebenarannya bagi kepentingan hidupnya, seperti
membuat perhitungan waktu baginya. Alam mempunyai ukuran-ukuran dan
ketentuan-ketentuan yang pasti yang berlaku sebagai hukum-hukum yang
mengikatnya. Dengan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
182
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Perguruan
tinggi Indonesia, 1982). 13.
Page 64
53
alam, diharapkan manusia dapat mengambil manfaatnya, karena
sesungguhnya alam semesta seisinya, diciptakan Tuhan untuk manusia.
Inilah urgensinya manusia memahami alam semesta agar tidak terpengaruh
dengan dunia kapitalisme yang merusak.
Kedua, Tentang Manusia. Anjuran Al-Qur‟an untuk memikirkan
diri sendiri dan memperhatikan sejarah sesungguhnya mempunyai arti
penting bagi kelangsungan hidup suatu generasi manusia. Memikirkan diri
sendiri artinya memahami kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya, agar
manusia dapat merancang dan melaksanakan sesuatu sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, tidak memaksakan sesuatu yang berada di luar
batas wewenang dan kemampuannya. Sedangkan anjuran memperhatikan
sejarah mempunyai arti memahami fakta-fakta sejarah tentang kepatuhan
dan kemajuan suatu generasi manusia. Dengan memahami sejarah
diharapkan manusia tidak mengulang kesalahan yang telah dilakukan oleh
generasi sebelumnya. Sehingga dapat menumbuhkan kesadaran tentang
kesatuan umat manusia dan kesatuan masa depan secara bersama-sama.
Saling pengertian itu dapat dicapai melalui kerja sama dalam berbagai
kegiatan, tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi
bersama. Al-Qur‟an menegaskan perlunya kerja sama dalam hal kebaikan.
Kerjasama dan saling pengertian sesungguhnya dapat dicapai dengan
mengadakan musyawarah, tukar pendapat, saling memahami jalan pikiran
masing-masing dan mencari rumusan berpikir baru yang lebih baik.
Anjuran Al-Qur‟an untuk mengadakan musyawarah atas segala urusan yang
dihadapi masyarakat adalah upaya untuk mengembangkan sikap terbuka,
demokratis dan menjauhkan pemutlakan pendapat atau egoism seseorang.
Kata musyawarah berasal dari syara dari ungkapan syara’-al-asyara’-
syauran yang artinya mengeluarkan madu lebah. Dalam bentuk syaurah
artinya adalah keindahan.183
Oleh karena itu, musyawarah merupakan
ungkapan dari usaha untuk mengetahui kebaikan atau kejelekan dari suatu
perkara.184
Syura merupakan institusi Arab yang demokratis dari masa
sebelum Islam yang kemudian didukung oleh Al-Qur‟an (As-Syuura‟: 38).
Nabi Muhammad sendiri disuruh oleh Al-Qur‟an (Ali Imron: 159) untuk
memutuskan persoalan-persoalan setelah berkonsultasi dengan pemuka-
pemuka masyarakat, dan setelah Nabi Muhammad wafat, tampaknya Al-
Qur‟an menghendaki kepemimpinan dan tanggung jawab kolektif.185
Dalam
teori manajemen dikenal dengan nama manajemen partisipatif, pentingnya
manajemen partisipatif dalam mengambil sebuah keputusan yang
melibatkan seluruh anggota organisasi, dengan demikian pengambilan
keputusan lebih efektif dan efisiens.
183
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 6. 103. 184
Muhammad Ar-Razi, Fakhr Ad-Din, Tafsir Al-Fakhr Ar-razi, 32 Jilid, cetakan
ke III (Bairut: Lebanon: Dar‟-Fikr, 1985) jilid 9. 67. 185
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur‟an, (Chicago: Ibliotheca Islamica,
1980). 43.
Page 65
54
Ketiga, Tentang Al-Qur‟an. Al-Qur‟an adalah kumpulan wahyu
Tuhan, diwahyukan pada Rasululloh sebagai mukjizat, dan tertulis dalam
Bahasa Arab. Al-Qur‟an merupakan ayat-ayat Tuhan bagi orang yang
berpikir. Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup bagi manusia, hanya
dimungkinkan jika manusia mau mempelajarinya dan memikirkan isi yang
terkandung didalamnya. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur‟an itu
diturunkan agar manusia mau memikirkannya. Al-Qur‟an memberikan
petunjuk kepada manusia ke jalan yang lurus. Pemikiran terhadap firman-
firman Tuhan seperti yang tertulis dalam al-Qur‟an, membawa manusia
berkenalan langsung dengan Tuhan serta memahami kehendak-Nya, yang
kemudian berkembang dalam ilmu agama. Dengan memikirkan Al-Qur‟an,
meletakkannya sebagai objek studi, manusia memperoleh pengetahuan
tentang apa yang harus dilakukan, yang boleh dan yang dilarang untuk
dilakukan. Dengan ini, Manusia berhadapan dengan nilai-nilai moral.
Pemahaman yang komprehensif dari tafsir atau ilmu lain yang berkaitan
dengan al-Qur‟an akan mempertegas manusia masih memerlukan al-Qur‟an
sebagai pedoman hidup dan pandangan hidup manusia.
3. Aktivitas Budaya sebagai proses aplikasi berfikir terhadap nilai-nilai
Qur‟ani
Perilaku budaya sebagai aktivitas fisik yang disadari, dimengerti
dan direncanakan berkaitan sangat erat dengan nilai-nilai. Dalam Bahasa
Arab disebut „amal artinya al-fi‟l yaitu pekerjaan atau al-mihnah yaitu
pengabdian.186
Berbuat sebagai perilaku budaya merupakan medan kegitan
yang amat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, social,
ekonomi, politik, pendidikan, keseniaun, ilmu dan teknologi serta
keagamaan. Setiap orang, satu sama lain, mempunyai kemampuan berbuat
yang berbeda-beda, baik kualitas, kuantitas maupun bidang kegiatannya.
Pada hakekatnya perbuatan itu ada dua macam; baik dan buruk.
Perbuatan yang baik itu, dalam Al-Qur‟an disebut as-salih, al-birr, al-
ma‟ruf, al-khair, al-hasan. 187
Sedangkan perbuatan yang tidak baik, jelek,
dalam Al-Qur‟an disebut al-fasad, asy-syar, al-munkar, as-su‟, al-
fakhisyah.188
Jadi, perbuatan yang baik adalah sudah diketahui jenisnya oleh
setiap manusia, dan setiap manusia menerimanya serta merasa senang dan
tenang di dalamnya, umpamanya persahabatan dan menolong orang yang
lemah, sebaliknya perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang setiap
manusia menolak dan mengingkarinya, umpamanya permusuhan dan
merusak rumah tangga orang lain. Penerimaan terhadap sesuatu realitas
perbuatan yang disebut baik adalah karena kesesuainnya dengan
pengetahuan kebenaran yang telah dicapai oleh pikirannya. Demikian juga
186
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 13. 502. 187
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 11. 139-144. 188
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 7. 90-92.
Page 66
55
sebaliknya, penolakan terhadap perbuatan yang buruk, karena
ketidaksesuaiannya dengan pengetahuan kebenaran itu.
Tujuan pembentukan kebudayaan pada hakekatnya tak terlepas dari
tujuan diciptakannya manusia. Karena kebudayaan adalah perwujudan diri
manusia, meliputi dan perbuatanya serta hasil keduanya, dalam bentuk
nilai-nilai dan benda-benda budaya. Dalam Al-Qur‟an ditegaskan bahwa
manusia diciptakan Tuhan tidak lain untuk ibadah kepada-Nya.
Sebagaimana arti kata „ibadah yang berasal kata dari „abada ya‟budu
artinya taat serta tunduk.189
Sedangkan dalam Tafsir Fakhr Ar-Razi
dikatakan bahwa ibadah ialah menghormati perintah atau pimpinan utuh
dan belas kasih terhadap sesame ciptaan Allah.190
Perintah untuk patuh dan
tunduk kepada Tuhan, sesungguhnya bukan untuk kepentingan Tuhan.
Patuh atau tindaknya manusi kepada Tuhan sama sekali tidak mengurangi
kekuasaan dan kemuliaan Tuhan. Diakui atau tidak oleh manusia, Tuhan
tetaplah Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia. Tuhan memberikan
rahmat-Nya kepada manusia, dengan memberitahukan rahasia hidupnya,
bahwa jalan yang lurus yang membawa manusia pada kebahagiaan sejati
adalah jalan hidup yang tunduk dan patuh kepada Tuhan. Al-Qur‟an
menegaskan bahwa jalan hidup tunduk dan patuh kepada Tuhan ialah jalan
hidup yang lurus.
Sesungguhnya semua ciptaan Tuhan sujud kepada-Nya. Di
dalamnya ditetapkan hukum-hukum dan ukuran-ukuran tertentu yang tidak
berobah, dan melalui pemekiran dan penguasaan terhadap hukum-hukum
serta ukuran-ukuran yang ada di dalamnya itu, maka manusia dapat
mengambil manfaatnya untuk kepentingan hidupnya. Jadi, pengertian
ibadah yaitu taat dan patuh pada Tuhan, dalam kaitannya dengan
pembentukan kebudayaan ialah memikirkan, dan merenungkat ayat-ayat-
Nya yang terdapat dalam alam, manusia dan sejarah serta firman-firman-
Nya dalam kitab suci (Al-Qur‟an), untuk megambil pelajaran dan
manfaatnya, bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup bersama. Pemikiran
dan penguasaan hukum-hukum serta ukuran-ukuran yang terkandung dalam
semua ciptaan Allah, bagi kesejahteraan dan kemakmuran bersama, pada
dasarnya merupakan perwujudan dari ibadah, karena semuanya ciptaan
Allah adalah tanda-tanda Tuhan bagi orang yang menggunakan pikiran.
Melalui pemikiran dan perenungan terhadap tanda-tanda Tuhan yang
terkandung dalam alam, manusia dan sejarah serta firman-firman-Nya,
manusia berhubungan dengan Tuhan secara kreatif.
Salah satu teori yang mengembangkan kehidupan Qur‟ani manusia
yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari yakni teori living qur‟an (dan
living hadis), yang berarti memahami ayat-ayat al-Qur‟an sebagai teks yang
hidup. Teori ini fokus pada aspek fungsi al-Qur‟an dalam kehidupan
189
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 4. 262. 190
Muhammad Ar-Razi, Fakhr Ad-Din, Tafsir Al-Fakhr Ar-razi, 32 Jilid, cetakan
ke III (Bairut: Lebanon: Dar‟-Fikr, 1985) jilid 9. 233.
Page 67
56
manusia seluruhnya. Pembahasan ilmu al-Qur‟an secara luas memberikan
sumbangan keilmuan terhadap scripture dan literature studi agama selain
islam.191
Karenanya, kajian teks agama harus melampaui firman lisan dan
firman tertulis.
Sahiron Syamsudin sebagaimana teorinya living al-Qur‟an adalah
teks al-Qur‟an yang hidup dalam masyarakat, sementara pelembagaan hasil
penafsiran tertentu dalam masyarakat dapat disebut dengan the living
tafsir”.192
Maksud dari sahiron adalah respons masyarakat terhadap teks al-
Qur‟an dan hasil penafsiran seseorang. Termasuk dalam pengertian respons
masyarakat adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan hasil
penafsiran tertentu. Resepsi sosial terhadap al-Qur‟an dapat kita temui
dalam kehidupan sehari-hari, seperti pentradisian bacaan surat atau ayat
tertentu pada acara dan seremoni sosial keagamaan tertentu. Sementara itu,
resepsi sosial terhadap hasil penafsiran terjelma dalam dilembagakannya
bentuk penafsiran tertentu dalam masyarakat, baik dalam skala besar
maupun kecil”. Penulis lain, Muhammad Mansur mendefinisikan living
Qur‟an berawal adanya kebiasaan manusia melakukan aktivitasnya berdasar
al-Qur‟an.193
Living Qur‟an dipahami juga sebagai studi atas peristiwa sosial
terkait dengan kehadiran Qur‟an atau keberadaan Qur‟an di sebuah
komunitas Muslim tertentu. Begitu juga para ilmuwan Barat tertarik untuk
meneliti fenomena Living Qur‟an. Yusuf menegaskan living Qur‟an194
sebagai ilmu dalam wilayah profane (tidak keramat) tetapi bagi umat
muslim sebagai buku petunjuk (hudā) yang bernilai sakral (sacred).
Pada definisi lain, living Qur‟an adalah studi tentang al-Qur‟an
tetapi tidak bertumpu pada eksistensi tekstualnya. Melainkan studi tentang
fenomena sosial yang lahir terkait dengan kehadiran al-Qur‟an dalam
wilayah geografi tertentu dan mungkin masa tertentu pula”. Ulumul Qur‟an
ada 3 macam. 1) sebagai objek penelitian baik tekstual maupun kontekstual.
2) sebagai tafsir Qur‟an baik dalam bentuk teori tafsir atau lainnya. 3)
sebagai respons masyarakat terhadap al-Qur‟an atau tafsir al-Qur‟an. Istilah
yang ke-3 inilah yang saat ini dikenal dengan sebutan living Qur‟an.195
191
Richard Martin, ed., Approaches to Islam in Religious Studies (Oxford:
Oneworld, 2001). 23-40. 192
Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah dalam Penelitian Al-Qur‟an dan Hadis”,
Kata Pengantar, dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta: Teras,
2007). 18-19. 193
Muhammad Mansur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis
(Yogyakarta: Teras, 2007). 5. 194 Muhammad Mansur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis
(Yogyakarta: Teras, 2007). 8. 195 Ahmad Atabik, The Living Qur‟an: PotretBudaya Tahfiz al-Qur‟an di
Nusantara, Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, Februari 2014. 161-178.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/jurnalPenelitian/article/view/1346
Page 68
57
Perwujudannya adalah umat islam mampu atau tidak untuk membawa al-
Qur‟an dalam setiap interaksinya.
Page 69
58
BAB III
PROFIL UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
A. Gambaran Umum Lembaga
UNSIQ adalah salah satu perguruan tinggi Islam yang menampilkan
fenomena unik. Keunikan kampus ini terletak pada berpadunya nilai-nilai
pesantren dengan nilai-nilai pendidikan modern. Hal itu bisa terbaca melalui
visi kampus UNSIQ ”Universitas Transformatif, Humanis dan Qur‟ani”. Faktor
demografis menunjukkan kelebihan lain UNSIQ, adalah berada di kota yang
berhawa sejuk sehingga sangat menunjang proses pendidikan yang kondusif.
UNSIQ berlokasi di Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah. UNSIQ
sebagai perguruan tinggi terkenal di kabupaten wonosobo, menjadi rujukan
utama pendidikan di kota tersebut. Diantara keunikan UNSIQ adalah adanya
berbagai model kolaborasi, sinergi dan harmoni yang menjadi dasar, proses
perkembangan dan kemajuan yang menginspirasi semangat kejayaan umat dan
gerakan pembangunan peradaban bangsa. Membangun peradaban bangsa
diperlukan langkah-langkah strategis dan simultan menuju perubahan yang
lebih baik serta menjaga keberlangsungannya melalui pendidikan.
UNSIQ mengukuhkan diri sebagai “Universitas Qur‟anik Saintis”
sebagai wujud dari integrasi keilmuan keislaman, sains dan teknologi,
kemodernan dalam bingkai tradisi dan budaya keindonesiaan sebagai satu
kesatuan dalam “Bait al-Qur‟an” sehingga tercipta kedamaian, kesejahteraan,
keadaban dan keadilan yang diridhoi oleh Allah Tuhan seluruh alam. Oleh
karena itu. dalam kehidupan kontemporer dengan kemantapan tekad dan
komitmen para pendiri, penyelenggara dan pengelolanya untuk membantu
masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan kualitas manusia yang unggul,
tangguh dan kompetitif. Dengan komitmen dan upaya tersebut diharapkan dapat
menjawab problem bangsa secara mikro, messo dan makro.
Sinergi, integrasi dan harmonisasi yang dikembangkan UNSIQ, adalah;
(1) sinergi dan harmoni keunggulan pendidikan pesantren dengan pendidikan
modern, sehingga UNSIQ juga disebut sebagai universitas berbasis pesantren
atau model transformasi pesantren; (2) pengembangan potensi spiritual,
emosional, intelektual, adversity, sosial dan skillnya secara integratif, (3)
harmonisasi tradisi keilmuan Timur/oksidental dan tradisi keilmuan
Barat/oriental, (4) keislaman yang rahmatan li al alamin, kenegaraan dan
keindonesiaan, dan (5) Kyai / pesantren, birokrasi / pemerintahan, akademisi /
ilmuwan, dunia usaha dan industri / pengusaha yang dipandu dengan prinsip “al
muhaafadhotu „ala al qodiim al shaleh wa al akhdu bi al jadid al ashlah”.
Yang dalam ilmu modern berlandaskan teori “Continuity and Change”.
Kemudian dari kolaborasi yang sinergis dan harmonis tersebut, telah
mengembangkan tiga keunggulan yaitu; Keunggulan spesifik terkait dengan
pemahaman, pemgamalan Al Qur‟an dengan baik, benar dan transformatif,
penguatan pendidikan pesantren dengan berbagai kearifan yang dimiliki.
Keunggulan kompetitif terkait dengan implementasi pendidikan modern dengan
penguatan bahasa dan pembelajaran berbasis teknologi modern. Sedangkan
keunggulan komplementatif terkait dengan penguatan kemampuan interpreneur,
Page 70
59
kemandirian dan kewirausahaan. Sehingga dengan keunggulan-keunggulan
tersebut UNSIQ dapat menampung dan mengakomodasi berbagai model
perguruan tinggi (research university, interpreneur university, the world
qur‟anic university). Dari model inilah maka kiprahnya sangat dinantikan umat
Islam dalam mengawal dan menyongsong masa depan yang lebih baik. Dengan
demikian diharapkan UNSIQ akan dapat mengawal hidup yang baik dan
memberikan solusi dalam setiap masalah yang dihadapi umat manusia.
Secara organisasional, berdasarkan surat keputusan menteri pendidikan
dan kebudayaan nomor : 87/D/O/2001 UNSIQ telah berdiri, sebagai bentuk
perubahan dan pengembangan dari tiga lembaga pendidikan tinggi, yakni :
Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) berdiri pada tahun 1988, AKPER tahun 1996 dan
STIE tahun 1999. Perubahan menjadi UNSIQ memiliki posisi dan kekuatan
yang kokoh, strategis dalam menyelenggarakan manajemen perguruan tinggi
yang lebih efektif dan efisien dalam penyelenggarannya, baik di bidang
akademik dan kemahasiswaan, pengembangan sumberdaya manusia, dan
pengelolaan aset dan keuangan. UNSIQ sebagai lembaga pendidikan tinggi
berbasis pesantren, keal-Qur‟anan, dan perkembangan peradaban modern dalam
sains dan teknologi adalah sebuah fenomena yang uniq guna mengintegrasikan
agama dan ilmu pengetahuan sains dalam kehidupan keagamaan,
kemasyarakatan, kebangsaan, kemodernan dan kemajemukan.
UNSIQ berada dibawah naungan yayasan pendidikan ilmu-ilmu al-
Qu‟an. Struktur organisasi UNSIQ berdasarkan peraturan YPIIQ Nomor 21
Tahun 2013.196
Pada struktur organisasi tesebut dijelaskan secara detail tentang
deskripsi tugas pimpinan maupun pegawai guna menunjukkan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing. Pada saat ini sistem tata kelola yang telah
tersusun dalam Statuta UNSIQ tersebut menjamin terselenggaranya praktek-
praktek pengelolaan universitas berdasarkan lima pilar, yaitu: kredibel,
transparan, akuntabel, bertanggung jawab dan adil.
Kebeadaan lembaga-lembaga yang berada dibawah naungan UNSIQ
berkoordinasi berdasarkan fungsi masing-masing. Koordinasi dilakukan secara
periodik dan berkesinambungan baik melalui rapat kerja maupun rapat bulanan.
Sebagai contoh, minggu pertama pada setiap bulannya dilakukan koordinasi
jajaran pimpinan rektorat dan minggu ketiga pada setiap bulannya dilakukan
juga koordinasi pimpinan unit dan Fakultas dengan Rektorat. Sesuai dengan
organisasi dan tata kerja yang tercantum dalam Statuta UNSIQ, uraian dan
kriteria (Job Analysis, ob Description and Job Training) serta prosedur dan
mekanisme pemilihan pimpinan, tugas pokok dan fungsi masing-masing
pemangku jabatan baik di Rektorat maupun di Dekanat hingga Program Studi.
Sistem organisasi tersebut didukung dengan adanya sistem, instrumen
dan lembaga terkait dengan kode etik untuk meningkatkan disiplin serta
menciptakan suasana akademik yang sehat dan kondusif seluruh civitas
akademika dan tenaga kependidikan. Beberapa dokumen pendukung kode etik
tersebut terbagi dalam beberapa tingkatan, yakni; mahasiswa, dosen, audit,
196
Dikutip dari Dokumentasi Tata Pamong UNSIQ (Standar 2) Jawa Tengah di
Wonosobo
Page 71
60
pegawai/Tenaga Kependidikan, penulisan ilmiah, serta plagiat dan
penanganannya. Penanganan terhadap pelanggaran dilakukan oleh SPI (Satuan
Pengawas Internal) berdasarkan SOPnya, melalui tahapan: pelaporan,
penyelidikan, jangka waktu pelaksanaan, upaya banding, unit fungsi dan
organisasi terkait, termasuk panduan pelaksanaan komisi disiplin baik pada
tingkat fakultas maupun universitas.
Secara ringkas, kepemimpinan UNSIQ seperti yang telah dijelaskan
diatas yakni bersifat demokratis kemitraan dan partisipatif, menggunakan
pendekatan sistem yang memperhatikan masukan, proses dan keluaran secara
sinergis, menggunakan prinsip manajemen partisipatif yaitu pimpinan
memberikan kesempatan berkreasi kepada bawahan lalu mengarahkannya.
Dengan demikian, untuk dapat mencapai semua tujuan organisasinya, maka
dibutuhkan sistem kepemimpinan yang bersifat operasional, organisasi dan
publik sebagai dasar pelaksanaan fungsi kepemimpinan di UNSIQ.
B. Unit Organisasi Pembentuk Kultur Qur’ani
Secara filosofis, pengembangan kurikulum UNSIQ
mempertimbangankan nilai-nilai luhur yang diambil dari falsafah pancasila dan
nilai-nilai ke-Al-Qur‟an-an yang sesuai dengan masyarakat indonesia yang
beriman dan berakhlak. Oleh karena itu, landasan filosofis yang digunakan
dalam penyusunan pengembangan kurikulum yang ada di UNSIQ adalah
mengintegrasikan nilai-nilai Transformatif, Humanis dan Qur‟ani.197
Kurikulum Universitas yang berciri khas ke-al-Qur‟an-an memperkuat
kajian al-Qur‟an sebagai kajian utama di UNSIQ, hal ini dibuktikan dengan sks
yang dibebankan antara 2 sampai 10 sks. Sks ke-al-Qur‟an-an yang begitu
banyak sehingga menitikberatkan agar mahasiswa tidak hanya mampu
membaca dan menulis ayat-ayat al-Qur‟an melainkan juga mampu menghafal
sekaligus menghayati dengan beragam Tafsir. Bahkan keseriusan UNSIQ dalam
mengkaji lebih dalam studi al-Qur‟an ini, dimunculkan pula cara membaca al-
Qur‟an dengan berbagai corak atau metode membaca yang dikemas dalam mata
kuliah Qiro‟ah Sab‟ah.
Pengembangan keilmuan dosen, pegawai dan mahasiswa pun
dikembangkan dalam kegiatan pengajian rutin bada sholat dhuhur dan
pengajian rutin jum‟at pagi sebelum kegiatan perkuliahan dan perkantoran
dimulai. Ini lah yang membuat UNSIQ semakin menarik perhatian dalam
konsistensinya, dimana para stakeholder sungguh-sungguh dalam
mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dari bidang spiritual.
Kesungguhan UNSIQ terhadap kajian ke-Al-Qur‟an-an terwujudkan
dalam Kebijakan Rektor melalui SK nomor 61/UNSIQ/V/2011 tentang
penerimaan mahasiswa yang memiliki potensi akademik tetapi kurang mampu
secara ekonomi dan cacat fisik dapat diterima di UNSIQ dengan program
beasiswa Tahfidzul Qur‟an, bentuk program beasiswa ini adalah mahasiswa
baru dibebaskan dari biaya pendidikan (SPP, SKS dan Infak Pengembangan)
197
Tim Penyusun, Buku Pedoman Penyusunan Kurikulum UNSIQ Jawa Tengah di
Wonosobo, 10 Maret 2011
Page 72
61
selama studi pada semua program studi dengan quota terbatas, yang ditentukan
dengan persyaratan; Calon mahasiswa hafidz/hafidzah dibuktikan dengan
syahadah dan lulus pengujian tahfidz oleh Tim Tahfidzul Qur‟an. Beberapa
prestasi UNSIQ dalam kegiatan di bidang ke-Al-Qur‟an-an;
Tabel Prestasi dalam berbagai Kegiatan berkaitan living Qur‟an
No Nama Kegiatan Tahun Tingkat*
Prestasi Wilayah Nasional
1. PTQ RRI Nasional di Palu 2015 √ Peserta
2. PTQ RRI Nasional di Riau 2016 √ Peserta
3. MTQ PORSENI PTKIS
Jawa Tengah
2015 √ Juara
Umum
4. MHQ antar PONPES se-
Indonesia di Jakarta
2016 √ Juara III
Saat ini UNSIQ memiliki unit organisasi yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran diantaranya,
1. Pusat Studi Kependidikan (PSKP) yang fungsi dan perannya adalah
memberikan referensi kepada para dosen untuk lebih meningkatkan
proses pembelajaran dan penelitian, sehingga dalam proses
pembelajaran lebih menekankan pada hasil-hasil penelitian dosen. Pusat
Kajian ini juga berperan dalam membantu dosen dalam menyusun
bahan ajar untuk perkulihan.
2. Lembaga Tahfidz, Pengkajian dan Pengembangan al-Qur‟an (LTP2Q)
sebagai media dan sumber pembelajaran al-Qur‟an yang bertugas
mengkaji, melatih dosen dan mengembangkan materi pembelajaran
yang berbasis ke-al-Qur‟an-an.
3. Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) yang berperan penting mengawasi
dan mengendalikan mutu proses pembelajaran di UNSIQ. Lembaga ini,
juga konsisten memonitor jalannya pembelajaran berbasis ke-al-
Qur‟anan yang mengintegrasikan ICT, di tiap program studi di UNSIQ
serta menyiapkan SDM terkait.
4. Qur‟anic Spritual Bulding (QSB) yang bertugas pembinaan mental
spiritual dosen dan mahasiswa dalam peningkatan pembelajaran. Dan
ikut serta dalam penentuan kriteria penerimaan dosen dan pegawai
UNSIQ, membuat peencanaan pengembangan SDM dan pembinaan
SDM UNSIQ. Pusat ini mendukung upaya peningkatan ketrampilan
belajar bagi para mahasiswa melalui pemberian bimbingan dan
konseling di samping melakukan pengkajian dalam rangka pemanfaatan
SDM universitas secara optimal.
5. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH), sebagai
laboratorium bagi mahasiwa Syari‟ah dan Hukum di lingkungan
UNSIQ, sebagai bentuk pembelajaran langsung dan praksis yang terkait
dengan kompotensi hukum pidana maupun perdata.
Page 73
62
6. Pondok Pesantren Mahasiwa UNSIQ, sebagai proses pembelajaran
pembekalan keagamaan Islam yang meliputi kitab-kitab kuning, bahasa
arab, dan kajian kajian Islam kontemporer.
7. Pondok Pesantren-Pondok Pesantren yang ada di sekitar Kampus
dengan jumlah lebih dari 20 pesantren, misalnya Pesantren al-
Asy‟ariyah, Pondok Pesantren MMQ, dsb.
Lembaga-lembaga tersebut telah memberikan kontribusi pada para
dosen dan mahasiswa dalam memunculkan ide-ide dan inspirasi dalam
pembelajaran. Oleh karena itu, pembinaannya meliputi; Pertama, program
mental spritual dan kompetensi dosen UNSIQ. Kedua, evaluasi kurikulum
untuk disesuaikan dengan visi UNSIQ dan perkembangan iptek. Ketiga,
pemberdayaan civitas akademik UNSIQ. Keempat, pemenuhan sarana dan
prasarana pendidikan UNSIQ. Terakhir Kelima, pengawasan dan penjaminan
mutu UNSIQ sebagai upaya menarik perhatian masyarakat. Dengan mengacu
upaya diatas, secara umum UNSIQ telah berkomitmen untuk menghasilkan
lulusan yang memiliki kepribadian Qur‟ani secara teori maupun praktek,
berkecendekiawan, dan diterima secara luas oleh pengguna lulusan.
C. Sistem Manajemen Mutu Pendidikan Sistem pengelolaan fungsional dan operasional UNSIQ meliputi:
1. Perencanaan (planning), dibuat berdasarkan pada Visi, Misi, Tujuan
Universitas yang termuat dalam Statuta dan diterjemahkan menjadi
Program-Program Kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan stakeholders.
Perencanaan kegiatan disusun berdasarkan masukan dari semua dosen dan
tenaga kependidikan melalui Fakultas yang awalnya bersumber dari
program studi, laboratorium, Pusat studi - pusat studi yang ditetapkan
menjadi Rencana Strategis (Renstra), Rencana Operasional (Renop) dan
Rencana Anggaran Pendapatan dan Biaya (RAPB). Renstra merupakan
perencanaan strategis (5 tahun), Renop merupakan perencanaan operasional
(5 tahun), RAPB merupakan perencanaan untuk program 1 tahunan.
Perencanaan ini sepenuhnya dikendalikan oleh Bagian Akademik yang
tentunya selalu berkoordinasi dengan semua fakultas sehingga dapat
berjalan maksimal baik dalam penyusunannya maupun evaluasi
pengembangannya.
2. Pengorganisasian (organizing), dengan adanya perencanaan yang baik,
maka akan memudahkan dalam mengelola fakultas hingga program studi
sehingga hanya memerlukan pengawasan apabila ada beberapa hal yang
tidak sesuai dengan standar. Pengawasan dilaksanakan oleh Gugus
Penjaminan Mutu di tingkat program studi, Unit Penjaminan Mutu di
tingkat fakultas dan Lembaga Penjaminan Mutu di tingkat universitas serta
diperkuat Satuan Pengawas Internal.
3. Pengembangan Staf (staffing), Job Description dan Job Spesification
masing-masing unit kerja dibuat berdasarkan aturan universitas yang
disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing unit kerja tersebut.
Setelah diketahui job description dan job spesification maka dipilih staf
yang memenuhi syarat untuk diserahi tanggung jawab dalam pengelolaan
Page 74
63
bagian tersebut, sehingga dapat tercapai prinsip efisiensi dan diharapkan
masing-masing unit kerja tersebut dapat dikelola dengan profesional.
UNSIQ menggunakan berbagai metode pengembangan staf, seperti
pendelegasian, dalam pendelegasian tugas, pimpinan akan memberikan
mandat dengan mempertimbangkan tugas pokok dan fungsi serta
kompetensinya. Kemudian untuk meningkatkan kompetensi, masing-
masing fakultas dan unit-unit yang ada mengadakan pelatihan-pelatihan,
seminar, kursus, lokakarya sendiri maupun mengirim ke lembaga atau
institusi lain untuk mendukung peningkatan kompetensi baik bagi dosen
maupun bagi tenaga kependidikan. Selain itu universitas juga sangat
mendukung studi lanjut untuk dosen ke jenjang S2 atau S3 maupun untuk
tenaga kependidikan khususnya ke jenjang S1.
4. Pengawasan, dilakukan sesuai dengan standar Penjaminan Mutu yang ada
oleh Lembaga Penjaminan Mutu Universitas maupun Satuan Pengawas
Internal. Hasil dari Pengawasan dilaporkan ke Rektor untuk dijadikan dasar
Perbaikan Sistem berikutnya. Lembaga Penjaminan Mutu Universitas
mendapatkan bahan-bahan dari Unit Penjaminan Mutu Fakultas dan Gugus
Penjaminan Mutu Program Studi. Metode yang digunakan adalah kuesioner
dan alat penjamin mutu seperti jurnal mengajar, presensi dosen maupun
pengawasan langsung di lapangan.
5. Pengarahan (leading), dengan adanya pengarahan dari Pimpinan
Universitas, maka program kegiatan akan berjalan dalam satu jalur dan
perbedaan pendapat menjadi variasi dalam pelaksanaan kegiatan bukan
menimbulkan kesulitan pelaksanaan kegiatan.
6. Penganggaran sebagai Controlling, Penganggaran dilakukan menjadi satu-
kesatuan dengan penyusunan program kegiatan yang merupakan penjabaran
dari Renstra dan Renop yang dilakukan setiap tahun pada awal semester
berupa Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB) kemudian
ditetapkan menjadi Angaran Pendapatan dan Belanja (APB). RAPB
dilakukan dengan cara mencari masukan dari masing-masingfakultas yang
tentunya berasal dari Program Studi, UPT maupun lembaga dan satuan unit
kerja lainnya, kemudian direkapitulasi untuk dilakukan pembahasan pada
saat rapat kerja tahunan. Kemudian Anggaran Pendapatan dan Belanja
(APB) tersebut diputuskan dalam rapat kerja yang dikuatkan dengan SK
Yayasan.
Proses tridharma perguruan tinggi yang berjalan di UNSIQ tentunya
telah melakukan upaya penjaminan mutu pendidikan. Hal ini dilakukan sejak
berdiri Institusi di tahun 1988 sampai menjadi Universitas di tahun 2001. Dalam
perkembangannya, UNSIQ mendelagasikan salah satu tenaga kependidikan
berpartisipasi dalam pelatihan SPMPT dan AMAI yang diselenggarakan oleh
Dirjen Dikti sebagai langkah peningkatan kemampuan dan pengembangan
sistem penjaminan mutu. Diperkuat dengan Surat Keputusan Rektor dengan
nomor: 72/SK/UNSIQ/IX/2009, tertanggal 1 September 2009 tentang
pengangkatan pjs. Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Universitas yang
dilanjutkan dengan pembentukan Tim Kerja Penjaminan Mutu Universitas yang
bertugas menyusun panduan yang bersifat strategis di UNSIQ.
Page 75
64
Mutu pendidikan sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya yakni
prestasi akademik, proses pencapaiannya meliputi input, proses dan output.198
Kemudian Mutu pendidikan lainnya yakni kualitas pelayanan atau administrasi,
sarpras, organisasi, dan manajemen sesuai standar pendidikan.199
Sesuai dengan teori fungsional manajemen, pengelolaan akademik
UNSIQ meliputi POAC (planing, organizing, actuating dan controling), adapun
dasar pelaksanaannya adalah akuntabilitas, transparansi, kualitas, kebersamaan,
responsibilitas, manfaat, kesetaraan, dan kemandirian.
Salah satu arah kebijakan peningkatan mutu pendidikan sesuai aspek tri
dharma Perguruan Tinggi dalam bidang pendidikan, Pertama UNSIQ
menghasilkan lulusan yang mampu menghidupkan nilai-nilai Qur‟ani di
masyarakat sesuai kebutuhannya. Dengan menerapkan beberapa program yang
mendukung kebijakan misal penerimaan mahasiswa, perumusan kurikulum,
pembelajaran inovatif dan terciptanya budaya akademik yang kondusif. Kedua
beberapa kebijakan berkenaan dengan pengembangan budaya literacy. Program
penelitian yang direalisasian menyusun agenda riset untuk lima tahun
mendatang, Membangun kerjasama dengan pihak luar, untuk memfasilitasi
pelaksanaan penelitian, melakukan pelatihan metopen, seminar proposal
penelitian, penulisan karya ilmiah, melakukan pelatihan manajemen jurnal dan
memfasilitasi akreditasi jurnal, melakukan koordinasi dengan Lembaga
Pengabdian kepada Masyarakat untuk penelitian yang ditujukan memecahkan
masalah masyarakat, mahasiswa dilibatkan dalam penelitian dosen, dan
publikasi karya ilmiah. Kebijakan terakhir dalam meningkatan mutu pendidikan
tinggi di univesitas yakni KKN atau KPM. Berbagai program pengabdian yang
bervariasi untuk mendekatkan posisi UNSIQ dengan masyarakat dan
pemerintah setempat. Salah satunya, menyusun renstra dan renop bidang KPM
UNSIQ, melaksanakan KPM berdasarkan prinsip pembelajaran mahasiswa
(KPM sebagai mata kuliah) dan yang menguntungkan bagi masyarakat.
Upaya UNSIQ untuk memaksimalkan peningkatan kualitas pendidikan
dari berbagai aspek dapat terlihat baik, walaupun pada beberapa aspek terdapat
kekurangan, seperti pada faktor budaya organisasi. Keberadaan budaya
organisasi ini sendiri perlu dikreasikan dengan baik dan dapat dilaksanakan oleh
semua civitas akademik UNSIQ. Dengan demikian, UNSIQ akan lebih mudah
dalam merencanakan, mengelola dan mengevaluasi setiap kegiatan yang
diselenggarakan. Dan juga UNSIQ mampu menghadirkan tenaga-tenaga yang
ahli dibidangnya yang dibutuhkan masyarakat modern saat ini.
198
Zaenal Sukawi, Mahfudz, Asmaji Mukhtar, Abdul Kholiq, Nasyiin Faqih,
Muafani, dan Puji Laksono, Manual Mutu Akademik UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, 1
September 2014. 199
Zaenal Sukawi, Mahfudz, Asmaji Mukhtar, Abdul Kholiq, Nasyiin Faqih,
Muafani, dan Puji Laksono, Manual Mutu Akademik UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, 1
September 2014.
Page 76
65
BAB IV
KONKRITISASI RELASI INTERPERSONAL DALAM PENGEMBANGAN
BUDAYA ORGANISASI DI UNSIQ
Peran budaya sebagaimana dikatakan oleh Schein diperuntukkan
memecahkan masalah dasar kelompok, seperti; kelangsungan hidup dan
adaptasi terhadap lingkungan eksternal, dan integrasi pada lingkungan internal
organisasi agar dipastikan kemampuan organisasi bertransformasi terhadap
perkembangan global. Kultur telah dikaitkan dengan variabel organisasi lain
seperti komitmen, kepuasan kerja, perencanaan strategis, inovasi, tugas dan
hubungan otoritas, koordinasi dan arah kegiatan, keuntungan tujuan, ketertiban
dan kompetisi. Budaya juga telah dikaitkan lebih khusus dengan proses
perumusan strategi yang mempengaruhi masalah promosi seperti cakupan
geografis, cakupan pasar dan perubahan strategi, pada akhirnya budaya terikat
dengan kemampuan adaptasi organisasi dan efektivitas.
Awadh dan Saad menegaskan bahwa budaya yang kuat dan peran
kepemimpinan dalam sebuah organisasi dapat membantu dalam meningkatkan
kinerja, dimana sebuah organisasi dengan budaya yang kuat akan
memungkinkan untuk mengelola sumber daya manusia secara efektif dan
efisiens.200
Seorang pemimpin harus mampu memobilisasi dan
mengkoordinasikan sumber daya manusia dengan menekankan hubungan antar
manusia, maka akan meningkatkan dimensi-dimensi dalam kinerja. Sedangkan
perilaku etis dan karakter yang kuat menjadi hal yang sangat penting bagi
kredibilitas seorang pemimpin dan memberikan pengaruh yang sangat berarti.
Pemimpin diyakini sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh utama
pada penciptaan dan pengembangan budaya organisasi, dimana peran pemimpin
adalah membangun, mempertahankan, dan merubah isi dari budaya organisasi
tersebut.201
Secara struktural seorang pemimpin akan terlibat dalam sebuah
perencanaan strategic, sehingga akan berpengaruh terhadap kebijakan, proses
pengambilan keputusan dan tata aturan yang diberlakukan.202
Schein
menyatakan bahwa sebuah organisasi yang mapan adalah organisasi yang
berhasil memenuhi tugas-tugas utamanya, begitu juga asumsi pemimpin
disosialisasikan kepada pegawai baru dengan cepat atas bantuan pegawai senior
yang lebih dahulu berada dalam organisasi tersebut.203
Dengan demikian,
kemampuan pemimpin dalam menanamkan nilai-nilai moral di tempat kerja,
mendorong komunikasi terbuka di dalam kelompok kerja, menghargai setiap
200
Mohammad Awadh Alharbi, Mohammed Saad AlYahya. “Impact of
Organizational Culture on Employee Performance”. International Review of Management
and Business Reseacrh, Vol. 2 Issue 1, March 2013.
https://pdfs.semanticscholar.org/e45f/9a6b89663faa17a0045fbb2e43c2ad7df749.pdf 201
Edgar H Schein. Organizational Culture and Leadership. 70. 202
Butts J.B. & Rich K.L. Nursing Ethics: Across the Curriculum and into Practice
Second Edition. (UK: Jones and Bartlett Publisher, 2008). 63. 203
Edgar H Schein. Organizational Culture and Leadership. 230
Page 77
66
pegawai, menstimulasi potensi pegawai dan memberikan kesempatan untuk
berpendapat diharapkan dapat meningkatkan kinerja pegawai.
Kepemimpinan dalam teori sifat sebagaimana digambarkan dalam
kepribadian Rasululloh SAW untuk dipedomani ummatnya. Sifat tersebut
yakni; Pertama Siddiq, dimana seorang pemimpin berbicara, bersikap,
berprilaku baik dan tentunya cenderung kepada kebenaran. Kedua Amanah,
seorang pemimpin dituntut memberikan rasa aman dengan menjaga amanah
yang diberikan oleh anggota organisasi. Ketiga Tabligh, pemimpin wajib
menyampaikan atau mensosialisasikan informasi yang sebenarnya kepada
siapapun yang terkait dengan informasi tersebut, baik anggota organisasinya
atau masyarakat pada umumnya. Dan Keempat Fatanah, cerdas disini diartikan
pemimpin memiliki kemampuan memahami permasalahan secara tekstual
maupun kontekstual, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan organisasi
secara bijak dan berkeadilan. Kelima Maksum, pada hakikatnya manusia pasti
memiliki dosa, namun seorang pemimpin diharapkan mampu mengontrol
prilakunya sesuai dengan ajaran islam. Dengan demikian kewibawaan seorang
pemimpin dapat terjaga dan disegani oleh anggota organisasi.
Sifat kepemimpinan rasul itu menjadi asas utama dalam kepemimpinan
UNSIQ. Indikator utama keberhasilan kepemimpinan UNSIQ adalah proses dan
output yang lebih baik. Sebagaimana disepakati oleh semua responden pada
tema ini. Rektor UNSIQ menyatakan; “UNSIQ berbasis Qur‟an, oleh karena itu
budaya organisasi tumbuh dari pemahaman ayat-ayat Qur‟ani tersebut, bahkan
jika dikaitkan dengan proses pengabdian di UNSIQ dan juga pada perkuliahan
yang diadakan di UNSIQ sangat lekat”204
Dalam kepemimpinan yang paling utama adalah proses kelompok,205
seperti yang diterangkan teori identitas sosial206
bahwa pergeseran dari pribadi
menuju relasional (kelompok) tingkat identitas adalah tepat dalam analisis
kepemimpinan dalam konteks organisasi terutama setelah merger.207
Teori
identitas sosial berfokus pada gagasan dari konsep diri (berdasarkan dengan
identitas sebagai sosial) yang berasal dari keanggotaan dalam kelompok sosial
dan kontras dengan identitas pribadi, yang mencerminkan karakteristik
204
Wawancara dengan Rektor UNSIQ, Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM. pada 12
Agustus 2017, pukul 09.00. di ruang Rektor UNSIQ. 205
Chemers, M. M.. 'Leadership effectiveness: An integrative review'. 2001. In: M.
A. Hogg and S. Tindale (eds), Blackwell handbook of social psychology: Group processes.
Blackwell, Maulden, MA. 376-399. 206
Haslam, S. A. and M. J. Platow. 'Your wish is our command: the role of shared
social identity in translating a leader's vision into followers' action'. 2001. In: M. A. Hogg
and D. Terry (eds), Social identity processes in organisations. Psychology Press, New York.
213-228 207
Van Knippenberg, D. and E. van Leeuwen. 'Oganizational identity after a
merger: Sense on continuity as a key to postmerger identification'. 2001. In: M. A. Hogg and
D. J. Terry (eds), Social identity processes in organizational contexts. Psychology Press,
Philadelphia. 249-264
Page 78
67
seseorang sebagai individu yang unik208
berpendapat bahwa dalam organisasi,
efektivitas kepemimpinan secara signifikan dipengaruhi oleh bagaimana
prototipe pemimpin yang dianggap oleh anggota. Sementara perspektif identitas
sosial mungkin salah satu yang penting ketika memeriksa kepemimpinan dan
kekuasaan, itu tidak berarti satu-satunya perspektif.
Pengaruh pemimpin terletak pada bagaimana orang lain menganggap
mereka, dengan demikian pemimpin dalam pengertian ini memiliki
kewibawaan ketika karyawan percaya pada pimpinan dan apa yang
dilakukannya, dan bersedia menerima keputusan pimpinan.209
Conger
menekankan khususnya para pemimpin perlu memahami manajemen yang
mengacu pada proses perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian;
sedangkan kepemimpinan juga sebagai proses memotivasi orang untuk
berubah.210
Amabile telah menyarankan bahwa, dengan mempengaruhi sifat
lingkungan kerja dan budaya organisasi, para pemimpin dapat mempengaruhi
sikap anggota organisasi 'untuk bekerja perubahan terkait dan motivasi.211
Tantangannya kemudian adalah untuk memilih serangkaian tindakan yang layak
dalam kapasitas organisasi untuk menyerap perubahan dan mengelola sumber
daya. Sesuai dengan yang dikatakan oleh wakil rektor 1; “Hubungan yang tidak
harmonis antara pimpinan dan pegawai pada dasarnya tidak dibuat tetapi secara
struktural dan fungsional terbentuk dengan sendirinya karena tanggung jawab
masing-masing. Dan di UNSIQ terjadi hubungan saling menghormati dan
menyayangi”212
Pemimpin dianggap simbol romantis yang memungkinkan anggota
organisasi menafsirkan kegiatan-kegiatan organisasi. sebagaimana dinyatakan
bahwa efektivitas pemimpin sebagai penentu utama keberhasilan atau
kegagalan kelompok, organisasi, atau bahkan seluruh negeri. Berbagai cara
organisasi berusaha mengatasi meningkatnya pengaruh dari lingkungan
eksternal seperti pelatihan dan pengembangan pemimpin. Hal ini didasarkan
pada asumsi keterkaitan kepemimpinan dan kinerja organisasi. Meindl
menunjukkan bahwa orang memiliki preferensi umum yang menekankan peran
kepemimpinan dalam menentukan hasil kinerja organisasi.213
Hubungan
208
Hogg, M. A. 'Intragroup processes, group structure and social identity'. 1996. In:
W. P. Robinson (ed.), Social groups and identities: Developing the legacy of Henri Tajfel.
Butterworth-Heinemann, Oxford. 65-93. 209
Weber, M. Economy and Society. University of California, Berkeley, CA. 1978. 210
Conger, J. A. and R. N. Kanungo. 'The empowerment process: Integrating
theory and practice', Academy of Management Review, 13, 1988. 471-182.
http://amr.aom.org/content/13/3/471.short 211
Amabile, T. M. 'How to kill creativity', Harvard Business Review, 76 (5), 1998.
76-87.
http://gwmoon.knu.ac.kr/Lecture_Library_Upload/HOW_TO_KILL_CREATIVITY.pdf 212
Wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, MA. pada 21 Agustus
2017, pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 213
Meindl, J. R., Ehrlich, S. B., & Dukerich, J. M. The romance of leadership.
Administrative Science Quarterly, 30, 1985. 78-102.
http://www.jstor.org/stable/2392813?seq=1#page_scan_tab_contents
Page 79
68
harmonis itu perlu terus dipertahankan sebagaimana dinyatakan oleh wakil
rektor 1 “Wujud hubungan harmonis yang terjadi adalah munculnya sikap
saling kebergantungan, Kebergantungan yang saling memberikan arti dan
kebergantungan menjadi pola hubungan yang harmonis, sinergi dan
integratif”214
Beberapa kemampuan dari kepemimpinan inspirasional melibatkan
gairah dan mempertinggi motivasi di kalangan pengikut. Membayangkan
keadaan masa depan yang diinginkan, membuat pengikut melihat visi itu dan
menunjukkan pengikut bagaimana untuk sampai tujuan organisasi yang
merupakan bagian dari proses inspirasi.215
Para pemimpin perlu memahami dan
menghargai relasi berkesinambungan dan perubahan untuk tujuan jangka
panjang dan nilai-nilai organisasi. Promosi harus dilakukan untuk memastikan
bahwa nilai-nilai yang sudah berjalan dapat bertahan hidup meskipun
perubahan diperlukan.
Dengan demikian, karakteristik individu, perilaku tim, dan faktor
organisasi mempengaruhi proses kepemimpinan dan efektivitas dalam
organisasi. Oleh karena itu, kepemimpinan tertanam dalam konteks sosial yang
lebih luas, nyata dalam kelompok kerja, unit, dan organisasi. Akibatnya, faktor
kontekstual dapat menghasilkan efek multilevel dimana variabel pada satu
tingkat mempengaruhi variabel lain. Popovich menyatakan bahwa konsistensi
kepemimpinan yang menekankan pada kinerja tinggi adalah prasyarat pertama
untuk menerapkan organisasi kerja memiliki kinerja tinggi.216
Kondisi ini lah
yang diharapkan oleh pimpinan UNSIQ, salah seorang dosen mengatakan
“Bekerja, bergaul, berkembang, berinteraksi, berjuang dan berprestasi di
UNSIQ adalah ibadah. Sebab itu, individu, tim dan faktor organisasi harus
saling menunjang kepentingan bersama sebagaimana ibadah bersama”217
Analisis teori perilaku kepemimpinan, pemimpin akan berhasil
mengelola organisasi dilihat dari sikap, prilaku dan kebijakan pemimpin.
Keberhasilan ini diindikasikan dari beberapa faktor, seperti; pengambilan
keputusan, memberikan perintah, gaya komunikasi, memberikan motivasi,
membina dan menegakkan aturan, mengontrol anggota organisasi, dan
pemberian sanksi kepada anggota organisasi yang tidak taat aturan. Pada teori
yang lain, pemimpin berorientasi pada tugas-tugas yang diberikan kepada
anggota organisasi. Disini pemimpin lebih menitikberatkan pada kinerja
anggota organisasi tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan atau yang lainnya.
Sebaliknya ada juga pemimpin yang berorientasi pada anggota organisasi, teori
214
Wawancara dengan Waki Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, MA. pada 21 Agustus
2017, pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 215
Behling, O. and McFillen, J.M. ``A syncretical model of charismatic/
transformational leadership'', Group and Organization Management, Vol. 21 No. 2, 1996.
163-191. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1059601196212004 216
Popovich, M.G., ed. Creating High-Performance Government Organization.
(San Francisco: Jossey-Bass. 1998). 33, 217
Wawancara dengan Dosen UNSIQ Bapak KH. Ahmad Zuhdi, M.Ag. pada 24
Nopember 2017, pukul 09.00. di ruang Dosen.
Page 80
69
ini bertolakbelakang dengan teori pemimpin yang berorientasi pada tugas. Pada
teori ini, pemimpin lebih memperhatikan kebutuhan anggota organisasinya,
pemimpin semaksimal mungkin memberikan pelayanan yang memuaskan
kepada anggota organisasinya, dengan tujuan anggota organisasi mau bertahan
dalam waktu yang lama.
Pelu ditegaskan kembali bahwa seoang pemimpin adalah salah satu
kontributor paling sering menegaskan untuk kinerja organisasi di semua jenis
organisasi. Beberapa studi telah meneliti hubungan ini secara empiris.218
Secara
umum, studi lapangan telah menemukan bahwa karakteristik kepribadian
pemimpin dan perilaku memiliki sedikit efek pada produktivitas organisasi
yang diukur dengan tidak langsung, tindakan keuangan perusahaan-lebar seperti
laba dan pengembalian aset.219
Higgins menemukan beberapa hubungan yang
signifikan antara orientasi kepemimpinan (transaksional terhadap
transformasional) dan persepsi para pemimpin 'dari efektivitas organisasi.220
Namun Thompson menemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa kehadiran
yang peduli, terlibat pemimpin adalah bahan penting dalam kinerja
organisasi.221
Demikian pula, Butler dan Cantrell menemukan efek yang kuat
antara struktur pemulai pemimpin 'dan pertimbangan pada kedua kepuasan
kerja dan produktivitas anggota kelompok.222
Dengan demikian, efektivitas kepemimpinan di UNSIQ bertujuan
memberdayakan civitas akademik UNSIQ, sehingga setiap orang mendukung
dalam pencapaian tujuan UNSIQ. Penting bagi pemimpin untuk melakukan
pengawasan dan pembinaan namun tidak seluruhnya mengimplementasikan
unsur-unsur manajemen, karena inti kegiatannya adalah menggerakkan anggota
organisasi yang sifatnya tergantung pada kondisi pada saat terjadinya interaksi
kepemimpinan.223
A. Kepemimpinan Dalam Budaya Organisasi
218
Nahavandi, A. and A. R. Malekzadeh. 'Acculturation in mergers and
acquisitions', Academy of Management Review, 13 (1), 1988. 79–90.
http://amr.aom.org/content/13/1/79.short 219
Costanza, D.P. "Leadership and Organizational Decline: The Relationship
Between Personality Characteristics and Organisational Performance." Ph.D. diss. George
Mason University. 1996. 220
Higgins, C.C. "Transactional and Transformational Leadership: An Examination
of the Relationship Between Leadership Orientation and Perceptions of Organizational
Effectiveness." Ph.D. diss. George Washington University. 1998. 221
Thompson, J.W. "Employee Attitudes, Organizational Performance, and
Qualitative Factors Underlying Success." Journal of Business and Psychology. 1996.
11:171-96. https://link.springer.com/article/10.1007/BF02193858 222
Butler, J.K., and Cantrell, R.S. 1997 "Effects of Perceived Leadership Behaviors
on Job Satisfaction and Productivity." Psychological Reports 80:976-78.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.2466/pr0.1997.80.3.976 223
Analisis wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, MA. pada 21
Agustus 2017, pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ.
Page 81
70
Smircich mengidentifikasi dua pendekatan untuk mempelajari
fenomena budaya dalam organisasi: budaya sebagai variabel organisasi,
maka budaya dipandang sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi.224
Dengan demikian sifat, arah, dan dampak dari manipulasi tersebut
tergantung pada keterampilan dan kemampuan pemimpin. Mayoritas
literatur yang memuji kelebihan kepemimpinan transformasional
menunjukkan dukungan yang luas untuk pandangan ini. Sebaliknya, jika
budaya dipandang sebagai bagian integral dari organisasi, maka pemikiran,
perasaan, dan tanggapan dari pemimpin yang dibentuk oleh budaya.225
Schein menggambarkan interkoneksi antara kepemimpinan dan
budaya organisasi dalam konteks siklus hidup organisasi, maka keduanya
memiliki hubungan yang sangat erat.226
Dengan demikian, selama proses
pembentukan organisasi, pendiri perusahaan menciptakan sebuah organisasi
yang mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan mereka. Dalam hal ini,
pendiri menciptakan dan membentuk ciri-ciri budaya organisasi mereka.
Namun, sebagai organisasi mengembangkan dan waktu berlalu, budaya
menciptakan organisasi diberikannya pengaruh pada pemimpin dan bentuk
tindakan dan gaya pemimpin. Melalui proses yang sedang berlangsung
dinamis, pemimpin menciptakan dan pada gilirannya dibentuk oleh budaya
organisasi. Kesimpulannya adalah dimulai dari pemimpin membentuk
budaya bagi organisasi, pada selanjutnya budaya organisasi lah yang akan
menentukan pemimpin.227
Seperti yang dijelaskan “Yang kita tahu Budaya
dalam bahasa asing kultur, kultur itu juga tidak lepas dari agama karena
kultur memiliki akar yang sama dengan kultus atau penyembahahan. Jadi,
penyembahan atau pemujaan adalah budaya kemudian diterjemahkan
menjadi budaya akademik di UNSIQ, meskipun pada perguruan tingggi lain
mengartikulasikan sama atau tidak, namun di UNSIQ sudah terkonsepkan
seperti itu yakni mengkultuskan sesuatunya pada Quran. Nilai-nilai budaya
Quran itulah yang dominan untuk mengembangkan budaya akademik
disini”228
Budaya akademik yang berpandangan antropologi bahkan
menganggapnya tidak masuk akal bahwa para pemimpin dapat menciptakan
budaya. Bagi mereka, budaya muncul dari interaksi sosial kolektif
kelompok dan komunitas. Pemimpin tidak menciptakan budaya namun
224
Smircich, L. Concepts of culture and organizational analysis. Administrative
Science Quarterly, 28, 1983. 339-358. http://www.jstor.org/stable/2392246 225
Schein, E. H. Organizational culture and leadership (2nd
ed.). San Francisco:
Jossey-Bass. 1992. 226
Schein, E. H. Organizational culture and leadership (2nd
ed.). San Francisco:
Jossey-Bass. 1992. 227
Bass, B.M. and Avolio, B.J. „Transformational Leadership and Organizational
Culture‟, Public Administration Quarterly, 17(1): 1993. 112–117.
http://www.jstor.org/stable/2392246?seq=1#page_scan_tab_contents 228
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM pada 12
Agustus 2017, pukul 09.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 82
71
mereka adalah bagian dari budaya.229
Budaya bukanlah sesuatu yang
dimiliki organisasi (demikian tunduk pada manipulasi dan perubahan).230
Trice menyatakan bahwa pemimpin budaya mungkin memiliki sifat-sifat
pribadi yang khas dan menunjukkan set khas perilaku.231
Mereka lebih
lanjut menyatakan bahwa visi pemimpin 'memberikan substansi budaya
organisasi baru. Oleh karena itu, pimpinan yang merupakan pemimpin
budaya biasanya digambarkan menjadi karismatik, dinamis dan memiliki
visi.
Peran pemimpin dalam membangun budaya organisasi tergantung
pada proses komunikasi dan sosialisasi visi misi dan tujuan yang
disampaikan secara akurat dan kemampuan untuk mengasah dan
membentuknya agar sesuai dengan kebutuhan pergeseran dari pasar.232
Bennis mengamati bahwa menciptakan semacam visi memerlukan lebih
dari sekedar berkomunikasi, itu berarti mengubah hal yang abstrak menjadi
sesuatu yang nyata.233
Jadi, pemimpin memiliki dorongan obsesif untuk
membuat dan mengirimkan visinya. Pemimpin dapat menghasilkan
komitmen karyawan untuk inovasi dengan menekankan nilai-nilai inti dan
mempromosikan loyalitas kelompok. Mereka dapat mengatur nada dan
suasana untuk inovasi melalui penggunaan simbol-simbol organisasi, logo,
slogan, dan ekspresi budaya lainnya. Mereka dapat memotivasi karyawan
untuk mengejar tujuan yang tidak mungkin telah dinyatakan telah dicoba,
mengubah nilai-nilai karyawan melalui perubahan dalam kontrak psikologis
(komitmen tidak tertulis yang dibuat antara karyawan dan majikan), dan
mendorong perlunya perubahan.234
proposisi-proposisi ini menunjukkan
pentingnya mempertimbangkan budaya organisasi dalam menilai hubungan
antara kepemimpinan dan inovasi.
Schein membagi 2 macam budaya organisasi, abstrak dan
konkret.235
Budaya organisasi yang dapat terlihat seperti gedung, pakaian,
prilaku organisasi, peraturan, bahasa dan tradisi atau kebiasaan yang
dilakukan dalam organisasi. Sedangkan budaya organisasi yang tidak dapat
dilihat seperti nilai atau norma yang berlaku, keyakinan anggota organisasi
229
Meek, V. L. Organizational culture: Origins and weaknesses. Organizational
Studies, 9, 1988. 453-473.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/017084068800900401 230
Smircich, L. Concepts of culture and organizational analysis. Administrative
Science Quarterly, 28, 1983. 347. http://www.jstor.org/stable/2392246 231
Trice, H. M., & Beyer, J. M. The culture of work organizations. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall. 1993. 257 232
Deal, P., & Kennedy, A. Corporate cultures. Reading, MA: Addison-Wesley.
1982. 233
Bennis, W. Leaders and visions: Orchestrating the corporate culture. 1986. In
M. A. Berman (Ed.), Corporate culture and change. New York; The Conference Board Inc. 234
Schein, E. H. Organizational culture and leadership. San Francisco: Jossey-
Bass. 1985. 235
Schein, E. “Organizational culture”, American Psychologist, Vol. 45 No. 2,
1990. 109-119.
Page 83
72
dan asumsi atau keseimpulan sementara yang dibuat oleh anggota
organisasi. Kedua lapisan ini diwujudkan dalam bentuk identitas santri yang
berpakian muslim-muslimah, kemudian pada aspek yang kedua
terimplementasikan pada ideologi kepesantrenan yang artinya mereka
memegang teguh konsep kyai yang mampu menerapkan sistem demokratis
di UNSIQ.
Peran penting pemimpin menentukan berjalannya organisasi
bahkan ketika terjadi perubahan organisasi dan globalisasi. Oleh karena itu,
pemimpin dituntut menjadi seorang pembelajar budaya organisasi, sehingga
mampu memiliki strategi jitu untuk mengelola dan mengembangkan budaya
organisasi. Pemimpin yang mampu mengembangkan organisasi dengan
mengelola budaya organisasi sejalan dengan perkembangan global di mana
terdapat perbedaan budaya antar organisasi dapat dikatakan sebagai
pemimpin cerdas budaya. Pemimpin cerdas budaya adalah seorang
pemimpin yang dapat memahami dan mampu mengelola perbedaan budaya.
Keterampilan dan kualitas anggota organisasi, terutama mereka
yang memegang peran kepemimpinan, dapat membentuk, memperkuat, dan
mengubah budaya sebuah organisasi atau sub unit.236
Karena posisi mereka
dalam hirarki organisasi, manajer cenderung untuk dilihat oleh anggota lain
sebagai model dan memberikan contoh nilai-nilai yang dianut atau filosofi
organisasi. Selain itu, perilaku kepemimpinan manajer (yang mencerminkan
keterampilan interpersonal dan organisasi mereka) dapat membentuk
budaya dengan membatasi atau memfasilitasi kegiatan kerja anggota dan
interaksi dengan orang lain.
Komunikasi dan transaksional pemimpin yang paling efektif
mengintegrasikan budaya.237
Untuk ini terjadi, peserta harus merasa bahwa
mereka berkonsultasi dan terlibat sebagai bagian dari proses pengambilan
keputusan. Memang, itu diterima dengan baik bahwa komunikasi adalah
alat kunci dalam setiap proses perubahan dan bahwa kegagalan untuk
berkomunikasi biasanya menghasilkan individu yang merasa tidak pasti dan
cemas tentang masa depan mereka.238
Pemimpin mengkomunikasikan apa yang mereka yakini sebagai
benar dan salah, ini keyakinan pribadi menjadi bagian dari budaya
organisasi. Schein menyoroti peran pemimpin dalam menciptakan dan
mengelola budaya organisasi dan menyarankan bahwa, ketika budaya
menjadi disfungsional sebagai akibat dari perubahan, itu adalah pemimpin
yang harus bertindak untuk membantu kelompok untuk melupakan
beberapa asumsi budaya dan belajar asumsi alternatif. Bagaimanapun,
diakui bahwa pembentukan budaya pemimpin yang didominasi kuat
236
Kotter, J. P., & Heskett, J. L. Corporate culture and performance. New York:
Free Press. 1992. 237
Trice, H. M., & Beyer, J. M. The culture of work organizations. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall. 1993. 231 238
Kanter, R., B. Moss, Stein and T. Jick. 'The Challenge of Organizational
Change'. Free Press, New York. 1992.
Page 84
73
mungkin tidak efektif jika realitas eksternal harus berubah.239
Dalam kasus
tersebut, ia menyarankan bahwa fleksibel, budaya longgar diterapkan,
berdasarkan beberapa keragaman asumsi, dan mungkin melibatkan
keberadaan sejumlah subkultur, mungkin terbukti lebih efektif. Cummings
dan Huse menunjukkan bahwa perubahan budaya dapat difasilitasi melalui
penerapan visi atau misi pernyataan baru.240
Pemimpin dapat melakukannya
dengan memberdayakan pegawai untuk melaksanakan visi baru menjadi
kenyataan dan dengan meningkatkan motivasi pegawai.
Penting bagi pemimpin untuk selalu menampilkan model budaya
organisasi baru setiap hari dengan apa yang pimpinan lakukan. Perilaku
yang ditunjukkan, kebijaksanaan yang disusun, emosi yang diekspresikan
atau ditekankan, hasil yang difokuskan atau diabaikan, komitmen yang
ditunjukkan, sikap dalam bekomunikasi, dan nilai-nilai yang mempengaruhi
sikap dan perilaku organisasi dari pimpinan. Kelebihan dan kekurangan
pemimpin menjadi ukuran suatu organisasi mampu berkembang atau tidak,
hal-hal yang dilakukan pemimpin baik dari hal yang terkecil hingga
terbesar adalah penting bagi keberhasilan organisasi.
Fullan melihat pentingnya budaya organisasi ketika para pemimpin
menyadari perubahan yang dibutuhkan di tempat kerja, mengacu pada
"reculturing".241
Fokus pada perubahan mencerminkan tujuan moral melalui
budaya kerja kolaboratif di mana perbedaan pendapat dihormati. Fullan
menyampaikan bahwa karena tahu ada hal-hal yang perlu diperbaiki harus
dilihat sebagai kesempatan belajar, dan budaya organisasi dapat
memberikan keterbukaan bagi upaya perubahan. Sebagai contoh dampak
mengembangkan budaya belajar; pendidik menjadi "kolektif berkomitmen
untuk perbaikan".242
Pemimpin yang mampu menggerakkan pendidik
adalah sebagai dampak dari budaya pendidikan yang kuat.
Hasil analisis prinsip kepemimpinan UNSIQ sebagian besar
mengadopsi prinsip-prinsip kepemimpinan sebagai berikut;243
Decision
making, pengambilan keputusan harus betujuan pada pencapaian efektivitas
oganisasi. Leadership, Communication, komunikasi terbuka untuk siapapu
yang terlibat dalam organisasi. Appreciating differences, penghargaan
terhadap setiap perbedaan yang dimiliki anggota organisasi. Personal
excellence, pemimpin memperhatikan bakat dan minat anggota organisasi.
Business success, pemimpin memperhatikan hal-hal yang profit untuk
239
Schein, E. H. Organizational culture and leadership. San Francisco: Jossey-
Bass. 1985. 240
Cummings, T. G., and Huse, E. F. Organizational Development and Change.
Saint Paul, Minn.: West, 1989. 241
Fullan, M. Leading in a culture of change. San Francisco: Jossey-Bass. 2001.
44. 242
Fullan, M. & St. Germain. Learning places: Afield guide for improving the
context of schooling. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. 2006. 23. 243
Jerome Want. Corporate Culture, Illuminating the Black Hole, Key Strategies of
High-Performance Business Cultures. (New York: St Martin's Press. 2006).156
Page 85
74
organisasi, karena kesuksesan organisasi juga akan dilihat dari kekuatan
finansial. Continuous learning, Vibrant workplace, dinamika pekerjaan
dalam organisasi juga penting dimunculkan. Ethics, Partnership, Passion
for coffe, komitmen, bekerja keras untuk mencapai tujuan. Planning and
measuring, Shared ownership, setiap orang merasa memiliki organisasi,
memiliki sikap peduli terhadap organsiasi, dan tidak segan untuk berkorban
untuk organisasi. Sustainability, dan World benefit, sebagai ukuran
kebermanfaatan organsiasi untuk masyarakat atau pengguna lulusan.
Masalah budaya bukan hanya memfokuskan pada pemimpin,
namun juga berkepentingan pada pegawainya. Gagasan dari kepemimpinan
adalah menemukan siapa yang ingin bertanggung jawab, atau siapa yang
percaya bahwa posisi tradisional atau hierarki membuat mereka menjadi
bertanggung jawab. Kepemimpinan merupakan terminologi pengaruh, dan
pengaruh tersebut mungkin dijalankan oleh setiap orang, dari mereka yang
dalam posisi jabatan tertinggi sampai pada anggota terendah dalam
organisasi. Oleh karena itu, untuk memahami bagaimana kepemimpinan
antar budaya, kita perlu melihat pada pelaksana budaya tersebut, bagaimana
mereka harus memahami situasi, apakah mereka mengharapkan pemimpin
memutuskan untuk mereka apa yang harus dilakukan, dan bagaimana
mereka harus mencari pengaruh dalam menjalankan hak mereka sendiri.
Hasil penelitian yang dilakukan, UNSIQ melakukan kepemimpinan yang
mampu menerjemahkan Prinsip-prinsip kepemimpinan yang benar dalam
memahami masalah budaya organisasi melalui komunikasi yang benar
seperti pengambilan keputusan sesuai dengan kebutuhan organisasi,
memunculkan jiwa kharisma seorang pemimpin sejati namun juga memiliki
jiwa demokrasi ketika dibutuhkan, melakukan komunikasi ke semua arah
tanpa memunculkan kecurigaan di masing-masing pihak, menghargai
perbedaan yang muncul dari latar belakang yang berbeda pula, mencetak
pribadi pegawai yang memiliki semangat tinggi untuk bekerja, kemampuan
berkompetisi yang baik, penerapan konsep long life education secara
konsisten, dinamisasi kehidupan berorganisasi yang dapat memperkuat
budaya organisasi, memberikan teladan baik terhadap pegawai dan warga
UNSIQ, penekanan pada asas kekeluargaan membuat komunikasi berjalan
dengan baik, masa depan yang terukur dan dapat dipastikan, pemimpin
sebagai pemiliki sumber daya bersama sanggup memenuhi kebutuhan
pegawainya, menjaga daya saing dengan menjaga sumber daya dengan
baik, dan UNSIQ yang memiliki andil besar terhadap perubahan dunia
pendidikan disegani lingkungan pendidikannya adalah peran pimpinan
UNSIQ.244
B. Kepemimpinan Pendidikan Di UNSIQ
244
Analisis terhadap kondisi UNSIQ melalui obesrvasi partisipan mendalam
sehingga diperoleh kesimpulan kemampuan pemimpin yang sangat memperhatikan prinsip-
prinsip kepemimpinan.
Page 86
75
Kepemimpinan UNSIQ dalam memahami dimensi-dimensi budaya
organisasi sesuai dengan apa yang menjadi fokus penelitian ini, yakni:
a. Individualistic atau colectivistic, masing-masing memerlukan gaya
kepemimpinan yang berbeda. Dalam budaya individualistik, baik
pemimpin maupun pengikut akan berusaha melibatkan diri dalam
pengambilan keputusan untuk memaksimalkan pengaruh individual
mereka dan mendapatkan hasil baik bagi mereka. Dalam budaya
kolektivistik, orang melihat dirinya sebagai anggota kelompok dan
kolektif, menyukai aktivitas kelompok, dan mengharapkan keputusan
dilakukan berdasar konsensus atau konsultatif, di mana pengaruh
keputusan pada setiap orang dipertimbangkan. Hal tersebut
menunjukkan gaya kepemimpinan dari dua budaya yang berbeda.
Seperti yang dikatakan oleh wakil rektor “Individualism erat
kaitannya dengan identitas diri, oleh karena itu, Identitas diri warga
UNSIQ melekat pada organisasi dan agar identitas tersebut melekat
pada UNSIQ di kenal dengan 3 istilah wong; wong unsiq, wong islam
dan wong Indonesia. Kemudian setiap orang yang berkecimpung dalam
Institusi tumbuh dan berkembang untuk bisa menjadi diri sendiri dan
melindungi dirinya dan keluarga dekatnya selain setiap orang tersebut
dilahirkan sebagai penerus keluarga dan kelompoknya. Sebagaimana
dikatakan setiap orang tumbuh dan berkembang menjadi diri sendiri
menjadi diri yang kuat, ulet dan tangguh sehingga dapat melindungi
keluarga, kelompok, masyarakat, bangsa dan agama”245
b. Power distance, merupakan praktik kepemimpinan otokratik yang
diadopsi dan ditoleransi budaya dengan high-power distance, di mana
perbedaan kekuasan yang besar antara atasan dan bawahan diharapkan
dan ditoleransi. Sebaliknya apabila orang tidak dapat menerima
perbedaan atau mengharapkan perlakuan yang sama, dinamakan low-
power distance.
Terkait hal tersebut wakil rektor juga menjelaskan;
“Ketidaksetaraan pimpinan dan pegawai UNSIQ pada dasarnya tidak
dibuat tetapi secara structural dan fungsional terbentuk dengan
sendirinya karena tanggung jawab masing-masing sehingga yang terjadi
adalah hubungan saling menghormati dan menyayangi. Dan adanya
saling kebergantungan antara pimpinan dan bawahan yang saling
memberikan arti dan kebergantungan menjadi pola hubungan yang
harmonis, sinergi dan integratif”246
c. Uncertainty avoidance, dalam budaya dengan high uncertainty
avoidance, pemimpin menstrukturkan pekerjaan bawahan, mungkin
245
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr. Sukawi, pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 246
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr. Sukawi pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ.
Page 87
76
melalui birokrasi, dan membuat keputusan yang mungkin
meningkatkan stabilitas, akan diharapkan berjalan baik. Adapun dalam
budaya low uncertainty avoidance akan lebih banyak terdapat
fleksibilitas dalam menjalankan pekerjaan. “Ketidakpastian tidak
dianggap sebagai ancaman atau bahkan harus diperangi, melainkkan
ketidakpastian merupakan hal yang normal dalam hidup yang harus
diterima apa adanya. Secara organisasi ketidakpastian itu dikelola
melalui system dan regulasi sehingga menjadi kejelasan, namun dalam
hidup ada ketidakpastian dan itu bisa menjadi tantangan akhirnya
peluang meraih keberhasilan”247
Wakil rektor dalam hal ini juga menambahkan terkait
ketidakpastian yang terjadi dengan penjelasan “Dalam menyikapi
dampak ketidakpastian yang muncul seperti prilaku agresif dan
emosional, dijelaskan dalam waktu normal agresivitas dan emosional
tak diperlukan, Namun dalam kondisi tertentu agresivitas dan
emosional diperlukan dengan pengelolaan yang baik. Apakah hanya
resiko yang moderat yang bisa diterima sedangkan resiko besar sangat
dihindari demikian juga situasi yang ambigu atau terbiasa berhadapan
dengan resiko dan situasi yang ambigu? Dalam kehidupan organisasi
setiap aktivitas pasti ada resikonya karena itu diupayakan memanaj
resiko menjadi kesempatan dan keragaman”248
d. Masculinity atau femininity, Pemimpin yang memelihara hubungannya
dengan anggota kelompok dengan mengabaikan peluang pribadi seperti
pengakuan (aktualisasi diri) dan promosi, dalam hal ini terdapat dalam
feminine culture, tetapi mungkin dipandang aneh dalam masculine
culture. Hofstede dalam konteks organisasi mengemukakan bahwa pada
maskulin,249
sikap ini menonjolkan egoisitas berupa imbalan,
aktualisasi diri, karir yang tinggi, dan tantangan pekerjaan yang sulit.
Sebaliknya feminin cenderung bersifat lebih lentur terhadap hubungan
kemanusiaan dan peduli terhadap lingkungan pekerjaannya dan
sebagainya.
Nilai-nilai budaya organisasi yang terjadi di UNSIQ adalah
terjadi keterkaitan dominasi ekonomi dengan empati, simpati sehingga
dalam sebuah interaksi, terdapat keterbukaan personil, emosional,
kolegial, spiritual, disamping hubungan professional. Sehingga dalam
konsekuensinya UNSIQ lebih memperhatikan kepentingan orang
banyak, baik pimpinan maupun bawahan dari pada materi, karena
247
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr. Sukawi pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 248
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr. Sukawi pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 249
Geert Hofstede. Culture and Organizations. (Harper Collins Business.
Hammersmith. 1994) 81.
Page 88
77
manusia itu penting maka perlu diperhatikan keinginan, tuntutan, dan
sumbangannya termasuk dalam bentuk ekonomi.
Sikap individu baik pimpinan maupun bawahan yang terjadi
UNSIQ seperti asertif, ambisius dan tegas diperlukan untuk mencapai
keberhasilan hidup namun tetap menjaga keseimbangan dan kewajaran.
Begitu juga sikap sensitive, mencintai dan ngemong bukan hanya miliki
perempuan tapi setiap manusia, laki-laki dan perempuan tetap harus
mengembangkannya.250
Pandangan Hofstede, relasi kuasa merupakan
simbol maskulinitas dari organisasi.
e. Term Orientation; Kehidupan itu dinamis, diperlukan perubahan dan
modernisasi, tetapi tidak harus meninggalkan tradisi justru harus
mensinergikan antara tradisi dan modernisasi. Kemudian dalam
menjaga dinamisasi organisasi agar suasana organisasi positif dan
mendukung organisasi, diperlukan menghormati tanggung jawab dan
status sosial yang tak hanya dimaknai biaya dan finansial, karena
keduanya hanya bagian kecilnya. Tekanan untuk menjaga hubungan
baik dengan teman walaupun harus menambah biaya merupakan suatu
keharusan dan kebaikan meskipun menambah biaya, karena untuk
melakukan perubahan memerlukan kedekatan personal, emosional,
professional, dan spiritual.251
Pada proses penyediaan dana pendidikan, terkait investasi
merupakan perspektif masa depan, maka dalam kondisi tersebut baik
mudah atau sulit, maka investasi menjadi prioritas baik secara lahiriah
maupun batiniyah. Oleh karena itu, Mengharapkan hasil yang cepat itu
manusiawi asalkan ada cara dan proses yang dapat
dipertanggungjawabkan dan menimbulkan berkah. Ini pun terkait
pentingnya memperhatikan harga diri dan rendah hati sehingga
hubungan interpersonal di dalam menjalankan tugas kelembagaan dapat
terjaga dengan baik. Sehingga proses untuk mencari atau kebajikan
perlu diperjuangkan namun tanpa ada rekayasa untuk merubah yang
benar menjadi kabur dan akhirnya salah dan sebaliknya.252
Budaya organisasi yang efektif menunjukkan seperangkat kualitas
dan keyakinan yang secara jelas memberi manfaat pada budaya organisasi
dan keseluruhan kinerja organisasi. Hal tersebut dapat dilakukan semua
orang dalam organisasi, tetapi pemimpin mempunyai kelebihan yang tidak
dimiliki orang lain. Pemimpin dapat menetapkan agenda dan membuat
sumber daya yang diperlukan tersedia dalam proses. Mereka juga
250
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr. Sukawi pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 251
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr. Sukawi pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 252
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr. Sukawi pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ.
Page 89
78
menciptakan koalisi, menyingkirkan hambatan, dan yang paling penting
memberi inspirasi orang. Pemimpin mempunyai kekuatan untuk membuat
perubahan budaya menjadi kenyataan, hanya jika mereka menggunakannya.
Indikasi peran pemimpin UNSIQ yang diadaptasi dari Jerome Want untuk
dapat melakukan perubahan budaya,253
seperti: Pertama Become a student
of a culture, Budaya organisasi tidak dimiliki oleh seseorang dan pasti
bukan oleh pemimpin. Budaya merupakan produk dari banyak kekuatan
kontibutor selama bertahun-tahun, pada dasarnya melalui perilaku orang,
komitmen, dan nilai-nilai, perilaku organisasi, kebijakan, misi dan sejarah
dan kondisi institusi. Bila dalam pendirian belum secara sadar dibentuk,
mungkin diperlukan waktu sepanjang hidupnya dan bahkan sulit untuk
berubah. Setiap orang dalam budaya perlu menjadi pembelajar budaya
sebelum berusaha mengubahnya, termasuk pemimpin. Berdasarkan hasil
penelitian, pimpinan dan pegawai UNSIQ melakukan tugasnya sebagai
pembelajar budaya dapat dicontohkan pegawai mau menerima kritik
maupun masukan dari pimpinan atau dari manapun yang mendukung proses
perbaikan dan pengembangan UNSIQ dan menjalankan nilai-nilai
organisasi dengan taat, bahkan identitas yang menjadi kebanggan warga
UNSIQ.254
Kedua Renewal, pemimpin secara unik diposisikan untuk
membangun budaya sebagai proses pembaruan. Dengan memperbarui
budaya organisasi, bakat dan komitmen pegawai merasa termotivasi baik
dari dalam maupun luar organisasi. Tidak ada dengan mengeluarkan
kebijakan pengerdilan atu pengucilan terhadap pegawai, perbaikan
operasional, maupun restrukturisasi yang mempunyai pengaruh pembaruan
terhadap organisasi. Sebaliknya, ukuran ini hampir dapat dipastikan selalu
meningkatkan fokus pada budaya organisasi. berikut yang dikatakan oleh
pak Fathurrahman “UNSIQ membangun budaya yang menunjang budaya
yang kuat di lembaga walaupun secara tidak langsung dipublikasikan,
namun berkembang dengan sendirinya melalui pola hubungan antar
pegawai yang akrab dan intens”
Ketiga Communications, pemimpin memastikan terjadinya
komunikasi secara terbuka dengan seluruh organisasi. Tidak ada yang dapat
menciptakan ketidakpercayaan dari pada menyelubungi proses perubahan
budaya secara rahasia. Ketika orang merasa ditinggalkan, kemarahan dan
penolakan akan tumbuh. Komunikasi terbuka dengan tim perubahan juga
penting sehingga orang di tempat yang sama dapat bertukar gagasan baru
dan sumber daya. Keempat Inclusiveness, pemimpin menjelaskan pada
organisasi bahwa membangun budaya merupakan proses pelibatan, suatu
proses dengan menyertakan orangnya. Penyertaan orang tidak harus
ditetapkan dengan merekrut pegawai baru, tetapi gagasan dan komitmennya
253
Jerome Want. Corporate Culture, Illuminating the Black Hole, Key Strategies of
High-Performance Business Cultures. (New York: St Martin's Press. 2006).160 254
Analisis lingkungan pendidikan UNSIQ, sebagaimana yang terjadi dalam objek
penelitian.
Page 90
79
harus dapat menjangkau seluruh pegawai. Manfaat utama dalam hal ini
adalah tumbuh sepanjang waktu melibatkan semua pegawai. Pemimpin
dapat diterima dalam proses organisasi untuk menunjukkan gagasan baru
dan rekomendasinya. Sebagaimana dinyatakan dalam wawancara
sebelumnya bahwa UNSIQ melibatkan semua orang, seperti dengan adanya
istlah Wong UNSIQ, Wong Indonesia dan Wong Islam, dengan demikian
ketika dalam sebuah kegiatan bertemu dengan orang lain namun memiliki
kesamaan konsep dan ideologi sebagai sesama orang UNSIQ, orang
Indonesia dan orang Islam, maka orang tersebut adalah terlibat dalam
penciptaan budaya baru bagi UNSIQ.255
Kelima Trust, pemimpin menanamkan rasa percaya di antara
peserta dalam proses membangun budaya. Orang harus merasa aman
menyuarakan pendapatnya dan perbedaan tentang budaya yang baru
diimpikan dan cara bagaimana proses dikelola. Kepercayaan di antara
anggota tim perubahan adalah penting apabila proses perubahan tidak
diluncurkan. Apabila isu kepercayaan tumbuh, pemimpin akan menjadi
orang terbaik untuk menyampaikan isu tersebut. Dan Keenam
Accountability, Tidak ada seorang pun dalam posisi lebih baik dari pada
menempatkan pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab. Hanya
pemimpin yang dapat mempertimbangkan apakah proses perubahan budaya
berjalan di arah yang benar dan menyelesaikan tujuan sebenarnya.
Perubahan budaya UNSIQ dapat dipastikan melalui kepemimpinan yang
kemudian diikuti oleh pegawai dan tenaga teknis lainnya sebagai langkah
pembudayaan yang pasti.
Perubahan masa depan organisasi dihadapi dengan pendekatan
yang lebih berorientasi pada dunia kerja, pemimpin UNSIQ menerapkan
kecerdasan budaya dengan menggunakan pengetahuan, perhatian dan
prilaku adaptasi, adapun tahapannya; pengetahuan, digunakan untuk
memahami semua teori yang berkaitan dengan perubahan organisasi,
dengan demikian pemimpin akan berusaha untuk menghindari sifat otoriter
yang ada dalam dirinya. Kemudian perhatian, walaupun membutuhkan
waktu yang panjang namun pemimpin dapat memahami betul permasalahan
yang dihadapi oleh organisasi. Serta prilaku adaptasi, digunakan untuk
betul-betul menginginkan perubahan organisasi yang berjalan dengan
diterima banyak orang dan sedikit menimbulkan resiko. Sehingga proses
perubahan organisasi dengan bentuk manajemen berdasarkan objek yang
tidak ambisius, pemimpin memberikan penawaran strategi perubahan
organisasi kepada anggota organisasi yang kemudian secara perlahan
anggota organisasi mengikuti perubahan tersebut.
UNSIQ bisa dikatakan adalah organisasi yang sedang tumbuh,
maka penting bagi seorang pemimpin menjelaskan asumsinya dan
menanamkannya secara gradual dan konsisten pada misi, tujuan, struktur,
dan prosedur kerja organisasi. Asumsi dasar ini dinamakan guiding belief,
255
Wawancara dengan Dosen UNSIQ, Bapak Fathurrahman, M.Pd. pada 22
September 2017, pukul 08.00. di ruang Dosen.
Page 91
80
the theory in use, the mental model, the basic principles, atau the guiding
vision yang menjadi elemen utama budaya organisasi yang sedang tumbuh.
Dengan demikian, pemimpin cerdas budaya memahami dan melakukan:256
a) Perhatian dan juga pemikiran seorang pemimpin sebagian besar
tercurahkan pada pegawai atau bawahan. Apabila pengikut menganggap
seseorang sebagai pemimpin, maka pemimpin itu akan mendapat manfaat
dari kekuasaannya, kewenangannya dan yang paling penting
penghargaannya sebagai pemimpin. b) Beberapa karakteristik pemimpin
yang dicari pengikut adalah mereka yang mempunyai visi kelompok atau
organisasi, kemampuan mengomunikasikan visi kepada orang lain,
keterampilan mengorganisasi pengikut mencapai visi. Namun, perilaku
yang mengindikasikan karakteristik tersebut berbeda di antara budaya yang
berbeda. c) Dimensi kepemimpinan berorientasi tugas dan hubungan
muncul di setiap budaya. Namun, perilaku yang mengindikasi berorientasi
tugas daripada hubungan adalah spesifik untuk memunculkan budaya baru
yang berbeda. d) Beberapa pengukut lebih perlu pemimpin yang
mempunyai dimensi sejalan daripada lainnya. Factor seperti norma
organisasi dan tingkat pendidikan pengikut dapat bertindak sebagai
pengganti kepemimpinan. dan e) Pegawai berusaha meniru perilaku
pemimpin bisa digambarkan seperti pedang bermata dua. Beberapa adopsi
perilaku tersebut akan dilakukan dengan seksama oleh pegawai, tetapi jika
terlalu banyak hal yang harus dipatuhi dapat diinterpretasikan sebagai
tindakan tidak tulus atau bahkan bersifat menyakitkan bagi pegawai.
Perspektif budaya organisasi yang bersifat meningkatkan kinerja
organisasi, yaitu strength, fit, dan adaptive.257
Maka UNSIQ sebagai sebuah
organisasi dapat dianalisis memiliki kemampuan dalam mengelola budaya
budaya oganisasi yang dipandang dai aspek stength, fit maupun adaptive,
penjelasannya sebagai berikut; Strength perspective, memprediksi
hubungan penting antara kekuatan budaya organisasi dan kinerja jangka
panjang. Para pemimpin organisasi di UNSIQ menciptakan penyelarasan
tujuan, motivasi pegawai, struktur dan kontrol yang diperlukan untuk
memperbaiki kinerja organisasi. Adapun akibat dari strong culture adalah
munculnya arogansi sektoral, hanya terfokus pada sisi internal, dan
birokratis. Namun efek yang muncul ini masih dapat diminimalisir dengan
adanya asas kekeluagaan tersebut, karena semua stakeholder yang terkait
adalah mayoritas didikan dari simbah Muntaha, sehingga masih memiliki
hubungan emosional yang kuat diantara para pimpinan maupun pegawai
UNSIQ. Kemudian Fit perspective, didasarkan pada keselaasan budaya
organisasi harus dengan konteks strateginya. UNSIQ mampu dalam
melakukan standardisasi dan perencanaan baik dalam persaingan yang
berjalan lamban maupun yang bekerja dalam perubahan sangat tinggi dan
256
Thomas David C. and Inkson Kerr. People Skills for Global Business. (Berrett-
Koehler Publishers, 2004). 138. 257
Kreitner, Robert and Angelo Kinicki. Organizational Behavior, 5th ed. (New
York: McGraw Hill. 2001). 80.
Page 92
81
lingkungan yang berubah. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan UNSIQ
merespon adanya kebijakan perubahan status institusi ke universitas secara
cepat, ketika berbagai perguruan tinggi belum meresponnya, UNSIQ sudah
meresponnya telebih dahulu pada tahun 2000. Dan terakhir Adaptive
perspective, berbagai budaya yang dimunculkan UNSIQ bertujuan untuk
membantu berjalannya organisasi dan beradaptasi pada perubahan
lingkungan.
Dimensi-dimensi tersebut diatas dan berdasarkan pandangan
konfigurasi identitas organisasi,258
kita mendefinisikan organisasi yang
menunjukkan tingkat tinggi secara konsisten menekankan pada semua nilai-
nilai budaya organisasi sebagai budaya yang kuat, kemudian organisasi dan
warga organisasi dengan konsisten rendah dinyatakan budaya organisasinya
lemah. Definisi ini menganggap kedua intensitas dan konsensus kekuatan
budaya dengan mengidentifikasi organisasi-organisasi yang secara
bersamaan mengalami iklim organisasi baik atau tidak pada semua identitas
budaya.259
Hal ini juga secara konsisten yeung gunakan untuk pengukuran
budaya kuat atau tidak.260
Beberapa penulis berpendapat bahwa organisasi inovatif memiliki
budaya yang kuat, yang lain menunjukkan bahwa budaya yang kuat
menghambat inovasi.261
Janis menyatakan bahwa kelompok kohesif dengan
pemimpin yang kuat, direktif cenderung mencari keseragaman.262
Dalam
situasi seperti itu, orang memilih untuk tidak mengungkapkan pandangan
yang berbeda dari takut ditertawakan dan penolakan. Dalam organisasi
dengan budaya yang kuat, directiveness dan kekuatan pemimpin dapat
menahan ekspresi berbagai pandangan.263
Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tingkat tertinggi inovasi terjadi dalam organisasi yang
pemimpinnya hanya kontrol moderat dari kelompok kerja.264
258
Meyer, A. D., Tsui, A. S., & Hining, C. R. Configurational approaches to
organizational analysis. Academy of Management Journal, 36, 1993. 1175– 1195. 259
Calori, R., & Sarnin, P. Corporate culture and economic performance: A French
study. Organizational Studies, 12, 1991. 49-74.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/017084069101200104 260
Yeung, A. K. O., Brockbank, J.W., & Ulrich, D. O. Organizational culture and
human resource practices: An empirical assessment. 1991. In R.W. Woodman, & W. A.
Pasmore (Eds.), Research in organizational change and development, vol. 5. 59–82.
Greenwich7 JAI Press. http://amj.aom.org/content/44/4/697.short 261
Jaskyte, K. “Organizational Culture and Innovation in Nonprofit Human Service
Organizations.” Dissertation Abstracts International, 2003, 63 (10), 3729A.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1300/j147v29n02_03 262
Janis, I. Groupthink. (2nd ed.) Boston: Houghton Mifflin, 1982. 263
Nemeth, C. J. “Managing Innovation: When Less Is More.” California
Management Review, 1997, 40 (1), 59–74.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.2307/41165922?journalCode=cmra 264
Pelz, D. C., and Andrews, F. M. Productive Climates for Research and
Development. Ann Arbor: Institute for Social Research, University of Michigan, 1976.
Page 93
82
Pemimpin budaya yang kuat, tidak hanya memperhatikan
seperangkat keyakinan dan nilai-nilai, dan namun juga memastikan
keyakinan ini tertanamkan pada orang-orang di sekitar mereka. Sebagai
konsekuwensinya, pemimpin memberikan jaminan pada anggota organisasi
pada kesehatan, kesempatan kerja penuh dan sebaliknya mereka akan
bertanggung jawab atas keberlangsungan organsasinya. Di sisi lain, ini
berarti tidak memungkinkan mereka untuk gagal dengan cara apapun.265
Karena pembelajaran organisasi menekankan respon terhadap perubahan
lingkungan dengan hubungan yang terlibat dengan kepuasan kerja
karyawan dan strategi bisnis. Dengan demikian, dalam penelitian ini, kita
mengadopsi usulan Denison dan Mishra.266
Cara-cara yang fleksibel dan
stabil untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang kompetitif, dan fokus
strategi pada dua dimensi internal pegawai dan eksternal pelanggan,
sehingga budaya organisasi terbagi ke dalam budaya adaptif (fleksibel/
eksternal), budaya misi (stabil/ eksternal), budaya kolektivitas (budaya
fleksibel/ internal) dan birokrasi (stabil/ internal).
Salah satu dukungan teoretis mengharapkan para pemimpin
memainkan peran utama dalam membangun budaya organisasi yang
inovatif dan memfasilitasi kreativitas dalam organisasi. Selain itu, peran
kreativitas dan inovasi dalam menentukan kinerja organisasi telah mapan.
Namun, seperti Mumford et al. telah mengamati, mengamati dari beberapa
literatur studi empiris tentang hubungan antara kepemimpinan dan inovasi
di tingkat organisasi sementara menggabungkan variabel kontekstual.267
Menimbang bahwa para peneliti telah menekankan peran pemimpin
transformasional dalam menciptakan lingkungan kerja yang intelektual
merangsang, cukup mengejutkan untuk menemukan bahwa tidak ada
penelitian yang belum meneliti bagaimana gaya kepemimpinan
transformasional mempengaruhi iklim organisasi yang inovatif dan
bagaimana hal itu lebih lanjut mempengaruhi kreativitas dan inovasi
organisasi. Ada tiga alat manajerial kunci untuk memanfaatkan budaya
untuk performance. Yakni; Merekrut dan Memilih Orang untuk Budaya
yang Sesuai, Mengelola Budaya melalui Sosialisasi dan Pelatihan, dan
Mengelola Budaya melalui Sistem Reward. Amabile juga menyarankan
bahwa dengan mempengaruhi sifat lingkungan kerja dan budaya organisasi,
para pemimpin dapat mempengaruhi sikap kerja anggota organisasi dan
265
Deal, P., & Kennedy, A. Corporate cultures. Reading, MA: Addison-Wesley.
1982. 56. 266
Denison, D. R., & Mishra, A. K. Toward a theory of organizational culture and
effectiveness. Organization Science, 6, 1995. 204-223.
https://pubsonline.informs.org/doi/abs/10.1287/orsc.6.2.204 267
Mumford, M. D., Scott, S. M., Gaddis, B., & Strange, J. M. Leading creative
people: Orchestrating expertise and relationships. Leadership Quarterly, 13, 2002. 705-750.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1048984302001583
Page 94
83
motivasi dalam interaksi mereka, sehingga mempengaruhi prestasi
organisasi kolektif mereka.268
Menurut Mumford, iklim dan budaya organisasi merupakan
konstruksi sosial kolektif, di mana pemimpin memiliki kontrol yang cukup
besar dan pengaruh.269
Jung juga memandang manajer sebagai memainkan
peran kunci dalam mengembangkan, mengubah, dan melembagakan budaya
organisasi.270
Sepanjang jalur yang sama, Schein berpendapat bahwa
sebagai pendiri dan pemimpin organisasi berkomunikasi apa yang mereka
yakini sebagai benar dan salah, ini keyakinan pribadi menjadi bagian dari
iklim dan budaya organisasi.271
Perilaku kepemimpinan dari sebuah pertimbangan individual dan
motivasi, berasal dari visi dan nilai-nilai pemimpin dan berkontribusi pada
budaya yang memfasilitasi inovasi organisasi.272
Yukl menegaskan bahwa
perilaku kepemimpinan tertentu dapat mempengaruhi inovasi melalui
kepatuhan sebagai bagian dari budaya organisasi.273
Akhirnya, budaya
organisasi merupakan faktor penentu penting dari iklim. Pandangan seperti
ini konsisten dengan karya Moran dan Volkwein, yang berpendapat bahwa
iklim mencerminkan pengetahuan bersama dan makna yang terkandung
dalam budaya organisasi.274
iklim organisasi sehingga dapat dianggap
sebagai ekspresi dari praktek-praktek budaya yang mendasari yang muncul
dalam menanggapi kontinjensi di lingkungan internal dan eksternal
organisasi. Schein menyatakan tegas, kita harus mengakui sentralitas fungsi
manajemen budaya ini dalam konsep kepemimpinan.275
Budaya organisasi berkembang sebagian besar dari kepemimpinan,
sementara budaya organisasi juga dapat mempengaruhi perkembangan
268
Amabile, T. M. How to kill creativity. Harvard Business Review, 76, 1998. 77-
87. http://gwmoon.knu.ac.kr/Lecture_Library_Upload/HOW_TO_KILL_CREATIVITY.pdf 269
Mumford, M. D., & Strange, J. M. Vision and mental models: The case of
charismatic and ideological leadership. 2002. In B. J. Avolio & F. J. Yammarino (Eds.),
Transformational and charismatic leadership: The road ahead (pp. 109-142). Oxford, UK:
Elsevier. 270
Jung, D. Transformational and transactional leadership and their effects on
creativity in groups. Creativity Research Journal, 13, 2001. 185–95.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1207/S15326934CRJ1302_6 271
Schein, E. H. Organizational culture and leadership (2nd
ed.). San Francisco:
Jossey-Bass. 1992. 272
Elenkov, D. S., & Manev, I. M. Top management leadership and influence on
innovation: The role of sociocultural context. Journal of Management, 31(3), 2005. 381-
402. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0149206304272151 273
Yukl, G. Leadership in organizations (5th ed.). Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall. 2002. 274
Moran, E. T., & Volkwein, J. F. The cultural approach to the formation of
organizational climate. Human Relations, 45(1), 1992. 19-48.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/001872679204500102 275
Schein, E. H. Organizational culture and leadership. San Francisco: Jossey-
Bass. 1985. 2.
Page 95
84
kepemimpinan. Misalnya, para pemimpin transaksional bekerja dalam
budaya organisasi mereka mengikuti aturan, prosedur, dan norma-norma
yang ada; pemimpin transformasional mengubah budaya mereka dengan
terlebih dahulu memahami dan kemudian menyelaraskan budaya
organisasinya melalui visi misi dan tujuan.276
Idealnya budaya transaksional
dan transformasional dalam sebuah organisasi cenderung memiliki budaya
yang ditandai dengan kedua gaya kepemimpinan tersebut. Argumen penulis
adalah bahwa organisasi harus bergerak ke arah kualitas yang lebih
transformasional dalam budaya mereka sementara juga mempertahankan
basis kualitas transaksional yang efektif.
Bass menunjukkan hubungan antara kepemimpinan dan budaya
dengan memeriksa dampak gaya kepemimpinan yang berbeda budaya. Dia
berpendapat bahwa pemimpin transaksional cenderung beroperasi dalam
batas-batas yang ada, sementara para pemimpin transformasional sering
bekerja mengubah budaya organisasi sejalan dengan visi mereka.277
Demikian pula, Brown mengamati bahwa pemimpin yang baik perlu
mengembangkan keterampilan yang memungkinkan mereka untuk
mengubah aspek budaya mereka dalam rangka untuk meningkatkan kinerja
organisasi mereka.278
Bass dan Avolio berpendapat bahwa kepemimpinan dan budaya
yang baik saling berhubungan untuk mewujudkan budaya organisasi yang
ditandai dengan kualitas. Literatur tentang kepemimpinan transformasional
membuat suatu usaha untuk mendekati kepemimpinan sebagai proses sosial
dengan menempatkan penekanan pada bagaimana para pemimpin
merangsang pengikut mereka untuk melampaui kepentingan diri mereka
sendiri demi tim dan organisasi yang lebih besar. Kepemimpinan
transformasional mampu mensosialisasikan lingkungan kerja yang ditandai
dengan pencapaian tujuan yang tinggi, aktualisasi diri, dan pengembangan
pribadi.279
Pemimpin transformasional mengarahkan organisasi pada
perubahan kualitas yang lebih transformasional dalam budaya mereka,
seperti; pencapaian prestasi, stimulasi intelektual, dan penghargaan
individual. Dengan cara tersebut, kepemimpinan transformasional memiliki
efek langsung pada budaya. Seperti yang dijelaskan oleh bapak kabiro
“Budaya transformasi maupun budaya transkasi seperti yang diberdayakan
UNSIQ yakni adanya orientasi budaya yang bersifat profit yang diwujudkan
276
Bass, B. M. Leadership and performance beyond expectations. New York: Free
Press. 1985. 277
Bass, B. M. Leadership and performance beyond expectations. New York: Free
Press. 1985. 278
Brown, A. Organizational culture: The key to effective leadership and
organizational development. Leadership and Organization Development Journal, 13(2),
1992. 3-6. http://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/01437739210009545 279
Bass, B.M. and Avolio, B.J. “Transformational leadership and organizational
culture”, Public Administration Quarterly, Vol. 17, 1993. 112-121.
http://www.jstor.org/stable/40862298?seq=1#page_scan_tab_contents
Page 96
85
dari kekuatan anggaran yang bersumber dari mahasiswa dan pemerintah
daerah, provinsi (APBD dan APBN), pendampingan usaha (minimarket),
trevel transportasi, mini bank, bengkel dan laboratorium akademik. Dan
Budaya yang bersifat profit diwujudkan dari penawaran beasiswa”280
Sebagai mediator, Budaya organisasi terhubung antara
kepemimpinan transformasional, inovasi organisasi281
dan kinerja.282
Penelitian Jung et al. dari 32 perusahaan Taiwan menemukan bahwa
kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang signifikan dan
positif dengan inovasi organisasi seperti yang dimediasi oleh budaya
organisasi di mana karyawan didorong untuk mendiskusikan secara bebas
dan mencoba ide-ide inovatif dan beberpa pendekatan.283
Denison
menegaskan bahwa budaya adalah struktur dalam organisasi, yang berakar
pada nilai organisasi.284
James et al. menggambarkan budaya sebagai
keyakinan normatif (misalnya, nilai-nilai sistem) dan berbagi harapan
perilaku (yaitu, norma sistem) dalam suatu organisasi.285
Untuk alasan ini,
budaya organisasi secara luas dipandang sebagai sumber keunggulan
kompetitif berkelanjutan untuk usaha.286
Sedangkan budaya organisasi
berfokus pada ekspektasi perilaku bersama dan keyakinan normatif di unit
kerja, iklim menggambarkan cara individu merasakan dampak pribadi dari
lingkungan kerja mereka pada diri mereka sendiri.287
280
Wawancara dengan Kabiro, Alm. Dr. A. Kholiq, MA. pada 5 Juli 2017, pukul
09.30. di ruang Kabiro UNSIQ. 281
Amabile, T. M., Conti, R., Coon, H., Lazenby, J., & Herron, M. Assessing the
work environment for creativity. Academy of Management Journal, 39, 1996. 1154-1184.
http://amj.aom.org/content/39/5/1154.short 282
Ogbonna, E., & Harris, L. C. Leadership style, organizational culture and
performance: Empirical evidence from UK companies. International Journal of Human
Resource Management, 11(4), 2000. 766-788.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09585190050075114 283
Jung, D. I., Chow, C., & Wu, A. The role of transformational leadership in
enhancing organizational innovation: Hypotheses and some preliminary findings.
Leadership Quarterly, 14(4-5), 2003. 539.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S104898430300050X 284
Denison, D. R. What is the difference between organizational culture and
organizational climate? Academy of Management Review, 21(3), 1996. 654.
http://amr.aom.org/content/21/3/619.short 285
James, L. R., Choi, C. C., Ko, C.-H. E., McNeil, P. K., Minton, M. K., Wright,
M. A., et al. Organizational and psychological climate: A review of theory and research.
European Journal of Work and Organizational Psychology, 17(1), 2007. 21. 286
Miron, E., Erez, M., & Naheh, E. Do personal characteristics and cultural values
that promote innovation, quality, and efficiency compete or complement each other? Journal
of Organizational Behavior, 25, 2004. 175-199.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.237/full 287
Glisson, C., & James, L. R. The cross-level effects of culture and climate in
human service teams. Journal of Organizational Behavior, 23, 2002.788.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.162/full
Page 97
86
Budaya organisasi yang didasarkan pada transformasi, pemimpin
harus mengartikulasikan perubahan yang diperlukan.288
Perilaku pemimpin
menjadi simbol budaya baru organisasi.289
Melalui kepemimpinan
transformasional, pemimpin dapat membantu membangun budaya
organisasi yang kuat dan berkontribusi pada iklim positif bagi inovasi
organisasi dan selanjutnya mempengaruhi perilaku inovatif.290
Tsui et al.
menyatakan bahwa melalui tindakan dan perilaku mereka, pemimpin
berkontribusi pada pembentukan substansi budaya organisasi.291
C. Sosialisasi Budaya Organisasi oleh pemimpin organisasi
Sosialisasi adalah proses anggota organisasi diberikan pemahaman
yang cukup untuk bergabung dalam organisasi. Jadi dalam proses ini terjadi
transformasi atau perubahan diri individu yang semula dari luar organisasi
agar mampu berpartisipasi secara aktif di dalam organisasi. Kegiatan ini
bertujuan menyatukan tujuan organisasi dan individu, hal ini dimaksudkan
bahwa dua tujuan tersebut menjadi satu tujuan yakni mencapai tujuan
bersama dalam organisasi. Kegiatan ini berhasil dijalankan apabila
mendapat dukungan dari pegawai dan dukungan lainnya dalam proses
tersebut.
Sosialisasi budaya organisasi berhasil dilakukan juga bisa dilihat
dari 2 faktor utama, yakni: nilai yang dimiliki pegawai baru berkesesuaian
dengan organisasi dan metode sosialisasi yang dilakukan. Implementasinya,
UNSIQ sering mengajak atau mengikutsertakan pegawai pada berbagai
kegiatan dalam rangka memahami dan memperkuat budaya organisasi di
UNSIQ yang muncul dari nilai-nilai UNSIQ. Berkaitan soal ini, sosialisasi
budaya organisasi kepada anggota organisasi bertujuan pembentukan
identitas diri anggota organisasi, tradisi, dan nilai kerja sama, integritas dan
kemudahan komunikasi, menjaga komitmen dan meningkatkan daya
inovasi.
Tahapan sosialisasi budaya organisasi292
di UNSIQ, sebagai
berikut:
1. Seleksi penerimaan pegawai baru.
288
Bass, B. M. Two decades of research and development in transformational
leadership. European Journal of Work and Organizational Psychology, 8(1), 1999. 16.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/135943299398410 289
Barlow, C. B., Jordan, M., & Hendrix, W. H. Character assessment: An
examination of leadership levels. Journal of Business and Psychology, 17(4), 2003. 563-
584. https://link.springer.com/article/10.1023/A:1023408403204 290
Elenkov, D. S., & Manev, I. M. Top management leadership and influence on
innovation: The role of sociocultural context. Journal of Management, 31(3), 2005. 381-
402. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0149206304272151 291
Tsui, A. S, Zhang, Z. X., Wang, H., Xin, K. R., & Wu, J. B. Unpacking the
relationship between CEO leadership behavior and organizational culture. Leadership
Quarterly, 17(2), 2006. 115.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1048984305001712 292
Fred Luthan. Organizational Behavior. (Singapore: McGrawHill,Inc. 1995).
Page 98
87
2. Penempatan pegawai baru, direkomendasikan pegawai baru untuk
ditempatkan pada pekerjaan yang mudah dipahami dan dikerjakan.
Dengan harapan pegawai baru bisa beradaptasi dengan lingkungan
organisasi dan lebih peduli terhadap rekan kerja.
3. Spesialisasi pekerjaan, fokus terhadap pekerjaan dan keahlian menjadi
prioritas UNSIQ, sehingga pegawai baru sangat paham tugas dan
tanggung jawabnya.
4. Evaluasi kinerja dan reward-punishment, pentingnya kontrol pekerjaan
dimaksudkan agar pegawai melakukan tugasnya sesuai visi misi
organisasi. Bentuk reward-punishment yang diberikan oleh UNSIQ
disesuaikan dengan situasi yang dihadapi.
5. Loyalitas pegawai, pegawai UNSIQ memiliki komitmen untuk
merelakan waktu, tenaga dan pikirannya dengan ikhlas untuk mengabdi
pada UNSIQ. Banyak bukti yang diteladankan oleh KH Muntaha Al-
Hafidz dan para pendahulu UNSIQ dalam mempertahankan UNSIQ
tetap berjalan.
6. Informasi yang dipublikasikan khusunya kepada pegawai UNSIQ
diharapkan menguatkan budaya organisasi. Walaupun pada lain
kesempatan informasi bisa berubah dengan adanya penambahan atau
pengurangan oleh pihak-pihak tertentu.
7. Pada tahapan akhir adalah promosi pegawai, dengan berbagai kriteria
atau standarisasi pekerjaan. Dengan adanya promosi ini, pegawai
UNSIQ mampu berkompetisi untuk memberikan kinerja yang terbaik
untuk UNSIQ.
Implementsi nilai-nilai keadilan yang diterapkan dalam berbagai
kebijakan sebagai dasar pengembangan relasi interpersonal disosialisasikan
sebagai berikut; Regulasi yang mengatur system kepegawaian dilihat
sebagai pokok-pokok keadilan, seperti; yayasan memiliki regulasi yang
kemudian disosialisasikan dan dilaksanakan dan hal ini terlihat dengan
adanya presensi kehadiran dalam berbagai kegiatan sosialisasi regulasi
tersebut. Kemudian menghargai jabatan untuk menanggulangi
ketidaksetaraan, terkait hal ini pimpinan mengetahui dinamika organisasi
secara holistic, sedangkan pegawai mengetahui secara parsial.293
Sosialisasi juga dilakukan oleh UNSIQ seperti yang ditetapkan
melalui aturan, adapun penjelasan ringkasnya dikatakan oleh salah satu
dosen senior UNSIQ yakni Sosialisasi berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh UNSIQ dapat dilakukan dengan beberapa hal; Pertama, Melalui
kegiatan apel setiap hari senin yang bertujuan pengarahan dan memotivasi
semangat kerja. Kedua, Mendukung kegiatan-kegiatan yang bersifat hajat
pribadi atau kelompok pegawai. Dan ketiga, Melalui peraturan-peraturan
293
Wawancara dengan Kabiro, Alm. Dr. A. Kholiq, MA. pada 5 Juli 2017, pukul
09.30 di ruang Kabiro UNSIQ.
Page 99
88
kepegawaian, sehingga pegawai mampu menjaga hubungan harmonis
diantara pegawai dan juga memiliki kinerja tinggi.294
Beberapa hikmah dalam sosialisasi budaya organisasi seperti; a.
Kesadaran diri sendiri yang lebih tinggi, sebuah pemahaman komprehensif
atas kekuatan dan kelemahan seseorang, bagaimana hal tersebut dipandang
oleh orang lain, dan bagaimana mereka memengaruhi orang lain adalah
sangat penting. b. Kebiasaan meminta umpan balik, melalui dorongan akan
umpan balik yang jujur, namun konstruktif dari orang lain, atasan, rekan,
dan laporan langsung para pemimpin dapat mengembangkan kesadaran diri
sendiri yang dapat menjadi dasar perubahan dan aksi pribadi. c. Haus akan
belajar, mudah menerima pengetahuan baru dan kemauan untuk mengubah
perspektif dan perilaku seseorang yang berdasarkan hal itu dapat
merupakan hal penting. d. Integrasi antara kerja dan kehidupan pribadi,
memimpin dan hidup berhubungan erat, Karena pemimpin-pemimpin yang
efektif harus mempunyai keyakinan diri yang kuat sebagai manusia
seutuhnya, tidak hanya sebagai orang yang didefinisikan oleh karier mereka
atau status pekerjaan. e. Menghormati perbedaan pada orang lain,
kemampuan untuk menemukan kecocokan dan sintesis dalam sudut
pandang yang sangat berbeda, dan memberi kesempatan bagi perspektif dan
nilai-nilai orang lain.
D. Azaz Keadilan Sebagai Tujuan Pengembangan Budaya Organisasi
Keadilan organisasi dimaknai keadilan yang diberikan organisasi
kepada anggota organisasi. Keadilan organisasi ini memiliki pengaruh pada
unsur-unsur lain yang berkaitan dengan organisasi seperti penghargaan dan
sanksi, imbalan, aktualisasi atau promosi, dan beban kerja.295
Keadilan organisasi diwujudkan dalam pemberian hak dan
kewajiban yang sesuai.296
Adapun prinsip utama keadilan adalah
penghargaan terhadap martabat manusia.297
Jika dalam organisasi, keadilan
diberikan seperti halnya reward-punishment, beban kerja dan kepuasan
kerja secara timbal balik oleh pegawai dan pimpinan berdasarkan keadaan
sosial dan budaya. Pakar ilmu sosial menyatakan pentingnya suatu keadilan
untuk meningkatkan ungsi organisasi.298
Peneliti yang lain menegaskan
294
Wawancara dengan Dosen FITK UNSIQ Bapak K. Nasokah, M.Ag. pada 16
Oktober 2017, pukul 10.30. di ruang Dosen. 295
Moorman. R.H. Relationship between organizational justice and organizational
citizenship behaviors: do fairness perceptions influence employee citizenship? Journal of
Applied Psychology, 76(6): 1991. 845-855. http://psycnet.apa.org/fulltext/1992-11043-
001.html 296
Lind, E.A. and Tyler, T.R. The Social Psychology of Procedural Justice. (New
York: Planum. 1988). 356. 297
Keraf, A. S. Pasar Bebas, Keadilan, dan Peran Pemerintah. (Yogyakarta;
Kanisius. 1996), 42. 298
Tjahjono, H.K. The extension of two-factor model of justice: hierarchical
regression test and sample split. China-USA Business Review, 9(7): 2010. 39-54.
Page 100
89
bahwa persepsi keadilan berperan penting sebagai anteseden utama perilaku
yang bersifat fungsional maupun yang bersifat disfungsional dalam
organisasi.299
Keadilan organisasi yakni suatu keadaan yang mengarahkan
seseorang pada persepsi adil atau tidak adil yang dilakukan organisasi.300
Penjelasan lain, keadilan sebagai motivasi organisasi. Oleh karena itu, jika
anggota organisasi merasa diperlakukan tidak adil, secara otomatis anggota
organisasi akan mengeluarkan sikap yang tidak baik terhadap organisasi
bahkan bisa berefek pembangkangan atau keluar dari organisasinya
tersebut. Keadilan juga berkaitan erat dengan prilaku kerja, kinerja dan
kepuasan kerja pegawai.301
Robbins menambahkan bahwa kepuasan kerja
akan berdampak pada produktivitas, kedisiplinan, rotasi, dan prilaku kerja
lainnya.302
Greenberg konsep keadilan bermula dari fenomena sosial pada
masyarakat bukan hanya didalam organisasi. Tetapi saat ini keadilan lebih
banyak digunakan dalam organisasi sebagai cermin masyarakat.303
Adapun
variabel dan isu yang sering digunakan adalah tingkat keberungsian
organisasi tersebut, seperti peran kepemimpinan, dan sebagainya.304
Keadilan organisasi Chandaran ada 3 bentuk; keadilan distribusi,
prosedur, dan interaksi.305
Distribusi terkait keseimbangan sumber daya,
http://www.airitilibrary.com/Publication/alDetailedMesh?docid=15371514-201007-
201009040020-201009040020-39-54 299
Majang Palupi, Heru Kurnianto Tjahjono, Rafika Nuri, Pengaruh Keadilan
Distributif Karir Dan Keadilan Prosedural Karir Terhadap Perilaku Retaliasi Pegawai
Swasta Di Daerah Istimewa Yogyakarta (Diy) Dengan Kepuasan Karir Sebagai Variabel
Pemediasian, Jurnal Universitas Paramadina Vol. 11 No. 2 Agustus 2014.
http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/16157 300
Parker, R.J., & Kohlmeyer, J.M. Organizational justice and turnover in public
accountant firms : a research note. Accounting, Organizations, and Society 30, 2005. 357-
369 http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/16157 301
Cropanzano, R., Prehar, C.A., & Chen, P.Y. Using social exchange theory to
distinguish procedural from interactional justice. Group & Organization Management.
27(3): 2002. 324-335. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1059601102027003002.
Lihat juga dalam Folger, R. & Konovsky, M.A. Effects of procedural and distributive justice
on reactions to pay raise decisions. Academy of Management Journal, 32(1): 1989. 115-130.
http://amj.aom.org/content/32/1/115.short 302
Stephen P. Robbins. Organizational Behaviour. (Prentice Hall Inc. 2003) 303
Greenberg, J. Organizational Justice: Yesterday, Today, and Tomorrow. Journal
of Management, 16: 1990. 399-432.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/014920639001600208 304
Greenberg, J. Reactions to Procedural Injustice in Payment Distributions: do the
ends justify the means, Journal of Applied Psychology, 72, 1987. 55–61.
http://psycnet.apa.org/fulltext/1987-15524-001.html 305
Hassan, Arif dan Suresh Chandaran. “Quality Pemimpin-Subordinate
Relationship and Work Outcame: Organizational Justice as Mediator. IIUM Journal of
Economic and Management, 13 (1): 2005. 1-20,
http://journals.iium.edu.my/enmjournal/index.php/enmj/article/view/106
Page 101
90
prosedur terkait kebijakan organisasi, interaksi terkait relasi interpersonal
dan relasi intrapersonal. Dari keadilan yang diberikan atau ditetapkan
dengan adil, maka muncul sikap positif dari diri anggota organisasi salah
satunya komitmen. Komitmen perlahan dan pasti adalah buah dari
hubungan baik antara pimpinan dan anggota organisasi.306
Implementsi nilai-nilai keadilan yang diterapkan dalam berbagai
kebijakan sebagai dasar pengembangan relasi interpersonal. Regulasi yang
mengatur system kepegawaian dilihat sebagai pokok-pokok keadilan,
seperti; yayasan memiliki regulasi yang kemudian disosialisasikan dan
dilaksanakan dan hal ini terlihat dengan adanya presensi kehadiran dalam
berbagai kegiatan sosialisasi regulasi tersebut. Kemudian menghargai
jabatan untuk menanggulangi ketidaksetaraan, terkait hal ini pimpinan
mengetahui dinamika organisasi secara holistic, sedangkan pegawai
mengetahui secara parsial.307
Konsepsi dari keadilan prosedur adalah keadilan yang diwujudkan
dalam bentuk aturan atau kebijakan organisasi dalam rangka
mendistribusikan komponen-komponen organisasi kepada para anggota
organisasi. Peneliti mengkaitkan kebijakan keadilan ini pada sisi psikologis,
seperti proses penetapan prosedur atau komponen-komponen structural.308
Dalam pandangan proses penetapan prosedur ini diasumsikan bahwa
keadilan diterapkan apabila proses pengambilan kebijakan atau penetapan
prosedur itu melibatkan semua pihak yang terkait di dalam organisasi
tersebut.309
Namun dalam pandangan komponen struktural diartikan bahwa
keadilan diterapkan sesuai dengan fungsi jabatan atau struktural tersebut
baik dipenuhi maupun dilanggar.310
Implementasi keadilan prosedur berhubungan dengan asumsi
anggota organisasi terhadap keadilan yang ditetapkan organisasi untuk
menilai kinerja anggota organisasi. Kemudian mengkomunikasikan
masukan kinerja dan apabila diperlukan diberikan sebuah reward atau juga
306
Tang, T.L. and Sarsfield-Baldwin, L.J. “Distributive and Procedural Justice as
Related to Satisfaction and Commitment”, SAM Advanced Management Journal, 61(3),
1996. 25-31. https://eric.ed.gov/?id=ED396117 307
Wawancara dengan Kabiro Bapak Alm. Dr. Abdul Kholiq, MA. pada 6
Nopember 2017, pukul 11.00. di ruang Kabiro UNSIQ. 308
Gilliland, S.W. The perceived fairness of selection system: an organizational
justice perspective. Academy of Management Review, 18 (4): 1993. 694-794.
http://amr.aom.org/content/18/4/694.short 309
Thibaut, J. and Walker, L. Procedural Justice: A Psychological Analysis.
(Hillside NJ: Lawrence Erlbaum Associates. 1975). 310
Leventhal, G.S. “What Should be Done With Equity theory? New Approaches
to The Study of Fairness in Social Relationships” 1980. In K. Gergen, M. Greenberg & R.
Willis (eds), Social Exchanges: Advances in Theory and Research pp. 257–55. New York:
Plenum Press. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4613-3087-5_2
Page 102
91
punishmentnya.311
Hal yang paling penting adalah keadilan prosedur
diapresiasi baik oleh anggota organisasi apabila merasakan prosedur atau
aturan tersebut adil atau tidak adil.312
Pada penelitian lain, dikemukakan bahwa persepsi atas keadilan
prosedural mempengaruhi kepuasan kerja anggota organisasi dan komitmen
keorganisasian.313
Selain itu hubungan antar pribadi juga memiliki dampak
pada sikap dan perilaku pegawai dalam tatanan organisasi. hal yang sama
dikatakan oleh folger keadilan prosedur berdampak pada kepuasan kerja
anggota organisasi.314
Dalam konteks spesifik karir, keadilan prosedural
karir juga berdampak pada perasaan nyaman atas karir yang diperolehnya
Oleh karena itu dalam penelitian ini diajukan hipotesis ketiga sebagai
berikut. Kehadiran perilaku retaliasi (balas dendam) disebabkan adanya
keadilan prosedural yang diterima pegawai tidak seimbang.315
Bermacam-
macam bentuk retaliasi dari anggota organisasi, seperti pembangkangan
terhadap organisasi sebagai akibat ketidakadilan yang dilakukan
organisasi.316
Deinisi prilaku retaliasi yakni respons negatif anggota
organisasi terkait ketidakadilan organisasi.317
Prinsip-prinsip dalam keadilan prosedur yang baik dan adil, antara
lain: konsistensi, minimalisasi bias, informasi akurat, dapat diperbaiki,
representatif, dan etis. Dari hasil penelitian di UNSIQ, keadilan prosedur ini
tentunya menggunakan prinsip-prinsip diatas. Penjelasannya, prinsip
konsistensi, aturan atau kebijakan yang baik dan adil seyogyanya istiqomah
atau konsisten diberlakukan kepada semua anggota organisasi dan dalam
waktu yang ditentukan sesuai keputusan rapat, karena setiap manusia
statusnya sama dan ingin diperlakukan adil. Prinsip meminimalisasi
311
McFarlin, D.B. and Sweeney, P.D. “Distributive and Procedural Justice as
Predictors of Satisfaction with Personal and Organisational Outcomes”, Academy of
Management Journal, 35(3), 1992. 626–637. http://amj.aom.org/content/35/3/626.short 312
Parker, R.J., & Kohlmeyer, J.M. Organizational justice and turnover in public
accountant firms : a research note. Accounting, Organizations, and Society 30, 2005. 357-
369 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0361368204000376 313
Lee, H. R. An Empirical Study of Organizational Justice as a Mediator of the
Relationships among Leader-Member Exchange and Job Satisfaction, Organizational
Commitment, and Turnover Intentions in the Lodging Industry. 1999. (Online)
http://www.af.ecel.uwa.edu.au. https://vtechworks.lib.vt.edu/handle/10919/27465 314
Folger, R. & Konovsky, M.A. Effects of procedural and distributive justice on
reactions to pay raise decisions. Academy of Management Journal, 32(1): 1989. 115-130.
http://amj.aom.org/content/32/1/115.short 315
Skarlicky, D.P. & Folger, R. Retaliation in the work place: the role of
distributive, procedural and interactional justice. Journal of Applied Psychology, 82(3):
1997. 434-443. http://psycnet.apa.org/buy/1997-06155-009 316
Skarlicky, D.P. and Folger, R. Retaliation in the work place: the role of
distributive, procedural and interactional justice. Journal of Applied Psychology, 82(3):
1997. 434-443. http://psycnet.apa.org/fulltext/1997-06155-009.html 317
Tjahjono, H. K. Studi literature pengaruh keadilan distributif dan keadilan
prosedural pada konsekuensinya dengan menggunakan teknik meta analisis. Jurnal
Psikologi UGM, 35 (1): 2008. 21-40. http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/2141
Page 103
92
kebingungan, biasanya dalam diri pemimpin maupun anggota organisasi
ada 2 kepentingan, kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi. Dengan
demikian, 2 kepentingan ini sebaiknya harus dihindari. Prinsi ketepatan
informasi, Informasi akurat berdasarkan fakta yang terjadi di UNSIQ.
Prinsip fleksibilitas terhadap kritikan dan saran, setiap aturan pasti memiliki
kelemahan dan kesalahan, oleh karena itu UNSIQ memiliki aturan atau
prosedur yang dapat berubah sesuai kebutuhan dan fakta yang terjadi di
lapangan. Prinsip representative, adalah upaya untuk mengakomodir
kepentingan dan kebutuhan anggota organisasi secara individu maupun
kelompok dalam organisasinya.318
Dan terakhir prinsip etika, etika dan
moral saat ini menjadi persyaratan penting untuk menentukan sebuah
aturan, tanpa etika yang baik maka aturan akan sangat sulit diterapkan oleh
anggota organisasi.
Keadilan distribusi, suatu keadilan terkait alokasi sumber daya dan
Keadilan ini menjelaskan tentang keadilan dalam perolehan jenjang karir
atau hal lain yang terkait dengan kepentingan individu anggota organisasi
dan kelompoknya sebagai sumber daya organisasi. Teori keseimbangan
membahas tentang keadilan distribusi ini, dengan menyatakan input yang
diterima individu sebagai efek dari hubungan sosial sebaiknya
terdistribusikan dengan layak.319
Beberapa penjelasan terkait keadilan ini; pertama meletakkan
sesuatu pada tempatnya, tentu masih membutuhkan waktu lama, dalam hal
ini pimpinan meletakkan orang pada tempatnya dibutuhkan pendalaman
(pegawai yang dimaksud dikaji dari berbagai aspek), demikian juga
komunikasi diantara pimpinan memiliki satu keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkkan. Yang kedua dalam arti tidak meletakkan orang
itu berdasarkan suka dan tidak suka, Lembaga memiliki indikator bahwa
setiap pegawai memiliki peluang yang sama. Yang ketiga keadilan dari sisi
berbagi peran dan tanggung jawab, maksudnya pelibatan pegawai dalam
berbagai kegiatan sesuai dengan persyaratannya dan bersifat transparan
untuk perekrutanya.320
Keadilan distributif sebagai suatu pendekatan keadilan dalam
mengambil kebijakan dari pemimpin terhadap distribusi hak dan
kewajiban321
dan sejak lama konsep keadilan ini menjadi dasar penyusunan
318
Lind, E. A. & Tyler, T. R. The Social Psycholgy of Procedural Justice. (Plenum
Press, New York. 1988). 319
Cowherd, D. M., & Levine, D. I. Product quality and pay equity between
lowelevel employees and top management: an investigative of distributive justice theory.
Administrative Science Quarterly, 37: 1992. 302- 320. http://www.jstor.org/stable/2393226 320
Wawancara dengan Dosen UNSIQ Bapak Fatkhurrohman, M.Pd. pada 22
September 2017, pukul 08.00. di Ruang Dosen. 321
Colquitt, J. A. On the Dimensionality of Organizational Justice: A Construct
Validation of a Measure. Journal of Applied Psychology. 86: 2001. 386-400.
http://psycnet.apa.org/fulltext/2001-06715-002.html
Page 104
93
atau penetapan keadilan distribusi.322
Dalam studi eksperimen dan survei
sejumlah pegawai di Indonesia yang dilakukan Heru Kurnianto Tjahjono
menegaskan kembali dimana keadilan distribusi berdampak pada prilaku
anggota organisasi.323
Beberapa tahapan atau tingkatan dalam menerapkan keadilan
distribusi, antara lain; tahap pembentukan nilai, prinsip nilai disini adalah
dimana sebuah prosedur atau aturan yang telah dibentuk dan kemudian
ditetapkan maka disebut adil. Dengan demikian nilai disini adalah sesuai
aturan yang berlaku. Kemudian, tahap penyusunan nilai dalam prosedur.
Dan terakhir tahap implementasi prosedur, kata kunci dari proses keadilan
distribusi adalah implementasi peraturan, jika diterapkan maka tercapailah
keadilan distribusi, sebaliknya jika tidak diterapkan maka tidak mungkin
tercapai keadilan distribusi tersebut.
Keadilan Interaksional dalam pandangan Tyler adalah penghargaan,
netralitas dan kepercayaan.324
Penjelasannya; aspek penghargaan, semakin
banyak pemimpin memberikan penghargaan kepada anggotanya atas
kinerjanya, maka semakin baik interaksinya.325
Aspek netralitas, prinsip
objektivitas adalah penggunaan fakta dan bukan opini dalam merumuskan
kebijakan. Dan aspek kepercayaan, kepercayaan bisa dikatakan
menyerahkan atau menitipkan hal yang berharga kepada orang lain dengan
harapan sesuatu yang dititipkan tadi dijaga dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan. Melalui komunikasi antara warga UNSIQ yang
terjalin dapat menentukan meningkatnya kinerja warga UNSIQ,
sebagaimana dijelaskan; “Komunikasi itu berkaitan dengan hubungan
loyalitas, negosiasi, dan apresiasi sehingga dapat meningkatkan kinerja”326
Organizational cukture memiliki pengaruh terhadap keadilan
organisasi, seperti yang diterangkan oleh Hofstede yang membagi budaya
organisasi kedalam lima dimensi, yaitu individualisme, jarak kekuasaan,
term avoidence, maskulinitas, dan long term orientation. Penjelasannya,
dimensi individu terkait egoisme seseorang. Pada dimensi jarak kekuasaan
322
Colquitt, J. A., Conlon, D. E., Wesson, M. J. & Porter C. O. L. H., & Yee Ng,
K. Justice at the Millennium: A Meta-Analytic Review of 25 Years of Organizational Justice
Research. Journal of Applied Psychology, 86: 2001. 425-445.
http://psycnet.apa.org/buy/2001-06715-006 323
Tjahjono, H. K. Studi literature pengaruh keadilan distributif dan keadilan
prosedural pada konsekuensinya dengan menggunakan teknik meta analisis. Jurnal
Psikologi UGM, 35 (1): 2008. 21-40. http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/2141 324
Tyler, T. R. Psychological Models of the Justice Motive: Antecedents of
Distributive and Procedural Justice. Journal of Personality and Social Psychology, 6: 1994.
850-863. http://psycnet.apa.org/record/1995-09388-001 325
Donovan, M. A., Drasgrow, F. & Munson, L. J. The Perception of Fair
Interpersonal Treatment Scale : Development and Validation of a Measure of Interpersonal
Treatment in the Workplace. Journal of Applied Psychology, 83 (5), 1998. 683-692.
http://psycnet.apa.org/buy/1998-12528-001 326
Wawancara dengan Warek 1, Dr. Zaenal Sukawi, MA. pada 14 Nopember 2017,
pukul 10.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ.
Page 105
94
terkait keadilan kepemimpinan yang diberikan baik prosedur, distribusi
maupun interkasi kepada anggota organisasi. Dimensi menghindari
ketidakpastian terkait proses organisasi untuk meyakinkan anggota
organisasi diperlakukan adil dalam terutama karir anggota organisasi.
dimensi maskulin terkait dengan individu maupun kelompok yang
berorientasi pada kemampuannya untuk menyelesaikan tugas dan
tantangannya.327
Indikasi ketidakpastian yang diterangkan hostede dimulai
dari hal yang paling dasar, seperti keluarga dan lembaga pendidikan.328
Dengan indikasi tersebut, kemudian direleksikan dalam prilaku kerja
anggota organisasi dalam lingkungan organisasinya, dari sini akan muncul
perbedaan yang unik antar organisasi.
Sesuai apa yang dikatakan hofstede, anggota organisasi dengan jarak
kekuasaan yang tinggi, maka bisa dikatakan kurang sensitif terhadap
keadilan, karena mereka memahami ketidakadilan adalah cermin legitimasi
dari ketidakseimbangnya kekuasaan antara pemimpin dan anggota
organisasi. Sedangkan, untuk anggota organisasi dengan jarak kekuasaan
yang rendah, maka bisa disimpulkan mereka lebih peduli dengan keadilan
yang dialami. Karena relasinya pada pemimpin bersifat egaliter dan status
tugasnya sama, mudah dimusyawarahkan, tidak ada egoisme dalam
penerapan aturan.329
Dengan demikian dimensi hofstede ini memberikan
indikasi bahwa persepsi pegawai tentang keadilan jika dikaitkan pada
komitmennya kepada pemimpin tergantung pada jarak kekuasaan yang
dirasakan pegawai.330
Terkait dengan keadilan, Maslow menjelaskan tentang hal-hal yang
mendasari bangkitnya motivasi sehingga keadilan dapat terpenuhi didalam
organisasi, yakni kebutuhan dasar (fisik, keamanan, kasih sayang, harga
diri, dan aktualisasi diri) dan meta kebutuhan (keadilan, kebaikan, dan
keindahan). Greenberg berpendapat bahwa setiap orang meyakini bahwa
untuk menjadi adil tergantung pada pendapat-pendapat yang telah
327
More, P. H. B., Wong, G. Y. Y., & Olve, N. G. Acquisition of Managerial
Values in The People‟s Republic of China and Hong Kong. Journal of Cross-Cultural
Psychology, 26: 1995. 255-275.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0022022195263003 328
Geert Hofstede. Culture and Organizations. (Harper Collins Business.
Hammersmith. 1994) 109. 329
Yang, J., Peng, T. K., & Mossholder, K. W. Procedural Justice Climate and
Group Power Distance Orientation: A Case of Cross-Level Effects. Academy of
Management Best Conference Paper 2004 OB: 2004. E1-E6.
http://proceedings.aom.org/content/2004/1/E1.5.short 330
Yang, J., Peng, T. K., & Mossholder, K. W. Procedural Justice Climate and
Group Power Distance Orientation: A Case of Cross-Level Effects. Academy of
Management Best Conference Paper 2004 OB: 2004. E1-E6.
http://proceedings.aom.org/content/2004/1/E1.5.short
Page 106
95
disepakati secara umum tentang keadilan organisasi.331
Dalam konteks
kebijakan SDM, karir menempati kedudukan penting di mata pegawai
karena merupakan sumber penting dalam kehidupannya.332
Berbasis teori
pertukaran sosial, karir merupakan tujuan penting pegawai berafiliasi
dengan organisasi jangka panjang. Selain itu, karir merupakan salah satu
praktik penting SDM untuk mempertahankan dan mengembangkan
produktivitas pegawai.
Menurut Gilliland persepsi pegawai dalam ketidakadilan antara
kemampuan pegawai yang dimiliki dan curahkan dengan imbalan yang
diterima akan menghasilkan emosi negatif yang memotivasi pegawai untuk
mengubah perilaku, sikap, dan kepuasan mereka,333
begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, bila keadilan pegawai tercukupi secara otomatis
produktivitas dan kinerja pegawai mengalami peningkatan.334
Ketidak
puasan dalam bekerja sebagaimana dikatakan diatas, akan menurunkan
kemampuan kerja maupun kinerjanya.335
Memang organisasi memiliki
kewenangan untuk memberhentikan anggota organisasi,336
tetapi jika
tingkat pemberhentian kerja ini tinggi, maka akan berdampak pada
persoalan rekrutmen pegawai baru, dimana biaya rekrutmen pegawai baru
lebih besar.337
Belum lagi, organisasi mengeluarkan biaya pelatihan atau
orientasi organisasi.338
Kembali pada permasalahan konsep, keadilan merupakan suatu hak
yang mereka miliki untuk mendapatkannya ketika orang lain disekitarnya
331
Greenberg, J. Studying Organizacional Justice Cross-Culturslly: Fundamental
Challenges. The International Journal of Conflict, 12 (4): 2001. 365-375.
http://www.emeraldinsight.com/doi/pdfplus/10.1108/eb022864 332
Tjahjono, H.K. Praktik-praktik manajemen SDM strategik; pengujian
universalistik dan kontijensi dalam menjelaskan kinerja organisasional. Jurnal Kinerja, 9
(2): 2005. 123-134. https://ojs.uajy.ac.id/index.php/kinerja/article/view/910 333
Gilliland, S.W. The perceived fairness of selection system: an organizational
justice perspective. Academy of Management Review, 18 (4): 1993. 694-794.
http://amr.aom.org/content/18/4/694.short 334
Arens, Alvin A. Auditing dan Jasa Assurance Pendekatan Terintegrasi Jilid I.
(Jakarta: Erlangga. 2008). 432. 335
Shawarzwald, J., Koslowsky, M. & Shalit, B. A field study of employees‟
attitudes and behavior after promotion decisions. Journal of Applied Psychology, 77, 1992.
511-514 http://psycnet.apa.org/record/1992-45082-001 336
Hollenbeck, Jr., & Williams, C.R. Turnover functionality versus turnover
frequency: a note on work attitudes and organizational effectiveness. Journal of Applied
Psychology 71, 1986. 601-611 http://psycnet.apa.org/fulltext/1987-12156-001.html 337
Toly, A.A. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi turnover intentions pada
staf kantor akuntan publik. Jurnal Akuntansi & Keuangan 3 (2), 1999. 102-125
http://jurnalakuntansi.petra.ac.id/index.php/aku/article/view/15683 338
Suwandi & Nur Indriantoro. Pengujian Turnover Pasewark dan Strawser: Studi
Empiris pada Lingkungan Akuntansi Publik. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 2. No.
2, July 1999. 173-195 http://ijar-iaikapd.or.id/index.php/ijar/article/view/29
Page 107
96
menerimanya.339
Seperti halnya imbalan, rotasi atau penghargaan lain yang
tidak hanya bersifat materi.340
kesimpulannya, peran pimpinan UNSIQ
untuk menjalankan tugas dan fungsinya sangat mempengaruhi keadaan
pegawai UNSIQ dalam hal keadilan organisasi di UNSIQ. Keadilan
merupakan sebuah kode terhadap kepedulian pemimpin kepada anggota
organisasinya dan juga sebagai langkah penting untuk meningkatkan
budaya organisasi di UNSIQ.
E. Azaz Kekeluargaan Sebagai Media Pengembangan Budaya Organisasi
Hofstede berpendapat bahwa dalam budaya kolektivis, kepentingan
pribadi berada dibawah tingkat kepentingan organisasi.341
Hubungan
kekeluargaan bukan saja dipahami secara natural dalam kebiasaan
masyarakat pada umumnya, lebih dari itu kekeluargaan harus bisa dirasakan
anggota organisasi di lingkungan organisasi dimana ia bekerja. Sebagai
contoh; ada pegawai yang tidak bekerja, tetapi ia harus mau membantu
rekan kerjanya jika membutuhkan. Relasi kepegawaian tidak dibatasi oleh
pekerjaan saja, seperti adanya suasana rukun dan harmonis di luar pekerjaan
dengan kegiatan arisan keluarga atau lainnya.
Dalam konsep pengelolaan kepegawaian itu memang perlu
dibangun atas dasar berbagai hal, salah satunya adalah hubungan
kekeluargaan dalam arti yang positif, positif bukan berarti kemudian
kekeluargaan itu dimaknai orang terdekat berdasarkan sisi politis saja, tapi
yang terpenting adalah hubungan kekeluargaan itu lebih dimanfaatkan
untuk membangun komunikasi-komunikasi informal menuju tujuan
UNSIQ. Artinya aturan-aturan yang formal dibicarakan secara
kekeluargaan. Kemudian hubungan kekeluargaan dalam arti umum dalam
arti satu dengan yang lain bisa membangun sebuah jaringan yang tidak
harus selalu formal, seperti silaturahmi kemudian saling membantu satu
sama lain jadi ada empati. Perlu ditegaskan kembali kekeluargaan tentu
bukan hubungan kekeluargaan dalam arti untuk menuju suatu hal yang
pokoknya semua mudah karena keluarga. UNSIQ pada dasarnya sudah
berkembang masalah hubungan kekeluargaan itu, misalnya melalui acara
silaturahmi keluarga 2 bulanan, hanya saja perlu diberdayakan lagi jadi
hubungan seperti itu tentu bukan hanya berhenti kemudian hanya saling
mengenal karena selama ini juga mungkin satu sama lain hanya tambah
anggota tapi belum mengenal dari keluarga masing-masing dan sebagainya
339
Pinder, C. C. Work Motivation in Organizational Behavior. (New Yersey:
Prentice Hall, Uper Saddle River. 1998). 340
Greenberg, J. Organizational Justice: Yesterday, Today, and Tomorrow. Journal
of Management, 16: 1990. 399-432.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/014920639001600208 341
Geert Hofstede. Culture and Organizations. (Harper Collins Business.
Hammersmith. 1994) 50.
Page 108
97
jadi itu perlu ditingkatkan karena cenderung stagnan artinya program-
program yang bersifat kekeluargaan hanya sebatas pertemuan.342
Wujud budaya yang dimaknai oleh anggota organisasi adalah
kekeluargaan, kebersamaan, dan kualitas. Kekeluargaan diterjemahkan oleh
komunitas organisasi sebagai usaha untuk mewujudkan tujuan sebagaimana
layaknya hubungan antara anak dan orang tua dalam suatu keluarga, dalam
bentuk mengurangi aturan birokratik yang membatasi hubungan pimpinan
dan anggota organisasi. Oleh sebab itu, pimpinan selalu berkenan ditemui
di mana pun, baik untuk kepentingan anggota maupun kebutuhan
organisasi. Sementara itu, kebersamaan dikaitkan dengan pemenuhan hak
dan kewajiban anggota organisasi sebagaimana yang diterjemahkan dalam
filosofi air khususnya pemaknaan air yang mempunyai kedalaman dan
kedangkalan.
Prinsip kekeluargaan memberikan pemahaman-pemahaman yakni
pertama bisa melalui komunikasi informal. Beberapa kegiatan sering
dilakukan misalnya melalui WA pribadi atau sms pribadi itu terkadang
lebih efektif daripada dengan misalnya di umum, umum maksudnya melalui
WA umum dan seterusnya, ini seringkali justru dibiarkan begitu saja.
Dengan demikian jika kita melalui yang umum terkadang mengandung
keburukan, mungkin ada niat yang kurang baik misalnya ingin
mempermalukan atau apa. Oleh sebab itu, hubungan-hubungan yang
bersifat pribadi untuk meraih suatu hal yang positif perlu dibangun. Untuk
menasehati orang tidak harus di depan umum tapi bisa melalui WA pribadi
tapi harus berdasarkan pada memang kebutuhan, tidak asal menasehati, ada
kebutuhan dari orang tersebut atau kita untuk memberikan masukan-
masukan yang diperlukan. Kedua melalui suasana, suasana itu penting,
penciptaan suasana di dalam kampus sangat menentukan, karena hubungan
kekeluargaan bisa menetralisir hal yang tidak baik misalnya saling curiga
atau saling suudzon itu bisa dari suasana didalam kampus itu sendiri,
dengan demikian didalam kerja suasana itu penting sekali dibangun atas
dasar itu. Kemudian tentu melalui pembinaan formal tapi kalau formal yaitu
cenderung melalui aturan-aturan yang ada”343
Kelompok yang kohesif, memiliki anggota kelompok yang merasa
nyaman dalam bekerja, sebab dalam kelompok yang kohesif terdapat
adanya rasa kekeluargaan yang tinggi di lingkungan kerja, sesama rekan
kerja selalu saling membantu jika ada yang mengalami kesulitan. Dengan
demikian anggota kelompok akan lebih termotivasi dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya sesuai dengan kebijakan organisasi. Hal ini dapat
dilihat dari pegawai yang lebih bersemangat dan tidak bermalas-malasan
ketika diberikan tugas oleh pemimpin, tidak merasa bosan berada dalam
lingkungan kerja, lebih bersemangat untuk mengembangkan ketrampilan
342
Wawancara dengan Dosen FITK UNSIQ Bapak Fatkhurrohman, M.Pd. pada 22
September 2017, pukul 08.00. di ruang Dosen. 343
Wawancara dengan Dosen FITK UNSIQ Bapak Fatkhurrohman, M.Pd. pada 22
September 2017, pukul 08.00. di ruang Dosen.
Page 109
98
dan keahlian yang diinginkan; serta berusaha mengikuti kegiatan yang
diadakan oleh organisasi. Anggota kelompok yang kohesif lebih sering
bertanggung jawab, bertahan lebih lama dalam bekerja untuk mencapai
tujuan yang sulit, lebih termotivasi untuk menyelesaikan tujuan kelompok,
dan lebih nyaman bekerja dalam kelompok. Modal sosial yang tampak
dalam keseharian adalah sifat kekeluargaan, sifat saling menolong, bantu-
membantu; kesetiakawanan sosial; bentuk-bentuk koperatif; saling percaya
antar sesama; semua tampak dalam perilaku dan tindakan sosial. Nilai
kekeluargaan inilah yang dapat dilihat dari bagaimana manajer
menyampaikan tiap hal kepada pegawai mereka tidak menggunakan bahasa
yang terlalu formal, hal ini berguna agar dapat terbangun suasana
kekeluargaan yang baik.
Hubungan yang bersifat fungsional berdasarkan kemampuan
menjalankan tugas, tidak berdasarkan jabatan memang menguntungkan
demi terlaksananya tugas dengan baik. Namun jika hal tersebut tidak diikuti
dengan pemberdayaan jabatan-jabatan structural akan menimbulkan konflik
antar pegawai. Hubungan yang bersifat kekeluargaan patut dipertahankan
untuk menjaga solidaritas dan kinerja pegawai. Namun hubungan ini juga
harus diimbangi dengan hubungan yang bersifat profesional yang belum
berkembang dengan baik. Hubungan kekeluargaan tanpa diimbangi
profesionalisme dapat memunculkan ketertutupan dan solidaritas negatif
dalam organisasi.
Seorang pegawai diharapkan menjadi anggota keluarga, dapat
dipercaya dan seorang pemimpin diharapkan orang yang memperhatikan
kebutuhan anggota organisasi atau orang lain. Pengendalian perilaku
melalui ganjaran adalah hubungan yang memuaskan. Nilai yang ditekankan
disini adalah cintah kasih, kehangatan, kebersamaan, kekeluargaan.
Sedangkan dalam budaya suportif dalam interaksi komunikasinya
mengutamakan nilai kekeluargaan seperti keharmonisan, keterbukaan,
persahabatan, kerjasama, dan kepercayaan. Pola komunikasi yang
digunakan oleh pimpinan dalam berinteraksi dengan pegawainya
menggunakan 2 jenis pola komunikasi, yakni; pola komunikasi structural,
yaitu komunikasi antara pimpinan dan pegawai secara formal maupun
informal terkait dengan proses pelaksanaan agenda kerja perusahaan. Pola
komunikasi kekeluargaan, yaitu komunikasi antara pimpinan dan pegawai
dalam memperkuat hubungan emosional antara kedua belah pihak.
Komunikasi ini juga merupakan bagian dari bentuk komunikasi kultural
perusahaan. Gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada orang yang
dipimpin lebih memberikan motivasi daripada mengadakan pengawasan
terhadap orang yang dipimpin, pemimpin juga melibatkan orang yang
dipimpin dalam mengambil setiap keputusan, dan pemimpin lebih bersikap
penuh kekeluargaan, percaya, hubungan kerjasama yang saling
menghormati diantara sesama anggota kelompok.
Sebagaimana dijelaskan Purwanto bahwa semangat kerja
merupakan sesuatu yang membuat orang-orang senang mengabdi kepada
pekerjaannya, dimana kepuasan bekerja dan hubungan-hubungan
Page 110
99
kekeluargaan yang menyenangkan menjadi bagian daripadanya.344
Hal ini
tentunya sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh hofstede ketidakpastian
masa depan dirasakan dan direspon anggota melalui rasa kekeluargaan.
Kemudian iklim organisasi yang kondusif berkaitan dengan faktor
fisik, lingkungan, serta sistem sosial organisasi. Sedangkan sistem sosial
terkait dengan nilai, norma, kepercayaan, dan kebiasaan organisasi. Oleh
karena nilai organisasi yang utama adalah kejujuran, keadilan, dan
tanggung jawab direkat oleh kekeluargaan dan kebersamaan, ditopang pula
oleh penataan artifak yang indah bagus, maka iklim organisasi menjadi
nyaman dan kondusif. Muaranya adalah hubungan internal antaranggota
organisasi menjadi padu, suasana kerja organisasi menjadi nyaman, aman,
dan jauh dari stres. Dengan demikian dapat dikatakan pencapaian tujuan
organisasi sebagaimana diamanatkan dalam visi, misi organisasi menjadi
efektif.
Hubungan kekeluargaan yang terjalin antar pegawai di UNSIQ saat
ini masih erat sekali sehingga hubungan yang dibangun adalah hubungan
kekeluargaan diantara pegawai UNSIQ, baik vertikal maupun horizontal
dari struktur organisasi. beberapa contoh pembinaan hubungan
kekeluargaan yang ada di UNSIQ; Pertama, Melalui kegiatan apel pagi
setiap hari senin yang bertujuan mengarahkan dan memotivasi semangat
kerja pegawai dan dosen UNSIQ. Dalam kegiatan tersebut juga diadakan
penyampaian evaluasi akademik UNSIQ dalam menghadapi arus
globalisasi yang disampaikan oleh kepala program studi di lingkungan
UNSIQ secara bergantian, sehingga beberapa masukan untuk perbaikan
UNSIQ dapat dianalisis oleh pimpinan UNSIQ.
Kedua, Mendukung kegiatan-kegiatan yang bersifat hajat pribadi
atau kelompok pegawai. Kegiatan seperti ini tidak terjadwal oleh UNSIQ
namun ketika salah satu pegawai akan mengadakan kegiatan hajat pribadi,
maka pihak UNSIQ sangat mendukung dengan cara menghadiri kegiatan
tersebut. Dan ketiga, Melalui peraturan-peraturan kepegawaian, sehingga
pegawai mampu menjaga hubungan harmonis diantara pegawai.345
Aturan
yang dibuat tidak bersifat statis sehingga pegawai mampu melakukan
aktivitas kampus tanpa khawatir akan melawan aturan UNSIQ, namun
tentunya kegiatan tersebut harus mendaat izin dari pimpinan. Apabila
kegiatan tersebut mendukung UNSIQ, maka UNSIQ akan
mempertimbangkan kegiatan tersebut diadakan secara resmi oleh UNSIQ.
Seperti halnya kegiatan peringatan ulang tahun UNSIQ yang diadakan
dengan sangat meriah, padahal diwaktu sebelumnya UNSIQ hanya
mengadakannya dengan biasa saja.
344
Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Bandung; Remaja
Rosdakarya, 2005), 83. 345
Wawancara dengan Kabiro Bapak Alm. Dr. Abdul Kholiq, MA. pada 6
Nopember 2017, pukul 11.00. di ruang Kabiro UNSIQ.
Page 111
100
BAB V
RELASI INTERPERSONAL DALAM BUDAYA ORGANISASI DI
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
1. Relasi interpersonal sebagai Asas Pemberdayaan Pegawai UNSIQ
Selama 10 tahun terakhir beberapa literatur telah menekankan
pentingnya bagi sebuah organisasi memiliki investasi jangka panjang pada
pegawai. Oleh karena itu investasi strategis dalam angkatan kerja dipandang
penting untuk jangka panjang dari organisasi dalam menjaga lingkungan kerja
mereka. Bagi organisasi untuk mencapai tujuan ini, beberapa penulis telah
menganjurkan keterkaitan erat antara perencanaan organisasi dan aktualisasi
SDM, dalam rangka mencapai fleksibilitas pegawai, komitmen organisasi.
Dengan demikian, pendekatan normatif pada human relation telah disesuaikan
dengan kebutuhan untuk menyelaraskan perencanaan dan perangkat keras
kegiatan dengan program-program pembangunan yang lembut dari keterlibatan
pegawai, pelatihan yang berkesinambungan dan penyediaan keamanan kerja.
Meskipun kontradiksi yang jelas antara tujuan yang ditetapkan, human relation
management menempatkan komitmen pekerja terhadap tujuan kerja dan nilai-
nilai pada ideologi pegawai.
Kesuksesan organisasi dalam memberdayakan pegawai akan
meningkatkan produktivitas pegawai, mengembangkan sikap dengan
memberikan tanggung jawab dan otoritas dalam pengambilan keputusan
terhadap pekerjaannya. Pemberdayaan ini hendaknya dikembangkan dan
dikomunikasikan kepada seluruh organisasi supaya dapat meningkatkan
produktivitas dan kualitas pegawai lini, meningkatkan produktivitas para
pemimpin, serta produktivitas organisasi secara keseluruhan. Kemudian
lingkungan organisasi hendaknya dapat mendukung para pegawai untuk tetap
mau berpartisipasi dan mengelola manajemen yang inovatif. Dalam pengelolaan
budaya ini anggota organisasi hendaknya meningkatkan hubungan antar pribadi
satu dengan yang lainnya, melalui system komunikasi yang memberikan umpan
balik yang berkesinambungan. Selain itu, juga adanya gaya kepemimpinan
manajemen yang selalu membangkitkan kepercayaan diri pegawai, serta
memberi pengarahan yang benar dan juga struktur organisasi yang sesuai
dengan nilai-nilai budaya organisasi sehingga dapat memberikan suasana
keterbukaan, mau menerima pendapat orang lain serta terpeliharanya suasana
entrepreneurial.
Wakil rektor 1 menjelaskan tentang Lingkungan kerja UNSIQ
mendukung pemberdayaan sumber daya manusia yang efektif, hal tersebut
tercipta dengan adanya keterbukaan komunikasi tentang kekuatan dan
ketahanan organisasi. Selain itu, juga memberikan tanggung jawab dan otoritas
pada pegawai, prosedur penyampaian ide yang fleksibel, serta mempertahankan
kualitas tim kerja untuk mengelola proses pekerjaannya. Untuk menerapkan
program pemberdayaan, manajemen menyediakan hal-hal sebagai berikut; Tim
kerja dan sharing informasi sebagai dasar terciptanya lingkungan
pemberdayaan, pelatihan dan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan
Page 112
101
pekerjaan dengan baik, hingga pengukuran, umpan balik dan positive
reinforcement.346
Konseptualisasi tentang bagaimana budaya memengaruhi perilaku
pegawai dari perspektif yang sama berdasarkan pada adaptasi pegawai dan
penyesuaian yang baik terhadap lingkungan kerja, begitu juga kesesuaian
karakteristik organisasi dengan orientasi personal. Sebagai dimensi lingkungan
sosial budaya, pendekatan paternalistik menunjukkan hubungan antar pegawai
pada sebuah organisasi, di mana pemimpin memperlakukan pegawai mereka
dengan cara yang mirip dengan cara orang tua memperlakukan anak-anak
mereka. Jadi paternalistik dijelaskan perilaku kebapakan terhadap pegawai.
Paternalisme dari perspektif internasional, menyarankan dua fitur paternalisme.
Salah satunya adalah tingkat hirarki yang lebih besar dari jumlah minimal setiap
hubungan pimpinan-pegawai harus menampilkan dalam pengaturan organisasi.
Dengan demikian, untuk pekerja, pekerjaan di sebuah lembaga diatur dengan
cara paternalistik seperti karier dan loyalitas. Sebagai imbalannya, lembaga
menunjukkan perhatian pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan
keluarga. Pemimpin paternalistik atau pengusaha menetapkan otoritas dengan
mempertimbangkan kebutuhan keluarga dan membimbing mereka sesuai
dengan situasi masing-masing. Praktek manajemen paternalistik secara
fundamental didasarkan pada saling ketergantungan, rasa hormat dan kesetiaan
antara manajemen dan pekerja.
Budaya laissez-faire memiliki beberapa perbedaan dengan budaya
paternalistik, walaupun pada hakikatnya memiliki kesamaan pola dalam
pengelolaan organisasi. Pegawai dipandang dapat dipercaya dan mereka diberi
tanggung jawab untuk membuat keputusan. Sementara keputusan utama
mengenai misi dan tujuan organisasi ada pada keputusan pimpinan, pegawai
diberi banyak wewenang dan keleluasaan untuk menentukan cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, budaya laissez-faire ini berbeda
dengan budaya paternalistik, di mana pimpinan menentukan keputusan utama.
Kelemahan dari budaya laissez-faire adalah pegawai tidak dapat bertindak
konsisten dengan nilai-nilai dasar organisasi dan asumsi yang dibangun
didalamnya.
Dalam budaya partisipatif, pegawai dianggap berkompetensi dan
keluarga berusaha memberikan pegawai kesempatan untuk memperbesar bakat
mereka. Pegawai harus menyelesaikan pekerjaan mereka dengan melibatkan
banyak orang sehingga berhasil menumbuhkan dan mengembangkan pribadi
mereka. budaya partisipatif cenderung proaktif dalam mengelola lingkungan
mereka. Mereka berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan untuk membuat
keputusan yang tepat dengan memunculkan masukan dari pegawai. Tidak ada
yang diasumsikan memiliki semua jawaban. Budaya partisipatif hadir terfokus
tetapi juga berorientasi ke masa depan. Nepotisme dan bentuk lain dari kasih
secara resmi direndahkan.
346
Wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, MA. pada 21 Agustus
2017, pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ.
Page 113
102
Dalam budaya partisipatif, pegawai umumnya mampu menjadi kreatif
untuk mengembangkan bakat dan kemampuan mereka. Melalui partisipasi
dalam pengambilan keputusan, mereka menjadi lebih mampu memahami dan
menginternalisasi nilai-nilai organisasi dan mereka lebih berkomitmen terhadap
keputusan. Metode ini berhasil diterapkan dalam lingkungan yang kompleks
dan berubah-ubah yang memerlukan masukan pegawai dari berbagai tingkatan
untuk membuat keputusan yang tepat. Namun kelemahan utama dari budaya
partisipatif juga ditemukan dalam proses pengambilan keputusan yakni
membutuhkan banyak waktu untuk menghasilkan sebuah keputusan, karena
perlu mempertimbangkan berbagai masukan dari pegawai. Oleh karena itu,
tantangan mereka yang bekerja dalam budaya partisipatif adalah membedakan
antara keputusan yang perlu dibuat cepat dengan diskusi minimal dan keputusan
yang dibuat lambat dan membutuhkan partisipasi pegawai.
Untuk menyikapi berkembangnya kedua pola budaya diatas, maka
dibutuhkan budaya professional sebagai solusi berkembangnya sebuah
organisasi agar dapat mengikuti perubahan organisasi modern. Budaya
profesional tidak dimaksudkan bahwa sebuah organisasi tertentu lebih
profesional daripada yang lain tapi pola budaya ini umumnya ditemukan pada
organisasi paternalistik mampu memutuskan untuk mengubah pengelolaan
organisasi pada organisasi partisipatif dengan kata lain organisasi profesional.
Organisasi profesional sering membawa mereka pada satu asumsi yang sangat
berbeda dari pola lainnya. Hubungan individualistis, yang berarti bahwa
pegawai fokus pada prestasi individu dan kemajuan karir. Pemimpin bersikap
netral terhadap pegawai ketika terjadi persaingan tajam, hingga ada evaluasi
menyeluruh pada kemampuan mereka memberikan kontribusi pada organisasi.
Keterlibatan stakeholder dalam proses pengelolaan organisasi akan banyak
berkurang dengan munculnya organisasi profesional. Para profesional
berpedoman pada hasil penelitian professional untuk membuat keputusan yang
rasional. Dengan demikian, hasilnya dapat terwujud dalam penciptaan berbagai
program untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya organisasi.
pegawai didorong untuk melakukan pekerjaan mereka dengan cepat dan efisien,
pengembangan pribadi pegawai adalah kebutuhan sekunder. Kelemahan utama
dari budaya profesional adalah cenderung mengasingkan pegawai yang direkrut
kedalam organisasi atas dasar kedekatan keluarga, persaingan tidak sehat antar
individu dan antar departemen, moral rendah, dan komitmen yang rendah.
Budaya professional ini sangat dibutuhkan UNSIQ dalam pemberdayaan Dosen
maupun pegawai, dengan demikian warga UNSIQ dapat dengan mudah
memahami budaya organisasi yang terjadi di UNSIQ.
Adapun model pemberdayaan sumber daya manusia yang terintegrasi
dan efektif terdiri dari enam tahapan, yaitu desire, trust, confidence, credibility,
accountability, dan communication. Kesuksesan penerapan pemberdayaan
pegawai dalam lembaga membutuhkan kombinasi the art of feeling, the art
thinking, dan the art of doing melalui penciptaan landasan yang kuat oleh
individu maupun organisasi, penciptaan lingkungan yang kondusif untuk
melakukan perbaikan secara berkesinambungan, dan penciptaan visi, misi, dan
nilai-nilai dalam lembaga. Sedangkan model manajemen TQM melingkupi
Page 114
103
beberapa elemen dalam menjaga sekaligus meningkatkan kualitas organisasi
untuk menyikapi sebuah perubahan organisasi; adanya komitmen dan
kepemimpinan eksekutif, perencanaan dan organisasi, teknik peningkatan
kualitas, pendidikan dan pelatihan, keterlibatan pegawai, kerja sama tim,
pengukuran kinerja dan umpan balik, dan perubahan budaya.347
Pengelolaan
pegawai harus dilakukan secara professional, karena sumber daya manusia
tersebut akan mengikuti seleksi, pengembangan, penilaian, dan sistem reward
sebagaimana mencerminkan keragaman latar belakang budaya karyawan.
Dengan begitu, mustahil pemimpin mengabaikan perbedaan budaya pegawai.348
Kebijakan pegawai sering mencerminkan orientasi nilai-nilai suatu
kelompok organisasi. Pimpinan berorientasi cenderung untuk menyewa orang-
orang terbaik untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kriteria teknis
atau tugas, berdasarkan keterampilan dan keahlian individu. Untuk orientasi
kelompok, pimpinan juga cenderung untuk menyewa orang yang dipercaya
berkualitas. Namun dalam pikiran mereka, kualifikasi utama adalah
kepercayaan, kesetiaan, dan kompatibilitas dengan rekan kerja. Kemudian
pimpinan menggunakan promosi, kenaikan gaji, bonus, dan bentuk lain dari
individu, pengakuan publik untuk memotivasi pegawai. Konsekuensi
diharapkan sesuai dengan kinerja dan keadilan disesuaikan dengan imbalan
eksternal atau prestasi lainnnya. Sebuah keyakinan yang diselenggarakan secara
umum adalah kontrak psikologis antara atasan dan bawahan, adanya kewajiban
bertanggung jawab, kemudian adanya kontribusi pegawai dibarengi dengan
imbalan yang adil.349
Makna adil yang sering diartikan berbeda oleh warga
UNSIQ menjadi permasalahan utama dan selalu sensitif jika sering dibicarakan
dari sudut pandang yang berbeda, oleh karena itu pimpinan UNSIQ selalu
berusaha merangkul semua kepentingan warga UNSIQ dan tetap dalam koridor
aturan UNSIQ yang baku.
Proses relasi interpersonal di UNSIQ bersifat gradual sesuai dengan
kemampuan manajerial UNSIQ yang tidak ada bedanya dengan institusi
lainnya, namun disini ditekankan pada pengetahuan mereka pada al-Qur‟an
sekaligus dalam menjalani hubungan interpersonal itu, tentu disitu tidak
mustahil ada hal-hal krusial seperti keadilan seseorang pada apa yang mereka
kerjakan pada unsiq, namun saya arahkan pada mizan itu tadi, sehingga orang
mengetahui betapa adilnya islam lewat al-Qur‟an yang dijadikan basis di
UNSIQ ini.350
347
Dale, B., Boaden, R.J., Wilcox, M. and McQuater, R.E. „Sustaining continuous
improvement: what are the key issues ?‟ Quality Engineering, vol.11, no.3, 1999. 370. 348
Levitt, Theodore. The globalization of markets. Hamd Business Review, May/
June 1983, 92-102. https://pl-static.z-
dn.net/files/d81/6d78823e646f51f64d82f7bb20dbf7db.pdf 349
Kotter, John P. Leading Change: Why Transformation Eff orts Fail. Harvard
Business Review 73 (2): 1995. 59-67.
https://www.gsbcolorado.org/uploads/general/PreSessionReadingLeadingChange-
John_Kotter.pdf 350
Wawancara dengan Rektor Bapak Dr Muchotob Hamzah pada 12 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 115
104
Pada penelitian ini, penulis menggunakan teori keseimbangan dalam
memahami hubungan interpersonal yang terjadi di UNSIQ, yakni:
1. Keseimbangan imbalan, melalui pemberian imbalan yang seimbang dengan
beban kerjanya, pegawai merasakan dirinya diperhatikan oleh UNSIQ dan
kontribusi yang diberikan oleh pegawai UNSIQ juga lebih maksimal.
Namun keseimbangan ini perlu menerapkan 3 keadilan, yaitu keadilan
distribusi, keadilan fungsional dan keadilan konstruktif.
2. Keseimbangan kepusan kerja, hal ini terlihat dari bagaimana pegawai
UNSIQ semangat dalam bekerja. Dipertegas kembali, kepuasan kerja dan
memperoleh penghasilan tak hanya dimaknai secara material tapi juga
spiritual batiniyah sehingga mendapatkan penghasilan yang berkah.
3. Keseimbangan motivasi kerja, UNSIQ sering memberikan motivasi kerja
seperti diawal perkuliahan atau diawal semester diadakan refresh dosen,
dari kegiatan tersebut pegawai diminta untuk memperbaharui niat yang
ikhlas, baik dan benar, yang selanjutnya dijaga keberlangsungannya.
4. Keseimbangan komunikasi, komunikasi pimpinan dan pegawai UNSIQ
dapat menentukan meningkatnya kinerja warga UNSIQ. Komunikasi itu
berkaitan dengan hubungan loyalitas, negosiasi, dan apresiasi, dengan
demikian dapat meningkatkan kinerja.
5. Terakhir keseimbangan beban kerja, mindset imbalan yang dibangun oleh
pimpinan dan pegawai UNSIQ tidak semata-mata materi namun non materil
namun untuk ibadah diperlukan kesungguhan dengan mengesampingkan
materi dulu. Bekerja, bergaul, berkembang, berinteraksi, berjuang dan
berprestasi adalah ibadah. Interpersonal dan intrapersonal pegawai salah
satu penentu keberhasilan, kemajuan dan kejayaan universitas, hidup perlu
dijalani dengan harmonis. Interpersonal dan intrapersonal juga sebagai
salah satu cara untuk mengeksplore potensi, kemampuan, penghargaan, dan
apresiasi.351
Pada umunya pegawai mengalami bebagai poblem ketika tejadi
peubahan sistem oganisasi, hal ini pun tejadi pada pegawai UNSIQ yang
tentunya mengedapankan pentingnya relasi interpersonal sebagai asas
pemberdayaan pegawai UNSIQ;
1. Dinamika Perubahan Organisasi
Para ahli manajemen mendukung, bahwa pegawai memainkan
peran utama dalam keberhasilan atau kegagalan perubahan organisasi.352
351
Wawancara dengan Wakil Rektor 1 Bapak Dr Sukawi pada 21 Agustus 2017,
pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 352
Van Knippenberg, B., Martin, L., & Tyler, T. Process-orientation versus
outcome-orientation during organizational change: The role of organizational identification.
Page 116
105
Namun pegawai sering enggan untuk melakukan perubahan organisasi
karena mereka biasanya mengalami hal itu mengganggu rutinitas dan
hubungan sosial mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas penting.353
Mereka mungkin juga mengalami beban kerja meningkat akibat tugas baru
selain beberapa tugas yang sudah ada, kemudian kewajiban untuk
menyesuaikan diri dengan hubungan kerja baru, dan juga sosialisasi tujuan
baru.354
Penelitian sebelumnya banyak membuktikan fakta bahwa
keterlibatan pegawai dalam perubahan organisasi yang direncanakan adalah
proses yang panjang, emosional intens, stres, dan melelahkan bagi sebagian
besar pegawai.355
Konsistensi temuan tersebut telah menyebabkan beberapa
ahli menyebutkan munculnya emosi negatif yang dialami dengan intens
akan menyebabkan pegawai menolak dan enggan untuk melakukan
pekerjaan yang diarahkan oleh para pemimpin organisasi untuk mendukung
perubahan organisasi.356
Lebih dalam dibahas oleh teori sumber daya pada perubahan
organisasi, salah satu cara untuk meningkatkan dan mempertahankan
komitmen pegawai untuk mendukung perubahan organisasi adalah
membangun sumber daya mereka sebelum dimulainya proses perubahan
organisasi.357
Sumber daya ini kemudian dapat digunakan untuk
mengurangi stres yang sering dikaitkan dengan perubahan organisasi, serta
memotivasi komitmen pegawai untuk perubahan organisasi tersebut. Hal
tersebut mungkin tidak hanya memiliki dampak positif pada sikap dan
perilaku pegawai, tetapi mungkin juga, menghasilkan organisasi yang
Journal of Organizational Behavior, 27: 2006. 685–704.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.391/full 353
Strebel, P. Why do employees resist change? Harvard Business Review, 74(3):
1996. 86-92.
https://www.researchgate.net/profile/Paul_Strebel/publication/248439192_Why_Do_Emplo
yees_Resist_Change/links/54fda68e0cf20700c5ec0962/Why-Do-Employees-Resist-
Change.pdf 354
Pollard, T. M. Changes in mental well-being, blood pressure, and total
cholesterol levels during workplace reorganization: The impact of uncertainty. Work and
Stress, 15(1): 2001. 14-28.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/02678370110064609 355
Fugate, M., Kinicki, A. J., & Prussia, G. E. Employee coping with
organizational change: An examination of alternative theoretical perspectives and models.
Personnel Psychology, 61: 2008. 1-36. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1744-
6570.2008.00104.x/full 356
Kiefer, T. Feeling bad: Antecedents and consequences of negative emotions in
ongoing change. Journal of Organizational Behavior, 26: 2005. 875-897.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.339/full 357
Hobfoll, S. E. The influence of culture, community, and the nested self in the
stress process: Advancing conservation of resources theory. Applied Psychology: An
International Review, 50: 2001. 337-370. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1464-
0597.00062/full
Page 117
106
positif.358
Dengan demikian, cukup penting peran sumber daya pegawai
dalam membentuk komitmen mereka dan keterlibatannya dalam perubahan
organisasi. Melihat tekanan yang melekat dan ketegangan organisasi bahwa
pengalaman pegawai saat bekerja di tengah-tengah perubahan organisasi
berperan penting, tidak hanya menahan tantangan dan tekanan, tetapi juga
menjadi komitmen kuat pegawai dalam prilaku organisasinya.359
Pegawai menerima berbagai macam pengaruh dari organisasi dalam
perubahan untuk tugas terbaru atas isu mutakhir dan wujud antisipasi
pegawai terhadap perubahan adalah membuat program kerja organisasi dan
memaksimalkannya dalam bentuk kinerja maksimal (misalnya, waktu,
tenaga, keahlian, kreativitas, dan loyalitas). Pengaruh organisasi tersebut
meliputi hal yang konkret, seperti; komponen perkembangan (pelatihan,
pengembangan karir, komunikasi terbuka, keikutsertaan dalam
pengambilan keputusan organisasi, umpan balik kinerja, dan melaksanakan
masukan dan arahan dari manajemen yang lebih tinggi), komponen
materialistis (misalnya, kesehatan, kesempatan promosi, gaji yang
kompetitif dan bonus).360
Dengan demikian, pengaruh organisasi
seyogyanya menyediakan pekerjaan yang membantu pegawai dalam
mempersiapkan dan mengatasi tuntutan perubahan organisasi, sehingga
mereka merasa percaya diri dan optimis tentang masa depan mereka.
Selanjutnya, temuan dari penelitian tentang hubungan kerja secara tidak
langsung mendukung penelitian ini dengan menunjukkan bahwa pegawai
yang menerima pengaruh organisasi, kemudian mereka menampilkan sikap
kerja yang positif dan tingkat kinerja yang tinggi.361
Seperti yang
diterangkan oleh salah satu dosen tetap UNSIQ “Tentunya ini sudah
dilakuka UNSIQ secara konsisten, walaupun banyak kendala yang dihadapi
dan tidak sedikit program kerja tersebut mengalami kegagalan hingga
akhirnya terselesaikan dengan waktu yang cukup panjang dan melibatkan
semua pimpinan dan pegawai UNSIQ”362
Peneliti mengakui peran penting pegawai pada perubahan
organisasi. Namun sampai saat ini perhatian kepada pegawai sebagai
358
Kim, W. C., & Mauborgne, R. Fair process: Managing in the knowledge
economy. Harvard Business Review, 81(1): 2003. 127-136.
https://pdfs.semanticscholar.org/375e/cc1ff423b33eecb4797cfbd381cb28e06193.pdf 359
Huy, Q. N. Emotional capability, emotional intelligence, and radical change.
Academy of Management Review, 24: 1999. 325-345.
http://amr.aom.org/content/24/2/325.short 360
Hom, P. W., Tsui, A. S., Wu, J. B., Lee, T. W., Zhang, A. Y., Fu, P. P., & Li, L.
Explaining employment relationships with social exchange and job embeddedness. Journal
of Applied Psychology, 94: 2009. 227–297. https://insights.ovid.com/applied-
psychology/japsy/2009/03/000/explaining-employment-relationships-social/1/00004565 361
Wang, D. X., Tsui, A. S., Zhang, Y. C., & Ma, L. Employment relationships and
firm performance: Evidence from an emerging economy. Journal of Organizational
Behavior, 24: 2003. 511-535. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.213/full 362
Wawancara dengan Dosen FITK UNSIQ Bapak KH. A. Zuhdi, M.Ag. pada 24
Nopember 2017, pukul 09.00. di ruang Dosen.
Page 118
107
penentu penting efek ini berkurang.363
penelitian kami menyelidiki
pentingnya dua sumber tertentu dalam meningkatkan kontribusi karyawan
untuk pelaksanaan perubahan organisasi melalui teori sumber daya: (1)
pengaruh organisasi dan (2) ketahanan psikologis. Dalam melakukannya,
kita memberikan kontribusi pada literatur perubahan dengan menekankan
pentingnya sumber daya karyawan sebagai penentu potensi keberhasilan
perubahan.364
Beberapa penelitian mendukung efek positif langsung dari
tingkat karyawan dari pendekatan organisasi dan ketahanan psikologis pada
komitmen normatif dan afektif mereka untuk berubah. Dengan demikian,
hasil ini konsisten dengan kedua proposisi konservasi teori sumber daya
dan teori mengatasi lainnya menekankan pentingnya mengamankan sumber
daya sebelum menghadapi stres.365
Temuan kami menunjukkan bahwa pegawai senior yang
berpartisipasi terhadap konteks pengaruh organisasi dengan akses ke
berbagai sumber daya, seperti kompetensi, kewenangan, waktu, dan kontrol
atas keputusan sehingga dapat memungkinkan mereka untuk melakukan
perubahan tersebut. Disamping meneliti pemberdayaan sumber daya selama
perubahan difokuskan pada perbedaan peran individu atau psikologis
pegawai.366
Selain itu, hasil penelitian kami secara bersamaan
mengkonfirmasi peran penting dari ketahanan individu pegawai sebagai
sumber daya psikologis yang berharga berasal dari karakteristik individu.
Sesuai dengan studi sebelumnya, peran ketahanan dalam beradaptasi
dengan situasi stres atau trauma di berbagai pengaturan dan juga
identifikasi efek protektif ketahanan pada reaksi pegawai untuk berubah
dalam lingkungan kerja.367
Dengan demikian, pegawai yang mendapatkan
banyak pengaruh organisasi akan memunculkan emosi positif selama
363
Hobfoll, S. E. The influence of culture, community, and the nested self in the
stress process: Advancing conservation of resources theory. Applied Psychology: An
International Review, 50: 2001. 337-370. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1464-
0597.00062/full 364
Robertson, P. J., Roberts, D. R., & Porras, J. I. Dynamics of planned
organizational change: Assessing empirical support for a theoretical model. Academy of
Management Journal, 36: 1993. 619-634. http://amj.aom.org/content/36/3/619.short 365
Aspinwall, L. G., & Taylor, S. E. A stitch in time: Self-regulation and proactive
coping. Psychological Bulletin, 121: 1997. 417-436.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9136643 366
Fugate, M., Kinicki, A. J., & Scheck, C. L. Coping with an organizational
merger over four stages. Personnel Psychology, 55: 2002. 905–928.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1744-6570.2002.tb00134.x/full 367
Ong, A. D., Bergeman, C. S., Bisconti, T. L., & Wallace, K. A. Psychological
resilience, positive emotions, and successful adaptation to stress in later life. Journal of
Personality and Social Psychology, 91: 2006. 730-749. http://psycnet.apa.org/buy/2006-
12810-011
Page 119
108
perubahan organisasi.368
Begitu juga, pegawai akan cenderung merasa
bahwa mereka dihargai dan didukung organisasi.369
Unsur lain yang bisa dibilang penting dalam menentukan komitmen
pegawai terhadap perubahan organisasi adalah tingkat ketahanan psikologis
yang berasal dari karakteristik masing-masing.370
Peneliti melihat ketahanan
sebagai sumber daya penting yang membantu individu mengelola situasi
yang dialami selalu berubah dalam hidup.371
Dari pembahasan diatas,
pertukaran sosial antar pegawai pada organisasi akan mengirim efek positif
dari pengaruh organisasi sehingga pegawai berkomitmen pada perubahan
organisasi. Kesediaan pegawai untuk melakukan perubahan akan
mempengaruhi komitmen normatif dan afektif mereka untuk berubah.
Komitmen normatif perubahan berasal dari keyakinan pegawai bahwa
mereka harus membalas hubungan baik yang dibangun oleh pimpinan
dengan adanya penghargaan kinerja tersebut dengan kontribusi tinggi pada
organisasi. Sedangkan komitmen afektif untuk mengubah hasil dari
kepercayaan mereka pada kemampuan organisasi untuk menerapkan
perubahan dan untuk berbagi manfaat dari perubahan diantara pegawai.
Seperti yang dijelaskan oleh pak Kholiq “Visi dengan teksline humanis
menunjukkan pegawai yang bekerja di UNSIQ bukan sebagai pekerja
melainkan sebagai pengabdi”372
Pegawai UNSIQ bisa dicirikan sebagai seseorang yang tangguh,
cenderung proaktif menghadapi kesulitan dan meminimalkan dampak stres
pada diri mereka sendiri dengan kemampuan pengelolaan psikologis secara
efektif.373
Selanjutnya, sejumlah ahli berpendapat bahwa pemulihan
individu dari stres dengan cara meminimalkan dampak negatif dan mengisi
ulang energi mereka dengan motivasi baik psikologis maupun fisik, sebagai
368
Fredrickson, B. L. The role of positive emotions in positive psychology: The
broaden-and-build theory of positive emotions. American Psychologist, 56: 2001. 218-226.
http://psycnet.apa.org/record/2001-00465-003 369
Hom, P. W., Tsui, A. S., Wu, J. B., Lee, T. W., Zhang, A. Y., Fu, P. P., & Li, L.
Explaining employment relationships with social exchange and job embeddedness. Journal
of Applied Psychology, 94: 2009. 227-297. http://psycnet.apa.org/buy/2009-02898-001 370
Block, J., & Kremen, A. M. IQ and ego-resiliency: Conceptual and empirical
connections and separateness. Journal of Personality and Social Psychology, 70: 1996. 349-
361. http://psycnet.apa.org/buy/1996-01717-012 371
Jiseon Shin, M. Susan Taylor, Myeong-Gu Seo, Resources For Change: The
Relationships Of Organizational Inducements And Psychological Resilience To Employees‟
Attitudes And Behaviors Toward Organizational Change, Academy of Management Journal
2012, Vol. 55, No. 3, 727-748. http://amj.aom.org/content/55/3/727.short 372
Wawancara dengan Kabiro, Alm. Dr. A. Kholiq, MA. pada 5 Juli 2017, pukul
09.30. di ruang Kabiro UNSIQ. 373
Fredrickson, B. L., Cohn, M. A., Coffey, K. A., Pek, J., & Finkel, S. M. Open
hearts build lives: Positive emotions, induced through loving-kindness meditation, build
consequential personal resources. Journal of Personality and Social Psychology, 95: 2008.
1045–1062. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3156028/
Page 120
109
persiapan menghadapi situasi masa depan.374
Temuan yang menunjukkan
keberhasilan ketahanan psikologis, seperti berpikir optimis,375
tekanan
psikologis yang mampu dikontrol,376
dan sikap kerja yang positif377
mendukung nilai ketahanan sebagai energi.
Secara alami, pengalaman organisasi pegawai juga berpengaruh
pada munculnya emosi positif dalam mengatasi perubahan organisasi
sebagai bentuk ketahanan psikologis. Diperkuat dengan adanya penelitian
yang menunjukkan hubungan langsung antara ketahanan dan emosi positif
dalam situasi yang menantang.378
Hubungan ini hasil dari pemahaman
individu yang kuat antara emosi positif dan keterampilan mereka dalam
membangkitkan psikologi pegawai (misalnya, menggunakan rasa humor
dan mengembangkan teknik efektif relaksasi). Secara konsisten, para
peneliti telah secara empiris menemukan bahwa ketahanan individu
cenderung efektif mengatasi kesulitan dan pengalaman traumatis melalui
mekanisme emosi positif yang ditimbulkan.379
Jadi, ketika perubahan
sedang berlangsung, pegawai dengan level ketahanan psikologis kuat
cenderung mengalami emosi yang lebih positif daripada pegawai dengan
level ketahanan psikologis yang rendah. Emosi ini kemudian membantu
mereka melihat proses perubahan dan hasil yang lebih optimis dan
menyikapi perubahan organisasi yang lebih menguntungkan.
Dua jenis perilaku yang berhubungan dengan perubahan sebagai
konsekuensi dari komitmen pegawai untuk berubah, yakni; (1) dukungan
perilaku untuk perubahan, yang didefinisikan sebagai demonstrasi
dukungan dengan memenuhi apa yang diperlukan dan partisipasi kerja
374
Waugh, C. E., Fredrickson, B. L., & Taylor, S. F. Adapting to life‟s slings and
arrows: Individual differences in resilience when recovering from an anticipated threat.
Journal of Research in Personality, 42: 2008. 1031-1046.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0092656608000238 375
Kumpfer, K. L. Factors and processes contributing to resilience: The resilience
framework. In M. D. Glantz & J. L. Johnson (Eds.), Resilience and development: Positive
life adaptations: 1999. 179-224. New York: Kluwer Academic/Plenum.
https://link.springer.com/chapter/10.1007/0-306-47167-1_9 376
Utsey, S. O., Giesbrecht, N., Hook, J., & Stanard, P. M. Cultural, sociofamilial,
and psychological resources that inhibit psychological distress in African Americans
exposed to stressful life events and racerelated stress. Journal of Counseling Psychology, 55:
2008. 49-62. http://psycnet.apa.org/buy/2007-19995-004 377
Youssef, C. M., & Luthans, F. Positive organizational behavior in the
workplace: The impact of hope, optimism, and resilience. Journal of Management, 33: 2007.
774–800. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0149206307305562 378
Fredrickson, B. L., Tugade, M. M., Waugh, C. E., & Larkin, G. R. What good
are positive emotions in crises? A prospective study of resilience and emotions following the
terrorist attacks on the United States on September 11th, 2001. Journal of Personality and
Social Psychology, 84: 2003. 365–376. http://psycnet.apa.org/buy/2003-01140-011 379
Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. Resilient individuals use positive emotions
to bounce back from negative emotional experiences. Journal of Psychological and Social
Psychology, 86: 2004. 320-333.
http://psycnet.apa.org/journals/psp/86/2/320.html?uid=2004-10747-009
Page 121
110
keras semangat perubahan dan (2) dukungan kreatif untuk perubahan,380
yang didefinisikan sebagai sejauh mana pegawai mengembangkan dan
menyarankan ide inovatif.381
Beberapa studi menunjukkan dampak besar
perubahan organisasi dalam rutinitas kerja dan sistem yang menyebabkan
beberapa pegawai mempertimbangkan pengunduran diri dari organisasi.382
Namun pimpinan berharap bahwa komitmen untuk berubah, baik dari sisi
normatif dan afektif, akan menekankan kesediaan karyawan untuk tetap
dalam organisasi. Meskipun pegawai merasakan dan mengetahui adanya
ketidakpastian masa depan, kecemasan dalam kerja, dan juga beban kerja
yang bertambah karena adanya perubahan organisasi, komitmen dan juga
kewajiban pegawai perlu memiliki perasaan nasionalisme berorganisasi
yang kuat sehingga mereka mendukung perubahan tersebut. Berbeda
dengan beberapa pegawai yang tidak memiliki rasa nasionalisme
berorganisasi, maka dengan mudah mereka akan meninggalkan organisasi
demi masa depan yang pasti dan jelas setelah terjadi perubahan. Hal ini
disikapi oleh pimpinan seperti yang dikatakan oleh kabiro “Dinamika
perubahan organisasi UNSIQ didalamnya pasti ada sisi subjektivitas, terkait
dengan periodisasi organisasi maka jabatan organisasi pasti ada habis masa
tugasnya, dan juga adanya karir yang naik dan turun”
Strebel mengemukakan bahwa visi dan kepemimpinan mendorong
perubahan organisasi yang sukses tetapi beberapa pemimpin menyadari
pentingnya komitmen pegawai untuk berubah.383
Pegawai dalam sistem
organisasi bertanggung jawab untuk dapat beradaptasi dan berperilaku
selaras dengan strategi dan program-program yang diprakarsai oleh
manajemen perubahan.384
Dengan perubahan ini, mereka harus belajar
untuk mengikuti arah dan strategi baru untuk mencapai tujuan. Mereka
harus memiliki kepercayaan diri untuk beradaptasi dengan perubahan
organisasi serta ketahanan untuk bangkit kembali dari kemunduran yang
terjadi selama proses perubahan. Selain itu, pegawai membutuhkan
380
Herscovitch, L., & Meyer, J. P. Commitment to organizational change:
Extension of a three-component model. Journal of Applied Psychology, 87: 2002. 474-487.
http://psycnet.apa.org/record/2002-01666-006 381
Heifetz, R. A., & Laurie, D. L. The work of leadership. Harvard Business
Review, 79(11): 2001. 131-140. http://amj.aom.org/content/55/3/727.short 382
Lee, T. W., Mitchell, T. R., Wise, L., & Fireman, S. An unfolding model of
voluntary turnover. Academy of Management Journal, 39: 1996. 5-36.
http://amj.aom.org/content/39/1/5.short 383
Strebel, P. Why do employees resist change? Harvard Business Review, 74(3):
1996. 86-92.
https://www.researchgate.net/profile/Paul_Strebel/publication/248439192_Why_Do_Emplo
yees_Resist_Change/links/54fda68e0cf20700c5ec0962/Why-Do-Employees-Resist-
Change.pdf 384
Mishra, K. E., Spreitzer, G. M., & Mishra, A. K. Preserving employee morale
during downsizing. MIT Sloan Management Review, 39(2), 1998. 83-95.
https://search.proquest.com/openview/6022554c49e348f3573bd6bfa87bf2a2/1?pq-
origsite=gscholar&cbl=1817083
Page 122
111
motivasi dan bimbingan ketika menemui hambatan dan membuat kebijakan
yang positif bila ada sesuatu yang salah dan memiliki pandangan yang
positif untuk masa depan. Rivas menjelaskan bahwa hubungan yang positif
dapat menjadi salah satu sumber inspirasi seperti ketahanan ketika
menghadapi perubahan organisasi.385
Lebih detail, psikologis pegawai
terdiri dari beberapa unsur, seperti; harapan, optimisme, kepercayaan diri,
ketahanan psikologi386
dan emosi positif.387
Dengan begitu, pegawai dengan
modal psikologis yang positif dan emosi positif akan mendukung sikap dan
perilaku mengikuti perubahan organisasi lebih efektif dan positif.
low inforcement dengan pendekatan humanistik, seperti adanya
kedisiplinan, reward, kenaikan gaji, dan hadiah. Begitu juga sebaliknya
dengan adanya ketidakdisiplinan maka ada punishment tertentu dengan
tingkat ketidakdisiplinannya. Visi dengan teksline humanis menunjukkan
pegawai yang bekerja di UNSIQ bukan sebagai pekerja melainkan sebagai
pengabdi.388
Bukti empiris tambahan menunjukkan bahwa emosi positif dapat
menimbulkan pengambilan keputusan yang lebih baik389
dan berhubungan
positif dengan berbagai keberhasilan dan kesejahteraan.390
Dengan kata
lain, emosi positif dapat membantu karyawan mengatasi perubahan
organisasi dengan memperluas pandangan, mempertahankan pendekatan
terbuka untuk pemecahan masalah, dan memasok energi untuk
menyesuaikan perilaku mereka dengan kondisi kerja baru.391
Fredrickson
juga menambahkan peran emosi positif dapat menghindari pegawai dari
385
Gittell, J. H., Cameron, K., Lim, S., & Rivas, V. Relationships, layoffs, and
organizational resilience: Airline industry responses to September 11. The Journal of
Applied Behavioral Science, 42, 2006. 300-329.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0021886306286466 386
Luthans, F., Avolio, B., Avey, J. B., & Norman, S. M. Psychological capital:
Measurement and relationship with performance and job satisfaction. Personnel Psychology,
60, 2007. 541-572. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1744-
6570.2007.00083.x/full 387
Staw, B. M., Sutton, R. I., & Pelled, L. H. Employee positive emotion and
favorable outcomes at the workplace. Organization Science, 5, 1994. 51-71.
https://pubsonline.informs.org/doi/abs/10.1287/orsc.5.1.51 388
Wawancara dengan Kabiro Bapak Alm. Dr Abdul Kholiq, MA. pada 5 Juli
2017, pukul 09.30. di ruang Kabiro UNSIQ. 389
Chuang, S. C. Sadder but wiser or happier and smarter? A demonstration of
judgment and decision-making. Journal of Psychology, 141, 2007. 63-76.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.3200/JRLP.141.1.63-76 390
Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. The benefits of frequent positive affect:
Does happiness lead to success. Psychological Bulletin, 131, 2005. 803-855.
http://psycnet.apa.org/record/2005-15687-001 391
Baumeister, R. F., Gailliot, M. T., DeWall, C. N., & Oaten, M. Self-regulation
and personality: How interventions increase regulatory success, and how depletion
moderates the effects of traits on behavior. Journal of Personality, 74, 2006. 1773-1801.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1467-6494.2006.00428.x/full
Page 123
112
sikap negatif seperti sinisme terhadap perubahan organisasi.392
Karena
sinisme organisasi adalah suatu sikap individu393
terkait dengan emosi
negatif,394
maka esensi dari hipotesis kehancuran menyatakan bahwa emosi
positif pegawai yang tinggi diharapkan dimiliki lebih banyak daripada sikap
sinis mengenai perubahan organisasi. Karena sinisme adalah hasil dari
pengalaman negatif dan emosi,395
penelitian ini menyarankan bahwa sikap
sinis seperti terhadap perubahan organisasi akan dibatalkan atau dikurangi
oleh emosi positif. Hubungan kekeluargaan ini dapat memunculkan emosi
positif pegawai, seperti Urgensitas relasi interpersonal dalam membentuk
budaya organisasi yang kokoh sangat penting, ibarat UNSIQ adalah rumah
kita (setiap pegawai merasa memiliki lembaga) yang berdampak
meningkatnya kemakmurannya.396
Budaya juga bisa memiliki beberapa efek pada kepuasan kerja
pegawai. Studi lintas budaya telah menemukan bahwa pegawai di negara-
negara kolektif, terutama Jepang, melaporkan kepuasan kerja yang lebih
rendah secara keseluruhan.397
Sementara studi kepuasan kerja yang meresap
di masyarakat Barat, ada beberapa penelitian yang dilakukan mengenai hal
ini seperti pada organisasi Turki dan pengusaha. Hal ini telah ditetapkan
bahwa gaji, usia, jenis kelamin, absensi, usaha, konflik peran dan komitmen
yang terkait secara signifikan kepuasan kerja bagi karyawan Turki. Namun,
efek dari variabel budaya terhadap kepuasan kerja pekerja Turki tidak
dibahas dalam studi apapun. Dengan kata lain, penelitian ini adalah
penelitian pertama yang dirancang untuk menyelidiki hubungan antara
orientasi budaya terhadap kewirausahaan, seperti individualisme,
kolektivisme, jarak kekuasaan, paternalisme, penghindaran ketidakpastian,
dan kepuasan kerja para pekerja di UKM Turki.
Kepuasan atau ketidakpuasan dengan kondisi kerja adalah semacam
hasil dari kesesuaian antara harapan karyawan dan pimpinan. Bahkan, telah
menunjukkan bahwa kompatibilitas dari nilai-nilai yang terdapat pada
392
Fredrickson, B. L. The role of positive emotions in positive psychology: The
broaden-andbuild theory of positive emotions. American Psychologist, 56, 2001. 218-226.
http://psycnet.apa.org/record/2001-00465-003 393
Dean, J. W., Brandes, P., & Dharwadkar, R. Organizational cynicism. Academy
of Management Review, 23, 1998. 341-352. http://amr.aom.org/content/23/2/341.short 394
Andersson, L. M., & Bateman, T. S. Cynicism in the workplace: Some causes
and effects. Journal of Organizational Behavior, 18, 1997. 449-460.
http://www.jstor.org/stable/3100216 395
Pugh, S. D., Skarlicki, D. P., & Passell, B. S. After the fall: Layoff victims‟ trust
and cynicism in re-employment. Journal of Occupational and Organizational Psychology,
76, 2003. 201-212. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1348/096317903765913704/full 396
Wawancara dengan Kabiro Bapak Alm. Dr Abdul Kholiq, MA. pada 5 Juli
2017, pukul 09.30. di ruang Kabiro UNSIQ. 397
Lincoln, James R., bnada, Mitsuyo, and Olson, Jon. Cultural orientations and
individual reactions to organizations: A study of employees of Japaneseowned firms.
Administrative Science Quarterly, 26, 1981. 93-115.
http://www.jstor.org/stable/2392603?seq=1#page_scan_tab_contents
Page 124
113
individu dan nilai-nilai organisasi dapat menyebabkan penyesuaian,
kepuasan kerja, dan komitmen organisasi. Hal ini terkait, keadaan
psikologis kritis bertanggung jawab untuk meningkatkan kepuasan kerja,
motivasi kerja internal, kinerja dan mengurangi adanya dan pergantian
karyawan. Model ini mengasumsikan bahwa otonomi dan umpan balik
yang lebih penting daripada karakteristik pekerjaan, dan bahwa individu
dengan pertumbuhan yang lebih tinggi membutuhkan kekuatan (yaitu
keinginan untuk tantangan dan pengembangan pribadi) akan merespon
lebih positif untuk pekerjaan diperkaya daripada yang lain. Untuk tujuan
ini, perpanjangan untuk pekerjaan desain telah diusulkan yang akan
membantu organisasi dan pegawai untuk bertahan di dalam organisasi yang
bergejolak.
Adler menyatakan bahwa sistem di mana pegawai melaporkan
persepsi yang lebih tinggi dari berbagai keterampilan, tugas utama,
kewenangan, dan kritikan melaporkan tingkat kepuasan dan motivasi kerja
internal.398
Begitu juga, Lohr et al. menemukan hubungan antara
karakteristik pekerjaan dan kepuasan kerja dan juga menemukan bahwa
hubungan itu kuat bagi karyawan yang tinggi dalam pertumbuhan
membutuhkan kekuatan. Penelitian lain dilakukan oleh Morrison et al.
menemukan bahwa desain pekerjaan yang menyediakan tingkat kontrol
yang tinggi karyawan juga memberikan kesempatan peningkatan untuk
pengembangan dan latihan keterampilan.399
Juga, pengaruh mediasi
pemanfaatan keterampilan dirasakan pada kontrol pekerjaan kepuasan kerja
telah diamati.
Orientasi pasar telah terbukti berhubungan positif dengan kepuasan
kerja pegawai400
dan komitmen pegawai.401
Selain itu, penelitian
mendukung bahwa orientasi pelanggan menyediakan organisasi dengan
pemahaman yang lebih baik dari pelanggan, yang menyebabkan
peningkatan kinerja baik pada individu pegawai dan tingkat organisasi.402
Satu kata kunci terakhir dalam pemberdayaan pegawai ini, yakni kata
398
Nancy J. Adler and Mariann Jelinek, Is ‟‟Organhation Culture” Culture Bound,
Human Resource Management, Spring 1986, Vol. 25, Number 1. 73-90
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/hrm.3930250106/full 399
Morrison, D., Cordery, J., Girardi, A. and Payne, P. “Job design, opportunities
for skill utilization, and intrinsic job satisfaction”, European Journal of Work and
Organizational Psychology, Vol. 14 No. 1, 2005. 59-79.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13594320444000272 400
Bateman, Thomas S. and DennisW. Organ. “Job Satisfaction and the Good
Soldier: The Relationship Between Affect and Employee Citizenship.” Academy of
Management Journal 36: 1983. 587-595. http://amj.aom.org/content/26/4/587.short 401
Jaworski, Bernard J. and Ajay K. Kohli. “Market Orientation: Antecedents and
Consequences.” Journal of Marketing 57 (July): 1993. 53-70.
http://www.jstor.org/stable/1251854?seq=1#page_scan_tab_contents 402
Appiah Adu, Kwaku. “The Impact of Marketing Mix Decisions on Performance:
A Study of Foreign and Domestic Firms in a Liberalized Economy.” Journal of Global
Marketing 13 (2): 1999. 7-30. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1300/J042v13n02_02
Page 125
114
“santun” yang ditanamkan oleh para pendahulu UNSIQ, tetapi tidak
diartikan senyam senyum agar terlihat baik. budaya santun artinya budaya
berhati-hati dan tidak menunjukkan tidak kasar dalam bertutur kata karena
adanya kehalusan budi dan pengendalian diri. Misalnya ketika ada kritikan
dan masukan untuk salah satu pegawai maka sikap yang muncul dalam
meresponnya beragam ada yang reflek marah atau tidak, dengan demikian
kita bisa menilai budaya santun pegawai tersebut. Budaya santun juga akan
berdampak pada kemampuan pegawai memberikan apresiasi terhadap orang
lain, jadi budaya santun perlu ditambahkan dari senyum salam sapa
dilanjutkan menjadi ramah tamah.
2. Peningkatan kompetensi Pegawai UNSIQ
Manajemen pegawai merupakan bagian penting dari tanggung
jawab setiap pemimpin, sehingga pemimpin harus mempertimbangkan
pegawai sebagai aset paling berharga dari sebuah organisasi. Untuk
mempromosikan pemikiran dan ide-ide baru, diperlukan strategi yang tepat
dari pemberdayaan SDM dan desain pekerjaan. Harus ada perencanaan
tenaga kerja yang tepat. Pegawai harus dipilih sesuai dengan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang tepat untuk pekerjaan yang akan
dilakukan. Terlepas dari ini, pegawai harus diberikan pelatihan yang tepat
sehingga dapat meningkatkan tingkat pengetahuan mereka, yang akan
memotivasi mereka untuk melakukan hal terbaik. Perubahan organisasi juga
harus dilakukan untuk kebijakan organisasi untuk mempertimbangkan
manfaat pegawai sehingga pegawai mendapatkan keuntungan dari
kontribusi untuk mencapai tujuan organisasi. Pegawai harus dievaluasi
setiap tahun berdasarkan kinerja mereka, dan pegawai yang berprestasi
harus diapresiasi dengan peningkatan tanggung jawab dan aktualisasi, yang
mengarah pada peningkatan motivasi. Akhirnya, tingkat interaksional harus
ditingkatkan dengan penciptaan kelompok informal sehingga dapat
memenuhi tuntutan sosial dan memotivasi pegawai sebagai representasi
kolektif organisasi. Secara organisasi dijelaskan motivasi terhadap kinerja
pegawai di UNSIQ dikelola melalui ssstem dan regulasi yang jelas, namun
dalam prosesnya ditemu hambatan dan itu bisa menjadi tantangan mencari
peluang meraih keberhasilan.403
UNSIQ dengan proses peningkatan inovasi, perampingan dan
pemutusan kontrak kerja yang terjadi, dan untuk membuat penggunaan
optimal dari pegawai, fleksibilitas harus diinduksi dalam profil pekerjaan
pegawai. jadwal yang fleksibel, jadwal kerja dikompresi, pembagian kerja,
dan telecommuting harus diperbolehkan dalam organisasi sehingga untuk
memanfaatkan secara optimal waktu dan tenaga kerja, sehingga
meningkatkan produktivitas dan kinerja secara keseluruhan. Terlepas dari
membawa fleksibilitas jam kerja, karyawan harus didorong untuk
menghasilkan ide-ide baru dan bijaksana sehingga untuk memecahkan
403
Wawancara dengan Wakil Rektor 2, H. Mahfudz, MA. pada 12 September
2017, pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 2 UNSIQ.
Page 126
115
berbagai masalah organisasi dan membuat pekerjaan mereka lebih menarik,
melibatkan, dan secara pribadi menantang, dan karenanya mengarah ke
peningkatan motivasi intrinsik.
Ilmu manajemen ialah disiplin baru yang muncul sebagai salah satu
dimensi utama dalam meningkatkan kinerja karyawan. Dalam skenario ini
persaingan bergolak, dengan manajemen sumber daya manusia, hal itu telah
menjadi penting dalam banyak aspek untuk mengelola pengetahuan yang
tersedia untuk memenuhi tujuan organisasi dan tuntutan. Pengetahuan
dalam perspektif desain pekerjaan adalah manusia dengan menggunakan
kekuatan otak, pengalaman, keterampilan dan kompetensi. Ilmu manajemen
melibatkan penciptaan pengetahuan dan pengetahuan digunakan dalam
proses pengambilan keputusan. Ilmu manajemen melibatkan interaksi
manusia dan sosial, di mana pengetahuan yang tersedia secara mental
diproses, diinterpretasikan, dan diterapkan di tempat kerja. Untuk ini,
seorang pegawai harus termotivasi untuk menerapkan pengetahuan mereka,
kemampuan dan keterampilan untuk pencapaian tujuan organisasi. Terlepas
dari ini, untuk tujuan mengelola pengetahuan dan memotivasi pegawai
untuk kinerja maksimal, begitu juga psikologi pegawai perlu diperhatikan
sehingga ada kemudahan dalam melakukan pekerjaan mereka sendiri.
interaksi bebas dan informal antara pimpinan dan pegawai untuk berbagi
pengetahuan harus diwujudkan dan didukung. Ilmu manajemen juga akan
menyebabkan hasil proaktif atau kinerja. Setelah penyebaran pengetahuan,
pemanfaatan dan akuisisi yang diperlukan secara linear, organisasi
pembelajaran dapat dibuat, dimana ide-ide dan pemikiran baru
dikembangkan, diinterpretasikan, dan diimplementasikan dan pengetahuan
ditransformasikan seluruh sistem dengan tujuan untuk mencapai tujuan
organisasi secara efisien dan menciptakan otonomi pekerjaan, sehingga
memotivasi pegawai mencapai kinerja yang tinggi.
Budaya organisasi melibatkan proses sosialisasi, pemberdayaan
psikologis, dan spiritualitas di tempat kerja. Memotivasi pegawai terhadap
kinerja tinggi sangat dipengaruhi oleh ketepatan budaya dalam organisasi.
Sosialisasi harus diinduksi dalam organisasi, ini dapat dicapai melalui
interaksi sosial antara pegawai dan pimpinan, di mana informasi yang
dikumpulkan mudah berbagi dan disebarluaskan. Juga, pegawai memiliki
kesempatan beradaptasi, menciptakan budaya kepercayaan dan
keterbukaan. Kemudian spiritualitas di tempat kerja,404
menandakan
pegawai memiliki pemikiran, semangat dan berupaya meraih arti dan
keberkahan dalam perkerjaanya, dan keinginan berkomunikasi atau
berinteraksi sebagai warga organisasi tersebut, sehingga membuat
pekerjaan mereka lebih berarti dan memotivasi pegawai tampil di level
tinggi dengan tujuan untuk pengembangan pribadi dan sosial. Juga
pertimbangan faktor internal organisasi dalam merancang tugas, dapat
404
Ashmos, D.P. and Duchon, D. “Spirituality at work: a conceptualization and
measure”, Journal of Management Inquiry, Vol. 9 No. 2, 2000. 134-45.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/105649260092008?journalCode=jmia
Page 127
116
dilihat bahwa mengikuti strategi manajemen yang tepat akan membantu
dalam penciptaan kesempatan untuk pengembangan karir, akuisisi
keterampilan dan kreativitas bagi pegawai. Selain itu, Evaluasi kinerja akan
membantu pegawai untuk mengetahui tingkat motivasi mereka dan
melakukan upaya untuk memperbaiki kinerja mereka. Dalam waktu normal
pegawai UNSIQ dengan sifat agresivitas dan emosionalnya tentunya tidak
diperlukan, namun dalam kondisi tertentu agresivitas dan emosional
diperlukan dengan pengelolaan organisasi yang baik.405
Pemberdayaan adalah strategi yang efektif untuk mempromosikan
keahlian. Ini menciptakan lingkungan yang efektif dan aman di mana
individu dapat memperoleh keterampilan. Yang penting, pemberdayaan
memberikan kesempatan bagi pegawai untuk menerapkan keterampilan
baru, yang kemungkinan akan memperkuat nilai-nilai pengembangan
pribadi. Hal ini dapat dianggap sebagai cara yang efektif untuk
meningkatkan keterampilan dan dapat dianggap sebagai strategi yang
efektif untuk mengelola pengetahuan dalam dua hal; (1) penyediaan sistem
informasi dan dukungan dari para ahli teknis merupakan praktek yang
sistematis untuk menyebarluaskan pengetahuan melalui organisasi; dan (2)
meningkatkan tanggung jawab pengambilan keputusan memiliki potensi
untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan, terlihat dari
pengalaman pribadi mereka dan ide-ide untuk meningkatkan efektivitas
sistem kerja.
Perubahan organisasi yang meningkatkan aliran informasi
horizontal dan memberdayakan pegawai untuk membuat keputusan sangat
penting untuk mendapatkan manfaat dari setiap inovasi atau perubahan.406
Kavanaugh menunjukkan bahwa perilaku pemimpin, seperti mendengarkan
sepenuhnya dan memberikan pengakuan positif tentang upaya pegawai
pada kontribusinya selama proses perubahan, akan menentukan bagaimana
individu menanggapi proses.407
Bass menyatakan bahwa kepemimpinan
transformasional adalah kunci untuk menjelaskan bagaimana budaya
organisasi diciptakan dan dipelihara.408
Reaksi afektif pegawai untuk
mengubah secara signifikan berhubungan dengan perilaku kepemimpinan
transformasional seperti menginspirasi orang lain dan menciptakan
405
Wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, MA. pada 21 Agustus
2017, pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 406
Zammuto, R. F., B. Gifford and E. A. Goodman. 'Managerial ideologies,
organizational culture, and the outcomes of innovation'. 2000. In: N. M. Ashkanasy and C.
P. M. Wilderom (chair), New perspectives on assessing and using the organization-culture in
organization science. Symposium conducted at the meeting of the Academy of Management,
Vancouver, BC. https://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:277730 407
Fishman, N. and L. Kavanaugh. 'Searching for your missing quality link',
Journal for Quality and Participation, 12, 1989. 28–32. 408
Bass, B. M. and B. J. Avolio. Improving Organizational Effectiveness through
Transformational Leadership. Sage, Thousand Oaks CA. 1994.
Page 128
117
kemudian mengkomunikasikan visi dan misi.409
Beberapa alasan
mendukung harapan bahwa kepemimpinan transformasional akan
meningkatkan kemampuan karyawan untuk menerima perubahan. Pertama,
pemimpin transformasional melampaui bertukar perjanjian kontrak untuk
kinerja yang diinginkan oleh aktif terlibat sistem nilai pribadi pengikut.410
Kedua, pemimpin transformasional berfungsi sebagai model peran untuk
merangsang pengikut untuk berpikir tentang metode yang ada dengan cara
baru dan mendorong mereka untuk menantang nilai-nilai mereka sendiri,
tradisi dan kepercayaan.411
Dalam kehidupan organisasi setiap aktivitas
pasti ada resikonya karena itu diupayakan memanaj resiko menjadi
kesempatan dan keragaman pada situasi yang ambigu atau berhadapan
dengan resiko dan situasi yang ambigu.412
Kemp menyimpulkan bahwa keberhasilan pelaksanaan program-
program baru tergantung pada kemampuan pemimpin untuk menyebarkan
informasi tentang perubahan dan meyakinkan pegawai tentang urgensinya
perubahan.413
Identifikasi Judson pada berbagai teknik pemimpin
mempekerjakan atau resistensi terhadap perubahan, termasuk ancaman dan
paksaan, kritik, persuasi, bujukan dan manfaat, kompromi dan tawar,
jaminan terhadap kerugian pribadi (misalnya, menawarkan keamanan
pekerjaan atau pelatihan kembali kepada pegawai), dukungan psikologis,
partisipasi pegawai, upacara dan upaya lain untuk membangun loyalitas,
pengakuan kelayakan dan legitimasi praktik masa lalu, dan implementasi
secara bertahap dan fleksibel perubahan.414
Rossotti menceritakan proses
yang berkesinambungan dari pertemuan dengan semua jenis stakeholder
dan pegawai.415
2. Relasi Interpersonal Sebagai Bargaining Jaringan Regional UNSIQ
Budaya organisasi di UNSIQ adalah perilaku, nilai, dan asumsi dasar
warga UNSIQ yang tercermin dari keberanian mengambil resiko, agresifitas
409
Avolio, B. J. and B. M. Bass. Manual for the Multifactor Leadership
Questionnaire (Form 5X). Mindgarden, Redwood City, CA. 2002. 410
Gardner, W. L. and B. A. Avolio. 'The charismatic relationship: A dramaturgical
perspective', Academy of Management Review, 23, 1998. 32–58.
http://amr.aom.org/content/23/1/32.short 411
Hater, J. J. and B. M. Bass. 'Superiors evaluations and subordinates' perceptions
of transformational and transactional leadership', Journal of Applied Psychology, 73, 1988.
695-702. http://psycnet.apa.org/fulltext/1989-13808-001.html 412
Wawancara dengan Kabiro Alm. Dr. A. Kholiq, MA. pada 5 Juli 2017, pukul
09.30. di ruang Kabiro UNSIQ. 413
Kemp, Evan J ., Jr. , Robert J . . Funk , and Douglas C . Eadie. Change in
Chewable Bites: Applying Strategic Management at EEOC . Public Administration Review
53 ( 2 ): 1993. 129-134. http://www.jstor.org/stable/976705?seq=1#page_scan_tab_contents 414
Judson, Arnold S. Changing Behavior in Organizations: Minimizing Resistance
to Change . Cambridge, MA : Blackwell. 1991. 415
Rossotti, Charles O. Many Unhappy Returns. Boston: Harvard Business School
Press. 2005.
Page 129
118
organisasi, dan perlakuan organisasi terhadap pelanggan organiasi tersebut.
Ketiga karakteristik tersebut diharapkan dapat menjadi strategi organisasi yang
dapat meningkatkan kinerja organisasi.416
Integrasi berfungsi mengukur kemampuan organisasi untuk mensuport
kelompok-kelompok organisasi beroperasi melalui cara-cara yang terkoordinir
dengan baik. Dan integrasi dimaknai sebagai proses penyesuaian diantara
unsur-unsur yang berbeda dalam organisasi sehingga menghasilkan pola
organisasi yang memiliki keserasian fungsi. Dengan kata lain suatu keadaan
dimana individu-individu beradaptasi dengan lingkungan organisasi, namun
masih tetap mempertahankan karakteristik mereka masing-masing. Secara
khusus Schein merincikan pola budaya organisasi yang berasal dari filosoi
organisasi untuk dijadikan media dalam menyelesaikan masalah adaptasi
eksternal maupun integrasi internal.417
David juga menegaskan, dimana budaya
organisasi sebagai model prilaku organisasi yang digunakan untuk adaptasi
eksternal dan integrasi internal para pegawai senior dan kemudian
ditransormasikan pada pegawai yunior.418
Beberapa nilai budaya yang menjadi pedoman di UNSIQ seperti nilai-
nilai budaya akademik dan budaya qur‟ani diimplementasikan dengan sungguh-
sungguh agar terbentuk budaya organisasi yang kokoh, seperti nilai budaya
organisasi yang positif ditaati warga UNSIQ terutama untuk mengatasi berbagai
masalah dalam adaptasi eksternal dan integrasi internal.419
Edgar H Schein mengemukakan bahwa budaya organisasi ialah
seperangkat asumsi dasar atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi
anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal.420
Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi external
adaptation tasks adalah (1) misi (core mission); (2) tujuan (spesific goals); (3)
sarana dasar (basic means); (4) pengukuran keberhasilan (how measure
results); dan (5) strategi cadangan (remedial strategies). Indikator untuk
mengukur dimensi internal integration tasks, meliputi (1) bahasa yang sama
(common language); (2) bpemimpin dalam kelompok (group boundaries); (3)
penempatan status/kekuasaan (status/ power allocation); (4) hubungan dalam
kelompok (pear relationships); (5) penghargaan (rewards); dan (6) bagaimana
mengatur yang sulit diatur (managing the unmanageable). Sedangkan untuk
mengukur dimensi basic underlying assumptions, indikator yang digunakan
416
Wawancara dengan Wakil Rektor 2, H. Mahfud, M.Ag. pada 12 September
2017, pukul 09.00. di ruang Wakil Rektor 2 UNSIQ. 417
Schein, E.H. Organizational Culture and Leadership. (San Francisco: John
Wiley & Sons, Inc. 2004). 17. Lihat juga Yio Cheki, Budaya Perusahaan Cina, Majalah
Usahawan, 1996. 15. 418
David, Fred. R, Manajemen Strategis, Konsep. Edisi Ketujuh, Alih Bahasa
Alexander Sindoro, (Jakarta: Prehallindo, 2004). 419
Wawancara dengan dosen UNSIQ Dr Robingun Suyud El-Syam, M.Pd. pada 1
Oktober 2017, pukul 16.00. di Kediaman Bapak Dr. Robingun Suyud El-Syam, M.Pd. 420
Schein, E.H. Organisational Culture and Leadership. (San Fransis-co: Jossey-
Bass Publisher. 1985). 21.
Page 130
119
adalah (1) hubungan dengan lingkungan (relationship to environment); (2)
hakikat kegiatan manusia (nature of human activity); (3) hakikat kenyataan dan
kebenaran (nature of relity and truth); (4) hakikat waktu (nature of time); (5)
hakikat keberadaan manusia (nature of human nature); (6) hakikat hubungan
antar manusia (nature of human relationships); dan (7) homogenitas versus
heterogenitas (homogenity vs heterogenity).
Pada dimensi internal integration tasks, status sebagai institusi
pendidikan yang melaksanakan fungsinya memberikan kekuatan tersendiri
berupa ketentuan-ketentuan yang memungkinkan tercapainya integrasi internal
dan konsep-konsep yang menjadi bahasa bersama. Sebagaimana dipertahankan
oleh para pimpinan UNSIQ tentang asumsi kebijakan yang dikeluarkan;
“berbagai kebijakan yang ditetapkan tidak menjadikan UNSIQ menjadi
organisasi yang kaku karena diikuti dengan proses integrasi yang berlangsung
cepat dan tidak ada pembedaan tingkat. Persepsi bahwa UNSIQ adalah
organisasi yang terbuka, kreatif, ramah, bersih, dan inovatif juga merupakan
kekuatan tersendiri yang harus dikembangkan”421
Kekuatan lain dari dimensi integrasi internal adalah memperlakukan
kesalahan atau kegagalan dengan mencari akar masalahnya, bukan pada
orangnya. Penggunaan penghargaan terutama berupa pujian atas keberhasilan
sebagai bentuk heroic culture patut dipertahankan. Namun hal ini memiliki
kelemahan, yaitu tidak dapat menimbulkan efek jera atau koreksi diri bagi
pegawai yang melakukan kesalahan atau gagal dalam melaksanakan tugas. Oleh
karena itu, mekanisme pemberian sanksi juga perlu dipertegas dan dijalankan
dengan tetap menghargai kehormatan individu, misalnya dengan menerapkan
“put in the penalty box”.
Eektivitas budaya organisasi terletak pada konsistensi dan integrasi
pemikiran dan prilaku anggota organisasi sehingga tercapai tujuan organisasi
dan setiap kegiatan terkoordinir dengan baik. Konsistensi adalah kemampuan
anggota organisasi memegang teguh nilai dan keyakinan organisasi. Namun
konsistensi dalam organisasi juga tidak mudah dikoordinir dan diintegrasikan
pada berbagai kelompok didalam organisasi. Surat Ali Imron ayat 112
berbunyi:
ي لمثٱهغني ضبج وايأ ثقف لناسٱويلوحت للٱويلبت إلا
Artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia”
Ayat tersebut menunjukkan perintah Allah Swt kepada Ahli Kitab agar
berpegangan pada din Allah dan aturan-aturan-Nya. Dijelaskan kepada manusia
betapa pentingnya beragama dan menjalankan kebragamaannya karena tidak
421
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Dr. KH Muchotob Hamzah MM. pada 23
Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 131
120
ada hal yang dapat menyelamatkan manusia dari kehinaan kecuali agama dan
syariat agama.422
Integrasi internal terkait dengan beberapa aspek,423
aspek bahasa dan
konsep, penting kiranya setiap individu memahami banyak wawasan tentang
bahasa agar tidak merasa kesulitan dalam berinteraksi, sedangkan batas
kelompok bisa dengan mudah dipahami dari spesifikasi pekerjaan namun tetap
tidak boleh untuk melampaui batas-batas tersebut. Kedua isu tesebut menjadi
prioitas UNSIQ untuk menentukan kesamaan dan etika dalam berbahasa, dalam
arti anggota organisasi bisa menggunakan bahasa sesuai latabelakangnya tetapi
penggunaan bahasa yang bersifat sopan santun dan jelas. Dengan cara
demikian, pegawai UNSIQ mampu secara otomatis memahami teman sesama
UNSIQ maupun teman dari luar UNSIQ.
Kemudian juga terkait kekuasaan atau otonomi kewenangan yang
dimiliki harus dihormati dan dihargai, dan yang terakhir adalah imbalan yang
diibaratkan sebagai pemantik motivasi kerja anggota organisasi. Dan juga
terkait norma sosial, kasih sayang dan persahabatan. Disinilah letak pentingnya
nilai-nilai qur‟ani yang melandasi terciptanya relasi interpesonal yang positif
diantara pegawai UNSIQ. Kontrol organisasi yang dilakukan juga akan sangat
mudah dilakukan karena hubungan kekeluargaan yang tercipta dari
pengaplikasian konsep relasi intepesonal tersebut.
Selanjutnya isu rewards dan punishment, dan terakhir isu idiologi.
Kembali pada konsep hofstede, konsep tentang ketidakpastian masa depan perlu
diperjelas kembali. Langkah UNSIQ untuk menanggulangi hal ini, adalah
kepastian promosi jabatan atau karir, motivasi untuk melanjutkan studi,
penghargaan terhadap setiap upaya pegawai meningkatkan kualitas pelayanan
dan pendidikan di UNSIQ.
Hakikat budaya organisasi adalah hablun mina Allah dan hablun minan
Naas, sebagai 2 faktor pembentuk budaya organisasi. Zamakhsyari
menambahkan “dan berkumpullah atas apa yang kamu minta dengan Allah dan
kekuatanmu dengan-Nya, dan janganlah berpisah dari-Nya. Atau berkumpullah
dengan pegangan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya yaitu keimanan dan
ketaatan”. Nilai dari hablum min allah dan hablum minan naas yakni bersatunya
individu atau kelompok dalam organisasi atau integrasi internal. Bentuk-bentuk
yang ditampilka dari ayat diatas dapat dipahami bahwa untuk menguatkan
organisasi dibutuhkan persamaan tujuan, persamaan strategi, persamaan asumsi
dasar, demikian itu semua disebut budaya organisasi. Sehingga, dengan itu
semua menjaga life cyfcle organisasi atau kelompokf
Integrasi dapat diartikan bagaimana unit-unit di dalam organisasi
didorong untuk menjalankan kegiatanya dalam satu koordinasi yang baik, yaitu
seberapa jauh keterkaitan dan kerjasama ditekan dan seberapa dalam rasa saling
ketergantungan antar sumber daya manusia ditanamkan. Budaya organisasi
422
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Ar-Rahman
bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, (Beirut: Daru Shaadir, 2003). 64. 423
Schein, E.H. Organizational Culture and Leadership. (San Francisco; John
Wiley & Sons, Inc. 2004).
Page 132
121
yang kuat merupakan kunci kesuksesan sebuah organisasi. Budaya organisasi
mengandung nilai-nilai yang harus dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan bersama
oleh semua individu/kelompok yang terlibat didalamnya. Budaya organisasi
yang berfungsi secara baik, mampu untuk mengatasi permasalahan adaptasi
eksternal dan integrasi internal dan apabila organisasi dapat mengadaptasi
budaya organisasi dengan baik, mafka organisasi akan berjalan fdengan baik
karena organisasi bergerak seirama dengan budaya yang berlaku didalamnya.
Perguruan tinggi sebagai suatu organisasi harus memiliki: (a)
kemampuan untuk hidup,tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan
berbagai lingkungan yang ada, dan (2) integrasi internal yang memungkinkan
perguruan tinggi untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan melakukan adaptasi
dengan berbagai lingkungan yang ada. Oleh karenanya suatu organisasi
termasuk perguruan tinggi harus memiliki pola asumsi-asumsi dasar yang
dipegafng bersama seluruh warga sekolah. Dalam kaitan dengan kultur
sebagaimana pengetian di atas maka kultur sekolah merupakan pola dasar,
asumsi, sistem nilai-nilai keyakinan dan kebiasaafn-kebiasaan serta berbagai
bentuk produk di sekolah yang akan mendorong semua warga kampus untuk
bekerjasama yang didasarkan saling percaya mempercayai, mengundang
partisipasi seluruh warga, mendorofng munculnya gagasan-gagasan baru, dan
memberikan keempatan untuk terlaksananya pembaharuan di perguruan tinggi
menuju kualitas yang terbaik.
Langkah-langkah yang dilakukan UNSIQ untuk beradaptasi terhadap
lingkungan eksternalnya dan mempertahankan kelangsungan hidup organisasi;
pertama mempferoleh pemahaman yang dibagi berkaitan dengan misi inti,
tugas pokok, dan fungi yang terlihat maupun tidak dari keberadaan organisasi.
kedua membangun konsensus terhadap tujuan-tujuan yang berasal dari misi inti
organisasi. ketiga membangun konsensus terhadap cara-cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan, seperti struktur organisasi, pengelompokan
pekerja, system reward dan system kekuasaafn. keempat membangun konsensus
terhadap kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengukur bagaimana baiknya
kelompok bekerja untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, seperti system
informasi dan pengendalian. kelima membangun konsensus terhadap ketepatan
dari tindakan perbaikan atau strategi perbaikan yang digunakan jika tujuan-
tujuan tidak terpenuhi.424
Pada akhirnya, orientasi jangka panjang UNSIQ terhadap
peningkatan setiap aspek organisasi termasuk aspek ekonomi, harus
berdasarkan agama, walaupun dengan adanya statemen tidak ada
larangan dalam hal itu, namun tentu dengan konsekuensi sesuai dengan
bpemimpin dan arahan al-Qur‟an. Dengan demikian profit yang
dijalankan harus disesuaikan dengan keseimbangan, ayat tentang
424
Analisis kegiatan UNSIQ dalam proses komunikasi dengan pihak luar
Universitas, Diadaptasi dari Schein, E.H. Organizational Culture and Leadership. (San
Francisco: John Wiley & Sons, Inc. 2004).
Page 133
122
mizan425 dengan menggunakan teori equilibrium, segala hal bisa profit
atau tidak berbasis keseimbangan. Bisa jadi seseorang bekerja
professional tetapi tidak profit karena melihat adanya keseimbangan,
seperti adanya seorang dokter atau ahli lainnya yang bekerja tidak ingin
dihargai dengan materi karena dia melihat butuh sesuatu pengabdian
pada pengguna jasa itu, tetapi dia paham jasanya itu harus dilihat profit
dengan melihat keseimbangan keluarganya atau yang lainnya, maka yang
seperti itu tidak bisa dikatakan salah.426 Budaya yang bersifat profit
diwujudkan dari kekuatan anggaran yang bersumber dari mahasiswa dan
pemerintah daerah, provinsi (APBD dan APBN), pendampingan usaha
(minimarket), trevel transportasi, mini bank, bengkel dan laboratorium
akademik. Dan Budaya yang bersifat profit diwujudkan dari penawaran
beasiswa.427
3. Relas interpersonal sebagai Asas Pengembangan Mutu Dosen
Manajemen organisasi perlu memberikan lebih banyak kesempatan
untuk pemberdayaan dosen. Di sisi lain, para dosen juga harus menggunakan
kewenangan yang diberikan dengan bijaksana. Sangat mudah untuk berbicara
tentang pemberdayaan, namun untuk benar-benar membuat kenyataan adalah
tantangan lain. Para dosen sendiri harus memiliki kesadaran tentang perlunya
bagi mereka untuk berubah. Mereka juga perlu diberi kesempatan agar mereka
bisa menyadari bahwa mereka bisa melakukan perubahan jika mereka ingin dan
diberikan kebebasan untuk melakukan perubahan tersebut.
Dalam pengelolaan lembaga, ada keragaman besar dalam hal latar
belakang sosial-budaya, politik, agama, dan ras diantara dosen. Keragaman ini,
dengan hadirnya hubungan dosen yang tepat dapat menciptakan lingkungan
perguruan tinggi yang mempersiapkan dosen untuk hidup dan bekerja secara
nyaman dalam kondisi sosial-budaya yang beragam. Hal ini juga
mempersiapkan para dosen untuk menghadapi peningkatan persaingan dunia
akademik yang kompleks. Selain itu, hubungan interpersonal dalam keragaman
memungkinkan untuk regenerasi, kemajuan dan penyebaran pengetahuan
sebagai salah satu karakteristik misi utama pendidikan. Adapun, hubungan yang
sehat antara dosen dan mahasiswa dapat mempengaruhi integrasi akademik,
personal dan sosial mahasiswa dalam pendidikan tinggi. Hal ini dapat dikaitkan
dengan fakta bahwa hubungan dosen dengan mahasiswa baik di dalam dan di
luar kelas sangat penting memunculkan motivasi dan keterlibatan mahasiswa
dalam segala aspek kehidupan akademis. UNSIQ menyadari bahwa civitas
akademik memainkan peran urgen untuk pengelolaan perguruan tinggi.
425
QS Ar-Rohman ayat 7-9 426
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Bapak Dr. KH Muchotob Hamzah. MM.
pada 23 Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ. 427
Wawancara dengan Kabiro Bapak Alm. Dr. Abdul Kholiq, MA. pada 6
Nopember 2017, pukul 11.00. di ruang Kabiro UNSIQ.
Page 134
123
Berdasarkan atas hal tersebut, UNSIQ berusaha mengelola SDM secara
profesional.
Sebagaimana dibuktikan oleh bapak kabiro; Terkait hal tersebut,
UNSIQ memberikan pedoman tertulis bagi warga UNSIQ yaitu Buku Pokok-
Pokok Kepegawaian. Di dalam pedoman tersebut diatur berbagai hal terkait
dengan pengelolaan SDM: perencanaan rekrutmen, seleksi, penempatan,
pengembangan karir, penghargaan, dan saksi. Semua proses dilakukan secara
transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan. Sumber daya manusia di
UNSIQ dibedakan menjadi dua; dosen dan tenaga kependidikan. Proses
pengelolaan diantara keduanya memiliki persamaan dan perbedaan.428
Berdasarkan hasil penelitian, perencanaan rekruitmen dilakukan secara
cermat dan berjenjang. Rekrutmen didasarkan kepada kebutuan pengembangan
UNSIQ di masa depan agar visi, misi, tujuan, dan strategi yang telah ditetapkan
dapat tercapai dengan baik. Dengan demikian diharapkan tenaga kependidikan
dan dosen yang terpilih memiliki kualifikasi yang diinginkan oleh UNSIQ
dantidak terjadi kekurangan atau kelebihan dosen dan administratif.
Perencanaan rekrutmen dimulai di unit-unit kerja yang ada di UNSIQ. Unit-unit
berhak merencanakan kebutuan SDM yang dibutuhkan dan mengusulkan ke
rektor melalui rekomendasi kepala unit kerja masing-masing. Perencanaan
penambahan dosen atau tenaga kependidikan didasarkan atas beberapa indikator
seperti jumlah mahasiswa yang diterima setiap tahun, jumlah lulusan,
penambahan prodi atau pengembangan unit kerja baru. Semua didasarkan
kajian mendalam dan masukan dari berbagai pihak baik internal maupun
eksternal. Rektor dan yayasan membentuk tim yang mengkaji tentang usulan
penambahan SDM yang diusulkan oleh unit-unit kerja. Hasil kajian diberikan
kepada rektor. Formasi rekruitmen tetap menjadi wewenang rektor dan yayasan.
Sistem rekrutmen pegawai UNSIQ berdasarkan kepada Buku Pokok-
Pokok Kepegawaian. Proses rekruitmen pegawai UNSIQ didasarkan atas
prinsip netral, objektif, bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan
transparant. Ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa indikator dalam
system rekrutmen tersebut, antara lain; formasi rekruitmen didasakan atas
kebutuhan, setiap WNI yang memenuhi syarat berhak mengikuti seleksi, seleksi
tidak dipungut biaya apapun, pengumuman seleksi diumumkan secara luas
kepada masyarakat, hasil seleksi diumumkan secara terbuka dan tidak sedang
tersangkut kasus pidana. Setelah calon dosen dinyatakan lulus, maka akan
diangkat oleh Rektor sebagai calon dosen tetap dan wajib menjalani masa
percobaan minimal selama satu tahun dan maksimal selama dua tahun. Mereka
akan ditempatkan di unit-unit yang mengusulkan. Apabila selama masa
percobaan memenuhi persyaratan yang diminta UNSIQ, maka mereka dapat
diangkat menjadi dosen tetap. Sebaliknya, jika tidak memenuhi, mereka
diberhentikan dengan hormat.
Saat ini UNSIQ mempunyai dosen tetap sebanyak 217 orang dan
tenaga kependidikan sebanyak 81 orang. Untuk mengembangkan karir dosen,
428
Wawancara dengan Kabiro Alm. Dr. A. Kholiq, MA. pada 5 Juli 2017, pukul
09.30. di ruang Kabiro UNSIQ.
Page 135
124
UNSIQ melaksanakan pengembangan karir dalam bentuk pelatihan dan
pendidikan. Sedangkan tenaga kependidikan selain dalam bentuk pelatihan dan
pendidikan juga melalui promosi jabatan struktural. Adapun pembinaan civitas
akademik UNSIQ secara gradual dilakukan oleh pihak universitas. Model
pembinaan antara lain dilakukan secara selektif dan berkelanjutan. Salah satu
contoh dari pembinaan internal adalah pembinaan disiplin dan kinerja setiap
hari senin dan pembinaan agama setiap hari Jum‟at, rapat pimpinan setiap awal
bulan, rapat koordinasi pimpinan unit setiap semester, Qur‟anic Spiritual
Building (QSB) setiap semester dan rapat kerja tahunan. Sementara pembinaan
eksternal meliputi studi lanjut S2 dan S3, seminar, pelatihan, workshop, studi
banding dan lainnya. Dosen yang akan studi lanjut S2 dan S3 harus
berkoordinasi dan mendapat ijin dari pimpinan. Program studi yang dipilih
harus sesuai dengan program studi di jenjang pendidikan sebelumnya. Dengan
demikian, keilmuan dan keahlian yang dimiliki dosen terus berkembang.
Kebijakan ini juga berlaku untuk tenaga kependidikan.
Untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam hal kegiatan penelitian
dan pengabdian masyarakat, UNSIQ Wonosobo membentuk lembaga yang
bernama Lembaga Penelitian, Penerbitan, Pengabdian Masyarakat dan
Pembinaan Bahasa (LP3M-PB). Melalui lembaga ini dosen dibina lewat
pelatihan baik yang dilakukan secara internal maupun mengundang pakar dari
luar. Disamping itu, dosen juga dikirim ke pelatihan yang diselenggarakan oleh
pihak luar seperti Kopertis Wilayah VI atau universitas lain. Terkait dengan
pembiayaan penelitian, dosen didorong untuk mengikuti Hibah penelitian dan
pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh DIKTI. Setiap tahun tahun
jumlah proposal yang lolos dan didanai oleh DIKTI selalu meningkat. Pihak
LP3M-PB juga menyediakan dana walaupun belum sebesar dana dari DIKTI.
UNSIQ mendukung penuh kepada peningkatan karir dosen dengan cara
penguasaan bahasa asing. Saat ini buku-buku teks sebagian berasal dari luar
negeri dan persyaratan untuk S2 dan S3 juga ada yang dalam bentuk tes bahasa
Inggris tertulis seperti TOEFL atau tes bahasa Inggris sejenis. Oleh karena itu
universitas lewat LP3M-PB memberi fasilitas kepada dosen untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam bahasa Inggris dalam bentuk
pembinaan bahasa Inggris. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Senin setelah apel
pagi. Pembinaan tenaga kependidikan dalam meningkatkan keterampilan dan
wawasan adalah mendelegasikan civitas akademik mengikuti acara-acara
peningkatan kualitas tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Tenaga
kependidikan juga dilibatkan dalam kepanitian baik untuk kegiatan yang
dilakukan oleh universitas maupun fakultas. Diharapkan mereka mampu
mengorganisasi sebuah kegiatan di suatu hari kelak.
Untuk meningkatkan kinerja dosen /tenaga kependidikan di lingkungan
UNSIQ, diberlakukan kebijakan penghargaan dan sanksi. Penghargaan
diberikan kepada mereka yang mendapat prestasi dalam bidang tertentu atau
melaksanakan tugasnya dengan baik. Bidang tertentu tersebut misalnya dalam
bidang olah raga, seni, iptek, penelitian atau pengabdian masyarakat. Sementara
dalam bidang tugasnya, semua pegawai juga mendapat penghargaan, misalnya
bagi dosen yang dapat mengajar minimal 75 % dan menyerahkan soal ujian,
Page 136
125
nilai tepat waktu dan tertib dalam mengisi presensi mahasiswa akan mendapat
penghargaan. Sementara bagi pegawai administratif yang dapat mengisi
ESBED, KHS, KRS tepat waktu juga akan mendapatkan perhargaan.
Penghargaan bentuknya bervariasi dari mulai ucapan selamat, hadiah berupa
barang, maupun kenaikan jabatan struktural. Ucapan selamat bisa dilakukan
secara lesan ketika apel pagi di hari Senin atau secara tertulis yang diberikan
oleh pimpinan universitas maupun fakultas ataupun waktu rapat kerja
universitas. Bahkan UNSIQ juga telah melaksanakan program pensiun untuk
semua pegawai dengan bekerja sama dengan Bank Jateng dan BNI sebagai
penghargaan atas kesetiaan kepada universitas.
Apabila dosen atau tenaga kependidikan melakukan pelanggaran, baik
ringan, sedang, maupun berat, UNSIQ akan memberikan punishment secara
edukatif. Tindakan indisipliner yang dilakukan oleh civitas akademik UNSIQ
terlebih dahulu dibahas oleh Komisi Disiplin Fakultas, jika dianggap
membahayakan UNSIQ maka akan direkomendasikan pada Komisi Disiplin
UNSIQ, jika belum ditemukan penyelesaian pada tingkat Fakultas. Bentuk
punishment berbeda-beda tergantung tingkat pelanggaran, misalnya teguran
secara lisan, tertulis, penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan,
dilanjutkan dengan pemberhentian dari jabatan berdasarkan pada Buku
Pedoman Pokok-Pokok Kepegawaian UNSIQ.
Akademisi adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dimaksudkan bahwa
disiplin keilmuan, cara kerja, dan karir yang berbeda telah menciptakan profesi
yang beragam antara akademisi. Selain itu, misi kelembagaan tertentu telah
mengakibatkan variasi prioritas dosen dan beban kerja. Dosen dengan jenis
kelamin, kelompok bidang pendidikan, dan tingkatan pendidikan
mempengaruhi pengalaman mereka. Mereka bekerja dalam master matriks di
mana mereka adalah bagian dari berbagai kelompok dan departemen, perguruan
tinggi tertentu atau universitas, sistem nasional pendidikan tinggi, dan profesi.
Kemudian implementasi nilai-nilai profesi akademik antara lain perlakuan adil
terhadap pelanggan akademik, karena ide-ide yang dimunculkan dari dosen
sebagai pedoman yang paling berharga dalam dunia akademik, maka dosen
diharapkan untuk menghindari plagiarisme atau pemalsuan. Serta kolegialitas
dimunculkan sebagai kerangka ideal untuk interaksi dosen serta pengambilan
keputusan institusional. Norma-norma profesional dosen adalah menghormati
kebebasan akademik dengan mendukung rekan-rekan. Seiring dengan nilai ini
adalah kepercayaan bahwa universitas atau perguruan tinggi adalah sebuah
komunitas ahli yang bekerja sama untuk mengatur lembaga. Dan terakhir yang
melandasi profesi akademis di seluruh disiplin ilmu dan lembaga adalah
komitmen layanan untuk masyarakat. Dosen tidak hanya menghasilkan
pengetahuan tetapi juga mengirimkan budaya akademik dalam mendidik orang-
orang muda.
Hasil studi menunjukkan bahwa lingkungan interpersonal mahasiswa
termasuk interaksi dengan teman sebaya dan dosen memiliki dampak terbesar
Page 137
126
pada perubahan asumsi, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan tindakan mahasiswa,429
oleh karena itu hubungan dosen-mahasiswa harus ditingkatkan dalam
pendidikan tinggi. Dengan dukungan lingkungan kerja dosen yang
memungkinkan seperti penyediaan kantor, fasilitas pengajaran dan reward. Hal
ini berdampak pada menigkatnya komitmen dosen untuk lembaganya sehingga
mereka memiliki waktu yang cukup berkomunikasi dengan mahasiswa dan
rekan kerja selama waktu kerja. Konsep mahasiswa sebagai objek pendidikan
memiliki implikasi lebih lanjut untuk kontrol dosen selama proses
pembelajaran.430
Hubungan dosen-mahasiswa bertumpu pada pengertian
tentang transformasi of knowledge (perkuliahan), kerjasama dan saling
tanggung jawab. Asumsinya adalah bahwa mahasiswa akan berpartisipasi
dalam proses belajar yang ditandai dengan dialog dan wacana antara mahasiswa
dan dosen yang menuntut kerjasama mahasiswa, keterlibatan dalam tugas-tugas
yang berhubungan dengan grup, tatap muka interaksi dosen-mahasiswa dan
perkuliahan, misalnya, menghadiri kelas dan menyelesaikan tugas.
Kepuasan pelanggan pendidikan dapat diukur dari kesan pertama
pelayanan maupun out put.431
Dosen akan mampu mengukur kepuasan
mahasiswa pertama kalinya menggunakan metode survei setelah akhir periode
mengajar. Dosen juga bisa mengukur tingkat kepuasan komulatif mahasiswa
menggunakan metode yang sama setelah selesainya kelas atau di akhir
semester. Kualitas pembelajaran dapat dibagi menjadi empat dimensi utama
yang mengajar, penilaian, bimbingan dan pelatihan. Mengajar membutuhkan
dosen untuk berperilaku dalam cara tertentu untuk membantu orang lain
mencapai potensi maksimal dalam semua aspek. Sedangkan kualitas pelayanan
dapat dibagi menjadi dua aspek utama: layanan inti dan layanan tambahan.
Kedua layanan memainkan peran penting dalam mempengaruhi kepuasan
pelanggan. Oleh karena itu, ini mungkin menunjukkan bahwa selain
memberikan pengajaran yang efektif, dosen juga harus memperhatikan siswa
kenyamanan dan fasilitas seperti ini juga akan memberikan kontribusi untuk
siswa tingkat kepuasan.
Pendidikan yang lebih tinggi saat ini dipandang sebagai perusahaan
bisnis seperti, dimana mahasiswa sebagai konsumen mencari hubungan bisnis
seperti dengan dosen yang memberikan pengetahuan, keterampilan dan
kompetensi yang dia inginkan.432
Akibatnya, untuk dapat memenuhi
pendidikan, penelitian dan fungsi informasi di abad ke-21, perguruan tinggi
429
Whitt E, Edison MI, Pascarella ET, Terenzini PT, Nora M. Impact of College on
Students. J. of Higher Educ.12 (2), 2001. 172-204.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00221546.2001.11778877 430
Parker, M. & Jary, D. The McUniversity: organisation, management and
academic subjectivity, Organization, 2, 1995. 319-338.
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/135050849522013 431
Tang Swee Mei & Lim Kong Teong. Hubungan Antara Kualiti Pengajaran dan
Pembelajaran dengan Kepuasan Pelajar: Satu tinjauan. Vol 3, No. 1. 2002.
http://repo.uum.edu.my/427/ 432
Newton RR. For-Profit and Traditional Institutions: A Comparison.
International Higher Education, No.1 2002.17-19.
Page 138
127
perlu menyadari pentingnya masalah ini muncul.433
Hubungan dosen dengan
mahasiswa dipandang sebagai uluran tangan di mana mahasiswa merasakan
bahwa dosen memiliki hal yang menarik, hal ini biasanya dapat menghindarkan
perasaan negatif mahasiswa terhadap perguruan tinggi sehingga mahasiswa
tetap dalam perguruan tinggi tersebut. Menurut Peterson hubungan tersebut
merupakan integrasi sosial yang didefinisikan sebagai persepsi mahasiswa
tentang sistem sosial, yang meliputi interaksi dengan teman sebaya dan kontak
informal dengan dosen dan tenaga lain dalam sebuah lembaga pendidikan.434
Norma-norma, nilai-nilai, sikap dan etika yang ada dalam perguruan tinggi baik
secara formal maupun informal merupakan dasar dari modal sosial yang
diperlukan sebagai penerapan budaya kohesif; dasar tata kelola yang baik dan
sistem politik yang demokratis.435
Lingkungan seperti itu, UNSIQ membantu mahasiswa-mahasiswanya
untuk mengembangkan kualitas-kualitas yang menurun bahkan menghilang
dengan terus meningkatkan belajar keterampilan dan kepemimpinan yang baik.
Dengan demikian, semakin terlihat pentingnya hubungan dosen dengan
mahasiswa di dalam maupun di luar kelas memberikan motivasi lebih dan juga
dapat melibatkan mahasiswa dalam segala aspek kehidupan akademiknya.436
Hal ini mungkin karena identifikasi mahasiswa dengan dosen sebagai teladan
yang telah diakui penting untuk akuisisi keterampilan yang baik.437
Keyakinan
terhadap perilaku dan tindakan dosen dipengaruhi oleh sikap, dimana sikap
dipandang sebagai penyebab dan perilaku sebagai efek.438
Ini berarti jika
mahasiswa memahami hubungan dosen dengan mahasiswa tidak relevan, ketika
mereka bersikap negatif terhadap lingkungan perguruan tinggi. Hal ini karena
interaksi antara mahasiswa dan karakteristik perguruan tinggi yang meliputi
interaksi dengan dosen mempengaruhi perilaku fisik mahasiswa, penyaringan
433
World Bank. Constructing knowledge societies: New Challenges for Tertiary
Education. Washington DC. 2002. 434
Peterson SL, Patricia KJ,Schwarz SA. Quality Improvement in Higher
Education. Implications for Student Retention. Journal on Quality in Higher Education, 3
(2), 1997.131-141 http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1353832970030204 435
Ngara E. The African University and Its Mission for Improving the Delivery of
Education Institutions. Roma: Institute of Southern African Studies. 1995. 436
Okwilagwe EA. Nigerian Students‟ Perception of Academic Departments as a
Teaching and Learning Environment. An Interdisciplinary International Research Journal,
68, 2002. 1-14 http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.7227/RIE.68.1?journalCode=riea 437
Ronning WM. College Quality Programmes: Implementation and Effects. J. of
Quality in Higher Edu., 3(2), 1997.113-129
http://srhe.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1353832970030203#.WnwBVPlubIU 438
Micah C. Chepchieng, Stephen N. Mbugua and Mary W. Kariuki, University
students‟ perception of lecturer-student relationships: a comparative study of Public and
Private Universities in Kenya, Educational Research and Reviews Vol. 1 (3). 80-84. June
2006. https://eric.ed.gov/?id=EJ903180
Page 139
128
kognitif tentang apa yang mereka alami dan dalam domain afektif, persepsi dan
sikap terhadap lingkungan kampus.439
Pemberdayaan dosen dan tenaga kependidikan lainnya di UNSIQ
merupakan suatu langkah investasi, Investasi itu tentunya berkaitan dengan
perspektif masa depan, maka dalam kondisi tersebut baik mudah atau sulit,
maka investasi menjadi prioritas secara lahiriah maupun batiniyah. Sedangkan
tekanan untuk menjaga hubungan baik dengan teman suatu keharusan dan
kebaikan meskipun menambah biaya, karena untuk melakukan perubahan
memerlukan kedekatan personal, emosional, professional, dan spiritual.
Harapan akan hasil yang cepat itu manusiawi dengan catatan ada cara dan
proses yang dapat dipertanggungjawabkan dan menimbulkan berkah. Hasil atau
prestasi perlu diperjuangkan namun tanpa ada rekayasa untuk merubah cara
yang benar menjadi kabur dan akhirnya salah dan sebaliknya
439
Williams TE. Student-Institution Fit: Linking Campus Ecology to Enrollment
Management. Campus Ecologist, Vol. IV (4), 1986. 22-25
Page 140
129
BAB VI
INTEGRASI HUMANIS-QUR’ANI DALAM PENGEMBANGAN
BUDAYA ORGANISASI DI UNSIQ
Pada bab ini memberikan pemahaman tentang konsep integrasi Humanis-
Qur‟ani, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an surat ar-Ra‟ad ayat 29, yakni;
الييٱ اوغىن يممصنحجٱءاو وحص ه ل اببطبArtinya: Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi
mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik
Fitrah manusia adalah menyukai nilai-nilai baik dan benar baik secara logika
ataupun tidak. Kemudian pada kontekstualisasi al-Qur'an yakni sebuah konsep besar
dan tinggi berfungsi menjadi pedoman hidup manusia, untuk menjadi manusia yang
berbudi pekerti luhur, bersikap komit akan kebaikan dan kebenaran dalam
kehidupannya, terutama dalam membangun dan menjaga suatu organisasi.
Aktualisasi dalam berorganisasi seperti menjadi panutan, menekankan sikap
perhatian terhadap lingkungan organisasi, berempati, memunculkan semangat bagi
rekan-rekan kerja, membangun budaya organisasi yang positif. Demikian
kesimpulan yang akan dibangun dari konsep Humanis-Qur‟ani. Sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur‟an; "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sekali- kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu
yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu
yang tidak seimbang?"(QS al-Mulk surat 67 ayat 3) Hukum keseimbangan, "Segala
sesuatu yang kita ketahui sesungguhnya adalah bentuk sebab-akibat yang saling
berhubungan, dimana keduanya terikat oleh hukum keseimbangan aksi-reaksi yang
setara dan stabil".
1. Transformasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Budaya Organisasi
Transormasi nilai-nilai Qur‟ani pada proses pembudayaan yakni
diawali dengan pemahaman nilai-nilai Qur'ani, kemudian proses bertafakur atau
berfikir sebagai pedoman dalam berprilaku, dan dilanjutkan dengan proses
beramal atau berprilaku sebagai ejawantah nilai-nilai Qur‟ani yang sudah
terfikirkan masak-masak.
Pembahasan lebih detail tentang nilai-nilai yang dipahami dan
disosialisasikan di UNSIQ, sepeti; Pertama nilai-nilai kepercayaan, tentunya
dalam setiap organisasi membutuhkan kepercayaan, baik yang diberikan oleh
pimpinan maupun yang dikerjakan oleh anggota organisasi, dengan tujuan agar
organisasi berjalan tanpa ada rasa curiga bahkan munculnya konflik dalam
organisasi tersebut. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur‟an puncak akhlak
adalah amanah (kepercayaan yang diberikan). Barang siapa yang tidak
menepati amanah dan melanggar janji, maka yang demikian adalah tanda
merosotnya iman dan merosotnya ketaqwaan kepada Allah SWT. Hadits Anas
bin Malik ra: “Tidak sempurna iman bagi mereka yang tidak menepati janji”.
Page 141
130
Hadits Abu Hurairah ra: “Rasulullah SAW bersabda: Tunaikanlah amanah
kepada orang yang engkau percaya (untuk menunaikan amanah kepadanya),
dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu”. Al-Qur‟an menjelaskan
pentingnya membangun sebuah kepercayaan dalam sebuah organisasi, seperti
dijelaskan an-Nisa 58 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Amanah yang diberikan oleh pimpinan UNSIQ seperti halnya
pemberian wewenang kepada tenaga pendidik (dosen), misal dosen bebas
menentukan materi yang akan diberikan kepada mahasiswa, dosen bebas
menggunakan metode pembelajarannya dan juga bebas menentukan metode
evaluasinya. Sehingga dosen mampu berkembang secara optimal dalam
melakukan perkuliahan. Hal ini juga dilakukan oleh pimpinan kepada tenaga
kependidikan (staff/ pegawai), pegawai bebas merencanakan, melakukan,
maupun mengevaluasi kinerjanya. Pimpinan memberikan keleluasaan dalam
setiap beraktivitas, walaupun tetap ada aturan sebagai pedoman kerja. Dengan
demikian, teori hostede yang menjelaskan tentang pentingnya penciptaan high
power distance dapat terimplementasikan, agar anggota organisasi tidak merasa
dipaksa untuk bekerja keras tanpa memperhatikan kebutuhan anggota
organisasi.
Beberapa indikasi capaian dari nilai kepercayaan ini seperti pemimpin
dicintai anggota organisasinya, hal ini dibuktikan dengan perhatian pemimpin
dengan selalu mendahulukan kepentingan organisasi dan anggota organisasinya
dari pada dirinya. Misal dalam beberapa kegiatan yang dapat diikuti anggota
organisasi maka pemimpin dengan penuh dukungan untuk mendelagasikan
anggota organisasi untuk mengikuti kegiatan tersebut, kegiatan lainnya pun bisa
dilihat seperti pemimpin memberikan rekomendasi kepada anggota organisasi
untuk mengikuti studi lanjut.
Indikasi capaian lainnya seperti pemimpin tidak memiliki keinginan
untuk mengekalkan jabatannya. Beberapa rotasi jabatan selalu dilakukan
UNSIQ untuk menjaga kestabilan dalam menjalankan tugas dan kewajiban
pegawai UNSIQ. Dengan demikian asumsi pemimpin di UNSIQ untuk
menjabat selamanya sudah tidak dijalankan. Hal ini juga untuk memberikan
motivasi bagi pegawai UNSIQ untuk bekerja lebih giat lagi, karena suatu saat
jabatan tersebut bisa diberikan kepada pegawai lainnya, namun melalui
prosedur yang baik.
Indikasi yang terpenting dalam pelaksanaan nilai-nilai kepercayaan
dalam organisasi adalah pemimpin mampu memberikan rasa aman dan nyaman
kepada pegawai UNSIQ dalam bekerja baik di dalam maupun di luar UNSIQ.
Hal ini bisa ditunjukkan dengan kesejahteraan pegawai UNSIQ dengan
menyediakan akomodasi yang cukup seperti sandang, pangan, papan dan
sebagainya.
Kedua nilai-nilai keterbukaan, sebuah keterbukaan mensyaratkan
adanya kejujuran. Keterbukaan akan menimbulkan keharmonisan, sebaliknya
Page 142
131
ketidakjujuran menyebabkan ketidakpercayaan, munculnya prasangka dan
merusak hubungan harmonis diantara angggota organisasi. Sebagaimana Rasul
memerintahkan setiap muslim agar memiliki watak shidiq sebab shidiq
membawa kebaikan sedangkan kebaikan akan menuntunnya ke surga, Allah
menerangkan pada at-Taubah: 119, “Hai orang-orang yang beriman
bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar”.
Sistem kejujuran ini sesuai dengan kebijakan organisasi UNSIQ yang
transparan, berdasarkan aturan baku untuk tercapainya beberapa kebijakan
terkait pengelolaan organisasi dan tumbuhnya sinergitas. Sebagai langkah awal
membangun organisasi yang sehat adalah dengan menciptakan relasi
interpersonal maupun intrapersonal yang terbuka atau jujur.440
Beberapa indikasi capaian dari nilai keterbukaan atau kejujuran ini
yakni UNSIQ selalu melakukan kegiatan menggunakan aturan atau prosedur
yang pasti dan dapat diketahui oleh masyarakat umum terutama pihat yang
terkait langsung dengan UNSIQ seperti mahasiswa, wali mahasiswa dan
pengguna lulusan UNSIQ. Seperti dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru,
UNSIQ menggunakan seleksi yang pasti dan objektif, kemudian dalam
melakukan evaluasi kelulusan, UNSIQ bersungguh-sungguh dalam membekali
mahasiswa dengan keilmuan, wawasan dan karakter yang baik sesuai kebutuhan
masyarakat.
Ketiga bersikap positif, dalam perspektif Islam sebagaimana yang ada
dalam diri Rasulullah SAW, antara lain jujur (al-Amin), ikhlas, sabar, dan
husnudhan, sikap ini diterangkan oleh Allah SWT pada surat al-Hujarat: 12,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang”.
Rektor UNSIQ menjelaskan dengan detail hubungan kemanusiaan lebih
penting dari hubungan apapun, oleh karena itu hubungan baik diantara
pimpinan dan pegawai harus terjaga dengan baik. Baik dalam kegiatan
akademik maupun hubungan sosial lainnya, seperti ketika salah satu pegawai
UNSIQ memiliki hajat atau tekena musibah, maka semua pegawai dianjurkan
untuk saling menjenguk. Ataupun dalam bidang akademik, ketika salah satu
pegawai mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas atau pekejaanya, maka
pegawai yang lain bekewajiban untuk membeikan bantuan sukaelawan. Dengan
demikian, sikap husnudhon ini sangat mudah diaplikasikan di kampus maupun
di luar kampus.
Keempat Sikap Supportif, lebih menekankan pada pribadi seseorang,
bukan tindakannya. Agama apapun menganjurkan untuk saling mnghargai
440
Wawancara dengan Bapak Ahmad Zuhdi, M.Ag. selaku dosen agama islam,
pada jam 16.00 tanggal 5 Januari 2018 di kediaman bapak Ahmad Zuhdi, M.Ag.
Page 143
132
sesama manusi, sebagaimana hadis berikut; “Nabi tidak pernah sama sekali
menghina satu makanan. Bila beliau suka beliau makan, bila tidak beliau
tinggalkan” HR al-Bukhâri dan Muslim.441
Kemudian Al-Qur‟an sangat
memperhatikan sikap supportif ini dengan firmanNya dalam surat al-Maidah
ayat 32; Artinya: “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Sikap supportif ini dilakukan dalam rangka menjembatani perbedaan
yang tejadi diantara pegawai dengan meminimalisir perbedaan tersebut, maka
aktivitas pegawai dapat berjalan dengan baik. Sikap supportif ini dapat
berwujud penunjukan pegawai oleh pimpinan langsung untuk saling
bekerjasama dalam bidang pekerjaan yang sama. Pendampingan juga dilakukan
oleh univesitas, sebagai upaya pimpinan untuk menjalankan tugas tersebut
sekaligus pengembangan kompetensi pegawai.
Pencapaian dari nilai suportif ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan
yang dijalankan UNSIQ melalui hasil kerjasama dan komunikasi yang baik
sesama pegawai maupun atas instruksi dari pimpinan. Seperti halnya dalam
kegiatan KPM (kuliah pengabdian masyarakat), dosen pembimbing lapangan
melakukan komunikasi secara intens dengan ketua kelompok KPM dan juga
sering melakukan musyawarah dengan masyarakat sekitar untuk membantu
masyarakat menjalankan program kegiatan desa tersebut, disamping itu KPM
UNSIQ memiliki visi misi memakmurkan masjid, misal adanya pengajian bagi
anak-anak maupun orang dewasa. Dengan demikian, sikap supportif ini menjadi
dasar dalam menjalankan kegiatan tersebut.
Kelima Kesetaraan, sikap ini kemudian tertera pada al-Hujarat 13 “Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Kesetaraan ini
tejadi secara natural diantara pegawai, pada hakikatnya semua pegawai UNSIQ
adalah sama, hanya yang membedakannya pada struktur organisasinya. Dengan
demikian dimensi feminin diantara pegawai terasa kuat dari pada dimensi
maskulin, sebagaimana diterangkan oleh hofstede.
Kesetaraan ini kemudian diwujudkan dalam berbagai kesempatan,
contohnya pimpinan mengakomodir perbedaan latar belakang pendidikan
pegawai, namun pimpinan tetap memberikan kesempatan berkarir yang sama di
UNSIQ. Begitu juga dalam penghargaan terhadap perbedaan gender, jabatan
pimpinan di UNSIQ tidak hanya diberikan kepada bapak-bapak saja, tetapi juga
ada beberapa jabatan pimpinan yang diisi oleh ibu-ibu.
Keenam Empati, seseorang yang merasa paling altruis akan merasa diri
mereka bertanggung jawab, social, menyesuaikan diri, toleran dapat mengontrol
441
HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064
Page 144
133
diri, dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik di mata orang lain. Dalam
ibadah khusus beliau selalu mempertimbangkan kondisi makmumnya. “dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. al-Maidah 2.
Nilai-nilai empati juga diimplementasikan sepeti pada penjelasan sikap
husnudhon atau sikap positif terhadap orang lain.
Sikap ini sangat dibutuhkan oleh organisasi untuk mengelola hubungan
baik diantara pegawai dan juga pimpinan. Seperti halnya di UNSIQ, sikap ini
diaplikasikan dalam setiap kegiatan untuk saling bekerjasama tidak
mengandalkan hanya seseorang yang ahli, tetapi juga melibatkan banyak
pegawai. Penulisan al_Qur‟an akbar merupakan sesuatu yang luar biasa
dilakukan oleh UNSIQ dan PPTQ Al-Asy‟ariyyah, yang ditulis oleh seorang
ahli kaligrafi yakni bapak Hayatudin namun dalam pengerjaannya beliau
dibantu oleh beberapa pegawai dan juga melibatkan mahasiswa UNSIQ,
sehingga penulisan al-Qur‟an akbar bisa selesai.
Pada proses berikutnya yakni berpikir, telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya bahwa Al-Qur‟an memakai kata al-qalb sebagai kata benda untuk
berfikir, adapun al-„aql dan al-fikr tidak pernah dipakai, kecuali kata kerjanya,
seperti „aqalu. Sedangkan kata kerja dari al-fikr antara lain kata dalam bentuk
fakkara. Jadi, al-qalb dalam Al-Qur‟an merupakan daya untuk mengembangkan
pikiran memahami kebenaran, dan dalam hubungan ini, ia yang dapat pula
disebut sebagai al-„aql yaitu kecerdasan atau al-nuha.
Pemikiran manusia tentang Ayat-ayat Tuhan meliputi alam, manusia
dan al-Qur‟an. Pertama, Alam semesta. al-Qur‟an menegaskan bahwa alam
semesta dan isinya merupakan tanda-tanda Tuhan bagi orang yang berpikir.
Dengan memikirkan alam, menjadikannya sebagai objek studi, maka manusia
dapat mengambil manfaat darinya, untuk kepentingan hidupnya sendiri. Dengan
memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam alam, diharapkan manusia
dapat mengambil manfaatnya, karena sesungguhnya alam semesta seisinya,
diciptakan Tuhan untuk manusia. Inilah urgensinya manusia memahami alam
semesta agar tidak terpengaruh dengan dunia kapitalisme yang merusak.
Pemaknaan hal ini terimplementasikan dalam visi UNSIQ; “Nilai-nilai budaya
akademik dan budaya Qur‟ani yang terimplementasikan dalam visi UNSIQ,
sehingga menjadi Universitas yang memiliki visi Transformatif, Humanis, dan
Qur‟ani. Budaya akademik dan budaya qur‟ani berkaitan erat karena budaya
akademik yang telah berbasis qur‟ani tidak bisa dipisahkan”442
Visi sebagai suatu impian, harus visioner dan tinggi walaupun sampai
saat ini belum terwujud, masih rintisan namun arahnya diupayakan budaya
akademik itu betul-betul pada budaya qurani, dengan penjelasan sebagai
berikut; pertama bersifat transformatif artinya sesuatu yang bersifat imposible
menjadi possible, tidak mustahil jika suatu nanti dengan budaya akademik yang
ada saat ini akan mengulang kembali kejayaan Islam yang dulu juga pernah
442
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Bapak Dr. KH. Muchotob Hamzah. MM.
pada 23 Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 145
134
menguasai peradaban budaya. Meskipun al-Qur‟an itu bersifat doktrin, selain
itu juga sebagai problem solving oriented artinya al-Quran bisa mengarahkan
budaya akademik yang dapat memberikan problem solving pada tiap masalah
kehidupan manusia akademik. Kebutuhan manusia tentang apa saja, al-Quran
mendorong pemenuhan kebutuhan tersebut. Itulah yang terjadi pada umat islam
ketika kejayaan islam di andalus yang kemudian redup, hingga hari ini umat
islam belum bisa menyusul sukses yang ada di belahan dunia lain.443
Humanis bersifat universal tetapi bagaimanapun juga sekarang dapat
dilihat sendiri umat islam secara umum tergerus juga oleh budaya-budaya yang
sebagian dari mereka terkena dampak kekerasan dapat dikatakan dehumanisasi,
kemudian juga runtuhnya nilai-nilai gotong royong dan empati di dunia islam
khususnya. Maka UNSIQ dengan budaya akademiknya diharapkan menuju ke
arah, bagaimana tiap langkah warga UNSIQ selalu mendasarkan diri pada
prilaku humanisme sesuai dengan sifat Qur‟an tersebut meskipun ini tentu tidak
sama dengan humanisme yang lahir dari dunia barat. Dengan adanya visi
Transformative, Humanis dan Qurani tidak pernah lepas dari nilai Qur‟an
seperti yang telah dijelaskan diatas. Begitu juga dengan suatu peradaban atau
kebudayaan yang value free atau bebas nilai, karena jika bebas nilai tentu saja
orang bisa menciptakan teknologi yang kemudian bisa berakibat buruk pada
manusia sendiri. Ini suatu kenyataan bahwa setelah abad-abad humanisme tapi
senyatanya terjadi perang dunia ke-2 yang menelan jutaan manusia, ini yang
kemudian perlu dipikirkan kembali apakah budaya di UNSIQ bisa
mengeliminasi hal-hal seperti itu, inilah tujuan besarnya.444
Kedua, Manusia dianjurkan untuk memikirkan hakikat ke-manusia-
annya. Anjuran Al-Qur‟an untuk memikirkan diri sendiri dan memperhatikan
sejarah sesungguhnya mempunyai arti penting bagi kelangsungan hidup suatu
generasi manusia. Memikirkan diri sendiri artinya memahami kelebihan dan
kelemahan yang dimilikinya, agar manusia dapat merancang dan melaksanakan
sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tidak memaksakan sesuatu
yang berada di luar batas wewenang dan kemampuannya. Sedangkan anjuran
memperhatikan sejarah mempunyai arti memahami fakta-fakta sejarah tentang
kepatuhan dan kemajuan suatu generasi manusia. Dengan memahami sejarah
diharapkan manusia tidak mengulang kesalahan yang telah dilakukan oleh
generasi sebelumnya. Sehingga dapat menumbuhkan kesadaran tentang
kesatuan umat manusia dan kesatuan masa depan secara bersama-sama.
Pimpinan maupun pegawai UNSIQ dibekali dengan tradisi Qur‟ani
yang kuat, sebagaimana peradaban dimulai dari diketemukannya bahasa,
kemudian dimantapkan dengan adanya iqro‟ atau baca tulis sebagai langkah
peradaban kedua. Setelah baca tulis membudaya didalam umat islam, UNSIQ
yang berbasis al-Qur‟an, secara alamiah budaya akademik akan tumbuh dari
budaya qur‟ani itu. Jika dikaitkan dengan ayat berikutnya dalam surat al-„alaq,
443
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Bapak Dr. KH. Muchotob Hamzah. MM.
pada 23 Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ. 444
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Bapak Dr. KH. Muchotob Hamzah. MM.
pada 23 Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 146
135
maka yang akan mengajar manusia sesuatu yang belum mereka tahu, maka
disitulah terjadi proses pembelajaran. Jadi pembudayaan akademik berkaitan
erat sekali dengan ayat-ayat tersebut, dan ini lah basis budaya yang terjadi di
UNSIQ. Berikutnya, hasil dari ditemukannya baca tulis kemudian ditemukan
mesin cetak, dan itu akan mempermudah berkembangnya budaya akademik
sekaligus budaya qur‟ani.445
Budaya qur‟ani juga berkaitan dengan bagaimana penguatan budaya
akademik yang dilandasi dengan tabayun tentang bismirobika, dengan asma
Tuhan tersebut nilai akademik senantiasa berkaitan dengan inti dari ajaran
agama Islam. Budaya dalam bahasa asing adalah culture, culture tidak dapat
lepas dari agama karena culture memiliki akar yang sama dengan kultus atau
penyembahahan. Jadi pengkultusan itu adalah budaya, dimana budaya
akademik di UNSIQ ini meskipun sama dengan pengkultusan di tempat lain
pada hakikatnya sudah mengkultuskan nilai-nilai budaya qurani yang dominan
untuk mengembangkan budaya akademik.
Ketiga, al-Qur‟an yakni wahyu Tuhan diturunkan pada Rasululloh, dan
tertulis dalam Bahasa Arab. Al-Qur‟an merupakan ayat-ayat Tuhan bagi orang
yang berpikir. Memahami ayat-ayat al-Qur‟an membawa umatnya berkenalan
langsung dengan Tuhan serta memahami kehendak-Nya, yang kemudian
berkembang dalam ilmu agama. Dengan bepedoman pada Al-Qur‟an, dan
meletakkannya sebagai objek studi, manusia dapat memperoleh pengetahuan
tentang apa yang harus dilakukan, boleh dan dilarang untuk dilakukan. Dengan
ini, Manusia berhadapan dengan nilai-nilai moral atau nilai-nilai agama.
Pemahaman yang komprehensif dari tafsir atau ilmu lain yang berkaitan dengan
al-Qur‟an akan mempertegas manusia masih memerlukan al-Qur‟an sebagai
pedoman hidup.
Hasil pemikiran-pemikiran tersebut berkontribusi dalam lahirnya
bebagai keilmuan, sepeti pemikian tehadap alam semesta akan menguatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang sebelumnya dijelaskan oleh al-
Qu‟an, pemikiran terhadap manusia dan sejarahnya melahirkan ilmu humaniora
dan terakhir pemikiran terhadap wahyu Tuhan melahirkan ilmu agama dan
moral. Karena alam, manusia dan sejarah serta Al-Qur‟an adalah merupakan
ayat-ayat Tuhan, maka pemikiran terhadapnya, seharunya merupakan kesatuan
yang utuh, tidak terpecah-pecah. UNSIQ tidak terpisahkan dari al-Qu‟an
sebagai rujukan utama dalam penyusunan dan perumusan kurikulum walaupun
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih. Untuk
membentengi pengaruh globalisasi, UNSIQ secara paten mengadakan
perkuliahan yang khusus mengkaji, menghafal, dan memahami al-Qur‟an,
seperti adanya mata kuliah tahidzul Qur‟an dengan harapan mahasiswa lulus
dengan bekal hafalan Qur‟an yang mumpuni, ada juga kegiatan kajian tafsir
untuk umum dengan tujuan terbangunnya budaya Qur‟ani di kampus.
445
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM. pada 23
Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 147
136
Perilaku budaya dalam Bahasa Arab disebut „amal artinya al-fi‟l yaitu
pekerjaan atau al-mihnah yaitu pengabdian.446
Berbuat sebagai perilaku budaya
merupakan medan kegitan yang amat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan
manusia, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesenian, ilmu dan teknologi
serta keagamaan. Setiap orang, satu sama lain, mempunyai kemampuan berbuat
yang berbeda-beda, baik kualitas, kuantitas maupun bidang kegiatannya.
Perilaku manusia itu ada dua macam, perilaku baik disebut as-salih, al-birr, al-
ma‟ruf, al-khair, al-hasan447
dan perilaku buruk disebut al-fasad, asy-syar, al-
munkar, as-su‟, al-fakhisyah.448
Penerimaan terhadap sesuatu realitas perbuatan
yang disebut baik adalah karena kesesuainnya dengan pengetahuan kebenaran
yang telah dicapai oleh pikirannya. Demikian juga sebaliknya, penolakan
terhadap perbuatan yang buruk, karena ketidaksesuaiannya dengan pengetahuan
kebenaran itu.
Kegiatan Qurani dalam arti tekstual dari sisi kegiatan-kegiatan, UNSIQ
sudah memiliki suasana qurani tersebut, tetapi kajian-kajian fakultas biasanya
mengikuti apa yang telah dilakukan pihak Universitas. Misalnya kegiatan jumat
pagi, kegiatan futur, dan acara-acara dengan cara menghidupkan al-Qur‟an.
Simbol-simbol ini, perlu diperbanyak sebagaimana mencerminkan simbol-
simbol qurani yang belum ada di Universitas lain. Analisisnya, mushola juga
sebetulnya perlu ada simbol-simbol, dengan adanya lafal Allah yang
berkumandang maupun adanya tulisan.
Sebagaimana manusia biasa yang hidup di tengah masyarakat, maka
perbuatan seseorang pada dasarnya berkaitan dengan berbagai hubungan yang
berlangsung dalam kehidupannya. Berbagai hubungan itu adalah: Pertama,
Hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebagai hubungan antara makhluq
dan kholiq, telah menempatkan manusia pada posisi yang jauh lebih rendah dari
pada Penciptanya. Dalam posisi yang demikian, manusia tidak mungkin
menyaingi ataupun melawan kepada Tuhan. Al-Qur‟an menganjurkan kepada
manusia untuk patuh kepada Penciptanya. Lain dari pada itu kemuliaan dan
kehormatan yang diberikan Tuhan pada manusia itu adalah dijadikannya
sebagai khalifah fi-ardi, wakil Tuhan di muka bumi. Penegasan manusia sebagai
khalifah fi‟l-arrdi ini terkandung dalam penetapan misi Adam yang dijadikan
Tuhan sebagai khalifah fi‟l-ardi. Kepada generasi manusia penerus keturunan
Adam, Tuhan pun mengajarkan kepada mereka, dengan pena, tentag apa yang
tidak diketahuinya. Tuhan juga mengajarkan kepada manusia tentang al-hayan,
fasih perkataan atau keterangan yang logis.
Pelajaran yang diberikan Tuhan kepada manusia, diperoleh melalui
pemikiran manusia terhadap tanda-tanda Tuhan yaitu alam, manusia dan sejarah
serta tanda-tanda Tuhan yang tercetak di al-Qur‟an. Dengan memikirkan tanda-
446
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 13. 502. 447
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 11. 139-144. 448
Ibn Manzur, Lisan „1-„Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta‟lif
wa At_Tarjamah) jilid 7. 90-92.
Page 148
137
tanda Tuhan itu manusia memperoleh pengetahuan dan menyusun konsep-
konsep ilmu bagi kemajuan kebudayaan. Manusia dengan kemampuan
konsepsionalnya melakukan pekerjaan penciptaan yaitu membentuk
kebudayaan, dan penciptaan kebudayaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari tanda-tanda Tuhan itu sendiri. Alam merupakan potensi yang didalamnya
terkandung hokum-hukum yang berguna untuk kepentingan penciptaan. Alam
tidak saja merupakan bahan bagi pembentukan kebudayaan, tetapi juga
memberikan kuncinya kepada manusia untuk dapat membuka rahasia-rahasia
dan kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sehingga dengan
menguasai rahasia-rahasia alam itu, manusia dapat melakukan peniruan-
peniruan terhadapnya. Sedangkan manusia satu dengan yang lain saling
memerlukan untuk membicarakan, mendiskusikan serta mengembangkan
pemikirannya, dan melalui kerjasama yang itentif, gagasan dan konsep
pembentukan kebudayaan dapat direalisir. Dalam realisasinya, manusia juga
harus mempertimbangkan sejarah, bagaimana generasi terdahulu telah bekerja
dalam hal yang sama, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan
oleh generasi pendahuluan itu, tidak perlu diulanginya lagi.
Jadi, hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan antara ciptaan
dengan Penciptanya. Posisi ciptaan jauh lebih rendah daripada Pencipta. Karena
itu, manusia harus tunduk dan patuh pada Penciptanya. Perwujudan kepatuhan
manusia kepada Tuhan yang diangkat Tuhan sebagai Wakil-Nya dibumi, yang
menerima pelajaran dari Tuhannya tentang apa yang tidak ia ketahui bagi
kepentingan tugas kekhalifahan yaitu membentuk kebudayaan adalah
dinyatakan dalam perbuatannya yang selalu didasarkan pada prinsip kebenaran
dan keadilan, serta menjauhkan diri dari hawa nafsu.
Kedua, Hubungan Manusia dengan Manusia sesamanya. Kerjasama dan
tolong menolong diperlukan karena manusia satu sama lain mempunyai
kemampuan dan keahlian yang berbeda. Dengan menyatukan berbagai
kemampuan dan keahlian, manusia dapat mengatasi tantangan hidupnya yang
dating silih berganti, yang makin hari makin kompleks dan bergerak sangat
cepat. Disamping perbedaan kemampuan dan keahlian, manusia juga
mempunyai pandangan dan jalan hidup yang berbeda. Adanya perbedaan
pandangan dan jalan hidup, mengharuskan adanya saling pengertian dan
kesediaan untuk menghargai pandangan dan jalan hidup yang lainnya. Tanpa
kesediaan untuk menghargai pandangan dan jalan hidup orang lain, maka
kehidupan masyarakat akan terseret dalam pertikaian serta pertentangan terus
menerus, yang akibatnya akan menghancurkan tata kehidupannya sendiri. Jadi,
dalam pembentukan kebudayaan manusia harus melakukan kerjasama dalam
kebaikan, membina saling pengertian, dan menjauhkan permusuhan. Manusia
sebagai makhluk yang memerlukan belajar dalam segala aspek hidupnya, satu
sama lain saling membutuhkan, dan dalam membina kerjasa itu hendaknya
didasarkan pada prinsip persamaan, karena hubungan manusia dengan manusia
pada dasarnya adalah hubungan yang sederajat, sebagai sesame ciptaan Tuhan.
Dan Ketiga, Hubungan Manusia dengan Alam. Realitas alam yang
meliputi hidup manusia mempengaruhi pemikirannya. Manusia berpikir dan
memanfaatkan alam, menggunakannya apa yang ada sebagai bahan untuk
Page 149
138
membuat sesuatu yang diperlukannya dalam hidup. Dalam hubungan ini Al-
Qur‟an melarang perbuatan yang merusak alam. Tindakan merusak alam pada
hakekatnya merupakan tindakan yang merugikan diri sendiri, karena rusaknya
sumber kehidupannya. Alam yang dirusak oleh manusia akhirnya akan
mendatangkan bencana bagi kehidupannya, seperti: banjir, kekurangan pangan,
panas yang makin meninggi, udara yang makin kotor menyebabkan penyakit,
menjadikan hidup tidak nyaman lagi. Jadi, pembentukan kebudayaan dalam
pengertian perbuatan manusia harus diletakkan dalam kerangka hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dan alam. Dengan kata lain, kebudayaan
adalah manifestasi perbuatan manusia dalam larangan Tuhan, manusia dan
alam.
Dari kedua indikator tersebut, terdapat keterkaitan antara pikiran
dengan perbuatan manusia. Dalam pembentukan kebudayaan, perbuatan atau
kerja merupakan realisasi dari pikiran. Pikiran yang bekerja memahami
kebenaran, memikirkan alam, manusia dan sejarah serta firman-firman Tuhan
(Al-Qur‟an), melahirkan konsep-konsep yang kemudian diwujudkan dalam
langkah-langkah pelaksanaan membentuk suatu kebudayaan. Menurut Al-
Qur‟an hubungan antara perbuatan dengan pikiran sangat erat, bahkan
perbuatan jelek disebabkan karena orang tidak mau menggunakan pikirannya
secara benar. Dan orang yang tidak mau menggunakan pikirannya untuk
memahami kebesaran, pada dasarnya adalah karena pikirannya tertutup oleh
hawa nafsunya, dan akibatnya pikirannya menjadi negative, selalu mempunyai
kecenderungan ke arah perbuatan yang kotor. Jadi, untuk menjauhkan
perbuatan yang kotor, maka pikiran harus bersih dan positif. Pikiran bersih dan
positif hanya bias dicapai jika pikiran tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Dan
pikiran yang terbebas dari kekuasaan hawa nafsunya, dapat berfungsi
memahami kebenaran, yang kemudian akan membimbing perbuatan manusia ke
arah yang baik.
Internalisasi Budaya Qur‟ani sebagai simbol budaya Universitas Sains
Al-Qur‟an. Semua fakultas pada setiap mata kuliah harus mencerminkan nilai-
nilai qur‟ani. Kemudian beberapa budaya qur‟ani yang menjadi tradisi dalam
pengembangan nilai-nilai qur‟ani, antara lain; kajian jum‟at pagi, kajian bada
dhuhur, mujahadah malam jumat, mendukung kegiatan IPQOS secara khusus
melaksanakan kegiatan-kegiatan bersifat qur‟ani, pesanten mahasiswa baru
selama 1 tahun, dan membangun kerjasama dengan beberapa pesantren.449
Teori yang mengembangkan kehidupan Qur‟ani manusia yang terwujud
dalam kehidupan sehari-hari salah satunya adalah teori living qur‟an. Sahiron
Syamsudin mengatakan bahwa “Teks al-Qur‟an yang „hidup‟ dalam masyarakat
itulah yang disebut The Living Qur‟an, sementara pelembagaan hasil penafsiran
tertentu dalam masyarakat dapat disebut dengan the living tafsir”.450
Konsep
449
Wawancara dengan Kabiro Bapak Alm Dr. Abdul Kholiq. MA. pada 6
Nopember 2017, pukul 11.00. di ruang Kabiro UNSIQ. 450
Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah dalam Penelitian Al-Qur‟an dan Hadis”,
Kata Pengantar, dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta: Teras,
2007). 18-19.
Page 150
139
teks al-Qur‟an yang hidup dalam masyarakat sebagai respons masyarakat
terhadap al-Qur‟an dan tafsirnya. Termasuk dalam pengertian „respons
masyarakat‟ adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran
tertentu. Resepsi sosial terhadap al-Qur‟an dapat kita temui dalam kehidupan
sehari-hari, seperti pentradisian bacaan surat atau ayat tertentu pada acara dan
seremoni sosial keagamaan tertentu. Sementara itu, resepsi sosial terhadap hasil
penafsiran terjelma dalam dilembagakannya bentuk penafsiran tertentu dalam
masyarakat, baik dalam skala besar maupun kecil”.
Dengan pengertian seperti ini, maka “dalam bentuknya yang paling
sederhana” The Living Qur‟an tersebut “pada dasarnya sudah sama tuanya
dengan Al-Qur‟an itu sendiri. Salah seorang dosen UNSIQ memahamkan
pemaknaan living Qur‟an dalam kegiatan kelembagaan seperti UNSIQ; Living
Quran dalam pengertiannya ada 2, yakni; secara simbolis dan secara substantif.
Keduanya seyogyanya bisa berjalan berbarengan, kemudian menjadi dasar
dalam menentukan unsur-unsur budaya kerja, karena budaya qurani aplikasinya
adalah budaya kerja, oleh karena itu budaya kerja itu perlu diintensifkan.
Seperti halnya, Budaya kerja itu dimulai dari disiplin waktu. Jika dilihat pada
tingkat fakultas dari sisi kedisiplinan waktu sudah luar biasa baik, terlepas dari
berbagai kekurangannya tetapi untuk kedisiplinan waktu sudah cukup.451
Kandungan isi Al-Qur‟an terhadap manusia dapat diklasifikasikan
menjadi empat bagian. Pertama, akidah yang wajib diimani. Hal ini
berhubungan dengan rukun iman yang terdapat dalam doktrin Islam. Masalah
akidah adalah masalah personal, tidak ada orang yang dapat mengetahui akidah
seseorang kecuali Allah Yang Maha Esa. Kedua, norma masyarakat untuk
menata komunikasi hablumnnalloh, hablumminannas dan lingkungan. Ketiga,
perilaku mulia, yang mendidik manusia untuk berbuat baik, baik dari segi zahir
maupun batin, kelakuan bagi zahir menjadikan manusia harmonis dan batin
yang mengontrol ego dan sebagainya. Keempat, berisi janji dan ancaman Tuhan
kepada hamba yang beramal baik dan mematuhi perintah serta menjauhi
larangannya untuk tidak berbuat.452
Dalam konteks living Qur‟an, manusia memperlakukan dan
mempelajarinya untuk mengambil petunjuk-petunjuk didalamnya, saat ini
menjadi suatu aktivitas yang paling tepat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai al-
Qur‟an, seperti banyak dilakukan pada lembaga pendidikan islam terutama.
Pemaknaan dan perlakuan semacam itu hanya dipandang sebagai salah satu
bentuk perlakuan yang dapat diberikan terhadap al-Qur‟an, dan pemaknaan
serta perlakuan inilah yang kemudian menjadi objek kajian itu sendiri. Tentu
saja, peran dan kedudukan al-Qur‟an sebagai kitab tidak bisa diabaikan begitu
saja. Namun, yang dimaksud dengan “al-Qur‟an” di sini bukan lagi mutllak
kitabnya, tetapi juga tafsir dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada tafsir
atas ayat-ayat dalam al-Qur‟an tersebut.
451
Wawancara dengan dosen UNSIQ Bapak H. Ahmad Zuhdi, M.Ag. 24
Nopember 2017, pukul 09.00. di ruang Dosen. 452
A. Athaillah, Sejarah Al-Qur‟an: Verifikasi Tentang Otentisitas Al-Qur‟an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 31-33.
Page 151
140
Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan living Qur‟an untuk
menumbuhkan budaya Qur‟ani, sepetti (1) Yasinan, (2) Dzikir bersama, (3)
Penulisan ayat-ayat al-Qur‟an menjadi seni kaligrafi atau lukisan
kaligrafis. Di sini penelitian dapat diarahkan perhatiannya pada
pemaknaan yang diberikan oleh penulis dan pelukis kaligrafi, atau pada
pembeli-pembeli tulisan dan lukisan tersebut. Termasuk juga penempatan
tulisan dan lukisan tersebut di rumah-rumah para pembeli, karena di situ
juga tersirat pemaknaan tertentu dari pembeli atas tulisan dan lukisan
yang berisi ayat-ayat al-Qur‟an tersebut.453
(4) Kemudian ritual
keagamaan yang dinamakan mujahadah juga merupakan salah satu media
masyarakat atau pengamal untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang
bacaan amalannya diambil dari potongan-potongan al-Qur‟an. Dalam
ritual tersebut, ayat atau surat al-Qur‟an bagaikan sesuatu yang hidup dan
bersemi ketika dibacakan dan diamalkan sehingga potongan-potongan
ayat menggema di sepanjang dilakukan ritual keagamaan tersebut. Selain
itu, tidak terlepas aspek-aspek mistik yang dipercayai oleh pengamalnya
adalah menyediakan air putih yang dibacakan amalan mujahadah dan
diyakini bisa menjadi obat bagi keluarga atau diri sendiri yang sedang
mengalami gangguan kesehatan atau jiwa. Pada dasarnya mujahadah
adalah ritual keagamaan yang bermula dari tawasul yang telah
diintegrasikan dari berbagai guru yang pernah disinggahi oleh pemimpin
mujahadah. Demikian beberapa manifestasi menghidupkan al-Qur‟an
dalam kehidupan manusia, hal ini tentunya dengan tujuan menghidupkan
dan mengkokohkan agama islam baik lahir maupun batin. Membudayakan al-Qur‟an tidak hanya diartikan selalu memberikan
dalil, kita sering kali terjebak bahwa untuk membudayakan al-Qur‟an maka
pada setiap pertemuan baik dalam perkuliahan maupun kegiatan akademik
lainnnya pasti memberikan dalil tertentu. Kehidupan qurani tentu dibangun dari
diri sendiri, misalnya ketika kerja dimulai dengan niat karena Allah.454
Oleh
karena itu, Budaya living Qur‟an digambarkan sebuah tekstualitas tentu
tafsirnya sesuai dengan tafsir kita, baik dibidang akhlaq atau dibidang lainnya
itulah untuk melivingkan qur‟an, langkahnya adalah pertama untuk mereka
mengetahui tentang al-Qur‟an, dengan mengetahui tafsir sesuai dengan jurusan
mereka, sehingga setiap prodi memiliki ayat-ayat al-Qur‟an yang sesuai dengan
profesinya sehingga al-Qur‟an bisa live dalam kehidupan profesinya, adapun
453
Heddy Shri Ahimsa-Putra, THE LIVING AL-QUR‟AN: Beberapa Perspektif
Antropologi, Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012, 235-260
http://www.journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/198 454
Wawancara dengan Bapak Fatkhurrohman, M.Pd. 22 September 2017, pukul
08.00. di ruang Dosen.
Page 152
141
yang bersifat umum, ada aturan-aturan kemahasiswaan dan pegawai yang
mengamalkan nilai-nilai al-Qur‟an.455
Proses pembinaan yang dilakukan secara kontinyu dimulai dari
pemahaman visi UNSIQ yang transformatif, humanis dan qurani. Seperti yang
telah dijelaskan bahwa transformatif tidak hanya bersifat langsung terjadi pada
sebuah produk tapi dimulai dari mindsetnya. Membangun mindset pada
pegawai UNSIQ memang terbilang baru seperempat abad dengan tujuan agar
pegawai-pegawai tersebut bisa bertransformasi dari sesuatu yang masih beku
kemudian kita dilanjutkan membangun pondasi yang sama dari mindset itu pada
transformatif humanis dan qurani tadi. Disamping itu tentu praktek kehidupan
kampus selalu diarahkan sesuai visi UNSIQ sebagaimana diketahui setiap hari
senin diberikan pengarahan visi tersebut. Kemudian didalam penjabaran-
penjabarannya pada mata kuliah dan terus dijabarkan dalam berbagai kegiatan
kampus.456
455
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Bapak Dr. KH. Muchotob Hamzah. MM. 23
Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ. 456
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Bapak Dr. KH. Muchotob Hamzah. MM.
pada 23 Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 153
142
2. Budaya Akademik Sebagai Asas Pengembangan Budaya Organisasi
UNSIQ mendasarkan ruang lingkup budaya akademiknya seperti pada
pandangan akademik, aktivitas akademik, etika akademik dan lingkungan
akademik. Penjelasan tentang perwujudan budaya akademik di perguruan tinggi
yakni; “Manifestasi dari budaya akademik warga UNSIQ, terlihat dari pola fikir
(kritis, analitis, sintesis, antisipatif), bersikap (obyektif, terbuka, responsive,
demokratis), bertindak (inovatif, inisiatif, kreatif, transformative) dan tanggung
jawab (ilmiah, moral/ etik, social, professional)”457
Budaya akademik yang dibangun selanjutnya di UNSIQ, melalui
kegiatan yang bersifat seminar untuk menanamkan identitas perguruan tinggi,
kegiatan ini dimulai dari awal mahasiswa masuk pada perguruan tinggi dengan
adanya pembekalan studi S1. Sedangkan untuk dosen diadakan kegiatan
konsorsium yang menjelaskan tentang proses perkuliahan, proses penelitian dan
pengabdian masyarakat, hal ini berkaitan juga penjelasan dengan posisi dosen
baru maupun dosen lama di UNSIQ.458
Peningkatan media pembelajaran berupa
adanya program pembelajaran berbasis online juga sebagai instrumen dalam
budaya akademik. Kemampuan digital ini untuk mengelola bahan ajar dan
praktek pembelajaran untuk mendukung kompetensi dosen-dosen sangat
penting. Kebutuhan perkembangan teknologi pendidikan untuk memfasilitasi
cara belajar fleksibel.
Kemudian juga ada refresh dosen sebagai penyegaran suasana
akademik di perguruan tinggi. Berkaitan dengan unsur pembentuk budaya
akademik kami melampirkan beberapa nilai yaitu profesional, sistem, disiplin.
Budaya profesional berkaitan dengan bagaimana seseorang bisa bekerja dengan
baik. Budaya sistem di UNSIQ sedang dalam proses pembangunan, karena
ketika terjadi pergantian pegawai diharapkan sistemnya sudah mapan. Oleh
karena itu, kita perlu membangun budaya system yang kokoh, sistem disini
diartikan sistem akademik yang menjamin sebuah pekerjaan bisa berjalan, tanpa
budaya sistem suatu kegiatan pekerjaan kadang-kadang berjalan tidak terarah,
ini yang perlu kita bangun disitu. Budaya sistem merujuk pada statuta
perguruan tinggi dan juga melalui penempatan personal-personal yang sesuai
menjadi daya dukung pelaksanaan pekerjaan yang efektif dan efisien.
Sedangkan budaya disiplin diwujudkan dalam disiplin waktu, karena disiplin
dalam arti penyelesaian pekerjaan adalah penting.459
Penelitian akademis menuntut kondisi konteks tertentu. kondisi konteks
tersebut dalam penelitian akademik adalah sebagai akar pohon dan air untuk
ikan. Pembangunan budaya akademik dalam bidang penelitian juga terus
dikebut, namun beberapa hal masih perlu perbaikan dari segi fasilitas, buku-
buku, informasi data, instrumen eksperimental, sistem jaringan, situs penelitian
457
Wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, M.Pd. pada 14
Nopember 2017, pukul 13.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 458
Wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, M.Pd. pada 14
Nopember 2017, pukul 13.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 459
Wawancara dengan Dosen FITK UNSIQ Bapak Fathurrohman, M.Pd. 22
September 2017, pukul 08.00. di ruang Dosen.
Page 154
143
dan sebagainya. Kemudian dukungan keuangan sangat diperlukan dalam rangka
untuk memenuhi kondisi ini. Dengan dana yang memadai untuk penelitian,
instrumen canggih dan peralatan, sumber data yang melimpah dan lokasi
penelitian yang sesuai, penelitian akademis dapat berkembang sepenuhnya di
UNSIQ.
Pelibatan civitas akademik dalam semua aspek pembangunan budaya
kampus, termasuk pembangunan budaya akademik tidak diragukan lagi.
Beberapa dimensi upaya membangun budaya akademik di UNSIQ, yakni;
Purpose (visi, misi, strategi), heart (nurani, simpati, rasa), self discaption
(konsistensi, komitmen, tekad), relationship (jejaring, kerjasama), dan values
(norma, tata nilai). Budaya akademik UNSIQ memiliki perbedaan dengan
perguruan tingggi lain, seperti yang dijelaskan; spirit qur‟ani, nilai historisitas
dari terbentuknya pesantren-pesantren yang ada di lingkungan perguruan tinggi.
Terlepas dari plus minus pesantren namun secara umum pesantren bisa
memberikan nuansa yang berbeda, misalnya sikap penghormatan kepada
pendahulu, jadi jangan sampai pendahulu merasa tersingkirkan. Kemudian
kegiatan kampus yang bersifat seremonial yakni apel senin pagi, simbolis ini
masih bertahan di UNSIQ.460
Peran budaya akademik ini sangat penting ketika lembaga menghadapi
penurunan sumber daya. Selama periode ini struktur sosial masyarakat berada
di bawah tekanan besar. Jika budaya akademik tidak dapat dipelihara selama
periode kemajuan, hasilnya bisa konflik destruktif antara fakultas, kehilangan
semangat profesional, dan keterasingan pribadi. Permasalahan seperti ini pun
dihadapi UNSIQ; Budaya akademik sebagai suatu totalitas kehidupan dan
kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai, diamalkan oleh warga UNSIQ.
Budaya akademik merupakan manifestasi cipta, rasa, karsa, dan karya civitas
akademika ketika sedang dalam proses, dinamika, dan keberlangsungan
kehidupan dan aktifitas masyarakat akademik. Ruang lingkup budaya
akademik; Integritas pribadi (spirit, commitment, competent, consistent, care,
communication, contribution), Tradisi akademik (identitas tradisi dan adat
kebiasaan), Suasana akademik (diniyah, ilahiyah, ilmiyah, alamiyah, ukhuwah),
dan Lingkungan akademik (fisik, psikis, idiologis mental, spiritual).461
Dengan
demikian, pemberdayaan dalam semua aspek budaya akademik ini menjadi
penting dipahami oleh civitas akademik UNSIQ.
Konsep 3 wong yang dikembangkan di UNSIQ juga penting. Pertama,
Wong Islam, yang di UNSIQ secara simbolis sudah ada, melalui berbagai
kajian, melalui bacaan Al-Qur‟an, kemudian pengajian-pengajian itu yang
ditempat yang lain mungkin tidak ada, ini kadang-kadang yang tidak ada kajian-
kajian di kalangan dosen yang sifatnya tidak terlalu formal, itu relatif bisa
bertahan meskipun pesertanya belum terlalu banyak tapi sudah bagus. Yang
kedua, Wong Indonesia, ini juga penting penanaman di kampus. Kampus-
460
Wawancara dengan Dosen FITK UNSIQ Bapak Fathurrahman, M.Pd. 22
September 2017, pukul 08.00. di ruang Dosen. 461
Wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, M.A. pada 14
Nopember 2017, pukul 13.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ.
Page 155
144
kampus kemudian banyak yang terjebak untuk longgar dalam masalah wong
Indonesia. Makanya kemudian saya selalu menyampaikan dalam banyak acara,
lagu Indonesia Raya harus muncul karena itu bagian dari nilai qurani.
Setidaknya historisitas Rasul begitu, Rasul itu mengangkat Islam pada saat yang
sama mengangkat bangsa Quraisy, jadi sisi kebangsaaan Rasul itu disitu,
membina Islam tapi menyiapkan tokoh-tokoh Quraisy untuk menjadi andalan.
Jadi Rasul itu memiliki semangat keislaman sekaligus semangat kebangsaan
yang dijalankan beriringan, tetapi perlu pembinaan dan dipersiapkann, hal ini
terbukti pada khalifah 4 itu yang berasal dari bangsa Quraisy. Disinilah
pentingnya perguruan tinggi harus mengangkat semangat kebangsaan sebagai
bagian sub dari budaya qurani. Budaya Islam juga menghargai nilai-nilai
kebangsaan. Yang ketiga, wong UNSIQ, ciri khas UNSIQ melalui mars UNSIQ
secara simbolisnya, adapun sebagai pencirian UNSIQ adalah pada kitab kuning
yang dikaji bersama di lingkungan Perguruan Tinggi.462
Dasar pemberdayaan sumber daya insani di UNSIQ sebagai suatu
norma identitas menuju budaya akademik, misal; pertama, hukum kehidupan,
artinya manusia dengan kemampuan fisiknya, mental, dan kepribadian yang
bervariasi kemudian membentuk karakter organisasi sepanjang waktu. Kedua,
hukum individualitas, maknanya kemampuan-kemampuan manusiawi yang
dimiliki institusi bercampur secara bervariasi menjadi suatu identitas yang dapat
dimengerti sehingga membuat organisasi itu unik. Ketiga, hukum konsistensi
yang menjelaskan bahwa identitas itu bersifat tetap, melampaui ruang dan batas
waktu, sementara manifestasinya selalu berubah. Keempat, hukum kehendak
mendefinisikan bahwa setiap organisasi didesak oleh kebutuhan untuk
menciptakan nilai yang sesuai dengan identitasnya. Kelima, hukum
kemungkinan memberikan pemahaman tentang identitas memiliki potensi.
Keenam, hukum relasi dengan maksud pada dasarnya organisasi bersifat
relasional, dan relasi tersebut akan menjadi sedemikian kuat jika terjadi
perpaduan identitas-identitas dari para partisipannya. Ketujuh, hukum
pemahaman, dimana kemampuan-kemampuan individual dari sebuah organisasi
mengandung nilai sama pentingnya dengan nilai yang telah dipahami dari
keseluruhan organisasi tersebut. Dan Kedelapan, hukum perputaran
memastikan identitas dapat menentukan nilai yang menghasilkan kesejahteraan
dan sebaliknya. Dengan demikian dibutuhkan kemampuan untuk memahami
identitas diri secara komprehensif agar interaksi kerja berjalan dengan baik
tanpa hambatan yang berarti, tentunya hal ini diharapkan seluruh komponen
organisasi di UNSIQ.
Penguatan budaya akademik agar mampu bertahan terhadap
perkembangan budaya luar yang bersifat destruktif terhadap budaya akademik
di UNSIQ, antara lain; capacity building (dosen, mahasiswa, tenaga
kependidikan), tata kelola manajemen (sop, proses, mekanisme), networking
(input, proses, produk) dan process-sustainability (system, kharisma, teladan).
Pada akhirnya dibutuhkan proses pengembangan budaya akademik agar mampu
462
Wawancara dengan Dosen FITK UNSIQ Bapak Fathurrohman, M.Pd. pada 22
Septembe 2017, pukul 08.00. di ruang Dosen.
Page 156
145
berkembang dan menjadi potret budaya akademik yang positif bagi perguruan
tinggi islam lainnya, dalam hal ini dijelaskan; internalisasi (nilai inti, pola ilmu,
institusi dan trend), eksplorasi (identitas, ciri, keunggulan, dan spesifikasi), dan
kontekstualisasi (dalam kehidupan pribadi, institusi dan konstitusi).463
Mukhotob Hamzah selalu mengingatkan bahwa kinerja kita selaiknya
tidak lepas dari rambu-rambu yang diberikan Islam pada mereka, tentang
profesionalitas misalnya juga ditunjang hadist tentang keahlian agar setiap kerja
itu disesuaikan dengan keahliannya karena sangat jelas hakikatnya sesuai
dengan statemen Nabi,464
sebenarnya inti dari tugas profesionalitas, ini
meskipun hadits tapi berpedoman pada al-Qur‟an. sangat jelas amalus
solikhatin menurut saya bukan hanya dalam soal nilainya tapi juga dalam
produknya dari sistemnya begitu juga alur perkiraannya. Kemudian
akuntabilitas, al-Qur‟an menyatakan suatu kerja yang akuntable berarti harus
maksimal juga.465
itu termasuk dalam sistem kita yang digunakan dari sejak
adanya statuta sampai pada penjabaran-jabarannya dalam renstra dan lain
sebagainya, semua menggunakan budaya akademik yang pencapaiannya harus
bersifat Qur‟ani”.466
463
Wawancara dengan Wakil Rektor 1, Dr. Zaenal Sukawi, M.A. pada 14
Nopembe 2017, pukul 13.00. di ruang Wakil Rektor 1 UNSIQ. 464
HR Bukhori Nomor 6015
اس عه أبي هشيشة سضي انهه عىه قال حذثىا محمذ به سىان حذثىا فهيح به سهيمان حذثىا ههال به عهي عه عطاء به يس
ا ضيعج انأماوت فاوخظش انساعت قال كيف إضاعخها يا سسىل انهه قال إرا أسىذ انأمش قال سسىل انهه صه انهه عهيه وسهم إر
إن غيش أههه فاوخظش انساعت
Artinya “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sinan] telah
menceritakan kepada kami [Fulaih bin Sulaiman] telah menceritakan kepada kami [Hilal bin
Ali] dari ['Atho' bin yasar] dari [Abu Hurairah] radhilayyahu'anhu mengatakan; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja
kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-
siakan?' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah
kehancuran itu." 465
At-Taubah ayat 105 466
Wawancara dengan Rektor UNSIQ Bapak Dr. KH. Muchotob Hamzah. MM.
pada 23 Oktober 2017, pukul 08.00. di ruang Rektor UNSIQ.
Page 157
146
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis berkesimpulan
bahwa budaya organisasi di Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo
diwujudkan dalam peran kepemimpinan UNSIQ yang demokratis, peran relasi
interpersonal pegawai UNSIQ menciptakan hubungan kekeluargaan dan
penerapan nilai-nilai Qur‟ani sebagai pedoman kehidupan sehari-hari pegawai
UNSIQ menghadapi perubahan organisasi.
Kesimpulan tersebut dibuktikan dengan adanya pemahaman budaya
organisasi yang baik oleh civitas akademik UNSIQ dimulai dari adanya
kepemimpinan organisasi yang mampu menciptakan sekaligus mempaktekkan
sistem nilai pada organisasi, karena nilai adalah wujud dari kualitas organisasi
tersebut dan setiap organisasi memiliki keyakinan, norma, nilai, dan pandangan
yang berbeda dalam memandang suatu objek, sehingga perbedaan tersebut
memunculkan identitas dan karakteristik organisasi. Interpretasi nilai budaya
organisasi ini diambil dari teori budaya organisasi Hofstede antara lain
individualistic-collectivistic, power distance, uncertainty avoidance,
masculinity-femininity, dan term orientation.
Konsep relasi interpersonal dipahami dari keseimbangan yang
diberikan organisasi kepada civitas akademik UNSIQ seperti keseimbangan
antara penghasilan, beban kerja, motivfasi, komunikasi, kepuasan kerja dan
kinerja pegawai. Keseimbangan tersebut memperhatikan input pegawai UNSIQ
seperti pengalaman kerja, pendidikan dan spesialisasi pekerjaan, dan juga
output pegawai UNSIQ yang diartikan sesuatu yang telah diinvestasikannya
dalam lingkungan pekerjaan di UNSIQ. Hasil penelitian, berkeseimpulan bahwa
konsep relasi interpersonal sebagai sebuah kewajiban yang harus terpenuhi,
apabila kondusifitas lingkungan kerja yang menjadi harapan sekaligus tujuan
pengambangan budaya oganisasi di UNSIQ. Teori Keseimbangan menyatakan
bahwa penghargaan yang rendah memacu timbulnya ketidakpuasan, hal
tersebut akan memicu seorang individu untuk merespon dengan bertindak
berdasarkan atas rasa ketidaksesuaian rasio yang diberikan dengan rasio yang
diterima. Respon cepat yang diambil oleh pimpinan dengan mengadakan
evaluasi rutin civitas akademik, sebagai upaya pengkajian masalah. Dukungan
asas keadilan dan asas kekeluagaan sekaligus sudah terbentuknya budaya
Qu‟ani yang kokoh di UNSIQ, dapat meminimalisir munculnya
ketidakseimbangan akibat dinamika perubahan organiasi di UNSIQ.
Urgensi aktualisasi nilai-nilai Qur‟ani dalam pengembangan budaya
organisasi, diwujudkan pada pemahaman secara komprehensif pada nilai-nilai
Qur‟ani tersebut. Nilai-nilai Qur‟ani meliputi kepercayaan, keterbukaan, sikap
positif, sikap supportif, kesetaraan dan empati. Kemudian proses aktualisasi
nilai-nilai Qur‟ani tersebut dengan pembudayaan Qur‟ani seperti adanya
pengajian rutin jumat pagi, yasin dan mujahadah malam jumat, wisata religi ke
maqam-maqam pendiri UNSIQ maupun pendiri kota wonosobo, tausiah setelah
apel senin pagi, dan yang paling utama adalah upaya UNSIQ untuk
Page 158
147
memaksimalkan peran pesantren untuk menanamkan jiwa agama pada diri
civitas akademik. Pada akhirnya, pembangunan suasana akademik difokuskan
pada suasana diniyah, ilahiyah, ilmiyah, alamiyah, dan ukhuwah sebagai sebuah
organisasi transformative yang berbasis pesantren.
B. Saran dan Rekomendasi Organisasi yang menggunakan pengelolaan organisasi modern,
pemimpin maupun pengelola organisasi mempunyai peluang untuk mencapai
tujuan organisasi yang maksimal. Akan tetapi, pencapaian tujuan organisasi
tersebut harus didasarkan pada pertimbangan nilai-nilai budaya organisasi yang
telah ditetapkan bersama berdasarkan atas nilai-nilai relasi interpersonal.
Maksudnya, aktualisasi dari pencapaian tujuan organisasi tersebut tidak semata-
mata untuk kepentingan pemimpin maupun pengelola organisasi, tetapi juga
untuk kepentingan semua anggota organisasi yang terkait.
Penelitian akhirnya menemukan konsep relasi interpersonal dalam
budaya organisasi sebagai teori sekaligus praktik dalam manajemen pendidikan.
Sarana solusi alternatif organisasi dari efek makin menurunnya kualitas relasi
antar anggota organisasi, sehingga muncul sikap kekerdilan diri. nilai-nilai
tersebut berkontribusi menghasilkan nilai baik bagi anggota organsiasi, yakni
hidup bermakna untuk dirinya maupun lingkungannya. Namun juga perlu
pembahasan yang lebih mendalam terkait model-model budaya organisasi
secara nasional, ini sebagai rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian pengembangan
kajian keislaman melalui pendekatan manajemen pendidikan islam, namun
secara teoritis penelitian ini belum banyak menggunakan landasan teori yang
betul-betul berlandaskan sumber islam. Rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya yakni peneliti lebih memperhatikan kajian keislaman yang tidak
hanya menggunakan dua landasan al-Qur‟an dan Hadis, namun juga
menggunakan teori-teori dasar yang bersumber dari berbagai pemikiran tokoh
dan ulama muslim klasik maupun modern.
Aksentuasi penelitian ini hanya terbatas pada perguruan tinggi yang
berbasis pesantren sehingga untuk menemukan informasi secara keseluruhan
dari perguruan tinggi yang tidak berbasis pesantren tidak tercapai. Penelitian
selanjutnya diharapkan bisa melibatkan dari berbagai perguruan tinggi pada
umunya sebagai upaya generalisasi hasil penelitian.
Page 159
148
DAFTAR PUSTAKA Buku ‘A<’ishah Abd al-Rahman Bintu Al-Sha>t}i’, Al-Qur’a>n wa Qad}a>ya> al-Insa>n. Kairo:
Dar al-Ma’arif, tanpa tahun.
Adz-Zhahabi. Muhammad Husein, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Al-Ittija>ha>t al-Munh}arifah fi Tafsi@r al-Qur’a>n al-Karim. Jakarta: Rajawali, 1991.
Alasuutari, Pertti, Leonard Bickman, and Julia Brannen. The Sage Handbook of Social Research Methods. Sage Publication, 2008.
Al-D}a>man, Mundhir. Asa>siya>t al-Bah}su al-‘Alami>. ‘Ama>>n: Da>r al-Masi>rah, 2006.
Anastasi, A. Tes Psikologi. Jakarta: PT. PrenhaIIindo, 1997. Anna Gade, Perfection Makes Practice: Learning, Emotion, and the Recited Qur’a>n
in Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press, 2004. Arens, Alvin A. Auditing dan Jasa Assurance Pendekatan Terintegrasi Jilid I.
Jakarta: Erlangga. 2008.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998.
Ar-Razi. Muhammad, Fakhr Ad-Din, Tafsir Al-Fakhr Ar-razi, 32 Jilid, cetakan ke
III. Bairut: Lebanon: Dar’-Fikr, 1985.
Ash-Shabuni. Muhammad Ali, Shafwatu-t-Tafaasir: Tafsiiru-l-Qur’an Al-Karim, Juz.1. Cairo: Daaru Shabuni li-th-Thiba‟ah Wa-n-Nasyr Wa-t-Tawzi‟, 1997.
Athaillah. A., Sejarah Al-Qur‟an: Verifikasi Tentang Otentisitas Al-Qur‟an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Avolio, B. J. and B. M. Bass. Manual for the Multifactor Leadership Questionnaire
(Form 5X). Mindgarden, Redwood City, CA. 2002.
Avolio. B. J. & F. J. Yammarino (Eds.), Transformational and charismatic
leadership: The road ahead. Oxford, UK: Elsevier.
Baron, RA., & Byrne, D. Sosial Psychology: Understanding Human Interaction. New York: Allyn & Bacon, 1994.
Bass, B. M. and B. J. Avolio. Improving Organizational Effectiveness through
Transformational Leadership. Sage, Thousand Oaks CA. 1994.
Bass, B. M. Leadership and performance beyond expectations. New York: Free
Press. 1985.
Bayat, H.R. Evaluation and Analysis of Organizational Culture Effects on Creativity and Innovation of Governmental Organizations in Zanjan province. Master Degree Dissertation, AllameTabatabaei University, 1996.
Berman. M. A. (Ed.), Corporate culture and change. New York; The Conference
Board Inc.
Beyer, Berry K. Teaching Thinking in Social Studies; Using Inquiry in the Classroom. London Sydney: Bell and Hawell Company, 1979.
Blankenship. Ralph, (ed.) Colleagues in Organization New York: John Wiley.
Bolman, L. and T. Deal. Modern Approaches to Understanding and Managing
Organizations, San Francisco: Jossey-Bass. 1984.
Page 160
149
Butts J.B. & Rich K.L. Nursing Ethics: Across the Curriculum and into Practice
Second Edition. UK: Jones and Bartlett Publisher, 2008.
Cameron, K.S. and Ettington, D.R. The conceptual foundations of organizational culture Higher Education: Handbook of Theory and Research. New York: Agathon, 1988.
Cartwright, D., & Zander, A. Group dynamics: Theory and research, 3rd ed. New York: Harper & Row, 1968.
Clark, B. (Ed.). Perspectives in Higher Education. Berkeley: University of California Press, 1984.
Clark, B. (Ed.). The Academic Profession. Berkeley: University of California Press, 1987.
Clark, B. Academic Culture. Working paper No. 42. New Heaven, CT: Yale University Higher Education Research Group, 1980.
Clark, B. The Distinctive College. Chicago: Aldine, 1970. Cooper. C. L., S. Carwright and P. C. Earley, The International Handbook of
Organizational Culture and Climate. John Wiley & Sons Ltd, Chichester.
Cummings, T. G., and Huse, E. F. Organizational Development and Change. Saint
Paul, Minn.: West, 1989.
Daft, R.L. Organizational Theory and Design, 7th ed., South Western College
Publishing, Cincinnati, OH. 2001.
Danandjaja, Andreas A. Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1986.
David, Fred. R, Manajemen Strategis, Konsep. Edisi Ketujuh, Alih Bahasa
Alexander Sindoro. Jakarta: Prehallindo, 2004.
Deal, P., & Kennedy, A. Corporate cultures. Reading, MA: Addison-Wesley. 1982.
Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln. Handbook Of Qualitative Research. terj., Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.
Dwyer, D. Interpersonal Relationships USA: Taylor & Francis e-Library. Dari e-Book, 2002.
Earle, William James. Introduction to philosophy. Singapure: Mc Graw-Hill Inc, 1992.
Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Follet, Mary Parker. Prophet of Management; A Celebration of Writings from the 1920s. Washington DC: Beard Books, 2003.
Follet, Mary Parker. The New State; Group of Organization the Solution of Popular Government. New York: Longmans, Green, 1918.
Frazier, Gary L. and Jagdish N. Sheth (Eds.). Contemporary Views on Marketing Practice. Lexington, Mass.: Lexington Books, 1987.
Friedman, R. The Effect of The Instruction Approach of The Mentor Teacher on The Professional and Self Image of The Mentee in The Induction Process. Master’s Thesis, Ramat Gan: Bar-Ilan University, 2002.
Page 161
150
Fullan, M. & St. Germain. Learning places: Afield guide for improving the context
of schooling. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. 2006.
Fullan, M. Leading in a culture of change. San Francisco: Jossey-Bass. 2001.
Gergen. K. M. Greenberg & R. Willis (eds), Social Exchanges: Advances in Theory
and Research. New York: Plenum Press.
Ghahreman, T. Relation Between The Organizational Culture, Leadership Style of Managers and Creativity of Faculty Members of Physical Education Schools and Departments. Ph.D. Thesis, Tehran University, 2007.
Giddens, Anthoni. The Constitution of Society: Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Yogyakarta: Pedati, 2003.
Greenberg, J., dan Baron, RA. Behavior in organizations. Eighth Edition. New
Delhi; prentice Hall. 2003.
Gunawati, Rindang, Sri Hartati dan Anita Listiara. “Hubungan Antara Efektivitas Komunikasi Mahasiswa Dosen”. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Volume 3 No.2, Desember 2006.
Hage, H. Communication and Organizational Control. New York: John Wiley.
1974.
Handoko, T. Hani. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2001.
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1982.
Haryani, Sri & Yulia. Mengelola Sumber Daya Manusia Dan Hubungan Karyawan. Jakarta: Gramedia, 1995.
Hatch, Mary Jo. Organization Theory; Modern, Symbolic and Postmodern
Perspectives. New York: Oxford University Press. 1997.
Hofstede, Geert, Geert Jan Hofstede and Michael Minkov. Culture and Organization: Software of The Mind. McGraw Hill Professional, 2010.
Hofstede, Geert. Culture’s Consequences International Differences in Work-related Values. Baverly Hills, Ca: Sage Publ., 1980.
Hogg. M. A. and D. Terry (eds), Social Identity Processes In Organisations.
Psychology Press, New York.
Hogg. M. A. and S. Tindale (eds), Blackwell handbook of social psychology: Group
processes. Blackwell, Maulden, MA.
Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur‟an. Ithaca:
Cornell Univrsity Modern Indonesia Project, 1994.
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Abdu Rahman bin
Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalain. Beirut: Daru Shaadir, 2003.
Janis, I. Groupthink. (2nd ed.) Boston: Houghton Mifflin, 1982.
Johns, A. Text, Role, and Context: Developing Academic Literacies. Cambridge:
Cambridge University Press. 1997.
Johnson, D.W. Reaching Out Interpersonal Effectiveness And Self Actualization. San Fransisco: Prentice HaIl, 1986.
Page 162
151
Johnson, D.W., & Johnson H. Learning Together And Alone: Cooperation, Competition, And Individualization (3rd ed.). Engkwood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1991.
Judson, Arnold S. Changing Behavior in Organizations: Minimizing Resistance to
Change . Cambridge, MA : Blackwell. 1991.
Kafa>fi>, ‘Ula>uddi>n Ah}mad. ‚Mahara>tu al-Ittisha>l wa al-Tafa>’ul fi> ‘Imli>ti> wa al-Ta’alum‛. Shaf 2, Da>r al-Fikr: Qa>hiroh Mishr
Kagan, C; Evans, J & Kay, B. A Manual Of Interpersonal Skills For Nurses: An Experiential Approach. London: Harper & Row, 1990.
Kanter, R., B. Moss, Stein and T. Jick. 'The Challenge of Organizational Change'.
Free Press, New York. 1992.
Kelley, H. H., & Thibaut, J. W. Interpersonal Relations: A Theory Of Interdependence. New York: Wiley, 1978.
Kennedy, Gary J.M.D. Geriatric Mental Health Care. New York: The Guilford Press, 2000.
Keraf, A. S. Pasar Bebas, Keadilan, dan Peran Pemerintah. Yogyakarta; Kanisius.
1996.
King, N., and Anderson, N. Innovation and Change in Organizations. New York:
Routledge, 1995.
Kotter, J. P., & Heskett, J. L. Corporate culture and performance. New York: Free
Press. 1992.
Krech D, & Crutchfield RS. Theory and problems of social psychology. New York: McGraw-Hill Book Co.; 1948.
Kuh, G. D., & Whitt, E. J. The Invisible Tapestry: Culture in American Colleges and Universities. ASHE-ERIC Higher Education Report No 1. Washington, DC: George Washington University, 1986.
Kurniadin, Didin Dan Imam Machali. Manajemen Pendidikan; Konsep dan Prinsip Pengelolaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Laeyendecker L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Latif, Abdul. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama, 1997.
Leonard, D. A., and Swap, W. C. When Sparks Fly: Igniting Creativity in Groups.
Boston: Harvard Business School Press, 1999.
Lind, E. A. & Tyler, T. R. The Social Psycholgy of Procedural Justice. Plenum
Press, New York. 1988.
Mansur. Muhammad, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis.
Yogyakarta: Teras, 2007.
Manzur Ibn, Lisan ‘1-‘Arab, 20 Jilid, (Mesir: Ad-Dar Al-Mishriyah Li At-Ta’lif wa
At_Tarjamah) jilid 13. Martin. Richard, ed., Approaches to Islam in Religious Studies. Oxford: Oneworld,
2001.
Miles, Matthew B., A. Michael Hubermen, and Johnny Saldana. Qualitative Data Analysis; A Methodes Sourcebook. Sage Publication, 2014.
Page 163
152
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2010. Morril, P. H., & Speed, E. R. The Academic Profession: Teaching in Higher
Education. New York: Human Sciences Press, 1982. Ndraha, Taliziduhu. Budaya Organisasi. Jakarta: Rinek Cipta, 2003. Ngara E. The African University and Its Mission for Improving the Delivery of
Education Institutions. Roma: Institute of Southern African Studies. 1995.
Nisbet, R. The Degradation of the Academic Dogma. New York: Basic Books.
1971.
Olins, W. Corporate identity, Thames & Hudson, London. 1989.
Ott, J.S. The Organizational Culture Perspective. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole Publishing Company. 1989.
Pangestuti, R. “Penundaan Menyelesaikan Skripsi (Studi Kasus pada beberapa Mahasiswa Angkatan ’96 Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro”. Semarang. Fakultas Psikologi UNDIP, 2003.
Patricia, K.L. “An Investigation of The Relationship Between Transformationunial Leadership and Constructive Organizational Culture”. Ph.D. Thesis, MaryWood University, 2001.
Pieternella van Doorn-Harder, Women Shaping Islam: Reading the Qur’a>n in Indonesia. Urbana: University of Illinois Press, 2006.
Pinder, C. C. Work Motivation in Organizational Behavior. New Yersey: Prentice
Hall, Uper Saddle River. 1998.
Popovich, M.G., ed. Creating High-Performance Government Organization. San
Francisco: Jossey-Bass. 1998.
Purwanto. Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung; Remaja
Rosdakarya, 2005.
Rahman. Fazlur, Major Themes of the Qur‟an. Chicago: Ibliotheca Islamica, 1980.
Rakhmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Raya, 2005. Rao, V.S.P. and V. Hari Krishna. Management: Text and Cases. New Delhi: Excel
Books, 2008. Rasmussen. Anne K., Women, the Recited Qur’a>n, and Islamic Music in Indonesia.
Berkeley: University of California Press, 2010.
Robbins, S. Organisational Behaviour: Concepts, Controversies and Applications. 6th ed. New Jersey: Prentice Hall, 1993
Robbins, S. P. and Mary Coulter. Management, Ninth Edition. International Edition.
New Jersey: Pearson Education. Inc. 2007.
Robbins, Stephen P. and Judge A. Timothy. Organizational Behaviour. vol 15, USA: Pearson Education, 2013.
Robbins, Stephen P. Organizational Theory. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1990.
Robbins. Stephen P. Organizational Behaviour. Prentice Hall Inc. 2003.
Robert E. van Voorst, Anthology of World Scriptures. Belmont, CA: Thomson
Wasworth, 2008.
Roberts, Helen. Doing Feminist Research. London: Routledge, 1997.
Page 164
153
Robinson. W. P. (ed.), Social groups and identities: Developing the legacy of Henri
Tajfel. Butterworth-Heinemann, Oxford.
Rose, C & Malcolm JN. Accelerated Learning For The 21st Century. Jakarta: Nuansa, 2003.
Ross, L., & Nisbett, R. E. The person and the situation: Perspectives of social psychology. New York: McGraw-Hill, 1991.
Rossotti, Charles O. Many Unhappy Returns. Boston: Harvard Business School
Press. 2005.
Sagala, Syaiful. Budaya Dan Reinventing Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2008.
Sallis, Edward. Total Quality Management In Education. London: Kogan Page Limited.
Sarafino, E.P. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Second Edition, Singapore: John Wiley & Sons, Inc, 1994.
Sathe, Vijay. Culture And Related Corporate Realities. Richard D. Irwin, Inc. Homewood, III, 1985.
Saydam. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Djambatan, 1996. Schein, E. H. Organizational culture and leadership (2
nd ed.). San Francisco:
Jossey-Bass. 1992.
Schein, E.H. Organisational Culture and Leadership. San Fransis-co: Jossey-Bass
Publisher. 1985.
Schein, E.H. Organizational Culture and Leadership. San Francisco: John Wiley &
Sons, Inc. 2004.
Sekhar, R.C. Ethical Choices in Business, Response Books, New Delhi. 1997.
Shaleh, Abdurrahman. Pendidikan Agama Dan Keagamaan Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa (cet.2), 2001.
Shockley, Pamela S. & Zalabak. Fundamentals of Organizational Communication: Knowledge, Sensitivity, Skills, Values. Sixth Edition, Pearson Education, Inc. Published by Allyn and Bacon, 2006.
Sikula, J. (Ed.). Handbook of Research on Teacher Education. (2nd ed., pp. 548-594). New York: Macmillan, 1996.
Smith & Bond, M.H. Sosial Psychology Across Culture: Analysis And Perspective. Cambridge: University Press, 1993.
Sobirin, Ahmad. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna, Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Organisasional. Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2009.
Soebijanta, J.M. “Nilai, Pelimbahan Nilai Dan Penjernihan Nilai”. dalam Atma Nan Jaya, Desember 1988, UAJ Jakarta.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2006.
Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. 2005.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Sumadjoko, Bambang. Membangun Budaya Pendidikan Mutu Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Page 165
154
Sunyoto. Dangan dan Bambang, Perilaku Organisasional, Yogyakarta: CAPS,
2011.
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Sutrisno, Edy. Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana, 2011. Sztompka, Pieter. Sosiologi Perubahan Sosial. terj., Yogyakarta: Prenanda, 2004. T}u’aymah, Rushdi Ahmad. ‚Ta’li>m al-Lughoh Ittis}aliya> Bayna al-Mana>hij wa al-
Istira>tijiya>t‛. i>si>siku>, 2006. Thibaut, J. and Walker, L. Procedural Justice: A Psychological Analysis. Hillside
NJ: Lawrence Erlbaum Associates. 1975.
Tobroni. “Perilaku Kepemimpinan Spiritual Dalam Pengembangan Organisasi Pendidikan Dan Pembelajaran; Kasus Lima Pemimpin Pendidikan Di Kota Ngalam”. Disertasi, Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Tom, Lombardo. Educational Ethics and Values. UK: The Macmillan Company and the Free Press, 2004.
Trice, H. M., & Beyer, J. M. The culture of work organizations. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall. 1993.
Triguno. Budaya Kerja: Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Golden Terayon Press, 2004.
Trompenaars, Fons and Turner, Charles Hampden. Riding The Waves of Culture-Understanding Cultural Diversity in Bussiness. London: Nicholas Brealey Publishing. 1997
Udaya, J., Wennadi, L.Y., dan Lembana, D.A.A. Manajemen Stratejik. Edisi
Pertama. Jakarta: Graha Ilmu. 2013.
Umar. Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an & Hadis. Jakarta:
Gramedia, 2014.
Van Baal J. Symbols for Communication. An Introduction to the Anthropological Study of Religion. Assen, 1971.
Vito, De, J. A. The Interpersonal Communication. Seventh Edition, New York: Harper Collins College Publisher, 1995.
Vivin Ayu Dwi L. “Hasil Belajar Mahasiswa Terhadap Hubungan Interpersonal”. artikel, Surabaya: Fak. Ekonomi UNESA.
Vonk, J. H. C. Conceptualizing Novice Teachers’ Professional Development: A Base for Supervisory Interventions. Paper presented at the Annual Conference of AERA, San Francisco, 1995.
Walgito, B. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset, 2001. Wardhani, Dian Wisnu, Mashoedi, dan Sri Fatmawati. Hubungan Interpersonal.
Jakarta: Salemba Humanika, 2012. Weber, M. Economy and Society. University of California, Berkeley, CA. 1978.
Webster. Third New International Dictionary, Encyclopedia. Britania, Meriam Webster Inc, 1981.
World Bank. Constructing knowledge societies: New Challenges for Tertiary
Education. Washington DC. 2002.
Page 166
155
Yeung, A. K., Ulrich, D. O., Nason, S. W., & Von Glinow, M. A. Organizational
learning capability: generating and generalizing ideas with impact. New
York: Oxford University Press. 1999.
Yukl, G. Leadership in organizations (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice
Hall. 2002.
Yukl, G. Leadership in organizations. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. 2001. Zandvliet, David, Perry Den Brok, Tim Mainhard And Jan Van Tartwijk. Advances In
Learning Environments Research Interpersonal Relationships In Education: From Theory To Practice. Rotterdam, The Netherlands: Sense Publishers, 2014.
Page 167
156
Jurnal Abratt, R. "A new approach to the corporate image management process", Journal
of Marketing Management, Vol. 5 No. 1, 1989.
Ahmed, P. K., “Culture and Climate for Innovation”. European Journal of Innovation Management. 1(1), 30-43, 1998. doi: 10.1108/14601069810199131
Alharbi, Mohammad Awadh, Mohammed Saad Alyahya. “Impact of Organizational Culture on Employee Performance”. International Review of Management and Business Reseacrh, Vol. 2 Issue 1, March 2013
Ali. Muhamad, Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith,
Journal of Qur‟an and Hadith Studies. Vol. 4, No. 2, 2015.
Allaire, Y., & Firsirotu, M. E. “Theories of Organizational Culture”. Organization Studies, 5, 1984.
Amabile, T. M. How to kill creativity. Harvard Business Review, 76, 1998.
Amabile, T. M., Conti, R., Coon, H., Lazenby, J., & Herron, M. Assessing the work
environment for creativity. Academy of Management Journal, 39, 1996.
Andersson, L. M., & Bateman, T. S. Cynicism in the workplace: Some causes and
effects. Journal of Organizational Behavior, 18, 1997.
Andries, Flavius Floris. “Movement of Campus’ Mosque at UGM and UIN Sunan Kalijaga In Order to Understand National Politic”. Jurnal “Analisa” Balai penelitian dan Pengembangan Agama Volume 19 Nomor 02 Juli - Desember 2012.
Andripoulos, C. “Determaints of Organizational Creativity: A Literature Review”. Manage. Decis., 39/10: 834-840, 2001.
Appiah Adu, Kwaku. “The Impact of Marketing Mix Decisions on Performance: A
Study of Foreign and Domestic Firms in a Liberalized Economy.” Journal
of Global Marketing 13 (2): 1999.
Ashkanasy. N. M. and C. P. M. Wilderom (chair), New perspectives on assessing
and using the organization-culture in organization science. Symposium
conducted at the meeting of the Academy of Management, Vancouver, BC.
Ashmos, D.P. and Duchon, D. “Spirituality at work: a conceptualization and
measure”, Journal of Management Inquiry, Vol. 9 No. 2, 2000.
Aspinwall, L. G., & Taylor, S. E. A stitch in time: Self-regulation and proactive
coping. Psychological Bulletin, 121: 1997.
Atabik. Ahmad, The Living Qur‟an: PotretBudaya Tahfiz al-Qur‟an di Nusantara,
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, Februari 2014.
Balmer, J.M.T. "Corporate branding and connoisseurship", Journal of General
Management, Vol. 21 No. 1, 1995.
Barlow, C. B., Jordan, M., & Hendrix, W. H. Character assessment: An
examination of leadership levels. Journal of Business and Psychology,
17(4), 2003.
Bass, B. M. Two decades of research and development in transformational
leadership. European Journal of Work and Organizational Psychology,
8(1), 1999.
Bass, B.M. and Avolio, B.J. “Transformational leadership and organizational
culture”, Public Administration Quarterly, Vol. 17, 1993.
Page 168
157
Bateman, Thomas S. and DennisW. Organ. “Job Satisfaction and the Good Soldier:
The Relationship Between Affect and Employee Citizenship.” Academy of
Management Journal 36: 1983.
Baumeister, R. F., Gailliot, M. T., DeWall, C. N., & Oaten, M. Self-regulation and
personality: How interventions increase regulatory success, and how
depletion moderates the effects of traits on behavior. Journal of
Personality, 74, 2006.
Beggs, Joyce , Dorothy C. Doolittle and Diane Garsombke. “Work Value Orientations And Patterns: A Comparison Of Future Managers With Manager And Non-Manager Groups” International Journal of Value-Based Management, October 1995, Volume 8, Issue 3.
Behling, O. and McFillen, J.M. ``A syncretical model of charismatic/
transformational leadership'', Group and Organization Management, Vol.
21 No. 2, 1996.
Block, J., & Kremen, A. M. IQ and ego-resiliency: Conceptual and empirical
connections and separateness. Journal of Personality and Social
Psychology, 70: 1996.
Boevinks, A. “Shared Transformational Leadership and Organization Culture as Predictors of a Bank’s Financial Performance”. Essay of Bussiness Administrationand Organizational Science, 2009.
Brown, A. Organizational culture: The key to effective leadership and
organizational development. Leadership and Organization Development
Journal, 13(2), 1992.
Butler, J.K., and Cantrell, R.S. "Effects of Perceived Leadership Behaviors on Job
Satisfaction and Productivity." Psychological Reports 80. 1997.
Çakar, N. D., & Ertürk, A. “Comparing Innovation Capability of Small and Medium-Sized Enterprises: Examining The Effects of Organizational Culture and Empowerment”. Journal of Small Business Management, 48 (3), 325-359, 2010. doi: 10.1111/j.1540-627X.2010.00297.
Calori, R., & Sarnin, P. Corporate culture and economic performance: A French
study. Organizational Studies, 12, 1991.
Chuang, S. C. Sadder but wiser or happier and smarter? A demonstration of
judgment and decision-making. Journal of Psychology, 141, 2007.
Chusmir, H. and K. Leonard. “Organizational Culture Relationships with Creativity and Other Job-Related Variables”. J. Bus. Res., 15: 397-409, 1987.
Colquitt, J. A. On the Dimensionality of Organizational Justice: A Construct
Validation of a Measure. Journal of Applied Psychology. 86: 2001.
Colquitt, J. A., Conlon, D. E., Wesson, M. J. & Porter C. O. L. H., & Yee Ng, K.
Justice at the Millennium: A Meta-Analytic Review of 25 Years of
Organizational Justice Research. Journal of Applied Psychology, 86:
2001.
Conger, J. A. and R. N. Kanungo. 'The empowerment process: Integrating theory
and practice', Academy of Management Review, 13, 1988.
Page 169
158
Costanza, D.P. "Leadership and Organizational Decline: The Relationship Between
Personality Characteristics and Organisational Performance." Ph.D. diss.
George Mason University. 1996.
Cowherd, D. M., & Levine, D. I. Product quality and pay equity between lowelevel
employees and top management: an investigative of distributive justice
theory. Administrative Science Quarterly, 37: 1992.
Cropanzano, R., Prehar, C.A. and Chen. P.Y. Using social exchange theory to
distinguish procedural from interactional justice. Group and Organization
Management, 27(3) Sept 2002.
Dale, B., Boaden, R.J., Wilcox, M. and McQuater, R.E. „Sustaining continuous
improvement: what are the key issues?‟ Quality Engineering, vol.11, no.3,
1999.
Das, G. S. “Preparedness for Innovation: An Indian Perspective”. Global Business Review, 4(1), 27-39, 2003.
Dean, J. W., Brandes, P., & Dharwadkar, R. Organizational cynicism. Academy of
Management Review, 23, 1998.
Denison, D. R. What is the difference between organizational culture and
organizational climate? Academy of Management Review, 21(3), 1996.
Denison, D. R., & Mishra, A. K. Toward a theory of organizational culture and
effectiveness. Organization Science, 6, 1995.
Dennison, D.R. “Bringing Corporate Culture to the Bottom Line”. Organizational Dynamics, 13 (2) 1984.
Deshpande, Rohit & Frederick E. Webster, Jr. “Organizational Culture and Marketing: De fining the Research Agenda”. Journal of Marketing Vol. 53, January 1989.
Dobni, C. B. “Measuring Innovation Culture in Organizations: The Development of A Generalized Innovation Culture Construct Using Exploratory Factor Analysis”. European Journal of Innovation Management, 11 (4), 539-559, 2008. doi: 10.1108/14601060810911156
Donovan, M. A., Drasgrow, F. & Munson, L. J. The Perception of Fair
Interpersonal Treatment Scale : Development and Validation of a Measure
of Interpersonal Treatment in the Workplace. Journal of Applied
Psychology, 83 (5), 1998.
Edmondson, A.C. “The local and variegated nature of learning in organizations: a
group-level perspective”, Organization Science, Vol. 13 No. 2, 2002.
Ehtesham, Mujeeb, Ul, Tahir Masood Muhammad, Shakil Ahmad Muhamma. “Relationship between Organizational Culture and Performance Management Practices: A Case of University in Pakistan”. Journal of Competitiveness, Issue 4/2011.
Elenkov, D. S., & Manev, I. M. Top management leadership and influence on
innovation: The role of sociocultural context. Journal of Management,
31(3), 2005.
Ensor, P. “From Preservice Mathematics Teacher Education to Beginning Teaching: A Study in Recontextualizing”. Journal for Re- search in Mathematics Education, 32, 296-320, 2001. doi:10.2307/749829
Page 170
159
Erozkan, Atilgan. “The Effect of Communication Skills and Interpersonal Problem Solving Skills on Social Self-Efficacy”. Educational Sciences: Theory & Practice - 13(2) • Spring • 739-745, 2013 Educational Consultancy and Research Center, www.edam.com.tr/estp
Fátima, Maria de, Bruno-Faria dan Marcus Vinicius de Araujo Fonseca. “Cultura de Inovação: Conceitos e Modelos Teóricos”. RAC, Rio de Janeiro, v. 18, n. 4, art. 1, pp. 372-396, Jul./Ago. 2014 http://dx.doi.org/10.1590/1982-7849rac20141025
Fishman, N. and L. Kavanaugh. 'Searching for your missing quality link', Journal
for Quality and Participation, 12, 1989.
Folger, R. & Konovsky, M.A. Effects of procedural and distributive justice on
reactions to pay raise decisions. Academy of Management Journal, 32(1):
1989.
Fredrickson, B. L. The role of positive emotions in positive psychology: The
broaden-and-build theory of positive emotions. American Psychologist,
56: 2001.
Fredrickson, B. L., Cohn, M. A., Coffey, K. A., Pek, J., & Finkel, S. M. Open hearts
build lives: Positive emotions, induced through loving-kindness
meditation, build consequential personal resources. Journal of Personality
and Social Psychology, 95: 2008.
Fredrickson, B. L., Tugade, M. M., Waugh, C. E., & Larkin, G. R. What good are
positive emotions in crises? A prospective study of resilience and
emotions following the terrorist attacks on the United States on September
11th, 2001. Journal of Personality and Social Psychology, 84: 2003.
Fugate, M., Kinicki, A. J., & Prussia, G. E. Employee coping with organizational
change: An examination of alternative theoretical perspectives and
models. Personnel Psychology, 61: 2008.
Fugate, M., Kinicki, A. J., & Scheck, C. L. Coping with an organizational merger
over four stages. Personnel Psychology, 55: 2002.
Gade. Anna, ‚Taste, Talent, and the Problem of Internalization: A Qur’a>nic Study
in Religious Musicality from Southeast Asia,‛ History of Religions 41, 4
May 2002. Gardner, W. L. and B. A. Avolio. 'The charismatic relationship: A dramaturgical
perspective', Academy of Management Review, 23, 1998.
Gilliland, S.W. The perceived fairness of selection system: an organizational justice
perspective. Academy of Management Review, 18 (4): 1993.
Gittell, J. H., Cameron, K., Lim, S., & Rivas, V. Relationships, layoffs, and
organizational resilience: Airline industry responses to September 11. The
Journal of Applied Behavioral Science, 42, 2006.
Glisson, C., & James, L. R. The cross-level effects of culture and climate in human
service teams. Journal of Organizational Behavior, 23, 2002.
Godoy, R.S.P., & Peçanha, D.L.N. “Cultura Organizacional E Processos De Inovacao: Um Estudo Psicossociologico Em Empresa De Base Tecnologica”. Boletim Academia Paulista de Psicologia, 29 (1), 2009.
Page 171
160
Greenberg, J. Organizational Justice: Yesterday, Today, and Tomorrow. Journal of
Management, 16: 1990.
Greenberg, J. Reactions to Procedural Injustice in Payment Distributions: do the
ends justify the means, Journal of Applied Psychology, 72, 1987.
Greenberg, J. Studying Organizacional Justice Cross-Culturslly: Fundamental
Challenges. The International Journal of Conflict, 12 (4): 2001.
Hackman, Richard, J. and Greg R. Oldham. “Development of The Job Diagnostic Survey". Journal of Applied Psychology, Vol. 60, 1975.
Hassan, Arif dan Suresh Chandaran. “Quality Supervisor-Subordinate Relationship
and Work Outcame: Organizational Justice as Mediator. IIUM Journal of
Economic and Management, 13 (1): 2005.
Hater, J. J. and B. M. Bass. 'Superiors evaluations and subordinates' perceptions of
transformational and transactional leadership', Journal of Applied
Psychology, 73, 1988.
Heck, R. H., T. J. Larsen, and G. A. Marcoulides. "Instructional Leadership and
School Achievement: Validation of a Causal Model," Educational
Administration Quarterly, 26, 2, 1990.
Heddy Shri Ahimsa-Putra, The Living Al-Qur‟an: Beberapa Perspektif
Antropologi, Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012,
Heifetz, R. A., & Laurie, D. L. The work of leadership. Harvard Business Review,
79(11): 2001.
Herscovitch, L., & Meyer, J. P. Commitment to organizational change: Extension of
a three-component model. Journal of Applied Psychology, 87: 2002.
Higgins, C.C. "Transactional and Transformational Leadership: An Examination of
the Relationship Between Leadership Orientation and Perceptions of
Organizational Effectiveness." Ph.D. diss. George Washington University.
1998.
Hobfoll, S. E. The influence of culture, community, and the nested self in the stress
process: Advancing conservation of resources theory. Applied
Psychology: An International Review, 50: 2001.
Hofstede, Geert, Michael Harris Bond dan Chung-Leung Luk, Individual
Perception Of Organizational Cultures: A Methodological Treaties On
Level Of Analysis”, Organization Studies, 14/4, 1993.
Hollenbeck, Jr., & Williams, C.R. Turnover functionality versus turnover
frequency: a note on work attitudes and organizational effectiveness.
Journal of Applied Psychology 71, 1986.
Holt, J. L. & Devore, C. J. “Culture, Gender, Organizational Role, and Styles of Conflict Resolution: A Meta-Analysis”. International Journal of Intercultural Relations, 29, 2005.
Hom, P. W., Tsui, A. S., Wu, J. B., Lee, T. W., Zhang, A. Y., Fu, P. P., & Li, L.
Explaining employment relationships with social exchange and job
embeddedness. Journal of Applied Psychology, 94: 2009.
House, J.S., & Wolf, S. “Effect Of Urban Residence On Interpersonal Trust And Helping Behavior”. Journal Of Personality And Social Psychology. 1978.
Page 172
161
Howell, Clugston, M., J.P. & Dorfman, P.W. “Does Cultural Socialization Predict Multiple Bases and Foci of Commitment?”. Journal of Management, 26 (1), 2000.
Huy, Q. N. Emotional capability, emotional intelligence, and radical change.
Academy of Management Review, 24: 1999.
Ilaiyan, Salman. “Difficulties Experienced by the Arab Teacher during His1 First Year of Teaching as a Result of Personal and Organizational Variables, Scientific Research”. Creative Education, Vol.4, No.6, 363-375. Published Online June 2013 in SciRes (http://www.scirp.org/journal/ce).
Ismail, W. K. W., & Abdmajid, R. “Framework of The Culture of Innovation: A Revisit”. Journal Kemanusiaan, 9, 38-49, 2007.
James, L. R., Choi, C. C., Ko, C.-H. E., McNeil, P. K., Minton, M. K., Wright, M.
A., et al. Organizational and psychological climate: A review of theory
and research. European Journal of Work and Organizational Psychology,
17 (1), 2007.
Janidijevid, Nebojša. “The Influence Of Organizational Culture On Organizational Preferences Towards The Choice Of Organizational Change Strategy”. ECONOMIC ANNALS, Volume LVII, No. 193 / April – June 2012, UDC: 3.33 ISSN: 0013-3264 DOI:10.2298/EKA1293025J
Janiunaite, B., & Petraite, M. “The Relationship Between Organizational Innovative Culture and Knowledge Sharing in Organization: The Case of Technological Innovation Implementation in A Telecommunication Organization”. Socialiniai Mokslai, 3 (69), 14-23, 2010.
Jaskyte, K. “Organizational Culture and Innovation in Nonprofit Human Service
Organizations.” Dissertation Abstracts International, 2003, 63 (10),
3729A.
Jaskyte, K., & Dressler, W. W. “Organizational Culture and Innovation in Nonprofit Human Service Organizations”. Administration in Social Work, 29 (2), 23-41, 2005. doi: 10.1300/J147v29n02_03
Jaworski, Bernard J. and Ajay K. Kohli. “Market Orientation: Antecedents and
Consequences.” Journal of Marketing 57 (July): 1993.
Jiseon Shin, M. Susan Taylor, Myeong-Gu Seo, Resources For Change: The
Relationships Of Organizational Inducements And Psychological
Resilience To Employees‟ Attitudes And Behaviors Toward
Organizational Change, Academy of Management Journal 2012, Vol. 55,
No. 3.
Jones, P., Jacobs, G. & Brown, S. Learning styles and CAL design: a model for the
future. Active Learning 7, December, 1997.
Jumadi. “Peranan Kultur Sekolah Terhadap Kinerja Guru, Motivasi Berprestasi dan Prestasi Akademik Siswa”. Jurnal Penelitian Tajdidukasi. Vol. 1, Tahun 2006.
Jung, D. I., Chow, C., & Wu, A. The role of transformational leadership in
enhancing organizational innovation: Hypotheses and some preliminary
findings. Leadership Quarterly, 14(4-5), 2003.
Page 173
162
Jung, D. Transformational and transactional leadership and their effects on
creativity in groups. Creativity Research Journal, 13, 2001.
Kaasa, A., & Vadi, M. “How does Culture Contribute to Innovation? Evidence from European Countries”. Economics of Innovation and New Technology, 19 (7), 583-604, 2010.
Kemp , Evan J ., Jr. , Robert J . . Funk , and Douglas C . Eadie. Change in
Chewable Bites: Applying Strategic Management at EEOC . Public
Administration Review 53 ( 2 ): 1993.
Key, S. “Organizational Ethical Culture: Real Or Imagined”. Journal of Business Ethics, 20, 3, 1999.
Kiefer, T. Feeling bad: Antecedents and consequences of negative emotions in
ongoing change. Journal of Organizational Behavior, 26: 2005.
Kim, W. C., & Mauborgne, R. Fair process: Managing in the knowledge economy.
Harvard Business Review, 81(1): 2003.
Kohn, Melvin L. “Social Class And Parent Child relationship; An Interpretation”. American Journal of Sociology Vol. 68, No. 4 (Jan., 1963), Published by University of Chicago Press.
Konovsky, M. “Understanding Procedural Justice and its Impact on Business
Organizations”. Journal of Management, 26 (3), 2000.
Kotter, John P. Leading Change: Why Transformation Eff orts Fail. Harvard
Business Review 73 (2): 1995.
Kristiawan, Adi dan Kuncono Teguh Yunanto. “Pemimpin, Budaya Organisasi Dan Perilaku Etis”. Prosiding Seminar Nasional Peran Budaya Organisasi Terhadap Efektivitas dan Efisiensi Organisasi.
Kumpfer, K. L. Factors and processes contributing to resilience: The resilience
framework. In M. D. Glantz & J. L. Johnson (Eds.), Resilience and
development: Positive life adaptations: 1999. 179-224. New York:
Kluwer Academic/Plenum.
Lam, Y.L. “Defining the effects of transformation leadership on organization
learning: a cross-cultural comparison”, School Leadership &
Management, Vol. 22 No. 4, 2002.
Lather. Anu Singh & Shilpa Jain, “Interpersonal Need Orientation And Employee Engagement: An Empirical Evidence”, American International Journal of Research in Humanities, Arts and Social Sciences, Published by International Association of Scientific Innovation and Research (IASIR), USA. 2015.
Lee, H. R. An Empirical Study of Organizational Justice as a Mediator of the
Relationships among Leader-Member Exchange and Job Satisfaction,
Organizational Commitment, and Turnover Intentions in the Lodging
Industry. 1999. (Online) http://www.af.ecel.uwa.edu.au.
Lee, T. W., Mitchell, T. R., Wise, L., & Fireman, S. An unfolding model of
voluntary turnover. Academy of Management Journal, 39: 1996.
Levitt, Theodore. The globalization of markets. Hamd Business Review, May/ June
1983.
Page 174
163
Li, Lei, John Finley, Jennifer Pitts, dan Rong Guo. “Which is A Better Choice for Student-Faculty Interaction: Synchronous or Asynchronous Communication?”. Journal of Technology Research, Volume 2 - September, 2011 ISSN Online: 1941-3416, Print: 2327-5359
Lincoln, James R., bnada, Mitsuyo, and Olson, Jon. Cultural orientations and
individual reactions to organizations: A study of employees of
Japaneseowned firms. Administrative Science Quarterly, 26, 1981.
Lok, P. & Crawford, J. “The Effect of Organizational Culture and Leadership Style on Job Satisfaction and Organizational Commitment: A Cross-National Comparison”. Journal of Management Development, 23 (4), 2003.
Luthans, F., Avolio, B., Avey, J. B., & Norman, S. M. Psychological capital:
Measurement and relationship with performance and job satisfaction.
Personnel Psychology, 60, 2007.
Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. The benefits of frequent positive affect:
Does happiness lead to success. Psychological Bulletin, 131, 2005.
Machado, D. D. P. N., & Vasconcellos, M. A. “Organizações Inovadoras: Existe Uma Cultura Específica Que Faz Parte Deste Ambiente?”. Revista de Gestão USP, 14 (4), 15-31, 2007.
Machado, D. D. P. N., Carvalho, L. C., & Heinzmann, L. M. “Ambiente Favorável Ao Desenvolvimento De Inovações E Cultura Organizacional: Integração De Duas Perspectivas De Análise”. Revista de Administração, 47 (4), 2012., 715-729. doi: 10.5700/rausp1069
Majang Palupi, Heru Kurnianto Tjahjono, Rafika Nuri, Pengaruh Keadilan
Distributif Karir Dan Keadilan Prosedural Karir Terhadap Perilaku
Retaliasi Karyawan Swasta Di Daerah Istimewa Yogyakarta (Diy) Dengan
Kepuasan Karir Sebagai Variabel Pemediasian, Jurnal Universitas
Paramadina Vol. 11 No. 2 Agustus 2014.
Mansor, Muzainah & Mahamad Tayib. “An Empirical Examination of Organisational Culture, Job Stress and Job Satisfaction within the Indirect Tax Administration in Malaysia”. International Journal of Business and Social Science Vol. 1 No. 1; October 2010.
Marcoulides, G.A. and Heck, R.H. “Organizational culture and performance:
proposing and testing a model”, Organization Science, Vol. 4, 1993.
Marcoulides, George A. and Ronald H. Heck. “Organizational culture and performance: proposing and testing a model”. Organization Science vol. 4, No. 2, May 1993 printted in U.S.A.
Markus, H. and E. Wurf. 'The dynamic self-concept: A social psychological
perspective', Annual Review of Psychology, 38, 1987.
Martins, E. C. & Terblanche, F. “Building Organizational Culture that Stimulates Creativity and Innovation”. European Journal of Innovation Management, 6 (1), 2003.
Martins, E., & Martins, N. “An Organizational Culture Model to Promote Creativity and Innovation”. Journal of Industrial Psychology, 28 (4), 58-65, 2002.
Page 175
164
Matic, L. J. “Cultural Differences In Employee Work Values and Their Implications for Management”. Journal Management. Vol. 13, 2, 2008.
Mavondo, F., & Farrell, M. “Cultural Orientation: its Relationship With Market Orientation, Innovation and Organizational Performance”. Management Decision, 41 (3), 241-249, 2003. doi: 10.1108/00251740310468054
McFarlin, D.B. and Sweeney, P.D. “Distributive and Procedural Justice as
Predictors of Satisfaction with Personal and Organisational Outcomes”,
Academy of Management Journal, 35(3), 1992.
Meek, V. L. Organizational culture: Origins and weaknesses. Organizational
Studies, 9, 1988.
Mei. Tang Swee & Lim Kong Teong. Hubungan Antara Kualiti Pengajaran dan
Pembelajaran dengan Kepuasan Pelajar: Satu tinjauan. Vol 3, No. 1.
2002.
Meindl, J. R., Ehrlich, S. B., & Dukerich, J. M. The romance of leadership.
Administrative Science Quarterly, 30, 1985.
Mendoza, Pilar dan Joseph B. Berger. “Academic Capitalism and Academic Culture: A Case Study”. Education Policy Analysis Archives, Volume 16 Number 23 December 29, 2008 ISSN 1068–2341
Meyer, A. D., Tsui, A. S., & Hining, C. R. Configurational approaches to
organizational analysis. Academy of Management Journal, 36, 1993.
Meyer, J. P., & Smith, C. A. HRM practice and organizational commitment: Test of
a mediation model. Canadian Journal of administrative sciences, 17:
2000.
Micah C. Chepchieng, Stephen N. Mbugua and Mary W. Kariuki, University
students‟ perception of lecturer-student relationships: a comparative study
of Public and Private Universities in Kenya, Educational Research and
Reviews Vol. 1 (3). 80-84. June 2006.
Milgram, S. “The Experience Of Living In Cities”. Science, 1970. Miron, E., Erez, M., & Naheh, E. Do personal characteristics and cultural values
that promote innovation, quality, and efficiency compete or complement
each other? Journal of Organizational Behavior, 25, 2004.
Mishra, K. E., Spreitzer, G. M., & Mishra, A. K. Preserving employee morale
during downsizing. MIT Sloan Management Review, 39(2), 1998.
Mobarakabadi, Houshang and Meisam Karami. “Investigation of Relationship among the Organizational Culture and Creativity”. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 7 (19): 4069-4071, ISSN: 2040-7459; e-ISSN: 2040-7467 © Maxwell Scientific Organization, 2014
Moningka, Clara, M.M. Nilam Widyarini. “Pengaruh Hubungan Interpersonal, Self Monitoring, Dan Minat Terhadap Performansi Kerja Pada Karyawan Baglan Penjualan”. Proceeding. Seminar NasionaJ PESAT 2005, Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
Moorman. R.H. Relationship between organizational justice and organizational
citizenship behaviors: do fairness perceptions influence employee
citizenship? Journal of Applied Psychology, 76(6): 1991.
Page 176
165
Moraes, C. A.de, Souza, S. S. de, Costa, A. C. F. da, & Cosentino, H. M. “Configuração E Cultura Organizacional, Cooperação E Inovação: Análise De Um Modelo De Equações Estruturais Em Empresas Fabricantes De Equipamentos Médicos”. Revista Eletrônica de Ciência Administrativa, 10(1), 111-127, 2011. Recuperado de http://revistas.facecla.com.br/index.php/recadm/article/download/632/532. doi: 10.5329/RECADM.20111001008
Moran, E. T., & Volkwein, J. F. The cultural approach to the formation of
organizational climate. Human Relations, 45(1), 1992.
More, P. H. B., Wong, G. Y. Y., & Olve, N. G. Acquisition of Managerial Values in
The People‟s Republic of China and Hong Kong. Journal of Cross-
Cultural Psychology, 26: 1995.
Morrison, D., Cordery, J., Girardi, A. and Payne, P. “Job design, opportunities for
skill utilization, and intrinsic job satisfaction”, European Journal of Work
and Organizational Psychology, Vol. 14 No. 1, 2005.
Mumford, M. D., Scott, S. M., Gaddis, B., & Strange, J. M. Leading creative
people: Orchestrating expertise and relationships. Leadership Quarterly,
13, 2002.
Nahavandi, A. and A. R. Malekzadeh. 'Acculturation in mergers and acquisitions',
Academy of Management Review, 13 (1), 1988.
Nancy J. Adler and Mariann Jelinek, Is ‟‟Organhation Culture” Culture Bound,
Human Resource Management, Spring 1986, Vol. 25, Number 1.
Nemeth, C. J. “Managing Innovation: When Less Is More.” California Management
Review, 1997, 40 (1).
Newton RR. For-Profit and Traditional Institutions: A Comparison. International
Higher Education, No.1 2002.
Ogbonna, E., & Harris, L. C. Leadership style, organizational culture and
performance: Empirical evidence from UK companies. International
Journal of Human Resource Management, 11(4), 2000.
Okwilagwe EA. Nigerian Students‟ Perception of Academic Departments as a
Teaching and Learning Environment. An Interdisciplinary International
Research Journal, 68, 2002.
Ong, A. D., Bergeman, C. S., Bisconti, T. L., & Wallace, K. A. Psychological
resilience, positive emotions, and successful adaptation to stress in later
life. Journal of Personality and Social Psychology, 91: 2006.
Palupi, M. Pengaruh keadilan kompensasi, kebijakan rotasi, karyawan dan
komitmen afektif pada perilaku retaliasi PNS dikantor X di Yogyakarta.”
Jurnal riset manajemen dan bisnis. Volume 8 No.1. 2013.
Parker, M. & Jary, D. The McUniversity: organisation, management and academic
subjectivity, Organization, 2, 1995.
Parker, R.J., & Kohlmeyer, J.M. Organizational justice and turnover in public
accountant firms : a research note. Accounting, Organizations, and Society
30, 2005.
Paula, Silvio Luiz dan José Ricardo Mendonça. “A Construção De Uma Impressão Socialmente Responsável: Um Estudo Em Instituições De Ensino Superior
Page 177
166
A Partir Da Comunicação Organizacional”. Revista de Negócios_ISSN 1980.4431_vol. 19, n. 1, p. 44_69, 2014_DOI:10.7867/ 1980-431.2014v19n1p44_69
Pelz, D. C., and Andrews, F. M. Productive Climates for Research and
Development. Ann Arbor: Institute for Social Research, University of
Michigan, 1976.
Pennycook, A. Borrowing others' words: Text, ownership, memory, and plagiarism.
TESOL Quarterly, 30(2), 1996.
Peterson SL, Patricia KJ,Schwarz SA. Quality Improvement in Higher Education.
Implications for Student Retention. Journal on Quality in Higher
Education, 3 (2), 1997.
Peterson, M. W., & Spencer, M. G. “Understanding Academic Culture and Climate”. New Directions for Institutional Research, 17 (4), 1990.
Pfeffer, J. "Management as symbolic action: the creation and maintenance of
organizational paradigms", 1981. in Staw, B. and Cummings, L. (Eds),
Research in Organizational Behavior, Vol. 3, JAI Press, Greenwich, CT.
Pfeffer, J. The ambiguity of leadership. Academy of Management Review, 2, 1977.
Pfeffer, J.,'& Davis-Blake, A. Administrative succession and organizational
performance: How administrator experience mediates the succession
effect. Academy of Management Journal, 29, 1986.
Pollard, T. M. Changes in mental well-being, blood pressure, and total cholesterol
levels during workplace reorganization: The impact of uncertainty. Work
and Stress, 15(1): 2001.
Popper, M. and Lipshitz, R. “Installing mechanisms and instilling values: the role of
leaders in organizational learning”, The Learning Organization, Vol. 7
No. 3, 2000a.
Pothukuchi, Vijay, Fariborz Damanpour, Jaepil Choi, Chao C. Chen and Seung HoPark. “National and Organizational Culture Differences and International Joint Venture Performance”. Journal of International Business Studies, Vol. 33, No. 2, 2nd Qtr., 2002.
Pugh, S. D., Skarlicki, D. P., & Passell, B. S. After the fall: Layoff victims‟ trust
and cynicism in re-employment. Journal of Occupational and
Organizational Psychology, 76, 2003.
Puk, G. T., & Haines, J. M. “Are Schools Prepared To Allow Beginning Teachers to Reconceptualize Instruction?”. Teaching and Teacher Education, 15, 541-553, 1999. doi:10.1016/S0742-051X(99)00007-4
Redmond, M. R., Mumford, M. D., & Teach, R. Putting creativity to work: Effects
of leader behavior on subordinate creativity. Organizational Behavior and
Human Decision Processes, 55(1), 1993.
Robbins, S.P. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications,
10th ed, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ. 2003.
Robertson, P. J., Roberts, D. R., & Porras, J. I. Dynamics of planned organizational
change: Assessing empirical support for a theoretical model. Academy of
Management Journal, 36: 1993.
Page 178
167
Ronning WM. College Quality Programmes: Implementation and Effects. J. of
Quality in Higher Edu., 3(2), 1997.
Schein, E. “Organizational culture”, American Psychologist, Vol. 45 No. 2, 1990.
Sharadindu, P. and R.R.K. Sharma. “Organizaitional Factors for Exploratory and Exploitative Innovation Type”. J. Technol. Manage. Innov., 4 (7), 2009.
Shaw, J. & Reyes, P. “School Cultures: Organizational Value Orientation and Commitment”. The Journal of Educational Research, 85 (5), 1992.
Shawarzwald, J., Koslowsky, M. & Shalit, B. A field study of employees‟ attitudes
and behavior after promotion decisions. Journal of Applied Psychology,
77, 1992.
Silva, De, S., & Takeda, J. “Influence of Culture on Innovation Barriers: The Case of Sri Lankan Food Processing Industry”. Journal of Applied Sciences, 5(7), 308-1315, 2005. doi: 10.3923/jas.2005.1308.1315
Silverthorne, C. “The Impact of Organizational Culture and Person-Organization Fit on Organizational Commitment and Job Satisfaction in Taiwan”. The Leadership &Organization Development Journal, 25(7), 2004.
Skarlicky, D.P. & Folger, R. Retaliation in the work place: the role of distributive,
procedural and interactional justice. Journal of Applied Psychology, 82(3):
1997.
Smart, John C. and Russell E. Hamm. “Organizationalc ulture and effectiveness in two-year colleges”. Research in Higher Education, Vol. 34, No. 1, AIR Forum Issue (Feb., 1993).
Smircich, L. Concepts of culture and organizational analysis. Administrative
Science Quarterly, 28, 1983.
Staw, B. M., Sutton, R. I., & Pelled, L. H. Employee positive emotion and favorable
outcomes at the workplace. Organization Science, 5, 1994.
Steele, J., & Murray, M. “Creating, Supporting and Sustaining A Culture of Innovation”. Engineeering, Construction and Architectural Management, 11 (5), 316-322, 2004. doi: 10.1108/09699980410558502
Strebel, P. Why do employees resist change? Harvard Business Review, 74(3):
1996.
Subur. “Pendidikan Nilai: Telaah tentang Model Pembelajaran”. Insania, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan. Vol. 12, No. 1, Januari-April 2007.
Purwokerto: STAIN.
Susanj, Z. “Innovative Climate and Culture in Manufacturing Organizations: Differences Between Some European Countries”. Social Science Information, 39 (2), 349-361, 2000. doi: 10.1177/053901800039002011
Suwandi & Nur Indriantoro. Pengujian Turnover Pasewark dan Strawser: Studi
Empiris pada Lingkungan Akuntansi Publik. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia. Vol. 2. No. 2, July 1999.
Syamsuddin. Sahiron, “Ranah-ranah dalam Penelitian Al-Qur‟an dan Hadis”, Kata
Pengantar, dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis
(Yogyakarta: Teras, 2007).
Page 179
168
Tang, T.L. and Sarsfield-Baldwin, L.J. “Distributive and Procedural Justice as
Related to Satisfaction and Commitment”, SAM Advanced Management
Journal, 61(3), 1996.
Terzi, A. R. & Kurt, T. “İlköğretim Müdürlerinin Yönetici Davranışlarının Öğretmenlerin Örgütsel Bağlılığına Etkisi”. Milli Eğitim Dergisi, 33, 2005.
Thibaut, J. & Walker, L. A theory of procedure. California Law Review, 66: 1978.
Thompson, J.W. "Employee Attitudes, Organizational Performance, and Qualitative
Factors Underlying Success." Journal of Business and Psychology. 1996.
11.
Tierney, William G. “Organizational Culture in Higher Education: Defining The Essentials”. The Journal of Higher Education, Vol. 59, No. 1, Jan. - Feb., 1988.
Tjahjono, H. K. Studi literature pengaruh keadilan distributif dan keadilan
prosedural pada konsekuensinya dengan menggunakan teknik meta
analisis. Jurnal Psikologi UGM, 35 (1): 2008.
Tjahjono, H.K. Praktik-praktik manajemen SDM strategik; pengujian universalistik
dan kontijensi dalam menjelaskan kinerja organisasional. Jurnal Kinerja,
9 (2): 2005.
Tjahjono, H.K. The extension of two-factor model of justice: hierarchical regression
test and sample split. China-USA Business Review, 9(7): 2010.
Toly, A.A. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi turnover intentions pada staf
kantor akuntan publik. Jurnal Akuntansi & Keuangan 3 (2), 1999.
Tsui, A. S, Zhang, Z. X., Wang, H., Xin, K. R., & Wu, J. B. Unpacking the
relationship between CEO leadership behavior and organizational culture.
Leadership Quarterly, 17(2), 2006.
Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. Resilient individuals use positive emotions to
bounce back from negative emotional experiences. Journal of
Psychological and Social Psychology, 86: 2004.
Tyler, T. R. Psychological Models of the Justice Motive: Antecedents of
Distributive and Procedural Justice. Journal of Personality and Social
Psychology, 6: 1994.
Tyler, T. R., & McGraw, K. M. Ideology and interpretation of personal experience:
procedural justice and political quiescence. Journal of Social Issues, 42:
1986.
Umran, Laode Muhamad. “The Political of Communication and Imaging (Analysis of Theoretical Imaging the Politics in Indonesia)”. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 3, Ver. I (Mar. 2014), PP 74-84 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org
Utsey, S. O., Giesbrecht, N., Hook, J., & Stanard, P. M. Cultural, sociofamilial, and
psychological resources that inhibit psychological distress in African
Americans exposed to stressful life events and racerelated stress. Journal
of Counseling Psychology, 55: 2008.
Page 180
169
Valencia, J.C.N., Valle, R.S., & Jiménez, D.J. “Organizational Culture as Determinant of Product Innovation”. European Journal of Innovation Management, 13 (4), (2010), 466-480. doi: 10.1108/ 14601061011086294
Valikangas, L. and A. Okumara. 'Why do people follow leaders? A study of a US
and a Japanese change program', Leadership Quarterly, 8 (3), 1997.
Van Knippenberg, B., Martin, L., & Tyler, T. Process-orientation versus outcome-
orientation during organizational change: The role of organizational
identification. Journal of Organizational Behavior, 27: 2006.
Waldman, D., & Bass, B. M. Transformational leadership at different phases of the
innovation process. Journal of High Technology Management Research,
2, 1991.
Walker, O.C., and Ruekert, R.W. “Marketing’s Role In The Implementation Of Business Strategies: A Critical Review And Conceptual Framework”. Journal of marketing, 15, 1987.
Wang, D. X., Tsui, A. S., Zhang, Y. C., & Ma, L. Employment relationships and
firm performance: Evidence from an emerging economy. Journal of
Organizational Behavior, 24: 2003.
Waugh, C. E., Fredrickson, B. L., & Taylor, S. F. Adapting to life‟s slings and
arrows: Individual differences in resilience when recovering from an
anticipated threat. Journal of Research in Personality, 42: 2008.
Weitz, Barton A., Haris Sujan, and Mita Sujan. “Knowledge, Motivation, and Adaptive Behavior: A Framwork For Improving Selling Effectiveness”. Journal Of Marketing 50, 1986.
Whitt E, Edison MI, Pascarella ET, Terenzini PT, Nora M. Impact of College on
Students. J. of Higher Educ.12 (2), 2001.
Williams TE. Student-Institution Fit: Linking Campus Ecology to Enrollment
Management. Campus Ecologist, Vol. IV (4), 1986.
Witte, Karel De and Jaap J. Van Muijen. “Organizational Culture”. dalam jurnal European journal of work and organizational Psychology, Peter Heriot. “Organizational Culture”. Volume 8, Number 4, December 1999, United Kingdom: Psychology Press in Association with the international Association of Applied psychology, 1999.
Wolniak, Radoslaw. “A Typology Of Organizational Cultures In Terms Of Improvement Of The Quality Management”. Manager, Change and Leadership, Faculty of Organisation and Management, Silesian Technical University, Poland No. 17 ~ 2013
Yaman, Erkan and Kayhan Ruçlar. “Organizational Silence in Universities as the Predictor of Organizational Cultur”. Yükseköğretim ve Bilim Dergisi/Journal of Higher Education and Science, Volume 4, Number 1, April 2014; Pages 36-50, DOI: 10.5961/jhes.2014.087.
Yang, J., Peng, T. K., & Mossholder, K. W. Procedural Justice Climate and Group
Power Distance Orientation: A Case of Cross-Level Effects. Academy of
Management Best Conference Paper 2004 OB: 2004. E1-E6.
Page 181
170
Yeung, A. K. O., Brockbank, J.W., & Ulrich, D. O. Organizational culture and
human resource practices: An empirical assessment. 1991. In R.W.
Woodman, & W. A. Pasmore (Eds.), Research in organizational change
and development, vol. 5. 59–82. Greenwich7 JAI Press.
Yio Cheki, Budaya Perusahaan Cina, Majalah Usahawan, 1996.
Youssef, C. M., & Luthans, F. Positive organizational behavior in the workplace:
The impact of hope, optimism, and resilience. Journal of Management,
33: 2007.
Yun, S.C. “Validation of Organizational Culture Assessment Instrument Translated
into Korean”. Proceeding of the North American Society of Sport
Management Conference (NASSM, 2007).
Zammuto RF and Krakower JY. “Quantitative and Qualitative Studies of
Organisational Culture”. Research in Organisational Change and
Development 5.
Zien, K. A., & Buckler, S. A. “From Experience Dreams to Market: Crafting a
Culture of Innovation”. Journal of Production Innovation Management,
14 (4), 274-287, 1997. doi: 10.1016/S0737-6782(97)00029-5
Page 182
171
Daftar Index
B
Bass, 33, 34, 35, 48, 76, 79, 80, 81, 82, 83, 95, 96, 97, 118, 119, 167
budaya akademik, 4, 6, 8, 9, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 80, 123, 130, 131, 132, 145, 146, 147, 148, 167
budaya organisasi, 1, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 25, 31, 32, 33, 37, 38, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 55, 72, 73, 74, 75, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 113, 118, 156, 165, 166, 167, 170, 171, 172, 175, 176
Budaya organisasi, 1, 6, 9, 18, 37, 47, 48, 88, 95, 97, 117, 165, 166, 167, 168, 171, 173, 174
budaya Qur‟ani, 6, 16, 130, 132 Budaya Qur‟ani, 135
C
civitas akademik, 5, 6, 7, 10, 72, 146, 147, 175
colectivistic, 86
F
femininity, 24, 87, 175
H
hofstede, 23, 25, 51, 130, 157, 164, 173 Hofstede, 1, 3, 21, 23, 24, 25, 26, 43, 50, 87,
88, 156, 157, 161, 167, 175
I
Individualistic, 23, 86
K
keadilan, 6, 17, 63, 100, 104, 105, 127, 134, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 165, 175
kekeluargaan, 6, 16, 17, 85, 113, 161, 162, 163, 164, 165, 173
kepemimpinan, 6, 16, 21, 24, 25, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 49, 50, 58, 65, 73, 74, 75, 76,
77, 78, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 90, 91, 94, 95, 96, 97, 98, 101, 103, 111, 118, 125, 162, 164, 175
komunikasi, 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 21, 22, 27, 29, 34, 37, 40, 41, 44, 50, 51, 54, 73, 80, 82, 84, 85, 89, 98, 101, 105, 107, 153, 155, 156, 161, 162, 164, 165, 169, 171, 172, 175
L
living Qur‟an, 61, 66, 136, 138 Living Qur‟an, 60, 61, 135, 136, 137, 139,
140, 141, 142, 143, 144
M
Masculinity, 23, 24, 87
N
nilai-nilai Qur‟ani, 6, 55, 58, 127, 175
P
perguruan tinggi, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 30, 36, 46, 63, 64, 69, 78, 92, 119, 123, 124, 125, 145, 146, 147, 148, 171
Power distance, 24, 86
R
relasi interpersonal, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 12, 16, 17, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 51, 100, 104, 105, 113, 128, 151, 161, 175, 176
Robbins, 3, 26, 32, 39, 40, 150, 162
S
Schein, 1, 33, 48, 49, 50, 73, 79, 81, 82, 83, 95, 166, 167, 170, 171, 172
T
Term Orientation, 24, 88 Trompenaars, 23, 24, 43
Page 183
172
U
Uncertainty avoidance, 24, 87 UNSIQ, 5, 6, 16, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
70, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 80, 82, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 96, 100, 101, 103, 104, 105, 107, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 125, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 138, 144,145, 146, 147, 148, 151, 155, 156, 160, 161, 162, 163, 165, 166, 167, 168, 171, 172, 173, 174, 175
Page 185
174
CURRICULUM VITAE
Nama lengkap Rifqi Muntaqo, lahir di Kota Agung Tanggamus
Lampung Selatan pada tanggal 1 Oktober 1986, saat ini tinggal di desa
kelibeber mojotengah wonosobo jawa tengah. Pendidikan Formal, SD Islam
Miftahul Huda Watumalang Wonosobo lulus tahun 1998, MTs Al-Ikhsan
Beji Purwokerto Banyumas lulus tahun 2001, MAN 2 Laren Brebes lulus
tahun 2004, S.1 Pendidikan Agama Islam di Universitas Sains Al-Qur‟an
lulus tahun 2008, dan S.2 Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lulus tahun 2011. Pendidikan Non Formal,
Pesantren Al-Ikhsan Beji Purwokerto Banyumas, Pesantren Al-Asy‟ariyyah
Mojotengah Wonosobo dan Pesantren Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta.
Pengalaman mengikuti Seminar, Seminar Internasional; “International
Conference on Language and Religion; Quo Vadis Language and Literature
in The Religious Life?” UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 24 Oktober 2014,
Seminar PPIM UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta: “People, Place, and Voting
Behaviour: the Case of Indonesia” 28 Juni 2012, Seminar Nasional;
“Prospek Pengembangan Mutu Pendidikan Madrasah Menyongsong
Implementasi Kurikulum 2013” Hotel Grand Mandarin Pekalongan, 6 Juli
2013.
Penelitian yang Pernah dilakukan antara lain; “Wawasan Al-Qur‟an
tentang Ekologi” Jurnal Manarul Qur‟an Jurnal Manarul Qur'an No. 12
Tahun IX ISSN: 1412-7075. Tahun 2015. “Implikasi Pelaksanaan
Manajemen Berbasis Madrasah Terhadap Peningkatan Kualitas Madrasah
(Studi Kasus Di MTs Ma‟arif NU 1 Kali Salak Kebasen Banyumas)” tahun
2015. “Lesson Study Dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran Di Madrasah
Ibtidaiyah Ma‟arif Kejiwan Wonosobo”, tahun 2013. “Budaya Organisasi di
MA Ali Maksum Krapyak Jogjakarta dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan” tahun 2011.