120 BAB V BENTUK-BENTUK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI PENGUASAAN CENDANA Hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan bemula dari dua konsep pemikiran berbeda yang melibatkan pihak penghegemoni dan pihak yang dihegemoni. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai penghegemoni dan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni. Pemerintah menjalankan hegemoni penguasaan cendana sebaliknya masyarakat melakukan kontra hegemoni. Sesuai pandangan Gramsci, hegemoni sebagai pemerolehan supremasi (kekuasaan tertinggi) melalui kepemimpinan intelektual dan moral dengan dukungan kekuatan dan persetujuan, maka kontra hegemoni adalah kebalikannya. Dalam kaitan ini, kontra hegemoni merupakan ketidaksetujuan atau penentangan atas perilaku hegemoni. Dengan demikian, pihak yang memiliki peluang sebagai penghegemoni hanya pihak yang memiliki kekuasaan, khususnya pihak penguasa formal yakni pemerintah. Sedangkan kontra hegemoni merupakan perlawanan atau reaksi ketidaksetujuan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni atas peraturan yang ditetapkan pemerintah. Sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat memunculkan hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai penghegemoni sedangkan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni kemudian meresponnya dengan kontra hegemoni. Pemerintah
47
Embed
Bab VI Dominasi Pemerintah dalam Pengelolaan Kayu Cendana
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
120
BAB V
BENTUK-BENTUK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI
PENGUASAAN CENDANA
Hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor
Tengah Selatan bemula dari dua konsep pemikiran berbeda yang melibatkan pihak
penghegemoni dan pihak yang dihegemoni. Dalam hal ini pemerintah berposisi
sebagai penghegemoni dan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni. Pemerintah
menjalankan hegemoni penguasaan cendana sebaliknya masyarakat melakukan
kontra hegemoni. Sesuai pandangan Gramsci, hegemoni sebagai pemerolehan
supremasi (kekuasaan tertinggi) melalui kepemimpinan intelektual dan moral dengan
dukungan kekuatan dan persetujuan, maka kontra hegemoni adalah kebalikannya.
Dalam kaitan ini, kontra hegemoni merupakan ketidaksetujuan atau penentangan atas
perilaku hegemoni. Dengan demikian, pihak yang memiliki peluang sebagai
penghegemoni hanya pihak yang memiliki kekuasaan, khususnya pihak penguasa
formal yakni pemerintah. Sedangkan kontra hegemoni merupakan perlawanan atau
reaksi ketidaksetujuan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni atas peraturan
yang ditetapkan pemerintah.
Sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat
memunculkan hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat. Dalam hal ini
pemerintah berposisi sebagai penghegemoni sedangkan masyarakat sebagai pihak
yang dihegemoni kemudian meresponnya dengan kontra hegemoni. Pemerintah
121
nenetapkan atuan tentang penguasaan cendana bertujuan untuk melestarikan cendana
dan meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini memunculkan beberapa bentuk
hegemoni pemerintah. Ide-ide pemerintah tidak sejalan dengan ide-ide masyarakat,
terutama masyarakat primer cenderung lebih mementingkan kebutuhan hidup dalam
usaha memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Masyarakat menganggap
pemerintah sebagai pihak penguasa telah memaksa masyarakat untuk mematuhi
peraturan yang cenderung memonopoli penguasaan kayu cendana tanpa memberi hak
kepemilikan kepada masyarakat. Hal ini memunculkan berbagai bentuk kontra
hegemoni masyarakat baik secara manifes maupun simbolik
5.1 Bentuk-Bentuk Hegemoni Pemerintah
Hegemon pemerintah dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah
Selatan adalah ekpresi wewenang dan kekuasaan pemerintah menguasai dan
mengatur cendana yang terlegitimasi dalam bentuk peraturan pemerintah. Pemerintah
selaku penguasa wilayah beserta jajarannya (Dinas Kehutanan) memiliki wewenang
dan kekuasaan mengatur penguasaan cendana di wilayah tersebut. Selaku penguasa
tertinggi pemerintah mampu menghegemoni masyarakat dan melakukan pengawasan
terhadap objek dalam bidang-bidang pemhuasaan cendana. Dengan demikian
hegemoni dalam penguasaan cendana merupakan wewenang pemerintah untuk
melakukan berbagai bentuk pengawasan dan cendana di wilayah tersebut.
Bentuk-bentuk hegemoni berupa pengawasan merupakan kelanjutan dari
munculnya peraturan pemerintah. Peraturan yang telah ditetapkan pemerintah
122
didukung dengan kekuasaan negara sebagai alat kekerasan atau paksaan untuk
mejaga kekuasaan kelas dominan. Dengan demikian. hegemoni pemerintah yang
bekerja pada lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran selalu didampingi
aparat koersif. Bahkan antara hegemoni dan koersi (dominasi) berjalan secara
berdampingan. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai penguasa
wilayah tertinggi, berwewenang menetapkan peraturan untuk meregulasi cendana di
wilayahnya. Sebaliknya, masyarakat selaku pihak yang dikuasai harus mentaati
peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Guna menjamin ketaatan masyarakat
terhadap peraturan, pemerintah melakukan pengawasan dengan meregistrasi cendana,
membentuk polisi penjaga hutan, dan melakukan operasi sahabat.
5.1.1 Peraturan Pemerintah
Bentuk-bentuk hegemoni yang tertuang dalam peraturan pemerintah telah
berlangsung sejak zaman kerajaan sampai zaman reformasi. Bahkan, peraturan
pemerintah yang mengatur penguasaan cendana saat ini merupakan ketetapan yang
mengacu pada aturan-aturan masa lampau khususnya peraturan masa Portugid dan
kolonial Belanda. Dalam kaitan ini, pemerintah selaku pelaksana kekuasaan tertinggi
negara berkaitan dengan teori kekuasaan dan pengetahuan, bahwa kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan
kemauan-kemauannya sendiri sekaligus menerapkan tindakan-tindakan sesuai
kemauannya terhadap pihak lain. Kekuasaan sangat tergantung hubungan antara
pihak yang memiliki kemampuan atau pengetahuan untuk melancarkan pengaruh
123
dengan pihak lain yang menerima pengaruh tersebut baik secara sukarela maupun
terpaksa. Berkat hegemoni, dominasi, dan kekuasaan yang dimiliki, pemerintah
berwewenang mengatur keberadaan cendana yang tertuang dalam bingkai peraturan
pemerintah.
5.1.1.1 Peraturan Masa Kerajaan Lokal
Peraturan masa kerajaan lokal merupakan peraturan adat tidak tertulis yang
dilaksanakan berdasarkan kontrol para usif (raja lokal). Dalam kaitan ini, seorang usif
(raja atau penguasa wilayah) memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan
masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya. Usif dianggap keturunan uis neno
disebut neno ana (anak Tuhan atau anak dewa penguasa alam). Kerkuasaan usif
mengatur masyarakat disebutkan dalan hasil wawancara berikut dengan seorang
tokoh masyarakat F.H. Fobia.
“Dulu, dorang percaya usif sakti, neno ana punya (anaknya dewa) turunan
uis neno (dewa penguasa alam tertinggi). Usif kuasai semua wilayah, dia
hormati dorang semua di sini, cendana usif punya, kalo tebang cendana
usif yang atur, hasilnya usif dapat paling banyak, tapi usif juga beri
bagian pada fettor, temukung, amaf.... “ (wawancara dengan F.H. Fobia,
tanggal 24 Mei 2007).
Hal ini menunjukkan hegemoni penguasa (usif) dalam segala bidang kehidupan
masyarakat termasuk penguasaan cendana. Hegemoni usif didukung kekuasaan,
kepercayaan masyarakat, dan keberadaan lembaga pemerintahan tradisional sehingga
muncul mitos bahwa hanya usif yang berhak menguasai cendana yang tumbuh di
wilayah kekuasaannya. Hegemoni usif sejalan dengan pemikiran Weber, penguasa
124
mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga
pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Hegemoni dan dominasi
memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran
masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan
kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni dan dominasi lebih menekankan
pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan untuk mendapat kesejahteraan.
Weber membedakan tiga jenis hegemoni dan dominasi yakni dominasi
karismatik, tradisional, dan legal rasional. Dominasi karismatik didasarkan atas
kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa dan kesetiaan
bawahan. Dominasi tradisional, penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan
oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada
tradisi sebelumnya. Dominasi legal rasional, keabsahan penguasa didasarkan pada
hukum dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum.
Hegemoni dan dominasi masa kerajaan lokal berkaitan dengan dominasi
karismatik dan dominasi tradisional. Hegemoni dan kekuasaan diperoleh berdasarkan
kepercayaan, mitos-mitos, dan nilai-nilai subjektivitas. Sistem kepercayaan
masyarakat telah menggiring kayu cendana sebagai simbol legitimasi kekuasaan
penguasa lokal. Jadi, hanya usif yang memiliki kuasa terhadap cendana, dan setiap
penebangan cendana harus sepengetahuan usif. Mereka yang berhak menguasai kayu
cendana hanya para usif (raja) yang dianggap keturunan uis neno.
Hegemoni usif terkait penguasaan cendana tampak dalam hubungan dagang
dengan pihak-pihak asing. Pihak-pihak yang ingin membeli kayu cendana harus
125
melakukan kontak dengan usif selaku penguasa wilayah. Usif berhak menyetujui dan
melakukan penjualan langsung dengan pedagang-pedagang asing dengan menerapkan
sistem barter. Perdagangan cendana dilakukan apabila kapal atau perahu dagang
datang berlabuh di perairan pada hari-hari tertentu. Saat itu usif yang menempati
sonaf (istana) di daerah turun ke pesisir. Mereka membawa kayu cendana untuk
ditukar dengan barang-barang yang dibawa oleh saudagar seperti kain lena, barang-
barang porselen, gelas, sendok, garpu. Barter tidak boleh ditukar sebelum usif datang
dan harus disaksikan langsung oleh usif. Hasil pertukaran cendana dibagi sesuai
kesepakatan adat yang berlaku. Keuntungan perdagangan kayu cendana memberi
porsi terbesar bagi usif selaku penguasa wilayah. Usif memperoleh separuh dari
pemerolehan penjualan secara keseluruhan. Separuhnya lagi, dibagi dengan perangkat
penguasa bawahannya. Pola pembagian hasil cendana diatur berdasarkan ketentuan
sebagai berikut ; 1). Pembagian 5/10 atau 0,5 untuk usif, 2). Pembagian 2/10 atau
0,2 untuk fettor; 3). Pembagian 1/10 atau 0,1 untuk temukung, 4) Pembagian 2/10
atau 0,2 untuk tukang tebang.
Meskipun usif memperoleh pembagian terbesar dan menguasai sebagian besar
produksi cendana, porsi-porsi tertentu diberikan kepada perangkat lembaga
pemerintahan tradisional berdasarkan kesepakatan bersama. Terutama pembagian
untuk para amaf selaku pemimpin-peminpin klen. Seorang amaf yang memiliki
jumlah anggota cukup besar seringkali diangkat menjadi temukung atau perangkat
pemerintahan tradisional setingkat kepala desa. Dengan demikian seorang amaf yang
126
menjabat sebagai temukung juga mendapat hak pembagian pemungutan dan
penjualan cendana yang tumbuh di wilayah pemerintahan adatnya.
5.1.1.2 Peraturan Masa Portugis
Bangsa Potugis datang ke Pulau Timor khususnya ke wilayah Timor tengah
Selatan pada abad ke-16 sekitar tahun 1522. Pada masa ini di wilayah Pulau Timor
terbentuk beberapa kerajaan lokal yang masing-masing berdiri sendiri secara
independen. Awalnya, kedatangan Bangsa Portugis ke pulau Timor semata-mata
bertujuan mencari hasil alam, kemudian berusaha mengadakan pendekatan dengan
para penguasa lokal. Portugis berupaya menguasai perdagangan cendana dan
menundukkan raja-raja dengan menggunakan strategi penyebaran agama. Namun
strategi demikian tidak membawa hasil maksimal.
Strategi Portugis menguasai perdagangan cendana berjalan lebih ekspresif
setelah menempatkan Simon Louis, seorang kapten kapal yang memimpin armada
perdagangan. Ia berusaha menundukkan raja-raja Timor untuk memperoleh hak
monopoli perdagangan cendana diwilayah tersebut. Namun usahanya belum berhasil
maksimal karena pola-pola yang diterapkan Portugis dianggap menipu para usif dan
masyarakat Timor, sehingga muncul pertentangan antara Bangsa Portugis dengan
masyarakat lokal. Maka, kayu cendana seringkali menjadi ajang pertikaian antar
kelompok yang berkepentingan.
Portugis berhasil mengusai perdagangan kayu cendana di Pulau Timor pada
tahun 1645 setelah berhasil meredam berbagai bentuk penentangan masyarakat
127
seperti dituturkan seorang tokoh masyarakat F.H. Fobia berdasarkan penuturan
kakeknya seorang meob (panglima perang) bernama Kau Fobia sebagai berikut.
“Orang-orang Portugis suka tukar kayu cendana dengan harga rendah.
Satu pikul kayu cendana ada harga sangat rendah sebanding harga sebuah
piring, sebuah garpu, keramik. Ketika itu usif Amanuban jual cendana,
harga rendah ditetapkan Potugis sampai itu usif tidak mampu bayar
hutang untuk beli alat rumah tangga itu piring, sendok, garpu tadi...”
(wawancara dengan F.H. Fobia tanggal 24 Mei 2007).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni Portugis
tampak dalam transaksi cendana. Portugis berhak menentukan pola dan nilai barter
dengan perbedaan tajam. Pola-pola barter menetapkan bahwa Portugis memperoleh
2/3 bagian sedangkan usif dan masyarakat lokal memperoleh bagian 1/3. Apabila
kondisi pasar sedang lesu, nilai barter menurun drastis. Bahkan seringkali kayu
cendana dihargai sangat murah setara dengan harga sebuah sendok atau garpu.
Pola-pola transaksi cendana pada masa Portugis sejalan dengan Teori
Hegemoni dan Dominasi Gramsci maupun Teori Kekuasaan dan Pengetahuan
Foucault. Sesuai pandangan Gramsci maupun Foucault, kelompok sosial (dalam hal
ini Bangsa Portugis) memperoleh keunggulan atau supremasi mealui dua cara yakni;
1) dominio (dominasi) atau coercion (paksaan) dan 2) cara kepemimpinan intelektual
dan moral. Setiap praktik sosial yang dilakukan Portugis tidak dapat dipisahkan dari
pengetahuan yang melandasinya serta relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya.
Kekuasaan merupakan wujud kemampuan mereka untuk memaksa atau
mempengaruhi masyarakat lokal untuk mengikuti keinginannya.
128
Ajang perebutan kekuasaan terkait hak monopoli perdagangan cendana di
kalangan penjelajah barat tidak pernah surut. Portugis yang telah menguasai
perdagangan cendana di wilayah Timor bagian barat mendapat saingan Belanda.
Belanda berhasil menduduki Kupang pada tahun 1653 setelah merebut benteng
Portugis di pesisir Teluk Kupang. Meskipun demikian, hubungan politik dan
perdagangan Belanda dengan Portugis di Pulau Timor berlangsung relatif baik,
namun seringkali terjadi perselisihan memperebutkan kekuasaan ekspor kayu
cendana (Ardana, 2005:51). Perselisihan memperebutkan kekuasaan antara Portugis
dan Belanda membuka batas-batas demarkasi wilayah yang jelas. Perundingan
pembagian wilayah kekuasaan ditetapkan pada tahun 1859 bahwa wilayah Pulau
Timor bagian barat menjadi kekuasaan Belanda dan menjadi wilayah Indonesia
sekarang. Sedangkan wilayah Pulau Timor bagian timur di bawah kekuasaan Portugis
dan menjadi bagian wilayah Timor Leste sekarang (Kase, 2004:19-26).
5.1.1.3 Peraturan Masa Kolonial Belanda
Hegemoni penguasaan cendana oleh Bangsa Belanda tampak jelas sejak
adanya pembagian wilayah kekuasaan antara Portugis dengan Belanda yang
menyerahkan wilayah kekuasaan Pulau Timor bagian barat kepada Bangsa Belanda.
Sejak saat itu perdagangan kayu cendana di Pulau Timor bagian barat dikuasai
Belanda. Raja-raja lokal (usif) sebagai penguasa wilayah dipaksa untuk meningkatkan
jumlah tebangan dan menyerahkan seluruh hasil tebangan kepada Pemerintah
Belanda seperti dikemukakan F.H.Fobia tanggal 10 Agustus 2010.
129
“Belanda banyak tebang cendana, suruh usif tebang cendana jual untuk
Belanda, Belanda yang bawa keluar, Belanda yang jual ke Eropa. Belanda
juga tanam cendana, ada etu (ladang) punya Belanda tapi tidak banyak
hasil, cendana banyak mati dimakan sapi, bakar api...”
Peraturan demikian merupakan salah satu bentuk hegemoni dan dominasi pemerintah
Belanda yang bertujuan memenuhi kebutuhan atas permintaan ekstrak minyak
cendana di pasaran dunia. Semua produksi cendana pada masa ini dikuasai oleh
penjajah Belanda, bahkan Belanda memonopoli perdagangan cendana sehingga
keuntungan raja-raja lokal semakin berkurang (Ardana, 2006:69).
Hegemoni dan dominasi pemerintah Belanda seringkali bekerja pada lapangan
budaya dan di tingkat moral yang dijalankan secara persuasif maupun koersif. Hal ini
sejalan konsep hegemoni Horkheimer dan Adorno yang mengacu pada kegemaran
Bangsa Barat menguasai alam dan melakukan dominasi atas alam untuk memenuhi
kebutuhan makanan, pertanian, dan industri. Hegemoni di sini bersifat paksaan serta
penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat ekonomi dan kesejahteraan.
Eksistensi alam (terutama produksi cendana) semata-mata digunakan sebagai objek
yang harus dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi manusia, terutama
kepentingan ekonomi dan kesejahteraan Bangsa Belanda.
Hegemoni bahkan memonopoli penguasaan cendana pemerintah Belanda
dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi. Di dalamnya ada alat-alat
kekerasan (means of coercion) dan alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means
of estabilishing hegemonic leedership). Pemerintah Belanda mulai mengekstraksi
kayu cendana dengan mendirikan pabrik penyulingan ekstrak minyak cendana di
130
Kupang pada pertengahan abad ke-19. Estraksi ini bertujuan menghasilkan minyak
cendana yang nantinya dijual di pasaran dunia sebagai bahan baku obat-obatan dan
kosmetik. Sejak saat itu, ditengarai terjadi proses penebangan cendana secara besar-
besaran, sehingga kerusakan dan penurunan populasi cendana secara drastis.
Penebangan yang tidak teratur dan ekstraksi berlebihan menyebabkan cendana kian
merosot dan mengancam keseimbangan populasi cendana.
Menghindari kemerosotan cendana, beberapa usaha peremajaan dan antisipasi
telah dilakukan oleh pemerintah Belanda namun tidak berhasil. Mengantisipasi
kerusakan populasi cendana, pada tahun 1921 Pemerintah Belanda berusaha memberi
perhatian akan nasib cendana melaui penetapan kawasan budidaya cendana tetapi
kurang berhasil karena dimakan ternak, rusa, dan kebakaran hutan (Parimartha,
2002:284 ; Koppins, 2005:7).
Kerusakan dan ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan
penurunan populasi cendana. Kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan
yang melarang masyarakat menjual dan melakukan penebangan cendana dan
penebangan-penebangan selanjutnya akan dilakukan dan dikendalikan langsung oleh
Belanda. Sejalan dengan pelarangan tersebut, Pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan penguasaan cendana yang bersifat menghegemoni masyarakat, dengan
butir-butir sebagai berikut ; 1) Denda 10 rupiah uang perak dan penjara maksimal 3
(tiga) tahun bagi orang yang menyebabkan kayu cendana mati, terbakar, penebangan
liar, dan mencuri kayu cendana. 2) Denda 5 rupiah uang perak atau penjara maksimal
3 (tiga) tahun bagi orang yang ketahuan mematikan anakan cendana. 3) Denda 1
131
ringgit uang perak atau penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi yang membakar belukar
yang menyebabkan daun cendana gugur. 4) Denda 1 ringgit uang perak atau penjara
maksimal 3 (tiga) tahun bagi orang yang memotong ranting cendana.
5.1.1.4 Peraturan Masa Kemerdekaan
Kemerosotan populasi cendana semakin parah setelah masa kemerdekaan
disebabkan maraknya penebangan oleh masyarakat. Sebaliknya, usaha-usaha
peremajaan tidak dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah. Pihak pemerintah
belum menaruh perhatian besar terhadap keberadaan cendana karena saat ini
merupakam masa-masa awal pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa ini, terjadi perubahan tata pemerintahan kolonial menjadi tata
pemerintahan Republik Indonesia, dan telah terjadi pergolakan sistem politik di
seluruh Indonesia. Pergolakan tersebut bukan semata-mata berasal dari dalam
wilayah Indonedia seperti pemberontakan-pemberontakan separatis seperti Darul
Islam, TRI/ Permesta, PKI, dan perlawanan menghadapi pihak asing terutama tentara
sekutu yang ingin kembali menguasai wilayah Indonesia. Kondisi demikian
mengharuskan pemerintah Indonesia berkonsentrasi penuh pada usaha-usaha
mempersatukan Bangsa Indonesia yang baru saja terbentuk dan mempertahankan
kemerdekaan Bangsa Indonesia dalam revolusi fisik melawan tentara sekutu.
Berbarengan dengan berbagai pergolakan politik internal dan eksternal,
konsolidasi sistem pemerintahan Nasional Indonesia tetap dilakukan. Sistem
pemerintahan nasional berjalan efektif setelah berakhirnya masa revolusi fisik di
132
Indonesia atau setelah tahun 1950. Setelah tahun 1950, pola-pola pemerintahan lokal
yang merupakan warisan Belanda ditata kembali, termasuk jabatan usif selaku
penguasa wilayah dihapuskan diganti dengan sistem pemerintahan kabupaten.
Meskipun demikian, mantan-mantan usif tetap memperoleh porsi sebagai pemimpin
daerah seperti bupati, camat, dan kepala desa. Sama halnya dengan sistem
pemerintahan sebelumnya, hegemoni pemerintah masih tampak dalam peraturan
terkait penguasaan cendana.
Sistem pemerintahan nasional Republik Indonesia menetapkan bahwa seluruh
wilayah pegunungan yang menjadi lahan subur pertumbuhan cendana dikuasai oleh
negara dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Penguasaan cendana
bukan lagi di bawah kekuasaan para usif (raja lokal) tetapi telah berada di tangan
pemerintah daerah. Konsekuensi logis atas pemberlakuan sistem pemerintahan
nasional adalah terjadinya penebangan cendana yang dilakukan pemerintah daerah
untuk mendapat keuntungan ekonomi. Sementara itu, kontrol pemerintah pusat sangat
longggar seperti dikemukakan Cornelis Tapatab, seorang tokoh masyarakat mantan
Bupati Timor Tengah Selatan peride tahun 1973-1983.
“Masa kemerdekaan saya masih remaja, saya kira kita sudah merdeka kita
tidak bayar pajak, kakak saya tetap bayar pajak. Penguasaan cendana juga
tetap seperti masa sebelumnya, tidak ada perubahan mencolok yang saya
rasakan saat itu...”(wawancara dengan Cornelis Tapatab tanggal 11 Agustus
2011)
Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni pemerintah tetap ada
dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah daerah Nomor 4 Tahun 1953. Peraturan
tersebut tidak jauh berbeda dengan pola peraturan zaman Belanda dengan isi
133
peraturan sebagai berikut ; 1) Semua cendana berupa tanaman hidup atau pun telah
mati di dalam daerah Timor dikuasai oleh Pemerintah Daerah Timor. 2) Pembagian
hasil dan ketentuan bahwa rakyat yang memelihara, menebang, dan mengumpulkan
mendapat bagian 40 % per kilogram. 3) Bagi orang yang menebang, merusak,
memiliki, memperdagangkan, dan menyangkut kayu cendana tanpa izin diancam
hukuman kurungan selama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100, dan
semua kayunya disita.
5.1.1.5 Peraturan Masa Orde Baru
Seperti masa-masa sebelumnya, peraturan pemerintah tentang penguasaan
cendana masa pemerintahan Orde Baru masih bersifat menghegemoni. Beberapa
peraturan dibentuk sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1996. Seperti peraturan
masa-masa sebelumnya, semua peraturan pada kurun waktu tersebut pada intinya
bersifat menghegemoni masyarakat. Semua cendana dikuasai dan dimanfaatkan oleh
pemerintah untuk kepentingan pemerintah dan kesejakteraan bangsa. Bahkan
beberapa peraturan dianggap memonopoli dan merampas hak masyarakat. Beberapa
peraturan pemerintah pada era pemerintahan Orde Baru antara lain ;
1. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 11/PD/1966,
dengan butir-butir aturan berikut ; 1) Penguasaan, pembibitan, eksploitasi, dan
pemasaran cendana diatur oleh Dinas Kehutanan Kabupaten. 2) Denda Rp.10.000
atau hukuman penjara selama 6 (enam) bulan bagi orang yang memotong, menebang,
menjual kayu cendana tanpa izin Dinas Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 5.000
134
atau hukuman penjara 3 (tiga) bulan bagi yang merusak cendana hidup atau mati. 4)
Denda Rp. 500 bagi yang tidak punya surat pas kayu cendana dalam pengangkutan.
5) Semua kayu cendana hasil pelanggaran disita untuk pemerintah.
2. Peraturan Daerah Propinsi NTT Nomor 17 Tahun 1974, menyerupai
peraturan sebelumnya dengan beberapa penyesuaian berikut; 1) Penguasaan
penetapan harga penjualan cendana ditetapkan oleh gubernur. 2) Denda Rp.50.000
atau hukuman enam bulan penjara bagi pemotong, penebang, pengumpulan kayu
cendana tanpa izin Departemen Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 25.000 atau tiga
bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati. 4) Denda Rp 2.500
bagi yang tidak mengurus surat pas kayu cendana dalam pengangkutan. 6) Seluruh
kayu cendana hasil pelanggaran disitan untuk pemerintah.
3. Peraturan Pemerintan No.16/1986, merupakan pembaharuan dari peraturan
sebelumnya dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana yang ada di dalam
maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur
dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Timur. 2)
Pelaksanaan pengaturan kayu cendana meliputi penanaman, pemeliharaan,
perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian
diatur oleh Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur. 3) Pembinaan dan
pemeliharaan kayu cendana dilakukan oleh Departemen Kehutanan. 4) Produksi,
jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi ditetapkan oleh gubernur berdasarkan
inventarisasi Departemen Kehutanan. 5) Kayu cendana di lahan petani pembagiannya
adalah 15 % untuk petani 85 % untuk pemerintah. 6) Denda Rp 50.000 atau enam
135
tahun penjara bagi orang yang menebang, memotong, menyimpan kayu cendana
tanpa izin Departemen Kehutanan. 7) Denda Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi
yang merusak kayu cendana hidup atau mati.
4. Keputusan Gubernur NTT Nomor 2/1996, isi peraturan sama dengan
peraturan sebelumnya hanya ada beberapa penyesuaian terkait pembagian hasil antara
pemerintah dengan masyarakat dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana
yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi
Nusa Tenggara Timur dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2) Pelaksanaan pengaturan kayu cendana meliputi