BAB IPENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANGBCS atau Biopharmaceutical Classification
System merupakan hasil dari usaha berkelanjutan dalam analisis
matematika berkaitan dengan proses kinetika dan dinamika obat dalam
saluran pencernaan untuk memebuhi NDA dan ANDA. Sistem ini
mengurangi tahapan dalam proses pengembangan obat baru, secara
langsung maupun tidak langsung, mengurangi uji klinik yang
sebenarnya tidak diperlukan, mendukung penggantian uji bioekuivalen
dengan uji disolusi secara in vitro.BCS merupakan panduan umum
untuk memprediksi absorpsi obat dalam usus yang dibuat oleh FDA US.
Ide untu membuat BCS diungkapkan oleh Gordon Amidon, yang mendapat
hadiah Distinguished Science Award pada Agustus 2006 pada Kongres
International Pharmaceutical Federation di Salvador Brazil.Dalam
upaya penyembuhan masyarakat yang sakit, peran obat yang sangat
penting harus diimbangi dengan keterjangkauan obat. Harga obat
harus terjangkau sehingga masyarakat dengan tingkat ekonomi yang
paling bawah pun dapat membeli obat tersebut dan akhirnya kesehatan
masyarakat tetap terjaga. Harga obat yang terjangkau hanya bisa
dihasilkan oleh produsen obat bila produsen tersebut tidak
mengeluarkan biaya investasi yang mahal untuk memproduksi obat
tersebut. Semakin mahal biaya investasi untuk memproduksi obat
tersebut, maka harga obat yang dhasilkan pun akan semakin mahal.
Sebaliknya, semakin sedikit biaya investasi yang diperlukan untuk
memproduksi obat tersebut, maka harga obat yang dihasilkan akan
semakin murah.Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya
biaya investasi dalam memproduksi obat adalah biaya untuk
pengembangan obat. Untuk pengembangan suatu obat baru diperlukan
biaya yang sangat mahal. Namun biaya ini hanya berlaku untuk
produsen yang melakukan inovasi obat baru. Beberapa produsen obat
lain yang tidak memiliki biaya yang cukup untuk melakukan
pengembangan obat baru, dapat meniru obat baru tersebut bila masa
paten obat tersebut sudah habis dan produk copy yang dibuat harus
memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan itulah yang diatur oleh
suatu system yang disebut Biopharmaceutical Classification System
(BCS). Sebelum BCS dibuat, produk copy yang dihasilkan tetap
memerlukan biaya tambahan untuk melakukan uji bioekuivalensi pada
manusia. Setelah adanya gagasan dari Gordon Amidon untuk membuat
BCS, maka biaya yang diperlukan produsen untuk membuat produk copy
menjadi lebih berkurang jika dibandingkan dengan saat BCS belum
dibuat karena dengan adanya BCS, uji yang awalnya menggunakan
manusia sebagai subjek penelitian dapat digantikan dengan uji
secara in vitro di laboratorium penelitian independen yang
ditunjuk, sehingga akhirnya biaya yang dikeluarkan akan menjadi
lebih sedikit. Biowaiver adalah Suatu justifikasi yang dilakukan
sehingga obat tersebut tidak perlu dilakukan uji bioekuivalensi
(BE), hanya dilakukan uji disolusi terbanding (UDT)
2. RUMUSAN MASALAHAdapun masalah dari latar belakang diatas
yaitu1. Apa yang dimaksud dengan BCS?2. Bagaimana Karakteristik
Umum & Sifat Fisikokimia Quinidine sulfate dyhidrate?3.
Bagaimana farmakokinetik Quinidine sulfate dyhidrate ?4. Bagaimana
dosis dan performance Quinidine sulfate dyhidrate ?
3. TUJUANAdapun tujuan dari makalah ini yaitu agar dapat
memahami 1. Mengetahui apa yang dimaksud BCS2. Mengetahui
Karakteristik Umum & Sifat Fisikokimia Quinidine sulfate
dyhidrate3. Mengetahui farmakokinetik Quinidine sulfate dyhidrate4.
Mengetahui dosis dan performance Quinidine sulfate
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1.DefinisiBiopharmaceutical Classification System (BCS) adalah
kerangka ilmiah untuk mengklasifikasikan senyawa obat berdasarkan
kelarutannya dalam air dam permeabilitas dalam usus (Amidon et al.,
1995). Ketika dikombinasikan dengan karakteristik disolusi secara
in vitro dari produk obat, ada tiga faktor yang mempenngaruhi BCS
yaitu : kelarutan, permeabilitas, dan kecepatan disolusi, dimana
ketiga hal tersebut menentukan kecepatan dan luas absorpsi obat
oral dari bentuk sediaan lepas cepat dosis oral. BCS dapat
dikategorikan kedalam empat kelompok berdasarkan kelarutan dan
permeabilitasnya pada mukosa saluran pencernaan.Kelarutan adalah
suatu senyawa obat diklasifikasikan sebagai senyawa obat yang mudah
larut jika kekuatan dengan dosis tertinggi dapat larut dalam 250 mL
air atau kurang pada rentang pH dari 1-7,5 pada suhu 37C
(Lindeberg, et al., 2002).Klasifikasi kelarutan obat dalam BCS
berdasarkan kekuatan dosis tertinggi obat dalam sebuah produk lepas
cepat. Senyawa obat dikatakan memiliki kelarutan yang tinggi ketika
konsentrasi tertinggi dari obat tersebut larut dalam dalam 250 mL
media atau kurang pada kisaran pH 1.0-7.5, jika tidak senyawa obat
tersebut dikatakan memiliki kelarutan rendah. Volume media
digunakan sebanyak 250 mL diambil dari protokol studi
bioekuivalensi yang meresepkan pemberian produk obat untuk relawan
puasa dengan segelas (sekitar 8 ons) air. Permeabilitas adalah
suatu senyawa obat diklasifikasikan dengan tingkat permeabilitas
yang tinggi jika tingkat absorbsi dalam tubuh manusia lebih besar
dari 90% dari dosis yang diminum, bedasarkan pada kesetimbangan
masa atau dibandingkan dengan referensi dosis intravena (USP,
1994).Klasifikasi permeabilitas dilakukan secara langsung
berdasarkan pada luas absorpsi usus suatu senyawa obat dalam tubuh
manusia atau secara tidak langsung berdasarkan pengukuran kecepatan
perpindahan massa melewati membran usus manusia. Senyawa obat
dikatakan memiliki permeabilitas tinggi ketika luas absorpsi usus
mecapai 90% atau lebih, jika tidak senyawa obat tersebut memiliki
permeabilitas rendah. Suatu produk obat IR dikarakterisasi sebagai
sebuah produk disolusi yang cepat ketika tidak kurang dari 85%
jumlah obat yang tertera pada label larut dalam waktu 30 menit
menggunakan peralatan I USP pada 100 rpm atau peralatan II USO pada
50 rpm dalam jumlah 900 mL atau kurang dengan media masing-masing :
1) media asam, seperti HCl 0.1 N atau simulasi cairan lambung USP
tanpa enzim2) buffer pH 4.5, dan 3) buffer pH 6.8 atau simulasi
cairan usus tanpa enzimUntuk mengerti pembatasan permeabilitas
gastrointestinal secara alami, terdapat metode dan teknik untuk
mengetahui dan memberi nilai pada karakteristik tersebut. Metode
yang sering dipakai dalam penentuan permeabilitas adalah sebagai
berikut (Gothoskar, 2005): Studi pada ManusiaStudi kesetimbangan
massa farmakokinetikStudi bioavaibilitas absolut, metode perfusi
intestinal Metode permeabilitas intestinalStudi perfusi in vivo
intestinal pada manusiaStudi perfusi in vivo intestinal pada
binatangEksperimen permeasi in vitro dari potongan jaringan
intestinal manusia atau binatang Eksperimen permeasi in vitro
melalui sel epitel monolayer (sepertisel Caco-2 atausel
TC-7)Disolusi adalah suatu produk obat diklasifikasikan cepat
terdisolusi jika 85% atau lebih dari jumlah yang terlabel dari
suatu senyawa obat dalam waktu 30 menit menggunakan alat uji
disolusi tipe 1 atau 2 dalam volume 900 mL atau kurang dari larutan
dapar (USP, 1994).Komposisi formulasi dan proses manufaktur secara
umum mempengaruhi disolusi obat secara in vitro. BCS
mengklasifikasikan produk obat dapat terdisolusi secara cepat jika
tidak kurang dari 85% dari jumlah senyawa obat yang tertera
terlarut dalam 30 menit menggunakan (Polli, et al., 2004): Alat uji
disolusi tipe 1 (basket) pada 100 rpm atau alat uji disolusi tipe 2
(gayung) pada 50 rpm Medium disolusi pada volume 900 mL atau kurang
masing-masing menggunakan1. 0,1 N
HClataucairanlambungbuatantanpaenzim2. Dapar pH 4,53. Dapar pH 6,8
ataucairanususbuatantanpaenzim Profil faktor kemiripan (f2) untuk
perbandingan sampel versus standar sebaiknya lebih besar dari 50
(nilai f2 diantara 50 dan 100 menunjukkan bahwa kedua profil
disolusi adalah mirip.
Dimana Rt dan Tt adalah persentase kumulatif terlarut para waktu
t untuk standar dan sampel, dan n adalah jumlah pengambilan
sampel.Berdasarkan pada panduan BCS, profil disolusi sampel dan
standar ditentukan mirip apabila kedua produk memiliki
sekurang-kurangnya 85% jumlah zat yang terdisolusi dalam 15 menit
atau jika profil perbandingan dari f2 hasil sampel dan nilai f2
sekurang-kurangnyaa dalah 50. Untuk dapat menggunakan data
rata-rata, koefisien variasi tidak boleh lebih dari 20% pada waktu
awal (misal pada 10 menit) dan tidak boleh lebih dari 10% pada
waktu yang lain.
PRINSIP
Prinsip yang melatarbelakangi BCS adalah jika hasil produk dua
obat memiliki profil konsentrasi yang sama mendekati saluran
pencernaan akan menghasilkan profil konsentrasi profil plasma
setelah administrasi obat. Konsep ini dirangkum oleh persamaan
Ficks J = Pw Cw Dimana J adalah aliran melewati dinding usus, Pw
adalah permeabilitas dinding usus terhadap obat, dan Cw adalah
profil konsentrasi pada dinding usus. Dalam bioekuivalensi, prinsip
tersebut diasumsikan sebagai permeabilitas yang tinggi, kelarutan
yang tinggi suatu obat dalam pelarutan produk obat yang cepat akan
bioekuivalen, kecuali perubahan dapat dilakukan pada formulasi,
data disolusi dapat digunakan sebagai wakil untuk data
farmakokinetika untuk memperlihatkan bioekuivalensi dari kedua
produk obat.
FUNGSI OBAT BCSBCS dikembangkan untuk meningkatkan kegunaan
pengetahuan ilmiah pada evaluasi zat aktif, seperti prediksi
perilaku in vivo, hingga membantu badan pengatur untuk menyetujui
obat baru dan pada industri farmasi dalam memperoleh registrasi
produk.
TUJUAN OBAT BCS untuk mendiskusikan tentang uji disolusi
intrinsik sebagai alat untuk menentukan kelarutan dari suatu obat
dalam cakupan Biopharmaceutics Classification System (BCS).
membentuk alat pengatur untuk mengganti beberapa uji bioekivalensi
pada uji kelarutan in vitro, sehingga memungkinkan pengurangan
waktu dan biaya dalam proses pengembangan pengobatan, dan tidak
perlu menggunakan manusia sebagai subjek selama studi in vivo
PENGKLASIFIKASIAN DAN KARAKTERISTIK OBAT BCSBCS diklasifikasikan
berdasarkan parameter-parameter seperti kelarutan, permeabilitas
dan disolusi untuk menentukan identifikasi dan determinasi kelas
BCS (Lindeberg, et al., 2002). Berikut adalah klasifikasi BCS :Top
of Form Kelas 1 : Obat pada kelas ini memiliki permeabilitas yang
bagus kecuali mereka tidak stabil pada saluran pencernaan atau jika
obat melewati metabolisme pertama. Karena obat tersebut juga
memiliki daya larut yang baik, faktor keterbatasan untuk
absorpsinya adalah waktu pengosongan gastric. Bentuk pelepasan
segera dosis padat yang mengandung obat dengan karakteristik ini
berpotensi menjadi biowaiver untuk studi bioekivalensi.Contoh obat:
Ketoprofen, naproxen, Carbamazepine, propanolol, Metoprolol,
Diltiazem, Verapamil Kelas 2 : Meskipun memiliki permeabilitas yang
baik, klasifikasi obat pada grup ini menunjukkan masalah daya
larut, sehingga daya larut menjadi faktor keterbatasan pada
absorpsi. Penggunaan formulasi yang bagus atau teknik farmasetika,
seperti kompleksasi dengan cyclodextrins atau pengurangan ukuran
partikel diantara yang lain, dapat mendukung daya kelarutan dan
meningkatkan bioavaibilitas oral. Tetapi, daya kelarutan in vitro
harus mencerminkan daya kelarutan in vivo yang sempurna.Contoh
obat: Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedinpine,
felodipin, nicardipine, NisoldipineMetode meningkatkan kelarutan
Penggunaan surfaktan Kompleksasi Pembuatan produk tersebut
Pemilihan polimer yang digunakan Penggunaan garam dari asam lemah
dan basa lemah Menggunakan Buffeirng pH lingkungan Kelas 3 : Obat
yang memiliki daya kelarutan yang baik dan mengurangi
permeabilitas; yang terakhir dipertimbangkan faktor keterbatasan
untuk absorpsi. Penting bahwa bentuk dosis yang mengandung obat
jenis ini melepas secara cepat untuk memaksimalkan waktu kontak
dengan epitelium intestinal; namun, absorpsi dapat dipengaruhi oleh
variabel fisik seperti waktu tinggal intestinal dan konten
luminal.Contohnya obat: Acyclovir, Alendronate, Captopril,
Enalaprilat Neomycin B Kelas 4 : Kelas ini adalah yang para
peneliti temukan paling menantang, karena obat-obatnya menunjukkan
masalah biovaibilas oral karena berkurangnya daya kelarutan dan
permeabilitas.Contoh termasuk : Chlothaizude, Furosemide,
Tobramycine, Sefuroksim dll
MEDIA KELARUTAN Top of Form UNTUK BERBAGAI MACAM KELAS DARI OBAT
BCS1. Kelas 1 : media yang digunakan untuk zat yang tergolong dalam
golongan kelas 1 memiliki kelarutan yang baik dengan air dan dapat
diangkut melalui mukosa GI. Bioavailabilitas pada setelah pemberian
oral biasanya dekat dengan 100%, asalkan tidak membusuk di GIT dan
tidak di bawah pergi ekstensif pertama lulus metabolisme. Setelah
pemberian dosis Bentuk cepat masuk ke dalam perut dan biasanya
hancur di dalam perut pula, untuk itu diperlukan menggunakan cairan
yang mencerminkan kondisi lambung. Cairan pencernaan (SGF) tanpa
enzim cocok untuk berbagai bentuk sediaan pelepasan segera kelas
ini. Untuk beberapa kapsul, enzim (pepsin) dapat harus ditambahkan
ke media untuk memastikan waktu kelarutan.2. Kelas II : media yang
digunakan untuk zat yang termasuk kelas II memiliki kelarutan yang
kecil dengan air tetapi mudah diangkut melintasi GI mukosa.
Contohnya adalah :a. SGFsp ditambah surfaktan (misalnya, Triton
X-100), untuk mensimulasi pada keadaan berpuasa di perut. Ini media
secara khusus berguna untuk obat dasar yang lemah, karena ini
adalah yang paling larut dalam kondisi asam. Kehadiran surfaktan
dalam lambung dapat berperan dalam membasahi dan melarutkan larut
asam yang buruk di perut. b. Memastikan susu sebagai media yang
dapat meningkatkan kelarutan obat termasuk solubilisasi obat di
bagian lemak dari cairan media ini mengandung rasio serupa protein
/ lemak / karbohidrat.c. FaSSIF (Fasted state simulated intestinal
fluid) dan FeSSIF (Fed state simulated intestinal fluid) yang
baru-baru ini dikembangkan untuk mensimulasikan kondisi usus. Kedua
media sangat berguna untuk meramalkan kelarutan obat yang buruk
secara invivo dari berbagai formulasi untuk menilai potensi makanan
pada efek kelarutan secara invivo. d. Campuran Hydroalcoholic
sebagai Media disolusi yang populer untuk kelarutan obat yang
buruk. Khususnya signifikansi ini media selama surfaktan berisi
media adalah bahwa mereka tidak menimbulkan busa, yang membuat
deaeration dan penyesuaian volume agak kurang baik.3. Kelas III :
Meskipun kelarutan yang baik berair mereka, zat yang termaksud
golongan kelas III tidak mencapai bioavailabilitasyang sempurna
pada dosis oral karena memiliki permeabilitas membran yang rendah.
Dapat digunakan media air yang sederhana.4. Media untuk Kelas IV :
menggabungkan obat yang sukar larut dengan permeabilitas yang
rendah. Oleh karena itu, mirip dengan obat kelas III, mereka
biasanya tidak mendekati bioavailabilitas. Dua kompendial Media
yaitu SGFsp & SIFsp dengan penambahan surfaktan untuk
memastikan pelepasan lengkap obat dari formulasi dapat
digunakan.
SELEKSI TINGKAT KECEPATANSebuah kecepatan rotasi yang tepat
harus dipilih. Jika kecepatan rotasi terlalu rendah, coining
mungkin terjadi, mengarah ke artifactually tingkat kelarutan
rendah. Jika Tingkat rotasi terlalu cepat, tes tidak akan dapat
membedakan antara diterima dan tidak dapat diterima batch. Rotasi
kecepatan dalam kisaran 50-75 rpm tampaknya cocok dalam hal metode
dayung. Pembubaran senyawa kelas pertama relatif intensif untuk
variasi dalam kisaran kecepatan dan bahkan untuk Kelas II senyawa
efeknya minimal. Jika metode keranjang yang digunakan cocok pada
kecepatan rotasi rpm 75-100.APLIKASI SISTEM KLASIFIKASI
BIOFARMASETIK Aspek PengaturanBCS terutama digunakan dalam
identifikasi obat secara tepat untuk menggantikan uji in vivonya
dengan uji disolusi secara in vitro. Saat ini telah diketahui bahwa
obat BCS kelas I dilepaskan dari bentuk sediaannya dengan sangat
cepat secara in vivo dan pengosongan lambung akan menjadi batasan
pada proses absorbsi. Dengan demikian, bioavailabilitas tidak
tergantung pada sifat biofarmasetik dan oleh karena itu pemeriksaan
secara in vivo dapat diabaikan (bio-waiver). Kriteria untuk
persyaratan bio-waiver adalah obat harus stabil pada cairan GI dan
tidak termasuk dalam golongan obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, siklosporin) (1,4). Obat-obat dengan
permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah (kelarutan dalam air
tinggi hanya pada pH 6,8; BCS kelas II asam lemah) dapat juga
dibebaskan dari uji BE secara in vivo (4). Namun dalam beberapa
kasus obat BCS kelas II penerapan bio-waiver tidak dianjurkan
(2).Bio-waiver juga dapat diterapkan pada obat BCS kelas III karena
obat golongan ini memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan juga
karena bioavailabilitas kurang dipengaruhi oleh sifat pelepasan
formulasi obat terhadap permeabilitas secara in vivo. Alasan yang
mendasari penerapan bio-waiver pada obat BCS kelas III ditunjukkan
bahwa jika dua produk mengandung bahan obat yang sama, memiliki
profil konsentrasi-waktu yang sama pada permukaan membran usus
tentu akan memiliki kecepatan dan tingkat bioavailabilitas yang
sama. Akan tetapi hal ini tidak selamanya benar karena ternyata
untuk bahan obat kelas III, eksipien dari formulasi obat dapat
mempengaruhi pengambilannya. Hal ini akan mengubah
bioavailabilitas. Kesimpulan yang sama juga dapat ditarik terhadap
obat BCS kelas I bahwa jika laju disolusinya cepat maka akan
menunjukkan reaksi yang sama dengan larutan obat oral secara in
vivo. Konsekuensinya adalah selama belum ditetapkannya suatu metode
validasi yang memperkirakan efek eksipien dalam formulasi terhadap
sitem transpor obat, bio-waiver tidak dapat diterapkan (1,2).
Karakterisasi Obat Berdasarkan Proses Eliminasi Dalam
TubuhMolekul obat dengan permeabilitas dan/atau kelarutan yang
rendah biasanya memiliki bioavailabilitas yang rendah dan tidak
tetap. Telah ditunjukkan bahwa bahan obat BCS kelas I dan II
dieliminasi terutama melalui jalur metabolisme, sedangkan BCS kelas
III dan IV dieliminasi secara utuh terutama ke dalam urin dan
empedu. Tingginya permeabilitas bahan obat kelas I dan II
menunjukkan bahwa obat tersebut akan memiliki akses yang cepat ke
enzim metabolisme dalam hati. Bahan obat secara umum mengalami
biotransformasi menjadi senyawa yang lebih polar sehingga menjadi
lebih mudah untuk diekskresi.
Gambar 3. Kemungkinan Teknik Formulasi Berdasarkan BCS Interaksi
Obat dan MakananTelah diketahui bahwa makanan mempengaruhi
bioavailabiltas obat. Efek makanan terhadap bioavailabilitas obat
dapat ditentukan berdasarkan BCS. Hasil observasi bahwa paparan
obat BCS kelas II (kelarutan rendah, permeabilitas tinggi) dengan
makanan tinggi lemak dapat meningkatkan kelarutan karena pemberian
tambahan makanan dapat menstimulasi peningkatan volume cairan GI
dan/atau karena sifat pelarutan oleh empedu sehingga meningkatkan
laju disolusi. Obat BCS kelas III menunjukkan penurunan drastis
pada absorbsi ketika pemberian makanan tambahan. Hal ini
dikarenakan makanan dapat membentuk suatu barier fisik tambahan
pada membran usus sehingga dapat mempengaruhi permeabilitasnya
(1,2). Korelasi in vitro -in vivo (IVIVC)Uji disolusi secara in
vitro penting sekali dalam pengembangan sediaan obat padat,
demikian pula pada kontrol kualitas bets. Tujuan uji disolusi
adalah untuk melihat bahwa obat larut baik dalam saluran GI dan
tersedia untuk proses absorbsi. Oleh karena itu sebaiknya uji in
vitro menyediakan data yang memiliki korelasi baik dengan keadaan
in vivo. Disolusi obat dan permeabilitas usus adalah parameter
dasar yang mengatur laju dan tingkat absorbsi. Akan tetapi,
pencapaian IVIVC seringkali gagal karena IVIVC dapat tercapai hanya
pada batas-batas tertentu.Pada kasus obat BCS kelas I, waktu
pengosongan lambung menjadi batasan karena faktor ini tidak
termasuk dalam uji disolusi secara in vitro. Dengan demikian IVIVC
seharusnya tidak dapat dicapai selama pelepasan obat lebih cepat
dari waktu pengosongan lambung.Obat kelas II memiliki disolusi yang
terbatas. Dengan demikian jenis obat ini IVIVCnya dapat tercapai
dengan menggunakan uji disolusi yang tepat. Tetapi terdapat dua
kasus di mana IVIVC obat kelas II tidak dapat ditentukan dengan
mudah. Pertama, terdapat sejumlah formulasi yang mempertinggi laju
disolusi. Dalam kasus ini, persyaratan seperti pada kelas I harus
dipenuhi. Kedua, ketika absorbsi dibatasi oleh terjadinya kejenuhan
dalam saluran GI yang lebih cepat dari laju disolusi. Pada kondisi
ini konsentarsi obat dalam saluran GI mendekati titik jenuh dan
mengubah laju disolusi sehingga tidak akan mempengaruhi konsentrasi
plasma dan biovailabilitas in vivo. Pada obat kelas III absorbsinya
dibatasi oleh permeabilitas usus. Dengan demikian, ketika proses
ini tidak dikondisikan pada uji disolusi secara in vitro, IVIVC
tidak akan tercapai. Untuk obat kelas IV dengan kelarutan dan
permeabilitas rendah kemungkinan tercapainya IVIVC sangat rendah.
Secara keseluruhan IVIVC hanya dapat diperoleh setelah memahami
dengan tepat sifat fisika kimia, demikian pula mekanisme
pengambilan dan eliminasi dari senyawa obat (1,2,5).
2.2.Karakteristik Umum & Sifat Fisikokimia Quinidine sulfate
dyhidrate1. Karakteristik UmumSebelum dijelaskan mengenai BCS
Quinidine sulfate dyhidrate lebih lanjut, terlebih dahulu
dipaparkan mengenai monografi dari Quidine sulfate dyhidrate:
Struktur senyawa Quidinide sulfate dyhidrate
a) Tata namaQuinidine sulfate dihydrate memiliki nama kimia
adalah cinchonan-9-ol, 60-methoxy-,(9S)-, sulfate (2:1). Nama IUPAC
Quinidine sulfate dihydrate adalah (S)-[(5S/7R) -5- ethenyl-1-
azabicyclo [2.2.2] octan-7-yl]- (6-methoxyquinolin-4-yl) methanol;
sulfuric acid dehydrate. Quinidine sulfate dihydrate memiliki rumus
molekul C40H48N4O4 _ H2SO4 _ 2H2O. Bobot molekul Quinidine sulfate
dihydrate adalah 782.96 dimana sebanyak 82,9% adalah quinidine
basa. Quinidine merupakan diastereomer dari Quinine.b) Indikasi
TerapiQuinidine diindikasikan dalam pengobatan fibrilasi atrium,
aritmia ventrikel serta pengobatan malaria. Dosis yang biasa
digunakan adalah 200-400 mg setiap 4-6 jam. Namun, selama tidak ada
efek samping yang teramati, dosis dapat ditingkatkan secara
hati-hati untuk pencapaian efek terapi.c) Indeks TerapiHubungan
antara kadar Quinidine dalam plasma dengan efek atau toksisitas
sulit untuk ditentukan karena perbedaan pengukuran yang diterapkan,
hal ini karena adanya metabolit aktif dari dihydroquinidine sebagai
produk impurity. Level serum terapeutik diketahui sebesar 2-6 mg /
mL (6,2-18,5 mmol / L), namun plasma atau serum dapat meningkat
secara optimal dan berada diluar kisaran tersebut pada beberapa
orang. Hal ini karena,quinidine terikat sehingga konsentrasinya
lebih rendah. d) ToksisitasToksisitas dapat terjadi pada
konsentrasi yang lebih tinggi dari 5-8 mg / mL. Ada beberapa kasus
kematian balita setelah mengkonsumsi 5 g dosis quinidine, sementara
seorang remaja selamat setelah mengkonsumsi 8 g dosis quinidine.
Overdosis dari quinidine ini dikaitkan dengan terjadinya aritmia
ventrikel, cinchonism, dan seprai tension. Telah terdaftar di FDA
untuk kapsul quinidine sulfat tablet dan tablet extended release
sebagai produk obat dengan jendela terapi sempit.
2. Sifat Fisikokimia
Quinidine sulfate anhydrate memiliki sifat fisikokimia sebagai
berikut:
a) Garam, Ester, Polymorph, HydrateQuindine sulfat yang dimaksud
dalam jurnal ini adalah dalam dihidrat dengan perbandingan 2: 1
garam quinidine dan sulfat, juga dikenal sebagai quinidine
bisulfat, glukonat dan polygalacturonate diketahui digunakan secara
parenteral atau formula sustained release, tetapi di luar lingkup
monografi ii terbatas untuk bentuk sediaan padar IR quinidine
sulfat. Tidak ada referensi terhadap bentuk polimorfik
diidentifikasi. b) Kelarutan
Quinidine sulfat diketahui dapat terlarut sebanyak 1 g zat
terlarut dalam 90 mL air. Tanpa ada pernyataan suhu tertentu.c)
pKaQuinidine berisi dua atom nitrogen dengan nilai pKa 4,2 dan 8,8.
Meskipun nilai pKa dalam literatur bervariasi untuk tingkat
tertentu, nilai pKa tetap pada pH 6,8.d) Koefisien
DisitribusiSecara eksperimental log P dan C log P untuk quinidine
adalah 2.36 dan 2.79. Distribusi dalam media organik seperti
oktanol terjadi pada tingkat yang cukup besar dalam kisaran pH yang
relevan dari pH 5-7. Nilai log D untuk quinidine menunjukkan
peningkatan eksponensial antara pH 4,5 dan pH 8. Dalam studi yang
sama, log D (pH 6.5) menjadi sekitar pH 1,0-1,1 Tabel koefisien
distribusi (D) dari kuinidin dalam oktanol / buffer pada nilai pH
yang berbeda-beda pada suhu 37-18C.pHD (Approximate Values)
40.4
52
613
729
830
930.5
e) Dosis & Kekuatan Dosis FormulaDosis yang digunakan
dinyatakan dalam bentuk garam, tapi lebih sering dinyatakan sebagai
jumlah yang setara anhidrat quinidine basa atau quinidine sulfat
dihidrat. Quinidine sulfat (dihidrat) 241 mg, dan Quini-dine sulfat
(anhidrat) 230 mg masing-masing setara dengan sekitar 200 mg
quinidine (anhy-drous). Kuinidin sulfat tercantum dalam daftar obat
dari WHO sebagai obat antiarrhytmic 200 tablet mg. Quinidine sulfat
dalam bentuk sediaan immediate-release (IR) tersedia dalam kekuatan
dari 100, 200, dan 300 mg quinidine sulfat.f) Stabilitas
ObatQuinidine sulfat diketahui stabil sampai 60 hari dalam
formulasi larutan oral. Ada beberapa referensi tentang
ketidakstabilan quinidine di saluran gastrointestinal (GI).
2.3. Farmakokinetik
Permeabilitas dan AbsorpsiPermeabilitas quinidine bergantung
pada pH dan konsentrasinya. Permeabilitas dapat ditentukan dengan
Caco-2 sel pada apikal ke basolateral (ab) dengan kecepatan kurang
lebih 1 x10-6 cm/s pada pH apikal 5 dan meningkat menjadi sekitar
60x 10-6 cm/s pada pH 8 (lihat Tab. 1 untuk rincian) dengan
transpor ba selalu melebihi transpor ab. Dalam permeabilitas
jejunum tikus untuk quinidine berkisar dari sekitar 15x10-6 cm/s
pada pH 4.5 dan 30x10-6 cm/s pada pH 7.4 pada konsentrasi quinidine
tertinggi 300 M dan dari 3 sampai 6x10-6 cm/s untuk konsentrasi uji
terendah (3 M), lihat Tabel 1.
Tabel 1. Data Permeabilitas Quinidine
Peningkatan permeabilitas terjadi pada pH yang lebih tinggi
sesuai dengan hipotesis pH partisi, karena keseimbangannya bergeser
ke arah deprotonized dan lebih bersifat lipofilik. Karena quinidine
adalah P-glikoprotein (P-gp) substrat, juga salah satu substrat
yang digunakan untuk mempelajari obat P-gp yang dimediasi interaksi
oleh FDA, tergantung konsentrasi penyerapan dapat berasal kejenuhan
P-gp penghabisan. Pada konsentrasi quinidine 300 M, P-gp memediasi
transport yang hampir sepenuhnya jenuh seperti yang diperkirakan
oleh penghambatan dengan verapamil pada jejunum tikus. Baik di
Caco-2 sel dan jejunum tikus, permeabilitas quinidine pada salah
satu pH lebih rendah daripada permeabilitas tinggi, metoprolol atau
propranolol. Untuk konsentrasi rendah (3-10 M) permeabilitas
quinidine berada di kisaran rendah pada permeable referensi zat
(furosemid, hydrochlorothiazide), sedangkan untuk konsentrasi
tinggi dan pH netral permeabilitas jauh lebih dekat dengan bahan
referensi permeabilitas tinggi propranolol. Mori et al. menyelidiki
absorpsi quinidine dalam tikus dengan menentukan recovery quinidine
di daerah yang berbeda dari saluran pencernaan pada waktu yang
berbeda dan menyimpulkan bahwa quinidine secara cepat diserap dari
usus proksimal setelah rilis dari lambung dan hanya sejumlah kecil
ysng mencapai intestine distal. Dalam literatur ilmiah tampaknya
akan disepakati bahwa quinidine hampir sepenuhnya diserap dari usus
setelah pemberian oral (kurang dari 5% quinidine mencapai tinja
setelah konsumsi oral). Selanjutnya, penyerapan quinidine dari
larutan terjadi dengan cepat dengan quinidine muncul dalam
sirkulasi sistemik biasanya dalam 5-15 menit setelah pemberian dan
mencapai tingkat puncak pada sekitar 45 menit. Penyerapan dari
tablet yang berbeda terjadi dengan jeda waktu sekitar 10-20 menit
dan konsentrasi puncak sekitar 80-90 menit. Hal ini menunjukkan
bahwa bioavailabilitas mutlak sekitar 70-80% tetapi menunjukkan
besar intraindividual (50-80%) dan antarindividu (50-100%).
Penurunan 20-30% di BA setelah pemberian oral dibandingkan dengan
i.v. mungkin dapat berasal first-pass metabolism di sebagian besar
pasien. Linearitas Qunidine menunjukkan farmakokinetik linear.
Namun, dalam beberapa individu tampaknya terjadi farmakokinetik
yang nonlinear, kemungkinan disebabkan karena perbedaan metabolisme
oksidatif. Distribusi Disposisi Quinidine dapat dijelaskan dengan
model dua kompartemen terbuka. Meskipun plasma binding protein
80-90%, volume distribusi steady state (Vdss: 3.03 0,25 L/kg) dan
volume kompartemen tengah (Vc: 0,398-0,908 L / kg) menunjukkan
distribusi ke jaringan ekstravaskular. Selanjutnya, quinidine juga
didistribusikan ke eritrosit. Metabolisme dan Ekskresi Quinidine
dimetabolisme utama di hati oleh sitokrom P450 di bawah partisipasi
CYP3A4. Metabolit utamanya adalah 3-hydroxyquinidine,
2-quinidinone, dan quinidine-N-oxide. Beberapa metabolit ini aktif
secara farmakologid.Sementara untuk eliminasi terjadi pada
metabolisme hati (60-85% dari total clearance) dan ekskresi ginjal
pada obat yang tersisa utuh (15-40%). Efek makanan Makanan tidak
mempengaruhi tingkat penyerapan yang diukur dengan AUC. Namun,
peningkatan 44% pada tmax telah diamati setelah administrasi
quinidine dengan makanan. Woo et al. Menemukan penurunan tmax dan
Cmax saat hanya serum unbound quinidine yang diukur, sementara
ketika pengukuran serum total quinidine tidak ada perbedaan yang
signifikan pada Cmax dan tmax yang diteliti. Dinyatakan bahwa serum
protein postprandial yang lebih tinggi akan mengurangi fraksi dari
unbound quinidine. Asupan diet garam dapat meningkatkan first pass
metabolism hati pada quinidine. Selanjutnya, konsumsi secara
bersamaan jus grapefruit (jeruk besar) dapat mengubah
farmakokinetik quinidine. Makanan mungkin memiliki efek yang
berbeda pada modifikasi pelepasan bentuk sediaan, namun, monografi
ini tidak terkait dengan modifikasi rilis formulasi.Penentuan
Parameter Farmakokinetik (Bauer, 2008; Robertson and Shilkofski,
2005).Tabel 2. Kondisi Penyakit yang menyebabkan perubahan
farmakokinetik quinidinKondisiWaktu ParuhVolume
DistribusiKeterangan
Dewasa, fungsi hati normal7 jam (rentang : 6-8 jam)2.4 L/kg
(rentang : 2-3 L/Kg)Quinidin memiliki rasio ekstraksi hepatic
moderate -30%, jadi aliran darah di hati, fraksi obat bebas dalam
darah, dan klirens intrinsik merupakan faktor penting dalam laju
klirens. 20% Quinidin dieliminasi dalam bentuk utuh di urin
Dewasa, sirosis hati9 jam3.8 L/KgQuinidin dimetabolisme 80% oleh
enzim mikrosomal hati dan menjadi substrat P-glikoprotein. Klirens
obat total meningkat pada sirosis tapi klirens intrinsik menurun.
Vd menjadi lebih besar karena penurunan alpha-acid glycoprotein dan
produksi albumin oleh hati yang menurunkn aktivitas pengikatan obat
dalam plasma
Dewasa, gagal hati7 jam1.7 L/kgPenurunan aliran darah ke hati
menurunkan output cardiac dan menurunkan klirens quinidin. Vd
menjadi lebih sedikit akibat peningkatan pengikatan asam
glikoprotein dengan obat dalam plasma.
Dewasa, obesitas (>30% IBW)Sesuai dengan kondisi kesehatan
pasienSesuai dengan kondisi kesehatan pasienDosis quinidin
seharusnya didasarkan pada IBW pasien dengan berat >30% melebihi
IBW
2.4. Dosis dan Performance(bagian kg furqan)
KESIMPULAN Obat yang mengandung hanya bahan pengisi saja
memiliki kemungkinan nonequivalen lebih rendah dan juga tidak
mempengaruhi nilai permeabilitas. Sifat kelarutan dan permeabilitas
untuk memastikan tingkatan BCS dari quinidin belum dapat
disimpulkan akibat adanya keterbatasan data dan kondisi pengujian.
Quinidin juga merupakan obat dengan indeks terapi sempit sehingga
obat seperti ini tidak biowaivers dan sulit untuk diterima pasien.
Perlu dilakukan pengujian BE secara in vivo.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Guideline For Industry; Waiver of In Vivo
Bioavailability and Bioequivalence Studies for Immediate-Release
Solid Oral Dosage Forms Based on a Biopharmaceutics Classification
System. New York: Food and Drug Administration.
Amidon GL, Lennernas H, Shah VP, and Crison JR, A theoretical
basis for a biopharmaceutics drug classification: The correlation
of in vitro drug product dissolution and in vivo bioavailability,
Pharm. Res., 1995, 12, 413420.
Badan POM. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Pedoman Uji Bioekivalensi. Badan POM RI.
Jakarta. 2004.
Bauer. 2008. Applied clinical pharmacokinetics. McGrawHill. New
York.
Brodin, B., Steffansen, B., Nielsen, C.U. 2009. Molecular
Biopharmaceutics: Passive Diffusion of Drug Substances: The
Concepts of Flux and Permeability. 135-152.
Chan, H.O. 2001. Biopharmaceutics Classification System: An
Industrial Experience. Capsugel Library. 1-10.
Dressman JB, Lennernas H. Oral Drug Absorption, Prediction and
Assessment. Marcel Dekker. New York. 2000.
FDA. 1999. Guidance for Industry: Waiver of In Vivo
Bioavailability and Bioequivalence Studies for Immediate Release
Solid Oral Dosage Forms Containing Certain Active Moieties/Active
Ingredients Based on a Biopharmaceutics Classification System. CDER
draft.
FDA. 1997. Extended Release Oral Solid Dosage Forms:
Development, Evaluation, and Application of In Vitro/In Vivo
Correlations. Center for Drug Evaluation and Research.
Grube, S, et al., 2008, Biowaiver Monographs for Immediate
Release Solid Oral Dosage Forms: Quinidine Sulfate, Journal of
Pharmaceutical Sciences, (98)7:2238-2251.
Gothoskar, A. V. Biopharmaceutical classification of drugs.
Pharm. Rev. [Online] 2005, 3 (1).
http://www.pharmainfo.net/reviews/biopharmaceutical-classification-drugs
(accessed 24th September 2014).
Issa, Michele G. and Humberto G. Ferraz. 2011. Intrinsic
Dissolution as a Tool for Evaluating Drug Solubility in Accordance
with the Biopharmaceutics Classification System. [Online].
Available at:
http://www.dissolutiontech.com/DTresour/201108Articles/DT201108_A01.pdf
(Accessible 24th September 2014).Kumar, K.K.V., Kartnati, S.,
Reddy, M.B., Chandramouli, R. 2010. CaCo-2 Cell Lines In Drug
Discovery- An Update Perspective. Journal of Basic and Clinical
Pharmacy. 001: 63-69.
Martin, A.N., Swarbrick, J., Cammarata, A. 1993. Physical
Pharmacy 4th ed. Philadelphia: Lea and Febiger. 855.
Mishra V., Gupta U., Jain N. K. 2010. Biowaiver: an alternative
to in vivopharmacokinetic bioequivalence studies. Pharmazie. 2010
Mar;65(3):155-61.
RTI. 2006. In Vitro Permeability Models. New York : RTI
International.
Robertson J, Shilkofski N. 2005. The Harriet Lane handbook: a
manual for pediatric house officers. 17th ed. St. Louis, MO:
Mosby.
Sacham, N. K.; Bhattacharya, A.; Pushkar, S.; Mishra, A.
Biopharmaceutical classification system: A strategic tool for oral
drug delivery technology. Asian J. Pharm.2009, 3 (2), 7681.
Shargel, L., Yu A.B.C. 2005. Biofarmasetika dan Famakokinetika
Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.
Shargel L, Pong SW, and Yu ABC. Applied Biopharmaceuticals and
Pharmacokinetics. 5th Edition. McGraw-Hills. California. 2004.
Shivajinagar, Gangapur. Sistem klasifikasi biofarmasi : ilmiah
dasar mengenai biowaiver
Steffansen B, Brodin B, and Nielsen CU. Molecular
Biopharmaceutics, Aspects of Drug Characterisation, Drug Delivery
and Dosage Form Evaluation. Pharmaceutical Press. London. 2010.
Polli, J. E.; Yu, L. X.; Cook, J. A.; Amidon, G. L.; Borchardt,
R. T.; Burnside, B. A.; Burton, P. S.; Chen, M. L.; Conner, D. P.;
Faustino, P. J.; Hawin, A.; Hussain, A. S.; Joshi, H. N.; Kwei, G.;
Lee, V. H. L.; Lesko, L. J.; Lipper, R. A.; Loper, A. E.; Nerurkar,
S. G.; Polli, J. W.; Sanvordeker, D. R.; Taneja, R.; Uppoor, R. S.;
Vattikonda, C. S.; Wilding, I.; Zhang, G.Summary workshop report:
Biopharmaceutics classification system-implementation challenges
and extension opportunities. J. Pharm. Sci. 2004, 93 (6),
13751381.United States Pharmacopeia and National Formulary USP 23NF
18; The United States Pharmacopeial Convention, Inc.: Rockville,
MD, 1994
Yu, L. X.; Amidon, G. L.; Polli, J. E.; Zhao, H.; Mehta, M. U.;
Conner, D. P.; Shah, V. P.; Lesko, L. J.; Chen, M. L.; Lee, V. H.
L. Biopharmaceutics classification system: The scientific basis for
biowaiver extensions. Pharm. Res. 2002, 19 (7), 921925.
Waterbeemd and Testa B. Drug Bioavailability, Estimation of
Solubility, Permeability, Absorption and Bioavailability. 2nd
Edition. Wiley-VCH. Jerman. 2009.
Woo E, et al, 1980, Effect of food on enteral absorption of
quinidine, Clin Pharmacol Ther 27:188193.
9