1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Status gizi adalah suatu keadaan gizi seseorang sebagai hasil dari metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi atau zat makanan sehari-hari. Status gizi yang baik terjadi apabila tubuh memeroleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang optimal (Almatsier, 2001). Asupan gizi yang tidak tercukupi akan berakibat terhambatnya proses tumbuh kembang otak, terutama pada periode kritis, yaitu sampai usia tiga tahun. Tiga tahun pertama merupakan masa yang sangat sensitif yang sangat menentukan perkembangan otak dan kehidupan seorang anak di masa mendatang. Pada umur tiga tahun, otak sudah tumbuh begitu pesatnya, terjadi proliferasi sel-sel otak dan akumulasi long chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs) serta terjadi mielinisasi, pertumbuhan dendrit dan sinaps sehingga terbentuk jaringan otak yang kompleks. Dengan adanya stimulasi yang baik, pembentukan otak diusia ini bisa mencapai 80%. Setelah usia tiga tahun, perkembangan otak akan mengalami perlambatan, sehingga apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Status gizi adalah suatu keadaan gizi seseorang sebagai hasil dari
metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi atau zat makanan sehari-hari. Status gizi
yang baik terjadi apabila tubuh memeroleh cukup zat-zat gizi yang digunakan
secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang optimal
(Almatsier, 2001).
Asupan gizi yang tidak tercukupi akan berakibat terhambatnya proses
tumbuh kembang otak, terutama pada periode kritis, yaitu sampai usia tiga tahun.
Tiga tahun pertama merupakan masa yang sangat sensitif yang sangat menentukan
perkembangan otak dan kehidupan seorang anak di masa mendatang. Pada umur
tiga tahun, otak sudah tumbuh begitu pesatnya, terjadi proliferasi sel-sel otak dan
akumulasi long chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs) serta terjadi
mielinisasi, pertumbuhan dendrit dan sinaps sehingga terbentuk jaringan otak
yang kompleks. Dengan adanya stimulasi yang baik, pembentukan otak diusia ini
bisa mencapai 80%. Setelah usia tiga tahun, perkembangan otak akan mengalami
perlambatan, sehingga apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi
yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan
pertumbuhan badan terganggu, jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi
pematangan yang kurang serta ketidaksempurnaan organisasi biokimiawi dalam
otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak.
Secara nasional masalah gizi utama yang ada saat ini adalah kekurangan
energi dan protein (KEP), kekurangan vitamin A (KVA), anemia gizi besi (AGB),
dan gangguan akibat kurang yodium (GAKY). UNICEF 2009 melaporkan bahwa
prevalensi gizi buruk di Indonesia dengan indikator berat badan per tinggi badan
sebesar 2.8 juta (13.6%), dan dengan indikator berat badan per umur yaitu sebesar
3.8 juta (18.4%), serta dengan indikator tinggi badan per umur sebesar 7.6 juta
(36.8%).
2
Prevalensi gizi buruk balita di Indonesia menurut data WHO 2009
menduduki peringkat ke 36 dari 193 negara anggota dengan indikator berat badan
per umur sebesar 19.6%. Tahun 2010 prevalensi gizi buruk balita di Indonesia
sebesar 17.5%, dengan indikator berat badan per umur, sedangkan dengan
indikator tinggi per umur, prevalensi gizi buruk balita sebesar 35.6%. Menurut
Departemen kesehatan tahun 2004, Indonesia tergolong negara dengan status
kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (28,47%) dari 17.983.244 balita di
Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung
meningkat pada tahun 2005-2006. Prevalensi anak balita gizi kurang dan buruk
turun 0,5% dari 18,4% pada 2007 menjadi 17,9% pada 2010. Berdasarkan
RISKESDAS 2010, prevalensi gizi kurang balita sebesar 13%,dan prevalensi gizi
buruk sebesar 4.9% dengan indikator berat badan per umur.
Hasil RISKESDAS 2010 menyatakan angka kejadian gizi kurangpada
balita di Kota Palembang sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan
indikator berat badan per umur. Laporan dalam profil kesehatan Kota Palembang
tahun 2007 menjelaskan bahwa angka gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4%
menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka KEP total tahun 2007
adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih
tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding dengan tahun 2006 yaitu 4% dan
balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12% bila dibanding tahun 2006
terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada tahun 2008 dari 144
ribu balita di kota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang gizi atau berada
dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil pantauan di 889 posyandu
aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk Kota Palembang, angka kurang gizi
pada balita juga masih tegolong tinggi. Pada tahun 2010, angka kejadian gizi
buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi gizi buruk tertinggi terjadi di
wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8 kasus (33,3%). Angka kejadian
gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di
wilayah Kecamatan Ilir Timur 1 sebanyak 143 kasus.
Timbulnya masalah gizi menurut United Nations Children Fund’s
(UNICEF) 2010 terdapat dua penyebab langsung gizi buruk, yaitu intake zat gizi
(dari makanan) yang kurang dan adanya infeksi. Kedua penyebab langsung
3
tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yang merupakan penyebab tidak langsung,
yaitu ketersediaan pangan keluarga yang rendah akibat dari rendahnya pendapatan
keluarga, perilaku kesehatan (termasuk pola asuh atau perawatan ibu dan anak)
yang tidak benar, serta pelayanan kesehatan dan lingkungan yang buruk.
Karakteristik anak yang meliputi usia, jenis kelamin, dan berat badan lahir
berpengaruh terhadap status gizi seorang anak. Azrimaidaliza 2008 menyatakan
bahwa semakin tinggi usia anak maka semakin tinggi proporsi gizi kurang pada
anak tersebut. Begitu juga dengan jenis kelamin, proporsi gizi kurang pada anak
laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan. Anak yang mempunyai berat
badan lahir <2,5 kg mempunyai peluang menderita gizi kurang 2,903 kali (95%
CI) dibandingkan anak dengan berat badan lahir ≥ 2,5 kg.
Hal lain yang juga dapat mempengaruhi status gizi seorang anak adalah
pola asuh gizi. Pola asuh gizi mempunyai berbagai aspek kunci diantaranya
berupa praktek menyusui atau pola pemberian ASI dan pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) (Zeiltin, 2000). Hasil penelitian Dadang Rosmana
(2003), menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna antara pola asuh
gizi dengan status gizi anak.
Karakteristik keluarga yang meliputi usia orang tua, tingkat pendidikan,
pengetahuan gizi, pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan sebagainya
juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan status gizi
seseorang, karena karakteristik keluarga ini berkaitan erat dengan asupan zat gizi.
Asupan zat gizi yang tidak mencukupi bila berlangsung dalam jangka waktu yang
lama akan menimbulkan masalah gizi.
Diperkirakan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan
salah satu penyebab terjadinya kejadian masalah gizi pada anak karena tingkat
pendidikan formal erat hubungannya dengan penerapan praktik gizi dan kesehatan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekal pengetahuan yang diperoleh dibangku
pendidikan formal, orang akan lebih mudah untuk menyerap dan kemudian
memutuskan suatu inovasi tidak terkecuali di bidang gizi dan kesehatan (Puji
astutik, 2011)
Selain itu, yang juga termasuk dalam karakteristik keluarga adalah jumlah
anggota keluarga dalam suatu keluarga. Semakin banyak anak balita dalam suatu
4
rumah tangga akan memberikan dampak negatif yang semakin berpengaruh
terhadap pola pertumbuhan anak balitanya (Jus’at, 2001)
Pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas makanan yang disediakan dalam keluarga, hal ini berhubungan dengan
daya beli keluarga. Ani Andriyani (2010) menyatakan bahwa tingkat pendapatan
yang rendah akan mengakibatkan rendahnya daya beli pangan rumah tangga dan
dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan zat gizi balita. Penelitian
yang dilakukan di Egypt, Alexandria menyatakan bahwa sosial ekonomi keluarga
sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.
Penyakit infeksi merupakan penyebab langsung pada masalah gizi.
Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap
keadaan gizi anak. Sebagai reaksi pertama akibat adanya infeksi adalah
menurunnya nafsu makan anak yang bearti bahwa kekurangan masukan (intake)
zat gizi ke dalam tubuh anak. Keadaan berangsur memburuk jika infeksi disertai
muntah yang mengakibatkan hilangnya zat gizi. Penyakit yang tidak menguras
cadangan energi sekalipun, jika berlangsung lama dapat mengganggu
pertumbuhan karena menghilangnya nafsu makan anak (Arisman, 2004). Karlina
Nurcahyo (2010) mendapatkan penyakit infeksi yang sering diderita oleh balita
yaitu diare sebesar 40,7% dan ISPA sebesar 37%.
Lingkungan tempat tinggal juga merupakan salah satu faktor yang
berperan dalan status gizi anak. Anak balita sebagai golongan yang rentan akan
mudah terserang penyakit bila lingkurang rumah kotor yang memungkinkan
berkembang biaknya penyakit menular. Soekirman dan badan pusat statistik
(BPS) 1995 menyatakan bahwa keadaan rumah dan lingkungan akan
mempengaruhi status gizi anak balita.
Tingginya prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia, khususnya di
Kota Palembang Kecamatan Seberang Ulu I inilah yang menjadi alasan untuk
dilakukannnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
anak balita terutama usia 6-36 bulan.
5
1.2. Rumusan masalah
Bagaimana status gizi anak usia 6-36 bulan di Kota Palembang dan apa saja
faktor-faktor yang mempengaruhinya?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui status gizi anak usia 6-36 bulan di Kota Palembang Kecamatan
seberang Ulu I dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi status gizi anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang
Ulu I Kota Palembang.
2. Mengidentifikasi karakteristik anak (umur, jenis kelamin, berat badan
lahir) usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.
3. Mengidentifikasi karakteristik keluarga (jumlah anak, pendapatan per
kapita, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, umur orang
tua,, pengetahuan ibu ) yang memiliki anak usia 6-36 bulan di Kecamatan
Seberang Ulu I Kota Palembang.
4. Mengidentifikasi pola asuh gizi (Asi eksklusif, MP-ASI) keluarga yang
memiliki anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota
Palembang.
5. Mengidentifikasi penyakit infeksi (Diare, ISPA) pada anak usia 6-36
bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.
6. Mengidentifikasi keadaan lingkungan tempat tinggal di Kecamatan
Seberang Ulu I Kota Palembang.
7. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak, karakterisktik keluarga,
pola asuh anak, penyakit infeksi dan keadaan lingkungan dengan status
gizi anak usia 6-36 bulan Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.
6
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Melalui penelitian ini diharapkan akan diketahui faktor-faktor apa saja
yang berperan dalam mempengaruhi status gizi anak usia 6-36 bulan.
2. Manfaat Praktis
1. Digunakan sebagai bahan masukan untuk upaya perbaikan gizi.
2. Digunakan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya.
1.5.Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak
usia 6-36 bulan yang akan dilakukan kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya dalam hal waktu, lokasi, dan sampel penelitian.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status gizi
2.1.1. Pengertian
Hadisiswanto dan Winarto (2001) status gizi adalah keadaan gizi
seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang itu normal atau
bermasalah (gizi salah) yang merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh kekurangan / kelebihan dan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan
untuk pertumbuhan, kecerdasan dan aktivitas / produktivitas. Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaaan zat-zat gizi
(Almatsier, 2002).
Status gizi ditentukan oleh dua hal yaitu terpenuhinya semua zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh dari makanan dan peranan faktor-faktor yang menentukan
besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat- zat gizi. Zat gizi adalah
ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya. Ada tiga fungsi
utama zat gizi, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan
serta mengatur proses-proses kehidupan. Kebutuhan tubuh akan zat gizi
ditentukan oleh beberapa hal yaitu tingkat metabolisme, tingkat pertumbuhan,
aktivitas fisik, perbedaan daya serap dan penghancuran zat gizi tersebut dalam
tubuh (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).
Dalam pembahasan status gizi baik untuk perorangan ataupun kelompok, ada
tiga konsep yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan yang perlu dipahami.
Ketiga konsep tersebut adalah :
1. Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui
proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolism
dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan, fungsi organ
tubuh, dan produksi energi. Proses ini disebut gizi (nutrition).
2. Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara masukan gizi disatu
pihak dan pengeluaran oleh organisme dipihak lain disebut “nutriture”
8
3. Tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh “nutriture” yang
terlihat melalui variabel tertentu sehingga disebut sebagai status gizi
(nutritional status).
Oleh karena itu dalam merujuk status gizi seseorang perlu disebutkan variabel
yang digunakan dalam penentuan, misalnya tinggi badan atau variabel
pertumbuhan lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan
status gizi disebut indikator status gizi.
Terjadinya gizi salah (malnutrition), merupakan kondisi adanya gangguan
perkembangan atau fungsi akibat kekurangan atau kelebihan energy dan atau
asupan zat gizi dalam waktu lama. Ketika distribusi makanan kurang dan
populasi besar, umumnya terjadi keadaan kurang gizi (undernutrition), yang
menyebabkan timbulnya penyakit kekurangan gizi, seperti goiter (akibat
kekurangan iodium) dan xerophthalmia (gangguan mata akibat asupan vitamin A
yang kurang). Sebaliknya, apabila distribusi makanan berlebih dapat
menimbulkan penyakit kronis akibat gizi lebih, seperti diabetes (Wardlaw, 1999).
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih
zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi
dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan.
Baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih terjadi gangguan gizi
(Almatsier, 2002). Menurut Depkes (2003), keadaan gizi kurang disebut juga
Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kekurangan gizi yang disebabkan
tubuh kekurangan energy dan protein dalam makanan sehari-hari.
Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer
adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas atau kualitas yang
disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan,
kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua
faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah
makanan dikonsumsi (Almatsier, 2002)
9
Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat gizi apa yang
kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan
kualitas) menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan, produksi tenaga,
pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak serta perilaku (Almatsier, 2002).
Kurang gizi,terutama kurang energy dan protein tingkat berat mengakibatkan
dua sindrom utama, yaitu kwashiorkor dan marasmus. Kwashiorkor dapat terjadi
pada anak atau akhir masa anak. Pada usia dewasa yang kelaparan, khususnya
wanita dapat juga menderita sindrom ini tapi jarang terjadi. Sedangkan
marasmus, umunya terjadi karena kurang gizi tingkat berat, yaitu sangat kurang
konsumsi, protein maupun kalori. Sindrom ini dapai dialami oleh semua umur,
termasuk dewasa, tapi paling banyak terjadi pada tahun pertama kehidupan. Hal
ini berbeda dengan kwashiorkor yang biasanya dialami anak umur 1-3 tahun
(Jellife, 1989).
2.1.2 Status Gizi Anak
Periode dramatis dari pertumbuhan anak kadang-kadang mengacu pada
periode kritis karena karena karakteristik fisik hasil pertumbuhan normal.
Pertumbuhan tersebut terbagi menjadi 3 tahap, yaitu hiperplasia, hyperplasia dan
hipertropi kemudian hipertropi. Fase pertama adalah hiperlasia, terjadi
peningkatan jumlah sel secara signifikan. Aspek gizi merupakan hal yang penting
dalam perkembangan organ. Zat gizi yang tidak adekuat mengakibatkan
pembentukan sel yang sedikit dibandingkan normal pada otak atau bagian tubuh
lainnya. Pemberian suplementasi zat gizi setelah fase ini dapat memperbaiki
penurunan dalam jumlah sel selama periode kritis. Pada fase kedua, selama
peningkatan jumlah, sel juga mulai mengingkat dari segi ukuran. Kombinasi
pertumbuhan dalam jumlah dan ukuran disebut hiperlasia dan hipertropi. Tahap
terakhir adalah hipertropi, dimana sel hanya meningkat dari segi ukuran (Mc
Williams, 1993).
Pada waktu lahir, bayi mempunyai berat badan sekitar 3 kg dan panjang badan
50 cm. Triwulan pertama usia bayi, kecepatan bertambahnya berat badan maupun
panjang badan lebih cepat dibandingkan triwulan kedua, triwulan kedua lebih
cepat dibandingkan triwulan ketiga. Pada umur 5-6 bulan,berat badan bayi sudah
10
mencapai dua kali, dan umur 12 bulan sudah 3 kali berat badan lahir. Sedangkan
pada tahun-tahun berikutnya kenaikan berat badan tidak cepat lagi, kurang lebih 2
kg tiap tahunnya. Begitu juga dengan pertambahan panjang badan lebih cepat
pada tahun pertama dibandingkan tahun-tahun berikutnya (pudjiadi, 1997).
Kelompok umur bayi dan anak termasuk dalam kelompok rentan gizi yaitu
kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, bila suatu
masyarakat terkena kekurangan penyediaan bahan makanan. Pada kelompok
umur ini menunjukkan proses pertumbuhan pesat sehingga memerlukan zat-zat
gizi yang ralatif besar jumlahnya. Disamping itu, kelompok umur anak-anak
terutama umur dibawah lima tahun (balita) merupakan kelompok umur yang
paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2000).
Jellife (1989), menyatakan bahwa di lingkungan tradisional, insiden
kwashiorkor biasanya terjadi pada dua tahun kehidupan ana karena dampak
kumulatif dari masa penyapihan (weaning period). Pada umur tersebut merupakan
periode bahaya (danger period), disamping faktor makanan, adanya penyakit
infeksi, psikologi, budaya dan faktor kondisi lainnya yang berperan dalam
pertumbuhan anak.
Trans dalam Mahan (2000), menyatakan tiga tahun pertama kehidupan
ditandai dengan pertumbuhan fisik dan social serta perkembangan yang cepat,
yaitu suatu periode dimana banyak perubahan yang dipengaruhi oleh pemberian
makanan dan asupan gizi. Asupan gizi anak yang adekuat akan mempengaruhi
interaksi mereka dengan lingkungannya. Anak yang sehat mempunyai energy
untuk merespon dan belajar dari rangsangan lingkungannya dan berinteraksi
dengan orang tua dan orang lain.
Anak yang mengalami gizi kurang lebih pendek dan berat badannya kurang
dibandingkan dengan anak gizi baik. Kecepatan pertambahan berat badan lebih
terpengaruh dibanding pertambahan tinggi badan, tapi jika defisit zat gizi yang
berat dan terus berlanjut dalam waktu lama, pertumbuhan linier akan terganggu
atau berhenti dan maturasi pubertas dan menutupnya epiphyseal menjadi tertunda.
Pertumbuhan linier tertunda akibat asupan energi adekuat tapi asupan protein
kurang. Berat badan terpengaruh bila asupan energy berkurang sehingga
pertumbuhan linier terganggu. Anak dari keluarga dengan pendapatan rendah
11
konsumsi makanannya kurang dan juga kurang energy dan zat gizi total dibanding
anak dari keluarga dengan pendapatan besar. Kemudian studi tentang status gizi
menunjukkan bahwa anak dari keluarga tersebut lebih pendek dan berat badannya
kurang dibanding anak dari keluarga dengan pendapatan besar (Pipes, 1993).
2.2 Kebutuhan Gizi Anak
ASI sebagai makanan alamiah adalah makanan yang terbaik yang dapat
diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya. ASI dengan
komposisi yang unik diciptakan sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang bayi
manusia. Hal ini karena ASI mempunyai banyak keunggulan, seperti kandungan
gizi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung
bermacam-macam zat anti baik yang seluler maupun yang humoral, sehingga
morbiditas bayi dan mortalitas bayi yang minum ASI lebih rendah daripada yang
minum susu formula,mendekatkan hubungan ibu dan bayi, sehingga menimbulkan
perasaan aman bagi bayi. ASI juga mengandung hormon-hormon misalnya
ACTH, TRH, TSH, EGF, prolaktin, kortikosteroid, prostaglandin, dan lain-lain.
Jika ASI diberikan secara baik dan benar dapat mencukupi seluruh
kebutuhan bayi sampai berusia 6 bulan. Setlah 6 bulan sampai dengan 12 bulan,
ASI saja memnuhi kebutuhan bayi sebanyak 60-70% sehingga Swalaupun bayi
memerlukan makanan selain ASI (MP-ASI), ASI masih merupakan utama. MP-
ASI diberikan secara adekuat agar tidak terjadi kurang gizi. Setelah satu tahun,
ASI hanya memenuhi sekitar 30% kebutuhan bayi namun tetap dianjurkan
pemberiannya sampai paling kurang 2 tahun karena keuntungannya (Suradi,
2003).
Pada kelompok umur bayi (0-1 tahun), kebutuhan akan zat-zat gizi adalah
yang paling tinggi, bila dinyatakan dengan satuan berat badan. Hal ini
dikarenakan bayi sedang dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat. Bayi
yang lahir sehat dengan berat badan normal sekitar 2,5-3,5 kg akan mencapai
kelipatan berat badannya dalam waktu enam bulan. Kebutuhan akan zat gizi,
yaitu energy 100-110 kal/kg berat badan (BB) sehari dan protein 3-4 gram/kg
berat badan sehari. Mineral kalsium dan phosphor juga penting bagi bayi untuk
pertumbuhan tulang kerangka. Untuk vitamin D, bagi bayi yang tinggal di daerah
12
tropic dapat terpenuhi bila bayi tersebut cukup terkena sinar matahari
(sediaoetama, 2000).
Kebutuhan zat gizi anak merupakan refleks dari kecepatan pertumbuhan,
pengeluaran energy untuk aktifitas, kebutuhan basal metabolic dan interaksi zat
gizi yang dikonsumsi. Kebutuhan zat gizi yaitu energi pada umur 0-5 bulan
adalah 108 kal/kg BB sehari dan protein 2,2gr/kg BB, umur 5 bulan sampai 1
tahun adalah 98 kal/kg BB dan protein 1,6 gr/kg BB dan umur 1-3 tahun adalah
102 kal/kg BB dan protein 1,2 gr/kg BB (Trahms dalam mahan, 2000).
Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari),
golongan umur 0-6 bulan dengan berat badan 5,5 kg dan panjang badan 60 cm,
energy yang dibutuhkan sebesar 560 kkal dan protein 12 gr. Golongan umur 7-12
bulan dengan berat badan 8,5 kg dan tinggi badan 71 cm, membutuhkan energy
800 kkal dan protein 15 gr. Untuk golongan umur 1-3 tahun dengan berat badan
12 kg dan tinggi badan 90 cm, membutuhkan energi sebesar 1250 kkal dan protein
23 gr (Widyakarya Pangan dan Gizi VI, 1998 dalam Almatsier, 2002).
2.3 Penilaian status gizi
Penilaian status gizi adalah penafsiran informasi dari dari penilaian
antropometri, konsumsi makanna, laboratorium dan klinik. Informasi yang
diperoleh digunakan untuk menetapkan status kesehatan individu atau kelompok
masyarakat yang berkaitan dengan konsumsi dan penggunaan zat-zat gizi oleh
tubuh (Hadisiswanto, 2001)
Status gizi dapat dinilai secara langsung maupun tidak langsung.
Penilaian langsung dapat dilakukan secara antropometri, klinis, biokimia, dan
biofisik. Sedangkan penilaian sttaus gizi secara tidak langsung dapat dilakukan
melalui survey konsumsi makanan, statistic vital, dan faktor ekologi. Dalam
penilaian status gizi diperlukan beberapa parameter yang kemudian disebut indeks
antropometri. (Supariasa, dkk, 2002).
Pemilihan jenis penilaian status gizi yang akan digunakan hendaknya
disesuaikan dengan tujuan penggunaaan indikator status gizi, adapun tujuan dari
pengukuran dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
13
1. Untuk tapis gizi (screening) perorangan bagi keperluan pemberian
perlakuan (treatment) khusus.
2. Survey gizi (nutritional survey) untuk mendapatkan status gizi
masyarakat pada saat-saat tertentu, dan faktor—faktor yang berkaitan.
3. Pemantauan status gizi (nutritional status monitoring) untuk
mendapatkan perubahan status gizi penduduk dari waktu ke waktu.
2.3.1 Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan
komposisi tubuh. Beberapa pengukuran antropometri utama yang digunakan
antara lain adalah tinggi badan/stature (TB), berat badan (BB), lingkar lengan
(dengan komponen lemak bawah kulit dan otot tulang) dan lipatan lemak bawah
kulit. Penilaian status gizi dengan menggunakan antropometri memiliki kelebihan
dan keterbatasan yang dapat dilihat pada table 2.1 berikut.
Table 2.1 Kelebihan dan Keterbatasan Pengukuran Antropometri
Kelebihan Keterbatasan
1. Relatif murah
2. Cepat, sehingga dapat
dilakukan pada populasi yang
besar
3. Objektif
4. Dapat dirangking apakahh
ringan, sedang, berat
5. Tidak menimbulkan rasa sakit
pada responden.
1. Membutuhkan data referensi
yang relevan
2. Kesalahan yang muncul
seperti pada perlatan (belum
dikalibrasi), kesalahan
observer (pengukuran,
pembacaan, pencatatan)
3. Hanya mendapatkan data
pertumbuhan, obesitas,
malnutrisi karena kurang
energy protein, tidak dapat
memperoleh informasi karena
defisiensi zat gizi mikro.
Sumber : Departemen gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2007
14
Pengukuran Antropometri
Penilaian pertumbuhan Penilaian massa bebas
lemak (fat-free mass)
Penilaian Massa lemak
(fat mass)
Lingkar kepala Lingkar lengan atas
(LILA)
Tricep skinfold
Berat badan Mid-upper-arm muscle
circumference
(MUAMC)
Bicep skinfold
Tinggi/panjang badan Mid-upper-arm muscle
(MUAMA)
Subscapular skinfold
Perubahan berat badan Suprailiac skinfold
Rasio berat/tinggi Mid-upper-arm fat area
Tinggi lutut Rasio lingkar pinggang
panggul (waist-hip
circumference ratio)
2.3.2 Indeks Antropometri
Menurut soekirman (2000) untuk mengetahui apakah berat dan tinggi badan
normal, lebih rendah atau lebih tinggi dari yang seharusnya, maka dilakukan
pembandingan dengan suatu standar internasional yang ditetapkan oleh WHO.
Untuk mengetahui status gizi diperlukan indikator yang merupakan kombinasi
antara BB, TB, dan umur dimana masing-masing indikator mempunyai makna
tersendiri
Indikator tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Berat Badan terhadap Umur (BB/U)
Merupakan indikator status gizi kurang saat sekarang dan sensitif terhadap
perubahan kecil. Dapat digunakan untuk memonitor pertumbuhan dan pengkuran
yang berulang dapat mendeteksi growth failure karena infeksi atau KEP. Berat
badan merupakan parameter yang paling baik, karena mempunyai beberapa
kelebihan yaitu mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena perubahan
konsumsi makanan dan kesehatan. Umum dan luas dipakai di Inonesia, ketelitian
15
pengukuran tidak banyak dipengaruhi olek keterampilan pengukur, digunakan
dalam KMS,
Kekurangan pemakaian indeks ini adalah sulitnya mendapatkan umur yang
akurat, keliru dalam menginterpretasikan status gizi bila terdapat edema dan
kesalahan pengukuran yang dapat disebabkan oleh pengaruh pakaian atau anak
bergerak saat ditimbang serta adanya hambatan dari segi perspektif budaya.
b. Tinggi Badan terhadap Umur (TB/U)
Merupakan indikator status gizi masa lalu dan kesejahteraan dan kemakmuran
suatu bangsa. TB juga menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.
Kekurangan pemakaian indeks ini adalah sulitnya mendapatkan umur yang akurat
dan perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat dan perlu
dua orang untuk membantu mengukur tinggi anak.
c. Berat Badan terhadap Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks
BB/T B merupakan indeks yang independen terhadap umur. Merupakan indikator
untuk menilai status gizi saat kini dimana umur tidak perlu diketahui. Indeks ini
dapat digunakan untuk mengetahui proporsi badan gemuk, normal, dan kurus.
d. Lingkaran Kepala
Pengukuran pada lingkaran occipitofrontal merupakan ukuran pertumbuhan
kepala dan otak. Rerata dari tiga kali pengukuran dipakai sebagai standarnya.
Ukuran ini penting sekali pada keadaan keterlambatan perkembangan dan
kecurigaan adanya hydrocephalus. Pengukuran dilakukan dengan mengukur
lingkaran terbesar.
e. Lingkar Lengan Atas (LLA)
Lingkar lengan atas memberikan keadaan jaringan otot dan lapisan lemak
bawah kulit. Lingkar lengan atas merupakan indikator yang sulit digunakan untuk
menilai perkembangan seorang anak. Pengukuran ini mempunyai kelemahan
yaitu kesalahan pengukuran relative besar dibandingkan dibandingkan TB dan
16
sensitive untuk suatu golongan tertentu (pra sekolah, tetapi kurang sensitive untuk
golongan dewasa.
f. Lingkaran Dada
Biasa digunakan pada anak umur 2-3 tahun, karena pertumbuhan lingkar dada
pesat sampai anak berumur 3 tahun. Rasio lingkar dada dan kepala dapat
digunakan sebagai indikator KEP pada balita. Pada umur 6 bulan lingkar dada dan
kepala sama. Setelah umur ini lingkar kepala tumbuh lebih lambat daipada
lingkar dada. Pada pengukuran lingkaran dada sangat dipengaruhi oleh tingkat
pengukuran dan status pernafasan. Pada umumnya tekhnik pengukuran dilakukan
dengan subyek berdiri tegak dengan lengan diangkat dan diturunkan setelah pita
pengukur diletakkan pada tempatnya.
Pita pengukur ditahan ditempat yang telah ditetapkam (melingkari putting
susu pada lingkaran dada terbesar, atau 2 ukuran diatas/dibawah payudara).
Menurut Montagu (1960) dikutip oleh Noel Cameron (1984) tinggi pengukuran
pada lingkaran melewati ketiak (axillary chest girth).
g. Lipatan Kulit
Tebal lipatan kulit untuk menilai tebalnya lemak subkutan menggunakan
harpenden skinfold caliper yang dilakukan pada daerah bicep, tricep, subskapula,
dan daerah panggul.
2.3.3 Klasifikasi Status Gizi
Untuk menilai status gizi seseorang atau masyarakat, digunakan daftar baku
antropometri. Saat ini di Indonesia dikenal ada dua baku antropometri untuk
kelompok anak balita, yaitu baku Harvard dan baku WHO–NCHS. Baku Harvard
sudah digunakan secara luas di masyarakat, termasuk sebagai bahan untuk Kartu
Menuju Sehat (KMS) untuk anak balita. Baku Harvard yang ada tidak
membedakan jenis kelamin anak. Dilain pihak, baku WHO – NCHS masih
terbatas penggunaannya pada survey-survey gizi dan proses pemantauan status
gizi anak balita.
Pada baku WHO–NCHS dibedakan jenis kelamin pada anak dan Nampak
lebih teliti dibandingkan dengan baku Harvard. Pada baku WHO-NCHS
ditunjukkan bahwa perkembangan berat badan anak perempuan menurut umur
17
lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki, sedangkan pada baku Harvard
perkembangan beat badan antara anak laki-laki dan anak perempuan disamakan,
hal ini akan memberikan kemungkinan hasil interpretasi status gizi yang berbeda
bila digunakan kedua jenis baku antropometri ini, oleh karena itu dalam survey-
survey khusus untuk pemetaan ataupun evaluasi status gizi maupun kegiatan
intergrasi gizi masyarakat digunakan baku WHO_NCHS.
Berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi yan dilakukan pada bulan Mei tahun
2000 di Semarang, mengenai standar baku nasional Indonesia yang digumakan
untuk menentukan status gizi, kesepakatan ini kemudian diperkuat dalam bentuk
Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor 920/Menkes/SK/VII/2002 tentang
klasifikasi status gizi anak bawah lima tahun (balita), adapun standar baku
nasional Indonesia disepakati sebagai berikut :
Tabel 2.2 Pengukuran Antropometri menurut WHO-NCHS
Baku WHO-
NCHS
BB/U TB/U BB/TB
2,0 SD Gizi lebih Gemuk
-2,0 SD s.d + 2,0
SD
Gizi baik Normal Normal
< -2,0 SD Gizi kurang Pendek
(stunted)
Kurus (wasted)
< -3,0 SD Gizi buruk Sangat kurus
Pertimbangan dalam menetapkan batas ambang (cut off point) status
gizi, didasarkan pada asumsi resiko kesehatan sebagai berikut :
1. Antara -2 SD s/d +2 SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan
2. Antara -2 SD s/d -3 SD atau antara +2 SD s/d +3 SD memiliki
resiko cukup tinggi (moderat) untuk menderita masalah kesehatan.
3. Dibawah -3 SD atau diatas +3 SD memiliki atau beresiko tinggi
untuk menderita masalah kesehatan.
18
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
Suatu penyakit timbul akibat interaksi berbagai faktor
internal maupun eksternal. Dalam epidemiologi dikenal istilah
trias epidemiologi (Host, Agent, Environment) yang berperan
dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Timbulnya penyakit berkaitan dengan gangguan interaksi antara
faktor penjamu, agen dan lingkungan (Bustan, 2006).
Status gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
terkait, terutama asupan makanan dan penyakit infeksi. Kedua
faktor tersebut dipengaruhi oleh daya beli keluarga, jumlah