Top Banner
Nama: Siti Rachma Fathiya NIM: 121414153016 Jurusan: S2 Kajian Sastra dan Budaya Matakuliah: Kajian Sastra dan Budaya Lokal Jenis Tugas: Ringkasan Buku Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme Oleh: Mary F. Rogers Menawan hati, menghanyutkan, mempesona, memikat, jelita, memperdaya, lembut, dramatis, cantik, indah, fantastis, bergaya, menarik, glamor, anggun, elok, berseri-seri, agung, romantis, berkilauan, bercahaya, manis. Kata-kata di atas mewarnai iklan-iklan Barbie. Anak-anak muda dan orang-orang dewasa juga memilih kata-kata yang sama ketika harus menggambarkan Barbie. Kata-kata tersebut adalah kata-kata feminitas kelas menengah modern. Kata sifat ini juga menggambarkan feminitas anak muda, feminitas heteroseksual, dan feminitas kulit putih. Lebih dari semuanya, tampaknya, Barbie adalah ikon feminitas dalam hubungannya dengan kelompok menengah masyarakat Barat dewasa ini. Beberapa siswa sebuah sekolah menengah di Amerika yang murid-muridnya kebanyakan adalah keturunan Afrika-Amerika dari keluarga-keluarga kelas bawah berpendapat bahwa Barbie adalah idola mereka karena Barbie cantik, ramping, dan berambut panjang. Dan mereka berharap bahwa mereka ingin bisa tumbuh seperti Barbie. Meskipun Barbie adalah sebuah ikon yang merepresentasikan feminitas yang menggoda dan membujuk karena
28

barbie, ikon budaya konsumerisme

Feb 22, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: barbie, ikon budaya konsumerisme

Nama: Siti Rachma Fathiya

NIM: 121414153016

Jurusan: S2 Kajian Sastra dan Budaya

Matakuliah: Kajian Sastra dan Budaya Lokal

Jenis Tugas: Ringkasan Buku

Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme

Oleh: Mary F. Rogers

Menawan hati, menghanyutkan, mempesona, memikat, jelita, memperdaya,

lembut, dramatis, cantik, indah, fantastis, bergaya, menarik, glamor, anggun, elok,

berseri-seri, agung, romantis, berkilauan, bercahaya, manis. Kata-kata di atas

mewarnai iklan-iklan Barbie. Anak-anak muda dan orang-orang

dewasa juga memilih kata-kata yang sama ketika harus

menggambarkan Barbie. Kata-kata tersebut adalah kata-kata

feminitas kelas menengah modern. Kata sifat ini juga

menggambarkan feminitas anak muda, feminitas heteroseksual,

dan feminitas kulit putih. Lebih dari semuanya, tampaknya,

Barbie adalah ikon feminitas dalam hubungannya dengan kelompok

menengah masyarakat Barat dewasa ini.

Beberapa siswa sebuah sekolah menengah di Amerika yang

murid-muridnya kebanyakan adalah keturunan Afrika-Amerika dari

keluarga-keluarga kelas bawah berpendapat bahwa Barbie adalah

idola mereka karena Barbie cantik, ramping, dan berambut

panjang. Dan mereka berharap bahwa mereka ingin bisa tumbuh

seperti Barbie. Meskipun Barbie adalah sebuah ikon yang

merepresentasikan feminitas yang menggoda dan membujuk karena

Page 2: barbie, ikon budaya konsumerisme

daya tariknya, ada beberapa gadis berusaha menjaga jarak dari

Barbie. Bahkan ada yang sampai memotong rambut Barbie yang

panjang karena dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan citra

gadis impian yang sempurna. Namun demikian, bagi kebanyakan

gadis, boneka adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan,

terutama boneka-boneka fashion. Pada 1996, John Greenwald

melaporkan bahwa 99 persen dari semua anak perempuan di

Amerika Serikat yang berusia antara 3 sampai 10 tahun memiliki

setidaknya satu Barbie. Rata-rata setiap anak perempuan

memiliki delapan Barbie. Susan Reda (1995) membuat polling pada

1994 yang menunjukkan bahwa Barbie adalah boneka paling

populer sebagai hadiah natal dengan angka 24 persen dari

setiap rumah tangga.

Meskipun kehadirannya ada di mana-mana, Barbie tidak

dapat dengan serta-merta menjadi bagian dari kehidupan sehari-

hari karena feminitasnya yang bersifat fantastis. Barbie

melampaui apa yang dikatakan sosiolog R.W. Connell (1987)

sebagai “feminitas yang tegas”, yaitu gaya berpenampilan yang

bersikap feminin yang begitu diharapkan dan dikukuhkan dalam

realitas masyarakat kita. Gaya Barbie barangkali bisa disebut

“feminitas yang tegas”. Barbie berpenampilan feminin dan

bersikap menentang sifat maskulin. Feminitas Barbie tidak

hanya tampak dalam penampilannya yang serasi, namun juga dalam

caranya bersikap baik dan didorong untuk menjadi sosok yang

menyenangkan, dengan tutur katanya yang lembut, sopan, suka

menolong, dan sensitif. Anak perempuan yang baik seperti

Barbie tidak bersikap suka menyerang atau suka berteriak;

mereka tidak berisik dan juga tidak suka mencemooh. Mereka

Page 3: barbie, ikon budaya konsumerisme

berperilaku sopan dan terhormat. Pengetahuan tentang Barbie,

yang dibangun dari kotak kemasan Barbie, novel-novel Barbie

dan buku Little Golden Book, seperti Very Busy Barbie, menggambarkan

gadis yang baik yang kesuksesannya lahir tanpa sikap kasar

atau bahkan persaingan yang keras, seperti menipu atau menikam

dari belakang. Feminitas selalu melahirkan sebuah ikatan

sosial khusus sebagaimana juga sikap tertentu dan penampilan

tertentu.

Barbie juga menimbulkan banyak kritik. Ketika Barbie

pertama kali memasuki pasar, penganut agama Kristen di Amerika

mengutuk Barbie sebagai simbol paham hedonisme dan

materialisme karena Barbie dianggap mempengaruhi anak-anak

perempuan sehingga mengabaikan kewajiban-kewajiban perkawinan

dan pengasuhkan karena Barbie tidak pernah menikah dan

menghabiskan waktunya dengan orang lain hanya karena ia ingin

melakukannya. Namun kritik yang paling deras muncul di

sekitar bentuk dan proporsi tubuh Barbie. Kebanyakan

pengkritik membandingkan proporsi Barbie dengan proporsi

perempuan hidup seperti bentuk pinggang ramping Barbie yang

mustahil ada, jari-jemari Barbie yang menyatu sehingga tidak

dapat menggenggam ataupun memegang sesuatu, dan Barbie tidak

pernah bisa berdiri sendiri tanpa dibantu alas kakinya. Cookie

Lupton (1993) menulis sebuah puisi yang menggambarkan Barbie

sebagai mahasiswa tahun kedua di Universitas Negeri yang

secepatnya membutuhkan pertolongan karena membuat dirinya

sendiri lapar. Sebenarnya, citra Barbie sebagai anoreksis dan

bulimis jauh dari kesan luar biasa.

Page 4: barbie, ikon budaya konsumerisme

Jadi, Barbie adalah model acuan? Model acuan dibangun

berdasarkan sejumlah idealisasi dan proses melebih-lebihkan.

Model acuan memberi inspirasi dan semangat kepada kita,

sebagian karena kita tidak tahu apa-apa mengenai keterbatasan

atau kelemahan mereka. Tampaknya, Barbie berfungsi sebagai

salah satu model acuan di antara berbagai model acuan yang

lain sehingga anak-anak perempuan belajar bahwa penampulan

mereka sangatlah penting bagi feminitas mereka, sebagaimana

juga daya tarik mereka dan peranan mereka. Banyak atau mungkin

kebanyakan, gadis terhindar dari gempuran pesan tersebut.

Namun hanya sedikit yang selamat tanpa cedera. Semua yang kita

tahu tentang distorsi citra tubuh, praktik diet kronis, dan

kebencian terhadap tubuh yang kegemukan misalnya, menunjuk

pada adanya konsistensi di antara para perempuan di semua

kelas sosial, kelompok umur, orientasi seksual, dan kelompok

ras serta etnik. Untuk menjadi seksi dan atraktif, dengan

demikian lebih berarti untuk menjadi mirip dengan Barbie

ketimbang tidak.

Pada Mondo Barbie, sebuah antologi puisi bertema gay dan

anti-Barbie, menuliskan bahwa betapa seringnya Barbie

dilaporkan sebagai sasaran perilaku kekerasan. Barbie adalah

sebuah ikon, barangkali, mengenai bagaimana gender dan

kekerasan ditautkan menjadi satu dalam realitas masyarakat

modern, gender dan perang, gender dan kekerasan domestik,

gender dan pemerkosaan, gender dan penyiksaan anak-anak, serta

gender dan sikap agresif. Sebagai sasaran kekerasan, Barbie

mungkin menyimbolkan lebih banyak hal ketimbang sekedar citra

feminitas yang tegas.

Page 5: barbie, ikon budaya konsumerisme

Barbie, sekurang-kurangnya, adalah objek yang dipenuhi

citra gender. Tidak mengejutkan, kemudian, bahwa kebanyakan

anak laki-laki menganggapnya bukan sebagai bagian dunia mereka

yang membuat beberapa di antara mereka bahkan menolak

kehadiran Barbie dengan sikap kebencian yang amat sangat.

Beberapa anak laki-laki yang lain mengakui daya tarik Barbie,

namun mampu untuk tetap tidak menunjukkan ketertarikan mereka.

Kebanyakan memilih menghindarinya, dengan berpura-pura tidak

tertarik atau sedikit tertarik, atau malah tidak tertarik sama

sekali.

Penyiksaan terhadap Barbie biasanya dalam bentuk

pencopotan kepala hingga lepas, menarik lengannya dan membakar

habis rambutnya. Bahkan yang lebih ekstrim ada yang membakar

habis rambut Barbie serta memotong-motong tubuhnya dengan

pisau. Perilaku semaca ini tidak terbatas pada anak laki-laki

yang bereaksi kepada saudara perempuannya, demi mengungkapkan

kejengkelan mereka pada apa pun makna Barbie bagi mereka, atau

demi sebuah hasrat perusakan yang tanpa makna. Ketika Mattel,

perusahaan yang memproduksi Barbie, membatalkan upayanya untuk

mengambil alih Hasbro, sebuah perusahaan boneka yang lain,

para karyawan Hasbro merayakannya dengan menusuk boneka Barbie

seperti daging, memanggangnya di Hasbro Magic Smoking Grill dan

menyebut boneka panggang tersebut sebagai “Barbieque”.

Feminitas Barbie yang tegas berangkat dari realitas nyata

dengan beberapa cara. Feminitas Barbie tidak hanya mencitrakan

akualitas tubuh perempuan, tetapi juga memberi kesempatan

Barbie untuk menikmati sedikit keistimewaan dunia laki-laki.

Feminitas Barbie barangkali tidak sepenuhnya tertutup, tetapi

Page 6: barbie, ikon budaya konsumerisme

jelas ia tidak mencakup sifat keibuan atau bahkan perkawinan.

Feminitas Barbie, dengan demikian adalah feminitas yang

relatif luwes tanpa harus menyubordinasi laki-laki, tanpa

pembagian tugas-tugas rumah tiangga yang sering kali tidak

adil, serta tanpa kewajiban-kewajiban pengasuhan. Dengan kata

lain, Barbie bukanlah ikon perempuan tertindas yang tak mampu

berbuat apa-apa. Sebaliknya, Barbie mengambil alih tanda-tanda

subordinasi perempuan –perhatian pada tubuh, sikap yang selalu

manis, dan kepribadian yang menawan dalam segala hal— dan

mengubahnya menjadi sarana menuju kesuksesan, kebahagiaan,

kegembiraan, dan keglamoran.

Di sisi lain, Barbie adalah sosok istimewa. Dia, pertama-

tama, adalah sosok heteroseksual; berkulit putih seputih

gading-salju; berasal dari kelas menengah; Barbie bukan lagi

anak-anak, tapi juga bukan orang dewasa; bertubuh sehat tanpa

cacat. Kecuali, orientasi gendernya, Barbie berada dalam

kelompok tangan di atas atau setidaknya cukup dihargai dalam

masyarakat modern. Bahkan dengan orientasi gendernya itu

Barbie menjadi semajam Ratu Lebah. Barbie adalah gambaran

cukup sempurna atas sifat keistimewaan, bahwa gambaran ini

muncul pada 1959 bukanlah semata kebetulan budaya ataupun

sejarah; serta bahwa Barbie terus mewarnai secara mendasar, di

dalam dan di luar realitas masyarakat pasca-industrual dewasa

ini, juga bukan suatu kebetulan.

Dalam bukunya Black Feminist Though, Patricia Hill Collins

(1991) berbicara tentang matriks dominasi, sebuah susunan

hierarki sosial yang saling berkaitan dan berbeda satu sama

lain meskipun tetap saling mendukung dan memperkuat. Barbie

Page 7: barbie, ikon budaya konsumerisme

adalah sebuah ikon dalam matriks tersebut, yang muncul dari

orientasi gender, orientasi seksual dan ras, serta kelas

sosial sebagaimana juga dari usia dan kesempurnaan tubuh.

Kedudukan Barbie dalam berbagai hal, kecuali dalam salah satu

hierarki sosial ini, memberinya kesempatan untuk mengelak dari

praktik subordinasi serius yang berlangsung secara sistematis.

Dengan demikian, daya tarik barbie barangkali berasal dari

sifat-sifat istimewa yang ia representasikan, sebagaimana

kekerasan terhadap Barbie barangkali berasal dari berbagai

kebencian terhadap sifat keistimewaannya, terutama

keistimewaan yang diterimanya sebagai kodrat, namun malah

dipamer-pamerkan.

M.G. Lord (1994) melihat persamaan antara sosok Barbie

dan seorang pahlawan perempuan yang gagah berani, yang agak

mementingkan diri sendiri dan yang sangat bersifat subversif

dari tokoh Helen Gurley Brown. Ia menyatakan bahwa persamaan

ini membuat Barbie tampak sebagai sosok radikal yang

terselubung. Radikal atau tidak, yang pasti Barbie

merepresentasikan titik awal pandangan mistik feminin (feminine

mystique) tahun 1950-an, seperti dicatat oleh Betty Friedan pada

1963 dengan penuh warna dan nuansa, dalam sebuah bukunya

dengan judul yang sama. Konsep mistik feminin memberikan

sebuah warna tersendiri pada praktik subordinasi laki-laki

terhadap perempuan dengan mengagung-agungkan tempat tinggal

golongan kelas menengah sebagai tempat yang nyaman bagi

pemenuhan kebutuhan perempuan sebagai istri, ibu, dan desainer

interior. Bagi kebanyakan orang, seks dianggap sedemikiann

kotor. Seks hanya untuk mereka yang sudah menikah dengan

Page 8: barbie, ikon budaya konsumerisme

tujuan memberikan keturunan. Namun demikian, kebahagiaan

seorang perempuan bukan berasal dari kehidupan seksual mereka

atau apa pun, melainkan dari perkawinan mereka dengan seorang

kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab dan mengasuh

seorang anak berusia tiga tahunan dengan pipi merah dan hidung

yang tidak pernah beringus. Jika tetap membujang, terutapa

setelah melewati usia pertengahan dua puluhan, dianggap akan

membuat seorang perempuan menjadi tidak bahagia.

Pada tahun 1962 buku Brown, Sex and the Single Girl, memotong

tepat pada akar ideologi mistik feminin tersebut. Kalimat

pembuka buku ini mengungkapkan sebuah pendirian tanpa malu-

malu mengenai konsep hidup yang dianggap baik bagi perempuan

lajang, “Saya menikah pertama kali pada usia 37 tahun.”

Selanjutnya, Brown mengatakan bahwa perkawinan adalah tahun-

tahun terburuk dalam kehidupan Anda. Dalam tahun-tahun

terbaik, Anda tidak membutuhkan seorang suami. Siapa pun dia,

Barbie adalah boneka tahun-tahun terbaik tersebut. Ia

melambangkan kebebasan dan kegembiraan yang dapat dimiliki

seorang perempuan lajang jika ia memiliki keberanian dan uang.

Karya Brown juga mencakup sebuah bab mengenai “The Care and

Feeding of Everybody”. Para pembaca akan dicekam oleh sebuah

mentalitas mistik feminin dengan berpikiran bahwa bab tersebuh

berisi tanggung jawab sosial perempuan bujang. Dalam satu hal,

memang demikianlah kenyataannya, namun tanggung jawab seperti

ini sebenarnya hanya dijalankan di rumah dan seseorang secara

efisien dapat melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban semacam

ini. Sebagaimana dicatat oleh Molly McCaskill, dalam

pengertian besar mengenai berbagai hal, kecantikan Barbie

Page 9: barbie, ikon budaya konsumerisme

tampaknya ditujuan bukan untuk siapa-siapa, kecuali untuk

dirinya sendiri, bahkan meskipun hal itu merefleksikan

pandangan masyarakat mengenai apa yang dipahami laki-laki

sebagai kecantikan.

Dengan sikap independensinya, Barbie menyangkal pandangan

mistik feminin. Artinya, ia mengambil bagian dalam kedudukan

istimewa laki-laki dengan menjadi individu atas dirinya dan

bersumpah untuk berkorban demi sebuah aktualisasi diri. Laki-

laki dipandang sekadar mencari sesuap nasi bagi keluarganya,

sekadar berjuang untuk mencapai sukses atau sekadar berusaha

menjadi bujangan yang baik. Sebaliknya, perempuan dengan

perilaku yang sama sering kali dikecam sebagai perempuan yang

mementingkan diri sendiri. Tapi tentu saja Barbie lolos dari

penilaian buruk semacam ini. Barbie sama sekali tidak punya

keinginan bersombong diri. Ia mungkin dianggap ambisius dalam

pengertian dunia maskulin tradisional, namun yang pasti Barbie

mampu melakukan hal yang lebih baik ketimbang sekadar

menyodorkan tangannya meminta belas kasihan kepada orang lain.

Barbie justru memperdaya dengan feminitas yang tegas dan

memberikan dasar bagi penyimpangan sejumlah kode feminitas

yang tampaknya memang ingin diungkapkannya.

Ketika memasuki tahun-tahun masa remaja atau malah

sebelumnya, kebanyakan wanita heteroseksual memikirkan seorang

laki-laki atau pemuda sebagai pusat kehidupan mereka. Ketika

beranjak melewati masa pubertas menuju usia dewasa, seorang

gadis mulai menyadari bahwa popularitasnya di sekolah,

penampilannya yang feminin, serta banyak hal yang lain sangat

bergantung pada daya tariknya di mata teman laki-lakinya dan

Page 10: barbie, ikon budaya konsumerisme

hubungan khususnya dengan seseorang di antara mereka. Ketika

semakin sadar dengan orientasi heteroseksualnya, seorang gadis

mulai menghadapi tekanan untuk menjadikan teman laki-laki dan

kencan sebagai prioritas utama dalam hidupnya. Pada

gilirannya, ia akan semakin bayak memberi perhatian pada

ukuran dan bentuk tubuhnya, variasi dan isi lemari pakaiannya,

gaya rambutnya, serta riasan wajahnya. Barbie menyuarakannya,

meskipun agak melebih-lebihkan, kodrat kefemininannya seperti

ini. Ia memberikan kesempatan tanpa batas pada banyak gadis

yang memilikinya untuk mendandaninya, menyikat, dan menyisir

rambutnya; dan menempatkannya dalam berbagai situasi seperti

dalam kelas aerobik, di sekolah tari, atau di pusat

perbelanjaan.

Namun demikian, Barbie tidak terkait dengan bentuk-bentuk

aktivitas tipikal seperti ini. Pada akhirnya, tampak bahwa ia

juga tidak melibatkan perasaannya dalam hubungannya dengan

Ken, yang dengan berbagai cara telah berhasil memonopoli

perhatiannya. Barbie seolah memancarkan sebuah sikap

independensi yang menyimpang dari kode-kode feminitas utama.

Bahwa ia tetap membujang dan tidak punya anak bukanlah sosok

feminin yang normal. Fakta bahwa Barbie tidak memiliki suami

ataupun anak, bukan ditujukan bagi dirinya. Sebaliknya,

kondisi seperti ini membuat Barbie selalu terbuka untuk

berbagai interpretasi yang kadang kala bahkan saling

bertentangan. Interpretasi ini juga memperluas wilayah makna

ikon ini, dan dengan demikian juga cakupan konsumen yang dapat

digodanya.

Page 11: barbie, ikon budaya konsumerisme

Dalam wilayah pemaknaan budaya seperti itu, muncul

kemungkinan bahwa Barbie barangkali bukan sosok heteroseksual.

Bahkan, bisa jadi dia bukan perempuan. Barbie barangkali

sesosok Ratu Waria. Barbie barangkali adalah sosok ultra-

feminin yang dipersonifikasikan oleh figur Ratu Waria. Kakinya

yang sangat panjang dan pinggangnya yang ramping menegaskan

hal ini. Feminitas Barbie adalah sebuah feminitas yang cerdas,

namun sekaligus gemerlapan. Ikon feminin yang tegas dan unik

ini bahkan memiliki daya tarik yang besar di kalangan kaum

laki-laki gay. Dunia Barbie secara relatif terbebas dari paham

heterosentrisme dan heteroseksisme ini dan dengan demikian

memiliki daya tarik relatif bagi orang-orang nonheteroseksual,

terutama kaum laki-laki gay. Kaum lesbian, terutama mereka

condong untuk menolak sejumlah karakter utama dunia Barbie,

sebagaimana kaum biseksual yang barangkali menganggap

penampilan monoseksualitas Barbie tidak terlalu menarik.

Bagaimanapun juga, dunia barbie memang tetap memungkinkan

proses pembacaan yang menyimpang.

Sebagai ikon waria, Barbie menggambarkan apa yang telah

dikatakan oleh para pemikir feminis dan kritikus kebudayaan

selama bertahun-tahun. Dalam pengertian ini, Barbie

memperlihatkan bahwa feminitas adalah sebuah realitas yang

diciptakan. Jika Barbie dapat dipersonifikasikan dengan sosok

Ratu Waria sebagai contoh karakter feminitas yang

dikonstruksi, dia juga dapat menjadi ikon feminitas

nonheteroseksual. Pada titik ekstrem, barangkali Barbie adalah

sosok lesbian, perempuan biseksual yang pada suatu saat sangat

memperhatikan dan menjalin hubungan cinta dengan Ken namun

Page 12: barbie, ikon budaya konsumerisme

pada saat yang lain memilih berhubungan dengan Midge, teman

baiknya, atau Barbie barangkali adalah sosok aseksual. Dia

mungkin seksi, namun tidak harus menjadi seksual; menarik,

namun tidak harus tertarik dengan lawan jenisnya. Semua

kemungkinan ini memberikan ruang berbagai kisah bertema gay

dalam majalah Barbie Bazaar dan banyak media lainnya.

Meskipun semenjak tahun 1960-an, Barbie telah memiliki

banyak versi dari berbagai warna kulit dan selama 15 tahun

terakhir Barbie versi Afrika-Amerika, Asia, dan Hispanik telak

dipasarkan. Sedari lahir Barbie adalah boneka berkulit putih.

Meskipun ia telah berganti-ganti penampilan, misalnya, sebagai

gadis berambut coklat semenjak tahun 1959 dan kadang kala

muncul sebagai gadis berambut merah, Barbie pun sedari lahir

berambut pirang. Meskipun matanya bisa berubah warna secepat

warna rambutnya, pada dasarnya Barbie memiliki mata paling

biru yang begitu sulit diterka warnanya, sebagaimana pernah

digambarkan oleh Toni Morrison. Tidak peduli identitas rasial

atau etnik apa yang ia pergunakan, Barbie tetap lahir di depan

saya sebagai boneka perempuan berkulit putih, sebagai pemilik

status istimewa kulit putih serta sebagai bukti nyata dominasi

budaya kulit putih. Dengan kata lain, Barbie tampaknya hanya

memiliki sedikit kredibilitas sebagai boneka perempuan

berkulit hitam, Asia, pribumi Amerika, atau Hispanik.

Secara umum, kolektor adalah seseorang yang membeli

seluruh rangkaian boneka Barbie tanpa harus membeli boneka

Barbie versi kulit hitam, Hispanik, pribumi Amerika, atau

boneka-boneka yang secara rasial dan etnik layak dijual.

Artinya, setiap boneka Barbie di luar Boneka Seri Dunia (Dolls of

Page 13: barbie, ikon budaya konsumerisme

the World), selalu hadir dalam versi kulit putih, yang secara

rasial tidak terlalu diperhatikan dan secara luas dianggap

sebagai versi boneka yang telah diterima khalayak umum.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Billy Boy, misalnya, seri Basic

Barbie Doll Fashion Model yang dipasarkan tahun 1959 memuat teks

yang mengindikasi “Boneka Barbie Anda ini dibuat dari vinyl

plastik, yang putih dan kokoh” (ditambahkan penekanan). Lebih

jauh, dalam berbagai kasus, satu-satunya versi boneka Barbie

yang diterima khalayak umum adalah boneka Barbie versi kulit

putih dengan rambut pirang. Karenanya, gadis-gadis yang disewa

khusus, atau diberi penghargaan karena menjadi Barbie dalam

acara konvensi Barbie dan berbagai acara lainnya adalah gadis-

gadis berkulit putih. Bagi kebanyakan orang, Barbie yang

sesungguhnya atau autentik adalah Barbie berkulit putih.

Boneka-boneka lain dianggap sebagai yang lain, yang

diperlakukan sebagai sesuatu yang berbeda atau bahkan eksotis.

Kebangkitan sistem ekonomi konsumsi di Amerika Utara,

Eropa, dan Jepang, serta berbagai tempat lainnya di dunia

telah membawa konsekuensi semakin banyaknya orang yang

terlibat dalam aktivitas konsumsi secara besar-besaran.

Bahkan, di kalangan yang secara historis sebenarnya tidak

produktif atau belum produktif, orang-orang tersebut turut

tersedot ke mal-mal, restoran-restoran, bioskop, persewaan

video, tempat makan cepat saji, taman-taman hiburan, butik,

dan berbagai tempat lain yang dibangun sebagai tempat

aktivitas konsumsi. Artinya, bahwa para pensiunan dan anak-

anak muda, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun,

kini telah menjadi sasaran berbagai macam produk konsumsi.

Page 14: barbie, ikon budaya konsumerisme

Sebagai model busana remaja, Barbie dengan demikian

mempresentasikan pasar yang ditujunya. Pada saat yang sama,

Barbie juga melambangkan fenomena konsumerisasi anak-anak,

yaitu sebuah proses transformasi anak-anak menjadi konsumen

yang memiliki sejumlah ukuran otonomi tertentu sebagai

pembelanja dan pembeli.

Banyak anak perempuan melihat sebuah aktivitas konsumsi

yang tinggi dalam diri Barbie. Bagi mereka, Barbie

menyimbolkan kondisi ketersediaan berbagai hal yang bahkan

berlebih-lebihan dalam sistem konsumsi. Memiliki semua barang

Barbie seperti rumah Barbie, mobil-mobilan Barbie, dan

berbagai aksesoris lain yang berkaitan dengan Barbie bagi

kebanyakan anak perempuan melihatnya sebagai simbol status di

antara teman-temannya. Semakin lengkap dan banyak perlengkapan

Barbie yang dimilikinya, semakin tinggi pula statusnya.

Dari sudut pandang produsen Barbie, sebagaimana

dikemukakan Dick (seorang staf pengajar universitas, berusia

paruh baya, dan berkulit putih) bahwa Barbie memiliki

sekelompok teman dekat dan mimpi basah para produsen tentang

dewi-dewi yang bisa dimiliki yang tanpa Barbie semuanya

menjadi terasa kurang lengkap. Dick melihat Barbie sebagai

mesin uang yang luar biasa bagi para produsen. Darlene,

seorang pustakawan melihat Barbie sebagai titik awal praktik

strategi pemasaran yang menguasai pikiran anak-anak. Dengan

demikian, dia melihat Barbie sebagai bagian dan paket dari

proses konsumerisasi anak-anak. Proses konsumerisasi ini

meliputi praktik menjual Barbie sebagai benda koleksi bagi

anak-anak.

Page 15: barbie, ikon budaya konsumerisme

Barbie cenderung tampil sebagai sosok pembelanja

ketimbang kolektor. Apa yang ia peroleh selama bertahun-tahun

sangatlah fenomenal. Bahkan, seorang konsumen shop until you drop

sekalipun tidak cukup mudah ditekan untuk membeli lemari

pakaian yang lebih besar, lebih banyak peralatan rumah tangga,

semakin banyak peralatan olahraga dan waktu luang, semakin

banyak rencana perjalanan, atau lebih banyak binatang

peliharaan. Rebecca Ann Rupp dalam bukunya Treasury of Barbie Doll

Accessories 1961-1995 (1996), mencoba melakukan survei atas

berbagai perlengkapan yang ada dalam dunia Barbie. Dalam buku

itu, terdapat bab-bab mengenai rumah-rumah Barbie,

perlengkapan rumah tangga, kendaraan (termasuk kendaraan

darat, laut, dan udara), serta hewan peliharaan. Seperti

ditunjukan oleh Rupp, pilihan rumah-rumah Barbie sangatlah

beragam. Selama bertahun-tahun rumah-rumah tersebut memiliki

berbagai macam desain arsitektur, ukuran, dan harga seperti

halnya kebanyakan real estate. Rumah Barbie yang pertama, Dream

House, yang kemudian disusul oleh rumah Deluxe Dream House. Pada

1973, muncul Country Living Home; antara tahun 1974 dan 1979,

muncul sebuah rumah model perkotaan. Rupp menghitung bahwa

Barbie setidaknya meiliki 19 rumah, sementara keluarga dan

teman-temannya hanya memiliki lima rumah. Namun demikian, Ken

tidak memiliki rumah satu pun. Itu semua belum termasuk

beberapa ruangan dalam rumah Barbie yang dapat dibeli secara

terpisah.

Bahkan binatang-binatang Barbie ini juga memiliki

perlengkapan yang sangat banyak. Seekor anjing Afghan yang

bernama Beauty, semenjak tahun 1983 memiliki dua buah tenda

Page 16: barbie, ikon budaya konsumerisme

kecil, sebuah kalung leher, tiga buah rantai, sebuah mahkota,

sebuah tempat makanan anjing, sebuah topi, tiga buah pita,

sebuah sisir, dan sikat, dan juga tulang-tulang dan surat

kabar, dan lain-lain. Barbie juga memiliki sebuah mobil

Ferrari merah, Austin Healy, Classy Corvette, Porsche warna

putih, Mustang merah muda, dan Jaguar warna merah. Jennifer

King (1990) mencatat bahwa Barbie juga memiliki sekurang-

kurangnya satu mantel bulu. King menganggap Barbie sebagai

“ratu pengonsumsi dari plastik yang menyolok mata”. Secara

keseluruhan, Barbie tampaknya memiliki semua yang ada dalam

dunia impian, jika bukan realitas nyata, para konsumen

kalangan kelas menengah yang gemar berbelanja.

Kenyataan bahwa Barbie dipasarkan sebagai model busana

remaja dan bahwa dia dipasarkan untuk anak-anak perempuan

adalah dua buah kondisi yang membentuk status Barbie sebagai

ikon konsumerisme. Barbie memasuki sebuah dunia selama sebuah

periode ketika masa kanak-kanak dan dewasa ada dalam fase

perubahan. Kemunculan Barbie selama gerakan perjuangan hak

asasi manusia di kalangan masyarakat Afrika-Amerika dan puncak

gerakan feminisme pasca-Perang Dunia II barangkali bukanlah

sebuah kebetulan sejarah. Kesesuaiannya dengan budaya kelas-

menengah, lahirnya sistem perekonomian konsumsi yang dijejali

dengan kartu kredit. Subkultur anak muda, dan banyak hal

lainnya seolah sama bagusnya dengan kesesuaian desain gaun-

gaunnya.

Elliott West (1996) menyatakan bahwa boneka Barbie

mencerminkan lahirnya kemandirian, kemampuan membeli, dan

kekuatan anak-anak muda untuk memiliki barang-barang material.

Page 17: barbie, ikon budaya konsumerisme

Anak-anak muda kini mulai sadar untuk menjadi anggota sebuah

kelompok khusus dengan bahasa, musik, pakaian, dan waktu luang

milik mereka sendiri. Perusahaan-perusahaan seperti Mattel,

merupakan inovator yang membitik pasar anak-anak melalui iklan

televisi, adalah para pemain utama dalam proses konsumerisasi

anak muda. Anak-anak perempuan antara usia 6 sampai 9 tahun

tampaknya menjadi sasaran utama Mattel. Selama tahun 1960-an

anak-anak tersebut mulai beranjak remaja dan banyak di antara

mereka telah menjadi pekerja-pekerja remaja. Kecenderungan

tersebut mendapatkan pendorong pada dekade tahun 1990-an.

Semenjak tahun 1990-an, setengah hingga dua pertiga remaja

Amerika melakukan kerja paruh-waktu selama masa studi mereka.

West melaporkan bahwa lebih dari separuh dari semua pekerja

senior (dan hampir seperempat pekerja tahun kedua) bekerja

lebih dari 20 jam per minggu. Ia menyimpulkan bahwa para

pekerja remaja yang mewah tersebut, yang mencari uang untuk

hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti membuat tato di

tubuh dan membeli CD serta skateboard, telah memenuhi hasrat

konsumerisme yang kelaparan.

Namun demikian, para remaja saat ini mulai meninggalkan

permainan boneka. Jawaban Mattle menghadapi kondisi ini adalah

dengan memasarkan boneka-boneka untuk dikoleksi, termasuk

sejumlah boneka khusus remaja. Bahkan, seri koleksi anak-anak,

yang menampilka Barbie sebagai Cinderella, memiliki sasaran

pasar anak berusia tiga tahun ke atas. Orang tua mereka

mungkin yang memulai koleksi tersebut, namun Mattel

beranggapan bahwa ketika mereka nanti mulai memiliki

Page 18: barbie, ikon budaya konsumerisme

penghasilan sebagai remaja, banyak di antara mereka yang akan

melanjutkan menambah koleksi mereka.

Barbie membawa aktivitas konsumsi pada batasannya yang

tertinggi. Dunia Barbie, seperti dikatakan Don Richard Cox

(1977), adalah sebuah “miniatur utopia” yang muncul dari

sederetan panjang barang-barang konsumsi dari aktivitas waktu

senggang ketimbang dari perdamaian, harmoni, dan itikad baik

setiap orang. Helen Cordes (1992) menyatakan bahwa Barbie

telah mengkhotbahkan paham konsumerisme, dan dia bukan siapa-

siapa tanpa produk-produk yang dimilikinya. Erica Rand (1995)

melihat popularitas Barbie sebagai proses glamorisasi sebuah

karakter dengan sejumlah besar uang yang tidak akan pernah

habis, dan sejumlah besar barang mewah yang tak ada

bandingannya. Karenanya, Barbie tidak hanya menjadi ikon

konsumerisme, tetapi juga ikon materialisme, yakni penggunaan

barang-barang hak milik untuk menandakan dan membentuk jati

diri seseorang. Dia mengirimkan pesan-pesan meterialis sekuat

ikon-ikon yang lain yaitu “seseorang dinilai dari apa yang ia

miliki”.

Barbie secara ikonis berkaitan dengan kelas sosial,

terutama melalui aktivitas konsumsinya. Terlebih, Barbie

menunjuk pada sikap ambivalensi masyarakat Amerika Serikat

mengenai fenomena ketidaksetaraan kelas dan hasrat mereka

terhadap sikap membantu diri sendiri, prinsip untuk berusaha

sendiri sekuat Anda. Pada saat yang sama, Barbie juga

merupakan ikon masa kanak-kanak yang dibentuk oleh proses

perubahan sosial dan budaya era pasca-Perang Dunia II. Pada

akhirnya, Barbie juga membangkitkan makna yang mendalam

Page 19: barbie, ikon budaya konsumerisme

mengenai hubungan antara kelas dan masa kanak-kanak, yakni

hubungan antara perkembangan diri seseorang dengan kelas

sosial orangtua mereka dan juga hubungan antara pengasuhan

anak kondisi kelas sosial mereka saat ini. Status ikonis

Barbie juga menunjuk pada hubungan antara kerasnya masa kanak-

kanak kebanyakan masyarakat Amerika Serikat kejamnya struktur

kelas masyarakat Amerika Serikat.

Daya tarik Barbie yang sedemikian kuat barangkali juga

melibatkan hubungan masa kecil yang keras dan kejamnya

struktur kelas masyarakat Amerika. Suka atau tidak, sebagian

besar rakyat Amerika Serikat sadar bahwa banyak anak dalam

masyarakat mereka yang hidup dalam kemiskinan dan tidak

memiliki jaminan medis atau gizi yang baik meskipun tetap ada

anak-anak yang beruntung menikmati kebahagiaan masa kecil.

Barbie merepresentasikan impian kebanyakan rakyat Amerika

Serikat untuk dan mengenai anak-anak, meskipun masyarakat

mereka mengabaikan berjuta-juta anak yang lain. Barbie

sungguh-sungguh sehat dan energik; dia senantiasa merasa aman

dan terjaga; dia tidak memiliki ketakutan apa pun di dunia

ini. Ia memiliki apa yang tidak dimiliki kebanyakan anak.

Barbie tidak pernah tahu betapa kejam dan sewenang-wenangnya

struktur kelas yang ada. Ikon ini merepresentasikan sebuah

dunia tanpa kelas, tanpa kehidupan anak-anak yang menderita.

Namun demikian, pada akhirnya Barbie tetap tidak mampu

mentransedensi struktur kelas. Apa yang dilakukannya adalah

menyuarakan ambiguitas dan kontradiksi dalam dirinya sendiri.

Barbie bisa menjadi dokter anak atau polisi, astronot atau

guru, anggota militer atau balerina. Ikon ini dapat

Page 20: barbie, ikon budaya konsumerisme

menggenakan pakaian mencolok White Trash yang terkesan murahan

atau pakaian High Society. Barbie bisa mengendarai Harley

Davidson atay mobil Chevy mewah. Barbie adalah setiap orang

dari pegawai rendahan kelas menengah nawah, hingga profesional

kelas atas. Ia adalah simbol feminitas utama yang terentang

dalam masyarakat kelas menengah karena aktivitas konsumsi

merajalela dan kelas menengah adalah cermin bagaimana

kebanyakan orang mengidentifikasikan dirinya, baik apakah

mereka para pekerja rendahan ataupun profesional dengan gaji

tinggi. Barbie lebih dari sekadar sebuah ambiguitas. Dalam

masyarakat Amerika Serikat, ambiguitas Barbie begitu

mempesona, terutama ketika berkaitan dengan persoalan kelas

sosial, yang memperlihatkan bahwa kebanyakan rakyat Amerika

tampaknya memiliki bakat untuk mengabaikan kelas yang satu

dari kelas yang lain.

Barbie menyimbolkan kesuksesan sebuah perusahaan dalam

dunia pasar global dewasa ini. Umurnya yang panjang, pasarnya

yang luas, serta daya tariknya yang mendunia telah menjadi

alasan mengapa ia muncul di majalah Forbes dan Business Week serta

halaman-halaman bisnis surat kabar New York Times, The Time, dan

berbagai surat kabar di seluruh dunia. Barbie adalah sebuah

ikon kecerdikan perusahaan di era kemerosotan dan

restrukturisasi perusahaan sekaligus era kompetisi global.

Merujuk pada presiden dan CEO Mattel, Jill Barad, Barbie

adalah sebuah merek berkekuatan global.

Semenjak awal, Mattel hadir untuk mengambil peluang dalam

bisnis mainan anak-anak. Majalah Bussiness Week tahun 1961 memuat

artikel “It’s Not the Dolls, It’s the Clothes” yang menekankan besarnya

Page 21: barbie, ikon budaya konsumerisme

keuntungan dari banyaknya perlengkapan pakaian dan aksesoris

Barbie. Artikel ini menunjuk dengan tepat kemampuan Mattel

untuk tetap mengeruk keuntungan ketika seorang anak mulai

terpikat dengan dunia Barbie. Pada tahun 1991, Gretchen

Morgenson menyatakan bahwa Barbie telah menyumbang hampir

separuh dari nilai penjualan Mattle sebesar $1,4 miliar pada

tahun itu. Morgenson menyatakan, “Barbie tampak selalu muda

dan selalu populer. Ia adalah mainan merek dunia seperti

halnya Coca-Cola atau Marlboro, merek-merek yang senantiasa

sukses sepanjang masa.”

Dalam realitas budaya komoditi, ketergantungan anak-anak

kepada orang tua mereka kini semakin digantikan oleh

ketergantungan mereka kepada media dan objek-objek yang

didukung oleh kepentingan berbagai perusahaan. Kini semakin

gamblang bahwa anak-anak belajar mengenai banyak hal dalam

kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak dari birokrasi

berorientasi-keuntungan. Perusahaan-perusahaan ini menjalankan

bisnis bukan untuk menginspirasi imajinasi anak-anak ataupun

mendorong proses perkembangan mental dan diri mereka, tetapi

semata-mata untuk menarik anak-anak ini agar membeli produk

mereka.

Perusahaan-perusahaan seperti Mattel berdiri dengan

landasan anak-anak. Alex Molnar (1996) mengatakan bahwa anak-

anak kini telah menjadi penghasil uang tunai bagi perusahaan-

perusahaan semacam ini, yang motif keuntungannya dinyatakan

tidak dapat mewakili kepentingan anak-anak. Brian Sutton-Smith

(1986) mengamati anak-anak yang bermain dengan mainan

favoritnya, ia mengatakan bahwa sebuah mainan bisa menjadi

Page 22: barbie, ikon budaya konsumerisme

sebuah identitas anak tersebut dalam mengorganisasikan

tindakan dan pandangannya mengenai dunia. Tindakan dan

pandangan tersebut sering kali merefleksikan kurangnya

kebebasan anak-anak untuk berimajinasi dan kuatnya nilai-nilai

budaya yang ditanamkan dalam mainan favorit mereka. Mainan

seperti boneka Barbie, telah mendorong anak-anak untuk

berpikir tentang dunia orang dewasa, gender, kelas, dan

berbagai persoalan identitas dalam pengertian yang terlalu

sempit. Hampir setiap mainan yang ada di pasaran mendorong

pada tindakan mengonsumsi secara terus-menerus dalam seri

mainan yang ada sehingga membiasakan aktivitas konsumsi bagi

anak-anak, sama halnya seperti mengajarkan pada mereka dasar-

dasar tentang kehidupan orang dewasa.

Boneka-boneka fashion seperti Barbie dan boneka-boneka

laga seperti He-Man tampaknya memperkuat batasan gender yang

telah membatasi peta dunia seorang anak. Willis (1991)

mencatatbahwa mainan anak-anak dewasa ini telah semakin

mendorong praktik pembedaan seksual ketimbang apa yang

seharusnya terjadi. Yang menyedihkan adalah anak-anak

barangkali juga dibodoh untuk berpikir tentang perbedaan ras,

kelas, dan usia telah menciptakan jurang perbedaan sosial yang

tidak mungkin dipertemukan. Anak-anak dari keluarga kelas

menengah berada di puncak struktur, dan sering kali tidak

peduli atau jauh dari teman-teman sebaya mereka yang berasal

dari keluarga kelas di bawahnya.

Secara kultural, Barbie bergandengan tangan dengan citra

tubuh kontemporer yang dibentuk oleh paham konsumerisme,

hasrat-hasrat fantastis, dan teknologi baru pembentukan tubuh.

Page 23: barbie, ikon budaya konsumerisme

Ia menjadi simbol bagaimana tubuh menolah batasan-batasan yang

dahulu dipahami sebagai kodrat alam. Dengan demikian, Barbie

adalah ikon konsumerisme somatis yang baru lahir, yakni sebuah

teknologi pembentukan tubuh yang digerakkan oleh keyakinan

bahwa tubuh bisa menjadi apa pun yang kita inginkan hanya

dengan memberikan cukup uang dan perhatian terhadapnya.

Perkembangan ini kemudian menjadikan tubuh sebagai instrumen

aerobik, objek bedah plastik, eksperimen diet, dan sebongkah

daging yang siap dibentuk secara terus menerus.

Erving Goffman dan para pemikir sosial pasca Perang Dunia

II lainnya melihat era ini sebagai era berkuasanya penampilan,

manaheman impresi, dan konsep jati diri yang mengambang. Namun

demikian, secara umum, para pemikir ini kurang memadai dalam

memandang persoalan diskriminasi karena usia dengan

hubungannya dengan proses pembentukan jati diri yang

menegaskan krisis identitas dalam hidup seseorang. Sementara

itu, ikonisitas Barbie menjadi peringatan tidak hanya mengenai

konsep tubuh plastik yang bisa diubah-ubah secara terus-

menerus, namun juga mengenai citra kemudaan abadi seperti yang

dijanjikan oleh sifat plastisitas tubuh Barbie. Dengan kata

lain, Barbie adalah penjelmaan praktik disiplin tubuh. Namun

demikian, tubuh Barbie sekaligus juga menggambarkan citra

kemudaan yang fantasinya telah membawa konsumennya untuk

membeli segala sesuatu mulai dari megavitamin hingga minoxidil

serta berbagai obat pencegah kebotakan. Dalam berbagai hal,

Barbie seolah-olah adalah impian citra kemudaan yang terus

bisa diperbarui yang menjadi kenyataan.

Page 24: barbie, ikon budaya konsumerisme

Goffman menekankan bahwa dengan kehadiran orang lain,

kita tidak lagi dapat berdiam diri. Dengan demikian ia merujuk

pada sifat ekspresi tubuh yang senantiasa terbuka. Goffman

menyebut ekspresi tubuh sebagai “perilaku” (demeanor), yakni

pakaian, aksesoris, sikap, pandangan, dan tanda-tanda tubuh

lain yang mengomunikasikan karakter individu tertentu.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kaja Silverman (1994), “Pakaian

dan berbagai perhiasan telah membuat tubuh manusia bisa

terlihat secara budaya.” Kondisi demikian memberikan pengaruh

terhadap munculnya hasrat kemewahan dalam sejarah umat

manusia, sebagaimana juga dengan munculnya apa yang disebut

sebagai “moralitas kemewahan”. Lebih jauh, pakaian dan

perhiasan telah menempatkan tubuh manusia dalam sebuah matriks

makna budaya yang penuh sesak dan terbangun di sekitar peran

dan status; karakter dan kelas; gender dan seksualitas; ras

dan usia.

Banyak studi yang menunjukkan bahwa penampilan dan

berbagai variabelnya sangat mempengaruhi popularitas, kepuasan

diri, perekrutan dan promosi jabatan, kencan, dan lain-lain.

Siasat politik perilaku dengan demikian telah merembes ke

dalam setiap sisi kehidupan modern dan paling tajam

menampakkan dirinya di kalangan kelas menengah yang “gila”

status. Sebagaimana kebanyakan siasat politik, siasat politik

perilaku juga berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan untuk

menggoyang dan menonjolkan diri, menggoda dan memamerkan diri,

menahan dan mengabaikan, serta kekuasaan untuk membangun harga

diri dan kerelaan. Namun demikian, dalam pengertian luas,

Page 25: barbie, ikon budaya konsumerisme

siasat politik perilakku merujuk pada kekuasaan untuk membeli,

dengan kata lain, kekuasaan uang dan kekuasaan kartu kredit.

Dunia Barbie adalah juga sebuah dunia percintaan dalam

pengertian yang lebih luas. Dunianya adalah dunia percintaan

konsumerisme yang secara luas dijajakan dalam budaya komoditi.

Romantisme yang lebih luas ini muncul di sekitar gagasan bahwa

konsumen dapat membeli jalan keluar dari hampir semua

pengalaman tidak menyenangkan mereka seperti, kebosanan,

kesendirian, kegelisahan, ketakutan, dll. Apa pun yang tidak

diinginkan seseorang dalam dunianya dapat dihindari,

setidaknya untuk sementara, dengan tunai ataupun menggunakan

kartu kredit.

Ketidaknyamanan perempuan terhadap tubuh mereka, sangat

sempurna dalam dunia bisnis. Banyak industri yang mendukung

ketidaksukaan tersebut seperti industri kecantikan, fashion,

diet, dan fitness. Orang barangkali bisa menyebut hal ini

sebagai industri fantasi yang merajut cerita-cerita percintaan

dan menjanjikan hasil yang juga fantastis. Dalam sistem

ekonomi, hasrat ini kemudian tidak mengejutkan bahwa sejumlah

perempuan berusaha untuk mengubah penampilan untuk mengubah

kehidupan.

Banyak orang menyatakan bahwa pengamatan terhadap roman

konsumerisme seperti meributkan sesuatu yang sepele. Mereka

memandang Barbie sebagai sosok lemah, sama halnya ketika

mereka memandang model fashion remaja yang begitu ramping di

dalam majalah-majalah remaja-dewasa sebagai sosk-sosok yang

tidak membahayakan. Lebih dari itu, mereka mengatakan,

Page 26: barbie, ikon budaya konsumerisme

“Barbie hanyalah sebuah boneka mainan anak-anak dan kaum

perempuan tahu bahwa foto-foto fashion menggunakan teknik air

brushing atas semua kosmetik dan pencahayaan yang dibuat untuk

menciptakan citra dunia-lainnya.” Wolf (1992) menolak

pandangan semacam ini dengan mengatakan, “Bahaya citra-citra

ini bukanlah bahwa mereka hadir, melainkan bahwa citra ini

berkembang dengan mengorbankan kebanyakan citra dan cerita

lain mengenai pahlawan-pahlawan perempuan, model-model acuan,

musuh-musuh, orang-orang eksentrik, pelawak, pengkhayal, dewa-

dewa seks, serta orang-orang yang suka mengolok-olok.. Jika

ikon model fashion anoreksi adalah salah satu citra umum dari

sejumlah citra gadis-gadis muda menemukan ratusan pilihan

pandangan mengenai masa depan yang paling liar dan menggoda,

ikon tersebut tidak akan memiliki kekuatan untuk menyakiti

diri mereka; skenario fashion dan kecantikkan akan menjadi

sumber kebahagiaan dan godaan yang pasti bagi kehidupan dalam

tubuh perempuan.”

Wolf mengingatkan kita bahwa keglamoran merefleksikan

kemampuan manusia untuk memikat orang lain dan dalam dirinya

tidak bersifat destruktif. Dengan demikian, Barbie berdiri

sebagai sebuah ikon dari karakteristik ambigu yang semakin

meningkat dalam kebudayaan komoditi, tempat segala sesuatu

diubah dan diterjemahkan secara visual dan sebaliknya mampun

mengguncang realitas yang merentang di luar tubuh dan tingkah

lakunya. Budaya komoditi memperdalam kekayaan artefaktual

tubuh pada titik tubuh menjadi metaforikal secara samar-samar.

Pada saat yang sama, budaya komoditi memberikan jalan menuju

konsep diri plastik. Sebagaimana ditunjukkan Schouen (1991),

Page 27: barbie, ikon budaya konsumerisme

budaya komoditi membawa kita untuk melihat berbagai belanjaan

dengan sebuah mata menuju diri yang memungkinkan. Budaya

pasca-industrial, budaya yang didorong oleh media membentuk

konsep jati diri dengan menjadikannya sebagai komoditi

meskipun kompleks dan sulit dipahami, yang tersedia di pasar

dunia. Budaya pasca-industrual mengawinkan konsumerisme dan

jati diri. Budaya ini mengharamkan perceraian atau bahkan

pemisahan di antara keduanya. Barangkali, perkawinan tersebut

melibatkan ambivalensi sebanyak ambiguitas di dalamnya.

Barbie menghadirkan suatu bentuk pribadi yang

kontemporer, yang dipandang beberapa pihak sebagai pribadi

yang mengundang kecaman, sedangkan di pihak lain dipandang

sebagai pribadi bebas. Pribadi yang dimilikinya selalu

berubah-ubah, suatu bentuk diri yang selalu terikat pada

konteks yang dijalaninya, yaitu suatu konteks yang selalu

berubah sesuai dengan situasi dari waktu ke waktu, dan dari

aturan ke aturan. Identitas Barbie terletak pada suatu

landasan yang tidak terikat pada suatu pakem tertentu. Kita

tahu apa yang ia lakukan, kita tahu bagaimana penampilannya,

kita tahu apa yang akan ditampilkan. Pada akhirnya, Barbie tak

dapat dicapai. Barbie adalah tetangga sebelah rumah yang

berusaha terus kita kenali dengan lebih baik. Ia adalah

seorang teman kerja yang tak asing bagi kita, namun bukan

merupakan kawan. Ia adalah seorang pengasuh anak yang

penilaiannya dapat kita percayai, namun kehidupan pribadinya

tidak kita ketahui. Barbie menghadirkan suatu bentuk

interaksi, seperti juga bentuk selfhood ascendant dalam masyarakat

pasca-industrial dengan budaya komoditi yang mereka miliki.

Page 28: barbie, ikon budaya konsumerisme

Segala yang ada pada Barbie merupakan bentuk pribadi yang

berpusat pada tubuh. Bentuk pribadi ini semakin dimanjakan

dengan adanya berbagai perkembangan pesat pada teknologi,

terutama teknologi yang berada di balik kantor ahli bedah

plastik. Ia menghadirkan bentuk kepribadian plastik. Yang

paling penting sebagai suatu ikon, pertumbuhan pesat Barbie

tak dapat lepas dari unsur ambiguitas.