-
33
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Kategori Polisi yang Ideal
Dalam menganalisis film ENIGMA ini, peneliti membuat
kategorisasi
tentang bagaimana citra polisi bisa menjadi positif di mata
masyarakat. Peneliti
membuat empat kategorisasi berdasarkan apa yang dijelaskan
Farouk Muhammad
dalam buku Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118)
tentang bagaimana
sosok polisi yang ideal. Farouk Muhammad pernah menjabat sebagai
Kapolda
NTB (2001) dan Kapolda Maluku (2001-2002). Beliau dilantik
menjadi Inspektur
Jenderal Polisi pada tahun 2002. Saat ini, beliau menjabat
sebagai wakil ketua
DPD-RI periode 2014 – 2019. Berikut penjelasan Farouk Muhammad
tentang
sosok polisi yang ideal :
1.Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan
Karena dia berhadapan dengan perilaku manusia. Dia adalah figur
yang
dibebani kewajiban untuk memperbaiki perilaku yang tidak baik,
yang salah,
atau tidak sesuai dengan norma. Dia harus menghargai dulu orang
yang ia mau
ubah perilakunya. Dia harus menghadapinya secara manusiawi.
Polisi harus bisa
menunjukkan empatinya.
2.Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi
manusia
Harus dijauhi sikap yang arogan, menunjukkan kekuasaannya bahwa
seolah-
olah dia seorang figur penguasa. Hal-hal seperti itu harus
disingkirkan dari
sikap seorang polisi.
3.Polisi juga harus fair
Dia harus memperlakukan semua orang dengan sama.
-
34
4.Polisi juga harus jujur dan amanah.
Apapun yang dimiliki polisi, entah itu kekuasaan atau senjata,
adalah amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.
5.2 Analisis Semiotik Roland Barthes Pada Film “ENIGMA”
Serial
“Kematian Alana”
Korpus 1
Kategori 1 (Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan).
Terdapat tiga adegan
yang sesuai dengan kategori pertama, diantaranya terdapat pada
scene 4, scene 7,
dan scene 25 (Episode 1).
Gambar 3 Gambar 4
(Scene 4, Episode 1) (Scene 7, Episode 1)
Gambar 5
(Scene 25, Episode 1)
-
35
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 3 menampilkan adegan AKP Nina yang
memakai
baju hitam sedang merangkul Ibu Soffie yang baru saja diberi
kabar bahwa Alana,
anaknya telah tewas. Ibu Soffie menyandarkan kepalanya di dada
AKP Nina
dengan raut wajah menangis. Pada bagian kiri bawah, terlihat
jelas tangan kanan
AKP Nina merangkul erat Ibu Soffie.
Gambar 4 menampilkan adegan Ibu Soffie yang melihat jasad
anaknya di
ruang autopsi. Di dalam ruangan terdapat dua petugas rumah sakit
mengenakan
baju putih dan ada AKP Nina juga Iptu Ardi di samping ibu Soffie
mengenakan
baju hitam. Terdapat dua lampu berwarna orange tepat diatas
jasad Alana. Jasad
Alana dibaringkan di sebuah meja besi dengan ditutup kain putih
polos diseluruh
badan kecuali telapak kaki dan bahu sampai ujung rambut yang
masih terlihat. Ibu
Soffie membungkukkan badan, memegang kepala Alana sambil
menangis. Disaat
bersamaan, Iptu Ardi mengusap punggung ibu Soffie dan AKP Nina
memegang
lengan kanan ibu Soffie dengan tangan kanannya dan mengusap
punggung ibu
Soffie dengan tangan kirinya.
Gambar 5 menampilkan adegan Iptu Bimo mengelus bahu Bapak
Arman,
Ayah dari Alana Jasmine di pintu masuk ruang autopsi. Iptu Bimo
mengenakan
jaket hitam, sedangkan Bapak Arman yang berkacamata mengenakan
kemeja
lengan panjang berwarna ungu dengan dasi berwarna merah maroon.
Keduanya
sedang berdiri di pintu masuk ruang autopsi. Bapak Arman
terlihat setengah
menundukkan kepala dengan raut wajah ingin menangis. Tepat di
depan Bapak
Arman, Iptu Bimo mengusap bahu Bapak Arman dengan tangan
kirinya.
Dari ketiga gambar, dibagian kiri atas terdapat tulisan
ENIGMA.
Sedangkan bagian kanan atas terdapat tulisan NET. dan sebelah
kanannya ada
tulisan HD. Tulisan “ENIGMA” dibagian kiri atas gambar,
menunjukkan judul
program yang sedang tayang di televisi tersebut. Sedangkan
tulisan “NET.”
dibagian kanan atas gambar menunjukkan program “ENIGMA”
ditayangkan di
televisi NET. Disamping kanan tulisan “NET.” terdapat tulisan HD
yang artinya
-
36
kualitas gambar tayangan tersebut memiliki resolusi HD. HD
merupakan
singkatan High Definition yang mempunyai arti resolusi tinggi.
Standar HD yang
diakui internasional memiliki kriteria dimana resolusinya adalah
1280 x 720 dan
1920 x 1080 pixels. Berdasarkan deskripsi yang nampak visual
pada ketiga
gambar tersebut, secara denotatif maka makna yang diperoleh
adalah polisi yang
digambarkan bisa menunjukkan empatinya terhadap masyarakat.
2. Makna Konotatif
Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna
konotatif
dari ketiga gambar di atas bahwa polisi memiliki empati dan
menghadapi
masyarakat secara manusiawi agar polisi memiliki citra positif
di masyarakat. Hal
ini ditunjukkan dengan adegan polisi yang memeluk serta
merangkul
masyarakatnya yang sedang ditimpa kesedihan. Merangkul ataupun
memeluk
merupakan salah satu dari bahasa tubuh yang selalu digunakan
orang pada
umumnya. David Cohen dalam buku Body Language (2009) mengatakan
bahwa
merangkul adalah upaya untuk menghibur. Seseorang yang dirangkul
akan merasa
dirinya lebih baik daripada sebelumnya. Pada gambar 4 dan 5
menunjukkan
bahwa polisi sedang mengusap dan mengelus orang tua korban
pembunuhan.
Elusan di sini memiliki makna mengharapkan seseorang dalam
keadaan baik atau
mengharapkan mereka dapat melalui hari dengan baik (Gordon
2006:172). Secara
konotasi, dapat dimaknai bahwa polisi memiliki hubungan yang
dekat dengan
masyarakatnya. Elusan dan usapan lembut adalah perilaku-perilaku
sentuhan yang
hanya bisa dilakukan pada orang yang memiliki hubungan dekat
(Gordon
2006:172). Dari ketiga gambar pada korpus 1, polisi digambarkan
menghibur
masyarakat yang sedang mengalami kesedihan. Melalui adegan
tersebut jelas
membuat citra polisi menjadi positif di pandangan masyarakat.
Hal ini senada
dengan pendapat Gordon (2006:167) bahwa kontak badan seperti
merangkul dan
memeluk merupakan orang yang cenderung memiliki sikap yang lebih
positif.
Maka dengan begitu masyarakatpun akan memandang polisi sebagai
orang yang
bersikap positif.
-
37
Empati tentu dibutuhkan polisi agar menjadi sosok polisi yang
ideal bagi
masyarakat. Sayangnya, belum semua polisi yang memiliki sifat
empati tersebut.
Khususnya di Indonesia, peneliti melihat bahwa terdapat polisi
yang masih kurang
empati berdasarkan berita yang peneliti baca di web CNN
Indonesia dengan judul
“Cerita Empati Polisi dan Gas Air Mata” (01/07/2016). Pada
intinya berita
tersebut mengisahkan Megiza, seorang karib yang kena penipuan
belanja online
hendak melapor ke kantor Polsek Duren Sawit, Jakarta Timur
(26/6). Sesampai di
Polsek, Megiza bergegas menuju ruang Sentra Pelayanan Masyarakat
(SPK).
Kemudian seorang polisi berpangkat Aiptu menerima laporan Megiza
dengan
santai (sesantai orang yang tidak menghadapi masalah), bahkan
juga ada petugas
polisi yang menanggapi acuh tak acuh. Kemudian saat Megiza mau
numpang
print barang bukti ke ruang Subnit III Reserse Kriminal,
terdapat tiga penyidik di
ruang tersebut sedang duduk menatap layar ponsel masing-masing
dan para
penyidik tersebut tampak tak berminat membantu. Kesimpulan dari
penulis berita
tersebut, ada yang salah dengan empati para petugas polisi ini.
Berhati-hati dan
memupuk rasa empati, perlu menjadi perhatian penting Korps
Bhayangkara1 .
Kasus tersebut merupakan salah satu kasus dari sebagian banyak
kasus yang
mencerminkan mitos yang ada di Indonesia. Mitos yang menyatakan
bahwa polisi
sejak dahulu kurang berempati dengan masyarakatnya. Kasus
tersebut juga tidak
mencerminkan ideologi Pancasila yang dianut oleh masyarakat
Indonesia yakni
kemanusiaan yang adil dan beradab.
1 Kandi, Rosmiyati D. 15 Juli 2016. Diakses dari
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701125459-12-142384/cerita-empati-polisi-dan-gas-
air-mata/
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701125459-12-142384/cerita-empati-polisi-dan-gas-air-mata/http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701125459-12-142384/cerita-empati-polisi-dan-gas-air-mata/
-
38
Korpus 2
Kategori 2 (Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai
hak-hak asasi
manusia). Terdapat dua adegan yang sesuai dengan kategori
ke-dua, diantaranya
terdapat pada scene 8 (Episode 1) dan scene 2 (Episode 3).
Gambar 6 Gambar 7
(Scene 8, Episode 1) (Scene 2, Episode 3)
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 6 menampilkan adegan Iptu Ardi yang
sedang
memberikan minum kepada ibu Soffie. Terlihat ibu Soffie yang
mengenakan kaos
berwarna hitam sedang mengepalkan tangan kanannya dan tangan
kirinya
menggenggam tangan kanannya. Dibagian kanan gambar, Iptu Ardi
yang
mengenakan baju hitam dengan memakai kalung tanda pengenal
kepolisian
sedang membungkukkan badannya sambil menyodorkan satu gelas air
putih
kepada ibu Soffie dengan tangan kanannya. Gambar 7 menampilkan
adegan Iptu
Ardi sedang meminta Citta untuk ikut penyidikan ke kantor
polisi. Pada adegan
ini, Citta telah menolak terlebih dahulu ajakan Iptu Ardi.
Setelah itu terlihat Iptu
Ardi memakai jaket hitam dengan sedikit membungkukkan badan dan
dengan
mempertautkan kedua telapak tangannya semacam jari-jarinya
membentuk
menara, berbicara lembut kepada Citta agar Citta mau ikut ke
kantor polisi. Tepat
di depan Iptu Ardi, ada Citta yang sedang berdiri mengenakan
jaket berwarna
coklat sambil melihat gerakan isyarat tangan Iptu Ardi.
Berdasarkan ciri – ciri
yang nampak pada gambar 6 dan gambar 7, peneliti menemukan dua
aspek,
diantaranya adalah budaya dan bahasa tubuh. Model berpakaian
merupakan salah
-
39
satu dari unsur-unsur yang bisa menunjukkan identitas budaya
rakyat. (Schreiter,
2006 : 89)
2. Makna Konotatif
Secara konotatif, gambar 6 dilihat dari aspek budayanya,
peneliti condong
melihat dari model berpakaian. Ibu Soffie dan Iptu Ardi
berpakaian dengan warna
hitam. Hal tersebut menunjukkan bahwa suasana hati Ibu Soffie
masih dalam
kedukaan mendalam atas kematian Alana. Baju Hitam yang dipakai
Iptu Ardi
menunjukkan bahwa dirinya juga turut merasakan duka yang
mendalam atas
kematian Alana. Warna hitam melambangkan kematian atau
kesedihan.2 Gambar
6 memiliki makna bahwa polisi santun menghadapi warganya.
Seperti yang
dijelaskan oleh Farouk Muhammad, kata santun disini dapat
diartikan seorang
polisi yang mempunyai sikap tidak menunjukkan kekuasaannya
seolah dia figur
penguasa. Hal itu dapat dibuktikan dari bahasa tubuh Iptu Ardi.
Dengan badan
yang membungkuk, Iptu Ardi memberikan segelas air putih kepada
Ibu Soffie.
Badan yang membungkuk menunjukkan kerendahan hati (Gordon,
2006:116).
Begitupun sebaliknya, sikap tubuh yang tegak menunjukkan status
yang tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang polisi juga setara dengan
warga ataupun
masyarakat biasa. Bisa diartikan juga bahwa polisi tidak lebih
tinggi statusnya
dari pada warga biasa. Segelas air putih yang dibawa Iptu Ardi
menunjukkan
kesederhanaan seorang polisi yang ingin memberi ketenangan pada
warganya.
Gambar 7 secara konotatif menunjukkan bahwa polisi menghargai
hak-hak
asasi manusia. Polisi tidak bersikap arogan. Hal tersebut
dibuktikan berdasarkan
adegan Iptu Ardi yang ditolak Citta untuk ikut ke kantor polisi.
Saling menghargai
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, terutama ketika
terjadi perbedaan,
termasuk perbedaan gender. Sikap penghargaan kepada orang lain
berarti tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain (Tim Pusat Studi Pancasila
UGM dan
Tim Universitas Pattimura Ambon, 2014:475). Sikap Iptu Ardi
yaitu tidak
2 Nasution, Siti F . 18 Juli 2016. Diakses dari
http://www.kompasiana.com/sitifatimahnasutionikom/pakaian-hitam-saat-melayat-budaya-atau-
kebiasaan_551fa83ca33311d42bb6728d
http://www.kompasiana.com/sitifatimahnasutionikom/pakaian-hitam-saat-melayat-budaya-atau-kebiasaan_551fa83ca33311d42bb6728dhttp://www.kompasiana.com/sitifatimahnasutionikom/pakaian-hitam-saat-melayat-budaya-atau-kebiasaan_551fa83ca33311d42bb6728d
-
40
memaksa, lalu mengajaknya kembali dengan memakai bahasa
tubuhnya. Dengan
sedikit membungkukkan badan dan dengan mempertautkan kedua
telapak
tangannya semacam jari-jarinya membentuk menara, Iptu Ardi mulai
membujuk
Citta dengan kata-kata dan dibantu oleh gerakan non-verbal.
Akhirnya Citta pun
menuruti permintaan Iptu Ardi. Sebuah tim peneliti menemukan
bahwa ketika
orang sedang aktif, dengan berbagai gerakan non-verbal, maka
mereka akan
digolongkan sebagai orang yang hangat, lebih kasual, ramah dan
energik. Gerak-
gerik dan gerakan tubuh yang terbuka dapat menjadi cara yang
sangat berguna
untuk bisa menciptakan komunikasi yang hangat, penuh kepercayaan
dan
keramahtamahan. Khususnya ketika kita ingin memengaruhi
seseorang supaya
berubah pikiran atau membuat mereka bersedia melakukan tindakan
tertentu yang
sebetulnya tidak mereka inginkan. (Gordon, 2006:104)
Sikap tidak arogan perlu dijalankan oleh seorang polisi agar
menjadi sosok
yang ideal bagi masyarakat. Dengan tidak menggunakan pangkat
atau jabatannya
untuk menunjukkan dirinya memiliki status yang lebih tinggi,
membuat sosok
polisi terlihat rendah hati dan tidak arogan di pandangan
masyarakat. Bukan
seperti sikap polisi yang peneliti temui di web merdeka.com
dengan judul “Polisi
pukul kepala pemotor, diprotes malah pamer pangkat”
(17/02/2016). Wiwin
Susilowati, seorang ibu asal Klaten, Jawa Tengah, mengaku
menjadi korban
kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Pemilik akun
Facebook Sella Bunda
Rifat mengeluhkan tindakan polisi yang bernama Sriyanto. Seluruh
keluh
kesahnya diunggah melalui akun Facebook miliknya. Ibu Sella
menjelaskan saat
sedang mengantarkan anaknya yang bernama Rifat pergi ke sekolah,
dia bertemu
razia (operasi) kendaraan bermotor. Kemudian saat melewati
pembatas operasi, bu
Sella terkena pukulan Iptu Sriyanto yang mengarah ke kepala ibu
Sella dan
mengenai helmnya. Secara langsung bu Sella bertanya alasan
mengapa Iptu
Sriyanto memukulnya. Lalu beginilah jawaban Iptu Sriyanto: “klo
gak terima
laporkan saja nama saya ini (sambil tunjukin nama) pangkat saya
ini (sambil
tunjukin pangkat)”. Merasa ditantang, ibu Sella langsung
melaporkan kelakuan
polisi tersebut ke Propam Polres Klaten. Laporan tersebut diberi
nomor
-
41
SPTL/01/II/2016/Propam.3. Kasus yang terjadi di Klaten ini
membuktikan bahwa
dalam realitanya masih ada polisi yang menjadikan jabatannya
atau menunjukkan
kekuasaannya sebagai seorang figur penguasa.
Korpus 3
Kategori 3 (Polisi juga harus fair). Terdapat empat adegan yang
sesuai dengan
kategori ke-tiga, diantaranya terdapat pada scene 18, scene 19,
scene 22, dan
scene 34 (Episode 3).
Gambar 8 Gambar 9
(Scene 18, Episode 3) (Scene 19, Episode 3)
Gambar 10 Gambar 11
(Scene 22, Episode 3) (Scene 34, Episode 3)
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 8 menampilkan adegan Iptu Bimo berada
di
ruangan kerja nya sedang menginterogasi William. Dimeja kerja
Iptu Bimo
3 Pratomo, Yulistyo . 18 Juli 2016. Diakses dari
http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-pukul-
kepala-pemotor-diprotes-malah-pamer-pangkat.html
http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-pukul-kepala-pemotor-diprotes-malah-pamer-pangkat.htmlhttp://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-pukul-kepala-pemotor-diprotes-malah-pamer-pangkat.html
-
42
terdapat beberapa map yang berisi dokumen penting, secangkir
kopi, laptop
berwarna abu-abu, telepon dan segelas air putih dengan tutup
berwarna hijau
untuk William. Tepat di depan Iptu Bimo, William yang mengenakan
kemeja
hijau kebiru-biruan sedang duduk bersandar dengan tangan yang
dilipat dan di
sandarkan di atas tepat ditengah antara kedua paha nya. Gambar 9
menampilkan
adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya sedang
menginterogasi Citta. Iptu
Ardi yang memakai jaket hitam serta mengenakan kalung tanda
pengenal polisi
sedang duduk mengetik dengan mesin ketik dimeja kerja nya.
Selain mesin ketik,
di meja kerjanya terdapat juga beberapa map yang berisi dokumen
penting,
secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan segelas air putih
dengan tutup berwarna
hijau untuk Citta. Tepat di depan Iptu Ardi, Citta yang
mengenakan jaket coklat
sedang duduk bersandar dengan menggenggam handphone ditangannya.
Gambar
10 menampilkan adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya
sedang
menginterogasi Lala. Iptu Ardi yang memakai jaket hitam serta
mengenakan
kalung tanda pengenal polisi sedang duduk mengetik dengan mesin
ketik dimeja
kerjanya. Selain mesin ketik, di meja kerjanya terdapat juga
beberapa map yang
berisi dokumen penting, secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan
segelas air
putih dengan tutup berwarna hijau untuk Lala. Tepat di depan
Iptu Ardi, Lala
yang mengenakan kaos dengan motif bergaris hijau putih sedang
duduk dengan
badan tegap dan sedikit condong ke depan dengan m enyandarkan
tangannya di
meja. Gambar 11 menampilkan adegan AKP Nina berada di ruangan
kerjanya
sedang menginterogasi Tezar. AKP Nina yang memakai jaket hitam
sedang
melipat tangannya dan disenderkan di meja. Di meja kerjanya
terdapat beberapa
map dan dokumen penting, sebuah laptop, satu layar LCD komputer
lengkap
dengan keyboard nya, tempat pena berwarna hitam, secangkir kopi,
dan segelas
air putih dengan tutup berwarna hijau untuk Tezar. Tepat di
depan AKP Nina,
Tezar yang mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak hitam putih
sedang duduk
bersandar dengan kepala yang sedikit menunduk dengan tangan kiri
yang
terangkat ke wajahnya.
-
43
2. Makna Konotatif
Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna
konotatif
dari ke-empat gambar pada Korpus 3 bahwa polisi fair terhadap
masyarakatnya.
Kata Fair berasal dari bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa
Indonesia adalah kata Adil. Menurut pendapat Frans Magnis
Suseno, pengertian
keadilan yakni keadaan dimana seseorang diperlakukan dengan sama
sesuai
dengan hak serta kewajibannya masing-masing. Sedangkan keadilan
menurut
W.J.S Poerwadarminto yakni tak berat sebelah, sepatutnya tak
sewenang-
wenang.4
Kesan pertama ketika kita melihat ke-empat gambar di atas
secara
keseluruhan adalah polisi itu fair. Hal tersebut dapat di
tunjukkan lewat mereka
berempat (William, Citta, Lala, dan Tezar) yang di perlakukan
dengan sama oleh
polisi yaitu diberi tempat duduk, segelas air putih dan tak ada
kontak fisik atau
kekerasan diantara mereka. Segelas air putih dengan tutup hijau
di meja kerja
masing-masing seorang polisi. Saat diinterogasi, urut sesuai
nomor gambar, mulai
dari William, Citta, Lala, dan Tezar, mereka semua mendapatkan
segelas air putih
yang sama. Selain dari segelas air putih, perlakuan polisi
terhadap William, Citta,
Lala dan Tezar menunjukkan bahwa polisi itu fair. Polisi
digambarkan tidak
sewenang-wenang melakukan kontak fisik seperti tindakan
kekerasan terhadap
orang yang diinterogasi. Seperti yang dimaksud oleh Farouk
Muhammad dalam
Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118), fair artinya
polisi harus
memperlakukan semua orang dengan sama. Pada adegan dalam
ke-empat gambar
tersebut (gambar 8, 9, 10, dan 11), polisi memperlakukan semua
orang dengan
sama.
Tetapi pada realitas yang ada, polisi di Indonesia sepertinya
masih sulit
untuk memperlakukan semua orang dengan sama. Satu minggu sebelum
film
“Enigma” perdana tayang, terdapat sebuah acara talkshow “Kick
Andy” di Metro
TV yang mengundang korban salah tangkap di Indonesia. Di
antaranya ada dua
4 Khasanah, Uswatun . 18 Juli 2016. Diakses dari
http://www.mediapusat.com/2015/05/pengertian-keadilan-menurut-ahli-serta.html
http://www.mediapusat.com/2015/05/pengertian-keadilan-menurut-ahli-serta.html
-
44
korban, yang pertama adalah Dedi bin Mugeni (34), seorang tukang
ojek yang
dituduh membunuh supir angkot pada 18 September 2014. Dedi
mengalami
kekerasan fisik yang dilakukan polisi. Ia kerap ditonjok dan
ditendang oleh
penyidik Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur. Ia ditangkap,
dianiaya hingga
dipenjara tanpa bukti.5 Kedua adalah Syamsul Arifin (27), pemuda
warga
Rungkut Mejoyo, Surabaya, Jawa Timur. Syamsul ditangkap pada 8
Februari
2011 oleh aparat Polda Jawa Timur. Syamsul dituduh mencuri
televisi 21 inchi
milik tetangganya. Sejumlah bogem mentah dan tendangan dari
oknum polisi pun
melayang ke tubuhnya. Bahkan, sebuah balok kayu dipukulkan ke
kaki kanannya,
sehingga membuatnya harus merasakan penderitaan yang
berkepanjangan.
“Akibat dipukul kayu, kaki saya bila kedinginan merasa sakit.
Bila sudah
bergerak, kaki ini terasa sakit bila mau diluruskan,” ucapnya.
Syamsul juga
sempat mengalami kepalanya ditutup kantong kresek hingga sulit
bernapas. 6 Hal
tersebut bias dengan perlakuan polisi terhadap Jessica Kumala
Wongso, tersangka
kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Mirna tewas seketika
setelah minum
kopi yang bercampur sianida. Kasus pembunuhan ini terjadi di
Kafe Olivier,
Grand Indonesia, Jakarta pada 6 Januari 2016. Jessica diduga
menaruh sianida
dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna. Pada 19 Januari 2016,
Pemyidik
memanggil Jessica untuk diperiksa. Setelah pemeriksaan selesai,
Jessica keluar
dengan tersenyum dan enggan berbicara saat dihampiri wartawan.7
Menurut
Kompolnas Edy Hasibuan, Jessica tampak santai dan tidak terlihat
raut wajah
tertekan atau stres karena pemeriksaan yang dilakukan penyidik
kepolisian.8
Tidak hanya dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa Jessica
diperiksa
5 Ansyari, Syahrul. 17 November 2015. Diakses dari
http://metro.news.viva.co.id/news/read/655611-derita-dedi--korban-salah-tangkap-polisi#
6 Suhendi, Adi. 23 Juni 2016. Diakses dari
http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/13/ini-
pengakuan-korban-salah-tangkap-polisi?page=2
7 Pratama, Akhdi Martin. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica
.kumala.wongso.
8 Rimadi, Lukman. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://news.liputan6.com/read/2424813/kompolnas-
datangi-polda-metro-pastikan-jessica-diperlakukan-baik
http://metro.news.viva.co.id/news/read/655611-derita-dedi--korban-salah-tangkap-polisihttp://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/13/ini-pengakuan-korban-salah-tangkap-polisi?page=2http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/13/ini-pengakuan-korban-salah-tangkap-polisi?page=2http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica.kumala.wongsohttp://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica.kumala.wongsohttp://news.liputan6.com/read/2424813/kompolnas-datangi-polda-metro-pastikan-jessica-diperlakukan-baikhttp://news.liputan6.com/read/2424813/kompolnas-datangi-polda-metro-pastikan-jessica-diperlakukan-baik
-
45
dalam keadaan baik, dari pihak Jessica juga mengatakan hal
serupa. Kuasa hukum
Jessica menyebut bahwa polisi memperlakukan kliennya dengan
baik.9 Perlakuan
yang dialami oleh Dedi dan Syamsul tentu bias dengan yang
dialami Jessica.
Perlakuan polisi terhadap mereka tidaklah sama. Berdasarkan
kasus tersebut,
menunjukkan pada kenyataannya polisi masih sulit bekerja dengan
fair.
Korpus 4
Kategori 4 (Polisi juga harus jujur dan amanah). Terdapat satu
adegan yang sesuai
dengan kategori ke-empat, yaitu terdapat pada scene 29 (Episode
3).
Gambar 12
(Scene 29, Episode 3)
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 12 menampilkan adegan AKP Nina yang
sedang
berbicara dengan Iptu Bimo. Terlihat ketiganya sedang berdiri di
area kantor
polisi setelah memberikan laporan kepada Kompol Surya. Di gambar
bagian kiri,
terlihat Iptu Ardi sedikit menundukan kepalanya dengan mulut
yang terbuka. Di
bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo sedang menghadap depan
tanpa
memalingkan tatapannya pada AKP Nina yang hendak berbicara. Di
bagian
tengah gambar, terlihat AKP Nina sedang berdiri agak di belakang
Iptu Bimo.
AKP Nina sedang berbicara dengan menurunkan alis mata dan
tatapan mata yang
tajam kepada Iptu Bimo. Dalam adegan ini, AKP Nina berdialog
kepada Iptu
Bimo demikian: “Kita di sini sedang menangani kasus kejahatan.
Kita kerja
9 Fiardini, Regina. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://news.okezone.com/read/2016/01/27/337/1298847/polisi-bantah-lakukan-pelanggaran-ham-
kepada-jessica
http://news.okezone.com/read/2016/01/27/337/1298847/polisi-bantah-lakukan-pelanggaran-ham-kepada-jessicahttp://news.okezone.com/read/2016/01/27/337/1298847/polisi-bantah-lakukan-pelanggaran-ham-kepada-jessica
-
46
mengabdi kepada negara. Bekerja sebaik mungkin untuk setiap
kasus yang masuk.
Di sini ga ada kompetisi, Bim. Ga ada siapa yang lebih cepet,
siapa yang lebih
jago, siapa lebih pinter, siapa lebih cepet menangkap pelakunya.
Semuanya bukan
soal itu. Satu lagi aku bilang sama kamu ya Bim, ini soal
dedikasi. Kamu ga bisa
kerja sendirian. Inget bim, kerjasama.”
2. Makna Konotatif
Berdasarkan pemaknaan tahapan denotatif di atas, maka diperoleh
makna
konotatif yang dilihat dari bahasa tubuh serta dialog adegan
tersebut. Iptu Ardi
yang sedang menunduk kemudian menguap menunjukkan bahwa dirinya
bosan di
dalam situasi tersebut (Cohen, 2009:119). Di samping kanan Iptu
Ardi, berdiri
AKP Nina dengan tatapan tajam kepada Iptu Bimo dengan menurunkan
alis
matanya. Dengan menurunkan alis mata menunjukkan AKP Nina sedang
marah
dan bersemangat dalam berbicara kepada Iptu Bimo (Cohen,
2009:142). Dan di
bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo yang tidak memalingkan
hadapannya
saat diajak berbicara oleh AKP Nina. Dari sikap hadapan Iptu
Bimo,
menunjukkan bahwa Iptu Bimo sedang cemas ataupun tidak suka
dengan AKP
Nina. (Cohen, 2009:102). Selain dari bahasa tubuh, terdapat
dialog yang
menunjukkan bahwa seorang polisi memiliki amanah. Dilihat dari
dialog yang di
ucapkan AKP Nina kepada Iptu Bimo, terdapat kata dedikasi.
Dedikasi adalah
cara diri mengabdi dan memberikan seluruh perhatian pada amanah
yang telah dia
terima. Mereka yang memiliki dedikasi akan tampak dari sikapnya
yang
bersungguh-sungguh, fokus, dan penuh dengan motivasi kerja
keras. Mereka
pantang menyerah dan melihat segala sesuatu sebagai sarana untuk
memberikan
pelayanan yang terbaik (service exellent) agar amanah yang
diberikan kepadanya
dapat dilaksanakan melebihi harapan dari si pemberi amanah.
(Tasmara, 2006:86).
Seorang polisi yang ideal seharusnya menjaga amanahnya. Tetapi
tidak semua
oknum polisi bisa menjaga amanahnya. Seperti oknum polisi yang
berinisial AH
yang bertugas di Polres Waykanan Lampung. AH yang berpangkat
Brigadir ini
ditangkap petugas atas kepemilikan dan penjualan senjata api. AH
ditangkap pada
-
47
15 Februari 2016 sekitar pukul 19.00 oleh Unit I Subdit III
Jatanras Ditreskrimum
Polda Sumsel.10
5.3 Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia
pada Film
“ENIGMA” Serial “Kematian Alana”
Representasi dari film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”
telah
menempatkan polisi (penanda) sebagai objek bagi pemirsa.
Adegan-adegan polisi
menjadi suatu daya tarik bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi
(petanda) yang
melibatkan bahasa tubuh serta dialog ini dibuat sedemikian rupa.
Bahasa tubuh
yang ditampilkan yakni seperti merangkul, mengusap bahu,
memeluk,
membungkukkan badan serta perlakuan yang baik kepada
masyarakatnya.
Terdapat juga dialog polisi yang menunjukkan bahwa polisi
memiliki dedikasi
serta menjaga amanahnya. Representasi yang dibentuk pada film
“ENIGMA”
serial “Kematian Alana” ini telah membentuk citra Institusi
Kepolisian Republik
Indonesia menjadi Institusi Kepolisian yang berperilaku
kemanusiaan yakni
memiliki rasa empati kepada masyarakatnya seperti mengusap bahu
serta
merangkul masyarakat yang sedang sedih. Santun menghadapi warga
seperti
memberi minuman kepada masyarakat yang sedang berada dikantor
polisi.
Menghargai hak-hak asasi manusia dengan bersikap tidak arogan
terhadap
masyarakatnya. Tidak menggunakan pangkat atau jabatannya sebagai
seorang
figur penguasa. Fair terhadap semua orang seperti adegan film
yang terdapat pada
korpus 3, masyarakatnya mendapat perlakuan yang sama dari
masing-masing
polisi. Polisi juga menjaga amanahnya seperti dialog yang
terdapat pada adegan
film di korpus 4. Dialog tersebut menggambarkan polisi yang
memiliki dedikasi
yang tinggi serta mengutamakan kerjasama antar polisi untuk
memberikan
pelayanan terbaik bagi negara.
10
Hadinata, Welly. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://www.tribunnews.com/regional/2016/02/17/oknum-anggota-polisi-waykanan-tertangkap-
saat-jual-senjata-api-polisi
http://www.tribunnews.com/regional/2016/02/17/oknum-anggota-polisi-waykanan-tertangkap-saat-jual-senjata-api-polisihttp://www.tribunnews.com/regional/2016/02/17/oknum-anggota-polisi-waykanan-tertangkap-saat-jual-senjata-api-polisi
-
48
Representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia yang
terbentuk
pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” tidaklah sesuai
dengan realitas
sosial yang terjadi. Adegan film tersebut cenderung seperti
ingin menutupi mitos
yang tertanam sejak lama di Indonesia. Ada gaya yang seolah
melebih-lebihkan
polisi dalam beradegan dalam scene tertentu. Dari sinilah
istilah hiperealitas
tercipta, seperti yang diungkapkan Umberto Eco, yang
memperkenalkan teori
Hiperealitas. Bagi Eco, hiperealitas adalah segala sesuatu yang
merupakan
replikasi, salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu,
yang dihadirkan di
dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Akan tetapi,
ketika masa lalu
tersebut dihadirkan didalam konteks waktu masa kini, maka ia
kehilangan kontak
dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak seakan-akan
lebih dari
kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang
ditirunya, sehingga
menciptakan sebuah kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya
(original).
(Piliang, 2004 : 59). Pada film “ENIGMA” serial “Kematian
Alana”, polisi
dikonstruksi memiliki rasa empati, santun menghadapi warga, fair
terhadap semua
orang, serta menjaga amanahnya sebagai seorang polisi. Gaya
melebihkan sesuatu
atau mengkonstruksi sesuatu seperti ini, dalam posmodernisme
dikenal dengan
istilah hiperealitas. (Audifax, 2006 : 19). Dengan dikonstruksi
seperti itu, polisi
akan menjadi sosok polisi yang ideal d an berkesan positif bagi
masyarakat.
Dari seluruh penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
representasi citra yang terbentuk pada Institusi Kepolisian
Republik Indonesia
adalah citra keinginan. Dalam tulisan Malvi, citra keinginan
menurut Frank
Jefkins adalah seperti apa yang diingin dan dicapai oleh pihak
manajemen
terhadap lembaga yang ditampilkan tersebut lebih dikenal,
menyenangkan dan
diterima dengan kesan yang positif.11
Tentu kesan positif dari masyarakat saat ini
sangat dibutuhkan oleh Institusi Kepolisian Republik Indonesia,
dimana saat ini
citra polisi sedang menurun dan dipandang negatif oleh
masyarakat.
11
Malvi, Alvina. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26272/1/ALVINA%20MALVI-FDK.pdf
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26272/1/ALVINA%20MALVI-FDK.pdf