BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM NANEH MULYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN
JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM
NANEH MULYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ” Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Naneh Mulyani
NRP 351060311
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor
BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN
JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM
NANEH MULYANI
Tesis Sebagai salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Judul : Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di laboratorium. Nama : Naneh Mulyani NRP : G 351060311 Program Studi : Biologi
Disetujui
Komisi Pembimbing Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 6 Agustus 2008 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia serta ridho-Nya sehingga tesis yang berjudul “Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium” ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. H. Ramlin S, MM selaku Kepala Madrasah MAN Cikarang atas dukungan dan kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Penelitian ini didanai oleh Departemen Agama RI yang bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Suami, Ibu dan Adik-adik atas do’a, perhatian dan dukungan yang diberikan. Demikian juga kepada teman-teman dan pengelola Laboratorium Biologi Molekuler, PPSHB IPB atas kerjasamanya selama penelitian ini dilaksanakan. Semoga tesis ini memberi manfaat.
Bogor, Agustus 2008
Naneh Mulyani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 16 Mei 1968 dari Ayah Moh. Senan (Alm) dan ibu Chaeroni. Penulis merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Tahun 1994 penulis menyelesaikan program Strata 1 pada Universitas Negeri Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Biologi. Selanjutnya penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, mulai tahun 1995 hingga tahun 2006. Pada tahun 2007 hingga sekarang, penulis mengajar pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. Pada bulan Juli 2006 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti program beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Departemen Agama RI dan mengambil Program Studi Biologi, Subprogram Ekologi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
RINGKASAN NANEH MULYANI. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan DEDE SETIADI.
Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata, Antheraea rossieri dan A. atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan. Keistimewaan ulat sutera ini adalah sutera yang dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti bakteri. Disamping itu benang suteranya tebal tetapi lembut dengan warna dan pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A. atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif.
Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin. Keunggulan kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam serikultur. Penggunaan pakan lain sebagai pengganti (alternatif) dicoba terhadap daun yang jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (J. curcas L.) dan daun kaliki (R. communis L.). Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera (sericulture). Karena itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk memenuhi tujuan yang diharapakan para breeder dalam program breeding ulat sutera secara intensif.
Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan informasi pakan larva yang menghasilkan daur hidup terpendek ngengat A. atlas. Sementara itu, kehilangan populasi A. atlas yang besar (50-55%) di alam terbuka terjadi karena serangan parasitoid dan predator. Untuk menghindarinya maka pemeliharaan ulat sutera ini dilakukan di dalam ruangan (Laboratorium).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen pada ngengat A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan. Di samping itu untuk mengetahui teknik pemeliharaan yang tepat di dalam kondisi ruangan sehingga dapat dihasilkan kokon dengan kualitas terbaik untuk aplikasi budidaya maupun untuk keperluan penelitian.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008. Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB.
Tahap persiapan penelitian yaitu penanaman pohon jarak pagar dan kaliki; desinfeksi ruangan dan peralatan; pengumpulan dan pemilihan kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) lalu ditempatkan dalam kandang. Selanjutnya imago jantan dan betina yang muncul dibiarkan melakukan kopulasi.
Tahap pelaksanaan penelitian diawali dengan analisa proksimat terhadap daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas). Uji proksimat dilaksanakan
di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB; selanjuutnya pengamatan imago yaitu panjang dan lebar abdomen serta rentang sayapnya; lama hidup imago; fekunditas (keperidian), viabilitas, periode telur dan lama peletakan telur oleh imago; serta pemeliharaan larva.
Larva instar I-III dipelihara dalam cawan petri berdiameter 11 cm dengan tinggi 1.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan menyobek daun dan meletakkan dalam cawan petri. Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun utuh disertai tangkai ke dalam toples gelas.
Parameter yang diamati terdiri dari: 1) Konsumsi pakan, 2) Pertumbuhan larva, 3) Daur hidup ngengat A. atlas, 4) Kualitas kokon, 5) Kualitas Filamen. Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: 1 liter air + 2 gram soda kaustik (NaOH) + 2 cc teepol + 20 gram sabun netral, selama satu jam. Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin.
Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda (P1= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali. Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 20 kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan filamen, satu perlakuan diulang 10 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB. Berdasarkan kandungan nutrisinya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun jarak pagar karena pada daun tua memiliki kandungan air lebih rendah dari daun muda. Sebaliknya daun tua memiliki protein yang lebih tinggi dari daun muda. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera A. atlas untuk menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas. Panjang, lebar dan rentang sayap imago berturut-turut dengan rataan (3.22±0.32), (2.53±0.33), (19052±0.93) cm pada jantan dan (4.25±0.42), (3.62±0.78), (20.1±1.07) cm pada betina. Lama hidup imago kawin dan tidak kawin berturut-turut dengan rataan (4.8±1.93), (7.7±1.42) hari pada jantan dan (5.6±1.84), (8.9±3.0) hari pada betina. Jumlah telur infertil dan fertil berturut-turut dengan rataan (192±81.59) dan (256±92.04) butir. Viabilitas dengan rataan 81.75±15.48 %. Periode telur dan lama peletakan telur dengan rataan (8.38±1.15) dan (3.5±1.18) hari. Ulat besar mengkonsumsi pakan sekitar 96-98 % per ekor, sedangkan ulat kecil sekitar 2-4 % per ekor dari keseluruhan total pakan selama stadia larva. Larva yang diberi pakan daun jarak pagar paling banyak mengkonsumsi pakan, sedangkan konsumsi terendah pada larva yang diberi pakan daun kaliki. Total konsumsi untuk masing-masing pakan tersebut adalah pakan daun jarak pagar sebanyak 155.09±0.68 gram, daun sirsak sebanyak 83.1±7.89 g dan daun kaliki sebanyak 47.82±11.61 g. Rataan bobot larva A. atlas pada akhir instar keenam berkisar antara 19.541-20.742 g. Sedangkan rataan panjang larva A. atlas pada akhir instar keenam
berkisar antara 8.54-8.70 cm. Bobot dan panjang larva tiap akhir instar dibandingkan dengan bobot dan panjang awal larva saat menetas pertama kali. Kenaikan bobot larva instar keenam mencapai 6000 kali. Sedangkan penambahan panjang larva mencapai 17 kali. Hasil uji Anova pada keseluruhan instar menunjukkan bahwa pertambahan bobot dan panjang larva tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan. Rataan periode larva terpanjang dengan pakan daun sirsak (36.60±3.83 hari) dan terpendek pakan kaliki (32.10±4.35 hari). Lama periode pupa terpanjang dengan pakan daun sirsak (29.25±7.07 hari) dan terpendek pakan kaliki (24.45±4.88 hari). Dua stadia terlama yang dilalui oleh larva A. atlas untuk menyelesaikan satu kali daur hidupnya berturut-turut adalah periode larva (46-47%) dan periode pupa (35-37%). Sedangkan stadia tercepat adalah periode imago (6.2-6.4%). Daur hidup A. atlas berbeda nyata pada stadia larva, pupa dan keseluruhan daur hidupnya. Akan tetapi stadia imago tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan Penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon, bobot kokon dan bobot kulit kokon berbeda nyata. Sedangkan persentase kulit kokon tidak berbeda nyata. Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa (80-83%), sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja. Panjang filamen kokon dan daya urai kokon berbeda nyata, sedangkan bobot filamen tidak berbeda nyata.
Selama pemeliharaan berlangsung, suhu dan kelembaban ruangan laboratorium berkisar antara 25-28ºC dan 46-80%. Kisaran suhu tersebut sesuai untuk pemeliharaan ulat dan pengokonan.
Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk budidaya A. atlas. Daun jarak pagar memiliki kandungan air yang sesuai bagi pertumbuhan larva A. atlas. Kelas mutu kokon dan filamen berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga: Berdasakan jenis serangga, kelas mutu kokon dan filamen adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Berdasarkan jenis pakan, kelas mutu kokon adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan kelas mutu filamen adalah ’C’ pada ketiga jenis pakan.
Pakan larva berupa daun sirsak (pakan kontrol) unggul dalam kualitas kokon dan filamen, daun kaliki unggul dalam daur hidup yang singkat dan daun jarak pagar unggul dalam konsumsi pakan larva.
Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah pakan kontrol (daun sirsak). Pemeliharaan dalam ruangan menguntungkan pada saat pemeliharaan ulat karena terhindar dari musuh alami serangga A. atlas.
Perlunya domestikasi secara terus-menerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui suhu dan kelembaban ruangan yang sesuai pada pemeliharaan dalam ruangan. Sebaiknya ruangan untuk pemeliharaan ulat kecil dipisahkan dengan ulat besar.
ABSTRACT NANEH MULYANI. Biology of Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) feeding by castor (Ricinus communis L.) and purging nut (Jatropha curcas L.) leaves in Laboratory. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN and DEDE SETIADI.
The wild silk moth A. atlas L. is being tried for sericulture in Indonesia. The objectives of this research to find out the feeding consumption, the larvae growth, life-cycle, cocoon and filament quality in A. atlas which is raised inside a room. This research was conducted from March 2007 to May 2008. The research comprises two steps: First, analytical proximate castor (R. communis L.) and purging nut (J. curcas L.) leaves; second, silk moth treatment which is done in the laboratory of Molecular Biology PPSHB IPB. The elements used in this research were: cocoon A. atlas and three types of leaves, which are, sirsak (A. muricata L.), castor and purging nut. The research uses Completely Randomize Design. The data resulted is analyzed by Analyze of Variance proceeded by Duncan Tes. The analyzed parameter is feeding consumption, life-cycle, larvae growth, cocoon and filament quality. The total largest food consumption on the larvae feeding on purging nut leaves is 155.09±0.68 g. The increase of larvae’s length and weight is not really present. The shortest life-cycle happen in larvae feeding on castor (60.80±8.37 days). The highest floss and weight decreasing along the cocoon process happens on larvae feeding on castor (66.22±5.85 %) and purging nut (64.53±4.18 %) leaves. The highest cocoon (9.46±1.70 g) and cocoon skin (1.74±0.79 g) weight are on larvae feeding on sirsak leaves. The percentage of cocoon silk does not differ much. The highest cocoon filament length is on the larvae feeding on sirsak leaves (146.84±138.83 m). The cocoon filament weight does not significantly different much. The lowest cocoon distangling capacity is on larvae feeding on castor leaves (12.20±6.65 %). Sirsak leaves feeding on the larvae is superior in filament and cocoon quality, castor leaves feeding on larvae is superior in the fastest life-cycle, and purging nut feeding on the larvae is superior in the largest feeding consumption. Key Words: Attacus atlas L., biology, alternative food, sericulture in laboratory.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ 1 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4 Hipotesis .......................................................................................................... 4 Kerangka Penelitian ........................................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi A. atlas L. .......................................................................................... 6
Klasifikasi ......................................................................................... 6 Morfologi .......................................................................................... 6 Siklus Hidup ...................................................................................... 8 Pertumbuhan Larva ............................................................................ 10
Ekologi A. atlas L. .......................................................................................... 11 Sebaran ............................................................................................... 11 Lingkungan dan Habitat .................................................................... 11 Tanaman Inang .................................................................................. 11 Faktor Penekan Pertumbuhan ........................................................... 12
Kualitas Kokon ............................................................................................... 13 Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon ............................ 13 Bobot Kokon Segar ............................................................................. 13 Bobot Kulit Kokon .............................................................................. 14 Persentase Kulit Kokon ....................................................................... 14
Kualitas Filamen ............................................................................................. 14 Panjang Filamen .................................................................................. 14 Bobot Filamen ..................................................................................... 15 Daya Urai Kokon ................................................................................ 15
Tanaman Pakan Alternatif ............................................................................... 15 Jumlah Daun Banyak ......................................................................... 15 Kandungan Gizi Baik .......................................................................... 16 Tanaman Mudah Dibudidayakan dan Dikembangkan ........................ 16 Sesuai Bagi Larva ............................................................................... 16
Contoh Tanaman Pakan Alternatif .................................................................. 17 Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) ................................................... 17 Kaliki (Ricinus communis Linn.) ........................................................ 18
Budidaya dalam Ruangan ............................................................................... 20
ii
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi ........................................................................................... 21 Bahan dan Alat ................................................................................................ 21 Cara Kerja ....................................................................................................... 21
Persiapan ............................................................................................. 21 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 22 Rancangan Percobaan ......................................................................... 25
HASIL Analisis Daun Kaliki dan Jarak Pagar ............................................................. 28 Konsumsi Pakan Larva .................................................................................. 29 Pertumbuhan Larva ......................................................................................... 31 Daur Hidup ..................................................................................................... 35 Telur ............................................................................................................... 38 Karakteristik Morfologi Imago ...................................................................... 40 Lama Hidup Imago ........................................................................................ 40 Kualitas Kokon .............................................................................................. 41 Kualitas Filamen ............................................................................................ 42 Suhu dan Kelembaban Ruangan ..................................................................... 43 PEMBAHASAN Kualitas Daun .................................................................................................. 45 Daur Hidup A. atlas ...................................................................................... 46
Stadia Larva ........................................................................................ 46 Stadia Pupa .......................................................................................... 49 Stadia Imago ....................................................................................... 51 Stadia Telur ........................................................................................ 53
Kualitas Kokon A. atlas ................................................................................ 54 Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon ........................... 55 Bobot Kokon Segar ............................................................................. 56 Bobot Kulit Kokon .............................................................................. 56 Persentase Kulit Kokon ....................................................................... 57
Kualitas Filamen A. atlas ............................................................................... 58 Panjang Filamen .................................................................................. 59 Bobot Filamen ..................................................................................... 60 Daya Urai Kokon (Reelability) ........................................................... 60
Suhu dan Kelembaban Ruangan .................................................................... 63 Budidaya dalam Ruangan .............................................................................. 64 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ......................................................................................................... 65 Saran ................................................................................................................ 65 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 66 LAMPIRAN ................................................................................................... 72
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben
pada kondisi laboratorium .......................................................................... 10
2 Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori ................................................ 13
3 Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan ............................................... 25
4 Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva .................. 26
5 Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen ................ 26
6 Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) .................................................... 26
7 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun muda ................................ 28
8 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun tua .................................... 28
9 Persentase rataan konsumsi pakan per ekor larva A. atlas ........................ 29
10 Hasil uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas ........................................ 30
11 Pertambahan bobot dan panjang larva pada tiap akhir instar dibandingkan
dengan awal instar I ................................................................................... 33
12 Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas ............... 34
13 Hasil uji Anova bobot larva A. atlas tiap akhir instar ............................... 35
14 Kisaran daur hidup A. atlas ...................................................................... 35
15 Hasil uji Anova daur hidup larva A. atlas ................................................. 36
16 Persentase rataan daur hidup A. atlas ........................................................ 36
17 Hasil uji Anova daur hidup tiap instar larva A. atlas ................................ 38
18 Jumlah telur fertil dan infertil serta persentase menetas pada telur ngengat
A. atlas ...................................................................................................... 39
19 Periode telur dan lama peletakan telur pada A. atlas ................................ 39
20 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas ............................................. 40
21 Lama hidup imago A. atlas ....................................................................... 41
22 Hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas .................................................... 41
23 Komposisi kokon pada ulat sutera A. atlas ................................................ 42
24 Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan ................ 42
25 Hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas .................................................. 43
26 Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan .............. 43
iv
27 Klasifikasi kokon A. atlas ......................................................................... 57
28 Klasifikasi filamen A. atlas ....................................................................... 61
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera ............................. 1
2 Telur A. atlas ............................................................................................. 7
3 Organ seksual dari pupa B. mori ............................................................... 8
4 Daur hidup A. atlas ................................................................................... 9
5 Pohon Jarak pagar (J. curcas) ................................................................... 17
6 Pohon Kaliki (R. communis) ...................................................................... 19
7 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat kecil pada ketiga jenis
pakan ......................................................................................................... 29
8 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat bsar pada ketiga jenis
Pakan ........................................................................................................ 30
9 Grafik rataan bobot larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B)
instar ........................................................................................................... 32
10 Grafik rataan bobot larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B)
instar .......................................................................................................... 32
11 Grafik rataan panjang larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B)
instar ......................................................................................................... 32
12 Grafik rataan panjang larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B)
instar .......................................................................................................... 33
13 Daur hidup A. atlas dengan pakan daun jarak pagar ................................. 37
14 Telur A. atlas fertil dan infertil .................................................................. 39
15 Peletakan telur A. atlas dalam kandang .................................................... 40
16 Grafik rataan suhu harian (minimum-maksimum) di dalam ruangan
Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007) ................................................ 44
17 Grafik rataan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium PPSHB
IPB (Tahun 2007) ..................................................................................... 44
18 Imago A. atlas jantan dan betina ............................................................. 51
19 Antena A. atlas jantan dan betina ............................................................. 52
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta penyebaran A. atlas (Peigler 19889) .................................................. 72
2 Tanaman inang larva A. atlas .................................................................... 72
3 Hasil analisa proksimat ............................................................................. 73
4 Kehilangan air pada daun yang disobek (dalam cawan petri) ................... 74
5 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang tertutup) ................... 74
6 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang terbuka) .................... 74
7 Uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas ................................................. 75
8 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat kecil) ....................................... 82
9 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat besar) ....................................... 83
10 Bobot larva A. atlas awal dan akhir instar ................................................ 84
11 Pertambahan bobot larva A. atlas terhadap bobot larva baru ditetaskan .. 84
12 Uji Anova pertambahan bobot larva A. atlas ............................................ 85
13 Bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar ............................................... 93
14 Panjang larva A. atlas awal dan akhir instar ............................................. 99
15 Pertambahan panjang larva A. atlas terhadap panjang larva baru
ditetaskan .................................................................................................. 99
16 Uji Anova pertambahan panjang larva A. atlas ....................................... 100
17 Uji Anova daur hidup A. atlas .................................................................. 107
18 Jumlah telur fertil, menetas dan prosentase menetas pada A. atlas .......... 116
19 Periode telur A. atlas ................................................................................. 116
20 Lama peletakan telur dan penetasan A. atlas ............................................ 116
21 Ukuran abdomen dan sayap imago A. Atlas .............................................. 117
22 Hasil uji t panjang abdomen A. Atlas ........................................................ 117
23 Hasil uji t lebar abdomen A. Atlas ............................................................. 117
24 Hasil uji t rentang sayap A. Atlas .............................................................. 118
25 Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas ........................................... 118
26 Hasil uji t umur kawin A. atlas .................................................................. 118
27 Hasil uji t umur tidak kawin A. atlas ........................................................ 118
28 Uji Anova kualitas kokon A. atlas ............................................................ 119
29 Uji Anova kualitas filamen A. atlas .......................................................... 124
vii
30 Kisaran suhu dan kelembaban ruangan laboratorium Biologi
Molekuler PPSHB IPB (2007) ................................................................. 127
31 Alat-alat dalam penelitian ......................................................................... 127
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata,
Antheraea rossieri dan Attacus atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan
(Atmosoedarjo et al. 2000). Pengembangan ulat sutera liar baru terbatas di
sejumlah daerah antara lain Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Purwakarta dan Garut.
Ngengat-ngengat penghasil sutera dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Atmosoedarjo et al. 2000 Gambar 1 Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera.
Sutera liar memiliki struktur serat kokon dan kelenjar sutera yang berbeda
dengan sutera alam atau sutera murbei (Bombyx mori). Pengamatan menggunakan
mikroskop cahaya dan mikroskop elektron menunjukkan bahwa cairan sutera dan
kelenjar suteranya mengandung banyak vakuola dan pada serat kokonnya banyak
ditemukan saluran-saluran halus (Akai 1997). Oleh karena itu, sutera yang
dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti
bakteri.
Dari hasil pengamatan di lapangan (CIFOR/Central from International
Forestry Research – Bogor) tahun 2006, banyak ditemukan A. atlas pada tanaman
sirsak (Annona muricata L.). Di daerah Purwakarta, A. atlas banyak ditemukan
2
pada tanaman teh dan kokonnya dapat dipintal menjadi benang sutera yang tebal
tetapi lembut dengan warna serta pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A.
atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif.
Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin (Peigler 1989). Keunggulan
kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam
serikultur. Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena
berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya
lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera. Karena
itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk
memenuhi tujuan yang diharapkan para breeder dalam pemanfaatan secara cepat
atau jangka pendek, serta dalam jangka panjang pada program breeding ulat
sutera secara intensif (Rao et al. 2006).
Pemanfaatan ulat sutera A. atlas dari alam (pengumpulan kokon dari
berbagai tanaman) telah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Yogyakarta dan
di Purwakarta. Namun usaha ini memiliki kendala yaitu keberlangsungannya
(kontinuitasnya) terbatas karena kokon dari alam tidak tersedia sepanjang tahun.
Ada beberapa usaha yang telah dilakukan langsung di alam, namun terdapat
kehilangan populasi yang besar (50-55%) dari larva instar awal karena serangan
parasitoid dan predator (Ojha et al. 1974). Beberapa penelitian mengenai
budidaya A. atlas di dalam ruangan menggunakan pakan buatan dan berbagai
pakan alami seperti daun keben (Baringtonia asiatica) (Partaya 2003; Rachman
2001; Wuliandari 2000) dan daun dadap (Erythrina lithosperma) (Zebua et al.
1997; Situmorang 1996) juga telah dilakukan. Namun demikian belum pernah
dicoba budidaya di dalam ruangan dengan menggunakan pakan lain yang
jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan daun
kaliki (Ricinus communis L.).
Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam
menurut Triplehorn & Johnson (2005) ditentukan oleh beberapa faktor
diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus
hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Daur hidup A. atlas pada
tanaman dadap (Erythrina lithosperma Miq), yaitu sejak menetasnya telur hingga
membentuk imago berlangsung rata-rata 61.99 (±14.78) hari dengan kisaran 40-
3
101 hari untuk betina dan 61.5 (±15.12) hari dengan kisaran 36-105 hari untuk
jantan (Zebua et al. 1997), sedangkan pada tanaman kaliki dan jarak pagar belum
banyak diketahui sehingga perlu diteliti.
Keunikan lain larva A. atlas adalah dapat memakan daun tua meskipun
dalam periode instar muda. Hal ini menjadi alasan lain yang menguntungkan bagi
budidaya ulat sutera A. atlas karena dapat menghindari terjadinya penurunan
produksi biji jarak pagar dan biji kaliki apabila daunnya digunakan sebagai pakan
bagi larva A. atlas. Di samping itu, sejalan dengan program pemerintah mengenai
biodiesel (biji jarak pagar) dan pelumas (biji kaliki) memberikan ketersediaan
daunnya yang melimpah. Selain dapat dipanen bijinya untuk sumber energi
alternatif (biji jarak pagar) serta pelumas (biji kaliki), maka tanaman ini dapat pula
dimanfaatkan sebagai pakan bagi larva A. atlas. Dengan demikian petani jarak
pagar dan kaliki akan mendapatkan tambahan penghasilan yang sangat berarti
bagi kehidupannya (income bertambah) dari hasil sutera A. atlas.
Aspek biologi dari ulat sutera liar A. atlas sangat luas. Akan tetapi,
penelitian ini dibatasi hanya pada pengamatan terhadap konsumsi pakan,
pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen.
Rumusan Masalah
Jenis pakan yang diujicobakan terdiri dari daun sirsak sebagai tanaman
utama, daun kaliki dan jarak pagar sebagai perlakuan terhadap banyaknya
konsumsi pakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang akan dilakukan
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap banyaknya konsumsi
pakan larva A. atlas?
b) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan larva A.
atlas ?
c) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap daur hidup A. atlas?
d) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas kokon A.
atlas?
e) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas filamen A.
atlas?
Penelitian di atas dilakukan dalam kondisi ruangan laboratorium.
4
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Memilih jenis pakan yang paling sesuai bagi produksi ulat sutera A. atlas.
2. Mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup,
kualitas kokon dan filamen pada A. atlas yang dipelihara di dalam
ruangan laboratorium.
Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk:
1. Meningkatkan pendapatan bagi petani penanam jarak pagar dan kaliki
yang bijinya digunakan sebagai biodiesel (jarak pagar) dan pelumas
(kaliki) sedangkan daunnya untuk pakan ulat sutera.
2. Meningkatkan devisa negara dari bidang budidaya ulat sutera.
Hipotesis
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H0 : Perlakuan pemberian jenis pakan tidak berpengaruh terhadap
parameter yang diamati.
H1 : Perlakuan pemberian jenis pakan berpengaruh terhadap parameter
yang diamati.
5
Kerangka Penelitian
Perkembangan A. atlas di alam mengalami kehilangan populasi yang besar, karena:
- Musuh alami (predator & parasitoid) - Iklim
Budidaya di dalam ruangan
Pakan: - Pakan alami -
Sumber bibit: - Breeding - Metode penetasan
Kondisi lingkungan optimum: - Kelembaban udara - Suhu
Teknik pemeliharaan yang tepat
- Kontinuitas produksi - Siklus hidup yang pendek - Keberhasilan hidup yang tinggi - Kualitas benang yang baik
Pakan alternatif
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi A. atlas L.
Klasifikasi
A. atlas digolongkan sebagai ngengat. Beberapa karakteristik seekor
ngengat adalah sebagai berikut: sayap ngengat di saat istirahat berada dalam posisi
horisontal terhadap tubuh, ngengat biasanya aktif pada malam hari, antena seekor
ngengat tidak menggada, umumnya ngengat memiliki pupa yang dilindungi oleh
kokon, serta ngengat tidak makan di saat fase dewasa. Sistematika ngengat A.
atlas menurut Triplehorn & Johnson (2005) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthopoda
Sub Filum : Atelocerata
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Sub Ordo : Ditrysia
Super Famili : Bombycoidea
Famili : Saturniidae
Sub Famili : Saturniinae
Genus : Attacus (Linnaeus)
Spesies : A. atlas (Linnaeus)
Morfologi
Imago A. atlas berukuran besar, mempunyai warna dasar sayap orange tua
atau coklat. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antena dan
ukuran tubuhnya. Tubuh hewan jantan lebih kecil daripada yang betina dan warna
lebih coklat kekuningan. Panjang sayap terentang hewan jantan 15-22 cm dan
yang betina 16.5-24 cm (Situmorang 1996).
Antena jantan lebih besar daripada yang betina dan warnanya coklat
kekuningan. Panjang antena imago jantan adalah 20 mm dan lebar 9 mm,
sedangkan yang betina panjangnya 20 mm dan lebar 4 mm (Peigler 1989). Seekor
ngengat betina menarik perhatian ngengat jantan dengan melepaskan feromon
yang dikeluarkan dari bagian ujung abdomennya. Fungsi antena pada yang jantan
untuk mengenali feromon sebagai isyarat kimia yang ditebarkan oleh imago
7
betina. Imago jantan mampu mendeteksi feromon dari jarak sekitar 1 mil (1.6
km), selanjutnya pejantan tersebut menghampiri untuk kemudian melakukan
kopulasi (Passoa 1999).
Telur A. atlas menempel pada substrat dengan perekat (berupa gum) yang
disekresikan oleh kelenjar betina (Passoa 1999). Suhu dan faktor genetik dari
induknya menjadi kunci untuk menentukan lamanya waktu inkubasi telur. Rata-
rata waktu inkubasi berlangsung selama 7 hingga 14 hari, meskipun pada
beberapa spesies diperlukan waktu yang lebih lama yaitu hingga mencapai empat
minggu (Passoa 1999). Bentuk telur bulat pipih, dengan lebar sekitar 2.3 mm,
panjang 2.7 mm dan tebal 2.1 mm (Peigler 1989) (Gambar 2). Telur-telur itu saat
dikeluarkan dari induk betina diletakkan secara berjajar/berbaris, berkelompok
atau melingkar pada daun-daun atau cabang-cabang dari tanaman yang menjadi
pakan dari serangga tersebut (Passoa 1999).
Menurut Chen (2003b), jumlah telur yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh
ngengat betina digunakan sebagai indeks fekunditas, sedangkan rata-rata telur
yang berhasil menetas (% penetasan) digunakan sebagai kriteria kualitas telur.
Gambar 2 Telur A. atlas (Foto: koleksi pribadi)
Larva yang baru menetas mempunyai banyak seta di permukaan tubuhnya
dengan kepala hitam. Warna tubuh pada umumnya putih pucat kehijau-hijauan
(Dammerman 1929). Larva instar I, II dan III seluruhnya berwarna putih
kekuningan. Larva instar IV dengan kepala berwarna kuning kehijauan,
sedangkan instar V dan VI dengan kepala berkilauan dan berwarna hijau
kekuningan terang. Larva A. atlas ini dilengkapi skoli (mirip duri-duri sebagai
tonjolan dari daging) dan tuberkel (struktur kutikula yang membentuk
seta/rambut) yang menonjol. Pada setiap segmen toraks terdapat kaki beruas.
8
Proleg (kaki palsu) yang dilengkapi kait terdapat pada segmen abdomen ke-3
sampai ke-6 dan segmen abdomen ke-10. Tubuh larva ditutup atau dilindungi oleh
kutikula, yang dibentuk oleh epidermis. Kutikula mengalami pengerasan, oleh
sebab itu kutikula tersebut perlu ditanggalkan secara periodik untuk mengikuti
pertumbuhan larva (Peigler 1989).
Pupa berwarna coklat kehitaman. Umumnya kokon berbentuk ovoid dengan
serat sutera penggantung yang menempel pada tulang daun atau helai daun. Pada
umumnya kokon tersembunyi di balik daun. Ukuran kokon bervariasi berkisar
antara 5-9 cm, tidak termasuk tangkainya. Warna bervariasi antara orange sampai
coklat tua, dan umumnya berwarna coklat muda, tekstur permukaan luarnya kasar
dan kadang keriput (Peigler 1989).
Jenis kelamin pada ngengat dapat dikenali melalui ciri-ciri karakter tertentu
pada pupa (Passoa 1999). Pada pupa B. mori betina ada garis vertikal yang
memotong pusat dari bagian ventral segmen ke-8, sedangkan alat kelaminnya
nampak di segmen ke-9. Sedangkan pada pupa jantan alat kelaminnya hanya ada
di segmen ke-9 (Gambar 3). Selain itu pupa betina biasanya berukuran lebih besar
daripada pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2000).
Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000)
Gambar 3 Organ seksual pada pupa B. mori
Siklus Hidup
A. atlas adalah serangga holometabola, yang mengalami metamorfosa
sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva
(yang lazim disebut ”ulat”), pupa dan imago, yang lazim dikenal dengan istilah
”ngengat” (Triplehorn & Johnson 2005). Stadia telur pada ngengat A. atlas
berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larvanya satu bulan dan stadia
pupanya berlangsung selama dua puluh lima hari (Dammerman 1929). Gambar 4
memperlihatkan daur hidup A. atlas.
9
Lama periode larva yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun
keben berkisar antara 25-38 hari dengan rataan 29.2 (±1.5) hari untuk betina dan
24-35 hari dengan rataan 27.5 (±1.7) hari untuk jantan. Antara larva jantan dan
betina tidak dapat dibedakan. Keseluruhan stadium larva memerlukan waktu 30-
50 hari. Sedangkan masa pupasi berlangsung sekitar 8-58 hari (Situmorang
1996). Tabel 1 menunjukkan lama periode perkembangan A. atlas yang diberi
pakan daun keben pada kondisi laboratorium.
Telur
Larva instar 3
Larva instar 4
Larva instar 5Larva instar 6Pupa
Larva instar 1Larva instar 2
Imago
Sumber: http://entweb.clemson.edu/museum/moth/exotic/moth1.htm. dan www.wormspit.com/Atlas
Gambar 4 Daur hidup A. atlas
Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva, maupun pupa.
Diapause adalah tertundanya perkembangan yang muncul sebagai respon terhadap
periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai
(Chapman 1998). Diapause pupa ditandai dengan penurunan laju metabolisme,
penghentian differensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap
kehilangan air melalui transpirasi (Beck 1980). Proses diapause (masa istirahat)
atau pengaturan voltinisme tidak terganggu dengan pemeliharan di dalam ruangan
(Peigler 1989).
10
Tabel 1 Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium
Tahap Perkembangan Betina Jantan
Interval (hari)
Rataan (hari)
Interval (hari)
Rataan (hari)
Masa inkubasi* Instar I Instar II Instar III Instar IV Instar V Instar VI Total periode larva Periode Pupa*
5-11 2-5 3-6 3-6 3-6 4-8 5-9
25-38 8-58
6.9±0.1 2.7±0.1 3.7±0.9 3.9±0.9 4.4±0.8 6.3±1.2 7.1±1.2 28.2±1.5
5-11 2-6 3-6 3-6 3-6 4-8 5-9
24-35 8-58
6.9±1.8 2.7±0.1 3.6±0.9 3.8±0.9 4.2±0.8 6.1±1.2 7.0±1.2 27.0±1.7
Sumber: Situmorang (1996); *) Belum terdiferensiasi
Pertumbuhan Larva
Istilah pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan ukuran dan bobot
ulat sutera (Veda et al. 1997). Serangga merupakan hewan yang memiliki rangka
luar (eksoskeleton). Agar supaya ukuran tubuhnya menjadi lebih besar haruslah
menanggalkan rangka luarnya dengan cara ganti kulit (ekdisis). Proses ganti kulit
pada serangga diatur oleh dua hormon, satu dihasilkan oleh sel-sel neurosekretori
dalam otak (hormon prothoracico tropic) dan lainnya oleh kelenjar prothoracic
(ekdison). Tambahan lagi hormon juvenil (JH), yang disekresikan oleh corpora
allata, di saat konsentrasinya tinggi, hormon ini menjamin bahwa larva tetap
berkembang sesuai dengan kodratnya (stadia perkembangannya) (Nair et al.
2005; Miranda 2002; Gullan & Cranston 2000).
Berdasarkan hasil penelitian Chen (2003a), Konsentrasi tinggi NaF
(Natrium Fluorida) pada perlakuan untuk menunda ganti kulit pada B. mori
ternyata telah menghasilkan toksisitas yang serius pada larva dan secara dramatis
menurunkan vitalitas dan viabilitas.
Berdasarkan hasil penelitian Miranda et al. (2002), hormon juvenil (JH)
seperti yang dicobakan pada B. mori telah berfungsi sebagai pengatur tumbuh
serangga sehingga penggunaannya dapat meningkatkan produksi sutera. Hormon
juvenil ini bila diberikan sedikit dan tepat (sesuai dengan kebutuhannya) maka
akan meningkatkan lamanya periode larva, sehingga jumlah makanan yang
dikonsumsinya lebih banyak dan produksi suteranya juga akan meningkat.
Sementara menurut Faruki (2005) vitamin B-kompleks, gula, protein, asam
11
amino, dan mineral penting tertentu, bertanggung jawab dalam pertumbuhan dan
perkembangan yang tepat pada ulat sutera B. mori.
Di dalam laporan Miranda et al. (2002) juga dinyatakan bahwa setelah
methoprene (sejenis JH) diberikan pada larva maka akan meningkatkan bobot
larva. Hal ini sebagai efek fisiologis secara langsung akibat periode makan yang
diperpanjang sehingga terjadi penambahan bobot larva. Cara pemberian hormon
methoprene sebanyak 1 ng melalui penyemprotan atau pencelupan daun pakan
sebelum diberikan kepada larva.
Ekologi A. atlas L.
Sebaran
Attacus atlas merupakan spesies yang paling luas penyebarannya dari genus
Attacus, dan merupakan satu dari saturniid yang paling luas penyebarannya di
dunia, pada bentangan dari barat laut ke tenggara lebih dari 7000 km (Lampiran
1). Hasil pencatatan sebaran serangga ini yaitu di ujung daerah barat laut adalah di
daerah Simla (India), sedangkan di ujung daerah timur laut adalah di daerah
Okinawa (Jepang). Bagian utama dari bentangan penyebaran serangga ini meliputi
seluruh dataran Asia Tenggara di benua Asia (mainland), Taiwan, Pulau Sunda
Besar, Maluku dan Papua Nugini (Peigler 1989).
Lingkungan dan Habitat
Habitat, lingkungan atau ketetapan ekologi (ekotop) dalam sebuah
organisme menggambarkan variabel bioma. Menurut Wolf, peta habitat
penyebaran genus Attacus terdapat di lima tipe hutan yaitu hutan hujan tropis,
hutan hujan paratrofis, hutan gugur Microphyllous broad, hutan gugur
Notophyllous broad dan hutan konifer campuran. Habitat untuk A. atlas
bertambah luas karena sifat polifagus dari serangga tersebut dan melimpahnya
tanaman pakan yang disukai oleh larva serangga ini. Oleh karena itu, ngengat A.
atlas adalah spesies dalam genus Attacus yang paling eurytopic (dapat beradaptasi
pada kondisi lingkungan dengan rentangan geografik yang luas) (Peigler 1989).
Tanaman Inang
Pada lampiran 2 ditunjukkan bahwa larva A. atlas memakan 90 genus
tanaman dari 48 familia (Peigler 1989). Menurut Kalshoven (1981) di Pulau Jawa
terdapat 40 jenis tanaman inang yang menjadi makanan larva A. atlas,
12
diantaranya adalah teh, cinchona, dadap, mangga, jeruk, alpukat, dan lada. Di
beberapa daerah seperti di Bogor, tanaman inang utama dari larva A. atlas adalah
daun sirsak (A. muricata). Di daerah Purwakarta banyak ditemukan pada tanaman
teh (Camellia sinensis), di daerah Yogyakarta dan Bantul banyak ditemukan pada
tanaman keben (B. asiatica), sedangkan di Sumatera Barat ditemukan pada
tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum).
Holloway (1987) mencatat bahwa beberapa genus lain berperan sebagai
tanaman inang untuk A. atlas di Asia, yaitu Anacardium, Spondias (keduanya
merupakan Anacardiaceae), Artabotrys (Annonaceae), Michelia (Magnoliaceae),
Embelia (Myrsinaceae), dan Mussaenda (Rubiaceae).
A. atlas adalah serangga berukuran besar. Lepidoptera yang berukuran besar
cenderung mempunyai kisaran tanaman pakan yang lebih luas. Di daerah tropis
yang keanekaragaman tanamannya sangat melimpah, ngengat betina dewasa
mempunyai banyak tanaman alternatif untuk meletakkan telurnya (Peigler 1989).
Faktor Penekan Pertumbuhan
Penekan pertumbuhan pada serangga A. atlas dapat berupa parasit dan
predator. Parasit pada ngengat A. atlas dirangkum oleh Peigler (1989), sebagai
berikut: Exorista sorbillans (Tachinidae) mematikan pupa, satu kokon inang dapat
berisi 60 individu parasit. Beberapa spesies Chalcidoidea (Hymenoptera) seperti
Anastasus colemani, Agiommatus attaci dan Tetrastichus parasit pada telur.
Apanteles (Braconidae) parasit pada larva muda. Telur Enicospilus plicatus dan E.
americanus (Ichneumonidae) diletakkan pada larva inang dan memarasit inang
tatkala inangnya dalam stadia kokon, sehingga hanya ada satu parasit per inang.
Beberapa predator larva A. atlas seperti tawon, belalang sembah, capung,
semut, lalat, laba-laba, tikus, kadal dan cicak mengancam keberadaan populasi
tersebut. Sementara itu, kokon A. atlas dimakan oleh tikus.
Memasuki stadia imago, predator berupa burung dan mamalia turut
mengancam keberadaan populasi tersebut. Namun demikian karena ukuran
ngengat A. atlas ini sangat besar maka predator tersebut akan mengurungkan niat
untuk memangsa karena takut. Pola dan warna sayap dari A atlas bertindak
sebagai bagian dari mekanisme pertahanan. Hal ini terlihat dari bentuk sayap
depan ngengat yang menyerupai kepala ular. Tingkah laku ngengat yang
13
terganggu, akan mengepakkan sayapnya ke bawah dan hal tersebut telah memberi
kesan mirip kepala ular (Peigler 1989).
Kualitas Kokon
Penilaian kualitas kokon dilakukan secara kuantatif dan kualitatif. Penilaian
kualitatif dapat dilakukan menurut hasil pengamatan secara langsung seperti
persentasi kokon cacat, warna kokon, dan penampilan kokon. Sedangkan
penilaian kuantitatif dapat dilakukan melalui hasil pengamatan terhadap uji visual
dan uji laboratorium. Uji visual (kualitas kokon) yaitu: penurunan bobot tubuh
saat mengokon, bobot kokon, bobot kulit kokon dan persentase kulit kokon.
Sedangkan uji laboratorium (kualitas filamen) yaitu: bobot filamen, panjang
filamen dan daya urai kokon.
Penurunan Bobot Tubuh saat Mengokon
Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut ”cocoon floss”
(serabut serat). Floss dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan
(misalnya membuat rangkaian bunga) serta hasil seni lainnya seperti lukisan. Di
bawahnya terdapat lapisan sutera, atau ”cocoon shell” (kulit kokon), yang terdiri
dari lapisan filamen dan di dalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera yang
sudah lepas. Pada ulat sutera B. mori, komposisi kokon seperti terlihat pada Tabel
2.
Persentase floss dan penurunan bobot tubuh saat mengokon pada B. mori
yang diberi perlakuan alat pengokonan yang berbeda berkisar antara 45.75-
49.13% (Yuanita 2007).
Tabel 2 Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori
Berat
Kokon segar Kokon kering Jenis A Jenis B Jenis A Jenis B
Berat nyata (g)
Ratio (%)
Berat nyata (g)
Ratio (%)
Berat nyata (g)
Ratio (%)
Berat nyata (g)
Ratio (%)
Kokon 2.0934 100.0 2.050 100.0 0.793 100.0 0.820 100.0 Kulit kokon 0.3620 17.3 0.410 20.0 0.362 45.7 0.410 50.0
Pupa 1.7190 82.1 1.626 79.3 0.419 52.8 0.396 48.3 Floss 0.0124 0.6 0.014 0.7 0.012 1.5 0.014 1.7
Ket. : A & B = Ras ulat sutera ; Floss = Lapisan luar kokon Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000)
14
Bobot Kokon Segar
Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase
metamorfosa (proses pembentukan pupa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa.
Bobot kokon segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss. Bobot
kokon terdiri dari bobot kulit kokon dan bobot pupa. Hal ini merupakan faktor
yang sangat penting dipandang dari segi reeling kokon (kemampuan filamen di
urai dari kokon). Kokon berisi pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon
berisi pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2000). Hal ini terkait dengan ukuran
ngengat betina yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan.
Bobot Kulit Kokon
Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin
dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa. Bobot kulit kokon, yaitu
bobot kokon tanpa pupa. Jika bobot kulit kokon lebih besar, berarti banyak
mengandung benang sehingga baik untuk bahan pemintalan karena benangnya
lebih panjang dan lebih berat. Bobot kulit kokon ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan
(Atmosoedarjo et al. 2000).
Persentase Kulit Kokon
Persentase kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon
dan bobot kokon. Nilai ini erat hubungannya dengan persentase filamen kokon.
Pada B. mori, persentase kulit kokon berkisar antara 18% sampai 22%
(Atmosoedarjo et al. 2000).
Kualitas Filamen
Kualitas filamen didasarkan kepada uji laboratorium yaitu: bobot filamen,
panjang filamen dan daya urai kokon. Dalam penentuan kelas kokon hanya
diperlukan dua parameter saja yaitu panjang filamen dan daya urai kokon. Hal ini
didasarkan atas standar kelas kokon internasional, yang hanya memperhitungkan
dua parameter dalam penentuan kelas (Atmosoedarjo et al. 2000).
Panjang Filamen
Panjang filamen ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal.
Penghitungan panjang filamen pada penelitian ini dilakukan dengan menggulung
benang secara manual (dengan tangan) menggunakan kelos sebagai media
15
melilitkan benang sutera. Ukuran panjang benang dapat diketahui dari jumlah
lilitan dikali dengan keliling kelos (2πr) tersebut atau mengukur langsung dengan
meteran.
Bobot Filamen
Bobot filamen adalah bobot dari filamen yang diurai dari satu kokon
tunggal. Bobotnya akan proporsional dengan bobot kulit kokon (kulit kokonnya
lebih berat maka bobot filamennya juga akan tinggi). Pada sutera alam (B. mori),
bobot filamennya berkisar antara 80-90% dari bobot kulit kokon (Atmosoedarjo et
al. 2000). Dari data bobot filamen dan panjang filamen maka akan diketahui
ukuran filamen (denier) yaitu bobot filamen (gr)/[panjang filamen (m) x 9000].
Daya Urai Kokon
Daya urai kokon (reelability) adalah kemudahan mengurai filamen sutera
dari kokon. Daya urai kokon ditentukan oleh jumlah berapa kali putus filamen
sutera tersebut selama kokon diurai. Hal tersebut merupakan karakteristik yang
penting dalam proses pemintalan (reeling). Daya urai sangat tergantung pada
varietas ulat sutera, suhu dan kelembaban semasa pengokonan (Atmosoedarjo et
al. 2000).
Tanaman Pakan Alternatif
Dalam pemeliharaan ulat sutera, pemilihan pakan yang baik perlu
diperhatikan. Sebelum pakan diberikan pada larva, dilakukan pemilihan daun
berkualitas sebagai pakan bagi larva A. atlas. Apabila kualitas pakan kurang baik
yaitu sebagai akibat dari daun tidak sehat atau kekurangan hara tertentu maka ulat
tidak mau makan. Menurut Chen (2003b) gejala fluorosis pada daun murbei dapat
mempengaruhi akumulasi nutrisi pada larva B. mori. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah daun murbei yang dimakan oleh larva tersebut. Keadaan ini
menjadi masalah serius pada serikultur karena dapat menurunkan produksi kokon.
Kriteria tanaman inang alternatif yang dapat digunakan sebagai pakan sutera liar,
diantaranya: jumlah daun banyak, kandungan gizi baik, tanaman mudah
dibudidayakan dan dikembangkan serta sesuai bagi larva.
Jumlah Daun Banyak
Dalam industri serikultur, ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor
utama yang harus diperhatikan. Untuk menunjang keberhasilan usaha ini, harus
16
dipilih daun-daun yang ketersediaannya melimpah. Pohon-pohon perdu yang
cepat tumbuh dan daunnya dapat segera dipanen menjadi prioritas utama untuk
digunakan sebagai tanaman pakan alternatif.
Kandungan Gizi Baik
Tanaman yang daunnya digunakan sebagai pakan bagi ulat sutera, harus
memiliki kandungan gizi yang baik (kualitas maupun kuantitasnya). Ulat sutera
membutuhkan daun sebagai makanan terutama kandungan air dan protein yang
tinggi. Air dalam daun sangat diperlukan oleh ulat sutera, karena ulat sutera tidak
minum sehingga kebutuhan akan air didapat dari daun. Menurut Ekastuti (1999)
kadar air minimal pada daun yang baik dijadikan pakan untuk larva B. mori
adalah 65-85%. Daun murbei yang biasa dijadikan pakan ulat sutera B. mori
mengandung kadar air berkisar antara 71.88-73.10% (Wageansyah 2007),
sedangkan menurut Suriawiria (1966) kandungan airnya berkisar antara 66.3-
78.25%. Kadar air daun ditentukan oleh varietas tanaman, lokasi tumbuh, cara
budidaya dan pertumbuhan tanaman.
Sedangkan kadar protein yang baik bagi ulat sutera adalah 24-36%. Protein
yang dibutuhkan oleh ulat sutera selain untuk pertumbuhan dan
perkembangannya, juga digunakan untuk pembentukan serat sutera (Tazima
1978).
Tanaman Mudah Ditangani dan Dikembangkan
Faktor lain yang menjadi salah satu syarat untuk pemilihan pakan bagi ulat
sutera adalah tanaman mudah ditangani dan dikembangkan. Untuk memenuhi
syarat tersebut, sebaiknya dipilih tanaman-tanaman yang mudah tumbuh di
berbagai kondisi tanah seperti tanah kering atau tandus. Mudahnya tanaman-
tanaman tersebut untuk tumbuh dan berkembangbiak mendukung bagi usaha
budidaya karena dapat beternak ulat sutera di banyak tempat. Tanaman pakan ulat
yang baik, jika dipangkas haruslah daunnya cepat tumbuh kembali dan jumlahnya
bertambah banyak.
Sesuai Bagi Larva
Sebelum larva yang baru menetas mulai makan, larva muda ini
membutuhkan stimuli khusus. Hal tersebut dideteksi oleh kemoreseptor yang
terdapat pada antena dan bagian mulut dari larva serangga (Common 1990).
17
Apabila pakan tersebut sesuai bagi larva, maka daun akan dimakan oleh ulat
tersebut. Dalam hal ini, pakan yang sesuai bagi larva haruslah mengandung nutrisi
lengkap karena hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera
tersebut (Ahmad et al. 2006).
Contoh Tanaman Pakan Alternatif
Dalam usaha budidaya ulat sutera, pemilihan tanaman pakan bagi ulat sutera
berdasarkan kriteria di atas sangat diperlukan. Hal ini akan meningkatkan
efektifitas dan efisiensi terutama dalam pengeluaran biaya dan tenaga. Beberapa
contoh tanaman pakan alternatif yang kemungkinan dapat dikembangkan bagi
pakan ulat sutera A. atlas adalah sebagai berikut:
Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)
Sistematika tanaman jarak pagar (Heyne 1987) termasuk ke dalam Divisi
Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo
Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Jatropha dan Spesies J. curcas.
Tanaman ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah (Weiss 1971).
Gambar 5 Pohon Jarak Pagar (J. curcas)
Tanaman jarak pagar termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 5).
Umur tanaman jarak pagar bisa mencapai 50 tahun (Nuralamsyah 2006). Tanaman
18
ini sesuai dibudidayakan di daerah tropika dan subtropika dengan ketinggian
antara 0-800 m dari permukaan laut (dpl) dengan suhu optimum antara 20-26 ºC
serta toleran terhadap kondisi kering, sehingga tanaman ini tersebar pada areal
bercurah hujan rendah antara 300-700 mm/tahun (Soenardi 2000).
Jarak pagar (J. curcas) adalah tanaman yang saat ini tengah banyak
dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan tanaman yang secara agronomis
dapat beradaptasi dengan lahan maupun agroklimat di Indonesia. Tanaman ini
dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering (curah hujan < 500 mm per tahun)
maupun pada lahan dengan kesuburan rendah (lahan marginal dan lahan kritis).
Hal tersebut disebabkan tanaman ini tahan terhadap stress air. Strategi dari
tanaman ini agar mampu bertahan terhadap stres air pada musim kemarau yaitu
dengan menggugurkan daunnya, tetapi akarnya tetap mampu menahan air. Oleh
karena itu, J. curcas dapat digolongkan sebagai tanaman pionir, tanaman penahan
erosi, dan tanaman yang dapat mengurangi kecepatan angin (Prihandana &
Hendroko 2006).
Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak pagar di lahan
kritis antara lain (1) menunjang usaha konservasi lahan, (2) memberikan
kesempatan kerja sehingga berimplikasi meningkatkan penghasilan kepada petani,
(3) memberikan solusi pengadaan minyak bakar (biofuel), dan (4) menyediakan
pakan bagi budidaya ulat sutera liar.
Pohon jarak pagar berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat
lembar paling atas) per pohon berjumlah 15-17 helai dan jumlah daun tua (lembar
kelima dan seterusnya) per pohon berjumlah 23-45 helai. Sedangkan bobot rata-
rata satu daun muda antara 3-4 gram dan daun tua antara 7-8 gram.
Dalam cara budidaya jarak pagar dilakukan pemangkasan hingga beberapa
kali, hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat
memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang
dapat dipanen diperlukan waktu selama 3-4 bulan.
Kaliki (Ricinus communis Linn.)
Sistematika tanaman kaliki (Heyne 1987) termasuk ke dalam Divisi
Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo
19
Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Ricinus dan Spesies R. communis.
Tanaman kaliki berasal dari Ethiopia (di Afrika) (Weiss 1971).
Tanaman kaliki termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 6).
Tanaman ini toleran terhadap kondisi kering dan tersebar pada areal bercurah
hujan rendah antara 300-700 mm/tahun. Macam tanah tidak menentukan
pertumbuhan dan produksi tanaman kaliki. Pada tanah liat yang berat, kaliki
dapat tumbuh baik sepanjang drainase dan aerasinya baik. Tetapi tanaman ini
akan lebih sesuai pada tanah ringan, yaitu lempung berpasir dan tanah yang
mempunyai aerasi yang baik. Tanaman ini juga ramah lingkungan dan dapat
memperbaiki mikroklimat setempat (Soenardi 2000).
Daerah penyebaran pohon kaliki terletak antara 40° LU dan 40° LS,
meskipun ada pula beberapa varietas hasil seleksi di Rusia dapat tumbuh dan
berproduksi sampai 52° LU (Weiss 1971). Jarak kaliki berakar tunggang yang
dalam dan akar samping yang melebar dengan akar rambut yang banyak. Hal ini
menandakan bahwa tanaman ini tahan terhadap angin dan kekeringan.
Gambar 6 Pohon Kaliki (R. communis)
Pohon kaliki berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat lembar
paling atas) per pohon berjumlah 21-33 helai dan jumlah daun tua (lembar kelima
dan seterusnya) per pohon berjumlah 33-57 helai. Sedangkan bobot rata-rata satu
daun muda antara 16-19 gram dan daun tua antara 38-54 gram.
Dalam cara budidaya kaliki dilakukan pemangkasan hingga beberapa kali,
hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat
20
memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang
dapat dipanen diperlukan waktu selama 2-3 bulan.
Budidaya Dalam Ruangan
Sutera A. atlas berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Namun
demikian, perkembangan serangga ini di alam terkendala dengan serangan parasit
yaitu sebesar 40-80% pada telur (Kalshoven 1981). Pada larva serangan parasit
maupun predator mengurangi 50-55% populasi (Ojha et al. 1974). Oleh karena
itu, pemeliharaan di dalam ruangan diharapkan dapat mengurangi kerugian ini
serta produksi suteranya dapat ditingkatkan.
Selain itu ruangan dan alat-alat untuk pemeliharaan harus dijaga
kebersihannya. Alat yang telah selesai digunakan dicuci bersih dan dikeringkan
lalu didesinfeksi dengan menyemprotkan larutan formalin 4% dan larutan kaporit
(komposisi larutannya adalah 5 gram kaporit dalam satu liter air). Demikian juga
kotoran dan bangkai larva harus segera dibuang dan dibersihkan.
Faktor fisik lingkungan yaitu suhu dan kelembaban harus dikontrol dengan
baik selama proses pemeliharaan. Menurut Samsijah & Kusumaputra (1978), suhu
dan kelembaban ruangan selama pemeliharaan B. mori 25-26 ºC dengan
kelembaban ±85% (untuk ulat kecil) dan 23-25 ºC dengan kelembaban 70-75%
(untuk ulat besar). Menurut Veda et al. (1997) intensitas cahaya yang ideal untuk
larva B. mori adalah sekitar 15-30 lux. Ulat sutera umumnya akan menghindari
intensitas cahaya yang terlalu tinggi.
Kondisi iklim juga berpengaruh selama pengokonan. Ulat sutera B. mori
yang sedang mengokon memerlukan suhu 23-25 ºC, kelembaban 60-75%,
sirkulasi udara dengan kecepatan 0.2-1 m/s dan cahaya remang-remang dengan
intensitas 10-20 lux (Atmosoedarjo et al. 2000). Sedangkan menurut Kaomini &
Andadari (2004) periode pada saat larva mengokon sampai selesai membuat
kokon yaitu 70 jam (pada 23 ºC), 60 jam (pada 25 ºC) dan 50 jam (pada 28 ºC).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008.
Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan
jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan
ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kokon A.
atlas dan tiga jenis daun yaitu, A. muricata (P1) sebagai kontrol, R. communis
(P2) dan J. curcas (P3) sebagai tanaman alternatif. Untuk pemeliharaan digunakan
kaporit (5 gram/liter), alkohol 70%, formalin 4%, label, tissue, kapas dan kapur
anti semut. Sedangkan untuk perebusan kulit kokon digunakan NaOH, teepol dan
sabun netral.
Alat-alat yang digunakan antara lain: kandang ngengat, cawan petri, toples
gelas, pisau, gunting, termometer, higrometer, timbangan digital AND HX-100
berskala 0.0001 gram, mistar, kelos dengan keliling (2πr) sebesar 5 cm, pemanas
listrik, panci, dan pinset.
Cara Kerja
Persiapan
a. Penanaman pohon jarak pagar dan kaliki. Keduanya ditanam melalui biji.
Pemupukan pohon-pohon tersebut menggunakan pupuk kandang. Penyiangan
terhadap gulma dilakukan seminggu sekali. Setelah tinggi pohon mencapai 1
meter, daun sudah dapat dipanen untuk pakan larva. Sedangkan tanaman
sirsak telah tersedia di sekitar laboratorium.
b. Kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) dikumpulkan dan diseleksi
(dengan memilih kokon yang sehat yaitu tidak basah dan berbau). Kokon yang
telah diseleksi ditempatkan pada kandang berukuran 60 x 60 x 60 cm3 dalam
laboratorium PPSHB dengan luas ruangan 12 m2 dan dibiarkan sampai
muncul imago. Jika muncul imago maka imago jantan dan imago betina setiap
satu pasang dipindahkan ke dalam kandang berukuran 40 x 40 x 40 cm3 untuk
22
dibiarkan melakukan kopulasi. Setelah dekopulasi, telur yang diletakkan oleh
imago betina dalam kandang tersebut dikumpulkan dan selanjutnya
dipindahkan ke dalam cawan petri untuk ditetaskan.
c. Desinfeksi ruangan dan peralatan. Peralatan yang digunakan dan ruangan
laboratorium untuk pemeliharaan dibersihkan menggunakan larutan
desinfektan berupa campuran 5 gram kaporit/liter air dan larutan formalin 4%.
Pelaksanaan Penelitian
a. Analisa proksimat
Analisa proksimat dilakukan hanya terhadap daun kaliki (R. communis)
dan jarak pagar (J. curcas). Pengujian analisa proksimat (Lampiran 3)
dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi (PPSHB) IPB.
b. Pengamatan morfologi imago
Imago diamati morfologinya yaitu panjang dan lebar abdomen serta
rentang sayapnya. Pengukuran dilakukan terhadap sepuluh ekor imago jantan
dan sepuluh ekor imago betina sehingga total imago yang diamati sebanyak 20
ekor.
c. Pengamatan lama hidup imago
Pengamatan lama hidup imago dilakukan terhadap sepuluh ekor imago
jantan dan betina. Imago yang diamati meliputi baik imago jantan dan betina
yang melakukan kopulasi maupun yang tidak berkopulasi.
d. Pengamatan telur
Pengamatan fekunditas (keperidian) dilakukan terhadap sepuluh ekor
imago betina yang dibuahi (fertil) maupun tidak dibuahi (infertil). Lama
peletakan telur dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir
terutama pada betina yang dibuahi. Selanjutnya pada telur yang dibuahi
(fertil) dilakukan pengamatan jumlah telur yang menetas (viabilitas). Lama
penetasan telur dihitung sejak penetasan telur hari pertama hingga hari
terakhir. Lamanya waktu (periode) sejak telur diletakkan oleh imago betina
hingga telur tersebut menetas dicatat sebagai “lamanya masa telur” atau
“periode telur”.
23
e. Pemeliharaan larva
Larva yang digunakan dalam pemeliharaan ini berasal dari telur yang
menetas dengan masa telurnya sama yaitu 8 hari. Hal ini dipilih dengan
tujuan keseragaman dari awal daur hidupnya.
Larva yang dipakai dan dipilih secara acak adalah larva yang aktif dan
sehat. Masing-masing perlakuan pakan diamati 20 ekor larva, sehingga
diperlukan total untuk ketiga perlakuan tersebut adalah 60 ekor larva.
Pemberian pakan dengan daun segar dilakukan tiga kali setiap hari yaitu jam
07.00, 13.00, dan 17.00 WIB. Sebelum daun diberikan pada larva, dilakukan
dahulu pencucian dan perlakuan sterilisasi pada daun menggunakan alkohol
teknis 70%.
Penimbangan pakan dilakukan sebelum dan sesudah pakan diberikan.
Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan bersamaan dengan pemberian
pakan.
Larva instar I-III, dipelihara dalam cawan petri berdiameter 11 cm dengan
tinggi 1.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian
pakan dengan menyobek daun muda dan meletakkan dalam cawan petri.
Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples
gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2
ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun tua secara utuh
disertai tangkai ke dalam toples gelas.
f. Parameter yang diamati (Atmosoedarjo et al. 2000) terdiri dari:
1. Konsumsi pakan. Banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor larva
dihitung menggunakan rumus:
x = banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor (g) a = total pakan hari ke-i (i = 1, 2, 3, 4,......) b = pakan sisa c = pakan sisa dikali faktor koreksi*) n = jumlah ulat yang berhasil hidup setiap akhir instar Ket: *) lampiran 4, 5 dan 6
2. Pertumbuhan larva. Hal ini diamati dengan mengukur bobot dan panjang
larva pada setiap awal dan akhir setiap instar.
x = a-(b+c)
n
24
3. Daur hidup. Parameter ini diamati dengan mencatat waktu yang
dibutuhkan oleh ngengat A. atlas mulai periode telur, larva, pupa hingga
imago.
4. Kualitas kokon. Pengujiannya meliputi:
- Penurunan bobot kokon selama proses mengokon (g), yaitu bobot
akhir instar VI dikurangi bobot kokon segar.
- Bobot kokon segar (g), yaitu bobot kokon tanpa floss (kulit + pupa).
- Bobot kulit kokon (g), yaitu bobot kokon setelah pupa keluar dari
kokon.
- Persentase kulit kokon, yaitu perbandingan antara bobot kulit kokon
dengan bobot kokon dikali 100%.
% Kulit kokon= Bobot kulit kokon x 100% Bobot kokon
5. Kualitas filamen. Pengujiannya meliputi:
Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih
dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: 1 liter
air + 2 gram soda kaustik (NaOH) + 2 cc teepol + 20 gram sabun netral,
selama satu jam (Awan 2007). Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci
secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin.
- Panjang filamen (m), yaitu ditentukan dengan cara mengurai satu
kokon tunggal dengan tangan (secara manual).
- Bobot filamen (g), yaitu bobot filamen dari satu kokon tunggal.
- Daya urai kokon/Reelability (%), yaitu dihitung dari berapa jumlah
kali putus filamen selama kokon tersebut diurai
g. Klasifikasi kualitas kokon dan filamen
Di Indonesia, belum ada standar untuk mengklasifikasikan kualitas
kokon dan filamen sutera liar. Klasifikasi dibuat berdasarkan data keadaan
kokon dan filamen dalam penelitian ini. Penghitungan dilakukan berdasarkan
data rata-rata populasi dari jenis serangga (seluruh data) dan jenis pakan (data
terbaik tiap parameter uji). Dengan mencari standar deviasi pada masing-
masing parameter uji diperoleh rentangan klasifikasi dalam 4 tingkatan (A, B,
C dan D).
25
Rancangan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan pakan yang berbeda (P1= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun
jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali.
Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 20
kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen, satu perlakuan
diulang 10 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA),
jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan
dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan
diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB.
Model linier dalam percobaan ini adalah sebagai berikut (Mattjik &
Sumertajaya 2000):
Yij = µ + τ i + ε ij
Dengan: i = 1,2,3. dan j = 1,2,3; j = 1,2,3, ... 20; j = 1,2,3, ... 10.
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
µ = Rataan umum
τ i = Pengaruh perlakuan ke i
= µi - µ
ε ij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Data dari setiap parameter yang diukur/diamati dapat dilihat pada Tabel 3,
4 dan 5. Sedangkan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 3 Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan
Ulangan Perlakuan
Total Keseluruhan
P1 P2 P3 1 Y11 Y21 Y31 2 Y12 Y22 Y32 3 Y13 Y23 Y33
Total Perlakuan (Y) Y1 Y2 Y3 Y Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.
26
Tabel 4 Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva
Ulangan Perlakuan
Total Keseluruhan
P1 P2 P3 1 Y11 Y21 Y31 2 Y12 Y22 Y32 3 Y13 Y23 Y33 … … … … 20 Y120 Y220 Y320
Total Perlakuan (Y) Y1 Y2 Y3 Y
Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.
Tabel 5 Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan filamen
Ulangan Perlakuan
Total Keseluruhan
P1 P2 P3 1 Y11 Y21 Y31 2 Y12 Y22 Y32 3 Y13 Y23 Y33 … … … … 10 Y110 Y210 Y310
Total Perlakuan (Y) Y1 Y2 Y3 Y
Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.
Tabel 6 Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) Sumber Keragaman
Derajat Bebas (db)
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
F Hitung
Ulangan sama r1 = r2 = r3 Perlakuan t - 1 JKP KTP KTP/KTG Galat t (r – 1) JKG KTG Total Tr - 1 JKT
Ulangan tidak sama r1 ≠ r2 ≠ r3 Perlakuan t - 1 JKP KTP KTP/KTG Galat ∑ (r1 - 1) JKG KTG Total ∑ r1 - 1 JKT
Dari analisis sidik ragam di atas ada 3 hal yang dapat disimpulkan:
1. Perlakuan memberikan respon yang sama atau tidak dengan melihat nilai
peluang pada tabel ANOVA, jika nilai peluang<α maka perlakuan
memberikan respon yang berbeda.
2. Jika terdapat perbedaan, maka perlakuan yang sama atau berbeda dapat
ditentukan dengan Uji Wilayah Duncan.
27
Nilai kritis Duncan dapat dihitung sebagai berikut:
ydbgpp SrR ;;α=
rKTGSy
/=
Dimana r α;p;dbg nilai tabel Duncan pada taraf nyata α, jarak peringkat dua
perlakuan p dan derajat bebas galat sebesar dbg.
3. Perlakuan mana yang memberikan respon tertinggi dapat dilihat dari nilai
rataan untuk setiap perlakuan atau kombinasi perlakuan.
HASIL
Analisis Daun Kaliki dan Jarak Pagar
Hasil analisis proksimat daun jarak pagar muda dibandingkan dengan daun
jarak pagar tua adalah sebagai berikut: a) Kandungan air pada daun muda 82.74%
dan daun tua 74.97%; b) Protein pada daun muda 8.61% dan daun tua 7.86%; c)
Lemak pada daun muda 3.12% dan daun tua 5.65%; d) Serat pada daun muda
20.74% dan daun tua 18.36%. (Tabel 7 & 8). Daun jarak pagar muda lebih tinggi
dalam kandungan air, protein dan serat, namun lebih rendah dalam kandungan
lemaknya dibandingkan dengan daun jarak tua.
Pada daun kaliki hasil analisis proksimatnya menunjukkan data sebagai
berikut: a) Kandungan air pada daun muda 79.15% dan daun tua 80.51%; b)
Protein pada daun muda 7.79% dan daun tua 10.14%; c) Lemak pada daun muda
5.34% dan daun tua 5.37%; d) Serat pada daun muda 29.15% dan daun tua
11.81%. (Tabel 7 & 8). Daun kaliki tua lebih tinggi dalam kandungan air dan
protein, tetapi lebih rendah kandungan seratnya dibandingkan dengan daun kaliki
muda. Hasil ini berlawanan dengan yang terjadi pada daun jarak pagar.
Tabel 7 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun muda Parameter analisis Sirsak** Kaliki* Jarak Pagar* --------- (%) ---------- Air 72.82 79.15 82.74 Protein 4.88 7.79 8.61 Lemak 1.04 5.34 3.12 Serat 6.07 29.15 20.74 Abu 0.93 8.09 13.06
*) Hasil penelitian ini; **) Awan (2007)
Tabel 8 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun tua Parameter analisis Sirsak** Kaliki* Jarak Pagar* ---------- (%) ---------- Air 69.88 80.51 74.97 Protein 4.86 10.14 7.86 Lemak 1.40 5.37 5.65 Serat 7.11 11.81 18.36 Abu 1.11 11.03 10.12
*) Hasil penelitian ini; **) Awan (2007)
Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis proksimat pada daun sirsak
secara langsung tetapi menggunakan data Awan (2007) yang dilakukan pada
laboratorium yang sama yaitu laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati
29
dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Uji proksimat terhadap daun sirsak menunjukkan
hasil yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan daun kaliki dan daun jarak
pagar dalam hal kadar air, protein, lemak dan seratnya (Tabel 7 & 8).
Konsumsi Pakan Larva
Ulat kecil (instar I-III) mengkonsumsi pakan 3.6805 g per ekor (pada daun
sirsak), 1.502 g per ekor (pada daun kaliki), dan 3.3599 g per ekor (pada daun
jarak pagar). Sedangkan ulat besar (instar IV-VI) mengkonsumsi pakan 79.5054 g
per ekor (pada daun sirsak), 46.3177 g per ekor (pada daun kaliki), dan 151.733 g
per ekor (pada daun jarak pagar) (Tabel 9).
Tabel 9 Persentase rataan konsumsi pakan per ekor larva A. atlas
Instar Sirsak (n=3) Kaliki (n=3) Jarak Pagar (n=3)
Rataan (g)
Persentase (%)*
Rataan (g)
Persentase (%)*
Rataan (g)
Persentase (%)*
Ulat kecil: 1 0.3898 0.47 0.1955 0.41 0.1626 0.15 2 0.8041 0.97 0.3546 0.74 0.2229 0.14 3 2.4866 2.99 0.9519 1.99 2.9744 1.92
Jumlah 3.6805 4.43 1.502 3.14 3.3599 2.21 Ulat besar:
4 10.0356 12.06 2.8764 6.02 9.3710 6.04 5 8.3678 10.06 4.855 10.15 27.592 17.79 6 61.102 73.45 38.5863 80.69 114.77 74.00
Jumlah 79.5054 95.57 46.3177 96.86 151.733 97.83 Total
Konsumsi 83.1859 100 47.8197 100 155.093 100 *) Terhadap total konsumsi pakan selama instar I-VI
Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan total konsumsi pakan setiap
ekor larva A. atlas pada ulat kecil (Gambar 7) dan ulat besar (Gambar 8).
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
1 2 3
Instar
Kons
umsi
pak
an (g
)/eko
r
SirsakKalikiJarak Pagar
Gambar 7 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat kecil pada ketiga jenis
pakan
30
0
20
40
60
80
100
120
140
4 5 6
InstarK
onsu
msi
paka
n (g
)/eko
r
SirsakKalikiJarak Pagar
Gambar 8 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat besar pada ketiga jenis
pakan
Total konsumsi pakan larva pada masing-masing instar per ekor yang
terbesar adalah pakan daun jarak pagar (155.09 g) dan terkecil adalah daun kaliki
(47.82 g).
Hasil uji statistik konsumsi pakan larva setiap instar ditunjukkan pada
Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10 Hasil uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas
Larva Sirsak (A) (n=3) Kaliki (B) (n=3) Jarak Pagar (C) (n=3) ---------- gram ----------
Instar I - Mean 0.39a 0.20b 0.16b - STDev 0.05 0.05 0.03 Instar II - Mean 0.80a 0.36b 0.22b - STDev 0.15 0.09 0.06 Instar III - Mean 2.49a 0.95b 2.97a - STDev 0.30 0.51 0.84 Instar IV - Mean 10.04a 2.88b 9.37a - STDev 1.10 0.25 1.22 Instar V - Mean 8.35a 4.86a 27.59b - STDev 1.75 2.65 10.05 Instar VI - Mean 61.10b 38.59c 114.77a - STDev 10.29 9.66 12.08 Total - Mean 83.17b 47.82c 155.09a - STDev 7.89 11.61 0.68 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
31
Larva instar pertama yang diberi pakan daun sirsak (rataan konsumsi
0.39±0.05 g) berbeda nyata terhadap larva yang diberi pakan daun kaliki (rataan
konsumsi 0.20±0.05 g) dan daun jarak pagar (rataan konsumsi 0.16±0.03 g).
Demikian halnya pada larva instar kedua dengan pakan daun sirsak (rataan
konsumsi 0.80±0.15 g) berbeda nyata terhadap larva dengan pakan daun kaliki
(rataan konsumsi 0.36±0.09 g) dan daun jarak pagar (rataan konsumsi 0.22±0.06
g). Sedangkan larva instar ketiga menunjukkan bahwa konsumsi pakan larva
berupa daun sirsak berbeda nyata hanya terhadap larva dengan pakan daun kaliki.
Pada instar keempat, konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan
10.04±1.10 g) dan daun jarak pagar (rataan 9.37±1.22 g) berbeda nyata terhadap
larva dengan pakan daun kaliki (rataan 2.88±0.25 g), sedangkan konsumsi antara
pakan daun sirsak dan jarak pagar tidak berbeda nyata. Pada instar kelima
konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan 8.35±1.75 g) dan daun kaliki
(rataan 4.86±2.65 g) berbeda nyata terhadap larva yang memakan daun jarak
pagar (rataan 27.59±10.05 g) (Tabel 10).
Instar keenam, konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan
61.10±10.29 g) berbeda nyata terhadap pakan larva berupa daun jarak pagar
(rataan 114.77±12.08 g) dan daun kaliki (rataan 38.59±9.66 g). Bahkan pada
instar ini juga konsumsi di antara ketiga macam pakan tersebut berbeda nyata
(Tabel 10).
Apabila pengelompokan berdasarkan stadia ulat besar dan ulat kecil diuji
secara statistik maka ketiga macam perlakuan pakan tersebut tidak berbeda nyata
pada taraf kepercayaan 95%. Namun demikian pada signifikansi 90% didapatkan
bahwa pada ulat kecil tidak berbeda nyata tetapi pada ulat besar berbeda nyata
(Lampiran 9 & 10).
Berdasarkan total konsumsi pakan pada keseluruhan instar (I hingga VI)
didapatkan bahwa ketiganya berbeda nyata secara statistik pada taraf uji 95%.
Pertumbuhan Larva
Rataan bobot larva A. atlas pada awal instar (setelah ganti kulit ‘A’) dan
akhir instar (sebelum ganti kulit ‘B’) untuk ulat kecil ditunjukkan pada Gambar 9,
sedangkan untuk ulat besar ditunjukkan pada gambar 10 berikut ini.
32
-
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
1.4000
1.6000
1.8000
1A 1B 2A 2B 3A 3B
Instar
Rat
aan
perta
mba
han
bobo
t (g)
SirsakKalikiJarak Pagar
Gambar 9 Grafik rataan bobot larva (ulat kecil) pada awal (A)
dan akhir (B) instar
0
5
10
15
20
25
4A 4B 5A 5B 6A 6BInstar
Rata
an p
erta
mba
han
bobo
t (g)
Sirsak
Kaliki
Jarak Pagar
Gambar 10 Grafik rataan bobot larva (ulat besar) pada awal (A)
dan akhir (B) instar
Pada awal instar pertama rataan bobot larva adalah 0.0032 g. Sedangkan
pada akhir instar keenam, bobot larva mencapai grafik tertinggi dengan bobot
rataan berkisar antara 19.541-20.742 g (Lampiran 10).
Rataan panjang larva A. atlas pada awal instar (setelah ganti kulit ‘A’) dan
akhir instar (sebelum ganti kulit ‘B’) ditunjukkan pada Gambar 11 dan 12 berikut
ini.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
1A 1B 2A 2B 3A 3B
Instar
Rat
aan
perta
mba
han
panj
ang
(cm
SirsakKalikiJarak pagar
Gambar 11 Grafik rataan panjang larva (ulat kecil) pada awal (A)
dan akhir (B) instar
33
012
34
567
89
10
4A 4B 5A 5B 6A 6B
Instar
Rat
aan
perta
mba
han
panj
ang
(cm
SirsakKalikiJarak pagar
Gambar 12 Grafik rataan panjang larva (ulat besar) pada awal (A)
dan akhir (B) instar
Rataan panjang larva pada awal instar pertama adalah 0.5 cm. Sedangkan
pada akhir instar keenam, rataan panjang larva berkisar antara 8.54-8.70 cm
(Lampiran 14).
Pada akhir stadia instar pertama hingga instar keenam, bobot dan
panjangnya bertambah dibandingkan dengan bobot dan panjang awal saat menetas
pertama kali. Pertambahan bobot dan panjang larva pada ketiga pakan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11 Pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas pada tiap akhir instar dibandingkan dengan awal instar 1
Pakan Instar I II III IV V VI
Bobot (kali) Sirsak 24 111 488 1231 2142 6184 Kaliki 16 55 527 1642 2313 6477 Jarak Pagar 20 83 369 1481 2360 6564 Panjang (kali) Sirsak 2 4 5 9 15 17 Kaliki 1.5 4 5 9 15 17 Jarak Pagar 2 4 5 9 15 17
Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas dapat dilihat
pada Tabel 12. Pertambahan bobot larva A. atlas selama pemeliharaan
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada masing-masing instar (Instar I
hingga instar V). Akan tetapi, instar keenam dan total stadium larva menunjukkan
pertambahan bobot yang tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan.
Pertambahan bobot larva pada instar kesatu dan kelima memperlihatkan
perbedaan dengan pola yang sama yaitu larva yang diberi pakan daun sirsak lebih
berat dari pada larva yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sementara itu,
bobot larva yang diberi pakan daun kaliki lebih rendah daripada bobot larva yang
34
diberi pakan daun jarak pagar. Uji Anova terhadap total pertambahan bobot larva
instar I hingga V menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada ketiga
perlakuan pakan (Lampiran 12).
Tabel 12 Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas
Larva Sirsak (A)
(n=20) Kaliki (B)
(n=20) J. Pagar
(C) (n=20)Sirsak (A)
(n=20) Kaliki (B)
(n=20) J. Pagar
(C) (n=20)---------- Bobot (g) ---------- ---------- Panjang (cm) ----------
Instar I - Mean 0.07a 0.05c 0.06b 0.34a 0.23c 0.29b - STDev 0.01 0.01 0.01 0.05 0.04 0.04 Instar II - Mean 0.27a 0.12b 0.17b 0.97b 1.01a 1.00a,b - STDev 0.09 0.00 0.12 0.05 0.03 0.08 Instar III - Mean 1.16b 1.47a 0.87c 0.40a 0.43a 0.41a - STDev 0.40 0.07 0.26 0.06 0.04 0.04 Instar IV - Mean 2.27b 3.49a 3.45a 1.90c 2.06a 1.99b- STDev 0.29 0.72 0.27 0.03 0.05 0.03 Instar V - Mean 2.47a 1.69c 2.09b 2.90a 2.82b 2.89a - STDev 0.49 0.38 0.28 0.05 0.07 0.04 Instar VI - Mean 12.04a 12.53a 12.52a 0.98a 1.06a 1.06a - STDev 1.26 1.96 1.44 0.24 0.31 0.21 Total - Mean 19.54a 20.43a 20.74a 8.04a 8.20a 8.20a - STDev 1.94 2.56 1.82 0.31 0.38 0.26 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
Berdasarkan Tabel 12 di atas juga diketahui bahwa pertambahan panjang
larva pada instar kesatu, kedua, keempat dan kelima berbeda nyata. Sedangkan
instar ketiga, keenam dan total stadium larva menunjukkan pertambahan panjang
yang tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan.
Larva yang diberi pakan daun sirsak pada instar kesatu memperlihatkan
pertambahan panjang tertinggi dibandingkan dengan larva yang diberi pakan
daun kaliki dan jarak pagar. Sementara itu, pertambahan panjang larva yang diberi
pakan daun kaliki lebih rendah dibandingkan dengan larva yang diberi pakan
daun jarak pagar.
Tabel 13 berikut ini adalah hasil uji Anova bobot larva A. atlas pada tiap
akhir instar. Instar pertama dan terakhir menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata, sedangkan instar II hingga V menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
35
Tabel 13 Hasil uji Anova bobot larva A. atlas tiap akhir intar Stadia Sirsak (A) (n=20) Kaliki (B) (n=20) Jarak Pagar (C) (n=20)
---------- g --------- Instar I - Mean 0.0743a 0.0507a 0.0627a - STDev 0.0118 0.0092 0.1219 Instar II - Mean 0.3517c 0.1729a 0.2627b - STDev 0.1105 0.0195 0.0199 Instar III - Mean 1.5432a 1.6657a 1.1653b - STDev 0.4856 0.0871 0.2515 Instar IV - Mean 3.8343a 5.1801c 4.6795b - STDev 0.7095 0.7269 0.4489 Instar V - Mean 6.7688a 7.2974b 7.4565b - STDev 0.85088 0.6529 0.6053 Instar VI - Mean 19.5412a 20.4367a 20.7423a - STDev 1.9432 2.5596 1.8235 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
Daur Hidup
Kisaran daur hidup A. atlas selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel
14 berikut ini. Kisaran tersebut mencakup stadia larva, pupa dan imago.
Tabel 14 Kisaran daur hidup A. atlas
Stadia Sirsak (n=20) Kaliki (n=20) Jarak Pagar (n=20)
Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan ---------- hari ---------
- Instar I - Instar II - Instar III - Instar IV - Instar V - Instar VI Larva (total)
5 - 6 4 - 5 4 - 5 4 - 7 4 - 8
8 – 12 30 - 42
5.80±0.410 4.55±0.510 4.50±0.513 5.20±0.894 6.75±1.333 9.80±1.105 36.60±3.83
4 - 5 3 - 4 3 - 5 3 - 6 5 - 8
8 – 12 27- 40
4.35±0.489 3.50±0.513 4.25±0.550 4.45±0.887 6.05±1.191 9.50±1.50 32.10±4.35
4-5 3-5 4-5 4-5 5-8 9-12
31-38
4.75±0.444 4.05±0.510 4.25±0.444 4.60±0.503 6.55±0.887 10.15±0.988 34.35±2.08
Pupa 24 - 51 29.25 ± 7.070 14 - 33 24.45 ± 4.883 18-34 26.35±3.910Imago 3 - 8 5.00 ± 1.257 2 - 7 4.25 ± 1.92 2-7 4.70±1.750 Total 60 - 89 70.85 ± 7.457 47 - 78 60.80 ± 8.370 52-76 65.40±5.679
Periode larva terpanjang dengan rataan 36.60±3.83 hari (pakan daun sirsak),
dan terpendek dengan rataan 34.35±2.08 hari (pakan daun kaliki). Panjang
periode larva yang diberi makan daun sirsak berbeda nyata dengan yang diberi
makan daun kaliki, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pakan daun
jarak pagar (Tabel 15).
36
Tabel 15 Hasil uji Anova daur hidup larva A. atlas
Stadia Sirsak (A) (n=20)
Kaliki (B) (n=20)
Jarak Pagar (C) (n=20)
---------- hari --------- Larva Instar (I-VI) - Mean 36.60a 32.10b 34.35ab - STDev 3.83 4.35 2.08 Pupa - Mean 29.25a 24.45b 26.35ab - STDev 7.07 4.88 3.91 Imago - Mean 5.00a 4.25a 4.70a - STDev 1.26 1.92 1.75 Total - Mean 70.85a 60.80c 65.40b - STDev 7.46 8.37 5.68 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
Lama periode pupa terpanjang dengan rataan 29.25±7.070 hari (pakan daun
sirsak) dan terpendek dengan rataan 24.45±4.883 hari (pakan daun kaliki).
Lamanya periode pupa pada larva yang diberi makan daun sirsak berbeda nyata
dengan yang diberi makan daun kaliki, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang
diberi pakan daun jarak pagar (Tabel 15).
Akan tetapi, periode imago nampak tidak berbeda nyata diantara ketiga
macam pakan (Tabel 15). Periode imago terpanjang dengan rataan 5.00±1.257
hari (pakan daun sirsak) dan terpendek dengan rataan 4.25±1.92 hari (pakan daun
kaliki) (Tabel 14).
Tabel 16 Persentase rataan daur hidup A. atlas
Stadia Sirsak (n-20) Kaliki (n=20) Jarak Pagar (n=20)
Rataan (hari)
Persentase (%)
Rataan (hari)
Persentase (%)
Rataan (hari)
Persentase (%)
- Telur 8.00 10.15 8.00 11.63 8.00 10.89 - Larva 36.60 46.42 32.10 46.66 34.35 46.80 - Pupa 29.25 37.10 24.45 35.54 26.35 35.90 - Imago 5.00 6.34 4.25 6.17 4.70 6.40 - Total 78.85 68.80 73.40
Persentase rataan daur hidup A. atlas pada ketiga macam pakan (daun
sirsak, kaliki dan jarak pagar) ditunjukkan pada Tabel 16. Dua stadia terlama yang
dilalui oleh larva A. atlas untuk menyelesaikan satu kali daur hidupnya adalah
periode larva dengan rataan 46.42-46.80% dan periode pupa dengan rataan 35.54-
37
Imago 4.70 (±1.75) hari
Telur 8.00 (±0.00) hari
Larva 34.35 (±2.08) hari
Pupa 26.35 (± 3.91) hari
37.10%. Sedangkan stadia tercepat adalah periode imago dengan rataan 6.17-
6.40%. Gambar 13 berikut ini adalah daur hidup ngengat A. atlas dengan pakan
daun jarak pagar.
Gambar 13 Daur hidup A. atlas dengan pakan daun jarak pagar (Foto: Koleksi
pribadi)
Hasil uji Anova tiap instar pada stadia larva ditunjukkan pada Tabel 17.
Pada stadia larva instar kesatu, kedua dan keempat menunjukkan hasil yang
berbeda nyata. Sedangkan pada stadia larva instar ketiga, kelima dan keenam
memperlihatkan bahwa periode yang dilalui oleh masing-masing larva
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Daur hidup larva instar pertama dan kedua menunjukkan pola yang sama
yaitu larva yang diberi pakan daun sirsak lebih panjang daur hidupnya
38
dibandingkan dengan yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan
larva yang diberi pakan daun kaliki lebih pendek daur hidupnya dibandingkan
dengan yang diberi daun jarak pagar (Tabel 17).
Tabel 17 Hasil uji Anova daur hidup tiap instar larva A. atlas Stadia Sirsak (A) (n=20) Kaliki (B) (n=20) Jarak Pagar (C) (n=20)
---------- hari --------- Instar I - Mean 5.80a 4.35c 4.75b - STDev 0.41 0.49 0.44 Instar II - Mean 4.55a 3.50c 4.05b - STDev 0.51 0.51 0.51 Instar III - Mean 4.50a 4.25a 4.25a - STDev 0.51 0.55 0.44 Instar IV - Mean 5.20a 4.45b 4.60b - STDev 0.89 0.89 0.50 Instar V - Mean 6.75a 6.05a 6.55a - STDev 1.33 1.19 0.89 Instar VI - Mean 9.80a 9.50a 10.15a - STDev 1.11 1.50 0.99 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%; *)Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Telur
Telur A. atlas berbentuk oval, agak pipih dan hampir selalu ditutupi cairan
agak kental berwarna merah kecoklatan yang disekresikan oleh ngengat betina
agar telur melekat pada substrat. Bentuk telur lonjong dan berwarna coklat tua
sampai coklat muda. Panjang telur 2 mm dengan lebar 1 mm. Seekor ngengat
betina meletakkan telur 80-380 butir (pada 20 ekor imago betina yang terdiri dari
10 ekor betina fertil dan 10 ekor betina infertil). Betina infertil didapat karena
jumlah imago jantan terbatas sehingga tidak semua betina yang ada memiliki
pasangan. Perbedaan antara telur fertil dengan telur infertil dapat dilihat pada
Gambar 14. Telur yang dibuahi (fertil) berwarna coklat gelap, sedangkan telur
yang tidak dibuahi (infertil) berwarna kuning pucat.
39
Gambar 14 Telur A. atlas fertil dan infertil
Selama pemeliharaan, imago betina A. atlas yang dibuahi (fertil)
menghasilkan telur dengan kisaran 126 hingga 380 butir dengan rataan
250.4±97.37 butir. Sedangkan imago betina yang tidak dibuahi (infertil)
menghasilkan telur dengan kisaran 80 hingga 348 butir dengan rataan
192.1±81.590 butir (Tabel 18).
Tabel 18 Jumlah telur infertil dan fertil serta persentase menetas pada telur ngengat A. atlas
Telur Kisaran Rataan Telur infertil (butir) (n=10) 80-348 192.1±81.59 Telur fertil (butir) (n=10) 126-380 256±92.037 Persentase telur yang menetas (%) (n=10) 50.67-96.94 81.75±15.483 Tabel 19 Periode telur dan lama peletakan telur pada A. atlas
Telur Kisaran Rataan ---------- hari ----------
Periode telur (n=10) 6-10 8.376±1.148 Lamanya peletakan telur (n=10) 2-6 3.50±1.1785 Ket: - Periode telur adalah sejak telur dikeluarkan oleh induknya hingga menetas - Lamanya peletakan telur adalah waktu yang dibutuhkan oleh induk betina untuk meletakkan
seluruh telurnya
Pada telur yang dibuahi (fertil), jumlah telur yang menetas berkisar antara
antara 50.67-96.94% dengan rataan 81.75±15.483% (Tabel 18). Periode telur
(Tabel 19) selama 6-10 hari dengan rataan 8.376±1.148 hari. Telur-telur dengan
waktu peletakan yang sama akan menetas secara tidak bersamaan tetapi
diperlukan waktu 3 – 7 hari periode penetasannya, dengan rataan 4.80±1.3166
hari.
Perilaku imago betina dalam meletakkan telur-telurnya yaitu dengan
meletakkan secara berkelompok atau secara terpisah. Telur-telur tersebut
diletakkan pada dasar dan dinding kandang. Telur-telur yang berkelompok
Telur fertil Telur infertil
40
jumlahnya bervariasi. Jumlah telur dalam satu kelompok dapat mencapai lebih
dari 10 butir (Gambar 15).
Gambar 15 Peletakan telur A. atlas dalam kandang
Karakteristik Morfologi Imago
Ukuran rentang sayap dan panjang serta lebar abdomennya pada imago
betina A. atlas dan imago jantan dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini.
Tabel 20 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas Imago Kisaran Rataan
--------- cm ---------- Jantan (n=10)
- Panjang abdomen - Lebar abdomen - Rentang sayap
2.60-3.50 2.00-3.00
17.50-20.00
3.22±0.322 2.53±0.327 19.05±0.926
Betina (n=10) - Panjang abdomen - Lebar abdomen - Rentang sayap
3.50-5.00 2.60-5.00
19.00-22.50
4.25±0.425 3.62±0.781
20.10±1.075
Hasil uji statistik panjang abdomen pada imago betina nyata lebih panjang
dibandingkan dengan abdomen pada imago jantan (Lampiran 22). Demikian pula
lebar abdomen pada imago betina nyata lebih lebar dibandingkan dengan
abdomen pada imago jantan (Lampiran 23). Akan tetapi, rentang sayap imago
tidak berbeda nyata (Lampiran 24).
Lama Hidup Imago
Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas selama pemeliharaan
ditampilkan pada Tabel 21. Hasil uji statistik umur imago yang melakukan
kopulasi berbeda nyata, yaitu imago betina berumur lebih lama dibandingkan
Terpisah
Berkelompok
41
dengan jantan (Lampiran 26). Sama halnya dengan umur imago yang tidak
melakukan kopulasi, yaitu imago betina berumur lebih lama dibandingkan dengan
jantan (Lampiran 27).
Tabel 21 Lama hidup imago A. atlas Imago Kisaran umur Rataan
------------ hari ------------ Jantan
- Kawin (n = 10) - Tidak kawin (n = 10)
3-10 3-9
4.8 ±1.932 7.70±1.418
Betina - Kawin (n = 10) - Tidak kawin (n = 10)
6-10 5-16
5.60±1.838 8.90±2.998
Kualitas Kokon
Tabel 22 berikut ini merupakan hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas.
Penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon terbesar dengan rataan
13.96±0.51 g (pakan daun kaliki) dan terkecil dengan rataan 10.96±0.44 g (pakan
daun sirsak).
Tabel 22 Hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas Kualitas kokon Sirsak (A) (n=10) Kaliki (B) (n=10) J Pagar (C) (n=10) O (g) - Mean 10.96b 13.96a 13.76a - STDev 0.44 0.51 0.73 P (g) - Mean 9.46a 7.32b 7.75b - STDev 1.70 1.93 1.69 Q (g) - Mean 1.74a 1.07b 1.16b - STDev 0.79 0.63 0.37 R (%) - Mean 19.35a 14.29a 15.55a - STDev 11.32 6.77 5.76 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%; (O = penurunan bobot tubuh selama proses mengokon [g]; P = Bobot kokon segar [g]; Q = Bobot kulit kokon dengan filamen [g]; R = Persentase kulit kokon [%])
Bobot kokon segar pada kokon yang berasal dari larva dengan pakan daun
sirsak berbeda nyata dengan bobot kokon segar yang berasal dari larva dengan
pakan daun kaliki dan daun jarak pagar. Demikian pula halnya dengan bobot kulit
kokon dari larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan bobot kulit
42
kokon dari larva dengan pakan daun kaliki dan daun jarak pagar. Akan tetapi,
persentase kulit kokon tidak berbeda nyata pada ketiga macam pakan (Tabel 22).
Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa (78.89-82.19%),
sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja (1.61-1.66%) dari total keseluruhan
bobot kokon A atlas (Tabel 23).
Tabel 23 Komposisi kokon ulat sutera A. atlas
Bobot
Pakan Sirsak Kaliki Jarak Pagar
Bobot nyata g
Ratio %
Bobot nyata g
Ratio %
Bobot nyata g
Ratio %
Floss 0.16 1.66 0.12 1.61 0.13 1.65 Kulit kokon 1.74 18.09 1.07 14.38 1.16 14.72
pupa 7.589 78.89 6.115 82.19 6.432 81.62 Kokon (tanpa floss) 9.46 98.34 7.32 98.39 7.75 98.35
Kokon (dengan floss) 9.62 100.0 7.44 100.0 7.88 100.0
Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan dapat dilihat
pada tabel 24 berikut ini. Rentangan kelas mutu didapat dari penghitungan data
kokon A. atlas dalam penelitian ini.
Tabel 24 Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan Kelas mutu kokon Bobot kokon Bobot kulit kokon Persentase kulit kokon - Jenis serangga
A > 10.99 >2.83 >37.82 B 9.07-10.99 1.99-2.83 27.07-37.82 C 7.16-9.07 1.15-1.99 16.32-27.07 D <7.16 <1.15 <16.32
- Jenis pakan A > 11.07 >2.37 >26.8 B 9.61-11.07 1.85-2.37 21.49-26.8 C 8.15-9.61 1.34-1.85 16.18-21.49 D <8.15 <1.34 <16.18
Kualitas Filamen
Tabel 25 berikut ini adalah hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa panjang filamen kokon dari
larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan panjang filamen kokon dari
larva dengan pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan bobot filamen dari
ketiga macam perlakuan pakan tidak berbeda nyata.
43
Tabel 25 Hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas Kualitas filamen Sirsak (A)
(n=10) Kaliki (B)
(n=10) Jarak Pagar (C)
(n=10) Bobot filamen (g) - Mean 0.38a 0.44a 0.37a - STDev 0.18 0.11 0.26 Panjang filamen (m) - Mean 146.84a 33.96b 34.53b - STDev 138.83 5.47 21.71 Daya urai kokon - Mean 43.90a 12.20b 35.60a - STDev 14.35 6.65 30.92 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%;
Hasil uji Anova daya urai kokon menunjukkan bahwa jumlah kali putus
selama pemintalan pada kokon kaliki (12.20±6.65 %) berbeda nyata terhadap
kokon sirsak dan jarak pagar berturut-turut dengan rataan 43.90±14.35 % dan
35.60±30.92 % (Tabel 25).
Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan dapat dilihat
pada tabel 26 berikut ini. Rentangan kelas mutu didapat dari penghitungan data
kokon A. atlas dalam penelitian ini.
Tabel 26 Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan Kelas mutu
filamen Bobot
filamen Panjang filamen Daya urai kokon
- Jenis serangga A > 0.53 >376.23 <25.25 B 0.37-0.53 254.32-376.23 25.25-48.50 C 0.21-0.37 132.41-254.32 48.50-71.75 D <0.21 <132.41 >71.75
- Jenis pakan A >0.50 >40.75 <30.75 B 0.35-0.50 36.55-40.75 30.75-41.5 C 0.20-0.35 32.35-36.55 41.5-52.25 D <0.20 <32.35 >52.25
Suhu dan Kelembaban Ruangan
Suhu maksimum bulan Mei, Juni dan Juli berada pada kisaran 27-28ºC.
Sedangkan bulan Agustus dan September suhu maksimum sebesar 28ºC. Suhu
minimum bulan Mei berkisar antara 25-26ºC, bulan Juni 24-26ºC dan bulan Juli
24-25ºC. Akan tetapi suhu minimum bulan Agustus dan September sebesar 25ºC
(Lampiran 30).
44
Kelembaban relatif terendah sebesar 46% (siang hari pada bulan Juli)
Sedangkan kelembaban relatif tertinggi sebesar 80% (sore hari pada bulan Juli).
Akan tetapi rataan kelembaban relatif terendah 56.70±6.21% (siang hari pada
bulan Juni), sedangkan rataan kelembaban relatif tertinggi 74.10±2.41 (pagi hari
pada bulan Mei) (Lampiran 30). Grafik rataan suhu maksimum-minimum dalam
Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB ditunjukkan pada Gambar 16
berikut ini.
2323.5
2424.5
2525.5
2626.5
2727.5
2828.5
Mei Juni Juli Agustus September
Bulan
Suhu
(der
ajat
Cel
cius
)
MinMax
Gambar 16 Grafik rataan suhu harian (minimum-maksimum) di dalam ruangan
Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007)
Intensitas cahaya dalam ruangan pemeliharaan sebesar 153-156 Lux.
Besarnya intensitas cahaya diperoleh karena penerangan dalam ruang
pemeliharaan menggunakan 4 buah lampu tabung dengan daya masing-masing
sebesar 20 Watt. Grafik rataan kelembaban dalam Laboratorium Biologi
Molekuler PPSHB IPB ditunjukkan pada Gambar 17 berikut ini.
60616263646566676869
Mei Juni Juli Agustus September
Bulan
Kel
emba
ban
(%)
Gambar 17 Grafik rataan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium PPSHB
IPB (Tahun 2007)
45
PEMBAHASAN
Kualitas Daun
Kualitas daun merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya
suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan disamping
faktor-faktor lain seperti bibit, teknik pemeliharaan dan sarana pemeliharaan
(Samsijah & Kusumaputra 1976). Kualitas daun berhubungan dengan susunan
senyawa kimia yang terkandung di dalamnya seperti air, protein, lemak, serat dan
abu.
Menurut Samsijah & Andadari (1992), dikatakan bahwa ulat kecil pada B.
mori (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung
air dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar
(instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna
mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang lebih
rendah. Oleh karena itu berdasarkan kandungan airnya, tanaman pakan yang
paling ideal adalah daun jarak pagar karena pada daun tua memiliki kandungan air
lebih rendah dari daun muda (Tabel 7 & 8). Sebaliknya berdasarkan kandungan
proteinnya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun kaliki karena pada daun
tua memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari daun muda. Hal tersebut
diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera A. atlas untuk
menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas.
Pada B. mori, pakan dengan kadar air lebih rendah dari 65% berpengaruh
kurang baik. Hal ini disebabkan karena larva membutuhkan usaha-usaha
kompensasi meningkatkan suplai air dari metabolisme. Demikian pula apabila
pakan mengandung kadar air lebih tinggi dari 85% juga berdampak kurang baik
karena sedikit pakan yang masuk dan banyak energi yang hilang untuk
homeostatis (Ekastuti 1999). Kadar air daun sangat berpengaruh terhadap
konsumsi pakan, kecernaan, pertumbuhan dan produksi kokon (Ekastuti 2005).
Waktu yang terbaik untuk pemeliharaan ulat sutera disesuaikan dengan hasil
terbaik tanaman pakan. Hal ini disebabkan karena kualitas daun pakan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan larva ulat sutera (Atmosoedarjo et al. 2000).
46
Daur Hidup A. atlas
Dalam daur hidup A. atlas, periode terlama adalah stadia larva (Tabel 16).
Selama stadia ini, terjadi lima kali ganti kulit (molting) sehingga terjadi enam
periode instar. Moltinisme dipengaruhi oleh nutrisi. Nutrisi yang tidak baik pada
stadia larva, sering mengakibatkan frekuensi ganti kulit bertambah (Atmosoedarjo
et al. 2000).
Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa dimana ulat
makan daun (Chen 2003b & Passoa 1999), dan hal tersebut merupakan masa yang
sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur. Dengan
demikian kualitas daun merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
biologi dan perkembangan ulat sutera (Ahmad et al. 2006).
Pada umumnya serangga-serangga polifagus mempunyai kemampuan
detoksifikasi terhadap allelochemical yang lebih baik daripada serangga-serangga
monofagus. Bahan-bahan seperti alkaloid, tanin dan terpenoid yang terdapat pada
daun tumbuhan inang merupakan faktor seleksi bagi serangga. Dengan demikian
kecocokan tanaman inang akan terkait dengan kemampuan adaptasinya terhadap
kemampuan mentolelir bahan-bahan yang terdapat pada daun tersebut. Sifat
polifagus ini juga dapat menyebabkan predator dan parasit berkurang
kemampuannya dalam menemukan telur, larva dan kokon A. atlas yang tidak
terbatas di tanaman tertentu saja (Peigler 1989).
Stadium Larva
Larva A. atlas merupakan serangga yang aktif bergerak. Perilaku ini
berlangsung selama periode makan hingga pada saatnya molting (pergantian
kulit). Menjelang ganti kulit, ulat menghentikan keaktifan dengan posisi istirahat
(berbentuk C atau J). Ciri-ciri ulat menjelang fase istirahat yaitu nafsu makan
berkurang atau tidak mau makan, ulat lebih banyak diam dan kepalanya sedikit
diangkat ke atas (Samsijah & Kusumaputra 1975).
Untuk mendapatkan pertumbuhan larva yang serempak, pemberian pakan
dilakukan sedini mungkin disaat pakan terakhir sebelum ganti kulit. Sebaliknya
pemberian pakan dilakukan selambat mungkin disaat pakan pertama sesudah ganti
kulit (Atmosoedarjo et al. 2000).
47
Kecepatan pertumbuhan larva tergantung dari temperatur dan kelembaban.
Pada B. mori, batas temperatur untuk pertumbuhan lebih tinggi dari 10ºC dan
lebih rendah dari 28ºC. Selama pemeliharaan berlangsung, suhu ruangan berkisar
antara 24-28ºC (Lampiran 30). Pertumbuhan biasanya lebih cepat pada temperatur
yang lebih tinggi (Atmosoedarjo et al. 2000). Selain suhu, kelembaban dan
kecocokan iklim mikro di tempat pemeliharaan ulat sutera juga ditentukan oleh
kesegaran dan tingkat pergantian udara.
Pada umumnya, larva yang baru menetas mencerna sebagian atau seluruh
kulit telurnya sehingga kebutuhan makan pertama kali dipenuhi dari tepung yang
terdapat dalam kulit telurnya (Passoa 1999). Selanjutnya larva mulai makan daun
yang cocok bagi kebutuhannya, terutama jenis dan ketersediaan bahan nutrisinya.
Instar pertama dengan ciri-ciri yaitu kepala berwarna hitam dan tubuhnya
berwarna kuning pucat. Serbuk putih (kapur) terdapat pada bagian punggungnya.
Larva Attacus dan genera kerabatnya memiliki lilin putih berupa serbuk yang
disekresikan oleh kutikula. Kandungan utama dari lilin tersebut adalah 1-
triacontanol (Peigler 1989).
Larva instar kedua berwarna kehijauan ditutupi tepung berwarna putih.
Bagian kepala berwarna coklat gelap. Terdapat bercak berwarna sangat orange
dipinggir metatoraks dari segmen kedelapan hingga segmen kesepuluh. Bercak
warna orange ini berlanjut pada instar ketiga dan keempat. Sebelum ganti kulit
berikutnya, tuberkel yang terdapat sepanjang punggungnya makin lama akan
semakin tebal terselubungi oleh serbuk putih.
Memasuki instar ketiga, tubuh berwarna hijau dan ditutupi tepung berwarna
putih. Sejak instar ketiga hingga terakhir, larva memakan seluruh bagian daun dan
tulang daun. Larva instar keempat dengan warna kepala putih kehijauan cerah.
Bercak orange tubuh bagian belakang mulai memudar. Larva lebih rakus dan
aktif.
Larva instar kelima dengan kepala berkilauan dan berwarna hijau
kekuningan terang. Kaki di bagian dada biru kehijauan terang. Tubuh bagian
dorsal lebih putih sedangkan tubuh bagian ventral lebih kuning. Larva semakin
rakus. Ciri morfologi larva instar kelima relatif sama dengan larva instar keenam.
48
Kaki di bagian dada biru kehijauan terang. Pada awal instar keenam, larva makan
sangat rakus dan akan berkurang menjelang akhir instar (menuju periode pupa).
Pada ngengat berukuran besar seperti A. atlas, larva disebut juga sebagai
”mesin pemakan” untuk meningkatkan berat badannya sampai beberapa ribu kali
lipat (Tabel 11). Setiap kali ganti kulit terbentuk kutikula baru yang semula lunak
sehingga dapat terentang seiring dengan pertumbuhan larva (Kalthoff 1996).
Ketersediaan pakan sangat menentukan pertumbuhan larva.
Konsumsi pakan selama periode ulat besar (instar III-VI) sangat tinggi
(Tabel 9). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), konsumsi daun murbei selama
periode ulat besar mencapai 90% dari total pakan yang dikonsumsi. Konsumsi
pakan yang terbanyak di saat larva instar keenam (Tabel 9). Hal tersebut berkaitan
dengan pertumbuhan kelenjar sutera guna pembentukan filamen yang mencakup
40% dari total bobot tubuhnya dan simpanan energi yang dibutuhkan ketika
memasuki fase pengokonan.
Larva instar VI (Tabel 17) juga membutuhkan waktu paling panjang
dibandingkan dengan instar lainnya. Keadaan tersebut disebabkan instar terakhir
akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda
dengan stadium larva. Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis
serangga membutuhkan waktu cukup lama karena: 1) terjadi pertumbuhan dan
perubahan dari organ tertentu, 2) terjadi proses pengumpulan dan penimbunan
cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa
menjadi imago, karena dalam stadium pupa terjadi aktifitas istirahat (Chapman
1998).
Pada periode larva dilakukan penyimpanan energi dalam bentuk lemak
tubuh (Gullan & Cranston 2000). Lemak tubuh berfungsi dalam banyak aspek
penyimpanan serta sintesis protein, lemak dan karbohidrat. Sel-sel dasar lemak
tubuh adalah trofosit, atau adifosit, dan pada kebanyakan ordo sel-sel tersebut
merupakan satu-satunya sel yang ada (Chapman 1998). Energi yang disimpan
dalam bentuk lemak tubuh digunakan oleh ngengat untuk menyelesaikan stadia
lain dalam daur hidupnya.
Tanda-tanda larva akan mengokon dengan mengeluarkan feses yang lunak
dan urin. Sebelum membuat serat-serat kokon, larva akan mengeluarkan sejenis
49
lendir serta tubuhnya berwarna hijau tua hingga hijau bersemu hitam. Gerakan
larva relatif lamban. Posisi istirahat larva dengan mengangkat bagian tubuh
depan, hanya tungkai bagian abdomen saja yang mencengkram ranting daun.
Sedangkan menurut Passoa (1999), pada saat instar terakhir larva akan diam
untuk mempersiapkan pupasi. Setelah larva berhenti makan, tubuhnya menjadi
memendek yang selanjutnya diikuti dengan peristiwa ”mengokon”. Usus
dikosongkan dari makanan (pengeluaran feces dan tidak makan/puasa), dan
kadang terjadi perubahan warna. Seringkali sesudah bergerak mencari tempat
yang nyaman (periode pengembaraan), ulat memintal kokon sutera dalam
naungan warna coklat atau abu-abu pada tanaman yang menjadi makanannya.
Serat yang dijalin beralur, menyilang dari pangkal ke ujung dan sebaliknya.
Demikian seterusnya hingga seluruh tubuh tertutup serat sutera yang memakan
waktu rata-rata 24-36 jam. Kokon berbentuk lonjong (ovoid) dan berwarna coklat.
Periode larva terpanjang adalah pada larva dengan pakan daun sirsak (Tabel
15). Lama periode larva sirsak sesuai dengan hasil penelitian Awan (2007) yang
menyatakan bahwa periode larva dengan pakan daun sirsak yaitu 39.55 hari
dengan rataan ±4.38 hari. Lamanya periode ini disebabkan karena kandungan air
pada daun sirsak lebih rendah dibandingkan dengan kandungan air pada daun
kaliki dan daun jarak pagar. Rendahnya kadar air pakan akan menunda proses
ganti kulit (molting) bagi larva (Ekastuti 2005).
Sedangkan periode larva terpendek adalah pada larva dengan pakan daun
kaliki (Tabel 15). Dalam usaha serikultur, semakin pendek daur hidup ulat sutera
akan semakin baik. Hal ini dimaksudkan agar panen kokon menjadi lebih cepat.
Stadium Pupa
Periode pupa merupakan periode kedua terpanjang setelah periode larva
(Tabel 16). Masa istirahat dan lamanya fase pupa menggambarkan sejumlah
strategi evolusi. Pola kemunculan yang demikian paling tidak memiliki dua
keuntungan evolusi: 1) sedikitnya hasil silang dalam (inbreeding) karena
menurunnya kemungkinan perkawinan sibling, dan 2) tingkat populasi tidak akan
turun banyak jika kondisi buruk (kekeringan atau topan) yang dapat membunuh
sebagian besar larva dari satu generasi pada suatu wilayah (Peigler 1989).
50
Menurut Passoa (1989), pada saat stadium pupa terjadi beberapa proses
pembentukan organ-organ baru seperti sayap, antena, mata, bagian-bagian mulut,
tungkai-tungkai. Selama perkembangan tersebut, hanya sistem saraf saja yang
tetap bertahan mulai dari stadium larva sampai dewasa. Beragam faktor seperti
suhu, cahaya, curah hujan dan fotoperiodisme akan mempengaruhi terhadap
kemunculan ngengat. Saat waktu yang tepat, maka serangga ini akan memulai
daur hidupnya kembali.
Sebelum ngengat keluar menjadi imago dewasa, ngengat berlindung terlebih
dahulu dalam kokon sutera. Tahapan perlindungan imago di dalam pupa
menimbulkan permasalahan lain yaitu diperlukan usaha imago keluar dari
kokonnya. Pada B. mori dan ngengat sutera liar dinding kokon dilembutkan dan
dilarutkan dengan cairan yang mengandung enzim proteolitik yang disekresikan
dari mulut ngengat pada fase dewasa (Falakali & Turgay 1999).
Sedangkan menurut Passoa (1999) saat imago berada di dalam kokon,
imago memperbesar dirinya sendiri melalui penambahan tekanan udara dan darah
agar supaya dapat merobek tempat pupa. Selanjutnya ngengat melepaskan enzim
yang disebut dengan ”coconase” untuk merusak substansi yang ada pada kulit
kokon dan filamen sutera. Enzim ini menghancurkan serisin yang mengikat
filamen fibroin dari sutera. Begitu dinding kokon yang kuat mulai melemah, maka
ngengat tersebut akan menambah tekanan dari dalam kokon agar dindingnya
dapat robek (Passoa 1999).
Pupa mempunyai kontribusi yang besar bagi daya tahan hidup mereka,
sebab pembentukan tempat pupasi oleh larva sangat menentukan probabilitas daya
tahan pupa (Veldtman et al. 2007). Menurut Danks (2004), kokon pada banyak
spesies berperan penting dalam meningkatkan daya tahan bagi serangga selama
musim dingin. Disamping itu, umumnya kokon sutera anti jamur dan anti bakteri.
Pupa dapat menjadi imago beberapa minggu atau bulan setelah pupasi, atau
setahun kemudian, atau bahkan lebih dari dua tahun kemudian (Peigler 1989).
Fenomena ini menandakan bahwa terjadi diapause pada pupa A. atlas. Menurut
Chapman (1998), morfogenesis mengalami penghentian selama diapause pada
telur dan pupa, yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang. Indikator
yang paling dipercaya dan konsisten dalam peristiwa diapause adalah musim,
51
yaitu panjang hari (fotoperiodisme) dan ini merupakan hal paling penting pada
diapause yang mengawali stimuli.
Intensitas cahaya selama fotoperiodisme tidak penting asalkan melampaui
nilai ambang batas yang sangat rendah. Hal ini bervariasi pada spesies, tetapi
umumnya sekitar 170 lux atau kurang. Demikian pula, suhu berperan dalam
induksi diapause. Umumnya, pada daerah sedang, suhu tinggi menekan dan suhu
rendah mempertinggi kecenderungan untuk memasuki diapause (Chapman 1998).
Stadium Imago
Imago keluar dari pangkal kokon, berwarna coklat kekuning-kuningan
dengan gambaran berwarna coklat muda atau putih pada kedua pasang sayap.
Rentang sayap A. atlas sangat besar (Tabel 20). Menurut Peigler (1989) ngengat
A. atlas mempunyai rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera
lainnya. Secara keseluruhan ukuran betina lebih besar dari jantan (Gambar 18).
Gigantisme imago menurut Peigler (1989), merupakan suatu strategi evolusi
yang digunakan oleh Attacus dan genera kerabatnya. Jika ngengat diserang, di sini
ada kemungkinan bahwa tubuh yang kecil akan terhindar dari bahaya karena
dikelilingi oleh sayap yang lebar. Warna sayap dan pola sayap pada Attacus
memberikan kesan suatu tatanan mekanisme pertahanan. Ketika ngengat
diganggu, titik pada sayap menyerupai mata diekspos untuk mengejutkan atau
menakuti predator (Passoa 1999).
Gambar 18 Imago A. atlas jantan dan betina (Foto: koleksi pribadi)
Imago jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ciri-ciri antenanya,
dimana antena jantan lebih besar daripada antena betina (Gambar 19). Antena
berfungsi untuk mendeteksi feromon seks yang dikeluarkan oleh betina. Menurut
♂ ♀
52
Rogerst et al. (1997) fungsi antena adalah untuk mengenali bau feromon seks dan
tumbuhan.
Gambar 19 Antena A. atlas jantan dan betina (Foto: koleksi pribadi)
Senyawa-senyawa dalam feromon seks B. mori yaitu bombikol dan
bombikal, kedua senyawa tersebut dihasilkan oleh ngengat betina (Grater et al.
2006; Syed et al. 2006). Sedangkan Grater et al. (2006) mengatakan bahwa
feromon merupakan sarana komunikasi seksual yang terdapat pada serangga.
Pada kebanyakan Lepidoptera betina, kelenjar yang memproduksi feromon
daya tarik seks jantan terletak di bawah membran intersegmen pada segmen
abdomen posterior, biasanya antara segmen delapan dan sembilan. Seringkali
terletak di bagian ventral, tetapi pada beberapa spesies di bagian dorsal dan yang
lainnya muncul sebagai cincin yang mengelilingi tubuh (Chapman 1998).
Hidrokarbon alifatik digunakan sebagai komponen feromon oleh banyak
serangga. Feromon daya tarik seks pada banyak Lepidoptera betina adalah
hidrokarbon rantai lurus, umumnya dengan panjang rantai 12, 14 dan 16 atom
karbon. Kebanyakan feromon ngengat adalah asetat. Feromon hidrokarbon pada
banyak Lepidoptera, disintesis dari asam lemak dalam beberapa tahapan
(Chapman 1998).
Menurut Sinhsina et al. (1995), imago jantan mampu merasakan bau
feromon seks secara berulang. Dalam kondisi letih, reaksi penggerak akan
berhenti selama 5 hingga 6 detik sesudah itu kembali mendapat stimulus.
Sensitifitas bau feromon seks berlangsung dalam 2-5 menit. Komunikasi seksual
melalui feromon ini menurut Grater et al. (2006) dikembangkan dari sistem
olfaktori pada serangga.
Sedangkan menurut Rogers et al. (2001), ngengat Antheraea polyphemus
mendeteksi bau melalui ikatan molekul bau untuk protein reseptor yang
diekspresikan dalam saraf reseptor olfaktori. Molekul bau dihantarkan ke reseptor
bau oleh protein ikatan bau (OBPs = Odorant Binding Proteins). Saraf reseptor
♂ ♀
53
dan OBPs terdapat dalam struktur kutikula seperti rambut yang disebut sensila.
Sensila olfaktori ini tersusun di sepanjang antena, yang merupakan organ olfaktori
pada serangga.
Periode imago adalah periode terpendek dalam daur hidup ngengat A. atlas
(Tabel 15). Selama periode ini, imago melakukan aktifitas kawin jika bertemu
dengan pasangannya. Ngengat jantan dan betina yang melakukan kopulasi
berumur 2-4 hari. Kopulasi antara ngengat jantan dan betina terjadi pada malam
hari. Selama pemeliharaan diketahui kopulasi terjadi antara jam 22.00-01.30 WIB
dan selesai pada jam 19.00-21.00 WIB malam berikutnya. Lama kopulasi berkisar
dari 21 hingga 23 jam. Sedangkan menurut Passoa (1999), lama kawin ngengat
sutera antara 10 hingga 24 jam.
Seks rasio A. atlas sangat bervariasi, yaitu kadang-kadang banyak jantannya
dan sedikit betina atau sebaliknya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya
perkawinan menjadi sulit. Setelah kopulasi, ngengat betina mulai bertelur,
sedangkan jantan mencari betina yang lain jika masih fit. Ngengat betina biasanya
mulai meletakkan telur tiga hari sesudah keluar dari kokon, walaupun tidak
dibuahi. Telur yang dibuahi (fertil) membutuhkan waktu 6-10 hari untuk menetas
(Tabel 19), sedangkan telur-telur yang tidak dibuahi (infertil) tidak akan menetas.
Stadium Telur
Dalam industri sutera, fekunditas dan kesuburan betina adalah dua faktor
utama karena keduanya berkorelasi secara langsung dengan produksi sutera yaitu
menentukan jumlah keturunan yang ada serta produksi sutera mentah yang lebih
banyak apabila keberhasilan hidup saat mencapai kokon tinggi (Faruki 2005).
Fekunditas (keperidian) ngengat A. atlas dalam pengamatan ini cukup tinggi
(Tabel 18), hal ini sesuai dengan pernyataan Peigler (1989) yaitu bahwa ngengat
A. atlas memiliki fekunditas tinggi.
Rataan persentase penetasan telur cukup tinggi (Tabel 18). Beberapa induk
mengalami penetasan telur yang rendah. Hal ini disebabkan telur serangga dari
imago pada awal dan akhir periode bermutu kurang baik, sehingga persentase
penetasan relatif rendah dan kondisi larva yang menetas lemah, akibatnya
mortalitas larvanya cenderung tinggi (Chapman 1998).
54
Periode peletakan telur berlangsung kurang dari satu minggu (Tabel 19).
Menurut Dash et al. (1993), kecepatan peletakan telur pada Antheraea mylitta
memperlihatkan perbedaan yang tidak signifikan dengan penambahan lama
kawin.
Daun jarak pagar merupakan daun yang paling banyak dikonsumsi oleh
larva A. atlas. Kandungan air dan protein pada daun jarak pagar sesuai dengan
kebutuhan larva. Akan tetapi, banyaknya konsumsi pakan berupa daun jarak
pagar pada larva A. atlas tidak berbanding lurus dengan kualitas kokon dan
filamen sutera yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pakan alternatif yang
diberikan pada larva A. atlas masih dalam proses habituasi. Untuk mendapatkan
produksi sutera yang maksimum, diperlukan upaya domestikasi secara terus-
menerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan
mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen
yang baik.
Daur hidup paling singkat pada larva A. atlas dengan pakan daun kaliki. Hal
ini dikarenakan kandungan air pada daun kaliki ’tua’ lebih tinggi dibandingkan
dengan daun kaliki ’muda’. Padahal larva instar ke-1 sampai ke-3 memerlukan
daun muda dengan kandungan air yang lebih tinggi dan sebaliknya larva instar ke-
4 sampai ke-6 memerlukan daun tua dengan kandungan air lebih rendah. Kondisi
ini menjadi penyebab ganti kulit (molting) pada larva terjadi lebih cepat.
Kualitas Kokon A. atlas
Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalam
(pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokonnya (lapisan serat suteranya)
keras kalau ditekan dan sedikit berat (Samsijah & Andadari 1992). Kokon yang
berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor pada
bagian dalam, kokon kotor pada bagian luar, kokon kulit berlapis, kokon
berlekuk, kokon berujung tipis dan kokon tergencet (Atmosoedarjo et al. 2000).
Panen kokon yang baik dilakukan pada hari ke-6 dan ke-7 dihitung sejak
larva mulai mengokon. Hal ini dimaksudkan agar pupa telah terbentuk dengan
sempurna yang dicirikan dengan perubahan badan menjadi coklat serta kulit
menjadi keras (Atmosoedarjo et al. 2000).
55
Masa yang paling penting selama pengokonan untuk mendapatkan filamen
kokon terbaik mencakup waktu mulai larva mengokon sampai akhir berputar-
putar (Atmosoedarjo et al. 2000). Selama larva berputar-putar membuat kokon,
aerasi dan penurunan kelembaban penting agar kualitas filamen kokon meningkat
terutama daya pintalnya.
Hasil kokon yang baik juga dapat diperoleh dengan menggunakan hormon
juvenil. Hal ini telah dilakukan oleh Mamatha et al. (2006) yang menyatakan
bahwa penggunaan hormon juvenil seperti methoprene dan fenoxycarb pada
pemeliharaan ulat sutera selama musim panas akan membantu untuk memperbaiki
hasil kokon.
Kondisi kering berpengaruh selama pemintalan, pada akhirnya juga
berpengaruh terhadap hasil kokon yang lebih baik. Selama pemeliharaan ulat
berlangsung, suhu maksimum ruangan laboratorium berkisar antara 27-28 ºC dan
suhu minimum antara 24-26 ºC. Kondisi ini cukup optimal untuk produktifitas
maksimum dari kokon.
Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon
Penurunan bobot tubuh selama proses mengokon cukup tinggi (Tabel 22).
Hal tersebut terjadi karena pada saat akan mengokon, ulat sutera akan berputar-
putar terlebih dahulu untuk mencari tempat mengokon yang baik kemudian
menetap di tempat yang telah dipilihnya dan membuat lapisan kokon tipis-tipis
untuk menyangga kokonnya (disebut floss) (Atmosoedarjo et al. 2000).
Penurunan bobot tubuh selama proses mengokon dapat dikurangi apabila tempat
untuk mengokon baik sebab ulat tidak banyak berputar-putar untuk mencari
tempat yang cocok untuk mengokon.
Tempat untuk mengokon sangat mempengaruhi kenyamanan disaat larva
akan mengokon, beberapa faktor diantaranya adalah bentuk dan kekakuan daun.
Daun tua pada daun sirsak memiliki struktur yang lebih kaku dibandingkan
dengan daun kaliki dan jarak pagar. Kesesuaian tempat mengokon akan
mengurangi pengembaraan larva sehingga energi tidak banyak terbuang.
Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa, sedangkan floss hanya
sebagian kecilnya saja dari total keseluruhan bobot kokon segar A. atlas (Tabel
23).
56
Bobot Kokon Segar
Bobot kokon segar yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun
sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan bobot
kokon segar pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 6.47±0.8
g.
Jika dibandingkan dengan pakan daun kaliki dan jarak pagar, bobot kokon
segar dari larva dengan pakan daun sirsak lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena
larva yang mengkonsumsi daun sirsak lebih efektif dan efisien pada saat
pembuatan floss dan lebih sedikit mengalami penurunan bobot selama proses
mengokon. Larva dengan pakan daun sirsak mungkin lebih nyaman pada saat
mengokon sehingga efektif dalam penggunaan energi tubuhnya.
Nilai simpangan baku yang tinggi, mengindikasikan bobot kokon segar
yang bervariasi. Menurut Katsumata (1964), bobot kokon yang kurang seragam
akan menghasilkan panjang dan tebal benang yang berbeda dan akan menyulitkan
proses pemintalan menjadi benang sutera.
Dalam laporan Ullal & Narasimhanna (1987) dikatakan bahwa
pemeliharaan larva B. mori pada suhu tinggi disertai fluktuasi suhu yang cepat
menyebabkan kualitas kokon menjadi rendah. Disamping itu, pemeliharaan ulat
sutera Antheraea mylita pada musim hujan menghasilkan kokon berkualitas
rendah. Hal tersebut sebagai akibat dari curah hujan yang tinggi telah
mengganggu pemintalan serat suteranya (Dash et al. 1992).
Bobot Kulit Kokon
Bobot kulit kokon yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak
cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan bobot kulit
kokon pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 1.15±0.3 g.
Kulit kokon merupakan lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan
fibroin. Kulit kokon sangat menentukan jumlah serat sutera yang akan dihasilkan
pada saat dipintal. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan, maka semakin
banyak banyak pula benang yang diperoleh (Atmosoedarjo et al. 2000).
Tempat mengokon sangat berpengaruh terhadap jumlah serat-serat
penyangga (floss) yang dikeluarkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Tempat
yang nyaman bagi ulat sutera untuk membuat kokon memudahkan ulat dan
57
memerlukan sedikit serat-serat sutera untuk menempelkan floss-nya pada daun,
oleh sebab itu sisa serat sutera yang akan digunakan untuk membuat kokon masih
cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan tinggi.
Persentase Kulit Kokon
Persentase kulit kokon yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun
sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan
persentase kulit kokon segar pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan
(2007) yaitu 15.23±2.3 %.
Nilai persentase kulit kokon memiliki hubungan yang sangat erat dengan
persentase filamen dan merupakan salah satu faktor untuk menentukan kualitas
kokon yang dihasilkan (Atmosoedarjo et al. 2000). Persentase kulit kokon tidak
dipengaruhi oleh perbedaan pakan pada larva akan tetapi sangat dipengaruhi oleh
jenis ulat dan kondisi iklim tempat pemeliharaan yang meliputi suhu, kelembaban,
dan sirkulasi udara selama proses pengokonan.
Menurut Kaomini dan Andadari (2004), jenis ulat B. mori yang baik
mempunyai rasio kulit kokon 22-25 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini
lebih rendah (Tabel 22). Hal tersebut disebabkan karena pengaruh lingkungan
tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban kurang sesuai untuk
proses pengokonan. Klasifikasi mutu kokon berdasarkan rata-rata populasi dari
jenis serangga dan jenis pakan ditunjukkan pada Tabel 27 berikut ini.
Tabel 27 Klasifikasi kokon A. atlas Kualitas kokon Sirsak Kaliki Jarak Pagar - Jenis serangga Bobot kokon B C C Bobot kulit kokon C D C Persen kulit kokon C D D - Jenis pakan Bobot kokon C D D Bobot kulit kokon C D D Persen kulit kokon C D D Berdasarkan Tabel 27 di atas, maka diketahui bahwa mutu kokon
berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga dan jenis pakan adalah ’C’ pada
kokon yang larvanya diberi pakan daun sirsak dan ’D’ pada kokon yang larvanya
diberi daun kaliki dan jarak pagar.
58
Kualitas Filamen A. atlas
Filamen (serat sutera) terdiri dari fibroin dan serisin (Sangwatanaroj et al.
2007; Strobin 2006; Ghosh 2004; Atmosoedarjo et al. 2000). Filamen tersebut
dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera yang terdiri dari bagian depan (spinneret)
sebagai saluran pengeluaran kelenjar, bagian tengah menghasilkan serisin
(C15H23N5O8) sebagai perekat dan bagian belakang menghasilkan fibroin
(C15H26N5O6) sebagai sutera cair (Sunanto 1997; Samsijah & Andadari 1992).
Pada saat di dalam kelenjar sutera, serisin dan fibroin masih dalam bentuk cair
(fluid) tetapi setelah dikeluarkan akan mengeras karena bersinggungan dengan
udara luar.
Serat sutera (filamen) dari sebutir kokon dapat digulung dengan tangan (cara
manual) atau menggunakan mesin penggulung (tradisional maupun modern)
setelah diproses terlebih dahulu. Menurut Sangwatanaroj et al. (2007), sutera yang
digulung dengan tangan memperlihatkan nilai rendah dalam hal whiteness
(tingkatan warna putih), birefringence (ketegaran), crystallinity (kadar kristal) dan
softening (kelembutannya) dibandingkan dengan filamen yang digulung
menggunakan mesin penggulung. Namun demikian, sutera yang digulung dengan
tangan menunjukkan denier (satuan kehalusan filamen benang sutera yang
dinyatakan dalam gram per 9000 m) dan fiksasi celupan lebih tinggi. Sutera yang
digulung dengan mesin hasilnya lebih putih dibandingkan dengan yang digulung
memakai tangan walaupun pada sutera yang sama.
Menurut Strobin et al. (2006), makromolekul pada fibroin dibangun dari
asam amino utama yang terdiri dari asam amino glisin, alanin dan serin dengan
perbandingan 3:2:1. Sedangkan Ghosh (2004) menyatakan bahwa fibroin tersusun
atas polipeptida yang dibangun dari 4 asam amino: glisin (38-41%), alanin (30-
33%), serin (12-16%) dan tirosin (11-12%).
Struktur molekul fibroin pada sutera memiliki sifat mekanis yang baik,
permeabilitas yang baik terhadap oksigen dan air, serta biokompatibilitas yang
tinggi. Gen fibroin tersusun atas susunan pengganti dari elemen kristalin dan
nonkristalin. Elemen kristalin tersusun atas sekuen 18 basa yang terdiri dari
pengulangan unit peptida gly-ala-gly-ala-gly-ser serta elemen nonkristalin terdiri
dari sekuen 30bp (Zama 2000).
59
Serisin adalah sebuah protein makromolekul. Protein serisin terbentuk dari
18 asam amino yang mempunyai kelompok sisi polar yang kuat seperti kelompok
hidroksil, karboksil dan amino. Protein ini dapat dihilangkan, dengan materi
makromolekul lainnya, seperti polimer sintesis untuk menghasilkan material
dengan properti yang lebih bagus (Sarovart 2003).
Sebagian besar serisin harus dilepas selama produksi sutera kasar pada
pabrik pemintalan dan tahap lain pada pemrosesan sutera (Sarovart 2003).
Penghilangan serisin dari sutera fibroin dilakukan dengan suatu proses yang
disebut degumming.
Bobot sutera akan berkurang setelah degumming, hal ini disebabkan karena
hilangnya serisin sutera. Umumnya, bobot sutera berkurang sekitar 20% selama
degumming. Berdasarkan laporan Sangwatanaroj et al. (2007), filamen sutera
berkurang 18.4-22.4% setelah degumming. Perbedaan berkurangnya bobot
filamen atau serisin antar varietas sutera bervariasi tergantung pada kandungan
serisin masing-masing filamen (perbedaan induk genetik, konsumsi makanan dan
iklim). Meskipun metode penggulungan juga berpengaruh terhadap jumlah serisin
pada tiap-tiap varietas ulat sutera, akan tetapi pengaruhnya hanya sedikit
dibandingkan dengan pengaruh genetik, konsumsi makanan dan iklim. Pada
penelitian ini, filamen sutera berkurang 21.84% (pakan daun sirsak), 41.12%
(pakan daun kaliki) dan 31.90% (pakan daun jarak pagar).
Panjang Filamen
Panjang filamen yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak
cukup tinggi (Tabel 23). Nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan panjang
filamen dengan pakan yang sama pada hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 78.73
meter.
Panjang filamen kokon memiliki hubungan yang sangat erat dengan bobot
kulit kokon (Atmosoedarjo et al. 2000). Panjang filamen kokon dengan pupa
jantan cenderung lebih tinggi daripada betina, karena ukuran tubuh larva jantan
lebih kecil dari betina sehingga lubang keluar sutera (spinneret) juga kecil.
Semakin panjang serat yang dihasilkan dari sebutir kokon maka semakin baik
kualitas filamennya. Perbedaan jenis pakan disaat larva, berpengaruh nyata
terhadap panjang filamen (Tabel 23).
60
Cara menggulung filamen berpengaruh terhadap besarnya denier. Dalam
laporan Sangwatanaroj et al. (2007) diketahui bahwa filamen B. mori (pada
varietas sutera yang sama) yang digulung dengan mesin (nilainya 2.2-2.4 denier)
lebih kecil ukuran deniernya bila dibandingkan dengan yang digulung dengan
tangan (nilainya 2.4-2.5 denier).
Bobot Filamen
Bobot filamen yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak
sangat rendah (Tabel 24) jika dibandingkan dengan bobot filamen dengan pakan
yang sama pada hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 4.84±0.71 gram.
Perbedaan jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot filamen
(Tabel 24). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), bobot filamen proporsional
dengan bobot kulit kokon, semakin besar bobot kulit kokon yang dihasilkan maka
akan semakin besar pula bobot filamennya.
Daya Urai Kokon (Reelability)
Perbedaan jenis pakan yang diberikan di saat larva berpengaruh nyata
terhadap daya urai kokon (Tabel 23). Filamen kokon yang berasal dari larva pakan
daun kaliki mengalami lebih sedikit jumlah putus selama pemintalan
dibandingkan dengan filamen kokon yang berasal dari larva pakan jarak pagar
dan sirsak. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) suhu, kelembaban dan arus udara
berpengaruh terhadap daya urai kokon.
Dua faktor diantaranya yaitu kelembaban dan arus udara mempunyai
pengaruh yang paling kuat terhadap daya urai kokon. Kelembaban yang terlalu
tinggi atau terlalu rendah menyebabkan serat sutera banyak terputus. Kelembaban
yang terlalu rendah dapat menyebabkan kokon menjadi keras, sedangkan
kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kokon menjadi lunak dan
dapat menyebabkan cacat pada benang suteranya.
Klasifikasi mutu filamen berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga
dan jenis pakan ditunjukkan pada Tabel 28 berikut ini. Berdasarkan rata-rata
populasi dari jenis serangga mutu filamen adalah ’C’ (pakan daun sirsak), dan ’D’
(pakan daun kaliki dan jarak pagar). Sedangkan berdasarkan rata-rata populasi
dari jenis pakan mutu filamen adalah ’D’ (pakan daun sirsak, kaliki dan jarak
61
pagar). Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang
paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah daun sirsak.
Tabel 28 Klasifikasi filamen A. atlas Kualitas filamen Sirsak Kaliki Jarak Pagar - Jenis serangga Bobot filamen B B B Panjang filamen C D D Daya urai kokon B A B - Jenis pakan Bobot filamen B B B Panjang filamen A C C Daya urai kokon C A B
Menurut Gosh (2004), kokon sutera Tasar (salah satu sutera liar) tidak perlu
dipanaskan atau dipanggang terlebih dahulu sebelum dilakukan reeling
(pemintalan sutera). Hal ini disebabkan karena ngengat sutera liar hanya
membuka dinding serisinnya tanpa menghancurkan filamen fibroin suteranya
disaat ngengat keluar dari kokonnya.
Filamen sutera terpanjang pada kokon yang berasal dari larva A. atlas yang
diberi pakan daun sirsak (kontrol/pakan utama). Tingginya produksi sutera ini
berkaitan dengan lamanya daur hidup larva. Semakin panjang daur hidup larva,
maka akan semakin banyak pakan yang dikonsumsi oleh larva. Lamanya daur
hidup juga disebabkan oleh faktor kandungan air dan protein pada pakan. Daun
sirsak memiliki kandungan air paling rendah dibandingkan dengan daun kaliki
dan jarak pagar. Hal ini dapat menyebabkan tertundanya peristiwa ganti kulit dan
dengan demikian periode makan menjadi lebih lama.
Namun demikian, larva yang diberi pakan daun jarak pagar menunjukkan
kenyataan yang bertolak belakang. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan cairan sutera pada larva diantaranya kemampuan larva untuk
mencerna pakan. Daya cerna pada larva yang diberi pakan daun jarak pagar masih
rendah. Hal ini disebabkan karena larva masih dalam proses adaptasi dan
habituasi terhadap pakan alternatif. Dibutuhkan waktu yang cukup lama agar larva
mampu beradaptasi terhadap pakan baru melalui breeding secara berkelanjutan.
Daun sirsak (tanaman inang utama) dan daun kaliki (tanaman inang) dapat
dicerna oleh larva secara lebih efektif dan efisien. Hal ini dibuktikan dengan bobot
larva akhir instar VI yang sama besarnya diantara ketiga perlakuan pakan.
62
Meskipun besarnya pakan yang dikonsumsi amat berbeda nyata diantara ketiga
perlakuan. Sebagai pakan alami, kedua daun tersebut sudah terbiasa
Kemampuan larva A. atlas untuk mengkonsumsi daun jarak pagar sebagai
tanaman alternatif telah membuktikan sifat polifag pada larva. Sedangkan
besarnya jumlah pakan yang dikonsumsi disebabkan karena kandungan air yang
baik pada daun. Larva A. atlas sangat menyukai pakan dengan kadar air yang
tinggi. Hal ini membuka peluang untuk melakukan budidaya ulat sutera
berdampingan dengan program pemerintah mengenai biodiesel. Daun jarak pagar
dapat digunakan sebagai pakan bagi ulat sutera, sedangkan bijinya digunakan
sebagai bahan baku biodiesel.
Bobot filamen yang tinggi tidak berbanding lurus dengan panjang
filamennya. Hal ini disebabkan karena panjang filamen berkaitan juga dengan
kehalusan dari filamen tersebut. Jika suatu filamen dengan bobot yang rendah
menghasilkan panjang filamen yang tinggi saat dipintal, maka filamen yang
dihasilkan sangat halus.
Pada dasarnya, antara sutera B. mori dengan sutera A. atlas memiliki
perbedaan karakteristik daya urai. Filamen sutera A. atlas didapati terputus-putus
meskipun dilakukan pencegahan kemunculan imago dari kokon. Hal ini
disebabkan karena kokon A. atlas berlubang. Sedangkan pada sutera B. mori,
untuk mendapatkan serat filamen yang tidak terputus maka dilakukan upaya untuk
mencegah kemunculan imago dari kokon dengan cara mematikan kokon melalui
pemanasan.
Penyeratan atau penguraian filamen dari sebuah kokon dapat dilakukan
menggunakan alat pemintal modern, alat pemintal sederhana (hand spun) dan
secara manual. Dalam penelitian ini, penyeratan dilakukan secara manual. Alat
pintal yang umum digunakan oleh para petani sutera di Indonesia adalah hand
spun. Di Indonesia, saat ini belum memiliki alat pemintal modern.
Dengan mesin gulung modern, panjang filamen dari sebuah kokon dapat
diurai mencapai 2500 m (dengan ketebalan tipis). Sedangkan berdasarkan hasil
penelitian Awan (2007), jika dipintal menggunakan hand spun panjang filamen
sebuah kokon A. atlas mencapai 83.61 m (pada F3 dengan pakan daun teh) dan
78.73 m (pada F3 dengan pakan daun sirsak). Dalam penelitian ini, penyeratan
63
dilakukan secara manual (tanpa alat pemintal). Hasilnya adalah 146.84 m (pakan
daun sirsak), 33.96 m (pakan daun kaliki) dan 34.53 m (pakan daun jarak pagar).
Suhu dan Kelembaban Ruangan
Suhu ruangan selama pemeliharaan berkisar antara 24-28ºC dengan
kelembaban 46-78%. Pada ulat sutera B. mori, suhu untuk pemeliharaan ulat kecil
antara 25-28ºC dengan kelembaban 80-90%, sedangkan ulat besar membutuhkan
suhu 23-24ºC dengan kelembaban 65-75% (Atmosoedarjo et al. 2000). Jika suhu
lebih dari 30ºC menyebabkan pakan cepat layu dan tidak disukai oleh larva.
Sebaliknya jika suhu lebih rendah dari 20ºC kelembaban menjadi tinggi dan dapat
menimbulkan patogen penyakit meskipun pakan menjadi segar.
Pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh iklim di lokasi
pemeliharaan diantaranya yaitu suhu, kelembaban nisbi, kualitas udara, aliran
udara dan cahaya. Keadaan cuaca di luar ruang pemeliharaan juga sangat
berpengaruh tidak saja pada iklim mikro, akan tetapi juga kepada nilai gizi dari
daun. Kondisi suhu yang terlalu rendah ( <20 ºC ), memerlukan pemanasan ruang
pemeliharaan. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi sering melampaui batas
ketahanan ulat, sehingga perlu adanya pendingin ruangan pemeliharaan.
Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stres pada
larva. Larva yang stres tidak mau makan. Energi menjadi banyak keluar dan
kecepatan respirasi akan bertambah disertai meningkatnya kontraksi pembuluh
darah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan proses metabolisme
meningkat dan pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva
menjadi terganggu.
Selain suhu dan kelembaban nisbi, kecocokan iklim mikro di tempat
pemeliharaan ulat sutera juga ditetapkan oleh kesegaran udara dan tingkat
pergantian udara. Bila ventilasi baik, maka kisaran suhu dan kelembaban nisbi
yang dapat ditahan menjadi lebih luas. Meskipun udara panas dan lembab, namun
bila ventilasi tempat pemeliharaan baik maka kepadatan/kesesakan dapat
dikurangi dan evaporasi dari tubuh ulat sutera dapat ditingkatkan sehingga ulat
mendapat kesejukan. Bila cuaca dingin dan lembab, maka dengan pemanasan dan
ventilasi yang baik kenaikan suhu dan penurunan kelembaban dapat tercapai
sekaligus.
64
Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa pada ulat sutera B. mori,
instar I dapat dikatakan sebagai tingkat pengumpulan air. Sedangkan instar II
sampai IV sebagai tingkat penahanan air dan instar V sebagai tingkat pelepasan.
Oleh karena itu, pemeliharaan larva A. atlas pada instar I dilakukan pada
lingkungan lembab dan diberi pakan daun dengan kandungan air tinggi.
Sebaliknya, pemeliharaan pada instar VI dilakukan pada lingkungan relatif lebih
kering dengan ventilasi baik.
Ulat sutera adalah binatang berdarah dingin, maka secara alami suhu
tubuhnya terpengaruh oleh suhu tempat pemeliharaannya. Kelembaban nisbi dan
aliran udara lingkungan juga mempengaruhi suhu tubuhnya. Bila tidak ada aliran
udara di atas tempat pemeliharaannya, suhu tubuh ulat akan meningkat dengan
meningkatnya suhu lingkungan atau kelembaban nisbi.
Budidaya dalam ruangan
Pemeliharaan dalam ruangan menguntungkan pada saat pemeliharaan ulat
karena terhindar dari musuh alami serangga A. atlas. Akan tetapi, pemeliharaan di
dalam ruangan tidak sepenuhnya bebas dari serangan parasit atau patogen sutera
liar. Hal tersebut telah dialami oleh Situmorang (1996) pada saat memelihara
larva A. atlas di dalam laboratorium dan menemukan bahwa daun keben sebagai
pakan (B. asiatica) terkontaminasi oleh patogen-patogen yang mungkin berupa
virus, bakteri dan protozoa sehingga dapat mengakibatkan kematian larva. Untuk
menghindari kejadian tersebut maka setiap daun harus dicuci bersih dengan
desinfektan agar pemeliharaan di laboratorium terhindar dari patogen-patogen
tersebut.
Ulat sutera dapat hidup normal pada suhu 20-30ºC bahkan dapat bertahan
pada suhu 33-35ºC asalkan tidak berlangsung lama (Atmosoedarjo et al. 2000).
Suhu dan kelembaban dalam ruangan selama pemeliharaan larva A. atlas adalah
24-28ºC dan 46-78%. Kondisi tersebut sesuai untuk pemeliharaan maupun
pengokonan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk budidaya
A. atlas. Daun jarak pagar memiliki kandungan air yang sesuai bagi
pertumbuhan larva A. atlas.
2. Berdasakan jenis serangga, kelas mutu kokon dan filamen adalah ’C’ pada
pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar.
3. Berdasarkan jenis pakan, kelas mutu kokon adalah ’C’ pada pakan daun
sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan kelas
mutu filamen adalah ’C’ pada ketiga jenis pakan.
4. Pakan larva berupa:
- Daun sirsak (pakan kontrol) unggul dalam kualitas kokon dan filamen.
- Daun kaliki unggul dalam daur hidup yang singkat.
- Daun jarak pagar unggul dalam konsumsi pakan larva.
5. Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang
paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah pakan kontrol (daun
sirsak).
Saran
1. Domestikasi secara terus-menerus (breeding) agar diperoleh galur yang
benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada
akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik.
2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui suhu dan kelembaban
ruangan yang sesuai pada pemeliharaan dalam ruangan.
3. Perlunya ruangan yang terpisah untuk pemeliharaan ulat kecil dan ulat
besar.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad I, Ar-Rasyid MH, Salim S, Hosen MJ, Elora B. 2006. Effect of feeding on
the larval growth and development of silkworm, Bombyx mori L. Race: Nistari (M). Int J Sustain Agril Tech 2(2):66-68.
Akai H. 1997. Recent aspects of wild silkmoth and silk research. Makalah dalam
Seminar Proyek Pengembangan Ulat Sutera Liar Indonesia dan Prospek Kerjasama Propinsi DIY-Kyoto. Pusat Studi Jepang, UGM. Yogyakarta.
Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000.
Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Awan A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera:
Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Beck SD. 1980. Insect Photoperiodism. 2nd Ed. New York: Academic Press. Chapman RF. 1998. The Insects Structure and Function. 4th edition. United
Kingdom: Cambridge Universities Press. Chen Y (a). 2003. Variable tolerance of the silkworm Bombyx mori to
atmospheric fluoride pollution. Fluoride. 36(3):157-162. Chen Y (b). 2003. Differences in fluoride effects on fecundity among variety of
the silkworm Bombyx mori. Fluoride. 36(3):163-169. Common IFB. 1990. Moth of Australia. Australia: Melbourne University Press Dammerman KW. 1929. The Agricultural Zoology of The Malay Archipelago.
Amsterdam: JH de Bussy Ltd. Danks HV. 2004. The roles of insect cocoons in cold conditions. Eur J Entomol.
101:433-437. Dash AK, Mishra CSK, Nayak BK, Dash MC. 1993. Effect of mating duration on
oviposition rate and hatchability of the Indian Tasar Silk Moth Antheraea mylitta (Saturniidae) in different seasons. Journal of Research on the Lepidoptera. 32:75-78.
Dash AK, Nayak BK, Dash MC. 1992. The effect of different foodplants on
cocoon crop performance in the Indian tasar silkworm Antheraea mylita Drury (Lepidoptera: Saturniidae). Journal of Research on the Lepidoptera. 31(1-2):127-131.
67
Ekastuti DR. 2005. Pengaruh kadar air pakan terhadap pertumbuhan dan produktifitas ulat sutera (Bombyx mori). Jurnal Medis Veteriner Indonesia. 9(2):47-53.
Ekastuti DR. 1999. Pengaruh kadar air pakan terhadap katabolisme nutrien,
pertumbuhan dan kinerja produksi ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae) [disertasi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Faruki SI. 2005. Effect of pyridoxine on the reproduction of the mulberry
silkworm, Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae). ISJ. 2:28-31. Falakali B, Turgay G. 1999. Some morphological fatures of the rectal sac of the
silkworm (Bombyx mori, Bombycidae). Tr J of Zoology. 23:427-432. Ghosh P. 2004. Fibre Science and Technology. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Company Limited. Grater F, Xu W, Leal W, Grubmuller H. 2006. Pheromone discrimination by the
pheromon-binding protein of Bombyx mori. Structure. 14:1577-1586. Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insects an Outline of Entomology. Second
Edition. London: Blackwell Science Ltd. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan). Jilid II.
Jakarta:Yayasan Sarana Wana Jaya. Holloway JD. 1987. The moth of Borneo: superfamily Bombycoidea: families
Lasiocampidae, Eupterotidae, Bombycidae, Brahmaeidae, Saturniidae, Sphingidae. Southdene Sdn. Bhd. Malaysia: Kuala Lumpur .
Hui-peng Y, WU Xiao-feng, Gokulamma K. 2006. Antiviral activity in the
mulberry silkworm, Bombyx mori L. Journal of Zhejiang University Science A, 7(suppl.II):350-356.
Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru –
Van Hoeve. Kalthoff K. 1996. Analysis of Biological Development. New York: Mc Graw Hill
Inc. Kaomini M, Andadari L. 2004. Penanganan Kokon. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Katsumata F. 1964. Petunjuk Sederhana Bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Tokyo Mamatha DM, Cohly, Raju AHH, Rao MR. 2006. Studies on the quantitative and
qualitative characters of cocoons and silk from methoprene and fenoxycarb
68
treated Bombyx mori (L) larvae: African Journal of Biotechnology. 5(15):1422-1426.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan. Dengan Aplikasi
SAS Dan MINITAB. Jilid 1. Bogor: IPB Press. Miranda JE, Bortoli SA, Takahashi. 2002. Development and silk production by
silkworm larvae after tropical application of methoprene. Scientia Agricola, 59(3):585-588.
Nair KS, Yun-Gen M, Komar SN. 2005. Differential response of silkworm,
Bombyx mori L. to phytoecdysteroid depending on the time of administration. J Appl Sci Environ. 9(3):81-86.
Nazar A. 1990. Beberapa aspek biologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn)
pada tanaman cengkeh. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 16(1): 35-37.
Nuralamsyah A. 2000. Biodiesel Jarak Pagar. Bahan Bakar Alternatif yang
Ramah Lingkungan. Jakarta: Agro Media Pustaka. Ojha NG, Sinha SS, Singh MK, Sharan SK. 1974. Rearing and cocooning of
tropical tasar silkworm, Antheraea mylitta, in indoor condition. Int of Wild Silkmoth & Silk. 1(2): 257-260.
Passoa VA. 1999. Magnificent wild silk moths. Carolina Biological Supply
Company. 62(4):15-18. Partaya, Bintari SH, Priyono B. 2003. Pertumbuhan dan kualitas kokon ulat sutera
atakas Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) pada beberapa jenis pakan alami dan buatan [tesis]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Peigler RS. 1989. A Revision of The Indo-Australian Genus Attacus. California:
The Lepidoptera Research Fondation, Inc. Prihandono R, Hendroko R. 2006. Petunjuk Budidaya Jarak Pagar. Tangerang:
PT Agromedia Pustaka. Rachman A. 2001. Pengaruh fotoperioda pada perioda pupa Attacus atlas (L.)
(Lepidoptera: Saturniidae)[tesis]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada.
Rao CGP, Seshagiri SV, Ramesh C, Ibrahim BK, Nagaraju H, Shekaraiah C.
2006. Evaluation of genetic potential of the polyvoltine silkworm (Bombyx mori L.) germplasm and identification of parents for breeding programme. Journal of Zhejiang University SCIENCE B. 7(3):213-220.
69
Rogers ME, Krieger J, Vogt RG. 2001. Antennal SNMPs (Sensory Neuron Membrane Protein s) of Lepidoptera define a unique family of invertebrate CD36-like proteins. National Science Foundation. 47-62.
Rogerst ME, Sun M, Lerner MR, Vogt RG. 1997. Snmp-1, a novel membrane
protein of olfactory neurons of the silkmoth Antheraea polyphemus with homology to the CD 36 family of membrane proteins. The Journal of Biological Chemistry. 272(23):14792-14799.
Samsijah, Andadari L. 1992. Teknik Pengolahan Kokon dan Benang Sutera.
Informasi Teknis No. 27. Bogor: Pusat Penelitian Pengembangan Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS. 1978. Pembibitan ulat sutera [Laporan Penelitian].
Bogor: lembaga Penelitian Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS. 1976. Pengaruh pemberian makan ulat kecil dan ulat
besar dengan daun yang berbeda jenisnya terhadap rendemen pemeliharaan dan mutu kokon [Laporan Penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan.
Samsijah, Kusumaputra AS. 1975. Pengaruh penggunaan pupuk tunggal dan
majemuk terhadap produksi daun murbei dan efeknya untuk pemeliharaan ulat sutera [Laporan Penelitian). Bogor: Lembaga Penelitian Hutan
Sangwatanaroj U, Puicharoen P, Kiatkamjornwong S. 2007. Properties of
industrial Thai silks reeled by hand and by machine. The Journal of the Royal Institute of Thailand. 32(1):134-148.
Sarovart S, Sudatis B, Meesilpa P, Grady BP, Magaraphan R. 2003. The use of
sericin as an antioxidant and antimicrobial for polluted air treatment Rev adv Mater Sci. 5:193-198.
Sinhsina EE, Shumilova EV. 1995. Peculiarities of olfactory analyzer response in
Bombyx mori (L) under repeated action of sex pheromone odor. Pheromones. 5(3-4):119-130.
Situmorang J. 1996. An attempt to produce Attacus atlas L. using Baringtonia
leaves as plant fooder. Int J of Wild Silkworm and Silk. 2: 55-57. Soenardi. 2000. Budidaya Tanaman Jarak. Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat, Malang. Strobin G, et al. 2006. Biomaterials containing chitosan and fibroin. Polish Chitin
Society. Monograph XI. Sunanto H. 1997. Budi Daya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Yogyakarta:
Kanisius
70
Suriawiria U. 1966. Pengantar dalam Memelihara Ulat Sutera. Ed ke-1. Badan Pembina Bahan Baku Pertekstilan, Jawa Barat.
Syed Z, Ishida Y, Taylor K, Kimbrell DA, Leal WS. 2006. Pheromone reception
fruit flies expressing a moth odorant receptor. The National Academy of Sciences of the USA. 103(44):16538-16543.
Tazima, Y. 1964. The Genetics of The Silkworm. Japan: Logos Press Academic
Press. Tazima Y. 1978. The Silkworm:An Important Laboratory Tool. Tokyo: Kodansha
Ltd. Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study
of Insect. Seventh Edition. USA: Tomson Brooks/Cole. Ullal SR, Narasimhanna MN. 1987. Handbook of Practical Sericulture. 3rd Ed.
Bangalore: Central Silk Board. Veda K, I Nagai, M Horikomi. 1997. Silkworm Rearing. Translated From
Japanese. New Hampshire: Science Publisher Inc. Veldtman R, McGeoch MA, Scholtz CH. 2007. Fine scale abundance and
distribution of wild silkmoth pupae. Bulletin of Entomological Research. 97:15-27.
Wageansyah DR. 2007. Pengaruh pemberian berbagai jenis daun murbei (Morus
spp.) terhadap pertumbuhan ulat sutera (Bombyx mori L.) dan kualitas kokon di Pusat Serikultur Sukamantri Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Wangsadimiarta, Wibowo A. 1963. Pedoman Pemeliharaan Ulat Sutera –
Pengolahan Hasil Sutera. Bandung: Arena Tekstil. Weiss EA. 1971. Castor, Sesame and Safflower. London: Lionard Hill. Wuliandari JR. 2000. Pengaruh pakan dan tempat pemeliharaan di dalam dan di
luar ruangan terhadap masa perkembangan dan pertumbuhan larva Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae) [tesis]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada.
Yuanita. 2007. Daya tahan hidup larva dalam alat pengokonan, kualitas kokon dan
filamen ulat sutera (Bombyx mori L.) pada alat pengokonan yang berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Zama M. 2000. Discontinuous translation and mRNA structure of the coding
region. Nucleic Acid Symposium Series. 44:91-92
71
Zebua TU, Situmorang J, Jati WN. 1997. Daur hidup (Attacus atlas L.) dengan pemberian pakan daun dadap (Erythrina lithosperma Miq.) di Laboratorium. Biota. II(2):67-72.
L A M P I R A N
72
Lampiran 1 Peta penyebaran A. atlas (Peigler 1989)
Lampiran 2 Tanaman inang larva A. atlas No. Jenis No. Jenis No. Jenis 1. Ailanthus altissima 31. D. indica 61. P. pyriformis 2. Aleurites montana 32. Erythrina spp. 62. Piper sp. 3. Alstonia scholaris 33. E. subumbrana 63. Phylianthus emblica 4. Annona muricata 34. Euphorbia longana 64. Populus spp. 5. A. squamosa 35. Ficus variegate 65. Prunus spp. 6. Ardisia sp. 36. Fraximus spp. 66. Quercus spp. 7. Artemisia vulgaris 37. Glochidion velutinum 67. Quisqualis indica 8. Averrhoa carambola 38. Hibiscus spp. 68. Rhododendron spp. 9. Berberia vulgaris 39. Ilex sinensis 69. Ricinus communis 10. B. asiatica 40. Ipomoea batatas 70. Rosa spp. 11. B. thunbergii 41. Kalmia latifolia 71. Salix spp. 12. Betula platyphylla 42. Lagerstroemia indica 72. Sandoricum koetjape 13. Bischofia javonica 43. Lannea grandis 73. Sapium insigne 14. Bradleia ovata 44. Lantana camara 74. S. sebiferum
15. Camellia sinensis 45. Leucosceptrum canum 75. Sarcostemma brunonianum
16. Canangium odoratum 46. Ligustrum spp. 76. Sassafras albidum 17. Canarium indicum 47. Litchi sinensis 77. Schefflera octophylla 18. Carpinus betulus 48. Lonicera javonica 78. S. oleosa 19. Ceiba pentandra 49. Malus spp. 79. Seisbania grandifolia 20. Cinchona succirubra 50. Mangifera indica 80. Setaria viridis 21. Cinnamomum camphora 51. Melastoma malabatricum 81. Spathodea campanlata
22. C. iners 52. Meyna grisea 82. Stachytarpheta cayennensis
23. C. zeylanicum 53. Milnea roxburghiana 83. Swietenia mahagoni 24. Clerodendron serratum 54. Morus spp. 84. Symplocos paniculata 25. C. viscesum 55. Naucle rotundifolia 85. Syringa vulgaris 26. Clidemia hirta 56. Nephelium lappaceum 86. Syzygium aquaeum 27. Coffea arabica 57. Nerium oleander 87. S. malaccense 28. Cupuliferae 58. Nicolaia speciosa 88. Teucrium macrostachyum 29. Curcuma viridiflora 59. Parkia intermedia 89. Theobroma cacao 30. Dillenia pentagyna 60. Persea Americana 90. Uncaria gambir
73
Lampiran 3 Hasil analisa proksimat
74
Lampiran 4 Kehilangan air pada daun yang disobek (dalam cawan petri)
Perlakuan Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Muda Tua Muda Tua
A1 0.20 - 0.020 - A2 0.31 - 0.031 - A3 0.83 - 0.083 -
Lampiran 5 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang tertutup)
Perlakuan Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Muda Tua Muda Tua
A1 0.83 - 0.083 - A2 0.33 - 0.033 - A3 1.49 - 0.149 -
Lampiran 6 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang terbuka)
Perlakuan Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Muda Tua Muda Tua
A1 - 1.12 - 0.112 A2 - 3.34 - 0.334 A3 - 3.24 - 0.324
Keterangan: Faktor koreksi adalah banyaknya bobot air yang hilang untuk setiap gram. A1 = daun sirsak, A2 = daun kaliki, A3 = daun jarak pagar.
75
Lampiran 7 Uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas Larva instar 1 (X1) One-way ANOVA: X1 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.09036 0.04518 23.81 0.001 Error 6 0.01139 0.00190 Total 8 0.10175 S = 0.04356 R-Sq = 88.81% R-Sq(adj) = 85.08% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev +---------+---------+---------+--------- 1 3 0.38967 0.05164 (-----*-----) 2 3 0.19533 0.04562 (------*-----) 3 3 0.16267 0.03075 (-----*-----) +---------+---------+---------+--------- 0.10 0.20 0.30 0.40 Pooled StDev = 0.04356 DUNCAN 1 A 2 B 3 B
Residual Plots for X1
Residual
Per
cent
0.100.050.00-0.05-0.10
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
0.40.30.2
0.050
0.025
0.000
-0.025
-0.050
Residual
Freq
uenc
y
0.060.040.020.00-0.02-0.04-0.06
4
3
2
1
0
Observation Order
Res
idua
l
987654321
0.050
0.025
0.000
-0.025
-0.050
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X1
NYATA
76
Larva instar 2 (X2) One-way ANOVA: X2 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.5566 0.2783 24.26 0.001 Error 6 0.0688 0.0115 Total 8 0.6254 S = 0.1071 R-Sq = 89.00% R-Sq(adj) = 85.33% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -------+---------+---------+---------+-- 1 3 0.8040 0.1467 (-----*-----) 2 3 0.3550 0.0941 (-----*-----) 3 3 0.2230 0.0637 (-----*-----) -------+---------+---------+---------+-- 0.25 0.50 0.75 1.00 Pooled StDev = 0.1071 DUNCAN 1 A 2 B 3 B
Residual Plots for X2
Residual
Per
cent
0.20.10.0-0.1-0.2
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
0.80.60.40.2
0.1
0.0
-0.1
Residual
Freq
uenc
y
0.150.100.050.00-0.05-0.10-0.15
3
2
1
0
Observation Order
Res
idua
l
987654321
0.1
0.0
-0.1
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X2
NYATA
77
Larva instar 3 (X3) One-way ANOVA: X3 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 6.682 3.341 9.52 0.014 Error 6 2.107 0.351 Total 8 8.789 S = 0.5925 R-Sq = 76.03% R-Sq(adj) = 68.04% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ 1 3 2.4867 0.3011 (--------*-------) 2 3 0.9523 0.5076 (--------*-------) 3 3 2.9747 0.8396 (--------*-------) ---------+---------+---------+---------+ 1.0 2.0 3.0 4.0 Pooled StDev = 0.5925 DUNCAN 3 A 1 A 2 B
Residual Plots for X3
Residual
Per
cent
1.00.50.0-0.5-1.0
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
3.02.52.01.51.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Residual
Freq
uenc
y
0.500.250.00-0.25-0.50-0.75-1.00
4
3
2
1
0
Observation Order
Res
idua
l
987654321
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X3
NYATA
78
Larva instar 4 (X4) One-way ANOVA: X4 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 93.869 46.935 51.25 0.000 Error 6 5.495 0.916 Total 8 99.364 S = 0.9570 R-Sq = 94.47% R-Sq(adj) = 92.63% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+----- 1 3 10.036 1.098 (----*-----) 2 3 2.877 0.246 (-----*----) 3 3 9.371 1.217 (----*-----) ----+---------+---------+---------+----- 2.5 5.0 7.5 10.0 Pooled StDev = 0.957 DUNCAN 1 A 3 A 2 B
Residual Plots for X4
Residual
Per
cent
210-1-2
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
108642
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Residual
Freq
uenc
y
1.00.50.0-0.5-1.0-1.5
3
2
1
0
Observation Order
Res
idua
l
987654321
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X4
NYATA
79
Larva instar 5 (X5) One-way ANOVA: X5 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 899.4 449.7 12.14 0.008 Error 6 222.3 37.1 Total 8 1121.8 S = 6.087 R-Sq = 80.18% R-Sq(adj) = 73.57% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+----- 1 3 8.351 1.753 (-------*--------) 2 3 4.855 2.650 (--------*-------) 3 3 27.592 10.054 (--------*-------) ----+---------+---------+---------+----- 0 10 20 30 Pooled StDev = 6.087 DUNCAN 3 A 1 B 2 B
Residual Plots for X5
Residual
Per
cent
1050-5-10
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
252015105
5
0
-5
-10
Residual
Freq
uenc
y
5.02.50.0-2.5-5.0-7.5-10.0-12.5
3
2
1
0
Observation Order
Res
idua
l
987654321
5
0
-5
-10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X5
NYATA
80
Larva instar 6 (X6) One-way ANOVA: X6 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 9190 4595 39.95 0.000 Error 6 690 115 Total 8 9881 S = 10.73 R-Sq = 93.02% R-Sq(adj) = 90.69% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+------- 1 3 61.10 10.29 (----*----) 2 3 38.59 9.66 (----*----) 3 3 114.77 12.08 (----*----) --+---------+---------+---------+------- 30 60 90 120 Pooled StDev = 10.73 DUNCAN 3 A 1 B 2 C
Residual Plots for X6
Residual
Per
cent
20100-10-20
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
120100806040
10
0
-10
Residual
Freq
uenc
y
151050-5-10
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Observation Order
Res
idua
l
987654321
10
0
-10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X6
NYATA
81
Konsumsi pakan seluruh instar One-way ANOVA: konsumsi total versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 17929.1 8964.6 135.23 0.000 Error 6 397.8 66.3 Total 8 18326.9 S = 8.142 R-Sq = 97.83% R-Sq(adj) = 97.11% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev +---------+---------+---------+--------- 1 3 83.17 7.98 (---*--) 2 3 47.82 11.61 (---*--) 3 3 155.09 0.68 (--*---) +---------+---------+---------+--------- 35 70 105 140 Pooled StDev = 8.14 DUNCAN 3 A 1 B 2 C
Residual Plots for konsumsi total
Residual
Per
cent
20100-10-20
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
1501251007550
10
5
0
-5
-10
Residual
Freq
uenc
y
1050-5-10-15
4
3
2
1
0
Observation Order
Res
idua
l
987654321
10
5
0
-5
-10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for konsumsi total
NYATA
82
Lampiran 8 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat kecil) ULAT kecil
The GLM Procedure
Dependent Variable: konsumsi konsumsi pakan
Source DF Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model 10 22.83181259 2.28318126 6.13 0.0007
Error 16 5.95865859 0.37241616
Corrected Total
26 28.79047119
R-Square Coeff Var Root MSE konsumsi Mean
0.793034 64.28793 0.610259 0.949259
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
daun 8 3.55727785 0.44465973 1.19 0.3614
blok 2 19.27453474 9.63726737 25.88 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
daun 8 3.55727785 0.44465973 1.19 0.3614
blok 2 19.27453474 9.63726737 25.88 <.0001
83
Lampiran 9 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat besar) ULAT Besar
The GLM Procedure
Dependent Variable: konsumsi konsumsi pakan
Source DF Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model 10 28410.42263 2841.04226 8.80 <.0001
Error 16 5167.96990 322.99812
Corrected Total
26 33578.39253
R-Square Coeff Var Root MSE konsumsi Mean
0.846092 58.28021 17.97215 30.83748
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
daun 8 5933.79585 741.72448 2.30 0.0747
blok 2 22476.62678 11238.31339 34.79 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
daun 8 5933.79585 741.72448 2.30 0.0747
blok 2 22476.62678 11238.31339 34.79 <.0001
84
Lampiran 10 Bobot larva A. atlas awal dan akhir instar
Instar Sirsak Kaliki Jarak Pagar
Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan ---------- gram ---------- I - Awal - Akhir
0.0027-0.0034 0.0616-0.0966
0.0032±0.0002 0.0743±0.0118
0.0028-0.0034 0.0404-0.0699
0.0032±0.0002 0.0507±0.0092
0.0027-0.0034 0.0542-0.0775
0.0032±0.0002 0.0627±0.1219
II - Awal - Akhir
0.0646-0.0982 0.2187-0.5429
0.0770±0.0118 0.3517±0.1105
0.0432-0.0754 0.1609-0.1897
0.0529±0.0092 0.1729±0.0195
0.0574-0.6104 0.2501-0.2852
0.0934±0.1219 0.2627±0.0199
III - Awal - Akhir
0.2617-0.5921 1.0199-2.6428
0.3829±0.1105 1.5432±0.4856
0.1725-0.2414 1.4893-1.8214
0.1970±0.0195 1.6657±0.0871
0.2689-0.3422 0.889-1.715
0.2940±0.0199 1.1653±0.2515
IV - Awal - Akhir
1.0271-2.6523 3.1921-5.1489
1.5630±0.4856 3.8343±0.7095
1.4973-1.8506 4.0223-6.4664
1.6875±0.0871 5.1801±0.7269
0.8918-1.7325 4.023-5.548
1.2251±0.2515 4.6795±0.4489
V - Awal - Akhir
3.5109-5.6172 6.0183-8.1425
4.2954±0.7095 6.7688±0.8508
4.6975-6.8765 6.1764-8.7437
5.6081±0.7269 7.2974±0.6529
4.7692-6.0453 6.4393-8.8201
5.3677±0.4489 7.4565±0.6053
VI - Awal - Akhir
6.5869-8.9463 17.462-23.765
7.5001±0.8509 19.541±1.943
7.0387-9.1876 16.343-24.659
7.9094±0.6529 20.437±2.560
7.1864-9.321 19.322-25.613
8.2213±0.6053 20.742±1.823
Lampiran 11 Pertambahan bobot larva A. atlas terhadap bobot larva baru ditetaskan
Sirsak Kaliki Jarak Pagar X Y X Y X Y
Larva baru
ditetaskan 0.00316 - 0.00316 - 0.00316 -
Instar 1 0.07428 24 x 0.05066 16 x 0.06274 20 x Instar 2 0.35168 111 x 0.17292 55 x 0.26266 83 x Instar 3 1.5432 488 x 1.6657 527 x 1.1653 369 x Instar 4 3.8343 1213 x 5.1801 1642 x 4.6795 1481 x Instar 5 6.7688 2142 x 7.2974 2313 x 7.4565 2360 x Instar 6 19.541 6184 x 20.437 6477 x 20.742 6564 x
Ket.: X = Bobot terberat sebelum ganti kulit pada setiap instar; Y = Penambahan bobot
85
Lampiran 12 Uji Anova pertambahan bobot larva A. atlas Instar 1 One-way ANOVA: instar 1 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.0055800 0.0027900 30.72 0.000 Error 57 0.0051771 0.0000908 Total 59 0.0107571 S = 0.009530 R-Sq = 51.87% R-Sq(adj) = 50.18% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -------+---------+---------+---------+-- 1 20 0.071125 0.012020 (---*---) 2 20 0.047505 0.009006 (----*---) 3 20 0.059585 0.006848 (----*---) -------+---------+---------+---------+-- 0.050 0.060 0.070 0.080 Pooled StDev = 0.009530 DUNCAN 1 A 3 B 2 C
Residual Plots for instar 1
Residual
Per
cent
0.0300.0150.000-0.015-0.030
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.0700.0650.0600.0550.050
0.02
0.01
0.00
-0.01
Residual
Freq
uenc
y
0.0240.0160.0080.000-0.008
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.02
0.01
0.00
-0.01
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 1
NYATA
86
Instar 2 One-way ANOVA: instar 2 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.24952 0.12476 15.53 0.000 Error 57 0.45802 0.00804 Total 59 0.70754 S = 0.08964 R-Sq = 35.27% R-Sq(adj) = 32.99% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -------+---------+---------+---------+-- 1 20 0.27461 0.09434 (------*-----) 2 20 0.12000 0.00319 (------*------) 3 20 0.16925 0.12328 (-----*------) -------+---------+---------+---------+-- 0.120 0.180 0.240 0.300 Pooled StDev = 0.08964 DUNCAN 1 A 3 B 2 B
Residual Plots for instar 2
Residual
Per
cent
0.20.0-0.2-0.4-0.6
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.250.200.150.10
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
Residual
Freq
uenc
y
0.160.00-0.16-0.32-0.48
40
30
20
10
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 2
NYATA
87
Instar 3 One-way ANOVA: instar 3 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 3.5701 1.7851 23.40 0.000 Error 57 4.3474 0.0763 Total 59 7.9175 S = 0.2762 R-Sq = 45.09% R-Sq(adj) = 43.16% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev +---------+---------+---------+--------- 1 20 1.1603 0.3974 (----*----) 2 20 1.4687 0.0737 (----*----) 3 20 0.8713 0.2558 (----*----) +---------+---------+---------+--------- 0.75 1.00 1.25 1.50 Pooled StDev = 0.2762 DUNCAN 2 A 1 B 3 C
Residual Plots for instar 3
Residual
Per
cent
1.00.50.0-0.5-1.0
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
1.41.21.0
1.0
0.5
0.0
-0.5
Residual
Freq
uenc
y
0.90.60.30.0-0.3-0.6
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
1.0
0.5
0.0
-0.5
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 3
NYATA
88
Instar 4 One-way ANOVA: instar 4 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 19.286 9.643 42.72 0.000 Error 57 12.866 0.226 Total 59 32.152 S = 0.4751 R-Sq = 59.99% R-Sq(adj) = 58.58% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ 1 20 2.2713 0.2870 (---*----) 2 20 3.4926 0.7222 (---*---) 3 20 3.4544 0.2704 (---*---) ---------+---------+---------+---------+ 2.50 3.00 3.50 4.00 Pooled StDev = 0.4751 DUNCAN 2 A 3 A 1 B
Residual Plots for instar 4
Residual
Per
cent
10-1
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
3.53.02.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Residual
Freq
uenc
y
1.00.50.0-0.5-1.0
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 4
NYATA
89
Instar 5 One-way ANOVA: instar 5 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 6.150 3.075 19.96 0.000 Error 57 8.782 0.154 Total 59 14.931 S = 0.3925 R-Sq = 41.19% R-Sq(adj) = 39.12% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev +---------+---------+---------+--------- 1 20 2.4735 0.4935 (----*-----) 2 20 1.6893 0.3764 (-----*-----) 3 20 2.0889 0.2775 (-----*----) +---------+---------+---------+--------- 1.50 1.80 2.10 2.40 Pooled StDev = 0.3925 DUNCAN 1 A 3 B 2 C
Residual Plots for instar 5
Residual
Per
cent
10-1
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
2.42.22.01.81.6
1
0
-1
Residual
Freq
uenc
y
1.51.00.50.0-0.5-1.0
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
1
0
-1
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 5
NYATA
90
Instar 6 One-way ANOVA: instar 6 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 3.11 1.56 0.62 0.542 Error 57 143.01 2.51 Total 59 146.12 S = 1.584 R-Sq = 2.13% R-Sq(adj) = 0.00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---+---------+---------+---------+------ 1 20 12.041 1.257 (-------------*-------------) 2 20 12.527 1.964 (--------------*-------------) 3 20 12.521 1.445 (-------------*--------------) ---+---------+---------+---------+------ 11.50 12.00 12.50 13.00 Pooled StDev = 1.584 DUNCAN 2 A 3 A 1 A
Residual Plots for instar 6
Residual
Per
cent
5.02.50.0-2.5-5.0
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
12.6012.4512.3012.1512.00
4
2
0
-2
-4
Residual
Freq
uenc
y
3.21.60.0-1.6-3.2
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
4
2
0
-2
-4
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 6
TIDAK NYATA
91
Total pertambahan bobot instar 1 hingga instar 5 (g) One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.0001841 0.0000921 3.33 0.043 Error 57 0.0015759 0.0000276 Total 59 0.0017600 S = 0.005258 R-Sq = 10.46% R-Sq(adj) = 7.32% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev +---------+---------+---------+--------- J 20 0.023361 0.004637 (--------*---------) K 20 0.022468 0.005410 (---------*--------) S 20 0.026549 0.005672 (--------*---------) +---------+---------+---------+--------- 0.0200 0.0225 0.0250 0.0275 Pooled StDev = 0.005258 DUNCAN 1 A 2 A,B 3 B
Residual
Per
cent
0.020.010.00-0.01-0.02
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.0270.0260.0250.0240.023
0.010
0.005
0.000
-0.005
-0.010
Residual
Freq
uenc
y
0.0100.0050.000-0.005-0.010
10.0
7.5
5.0
2.5
0.0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.010
0.005
0.000
-0.005
-0.010
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for transform
NYATA
92
Total pertambahan bobot seluruh instar (g) One-way ANOVA: pertambahan bobot all versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 15.58 7.79 1.71 0.190 Error 57 259.39 4.55 Total 59 274.98 S = 2.133 R-Sq = 5.67% R-Sq(adj) = 2.36% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- 1 20 19.538 1.943 (-----------*-----------) 2 20 20.434 2.560 (-----------*-----------) 3 20 20.739 1.823 (-----------*-----------) --------+---------+---------+---------+- 19.20 20.00 20.80 21.60 Pooled StDev = 2.133 DUNCAN 3 A 2 A 1 A
Residual Plots for pertambahan bobot all
Residual
Per
cent
5.02.50.0-2.5-5.0
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
20.720.420.119.819.5
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
Residual
Freq
uenc
y
420-2-4
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for pertambahan bobot all
TIDAK NYATA
93
Lampiran 13 Bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar Instar 1 One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 433.22 216.61 37.69 0.000 Error 57 327.60 5.75 Total 59 760.82 S = 2.397 R-Sq = 56.94% R-Sq(adj) = 55.43% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ J 20 16.109 1.657 (---*----) K 20 20.274 3.197 (---*---) S 20 13.778 2.067 (---*---) ---------+---------+---------+---------+ 15.0 17.5 20.0 22.5 Pooled StDev = 2.397 DUNCAN 2 A 3 A 1 A
Residual
Per
cent
840-4-8
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
20181614
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
Residual
Freq
uenc
y
420-2-4-6
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for transform
TIDAK NYATA
94
Instar 2 One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 6467.7 3233.8 308.74 0.000 Error 55 576.1 10.5 Total 57 7043.8 S = 3.236 R-Sq = 91.82% R-Sq(adj) = 91.52% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ J 20 14.561 1.134 (-*-) K 20 33.703 3.440 (-*-) S 18 9.104 4.384 (-*-) ---------+---------+---------+---------+ 14.0 21.0 28.0 35.0 Pooled StDev = 3.236 DUNCAN 2 A 3 B 1 C
Residual
Per
cent
840-4-8
99
90
50
10
Fitted Value
Res
idua
l
302010
6
3
0
-3
-6
Residual
Freq
uenc
y
630-3-6
12
9
6
3
0
Observation Order
Res
idua
l
5550454035302520151051
6
3
0
-3
-6
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for transform
NYATA
95
Instar 3 One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 1.5076 0.7538 16.21 0.000 Error 57 2.6514 0.0465 Total 59 4.1589 S = 0.2157 R-Sq = 36.25% R-Sq(adj) = 34.01% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- J 20 0.1294 0.2184 (------*-----) K 20 0.5090 0.0518 (------*-----) S 20 0.3901 0.2986 (-----*-----) --------+---------+---------+---------+- 0.15 0.30 0.45 0.60 Pooled StDev = 0.2157 DUNCAN 2 A 1 A 3 B
Residual
Per
cent
0.500.250.00-0.25-0.50
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.50.40.30.20.1
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
Residual
Freq
uenc
y
0.60.40.20.0-0.2-0.4
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for transform
NYATA
96
Instar 4 One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.05459 0.02729 26.53 0.000 Error 57 0.05864 0.00103 Total 59 0.11323 S = 0.03208 R-Sq = 48.21% R-Sq(adj) = 46.39% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -------+---------+---------+---------+-- J 20 0.46389 0.02280 (----*---) K 20 0.44303 0.03377 (----*---) S 20 0.51485 0.03776 (----*---) -------+---------+---------+---------+-- 0.450 0.480 0.510 0.540 Pooled StDev = 0.03208 DUNCAN 1 A 3 B 2 C
Residual
Per
cent
0.100.050.00-0.05-0.10
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.520.500.480.460.44
0.06
0.03
0.00
-0.03
-0.06
Residual
Freq
uenc
y
0.060.030.00-0.03-0.06
12
9
6
3
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.06
0.03
0.00
-0.03
-0.06
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for transform
NYATA
97
Instar 5 One-way ANOVA: Transform versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.0000971 0.0000485 6.70 0.002 Error 57 0.0004129 0.0000072 Total 59 0.0005100 S = 0.002692 R-Sq = 19.03% R-Sq(adj) = 16.19% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -+---------+---------+---------+-------- J 20 0.011524 0.002060 (-------*-------) K 20 0.012255 0.002717 (-------*-------) S 20 0.014513 0.003179 (-------*-------) -+---------+---------+---------+-------- 0.0105 0.0120 0.0135 0.0150 Pooled StDev = 0.002692 DUNCAN 1 A 2 B 3 B
Residual
Per
cent
0.0100.0050.000-0.005-0.010
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.0140.0130.012
0.0050
0.0025
0.0000
-0.0025
-0.0050
Residual
Freq
uenc
y
0.0040.0020.000-0.002-0.004
10.0
7.5
5.0
2.5
0.0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.0050
0.0025
0.0000
-0.0025
-0.0050
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Transform
NYATA
98
Instar 6 One-way ANOVA: respon versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.0000000 0.0000000 2.16 0.125 Error 57 0.0000005 0.0000000 Total 59 0.0000005 S = 0.00009124 R-Sq = 7.04% R-Sq(adj) = 3.78% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev +---------+---------+---------+--------- J 20 0.00032159 0.00005947 (---------*----------) K 20 0.00034931 0.00011626 (---------*----------) S 20 0.00038147 0.00008900 (---------*----------) +---------+---------+---------+--------- 0.000280 0.000320 0.000360 0.000400 Pooled StDev = 0.00009124 DUNCAN 1 A 2 A 3 A
Residual
Per
cent
0.000300.000150.00000-0.00015-0.00030
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.000380.000360.000340.00032
0.0002
0.0001
0.0000
-0.0001
-0.0002
Residual
Freq
uenc
y
0.00020.00010.0000-0.0001
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.0002
0.0001
0.0000
-0.0001
-0.0002
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for respon
TIDAK NYATA
99
Lampiran 14 Panjang larva A. atlas awal dan akhir instar
Instar Sirsak Kaliki Jarak Pagar
Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan ---------- sentimeter ----------
I - Awal - Akhir
0.5-0.5 0.8-0.9
0.5 ± 0
0.841 ± 0.050
0.5-0.5 0.7-0.8
0.5 ± 0
0.725 ± 0.044
0.5-0.5 0.7-0.8
0.5 ± 0
0.785 ± 0.037 II - Awal - Akhir
0.9-1 1.8-2
0.940 ± 0.050 1.912 ± 0.047
0.8-0.9 1.8-1.9
0.825 ± 0.044 1.835 ± 0.049
0.8-0.9 1.8-2
0.885 ± 0.037 1.882 ± 0.051
III - Awal - Akhir
2-2.1
2.4-2.6
2.070 ± 0.047 2.465 ± 0.074
2-2.1
2.4-2.6
2.035 ± 0.049 2.466 ± 0.075
2-2.1
2.4-2.6
2.055 ± 0.051 2.465 ± 0.074
IV - Awal - Akhir
2.5-2.7 4.4-4.6
2.565 ± 0.074 4.465 ± 0.074
2.5-2.7 4.5-4.7
2.560 ± 0.075 4.615 ± 0.087
2.5-2.7 4.5-4.7
2.565 ± 0.074 4.555 ± 0.060
V - Awal - Akhir
4.5-4.7 7.4-7.6
4.565 ± 0.074 7.468 ± 0.082
4.6-4.8 7.4-7.7
4.715 ± 0.087 7.536 ± 0.093
4.6-4.8 7.4-.7
4.655 ± 0.060 7.546 ± 0.076
VI - Awal - Akhir
7.5-7.7 8.2-9.2
7.560 ± 0.082 8.540 ± 0.314
7.5-7.8 8-9.3
7.635 ± 0.093 8.695 ± 0.384
7.5-7.8 8.5-9.4
7.645 ± 0.076 8.700 ± 0.264
Tabel 15 Pertambahan panjang larva A. atlas terhadap panjang larva baru ditetaskan
Sirsak Kaliki Jarak Pagar X Y X Y X Y
Ulat baru ditetaskan
0.5 - 0.5 - 0.5
-
Instar 1 0.84 2 x 0.725 1.5 x 0.785 2 x Instar 2 1.91 4 x 1.835 4 x 1.88 4 x Instar 3 2.465 5 x 2.46 5 x 2.45 5 x Instar 4 4.465 9 x 4.615 9 x 4.555 9 x Instar 5 7.46 15 x 7.535 15 x 7.545 15 x Instar 6 8.54 17 x 8.695 17 x 8.7 17 x Keterangan: X = Panjang badan (cm); Y = penambahan panjang
100
Lampiran 16 Uji Anova pertambahan panjang larva A. atlas Instar 1 One-way ANOVA: instar 1 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan 2 0.13233 0.06617 33.98 0.000 Error 57 0.11100 0.00195 Total 59 0.24333 S = 0.04413 R-Sq = 54.38% R-Sq(adj) = 52.78% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ 1 20 0.34000 0.05026 (----*----) 2 20 0.22500 0.04443 (----*----) 3 20 0.28500 0.03663 (----*----) ---------+---------+---------+---------+ 0.240 0.280 0.320 0.360 Pooled StDev = 0.04413 DUNCAN A 1 B 3 C 2
Residual Plots for instar 1
Residual
Per
cent
0.10.0-0.1
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.350.300.25
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Residual
Freq
uenc
y
0.080.040.00-0.04-0.08
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 1
NYATA
101
Instar 2 One-way ANOVA: instar 2 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan 2 0.01633 0.00817 2.75 0.073 Error 57 0.16950 0.00297 Total 59 0.18583 S = 0.05453 R-Sq = 8.79% R-Sq(adj) = 5.59% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+------- 1 20 0.9700 0.0470 (---------*---------) 2 20 1.0100 0.0308 (---------*---------) 3 20 0.9950 0.0759 (---------*---------) --+---------+---------+---------+------- 0.950 0.975 1.000 1.025 Pooled StDev = 0.0545 DUNCAN 2 A 3 A B 1 B
Residual Plots for instar 2
Residual
Per
cent
0.20.10.0-0.1-0.2
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
1.011.000.990.980.97
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Residual
Freq
uenc
y
0.100.050.00-0.05-0.10
30
20
10
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 2
TIDAK NYATA
102
Instar 3 One-way ANOVA: instar 3 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan 2 0.00900 0.00450 1.77 0.180 Error 57 0.14500 0.00254 Total 59 0.15400 S = 0.05044 R-Sq = 5.84% R-Sq(adj) = 2.54% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+----- 1 20 0.39500 0.06048 (-----------*----------) 2 20 0.42500 0.04443 (----------*-----------) 3 20 0.41000 0.04472 (----------*----------) ----+---------+---------+---------+----- 0.380 0.400 0.420 0.440 Pooled StDev = 0.05044 DUNCAN 2 A 3 A 1 A
Residual Plots for instar 3
Residual
Per
cent
0.10.0-0.1
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
0.420.410.40
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Residual
Freq
uenc
y
0.100.050.00-0.05-0.10
30
20
10
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 3
TIDAK NYATA
103
Instar 4 One-way ANOVA: instar 4 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan 2 0.24233 0.12117 78.93 0.000 Error 57 0.08750 0.00154 Total 59 0.32983 S = 0.03918 R-Sq = 73.47% R-Sq(adj) = 72.54% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+----- 1 20 1.9000 0.0324 (---*---) 2 20 2.0550 0.0510 (---*---) 3 20 1.9900 0.0308 (---*---) ----+---------+---------+---------+----- 1.900 1.950 2.000 2.050 Pooled StDev = 0.0392 DUNCAN 2 A 3 B 1 C
Residual Plots for instar 4
Residual
Per
cent
0.100.050.00-0.05-0.10
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
2.052.001.951.90
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Residual
Freq
uenc
y
0.100.050.00-0.05-0.10
40
30
20
10
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 4
NYATA
104
Instar 5 One-way ANOVA: instar 5 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan 2 0.07033 0.03517 11.17 0.000 Error 57 0.17950 0.00315 Total 59 0.24983 S = 0.05612 R-Sq = 28.15% R-Sq(adj) = 25.63% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -+---------+---------+---------+-------- 1 20 2.8950 0.0510 (------*------) 2 20 2.8200 0.0696 (------*------) 3 20 2.8900 0.0447 (------*------) -+---------+---------+---------+-------- 2.800 2.835 2.870 2.905 Pooled StDev = 0.0561 DUNCAN 1 A 3 A 2 B
Residual Plots for instar 5
Residual
Per
cent
0.20.10.0-0.1-0.2
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
2.902.882.862.842.82
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Residual
Freq
uenc
y
0.100.050.00-0.05-0.10
30
20
10
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 5
NYATA
105
Instar 6 One-way ANOVA: instar 6 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan 2 0.0803 0.0402 0.60 0.552 Error 57 3.8095 0.0668 Total 59 3.8898 S = 0.2585 R-Sq = 2.07% R-Sq(adj) = 0.00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+------- 1 20 0.9800 0.2419 (--------------*-------------) 2 20 1.0600 0.3119 (-------------*--------------) 3 20 1.0550 0.2114 (--------------*-------------) --+---------+---------+---------+------- 0.880 0.960 1.040 1.120 Pooled StDev = 0.2585 DUNCAN 2 A 3 A 1 A
Residual Plots for instar 6
Residual
Per
cent
1.00.50.0-0.5-1.0
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
1.061.041.021.000.98
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
Residual
Freq
uenc
y
0.40.20.0-0.2-0.4-0.6
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for instar 6
TIDAK NYATA
106
Pertambahan panjang seluruh instar One-way ANOVA: all instar versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan 2 0.331 0.166 1.57 0.216 Error 57 5.998 0.105 Total 59 6.329 S = 0.3244 R-Sq = 5.23% R-Sq(adj) = 1.91% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+------- 1 20 8.0400 0.3136 (-----------*-----------) 2 20 8.1950 0.3845 (-----------*-----------) 3 20 8.2000 0.2636 (-----------*-----------) --+---------+---------+---------+------- 7.92 8.04 8.16 8.28 Pooled StDev = 0.3244 DUNCAN 3 A 2 A 1 A
Residual Plots for all instar
Residual
Per
cent
1.00.50.0-0.5-1.0
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
8.208.158.108.05
0.8
0.4
0.0
-0.4
-0.8
Residual
Freq
uenc
y
0.60.40.20.0-0.2-0.4-0.6
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.8
0.4
0.0
-0.4
-0.8
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for all instar
TIDAK NYATA
107
Lampiran 17 Uji Anova daur hidup A. atlas Larva instar 1 (X1) One-way ANOVA: X1 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 22.433 11.217 55.60 0.000 Error 57 11.500 0.202 Total 59 33.933 S = 0.4492 R-Sq = 66.11% R-Sq(adj) = 64.92% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -------+---------+---------+---------+-- 1 20 5.8000 0.4104 (---*---) 2 20 4.3500 0.4894 (---*---) 3 20 4.7500 0.4443 (---*---) -------+---------+---------+---------+-- 4.50 5.00 5.50 6.00 Pooled StDev = 0.4492 DUNCAN 1 A 3 B 2 C
Residual Plots for X1
Residual
Per
cent
10-1
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
6.05.55.04.5
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Residual
Freq
uenc
y
0.60.40.20.0-0.2-0.4-0.6-0.8
30
20
10
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X1
NYATA
108
Larva instar 2 (X2) One-way ANOVA: X2 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 11.033 5.517 21.10 0.000 Error 57 14.900 0.261 Total 59 25.933 S = 0.5113 R-Sq = 42.54% R-Sq(adj) = 40.53% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- 1 20 4.5500 0.5104 (-----*----) 2 20 3.5000 0.5130 (----*-----) 3 20 4.0500 0.5104 (----*-----) --------+---------+---------+---------+- 3.60 4.00 4.40 4.80 Pooled StDev = 0.5113 DUNCAN 1 A 3 B 2 C
Residual Plots for X2
Residual
Per
cent
210-1-2
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
4.504.254.003.753.50
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Residual
Freq
uenc
y
1.00.50.0-0.5-1.0
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X2
NYATA
109
Larva instar 3 (X3) One-way ANOVA: X3 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.833 0.417 1.64 0.203 Error 57 14.500 0.254 Total 59 15.333 S = 0.5044 R-Sq = 5.43% R-Sq(adj) = 2.12% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ 1 20 4.5000 0.5130 (----------*----------) 2 20 4.2500 0.5501 (-----------*----------) 3 20 4.2500 0.4443 (-----------*----------) ---------+---------+---------+---------+ 4.20 4.40 4.60 4.80 Pooled StDev = 0.5044 DUNCAN 1 A 2 A 3 A
Residual Plots for X3
Residual
Per
cent
10-1
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
4.54.44.3
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Residual
Freq
uenc
y
0.50.0-0.5-1.0
30
20
10
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X3
TIDAK NYATA
110
Larva instar 4 (X4) One-way ANOVA: X4 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 6.300 3.150 5.14 0.009 Error 57 34.950 0.613 Total 59 41.250 S = 0.7830 R-Sq = 15.27% R-Sq(adj) = 12.30% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- 1 20 5.2000 0.8944 (--------*--------) 2 20 4.4500 0.8870 (--------*--------) 3 20 4.6000 0.5026 (--------*--------) --------+---------+---------+---------+- 4.40 4.80 5.20 5.60 Pooled StDev = 0.7830 DUNCAN 1 A 3 B 2 B
Residual Plots for X4
Residual
Per
cent
210-1-2
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
5.25.04.84.64.4
2
1
0
-1
Residual
Freq
uenc
y
1.60.80.0-0.8-1.6
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
2
1
0
-1
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X4
NYATA
111
Larva instar 5 (X5) One-way ANOVA: X5 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 5.20 2.60 1.96 0.150 Error 57 75.65 1.33 Total 59 80.85 S = 1.152 R-Sq = 6.43% R-Sq(adj) = 3.15% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ 1 20 6.750 1.333 (---------*---------) 2 20 6.050 1.191 (---------*---------) 3 20 6.550 0.887 (---------*---------) ---------+---------+---------+---------+ 6.00 6.50 7.00 7.50 Pooled StDev = 1.152 DUNCAN 1 A 3 A 2 A
Residual Plots for X5
Residual
Per
cent
420-2-4
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
6.86.66.46.26.0
2
0
-2
Residual
Freq
uenc
y
210-1-2
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
2
0
-2
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X5
TIDAK NYATA
112
Larva instar 6 (X6) One-way ANOVA: X6 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 4.23 2.12 1.42 0.249 Error 57 84.75 1.49 Total 59 88.98 S = 1.219 R-Sq = 4.76% R-Sq(adj) = 1.42% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -+---------+---------+---------+-------- 1 20 9.800 1.105 (----------*----------) 2 20 9.500 1.504 (----------*----------) 3 20 10.150 0.988 (----------*----------) -+---------+---------+---------+-------- 9.00 9.50 10.00 10.50 Pooled StDev = 1.219 DUNCAN 3 A 1 A 2 A
Residual Plots for X6
Residual
Per
cent
420-2-4
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
10.2010.059.909.759.60
2
1
0
-1
-2
Residual
Freq
uenc
y
210-1-2
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
2
1
0
-1
-2
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for X6
TIDAK NYATA
113
Pupa (Y) One-way ANOVA: Pupa (Y) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 233.7 116.9 3.93 0.025 Error 57 1693.2 29.7 Total 59 1927.0 S = 5.450 R-Sq = 12.13% R-Sq(adj) = 9.05% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+------- 1 20 29.250 7.070 (---------*---------) 2 20 24.450 4.883 (---------*---------) 3 20 26.350 3.911 (--------*---------) --+---------+---------+---------+------- 22.5 25.0 27.5 30.0 Pooled StDev = 5.450 DUNCAN 1 A 3 A B 2 B
Residual Plots for Y
Residual
Per
cent
20100-10-20
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
2928272625
20
10
0
-10
Residual
Freq
uenc
y
1680-8
20
15
10
5
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
20
10
0
-10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Y
NYATA
114
Imago (Z) One-way ANOVA: Z versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 5.70 2.85 1.03 0.364 Error 57 157.95 2.77 Total 59 163.65 S = 1.665 R-Sq = 3.48% R-Sq(adj) = 0.10% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+------- 1 20 5.000 1.257 (-----------*------------) 2 20 4.250 1.916 (------------*-----------) 3 20 4.700 1.750 (-----------*------------) --+---------+---------+---------+------- 3.60 4.20 4.80 5.40 Pooled StDev = 1.665 DUNCAN 1 A 3 A 2 A
Residual Plots for Z
Residual
Per
cent
5.02.50.0-2.5-5.0
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
5.04.84.64.44.2
3.0
1.5
0.0
-1.5
-3.0
Residual
Freq
uenc
y
2.41.20.0-1.2-2.4
12
9
6
3
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
3.0
1.5
0.0
-1.5
-3.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Z
TIDAK NYATA
115
Daur hidup total (larva, pupa dan imago) One-way ANOVA: total versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 1012.4 506.2 9.62 0.000 Error 57 3000.6 52.6 Total 59 4013.0 S = 7.255 R-Sq = 25.23% R-Sq(adj) = 22.61% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -----+---------+---------+---------+---- 1 20 70.850 7.457 (------*-----) 2 20 60.800 8.370 (------*-----) 3 20 65.400 5.679 (------*-----) -----+---------+---------+---------+---- 60.0 65.0 70.0 75.0 Pooled StDev = 7.255 DUNCAN 1 A 3 B 2 C
Residual Plots for total
Residual
Per
cent
20100-10-20
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Fitted Value
Res
idua
l
70.067.565.062.560.0
20
10
0
-10
Residual
Freq
uenc
y
1680-8
16
12
8
4
0
Observation Order
Res
idua
l
605550454035302520151051
20
10
0
-10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for total
NYATA
116
Lampiran 18 Jumlah telur fertil, menetas dan prosentase menetas pada A. atlas
Kode_sampel Jumlah telur Jumlah menetas Prosentase menetas (%)
1 331 228 68.88 2 227 207 92.1 3 298 254 85.23 4 371 188 50.67 5 133 123 92.48 6 126 114 90.48 7 380 331 88.95 8 205 128 62.4 9 292 261 89.38 10 197 191 96.94
Lampiran 19 Periode telur A. atlas Kode_sampel Tersingkat Terlama ----- hari -----
1 8 13 2 9 12 3 8 11 4 8 12 5 8 12 6 8 10 7 8 13 8 6 8 9 7 10 10 8 11
Lampiran 20 Lama peletakan telur dan penetasan A. atlas
Kode_sampel Peletakan telur Penetasan ----- hari ----- 1 4 6 2 6 7 3 3 5 4 3 5 5 3 5 6 3 3 7 5 6 8 3 4 9 2 4 10 3 3
117
Lampiran 21 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas
Kode_sampel Panjang abdomen Lebar abdomen Rentang sayap
---------- cm --------- J1 3 2.5 19 J2 3 2.8 18.5 J3 3.5 2.3 20 J4 3.1 2.5 18.5 J5 3.5 2.2 18 J6 3.5 2.5 20 J7 3.5 3 20 J8 3 2.5 19 J9 2.6 2 17.5 J10 3.5 3 20 B1 5 5 22.5 B2 4 3 20 B3 4.5 4.5 20 B4 4 3.4 20 B5 4.5 4 20.5 B6 4.5 3 20 B7 3.5 2.6 19 B8 4 3.2 19 B9 4.5 4.3 21 B10 4 3.2 19
Lampiran 22 Hasil uji t panjang abdomen A. atlas
t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper -6.105956278 18 0.0000 -1.03 0.168687746 -1.3844 -0.6756
Lampiran 23 Hasil uji t lebar abdomen A. atlas
t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper -4.069418541 18 0.0007 -1.09 0.267851534 -1.6527 -0.5273
118
Lampiran 24 Hasil uji t rentang sayap A. atlas
t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper -2.339761261 18 0.0510 -1.05 0.448763734 -1.9928 -0.1072
Lampiran 25 Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas
Kode_sampel Kopulasi Tidak kopulasi
Jantan Betina Jantan Betina ---------- hari ---------- 1 10 8 6 9 2 3 8 3 9 3 4 6 4 16 4 4 8 9 10 5 4 6 6 8 6 4 6 6 7 7 4 9 4 6 8 5 10 7 9 9 5 9 7 5 10 5 7 4 10
Lampiran 26 Hasil uji t umur imago A. atlas ‘kawin’
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
-3.8263 18 0.001236861 -2.9 0.757921133 -4.4923 -1.3077 Lampiran 27 Hasil uji t umur imago A. atlas ‘tidak kawin’
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
-2.9675 18 0.008247996 -3.3 1.11206 -5.6363 -0.9637
119
Lampiran 28 Uji Anova kualitas kokon A. atlas DUNCAN 1 B 2 A 3 A Residual Plots for penurunan bobot saat mengokon (g)
Residual
Per
cent
1.00.50.0-0.5-1.0
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
14131211
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Residual
Freq
uenc
y
1.00.50.0-0.5
8
6
4
2
0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Penurunan bobot saat mengokon
NYATA
One-way ANOVA: Penurunan Bobot Saat Mengkokon versus Perlakuan (N)
NYATA
Source DF SS MS F P Perlakuan 2 56.201 28.100 85.69 0.000 Error 27 8.854 0.328 Total 29 65.055 S = 0.5727 R-Sq = 86.39% R-Sq(adj) = 85.38% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+----- J 10 13.764 0.729 (---*--) K 10 13.955 0.510 (---*--) S 10 10.961 0.438 (---*--) ----+---------+---------+---------+----- 11.0 12.0 13.0 14.0 Pooled StDev = 0.573
120
DUNCAN 1 B 2 A 3 A Residual Plots for bobot kokon dengan floss (g)
Residual
Per
cent
0.100.050.00-0.05-0.10
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
0.370.360.350.340.33
0.08
0.04
0.00
-0.04
-0.08
Residual
Freq
uenc
y
0.060.040.020.00-0.02-0.04-0.06-0.08
8
6
4
2
0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
0.08
0.04
0.00
-0.04
-0.08
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Bobot kokon hasil transformasi
One-way ANOVA: Bobot kokon dengan floss versus perlakuan (O)
NYATA
Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.01278 0.00639 4.67 0.018 Error 27 0.03694 0.00137 Total 29 0.04973 S = 0.03699 R-Sq = 25.71% R-Sq(adj) = 20.20% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ J 10 0.36175 0.03759 (---------*--------) K 10 0.37412 0.04466 (---------*--------) S 10 0.32547 0.02641 (--------*---------) ---------+---------+---------+---------+ 0.325 0.350 0.375 0.400
Pooled StDev = 0.03699
121
Bobot kokon segar (P) One-way ANOVA: P (g) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 25.68 12.84 4.07 0.029 Error 27 85.25 3.16 Total 29 110.93 S = 1.777 R-Sq = 23.15% R-Sq(adj) = 17.46% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ 1 10 9.463 1.701 (---------*--------) 2 10 7.324 1.929 (---------*---------) 3 10 7.745 1.691 (---------*--------) ---------+---------+---------+---------+ 7.2 8.4 9.6 10.8 Pooled StDev = 1.777 DUNCAN 1 A 3 B 2 B
Residual Plots for P (g)
Residual
Per
cent
5.02.50.0-2.5-5.0
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
9.59.08.58.07.5
4
2
0
-2
Residual
Freq
uenc
y
43210-1-2
8
6
4
2
0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
4
2
0
-2
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for P(gr)
NYATA
122
Bobot kulit kokon (Q) One-way ANOVA: Q (g) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 2.656 1.328 3.44 0.047 Error 27 10.424 0.386 Total 29 13.081 S = 0.6214 R-Sq = 20.31% R-Sq(adj) = 14.41% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---+---------+---------+---------+------ 1 10 1.7446 0.7886 (---------*---------) 2 10 1.0734 0.6293 (---------*---------) 3 10 1.1630 0.3747 (---------*---------) ---+---------+---------+---------+------ 0.80 1.20 1.60 2.00 Pooled StDev = 0.6214 DUNCAN 1 A 3 B 2 B
Residual Plots for Q (g)
Residual
Per
cent
210-1
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
1.81.61.41.21.0
2
1
0
-1
Residual
Freq
uenc
y
2.01.61.20.80.40.0-0.4-0.8
10.0
7.5
5.0
2.5
0.0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
2
1
0
-1
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Q(gr)
NYATA
123
Persentase bobot kulit kokon thdp bobot kokon segar (R) One-way ANOVA: R (%) versus perlakuan - Transformasi akar kuadrat Source DF SS MS F P perlakuan 2 1.753 0.877 1.05 0.364 Error 27 22.543 0.835 Total 29 24.296 S = 0.9137 R-Sq = 7.22% R-Sq(adj) = 0.34% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- 1 10 19.349 11.317 (------------*-------------) 2 10 14.288 6.766 (-------------*------------) 3 10 15.547 5.760 (-------------*------------) --------+---------+---------+---------+- 12.0 16.0 20.0 24.0 Pooled StDev = 8.307 DUNCAN 1 A 3 A 2 A
Residual Plots for R (%)
TIDAK NYATA
Residual
Per
cent
210-1-2
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
4.24.03.8
3
2
1
0
-1
Residual
Freq
uenc
y
210-1
10.0
7.5
5.0
2.5
0.0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
3
2
1
0
-1
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Trans R
124
Lampiran 29 Uji Anova kualitas filamen A. atlas
Bobot filamen (S) One-way ANOVA: S (g) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.0326 0.0163 0.43 0.657 Error 27 1.0319 0.0382 Total 29 1.0646 S = 0.1955 R-Sq = 3.07% R-Sq(adj) = 0.00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ------+---------+---------+---------+--- 1 10 0.3762 0.1842 (------------*-----------) 2 10 0.4407 0.1079 (------------*------------) 3 10 0.3663 0.2628 (------------*-----------) ------+---------+---------+---------+--- 0.30 0.40 0.50 0.60 Pooled StDev = 0.1955 DUNCAN 1 A 3 A 2 A Residual Plots for S (g)
Residual
Per
cent
0.500.250.00-0.25-0.50
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
0.440.420.400.380.36
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
Residual
Freq
uenc
y
0.30.20.10.0-0.1-0.2-0.3
8
6
4
2
0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for S(g)
TIDAK NYATA
125
Panjang filamen (T) One-way ANOVA: T (m) versus perlakuan - dilakukan transformasi akar kuadrat Source DF SS MS F P perlakuan 2 0.013785 0.006893 14.77 0.000 Error 27 0.012597 0.000467 Total 29 0.026382 S = 0.02160 R-Sq = 52.25% R-Sq(adj) = 48.72% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---+---------+---------+---------+------ 1 10 146.84 138.83 (-------*--------) 2 10 33.96 5.47 (--------*-------) 3 10 34.53 21.71 (--------*--------) ---+---------+---------+---------+------ 0 60 120 180 Pooled StDev = 81.19 DUNCAN 1 A 3 B 2 B
Residual Plots for T (m)
NYATA
Residual
Per
cent
0.0500.0250.000-0.025-0.050
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
1.161.141.12
0.050
0.025
0.000
-0.025
-0.050
Residual
Freq
uenc
y
0.060.040.020.00-0.02-0.04
8
6
4
2
0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
0.050
0.025
0.000
-0.025
-0.050
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Trans T5
126
Daya urai kokon (U) One-way ANOVA: U versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan 2 5404 2702 6.72 0.004 Error 27 10855 402 Total 29 16259 S = 20.05 R-Sq = 33.24% R-Sq(adj) = 28.29% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -+---------+---------+---------+-------- 1 10 43.90 14.35 (-------*--------) 2 10 12.20 6.65 (--------*--------) 3 10 35.60 30.92 (--------*-------) -+---------+---------+---------+-------- 0 15 30 45 Pooled StDev = 20.05 DUNCAN 1 A 3 A 2 B
Residual Plots for U
Residual
Per
cent
50250-25-50
99
90
50
10
1
Fitted Value
Res
idua
l
40302010
60
40
20
0
-20
Residual
Freq
uenc
y
6040200-20
8
6
4
2
0
Observation Order
Res
idua
l
30282624222018161412108642
60
40
20
0
-20
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for U
NYATA
127
Lampiran 30 Kisaran suhu dan kelembaban ruangan laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB (Tahun 2007)
Bulan Suhu ( ºC ) Kelembaban ( % )
Maksimum Minimum Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan 1. Mei - Pagi - Siang - Sore
27-28 27-28 27-28
27.58±0.50 27.58±0.50 27.58±0.50
25-26 25-26 25-26
25.23±0.43 25.23±0.43 25.23±0.43
70-78 55-75 55-79
74,10±2,41 61,71±5,69 68,29±5,62
2. Juni - Pagi - Siang - Sore
27-28 27-28 27-28
27.74±0.45 27.58±0.45 27.58±0.45
24-26 24-26 24-26
25.70±0.54 25.70±0.54 25.70±0.54
55-75 50-75 55-80
69.04±4.03 56.70±6.21 63.22±6.07
3. Juli - Pagi - Siang - Sore
27-28 27-28 27-28
27.19±0.40 27.19±0.40 27.58±0.45
24-25 24-25 24-25
24.87±0.34 24.87±0.34 24.87±0.34
60-77 46-75 55-75
69.58±4.54 57.42±5.93 62.84±6.07
4. Agustus - Pagi - Siang - Sore
28 28 28
28.00±0.00 28.00±0.00 28.00±0.00
25 25 25
25.00±0.00 25.00±0.00 25.00±0.00
63-75 50-70 60-75
68.29±3.49 61.35±5.86 65.90±4.21
5. September - Pagi - Siang - Sore
28 28 28
28.00±0.00 28.00±0.00 28.00±0.00
25 25 25
25.00±0.00 25.00±0.00 25.00±0.00
64-70 59-66 60-68
66.45±2.12 61.91±2.88 64.73±2.01
Ket: Pagi jam 07.00 WIB; Siang jam 13.00 WIB; Sore jam 17.00 WIB. Lampiran 31 Alat-alat dalam penelitian
A. Kandang ngengat
Ket: terbuat dari kain kasa sebagai tempat kopulasi ngengatdewasa.
128
B. Cawan petri
Ket: untuk pemeliharaan ulat kecil (instar 1-3)
C. Toples gelas
Ket: untuk pemeliharaan ulat besar (instar 4-6) dan pengokonan.