MENCARI ASAL-USUL KITAB SUCI(The Bible Came from Arabia)Oleh Dr.
Kamal Salibi
TENTANG PENULISLahir di Beirut, Libanon 1929 Dr. Kamal Salibi
dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Sejak
turun-temurun keluarga ini adalah penganut agama Kristen Maronit,
dan yang menerjemahkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Arab yang sampai sekarang dipakai oleh kalangan Kristen yang
berbahasa Arab, adalah kakeknya dari pihak bapak. Selepas dari
International College, ia meneruskan studinya ke Universitas
Amerika di Bairut hingga sarjana muda bidang sejarah Eropa dan
ilmu-ilmu politik. Setelah mengambil studi dalam bahasa-bahasa
Semit, dilanjutkannya ke Universitas London hingga mencapai Ph.D.
dalam tahun 1953 di bidang sejarah Islam dan sejarah Arab. Kemudian
ia menjabat guru besar sejarah dan kepala departemen sejarah dan
kepurbakalaan di Universitas Amerika di Bairut. Dewasa ini ia
tinggal di Amman, Yordania.Buku kontroversial yang ditulis dalam
bahasa Inggris ini pada mulanya menemui kesulitan dalam mencari
penerbit, karena hampir semua penerbit di Eropa menolaknya. Setelah
sampai ke tangan Der Spiegel di Jerman dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman dengan syarat harus terlebih dulu diteliti oleh
sebuah tim yang terdiri dari para ilmuwan dan guru besar bahwa
penelitiannya didasarkan hanya pada ilmu semata, bukan pada sesuatu
agama atau ras, akhirnya dalam tahun 1985 buku ini terbit, dan
kemudian disusul dengan penerbitan bahasa Inggris dan diterjemahkan
ke dalam beberapa bahasa, di antaranya bahasa-bahasa Jerman,
Perancis, Belanda, Denmark, Arab, Finlandia, Jepang, Spanyol dll.
Pada mulanya teori Dr. Salibi tentang asal-usul Bibel yang katanya
berasal dari Arabia dan bukan dari Palestina, cukup menghebohkan
dan mendapat tantangan semua pihak!Terjemahan bahasa Indonesia ini
disajikan semata-mata untuk maksud yang sama.
PETA
Agar tidak jauh dari peta aslinya dalam buku The Bible Came from
Arabia, peta dalam buku ini direproduksi dari buku aslinya, dengan
mengubah sebagian nama-nama tempat menurut ejaan Indonesia. KUNCI
TRANSLITERASI IBRANI DAN ARAB Catatan: Bahasa Ibrani Bibel secara
resmi memiliki abjad konsonan yang terdiri dari dua puluh dua
huruf, termasuk semivokal w (w) dan y (y). Mengingat bahwa sebuah
konsonan, yaitu s (s), dianggap mewakili s (s, yang menurut ucapan
bahasa Inggris sh, atau s (v), maka jumlah total huruf-huruf yang
dikenal adalah dua puluh tiga. Tidak ada yang mengetahui bagaimana
bahasa Ibrani Bibel disuarakan, mungkin pemberian tanda vokal
secara tradisional terhadap bahasa ini didasarkan pada pemberian
tanda vokal dari bahasa Aram (Arami). Nilai fonetik (atau nilai
varian) orisinal dari beberapa konsonan Ibrani pun, termasuk dua
buah semi-vokal, masih belum dapat dipastikan.Bahasa Arab klasik
secara resmi memiliki dua puluh delapan huruf konsonan dalam
abjadnya, termasuk dua buah semi-vokal, yaitu w (wawu) dan y (ya).
Sebagai tambahan adalah huruf t Arab yang tak bersuara (ditulis ta'
marbutoh, berbeda dengan ta', huruf t yang biasa). Huruf ini
dikenal sebagai sepadan dengan huruf h (?, dan dipergunakan khusus
sebagai akhiran tunggal feminin. Ada pula huruf y, diucapkan
sebagai huruf vokal a (ditulis ?), yang juga digunakan khusus
sebagai akhiran feminin. Nilai fonetik konsonan dan semi-vokal
bahasa Arab Klasik telah diketahui; begitu pula dengan nilai
fonetik varian konsonan-konsonan yang sama dan semi-vokal dalam
bentuk bahasa Arab dialek yang masih hidup, yang dapat dipergunakan
untuk memeriksa vokalisasi Klasik.
KATA PENGANTARKetika mula-mula saya mengira bahwa tempat asal
Kitab Bibel itu Arabia Barat dan bukan Palestina, saya merasa
memerlukan dukungan untuk memperdalam penyelidikan ini, atau lebih
tepat lagi untuk memberanikan menulis sebuah buku tentang ini.
Dukungan ini diberikan oleh sejumlah teman dan rekan saya, dan saya
bangga menyatakan bahwa saya berutang budi kepada mereka. Di antara
mereka, Dr. Wolfgang Koehler dan Prof. Gernot Rotter yang telah
memberi kesempatan pertama kepada saya untuk mengemukakan
penemuan-penemuan saya yang awal kepada para pendengar yang amat
kritis di Deutche Orient Institut di Beirut. Prof. Rotter jugalah
yang membawa hasil penelitian saya kepada penerbit-penerbit Jerman.
Merekalah yang kemudian mempersiapkan penerjemahan buku ini, yang
aslinya ditulis dalam bahasa Inggris, ke dalam beberapa bahasa.
Joseph Munro, Profesor Sastra Inggris di American University of
Beirut, banyak membantu saya sejak awal berjalannya penyelidikan
ini. Dia pula yang mempersiapkan naskah saya untuk diterbitkan,
serta melonggarkan jalan pemikiran saya yang terkadang sangat ingin
menonjolkan keilmuan. Ia pun memperlembut sifat tegas saya yang
sering dogmatis dengan bentuk-bentuk perumpamaan. Rasa gembira
karena penemuan ini memaksa saya untuk mengabaikan sikap
berhati-hati.Sebagai pendatang baru dalam bidang studi Semit dan
Keinjilan, dalam tahap-tahap awal penyelidikan ini saya mendapatkan
bimbingan dari dua orang rekan saya, Ramzi Baalbaki, yang membantu
saya dalam memperlancar bahasa Ibrani saya, dan William Ward, yang
menyisihkan waktunya untuk memperkenalkan saya pada literatur
bidang keilmuan yang relevan dan memperingatkan saya akan adanya ke
sulitan-kesulitan yang akan saya hadapi. Yang seorang rekan lagi,
yaitu Charles Abu Chaar, yang telah memberi pengarahan kepada saya
dalam hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan flora Arabia.
Profesor Otto Jastrow dari the University of Erlangen, sangat
berbaik hati terhadap saya dalam memberi dukungan dan pengarahan
mengenai studi ini, dan secara khusus saya mengucapkan terima kasih
kepadanya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya
tujukan kepada Volkhard Windfuhr dari Der Spiegel, atas
perhatiannya yang besar terhadap buku saya ini, dari awal sampai
akhir. Peta-peta di dalam buku ini digambar oleh Ahmad Shah
Durranai, Dr. Elfried Soker dan Klaus Carstens, sedangkan naskah
terakhir yang diketik dipersiapkan oleh Mufida Yacoub, Sayidah
Ni'mah, Leila Salibi dan Margo Matta.Karena studi yang saya lakukan
ini bersifat revolusioner, saya yakin segenap penasihat saya akan
gembira mendengar bahwa saya membebaskan mereka dari segala
tanggung jawab dan dari apa pun kesalahan serta kesalahpahaman yang
didapati oleh para pembaca kritis. Meskipun demikian, saya
menghargai dukungan mereka selama buku ini ditulis. Saya hanya
dapat berharap antusiasme mereka yang tak kunjung padam itu telah
diterjemahkan menjadi sebuah buku yang patut mendapatkan kerjasama
yang begitu besar itu dari mereka.Akhirnya, saya harus berterima
kasih kepada sumber-sumber informasi yang tercetak yang menjadi
studi saya ini sangat bergantung. Selain sebuah versi standar dari
teks konsonan Injil Ibrani, saya telah memanfaatkan katalog
nama-nama tempat Arabia yang diterbitkan oleh Sheikh Hamad al-Jasir
dari Riyad, Arab Saudi, yang berjudul Al-Mu'jam al-Jiughrafi
li'l-Bilad'l 'Arbiyyah as-Sa'udiyyah (Riyad, 1977). Selain itu,
saya telah memanfaatkan juga beberapa peta Jazirah Arabia yang
lain: 'Atiq al-Baladi Mu'jam Ma'alim'l-Hijaz (Taif, 1978). Muhammad
al-'Aqili: Al-Almu'jam al-Jiughrafi li'l-Bilad'l 'Arabiyyah
as-Sa'udiyyah; Muqata'at Jizan (Riyad, 1979); 'Ali ibn Salih
as-Siluk az-Zahrani, Al-Mu'jam al-Jiughrafi ...; Bilad Ghamid wa
Zahran (Riyad, 1978); Hamad al-Jasir, Mu'jam, Qaba'il'l-Mamlakah al
'Arabiyyah as-Sa'udiyyah (Riyad, 1981); 'Atiq al-Baladi, Mu'jam
Qaba'il'l-Hijaz (Mekah, 1979). Karya-karya ahli ilmu bumi Arab
klasik, terutama Mu'jam'l-Buldan karya Yaqut dan Sifat
Jazirat'l-Arab karya al-Hamdani, juga membantu saya. Sebagian besar
sumber-sumber lain tempat saya mendapatkan segala keterangan itu
tertera dalam catatan teks.Guna membantu pembaca yang bukan
spesialis, saya telah, menyediakan beberapa catatan mengenai
transliterasi Ibrani dan Arab, dan mengenai perubahan bentuk
konsonan yang sering dijumpai antara kedua bahasa itu, yang
terdapat tepat sebelum kata pengantar ini.Beirut24 April 1985Kamal
Salibi
PENDAHULUAN
Saya akan berbicara langsung mengenai pokok persoalan. Saya
yakin bahwa saya telah mendapatkan suatu penemuan penting yang
seharusnya akan dapat mengubah pengertian kita tentang Bibel
Ibrani, atau apa yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai
Perjanjian Lama. Penemuan ini berupa dugaan kuat bahwa Kitab Bibel
itu berasal dari Arabia Barat, dan bukan dari Palestina, seperti
yang sampai kini diduga oleh para ahli, berdasarkan pada perkiraan
geografis. Bukti yang saya dapati untuk menentang pernyataan ini
akan dibahas pada bab-bab yang berikut. Dugaan saya ini didasarkan
pada analisa linguistik dari nama-nama tempat yang tertera di dalam
Kitab Bibel, yang menurut pendapat saya sampai sekarang terus
menerus telah diterjemahkan secara tidak benar. Prosedur ini secara
teknis disebut analisa onomastik, atau barangkali lebih tepat
analisa toponimik. Saya terus-terang mengakui bahwa penemuan ini
masih bersifat teoritis, sebelum diperkuat oleh
penyelidikan-penyelidikan arkeologis. Akan tetapi bukti-bukti yang
saya dapati sangatlah besar sehingga hanya akan disangsikan oleh
orang-orang kolot saja, dan saya yakin kesangsian itu pun akan
lenyap setelah adanya dukungan selanjutnya oleh para ahli.Tidak
mengherankan, dalam membuka jalan baru, jika saya melakukan
beberapa kesalahan yang mungkin akan dijadikan kesempatan oleh para
kritikus untuk menodai hasil-hasil penemuan saya ini. Tetapi saya
yakin bahwa kesalahan itu tidak akan begitu besar sehingga dapat
mempengaruhi hasil penemuan ini. Tidak diragukan lagi, banyak orang
akan mengeluh bahwa referensi saya terhadap kepustakaan yang luas
mengenai geografi Bibel Ibrani itu hanya sepintas saja. Jawaban
yang akan saya berikan singkat saja, yaitu bahwa saya samasekali
tidak setuju dengan apa yang telah tertulis dan merasa tidak perlu
membebani para pembaca dengan sanggahan-sanggahan mengenai
penemuan-penemuan yang lalu satu persatu. Sebenarnya saya khawatir
juga bahwa daftar nama-nama tempat yang menjadi dasar pokok
argumentasi buku ini akan menimbulkan kesulitan kepada pembaca yang
tidak begitu biasa dengan transliterasi abjad Ibrani dan Arab.
Sementara saya harapkan para spesialis akan ikut bersabar bersama
saya, saya sarankan pembaca biasa melewati saja bagian-bagian itu,
dan memusatkan perhatian pada kesimpulan yang telah saya usahakan
seringkas dan sejelas mungkin, dengan harapan hal ini dapat saya
kemukakan dengan sebaik-baiknya.Untuk membantu pembaca umum,
beberapa pengetahuan dasar baik mengenai bahasa dalam Bibel Ibrani
ataupun perbandingannya secara linguistik yang berhubungan dengan
bahasa-bahasa Semit, barangkali masih diperlukan. Ringkasnya, Kitab
Bibel Ibrani kanonik itu terdiri dari tiga puluh sembilan kitab
yang dahulunya disusun dalam dua puluh empat buah gulungan. Lima
kitab pertama, yaitu Pentateuch (atau Torah dalam bahasa Ibrani,
yang berarti 'pelajaran') terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan, dan Ulangan. Selanjutnya, dua puluh satu kitab Kisah para
Rasul: empat karya bersejarah Yosua, Hakim-hakim, Samuel (2 kitab),
Raja-raja (2 kitab); kitab-kitab Tiga Rasul utama Yesaya, Yeremia
dan Yehezkiel; kemudian dua belas kitab mengenai para nabi-nabi,
yaitu: Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk,
Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi. Dan akhirnya tiga belas
kitab puisi-puisi keagamaan dan kesusastraan mengenai
kebijaksanaan, Tulisan-tulisan, yang terdiri dari Mazmur, Amsal,
Yob, Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel, Ezra,
Nehemia dan Tawarikh (2 kitab). Kecuali bagian-bagian Aramaik dari
kitab Daniel (2:4b - 7:28) dan kitab Ezra (4:8 - 6:18), semua
karangan orisinalnya yang sampai kepada kita tertulis dalam bahasa
Ibrani.Hal-hal yang bersangkutan dengan penanggalan dan penyusunan
kitab-kitab Bibel Ibrani itu terlalu rumit untuk dibahas secara
rinci, dan tidaklah penting dalam argumentasi saya ini. Sejumlah
kitab-kitab itu, misalnya, sudah dapat dipastikan sebagai
karya-karya baru yang disusun berdasarkan naskah-naskah yang lebih
tua, sehingga dapat diperkirakan baru tersusun pada sekitar abad
ke-4 S.M., setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno.Yang sudah pasti
ialah bahwa bahasa Ibrani dalam Bibel secara keseluruhan mempunyai
bentuk bahasa sehari-hari, tidak seperti halnya bahasa Ibrani yang
dipakai oleh para rabbi (pendeta Yahudi) yang berfungsi khusus
sebagai bahasa kesarjanaan. Dengan kata lain, naskah-naskah Bibel
Ibrani yang kita kenal telah ada sebelum abad ke-5 S.M., pada waktu
Kerajaan Israil kuno mengalami kehancurannya dan sewaktu bahasa
Ibrani dan berbagai bentuk bahasa Kanaan sudah tidak dipakai lagi.
Ini berarti kita dapat mempergunakan Bibel Ibrani itu, paling tidak
dalam penelitian ini, sebagai dokumen yang berhubungan langsung
dengan sejarah Israil, lepas dari soal-soal penanggalan, komposisi,
atau siapa penulisnya.Karena hampir seluruh argumentasi ini
dititikberatkan pada perkiraan saya bahwa Bibel Ibrani
terus-menerus diterjemahkan dengan tidak benar, maka patut diadakan
suatu pembetulan. Singkatnya, seperti yang akan saya jelaskan
secara lebih mendalam pada Bab 2, bahasa Ibrani itu tidak lagi
dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari pada sekitar abad ke-5 atau
ke-6 S.M. Oleh sebab itu, jika ingin memahami Bibel Ibrani kita
harus memilih satu di antara dua metode. Cara yang pertama ialah
menerima saja terjemahan naskah-naskah yang diterjemahkan secara
tradisional itu dalam bahasa Ibrani, atau menyelidiki bahasa-bahasa
Semit yang masih berhubungan erat dengan bahasa Ibrani, seperti
bahasa Arab dan bahasa Suryani. Bahasa Suryani merupakan
peninggalan dari suatu bentuk bahasa Aram kuno. Saya tidak
menggunakan penterjemahan secara tradisional dalam bahasa Ibrani,
karena para ahli Yahudi yang menterjemahkan dan memberi bunyi vokal
pada Bibel Ibrani antara abad ke-6 dan ke-10 M. itu tidak dapat
berbahasa Ibrani secara lisan dan mungkin mendasarkan rekonstruksi
mereka pada dugaan-dugaan saja. Jika memakai metode kedua, untuk
menafsirkan bahasa Ibrani yang dipergunakan di dalam Bibel Ibrani,
kita harus melakukannya berkenaan dengan fonologi dan morfologi
perbandingan dari bahasa-bahasa Semit. Mengingat banyak pembaca
yang belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini, sekali lagi saya
akan memberikan informasi dasar mengenai hal ini.Bahasa Semit pada
umumnya dianggap sebagai anggota keluarga besar bahasa-bahasa
Afro-Asia yang meliputi bahasa Mesir kuno dan bahasa Berber serta
Hausa modern. Dari bahasa-bahasa ini, yang termasuk dalam cabang
bahasa Semit ialah bahasa Akkadia (bahasa kuno Babilonia dan
Asiria), bahasa Kanaan (bahasa Funisia kuno dan bahasa Ibrani kuno
adalah suatu varian dari bahasa ini), bahasa Aram (bahasa Suryani)
dan bahasa Arab. Salah satu ciri khas yang dimiliki bahasa-bahasa
ini adalah sistem mendapatkan akar suatu kata yang biasanya terdiri
dari tiga konsonan. Akar-akar kata ini biasanya dipahami sebagai
kata kerja, dan ada seperangkat pola asal mula kata kerja ini yang
telah membentuk kata kerja lain, dan juga kata benda dan kata sifat
yang beraneka ragam. Ini melibatkan beberapa cara pemberian tanda
vokal pada akar kata dengan menambahkan huruf-huruf hidup, dan juga
penambahan satu atau lebih konsonan pada akar kata yang asli. Dalam
kamus-kamus standar bahasa-bahasa Semit, kita biasanya mencari akar
kata tertentu, yang kemudian diikuti oleh serangkaian kata jadian
yang berasal dari akar kata itu. Sejumlah akar kata yang sama
terdapat di beberapa bahasa Semit, dengan arti yang sama atau
dengan arti yang berdekatan. Kalau kita telah menguasai sebuah
bahasa Semit, akan lebih mudah mempelajari yang lain.Terkadang,
sebuah akar kata yang ada pada dua atau lebih bahasa Semit tidak
mudah dikenali sebagai akar kata yang sama oleh seseorang yang
tidak berbahasa Semit sebagai bahasa ibu. Ini disebabkan karena
satu atau lebih konsonan dalam akar kata itu dapat berubah dari
satu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam bahasa Ibrani, contohnya,
akar kata yang berarti 'mendiami' adalah hsr, sedangkan dalam
bahasa Arab akar kata itu adalah hdr. Penjelasannya adalah bahwa
pemakai bahasa Semit secara naluriah mengenai hubungan fonologis
antara pelbagai konsonan, yang dapat ditukar tempatnya di antara
berbagai bahasa-bahasa Semit. Misalnya, 'g' di dalam satu bahasa
atau dialek (yang dapat diucapkan seperti huruf 'g' atau sebagai
huruf 'j') dapat berubah menjadi huruf 'q' (qaf) atau 'g' (ghayn)
dalam bahasa atau dialek yang lain. Maka kata Negeb dalam bahasa
Ibrani (sebagai sebuah nama tempat) berubah menjadi Naqab atau
Nagab dalam bahasa Arab.Perubahan konsonan di antara bahasa-bahasa
Semit ini nampaknya mengikuti peraturan-peraturan tertentu, dan
untuk mudahnya saya telah tabulasikan perubahan-perubahan tersebut
dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab di bagian tepat sebelum Kata
Pengantar buku ini. Ada pula masalah metatesis, atau perubahan
dalam penempatan konsonan-konsonan dalam akar kata yang sama antara
pelbagai bahasa Semit, misalnya akar kata acb, dapat berubah
menjadi cab atau bca. Metatesis bukanlah suatu fenomena linguistik
yang hanya ditemui dalam bahasa-bahasa Semit. Kita dapat juga
menjumpainya dalam bahasa-bahasa yang lain , walaupun metatesis
sangat biasa terjadi di antara bahasa-bahasa Semit yang sama. Dalam
sebuah dialek Arab, contohnya, zwg (diucapkan zawj), yang berarti
'sepasang' dapat berubah menjadi gwz (diucapkan jawz), yang
terakhir adalah bentuk yang biasa terdapat pada dialek Libanon yang
saya pakai.Sama pentingnya, kalau tidak lebih, untuk mengingat
bahwa bahasa-bahasa Semit ditulis dalam bentuk konsonan tanpa huruf
hidup. Namun, pada terjemahan-terjemahan Kitab Bibel dalam bahasa
Inggris dan dalam bahasa-bahasa lainnya, nama-nama menurut Bibel
itu dikemukakan dalam bentuk yang telah diberi huruf vokal, yang
berasal dari penyuaraan kaum 'Masoret' atau dari tradisi Kitab
Bibel Ibrani, yang seperti telah saya katakan, mungkin salah,
sepanjang ahli-ahli Masoret itu perlu menyusun kembali bahasa
Ibrani, yang sudah dipergunakan lagi secara umum. Agar membantu
para pembaca, yang telah saya lakukan adalah memberikan baik kata
Ibrani yang diberi vokal secara tradisional maupun yang belum
diberi vokal, dan saya berusaha untuk menunjukkan bagaimana kata
yang sama itu, jika diberi vokal dengan cara yang berbeda, dapat
mempunyai arti selain yang telah ditentukan menurut tradisi kaum
Masoret. Mengenai kata-kata --terutama nama-nama tempat yang
berasal dari catatan-catatan kuno Mesir, mustahil untuk mengetahui
bagaimana semua itu disuarakan. Maka dari itu, apa yang telah saya
lakukan dalam contoh-contoh yang seperti itu adalah mengemukakannya
dalam bentuk konsonan mereka dan juga membuat agar mereka dapat
dibandingkan dengan bentuk-bentuk konsonan Ibrani. Seperti itu
pula, jika saya mengutip kalimat-kalimat lengkap dari Bibel Ibrani,
saya telah menuliskan kata-kata Ibrani yang tidak diberi vokal ke
dalam bentuk Latin yang belum diberi tanda vokal pula. Ini agaknya
tidak banyak membantu dalam pembacaannya, tetapi berkenaan dengan
argumentasi saya, saya tidak melihat adanya alternatif lain yang
lebih baik.Untuk meringkaskan: apa yang sama dalam perbendaharaan
kata dari berbagai bahasa Semit adalah sejumlah besar akar kata
konsonan dan bentuk-bentuk kata yang berasal dari situ; yang
terakhir ini tidak mempunyai perbedaan yang besar antara satu
bahasa dengan bahasa yang lain. Guna membandingkan kata-kata dalam
berbagai bahasa Semit, kita perlu mengeja kata-kata itu hanya dalam
bentuk konsonannya, kalau tidak demikian maka seluruh maknanya akan
hilang. Maka dari itu saya harus memohon kepada pembaca agar mereka
bersabar jika terdapat perbandingan-perbandingan seperti itu, dan
agar mereka percaya bahwa perbandingan-perbandingan ini dibuat
menurut peraturan yang pantas bagi ilmu bahasa
perbandingan.Berpaling pada metodologi, karena alasan-alasan yang
kini telah jelas, saya mendasarkan studi saya ini pada teks
konsonan Bibel Ibrani, membanding-bandingkan sebutan tertentu
dengan nama-nama tempat di Arabia Barat guna memberikan alternatif
bagi penterjemah tradisional. Kita tidak perlu membahasnya lebih
jauh dari itu, karena masalah-masalah yang seperti ini akan saya
bahas dalam Bab 2. Namun, saya hanya ingin menambahkan bahwa selain
meneliti buku-buku dan peta-peta, saya telah pula melakukan sebuah
perjalanan ke Arabia Barat, yang saya yakin adalah tanah asal Kitab
Bibel, guna menjadi lebih akrab dengan lokasi-lokasi utama yang
disebutkan di dalam studi ini dan secara langsung mengamati
bagaimana pelbagai lokasi yang telah saya sebutkan tadi itu
berhubungan, baik secara geografis maupun secara topografis.Di atas
dasar-dasar inilah argumentasi buku saya ini berdiri. Apakah saya
berhasil atau tidak meyakinkan para ahli Bibel Ibrani itu masih
harus disangsikan dahulu. Yang dapat saya katakan adalah bahwa saya
yakin sepenuhnya atas hasil-hasil penemuan yang dihasilkan oleh
analisa toponimis saya, dan saya menanti-nanti datangnya saat para
arkeolog menggali beberapa tempat peninggalan zaman purbakala yang
telah saya sebutkan, dan semoga menghasilkan bukti-bukti yang lebih
lanjut bahwa tanah asal Kitab Bibel Ibrani adalah Arabia, Barat,
bukan Palestina.1. DUNIA YAHUDI KUNO (1/4)Asal mula penyelidikan
ini datang secara tidak sengaja. Pada suatu hari saya menerima
sebuah copy cetakan indeks ilmu bumi Arab Saudi, diterbitkan di
Riyad pada tahun 1977, dan ketika saya sedang memeriksanya untuk
nama-nama tempat yang tidak berasal dari bahasa Arab yang terletak
di Arabia Barat, ketika itulah saya menyadari bahwa nama-nama
tempat di Arabia Barat juga merupakan nama-nama tempat yang tertera
di dalam Kitab Perjanjian Lama, atau yang saya sebut Bibel Ibrani.
Pada mulanya saya meragukan persamaan ini, tetapi setelah
bukti-bukti yang memperkuat itu terkumpul, saya merasa yakin bahwa
persamaan antara nama-nama itu bukanlah suatu kebetulan belaka.
Hampir semua nama tempat kuno yang saya dapati di dalam Bibel
berpusat pada daerah dengan panjang sekitar 600 kilometer dan
selebar 200 kilometer, yang pada zaman ini meliputi Asir (bahasa
Arabnya 'Asir) dan bagian selatan Hijaz (al-Higaz). Semua koordinat
tempat-tempat yang disebutkan di dalam Kitab Bibel Ibrani dapat
dicocokkan dengan sebuah tempat di wilayah ini, suatu fakta yang
sangat penting, sedangkan belum ada bukti-bukti yang mencocokkan
koordinat-koordinat tersebut dengan lokasi tempat-tempat di
Palestina, tempat yang diduga sebagai tanah asal Kitab Bibel. Saya
tidak menemukan sekelompok nama tempat kuno, dalam bentuk Ibraninya
yang masih asli di daerah-daerah lain di Timur Dekat. Saya merasa
berkewajiban untuk memikirkan adanya sebuah kemungkinan yang sangat
menakjubkan: yaitu bahwa Yudaisme bukan berasal dari Palestina,
melainkan dari Arabia Barat, dan bahwa seluruh sejarah bangsa
Israil kuno berlangsung di daerah ini, bukan di tempat lain.Sudah
tentu, jika menganggap bahwa dugaan saya ini benar, bukan berarti
bahwa tidak ada orang Yahudi yang tinggal menetap di Palestina pada
zaman Bibel itu atau di negara lain di luar wilayah ini. Yang
dimaksud ialah bahwa Kitab Bibel Ibrani itu pada dasarnya ialah
suatu catatan mengenai sejarah pengalaman bangsa Yahudi di Arabia
Barat. Sayangnya tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan
bagaimana Yudaisme dapat didirikan di Palestina pada zaman dahulu
itu. Tetapi kita dapat saja memberikan suatu perkiraan berdasarkan
bukti-bukti yang ada.Di antara agama-agama Timur Dekat yang
diketahui, agama Yahudi berada dalam golongan tersendiri; belum ada
usaha-usaha yang berhasil menjelaskan asal usulnya dalam pengertian
agama-agama kuno Mesopotamia, Suria atau Mesir, kecuali dalam
tingkat bayangan mitos-mitos. Salah satu contoh yang demikian ini
ialah kisah air bah, yang mungkin juga terdapat dalam kitab 'Epik
Gilgamesh' dari Mesopotamia kuno, dan mitos-mitos kuno lainnya,
bahkan salah satu di antaranya berasal dari Cina. Walaupun dengan
adanya contoh-contoh ini, kita tidak dapat memastikan asal-mulanya
mitos-mitos ini serta apa yang dibawa dan dari siapa. Tetapi,
seperti yang akan kita lihat dalam Bab 12, sangat masuk di akal
untuk mengandaikan bahwasanya asal mula agama Yahudi mungkin
terbentuk karena adanya kecenderungan terhadap monoteisme di Asir
kuno tempat sejumlah dewa-dewa gunung seperti Yahweh, El Sabaoth,
El Shalom, El Shaddai, El Elyon dan yang lain entah bagaimana yang
akhirnya diakui sebagai dewa tertinggi, mungkin dengan adanya
pembauran di antara suku-suku setempat. Karena kemudian diadopsi
oleh suku Israil, sebuah suku lokal, monoteisme dasar Arabia Barat
ini lambat-laun berkembang menjadi sebuah agama dengan jalan
pemikiran yang tinggi, yang mempunyai sebuah kitab keagamaan tetap,
yang mengandung gagasan yang rumit tentang sifat ketuhanan dan
mempunyai tema kemasyarakatan dan etika tersendiri. Agama itu
dengan mudah menarik peminat-peminat dari luar daerah asalnya,
khususnya dari daerah-daerah yang telah mengenal ketata- susilaan
dan yang telah mempunyai tingkat pemikiran yang cukup tinggi.
Karena agama itu mempunyai kitab dan dikembangkan oleh orang-orang
yang dapat menulis dan membaca, agama itu mudah untuk
disebarluaskan.Bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab Yahudi ini
biasanya disebut Ibrani, dan agaknya merupakan dialek sebuah bahasa
Semit yang dahulunya merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai di
pelbagai daerah di Arabia Selatan, Barat dan Suria (termasuk
Palestina). [1] Seseorang dapat menyimpulkan hal ini melalui
penyelidikan etimologis dan dari nama-nama tempat di wilayah Timur
Dekat, mempertimbangkan pula distribusi geografis mereka. Karena
memerlukan kata yang lebih tepat, maka bahasa kuno ini kini disebut
bahasa Kanaan, menurut nama sebuah bangsa menurut Bibel yang
menggunakan bahasa ini. [2]Di samping bahasa Kanaan, ada satu lagi
bahasa yang dipakai di jazirah Arab dan Suria, bahasa ini adalah
bahasa Aram, diberi nama ini menurut nama bangsa Aram dari Bibel.
Tanpa memperdulikan siapa itu sebenarnya bangsa Kanaan dan Aram,
suatu topik yang akan saya bicarakan dalam Bab 4, [3] dapat
dipastikan bahwa bahasa Kanaan (atau bahasa Ibrani) dan bahasa Aram
pernah dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh berbagai
masyarakat Arab dari wilayah Barat, seperti halnya di Suria. Sebuah
ayat pendek dari Kitab Bibel, jika dilihat kembali dari segi
nama-nama tempat di Arabia Barat yang masih ada sejak dari zaman
kuno, jelas mengungkapkan hal ini.Sebutan ini adalah Kejadian
31:47-49. Di sini dapat kita baca mengenai sebuah timbunan tanah
yang disebut 'timbunan batu', didirikan untuk menjadi saksi atas
persetujuan antara Yakub, seorang Yahudi, dengan paman dari pihak
ibunya, seorang bangsa Aram dan ayah mertuanya, yaitu Laban. Laban
menyebutnya 'Yegar-sahadutha' (dalam bahasa Aram adalah ygr
shdwt'), tetapi Yakub menyebutnya 'Galed' (dalam bahasa Ibraninya
gl'd) dan 'Mizpah' (Ibraninya hmsph), yang berarti menara
penjagaan. Ketiga nama ini kini masih dipakai oleh tiga buah desa
yang tidak begitu terkenal, yang letaknya berdekatan, di daerah
maritim Asir, di kawasan Rijal Alma' (Rigal Alma'), di sebelah
barat Abha (Abha). Nama-namanya adalah: Far'at Al-Shahda ('l shd'),
yang berarti 'Tuhan adalah saksi' atau 'Tuhan dari saksi', dalam
bahasa Arabnya pr't atau pr'h, yang berarti bukit atau timbunan,
sama artinya dengan kata Aram ygr; al-Ja'd ('l-g'd), yang merupakan
sebuah metatesis yang telah di-Arab-kan dari kata gl'd; dan
al-Madhaf (mdp; bandingkan dengan msph).Begitulah persamaan antara
pemakai bahasa Kanaan dengan pemakai bahasa Aram di Arabia Barat
menurut Bibel, sehingga menurut hemat saya orang-orang Israil itu
bingung dari kelompok mana mereka berasal. Walau mereka menganggap
sebagai bangsa Ibrani (lihat Bab 13), tetapi menurut Ulangan 26:5
leluhur mereka adalah seorang yang berasal dari suku Aram.
Pertentangan ini telah lama membingungkan para ahli, tetapi jika
anggapan saya benar, hal itu memang masuk akal.Kemungkinan besar
awal tersebarnya agama Yahudi dari tanah asalnya di Arabia Barat ke
Palestina dan ke daerah-daerah lain itu ialah dengan mengikuti
jalur (route) kafilah perdagangan antar Arabia. Pada zaman kuno,
wilayah Asir di Arabia Barat merupakan tempat pertemuan
kafilah-kafilah yang membawa barang-barang dagangan dari berbagai
negara di kawasan teluk Samudera Hindia seperti India, Arabia
Selatan serta Afrika Timur, dari satu arah, dan dari
Persia-Mesopotamia, dan negara-negara di Laut Tengah bagian Timur,
terutama Suria, Mesir dan dunia Aegea, dari arah yang lain (lihat
Peta 1).Palestina, yang terletak di sudut Selatan Suria, dekat
Mesir, merupakan ujung penghabisan dari jalur perdagangan kuno
Arabia Barat pertama yang bertolak menuju arah ini. Penduduk Yahudi
yang pertama mestinya adalah pedagang-pedagang dan kafilah-kafilah
dari Arabia Barat yang terlibat dalam perdagangan ini. Penduduk
baru ini kemudian dengan mudah menarik penduduk lokal untuk
memasuki agama mereka, yang dalam hal kecanggihan intelektualnya
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara-cara pemujaan setempat
dan bahkan agama-agama tinggi kerajaan Mesir dan Mesopotamia. Cara
yang persis seperti inilah yang dipergunakan oleh pedagang-pedagang
Islam di berbagai tempat di Asia dan Afrika Timur pada waktu-waktu
yang kemudian. Mereka menarik umat baru untuk memeluk agama Islam
di mana pun mereka singgah di antara penduduk itu yang memandang
agama Islam sebagai suatu agama yang lebih baik daripada agama
mereka sendiri.Bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa orang-orang
Yahudi itulah yang merupakan penduduk pertama Arabia Barat di
Palestina. Mestinya bangsa Filistin yang menurut Bibel (lihat Bab
14) dari Arabia Barat itulah yang terlebih dahulu menetap di daerah
itu sebelum mereka, mengingat bahwa merekalah yang memberi nama
kepada negara ini. Begitupun halnya dengan bangsa Kanaan dari
Arabia Barat (lihat catatan 3) yang tampaknya telah 'tersebar'
(Kejadian 10:18) sejak dahulu, dan memberi nama pada tanah Kanaan
(kn'n) yang terletak di sepanjang pantai Suria, di sebelah utara
Palestina. Daerah ini disebut Phoenicia oleh bangsa Yunani
(mengenai Faniqa atau 'Phoenicia' di Asir, lihat Bab 14).
Bahwasanya Phoenicia sebenarnya disebut Kanaan oleh penduduknya
dapat diketahui dari sekeping uang logam Yunani dari Beirut yang
menceritakan dalam bahasa Funisia (Phoenicia), bahwa kota ini
terletak 'di Kanaan' (b-kn'n), dan dalam bahasa Yunani bahwa kota
ini terletak 'di Phoenicia'. [4] Menulis mengenai 'bangsa
Phoenicia' dan 'bangsa Suria dari Palestina' pada abad ke-5 S.M.,
sejarawan Yunani Herodotus yakin bahwa mereka berasal dari Arabia
Barat. Ia menulis tentang kedua bangsa itu: 'Negara ini, menurut
cerita mereka sendiri, dahulunya terletak di Laut Merah, tetapi
dari sana mereka menyeberang dan menetapkan diri di pesisir Suria,
dan di sana mereka masih menetap' (7:89; lihat juga ibid. 1:1).
[5]Berapa pun umurnya perkampungan orang-orang dari Arabia Barat
yang tertua di daerah pesisir Suria,[6] migrasi orang-orang
Filistin dan Kanaan ke sana mestinya bertambah besar. Menurut
kitab-kitab dalam Bibel Ibrani, kerajaan Israil sudah dipastikan
berdiri di Arabia Barat, yang dihuni antara lain oleh bangsa
Filistin dan Kanaan, antara akhir abad ke-11 dan awal abad ke-10
S.M., yang sebagian besar merugikan bangsa Filistin dan Kanaan.
Karena patah semangat dan berturut-turut dikalahkan oleh bangsa
Israil, maka orang-orang Filistin dan Kanaan ini kemungkinan
memperderas arus migrasi mereka ke daerah pesisir Suria pada waktu
yang sama. Di Palestina, nampaknya bangsa Filistin menamakan
perkampungan-perkampungan mereka (seperti Gaza dan Askalon) menurut
kota-kota di Arabia Barat yang mereka tinggalkan. Dusun Bayt Dajan
di Palestina ('kuil' dgn, atau 'dagon') di Palestina, dekat Jaffa,
masih memakai nama dewa agama yang mereka anut sewaktu di Arabia
Barat (lihat Bab 14). Di sebelah utara Palestina, bangsa Kanaan
juga memberi nama-nama yang berasal dari Arabia Barat kepada
perkampungan-perkampungan mereka - nama-nama seperti Sur (Tyre),
Sidon, Gebal (dalam bahasa Yunani = Byblos), Arwad (dalam bahasa
Yunani = Arados), atau Libanon.[7] Pada saat orang-orang Israil
dari Arabia Barat (dan mungkin kaum Yahudi dari Arabia Barat
lainnya) memulai migrasi mereka ke arah Utara untuk menetap di
Palestina, yang tak dapat ditentukan tahunnya, mereka juga
memberikan nama-nama yang berasal dari daerah mereka yang dahulu
kepada tempat-tempat pemukiman mereka atau kepada tempat-tempat
pemujaan penduduk setempat yang diambil alih oleh mereka dan
menggabungkannya dengan kuil-kuil Yahudi mereka. Di antara yang
paling kentara dan yang paling terkenal adalah: Yerusalem (yrwslm,
lihat Bab 9), Bethlehem (byt lhm, lihat Bab 8), Hebron (hbrwn,
lihat Bab 13? Carmel (krml),[8] dan kemungkinan Galilee (glyl),[9]
Hermon (hrmwn)[10] dan Yordan (h-yrdn, lihat Bab 7), semuanya
membenarkan hal ini. Di kebanyakan tempat di dunia, pada suatu
waktu, imigran-imigran yang rindu sering menamakan kota-kota,
daerah-daerah, pegunungan, sungai-sungai, atau bahkan suatu negara
atau pulau-pulau dengan nama-nama yang mereka bawa dari tanah yang
mereka tinggalkan. Mengingat pada zaman dahulu bahasa yang
dipergunakan di daerah Suria dan Arabia Barat adalah sama, kita
tidak dapat meniadakan adanya kemungkinan besar bahwa beberapa
tempat di kedua wilayah itu dahulunya mempunyai nama-nama yang
sama, terutama jika berkenaan dengan ciri-ciri topografis,
hidrologis atau ekologis tertentu, atau berkenaan dengan pemujaan
terhadap dewa yang sama. Dalam corak kebudayaan tradisional,
seperti dalam halnya bahasa, Suria dan Palestina tidak pernah jauh
berbeda.1. DUNIA YAHUDI KUNO (2/4)Dalam setiap tahap, emigrasi dari
Arabia Barat menuju Suria dan Palestina (dan mungkin juga
daerah-daerah lain) didukung oleh faktor-faktor luar. Sebagai
daerah yang kaya akan bahan baku alam, dan lagi pula sebagai daerah
yang menguasai salah satu bandar perdagangan pada zaman kuno (lihat
Bab 3), Arabia Barat sudah semestinya merupakan sebuah target untuk
penjajahan ke kerajaan sejak masa lampau. Dalam Bab 11, akan
dibuktikan, melalu bukti-bukti toponimik, bahwa ekspedisi yang
dilakukan oleh raja Mesir Sheshonk I terhadap Yudah, pada akhir
abad ke-10 S.M., seperti yang dikisahkan dalam Bibel Ibrani dan
didukung oleh bukti-bukti dari catatan-catatan kuno Mesir,
ditujukan kepada Arabia Barat, bukan terhadap Suria dan Palestina
seperti yang sampai kini diperkirakan. Sebuah penyelidikan yang
dilakukan secara mendalam atas sebuah lagi ekspedisi kerajaan Mesir
yang disebut dalam Bibel Ibrani, yaitu ekspedisi Raja Necho II pada
akhir abad ke-7 S.M., mengungkapkan bahwa ekspedisi yang melibatkan
seorang Raja Yudah dan orang-orang Babilonia, juga diarahkan ke
Arabia Barat. Pertempuran Karchemis (krkmys, Tawarikh 2 - 35:20;
Yesaya 10:9; Yeremia 46:2), antara pasukan Mesir dan Babilonia,
terjadi di dekat Taif, di sebelah Selatan Hijaz, di tempat itu dua
buah pedesaan yang berdekatan, Qarr (qr) dan Qamashah (qms), masih
berdiri.Dengan demikian, saya yakin 'Karchemis' yang tertulis dalam
Bibel itu bukanlah Kargamesa bangsa Hittit, yang sekarang merupakan
Jerablus di tepi sungai Furat (Efrat) seperti yang sampai kini
diperkirakan.[11]Ekspedisi-ekspedisi militer pertama kerajaan Mesir
sejak 2000 tahun S.M., yang selama ini diketahui sebagai
penyerangan terhadap Suria dan Palestina, jika kita teliti kembali
melalui catatan-catatan kuno Mesir dengan bantuan nama-nama tempat
dari Arabia Barat yang masih terdapat di sana [12], akan terlihat
bahwa tindakan-tindakan militer itu lebih cenderung ditujukan
kepada Arabia Barat. Sebagai bangsa kerajaan, orang-orang Mesir
kuno benar-benar tertarik untuk menguasai Arabia Barat dan
jalur-jalur perdagangannya,[13] seperti halnya bangsa Assyria dan
Babilonia pada masa kejayaan mereka. Mestinya, setelah setiap
penjajahan kerajaan atas tanah mereka, dari arah mana pun, sebuah
gelombang migrasi baru bertolak dari Arabia Barat ke daerah-daerah
seperti Palestina.Persis pada saat kerajaan Mesir menyudahi masa
penghematan antara akhir abad ke-11 dan awal abad ke-10 S.M.,
kerajaan Israil berdiri di bukit-bukit daerah pesisir Asir (lihat
Bab 8-10), di bawah pimpinan Saul, kemudian dikembangkan oleh Daud
dan mencapai puncak kejayaan dan kemakmurannya di bawah raja
Sulaiman (Salomo). Andaikata Daud dan Sulaiman pada masa mereka
benar-benar memimpin sebuah kerajaan Suria yang menguasai daerah
strategis yang memisahkan Mesir dan Mesopotamia, seperti yang
diduga (lihat 1 Raja-raja 4:21 dalam terjemahan standar mana pun),
maka catatan-catatan Mesir dan Mesopotamia sudah semestinya paling
tidak menyinggung nama-nama mereka, tetapi hal ini tidak terlihat.
Sewaktu kerajaan Mesir bangkit kembali pada abad ke-10, intervensi
baru yang dilakukannya di Arabia Barat menyebabkan terpecahnya
kerajaan Israil menjadi dinasti 'Yudah' dan dinasti 'Israil' yang
saling bersaingan (lihat Bab 10). Perang saudara antara Israil ini,
yang berkobar pada dasawarsa terakhir abad itu, kemungkinan besar
mengakibatkan migrasi secara besar-besaran yang pertama ke
negara-negara lain, terutama Palestina. Penjajahan yang
dilangsungkan oleh bangsa Mesopotamia atas Arabia Barat antara abad
ke-9 dan ke-6 S.M., pertama-tama oleh bangsa Assyria dan kemudian
oleh orang-orang Babilonia (yang sudah merupakan bangsa
Neo-Babilonia), hanya memperbesar arus migrasi ini.Pada tahun 721
S.M. kerajaan 'Israil' di Arabia Barat itu dihancurkan oleh Raja
Assyria, Sargon II, yang menduduki ibukotanya, yaitu Samaria,
(smrwn, yang kini masih berdiri dengan nama Shimran, lihat Bab 10)
dan membawa penduduk terkemukanya ke Persia sebagai tawanan.[14]
Kemudian, pada tahun 586 S.M., penguasa Babilonia, Nebuchadnezzar,
memusnahkan kerajaan 'Yudah' di Arabia Barat dan membawa ribuan
penduduknya kembali ke Babilonia sebagai tawanan. Begitu besar
hasrat orang-orang Babilonia untuk menjaga kekuasaan mereka atas
Arabia Barat dan untuk mempertahankan tanah jajahan mereka itu dari
usaha-usaha perebutan kembali kekuasaan atas koloni itu oleh
kerajaan Mesir (seperti yang pernah dicoba oleh Necho II,
seperempat abad sebelumnya), sampai-sampai pengganti
Nebuchadnezzar, yaitu Nabodinus, memindahkan ibukotanya dari
Babilonia ke Teima (Tayma') di Hijaz Utara dan seperti yang kita
ketahui, ia lebih lama menjalankan pemerintahannya di daerah
itu.Sampai pada waktu itu, kemungkinan kehadiran orang-orang Yahudi
di Palestina telah bersifat permanen. Keadaan orang-orang Israil
yang menyedihkan di Arabia Barat mungkin mendatangkan harapan kaum
Yahudi di sana akan hidup lebih baik di koloni Yahudi yang baru -
di 'putri Zion' dan 'putri Yerusalem' (dengan kata lain, Zion dan
Yerusalem baru di Arabia Barat, lihat Bab 9) seperti halnya
orang-orang Eropa yang pada abad ke-17 dan ke-18 kecewa akan
kehidupan mereka di daratan Eropa, dan mengharapkan akan kehidupan
yang lebih baik di koloni mereka yang baru, yaitu Amerika.
Pengharapan orang-orang Eropa pada waktu itu dikemukakan oleh
Goethe dalam kalimat-kalimatnya yang sering dikutip:Amerika, engkau
memiliki yang lebih baik Daripada yang dimiliki benua kami, yang
lama. Jauh sebelumnya, mungkin orang-orang Yahudi di Arabia Barat
menyuarakan pengharapan yang serupa, pada suatu waktu antara abad
ke-8 dan ke-5 S.M., membicarakan, barangkali, tentang dunia baru
mereka di Palestina, seperti yang berikut ini:Dan engkau, wahai
Menara Kawanan Domba, Hai Bukit putri Zion, Kepadamu akan datang
Dan akan kembali pemerintahan Yang dahulu, Kerajaan putri
Yerusalem. (Mikha 4:9)[15] Dan juga dalam kata-kata ini:Putri gadis
Zion Membencimu,[16] memperolok-olokkan engkau Dan putri Yerusalem
Menggeleng-gelengkan kepala di belakangmu Dan orang-orang yang
terluput di antara kaum Yudah Yaitu orang-orang yang tertinggal,
Akan berakar ke bawah, Dan menghasilkan buah ke atas; Sebab dari
Yerusalem akan keluar orang-orang yang tertinggal, Dan dari Gunung
Zion orang-orang yang terluput; Semangat Penguasa Sabaoth,[17] akan
melakukan hal ini. (Yesaya 37:22b, 31-32; juga 2 Raja-raja 19:21b,
30-31) Dan mungkin dalam ini pula:Bergembiralah, wahai putri Zion;
Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Yerusalem Lihat, rajamu
datang kepadamu; Ia jaya dan menang, Ia rendah hati dan mengendarai
seekor keledai, Seekor keledai beban yang muda.[18] (Zakharia 9:9)
Jika ada harapan yang tertinggal untuk mendirikan kembali sebuah
pemerintahan Israil yang mampu bertahan seusainya penjajahan oleh
bangsa-bangsa Assyria dan Babilonia, maka harapan ini pudar secara
tidak langsung dengan munculnya kerajaan Persia, Achaemenes, pada
akhir abad ke-6 S.M. Pada tahun 538 S.M., bangsa Persia menaklukkan
Babilonia; dan pada tahun 525, mereka telah mengalahkan Suria dan
menduduki Mesir dan untuk pertama kalinya mempersatukan semua
negara yang terletak di kawasan Timur Dekat kuno, di bawah sebuah
pemerintahan kekerajaan yang efisien. Kekuasaan bangsa Persia ini
juga kemudian meliputi hampir seluruh, bahkan mungkin semua, daerah
Semenanjung Arabia, tetapi aksi-aksi penjajahan mereka di Utara
sangat merugikan perdagangan kafilah antar-Arabia yang merupakan
aliran utama komunitas Israil dan komunitas-komunitas kuno lainnya
di Arabia Barat. Jalan-jalan besar yang diawasi, dibuat oleh
Achaemenes guna menghubungkan Persia dan Mesopotamia dengan Mesir
melalui Suria, berakibatkan secara langsung tergesernya jalur-jalur
utama perdagangan menjauhi Arabia, hingga menyebabkan kemacetan
ekonomi wilayah Jazirah Arab beserta jaringan perdagangannya. Pada
awal abad berikutnya, didirikannya sebuah terusan oleh orang-orang
Persia guna menghubungkan Laut Merah dengan sungai Nil, membantu
perdagangan maritim secara merugikan perdagangan kafilah Arabia
yang menuju ke arah sana. Akibat kesemuanya ini, secara menyeluruh,
berkenaan dengan Arabia Barat, mestinya sangat merusak.Agaknya
bangsa Persia sama sekali tidak bersifat memusuhi kaum Yahudi;
malah kita mengetahui bahwa mereka membela kaum itu. Maka dari itu,
dengan mendapatkan izin dari pemerintah Persia, sekitar 40.000
orang keturunan tawanan-tawanan Israil di Persia dan Mesopotamia
kembali ke Arabia Barat dengan membawa perabot rumah tangga mereka,
dengan tujuan untuk membangun kembali perkampungan mereka di sana.
Tetapi malang bagi mereka, orang-orang Israil ini kecewa dengan apa
yang mereka temukan di sana, di mana-mana sekeliling mereka
terdapat kemiskinan dan kehancuran yang menyedihkan. Yang terjadi
selanjutnya hanya dapat menurut perkiraan saja, karena sampai di
sini Kitab Bibel Ibrani itu tidak melanjutkan lagi kisah-kisah yang
bersejarah. Tetapi ada suatu hal yang dapat dipastikan, yaitu belum
ada perkampungan Israil yang berhasil didirikan kembali di tanah
asal mereka di Arabia Barat, meskipun agama Yahudi tetap ada di
sana dan di Arabia Selatan, bahkan sampai kini. Sebagian besar
orang-orang Israil yang kembali pada periode Achaemenid mestinya
berhasil kembali ke Mesopotamia dan Suria, atau berpencar. Sejak
saat itu sampai dengan dihancurkannya Yerusalem di Palestina oleh
bangsa Rumawi pada tahun 70 M., arus utama sejarah kaum Yahudi
terpusatkan di sekitar Palestina. Mengenai asal mulanya Yudaisme di
Arabia Barat agaknya telah dilupakan.1. DUNIA YAHUDI KUNO
(3/4)Kemungkinan besar terhapusnya kenangan mengenai sejarah mereka
di Arabia Barat dalam jangka waktu yang relatif singkat --mungkin
tak lebih dari dua atau tiga abad-- disebabkan oleh adanya suatu
perubahan bahasa, yang pada abad ke-6 S.M. telah menguasai Arabia,
Suria dan Mesopotamia. Seperti kita ketahui, dialek-dialek bahasa
Kanaan sebagai bahasa Bibel Ibrani, telah banyak dipakai di Arabia
Barat dan Suria masa itu bersama-sama dengan dialek-dialek bahasa
Aram. Kitab-kitab suci Yahudi, kecuali beberapa bagian kitab-kitab
karangan nabi-nabi yang kemudian, ditulis dalam bahasa Ibrani,
bukan bahasa Aram. Tetapi, setelah kira-kira tahun 500 S.M., bahasa
Kanaan telah jarang dipergunakan, bahkan mungkin telah punah di
Arabia dan Suria; tergeser oleh bahasa Aram yang telah menyebar
sampai ke Mesopotamia. Di bawah Achaemenes bahasa Aram bahasa resmi
pemerintahan kerajaan Persia dan menjadi lingua franca wilayah
Timur Dekat. Pergantian bahasa di kawasan ini terus berlanjut
sampai pada abad-abad berikutnya, yang sebegitu jauh sebagai logat
bahasa Semit yang mulai bersaing dengan bahasa Aram di berbagai
kawasan di Timur Dekat.[19] Sampai pada abad-abad permulaan zaman
penyebaran agama Nasrani, bahasa Arab, yang pada mulanya merupakan
bahasa suku-suku penggembala padang pasir Syro-Arabia, telah
menggantikan bahasa Aram di sebagian besar Arabia dan Suria serta
Mesopotamia, dan pada abad ke-7 atau ke-8 M. hanya tinggal beberapa
tempat saja yang masih memakai bahasa di daerah itu. Di Arabia
Barat kedua penggeseran bahasa itu dapat dilihat melalui beberapa
nama tempat, terutama kota kuno Zeboiim (sbym atau sbyym, bentuk
jamak sby, dalam bahasa Ibrani, yang berarti 'gazelle' (semacam
kijang), tergantung pada penyuaraannya). Kota Zeboiim, seperti yang
akan dibahas pada Bab 4, menandakan dua kota kembar di daerah
pesisir Jizan (Gizan) di daerah pantai sebelah Asir selatan. Kedua
kota ini kini masih ada dengan nama Sabya (sby) dan Al-Zabyah
(zby). Sabya adalah bentuk bahasa Aram yang telah ditambah akhiran.
Sedangkan Al-Zabyah adalah bentuk bahasa Arab dari kata yang sama
(sby) dengan kata sandang tertentu bahasa Arab yang telah diberi
akhiran. Dengan demikian itulah nama-nama tempat itu menghentikan
segala proses sejarah.Suatu hal yang sama pentingnya dengan
kesimpulan yang telah saya tarik mengenai identitas nama-nama
tempat di Arabia Barat dan di negeri-negeri yang dijangkau Bibel
ialah dengan punahnya bahasa Bibel Ibrani sebagai bahasa lisan maka
pembacaan kitab-kitab suci Yahudi itu menjadi suatu problema.
Bahasa Ibrani, seperti kebanyakan bahasa Semit, ditulis dalam
bentuk konsonan dan harus diberi tanda-tanda vokal jika kita hendak
memahaminya, seperti sudah saya sebutkan. Suatu kekecualian adalah
bahasa Akkadia, yaitu bahasa Mesopotamia kuno, yang tulisan
kuneiformnya ditulis menurut suku kata bukan menurut alfabet. Perlu
diingatkan bahwa bahasa Ibrani kuno harus dimengerti terlebih
dahulu sebelum diberi vokal menggunakan tanda-tanda vokal yang
tepat dan dengan menggunakan konsonan-konsonan ganda. Oleh sebab
itu, pada permulaan era Achaemenid orang-orang Yahudi Palestina dan
Babilonia, karena mereka tidak mengetahui bagaimana tulisan-tulisan
Ibrani itu seharusnya dibaca, tampaknya mereka mendasarkan
penambahan-penambahan vokal terhadap tulisan-tulisan itu kepada
bahasa Aram yang mereka pakai.[20] Di dalam teks-teks yang mereka
akui terdapat banyak nama tempat yang berhubungan dengan
lokasi-lokasi di Arabia Barat yang asing bagi mereka. Terlebih
lagi, di Arabia Barat sendiri, kaum Yahudi pada sekitar tahun 500
S.M. telah mengalami kemunduran, sehingga tidak ada lagi
orang-orang yang cukup terpelajar di antara mereka untuk
membenarkan sesama kaum Yahudi dari Palestina dan Babilonia dalam
tafsiran geografis mereka. Pula, orang-orang Yahudi dari Arabia
Barat ini hanya beragama Yahudi saja dan tidak merupakan kelompok
etnis ataupun mempunyai pandangan politik orang-orang Israil; dan
mereka tidak lagi berbahasa Ibrani kuno, dan dalam waktu yang
singkat bahasa mereka berubah menjadi bahasa Arab. Sudah pasti
orang-orang Yahudi di Arabia Barat masih mempunyai kenangan
mengenai kehidupan mereka yang dahulu sebagai bangsa Israil; [21]
akan tetapi menjelang akhir era Achaemenid, hubungan mereka dengan
kaum Yahudi lainnya di luar Arabia tidak teratur dan mereka
mengalami kesulitan dalam menyampaikan secara efisien apa yang
mereka ingat. Pada waktu umat-umat Yahudi Palestina dan Babilonia
menetapkan bentuk-bentuk pembacaan Kitab Bibel Ibrani dengan
mempergunakan tanda-tanda vokal, yang dimulai pada sekitar abad
ke-16 M. (lihat Bab 2), telah lama orang meninggalkan pemakaian
bahasa Ibrani atau dialek-dialek bahasa Kanaan lainnya, dan asal
mula Yudaisme di Arabia pun telah lama dilupakan.Faktor lain yang
mungkin menyebabkan kaum Yahudi melupakan sejarah mereka di Arabia
Barat bersangkutan dengan perkembangan politik di Arabia Barat dan
juga di Palestina setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno. Di Arabia
Barat, kemunduran yang dialami kerajaan Achaemenid yang sudah mulai
terlihat pada tahun 400 S.M., mendorong munculnya
perkumpulan-perkumpulan politik baru, terutama perkumpulan politik
bangsa Minaean (Ma'in), di daerah tempat kerajaan Israil pernah
berjaya. Karena tersebar di antara perkumpulan-perkumpulan politik
baru ini, yang beberapa di antaranya dibentuk secara politis
sebagai kerajaan-kerajaan, kaum-kaum Yahudi Arabia Barat kehilangan
sifat nasionalisme mereka. Perkembangan di Palestina agaknya
berbeda dengan yang terjadi di Arabia Barat. Sampai pada tahun 330
S.M., penjajahan Alexander Agung telah menghancurkan kerajaan
Persia; setelah wafatnya Alexander panglima-panglimanya mendirikan
kerajaan-kerajaan baru di daerah yang dahulunya merupakan
wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Achaemenid. Salah satu dari
kerajaan Hellenis ini adalah kerajaan Ptolemi dengan pusatnya di
Mesir yang beribukotakan Alexandria. Satu lagi kerajaan yang
terbentuk adalah kerajaan Seleucid, yang akhirnya berpusatkan di
daerah Suria dan ibukotanya di Antioch. Penguasaan atas Palestina
pada mulanya diperebutkan antara, kerajaan Ptolemi dan Seleucid,
dan akhirnya jatuh ke tangan kerajaan Seleucid; akan tetapi
kerajaan Ptolemi tidak putus harapan dalam tekadnya untuk menguasai
kembali atau mempengaruhi negara itu. Pada abad ke-2 S.M.,
orang-orang Yahudi Palestina mempergunakan kesempatan yang ada
selagi adanya pertikaian atas tanah mereka, dan mereka mengadakan
suatu pemberontakan (yang dimulai pada tahun 167 S.M.) dan berhasil
memerdekakan negara mereka dari kekuasaan pemerintahan kerajaan
Seleucid pada tahun 142 atau 141 S.M. Para pemimpin pemberontakan
ini, yang berasal dari perkumpulan kependetaan Hasmonia
(Hasmonaean), mengambil alih kekuasaan atas Yerusalem Palestina; di
tempat ini terdapat kuil yang pada waktu itu mungkin sudah dianggap
kaum Yahudi sedunia sebagai tempat perlindungan yang tersuci.
Dengan bergerak melalui serangkaian aksi-aksi militer yang sukses,
orang-orang Hasmonia ini juga memperluas wilayah kekuasaan kaum
Yahudi di Palestina, sehingga akhirnya tidak hanya seluruh negeri
itu saja yang dikuasainya, bahkan juga bagian Selatan Galilee di
Utara dan daerah perbukitan sebelah Timur sungai Yordan dan Laut
Mati.Orang-orang Hasmonia ini, pada era mereka, menganggap diri
mereka sebagai keturunan sah bangsa Israil kuno, dan kerajaan
mereka bertahan sampai pada kedatangan bangsa Rumawi pada tahun 37
S.M., yang menyusun kembali daerah kekuasaan mereka sebagai
'client-kingdomnya' kerajaan Rumawi dengan nama 'Judaea' yang
artinya 'tanah kaum Yahudi', dengan Herod Agung (wafat pada tahun 4
S.M.) sebagai raja. Herod ini kemudian memperbaiki kuil Yerusalem
Palestina, yang kemudian dihancurkan oleh bangsa Rumawi sewaktu
mereka merampok kota itu pada tahun 70 M., dan mengakibatkan
tersebarnya penduduk Judaea. Tak lama kemudian, bangsa Rumawi, di
bawah pimpinan Hadrian, membangun kembali kota ini dan menamakannya
Aelia Capitolina, nama Aelius diambil dari salah satu nama Hadrian.
Akan tetapi ada pula kemungkinan bahwa nama ini adalah bentuk Semit
dari nama Aelia, yang merupakan nama asli tempat ini sebelum diberi
nama Yerusalem, untuk mengingatkan kembali pada kota Yerusalem di
Arabia Barat. Aelia, dalam bentuk Semit aslinya dapat berarti
'benteng' (bandingkan dengan kata 'yl dalam bahasa Ibrani, yang
berarti kekuatan), walaupun ini belum dapat dipastikan. Namun, yang
dapat dipastikan adalah bahwa orang-orang Arab pada zaman dahulu
mengenal kota ini bukan dengan nama Yerusalem, melainkan Iliya
('yly') sebelum mereka memanggilnya 'tempat suci', Bayt
al-Muqqadas, Bayt al-Maqdis ataupun hanya al-Quds.Tanpa
mempermasalahkan nama asli kota Yerusalem Palestina, kota ini
kemudian telah dikenal sebagai kota Yerusalem Daud dan Sulaiman
yang asli pada era Hasmonia dan bahkan mungkin jauh sebelumnya.
Sama halnya dengan Palestina yang pada waktu yang sama telah
dikenal sebagai tanah asal Bibel Ibrani. Dan pada saat itu pun
sudah ada anggapan yang kuat bahwa lokasi-lokasi geografis dari
cerita-cerita bersejarah dalam Kitab Bibel sebagian besar hanya
mencakup bagian Utara dari daerah Timur Dekat, yaitu Mesopotamia
Suria dan Mesir, bukan Arabia Barat.Ada kemungkinan sebuah kerajaan
Yahudi di Arabia pada era orang-orang Hasmonia, yaitu kerajaan
Himyar di Yaman yang mengalami kemakmuran dari tahun 115 S.M.
sampai abad ke-6 M. Dua orang raja Himyar terakhir diketahui
sebagai penganut-penganut agama Yahudi, tetapi kesalahan mereka
sampai kini belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Tidak ada
bukti-bukti bahwa mereka adalah umat Yahudi, seperti apa yang
dikatakan oleh tradisi kuno Arab. Sejarawan Flavius Josephus, akan
kita bicarakan nanti, sadar akan adanya orang-orang Yahudi kuno di
Arabia, tetapi ia tidak memberi penjelasan mengenai hal ini.
Orang-orang Hasmonia mungkin sengaja menafsirkan kembali
lokasi-lokasi geografis dalam Bibel berkenaan dengan Palestina guna
mengesahkan status mereka sebagai orang Yahudi, jika status mereka
diragukan oleh para raja Yahudi Arabia di Himyar. Tentu saja ini
hanya merupakan sebuah dugaan saja, akan tetapi berkenaan dengan
argumentasi saya, hal ini sangat mungkin terjadi.Apakah adanya
sebuah kerajaan Yahudi di Yaman atau tidak, bukanlah hal yang amat
penting, tetapi dari kitab Septuaginta, yaitu terjemahan
kitab-kitab Yahudi ke dalam bahasa Yunani yang dibuat pada era
kerajaan Yunani Kuno dan pada awal era kerajaan Rumawi, jelas
terbukli bahwa pada zaman Hasmonia itu Arabia Barat tidak lagi
dipandang sebagai tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Ini jelas terlihat
dalam bagaimana nama-nama topografis Arabia Barat seperti ksdym,
nhrym, prt dan msrym, berubah masing-masing menjadi Kaldia
(Chaldaean), Mesopotamia, Efrat dan Mesir. [22] Lebih lagi, kita
dapat mendapatkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dugaan ini
melalui gulungan-gulungan kertas dari Laut Mati (Dead Sea scrolls).
Di sini kita menemukan suatu karya orang Aram yang mendetil dari
sebuah tulisan di dalam Kitab Bibel yang menyebutkan nama-nama
tempat di sebelah Utara daerah Timur Dekat.1. DUNIA YAHUDI KUNO
(4/4)Karena begitu besar kesuksesan politik kaum Yahudi di
Palestina, yang berlangsung selama 200 tahun, maka dalam waktu yang
singkat saja telah terhapus semua kenangan mengenai tanah Arabia
Barat sebagai tanah asal Israil. Josephus, dalam karyanya The
Antiquities of the Jews --yang merupakan bangsanya sendiri-- tidak
lama setelah tahun 70 M., menganggap Palestina adalah tanah asal
mereka, dan sejak waktu itu tidak ada yang menyimpang dari dugaan
ini yang agaknya memang masuk akal. Berabad-abad kaum Yahudi dan
Kristen yang berziarah mengikuti jejak pengembaraan para nabi dan
nenek moyang Israil mereka melintasi tanah bagian Utara Timur
Dekat, antara sungai Furat dan sungai Nil, dan mengenali
lokasi-lokasi bersejarah menurut Bibel dengan kota-kota atau
reruntuhan di Palestina. Saat ini arkeologi Bibel didasarkan pada
daerah yang sama, dan para sejarawan masih melanjutkan penelitian
mereka terhadap sejarah dunia Bibel pada zaman Bibel --yang
bertentangan dengan sejarah kaum Yahudi, di Palestina dan bukan di
Arabia Barat.Sebagai akibat, jika seseorang meneliti kembali
kepustakaan yang telah dibuat oleh para sarjana dan ahli-ahli
purbakala dalam 100 tahun belakangan ini, kita sadar akan adanya
suatu ironi: beberapa teks Bibel Ibrani tetap diperdebatkan, namun
geografinya tidak diganggu gugat lagi. Jadi kenyataannya, biarpun
daerah Utara wilayah Timur Dekat telah diselidiki dengan seksama
oleh serangkaian generasi ahli-ahli purbakala, dan setelah adanya
penemuan, penelitian dan penanggalan atas peninggalan-peninggalan
dari berbagai peradaban yang telah dilupakan, belum ada bukti yang
jelas yang diketemukan yang berhubungan langsung dengan sejarah
dunia Bibel.[24] Lagi pula dari ribuan nama tempat yang tertera
dalam Kitab Bibel Ibrani, hanya beberapa di antaranya yang secara
linguistik dapat diidentifikasikan. Ini sangatlah luar biasa,
mengingat nama-nama tempat di sana, seperti di seluruh Suria,
selama sebagian besar zaman kuno adalah dalam bentuk bahasa Kanaan
dan Aram dan bukan dalam bentuk bahasa Arab. Bahkan dalam beberapa
kasus tempat-tempat di Palestina memakai nama-nama menurut Bibel,
koordinat tempat-tempat tersebut menurut perhitungan jarak atau
letaknya pun tidak cocok dengan lokasi-lokasi di Palestina. Sebuah
kejadian yang patut diperhatikan berkenaan dengan Beersheba di
Palestina (lihat Bab 4), sebuah kota yang namanya terkemuka di
dalam kisah-kisah kitab Kejadian, dan karena itu asal mula kota ini
mestinya paling tidak dari akhir Zaman Perunggu, tempat penggalian
arkeologis menemukan persis di tempat itu barang-barang kuno yang
bertanggal paling tidak dari akhir periode kerajaan Rumawi.Karena
seluruh sejarah Timur Dekat kuno sebagian besar diselidiki
berhubungan dengan penelitian atas Bibel Ibrani, maka sejarah ini
sampai sekarang masih banyak mengandung ketidakpastian, seperti
halnya dengan 'Ilmu Pengetahuan Bibel' modern. Catatan-catatan kuno
Mesir dan Mesopotamia, jika dibaca dengan bantuan teks-teks Kitab
Bibel yang kiasan-kiasan topografisnya dianggap berhubungan dengan
Palestina, Suria, Mesir atau Mesopotamia, telah secara teliti
disesuaikan dengan prasangka-prasangka para ahli sejarah Kitab
Bibel. Cara yang sama seperti itu juga diterapkan dalam
penterjemahan catatan-catatan kuno (seperti catatan-catatan kuno
dari Ibla, di sebelah utara Suria), yang oleh para arkeolog masih
ditemukan di negara-negara di Timur Dekat. Bangsa-bangsa kuno Timur
Dekat seperti bangsa Filistin, bangsa Kanaan, bangsa Aram, bangsa
Amorite, bangsa Horite, bangsa Hittit (berbeda dengan bangsa kuno
dari Suria Utara dengan nama yang sama) dan bangsa-bangsa lainnya,
tanpa adanya bukti-bukti yang kuat telah ditentukan secara
geografis pada daerah-daerah yang bukan merupakan wilayah-wilayah
mereka. Lebih lagi, sejumlah bangsa ini, yang namanya berasal dari
teks-teks Bibel, di tentukan secara tidak benar sebagai pemakai
bahasa-bahasa yang sebenarnya tidak mereka pakai, atau sebaliknya.
Sarjana-sarjana modern tetap bersikeras, misalnya, bahwa bangsa
Filistin dalam Bibel merupakan orang-orang laut 'non-Semit' yang
misterius, dan hal ini sangatlah aneh mengingat bahwa nama-nama
kepala suku dan bahwa dewa mereka, Dagon, (dgn, yang berarti
'jagung, padi') di dalam teks-teks Bibel adalah nama-nama 'Semit'
(yang jelas merupakan nama-nama Ibrani).Walaupun banyak masalah
seperti di atas yang masih kurang jelas dan masih dapat
diperdebatkan, namun ada dua hal yang sudah dapat dipastikan.
Pertama, belum diketemukan bukti-bukti mengenai asal mulanya
orang-orang Ibrani di Mesopotamia dan dugaan mengenai adanya
migrasi orang-orang ini dari Mesopotamia menuju ke Palestina dengan
jalan melewati Suria Utara. Kedua, sampai kini belum ada
tanda-tanda yang ditemukan mengenai adanya tawanan orang-orang
Israil di Mesir, walaupun pernah adanya dalam sejarah, suatu
emigrasi besar-besaran orang-orang Israil dari Mesir. [25] Kita
juga dapat mencatat, secara sepintas, bahwa para ahli Bibel itu
masih memperdebatkan masalah keluarnya kaum Israil dari Mesir
menuju ke Palestina melewati Sinai yang belum terbukti secara
memuaskan (mengenai hal ini, lihat observasi terhadap Gunung Horeb,
Bab 2).Dengan penemuan-penemuan yang telah saya dapati, ini
bukanlah suatu hal yang mengagetkan. Para ahli Bibel telah mencari
bukti-bukti di tempat yang salah. Mereka menganggap geografi Bibel
Ibrani benar dan meragukan kebenarannya sebagai kitab sejarah.
Menurut hemat saya, cara yang lebih produktif ialah dengan
membenarkan isi sejarah Bibel Ibrani dan meragukan isi geografinya,
seperti yang telah saya lakukan pada halaman-halaman yang berikut.
Di antara golongan-golongan orang Timur Dekat, nampaknya hanya kaum
Israil saja yang mempunyai kesadaran tajam akan sejarah, atau
setidak-tidaknya merupakan satu-satunya yang memahami dan
menceritakan sejarah mereka secara lengkap dan mudah dimengerti.
Kitab-kitab suci mereka, pada hakekatnya merupakan potret diri
bersejarah yang digambarkan secara jelas dan mendetil. Memang benar
bahwa kisah-kisah dalam kitab Kejadian lebih bersifat
proto-historikal daripada historikal, dan lebih merupakan
catatan-catatan tentang orang Israil dan anggapan mereka sebagai
bangsa itu daripada tentang asal mula mereka. Tapi tidaklah
mustahil bahwa leluhur Ibrani orang-orang Israil itu pada suatu
waktu berasal dari sebuah suku yang terperangkap dan dipaksa kerja
di suatu tempat yang bernama msrym --yang mungkin bukan Mesir;
kalau mereka mengadakan migrasi besar-besaran dari tempat itu, di
bawah seorang pemimpin yang bernama Musa yang mengatur mereka dalam
suatu kelompok keagamaan dan memberi mereka hukum-hukum yang harus
diperhatikan oleh mereka; kalau mereka melintasi sebuah tempat yang
bernama h-yrdn --yang mungkin bukan sungai Yordan-- di bawah
pimpinan seseorang yang bernama Yosua, untuk menetap di suatu
tempat dan di situ mereka akhirnya mencapai suatu penguasaan
politik atas daerah itu; kalau mereka tinggal di sana untuk
beberapa waktu sebagai suatu konfederasi yang longgar dari
suku-suku di bawah pimpinan kepala-kepala suku yang disebut
'Hakim-hakim', dan terus menerus berperang dengan suku-suku dan
kelompok-kelompok lain yang tinggal di antara mereka, kalau mereka
pada akhirnya tersusun secara politis menjadi sebuah 'kerajaan' di
bawah pimpinan Saul; kalau kerajaan ini dikembangkan dan diberi
suatu penyusunan dasar oleh Daud, yang selain seorang prajurit yang
ulung juga merupakan seorang penyair, dan mencapai puncak
kejayaannya di bawah Sulaiman anak Daud, seseorang yang terkenal
akan kearifan dan kepandaiannya. Memang semestinya jika tidak ada
orang yang meragukan bahwa seluruh sejarah Israil, setelah wafatnya
Sulaiman, berjalan seperti yang tertulis dalam Kitab Bibel Ibrani.
Tetapi jika kita menganggap bahwa segenap kejadian dalam sejarah
ini berlangsung di Palestina, dan mempelajari Bibel menurut
anggapan ini, maka akan timbul kebingungan dan sejumlah pertanyaan
yang tak mampu terjawab akan tak terhitung lagi banyaknya. Kalau
saja kita menggeser geografi dalam Bibel dari Palestina ke Arabia
Barat, maka tidak banyak kesukaran yang akan tersisa. Kalau kita
menimbang kembali catatan-catatan kuno Mesir, Babilonia dan Suria
menurut konteks geografi ini, maka semuanya akan cocok pada tempat
mereka. Panorama sejarah dalam Bibel Ibrani yang sendirinya
menceritakan kisah lengkap sebuah bangsa Timur Dekat, menjadi
petunjuk terhadap penyelesaian teka-teki rumit sejarah Timur Dekat
kuno,[26] dan bukan panorama sejarah itu sendiri yang merupakan
sebuah teka teki yang rumit.Seluruh argumentasi dalam bab
pengenalan ini berpusat pada dalil yang menyatakan bahwa tanah asal
Israil dan tanah kelahiran Yudaisme adalah Arabia Barat, bukan
Palestina. Dalam buku ini contoh teks-teks dari Kitab Bibel akan
diuraikan dengan cara menyelidiki nama-nama tempat secara toponimis
guna membuktikan kebenaran dalil ini --suatu fakta yang semoga
sewaktu-waktu akan dapat diperkuat oleh penemuan-penemuan
arkeologis pada lokasi-lokasi tersebut. Secara ideal, seluruh teks
Bibel Ibrani seharusnya diuraikan dengan cara yang sama seperti di
atas, akan tetapi ini memerlukan jangka waktu yang sangat lama
sekali. Andaikata para pembaca bingung dengan apa yang dikatakan
oleh buku ini, perlu dijelaskan bahwa walaupun Bibel Ibrani
menceritakan sejarah orang-orang Israil kuno di Arabia Barat, bukan
berarti agama Yahudi tidak mempunyai dasarnya di Palestina, karena
sebenarnya dasarnya adalah di sana. Kitab Bibel Ibrani yang ditulis
di Arabia Barat lebih banyak berkenaan dengan urusan-urusan kaum
Israil di daerah itu, dan bukan dengan kaum Yahudi di tempat-tempat
lain.Seperti yang telah dikatakan tadi, ada petunjuk-petunjuk dari
Kitab Bibel mengenai tumbuhnya sebuah pemukiman Yahudi yang kuat di
Palestina yang dimulai pada sekitar abad ke-10 S.M. Ada pula
bukti-bukti yang berupa dokumentasi-dokumentasi yang didapat dari
luar Bibel Ibrani yang membuktikan adanya orang-orang Yahudi di
negara-negara Timur Dekat --seperti daerah Utara Mesir[27]-- sejak
zaman kuno. Teks-teks kanonik Bibel Ibrani, yang mereka
membicarakan cukup mendetil tentang orang-orang Yahudi di luar
Arabia Barat, hanya melakukannya sehubungan dengan penawanan
orang-orang Israil oleh kerajaan Babilonia. Rekonstruksi sejarah
Yahudi yang mula-mula di Palestina tidak mungkin didapat melalui
teks-teks ini, ataupun melalui catatan-catatan lain yang ada sampai
sekarang.2. MASALAH METODEDalam mempelajari sesuatu kita harus
belajar melupakan; di dalam bidang penyelidikan Kitab Bibel ini
sangat mutlak. Karena bahasa yang dipakai dalam Bibel Ibrani telah
lama tidak dipergunakan lagi, beberapa waktu setelah abad ke-6 atau
ke-5 S.M., maka tidak mungkin kita mengetahui pengucapan serta
pemberian tanda vokal aslinya seperti yang dipergunakan orang-orang
dahulu itu. Kita pun tidak mengetahui apa-apa tentang orthografi,
tata bahasa, sintaksis serta langgam suaranya. Perbendaharaan kata
di Kitab Bibel Ibrani yang kita ketahui sangat terbatas pada
kata-kata yang tertera dalam teks-teks Kitab Bibel itu.Memang
benar, bahasa Ibrani para rabbi (pendeta Yahudi) telah
memperlengkapi kita dengan perbendaharaan kata dari Bibel Ibrani
yang sebagian didasarkan pada perbendaharaan kata kuno Kitab Bibel
dan sebagian lagi dipinjam dari bahasa Aram dan bahasa-bahasa lain.
Akan tetapi kita harus mengingat bahwa bahasa Ibrani para rabbi
Yahudi itu bukanlah suatu bahasa lisan; bahasa ini merupakan suatu
bahasa kesarjanaan saja. Lagi pula, banyak kata di dalam Kitab
Bibel yang hanya timbul sekali atau dua kali saja sehingga arti
kata-kata itu masih dapat diperdebatkan.[1] Oleh sebab itu, untuk
membaca dan mengerti Bibel Ibrani kita harus melakukannya menurut
tradisi para pendeta Yahudi atau dengan cara mempelajari
bahasa-bahasa Semit lainnya yang masih dipakai. Saya telah memakai
cara yang kedua, mendasarkan penafsiran saya pada bahasa Arab, dan
dalam beberapa hal pada bahasa Suryani, yang merupakan bentuk
modern bahasa Aram kuno. Pendeknya, saya telah memperlakukan bahasa
Ibrani sebagai bahasa yang sebenarnya sudah tak dikenal lagi dan
yang perlu diungkapkan kembali, bukan lagi sebagai bahasa yang
teka-teki dasarnya telah dipecahkan.Berkat kejujuran kesarjanaan
kaum Masoret atau tradisional Yahudi, teks-teks dalam bentuk
konsonan Bibel Ibrani itu telah diturunkan kepada kita dari zaman
kuno dalam keadaan yang hampir dalam keadaan utuh. Sayang,
sarjana-sarjana modern jarang yang menghargai hal ini. Seringkali,
bila mereka gagal dalam memahami sebuah kutipan dari Kitab Bibel,
karena prasangka-prasangka terhadap konteks geografisnya, mereka
dengan salah menganggap bahwa teks-teks itu telah diubah, seperti
halnya seorang pekerja yang tidak terampil menyalahkan
alat-alatnya. Memang benar, beberapa kitab dalam Bibel Ibrani itu
merupakan kumpulan sumber naskah yang lebih tua dan yang telah
disusun kembali. Ini tidak diragukan lagi. Tetapi mungkin saja
berbagai kitab teks Bibel kanonik yang ada pada kita, telah dalam
bentuknya yang sekarang ini sebelum runtuhnya kerajaan Israil,
yaitu paling lambat pada abad ke-5 atau ke-6 S.M. Dugaan ini timbul
dengan adanya kenyataan bahwa Bibel Ibrani telah diterjemahkan
secara keseluruhan ke dalam bahasa Aram (kitab-kitab Targum) pada
zaman Achaemenid, dan ke dalam bahasa Yunani (kitab Septuaginta)
pada awal periode Hellenis. Gulungan kertas Laut Mati, yang telah
begitu banyak menarik perhatian dalam dasawarsa belakangan ini,
jauh lebih muda dibandingkan dengan kedua terjemahan itu. Oleh
sebab itu gulungan kertas Laut Mati mungkin dapat berguna dalam
studi mengenai agama Yahudi Palestina pada zaman Rumawi; akan
tetapi tidak akan dapat banyak menolong dalam pemecahan teka-teki
Kitab Bibel Ibrani.Kita kini mengetahui bahwa Bibel Ibrani yang
mula-mula ditulis dalam bentuk konsonan. Kemudian diberi vokal,
dengan mempergunakan tanda-tanda vokal khusus, oleh kaum Masoret
Palestina dan Babilonia antara abad ke-6 dan ke-9 atau ke-10 tahun
Masehi. Dengan kata lain, mereka yang melakukan ini sebenarnya
menyusun kembali sebuah bahasa yang telah tidak dipergunakan lagi
selama seribu tahun atau lebih. Kaum Masoret ini apakah mereka
berbahasa Aram atau tidak, melakukan tugas mereka dengan seluruh
pengetahuan yang mereka miliki. Karena mereka menghormati Bibel
sebagai kitab suci, maka dapat dipastikan bahwa mereka berhati-hati
agar tidak mengubahnya, dan membiarkan teks konsonannya seperti apa
adanya, sekalipun mereka menemukan sebuah kutipan yang menurut
mereka tidak masuk akal. Mereka hanya mencatat bilamana ada atau
sepertinya ada kejanggalan-kejanggalan dalam ejaan atau tata
bahasa, dan tampaknya tidak ada usaha-usaha yang disengaja untuk
membetulkan kejanggalan-kejanggalan itu. Ironisnya, jika para ahli
Bibel modern berhati-hati seperti halnya para leluhur Masoret
mereka, maka Ilmu Pengetahuan Bibel modern tidak akan membingungkan
seperti sekarang ini, dan proses mempelajari yang sebenarnya bidang
ini tidak perlu begitu banyak melupakan apa yang telah
diketahui.Teks-teks suci, pada umumnya, dipelihara dalam bentuk
aslinya oleh mereka yang taat dan setia dalam agama apa pun,
sehingga hampir tidak berubah. Diturunkan melalui tradisi, seperti
halnya teks-teks suci, nama-nama tempat juga jarang berubah, paling
tidak dalam struktur dasarnya, beberapa pun lamanya proses
penurunan ini berlangsung. Jarang sekali nama-nama itu diubah, akan
tetapi jika ini terjadi, nama-nama tua itu tetap dikenang oleh
masyarakat, dan lebih sering dipergunakan kembali pada suatu
saat.Bertahannya nama-nama tempat inilah yang memungkinkan saya
untuk melakukan suatu analisa toponimis, dan terkadang memberi
lebih banyak informasi mengenai geografi Bibel Ibrani daripada yang
dapat kita peroleh melalui arkeologi. Dalam hal-hal tertentu, studi
mengenai nama-nama tempat dan arkeologi mempunyai tujuan yang sama
kecuali dalam satu perbedaan yang penting. Kalau penemuan-penemuan
arkeologis itu bisu, jika terdapat inskripsi-inskripsi apa pun
adanya, maka nama-nama tempat dapat berbicara dengan jelas. Maksud
saya, bukan hanya memberitahu kita apa sebenarnya nama-nama tempat
itu, bagaimana diucapkan, apa arti dan dari bahasa atau jenis
bahasa mana asalnya. Tanpa adanya inskripsi, penemuan-penemuan
arkeologi sangatlah sulit untuk ditafsirkan, begitu sulitnya
sampai-sampai pertengkaran di antara para arkeolog, mengenai arti
sejarah suatu penemuan tertentu, seringkali memburuk menjadi
permusuhan pribadi. Walaupun nama-nama tempat tidak memberikan
informasi sebanyak yang dihasilkan oleh penggalian-penggalian
arkeologis, namun apa yang diberikan paling tidak merupakan suatu
kepastian yang relatif atau mutlak.Saya akan mengemukakan sebuah
contoh. Kalau seseorang menemukan sekelompok nama-nama tempat di
Arabia Barat yang berasal dari sebuah bahasa yang bentuk
konsonannya sama dengan bahasa Yahudi yang dipakai dalam Bibel atau
bahasa Aram yang dipakai dalam Bibel, maka orang itu dapat
menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa yang sama atau serupa dengan
bahasa Aram atau Yahudi Bibel pernah dipergunakan di Arabia Barat,
meskipun bahasa Arablah yang merupakan bahasa sehari-hari di sana
selama 2000 tahun. Kalau dapat lebih jauh lagi dibuktikan bahwa
nama-nama tempat menurut Bibel, apa pun asal linguistiknya,
terdapat pula di Arabia Barat yang sampai kini masih ada, sedangkan
hanya sedikit yang tertinggal di Palestina, maka dapat dimaklumi
jika kita bertanya: apakah Bibel Ibrani lebih merupakan catatan
mengenai perkembangan sejarah di Arabia Barat daripada di
Palestina?Dalam suatu usaha untuk menjawab pertanyaan itu, strategi
yang saya pergunakan pada halaman-halaman berikutnya adalah dengan
membandingkan sekelompok nama-nama tempat Semit kuno, yang dalam
Kitab Bibel ditulis dalam ejaan Ibrani, dengan nama-nama tempat
yang benar-benar ada di Asir dan selatan Hijaz, yang oleh
kamus-kamus geografi Arab Saudi modern ditulis dalam ejaan Arab.
Kira-kira sudah 3000 tahun waktu yang memisahkan bentuk Bibel itu
dari nama-nama tempat ini dengan persamaannya yang kini masih ada.
Ini merupakan jangka waktu yang sangat lama, lebih dari satu
pergeseran bahasa yang mestinya terjadi di daerah-daerah di Timur
Dekat, apalagi dengan adanya peralihan dialek-dialek pada setiap
tahap. Maka dari itu, bagi saya yang mengherankan adalah bukan
kenyataan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel telah mengalami
perubahan; tetapi bahwasanya nama-nama itu tetap ada dalam bentuk
Arab yang mudah dikenali.Adalah wajar jika nama-nama tempat menurut
Bibel di Arabia Barat telah mengalami perubahan pada fonologi dan
morfologinya, setelah hampir 3000 tahun. Pada awal buku ini, sebuah
catatan yang berjudul 'Perubahan bentuk Konsonan, menunjukkan
bagaimana konsonan-konsonan tertentu dalam bahasa Ibrani dapat
menjadi konsonan-konsonan lain dalam bahasa Arab dan sebaliknya.
Catatan yang sama memperlihatkan pula seringnya terjadi metatesis
(pindahnya huruf-huruf konsonan dalam suatu kata) antara
bahasa-bahasa Semit dan bahkan antara dialek-dialek dalam bahasa
yang sama. Sebagai tambahan dari perubahan yang disebabkan oleh
peralihan-peralihan bahasa dan dialek-dialek ini, kita perlu
memperhatikan pula distorsi yang disebabkan oleh ditulisnya
nama-nama tempat tersebut dalam bahasa Ibrani Bibel dan dalam
bahasa Arab modern.Bahasa tulisan (dengan cara menggunakan
huruf-huruf abjad atau dengan cara lain) hanya dapat mengira-ngira
saja fonetik dari sebuah percakapan saja. Inilah sebabnya mengapa
para ahli bahasa berpaling pada penggunaan begitu banyak
simbol-simbol yang bukan abjad dalam pekerjaan mereka, karena
mereka tahu benar bahwa simbol-simbol yang ruwet ini pun tidak
dapat mewakili dengan akurat bunyi-bunyi yang sebenarnya.Bagaimana
nama-nama tempat, yang ada dalam bab ini dan ditempat lain
sebenarnya diucapkan pada zaman Bibel, tidak dapat diketahui. Untuk
mengetahui persis bagaimana diucapkan sekarang akan memerlukan
penelitian lapangan yang sangat luas. Akan tetapi dalam
memperbandingkan bentuk-bentuk tertulis nama-nama ini, baik dalam
bahasa Ibrani Bibel maupun dalam bahasa Arab modern, kita harus
mengingat tabiat abjad Semit itu. Pada mulanya abjad ini mengenal
tidak lebih dari 22 konsonan (termasuk glottal stop yang menurut
bahasa-bahasa Semit merupakan sebuah konsonan, dan dua buah
semi-vokal, yaitu w dan y), walaupun bahasa lisan Semit yang
sebenarnya sejak dahulu memakai lebih dari ini. Dalam bahasa Ibrani
yang dipakai para rabbi Yahudi, sebuah konsonan tambahan
ditambahkan pada abjad aslinya dengan cara memberi titik pada huruf
sin, yang dapat disuarakan sebagai s atau s (dengan topi atas).
Maka (s) mewakili huruf s, dan v menandakan s (dengan topi atas).
Bahasa Arab, yang meminjam tulisannya dari bahasa Semit lainnya,
menggunakan 22 abjad dasar mereka, pada awalnya. Tetapi lama
kelamaan enam huruf lagi ditambahkan pada huruf-huruf yang telah
ada. Maka t (ta') diberi satu lagi titik menjadi huruf t (tsa'); h
(ha) diberi titik menjadi huruf h (kho'); d (dal) diberi titik
menjadi huruf d (dzal); s (shod) diberi titik menjadi huruf s
(dlod); t (tho') diberi titik menjadi huruf z (dho'); dan 'ayn
(ain) diberi titik menjadi huruf g (ghoin) (lihat 'Kunci
Transliterasi bahasa Ibrani dan Arab' pada awal buku ini). Dalam
keenam contoh di atas, huruf-huruf baru yang ditambahkan ini
mewakili konsonan-konsonan yang secara fonologis berhubungan dengan
konsonan-konsonan yang diwakili oleh huruf-huruf yang lama.Maka,
dalam bahasa Arab, seperti yang tertulis aslinya, tidak semua
konsonan yang terdengar dalam percakapan mempunyai huruf tersendiri
dalam abjad untuk mewakili mereka. Saya yakin bahwa begitu juga
halnya dengan bahasa Ibrani Bibel, yang dalam bahasa lisan dalam
berbagai dialeknya mestinya terdapat konsonan-konsonan yang dalam
tulisan diwakili oleh huruf-huruf yang mewakili konsonan lain.
Contohnya, tidak ada alasan untuk menganggap pemakai bahasa Ibrani
di Arabia Barat atau ditempat lain untuk tidak mengucapkan h maupun
h yang masih saling berhubungan, sambil menggunakan h untuk
mewakili kedua konsonan itu di dalam tulisan. Dalam pengucapan
bahasa Ibrani rabbi (yang mencerminkan pengaruh bahasa Aram), b
dapat diucapkan sebagai b dan v; g sebagai g dan g (dengan titik di
atas); k sebagai k dan h; sebagai p dan p (atau f); t sebagai t dan
t. Ada kemungkinan besar para pemakai bahasa Ibrani kuno (paling
tidak dalam beberapa dialek) juga mengucapkan konsonan-konsonan
seperti d, d dan z yang tidak mempunyai huruf-huruf yang mewakili
mereka dalam abjad Ibrani.Bagaimana pemakai-pemakai bahasa Ibrani
kuno dapat membedakan dalam percakapan antara s (s, atau sin) dan s
(j, atau samek) adalah suatu pernyataan yang bagus sekali.
Kemungkinan, s mewakili sebuah gabungan bunyi s, s dan z.Mengingat
semua ini, persamaan antara pengucapan nama-nama tempat di Arabia
Barat dalam bahasa Ibrani kuno dan bentuk Arab modern mungkin lebih
dekat daripada yang kita duga. Sebuah studi lapangan secara
mendalam mengenai bagaimana nama-nama Arab itu sebenarnya diucapkan
sekarang ini pasti akan dapat membantu memecahkan persoalan ini.
Namun yang sudah pasti ialah bahwa abjad Arab, dengan enam buah
huruf tambahannya, telah diperlengkapi untuk menghasilkan perkiraan
yang lebih dekat kepada bentuk asli konsonan nama-nama itu daripada
abjad Ibrani.Sudah tentu, suatu persesuaian yang dapat
diperlihatkan antara nama-nama tempat Bibel dengan nama-nama tempat
di Arabia sendiri tidak akan cukup untuk membuktikan bahwa Arabia
Barat adalah tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Pertama-tama kita harus
memastikan bahwa persetujuan toponimis yang sama tidak terdapat di
daerah-daerah lain di jazirah Arabia atau di bagian-bagian lain di
Timur Dekat. Kalau hal ini sudah dapat dipastikan, kita harus
mencoba untuk mengetahui benar tidaknya koordinat-koordinat dalam
Bibel yang diberikan kepada tempat-tempat yang kini masih ada, atau
yang sepertinya masih ada di Arabia, cocok dengan tempat-tempat
pasangannya di Arabia Barat. Dengan kata lain, jika kita mengenali
sebuah tempat di Arabia Barat yang namanya sepertinya cocok dengan
Beer-lahai-roi (b'r lhy r'y) dalam Bibel, kita harus kemudian
menentukan apakah tempat ini terletak di sebuah jalan yang menuju
ke suatu tempat yang bernama Shur (swr), antara sebuah tempat yang
bernama Kadesh (qds) dan sebuah lagi yang bernama Bered (brd)
(lihat Kejadian 16:7, 14). [2] Dari sini, kita dapat menyerahkan
prosedur selanjutnya pada arkeologi, yang akan mencoba untuk
menentukan apakah lokasi di Arabia Barat yang namanya diambil dari
Kitab Bibel itu mungkin dihuni pada periode Bibel itu layak, dan
dengan kebudayaan materi apa tempat ini diasosiasikan. Karya yang
sekarang ini hampir seluruhnya berdasarkan toponimik. Tetapi
sebelum tesis ini kemajuan-kemajuannya dapat dipandang sebagai
pasti, kita harus dapat menganggap bahwa arkeologi perlu memastikan
penemuan-penemuan itu yang telah dijadikan dasar arkeologi
itu.Sebagai tambahan pada arkeologi, ada cara-cara lain untuk
memastikan benar tidaknya sejarah Bibel itu berlangsung di Arabia
Barat dan bukan di Palestina. Hal-hal yang berhubungan dengan
topografi, geologi dan mineral, hidrologi, flora dan fauna perlu
diperhatikan. Dengan kata lain, jika seseorang menemukan sebuah
sungai atau anak sungai di Arabia Barat yang bernama Pishon,
misalnya kemungkinan besar sungai itu bukan sungai Pishon dalam
Kitab Bibel kecuali jika mengelilingi suatu daerah tempat emas
dapat diketemukan, atau yang pada zaman dahulu terdapat emas (lihat
Kejadian 2:11-12). Suatu tanda kepastian bahwa kota-kota dalam
Bibel Sodom dan Gomorrah tidak mungkin merupakan kota-kota kuno di
kawasan Laut Mati, karena di daerah itu tidak terdapat sebuah
gunung berapi yang dahulunya menghancurkan kota-kota tersebut
(lihat Kejadian 19:24-28). Jika seseorang menemukan sebuah kota
yang bernama Sodom dan Gomorrah di Arabia Barat, orang itu harus
mencari sebuah gunung berapi atau mencari puing-puing vulkanis di
sekitar daerah itu. Begitu pula, jika istana Sulaiman terbuat dari
'batu-batu mahal' yang 'dipahat menurut ukuran, digergaji dengan
menggunakan gergaji, dari depan dan belakang', dan ada pula
'batu-batu besar, batu-batu yang besarnya delapan sampai sepuluh
hasta' (1 Raja-raja 7:9-10), bahan bangunan tersebut tidak mungkin
batu kapur Palestina biasa. Batu itu kemungkinan adalah batu
granit, yang masih dapat ditemukan dan digali di Arabia Barat.
Bahan yang sama mestinya dipergunakan untuk mendirikan bangunan di
sekeliling tembok-tembok kuil Sulaiman, mengingat bahwa bangunan
ini terbuat dari batu 'yang telah disiapkan di penggalian',
sehingga 'tak kedengaran palu atau kapak selama masa
pembangunannya' (1 Raja-raja 6:7).[3] Walaupun kata 'salju' atau
slg dalam Bibel Ibrani kadang-kadang berarti tumbuhan soapwort
(bukan tumbuhan Saponaria officinalis, tetapi mungkin tumbuhan
Gypsophila arabica, lihat Catatan 1), [4] dan terkadang berarti
salju yang sebenarnya. Jika keadaannya begitu, maka kita harus
memastikan adanya salju yang turun dan menetap di pegunungan Arabia
Barat --dan kenyataannya memang demikian-- sebelum memulai menduga
bahwa tanah asal Bibel Ibrani itu terletak di sana.[5] Minyak yang
disebutkan dalam Kitab Bibel mungkin saja minyak wijen dan bukan
minyak zaitun, mengingat bahwa wijen sampai kini merupakan produk
utama daerah Asir. Namun kenyataan bahwa tumbuhan zaitun liar masih
tumbuh di Arabia Barat, menunjukkan bahwa buah zaitun yang tertera
di dalam Kitab Bibel mungkin saja dibudidayakan di sana pada zaman
dahulu, bersamaan dengan tumbuhan tin, buah badam, delima dan
anggur, yang semua tertulis dalam Bibel Ibrani dan masih tetap
dibudidayakan di sana sampai kini. Pula, buah zaitun masih dapat
ditemukan pada dua bagian jazirah Arab, di sebelah Utara Hijaz dan
di Oman. Oleh sebab itu, agaknya masih masuk di akal jika kita
menganggap bahwa minyak yang disebut-sebut di dalam Kitab Bibel
adalah minyak Zaitun, bukan minyak wijen. Dalam Imamat 11:29,
'kadal besar' (sb) termasuk dalam kelompok reptil-reptil yang
diharamkan untuk dimakan. 'Kadal monitor' atau bengkarung dari
Palestina dan Sinai disebut waral (wrl) atau waran (wrn). Sb yang
tertera dalam Kitab Bibel sudah pasti adalah biawak gurun pasir
Arabia atau dabb (db).[6] Namun walaupun Bibel Ibrani berbicara
mengenai berbagai jenis burung, kitab ini samasekali tidak pernah
menyebut-nyebut tentang ayam maupun angsa. Menurut ahli geografi
kuno Strabo (16:4:2), daerah-daerah Arabia di seberang Laut Merah
dari Etiopia aneh karena di sana terdapat 'burung-burung ... dari
semua jenis, kecuali angsa dan keluarga gallinaceous'.Semua ini
membuktikan perlunya untuk mempertimbangkan kembali lokasi
geografis tanah asal Kitab Bibel, terlebih lagi karena semuanya
mendukung bukti-bukti lain yang relevan.Kembali pada ilmu
toponimik, yang menjadi dasar buku ini, perlu diperhatikan bahwa
sebuah pengenalan secara benar atas nama-nama tempat menurut Bibel
dapat memperdalam dan terkadang mengubah samasekali pengetahuan
yang ada tentang bahasa Ibrani. Bagi bahasa Ibrani Bibel, nama-nama
tempat, jika diperlakukan sebagai sebuah bahasa yang hendak dibaca
dan dimengerti, sifatnya mirip dengan nama-nama keningratan atau
kedewaan pada tulisan-tulisan pajangan pada zaman Mesir kuno, yang
memberi petunjuk untuk membaca dan mengerti sebuah bahasa yang
telah mati.[7] Kalau kita mengakui nama-nama tempat menurut Bibel
dalam bentuk yang telah ada, maka seluruh sebutan yang membawa nama
tersebut akan mengungkapkan misterinya sehingga dapat dimengerti.
Kenyataannya adalah bahwa banyak kata biasa (kata-kata kerja,
nama-nama benda, kata-kata tambahan dan kata-kata sifat, terkadang
dengan kata depan b, l atau m) yang secara tradisional telah dibaca
dengan salah dalam konteks Bibel mereka sebagai nama-nama tempat.
Sebaliknya, sudah tidak terhitung lagi banyaknya nama-nama tempat
menurut Bibel, yang tidak diduga sebagai nama-nama tempat, dianggap
sebagai kata-kata kerja, kata-kata benda, kata-kata tambahan atau
sebagai kata-kata sifat. Perbedaan yang benar antara sesuatu yang
sebenarnya merupakan sebuah nama tempat dan yang bukan dalam teks
Bibel dapat membuat banyak pembacaan tradisional (dan tentunya juga
penterjemahan-penterjemahan standar) kacau.Catatan-catatan Mesir
dan Mesopotamia kuno, jika pembacaan atas mereka dipertimbangkan
kembali (seperti yang seharusnya, lihat Bab 1), dapat banyak
membantu dalam mengungkapkan letak geografi Bibel. Dalam
catatan-catatan itu, nama-nama tempat lainnya masih ada di Arabia
Barat. Yang juga sangat membantu adalah karya-karya para sejarawan
dan ahli-ahli geografi dari zaman Klasik. Dalam Bab sebelumnya,
bukti-bukti yang didapat dari karya Herodotus disebutkan
berhubungan dengan emigrasi orang-orang Filistin dan Kanaan dari
Arabia Barat menuju ke pantai Suria; dalam Bab 4, bukti-bukti dari
geografi Strabo akan dipergunakan untuk mengenali lokasi persis
kota Beersheba di Arabia Barat, yang berbeda dengan kota Beersheba
di Palestina. Apa yang terdapat di dalam Qur'an mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan geografi dan sejarah dalam Bibel, yang
ternyata sangat banyak, harus benar-benar diperhatikan pula, tetapi
kenyataannya belum begitu sampai sekarang.Teks Qur'an dikumpulkan
pada waktu yang hampir bersamaan dengan saat kaum Masoret memulai
memberi vokal dan membanding-bandingkan secara teliti teks-teks
Kitab Bibel Ibrani. Menurut tradisi Islam, edisi Qur'an yang
terakhir, yang seperti ada pada kita sekarang, dibuat pada zaman
kekuasaan Khalifah Usman, atau antara tahun 644 dan 655 M. Bilamana
kitab suci ini membicarakan mengenai para leluhur Ibrani, tentang
Israil, atau mengenai para nabi kaum Yahudi, Qur'an menyebut
beberapa nama tempat yang dapat dipastikan berasal dari Arabia
Barat. Persamaan antara nama-nama tempat di dalam Qur'an pada suatu
konteks, dengan nama-nama tempat di dalam Bibel dalam konteks yang
sama, kadang-kadang sangat menarik. Contohnya, bilamana Bibel
menyebut nama sebuah gunung di Arabia Barat, Qur'an sebaliknya
tidak, tetapi menurut Qur'an nama itu merupakan nama sebuah lembah,
kota atau suatu lokasi lain di daerah yang sama. Maka Nabi Musa,
menurut Kitab Injil (Keluaran 3:1f), dipanggil oleh malaikat Yahweh
dari sebuah belukar yang bernyala-nyala di Gunung Horeb (hrb).
Menurut Qur'an (20:12, 79:16), panggilan terhadap Nabi Musa
tersebut terjadi di 'lembah suci' Tuwa (tw). Sampai saat ini Gunung
Horeb dalam Bibel ini telah dicari-cari di Sinai, namun namanya
belum berhasil ditemukan. 'Belukar yang bernyala-nyala, namun tidak
musnah terbakar' telah diperkirakan oleh para ahli sebagai suatu
referensi terhadap sebuah gunung berapi, akan tetapi belum ada
tanda-tanda kegiatan vulkanis yang dapat dijumpai di Sinai. Hal ini
telah membuat sejumlah penyelidik berpaling dari Sinai guna mencari
Horeb di daerah-daerah vulkanis di bagian Utara Hijaz (lihat
Kraeling pada halaman-halaman 108-110), tetapi sekali lagi tanpa
hasil. Namun Qur'an memberitahukan kita letak persis Horeb: sebuah
punggung bukit yang terasingkan di daerah pantai Asir, suatu tempat
yang bernama Jabal Hadi. Di Jabal Hadi sampai kini masih berdiri
sebuah dusun yang bernama Tiwa (tw), yang mestinya memberikan
namanya kepada sebuah anak lembah Wadi Baqarah yang berdekatan
dengannya - yaitu 'lembah suci' dalam Qur'an tempat Nabi Musa
menerima panggilannya. Di Wadi Baqarah sampai kini masih berdiri
sebuah desa yang bernama Harib (hrb), di mana punggung bukit Jabal
Hadi yang berdekatan mestinya mendapatkan nama Bibelnya. Seluruh
daerah tersebut dipenuhi oleh ladang-ladang lahar dan di sana
gunung-gunung berapi mungkin pernah aktif.[8]Yang berkenaan dengan
kisah-kisah dalam Bibel, Qur'an tidak sekadar mengulang bahan-bahan
Bibel itu dalam bentuk yang berlainan, yang pada saat ini pandangan
yang umumnya dipegang oleh para ahli. Isinya, yang sejalan dengan
Kitab Bibel Ibrani (di sini tidak termasuk kitab-kitab Injil
Perjanjian Baru Kristen) saya yakin merupakan versi yang berdiri
sendiri menurut tradisi kuno Arab Barat yang sama, dan memang harus
diperlakukan demikian. Kalau Bibel mewakili versi bahasa Ibrani
Israil menurut tradisi di atas, yang bertarikh sejak sebelum abad
ke-4 Pra-Masehi, maka Qur'an yang juga memperlakukan tradisi
serupa, mewakili versi bahasa Arab menurut tradisi itu juga,
berasal dari periode ketika bahasa Arab telah menggantikan bahasa
Aram dan bahasa Ibrani sebagai bahasa lisan yang dipakai di Arabia
Barat. Sepintas lalu, perbedaan-perbedaan antara kedua versi
tersebut mungkin kelihatannya membingungkan; tetapi setelah
penyelidikan yang lebih mendalam, kitab-kitab itu akan menjadi
lebih informatif.Sampai kini, yang telah kita peroleh adalah
sebagai berikut: sebuah teks konsonan Ibrani yang dapat kita anggap
akurat, yang harus dibaca kembali dengan teliti tanpa memikirkan
tentang pengucapan tradisionalnya; catatan-catatan Mesir kuno,
Mesopotamia kuno dan catatan-catatan lainnya yang menyebutkan
nama-nama tempat menurut Bibel dan harus dibaca kembali tanpa
berkonsultasi dengan penafsiran geografis ataupun topografisnya
yang ada; karya-karya para sejarawan dan ahli geografi zaman Klasik
yang dapat membantu; teks-teks konsonan Qur'an yang tidak beruhah
sejak pertama kalinya dikumpulkan dan disusun; dan akhirnya suatu
gambaran tentang Arabia Barat yang penuh dengan nama-nama menurut
Bibel yang sebagian besar bentuk Bibelnya belum berubah, atau
paling tidak masih dapat dikenali dengan mudah dalam bentuk-bentuk
yang ada sekarang. Pada bab berikutnya, bagian dari Arabia Barat
tempat nama-nama menurut Bibel berpusat akan digambarkan secara
lebih mendetil lagi. Kemudian, saya akan meneliti teks-teks Bibel
tertentu untuk memperlihatkan betapa cocoknya geografi teks itu
dengan geografi Arabia Barat. Para pembaca akan dapat menilai
sendiri adakan argumentasi utama buku ini cukup meyakinkan atau
tidak. Tetapi kita perlu mengingat, apa pun kesimpulannya, Bibel
tetap Bibel, tanpa peduli di mana letak tanah asalnya.3. TANAH
ASIRTanah asal Bibel Ibrani, seperti yang telah saya tegaskan,
ialah Asir. Sebenarnya, pemakaian nama itu berlangsung belum lama,
yaitu sejak abad ke-19 untuk menandakan tanah dataran tinggi Arabia
Barat yang membentang dari utara ke selatan, dari Nimas (al-Nimas,
19 Lintang Utara dan 42 Bujur Timu