Top Banner
Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium, Heliofungia Actinifomis dan Trichoderma Asperrellum TNJ-6 OLEH : Drs. I Wayan Suarsa, M.Si JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2017
46

Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

Jan 10, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium, Heliofungia

Actinifomis dan Trichoderma Asperrellum TNJ-6

OLEH :

Drs. I Wayan Suarsa, M.Si

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2017

Page 2: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

ii

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

dan anugerah-Nya Karya Ilmiah yang berjudul Biosorpsi Logam Pb oleh

Phanerochaete Chrysosporiu, Heliofungia Actinifomis, dan Trichoderma Asperrellum

TNJ-6 ini dapat terselesaikan.

Karya Ilmiah ini merupakan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi

khususnya di Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah ini masih banyak kekurangannya, maka

saran dan kritik membangun dari semua pihak sangat diharapkan.

Harapan penulis, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.

Denpasar, 16 Juli 2017

Penulis

Page 3: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………...i

Kata Pengantar .................................................................................................. ii

Daftar Isi ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTKA

2.1 Biosorpsi ..................................................................................................... 5

2.2 Timbal ......................................................................................................... 7

2.2.1Pengertian Timbal (Pb)..……………………………………………...7

2.2.2Sumber Timbal (Pb)………………………………………………… . 7

2.2.3Sifat Logam Timbal (Pb) …………………………………………….7

2.2.4Kegunaan Timbal (Pb)………………………………………………. 7

2.2.5Dampak Timbal (Pb) terhadap Kesehatan ………………………….. 7

2.3 Phanerochaete Chrysosporium ................................................................... 11

2.3.1Taksonomi ………………………………………………………….. . 11

2.3.2Morfologi …………………………………………………………… 12

2.3.3Kegunaan …………………………………………………………… 15

2.4 Heliofungia Actiniformis ............................................................................ 15

2.5Trichoderma SPP ………………………………………………………… 16

2.6Persamaan Isoterm Adsorpsi Langmuir ………………………………….. 18

2.7Persamaan Isoterm Adsorpsi Freundlich ………………………………… 19

2.8Spektrofotometri Serapan Atom …………………………………………. 19

BAB III MATERI DAN METODA

3.1 Alat ............................................................................................................. 24

3.2 Bahan .......................................................................................................... 24

Page 4: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

iv

3.3 Prosedur Penelitian ..................................................................................... 24

3.3.1Tahap Persiapan Biomassa …………………………………………. . 24

3.3.2Penyiapan Biosorben Karang Heliofungia actiniformis…………..... . 24

3.3.3Penyiapan Biosorben Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 …….. 24

3.3.4Prosedur Adsorpsi Phanerochaete chrisosporium ………………….. . 25

3.3.5Penentuan Kapasitas Biosorpsi Heliofungia actiniformis…………… 25

3.3.6Penentuan Pengaruh Waktu Kontak Heliofungia actiniformis……….25

3.3.7Waktu Optimum Trichoderma asperellum TNJ-63…………………. 26

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Kadar Logam Pb yang Terserap oleh Phanerochaete chrisosporium ......... 27

4.2 Waktu Kontak Optimum Heliofungia actiniformis .................................... 30

4.3Studi Isothermal Adsorpsi Heliofungia actiniformis……………………... 33

4.4Penentuan Waktu Kesetimbangan……………………………………….. . 35

BAB V KESIMPULAN

5.1Kesimpulan……………………………………………………………….. 38

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40

Page 5: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Logam berat adalah jenis polutan yang paling banyak ditemukan pada

berbagai perairan limbah industri. Perairan limbah industri yang mengandung

konsentrasi logam berat rendah hingga tinggi sering ditemukan pada industri

pertambangan, penyepuhan logam, pembuatan baterai, pupuk, kimia, farmasi,

elektronik, tekstil, dan banyak yang lain. Keberadaan logam berat tersebut di

perairan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya,

karena sangat beracun dan tidak dapat mengalami biodegradasi, sehingga sangat

perlu untuk dihilangkan dari limbah industri untuk memperoleh perairan yang

memenuhi standar kualitas lingkungan. Dengan demikian, sangat perlu

dikembangkan teknologi untuk mengontrol konsentrasi logam ini dalam perairan

limbah industri. Meningkatnya kebutuhan hidup pada produk teknologi yang

mengandung logam berat memicu bertambahnya beban lingkungan. Timbal

merupakan contoh logam yang banyak digunakan secara luas dalam teknologi

modern. Sebagai hasil dari penggunaan produk adalah dilepaskannya sejumlah

material yang mengandung ion/senyawa logam berat ke dalam lingkungan. Selama

ion/senyawa logam timbal dalam jumlah yang rendah, maka keberadaannya tidak

akan menimbulkan bahaya bagi manusia. Tetapi, paparan ion timbal yang

berlebih dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Timbal dapat

menyebabkan anemia, gangguan fungsi hati dan ginjal, kerusakan otak serta masalah

kesehatan lain yang lebih serius ( Jain dkk., 2005).

Salah satu objek yang tercemar oleh PB adalah air. Air yang telah tercemar

mengandung bermacam-macam logam yang berbahaya bagi ekosistem walaupun

dalam konsentrasi yang sangat kecil seperti timbal (Pb). Secara alamiah timbal

dapat masuk ke dalam badan air melalui pengkristalan logam timbal di udara

dengan bantuan air hujan. Timbal sebagai polutan banyak dihasilkan dari emisi

kendaraan dan produksi baterai kendaraan. Upaya menanggulangi pencemaran

logam berat sebenarnya dapat dilakukan dengan proses kimiawi seperti presipitasi

kimia, ion exchange, adsorpsi, elektrodialisis dan reverse osmosis. Dibandingkan

dengan metode-metode yang lain, adsorpsi merupakan metode yang dinilai paling

Page 6: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

2

efektif dan telah banyak digunakan karena metode ini relatif sederhana, dapat bekerja

pada konsentrasi rendah, dapat di daur ulang, dan biaya yang dibutuhkan relatif murah.

Adsorpsi ini dapat menggunakan zeolit dan arang aktif sebagai adsorbennya.

Namun proses ini relatif mahal dan cenderung menimbulkan permasalahan baru,

yaitu akumulasi senyawa tersebut dalam sedimen dan organisme akuatik (Ahalya,

dkk 2007). Oleh sebab itu perlu dikembangkan cara lain diantaranya dengan

memanfaatkan kemampuan beberapa mikroorganisme sebagai penyerap logam berat

(biosorpsi). Kemampuan mikroorganisme dalam mengakumulasi logam berat dari

limbah melalui penjerapan secara fisiko-kimia disebut biosorpsi.

Saat ini pengolahan secara biologis untuk mengurangi logam berat dalam air

limbah merupakan alternative yang berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan

dengan proses kimia, yang umumnya pada akhir pengolahan limbah masih ditemukan

permasalahan penanganan pembuangan limbah logam yang telah diolah. Kapasitas

pemungutan atau penyerapan logam beberapa biomassa tersebut bahkan terbukti lebih

tinggi dibandingkan dengan penukar ion komersial (Volesky dalam Soepriyanto, dkk.,

2004). Berbagai jenis mikroba seperti ganggang, jamur dan bakteri dapat digunakan

sebagai adsorben alternative untuk penyerapan ion logam di dalam air limbah.

Kemampuan mikroorganisme untuk menyerap logam (bioremoval) dari larutan telah

dikenal selama beberapa decade terakhir.

Penyerapan ion logam tersebut dapat terjadi secara aktif dengan sel hidup

(bioaccumulation) atau secara pasif terjadi pada permukaan sel mati maupun hidup

(biosorption). Proses biosorpsi lebih dapat di aplikasikan dari pada proses bioakumulasi,

hal ini disebabkan sel hidup pada proses bioakumulasi membutuhkan tambahan nutrisi,

selain itu juga pengendalian sel hidup lebih sulit dikarenakan pengaruh racun dari

logam dan pengaruh lingkungan lainnya (Hany, H., 2004).

Beberapa alga, bakteri, jamur dan khamir telah terbukti memiliki

kemampuan untuk menjerap logam. Jamur yang bisa digunakan adalah jenis

Trichoderma dimana biosorpsi logam terjadi karena adanya gugus amino yang

terdapat pada jamur Trichoderma. Pada Trichoderma peristiwa biosorpsi pada jamur,

perpindahan logam melewati membran sel menghasilkan akumulasi intraseluler

yang bergantung pada metabolisme sel. Oleh karena itu, biosorpsi jenis ini hanya

Page 7: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

3

terjadi pada sel-sel yang hidup. Hal ini berkaitan dengan ketahanan

mikroorganisme yang bereaksi dengan logam beracun.

Jamur Phanerochaete chrisosporium dapat digunakan untuk bioremedasi dari

campuran komplek senyawa polutan, karena kemampuannya untuk menurunkan

beberapa senyawa dalam polutan, termasuk genus Basidiomycetes memprodduksi

Laccase dan perroksida yang tersusun secara normal dalam degradasi lignin, yang

mengandung kompleks polyaromatik. Menurut Soepriyanto, dkk., 2004, mikroba ini

mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi ion logam Cr (VI), pretreatment

menggunakan NaOH 0,5 N dapat meningkatkan kemampuan biomassa untuk menyerap

ion logam Cr (VI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas biosorpsi maksimum

dapat dicapai dalam waktu 150 menit sebesar 5,13 mg/g dengan pretreatment

menggunakan NaOH. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan menggunakan

biomassa yang dapat dimanfaatkan sebagai penyerap ion logam berat Plumbum (Pb)

yaitu biomasa Phanerochaete chrysosporium dengan proses biosorpsi.

Selain jamur, organisme laut alga dan lamun juga berpotensi sebagai biosorben,

terumbu karang memiliki potensi sebagai biosorben logam berat. Karena pada keadaan

tidak hidup, biomassa karang masih mengandung matriks organik dari daging dan

skelaton yang merupakan mineral karbonat (argonite). Keberadaan matriks organik

dengan gugus fungsi seperti karbonil, hidroksil, sulfuhidril atau amina, dan struktur

skeleton yang khas memungkinkan karang mengakumulasi dan mengadsorpsi logam

berat (Shah, 2008). Organisme Heliofungia actiniformis sebagai biosorben logam berat

khususnya ion logam Pb dan desorpsi ion logam Pb dari biomassa karang yang dapat

digunakan kembali secara berulang untuk aplikasi lain.

1.2.RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini terdapat beberapa permasalahan-permasalahan tersebut

meliputi:

1. Bagaimanacara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan

memanfaatkan BiomassaPhanerochaetechrysosporium?

2. Bagaimanacara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan

memanfaatkan BiomassaKarang Heliofungia Actinifomis?

Page 8: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

4

3. Bagaimanacara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan

memanfaatkan jamurTrichodermaAsperrellum TNJ-6?

4. Bagaimana aplikasi persamaan adsorpsi Langmuir dan Freundlich dalam proses

biosorpsi?

1.3.TUJUAN PENELITIAN

Ada bererapa tujuan dari penelitian ini baik tujuan sosial ataupun tujuan ilmiah

meliputi:

1. Mengetahuicara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan

memanfaatkan BiomassaPhanerochaetechrysosporium.

2. Mengetahuicara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan

memanfaatkan BiomassaKarang Heliofungia Actinifomis.

3. Mengetahuicara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan

memanfaatkan jamurTrichodermaAsperrellum TNJ-6.

4. Bagaimana aplikasi persamaan adsorpsi Langmuir dan Freundlich dalam proses

biosorpsi?

1.4.MANFAAT PENELITIAN

Memberikan pengetahuan tentang biosorpsi dalam menaggulangi limbah yang

mengandung Pb dan dapat mengaplikasikan teori tentang biosorpsi dan aplikasinya.

Page 9: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BIOSORPSI

Biosorpsi logam terjadi karena kompleksitas ion logam yang bermuatan positif

dengan pusat aktif yang bermuatan negatif pada permukaan dinding sel atau dalam

polimer-polimer ekstra seluler, seperti protein dan polisakarid sebagai sumber gugus

fungsi yang berperan penting dalam mengikat ion logam. Proses penyerapan ini

berlangsung cepat dan terjadi pada sel hidup maupun sel yang telah mati (Volesky,

2000).

Biosorpsi juga terjadi karena adanya peristiwa pertukaran ion dimana ion

monovalent dan divalent seperti Na+, Mg

2+, Ca

2+, K

+pada dinding sel digantikan

oleh ion-ion logam berat (Suhendrayatna, 2001).

Biosorpsi menunjukkan kemampuan biomassa untuk mengikat logam berat dari

dalam larutan melalui langkah-langkah metabolisme atau kimia-fisika (Ashraf dkk.,

2010), dan termasuk penghilangan racun dari bahan-bahan yang berbahaya (Igwe

dan Abia, 2006). Proses pengolahan ini dapat dilakukan di tempat, sehingga tidak

diperlukan proses pemindahan limbah. Keuntungan lain dalam pemakaian biosorben

adalah bahan baku yang melimpah, murah, proses pengolahan limbah yang efisien,

minimalisasi lumpur yang terbentuk, serta tidak adanya nutrisi tambahan dan proses

regenerasi (Ashraf dkk., 2010). Oleh karena itu, penggunaan biosorpsi dalam

pengolahan limbah cair termasuk proses baru yang terbukti cukup menjanjikan

(Prasad dan Abdullah, 2009). Menurut Igwe dan Abia (2006), ada tiga mekanisme

yang mungkin terjadi ketika mikroorganisme mengambil logam-logam yang ada di

larutan. Ketiga mekanisme itu adalah akumulasi/pengendapan ekstraselular,

penjerapan atau pembentukan kompleks pada permukaan sel serta akumulasi

intraseluler. Proses akumulasi/pengendapan ekstraselular dapat dilakukan dengan

mikroorganisme hidup, penjerapan atau pembentukan kompleks pada permukaan sel

dapat dilakukan dengan mikroorganisme hidup maupun mati sedangkan akumulasi

intraseluler membutuhkan aktivitas mikroba. Meskipun sel hidup maupun mati

dapat mengikat logam, namun mereka mempunyai mekanisme pengikatan yang

berbeda tergantung pada sistem metabolismenya. Pada sel hidup, maka parameter

Page 10: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

6

yang berpengaruh dalam proses adsorpsi adalah umur sel, ketersediaan nutrisi

selama pertumbuhan dan kondisi selama proses biosorpsi (seperti pH, suhu dan

adanya co-ion tertentu). Efisiensi penjerapan juga sangat dipengaruhi oleh

karakteristik kimiawi logam yang akan diolah. Sementara untuk biosorben yang

berasal dari hasil samping produk pertanian, ada dua model penjerapan yaitu

adsorpsi intrinsik dan interaksi colombik. Pada proses adsorpsi intrinsik yang

menjadi faktor utama adalah luas area. Hal ini dapat diketahui dengan mengamati

efek ukuran adsorben terhadap kemampuan adsorpsi. Sedangkan pada interaksi

kolombik dihasilkan energi elektrostatik dari interaksi adsorben dan adsorbat.

Intensitas interaksi ini akan sangat tergantung pada kekuatan muatan kedua bahan.

Interaksi kolombik dapat diamati dari adsorpsi bahan kationik dan anionik adsorben.

Lebih lanjut Igwe dan Abia (2006) menyebutkan bahwa pada biosorben umumnya

mengandung β-D-glukosa berulang sebagai komponen utama dinding sel. Gugus

hidroksil polar selulosa inilah yang berperan dalam reaksi kimia dan mengikat

logam berat dari larutan. Modifikasi gugus fungsional dapat mengubah sifat-sifat

permukaan yang pada akhirnya akan mempengaruh kemampuan adsorpsi bahan.

Berbagai mikroorganisme yang banyak digunakan sebagai biosorben diantaranya

adalah kelompok bakteri, jamur, yeast dan alga. Kelompok mikroorganisme ini

terbukti mampu mengikat logam-logam berat dengan beragam hasil (Gupta dkk.,

2000). Diantara kelompok tersebut, fungi merupakan kelompok mikroorganisme

yang mempunyai kemampuan tinggi untuk mengikat logam. Beberapa jenis fungi

dan yeast yang mempunyai potensi tinggi untuk biosorpsi logam diantaranya dari

genus Rhizopus, Aspergillus, Streptovertilicillum dan Saccharomyces. Sementara

dari kelompok bakteri, Bacillus sp mempunyai potensi besar untuk mengikat logam

serta telah digunakan secara komersial sebagai biosorben. Dari kelompok alga laut,

Sargassum natans dan Ascophyllum nosodum menunjukkan kapasitas biosorpsi

yang tinggi terhadap logam. Selain alga laut, kelompok alga hijau seperti Chlorella

sp dan Cyanobacteria juga mempunyai kemampuan mengikat logam yang patut

dikembangkan. Kim dkk., (2004) mengadsorpsi Cr(VI), Cd dan Mn menggunakan

sel mati alga merah Pachymeniopsis sp. Dari penelitiannya diperoleh hasil bahwa

selektivitas proses biosorpsi lebih tinggi untuk Cr(VI) dengan kapasitas adsoprsi

maksimal 225 mg/g. Selain kelompok mikroorganisme, saat ini juga mulai

Page 11: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

7

dikembangkan penggunaan biosorben dari limbah pertanian. Bahan-bahan ini

umumnya sudah tidak terpakai lagi sehingga dapat diperoleh dengan harga murah.

Selain itu, karena diperoleh dari limbah pertanian, maka biosorben ini akan tersedia

cukup banyak di alam (Das dkk., 2008).

2.2. Pb (TIMBAL)

2.2.1. Pengertian Timbal (Pb)

Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam. Dalam

bahasa ilmiahnya dinamakan Plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan

Pb. Logam ini termasuk kedalam kelompok logam-logam golongan IV-A

pada tabel periodik unsur kimia. Mempunyai unsur atom (NA)82 dengan

bobot atau berat atom (BA)207,2.

2.2.2. Sumber Timbal (Pb)

Timbal merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak bumi. Timbal

sering kali digunakan dalam industri kimia seperti pembuatan baterai, industri

pembuatan kabel listrik dan industri pewarnaan pada cat.

2.2.3. Sifat Logam Timbal (Pb)

a. Merupakan logam yang lunak, sehingga dapat dipotong dengan menggunakan

pisau atau tangan dan dapat dibentuk dengan mudah.

b. Tahan terhadap korosi atau karat, sehingga logam timbal sering digunakan

sebagai coating

c. Titik lebur rendah, hanya 327,5 derajat C.

d. Merupakan penghantar listrik yang tidak baik.

e. Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam

biasa, kecuali emas dan mercuri

2.2.4. Kegunaan Timbal (Pb)

a. Digunakan dalam pembuatan kabel telepon

b. Digunakan dalam baterai

c. Sebagai pewarnaan cat

d. Sebagai pengkilapan keramik dan bahan anti api

e. Sebagai aditive untuk bahan bakar kendaraan.

2.2.5. Dampak Timbal (Pb) Terhadap Kesehatan

Efek Pb terhadap kesehatan terutama terhadap sistem

Page 12: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

8

haemotopoetic(sistem pembentukan darah), adalah menghambat sintesis

hemoglobin dan memperpendek umur sel darah merah sehingga akan

menyebabkan anemia. Pb juga menyebabkan gangguan metabolisme Fe dan

sintesis globin dalam sel darah merah dan menghambat aktivitas berbagai

enzim yang diperlukan untuk sintesis heme.Anak yang terpapar Pb akan

mengalami degradasi kecerdasan alias idiot. Pada orang dewasa Pb

mengurangi kesuburan, bahkan menyebabkan kemandulan atau keguguran

pada wanita hamil, kalaupun tidak keguguran, sel otak tidak bisa

berkembang. Dampak Pb pada ibu hamil selain berpengaruh pada ibu juga

pada embrio/ janin yang dikandungnya. Selain penyakit yang diderita ibu

sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan dilahirkan juga bahan

kimia atau obat-obatan, misalnya keracunan Pb organik dapat meningkatkan

angka keguguran, kelahiran mati atau kelahiran prematur.

Efek-efek Pb terhadap kesehatan dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut

:

a) Efek terhadap terjadinya Anemia oleh Pb secara biokimiawi, keracunan timah

hitam dapat menyebabkan:

1. Peningkatan produksi ALA (Amino Levulinic Acid) Timah hitam akan

menghambat enzim hemesintetase, yang mengakibatkan penurunan produksi

heme. Penurunan produksi heme ini akan meningkatkan aktivitas ALA

sintetase, dan akhirnya produksi ALA meningkat. Peningkatan produksi ALA

ini dapat dilihat dariekskresi ALA di urine.

2. Peningkatan Protoporphirin. Perubahan protoporphirin IX menjadi heme,

akan terhambat dengan adanya timah hitam. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya akumulasi dari protoporphirin IX yang dapat diketahui pada

plasma dan feces.

3. Peningkatan koproporphirin.Akumulasi dari protoporphirin akan

meningkatkan akumulasi dari koproporphirin III. Hal ini diketahui dengan

didapatkannya koproporphirin III pada urine dan feces.

b) Efek terhadap saraf (sistem saraf pusat)

Susunan saraf merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap

Page 13: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

9

keracunan Pb. Setelah pajanan tinggi dengan kadar Pb darah di atas 80 μg/dl

dapat terjadi ensefalopati. Terjadi kerusakan pada arteriol dan kapiler yang

mengakibatkan oedema (adanya cairan) otak, meningkatnya tekanan cairan

serebrospinal, degenerasi neuron dan perkembangbiakan sel glia. Secara

klinis keadaan ini disertai dengan menurunnya fungsi memori dan

konsentrasi, depresi, sakit kepala, vertigo (pusing berputar-putar), tremor

(gerakan abnormal dengan frekuensi cepat), stupor (penurunan kesadaran

ringan), koma, dan kejang-kejang.

c) Ensefalopati

Ensefalopati merupakan bentuk keracunan Pb yang sangat buruk dengan

sindrom gejala neurologis yang berat dan dapat berakhir dengan kerusakan

otak atau kematian. Paling sering dijumpai pada anak kecil atau orang yang

mengkonsumsi makanan/minuman tercemar Pb. Anak-anak mempunyai

resiko lebih besar terhadap paparan Pb dari orang dewasa. Hal ini mungkin

disebabkan oleh adanya perbedaan aktivitas metabolik interna Ensefalopati

akut pada manusia sangat dipengaruhi oleh : 1) jumlah partikel Pb yang

terhisap, 2) lama pemaparan, dan faktor-faktor lain. Yang ditandai dengan : 1)

perubahan perilaku mental, 2) Pelemahan pada daya ingat dan pada aktivitas

untuk berkonsentrasi, 3) hyperirritabel (hal yang sangat mengganggu), 4)

kegelisahan, 5) depresi, 6) sakit kepala, 7) vertigo dan tremor, ensefalopati

akut berkembang hanya pada dosis yang besar dan jarang terjadi pada level

Pb dalam darah dibawah 100 μg/ 100 ml, pernah dilaporkan terjadi pada

tingkat 70 μg/ 100ml.

d) Pendengaran

Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat pula mengenai saraf kranial,

kadar Pb dalam darah 15 μg/dl dapat menyebabkan gangguan saraf pusat,

pada kadar 1 – 18 µg/dl menyebabkan gangguan pendengaran. Beberapa

penelitian pada anak-anak dan dewasa memperlihatkan adanya hubungan

paparan Pb dengan penurunan pendengaran tipe sensorineural.Pada individu

yang sensitif kadang-kadang didapatkan adanya efek yang memburuk pada

sistem tubuh, tetapi secara klinis efek tersebut tidak jelas sampai dicapai

kadar Pb yang lebih tinggi lagi.

Page 14: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

10

e) Efek terhadap ginjal

Keracunan berat Pb dalam waktu lama akan menyebabkan penyakit renal

progresif dan tidak dapat disembuhkan. Ada beberapa laporan berisi

interstisial nephritis kronis pada pekerja sering disertai dengan hasil yang

fatal. Kebersihan suatu industri akan mengurangi jumlah dan besarnya

komplikasi renal pekerja yang keracunan akan tetapi anak-anak yang

menghirup Pb pada cat yang mengelupas dan konsumen yang mengkonsumsi

makanan yang tercemar Pb tetap mempunyai resiko.Nephropati yang ditandai

oleh gangguan fungsi ginjal progresif sering disertai hipertensi. Kerusakan

ginjal berupa fibriosis interstitialis kronis, degenerasi tubuler, dan perubahan

vaskuler pada arteri kecil dan arteriol. Ditemukan gambaran khas, yaitu

penuhnya badan inklusi intranuklear pada sel dinding tubulus. Badan inklusi

merupakan kompleks protein Pb yang kemudian di ekskresi melalui urine.

Degenerasi tubulus proksimal mengakibatkan menurunnya reabsorbsi asam

amino, glukosa, fosfat dan asam sitrat. Pada kasus yang berat dapat terjadi

sindrom fanconi yaitu hiperamino uria (air kencing mengandung asam amino

berlebihan),glukosuria dan hipofosfat uria atau kadang-kadang hiperfosfat

uria. Gangguan ginjal bersifat tidak menetap.Saturnine gout adalah sebuah

konsekuensi pengurangan fungsi tubuler(ginjal tubulus glumerulus), Pb

berpengaruh pada ekskresi urates. Maka meskipun angka formasi mereka

normal, level asam uric disimpan dalam persendian, hampir menyerupai

encok/ pegal.

f) Efek terhadap sistem cardiovasculer

Pada keracunan Pb akut beberapa pasien menderita colic yang disertai

peningkatan tekanan darah. Kemungkinan timbulnya kerusakan miokard

tidak dapat diabaikan. Perubahan elektro cardiografi dijumpai pada 70 %

penderita dengan gejala umum berupa takikardia, disritmia atrium.

g) Efek terhadap sistem reproduksi

Telah diketahui bahwa Pb dapat menyebabkan gangguan reproduksi baik

pada perempuan maupun pada laki-laki, Pb dapat menembus jaringan

placenta sehingga menyebabkan kelainan pada janin. Peningkatan kasus

infertil, abortus spontan, gangguan haid dan bayi lahir mati pada pekerja

Page 15: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

11

perempuan yang terpajan Pb telah dilaporkan sejak abad 19, walaupun

demikian data mengenai dosis dan efek Pb terhadap fungsi reproduksi

perempuan, sampai sekarang masih sedikit.Hubungan antara kadar Pb dalam

darah dan kelainan yang diakibatkan terhadap kelainan reproduksi perempuan

adalah

1. Kadar Pb darah 10 μg/dl dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan.

2. Kadar Pb darah 30 μg/dl mengakibatkan kelainan prematur.

3. Kadar Pb darah 60 μg/dl mengakibatkan komplikasi kehamilan.

Senyawa teratogen termasuk Pb dapat menembus janin dan dapat

mengganggu pertumbuhan mulai dari usia kehamilan pada minggu ke tiga

hingga minggu ke 38. mulai minggu ke tiga hingga pertengahan minggu

keenam dapat mengganggu pertumbuhan susunan saraf pusat atau central

nervous system (CNS), pada pertengahan minggu ke tiga sampai minggu ke

enam dapat mengganggu pertumbuhan jantung, pada minggu ke empat

hingga minggu ke delapan mengganggu pertumbuhan mata, lengan dan kaki,

mulai pertengahan minggu ke enam sampai minggu ke delapan dapat

mengganggu pertumbuhan gigi dan mulut, minggu ke sembilan mengganggu

pertumbuhan tekak (langit-langit, mulai minggu ke tujuh sampai ke 12

menggangu pertumbuhan alat kelamin bagian luar dan mulai minggu ke

empat sampai minggu ke 12 mengganggu pertumbuhan pendengaran.

2.3. PHANEROCHAETE CHRYSOSPORIUM

2.3.1. Taksonomi

Phanerochaete chrysosporium memiliki klasifikasi sebagai berikut :

Divisio : Mycota

Sub divisio : Eumycota

Kelas : Bacidiomycetes

Famili : Hymenomycetaceae

Genus : Phanerochaete

Spesies : Phanerochaete chrysosporium

Page 16: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

12

Gambar Jamur Phanerochaete chrysosporium (Herlina,1998).

2.3.2. Morfologi

Phanerochaete chrysosporium merupakan mikroorganisme bersel

banyak, hidup secara aerobik, nonfotosintetik kemoheterotrof dan

termasuk eukariotik. Mikroba ini menggunakan senyawa organik sebagai

substrat dan bereproduksi secara aseksual dengan spora. Kebutuhan

metabolisme mereka sama seperti bakteri, namun membutuhkan lebih

sedikit nitrogen serta dapat tumbuh dan berkembang biak pada pH rendah.

Ukuran jamur lebih besar dari bakteri tetapi karakteristik pengendapannya

buruk. Oleh karena itu mikroba ini tidak disukai dalam proses activated

sludge (Dyah dan Adi, 2010).

Jamur Phanerochaete chrysosporium memiliki keadaan fisik yang

berserabut seperti kapas dan berwarna putih serta memiliki spora dan talus

bercabang yang disebut hifa. Kumpulan dari hifa disebut miselium

(Fardiaz, 1989). Miselium P. chrysosporium mempunyai tiga fase

pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, seksual dan aseksual. Fase vegetatif

merupakan fase pertumbuhan dominan. Selama fase ini jamur paling

banyak menghasilkan enzim ekstraselular. Tubuh buah jamur secara alami

mulai terbentuk pada hari ke 18-20. Tubuh buah basah dan lembut,

berwarna putih kekuningan (Cookson, 1995 dalam Satitiningrum, 1998).

Filamen dari Phanerochaete chrysosporium lebih sering digunakan

untuk penerapan dalam bidang bioteknologi daripada tahap sporanya

(Wainwright, 1992 dalam Iriani 2003), setelah umur empat hari jamur ini

akan mencapai fase ligninolitik dan segera memulai mendegradasi lignin.

Page 17: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

13

Tumbuh pada suhu 100 – 40

0C (Cookson, 1995 dalam Iriani, 2003)

dengan suhu optimum 370 C (Wainwrigt, 1992 dalam Iriani, 2003), pH

berkisar antara 4 – 4,5 dan memerlukan kandungan oksigen tinggi.

Phanerochaete chrysosporium tidak dapat tumbuh pada substrat yang

hanya mengandung lignin sebagai sumber karbon untuk menunjang

perkembangbiakan sel, sehingga dibutuhkan sumber karbon lain seperti

glukosa, sukrosa, dan lain-lain (Eaton et al., 1998 dalam Martina, 1998).

Phanerochaete chrysosporium memiliki sifat tumbuh yang tidak begitu

baik dibanding jamur lain yaitu waktu tumbuh jamur ini lambat, untuk

hidup memerlukan media yang memiliki energi yang tinggi (Wraight,

1992).

Phanerochaete chrysosporium merupakanmikroorganisme ligninolitik

paling efisien, namun jamur ini juga dapat menghasilkan enzim

protease,kuinon reduktase dan selulase (Suparjo, 2008). Jamur ini

merupakan mikroorganisme bersel banyak, hidup secara aerobik, non

fotosintetik kemoheterotrof, dan termasuk eukariotik. Menggunakan

senyawa organik sebagai substrat dan berproduksi secara aseksual dengan

spora, kebutuhan metabolisma mereka sama seperti bakteri namun

membutuhkan lebih sedikit nitrogen dan dapat tumbuh dan berkembang

biak pada pH rendah. Ukuran jamur lebih besar dari bakteri tapi

karakteristik pengendapannya buruk. Oleh karena itu tidak disukai dalam

proses activated sludge. Temperature optimum yang mendukung

pertumbuhan jamur ini adalah 39oC, dengan pH antara 4-5. Karena

mikroorganisme ini termasuk aerobik, maka aktivitas biologisnya juga

dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut dalam media.

Jamur pelapuk putih memproduksi enzim oksida ekstraseluler yang

dapat mendegradasi polimer aromatic kompleks di alam yaitu lignin.

Enzim tersebut mengandung peroksidase, lignin peroksidase (LiP) dan

Mangan peroksidase (MnP). Enzim pengoksidasi ini menyebabkan

oksidasi 1 elektron pada senyawa aromatic dalam lignin. Kation radikal

yang dihasilkan mudah dipengaruhi untuk oksidasi selanjutnya dengan

adanya O2. Sistem ligninolitik ini sifatnya nonselektif sehingga senyawa

Page 18: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

14

aromatic yang lain juga dapat dioksidasi dan dibiodegradasi oleh jamur

pelapuk putih. Contohnya Pentachlorophenol (PCP), dioxins, polycyclic

aromatic hydrocarbon ( PAH) dan zat warna azo (Azo dye).

Dinding sel jasad hidup baik prokariotik maupun eukariotik tersusun

atas beberapa polisakarida, salah satu polisakarida yang terkandung dalam

dinding sel yaitu senyawa alginate, mempunyai sifat ion exchange dengan

mekanisme sebagai berikut ( Paskin-Hurlburt, dkk., 1976 dalam Nurhayati

dan Maryanti, E.N., 2004) :

2 NaAlg + Pb2+

Pb(Alg)2+

2Na

Dan kedua adalah formasi komplek antara ion-ion logam dengan

functional group seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl, phosphate dan

hydroxy-carboxyl yang berada pada dinding sel. Proses biosorpsi ini

bersifat bolak-balik dan cepat, dapat lebih efektif dengan kondisi pH

tertentu dan kehadiran ion-ion lainnya di media dimana logam berat dapat

terendapkan sebagai garam yang tidak terlarut(Gadd, G.M., 1988).

Misalkan pH optimum biosorpsi ion lead (II) dan copper (II) oleh

Zoogloea ramigera adalah berkisar antara 4,0-4,5 sedangkan untuk besi

(II) adalah 2,0 (Suhendrayatna, 2001).

Jika pH rendah akan terjadi kompetisi ion logam dengan ion

hydrogen, sehingga ion logam berat terhambat untuk diserap oleh dinding

sel, kompetisi diakibatkan banyaknya ion hydrogen pada pH rendah yang

dapat menghalangi adsorpsi kation logam pada dinding sel biomassa

(Wallace, 2003). Sedangkan jika pH diatas 7 tidak efektif karena pada pH

6 telah mulai terjadi presipitasi dan pH optimum biosorpsi adalah pH 4-5

serta dari penelitian dengan menggunakan sargassum menyimpulkan hal

yang sama bahwa proses biosorpsi tidak efektif pada pH dibawah 3,5

ataupun pH diatas 5,5 (Cossich, E.S., 2002). Polisakarida lain yang

mempunyai sifat ion exchange misalnya senyawa porphyran yang terdapat

pada ganggang laut Porphyra perforata.

Senyawa ini bertanggung jawab dalam proses penyerapan kalium dan

Page 19: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

15

pelepasan natrium pada ganggang tersebut. Komposisi kimia dinding sel

tentu saja bukan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan

terjadinya proses biosorpsi, meskipun mungkin merupakan factor yang

paling dominan. Factor lain seperti sifat fisis biomassa dan sifat larutan

yang mengandung ion logam juga ikut berperan dalam proses biosorpsi

tersebut. Jadi mekanisme yang terjadi dalam proses biosorpsi

kemungkinan merupakan kombinasi dari complexasi, ion exchange,

koordinasi, adsorpsi, chelation mikropresipitasi dan sebagainya

2.3.3. Kegunaan

Penggunaan jamur Phanerochaete chrysosporium sebagai inokulum

fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah

dan cepat, dan kadar asam nukleatnya rendah. Phanerochaete

chrysosporium adalah jamur pelapuk putih yang dikenal kemampuannya

dalam mendegradasi lignin. Phanerochaete chrysosporium adalah kapang

pendegradasi lignin dari kelas basidiomycetes yang membentuk

sekumpulan miselia dan berkembang biak secara aseksual melalui spora

atau seksual dengan perlakuan tertentu. Phanerochaete chrysosporium

dapat mendegradasi lignin dan senyawa turunannya secara efektif dengan

cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler yang berupa lignin

peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Sembiring, 2006).

2.4. HELIOFUNGIA ACTINIFORMIS

Gambar Heliofungia actiniformis

Page 20: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

16

Family : Fungiidae

Genus : Heliofungia

Spesies : Heliofungiaactiniformis

Kedalaman : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.

Ciri-ciri : Polip soliter, hidup secara terpisah dengan mulut terletak pada bagian

tengah. Polip memiliki banyak tentakel yang besar dan panjang. Tentakel

dijulurkan pada malam hari maupun siang hari yang menyerupai anemon raksasa.

Hanya memiliki satu mulut. Warna tentakel berwarna hijau-biru muda atau tua,

dengan ujungnya berwarna putih atau merah muda.

2.5.TRICHODERMA SPP

Trichoderma spp. merupakan jamur antagonis yang sangat penting untuk

pengendalian hayati. Mekanisme pengendalian Trichoderma spp. yang bersifat

spesifik target, mengoloni rhizosfer dengan cepat dan melindungi akar dari

serangan jamur patogen, mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan

hasil produksi tanaman. Aplikasi dapat dilakukan melalui tanah secara langsung,

melalui perlakuan benih maupun melalui kompos. Selain itu Trichoderma spp.

sebagai jasad antagonis mudah dibiakkan secara massal, mudah disimpan dalam

waktu lama dan dapat diaplikasikan dalam bentuk tepung atau granular/butiran

(Arwiyanto, 2003). Beberapa keuntungan dan keunggulan Trichoderma spp. yang

lain adalah mudah dimonitor dan dapat berkembang biak, sehingga keberadaannya

di lingkungan dapat bertahan lama serta aman bagi lingkungan, hewan dan manusia

lantaran tidak menimbulkan residu kimia berbahaya yang persisten di dalam tanah

(Anonim, 2002).

Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh

yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi

dengannya. Antagonis meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam

jumlah terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis sebagai hasil dari

pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh mikroorganisme dan

berbahaya bagi OPT, dan (c) predasi, hiperparasitisme, dan mikoparasitisme atau

Page 21: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

17

bentuk yang lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT oleh mikroorganisme

yang lain (Gultom, 2008).

Trichoderma spp. memiliki konidiofor bercabang-cabang teratur, tidak

membentuk berkas, konidium jorong, bersel satu, dalam kelompok-kelompok kecil

terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru (Semangun, 1996). Trichoderma

spp. juga berbentuk oval, dan memiliki stigma atau phialid tunggal dan

berkelompok (Barnet, 1972).

Koloni Trichoderma spp. pada media agar pada awalnya terlihat berwarna putih

selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat sebagian

besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikeliling miselium yang msih berwarna

putih dan pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau (Nurhayati,

2001).Koloni pada medium OA (20oC) mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam

waktu 9 hari, semula berwarna hialin, kemudian menjadi putih kehijauan dan

selanjutnya hijau redup terutama pada bagian yang menunjukkan banyak terdapat

konidia. Konidifer dapat bercabang-cabang menyerupai piramida, yaitu pada

bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan kearah ujung

percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan panjang

terutama apeks dari cabang dan berukuran (2,8 x 3,2) µm x (2,5-2,8) µm dan

berdinding halus. Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari koloni

yang sudah tua, terletak interkalar kadang terminal, umumnya bulat, berwarna

hialin, dan berdinding halus (Tindaon, 2008).

Beberapa laporan menyebutkan bahwa P. fluorescens, Gliocladium dan

Trichoderma telah diformulasikan dalam bentuk cair, tepung dan kompos.

Perkembangbiakan Trichoderma spp. akan terjadi bila hifa jamur mengadakan

kontak dengan bahan organik seperti kompos, bekatul atau beras jagung. Bertha

Hapsari (2003) menyatakan bahwa jamur

Trichoderma spp. dapat bertahan selama 3 bulan jika disimpan dalam kulkas

atau sebulan di suhu kamar pada medium beras jagung yang telah difermentasi.

Sedangkan bahan yang dapat dibuat sebagai pengemas antara lain talk dan kaolin. (

Trianto dan Sumantri, 2003).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akar yang dikolonisasi olehTrichoderma

harzianum memberikan peningkatan enzim-enzim tanaman. Termasuk N-acetyl-β-

Page 22: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

18

D-glucosaminidase, chitinase, protease dan β-glucanase. Enzim-enzim ini

berperanan pada aktivitas mikoparasit terhadap patogen-patogen terutama Fusarium

oxysporum (Sharma, Vignesh Kumar, Ramesh, Saravanan, Deep, Sharma, Mahesh

and Dinesh, 2011).

Ketahanan terhadap kekeringan timbul akibat meningkatnya kemampuan

tanaman untuk menghindari pengaruh langsung dari kekeringan dengan jalan

meningkatkan penyerapan air melalui sistem gabungan akar dan Trichoderma spp.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Setiadi (1989), bahwa hifa cendawan ternyata masih

mampu untuk menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah

kesulitan. Penyebaran hifa di dalam tanah juga sangat luas sehingga tanaman dapat

mengambil air relatif lebih banyak.

2.6. PERSAMAAN ISOTERM ADSORPSI LANGMUIR

Isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (a)

adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), (b) panas adsorpsi tidak

tergantung pada penutupan permukaan, dan (c) semua situs dan permukaannya

bersifat homogen (Oscik J 1994). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat

diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara

molekul-molekul zat yang diadsorpsi pada permukaan adsorben dengan molekul-

molekul zat yang tidak teradsorpsi. Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat

dituliskan sebagai berikut.

C merupakan konsentrasi adsorbat dalam larutan, x/m adalah konsentrasi

adsorbat yang terjerap per gram adsorben, k adalah konstanta yang berhubungan

dengan afinitas adsorpsi dan (x/m)mak adalah kapasitas adsorpsi maksimum dari

adsorben. Kurva isoterm adsorpsi Langmuir dapat disajikan seperti pada Gambar .

Page 23: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

19

Gambar Kurva isoterm adsorpsi Langmuir

2.7. PERSAMAAN ISOTERM ADSORPSI FREUNDLICH

Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich didasarkan atas terbentuknyalapisan

monolayer dari molekul-molekul adsorbat pada permukaan adsorben.Namun

pada adsorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan adsorbenbersifat

heterogen. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dapat dituliskansebagai

berikut.

Log (x/m) = log k + 1/n log c

sedangkan kurva isoterm adsorpsinya disajikan pada Gambar 2.

Gambar Kurva isoterm adsorpsi Freundlich

2.8. SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang

didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada

pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut menyebabkan

tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih tinggi.

Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi dasar sambil

mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Dalam AAS, atom bebas

Page 24: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

20

berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti energi panas, energi

elektromagnetik, energi kimia dan energi listrik. Interaksi ini menimbulkan

proses-proses dalam atom bebas yang menghasilkan absorpsi dan emisi

(pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan bersifat khas karena

mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk setiap atom bebas

(Basset, 1994).

Spektrofotometri molekuler pita absopsi inframerah dan UV-tampak yang di

pertimbangkan melibatkan molekul poliatom, tetapi atom individu juga menyerap

radiasi yang menimbulkan keadaan energi elektronik tereksitasi. Spectra absorpsi

lebih sederhana dibandingakan dengan spectra molekulnya karena keadaan energi

elektronik tidak mempunyai sub tingkat vibrasi rotasi. Jadi spectra absopsi atom

terdiri dari garis-garis yang jauh lebih tajam daripada pita-pita yang diamati dalam

spektrokopi molekul (Underwood, 2001).

Spektrofotometer serapan atom (AAS) merupakan teknik analisis kuantitatif

dari unsur-unsur yang pemakaiannya sangat luas, diberbagai bidang karena

prosedurnya selektif, spesifik, biaya analisa relatif murah, sensitif tinggi (ppm-

ppb), dapat dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar, waktu

analisa sangat cepat dan mudah dilakukan. Analisis AAS pada umumnya

digunakan untuk analisa unsur, teknik AAS menjadi alat yang canggih dalam

analisis.ini disebabkan karena sebelum pengukuran tidak selalu memerluka

pemisahan unsur yang ditetukan karena kemungkinan penentuan satu logam unsur

dengan kehadiran unsur lain dapat dilakukan, asalkan katoda berongga yang

diperlukan tersedia. AAS dapat digunakan untuk mengukur logam sebanyak 61

logam. Sember cahaya pada AAS adalah sumber cahaya dari lampu katoda yang

berasal dari elemen yang sedang diukur kemudian dilewatkan ke dalam nyala api

yang berisi sampel yang telah terakomisasi, kemudian radiasi tersebut diteruskan

ke detektor melalui monokromator. Chopper digunakan untuk membedakan

radiasi yang berasal dari nyala api. Detektor akan menolak arah searah arus ( DC )

dari emisi nyala dan hanya mnegukur arus bolak-balik dari sumber radiasi atau

sampel. Atom dari suatu unsur padakeadaan dasar akan dikenai radiasi maka atom

tersebut akan menyerap energi dan mengakibatkan elektron pada kulit terluar naik

ke tingkat energi yang lebih tingi atau tereksitasi. Atom-atom dari sampel akan

Page 25: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

21

menyerpa sebagian sinar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. Penyerapan

energi cahaya terjadi pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang

dibutuhkan oleh atom tersebut (Basset, 1994).

Hubungan kuantitatif antara intensitas radiasi yang diserap dan konsentrasi

unsur yang ada dalam larutan cuplikan menjadi dasar pemakaian SSA untuk

analisis unsur-unsur logam. Untuk membentuk uap atom netral dalam

keadaan/tingkat energi dasar yang siap menyerap radiasi dibutuhkan sejumlah

energi. Energi ini biasanya berasal dari nyala hasil pembakaran campuran gas

asetilen-udara atau asetilen-N2O, tergantung suhu yang dibutuhkan untuk

membuat unsur analit menjadi uap atom bebas pada tingkat energi dasar (ground

state). Disini berlaku hubungan yang dikenal dengan hukum Lambert-Beer yang

menjadi dasar dalam analisis kuantitatif secara SSA. Hubungan tersebut

dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut (Ristina, 2006).

I = Io . a.b.c

Atau,

Log I/Io = a.b.c

A = a.b.c

dengan,

A = absorbansi, tanpa dimensi

a = koefisien serapan, L2/M

b = panjang jejak sinar dalam medium berisi atom penyerap, L

c = konsentrasi, M/L3

Io = intensitas sinar mula-mula

I = intensitas sinar yang diteruskan

Pada persamaan diatas ditunjukkan bahwa besarnya absorbansi berbanding

lurus dengan konsentrasi atom-atom pada tingkat tenaga dasar dalam medium

nyala. Banyaknya konsentrasi atom-atom dalam nyala tersebut sebanding dengan

konsentrasi unsur dalam larutan cuplikan. Dengan demikian, dari pemplotan

serapan dan konsentrasi unsur dalam larutan standar diperoleh kurva kalibrasi.

Dengan menempatkan absorbansi dari suatu cuplikan pada kurva standar akan

diperoleh konsentrasi dalam larutan cuplikan. Bagian-bagian AAS adalah sebgai

berikut (Day, 1986).

Page 26: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

22

a. Lampu katoda

Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada AAS. Lampu katoda

memiliki masa pakai atau umur pemakaian selama 1000 jam. Lampu katoda

pada setiap unsur yang akan diuji berbeda-beda tergantung unsur yang akan

diuji, seperti lampu katoda Cu, hanya bisa digunakan untuk pengukuran unsur

Cu.

b. Tabung gas

Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas yang berisi

gas asetilen. Gas asetilen pada AAS memiliki kisaran suhu ± 20000 K, dan

ada juga tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih panas dari gas asetilen,

dengan kisaran suhu ± 30000 K. Regulator pada tabung gas asetilen berfungsi

untuk pengaturan banyaknya gas yang akan dikeluarkan, dan gas yang berada

di dalam tabung. Spedometer pada bagian kanan regulator merupakan

pengatur tekanan yang berada di dalam tabung. Gas ini merupakan bahan

bakar dalam Spektrofotometri Serapan Atom

c. Burner

Burner merupakan bagian paling terpenting di dalam main unit, karena

burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan aquabides,

agar tercampur merata, dan dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan

merata. Lobang yang berada pada burner, merupakan lobang pemantik api.

d. Monokromator

Berkas cahaya dari lampu katoda berongga akan dilewatkan melalui celah

sempit dan difokuskan menggunakan cermin menuju monokromator.

Monokromator dalam alat SSA akan memisahkan, mengisolasi dan

mengontrol intensitas energi yang diteruskan ke detektor. Monokromator

yang biasa digunakan ialah monokromator difraksi grating.

e. Detektor

Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi

listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya

radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka. Fungsi detektor adalah

mengubah energi sinar menjadi energi listrik, dimana energi listrik yang

dihasilkan digunakan untuk mendapatkan data. Detektor AAS tergantung

Page 27: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

23

pada jenis monokromatornya, jika monokromatornya sederhana yang biasa

dipakai untuk analisa alkali, detektor yang digunakan adalah barier layer cell.

Tetapi pada umumnya yang digunakan adalah detektor photomultiplier tube.

Photomultiplier tube terdiri dari katoda yang dilapisi senyawa yang bersifat

peka cahaya dan suatu anoda yang mampu mengumpulkan elektron. Ketika

foton menumbuk katoda maka elektron akan dipancarkan, dan bergerak

menuju anoda. Antara katoda dan anoda terdapat dinoda-dinoda yang mampu

menggandakan elektron. Sehingga intensitas elektron yang sampai menuju

anoda besar dan akhirnya dapat dibaca sebagai sinyal listrik. Untuk

menambah kinerja alat maka digunakan suatu mikroprosesor, baik pada

instrumen utama maupun pada alat bantu lain seperti autosampler.

f. Sistem pembacaan

Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau

gambar yang dapat dibaca oleh mata.

g. Ducting

Ducting merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap atau sisa

pembakaran pada AAS, yang langsung dihubungkan pada cerobong asap

bagian luar pada atap bangunan, agar asap yang dihasilkan oleh AAS, tidak

berbahaya bagi lingkungan sekitar. Asap yang dihasilkan dari pembakaran

pada spektrofotometry serapan atom (AAS), diolah sedemikian rupa di dalam

ducting, agar asap yang dihasilkan tidak berbahaya.

Page 28: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

24

BAB III

MATERI DAN METODE

3.1. ALAT-ALAT

Alat–alat yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah alat–alat gelas yang

umum digunakan, magnetic stirrer, Spektrofotometer Serapan Atom (AAS)

Buck Scientific Model 205 VGP, PH meter, lumpang , neraca digital, ayakan,

oven, desikator, satu set alat pengaduk dan bekerglas, oven, penyaring,

spektrofotometer dan timbangan.

3.2. BAHAN-BAHAN

Larutan Pb(NO3)2, kultur spesies fungi Trichoderma asperellum TNJ-63, air

suling, limbah cair, Biomassa Phanerochaete chrisosporium, NaOH, H2SO4,

aquadest, biomassa Heliofungia actiniformis kering, larutan HNO3, HCl,

EDTA, KCl, Na2CO3, akuades, kertas pH, kertas saring whatman, alumunium

foil, kertas label.

3.3. PROSEDUR PENELITIAN

3.3.1. Tahap persiapan biomassa Phanerochaete chrisosporium.

Lakukan proses aktifasi biomassa dengan memanaskan dalam larutan

NaOH selama 25 menit dan saring lalu cuci menggunakan aquadest sampai

pH aquadest mendekati netral. Keringkan biomassa dalam oven pada suhu

100oC sampai berat konstan.

3.3.2. Penyiapan biosorben karang Heliofungia actiniformis

Karang Heliofungia actiniformis dikoleksi dari pulau Badi. Karang

segera dicuci dan dikeringkan pada temperatur 800C selama ± 12 jam

kemudian dihaluskan. Sampel diayak dengan ukuran lolos saringan 120

mesh diambil dan disimpan pada tempat dingin dan kering. Biomassa

karang digunakan dalam eksperimen penentuan waktu kontak, pH optimum

dan kapasitas biosorpsi.

3.3.3. Penyiapan biosorben jamur Trichoderma asperellum TNJ-63.

Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 yang digunakan berupa biomassa

kering yang proses persiapannya telah dilakukan terlebih dahulu.

Page 29: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

25

3.3.4. Proses adsorpsi Phanerochaete chrisosporium.

Masukkan biomassa dengan konsentrasi sesuai variabel (gram/lt) (1; 1,5;

2; 2,5; 3) dalam 250 cc air limbah, larutan dijaga pada pH 4-5, dan lakukan

pengadukan sesuai variabel (rpm)(50; 100; 150; 200; 250) selama 150

menit. Setelah 150 menit larutan di centrifuge. Filtrate kemudian disaring

dan selanjutkan dianalisa menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui

kadar Pb yang tersisa dalam larutan.

3.3.5. Penentuan kapasitas biosorpsi Heliofungia actiniformis.

Larutan ion Pb(II) dengan variasi konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150

ppm, 200 ppm, 250 ppm, dan 300 ppm disiapkan pada pH optimum. Ke

dalam masing–masing 100 mL larutan tersebut ditambahkan 200 mg

biomassa Heliofungia actiniformis. Tiap–tiap campuran diaduk dengan

magnetic stirrer selama waktu dan pH optimum. Tiap–tiap campuran

disaring dengan kertas whatman. Adsorbansi setiap filtrat diukur dengan

Spektrofotometer Serapan Atom

3.3.6. Penentuan pengaruh waktu kontak Heliofungia actiniformis.

Larutan Pb(II) dengan konsentrasi 50 ppm disiapkan. Ke dalam 100 ml

larutan ditambahkan 200 mg biomassa Heliofungia actiniformis.

Campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit dan

disaring dengan kertas whatman. Adsorbansi filtrat diukur dengan

spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang maksimum.

Percobaan diulangi dengan variasi waktu pengadukan 2, 5, 10, 20, 40,

60, 80, 100 dan 120 menit. Setiap percobaan dilakukan 2 kali

pengulangan. Konsentrasi yang teradsorpsi untuk tiap waktu dihitung dari:

Konsentrasi teradsorpsi = Konsentrasi awal- Konsentrasi akhir

Cadsorpsi = Cawal - Cakhir

Banyaknya ion logam yang teradsorpsi (mg) per gram biosorben

Heliofungia ditentukan dengan persamaan :

Dimana :

qe = jumlah ion logam yang teradsorpsi (mg/g)

Page 30: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

26

Co = konsentrasi ion logam sebelum adsorpsi

Ce = konsentrasi ion logam setelah adsorpsi

V = volume larutan ion logam (L)

Wa = jumlah adsorben, biomassa terumbu karang (g)

3.3.7. Waktu optimum Trichoderma asperellum TNJ-63

Waktu optimum adalah waktu dimana konsentrasi teradsorpsi

(Cadsorpsi) terbesar. Tahap awal penelitian biosorpsi dengan jamur

Trichoderma asperellum TNJ-63 adalah penentuan waktu

kesetimbangan. Ke dalam erlenmeyer yang telah berisi 25 ml larutan

logam Pb(NO3)2 dengan konsentrasi 100 ppm dimasukkan 0,3 gram

sampel butiran biomassa kering Trichoderma asperellum TNJ-63 (pada

pH 5). Campuran diaduk pada 130 rpm dan data konsentrasi logam di

cairan diambil saat 1, 3, 6, 12, 24 dan 36 jam pengontakan.Setelah waktu

kesetimbangan diketahui, dengan cara yang sama dilakukan tahap

biosorpsi pada konsentrasi 100 ppm dan pH 5 dengan memvariasi

berat biomassa, berturut-turut 0,1 g, 0,2 g, 0,3 g, 0,4 g, 0,5 g. Pada

penelitian ini waktu tercapainya kesetimbangan juga dipelajari dengan

memvariasi putaran pengadukan berturut-turut 80, 130 dan 180 rpm.

Setelah disaring dengan kertas filter berukuran pori 0,45 µm, sampel

cair dianalisa menggunakan metode atomic adsorption spectroscopy

(AAS).

Page 31: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

27

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Kadar Logam Pb yang Terserap Oleh Phanerochaete chrisosporium

Kadar logam Pb awal dalam air limbah adalah 23,19 mg/lt, setelah dilakukan

proses biosorpsi diperoleh hasil sbb :

Tabel 1.Kadar Logam Pb yang Terserap dan yang Tersisa

Kadar logam Pb yang terserap (% Removal) dan yang tersisa dalam air limbah,

disajikan dalam bentuk gambar sbb :

Page 32: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

28

Gambar 1. Hubungan antara Pengadukan dan Konsentrasi Biomassa

terhadapKadar Lgam Pb yang Terserap (% Removal).

Terlihat pada Gambar 1, bahwa hasil terbaik dicapai pada pengadukan 200 rpm dan

konsentrasi biomassa 3 mg/lt, logam Pb yang terserap (% Removal) 66,79 %.

Gambar 2. Hubungan antara Pengadukan dan Konsentrasi Biomassa

terhadapKadar Logam Pb Sisa (mg/lt)

Dari gambar diatas terlihat hasil terbaik dicapai pada pengadukan 200 rpm dan

konsentrasi biomassa 3 mg/lt, logam Pb yang tersisa 7,70 mg/lt. Hasil biosorpsi

Phanerochaete chrisosporium terhadap logam Pb sangat tergantung pada proses

pengadukan, semakin cepat pengadukan hasil penyerapan semakin besar sehingga kadar

sisa logam Pb dalam air limbah semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin cepat

pengadukan maka kontak antara biomassa dengan ion-ion logam semakin cepat dan

sempurna sehingga ion-ion logam yang terserap semakin besar pula, sesuai dengan

pernyataan Fardias, S., 1987, bahwa transfer energy, substrat dan metabolit dalam

Page 33: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

29

bioreaktor dapat berlangsung dengan pengadukan yang baik, dan proses pengadukan

mempunyai beberapa tujuan antara lain dispersi udara dalam larutan nutrient,

homogenisasi untuk menyeragamkan suhu dan konsentrasi nutrient serta suspensi

mikroba dan nutrient padat. Hasil biosorpsi Phanerochaete chrisosporium terhadap

logam Pb sangat tergantung pada proses pengadukan, semakin cepat pengadukan hasil

penyerapan semakin besar sehingga kadar sisa logam Pb dalam air limbah semakin

kecil. Hal ini disebabkan semakin cepat pengadukan maka kontak antara biomassa

dengan ion-ion logam semakin cepat dan sempurna sehingga ion-ion logam yang

terserap semakin besar pula, sesuai dengan pernyataan Fardias, S., 1987, bahwa transfer

energy, substrat dan metabolit dalam bioreaktor dapat berlangsung dengan pengadukan

yang baik, dan proses pengadukan mempunyai beberapa tujuan antara lain dispersi

udara dalam larutan nutrient, homogenisasi untuk menyeragamkan suhu dan konsentrasi

nutrient serta suspensi mikroba dan nutrient padat. Hasil biosorpsi logam Pb dalam air

limbah semakin naik seiring dengan bertambahnya kecepatan pengadukan tetapi

cenderung konstan pada pengadukan 200 rpm dan 250 rpm, hal ini menunjukkan bahwa

setelah pengadukan 200 rpm biomassa sudah dalam keadaan jenuh dan tidak bisa

menyerap lagi, pada kondisi ini diperoleh kadar logam berat Pb yang terserap 15,69

mg/lt (66,79 %) %), dan yang tersisa 7,70 mg/lt. Pengaruh konsentrasi biomassa pada

biosorpsi logam Pb, menunjukkan bahwa kadar logam Pb yang terserap semakin

meningkat seiring dengan semakin besarnya konsentrasi biomassa. Hal ini terjadi

karena pada awal biosorpsi, permukaan dinding sel yang terdiri dari polisakarida yaitu

senyawa alginate belum mengikat logam berat, sesuai dengan Paskin-Hurlburt, dkk.,

1976 dalam Nurhayati dan Maryanti, E.N., 2004, bahwa proses biosorpsi ini terjadi

ketika ion logam mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama

pertukaran ion dimana ion monovalent dan divalent seperti Na, Mg dan Ca pada dinding

sel digantikan oleh ion-ion logam berat, dan kedua adalah formasi komplek antara ion-

ion logam berat dengan functional group seperti carbonyl, amino, thiol, hidroksi-

karboksil yang berada pada dinding sel. Kondisi terbaik dicapai pada konsentrasi

biomassa yang terbesar yaitu 3 gr/lt dan kadar logam Pb yang terserap15,49 mg/lt

(66,79 %), dan yang tersisa 7,70 mg/lt.

Penentuan konstanta daya serap Phanerochaete chrisosporium. Hasil biosorbsi

terbaik dicapai pada pengadukan 200 rpm dan konsentrasi 3 mg/lt dengan kadar logam

Page 34: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

30

Pb sebagai berikut : Tabel 3. Hasil perhitungan persamaan Freundlich Isothermal untuk

adsorpsi logam Pb dengan Phanerochaete chrisosporium.

Tabel 2. Hasil Perhitungan Persamaan Freundlich Isothermal untuk Adsorpsi

Logam Pb dengan Phanerochaete chrisosporium.

Jika disajikan dalam bentuk gambar sbb :

Gambar 3. Hubungan antara Log Ce dengan (Log X/M)

Besarnya kapasitas penyerapan logam Pb oleh biomassa diperoleh persamaan

Freunlich Isothermal log (X/M) = - 0,7531 log Ce + 1,8636 dengan nilai R = 0,9913,

konstanta n = 1,3278 dan nilai k = 73,0466, sehingga jika nilai k semakin kecil maka

logam terabsorb semakin besar dan berbanding terbalik dengan nilai n.

4.2. Waktu Kontak OptimumHeliofungia actiniformis

Gambar 4 memperlihatkan jumlah ion Pb (II) yang diadsorpsi oleh biomassa

karang Heliofungia actiniformis pada variasi waktu kontak. Pada kontak selama 2

menit, biosorben mampu mengikat ion Pb(II) sebanyak 5,54 mg.g-1

. Nilai ini terus

Page 35: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

31

meningkat hingga waktu kontak 10 menit dengan nilai adsorpsi 12,24 mg.g-1

. Adsorpsi

ion logam menjadi konstan pada kontak selama 20, 40 dan 60 menit dengan nilai

adsorpsi 12, 44 mg.g-1

. Oleh karena itu waktu optimum adsorpsi ion Pb (II) adalah 20

menit. Waktu kontak yang singkat antara ion Pb(II) dengan biomassa karang

Heliofungia actiniformis menunjukkan bahwa mekanisme biosorpsi terjadi secara

kimia data yang diperoleh menunjukkan bahwa pengambilan ion logam oleh biomassa

sangat cepat.

Gambar 4. Grafik Adsorpsi Karang berdasarkan Variasi Waktu Kontak.

Kondisi : konsentrasi awal Pb (II) 50 mgL-1

, 150 rpm, biomassa 0,2 gram/ 50 mL.Untuk

mengetahui kinetika reaksi adsorpsi ion Pb (II) pada biomassa karang

Heliofungia actiniformis, maka data yang diperoleh dimasukkan pada model

persamaan reaksi orde satu (pseudo first – order) dan reaksi orde dua (pseudo second

order). Nilai konstanta orde satu dan nilai qeq ditentukan dari nilai yang

diperoleh pada Gambar 5 dan koefisien korelasi yang diperoleh dari masing-masing

orde seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 . Perbandingan Konstanta Reaksi Orde Satu dan Orde Dua

Penyerapan Ion Pb(II) pada Biomassa Karang

Page 36: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

32

Nilai adsorpsi Pb(II) oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis pada

keseimbangan (qeq) yang diperoleh dari persamaan orde satu adalah 9.23 mg.g-1

. Nilai

ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan data yang diperoleh secara eksperimen

yaitu 12,44 mg g-1. Selain itu nilai koefisien relasi (R2) yang diperoleh adalah 0,290.

Nilai ini lebih kecil dari angka satu sehingga dapat dikatakan bahwa adsorpsi ion

Pb(II) pada biomassa karang Heliofungia actiniformis bukan merupakan orde satu.

Gambar 5. Model Reaksi Orde Satu Adsorpsi Ion Pb(II) pada

Karang berdasarkan Variasi Waktu Kontak

Kondisi konsentrasi awal 50 mgL-1

,150 rpm, biomassa 0.2g/50 mL.Dengan

menggunakan persamaan reaksi orde dua, maka kurva hubungan antara nilai t/q

terhadap t seperti terlihat pada Gambar 6. Nilai konstanta reaksi orde dua (k 2),

kapasitas adsorpsi (qeq) dan koefisien relasi dari kurva reaksi orde dua ini

dibandingkan dengan reaksi orde satu dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai koefisien

korelasi pada reaksi orde dua sebesar 1.000 dan nilai qeq 12.66 mg.g-1

sama dengan

nilai qeq eksperimen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kinetika reaksi

pengambilan ion Pb(II) oleh biomassa karang mengikuti reaksi orde dua. Hal ini

berarti bahwa nilai laju reaksi berbanding terbalik dengan nilai konsentrasi awal ion

logam dalam larutan (Umaningrum , dkk, 2010). Semakin besar konsentrasi awal ion

Pb(II) dalam larutan maka laju reaksi adsorpsi akan semakin kecil.

Page 37: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

33

Gambar 6. Model reaksi orde dua adsorpsi ion Pb(II) pada biomassa karang

berdasarkan variasi waktu kontak

Kondisi :konsentrasi awal Pb(II) 50 mgL-1

, 150 rpm, biomassa karang 0,2g/ 50

mL.

4.3. Studi Isothermal AdsorpsiHeliofungia actiniformis

Kapasitas adsorpsi ion logam Pb (II) pada biomassa karang Heliofungia

actiniformis diuji dengan melakukan percobaan biosorpsi pada variasi konsentrasi ion

logam dan kurva adsorpsi ion logam dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasaarkan hasil

yang diperoleh pada penelitian ini dan perhitungan dengan model isotermal Langmuir

kapasitas adsorpsi ion Pb(II) oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis adalah

55.55 mg ion Pb(II) tiap gram biomassa. Isotermal adsorpsi Langmuir berlaku untuk

kesetimbangan adsorpsi yang diasumsikan sebagai adsorpsi satu lapisan (mono-

layer) pada permukaan adsorben dengan jumlah yang terbatas dari bagian yang sama

(Langmuir, 1918). Isotermal ini dinyatakan dalam persamaan berikut:

dimana, qe adalah jumlah ion logam yang diadsorpsi pada kesetimbangan

per unit massa dari adsorben (mg/g), qmax adalahkapasitas adsorpsi

maksimum dari logam per unit massa adsorben (mg/g), Ce adalah konsentrasi

kesetimbangan ion logam dalam larutan (mg/L).

Page 38: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

34

Tabel 4. Perbandingan Kapasitas Adsorpsi Ion Pb(II) Pada

Beberapa Biomassa

Berdasarkan Plot nilai Ce terhadap nilai Ce/qe akan memberikan garis lurus dengan

slope dari nilai 1/qmax dan intersep dari nilai 1/qmaxb, dimana b adalah koefisien

adsorpsi (L/mg). Plot linear yang menunjukkan model Isotermal Langmuir

ditunjukkan pada Gambar 11 diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) adalah 0,977

dimana nilai ini mendekati angka 1, hal ini menunjukkan linearitas kurva isotermal

Langmuir yang diperoleh cukup baik. Nilai koefisien adsorpsi (b) yang diperoleh adalah

0,28 L/mg. Sedangkan untuk nilai qmaks adalah 58,82, mg/g

Gambar 7. Isotermal Langmuir Adsorpsi ion Pb (II) pada Biomassa

Karang pada Variasi Kensentrasi.

Kondisi : waktu kontak 20 menit, 150 rpm, biomassa 0,2g/50mL, pH 5

Karakteristik penting dari isotermal Langmuir dapat dinyatakan dengan istilah konstanta

pemisahan atau parameter kesetimbangan (RL) yang dituliskan dengan rumus:

dimana b adalah konstanta Langmuir dan Co adalah konsentrasi awal ion Pb(II).

Dari hasil eksperimen nilai RL yang diperoleh berada antara 0,01 – 0,10 pada

Page 39: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

35

konsentrasi antara 300 – 50 ppm. Menurut McKay dkk (1982), nilai RL antara 0 – 1,

mengindikasikan adsorpsi cukup baik.

Isotermal adsorpsi Freundlich adalah dasar dari persamaan empirik pada

adsorpsi permukaan heterogen (Freundlich, 1907). Persamaan linear dari isotermal

ini dapat didefinisikan melalui persamaan berikut :

dimana tetapan n adalah parameter empirik yang berbeda menurut tingkat dari

heterogenitas dan KF adalah tetapan yang berhubungan dengan kapasitas adsorpsi.

Tetapan n dan KF dapat dihitung dari persamaan di atas melalui plot nilai ln Ce

dengan ln qe, dimana slope = 1/n dan intersep = ln KF. Plot linear yang menunjukkan

model isotermal Freundlich ini diperlihatkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Isotermal Freundlich adsorpsi ion Pb(II) pada Biomassa Karang

Heliofungia actiniformis pada Variasi Konsentrasi.

Kondisi : waktu kontak 20 menit, 150.rpm , biomassa 0.2g, pH 5 Pada penelitian ini

nilai Kf dan n berturut-turut adalah 20,06 dan 3,91. Menurut Namasivayam

(2000), jika nilai n berada antara 1 dan 10, maka adsorpsi berlangsung dengan baik.

Jadi adsorpsi ion Pb(II) oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis cukup

baik dan menguntungkan.

4.4. Penentuan Waktu Kesetimbangan

Penentuan waktu kesetimbangan merupakan langkah awal karena semua data

kesetimbangan diambil pada waktu di mana kesetimbangan dianggap telah tercapai.

Gambar 9 menunjukkan bahwa untuk penjerapan dengan 0,3 gram biomassa,

Page 40: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

36

penjerapan telah mencapai 93% dalam 1 jam dan kemudian meningkat terus menuju

ke nilai asimptotis yaitu sekitar 98%.

Gambar 9. Konsentrasi Pb2+

dalam Larutan selama Proses

Penjerapan(0,3 g biomassa).

Terlihat pada Gambar 9 bahwa di atas 12 jam peningkatan penjerapan yang terjadi

tidak berarti. Dalam hal ini, keadaan kesetimbangan diasumsikan selalu tercapai

dalam waktu 24 jam. Oleh karena itu, pada penelitian ini semua data

kesetimbangan diambil setelah penjerapan berlangsung selama 24 jam. Pengaruh

kecepatan putaran pengadukan kecepatan putaran pengadukan sangat berpengaruh

terhadap kecepatan difusi ion logam ke permukaan sel mikroba. Semakin cepat

putaran pengadukan, olakan di badan cairan akan semakin kuat yang dapat

menurunkan tahanan perpindahan massa pada permukaan biosorben. Gambar 10

menunjukkan bahwa penjerapan Pb2+

dengan jamur Trichoderma asperellum TNJ-

63 memiliki laju penjerapan yang relatif sama untuk putaran pengadukan yang

berbeda.

Gambar 10. Penjerapan Pb2+

dengan Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63

Page 41: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

37

Terlihat bahwa pada 1 jam pertama, diperoleh persen penjerapan rata-rata 94%

untuk kecepatan 80, 130, dan 180 rpm. Jumlah Pb2+

terjerap hanya meningkat

sekitar 4%, dengan beda waktu dari 1 jam sampai 24 jam. Sehingga, pada penelitian ini

dipilih kecepatan pengadukan 80 rpm dan waktu 24 jam untuk menjamin tercapainya

keadaan setimbang.

Penentuan model kesetimbangan biosorpsi Pb2+

pada jamur Trichoderma

asperellum TNJ-63 dipelajari dengan mengamati konsentrasi larutan setelah proses

adsorpsi berlangsung selama 24 jam. Seperti ditunjukkan pada Tabel 5,

pengamatan dilakukan untuk massa biosorben yang berbeda dalam larutan yang

memiliki konsentrasi Pb2+

awal sama (100 mg/l).

Tabel 5. Kesetimbangan biosorpsi Pb2+

pada Jamur

Trichodermaasperellum TNJ-63

Gambar 11 menunjukkan profil hubungan konsentrasi Pb2+

dalam larutan dan

dalam biosorben pada keadaan setimbang. Semakin tinggi konsentrasi Pb2+

dalam

larutan maka semakin tinggi pula konsentrasi Pb2+

yang terjerap di dalam biosorben.

Terlihat pula pada Gambar 11 bahwa kenaikan konsentrasi yang terjadi cenderung

tidak bersifat linear.

Page 42: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

38

Gambar 11. Hubungan Konsentrasi Pb2+

dalam Larutan dan dalam

Biosorben pada Keadaan Setimbang

Pada penelitian ini, hubungan kesetimbangan yang terjadi antara konsentrasi

Pb2+

dalam larutan dan dalam jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 dicoba untuk

didekati dengan model adsorpsi Langmuir dan Freundlich. Tabel 2 dan Gambar 3

memperlihatkan hasil perhitungan masingmasing model yang dibandingkan dengan

data kesetimbangan hasil penelitian.

Kesesuaian model kesetimbangan Freundlich terhadap data penelitian

menunjukkan bahwa proses biosorpsi terjadi pada permukaan jamur yang bersifat

heterogen. Hal ini berbeda dengan model kesetimbangan Langmuir yang didasarkan

pada asumsi bahwa penjerapan terjadi pada permukaan yang bersifat homogen

(Sohn dan Kim, 2005). Heterogenitas permukaan biosorpsi pada model Freundlich

dinyatakan dengan tetapan faktor heterogenitas permukaan (n) yang pada penelitian ini

bernilai 0,791. Sementara itu, tetapan kesetimbangan Freundlich (Kf) pada penelitian

ini bernilai 1,923.

Page 43: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

39

BAB V

KESIMPULAN

5.1 KESIMPULAN

1. Phanerochaete chrisosporiummempunyai kemampuan untuk menyerap logam

plumbum/ timbal (Pb), proses penyerapan (biosorpsi) dipengaruhi oleh faktor

pengadukan dan konsentrasi biomassa.

2. Pada kondisi terbaikPhanerochaete chrisosporium, proses ini dapat menurunkan

kadar logam Pb dari 23,19 mg/liter menjadi menjadi 7,7 mg/liter dengan

prosentase removal penurunan logam Pb 66,79 % dan kecepatan pengadukan

200 rpm serta konsentrasi biomassa 3 gr/liter.

3. Biomassa karang Heliofungia actiniformis berpotensi menghilangkan ion

timbal dengan waktu kontak optimum 20 menit, pH 5 dengan kapasitas

biosorpsi 12.44 mg.g-1

. Proses biosorpsi ion timbal ini mengikuti model reaksi

orde dua semu dengan nilai kesetimbangan adsorpsi mendekati nilai

kesetimbangan eksperimen. Proses biosorpsi ini mengikuti isotermal Langmuir

dan Freundlich.

4. Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 dapat digunakan sebagai biosorben

logam berat Pb dalam bentuk Pb2+

5. Kesetimbangan biosorpsi Pb2+

pada Trichoderma asperellum TNJ63 berifat

non linear dan mengikuti model kesetimbangan isoterm Freundlich, di mana

proses biosorpsi terjadi pada permukaan yang bersifat heterogen.

Page 44: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

40

DAFTAR PUSTAKA

Abia, A.A., Horsfall, M. Jr. dan Didi, O., 2003, “The Use of Chemically Modified and

Unmodified Cassava Waste for The Removal of Cd, Cu, and Zn Ions

from Aqueous Solution”, Bioresource Tech., 90(3),345-348.

Ahalya, N., Kanamadi, R.D. dan Ramachandra, T.V.,2007. Biosorption of Heavy

Metals, Centre for Ecological Science, Indian Institute Science, Bangalore,

India.

Ahmet. S, Tuzen Mustafa ,2007 Biosorption of Pb (II) and Cd(II) from aqueos solution

using green alga (ulva Lactuca ) biomass, J. Hazardous Materials, 152, 302-308.

Alluri, H.K., et. al., 2007. Biosorption: An eco-friendly alternative for heavy metal

removal. Review. African Journal of Biotechnology, vol. 6(25), 2924-2931.

Amri, A., 2005. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Isoterm Biosorpsi Logam Pb

dengan Biomass Aspergillus Niger, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan

4, 9-16, UNSYIAH, Aceh.

Awofolu, R.O., Okonkwo dan Merwe, 2006. A New Approach to Chemical

Modification Protocols of Aspergillus Niger and Sorption of Lead Ion by

Fungal Species, Electronic Journal of Biotechnology 9(4).

Bailey, S.E., Trudy J. Olin, R. Mark Bricka and D.Dean Adrian1. 1999. A Review of

Potentially LowCost Sorbents For Heavy Metals. Wat. Res, 33(11), 2469-2479

Cossich, E. S., Celia Regina Granhen Tavares, Teresa Massako Kakuta

Ravagnani. 2002. Biosorption of chromium (III) by Sargassum sp. biomass.

EJB Electronic J. Biotech., 37: 4311–4330.

Darmadi, 2010, Ekosistem Terumbu Karang Di Indonesia, Marine Science Padjajaran

University, (Online)

(http://dhamadharma.wordpress.com/2010/05/04/ekosistem-terumbu -karang-

diindonesia/ diakses 13 April 2014

Dianati-Tilaki, R.A. dan Mahmood, S., 2004,”Study on Removal of Cadmium

from Water by Adsorption on GAC, BAC, and Biofilter”, Pak. J. Biol. Sci.

,7(5) 865-869.

Diantariani, N.P., Sudiarta, I.W., Elantiani, N.K., 2008, Proses Biosorpsi dan Desorpsi

Cr(IV) Pada Biosorben Rumput Laut Eucheuma spinosum , Jurnal Kimia 2(1),

45-52

Fardiaz, S., 1987. Fisiologi Fermentasi, Lembaga Sumber Daya Informasi-IPB.

Page 45: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

41

Gadd, G.M., 1990. Fungi and Yeast for Metal Contaminated Surface and

Groundwater, Geomicrobiol 8, 201-223.

Hany, H., dkk., 2004. Biosorption of Heavy Metal from Waste Water Using

Pseudomonas sp.

H.M. Gadd, 1988. Biotechnology Vol 6, H.J. Rehm, ed.

Igwe, J.C., Ogunewe, D.N. dan Abia, A.A., 2005,”Competitive Adsorption of Zn(II),

Cd(II), and Pb(II) Ions from Aqueous and Non-Aqueous Solution by Maize

Cob and Husk”, Afr. J. Biotechnol, 10(4) 1113-1116.

Jain, V. K., Pillai, S. G., Pandya, R. A., Agrawal, Y. K. dan Shrivastav, P.S.,

2005, “Selective Extraction, Preconcentration, and Transport Studies of

Thorium(IV) Using OctaFunctionalized Calix[4]resorcinarene-Hydroxamic

Acid”, Anal. Sci., 21,129-135.

Keputusan Gubernur Jatim Nomor 45 Tahun 2002. Baku Mutu Limbah Cair Industri

dan Kegiatan Usaha Lainnya.

Metcalf dan Eddy, 1991. Waste Water Engineering 3ed, Mc Graw Hill, Inc.

Nurhayati dan Maryanti, E.N., 2004. Biosorpsi Timbal (Pb) dari Limbah Electroplating

oleh Saccharomyces Cerevisiae, Skripsi Jurusan Teknik Kimia UPN “Veteran”

Jatim.

Qaddafi. M ,2008, Pemanfaatan ampas tahu sebagai biosorben ion timbal(Pb2+

),

Tesis tidak diterbitkan, Program Studi Kimia Pasca Sarjana Universitas

Hasanuddin

Quoiy and Gaimard, 1833, Data Base Karang, Program Rehabilitasi dan

pengelolaan Terumbu karang, DKP- LIPI

Romera, E., Gonzales, F., Ballester, A., Blazquez, M.L., Munoz, J.A., 2007,

Comparative study of biosorption of heavy metals using different types of

algae, Bioresource Technology, 98, 3344-3353.

Romimohtarto, Kasijan , 2005 Biologi Laut , Djambatan ,Jakarta

Shah, B.S., 2008, Study of Heavy Metal Accumulation in Scleratinian Coral of Viti

Levu, Fiji Islands, School of Biological, Chemical and Environmental

Sciences Faculty of Science and Technology, Fiji Island, Noumea Cedex New

Caledonia.

Sivaiah, M.V., Venkatesan, K. A., Sasidhar, P., Krishna, R. M. dan Murthy, G.

S., 2004, “ Ion Exchange Studies of Cerium(III) on Uranium antimonate”, J.

Nucl. Radiochem. Sci., 5(1), 7-10.

Page 46: Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium ...

42

Soeprijanto, Eko Sulistyowati dan Achmad Elsony (2004). Kinetika Bioadsorpsi Ion

Logam Berat Cu(II) Menggunakan Biomassa Saccharomyces Cerevisae.

Dalam: Seminar Nasional, Teknik Kimia “Kejuangan” 2004, 27-28 Januari

2004,Yogyakarta.

Suharsono. 2003. Kondisi Terumbu Karang di Indonesia. Pusat Informasi

Lingkungan Indonesia Edisi 6 – 10 b, 9 Maret 2003.

Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah

Pesisir Tropis, Gramedia: Jakarta

Timotius, 2009 , A Review on Ornamental Coral Effort in Indonesia,

Terangi’Foundation (http://www.terangi.or.id/publications/pdf/biologikarang.pdf

)diakses 13April 2014.

Tsezos, M., 1984 Recovery of Uranium from biological adsorbents-desorption

equilibrium. In:

Tyas Rini S, 1998, Analisis Kadar Pb Dalam Darah dan Pengaruhnya Terhadap

Aktivitas Enzim Delta Aminolevulinic Acid Dehydratase dan Kadar

Haemoglobin Dalam Darah Karyawan di Industri Peleburan Timah Hitam,

Universitas Padjajaran Bandung

Umaningrum, D., Santoso, U.T., Nurmasari, R., dan Yunus, R., 2010, Adsorption

Kinetics of Pb(II), Cd(II), and Cr(III) On Adsorbent Produced By Protected-

Crosslingking of Humic AcidChitosan, Indo.J.Chem, 10(1), 80-87.

Veglio, F. and F. Beolchini. 1997. Removal of metals by biosorption: a review,

Hydrometallurgy 44: 301 -316.

Volesky, B., 1995. Biosorption of heavy metals. Biotechnol. Prog. 11, 235-250.

William, V.,1962 Batch Adsorption From Solution, J. Research, 66, 6-10.

Sohn, S, dan Kim, D., 2005. Modification of Langmuir Isotherm in Solution

Systems-Definition and Utilization of Concentration Dependent Factor,

Chemosphere 58, 115–123.