Page 1
20
BAB IV
KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL SINGAPURA MELALUI
PROGRAM SPEAK GOOD ENGLISH MOVEMENT OLEH PEMERINTAH
SINGAPURA
4.1 Nation, Nation State, dan Nasionalism
A. Nation atau Bangsa
Wilayah Singapura yang dikunjungi Sir Thomas Stamford Raffles saat
pertama kali datang ke Singapura pada 19 Februari 1819 bukanlah tempat yang
menarik bagi kebanyakan orang karena tempat tersebut hanyalah merupakan
hamparan rawa bakau yang datar dan dihuni oleh beberapa gipsi laut, sekitar 120
nelayan Melayu, dan 30 petani gambir Tiongkok (Bloodworth, 1986). Namun
Raffles yang ambisius justru melihat Singapura sebagai wilayah pos perdagangan
yang dapat menyaingi wilayah kolonisasi dan pengaruh Belanda saat
mendominasi wilayah di sekitarnya termasuk Indonesia. Pulau tersebut sebagai
tempat ideal untuk membangun kota dan dapat menjadi wilayah perdagangan
yang strategis. Kedatangan Inggris memberi dampak yang signifikan bagi struktur
sosial dan ekonomi Singapura. Letaknya yang secara geografis berada diantara
persimpangan Timur dan Barat membuat Raffles yakin bahwa tempat ini dapat
dirancang menjadi pelabuhan ideal untuk rute perdagangan India dan Tiongkok.
Dalam waktu yang singkat beliau mengubah wilayah yang terlihat tidak
bermasa depan itu menjadi pelabuhan terbesar kedua di dunia setelah Rotterdam
dan menjadi pusat komersial dan finansial di Asia Tenggara karena aktivitas
perdagangannya yang mendunia. Pada beberapa tahun pertamanya, koloni meraup
kemakmuran ekonomi dari perluasan pelabuhan Singapura. Tahun 1823-1824
Singapura telah menangani perdagangan senilai $11 juta, dalam rentang 45 tahun,
tepatnya pada tahun 1868-1869 nilai perdagangannya meningkat menjadi $58 juta
– jumlah peningkatan yang lebih dari 500% (Williams, 2007).
Page 2
21
(Peta dibuat oleh Ms. Lee Li Kheng, GIS dan Unit Sumber Daya Peta,
Departemen Geografi, Universitas Nasional Singapura. © Peter Borschberg)
Mengacu pada peta yang menunjukkan posisi strategis Keuntungan dan
potensi lokasi Singapura sudah diakui oleh penduduk setempat bahkan kekuatan
kolonial Eropa awal, jauh sebelum Raffles menginjakkan kaki di pulau itu.
Bahkan, Belanda mulai mengenalinya pada tahap awal kehadiran mereka di
Hindia Timur, lalu Singapura. Singapura diakui karena potensi lokasinya, karena
Page 3
22
posisinya yang strategis di sepanjang arteri maritim utama, dan juga karena
pelabuhannya yang sangat baik. https://journals.openedition.org/lerhistoria/3234
Visi Raffles adalah menjadikan Singapura sebagai tempat yang besar dan
penting, sehingga harus merancang kota untuk memudahkan pemerintahan koloni.
Awal Juni 1819 Raffles mendelegasikan tugas tata ruang kota untuk penduduk
Singapura kepada William Farquhar. Tugas utamanya adalah untuk menjaga
tanah-tanah di dekat sungai di mana kantor-kantor publik berada serta memberi
dan mengatur lokasi untuk para pedagang Eropa (Tan, 2016). Saat Raffles
kembali pada Oktober 1822, ia menemui keadaan yang sangat kacau dan
menuduh hasil kerja Farquhar sebagai pekerjaan yang serampangan. Raffles
kemudian menunjuk Letnan Philip Jackson untuk merivisi tata ruang kota.
Jackson memetakan daerah-daerah Singapura berdasarkan beberapa subdivisi
etnis dan memetakan koloni dalam pola grid. Daerah pemukiman etnis dibagi
menjadi empat wilayah (IPFS). Raffles mengadopsi ide rancang kota dari kota-
kota kolonial di daerah dia berada, contohnya di Georgetown (saat itu dikenal
dengan nama Prince of Wales Island), Penang, Malaysia. Di daerah itu para
imigran Tiongkok dan India diintergrasikan ke rencana kota formal yang sangat
tertata dan terpantau. Kesuksesan Kota Georgetown berbanding terbalik dengan
rencana kolonial di India yang tidak tertata dan terpantau secara rapih sehingga
sanitasi buruk dan pertumbuhan kota yang serampangan menjamur.
Kota Eropa dihuni oleh pedagang dari Eropa, Eurasia dan orang Asia yang
kaya. Kampong Tionghoa adalah pecinan yang dihuni etnis Tionghoa. Little India
adalah tempat untuk etnis India letaknya di sebelah utara Kampong Tionghoa.
Kampong Glam dihuni oleh penduduk Muslim yang sebagian besar adalah etnis
Melayu dan Arab, daerah tersebut kemudian terbagi menjadi tiga bagian yaitu
Bugis, Arab dan Sultan Singapura (eNLB).
Page 4
23
(https://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/Singapore-jackson-1828)
Berikut komposisi pemetaan wilayah yang dirancang oleh Letnan Jackson
(NLB eResources):
Daerah untuk Orang Eropa dan pedagang membentang dari pinggir laut
timur kanton ke tepi barat daya Sungai Singapura.
Page 5
24
Daerah permukiman Tiongkok berada di sebelah barat daya Sungai
Singapura.
Daerah bagi etnis Melayu dan Arab berada di daerah kediaman Sultan
karena orang-orang Melayu telah tinggal di sekitar temenggong dekat
Panglima Perang.
Daerah bagi etnis India berada di hulu Sungai Singapura.
Rencana rancangan Kota Raffles yang dirumuskan pada akhir tahun 1822
kemudian dikenal sebagai Rencana Jackson (The Jackson Plan). Penataan kota
oleh Letnan Philip Jackson yang sesuai dengan visi dan harapan Raffless
diterbitkan pada tahun 1828. Pengkotak-kotakan wilayah secara formal ini
mengakibatkan penduduk di Singapura tidak membaur dengan kelompok lainnya
karena oleh koloni, mereka juga tidak memiliki inisiasi untuk membaur karena
tidak ada kepentingan dan keuntungan yang berarti apabila berbaur satu sama lain.
Tidak adanya kepentingan bersama dan keterbatasan pengetahuan bahasa dan
budaya menjadi alasan utama mereka sulit berbaur (Vaish, 2008).
Selain visi dan kebijakan di yang Raffles tentang tata kota yang didelegasikan
kepada Letnan Jackson, beliau juga menekankan perlunya pemisahan masyarakat
berdasarkan provinsi, pemisahan antara penduduk dan bukan penduduk, serta
pedagang menetap dan pedagang keliling (Vaish, 2008).
Tahun 1824 koloni Inggris melakukan sensus penduduk pertamanya di
wilayah Singapura jumlah penduduknya mencapai 11.000, dan pada tahun 1860
angka tersebut meningkat hingga mencapai 81.000 dengan etnis Tionghoa yang
mendominasi populasi (Turnbull, 1997). Pada tahun 1860 populasi Singapura
berkembang menjadi 80,792 dengan komposisi penduduk 62% orang Tionghoa,
13.5% orang Melayu, 16% orang India, 8.5% orang Eropa dan lainnya
(Bloodworth 1986). Respon pemerintah kolonial terhadap multikulturalisme di
Singapura sangatlah kurang sehingga menyebabkan masyarakat tersegregasi.
Beberapa tahun setelah perancangan kota Jackson Plan, segregasi masyarakat
terjadi karena masyarakat masih saja tidak berkontak antar kelompok. Segregasi
menurut etnis ini bukan karena kurangnya kebijakan maupun peraturan, namun
Page 6
25
karena kurangnya konsistensi dalam penegakan kebijakan mengenai masyarakat
multikulturalisme oleh pemerintah (Wilson, 1978). Jumlah orang Inggris saat
pertama kali tiba di wilayah Singapura sangatlah sedikit dibandingkan orang-
orang dari ras lainnya yang telah lama bermukim di tempat tersebut. Walau
jumlah penutur bahasa Inggris sangat sedikit, bahasa tersebut tetap menjadi
bahasa yang penting dan memiliki prestis karena merupakan akses komunikasi ke
ruling class1 maupun jajaran elit (Erb, 2003).
Sebagai wilayah pelabuhan yang strategis dan penting, wilayah Singapura
menjadi tujuan para imigran yang sebagian besar ingin mencari untung di bidang
ekonomi. Tahun 1867 pemerintahan kolonial menjadikan imigran India sebagai
tentara, pegawai toko, pegawai negeri, guru dan buruh. Imigran dari daerah sekitar
seperti Malaysia dan Indonesia juga turut meramaikan populasi Singapura.
Komunitas Timur Tengah dan orang-orang Armenia juga datang untuk alasan
yang sama (Vaish, 2008).
Di Singapura pada saat itu terdapat kategorisasi ras berdasarkan etnis
Tiongkok, Melayu, India dan lainnya dan etnis-etnis tersebut kemudian
merupakan bangsa atau nation yang merupakan kolektivitas sosiologis
(Pabottinggi dalam Anderson 1983). Terdapat beberapa bangsa yang membangun
Singapura sejak masa kolonial dan bangsa-bangsa tersebut terus menetap dan
bertambah jumlahnya hingga hari ini (Anderson, 1983).
Setelah kemerdekaan Singapura pemerintah internal dihadapkan oleh
kerentanan Singapura dari berbagai aspek. Ketika merdeka Singapura sangat
rentan karena hanya merupakan negara kepulauan kecil seluas 586,5 kilometer
persegi dan dihuni 2,93 juta orang ini (Fact & Picture of Singapore 1995) tidak
memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun kehidupan
bernegara dan bahkan sumber daya air. PM Goh Chok Tong dalam pidatonya di
Hari Nasional 1995 mengungkapkan bahwa sesaat kita berangkat dari Bandara
Changi kita sudah berada di wilayah udara orang lain untuk menganalogikan
kecilnya pulau Singapura. Singapura juga rentan karena sebagian penduduknya
1 Ruling class merujuk pada pemegang kekuasaan pada jaman kolonial (www.nlb.gov.sg)
Page 7
26
adalah orang Tiongkok di wilayah Islam, disebut wilayah Islam karena secara
geografis diapit oleh wilayah yang dihuni oleh mayoritas penduduk Melayu
penganut agama Islam. Singapura juga rentan karena sangat menggantungkan
ekonominya pada pasar global, adanya riak kecil atau masalah kecil saja dapat
berdampak besar terhadap ekonomi negara. Singapura juga rentan karena
populasinya yang multiras, multiagama dan multibahasa, sehingga selalu
dibayangi persaingan yang dapat menjadi ancaman kelangsungan hidup
(Bockhorst-Heng, 1998).
Ketika Lee Kuan Yew mengambil alih kekuasaan, dia mendapati dirinya
mengatur rawa yang dipenuhi nyamuk dengan peternakan babi dan ayam, desa-
desa nelayan, dan koloni liar dari gubuk-gubuk beratap seng. Jalan-jalan di pusat
kota dipenuhi dengan ruko-ruko - sebagian besar bangunan berlantai dua.
Keluarga akan mengoperasikan bisnis di lantai dasar dan tinggal di lantai dua
sering tanpa pipa dan listrik, dan rumah-rumah dihuni sebanyak sepuluh orang.
Asia Scene tahun 1960 melaporkan bahwa kemiskinan di Singapura sangat
fenomenal dan orang harus melihat dengan mata sendiri untuk percaya itu.
B. Nation State
Pada awal kemerdekaan Singapura sejumlah dua juta masyarakat tidak
berketerampilan dan buta huruf. Sebagai negara yang minim akan sumber daya
alam, pemerintah kemudian fokus pada peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui pemerataan pendidikan. Singapura memiliki banyak masalah
yang harus segera diselesaikan. Sebanyak tiga juta orang menanggur dan dua per
tiga penduduknya tinggal di pemukiman kumuh dan liar. Kondisi sanitasi dan
infrastrukturnya jauh dari kata layak dan memdai. Salah satu contoh langkanya
sumber daya alam di Singapura adalah air. Salah satu kebutuhan pokok manusia,
air, bahkan adalah sumber daya yang langka sehingga mengantar Singapura untuk
mengambil keputusan untuk menghemat air dan mengelolanya secara lebih efisien
dan bijaksana. Untuk menyiasati kurangnya sumber daya alam yang sangat
Page 8
27
minim, pemerintah Singapura memutuskan untuk mengambil inisiatif dengan
berinvestasi di bidang infrastruktur, teknologi dan strategi untuk pengelolaan
sumber daya air. Kondisi ini adalah salah satu contoh di mana pemerintah fokus
terhadap pemerataan pendidikan supaya sumber daya manusianya terdidik dan
terpelajar sehingga dapat menyiasati kondisi negara yang minim akan sumber
daya alam.
Dipandang sebagai negara yang rentan, miskin, dan tidak berketerampilan,
pemerintah Singapura kemudian harus bekerja keras untuk membangun keaslian
bangsa supaya dilihat sebagai negara yang sah. Ada dua hal yang menjadi fokus
utama pemerintah, pertama berkaitan dengan kelangsungan hidup Singapura
dengan segala keterbatasan sumber daya alam, kemudian bagaimana cara
mensiasati keterbatasan sumber daya alam dengan memposisikan dirinya dalam
hubungannya dengan negara-negara lain. Kedua berkaitan dengan citranya sendiri
sebagai negara yang tidak ada unsur kebangsaan yang sama, seperti bahasa yang
sama, masyarakat atau etnis yang sama, agama yang sama, sehingga harus
mengatur strategi untuk memaknai identitas nasional (Golob et all, 2016).
Singapura kemudian berinisiasi untuk bergabung kembali dengan Federasi
Malaysia. Lee Kuan Yew menggunakan nasionalisme Melayu untuk
mengimbangi pengaruh Inggris di negara. Karena alasan ini, bahasa Melayu
menjadi bahasa nasional Singapura. Dan karena alasan ini banyak kebijakan
diberlakukan untuk memerangi potensi chauvinisme Tiongkok mengingat
banyaknya etnis Tiongkok di Singapura. Keinginan ini terbukti dalam waktu
sensus nasional pertama Singapura tahun 1957 dan dalam penciptaan bendera
nasional dan lagu kebangsaan pada tahun 1959. Beberapa berpendapat bahwa
sirnbol nasional ini adalah bagian dari upaya keseluruhan untuk memerangi
chauvinisme etnis demi kepentingan merger (Wihott, 1989). Namun, simbol-
simbol ini juga berbicara dengan jelas tentang agenda nasionalis independen, yang
membayangkan Singapura secara terpisah dari tetangganya. Lagu kebangsaan,
misalnya, adalah suara yang kuat dalam menyatukan orang ke dalam agenda
nasionalis. Fakta bahwa sebagian besar warga Singapura bahkan hari ini tidak
Page 9
28
mengerti lirik bahasa Melayu tampaknya tidak menghilangkan rasa nasionalisme
yang dibawakan oleh lagu kebangsaan tersebut. Menurut sebuah survei 26 Juli
1991 Straits Times menunjukkan bahwa 80% orang yang diwawancarai tidak
mengetahui arti kata-kata itu (Bockhorst-Heng, 1999).
Pemerintahan Inggris meninggalkan legasi bentuk pemerintahan
demokrasi kepada Singapura, mereka juga meninggalkan legasi sistem yudisial,
struktur munisipal, pendirian parlemen, serta sistem pendidikan yang mewajibkan
penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa bisnis dan pemerintahan serta bahasa
yang netral antar ras, legasi tersebut adalah klasifikasi CMIO atau Chinese,
Malay, Indian and Others untuk memudahkan pemerintah menyebutkan etnis-
etnis mayoritas karena pemerintah akan sering menggunakan istilah tersebut
untuk membahas demografi masyarakat maupun merumuskan peraturan (Hee,
2016). “The others” atau “Lainnya” merupakan populasi yang tidak termasuk
dalam klasifikasi ras Tionghoa, Malaysia maupun India, misalnya ras Kaukasian
(Vaish, 2008). Legasi kategorisasi ras ini masih digunakan hingga hari ini untuk
membantu mengatur kebijakan politik khususnya yang berkaitan dengan identitas
melalui survey. Dr Mathews, kepala Group Representation Constituency (GRC)
Singapura menegaskan bahwa setiap ras di Singapura dapat tetap bisa
mengekspresikan dan melestarikan budayanya tanpa harus menghilangkannya
sama sekali hanya karena mereka tinggal di Singapura, apa yang mereka rasakan
adalah hal yang sangat berharga (Baker, 2017).
Anderson melihat nation state sebagai komunitas politik dan berdaulat
yang dibayangkan di mana orang memiliki rasa memiliki tanpa benar-benar saling
mengenal. Dalam tulisan ini yang dimaksud nation state adalah Singapura sebagai
komunitas politik yang berdaulat yang dihuni oleh sekelompok orang dengan latar
belakang berlainan tetapi membayangkan dirinya sebagai saling kenal.
Pemerintah yang semi otoritarian kemudian mengambil alih kendali untuk
memproyeksikan kolektivitas masyarakat Singapura sehingga Singapura menjadi
negara kebangsaan, atau negara yang terdiri dari berbagai macam bangsa, namun
menjadi kesatuan politik (Anderson, 1983).
Page 10
29
C. Nasionalisme
George Rendel diangkat pemerintah Inggris untuk merumuskan konstitusi
baru dan mempersiapkan kemerdekaan Singapura tahun 1953 dengan mendorong
pengembangan partai-partai politik. Tahun berikutnya, 1954, Lee Kuan Yew
bersama kaum radikal Tiongkok bergabung untuk membentuk Partai Aksi Rakyat
atau People Action Party yang diketuai oleh Lee Kuan Yew. Tahun 1955 David
Marshall menjadi Kepala Menteri Singapura pertama pada pemilihan pertama,
ketika Inggris gagal mencapai kesepakatan untuk kemerdekaan David Marshall
kemudian mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Lim Yew Hock tahun
1957. Pada tahun yang sama Undang-undang Kewarganegaraan yang berisi
tentang dasar hukum dan kewarganegaraan Singapura mengabulkan permohonan
kewarganegaraan kepada 325.000 orang asing (MacDougall, 1982). Tahun 1958
akhirnya Inggris memberi Singapura pemerintahan sendiri dan kepala negara yang
akan menggantikan Gubernur Inggris akan segera dipilih, begitupun dengan
Dewan Legislatif. PAP memenangkan pemilihan perdana dan meraih kekuasaan
karena telah memenangkan 43 dari 51 kursi dan Lee Kuan Yew kemudian
menjadi Perdana Menteri pertama Singapura. Dipilihnya Lee Kuan Yew menjadi
Perdana Menteri menandai pemerintahan negara internal yang mandiri dengan
konstitusi-konstitusi barunya yang mulai berlaku (Bockhorst-Heng, 1998).
Kontrol dan turut andil pemerintah atas penyebaran informasi merupakan
tema umumnya muncul dalam diskusi tentang Singapura. Pemerintah PAP
memberikan pengaruh besar atas pengoperasian, kontrol dan partisipasinya atas
media daripada pemerintah di Kanada atau di tempat lain di negara barat lainnya
(Birch, 1993; Ivan Lim, 1985; Kuo et al., 1993; CV Nair, 1976; Tan dan Soh,
1994). Dasar dari aksi tersebut adalah karena PAP, berdasarkan pertimbangan
Kuo dan Chen, 1983, menimbang bahwa
a) Menganggap media masa sebagai instrumen yang kuat yang dapat
mempengaruhi publik,
b) Berpandangan bahwa orang-orang dapat dihimbau dan hampir tidak
dapat menahan pengaruh media massa,
Page 11
30
c) Apabila media masa berada di tangan yang salah, potensi untuk
disalahgunakan sangat besar kemungkinannya sehingga dapat
mengganggu kerukunan sosial, stabilitas politik dan stabilitas
masyarakat,
d) apabila di tangan yang benar dan dengan bimbingan yang tepat, media
masa dapat melakukan peran konstruktif dalam pembangunan bangsa
atau nation building, misalnya dengan menjaga stabilitas dan kohesi
sosial, menyalurkan kebijakan pemerintah secara lengkap dan rutin
dan membahas nilai-nilai Asia)
e) media massa harus dikontrol.
Kami prihatin dengan penggunaan media yang tidak bertanggung
jawab karena telah membuat kebingungan, kekacauan dan dalam
menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan
politik dan kebijakan dan strategi mereka dalam rangka
membangun bangsa ... Kami percaya bahwa media memiliki
kewajiban untuk berkontribusi dalam memperkuat kebijakan
Pemerintah dan strategi dalam tugas pembangunan bangsa. (The
Mirror 12.13, 29 Mar 1976)
Lee Hsien Loong dalam pidatonya di Helsinki 26 Mei 1987
mengungkapkan bahwa pemerintah Singapura perlu bertanggung jawab dan harus
waspada terhadap media yang memberi nilai-nilai yang tidak diinginkan dan
bagaimana laporan mengenai kerusuhan ras dapat menyebabkan tensi antar-ras.
Hal ini bukan teori semata karena pemerintah berkaca pada kasus kerusuhan
Maria Hertogh tahun 1950, orang Belanda beragama Katolik yang dibesarkan
oleh keluarga Melayu pada jaman penjajahan Jepang yang kemudian kedua orang
tuanya berseteru karena masalah hak asuh, dan Kerusuhan Ras Melayu-Tiongkok
tahun 1964 yang memercik perseteruan antar kedua ras yang bersangkutan (Strait
Times, 1988).
Sastra, televisi, film, dan surat kabar nasional hanyalah beberapa dari
lokasi tekstual di mana imajinasi bangsa itu ditentang dan diperebutkan. Di
Singapura yang sangat melek huruf dan urban, surat kabar harian massa yang
Page 12
31
sangat penting bagi imajinasi bangsa. Pemerintah secara khusus mengamanatkan
bahwa peran utama pers ditentukan oleh agenda nasionalis. Dan ketika para
pemimpin pemerintah memberikan pidato, itu adalah keenam kesadaran dan
harapan bahwa pidato-pidato ini. Kita akan direproduksi, sering kata demi kata,
melalui media massa. Imajinasi bangsa terjadi sebagai hasil dari adalah surat
kabar harian yang membuat wacana pemerintah paling mudah diakses oleh orang-
orang. Sebuah studi penggunaan media oleh Chen dan Kuo (1978) menyimpulkan
bahwa surat kabar (relatif terhadap televisi dan radio) dipandang sebagai sumber
informasi yang paling berguna dan paling dapat diandalkan, terutama wacana
pemerintah.
Gonzalez et al. (1984) mengidentifikasi empat cara utama di mana
Television Corporation of Singapore (TCS) terlibat dalam penerapan kebijakan
bahasa resmi:
(a) presentasi langsung dan penjelasan kebijakan kepada publik;
(b) melalui kontrolnya terhadap media bahasa dan bentuk bahasa dalam
pemrogramannya;
(c) melalui kontrolnya terhadap konten program; dan
(d) melalui pengajaran bahasa langsung. Ini dapat diterapkan pada pers
harian massa juga.
Dalam rangka menjalin hubungan yang baik, para pemimpin pemerintahan
dan pers secara aktif membangun hubungan yang erat satu sama lain mengingat
perannya untuk nation building. Seorang mantan karyawan Singapore Press
Holdings bercerita kepada saya (komunikasi pribadi, Juli 1995) bahwa telah
merupakan hal yang biasa bagi para menteri dan editor untuk bertemu secara tidak
resmi pada jam makan siang untuk membahas berbagai masalah tentang
kepentingan nasional. Perwakilan dari masing-masing kementerian dan dewan
hukum telah ditunjuk sebagai "petugas penghubung pers" sejak 1982 (Bockhorst-
Heng, 1998).
Page 13
32
Sebagai masyarakat yang diproyeksi untuk menjunjung meritokrasi dan
terdidik, pemerintah menggaungkan informasi, pendidikan dan himbauan
mengenai cara berperilaku dan apa saja yang harus dihargai melalui berbagai
media seperti papan iklan, poster-poster di jalan, iklan televisi dan bahkan
tayangan video di klinik medis. PAP meresmikan kebijakan informasi yang
ditujukan untuk mendidik, mengubah, membentuk dan memandu pendapat publik
sebagai cara untuk membangun kepercayaan dan dukungan bagi pemerintahnya
(Bellow, di Kuo dan Chen, 1983).
Mengakui diri sendiri sebagai rezim otoriter yang lunak, Singapura
menjadi salah satu negara terstabil secara politik dan kompetitif dalam bidang
ekonomi di dunia. Pengamatan ini dilakukan oleh Freedom House, LSM
internasional yang mengobservasi dan menerbitkan laporan tahunan tren global
dalam demokrasi. Laporan Freedom House tahun 2005 mengungkapkan bahwa
warga Singapura tidak dapat mengubah pemerintahannya secara demokratis,
artinya pemerintah memegang posisi yang lebih tinggi dari pada yang dipimpin,
dengan begitu pemerintah memainkan peran yang penting dalam merumuskan,
mengambil, dan menjalankan keputusan untuk menjalankan roda pemerintahan.
Kehidupan bermasyarakat penduduk Singapura diatur secara rapi dan akan
terus diatur secara demikian oleh pemerintah, kehidupan mereka telah terpolitisasi
karena pemerintah mengintervensi berbagai aspek sosial masyarakat seperti
tempat tinggal, budaya, bahasa, agama, aturan binatang peliharaan, pembelian
permen karet dan sebagainya (Hudson 2013). Pemerintah memegang peranan
penting dalam kehidupan bermasyarakat Singapura dan memiliki otoritas tinggi
untuk mengatur negara.
Di negara multi etnis yang modern, pemerintah Singapura berinisiatif
untuk membangun negara dengan rorientasi ke masa depan dan bukan beridealis
dengan menggantungkan pada sejarah kolonial. Banyak orang yang memegang
persepsi bahwa pembangunan nasional yang ideal harus berkiblat pada konsep
negara-negara Eropa klasik yang memperhitungkan etnis dan kesamaan elemen
Page 14
33
sosial lainnya sebagai patokannya (Eriksen, 2010). Singapura sangat menghargai
sejarahnya dengan dibangunnya sejumlah monumen dan beberapa museum untuk
mengenang masa lalunya, negara ini juga mengadopsi sejumlah legasi dari
pemerintah kolonial untuk melanjutkan birokrasi pemerintah, namun di satu sisi
Singapura memiliki pola pikir yang sangat berorientasi ke masa depan karena
sejarah cenderung mensegregasikan daripada mengintergerasikan penduduk yang
datang dari berbagai negara.
Bahasa Inggris berlanjut menjadi bahasa resmi Singapura pasca
kemerdekaan karena beberapa alasan praktis. Pertama, Bahasa Inggris telah
digunakan di kalangan elitis sebelum kemerdekaan sehingga menghasilkan
generasi yang cakap berbahasa Inggris. Para elitis ini yang kemudian sebagian
melanjutkan roda pemerintahan Singapura. Lee Kwan Yew, Perdana Menteri
Singapura pertama yang disebut-sebut sebagai founding father2 Singapura,
menempuh pendidikan di Inggris untuk kembali ke negara asal untuk membentuk
partai politik. Beliau membutuhkan orang-orang yang cakap berbahasa Inggris
untuk bekerja dalam pemerintahannya. Kedua, pemerintah Singapura menyadari
sangat terbatasnya sumber daya alam yang dimiliki sehingga harus mengatur
strategi untuk survive. Maka dari itu negara harus turut aktif terlibat dalam
perdagangan dunia. Dalam prosesnya, kecakapan Bahasa Inggris sangat vital
untuk mendongkrak prestis dan tingkat kompetisi. Ketiga, secara umum Bahasa
Inggris merupakan bahasa yang secara alami digunakan sebagai komunikasi antar
etnis karena menyandang predikat sebagai bahasa internasional (Tan, 2014).
Bahasa Inggris standar dinilai dapat menghubungan masyarakat lokal dengan
masyarakat internasional dalam bidang sains, tekonologi dan bisnis (Echaniz,
2015).
Seiring berjalannya waktu, pada saat yang sama, saat negara lain sibuk
mengurus masalah ketidaksetaraan pendapatan atau kesenjangan ekonomi,
Singapura telah berkomitmen untuk menjunjung pemerintahan meritokrasi di
mana kesenjangan ekonomi tidak akan lagi terjadi, justru pemerintah telah
2Founding father merupakan julukan yang diberikan kepada sosok yang berkontribusi signifikan
dalam membangun sebuah negara sehingga beliau terkenal melalui kebijakan-kebijakannya
serta hasil dari pemerintahannya selama menjabat posisi tertentu. (www.nlb.gov.sg)
Page 15
34
memikirkan cara untuk menarik masyarakat asing untuk turut berpartisipasi dan
bekontribusi terhadap perekonomian Singapura. Pemerintah juga telah memberi
subsidi untuk pendidikan dan perumahan dengan salah satu standar tertinggi di
dunia (Quah, 1992). Kesuksesan ekonomi kemudian menjadi alasan utama bagi
pemerintah untuk tetap menggunakan Bahasa Inggris.
Di Singapura terdapat National Heritage Board yang membantu
melestarikan bangsa-bangsa di Singapura membawahi tiga lembaga warisan etnis,
yaitu Indian Heritage Center (IHC) atau Pusat Warisan India, Balai Peringatan
Sun Yat Sen Nanyang atau Pusat Warisan Tiongkok, dan Pusat Warisan Melayu.
4.1.1. Etnis Tionghoa
Republik Rakyat Tiongkok bukan hanya muncul sebagai pemasok
barag namun juga sumber daya “migran” baru di seluruh dunia. Pada
jaman kolonialisme jumlah penduduk terbesar di Singapura adalah etnis
Tionghoa, peringkat tersebut masih bertahan hingga hari ini, tahun 2019
(ChannelNewsAsia, 2019).
Terlepas dari konsep „diaspora‟ dan „emigrasi‟ di Tiongkok
sebelum abad ke-19, warga Tiongkok sebetulnya telah lama menjadi
masyarakat yang berkeliling dan menyebar di seluruh penjuru dunia
termasuk untuk alasan perdagangan lintas darat maupun lintas laut (Wang
& Murie, 2000). Salah satu dari beberapa situs penting dari eksplorasi dan
perjalanan maritim awal yaitu wilayah Nanhai, sebuah daerah di Asia
Tenggara yang kemudian menjadi negara Singapura saat ini. (Yeoh dan
Willis , 2000) menyebutkan bahwa negara Singapura merupakan tempat
berkumpulnya “anak diaspora” karena dibentuk oleh dunia migran
poliglot3 dari Tiongkok, Melayu, India dan tempat-tempat lainnya.
Pelabuhan perdagangan yang didirikan Sir Stamford Raffles pada
tahun 1819 dibawah kekuasaan East India Company diduduki oleh migran
3 Poliglot adalah istilah linguistik untuk menyebut seseorang yang cakap dalam lebih dari dua
bahasa. Seseorang yang cakap dalam satu bahasa disebut monoglot (www.nlb.gov.sg).
Page 16
35
dari Tiongkok yang dengan cepat tumbuh sebagai ras mayoritas di pulau
tersebut (Wang, 1992). Sebagaimana dicatat Meagher (2008), populasi
etnis Tiongkok di Singapura meningkat dari sekitar 3.000 jiwa tahun 1820
menjadi sekitar 5.000 jiwa tahun 1860, mencapai dua kali lipat dalam tiga
puluh tahun, peningkatan jumlah penduduk tersebut dikarenakan jumlah
migran yang terus bertambah, bukan karena jumlah keturunan.
Peningkatan jumlah penduduk ini didorong oleh peran kota tersebut
sebagai tujuan utama dan pusat koordinasi imigran Tiongkok yang menuju
wilayah Inggris di Nanyang bagian barat. Penghapusan Undang-undang
Penumpang Tiongkok tahun 1855 tentang pembatasan jumlah penumpang
turut menambah volume imigran per perjalanan. Aliran masuk migran dari
Hong Kong dan pintu gerbang Tiongkok Selatan kapasitasnya bertambah
dari hanya beberapa ribu per tahun menjadi 35.000 per tahun pada tahun
1880 (Sinn, 1995).
Dinamika imigran di Singapura menjadikan negara tersebut
sebagai negara yang berbeda dengan negara-negara tetangganya di Asia
Tenggara. Sebagian besar populasinya dibentuk secara konstan oleh aliran
pekerja migran yang terus-menerus, khususnya dari Tiongkok. Keadaan
ini kemudian meninggalkan dampak pada profil demografis atau ras
beberapa dekade bahkan setelah masa kolonial Inggris.
Singapura terjebak dalam ikatan “minoritas ganda” saat merdeka
tahun 1965, karena migran Tiongkok yang menjadi mayoritas di kota
sedangkan orang pribumi wilayah tersebut, ras Melayu, adalah minoritas
juga karena jumlahnya yang dilampaui oleh migran. Kondisi ini
menjadikan etnis Melayu sebagai minoritas di Singapura tetapi mayoritas
di luar (Tan, 2004: 170).
Sebagaimana orang orang keturunan Tiongkok di Asia Tenggara
generasi kedua dan ketiga yang tinggal di negara lain menolak
diidentifikasi sebagai orang Tiongkok Daratan (China Mainland) pada
tahun-tahun pasca perang (Suryadinata, 1997), begitupun dengan
Page 17
36
Singapura yang tampak sedang mengalami pergulatan tentang identitasnya
sendiri sebagai orang Tiongkok multibudaya.
Pusat Warisan Tiongkok kemudian hadir sebagai tempat pusat
kegiatan dan mediator para migran Tiongkok dengan penduduk Singapura
setempat dan bukan menawarkan jasa yang dipersepsikan masyarakat pada
umumnya, seperti jasa kesejahteraan sosial bagi orang atau keluarga pra-
sejahtera, penyelanggaraan pendidikan Bahasa Mandarin dan pendidikan
budaya Tiongkok, bantuan administrasi legalisasi pernikahan, pelaksanaan
ibadah leluhur, atau layanan pemakaman bagi para pendatang baru
(Komite Editorial Warisan Budaya Cina, 1990).
4.1.2. Komunitas Melayu
Orang Melayu dapat dianggap sebagai penduduk asli negara itu,
yang telah tinggal dan ada di Singapura sejak 1300 Masehi setelah
berdirinya pemukiman yang dikenal sebagai Singapura oleh pangeran
kerajaan Sumatra. Pemukiman ini kemudian menjadi pusat pertumbuhan
terutama selama sebagian besar abad keempat belas dengan penduduk
Melayu dan rumah-rumah berkuasa yang memiliki ikatan dengan kerajaan
lain dan kerajaan terkenal seperti Majapahit.
Kebanyakan menemukan pekerjaan di pekerjaan kasar seperti
tukang kebun, pengemudi, penjaga toko, office boy, Asisten Rumah
Tangga (ART) atau polisi. Sejumlah menjadi pegawai lembaga pemerintah
seperti di bagian tata usaha dan utilitas. Beberapa mencari nafkah sebagai
penjaga toko kecil di wilayah kota Melayu, pedagang kaki lima sementara
yang lain mengambil peran seperti pejabat masjid atau guru agama.
Meskipun terdapat kelambatan ekonomi jika dibandingkan dengan orang
Cina di Singapura, orang Melayu sebagai sebuah kelompok berkembang
pesat di pulau itu dan sangat terhubung dengan komunitas Melayu yang
lebih besar di Kepulauan ini. Hal ini dimungkinkan oleh akses bebas
pergerakan orang Melayu dari Semenanjung Malaya dan Kepulauan
Indonesia ke Singapura. Dengan demikian Singapura berada tepat di
Page 18
37
tengah dunia Melayu dan menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas budaya
Melayu.
Antara 1819 dan pertengahan abad ke-19, orang-orang Melayu
adalah kelompok etnis terbesar di Singapura. Namun jumlah migran Cina
meningkat secara eksponensial sehingga pada akhir abad ke-19, para
migran Cina dengan cepat menyalip orang-orang Melayu dan menjadi
mayoritas di Singapura. Tidak hanya orang Tionghoa sebagai kelompok
etnis mayoritas, mereka juga dominan secara ekonomi dengan banyak
orang mencapai kesuksesan sebagai pedagang dan wirausahawan,
Para pemimpin People of Action Party (PAP) Melayu ini dapat
dianggap sebagai elit politik masyarakat Melayu. Sebagai perwakilan dari
komunitas orang Melayu, mereka diharapkan untuk membimbing dan
memimpin komunitas orang Melayu. Pada saat yang sama, karena mereka
adalah bagian dari partai nasional, mereka harus mewakili konstituensi
mereka bersama dengan para pemimpin politik lainnya di Singapura dan
menghadirkan negara yang berorientasi nasional. Para pemimpin PAP
Melayu diharapkan untuk memperhitungkan kebutuhan masyarakat
Singapura yang lebih besar dan kepentingan nasional keseluruhan negara
itu, bukan hanya masyarakat Melayu.
Kepemimpinan PAP yang kuat dan berkuasa di Singapura
kemudian membentuk pandangan dan pemahaman mereka tentang
komunitas Melayu, masalah-masalah orang Melayu, bahkan
mempengaruhi persepsi dan pemahaman tentang identitas Melayu. Oleh
karena itu perlu untuk mengevaluasi kembali pemikiran kelompok elit
politik ini.
Etnis Tiongkok kemudian menjadi mayoritas anggota PAP yang
sebagian besar. Dari posisi istimewa mayoritas di Federasi Malaya, orang
Melayu menjadi minoritas di sebuah negara yang sebagian besar dihuni
oleh orang Tiongkok. Selain itu, orang Melayu Singapura juga harus
bersaing dengan perubahan dalam prinsip dasar pemerintahan dan prinsip-
prinsip. Meritokrasi kemudian menjadi prinsip utama dalam pemerintahan
Page 19
38
Singapura, dan prinsip ini berlaku untuk semua penduduk Singapura,
termasuk orang Melayu.
Satu-satunya referensi untuk mendefinisikan etnis Melayu dalam
Konstitusi Singapura adalah bahwa “Melayu ... adalah penduduk asli
Singapura ...”. Tidak ada penjelasan tambahan tentang atribut atau sifat
yang membentuk bahasa Melayu dalam Konstitusi Singapura. Tahun 1988
ada upaya untuk memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang makna
Melayu setelah artikulasi yang dilakukan oleh Komite Melayu Terpilih
Namun dan mendefinisikannya sebagai berikut: “Seseorang yang termasuk
dalam masyarakat Melayu haruslah siapa saja, baik ras Melayu atau
bukan, yang menganggap dirinya sebagai anggota masyarakat Melayu dan
yang pada umumnya diterima sebagai anggota masyarakat Melayu oleh
masyarakat itu”
Oleh karena itu orang Melayu Singapura dibedakan sebagai orang
yang adalah mereka yang berbicara bahasa Melayu, menerima dan
mempraktikkan adat, tradisi, dan nilai-nilai Melayu yang dilahirkan dan
dibesarkan oleh agama Islam. Secara umum masyarakat dapat memahami
bahwa ketika seseorang diidentifikasi dan diakui sebagai orang Melayu, ia
adalah penutur bahasa Melayu, mempraktikkan adat dan tradisi Melayu,
dan pengikut agama Islam.
4.1.3 Komunitas India
Indian Heritage Center (IHC) atau Pusat Warisan India membuka
dirinya untuk umum pada Februari 2015 dan secara aktif terlibat dalam
penelitian sejarah masyarakat India di Singapura dengan menerbitkan arsip
publik dan surat kabar secara berkala. Selain itu IHC juga mengumpulkan
berbagai kisah naratif tak berwujud yaitu narasi dari individu, keluarga,
sejarah dan sosial-budaya dalam memori kolektif komunitas, kemudian
data tersebut ditampung dan dikompilasi di bagian “suara-suara
komunitas” di galeri.
Page 20
39
Sebuah karya dari perintis IHC mengungkapkan bahwa sebagian
besar migran dari India adalah buruh. Sandhu (1969) dan Arasaratnam
(1970) menyimpulkan bahwa buruh India adalah mayoritas migran di
wilayah Malaya. Selain buruh, ada juga kelompok komersial, profesional
serta ulama yang bermigrasi dari India ke Malaya. Walupun narasi tulis
dan dokumentasi terbilang minim, identitas budaya kolektif India
kemudian diceritakan dan diceritakan kembali dari generasi ke generasi
melalui pesan mulut.
Singapura memiliki hubungan diplomatik dan kultural yang dekat
dengan India sejak masa kolonial hingga kemerdekaannya. Selama
pemerintahan Inggris, hukum pidana dan gaya pemerintahannya banyak
yang mengadopsi dari India. Indira Gandhi mengunjungi Singapura tahun
1966, setahun setelah kemerdekaan Singapura dan dalam pertemuannya
dengan beliau Perdana Menteri Lee Kuan Yew menegaskan kesamaan
penting antara Singapura dan India.
Kenyamanan yang muncul karena sejarah panjang antara
Singapura dan India selama periode kolonial menyebabkan budaya, nilai-
nilai dan bahkan masakan-masakan India tersebar luas di Singapura dan
merupakan salah satu penarik besar bagi calon migran dari India (Lim,
2004) karena “Sebagaimana India yang memandang ke arah timur,
Singapura juga memandang ke arah barat menuju India”(Goh, 2004).
Kenyamanan orang India di Singapura dapat ditelusur melalui Kegiatan
dan aktivitas wirausaha awal di Singapura yang berpusat di tepi sungai
diamati oleh Siddique dan Puru Shotam (1982). Banyak dari daerah yang
dihuni komunitas India seperti Cross Street, Malacca Street, Market Street,
dan Raffles Place berubah karakternya dan sekarang hanya ada sedikit
jejak dan bukti nyata bekas bisnis, kegiatan maupun kegiatan India. Chulia
Street menjadi satu-satunya penanda.
Bangsa-bangsa tersebut kemudian diproyeksikan oleh pemerintah
Singapura supaya memiliki keterikatan satu sama lain dan memiliki identitas yang
Page 21
40
sama sebagai nation state dengan prospek ekonomi yang menjanjikan. Pemerintah
tidak hanya ingin membentuk masyarakat modern tetapi juga masyarakat yang
menghargai dan mempraktikkan budaya nenek moyangnya. (Turnbull, 1997)
Anderson (1983) mengungkapkan bahwa nation-state secara luas diakui
sebagai 'baru' dan 'historis' atau negara-negara di mana mereka berkaca pada
politik masa lalu dan melihat jauh ke masa depan tanpa batas. Nasionalisme untuk
mengubah kesempatan menjadi takdir. Nasionalisme harus dipahami dengan
menyelaraskannya, bukan hanya memandang ideologi politik tetapi juga
mempertimbangkan sistem budaya besar yang mendahuluinya, budaya yang
berasal dari bangsa-bangsa yang telah ada. Terdorong untuk membangkitkan
nasionalisme dalam masyarakat Singapura dengan merancang dan merilis
kebijakan bahasa.
4.2 Kebijakan Bilingualisme
Salah satu kebijakan fenomenal pemerintah untuk mengonstruksi identitas
nasional adalah Kebijakan Bilingualisme, di mana murid diwajibkan untuk
menggunakan Bahasa Inggris disamping bahasa ibu seperti bahasa Mandarin,
Melayu dan Tamil (Pryke, 2013). Kebijakan tersebut juga merupakan strategi
pemerintah untuk menyetarakan kedudukan bahasa, sehingga tidak ada salah satu
bahasa dari etnis yang dominan di Singapura yang lebih superior dari yang
lainnya (Tan, 2014).
Untuk alasan survival Lee Kuan Yew bervisi untuk menarik investor asing
dengan cara membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif, pemerintahan yang
bersih dari segala macam bentuk korupsi, sistem ekonomi politik yang stabil
(Hee, 2016). Bahasa Inggris sangat penting untuk menarik investor asing dan
untuk menyediakan akses terhadap dunia sains, teknologi dan komunikasi.
Konsep survival Lee Kuan Yew silih berganti seiring berjalannya waktu, mulai
survive dari ancaman kelaparan sebagai negara merdeka yang memiliki sumber
daya alam yang sangat minimal hingga survive menjadi competitor dalam dunia
yang terus terglobalisasi (Hee, 2016).
Page 22
41
Kekhawatiran pemerintah tentang westernisasi akhirnya mendorong pada
gagasan English knowing bilingualism4 (Pakir, 1992). Orang-orang Singapura
juga diharapkan untuk fasih dalam bahasa ibunya supaya dapat memiliki ikatan
terhadap budaya-budaya dan nilai-nilai tradisional (Wee, 2005). Di masa lalu,
menjadi bilingual di Singapura berarti mahir dalam dua atau lebih dari berbagai
ragam bahasa. Sekarang, menjadi bilingual di Singapura berarti memiliki
kemahiran utama dalam bahasa Inggris dan juga bahasa resmi lainnya, yaitu
biasanya bahasa ibu etnik seseorang (Pakir 1993). Jika seorang anak lahir dari
pasangan Melayu (ayah) dan Tionghoa (ibu) maka anak etnis anak tersebut adalah
Melayu (Vaish, 2008). Terdapat desakan dan kebutuhan untuk membela dan
melestarikan budaya-budaya Asia namun di satu sisi juga harus mengadopsi
modernitas Barat di mana perkembangan ekonomi dan modernisasi harus
terkoneksi dengan budaya Asia sehingga keberadaan budaya menjadi strategi
penting bagi negara untuk mengontrol masyarakatnya (Ong 2005).
Selain menjadi media komunikasi orang Inggris di tanah Singapura,
Bahasa Inggris secara natural juga digunakan untuk memfasilitasi komunikasi
antar etnis sehingga penggunaannya berkembang pesat (Platt & Weber, Kachru
1986). Bahasa Inggris juga merupakan modal linguistik yang dibutuhkan setiap
individu untuk berpartisipasi aktif dalam perekonomian global. Sekolah sebagai
penyedia akses pendidikan bahasa Inggris turut memainkan peran penting di
lingkungan yang menganut nilai meritokrasi (Vaish, 2008). Mengutip Tony Tan
dalam pidato parlemennya, Menteri Pendidikan tahun 1986, sebagaimana dikutip
Pakir 2001:342, “Anak-anak harus mempelajari bahasa Inggris sehingga mereka
mendapatkan jendela pengetahuan, teknologi dan keahlian tertentu di dunia”.
Prosedurnya adalah mewajibkan anak-anak untuk mempelajari bahasa etnisnya.
Singapura adalah sebuah negeri yang dengan sangat rapih direncakanan atau
dirancang. Pemerintah mendikte seluruh institusi untuk dapat mengerti peran
utamanya secara detil. Institusi yang dimaksud adalah institusi di bidang
4 English knowing bilingualism merupakan situasi di mana seseorang dapat cakap Bahasa Inggris
dan bahasa lainnya.
Page 23
42
pendidikan, media masa, kebijakan perumahan (hunian), perencanaan ekonomi,
pertahanan nasional dan penggunaan bahasa (Heng, 1989).
Pemerintah menghimbau masyarakat untuk menjadikan Bahasa Inggris
sebagai bahasa resmi Singapura dan terus menggunakan dan melestarikan bahasa
ibu masing-masing. Bahasa ibu dan bahasa resmi merupakan dua hal yang
berbeda yang memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Bahasa resmi yang
digunakan pemerintah merupakan sesuatu yang utilitarian, pragmatis, dan tidak
memiliki ikatan emosional dengan penuturnya. Dalam kasus ini bahasa Inggris
sebagai bahasa resmi tidak memiliki ikatan emosional bagi penuturnya karena
bahasa Inggris tidak merujuk pada kultur tertentu maupun kelompok tertentu
mengingat bahasa Inggris menyandang predikat sebagai bahasa global, bukan
bahasa barat (Alsagoff 2007). Alasan lain dipilihnya bahasa Inggris sebagai
bahasa resmi Singapura adalah karena bahasa tersebut netral etnis, dalam kata lain
bahasa tersebut tidak merepresentasikan atau mengunggulkan ras tertentu.
Konstitusi Singapura (the Constitution of Singapore) pasal 153A ayat 1
menyatakan bahwa “Bahasa Malaysia, Bahasa Mandarin, Bahasa Tamil dan
Bahasa Inggris harus menjadi 4 bahasa resmi Singapura. Pernyataan tersebut
dilanjutkan pada ayat 2 yang menyatakan “dan bahasa nasional Singapura
haruslah bahasa Malaysia” (Vaish, 2008). Sedangkan bahasa ibu merupakan
bahasa yang dipelajari dan digunakan sejak lahir menurut ras orang tua. Definisi
ras sendiri merupakan hal yang unik khususnya ketika seorang anak lahir dari
ayah yang berlainan ras dengan ibunya. Hal tersebut sering terjadi di Singapura.
Di Singapura cara termudah untuk mengenali ras seseorang adalah dengan
mengidentifikasi ras ayahnya (Vaish, 2008). Sensus nasional Singapura pertama
terjadi pada tahun 1957 saat negara menyetujui bendera nasional dan lagu
kebangsaan sebagai media untuk melawan potensi chauvinisme kelompok tertentu
dan kesediaannya untuk merger. Pada survey tahun 1991 terlepas bahwa 80%
orang tidak mengerti arti lagu kebangsaan namun tetap saja mereka tetap
menghadiri rally untuk mengekspresikan persatuan mereka (Willmott 1989).
Page 24
43
Pemerintah mewajibkan penggunaan Bahasa Inggris karena belajar bahasa
itu lebih dari sekedar untuk media komunikasi, belajar bahasa sama saja
mengadaptasi cara pikir, pola berpikir melalui istilah-istilah, cerita-cerita, pepatah
maupun ungkapan. Proses tersebut adalah proses pembelajaran filosofi kehidupan
(Echaniz, 2015). Pembelajaran bahasa tidak terpisahkan dengan pembelajaran
ungkapan-ungkapan sederhana yang mewakili cara seseorang merespon terhadap
suatu stimuli. Sebagai perumpamaan kecil dalam Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia adalah ungkapan “masuk angin”, yang apabila diterjemahkan secara
harfiah dalam Bahasa Inggris tidak akan berarti apapun karena di dalam Bahasa
Inggris fenomena “masuk ingin” memiliki istilah tersendiri yaitu “to catch a
cold”. Bagi orang Indonesia “masuk angin” merupakan fenomena masyarakat
percaya bahwa seseorang terlalu banyak terekspos angin sehingga menyebabkan
imunitas tubuh menurun dan jatuh sakit, penyebabnya adalah banyaknya angin
yang masuk ke tubuh kita. Perumpamaan ini menjelaskan bagaimana sebuah
ungkapan dapat mewakili kepercayaan atau pola pikir sebuah kelompok dan tidak
hal ini berlaku terhadap semua bahasa dari segala kelompok. Jadi apabila
seseorang mengakuisisi Bahasa Bahasa Singlish dalam kehidupan sehari-harinya
dan berinteraksi menggunakan bahasa tersebut, ia telah mengadaptasi cara pikir,
pola berpikir melalui istilah tertentu, cerita maupun ungkapan yang khas akan
Singapura dan tidak ditemui di negara lain.
Globalisasi telah menyelamatkan Singapura dari tingginya angka
pengangguran dan kesenjangan pendapatan melalui ditingkatkannya standar hidup
(Marystella, 2009). Untuk mempertahakankan dan memperbaiki kondisi
Singapura seperti yang sekarang pemerintah menekankan gagasan metritokrasi
dengan bekerja keras terlepas latar belakangnya. Maka dari itu kebijakan
pendidikan merupakan hal vital (Marystella, 2009).
Ditinjau dari keadaannya yang sangat terglobalisasi, Singapura mestinya
menjadi sebuah negara maju yang menjunjung nilai-nilai modern dan memiliki
visi yang berorientasi pada masa depan. Namun realitanya Singapura dapat
Page 25
44
mempertahankan nilai-nilai keasiannya karena memiliki Ideologi Nasional yang
kuat yang diejawantahkan melalui kebijakan pendidikan bilingual (Vaish, 2008)
Lee Kuan Yew menganggap monolingual bukan sesuatu yang patut
dibanggakan mengingat ia hanya mengenal dan mengerti satu budaya sehingga
itulah alasannya bilingualisme diangkat dengan tujuan masyarakat mengerti
berbagai bahasa dan toleransi dan memiliki pintu ke berbagai belahan dunia
manapun (Heng, 1989).
“Harap dicatat bahwa ketika saya berbicara tentang bilingualisme,
maksud saya bukan hanya memfasilitasi pembelajaran dua bahasa
namun ada sesuatu yang lebih mendasar daripada aktivitas belajar
mengajar biasa, karena pembelajaran sebuah bahasa dapat
mengantar kita memahami diri kita sendiri, siapakah kita, dari
mana kita datang, bagaimana kita melihat hidup ini dan apa yang
ingin kita lakukan. Kemudian kemudahan bahasa Inggris memberi
kita akses ke pada sains dan teknologi dunia. Hal ini juga
memberikan landasan bersama yang nyaman di mana... semua
orang bersaing dalam media netral.” (Pidato Lee Kuan Yew).
Implementasi kebijakan bilingualisme dari jenjang Sekolah Dasar sampai
jenjang universitas, bahkan di Nanyang Technological University yang dulunya
chinese-oriented, diinstruksikan untuk melaksanakan aktivitas belajar mengajar
dalam Bahasa Inggris (Echaniz, 2015). Implementasi kebijakan tersebut
mencerminkan betapa gencarnya pemerintah mempromosikan obyektifnya dan
meminta dukungan masyarakat untuk turut mensukseskan program ini, serta
mencerminkan betapa signifikan pemerintah menganggap bahasa sebagai media
pembangun identitas. Saat itu perlu untuk dijadikan pertimbangan kualifikasi
untuk masuk universitas karena Lee Kuan Yew menghendaki pemimpin atau
pemerintah Singapura yang cakap berbahasa Inggris, dengan begitu orang-orang
yang tertarik akan memiliki nilai-nilai tradisional yang mendarah daging dan
kemahiran terhadap teknologi dan efek barat (Echaniz, 2015). Lee Kuan Yew
mengharapkan pemerintahan yang memiliki visi dan berorientasi masa depan,
modern, dapat berinteraksi dengan negara lain menggunakan Bahasa Inggris yang
baik, tujuannya supaya pemerintah dapat merepresentasi wajah Singapura yang
Page 26
45
berpendidikan, berintegritas dan berwawasan luas sehingga dapat menarik lebih
banyak orang ke negeri kecil ini.
Selain merilis Kebijakan Bilingualisme, pemerintah mengamanatkan pers
untuk membantu menyukseskan agenda nasional. Studi penggunaan media oleh
Chen dan Kuo (1978) menyimpulkan bahwa surat kabar dipandang sebagai
sumber informasi yang paling dapat diandalkan, paling berguna dan mudah
diakses dibanding televisi dan radio. Maka dari itu koran digunakan oleh
pemerintah sebagai media penyebar wacana dan informasi dari pemerintah.
Pemerintah mengamanatkan surat kabar untuk membantu mempromosikan
Sebagaimana diungkapkan Anderson (1991), keterlibatan dan peran media
massa dalam agenda nasionalis telah menandai kemunculan “kapitalisme cetak”
dan mass education selama abad 18. Terdapat korelasi signifikan antara
meningkatnya media cetak dan agenda nasionalis. Pemerintah memiliki peran
dalam mendikte media cetak dalam pembentukkan dan standardisasi bahasa
nasional (Anderson, 1991) karena pembentukkan nasionalisme menyangkut
dengan bahasa. Wacana dan pidato pemerintah yang diletakkan pada halaman
awal media masa adalah salah satu usaha pemerintah untuk “menasionalisasi”
seluruh pembacanya. Isi dari pidato-pidato pemerintah merupakan bagian dari
imajinasi tersebut. Pidato dari pemerintah biasanya muncul di halaman depan
koran disertai dengan transkrip yang lengkap, penjelasan, kolom diskusi, dan
ringkasan dalam poin-poin. Kolom komentar dan diskusi umumnya menjeaskan
kebijakan yang lebih terperinci, walau sebagian besar diskusi berfokus pada
implementasi kebijakannya daripada evaluasi maupun kritiknya.
Pembacaan koran atau aktivitas diatas kemudian disebut dengan the mass
ceremony atau upacara massa merupakan istilah untuk menjelaskan perayaan
dibacanya media cetak oleh berbagai pembaca yang membaca hal yang sama
bersama sama. Dengan demikian pembacaan surat kabar harian secara masal
dapat menciptakan rasa upacara massa untuk menciptakan imajinasi bangsa.
Kebiasaan sehari-hari orang Singapura ini dapat memberi arti apa artinya menjadi
Page 27
46
orang Singapura karena membaca hal yang sama dan mengonstruksi imajinasi
mengenai sesuatu yang sama pula.
Anderson (1991) mengabadikan momen bersama ini dalam pengertian upacara
massal:
Surat kabar menciptakan upacara massa luar biasa: konsumsi
simultan ('membayangkan'). Kita tahu bahwa sebuah surat kabar
edisi pagi ini pada sore harinya akan sangat dikonsumsi antara jam
ini dan itu, hanya pada hari ini .. Hegel mengamati bahwa surat
kabar melayani manusia modern sebagai pengganti doa pagi adalah
paradoks. Hal ini dilakukan secara privat, namun masing-masing
komunikan sangat menyadari bahwa upacara tersebut sedang
dilakukan secara bersamaan oleh ribuan (atau jutaan) dari orang
lain tanpa mementingkan identitas dirinya sendiri. Lebih jauh lagi,
upacara ini berulang-ulang diulangi setiap setengah hari di kalender
... Pada saat yang sama, pembaca surat kabar, dikonsumsi di kereta
bawah tanah, tempat pangkas rambut, tempat tinggal atau di
kediaman tetangga, terus menerus diyakinkan bahwa dunia yang
dibayangkan berakar jelas dalam kehidupan sehari-hari. (Anderson,
1991)
Dengan demikian, baik karena karakteristik "surat kabar harian nasional"
dan pengalaman membaca surat kabar ini, dan karena pengaruhnya terhadap
wacana politik, pers harian massa nasional adalah lokasi yang kuat di dan melalui
mana imajinasi bangsa terjadi (Anderson, 1991). Fowler (1991) mengungkapkan
bahwa berita bukanlah fenomena natural yang datang dari realitas namun
merupakan hasil produksi dari industri yang memiliki proyek dengan stakeholder
lain, dalam situasi ini, pemerintah. Melalui penggunaan bahasa realitas bisa
berubah. Berita diproduksi oleh suatu industri, dibentuk oleh birokrasi dan
struktur ekonomi dari industri itu dan oleh hubungan antara media dan industri
lain dan antara media dan pemerintah. Berita mencerminkan dan membentuk
nilai-nilai masyarakat yang berlaku. Selain itu, melalui penggunaan bahasa, ia
membentuk dan mengubah realitas.
Sebagai media promosi ideologi nasional media koran memainkan peran
penting dengan mengutip setiap pidato pemerintah. Salah satu media dengan
sirkulasi tertinggi di Singapura adalah The Strait karena media tersebut mencakup
Page 28
47
kabar mengenai berbagai aspek kehidupan dan dibaca oleh semua etnik dan
kalangan, dan pakai bahasa inggris (Bockhorst-Heng, 1999).
Menurut Laporan Indeks Media Singapura tahunan terbaru yang dirilis
oleh Nielsen tahun 2018, sejumlah 29,8 persen penduduk Singapura berusia mulai
dari 15 tahun membaca Strait Times setiap hari, persentase jumlah pembaca
tersebut mengalami kenaikan dari tahun lalu. Saat sebagian besar surat kabar lain
mengalami penurunan jumlah pembaca, koran Strait Times justru mengalami
kenaikan.
Survei Nielsen menjelaskan bahwa membaca berita harian merupakan
konsumsi rutin bagi populasi orang dewasa karena rasio jumlah pembaca surat
kabar cetak dan versi digitalnya mencapai satu dari dua orang dewasa. Koran versi
digital dapat menjangkau satu dari lima orang dewasa setiap harinya.
Singapura memiliki banyak koran yang tersedia dalam 4 bahasa resminya,
koran dengan sirkulasi terbesar adalah koran berbahasa Inggris, The Strait Times,
dan yang paling banyak dibaca oleh orang-orang dari berbagai kalangan etnis.
Maka dari itu ia memiliki peran yang spesial sebagai agen nation building (Strait
Times, 24 juli 1988). Alasan penulis fokus terhadap press adalah karena press
adalah media untuk menyebarkan agenda nasional karena disitulah pidato dari
pemerintah dapat diakses oleh masyarakat luas dan mudah diakses masyarakat
luas. Strait Times memiliki jumlah pembaca harian sebesar 45%. Lianhe Zaobao
masih merupakan koran berbahasa Mandarin terbaik di bagi para ras Tionghoa,
memiliki jumlah pembaca harian sebesar 12,7 persen. Koran berbahasa Melayu,
Berita Harian, jumlah persentase pembaca hariannya sebesar 3,2 persen,
sedangkan Tamil Murasu memiliki persentase pembaca harian 0,8 persen.
Terdapat sentralisasi kepemilikan koran melalui merger, eksposur media masa
yang berasal dari publisher yang sama menyebabkan pembaca tidak punya
alternatif surat kabar atau berita lain. Bahkan walaupun koran lokal tersentralisasi,
tetapi tetap saja pemerintah membolehkan masyarakat untuk membaca dan
megakses koran-koran lain atau surat kabar asing. Singapura memposisikan
Page 29
48
dirinya sebagai penghubung antara barat dan timur dan menghargai peran press
juga, dan press yang berada di Singapura bervariasi (Bockhorst-Heng, 1999).
Para pemimpin pemerintah membela keputusan mereka tentang merger
dengan alasan bahwa peningkatan sentralisasi akan mencegah perang antara surat
kabar saingan. Mereka berpendapat bahwa, dari sudut pandang bisnis, persaingan
tidak efisien dan tidak efisien. Argumen keuangan memang memiliki beberapa
kelebihan. Langkah menuju sentralisasi berarti operasi yang lebih hemat biaya,
meningkatkan keuntungan surat kabar, yang tentu saja menguntungkan
kepentingan kapitalistik pemerintah (Bockhorst-Heng, 1999).
“Saya yakin bahwa upaya ini harus dilakukan, jika kita ingin
bertahan hidup sebagai masyarakat yang berbeda, layak untuk
dilestarikan. Atau kita akan menjadi benar-benar kehilangan budaya
dan tersesat. Jika kita menjadi seperti beberapa masyarakat yang
berbicara bahasa Inggris pidgin, meniru Amerika atau Inggris tanpa
berpikiran, tanpa nilai-nilai dasar atau budaya mereka sendiri, maka,
jujur saja, saya tidak percaya ini adalah masyarakat atau bangsa yang
layak dibangun, apalagi membela.” Lee Kuan Yew
Krisis yang dihadapi Singapura terjadi sebagai akibat dari kegagalan
kebijakan bilingualisme bukan hanya krisis moral saja. Kebijakan bilingualisme
dan peran surat kabar dalam mempromosikan program yang gagal menjadikan
warga Singapura akan berada dalam bahaya karena sepenuhnya tidak memiliki
budaya dan tidak memiliki nilai-nilai atau budaya sendiri. Lee Kuan Yew
berpendapat bahwa masyarakat seperti itu tidak layak dibangun atau
dipertahankan. Sebaliknya, melalui keberhasilan kebijakan bilingualisme, dan
terutama melalui pembelajaran bahasa ibu mereka, orang Singapura akan tahu
siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan mereka akan memiliki nilai-nilai
dasar dan budaya yang akan memberi mereka identitas yang berbeda (Lampiran
II). Lee Kuan Yew menarik dua kesimpulan (Strait Times 24 Okt 1979). Pertama,
ia menyimpulkan, "akan membutuhkan satu, dua, tiga atau empat generasi
sebelum kita semua dapat berbicara bahasa Inggris yang baik dan benar." Dan
kedua, jika tidak ada yang dilakukan untuk mendukung kebijakan bilingual,
Page 30
49
"hasilnya adalah kegagalan kebijakan bilingual kami."
Krisis identitas tidak terjadi pada awal kemerdekaan saja atau awal
dicanangkannya Kebijakan Bilingualisme. Antara tahun 2000 hingga 2010,
Singapura telah menolak rata-rata 1.000 pengajuan kewarganegaraan per
tahunnya. Sebagian besar pemohon kewarganegaraan adalah warga negara
berketerampilan yang memiliki prospek untuk melanjutkan dan memajukan roda
perekonomian dan kewarganegaraan Singapura (Channel NewsAsia, 2012).
Tingkat imigrasi yang sangat tinggi justru menyebabkan orang Singapura
mengeluh karena mereka merasa menjadi seperti orang asing di negara mereka
sendiri. Rasa keasingan tersebut juga terjadi lantaran meningkatnya persaingan di
pendidikan formal, banyaknya jumlah bus dan kereta bawah tanah, dan banyaknya
jumlah asisten toko yang sulit berkomunikasi dengan mereka. Hadirnya pusat-
pusat warisan budaya etnis mayoritas di Singapura hanya dapat membantu
seseorang untuk menemukan identitasnya sejauh identitas generasi-generasi
sebelumnya, namun terjadi kehampaan identitas sebagai “orang Singapura”
(Bockhorst-Heng, 1999). Singapura mencoba mendefinisikan dirinya terhadap
dunia dengan sedikit kontradiktif. Di satu sisis ia ingin menjadi crossroads antara
barat dan timur tapi di sisi lain ia ingin mengotentikkan dirinya sendiri yang
mempromosikan nilai-nilai Asia (Bockhorst-Heng)
Melalui pemaparan Bab IV, bangsa-bangsa di Singapura kemudian
diproyeksikan oleh pemerintah untuk mempelajari dan mempraktikkan kedua
bahasa dalam kehidupan sehari hari mereka. Bangsa-bangsa tersebut kemudian
diharapkan untuk dapat berbahasa Inggris dengan baik dan benar sesuai himbauan
pemerintah untuk alasan ekonomi dan konstruksi identitas nasional, namun di satu
sisi juga diharapkan untuk bisa cakap dalam bahasa ibu mereka untuk alasan
budaya dan identitas asal. Bangsa-bangsa diharapakan untuk menjalankan dan
mendukung kebijakan pemerintah sehingga Singapura sehingga menjadi nation
state seperti yang dikehendaki pemerintah.
Kebijakan bilingualisme yang menekankan pentingnya kecakapan Bahasa
Inggris bagi masyarakat Singapura kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan
program Speak Good English Movement supaya masyarakat bisa mendapatkan
Page 31
50
layanan dan dukungan pembelajaran bahasa yang sepenuhnya di dukung oleh
pemerintah.