Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium, Heliofungia Actinifomis dan Trichoderma Asperrellum TNJ-6 OLEH : Drs. I Wayan Suarsa, M.Si JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2017
Biosorpsi Logam Pb oleh Phanerochaete Chrysosporium, Heliofungia
Actinifomis dan Trichoderma Asperrellum TNJ-6
OLEH :
Drs. I Wayan Suarsa, M.Si
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
ii
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan anugerah-Nya Karya Ilmiah yang berjudul Biosorpsi Logam Pb oleh
Phanerochaete Chrysosporiu, Heliofungia Actinifomis, dan Trichoderma Asperrellum
TNJ-6 ini dapat terselesaikan.
Karya Ilmiah ini merupakan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi
khususnya di Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah ini masih banyak kekurangannya, maka
saran dan kritik membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Harapan penulis, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.
Denpasar, 16 Juli 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………...i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTKA
2.1 Biosorpsi ..................................................................................................... 5
2.2 Timbal ......................................................................................................... 7
2.2.1Pengertian Timbal (Pb)..……………………………………………...7
2.2.2Sumber Timbal (Pb)………………………………………………… . 7
2.2.3Sifat Logam Timbal (Pb) …………………………………………….7
2.2.4Kegunaan Timbal (Pb)………………………………………………. 7
2.2.5Dampak Timbal (Pb) terhadap Kesehatan ………………………….. 7
2.3 Phanerochaete Chrysosporium ................................................................... 11
2.3.1Taksonomi ………………………………………………………….. . 11
2.3.2Morfologi …………………………………………………………… 12
2.3.3Kegunaan …………………………………………………………… 15
2.4 Heliofungia Actiniformis ............................................................................ 15
2.5Trichoderma SPP ………………………………………………………… 16
2.6Persamaan Isoterm Adsorpsi Langmuir ………………………………….. 18
2.7Persamaan Isoterm Adsorpsi Freundlich ………………………………… 19
2.8Spektrofotometri Serapan Atom …………………………………………. 19
BAB III MATERI DAN METODA
3.1 Alat ............................................................................................................. 24
3.2 Bahan .......................................................................................................... 24
iv
3.3 Prosedur Penelitian ..................................................................................... 24
3.3.1Tahap Persiapan Biomassa …………………………………………. . 24
3.3.2Penyiapan Biosorben Karang Heliofungia actiniformis…………..... . 24
3.3.3Penyiapan Biosorben Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 …….. 24
3.3.4Prosedur Adsorpsi Phanerochaete chrisosporium ………………….. . 25
3.3.5Penentuan Kapasitas Biosorpsi Heliofungia actiniformis…………… 25
3.3.6Penentuan Pengaruh Waktu Kontak Heliofungia actiniformis……….25
3.3.7Waktu Optimum Trichoderma asperellum TNJ-63…………………. 26
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Kadar Logam Pb yang Terserap oleh Phanerochaete chrisosporium ......... 27
4.2 Waktu Kontak Optimum Heliofungia actiniformis .................................... 30
4.3Studi Isothermal Adsorpsi Heliofungia actiniformis……………………... 33
4.4Penentuan Waktu Kesetimbangan……………………………………….. . 35
BAB V KESIMPULAN
5.1Kesimpulan……………………………………………………………….. 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Logam berat adalah jenis polutan yang paling banyak ditemukan pada
berbagai perairan limbah industri. Perairan limbah industri yang mengandung
konsentrasi logam berat rendah hingga tinggi sering ditemukan pada industri
pertambangan, penyepuhan logam, pembuatan baterai, pupuk, kimia, farmasi,
elektronik, tekstil, dan banyak yang lain. Keberadaan logam berat tersebut di
perairan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya,
karena sangat beracun dan tidak dapat mengalami biodegradasi, sehingga sangat
perlu untuk dihilangkan dari limbah industri untuk memperoleh perairan yang
memenuhi standar kualitas lingkungan. Dengan demikian, sangat perlu
dikembangkan teknologi untuk mengontrol konsentrasi logam ini dalam perairan
limbah industri. Meningkatnya kebutuhan hidup pada produk teknologi yang
mengandung logam berat memicu bertambahnya beban lingkungan. Timbal
merupakan contoh logam yang banyak digunakan secara luas dalam teknologi
modern. Sebagai hasil dari penggunaan produk adalah dilepaskannya sejumlah
material yang mengandung ion/senyawa logam berat ke dalam lingkungan. Selama
ion/senyawa logam timbal dalam jumlah yang rendah, maka keberadaannya tidak
akan menimbulkan bahaya bagi manusia. Tetapi, paparan ion timbal yang
berlebih dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Timbal dapat
menyebabkan anemia, gangguan fungsi hati dan ginjal, kerusakan otak serta masalah
kesehatan lain yang lebih serius ( Jain dkk., 2005).
Salah satu objek yang tercemar oleh PB adalah air. Air yang telah tercemar
mengandung bermacam-macam logam yang berbahaya bagi ekosistem walaupun
dalam konsentrasi yang sangat kecil seperti timbal (Pb). Secara alamiah timbal
dapat masuk ke dalam badan air melalui pengkristalan logam timbal di udara
dengan bantuan air hujan. Timbal sebagai polutan banyak dihasilkan dari emisi
kendaraan dan produksi baterai kendaraan. Upaya menanggulangi pencemaran
logam berat sebenarnya dapat dilakukan dengan proses kimiawi seperti presipitasi
kimia, ion exchange, adsorpsi, elektrodialisis dan reverse osmosis. Dibandingkan
dengan metode-metode yang lain, adsorpsi merupakan metode yang dinilai paling
2
efektif dan telah banyak digunakan karena metode ini relatif sederhana, dapat bekerja
pada konsentrasi rendah, dapat di daur ulang, dan biaya yang dibutuhkan relatif murah.
Adsorpsi ini dapat menggunakan zeolit dan arang aktif sebagai adsorbennya.
Namun proses ini relatif mahal dan cenderung menimbulkan permasalahan baru,
yaitu akumulasi senyawa tersebut dalam sedimen dan organisme akuatik (Ahalya,
dkk 2007). Oleh sebab itu perlu dikembangkan cara lain diantaranya dengan
memanfaatkan kemampuan beberapa mikroorganisme sebagai penyerap logam berat
(biosorpsi). Kemampuan mikroorganisme dalam mengakumulasi logam berat dari
limbah melalui penjerapan secara fisiko-kimia disebut biosorpsi.
Saat ini pengolahan secara biologis untuk mengurangi logam berat dalam air
limbah merupakan alternative yang berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan
dengan proses kimia, yang umumnya pada akhir pengolahan limbah masih ditemukan
permasalahan penanganan pembuangan limbah logam yang telah diolah. Kapasitas
pemungutan atau penyerapan logam beberapa biomassa tersebut bahkan terbukti lebih
tinggi dibandingkan dengan penukar ion komersial (Volesky dalam Soepriyanto, dkk.,
2004). Berbagai jenis mikroba seperti ganggang, jamur dan bakteri dapat digunakan
sebagai adsorben alternative untuk penyerapan ion logam di dalam air limbah.
Kemampuan mikroorganisme untuk menyerap logam (bioremoval) dari larutan telah
dikenal selama beberapa decade terakhir.
Penyerapan ion logam tersebut dapat terjadi secara aktif dengan sel hidup
(bioaccumulation) atau secara pasif terjadi pada permukaan sel mati maupun hidup
(biosorption). Proses biosorpsi lebih dapat di aplikasikan dari pada proses bioakumulasi,
hal ini disebabkan sel hidup pada proses bioakumulasi membutuhkan tambahan nutrisi,
selain itu juga pengendalian sel hidup lebih sulit dikarenakan pengaruh racun dari
logam dan pengaruh lingkungan lainnya (Hany, H., 2004).
Beberapa alga, bakteri, jamur dan khamir telah terbukti memiliki
kemampuan untuk menjerap logam. Jamur yang bisa digunakan adalah jenis
Trichoderma dimana biosorpsi logam terjadi karena adanya gugus amino yang
terdapat pada jamur Trichoderma. Pada Trichoderma peristiwa biosorpsi pada jamur,
perpindahan logam melewati membran sel menghasilkan akumulasi intraseluler
yang bergantung pada metabolisme sel. Oleh karena itu, biosorpsi jenis ini hanya
3
terjadi pada sel-sel yang hidup. Hal ini berkaitan dengan ketahanan
mikroorganisme yang bereaksi dengan logam beracun.
Jamur Phanerochaete chrisosporium dapat digunakan untuk bioremedasi dari
campuran komplek senyawa polutan, karena kemampuannya untuk menurunkan
beberapa senyawa dalam polutan, termasuk genus Basidiomycetes memprodduksi
Laccase dan perroksida yang tersusun secara normal dalam degradasi lignin, yang
mengandung kompleks polyaromatik. Menurut Soepriyanto, dkk., 2004, mikroba ini
mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi ion logam Cr (VI), pretreatment
menggunakan NaOH 0,5 N dapat meningkatkan kemampuan biomassa untuk menyerap
ion logam Cr (VI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas biosorpsi maksimum
dapat dicapai dalam waktu 150 menit sebesar 5,13 mg/g dengan pretreatment
menggunakan NaOH. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan menggunakan
biomassa yang dapat dimanfaatkan sebagai penyerap ion logam berat Plumbum (Pb)
yaitu biomasa Phanerochaete chrysosporium dengan proses biosorpsi.
Selain jamur, organisme laut alga dan lamun juga berpotensi sebagai biosorben,
terumbu karang memiliki potensi sebagai biosorben logam berat. Karena pada keadaan
tidak hidup, biomassa karang masih mengandung matriks organik dari daging dan
skelaton yang merupakan mineral karbonat (argonite). Keberadaan matriks organik
dengan gugus fungsi seperti karbonil, hidroksil, sulfuhidril atau amina, dan struktur
skeleton yang khas memungkinkan karang mengakumulasi dan mengadsorpsi logam
berat (Shah, 2008). Organisme Heliofungia actiniformis sebagai biosorben logam berat
khususnya ion logam Pb dan desorpsi ion logam Pb dari biomassa karang yang dapat
digunakan kembali secara berulang untuk aplikasi lain.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini terdapat beberapa permasalahan-permasalahan tersebut
meliputi:
1. Bagaimanacara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan
memanfaatkan BiomassaPhanerochaetechrysosporium?
2. Bagaimanacara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan
memanfaatkan BiomassaKarang Heliofungia Actinifomis?
4
3. Bagaimanacara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan
memanfaatkan jamurTrichodermaAsperrellum TNJ-6?
4. Bagaimana aplikasi persamaan adsorpsi Langmuir dan Freundlich dalam proses
biosorpsi?
1.3.TUJUAN PENELITIAN
Ada bererapa tujuan dari penelitian ini baik tujuan sosial ataupun tujuan ilmiah
meliputi:
1. Mengetahuicara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan
memanfaatkan BiomassaPhanerochaetechrysosporium.
2. Mengetahuicara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan
memanfaatkan BiomassaKarang Heliofungia Actinifomis.
3. Mengetahuicara penanggulangan limbah yang mengandung logam Pb dengan
memanfaatkan jamurTrichodermaAsperrellum TNJ-6.
4. Bagaimana aplikasi persamaan adsorpsi Langmuir dan Freundlich dalam proses
biosorpsi?
1.4.MANFAAT PENELITIAN
Memberikan pengetahuan tentang biosorpsi dalam menaggulangi limbah yang
mengandung Pb dan dapat mengaplikasikan teori tentang biosorpsi dan aplikasinya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BIOSORPSI
Biosorpsi logam terjadi karena kompleksitas ion logam yang bermuatan positif
dengan pusat aktif yang bermuatan negatif pada permukaan dinding sel atau dalam
polimer-polimer ekstra seluler, seperti protein dan polisakarid sebagai sumber gugus
fungsi yang berperan penting dalam mengikat ion logam. Proses penyerapan ini
berlangsung cepat dan terjadi pada sel hidup maupun sel yang telah mati (Volesky,
2000).
Biosorpsi juga terjadi karena adanya peristiwa pertukaran ion dimana ion
monovalent dan divalent seperti Na+, Mg
2+, Ca
2+, K
+pada dinding sel digantikan
oleh ion-ion logam berat (Suhendrayatna, 2001).
Biosorpsi menunjukkan kemampuan biomassa untuk mengikat logam berat dari
dalam larutan melalui langkah-langkah metabolisme atau kimia-fisika (Ashraf dkk.,
2010), dan termasuk penghilangan racun dari bahan-bahan yang berbahaya (Igwe
dan Abia, 2006). Proses pengolahan ini dapat dilakukan di tempat, sehingga tidak
diperlukan proses pemindahan limbah. Keuntungan lain dalam pemakaian biosorben
adalah bahan baku yang melimpah, murah, proses pengolahan limbah yang efisien,
minimalisasi lumpur yang terbentuk, serta tidak adanya nutrisi tambahan dan proses
regenerasi (Ashraf dkk., 2010). Oleh karena itu, penggunaan biosorpsi dalam
pengolahan limbah cair termasuk proses baru yang terbukti cukup menjanjikan
(Prasad dan Abdullah, 2009). Menurut Igwe dan Abia (2006), ada tiga mekanisme
yang mungkin terjadi ketika mikroorganisme mengambil logam-logam yang ada di
larutan. Ketiga mekanisme itu adalah akumulasi/pengendapan ekstraselular,
penjerapan atau pembentukan kompleks pada permukaan sel serta akumulasi
intraseluler. Proses akumulasi/pengendapan ekstraselular dapat dilakukan dengan
mikroorganisme hidup, penjerapan atau pembentukan kompleks pada permukaan sel
dapat dilakukan dengan mikroorganisme hidup maupun mati sedangkan akumulasi
intraseluler membutuhkan aktivitas mikroba. Meskipun sel hidup maupun mati
dapat mengikat logam, namun mereka mempunyai mekanisme pengikatan yang
berbeda tergantung pada sistem metabolismenya. Pada sel hidup, maka parameter
6
yang berpengaruh dalam proses adsorpsi adalah umur sel, ketersediaan nutrisi
selama pertumbuhan dan kondisi selama proses biosorpsi (seperti pH, suhu dan
adanya co-ion tertentu). Efisiensi penjerapan juga sangat dipengaruhi oleh
karakteristik kimiawi logam yang akan diolah. Sementara untuk biosorben yang
berasal dari hasil samping produk pertanian, ada dua model penjerapan yaitu
adsorpsi intrinsik dan interaksi colombik. Pada proses adsorpsi intrinsik yang
menjadi faktor utama adalah luas area. Hal ini dapat diketahui dengan mengamati
efek ukuran adsorben terhadap kemampuan adsorpsi. Sedangkan pada interaksi
kolombik dihasilkan energi elektrostatik dari interaksi adsorben dan adsorbat.
Intensitas interaksi ini akan sangat tergantung pada kekuatan muatan kedua bahan.
Interaksi kolombik dapat diamati dari adsorpsi bahan kationik dan anionik adsorben.
Lebih lanjut Igwe dan Abia (2006) menyebutkan bahwa pada biosorben umumnya
mengandung β-D-glukosa berulang sebagai komponen utama dinding sel. Gugus
hidroksil polar selulosa inilah yang berperan dalam reaksi kimia dan mengikat
logam berat dari larutan. Modifikasi gugus fungsional dapat mengubah sifat-sifat
permukaan yang pada akhirnya akan mempengaruh kemampuan adsorpsi bahan.
Berbagai mikroorganisme yang banyak digunakan sebagai biosorben diantaranya
adalah kelompok bakteri, jamur, yeast dan alga. Kelompok mikroorganisme ini
terbukti mampu mengikat logam-logam berat dengan beragam hasil (Gupta dkk.,
2000). Diantara kelompok tersebut, fungi merupakan kelompok mikroorganisme
yang mempunyai kemampuan tinggi untuk mengikat logam. Beberapa jenis fungi
dan yeast yang mempunyai potensi tinggi untuk biosorpsi logam diantaranya dari
genus Rhizopus, Aspergillus, Streptovertilicillum dan Saccharomyces. Sementara
dari kelompok bakteri, Bacillus sp mempunyai potensi besar untuk mengikat logam
serta telah digunakan secara komersial sebagai biosorben. Dari kelompok alga laut,
Sargassum natans dan Ascophyllum nosodum menunjukkan kapasitas biosorpsi
yang tinggi terhadap logam. Selain alga laut, kelompok alga hijau seperti Chlorella
sp dan Cyanobacteria juga mempunyai kemampuan mengikat logam yang patut
dikembangkan. Kim dkk., (2004) mengadsorpsi Cr(VI), Cd dan Mn menggunakan
sel mati alga merah Pachymeniopsis sp. Dari penelitiannya diperoleh hasil bahwa
selektivitas proses biosorpsi lebih tinggi untuk Cr(VI) dengan kapasitas adsoprsi
maksimal 225 mg/g. Selain kelompok mikroorganisme, saat ini juga mulai
7
dikembangkan penggunaan biosorben dari limbah pertanian. Bahan-bahan ini
umumnya sudah tidak terpakai lagi sehingga dapat diperoleh dengan harga murah.
Selain itu, karena diperoleh dari limbah pertanian, maka biosorben ini akan tersedia
cukup banyak di alam (Das dkk., 2008).
2.2. Pb (TIMBAL)
2.2.1. Pengertian Timbal (Pb)
Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam. Dalam
bahasa ilmiahnya dinamakan Plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan
Pb. Logam ini termasuk kedalam kelompok logam-logam golongan IV-A
pada tabel periodik unsur kimia. Mempunyai unsur atom (NA)82 dengan
bobot atau berat atom (BA)207,2.
2.2.2. Sumber Timbal (Pb)
Timbal merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak bumi. Timbal
sering kali digunakan dalam industri kimia seperti pembuatan baterai, industri
pembuatan kabel listrik dan industri pewarnaan pada cat.
2.2.3. Sifat Logam Timbal (Pb)
a. Merupakan logam yang lunak, sehingga dapat dipotong dengan menggunakan
pisau atau tangan dan dapat dibentuk dengan mudah.
b. Tahan terhadap korosi atau karat, sehingga logam timbal sering digunakan
sebagai coating
c. Titik lebur rendah, hanya 327,5 derajat C.
d. Merupakan penghantar listrik yang tidak baik.
e. Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam
biasa, kecuali emas dan mercuri
2.2.4. Kegunaan Timbal (Pb)
a. Digunakan dalam pembuatan kabel telepon
b. Digunakan dalam baterai
c. Sebagai pewarnaan cat
d. Sebagai pengkilapan keramik dan bahan anti api
e. Sebagai aditive untuk bahan bakar kendaraan.
2.2.5. Dampak Timbal (Pb) Terhadap Kesehatan
Efek Pb terhadap kesehatan terutama terhadap sistem
8
haemotopoetic(sistem pembentukan darah), adalah menghambat sintesis
hemoglobin dan memperpendek umur sel darah merah sehingga akan
menyebabkan anemia. Pb juga menyebabkan gangguan metabolisme Fe dan
sintesis globin dalam sel darah merah dan menghambat aktivitas berbagai
enzim yang diperlukan untuk sintesis heme.Anak yang terpapar Pb akan
mengalami degradasi kecerdasan alias idiot. Pada orang dewasa Pb
mengurangi kesuburan, bahkan menyebabkan kemandulan atau keguguran
pada wanita hamil, kalaupun tidak keguguran, sel otak tidak bisa
berkembang. Dampak Pb pada ibu hamil selain berpengaruh pada ibu juga
pada embrio/ janin yang dikandungnya. Selain penyakit yang diderita ibu
sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan dilahirkan juga bahan
kimia atau obat-obatan, misalnya keracunan Pb organik dapat meningkatkan
angka keguguran, kelahiran mati atau kelahiran prematur.
Efek-efek Pb terhadap kesehatan dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut
:
a) Efek terhadap terjadinya Anemia oleh Pb secara biokimiawi, keracunan timah
hitam dapat menyebabkan:
1. Peningkatan produksi ALA (Amino Levulinic Acid) Timah hitam akan
menghambat enzim hemesintetase, yang mengakibatkan penurunan produksi
heme. Penurunan produksi heme ini akan meningkatkan aktivitas ALA
sintetase, dan akhirnya produksi ALA meningkat. Peningkatan produksi ALA
ini dapat dilihat dariekskresi ALA di urine.
2. Peningkatan Protoporphirin. Perubahan protoporphirin IX menjadi heme,
akan terhambat dengan adanya timah hitam. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya akumulasi dari protoporphirin IX yang dapat diketahui pada
plasma dan feces.
3. Peningkatan koproporphirin.Akumulasi dari protoporphirin akan
meningkatkan akumulasi dari koproporphirin III. Hal ini diketahui dengan
didapatkannya koproporphirin III pada urine dan feces.
b) Efek terhadap saraf (sistem saraf pusat)
Susunan saraf merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap
9
keracunan Pb. Setelah pajanan tinggi dengan kadar Pb darah di atas 80 μg/dl
dapat terjadi ensefalopati. Terjadi kerusakan pada arteriol dan kapiler yang
mengakibatkan oedema (adanya cairan) otak, meningkatnya tekanan cairan
serebrospinal, degenerasi neuron dan perkembangbiakan sel glia. Secara
klinis keadaan ini disertai dengan menurunnya fungsi memori dan
konsentrasi, depresi, sakit kepala, vertigo (pusing berputar-putar), tremor
(gerakan abnormal dengan frekuensi cepat), stupor (penurunan kesadaran
ringan), koma, dan kejang-kejang.
c) Ensefalopati
Ensefalopati merupakan bentuk keracunan Pb yang sangat buruk dengan
sindrom gejala neurologis yang berat dan dapat berakhir dengan kerusakan
otak atau kematian. Paling sering dijumpai pada anak kecil atau orang yang
mengkonsumsi makanan/minuman tercemar Pb. Anak-anak mempunyai
resiko lebih besar terhadap paparan Pb dari orang dewasa. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya perbedaan aktivitas metabolik interna Ensefalopati
akut pada manusia sangat dipengaruhi oleh : 1) jumlah partikel Pb yang
terhisap, 2) lama pemaparan, dan faktor-faktor lain. Yang ditandai dengan : 1)
perubahan perilaku mental, 2) Pelemahan pada daya ingat dan pada aktivitas
untuk berkonsentrasi, 3) hyperirritabel (hal yang sangat mengganggu), 4)
kegelisahan, 5) depresi, 6) sakit kepala, 7) vertigo dan tremor, ensefalopati
akut berkembang hanya pada dosis yang besar dan jarang terjadi pada level
Pb dalam darah dibawah 100 μg/ 100 ml, pernah dilaporkan terjadi pada
tingkat 70 μg/ 100ml.
d) Pendengaran
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat pula mengenai saraf kranial,
kadar Pb dalam darah 15 μg/dl dapat menyebabkan gangguan saraf pusat,
pada kadar 1 – 18 µg/dl menyebabkan gangguan pendengaran. Beberapa
penelitian pada anak-anak dan dewasa memperlihatkan adanya hubungan
paparan Pb dengan penurunan pendengaran tipe sensorineural.Pada individu
yang sensitif kadang-kadang didapatkan adanya efek yang memburuk pada
sistem tubuh, tetapi secara klinis efek tersebut tidak jelas sampai dicapai
kadar Pb yang lebih tinggi lagi.
10
e) Efek terhadap ginjal
Keracunan berat Pb dalam waktu lama akan menyebabkan penyakit renal
progresif dan tidak dapat disembuhkan. Ada beberapa laporan berisi
interstisial nephritis kronis pada pekerja sering disertai dengan hasil yang
fatal. Kebersihan suatu industri akan mengurangi jumlah dan besarnya
komplikasi renal pekerja yang keracunan akan tetapi anak-anak yang
menghirup Pb pada cat yang mengelupas dan konsumen yang mengkonsumsi
makanan yang tercemar Pb tetap mempunyai resiko.Nephropati yang ditandai
oleh gangguan fungsi ginjal progresif sering disertai hipertensi. Kerusakan
ginjal berupa fibriosis interstitialis kronis, degenerasi tubuler, dan perubahan
vaskuler pada arteri kecil dan arteriol. Ditemukan gambaran khas, yaitu
penuhnya badan inklusi intranuklear pada sel dinding tubulus. Badan inklusi
merupakan kompleks protein Pb yang kemudian di ekskresi melalui urine.
Degenerasi tubulus proksimal mengakibatkan menurunnya reabsorbsi asam
amino, glukosa, fosfat dan asam sitrat. Pada kasus yang berat dapat terjadi
sindrom fanconi yaitu hiperamino uria (air kencing mengandung asam amino
berlebihan),glukosuria dan hipofosfat uria atau kadang-kadang hiperfosfat
uria. Gangguan ginjal bersifat tidak menetap.Saturnine gout adalah sebuah
konsekuensi pengurangan fungsi tubuler(ginjal tubulus glumerulus), Pb
berpengaruh pada ekskresi urates. Maka meskipun angka formasi mereka
normal, level asam uric disimpan dalam persendian, hampir menyerupai
encok/ pegal.
f) Efek terhadap sistem cardiovasculer
Pada keracunan Pb akut beberapa pasien menderita colic yang disertai
peningkatan tekanan darah. Kemungkinan timbulnya kerusakan miokard
tidak dapat diabaikan. Perubahan elektro cardiografi dijumpai pada 70 %
penderita dengan gejala umum berupa takikardia, disritmia atrium.
g) Efek terhadap sistem reproduksi
Telah diketahui bahwa Pb dapat menyebabkan gangguan reproduksi baik
pada perempuan maupun pada laki-laki, Pb dapat menembus jaringan
placenta sehingga menyebabkan kelainan pada janin. Peningkatan kasus
infertil, abortus spontan, gangguan haid dan bayi lahir mati pada pekerja
11
perempuan yang terpajan Pb telah dilaporkan sejak abad 19, walaupun
demikian data mengenai dosis dan efek Pb terhadap fungsi reproduksi
perempuan, sampai sekarang masih sedikit.Hubungan antara kadar Pb dalam
darah dan kelainan yang diakibatkan terhadap kelainan reproduksi perempuan
adalah
1. Kadar Pb darah 10 μg/dl dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan.
2. Kadar Pb darah 30 μg/dl mengakibatkan kelainan prematur.
3. Kadar Pb darah 60 μg/dl mengakibatkan komplikasi kehamilan.
Senyawa teratogen termasuk Pb dapat menembus janin dan dapat
mengganggu pertumbuhan mulai dari usia kehamilan pada minggu ke tiga
hingga minggu ke 38. mulai minggu ke tiga hingga pertengahan minggu
keenam dapat mengganggu pertumbuhan susunan saraf pusat atau central
nervous system (CNS), pada pertengahan minggu ke tiga sampai minggu ke
enam dapat mengganggu pertumbuhan jantung, pada minggu ke empat
hingga minggu ke delapan mengganggu pertumbuhan mata, lengan dan kaki,
mulai pertengahan minggu ke enam sampai minggu ke delapan dapat
mengganggu pertumbuhan gigi dan mulut, minggu ke sembilan mengganggu
pertumbuhan tekak (langit-langit, mulai minggu ke tujuh sampai ke 12
menggangu pertumbuhan alat kelamin bagian luar dan mulai minggu ke
empat sampai minggu ke 12 mengganggu pertumbuhan pendengaran.
2.3. PHANEROCHAETE CHRYSOSPORIUM
2.3.1. Taksonomi
Phanerochaete chrysosporium memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Divisio : Mycota
Sub divisio : Eumycota
Kelas : Bacidiomycetes
Famili : Hymenomycetaceae
Genus : Phanerochaete
Spesies : Phanerochaete chrysosporium
12
Gambar Jamur Phanerochaete chrysosporium (Herlina,1998).
2.3.2. Morfologi
Phanerochaete chrysosporium merupakan mikroorganisme bersel
banyak, hidup secara aerobik, nonfotosintetik kemoheterotrof dan
termasuk eukariotik. Mikroba ini menggunakan senyawa organik sebagai
substrat dan bereproduksi secara aseksual dengan spora. Kebutuhan
metabolisme mereka sama seperti bakteri, namun membutuhkan lebih
sedikit nitrogen serta dapat tumbuh dan berkembang biak pada pH rendah.
Ukuran jamur lebih besar dari bakteri tetapi karakteristik pengendapannya
buruk. Oleh karena itu mikroba ini tidak disukai dalam proses activated
sludge (Dyah dan Adi, 2010).
Jamur Phanerochaete chrysosporium memiliki keadaan fisik yang
berserabut seperti kapas dan berwarna putih serta memiliki spora dan talus
bercabang yang disebut hifa. Kumpulan dari hifa disebut miselium
(Fardiaz, 1989). Miselium P. chrysosporium mempunyai tiga fase
pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, seksual dan aseksual. Fase vegetatif
merupakan fase pertumbuhan dominan. Selama fase ini jamur paling
banyak menghasilkan enzim ekstraselular. Tubuh buah jamur secara alami
mulai terbentuk pada hari ke 18-20. Tubuh buah basah dan lembut,
berwarna putih kekuningan (Cookson, 1995 dalam Satitiningrum, 1998).
Filamen dari Phanerochaete chrysosporium lebih sering digunakan
untuk penerapan dalam bidang bioteknologi daripada tahap sporanya
(Wainwright, 1992 dalam Iriani 2003), setelah umur empat hari jamur ini
akan mencapai fase ligninolitik dan segera memulai mendegradasi lignin.
13
Tumbuh pada suhu 100 – 40
0C (Cookson, 1995 dalam Iriani, 2003)
dengan suhu optimum 370 C (Wainwrigt, 1992 dalam Iriani, 2003), pH
berkisar antara 4 – 4,5 dan memerlukan kandungan oksigen tinggi.
Phanerochaete chrysosporium tidak dapat tumbuh pada substrat yang
hanya mengandung lignin sebagai sumber karbon untuk menunjang
perkembangbiakan sel, sehingga dibutuhkan sumber karbon lain seperti
glukosa, sukrosa, dan lain-lain (Eaton et al., 1998 dalam Martina, 1998).
Phanerochaete chrysosporium memiliki sifat tumbuh yang tidak begitu
baik dibanding jamur lain yaitu waktu tumbuh jamur ini lambat, untuk
hidup memerlukan media yang memiliki energi yang tinggi (Wraight,
1992).
Phanerochaete chrysosporium merupakanmikroorganisme ligninolitik
paling efisien, namun jamur ini juga dapat menghasilkan enzim
protease,kuinon reduktase dan selulase (Suparjo, 2008). Jamur ini
merupakan mikroorganisme bersel banyak, hidup secara aerobik, non
fotosintetik kemoheterotrof, dan termasuk eukariotik. Menggunakan
senyawa organik sebagai substrat dan berproduksi secara aseksual dengan
spora, kebutuhan metabolisma mereka sama seperti bakteri namun
membutuhkan lebih sedikit nitrogen dan dapat tumbuh dan berkembang
biak pada pH rendah. Ukuran jamur lebih besar dari bakteri tapi
karakteristik pengendapannya buruk. Oleh karena itu tidak disukai dalam
proses activated sludge. Temperature optimum yang mendukung
pertumbuhan jamur ini adalah 39oC, dengan pH antara 4-5. Karena
mikroorganisme ini termasuk aerobik, maka aktivitas biologisnya juga
dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut dalam media.
Jamur pelapuk putih memproduksi enzim oksida ekstraseluler yang
dapat mendegradasi polimer aromatic kompleks di alam yaitu lignin.
Enzim tersebut mengandung peroksidase, lignin peroksidase (LiP) dan
Mangan peroksidase (MnP). Enzim pengoksidasi ini menyebabkan
oksidasi 1 elektron pada senyawa aromatic dalam lignin. Kation radikal
yang dihasilkan mudah dipengaruhi untuk oksidasi selanjutnya dengan
adanya O2. Sistem ligninolitik ini sifatnya nonselektif sehingga senyawa
14
aromatic yang lain juga dapat dioksidasi dan dibiodegradasi oleh jamur
pelapuk putih. Contohnya Pentachlorophenol (PCP), dioxins, polycyclic
aromatic hydrocarbon ( PAH) dan zat warna azo (Azo dye).
Dinding sel jasad hidup baik prokariotik maupun eukariotik tersusun
atas beberapa polisakarida, salah satu polisakarida yang terkandung dalam
dinding sel yaitu senyawa alginate, mempunyai sifat ion exchange dengan
mekanisme sebagai berikut ( Paskin-Hurlburt, dkk., 1976 dalam Nurhayati
dan Maryanti, E.N., 2004) :
2 NaAlg + Pb2+
Pb(Alg)2+
2Na
Dan kedua adalah formasi komplek antara ion-ion logam dengan
functional group seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl, phosphate dan
hydroxy-carboxyl yang berada pada dinding sel. Proses biosorpsi ini
bersifat bolak-balik dan cepat, dapat lebih efektif dengan kondisi pH
tertentu dan kehadiran ion-ion lainnya di media dimana logam berat dapat
terendapkan sebagai garam yang tidak terlarut(Gadd, G.M., 1988).
Misalkan pH optimum biosorpsi ion lead (II) dan copper (II) oleh
Zoogloea ramigera adalah berkisar antara 4,0-4,5 sedangkan untuk besi
(II) adalah 2,0 (Suhendrayatna, 2001).
Jika pH rendah akan terjadi kompetisi ion logam dengan ion
hydrogen, sehingga ion logam berat terhambat untuk diserap oleh dinding
sel, kompetisi diakibatkan banyaknya ion hydrogen pada pH rendah yang
dapat menghalangi adsorpsi kation logam pada dinding sel biomassa
(Wallace, 2003). Sedangkan jika pH diatas 7 tidak efektif karena pada pH
6 telah mulai terjadi presipitasi dan pH optimum biosorpsi adalah pH 4-5
serta dari penelitian dengan menggunakan sargassum menyimpulkan hal
yang sama bahwa proses biosorpsi tidak efektif pada pH dibawah 3,5
ataupun pH diatas 5,5 (Cossich, E.S., 2002). Polisakarida lain yang
mempunyai sifat ion exchange misalnya senyawa porphyran yang terdapat
pada ganggang laut Porphyra perforata.
Senyawa ini bertanggung jawab dalam proses penyerapan kalium dan
15
pelepasan natrium pada ganggang tersebut. Komposisi kimia dinding sel
tentu saja bukan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan
terjadinya proses biosorpsi, meskipun mungkin merupakan factor yang
paling dominan. Factor lain seperti sifat fisis biomassa dan sifat larutan
yang mengandung ion logam juga ikut berperan dalam proses biosorpsi
tersebut. Jadi mekanisme yang terjadi dalam proses biosorpsi
kemungkinan merupakan kombinasi dari complexasi, ion exchange,
koordinasi, adsorpsi, chelation mikropresipitasi dan sebagainya
2.3.3. Kegunaan
Penggunaan jamur Phanerochaete chrysosporium sebagai inokulum
fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah
dan cepat, dan kadar asam nukleatnya rendah. Phanerochaete
chrysosporium adalah jamur pelapuk putih yang dikenal kemampuannya
dalam mendegradasi lignin. Phanerochaete chrysosporium adalah kapang
pendegradasi lignin dari kelas basidiomycetes yang membentuk
sekumpulan miselia dan berkembang biak secara aseksual melalui spora
atau seksual dengan perlakuan tertentu. Phanerochaete chrysosporium
dapat mendegradasi lignin dan senyawa turunannya secara efektif dengan
cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler yang berupa lignin
peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Sembiring, 2006).
2.4. HELIOFUNGIA ACTINIFORMIS
Gambar Heliofungia actiniformis
16
Family : Fungiidae
Genus : Heliofungia
Spesies : Heliofungiaactiniformis
Kedalaman : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri : Polip soliter, hidup secara terpisah dengan mulut terletak pada bagian
tengah. Polip memiliki banyak tentakel yang besar dan panjang. Tentakel
dijulurkan pada malam hari maupun siang hari yang menyerupai anemon raksasa.
Hanya memiliki satu mulut. Warna tentakel berwarna hijau-biru muda atau tua,
dengan ujungnya berwarna putih atau merah muda.
2.5.TRICHODERMA SPP
Trichoderma spp. merupakan jamur antagonis yang sangat penting untuk
pengendalian hayati. Mekanisme pengendalian Trichoderma spp. yang bersifat
spesifik target, mengoloni rhizosfer dengan cepat dan melindungi akar dari
serangan jamur patogen, mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan
hasil produksi tanaman. Aplikasi dapat dilakukan melalui tanah secara langsung,
melalui perlakuan benih maupun melalui kompos. Selain itu Trichoderma spp.
sebagai jasad antagonis mudah dibiakkan secara massal, mudah disimpan dalam
waktu lama dan dapat diaplikasikan dalam bentuk tepung atau granular/butiran
(Arwiyanto, 2003). Beberapa keuntungan dan keunggulan Trichoderma spp. yang
lain adalah mudah dimonitor dan dapat berkembang biak, sehingga keberadaannya
di lingkungan dapat bertahan lama serta aman bagi lingkungan, hewan dan manusia
lantaran tidak menimbulkan residu kimia berbahaya yang persisten di dalam tanah
(Anonim, 2002).
Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh
yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi
dengannya. Antagonis meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam
jumlah terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis sebagai hasil dari
pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh mikroorganisme dan
berbahaya bagi OPT, dan (c) predasi, hiperparasitisme, dan mikoparasitisme atau
17
bentuk yang lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT oleh mikroorganisme
yang lain (Gultom, 2008).
Trichoderma spp. memiliki konidiofor bercabang-cabang teratur, tidak
membentuk berkas, konidium jorong, bersel satu, dalam kelompok-kelompok kecil
terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru (Semangun, 1996). Trichoderma
spp. juga berbentuk oval, dan memiliki stigma atau phialid tunggal dan
berkelompok (Barnet, 1972).
Koloni Trichoderma spp. pada media agar pada awalnya terlihat berwarna putih
selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat sebagian
besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikeliling miselium yang msih berwarna
putih dan pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau (Nurhayati,
2001).Koloni pada medium OA (20oC) mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam
waktu 9 hari, semula berwarna hialin, kemudian menjadi putih kehijauan dan
selanjutnya hijau redup terutama pada bagian yang menunjukkan banyak terdapat
konidia. Konidifer dapat bercabang-cabang menyerupai piramida, yaitu pada
bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan kearah ujung
percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan panjang
terutama apeks dari cabang dan berukuran (2,8 x 3,2) µm x (2,5-2,8) µm dan
berdinding halus. Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari koloni
yang sudah tua, terletak interkalar kadang terminal, umumnya bulat, berwarna
hialin, dan berdinding halus (Tindaon, 2008).
Beberapa laporan menyebutkan bahwa P. fluorescens, Gliocladium dan
Trichoderma telah diformulasikan dalam bentuk cair, tepung dan kompos.
Perkembangbiakan Trichoderma spp. akan terjadi bila hifa jamur mengadakan
kontak dengan bahan organik seperti kompos, bekatul atau beras jagung. Bertha
Hapsari (2003) menyatakan bahwa jamur
Trichoderma spp. dapat bertahan selama 3 bulan jika disimpan dalam kulkas
atau sebulan di suhu kamar pada medium beras jagung yang telah difermentasi.
Sedangkan bahan yang dapat dibuat sebagai pengemas antara lain talk dan kaolin. (
Trianto dan Sumantri, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akar yang dikolonisasi olehTrichoderma
harzianum memberikan peningkatan enzim-enzim tanaman. Termasuk N-acetyl-β-
18
D-glucosaminidase, chitinase, protease dan β-glucanase. Enzim-enzim ini
berperanan pada aktivitas mikoparasit terhadap patogen-patogen terutama Fusarium
oxysporum (Sharma, Vignesh Kumar, Ramesh, Saravanan, Deep, Sharma, Mahesh
and Dinesh, 2011).
Ketahanan terhadap kekeringan timbul akibat meningkatnya kemampuan
tanaman untuk menghindari pengaruh langsung dari kekeringan dengan jalan
meningkatkan penyerapan air melalui sistem gabungan akar dan Trichoderma spp.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Setiadi (1989), bahwa hifa cendawan ternyata masih
mampu untuk menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah
kesulitan. Penyebaran hifa di dalam tanah juga sangat luas sehingga tanaman dapat
mengambil air relatif lebih banyak.
2.6. PERSAMAAN ISOTERM ADSORPSI LANGMUIR
Isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (a)
adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), (b) panas adsorpsi tidak
tergantung pada penutupan permukaan, dan (c) semua situs dan permukaannya
bersifat homogen (Oscik J 1994). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat
diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara
molekul-molekul zat yang diadsorpsi pada permukaan adsorben dengan molekul-
molekul zat yang tidak teradsorpsi. Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat
dituliskan sebagai berikut.
C merupakan konsentrasi adsorbat dalam larutan, x/m adalah konsentrasi
adsorbat yang terjerap per gram adsorben, k adalah konstanta yang berhubungan
dengan afinitas adsorpsi dan (x/m)mak adalah kapasitas adsorpsi maksimum dari
adsorben. Kurva isoterm adsorpsi Langmuir dapat disajikan seperti pada Gambar .
19
Gambar Kurva isoterm adsorpsi Langmuir
2.7. PERSAMAAN ISOTERM ADSORPSI FREUNDLICH
Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich didasarkan atas terbentuknyalapisan
monolayer dari molekul-molekul adsorbat pada permukaan adsorben.Namun
pada adsorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan adsorbenbersifat
heterogen. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dapat dituliskansebagai
berikut.
Log (x/m) = log k + 1/n log c
sedangkan kurva isoterm adsorpsinya disajikan pada Gambar 2.
Gambar Kurva isoterm adsorpsi Freundlich
2.8. SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM
Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang
didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada
pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut menyebabkan
tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi dasar sambil
mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Dalam AAS, atom bebas
20
berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti energi panas, energi
elektromagnetik, energi kimia dan energi listrik. Interaksi ini menimbulkan
proses-proses dalam atom bebas yang menghasilkan absorpsi dan emisi
(pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan bersifat khas karena
mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk setiap atom bebas
(Basset, 1994).
Spektrofotometri molekuler pita absopsi inframerah dan UV-tampak yang di
pertimbangkan melibatkan molekul poliatom, tetapi atom individu juga menyerap
radiasi yang menimbulkan keadaan energi elektronik tereksitasi. Spectra absorpsi
lebih sederhana dibandingakan dengan spectra molekulnya karena keadaan energi
elektronik tidak mempunyai sub tingkat vibrasi rotasi. Jadi spectra absopsi atom
terdiri dari garis-garis yang jauh lebih tajam daripada pita-pita yang diamati dalam
spektrokopi molekul (Underwood, 2001).
Spektrofotometer serapan atom (AAS) merupakan teknik analisis kuantitatif
dari unsur-unsur yang pemakaiannya sangat luas, diberbagai bidang karena
prosedurnya selektif, spesifik, biaya analisa relatif murah, sensitif tinggi (ppm-
ppb), dapat dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar, waktu
analisa sangat cepat dan mudah dilakukan. Analisis AAS pada umumnya
digunakan untuk analisa unsur, teknik AAS menjadi alat yang canggih dalam
analisis.ini disebabkan karena sebelum pengukuran tidak selalu memerluka
pemisahan unsur yang ditetukan karena kemungkinan penentuan satu logam unsur
dengan kehadiran unsur lain dapat dilakukan, asalkan katoda berongga yang
diperlukan tersedia. AAS dapat digunakan untuk mengukur logam sebanyak 61
logam. Sember cahaya pada AAS adalah sumber cahaya dari lampu katoda yang
berasal dari elemen yang sedang diukur kemudian dilewatkan ke dalam nyala api
yang berisi sampel yang telah terakomisasi, kemudian radiasi tersebut diteruskan
ke detektor melalui monokromator. Chopper digunakan untuk membedakan
radiasi yang berasal dari nyala api. Detektor akan menolak arah searah arus ( DC )
dari emisi nyala dan hanya mnegukur arus bolak-balik dari sumber radiasi atau
sampel. Atom dari suatu unsur padakeadaan dasar akan dikenai radiasi maka atom
tersebut akan menyerap energi dan mengakibatkan elektron pada kulit terluar naik
ke tingkat energi yang lebih tingi atau tereksitasi. Atom-atom dari sampel akan
21
menyerpa sebagian sinar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. Penyerapan
energi cahaya terjadi pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang
dibutuhkan oleh atom tersebut (Basset, 1994).
Hubungan kuantitatif antara intensitas radiasi yang diserap dan konsentrasi
unsur yang ada dalam larutan cuplikan menjadi dasar pemakaian SSA untuk
analisis unsur-unsur logam. Untuk membentuk uap atom netral dalam
keadaan/tingkat energi dasar yang siap menyerap radiasi dibutuhkan sejumlah
energi. Energi ini biasanya berasal dari nyala hasil pembakaran campuran gas
asetilen-udara atau asetilen-N2O, tergantung suhu yang dibutuhkan untuk
membuat unsur analit menjadi uap atom bebas pada tingkat energi dasar (ground
state). Disini berlaku hubungan yang dikenal dengan hukum Lambert-Beer yang
menjadi dasar dalam analisis kuantitatif secara SSA. Hubungan tersebut
dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut (Ristina, 2006).
I = Io . a.b.c
Atau,
Log I/Io = a.b.c
A = a.b.c
dengan,
A = absorbansi, tanpa dimensi
a = koefisien serapan, L2/M
b = panjang jejak sinar dalam medium berisi atom penyerap, L
c = konsentrasi, M/L3
Io = intensitas sinar mula-mula
I = intensitas sinar yang diteruskan
Pada persamaan diatas ditunjukkan bahwa besarnya absorbansi berbanding
lurus dengan konsentrasi atom-atom pada tingkat tenaga dasar dalam medium
nyala. Banyaknya konsentrasi atom-atom dalam nyala tersebut sebanding dengan
konsentrasi unsur dalam larutan cuplikan. Dengan demikian, dari pemplotan
serapan dan konsentrasi unsur dalam larutan standar diperoleh kurva kalibrasi.
Dengan menempatkan absorbansi dari suatu cuplikan pada kurva standar akan
diperoleh konsentrasi dalam larutan cuplikan. Bagian-bagian AAS adalah sebgai
berikut (Day, 1986).
22
a. Lampu katoda
Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada AAS. Lampu katoda
memiliki masa pakai atau umur pemakaian selama 1000 jam. Lampu katoda
pada setiap unsur yang akan diuji berbeda-beda tergantung unsur yang akan
diuji, seperti lampu katoda Cu, hanya bisa digunakan untuk pengukuran unsur
Cu.
b. Tabung gas
Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas yang berisi
gas asetilen. Gas asetilen pada AAS memiliki kisaran suhu ± 20000 K, dan
ada juga tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih panas dari gas asetilen,
dengan kisaran suhu ± 30000 K. Regulator pada tabung gas asetilen berfungsi
untuk pengaturan banyaknya gas yang akan dikeluarkan, dan gas yang berada
di dalam tabung. Spedometer pada bagian kanan regulator merupakan
pengatur tekanan yang berada di dalam tabung. Gas ini merupakan bahan
bakar dalam Spektrofotometri Serapan Atom
c. Burner
Burner merupakan bagian paling terpenting di dalam main unit, karena
burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan aquabides,
agar tercampur merata, dan dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan
merata. Lobang yang berada pada burner, merupakan lobang pemantik api.
d. Monokromator
Berkas cahaya dari lampu katoda berongga akan dilewatkan melalui celah
sempit dan difokuskan menggunakan cermin menuju monokromator.
Monokromator dalam alat SSA akan memisahkan, mengisolasi dan
mengontrol intensitas energi yang diteruskan ke detektor. Monokromator
yang biasa digunakan ialah monokromator difraksi grating.
e. Detektor
Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi
listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya
radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka. Fungsi detektor adalah
mengubah energi sinar menjadi energi listrik, dimana energi listrik yang
dihasilkan digunakan untuk mendapatkan data. Detektor AAS tergantung
23
pada jenis monokromatornya, jika monokromatornya sederhana yang biasa
dipakai untuk analisa alkali, detektor yang digunakan adalah barier layer cell.
Tetapi pada umumnya yang digunakan adalah detektor photomultiplier tube.
Photomultiplier tube terdiri dari katoda yang dilapisi senyawa yang bersifat
peka cahaya dan suatu anoda yang mampu mengumpulkan elektron. Ketika
foton menumbuk katoda maka elektron akan dipancarkan, dan bergerak
menuju anoda. Antara katoda dan anoda terdapat dinoda-dinoda yang mampu
menggandakan elektron. Sehingga intensitas elektron yang sampai menuju
anoda besar dan akhirnya dapat dibaca sebagai sinyal listrik. Untuk
menambah kinerja alat maka digunakan suatu mikroprosesor, baik pada
instrumen utama maupun pada alat bantu lain seperti autosampler.
f. Sistem pembacaan
Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau
gambar yang dapat dibaca oleh mata.
g. Ducting
Ducting merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap atau sisa
pembakaran pada AAS, yang langsung dihubungkan pada cerobong asap
bagian luar pada atap bangunan, agar asap yang dihasilkan oleh AAS, tidak
berbahaya bagi lingkungan sekitar. Asap yang dihasilkan dari pembakaran
pada spektrofotometry serapan atom (AAS), diolah sedemikian rupa di dalam
ducting, agar asap yang dihasilkan tidak berbahaya.
24
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1. ALAT-ALAT
Alat–alat yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah alat–alat gelas yang
umum digunakan, magnetic stirrer, Spektrofotometer Serapan Atom (AAS)
Buck Scientific Model 205 VGP, PH meter, lumpang , neraca digital, ayakan,
oven, desikator, satu set alat pengaduk dan bekerglas, oven, penyaring,
spektrofotometer dan timbangan.
3.2. BAHAN-BAHAN
Larutan Pb(NO3)2, kultur spesies fungi Trichoderma asperellum TNJ-63, air
suling, limbah cair, Biomassa Phanerochaete chrisosporium, NaOH, H2SO4,
aquadest, biomassa Heliofungia actiniformis kering, larutan HNO3, HCl,
EDTA, KCl, Na2CO3, akuades, kertas pH, kertas saring whatman, alumunium
foil, kertas label.
3.3. PROSEDUR PENELITIAN
3.3.1. Tahap persiapan biomassa Phanerochaete chrisosporium.
Lakukan proses aktifasi biomassa dengan memanaskan dalam larutan
NaOH selama 25 menit dan saring lalu cuci menggunakan aquadest sampai
pH aquadest mendekati netral. Keringkan biomassa dalam oven pada suhu
100oC sampai berat konstan.
3.3.2. Penyiapan biosorben karang Heliofungia actiniformis
Karang Heliofungia actiniformis dikoleksi dari pulau Badi. Karang
segera dicuci dan dikeringkan pada temperatur 800C selama ± 12 jam
kemudian dihaluskan. Sampel diayak dengan ukuran lolos saringan 120
mesh diambil dan disimpan pada tempat dingin dan kering. Biomassa
karang digunakan dalam eksperimen penentuan waktu kontak, pH optimum
dan kapasitas biosorpsi.
3.3.3. Penyiapan biosorben jamur Trichoderma asperellum TNJ-63.
Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 yang digunakan berupa biomassa
kering yang proses persiapannya telah dilakukan terlebih dahulu.
25
3.3.4. Proses adsorpsi Phanerochaete chrisosporium.
Masukkan biomassa dengan konsentrasi sesuai variabel (gram/lt) (1; 1,5;
2; 2,5; 3) dalam 250 cc air limbah, larutan dijaga pada pH 4-5, dan lakukan
pengadukan sesuai variabel (rpm)(50; 100; 150; 200; 250) selama 150
menit. Setelah 150 menit larutan di centrifuge. Filtrate kemudian disaring
dan selanjutkan dianalisa menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui
kadar Pb yang tersisa dalam larutan.
3.3.5. Penentuan kapasitas biosorpsi Heliofungia actiniformis.
Larutan ion Pb(II) dengan variasi konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150
ppm, 200 ppm, 250 ppm, dan 300 ppm disiapkan pada pH optimum. Ke
dalam masing–masing 100 mL larutan tersebut ditambahkan 200 mg
biomassa Heliofungia actiniformis. Tiap–tiap campuran diaduk dengan
magnetic stirrer selama waktu dan pH optimum. Tiap–tiap campuran
disaring dengan kertas whatman. Adsorbansi setiap filtrat diukur dengan
Spektrofotometer Serapan Atom
3.3.6. Penentuan pengaruh waktu kontak Heliofungia actiniformis.
Larutan Pb(II) dengan konsentrasi 50 ppm disiapkan. Ke dalam 100 ml
larutan ditambahkan 200 mg biomassa Heliofungia actiniformis.
Campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit dan
disaring dengan kertas whatman. Adsorbansi filtrat diukur dengan
spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang maksimum.
Percobaan diulangi dengan variasi waktu pengadukan 2, 5, 10, 20, 40,
60, 80, 100 dan 120 menit. Setiap percobaan dilakukan 2 kali
pengulangan. Konsentrasi yang teradsorpsi untuk tiap waktu dihitung dari:
Konsentrasi teradsorpsi = Konsentrasi awal- Konsentrasi akhir
Cadsorpsi = Cawal - Cakhir
Banyaknya ion logam yang teradsorpsi (mg) per gram biosorben
Heliofungia ditentukan dengan persamaan :
Dimana :
qe = jumlah ion logam yang teradsorpsi (mg/g)
26
Co = konsentrasi ion logam sebelum adsorpsi
Ce = konsentrasi ion logam setelah adsorpsi
V = volume larutan ion logam (L)
Wa = jumlah adsorben, biomassa terumbu karang (g)
3.3.7. Waktu optimum Trichoderma asperellum TNJ-63
Waktu optimum adalah waktu dimana konsentrasi teradsorpsi
(Cadsorpsi) terbesar. Tahap awal penelitian biosorpsi dengan jamur
Trichoderma asperellum TNJ-63 adalah penentuan waktu
kesetimbangan. Ke dalam erlenmeyer yang telah berisi 25 ml larutan
logam Pb(NO3)2 dengan konsentrasi 100 ppm dimasukkan 0,3 gram
sampel butiran biomassa kering Trichoderma asperellum TNJ-63 (pada
pH 5). Campuran diaduk pada 130 rpm dan data konsentrasi logam di
cairan diambil saat 1, 3, 6, 12, 24 dan 36 jam pengontakan.Setelah waktu
kesetimbangan diketahui, dengan cara yang sama dilakukan tahap
biosorpsi pada konsentrasi 100 ppm dan pH 5 dengan memvariasi
berat biomassa, berturut-turut 0,1 g, 0,2 g, 0,3 g, 0,4 g, 0,5 g. Pada
penelitian ini waktu tercapainya kesetimbangan juga dipelajari dengan
memvariasi putaran pengadukan berturut-turut 80, 130 dan 180 rpm.
Setelah disaring dengan kertas filter berukuran pori 0,45 µm, sampel
cair dianalisa menggunakan metode atomic adsorption spectroscopy
(AAS).
27
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Kadar Logam Pb yang Terserap Oleh Phanerochaete chrisosporium
Kadar logam Pb awal dalam air limbah adalah 23,19 mg/lt, setelah dilakukan
proses biosorpsi diperoleh hasil sbb :
Tabel 1.Kadar Logam Pb yang Terserap dan yang Tersisa
Kadar logam Pb yang terserap (% Removal) dan yang tersisa dalam air limbah,
disajikan dalam bentuk gambar sbb :
28
Gambar 1. Hubungan antara Pengadukan dan Konsentrasi Biomassa
terhadapKadar Lgam Pb yang Terserap (% Removal).
Terlihat pada Gambar 1, bahwa hasil terbaik dicapai pada pengadukan 200 rpm dan
konsentrasi biomassa 3 mg/lt, logam Pb yang terserap (% Removal) 66,79 %.
Gambar 2. Hubungan antara Pengadukan dan Konsentrasi Biomassa
terhadapKadar Logam Pb Sisa (mg/lt)
Dari gambar diatas terlihat hasil terbaik dicapai pada pengadukan 200 rpm dan
konsentrasi biomassa 3 mg/lt, logam Pb yang tersisa 7,70 mg/lt. Hasil biosorpsi
Phanerochaete chrisosporium terhadap logam Pb sangat tergantung pada proses
pengadukan, semakin cepat pengadukan hasil penyerapan semakin besar sehingga kadar
sisa logam Pb dalam air limbah semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin cepat
pengadukan maka kontak antara biomassa dengan ion-ion logam semakin cepat dan
sempurna sehingga ion-ion logam yang terserap semakin besar pula, sesuai dengan
pernyataan Fardias, S., 1987, bahwa transfer energy, substrat dan metabolit dalam
29
bioreaktor dapat berlangsung dengan pengadukan yang baik, dan proses pengadukan
mempunyai beberapa tujuan antara lain dispersi udara dalam larutan nutrient,
homogenisasi untuk menyeragamkan suhu dan konsentrasi nutrient serta suspensi
mikroba dan nutrient padat. Hasil biosorpsi Phanerochaete chrisosporium terhadap
logam Pb sangat tergantung pada proses pengadukan, semakin cepat pengadukan hasil
penyerapan semakin besar sehingga kadar sisa logam Pb dalam air limbah semakin
kecil. Hal ini disebabkan semakin cepat pengadukan maka kontak antara biomassa
dengan ion-ion logam semakin cepat dan sempurna sehingga ion-ion logam yang
terserap semakin besar pula, sesuai dengan pernyataan Fardias, S., 1987, bahwa transfer
energy, substrat dan metabolit dalam bioreaktor dapat berlangsung dengan pengadukan
yang baik, dan proses pengadukan mempunyai beberapa tujuan antara lain dispersi
udara dalam larutan nutrient, homogenisasi untuk menyeragamkan suhu dan konsentrasi
nutrient serta suspensi mikroba dan nutrient padat. Hasil biosorpsi logam Pb dalam air
limbah semakin naik seiring dengan bertambahnya kecepatan pengadukan tetapi
cenderung konstan pada pengadukan 200 rpm dan 250 rpm, hal ini menunjukkan bahwa
setelah pengadukan 200 rpm biomassa sudah dalam keadaan jenuh dan tidak bisa
menyerap lagi, pada kondisi ini diperoleh kadar logam berat Pb yang terserap 15,69
mg/lt (66,79 %) %), dan yang tersisa 7,70 mg/lt. Pengaruh konsentrasi biomassa pada
biosorpsi logam Pb, menunjukkan bahwa kadar logam Pb yang terserap semakin
meningkat seiring dengan semakin besarnya konsentrasi biomassa. Hal ini terjadi
karena pada awal biosorpsi, permukaan dinding sel yang terdiri dari polisakarida yaitu
senyawa alginate belum mengikat logam berat, sesuai dengan Paskin-Hurlburt, dkk.,
1976 dalam Nurhayati dan Maryanti, E.N., 2004, bahwa proses biosorpsi ini terjadi
ketika ion logam mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama
pertukaran ion dimana ion monovalent dan divalent seperti Na, Mg dan Ca pada dinding
sel digantikan oleh ion-ion logam berat, dan kedua adalah formasi komplek antara ion-
ion logam berat dengan functional group seperti carbonyl, amino, thiol, hidroksi-
karboksil yang berada pada dinding sel. Kondisi terbaik dicapai pada konsentrasi
biomassa yang terbesar yaitu 3 gr/lt dan kadar logam Pb yang terserap15,49 mg/lt
(66,79 %), dan yang tersisa 7,70 mg/lt.
Penentuan konstanta daya serap Phanerochaete chrisosporium. Hasil biosorbsi
terbaik dicapai pada pengadukan 200 rpm dan konsentrasi 3 mg/lt dengan kadar logam
30
Pb sebagai berikut : Tabel 3. Hasil perhitungan persamaan Freundlich Isothermal untuk
adsorpsi logam Pb dengan Phanerochaete chrisosporium.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Persamaan Freundlich Isothermal untuk Adsorpsi
Logam Pb dengan Phanerochaete chrisosporium.
Jika disajikan dalam bentuk gambar sbb :
Gambar 3. Hubungan antara Log Ce dengan (Log X/M)
Besarnya kapasitas penyerapan logam Pb oleh biomassa diperoleh persamaan
Freunlich Isothermal log (X/M) = - 0,7531 log Ce + 1,8636 dengan nilai R = 0,9913,
konstanta n = 1,3278 dan nilai k = 73,0466, sehingga jika nilai k semakin kecil maka
logam terabsorb semakin besar dan berbanding terbalik dengan nilai n.
4.2. Waktu Kontak OptimumHeliofungia actiniformis
Gambar 4 memperlihatkan jumlah ion Pb (II) yang diadsorpsi oleh biomassa
karang Heliofungia actiniformis pada variasi waktu kontak. Pada kontak selama 2
menit, biosorben mampu mengikat ion Pb(II) sebanyak 5,54 mg.g-1
. Nilai ini terus
31
meningkat hingga waktu kontak 10 menit dengan nilai adsorpsi 12,24 mg.g-1
. Adsorpsi
ion logam menjadi konstan pada kontak selama 20, 40 dan 60 menit dengan nilai
adsorpsi 12, 44 mg.g-1
. Oleh karena itu waktu optimum adsorpsi ion Pb (II) adalah 20
menit. Waktu kontak yang singkat antara ion Pb(II) dengan biomassa karang
Heliofungia actiniformis menunjukkan bahwa mekanisme biosorpsi terjadi secara
kimia data yang diperoleh menunjukkan bahwa pengambilan ion logam oleh biomassa
sangat cepat.
Gambar 4. Grafik Adsorpsi Karang berdasarkan Variasi Waktu Kontak.
Kondisi : konsentrasi awal Pb (II) 50 mgL-1
, 150 rpm, biomassa 0,2 gram/ 50 mL.Untuk
mengetahui kinetika reaksi adsorpsi ion Pb (II) pada biomassa karang
Heliofungia actiniformis, maka data yang diperoleh dimasukkan pada model
persamaan reaksi orde satu (pseudo first – order) dan reaksi orde dua (pseudo second
order). Nilai konstanta orde satu dan nilai qeq ditentukan dari nilai yang
diperoleh pada Gambar 5 dan koefisien korelasi yang diperoleh dari masing-masing
orde seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 . Perbandingan Konstanta Reaksi Orde Satu dan Orde Dua
Penyerapan Ion Pb(II) pada Biomassa Karang
32
Nilai adsorpsi Pb(II) oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis pada
keseimbangan (qeq) yang diperoleh dari persamaan orde satu adalah 9.23 mg.g-1
. Nilai
ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan data yang diperoleh secara eksperimen
yaitu 12,44 mg g-1. Selain itu nilai koefisien relasi (R2) yang diperoleh adalah 0,290.
Nilai ini lebih kecil dari angka satu sehingga dapat dikatakan bahwa adsorpsi ion
Pb(II) pada biomassa karang Heliofungia actiniformis bukan merupakan orde satu.
Gambar 5. Model Reaksi Orde Satu Adsorpsi Ion Pb(II) pada
Karang berdasarkan Variasi Waktu Kontak
Kondisi konsentrasi awal 50 mgL-1
,150 rpm, biomassa 0.2g/50 mL.Dengan
menggunakan persamaan reaksi orde dua, maka kurva hubungan antara nilai t/q
terhadap t seperti terlihat pada Gambar 6. Nilai konstanta reaksi orde dua (k 2),
kapasitas adsorpsi (qeq) dan koefisien relasi dari kurva reaksi orde dua ini
dibandingkan dengan reaksi orde satu dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai koefisien
korelasi pada reaksi orde dua sebesar 1.000 dan nilai qeq 12.66 mg.g-1
sama dengan
nilai qeq eksperimen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kinetika reaksi
pengambilan ion Pb(II) oleh biomassa karang mengikuti reaksi orde dua. Hal ini
berarti bahwa nilai laju reaksi berbanding terbalik dengan nilai konsentrasi awal ion
logam dalam larutan (Umaningrum , dkk, 2010). Semakin besar konsentrasi awal ion
Pb(II) dalam larutan maka laju reaksi adsorpsi akan semakin kecil.
33
Gambar 6. Model reaksi orde dua adsorpsi ion Pb(II) pada biomassa karang
berdasarkan variasi waktu kontak
Kondisi :konsentrasi awal Pb(II) 50 mgL-1
, 150 rpm, biomassa karang 0,2g/ 50
mL.
4.3. Studi Isothermal AdsorpsiHeliofungia actiniformis
Kapasitas adsorpsi ion logam Pb (II) pada biomassa karang Heliofungia
actiniformis diuji dengan melakukan percobaan biosorpsi pada variasi konsentrasi ion
logam dan kurva adsorpsi ion logam dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasaarkan hasil
yang diperoleh pada penelitian ini dan perhitungan dengan model isotermal Langmuir
kapasitas adsorpsi ion Pb(II) oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis adalah
55.55 mg ion Pb(II) tiap gram biomassa. Isotermal adsorpsi Langmuir berlaku untuk
kesetimbangan adsorpsi yang diasumsikan sebagai adsorpsi satu lapisan (mono-
layer) pada permukaan adsorben dengan jumlah yang terbatas dari bagian yang sama
(Langmuir, 1918). Isotermal ini dinyatakan dalam persamaan berikut:
dimana, qe adalah jumlah ion logam yang diadsorpsi pada kesetimbangan
per unit massa dari adsorben (mg/g), qmax adalahkapasitas adsorpsi
maksimum dari logam per unit massa adsorben (mg/g), Ce adalah konsentrasi
kesetimbangan ion logam dalam larutan (mg/L).
34
Tabel 4. Perbandingan Kapasitas Adsorpsi Ion Pb(II) Pada
Beberapa Biomassa
Berdasarkan Plot nilai Ce terhadap nilai Ce/qe akan memberikan garis lurus dengan
slope dari nilai 1/qmax dan intersep dari nilai 1/qmaxb, dimana b adalah koefisien
adsorpsi (L/mg). Plot linear yang menunjukkan model Isotermal Langmuir
ditunjukkan pada Gambar 11 diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) adalah 0,977
dimana nilai ini mendekati angka 1, hal ini menunjukkan linearitas kurva isotermal
Langmuir yang diperoleh cukup baik. Nilai koefisien adsorpsi (b) yang diperoleh adalah
0,28 L/mg. Sedangkan untuk nilai qmaks adalah 58,82, mg/g
Gambar 7. Isotermal Langmuir Adsorpsi ion Pb (II) pada Biomassa
Karang pada Variasi Kensentrasi.
Kondisi : waktu kontak 20 menit, 150 rpm, biomassa 0,2g/50mL, pH 5
Karakteristik penting dari isotermal Langmuir dapat dinyatakan dengan istilah konstanta
pemisahan atau parameter kesetimbangan (RL) yang dituliskan dengan rumus:
dimana b adalah konstanta Langmuir dan Co adalah konsentrasi awal ion Pb(II).
Dari hasil eksperimen nilai RL yang diperoleh berada antara 0,01 – 0,10 pada
35
konsentrasi antara 300 – 50 ppm. Menurut McKay dkk (1982), nilai RL antara 0 – 1,
mengindikasikan adsorpsi cukup baik.
Isotermal adsorpsi Freundlich adalah dasar dari persamaan empirik pada
adsorpsi permukaan heterogen (Freundlich, 1907). Persamaan linear dari isotermal
ini dapat didefinisikan melalui persamaan berikut :
dimana tetapan n adalah parameter empirik yang berbeda menurut tingkat dari
heterogenitas dan KF adalah tetapan yang berhubungan dengan kapasitas adsorpsi.
Tetapan n dan KF dapat dihitung dari persamaan di atas melalui plot nilai ln Ce
dengan ln qe, dimana slope = 1/n dan intersep = ln KF. Plot linear yang menunjukkan
model isotermal Freundlich ini diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Isotermal Freundlich adsorpsi ion Pb(II) pada Biomassa Karang
Heliofungia actiniformis pada Variasi Konsentrasi.
Kondisi : waktu kontak 20 menit, 150.rpm , biomassa 0.2g, pH 5 Pada penelitian ini
nilai Kf dan n berturut-turut adalah 20,06 dan 3,91. Menurut Namasivayam
(2000), jika nilai n berada antara 1 dan 10, maka adsorpsi berlangsung dengan baik.
Jadi adsorpsi ion Pb(II) oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis cukup
baik dan menguntungkan.
4.4. Penentuan Waktu Kesetimbangan
Penentuan waktu kesetimbangan merupakan langkah awal karena semua data
kesetimbangan diambil pada waktu di mana kesetimbangan dianggap telah tercapai.
Gambar 9 menunjukkan bahwa untuk penjerapan dengan 0,3 gram biomassa,
36
penjerapan telah mencapai 93% dalam 1 jam dan kemudian meningkat terus menuju
ke nilai asimptotis yaitu sekitar 98%.
Gambar 9. Konsentrasi Pb2+
dalam Larutan selama Proses
Penjerapan(0,3 g biomassa).
Terlihat pada Gambar 9 bahwa di atas 12 jam peningkatan penjerapan yang terjadi
tidak berarti. Dalam hal ini, keadaan kesetimbangan diasumsikan selalu tercapai
dalam waktu 24 jam. Oleh karena itu, pada penelitian ini semua data
kesetimbangan diambil setelah penjerapan berlangsung selama 24 jam. Pengaruh
kecepatan putaran pengadukan kecepatan putaran pengadukan sangat berpengaruh
terhadap kecepatan difusi ion logam ke permukaan sel mikroba. Semakin cepat
putaran pengadukan, olakan di badan cairan akan semakin kuat yang dapat
menurunkan tahanan perpindahan massa pada permukaan biosorben. Gambar 10
menunjukkan bahwa penjerapan Pb2+
dengan jamur Trichoderma asperellum TNJ-
63 memiliki laju penjerapan yang relatif sama untuk putaran pengadukan yang
berbeda.
Gambar 10. Penjerapan Pb2+
dengan Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63
37
Terlihat bahwa pada 1 jam pertama, diperoleh persen penjerapan rata-rata 94%
untuk kecepatan 80, 130, dan 180 rpm. Jumlah Pb2+
terjerap hanya meningkat
sekitar 4%, dengan beda waktu dari 1 jam sampai 24 jam. Sehingga, pada penelitian ini
dipilih kecepatan pengadukan 80 rpm dan waktu 24 jam untuk menjamin tercapainya
keadaan setimbang.
Penentuan model kesetimbangan biosorpsi Pb2+
pada jamur Trichoderma
asperellum TNJ-63 dipelajari dengan mengamati konsentrasi larutan setelah proses
adsorpsi berlangsung selama 24 jam. Seperti ditunjukkan pada Tabel 5,
pengamatan dilakukan untuk massa biosorben yang berbeda dalam larutan yang
memiliki konsentrasi Pb2+
awal sama (100 mg/l).
Tabel 5. Kesetimbangan biosorpsi Pb2+
pada Jamur
Trichodermaasperellum TNJ-63
Gambar 11 menunjukkan profil hubungan konsentrasi Pb2+
dalam larutan dan
dalam biosorben pada keadaan setimbang. Semakin tinggi konsentrasi Pb2+
dalam
larutan maka semakin tinggi pula konsentrasi Pb2+
yang terjerap di dalam biosorben.
Terlihat pula pada Gambar 11 bahwa kenaikan konsentrasi yang terjadi cenderung
tidak bersifat linear.
38
Gambar 11. Hubungan Konsentrasi Pb2+
dalam Larutan dan dalam
Biosorben pada Keadaan Setimbang
Pada penelitian ini, hubungan kesetimbangan yang terjadi antara konsentrasi
Pb2+
dalam larutan dan dalam jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 dicoba untuk
didekati dengan model adsorpsi Langmuir dan Freundlich. Tabel 2 dan Gambar 3
memperlihatkan hasil perhitungan masingmasing model yang dibandingkan dengan
data kesetimbangan hasil penelitian.
Kesesuaian model kesetimbangan Freundlich terhadap data penelitian
menunjukkan bahwa proses biosorpsi terjadi pada permukaan jamur yang bersifat
heterogen. Hal ini berbeda dengan model kesetimbangan Langmuir yang didasarkan
pada asumsi bahwa penjerapan terjadi pada permukaan yang bersifat homogen
(Sohn dan Kim, 2005). Heterogenitas permukaan biosorpsi pada model Freundlich
dinyatakan dengan tetapan faktor heterogenitas permukaan (n) yang pada penelitian ini
bernilai 0,791. Sementara itu, tetapan kesetimbangan Freundlich (Kf) pada penelitian
ini bernilai 1,923.
39
BAB V
KESIMPULAN
5.1 KESIMPULAN
1. Phanerochaete chrisosporiummempunyai kemampuan untuk menyerap logam
plumbum/ timbal (Pb), proses penyerapan (biosorpsi) dipengaruhi oleh faktor
pengadukan dan konsentrasi biomassa.
2. Pada kondisi terbaikPhanerochaete chrisosporium, proses ini dapat menurunkan
kadar logam Pb dari 23,19 mg/liter menjadi menjadi 7,7 mg/liter dengan
prosentase removal penurunan logam Pb 66,79 % dan kecepatan pengadukan
200 rpm serta konsentrasi biomassa 3 gr/liter.
3. Biomassa karang Heliofungia actiniformis berpotensi menghilangkan ion
timbal dengan waktu kontak optimum 20 menit, pH 5 dengan kapasitas
biosorpsi 12.44 mg.g-1
. Proses biosorpsi ion timbal ini mengikuti model reaksi
orde dua semu dengan nilai kesetimbangan adsorpsi mendekati nilai
kesetimbangan eksperimen. Proses biosorpsi ini mengikuti isotermal Langmuir
dan Freundlich.
4. Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63 dapat digunakan sebagai biosorben
logam berat Pb dalam bentuk Pb2+
5. Kesetimbangan biosorpsi Pb2+
pada Trichoderma asperellum TNJ63 berifat
non linear dan mengikuti model kesetimbangan isoterm Freundlich, di mana
proses biosorpsi terjadi pada permukaan yang bersifat heterogen.
40
DAFTAR PUSTAKA
Abia, A.A., Horsfall, M. Jr. dan Didi, O., 2003, “The Use of Chemically Modified and
Unmodified Cassava Waste for The Removal of Cd, Cu, and Zn Ions
from Aqueous Solution”, Bioresource Tech., 90(3),345-348.
Ahalya, N., Kanamadi, R.D. dan Ramachandra, T.V.,2007. Biosorption of Heavy
Metals, Centre for Ecological Science, Indian Institute Science, Bangalore,
India.
Ahmet. S, Tuzen Mustafa ,2007 Biosorption of Pb (II) and Cd(II) from aqueos solution
using green alga (ulva Lactuca ) biomass, J. Hazardous Materials, 152, 302-308.
Alluri, H.K., et. al., 2007. Biosorption: An eco-friendly alternative for heavy metal
removal. Review. African Journal of Biotechnology, vol. 6(25), 2924-2931.
Amri, A., 2005. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Isoterm Biosorpsi Logam Pb
dengan Biomass Aspergillus Niger, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan
4, 9-16, UNSYIAH, Aceh.
Awofolu, R.O., Okonkwo dan Merwe, 2006. A New Approach to Chemical
Modification Protocols of Aspergillus Niger and Sorption of Lead Ion by
Fungal Species, Electronic Journal of Biotechnology 9(4).
Bailey, S.E., Trudy J. Olin, R. Mark Bricka and D.Dean Adrian1. 1999. A Review of
Potentially LowCost Sorbents For Heavy Metals. Wat. Res, 33(11), 2469-2479
Cossich, E. S., Celia Regina Granhen Tavares, Teresa Massako Kakuta
Ravagnani. 2002. Biosorption of chromium (III) by Sargassum sp. biomass.
EJB Electronic J. Biotech., 37: 4311–4330.
Darmadi, 2010, Ekosistem Terumbu Karang Di Indonesia, Marine Science Padjajaran
University, (Online)
(http://dhamadharma.wordpress.com/2010/05/04/ekosistem-terumbu -karang-
diindonesia/ diakses 13 April 2014
Dianati-Tilaki, R.A. dan Mahmood, S., 2004,”Study on Removal of Cadmium
from Water by Adsorption on GAC, BAC, and Biofilter”, Pak. J. Biol. Sci.
,7(5) 865-869.
Diantariani, N.P., Sudiarta, I.W., Elantiani, N.K., 2008, Proses Biosorpsi dan Desorpsi
Cr(IV) Pada Biosorben Rumput Laut Eucheuma spinosum , Jurnal Kimia 2(1),
45-52
Fardiaz, S., 1987. Fisiologi Fermentasi, Lembaga Sumber Daya Informasi-IPB.
41
Gadd, G.M., 1990. Fungi and Yeast for Metal Contaminated Surface and
Groundwater, Geomicrobiol 8, 201-223.
Hany, H., dkk., 2004. Biosorption of Heavy Metal from Waste Water Using
Pseudomonas sp.
H.M. Gadd, 1988. Biotechnology Vol 6, H.J. Rehm, ed.
Igwe, J.C., Ogunewe, D.N. dan Abia, A.A., 2005,”Competitive Adsorption of Zn(II),
Cd(II), and Pb(II) Ions from Aqueous and Non-Aqueous Solution by Maize
Cob and Husk”, Afr. J. Biotechnol, 10(4) 1113-1116.
Jain, V. K., Pillai, S. G., Pandya, R. A., Agrawal, Y. K. dan Shrivastav, P.S.,
2005, “Selective Extraction, Preconcentration, and Transport Studies of
Thorium(IV) Using OctaFunctionalized Calix[4]resorcinarene-Hydroxamic
Acid”, Anal. Sci., 21,129-135.
Keputusan Gubernur Jatim Nomor 45 Tahun 2002. Baku Mutu Limbah Cair Industri
dan Kegiatan Usaha Lainnya.
Metcalf dan Eddy, 1991. Waste Water Engineering 3ed, Mc Graw Hill, Inc.
Nurhayati dan Maryanti, E.N., 2004. Biosorpsi Timbal (Pb) dari Limbah Electroplating
oleh Saccharomyces Cerevisiae, Skripsi Jurusan Teknik Kimia UPN “Veteran”
Jatim.
Qaddafi. M ,2008, Pemanfaatan ampas tahu sebagai biosorben ion timbal(Pb2+
),
Tesis tidak diterbitkan, Program Studi Kimia Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin
Quoiy and Gaimard, 1833, Data Base Karang, Program Rehabilitasi dan
pengelolaan Terumbu karang, DKP- LIPI
Romera, E., Gonzales, F., Ballester, A., Blazquez, M.L., Munoz, J.A., 2007,
Comparative study of biosorption of heavy metals using different types of
algae, Bioresource Technology, 98, 3344-3353.
Romimohtarto, Kasijan , 2005 Biologi Laut , Djambatan ,Jakarta
Shah, B.S., 2008, Study of Heavy Metal Accumulation in Scleratinian Coral of Viti
Levu, Fiji Islands, School of Biological, Chemical and Environmental
Sciences Faculty of Science and Technology, Fiji Island, Noumea Cedex New
Caledonia.
Sivaiah, M.V., Venkatesan, K. A., Sasidhar, P., Krishna, R. M. dan Murthy, G.
S., 2004, “ Ion Exchange Studies of Cerium(III) on Uranium antimonate”, J.
Nucl. Radiochem. Sci., 5(1), 7-10.
42
Soeprijanto, Eko Sulistyowati dan Achmad Elsony (2004). Kinetika Bioadsorpsi Ion
Logam Berat Cu(II) Menggunakan Biomassa Saccharomyces Cerevisae.
Dalam: Seminar Nasional, Teknik Kimia “Kejuangan” 2004, 27-28 Januari
2004,Yogyakarta.
Suharsono. 2003. Kondisi Terumbu Karang di Indonesia. Pusat Informasi
Lingkungan Indonesia Edisi 6 – 10 b, 9 Maret 2003.
Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis, Gramedia: Jakarta
Timotius, 2009 , A Review on Ornamental Coral Effort in Indonesia,
Terangi’Foundation (http://www.terangi.or.id/publications/pdf/biologikarang.pdf
)diakses 13April 2014.
Tsezos, M., 1984 Recovery of Uranium from biological adsorbents-desorption
equilibrium. In:
Tyas Rini S, 1998, Analisis Kadar Pb Dalam Darah dan Pengaruhnya Terhadap
Aktivitas Enzim Delta Aminolevulinic Acid Dehydratase dan Kadar
Haemoglobin Dalam Darah Karyawan di Industri Peleburan Timah Hitam,
Universitas Padjajaran Bandung
Umaningrum, D., Santoso, U.T., Nurmasari, R., dan Yunus, R., 2010, Adsorption
Kinetics of Pb(II), Cd(II), and Cr(III) On Adsorbent Produced By Protected-
Crosslingking of Humic AcidChitosan, Indo.J.Chem, 10(1), 80-87.
Veglio, F. and F. Beolchini. 1997. Removal of metals by biosorption: a review,
Hydrometallurgy 44: 301 -316.
Volesky, B., 1995. Biosorption of heavy metals. Biotechnol. Prog. 11, 235-250.
William, V.,1962 Batch Adsorption From Solution, J. Research, 66, 6-10.
Sohn, S, dan Kim, D., 2005. Modification of Langmuir Isotherm in Solution
Systems-Definition and Utilization of Concentration Dependent Factor,
Chemosphere 58, 115–123.