Top Banner

of 23

Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan

Mar 01, 2016

Download

Documents

Dwi Mardi

Seminar Pajak
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)Istilah Penting dalam UU BPHTB( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)1. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunanadalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunanadalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.3. Hak atas tanah dan atau bangunanadalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunanadalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayaradalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahanadalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayaradalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihiladalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunanadalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.10. Surat Keputusan Pembetulanadalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.11. Surat Keputusan Keberatanadalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak.12. Putusan Bandingadalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.Dasar Hukum1. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.2. KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.Objek Pajak( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :a. Pemindahan Hak karena :1. Jual beli2. Tukar Menukar3. Hibah4. Hibah Wasiat,adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.5. Waris6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;8. Penunjukan pembeli dalam lelang,adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap,sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.10. Penggabungan usahaadalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.11. Peleburan usahaadalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.12. Pemekaran usahaadalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.13. Hadiahadalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.b. Pemberian hak baru karena :1. Kelanjutan pelepasan hak;Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.2. Diluar pelepasan hak.Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hak Atas Tanah( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )Yang dimaksud hak atas tanah adalah :1. Hak milik,adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.2. Hak guna usaha,adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.3. Hak guna bangunan,adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.4. Hak pakai,adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yangberlaku.5. Hak milik atas satuan rumah,adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.6. Hak pengelolaan,adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.Tarif Pajak(Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).Dasar Pengenaan( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :a. jual beli adalah harga transaksi;b. tukar-menukar adalah nilai pasar;c. hibah adalah nilai pasar;d. hibah wasiat adalah nilai pasar;e. waris adalah nilai pasar;f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;j. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;l. peleburan usaha adalah nilai pasar;m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;n. hadiah adalah nilai pasar;o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.Nilai Pasar( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.2. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak dimulai.3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.4. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah);3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d;6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d."Penghitungan Pajak( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)Besarnya BPHTB terutang= 5 % X NPOPKP XXXXXXXXXX(-)XXXXXXXXXX

http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=bphtbDiperjual-belikan sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan dengan data-data sebagai berikut: Luas 1.000 m2 NJOP = 1.000.000,- per meter NJOPTKP adalah Rp. 80.000.000,- (DKI Jakarta) Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp. 2.000.000,- per meter Maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 1.000 x 2.000.000,- = Rp. 2.000.000.000,-BesarnyaPPhdanBPHTBadalah sebagai berikut: PPh = 5 % x NPOP Besarnya PPh = 5 % x Rp. 2.000.000.000,- = Rp. 100.000.000,- BPHTB = 5 % x (NPOP NPOPTKP) Besarnya BPHTB = 5 % x (Rp. 2.000.000.000 Rp. 80.000.000) = Rp. 96.000.000,-

PBBPAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)Dasar Hukum1. UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.2. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.3. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.4. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.6. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.Istilah Penting dalam UU PBB( Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994)1. Bumiadalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;2. Bangunanadalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;3. Nilai Jual Obyek Pajakadalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;4. Surat Pemberitahuan Obyek Pajakadalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;5. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutangadalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;Obyek Pajak( Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 ) Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan BangunanPengertian BumiBumiadalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.Pengertian BangunanBangunanadalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.Yang termasuk pengertian bangunan adalah :a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;b. jalan TOL;c. kolam renang;d. pagar mewah;e. tempat olah raga;f. galangan kapal, dermaga;g. taman mewah;h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;i. fasilitas lain yang memberikan manfaat;Klasifikasi Bumi dan Bangunan( Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )Klasifikasi bumi dan bangunanadalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.Subyek PBB( Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :a. mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;b. memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;c. memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;d. memperoleh manfaat atas bangunan.Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut UU PBB.Apabila suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung pajaknya maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak.Penetapan ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti : Apakah ada perjanjian antara pemilik dan penyewa yang mengatur ? Siapa yang menanggung kewajiban pajaknya ? Dan siapa yang secara nyata mendapat manfaat atas bidang tanah dan bangunan tersebut?Tarif Pajak( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).Dasar Pengenaan PBB( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK-523/KMK.04/1998)Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.Meskipun pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali, namun untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan kelompok B (KMK-523/KMK.04/1998).Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual Objek Pajak, Nilai Jual Objek Pajak yang terjadi di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Dasar Penghitungan Pajak( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002).Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen).Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.Contoh :Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00Dasar Penghitungan Pajak( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)Besarnya PBB terutang= 0,5 % X NJKP XXXXXXXXXX(-)XXXXXXXXXXXXXXX

http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=pbbOBJEK BEA METERAI

PENGERTIAN BEA METERAIBea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.

DASAR HUKUM

1.Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai

2.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.

3.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005

4.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.

5.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.

6.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.

7.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.

8.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.

9.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.

10.Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea Meterai.

ISTILAH-ISTILAH

-Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.

-Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

-Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.

-Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.

-Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

OBJEK BEA METERAI

Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :

a.Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

b.Akta-akta notaris termasuk salinannya.

c.Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.

d.Surat yang memuat jumlah uang yaitu:

-yang menyebutkan penerimaan uang;

-yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;

-yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

-yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.

e.Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.

f.Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.

TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI

Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.

Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:

1.Dokumen yang berupa:

-surat penyimpanan barang;

-konosemen;

-surat angkutan penumpang dan barang;

-keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;

-bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

-surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

-surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.

2.Segala bentuk ijazah

3.Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.

4.Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.

5.Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.

6.Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.

7.Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut

8.Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.

9.Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.

TATA CARA PELUNASAN BEA METERAISAAT TERUTANG

Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya Bea Meterai adalah:

-Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

-Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat;

-Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,

CARA PELUNASAN BEA METERAI

A.Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel

Cara mempergunakan meterai tempel :

-Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

-Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

-Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.

-Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.

-Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

B.Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai

Cara mempergunakan kertas meterai :

-Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.

-Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

-Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.

-Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.

-Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

C.Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan

Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:

1.Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.

2.Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:

-mengajukanpermohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.

-melakukanpenyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.

-Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

-Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

D.Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi

1.Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.

-mengajukanpermohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.

-pembayaranBea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi).

-menyampaikanlaporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

2.Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.

E.Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan

1.Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2.Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:

-pembayaranBea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.

-mengajukanpermohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.

3.Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

4.Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri

Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia.

TARIF BEA METERAI

1.Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:

a.Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata

b.Akta-akta Notaris termasuk salinannya

c.Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan Rp1.000.000,00.;

d.Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:

-surat-suratbiasa dan surat-surat kerumahtanggaan.

-surat-suratyang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula.

2.Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:

-nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai

-nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp3.000,-

-nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-

3.Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,-tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.

4.Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.

5.Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.

KETENTUAN KHUSUS DAN SANKSIKETENTUAN KHUSUS

a.Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.

b.Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:

-Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

-Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;

-Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

-Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.

Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SANKSI ADMINISTRASI

Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang harus dilunasi kurang bayar.

-Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

-Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) harus melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.

DALUWARSA

Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut Undang-Undang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

KETENTUAN PIDANA

Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:

-Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;

-Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;

-Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dana atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan haknya;

-Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai;

-Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah bentuk kejahatan).

http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=meterai